Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 4

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 4


mendapat ceritera yang sudah dibumbui dengan peristiwaperistiwa
yang tidak sebenarnya terjadi. Sehingga mereka
mendapat gambaran yang lain dari peristiwa yang sebenarnya.
Sementara itu, yang mereka dengar sebagian-sebagian
itu-p un harus mereka rahasiakan agar orang lain tidak
mengetahuinya, sehingga nama baik padukuhan mereka tidak
tercemar. "Ki Sanak," berkata Kiai Sabawa kemudian, "seharusny a
kalian tidak cepat menjadi marah. Lihatlah, anak-anak muda di
padukuhan ini tidak segera menjadi marah sebagaimana kalian
lakukan. Bukankah hal ini tidak biasa" Biasanya anak-anak
mudalah yang marah lebih dahulu. Orang-orang tua biasanya
mencegahnya dan minta agar mereka menjadi sabar."
Ternyata beberapa orang justru bergerak maju. Seorang
yang bertubuh tegap telah berada di paling depan. Katanya,
"Kalian bertiga benar-benar telah menghina padukuhan kami.
Kau orang tua yang tidak tahu diri, yang dengan sengaja
melanggar ketentuan dari padukuhan ini. Sedangkan kau anak
muda. Kau tidak melakukan perintah yang sudah diberikan
oleh para pengawal di banjar untuk meninggalkan padukuhan
ini. Sekarang, kalian harus menerima hukuman kami, kalian
bertiga harus tunduk kepada perintah kami. Kalian akan kami
bahwa ke banjar. Tidak ada tempat yang lebih baik untuk
menggantung kalian bertiga daripada di halaman banjar,
disaksikan oleh orang-orang padukuhan ini seluruhnya. Biarlah
orang-orang padukuhan ini mengabarkan kepada setiap orang,
siapakah yang telah melanggar ketentuan kami, mereka akan
dihukum paling berat."
Suasana memang menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "satu sikap yang aneh. Jika
kami telah melanggar perintah kalian, apakah kami harus
dihukum mati" Hanya karena kami bermalam di padukuhan
ini" Nah, renungkan. Apakah hukuman mati itu setimpal
dengan kesalahan kami" "
Mahisa Pukat justru melangkah maju. Beberapa langkah
dihadapan orang-orang padukuhan itu, "Coba pikirkan. He,
kalian para pengawal, anak-anak muda padukuhan ini"
Amatilah. Kenapa orang-orang tua di padukuhan ini tiba-tiba
menjadi ketakutan seperti melihat hantu" Kami bukan hantu,
karena kami tidak ikut terbantai pada saat pembunuhan yang
licik itu terjadi." "Apakah yang sebenarnya kalian katakan?" bertanya
seorang anak muda sebaya dengan Mahisa Pukat.
Namun sebelum Mahisa Pukat menjawab, orang yang
bertubuh tegap itu berkata, "Persetan. Bunuh mereka sekarang
juga jika mereka mencoba melawan. Kita tidak punya waktu."
Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Katanya,
"Persoalannya menjadi semakin jelas."
Ketegangan menjadi semakin memuncak. Orang-orang
padukuhan itu nampaknya menjadi semakin garang. Anak-anak
muda yang baru saja memasuki usia dewasanya menjadi
bingung. Namun yang telah lebih tua dari mereka dan
mengetahui dengan pasti keadaannya, apalagi menyangkut
orang tua mereka sendiri, telah ikut serta mengambil sikap
yang keras. Mereka yang lebih tua itu telah ikut serta bertanggung
jawab atas apa yang terjadi di padukuhan mereka. Karena itu,
maka bagi mereka, orang-orang asing yang akan dapat
membuka rahasia mereka itu pun harus disingkirkan.
Tetapi anak-anak yang lebih muda memang heran
mendengar keputusan itu, bahwa orang-orang yang hanya
sekedar bermalam di padukuhan itu harus dihukum mati.
Sementara itu, ceritera orang yang mereka kenal bernama Kiai
Patah, sikap orang-orang yang lebih tua, serta apa yang telah
mereka dengar tentang peristiwa yang terjadi di banjar namun
yang telah berubah susunannya, membuat mereka menjadi
semakin bingung. Mereka pun merasakan tuduhan yang dilontarkan oleh
Kiai Patah meskipun tidak berterus terang, seakan-akan
tanggung jawab atas kematian beberapa orang yang membawa
barang-barang berharga itu terletak pada orang-orang
padukuhan itu. Kiai Sabawa melihat kebimbangan di hati anak-anak
muda itu. Karena itu, maka ia pun berkata, "Nah, sekarang
bertanyalah kepada kakak-kakak serta orang tua kalian.
Apakah yang sebenarnya pernah terjadi di padukuhan ini.
Perampokan, pembantaian atau peristiwa lain. Kalian yang
muda-muda yang baru berangkat dewasa, yang beberapa tahun
yang lalu masih kanak-kanak, tentu pernah juga mendengarnya
peristiwa yang terjadi di banjar padukuhan. Tetapi kalian tentu
mendapat ceritera yang salah tentang peristiwa itu."
Beberapa orang anak muda memang telah bertanya-tanya
di dalam hati. Apakah sebenarnya yang pernah terjadi. Menurut
pendengaran mereka dari apa yang pernah dikatakan oleh
orang-orang tua untuk menjelaskan peristiwa di banjar itu y ang
justru dibenarkan dan bahkan sering pula dikatakan oleh Ki
Bekel adalah, bahwa memang pernah ada sekelompok orang
yang membawa barang-barang berharga bermalam di banjar.
Tetapi ternyata mereka telah bertengkar dan saling membunuh.
Justru memperebutkan barang-barang berharga dan uang yang
mereka bawa. Yang masih hidup kemudian telah membawa
barang-barang berharga itu lari tanpa bekas. Dengan demikian,
maka mayat-mayat yang tertinggal justru menjadi beban orangorang
di padukuhan itu untuk menguburkannya.
Ceritera itu memang mengandung beberapa
kecanggungan. Tetapi anak-anak yang baru memasuki usia
dewasa dan terlibat dalam kegiatan anak-anak muda telah
menerima ceritera itu tanpa menghubungkan dengan orangorang
tua di padukuhan itu yang mendapatkan modal usaha
sehingga mereka menjadi kaya.
Baru ketika mereka mendengar keterangan dari orang
yang bernama Kiai Patah itu, mereka mulai berpikir.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Dalam
ketegangan itu, tiba-tiba saja beberapa orang telah menyibak.
Seorang yang berambut putih yang terjurai selembar-lembar
menyusup diantara orang-orang yang berada di halaman itu.
"Ki Bekel," berkata orang yang bertubuh tinggi.
"Aku sudah mendengar laporan tentang orang yang
menyebut dirinya Kiai Patah. Agaknya ia dengan sengaja telah
membuat onar di padukuhan kita. Demikian pula kedua orang
anak muda yang berpura-pura untuk bermalam di banjar,"
berkata Ki Bekel lantang.
Namun Mahisa Pukat yang berdiri dihadapan orangorang
itu tersenyum sambil berkata, "jadi Ki Sanaklah yang
memegang kendali di padukuhan ini."
"Aku bekel disini," jawab orang itu, "aku berhak
menghukum kalian. Tidak ada hukuman yang paling baik
daripada hukuman mati atas kalian yang dengan sengaja
menginjak-injak kewibawaan padukuhan ini."
"Terserah saja kepada Ki Bekel," jawab Mahisa Pukat,
"tetapi jawab dahulu pertanyaanku. Apakah Ki Bekel juga
terlibat dalam peristiwa yang memalukan itu" Apakah orang
yang memberikan laporan kepada Ki Bekel juga mengatakan,
bahwa akibat pembantaian yang terjadi di banjar ini, telah
terjadi salah paham antara dua kelompok keluarga tanpa ada
pemecahan karena tidak seorang pun diantara para pengawal
barang-barang berharga itu hidup" Apakah Ki Bekel tahu,
selain pembantaian yang terjadi, dua kelompok besar keluarga
calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
hampir tumpas tapis tanpa bekas?"
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Tetapi ia pun tiba-tiba
telah meneriakkan aba-aba, "Tangkap ketiga orang ini dan kita
akan membawanya ke banjar. Hukuman yang paling baik bagi
mereka adalah hukum gantung atau kita serahkan ketiganya
kepada rakyat padukuhan ini untuk dihabisi dengan cara yang
dikehendaki oleh rakyat itu sendiri."
"Jangan bermimpi menghukum kami," berkata Mahisa
Pukat yang justru melangkah mendekati Ki Bekel, "mungkin
Ki Bekel orang yang berilmu tinggi. Tetapi tidak dengan
orang-orang padukuhan ini. Karena itu, maka jika Ki Bekel
menghendaki menghukum kami, berarti Ki Bekel telah
menyorongkan rakyat Ki Bekel ke dalam api. Dengar, api yang
sebenarnya api. Karena kami akan membakar mereka dalam
panasnya api." "Kau sudah gila," geram Ki Bekel.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
telah melangkah mendekati Kiai Sabawa sambil berkata,
"Bukankah kita tidak akan menyerahkan leher kita untuk
digantung?" Kiai Patah menggeleng. Jawabnya, "Tentu tidak. Tetapi
sebenarnya aku tidak ingin kekerasan terjadi disini. Aku hanya
ingin berbicara dengan rakyat padukuhan ini."
Tetapi Ki Bekel agaknya tidak ingin memberi
kesempatan lebih banyak lagi kepada ketiga orang itu untuk
berbicara. Karena itu, maka ia pun berkata lantang, "Kita sudah
cukup banyak bicara. Sekarang kita harus bertindak."
"Tunggu Ki Bekel," berkata Kiai Sabawa yang dikenal
dengan nama Kiai Patah itu, "sebenarnya aku belum selesai.
Aku ingin menegaskan sekali lagi, akibat yang parah dari
tingkah laku kalian disini. Kematian dan kematian. Aku pun
sebenarnya ingin bertanya, apakah anak-anak muda
membiarkan kebohongan ini terjadi tanpa kesan apa pun juga"
Tanpa ada usaha untuk meluruskannya?"
"Cukup," Ki Bekel hampir berteriak, "jangan beri
kesempatan orang itu mengigau. Kita harus segera
membawanya ke banjar."
Beberapa orang tua pun sudah tidak sabar lagi. Mereka
segera bergerak ke arah tiga orang yang harus mereka tangkap
itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat berkata lantang,
"Aku peringatkan kalian sekali lagi. Jangan menyulitkan diri
sendiri. Jika kalian memaksa kami untuk membela diri, maka
akibatny a akan sangat pahit bagi kalian sendiri."
"Persetan," jawab Ki Bekel lantang, "lakukan sekarang.
Apalagi yang kalian tunggu?"
Kata-kata Ki Bekel itu merupakan perintah. Orang-orang
yang sudah berada di halaman itu pun menebar dan mengepung
ketiga orang yang mereka anggap sangat berbahaya. Bahkan
beberapa orang telah melingkari rumah itu dan masuk lewat
pintu dapur. Mereka mencari ke setiap sudut rumah, jika saja
ada orang lain di dalam rumah itu. Tetapi ternyata rumah itu
kosong. Rumah itu hanya dihuni oleh orang yang mereka kenal
dengan nama Kiai Patah itu.
Sementara itu Kiai Patah bersama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah bersiap di halaman. Mereka juga telah
menebar menghadap ketiga arah pula. Mereka memang harus
menghadapi lawan yang telah mengepung mereka.
Namun dalam saat-saat terakhir Kiai Sabawa masih
berkata, "Kita tidak akan menjadi pembunuh disini. Hanya jika
hal itu terjadi di luar kehendak kita, apa boleh buat. Namun
kita harus mencegah sejauh dapat kita usahakan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Tetapi mereka tidak sempat menjawab, karena beberapa orang
telah datang menyerang. Mau tidak mau, ketiga orang itu memang harus
berkelahi. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka akan
diikat dan diseret ke halaman banjar dan tidak mustahil bahwa
mereka benar-benar akan dibunuh oleh orang-orang yang
ketakutan karena rahasia mereka yang telah mereka
sembunyikan beberapa tahun itu akan terbongkar sehingga hal
itu akan dapat menimbulkan persoalan diantara keluarga
sendiri. Ternyata bahwa Kiai Sabawa, kawan Mahendra itu
adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun ia
tidak mempergunakan kekuatan dan kemampuannya yang
dapat membahayakan lawan-lawannya, namun ia telah
mempergunakan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya
untuk mendorong tata geraknya sehingga menjadi semakin
cepat. Karena itulah, maka ia telah membingungkan lawanlawannya.
Beberapa orang yang datang bersamaan, tiba-tiba
saja telah terdorong surut dan bahkan beberapa orang telah
jatuh terpelanting di tanah.
Orang-orang padukuhan itu tidak tahu, apa yang
sebenarnya telah dilakukan oleh orang tua itu. Namun mereka
benar-benar tidak dapat mendekatinya. Ketika dengan marah
yang sangat mereka menyerang orang itu, maka justru
merekalah yang telah terlempar jatuh.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melakukan hal
yang serupa. Tetapi anak-anak muda itu ternyata lebih garang
dari Kiai Sabawa sendiri. Baik Mahisa Murti mau pun Mahisa
Pukat telah melemparkan pula beberapa orang lawan. Namun
orang-orang itu menjadi kesakitan. Punggung mereka terasa
menjadi retak dan bahkan diantara mereka yang sulit untuk
dapat bangkit kembali. Beberapa orang kawan mereka telah mencoba
mengangkat dan membawa mereka menepi. Tetapi satu dua
orang yang lain telah terjatuh pula.
Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berusaha untuk melindungi diri mereka sendiri. Karena terlalu
banyak orang yang datang menyerang, bergelombang mengalir
tidak putus-putusnya, maka semakin banyak pula orang yang
telah terlempar dan mengerang kesakitan. Sementara itu,
serangan mereka yang meskipun mengenai anak-anak muda
itu, tetapi seakan-akan mereka tersentuh p un tidak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mendapatkan
latihan-latihan yang tuntas, ternyata mampu meningkatkan
daya tahan tubuh mereka sehingga pukulan-pukulan wadag
dengan alas kekuatan yang sewajarnya tidak dapat
menyakitinya. Tetapi ternyata jumlah orang-orang padukuhan itu terlalu
banyak. Sehingga semakin lama, serangan-serangan yang
mengenai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin
mengganggunya. Bahkan ada diantara mereka yang
mempunyai kekuatan yang mampu menyakiti anak-anak muda
itu. Karena itu, maka ketiga orang itu, terutama Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, telah meningkatkan kecepatan gerak mereka


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula. Namun hal itu agaknya juga sangat berpengaruh terhadap
lontaran kekuatan tenaga mereka yang telah dilambari dengan
kekuatan cadangan. "Tanpa menyakiti mereka, maka mereka tidak akan
menjadi jera," berkata M ahisa Pukat didalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat telah bertindak lebih
keras. Ia benar-benar telah menyakiti orang-orang yang telah
menyerangnya itu. Dengan keras Mahisa Pukat telah memukul dan
membanting orang-orang padukuhan yang tidak tahu diri itu.
Tetapi sebenarnyalah bahwa yang telah mulai menyerang
Kiai Sabaya yang dikenal oleh orang-orang padukuhan itu
dengan nama Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
adalah justru orang-orang kebanyakan sebagai satu cara untuk
menjajagi kemampuan ketiga orang itu.
Namun, ternyata bahwa ketiga orang itu benar-benar
orang yang memiliki kelebihan. Seberapa banyak orang yang
datang, maka mereka pun telah terlempar dan terdorong surut.
Bahkan terbanting jatuh dan berguling-guling di tanah.
"Iblis manakah yang telah merasuk kedalam tubuh
mereka, sehingga mereka mampu mengatasi orang sekian
banyaknya," geram Ki Bekel.
Orang yang bertubuh tinggi dan berjambang lebat itu pun
menggeram, "Biarlah kami yang menyelesaikan mereka."
Ki Bekel mengangguk kecil. Katanya, "Memang kitalah
yang harus menyelesaikan mereka. Semakin lama mereka
justru semakin menarik perhatian orang-orang banyak. Orangorang
itu akan menganggap ketiganya orang yang baik, yang
tidak mau melukai mereka meskipun harus melawan sekian
banyak orang." Orang bertubuh tinggi itu mengangguk pula. Namun
kemudian ia pun berkata kepada beberapa orang yang ada di
sekitarnya, "Marilah. Kitalah yang harus menyelesaikan
mereka." "Kita tidak akan sempat membawanya ke banjar. Kita
selesaikan saja mereka disini," berkata orang yang agak gemuk
itu sambil menarik goloknya.
Beberapa orang yang lain pun tiba-tiba saja telah
mengacukan senjata mereka pula. Ada yang membawa pedang,
keris, tombak pendek, trisula, bindi dan jenis-jenis senjata apa
pun yang dapat mereka ketemukan. Bahkan ada yang
membawa parang dan kapak pembelah kayu.
Orang-orang itulah yang kemudian telah bergerak maju.
Sementara itu, orang-orang yang lain, yang telah
mendahului menyerang ketiga orang itu, telah menjadi jera
untuk bergerak lagi. Mereka yang sudah terbanting dan
terdorong jatuh, rasa-rasanya tulang mereka telah berpatahan,
sehingga mereka tidak sanggup lagi untuk berkelahi.
Karena itu, maka orang-orang bersenjata yang termasuk
orang-orang yang disegani di padukuhan itulah yang kemudian
telah bergerak. Dengan senjata di tangan mereka mulai
bergeser mendekati ketiga orang itu. Beberapa orang telah
mendekati Kiai Sabawa sedangkan yang lain telah mendekati
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan senjata teracu maka
orang yang bertubuh tinggi, yang telah berdiri dihadapan Kiai
Sabawa itu berkata, "Orang tua yang tidak tahu diri. Kau kira
dengan mengusir orang-orang yang tidak berdaya itu kau
merasa memiliki kemampuan yang dapat menggetarkan bulubulu
kami?" "Siapa yang mengira begitu?" bertanya Kiai Sabawa,
"bukankah aku tidak mengatakan sesuatu tentang mereka. Jika
kau terpaksa mengusir mereka, karena mereka akan
menyakitimu. Bukankah itu wajar?"
"Aku tidak peduli. Kau sudah banyak membuat onar
disini. Karena itu, maka kau memang harus mati," geram orang
itu. Ki Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam
pada itu, Ki Bekel telah berteriak, "jangan beri kesempatan.
Kepung mereka dan selesaikan mereka disini. Sekarang."
Orang-orang yang telah bersiap dengan senjata mereka
itu memang tidak menunggu terlalu lama. Mereka pun segera
telah menyergap ketiga orang itu.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekejap
memang bimbang. Apakah yang harus mereka lakukan
melawan orang-orang bersenjata itu.
Keduanya merasa tidak pantas untuk melawan mereka
dengan tingkat ilmu mereka yang tinggi untuk mengalahkan
lawan-lawan mereka itu. Namun mereka pun akan mengalami
kesulitan pula melawan sekian banyak orang bersenjata.
Seandainya mereka tidak terikat pada niat Kiai Sabawa
yang agaknya masih ingin memberikan penjelasan kepada
orang-orang padukuhan itu, maka lebih baik bagi mereka untuk
melarikan diri saja. Bukan karena mereka tidak mampu
menghadapi orang-orang itu. Tetapi semata-mata menghindari
pembunuhan. Tetapi jika mereka harus bertahan, maka
kemungkinan akan dapat terjadi, bahwa satu dua orang diantara
lawan anak-anak muda itu akan terbunuh.
Namun mereka memang harus bertahan. Apalagi ketika
Kiai Sabawa kemudian berkata, "Ki Sanak. Sebenarnya kami
tidak ingin terjadi benturan kekerasan seperti ini. Aku hanya
ingin memberitahukan apa yang sebenarnya telah terjadi disini.
Tetapi karena kalian memaksa, maka kami akan melayani.
Tetapi jika terjadi sesuatu atas kalian atau beberapa orang
diantara kalian, sama sekali bukan tanggung jawab kami."
"Jangan biarkan ia mengigau," teriak Ki Bekel,
"selesaikan secepatny a."
Ketika orang-orang bersenjata itu menyerang semakin
garang, maka Kiai Sabawa berkata lantang, "Anak-anak muda.
Jika kalian ingin senjata, bukankah kalian dapat mengambil
satu diantara senjata lawan kalian itu?"
Kata-kata itu merupakan isyarat bagi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, bahwa mereka memang harus bertahan.
Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Kiai Sabawa,
maka mereka pun berusaha untuk merampas satu diantara
senjata lawan. Memang agak sulit dilakukan. Namun Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang berilmu tinggi itu ternyata
mampu melakukannya. Karena itu, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti telah
menggenggam sebilah pedang, sementara Mahisa Pukat
membawa sebatang tombak bertangkai pendek.
Dengan senjata di tangan kedua orang anak muda itu,
maka keduanya menjadi semakin garang. Namun bagi Kiai
Sabawa, justru dengan senjata di tangan, maka keduanya akan
membatasi gerak mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi bagi orang-orang
padukuhan itu, justru akan sangat berbahaya jika mereka tidak
membawa senjata di tangan. Karena dari tangannya akan dapat
memancar kekuatan yang tidak terjangkau oleh nalar orangorang
padukuhan itu. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang seru
dengan senjata. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan
tangkas telah menangkis semua ujung senjata yang mematuk
ke arahnya. Dengan sigap keduanya menghindari ayunan
pedang dan bahkan kapak. Bahkan lembing yang dilontarkan
ke arah mereka, sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
menjadi garang. Senjata mereka berputaran. Pedang Mahisa
Murti yang berputar seperti baling-baling dengan rapat
melindunginya. Putaran pedang itu bagaikan kabut putih yang
bergulung-gulung menyeliputi tubuhnya. Bahkan seakan-akan
demikian rapatny a, sehingga tidak seujung duri pun yang dapat
menyusup kedalamnya. Dengan demikian maka orang-orang yang mengerumuni
Mahisa Murti itu menjadi bingung. Bahkan seseorang yang
mencoba menusukkan tombaknya, benar-benar telah
membentur putaran pedang Mahisa Murti yang mempunyai
kekuatan tidak tertahan sehingga tombaknya justru telah
terlempar ke udara. Ketika tombak itu meluncur jatuh, hampir
saja tajamnya justru melukai kawannya sendiri.
Rasa-rasanya memang tidak ada cara untuk dapat
mengenai anak muda itu dengan senjata apapun. Sementara itu
tidak ada kekuatan yang akan dapat menghentikan putaran
pedangnya. Sekali-sekali jika ada yang mencobanya, maka
justru senjata mereka sendirilah yang akan terlempar jatuh.
Demikian pula dengan Mahisa Pukat yang membawa
sebatang tombak pendek. Tombak itu seakan-akan telah
berubah menjadi puluhan tombak yang bergerak bersama-sama
dalam genggaman puluhan tangan yang tangkas dan cekatan.
Dengan demikian tidak ada jenis senjata apa pun yang dapat
lolos dari tangkisan tombak yang menggetarkan itu.
Bahkan tombak itu justru sekali-sekali telah mematuk
mereka yang berdiri terdekat. Meskipun tombak itu tidak
benar-benar mengenai tubuh mereka, namun rasa-rasanya
ujungnya telah terayun di depan hidung. Sehingga jantung
mereka rasa-rasanya telah berhenti berdetak.
Di lingkungan pertempuran yang lain. Kiai Sabawa
masih juga menghadapi beberapa orang bersenjata yang marah.
Tanpa senjata Kiai Sabawa bergerak berloncatan.
Namun ternyata bahwa kulitnya tidak tersentuh senjata
lawan bukan semata-mata karena ia memiliki kecepatan
menghindar yang luar biasa. Tetapi agaknya Kiai Sabawa
memang memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu yang mampu
melindungi kulitnya sehingga senjata dan jenis serangan lawan
yang mana pun tidak dapat menyentuhnya.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Sabawa telah mengetrapkan
ilmu lembu sekilan. Ilmu yang memang dapat menjadi perisai
sehingga setiap serangan akan terbentur pada ilmunya itu
sejengkal dari kulitnya. Ilmu yang biasa disebut Lembu
Sekilan. Apalagi serangan-serangan orang-orang padukuhan itu
bagi ilmu Lembu Sekilan tidak banyak berarti. Hanya dengan
kekuatan ilmu yang tinggi pula ilmu Lembu Sekilan itu dapat
dipecahkan dan ditembus sehingga menyentuh kulitny a.
Karena itu maka Kiai Sabawa sama sekali tidak
mengalami kesulitan mengatasi serangan orang-orang
padukuhan itu meskipun orang-orang padukuhan itu membawa
berbagai macam senjata. Meskipun ujung-ujung senjata
bagaikan berebut menusuk ke arah tubuhnya, namun tidak satu
pun yang dapat melukainya.
Ternyata yang terjadi itu benar-benar telah membuat
orang-orang padukuhan itu bingung. Kedua anak muda yang
berniat bermalam di banjar dan yang justru telah diusir itu
adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa.
Ternyata mereka mampu melawan sekelompok orang
bersenjata tanpa mengalami kesulitan. Apalagi orang yang
dikenal bernama Kiai Patah itu.
Dengan demikian, setelah mereka bertempur untuk waktu
yang lama tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa ketiga
orang itu akan dapat ditangkap. Ap alagi di bawa ke banjar.
Bahkan semakin lama semakin banyak orang yang
kesakitan. Tanpa dapat menghindari kemungkinan buruk,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempertahankan
dirinya. Dalam pertempuran yang kadang-kadang berlangsung
cepat, maka ujung-ujung senjata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah tergores di tubuh satu dua orang lawan mereka.
Satu dua orang padukuhan itu telah terlempar dari arena
dengan darah yang bercucuran dari lukanya yang menganga.
Demikian pula tangan dan kaki Kiai Sabawa. Kadangkadang
dengan tidak sengaja tangannya telah membentur
lawannya. Benturan itu memang tidak terlalu keras. Tetapi bagi
mereka yang tidak memiliki daya tahan yang cukup, maka
benturan itu telah membuat mereka menjadi pingsan.
Ki Bekel menyaksikan semuanya itu dengan jantung
yang berdebaran. Tetapi ia masih mempunyai harapan. Orangorang
padukuhan itu mengalir seakan-akan tanpa ada hentinya.
Satu dua orang terlempar keluar arena, tiga orang yang lain
telah memasuki arena sehingga orang-orang yang bertempur
itu tidak menjadi semakin berkurang, tetapi semakin
bertambah. "Mereka pada satu saat tentu akan kelelahan," berkata Ki
Bekel kepada diri sendiri.
Ternyata bukan hanya Ki Bekel yang memperhitungkan
hal itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga merasa bahwa
jika hal seperti itu terjadi terus-menerus, sedangkan jumlah
orang padukuhan itu terlalu banyak, maka pada saat mereka
akan kelelahan. Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang harus dapat memecahkan persoalan yang dihadapinya
itu. Namun keduanya tetap tidak akan dapat membunuh
mereka sebanyak-banyaknya, karena sebagian dari orang-orang
padukuhan itu, terutama anak-anak yang masih sedang
meningkat dewasa, justru tidak ikut bersalah.
Tetapi arus itu memang terlalu deras untuk dibiarkan
melandanya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak dapat berbuat lain. Ia harus benar-benar mengurangi
jumlah lawan meskipun tidak asal saja membunuh mereka.
Namun jika mereka menjadi luka bahkan parah, apalagi
terbunuh, itu sama sekali bukan maksudnya.
Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
meskipun tanpa berjanji, namun karena mereka mengalami
keadaan yang sama, maka mereka pun telah mengambil jalan
pemecahan yang sama pula. Dengan garangnya maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah meningkatkan kecepatan
geraknya. Senjata mereka telah berputar semakin cepat pula.
Sementara itu, maka ujung senjata mereka tiba-tiba saja telah
mematuk satu dua orang yang berada di paling depan.
Terdengar teriakan kesakitan. Bukan sekedar terlempar
dan terbanting jatuh serta merasakan tulang punggungnya
bagaikan retak, atau tergores luka di pundak dan menitikkan
darah. Tetapi dalam keadaan yang lebih buruk lagi. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat ingin memaksa lawan-lawan mereka
berpikir tentang kemungkinan yang lebih buruk itu.
Karena itu, maka senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
ternyata telah menusuk lebih dalam, lagi ke dalam tubuh
lawan-lawannya. Luka pun menjadi semakin parah dan darah
menjadi semakin banyak mengalir.
Dengan sikap yang lebih keras, maka semakin banyak
orang yang terluka, bahkan semakin parah. Orang-orang yang
terluka itu telah diangkat ke pinggir halaman dan dibaringkan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjajar. Semakin lama semakin banyak.
Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti telah
berteriak nyaring, "Nah, yakinkanlah diri kalian, bahwa korban
akan menjadi semakin banyak. Aku tidak tahu, apakah ada
diantara mereka yang tertusuk senjata itu terbunuh. Seandainya
ada, maka itu adalah akibat yang wajar dari satu pertempuran
bersenjata, meskipun aku tidak menghendakinya. Karena itu,
pertimbangkan sekali lagi. Jika kalian masih juga berniat untuk
menangkapku dan apalagi membunuhku, maka aku pun tidak
akan mengendalikan diriku lagi. Aku pun akan membunuh
kalian pula sebanyak orang yang menyerang aku."
Ternyata suara Mahisa Murti itu berpengaruh juga pada
la-wan-lawannya. Beberapa orang nampak menjadi ragu.
Demikian pula mereka yang bertempur melawan Mahisa Pukat
dan Kiai Sabawa. Namun Ki Bekel pun telah berteriak pula, "jangan
dengarkan kata-kata orang itu. Ia sudah mulai menjadi
ketakutan menghadapi perjuangan kalian yang tidak mengenal
surut. Apa pun yang terjadi."
Namun terdengar Mahisa Pukat menyahut lantang, "Ki
Bekel. Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja" Kenapa kau
tidak ikut dalam pertempuran ini" Kau dapat memuji dan
membujuk orang-orangmu untuk bertempur, karena dengan
demikian, orang-orangmulah yang akan terluka bahkan
terbunuh" Kau tidak akan tersentuh senjata sama sekali karena
kau berperisai orang-orangmu yang jumlahnya tidak terhitung.
Tetapi untuk membela diri, maka aku terpaksa membunuh."
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Namun ia sempat
berteriak, "Apakah harus aku sendiri yang melawan tikus-tikus
kecil seperti kalian. Dalam waktu yang singkat, orang-orangku
akan dapat menghancurkan kalian."
"Yang lewat sudah bukan waktu yang singkat Ki Bekel,"
jawab Mahisa Pukat, "bahkan korban pun akan menjadi
semakin banyak. Seandainya pertempuran ini dapat kau
menangkan dengan membunuh kami bertiga, maka orangorang
yang akan mati sebelumnya tidak akan bangkit lagi.
Anak-anak mereka, adik-adik mereka dan ibu-ibu mereka akan
meratap, sementara kau akan tetap menikmati harta benda yang
kau rampas dengan cara yang sangat keji. Jauh lebih kaji dari
cara yang dipergunakan oleh para perampok di saat mereka
merampok korbannya. Para perampok masih mempergunakan
kemampuan dan keberaniannya melawan korban-korbannya.
Tetapi kau tidak. Kau racuni orang yang tidak bersalah tanpa
pertimbangan perikemanusiaan sama sekali. Kemudian korban
yang lain pun berjatuhan. Dua keluarga hancur karenanya."
"Cukup. Cukup. Bungkam mulutny a itu," teriak Ki
Bekel. Tetapi tidak seorang pun mampu melakukannya. Bahkan
orang-orang yang jatuh karena luka-luka yang parah menjadi
semakin banyak. Dalam pada itu, Ki Sabawa lah yang berkata, "Karena itu
Ki Bekel, hentikan perbuatan gilamu ini." Lalu katanya kepada
orang-orang padukuhan itu, "He, orang-orang padukuhan.
Apakah kalian memang ingin mati sementara pemimpinmu
akan tetap menikmati dosa-dosanya" Anak-anak muda,
sebaiknya kalian berpaling ke belakang untuk melihat kelicikan
orang-orang yang lebih tua dari kalian meskipun selisihnya
tidak terlalu banyak. Jika kalian mau berhenti, maka aku akan
dapat menjelaskan sejelas-jelasnya apa yang telah terjadi.
Tetapi jika tidak, maka kalian yang tidak bersalahlah yang akan
mati lebih dahulu. Karena dengan licik kalian memang sengaja
diumpankannya." Kata-kata Ki Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu memang dapat membuat mereka ragu. Sementara itu, darah
yang semakin banyak mengalir dan membasahi halaman rumah
Kiai Sabawa itu pun telah membuat mereka ngeri. Karena itu,
maka beberapa orang yang justru berdiri di paling depan
menjadi ragu-ragu. Kiai Sabawa ingin memanfaatkan kesempatan itu.
Karena itu, maka katanya, "Ki Sanak. Kenapa kalian tidak
memilih cara yang lebih baik tanpa menjatuhkan banyak
korban. Biarlah Ki Bekel bertempur melawan aku seorang
dengan seorang. Dengan demikian maka kalian tidak akan
sekedar mati tetapi tanpa arti sama sekali."
Orang-orang yang mendengarkan teriakan Kiai Sabawa
itu menjadi semakin ragu-ragu. Beberapa orang justru telah
berpaling kepada Ki Bekel.
Di saat orang-orang padukuhan itu menjadi ragu-ragu,
tanpa perintah, maka Kiai Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah menghentikan gerak senjata mereka. Bahkan
mereka telah meloncat surut selangkah untuk memberi
kesempatan lawan mereka berpikir.
Melihat orang-orangnya menjadi ragu-ragu, maka Ki
Bekel pun berteriak, "Kenapa kalian menjadi ragu-ragu" Kita
harus menyelesaikan mereka. Membungkam mulut mereka
untuk selama-lamanya. Kita semuanya bertanggung jawab atas
keselamatan padukuhan kita dari fitnah yang keji."
Orang-orang yang memang merasa bersalah tidak
mempunyai pilihan. Mereka memang harus membungkam
orang-orang itu. Tetapi mereka yang tidak tahu dengan pasti
persoalannya, memang menjadi ragu-ragu untuk bertempur.
Karena itu, orang-orang yang memang merasa bersalah,
yang semula sekedar mengumpankan orang lain terutama anakanak
yang masih terlalu muda, namun yang berdarah panas,
harus melakukannya sendiri. Mereka tidak lagi dapat memaksa
beberapa orang yang memang menjadi ragu-ragu, bukan saja
karena pikiran mereka mulai terbuka, tetapi juga karena darah
yang semakin deras mengalir dari puluhan luka di tubuh
kawan-kawan mereka. Orang-orang yang merasa bersalah itu ternyata adalah
orang-orang yang memang garang. Orang-orang yang takut
rahasianya akan terbuka oleh seisi padukuhan. Yang takut
diketahui bahwa ceritera mereka tentang orang-orang yang
berebut harta di padukuhan mereka itu adalah ceritera yang
bohong saja. Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi
semakin sengit. Jika Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai
Sabawa menghendaki lawan mereka menjadi susut, yang
terjadi adalah sebaliknya. Bahkan bukan sekedar anak-anak
muda yang belum banyak pengalaman. Tetapi orang-orang
yang lebih tua. "Jadi kalian tidak mempergunakan kesempatan yang
telah kami berikan?" bertanya Kiai Sabawa yang harus mulai
bertempur lagi. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Beberapa orang justru telah menyibak anak-anak muda
yang ragu-ragu itu. "Persetan," geram seorang yang bertubuh agak pendek
dibanding dengan kawan-kawannya, namun berwajah keras,
"mulutmulah yang pertama-tama harus disumbat."
Bagaimanapun sabarnya Kiai Sabawa, namun ia adalah
seorang yang memiliki perasaan dan harga diri. Karena itu,
maka sekali lagi ia berkata, "Kami sudah cukup mengekang
diri sampai sekarang. Karena itu, kami tidak akan memberi
kesempatan lagi. Sebelum kami terbunuh di arena ini, maka
kami harus membunuh lebih dahulu sepuluh kali lipat dari
jumlah kami selain yang telah kami lukai sebelumnya."
Tetapi orang-orang yang ketakutan bahwa rahasia
mereka akan terbongkar itu tidak menghiraukannya. Apalagi
ketika Ki Bekel berkata, "hanya ada dua pilihan bagi kalian.
Membunuh orang-orang itu, atau kalianlah yang akan dibunuh
dan bahkan difitnah."
Dengan demikian orang-orang yang menyimpan rahasia
itu telah bertempur lebih keras lagi.
Namun ternyata bahwa kesabaran Kiai Sabawa telah
mulai berkurang. Karena itu, maka ia pun menggeram, "Nah,
ternyata dengan tidak sengaja telah terjadi penyaringan disini.
Mereka yang merasa tidak berdosa, telah mengakhiri
pertempuran yang tidak berarti sama sekali bagi mereka.
Karena itu, menurut pendapatku, mereka yang takut terbuka
rahasianya sajalah yang masih tetap bertempur dengan
kasarnya dan benar-benar bernafsu untuk membunuh kami.
Karena itu, maka jangan menyesal, bahwa kalian pun akan
terbunuh disini." Orang-orang itu memang tidak dapat berbuat lain.
Mereka tidak ingin membiarkan ketiga orang itu membuka
rahasia mereka, sehingga anak-anak muda mengetahuinya,
meskipun anak muda itu anak mereka sendiri.
Jika demikian, maka kedudukan mereka termasuk Ki
Bekel sebagai orang-orang yang berpengaruh karena kekayaan
mereka akan hancur di mata anak-anak muda padukuhan
mereka sendiri. Tetapi mereka benar-benar berdiri di simpang jalan yang
sulit untuk dipilih. Jika mereka memilih untuk menghindari
pertempuran, maka rahasia mereka akan terbongkar.
Sebaliknya jika mereka bertempur terus, maka kemungkinan
besar mereka tidak akan dapat lagi keluar dari halaman itu.
Sebenarnyalah, bahwa sesaat kemudian, maka seorang
telah terbanting jatuh dengan kerasnya. Kiai Sabawa yang
memiliki ilmu lembu sekilan itu telah memukul orang yang
bertubuh pendek itu tepat di keningnya. Justru ketika orang
bertubuh pendek itu berusaha untuk menusukkan senjatanya ke
arah jantung. Pukulan itu demikian kerasnya, sehingga orang bertubuh
pendek itu bukan saja terpelanting, tetapi benar-benar telah
terlempar dan menimpa beberapa orang kawannya yang sedang
bergerak maju dengan senjata telanjang di tangan.
Adalah di luar kehendak mereka, bahwa ujung-ujung
senjata itu ternyata telah menggores tubuh orang yang
terlempar itu. Demikian kerasnya ia terlempar, sehingga lukaluka
pun agaknya cukup dalam. Ketika kawan-kawannya terkejut dan berloncatan
mundur, maka orang itu telah terjatuh di tanah tanpa mampu
bergerak lagi. Kecuali keningnya serasa remuk, maka tubuhnya
menjadi arang kranjang oleh luka-luka karena ujung senjata
kawan-kawannya sendiri. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang membantu Kiai Sabawa, dan yang sebenarnya telah
terlalu lama menahan diri, seakan-akan telah mendapat isyarat,
bahwa mereka dapat berbuat lebih banyak lagi dari yang telah
mereka lakukan. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yakin,
bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang sebenarnya
bersalah. Yang membunuh dengan racun tanpa
perikemanusiaan sama sekali.
Karena itu, maka senjata anak-anak muda itu benar-benar
telah terhunjam ke dalam dada lawan-lawannya. Dua orang
terkapar ditembus ujung senjata anak muda itu.
Perubahan sikap yang semakin keras dari Kiai Sabawa
dan anak-anak muda itu memang mempengaruhi lawan-lawan
mereka. Ternyata mereka bertiga tidak hanya berbicara saja,
tetapi benar-benar sudah mengambil langkah-langkah yang
sebagaimana dikatakannya. Dan kematian itu benar-benar telah
terjadi. Karena itu keragu-raguan orang-orang padukuhan itu
menjadi semakin mencengkam. Beberapa orang tidak lagi
berdesakan maju. Tetapi mereka justru bergeser surut.
Sekali lagi Kiai Sabawa berkata, "Nah, saudarasaudaraku.
Sekali lagi aku katakan, bahwa aku tidak ingin
terjadi seperti disini. Meskipun mungkin aku sudah
melakukannya. Karena itu, minggirlah. Biarlah aku berurusan
dengan Ki Bekel." Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu telah benarbenar
yakin akan kemampuan ketiga orang itu. Karena itu,
maka ketika kemudian Kiai Sabawa melangkah menuju ke arah
Ki Bekel yang berdiri sambil sekali-sekali meneriakkan
perintah, maka orang-orang itu justru telah menyibak.
Demikian pula mereka yang telah bertempur melawan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tanpa ada yang memberikan
aba-aba, mereka telah menarik diri dan pertempuran pun telah
terhenti. Semua mata kini tertuju kepada Kiai Sabawa yang
selangkah demi selangkah mendekati Ki Bekel yang semakin
lama menjadi semakin pucat. Bahkan kemudian diluar
sadarnya, ia-pun telah bergerak surut. Selangkah Kiai Sabawa
maju, maka Ki Bekel pun surut setapak.
"Nah Ki Bekel," berkata Kiai Sabawa, "kau harus
bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi. Kau adalah
seorang Bekel. Seorang pemimpin tertinggi di padukuhan ini.
Seharusny a kau berusaha untuk mencegah hal itu terjadi.
Tetapi kau telah ikut serta. Justru kau ikut mengatur
pembunuhan yang paling keji itu. Sekelompok orang yang
membawa barang-barang berharga itu telah dibunuh dengan
racun." "Omong kosong," teriak Ki Bekel.
"Kau masih mengelak?" bertanya Kiai Sabawa, "sekian
lama aku mengadakan penyelidikan. Beberapa puluh orang
sudah aku ajak berbicara dan yang terpenting dari
keberhasilanku menyelidiki persoalan ini adalah karena telah
berapa keping uang yang aku habiskan untuk membuka
beberapa buah mulut yang semula terbungkam."
"Pengkhianat," geram Ki Bekel.
"Tidak Ki Bekel. Justru karena kau tidak membagi hasil
rampasan dengan merata. Ada orang-orang yang merasa
kecewa dengan ketamakanmu itulah sebabnya, maka
langkahmu yang keji itu dapat aku ketahui. Cara apa pun yang
aku tempuh, namun akhirnya aku tahu apa yang terjadi disini."
"Tidak. Kau telah memfitnahku," teriak Ki Bekel.
Namun wajahnya memang menjadi semakin pucat.
"Aku dapat mengajukan beberapa saksi disini. Orangorang
yang tentu kau anggap berkhianat," berkata Kiai Sabawa,
"tetapi jika kau tidak menyangkalnya terus-terusan, maka agar
tidak menambah berat bebanmu, aku dapat
mengesampingkannya. Namun kau harus sadar, berapa orang
yang telah mati karena ulahmu itu. Sekelompok pengawal yang
kau racun, kemudian dua kelompok keluarga besar yang
memiliki orang-orang berilmu yang hampir tumpas karenanya.
Dan sekarang, orang-orangmu sendiri kau umpankan sebagai
perisai bagi keselamatanmu. Nah, kau dapat menghitung
seberapa besar dosa yang telah kau buat."
"Tidak. Tidak," Ki Bekel menjadi ketakutan.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun tiba-tiba terdengar seorang anak muda bertanya,
"Apakah yang terjadi benar demikian?"
Ki Bekel menjadi semakin pucat. Juga beberapa orang
tua. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, karena senjata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah siap menukik ke tubuh
mereka yang masih ingin bertempur lebih lama lagi.
Tetapi Ki Bekel itu masih sempat berteriak dengan suara
bergetar, "Fitnah yang paling jahat. Jangan percaya."
"Baik," berkata Kiai Sabawa, "Jika tidak demikian, maka
kita selesaikan persoalan kita. Sekarang kita akan bertempur
terus. Kami bertiga merasa terhina karena sikap kalian. Kami
tidak pernah merasa bersalah, tetapi kalian akan menghukum
mati kami bertiga di banjar. Karena itu, maka marilah kita
bersama-sama mati. Kita semua akan mati. M arilah, siapa yang
akan mati lebih dahulu?"
Tidak seorang pun bergerak. Bahkan Mahisa Pukat lah
yang kemudian menantang, "Sekarang kamilah yang akan
membunuh kalian semuanya. Kalian tentu yakin, bahwa kami
mampu melakukannya."
Sementara itu M ahisa Murti menyambung, "Kalian dapat
memilih. Mengakui semua perbuatan kalian, atau mati di
tangan kami. Jika kalian semua mati dan kami tinggalkan
padukuhan ini, maka tidak ada lagi yang sempat
menyelenggarakan mayat kalian. Mungkin perempuan atau
anak-anak sambil meratapi mayat kalian itu."
Suasana menjadi semakin tegang. Sementara itu orangorang
yang ada di halaman itu pun menjadi semakin cemas,
bahwa ketiga orang itu benar-benar akan mengamuk dengan
membunuh mereka semuanya, karena menilik apa yang telah
terjadi, maka hal itu mungkin sekali mereka lakukan.
Karena itu, maka beberapa orang memang telah menjadi
bimbang. Sementara itu Kiai Sabawa berkata, "Nah, aku akan
memberi kalian waktu sampai hitungan kesepuluh untuk
mengaku." Ancaman itu benar-benar menegangkan. Sementara itu
Kiai Sabawa memang telah mulai menghitung," satu, dua, tiga
..." Orang-orang yang merasa bersalah, tetapi tidak dapat
mengingkari kenyataan yang mereka hadapi itu, memang
menjadi bingung. Namun ketika Kiai Sabawa sampai hitungan
kedelapan dan kesembilan, maka beberapa orang benar-benar
menjadi gemetar. Jantung mereka bagaikan telah berhenti
berdenyut. Sementara itu, beberapa orang hampir bersamaan
tiba-tiba saja telah berteriak, "Kami akan mengaku."
Kiai Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Sambil
berpaling ke arah mereka yang berteriak itu Kiai Sabawa
berkata, "Terima Kasih. Kalian akan menjernihkan suasana.
Dengan demikian tidak akan ada lagi kematian diantara orangorang
yang tidak bersalah." Kiai Sabawa berhenti sejenak,
kemudian kepada salah seorang yang berteriak itu ia berkata,
"Kau termasuk orang-orang yang berani
mempertanggungjawabkan kesalahan yang pernah kalian
lakukan dengan sebuah pengakuan. Demikian pula beberapa
orang yang lain. Nah, sekarang aku ingin bertanya kepada Ki
Bekel. Apakah kau masih juga memilih berperang tanding
melawan aku dari pada memberikan pengakuan dihadapan
rakyatmu yang kebetulan berkumpul disini?"
Ki Bekel memang menjadi semakin pucat. Diluar
sadarnya ia memandang berkeliling. Rasa-rasanya semua mata
telah memandang ke arahnya dengan sorot mata yang menyala.
Tiba-tiba saja Ki Bekel itu p un berteriak, "Tidak. Tidak."
"Ki Bekel," panggil Kiai Sabawa.
Namun Ki Bekel itu mencoba melarikan diri ke arah
regol halaman rumah Kiai Sabawa sambil masih saja berteriak,
"Tidak. Tidak."
Tetapi ternyata beberapa orang anak muda yang tidak
tahu pasti apa yang pernah terjadi sesungguhnya, telah bergeser
menutup jalan. Apa yang dikatakan oleh Kiai Sabawa, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah menimbulkan berbagai persoalan
didalam diri mereka. Karena itu, maka mereka pun telah
berbuat sesuatu. Mereka merasa bahwa hubungan mereka
dengan Ki Bekel untuk sementara dapat berubah sifatnya.
Ki Bekel yang terpaksa berhenti berlari mencoba untuk
mencari jalan lain. Tetapi beberapa orang anak muda yang lain
telah berdiri pula dihadapanya.
"Minggir, minggir," teriaknya.
Tetapi tidak seorang pun yang berkisar. Tidak seperti saat
Ki Bekel itu memasuki halaman.
Dalam pada itu, seorang anak yang masih terlalu muda
telah melangkah maju dan mendekatinya sambil bertanya,
"Katakanlah Ki Bekel. Apakah benar yang dikatakan orang
itu?" "Tidak. Tidak," Ki Bekel berteriak-teriak tidak menentu.
Namun tiba-tiba seorang yang hampir seumur Ki Bekel
melangkah mendekati. Dipandanginya anak muda itu dengan
tatapan mata yang redup. Sementara anak muda itu dengan ragu-ragu bertanya
kepada orang tua itu, "Benarkah yang dikatakan oleh Kiai
Patah itu ayah?" Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia
berpaling ke arah Ki Bekel, maka Ki Bekel berteriak semakin
keras, "Tidak. Tidak."
Tetapi orang itu melangkah mendekat sambil berdesis,
"Tenanglah Ki Bekel. Kita tidak mempunyai pilihan lain
sekarang ini. Berkatalah terus terang. Agaknya memang sudah
waktunya." "Pengkhianat. Kau juga akan berkhianat?" Ki Bekel
masih berteriak. "Tidak Ki Bekel. Aku tidak akan berkhianat. Apalagi hal
itu akan menyangkut diriku sendiri," berkata orang itu.
"Kalau kau mau ikut memfitnah aku, lakukanlah. Aku
sudah siap menghadapi fitnah semua orang padukuhan ini,"
jawab Ki Bekel. "Kau keraskan hatimu dalam kesalahanmu," berkata
orang tua itu. Lalu katanya kepada anak muda yang
memanggilnya ayah, "Sebenarnyalah seperti yang mereka
katakan anakku. Selama ini, kami telah berbohong kepada
kalian. Tidak pernah terjadi sebagaimana tersebar di
padukuhan ini ceritera tentang orang-orang yang saling berebut
harta dan kemudian saling membunuh. Yang hidup telah
melarikan harta itu sementara mereka meninggalkan mayatmayat
untuk kita kuburkan."
"Jadi yang benar Ki Bekel telah meracun mereka?"
bertanya anak muda itu. Orang tua itu mengangguk.
"Setan tua," teriak anak muda itu sambil mengacukan
pedangnya. Namun ayahnya telah menghalanginya. Katanya,
"Bukan hanya Ki Bekel. Tetapi kami, beberapa orang telah
sepakat melakukannya."
Anak muda itu mundur beberapa langkah. Wajahnya
menjadi sangat tegang. Ia tidak tahu apa yang pantas dilakukan
terhadap ayahnya sendiri.
Namun tiba-tiba dari arah yang lain terdengar seorang
anak muda berteriak, "Kita selesaikan mereka."
"Ya. Kita bersihkan nama baik padukuhan kita," teriak
yang lain. Beberapa orang mulai bergerak. Namun Kiai Patah
kemudian telah berkata lantang, "Kita tidak dapat
melakukannya sendiri. Kalian, anak-anak muda, tidak akan
pantas menghukum ayah kalian atau kakak-kakak kalian
sendiri." Beberapa orang anak muda menjadi bingung. Mereka
tidak tahu apakah yang sebaiknya dilakukan.
Namun Kiai Patah pun berkata, "Bukankah padukuhan
ini masuk satu lingkungan yang lebih luas" Nah, biarlah Ki
Bekel kita serahkan saja kepada Ki Buyut bersama beberapa
orang yang bersalah. Jika mereka telah mengaku bersalah,
maka sebagian dari kesalahan mereka telah diperbaiki. Karena
itu, biarlah kita bawa mereka kepada Ki Buyut."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun yang
terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan mereka.
Pada saat anak-anak muda itu termangu-mangu, maka
tiba-tiba saja Ki Bekel telah menarik keris di pinggangnya.
Dengan serta merta ia meloncat menyerang Kiai Sabawa yang
dikenalnya sebagai Kiai Patah. Demikian tiba-tiba sehingga
tidak seorang pun sempat mencegahnya. Bahkan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang berdiri agak jauh tidak mampu berbuat
sesuatu. Kiai Sabawa sendiri tidak berbuat sesuatu. Beberapa
orang memang menjadi sangat terkejut, bahkan ada diantara
anak-anak muda yang berteriak. Namun keris itu sudah terayun
mengarah ke dada Kiai Sabawa.
Sambil mengayunkan kerisnya Ki Bekel berteriak, "Kau
sumber dari kekacauan ini. Kau memang pantas dibunuh."
Beberapa orang yang melihat ayunan keris itu,
jantungnya bagaikan berhenti berdenyut. Rasa-rasanya dada
mereka sendirilah yang telah dikenai oleh keris Ki Bekel yang
menjadi bagaikan gila itu.
Namun sekali lagi orang-orang itu terkejut. Mereka
melihat keris Ki Bekel itu bagaikan membentur tirai baja yang
keras, namun tidak kasat mata. Ujung keris yang terayun deras
itu sama sekali tidak menyentuh kulit Kiai Sabawa yang berdiri
tegak tanpa berbuat sesuatu.
Wajah Ki Bekel yang pucat itu menjadi semakin pucat.
Selangkah ia surut. Dengan gemetar bibirnya pun bergerak
sehingga terdengar kata-katanya, "Kau anak iblis atau hantu
dari antara orang-orang yang telah mati itu?"
Kiai Sabawa tertawa. Adalah tidak direncanakannya
lebih dahulu jika ia kemudian menjawab, "Kau benar Ki Bekel.
Aku adalah hantu dari salah satu diantara orang-orang yang
telah kau bunuh dengan racun itu."
Ki Bekel benar-benar tidak dapat lagi mempergunakan
nalarnya. Yang dilakukannya kemudian adalah justru
mengangkat keris itu tinggi-tinggi. Namun sebelum keris itu
terayun ke dadanya sendiri, Kiai Sabawa telah sempat
menerkamnya. Satu p utaran yang kuat telah memilin tangan Ki
Bekel itu sehingga kerisnya terlepas dari tangannya.
"Sayang Ki Bekel. Itu bukan satu penyelesaian yang
baik. Kau akan menjadi pengecut untuk kedua kalinya setelah
dengan sikap pengecut pula kau bunuh orang-orang yang
menginap di banjar itu dengan racun. Namun sekarang
berbicaralah kepada orang-orangmu, apa yang terjadi
sebenarnya," geram Kiai Sabawa, "sekarang aku tidak mainmain
lagi Ki Bekel. Pengakuanmu mempunyai arti yang
penting sebelum kau akan kami bawa menghadap Ki Buyut."
"Bunuh aku," geram Ki Bekel.
"Jika itu yang kau kehendaki, maka aku akan
melakukannya. Tetapi dengan caraku. Aku akan menarik
lidahmu sampai terlepas dari mulutmu, karena lidahmu itu
tidak kau pergunakan sebagaimana seharusnya," jawab Kiai
Sabawa. "Kau gila," teriak Ki Bekel.
"Tidak," berkata Kiai Sabawa. Lalu katanya kepada
Mahisa Murti, "ambilkan sepotong bambu. Aku akan menjepit
lidahnya dan menariknya sampai terlepas."
"Tidak. Kau tidak boleh melakukan tindakan gila itu,"
teriak Ki Bekel. "Siapa yang tidak memperbolehkan" Kau" Bekel yang
tidak tahu diri," jawab Kiai Sabawa, "nah, sekarang kau tinggal
pilih. Mengatakan yang sebenarnya atau kau tidak akan
mempunyai lidah lagi."
Agaknya Ki Bekel memang tidak mempunyai pilihan apa
pun juga. Karena itu dengan tangan yang masih terpilin di
belakang, maka ia pun kemudian berkata, "Aku tidak akan
dapat ingkar lagi." "Katakan yang jelas," bentak Kiai Sabawa.
Agaknya hati Ki Bekel benar-benar telah terguncang.
Sehingga karena itu, maka ia pun berkata, "Baiklah. Aku akui
semua perbuatanku bersama beberapa orang dari padukuhan
ini." Kiai Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Baiklah. Jika demikian, kita akan pergi ke padukuhan induk
Kabuyutan ini. Kita akan menghadap Ki Buyut."
"Serahkan kepada kami," tiba-tiba seorang anak muda
maju selangkah, "kami akan menentukan apa yang sebaiknya
kami lakukan terhadap Ki Demang dan orang-orang tua kami
yang telah berbuat licik dan menodai nama baik padukuhan
ini." "Sudahlah," berkata Kiai Sabawa, "kita tempuh saluran
yang seharusnya. Biarkanlah Ki Buyut mengambil
kebijaksanaan. Sementara itu, kalianlah, anak-anak muda
padukuhan ini harus membuktikan bahwa kalian akan dapat
membersihkan nama padukuhan ini. Adapun rahasia
padukuhan ini sebenarnya masih belum tersebar kemanapun
juga. Jika satu dua orang diluar padukuhan mendengar ceritera
tentang beberapa orang yang harus dikubur di padukuhan ini
beberapa tahun yang lalu, maka ceritera itu tentu sebagaimana
pernah diceritakan oleh Ki Bekel dan orang-orang tua kalian."
Anak-anak muda itu mulai berpikir lagi. Ternyata bahwa
sebagian besar dari mereka mengerti, apa yang paling baik
mereka lakukan. Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah berkata,
"Nah, kalian dapat mengumpulkan senjata dari orang-orang tua
kalian yang bersalah. Kita akan pergi ke rumah Ki Buyut,
sementara yang lain harus segera menghubungi orang-orang
yang mampu mengatasi luka-luka dengan ilmu pengobatan.
Seberapa banyak orang-orang yang memiliki pengetahuan
tentang obat-obatan, cepat dipanggil kemari."
Demikianlah, maka anak-anak muda padukuhan itu pun
mulai bergerak. Sebagian telah mengumpulkan senjata, yang
lain berlari-larian ke rumah orang-orang yang dianggap mampu
mengobati luka-luka. Satu dua orang memang telah berada di
halaman rumah itu. Mereka telah melakukan usaha-usaha
sementara, karena mereka tidak membawa reramuan obat sama
sekali. Namun agaknya Kiai Sabawa lah yang telah
memberikan obat yang mungkin dapat menolong mereka.
Tetapi tidak terlalu banyak.
Dalam kesibukan itu, maka Kiai Sabawa telah mengajak
sebagian diantara mereka untuk pergi ke rumah Ki Buyut.
Memang tidak terlalu dekat, sehingga karena itu, maka merekapun


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus bersiap-siap seperlunya. Beberapa orang ingin
pulang lebih dahulu untuk minta diri kepada keluarganya,
terutama kepada ibu atau saudara perempuan mereka. Namun
Kiai Sabawa pun telah memberikan kesempatan kepada
mereka yang terlibat kedalam pembunuhan dengan racun untuk
minta diri kepada isteri mereka dan keluarga mereka yang ada
di rumah. "Aku percaya bahwa kalian tidak akan melarikan diri,"
berkata Kiai Sabawa, "jika kalian melakukannya, akibatny a
akan pahit sekali bagi kalian. Mungkin kalian akan menjadi
buruan yang diburu oleh sanak kadang kalian sendiri. Bahkan
mungkin oleh anak-anak kalian. Nah, sekarang pulanglah.
Beritahu keluargamu bahwa kalian akan melakukan perjalanan.
Mungkin kalian tidak akan kembali dalam satu dua hari. Aku
tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Ki Buyut atas kalian."
Orang-orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka
pun tidak berniat untuk melarikan diri, karena dengan demikian
hanya akan menambah kesulitan mereka dan keluarga mereka
saja. Sementara itu, tanggungjawab terbesar memang terletak
pada Ki Bekel yang terlibat dalam tindakan yang keji itu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian segalanya
telah siap. Sementara itu mereka yang memiliki kemampuan
pengobatan telah berada di halaman rumah Kiai Sabawa untuk
merawat orang-orang yang terluka. Namun dalam pada itu,
adalah di luar kemauan Kiai Sabawa, maupun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, bahwa lima orang ternyata tidak tertolong
lagi. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau mengekang
diri sama sekali, justru karena mereka merasa bersalah.
Demikian besar keinginannya untuk membunuh orang yang
dianggap dapat membuka rahasia itu, sehingga justru karena
itu, maka mereka sendirilah yang telah terbunuh karenanya.
Betapapun hal itu disesali, tetapi tidak seorang pun yang
dapat menyalahkan Kiai Sabawa yang mereka kenal bernama
Kiai Patah maupun kedua orang anak muda pengembara itu.
Pengembara yang memiliki kemampuan jauh diluar dugaan.
Seandainya kedua anak muda itu marah dan berbuat
sesuatu semalam di banjar, maka agaknya mereka akan mampu
membuat padukuhan itu menjadi karang abang. Mereka akan
mampu membakar banjar dan rumah-rumah tanpa dapat
dicegah. Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan telah
berangkat dari padukuhan itu menuju ke padukuhan induk
Kademangan. Perjalanan yang memang sangat menarik
perhatian. Orang-orang padukuhan sebelah yang mengenal semua
orang dalam iring-iringan itu termasuk Kiai Patah, telah
bertanya-tanya apakah yang akan mereka lakukan.
Karena diantara mereka terdapat Ki Bekel, maka orangorang
itu pada umumnya telah bertanya kepada Ki Bekel itu.
Tetapi Ki Bekel tidak dapat memberi jawaban. Bahkan
wajahnya yang gelap itu telah membuat orang-orang yang
melihat iring-iringan itu menjadi heran.
"Ada apa dengan padukuhan itu?" bertanya seseorang
kepada kawannya yang berdiri disebelahnya.
Kawannya menggeleng. Dengan nada rendah ia
menyahut, "Tentu ada sesuatu yang tidak wajar."
"Mungkin," jawab yang lain, "agaknya dua orang anak
muda yang tidak dikenal itu telah dibawa ke padukuhan induk.
He, mereka tentu menghadap Ki Buyut di padukuhan induk.
Tetapi sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa kedua anak
muda yang tidak dikenal itu merupakan tawanan atau setidaktidaknya
orang yang tidak dikehendaki dan akan dihadapkan
kepada Ki Buyut," berkata orang yang pertama.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya
memang bukan dua orang anak muda yang asing bagi orangorang
yang melihat iring-iringan itu berjalan. Tetapi mereka
tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan.
Namun bahwa justru Ki Buyut yang berjalan di tengahtengah
iring-iringan itu memang agak menarik perhatian.
Biasanya Ki Buyut berjalan di depan atau di belakang atau di
samping jika ia berada dalam satu iring-iringan. Tetapi tidak
didalamnya. Justru anak-anak muda yang berada di sebelahmenyebelah
dan di belakang serta di depannya. Diantara
mereka terdapat juga beberapa orang yang lebih tua dengan
sikap yang nampaknya asing.
Demikianlah maka iring-iringan itu memang
mengundang pertanyaan di sepanjang jalan. Tetapi pertanyaan
itu tidak pernah terjawab.
Di padukuhan induk, iring-iringan itu memang
mengejutkan pula. Beberapa orang pengawal dan anak-anak
muda di padukuhan induk itu justru telah bersiap-siap.
Kedatangan Ki Bekel dan orang-orangnya telah mengundang
berbagai tanggapan. Dan bahkan ada diantara anak-anak muda di padukuhan
induk itu yang menyangka, bahwa Ki Bekel dan orangorangnya
ingin menyatakan sesuatu bahkan menuntut sesuatu
kepada Ki Buyut. "Jika mereka ingin berbuat kasar, maka kita akan
menghalau mereka," berkata salah seorang pemimpin
kelompok pengawal. Ternyata bahwa berita kedatangan Ki Bekel dari
padukuhan di ujung Kabuyutan itu telah didengar oleh anakanak
muda dan pengawal di seluruh padukuhan induk itu,
sehingga mereka pun telah berkumpul di halaman rumah Ki
Bekel dan sekitarnya. Namun adalah mengherankan, bahwa yang kemudian
berdiri di paling depan justru bukan Ki Bekel, tetapi seorang
laki-laki tua yang dikenal bernama Kiai Patah. Seorang lakilaki
miskin yang sama sekali tidak berpengaruh di
padukuhannya. "Kami ingin menghadap Ki Buyut," berkata Kiai Patah
kepada pemimpin pengawal yang bertugas saat itu.
Seperti orang-orang lain, maka pemimpin pengawal yang
bertugas saat itu dan yang menerima sekelompok orang dari
padukuhan di ujung Kabuyutan itu pun menjadi heran. Dengan
nada datar ia bertanya, "Siapakah yang akan bertemu dengan
Ki Buyut" Ki Bekel atau siapa?"
"Kami semuanya," jawab Kiai Patah, "aku akan
mewakili kami semua untuk menyampaikan satu persoalan
kepada Ki Buyut." "Disini ada Ki Bekel," jawab pemimpin kelompok itu,
"kenapa kau yang akan mewakili sekelompok kawan-kawanmu
itu?" "Aku sudah mendapat limpahan kekuasaan dari Ki
Bekel," berkata Kiai Patah.
Namun ternyata langkah yang diambil Ki Bekel sangat
mengejutkan. Tiba-tiba saja ia keluar dari kelompok itu dan
langsung berdiri di sisi pemimpin pengawal itu. "Mereka telah
memaksa aku untuk satu tindakan yang salah. Sebenarnya aku
tidak memberi limpahan kekuasaan apa pun juga kepada orang
itu. Tetapi ia telah bersepakat dengan beberapa orang untuk
memfitnah aku dan beberapa bebahuku yang setia, yang
sekarang juga ada disini."
Sikap Ki Bekel yang tiba-tiba itu memang telah
menimbulkan kegoncangan diantara mereka yang merasa
bersalah. Dengan cepat mereka tanggap akan sikap Ki Bekel
yang ingin mendapat p erlindungan dari pengawal.
Ada diantara mereka yang tiba-tiba saja berniat untuk
melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan Ki Bekel.
Karena itu maka didalam kelompok orang-orang yang datang
dari padukuhan itu nampak gejolak yang gelisah.
Dalam pada itu pemimpin pengawal itu bertanya, "Apa
yang sebenarnya terjadi Ki Bekel?"
"Fitnah dan semacam perebutan kekuasaan," berkata Ki
Bekel, "tetapi mereka terlalu bodoh untuk datang kemari,
karena Ki Buyut tentu akan mengambil kebijaksanaan yang
paling baik bagi padukuhan kami. Disini ada pengawal cukup,
sehingga orang-orang yang telah menghancurkan tata nilai dan
pimpinan pemerintahan di padukuhanku itu akan dapat diatur
disini." Pemimpin pengawal itu termangu-mangu sejenak.
Sementara Ki Bekel berkata selanjutny a, "Sekarang terserah
kepada kalian, para pengawal yang memang bertugas untuk
melindungi kami, orang-orang yang mendapat kepercayaan
untuk memimpin rakyat padukuhan kami. Apa yang dapat
kalian lakukan terhadap orang-orang yang telah menghasut
dengan fitnah dan bahkan mengaku mendapat limpahan
kekuasaanku" Aku ada disini sekarang, dan orang itu sudah
berani berbohong tanpa malu-malu dan mengatakan bahwa ia
telah mendapat limpahan kekuasaanku."
Suasana memang menjadi tegang. Sementara itu
beberapa orang memang menjadi gelisah.
Namun Kiai Patah itu pun kemudian berkata kepada
orang-orang padukuhan yang datang bersamanya, "Terserah
kepada kalian. Apakah kalian akan berpihak kepadanya.
Silahkan, siapakah yang akan mengatakan bahwa aku dan
anak-anak muda padukuhan ini telah memfitnah Ki Bekel.
Siapa yang berpendirian demikian, aku persilahkan keluar dari
kelompok ini dan bergabung kepada Ki Bekel."
Tetapi Ki Bekel justru menyahut, "Lihat. Bagaimana ia
sudah berhasil mempengaruhi orang-orangku."
"Ki Sanak," berkata Kiai Patah kepada pemimpin
pengawal, "aku mohon, sampaikan permohonan kami untuk
menghadap Ki Buyut. Biarlah Ki Buyut yang menimbang salah
dan benar. Beri kesempatan kami berbicara terbuka dengan Ki
Buyut yang tentu cukup bijaksana."
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun
kemudian ia pun berkata, "Sampai saat ini, Ki Bekel adalah
pemimpin yang sah atas kalian. Karena itu, maka yang paling
berhak berbicara disini adalah Ki Bekel."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba-tiba mendesak
maju. Tetapi Kiai Patah dengan cepat menggamit mereka
sambil berdesis, "Tahanlah diri kalian sedikit."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Seakan-akan mereka ingin mengendapkan kembali
gejolak didalam dada mereka melihat sikap Ki Bekel yang licik
itu. Dalam pada itu Ki Bekel pun berkata kepada orang-orang
padukuhannya, "Nah, dengarlah keterangan dari pemimpin
pengawal ini. Aku adalah orang yang paling berkuasa di
padukuhan. Wewenang dan kekuasaan itu masih ada padaku.
Karena itu, maka kalian dapat memilih. Aku atau pemberontak
dan pemfitnah itu." Suasana menjadi semakin tegang. Apalagi Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat nampaknya menjadi semakin tidak sabar
lagi. Namun yang tidak sabar bukannya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat saja. Tiba-tiba seorang anak muda berkata
lantang, "Kami sudah tidak mengakui lagi kekuasaan Ki Bekel.
Jika ada diantara orang-orang tua kami yang berpihak
kepadanya, maka pada saatny a orang itu akan ikut memikul
tanggung jawab atas apa yang terjadi. Tetapi mereka yang tidak
ingkar akan kesalahan mereka, justru tanggung jawabnya akan
menjadi ringan, karena beban terberat adalah justru pada Ki
Bekel itu sendiri." Beberapa orang memang terombang-ambing dalam
kebimbangan. Jika mereka melepaskan kesempatan berlindung
pada para pengawal, maka mereka akan kehilangan
kesempatan untuk selanjutny a. Tetapi jika mereka berbalik
lagi, maka anak-anak muda yang telah terlanjur menjadi saksi
atas perbuatan mereka, tentu akan memusuhi mereka untuk
selanjutny a. Padahal, padukuhan tanpa anak-anak muda akan
tidak berarti sama sekali. Apalagi bagi masa depan. Karena
masa depan itu berada di tangan anak-anak muda itu.
Untuk beberapa saat, beberapa orang masih dibayangi
oleh keragu-raguan sehingga mereka tidak segera dapat
mengambil sikap apa pun juga.
Sementara itu, pemimpin pengawal itu pun menjadi
bingung. Ternyata ada diantara orang-orang padukuhan itu
yang memang tidak mengakui lagi kekuasaan Ki Bekel. Tetapi
itu bukan satu ketentuan bahwa kekuasaan Ki Bekel itu
memang tidak diakui lagi.
Karena itu, maka pemimpin pengawal itu berkata,
"Sebelum Ki Buyut menetapkan lain, maka pemimpin kalian
adalah Ki Bekel. Karena itu, maka kalian masih harus tunduk
kepada perintahnya."
"Nah, ternyata akal yang sehat akan menentukan
kebenaran," berkata Ki Bekel. Lalu katanya, "sebenarnya
orang-orangku adalah orang-orang yang baik. Tetapi tiga orang
telah menghasut mereka, sehingga orang-orangku telah
kehilangan kepercayaannya kepadaku. Namun demikian aku
akan memaafkan mereka semuanya, kecuali ketiga orang itu."
"Siapakah mereka?" bertanya pemimpin pengawal itu.
"Kiai Patah dan dua orang pengikutnya yang tidak kami
kenal namanya. Keduanya merupakan orang asing bagi kami.
Keduanya datang ke padukuhan kami sekedar untuk
mengacaukan suasana. Dan nampaknya mereka berhasil." Ki
Bekel menjadi semakin mantap. "Sementara itu, Kiai Patah itu
pun merupakan orang baru di padukuhan kami. Baru satu atau
dua tahun berada diantara kami. Kehadirannya ternyata
bukannya tanpa maksud. Karena kesuburan dan kesejahteraan
padukuhan kami melimpah, maka Kiai Patah agaknya telah
berniat untuk menguasainya dengan cara apa pun juga. Bahkan
tanpa malu-malu, telah dirusaknya pula kepercayaan anak-anak
muda kepadaku." "Omong kosong," sahut Mahisa Pukat yang sudah
kehabisan kesabaran, "sebenarnya kami ingin berbicara dengan
Ki Buyut." Tetapi ternyata pemimpin pengawal itu justru telah
tersinggung. Katanya, "Aku bertanggung jawab atas
ketenangan dan ketenteraman lingkungan ini. Siapa pun yang
dapat menimbulkan kekacauan akan ditindak berdasarkan
paugeran." "Baiklah," berkata Kiai Patah, "kami akan mengikuti
paugeran itu. Tetapi kami mohon bertemu dengan Ki Buyut.
Itu saja." "Apa hakmu. Atas dasar apa maka kau mengajukan
permohonan itu. Biarlah Ki Bekel yang menentukan, apakah ia
akan menghadap Ki Buyut atau tidak," jawab pemimpin


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengawal itu. "Jangan menunggu suasana menjadi semakin buruk,"
berkata Kiai Patah, "anak-anak muda padukuhan kami akan
menjadi saksi." "Hanya orang-orang yang telah kau suap sajalah yang
membenarkan kata-katamu. Yang lain benar-benar terpengaruh
oleh kata-katamu yang memang memiliki pesona luar biasa.
Seandainya persoalannya tidak menyangkut pribadiku sendiri,
maka agaknya aku pun percaya bahwa Ki Bekel di padukuhan
itu telah berbuat curang. Tetapi Bekel di padukuhan itu adalah
aku. Dan aku tahu pasti, apa yang pernah aku lakukan bagi
padukuhanku, sehingga kesejahteraan rakyatny a meningkat
dengan cepat," berkata Ki Bekel. Lalu katanya kepada orangorang
padukuhan, "Nah, siapa yang menyadari kesalahannya
akan kami ampuni." Memang telah terjadi lagi pergolakan di dalam jiwa
orang-orang padukuhan itu. Terutama orang-orang yang
memang terlibat. Seandainya mereka akan mendapatkan
pelindung maka pelindung itu tentu Ki Buyut sendiri. Dan
siapakah yang akan berani menentang Ki Buyut"
Namun dalam keragu-raguan itu seorang anak muda
berkata lantang, "Tetapi kami perlu penjelasan. Kami perlu
keterangan tentang kebenaran dari peristiwa tersebut. Jika
benar yang terjadi sebagaimana dikatakan oleh Kiai Patah,
maka terkutuklah Ki Bekel dan beberapa orang tua kami.
Tetapi jika itu sekedar fitnah, maka terkutuklah mereka yang
memfitnah." "Bertanyalah kepada nurani orang-orang tua kalian,"
berkata Kiai Patah, "hanya orang yang sudah kehilangan jejer
dan pribadinya serta martabat kemanusiaannya sajalah yang
akan membantahnya. Memang kebohongan yang tegas,
kadang-kadang akan memberikan kepercayaan kepada orang
lain seolah-olah kebohongan itu merupakan kebenaran. Tetapi
siapa yang berani mengkhianati nuraninya sendiri, adalah
mereka yang memang telah kehilangan martabat
kemanusiaannya itu."
Keragu-raguan pun menjadi semakin mencengkam.
Namun sementara itu, pemimpin pengawal itu pun berkata,
"Aku akan membawa Ki Bekel menghadap Ki Buyut. Biarlah
Ki Bekel memberikan penjelasan tentang peristiwa ini."
"Itu tidak adil," sahut Mahisa Murti, "kalian harus
membawa kedua belah pihak yang bersengketa untuk
menghadap, agar Ki Buyut mendapat keterangan yang lengkap
sebelum mengambil satu keputusan tentang hal ini."
"Tidak," jawab pemimpin pengawal itu tegas. Lalu
katanya pula, "Hanya Ki Bekel yang berhak menghadap Ki
Buyut." "Apakah kami harus mengulangi peristiwa yang terjadi di
padukuhan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Apa yang terjadi?" bertanya pemimpin pengawal itu.
"Kerusuhan dan bahkan pembunuhan," ternyata Ki Bekel
lah yang telah menyahut. Ketiga orang itu telah menakutnakuti
orang-orang dengan melukai dan membunuh."
"Anak iblis," geram pemimpin pengawal, "kau tidak
mungkin melakukannya disini."
Pemimpin pengawal itu tidak menunggu jawaban. Tibatiba
saja ia pun telah mengangkat kedua tangannya yang
menjadi isyarat kepada para pengawal untuk bersiaga
sepenuhnya. Memang nampak kelompok-kelompok pengawal
bergerak. Mereka adalah anak-anak muda yang bersenjata.
Bahkan rasa-rasanya mereka yang bukan pengawal pun telah
bersiaga pula. "Jangan mencoba menyombongkan diri disini," berkata
pemimpin pengawal itu, "kami tidak segan-segan membantai
mereka yang menentang paugeran disini."
Kesiagaan para pengawal itu sebenarnya tidak banyak
berpengaruh atas Kiai Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Bahkan sikap itu telah menimbulkan kemarahan di hati
Mahisa Pukat yang harus dengan susah payah menahan diri.
Dalam pada itu, maka pemimpin pengawal itu pun telah
berkata selanjutny a kepada para pengawal, "Amati mereka.
Biarlah aku akan membawa Ki Bekel menghadap dan
memberikan laporan kepada Ki Buyut. Ki Buyut tidak akan
mudah menerima ketidakpuasan beberapa orang di satu
padukuhan sebagai satu isyarat untuk menggantikan seorang
pemimpin. Dengan demikian maka seorang Bekel yang
merupakan kedudukan turun temurun itu akan dengan mudah
diganti setiap hari lima kali. Bahkan Ki Buyut akan
menghukum mereka yang telah memberontak kepada
kekuasaan yang sah di setiap padukuhan."
"Persetan," geram Mahisa Pukat.
"Biarlah, kita akan menunggu hasil pertemuan Ki Bekel
dengan Ki Buyut, "berkata Kiai Patah.
"Jika hasilnya tidak seperti yang kita harapkan?"
bertanya Mahisa Pukat. "Barulah kita mengambil langkah-langkah yang perlu,"
jawab Kiai Sabawa. Mahisa Pukat hampir tidak telaten mengikuti sikap Ki
Sabawa. Namun ia memang tidak berbuat mendahului
perintahnya, karena yang terjadi itu sebenarnyalah persoalan
Kiai Sabawa yang kebetulan adalah kawan Mahendra, ayah
kedua orang anak muda itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Bekel pun telah mengikuti
pemimpin pengawal itu menuju ke serambi di sayap rumah itu,
menghadap ke longkangan yang memisahkan serambi itu
dengan gandok. Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut masih berada di dalam
rumah. Karena itu, maka dipersilahkan Ki Bekel untuk
menunggu. Sementara di tangga serambi dua orang pengawal
nampak berjaga-jaga. "Silahkan duduk Ki Bekel, biarlah aku menghadap Ki
Buyut untuk menyampaikan niat Ki Bekel menghadap,"
berkata pemimpin pengawal yang bertugas itu.
Ki Bekel pun kemudian duduk di amben bambu di
serambi itu. Sejenak ia menunggu sambil mengamati kesiagaan
para pengawal. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di hatinya,
"Akhirnya aku dapat mengatasi persoalan ini. Para pengawal
yang sigap dari Kabuyutan ini akan dapat menyelesaikan
mereka. Mereka yang dapat menyombongkan diri di
padukuhan, bahkan telah membunuh pula, tentu akan
ditangkap dan dihukum oleh Ki Buyut. Ap alagi Ki Buyut yang
baru saja menggantikan kedudukan ayahnya yang meninggal
ini masih agak muda, bekas seorang prajurit di Kediri,
sehingga ia tentu akan dapat mengambil tindakan yang tegas.
Sikap keprajuritannya tentu masih melekat di dirinya."
Demikianlah, setelah menunggu beberapa saat, maka Ki
Buyut pun telah keluar dari pintu samping. Ki Bekel dengan
tergesa-gesa bangkit berdiri sambil membungkuk hormat.
"Silahkan duduk Ki Bekel," Ki Buyut yang masih lebih
muda dari Ki Bekel itu mempersilahkan.
"Terima kasih Ki Buyut," desis Ki Bekel yang kemudian
telah duduk pula bersama-sama Ki Buyut.
"Nah, katakan, apakah keperluan Ki Bekel," berkata Ki
Buyut. Ki Bekel pun kemudian telah menceriterakan apa yang
dialaminya, namun menurut gagasannya sendiri. Seolah-olah
Kiai Sabawa bersama kedua orang anak muda itu telah
berontak melawannya. Ki Buyut pun mengangguk-angguk. Katanya, "jadi Ki
Bekel menolak tuduhan itu?"
"Ya Ki Buyut. Sudah tentu. Fitnah itu bagiku sangat
keji," berkata Ki Bekel, "apalagi ternyata mereka telah
membunuh pula di padukuhanku."
"Berapa orang yang terbunuh?" bertanya Ki Buyut.
"Banyak Ki Buyut. Belum lagi yang luka-luka. Aku
belum sempat menghitung ketika aku dipaksa untuk ikut
bersama mereka," berkata Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya,
"Ada berapa orang menurut perkiraan Ki Bekel, mereka yang
telah memberontak melawan Ki Bekel" Sepertiga, atau
seperempat atau bahkan separuh?"
"Separuh apa Ki Buyut?" bertanya Ki Bekel.
"Maksudku, yang kemudian terpengaruh oleh orangorang
yang memberontak itu, apakah ada separuh dari seluruh
penduduk padukuhanmu?" bertanya Ki Buyut pula.
Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya,
"Sebanyak-banyaknya separuh Ki Buyut. Tetapi aku kira tidak
sampai sekian banyak."
"Kenapa Ki Bekel tidak mengambil tindakan atas orangorang
itu" Bukankah mereka dapat ditangkap?" bertanya Ki
Buyut. "Terus terang Ki Buyut. Mereka memiliki kelebihan.
Seperti yang sudah aku katakan, justru mereka telah
membunuh orang-orang yang berusaha untuk menangkap
mereka," sahut Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya," jadi orangorang
itu berilmu tinggi" Setidak-tidaknya orang-orang yang
mempengaruhi orang-orangmu?" bertanya Ki Buyut.
"Ya Ki Buyut. Tiga orang itu," jawab Ki Bekel.
"Baiklah. Aku ingin berbicara dengan mereka," berkata
Ki Buyut. "Tidak ada gunanya berbicara dengan mereka Ki Buyut.
Kenapa Ki Buyut tidak menangkap mereka saja dan
menghukumnya?" bertanya Ki Bekel. Lalu, "Kesalahan mereka
sudah jelas." "Ya," jawab Ki Buyut, "tetapi aku harus mendengar
alasan mereka sehingga aku akan dapat mengambil kesimpulan
latar belakang dari tindakan mereka yang melanggar paugeran
itu." Wajah Ki Bekel menjadi pucat. Namun ternyata ia tidak
dapat mencegat niat Ki Buyut. Karena itu, ketika Ki Buyut
kemudian berdiri dan melangkah keluar, Ki Bekel
mengikutinya saja. Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal yang
melihat Ki Buyut melangkah keluar dari serambi menuju ke
pendapa telah mendekatinya sambil bertanya, "Ki Buyut akan
pergi ke mana?" "Aku akan berbicara dengan ketiga orang itu," jawab Ki
Buyut. "Perintahkan kami menangkapnya. Kami akan
membawa mereka menghadap Ki Buyut. Ki Buyut tidak perlu
datang kepada mereka," berkata pemimpin pengawal itu.
Namun Ki Buyut menggeleng. Katanya, "Aku lebih
senang berbicara dengan mereka di halaman."
Pemimpin pengawal itu pun tidak dapat mencegahnya.
Ia-pun kemudian telah mengikuti Ki Buyut bersama dengan Ki
Bekel. Ketika Ki Buyut sampai di pendapa, dan kemudian turun
ke tangga di bagian depan, maka orang-orang padukuhan yang
menunggu dengan gelisah itu pun menjadi tegang.
Namun tiba-tiba saja Ki Buyut itu terkejut melihat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan tiba-tiba saja ia
berdesis, "Apakah benar aku bertemu dengan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian
terkejut. Namun mereka pun kemudian segera dapat
mengenalinya. Yang disebut Ki Buyut itu telah mereka kenal
sebagai prajurit Kediri yang banyak berhubungan dengan
tugas-tugas sandi. (Bersambung ke Jilid 57).
Jilid 057 MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat menarik nafas
dalam-dalam. Mereka berharap bahwa Ki Buyut y ang sudah
mereka kenal sebelumnya itu akan dapat mereka ajak
berbicara. Namun dalam pada itu, Ki Bekel pun telah bertanya, "Ki
Buyut. Apakah Ki Buyut telah mengenal mereka?"
"Ternyata aku sudah mengenal mereka," jawab Ki Buyut.
"Jika demikian, m ungkin pertimbangan Ki Buyut tidak
akan murni lagi. Ki Buyut akan dapat terpengaruh oleh
hubungan y ang telah ada diantara Ki Buyut dengan mereka,
atau mungkin keduanya justru pernah menjadi sahabat Ki
Buyut," berkata Ki Bekel.
"Oo," Ki Buyut mengerutkan keningnya, "kenapa Ki
Bekel nampak begitu cemas dan bahkan tidak percaya kepada
kebijaksanaanku lagi?"
Ki Bekel tidak dapat segera menjawab. Ia menjadi
tegang. Namun jantungnya bahkan terasa hampir berhenti
berdetak ketika Ki Buyut kemudian berkata, "Ki Bekel. Jangan
menganggap bahwa aku akan terpengaruh oleh kedua orang
yang t ernyata sudah aku k enal sebelumnya itu. Kedua orang
itu belum mengatakan sesuatu kepadaku. Tetapi agar Ki Bekel
tidak berprasangka bahwa aku terpengaruh oleh
persahabatanku dengan mereka, maka biarlah aku berkata
sebelum aku bertanya dengan mereka, bahwa aku sudah
mengetahui semua persoalan. Ki Bekel. Sudah berapa lama
aku menugaskan beberapa orang y ang benar -benar aku
percaya untuk meny elidiki apa y ang telah terjadi di
padukuhanmu. Karena itu, aku sama sekali tidak terkejut
ketika kau dibawa oleh beberapa orang dari padukuhanmu
kemari. Tetapi ternyata bahwa pemimpin kelompok prajurit
yang bertugas itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Karena itu, aku tidak menyalahkannya."
Wajah Ki Bekel y ang sudah menjadi c erah itu pun tiba -
tiba telah menjadi pucat kembali. Beberapa orang yang
menjadi bimbang, bahkan mengharap perlindungan Ki Buyut
itu pun m enjadi lemas. Sementara itu Ki Buyut pun berkata
selanjutnya, "Pembunuhan dengan racun itu sudah tidak akan
dapat disembuny ikan lagi. Karena itu, maka sebaiknya Ki
Bekel mengatakan dengan terus terang, apakah yang sudah
terjadi." Tubuh Ki Bekel telah menjadi gemetar. Karena itu, maka
ia tidak lagi berniat untuk melawan arus y ang m elandanya.
Terlalu deras. Justru Ki Buyut y ang akan dijadikannya sebagai
pegangan, ternyata telah mengetahui segala-galanya."
"Ki Bekel," berkata Ki Buyut, "ketahuilah, bahwa dua
orang anak muda y ang bekerja bersama Kiai Patah itu pernah
bekerja bersamaku di Kediri. Keduanya justru petugas sandi


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang m emiliki kemampuan tidak ada duanya. Apalagi kalian,
seisi Kabuyutan ini pun tidak akan mampu melawan m ereka
berdua dan bahkan bertiga dengan Kiai Patah itu."
Wajah Ki Bekel menjadi semakin pucat. Sementara itu Ki
Buyut pun berkata selanjutnya, "Ki Bekel. Seandainya kau
luput dari pengamatanku, maka jika kedua anak muda itu
hadir, maka kau tidak akan dapat bersembuny i lagi." Ki Buyut
berhenti sejenak, lalu "Nah, Ki Bekel. Berbicaralah dihadapan
orang-orangmu." Tidak ada kemungkinan lagi bagi Ki Bekel untuk
menghindar dan ingkar. Karena itu, maka dengan kaki
bergetar ia berdiri m enghadap orang-orang padukuhan yang
datang bersamanya. Suaranya pun membayangkan betapa isi
dadanya bergejolak. Katanya, "Baiklah. Aku tidak akan dapat
lari dari kenyataan yang aku hadapi. Sebenarnyalah telah
terjadi sebagaimana dikatakan oleh Kiai Patah itu."
Anak-anak muda padukuhannya pun bergerak maju.
Namun para pengawal telah memagari m ereka. Sementara Ki
Buyut berkata, "Baiklah. Aku minta kalian tidak berbuat
sendiri-sendiri. Serahkan Ki Bekel kepadaku. Aku akan
berbicara dengan beberapa pihak. Sementara itu, aku m inta
agar mereka y ang terlibat dengan suka rela tinggal di pendapa
ini untuk memecahkan per soalan yang sedang kita hadapi.
Kiai Patah dan kedua anak muda itu pun akan tinggal pula
disini. Aku minta y ang lain kembali ke padukuhan kalian
dengan tertib agar tidak menimbulkan persoalan di
perjalanan." Anak-anak muda yang ikut membawa Ki Bekel itu pun
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar Kiai
Patah berkata, "Kalian telah mendengar perintah Ki Buyut.
Nah, lakukanlah dengan tertib. Percayakan Ki Bekel dengan
beberapa orang yang terlibat pada Ki Buyut."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menarik nafas
dalam-dalam. Sementara itu, Kiai Patah pun telah dimintai beberapa
kesaksiannya pula, y ang ternyata tidak berbeda dengan
keterangan yang diberikan oleh Ki Bekel y ang putus asa itu
dan y ang disampaikan oleh kepercayaan Ki Buyut.
Namun agaknya Ki Buyut tidak segera ingin mengambil
keputusan. Karena itu, maka Ki Buyut pun b erkata, "Baiklah.
Biarlah Ki Buyut dan beberapa orangnya yang bersalah tinggal
disini. Kesalahan mereka terlalu besar. Ki Bekel memang
harus bertanggung jawab. Tetapi aku tidak dapat dengan
tergesa -gesa menentukan hukuman apakah yang paling baik
dibebankan kepadanya."
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Buyut berkata, "Tetapi
dengan demikian berarti padukuhan itu mengalami
kekosongan." "Ya Ki Buyut," sahut Kiai Patah, "diperlukan seorang
pemimpin y ang baru dan bertanggung jawab."
"Agaknya Ki Buyut akan dapat menunjuk meskipun
untuk sementara sebelum benar-benar dikukuhkan," berkata
Mahisa Murti. Ki Buyut termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Bagaimana jika salah seorang diantara kalian?"
Kiai Sabawa terseny um. Katanya, "Sulit untuk
melakukannya Ki Buyut. Aku sendiri m empunyai tugas-tugas
tersendiri meskipun terlalu pribadi. Aku masih melakukan
pekerjaanku sampai saat terakhir. Sekali-sekali aku masih
harus berkeliling untuk menawarkan berjenis-jenis wesi aji
dan batu-batu berharga. Aku adalah orang yang mempunyai
pekerjaan sama dengan ayah anak-anak muda ini."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Aku mengerti Kiai Patah.
Aku pun meny esal telah menawarkan kedudukan itu.
Kedudukan itu tentu terlalu rendah bagi kalian. Seorang Bekel
tidak lebih dari seorang pemimpin kecil di padukuhan. Sedang
aku tahu, bahwa kedua anak-anak muda itu telah pernah
menerima kepercayaan y ang jauh lebih besar dari sebuah
Kabuyutan. Karena itu, maka aku minta maaf. Seharusnya
kedudukan kalian memang berada diatas kedudukanku."
Kiai Sabawa menggeleng. Katanya, "Bukan begitu. Tidak
ada kedudukan yang terlalu rendah bagi seseorang untuk
mengabdi. Seorang pemimpin dalam tataran yang mana pun
mempunyai kesempatan y ang sama untuk mengabdi."
Ki Buyut mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku
mengerti isi hati kalian. Memang jarang ada pengabdian yang
tulus. Namun aku dapat mengerti." Ki Buyut berhenti sejenak,
lalu "jika demikian aku akan m elihat kembali isi padukuhan
itu serta keterangan y ang lebih lengkap tentang mereka
seorang demi seorang, sehingga aku akan dapat menemukan
seseorang y ang dapat mengisi kekosongan kedudukan yang
ditinggalkan oleh Ki Bekel. Bagaimanapun juga, kita sudah
tahu pasti, bahwa Ki Bekel bersalah. Ia tidak akan kembali
pada padukuhannya." Untuk beberapa lama anak-anak muda itu masih belum
beranjak. Namun akhirnya mereka pun telah meninggalkan
halaman rumah Ki Buyut kembali ke padukuhan mereka.
Hampir tidak ada diantara mereka yang saling berbicara.
Mereka berjalan dengan kepala tunduk. Rasa-rasanya semua
orang di padukuhan-padukuhan y ang mereka lewati telah
memandangi mereka dengan tatapan mata yang tajam.
Bahkan rasa-rasanya setiap orang m enuding kepada m ereka,
bahwa mereka adalah keluarga pembunuh y ang sangat keji.
Tetapi rasa-rasanya hampir di setiap dada anak-anak
muda itu tertanam niat untuk membersihkan nama
padukuhan mereka y ang telah tercemar itu.
Apalagi anak-anak muda y ang ayahnya ternyata memang
terlibat. Rasa -rasanya tanah di Kabuyutan itu menjadi panas.
Namun akhirnya anak-anak muda itu telah memasuki
padukuhan mereka dengan t ertib. Ketika mereka melihat
halaman rumah Kiai Patah, m emang masih terasa kesibukan
beberapa orang y ang meny elenggarakan orang-orang yang
terbunuh dalam keributan itu. Sedangkan mereka y ang terluka
telah dibawa ke banjar. Mereka sengaja tidak dibawa kembali
ke rumah masing -masing agar mereka dapat dirawat dengan
baik bersama-sama. Sementara itu Ki Bekel yang ditinggal di rumah Ki Buyut
benar-benar merasa berputus asa. Ia tidak dapat berharap
untuk lolos dari hukuman y ang paling berat. Ia t idak akan
dapat ingkar lagi akan tanggung jawabnya. Selain Ki Buyut
telah mengirimkan sekelompok orang untuk meny elidiki
peristiwa itu, maka Kiai Patah dan kedua anak muda itu tentu
akan menguatkan keterangan yang pernah didapat oleh Ki
Buyut. Bahkan orang-orang yang terlibat itu pun akan dapat
menjadi saksi yang kuat. Karena itu, maka Ki Buyut pun telah pasrah diri. Apa
yang akan diputuskan oleh Ki Buyut harus diterimanya.
Sekalipun hukuman mati. Karena itu ketika Ki Buyut bertanya kepadanya, maka Ki
Bekel sudah tidak berniat lagi untuk berbohong. Apa yang
pernah terjadi telah diceriterakannya dengan utuh.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata apa
yang aku dengar dari orang-orangku y ang terpercaya itu
mendekati dengan kebenaran. Keteranganmu melengkapi
laporan yang telah sampai kepadaku. Sementara itu, jangan
mencoba untuk meloloskan diri terhadap ketajaman
penglihatan kedua anak muda ini."
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Aku
mendapat keterangan dari Kiai Patah."
Ki Buyut tersenyum. Katanya, "Mungkin kalian berdua
memang belum m encium peristiwa itu. Tetapi bahwa kalian
tidak benar-benar meninggalkan padukuhan itu setelah kalian
diusir dari banjar, tentu merupakan awal dari pengamatan
kalian terhadap isi padukuhan itu."
Kiai Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Namun
dengan demikian ia sudah berhasil membongkar kejahatan
yang telah dilakukan oleh sekelompok orang didalam
padukuhan itu, meskipun seandainya tidak dilakukannya,
maka Ki Buyut pun telah mengetahuinya pula. Namun
agaknya telah mempercepat peny elesaian itu.
Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun kemudian berkata,
"Kiai Patah. Jika demikian maka aku mohon Kiai untuk
sementara saja mengawasi kehidupan di padukuhan itu.
Bahkan aku akan bergembira jika adi Mahisa Murti dan adi
Mahisa Pukat bersedia untuk membantu Kiai. Sementara itu,
aku akan mencari orang y ang tepat y ang akan m enggantikan
kedudukan y ang kosong itu."
Kiai Patah termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian berkata, "Aku hanya sekedar membantu."
"Sebelum aku menunjuk seseorang," berkata Ki Buyut.
Kiai Patah akhirnya mengangguk sambil berkata,
"Baiklah. Aku akan mengawasi padukuhan itu. Tetapi Ki Buyut
harus memberitahukan kepada seisi padukuhan itu, bahwa
sebelum diketemukan orang y ang akan menggantikan
kedudukan Ki Bekel, maka aku diberi wewenang untuk
mengatur sementara."
"Terima kasih Kiai," berkata Ki Buyut.
"Tetapi jangan terlalu lama," minta Kiai Patah, "aku
tidak akan dapat menunggu terlalu lama lagi, aku akan
menyelesaikan kewajibanku yang lain."
Demikianlah, maka Ki Buyut telah datang sendiri ke
padukuhan itu. Selain untuk memberitahukan kepada seisi
padukuhan itu bahwa untuk sementara Kiai Patah akan
memimpin padukuhan itu, maka Ki Buyut pun telah berbicara
dengan beberapa orang tua menelusuri jalur keturunan Ki
Bekel, karena tiba-tiba jalur itu telah terputus.
Tetapi Ki Buyut memang tidak mau bekerja dengan
tergesa -gesa. Ia t idak mau mengalami kegagalan, sehingga
dengan demikian maka ia pun telah bekerja dengan teliti.
Ia bukan saja bertemu dan berbicara dengan orangorang
tua di padukuhan itu, tetapi ia telah menugaskan orangorang
kepercayaannya untuk melihat dengan saksama
keadaan di padukuhan itu. Sebagai bekas perwira prajurit
Kediri, maka ia dapat bekerja dengan cermat dan teliti. Ia telah
memperbaiki cara kerja y ang pernah ditempuh ay ahnya ketika
ay ahnya masih berkedudukan sebagai Buyut, yang k emudian
meninggal beberapa tahun yang lalu.
Pa da saat-saat y ang kosong itulah, Kiai Patah harus
melakukan tugas itu. Namun Kiai Patah pun telah minta
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk tinggal di padukuhan
itu sampai saatnya terpilih seorang pemimpin padukuhan
yang baru. Sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berkeberatan untuk tinggal karena tugas pokok yang mereka
bebankan sendiri diatas pundak mereka masih belum dapat
diselesaikan. Mereka masih belum menemukan orang yang
pantas untuk mereka bawa kembali ke padepokan mereka.
Tetapi mereka semakin menyadari, bahwa untuk
menemukan seseorang yang pantas untuk diangkat menjadi
seorang murid yang terpercaya agaknya memang tidak terlalu
mudah. Jika mereka menghendaki memang akan dengan
mudah ia memanggil beberapa orang untuk datang kepada
mereka dan menyatakan kesediaan mereka menjadi murid.
Tetapi orang-orang y ang demikian belum tentu memenuhi
sy arat sebagaimana diinginkannya.
Namun ternyata bahwa keduanya tidak dapat menolak
permintaan Kiai Sabawa untuk tetap berada di padukuhan itu.
Setidak-tidaknya untuk sementara.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "tetapi tidak terlalu
lama. Kami berdua masih harus meneruskan perjalanan kami.
Satu pengembaraan y ang mungkin akan panjang."
Kiai Patah y ang kemudian mengerti apa y ang sedang
dicari oleh kedua anak muda itu bertanya, "jadi bagaimana
dengan padepokanmu y ang baru itu?"
"Ayah ada di sana, sehingga aku percaya bahwa
padepokan itu tidak akan mengalami kesulitan, sementara
beberapa orang y ang ada di padepokan itu telah mendapat
latihan-latihan y ang cukup. Ayah pun tentu akan memberikan
latihan-latihan kepada orang-orang terpenting di padepokan
itu," jawab Mahisa Pukat.
"Syukurlah," berkata Kiai Patah, "nampaknya menarik
juga untuk hidup diantara orang-orang padukuhan ini
sekaligus membimbing mereka."
"Bukankah Kiai sudah lama berada disini" Setidaktidaknya
melampaui waktu setahun?" bertanya Mahisa Murti.
Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi
aku berada dalam dunia yang lain. Aku sebagai Kiai Patah
hidup pada satu tataran yang sebagaimana kau ketahui,
berada di lapisan terbawah. Dan sekarang, aku harus
memimpin seisi padukuhan ini meskipun hanya untuk
sementara. Tetapi dalam waktu sementara ini aku ingin
menunjukkan bahwa padukuhan ini memiliki kemampuan
yang dapat dikembangkan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka pun nampaknya tertarik pula untuk berada di
padukuhan itu barang satu dua pekan.
Sebenarnyalah, setelah Ki Buyut memberitahukan
kepada isi padukuhan itu t entang kedudukan sementara Kiai
Patah, maka ia pun telah mulai dengan rencana kerjanya.
Yang mula-mula dilakukan oleh Kiai Patah adalah
berbicara dengan orang-orang yang paling berpengaruh di
padukuhan itu. Meskipun beberapa orang y ang dianggap
penting di padukuhan itu sebagian besar ju stru telah terlibat
dan berada di padukuhan induk Kabuyutan, namun masih
juga ada orang -orang yang akan diajak berbicara oleh Kiai
Patah. Di samping orang-orang tua dan y ang berpengaruh di
padukuhan itu. Kiai Patah berbicara dengan pemimpinpemimpin
anak-anak muda pula. Dengan pembicaraan itu, maka Kiai Patah menjadi
semakin yakin, bahwa padukuhan itu akan dapat berkembang
dengan baik. Yang terjadi sebelumnya adalah ju stru
perkembangan y ang khusus. Hanya beberapa orang saja yang
waktu itu dianggap mempunyai modal y ang sangat besar,
sehingga mereka mampu mengembangkan modal mereka
sehingga mereka menjadi orang-orang yang kaya. Meskipun
kemudian kekay aannya itu berpengaruh juga bagi para
tetangga mereka, karena para tetangga itu juga mendapat


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekerjaan sambilan di samping pekerjaan mereka masingmasing
sebagai petani. Pada umumnya mereka yang menjadi
kaya itu adalah pedagang-pedagang besar yang bermodal
besar. Tetangga-tetangga mereka memang merasa heran,
bahwa tiba -tiba saja beberapa orang diantara penduduk
padukuhan itu telah mempunyai modal y ang cukup besar.
Namun karena dengan demikian maka mereka telah
mendapat pekerjaan sambilan, maka mereka pun merasa
beruntung juga, sehingga kehidupan mereka menjadi
bertambah baik. Tetapi kini mereka mengerti apa y ang telah terjadi
sebenarnya. Sehingga karena itu, maka mereka pun merasa
beruntung, bahwa mereka tidak terlibat didalamnya, sehingga
akibatnya harus dipikul m eskipun selang waktu yang cukup
panjang. Kiai Patah y ang kemudian memimpin padukuhan itu
bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
melakukan pengawasan khusus terhadap kekay aan dari orangorang
yang m emang terlibat dalam kejahatan y ang keji itu.
Ketika Kiai Patah mengumpulkan keluarga mereka dan
memberikan beberapa penjela san, maka keluarga mereka
telah pasrah kepadanya, tindakan apa y ang akan diambil oleh
Kiai Patah terhadap harta benda itu.
"Kami tidak dapat mempertahankannya," berkata
seorang perempuan dengan m ata y ang basah, "setelah kami
tahu asal usulnya, maka seandainya apa yang ada pada kami
akan diambil, kami rela menyerahkannya."
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Sikap itu
memang dapat m eny entuh perasaannya. Namun Kiai Patah
sudah bertekad untuk berbuat sesuatu dengan harta benda
yang didapat dengan cara y ang tidak wajar itu.
Setelah berbicara agak panjang dengan keluarga mereka
yang t ertahan di rumah Ki Buyut, maka akhirnya Kiai Patah
memutuskan, untuk mempergunakan sebagian dari kekayaan
itu bagi perkembangan padukuhan mereka.
"Aku memerlukan persetujuan Ki Buyut," berkata Kiai
Patah. Seorang anak muda, namun yang memiliki pikiran y ang
agak cerah berkata, "Sebenarnyalah bahwa Kiai Patah lah yang
paling berhak atas harta benda seluruhnya y ang ada diantara
kami. Kiai adalah satu-satunya keluarga y ang m asih hidup,
yang agaknya menjadi pewaris tunggal."
Kiai Patah menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku
telah mendapat bagianku sendiri. Yang Maha Agung telah
memberikan kurnia-Ny a dengan cara yang lain daripada yang
mengambil kembali harta benda yang telah berada di sini. Aku
telah mendapatkannya sebanyak y ang ada disini."
Orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk.
Mereka percaya bahwa sebenarnya Kiai Patah adalah seorang
yang berada. Bukan orang tua miskin yang tinggal di ujung
padukuhan. Jika ia berada di ujung padukuhan pada sebuah
gubug kecil itu adalah dalam rangka usahanya untuk
mengetahui rahasia hilangnya uang dan barang-barang
berharga yang dibawa oleh sekelompok orang itu.
Ketika Kiai Patah kemudian berhubungan dengan Ki
Buyut, maka Ki Buyut ternyata memang tidak berkeberatan.
Apalagi setelah ia mendapat pengakuan yang jujur dari
orang-orang y ang terlibat dalam k ejahatan itu. Maka bagi Ki
Buyut, lencana Kiai Patah itu adalah rencana y ang paling baik.
Apalagi Ki Buyut pun kemudian mengetahui bahwa
sebenarnya Kiai Patah berhak menuntut uang dan harga
benda yang hilang itu atas namanya.
Namun dalam pada itu, ternyata ketajaman pengamatan
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, melihat
kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi atas padukuhan
itu. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti berkata,
"Akhirnya banyak orang yang tahu, nilai kekayaan yang
tersimpan di padukuhan ini."
Kiai Patah mengangguk-angguk, sementara Mahisa
Pukat berkata, "Kita harus melindungi kekayaan itu agar tidak
keluar dari padukuhan ini."
Kiai Patah mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita
harus berjalan menempuh dua tiga langkah sekaligus. Kita
akan membagi harta kekayaan itu dan m enempatkannya di
banjar. Namun banjar itu harus mendapat pengawalan sebaikbaiknya."
"Maksud Kiai, anak-anak muda padukuhan ini harus
mampu mengamankan banjar itu. Tidak mustahil orang-orang
lain y ang mendengarnya akan berusaha mengambilnya
dengan kekerasan," berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti m aksud Kiai
Patah. Namun mereka tidak berkeberatan untuk memberikan
latihan-latihan kepada anak-anak muda di padukuhan itu.
Apalagi keduanya memang ingin menemukan benih yang
mungkin akan ditanam di padepokan mereka.
Seperti yang direncanakan, maka Kiai Patah yang untuk
sementara memimpin padukuhan itu telah mengumpulkan
anak-anak muda padukuhannya.
Dengan jelas Kiai Patah telah m enyatakan rencananya.
Karena itu, maka ia minta anak-anak muda itu m engatur diri
dan menyusun kelompok-kelompok kecil y ang terdiri tidak
lebih dari enam orang. "Kita harus mempunyai sedikitnya sepuluh kelompok,"
berkata Kiai Patah, "tidak semuanya harus t erdiri dari anakanak
muda. Mereka yang sudah berkeluarga pun akan dapat
ikut menyumbangkan tenaganya asal umurnya m asih dalam
tataran sekitar sepertiga abad. Setiap kelompok akan bertugas
berjaga-jaga di banjar sehari semalam."
Anak-anak muda itu mendengarkannya dengan
bersungguh-sungguh. Sementara Kiai Patah berkata
selanjutnya, "Kelompok y ang satu akan diganti oleh kelompok
yang lain setiap pagi. Jika kekay aan itu telah dapat
dimanfaatkan sehingga dapat menghasilkan, maka mereka
yang bertugas akan diperhatikan meskipun tidak seberapa
nilainya. Tetapi yang penting bahwa kalian telah bersedia
untuk mengabdi kepada padukuhan ini. Baik buruk
padukuhan ini memang terletak di tangan kalian. Sementara
itu pengabdian kalian tidak semata-mata pada penjagaan
banjar itu saja, tetapi juga pada segi-segi lain dalam ikatan
kelompok-kelompok kalian."
Ternyata yang direncanakan oleh Kiai Patah itu dapat
berjalan dengan baik. Kelompok-kelompok itu telah tersusun
dengan baik. Bukan saja anak-anak muda, tetapi mereka yang
telah berkeluarga pun telah m enyatakan diri untuk ikut serta
didalamnya. "Tugas itu hanya dijalani sekitar sepuluh hari sekali,"
berkata seorang laki -laki y ang meskipun sudah berumur
empat puluh tahun, namun masih nampak muda, "seumurku
masih pantas ikut didalamnya."
"Bukan hanya berjaga-jaga di banjar sehari semalam,"
berkata Mahisa Murti, "tetapi kelompok-kelompok itu akan
menjalani latihan-latihan, setidak -tidaknya caranya
memegang senjata." "Menarik sekali," jawab orang itu, "justru itulah y ang
kami kehendaki." Kiai Patah m emang merencanakan untuk mengadakan
latihan-latihan. Meskipun tidak dipaksakan, tetapi ternyata
bahwa hampir semua laki -laki justru minta diijinkan ikut
didalamnya. Sebenarnyalah bahwa setiap orang di padukuhan itu
bagaikan menjadi cemas. Padukuhan itu agaknya telah dikenal
sebagai satu padukuhan yang kaya. Apalagi peri stiwa yang
baru saja terjadi yang membuka tabir rahasia y ang untuk
waktu yang lama meny elubungi padukuhan itu.
Tetapi Kiai Patah telah meyakinkan mereka tidak akan
ada balas dendam. Tidak ada keluarga y ang tersisa. Jika ada
satu dua, mereka tidak akan dapat banyak berbuat. Tetapi itu
bukan berarti bahwa tidak ada bahaya yang dapat mengancam
padukuhan ini." Yang diperhitungkan oleh Kiai Patah itu sebenarnyalah
memang terjadi. Ketika seger ombolan orang-orang y ang hidup
dalam dunia hitam mendengar apa y ang telah t erjadi di
padukuhan itu, sementara Ki Bekel dan beberapa orang
terkemuka justru telah dikumpulkan dan ditahan di rumah Ki
Buyut, maka mereka menganggap bahwa di padukuhan itu
tidak lagi terdapat kekuatan yang cukup untuk
mempertahankan harta benda y ang bagaikan berserakan di
rumah-rumah y ang besar di seluruh padukuhan.
"Ceritera tentang tiga orang y ang mampu melawan
orang sepadukuhan itu tentu ceritera y ang berdasarkan
sebuah m impi," berkata salah seorang diantara orang-orang
yang hidup dalam kekerasan itu, "Bahkan seandainya benar,
maka kita akan mengujinya."
Ternyata bahwa segerombolan perampok y ang benarbenar
telah berniat untuk mengambil seluruh kekay aan yang
ada di padukuhan itu. Pemimpin perampok itu pun berkata, "Kekay aan itu
mereka dapat dari m erampok pula. Bahkan dengan cara yang
sangat curang. Sekarang kita berhak m engambilnya dengan
cara yang lebih jantan."
Tetapi bahwa tenggang waktu y ang ada ternyata sangat
menguntungkan padukuhan itu. Ternyata Kiai Sabawa,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengatur pengawalan
padukuhan itu sebaik-baiknya. Mereka sempat memberikan
beberapa petunjuk kesiagaan bagi seisi padukuhan itu.
"Meskipun pengamanan padukuhan itu terutama berada
di tangan anak-anak muda, namun bukan berarti bahwa
orang-orang tua tidak ikut bertanggung jawab," berkata Kiai
Sabawa y ang dikenal bernama Kiai Patah itu.
Sementara itu, meskipun hanya sepintas. Kiai Patah,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat pula mengajarkan,
bagaimana sebaiknya mereka mempergunakan senjata,
mengatur diri didalam pertempuran berkelompok serta
memilih saat-saat yang paling berarti dalam pertempuran.
"Dalam waktu y ang singkat kalian tidak akan sempat
mempelajari cara-cara y ang sedalam-dalamnya," berkata Kiai
Patah, "karena itu, langkah-langkah yang penting sajalah yang
harus kalian kenal dengan baik. Lebih dari itu, ketabahan
biasanya dapat menolong seseorang y ang berada di dalam
bahaya. Mereka y ang ketakutan biasanya akan lebih dahulu
mendapat bencana. Mereka yang mempertahankan umurnya
akan mampu memperpanjang hidupnya, sementara mereka
yang tidak berani berusaha, memang akan semakin cepat
mati." Pesan itu ternyata sangat penting artinya bagi orangorang
padukuhan itu. Karena itu, maka orang-orang
padukuhan itu akan selalu mengingatnya. Bukan sekedar katakata
itu sendiri, tetapi arti yang terkandung didalamnya.
Namun waktu yang sempit dari kedudukan sementara
Kiai Patah itu juga telah dipergunakannya bersama-sama
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mengadakan
latihan-latihan seperlunya.
Namun Kiai Patah sebenarnya tidak terpancang pada
segi pengamanan saja atas padukuhan itu, tetapi juga
perkembangan dari kehidupannya. Serba sedikit Kiai Sabawa
juga berbicara dengan orang -orang padukuhan itu tentang
sawah, air dan cara-cara y ang paling baik untuk menanami
tanah yang kosong. Memelihara hijaunya hutan di lerenglereng
pegunungan dan kehidupan yang utuh dari lingkungan
mereka di padukuhan itu. Tetapi y ang terpenting bagi Kiai Sabawa, adalah
peny elamatan padukuhan itu sebelum mereka melangkah ke
arah y ang lebih jauh di segi-segi kehidupannya.
Dengan sungguh-sungguh setiap laki-laki, terutama
anak-anak mudanya, mengikuti latihan-latihan y ang diadakan
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di samping Kiai Patah
sendiri. Sehingga dengan demikian, m aka m ereka serba sedikit
telah memiliki pengenalan yang sebenarnya atas olah
kanuragan. Apa y ang mereka kenal sebelumnya adalah sekedar
mengayun-ayunkan senjata tanpa mengenal watak senjata
mereka. Bahkan mereka tidak m engerti apa yang sebenarnya
mereka lakukan dengan senjata-senjata mereka.
Kiai Patah menjadi gelisah, ketika ia mendapat
keterangan dari Ki Buyut, bahwa orang-orang Ki Buyut yang
mendapat tugas mengamati padukuhan itu, melihat orang
yang mencurigakan. Agaknya Ki Buyut pun mempunyai
perhitungan y ang serupa dengan Kiai Patah, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Karena itu ketajaman penglihatannya sebagai
seorang prajurit yang banyak berhubungan dengan tugastugas
sandi telah m elihat sesuatu akan terjadi di padukuhan
itu. "Orang-orang padukuhan ini masih terlampau dungu
untuk menggerakkan senjata," berkata Kiai Sabawa.
"Tetapi sudah lebih baik daripada mereka sama sekali
tidak mengenal sebelumnya arti setiap gerak dan langkah
didalam perang yang sebenarnya," sahut Mahisa Murti,
"kegemaran mereka berlari-larian sepanjang jalan padukuhan,
melintasi sungai dan mendaki lereng-lereng pegunungan akan
berarti pula bagi day a tahan tubuh mereka."
Kiai Sabawa mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
ada manfaatnya." Namun demikian, dengan keterangan y ang
diberitahukan oleh Ki Buyut itu, maka Ki Sabawa telah
meningkatkan penjagaan, Yang bertugas setiap malam bukan
hanya sekelompok anak muda yang terjadi dari enam orang di
banjar, tetapi setiap m alam menjadi tiga kelompok. Mereka
berpencar di beberapa tempat, sehingga semua jalan yang
memasuki padukuhan itu sempat diawasi.
Di samping tiga kelompok yang bertugas itu, maka setiap
laki -laki di rumah harus bersiaga. Mereka harus bersiap untuk
meloncat keluar rumah dengan senjata di tangan.
Hampir di setiap rumah telah tergantung kentongan
yang akan segera berbunyi jika penghuninya mendengar
isy arat dari manapun datangnya. Namun untuk tidak
membingungkan, maka set iap sumber isyarat, telah diberikan
ciri sandinya masing-masing, sehingga setiap orang akan
segera mengetahui dari mana asal isy arat itu.
Namun dalam pada itu, meskipun sudah diatur bahwa


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap sehari semalam tiga kelompok y ang bertugas, namun
hampir di setiap malam, anak-anak muda telah berada di
gardu-gardu penjagaan. Sehingga jika benar t erjadi sesuatu,
maka mereka akan langsung dapat bergerak dengan cepat.
Ki Sabawa telah m emanggil Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat ketika Ki Buyut telah memberikan pertanda bahwa
Durjana Pemetik Bunga 1 Raja Naga 19 Dewa Pengasih Naga Beracun 17
^