Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 37

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 37


untuk menghukumku." "Dan kau akan meny erahkan lehermu kepada mereka?"
bertanya Mahisa Pukat. "Mereka akan bertindak atas nama guru yang sudah
tidak ada," dais Naga Angkasa.
"Apakah kau akan membiarkannya"," desak Mahisa
Pukat pula. Naga Angkasa termangu-mangu. Sementara Mahisa
Pukatpun berkata: "Kau sudah berani menentukan sikap
terhadap gurumu. Bagaimana sekarang terhadap saudarasaudara
seperguruanmu?" Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian dengan nada rendah ia berkata: "Aku telah
menemukan kepribadianku sendiri. Aku telah terlepas dari
ikatan perguruanku."
"Jika demikian, kau tentu akan mempunyai sikap
pribadi terhadap ketiga orang itu. Jika kau tidak berkeberatan,
maka kami akan membantumu," berkata Mahisa Murti.
"Tidak," berkata Naga Angkasa "ini adalah persoalanku."
Namun kemudian suara Naga Angkasa merendah, "tetapi
apakah aku sudah memiliki seluruh kekuatanku kembali?"
"Tentu sudah," jawab Mahisa Murti "kekuatan dan
ilmumu meskipun su sut tetapi tidak seberapa."
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Jika aku sudah memiliki kekuatan dan i lmuku dengan utuh,
maka apapun y ang terjadi tentu sudah adil. Seandainya aku
terbunuh oleh mereka, maka itu sudah menjadi batas hidupku.
Kal ian tidak usah turut campur justru kalian masih harus
menyembuhkan luka-luka kalian sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun mereka menyadari, bahwa persoalan itu
memang persoalan perguruan Naga Angkasa. Sebaiknya
mereka memang tidak turut campur. Apalagi sebagaimana
dikatakan oleh Naga Angkasa, mereka memang m asih harus
menyembuhkan luka-luka mereka.
Tetapi jika melihat jumlah lawan Naga Angkasa, maka
mereka tidak dapat mengatakan adil. Kecuali jika mereka akan
tampil seorang demi seorang.
Naga Angkasa y ang seakan-akan tahu apa y ang
dipikirkan oleh kedua orang anak muda itupun berkata: "Aku
adalah murid tertua di perguruan kami. Karena itu, maka
agaknya sudah adil jika aku harus melawan tiga orang adikadik
seperguruanku. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam. Mereka harus menyaksikan murid-murid
perguruan Naga Angkasa itu berselisih. Nampaknya mereka
memang sedang berada di simpang jalan.
Sementara itu, ketiga orang saudara seperguruan Naga
Angkasa yang ada di bukit kecil itu telah bergerak turun.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, seorang diantara
mereka bertiga melangkah maju. Seorang y ang bertubuh tinggi
tegap berkumis lebat. Di pergelangan tangannya disebelah kin
melilit akar-akaran y ang berwarna kehitam-hitaman. Sedang
dipergelangan tangan kanannya dikenakannya kulit yang tebal
dan lebar melingkari tangannya itu.
"Kakang Naga Angkasa," geram orang itu. Suaranya
seperti guruh y ang menggelegar di langit.
"Ya," jawab Naga Angkasa.
"Kakang seharusnya sudah merasa untuk apa aku datang
menemui kakang pagi ini," berkata orang bertubuh raksa sa itu.
"Kau ingin temui saudara tuamu y ang sudah lama tidak
berjumpa," berkata Naga Angkasa.
"Baiklah jika kakang Naga Angkasa tidak ingin
mengatakannya. Tetapi kakang tentu tahu, bahwa kakang
harus menyerahkan leher kakang untuk kami penggal. Sejak
kematian kakang Naga Pratala dan kemudian guru, maka
kakang sudah menimbun dosa didalam diri kakang," berkata
orang bertubuh raksasa itu.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Kau benar, jika kau memandang dari sisi perguruan kita
dengan tanpa menghiraukan landasan dasar nilai-nilai
kehidupan secara umum."
"Apa maksudmu"," bertanya raksasa itu.
"Ternyata di luar padepokan kita terdapat tatanan
kehidupan y ang sudah m apan. Kebenaran yang kita pegang
teguh di dalam padepokan, harus diuji dengan kebenaran yang
berlaku didalam tatanan kehidupan yang lebih luas. Kita tidak
dapat menganggap bahwa kita hidup dalam dunia kita sendiri
sehingga segala sesuatunya dapat kita tentukan menurut
penilaian kita tanpa menghiraukan tata nilai yang sudah
mapan dan justru berlaku dalam tatanan kehidupan luas,"
jawab Naga Angkasa. "Aku tidak mengerti. Yang selama ini kita junjung tinggi
adalah paugeran y ang telah dibuat didalam perguruan kita.
Sikap hidup dan nilai-nilai kehidupan," berkata raksasa itu.
"Dunia kita memang terlalu sempit selama ini. Coba
katakan, apakah guru telah melakukan tindakan yang terpuji
dengan memerintahkan kepada kami, maksudku aku dan
Naga Pratala untuk merampas milik orang lain"," bertanya
Naga Angkasa. "Dari sisi itukah kau memandang" Apakah kau tidak
berpikir tentang cita-cita dan gegayuhan" Guru tentu tidak
akan m emerintahkan kalian m engambil milik orang lain jika
yang akan diambil itu tidak m emiliki nilai-nilai tertentu yang
lebih tinggi dari nilai-nilai kebenaran yang kau sebut mapan
dan berlaku didalam tatanan kehidupan y ang luas itu," berkata
raksasa itu. "Jika kau bertolak dari sana, maka apakah salah jika
pemilik dari benda -benda tertentu y ang kita anggap memiliki
nilai melampaui nilai-nilai y ang mapan itu membela diri","
bertanya Naga Angkasa. Rak sasa itu termangu-mangu. Dengan nada rendah ia
berkata: "Setiap orang berhak membela diri serta
mempertahankan haknya."
"Jadi, j ika demikian kau tidak akan dapat menyalahkan
orang lain jika ia mempertahankan haknya," berkata Naga
Pratala. "Sejak semula aku tidak berbicara tentang orang lain.
Aku berbicara tentang kau, tentang kita, tentang perguruan
kita." berkata raksasa itu.
"Milik orang lain itu merupakan batas antara kita,
perguruan kita dan orang lain y ang telah kita koyakkan. Orang
lain y ang mempertahankan haknya itu telah terlibat ke dalam
persoalan dengan kita. Orang lain itu telah m embunuh Naga
Pratala karena mempertahankan haknya," berkata Naga
Angkasa. "Persoalannya adalah, bahwa kau tidak berbuat apa-apa
karena kematian itu" Kau justru meny erah dan mohon
ampun," berkata raksasa itu.
"Aku tidak pernah m enyerah dan mohon ampun. Tetapi
yang dilakukan oleh orang lain itu telah membuka hatiku
sehingga aku m enemukan sikap pribadiku. Perguruan kami
telah bersalah," berkata Naga Angkasa: "Kemudian kalian
tahu, bahwa aku tidak akan berbuat sesuatu bagi kepentingan
pihak y ang bersalah. Ini adalah satu kebenaran menurut
tatanan nilai kehidupan y ang luas. Nah, kau tahu, apa kata
guru dan apa kata kalian. Kau m enganggap bahwa aku telah
menimbun dosa di dalam diriku karena aku berpihak k epada
kebenaran." "Ternyata kau menjadi cengeng. Tidak ada kebenaran
tertinggi daripada menjalankan perintah guru," berkata
raksasa itu. Naga Angkasa menarik dalam-dalam. Katanya dengan
nada rendah "Disini kita akan menempuh jalan yang
bersimpangan." Tetapi orang bertubuh raksasa itu menjawab: "Tidak.
Kita akan selalu berjalan bersama-sama."
"Jika kau bersedia mengikuti jalanku, m aka kita .akan
dapat berjalan bersama-sama."
Orang itu menggeram. Katanya: "Kakang Naga Angkasa.
Pa da saat terakhir aku memutuskan, jika kakang Naga
Angkasa tidak mau memenuhi kewajiban sebagai seorang
murid, maka apa boleh buat. Naga Angkasa akan tersingkir
dari perguruan. Bukan saja wadagnya. Tetapi juga nyawanya."
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Kemudian
katanya: "Aku adalah saudara tua seperguruan bagi kalian.
Jika tidak ada guru, m aka perintahku sama nilainya dengan
perintah guru." "Kami tidak mengakui lagi kehadiran kakang Naga
Angkasa di perguruan kita," jawab raksasa itu.
"Jika demikian maka bagiku sudah jelas," berkata Naga
Angkasa. "Jelas bagaimana?" bertanya raksasa itu.
"Kita tidak lagi dapat berjalan bersama. Aku akan
melawan kalian. Kita bukan bersaudara lagi," berkata Naga
Angkasa tegas. 0oo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 85 )
Conv ert : Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 86 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 086 KETIGA orang saudara seperguruannya itu pun bergeser
mendekat. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat Ju stru
menjauh. Namun demikian, orang bertubuh raksasa itu
berkata: "Jika kalian akan turun ke arena, kami tidak
berkeberatan. Kalian tidak memiliki kekuatan dan
kemampuan utuh lagi karena luka-luka kalian."
Tetapi Naga Angkasa berkata: "Per soalan ini adalah
persoalanku. Jika mereka berdua melibatkan diri, kalian akan
mati terlalu cepat. Karena itu, biarlah aku meny elesaikannya
sendiri." Ketiga orang saudara seperguruannya itu menggeram.
Seorang yang bertubuh agak kekurus-kurusan berkata:
"Kakang Naga Angkasa. Jangan terkejut bahwa kami akan
dapat menye-lesaikanmu dengan cepat, melampaui
dugaanmu." Naga Angkasa tidak menjawab lagi. Ia pun telah bersiap
menghadapi ketiga orang saudara seperguruannya. Karena
ketiga orang saudara seperguruannya itu tidak bersenjata,
maka Naga Angkasa pun tidak bersenjata pula.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah mulai
bertempur. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu,
Mahisa Amping dan Wantilan telah bergeser m enjauhi arena.
Mereka memang harus memberikan kesempatan.kepada Naga
Angkasa meny elesaikan masalahnya sendiri. Apalagi
menyangkut perguruannya dan sati dara-saudaranya
seperguruannya. Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah
menjadi semakin cepat. Ternyata ketiga orang saudara
seperguruan Naga Angkasa itu memang tidak
mempergunakan senjata apa pun.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengetahui,
bahwa ketiga orang itu tentu akan mempercayakan
kemampuan ilmu mereka, Naga Pasa, yang tentu memiliki
kekuatan lebih dari jeni s senjata apa pun.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun yakin,
bahwa tingkat kemampuan ilmu mereka masih belum
setingkat dengan Naga Pasa.
Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Ketiga orang saudara seperguruan
Naga Angkasa itu agaknya memang sudah memiliki ilmu
perguruannya dengan lengkap. Namun demikian, maka sikap
dan tatanan gerak Naga Angkasa nampak jauh lebih matang
dari saudara-saudara seperguruannya. Dengan demikian,
maka pertempuran itu pun masih saja nampak seimbang.
Naga Angkasa y ang bertempur melawan tiga orang sekaligus
itu, kadang-kadang masih juga membuat lawan-lawannya
harus mengambil jarak. Pengalaman Naga Angkasa nampak
jauh lebih luas, sehingga unsur-unsur gerak yang diwarisi dari
sumber yang sama menjadi berselisih jauh nilainya.
Meski pun demikian, bertiga saudara-saudara
seperguruan Naga Angkasa itu dapat saling mengisi. Serangan
demi serangan m eluncur berurutan. Disaat seorang diantara
mereka gagal mengenai sasaran, maka yang lain pun telah
meloncat meny erang pula. Bahkan mereka bertiga bersamasama
meny erang dari arah y ang berbeda, sehingga Naga
Angkasa harus melenting tinggi-tinggi untuk menghindari
serangan itu. Namun kemudian Naga Angkasa itu pun bagaikan
terbang dengan tangannya y ang terkembang. Jari-jarinya yang
merapat di ujungnya merupakan bahaya y ang m endengarkan
bagi saudara-saudara seperguruannya. Meski pun pada unsurunsur
geraknya, ketiganya kadang-kadang juga
mempergunakannya, namun y ang dapat mereka lakukan tidak
akan dapat setajam Naga Angkasa.
Semakin lama maka pertempuran antara orang-orang
seperguruan itu menjadi semakin sengit. Meski pun secara


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pribadi Naga Angkasa memiliki banyak kelebihan, tetapi
melawan tiga orang saudara seperguruannya sekaligus, maka
ia benar-benar harus memeras tenaganya dan
kemampuannya. Namun pengalamannya y ang luas kemudian telah
menempatkannya pada keadaan yang lebih baik. Semakin
lama ketiga orang saudara seperguruannya menjadi semakin
sulit untuk meny entuhnya. Bahkan sekali-sekali tangan Naga
Angkasa telah berhasil menggapai mereka.
Meski pun demikian, namun pertempuran itu masih
tetap berbahaya bagi kedua belah pihak. Ketiga orang saudara
seperguruan Naga angkasa pun telah memeras tenaga dan
ilmu mereka sehingga dengan kemampuan mereka saling
mengisi dalam pertempuran itu, ketiganya tetap m erupakan
lawan yang berbahaya bagi Naga Angkasa.
Tetapi sentuhan-sentuhan tangan Naga Angkasa
ternyata telah membuat ketiga orang adik seperguruannya itu
semakin lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali tangan
Naga Angkasa mengenai tubuh salah seorang dari mereka,
maka perasaan sakit telah meny engat, sehingga terdengar
keluhan y ang tertahan. Karena itulah, m aka ketiga orang saudara seperguruan
Naga Angkasa itu sampai pada satu kesimpulan, bahwa
perlawanan Naga Angkasa harus diakhiri.
Ketiga orang adik seperguruan Naga Angkasa itu
menyadari bahwa Naga Angkasa tentu memiliki k emampuan
ilmu yang lebih tinggi dari m ereka. Tetapi dengan bekal yang
meski pun lebih rendah dari ilmu Naga Angkasa, namun
mereka bertempur bersama-sama.
Karena itu, maka y ang tertua diantara mereka, orang
yang bertubuh raksasa itu kemudian telah memberikan isyarat
kepada saudara-saudara seperguruannya untuk melepaskan
ilmu puncak mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat betapa ketiga
orang saudara seperguruan Naga Angkasa itu menghentakkan
kemampuan dan ilmu mereka.
Sementara itu, Naga Angkasa pun telah m eloncat surut
untuk mengambil jarak. Ia pun tahu, bahwa ketiga orang adik
seperguruannya itu sudah m enerima warisan ilmu terpenting
dari perguruannya, Naga Pa sa. Tetapi Naga Angkasa pun tahu,
bahwa tataran ilmu mereka tentu masih belum terlalu tinggi.
Ilmu mereka seharusnya masih harus dilengkapi dengan
beberapa macam laku sehingga unsur-unsurnya serta
landasan lontarannya menjadi lengkap. Tetapi agaknya
gurunya belum sempat melakukannya. Ketiga orang saudara
seperguruannya itu- pun tentu belum sempat menjalani laku
justru karena mereka tergesa -gesa memenuhi perintah
gurunya sebelum gurunya meninggal.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka yang terjadi
adalah pelepasan ilmu Naga Pasa masih dalam ujud
wantahnya. Tangan ketiga orang saudara seperguruan Naga
Angkasa itu bergerak semakin cepat. Berputaran dan seakanakan
bergetar ke arah pusat gerakan mereka.
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Naga Pasa
dalam dukungan bersama dari ketiga orang adik
seperguruannya terasa agak lain dari ilmu yang pernah
diwariskan kepadanya. Nampaknya gurunya telah m emberikan beberapa unsur
yang memang berbeda. Bukan karena jenis Ilmu Naga Pa sa
yang diwarisi a diknya itu berbeda sebagaimana diketahuinya
ada beberapa jenis ilmu y ang disebut Naga Pasa dengan
beberapa persamaan tetapi juga beberapa kelainan. Tetapi
ungkapan ilmu itulah y ang agak lain.
Pa da saat-saat terakhir gurunya agaknya melihat, bahwa
Naga Angkasa dan Naga Pratala tidak lagi dapat diyakini
kesetiaannya kepada perguruannya. Karena itu, gurunya telah
menyusun satu kekuatan baru selain kekuatan dan
kemampuan gurunya sendiri. Tiga orang adik seperguruannya
telah mendapatkan warisan ilmunya dengan sedikit
perubahan-perubahan pada unsur-unsurnya.
Tetapi ternyata bahwa ilmu dengan perubahanperubahan
itu masih belum menemukan bentuknya yang
mapan di dalam diri ketiga orang adik seperguruan Naga
Angkasa. Semuanya masih pada permukaannya saja.
Meski pun demikian, justru karena kelainan-kelainan
itulah, maka Naga Angkasa memang harus berhati-hati
menghadapinya. Dalam puncak kemampuan mereka y ang terbatas itu,
maka telapak tangan ketiga orang saudara seperguruan Naga
Angkasa itu seakan-akan telah m enjadi bara. Telapak tangan
itu menjadi merah dan berasap tipis.
Dalam hentakkan ilmu Naga Pasa y ang masih belum
mapan itu, maka yang terlontar bukan bara yang kemerahmerahan
terjulur ke sasaran. Tetapi semacam hempasan kabut
yang kemerah-merahan. Kabut itu memang dapat membakar kulit. Bahkan
uapnya- pun ternyata beracun. Namun racun bagi Naga
Angkasa bukannya sesuatu yang dapat membahayakan
jiwanya. Dengan demikian maka pertempuran pun semakin
menjadi sengit. Naga Angkasa mulai m erasa terdesak. Kabut
yang k emerah-merahan itu m enghembus dari tiga arah yang
berbeda, sehingga Naga Angkasa harus berloncatan untuk
menghindarinya. "Meny erahlah," geram orang bertubuh raksasa itu,
"serahkan nyawamu dengan cara yang lebih baik dan dengan
sikap persaudaraan."
Pernyataan itu teryata telah membuat Naga Angkasa
menjadi sangat marah. Ia merasa bahwa adik seperguruannya
itu telah menghinanya. Seharusnya mereka mengerti, bahwa
Naga Angkasa masih belum melepaskan ilmu Naga Pa sa.
Karena itu, maka demikian raksasa itu selesai berbicara,
maka Naga Angkasa telah meloncat mengambil jarak. Ia sadar,
bahwa serangan berikutnya akan mengejarnya. Tetapi ia harus
mendapat kesempatan untuk membalas serangan itu dengan
ilmu Naga Pasa. Sikap adik seperguruannya itu telah mempercepat detak
jantung Naga Angkasa, sehingga ia pun telah memutuskan
untuk menghancurkan lawan-lawannya meski pun mereka
adalah adik seperguruannya. Apalagi setelah adik
seperguruannya yang bertubuh raksasa itu menghinanya.
Karena itu, ketika kemudian serangan-serangan dari
adik seperguruannya itu datang, Naga Angkasa pun telah
mempersiapkan ilmunya pula. Ilmu puncaknya.
Kabut y ang berhembus kearahnya itu memang dapat
membakar kulitnya. Betapa pun Naga Angkasa berloncatan
menghindari, tetapi karena serangan itu datang dari tiga arah,
maka akhirnya kulitnya telah tersentuh pula.
Namun dalam pada itu, ketika Naga Angkasa sempat
meloncat menjauh, maka ia memutuskan untuk meny erang
adik seperguruannya y ang tertua.
Naga Angkasa yang yakin akan kelebihan ilmunya itu,
telah menyiapkan ilmunya ketika ia melihat raksasa itu
bersiap meny erangnya. Demikian serangan raksasa itu meluncur, maka Naga
Angkasa pun telah melepaskan serangannya pula. Ia tahu
benar apa yang telah terjadi atas Naga Pratala serta apa yang
terjadi atas gurunya dalam benturan ilmu yang tidak
seimbang. Sebenarnyalah benturan itu telah terjadi. Ilmu puncak
yang meluncur dari tangan Naga Angkasa, yang bagaikan bara
yang terjulur memanjang kesasaran, telah membentur
hembusan asap y ang ternyata adalah m emang masih belum
mampu mengimbangi ilmu saudara tua seperguruannya.
Satu ledakan telah terjadi. Namun getarannya telah
terdorong ke arah raksasa itu. Lontaran ilmunya justru telah
memantul dan kembali menghantam dadanya.
Rak sasa itu terpekik keras. Rasa-rasanya dadanya
memang telah pecah. Satu hentakan y ang keras telah
melemparkannya sehingga tubuh y ang besar itu telah
terbanting jatuh terlentang.
Rak sasa itu menggeliat. Tetapi ilmu Naga Angkasa
memang t erlalu kuat baginya, sehingga dalam benturan itu,
beberapa bagian dalam tubuhnya telah terluka parah.
Namun pada saat itu, saudara seperguruannya y ang lain
telah meny erangnya pula. Demikian cepatnya sehingga Naga
Angkasa harus berloncatan menghindarinya.
Namun Naga Angkasa telah memutuskan untuk
mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, maka ketika
serangan itu datang lagi, maka Naga Angkasa telah
membenturnya pula dengan ilmunya yang jauh lebih tinggi.
Sekali lagi terdengar teriakan kesakitan. Dua orang adik
seperguruan Naga Angkasa telah terbaring diam. Namun pada
saat yang hampir bersamaan, lawannya y ang seorang lagi telah
menyerangnya pula. Karena itu, demikian Naga Angkasa
melepaskan ilmunya untuk membentur ilmu adik
seperguruannya yang seorang, maka ia pun harus, berusaha
menghindari serangan yang datang dari arah lain.
Meski pun Naga Angkasa sudah berusaha, namun
ternyata ia tidak sepenuhnya berhasil. Meski pun ia sempat
bergeser, tetapi serangan itu masih mengenai pundaknya.
Terdengar Naga Angkasa mengeluh tertahan. Tetapi
dengan menjatuhkan dirinya, maka sentuhan serangan itu
tidak menimbulkan luka y ang sangat parah, meski pun
perasaan panas telah menggigit.
Dalam pada itu, kesempatan terakhir untuk
menghentikan pertempuran itu terjadi. Ia sempat melihat
serangan adik seperguruan itu meluncur kearahnya. Tanpa
berusaha untuk bangkit, maka Naga Angkasa telah meny erang
adik seperguruannya yang terakhir itu sambil berbaring di
tanah. Seperti kedua orang adiknya yang terdahulu, maka telah
terjadi benturan ilmu lagi. Seperti kedua orang saudara
seperguruannya y ang lalu, maka getaran ilmu y ang memantul
bahkan didorong oleh kekuatan ilmu Naga Pa sa y ang jauh
lebih kuat dari ilmunya, maka adik seperguruan Naga Angkasa
yang seorang itu pun telah terlempar dan kemudian terbaring
diam. Naga Angkasa berdiri termangu -mangu. Perasaan sakit
dan pedih terasa bagaikan membakar seluruh tubuhnya.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan
dan Mahisa Amping menyaksikan akhir dari pertempuran itu
dengan jantung yang berdebar-debar. Ternyata Naga Angkasa
benar-benar memiliki ilmu y ang sangat tinggi.
Sejenak Naga Angkasa berdiri termangu -mangu. Bukan
sa ja karena ketiga orang adik seperguruannya telah terbunuh.
Tetapi juga karena ia sendiri telah terluka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
mendekatinya. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata:
"Kau selesaikan ketiga orang adik seperguruanmu."
Naga Angkasa menunduk dalam-dalam. Kemudian
dipandanginya tubuh y ang terbaring diam itu. Hampir tidak
terdengar ia pun telah berdesis: "Semuanya telah terbunuh.
Naga Pratala, guru dan tiga orang adik seperguruanku."
"Apakah hanya itu isi padepokanmu "," bertanya Mahisa
Pukat. "Tidak," jawab Naga Angkasa, "tetapi y ang lain tidak
berarti apa-apa lagi."
"Apakah mereka m asih belum mencapai tataran mula
dari ilmu Naga Pasa"," bertanya Mahisa Murti.
Naga Angkasa menggeleng sambil berkata: "Belum."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
kecil. Naga Angkasa tentu menjadi pedih bukan saja pada
luka-luka dikulitnya, tetapi juga dihatinya. Ia terpaksa
membunuh tiga orang saudara seperguruannya setelah adik
seperguruannya yang memiliki kemampuan hampir setingkat
dengan dirinya telah terbunuh pula.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain," desis Naga Angkasa
itu dengan nada dalam. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja berdiri di
tempatnya. Dengan suara y ang dalam Mahisa Murti berkata:
"Kami akan membantu menguburkan adik-adik
seperguruanmu." Naga Angkasa mengangguk kecil. Katanya: "Terima
kasih. Tetapi beberapa saat Naga Angkasa masih menunggu.
Ra sa -rasanya hatinya masih tertahan untuk menguburkan
adik-adik seperguruannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang mengerti perasaan
Naga Angkasa tidak mendesaknya untuk segera
melakukannya. Namun akhirnya, mereka pun telah menggali lubang
kubur bagi ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa.
Demikian mereka selesai menguburkan ketiga orang itu,
maka tubuh Naga Angkasa terasa seperti kehilangan tulangtulangnya.
Hampir saja ia menjadi kehilangan
keseimbangannya. Untunglah bahwa ia sempat bergeser dan
duduk diatas sebongkah batu padas.
"Kenapa"," bertanya Mahisa Murti.
Wajah Naga Angkasa menjadi pucat. Nampaknya bukan
sa ja luka-lukanya yang nampak yang telah membuatnya
hampir pingsan. Tetapi sebenarnyalah bahwa luka-lukanya
memang perlu mendapat perawatan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah m embantunya membersihkan dan kemudian mengobati
luka-lukanya dengan obat y ang dibawa oleh Naga Angkasa
sendiri. Mahisa Semu sempat mencari air y ang dapat
mengurangi perasaan haus yang sangat y ang dialami oleh
Naga Angkasa. Untuk beberapa saat m aka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mempersilahkan Naga Angkasa beristirahat
sepenuhnya. Sambil duduk dan bersandar dibawah sebatang
pohon yang sejuk, Naga Angkasa mencoba untuk
membangunkan tenaga dasarnya dan daya tahan tubuhnya
untuk mengatasi perasaan sakit yang mencengkam. Beberapa
bagian kulitnya memang terluka seakan-akan terbakar.
Angin y ang berhembus tidak terlalu keras, menyapu
kulit Naga Angkasa yang terluka. Namun dengan demikian
perasaan sakit dan pedihnya seakan-akan menjadi berkurang.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Mahisa Murti masih saja membantunya merawat
luka-lukanya. Naga Angkasa sempat bertanya: "Bagaimana
dengan luka-lukamu sendiri.
"Mahisa Murti terseny um. Katanya: "Lukaku sudah
berangsur baik." Naga Angkasa mengangguk-angguk kecil. Sementara
Mahisa Pukat berdesis: "Beristirahatlah sebaik-baiknya. Kami
akan menemanimu sampai keadaanmu menjadi cukup baik
untuk melanjutkan perjalanan."
"Terima kasih," desis Naga Angkasa y ang mencoba
untuk benar-benar dapat beristirahat. Ia sudah menaruh
kepercayaan yang sangat tinggi kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sehingga keduanya tidak akan ingkar akan
janjinya. Karena itu, maka Naga Angkasa pun telah duduk bersila.
Kedua tangannya bersilang di dadanya. Sambil sedikit
menunduk, maka ia telah memejamkan matanya.
Dipusatkannya nalar budinya untuk mengatur pernafasannya
yang memburu. Sejenak Naga Angkasa itu menyeringai m enahan sakit.
Nam Pertempuran Di Kutub Utara 3 Sherlock Holmes - Anjing Setan Baskerville Raja Akherat 2
^