Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 36

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 36


bahwa Ki Bekel akan datang menjemputnya.
"Bagaimana menurut pertimbanganmu"," bertanya
nenek tua itu. "Sebaiknya nenek memang tinggal saja di rumah Ki
Bekel. Segala sesuatu yang nenek perlukan akan disediakan.
Nenek menjadi semakin tua. Tubuh nenek akan menjadi
semakin lemah, sementara itu, disini nenek harus m elakukan
segala sesuatunya sendiri," berkata Mahisa Murti.
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya: "Jika
demikian, aku akan menerima kesediaan Ki Bekel untuk
membawa aku ke rumahnya."
"Agaknya itu adalah y ang terbaik bagi nenek sekarang
ini," berkata Mahisa Murti kemudian "sementara itu, rumah
ini akan selalu dijaga dan dirawat oleh anak-anak muda.
Sekali-sekali nenek akan dapat m elihat rumah ini jika nenek
merasa rindu." Mata nenek itu memang basah. Tetapi ia mencoba
tersenyum sambil berkata "Aku akan melakukannya."
Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
melangkah keluar reg ol halaman, nenek itu berkata "Aku
selalu berdoa bagi keselamatan kalian."
Dalam pada itu, anak-anak muda dan para pengawal
yang bertugas di rumah itu, masih belum meninggalkan
tugasnya. Karena itu merekapun sempat mengucapkan
selamat jalan k epada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Salah seorang dari mereka khusus berpesan kepada Mahisa
Amping "Jika kita bertemu lagi, maka kau sudah tidak akan
mungkin mengalahkan aku."
Mahisa Amping tertawa. Katanya: "Kita akan m elihat,
kau atau aku y ang akan maju lebih pesat."
Beberapa saat kemudian maka m ereka telah keluar dari
regol padukuhan. Anak-anak muda yang masih berada di
gardu pun telah mengucapkan selamat jalan kepada Mahisa
Murti dan saudara-saudaranya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti serta kelompok
kecilnya telah mulai menyusuri jalan-jalan bulak lagi setelah
beberapa hari tertahan di padukuhan itu. Mahisa Amping
tidak setegar biasanya. Bagaimanapun juga, ia mendapat
kesan ter sendiri terhadap nenek tua y ang ditinggalkannya.
Mahisa Amping itu m erasakan air mata nenek itu m enitik di
keningnya ketika ia m emeluknya, dan m emberikan beberapa
pesan kepadanya. Mahisa Amping memang berjalan dipaling depan. Tetapi
kepalanya setiap kali ditengadahkannya. Rasa-rasanya ia
berusaha menahan air mata yang membuat matanya menjadi
panas. Anak itu belum pernah merasakan kehangatan pelukan
nenek dan kakeknya. Karena itu, maka nenek tua itu seolaholah
adalah neneknya sendiri y ang sangat mengasihinya.
Tetapi semakin lama, cerahnya pagi hari yang menjadi
semakin terang. Sinar matahari y ang mulai terasa
sentuhannya di kulit tubuh. Serta angin yang semilir, telah
membuat Mahisa Amping sedikit demi sedikit m enjadi segar
dan tegar. la mulai berlari-lari kecil. Berhenti di tanggul parit
dan bahkan memanjat pohon gayam yang tumbuh dipinggir
jalan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang m elihat Amping
mulai menjadi gembira, menjadi lega juga. Apalagi ketika anak
itu sudah mulai berdendang meskipun suaranya agak
sumbang. Namun, demikian Mahisa Amping berlari-lari di depan,
Mahisa Murti telah berkata berterus terang kepada Mahisa
Semu dan Wantilan. Diperjalanan mereka akan menemui dua
orang y ang akan merampas sepasang senjata y ang dibawa oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian bertanya "Dari mana kau tahu?"
"Orang itu yang menemui kami berdua di rumah nenek."
"Mereka tidak ingin mengganggu ketenangan
padukuhan yang memang sudah menjadi gaduh itu. Karena
itu, maka mereka berniat untuk menunggu kita di jalan,"
jawab Mahisa Murti. "Apakah mereka tahu, kemana kita pergi "," bertanya
Wantilan. "Aku telah mengatakannya paman," jawab Mahisa
Murti. "Kenapa kau harus mengatakan kepadanya" Bukankah
kau dapat mengelabuinya "," bertanya Wantilan pula.
"Aku tidak dapat melakukannya. Jika orang itu tahu
bahwa aku berkata tidak sebenarnya, maka mereka tentu akan
melakukannya selagi kita masih berada di padukuhan itu. Dan
itu akan berarti kegaduhan itu, karena kedua orang itu bukan
orang kebanyakan. Mereka bukan sekedar Gegedug Gunung
Palang. Tetapi mereka berdua adalah Naga Angkasa dan Naga
Pratala," jawab Mahisa Murti.
Wantilan dan Mahisa Semu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Wantilan pun bertanya "Kau sudah
mengenal kedua orang itu sebelumnya?"
Mahisa Murti menggeleng. Katanya: "Kami baru
mendengar namanya saja. Tetapi kami belum mengenalnya
secara pribadi." Wantilan mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa akan
terjadi lagi pertempuran yang sengit. Persoalannya terulang
lagi. Memperebutkan pusaka yang dimiliki oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat itu. Namun Wantilan tidak mengatakan sesuatu. Ia sadar,
bahwa dalam hal itu, ia dan Mahisa Semu tidak akan banyak
dapat berbuat sesuatu. Yang akan hadir dalam satu
pertempuran adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi.
Naga Angkasa dan Naga Pratala tentu memiliki atau setidaktidaknya
merasa memiliki ilmu setingkat dengan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Demikianlah, kelima orang itu berjalan terus. Tetapi
sampai lewat tengah hari mereka tidak bertemu dengan orangorang
y ang disebutnya Naga Angkasa dan Naga Pratala.
Bahkan sampai saatnya Mahisa Am ping merasa lapar.
Lewat tengah hari, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah bertanya kepada Mahisa Amping "Apakah kau
sudah haus atau lapar?"
Seperti biasanya Mahisa Amping tidak meny embuny ikan
jawabannya. Karena itu maka katanya: "Ya. Kita singgah di
kedai y ang pertama kita temui."
Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak menolaknya.
Karena itu, maka ketika mereka sampai di sebuah
padukuhan y ang cukup besar, mereka memang menjumpai
sebuah kedai y ang tidak terlalu besar, tetapi juga tidak t erlalu
kecil. Mahisa Ampinglah yang pertama kali m asuk ke dalam
kedai itu. Namun tiba-tiba saja ia bergeser surut ketika ia melihat
seseorang y ang duduk didalam kedai itu.
Tetapi orang itu dengan ramahnya berkata: "Marilah.
Bukankah sudah haus?"
"Kau yang ada di dapur nenek itu"," bertanya Mahisa
Amping. "Kau memang luar biasa. Ingatanmu bagus sekali.,"
jawab orang itu, "aku memang orang yang kau temui di dapur
rumah nenek tua itu."
Mahisa Amping tidak sempat berkata apapun lagi.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
melangkah masuk ke dalam kedai itu pula. Merekapun
terkejut melihat orang itu sudah berada di dalam kedai.
Namun karena sikap orang itu wajar saja, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukatpun melangkah m asuk dan duduk pula di
dalam warung itu disu sul oleh Mahisa Semu dan Wantilan.
"Apakah kau sudah lama berada di kedai ini?" justru
Mahisa Murtilah yang bertanya.
Orang itu tersenyum. Katanya : "Belum. Seperti kau
lihat, minumanku pun baru disiapkan."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia memang melihat
pelayan di kedai itu menghidangkan m inuman dan kemudian
makanan kepada orang y ang mengaku bernama Naga Angkasa
itu. Mahisa Murti dan sandara-saudaranya pun segera
mengambil tempat pula. Kepada pelay an kedai itu mereka
telah memesan makanan dan minuman pula.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun telah bertanya
kepada Naga Angkasa itu "Kenapa kau sendiri" Di mana
saudaramu itu?" Orang itu ter senyum. Katanya "Ia m erasa belum perlu
hadir. la baru beristirahat. Saudaraku merasa perlu untuk
menyiapkan diri menghadapi satu perjuangan y ang berat."
Tetapi pertanyaan Mahisa Pukat tidak terduga-duga:
"Begitu lemahkah saudaramu itu sehingga memerlukan waktu
begitu lama untuk mempersiapkan dirinya?"
Kening orang itu berkerut. Tetapi iapun kemudian
menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Tidak anak
muda. Bukan karena saudaraku itu terlalu lemah. Tetapi ia
memang tidak pernah merendahkan orang lain. Apalagi
seorang y ang membawa pusaka y ang jarang ada duanya di
dunia ini." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya: "Kami
sudah bersiap-siap sepanjang perjalanan kami hari ini. Aku
kira, kalian sudah menunggu."
"Ki Sanak," berkata orang itu "kami mohon maaf, bahwa
hari ini kami tidak dapat menyambutmu."
"Kenapa"," bertanya Mahisa Pukat.
"Kami telah menentukan bahwa besok kami akan
menunggu kalian. Kami berada di bukit kecil di seberang
bulak. Tetapi untuk mencapai bukit itu, kalian harus melewati
lor ong sempit, kemudian m enyusuri tanggul sungai," berkata
orang y ang meny ebut dirinya Naga Angkasa itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan nada
tinggi iapun bertanya "Kenapa begitu rumit?"
"Tetapi tempat itu lebih baik buat bermain-main. Sepi
dan tidak akan terganggu. Ah, barangkali kaupun akan merasa
bahwa tempat itu sesuai dengan kepentingan kita jika kalian
telah melihatnya," desis Naga Angkasa.
Mahisa Puka y ang m enjawabnya "Apa yang kau anggap
baik, akan baik juga buat kami."
Orang itu mengerutkan dahinya. Tetapi iapun kemudian
tersenyum sambil berkata: "Minumanmu sudah tersedia.
Nanti dingin." Pembicaraan merekapun kemudian terhenti. Masingmasing
menikmati minuman dan makanan y ang sudah
disediakan oleh pelay an di kedai itu.
Namun orang yang meny ebut dirinya Naga Angkasa itu
ternyata telah selesai lebih dahulu. Sambil bangkit berdiri ia
berkata: "Kalian tidak usah tergesa-gesa. Kami menunggu
kalian besok" Tetapi Mahisa Pukat berkata "Kami akan melewati
tempat itu nanti." Dengan nada rendah Naga Angkasa itu menjawab: "Kau
lihat matahari sudah menjadi semakin rendah. Apakah masih
cukup waktu untuk bermain-main hari ini?"
"Apa hubungannya dengan matahari yang semakin
rendah" Apakah jika matahari terbenam, segala-galanya harus
berhenti"," bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia m elihat
sor ot mata Mahisa Pukat, maka orang itu harus mengakui
didalam hatinya, bahwa anak m uda itu m emiliki key akinan
yang sangat kuat atas dirinya.
"Jadi, bagaimana maumu"," bertanya orang itu
kemudian. "Kami akan melewati bukit itu . Terserah kepada kalian,
apakah kalian akan m enunggu kami atau tidak. Tetapi tidak
besok. Hari ini. Bagi kami, siang, malam atau kapanpun juga
tidak ada bedanya sama sekali," berkata Mahisa Pukat. Lalu
katanya pula "Jika kalian tidak mau m enunggu kami hari ini,
maka terserah, kapan saja kalian akan menemui kami di
sepanjang perjalanan kami. Tetapi kami tidak sempat
menunggu kalian sampai besok, karena kami tidak merasa
berkewajiban melakukan perintahmu atau memenuhi
keinginanmu." Wajah orang itu menjadi t egang. Dengan nada tinggi ia
bertanya "Apakah itu sekedar alasan bahwa kalian tidak berani
memenuhi tantangan kami?"
"Kami juga dapat bertanya sebalikny a, apakah niat
kalian menunggu sampai besok bukan sekedar alasan agar
kami sudah lewat?" Mahisa Pukat justru bertanya pula.
Jantung orang itu terasa berdenyut semakin cepat.
Tetapi iapun kemudian mencoba untuk tersenyum pula sambil
berkata: "Baiklah. Kami menunggu kalian lewat hari ini. Kami
juga tidak akan merasa terganggu jika malam turun."
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Orang y ang mengaku
bernama Naga Angkasa itupun kemudian telah m enghampiri
pemilik kedai, membayar harga minuman dan makanan,
kemudian minta diri. Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya pun telah selesai pula. Setelah membayar
harga minuman dan makanan y ang mereka makan, maka
mereka pun telah meninggalkan kedai itu.
"Kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,"
berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Semu dan Wantilan pun mengangguk-angguk
kecil. Mereka m engerti apa y ang akan terjadi. Peristiwa y ang
berulang kembali. Orang-orang y ang merasa berilmu itu telah
berusaha untuk merampas sepa sang pusaka y ang dibawa oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
"Kita akan melewati bukit kecil sebagaimana dikatakan
oleh orang itu," berkata Mahisa Murti, "dan agaknya kita harus
berhenti di tempat itu."
Mereka y ang berjalan bersama-sama itu sudah dapat
membayangkan apa y ang akan terjadi. Bagaimanapun juga
mereka memang harus bersiaga sepenuhnya. Meskipun yang
menjadi sa saran adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
namun api itu akan dapat memercik kepada mereka jika
mereka tidak berhati-hati.
Ternyata bahwa Mahisa Amping pun dianggap perlu
untuk diberitahu dengan jelas apa y ang mungkin terjadi, agar


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia tidak terkejut dan tidak berbuat sesuatu yang dapat
menyulitkan kedudukannya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak ingkar. Mereka telah menempuh jalan sebagaimana
dikatakan oleh orang yang mengaku bernama Naga Angkasa.
Mereka meninggalkan jalan di tengah-tengah bulak.
Menempuh lor ong kecil dan kemudian mengikuti tanggul
sungai. Bukit itu memang sudah nampak. Di kaki bukit kecil itu
terdapat padang perdu y ang cukup luas. Batu-batu padas
nampak berserakan diantara gerumbul-gerumbul yang
rimbun. Satu dua memang terdapat batang pohon yang
tumbuh menjulang. Tetapi tidak begitu banyak.
Dengan hati-hati kelima orang itu telah memasuki
padang perdu. Sementara itu matahari memang sudah
menjadi semakin rendah. "Kita berhenti disini," berkata Mahisa Murti, "aku kira
kedua orang itu berada di sekitar tempat ini."
Untuk beberapa saat kelima orang itu beristirahat. Panas
matahari sudah menjadi semakin berkurang. Di bawah
sebatang pohon y ang rimbun terasa angin bertiup segar.
Baru beberapa saat kemudian, mereka mendengar suara
desis yang bergaung mengumandang. Suara itu seakan-akan
bersumber dari ujung bukit kecil itu. Namun ketika mereka
memandang ke batu-batu padas di atas bukit, m aka mereka
melihat dua orang y ang berdiri tegak bertolak pinggang.
Hanya nampak beberapa jengkal saja.
Namun suara bergaung itu terdengar lagi. Seperti suara
sendaren dengan nada yang rendah yang ditiup keras-keras,
memenuhi udara. Demikian suara itu berhenti, maka kedua orang itu telah
berlari, berloncatan diantara batu-batu padas. Tubuh m ereka
nampaknya sangat ringan. Tanpa kesulitan mereka menuruni
tebing bukit yang hampir tegak.
Beberapa saat kemudian kedua orang itu sudah berdiri
beberapa langkah di depan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang meny ongsong mereka. Namun sambil tertawa Naga
Angkasa memperkenalkan saudaranya "Adik seperguruanku,
Naga Pratala." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat.
Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya "Apakah kalian
sudah lama menunggu"
"Kami memang berada di tempat ini sejak kemarin,"
jawab Naga Angkasa. "Dan kalian telah mempertunjukkan satu permainan
yang menarik," berkata Mahisa Murti pula.
"Permainan apa"," bertanya Naga Angkasa.
"Kalian telah menggertak kami dengan gaung y ang
mengumandang menggetarkan langit," jawab Mahisa Murti.
"Oo," Naga Angkasa tertawa " sama sekali bukan
permainan kami. Di atas bukit itu ada sebuah lubang yang
besar menusuk ke perut bukit itu. Didalamnya terdapat
sebuah goa y ang besar dan dalam. Nah, jika angin bertiup
cukup keras, m aka lubang itu akan melontarkan gaung yang
keras. Sama sekali bukan kemampuan kamilah y ang telah
membunyikannya." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya: "Maaf.
Ternyata pengetahuanku tentang perbukitan dengan segala
seluk beluknya sangat sempit. Tetapi juga karena aku sangat
menghargai tingkat kemampuan kalian, sehingga aku mengira
bahwa gaung itu adalah salah satu bentuk permainan kalian."
" Itu wajar saja. Ketika kau datang, akupun terkejut
mendengar gaung yang mengumandang itu. Tetapi akhirnya
aku sempat menemukan sumbernya," berkata Naga Angkasa.
"Baiklah," jawab Mahisa Murti " sekarang kami sudah
berada disini. Bukankah kalian menunggu kedatangan kami"
Sementara itu waktu kami hanya sedikit, sehingga kami akan
segera meneruskan perjalanan setelah keperluan kalian
dengan kami selesai."
"Bagaimana jika kalian tidak sempat keluar dari t empat
ini"," bertanya Naga Angkasa.
" Itu bukan pilihan kami," jawab Mahisa Murti.
"Kami m emang tidak ingin hal itu terjadi. Karena itu,
maka sebaiknya kita selesaikan saja persoalan kita dengan cara
yang paling baik," berkata Naga Angkasa.
"Cara y ang bagaimana y ang kalian tawarkan"," bertanya
Mahisa Murti. "Kami akan membeli sepasang keris y ang kalian bawa
itu. Kalian dapat menawarkan dengan harga berapa saja. Kami
akan berusaha untuk memenuhinya karena kami benar-benar
memerlukannya," berkata Naga Angkasa.
"Maaf Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "kami tidak akan
melepaskan senjata kami dengan cara apapun juga."
Naga Angkasa tertawa. Katanya: "Aku sudah m engira.
Karena itu, maka kami sudah bersiap-siap untuk merampas
pusaka-pusaka itu. Bagaimana jika kita bertempur" Jika kalian
kalah, kalian harus meny erahkan pusaka itu."
Tetapi jawaban Mahisa Murti ternyata tegas: "Kami
tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka kami. Kalah atau
menang." Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada rendah ia berkata: " Itu artinya kami harus membunuh
kalian." "Terserahlah," jawab Mahisa Murti.
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya: "Kalian
adalah anak-anak muda y ang berhati batu. Sebenarnya kami
tidak ingin membumih kalian, karena kalian masih t erlalu
muda untuk mati. Tetapi jika itu adalah pilihan kalian, maka
apa boleh buat." "Apakah kalian tidak mempunyai pemecahan lain","
tiba -tiba Naga Pratala bertanya: "aku merasa kasihan, bahwa
kalian akan mati muda."
"Aku mempunyai satu cara y ang baik," Mahisa Pukatlah
yang menjawab. "Katakan," desis Naga Pratala y ang nampaknya tidak
begitu banyak bicara. "Biarkan kami lewat," jawab Mahisa Pukat.
Naga Angkasa tertawa. Katanya "Itu bukan pemecahan."
Tetapi Mahisa Pukat menjawab lagi: "Pemecahan y ang
lain, y ang sebenarnya tidak kami kehendaki. Tetapi harus
kami lakukan jika cara yang pertama gagal."
"Katakan," desis Naga Angkasa.
"Membunuh kalian," jawab Mahisa Pukat.
Naga Angkasa mengerutkan keningnya. Dengan nada
tinggi ia bertanya: "Jadi kalian benar-benar merasa m ampu
untuk melawan kami?"
"Kenapa tidak"," jawab Mahisa Pukat.
"Bukankah kalian pernah mendengar nama kami" Naga
Angkasa dan Naga Pratala" Salah seorang dari kalian telah
bertanya tentang adik seperguruanku ketika kalian bertemu
dengan aku" Jika demikian, maka seharusnya kalian
menyadari, dengan siapa kalian berhadapan," berkata Naga
Angkasa. Yang menjawab kemudian adalah Mahisa Murti:
"Kesempatan kita sama. Kemungkinannya pun sama."
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Sejak semula aku memang sudah menduga bahwa kalian
adalah anak-anak muda y ang kurang berpengalaman,
sehingga tidak dapat menempatkan diri dengan baik diantara
mereka y ang memiliki ilmu yang tinggi. Adalah satu
kemalangan bahwa dalam keadaan kalian yang demikian,
kalian telah memiliki sepasang pusaka itu. Ternyata pusaka itu
tidak dapat membawa keberuntungan bagi kalian, tetapi ju stru
sebaliknya. Kalian telah terjebak ke dalam satu kepercayaan
yang salah seakan-akan dengan memiliki pusaka itu, kalian
akan dapat menggapai bintang. Tetapi yang terjadi, kalian
akan mati muda." Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
berkata kepada Mahisa Semu dan Wantilan: "Jangan ganggu
kami. Kami akan membuat perhitungan dengan kedua ekor
Naga ini." Mahisa Semu dan Wantilan m engangguk kecil. Mereka
mengerti apa y ang harus mereka lakukan. Karena itu, m aka
merekapun telah membimbing Mahisa Amping untuk menepi.
"Anak itu luar biasa," desis Naga Angkasa. "Jika kalian
terbunuh nanti, maka aku akan memelihara anak itu dan
akupun akan memenuhi janjiku, melindungi padukuhan yang
baru saja kalian tinggalkan."
"Terima kasih." Mahisa Pukatlah yang menyahut, "tetapi
kami tidak dapat menjanjikan apa-apa jika kami telah
membunuh kalian. Yang dapat kami lakukan satu-satunya
adalah menguburkan kalian. Hanya itu."
Wajah Naga Angkasa menjadi tegang. Tetapi iapun
kemudian berkata: "Kita tidak akan membuang waktu t erlalu
banyak. Langit sudah menjadi suram. Sebentar lagi malam
akan segera turun. Sedangkan kalian tidak lagi mau
memperhitungkan waktu."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah: "Sebaiknya kita cepat menyelesaikan
persoalan kita." Kedua orang yang menyebut dirinya Naga Angkasa dan
Naga Pratala itupun segera m empersiapkan diri. Yang muda
diantara mereka memang tidak banyak berbicara. Tetapi kerut
di keningnya serta sor ot matanya mengisy aratkan bahwa Naga
Pratala justru merupakan seorang y ang sangat berbahaya.
Demikianlah, maka kedua orang yang meny ebut dirinya
Naga Angkasa dan Naga Pratala itu telah menghadapi lawan
mereka masing-masing. Naga Angkasa telah berhadapan
dengan Mahisa Murti, sedangkan Naga Pratala berhadapan
dengan Mahisa Pukat. Naga Angkasa memandang langit sejenak. Bay angan
senja telah mulai turun. Dengn nada rendah ia berkata: "Kita
justru akan bertempur di malam hari."
"Ya," jawab Mahisa Murti "bukankah kau tidak
berkeberatan?" "Tidak," jawab Naga Angkasa, "justru sangat menarik.
Kita akan menguji ketajaman penglihatan kita masingmasing."
Mahisa Pukat tidak berbicara apapun lagi. Naga Patala
pun memang tidak ingin bertanya apapun. Tetapi ia ju stru
telah bersiap untuk mulai bertempur melawan Mahisa Pukat.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah
bergeser mendekat. Sementara itu, Naga Pratala pun dengan
tiba -tiba telah m eloncat meny erang. Kedua jari-jarinya yang
lurus dan kuncup pada ujungnya, mirip dengan kepada seekor
ular. Sementara itu, Mahisa Pukat pun masih belum
mempergunakan senjatanya pula.
Dengan demikian, maka kedua orang itupun segera
terlibat dalam pertempuran yang cepat. Naga Pratala ternyata
memiliki kecepatan gerak y ang tinggi. Bahkan kadang-kadang
tidak terduga. Sekali ia meloncat menerkam. Namun
kemudian berguling di tanah. Mulutnya berdesis, sementara
tubuhnya menggeliat. Tangannya y ang kuncup menyambar
dengan cepat. Tetapi Mahisa Pukatpun memiliki kemampuan y ang
tinggi pula. Dengan mengungkapkan tenaga dasarnya, maka ia
mampu melakukan sesuatu y ang tidak dapat dilakukan oleh
orang lain. Kecepatannya bergerakpun mengangumkan pula.
Dengan dukungan tenaga cadangan di dalam dirinya itu, maka
kekuatannya pun berlipat -lipat.
Naga Pratala yang pendiam itu memang menjadi heran.
Anak muda y ang masih muda itu ternyata telah memiliki ilmu
yang sangat tinggi y ang bahkan mampu mengimbangi
kemampuannya. Tetapi Naga Pratala itu belum sampai ke puncak.
Semakin lama ia bergerak semakin cepat. Beberapa kali ia
justru menjatuhkan diri dan menggeliat di tanah. Namun
kemudian melenting tinggi. Kedua tangannya menyambar
dengan cepatnya menggapai tubuh Mahisa Pukat.
Namun tidak mudah untuk meny entuh tubuh anak
muda itu, karena Mahisa Pukat pun mampu mengimbangi
kecepatan gerak lawannya. Ketika kedua tangannya
menyambar dari arah yang berbeda, Mahisa Pukat ju stru
meloncat tinggi. Berputar di udara dan demikian kedua
kakinya meny entuh tanah, iapun telah melenting pula
menyerang dengan kaki terjulur.
Lawannya memang terkejut sehingga harus meloncat
mundur, menghindar sambil mengambil jarak.
Tetapi Mahisa Pukat tidak memberikan waktu kepada
lawannya. Dengan cepat pula ia memburu dan meny erang
dengan sengitnya. Sementara itu, Mahisa Murtipun telah mulai bertempur
melawan Naga Angkasa. Memang agak berbeda dengan
saudara muda seperguruannya. Naga Angkasa lebih banyak
meloncat tinggi, kemudian menyambar dengan tangkasnya.
Namun unsur-unsur gerak pokoknya tidak berbeda dari Naga
Pratala. Naga Angkasa agaknya lebih senang bergerak dan
menyerang dari arah ketinggian.
Namun unsur y ang nampak pada jari-jari tangannya,
lambungnya y ang mampu menggelit dan berputaran,
lengannya, sama sekali tidak berbeda dari Naga Pratala,
karena sumbernya memang sama.
Tetapi Naga Angkasa lebih banyak berbicara dari adik
seperguruannya. Bahkan sekali-sekali ia tertawa jika
tangannya hampir saja meny entuh tubuh Mahisa Murti. Tetapi
jika ia terkejut karena serangan Mahisa Murti yang tiba-tiba
dan tidak diduganya, maka iapun telah mengumpat keraskeras.
Sementara itu, maka malam pun semakin menjadi gelap.
Di langit bintang-bintang gemerlapan. Angin malam ternyata
bertiup semakin keras. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping m emang
menjadi tegang. Bagaimana pun jauhnya jarak ilmu mereka,
tetapi mereka dapat juga mengenali betapa pertempuran itu
semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun semakin meningkatkan ilmu mereka,
karena lawan-lawan merekapun melakukannya pula.
Naga Angkasa dan Naga Pratala memang menguasai
beberapa jeni s gerak seekor ular. Bahkan seakan-akan
berkepala dua, karena kedua tangannya itu bagaikan menjadi
kepala ular y ang sangat ganas. Mematuk dengan cepat dan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian menyambar dari segala arah.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak
mudah mereka tundukkan. Sambaran-sambaran tangan
mereka masih belum mengenai sasaran.
Namun Naga Pratala yang berwajah gelap dan pendiam,
namun tatapan matanya y ang tajam itu benar-benar
mengejutkan Mahisa Pukat ketika tiba-t iba saja ia m eny erang
dengan kakinya. Sebelumnya memang jarang sekali
dilakukannya. Namun Mahisa Pukat masih mampu
menghindari serangan itu meskipun dengan sangat tergesagesa.
Rupanya hal itulah yang diharapkan oleh lawannya.
Demikian Mahisa Pukat bergeser, Naga Pratala telah
menjatuhkan dirinya, menggeliat dan kedua tangannya
mematuk kaki Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat m elenting tinggi. Namun di luar dugaan,
begitu ia menginjak tanah, serangan itu datang lagi. Naga
Pratala telah berguling menggeliat dan tangannya ternyata
mampu menyambar betis Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat m emang terkejut. Dengan serta merta ia
meloncat mengambil jarak beberapa langkah. Sementara Naga
Pratala telah bangkit dan berdiri tegak sambil bertolak
pinggang. Kaki Mahisa Pukat terasa sangat pedih. Bahkan menjadi
panas. Sesuatu terasa mendesak untuk menelusuri urat-urat
darahnya. Namun perasaan sakit yang sangat telah menggigit
di arah lukanya. Mahisa Pukat memang menjauhi lawannya. Dengan
cepat, ia sempat memukul dengan ujung jarinya tiga jalur urat
di sekitar lukanya. Ternyata dari luka itu kemudian telah
mengalir darah. Tidak terlalu banyak, namun tidak secair
darah wajarnya. Beberapa kali Mahisa Pukat memang harus memukul
lagi jalur urat darah di sekitarnya, sehingga darahnya menjadi
lebih banyak mengalir. Lawannya, Naga Pratala, memandanginya dengan
tegang. Kemudian dengan nada dalam ia berdesis "Kau
mempunyai kemampuan menangkal racun?"
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun darah y ang
mengalir dari lukanya pun kemudian semakin lama menjadi
semakin cair. Dengan demikian maka perasaan pedih dan
panaspun menjadi semakin susut.
"Anak iblis," geram Naga Pratala "kau dapat m engatasi
racunku?" Mahisa Pukat masih tetap berdiam diri. Tetapi ia sempat
mengambil obat dari kantung ikat pinggangnya, kemudian
ditaburkannya pada lukanya.
Baru kemudian ia berkata: "Racunmu racun y ang sangat
keras. Lukaku terasa sangat pedih dan panas. Hampir saja
penangkal racunku tidak mampu m endor ong bisa yang kau
tanamkan ke dalam kulitku lewat kukumu yang tajam itu.
Tetapi ternyata aku berhasil menolak kekuatan bisa yang kuat
itu. Yang tinggal sekarang adalah luka biasa, sebagaimana
kakiku tergores duri."
Naga Pratala menggeram. Betapa kemarahan
menggelegak didalam dadanya, namun ia tidak dapat ingkar
akan kenyataan y ang dihadapinya. Anak muda itu m emiliki
penangkal racun yang kekuatannya melampaui kekuatan
racunnya. Namun Naga Pratala tidak menghindar. la sudah
bertekad untuk mengambil pusaka y ang sepa sang itu dari
lawan-lawannya. Karena itu, m aka iapun telah m eloncat pula
menyerang Mahisa Pukat. Sementara itu, Mahisa Murti pun harus meningkatkan
ilmunya ketataran puncaknya ketika serangan-serangan Naga
Angkasa menjadi semakin deras. Namun ketika Naga Angkasa
melihat bahwa Mahisa Pukat mampu melawan bisa yang
digoreskan Naga Pratala ditubuhnya, maka Naga Angkasa pun
menduga bahwa lawannya itu t entu juga memiliki penangkal
bisa yang kuat sebagaimana saudaranya.
Karena itu, maka Naga Angkasa pun tidak lagi bertumpu
pada kekuatan racunnya. Tetapi ia harus mempergunakan
ilmunya yang dapat dipergunakannya untuk membunuh anak
muda yang keras kepala itu.
Sejenak kemudian maka pertempuran pun semakin
menjadi sengit. Naga Pratala bagaikan berterbangan mengitari
Mahisa Murti. Meski pun demikian, namun hampir setiap
serangannya dapat dipatahkannya. Sambaran kuku-kukunya
pada wajah Mahisa Murti sama sekali tidak berhasil
menyentuh sasarannya. Bahkan semakin lama Naga Angkasa itu menjadi
semakin gelisah. Hampir semua usahanya telah gagal.
Pa da puncak kemarahannya, maka Naga Angkasa telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendukung
kekuatan ilmunya yang tertinggi. Ilmu puncak yang jarang
sekali dipergunakannya. Hanya dalam keadaan y ang sangat
gawat, maka ia telah mempergunakan ilmunya itu.
Ketika serangan-serangan wadagnya tidak pernah
berhasil mengenai tubuh Mahisa Murti, bahkan justru Mahisa
Murtilah yang mulai menyentuh kulitnya, maka Naga Angkasa
telah m elepaskan ilmunya y ang disebutnya Naga Pasa. Ketika
ia menghentakkan tangannya ke arah lawannya, maka seakanakan
api telah meluncur terjulur memanjang seperti seutas tali
yang membara. Namun Mahisa Murti cepat tanggap. Kekuatan ilmu itu
merupakan ilmu yang sangat berbahaya. Api y ang terjulur
seperti seutas tali itu akan dapat membelitny a dan membakar
tubuhnya. Jika hal itu terjadi, maka sulit baginya untuk dapat
melepaskan diri dan bertahan untuk tetap hidup.
Karena itu, demikian bara y ang berbentuk seutas tali itu
terjulur, Mahisa Murti telah meloncat menghindarinya.
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah
terkejut melihat ilmu yang bagi mereka sangat mengerikan itu.
Mereka melihat bagaimana Mahisa Murti menjatuhkan
dirinya, berguling dan meloncat melenting tinggi ketika
serangan itu datang beruntun.
Ternyata bukan hanya Naga Angkasa sajalah y ang
kemudian mempergunakan ilmunya itu. Naga Pratalapun
telah mempergunakannya pula. Ilmu y ang sama itu benarbenar
telah membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengalami kesulitan. Naga Pratala yang lebih bergerak di atas
tanah, bahkan kadang-kadang berguling dan menelusuri
langkah-langkah kaki lawannya sambil mengeliat berputar.
Namun y ang tiba -tiba melenting tegak sambil menghentakkan
tangannya untuk melontarkan serangannya. Sedangkan Naga
Angkasa bagaikan seekor burung y ang terbang mengitari
lawannya. Kemudian dengan kuku-kukunya yang tajam
menyambar dengan cepat. Tetapi jika ia gagal, tiba-t iba saja ia
telah tegak berdiri sambil menghentakkan kedua belah
tangannya untuk melontarkan ilmunya, Naga Pasa.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang belum mapan itu harus berloncatan. Serangan y ang gagal
mengenai lawannya dan m enghantam batu-batu padas telah
menggetarkan jantung. Tali yang membara itu bagaikan
membelit dan kemudian meremas sa sarannya. Batu-batu
padaspun telah diremukkannya hingga berserakkan.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingin
membiarkan diri mereka diburu oleh serangan-serangan
lawannya tanpa membalasny a.
Sementara itu terdengar Naga Angkasa tertawa
berkepanjangan. Dengan suara yang menggelegar memenuhi
udara ia berkata: "Jangan meny esal anak muda. Kau sebaiknya
mengenal ilmu Naga Pasa. Ilmu yang jarang ada bandingnya di
saat sekarang ini. Mungkin kau pernah mendengarnya atau
bahkan menyaksikan kedahsyatannya. Namun jenis ilmu ini
ada beberapa macam. Sesuai dengan tataran kemampuan
landasan ilmunya masing-masing. Ilmu yang kau saksikan
sekarang, adalah ilmu Naga Pa sa pada tingkat tertinggi karena
landasan ilmu kami adalah landasan tertinggi pula dari
mereka y ang mempelajari ilmu ini. Jika kau sempat
mempelajarinya, maka kaupun akan m encapai tataran ilmu
tertinggi, karena ternyata landasan ilmu kalianpun merupakan
ilmu yng sangat tinggi. Tetapi jika kalian mampu menjalani
laku untuk mewariwi ilmu Naga Pasa."
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia sudah siap
dengan kemampuan puncaknya pula. Bahkan Mahisa Murti
telah mengerahkan segenap ilmu yang dimilikiny a untuk
mengatasi ilmu Naga Pasa.
Karena itu, maka Mahisa Murti tidak setengah-setengah
menghadapi lawannya yang berilmu sangat tinggi itu. Ketika ia
mendapatkan kesempatan, maka tiba -tiba saja tangannya
telah menggenggam pusakanya yang oleh pembuatnya disebut
sebagai sebilah keris. Naga Angkasa memang terkejut melihat Mahisa Murti
telah menarik senjatanya. Bahkan Naga Pratalapun telah
kehilangan waktu sekejap untuk menyaksikan keris yang
bercahaya kehijau-hijauan itu. Sementara itu, Mahisa Pukat
telah m empergunakan waktu yang sekejap itu untuk menarik
senjatanya pula. "Bukan main," desis Naga Angkasa "kalian memang
orang-orang muda y ang berilmu sangat tinggi. Cahaya
kehijauan itu tidak akan menyilaukan dan bahkan seakanakan
ny ala lidah api jika tidak berada di tangan orang yang
berilmu sangat tinggi."
"Masih belum terlambat bagi kalian untuk meny ingkir,"
berkata Mahisa Murti. "Tidak anak muda," jawab Naga Angkasa "justru karena
itu aku menjadi semakin tertarik kepada pusaka itu. Sebelum
kami benar-benar meremasmu dengan ilmu Naga Pasa, maka
sebaiknya kau serahkan saja pusaka-pusaka itu."
"Jangan melakukan pekerjaan sia -sia," geram Mahisa
Pukat "kecuali jika kalian memang sudah bersedia mati."
"Kau terlalu sombong anak muda. Betapapun
dahsy atnya pusaka seseorang, segala sesuatunya tergantung
kepada tangan yang menggenggamnya," berkata Naga
Angkasa. Ternyata kedua belah pihak tidak ada yang berniat
mengurungkan pertempuran itu. Keduanya sudah bersiap
untuk menghadapi akibat yang paling pahit sekalipun.
Karena itu, maka pertempuran pun segera berlanjut.
Mahisa Murti berusaha untuk m engurangi tekanan ilmu yang
dilontarkan dalam bentuk bara y ang memanjang bagaikan
seutas tali y ang besar dan kuat yang m ampu m enjerat dan
meremas sasarannya. Dengan tangkasnya Mahisa Murti telah meloncat sambil
menjulurkan pedangnya y ang bagaikan menyala kehijauhijauan.
Naga Angkasapun telah meloncat menghindar. Ketika
Mahisa Murti memburunya, maka Naga Angkasa itu telah
mempergunakan senjatanya pula untuk menangkis seranganserangan
Mahisa Murti. Sepa sang trisula y ang tidak terlalu
besar dan bertangkai tidak lebih dari sejengkal.
Di tangannya, maka trisula itu bagaikan telah m enyatu
sebagai perpanjangan jari-jarinya yang kokoh kuat karena
terbuat dari besi baja pilihan.
Nampaknya Naga Angkasa memang ingin mencoba
kemampuan senjata Mahisa Murti. Karena itu, beberapa kali
Naga Angkasa telah menangkis serangan-serangan Mahisa
Murti. Tetapi terasa oleh Naga Angkasa, pengaruh dari
kelebihan yang terdapat pada pusaka Mahisa Murti. Setiap
terjadi benturan, maka terasa tangan Naga Angkasa bergetar.
Trisulanya seolah-olah tidak bertenaga. Ketika pedang di
tangan Mahisa Murti itu sempat terjepit diantara mata
trisulanya, m aka Naga Angkasa telah berusaha memutarnya
agar senjata itu terlepas dari genggaman Mahisa Murti. Tetapi
ternyata trisulanya seakan-akan justru telah melengkung.
Dengan cepat Naga Angkasa mengurai himpitan
trisulanya atas senjata Mahisa Murti. Namun ternyata bahwa
trisulanya sama sekali tidak menjadi cacat.
"Gila," geram Naga Angkasa y ang kemudian menjadi
semakin garang. Demikian pula Naga Pratala. Iapun telah bersenjata
pula. Naga Pratala tidak mempergunakan sepasang trisula.
Tetapi ia telah menggenggam sepasang pisau belati yang
warnanya justru kehitam-hitaman. Namun Mahisa Pukat tidak
menghiraukan lagi m elihat warangan pada pisau-pisau belati
itu, karena racun dan bisa tidak akan melumpuhkannya.
Namun Naga Pratalapun tidak mampu mengatasi
permainan pedang Mahisa Pukat, sehingga pada satu
kesempatan, Naga Pratala telah meny erang lagi dengan
ilmunya Naga Pasa yang justru meluncur dari mata pisau
belatinya. Tetapi Naga Pratala memang terkejut, Lontaran ilmunya
seakan-akan telah menyusut dari lontaran ilmu itu
sebelumnya. Meskipun ilmu yang luput dari sasarannya itu
masih mampu membelah batu padas di lereng bukit kecil itu.
Tetapi Naga Pratala tidak menghiraukannya. la hanya
menduga bahwa ia memang belum sempat mengumpulkan
kekuatan serta pemusatan nalar budinya untuk ancang-ancang
melontarkan ilmunya, Dengan demikian, maka Naga Pratala
berniat untuk menghentakkan segenap kemampuannya pada
serangan-serangan berikutnya.
Sementara itu, Mahisa Pukatpun masih berusaha untuk
meloncat m eny erang dengan pedangnya. Namun kesempatan
menjadi semakin sempit. Naga Pratala telah meny erangnya
dengan ilmunya Naga Pa sa.
Tetapi demikian serangan itu meluncur luput dari
sa saran karena Mahisa Pukat sempat m enghindarinya, maka
anak muda itu telah meloncat menyerangnya.
Dengan sepa sang pisau belati Naga Pratala berusaha
untuk menangkis setiap serangan. Tetapi karena senjata
Mahisa Pukat lebih panjang, serta kemampuan ilmu
pedangnya yang sangat tinggi, maka Naga Pratala lebih
memusatkan serangan-serangannya dengan ilmunya Naga
Pa sa. Akhirnya, Mahisa Pukatpun tidak lagi sempat mendekat.
Serangan-serangan Naga Pratala datang beruntun meskipun
Naga Pratala sendiri merasa heran, bahwa kemampuan
ilmunya seakan-akan benar-benar telah menyusut.
Sementara serangan-serangan itu datang berurutan,
maka Mahisa Pukat telah mengurungkan niatnya untuk


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melumpuhkan lawannya dengan menyusut kekuatan serta
ilmunya. Ternyata cara itu sangat berbahaya baginya. Semakin
dekat ia dengan sumber ilmu Naga Pasa itu, m aka semakin
sulit baginya untuk menghindarinya.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun telah memutuskan
untuk meny erang lawannya dari jarak yang tidak terlalu dekat.
Mahisa Pukat tidak lagi berniat meny erang dengan pedangnya.
Yang bertempur tidak kalah garangnya adalah Naga
Angkasa. Tangannya yang menggenggam trisula menyambarnyambar
mengerikan. Sekali-sekali, jika tangannya tidak
mampu menjangkaunya, maka Naga Angkasa itupun telah
menyerang dengan ilmu Naga Pasanya pula.
Seperti Mahisa Pukat, Mahisa Murtipun mengalami
kesulitan untuk bertempur pada jarak y ang dekat. Meskipun ia
sudah berhasil menyusut ilmu lawannya, tetapi seranganserangan
ilmu Naga Pa sa masih saja sangat
membahayakannya. Karena itu, maka dalam keadaan yang sangat gawat,
kedua anak muda itu sudah bertekad untuk mengakhiri
pertempuran itu dengan ilmu puncak mereka.
Dalam pada itu, ketika serangan-serangan Naga Pratala
datang susul menyusul, maka Mahisa Pukat harus berloncatan
menghindarinya. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat harus
menjatuhkan diri berguling-guling, kemudian melenting
berdiri dan meloncat surut. Bahkan kemudian Mahisa Pukat
itu dengan cepatnya bagaikan melayang keatas batu padas di
tebing bukit kecil itu. Naga Pratala sama sekali tidak melepaskannya. Iapun
meloncat ke tempat y ang terbuka sehingga dengan jela s ia
dapat m elihat kedudukan Mahisa Pukat di atas batu padas di
sebelah pohon perdu dalam keremangan malam.
Ternyata bahwa Naga Pratala masih belum mengenal
Mahisa Pukat dengan baik. Karena itu, maka ia tidak mengira
bahwa Mahisa Pukatpun akan mampu meny erangnya dari
jarak sejauh jangkauan ilmu Naga Pa sa.
Karena itu, ketika Naga Pratala mengangkat sepasang
pisau belatinya, maka Mahisa Pukatpun telah mengangkat
pedang pusakanya y ang menyala kehijau-hijauan.
Demikian bara y ang memanjang terjulur dari ujung
kedua pisau belati Naga Pasa y ang menyatu itu, m aka dari
lidah api yang menyala pada daun pedang Mahisa Pukatpun
telah meluncur serangan yang tidak kalah dahsy atnya.
Naga Pratala terkejut melihat serangan itu. Tetapi semua
itu t erjadi begitu cepatnya. Mahisa Pukat sendiri sama sekali
tidak berniat untuk menghindar. la tahu pa sti bahwa kekuatan
ilmu Naga Pratala dalam tataran tertinggi ilmu sudah susut,
karena landasan pendukungnya telah dipengaruhi oleh
sentuhan-sentuhan kekuatan ilmu Mahisa Pukat y ang lain.
Sementara itu Naga Pratala y ang terkejut itu m emang
tidak sempat m enghindar, Apalagi Naga Pratala sendiri tidak
yakin apa yang sebenarnya sedang dihadapinya.
Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi
benturan ilmu yang dahsyat. Bara y ang terjulur memanjang itu
telah membentur gumpalan cahaya y ang kehijau-hijauan yang
seakan-akan meluncur dari daun pedang anak muda itu.
Sebuah ledakan telah mengguncang udara malam.
Getarannya seakan-akan saling mendorong diantara dua
kekuatan ilmu yang sangat tinggi itu.
Tetapi kekuatan ilmu Naga Pa sa benar-benar sudah
menyusut. Karena itu, maka getaran kekuatan ilmu itu seakanakan
telah terdorong oleh kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh
Mahisa Pukat justru langsung menelusuri arah balik
menghantam tubuh Naga Pratala.
Ternyata bahwa kekuatan ilmu Mahisa Pukat yang masih
jauh lebih kuat itu telah menghantam tubuh Naga Pratala
setelah m endorong dan merupakan kekuatan balik ilmu Naga
Pa sa sendiri. Dengan demikian, maka tubuh Naga Pratala itu
telah terlempar beberapa langkah dan langsung jatuh
terbanting di atas batu-batu padas.
Satu keny ataan y ang tidak dapat diingkari. Naga Pratala
tidak mampu bertahan. Getaran y ang dahsy at telah
mengguncang isi dadanya, melampaui kemampuan daya
tahannya. Karena itu, maka Naga Pratala itupun tidak akan
dapat bangkit lagi untuk selamanya.
Naga Angkasa melihat, bagaimana adik seperguruannya
itu terbanting jatuh dan tanpa dapat bergerak lagi.
Diluar sadarnya, Naga Angkasa itupun telah berteriak
memanggil "Pratala. Pratala."
Tidak ada jawaban. Naga Pratala memang sudah tidak
bernyawa lagi. Perlahan-lahan Naga Angkasa telah meninggalkan
Mahisa Murti y ang termangu-mangu. Dipandanginya saja
Naga Angkasa y ang melangkah mendekati adik
seperguruannya. Sejenak kemudian Naga Angkasapun telah berlutut
disamping tubuh Naga Pratala. Sambil meraba tubuh yang
masih hangat itu Naga Angkasa berkata dengan suaranya yang
bergetar "Kau tinggalkan aku. Selama ini nama kita saling
berkaitan. Kita selalu bergerak berpasangan. Tetapi kini kau
telah meninggalkan aku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan hati-hati telah
melangkah m endekat. Pedang mereka masih tetap berada di
tangan. sementara itu, merekapun siap menghindar jika Naga
Angkasa tiba-tiba saja telah meny erang.
Tetapi Naga Angkasa ternyata tidak berbuat apa-apa. Ia
justru telah meny elipkan senjatanya sambil berkata: "Kalian
adalah anak-anak muda yang luar biasa. Meskipun kami tahu
bahwa kalian memiliki k emampuan y ang sangat tinggi, tetapi
yang kami hadapi adalah satu keny ataan y ang jauh lebih tinggi
dari perhitungan kami. Satu hal y ang tidak diperhitungkan
oleh adik seperguruanku adalah ilmu kalian y ang juga baru
aku sadari setelah terlambat. Aku sudah mengira bahwa aku
tidak akan dapat mengalahkanmu."
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" bertanya Mahisa
Murti. "Aku sudah kehilangan sebagian dari kemampuanku.
Seandainya Naga Pratala tidak terlambat sebagaimana aku
sendiri, m aka aku kira benturan ilmu kami dan ilmu kalian
akan sangat menarik. Naga Pratala tidak akan mati dalam
benturan ilmu yang pertama. Benturan itu tentu akan
berulang dan berulang lagi. Mungkin Naga Pratala dan aku
akan mati juga. Tetapi tentu tidak akan begitu cepatnya,"
jawab Naga Angkasa. Lalu katanya pula: "Ternyata kalian
memiliki ilmu yang hampir tidak dimiliki orang lain lagi
sekarang ini. Dan itu sama sekali diluar perhitungan kami."
"Jadi?" bertanya Mahisa Pukat pula.
"Kami sudah kalah. Aku sudah tidak mempunyai
kekuatan dan kemampuan cukup untuk melawan kalian. Jika
aku masih mencoba bertahan, aku berharap bahwa Naga
Pratala akan dapat mengatasi lawannya. Namun ternyata
lawan adik seperguruanku itupun memiliki ilmu sebagaimana
kau miliki. Dengan demikian maka sekarang tidak ada lagi
gunanya aku melawan. Terserah kepada kalian, apakah kalian
akan membunuhku atau tidak." jawab Naga Angkasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Agaknya Naga Angkasa benar-benar tidak ingin
bertempur lagi. Ia merasa bahwa jika itu dilakukannya, maka
tidak akan ada gunanya lagi.
"Jika kalian ingin membunuh aku, lakukanlah. Kalian
dapat membunuhku dengan cara yang sama, sebagaimana
kalian membunuh adik seperguruanku. Naga Angkasa tidak
lagi mempunyai arti tanpa Naga Pratala," berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murtilah y ang menjawab: "Tidak Ki
Sanak. Jika kau juga mati, m aka tidak akan ada orang yang
dapat meny elenggarakan tubuh kalian. Karena itu, maka
biarlah kau tetap hidup. Kau akan dapat berbuat sesuatu bagi
adik seperguruanmu. Sebenarnya tidak ada terlintas satu
keinginan untuk membunuh seseorang. Tetapi kadang-kadang
keadaan telah menyudutkan kami, sehingga kami harus
melakukannya." Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Perlahanlahan
ia bangkit sambil berkata: "Kenapa kalian tidak
membunuhku" Tentu bukan karena sekedar tidak ada orang
yang dapat menimbuni tubuh kami dengan batu-batua
padas?" " Itulah yang m enjadi keputusan kami. Kadang-kadang
seseorang sulit untuk mengerti, kenapa ia melakukan sesuatu,"
jawab Mahisa Murti. Naga Angkasa memandang kedua orang anak muda itu
berganti-ganti. Pedang yang dipergunakan itu masih berada di
dalam genggaman mereka. "Aku mohon maaf," tiba-tiba saja Naga Angkasa berdesis
"bukan agar kalian membiarkan aku hidup. Hidup atau mati,
aku akan tetap merasa wajib minta maaf kepada kalian, karena
aku dan adik seperguruanku sudah berniat untuk m erampas
milik kalian yang sangat berharga itu."
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "sudah aku katakan,
bahwa aku tidak akan dapat melayani kalian terlalu lama.
Kami akan meneruskan perjalanan kami."
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Namun ia masih
berkata dengan suara parau: "Disamping ilmu-ilmu kalian
yang dahsyat, ternyata kalian juga memiliki penangkal bisa
yang sangat kuat. Karena itu, kalian adalah orang-orang yang
sulit mendapatkan lawan sekarang ini."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun berkata: "Sudahlah. Persoalan diantara kita,
kita anggap sudah selesai."
Naga Angkasa mengangguk hormat. Katanya: "Terima
kasih. Kalian memang orang-orang yang pilih tanding. Bukan
sa ja soal olah kanuragan jay a kasantikan. Tetapi jarang orang
yang memiliki kebesaran hati seperti kalian. Aku bukan orang
yang mudah tunduk dan meny erah. Tetapi sikap kalian
membuat aku benar-benar tidak berday a. Bukan saja untuk
kali ini. Tetapi bagiku, tanpa Naga Pratala, masa depanku
tidak akan berarti apa-apa lagi. Pusaka dan ilmu yang tinggi,
tidak akan dapat menolong memulihkan hatiku yang
terbelah." "Karena itu, maka kau dapat berbuat sesuatu yang lebih
baik di masa mendatang," berkata Mahisa Murti.
"Ya. Aku memang merasa wajib untuk m elakukannya.
Aku berjanji untuk melakukan hal yang baik sebagaimana
pernah kau jalani," berkata Naga Angkasa.
"Mudah-mudahan hatimu tidak berubah," berkata
Mahisa Murti kemudian. Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk hormat ia berkata: "Semoga. Aku adalah orang
yang lemah. Hatiku kadang-kadang seperti ujung ilalang yang
hanyut ditiup searah angin. Namun akan aku mencoba untuk
menganyam satu key akinan hidup di masa mendatang,
sehingga akan dapat menjadi sandaran yang kokoh bagiku.
Satu pilihan yang tidak m udah bergeser dari alas satu sikap
hidup." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya:
"Lakukanlah. Semoga Yang Maha Agung selalu memberi
terang di hatimu." Naga Angkasa mengangguk kecil sambil berkata "Aku
akan selalu mohon terang dihatiku."
Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa
sudah cukup lama berada di bukit itu. Sebagaimana telah
dikatakan, maka m ereka akan segera melanjutkan perjalanan.
Sementara mereka membiarkan Naga Angkasa itu m engurusi
tubuh adik seperguruannya y ang telah terbunuh dalam
pertempuran itu. Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti, Mahisa
Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun telah
melanjutkan perjalanan. Mereka telah menambah kesan
buram di dalam hati dengan kematian Naga Pratala. Sepa sang
pusaka y ang telah m ereka bawa itu, m embuat mereka harus
membunuh dan membunuh. Tetapi itu bukan berarti jika
pusaka itu lepa s dari tangan mereka tidak akan terjadi
kematian-kematian y ang beruntun karena pusaka itu.
"Kita m embunuh sifat-sifat tamak dan dengki," berkata
Mahisa Muri di dalam hatinya "hanya orang -orang yang
demikian sajalah y ang berusaha untuk mengambil pusakapusaka
ini. Sedangkan jika pusaka-pusaka itu jatuh ke tangan
orang lain, mungkin akan dipergunakan untuk kepentingan
yang lain pula. Bahkan untuk melawan kebenaran."
Scmentara itu, sekelompok kecil yang terdiri dari lima
orang itu itupun telah meninggalkan bukit kecil itu. Naga
Angkasa sempat melihat langkah-langkah mereka di atas batubatu
padas yang terhampar di kaki bukit kecil itu. Semakin
lama semakin jauh dan kemudian hilang dalam kegelapan.
"Anak-anak y ang luar biasa," desis Naga Angkasa,
"bukan saja kemampuannya dalam olah kanuragan. Tetapi
jarang ada orang yang berjiwa besar seperti mereka."
Namun Naga Angkasa pun kemudian kembali
merenungi adik seperguruannya y ang telah terbunuh. Ia
sangat meny esal bahwa saudara seperguruannya itu telah
terbunuh. Tetapi ia tidak meny esali anak muda yang telah
membunuhnya. Tiba-tiba saja hati Naga Angkasa memang
bagaikan terbuka. Ia melihat sikap Mahisa Pukat sebagai sikap
yang sewajarnya. "Anak m uda itu hanya sekedar membela diri," berkata
Naga Angkasa kepada diri sendiri.
Ketika angin m alam berhembus membawa udara y ang
dingin, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sudah jauh
meninggalkan bukit kecil itu. Bintang-bintang di langit sudah
bergeser semakin ke Barat. Selembar-selembar awan hanyut di
alirkan angin y ang semilir.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan dipaling depan
sambil menunduk. Mereka telah menyusuri jalan y ang tidak
terlalu sempit. Tetapi juga bukan jalan y ang agaknya menuju
ke padukuhan y ang ramai.
Sementara itu, Mahisa Semu dan Wantilan melihat
bahwa Mahisa Amping nampaknya sudah menjadi lebih dan
bahkan kantuk. Tetapi anak itu sama sekali tidak mengeluh. Ia
berusaha untuk berbuat sebagaimana dilakukan oleh orangorang
lain y ang berjalan bersama-samanya itu.
Namun Mahisa Semu akhirnya tidak sampai hati untuk
tetap berdiam diri. Iapun kemudian melangkah menyusul


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di depan.
"Mahisa Amping nampaknya sudah menjadi sangat letih
meskipun ia tidak mengatakan sesuatu," berkata Mahisa
Semu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan terkejut
mendengar kata-kata itu. Merekapun telah berhenti dan
kemudian melangkah mendekati Mahisa Amping.
"Kau sudah m engantuk"," bertanya Mahisa Murti y ang
melihat mata anak itu hampir terkatub.
Mahisa Amping tidak langsung m enjawab. Ia m emang
ragu-ragu. "Kau tentu letih dan mengantuk," berkata Mahisa
Pukat. Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia memang lelah
dan mengantuk seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Sementara itu Mahisa Murtipun berkata "Baiklah. Kita
akan berhenti dan b eristirahat. Bukan hanya Mahisa Amping
yang m erasa lelah dan m engantuk, akupun merasa lelah dan
mengantuk." Demikianlah, m aka mereka berlima pun telah mencari
tempat untuk beristirahat. Mereka kemudian menemukan satu
padang perdu yang sesuai mereka pergunakan untuk
beristirahat. Sebuah pohon yang besar tumbuh diantara batubatu
padas. Akar-akarnya mencengkam dicelah-celahnya
menusuk ke perut bumi. Beberapa kali Mahisa Amping memandang pohon itu.
Ada perasaan ngeri juga m elihatnya. Pohon itu rasa-rasanya
seperti raksasa y ang akan menekamnya.
Tetapi karena ia tidak sendiri, maka iapun telah
memberanikan diri berbaring diantara Mahisa Semu dan
Wantilan dibawah pohon raksasa itu.
"Kau tahu, pohon raksasa ini pohon apa "," bertanya
Wantilan. Mahisa Amping rasa-rasanya tidak dapat
mengucapkannya, m eskipun ia tahu bahwa pohon itu adalah
pohon beringin. "He, kau tidak tahu pohon apa ini"," desak Wantilan.
"Aku tahu - jawab Mahisa Amping.
"Jika tahu, sebut. Pohon apa"," bertanya Mahisa Semu
pula. Dengan sedikit m emaksa diri Mahisa Amping akhirnya
menyebut juga "Pohon beringin."
Mahisa Semua dan Wantilan tertawa tertahan. Dengan
nada dalam Mahisa Amping berkata "Tentu benar. Aku tahu
pasti." "Kenapa kau takut menyebutnya" Pohon beringin. Nah,
bukankan tidak apa-apa"," bertanya Wantilan.
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya ia
sudah menumpahkan beban di dadanya. Demikian ia
mengucapkan jenis pohon raksasa itu, maka rasa-rasanya
jantungnya menjadi ringan.
"Tidurlah," terdengar suara Mahisa Murti berat.
Sementara itu, justru Mahisa Pukat sudah lebih dahulu
mendekur dibalik batang pohon raksasa itu. Nampaknya
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi m alam itu
dengan berjaga-jaga. Sejenak kemudian, maka Mahisa Ampingpun segera
tertidur. Angin y ang mengalir membuat tubuhnya terasa
segar. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan. Merekapun
kemudian telah tertidur pula.
Ketika fajar mulai membayang di langit, Mahisa Semu
telah terbangun. Yang ditemuinya tidur di batik batang pohon
raksasa itu adalah Mahisa Murti.
Namun iapun kemudian melihat Mahisa Pukat duduk
beberapa langkah dari pohon itu, di atas seonggok batu padas.
Mahisa Amping y ang kemudian juga terbangun bersama
Wantilan telah minta ijin kepada Mahisa Pukat untuk berlatih.
"Lakukan bertiga. Tetapi di atas bongkah batu-batu itu.
Jangan kejutkan Mahisa Murti. Ia baru saja menggantikan aku
yang agak terlambat terjaga. Sementara Mahisa Murti Tidak
mau membangunkannya berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya
kepada Mahisa Semu "Tolong bantu anak itu."
Ketiganyapun kemudian berdiri di atas bongkahan batu
padas. Perlahan-lahan mereka mulai memusatkan nalar budi,
mengatur pernafasan dan peredaran darah mereka. Baru
kemudian mereka berlatih perlahan-lahan. Tidak dengan serta
asal saja tenaganya dapat melakukannya.
Sudah bebeiapa lama Mahisa Amping tidak
melakukannya. Karena itu, maka ia nampak menjadi sangat
bergairah melakukan unsur-unsur gerak pojok dari unsurunsur
gerak perguruan yang diturunkan oleh Mahendra.
Dengan lincahnya Mahisa Amping berloncatan.
Tangannya bergerak dengan tangkas. Sekali memutar,
kemudian meloncat kesamping.
"Seperti kata Naga Angkasa, anak itu adalah anak y ang
sangat baik," berkata Mahisa Pukat didalam hatinya ketika ia
melihat anak itu berloncatan.
Langitpun semakin lama menjadi semakin merah. Tidak
orang berlatih dengan melepaskan unsur-unsur gerak yang
bersamaan. Semakin lama menjadi semakin cepat. Tangannya,
kakinya dan tubuhnya yang kecil itu telah dapat menunjukkan
keperkasaannya sebagai seorang yang berlatih dalam olah
kanuragan. Dalam latihan y ang semakin cepat itu Mahisa Amping
sekali meloncat ke kiri, kemudian berganti ke kanan dan
sebaliknya. Mahisa Murti sendiri memang masih tidur ny enyak.
Namun sinar matahari y ang pertama justru telah jatuh dengan
warna ke kuning-kuningan di tubuh Mahisa Murti, sehingga
iapun segera telah bangkit berdiri.
Mahisa Murti melihat arah pandangan Mahisa Pukat.
Dengan demikian ia telah melihat dasar-dasar ilmu kanuragan
yang di peragakan Mahisa Amping dengan manis.
"Anak itu memiliki kecerdasan yang cukup tinggi,"
berkata Mahisa Murti kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun telah duduk
pula disamping Mahisa Pukat. Hati keduanya memang
menjadi berkembang melihat Manisa Amping dengan latihanlatihannya.
Agak berbeda dari Mahisa Semu dan apalagi Wantilan.
Mahisa Amping adalah seorang anak yang dengan murni
menerima tuntunan dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apa
yang ada di dalam dirinya sebelumnya, telah dikosongkannya.
Dari unsur yang pertama dikenalnya dalam olah kanuragan,
maka unsur itu adalah unsur dari ilmu y ang disadapny a dari
kedua anak muda itu. Mahisa Semu dan apalagi Wantilan, sebelumnya
memang telah memiliki lambaran meskipun hanya selapis.
Namun ternyata kemudian yang nampak pada wajah
kemampuan olah kanuragan dari kedua orang itu juga ilmu
yang diturunkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun
kadang-kadang memang ada warna lain y ang muncul diantara
unsur -unsur gerak itu. Ketika m atahari nampak naik di punggung bukit, maka
mereka semakin tertarik kepada mereka yang sedang berlatih.
Terutama Mahisa Amping. Tubuhnya y ang kecil, tangannya
dan kakinya yang masih pendek, bergerak dengan cepat dan
cekatan. "Mudah-mudahan mereka akan benar-benar menjadi
seorang yang akan dapat menjadi panutan di padepokan kita,"
desis Mahisa Pukat. "Terutama anak itu. Dilihat dari umurnya, maka Mahisa
Semu dan apalagi paman Wantilan, bukannya panutan di
masa depan. Meskipun mereka akan dapat memperkuat
kedudukan padepokan kita, tetapi mereka sebagaimana kita
adalah panutan bagi masa sekarang. Sedangkan Mahisa
Amping m erupakan harapan bagi perkembangan padepokan
kita di masa depan," sahut Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
membiarkan mereka bertiga berlatih. Mereka berloncatan dari
satu batu ke batu yang lain. Mereka-tidak lagi bergerak dengan
unsur -unsur yang sama. Namun mereka telah m enyesuaikan
gerak mereka dengan kemungkinan gerak di mana mereka
berdiri. Meskipun demikian, Mahisa Amping masih tetap
menunjukkan harapan bagi masa mendatang.
Selagi ketiga orang itu berlatih, maka tiba-t iba saja telah
nampak sesosok tubuh y ang muncul dari arah matahari t erbit.
Memang agak silau untuk memperhatikannya. Namun Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat segera mengenalinya, orang itu
adalah Naga Angkasa. Tetapi ia datang sendiri.
Namun bagaimanapun juga Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menjadi berdebar-debar. Mungkin setelah sempat
merenung, Naga Angkasa mengambil keputusan lain.
Mungkin ia siap untuk menuntut balas sampai batas
kematiannya. Karena itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa
Pukat telah bersiap. Naga Angkasa itu dapat memilih salah
seorang dari keduanya untuk menjadi lawannya.
Tetapi semakin dekat semakin ternyata bahwa sikapnya
bukan sikap y ang bermusuhan. Meskipun demikian, Mahisa
Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah berhenti berlatih.
"Kenapa kalian berhenti," berkata Naga Angkasa
"teruskan. Aku senang melihat kalian berlatih dengan
sungguh-sungguh. Kalian mengembara sambil meningkatkan
ilmu kalian dengan mempergunakan sanggar terbuka yang
luas tanpa batas. Mempergunakan alat yang disediakan oleh
alam y ang ternyata tidak kalah dari alat-alat yang disediakan
dalam sanggar dan dibuat oleh tangan manusia."
Ketika orang itu sama sekali tidak menjawab. Namun
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatlah yang telah berdiri sambil
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
"Aku sama sekali t idak berniat buruk," berkata Naga
Angkasa. "Marilah," Mahisa Murtipun telah mempersiapkan. Naga
Angkasa pun mendekat. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mempersilahkannya duduk di atas batu padas,
sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
mengambil jarak. Naga Angkasa ternyata tidak tersinggung. la menyadari
sikap hati-hati kedua orang anak muda itu karena
kedatangannya. "Aku datang justru untuk memberikan pengakuan,
bahwa ilmuku sama sekali bukan imbangan dari ilmu kalian,"
berkata Naga Angkasa. "Tidak," jawab Mahisa Murti "namun ada sesuatu y ang
memang berada diluar jangkauan penalaran manusia."
"Aku mengerti. Tidak seorangpun dapat mendahului
kehendak Yang Maha Agung," desis Naga Angkasa.
Mahisa Murti mengangguk. Katanya: "Kau sadari itu?"
"Sebenarnya aku mengerti sejak awal dari
petualanganku. Tetapi kadang-kadang pengertianku itu
tersisih oleh ketamakan dan kedengkianku," berkata Naga
Angkasa "sekarang aku sadar, bahwa kita tidak akan dapat
melepaskan diri dari kehendak-Ny a apapun yang kita
kehendaki." Mahisa Murti mengangguk-angguk.
"Sebenarnya ada satu keinginanku y ang ingin aku
sampaikan kepada kalian," berkata Naga Angkasa kemudian.
"Apa"," bertanya Mahisa Murti.
"Aku ingin bergabung dengan kalian," jawab Naga
Angkasa "selain mendapatkan kawan mengembara, maka aku
akan dapat menambah ilmuku y ang akan dapat aku sadap dari
kalian." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun sambil tersenyum Mahisa Murti berkata:
"Kau adalah seorang y ang berilmu tinggi."
"Kau juga berkenan mengembara bersama kedua orang
itu," berkata Naga Angkasa.
Mahisa Murti ternyata justru tertawa. Dengan nada
rendah ia berkata: "Mereka adalah pemula-pemula y ang ingin
memperdalam i lmu m ereka. Berbeda dengan kau, y ang telah
memiliki kematangan ilmu y ang bahkan sulit mencari
bandingnya. Dengan demikian kau telah memiliki duniamu
sendiri sesuai dengan kehendakmu."
Naga Angkasa menarik dalam-dalam. Katanya: "Tetapi
kau telah mengguncang duniaku. Kau telah menghancurkan
kebersamaanku dengan adik seperguruanku. Tetapi itu bukan
salah kalian. Namun bagaimanapun juga keberadaanku telah
terguncang. Lebih dari itu, tiba -tiba saja kau telah mampu
berdiri di atas penghargaanku terhadap nilai seseorang. Kalian
bagiku adalah memiliki kebesaran jiwa yang sulit aku
mengerti." "Sudahlah," berkata Mahisa Murti "jangan memuji.
Bagaimanapun juga kau m emiliki kematangan seorang yang
berilmu tinggi. Jika kau hanya ingin berjalan ber sama kami,
kami tidak berkeberatan. Tetapi tidak lebih dari bersama-sama
itu saja." Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Sebenarnyalah aku telah kehilangan pengenalanku atas diriku
sendiri. Mudah-mudahan aku segera m engerti apa yang telah
terjadi atas diriku."
"Sudahlah. T idak ada y ang perlu digelisahkan," berkata
Mahisa Murti " sekarang, biarlah kita melihat anak-anak itu
berlatih lagi." Naga Angkasa mengangguk. Katanya: "Silahkan."
Mahisa Murti memandang langit sejenak. Langit y ang
cerah kebiru-biruan. Sementara itu matahari telah menjadi
semakin tinggi. Namun Mahisa Murti telah m emberikan isyarat kepada
Mahisa Amping untuk berlatih lagi.
Mahisa Amping yang sempat beristirahat sejenak karena
kedatangan Naga Angkasa itupun segera bersiap kembali.
Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Amping telah
mulai melakukan latihan lagi bersama Mahisa Semu dan
Wantilan. Semakin lama semakin cepat meskipun matahari
terasa menjadi semakin panas.
Tetapi sekali lagi latihan itu berhenti. Mereka telah
mendengar suara orang tertawa. Suara y ang dengan cepat
dapat dikenal oleh Naga Angkasa.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Guru," desis Naga Angkasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun terkejut mendengar
sebutan yang diucapkan oleh Naga Angkasa itu. Karena itu,
maka Mahisa Murti pun telah bertanya diluar sadarnya
"Gurumu" "Ya," jawab Naga Angkasa.
"Untuk apa ia datang kemari " Apakah kau sengaja
membawanya kemari dan berpura-pura dengan sikapmu baru
sa ja ini?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak. Aku sama sekali tidak berhubungan dengan guru
sejak Naga Pratala meninggal semalam," berkata Naga
Angkasa. "Nampaknya kau memang mendendam. Berbeda dengan
kata-kata y ang kau ucapkan," berkata Mahisa Pukat dengan
geram. "Sama sekali tidak. Aku ingin mey akinkanmu," berkata
Naga Angkasa. Mahisa Pukat pun kemudian terdiam. Dipandanginya
orang y ang datang dari arah y ang berbeda dari arah
kedatangan Naga Angkasa. Tetapi beberapa langkah dari anak-anak muda itu, orang
itupun berhenti. "Apa yang kau lakukan disini, Naga Angkasa "," bertanya
gurunya. Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun menjawab. "Aku ingin bergabung dengan
mereka." Gurunya tertawa. Katanya: "Aku sudah menduga.
Kematian adik seperguruanmu telah mengguncangkan akal
budimu." "Maaf guru. Aku merasa bahwa aku masih mampu
berpikir dengan bening," jawab Naga Angkasa.
"Sebelumnya aku pernah berbangga dengan kau dan
adik seperguruanmu. Kalian berdua seakan-akan telah
menguasai sepertiga dari dunia kanuragan. Namun ketahanan
jiwamu yang masih harus ditempa. Ketika kau mengalami
guncangan y ang sangat dahsy at terutama secara jiwani, maka
kau benar-benar telah k ehilangan pegangan. Kau justru akan
bergabung dengan sekelompok orang y ang telah m embunuh
adik seperguruanmu. Bukan bahkan sebaliknya, menuntut
balas sejauh dapat kau lakukan. Bahkan m ati sekalipun akan
kau hayati bagi kebesaran nama perguruanmu," berkata
gurunya. "Ampun guru," berkata Naga Angkasa selanjutnya:
"Kebesaran jiwa anak-anak muda itu ternyata guncangannya
jauh lebih besar dari kematian Naga Pratala. Karena itu, maka
aku memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali ingin
bergabung dengan mereka. Mungkin ilmuku cukup baik
meskipun belum dapat menyamai ilmu mereka. Tetapi bagiku
agaknya memang sudah cukup. Namun kekagumanku atas
pribadi m erekalah y ang telah membuat aku ingin bergabung
dengan mereka." "Apapun alasanmu Naga Angkasa, tetapi bagiku, kau
telah melakukan pengkhianatan y ang sangat memalukan."
"Ampun guru," delis Naga Angkasa.
"Kau aku ampuni jika kau benar-benar m engurungkan
niatmu untuk bergabung dengan mereka," berkata gurunya.
Naga Angkasa memang menjadi bimbang. Ia adalah
seorang murid yang telah ditempa oleh gurunya dengan cara
yang terbia sa dilakukan dalam dunia kanuragan. Keras dan
sama sekali tidak boleh meninggalkan jalur perintah gurunya.
Tetapi ternyata bahwa Naga Angkasa yang mempunyai
pengalaman y ang cukup luas itu masih memiliki nuraninya
yang tidak terhapus selama ia berada di dalam perguruannya.
Karena itu, ketika ia mengalami sentuhan pada dasar
nuraninya yang paling dalam, maka Naga Angkasa itupun
menyadari bahwa ia adalah sosok y ang berpribadi.
Karena itu, maka betapapun ia masih menghormati
gurunya, iapun berkata: "Ampun guru. Aku mohon guru
mengerti perasaanku kali ini. Aku sama sekali tidak ingin
berkhianat. Tetapi aku juga tidak ingin mengingkari
perasaanku. Seandainya aku tidak bergabung dengan anakanak
m uda itu, namun aku tidak akan dapat memusuhinya
lagi." "Tetapi adik seperguruanmu telah dibunuhnya," berkata
gurunya. "Ya. Tetapi a pakah kita dapat menyalahkan mereka"
Kami berdualah y ang datang kepada mereka untuk merampas
milik mereka. Mereka mempertahankannya sehingga terjadi
perkelahian. Naga Pratala kemudian terbunuh. Nah, apakah
arti dari peristiwa itu?" Naga Angkasa justru bertanya.
"Jadi kau benar-benar sudah kehilangan ikatan
persaudaraanmu sehingga kau anggap k ematian Naga Pratala
sebagai satu peri stiwa yang wajar-wajar saja" Bahkan kau'
telah menyalahkannya dan menyalahkan diri sendiri" Aku
bangga bahwa kalian berdua telah berusaha untuk
mendapatkan pusaka-pusaka itu sebagai lambang keinginan
kalian mencapai sesuatu yang lebih bernilai dalam kehidupan
kalian. Namun ternyata kau justru meny esalinya,
menyalahkan diri sendiri dan sama sekali tidak meny esali
kematian saudara seperguruanmu," berkata gurunya.
Namun Naga Angkasa menjawab: "Tetapi bukankah
wajar pula bahwa pemiliknya telah mempertahankannya"
Kematian Naga Pratala adalah akibat dari benturan
kepentingan yang tidak terpecahkan. Kami masing-masing
berpegang pada sikap kami, sehingga akhirnya, maka satusatunya
peny elesaian y ang dapat ditempuh adalah kematian."
"Naga Pratala telah mati sebagai seorang laki -laki. Ia
mati dalam usahanya untuk meraih cita-citanya. Sedang kau"
Apa y ang telah kau lakukan"," bertanya gurunya.
"Aku telah terlempar ke dalam satu kesadaran tentang
tingkah laku kami selama ini," jawab Naga Angkasa.
"Cukup," berkata gurunya, "kau m emang tidak pantas
untuk diampuni lagi. Karena itu, maka kau akan menerima
hukuman y ang terberat yang dapat diberikan kepada seorang
murid." Wajah Naga Angkasa menjadi tegang. Namun ia benarbenar
sudah memutuskan untuk tidak dapat lagi m engikuti
jalan hidup yang digariskan oleh gurunya, khususnya tentang
kematian adik seperguruannya.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata: "Guru.
Selama ini aku adalah murid yang patuh. Sampai hari terakhir
pun aku akan mempertahankan kepatuhanku itu sesuai
dengan perkembangan jiwaku. Karena itu, maka aku telah
bersiap untuk m enerima hukuman yang paling berat itu. Aku
tahu, guru tentu akan membunuh aku."
"Benar," jawab gurunya, "kau harus dihukum mati.
Tetapi tidak sekarang. Nanti. Kau harus menyaksikan lebih
dahulu kelebihan dari perguruan kita. Kau harus tahu bahwa
kita akan dapat membunuh kedua orang itu jika kita sendiri
berniat dengan sungguh-sungguh. Maka kau harus
menyaksikan, bagaimana aku membunuh mereka. Baru
kemudian aku membunuhmu." Gurunya berhenti sejenak, lalu
katanya "Tetapi aku masih memberimu kesempatan untuk
hidup jika itu kau kehendaki. Jika saat aku membunuh kedua
orang anak muda itu kau juga berhasil membunuh ketiga
orang y ang berlatih di tebing bukit itu, maka kau masih akan
mendapat kesempatan untuk hidup."
Naga Angkasa terkejut mendengar perintah gurunya itu.
Karena itu, iapun kemudian bertanya: "Apa hubungannya
dengan ketiga orang y ang tidak tahu menahu tentang
persoalan ini?" "Tidak tahu menahu?" gurunya mengulang, "mereka
adalah murid-murid anak muda itu. Karena itu, kau harus
menebas semi y ang akan tumbuh sebelum menjadi dahan
yang kuat y ang akan dapat roboh menimpa perguruan kita."
Wajah Naga Angkasa menjadi semakin tegang. Namun
iapun kemudian menggeleng: "Aku tidak dapat
melakukannya." "Terserah kepadamu," jawab gurunya, "kau lakukan atau
tidak. Jika hal itu kau lakukan, maka kau akan m endapatkan
pengampunan. Tetapi jika tidak, maka kau akan mati setelah
kedua orang itu mati. Dengan demikian kau akan melihat
disaat terakhir kebesaran perguruan kita yang selama ini kita
banggakan. Kau dan Naga Pratala bukan tidak mempunyai
saudara seperguruan yang lain. Kau tahu itu. Meskipun
sampai sekarang, Naga Angkasa dan Naga Pratala adalah
murid terbaik, tetapi bukan berarti bahwa kalian tidak dapat
dihukum setelah membuat kesalahan terpenting dalam
perguruan kita. Dengan demikian, maka akan m enjadi satu
pelajaran bagi saudara-saudara seperguruanmu, siapapun
yang bersalah, akan dihukum sesuai dengan ketentuan
perguruan. Meskipun y ang bersalah adalah Naga Angkasa."
Naga Angkasa menjadi tegang. Tetapi ia sudah
mengambil keputusan, bahwa ia akan mendengarkan suara
nuraninya sendiri y ang disadarinya lebih melekat pada dirinya
daripada perintah gurunya.
Karena itu, maka Naga Angkasa sama sekali tidak
berniat untuk membunuh ketiga orang y ang sama sekali tidak
bersalah itu, meskipun akibatnya akan dapat mencekik
lehernya sendiri. Sementara itu, guru Naga Angkasa itu telah bersiap
menghadapi kedua orang anak muda yang dianggapnya
bersalah, karena telah membunuh salah seorang muridnya.
Sambil menggeram ia berkata: " Bersiaplah untuk mati anakanak
muda. Aku akan m emperlihatkan kepada muridku yang
berkhianat, betapa besar perguruan kami."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap pula.
Keduanya menyadari, bahwa lawannya itu tentu orang yang
berilmu sangat tinggi. Muridnya, Naga Angkasa dan Naga
Pratala sudah menunjukkan satu tataran y ang tinggi, apalagi
gurunya. Tetapi keduanya tidak boleh menyerah. Apapun y ang
terjadi. Karena itu, berpegang kepada pesan orang yang
membuat sepasang keris itu, bahwa keris itu semakin dekat
yang satu dengan yang lain, keduanya akan menjadi lebih
berarti. Karena itu, maka keduanya tidak saling menjauh.
Keduanya justru saling mendekat. Sementara itu pusakapusaka
itu telah berada di tangan kedua anak muda itu.
Sementara itu guru Naga Angkasa itu pun telah
memegang senjatanya. Sebilah tongkat besi. Tidak begitu
panjang. Namun besi itu mempunyai bentuk y ang khusus.
Pa da tongkat besi itu terlukis seekor ular y ang membelit. Pada
pangkal tongkat itu mencuat kepada ular yang terbuat dari
baja putih pilihan. Guru Naga Angkasa itupun menyadari, bahwa berdua,
anak-anak muda itu tentu merupakan lawan yang berbahaya.
Demikian m aka sejenak kemudian guru Naga Angkasa
itu mulai m enggerakkan tongkatnya. Semakin lama semakin
cepat. Ayunan tongkat itu telah menimbulkan desir angin yang
keras menampar tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi kedua anak muda itupun bergerak cepat pula.
Keduanya menjadi sangat berhati-hati terhadap ay unan
tongkat itu. Jika tongkat itu menyentuhnya, maka tulangtulangnya
akan dapat dipatahkannya.
Namun di tangan kedua orang anak muda itu
tergenggam senjata yang tidak kalah dahsy atnya. Demikian
mereka mulai bertempur, maka daun pedang kedua orang
anak muda itu m ulai m enyala. Lidah api berwarna kehijauhijauan
itu bagaikan gerigi y ang akan dapat mengoyakkan
kulit daging. Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah
berlangsung dengan sengitnya. Guru Naga Angkasa
berloncatan sambil mengayunkan tongkat besinya. Namun
kedua anak muda itupun mampu bergerak dengan tangkas.
Sepasang pusaka di tangan mereka ternyata m enjadi sangat
berbahaya. Bahkan jika senjata itu terayun dekat tubuhnya,
terasa sambaran angin panas meny entuh kulitnya.
Tetapi guru Naga Angkasa itu sama sekali tidak
terpengaruh. Day a tahannya sangat tinggi, sehingga ia berhasil
mengatasinya tanpa kesulitan. Panas y ang meny entuh kulitnya
sama sekali tidak mempengaruhi perlawanannya.
Namun ada satu hal y ang tidak diduga oleh guru Naga
Angkasa itu. Betapapun t inggi ilmunya, namun dalam
benturan-benturan pertama, ia tidak menyadari, bahwa kedua
anak muda itu memiliki ilmu y ang mampu menghisap
kekuatan dan kemampuan lawannya.
Karena itu, untuk beberapa saat guru Naga Angkasa itu
telah bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dengan m embenturkan senjatanya. Sekali-sekali benturan itu
terjadi dengan keras namun sekali-sekali merupakan benturan
yang tidak langsung. Namun beberapa saat kemudian, maka guru Naga
Angkasa itu meloncat surut untuk mengambil jarak sambil
berteriak "Pengecut yang licik. Kau mempergunakan ilmu
seorang pencuri. Kau ambil milikku diluar pengetahuanku.
"Apa yang telah aku lakukan"," bertanya Mahisa Murti.
"Kau isap kekuatan dan kemampuanku dalam setiap
benturan. Getaran itu terasa menghanyutkan dan m elarutkan
kekuatan dan kemampuanku," geram orang itu.
"Bukankah itu salahmu sendiri" Kau harus m empelajari
ilmu yang dapat bertahan atas keadaan seperti itu," jawab
Mahisa Murti. "Persetan," geram orang itu "untunglah bahwa aku
segera menyadari, meskipun kalian telah berhasil mencuri
sebagian kecil dari kekuatan dan kemampuanku. Tetapi
jangan mengira bahwa dengan demikian aku tidak mampu lagi
membunuhmu." "Kita akan melihat, siapakah y ang akan mampu
bertahan untuk tetap hidup," berkata Mahisa Murti.
Namun Mahisa Murti tidak sempat berkata selanjutnya.
Orang itu segera menyambarnya dengan t ongkatnya. Namun
ketika Mahisa Murti menangkisnya, maka tongkat itu
bagaikan menggeliat dan menghindari sentuhan dengan
senjata Mahisa Murti. Namun yang dilakukan kemudian oleh orang itu
memang sangat mendebarkan jantung. Kepala ular pada
tongkatnya itu seakan-akan benar-benar dapat mematuk
seperti kepala seekor ular. Namun tidak untuk menggigit.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi untuk memancarkan semacam cairan bisa y ang sangat
berbahaya, tanpa meny entuh lawannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga berusaha
untuk menghindar. Meskipun mereka memiliki penangkal
racun untuk melawan racun y ang terkuat, namun mereka
menganggap bahwa racun orang itu t erlalu kuat. Sehingga
dengan demikian mereka berusaha untuk sedikit mungkin
menyentuhnya. Sementara Mahisa Murti menghindar, maka Mahisa
Pukat telah mempergunakan senjatanya untuk meny erang.
Demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, maka serangan
guru Naga Angkasa itu tidak pernah memberikan kepuasan
kepadanya. Setiap kali ia merasa bahwa sasarannya berhasil
melepaskan diri. Namun dalam pada itu, iapun selalu berusaha untuk
menghindari sentuhan dengan senjata Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Tetapi akhirnya guru Naga Angkasa itupun menyadari,
bahwa racunnya y ang disemburkan lewat kepala ularnya, tidak
berarti sama sekali. Kedua anak muda itu betapapun
tangkasnya, namun setitik dua titik, racunnya tentu ada yang
mengenai m ereka. Namun setelah b ertempur beberapa lama,
akibatnya tidak terasa sama sekali, sehingga guru Naga
Angkasa itupun mengumpat didalam hati: "Anak iblis ini
memang luar biasa. Selain mampu menghisap tenaga dan
kemampuan orang lain, juga memiliki penangkal racun yang
betapapun kuatnya." Dengan demikian, maka guru Naga Angkasa harus
mempergunakan cara lain untuk menundukkan anak muda
itu. la tidak dapat m empergunakan t ongkatnya karena setiap
benturan akan berakibat buruk baginya.
Karena itu, maka y ang dilakukan oleh guru Naga
Angkasa itu kemudian adalah mempergunakan jeni s senjata
yang lain yang bukan saja berbahaya karena bisanya, tetapi
juga karena ketajamannya.
Ketika m ereka bertempur semakin sengit, maka Mahisa
Murti terkejut ketika seleret sinar menyambarnya. Bukan
lontaran bara y ang m emanjang, tetapi pisau-pisau k ecil yang
berterbangan. Guru Naga Angkasa itu m enyadari, bahwa racun pisau
itupun tidak akan mampu melumpuhkan lawan-lawannya
yang m asih muda itu. Tetapi j ika lontarannya dengan sekuat
tenaga itu dapat mengenai sasarannya di arah dada, maka
pisau kecil itu tentu akan menghunjam sampai ke jantung.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti berusaha untuk
menghindarinya. Tetapi ternyata serangan itu begitu tiba-tiba
dan tidak terduga sebelumnya. Mahisa Murti
memperhitungkan bahwa orang itu tentu akan melontarkan
ilmu Naga Pasa dalam tataran y ang lebih tinggi dari yang
pernah dilakukan oleh Naga Angkasa dan Naga Pratala.
Namun ternyata yang dilakukan adalah lain. Sehingga
tanda-tanda untuk meny erangpun tidak dikenal oleh Mahisa
Murti sebagaimana ia pernah melihat Naga Angkasa
melakukannya. Karena itu, maka Mahisa Murti telah terlambat sekejap.
Ia tidak berhasil membebaskan diri dari ujung pisau itu
meskipun pisau itu tidak mengenai dadanya. Tetapi pisau itu
telah menyambar lengannya.
Mahisa Murti berdesis menahan perasaan pedih y ang
terasa mematuk, lengannya itu. Seperti serangan Naga Pratala
yang mengenai kaki Mahisa Pukat, maka terasa luka itu
menjadi sangat panas. Tetapi Mahisa Murti tidak sempat tertegun terlalu lama.
Guru Naga Angkasa itu telah bersiap pula untuk melakuka
serangan berikutnya. Namun serangan Mahisa Pukat telah mencegahnya.
Ujung pedang Mahisa Pukat y ang bagaikan menjulurkan lidah
api itu telah mendesak lawannya untuk meloncat menghindar.
Namun ia sama sekali tidak menangkis dengan tongkatnya
yang dipeganginya dengan tangan kirinya. Sementara itu
tangan kanannya telah bergerak dengan cepat sekali. Sebilah
pisau kecil telah melayang dengan kecepatan y ang sangat
tinggi mengarah ke leher Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat yang melihat serangan serupa atas
Mahisa Murti, membuatnya menjadi lebih berhati-hati.
Dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah bergeser ke samping,
sehingga pisau itu tidak mengenainya.
Dalam pada itu Mahisa Murti pun telah menjulurkan
pedangnya pula. Sementara lukanya y ang bagaikan dijilat api
itu telah mulai mendingin. Darah yang mencair mengalir dari
lukanya menghanyutkan racun y ang terdapat pada pisau-pisau
kecil itu. Guru Naga Angkasa mengumpat. Ia sadar, bahwa
dengan demikian racunnya sama sekali tidak dapat bekerja di
dalam tubuh lawan-lawannya itu.
Apalagi pisau-pisaunya tidak selalu dapat mengenai
sa saran-sasarannya, sementara kedua anak muda itu telah
menyerang bergantian. Tetapi guru Naga Angkasa itu m asih m emiliki beberapa
buah pisau beracun. Yang penting baginya kemudian adalah
bukan lagi racunnya. Tetapi ketajaman pisau-pisau kecil itu
telah ternyata mampu mengoy akkan lengan Mahisa Murti.
Jika ia berhasil m engoyak leher anak-anak muda itu, maka ia
akan dapat segera meny elesaikan pertempuran itu.
Namun kedua orang anak muda itu ternyata mampu
bergerak cepat sekali. Serangan-serangan mereka mlai
membingungkan. Keduanya mampu mengisi seranganserangan
mereka dengan rapat sekali.
Meskipun demikian, maka guru Naga Angkasa itu masih
mampu berloncatan m enghindari serangan dua buah pusaka
yang mendebarkan itu. Kadang-kadang orang itu melenting
tinggi bagaikan terbang. Namun kemudian berguling dan
menggeliat seperti seekor ular.
Pa da saat y ang tidak terduga, maka pisau-pisaunya
menyambar ke arah leher sebagaimana memang
direncanakan. Tetapi serangan-serangan itu sulit untuk dapat
mencapai sasaran, karena kedua orang anak muda itu
memang memiliki kemampuan yang tinggi.
Namun Naga Angkasa menyaksikan pertempuran itu
masih juga berdebar -debar. Ia sadar, bahwa gurunya m asih
belum sampai k e ilmu puncaknya. Jika gurunya benar-benar
mengetrapkan ilmunya Naga Pasa, apakah anak-anak muda
itu akan mampu mengatasiny a"
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ternyata
telah berusaha untuk bertempur pada jarak y ang pendek.
Keduanya berusaha menyusup diantara serangan-serangan
lawan mereka untuk menggapainya. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masih berusaha untuk membuat benturan-benturan
betapapun kecilnya. Tetapi guru Naga Angkasa selalu menghindarinya. Ia
sudah merasa bahwa benturan-benturan y ang pernah terjadi
pada permulaan dari pertempuran itu telah menyusut tenaga
dan kemampuannya meskipun belum terlalu banyak. Jika
benturan atau sentuhan masih akan terjadi lagi, berarti bahwa
ilmu dan kemampuannya akan menjadi semakin susut lagi.
Namun semakin lama, maka persediaan pisaunya
menjadi semakin berkurang, sehingga akhirnya guru Naga
Angkasa itu sudah tidak mempunyai pisau lagi untuk
dilontarkan kepada kedua orang lawannya itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari bahwa
pisau-pisau kecil lawannya telah habis. Namun merekapun
menyadari bahwa masih ada kemungkinan lain yang
barangkali justru lebih berbahaya dari sekedar lontaran pisaupisau
kecil. Sebenarnyalah guru Naga Angkasa itu memang tidak
mempunyai pilihan lain. Ketika kedua anak muda itu menjadi
semakin mendekat, sementara t ongkatnya tidak akan pernah
lagi dipergunakan untuk menangkis setiap serangan, maka
guru Naga Angkasa itu telah memutuskan untuk
mempergunakan ilmu puncaknya. Jika ia tidak segera
mempergunakannya, maka kedua pusaka anak-anak muda itu
tentu akan mampu menggapainya.
Dengan demikian, maka guru Naga Angkasa itu telah
mengambil jarak. Iapun segera memusatkan nalar budinya.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat siap untuk
menyerangnya, maka lawan mereka itupun telah
menghentakkan ilmunya y ang jarang ada duanya. Naga Pasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyadari betapa
dahsy atnya ilmu itu, telah m empersiapkan diri mereka pula.
Sehingga demikian ilmu Naga Pasa itu meluncur dari telapak
tangan guru Naga Angkasa, Mahisa Murti maupun Mahisa
Pukat akan mampu membebaskan dirinya.
Tetapi ilmu itu m emang sangat dahsy at. Tidak sekedar
Iontaran bara api y ang terjulur memanjang. Tetapi yang
terlontar dari telapak tangan orang itu adalah api yang
menyala meluncur memanjang. Api yang menjulur itupun
seakan-akan merupakan uluran lidah api yang meny embur
dengan dahsyatnya. Ketika Mahisa Murti meloncat menghindari sambaran
api itu, maka ternyata api y ang terjulur memanjang itu mampu
menyapu ke arah Mahisa Murti berloncatan.
Dengan demikian maka Mahisa Murti telah meloncat
dan meloncat menghindar. Demikian pula ketika api itu
menyapu ke arah Mahisa Pukat. Api y ang terjulur memanjang
itu, bagaikan tali yang kemudian melingkar menjerat
sa sarannya. Tetapi Mahisa Pukat sempat meloncat tinggi. Ketika
lingkaran itu kemudian menjerat, Mahisa Pukat berhasil
melepaskan dirinya meskipun perasaan sakit dan panasnya api
telah meny engat tubuhnya.
Demikian ujung api y ang terjulur itu gagal menjerat
Mahisa Pukat, maka api itu seakan-akan telah menjadi padam.
Namun bukan berarti bahwa serangan-serangan guru Naga
Angkasa itu berakhir. Naga Angkasa sendiri menjadi sangat berdebar-debar.
Hampir tidak ada orang y ang pernah lolos dari serangan maut
itu. Api y ang disaat terakhir melingkar dan menjerat itu,
biasanya akan meremukkan tulang-tulang seseorang sebagai
dililit oleh seekor Naga. Namun panasnya api dari ilmu itu
akan dapat membakar kulit daging orang yang terjerat itu.
Namun anak muda itu berhasil melepaskan dirinya.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Ia m emang
merasa bersyukur bahwa serangan gurunya tidak membunuh
anak-anak muda itu. Namun Naga Angkasa juga merasa
kekagumannya atas anak-anak y ang masih muda yang telah
memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
tangkas berpikir itu justru telah meloncat saling menjauh.
Mereka harus berusaha untuk mengatasi serangan ilmu
lawannya. Bahkan ilmu itu bukan saja meluncur dan
menyerang sasaran, namun kemampuannya menyapu daerah
yang cukup luas, kemudian membuat lingkaran dan m enjerat
sa saran, telah membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
mencari cara y ang paling baik.
Guru Naga Angkasa itu memang termangu-mangu.
Namun bahwa kedua anak muda itu telah berpencar, guru
Naga Angkasa itu dapat mengerti. Bagi kedua anak muda itu,
maka jarak diantara mereka akan sangat penting artinya.
Sejenak kedua belah pihak saling mengamati lawannya.
Kedua belah pihak telah memutuskan untuk sampai ke puncak
ilmu mereka masing-masing.
Sejenak kemudian maka perfempuran yang menentukan
itupun telah mulai membakar lingkungan yang sebelumnya
terasa tenang itu. Guru Naga Angkasa telah mulai
melontarkan serangannya mengarah ke Mahisa Murti. Dengan
tangkasnya Mahisa Murti meloncat menghindar. Namun
ketika serangan lawannya itu bergerak m enyusulnya dengan
sapuan yang memanjang, maka Mahisa Murti ju stru
menjatuhkan dirinya. Tetapi serangan itu terputus. Mahisa Pukat tidak
membiarkan Mahisa Murti mengalami kesulitan menghindari
serangan yang sangat berbahaya itu. Tetapi dengan
mengerahkan kemampuannya, Mahisa Pukatpun telah
menyerang pula. Tidak dengan loncatan panjang serta pedang
terjulur. Tetapi Mahisa Pukat telah menghentakkan
pedangnya, sekaligus melontarkan ilmunya yang
menggetarkan lawannya. Guru Naga Angkasa melihat seleret sinar kehijauan
meluncur ke arahnya. Karena itu, maka ia harus
menghentikan serangannya. Dengan cepat ia meloncat
menghindari serangan lawannya y ang masih muda itu. Namun
yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Sambil berguling guru Naga Angkasa itu telah
mempersiapkan diri. Ketika ia m elihat Mahisa Murti bangkit
dan berdiri tegak, maka ia telah mengulangi serangannya
sambil masih saja berbaring di atas tanah.
Mahisa Murti y ang merasa baru saja terlepas dari
serangan guru Naga Angkasa itu terkejut bukan buatan. Ia
tidak mengira bahwa serangan itu akan datang demikian
cepatnya. Dengan serta merta Mahisa Murtipun sekali lagi
telah menjatuhkan dirinya dan berguling menghindari sapuan
ilmu lawannya. Mahisa Murti memang dapat melepaskan diri dari lilitan
ilmu Naga Pa sa y ang dahsy at itu. Namun sentuhan ilmu itu
benar-benar telah membuat jantungnya berdebaran.
Lengannya yang tersentuh ilmu itu menjadi bagaikan
tersentuh oleh bara besi baja. Kulitnya, bahkan sebagian
dagingnya telah terkelupas.
Perasaan sakit yang sangat telah menggigit lukanya.
Namun sebelum ilmu lawannya itu bergeser kembali ke
arahnya, sekali lagi Mahisa Pukat telah meny erang.
Tetapi y ang terakhir Mahisa Pukat tidak meny erang
dengan hentakkan ilmunya. Tetapi ia sempat meloncat
mendekat. Sambil mengulurkan pedangnya ia berusaha
menggapai tubuh guru Naga Angkasa itu.
Guru Naga Angkasa yang sedang memusatkan
perhatiannya kepada Mahisa Murti juga tersentak oleh
serangan itu. Hampir diluar sadarnya guru Naga Angkasa itu
telah mempergunakan tongkat di tangan kirinya untuk
menangkis serangan itu.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Pukat yang merasa mendapat kesempatan itu
tidak segera menarik serangannya. Ia justru m encoba untuk
mengungkit senjata lawannya. Mahisa Pukat sama sekali tidak
berusaha untuk melemparkan tongkat lawannya itu. Tetapi
dengan demikian maka pedangnya y ang seakan-akan
membelit itu mendapat kesempatan untuk mengetrapkan
ilmunya yang lain. Ketika guru Naga Angkasa itu sadar, maka iapun telah
meloncat menjauh sambil berteriak "Kau licik. Licik sekali."
Belitan pedang Mahisa Pukat memang agak lama,
seolah-olah Mahisa Pukat ingin berusaha melepaskan
pegangan guru Naga Angkasa itu atas tongkatnya. Namun
dengan demikian maka Mahisa Pukat telah menyusut sebagian
dari kekuatan dan kemampuan lawannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti y ang telah terlepas dari
kejaran ilmu lawannya tidak meny ia-ny iakan waktu. Demikian
guru Naga Angkasa itu terbebas dari serangan Mahisa Pukat
sambil mengumpat-umpat, maka serangan Mahisa Murtipun
telah meluncur seakan-akan m eloncat dari ujung pedangnya
yang kehijau-hijauan. Tetapi serangan itu sama sekali t idak mengenai sa saran.
Guru Naga Angkasa telah berhasil melenting keluar dari garis
serangan. Namun demikian ia berdiri tegak, maka ujung
pedang Mahisa Pukat telah menggapainya. Demikian cepatnya
mengarah langsung ke dada.
Tidak ada cara lain kecuali m enangkis lagi serangan itu.
Tetapi orang itu m engumpat semakin kasar: "Kau iblis yang
licik. Kau mempergunakan Ilmu pencuri serta pengecut."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia telah memburu
lawannya sehingga seakan-akan lawannya tidak sempat
melontarkan serangannya yang dahsy at berlandaskan ilmu
Naga Pa sa. Tetapi guru Naga Pasa itu berhasil mengambil jarak dari
Mahisa Pukat. Namun sekali lagi Mahisa Murti sempat
mendahuluinya meny erang. Ilmunya telah dilandasi oleh
kemarahan y ang luar biasa. Apalagi lengannya telah dilukai
oleh ilmu Naga Pasa. Guru Naga Angkasa itu memang harus berloncatan
menghindari serangan itu. Tetapi sekaligus ia sempat
menyerang Mahisa Pukat, yang masih termangu-mangu.
Mahisa Pukat memang sempat menghindar. Tetapiternyata
bahwa pundaknya masih juga tersentuh serangan itu.
Namun demikian orang itu m eny erang Mahisa Pukat,
Mahisa Murtilah y ang berhasil m eloncata m endekat. Bahkan
ujung pedangnya sempat menggapai lawannya. Meskipun
hanya segores tipis, tetapi ujung pedang itu telah melukai dada
guru Naga Angkasa. Luka itu m emang mempunyai akibat ganda. Susutnya
kekuatan dan kemampuannya serta darahnya y ang mulai
menetes. Guru Naga Angkasa itu m enggeram m arah. Anak-anak
muda itu ternyata sulit untuk ditundukkan.
Tetapi guru Naga Angkasa itu sama sekali tidak m ampu
mengingkari kenyataan. Kedua anak muda itu benar-benar
anak muda y ang berilmu tinggi. Meskipun sejak semula orang
itu-menyadari, apalagi karena seorang diantaranya telah
berhasil membunuh anaknya, namun keny ataan yang
dihadapinya masih mengejutkannya.
Anak-anak muda itu meskipun berhasil dilukainya,
tetapi m ereka juga berhasil melukainya. Bukan saja luka yang
menggores kulitnya, tetapi anak-anak muda itu telah
menyusutkan kekuatan dan kemampuannya, sehingga rasarasanya
guru Naga Angkasa itu menjadi mulai letih.
Tetapi bagaimanapun juga, guru Naga Angkasa itu
berniat untuk membunuh anak-anak muda itu sebeluni ia
benar-benar akan menghukum muridnya yang dianggapnya
berkhianat. Untuk mengurangi kegelisahannya, tiba-tiba saja guru
Naga Angkasa itu berteriak: "Cepat. Bunuh ketiga orang itu
jika kau ingin aku ampuni. Jika aku selesai dengan kedua
orang anak ini dan kau belum membunuh mereka bertiga,
maka aku akan membunuhmu."
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak
dapat merubah ketetapan hatinya. Ia tidak lagi ingin
memusuhi anak-anak muda yang dianggapnya telah
menyelamatkan hidupnya itu.
Karena itu, maka Naga Angkasa itu sama sekali tidak
beranjak dan tempatnya. Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping masih berada di tempatnya. Mereka m emperhatikan
pertempuran itu dengan saksama. Namun mereka merasa
bahwa mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu. Mereka
hanya dapat menyaksikan apa y ang bakal terjadi. Mereka telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang paling buruk
sekalipun. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mampu
memenangkan pertempuran itu, maka m erekapun tentu akan
terbunuh juga. Dalam pada itu, maka pertempuran antara kedua orang
anak muda itu melawan guru Naga Angkasa menjadi semakin
sengit. Kedua belah pihak telah berhasil saling melukai.
Goresan -goresan dan luka-luka bakar telah membekas di
punggung Mahisa Murti. Sedangkan lam bung Mahisa Pukat bagaikan telah
disentuh bara. Namun sementara itu, k eadaan guru Naga Angkasapun
menjadi semakin sulit. Luka-lukanya menjadi semakin
banyak. Serangn Mahisa Murti dan Mahisa Pukat datang
beruntun susul menyusul. sementara itu, sentuhan-sentuhan
benar-benar telah menyusutkan kekuatan dan
kemampuannya. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih harus berhati-hati. Guru Naga Angkasa benar-benar
seorang y ang memiliki ilmu y ang sangat tinggi.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang masih
muda itu m emiliki tekad y ang m ampu mengimbangi gejolak
ilmunya, sehingga dengan demikian, m ereka masih berjuang
terus untuk mengatasi kesulitan demi kesulitan.
Kemarahan guru Naga Angkasa tidak terkekang lagi
ketika ia merasa tenaganya menjadi semakin susut. Seranganserangannya
terhambur tidak lagi dengan perhitungan. Setiap
saat dan kesempatan, guru Naga Angkasa telah m elontarkan
serangannya dan menyapu daerah yang luas. Namun setiap
kali serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti
telah mematahkan serangannya.
Tetapi akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mulai merasa letih setelah mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah
memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat untuk dapat
menyerang bersama-sama. Mahisa Pukat tanggap akan isyarat itu. Namun untuk
mendapatkan kesempatan memang terlalu sulit.
Tetapi keduanya telah berusaha untuk melakukannya.
Pa da saat-saat t erakhir, kedua belah pihak seakan-akan
telah kehilangan kendali. Sasaran-sasaran merekapun menjadi
semakin kabur. Namun justru karena itu, maka seranganserangan
itu semakin sulit untuk diperhitungkan.
Pa da saat y ang demikian, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat semakin berusaha untuk lebih cepat
menyelesaikan pertempuran itu.
Pa da saat-saat kegarangan guru Naga Angkasa menjadi
semakin memuncak, justru karena t enaganya terasa semakin
su sut, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah
berusaha untuk meny erang mereka dari arah y ang berbeda.
Namun sementara itu, kedua orang anak muda itu telah
menjadi semakin mendekat.
Ketika kesempatan itu terbuka, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah meloncat dengan cepat, bergabung
menjadi satu. Kedua senjata mereka seakan-akan telah
disatukan, sementara mereka memusatkan segenap tenaga
dan kemampuan yang ada pada mereka.
Guru Naga Angkasa melihat kedua anak muda itu
meloncat saling mendekat. Dengan serta merta orang itu telah
melepaskan ilmunya, Naga Pasa, untuk meny erang kedua
orang anak muda itu. Tetapi pada saat yang bersamaan, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah melepaskan ilmunya pula. Dilandasi
dengan dasar kemampuan ilmu mereka Bajra Geni maka
mereka telah melontarkan serangan didorong oleh penguasaan
mereka atas ilmunya y ang lain lewat ujung pedang mereka
yang bagaikan menyala. Dengan demikian, maka kedua belah pihak telah saling
menyerang dengan landasan ilmu masing-masing yang
dahsy at. >>> Ketiga orang itupun kemudian telah melangkah satusatu
mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
menunggui Naga Angkasa. Ketiganya pun kemudian berdiri termangu-mangu
beberapa langkah dari tubuh guru Naga Angkasa yang
terbaring itu. "Aku akan menguburkannya. Hanya itu y ang dapat aku
lakukan sekarang ini sebagaimana aku lakukan atas adik
seperguruanku," desis Naga Angkasa.
Tidak seorangpun yang menyahut. Sementara Naga
Angkasa pun kemudian berkata pula: "Tetapi aku tidak tahu,
siapa yang akan melakukannya atasku jika pada suatu saat aku
harus mati apapun alasannya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja berdiam diri.
Namun ketika kemudian Naga Angkasa itu berdiri, Mahisa
Murtipun berkata: "Kami akan membantumu.
"Terima kasih," berkata Naga Angkasa.
Dengan demikian, maka Naga Angkasa tidak
melakukannya sendiri. Dengan alat-alat yang ada pada
mereka, maka mereka telah mengubur guru Naga Angkasa itu
dibawa sebatang pohon yang akan dapat dikenali oleh Naga
Angkasa jika diperlukan. Dengan bebatuan Naga Angkasa
memberikan pertanda pada kuburan itu.
Sejenak Naga Angkasa berdiri dengan kepala timduk
merenungi seonggok bebatuan. Di bawah bebatuan itu
gurunya ter -baring membeku.
"Sekarang aku sendiri," berkata Naga Angkasa tanpa
berpaling kepada siapapun.
"Kau masih mempunyai beberapa orang suadara
seperguruan," berkata Mahisa Murti.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Apakah mereka akan dapat menerima aku"
"Kenapa"," bertanya Mahisa Murti.
"Bukankah kau tahu sendiri apa yang telah dilakukan
guru atasku"," Naga Angkasa itu justru bertanya.
"Ya," Mahisa Murti mengangguk. Katanya kemudian:
"Tetapi bukankah kau tidak bersalah?"
"Jika guru berniat menghukumku, maka aku tentu
berbuat salah terhadap perguruanku," jawab Naga Angkasa
"dengan demikian maka setiap m urid dari perguruanku tentu
akan mengutukku. Jika mungkin mereka pun akan dapat
membunuhku. Bahkan mungkin saat ini ada diantara saudarasaudara
seperguruanku yang mengawasi aku. Mungkin ada
yang menyaksikan meskipun dari kejauhan apa yang terjadi
atas guru, sementara aku disini tidak berbuat apa-apa. Atau
bahkan guru telah membawa satu dua orang muridnya untuk
menyaksikan apa y ang terjadi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Agaknya y ang dikatakan oleh Naga Angkasa itu benar.
Mungkin gurunya telah membawa satu dua orang m uridnya
dan ditinggalkannya di tempat yang agak jauh untuk
menyaksikan apa y ang akan terjadi.
"Karena itu," berkata Naga "biarlah aku pergi bersama
kalian. Aku tidak akan bergabung dalam arti yang sebenarnya.
Aku hanya ingin berjalan bersama kalian agar ada kawan yang
dapat aku ajak berbicara. Kemudian pada suatu saat dapat saja
kita berpisah jika kita sudah sampai pada kepentingan kita
yang berbeda." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Jika kau hanya ingin pergi bersamaku, maka sudah barang
tentu aku tidak berkeberatan. Tetapi kita hanya seperjalanan.
Tidak lebih dari itu."
Naga Angkasa mengangguk kecil. Katanya: "Ya. Kita
hanya seperjalanan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak
keinginan Naga Angkasa. Karena itu, maka setelah mereka
berbenah diri, maka mereka pun telah berjalan bersama. Naga
Angkasa yang merasa diriny a sendiri, mendapat kawan
seperjalanan. "Kau akan pergi ke mana"," bertanya Mahisa Murti
kepada Naga Angkasa. "Aku tidak mempunyai tujuan lagi. Aku tidak dapat
kembali ke padepokan. Karena itu, m aka aku m emang ingin
bertualang. Mungkin aku dapat menempuh laku sebagaimana
kalian jalani. Tapa ngrame. Mudah-mudahan dengan
demikian aku akan mendapat kesempatan untuk m engurangi
kesalahan-kesalahan y ang pernah aku perbuat sebelumnya,"
Naga Angkasa berhenti sejenak, lalu "tetapi aku tidak memiliki
bekal seperti kalian. Ilmuku masih jauh ketinggalan,
sementara sebagian dari kekuatan dan ilmuku sudah kau
hisap." "Hanya berlaku untuk sementara," jawab Mahisa Murti,
"kekuatan dan ilmumu akan pulih kembali selama beberapa
saat. Mudah-mudahan esok saat matahari terbit kau sudah
mendapatkan semuanya."
Naga Angkasa mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun berdesis: "Terima kasih. Dengan bekal yang
lebih banyak, maka aku akan dapat berbuat lebih banyak
dalam menjalani laku Tapa Ngrame."
"Semoga kau berhasil. Bukankah dalam perjalananmu
selama menjalani laku, kau akan memperdalam ilmumu","
bertanya Mahisa Pukat. Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam sambil
berkata: "Aku memang berpikir demikian. Aku telah mewarisi
semua unsur ilmu yang dimiliki guru. Tetapi masih t erlalu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wantah. Aku harus mengembangkannya."
Demikianlah, maka perjalanan sekelompok kecil itu
menjadi semakin ramai. Mereka menjadi berjumlah enam
orang. Karena itu maka kelompok itu menjadi semakin
menarik perhatian. Ketika mereka singgah di sebuah kedai, maka orangorang
y ang sudah ada di dalam kedai itupun saling bertanyatanya.
Enam orang datang bersama-sama.
Namun wajah-wajah dari orang-orang itu tidak nampak
menakutkan. Apalagi ketika mereka mulai berbicara memesan
makanan dan minuman. Maka nampaknya keenam orang itu
cukup ramah dan bersikap baik.
Meskipun demikian ketika keenam orang itu kemudian
meninggalkan kedai itu, pemilik kedai itupun sempat menarik
nafas dalam-dalam sambil bergumam, "Sokurlah. Mereka
ternyata orang baik-baik. Tetapi nampaknya ada luka-luka di
tubuh mereka." Orang-orang yang ada di kedai itupun menganggukangguk.
Semula mereka memang mengira bahwa akan terjadi
sesuatu dengan kehadiran enam orang sekaligus di kedai itu,
meskipun seorang diantaranya adalah kanak-kanak. Tetapi
anak itupun telah membawa senjata di lam bungnya.
Sementara itu, keenam orang itu telah berjalan semakin
jauh. Sekali-sekali mereka berhenti jika Mahisa Amping
nampak letih. Di sore hari mereka mandi di sebuah sungai
yang tidak t erlalu besar, tetapi airnya nampak jernih. Namun
demikian, mereka sempat membuat orang-orang yang berada
di sawah ketakutan. Senjata-senjata yang ada di lam bung
mereka memang membuat orang -orang y ang melihat m ereka
menjadi cemas. Ketika malam turun, keenam orang itu sengaja tidak
bermalam di banjar. Mereka merasa bahwa kehadiran mereka
akan dapat menimbulkan keresahan dari para penghuni
padukuhan itu. Karena itu, maka mereka telah memilih tempat y ang
tidak akan mengganggu siapapun meskipun sekedar
mengganggu perasaan dan ketenangan.
Di kaki sebuah bukit kecil m ereka m endapatkan tempat
yang cukup baik bagi mereka. Mahisa Amping y ang kecil
itupun sudah terbiasa tidur di tempat terbuka.
Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membagi waktu untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun juga,
mereka tidak dapat mempercayakan diri kepada Mahisa Semu
dan Wantilan, justru karena diantara mereka terdapat Naga
Angkasa. Meskipun menurut penglihatan lahiriah Naga
Angkasa tidak berniat jahat, tetapi mereka tidak tahu apa yang
sebenarnya tersimpan di hati orang itu.
Namun ternyata sampai dini hari tidak terjadi sesuatu
yang penting. Naga Angkasa sendiri justru dapat beristirahat
dengan baik. Hampir semalam suntuk ia tertidur nyenyak.
Sebelum m atahari terbit, mereka semua telah bangun
dan berbenah diri. Mereka tahu bahwa tidak jauh dari tempat
itu terdapat sebuah parit yang cukup besar untuk mengalirkan
air dari sebuah bendungan ke bulak persawahan. Dengan
demikian mereka akan dapat mandi di sungai itu.
Tetapi ketika cahaya fajar semakin naik, maka Naga
Angkasa yang dengan wajah tengadah memandang langit yang
kemerahan terkejut melihat tiga bayangan sosok y ang berdiri
di atas bukit. Tiga bayangan yang kemudian menjadi semakin
jelas. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian telah
berdiri di sebelah Naga Angkasa. Merekapun melihat tiga
sosok bayangan y ang berdiri di atas bukit itu. Bahkan
kemudian Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Ampingpun
telah melihat mereka pula.
"Siapa mereka"," bertanya Mahisa Murti "apakah kau
mengenalnya. "Ya. Aku mengenal mereka dengan baik. Mereka adalah
adik-adik seperguruanku," jawab Naga Angkasa.
"Apakah kau dapat menduga, untuk apa mereka datang
menjumpaimu"," bertanya Mahisa Pukat.
"Aku tahu pasti," jawab Naga Angkasa "mereka datang
Rahasia Patung Menangis 1 Antara Budi Dan Cinta Hu Die Jian Karya Gu Long Pendekar Lembah Naga 18
^