Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 33

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 33


seseorang memanggil. Mula-mula perlahan-lahan. Namun
semakin lama menjadi semakin keras.
"Bangunlah. Ki Bekel memerlukan kita," terdengar orang
yang mengetuk pintu itu berbicara.
Tetapi karena tetap t idak ada jawaban, maka orang y ang
memanggil itu mulai mengancam, "Aku rusakkan pintu
rumahmu jika kau tidak mau membukanya."
Adik bebahu itu bergeser setapak. Tetapi kakaknya telah
mencegahnya sambil berbisik, "Biar saja, apa y ang akan
dilakukannya. Kita hanya akan melihatnya."
Ternyata sejenak kemudian mereka memang mendengar
pintu berderak. Nampaknya orang-orang itu memang telah
merusakkan pintu. Bebahu itu pun menjadi berdebar-debar. Namun ia
masih tetap menahan diri. Meskipun demikian ia pun berkata,
"Marilah, kita lihat, apa y ang telah mereka lakukan."
Kedua orang itu memang berusaha mendekat. Tetapi
mereka sangat berhati-hati. Mereka tahu, bahwa yang datang
adalah ampat orang yang diperhitungkan cukup banyak untuk
menghadapi hanya seorang bebahu itu.
Dari kejauhan mereka melihat, orang-orang y ang
memecahkan pintu dan kemudian masuk adalah orang-orang
yang berpakaian kehitam-hitaman atau warna-warna gelap
yang lain. Mereka telah menutup wajah-wajah mereka dengan
ikat kepala mereka. Tiga dari keempat orang itu telah masuk, sedangkan
seorang berada di luar untuk mengamati keadaan.
Bebahu pemilik rumah itu termangu-mangu. Adiknya
hampir tidak dapat menahan diri. Namun kakaknya selalu
mencegahnya. "Mereka berempat," desis kakaknya perlahan-lahan.
"Aku tidak takut," jawab adiknya.
Bebahu itu menggeleng. Beberapa saat kedua orang itu memperhatikan apa y ang
telah terjadi. Jantung mereka berdentang semakin keras ketika
mereka mendengar orang-orang yang ada di dalam rumah itu
berteriak-teriak dan terdengar barang-barang gerabah pecah
berjatuhan. "Kita berbuat sesuatu," geram adiknya tertahan.
Tetapi bebahu itu masih saja menggeleng. Katanya, "Asal
mereka tidak membakar rumah kita."
Adiknya menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat
melanggar pesan kakaknya. Betapapun jantungnya bergejolak,
namun ia masih tetap menunggu di kegelapan.
Namun akhirnya ketiga orang yang masuk ke dalam
rumah itu pun keluar. Dengan nada kesal, seorang di
antaranya berkata, "Kosong. Rumah ini kosong."
"Tetapi lampu-lampu menyala dan pintu-pintu diselarak
dari dalam," sahut yang lain.
"Mungkin mereka sempat m elarikan diri," berkata yang
lain lagi. "Lihat, apakah ada pintu yang tidak di selarak," perintah
salah seorang dari mereka.
Seorang di antara orang -orang itu telah masuk kembali.
Ternyata mereka menemukan pintu butulan dibelakang yang
memang tidak diselarak. "Ada," jawab orang y ang masuk kembali itu, "pintu
butulan yang menuju ke dapur.
"Cari, apakah orang-orang itu bersembunyi di dapur,"
terdengar seorang di antara mereka memerintah lagi.
Tiga orang telah berlari memasuki rumah itu dan
agaknya mereka langsung pergi ke dapur. Seorang di antara
ketiganya telah m embawa sebuah lampu minyak yang sudah
menyala dari ruang dalam.
Beberapa saat lamanya ketiga orang itu berada di dapur.
Tetapi mereka tidak menemukan seorang pun. Meskipun
mereka membongkar semua perabot yang ada di dapur, tetapi
mereka tidak menemukan seorang pun.
Terdengar orang -orang itu mengumpat. Namun
kemudian mereka pun telah kembali ke ruang dalam dan
keluar lewat pintu samping.
"Dapur juga telah kosong," berkata seorang di antara
mereka. "Jangan dungu," jawab orang y ang menunggu diluar,
"cari sampai ketemu."
"Semuanya dungu," jawab orang y ang menunggu diluar,
"cari sampai ketemu."
"Semuanya sudah kami lihat. Bahkan geledeg-geledeg
pun telah kami buka. Ronjot dan keranjang-keranjang yang
besar tempat meny impan padi dan semuanya y ang ada di
dapur," jawab seorang di antara ketiga orang yang masuk.
"Jika demikian mereka tentu belum jauh. Bahkan
mungkin mereka belum keluar dari lingkungan dinding
halaman," terdengar orang itu memerintah.
Ketiga orang lainnya termangu-mangu. Namun ketika
orang yang memberikan perintah itu membentak, maka
bertiga mereka telah pergi ke halaman belakang. Ketika
mereka melihat lumbung, maka m ereka telah mencarinya di
sekeliling dan bahkan di dalam lumbung.
Namun mereka tidak menemukan sesuatu.
Beberapa saat lamanya orang-orang itu mencoba melihat
pohon-pohon perdu di halaman samping. Tetapi m ereka juga
tidak menemukan seseorang.
Bebahu dan adiknya yang ada di halaman samping telah
bersiap sepenuhnya. Jika mereka dilihat oleh orang-orang itu,
maka mereka memang telah bersiap untuk bertempur.
Tetapi ternyata tidak seorang pun yang melihat mereka
bersembunyi di balik serumpun pohon ceplok-piring yang
agak lebat. Beberapa saat keempat orang itu masih berbincang.
Namun seorang di antara mereka memberikan perintah,
"Bawalah barang-barang yang agak berharga. Kesannya adalah
sebuah perampokan. Tidak lebih."
Sekali lagi ketiga orang itu masuk. Mereka memang
membawa barang-barang y ang sedikit berharga. Sementara
benda-benda y ang benar-benar berharga telah dibawa oleh
isteri bebahu itu mengungsi ke rumah mertuanya.
Dengan barang-barang itu, maka mereka telah
meninggalkan rumah bebahu itu.
Bebahu y ang bersembuny i itu menarik nafas dalamdalam.
Gumamnya, "Kita dapat mengucap sukur, bahwa
rumah itu tidak dibakar."
Adiknya mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah kakang
tahu, siapakah m ereka" Nampaknya kakang memang sudah
menaruh curiga bahwa hal ini akan terjadi. Terbukti sejak
kemarin kakang telah minta aku tinggal di sini. Bahkan
kemudian kakang telah membawa keluarga kakang
mengungsi." "Aku memang mencurigai seseorang," berkata bebahu
itu. "Lalu sekarang apa rencana kakang?" bertanya adiknya.
"Mengajak keluargaku pulang, sebelum fajar," jawab
bebahu itu. "Untuk apa?" bertanya adiknya.
"Besok kau akan tahu," jawab bebahu itu.
Adiknya memang tidak banyak bertanya. Mereka
berduapunkemudian dengan hati-hati telah meninggalkan
halaman rumah itu sebagaimana dilakukan orang y ang baru
sa ja memasuki rumahnya. Mereka juga menghindari para
peronda dan kemungkinan diketahui orang lain.
Namun, sebelumnya bebahu itu telah membuka selarak
pintu butulan halamannya. Isteri dan anak-anaknya akan
dibawanya masuk lewat pintu butulan.
Ayah dan ibu bebahu itu memang menjadi semakin
cemas. Tetapi ia tidak dapat mencegah ketika bebahu itu
membawa isteri dan anak-anaknya pulang di malam hari
menjelang dini. Dua adiknya telah ikut mengawalnya.
Kemungkinan buruk memang dapat terjadi atas mereka.
Sebelum fajar, m ereka m emang sudah berada di dalam
rumah. Bersama adik-adiknya bebahu itu membenahi
rumahnya. Ia tidak lagi mempersoalkan barang-barangnya
yang hilang. Tetapi y ang masih ada diaturnya dengan rapi.
Yang pecah disingkirkannya, sehingga tidak ada kesan apapun
yang telah terjadi di rumah itu.
Bebahu itu minta adiknya dan adiknya y ang bungsu
untuk tetap berada di rumah itu meskipun mereka diminta
untuk tetap berada di dalam biliknya.
Ketika matahari menjelang terbit, bebahu itu telah
membersihkan halaman depan rumahnya seperti biasanya.
Seakan-akan tidak pernah t erjadi sesuatu di rumah itu.
Sementara itu, di dapur, asappun telah m engepul. Isterinya
sudah mulai menjerang air dan menanak nasi, sedangkan
kedua anaknya tidurdengan ny enyaknya di dalam biliknya.
Sementara itu, kedua adiknyapun masih juga tidur pula di
bilik sebelah sambil menunggui kedua kemanakannya
meskipun disekat oleh dinding.
Bebahu itu terkejut ketika ia mendengar seseorang
menyapanya dari luar regol yang sudah dibukanya sedikit.
Ketika bebahu itu berpaling, maka dilihatnya bebahu
kawannya y ang berniat untuk mengambil barang-barang
berharga di rumah nenek tua itu menjenguk dari luar.
"O, kau," sapa bebahu itu, "marilah. Sepagi ini kau dari
mana?" "Berjalan -jalan," jawab kawannya itu, "aku terbiasa
berjalan-jalan di pagi hari. Sudah lebih dari setengah tahun
ini. Sejak aku merasa menjadi semakin tua, maka aku telah
memerlukan waktu untuk berjalan-jalan pagi-pagi sekali
sebelum matahari terbit."
"Beginilah kerjaku di pagi hari," jawab bebahu itu.
Namun ia pun kemudian bertanya, "apakah kau tidak pernah
lewat jalan ini?" "Aku berganti-ganti jalan," jawab kawannya, "hari ini
aku lewat jalan ini. Besok aku berjalan lewat jalan lain. Hari
berikutnya lain lagi. Bahkan kadang-kadang aku langsung
keluar padukuhan dan berjalan-jalan di sawah."
Bebahu itu m engangguk-angguk. Sementara, kawannya
itu-pun telah naik ke halaman dan memandang ke
sekelilingnya. Katanya, "Kau sempat memelihara halaman
rumahmu dengan baik."
"Ah, bukan aku, isteriku," jawab bebahu itu.
"Kebetulan," jawab kawannya itu, "aku haus sekali.
Apakah kau m au mempersilahkan aku masuk ke rumahmu
dan ikut minum minuman hangat menjelang matahari terbit."
"Tentu, marilah," bebahu itu mempersilahkan.
Keduanya pun kemudian naik ke pendapa. Tetapi
kawannya itu justru langsung menuju ke pintu pringgitan.
Katanya, "Apakah aku boleh masuk, agar tidak dilihat orang
lewat, pagi-pagi begini aku sudah menjadi tamu."
"Ah tidak apa-apa. Tamu tidak mengingat waktu.
Mungkin pagi, m ungkin siang dan bahkan mungkin tengah
malam," jawab bebahu itu.
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
menolak. Dipersilahkannya tamunya masuk ke ruang dalam.
Tamu itu memang tertegun sejenak. Dipandanginya
perabot rumah itu sudah rapi. Tidak ada bekas-bekas apapun
yang telah terjadi semalam di rumah itu.
Demikian tamu itu duduk, maka bebahu itu berkata
sedikit keras, "Ny i, kita mempunyai seorang tamu. Bawa
minuman itu kemari."
Tetapi tidak ada jawaban. Isteriny a memang tidak begitu
mendengarnya, karena isteriny a berada di dapur.
Tetapi keduanya adiknya y ang terbangun telah
mendengarnya, bahwa di rumah itu ada tamu, sehingga karena
itu, maka keduanya harus menempatkan dirinya.
Namun agaknya bebahu itu memang memberi
kesempatan kepada tamunya untuk melihat-lihat. Ia y akin
bagaimanapun juga tamunya tidak akan menjenguk ke dalam
bilik. Karena itu, maka bebahu itu berkata, "Tunggulah
sebentar. Biar aku melihat ke dapur. Apakah isteriku sudah
siap atau belum." Tamunya tidak menjawab. Namun ketika bebahu itu
bangkit dan meninggalkannya, maka ia pun telah melihat-lihat
seluruh ruangan itu. Tamu itu benar-benar menjadi bingung melihat keadaan
di dalam rumah itu. Semalam rumah itu kosong, sementara
barang-barangnya telah berserakan. Tetapi ternyata semua itu
bagaikan sebuah mimpi saja. Isi rumah itu masih nampak
teratur rapi. Sementara itu bebahu itu m asih tetap berada di
rumah itu bersama isteri dan anak-anaknya.
Namun sejenak kemudian tamu itu sudah duduk lagi di
tempatnya. Sedangkan bebahu pemilik rumah itu telah datang
dari dapur bersama isterinya yang membawa seperangkat
minuman dengan gula kelapa. Minuman y ang masih hangat.
"Pagi-pagi sekali sudah merebus air," desis tamunya.
"Kami terbiasa bangun pagi-pagi sekali," jawab isteri
bebahu itu. "Apakah semalam kalian bepergian?" bertanya tamunya.
"Bepergian" Siapakah yang m engatakannya?" bertanya
bebahu itu. "Tidak. Tidak ada yang mengatakan. Tetapi nampaknya
kalian bangun terlalu pagi," jawab tamunya.
"Kami ada di rumah semalam," jawab bebahu itu,
"malahan anak-anak yang kecil beberapa kali terbangun.
Mungkin agak kurang enak badan."
Tamunya memang menjadi seperti orang bingung.
Apalagi ketika ia m endengar anak bebahu pemilik rumah itu
memanggil ibunya. Nampaknya anak itu telah terbangun.
Namun ibunya telah menepuk-nepuk anak itu agar
tertidur kembali. Tamunya menjadi semakin bingung. Bahkan ia telah
bertanya kepada diri sendiri, "Apakah semalam kami sudah
masuk ke rumah hantu?"
Namun untuk beberapa saat tamunya duduk sambil
menghirup minuman hangat. Mungkin ia menemukan sesuatu
yang dapat dipergunakan untuk memecahkan pertanyaanpertanyaan
y ang menyangkut dihatinya. Namun ia tidak
menemukan sesuatu. Ia masih saja bingung dan hampir saja ia
merasa bahwa ia sudah menjadi gila.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun minuman hangat agak meny egarkannya.
Sejenakkemudian ia pun telah dapat m enguasai perasaannya
kembali, sehingga ia pun kemudian segera minta diri. Semakin
lama ia berada di rumah itu, maka kesadarannya terasa
menjadi semakin kabur. Demikianlah, maka dengan seribu macam pertanyaan
bergulat di dalam kepalanya, bebahu y ang datang itu telah
minta diri. Dengan langkah y ang panjang ia pun telah
meninggalkan regol halaman rumah itu.
Demikian orang itu pergi, maka kedua adikny a pun telah
keluar pula dari dalam b iliknya. Dengan heran adiknya yang
besar bertanya, "Apa sebenarnya y ang telah dilakukannya?"
"Aku sudah memperhitungkan bahwa semalam orang itu
akan datang. Ternyata ia benar-benar datang. Pagi-pagi sekali
ia memang ingin melihat apakah penglihatannya semalam
benar. Tetapi ia m enjadi bingung. Hampir saja ia kehilangan
pegangan." Kedua adiknya mengangguk-angguk. Namun adiknya
yang besar itu bertanya, "Kenapa ia berbuat seperti itu?"
"Besok kau akan tahu. Tetapi untuk sementara, biarlah
aku merahasiakannya. Jika semuanya sudah pasti, barulah aku
akan m engatakannya kepada orang-orang lain, bahkan seisi
padukuhan ini," jawab bebahu itu.
"Tetapi aku bukan orang lain," jawab adikny a.
Bebahu itu termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Jika aku mengatakan kepada kalian, maka kalian
harus berjanji untuk merahasiakannya."
Kedua adiknya menjawab hampir bersamaan, "Aku
berjanji." Bebahu itu memang menceriterakan apa yang telah
pernah terjadi, sehingga ia harus berusaha untuk melindungi
keluarganya dengan caranya.
Kedua adiknya mengangguk-angguk. Tetapi adiknya
yang bungsu itu berkata, "Kakang tidak usah pergi. Jika
mereka kembali, maka biarlah nyawa mereka yang mereka
pertaruhkan." "Kakang tidak meny erang mereka," sambung kakaknya,
"kakang berada di rumah sendiri."
Bebahu itu m engangguk-angguk. Tetapi katanya, "Aku
akan memikirkannya."
Sementara itu, matahari pun telah naik semakin tinggi.
Dari kejauhan terdengar suara kentongan dengan nada dara
muluk dua kali beruntun. "Ki Bekel telah memanggil para bebahu," berkata
bebahuitu. "Apakah kakang juga akan pergi?" bertanya adikny a.
"Ya. Aku akan pergi ke rumah Ki Bekel. Nampaknya Ki
Bekel ingin membicarakan penjualan barang-barang berharga
itu. Hari ini penjualan berdasarkan penawaran tertinggi itu
sudah diumumkan ke seluruh penghuni padukuhan," berkata
bebahu itu. Kedua adiknya m engangguk-angguk. Namun seorang di
antara mereka bertanya, "Bukankah baru besok penjualan itu
dilakukan?" "Ya," jawab kakaknya, "tetapi hari ini semua orang di
padukuhan ini harus m endengar, agar mereka yang berminat
mendapat kesempatan y ang sama."
"Lalu, bagaimana dengan kami?" bertanya salah seorang
adiknya. "Kalian berada di rumah ini. Tetapi usahakan
menyesuaikan diri. Jangan keluar dari ruang dalam," pesan
kakaknya. Sejenak kemudian, maka bebahu itu telah meninggalkan
rumahnya untuk pergi ke rumah Ki Bekel. Jarang sekali ia
membawa senjata jika ia hanya sekedar berada di dalam
padukuhan saja. Namun saat itu, ia telah m embawa sebilah
cundrik yang disimpan dibawah kainnya.
Di rumah Ki Bekel m emang telah berkumpul beberapa
orangbebahu. Ki Bekel telah membagi tugas untuk
menghubungi setiap orang di padukuhan itu. Mereka semua
harus mendapat pemberitahuan bahwa akan dilakukan
penjualan dengan penawaran tertinggi atas beberapa jenis
senjata yang baik, bukan saja ujud k ewadagannya, tetapi juga
sebagai pusaka. "Setelah kalian selesai dengan tugas kalian, m aka kita
semuanya akan berkumpul di sini lagi," berkata Ki Bekel.
Demikianlah, m aka sejenak kemudian para bebahu itu
pun telah meninggalkan rumah Ki Bekel. Mereka mendapat
tugas masing-masing sekelompok keluarga. Ki Bekel y akin,
bahwa sebagian besar dari penghuni padukuhan itu tentu
sudah tahu, bahwa akan dilakukan penjualan dengan
penawaran tertinggi besok, tetapi agar tidak ada seorang pun
di antara mereka y ang mempermasalahkan para bebahu serta
Ki Bekel, karena ketidak tahuannya, maka Ki Bekel sudah
memerintahkan, agar setiap rumah harus dimasuki dan diberi
tahukan langsung kepada penghuninya. Dengan demikian
tidak akan ada seorang pun y ang mempunyai alasan bahwa ia
tidak tahu akan adanya penjualan itu dan merasa dirugikan.
Bebahu yang telah m enyatakan diri untuk mengambil
pusaka-pusaka itu ternyata telah berusaha untuk bertukar
tempat dengan kawannya, sehingga ia mendapat bagian
sekelompok rumah termasuk rumah bebahu kawannya itu. Ia
tahu, bahwa sebenarnya rumah bebahu itu tidak perlu
didatanginya. Namun ia ternyata mempunyai kepentingan
lain. Ia ingin melihat, apakah di rumah itu benar tidak ada
seorang laki -laki yang lain kecuali bebahu itu dan seorang
anaknya y ang masih kecil.
Namun sementara itu, bebahu yang menolak untuk
melakukan pencurian itu telah mendapat tugas untuk
memberitahukan sekelompok rumah termasuk rumah nenek
tua yang memiliki beberapa jenis pusaka yang akan dijual itu.
Meskipun sebenarnya bebahu itu tidak perlu datang pula
ke rumah itu, namun ia berniat untuk singgah.
Demikian bebahu itu memasuki halaman, maka ia
melihat beberapa anak muda y ang berjaga-jaga. Tetapi
penjagaan itu sama sekali t idak cukup cermat. Anak-anak
muda itu berkumpul saja di halaman di pendapa sambil
bermain-main macanan. Ada y ang bergurau sambil berbaring
dan bahkan baru saja matahari naik ada sudah tertidur dengan
ny enyaknya. "Mereka ternyata lengah," berkata bebahu itu di dalam
hatinya. Beberapa orang anak muda memang bangkit berdiri
ketika mereka melihat seorang bebahu datang. Tetapi bebahu
itu minta mereka agar tetap duduk saja.
"Aku akan menengok nenek tua itu," berkata bebahu itu.
"Nenek itu baru saja keluar ke pendapa ini," sahut salah
seorang anak muda. "Untuk apa?" bertanya bebahu itu.
"Tidak apa -apa, hanya sekedar menengok saja," jawab
anak muda itu. Bebahu itu m engangguk-angguk. Namun ia masih juga
berpesan, "jaga tempat ini baik-baik. Kalian harus mulai
bersiap, karena besok akan dilakukan penjualan barangbarang
berharga di pendapa ini dengan harga penawaran
tertinggi." Anak muda itu mengangguk-angguk. Demikian pula
kawan-kawannya. Namun dalam pada itu, maka bebahu itu pun telah
memerlukan bertemu dengan para pengembara yang memang
masih ditahan untuk tetap berada di rumah itu sampai saatnya
dilakukan penjualan. Anak-anak muda y ang mengaku
pengembara itu memang tidak sampai hati meninggalkan
nenek itu sendiri meskipun di pendapa terdapat beberapa
orang anak-anak muda yangberjaga-jaga. Tetapi mereka sama
sekali tidak berarti bagi seorang yang memang sudah
mendapat gelar gegedug. Ketika bebahu itu menemui anak-anak muda y ang
mengaku pengembara itu, maka ia pun telah mengaku
berterus-terang. Katanya kemudian, "Malam harinya tinggal
satu lagi. Karena itu, aku m ohon kalian b erhati-hati. Mudahmudahan
tidak t erjadi sesuatu. Sementara itu anak-anak muda
itu tidak akan berdaya menghadapi kekuatan yang
sebenarnya." Mahisa Murti sambil mengangguk-angguk menjawab,
"terima kasih Ki Sanak. Memang mudah-mudahan tidak
terjadi sesuatu. Tetapi kita memang tidak boleh kehilangan
kewaspadaan." Bebahu itu memang menceriterakan apa y ang pernah
dialaminya di rumahnya. "Baiklah. Aku mohon diri," berkata bebahu itu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak
menahannya. Demikian pula nenek tua itu.
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
masih tertahan di rumah nenek itu sampai saat
yang ditunggu itu datang. Mereka memang m eragukan akan
kemampuan anak-anak muda padukuhan itu, seandainya
datang satu kekuatan yang dengan diperhitungkan, ingin
mengambil pusaka-pusaka y ang tertinggal itu.
Keterangan bebahu itu telah memperkuat dugaan
mereka bahwa kemungkinan buruk masih akan dapat terjadi.
Karena itulah, maka mereka bersedia untuk tetap tinggal dua
hari lagi di rumah nenek tua itu. Bahkan telah timbul pula satu
keinginan untuk melihat bagaimana Ki Bekel menjual pusakapusaka
itu kepada orang-orang yang memiliki uang cukup
dengan penawaran y ang tertinggi.
Tetapi keterangan itu telah membuat nenek tua itu
menjadi gelisah. Karena itu, maka ia pun bertanya kepada
Mahisa Murti, "Apakah aku perlu memberitahukan kepada
anak-anak muda yang berada di pendapa?"
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Itu tidak perlu nek.
Belum tentu akan terjadi sesuatu. Bebahu itu hanya
mengatakan satu kemungkinan. Sementara itu, anak-anak
muda itu tentu sudah selalu bersiap menghadapi
kemungkinan buruk seperti itu. Namun apabila hal itu
memang benar terjadi, maka kami akan ikut membantu anakanak
muda itu mengatasi keadaan."
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Ia memang percaya
sepenuhnya kepada anak-anak muda y ang mengaku
pengembara itu. Bahkan y ang terkecil di antara m ereka pun
telah mampu m engambil satu sikap yang menentukan di saat
yang paling gawat. Karena itu, maka nenek tua itu pun berdesis, "Untunglah
bahwa kalian masih bersedia untuk tinggal sampai penjualan
itu selesai. Jika kalian meninggalkan aku kemarin,
sebagaimana y ang kalian rencanakan, maka sekarang ini aku
tentu telah menjadi sangat gelisah. Sementara itu, aku
memang belum yakin benar terhadap anak-anak m uda yang
berada di pendapa. Mereka nampaknya sekedar berkumpul
untuk berkelakar di antara mereka tanpa berjaga-jaga jika
kemungkinan buruk itu datang."
"Sekarang, nenek tidak usah t erlalu m emikirkannya. Di
sini ada anak-anak muda itu. Ada kami dan dengan satu
isy arat, maka tetangga-tetangga nenek akan berdatangan.
Keadaan sudah berubah, nek. Tetangga-tetangga nenek telah
menjadi tetangga y ang baik," berkata Mahisa Pukat.
"Mereka memang baik sejak semula," jawab nenek itu,
"akulah yang mula-mula tidak mampu meny esuaikan diri
dengan mereka." "Sudahlah nek," sahut Mahisa Pukat pula, "nanti
persoalannya akan beralih lagi. Nenek akan masuk lagi ke
dalam satu keadaan yang suram. Nenek mulai m enyalahkan
diri sendiri lagi. Kemudian merenungi masa -masa lampau
dengan penuh peny esalan," Mahisa Pukat berhenti sejenak,
lalu "sebaiknya nenek m emandang ke hari depan nenek yang
tidak akan terlalu panjang lagi, namun hari-hari itu telah
menjadi cerah." Nenek tua itu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya.
Aku mengerti anak muda."
"Sekarang, silahkan nenek beristirahat. Besok pendapa
rumah nenek ini akan menjadi ramai. Orang-orang
berdatangan untuk menawar pusaka-pusaka nenek yang
nenek sumbangkan kepada padukuhan ini," berkata Mahisa
Pukat pula, "dengan demikian maka mau tidak mau kita akan
menjadi sibuk. Mungkin perlu merebus air dan menyiapkan
sedikit makanan buat mereka yang melayani penjualan itu."
" Itu tidak terpikirkan," desis nenek tua itu, "jika
demikian, aku harus bersiap-siap."
"Tentu saja hanya sekedarnya nek," berkata Mahisa
Pukat kemudian, "bahkan mungkin Ki Bekel sudah
memikirkannya." Nenek itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih
bergumam, "Aku akan membuat wedang jahe. Gula kelapanya
akan aku masukkan sekaligus kedalamnya."
"Bagus nek," sahut Mahisa Pukat, "tetapi sudah tentu
besok pagi saja. Sekarang nenek silahkan beristirahat."
"Tetapi aku baru menanak nasi. Nanti jika nasi masak
dan tidak segera diketahui atau sedikit terlupakan, tentu akan
menjadi hangus," berkata nenek tua itu.
Mahisa Pukat tidak berbicara lagi ketika nenek tua itu
kemudian pergi ke dapur. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti berkata,
"Bagaimana pendapat kalian tentang keterangan bebahu itu?"
"Bagaimanapun juga, kita wajib berhati-hati. Mungkin
kawannya itu memang mengurungkan niatnya. Tetapi
mungkin justru semakin bernafsu," berkata Mahisa Pukat.
"Tetapi kita memang belum perlu berbicara dengan
anak-anak muda itu," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Mur-tipun telah minta Mahisa Semu dan Wantilan untuk
berjaga-jaga terhadap semua kemungkinan.
"Kita sudah mendapat kepercayaan untuk berada di
mana saja di rumah ini. Kita pun telah mendapat pertanda
terima kasih dari nenek tua itu, yang nilainya cukup tinggi.
Karena itu, maka kita pun harus berbuat sebaik-baiknya di
sini," pesan Mahisa Murti pula.
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk.
Mereka -pun menyadari bahwa kemungkinan buruk seperti
yang dikatakan bebahu itu memang mungkin terjadi. Apalagi
semua orang telah mendengar bahwa di rumah itu ada barangbarang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berharga. Sementara itu, bebahu yang baru saja singgah di rumah
nenek tua itu pun telah berada di rumah Ki Bekel. Ia telah
melaporkan hasil tugasnya mendatangi beberapa buah rumah
yang memang menjadi bagiannya.
"Semua sudah aku datangi. Terutama tiga buah rumah
dari antara orang-orang terkaya di padukuhan ini. Mereka
bersedia untuk datang melihat pusaka-pusaka itu dan jika
mereka berminat, mereka akan ikut menawar," berkata
bebahu itu. "Terima kasih," berkata Ki Bekel, "semakin banyak orang
datang, maka penawarannya tentu akan menjadi semakin
tinggi. Apalagi mereka tahu, bahwa uang y ang akan mereka
bay arkan semuanya bagi kepentingan padukuhan ini pula."
Bebahu itu mengangguk-angguk. Namun sebelum ia
minta diri, maka kawannya yang telah menyatakan berniat
untuk mengambil pusaka-pusaka itu telah datang pula untuk
memberikan laporan yang sama. Semua rumah yang menjadi
bagian tugasnya telah didatanginya. Orang-orang terkaya telah
menyatakankesediaannya untuk datang memberikan
penawaran jika ternyata pusaka-pusaka itu sesuai bagi
mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian bebahu-bebahu
itu-pun telah minta diri. Bebahu y ang berniat mengambil
pusaka itu berjalan bersama kawannya y ang singgah di rumah
nenek tua itu sambi berkata, "Mudah-mudahan besok kita
mendapat uang banyak dari hasil penjualan benda-benda
berharga itu. Dengan demikian kita akan mendapat
kesempatan untuk berbuat banyak bagi padukuhan kita ini."
Bebahu itu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Mudahmudahan.
Beberapa orang kaya telah m enyatakan kesediaan
mereka untuk datang."
Bebahu y ang telah menyatakan untuk mengambil
pusaka-pusaka itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian telah tertawa pendek.Desisny a,"beruntunglah
padukuhan ini karenanya."
Bebahu itu mengerutkan keningnya. Ia merasakan
sesuatu yang aneh pada nada kata -kata kawannya itu. Tetapi ia
tidak mengatakan sesuatu.
Ketika bebahu itu sampai di rumah, ia baru tahu, bahwa
kawannya itu telah singgah di rumahnya. Isteriny a telah
menceriterakannya kepadanya.
"Apa yang dilakukannya?" bertanya bebahu itu.
"Melihat-lihat. Ia bertanya, apakah ada keluarga y ang
lain di rumah ini," berkata isterinya, "ia juga m enanyakan,
apakah malam itu kita pergi dan kembali lagi pagi-pagi benar."
Bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia pun
bertanya, "Apa jawabmu?"
"Aku meny esuaikan jawabanku dengan jawabanjawabanmu.
Untunglah bahwa ia tidak melihat kedua adikmu
itu," jawab isterinya.
"Aku y akin, malam nanti ia akan datang. Dua peristiwa
akan terjadi malam nanti. Di sini dan di rumah perempuan tua
itu," jawab bebahu itu.
"Lalu, bagaimana dengan kami" aku dan anak-anak
kita?" bertanya isteriny a.
"Dua adikku ada di sini. Ragil akan dapat mengatasi
banyak persoalan. Ia memiliki sesuatu yang dapat dijadikan
bekal untuk menghadapi per soalan ini?" berkata bebahu itu,
"aku akan bertemu dengan mereka."
Bebahu itu pun kemudian telah menemui kedua adiknya.
Dengan nada y ang mantap ia bertanya, "Bagaimana jika yang
datang jumlahnya lebih banyak dari kita bertiga?"
"Tidak apa-apa," jawab adiknya y ang bungsu, "mudahmudahan
kita dapat bertahan."
"Baik. Aku sudah mengajari isteriku untuk
membunyikan kent ongan. Selama kita berusaha untuk
bertahan, maka biar ia m embunyikan kentongan itu," berkata
bebahu itu sambil terseny um.
Sementara itu, maka kedua adiknya itu pun telah
mempersiapkan senjata mereka. Apapun yang akan terjadi,
keduanya telah bersiap untuk menghadapinya.
Ketika hari merambat melewati senja, maka seisi rumah
itu memang m enjadi berdebar-debar. Apalagi ketika bebahu
itu menyalakan lampu reg ol halamannya, ia melihat kawannya
itu lewat. Kawannya itu juga terkejut. Ia tidak m emperhitungkan
kemungkinan bebahu itu itu berada di reg ol setelah senja.
Dengan nada tinggi bebahu itu bertanya, "Darimana kau
menjelang malam begini?"
"Aku m engunjungi saudaraku di rumah sebelah," jawab
bebahu itu asal saja. "Rumah sebelah y ang mana" Bukankah kita mengenal
semua orang di sini?" jawab bebahu itu.
"Bukankah setiap orang saudara bagi kita?" jawab
bebahu y ang lewat itu. Bebahu y ang sedang menyalakan lampu itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar. Kita semua
bersaudara." Ketika kawannya y ang lewat itu m enjadi semakin jauh
dan hilang dalam kegelapan yang kemudian turun, maka
bebahu itu telah kembali masuk ke dalam rumahnya.
Memasang lampu lebih besar dari biasanya di luar dan
bersiap-siap m enghadapi segala kemungkinan. Sementara itu,
di sisi isterinya tidur, terletak pemukul kentongan. Setiap saat
kentongan di ruang dalam itu akan dapat dibuny ikan.
Dalam pada itu, bebahu itu bersama kedua adikny a telah
bersiap-siap m enghadapi segala kemungkinan. Mereka duduk
di ruang tengah, dibawah cahaya lampu y ang redup. Di
pangkuan mereka masing-masing terletak senjata mereka.
Bebahu itu telah meny iapkan senjata y ang paling
dipercayainya. Bukan saja terbuat dari baja pilihan, tetapi
senjata itu adalah peninggalan kakeknya. Sebilah luwuk yang
besar. Sedangkan adikny a y ang besar menyiapkan pedangnya.
Pedang y ang panjang lurus dan tajam di kedua sisinya.
Sedangkan adiknya yang bungsu mempunyai senjata yang
berbeda. Senjata y ang penggunaannnya sudah dipelajarinya
dalam sebuah perguruan dengan sebaik-baiknya. Seutas rantai
baja yang tidak terlalu panjang. Dengan rantai itu, ia mampu
menghadapi segala macam senjata.
Sementara itu, maka malam pun menjadi semakin
malam. Isteriny a yang menunggui anak-anaknya di dalam
biliknya pun tidak segera dapat tidur. Ra sa-rasanya
jantungnya telah dicengkam oleh kegelisahan sehingga setiap
kali, ia terkejut dan bangkit duduk di bibir pembaringnnya.
Disentuhnya pemukul kentongan y ang t erletak di pinggir
pembaringannya. Hatinya memang menjadi agak tenang ketika ia
mendengar sekali-sekali suara suaminya di ruang tengah.
Namun ketika malam menjadi semakin malam, bebahu itu
tidak lagi berbicara. Dibiarkannya adiknya yang bungsu untuk
tidur lebih dahulu. Mereka tidak boleh membuang tenaga
untuk menghadapi kemungkinan yang pahit.
Dengan nada rendah bebahu itu berkata kepada adiknya
yang seorang lagi, "Tidurlah. Nanti jika perlu aku akan
membangunkanmu. Jaga tenagamu agar tidak terhambur siasia."
Tetapi adiknya menggeleng. Desisnya, "Aku tidak
mengantuk." Kakaknya tidak m emaksanya. Namun ia pun kemudian
telah bersandar dinding peny ekat ruangan.
Dalam pada itu, di rumah nenek tua, beberapa orang
anak muda telah sibuk di pendapa. Sibuk bermain-main
dengan macanan dan bas-basan. Yang lain berkelakar dan
berolok-olok. Namun ketika tengah malam tiba, maka mereka
mulai berbaring di tikar y ang terbentang di pendapa. Tinggal
beberapa orang saja y ang masih berjaga-jaga.
Namun beberapa saat kemudian, mereka pun telah
terbaring diam tidak atas kehendak mereka sendiri. Biasanya
tiga orang di antara mereka berjaga-jaga bergantian sampai
menjelang pagi. Tetapi tiba -tiba saja malam itu semua anak
muda itu telah tertidur ny enyak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di dalam
rumah itu mengikuti tingkah laku anak-anak muda itu dengan
sak sama. Mereka m emang tidak dapat menyalahkan m ereka.
Tanggung jawab y ang dibebankan anak-anak muda itu
nampaknya kurang disertai penjela san sehingga mereka akan
melakukannya dengan bersungguh-sungguh.
Namun bagaimanapun juga, biasanya tidak semua orang
telah membiarkan dirinya tertidur ny enyak tanpa seorang pun
yang berjaga-jaga. Tetapi malam itu m emang agak berbeda. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat y ang berada di rumah nenek tua itu,
merasakan sesuatu y ang tidak wajar. Sementara itu Mahisa
Semu, Wantilan dan Mahisa Amping memang dibiarkannya
tidur sejak malam mulai m enjelang pertengahannya. Mereka
akan dibangunkan di dini hari menggantikan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, karena menjelang pagi, agaknya tidak akan
ada lagi orang y ang berniat buruk di rumah itu.
Namun ternyata bahwa malam itu merupakan malam
yang gawat bagi rumah nenek tua itu. Udara terasa menjadi
sejuk. Angin seakan-akan berhembus dari celah-celah dinding
meniupkan udara y ang segar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang terserang
perasaan kantuk y ang sangat. Tetapi pengalaman mereka yang
luas justru telah mengingatkannya, bahwa mereka pun pernah
beberapa kali mengalami serangan seperti itu.
"Sirep," desis Mahisa Murti.
"Jadi apa y ang dikatakan bebahu itu benar," sahut
Mahisa Pukat. Dengan kekuatan tenaga cadangan di dalam dirinya,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat t elah m embangunkan
Mahisa Semu dan Wantilan.
Namun dengan isy arat keduanya minta Mahisa Semu
dan Wantilan berdiam diri. Mahisa Murti lah yang berdesis,
"Sirep. Kita telah terkena kekuatan ilmu sirep."
Mahisa Semu dan Wantilan saling berpandangan
sejenak. Dengan suara y ang hampir tertelan ditenggor okannya
Mahisa Semu b ertanya, "Bagaimana dengan anak-anak muda
di pendapa?" "Nampaknya mereka telah tertidur ny enyak. Tidak ada
suara apapun lagi," jawab Mahisa Murti, "Tetapi biar saja
mereka tertidur. Jika yang datang orang-orang berilmu tinggi,
maka mereka lebih baik tidak ikut melakukan perlawanan."
"Bagaimana dengan kita?" bertanya Wantilan.
"Kita akan menunggu. Tetapi sebaiknya kita berbaring
sa ja sambil berdiam diri," jawab Mahisa Murti.
Keempat orang itu pun telah berbaring kembali. Namun
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus membantu Mahisa
Semu dan Wantilan agar tidak tertidur lagi oleh ilmu sirep
yang tajam yang meny elimuti rumah nenek tua itu.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menunggu. Sekali-sekali mereka telah meny entuh Mahisa
Semu dan Wantilan, agar mereka tetap sadar menghadapi
segala kemungkinan. Ternyata orang-orang yang akan mengambil bendabenda
berharga itu tidak melakukan kekerasan. Mereka ingin
mengambilnya tanpa diketahui oleh seorang pun di rumah itu,
yang disangkanya sudah tidur ny enyak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat mengetahui
dengan jelas apa yang dilakukan oleh orang-orang itu. Tiga
orang bertubuh tinggi tegap. Sementara Mahisa Semu dan
Wantilan pun telah diberi isy arat agar tidak berbuat sesuatu.
Tiga orang y ang menganggap bahwa semua orang sudah
tertidur itu telah berhasil mencungkil dinding kayu rumah
nenek tua itu. Kemudian seorang di antara mereka telah
masuk dan membuka selarak pintu butulan.
Dari pembaringannya Mahisa Murti, Mahisa Pukat,
Mahisa Semu dan Wantilan melihat tiga orang itu telah
mendapatkan peti y ang mereka cari di dalam geledeg di ruang
tengah. Dengan sangat berhati-hati mereka mengangkat peti
yang berat itu dan diletakkannya di lantai.
Tetapi ketiga orang itu tidak sempat membukanya. Peti
itu memang dililit oleh tali ijuk y ang kuat. Namun justru itu
ketiga orang itu dapat mengenalinya, sebagaimana keterangan
yang diperoleh mereka. "Apakah kita akan melihat isiny a,"desis salah seorang di
antara mereka. Namun sebelum y ang lain menjawab, maka Mahisa
Murti tiba -tiba saja telah menguap, bahkan kemudian
beringsut. Dengan demikian maka ketiga orang itu pun terkejut
karenanya. Seorang y ang agaknya berpengaruh atas kawankawannya
berkata, "Kita singkirkan saja peti itu dahulu."
Ketiga orang itu pun kemudian telah mengangkat peti
itu k eluar. Mereka telah m enutup pintu dari luar. Seorang di
antara m ereka sempat m eny elaraknya dan kemudian keluar
dari lubang papan kayu y ang berhasil dicungkilnya. Namun
papan itu pun telah dikembalikannya pula di tempatnya
meskipun tidak lagi melekat karena kayu pengapitnya telah
patah. Demikian ketiga orang itu pergi, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah bangkit. Dengan perlahan-lahan sekali
Mahisa Murti berdesis, "Hati-hatilah jika mereka kembali.
Karena itu jangan tertidur lagi."
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk.
Mereka berusaha untuk tidak tertidur lagi. Kemungkinan yang
lain memang akan dapat terjadi.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan
sangat berhati-hati telah bergeser ke pintu butulan. Pintu yang
dipergunakan oleh orang-orang y ang membawa peti yang
berat itu keluar. Ketika mereka sudah tidak mendengar suara apapun
lagi, maka mereka pun y akin bahwa ketiga orang itu telah
pergi m embawa hasil yang diper olehnya malam itu di rumah
nenek tua yang telah diserahkan kepada padukuhannya itu.
Dengan demikian maka keduanya telah kembali ke
pembaringan mereka, sebuah amben besar di sudut ruang
tengah itu. Mereka kemudian tinggal menunggu. Mungkin
mereka akan mendengar suara kentongan yang berasal dari
rumah bebahu y ang telah datang ke rumah nenek tua itu.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi suara kentongan itu sama sekali tidak t erdengar.
Beberapa lama mereka menunggu, bahkan sampai fajar mulai
menyingsing. Hari yang datang adalah hari y ang bakal sibuk di rumah
nenek tua itu. Sementara itu, bebahu y ang pernah berniat
mengambil benda-benda berharga di rumah nenek tua itu
mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Orang-orang yang
bersedia datang kepadanya dan bersama-sama pergi ke rumah
bebahu, kawannya yang pernah mendengar niatnya itu,
ternyata tidak datang. "Mereka memang gila. Setelah mereka berhasil
membawa pet i itu, m ereka telah berkhianat," geram bebahu
itu. Dengan demikian maka ia m erasa sangat cemas. Jika
rahasia itu terbuka, maka ia tentu akan ditangkap oleh Ki
Bekel. Meskipun ia sama sekali tidak ikut menikmati hasil
pencurian itu. Ketika sampai pagi hari ia tidak mendengar kegemparan
yang terjadi di padukuhan itu, maka bebahu itu mengira
bahwa orang-orang yang mengambil barang-barang berharga
itu telah berhasil. Bahkan nenek tua itu belum menyadari,
bahwa ia telah kehilangan.
Namun sampai matahari terbit, bebahu itu tidak
mendengar berita apapun. Tidak ada orang y ang menjadi
ribut, karena rumah nenek tua itu telah kecurian. Tidak pula
terdengar ada perkelahian atau hal-hal lain yang dapat
memberikan petunjuk bahwa telah terjadi. Sementara orangorang
y ang bersedia bekerja ama itu tidak lagi datang
kepadanya. Berbagai pikiran telah bergejolak di dalam hatinya,
sementara itu saat y ang dijanjikan untuk melakukan penjualan
barang-barang berharga itu dengan penawaran tertinggi
menjadi semakin dekat. Jika matahari sepenggalah, maka ia,
para bebahu dan Ki Bekel harus sudah berada di rumah nenek
tua itu. Sementara orang-orang y ang berminat pun akan
mendapat kesempatan untuk melihat-lihat pusaka-pusaka
yang akan dijual dengan penawaran tertinggi itu.
Demikianlah maka matahari telah bergerak semakin
tinggi. Pa da saatnya, maka di rumah nenek tua itu, beberapa
orang telah berdatangan. Ki Bekel dan para bebahu telah
berada di rumah itu pula. Sementara itu, Mahisa Murti,
Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan pun telah ikut
melayani beberapa orang y ang datang untuk melihat barangbarang
berharga y ang akan dijual itu.
Bebahu yang berusaha untuk m emiliki benda -benda itu
dengan meminjam tangan beberapa orang gegedug menjadi
heran. Pusaka -pusaka peninggalan suami nenek tua itu masih
utuh berada di rumah nenek tua itu.
Namun bebahu itu menganggap bahwa hal itu lebih baik
daripada jika benda-benda berharga itu hilang sedangkan
gegedug-gegedug yang telah diberitahu tentang rahasia rumah
nenek tua itu berkhianat.
Kerena itu, maka rencana penjualan pusaka-pusaka itu
nampaknya akan berlangsung sebagaimana direncanakan.
Sementara itu, bebahu yang telah mencurigai kawannya
itu-pun menjadi berdebar-debar. Ia merasa beruntung, bahwa
ia masih belum melaporkan kepada Ki Bekel bahwa ia telah
mencurigai kawannya. Ternyata tidak terjadi apapun juga.
Rumahnya pun semalam tidak didatangi oleh siapapun juga.
Yang terasa kemudian adalah kantuk y ang sangat karena
semalam suntuk ia tidak tertidur. Ia harus berjaga-jaga dalam
kecemasan, karena ia m emperhitungkan bahwa orang-orang
yang datang di malam sebelumnya akan datang lagi.
Tetapi, bagaimanapun juga ia masih merasa beruntung.
Isterinyapun rasa -rasanya telah terlepa s dari kecemasan yang
mencengkam. Bahkan kedua adiknya telah ikut datang pula ke
rumah nenek tua itu untuk melihat penjualan benda-benda
berharga menurut penawaran y ang tertinggi.
Orang-orang yang termasuk berkecukupan di
padukuhan itu, bahkan dari padukuhan tetangga yang
mendengarnya telah memerlukan datang. Mereka y ang datang
lebih dahulu, sempat melihat lebih dahulu, benda-benda
pusaka yang diletakkan di atas sebuah amben kecil yang diberi
alas kain y ang berwarna cerah agar dengan demikian menjadi
lebih menarik. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selain ikut melayani
mereka y ang ingin melihat-lihat bersama dengan Ki Bekel,
harus sangat berhati-hati, karena peri stiwa yang terjadi
semalam. Meskipun mereka berharap bahwa tidak akan terjadi
akibat buruk karenanya, namun mereka harus tetap berjagajaga
atas segala kemungkinan. Ketika orang-orang yang diundang secara khusus sudah
nampak hadir, maka Ki Bekel telah bersiap-siap untuk mulai
dengan penjualan atas dasar penawaran tertinggi itu.
Namun dalam pada itu, bebahu y ang semula berniat
untuk mengambil pusaka-pusaka itu terkejut. Ia melihat
gegedug yang pernah dihubungi untuk mengambil pusakapusaka
itu ternyata nampak pula di antara orang-orang yang
ingin menyaksikan penjualan itu.
Karena itu, ia pun menjadi berdebar-debar. Jika
gegedug-gegedug itu menjadi gila dan akan mengambilnya
dengan paksa hari itu juga, maka akan dapat timbul kekacauan
yang mungkin akan berakibat sangat buruk.
Apalagi ketika bebahu itu m elihat gegedug itu agaknya
telah datang dengan kelompoknya yang cukup besar.
"Pusaka-pusaka itu nilainya memang tinggi," berkata
bebahu itu di dalam hatinya, "agaknya mereka tidak akan
tanggung-tanggung. Taruhannya cukup besar untuk
mendapatkan barang-barang y ang memang bernilai tinggi."
Namun dengan demikian maka persoalannya tentu akan
terlepas dari dirinya. Bahkan mungkin gegedug itu akan
mengambil langkah lain untuk menghilangkan jejak. Satusatunya
orang yang mereka anggap mengenali mereka adalah
bebahu itu. Karena itu, maka bebahu itu justru menjadi sangat
cemas. Ia tidak lagi sempat memperhatikan Ki Bekel yang
sudah berdiri di hadapan orang-orang y ang duduk di atas tikar
yang terbentang di pendapa. Bahkan Ki Bekel sudah mulai
sedikit sesorah. Ki Bekel sudah mengucapkan sy arat-syarat
untuk mendapatkan pusaka-pusaka peninggalan suami nenek
tua y ang telah meninggal itu, y ang hasil penjualannya
seluruhnya akan diserahkan kepada padukuhan untuk
kepentingan padukuhan. Memang terdengar tepuk tangan gemuruh. Orang-orang
yang duduk di pendapa, yang berniat membeli barang-barang
berharga itu pun ikut bertepuk tangan.
Namun tiba -tiba gemuruh tepuk tangan itu terhenti.
Beberapa orang yang garang tiba-tiba saja telah berloncatan ke
atas lantai pendapa. Tidak hanya tiga orang. Tetapi yang
nampak adalah sepuluh orang gegedug, meskipun nampak
pada sikap m ereka bahwa mereka tidak m emiliki bekal ilmu
yang sama. Suasana memang menjadi sedikit kacau. Beberapa orang
menjadi ketakutan dan meninggalkan halaman itu.
"Jangan melakukan perlawanan," teriak orang y ang
nampaknya paling garang di antara mereka, "aku akan
mengambil milikku." Ki Bekel m asih tetap b erdiri di tempatnya. Ia m emang
menjadi berdebar -debar. Tetapi sebagai pemimpin maka ia
tetap merasa bertanggungjawab.
"Siapa kalian?" bertanya Ki Bekel.
Sementara itu Mahisa Murti telah memberikan isy arat
kepada Mahisa Semu untuk mengajak nenek tua itu menepi.
Mahisa Semu pun segera tanggap. Ia pun kemudian
membimbing perempuan tua itu untuk menepi dan berada di
tempat y ang lebih baik daripada berada di antara banyak
orang. Bahkan Mahisa Murti pun telah minta kepada Wantilan
untuk bersama-sama dengan Mahisa Semu dan Mahisa
Amping. "Lindungi nenek itu. Jangan sampai nenek itu
menjadi bahan taruhan oleh orang-orang yang nampaknya
menjadi gila. Mereka menjadi sangat marah karena semalam
mereka telah tertipu, karena isi peti y ang berat itu tidak seperti
yang mereka duga." Wantilan pun kemudian telah membimbing Mahisa
Amping bergeser mendekati Mahisa Semu y ang mendampingi
perempuan tua y ang menjadi ketakutan.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya nenek tua itu.
"Tenanglah nek. Mungkin hanya sedikit salah paham.
Nenek tidak akan mengalami kesulitan apapun juga," berkata
Mahisa Semu. "Apakah mereka juga mengaku berhak atas warisan y ang
ditinggalkan oleh suamiku?" bertanya nenek tua itu.
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat
mengatasinya." Nenek tua itu mengangguk-angguk. Ia sudah menjadi
sangat percaya kepada anak-anak m uda. Itu Karena itu, apa
yang dikatakannya itu memang memberikan ketenangan
kepadanya. Sementara itu, salah seorang dari sepuluh orang itu
melangkah maju m endekati Ki Bekel, sementara orang-orang
yang duduk di pendapa itu telah bangkit berdiri.
"Ki Bekel,"geram orang itu, "apakah Ki Bekel menyadari
apa y ang telah Ki Bekel lakukan?"
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Bekel.
"Pusaka-pusaka y ang akan dijual itu adalah milik kami,"
bentak orang itu. Tetapi Ki Bekel tidak cepat menjadi gentar. Di tempat itu
berkumpul banyak orang yang akan dapat membantunya jika
diperlukan. Ada beberapa bebahu dan bahkan anak-anak
muda. Karena itu, maka ia pun bertanya, "Apakah kau juga
merasa berhak memiliki warisan dari suami nenek tua itu
setelah ia meninggal begitu lama?"
"Aku tidak peduli dengan warisan itu. Tetapi barangbarang
itu aku perlukan. Ki Bekel harus meny erahkannya, atau
aku harus membantai orang-orang padukuhan ini semua di
sini?" geram orang itu.
Ki Bekel m enjadi tegang. Tetapi ia justru mulai menjadi
marah, "Kau kira aku siapa he" Aku tahu bahwa kau tentu
seorang perampok atau mungkin seorang yang berilmu tinggi.
Tetapi kau dengan kawan-kawanmu tidak akan dapat menang
melawan orang sepadukuhan ini. Aku juga bukan anak-anak
yang mudah kau takut-takuti atau menjadi keheranan melihat
senjata y ang bergetar. Sekarang katakan, apa yang sebenarnya
kau inginkan." "Ki Bekel," berkata orang itu, "jangan berpura-pura. Aku
adalah gegedug dari Bukit Palang. Aku menghendaki pusakapusaka
itu. Boleh atau tidak boleh. Jika kau menolak, m aka
aku bersepuluh akan membunuh semua orang yang mencoba
menghalangi aku. Aku akan m engampuni orang-orang yang
menghindar, tetapi mereka y ang dengan sombong mencoba
menentang kehendakku, akan aku bantai dengan caraku."
Ki Bekel memang terpengaruh oleh kata-kata orang itu.
Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, orang-orang yang datang
dengan sikap y ang garang itu terkejut mendengar seseorang
tertawa. "He, apakah kau memang gila anak muda?" bertanya
orang y ang mengaku gegedug dari Bukit Palang itu.
Mahisa Murti lah y ang m elangkah maju. Dengan nada
rendah ia bertanya, "Apakah gegedug Bukit Palang itu
mempunyai kelebihan dari orang-orang kebanyakan?"
"Setan kau. Kau siapa he?" bertanya orang itu.
"Sebagaimana kau lihat, aku adalah salah seorang dari
antara orang-orang padukuhan ini. Aku adalah pembantu Ki
Bekel meny elenggarakan penjualan barang-barang berharga
ini, y ang hasilnya akan dipergunakan bagi kesejahteraan seisi
padukuhan." "Persetan dengan igauanmu. Kata-kataku berlaku juga
untukmu. Jika kau m enyingkir, maka kau akan aku ampuni.
Tetapi jika kau melibatkan diri, maka kau akan ikut terbantai
di sini." geram orang itu.
Tetapi Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya,
"Agaknya kaulah y ang semalam datang mengambil peti di
rumah ini. Kau taburkan sirep y ang tidak berarti apa-apa. Kau
kira semua orang sudah tidur ny enyak. Kau kira kau berhasil
masuk ke rumah ini tanpa diketahui orang lain dan berhasil
membawa peti y ang berat itu. He, apakah isinya peti itu?"
"Anak iblis,"orang itu menjadi sangat marah, "jika kau
berkata satu patah kata lagi, aku koyak mulutmu."
"Aku tidak hanya akan berbicara saja. Bahkan aku
tantang kau berperang tanding jika kau memang mengaku
gegedug dari Bukit Palang. Aku adalah anak gegedug dari
Pagar Rampak. Tetapi aku sudah lama tinggal di padukuhan
ini dan hidup sebagaimana orang kebanyakan. Sekarang kita
buktikan. Manakah yang lebih besar. Bukit Palang atau Pagar
Rampak, meskipun aku hanya anaknya. Dengan mengukur
tingkat ilmu sirepmu aku dapat menjajagi seberapa tinggi
ilmumu. Ilmu kebanggaan Bukit Palang yang menurut ceritera
ay ahku, sama sekali tidak sebanding dengan tingkat ilmu dari
Pagar Rampak." Orang itu mengerutkan keningnya. Ia mencoba
mengingat-ingat, apakah ia pernah mendengar perguruan
yang disebut perguruan Pagar Rampak. Atau satu kelompok
kekuatan dari Pagar Rampak apalagi Gegedug Pagar Rampak.
Mahisa Murti m elihat kebimbangan di hati orang itu.
Lalu katanya dengan nada tinggi, "Apakah kau sedang
mempertimbangkan sesuatu?"
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku belum
pernah mendengar gegedug dari Pagar Rampak."
Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Kau mencoba
menyembuny ikan kecemasanmu. Ayahku pernah berceritera
tentang perbandingan ilmu y ang pernah diselenggarakan
antara para gegedug dari Bukit Palang dan para gegedug dari
Pagar Rampak. Ternyata bahwa kemampuan orang-orang
Bukit Palang tidak berarti apa-apa."
"Persetan kau. Kau kira kau dapat menakut-nakuti aku?"
bentak orang itu. "Tidak. Aku yakin bahwa kau tidak akan takut. Aku yakin
bahwa kau tentu akan bersedia membuktikan, siapakah yang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih baik di antara kita. Pusaka-pusaka ini m enjadi taruhan.
Jika kau m enang, maka kau akan dapat mengambil pusakapusaka
itu. Tetapi jika kau aku m enang, maka kalian akan
menjadi tawanan kami," jawab Mahisa Murti.
Orang itu menggeram. Ia benar-benar merasa
tersinggung oleh tantangan Mahisa Murti. Karena itu, maka ia
telah melupakan perhitungan y ang paling baik yang harus
dilakukannya. Dengan nada tinggi ia menjawab, "Aku terima
tantanganmu anak gila dari Pagar Rampak. Tetapi jika kau
kalah, aku tidak saja akan mengambil pusaka-pusaka itu.
Tetapi aku akan membunuhmu dan membunuh Bekel yang
sombong itu." "Silahkan," jawab Mahisa Murti, "aku kira setiap
perbandingan ilmu memang akan membawa akibat seperti
itu." "Cepat. Turunlah ke halaman," geram gegedug dari Bukit
Palang itu. "Aku akan menghancurkan kepalamu."
Mahisa Murti tersenyum. Ia pun kemudian berbisik
kepada Mahisa Pukat, "Kau awasi pusaka-pusaka itu."
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sementara itu, gegedug
dari Bukit Palang itu telah meloncat ke halaman.
Orang-orang yang masih ada di halaman itu pun segera
menyibak. Orang-orang y ang ada di pendapa, yang sudah siap
memberikan penawaran itu pun telah turun pula untuk
menyaksikan perang tanding antara dua orang yang mengaku
gegedug dari Bukit Palang itu dengan Mahisa Murti.
Ki Bekel pun telah ikut turun ke halaman pula. Bahkan
ia telah memberitahukan agar para bebahu bersiap-siap.
Masih ada sembilan orang y ang dapat bertindak curang setiap
saat. Mereka dapat dengan tiba-tiba menyerang siapa saja
yang ada di sekitarnya. Karena itu, maka Ki Bekel telah minta
kepada para bebahu untuk berhati-hati menghadapi segala
kemungkinan y ang dapat terjadi kemudian.
"Apapun y ang terjadi, kitalah y ang bertanggung jawab
atas padukuhan ini," berkata Ki Bekel kepada para bebahu.
Lalu katanya pula, "Karena itu, kita tidak dapat sekedar
menonton di saat-saat y ang paling gawat."
Para bebahu mengangguk-angguk. Mereka menyadari
keadaan itu. Bahkan beberapa orang bebahu telah berbisik
kepada orang-orang padukuhan itu. Juga mereka yang semula
berada di pendapa. Anak-anak muda dan siapapun y ang dapat
ditemui oleh para bebahu itu.
Sementara itu, Mahisa Murti dan gegedug dari Bukit
Palang itu telah berada di halaman. Sembilan orang kawannya,
yang semula telah naik ke pendapa telah ada di halaman itu
pula. Mahisa Murti menyadari, bahwa sesuatu y ang tidak
diinginkan dapat saja terjadi. Ia sama sekali belum menjajagi
kemampuan orang yang mengaku gegedug Bukit Palang itu.
Mungkin orang itu memang memiliki ilmu y ang sangat tinggi.
Namun bagaimanapun juga, ia harus m emilih cara y ang
dianggapnya terbaik. Jika benar-benar terjadi pertempuran
langsung melawan sepuluh orang itu, maka orang-orang
padukuhan itu tentu akan banyak y ang menjadi korban
meksipun seandainya mereka akan dapat mengalahkan
mereka. Tetapi dengan perang tanding Mahisa Murti berharap,
bahwa persoalannya akan dapat dibatasi. Seandainya m asih
harus terjadi pertempuran melawan mereka semuanya, jika
Mahisa Murti mampu mengalahkan pimpinannya, maka yang
lain pun tentu akan merasa kecil di hadapan orang-orang
padukuhan itu. Atau bahkan mereka tidak akan berani berbuat
apa-apa sama sekali. Namun sebaliknya, jika Mahisa Murti
dapat dikalahkan, m aka orang itu memang tidak akan dapat
dihalang-halangi. Untuk beberapa saat keduanya saling berhadapan.
Orang y ang m eny ebut diriny a gegedug dari Bukit Palang itu
pun kemudian berkata, "bersiaplah untuk mati anak muda.
Biar ay ahmu dari Pagar Rampak itu mendengar, bahwa kau
telah dibunuh oleh gegedug dari Bukit Palang. Jika ay ahmu
ingin menuntut kematianmu, biarlah ia datang ke Bukit
Palang untuk mengantarkan nyawanya pula."
"Aku sudah bersiap. Marilah, kita akan melihat ilmu dari
manakah y ang terbaik di antara kita," jawab Mahisa Murti.
Gegedug dari Bukit Palang itu pun kemudian bergeser
selangkah maju. Mahisa Murti telah bersiap pula menghadapi segala
kemungkinan. Menurut pengamatannya maka orang yang
mengaku gegedug dari Bukit Palang itu memang seorang yang
berilmu tinggi. Karena itu, maka ia harus berhati-hati
menghadapi kemungkinan yang akan dapat menjadi sangat
gawat. Sementara itu, masih ada sembilan orang lagi y ang ada
di halaman itu. "Jika aku berhasil, maka sembilan orang itu akan
terpengaruh. Sebalikny a orang -orang padukuhan ini akan
berbesarhati dan keberanian mereka pun akan timbul,"
berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka gegedug itu mulai meny erang.
Nampaknya orang itu pun menjadi sangat berhati-hati.
Key akinan yang nampak pada sorot mata Mahisa Murti telah
memperingatkannya agar ia tidak merendahkannya.
Ketika gegedug itu meloncat sambil menjulurkan
tangannya, maka Mahisa Murti pun bergeser surut.
Sembilan orang yang datang bersama gegedug itu pun
menjadi tegang. Bahkan mereka merasa tidak sabar. Kenapa
gegedug yang sangat m ereka kagumi itu tidak saja menerkam
anak muda itu dan langsung mematahkan lehernya.
Namun dalam pada itu, Ki Bekel dan para bebahu pun
telah bersiapa pula. Tidak hanya sembilan orang, tetapi
bersama-sama dengan anak-anak muda padukuhan itu,
mereka siap menarik senjata mereka masing-masing. Jika
sembilan orang itu mulai bergerak, maka mereka pun akan
dengan senjata-senjata mereka meny erang seperti amuk banjir
bandang. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan gegedug Bukit Palang
itu telah mulai saling menjajagi. Mereka saling meny erang dan
menghindar. Selapis demi selapis mereka telah meningkatkan
ilmu mereka. Sementara itu, Mahisa Pukat yang mengawasi pusakapusaka
itu merasa juga berkewajiban memperhatikan
pertempuran yang terjadi di halaman. Termasuk orang-orang
yang datang bersama gegedug dari Bukit Palang itu. Jika
mereka berbuat curang, maka Mahisa Pukat tidak akan dapat
membiarkannya, sementara pusaka-pusaka itu dapat
diserahkan pengawasannya kepada orang lain.
Sementara itu, ketika pertempuran itu terjadi beberapa
lama, maka sembilan orang yang menganggap bahwa gegedug
itu adalah orang yang paling mumpuni dalam olah kanuragan,
telah terlalu lama membiarkan lawannya melakukan
perlawanan. Beberapa orang justru telah menjadi gelisah.
Namun akhirnya mereka terpaksa mengikuti
pertempuran itu dengan saksama. Ternyata bukan
pemimpinnya y ang telah mendesak anak itu. Tetapi setiap
pemimpinnya itu meningkatkan ilmunya, maka lawannya pun
masih saja mampu mengimbanginya.
"Kenapa Ki Lurah tidak segera membunuh anak
sombong itu?" geram salah seorang dari mereka, "semakin
lama anak itu akan m erasa diriny a semakin baik dan m erasa
semakin memiliki kemampuan bahkan merasa seimbang
dengan Ki Lurah." Yang lain pun menjadi tidak t elaten. Katanya, "Kenapa
tidak diserahkan saja kepadaku" Aku tentu telah
membunuhnya." Beberapa di antara mereka saling berpandangan sejenak.
Sementara itu pertempuran di antara mereka yang berada di
arena itu pun menjadi semakin cepat.
Namun akhirnya Mahisa Murti harus mengakui, bahwa
lawannya memang berilmu tinggi. Ketika mereka telah
bertempur beberapa lama, maka agaknya lawannya menjadi
marah, karena masih belum dapat mengalahkan Mahisa
Murti. Dengan demikian maka orang itu pun telah
meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Tetapi dengan demikian, maka Mahisa Murti telah
mampu menjajagi ilmu lawannya itu. Bahkan kemudian
Mahisa Murti memang lelah bertekad untuk menjajagi lebih
jauh kekuatan lawanya itu.
Itulah sebabny a, ketika lawannya bersiap menyerangnya,
Mahisa Murti telah menghimpun tenaganya. Ia tidak akan
menghindari serangan lawannya itu. Tetapi ia ingin
membentur serangan itu untuk mengukur, perbandingan
kekuatan di antara mereka. Meskipun Mahisa Murti
menyadari bahwa orang itu agaknya belum sampai ke puncak,
tetapi ia sudah berada di tataran tertinggi dari ilmunya.
Sebenarnyalah, ketika orang itu meloncat sambil
menyerang dengan tangannya yang terjulur lurus ke arah
dada, maka Mahisa Murti sama sekali tidak menghindar.
Tetapi ia justru tetap berdiri di tempatnya. Kedua tangannya
bersilang di muka dada untuk melindungi dadanya itu,
sedangkan satu kakinya agak ditariknya ke belakang,
sementara lututnya merendah sedikit.
Sejenak kemudian telah terjadi satu benturan y ang
menggetarkan jantung. Sembilan orang kawan gegedug dari
Bukit Palang itu menarik nafas lega. Mereka
memperhitungkan bahwa dalam benturan itu, anak muda
yang mengaku anak gegedug dari Pagar Rampak itu akan
hancur lumat menjadi debu. Mereka kenal sekali akan
kekuatan gegedug dari Bukit Palang itu. Jangankan seseorang.
Gunung pun akan runtuh dan lautan akan menjadi kering jika
dikenai oleh kekuatan ilmunya y ang tidak ada bandingnya.
Sebenarnyalah, Mahisa Murti memang terguncang. Ia
terdorong surut beberapa langkah. Tetapi Mahisa Murti masih
tetap tegak berdiri di atas kedua kakinya tanpa merubah
sikapnya. Kedua tangannya masih bersilang di depan dadanya.
Satu kakinya agak ditarik ke belakang, sementara lututnya
agak m erendah. Dalam sikap itu ia terdorong oleh kekuatan
gegedug dari Bukti Palang.
Tetapi ternyata bahwa gegedug Bukit Palang itu terkejut
bukan buatan. Tangannya seakan-akan telah membentur bukit
karang yang berdiri tegak dengan kokohnya.
Karena itu, maka gegedug dari Bukit Palang itulah y ang
telah terpental dan terlempar beberapa langkah surut. Ia tidak
berhasil tetap tegak sebagaimana Mahisa Murti. Tetapi
keseimbangannya telah benar-benar terguncang, sehingga
meskipun ia berusaha untuk tetap tegak, namun akhirnya ia
pun telah terjatuh juga. Meskipun gegedug itu dengan cepat telah bangkit,
namun ternyata bahwa keseimbangannya masih goy ah.
Apalagi tangannya y ang m embentur kekuatan Mahisa Murti
itu itu terasa sakitnya sampai ke tulang.
Sembilan orang kawannya tidak kalah terkejutnya.
Mereka tiba -tiba saja membentur pada satu keny ataan tentang
pertempuran itu. Mereka sudah m embayangkan bahwa anak
muda itu akan hancur lumat digilas oleh kekuatan gegedug
dari Bukit Palang itu. Namun y ang terjadi justru sangat
berlainan. Karena itu maka benturan angan-angan itu dengan
keny ataan y ang mereka lihat, ternyata telah menggetarkan isi
dadanya. Kesembilan orang itu harus menyaksikan betapa orang
yang mereka bangga-banggakan itu harus terlempar jatuh
berguling di tanah. Meskipun orang itu dengan cepat berusaha
bangkit, namun nampak betapa orang itu harus menahan
kesakitan yang sangat. Mahisa Murti kemudian telah m elangkah mendekat. Ia
tidak tergesa-gesa meny erang.Namun ia sempat bertanya,
"Nah, apakah kau mengaku kalah" Apakah kau mengakui,
bahwa ilmu dari Pagar Rampak jauh lebih baik dari ilmu yang
kau banggakan" Kau sekarang telah mengalami sendiri, bahwa
Bukit Palang bukan apa-apa bagi Pagar Rampak."
Gegedug itu sama sekali tidak m enjawab. Ia pun segera
meloncat meny erang Mahisa Murti meskipun tangannya
masih terasa sakit sampai ke bagian dalam dadanya. Tetapi
kemarahan y ang m embakar jantungnya ternyata tidak dapat
ditahankannya lagi. Namun serangannya yang tergesa -gesa itu sama sekali
tidak mampu menggetarkan pertahanan Mahisa Murti.
Bahkan gegedug itu seakan-akan telah terseret oleh ay unan
kekuatannya sendiri. Sedangkan Mahisa Murti dengan
bergeser selangkah, telah lepas dari garis serangan gegedug
itu. Kegagalan itu telah membuat gegedug dari Bukit Palang
itu semakin marah. Tanpa menghiraukan lagi perasaan
sakitny a, maka ia pun telah berloncatan menyerang.
Mahisa Murti m asih bergeser surut. Namun kemudian,
Mahisa Murti itu m erasa betapa lawannya menjadi semakin
cepat bergerak. Akhirnya Mahisa Murti sampai pada satu kesimpulan
bahwa yang dilakukan oleh lawannya itu tentu bukan kekuatan
dan kemampuan wadag sawantahnya. Tetapi lawannya itu
tentu sudah mulai merambah ke ilmunya.
Mahisa Murti pun kemudian telah meningkatkan
kekuatan cadangan di dalam dirinya, sehingga ia pun m asih
mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya itu.
Dengan demikian m aka pertempuran itu pun semakin
lama menjadi semakin sengit. Keduanya mampu bergerak
dengan kecepatan y ang sangat tinggi. Keduanya berloncatan
seperti bay angan yang saling menyambar.
Sembilan orang kawan gegedug dari Bukit Palang itu
menjadi heran bahwa anak muda itu mampu mengimbangi
kecepatan gerak gegedug dari Bukit Palang. Satu hal yang
menurut pendapat mereka tidak mungkin dapat terjadi.
Namun mereka benar-benar telah menyaksikan, anak
muda yang mengaku anak gegedug dari Pagar Rampak itu
mampu mengimbangi kemampuan orang y ang mereka anggap
memiliki kemampuan tanpa tanding itu.
Sebenarnyalah, bahwa gegedug dari Bukit Palang itu
tidak segera mampu mengalahkan Mahisa Murti. Namun
semakin tinggi ia memanjat puncak ilmunya, maka ia pun
mampu bergerak semakin cepat. Bahkan kemudian, orang itu
seakan-akan telah berubah menjadi bay angan y ang tidak


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teraba. Mahisa Murti m emang menjadi agak bingung. Ternyata
kecepatan gerak orang itu melampaui kemampuannya. Sekalisekali
mulai terasa orang itu sempat mengenai tubuhnya.
Meskipun kadang-kadang Mahisa Murti m ampu membentur
kekuatan itu dan melemparkannya beberapa langkah surut,
sehingga kehilangan keseimbangannya, namun Mahisa Murti
memang ketinggalan selapis jika ia harus berlomba dalam
kecepatan gerak. Dalam pertempuran yang berlangsung kemudian, maka
sebenarnyalah orang itu telah berhasil meny erang dan
menyentuh tubuh anak muda itu beberapa kali. Bahkan
kemudian, sentuhan-sentuhan itu semakin lama menjadi
semakin terasa sakit. Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun harus mulai
merambah ilmunya jika ia tidak ingin dihancurkan oleh
gegedug dari Bukit Palang itu. Namun Mahisa Murti tidak
ingin dengan serta merta melepaskan ilmunya yang dapat
dilontarkan dari jarak jauh. Mahisa Murti tidak mau gagal
karena orang itu memiliki kecepatan yang tinggi dan mampu
menghindariya. Apalagi jika serangannya itu justru akan
mengenai orang lain yang ada di sekitarnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti telah mengetrapkan
ilmunya y ang lebih tersembuny i. Ilmu y ang mampu
menghisap kekuatan lawannya dan bahkan kemampuan
ilmunya. Namun dengan demikian Mahisa Murti memerlukan
kesempatan untuk dapat meny entuh orang itu, sehingga
dengan demikian satu getaran y ang kuat akan menghisap
kekuatan di tubuh lawannya.
Sejenak kemudian pertempuran pun m enjadi semakin
sengit. Orang yang m engaku gegedug dari Bukit Rampak itu
pun bergerak semakin cepat, sehingga Mahisa Murti m enjadi
semakin sulit untuk mengatasi serangan-serangannya. Sekali
dua kali Mahisa Murti memang behasil menangkis. Ia
mempunyai kelebihan kekuatan di banding dengan lawannya.
Tetapi ia tidak mampu mengimbangi kecepatan geraknya,
sehingga beberapa kali ia tidak berhasil m enangkis serangan
gegedug dari Bukit Palang itu, sehingga serangan-serangannya
yang mengenai tubuh Mahisa Murti pun menjadi semakin
sering. Hanya kadang-kadang saja Mahisa Murti mampu
menangkis dan dengan demikian mendor ong lawannya surut.
Ketika Mahisa Murti kehilangan jejak gerak lawannya,
maka naluriahnya seakan-akan telah memberitahukan, bahwa
lawannya telah meny erangnya ke arah lambung. Mahisa Murti
segera bersiap. Ia berusaha melindungi lambungnya dengan
sikunya. Namun ternyata bahwa lawannya sempat melihat
gerakan itu. Karena itu maka gegedug dari Bukit Palang itu
segera menggeliat. G eraknya memang sangat cepat, sehingga
sambil menggeliat, maka kakinya telah meny erang
menyamping menghantam punggung Mahisa Murti.
Mahisa Murti m emang tidak menyangka bahwa tubuh
orang itu demikian liatnya, sehingga sambil menggeliat
menghindar, ia masih juga sempat meny erang. Demikian
kerasnya serangan itu, justru dari arah yang tidak diduga,
maka Mahisa Murti telah terdorong beberapa langkah m aju.
Hampir saja ia jatuh terjerem bab. Namun Mahisa Murti telah
memilih cara lain untuk jatuh. Ia justru menjatuhkan
tubuhnya dan terguling beberapa kali. Ketika lawannya
memburunya dan m eny erangnya selagi Mahisa Murti m asih
terbaring, Mahisa Murti sempat berputar bertumpu pada
punggungnya. Kedua kakinya tiba -tiba telah meny epak kaki
lawannya. Demikian cepatnya sehingga lawannya itu pun telah
terjatuh. Mahisa Murti sempat menggapai tubuh orang itu dengan
memeganginya pada kakinya. Tetapi orang itu sempat
menghentakkannya. Kaki y ang terpegang oleh Mahisa Murti
itu ditariknya sementara kaki yang lain telah menyerang.
Mahisa Murti tidak dapat meny elamatkan keningnya,
sehingga kepalanya terangkat dan pegangannya terlepas.
Mahisa Murti harus berguling beberapa kali. Dengan
sigapnya ia pun telah m elenting berdiri, sementara lawannya
pun telah tegak berdiri. Keduanya telah berhadapan kembali. Keduanya siap
dengan segenap kemampuan masing-masing.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu
seakan-akan telah dicengkam oleh ketegangan. Sembilan
orang kawan gegedug dari Bukit Palang itu bagaikan
membeku. Mereka tidak mengira bahwa anak muda itu
mampu mengimbangi kemampuan gegedug dari Bukit Palang
itu. Bahkan ketika gegedug itu telah sampai ke puncak ilmunya
yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Namun melihat keseimbangannya y ang terakhir, maka
sembilan orang kawan gegedug itu memastikan bahwa
gegedug itu akan menang. Apalagi setelah sekali dua kali
Mahisa Murti jatuh dan berguling di tanah. Sekali-sekali
berloncat mundur dan beberapa kali gagal menangkis
serangan gegedug dari Bukit Palang itu.
Tetapi ketika keduanya berhadapan lagi, maka
keadaannya nampaknya sudah berbeda. Mahisa Murti masih
tetap segar, m eskipun beberapa kali ia m engalami kesakitan.
Sementara gegedug dari Bukit Palang itu nampak mulai
menjadi letih. Mahisa Pukat yang menunggui pusaka-pusaka itu pun
menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Mahisa Murti telah
hampir berhasil. Karena itu, maka ia tidak lagi mengawasi
pertempuran itu. Yang kemudian mendapat perhatiannya
sepenuhnya adalah sembilan orang kawan gegedug itu.
Mereka akan dapat bergerak dengan tiba-tiba. Namun
nampaknya Ki Bekel dan para bebahu cukup berhati-hati,
sehingga mereka pun telah siap untuk bertindak jika sembilan
orang itu dengan serta merta mulai meny erang.
Tetapi sembilan orang itu masih berpengharapan kuat,
bahwa gegedug dari Bukit Palang itu akan menang. Mereka
masih saja membeku menyaksikan pertempuran y ang segera
berlangsung kembali. Gegedug itu masih mampu bergerak dengan cepat sekali.
Tetapi kekuatannya telah mulai su sut. Sebelum kekuatannya
su sut, ia tidak m ampu mengimbangi kekuatan Mahisa Murti.
Apalagi ketika kekuatan itu perlahan -lahan mulai berkurang.
Namun gegedug itu tidak segera m enyadari. Ia masih
menduga bahwa karena ia telah mengerahkan segenap tenaga
dan kemampuannya, maka ia menjadi lebih cepat merasa
letih. 0oo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 83).
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 83 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 083 NAMUN dalam pertempuran selanjutnya, gegedug itu
ternyata tidak lagi mampu bergerak secepat sebelumnya.
Mahisa Murti tidak lagi selalu terlambat. Hampir seranganserangannya
telah dapat ditangkis oleh Mahisa Murti.
Sembilan orang kawan gegedug itu masih melihat
beberapa kelebihan dari gegedug itu. Serangan-serangannya
masih selalu mengenai lawannya. Sekali-sekali memang dapat
ditangkis oleh anak muda itu, sehingga keduanya tergetar
surut. Namun sebagian terbesar dari serangan-serangan
gegedug itu telah menggapai sa sarannya.
Namun pertempuran itu semakin lama tidak menjadi
semakin cepat. Tetapi sebalikny a. Seakan-akan kedua orang
yang sedang bertempur itu telah sampai ke puncak
kemampuan mereka, sehingga perlahan-lahan mulai menurun
kembali. Sebenarnyalah gegedug dari Bukit Palang itu menjadi
gelisah. Ia tidak lagi mampu bergerak secepat sebelumnya.
Tenaganya terasa menjadi semakin jauh susut. Bahkan
kemudian sendi-sendi tulangnya mulai terasa semakin sendat.
"Gila. Apa y ang terjadi?" orang itu justru bertanya
kepada diri sendiri. Namun dalam pada itu, ternyata lawannya masih
mampu bertahan. Meskipun kekuatan anak muda itu juga
su sut, tetapi masih nampak tegar di dalam pertempuran itu.
Bahkan kemudian anak muda itulah y ang lebih sering
mengenai tubuh lawannya. Sembilan orang kawan gegedug itu mulai gelisah.
Beberapa orang telah mulai ber siap-siap. Nampaknya mereka
tidak dapat membiarkan kesulitan terjadi pada pemimpinnya.
"Tidak masuk akal," berkata salah seorang di telinga
kawannya, "keadaannya sudah begitu mey akinkan. Tidak
mungkin Ki Lurah tiba-tiba kehilangan kekuatannya. Ia dapat
bertempur sehari semalam tanpa berhenti, tanpa harus
menjadi lemah seperti itu."
"Ada yang tidak wajar," sahut kawannya.
Mereka memang tidak dapat membiarkan kesulitan pada
pemimpinnya itu berkepanjangan. Namun mereka pun harus
berpikir ulang untuk melakukan satu langkah tertentu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah minta Wantilan
untuk menggantikan tempatnya. Sementara itu, maka ia telah
turun ke halaman. Adalah diluar dugaan sembilan orang yang dengan
tegang mengamati perkembangan pertempuran antara
gegedug Bukit Palang melawan anak muda y ang mengaku
anak gegedug dari Pagar Rampak itu, bahwa seorang anak
muda y ang lain telah datang dan berdiri di belakangnya.
Sambil memegang bahu seorang di antara mereka anak muda
itu berbisik, "satu pertempuran yang sangat menegangkan."
Orang itu belum sempat menjawab, ketika Mahisa Pukat
telah beralih kepada orang yang lain. Sambil mengguncang
lengannya ia bertanya, "he, apakah kau juga memiliki ilmu
seperti itu?" Orang itu pun tidak sempat menjawab, karena Mahisa
Pukat telah berpindah kepada orang lain lagi.
Ternyata Mahisa Pukat sempat menyentuh enam orang
di antara sembilan orang itu. Bahkan tiga orang di antaranya
justru agak lama. Sambil menyaksikan pertempuran yang
keseimbangannya pula berubah itu, Mahisa Pukat sempat
berdiri di sebelah orang yang keenam.
Karena beberapa orang memang berdesakan
menyaksikan pertempuran itu, maka orang itu tidak begitu
menghiraukan ketika Mahisa Pukat berdiri dekat di
sebelahnya. Namun ketika orang itu m enyadari bahwa yang berdiri
didekatnya adalah Mahisa Pukat, maka orang itu menggeram,
"Kau akan berbuat curang he?"
"Tidak," jawab Mahisa Pukat y ang berpindah ke dekat
orang y ang lain, "aku hanya ingin meyakinkan apa yang telah
terjadi sehingga karena itu aku telah mendekat."
Mahisa Pukat tidak sempat berbuat apa -apa lagi.
Sembilan orang itu tiba-tiba telah bersiap m enghadapi segala
kemungkinan. Namun Ki Bekel pun telah bersiap pula. Bahkan
beberapa orang y ang berdiri di dekat sembilan orang itu telah
bergeser surut. Para bebahu dan anak-anak muda y ang berdiri
di seputar arena itu pun semakin memperhatikan mereka,
ketika m ereka melihat bahwa Mahisa Murti kemudian tidak
lagi sekedar menjadi sa saran serangan gegedug dari Bukit
Palang itu. Tetapi Mahisa Murti tidak membiarkan orang itu
terjatuh dan benar-benar kehilangan seluruh kekuatannya.
Ketika orang itu mulai goyah, maka Mahisa Murti pun berkata,
"Nah, sadari. Apakah kau benar-benar akan mengalahkan
anak gegedug dari Pagar Rampak."
" Iblis kau," geram orang itu. Tetapi tubuhnya memang
terasa lemah sekali. Jika ia m emaksa m eloncat meny erang,
maka ia akan dapat terjatuh.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi," geram orang itu di
dalam hatinya. Sementara itu, Ki Bekel benar-benar telah bersiap.
Sembilan orang yang berdiri di tepi arena itu, rasa-rasanya
tidak tahan melihat pemimpinnya y ang tidak berdaya lagi.
Orang ketujuh y ang hampir saja meloncat memasuki
arena terkejut ketika tiba -tiba saja Mahisa Pukat datang
mendekatinya, memegang pergelangan tangannya erat-erat
sambil berkata, "Sebaiknya kau tidak usah ikut campur.
Beritahu kawan-kawanmu yang delapan itu. Setiap usaha
untuk mencampuri per soalan itu, maka kalian akan
berhadapan dengan kekuatan di seluruh padukuhan ini."
Orang itu akan menjawab. Namun Mahisa Pukat berkata
selanjutnya, "Kenapa kalian tidak menawarkan pendekatan
yang lebih baik daripada cara yang kasar itu."
Orang itu merenggut tangannya. Dengan kasar ia
berkata, "Aku bunuh orang yang menghalangi kami."
Tetapi Mahisa Pukat tersenyum sambil menepuk
bahunya. Menurut pengamatan Mahisa Pukat, orang ketujuh
itu adalah orang yang terkuat dari antara sembilan orang yang
berdiri di luar arena.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan cepat marah," berkata Mahisa Pukat, "sebaiknya
kau berpikir dengan tenang. Sekali lagi aku peringatkan,
perhatikan keadaan disekelilingmu. Ki Bekel dan bebahunya
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kau lihat
anak-anak muda yang jumlahnya begitu banyak. Semuanya
bersenjata. Orang-orang y ang siap menawar pusaka-pusaka
itu pun telah bersiap pula. Karena itu, pikirkan masak-masak."
Orang itu mengibaskan tangan Mahisa Pukat sambil
berkata kasar, "Kau jangan mencoba membujukku anak iblis.
Aku sudah bertekad untuk membunuh semua orang."
"Bagaimana jika gegedugmu itu dapat dikalahkan atau
bahkan terbunuh di arena" Bukankah kau melihat ia sudah
tidak berdaya lagi?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, ia
melihat gegedug dari Bukit Palang itu memang sudah menjadi
sangat lemah. Bagaimanapun juga kemenangan atau
kekalahannya akan berpengaruh atas kesembilan orangorangnya.
Namun dalam pada itu, selagi orang ketujuh itu
termangu-mangu, terdengar gegedug Bukit Palang itu
berteriak, "He, kalian menunggu apa lagi."
"Cukup," tiba -tiba Mahisa Pukat juga berteriak, "jangan
paksa kawan-kawanmu mati di sini. Kenapa kau tidak
memerintahkan saja mereka menyingkir dari tempat ini?"
"Persetan," geram gegedug itu. Lalu katanya, "Bunuh
semua orang y ang menghalangi kalian."
"Kau sendiri bagaimana?" bertanya Mahisa Pukat
dengan nada tinggi, "apakah kau juga akan terbunuh di sini"
Bukankah kau tidak akan dapat mengingkari keny ataan
tentang kekalahanmu?"
"Tutup mulut," teriak gegedug dari Bukit Palang itu,
"koyak mulut anak muda itu."
Tetapi Mahisa Murti tiba -tiba bertanya, "Bagaimana
dengan kau sendiri" Apakah kau masih akan bertempur" Jika
kau jantan, akui dahulu bahwa ilmu Pagar Rampak jauh lebih
baik dari ilmu Bukit Palang. Meskipun aku hanya anak
gegedug dari Pagar Rampak, namun aku sudah dapat
membuktikan kelebihan itu. Apalagi jika ayahku sendiri
datang." Gegedug dari Bukit Palang itu menjadi semakin marah.
Dengan keadaannya y ang kurang menguntungkan itu, ia
meloncat m eny erang. Namun serangannya sama sekali tidak
berarti. Bahkan Mahisa Murti sempat mendorong orang itu
searah dengan garis serangannya.
Ternyata orang itu sudah kehilangan kekuatannya untuk
bertahan pada keseimbangannya. Dor ongan Mahisa Murti
telah membuat orang itu terjerembab di arena.
Tetapi ia tidak lagi mampu dengan sigap melompat
bangkit. Ketika ia mencobanya juga, maka tulang-tulangnya
justru serasa berpatahan.
Memang dengan susah payah ia dapat juga berdiri.
Tetapi orang itu sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk
berbuat sesuatu. Namun ternyata orang itu masih mampu berteriak,
"Hancurkan seisi padukuhan ini."
Sembilan orang kawan-kawannya memang serentak
bergerak. Tetapi bersamaan dengan itu, Ki Bekel dan para
bebahu-pun telah siap pula menghadapi mereka. Mereka
justru telah mencabut senjata-senjata mereka. Ki Bekel dan
para bebahu tidak yakin bahwa lawan-lawan mereka akan
bertempur seperti gegedug Bukit Palang.
Tetapi gegedug Bukit Palang itu justru mempunyai
perhitungan lain. Jika ia mempergunakan senjatanya, maka ia
akan menjadi lebih cepat mati, karena lawannya tentu akan
mempergunakan senjatanya pula.
Gegedug Bukit Palang yang tidak menyadari apa y ang
terjadi atas dirinya itu berharap bahwa beberapa saat
kemudian, tenaganya akan dapat tumbuh kembali. Setidaktidaknya
cukup untuk menghadapi orang-orang padukuhan itu
jika Mahisa Murti sudah terhisap oleh pertempuran melawan
kawan-kawannya. Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka pertempuran
telah terjadi dengan sengitnya. Sembilan orang itu harus
bertempur melawan orang-orang padukuhan yang jumlahnya
jauh lebih banyak. Tetapi orang -orang padukuhan itu pada umumnya tidak
memiliki dasar pengetahuan tentang olah kanuragan. Karena
itu, meskipun sembilan orang itu harus melawan orang yang
jumlahnya jauh lebih banyak, namun sembilan orang itu telah
sempat dalam waktu pendek melukai beberapa orang.
Namun orang ketujuh y ang dianggap paling garang itu,
justru merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia merasa bahwa ia
tidak berada pada puncak kemampuannya meskipun ayunan
pedangnya masih meny ebarkan udara maut.
Beberapa orang y ang lain pun m erasa aneh dengan diri
mereka sendiri. Seandainya mereka berada dalam puncak
kemampuan mereka, maka dalam waktu y ang pendek, orangorang
padukuhan itu akan segera dapat mereka selesaikan.
Tetapi masih harus mereka perhitungkan pula anak
muda y ang telah mengalahkan gegedug dari Bukit Palang,
sehingga seorang di antara sembilan orang itu dengan
garangnya telah meny erang Mahisa Murti yang masih berdiri
termangu-mangu. Mahisa Murti meloncat mundur. Namun dengan nada
rendah ia b erkata, "Jika gegedug itu tidak kalian selamatkan,
maka ia akan dibantai oleh orang-orang padukuhan. Ia sudah
tidak bertenaga sama sekali."
Orang y ang meny erang Mahisa Murti itu memang
berpikir sejenak. Agaknya ia sependapat dengan Mahisa Murti,
sehingga ia telah berusaha membawa gegedug y ang sudah
tidak bertenada itu menepi. Sebuah isy arat telah
dilontarkannya, sehingga seorang kawannya telah datang
membantunya. Dua orang telah berusaha melindungi gegedug itu.
Beberapa orang bebahu dan penghuni padepokan itu memang
berniat untuk meny erang gegedug y ang sudah tidak berdaya
itu. Namun dua orang pengikutnya, ternyata sulit untuk
ditembus oleh orang-orang padukuhan. Namun kedua orang
pengikut gegedug dari Bukit Palang itu t idak dapat dengan
leluasa bertempur dan memburu lawan-lawannya karena
mereka harus tetap berada di dekat gegedug yang sudah tidak
berday a sama sekali itu.
Meskipun demikian, kedua orang itu ternyata masih juga
berhasil melukai beberapa orang lawan-lawan mereka,
meskipun sekedar goresan-goresan di tubuhnya.
Sementara itu tujuh orang yang lain telah mengamuk
seperti serigala yang t erluka. Senjata mereka terayun-ayun
mendebarkan jantung. Meskipun terasa urat-urat darah
mereka seakan-akan telah menghambat gerakan-gerakan
mereka. Beberapa orang m emang m enjadi gentar m elihat sikap
orang orang itu. Tetapi beberapa orang yang lain masih
bertempur dengan sengitnya. Kedua orang adik bebahu yang
merasa terancam itu pun telah turun pula dalam pertempuran
itu bersama dengan kakaknya. Ternyata adiknya y ang bungsu
itu memang memiliki kemampuan untuk menghadapi
pengikut pengikut gegedug dari Bukit Palang itu.
Namun dalam kekalutan itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat tidak tinggal diam. Mereka pun telah berusaha untuk
mengekang kekerasan orang-orang yang bagaikan telah
mengamuk itu. Bahkan seorang di antara sembilan orang itu telah
meloncat naik ke pendapa langsung menyerang nenek tua
yang berdiri ketakutan. Tetapi Mahisa Semu ada di dekatnya. Karena itu, maka
Mahisa Semu yang melihat kemungkinan serangan itu, ju stru
telah meny ongsongnya. Sejenak kemudian, telah terjadi pertempuran y ang
sengit di pendapa y ang cukup luas itu. Wantilan y ang menjaga
pusaka-pusaka tidak berani beranjak dari tempatnya
meskipun ia melihat perempuan tua itu sendiri. Tetapi
agaknya Mahisa Amping -pun merasa bertanggung jawab.
Anak itu telah b erdiri tegak di hadapan nenek tua itu sambil
menggenggam luwuknya. Tetapi enam orang y ang bertempur di halaman serta dua
orang y ang m elindungi gegedug y ang lemah itu tidak cukup
kuat untuk m enghadapi jumlah y ang tidakterhitung. Apalagi
beberapa orang di antara mereka y ang telah membentur
senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, merasakan
perubahan di dalam diri mereka.
Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang berloncatan menghadapi orang-orang itu bergantiganti.
Setelah bertempur beberapa lama dengan seorang di
antara mereka, serta membenturkan senjatanya beberapa kali,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah berganti
lawan. Benturan-benturan itulah y ang sangat mempengaruhi
pertempuran itu dalam keseluruhannya. Orang-orang itu
menjadi semakin lemah dan anggauta tubuhnya rasa-rasanya
menjadi semakin berat, sehingga m ereka tidak m ampu lagi
bergerak cepat. Dengan demikian, maka orang-orang itu tidak lagi
menakutkan bagi para penghuni padukuhan itu. Para bebahu
pun m enjadi semakin berani serta m erekalah yang kemudian
justru mulai mendesak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat perubahan itu.
Bahkan Mahisa Pukat sempat juga ikut bertempur melawan
dua orng yang melindungi gegedug dari Bukit Palang.
Sehingga dengan demikian m aka kedua orang itu pun tidak
lagi dapat bertempur dengan garang.
Sementara itu, Mahisa Semu y ang bertempur di
pendapa, memang tidak memerlukan bantuan siapapun.
Karena Mahisa Semu sendiri telah memiliki kemampuan ilmu
pedang y ang memadai. Apalagi lawannya adalah seorang di
antara mereka yang sebelumnya telah disusut kemampuannya
oleh Mahisa Pukat. Wantilan masih saja berdiri di tempatnya. Ternyata
tidak ada orang y ang berani mengganggu pusaka-pusaka iu.
Demikian pula tidak ada di antara sembilan orang itu yang
berusaha sekali lagi m eny erang nenek tua y ang hanya dijaga
oleh anak-anak yang menggenggam luwuk di tangannya.
Namun y ang kemudian menjadi cemas adalah Mahisa
Murti. Jika orang-orang padukuhan itu kehilangan kekang
diri, maka mereka akan dapat melakukan tindakan yang
berlebihan atas kesepuluh orang itu. Jika hal itu terjadi, maka
telah terbakar dendam di hati orang-orang Bukit Palang,
sehingga pada kesempatan lain akan membahayakan
padukuhan itu. Namun dalam pada itu, pertempuran nampaknya masih
sa ja berlangsung. Bagaimanapun juga, orang-orang dari Bukit
Palang itu m asih berusaha untuk bertahan. Meskipun tubuh
mereka menjadi semakin lemah, namun kemampuan m ereka
bermain pedang masih juga sempat membuat orang-orang
padukuhan itu berloncatan surut.
Tetapi dalam satu kesempatan, Mahisa Murti telah
meloncat ke tengah-tengah arena sambil berteriak, "Cukup.
Kita tidak boleh membuang waktu t erlalu banyak untuk satu
persoalan yang tidak ada ujung pangkalnya."
Teriakan Mahisa Murti cukup menggetarkan jantung
sembilan orang dari Bukit Palang itu. Mereka memang
bergeser surut serta mengambil jarak dari lawan-lawan
mereka. Demikian pula orang y ang telah bertempur melawan
Mahisa Semu serta kedua orang y ang melindungi gegedug
yang telah kehilangan tenaga itu.
"Satu kesempatan terakhir bagi kalian, orang-orang y ang
datang bersama gegedug dari Bukit Palang. Tinggalkan tempat
ini, sebelum kami, orang-orang padukuhan ini kehilangan
kesabaran." Orang-orang dari Bukit Palang itu termangu-mangu.
Namun ternyata gegedug yang sudah tidak berday a itu pun
berteriak pula meskipun suaranya sudah tidak begitu lantang,
"Bunuh semua orang. Ambil pusaka-pusaka itu. Mereka telah
menghinakan kita." "Jangan kehilangan akal," sahut Mahisa Murti, "kau
sendiri sudah tidak mampu berbuat sesuatu. Orang-orangmu
pun menjadi semakin lemah. Betapapun tinggi tingkat
ilmunya, namun mereka tidak akan dapat melawan orang
sepadukuhan. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka kau
tentu dapat melihat satu kenyataan, bahwa orang-orangmu
telah terdesak dan jika kau tidak mengambil satu
kebijaksanaan, maka orang-orangmu y ang hanya sembilan
orang itu akan musnah. Tentu termasuk kau sendiri akan
hancur bersama mereka."
Orang itu termangu-mangu sejenak.
Sementara Mahisa Murti berkata, "Dengar gegedug dari
Bukit Palang. Kami tahu bahwa kalian tentu merasa
tersinggung atas tawaran kami. Harga diri kalian akan
menghambat kebijaksanaan yang akan kalian ambil. Tetapi
dengarlah dengan baik. Kami telah berusaha untuk menahan
diri, sehingga kami akan membiarkan kalian pergi. Kalian
tentu akan dapat m enghargai sikap kami, karena jika tidak
demikian, maka sebentar lagi kalian akan mati di sini."
Gegedug itu m asih juga berkata, "Jika kalian m emang
merasa tidak dapat lagi melawan kami, semuanya harus
berlutut, mohon ampun dan menyerahkan pusaka-pusaka itu."
Tetapi Mahisa Murti menjawab, "Kau jangan berpurapura
lagi. Kita semua tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi
di halaman dan di pendapa rumah ini. Sebaiknya kau tidak
usah membuang-buang waktu. Perintahkan orang-orangmu
pergi, atau mereka akan mati di sini dengan cara y ang pahit."
Gegedug itu berpikir sejenak. Namun ternyata justru
seorang bebahu berteriak, "Apa y ang sebenarnya akan kau
lakukan?" "Biarlah mereka meninggalkan tempat ini," jawab
Mahisa Murti. "Tidak," teriak bebahu itu, "kita bunuh m ereka di sini.
Mereka telah menghinakan kami pula. Mereka datang hanya
dengan sepuluh orang. Tetapi m ereka merasa bahwa m ereka
akan dapat mengalahkan kami."
"Aku ada di pihakmu," jawab Mahisa Murti, "tetapi aku


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak merasa terhina jika mereka bersedia meninggalkan
tempat ini." "Jangan biarkan mereka pergi," teriak yang lain.
"Apa maksudmu sebenarnya?" bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
Mahisa Pukat yang tanggap akan maksud Mahisa Murti telah
mendekatinya sambil berteriak, "Ki Bekel. Kita harus
menghindarkan perasaan dendam yang berlebihan dari orangorang
Bukit Palang. Jika kita membunuh sepuluh orang di
sini, maka sisa -sisa m ereka akan berusaha untuk melakukan
lebih banyak lagi. Jika mereka tidak berani dengan terangterangan
meny erang padukuhan ini, maka mereka akan dapat
mempergunakan cara lain. Membunuh seorang demi seorang.
Merusak sawah dan pategalan, serta perbuatan-perbuatan lain
yang dapat merusak ketenangan hidup di padukuhan ini."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun ia dapat
mengerti jalan pikiran anak-anak muda itu.
Karena itu, maka Ki Bekel pun berkata lantang, "Baiklah.
Cepat, tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah sikap."
"Kalian dengar pernyataan Ki Bekel?" bertanya Mahisa
Murti. Sepuluh orang itu termangu-mangu. Namun mereka
semuanya memang tidak dapat mengingkari keny ataan,
betapapun mereka akan berjuang, tetapi m ereka akan benarbenar
dapat dibantai oleh orang-orang padukuhan itu.
Sebagian besar dari mereka merasa bahwa tenaga mereka
menjadi semakin lemah. Mereka merasa ada yang tidak wajar
pada diri mereka. Sementara itu, mereka harus mengakui
bahwa anak-anak muda itu memang berilmu tinggi.
Untuk beberapa saat gegedug itu merenung. Ia berdiri di
antara kenyataan y ang dihadapinya dengan harga diri seorang
gegedug. Namun bagaimanapun juga, seseorang akan membuat
perhitungan ulang jika ny awanya terancam. Apapun y ang akan
dilakukan, jika itu akan dapat mengakhiri hidupnya, maka
selama ini masih mampu berpikir wajar, ia tentu akan memilih
jalan lain. Karena itu, maka gegedug itu telah mempertimbangkan
berbagai kemungkinan y ang akan dapat t erjadi atas dirinya
dan orang-orangnya. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Cepat.
Persoalan akan dapat berkembang menjadi lebih buruk.
Karena itu, maka tinggalkan tempat ini selagi kalian m asih
sempat." Akhirnya gegedug itu memang memilih untuk
meninggalkan tempat itu m eskipun ia harus mengorbankan
harga dirinya. Ia memilih untuk tetap hidup daripada dibantai
oleh orang-orang padukuhan.
Meskipun demikian ia masih juga berkata, "Baiklah. Kali
ini aku memaafkan kalian."
"Pakai kata-kata yang lain," berkata Mahisa Pukat.
"Jangan biarkan mereka pergi," teriak seseorang.
"Kita hukum mereka di sini," sahut y ang lain.
Namun Ki Bekel berkata, "Kita adalah orang-orang y ang
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Biarkan mereka pergi,
merenungi tingkah, lakunya dan m embandingkannya dengan
keputusan yang kita ambil sekarang. Tetapi jika pada
kesempatan lain mereka datang kembali, maka sikap kita akan
berbeda." Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu.
Sementara Mahisa Murti berkata, "Jika kesempatan yang
diberikan oleh Ki Bekel lewat, maka per soalannya akan lain."
Gegedug itu m engeram. Namun ia pun kemudian minta
orang-orangnya meninggalkan tempat itu. Dua orang di antara
para pengikutnya telah membantu berjalan meninggalkan
halaman rumah itu. Beberapa orang di antara pengikutnya masih sempat
mengumpat kasar. Sementara beberapa orang bebahu atas
perintah Ki Bekel telah mencegah orang-orang padukuhan
yang masih saja tidak puas dengan keputusan Ki Bekel dan
anak-anak muda yang mengaku pengembara itu.
Namun ketika orang-orang itu m enjadi semakin jauh,
maka Ki Bekel pun telah berbicara terus terang dengan orangorang
padukuhan, bahwa ia berusaha untuk tidak
menanamkan dendam di hati orang-orang Bukit Palang.
"Jika anak-anak muda itu telah m eneruskan perjalanan,
kemudian orang-orang Bukit Palang itu datang untuk
melepaskan dendamnya, apa yang akan dapat kita lakukan"
Jika yang datang lebih dari sepuluh orang. Tetapi duapuluh
atau duapuluh lima. Atau seorang demi seorang dengan diamdiam
menerkam para penghuni padukuhan ini y ang sedang
pergi ke sawah atau mengambil perempuan y ang pergi ke
pasar." Para penghuni padepokan itu termangu-mangu.
Sementara itu Mahisa Murti berkata, "Karena itu, selama
ini kalian harus m enyadari kedudukan kalian. Padukuhan ini
harus memiliki kekuatan y ang siap menghadapi kesulitankesulitan
seperti ini. Sebelum padukuhan ini bersiap,
sebaiknya kalian menjauhi kemungkinan buruk y ang dapat
terjadi. Karena itu, maka sebaiknya mulai besok, kalian
menghimpun tenaga. Berlatih menurut tataran kemampuan
kalian. Di sini ada Ki Bekel dan para bebahu yang memiliki
dasar-dasar kemampuan olah kanuragan. Baru setelah
padukuhan ini siap, maka kalian akan dapat bertindak dengan
tegas terhadap sekelompok pelaku kejahatan seperti orangorang
Bukit Palang. Mungkin kalian sekarang dapat bertindak
atas dua atau tiga orang pencuri. Tetapi masih sulit untuk
menghadapi kekuatan perguruan Bukit Palang itu."
Orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk.
Sementara Ki Bekel berkata, "Nah, kalian dengar. Sejak
besok pagi, aku akan menghimpun dan mengatur pengawalan
padukuhan ini dengan menggerakkan anak-anak muda tanpa
mengganggu kerja kita di sawah dan ladang. Kita akan
mengatur waktu sebaik-baiknya agar semua tanggung jawab
yang dibebankan kepada kita dapat kita lakukan.
Kesejahteraan hidup keluarga padukuhan ini, sekaligus
pengamanannya sehingga padukuhan ini akan dapat m enjadi
padukuhan y ang berkecukupan namun juga merupakan
padukuhan y ang tenang dan tenteram meskipun bukan berarti
mati tanpa derap." Orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk.
Sementara itu, Mahisa Murti telah mengungkapkan pula, ilmu
sirep y ang ditebarkan oleh orang -orang Bukit Palang itu.
"Ternyata anak-anak muda yang berada di pendapa
sama sekali tidak tahu apa y ang telah terjadi," berkata Mahisa
Murti. Anak-anak muda yang bertugas semalam memang
termangu-mangu. Tetapi m ereka menyadari bahwa semuanya
di antara mereka telah tertidur lelap.
Namun dalam pada itu, maka Ki Bekel telah
mempersilahkan orang-orang yang akan ikut dalam
penawaran atas pusaka-pusaka,yang akan dijual atas dasar
penawaran tertinggi itu untuk naik ke pendapa. Acara itu akan
segera diteruskan. Pusaka-pusaka y ang tidak saja bernilai
karena dianggap memiliki nilai tertentu, juga karena bahannya
adalah logam-logam mulia serta beberapa buah permata.
"Marilah. Ternyata hari telah menjadi semakin siang.
Kita terhambat sejenak karena kehadiran orang -orang yang
sama sekali tidak kita kehendaki itu," berkata Ki Bekel. Lalu
katanya pula,"tetapi kita masih mempunyai cukup waktu."
Untuk beberapa saat orang-orang yang berada di
halaman rumah itu masih termangu-mangu. Mereka sedang
berusaha untuk mencoba m enyesuaikan diri dengan keadaan
yang m ereka hadapi. Ma sih ada di antara mereka yang tidak
menerima kenyataan yang dihadapinya, bahwa Ki Bekel telah
membiarkan orang-orang itu pergi.
Tetapi satu dua orang telah mulai naik ke pendapa,
sehingga ketika Ki Bekel sekali lagi mempersilahkan, maka
orang-orang y ang berkepentinganpun telah naik pula.
"Lupakan orang-orang itu," berkata Ki Bekel, "y ang
penting kita bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk jika
hal itu akan terjadi lagi. Tetapi kita tidak memancing dendam
yang akan dapat lebih memburuk keadaan."
Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka mencoba
untuk mengerti, bahwa padukuhan mereka jangan menjadi
sa saran dendam orang-orang Bukit Palang.
Dalam pada itu maka Ki Bekel pun telah mulai berbicara
tentang pusaka-pusaka itu. Ki Bekel mulai menawarkan
pusaka-pusaka itu kepada orang-orang yang termasuk orangorang
berada di padukuhan itu. Mula-mula sebuah keris y ang berpendok emas. Keris
yang dianggap mempunyai pengaruh untuk menenangkan
kehidupan keluarga. Namun seandainya orang tidak
memperhitungkan tuah itu, emas itu pun tentu sudah bernilai
tinggi. Demikianlah, satu demi satu pusaka-pusaka itu telah
terjual kepada penawar tertinggi, sehingga akhirnya dapat
terkumpul uang cukup banyak.
"Akhirnya, kita berhasil," berkata Ki Bekel, "selama ini
kita tidak pernah membayangkan bahwa kita akan dapat
membuat padukuhan ini menjadi padukuhan yang terbaik
bukan saja di seluruh Kademangan, tetapi di seluruh Pakuwon
ini." Orang-orang padukuhan itu pun ikut merasa bangga,
bahwa hari itu m ereka telah dapat mengumpulkan uang yang
akan dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Sementara itu
pusaka-pusaka nenek tua itu tidak terlepas dari padukuhan
itu, karena akhirnya semuanya jatuh ke tangan orang-orang
padukuhan itu yang berani m emberikan penawaran tertinggi.
Mereka menganggap bahwa uang yang mereka serahkan untuk
membeli pusaka-pusaka itu akhirnya sebagian akan kembali
kepada mereka pula meskipun dalam ujud y ang lain.
Demikianlah, maka menjelang senja, semuanya telah
selesai. Uang telah terkumpul dan orang-orang pun telah
meninggalkan halaman rumah itu.
Ki Bekel y ang masih tinggal bersama beberapa orang
bebahu, sempat minum m inuman panas bersama anak-anak
muda yang mengaku pengembara itu.
"Maaf nek," berkata Ki Bekel sambil menghirup
minuman hangatnya, "menurut rencana kami, lewat tengah
hari semuanya harus sudah selesai. Tetapi penjualan pusakapusaka
itu ternyata tertunda. Menjelang tengah hari kita baru
dapat mulai sehingga hampir senja kita baru selesai."
"Justru tengah hari baru bersiap-siap," berkata salah
seorang bebahu. Ki Bekel m engangguk-angguk. Tetapi katanya, "Namun
kita berhasil dengan baik. Uang terkumul cukup banyak.
Sementara itu kita m empunyai banjar padukuhan y ang besar
dan tidak ada duanya. Ukiran dengan prada dan sungging
yang rumit. Sementara kita dapat melengkapi y ang masih
diperlukan sebagai banjar padukuhan dengan uang yang kita
dapatkan hari ini." "Bahkan kita akan dapat memperbaiki pintu gerbang
padukuhan," berkata seorang bebahu.
"Ya. Kita dapat membuat apa saja y ang kita inginkan,"
berkata yang lain. Tetapi Ki Bekel berkata, "benar. Tetapi kita harus
membuat perencanaan yang matang. Apa yang akan kita buat
lebih dahulu. Gapura" Menghiasi padukuhan ini dengan
rontek dan umbul-umbul sepanjang tahun" Atau kita lebih
mementingkan kepentingan y ang lebih mendesak misalnya
memperbaiki parit dan jembatan, sehingga pedati kita akan
dapat m enjelajahi keluar padukuhan dengan membawa hasil
bumi" Atau membuat apa saja. Nah, kita tidak perlu tergesagesa.
Uang ini tidak akan hilang. Kita akan menyimpan sebaikbaiknya
dibawah pengawasan yang benar-benar mey akinkan."
Beberapa orang bebahu itu saling berpandangan.
Sementara Ki Bekel berkata, "Kita akan menitipkan uang ini di
rumah y ang akan kita jadikan banjar ini. Anak-anak muda
yang tinggal di rumah ini akan dapat kita percaya sepenuhnya,
sehingga tidak seorang pun yang akan pernah dapat
mengambil uang itu."
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti menyahut, "Nanti
dulu Ki Bekel. Kami berterima kasih atas kepercayaan Ki
Bekel. Tetapi dalam waktu dekat, kami akan meninggalkan
padukuhan ini. Meneruskan perjalanan kami y ang masih
jauh." Ki Bekel tertawa. Katanya, "Anak-anak muda akan
menjadi penghuni padukuhan ini. Kalian tidak usah kembali
ke Pagar Rampak." Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Kami bukan orang
dari Pagar Rampak. Bahkan agaknya nama itu pun tidak
pernah didengar orang sebelumnya, karena aku asal saja
mengucapkannya." Orang-orang y ang mendengarnya menjadi termangumangu
sejenak. Bahkan Ki Bekel seakan-akan tidak percaya
mendengar keterangan itu. Karena itu, maka ia pun telah
bertanya, "Jadi darimana sebenarnya anak-anak muda ini?"
"Kami adalah pengembara yang tidak berasal dari
tempat y ang banyak dikenal orang. Karena itu, maka kami
dapat menyatakan diri kami sebagai orang-orang kabur
kanginan," jawab Mahisa Murti.
"Jika demikian maka kenapa kalian tidak bersedia
tinggal di padukuhan ini saja?" bertanya Ki Bekel pula.
"Maaf Ki Bekel," jawab Mahisa Murti, "kami tidak akan
dapat hinggap terlalu lama di satu tempat."
"Tetapi jika kalian meninggalkan tempat ini, maka
kemungkinan buruk akan terjadi di sini," berkata Ki Bekel,
"uang hasil penjualan benda-benda berharga itu dan bahkan
orang-orang yang telah membeli benda-benda berharga itu
pun terancam." "Tentu tidak," b erkata Mahisa Murti, "jika orang-orang
padukuhan ini menyadari, maka akan tersusun kekuatan yang
sangat besar. Orang-orang yang berhasil memiliki bendabenda
berharga itu akan ikut mempertahankan hak mereka
bersama semua anak-anak muda di padukuhan ini."
"Tetapi sebagaimana kalian lihat, apa yang dapat mereka
lakukan adalah sekedar berteriak-teriak, m engacukan senjata
dan kemudian berloncatan surut jika kulitnya terluka," berkata


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Bekel. Mahisa Murti mengerti pernyataan Ki Bekel itu. Di
padukuhan itu memang tidak banyak orang y ang memiliki
kemampuan bermain senjata.
Tetapi tiba -tiba Mahisa Murti teringat dua orang y ang
memiliki kelebihan. Bahkan mungkin lebih baik dari Ki Bekel
sendiri. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah meny ebut
kedua orang itu dengan ciri-cirinya.
"Mereka akan dapat menuntun kawan-kawannya
mempelajari olah kanuragan," berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel menjadi agak bingung. Ia tidak tahu siapa y ang
dimaksudkan oleh anak muda itu.
Namun seorang bebahu telah menjawab, "Keduanya
adalah adik-adikku."
"Nah," berkata Mahisa Murti pula, " satu kebetulan.
Keduanya tentu akan bersedia menjadi kiblat kekuatan
padukuhan ini." Ki Bekel mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
bertanya kepada bebahu itu, "Bagaimana pendapatmu?"
Bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja
kedua adiknya harus bertempur sebelum peristiwa itu terjadi.
Namun bahwa Mahisa Murti telah menunjuk kedua
adiknya itu pun telah memberikan kebanggaan kepadanya.
Ternyata kemudian bagaimanapun juga Ki Bekel
mencoba untuk menahan, namun Mahisa Murti terpaksa
berkeberatan. Tetapi Mahisa Murti itu pun kemudian berkata, "Aku
mohon kedua orang yang aku sebut, bersedia besok pagi -pagi
datang kemari. Aku ingin berkenalan. Sementara itu, aku
dapat m emberikan beberapa pesan kepada mereka sebelum
kami meninggalkan tempat ini."
Ki Bekel pun telah m eneruskan hal itu kepada bebahu
itu. Katanya, "Usahakan, agar kedua adikmu itu tahu apa yang
harus mereka lakukan."
"Besok mereka akan datang," berkata bebahu itu.
Demikianlah, maka malam itu, uang hasil penjualan
benda-benda berharga itu telah dititipkan di rumah itu. Ki
Bekel m inta agar Mahisa Murti dapat memberikan petunjuk,
bagaimana mereka akan menyimpan uang itu.
"Besok, sebelum kami pergi, maka aku akan memberikan
pesan -pesan itu," berkata Mahisa Murti.
Sejenak kemudian, maka Ki Bekel dan para bebahupun
telah minta diri. Rumah tua yang besar itu telah menjadi sepi
kembali. Nenek tua itu pun kemudian telah mengulangi pula
permintaannya agar anak-anak muda yang mengaku
pengembara itu bersedia untuk tinggal di rumahnya.
Namun Mahisa Murti pun berkata, "sayang sekali nek.
Kami harus meneruskan perjalanan. Tetapi sepeninggal kami
ada dua orang anak muda y ang akan menggantikan kami.
Keduanya adalah justru adik salah seorang bebahu dari
padukuhan ini. Mudah-mudahan keduanya akan bersedia
memikul tanggung jawab atas ketenangan dan k etenteraman
di padukuhan ini bersama Ki Bekel dan para bebahu y ang lain
termasuk saudara mereka sendiri."
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya
kemudian, "Aku yakin, bahwa sulit untuk menemukan orang
sebagaimana anak-anak muda ini. Ilmunya, kemampuannya
dan terutama adalah sikapnya y ang jujur dan tidak
mempunyai pamrih sama sekali."
"Ah, tentu ada nek. Ki Bekel juga seorang yang sangat
baik. Ia pun jujur dan tanpa pamrih. Nampaknya ia menjadi
sangat bergembira ketika timbul harapan bagi padukuhannya
untuk menjadi padukuhan y ang semakin baik."
Nenek tua itu pun mengangguk-angguk. Ia pun
kemudian berdesis, "Ya. Ki Bekel adalah orang yang sangat
baik." Meskipun demikian wajah orang tua itu nampak muram.
Bagaimanapun juga anak-anak muda itu telah memberikan
kesan tersendiri pada bagian akhir dari perjalanan hidup
orang tua itu. Satu kenangan y ang justru terasa sangat pahit
atas keluarganya yang tidak tersisa.
Jodoh Si Naga Langit 7 Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku Pendekar Mata Keranjang 10
^