Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 32

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 32


Sepeninggal perempuan tua itu, Mahisa Murti berkata:
"Apa y ang dapat kita lakukan atasnya" Disatu saat ia memang
memerlukan seseorang. "Kita belum bertanya kepadanya, apakah ia tidak
mempunyai saudara," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya lebih
lanjut: "Namun jika ia memang tidak mempunyai seorang
saudarapun, apakah bukan sebaiknya kita berbicara dengan Ki
Bekel di padukuhan ini?"
"Kita dapat mencobanya," sahut Mahisa Pukat, "tetapi
jika persoalannya menjadi panjang, apakah tidak semakin
menghambat perjalanan kita."
"Tetapi kita tidak akan sampai hati meninggalkan
perempuan itu dalam keadaannya," desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia
memandang Mahisa Amping yang kebingungan, sehingga
Mahisa Amping merasa seakan-akan Mahisa Pukat
menyalahkannya, karena ia sudah m enolong perempuan tua
itu sehingga mereka terpaksa singgah di rumah itu serta
mengetahui persoalannya. Tetapi y ang dikatakan oleh Mahisa Pukat justru lain.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata: "Untunglah
kita justru singgah barang sebentar, sehingga kita mengetahui
kesulitan nenek tua itu. Mudah-mudahan kita dapat
menemukan jalan keluar baginya."
Ketika nenek tua itu kemudian keluar lagi sambil
membawa ketela pohon rebus yang masih mengepul, maka
anak-anak muda itu telah meny empatkan bertanya apakah
nenek tua itu mempunyai seorang atau lebih saudara atau
sanak kadang y ang bukan saudara kandung sekalipun.
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya: "Saudara
kandung aku sudah tidak punya lagi."
Mahisa Murti dan saudara -saudaranya menganggukangguk.
Ternyata bahwa perempuan tua itu benar-benar hidup
seorang diri. Tidak ada sanak saudara dan tidak ada anak
seorangpun yang akan dapat menjadi sandaran di masa -masa
yang paling sulit dalam hidupnya. Saat m enghadapi hari -hari
terakhir. Karena itu, maka Mahisa Murtipun kemudian b ertanya
"Maaf nek. Tetapi apakah kami boleh mengetahui, apakah
rencana nenek selanjutnya di dalam saat-saat menjelang harihari
terakhir nenek?" Orang tua itu m emang terkejut mendengar pertanyaan
itu. Wajahnya menjadi semakin muram. Bahkan kemudian
kepalanya menunduk lesu. "Maaf nek," dengan serta merta Mahisa Murti
menyambung, "maksud kami, barangkali kami dapat
membantu untuk memecahkan persoalan y ang nenek hadapi
sekarang." Tetapi nenek tua itu berkata dengan nada rendah hampir
tidak terdengar: "Apa y ang dapat kalian lakukan ngger" Aku
sudah ter sisih. Aku tidak lagi diakui kehadiranku oleh
tetangga-tetanggaku. Aku sudah dianggap mati selagi aku
masih hidup. Karena itu tidak akan ada orang yang
mempedulikan jika kau kemudian benar-benar m ati, karena
mereka menganggap hal itu sudah terjadi."
"Tetapi kenyataannya nenek masih hidup," sahut Mahisa
Pukat. "Bagi tetangga-tetanggaku hal itu tidak berarti apa-apa,"
jawab nenek itu. "Tidak nek," sahut Mahisa Murti, "tidak seorang pun
dapat meniadakan kenyataan ini. Nenek masih hidup. Tetapi
nenek memang tidak mempunyai sanak kadang lagi."
"Lalu apa arti dari hidupku yang ter sisih ini bagi orang
lain?" bertanya perempuan tua itu.
"Nek," berkata Mahisa Murti, "jika nenek setuju, apakah
aku boleh berhubungan dengan Ki Bekel" Ki Bekel adalah
pemimpin dari padukuhan ini. Kita harus menemukan
pemecahan. Nenek masih harus tetap dianggap hidup dan
sebenarnya hadir dalam padukuhan ini."
"Tidak akan ada artinya ngger," jawab nenek tua itu,
"aku m engucapkan terima kasih atas perhatian kalian. Tetapi
aku kira kalian tidak usah bersusah pay ah memikirkan
keadaanku. Aku persilahkan angger makan ketela rebus itu.
Sisanya dapat angger bawa, barangkali dapat angger jadikan
bekal dijalan. Ketela itu adalah ketela y ang aku ambil sendiri
dari kebun di belakang rumah ini."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
masih m encoba memberikan penjelasan atas maksudnya itu.
"Nek. Kami hanya akan mencoba. Tentu saja dengan
kemungkinan berhasil dan kemungkinan gagal. Tetapi tidak
ada salahnya jika kami berusaha untuk berbuat sesuatu bagi
hari -hari nenek yang semakin lama tentu menjadi semakin
sempit." Nenek tua itu menggeleng. Katanya: "Anak-anak muda.
Aku sudah tidak mengharapkan sesuatu. Aku sudah
mempersiapkan kuburan di longkangan sebelah kiri. Jika
saatnya m endekat, aku harus sudah bersiap masuk ke dalam
lubang yang sudah aku sediakan. Aku tidak tahu, apakah akan
ada orang yang menimbuni mayatku dengan tanah. Tetapi aku
juga sudah menyiapkan rencana lain yang mungkin lebih baik.
Di ruang tengah aku sudah menyiapkan tempat y ang paling
baik untuk membakar diri pada saat-saat terakhir.
"Nenek," potong Mahisa Murti "hal itu tidak perlu
terjadi. Tetapi perkenankan aku bertanya, jika nenek tidak lagi
mempunyai sanak kadang, rumah dan sawah y ang nenek
miliki akan nenek wariskan kepada siapa?"
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia menjawab: "Ambillah. Kalian adalah orang
terakhir y ang masih berusaha untuk berhubungan dengan baik
di rumah ini dengan aku. Tidak ada orang lain y ang pantas
untuk menerima warisan ini daripada kalian."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya: "Terima
kasih nek. Jika demikian, maka biarlah aku berbicara dengan
Ki Bekel. Jika nenek memang sudah merelakan hak nenek ini
nenek serahkan kepada kami, maka kami akan
menyerahkannya kepada Ki Bekel. Mungkin padukuhan ini
sudah mempunyai banjar. Tetapi tentu rumah ini jauh lebih
baik dari banjar padukuhan itu.
"Ngger. Jika demikian apakah aku harus pergi dari
rumah ini" Maksudku, warisan akan dimiliki setelah aku mati.
Bukan begitu tiba-tiba." berkata nenek itu.
"Tidak nek. Aku mengerti. Mak sudku, aku akan
berbicara dengan Ki Bekel, bahwa kelak, sepeninggal nenek,
rumah ini akan diserahkan kepada padukuhan ini. Tetapi
sudah tentu, bahwa nenek harus diterima kembali sebagai
warga padukuhan lainnya. Nenek harus hidup dalam suasana
yang sama dengan orang lain di padukuhan ini," berkata
Mahisa Murti. Nenek tua itu termangu-mangu sejenak. Sementara
Mahisa Pukat berkata: "Nek. Sekali lagi kami nyatakan, bahwa
kami akan berusaha. Mungkin gagal, tetapi kami harap usaha
ini berhasil. Dengan demikian maka nenek tidak lagi terasing
disini. Setidak-tidaknya Ki Bekel berjanji untuk merawat
nenek pada saat-saat terakhir nanti."
Nenek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ada secercah
harapan nampak di sinar matanya. Namun kemudian
suaranya menjadi serak. "Apakah masih ada kesempatan?"
>>> Orang itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian
melangkah m enuju ke seketheng setelah ia mempersilahkan
kedua anak muda itu menunggu di serambi gandok.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa ragu.
Mereka tidak yakin bahwa mereka akan dapat bertemu dengan
Ki Bekel y ang sebelumnya memang belum berjanji.
Namun beberapa saat kemudian, ternyata bahwa orang
itu t elah keluar lagi dari seketheng langsung menemui kedua
orang anak muda itu. "Aku sudah berbicara dengan Ki Bekel," berkata orang
itu. "Jadi bagaimana?" bertanya Mahisa Murti.
"Ki Bekel akan menemui kalian," jawab orang itu,
"tunggu sebentar di pendapa."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
dipersilahkan duduk di pendapa menunggu Ki Bekel yang
akan segera menemui mereka.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, seorang y ang juga
sudah melampaui setengah abad datang menemui mereka.
Namun nampaknya tubuh Ki Bekel yang sudah berambut
putih itu masih cukup t egar.
Ketika Ki Bekel kemudian duduk bersama kedua orang
anak muda itu, maka iapun segera bertanya tentang
keperluannya. Mahisa Murtipun telah menceritakan maksud
kedatangannya dalam hubungannya dengan nenek tua itu.
Tentang kesediaannya memberikan rumah dan sawahnya
sepeninggalnya. Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Ia seakan-akan tidak
percaya mendengar keterangan Mahisa Murti itu. Bahkan
hampir diluar sadarnya Ki Bekel itu berkata: "Anak muda.
Apakah pendengaranku tidak salah" Atau barangkali kau
memang kau m emang tidak mengenal hari ini mengenalnya
sehingga kau begitu mudah mempercayainya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Namun Mahisa Pukat kemudian menjelaskan. "Ki
Bekel. Apa yang akan dilakukan oleh seorang perempuan tua
menjelang saat-saat ajalnya" Ia tersisih dan sama sekali tidak
dapat berhubungan dengan siapapun di padukuhan ini.
Bahkan ia telah meny ediakan sebuah lubang untuk mengubur
dirinya sendiri atau jika tidak mungkin, ia telah m eny ediakan
setumpuk kayu bakar diruang tengah untuk membakar dirinya
sendiri. Jika ia masih mampu menyalakan api, berarti
perempuan itu masih hidup. Karena itu, maka ia terpaksa
membunuh dirinya untuk mendapatkan kesempurnaan disaat
matinya. " Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya:
"Anak-anak muda. Ia adalah orang y ang paling kikir di seluruh
dunia. Selembar daun melinjony a pun tidak boleh diambil oleh
tetangganya. Apalagi sebutir kelapanya y ang melimpah itu.
Ketika seorang tetangganya digigit ular, maka ia bertahan
mati-matian untuk tidak memperbolehkan sebutir kelapa
hijaunya dipetik untuk tetangganya itu. Untunglah bahwa
akhirnya didapatkan juga kelapa hijau di tempat lain
meskipun agak jauh, sementara seorang pawang ular sempat
mengobatinya. Tetapi peri stiwa itu tidak akan pernah
dilupakan orang." "Ki Bekel. Apakah Ki Bekel bersedia bertemu langsung
dengan perempuan itu?" bertanya Mahisa Murti kemudian.
Ki Bekel termangu-mangu. Katanya: "Sebenarnya aku
tidak berkeberatan. Keteranganmu meyakinkan aku, bahwa
perempuan itu merasa bahwa hari-hari terakhirnya sudah
dekat. Sebagai seorang Bekel maka aku memang berkewajiban
untuk memperhatikannya, apapun y ang pernah dilakukannya
sebelumnya. Tetapi sudah tentu aku tidak akan dapat datang
ke rumahnya. Jika demikian, maka aku akan dituduh oleh
beberapa orang bahwa aku telah menghindari sikap orangorang
padukuhan ini kepadanya."
"Ki Bekel jangan pergi seorang diri," berkata Pukat. "Ki
bekel dapat berbicara dengan bebahu padukuhan ini.
Kemudian Ki Bekel dapat mengajak orang-orang yang
berpengaruh untuk membuktikan sikap orang tua itu."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya: "Pendapatmu
memang masuk akal. Rumah perempuan tua itu adalah rumah
yang tidak ada duanya. Bahkan aku belum pernah melihat
rumah sebaik itu. Jika rumah itu benar -benar diserahkan
kepada padukuhan ini dan kemudian dapat dijadikan banjar
padukuhan, maka banjar padukuhan ini akan m enjadi banjar
padukuhan y ang terbaik diseluruh Singasari. -
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun Mahisa Murti sempat juga bertanya "Apakah kita
sudah berada diluar wilayah Kediri?"
"Tentu anak-anak muda," jawab orang itu, "kita berada
di daerah Singasari. Semula daerah ini adalah daerah
Pakuwon Tumapel sebelum Tumapel menjadi besar."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara
itu Ki Bekel -pun berkata: "Dan bukankah Kediri juga sudah
dipersatukan dengan Singasari?"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Mahisa
Pukat berkata: "Bahkan membentang meliputi daerah yang
lebih luas lagi." Tetapi Mahisa Murti berkata: "Jadi, apakah Ki Bekel
bersedia datang kerumah itu?"
"Sebaiknya aku akan berbicara dengan para bebahu.
Besok aku akan m engambil keputusan. Karena itu, datanglah
besok pagi-pagi kemari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Itu berarti bahwa mereka harus bermalam lagi.
Namun Mahisa Murti pun berkata: "Baiklah. Besok pagipagi
aku akan datang lagi."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itupun telah m inta diri. Mereka berdua kemudian diantar Ki
Bekel sampai regol rumahnya.
Namun, demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pergi,
beberapa orang telah dengan tergesa-gesa masuk ke halaman
rumah Ki Bekel sebelum. Ki Bekel sempat naik ke pendapa.
"Ada.apa?" bertanya Ki Bekel kepada mereka.
Seorang diantara mereka telah melangkah mendekati Ki
Bekel sambil bertanya: " siapakah kedua orang yang datang
kemari tadi Ki Bekel?"
Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian katanya:
"Marilah. Duduklah."
"Terima kasih Ki Bekel. Kami hanya ingin tahu, siapakah
yang baru saja datang kemari. Dua orang anak muda," desis
salah seorang dari orang-orang y ang datang itu.
"Mereka adalah dua orang pengembara," jawab Ki Bekel
"mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, sehingga
mereka berjalan saja menelusuri jalan-jalan y ang panjang."
"Apa maksud kedatangan mereka kemari" Bukankah
mereka berada di rumah hantu tua itu?" berkata y ang lain.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba
menahan diri agar kata-katanya tidak justru menjadi
membingungkan. "Ya," berkata Ki Bekel kemudian, "m ereka memang
berada di rumah perempuan tua itu. Mereka datang kemari
justru karena mereka membawa pesan dari perempuan tua
itu." " Apa yang dikehendaki oleh iblis betina itu"," bertanya
seorang y ang lain. Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian:
"Duduklah. Kita akan berbicara. Aku justru ingin para bebahu
datang sekarang. Jika tidak berkeberatan, salah satu atau dua
orang diantara kalian, panggillah para bebahu yang lain. Aku
akan berbicara dengan mereka. Kalian dapat mengikuti
pembicaraan kami, karena pembicaraan itu bukan
pembicaraan rahasia."
Orang-orang itu termangu -mangu pula di halaman.
Namun kemudian dua orang diantara mereka menyatakan
kesediaan mereka untuk memanggil para bebahu. Sehingga
dengan demikian maka keduanyapun segera meninggalkan,
halaman rumah Ki Bekel dan dengan tergesa -gesa menuju ke
rumah para bebahu. Ternyata para bebahu padukuhan itupun tanggap,
bahwa tentu ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan
oleh Ki Bekel. Karena itu, maka merekapun telah bersedia
untuk segera datang ke rumah Ki Bekel.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, di rumah
Ki Bekel itu telah diadakan pertemuan y ang tiba-tiba saja. Ki
Bekel tidak berkeberatan beberapa orang telah ikut
mendengarkannya. Dengan j elas Ki Bekel m enerangkan niat nenek tua itu
untuk mewariskan rumah dan sawahnya kepada padukuhan
jika ia meninggal nanti. Beberapa orang memang menjadi termangu-mangu.
Para bebahu ternyata telah berbeda pendapat. Bahkan seorang
diantara mereka bertanya: "Ki Bekel. Apakah rumah itu bukan
rumah hantu y ang akan dapat membunuh orang -orang yang
tinggal atau sering berada di rumah itu?"
"Tentu tidak," berkata Ki Bekel "rumah itu adalah rumah
biasa. Bukankah y ang mula-mula sekali menyebabkan
perempuan itu terpisah dari kalian karena perempuan itu
sangat kikir" Baru kemudian, setelah kalian semuanya tidak
menyukainya, maka timbul dongeng y ang aneh-aneh tentang
perempuan tua itu." "Tetapi anak-anaknya telah mati," sahut salah seorang
bebahu, "perempuan itu dengan suaminya telah mencari
kekay aan dengan menghubungi orang berilmu hitam."
"Ya. Aku juga m endengarnya," berkata Ki Bekel, "tetapi
semuanya itu telah ditebus dengan anak-anaknya. Bahkan
suaminya pun telah meninggal agaknya karena sebab lain.
Bukan karena ilmu hitam itu. Suaminya meny esali
perbuatannya dengan sangat mendalam, sehingga syarafsy
arafnya menjadi terganggu."
"Dan iblis betina itu sama sekali tidak merasa meny esal,"
sahut salah seorang bebahu.
" Ia merasa sangat meny esal. Tetapi ia t idak m empunyai
cara untuk menyatakannya," jawab Ki Bekel.
"Tetapi kenapa ia tidak mati seperti suaminya","
bertanya bebahu y ang lain.
"Perempuan ini m empunyai ketabahan hati yang sangat
tinggi," jawab Ki Bekel "namun akhirnya ia memang tidak
dapat mengelak ketika hari-hari tuanya membuatnya semakin
rapuh." "Apakah Ki Bekel bertanggung jawab jika terjadi sesuatu
atas para penghuni padukuhan ini setelah rumah itu kelak kita
warisi"," bertanya seorang bebahu.
"Aku y akin, rumah itu tidak akan mengganggu kita.
Apalagi kita akan dapat berbicara dengan perempuan tua itu,
agar ia meny erahkannya dengan ikhlas atau tidak sama
sekali," jawab Ki Bekel.
Beberapa orang bebahu memang sedang memikirkan
kemungkinan bahwa rumah itu akan dijadikan banjar yang
paling baik. Namun pembicaraan itu masih m emerlukan waktu. Ki
Bekel beberapa kali menyatakan, bahwa ia bersedia
bertanggung jawab jika terjadi sesuatu karena rumah itu
dianggap sebagai rumah hantu.
"Bagiku, rumah itu tidak ada bedanya dengan rumah
yang lain. Jika suami isteri itu pernah mencari kekayaan
dengan ilmu hitam, maka yang dihasilkan adalah kekayaan itu.
Rumah itu hanya akibat saja bahwa ia telah menjadi sangat
kaya. Adapun tebusannya adalah anak-anaknya dan
barangkali suami nenek tua itu. Karena itu, maka semuanya
telah lunas. Rumah itu adalah rumah biasa. Sawahnya juga
sawah biasa. Jika hutang keluarga itu kepada pemilik ilmu
hitam itu belum lunas, m aka perempuan tua itu mati juga,
maka belum tentu kalau hal itu direbabkan karena hutang
keluarga itu kepada pemilik ilmu hitam itu. Sementara itu,
betapa kuatnya orang memiliki ilmu hitam, namun ilmu itu
tidak akan dapat mengalahkan maksud baik orang
sepadukuhan. Juga niat baik nenek tua itu," berkata Ki Bekel.
Beberapa orang bebahu yang semula ragu-ragu m enjadi
semakin mantap. Mereka sudah membayangkan bahwa
padukuhan mereka akan mempunyai banjar yang terbaik di
seluruh negeri. Dalam pada itu, m aka Ki Bekelpun kemudian berkata:
"Nah, jika demikian, maka biarlah besok kita berbicara dengan
anak-anak muda itu lagi. Sebaiknya kita bertemu langsung
dengan nenek tua itu. Kita akan dapat menjajagi isi hatinya
yang sesungguhnya. Tidak dibuat-buat, ditambah atau
dikurangi oleh anak-anak muda itu."
"Aku setuju Ki Bekel. Kita harus bertemu langsung
dengan perempuan itu. Biarlah orang banyak menjadi saksi
pembicaraan kita," berkata salah seorang bebahu.
"Jika demikian, biarlah besok pagi bukan anak-anak
muda itu saja yang datang kemari. Biarlah perempuan itu pula
dibawa agar kita dapat berbicara langsung " berkata Ki Bekel.
"Tetapi siapakah y ang akan berbicara dengan mereka","
bertanya salah seorang dari bebahu itu.
Para bebahu itu saling berpandangan. Ternyata tidak
seorang pun bersedia datang ke rumah itu untuk bertemu
dengan anak-anak muda itu. Sehingga akhirnya Ki Bekel
memutuskan, bahwa besok jika anak-anak muda itu datang,
biarlah mereka kembali lagi menjemput perempuan tua itu.
"Tetapi aku minta para bebahu dan saudara-saudara
yang mendengarkan pembicaraan ini memberitahukan kepada
semua orang, agar mereka tidak berbuat sesuatu terhadap
perempuan itu. Baik dengan kata-kata apalagi dengan
perbuatan. Biarlah ia datang ke rumahku dengan tenang dan
mulai meyakini bahwa ia adalah sesama kita," berkata Ki
Bekel. Para bebahu itu mengangguk-angguk. Demikian pula
orang-orang y ang mendengarkan pembicaraan itu.
Sejenak kemudian maka Ki Bekel telah mengakhiri
pertemuan itu. Tetapi Ki Bekel minta dikeesokan harinya,
mereka agar datang lagi untuk dapat berbicara langsung
dengan perempuan tua itu.
Ternyata bahwa rencana itu dapat berlangsung
sebagaimana dikehendaki oleh Ki Bekel. Ketika Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat datang pagi itu, maka Ki Bekel m inta agar
nenek tua itu dibawa serta. Karena para bebahu ingin
berbicara langsung dengannya.
Semula perempuan tua itu m enolak. Ia m engira bahwa
kehadirannya di rumah Ki Bekel itu akan merupakan satu
peristiwa yang paling pahit dalam hidupnya.
Tetapi Mahisaa Murti dan Mahisa Pukat menyatakan,
bahwa mereka berdua akan meny ertainya dan akan
melakukan apa saja bagi keselamatannya. Bukan saja
keselamatan wadagnya, tetapi juga perasaannya.
Akhirnya nenek tua itu benar-benar hadir di rumah Ki
Bekel. Demikian pula para bebahu. Sementara itu diluar
pendapa, di halaman rumah Ki Bekel, orang-orang padukuhan
itu telah berkerumun untuk ikut menyaksikan, apa yang akan
dibicarakan oleh Ki Bekel dengan perempuan tua itu.
Pembicaraanpun kemudian berlangsung sebagaimana
sudah disiapkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Perempuan itu akan bersedia meny erahkan rumahnya dan
sawahnya kepada dukuhan itu sepeninggalnya.
"Aku tidak akan dapat membawa rumah, halaman dan
sawahku," berkata perempuan tua itu, "bahkan seandainya aku
benar-benar membakar diriku di ruang tengah, maka rumah
itu seluruhnya tentu akan terbakar juga. Karena itu, maka aku
akan merelakannya sesudah aku dipanggil kembali oleh Yang
Maha Agung." "Kau benar-benar ikhlas"," bertanya Ki Bekel.
"Sudah aku katakan Ki Bekel, bahwa aku tidak akan
dapat membawanya. Karena itu, aku berkata dengan
sesungguhnya," jawab nenek tua itu.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Agaknya segala
sesuatunya dapat berlangsung dengan baik. Karena itu, maka
iapun telah menyampaikan keputusan itu kepada para bebahu
dan orang-orang y ang berada di halaman.
"Kita akan menerima niat baik itu dengan tangan
terbuka," berkata Ki Bekel, "namun kitapun akan m enerima
kehadirannya diantara kita semuanya.
Perempuan itupun telah menyatakan untuk minta maaf
kepada Ki Bekel, para bebahu dan para tetangganya, bahwa ia
telah berbuat sesuatu y ang menyakiti hati mereka.
"Pada saat terakhir aku baru menyadari. Karena itu aku
mohon kalian dapat memaafkannya," berkata perempuan tua
itu. Ki Bekel dan para bebahu mengangguk-angguk.
Demikian pula orang-orang y ang mendengarnya. Agaknya
merekapun dapat menerima permintaan maaf itu. Apalagi
ketika mereka sempat melihat dengan jela s perempuan tua
yang sudah tidak dapat berdiri tegak lagi itu. Berjalan dengan
terbongkok-bongkok serta wajah y ang pucat. Kerut-merut
yang semakin dalam diwajahnya menandakan bahwa umurnya
yang menjadi semakin tua sehingga wadagnya tidak akan
dapat bertahan terlalu lama lagi.
"Baiklah nek," berkata Ki Bekel kemudian, "kami akan
menerima nenek kembali dalam lingkungan keluarga
padukuhan ini. Kami mengucapkan terima kasih atas kerelaan
nenek untuk memberikan rumah dan sawah nenek bagi
padukuhan ini kelak. Tentu saja kami tidak akan pernah
merasa tergesa -gesa. Panjang pendek umur nenek tergantung
sekali kepada Yang Maha Agung."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang mendengar
keputusan itu ikut merasa gembira. Perempuan tua itu tidak
akan terasing lagi, sehingga di saat terakhir, tetanggatetangganya
akan dapat membantunya. Setelah semua pembicaraan dianggap selesai, maka
nenek tua itupun telah mohon diri untuk kembali ke
rumahnya, sementara Ki Bekel menyatakan kesediaannya
untuk setiap kali melihat keadaan nenek tua itu.
"Setidak-tidaknya keluargaku akan memperhatikanmu,
nek," berkata Ki Bekel, "aku atau salah seorang dari
keluargaku setiap kali akan datang datang ke rumah nenek.
Sementara itu aku akan mencari orang y ang akan dapat
menggarap sawah nenek, sehingga nenek tidak perlu
mengupah orang lain dengan upah y ang tinggi."
"Terima kasih Ki Bekel," jawab nenek tua itu, "rasarasanya
kapan saja aku dipanggil menghadap, aku sudah
menjadi lebih ikhlas lagi."
Demikianlah, maka sejenak kemudian nenek tua itu
telah minta diri kembali ke rumahnya. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mengantarnya kembali sampai ke rumahnya.
Tetapi sekali lagi perempuan tua itu menahannya.
Dengan sungguh-sungguh ia minta Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
bermalam semalam lagi di rumahnya.
"Aku mohon dengan sungguh-sungguh. Aku tidak
pernah membayangkan bahwa anak-anak muda seperti kalian
ini. Karena itu jangan menolak," berkata nenek tua itu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang tidak
dapat menolak. Karena itu, maka mereka masih akan
bermalam satu malam lagi di rumah nenek tua itu.
"Jangan tidur di gandok," berkata nenek tua itu, "tidur
sa jalah di ruang dalam."
Kelima orang itupun benar-benar telah tidur di ruang
dalam, sementara itu nenek tua itu tidur di bilik kanan.
Menj elang tidur, maka nenek tua itu telah sempat
menghidangkan makan nasi putih dengan say ur daun
lembayung dan kacang panjang."
Dalam keadaan y ang bagaimanapun juga, maka sikap
hati-hati kelima orang itu tidak pernah pudar. Meskipun
mereka berada di dalam rumah y eag rapat, berdinding kayu
tebal, namun mereka telah mengatur siapa yang akan berjagajaga.
Ampat orang akan mendapat gilirannya masing-masing.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan.
Sedangkan Mahisa Amping seperti biasanya, dibiarkan saja
tidur ny enyak semalaman.
Sampai terdengar suara kentongan di tengah malam,
tidak terjadi sesuatu di rumah itu. Meskipun sebelumnya ada
juga sedikit t erbersit k egelisahan dalam hubungannya dengan
ilmu hitam. Namun ternyata mereka tidak mendapat
gangguan apapun juga. Tetapi sedikit lewat tengah malam, mereka telah
mendengar pintu samping diketuk orang. Benar-benar suara
ketukan y ang keras, sehingga perempuan tua yang tidur di
bilik kanan itupun mendengarnya.
Terbongkok-bongkok perempuan itu keluar dari
biliknya. Memang ada kesan ketakutan. Dengan suara gagap ia
bertanya siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini.
"Entahlah nek," jawab Mahisa Murti.
Namun suara ketukan itu terdengar lagi, semakin keras.
Ketika perempuan tua itu pergi ke pintu, maka Mahisa
Murti telah mencegahnya. " Jangan nek . Berbahaya. Tetapi
apakah nenek tidak dapat menduga sama sekali, siapakah yang
akan datang menghubungi nenek untuk keperluan apapun?"
"Aku sama sekali tidak dapat membayangkan, siapa y ang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan datang kemari," jawab nenek tua itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya: "Biarlah aku y ang membuka nek."
Perempuan itu ragu-ragu. Namun akhirnya ia setuju.
Tetapi ia berpesan: "Hati-hati ngger."
Mahisa Murtilah yang kemudian membuka selarak.
Memang ia sangat berhati-hati. Sementara Mahisa Pukat telah
mendekatinya pula, sedangkan yang lain berdiri disebelah
menyebelah nenek tua itu.
Demikian selarak pintu itu diangkat, maka pintu itupun
telah didorong keras sehingga terbuka. Beberapa orang telah
melangkah memasuki ruang dalam.
Mahisa Murti melangkah surut. Ia melihat dari sorot
mata orang-orang y ang memasuki ruangan itu, agaknya
mereka mempunyai persoalan y ang penting.
"Kau?" desis perempuan tua itu.
"Ya bibi," jawab seorang diantara mereka, seorang y ang
bertubuh tinggi tegap. "Kenapa kau datang malam-malam begini sehingga
mengejutkan kami". Marilah. Duduklah," berkata nenek tua
itu. Seorang diantara orang-orang yang datang itu telah
mengatupkan daun pintu rumah itu. Sedangkan orang
bertubuh tinggi tegap itu m enjawab: "Terima kasih bibi. Aku
tidak akan terlalu lama disini."
"Jadi apa keperluanmu?" bertanya perempuan itu.
"Bibi. Selama ini aku tidak pernah mengganggu bibi. Aku
telah tinggal di tempat yang cukup jauh. Dengan demikian
maka pada bibi seharusny a tidak akan timbul kesan, bahwa
aku tidak sabar menunggu saat-saat terakhir dari hidup bibi,"
berkata orang y ang bertubuh tinggi tegap itu "namun tiba-tiba
sa ja hari ini aku mendengar bahwa bibi telah m eny erahkan
rumah dan sawah bibi kepada padukuhan ini."
"Ya," jawab perempuan tua itu, "aku memang sudah
menyerahkan rumah ini dan sawahku kepada padukuhan ini
sepenggilku nanti." "Tetapi apakah bibi sudah m emikirkan masak-masak?"
bertanya orang itu. "Sudah. Aku sudah memikirkannya masak-masak.
Menurut pendapatku, pada akhirnya aku memang harus
melepaskan rumah dan sawahku. Jika aku m eninggal, m aka
aku tidak akan sempat membawa rumah sawahku jawab nenek
tua itu." "Tentu itu bukan berarti bahwa bibi harus menyerahkan
rumah ini seisiny a serta sawah peninggalan paman itu kepada
padukuhan," berkata orang bertubuh tinggi tegap itu.
"Lalu kepada siapa" Seandainya aku menjualnya, aku
juga tidak akan dapat mempergunakan uangnya. Aku tidak
memerlukannya lagi," jawab nenek tua itu.
Bibi lupa, bahwa paman masih mempunyai
kemanakan?" berkata orang itu.
" Oo " perempuan tua itu mengangguk-angguk. Katanya:
"Jadi kau datang untuk menyatakan dirimu bahwa kau adalah
kemanakan pamanmu" Sudah tentu dalam hubungannya
dengan warisan, begitu?"
"Ya," jawab orang itu tegas "aku tidak ingin berbelitbelit.
Aku m emang datang untuk mengambil warisanku dari
pamanku." Nenek tua itu melangkah maju. Namun iapun kemudian
terhenti karena Mahisa Pukat justru mendekatinya.
"Ngger. Siapakah kau sebenarnya, tentu kau
mengetahui. Bahwa kau bukan kemanakanku pamanmu disini,
itupun kau ketahui. Kenapa kau masih juga ingin
mempersoalkan warisan" Sedangkan rumah ini akan menjadi
tempat yang menjadi kebutuhan orang banyak. Tempat ini
akan dijadikan banjar padukuhan untuk menggantikan banjar
yang lama, y ang terlalu kecil dan sudah tidak menampung lagi
kegiatan anak-anak m uda di padukuhan," berkata nenek tua
itu. "Aku hampir tidak percaya bahwa bibi telah m elakukan
hal itu. Bibi adalah orang yang sangat kikir. Menurut
perhitunganku bibi akan membiarkan semua harta benda ini
tetap ditempatnya tanpa dapat disentuh orang lain sampai bibi
meninggal. Karena itu aku tidak berusaha untuk dengan cepatcepat
datang mengurusnya, sampai akhirnya ternyata aku
salah duga. Ternyata bibi telah berusaha memberikan rumah
itu kepada padukuhan untuk dijadikan banjar," berkata orang
bertubuh tinggi tegap itu.
"Karena itu, jangan kau singgung-singgung lagi tentang
warisan itu, karena kau memang tidak berhak. Kau adalah
anak muda y ang memang dekat dengan pamanmu. Tetapi kau
bukan kemanakannya. Kau tidak mempunyai saluran darah
sama sekali dengan pamanmu," berkata nenek tua itu.
"Aku adalah anak dari saudara sepupu paman," berkata
anak muda itu. "Kau anak t irinya. Kau perlakukan ibu tirimu dengan
cara yang buruk sekali, sehingga sepupu pamanmu itu
meninggal karena ia tidak tahan m enderita," berkata nenek
tua itu. " Ia adalah ibu tiri y ang buruk pula," geram anak muda
itu. "Jika kau anggap ibu tirimu itu buruk sekali, kenapa kau
masih datang untuk berbicara tentang warisan" Pamanmu,
saudara sepupu ibu tirimu yang buruk itu, tentu juga orang
yang menurut penilaianmu buruk pula. Karena itu, lupakan
sa ja tentang warisan itu, karena apa-apa yang kau punya
sudah aku serahkan kepada Ki Bekel," berkata nenek tua itu.
"Tidak semudah itu bibi mengusir aku," berkata anak
muda itu, "jika aku tidak dapat mewarisi rumah, halaman dan
sawah, maka berikan benda-benda berharga peninggalan
paman itu." Nenek itu menggeleng. Katanya "Semua sudah habis.
Semua telah dihisap kembali oleh ilmu hitam itu. Tetapi
setelah kelima anakku meninggal demikian pula pamanmu,
maka agaknya kerja ilmu hitam untuk menghisap kembali
kekay aan yang pernah diberikannya telah berhenti. Rumah
dan sawah itu masih tetap aku miliki sampai sekarang."
Orang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian orang itu berkata: "Aku tidak
percaya. Bibi mencoba membohongi aku."
Nenek tua itu menyahut "Jika kau tidak percaya,
silahkan melihat isi rumahku ini. Jika ada sesuatu y ang pantas
untuk kau bawa, bawalah."
Orang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian, ia telah memerintahkan orangorangnya
untuk melihat seluruh bagian dari rumah itu.
Ruang-ruangnya dan bilik termasuk bilik gandok dan dapur.
Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Semu dan Wantilan berdiri di sekitar nenek tua y ang berada di
ruang dalam. Mahisa Amping yang gelisah berdiri di belakang
nenek tua itu. "Tidak ada yang akan mereka ketemukan," berkata
nenek tua itu "aku benar-benar sudah tidak mempunyai
apapun juga." Tetapi orang yang mengaku kemanakannya itu
menggeram, "Masih harus dibuktikan. Jika mereka tidak
mendapat apa -apa, maka kami akan m embawa bibi beserta
kami sampai bibi mau m engatakan, di mana barang-barang
berharga itu bibi simpan."
"Aku tidak berkeberatan," jawab nenek tua itu, "bagiku
sisa hidup sudah tidak berarti apa-apa lagi. Bawalah aku ke
mana kau suka. Aku tahu bahwa akhir dari semua itu adalah
kematian. Dan aku sudah tidak takut lagi menghadapi
kematian." "Kematian memang tidak menakutkan bibi," jawab
orang itu, "tetapi saat-saat menjelang kematian itulah yang
harus diperhitungkan."
Tetapi perempuan tua itu tersenyum. Katanya: "Aku
tidak akan dapat menderita sakit apapun juga. Jika rasa sakit
sedikit saja aku alami, maka aku akan menjadi pingsan. Tentu
tidak akan meny enangkan bagi kalian."
Orang bertubuh tinggi tegap itu menggeram. Namun
iapun berkata: "Aku tahu. Bibi telah m engupah orang-orang
ini untuk melindungi bibi. Tetapi jangan berharap bibi akan
dapat diselamatkan."
"Jangan kalian libatkan anak-anak muda ini," berkata
nenek tua itu, "mereka tidak mempunyai sangkut paut dengan
persoalan kita. Mereka datang untuk berteduh malam ini. Itu
sa ja." "Bibi mencoba menipu aku lagi. Apakah bibi
menganggap bahwa aku tidak dapat menilai sikapnya itu?"
sahut orang itu. Tetapi nenek tua itu berkata: " Itu adalah satu sikap y ang
serta-merta dari orang-orang yang berfikir wajar. Mereka
melihat sikap kalian y ang garang. Maka adalah wajar sekali
jika mereka berusaha untuk melindungi seorang nenek yang
lemah. Tetapi aku tahu bahwa kau memiliki ilmu y ang tinggi,
sehingga karena itu aku akan minta agar mereka
menghindarkan dirinya dari kemungkinan buruk y ang dapat
terjadi." "Bibi kira bibi dapat menjebak aku?" bertanya orang itu.
"Tidak. Tetapi aku berkata sesungguhnya. Jangan
libatkan m ereka," minta nenek tua itu, "kalian dapat berbuat
apa saja atasku. Tetapi jangan terhadap anak-anak muda yang
tidak tahu menahu tentang per soalan ini. Mereka telah
berbuat baik terhadapku. Karena itu, m aka aku tidak boleh
menyeret mereka kedalam kesulitan."
"Persetan dengan ceritera itu," jawab orang itu,
"siapapun mereka, jika menghalangi niatku, aku akan
menyingkirkannya. Bahkan untuk selama-lamanya."
Nenek tua itu menjadi tegang. Katanya: "Kau tidak boleh
berbuat sewenang-wenang. Sudah aku katakan, anak-anak
muda itu sama sekali tidak, akan menghalangimu."
Mahisa Murti y ang berusaha untuk menahan diri,
hampir saja ikut berbicara, memotong kata-kata nenek tua itu.
Tetapi sebelum Mahisa Murti berkata sesuatu, orang-orang
yang mencari benda-benda berharga di semua ruang yang ada
di rumah itu telah berdatangan.
"Apa yang kalian temukan?" bertanya orang bertubuh
tinggi tegap itu. "Tidak ada," jawab salah seorang dari mereka.
Orang bertubuh tinggi .tegap itu memandang nenek tua
itu dengan sor ot mata bagaikan membara. Dengan geram ia
berkata: "Jadi bibi benar-benar ingin mempermainkan. aku?"
"Sudah aku katakan. Aku sudah tidak mempunyai
apapun juga," berkata nenek tua itu, " selanjutnya terserah
kepada kalian. Aku sudah siap untuk mati atau mengalami apa
sa ja." "Aku terpaksa membawa bibi. Aku tidak akan segera
membunuh bibi. Tetapi sudah aku katakan, bibi akan tinggal
bersamaku sampai bibi bersedia m enunjukkan simpanan bibi
itu," berkata orang itu. Lalu katanya kepada Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya: "Jangan ikut campur. Persoalan ini
adalah per soalan keluarga. Jika kau sudah terlanjur mendapat
upah dari bibi, maka biarlah aku y ang mengembalikannya,
karena kau akan segera menerima warisan yang tidak
terhitung jumlahnya."
Mahisa Murti tidak dapat menahan getar jantungnya,
sehingga karena itu, maka iapun telah m enjawab: "Ki Sanak.
Aku belum mengenalmu. Nenek tua inipun baru aku kenal
kemarin. Karena itu, memang bukan sepantasnya aku
mencampuri persoalan kalian. Jika benar per soalan ini adalah
persoalan keluarga. Tetapi karena persoalannya adalah
persoalan perampokan dan penculikan, maka adalah hak
setiap orang untuk mencampurinya."
Wajah orang bertubuh tinggi tegap itu m enjadi marah.
Kemarahan yang membakar jantungnya hampir saja tidak
terkekang sehingga orang itu hampir saja meloncat menerkam
Mahisa Murti. Tetapi agaknya ia masih mempunyai pertimbangan lain,
sehingga ia hanya beringsut selangkah.
Namun ia menggeram: "Setan. Jadi kau benar-benar
orang upahan" Jika demikian, kami tidak akan dapat berbuat
lain. Apalagi kalian telah menjadi keras kepala. Meskipun
demikian, sekali lagi kami memberimu kesempatan.
Tinggalkan tempat ini dan jangan turut campur per soalan
keluarga kami." Nenek tua itupun menjadi tegang. Karena itu, maka
katanya kepada Mahisa Murti: "Ngger. Sebaiknya kalian
memang tidak turut campur. Kalian tidak usah melindungi
aku apapun yng terjadi atasku. Aku hanya berpesan, jika aku
benar-benar dibawa oleh anak itu. Sampaikan kepada Ki
Bekel, bahwa rumah ini harus segera dipergunakan sebagai
banjar padukuhan. Ambil semua y ang ada. Rumah dan
sawah." "Tutup mulutmu nenek tua," bentak orang bertubuh
tinggi tegap itu, "jika demikian, maka tidak akan ada
pertimbangan lain bagi kalian semuanya. Sebelum kalian
sempat bertemu dengan Ki Bekel, maka kalian akan mati."
"Tidak. Kau tidak boleh menyentuhnya. Mereka tidak
tahu menahu persoalan y ang sedang kita bicarakan," berkata
nenek tua itu. "Aku tidak peduli. Tetapi pesan bibi adalah tantangan
bagiku. Bibi dengan sengaja ingin berkata kepadaku, bahwa
aku tidak akan m empunyai kesempatan apapun juga. Karena
itu, maka tantangan itu harus aku jawab. Aku akan membunuh
semua orang yang menjadi orang upahan bibi itu," orang
bertubuh tinggi itu hampir berteriak.
"Mereka bukan orang upahan. Bukan," nenek tua itupun
berteriak. "Baik. Berteriaklah. Halaman rumah ini terlalu luas,
sehingga tidak akan ada orang y ang mendengar teriakan bibi
didalam rumah yang besar dan rapat ini," geram orang itu,
"sementara itu, aku akan segera meny elesaikan orang-orang
upahan y ang tidak tahu diri itu, apapun y ang bibi katakan
tentang mereka." "Tidak. Jangan singgung mereka," perempuan tua masih
berusaha. Tetapi Mahisa Pukat ternyata sudah tidak sabar lagi.
Karena itu maka iapun menyahut: "Nek. Biarlah mereka


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan apa y ang ingin m ereka lakukan atas kami. Tetapi
nenek jangan mengira bahwa kami akan membiarkan diri
kami diperlakukan seperti itu."
"Ngger," potong perempuan tua itu.
Namun Mahisa Pukat cepat menyahut pula: "Beri kami
kesempatan untuk bersikap sebagaimana seorang laki-laki,
nek. Kami bukan sekedar ingin mencari lawan. Semua usaha
untuk mencari peny elesaian dengan baik telah nenek lakukan.
Tetapi orang -orang itu tidak mau mendengar semua
keterangan nenek tentang keadaan nenek sendiri, juga tentang
keadaan kami. Karena itu, jika mereka berkeras untuk
membuat peny elesaian dengan caranya, maka kami tidak
berkeberatan nek." "Tetapi, tetapi ?".." nenek itu menjadi gagap.
Sementara itu orang bertubuh tinggi tegap y ang
mengaku kemanakan suami nenek itu berkata: "Katakan
kepada mereka bibi, siapakah aku sebenarnya. Meskipun
sudah tidak ada kesempatan lagi bagi m ereka, tetapi biarlah
mereka mengenal aku sebelum saat mereka mati."
Nenek tua itu termangu-mangu. Sementara Mahisa
Murti berkata: "Tidak perlu, nek. Nenek tidak perlu
mengatakan kepadanya tentang orang itu. Aku tidak perlu
mengetahui siapakah orang yang harus aku selesaikan, jika
memang terbukti ia melakukan kesalahan."
"Persetan orang bertubuh tinggi tegap itu hampir saja
meloncat m eny erang. Tetapi Mahisa Murti berkata: " Jangan
disini. Sebaiknya kita berkelahi diluar."
"Kau ingin bertempur di halaman agar jika ada peronda
yang berkeliling padukuhan sempat melihat kalian dan
membantu kalian?" "Kami tidak ingin berkelahi di halaman depan. Tetapi
kami dapat saja di halaman belakang untuk menghindari agar
tidak ada orang yang turut campur," jawab Mahisa Murti.
Orang bertubuh tinggi tegap itu memang menjadi
semakin marah melihat sikap Mahisa Murti. Namun iapun
harus berpikir melihat sikap lawannya yang nampak
meyakinkan itu. "Tetapi demikian itu adalah sikap-sikap orang upahan,"
berkata orang bertubuh tinggi tegap itu dalam hatinya.
Sementara itu, Mahisa Murtipun telah berkata: "Marilah. Kita
akan pergi ke halaman belakang."
Namun nenek tua itu segera berkata: "Jangan. Kalian
tidak perlu bertempur."
"Sudahlah nek," berkata Mahisa Murti, "apapun y ang
nenek lakukan, kami akan bertempur. Jika kami bertempur
melawan orang-orang itu, sama sekali t idak ada hubungannya
dengan nenek. Kami muak melihat sikapnya, sehingga kami
ingin berkelahi. Itu saja."
Nenek itu menjadi gelisah. Tetapi Mahisa Murti telah
mempersilahkan. "Marilah."
>>> Bahkan keduanya menjadi semakin lama semakin
gelisah. Anak muda y ang m engaku pengembara itu ternyata
memang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka
keduanya menjadi semakin berhati-hati. Mereka telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk segera
mengakhiri perlawanan anak muda itu.
Tetapi semakin tinggi mereka meningkatkan ilmu dan
kemampuan mereka, maka anak muda itupun menjadi
semakin garang. Geraknya semakin cepat dan semakin tidak
dapat diimbangi oleh kedua orang lawannya.
Tetapi kedua lawannya itu tidak cepat menyerah.
Keduanya kemudian telah berusaha untuk mengatasi
kecepatan gerak anak muda itu dengan senjata mereka.
Seorang dari mereka telah mencabut pedangnya y ang besar
dan panjang, sementara y ang seorang lagi telah mengurai
seutas rantai baja yang diujungnya diberi bandul baja pul
sebesar kepalan tangan dengan duri-duri kecil namun tajam.
Sebentar kemudian, maka kedua orang itu telah
bertempur dengan putaran senjata masing -masing. Meskipun
senjata keduanya berbeda, tetapi ternyata bahwa keduanya
mampu bekerjasama dengan baik dan sangat berbahaya bagi
Mahisa Murti. Dengan demikian maka Mahisa Murti harus berloncatan
menghindari serangan-serangan yang semakin berbahaya itu.
Ayunan baja berduri sebesar kepalan tangan itu seakan-akan
selalu m engejarnya. Sementara setiap kali ia berusaha k eluar
dari putaran rantai itu, ujung pedang y ang panjang telah
mematuk menggapainya. Mahisa Murti memang merasa terdesak oleh senjatasenjata
lawannya y ang sangat berbahaya itu. Bahkan sekalisekali
sentuhan angin telah menerpa kulitnya, sehingga
Mahisa Murti semakin menyadari, bahwa senjata lawan-lawan
mereka itu sangat berbahaya.
Beberapa kali Mahisa Murti m emang harus berloncatan
mengambil jarak. Tetapi sepasang senjata y ang berbeda itu
rasa-rasanya selalu memburunya.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun harus meningkatkan
kecepatan geraknya agar senjata-senjata lawannya itu tidak
berhasil mengoy akkan kulitnya.
Tetapi lawan-lawannya y ang merasa telah berhasil
mendesaknya itu telah menghentakkan kemampuan mereka
pula. Mereka memang berniat untuk dengan cepat
menyelesaikan anak muda itu, agar mereka segera dapat
membantu kawan-kawan mereka y ang lain, yang harus
bertempur seorang melawan seorang.
Namun sementara itu, orang yang bertubuh tinggi tegap
yang berhadapan dengan Mahisa Pukat itupun telah
bersenjata pula. Dengan tangkasny a kedua belah tangannya telah
mempermainkan sepa sang potongan besi baja y ang tidak
terlalu panjang, yang dihubungkan dengan seutas rantai baja
pula. Kedua potongan besi baja itu diputarnya seperti balingbaling.
Namun kemudian sebuah diantaranya dipeganginya
dengan tangan kirinya, sementara yang lain diputarnya
dengan tangan kanan. Mahisa Pukat menyadari, bahwa jenis senjata itu adalah
jenis senjata y ang sangat berbahaya. Ketika ia sempat melihat
sekilas, maka seorang diantara lawan Mahisa Murti itupun
bersenjata rantai, tetapi dengan bandul yang berbeda. Bukan
sebatang tongkat pendek, tetapi besi baja sebesar kepalan
tangan. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukatpun mulai
berloncatan mundur. Tongkat baja y ang sepasang itu
berputaran dan sekali-sekali menyambar Mahisa Pukat
dengan cepatnya. Namun kemudian rantai itu terjulur lurus,
melontarkan sepotong baja itu bagaikan anak panah.
Ternyata lawan Mahisa Pukat itu memang memiliki ilmu
yang tinggi sebagaimana dikatakan oleh perempuan tua itu.
Tongkat bajanya memang semakin lama menjadi
semakin berbahaya bagi Mahisa Pukat. Putaran tongkat itu
semakin lama menjadi semakin cepat. Sementara itu sepasang
tongkat itu mampu bergerak dengan berbagai macam cara
yang berbeda -beda. Sekali melayang menyambar kening.
Kemudian menebas mendatar mengarah ke leher. Namun
kemudian terjulur mematuk dengan cepatnya, Bahkan sekalisekali
kedua ujung rantai itu berputaran menyambar bergantiganti.
Mahisa Pukat yang mengakui kemampuan ilmu y ang
dimiliki lawannya itupun kemudian merasa perlu pula
mempersenjatai diri. Karena itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tanpa
berjanji lebih dahulu telah menarik senjata mereka hampir
bersama-sama. Lawan Mahisa Pukat dan kedua lawan Mahisa Murti
terkejut melihat senjata anak-anak muda itu. Dengan serta
merta mereka telah bergeser surut.
Ternyata mereka tidak mengenali senjata itu
sebelumnya. Tetapi demikian mereka melihatnya, maka
mereka menjadi berdebar-debar. Baja y ang seakan-akan
berwarna kehijau-hijauan itu sudah merupakan pertanda,
bahwa senjata itu adalah senjata pilihan. Apalagi mereka
menyadari, anak-anak muda itu memiliki ilmu y ang tinggi.
Karena itu, maka mereka memang harus membuat
perhitungan y ang matang untuk dapat mengakhiri
pertempuran dengan baik. Ketika senjata Mahisa Pukat mulai meny entuh senjata
lawannya, maka lawannya telah terkejut karenanya. Orang
bertubuh tinggi tegap itu sama sekali t idak menduga, bahwa
sentuhan senjata anak muda itu akan berakibat buruk baginya.
Tangannya m enjadi pedih karena ia harus mempertahankan
senjatanya yang hampir terpental meny entuh pedang anak
muda itu. Tongkat bajanya yang diayunkannya dengan sekuat
tenaganya sama sekali t idak dihindari oleh Mahisa Pukat,
tetapi langsung ditangkisny a dengan pedangnya.
Orang bertubuh tinggi tegap itu m engeram. Kemarahan
yang bertimbun diubun-ubunnya itu menjadi semakin
menekannya. Karena itu, maka orang itu benar-benar hampir
kehilangan penalarannya karena perasaannya yang
terguncang-guncang. Dengan segenap kemampuannya, serta usahanya untuk
mengatasi rasa sakit di tangannya, maka orang itu telah
mengayunkan senjatanya berputaran. Dua batang tongkat
itupun saling menyambar di udara, kemudian seolah-olah
telah melibat Mahisa Pukat kedalamnya.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi bingung.
Dengan tangkasnya ternyata ia masih mampu memukul,
bukan saja menangkis serangan itu. Dengan cepat pedang
Mahisa Pukat menyambar kedua batang tongkat baja yang
dihubungkan dengan seutas rantai.
Ketika kedua potong tongkat besi itu terlempar, maka
rasa-rasanya kulit telapak tangan orang bertubuh tinggi tegap
itu terkelupas karenanya.
Karena itu, maka dengan serta merta orang itu telah
meloncat surut untuk mengambil jarak. Bahkan hampir di luar
sa darnya orang itu telah menghembus telapak tangannya
untuk mengurangi perasaan pedih y ang meny engat.
Sementara itu Mahisa Pukat telah bersiap pula
menghadapinya. Dengan langkah satu-satu Mahisa Pukat telah
bergerak maju mendekatinya. Pedangnya yang bergetar
ditangannya, nampak berkilat -kilat memantulkan samarsamar
sinar dari kejauhan yang redup. Justru kehijau-hijauan.
Lampu minyak di sudut-sudut rumah memancarkan
cahaya yang lemah menjangkau arena pertempuran di kebun
belakang itu. Namun tangkapan pandangan mata yang terlatih,
mampu menembus kegelapan m alam y ang m enjadi remangremang
itu. Kedua orang lawan Mahisa Murtipun dengan cepat
mengalami kesulitan pula. Mahisa Murti justru bergerak lebih
banyak dari Mahisa Pukat, justru karena Mahisa Murti harus
menghadapi dua orang lawan.
Pedangnya terayun-ayun menggetarkan jantung. Sekalisekali
mematuk kearah dada. Namun kemudian menebas
mendatar. Bahkan memburu lawannya yang berloncatan
surut. Ternyata kedua orang lawan Mahisa Murti itupun telah
terdesak pula. Keduanya sama sekali tidak mendapat
kesempatan. Ayunan pedang yang besar, serta putaran bandul
baja y ang bulat, sebesar kepalan tangan itu, sama sekali tidak
mampu menghentikan sambaran pedang Mahisa Murti. Jika
pedangnya itu sempat berbenturan dengan pedang y ang besar
dan panjang dari salah seorang lawannya, maka terasa bahwa
pedang lawannya bukan saja bergetar, tetapi pegangannya
menjadi goy ah. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat.
Namun keseimbangannya menjadi semakin jelas pula. Bahkan
Mahisa Semupun telah mendesak lawannya pula, sebagaimana
Wantilan. Dengan demikian, maka orang-orang y ang datang ke
rumah nenek tua itu m enjadi bimbang. Apakah mereka akan
meneruskan niat mereka untuk mendapatkan apapun juga
dari rumah itu, atau meninggalkan tempat, itu.
Tetapi mereka masih mempunyai satu kemungkinan.
Kemungkinan terakhir. Orang y ang bertubuh tinggi tegap itupun telah
memberikan isyarat tertentu.
Orang y ang mengawasi keadaan diluar arena dengan
serta merta telah meloncat menempatkan diri bersama orang
bertubuh tinggi tegap itu melawan Mahisa Pukat. Sebuah
tombak pendek tergenggam di tangannya. Tombak yang pada
pangkal mata tombaknya terdapat kait yang tajam.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak gentar. Ia masih
belum mempergunakan getar kekuatan ilmunya yang dapat
membuat pedangnya bagaikan menyala.
Namun dalam pada itu, yang sangat mengejutkan adalah
orang yang lain, yang tidak terlibat ke dalam pertempuran.
Tiba-tiba saja ia telah meloncat mendekati nenek tua yang
berdiri termangu -mangu. Tiba-tiba saja ia telah menarik
lengan nenek tua itu sambil berteriak: "Hentikan
pertempuran, atau nenek tua ini akan mati terkapar disini."
Suara itu cukup lantang, sehingga Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya telah berloncatan m engambil jarak dari
lawannya. "Lemparkan senjata-senjata kalian" berkata orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar menjadi
bingung. Bukan saja ia tidak akan dapat memenangkan
pertempuran selanjutnya. Tetapi pedang y ang berharga itu
akan dapat jatuh ke tangan lawannya.
Karena itu, untuk beberapa saat keduanya ragu-ragu.
Keduanya menemui kesulitan untuk menentukan langkah.
Jika m ereka menolak untuk meletakkan senjata, maka nenek
tua itu mungkin sekali akan benar-benar dibunuh oleh orang
yang mengaku kemanakannya, karena perempuan tua itu
berkeras untuk tidak mau berbicara tentang kekayaannya.
Karena Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak
segera meletakkan senjatanya, maka orang itu sekali lagi
berteriak sambil mengacukan senjatanya ke lam bung
perempuan tua itu. "Cepat. Letakkan senjata kalian, atau aku
bunuh perempuan ini."
Sementara itu orang bertubuh tinggi tegap itupun


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa sambil berkata: "Kalian dihadapkan pada satu
keny ataan. Bukan sekedar untuk menakut-nakuti saja.
Kawanku itu benar-benar akan membunuhnya, karena aku
memang tidak memerlukan lagi jika ia tidak m au berbicara
tentang benda-benda berharga yang disimpannya. Demikian
kikirnya orang tua itu, sehingga ia lebih menyayangi harta
bendanya daripada nyawanya." Lalu katanya kepada
perempuan tua itu: "Bibi, apakah bibi mengira bahwa jika bibi
terkapar mati, bibi akan dapat m emanfaatkan benda-benda
berharga yang bibi sembuny ikan."
"Sudah aku katakan, bahwa aku tidak mempunyai apa -
apa lagi. Dan justeru karena aku menyadari bahwa jika saat
mati itu tiba, aku tidak akan dapat membawa rumah dan
sawahku, maka aku sudah meny erahkannya kepada Ki Bekel,"
jawab perempuan tua itu tanpa mengenal takut. Bahkan
kemudian ia berkata kepada anak-anak muda itu: " Jangan
menghentikan perlawanan. Bebaskan diri kalian dari tangan
mereka Jangan hiraukan aku."
Tetapi laki -laki y ang m engancamnya telah m enariknya
dengan kasar. "Aku bunuh perempuan ini perlahan-lahan,
atau kalian meletakkan senjata. Cepat, jangan menjawab lagi."
Orang y ang bertubuh tinggi tegap itu tertawa. la sudah
melihat pedang Mahisa Murti clan Mahisa Pukat yang
nampaknya pedang yang sangat baik, y ang oleh pembuatnya
disebutnya sepa sang keri s itu.
Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan
mendapatkan sepasang senjata y ang tentu sangat berharga.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja raguragu,
sehingga dengan demikian maka ia masih saja
menggenggam senjatanya. Karena Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat m asih m enggenggam senjatanya, m aka Mahisa Semu
dan Wantilan pun masih belum meletakkan senjatanya pula.
Karena orang-orang itu m asih ragu -ragu, maka senjata
di lambung perempuan tua itu semakin menekan. Sedang
orang itu sekali lagi berteriak: "kesabaranku ada batasnya."
Mahisa Murti y ang ragu-ragu itu menarik nafas dalamdalam.
Ujung pedangnya telah mulai menunduk. Sementara
itu perempuan tua itu berteriak pula: "Jangan hiraukan aku."
Tetapi pedang Mahisa Murti menjadi semakin
menunduk. Demikian pula pedang Mahisa Pukat.
"Aku akan menghitung sampai tiga," teriak orang y ang
mengancam perempuan tua itu, "jika kalian belum meletakkan
senjata kalian dan melangkah surut, maka perempuan ini akan
mati." Dalam keragu-raguan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu orang yang
mengancam itu mulai menghitung: "Satu, dua .... "
Tetapi sebelum ia sempat ke bilangan berikutnya,
sesuatu y ang tidak pernah diduga telah terjadi. Semua orang
terkejut. Bahkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun
terkejut pula. Ketika orang yang mengancam itu mulai
menghitung, dan kemudian sampai ke bilangan kedua, maka
Mahisa Amping telah meloncat ke punggung orang itu.
Keduanya telah jatuh terguling. Sementara itu, orang
yang siap membunuh nenek tua itu berusaha untuk
melepaskan pegangan Mahisa Amping.
Namun tiba -tiba saja orang itu berteriak. Pisau belati
Mahisa Amping tiba-t iba saja telah terhunjam didadanya.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang terkejut
bukan buatan. Namun mereka tidak sempat berbuat sesuatu,
karena tiba -tiba saja lawan-lawan mereka y ang melihat
peristiwa itu langsung berusaha untuk mengatasi keadaan.
-oodwoo- (Bersambung ke Jilid 82) Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 82 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 082 KARENA itu, maka pertempuran pun telah terjadi lagi.
Tetapi sudah tidak lagi dalam keseimbangan yang sama.
Orang-orang yang datang itu demikian terkejut melihat
kawannya yang memancarkan darah dari lukanya, sehingga
rasa-rasanya jantung mereka sudah menjadi kuncup.
Dengan demikian maka orang-orang itu tidak dapat
bertahan lebih lama lagi. Apalagi serangan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat semakin cepat dan berat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat tidak ingin
kehilangan lawannya yang bertubuh tinggi besar itu. Karena
itu, ketika ada tanda -tanda bahwa orang-orang itu akan
melarikan diri, maka Mahisa Pukat berusaha untuk
mengakhiri pertempuran itu dengan caranya.
Serangannya justru menjadi semakin cepat. Kedua orang
lawannya tidak mampu lagi menahan arus serangannya.
Namun seolah-olah kesempatan untuk menghindar dari
pertempuran itu tidak pernah mereka dapatkan.
Orang-orang itu m enjadi semakin cemas ketika mereka
melihat seorang kawannya terlempar dari pertempuran.
Ternyata wantilan telah mengakhiri pertempuran. Lawannya
tidak sempat menangkis senjatanya ketika ia menjulurkan
senjata itu langsung ke arah dadanya.
Lawannya sempat bergeser. Tetapi ia tidak berhasil
membebaskan diri dari jangkauan senjata Wantilan itu.
Dengan demikian maka kekuatan orang-orang itu telah
berkurang dengan dua orang. Hal itu akan m embuat m ereka
menjadi semakin lemah menghadapi lawan-lawan mereka
yang m engaku pengembara itu. Apalagi di tangan dua orang
anak muda di antara mereka, terdapat senjata y ang jarang ada
bandingnya. Namun dalam kecemasan itu, seorang di antara lawan
Mahisa Murti telah berlari meninggalkannya, meloncat
beberapa langkah menggapai obor di sudut rumah.
Mahisa Murti tidak membiarkannya. Namun lawannya
yang seorang lagi m eny erangnya m embabi buta. Pedangnya
yang besar terayun-ayun mengerikan.
Namun Mahisa Murti memiliki banyak kelebihan dari
orang itu. Dengan membenturkan senjatanya, Mahisa Murti
berhasil melemparkan pedang orang itu dari tangannya.
Tetapi Mahisa Murti ternyata terlambat. Orang itu
berhasil menggapai obor di sudut rumah dan
melemparkannya ke dinding.
"Tidak, tidak," teriak perempuan tua itu.
Mahisa Murti memang menjadi marah. Dengan
kemampuannya y ang sangat tinggi, ia telah meloncat
menyusul orang yang telah terlanjur melemparkan obor itu.
Satu ayunan pedang telah m enggores dada orang y ang masih
berusaha untuk mempertahankan diri.
Tetapi orang itu tidak sempat melakukannya. Ia memang
sempat mengangkat rantainya dan memutarnya. Namun
pedang Mahisa Murti ternyata lebih cepat terayun mengoyak
dadanya. Orang itu terlempar surut dan kemudian jatuh berguling
di tanah. Namun Mahisa Murti tidak memburu dan
menyelesaikannya. Demikian lawannya yang seorang lagi.
Perhatiannya lebih tertuju kepada api yang mulai m embakar
dinding. Dalam pada itu perhatian Mahisa Pukat pun sekilas
tertuju kepada api yang mulai menjilat itu.
Kesempatan itu telah dipergunakan oleh orang y ang
bertubuh tinggi tegap itu. Seolah-olah ia telah mendapat
kesempatan. Ketika kawannya ingin mempergunakan
kesempatan itu untuk meny erang Mahisa Pukat, maka orang
bertubuh tinggi tegap itu justru telah meloncat melarikan diri.
Mahisa Pukat berteriak marah. Ia berusaha
menyusulnya. Tetapi langkahnya tertahan ketika ia mendengar
Mahisa Murti berkata lantang, "Padamkan api itu."
Wantilan y ang telah kehilangan lawannya pun segera
berlari ke arah api itu. Demikian pula Mahisa Amping. Mereka
telah membantu Mahisa Murti berusaha memadamkan api
yang hampir menjilat atap dengan memotong tali-tali ijuk
menghentakkan dinding yang telah terbakar itu sehingga
terlepas dari tiang-tiang penguatnya.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang
berhasil. Ketika dinding itu roboh sebelum api menjilat atap,
maka mereka-pun telah memadamkannya. Mereka sempat
memotong beberapa batang pohon pisang dan
melemparkannya ke lidah api yang nampak semakin tinggi.
Namun yang perlahan-lahan kemudian menjadi semakin surut
dan akhirnya padam setelah disiram air.
Tetapi beberapa orang y ang semula bertempur melawan
orang-orang y ang mengaku diri mereka pengembara itu telah
hilang ke dalam kegelapan.
Mahisa Pukat menggeram menahan kemarahan y ang
bergejolak di dalam hatinya. Ia ingin menangkap orang
bertubuh tinggi tegap itu dan m embawanya kepada Ki Bekel.
Namun usahanya itu tidak berhasil.
Sementara itu, ternyata hiruk pikuk yang terjadi,
teriakan-teriakan dan kemudian lidah api yang menerangi
daun pepohonan itu telah m enarik perhatian orang-orang di
sekitarnya. Mereka memang tidak dengan serta merta
memasuki halaman rumah nenek tua itu. Mereka masih raguragu
dan bahkan ada y ang menganggap bahwa y ang terjadi itu
adalah sebuah pergolakan ilmu hitam karena nenek tua itu
telah meny erahkan rumah dan sawahnya kepada Ki Bekel.
Dengan demikian, maka beberapa orang padukuhan itu
hanya berada di luar dinding. Sebagian dari mereka
berkerumun di depan regol. Namun mereka yang mula-mula
mendengar keributan dan m elihat api, telah m embangunkan
tetangga-tetangga mereka dan m embawa mereka berkumpul
tanpa membuny ikan isyarat apapun. Justru karena keraguraguan
dan kecemasan mereka bahwa mereka akan
berhadapan dengan ilmu hitam.
Namun akhirnya laporan itu sampai kepada Ki Bekel.
Dengan tergesa -gesa Ki Bekel telah datang pula. Tetapi
beberapa saat Ki Bekel pun masih berada di luar regol
halaman. "Kami melihat api menyala Ki Bekel," berkata seorang di
antara orang-orang itu, "kami dua orang sedang meronda.
Namun beberapa saat kemudian api pun padam. Yang
terdengar adalah beberapa teriakan y ang tidak terlalu jelas
maknanya. Mungkin suara hantu-hantu dari ilmu hitam yang
marah." Ki Bekel ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun kemudian
berkata, "Aku akan memasuki rumah itu."
Sementara itu, Mahisa Murti memang menyadari, bahwa
mungkin sekali beberapa orang telah mengetahui bahwa
terjadi sesuatu di rumah itu. Karena itu, maka katanya, "Aku
akan m elihat ke halaman depan. Kau di sini. Lihat perasaan
apa yang bergejolak di hati Amping y ang telah membunuh itu.
Ia m asih t erlalu kecil untuk m elakukannya m eskipun hal itu
tidak disadarinya." Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sementara itu Mahisa
Murti telah melangkah menuju ke halaman depan diikuti oleh
Mahisa Semu. Ki Bekel m emang sudah bersiap-siap untuk m emasuki
halaman rumah itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti telah
membuka regol halaman itu lebih dahulu.
Ki Bekel memang terkejut, ia melangkah surut beberapa
langkah surut. Demikian beberapa orang yang lain.
Bagaimanapun juga mereka merasa perlu berhati-hati.
Mungkin justru orang-orang yang mengaku pengembara itulah
yang telah membuat keributan dan bahkan membakar bagian
dari rumah y ang sudah diserahkan kepada Ki Bekel bagi
padukuhan itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berkata, "Ki
Bekel. Ternyata telah terjadi sesuatu y ang tidak kita
kehendaki. Seseorang telah mengaku mempunyai hak atas
warisan suami nenek tua itu. Karena itu, telah terjadi sesuatu
di rumah ini." Ki Bekel masih saja termangu-mangu. Sementara itu
Mahisa Murti berkata pula, "Ki Bekel. Marilah. Kita berbicara
dengan nenek tua itu."
Ki Bekel memang menjadi ragu-ragu. Namun ia pun
telah memberi isy arat kepada orang-orang yang berkerumun
di depan regol itu untuk mengikutinya.
Sementara itu, Mahisa Pukat tengah berbicara dengan
Mahisa Amping. Ternyata jantung anak itu berdegup t erlalu
cepat. Dengan nada rendah Mahisa Pukat bertanya,
"Bagaimana dengan kau, Amping."
Mahisa Amping menggeleng lemah. Katanya, "Tidak
apa-apa kak." "Kau telah melakukan sesuatu y ang seharusnya belum
kau lakukan," desis Mahisa Pukat.
"Aku tidak sengaja melakukannya kak," jawab Mahisa
Amping. "Jantungmu berdegup terlalu cepat," desis Mahisa
Pukat.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Amping menundukkan kepalanya.
Sebenarnyalahia menjadi gelisah. Diluar sadarnya ia telah
membunuh seseorang. Dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata, "Baiklah.
Mudah-mudahan kau tetap menyadari, apa yang telah terjadi."
"Aku tahu maksud kakang Mahisa Pukat," jawab Mahisa
Amping. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia pun
mengerti bahwa Mahisa Amping tentu telah terpengaruh oleh
peristiwa y ang baru saja terjadi. Dalam umurnya yang masih
sangat muda, Mahisa -Amping telah membunuh.
"Kau harus selalu mengingatnya. Meskipun apa yang kau
lakukan telah memberikan jalan keluar bagi kesulitan yang
kami alami, tetapi membunuh bukan cara y ang baik
diterapkan untuk mengatasi bermacam-macam per soalan
yang masih akan kita hadapi ber sama," berkata Mahisa Pukat.
Lalu katanya pula, "Kau tentu sering m elihat hal itu terjadi.
Kami memang pernah juga membunuh. Tetapi dengan
pertimbangan-pertimbangan yang sangat masak."
Mahisa Amping menganguk kecil.
Namun Mahisa Pukat berkata selanjutnya, "Tetapi y ang
kau lakukan kali ini justru memberikan satu pemecahan."
Mahisa Amping mengangguk-angguk pula. Ia m emang
mengerti sepenuhnya maksud Mahisa Pukat. Ia mengerti
bahwa Mahisa Pukat memberikan peringatan kepadanya,
bahwa membunuh bukan satu-satunya cara yang terbaik.
Tetapi ia pun mengerti bahwa y ang dilakukan itu, telah
dibenarkan oleh Mahisa Pukat, karena saat itu memang tidak
ada cara lain yang dapat dilakukannya.
Sementara itu, maka Mahisa Murti telah membawa Ki
Bekel dan beberapa orang penghuni padukuhan itu ke
halaman belakang. Mereka melihat orang -orang yang terbunuh dan terluka
sangat parah. Bahkan agaknya tidak akan dapat tertolong lagi.
Mereka pun melihat dinding y ang terbakar yang telah
terlepas dari tiang-tiang penguatnya.
"Apa yang terjadi nek?" bertanya Ki Bekel.
Nenek tua itu pun telah m enccriterakan apa yang telah
terjadi. Seseorang telah mengaku berhak mewarisi rumah dan
sawahnya. Mereka justru datang setelah m ereka mendengar
nenek tua itu m eny erahkan warisan itu kepada Ki Bekel yang
mewakili padukuhan itu. "Yang mana orang itu nek?" bertanya Ki Bekel.
Tetapi Mahisa Pukat lah y ang menjawab, "Orang itu
justeru terlepas saat dinding itu terbakar. Kami tidak ingin
melihat rumah itu menjadi abu. Justru pada saat perhatian
kami terbagi, maka orang itu telah melarikan diri bersama
beberapa orang kawannya."
"Mereka sengaja membakar rumah ini?" bertanya Ki
Bekel. "Ya Ki Bekel," jawab Mahisa Pukat, "satu usaha untuk
menyelamatkan diri disamping didorong oleh perasaan dengki
dan iri hati." Ki Bekel m engangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian,
maka kita harus berhati-hati."
"Ya," jawab Mahisa Murti, "memang ada kemungkinan
mereka akan datang, meskipun sekedar melepaskan dendam."
"Jika demikian, aku ingin meny erahkan rumah dan
sawahku segera. Biarlah rumah ini segera dipergunakan bagi
kegiatan isi padukuhan ini sebagai banjar padukuhan daripada
harus dibakar oleh orang-orang y ang dengki itu," berkata
nenek tua itu. Lalu katanya, "Jika rumah ini sudah m enjadi
banjar, maka rumah ini tentu tidak akan pernah sepi."
Ki Bekel termangu -mangu sejenak. Namun pendapat
perempuan itu memang masuk akal. Ki Bekel pun tidak dapat
melepaskan tanggung atas keselamatan perempuan itu, jika
persoalannya menyangkut kerelaan perempuan tua itu untuk
menyerahkan rumah dan sawahnya.
Dalam kebimbangan Ki Bekel mengangguk-angguk kecil.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Ki Bekel. Mungkin
yang dikatakan oleh nenek itu merupakan salah satu jalan
pemecahan yang baik. Nenek akan segera meny erahkan rumah
dan sawahnya. Namun tentu saja dengan syarat, bahwa ia
masih berhak tinggal di rumah ini sepanjang umurnya.
Sementara itu, di bagian depan dari rumah ini, telah dapat
dipergunakan bagi kegiatan anak-anak muda dan bagi
kepentingan padukuhan dalam saat-saat tertentu."
Ki Bekel masih m engangguk-angguk. Baru kemudian ia
berkata, "Nampaknya jalan pikiran itu dapat dimengerti.
Bahkan bukan saja berhak tinggal di rumah ini sepanjang
umurnya, karena rumah ini memang rumahnya, bahkan aku
berjanji untuk memenuhi segala kebutuhannya."
Mahisa Pukat lah yang menyahut, "Nampaknya segala
pihak telah mendapatkan persesuaian pendapat."
"Ya," berkata Ki Bekel kemudian, "sejak besok, aku akan
menanggung segala kebutuhannya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Agaknya mereka tidak lagi merasa perlu mencemaskan
keadaan nenek tua itu. Bukan saja makan, minum dan
pakaiannya, tetapi juga keselamatannya.
Ki Bekel kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah ia berkata," besok kita dapat mengatur segalagalanya."
"Aku sudah tidak memerlukan apa-apa lagi," berkata
nenek tua itu. Namun kemudian katanya, "Ki Bekel. Aku sudah
berjanji untuk meny erahkan segala y ang ada di rumah ini
serta sawahku kepada Ki Bekel. Namun ternyata aku m asih
ingin mengusik janjiku itu meskipun hanya sedikit."
"Maksudmu?" bertanya Ki Bekel.
Perempuan tua itu berpaling kepada Mahisa Amping.
Dengan nada rendah ia berkata, "Anak ini telah
menyelamatkan nyawaku meskipun dengan demikian ia telah
melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh
seorang anak seumur anak itu. Ia terpaksa membunuh bagi
keselamatanku," perempuan tua itu berhenti sejenak, lalu "Ki
Bekel, aku ingin memberikan sesuatu kepada anak itu. Dan
yang ingin aku berikan itu akan aku ambil dari rumah ini."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Semuanya
masih milik nenek. Ambillah apa saja y ang ingin kau ambil.
Apalagi yang kau anggap baik bagi orang-orang yang telah
menyelamatkan nyawa nenek."
Perempuan tua itu termangu -mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Aku tidak akan mengambil terlalu banyak.
Aku hanya akan mengambil salah satu dari beberapa jenis
senjata y ang ada di bilik tengah. Di dalam peti terdapat
beberapa buah keris peninggalan suamiku dan ada sebuah
luwuk y ang tidak terlalu panjang. Aku ingin mengambil luwuk
itu dan memberikannya kepada Mahisa Amping."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Bahkan ia nampak
berpikir. Baru kemudian ia berkata, "Nenek. Menurut
pendapatku, nenek tidak perlu m eny erahkan pusaka-pusaka
itu kepada kami. Nenek dapat mempergunakan seperlunya
menurut kebutuhan nenek selagi nenek m asih sempat. Kami
akan merasa sulit untuk menerimanya."
Nenek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Marilah. Kita akan masuk ke ruang
dalam." Ki Bekel pun kemudian mengikuti nenek tua itu masuk
ke ruang dalam bersama Mahisa Murti dan saudarasaudaranya.
Sementara itu Ki Bekel telah berpesan kepada
orang-orang yang mengikutinya untuk berhati-hati serta
mengamati keadaan. Demikian orang-orang itu masuk ke
dalam, maka orang-orang padukuhan itu telah melangkah
menjauhi beberapa sosok tubuh yang masih terbaring diam.
Ternyata tidak seorang pun lagi di antara m ereka y ang masih
hidup. Di ruang dalam, nenek tua itu telah minta Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat mengangkat sebuah peti dari bilik tengah ke
ruang dalam y ang lebih luas.
Dengan tegang orang-orang yang ada di ruang itu telah
menyaksikan nenek tua itu membuka peti y ang agaknya sudah
lama tidak pernah dibuka.
Demikian peti itu terbuka, maka orang-orang y ang
menyaksikannya menarik nafas dalam-dalam. Isi peti itu
memang hanya senjata. Tidak ada benda-benda berharga
lainnya. Namun senjata y ang tersimpan itu pun ternyata
adalah senjata secara wadag mempunyai nilai y ang tinggi.
Sebuah luwuk y ang tidak t erlalu besar. Namun pada hulunya
terdapat selut-selut emas dan permata. Demikian juga
beberapa bilah pedang y ang baik dan mahal. Selain itu masih
terdapat beberapa bilah keris dalam wrangka berpendok emas.
Tetapi nenek tua itu lebih m enghargai benda -benda itu
sebagai pusaka suaminya daripada benda-benda yang
mempunyai harga y ang mahal.
Ki Bekel yang menyaksikan beberapa buah senjata y ang
tersimpan dengan baik itu menarik nafas. Ia merasa kagum
melihat jenis-jeni s senjata y ang tersimpan itu.
Dengan nada rendah Ki Bekel berkata, "Nek, suamimu di
masa hidupnya adalah seorang pengumpul pu saka yang baik.
Nampaknya suamimu itu dahulu bukan saja seorang
pengumpul senjata, tetapi juga seorang ahli yang tahu benar
tentang berbagai jenis wesi aji."
"Hidupnya seakan-akan menyatu dengan pusakapusakanya.
Itulah sebabnya, aku tidak sampai hati menjual
satu pun di antara senjata-senjata y ang pernah dikumpulkan.
Selama suamiku masih hidup, setelah semua barang-barangku
habis dihisap kembali oleh ilmu hitam itu sampai anak -anakku
sekali, maka suamiku pun telah mempertahankan pusakapusaka
itu sebagaimana rumah dan beberapa kotak sawah
yang masih aku miliki sekarang," berkata nenek tua itu.
Namun kemudian katanya, "Tetapi aku harus melihat
keny ataan. Suamiku tidak akan kembali. Sementara aku pun
akan segera menyusulnya. Karena itu, maka pusaka-pusaka itu
tidak lagi berarti bagiku. Justru sebelum saat terakhir itu tiba,
maka aku ingin pusaka -pusaka itu sudah pasti siapa y ang akan
memilikiya." Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun katanya, "Nek.
Kami, padukuhan ini sudah kau janjikan untuk menerima
warisan rumah dan sawah. Karena itu, maka sebaiknya
pusaka-pusaka itu kau berikan kepada anak-anak muda itu."
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Yang
sudah aku pikirkan, luwuk y ang agak kecil itu akan aku
berikan kepada Mahisa Amping. Selebihnya aku tidak tahu,
apakah pusaka yang lain itu akan berarti bagi anak-anak muda
yang mengaku pengembara itu."
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkata, "Kami
berdua sudah memiliki pusaka yang sesuai dengan kebulatan
kami. Saudara kami dan paman kami pun telah bersenjata
pula." Nenek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Tetapi Mahisa Amping jangan menolak
meskipun ia juga sudah m emiliki sebilah belati y ang ternyata
mampu membunuh seorang y ang hampir saja menghancurkan
semua rencana y ang sudah kami susun."
Mahisa Amping memandang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berganti-ganti. Namun Mahisa Murti kemudian berkata,
"Kami tidak berkeberatan nek. Tetapi pusaka itu hendaknya
jangan menjadi lambang kekerasan baginya."
"Tentu tidak. Aku pun berharap untuk tidak terjadi
seperti itu. Luwuk itu hendaknya jadi lambang keselamatan
diri, karena senjata itu akan dipergunakan untuk melindungi
diri dalam arti yang luas," berkata perempuan tua itu.
Mahisa Murti m engangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Terimalah, Amping. Tetapi kau dengar pesan nenek itu.
Senjata itu hanya kau pergunakan untuk melindungi dirimu.
Senjata itu hanya kau pergunakan untuk melindungi dirimu.
Kau tidak boleh menjadi salah langkah, justru karena kau
sudah memiliki senjata yang sangat baik."
Mahisa Arnping mengangguk kecil. Sementara itu nenek
tua itu pun telah m engambil luwuk itu dan memberikannya
kepada Mahisa Amping. Luwuk itu seakan-akan memang sengaja dibuat untuk
senjata kanak-kanak. Ukurannya sesuai bagi Mahisa Amping.
Sementara itu senjata itu pun merupakan senjata yang mahal
harganya dinilai dari ujung kewadagannya. Pada hulunya
terdapat selut -selut emas dan bertahtakan beberapa buah
permata yang mahal. Mahisa Amping m enerima luwuk itu dengan hati y ang
mekar. Disamping sebilah pisau belati panjang ia telah
mempunyai sebuah luwuk. Dengan demikian, maka ia akan
dapat belajar mempergunakan sepasang senjata.
"Terima kasih nek," berkata Mahisa Amping dengan
suara yang dalam. "Kau memang anak yang baik dan cerdas," berkata
nenek tua itu. Namun nenek itu pun kemudian berkata, "Aku masih
mempunyai beberapa bilah keris. Jika angger berdua, Mahisa
Semu dan Wantilan telah mempunyai senjata masing-masing,
maka aku akan memberikan masing-masing sebilah keris.
Keris yang memiliki tabiat y ang khusus, y ang oleh suamiku
semasa hidupnya dianggap keris yang sangat berharga."
Mahisa Semu dan Wantilan termangu-mangu. Namun
kemudian nenek tua itu telah memungut dua bilah keris yang
sarungnya dibalut dengan pendok emas dan tentu sangat
mahal harganya, sementara itu ukiran keris itu pun terdapat
gelang-gelang emas dan permata.
"Terimalah," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Semu dan Wantilan dengan senang hati
menerima senjata y ang disebutnya keris itu, meskipun
bentuknya agak berbeda dengan keris kebanyakan dan
ukurannya sedikit lebih besar, namun wataknya memang
dekat dengan watak sebilah keris.
"Keris itu akan dapat kalian pergunakan sebagai
pasangan senjata kalian masing -masing," berkata Mahisa
Murti. Namun ketika perempuan tu itu bertanya kepada Mahisa
Murti sendiri, apakah ia juga memerlukan sebilah keris, maka
Mahisa Murti berkata,"terima kasih nek. Senjataku ini adalah
senjata tunggal, karena senjata kami berdua adalah
berpasangan." Perempuan tua itu m engangguk-angguk. Ia tidak dapat


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memaksa kedua anak muda itu untuk menerima
pemberiannya. Namun dengan demikian masih ada beberapa
jenis senjata y ang tersisa. Pedang, mata tombak tak
bertangkai, keris dan patrem serta sebuah senjata yang tidak
banyak dipergunakan. Kapak berujung tombak, yang juga
tidak bertangkai. Karena anak-anak muda yang menyebut dirinya
pengembara itu tidak dapat menerima lagi pemberiannya,
maka nenek tua itu pun berkata kepada Ki Bekel, "Ki Bekel.
Biarlah aku serahkan senjata-senjata y ang merupakan pusaka
suamiku di masa hidupnya ini ber sama-sama dengan rumah
dan sawahku. Namun aku m ohon perlindungan dari orangorang
y ang berniat buruk sebagaimana baru saja aku alami."
Ki Bekel m engangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian,
biarlah aku membicarakannya dengan para bebahu
padukuhan ini. Mungkin ada kebijaksanaan y ang dapat kami
ambil. Namun dengan atau tidak dengan senjata itu, m aka
kami akan berbuat sebaik-baiknya buat nenek yang telah kami
terima kembali dalam keluarga kami. Menurut pengamatan
kami, peristiwa-peristiwa yang terjadi, telah menunjukkan
kepada kami, bahwa nenek berbuat sejujurnya terhadap kami.
Kecurigaan kami y ang tersisa akan segera lenyap dari kepala
kami." "Terima kasih Ki Bekel," berkata nenek tua itu.
"Mulai besok, rumah ini akan dipergunakan sebagai
banjar, meskipun belum dinyatakan dengan resmi. Sementara
itu banjar kami y ang lama masih juga kami pergunakan untuk
kepentingan kepentingan khusus," berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Pernyataan Ki Bekel itu adalah satu isy arat, bahwa
mereka akan dapat segera meninggalkan rumah itu,
meneruskan perjalanan mereka y ang setiap kali telah terhenti.
Namun mereka memang sudah menyatakan untuk menjalani
laku tapa ngrame, sehingga m ereka m emang wajib menolong
setiap orang yang memerlukan pertolongan mereka.
Dalam pada itu, maka Ki Bekel pun telah
memerintahkan kepada orang-orang y ang meny ertainya untuk
membersihkan rumah ini. Mereka harus meny elenggarakan
orang-orang yang telah terbunuh di tempat itu. Sementara itu,
langit pun menjadi semakin terang.
Sejenak k emudian, maka Ki Bekelpun telah m inta diri.
Tetapi ia berkata, "Nanti, jika matahari telah sepenggalah, aku
akan datang lagi kemari dengan beberapa orang bebahu. Aku
ingin beristirahat beberapa saat."
Beberapa orang telah membawa tubuh-tubuh y ang
membeku itu k e banjar padukuhan m ereka y ang lama untuk
diselenggarakan. Sementara beberapa orang y ang lain, telah
membersihkan rumah itu. Pagi itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu,
Wantilan dan Mahisa Amping telah menemui nenek tua,
penghuni rumah itu. Ketika mereka m enyatakan diri untuk
meneruskan perjalanan, nenek tua itu masih juga
mencegahnya. "Maaf anak-anak muda," berkata nenek tua itu,
"sebelum semuanya selesai, m aka aku masih berharap anakanak
muda bersedia tinggal di sini. Hari ini Ki Bekel akan
menyelesaikan persoalan yang menyangkut rumah ini. Karena
itu, menurut perhitunganku, kalian dapat meninggalkan
rumah ini besok. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak dapat
memaksa meninggalkan nenek tua yang masih saja ketakutan
itu. Karena itu, maka mereka memang harus menyabarkan
diri, menunggu kepa stian yang akan diberikan oleh Ki Bekel
menjelang siang hari. Ia akan membawa beberapa orang
bebahu untuk berbicara tentang rumah yang akan dipercepat
peny erahannya setelah datang orang y ang m engaku memiliki
hak untuk mewarisi rumah dan segala isiny a itu. Bahkan
orang-orang itu telah memaksakan kehendaknya dengan
kekerasan, sama sekali bukan berdasarkan atas hak y ang sah.
Dengan demikian, maka hari itu, Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya ternyata masih harus tinggal sehari lagi di
rumah itu. Namun ternyata Mahisa Amping dapat
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia telah
minta Mahisa Pukat untuk memberikan petunjuk, apa yang
dapat dilakukan dengan luwuk itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia harus
membuat jiwa anak seimbang lagi setelah ia m embunuh. Jika
ia mendapat kebanggaan dengan membunuh, maka untuk
selanjutnya ia akan dapat m enjadi seorang pembunuh yang
berbahaya. Karena itu, sambil memberikan tuntunan kepadanya
tentang penggunaan luwuk itu, Mahisa Pukat sempat
memberikan petunjuk-petunjuk tentang keselarasan hidup.
Pembunuhan bukan sesuatu yang dapat dibanggakan.
Pembunuhan harus selalu disesali meskipun seseorang
kadang-kadang masih harus melakukannya lagi karena
disudutkan oleh keadaan yang tidak mungkin dihindarinya
lagi atau karena seseorang terperosok k e dalam keadaan yang
tanpa pilihan. Ternyata bahwa sedikit demi sedikit petunjuk-petunjuk
itu dapat m eresap dihati Mahisa Amping. Sehingga dengan
demikian ia memang dapat m embuat keseimbangan jiwanya,
yang sebenarnyalah dipenuhi oleh satu kebanggaan meskipun
tersembuny i di dasar hatinya.
Berulang kali ia mengingat kata-kata Mahisa Pukat itu.
Pembunuhan memang bukan satu kebanggaan. Justru harus
disesali. Dan Mahisa Pukat pun berkata, "Kita lebih berbangga
jika kita dapat menyelesaikan persoalan tanpa kekerasan,
apalagi pembunuhan."
Mahisa Amping y ang kecil itu telah meresapkan katakata
Mahisa Pukat dan mencoba menangkap maksudnya.
Memang masih agak kabur. Tetapi Mahisa Pukat pun berkata,
" Ingat pesan ini. Semakin kau menjadi dewasa, maka kau akan
semakin memahaminya. Jika kau sekarang masih merasa agak
asing, maka itu wajar sekali."
Tetapi Mahisa Amping memang berpikiran terang.
Karena itu, pada umurnya yang masih sangat muda, ia telah
dapat merasakan pesan-pesan y ang diberikan oleh Mahisa
Pukat. Sementara itu, sambil menunggu kedatangan Ki Bekel
dan para bebahu y ang agaknya tidak dapat mereka lakukan
segera, karena Ki Bekel memerlukan waktu utnuk beristirahat,
Mahisa Amping sibuk berlatih di halaman belakang. Mahisa
Murti, Mahisa Semu dan Wantilan pun kemudian sempat
menyaksikannya pula, bagaimana Mahisa Pukat m emberikan
petunjuk dasar mempergunakan luwuk yang telah diterimanya
dari nenek tua itu. Karena sebelumnya, Mahisa Amping telah m empelajari
serba sedikit olah kanuragan dan mempergunakan pisau
belatinya, maka ia pun dengan cepat menyesuaikan diri
dengan bentuk senjatanya y ang baru itu.
Untuk beberapa saat anak itu berloncatan. Mula-mula
pada gerakan dasar sama sekali. Namun kemudian Mahisa
Amping mulai menirukan gerak-gerak yang mulai berganda.
Meskipun masih sederhana sekali.
Tetapi ternyata Mahisa Amping tidak dapat terlalu lama
berlatih pada hari itu, m eskipun Mahisa Murti, Mahisa Semu
dan Wantilan masih ingin menyaksikannya. Ketangkasan anak
itu justru membuat gerakan-gerakannya menjadi lucu.
Hampir diluar sadarnya, Mahisa Murti berkata di dalam
hatinya, "Seperti melihat seekor kera bermain lidi."
Tetapi Mahisa Murti justru m erenungkan kata-katanya
itu sendiri. Bahkan tiba-tiba saja ia ingin memperhatikan
gerak-gerak seekor kera yang cekatan. Terlintas pula
kemampuan gerak seekor anak kijang, seekor kelinci dan
beberapa jeni s binatang lain, y ang mempunyai kekhususan
ketika masih berusia muda. Lucu seperti Mahisa Amping yang
berloncatan dengan sebilah luwuk di tangannya.
"Jika anak itu sempat ikut memperhatikannya," berkata
Mahisa Murti di dalam hatinya.
Namun Mahisa Murti m emang berniat untuk membawa
anak itu m elihat-lihat bagaimana seekor binatang melindungi
dirinya dengan senjata yang memang sudah disediakan bagi
setiap jeni snya. Mereka tidak dapat membuat senjata menurut
keinginannya. Tetapi bagi seekor kuda, telah disediakan
sepasang kaki belakang y ang sangat kuat untuk
mempertahankan diri serta jika perlu untuk m enghindar dari
lawan-lawannya yang tidak terlawan, sedangkan bagi seekor
banteng, maka dikepalanya terdapat sepasang tanduk yang
dapat mengoyak perut seekor harimau yang garang, yang
bersenjatakan gigi serta kuku-kukunya yang tajam.
Tetapi sementara itu, Mahisa Amping memang harus
berhenti bermain dengan senjatanya itu. Ternyata Ki Bekel
dan para bebahu telah datang meskipun lewat dari waktu yang
direncanakan semula. Karena matahari sudah lebih dari
sepenggalah. Tetapi bahkan sudah tengah hari.
Karena itu, terutama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah diminta untuk ikut bertemu dan berbicara dengan para
bebahu. Nenek tua itu seakan-akan telah mempercayakan
segala pembicaraannya kepada kedua anak muda y ang baru
sa ja dikenalnya itu, tetapi y ang telah merebut kepercayaannya
sepenuhnya. Apalagi ketika anak-anak muda itu telah menolak
pemberiannya meskipun y ang ditawarkan itu bukan saja
berharga karena ujud wadagnya, tetapi juga beberapa orang
mengangap benda-benda itu sangat berarti bagi mereka.
Dalam pembicaraan itu, Mahisa Murti y ang
menyampaikan pesan nenek tua itu telah menyerahkan rumah
dan pusaka-pusaka yang tersisa itu kepada Ki Bekel atas nama
seluruh isi padukuhan. "Jika Ki Bekel m enganggap perlu, maka pusaka -pusaka
itu dapat dijual kepada penghuni padukuhan ini yang
kebetulan memiliki kekayaan cukup, kemudian uangnya dapat
dipergunakan untuk m eningkatkan kesejahteraan kehidupan
orang-orang padukuhan ini," berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak mengira bahwa akhirnya justru kami telah kagum
terhadap sikap orang yang selama ini kami singkiri."
"Anak-anak muda inilah yang telah membuka mataku Ki
Bekel," jawab nenek tua itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnyalah,
anak-anak muda itulah y ang berhak atas pusaka-pusaka itu
seluruhnya." Tetapi Mahisa Murti terseny um. Katanya, "Yang
diberikan kepada kami telah cukup banyak. Padukuhan ini
tentu juga memerlukannya. Namun dengan permohonan,
bahwa hidup mati nenek ini ada di tangan Ki Bekel dan
seluruh isi padukuhan."
"Kami akan berbuat sebaik-baiknya anak muda," jawab
Ki Bekel. "Sejauh dapat kami lakukan, maka kami akan
melakukan apa saja."
"Terima kasih Ki Bekel. Aku kira, hanya itulah y ang
terpenting. Nenek mohon semuanya dapat diterima, karena
seperti yang sudah nenek katakan beberapa kali, nenek tidak
akan dapat m embawa apapun jika saat itu tiba," desis Mahisa
Murti. Ki Bekel m enarik nafas dalam-dalam. Ki Bekel memang
sudah mendapat satu keyakinan bahwa nenek tua itu benarbenar
telah menyadari tingkah lakunya atas dorongan sikap
anak-anak muda itu. Karena itu, maka Ki Bekel pun akhirnya memang harus
menerima semuanya y ang diserahkan oleh nenek tua itu.
Beberapa buah pusaka yang bukan saja baik, tetapi juga mahal
karena terbuat dari bahan-bahan yang bernilai tinggi.
Ki Bekel dan beberapa orang bebahu y ang menyertainya
sependapat, bahwa pusaka-pusaka itu akan dijual berdasarkan
penawaran tertinggi. Adapun hasil penjualan itu akan
diserahkan kepada padukuhan untuk dipergunakan
seperlunya. "Kita akan meny elenggarakan penjualan itu di banjar
kita y ang baru, meskipun belum ditetapkan dengan resmi,"
berkata Ki Bekel. "Silahkan Ki Bekel," berkata nenek tua itu, " semakin
cepat tempat ini dipergunakan semakin baik bagiku. Aku akan
merasa aman di antara kegiatan-kegiatan apapun yang
dilakukan oleh padukuhan ini, karena dengan demikian maka
akan ada banyak orang di rumah ini."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Setelah berbicara sejenak
dengan para bebahu, maka Ki Bekel berkata, "Penjualan itu
akan dilakukan dua hari lagi. Bukankah semakin cepat, nenek
akan merasa semakin tenang?"
"Ya, ya," berkata nenek tua itu, "semakin cepat semakin
baik. Aku akan m erasa segera terbebas dari ketegangan yang
selama ini bagaikan mencekik. Apalagi jika ada orang lain yang
mengetahui tentang barang-barang itu. Mereka tentu akan
berusaha mengambilnya dengan cara y ang tidak sewajarnya
atau dengan kekerasan. Karena itu, maka secepatnya sajalah
diusahakan agar barang-barang itu cepat dibawa keluar dari
rumah ini." "Jangan takut nek," berkata Ki Bekel, "selama dua hari
ini, rumah ini akan dijaga sebaik-baiknya, karena sejak hari
diumumkan akan dilakukan penjualan pusaka-pusaka milik
suamimu di masa hidupnya, maka sejak itu pula orang-orang
akan mengerti bahwa di rumah ini memang ter simpan bendabenda
berharga. Tetapi anak-anak muda padukuhan ini yang
akan ikut mempergunakan uang hasil penjualan itu bagi
kepentingan mereka, akan menjaga rumah ini dari segala
kemungkinan buruk." Nenek tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya,"terima kasih. Ternyata akhirnya aku dapat berada di
antara keluarga padukuhan ini. Semula aku sudah merasa
berputus-asa, sehingga aku sudah akan meny iapkan lubang
kuburku di longkangan atau m embakar diri di ruang tengah
rumahku ini. Tetapi sekarang aku justru merasa hidup
kembali. Harta benda y ang aku cari dengan cara y ang paling
gelap sekalipun itu ternyata tidak memberikan apa -apa
kepadaku. Semuanya adalah kekosongan dan kesepian yang
beku. Rumah y ang besar, sawah y ang luas, emas intan berlian
dan segala macam benda y ang gemerlapan di mata seseorang,
ternyata tidak mampu membuat hatiku merasa berbahagia."
"Jika harta, benda dan kekay aan itu sudah menjadi


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penguasa di hati kita, m aka kita adalah budak yang paling
sengsara," berkata nenek tua itu selanjutnya. Lalu katanya,
"Hanya jika kita m ampu memiliki dan m enguasainya, m aka
benda-benda mati itu akan berarti bagi kita. Karena kita tidak
bergeser dari diri kita sendiri."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti
nek. Nah, jika demikian, maka di sisa hari ini dan besok, ada
kesempatan untuk memberitahukan kepada seisi padukuhan
ini, bahwa dua hari lagi, akan diselenggarakan penjualan
benda-benda berharga y ang ada di rumah ini peninggalan
suamimu semasa hidupnya, sedangkan hasilny a akan
diserahkan kepada padukuhan. Namun sejak saat ini, m aka
beberapa orang anak muda akan berada di pendapa rumah
ini." Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Segala
sesuatunya terserah kepada Ki Bekel."
Demikianlah, maka Ki Bekelpun telah minta diri
bersama beberapa orang bebahu. Namun seperti yang
dikatatkannya, maka Ki Bekel telah memerintahkan
sekelompok anak-anak muda untuk berjaga-jaga di pendapa
rumah nenek tua itu. "Kalian jangan meninggalkan tempat ini, jika pengganti
kalian belum datang," pesan Ki Bekel.
"Baik Ki Bekel," jawab anak-anak muda itu.
"Jangan takut kelaparan," berkata Ki Bekel pula, "nanti
aku akan mengirimkan makanan bagi kalian."
Sejenak kemudian, maka Ki Bekel dan para bebahu
memang sudah meninggalkan tempat itu. Yang ada di pendapa
adalah sekelompok anak-anak muda yang berjaga-jaga jika
terjadi sesuatu. Selain senjata, mereka telah m elengkapi diri
dengan kentongan y ang dapat dibunyikan setiap saat
diperlukan. Jika kentongan itu berbuny i dengan nada tertentu,
maka suara kentongan itu akan segera menjalar dan akan
sampai pula ke telinga Ki Bekel.
Namun dalam pada itu, tanpa setahu Ki Bekel, dua orang
bebahu ternyata mempunyai sikap yang lain. Seorang di
antaranya berkata, "Sikap Ki Bekel t erlalu lunak. Ia dapat
mengambil apa saja yang dikehendakinya. Benda-benda
berharga itu dapat saja dimilikinya."
"Sebenarnya memang tidak perlu dijual berdasarkan
penawaran tertinggi," berkata y ang lain.
Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian dengan
nada rendah ia berkata, "Apakah kita dapat memiliki pusakapusaka
itu?" "Maksudmu?" bertanya yang lain.
"Kita dapat mengambilnya sebelum saat pusaka -pusaka
itu dijual dengan penawaran tertinggi," berkata kawannya.
"Kita" Apakah kita dapat melakukannya" Ingat, di
rumah itu terdapat beberapa sosok mayat. Orang yang
diceritakan mengaku berhak atas warisan suaminya y ang telah
meninggal itu bersama beberapa orang kawannya gagal
memiliki pusaka-pusaka itu. Apalagi kita berdua," jawab yang
lain. "Kita dapat m engupah beberapa orang yang kita yakin
akan dapat melakukannya,"jawab kawannya.
"Daripada kita mengupah orang, apakah bukan lebih
baik kita ikut menawar dan membelinya dengan cara yang
baik," desis y ang lain.
"Kita tidak usah mengeluarkan sekeping uangpun,"
jawab kawannya, "kita berjanji kepada orang -orang y ang kita
upah, bahwa pusaka-pusaka y ang ada akan kita bagi dua. Jika
ada delapan, maka m ereka boleh m embawa ampat. Kita akan
memiliki ampat." "Apakah ada orang y ang dapat kita percaya untuk
berbuat seperti itu" Jika mereka telah m enemukan pusakapusaka
itu, maka mereka tentu tidak akan membagi dua.
Mereka tentu ingin memiliki semuanya. Apalagi mereka
adalah orang -orang yang memiliki kemampuan dalam olah
kanuragan. Mereka tidak akan takut menghadapi ancaman
apapun. Bahkan seandainya seluruh padukuhan ini terbangun
dan berkelahi melawan mereka," berkata yang lain.
Kawannya memang berpikir sejenak. Namun kemudian
katanya, "Satu kerja untung-untungan. Pusaka-pusaka itu
bernilai sangat tinggi. Seandainya mereka berbuat curang, kita
tidak kehilangan apa-apa. Tetapi jika m ereka menepati janji,
maka kita akan mendapatkan sesuatu y ang sangat berharga."
Yang lain termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
menggeleng, "Tidak. Aku tidak akan m elakukannya. Aku kira,
kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari kerja ini. Kita sudah
berkhianat, namun akhirnya kita tidak mendapatkan apapun
juga." Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Baiklah.
Lupakan saja mimpi buruk itu."
Keduanya tidak berbicara lagi. Namun ketika mereka
sampai di persimpangan jalan, maka seorang di antara mereka
berkata, "Aku akan singgah di rumah adikku sebentar.
Jalanlah dahulu." Seorang yang ingin memiliki pusaka dengan cara y ang
tidak sewajarnya itu pun telah berbelok menuju ke padukuhan
sebelah. Sedangkan bebahu y ang lain, langsung pulang
kerumahnya. Tetapi pembicaraannya dengan kawannya itu ternyata
tidak begitu mudah dilupakan. Sekali timbul keinginannya
untuk ikut berusaha mengambil pusaka-pusaka itu. Tetapi
kemudian timbul penalarannya. Bukan karena ia dapat
mengkesampingkan keinginannya untuk memiliki pusakapusaka
itu saja yang menyebabkannya, tetapi juga karena
penalarannya, bahwa orang-orang yang menyebut dirinya
pengembara itu memiliki kemampuan yang tinggi untuk
melindungi pusaka-pusaka itu. Apalagi ada sekelompok anakanak
m uda dipendapa y ang akan dapat m embantu mereka.
Jika anak-anak muda di pendapa itu tidak berhasil menguasai
orang-orang yang berniat buruk, maka mereka tentu akan
membunyikan isy arat. "Lebih baik aku tidak ikut campur," berkata bebahu itu
kepada diri sendiri. Namun untuk memperkuat sikapnya, untuk menebalkan
keyakinannya, maka ia sudah berbicara kepada isterinya
tentang niat kawannya itu.
Ternyata isterinya sependapat dengan bebahu itu.
Bahkan ia telah mengutuk pikiran y ang buruk itu sejadijadiny
a. "Tetapi jangan kau katakan kepada siapapun," berkata
bebahu itu, "demi keselamatan kita sekeluarga."
Isterinya m engangguk. Katanya, "Aku m engerti kakang.
Namun jika niatnya diteruskan, keselamatanmu memang
terancam. Orang itu tentu memperhitungkan kemungkinan
kau membuka rahasianya itu."
Suaminya mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian
berkata, "Kita memang harus berusaha mendapatkan
perlindungan. Tetapi jika hal ini aku laporkan kepada Ki Bekel,
tetapi ternyata tidak t erjadi sesuatu, maka akulah yang akan
dituduh meny ebarkan fitnah."
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya
isterinya. "Kita pindahkan kentongan itu ke dalam rumah. Kita
harus berhati-hati. Jika terjadi sesuatu y ang m encurigakan,
maka kita harus dengan segera m embunyikan kent ongan itu.
Jika para peronda di gardu mendengarnya sekali dua kali saja,
maka suara kentongan itu tentu akan segera meny ebar ke
seluruh padukuhan." jawab suaminya.
Isterinya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata, "Satu rencana y ang baik."
"Malam ini kentongan itu harus sudah berada di dalam,"
berkata suaminya. "Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu," desis isterinya
yang meskipun menjadi cemas, tetapi ia tetap berpendapat,
bahwa suaminya sebaiknya tidak melibatkan diri dalam
rencananya y ang sesat itu.
Dalam pada itu, bebahu itu pun telah menyiapkan segala
sesuatu untuk mengamankan diri. Kentongan y ang biasanya
tergantung di serambi telah dipindahkan ke ruang dalam.
Bebahu itu berharap, jika kentongan itu dibuny ikan, maka
suaranya akan dapat menyusup lubang udara y ang terdapat
antara pengeret dan sunduk, dibawah tutup key ong. Sehingga
suaranya akan dapat menggetarkan udara padukuhan itu
sebagaimana jika kentongan itu berada di luar.
Ketika kemudian malam tiba, maka bebahu itu telah
minta adiknya yang berkunjung ke rumahnya untuk tidur di
rumahnya itu. "Kenapa?" bertanya adiknya.
"Tidak apa-apa. Tidurlah di sini malam ini," jawab
bebahu itu. Adiknya termangu-mangu sejenak. Ketika ia kemudian
melihat kentongan ada di dalam rumah, m aka ia pun mulai
menjadi curiga. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah
kakang menganggap akan ada bahaya y ang datang malam
ini?" "Tidak. Tidak ada apa-apa," berkata bebahu itu.
Adiknya y ang juga sudah cukup dewasa itu pun
bertanyadengan nada rendah, "Apakah sebenarnya yang telah
terjadi kakang" Sebaiknya kakang berterus terang. Kentongan
yang kakang pindah k e dalam dan sikap kakang yang gelisah
itu memberikan kesan ter sendiri."
Bebahu itu pun kemudian berkata, "Memang ada
kegelisahan di hati ini. Tetapi kau jangan memaksa aku
mengatakannya sekarang. Aku hanya minta kau tidur di sini.
Mungkin semalam, m ungkin dua malam. Pada saatnya aku
akan memberitahukan kepadamu, apa y ang sebenarnya
terjadi." Adiknya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya,
"Ayah dan ibu dapat menjadi gelisah, karena aku tidak
mengatakan bahwa aku akan bermalam di sini."
"Tetapi bukankah kau minta diri ketika kau berangkat
kemari?" bertanya bebahu itu.
"Ya. Aku memang mengatakan bahwa aku akan pergi ke
mari," jawab adikny a.
"Aku m endapat firasat buruk. Karena itu, tinggallah di
sini. Besok pagi kau pulang dan malam hari kau tidur di sini
lagi," berkata bebahu itu.
Adiknya mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah.
Setidak-tidaknya aku akan dapat m emukul kentongan keraskeras."
Sebenarnyalah malam itu adik bebahu itu telah tidur di
rumah kakaknya y ang gelisah. Bebahu itu merasa terancam
jiwanya justru karena ia tidak sependapat dengan kawannya
yang sudah terlanjur berbincang untuk m elakukan perbuatan
yang tercela itu. Tetapi bebahu itu tidak dapat melaporkannya kepada Ki
Bekel, karena jika kawannya itu benar-benar mengurungkan
niatnya, ia akan dapat dituduh memfitnahnya.
Malam itu, bebahu itu seakan-akan tidak sempat
berbaring di biliknya. Ia membiarkan isterinya tidur bersama
dua orang anaknya y ang masih kecil-kecil. Sementara ia
sendiri dan adiknya berada di ruang tengah. Bebahu itu juga
telah membuat sebuah lubang kecil di sebelah pintu rumahnya
dan memasang obor y ang cukup terang di serambi
pendapanya y ang tidak begitu luas. Dengan demikian ia akan
dapat mengintip setiap orang y ang berada di pendapa dari
balik pintu pringgitan sebelum ia membukanya.
Namun ia masih juga selalu gelisah, sehingga setiap kali
ia melihat selarak pintu-pintu butulan dan pintu yang
menghubungkan ruang dalam dengan longkangan belakang, di
depan dapur. Tetapi seperti di pendapa, bebahu itu telah memasang
lampu yang terang di setiap longkangan. Lebih terang dari
kebiasaannya. Ia pun telah membuat lubang-lubang kecil di
sebelah pintu-pintu butulan untuk melihat jika ada orang yang
berada di luar. "Kakang jangan gelisah begitu," desis adiknya, "duduk
sa jalah. Atau kita tidur bergantian. Atau jika kakang tidak
dapat tidur, duduk sajalah atau berbaring di bilik kakang
menemani mbokayu y ang tentu merasa gelisah pula. Aku akan
duduk di sini bersandar dinding, agar jika ada seseorang di
luar, aku dapat mendengarnya."
Bebahu itu menurut, Ia pun merasa kasihan kepada
isterinya y ang ketakutan memeluk kedua anaknya yang masih
kecil-kecil. Karena itu, maka ia pun berbaring di dekatnya
sambil menyadarkan tombak pendekny a di dinding dekat
pembaringannya. Namun ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu. Tetapi
adiknya yang ikut berjaga-jaga di rumah itu pun seakan-akan
telah mendapat firasat yang sama dengan kakaknya meskipun
ia tidak tahu menahu persoalan y ang sesungguhnya. Karena
itu, maka pagi-pagi ia minta diri untuk pulang agar ay ah dan
ibunya tidak gelisah sambil berkata, "Nanti siang aku akan
kembali. Malam nanti aku akan tidur di sini lagi. Menarik
untuk menjadi tegang dan berdebar-debar semalam suntuk."
"Jangan bergurau. Aku benar-benar mengalami
kecemasan," berkata bebahu itu.
Adiknya yang masih lebih muda itu ter senyum. Katanya,
"Aku tidak bergurau. Aku juga bersungguh-sungguh. Nanti
aku kembali. Aku akan mengajak Ragil bersamaku."
"Tidak perlu," jawab bebahu itu, "ayah dan ibu akan
lebih gelisah lagi jika Ragil tidak ada di rumah."
Ternyata tidak seorang pun y ang memperhatikan
mereka. Orang y ang melihat mereka memang mengira, bahwa
mereka akan pergi ke sawah. Memang ada seseorang yang
berkata di dalam hatinya, "Siang-siang begini, anak-anaknya
dibawa ke sawah." Tetapi orang itu pun kemudian mengira bahwa anakanak
itu tidak ada y ang menemaninya di rumah.
Ketika m ereka sampai di rumah ay ah bebahu itu, maka
orang tua itu terkejut. Baru saja adiknya bersiap-siap untuk
pergi ke rumah bebahu itu justru membawa adiknya yang
bungsu. "Kau kemari kakang?" bertanya adiknya.
"Hatiku merasa tidak enak sekali," berkata bebahu itu,
"bukan karena aku sendiri. Tetapi keadaan memang tidak
menguntungkan bagi perempuan dan anak-anak. Aku tidak


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu apakah sesuatu akan terjadi atau tidak. Tetapi aku
menganggap bahwa sebaikny a rumah itu aku kosongkan."
"Jadi kau sekeluarga akan berada di sini sampai kau
merasa sesuatu tentu sudah terjadi. Jika tidak, maka tidak
akan terjadi apapun juga," jawab bebahu itu.
Adiknya tidak bertanya lagi. Namun bebahu itulah y ang
kemudian berkata, "Malam nanti kita berdua pergi ke
rumahku." "Ada apa sebenarnya?" bertanya ayahnya.
"Tidak ada apa-apa ay ah. Hanya sekedar menebaknebak.
Sedikit curiga dan sedikit perhitungan," jawab bebahu
itu. Ayahnya y ang sudah tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada rendah ia b erkata, "Kau membuat orang tua ini
menjadi berdebar-debar."
"Ayah dan ibu tidak usah memikirkan aku. Aku tidak
apa-apa," jawab bebahu itu.
Ayahnya memang tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih
juga berkata,"berhati-hatilah mengambil langkah."
"Ya ayah," jawab bebahu itu.
Tetapi bebahu itu dan adiknya tidak tergesa -gesa
berangkat. Mereka akan berangkat j ika langit sudah m enjadi gelap
dan malam sudah mulai turun.
Namun bebahu itu dan bahkan juga adiknya m emang
menjadi gelisah menunggu saat itu datang.
Ketika senja turun, maka bebahu itu sudah bersiap-siap.
Tetapi mereka mengurungkan niatnya untuk membawa
adiknya yang bungsu. Meskipun adiknya y ang bungsu itu akan
dapat m elindungi diriny a sendiri jika terjadi sesuatu, tetapi
sebaiknya m ereka memang tidak pergi dengan terlalu banyak
orang. Berdua keduanya telah m eninggalkan rumah ayah dan
ibu mereka. Bagaimanapun juga kedua orang tua itu memang
menjadi cemas. Mereka melihat sesuatu y ang tidak wajar.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu.
Sementara itu, kedua orang itu pun dengan diam-diam
telah kembali ke rumah bebahu itu. Tetapi mereka sama sekali
tidak berada di dalam rumah. Mereka telah menunggu di
serambi lumbung di belakang, duduk bersandar dinding di
sela -sela setumpuk jerami. Dari tempat mereka, keduanya
dapat melihat bagian belakang dari rumah mereka.
Namun demikian, maka bebahu itu telah meny empatkan
diri untuk menyalakan lampu minyak di pendapa, di ruang
tengah dan dalam, sehingga dengan demikian, maka rumah itu
tidak nampak kosong. Meny elarak semua pintu dari dalam,
kecuali pintu butulan di paling belakang.
Keduanya telah menunggu dengan sabar. Mereka tidak
mengeluh karena gigitan nyamuk yang ternyata cukup banyak.
Bahkan sekali-sekali semut merah telah membuat kulit
mereka terasa panas. Sampai tengah malam keduanya menunggu. Namun
keduanya sama sekali t idak melihat apapun terjadi di
rumahnya. Meskipun demikian, keduanya tidak bergeser dari
tempatnya yang terasa semakin gatal itu.
Namun lewat tengah m alam m ereka mendengar suara
ketukan di pintu rumahnya. Lamat-lamat, karena jaraknya
yang agak jauh. Kemudian ketukan itu berpindah ke samping.
Nampaknya orang yang mengetuk pintu depan itu telah
berpindah mengetuk pintu belakang.
Bebahu itu menggamit adiknya yang disangkanya sedang
terkantuk-kantuk. Namun ternyata adiknya pun telah
mendengarnya pula. Namun keduanya tidak berbicara sama
sekali. Karena ketukannya tidak dijawab, maka terdengar
Pedang Langit Dan Golok Naga 35 Rajawali Emas 03 Raja Lihai Langit Bumi Pendekar Buta 11
^