Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 11

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 11


"Berhenti," bentak Ki Bekel sambil melangkah
mendekat, "apakah kau berdua sudah gila, sehingga kalian
tidak dapat mengekang diri lagi?"
"Barangkali," jawab Mahisa Pukat, "karena itu, jangan
hiraukan kami." "Cukup" Ki Bekel berteriak semakin keras, sementara
orang yang bertubuh kekar itu pun melangkah mendekat p ula.
"Jangan cegah kami," geram Mahisa Pukat, "kami
sedang berusaha untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di
Kabuyutan ini." "Kau" Para pengembara akan mencampuri persoalan
yang ada di Kabuyutan ini?" orang bertubuh kekar itu tertawa
berkepanjangan. Ki Bekel pun tertawa, sementara beberapa
orang yang lain pun tertawa pula.
Tetapi suara tertawa itu terputus ketika tiba-tiba saja
Mahisa Pukat berteriak, "Ki Buyut. Keluarlah! Kami ingin
bertemu. Ada persoalan yang penting yang perlu kami
bicarakan." Ki Bekel benar-benar tidak dapat menahan diri lagi.
Dengan serta merta ia pun telah meloncat sambil mengayunkan
tangannya ke mulut Mahisa Pukat. Demikian kerasnya,
sehingga Ki Bekel mengira bahwa untuk selanjutny a anak
muda itu tidak akan dapat berteriak lagi.
Tetapi Ki Buyut itu terkejut. Orang-orang yang
menyaksikan pun terkejut p ula. Ternyata tangan Ki Bekel tidak
menyentuh apa pun juga. Mahisa Pukat masih tetap berdiri di tempatnya. Ia hanya
memiringkan kepalanya saja tanpa bergeser dari tempatny a.
Namun tangan Ki Bekel itu sama sekali tidak mengenainya.
Kemarahan Ki Bekel semakin memuncak karenanya.
Dengan lantang ia berkata, "Anak setan. Ternyata kau tidak
dapat dimaafkan lagi."
"Ki Bekel," berkata Mahisa Pukat, "aku hormati kau
sebagai orang tua. Tetapi jika kau telah merendahkan
martabatmu sendiri apa boleh buat."
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Pengemis yang tidak tahu diri. Sadari derajatmu, he"
Kau tidak pantas duduk dibawah kaki Ki Buyut sekalipun.
Apalagi menghadap dan berbicara dengannya."
Kesabaran Mahisa Pukat pun telah habis. Karena itu ia
pun berteriak, "Kau kira apa dengan kedudukanmu sebagai
Bekel" Apa pula yang harus disegani pada seorang Buyut. Aku
minta Ki Buyut keluar untuk menemui aku. Jika tidak, maka
aku akan masuk ke dalam rumahnya. Aku tidak silau melihat
kedudukan seorang Buyut apalagi seorang Bekel. Bukan
maksudku merendahkan pangkat itu. Tetapi seharusnya
seorang Buyut dan seorang Bekel tidak memisahkan diri dari
orang lain." Ki Bekel pun tidak mengekang diri lagi. Dengan lantang
ia berteriak kepada para pengawal, "Kepung orang ini. Jangan
biarkan lari. Mereka harus mendapat hukuman yang pantas atas
tingkah lakunya yang deksura itu."
Para pengawal pun mulai bergerak. Sementara itu,
pemimpin pengawal yang bertugas di pintu gerbang padukuhan
induk menjadi termangu-mangu. Ia sudah melihat dan bahkan
mengalami kemampuan kedua anak muda itu. Tetapi ia tidak
mendapat kesempatan untuk memberi peringatan kepada
orang-orang di halaman rumah Ki Buyut itu.
Mahisa Murti pun telah menjadi marah pula. Bahkan
dengan lantang ia pun berteriak, "Ki Buyut. Kau dengar
suaraku. Keluar sebelum aku membunuh orang-orangmu.
Ingat, jika kau tidak mau keluar, maka Akuwu Sangling atau
Lemah Warah atau mana pun yang membawahi Kabuyutan ini
akan menilai tingkah lakumu."
Tetapi Ki Bekel lah yang berteriak kepada para
pengawal, "Bungkam mulut kedua anak itu."
Beberapa pengawal tiba-tiba saja telah berusaha
menyergap kedua anak muda itu. Tetapi mereka sama sekali
tidak menduga, bahwa beberapa orang di antara mereka segera
terlempar dari arena. Tiga orang terbanting jatuh. Seorang di
antaranya langsung menjadi pingsan. Sementara dua orang
yang lain tidak lagi dapat bangkit, apalagi berkelahi melawan
kedua orang anak muda itu.
Bahkan beberapa saat kemudian dua orang lagi terlempar
dengan darah segar mengalir dari mulut mereka. Keduanya
telah mengalami pendarahan karena beberapa buah gigi mereka
telah patah. Dengan demikian, maka para pengawal yang lain pun
menjadi ragu-ragu. Justru dalam keadaan yang demikian,
beberapa orang lagi telah jatuh.
Dalam keadaan yang kalut itu, maka Ki Bekel sendiri
serta orang yang bertubuh kekar itu telah turun ke arena.
"Ternyata kalian bukan orang kebanyakan. Jika
demikian maka kami berdua akan menyelesaikan kalian. Tetapi
jangan menyesal, jika kami telah turun ke arena, maka kami
akan menyelesaikan semuanya dengan tuntas" berkata Bekel.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangumangu.
Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain. Bagi
mereka, maka yang terbaik adalah bertemu dengan Ki Buyut.
Namun dalam pada itu, dengan nada marah Mahisa Pukat
berkata, "Kami menjadi curiga, bahwa kalianlah yang
sebenarnya telah memagari Ki Buyut. Bahkan kalianlah yang
agaknya dengan sengaja telah membuat Kabuyutan ini menjadi
kacau. He, apakah keuntunganmu membuat suasana jadi begini
buruk di Kabuyutan ini?"
"Tutup mulutmu," geram Ki Bekel, "kau memang harus
mati." Mahisa Pukat tidak sempat menjawab. Dengan
garangnya Ki Bekel itu telah menyerangnya.
Tetapi Mahisa Pukat telah bersiap menghadapinya.
Karena itu, maka ia pun segera mengelakkan serangan Ki
Bekel yang datang langsung dengan sepenuh kekuatannya itu.
Bahkan Mahisa Pukat yang sudah marah itu pula, tidak
membiarkan waktunya lebih lama lagi terbuang.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berusaha
dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Di sisi yang lain, orang yang bertubuh kekar itu p un telah
menyerang Mahisa Murti pula. Tangannya bergerak dengan
sangat cepat mengarah ke dada Mahisa Murti. Tetapi Mahisa
Murti sempat mengelak. Seperti juga Mahisa Pukat, maka
Mahisa Murti pun tidak ingin pertempuran itu terjadi
berkepanjangan. Ia pun merasa bahwa waktu telah sangat
mendesak. Karena itu, maka ia pun telah mengerahkan tenaga
cadangannya, Mahisa Murti sebagaimana juga Mahisa Pukat
tidak merasa perlu mempergunakan ilmunya, karena dengan
kekuatan tenaga cadangan didalam dirinya, keduanya akan
dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat.
Sebenarnyalah, Ki Bekel maupun orang-orang yang
bertubuh kekar itu sama sekali tidak mampu mengimbangi
kedua anak muda itu. Dalam beberapa saat saja keduanya telah
terlempar jatuh. Ki Bekel yang berusaha untuk bangkit lagi,
ternyata sudah tidak memiliki kekuatan cukup. Demikian ia
tertatih-tatih berdiri, maka ia pun telah terjatuh lagi sambil
mengerang kesakitan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berdiri di
halaman. Sejenak mereka sempat memandang berkeliling.
Namun para pengawal sama sekali tidak ada yang berani
mendekat mereka lagi. Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah berteriak
pula, "Ki Buyut. Cepat keluar. Atau aku akan mencarimu ke
dalam?" Halaman rumah Ki Buyut itu menjadi tegang. Ternyata
tidak ada orang yang dapat mencegah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Pemimpin pengawal yang bertugas di ujung
lorong induk itu pun menjadi semakin yakin bahwa kedua anak
itu benar-benar memiliki ilmu yang perkasa.
Karena Ki Buyut masih juga belum keluar dari ruang
dalam, maka sekali lagi Mahisa Pukat berteriak, "Ki Buyut.
Keluarlah. Kami ingin tahu, apakah Ki Buyut sendiri yang
menghendaki atau orang-orang di sekelilingmulah yang telah
memisahkan kau dari orang banyak, seolah-olah kau adalah
orang yang tidak boleh dipandangi wajahnya."
Beberapa saat mereka menunggu. Sementara itu, orangorang
yang ada di halaman memang menjadi berdebar-debar.
Memang tidak mudah untuk dapat bertemu dan apalagi
berbicara dengan Ki Buyut.
Sementara itu, oleh dorongan perasaan yang tidak
diketahui, pemimpin pengawal di gerbang padukuhan induk itu
telah mendekati kedua anak muda itu dengan ragu-ragu.
Dengan ragu-ragu pula ia berkata, "Berhati-hatilah. Ki Buyut
memang tidak mudah untuk menerima siapa pun juga. Itulah
sebabnya terdapat susunan yang berlapis. Tetapi kalian sudah
mematahkan lapisan Ki Bekel dengan cara kalian. Namun Ki
Buyut mempunyai beberapa orang pengawal khusus."
"Siapakah pengawal khusus itu" Kawan-kawanmu yang
terpilih dan memiliki ilmu yang tinggi?" bertanya Mahisa
Murti. Orang itu menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Bukan orangorang
dari padukuhan ini. Mereka adalah orang-orang upahan
yang memang memiliki ilmu yang tinggi. Aku tahu, kalian
berdua juga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Aku belum
pernah melihat para pengawal Ki Buyut dapat melakukan
seperti apa yang kau lakukan. Tetapi jumlah mereka cukup
banyak." "Jika kau tahu, berapa orang jumlah mereka?" bertanya
Mahisa Murti. "Yang aku ketahui lima orang," jawab pemimpin
pengawal di ujung lorong itu, "sementara Ki Buyut pun
termasuk orang yang berilmu tinggi pula, karena ia pernah
berguru untuk beberapa tahun sebelum ia menjadi menantu Ki
Buyut tua yang telah meninggal."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
berkata, "Tetapi kami harus bertemu dengan Ki Buyut."
Pemimpin pengawal di pintu gerbang itu tidak menyahut.
Ia memang tidak ingin berbuat apa pun juga. Bahkan ia sendiri
tidak tahu, untuk apa ia memberikan peringatan kepada kedua
anak muda itu. Dalam pada itu, karena Ki Buyut masih juga belum
keluar, Mahisa Pukat pun berteriak sekali lagi, "Ki Buyut.
Keluarlah. Apakah kau telah ditahan oleh orang-orangmu
sendiri atau kau menjadi ketakutan?"
Beberapa saat M ahisa Pukat menunggu. Namun agaknya
kemarahan Ki Buyut sudah tidak tertahankan lagi. Apalagi
ketika ia kemudian mendapat laporan bahwa Ki Bekel dan
pemimpin pengawal Kabuyutannya yang berkumis itu telah
dilumpuhkan. Sementara para pengawal yang lain tidak berani
lagi mendekati dua orang anak muda yang berteriak-teriak itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Ki Buyut bersama
lima orang pengawal khususnya telah keluar dari ruang dalam
dan berdiri tegak di pendapa.
Orang-orang yang ada di halaman telah tergerak
memandang ke arahnya dan menjadi sangat cemas. Dari
sikapnya nampak bahwa Ki Buyut itu telah menjadi marah
karena peristiwa yang telah terjadi di halaman rumahnya.
Sementara itu, betapa pun sulitnya, Ki Bekel dan
pemimpin pengawal Kabuyutan yang mulai sadar dari
pingsannya itu tertatih-tatih bangkit dan merangkak menepi.
Sambil berdiri di bibir pendapa, Ki Buyut memandang
berkeliling. Kemudian tatapan matanya berhenti kepada dua
orang anak muda yang berdiri di halaman.
"Kaliankah yang berteriak-teriak serta tidak mengenal
sopan santun itu?" suara Ki Buyut bergetar, menahan
kemarahan. "Kau terlalu lama Ki Buyut," jawab Mahisa Pukat,
"seandainya kau bersikap wajar, maka tidak akan terjadi
peristiwa seperti ini. Seandainya kau terima semua orang yang
berkepentingan denganmu, maka keadaan akan menjadi lain."
"Anak setan," geram Ki Buyut, "kau sadari dengan siapa
kau berbicara?" "Bukankah aku berbicara dengan Ki Buyut" Atau
keliru?" Mahisa Pukat justru bertanya.
"Aku adalah Ki Buyut di Kabuyutan ini. Aku adalah
orang yang paling dihormati di sini. Siapakah kau yang berani
langsung menatap wajahku dan berusaha untuk berbicara
dengan aku?" suara Ki Buyut menjadi keras.
Tetapi Mahisa Pukat pun telah kehilangan kesabaran.
Katanya, "Kau jangan merasa dirimu besar. Kau hanya seorang
Buyut dari sebuah Kabuyutan. Apa artinya seorang Buyut
bagiku?" Wajah Ki Buyut menjadi merah. Dengan geram ia
berkata, "Kau sadari bahwa kau akan mendapat hukuman yang
sangat berat dengan sikapmu itu" Bukankah kau hanya seorang
pengemis yang derajadnya tidak lebih tinggi dari seekor
cacing" Aku sudah mendapat laporan selengkapnya tentang
kalian berdua. Kalian tidak akan dapat berpura-pura lagi."
"Kau mencoba menghina kami Ki Buyut. Sedangkan
bagiku seorang Buyut tidak lebih dan tidak kurang
sebagaimana orang-orang lain yang ada di halaman ini. Jika
kau masih menghina kami lagi, maka kami akan memukulimu"
teriak Mahisa Pukat. Wajah Ki Buyut bagaikan disengat bara. Untuk sesaat ia
justru menjadi gagap oleh kemarahan yang membakar
jantungnya. Anak muda itu benar-benar tidak tahu diri dan
bahkan telah berani menghinanya.
Tetapi Mahisa Pukat yang sudah kehabisan kesabaran itu
dengan sengaja telah membuat Ki Buyut marah. Rasa-rasanya
ia sudah tidak dapat memaafkannya lagi. Ia ingin segera
persoalannya selesai, apa pun yang terjadi.
Dalam pada itu, kelima pengawal upahan Ki Buyut itu
pun telah turun dari pendapa. Kemarahan Ki Buyut berarti
kemarahan pula bagi mereka.
Tetapi justru itulah yang dikehendaki oleh Mahisa Pukat.
"Anak muda," geram salah seorang pengawal upahan Ki
Buyut itu, "siapakah sebenarnya kalian berdua" Kalian telah
melakukan satu perbuatan yang keterlaluan di sini. Belum ada
seorang pun yang pernah menghina Ki Buyut. Apalagi
sebagaimana kau katakan. Karena itu, maka tidak ada hukuman
yang pantas kami berikan kepada kalian selain hukuman yang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling berat yang dapat dilakukan atas seseorang."
"Kau akan menghukum mati kami?" bertanya Mahisa
Pukat. "Kau menjadi ketakutan?" bertanya orang itu.
"Tidak," jawab Mahisa Pukat, "kami akan melakukan
hal yang sama sebagaimana kau katakan. Jika kau ingin
membunuh kami, maka kamilah yang akan membunuh kalian.
Jika kalian akan mengetrapkan hukuman lain, maka kami akan
melakukannya pula atas kalian."
Pengawal itu benar-benar tidak dapat menahan diri lagi.
Tiba-tiba saja ia telah meloncat menerkam Mahisa Pukat.
Namun Mahisa Pukat pun telah bersiap menghadapinya.
Karena itu maka ia pun telah dengan tangkasnya mengelakkan
serangan itu. Dengan demikian maka serangan itu sama sekali
tidak mengenai sasarannya.
Tetapi justru karena itu, maka pengawal upahan yang
merasa berilmu tinggi itu menjadi semakin marah. Dengan
garangnya ia telah memburu dengan serangan-serangannya.
Sejenak kemudian, maka pertempuran yang sengit pun
telah terjadi. Tetapi tidak terlalu lama. Mahisa Pukat dengan
cepat telah mendesak lawannya sehingga tidak mendapat
kesempatan sama sekali untuk menyerang.
Ki Buyut melihat tekanan yang berat itu. Karena itulah
maka ia pun segera memberi isyarat, agar para pengawalnya
segera menangkap kedua anak muda itu.
"Mereka pantas dihukum seberat-beratnya" geram Ki
Buyut. Ternyata Mahisa Murti lah yang menyahut, "Bagus.
Kalian memang harus dihukum seberat-beratny a."
"Tutup mulutmu," bentak Ki Buyut, "mulutmu juga
harus dikoyak." "Hal itu akan terjadi atasmu Ki Buyut, jika kau tidak
mau mohon am pun kepada kami."
"Anak-anak iblis. Kesombonganmu benar-benar tidak
dapat dimaafkan" geram Ki Buyut.
Ternyata bahwa Ki Buyut yang marah itu tidak hanya
sekedar memberikan perintah kepada para pengawalnya.
Karena Ki Buyut sendiri merasa memiliki kemampuan, maka
ia pun telah turun pula ke halaman.
Dengan demikian, maka Mahisa Pukat dan Mahisa
Murti- pun sejenak kemudian telah bertempur melawan enam
orang. Kedua anak muda itu memang tidak bertempur
berpasangan. Tetapi mereka lebih banyak mempunyai
kesempatan dengan bertempur sendiri-sendiri.
Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, masingmasing
telah bertempur melawan tiga orang.
Ternyata mereka memang memiliki bekal yang cukup
untuk menakut-nakuti para penghuni Kabuyutan itu. Ki Buyut
'dan kelima orang pengawal upahannya memang memiliki ilmu
kanuragan yang tinggi. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang harus berhati-hati menghadapi keenam orang itu.
Dengan tangkasnya keenam orang itu telah
menunjukkan, betapa mereka dibekali dengan kekuatan yang
sangat besar, kemampuan bergerak cepat dan pengenalan yang
tepat atas kelemahan-kelemahan seseorang. Sehingga dengan
demikian, maka keenam orang itu telah dengan yakin akan
dapat mengalahkan dan kemudian menghukum anak-anak
muda yang sombong itu. Ki Buyut dan dua orang pengawalnya justru telah
bertempur melawan Mahisa Murti. Ki Buyut menganggap
bahwa anak muda yang lebih sedikit berbicara itu, akan lebih
mudah ditundukkan. Tetapi ternyata Ki Buyut salah hitung. Mahisa Murti pun
telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga mampu
mengimbangi ketiga orang lawannya. Betapa pun cepat mereka
bergerak, namun tidak mudah bagi mereka untuk menyentuh
anak muda itu. Bahkan Mahisa Murti yang marah itu, telah
menghentakkan serangannya, sehingga ketiga orang lawannya
serentak telah meloncat surut.
Namun Mahisa Murti memang ingin menunjukkan
kelebihannya. Karena itu, demikian Ki Buyut menginjakkan
kakinya di atas tanah, tiba-tiba saja Mahisa Murti bagaikan
meluncur dengan derasnya menyusulnya. Kedua tangannya
dengan kuatny a telah terjulur lurus mengarah ke dadanya.
Namun Ki Buyut tanggap akan serangan itu. Dengan
tangkas pula ia meloncat ke samping sambil menebas serangan
itu. Tetapi Mahisa Murti memang tidak ingin mengenai
lawannya dengan kedua tangannya. Demikian Ki Buyut ke
samping, Mahisa Murti pun telah memutar tubuhnya.
Kakinyalah yang kemudian menyerang mendatar dalam
putaran yang kuat dan keras. Kaki Mahisa Murti itu ternyata
berhasil mengenai punggung Ki Buyut. Demikian kerasnya
sehingga Ki Buyut terdorong beberapa langkah justru ke
depan. Hampir saja ia jatuh terjerembab jika salah seorang
pengawalnya tidak menahannya, sementara pengawal yang lain
telah berusaha menahan serangan Mahisa Murti berikutny a.
Hampir saja orang itu kehilangan kesempatan untuk
bertahan. Untunglah kawannya serta Ki Buyut yang berhasil
menguasai kembali keseimbanganya itu sempat membantunya.
Namun dalam pada itu kemarahan Ki Buyut tidak dapat
tertahankan lagi. Tulang punggungnya rasa-rasanya hampir
menjadi patah karenanya. Sementara nafasnya menjadi agak
sesak. Karena itu, maka ia pun telah meneriakkan perintah,
"Bunuh saja mereka."
Para pengawal Ki Buyut serta Ki Buyut itu sendiri telah
mengacukan senjata mereka. Sementara itu Mahisa Pukat pun
telah berkata lantang, "Senjata-senjata di tangan kalian hanya
akan mempercepat kematian kalian."
Ki Buyut dan para pengawalnya sama sekali tidak
menghiraukannya. Sejenak kemudian, mereka pun telah
menyerang dengan senjata yang terayun-ayun mengerikan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi raguragu.
Ternyata kemampuan orang-orang itu cukup tinggi.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
harus meningkatkan ilmunya pula.
Enam ujung senjata sedang bergetar dengan cepatny a
mengitari dua orang anak muda itu. Semakin lama semakin
berbahaya sehingga pada satu saat, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memang perlu segera mengambil keputusan.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum
menganggap perlu untuk mempergunakan ilmu-ilmu
pamungkas mereka. OooodeoooO HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 63 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 063 KARENA ITU, maka kedua anak muda itu masih akan
mencoba melawan mereka dengan pedang pula.
Namun Ki Buyut serta para pengawal upahannya,
memiliki ilmu pedang yang sangat baik. Mereka mampu
bergerak dengan cepat saling mengisi, sehingga hampir setiap
saat, baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah menerima
serangan dari lawan-lawan mereka.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
mengerahkan kemampuan mereka bergerak dengan kecepatan
yang sangat tinggi, sehingga mereka dapat mengimbangi
kecepatan gerak lawan-lawan mereka.
Namun meskipun lawan-lawan mereka menjadi heran
akan kemampuan kedua anak muda itu, namun akhirnya
dengan mengerahkan ilmu pedang mereka yang tinggi, keenam
orang itu berhasil menekan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka sudah barang tentu M ahisa Murti
dan Mahisa Pukat tidak akan membiarkan diri mereka
mengalami kesulitan. Justru merekalah yang harus menghukum
Ki Buyut dengan para pengawalnya, meskipun mereka masih
belum tahu latar belakang dari pergolakan yang terjadi di
padukuhan itu. Tetapi, sikap Ki Buyut itu sendiri telah
membuat kedua orang anak muda itu tidak senang.
Karena itu, ketika ternyata bahwa lawan-lawan mereka
memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi, Mahisa Murtipun
telah berteriak untuk memberikan isyarat kepada Mahisa
Pukat, "Biarlah kita mengambil apa yang mereka miliki."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun Mahisa
Pukat pun segera mengerti apa yang harus dikerjakannya.
Demikianlah pertempuran itu seakan-akan menjadi
semakin cepat. Benturan-benturan menjadi sering terjadi.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan ilmu pedangnya,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu menangkis dan
membenturkan serangan-serangan yang datang dari lawanlawan
mereka. Di seputar arena itu, para pengawal menyaksikan
pertempuran itu dengan mulut yang menganga. Mereka
memang belum pernah menyaksikan pertempuran sedahsyat
itu. Kelima pengawal upahan Ki Buyut ditambah dengan Ki
Buyut sendiri, ternyata tidak segera dapat mengalahkan kedua
orang anak muda itu. Bahkan ternyata ilmu pedang kedua
orang anak muda itu tidak kalah dahsyatnya dengan ilmu
pedang para pengawal Ki Buyut, karena ternyata mereka
berdua mampu mengimbangi enam orang sekaligus.
Namun Ki Buyut dan para pengawalnya, mula-mula
menganggap bahwa mereka akan segera berhasil. Kedua anak
muda itu telah dapat mereka tekan, sehingga ujung-ujung
pedang mereka menjadi semakin dekat dengan kulit kedua
anak muda itu. Tetapi ternyata rencana mereka untuk mengalahkan
kedua anak muda itu menjadi semakin jauh dari kemungkinan
untuk dapat dilaksanakan.
Dalam pertempuran yang semakin cepat dan keras,
keenam orang itu tidak dapat menangkap arti pesan Mahisa
Murti bagi Mahisa Pukat. Meskipun mereka dapat menduga,
bahwa akan dapat terjadi peningkatan kemampuan kedua anak
muda itu. Tetapi demikian kelima orang pengawal bersama Ki
Buyut itu semakin menjadi berhati-hati, ternyata perlawanan
kedua anak muda itu justru tidak berubah. Bahkan keduanya
menjadi semakin sulit untuk bergerak di arena yang menjadi
semakin sempit. Yang dapat mereka lakukan adalah sekedar
menangkis setiap serangan meskipun untuk beberapa saat
kemudian mereka mengalami kesulitan. Ruang bergerak rasarasanya
menjadi semakin sempit dipagari oleh putaran ujungujung
pedang keenam lawan mereka.
Namun hal itu tidak berlaku lama. Keenam orang itu
merasa betapapun kekuatan mereka menjadi susut dengan
cepat. Tanpa mereka ketahui sebabnya, maka mereka seakanakan
tidak lagi mampu bergerak cepat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja berusaha
untuk menangkis setiap serangan. Bahkan rasa-rasanya mereka
tidak menyerang sama sekali. Seakan-akan keduanya tidak lagi
mempunyai kesempatan. Namun, sementara itu keenam orang yang telah
bertempur melawan mereka itu pun dengan cepat telah
kehilangan kekuatan mereka. Bahkan rasa-rasanya tulangtulang
mereka pun telah terlepas pada sendi-sendinya.
Ki Buyut sempat merenungi keadaannya. Justru pada
saat-saat yang sangat gawat. Pada saat Ki Buyut dan kawankawannya
merasa hampir menguasai keadaan, maka tiba-tiba
saja kekuatan dan kemampuannya susut dengan cepat.
Sejenak kemudian, maka keenam orang lawan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu benar-benar telah kehilangan
kemampuan mereka untuk bertempur. Keenam orang itu
berdiri dengan lemahnya. Bahkan untuk mempertahankan
keseimbangannya pun mereka harus mengerahkan sisa
kemampuan yang ada. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berdiri di
hadapan mereka dengan kerut di dahi. Dengan lantang Mahisa
Murti pun kemudian berkata, "Aku akan mengetrapkan
hukuman sebagaimana akan kalian lakukan atas kami."
Ki Buyut memang menjadi bingung menanggapi keadaan
itu. Nalarnya tidak mampu untuk mengurai, apakah yang
sebenarnya telah terjadi atas dirinya dan kelima orang
pengawalnya. Sementara itu, Mahisa Pukat pun berkata, "Aku akan
mengikat kalian pada tiang-tiang di pendapa. Semua orang
harus ikut menghukum kalian. Hukum picis."
"Jangan," Ki Buyut hampir berteriak.
"Aku tidak peduli. Selama ini kau telah menganggap
dirimu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, sehingga
tidak pantas berhubungan dengan orang-orang padukuhanmu
sendiri. Sekarang kau harus menyadari, bahwa kau tidak
mempunyai kelebihan apa-apa," bentak Mahisa Pukat.
"Tetapi jangan dihukum picis," minta Ki Buyut dengan
suara bergetar. "Kau akan dihukum picis sampai mati," Mahisa Pukat
justru membentak semakin keras.
Wajah Ki Buyut memang menjadi sangat pucat.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian pula kelima orang pengawalnya.
Dalam pada itu Mahisa Pukat berkata, "Jika kalian tidak
mau dihukum, bertahanlah. Kenapa kalian berhenti
bertempur?" Ki Buyut tidak dapat menjawab. Tetapi tenaga dan
kemampuannya rasa-rasanya benar-benar lenyap.
"Kenapa kau diam saja Ki Buyut" Marilah. Bukankah
kau hanya melawan pengemis yang derajadnya tidak lebih dari
seekor cacing"," geram Mahisa Pukat. Namun tiba-tiba
katanya, "Ki Buyut. Aku sudah berjanji untuk memukulimu
jika kau menghina kami."
Wajah Ki Buyut yang pucat menjadi semakin pucat. Ia
memang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.
Demikian pula agaknya orang-orang upahannya. Mereka sama
sekali sudah tidak berdaya.
Karena itu, maka dengan cemas Ki Buyut hanya dapat
menunggu apa yang akan dilakukan oleh anak-anak muda itu.
Namun ia pun masih juga berkata, "Aku tidak akan
menghinamu lagi anak-anak muda."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Ketika mereka memandang orang-orang yang ada di
halaman itu, maka mereka pun segera teringat kepentingan
mereka datang di Kabuyutan itu.
"Nah Ki Buyut, sekarang katakan kepada kami, apakah
kau dapat berbicara dengan kami atau tidak" Atau kami harus
memaksamu untuk berbicara?" bertanya Mahisa Pukat.
Ternyata Ki Buyut tidak segera menjawab.
Bagaimanapun juga harga dirinya yang berlebihan itu masih
juga membayangi sikapnya.
Karena Ki Buyut tidak segera menjawab, maka Mahisa
Pukat pun telah membentak, "Jika demikian, apakah aku harus
benar-benar memukulimu" Bagiku, kau tidak lebih dari kami.
Karena itu, jangan terlalu sombong akan kedudukanmu.
Jangankan kau seorang Buyut, bahkan seorang Akuwu pun
menurut pendapatku, tidak berbeda dengan kami. Hanya
kebetulan ia mengemban tugas yang barangkali lebih penting
dari tugas kami. Namun baik Akuwu Lemah Warah maupun
Akuwu Sangling, tidak terlalu sombong seperti kau Ki Buyut.
Aku tidak tahu apakah daerah ini termasuk lingkungan
Pakuwon mana. Atau bahkan mungkin Pakuwon Pitrang.
Tetapi kami, pengembara yang kau anggap tidak lebih dari
pengemis atau bahkan cacing ini, mempunyai kesempatan
untuk keluar masuk istana Pakuwon yang mana pun dengan
bebas. Bukan hanya kami berdua, tetapi rakyat yang mana pun
juga, akan mendapat kesempatan untuk menghadap apabila ia
memang membawa persoalan yang penting."
Ki Buyut itu menjadi semakin gelisah. Melihat ketegasan
kata-kata Mahisa Pukat, maka rasa-rasanya apa yang
dikatakannya itu benar. Bahkan Mahisa Pukat itu pun
kemudian berkata, "Ki Buyut. Apa artinya kedudukanmu
dibanding dengan kedudukan Sri Maharaja di Singasari. Tetapi
Sri Maharaja di Singasari itu tidak sombong sebagaimana kau
lakukan. Sri Baginda akan dengan senang hati menerima siapa
saja yang ingin menemuinya sebagai layaknya sesama. Jika
seseorang tidak dapat menghadap bukan karena ada jarak
antara mereka dengan Sri Maharaja, tetapi semata-mata karena
kesibukan Sri Maharaja itu, sehingga harus dicari waktu yang
benar-benar luang. Tidak seperti yang kau katakan. Aku tahu
kau hanya duduk sambil makan dan minum. Sementara itu kau
menolak membicarakan persoalan penting yang menyangkut
Kabuyutan ini." Ki Buyut tidak menjawab. Tetapi Ki Buyut melihat
kesungguhan di wajah anak-anak muda itu. Karena itu, maka
jantungnya pun menjadi semakin berdebar-debar.
"Kau belum menjawab Ki Buyut," Mahisa Pukat hampir
berteriak. Jika semula anak-anak muda itu dengan rendah hati
minta bertemu dengan Ki Buyut, maka kata-katanya kemudian
menjadi lebih mirip dengan perintah.
Karena itu, Ki Buyut memang tidak mempunyai pilihan
lain. Karena itu, maka katanya kemudian, "Marilah, silahkan
duduk." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah naik
ke pendapa. Ki Buyut yang lemah itu hampir tidak lagi mampu
naik tangga pendapa rumahnya sendiri yang setiap hari
diinjaknya itu. Sementara itu, pengawal-pengawal upahannya pun sudah
menjadi tidak berdaya. Mereka duduk dengan lemahnya di
bibir pendapa. Dengan penuh keheranan mereka mencoba
untuk mengerti apa yang terjadi atas diri mereka dan Ki Buyut.
Tetapi ternyata penalaran mereka tidak dapat menjamah
kemampuan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
Sementara itu, Ki Buyut telah duduk bersama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, sementara Ki Bekel, pemimpin
pengawal Kabuyutan itu dan beberapa orang bebahu berada di
halaman dan di serambi gandok. Para pengawal memang
bersiap-siap sepenuhnya, tetapi mereka pun sadar, bahwa
mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu atas kedua orang anak
muda itu. Di pendapa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berbicara dengan Ki Buyut tentang satu di antara padukuhan di
Kabuyutan itu yang memerlukan perhatian khusus dari Ki
Buyut. "Aku telah membatasi persoalannya," berkata Ki Buyut,
"kedua orang yang berselisih itu tidak akan dapat memperluas
persoalan mereka keluar dari padukuhan itu."
"Sekarang memang begitu," berkata Mahisa Murti,
"tetapi apakah persoalan di antara mereka itu akan kau biarkan
saja berlarut-larut tanpa penyelesaian?"
"Mereka akan dapat menyelesaikan persoalan mereka
sendiri," jawab Ki Buyut.
"Tentu tidak," bentak Mahisa Pukat, "kau harus turun ke
padukuhan itu dan berusaha menyelesaikan persoalan yang
tidak ada ujung pangkalnya itu."
"Anak-anak yang keras kepala," berkata Ki Buyut,
"mereka tidak mau mendengar pendapat orang lain."
"Aku sudah bertemu dengan mereka," berkata Mahisa
Pukat, "mereka akan bersedia berbicara dengan Ki Buyut. Jika
persoalan mereka tidak mendapatkan penyelesaian, maka
akhirnya akan meningkat pada penyelesaian yang kasar dan
dengan kekerasan. Salah seorang di antara mereka telah
menyewa beberapa orang untuk mencampuri persoalan mereka,
meskipun dari mulut mereka selalu diucapkan kata-kata, agar
orang lain tidak mencampuri persoalan mereka."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya, "Seandainya kita berbicara tentang mereka, namun
mereka tentu tidak akan mau mengerti, bahwa kita berbicara
bagi kebaikan mereka. Justru karena itu, maka aku biarkan saja
mereka berusaha untuk mencari penyelesaian sendiri. Tetapi
aku tidak mau pertentangan di antara mereka itu merembes
keluar padukuhan mereka."
"Itu bukan penyelesaian. Justru kau berusaha mengadu
mereka agar kedua-duanya menjadi lemah dan tidak berdaya,"
berkata Mahisa Pukat. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Ki
Buyut, ada apa sebenarnya di padukuhan itu, sehingga Ki
Buyut seakan-akan telah membiarkan saja apa yang terjadi"
Bahkan sampai hancur sekalipun."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya,
"Aku sudah jemu membicarakan persoalan mereka. Aku sudah
jemu pula menawarkan kemungkinan penyelesaian yang
sebaik-baiknya. Tetapi mereka tidak pernah mendengarkannya.
Bahkan mereka menganggap bahwa aku menjadi berat sebelah.
Yang di sebelah kiri menganggap aku berpihak kepada yang
sebelah kanan, sementara yang sebelah kanan menganggap aku
berpihak yang sebelah kiri. Karena itu, maka usaha-usahaku
tidak pernah mereka tanggapi dengan baik."
"Jika demikian," lalu katanya, "Karena itu, maka
marilah, kita bertemu dan berbicara dengan mereka."
Ki Buyut yang pucat itu termangu-mangu. Tubuhnya
benar-benar telah basah oleh keringat. Sementara itu, tubuhnya
yang sangat lemah masih terasa belum menjadi bertambah
baik. Karena Ki Buyut tidak segera menjawab, maka Mahisa
Pukat mulai membentak, "Kau tahu Ki Buyut. Kau tidak
mempunyai pilihan lain. Jika semula kami benar-benar ingin
berbicara dengan baik, maka keadaannya sekarang telah
berbeda. Kami tidak minta kesediaan Ki Buyut. Tetapi kami
akan memaksa Ki Buyut untuk melakukannya. Jika tidak, maka
kami akan dapat berbuat lebih kasar dari yang pernah kami
lakukan, sementara keadaan Ki Buyut justru bertambah buruk.
Jika Buyut dapat berbuat sesuka hati, maka kami berdua pun
akan berbuat sesuka hati. Tidak seorang pun yang akan dapat
menghalangi kami apa pun yang kami lakukan, termasuk
mengikat Ki Buyut dan menyeret Ki Buyut ke padukuhan itu."
Wajah Ki Buyut menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat
berbuat apa-apa mengalami perlakuan yang begitu buruknya.
Para pengawal upahan yang dibanggakannya pun telah tidak
mampu berbuat apa-apa pula. Sehingga karena itu, memang
sudah tidak ada pilihan lain bagi Ki Buyut kecuali menuruti
keinginan kedua anak muda yang tidak terkalahkan itu.
Karena itu, maka Ki Buyut memang tidak dapat berbuat
lain dari pada menuruti kehendak Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu. Namun demikian ia masih juga berkata, "Baiklah.
Aku memang tidak dapat menolak. Tetapi tubuhku sangat
lemah, sehingga aku tidak akan dapat berjalan sedemikian
jauhnya." Mahisa Murti lah yang menjawab, "Perintahkan
menyediakan seekor kuda."
Ki Buyut memang tidak membantah. Ia pun memberi
isyarat kepada seorang pengawalnya untuk mendekat. Kepada
pengawal itulah Ki Buyut telah memerintahkan menyediakan
seekor kuda. Demikianlah, maka dalam keadaan yang lemah itu Ki
Buyut sudah siap untuk berangkat. Seorang pengawalnya telah
menuntun kuda itu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berjalan di belakangnya. Ketika Ki Bekel dan pemimpin
pengawal yang kesakitan ingin mengikuti mereka, Mahisa
Murti telah membentak, "Tidak seorang pun yang perlu ikut."
"Tetapi, siapakah yang menjaga keselamatan Ki Buyut?"
bertanya Ki Bekel. "Kami," jawab Mahisa Murti pula.
"Tetapi kalian bukan warga Kabuyutan kami. Apakah
kalian dapat mempertanggung jawabkan keselamatan Ki Buyut
sehingga ia kembali tanpa cidera di rumah ini"," desak Ki
Bekel. "Jika bukan kami, siapakah yang dapat melakukannya"
Siapa yang dapat mempertanggungjawabkan keselamatan Ki
Buyut sehingga Ki Buyut kembali ke rumahnya ini. Jika ada
orang yang mengaku dapat melakukannya, maka akulah yang
akan membunuh Ki Buyut di perjalanan. Nah, cobalah
menyelamatkannya," teriak Mahisa Pukat.
Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara Mahisa
Pukat berteriak pula, "Jika ada yang mengikuti perjalanan
kami, maka orang itu akan aku bunuh. Jika aku gagal, maka
aku akan membunuh Ki Buyut."
Ki Bekel itu pun terdiam. Tidak seorang pun yang
bergerak. Karena itu, maka Ki Buyut pun segera berangkat. Hanya
seorang pengawal yang boleh ikut. Pengawal yang menuntun
kuda Ki Buyut itu. Di luar regol Kabuyutan, Ki Buyut itu berkata, "Kau
memaksakan kehendakmu dengan kekerasan dan kekuasaan.
Orang-orang yang mempunyai ilmu yang tinggi dengan
demikian akan selalu berkuasa atas orang-orang yang lebih
lemah." "He, kaukah itu yang berbicara Ki Buyut?" bertanya
Mahisa Murti. Ki Buyut termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti
berkata lebih lanjut, "Bagaimana jika orang lain yang
mengatakannya hal itu kepadamu?"
Ki Buyut itu pun justru terdiam.
"Aku tidak senang terhadap sikap seperti itu Ki Buyut,"
berkata Mahisa Murti, "karena itu aku sama sekali tidak senang
melihat sikapmu. Jika kemudian aku melakukannya, justru
karena aku mengira, sikap itulah yang paling baik bagi Ki
Buyut." Ki Buyut menundukkan kepalanya. Ia tidak menjawab.
Sementara itu kuda Ki Buyut itu p un berjalan lambat, dituntun
oleh seorang pengawal. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
berdiam diri pula. Mereka berjalan menyusuri jalan induk
padukuhan itu. Beberapa orang yang sempat melihat Ki Buyut
justru bertanya-tanya di dalam hati. Ap a yang telah terjadi"
Mereka tidak pernah melihat Ki Buyut hanya dikawal
oleh seorang pengawal saja. Biasanya Ki Buyut selalu diikuti
oleh kelima orang pengawalnya yang mempunyai kemampuan
yang sangat tinggi. Tetapi tidak seorang pun yang berani dengan terangterangan
melihat perjalanan yang aneh dari Ki Buyut itu.
Beberapa orang yang kebetulan berpapasan, justru telah
mencari jalan untuk menyimpang atau masuk ke regol halaman
orang di pinggir jalan itu.
Sebenarnyalah, apa yang terjadi segera menjadi bahan
pembicaraan yang ramai. Peristiwa yang terjadi di rumah Ki
Buyut, perjalanan Ki Buyut yang aneh serta peristiwa-peristiwa
yang terjadi sebelumnya benar-benar telah menggemparkan
padukuhan induk itu. Namun akhirnya setiap orang pun tahu, bahwa tidak ada
orang yang dapat mencegah dua orang anak muda yang telah
memperlakukan Ki Buyut dengan kasar dan keras.
Namun peristiwa itu telah membuka pikiran beberapa
orang tua di Kabuyutan itu. Mereka mulai mencoba menilai
kembali, apakah yang pernah terjadi.
Mereka pun sempat menilai kembali, apa saja yang
pernah dilakukan oleh Ki Buyut di saat ia memegang
jabatannya itu. Sehingga akhirnya datang dua orang anak muda yang
telah memperlakukannya dengan kasar dan keras. Bahkan
condong untuk merendahkan derajatny a.
Tetapi masih belum ada seorang pun yang berani


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan sesuatu tentang Ki Buyut itu. Sebelum datang
kedua orang anak muda itu, kuasanya memang terlalu besar.
Tidak ada seorang pun yang dapat menentangnya. Bahkan
tidak seorang pun yang berani menanyakan sesuatu tentang
kebijaksanaannya. Orang-orang Kabuyutan itu menganggap bahwa semua
keputusan yang diambil oleh Ki Buyut adalah keputusan yang
bijaksana, dilandasi dengan wibawanya yang tinggi.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membawa Ki Buyut ke padukuhan yang sedang dibelah oleh
perpecahan itu. Betapa pun kegelisahan mencengkam
jantungnya, tetapi Ki Buyut tidak dapat menolak. Ia harus
memasuki satu lingkungan yang sangat dibencinya.
Tetapi tidak ada jalan untuk menghindar. Karena itu,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengikuti Buyut
yang berada diatas punggung kuda memasuki padukuhan yang
terbagi itu. Semula tidak ada orang yang memperhatikan di sebelah
menyebelah. Di balik pagar orang-orang tidak menghiraukan
jika ada orang yang lewat di jalan induk padukuhan mereka.
Bagi mereka orang-orang lewat itu sama sekali tidak ada
artinya, karena mereka tidak akan mempunyai pengaruh apa
pun bagi padukuhan mereka.
Namun akhirnya ada juga orang yang memperhatikan
mereka. Orang yang pertama melihat orang berkuda itu
terkejut. Orang itu adalah Ki Buyut.
Karena itu, maka orang-orang di sebelah menyebelah pun
menjadi ribut. Orang-orang yang melihat Ki Buyut memasuki
padukuhan itu telah memberitahukan kepada tetangga-tetangga
dan kawan-kawannya, sehingga akhirnya kedua belah dari
padukuhan itu menjadi ramai. Orang-orang dari kedua bagian
padukuhan itu telah berlari-lari melihat dari balik-balik pagar
yang terdapat di jalan-jalan simpang.
"Benar, orang itu adalah Ki Buyut," berkata seseorang.
"Ia datang tanpa pengawal," berkata yang lain.
"Hanya seorang yang menuntun kudanya serta kedua
orang anak muda itu," berkata yang lain pula.
Demikianlah akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah membawa Ki Buyut yang duduk diatas punggung kuda
itu berhenti di simpang empat. Kedua arah yang memasuki
belahan padukuhan itu telah ditutup dengan pagar.
Namun dalam pada itu, M ahisa Murti pun berkata kepada
orang-orang di sebelah menyebelah pagar itu, "Panggil
pemimpin kalian masing-masing. Di sini ada Ki Buyut."
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian beberapa orang pun telah berlari-lari mencari
pemimpin mereka masing-masing.
Rasa-rasanya begitu lama mereka menunggu di simpang
empat itu. Baru kemudian kedua orang pemimpin dari belahan
padukuhan itu menguak orang-orang yang berdiri berjejal-jejal
di belakang pagar. "Nah," berkata Mahisa Pukat kemudian, "aku telah
membawa Ki Buyut kemari. Aku minta kalian, yang mengaku
pemimpin dari padukuhan ini keluar untuk menemui Ki Buyut
dan berbicara dengannya."
Para pemimpin di kedua belahan padukuhan itu
termangu-mangu. Mereka merasa ragu-ragu melihat kenyataan
itu, bahwa Ki Buyut telah bersedia datang ke padukuhan itu.
Tetapi Ki Buyut itu benar-benar telah ada di hadapan mereka.
Karena itu, maka mereka pun telah meloncati pagar yang
menutup simpang empat itu. Meskipun mereka nampak raguragu,
namun mereka pun telah melangkah mendekat. Ternyata
bahwa mereka masih menaruh kepercayaan kepada kedua
orang anak muda yang menyertai Ki Buyut itu. Apalagi karena
Ki Buyut datang seorang diri tanpa pengawal selain yang
menuntun kudanya. "Nah," berkata Mahisa Pukat, "sekarang Ki Buyut sudah
ada di antara kalian. Kalian dapat membicarakan
kemungkinan-kemungkinan untuk menyatukan padukuhan
kalian." Kedua orang pemimpin dari belahan padukuhan itu
saling berpandangan sejenak. Kehadiran Ki Buyut itu tidak
diduganya sama sekali. Karena itu untuk sesaat mereka justru
agak kebingungan. Mereka tidak segera tahu, apa yang
sebaiknya mereka lakukan.
Mahisa Pukat lah yang kemudian berbicara, "Kita sudah
bertemu. Kita akan berbicara tentang padukuhan ini. Biarlah Ki
Buyut mengatakan kebijaksanaannya."
Tetapi Ki Buyut itu pun berkata, "Apakah aku harus
mengambil satu keputusan sekarang?"
"Kau memang harus mengambil satu sikap untuk
mengatasi persoalan yang menyangkut padukuhan ini," berkata
Mahisa Pukat. "Aku mengerti, "jawab Ki Buyut, "tetapi sudah tentu
tidak sekarang. Aku perlu pembicaraan-pembicaraan yang
mungkin panjang dengan kedua belah pihak. Baru kemudian
aku akan dapat membuat satu keputusan."
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia dapat
mengerti keterangan Ki Buyut itu. Ki Buyut memang tidak
akan dapat dengan tiba-tiba saja mengambil sikap untuk
mengatasi kemelut di padukuhan itu tanpa berbicara lebih
dahulu dengan mereka yang berkepentingan. Seandainya Ki
Buyut menentukan satu keputusan, tetapi orang-orang
padukuhan itu tidak dapat menerimanya, maka keputusan itu
tentu akan tidak berarti pula.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, "Baiklah.
Kalian akan dapat berbicara sebaik-baiknya. Aku tidak akan
memaksakan sesuatu kepada kalian. Kami berdua hanya akan
menjadi saksi. Tetapi jika kalian tidak jujur, maka aku akan
melakukan apa saja yang aku sukai."
"Jadi, apakah yang harus aku lakukan sekarang?"
bertanya Ki Buyut. "Kalian harus membuat perjanjian, kapan kalian akan
membicarakan persoalan yang menyangkut padukuhan dan
bahkan mungkin Kabuyutan ini," berkata Mahisa Pukat.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
kedua orang pemimpin dari belahan padukuhan itu. Lalu
katanya, "Aku minta kalian datang ke Kabuyutan dua hari yang
akan datang." "Kenapa dua hari yang akan datang?" Mahisa Pukat lah
yang bertanya, "Kenapa tidak besok pagi?"
"Aku masih terlalu lemah," jawab Ki Buyut, "dua hari
mendatang, keadaanku akan bertambah baik."
"Terserah kepada kalian," berkata Mahisa Pukat, "aku
akan menunggu." "Kalian akan menunggu sampai pembicaraan itu
berakhir?" bertanya Ki Buyut.
Mahisa Pukat mengangguk. Katanya kemudian, "Kami
akan menjadi saksi dari pembicaraan kalian. Kami akan
mengikuti setiap pembicaraan kalian tanpa mencampuri jika
kalian masing-masing pihak berlaku wajar. Kecuali jika ada di
antara kalian yang bertindak tidak wajar, maka kami akan
berbuat sesuatu. Mungkin lunak, tetapi mungkin juga keras.
Kalian sudah tahu siapa kami dan apa yang dapat kami
lakukan. Jika sejak semula kalian bersikap baik dan wajar, aku
kira kami tidak akan banyak bertingkah. Tetapi kalian telah
memancing kami untuk berlaku keras dan kasar seperti ini."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Kehadiran orang lain dapat membuat kami masingmasing
tidak dapat mengatakan persoalan kami dengan
terbuka. "Aku hanya ingin melihat dan mendengar," berkata
Mahisa Pukat. Namun kemudian, "jangan dipersoalkan lagi."
Ki Buyut termangu-mangu. Mahisa Pukat dan Mahisa
Murti pun tahu benar bahwa sebenarnya Ki Buyut keberatan.
Tetapi mereka tidak menghiraukannya.
Dengan demikian maka Ki Buyut memang tidak dapat
berbuat lain. Ia harus berbicara dengan kedua arang yang
bermusuhan itu dua hari yang akan datang di rumahnya
disaksikan oleh kedua orang anak muda yang tidak disukainya
itu. "Kalian harus datang pada saatny a," berkata Mahisa
Pukat, "jika tidak, maka hal itu akan dijadikan alasan Ki Buyut
untuk menunda pembicaraan lagi. Di saat matahari naik, kalian
harus sudah berada di rumah Ki Buyut."
Kedua orang yang mengaku pemimpin di belahan dari
padukuhan mereka itu tidak menjawab. Sementara Ki Buyut
berkata, "Aku akan pulang sekarang."
"Kalian telah membuat janji. Janji itu harus ditepati,"
berkata Mahisa Pukat, "jika salah satu pihak tidak menepati
janji itu, kami berdua akan mengambil langkah-langkah
tertentu menurut kemauan kami sendiri."
Tidak ada yang menjawab. Sementara itu Mahisa Pukat
itu p un berkata, "Marilah, aku antar kau kembali."
Ki Buyut pun tidak menjawab. Pengawal yang menuntun
kudanya itu telah menuntun kuda itu pula kembali ke
padukuhan induk. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengikutinya. Namun ketika Ki Buyut itu memasuki regol halaman
rumahnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru berhenti.
Dengan lantang Mahisa Pukat berkata, "Ki Buyut. Aku tidak
akan bermalam di rumahmu. Aku akan bermalam di mana saja.
Tetapi dua hari lagi, aku akan menjadi saksi pertemuan kalian.
Sementara itu, kami akan melihat-lihat lingkungan di sekitar
Kabuyutan ini. Apakah rakyat Buyut juga mempunyai tingkah
laku seperti kau." Ki Buyut itu hanya dapat menggeretakkan giginya.
Tetapi ia tidak dapat mencegah kedua orang itu berbuat apa
saja betapa pun menyakitkan hati.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
meninggalkan padukuhan induk itu. Mereka berjalan
menyusuri jalan yang menghubungkan padukuhan induk itu
dengan padukuhan yang sedang terbelah. Tetapi keduanya
memang tidak pergi ke padukuhan itu.
Ketika keduanya melihat seorang tua yang bekerja di
sawah, maka keduanya pun berhenti. Keduanya kemudian
duduk di pematang sambil memperhatikan orang tua yang
bekerja itu. Ketika orang tua yang bekerja itu melihat keduanya,
maka ia pun telah mendekatinya sambil bertanya, "Apa yang
kalian inginkan anak-anak muda?"
Mahisa Murti lah yang menjawab, "Tidak apa-apa kek.
Kami hanya melihat kakek bekerja. Kenapa kakek bekerja
sendiri tanpa orang lain. Mungkin anak atau cucu atau
barangkali kemanakan kakek?"
Orang tua yang ternyata pendengarannya masih utuh itu
tertawa. Katanya, "Aku masih kuat bekerja sendiri."
"Lalu apa kerja anak-anak kakek atau cucu-cucu
kakek?" bertanya Mahisa Murti.
Orang tua itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak
mempunyai anak dan tidak mempunyai cucu. Aku hidup
sendiri. Aku mengerjakan sawahku sendiri. Tetapi sawahku
tidak terlalu luas."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Ternyata orang tua itu pun kemudian berkata, "Marilah.
Duduk di dalam gubugku. Aku juga ingin beristirahat. Sudah
waktunya aku pulang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menolak. Merekapun
kemudian telah mengikuti orang tua itu menyusuri
pematang menuju ke sebuah gubug kecil beratap ilalang.
Di dalam gubug itu ternyata terdapat sebuah kendi air
dan beberapa potong makanan.
"Tidak ada orang yang dapat mengirimkan makanan
bagiku. Karena itu aku telah membawa sendiri dari rumah,"
berkata orang tua itu. "Kakek benar-benar hidup sendiri?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ya. Aku benar-benar hidup sendiri. Tanpa anak, tanpa
cucu dan isteriku sudah mati beberapa tahun yang lalu,"
berkata orang tua itu. Lalu tiba-tiba saja ia menyodorkan
makanannya sambil berkata, "Marilah. Aku senang jika ada
orang yang bersedia menemani aku makan. Rasa-rasanya
menjadi bertambah enak."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak.
Meskipun hanya sepotong kecil, keduanya ikut makan bersama
orang tua itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti telah bertanya,
"Kakek agaknya sudah tua. Karena itu, kakek tentu melihat
perkembangan Kabuyutan ini untuk waktu yang panjang,
sepanjang umur kakek. Bukankah begitu?"
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
termasuk orang tertua di Kabuyutan ini ngger. Mungkin hanya
tinggal dua tiga orang saja yang seumur dengan aku."
"Nah, kek. Apakah kakek dapat berceritera tentang
mereka yang pernah memimpin Kabuyutan ini?" bertanya
Mahisa Murti. Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun ia pun justru
bertanya, "Maksud angger, siapa-siapa yang pernah menjabat
kedudukan tertinggi di Kabuyutan ini?"
"Begitulah kek," jawab Mahisa Murti.
Kakek itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Ceritera itu panjang. Terlalu panjang jika aku ceriterakan di
sini. Sebentar lagi matahari akan terbenam."
"Jadi kapan kakek dapat menceriterakan tentang hal
itu?" bertanya Mahisa Murti pula.
"Kalau kau mau singgah di rumahku, maka aku akan
berceritera panjang lebar. Mungkin ada orang yang tidak
senang mendengar ceriteraku jika aku mengatakan apa yang
memang telah terjadi. Tetapi itu tidak apa-apa," berkata kakek
itu kemudian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Agaknya keduanya sepakat untuk singgah di rumah kakek tua
itu. Tetapi menilik ungkapannya, kakek tua itu tentu mengerti,
bahwa ada beberapa kemungkinan dapat terjadi atasny a jika ia
berceritera dengan terus terang. Karena kakek itu menyadari
bahwa ada orang yang tidak senang jika ia berkata yang
sebenarnya. Karena itu, agar mereka tidak menimbulkan kesulitan
kepada kakek itu, maka mereka harus berusaha mengurangi
kemungkinan buruk itu sejauh mungkin. Mahisa Murti dan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Pukat pun tidak tahu, siapakah yang dimaksud oleh
kakek tua itu, bahwa mereka tidak akan senang jika ia berkata
apa adanya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Kek. Kami akan sangat berterima kasih kepada kakek atas
kesempatan itu. Tetapi kami berdua akan datang ke rumah
kakek setelah gelap."
Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Dengan nada
tinggi ia bertanya, "Kenapa" Kalian dapat bersamaku sekarang,
sehingga kalian tidak perlu mencari-cari lagi."
"Terima kasih kek. Masih ada yang harus kami lakukan.
Karena itu, berilah kami ancar-ancar. Kami akan datang nanti
malam," jawab Mahisa Murti.
Orang tua itu tertawa. Katanya, "Aku pantas
mengucapkan terima kasih atas perhatian kalian tentang
keselamatanku. Aku tahu, kalian tidak mau meninggalkan
kesan buruk tentang diriku bagi orang yang tidak senang jika
aku berkata sebenarnya. Agaknya kalian telah
memperhitungkannya baik-baik. Namun sudah tentu karena
pengalaman kalian yang panjang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Keduanya memang merasa heran atas tanggapan orang
tua itu. Namun demikian Mahisa Murti masih juga berkata,
"Mungkin dugaan kakek benar. Karena itu, justru membuat
kami semakin yakin, bahwa sebaiknya kami berhati-hati.
Bukan untuk kepentingan kami, tetapi untuk kepentingan
kakek." "Baiklah. Datanglah setelah gelap," berkata kakek itu,
"sekarang aku mau pulang. Aku tahu, bahwa kalian menunggu
tidak ada yang kalian lakukan."
Kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Namun
kakek tua itu pun segera memberikan ancar-ancar letak
rumahnya. Tidak terlalu sulit bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Sejenak kemudian kakek tua itu telah meninggalkan
gubug itu menyusuri pematang dan kembali ke rumahnya.
Sementara langit semakin lama menjadi semakin suram.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
mempunyai keperluan lain. Karena itu, maka keduanya justru
tidak meninggalkan gubug itu. Keduanya malahan berbaring
sambil menunggu matahari tenggelam di belakang cakrawala.
Ketika angin yang sejuk dan basah menyentuh tubuh
mereka, maka langit telah menjadi hitam. Bintang-bintang
bergayutan sambil berkeredipan dengan tabiatnya masingmasing.
"Sudah gelap," desis Mahisa Murti, "marilah. Kita pergi
ke rumah kakek tua itu."
Tetapi Mahisa Pukat menggeliat. Katanya, "Mataku
justru mulai terpejam."
"Jangan terlalu malam," berkata Mahisa Murti, "nanti
kakek itu sudah tidur, sehingga kita harus membangunkannya."
Dengan malas Mahisa Pukat pun akhirnya bangkit juga,
sementara Mahisa Murti sudah duduk di bibir gubug kecil itu.
Keduanya pun kemudian telah turun dari gubug itu dan
melangkah menyusuri pematang menuju ke padukuhan, ke
rumah kakek tua yang tidak begitu sulit dicari oleh kedua orang
yang sudah terbiasa melakukan pengembaraan itu.
Tetapi keduanya memang tidak ingin diketahui oleh
seorang pun bahwa keduanya mengunjungi kakek tua yang
bersedia menceriterakan urutan peristiwa di Kabuyutan itu
meskipun ia sadar, bahwa tentu ada pihak yang tidak
menyukainya. Karena itulah, maka keduanya tidak memasuki
padukuhan tempat tinggal kakek itu lewat mulut lorong.
Mereka tidak mau berpapasan dengan siapa pun juga,
meskipun kedua anak muda itu yakin, bahwa setiap orang di
Kabuyutan itu telah membicarakan nama mereka, serta
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Kabuyutan itu.
Tetapi dengan demikian maka mereka akan merasa
terganggu, sehingga karena itu, mereka telah memilih untuk
memasuki padukuhan itu dengan diam-diam.
Bukan pekerjaan yang sulit bagi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Demikian pula ketika mereka memasuki
halaman rumah kakek tua itu sesuai dengan ancar-ancar yang
telah diberikan. Perlahan-lahan Mahisa Murti telah mengetuk pintu
rumah orang tua itu. Tetapi ia tidak perlu mengulanginya.
Ternyata orang tua itu masih belum tidur. Karena itu, maka ia
pun segera mendengar bahwa pintuny a telah diketuk.
Tergesa-gesa orang tua itu pergi ke pintu. Ketika ia
membuka pintu itu, maka ia pun tersenyum sambil berkata,
"Aku sudah mengira bahwa kalianlah yang datang."
"Ya kek," jawab Mahisa Pukat, "kami menepati janji."
"Marilah, masuklah. Aku sendiri di rumah ini," berkata
kakek itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
melangkah masuk, sementara kakek itu telah menutup pintu
rumahnya itu kembali. "Dingin," berkata kakek tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
dipersilahkan duduk di ruang dalam. Ternyata kakek tua itu
telah merebus air dan bahkan membuat wedang jahe hangat.
"Marilah, kita minum," berkata orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk
bersama kakek tua itu sambil minum wedang jahe hangat.
Namun tiba-tiba saja kakek tua itu bertanya, "Nah,
bukankah maksud kedatangan kalian sekedar untuk
mendengarkan sebuah ceritera tentang Kabuyutan ini?"
"Ya kek. Barangkali aku dapat mendengar ceritera yang
lebih jelas daripada yang pernah aku dengar sebelumnya,"
jawab Mahisa Murti. Sambil meneguk minuman hangatny a kakek tua itu
kemudian telah berceritera tentang Kabuyutan yang sedang
dihangatkan oleh persoalan sebuah padukuhan yang terbelah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan ceritera
itu dengan sungguh-sungguh. Mereka seakan-akan dapat
melihat apa yang telah terjadi. Namun apa yang mereka lihat
ternyata hanya permukaannya saja.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya,
"Tetapi apakah yang sebenarnya terjadi dengan kedua anak Ki
Buyut itu" Apakah mereka memang meninggal karena sakit,
atau karena perbuatan seseorang?"
"Menurut penglihatan orang-orang Kabuyutan ini
mereka meninggal karena sakit," jawab orang tua itu.
"Apa maksud kakek dengan penglihatan orang
Kabuyutan ini" Apakah mungkin ada penglihatan lain yang
berbeda?" bertanya Mahisa Murti pula.
Orang tua itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku
tidak tahu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Jika
hanya itu yang kakek ketahui, maka aku telah mendengarnya
seluruhnya. Aku telah berbicara dengan orang-orang di gardu
dan di halaman rumah Ki Buyut, pada waktu itu."
Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, "Kau bohong. Kau
tentu tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan ceritera ini
siang tadi. Tetapi baiklah. Seandainya kau sudah
mendengarnya, syukurlah. Barangkali ceriteraku cocok dengan
ceritera yang pernah kau dengar itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Namun kemudian Mahisa Pukat berkata, "Sudahlah
kek. Sebaiknya kau katakan apa yang kau ketahui. Kami tidak
ingin berbuat apa-apa. Jika kami ingin mendengarnya itu
semata-mata karena kami ingin mendapatkan penyelesaian
yang adil di Kabuyutan ini."
Kakek tua itu termangu-mangu. Beberapa saat ia
merenung. Dipandanginya api pada lampu minyaknya yang
menyala redup, sementara malam pun menjadi semakin dingin.
"Apakah sebenarnya yang ingin kalian ketahui?"
bertanya kakek tua itu. "Yang ingin aku ketahui adalah semuanya yang kakek
ketahui," jawab Mahisa Pukat.
Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tertawa. Katanya, "Kalian aneh anak-anak muda.
Apakah sebenarnya keuntungan kalian mencampuri persoalan
yang terjadi di Kabuyutan ini?"
"Tidak ada kek," jawab Mahisa Pukat, "kami tidak akan
mendapat keuntungan apa-apa, selain kami akan merasa puas
bahwa perpecahan di padukuhan ini dapat teratasi. Semula
kami tidak mengira bahwa persoalannya akan menjadi keras,
karena kami tidak mengira pula bahwa sikap Ki Buyut sekeras
itu." "Ternyata yang terjadi adalah sikap-sikap yang keras
dan kasar, sombong dan tidak berperasaan. Begitu?" bertanya
kakek tua itu. "Ya," jawab Mahisa Murti. Lalu katanya pula, "Nah,
karena itu kami ingin tahu peristiwa-peristiwa penting sebelum
kejadian ini, tetapi bukan sekedar kulitny a."
Orang tua itu tertawa pula. Katanya, "Kau ingin tahu,
apakah Ki Buyut itu pantas untuk menjadi pemimpin di sini
atau tidak. Begitu?"
"Tidak. Tetapi kami ingin tahu, apakah kedua anak Ki
Buyut yang meninggal itu wajar atau tidak," desak Mahisa
Murti. "Sekali lagi aku jawab bahwa aku tidak tahu," berkata
orang tua itu, "jika ada yang tahu, maka persoalannya tentu
akan diusut lebih mendalam lagi."
"Baiklah kek," berkata Mahisa Pukat, "jika demikian
besok kami akan minta kedua orang yang berselisih paham itu
berbicara tentang pengetahuan mereka masing-masing tentang
padukuhannya." Orang tua itu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu kakek
tua itu pun bertanya, "Apakah kau akan bertanya langsung
kepada kedua cucu Ki Buyut yang lama itu?"
"Ya. Kami akan bertanya langsung kepada mereka,"
jawab Mahisa Pukat. "Pengetahuanku tentang peristiwa itu jauh lebih banyak
dari kedua orang cucu Ki Buyut yang lama itu," berkata orang
tua itu. "Mungkin mereka mendapatkan bahan yang lebih
banyak dari yang kau ketahui Kakek," gumam Mahisa Pukat.
Tetapi Kakek tua itu menggeleng. Katanya kemudian,
"Anak-anak muda. Apakah kalian benar-benar ingin menolong
padukuhan-padukuhan di Kabuyutan ini. Terutama padukuhan
yang telah dibelah menjadi dua itu."
"Jika tidak, untuk apa aku bersusah payah serta
memaksa Ki Buyut untuk menerima kedua orang anak muda
itu?" sahut Mahisa Murti.
Orang tua itu mengangguk-angguk pula. Katanya, "Jika
demikian, baiklah. Biarlah aku membantumu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian dengan nada rendah Mahisa Murti
berkata, "Terima kasih Kek. Bantuan Kakek akan dapat
mempermudah penyelesaian tentang padukuhan yang terbelah
itu." Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya, "Tetapi
bantuan apa yang akan Kakek berikan?"
Kakek tua itu termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Anak-anak muda. Aku adalah salah seorang yang
pernah menjadi bebahu Kabuyutan ini semasa Ki Buyut yang
tua memerintah. Itulah sebabnya aku dapat berceritera tentang
urutan keluarga Ki Buyut sampai kepada kedua orang yang
berselisih dan membelah padukuhan yang satu itu menjadi dua.
Kemudian mereka pun telah mendirikan kubu-kubu mereka
masing-masing. Memang ada yang belum aku katakan. Aku
ingin tahu kesungguhan kalian, sehingga dengan demikian jika
terjadi sesuatu kita tidak akan saling menyalahkan," berkata
orang tua itu pula. "Jika demikian, katakan Kek," desak Mahisa Murti.
Kakek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja
ia pun berkata, "Padukuhan yang terbelah itu dahulu adalah
induk padukuhan. Rumah Ki Buyut tua pun ada di padukuhan
itu pula. Karena perselisihan yang terjadi berlarut-larut, maka
akhirnya Ki Buyut yang sekarang telah memindahkan
Kabuyutan itu." "Terima kasih. Tetapi apa lagi yang penting?" bertanya
Mahisa Murti. "Kematian anak sulung Ki Buyut memang agak aneh,"
berkata kakek tua itu, "nampaknya ia telah terkena racun yang
sangat kuat." "Ah," desah Mahisa Murti, "jika demikian kenapa tidak
seorang pun yang mengusut waktu itu?"
"Tidak ada tanda-tanda keracunan pada tubuh itu. Racun
yang tajam itu hanya bekerja pada darah tanpa menodai warna
kulit penderita. Biasanya orang-orang yang keracunan telah
menampakkan tanda-tanda tertentu. Tetapi tidak pada anak Ki
Buyut yang sulung itu," berkata kakek tua itu.
"Darimana kau tahu" Kau jangan asal saja mengigau
tidak menentu," desis M ahisa Pukat.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
?"Orang yang melakukannya pernah mengatakan langsung
kepadaku. Belum terlalu lama. Beberapa bulan yang lalu. Saat
kematian menjemputnya," jawab kakek tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, "Tidak
adakah seorang pun yang tahu tentang racun itu?"
Orang tua itu menggeleng. Katanya, "Karena itu, tidak
ada kecurigaan sama sekali bahwa kematian anak sulung Ki
Buyut itu memang telah diatur."
"Apakah terjadi hal yang sama atas anak Ki Buyut yang
sudah pernah diangkat meskipun hanya beberapa saat itu?"
bertanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Ya. Tetapi dengan jenis racun yang berbeda. Karena itu
tidak ada orang yang curiga pula akan kematiannya," jawab
kakek tua itu. "Apakah keduanya tidak mempunyai tanda-tanda yang
sama?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak. Racun yang dipergunakannya adalah racun yang
berbeda. Anak Ki Buyut yang pernah menggantikan
kedudukannya meskipun hanya sebentar itu, telah dikenai oleh
sebangsa racun yang bekerja perlahan-lahan. Itulah sebabnya ia
tidak segera meninggal. Tetapi ia nampaknya menjadi sakit


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa hari. Namun kemudian ia pun telah meninggal pula."
"Apakah kematian mereka ada hubungannya dengan
menantu Ki Buyut yang kemudian memegang pimpinan?"
bertanya Mahisa Pukat. "Nah, itulah yang aku tidak tahu. Apakah yang telah
membuat itu Ki Buyut yang sekarang atau bukan, itulah yang
perlu diselidiki meskipun waktunya yang berlalu beberapa
tahun," jawab orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Menurut tanggapan mereka, orang tua itu adalah orang tua
yang jujur, meskipun dibalik kejujurannya itu nampak
beberapa persoalan yang agaknya tersembunyi.
Namun terhadap orang tua itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat harus berlaku sabar.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
harus menahan diri. Mereka tidak berniat untuk memaksa
orang tua itu berbicara, karena menurut pertimbangan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka ia tentu akan mengatakan apa
yang baik dikatakan dan ia tidak akan mengatakan apa yang
tidak baik dikatakan menurut pertimbangannya.
Dengan demikian maka yang dapat diajukan oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat hanyalah sekedar pertanyaanpertanyaan
saja. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti pun bertanya, "Kakek,
apakah sebabnya maka orang yang melakukan itu akhirnya
mengatakan kepada kakek?"
Orang itu termangu-mangu. Tetapi ialah yang justru
bertanya, "Anak-anak muda. Siapakah yang menunjukkan
kepadamu bahwa aku sedikit banyak mengetahui persoalan
ini?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang menjawab
dengan jujur pula, "Tidak ada kek."
"Jadi bagaimana kau langsung menemui aku dan
bertanya tentang pengenalanku atas padukuhan ini dari waktu
ke waktu?" bertanya orang itu p ula.
Kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada rendah Mahisa Murti menjawab pula, "benar kek.
Tidak ada yang memberikan petunjuk apa pun kepada kami.
Adalah kebetulan saja bahwa kami melihat kakek bekerja.
Menurut penglihatan kami kakek memang sudah cukup tua
untuk dimintai keterangan."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Jadi kalian datang saja kepadaku dengan
tidak sengaja?" "Begitulah kek," jawab Mahisa Murti.
Sambil mengangguk-angguk orang tua itu kemudian
berkata, "Baiklah. Aku telah salah duga. Aku kira seseorang
telah memberitahukan kepada kalian. Justru karena kalian telah
berbuat sesuatu di Kabuyutan ini." Orang itu berhenti sejenak.
Lalu katanya pula, "Tetapi semuanya sudah terlanjur.
Sementara itu, agaknya kalian benar-benar ingin membuat
penyelesaian yang tuntas di Kabuyutan ini."
"Kami datang kepada kakek memang secara kebetulan.
Tetapi niatku, untuk memecahkan masalah yang timbul di
Kabuyutan ini adalah sungguh-sungguh," berkata Mahisa
Pukat. "Baiklah. Aku sudah mulai. Agaknya memang lebih
baik jika aku mengatakan selanjutnya sesuai dengan
pengetahuanku," berkata orang tua itu.
"Terima kasih kek," desis M ahisa Murti.
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Orang yang meninggal itu ingin
melepaskan beban yang rasa-rasanya selalu menghambatny a. Ia
sudah lama sakit. Tetapi sakitnya tidak dapat diobati lagi,
sehingga tidak ada lagi harapan baginya untuk tetap hidup.
Kekayaannya yang besar sama sekali tidak mampu
menolongnya. Tetapi harapannya untuk cepat mati pun tidak
terpenuhi, sementara perasaannya selalu menyiksa dirinya.
Karena itu, maka untuk mengurangi beban yang menekan
perasaannya itu, ia pun telah mengatakan apa yang pernah
dilakukannya. Ia telah memberikan racun yang khusus kepada
anak sulung Ki Buyut. Kemudian memberikan racun yang lain
untuk membunuh adiknya yang sempat menjadi Buyut
beberapa lama." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Murti telah bertanya pula, "Tetapi
orang itu melakukannya bukan karena kehendaknya sendiri.
Jika ada yang mengupah, siapakah yang telah mengupahnya
itu?" Orang tua itu menggeleng. Katanya, "Itulah yang tidak
dikatakannya. Meskipun ingin meringankan beban
perasaannya, namun ia tetap melindungi nama orang yang
memerintahkan kepadanya untuk melakukan pembunuhan itu.
Tetapi sudah pasti bukan karena kehendaknya sendiri. Hal itu
ternyata bahwa setelah kematian-kematian itu, orang itu
dengan cepat menjadi kaya raya. Tetapi kekayaannya sama
sekali tidak dapat memberikan ketenangan pada jiwanya. Justru
jiwanya merasa selalu dikejar-kejar oleh dosa yang pernah
dilakukannya itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka mempercayai keterangan orang tua itu. Karena itu,
maka katanya, "Jika demikian orang yang mengupah orang itu
masih harus dicari. Tetapi bukankah kita dapat mencurigai
seseorang karena keadaan yang menyusul kemudian?"
"Kita dapat saja mencurigai seseorang. Tetapi kita tidak
akan dapat bertindak apa pun terhadap orang itu tanpa bukti
dan saksi atau pengakuannya sendiri. Bahkan pengakuan
seseorang belum merupakan kepastian kebenaran. Mungkin
saja seseorang mengaku melakukan kesalahan karena ia ingin
menyelamatkan orang lain," berkata orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, "Kakek, apakah
masih ada orang lain yang seumur kakek yang kira-kira dapat
memberikan keterangan lebih panjang?"
"Aku tidak yakin bahwa orang itu ada," jawab kakek tua
itu. "Aku adalah satu-satunya orang yang mendengarkan
pengakuan orang yang telah meracuni kedua anak Ki Buyut tua
itu. Karena itu tentu tidak ada keterangan yang dapat selengkap
keteranganku." "Maksudku kek, apakah dari orang-orang itu akan
didapat sedikit petunjuk tentang orang yang mengupah
pembunuh itu," berkata Mahisa Pukat.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menggeleng orang tua itu menjawab, "Aku tidak tahu anakanak
muda." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya,
"Bagaimana dengan keluarga orang yang meninggal itu"
Apakah mungkin mereka tahu atau mendengar atau pernah
melihat orang yang meninggal itu berhubungan dengan siapa
saja?" "Anak-anak muda," berkata orang tua itu, "karena aku
tidak pernah berniat untuk mengusutnya, maka aku tidak
pernah mencoba mengetahuinya."
"Baiklah kek. Biarlah aku mencobanya. Dua hari lagi Ki
Buyut akan berbicara dengan kedua orang yang bermusuhan
itu, yang ternyata keduanya adalah saudara sepupu," berkata
Mahisa Pukat. "Sudahlah anak muda. Biarlah keterlibatanku sampai di
sini saja. Seandainya aku tidak salah paham dan tahu bahwa
tidak ada seorang pun yang mengirim kalian berdua menemui
aku, maka aku tidak akan mengatakan seluruhnya yang aku
ketahui kepada kalian," berkata orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Kami
mengucapkan terima kasih kek. Tetapi yang kami ketahui itu
tidak akan kami pergunakan untuk niat-niat buruk. Mudahmudahan
kami akan dapat membantu memecahkan persoalan
ini." "Mudah-mudahan anak muda," berkata orang tua itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti justru merenungi
persoalan yang mereka hadapi. Bahkan tiba-tiba saja, Mahisa
Murti bertanya, "Kakek, apakah kakek masih bersedia
menjawab, jika aku mengajukan satu p ertanyaan lagi?"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu
ia bertanya pula, "bertanya apa lagi anak muda?"
Mahisa Murti memang menjadi ragu-ragu juga.
Meskipun demikian ia pun telah bertanya pula, "Kakek.
Semula kakek mengira bahwa seseorang telah mengirim kami
menemui kakek. Hal ini sebenarnya telah menimbulkan
pertanyaan di hati kami kek. Tentu ada seseorang yang
mungkin melakukan hal itu. Jika tidak, maka kakek tidak akan
pernah berpikir bahwa seseorang telah mengirimkan kami
kepada kakek." "Tidak. Aku tidak pernah menduga seseorang akan
melakukannya," jawab kakek itu.
"Tetapi kakek dengan serta merta telah mempercayai
kami sebelum kakek mempertanyakan tentang orang yang
mengirim kami," berkata Mahisa Murti pula.
Orang tua itu menggeleng. Tetapi sebelum orang tua itu
menjawab, maka Mahisa Pukat telah mendahuluinya,
"Agaknya memang masih ada yang kakek sembunyikan. Tetapi
terserahlah kepada kakek. Apakah kakek akan membantu kami
atau tidak. Apakah kakek ingin melihat persoalan yang selama
ini membuat Kabuyutan kakek ini keruh, dapat diuraikan?"
Kakek tua itu tidak segera menjawab. Namun nampak
betapa wajahnya dibayangi oleh kebingungan. Ia merasa sulit
untuk memilih langkah yang paling tepat dilakukan.
"Sudahlah kek, jika kakek berkeberatan, kami tidak akan
memaksa. Karena dengan demikian akan dapat membuat hati
kakek tertekan. Keterangan yang kakek berikan sudah cukup
luas dan cukup bagi kami untuk landasan usaha kami
selanjutny a. Bahkan kakek sudah membuka jalan-jalan yang
paling dekat untuk sampai kepada satu kesimpulan," berkata
Mahisa Murti kemudian. Tetapi kakek tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Anak-anak muda. Sebenarnya aku tidak ingin
menyembunyikan sesuatu. Tetapi karena hal ini menyangkut
keselamatan seseorang, maka aku menjadi ragu-ragu
menyebutnya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun kemudian
bertanya, "Apakah keselamatan orang itu akan terancam?"
"Jika ia dianggap berkhianat, maka nyawanya akan
terancam," jawab orang tua itu.
"Tetapi kenapa kakek sendiri telah membuka satu
rahasia, bahwa kedua anak Ki Buyut itu mati kena racun yang
tidak dapat diketahui oleh orang lain" Bukankah dengan
demikian, kakek juga dapat dianggap berkhianat apabila
penyelidikanku nanti sampai pada hasil yang benar?" berkata
Mahisa Murti. "Aku sudah tua anak muda. Seandainya aku akan mati
karena pengakuan ini, maka biarlah aku mati. Tetapi sedikit
banyak, pengakuanku ini juga telah meringankan beban
perasaanku. Sebenarnya aku juga selalu dibayangi oleh
perasaan bersalah karena aku telah menyembunyikan satu
kesalahan yang sepantasnya tidak terjadi," jawab orang tua itu.
Kedua orang anak muda itu justru terdiam. Ternyata ia
berhadapan dengan seorang tua yang merasa hidupnya telah
dibebani oleh pengetahuannya tentang kecurangan yang telah
terjadi di Kabuyutan itu.
"Anak-anak muda," berkata orang tua itu kemudian,
"aku bersedia menyebut orang itu. Tetapi kau harus
melindunginya. Kau tidak boleh mengorbankan keselamatan
seseorang untuk menyelesaikan persoalan yang menggelitik
hatimu, meskipun usaha itu merupakan usaha yang luhur. Yang
sangat berharga bagi Kabuyutan ini."
"Kami akan berusaha kek. Kami tidak akan
mempertaruhkan seseorang untuk kepentingan ini," desis
Mahisa Pukat. "Baiklah," orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia pun kemudian masih minum beberapa teguk
minuman dari mangkuknya. Katanya, "Aku menjadi berdebardebar,
karena aku tidak yakin bahwa langkahku ini benar."
"Kakek harus meyakinkan diri," berkata Mahisa Murti,
"tetapi sebenarnyalah kami berjanji untuk berbuat sebaikbaiknya
bagi semua pihak." Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya dengan suara yang sendat, "Anak-anak
muda. Orang yang akan aku sebut namanya adalah seorang
perempuan. Ia adalah adikku. Adik kandungku. Setelah
suaminya meninggal maka hidupnya benar-benar tertumpu
kepadaku. Sementara itu, dua anaknya yang tumbuh dewasa
kurang dapat menempatkan dirinya. Seorang laki-laki dan
seorang perempuan. Keduanya tumbuh dalam suasana yang
serba kecukupan sehingga keduanya menjadi manja. Pada saat
ayahnya meninggal maka seakan-akan hilanglah segalagalanya.
Keduanya merasa dirinya kehilangan sandaran. Jika
sebelumnya kedua anak-anak itu merasa dirinya anak seorang
yang kaya dan berpengaruh, maka sepeninggal ayahnya,
keduanya tiba-tiba telah menjadi sangat kecil. Mereka tidak
mempunyai kepercayaan kepada diri mereka sendiri, karena
segala-galanya adalah ayahnya. Mereka merasa seakan-akan
orang-orang lain telah menyingkir dari mereka. Kawankawannya
tidak lagi menghormatinya karena sebelumnya
mereka hormat kepadanya karena pengaruh ayahnya. Tanpa
ayahnya, maka kekayaan mereka tentu akan segera susut dan
mereka takut menjadi melarat."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Hampir di luar sadarnya Mahisa Murti berkata, "Kasihan anakanak
muda yang demikian."
"Karena itu aku iri hati melihat kalian berdua. Selisih
umur kalian dengan kemenakanku itu tentu tidak terlalu
banyak. Tetapi kalian berdua sudah nampak jauh lebih dewasa.
Kalian memandang dunia ini seluas adanya. Bukan hanya
sesempit pelukan ayah ibunya," berkata orang tua itu.
Sementara itu, Mahisa Pukat telah berdesis meskipun
ragu-ragu, "Adik kakek itukah isteri laki-laki yang meninggal
enam bulan yang lalu setelah membuka rahasia hidupnya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada kakek?" "Kalian memang anak-anak muda yang cerdas. Sulit
bagiku untuk bersembunyi dari pengamatan kalian," berkata
orang tua itu. Lalu katanya pula, "Karena itulah, maka ketika
kalian bertanya apakah keluarga dari orang yang meninggal itu
mengetahui serba sedikit tentang persoalannya, aku sudah
menjadi berdebar-debar. Namun akhirnya segalanya memang
harus aku katakan." "Jadi menurut pengamatan kakek, adik perempuan
kakek itu mengetahui serba sedikit tentang kematian-kematian
yang telah terjadi di Kabuyutan ini?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang tua itu mengangguk. Tetapi katanya kemudian,
"Namun seperti yang aku katakan, perempuan itu tentu
memerlukan perlindungan."
"Aku mengerti," berkata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat hampir berbareng. Namun Mahisa Murti pun kemudian berdesis, "Apakah
waktu yang diminta oleh Ki Buyut itu ada hubungannya
dengan penghapusan jejak?"
Wajah Mahisa Pukat menegang. Tetapi keduanya tidak
menunjukkan kegelisahan lebih lanjut, karena keduanya
menyadari bahwa kakek tua itu tentu akan menjadi gelisah.
Tetapi pertanyaan Mahisa Murti yang mengalir begitu
saja di sela-sela bibirnya telah didengar oleh kakek tua itu.
Karena itu maka ia pun justru berkata dengan cemas,
"Mungkin kalian benar. Ki Buyut akan dapat menghapuskan
jejak." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Di
luar dugaan kakek tua itu Mahisa Murti bertanya, "jadi kakek
setuju?" "Setuju tentang apa?" bertanya kakek tua itu.
"Bahwa Ki Buyut lah yang akan menghapuskan jejak?"
Mahisa Murti melanjutkan pertanyaannya.
Kakek tua itu tersentak. Katanya, "Bagaimana kalian
berhasil memancing keteranganku meskipun aku sudah
menjadi sangat berhati-hati?"
"Sudahlah kek. Semuanya memang sudah jelas.
Sebenarnya aku tidak memerlukan orang lain. Soalnya tinggal
membuktikan apakah tuduhan-tuduhan itu benar. Tanpa bukti
kita memang tidak akan dapat berbuat apa-apa," berkata
Mahisa Pukat. "Tetapi aku tetap sependapat dengan anak-anak muda.
Mungkin Ki Buyut akan berusaha menghapuskan jejak,"
berkata kakek tua itu. "Baiklah. Biarlah kami sekarang pergi ke rumah adik
kandung kakek itu," berkata Mahisa Murti.
"Marilah kita pergi. Tanpa aku, perempuan itu akan mati
ketakutan. Tetapi apakah harus malam ini?" bertanya kakek tua
itu. "Kita tidak tahu, kapan Ki Buyut akan menghapus jejak
itu. Bagaimana jika sekarang?" sahut Mahisa Murti. Tetapi ia
pun berkata lebih lanjut, "Tetapi jika yang terjadi demikian,
maka kesulitan adik perempuan kakek itu bukannya karena ia
memberikan keterangan kepada kami. Tetapi Ki Buyut
memang berniat menghapuskan jejak."
"Aku mengerti, "desis kakek tua itu, "tetapi baiklah, kita
pergi sekarang." "Bagaimana dengan rumah kakek?" bertanya Mahisa
Pukat. "Biar saja. Rumah ini tidak ada isinya yang berharga,"
jawab kakek tua itu. Dengan demikian maka mereka bertiga pun telah
meninggalkan rumah kakek tua itu. Dengan hati-hati mereka
telah menyusuri lorong-lorong sempit menuju ke rumah adik
perempuan kakek tua yang telah memberikan beberapa
keterangan tentang persoalan yang timbul di Kabuyutan itu.
Untunglah bahwa peristiwa yang terjadi di rumah Ki
Buyut membuat padukuhan induk itu menjadi bagaikan
ketakutan. Anak-anak muda tidak berada di gardu-gardu. Bahkan
para pengawal hanya berkumpul saja di halaman rumah Ki
Buyut yang terasa gelisah.
Dengan demikian maka perjalanan mereka menyusup di
jalan-jalan padukuhan tidak dilihat oleh para pengawal
Kabuyutan itu. Bahkan anak-anak muda yang biasanya ikut
meronda, sama sekali tidak melihat mereka, karena pada
umumnya mereka tidak keluar dari rumah mereka. Dengan
cemas mereka justru menutup pintu-pintu rumah mereka.
Orang-orang tua pun telah menjadi gelisah. Mereka telah
mendengar apa yang terjadi di halaman rumah Ki Buyut.
Menurut pengertian mereka, dua orang anak muda telah
mengamuk. Bahkan Ki Buyut dan para pengawal pribadinya tidak
mampu mencegah mereka berdua, sehingga mereka berdua
telah memaksa Ki Buyut untuk pergi ke padukuhan yang
sedang dibagi oleh perpecahan itu.
Karena itu, maka perjalanan ketiga orang itu pun sama
sekali tidak terganggu. Beberapa saat kemudian, maka
ketiganya telah memasuki halaman rumah perempuan yang
disebut sebagai adik kakek tua itu.
Kedatangan mereka memang sangat mengejutkan.
Seandainya kakek tua itu tidak ikut bersama mereka, maka
agaknya perempuan itu akan dapat menjadi sangat ketakutan.
Sementara itu kedua anaknya sama sekali tidak dapat
membantu ibunya, karena mereka berdua justru telah menjadi
beban. Tetapi ketika perempuan itu mengetahui bahwa yang
datang adalah kakaknya, maka hatinya pun menjadi lega.
Dadanya tidak lagi terasa terhimpit oleh kecemasan yang
sangat. Meskipun demikian perempuan itu tidak mau membuka
pintu depan. Pintu pringgitan. Tetapi ia minta kakaknya itu
masuk melalui seketheng kemudian lewat p intu samping.
Namun demikian perempuan itu terkejut juga ketika ia
melihat kakaknya datang bersama dengan dua orang anak
muda. "Siapakah mereka kakang?" bertanya perempuan itu
demikian pintu terbuka. "Keduanya adalah anak muda yang telah mengajak Ki
Buyut ke padukuhan yang terbelah itu," jawab kakek tua itu.
"Jadi keduanya yang telah mengamuk di halaman rumah
Ki Buyut dan memaksa Ki Buyut pergi bersama mereka?"
bertanya perempuan itu. "Mereka tidak mengamuk," jawab kakek tua itu.
"Tetapi semua orang mengatakan, bahwa kedua anak
muda itu telah mengamuk. Bukankah kakang tidak
melihatny a?" berkata perempuan itu pula.
"Aku memang tidak melihat. Tetapi biarlah kami masuk
dahulu," sahut kakek tua itu.
Perempuan itu ragu-ragu. Tetapi kakek tua itu berkata,
"Aku yang akan bertanggung jawab atas mereka berdua,"
berkata kakek tua itu. Akhirnya mereka bertiga pun telah masuk ke dalam
rumah yang besar itu lewat p intu samping.
Ketika mereka bertiga telah duduk di ruang dalam, maka
perempuan yang juga telah menunjukkan tanda-tanda
ketuaannya itu bertanya, "Kenapa kakang datang malammalam
begitu" Kakang membuat aku terkejut dan sangat
ketakutan." "Sehari aku bekerja di sawah. Karena aku tiba-tiba saja
ingin menengokmu, maka aku datang di malam hari. Besok
siang aku pun tidak akan sempat datang lagi menengokmu,
karena kerjaku di sawah belum selesai," jawab kakek tua itu.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu M ahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat keadaan di
ruang dalam rumah yang besar itu. Adik kakek tua itu memang
seorang yang kaya. Tetapi nampaknya kekayaan itu tidak membuatnya
bahagia. Bahkan ia selalu berada dalam ketakutan.
Tanpa diminta oleh kedua anak muda itu, kakek tua itu
pun bertanya, "Kenapa nampaknya kau ketakutan?"
"Aku terkejut karena kedatangan kakang," jawab
perempuan itu. "Kau memang terkejut. Tetapi juga ketakutan," berkata
kakek tua itu lagi. Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Seperti kakang ketahui, aku telah hidup sendiri. Sebagai
seorang janda yang kaya, aku memang selalu ketakutan. Tidak
mustahil bahwa sekelompok perampok akan datang untuk
merampokku. Karena itu, aku telah menempatkan kentongan
itu di ruang dalam."
Laki-laki tua itu mengangguk-angguk. Tetapi kemudian
ia- pun bertanya, "Hanya karena perampokan" Nyai, baiklah
aku berterus terang. Kami datang untuk satu keperluan yang
penting. Karena itu berkatalah dengan jujur. Apakah kau
ketakutan karena sebab yang lain?"
Perempuan itu memandangi kakaknya dengan ragu-ragu.
Namun kemudian ia pun berkata dengan suara lemah, "Ya
kakang. Aku selalu merasa ketakutan. Bukan saja sejak aku
menjadi janda. Tetapi sejak sebelumnya hidupku telah goyah.
Kami sekeluarga tidak pernah merasa tenang, sehingga pada
suatu saat suamiku jatuh sakit dan meninggal."
"Setelah ia mengungkapkan kegelisahannya kepadaku,"
berkata kakek tua itu. "Kakang," potong perempuan itu sambil memandangi
kedua anak muda yang datang bersama kakek tua itu.
"Mereka sudah tahu segala-galanya," berkata kakek tua
itu, "mereka justru datang untuk membantumu mengurangi
kegelisahan dan ketakutanmu."
"Maksudmu?" bertanya perempuan itu.
Kakek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Bukankah kau merasa terancam oleh Ki Buyut?"
"Sudahlah kakang," potong perempuan itu.
"Kau tidak usah berahasia lagi. Anak-anak muda itu
sudah tahu segala-galanya," berkata kakek tua itu.
Perempuan itu termangu-mangu. Ia memang tidak segera
mengerti apa yang dikatakan oleh kakaknya itu. Karena itu,
maka kakaknya pun kemudian berkata, "Kepada kedua anak
muda itu kita tidak usah menyembunyikan kenyataan yang
telah terjadi. Kau tidak perlu menyembunyikan kesalahan
suamimu yang telah menerima upah untuk membunuh kedua
anak Ki Buyut tua. Tingkah lakunya yang tidak terpuji itu
harus ditebusny a dengan seluruh sisa hidupnya, karena ia dan
bahkan seluruh keluarganya, termasuk kau dan anak-anakmu,
tidak pernah lagi menikmati hidup ini. Suamimu selalu diburu
oleh dosa-dosa yang pernah dilakukannya, sehingga pada suatu
saat, suamimu harus mengurangi beban deritanya dan
mengatakan persoalannya kepadaku."
"Ya kakang," jawab perempuan itu.
"Sekarang, kau yang ditinggalkan masih juga selalu
dibayangi oleh kecemasan karena hidupmu rasa-rasanya
terancam oleh Ki Buyut yang ingin menyembunyikan
rahasianya," berkata kakek tua itu.
"Ya kakang," berbicara perempuan itu, "apalagi ketika
aku mendengar bahwa kedudukan Ki Buyut dipersoalkan.
Menurut pendengaranku, dari tetangga di sebelah Ki Buyut
akan dipertemukan dengan kedua orang kemanakannya yang
telah saling bermusuhan di sebuah padukuhan yang dahulu
justru merupakan padukuhan induk."
"Ya. Ki Buyut memang sedang gelisah. Dua hari lagi ia
akan mengadakan pertemuan dengan kedua orang
kemanakannya itu," berkata kakek tua itu, "sehingga
kemungkinan bahwa Ki Buyut akan menghilangkan jejak itu
menjadi semakin kuat."
"Jika demikian, bagaimana dengan aku dan anakanakmu
itu kakang" Apakah sebaiknya aku pergi saja jauh-jauh
bersama kedua anak-anakmu itu" Rumah, harta benda dan
kekayaan yang diterima sebagai upah ini tidak akan berarti apaapa.
Kekayaan ini sama sekali tidak mendatangkan ketenangan
dan kedamaian hati," berkata perempuan itu.
"Kau tidak usah melarikan diri ke mana-mana. Aku
justru akan berada di sini bersama kedua orang anak muda ini,"
berkata kakek tua itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi,
apakah kau dapat mengatakan, apakah yang mengupah
suamimu untuk membunuh kedua anak Ki Buyut tua itu benarbenar
Ki Buyut yang sekarang" Atau orang lain yang
mempunyai kepentingan dengan Ki Buyut" Aku tahu bahwa
kau mengerti persoalannya dengan pasti, karena kau
mendengar pembicaraan mereka waktu itu. Tetapi agaknya
suamimu masih melindungi nama seseorang."
"Jangan kau tanyakan kepadaku kakang. Aku adalah
seorang perempuan yang tidak tahu apa-apa. Aku akan
mengikuti saja keputusan suamiku," berkata perempuan itu.
"Aku tahu, bahwa suamimu telah berbicara denganmu
waktu itu. Kau setuju karena kau tidak kuat mengalami
kesulitan hidup yang menekan. Pengetahuan suamimu tentang
obat-obatan dan racun telah menyeret suamimu ke dalam dosa
itu," berkata kakek tua itu.
Perempuan itu mulai menangis.
Sementara itu kakek tua itu pun berkata, "Jangan
menangis. Kau harus berterima kasih kepada kedua orang anak
muda itu." "Kakang," desis perempuan itu di sela-sela isak
tangisnya, "jika kakang menganggap demikian, maka biarlah
aku mengatakannya." "Katakan," berkata kakek tua itu, "siapa saja yang telah
datang kepada suamimu ketika mereka minta agar suamimu
membunuh kedua anak Ki Buyut itu dengan racun berturutturut?"
"Ki Buyut yang sekarang memang datang kemari. Tetapi
selain Ki Buyut telah datang pula ayah Ki Buyut itu. Orang
itulah yang nampaknya memegang peranan atas rencana yang
kemudian berlaku. Ki Buyut yang waktu itu belum menjabat,
justru merasa agak ketakutan. Tetapi ayahnya mendesaknya
dan ia tidak dapat menentangnya," berkata perempuan itu.
Lalu, "Ayah Ki Buyut itu memang seorang yang kaya. Dari
segi kekayaan, maka jabatan Buyut bagi anaknya tidak akan
banyak berpengaruh. Tetapi yang dikehendakinya adalah
kedudukan yang akan dapat menjamin hari depan cucu-cicitnya
karena kedudukan Buyut itu turun temurun."
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Nah, bukankah
sudah jelas. Ternyata Ki Buyut itu sendiri bukan orang yang
utama, yang merencanakan pembunuhan-pembunuhan itu.
Tetapi kemudian ia telah hanyut ke dalam tingkah laku yang
tidak sepantasnya bagi seorang Bapa bagi Kabuyutan ini.
Pertentangan yang tidak berkesudahan itu tentu sudah diatur
pula oleh Ki Buyut justru untuk memperkuat kedudukannya."
"Kek," sahut M ahisa Murti, "masih perlu dipertanyakan.
Apakah benar Ki Buyut berniat berbuat demikian, atau orangorang
yang ada di sekitarnyalah yang telah mengaturny a
demikian." Kakek tua itu termangu-mangu. Tetapi kemudian
katanya, "Ternyata penalaranmu memang lebih tajam dari aku,
meskipun aku sudah tua dan memiliki pengalaman yang luas
sebagai bebahu di Kabuyutan ini."
"Siapakah Ki Bekel yang berada di rumah Ki Buyut
itu?" bertanya Mahisa Pukat.
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sependapat. Ki Bekel yang di rumah Ki Buyut itu adalah
kepercayaan ayahnya. Menurut pendengaranku, ia adalah
adiknya." "Maksud kakek, Ki Bekel itu adalah paman Ki Buyut?"
bertanya Mahisa Pukat pula.
"Ya. Karena itulah maka aku sependapat, nampaknya
orang-orang di sekitar Ki Buyut itu pun ikut menentukan,"
berkata kakek tua itu. "Kalau begitu, maka sebaiknya kita berada di sini. Jika
tidak malam ini, maka besok mereka tentu akan datang,"
berkata Mahisa Pukat. Kakek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Ki Buyut tentu telah melaporkan
persoalannya kepada ayahnya. Bahkan sebelum Ki Buyut, Ki
Bekel tentu telah menyampaikannya lebih dahulu."
"Di mana rumah ayah Ki Buyut itu?" bertanya Mahisa
Pukat. "Di padukuhan di ujung Kabuyutan ini," jawab kakek
tua itu, "tetapi berhati-hatilah. Jika Ki Buyut itu telah menyeret
ayahnya ke dalam persoalan ini, maka kalian harus benar-benar
bersiap. Ayah Ki Buyut itu adalah salah satu dari dua orang
kembar dampit. Seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Tetapi yang perempuan ternyata tidak mempunyai anak
meskipun ia sudah kawin berpuluh tahun. Karena itu, maka Ki
Buyut itu telah diakunya sebagai anaknya pula."
"Kenapa aku harus berhati-hati terhadap ayah dan bibi
Ki Buyut?" bertanya Mahisa Pukat pula.
"Keduanya adalah orang yang berilmu tinggi," jawab
kakek tua itu, "meskipun keduanya sudah tua, tetapi keduanya
masih mampu menunjukkan kelebihannya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Murti berkata, "Anaknya telah menjadi
seorang Buyut. Memang orang itu tentu sudah tua."
"Memang sudah tua, tetapi tubuh mereka masih
menunjukkan kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya.
Karena itu, berhati-hatilah. Mereka tidak akan menunggu
sampai terlambat. Karena itu, jika mereka menganggap perlu
menghilangkan jejak, maka malam ini mereka agaknya akan
datang," berkata kakek tua itu.
"Kakang," perempuan itu menjadi semakin ketakutan.
Tetapi kakek tua itu berkata, "Apa pun yang terjadi. Aku
ada di sini." "Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "silahkan
beristirahat. Rumah ini harus nampak sepi. Jika mereka benarbenar
datang, mereka tidak akan mengurungkan niatnya karena
mereka mengetahui bahwa di sini ada orang lain."
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Baiklah. Tidurlah. Kami akan berjaga-jaga."
"Aku takut kakang," desis p erempuan itu.
"Jangan takut. Di mana anak-anakmu?" bertanya kakek
tua itu. "Mereka sudah tidur," jawab perempuan itu.
"Tidurlah bersama anakmu. Biarlah kami menunggu.
Percayalah kepada kami," berkata kakek tua itu.
Perempuan itu pun kemudian dengan ragu-ragu telah
pergi ke bilik anak-anaknya. Meskipun mereka sudah
meningkat menjelang dewasa, tetapi mereka adalah beban bagi
ibunya. Sementara itu, kakek tua bersama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tetap berada di ruang dalam. Mereka telah
memadamkan lampu minyak, sehingga ruang itu menjadi
gelap. Hanya di bilik sajalah yang nampak terang, selain justru
diluar. Di Pringgitan rumah itu di setiap malam memang selalu
dinyalakan lampu minyak. Sejenak kemudian rumah itu benar-benar menjadi sepi.
Rasa-rasanya suara nafas pun tidak terdengar. Apalagi mereka
yang berada di ruang dalam.
Ternyata bahwa kakek tua itu justru telah tertidur.
Untunglah bahwa kakek tua itu sama sekali tidak mendengkur,
sehingga dalam tidur justru suara nafasnya tidak begitu
terdengar lagi. Bahkan tidak dapat dibedakan antara tarikan
nafas orang lain atau penghuni rumah itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang heran. Justru
mereka berdua yang menjadi gelisah dan tidak akan mungkin
dapat tidur meskipun keduanya berjanji untuk bergantian
berjaga-jaga. Tetapi keduanya tidak berbicara apa pun juga. Keduanya
justru telah bersandar tiang sambil duduk diatas sebuah amben
bambu yang memang agak besar.
Meskipun sampai lewat tengah malam tidak terjadi
sesuatu, namun kedua anak muda itu seakan-akan sama sekali
tidak mengantuk. Keduanya masih duduk saja bersandar tiang
tanpa berbicara apa pun juga. Bahkan keduanya telah
mempertajam pendengaran mereka kalau-kalau terdengar
sesuatu di luar rumah itu.
Beberapa saat kemudian terdengar ayam jantan berkokok
di kejauhan. Beberapa saat kemudian maka dini hari akan
segera turun. Tetapi tidak terdengar sesuatu yang
mencurigakan. Pada saat dinginnya malam mulai menusuk tulang, maka
Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah menguap. Dengan hati-hati ia
telah berbaring sambil memberi isyarat agar Mahisa Murti
tetap berjaga-jaga. Mahisa Murti yang memang tidak mengantuk telah
mengangguk. Ia akan berjaga-jaga sampai menjelang pagi. Jika
tidak terjadi sesuatu, maka ia akan minta Mahisa Pukat
bergantian bangun meskipun waktunya tinggal sedikit.
Namun justru pada saat Mahisa Pukat mulai
memejamkan matanya, Mahisa Murti telah mendengar sesuatu
yang mencurigakan di sudut rumah itu. Karena itu, maka ia
justru menggamit Mahisa Pukat dan memberi isyarat agar ia
berdiam diri saja. Mahisa Pukat telan memaksa matanya terbuka, ia
memaksa pula mempertajam pendengarannya. Sebenarnyalah
ia pun telah mendengar sesuatu.
Mahisa Pukat berusaha untuk mendengar suara itu.
Nampaknya suara itu memang bergerak dari sudut rumah,
menuju ke pintu butulan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat membayangkan di
mana sumber bunyi itu berada. Dengan demikian maka
perhatian mereka pun telah mereka tujukan sepenuhnya ke arah
sumber bunyi yang ternyata bergerak itu.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mendengar dinding di sebelah telah diraba oleh tangan
seseorang. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mengetahui bahwa seseorang telah berada di
longkangan. Nampaknya orang itu telah mendekati pintu
butulan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bagaikan menghentikan
pernafasan mereka. Apalagi ketika pintu butulan itu mulai
bergerak-gerak. Namun sejenak kemudian, terdengar langkah seseorang
justru menjauh. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan telah
mendapat kesempatan untuk turun dari amben itu dan bersiapsiap
menghadapi segala kemungkinan.
"Bagaimana dengan kakek tua itu?" Mahisa Pukat
berbisik. "Kita bangunkan sekarang agar ia tidak melakukan
sesuatu yang justru dapat merugikan tanpa sengaja jika orang
itu dibiarkan tidur," sahut M ahisa Murti.
Mahisa Pukat lah yang kemudian dengan sangat berhatihati
membangunkan orang tua itu. Demikian orang tua itu
bangkit, maka Mahisa Pukat pun berbisik, "berhati-hatilah."
Agaknya orang tua itu mengerti apa yang telah terjadi.
Karena itu maka ia pun telah turun pula dari amben dengan
sangat berhati-hati. Beberapa saat ketiga orang itu menunggu. Ternyata
bahwa yang mereka tunggu itu akhirnya telah datang pula.
Di longkangan memang telah terdengar langkah beberapa
orang. Tidak hanya seorang. Mereka nampaknya langsung
menuju ke pintu. Mereka sama sekali tidak berusaha untuk
menghapuskan suara langkah mereka di longkangan.
Sesaat kemudian mereka telah berhenti di depan pintu
butulan. Tanpa menunggu lagi, maka segera terdengar pintu
butulan itu diketuk orang.
Diam-diam kakek tua itu pun telah pergi ke bilik
adiknya. Ternyata perempuan itu memang belum tidur. Tetapi
tubuhnya justru telah menggigil ketakutan. Apalagi ketika
didengarnya pintu butulan telah diketuk orang.
"Jawablah," berkata kakek itu sangat perlahan di telinga
adiknya. "Aku takut kakang," desis p erempuan itu.
"Jangan takut," kakek tua itu berbisik, "kedua anak
muda itu ada di ruang dalam."
Perempuan itu termangu-mangu. Sementara itu telah
terdengar lagi ketukan di pintu butulan itu.
Ternyata bahwa sejenak kemudian, terdengar perempuan
yang ada di dalam biliknya itu menyapa, "Siapa di luar?"
"Aku Nyi," sahut orang yang mengetuk pintu,
"bukalah." "Sudah terlalu malam Ki Sanak," berkata perempuan itu
pula, "kenapa tidak besok saja?"
"Aku ingin berbicara sedikit Nyi," berkata suara itu p ula.
"Aku mohon datanglah besok siang," jawab perempuan
itu. Tetapi terdengar jawaban, "Bukalah pintu. Aku hanya
ingin menyampaikan pesan sedikit. Tetapi sangat penting
bagimu Nyi. Bagi keselamatanmu."
"Maaf Ki Sanak," berkata perempuan itu dari biliknya
dengan suara yang cukup keras, namun bergetar, "aku tidak
dapat menerima kalian malam-malam begini. Bukan waktunya
untuk datang ke rumah seseorang."
"Nyi," terdengar suara di luar pintu, "sebenarnya aku
tidak perlu minta ijin kepadamu. Aku dapat membuka pintu ini
sendiri dan masuk sesuai dengan keinginanku. Kau tidak dapat
menolakku. Tetapi daripada pintumu rusak, biarlah kau
membukakannya." Perempuan itu tidak menjawab lagi. Tetapi terdengar
langkah menuju ke pintu. Namun kakek tua itulah yang sebenarnya menuju ke
pintu butulan, sementara adiknya masih tetap berada di dalam
biliknya. Bahkan perempuan itu telah menutup dan menyelarak
pintu biliknya dari dalam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
berdiri di sebelah menyebelah pintu itu pada jarak yang cukup.
Mereka siap untuk berbuat sesuatu jika diperlukan.
Sesaat kemudian, maka kakek tua itu telah membuka
selarak pintu perlahan-lahan. Namun demikian selarak itu
terlepas, ternyata bahwa orang yang ada diluar tidak sabar lagi.
Dengan kuatnya pintu lereg itu telah didorong ke samping
sehingga terbuka lebar-lebar.
Beberapa orang dengan serta merta telah meloncat
masuk. Namun agaknya kakek tua itu sudah
memperhitungkannya, sehingga karena itu maka ia pun telah
bertindak cepat. Demikian selarak pintu terbuka, maka ia pun
dengan cepat telah meloncat ke samping.
Ternyata bahwa ruang tengah yang gelap itu telah
membantu mereka. Beberapa orang yang meloncat masuk itu
untuk beberapa saat masih harus menyesuaikan diri. Apalagi
diluar pintu justru telah diterangi oleh lampu minyak di sudut
rumah itu. "He, di mana kau Nyi?" terdengar suara yang berat.
Kakek tua yang telah berdiri di sebelah Mahisa Murti itu
termangu-mangu. Namun ia memang harus menarik perhatian.
Karena itu, maka ia pun telah menggamit Mahisa Murti
serta menariknya ke pintu.
Mahisa Murti mengerti maksud kakek tua itu. Karena itu,
mereka justru telah bergeser ke pintu dan meloncat keluar.
Orang-orang yang sudah berada di ruang dalam itu
terkejut. Mereka pun dengan tergesa-gesa telah kembali
menghambur keluar. Mahisa Pukat yang masih berada didalam tidak bergesar
dari tempatny a. Ia tidak ikut meloncat keluar. Tetapi ia
menunggu perkembangan kemudian.
Yang dilakukan kemudian hanyalah perlahan-lahan
bergeser mendekati pintu butulan yang terbuka. Dengan sangat
berhati-hati ia menjenguk keluar. Ternyata bahwa Mahisa
Murti dan kakek tua itu berdiri di tengah-tengah longkangan
berhadapan dengan empat orang yang berpencar. Tidak
seorang pun lagi yang berada di pintu butulan itu. Agaknya
orang-orang itu mengira bahwa di dalam rumah itu sudah tidak
ada orang lagi yang tinggal.
Dengan demikian, maka Mahisa Pukat yang ada didalam
kegelapan itu justru dapat mengamati apa yang terjadi di
longkangan tanpa dilihat oleh orang-orang yang diamatinya,
karena justru longkangan rumah itu diterangi oleh lampu
minyak di sudut rumah. Ketika keempat orang itu bergerak, maka dalam
keremangan cahaya lampu minyak yang terletak agak jauh,
Mahisa Pukat mencoba mengenali orang-orang itu. Tetapi dua
orang ternyata membelakangi sehingga Mahisa Pukat tidak


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat melihat wajah mereka. Sedangkan yang dua, nampak dari
samping. Mahisa Pukat segera mengenali mereka. Seorang di
antara mereka adalah Ki Buyut sedangkan yang lain adalah Ki
Bekel. Penglihatannya itu ternyata dikuatkan oleh sapaan
Mahisa Murti di luar, "Selamat malam Ki Buyut dan Ki Bekel.
Ternyata kita bertemu lagi di sini."
Wajah Ki Buyut menjadi pucat. Tenaganya memang
masih belum pulih kembali, sementara itu ia telah bertemu lagi
dengan anak muda yang menggetarkan jantungnya itu.
"Siapakah orang itu?" bertanya laki-laki yang
membelakangi pintu butulan.
"Anak itulah yang aku katakan telah mengamuk di
rumahku ayah," jawab Ki Buyut.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa
orang itu adalah ayah Ki Buyut sebagaimana pernah disebut
oleh kakek tua itu. Sedangkan yang seorang lagi Mahisa Pukat
langsung dapat menebaknya, bahwa ia tentu saudara kembar
dampit dari ayah Ki Buyut itu.
"Luar biasa," berkata Mahisa Pukat didalam hatinya,
"kedua orang itu tentu sudah tua. Tetapi tubuhnya dan
geraknya masih menunjukkan kesigapan seorang yang berilmu
tinggi." Sementara itu terdengar laki-laki itu berkata, "Jadi anak
inilah yang telah mengguncang ketenangan hidup di kabuyutan
ini" Anak muda yang memiliki kemampuan ilmu yang sangat
tinggi." Namun kemudian ia pun telah bertanya, "Tetapi di
manakah yang seorang lagi" Bukankah anak muda yang kau
katakan itu berdua?"
"Ya," jawab Ki Buyut, "aku tidak tahu di mana yang
seorang lagi menyembunyikan dirinya."
Mahisa Murti dan kakek tua itu tidak mengatakan sesuatu
tentang Mahisa Pukat. Namun yang ditanyakan oleh Mahisa
Murti kemudian adalah, "Apakah maksud kalian datang
kemari?" Ki Buyut dan Ki Bekel justru terdiam. Mereka
memandang kedua orang laki-laki dan perempuan yang
menyertai mereka. Karena Ki Buyut dan Ki Bekel berdiam diri, maka lakilaki
yang membelakangi pintu butulan, yang ternyata adalah
ayah Ki Buyut itu berkata, "Baiklah anak muda. Agaknya kau
sudah tahu apa yang terjadi di sini. Karena itu, kau telah berada
di rumah ini untuk melindungi seorang perempuan yang telah
berkhianat dan mencoba memfitnah kami."
"Fitnah apa?" bertanya Mahisa Murti, "kau belum tahu
apa yang diceriterakan kepada kami."
"Sudahlah. Jangan menganggap aku terlalu bodoh tanpa
dapat mengetahui langkah-langkah yang kau ambil," berkata
laki-laki yang disebut ayah itu.
"Jika demikian maka kita tidak usah bertanya-tanya lagi.
Sekarang, kau mau apa?" bertanya Mahisa Murti.
Pertanyaan itu justru telah menggetarkan jantungnya.
Namun ia menjawab dengan garang pula, "Kami datang untuk
membunuh perempuan itu. Kematiannya akan menghapus jejak
yang pernah kami lakukan. Tetapi karena kau ada di sini
bersama kakak perempuan itu, maka kalian semua juga akan
mati." "Bagaimana jika kalian yang mati?" bertanya Mahisa
Murti. "Persetan," geram ayah Ki Buyut, "bersiaplah. Kami
akan segera mulai. Kami akan membunuh kalian,
mencincangnya dan menguburnya di sini juga. Dengan
demikian maka tidak ada orang yang tahu apa yang pernah
terjadi di sini." Mahisa Murti memang sudah siap. Ia pun kemudian
berkata kepada kakek tua itu, "minggirlah. Biar aku selesaikan
kedua orang ini. Kau tidak perlu cemas dengan Ki Buyut kek.
Tenaganya masih belum pulih kembali. Ia masih terlalu lemah,
sehingga jika ia membawa senjata, maka ia tidak akan kuat lagi
mengangkatny a." Kakek tua itu mengangguk-angguk. Hampir di luar
sadarnya ia berkata, "Baiklah. Jika kemudian ternyata Ki Bekel
juga akan ikut campur, maka meskipun aku sudah terlalu tua,
tetapi aku masih sanggup melawannya."
"Bagus. Tetapi berhati-hatilah. Bukankah Ki Buyut dan
Ki Bekel terlalu lemah untuk berani berbuat sesuatu?" sahut
Mahisa Murti. Kedua orang laki-laki dan perempuan itu ternyata mulai
bergeser. Sementara itu kakek tua itu pun mulai menjauh.
Tetapi ia yang memperhatikan batang-batang perdu yang
ditanam sebagai pohon hias di longkangan yang roboh disentuh
oleh kaki-kaki mereka yang sudah siap untuk bertempur.
Matahari Esok Pagi 8 Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta Penyewa Dorset Street 1
^