Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 35

04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 35


Widura mengangguk-angguk kecil. Ia masih belum dapat menerima pendapat itu seluruhnya. Tetapi ia tidak mau berbantah. Karena itu maka katanya, "Terserahlah kepada Agung Sedayu. Tetapi apakah pendapat Kiai, Agung Sedayu sudah benar-benar sembuh dan dapat diajak berbicara tentang dirinya?"
Kiai Gringsing terdiam sejenak. Baru kemudian ia menjawab, "Jangan tergesa-gesa. Biarlah ia sembuh sama sekali. Tetapi sebelumnya aku ingin menjajagi keinginannya lebih dahulu dengan tidak langsung."
Widura mengangguk-angguk. Tetapi hampir di luar sadarnya ia berkata, "Silahkan, Kiai. Tetapi kami di Jati Anom berharap, bahwa ia akan dapat menentukan sikapnya sesuai dengan nuraninya, meskipun ada kewajiban baginya sebagai seorang murid yang harus patuh kepada gurunya."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam. Hubungan antara Jati Anom dan Sangkal Putung rasa-rasanya sudah terlanjur dibayangi oleh kecurigaan.
Tetapi agaknya Widura benar-benar mencoba untuk melepaskan Agung Sedayu dan membicarakan masalahnya dengan gurunya lebih dahulu. "Mudah-mudahan gurunya dapat memberikan jalan yang sesuai dengan kehendak keluarganya."
Di hari-hari berikutnya, Agung Sedayu telah benar-benar nampak sehat. Hanya goresan lukanya saja yang masih harus mendapat perawatan. Tetapi ia sudah nampak sehat dan segar. Makan pun agaknya telah pulih kembali seperti saat-saat ia belum terluka.
Di setiap hari Agung Sedayu memerlukan mempergunakan waktu sedikit untuk mulai menggerakkan tubuhnya. Mula-mula ia hanya berjalan-jalan saja di sepanjang jalan padukuhan. Semakin lama semakin panjang mengelilingi Jati Anom. Bahkan ia sudah mengunjungi pamannya di Banyu Asri. Pagi-pagi benar ia sudah berada di halaman rumah pamannya, sehingga pamannya terkejut karenanya.
"He, darimana kau sepagi ini Agung Sedayu?"
"Berjalan-jalan, Paman, agar tubuhku tidak terbiasa berhenti bergerak."
"Bagus. Kau sendiri?"
"Ya. Guru menyuruhku berjalan di setiap pagi, sebelum aku dapat melakukan gerak-gerak yang lain karena lukaku belum sembuh sama sekali."
"Duduklah." "Terima kasih, Paman. Aku akan berjalan terus."
Widura tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tetapi untuk hari-hari pertama jangan terlalu jauh. Sudah agak lama kau berbaring saja di pembaringan."
"Aku sudah melakukannya beberapa hari. Tetapi baru hari ini aku sampai ke Banyu Asri."
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi datanglah nanti atau kapan saja kau mau. Jika kau pulang, ambillah jalan butulan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya. "Kenapa jalan butulan?"
"Adikmu ada di kebun belakang."
Agung Sedayu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah ia ada di sini" Aku dengar ia berada di rumah kakek, paman bibi yang menjadi Demang di Tlaga Putih."
Widura tersenyum. Jawabnya, "Ya, ia berada di rumah kakeknya di Tlaga Putih atas permintaan kakeknya, tetapi ia kini berada di sini. Agaknya ia sudah rindu kepada keluarganya. Mungkin sehari dua hari lagi ia akan kembali ke Tlaga Putih."
Agung Sedayu. termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah ke halaman samping, langsung ke kebun belakang diikuti oleh Widura.
"Kakang Agung Sedayu," terdengar seorang anak yang masih sangat muda memanggil.
Agung Sedayu tertegun. Dilihatnya laki-laki yang masih sangat muda itu berdiri termangu-mangu. Keringatnya membasahi tubuhnya yang kecil meskipun terhitung agak tinggi dibanding dengan anak-anak sebayanya.
"He kau, Glagah Putih," Agung Sedayu hampir berteriak.
Anak muda itu berlari menghampiri Agung Sedayu sambil berkata, "Kau jarang sekali datang, Kakang."
Agung Sedayu kemudian menepuk pundak adik sepupunya sambil berkata, "Kau cepat menjadi anak muda yang tampan dan kuat, meskipun tubuhmu masih saja kecil, sehingga panggilan masa kecilmu, Glagah Putih itu masih pantas kau pergunakan sampai sekarang."
"Itu namaku. Aku lebih senang dipanggil Glagah Putih dari namaku sendiri."
"Kau memang seperti sebatang glagah yang panjang. E, barangkali lebih pantas disebut galah daripada glagah."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Aku sudah rindu kepadamu, Kakang."
"Kau berada di Tlaga Putih selama ini," sahut Agung Sedayu, lalu, "tepat sekali. Mungkin Paman Widura tidak pernah merencanakan bahwa Glagah Putih akan berada di Tlaga Putih."
" Aku sering pulang," sahut Glagah Putih, "tetapi Kakang-lah yang tidak pernah berada di Jati Anom. Aku sudah minta kepada ayah beberapa kali untuk ikut ke Sangkal Putung, tetapi ayah tidak memperbolehkan."
Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, "Sekarang aku di sini. Apakah kau mau ikut aku ke Jati Anom?"
Anak muda yang dipanggil dengan nama sebutannya Glagah Putih itu memandang ayahnya sejenak. Dengan ragu-ragu ia berkata, "Apakah aku diperbolehkan ikut Kakang Agung Sedayu ke rumah Kakang Untara?"
"Apakah kau sudah selesai?" bertanya ayahnya. Glagah Putih menundukkan kepalanya. Jawabnya, "Aku malu. Di sini ada Kakang Agung Sedayu."
"O, apakah kau baru berlatih?" bertanya Agung Sedayu.
"Ah, tidak. Tentu aku tidak berbuat apa-apa selain berloncat-loncatan seperti seekor katak."
"Lakukanlah. Aku akan melihat."
Glagah Putih menggeleng, Katanya, "Tidak. Aku sudah selesai."
"Lakukanlah," berkata Widura, "mungkin kakangmu akan dapat menjadi kawan berlatih yang baik bagimu, meskipun buruk baginya."
"Ah, kenapa buruk?" bertanya Agung Sedayu.
"Ia tidak akan dapat memberikan apa-apa kepadamu. Tetapi ia justru akan menyadap ilmumu."
"Bukankah dengan demikian aku pun tidak akan kehilangan?"
Widura tersenyum. Lalu katanya kepada anaknya, "Lakukanlah. Kenapa kau malu kepada kakakmu Agung Sedayu" Ia akan dapat memberikan banyak petunjuk. Jauh lebih banyak dari kakekmu di Tlaga Putih, dan jauh lebih banyak dari ayahmu sendiri."
"Ah," desis Ki Widura.
"Jangan memperkecil arti dirimu sendiri, Agung Sedayu, karena aku tahu benar sampai dimana tingkat ilmumu sekarang."
"Ah, Paman memuji. Jika aku mempunyai ilmu yang cukup, tentu aku tidak akan tidur di pembaringan untuk beberapa hari."
"Tetapi kau harus melawan lebih dari satu orang. Agung Sedayu, kau pernah mendengar kebesaran nama Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Tetapi ilmunya ternyata tidak akan dapat mengimbangi ilmumu sekarang ini."
"Terima kasih, Paman. Tetapi itu agaknya sekedar pujian. Mudah-mudahan aku benar-benar dapat melakukannya."
Widura tertawa. Namun kemudian katanya kepada anaknya, "Cepatlah. Lakukanlah apa saja yang kau ketahui."
Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Namun ketika ayahnya mendekatinya maka ia pun merasa bahwa ia tidak akan dapat ingkar lagi.
"Ayo, lakukan. Atau aku harus memaksamu?" Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak.
Meskipun demikian ia tersenyum sambil berkata, "Ayah memaksa aku. Tetapi Kakang Agung Sedayu jangan mentertawakan aku."
Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, "Tidak, aku tidak akan mentertawakanmu. Aku akan melihat dengan sungguh-sungguh."
Glagah Putih pun kemudian bersiap meskipun rasa-rasanya masih juga segan, karena ia merasa bahwa ia masih terlalu hijau dalam olah kanuragan, apalagi dibanding dengan Agung Sedayu.
Namun demikian, akhirnya ia pun mulai melakukan latihannya. Mula-mula masih terasa sangat lamban. Namun ketika keringatnya mulai membasahi punggung, maka mulailah ia berlatih dengan sungguh-sungguh.
Agung Sedayu mengikuti latihan itu dengan saksama. Memang tata gerak yang nampak pada latihan itu masih sangat sederhana. Tetapi dengan demikian, Agung Sedayu dapat menilai kemampuan dasar yang tersimpan pada anak itu.
Sejenak kemudian nampaklah betapa Glagah Putih memiliki kemampuan yang memang ada pada dirinya dan yang sudah mulai terungkat dalam ilmunya yang baru dalam tingkat permulaan.
"Jika ia berlatih dengan tekun dan teratur, serta mendapat bimbingan yang baik, maka kemampuan dasar yang memang ada pada dirinya itu tentu akan tersusun dengan baik. Dalam waktu singkat ia akan dapat menjadi seorang anak muda yang berkemampuan cukup," berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Tanpa dikehendakinya, tiba-tiba saja ia mulai membandingkan anak itu dengan Prastawa. Katanya kepada diri sendiri, "Prastawa sudah mulai lebih dahulu. Tetapi jika Glagah Putih berlatih dengan tekun, ia akan dapat menyusulnya."
Dalam pada itu, saudara sepupu Agung Sedayu itu semakin lama bergerak semakin cepat. Meskipun tata geraknya yang nampak adalah sekedar gerak-gerak dasar dari ilmu yang pernah dikenalnya, ilmu yang dimiliki oleh pamannya seperti juga ilmu ayahnya yang temurun kepada Untara, namun gerak-gerak dasar itu telah menunjukkan, betapa kemampuan dasar dari anak muda itu menunjukkan kekuatan jasmaniahnya, meskipun nampaknya tubuhnya tinggi kecil seperti sebatang glagah alang-alang. "Luar biasa," desis Agung Sedayu di luar sadarnya.
Namun agaknya pamannya mendengar desis Agung Sedayu itu, sehingga sambil tersenyum ia pun bertanya perlahan-lahan agar anaknya tidak mendengar, "Apa yang luar biasa?"
"Paman lihat betapa kekuatan itu terpancar pada gerak Glagah Putih. Ayunan tangan dan kakinya yang meyakinkan. Loncatan-loncatan yang cepat dan pandangan mata yang tajam. Syarat-syarat yang harus ada itu sudah lengkap pada Glagah Putih, sehingga apabila ilmunya dikembangkan dengan tekun dan bersungguh-sungguh, maka baginya ilmu itu akan segera dikuasainya."
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Kakeknya bukan seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Namun sekedar untuk memberikan tata gerak dasar agaknya ia mampu, seperti ternyata kau lihat pada Glagah Putih. Adalah kebetulan bahwa kakeknya memiliki saluran ilmu yang sama dengan kakang Sadewa, meskipun kematangannya adalah jauh sekali terpaut. Tetapi kakek Glagah Putih pernah berguru pada guru yang sama."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "itulah agaknya aku langsung dapat mengenal tata gerak dasar itu."
"Tentu. Tetapi karena kakek Glagah Putih memang tidak mempunyai daya serap yang tinggi, akhirnya ia menjadi patah di tengah. Pada saat itulah ayahmu mulai berkembang dengan suburnya. Ilmunya mencapai tingkatan hampir sempurna. Sementara itu, aku sendiripun ternyata tidak dapat mengembangkan ilmuku sebaik ayahmu, karena agaknya aku tidak memiliki bekal jasmaniah seperti ayahmu."
Agung Sedayu tidak menyahut. Ia masih mengamati adik sepupunya yang bergerak cukup lincah. Namun geraknya tetap meyakinkan, bahwa ia memiliki kekuatan yang besar.
"Agung Sedayu," berkata Widura, "apakah kau melihat kemungkinan yang baik pada adikmu?"
"Tentu, Paman," desis Agung Sedayu, "biarlah ia berlatih dengan sungguh-sungguh. Tuntutan yang terperinci akan membuatnya menjadi seorang anak muda yang perkasa."
"Kakeknya dan aku sendiri tentu tidak akan melakukannya dengan baik. Tetapi aturan ilmu dari guru yang sudah tidak ada lagi tinggallah aku dan kakek, di samping kakakmu. Yang paling baik dari kami bertiga adalah kakakmu Untara. Tetapi ia tentu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyalurkan ilmunya kepada saudara sepupunya itu."
Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-angguk. Sudah barang tentu bahwa Untara tidak akan mempunyai waktu yang cukup untuk melakukannya.
"Paman," berkata Agung Sedayu kemudian, "biarlah ia melanjutkan latihan-latihannya dengan tata gerak dasar itu dahulu. Jika ia sudah memilikinya lengkap, bahwa tinggallah menyempurnakannya saja."
"Siapakah yang akan dapat menyempurnakannya sekarang" Aku tahu bahwa kau sudah lebih banyak menyadap ilmu dari gurumu daripada ilmu yang sedikit pernah kau terima dari ayahmu."
"Ya, Paman. Dan aku hampir tidak pernah menerima ilmu dari ayah dengan sungguh-sungguh karena keadaanku waktu itu."
"Tetapi kau mewarisi ketajaman bidik seperti ayahmu."
"Hanya itu." Widura menarik nafas. Memang agaknya ilmu yang tersalur lewat dirinya dan Untara, lambat laun akan menjadi semakin mundur, karena tidak ada orang yang dapat mewarisinya dengan sempurna, setidak-tidaknya setingkat dengan ilmu yang dimiliki Untara saat itu.
"Agung Sedayu," berkata Widura kemudian, "Apakah memang sudah saatnya, ilmu yang ada pada ayahmu itu akan punah" Aku kira ada beberapa hal yang dapat dinilai sebagai kelebihan ilmu ayahmu daripada ilmu yang lain, meskipun ada juga kekurangannya."
Agung Sedayu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun demikian ia pun mulai menyadari, bahwa sebenarnya ilmu itu sebaiknya dapat dipertahankan kehadirannya meskipun hanya pada tata gerak dasarnya, yang dalam perkembangannya akan dipengaruhi oleh berbagai macam ilmu yang lain, dalam hubungan yang saling menguntungkan, karena memang tidak ada salah satu cabang ilmu yang sempurna.
Sejenak kemudian ia masih melihat unsur-unsur gerak dasar yang kuat dari ilmu yang mengalir lewat kakek Glagah Putih, dan yang tersimpan pada pamannya, Widura, meskipun sebagai seorang prajurit, ilmu Widura sudah banyak dibumbui oleh berbagai macam unsur gerak yang didapatkannya dalam masa jabatannya sebagai seorang Senapati.
Glagah Putih yang sedang berlatih itu telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Meskipun masih belum terlampau banyak, namun telah menunjukkan bahwa ia adalah seorang pewaris yang baik bagi ilmu yang sedang dipelajarinya.
Sesaat kemudian, Glagah Putih itu pun mengakhiri latihannya. Keringatnya membasahi seluruh badannya, sedangkan nafasnya pun mulai berangsur cepat.
"Pernafasannya masih memerlukan banyak perhatian," desis Agung Sedayu.
"Ya," sahut ayahnya, "itulah adikmu menurut apa yang ada."
Agung Sedayu tertawa. Ia pun kemudian mendekati adiknya yang mulai lelah. "Kau luar biasa," desis Agung Sedayu.
"Kau memuji, Kakang," sahut Glagah Putih, "Aku tahu, bagi Kakang, yang kakang lihat itu bukan apa-apa."
"Tentu apa bagi anak muda sebayamu. Kau masih akan berkembang dengan pesat dan pada saatnya menyusul aku dan kakang Untara."
Glagah Putih justru menjadi tersipu-sipu. Bahkan kemudian wajahnya menjadi tertunduk dalam-dalam.
Widura hanya tersenyum saja melihat anaknya. Tetapi ia memang berharap, bahwa yang dikatakan Agung Sedayu itu akan benar-benar dapat terjadi, setidak-tidaknya mendekati.
"Nah, sekarang beristirahatlah," berkata Agung Sedayu kemudian, "Cobalah menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali sampai ke pusat paru-paru. Kau akan merasakan sentuhan tarikan nafasmu, berkali-kali dengan teratur."
Glagah Putih mencoba memenuhi nasehat kakak sepupunya. Ia mulai menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali dengan teratur.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu berkata kepada Widura, "Paman. Biarlah ia mendapat kesempatan dan waktu. Ia akan berkembang."
"Ia memerlukan tuntunan yang lebih baik."
"Tetapi harus dari cabang perguruan yang menurunkan jalur ilmu ayah dan paman?"
Widura menarik nafas. "Bukankah itu sulit sekali, Paman?"
Widura mengangguk. Katanya, "Memang sulit sekali, Agung Sedayu. Itulah yang membuat aku prihatin. Kakangmu, Untara, mempunyai bahan yang cukup. Tetapi ia tidak mempunyai waktu. Aku dan kakek di Tlaga Putih itu hanya memiliki pengetahuan dasar yang sangat dangkal."
Agung Sedayu tidak menjawab.
"Ah, sudahlah. Jangan kau pikirkan. Usahakan agar luka-lukamu segera sembuh sama sekali."
"Sekarang sudah sembuh, Paman."
"Mungkin masih ada bekasnya. Bahkan mungkin masih dapat mengeluarkan darah jika tersentuh terlalu keras."
Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi ia pun kemudian minta diri, "Ah, sudahlah, Paman. Lain kali aku akan datang lagi. Mungkin kita mendapat banyak kesempatan untuk berbincang tentang ilmu Glagah Putih."
"Ia akan kembali kepada kakeknya dua atau tiga hari lagi."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Biarlah ia memahami tata gerak dasar itu dahulu. Mungkin sesuatu dapat dilakukan atas anak itu."
Agung Sedayu pun kemudian minta diri kepada adik sepupunya. Ketika ia meninggalkan halaman belakang lewat pintu butulan, ia berkata kepada adik sepupunya, "Pergilah ke Jati Anom. Kakang Untara sama sekali tidak mengatakan bahwa kau ada di sini."
"Kakang Untara juga belum tahu bahwa aku pulang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian sekali lagi ia minta diri dan meninggalkan rumah pamannya.
Di sepanjang jalan, angan-angannya masih saja dipengaruhi oleh kata-kata pamannya tentang ilmu keturunan yang sampai kepada ayahnya, kemudian perkembangannya justru terhambat, karena anak-anak Ki Sadewa yang tidak dapat memperkembangkannya. Untara, anaknya yang sulung, sibuk dengan tugas yang tidak dapat ditinggalkannya. Sedang Agung Sedayu lebih condong pada ilmu yang diturunkan oleh gurunya, Kiai Gringsing, daripada ilmu yang pernah dipelajarinya dari ayahnya. Apalagi ilmu yang disadap dari ayahnya di masa kanak-anaknya, sama sekali belum memungkinkan baginya untuk memahaminya, karena berbagai macam keadaan. Di luar dirinya dan di dalam dirinya sendiri.
"Tetapi itu bukan berarti bahwa ilmu dari Ki Sadewa harus punah," berkata Agung Sedayu, "atau kemudian merosot menjadi ilmu olah kanuragan bagi kanak-anak yang ingin sekedar melemaskan tubuhnya yang pegal-pegal."
Tiba-tiba saja Agung Sedayu telah dicengkam oleh kegelisahan yang lain. Kegelisahan tentang dirinya sendiri masih belum dapat dipecahkannya. Kini ia telah dibebani oleh persoalan yang membuatnya juga gelisah.
"Aku harus menemukan cara," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, "Mumpung tata gerak dasar itu masih dapat ditelusur. Apa salahnya jika aku pun mempelajarinya lagi dan kemudian memperkembangkannya, meskipun tidak akan lepas dari pengaruh ilmu guru. Jika aku menyampaikan hal ini kepada guru, tentu guru tidak akan berkeberatan, dan bahkan tentu akan membantu."
Ketetapan hatinya itulah yang dibawanya kembali ke Jati Anom. Jika ada kesempatan baik, ia akan menyampaikannya kepada gurunya dan mungkin juga Untara.
"Tetapi kapan?" tiba-tiba saja ia bertanya kepada diri sendiri, "Jika waktunya aku kembali ke Sangkal Putung, maka aku tidak akan sempat melakukannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerutkan keningnya ketika di dalam hatinya tumbuh pertanyaan, "Apakah aku harus kembali ke Sangkal Putung, atau sebaliknya aku harus tetap berada di Jati Anom?"
Di sepanjang jalan kembali ke Jati Anom, Agung Sedayu dibebani oleh kegelisahannya, yang seolah-olah tidak akan dapat dipecahkannya. Kembali ke Sangkal Putung atau tetap tinggal di Jati Anom.
"Sebagai seorang laki-laki, aku memang tidak pantas berada di rumah Sekar Mirah," katanya kemudian, "Tetapi jika guru menghendaki, aku tidak akan dapat ingkar."
Namun timbul pertanyaan di hatinya, "Apakah guru menghendaki" Atau aku sendiri yang memang ingin pergi ke Sangkal Putung."
Agung Sedayu tidak mendapat jawaban sampai saatnya ia mendekati rumahnya di Jati Anom.
Di sepanjang jalan yang sudah ramai karena matahari sudah menjadi semakin tinggi, Agung Sedayu melihat perkembangan kademangannya. Seperti yang dikatakan oleh pamannya, pohon turi di sebelah menyebelah jalan sudah mulai berkembang. Bunganya yang putih keungu-unguan bergantungan lebat sekali.
Namun dalam pada itu, kenangannya kepada ayahnya pun menjadi semakin tajam. Kepada masa kanak-kanaknya dan kepada ilmu yang semakin tipis itu.
"Aku harus mendapatkan pemecahan," katanya di dalam hati, "Aku akan membicarakannya dengan guru, secepatnya."
Persoalan tentang ilmu peninggalan jalur keturunan sampai kepada kakaknya Untara, tentang dirinya sendiri dan tentang hubungannya dengan keadaan di sekelilingnya itulah yang kemudian selalu berada di dalam angan-angannya. Sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat membiarkan dirinya dicengkam oleh kegelisahan itu, dan ketika senja turun, ia pun mendapatkan gurunya yang sedang duduk berdua saja dengan Ki Waskita di serambi gandok.
Dengan kesungguhan hati, Agung Sedayu menyampaikan persoalannya kepada gurunya. Persoalan yang ditemuinya di halaman rumah pamannya.
"Jadi bagaimana maksudmu, Agung Sedayu?" bertanya gurunya.
"Jika Guru tidak berkeberatan, aku mohon ijin untuk mempelajari kembali tata gerak dan ciri-ciri perguruan ayah, mumpung saat ini masih dapat aku ketemukan sumbernya, selain kakang Untara."
Kiai Gringsing tersenyum. Sekilas dipandanginya Ki Waskita. Kemudian katanya, "Tentu aku tidak berkeberatan. Bahkan pengenalanmu yang lebih dalam tentang ilmu itu, akan memperkaya kemampuanmu," ia berhenti sejenak. Lalu, "Aku akan membantumu, Agung Sedayu."
"O," wajah Agung Sedayu menjadi cerah. "Terima kasih, Guru. Mungkin pekerjaan itu akan memerlukan waktu yang agak panjang, meskipun dapat dilakukan sambilan, di samping tugas-tugas yang lain."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun agaknya ada sesuatu yang tersimpan di hatinya. Nampak disorot matanya keragu-raguan yang membayang. Setiap kali dipandanginya wajah Agung Sedayu dan Ki Waskita berganti-ganti.
"Ki Waskita," berkata Kiai Gringsing kemudian, "sebenarnya aku masih ragu untuk mengatakannya kepada Agung Sedayu. Tetapi karena tiba-tiba saja ia telah membawa persoalan baru, maka agaknya ada jalur yang sejajar, yang dapat kita tempuh bersama-sama."
Agung sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak segera bertanya karena Ki Waskita menjawab, "Aku kira memang sudah saatnya, Kiai. Biarlah Agung Sedayu tidak terombang-ambing tidak menentu. Keputusan Kiai akan membantunya memecahkan persoalannya yang melingkar-lingkar itu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, "Agung Sedayu. Sebenarnya sudah beberapa lamanya aku membicarakannya dengan Ki Waskita. Aku tidak dapat melepaskan diri dari persoalan yang kau hadapi. Sejak Swandaru kawin, maka persoalanmu menjadi lain. Benar kata angger Untara dan pamanmu Widura, bahwa tidak sebaiknya kau berada di Sangkal Putung terus menerus. Dan aku tidak akan ingkar, bahwa aku merupakan salah satu penyebabnya."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dan ia mendengar gurunya meneruskan, "Agung Sedayu, seperti yang dikatakan Ki Waskita, bahwa kini memang sudah saatnya, bahwa persoalan ini aku sampaikan kepadamu," ia berhenti sejenak. Lalu, "Sudah beberapa kali angger Untara mengatakan, sebaiknya kau tidak lagi kembali ke Sangkal Putung. Tetapi menurut pengamatanku, kau pun tidak akan dapat tenang tinggal di sini, karena pada dasarnya kau mempunyai perbedaan pandangan hidup, sifat dan tabiat dengan kakakmu. Karena itu, bagaimanakah pertimbanganmu, jika kita hidup dalam lingkungan yang baru sama sekali. Tidak di Sangkal Putung dan tidak pula di Jati Anom?"
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Bagaimanakah maksud, Guru?"
"Seperti yang ditawarkan oleh kakakmu. Aku akan hidup di sebuah padepokan. Dan jika kau tidak berkeberatan, kau akan menjadi penghuni padepokan itu pula. Di padepokan itu kita dapat mempelajari dan menyusun kembali bersama pamanmu Widura, apa yang dicemaskan akan hilang itu."
Tiba-tiba saja wajah Agung Sedayu menjadi bertambah cerah. Dipandanginya gurunya dan Ki Waskita berganti-ganti. Lalu dengan ragu-ragu ia bertanya, "Dimanakah kita akan tinggal?"
"Kakakmu menawarkan sebuah pategalan. Tentu saja petegalanmu. Apakah kau bersedia tinggal di petegalan yang akan kita bangun menjadi sebuah padepokan kecil" Di Karang misalnya."
Agung Sedayu beringsut setapak. Dengan serta-merta ia menjawab, "Tentu, Guru. Aku bersedia. Barangkali itu memang suatu pemecahan yang paling baik bagiku. Apalagi jika Guru memang menghendaki."
Kiai Gringsing menepuk bahu Agung Sedayu. Lalu katanya, "Kita akan mulai membangun pategalan yang sudah banyak ditumbuhi pepohonan itu, menjadi sebuah padepokan kecil. Kecil saja. Dan kita akan tinggal di sana. Bagimu, kau tinggal di pategalanmu sendiri."
Persoalan itu ternyata telah menumbuhkan berbagai macam tanggapan dan angan-angan pada Agung Sedayu. Ketika malam tiba, dan ia sudah berbaring di pembaringannya, maka ia mulai membayangkan suatu masa depan yang barangkali akan merubah cara hidupnya selama ini.
Demikian dalamnya ia memikirkannya, maka padepokan kecil itu telah dibawanya ke dalam mimpi yang mengasyikkan.
Di pagi harinya, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Waskita, duduk di pendapa bersama Untara dan beberapa orang perwira bawahannya. Nampaknya mereka masih belum membicarakan masalah yang manyangkut tugas keprajuritan, sehingga Kiai Gringsing mempergunakan waktu itu untuk menyampaikan persoalan padepokan yang telah dibicarakannya dengan Agung Sedayu.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya adiknya yang sudah nampak sehat kembali. Sekilas terbayang sesuatu yang tidak mudah ditangkap. Agaknya Untara merasa bahwa tuntutannya atas Agung Sedayu masih belum dapat terpenuhi.
Meskipun demikian Untara berkata, "Agaknya untuk sementara hal ini lebih baik, daripada Agung Sedayu harus kembali ke Sangkal Putung. Aku lebih senang melihat ia bekerja keras di padepokan kecil, daripada ia membawa nampan menghidangkan makanan dan minuman bagi tamu-tamu Ki Demang Sangkal Putung bersama Sekar Mirah."
"Ah," Agung Sedayu berdesah. Tetapi ia tidak menjawab.
"Baiklah, Kiai," Untara kemudian menegaskan, "pategalan itu juga milik Agung Sedayu. Tawaranku tentang padepokan itu memang suatu cara untuk mengatasi Agung Sedayu, meskipun hanya sementara. Tetapi bahwa ia sudah lepas dari halaman kademangan itu, aku sudah mulai mempunyai harapan baik bagi masa depannya."
Agung Sedayu memandang kakaknya sekilas. Ia masih melihat tuntutan yang lebih jauh pada sorot matanya. Tetapi agaknya Agung Sedayu menganggap, bahwa yang akan dilakukannya itu adalah jalan yang paling baik yang dapat ditempuh.
Rencana itu ternyata mendapat sambutan baik dari beberapa pihak di Jati Anom. Bahkan Widura menyatakan kesediaannya membantu, membuat sebuah rumah meskipun kecil. Sementara Untara mempersiapkan dinding batu mengelilingi pategalan yang tidak begitu luas, namun akan merupakan sebuah padepokan kecil yang menarik.
"Kita akan segera mulai," berkata Untara, "rumah yang akan dibuat oleh paman Widura dan dinding batu yang aku siapkan, akan jadi dalam waktu dekat."
"Terima kasih," jawab Kiai Gringsing, "kesempatan ini merupakan kesempatan yang sangat besar artinya bagiku. Aku tidak dapat kembali ke Dukuh Pakuwon dalam keadaanku sekarang. Sementara itu, aku mendapat kesempatan untuk tinggal di sebuah padepokan, yang akan dibangun baru sama sekali dengan berbagai macam kelengkapannya."
Sebenarnyalah Untara bekerja cepat, seperti jika ia menghadapi tugas keprajuritannya. Ia tidak menunggu dua tiga hari. Hari itu juga, Untara sudah memerintahkan membuat sumur di pategalan itu.
"Pekerjaan itu memerlukan air," berkata Untara, "meskipun dapat diambil dari parit di sebelah pategalan itu untuk mencukupi kebutuhan pekerjaan yang akan dilakukan, namun akhirnya diperlukan juga sebuah sumur bagi pategalan itu, setelah menjadi sebuah padepokan."
Untara memang tidak mau menunggu. Di hari berikutnya, pekerjaan untuk padepokan kecil itu sudah mulai dilakukan.
Namun sementara itu, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu sependapat untuk minta diri kepada Ki Demang di Sangkal Putung, karena mereka sudah agak lama tinggal di Kademangan itu.
"Tetapi seperti yang Kiai lihat, pekerjaan itu sudah aku mulai," berkata Untara, "aku harap Kiai jangan mengecewakan aku dan paman Widura."
"Tentu, Anakmas. Aku akan segera kembali."
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu yang kemudian pergi ke Sangkal Putung sudah dapat membayangkan, bahwa tanggapan orang-orang Sangkal Putung atas rencana itu tentu tidak sebaik orang-orang Jati Anom. Bahkan mungkin akan dapat timbul salah paham yang dapat merenggangkan hubungan kedua murid Kiai Gringsing itu.
"Mudah-mudahan aku masih mempunyai pengaruh yang cukup atas murid-muridku," berkata Kiai Gringsing.
Ternyata bahwa dugaan itu tidak jauh meleset dari keadaan yang mereka hadapi. Keputusan Agung Sedayu dan Kiai Gringsing untuk meninggalkan Sangkal Putung dan tinggal di sebuah padepokan kecil di dekat Jati Anom itu sangat mengecewakan mereka.
"Kau sudah berkeluarga Swandaru," berkata Kiai Gringsing, "tentu hubunganmu dengan Agung Sedayu akan mengalami perubahan. Juga caramu berguru tidak akan dapat berlangsung seperti saat-saat sebelumnya, meskipun aku akan tetap memperlakukan kalian berdua tetap seperti muridku yang sudah sejak lama aku asuh."
Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru dan keluarga di Sangkal Putung, tidak dapat mencegah maksud Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Sekar Mirah menganggap keputusan Agung Sedayu itu adalah keputusan yang bodoh.
"Apa yang kau harapkan dengan padepokan kecil itu?" berkata Sekar Mirah, "Apakah kau menganggap bahwa dengan demikian kau sudah memiliki sesuatu yang cukup berharga?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun pertanyaan itu agaknya telah menyinggung perasaannya. Karena itu jawabnya, "Sekar Mirah. Mungkin aku tidak akan mendapatkan apa pun juga. Tetapi dengan demikian aku akan mendapat kesempatan untuk mengembangkan kepribadianku, yang barang kali penting juga bagi masa depan."
Terdengar Sekar Mirah menggertakkan giginya. Tetapi ia masih tetap menahan perasaan yang bergejolak.
Namun dalam pada itu, Pandan Wangi merasa sesuatu akan pergi daripadanya. Agung Sedayu adalah saudara seperguruan suaminya. Tidak lebih. Tetapi kepergiannya telah membuat matanya menjadi panas. Bahkan ketika berada di pakiwan, terasa setitik air mengambang di pelupuknya.
"Biarlah ia pergi. Itu akan lebih baik," katanya kepada diri sendiri.
Kepergian Agung Sedayu dan Kiai Gringsing dari Sangkal Putung memang menimbulkan berbagai tanggapan. Ki Waskita akan ikut serta untuk beberapa lama, membantu mempersiapkan lahirnya sebuah padepokan kecil. Sementara Ki Sumangkar akan tetap berada di Sangkal Putung, meskipun ia berjanji akan membantu sejauh dapat dilakukan.
Tetapi tanggapan itu masih akan berkembang pula. Di Jati Anom, di Sangkal Putung dan di padepokan kecil yang bakal lahir itu. Tetapi semuanya akan tetap dipengaruhi oleh keadaan di sekitar mereka. Mereka tidak akan dapat ingkar melihat mendung yang semakin gelap di atas Pajang dan fajar yang mulai menyingsing di atas Mentaok, yang kemudin tumbuh dan berkembang semakin maju. Dan yang sedang tumbuh itu pun tidak sepi dari segala macam hambatan dan kesulitan.
Maka terbayanglah tata kehidupan baru bagi kedua murid Kiai Gringsing. Swandaru yang sudah mendapat sisihan Pandan Wangi itu, mulai mengikuti perkembangan pemerintahan di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, sedang Agung Sedayu bertekad untuk menenggelamkan diri di padepokan kecil yang sedang dibangun itu, dengan kemauan kerja yang keras.
Tetapi di samping perkembangan-perkembangan kecil yang terjadi di sebelah Timur Gunung Merapi itu, maka telah ditetapkan bahwa di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu akan berlangsung pertemuan dari mereka yang merasa dirinya, dan menyebut diri masing-masing sebagai keturunan yang langsung dapat mewarisi kejayaan Kerajaan Majapahit.
Kekuatan-kekuatan yang tidak dapat diabaikan oleh Pajang dan Mataram, sehingga pada suatu saat akan dapat menggunakan bumi yang memang sedang bergejolak.
Sehingga karena itulah, maka akhir dari kehadiran Agung Sedayu di Sangkal Putung adalah suatu permulaan yang menghentak bagi masa yang panjang. Apalagi kedua pusaka yang hilang dari Mataram masih belum diketemukan.
TAMAT Buku "API DI BUKIT MENOREH" jilid 100 ini merupakan buku terakhir dari Seri Pertama "API DI BUKIT MENOREH"
Pada penerbitan berikutnya, akan mengunjungi pembaca buku "API DI BUKIT MENOREH" Jilid 1 dari Seri ke II. Pada permulaan dari Seri Ke II tersebut, mulai nampak sebuah simpang jalan di hadapan langkah-langkah kaki para pelakunya. Agung Sedayu yang tidak sejalan dengan kehendak kakaknya Untara. Tetapi juga bahwa Agung Sedayu telah tidak berada di Sangkal Putung dan menempuh jalan masing-masing dari saudara seperguruannya Swandaru Geni. Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang menganggap kedua muridnya sudah dewasa, memberikan keleluasan kepada mereka untuk mengembangkan ilmu masing-masing. Tetapi seperti pilihan yang berbeda di dalam perjalanan hidup, maka perkembangan ilmu mereka itu pun tidak selalu sama seperti saat mereka mulai.
Sementara itu, Mataram menjadi semakin besar dan Pajang nampak menjadi buram karena mendung semakin tebal tergantung di langit. Orang-orang yang merasa dirinya keturunan dan berhak mewarisi Kerajaan Majapahit, menjadi semakin tajam menusuk jantung pemerintahan Pajang dan Mataram.
Dragon Keeper 1 Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Kekaisaran Rajawali Emas 6
^