Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 5

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 5


padukuhan itu harus segera bersiap.
"Dalam satu dua hari ini bahaya yang sebenarnya akan
datang di padukuhan ini. Usahakan untuk
mempertahankannya. Ki Buyut tidak akan tinggal diam,"
berkata utusan yang dikirim oleh Ki Buyut.
Kiai Sabawa yang dikenal bernama Kiai Patah itu
mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Kami
disini sudah berusaha sebaik-baiknya. Mudah-mudahan usaha
kami ini memadai." "Ki Buyut telah bersiap-siap pula dengan beberapa
pengawal. Sebagai bekas seorang perwira maka Ki Buyut
memiliki ketajaman penglihatan tentang rencana untuk
memasuki dan merampok padukuhan y ang dianggap kaya
raya itu," berkata utusan itu. Tetapi ia berkata selanjutnya,
"Namun selain melawan perampok-perampok itu sendiri,
maka Ki Buyut ingin menilai seseorang di padukuhan ini."
"Menilai seseorang?" bertanya Mahisa Murti.
"Ki Buyut ingin mendapatkan seorang pengganti dari Ki
Bekel," berkata utusan itu, "karena itu, maka jika terjadi
sesuatu atas padukuhan ini, Ki Buyut akan menilai salah
seorang diantara mereka yang dianggap memiliki hak atas
kedudukan itu," berkata utusan itu.
Kiai Patah tersenyum. Katanya, "Aku tahu siapa y ang
dimaksud. Sebenarnya aku pun telah mengamati tingkah
lakunya selama ini. Nampaknya ia memang memiliki
kemungkinan y ang paling besar diantara beberapa orang lain
yang dapat diperhitungkan."
"Siapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ki Sardapa," jawab utusan Ki Buyut.
"Oo," Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara
Kiai Patah menyahut, "aku sependapat. Seandainya orang itu
menunjukkan pengabdiannya yang baik, maka aku setuju
bahwa orang itu dicalonkan untuk menggantikan kedudukan
Ki Bekel." "Jika benar para perampok itu datang, m aka k ita akan
dapat m elihat, apa yang akan dilakukannya," berkata utusan
Ki Buyut itu. Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mengangguk-angguk. Namun agaknya mereka pun mulai
memperhatikan orang y ang disebut Ki Sardapa itu sejak
sebelum utusan itu mengatakannya, karena Ki Sardapa adalah
adik satu -satunya dari Ki Bekel y ang telah ditangkap, namun
yang menurut pengamatan ia tidak terlibat sebagaimana
dilakukan oleh Ki Bekel. Sehingga dengan demikian maka ia adalah orang y ang
paling berhak atas kedudukan itu.
Demikianlah, setelah utusan itu kembali, maka Ki Patah
benar-benar telah mempersiapkan orang-orang padukuhan
itu. Mereka telah mendapat pemberitahuan bahwa ada
sekelompok orang yang menginginkan kekayaan yang
tersimpan di dalam padukuhan itu.
"Kita akan bertempur?" bertanya seorang anak muda.
"Ya," jawab Kiai Patah, "kita akan bertempur. Bukan
bermain-main. Lawan kita adalah orang-orang y ang garang.
Mereka akan bertempur dengan bersungguh-sungguh. Dan
mereka tidak akan menahan diri untuk membunuh lawanlawan
mereka. Karena itu, maka kalian harus berhati-hati.
Kal ian tidak boleh menganggap bahwa lawan kalian sedang
bermain-main. Tetapi mereka akan membunuh siapa pun yang
lengah." Anak-anak muda padukuhan itu pun menganggukangguk.
Sementara itu Kiai Patah berkata, "Tetapi jumlah kita
tentu lebih banyak. Jangan m encoba untuk bersombong diri,
melawan m ereka seorang lawan seorang. Tetapi kalian harus
melawan mereka dalam kelompok-kelompok."
Anak-anak muda dan bahkan laki -laki y ang sudah
menjadi semakin tua pun telah m enyatakan untuk ikut serta
bersama anak-anak muda itu mempertahankan milik
padukuhan mereka. Apalagi kekayaan y ang ada di padukuhan
itu sebagian telah terkumpul di banjar dan menjadi milik
padukuhan itu. Dengan penuh kesungguhan, m aka anak-anak muda di
padukuhan itu telah mempersiapkan diri. Seperti yang
diberitahukan oleh Ki Buyut, maka dalam waktu dua hari,
bahaya itu mungkin akan datang.
Pa da malam pertama, ternyata tidak terjadi sesuatu di
padukuhan itu. Namun Kiai Patah selalu memperingatkan,
bahwa mereka tidak boleh menjadi lengah.
Pa da malam berikutnya, penjagaan justru telah
diperketat. Anak-anak muda yang mengawasi keadaan, tidak
sa ja berada di pintu-pintu gerbang. Tetapi m ereka berada di
luar padukuhan mereka. Ternyata bahwa ketajaman penglihatan Ki Buyut benarbenar
telah terjadi. Menjelang tengah malam, dua orang
utusan Ki Buyut telah datang di padukuhan itu untuk
menemui Kiai Patah. "Mereka akan datang malam ini," berkata utusan itu.
"Baiklah," berkata Kiai Patah, "kita akan bersiaga."
Dengan cepat Kiai Patah justru memanggil semua anakanak
muda y ang berada di luar padukuhan. Mereka
diperintahkan untuk berada di dalam dinding. Obor-obor di
gardu-gardu telah dipadamkan. Namun anak-anak muda itu
telah menyiapkan obor -obor di tempat y ang sudah ditentukan.
Jika pertanda telah dibuny ikan, maka obor-obor itu harus
segera diny alakan. Tetapi untuk tidak mencurigakan, maka satu dua obor di
regol padukuhan itu pun telah dinyalakan. Regol-reg ol pun
telah ditutup rapat. Namun didalam padukuhan itu, anak-anak muda telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, lewat tengah malam orang-orang y ang
mereka tunggu telah datang. Karena semua orang berada di
dalam dinding padukuhan, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat lah y ang kemudian berada di luar sementara Kiai Patah
telah berada di sebuah gardu di depan banjar untuk
memimpin langsung perlawanan jika mereka memasuki
padukuhan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil mengikuti
sekelompok orang-orang y ang berwajah garang, yang
memasuki lingkungan padukuhan. Tetapi mereka memang
tidak menaruh curiga, karena mereka m elihat obor di regolregol
yang tetap menyala, meskipun regolny a telah ditutup
rapat. Ketika orang-orang itu telah mendekati reg ol induk,
maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.
Beberapa orang berusaha mendekat. Dengan hati-hati
mereka mendekati regol y ang tertutup. Tetapi ketika m ereka
yakin bahwa mereka tidak mendengar suara apapun, maka
seorang diantara mereka telah menekan pintu regol.
Ternyata pintu regol itu telah diselarak dari dalam.
Karena itu maka dengan hati-hati pula dua orang diantara
mereka telah meloncat keatas dinding.
Dari atas dinding mereka tidak m elihat sesuatu kecuali
sinar lampu minyak dari dalam rumah yang menembus
lubang-lubang dinding. Mereka masih juga melihat obor di
satu dua regol halaman. Namun rata-rata jalan padukuhan itu
nampak gelap. Dengan hati-hati kedua orang itu meloncat turun.
Mereka sempat melihat gardu y ang kosong di mulut lorong
didalam regol itu. Memang ada kentongan y ang tergantung.
Tetapi tidak seorang pun y ang akan sempat membuny ikannya.
"Padukuhan ini bagaikan diterkam hantu," desis salah
seorang dari m ereka, "sepi sekali. Peristiwa yang telah terjadi
itu agaknya telah membuat padukuhan ini m enjadi bagaikan
kuburan." "Adalah kebetulan sekali," berkata kawannya, "kita telah
mendapat beberapa keterangan tentang orang-orang kaya
disini. Rumah-rumah mereka telah m enjadi kosong, karena
orang-orang itu telah dibawa ke rumah Ki Buyut dan ditahan
di sana termasuk Ki Bekel. Tidak ada orang y ang akan mampu
melawan kita sekarang. Sehingga kita akan dapat berbuat apa
sa ja sekehendak kita."
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya sambil
menuju ke selarak reg ol, "Pertama-tama kita akan pergi ke
rumah Ki Bekel yang kaya raya itu. Selanjutnya beberapa
rumah yang lain. Kita akan mendapat harta benda yang tidak
ternilai harganya. Bahkan mungkin kita tidak akan kuat
membawanya." "Kau buka regol itu," berkata yang lain.
Sejenak kemudian pintu gerbang induk itu telah terbuka.
Beberapa orang telah melangkah masuk. Mereka
memang melihat padukuhan itu terasa sepi sekali. Gardu yang
berada di depan regol itu ternyata kosong. Bahkan obornya
pun sama sekali tidak menyala.
"Marilah," berkata pemimpin gerombolan itu, "kita akan
menuju ke pusat padukuhan ini."
"Kita pergi ke rumah Ki Bekel," berkata salah seorang
yang membuka selarak regol itu.
Pemimpin gerombolan itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Tetapi kita tidak semuanya akan pergi k e rumah Ki
Bekel. Bagaimanapun juga kita harus berjaga-jaga."
"Kita akan menutup semua jalan sehingga y ang akan
memasuki rumah Ki Bekel tidak akan m engalami hambatan,
bahkan juga selama kita mengambil seisi rumah itu."
"Aku sendiri akan memasuki rumah itu," berkata
pemimpin perampok itu. Lalu, "berhati-hatilah. Kita tahu
bahwa orang-orang padukuhan ini adalah orang-orang yang
licik, sebagaimana m ereka berhasil m erampas barang-barang
berharga pada waktu itu. Siapa tahu, mereka justru telah
mempersiapkan jebakan bagi kita sekarang ini."
"Serahkan kepada kami," berkata seorang y ang berwajah
keras dengan bekas luka dikeningnya, "kami akan
menyelesaikan seluruh isi padepokan ini."
Pemimpin gerombolan itu mengangguk-angguk pula.
Katanya, "jangan lengah. Kemampuan kalian y ang tinggi,
mungkin akan dapat dikalahkan dengan kelicikan orang-orang
yang tidak berilmu sekalipun."
"Kami akan selalu berhati-hati," jawab orang berwajah
kasar itu. Pemimpin gerombolan itu pun kemudian telah bergerak
mendekati regol rumah Ki Bekel yang juga tertutup. Namun di
muka reg ol itu masih terpasang obor meskipun nyalanya
hanya bagaikan berkeredipan ditiup angin malam yang lemah.
Perlahan-lahan pemimpin gerombolan itu meny entuh
pintu regol rumah Ki Bekel. Ketika pintu y ang ternyata tidak
diselarak itu terbuka, maka dilihatnya sebuah gardu yang
kosong. Pemimpin gerombolan itu m enarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Setelah Ki Bekel ditangkap, maka tidak ada seorang
peronda pun y ang ada di halaman rumahnya."
"Satu kebetulan," sahut yang lain, "kita dapat berbuat
apa saja di rumah itu."
Pemimpin gerombolan itu beserta beberapa orang y ang
lain telah memasuki halaman. Meskipun menurut
pengetahuan mereka rumah itu kosong karena Ki Bekel tidak
ada, namun mereka harus berhati-hati. Mungkin ada orang
lain y ang m enunggui rumah itu. Mungkin anaknya laki-laki
yang sudah dewasa, adiknya atau sanak kadangnya yang lain.
Tetapi pemimpin gerombolan itu telah menjatuhkan
perintah, "Selesaikan siapa saja yang berniat untuk melawan."
Satu perintah yang biasa diucapkan oleh pemimpin
gerombolan itu jika m ereka m elakukan tugas yang besar dan
memerlukan peny elesaian yang cepat.
Namun ketika dengan hati-hati pemimpin gerombolan
itu mendekati pendapa, maka tiba -tiba saja ia terkejut.
Beberapa buah obor di sekitar rumah itu, bahkan diluar
dinding halaman rumah Ki Bekel telah menyala pula.
Pemimpin gerombolan itu sempat melihat seseorang
berloncatan dari satu obor ke obor yang lain untuk
menyalakannya. "Setan alas," geram pemimpin perampok itu. Dengan
demikian maka para perampok pun sadar, bahwa mereka telah
terjebak. Tetapi pemimpin perampok itu justru tertawa. Katanya,
"Adalah satu kebodohan, bahwa orang-orang padukuhan ini
berniat untuk menghadapi kami dengan kekerasan. Jika kalian
sudah m engetahui bahwa kami akan datang, maka sebaiknya
kalian pergi mengungsi."
Sama sekali tidak terdengar jawaban. Tetapi obor pun
semakin banyak y ang m enyala di halaman, di kebun dan di
luar dinding halaman. Bahkan kemudian di jalan-jalan yang
menuju ke rumah Ki Bekel.
Beberapa orang diantara para perampok memang
menjadi gelisah. Tetapi mereka yang mendengar suara
pemimpinnya, hatinya menjadi kembang kembali. Mereka pun
berkata pula di dalam hati, "Alangkah bodohnya orang-orang
padukuhan y ang berusaha menjebak mereka. Bukankah
dengan demikian berarti bahwa mereka sekedar membunuh
diri?" Namun untuk beberapa saat belum seorang pun y ang
nampak, selain bay angan mereka y ang menyalakan obor -obor,
namun yang segera menghilang kembali.
Karena itu maka pemimpin ger ombolan itu pun
kemudian berkata lantang, "He orang-orang padukuhan.
Jangan bermain sembuny i-sembunyian. Keluarlah. Jika kalian
memang berusaha menjebak kami, maka kami telah berada di
dalam lingkaran jebakan kalian."
Untuk beberapa saat memang tidak ada jawaban.
Namun sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu menunggu
kawan-kawan mereka yang menempatkan diri. Mereka yang
tersebar, dengan isy arat rahasia telah berkumpul di sekitar
rumah Ki Bekel. Mereka telah menyiapkan diri untuk
bertempur sesuai dengan kedudukan lawan mereka.
Namun para perampok yang berpengalaman itu pun
telah bersiap pula. Meskipun mereka tidak melihat dengan
mata wadag mereka, namun mereka tahu pasti, bahwa di
kegelapan, di balik dinding halaman di sekitar rumah Ki Bekel,
di kebun-kebun dan di manapun di sekitar m ereka, telah siap
menerkam orang-orang padukuhan itu.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi para perampok itu sama sekali tidak menjadi
kecut. Mereka sudah t erlalu biasa bertempur dengan berbagai
macam lawan. Yang keras, y ang kasar bahkan yang liar
sekalipun. Karena itu, maka betapapun juga kesiagaan orangorang
padukuhan itu, namun mereka sama sekali tidak
menggetarkan seujung rambut pun.
Bahkan sekali lagi pemimpin ger ombolan itu berteriak
lebih keras, "He orang-orang padukuhan. Marilah. Semakin
cepat semakin baik. Jangan membiarkan kami kehabisan
kesabaran dan bertindak melampaui rencana kami. Jika kalian
menjengkelkan kami, maka korban tentu akan menjadi
semakin banyak. Kalian tentu akan m eny esali kesombongan
kalian, bahwa kalian telah berusaha untuk menjebak kami."
Masih belum ada jawaban. Namun yang terdengar
adalah suara burung hantu di kejauhan.
Tetapi pemimpin perampok itu tertawa. Katanya,
"jangan bermain seperti kanak-kanak. Kau kira kami tidak
tahu bahwa itu sama sekali bukan suara burung hantu, tetapi
semacam tangis peny esalan dari orang-orang padukuhan ini?"
Sebenarnyalah suara burung hantu itu adalah satu
isy arat, bahwa orang-orang padukuhan itu telah mapan.
Mereka telah berada di tempat y ang paling baik untuk
menghadapi para perampok yang berada di halaman rumah Ki
Bekel dan di jalan-jalan yang menuju ke rumah itu.
Karena itu, maka Kiai Patah y ang memimpin orangorang
padukuhan itu sama sekali tidak peduli bahwa
pemimpin perampok itu dapat mengerti isyarat yang
didengarnya. Karena itu, maka ia pun kemudian telah
menggamit dua orang yang dikirim oleh Ki Buyut untuk
membantu orang-orang padukuhan itu, di samping empat
orang lainnya yang bergabung dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Kedua orang y ang dikirim Ki Buyut itu mengangguk,
sehingga dengan demikian maka Kiai Patah itu pun telah
bergeser dari kegelapan, dan tiba -tiba saja muncul di halaman
rumah Ki Bekel. Pemimpin perampok itu memang terkejut, bahwa
seseorang telah berani datang menghadapinya langsung.
"Siapa kau?" bertanya pemimpin perampok itu.
"Aku dipanggil Kiai Patah," jawab Kiai Patah.
"Untuk apa kau datang?" bertanya pemimpin perampok
itu pula. "Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa kami
sudah siap. Seisi padepokan ini telah menggenggam senjata di
tangan untuk melawan kalian. Bahkan ada beberapa orang
yang memang dikirim oleh Ki Buyut untuk ikut mengusir
kalian dari padukuhan ini," jawab Kiai Patah.
"Agaknya kau telah mengigau," berkata pemimpin
perampok itu , "sudah aku katakan, sebaiknya kalian semuanya
pergi mengungsi saja bagi keselamatan jiwa kalian. Tetapi
karena kalian sudah terlanjur meny inggung harga diri kami
dengan usaha kalian menjebak kami, maka kami tentu akan
menghukum kalian, selain kepentingan kami mengunjungi
rumah Ki Bekel." "Kalian tidak usah berbelit-belit. Sebagaimana kau tahu
bahwa suara burung hantu itu adalah sekedar isy arat kami,
maka kami pun tahu, bahwa kalian tidak akan sekedar
mengunjungi rumah Ki Bekel. Tetapi kalian ingin m erampok
seisi padukuhan," berkata Kiai Patah.
"Bagus," jawab pemimpin perampok itu, "kami tidak
akan ingkar. Kami memang akan mengambil semua kekayaan
yang ada di padukuhan ini. Tidak seorang pun dapat
menghalangi. Jika kalian mencoba-coba menjebak kami
dengan cara y ang paling sederhana ini tanpa mengetahui dasar
kemampuan kami. maka itu hanya akan menambah
kemarahan kami. Yang akan dapat mendor ong kami tidak
hanya sekedar mengambil barang-barang berharga y ang ada di
dalam padukuhan ini. tetapi kami akan membakar setiap
rumah dengan segala isiny a, termasuk penghuninya. Tidak
peduli, laki -laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak."
Kiai Patah mengerutkan keningnya. Ternyata betapapun
cermatnya ia mempersiapkan orang -orang padukuhan, tetapi
satu hal yang belum dipersiapkannya. Mencegah orang-orang
itu m embakar rumah m eskipun hanya sebuah. Apalagi jika di
dalamnya terdapat beberapa orang penghuni, terlebih-lebih
jika isinya adalah perempuan dan anak-anak.
Jika satu saja rumah mulai terbakar, maka kebingungan
dan kekisruhan akan segera mencengkam seluruh padukuhan.
Jika perempuan dan anak-anak mulai menjerit-jerit,
maka setiap laki -laki akan berusaha menolong dan
menyelamatkan mereka, sementara para perampok akan
membunuh tanpa perlawanan.
Karena itu, maka Kiai Patah harus berhati-hati
menghadapi pemimpin perampok y ang agaknya benar-benar
dapat melakukan sebagaimana dikatakannya itu. Menilik
wajah y ang garang dan sor ot matanya yang bagaikan
mengandung bara api itu, ia tentu seorang y ang benar-benar
bengis. "Nah," tiba -tiba saja pemimpin perampok itu berkata,
"aku masih berbaik hati. Kumpulkan semua orang dan biarkan
mereka berjongkok di halaman rumah Ki Bekel ini. Agaknya
halaman rumah ini cukup luas menampung semua laki-laki,
terutama anak-anak mudanya y ang sombong itu. Kau harus
berjongkok di paling depan dengan kedua telapak tanganmu di
tengkuk. Sementara senjata-senjata kalian harus ditimbun di
bawah tangga pendapa itu."
Kiai Patah tidak menghiraukannya. Bahkan ia pun
berkata, "Meny erahlah. Kalianlah y ang harus menimbun
senjata di bawah tangga pendapa dan orang-orangmulah yang
harus berjongkok di halaman ini. Kau y ang berada di paling
depan dengan telapak tangan di tengkuk."
Pemimpin perampok itu menjadi marah sekali. Tiba-tiba
sa ja ia telah meloncat sambil mengayunkan tangannya
mengarah ke wajah Kiai Patah.
Tetapi Kiai Patah telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Dengan tangkas ia pun bergeser, sehingga
tangan pemimpin perampok itu tidak m engenainya. Namun
perampok itu tidak melepaskannya. Kakiny alah yang
kemudian berputar ke arah lambung.
Kiai Patah y ang memperhitungkan bahwa gerak
pemimpin perampok y ang m arah itu tentu belum dilambari
dengan segenap kekuatan y ang ada di dalam dirinya. Namun
justru karena itu, maka Kiai Patah dengan sengaja telah
menangkisnya. Dengan sikunya Kiai Patah telah membentur
serangan pemimpin perampok y ang marah itu.
Benturan itu memang mengejutkan. Pemimpin
perampok itu tidak m engira bahwa Kiai Patah telah bergerak
dengan tangkas meny ongsong serangannya.
Terdengar pemimpin perampok itu m engeluh t ertahan.
Kakiny a y ang membentur siku Kiai Patah itu m erasa seakanakan
tulangnya menjadi retak. Karena itu, maka ia pun dengan serta merta telah
meloncat mengambil jarak. Dari mulutnya tiba -tiba telah
terdengar suitan ny aring bagaikan membelah malam di
padukuhan itu. Kiai Patah pun mengerti, bahwa y ang didengarnya itu
adalah perintah kepada orang-orangnya untuk mulai bergerak.
Karena itu, maka Kiai Patah pun telah memberikan perintah
pula. Tetapi ia tidak perlu bersuit nyaring. Namun perintah itu
terdengar jela s sebagaimana bunyinya. Katanya, "Bunyikan
tanda itu, sekarang!"
Sejenak kemudian telah terdengar bunyi kentongan di
kegelapan . Di belakang bayangan pepohonan y ang terlindung
dari cahaya obor yang menyala di halaman rumah Ki Bekel.
Namun dalam sekejap buny i kent ongan itu telah menjalar
keluar dinding halaman. Dan bahkan hampir di seluruh
padukuhan suara kent ongan itu terdengar merata.
Betapa beraninya para perampok itu, namun suara
kentongan yang sahut menyahut dalam nada titir itu telah
membuat jantung mereka berdebaran.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran y ang riuh.
Mendengar suitan nyaring dari pemimpinnya, maka
para perampok pun telah mulai bergerak, meskipun mereka
tidak melihat sasaran dengan jelas. Namun mereka tahu pasti,
bahwa lawan mereka berada di dalam kegelapan.
Tetapi ketika beberapa orang perampok berusaha
mengambil obor untuk dibawa memasuki bayangan
pepohonan, maka tiba-tiba saja mereka melihat orang-orang
padukuhan itu berloncatan menyerang mereka dari segala
penjuru. Bukan saja y ang berada didalam halaman rumah Ki
Bekel, tetapi mereka yang berjaga-jaga diluar pun telah
diserang pula oleh anak-anak muda, bahkan hampir semua
laki -laki padukuhan itu.
Diantara m ereka terdapat Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan empat orang yang dikirim oleh Ki Buyut, selain petugas
penghubung y ang telah datang lebih dahulu.
Dengan demikian maka pertempuran pun segera
berkobar di beberapa tempat. Didalam halaman, pemimpin
perampok itu telah berhadapan dengan Kiai Patah. Ternyata
bahwa Kiai Patah y ang m emiliki kemampuan tinggi itu tidak
dengan serta merta menghancurkan lawannya. Sebagaimana
rencananya, maka ia masih ingin melihat, apa y ang dapat
dilakukan oleh adik Ki Bekel yang telah ditangkap itu.
Sesaat kemudian, maka para perampok y ang sudah
berpengalaman itu telah bertempur dengan garangnya. Tetapi
orang-orang padukuhan itu, sebagaimana diberitahukan oleh
Kiai Patah sebelumnya, bahwa mereka harus bertempur
berpasangan. Mereka tidak akan mampu m enghadapi para perampok
itu seorang melawan seorang. Sehingga dengan demikian
maka mereka harus melawan perampok itu berdua atau
bertiga sementara jumlah m ereka m emang lebih banyak dari
jumlah para perampok itu.
Ketika pertempuran itu berlangsung semakin sengit,
maka dua orang petugas; yang dikirim oleh Ki Buyut memang
sempat m engamati, apa yang dilakukan oleh adik Ki Bekel.
Ternyata bahwa keberaniannya benar-benar dapat
dibanggakan. Dengan tanpa gentar, ia telah m eny ergap para
perampok itu bersama beberapa orang kawan-kawannya.
Dengan senjata di tangan, maka ia telah berdiri di paling
depan. Dalam pertempuran y ang sengit pun, ternyata Ki
Sardapa, adik Ki Bekel itu menunjukkan betapa ia m emiliki
tanggung jawab yang besar atas padukuhan tempat ia tinggal.
Dalam pengamatan y ang agak cermat, maka kedua orang
petugas yang dikirim oleh Ki Buyut itu memang melihat pula,
bahwa Ki Sardapa memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.
Dalam kelompok kecilnya ia telah mengatur kawan-kawannya
sebaik-baiknya menghadapi para perampok y ang garang.
Dalam pada itu, Kiai Patah masih berusaha
mengimbangi lawannya dalam tataran ilmu y ang setingkat.
Sementara itu, Ki Sardapa lah y ang nampak terlalu garang.
Tetapi ketika Kiai Patah melihat sikapnya, maka ia justru
menjadi cemas. Lawan orang-orang padukuhan itu adalah
para perampok yang keras, garang dan bahkan liar. Jika Ki
Sardapa hanya mengandalkan kepada keberaniannya,
kemarahan dan gejolak perasaannya tanpa menghiraukan
tataran kemampuannya, maka kedudukannya akan benarbenar
dalam keadaan bahaya. Sementara itu pertempuran pun semakin lama menjadi
semakin seru. Para perampok y ang melihat lawannya menjadi
semakin banyak, telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Bahkan para perampok itu pun benar-benar tidak lagi
mengendalikan dirinya. Untunglah bahwa orang-orang padukuhan itu tidak
pernah m elupakan pesan Kiai Patah untuk tidak bertempur
sendiri. Bahkan semakin garang lawan mereka, maka orangorang
padukuhan itu menjadi semakin rapat bertempur dalam
pasangan-pasangan. Bahkan karena jumlah laki -laki yang
melibatkan diri jauh lebih banyak, m aka pasangan-pasangan
orang-orang padukuhan itu tidak hanya terdiri dari dua orang,
tetapi tiga bahkan empat.
Dengan demikian maka para perampok pun harus
bekerja lebih keras untuk mengalahkan lawan-lawan mereka.
Tetapi orang-orang padukuhan itu memang kurang
sekali pengalamannya. Mereka baru beberapa hari belajar
memegang senjata dengan baik. Karena itulah, maka
meskipun mereka bertempur dalam kelompok-kelompok kecil,
namun mereka -pun perlahan-lahan mulai terdesak. Bahkan
senjata orang -orang yang kasar dan liar itu, justru mulai
menyentuh tubuh orang-orang padukuhan itu.
Satu dua orang telah terlempar jatuh. Namun orangorang
padukuhan y ang berkelompok itu pun ada pula yang
telah berhasil melukai lawan mereka.
Namun agaknya perampok-perampok itu jauh lebih
garang dari orang-orang padukuhan yang sedang berjuang
untuk mempertahankan hak mereka. Meskipun apa yang
sedang mereka pertahankan itu telah didapat oleh orangorang
padukuhan itu dengan cara yang licik. Namun seakanakan
kelicikan itu telah ditebu s dengan pengakuan mereka
yang telah bersalah dan y ang kini berada di rumah Ki Buyut.
Ketika orang-orang padukuhan itu mulai terdesak, dan
se-kali-sekali terdengar keluh kesakitan, serta teriakan dan
umpatan kotor dari para perampok y ang membuat orangorang
padukuhan itu menjadi semakin ngeri, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun mulai benar-benar berusaha
mengurangi kekuatan lawan.
Dalam pada itu, orang-orang y ang telah dikirim oleh Ki
Buyut berusaha untuk dapat mengimbangi lawannya seorang
dengan seorang. Namun agaknya para perampok itu memiliki
pengalaman dan juga kekasaran y ang lebih besar dari mereka.
Karena itu, m eskipun mereka sendiri mampu bertahan
untuk mengimbangi kemampuan lawan-lawannya, namun
mereka tidak mampu menolong orang-orang padukuhan yang
mengalami kesulitan meskipun mereka bertempur
berpasangan. Perubahan tata gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang mengejutkan para perampok. Betapa tinggi
pengalaman mereka, namun mereka yang kebetulan bertemu
dan berhadapan dengan kedua anak muda itu harus mengakui,
betapa tinggi ilmu mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bertempur sebagaimana kewajaran seperti orang-orang
padukuhan itu. Keduanya telah bertempur dengan
mempergunakan pedang didalam genggaman.
Satu-satu para perampok itu dilukai oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sebagaimana mereka melukai orang-orang
padukuhan itu. Karena itu, maka kemarahan para perampok
itu pun menjadi semakin membakar jantung.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur
bagaikan burung alap-alap. Mereka tidak terikat pada seorang
lawan. Tetapi mereka berloncatan dari satu lawan ke lawan
yang lain. Jika sekelompok orang-orang padukuhan itu
terdesak, m aka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang
menolong mereka. Anak-anak muda itu telah ikut serta
bertempur didalam kelompok y ang sedang terdesak itu.
Namun setelah m ereka melukai lawannya, sehingga tidak lagi
mampu bertempur dengan sepenuh kemampuan, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan
kelompok-kelompok itu. Dengan demikian, maka kedua anak muda itu bagaikan
hantu y ang menyusup di celah-celah pertempuran di segala
medan. Sehingga beberapa saat kemudian para perampok itu
mulai terpengaruh oleh kehadiran mereka.
Dalam pada itu, di halaman rumah Ki Bekel, para
perampok masih lebih banyak m enguasai medan karena Kiai
Patah masih saja terikat dalam pertempuran dengan
pemimpin perampok. Namun ketika dilihatnya keadaan Ki Sardapa y ang
menjadi semakin sulit, maka Kiai Patah pun mulai
meningkatkan kemampuannya. Bahkan akhirnya. Kiai Patah
telah mendesak pemimpin perampok itu sehingga tidak lagi
mendapat kesempatan sama sekali.
Keadaan pemimpin perampok itu memang mengejutkan
para pengikutnya. Mereka mengagumi pemimpin mereka
sebagai seorang yang tidak terkalahkan. Apa yang
dikehendakinya akan selalu dapat dilakukannya. Berapa pun
ia ingin membunuh, maka ia akan dapat memenuhi
keinginannya itu. Bahkan membakar seluruh padukuhan yang
menjadi sasaran serta membunuh segala isinya.
Keadaan pemimpin perampok itu memang sangat
berpengaruh bagi para pengikutnya. Di saat pemimpinnya itu
terdesak, maka para pengikutnya pun mulai m enjadi cemas.
Jika semula jumlah orang-orang padukuhan y ang terlalu
banyak itu rasa-rasanya sama sekali tidak berarti, maka tibatiba
jumlah y ang banyak itu telah m embuat mereka menjadi
berdebar-debar. Apalagi mereka y ang menyadari, apa yang dapat
dilakukan oleh dua orang anak muda yang berada diantara
orang-orang padukuhan itu. Anak-anak m uda y ang ternyata
memiliki kemampuan y ang jauh lebih tinggi dari semua orang
yang sedang terlibat dalam pertempuran itu.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itupun
segera berubah. Orang-orang y ang terluka oleh Mahisa
Murti maupun Mahisa Pukat tidak akan mampu bertahan
melawan dua atau tiga orang padukuhan itu meskipun mereka
hampir tidak mempunyai pengalaman sama sekali selain
sedikit pengertian y ang diberikan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tentang mempergunakan senjata.
Karena itulah maka pemimpin perampok itu pun
menjadi semakin marah karenanya.
Tetapi ia benar-benar membentur satu keny ataan,
bahwa orang y ang dihadapinya itu adalah orang y ang memang
memiliki ilmu yang tinggi.
Namun ternyata bahwa pemimpin perampok itu masih
memiliki senjata y ang mengejutkan. Ketika ia menjadi
semakin terdesak, maka tiba -tiba saja tangannya bergerak
dengan cepat sekali. Dalam gelapnya malam, ketajaman mata orang
kebanyakan m emang tidak melihat sesuatu. Tetapi mata Kiai
Patah ternyata dapat menangkap bay angan kecil yang terbang
melintasi cahaya obor yang suram.
Karena itu, maka ia pun telah meloncat menghindar
dengan tangkasnya, sehingga senjata lawannya itu tidak
menyentuhnya. Namun senjata y ang terbang menyambarnya itu tidak
hanya satu dua kali. Tetapi berkali-kali sehingga Kiai Patah
harus berloncatan seperti seseorang yang berdiri diatas bara.
Beberapa kali bahkan Kiai Patah harus melenting,
meloncat dan berputar. Sementara serangan lawannya seakanakan
tidak ada henti-hentinya.
"Ada berapa puluh senjata yang dibawanya?" Kiai Patah
bertanya didalam hatinya.
Namun senjata itu masih saja mengalir dari tangan
lawannya. Karena itulah, maka Kiai Patah pun mulai kehilangan
kesabaran. Sambil berloncatan m enghindar Kiai Patah masih
berkata, "Hentikan senjata-senjatamu itu. Kau tidak akan
dapat melukai aku. Tetapi kau membuatku kehilangan
kesabaran." "Persetan," geram pemimpin perampok itu, "kau
ternyata telah mulai menjadi ketakutan."
"Kau masih m endapat kesempatan," berkata Kiai Patah,
"tetapi jika kau menolak kesempatan ini, maka aku tidak
mempunyai pilihan lain."
"Jika kau ingin mati dengan baik, jangan melawan lagi,"
bentak pemimpin perampok itu tanpa mengurangi arus
serangannya. "Kau membuat aku benar -benar kehilangan kesabaran,"
geram Kiai Patah sambil berloncatan menghindar.
Namun akhirnya Kiai Patah m emang tidak m empunyai
pilihan lain. Ketika paser-paser kecil itu masih berterbangan
menyambarnya, maka ia pun tidak mau menjadi sa saran tanpa
membalas sama sekali. Karena itulah, maka ketika serangan lawannya justru
menjadi semakin cepat, tiba -tiba saja Kiai Patah meloncat
dengan loncatan panjang menyamping. Bahkan sekali ia
berguling dan kemudian dengan tangkas melenting sekali lagi.
Ketika ia tegak, maka tiba-tiba saja kedua tangannya
telah dihentakkannya ke arah lawannya yang masih saja
melemparkan paser-pasernya, sementara Kiai Patah sadar,
bahwa paser itu adalah paser beracun.
Ketika dua buah paser yang disusul dengan dua y ang lain
meluncur ke arahnya, maka Kiai Patah telah melepaskan
ilmunya, Sapu Angin. Dari kedua tangannya yang dihentakkannya itu, seakanakan
telah memancar angin prahara y ang sangat besar.
Demikian besarnya, sehingga membentur senjata-senjata kecil
itu dan justru telah melontarkannya kembali ke sumbernya.
Pemimpin perampok itu sama sekali tidak menduga
bahwa Kiai Patah, salah seorang dari penghuni padukuhan itu,
memiliki ilmu y ang demikian dahsyatnya. Karena itu, ketika
empat buah pa sernya dilontarkan kembali ke arahnya, ia sama
sekali tidak bersiap menghadapinya. Sementara itu, semuanya
terjadi dengan sangat cepatnya.
Meskipun demikian, pemimpin perampok itu telah
berusaha untuk menghindar. Namun dalam kegelapan yang
sekedar diterangi oleh cahaya obor dikejauhan, serta getaran
perasaannya y ang terkejut mengalami hal itu, ia tidak berhasil
menghindari seluruh serangan yang datang menerpanya. Dari
empat buah paser yang terdorong kembali ke sumbernya,
maka sebuah diantaranya telah mengenai pundaknya.
Pemimpin perampok itu mengeluh tertahan. Bahkan
kemudian ia telah mengumpat sejadi-jadinya. Ia sadar, bahwa
paser itu adalah jeni s senjata yang sangat beracun. Karena itu,
maka demikian pundaknya terluka, rasa-rasanya semua
harapan telah leny ap daripadanya.
"Kenapa kau menjadi gila seperti itu?" bertanya Kiai
Patah. Orang itu tidak menjawab. Namun dengan sisa kekuatan
dan sisa senjata yang ada padanya, ia telah menyerang dengan
sengitnya. Ia tidak lagi membidik dengan baik dan ia tidak lagi
melontarkan pasernya satu-satu dengan kedua belah
tangannya. Tetapi ia telah melontarkannya sekaligus
segenggam paser y ang tertinggal.
Namun sekali lagi paser-paser itu tidak sampai ke
sa saran. Kiai Patah telah membentur serangan terakhir itu
dengan ilmunya pula. Tetapi Kiai Patah telah m embatasi diri. Ia tidak ingin
melontarkan kembali senjata -senjata itu kepada pemiliknya.
Tetapi sekedar menahan agar senjata-senjata itu tidak
mengenainya. Karena itu, dengan sebagian tenaganya maka Kiai Patah
telah menahan senjata-senjata itu sehingga berguguran di
tanah. Pemimpin perampok itu mengumpat sejadi-jadiny a.
Namun sekali lagi ia membentur keny ataan. Racun ujung
pasernya y ang melukai pundaknya itu pun telah mulai bekerja.
Darahnya rasa-rasanya mulai ter sumbat, sehingga karena itu,
tubuhnya-pun tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa.
Yang terdengar kemudian adalah satu isyarat. Namun
agaknya isy arat itu pun tidak dapat diberikannya dengan baik.
Namun seorang yang bertempur tidak jauh daripadanya
telah menyambung isyarat itu dan demikian sambung
bersambung isyarat itu telah terdengar didalam dan diluar
halaman. Suitan dan disusul dengan suitan lainnya bagi para
perampok itu adalah satu perintah, agar mereka menarik diri
dari medan. Memang sudah tidak ada y ang dapat mereka lakukan
lagi. Tiba-tiba saja terasa orang -orang padukuhan itu menjadi
banyak sekali. Jauh lebih banyak dari semula. Seakan-akan
mereka mengalir berdatangan tanpa henti-hentinya dari
segala penjuru. Sementara itu dua orang anak muda
berloncatan tanpa dapat dikekang sama sekali. Ujung
pedangnya setiap kali mematuk telah meninggalkan goresan
luka y ang berbahaya. Karena itu, maka ketika para perampok itu mendengar
isy arat itu, m ereka tidak m enunggu lebih lama lagi. Serentak
mereka berlari-larian ke segala arah y ang bahkan saling
menyilang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti, bahwa itu
adalah satu cara untuk membingungkan lawannya. Namun
yang dapat mereka lakukan berdua juga tidak terlalu banyak,
sementara itu, orang-orang padukuhan itu pun benar-benar
menjadi bingung. "Hati-hati," teriak Mahisa Murti, "jangan terjebak."
Orang-orang padukuhan itu pun menjadi ragu-ragu
untuk mengejar para perampok.
Dalam pada itu, pemimpin perampok itu sendiri benarbenar
sudah tidak berdaya. Racunnya sendiri y ang sangat
tajam, dengan cepat telah mencengkamnya sehingga sulit
baginya untuk dapat melepaskan diri daripadanya.
Kiai Patah melihat keadaannya, telah mendekatinya
dengan hati-hati. Dengan nada berat ia bertanya, "Kenapa kau
tidak menawarkan racun itu dengan obat penawarnya?"
Pemimpin perampok yang kemudian terduduk dengan
lemahnya itu berkata, "Aku tidak mempunyai obat
penawarnya." "Kenapa" Bukankah seseorang yang terbiasa bermainmain
dengan racun pada umumnya memiliki obat
penawarnya?" bertanya Kiai Patah.
"Tetapi aku tidak," berkata orang itu, "aku tidak merasa
perlu m emilikinya karena aku tidak menyangka bahwa pada
suatu saat aku sendiri akan terkena karenanya."
"Kau telah melakukan satu kelalaian y ang berbahaya,"
berkata Kiai Patah, "biasanya orang -orang seperti kau tentu
mempunyai penawarnya. Memang kadang-kadang orang akan
terperosok ke dalam lubang y ang digalinya sendiri."
"Sayang," desis orang itu, "tetapi aku memang tidak
mengolah racun itu sendiri. Aku hanya mendapatkannya dari
orang lain." "Dari mana?" bertanya Kiai Patah.
Tetapi pemimpin perampok itu menggeleng. Katanya,
"Nama itu akan aku bawa mati."
Namun Kiai Patah yang melangkah semakin dekat itu
pun berkata, "Aku akan mencoba mengobati luka-lukamu.
Maksudku menawarkan racun yang bekerja di dalam dirimu."
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Tidak ada
gunanya. Racunku terlalu tajam. Sementara ini sudah terasa
jantungku mulai disentuh oleh kekuatan racunku itu."
Tetapi Kiai Patah tidak menghiraukannya. Ia pun
kemudian m engambil sebutir obat dari bumbung kecil yang
tersimpan di kantung ikat pinggang kulitnya yang besar.
"Telanlah. Biarlah seseorang mengambil air untukmu,"
berkata Kiai Patah. Tetapi orang itu m enggeleng. Bahkan ia pun kemudian
telah beringsut sambil berkata, "Aku akan mati. Tetapi itu
lebih baik bagiku daripada aku kau ikat untuk menjadi
pangewan-ewan. Karena akhirnya aku juga akan kau hukum
mati di muka orang-orang padukuhan ini. Jika kau mengobati
racun yang bekerja di dalam diriku, sebenarnya kau hanya
ingin memuaskan dirimu sendiri untuk mengetrapkan cara
mati atasku sebagaimana kau kehendaki. Mungkin aku akan
kau gantung atau bahkan kau hukum picis. Karena itu, lebih
baik aku mengalaminya sekali daripada mengalaminya
berulang kali. Aku akan mati sebagaimana aku kehendaki."
"Jangan bodoh," sahut Kiai Patah, "kami tidak pernah
mengetrapkan hukuman mati."
Pemimpin perampok itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "apa pun y ang aku katakan, aku berhak
memilih jalan kematianku sejauh dapat aku jangkau. Dan aku
memilih mati dengan cara ini."
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Baiklah. Kau memang pantas untuk mati. Kau
sudah t erlalu banyak melakukan kejahatan. Jika mati itu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi pilihanmu, maka tidak akan ada orang yang
menangisimu. Bahkan banyak orang y ang akan merasa bahwa
hidupnya akan menjadi lebih tenteram."
"Persetan," orang itu berteriak, tetapi suaranya seakanakan
tertahan di kerongkongan. Bahkan kemudian orang itu
pun menjadi semakin gemetar.
Perlahan-lahan ia berbaring dan meny ilangkan
tangannya di dadanya. "Kau benar-benar memilih jalan kematianmu," desis Kiai
Patah. Tetapi orang itu tidak menjawab. Bahkan matanya sudah
mulai terpejam. Kiai Patah memandanginya dengan hampir tidak
berkedip. Namun ia pun kemudian mengangkat wajahnya dan
memandang berkeliling. Beberapa orang telah membawa para perampok y ang
tertangkap dan terluka ke halaman rumah Ki Bekel. Sementara
orang-orang lain telah m engumpulkan kawan-kawan mereka
yang menjadi korban. Bagaimanapun juga orang-orang
padukuhan itu tidak dapat menghindari bahwa satu dua orang
di antara mereka telah terbunuh di pertempuran itu.
Demikianlah, maka akhirnya pertempuran pun telah
benar-benar selesai. Para korban pun telah terkumpul, baik
orang-orang padukuhan itu maupun para perampok.
Kiai Patah pun kemudian minta agar petugas
penghubung yang dikirim oleh Ki Buyut m emberikan laporan
kepadanya, apa y ang telah terjadi di padukuhan itu.
Semalam suntuk setiap laki -laki di padukuhan hampir
tidak dapat memejamkan matanya. Satu dua diantara mereka
ada y ang sempat tertidur sekejap sambil bersandar dinding
dan pepohonan. Namun mereka pun segera terbangun dan
hanyut dalam kesibukan. Menj elang fajar semuanya telah selesai dibenahi.
Sementara itu ketika matahari mulai melontarkan cahaya
paginya, Ki Buyut telah hadir pula di padukuhan itu.
Dengan nada mantap ia berkata, "Kenapa aku tidak
datang semalam di padukuhan ini" Bukan karena aku tidak
peduli. Tetapi aku y akin bahwa segala sesuatunya akan selesai,
karena disini ada Kiai Patah, ada kedua anak muda itu, yang
memiliki kelebihan segala-galanya dari aku."
"Ah, kau memuji," desis Kiai Patah, "tidak ada y ang
pantas dikagumi pada kami. Kami berbuat sebagaimana kami
mampu berbuat. Jika kami berhasil dengan baik sekarang ini
adalah karena perjuangan seisi padukuhan kami."
Ki Buyut terseny um. Katanya, "Kiai terlalu merendahkan
diri. Sementara itu, aku sudah mengenal kedua anak muda itu
dan apa saja yang dapat mereka lakukan dengan ilmu
mereka." Kiai Patah hanya dapat tersenyum saja. la pun percaya
akan kemampuan kedua anak muda itu, apalagi karena ia
mengenalinya sebagai anak Mahendra.
Hari itu seluruh isi padukuhan menjadi sibuk. Laki -laki
dan perempuan. Mereka telah m enguburkan saudara-saudara
mereka yang gugur. Sementara itu mereka pun telah
menguburkan para perampok y ang terbunuh pula. Sedangkan
saudara-saudara mereka y ang terluka telah mereka
kumpulkan di banjar, sehingga dengan demikian mereka akan
dapat dirawat dengan baik.
Ki Buyut telah mengucapkan sesorah pendek dihadapan
orang-orang padukuhan itu. Ia ikut bersedih, bahwa tiga orang
telah gugur. "Tetapi," berkata Ki Buyut, "kalian telah berhasil
mempertahankan isi dari padukuhan kalian. Apa pun yang
pernah terjadi, tetapi y ang ada di padukuhan ini telah sah
menjadi milik kalian sekarang ini."
Sehari itu Ki Buyut masih tetap berada di padukuhan itu.
Ia sempat berbicara dengan Kiai Patah, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tentang Ki Sardapa.
Para petugas yang dikirimkan oleh Ki Buyut pun telah
memberikan laporan tentang pengamatannya atas Ki Sardapa,
adik Ki Bekel y ang telah ditangkap dan ditahan di rumah Ki
Buyut. Ternyata beberapa orang telah sependapat, bahwa Ki
Sardapa memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang lain di
padukuhan itu. Karena ia adalah salah seorang anak Ki Bekel
yang telah m eninggal dan digantikan oleh kakaknya, maka ia
memiliki sifat -sifat ay ahnya pula sebagaimana kakaknya.
Namun ia memiliki kelebihan, bahwa ia tidak terlibat dalam
tindakan licik y ang dilakukan oleh kakaknya atas beberapa
orang yang bermalam di padukuhannya yang sebenarnya
justru harus dilindunginya.
Karena itu, untuk sementara, Ki Sardapa merupakan
salah satu calon yang memenuhi beberapa per sy aratan yang
diperlukan. Apalagi bahwa ia pun adalah anak Ki Bekel yang
sudah tidak ada sebagaimana Ki Bekel y ang telah ditangkap.
Tetapi Ki Buyut belum mengambil keputusan. Ia masih
harus berbicara dengan beberapa pihak yang dianggapnya
pantas untuk diajak berbicara. Baru kemudian mengambil
keputusan. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
memang mempunyai kepentingan tersendiri dalam
pengembaraannya itu, memang mengakui kelebihan Ki
Sardapa dibanding dengan orang-orang padukuhan. Tetapi ia
masih berada di tingkat y ang lebih rendah dari orang-orang
terbaik di padepokannya. Karena itu, maka di padukuhan itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak dapat menemukan apa pun juga, kecuali
sedikit membantu Kiai Patah dan orang-orang padukuhan itu.
Namun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
merasa tertarik juga untuk tinggal di padukuhan itu barang
beberapa hari. Agaknya keduanya ingin melihat, apakah benar
Sardapa akan dapat menggantikan kedudukan kakaknya.
Sementara itu, banjar padukuhan itu pun masih tetap
dijaga siang dan malam. Sesuai dengan pengalaman, maka
orang-orang padukuhan itu pun menjadi sangat b erhati-hati.
Sementara itu, sebagian besar dari harta yang berserakan di
padukuhan itu telah dikumpulkan di banjar padukuhan yang
pada saatnya nanti akan dipergunakan bagi kepentingan
padukuhan itu. Ternyata Ki Buyut memang m emerlukan beberapa hari
untuk mey akinkan pendapatnya, apakah Sardapa pantas
untuk menggantikan kakaknya atau tidak.
Sementara itu, Ki Buyut telah m empersilahkan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat tinggal di rumahnya selama ia
menghendaki sekaligus beristirahat.
Tetapi Mahisa-Murti dan Mahisa Pukat nampaknya
lebih senang tinggal di rumah Kiai Patah y ang kecil dan
sederhana. Kiai Patah sendiri sebenarnya juga diminta oleh orangorang
padukuhan itu bersama dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tinggal di rumah Ki Bekel. Tetapi ternyata
mereka menolak. Mereka pun tetap tinggal di rumah kecil itu.
Rumah y ang dipergunakan oleh Kiai Patah selama ia berada di
padukuhan itu. Namun akhirnya saat yang ditunggu itu pun datang. Ki
Buyut akhirnya mengambil keputusan setelah berbicara
dengan beberapa pihak, bahwa Ki Sardapa, adik Ki Bekel yang
lama, y ang telah ditahan karena kesalahannya, telah ditunjuk
sebagai calon yang akan m enggantikan kedudukan kakaknya.
Sementara itu, Ki Buyut pun telah selesai melakukan
penelitian dan pemeriksaan terhadap Ki Bekel yang ny atanyata
bersalah bersama beberapa orang penghuni padukuhan
itu. Dengan demikian maka segala persiapan pun telah
dilakukan untuk menetapkan kedudukan Ki Sardapa. Ki Buyut
akan mengesahkan kedudukan Ki Bekel itu dibarengi dengan
keramaian yang meriah di padukuhan itu. Mereka tidak perlu
memikirkan bagaimana mereka akan mengumpulkan uang
untuk keperluan itu. Di Banjar telah tersedia uang dan barangbarang
berharga yang cukup, y ang tidak akan habis untuk
menyelenggarakan keramaian mengangkat lima orang Bekel
sekalipun. Tetapi adalah tugas Ki Bekel kemudian untuk
mempergunakan uang dan barang-barang berharga itu bagi
kepentingan padukuhan mereka, karena kebaikan hati Kiai
Patah yang sama sekali tidak m au lagi mengungkit tentang
uang dan barang-barang berharga yang ada di padukuhan itu.
Demikianlah, akhirnya hari itu pun datang juga. Ki
Buyut telah menetapkan di tengah bulan Ki Sardapa akan
ditetapkan m enjadi Seorang Bekel. Ki Buyut sengaja memilih
saat bulan purnama untuk memberikan kesan kecerahan.
"Tidak ada kepercayaan apa pun juga yang berhubungan
dengan bulan purnama itu sendiri. Tetapi saat-saat bulan
purnama telah memberikan kesan tersendiri, sehingga dengan
demikian m aka diharapkan kesan itu akan memberikan arti
bagi Ki Sardapa dan rakyat sepadukuhan," berkata Ki Buyut.
Karena itu, semakin dekat saat bulan purnama, maka
padukuhan itu pun menjadi semakin sibuk. Seisi padukuhan
telah bekerja sesuai dengan kemampuan mereka masingmasing
untuk ikut serta m emeriahkan penetapan kedudukan
Ki Sardapa menjadi Bekel baru di padukuhan itu.
Ki Sardapa sendiri, ketika keputusan Ki Buyut sampai
kepadanya untuk dicalonkan menjadi Bekel baru, menjadi
sangat terkejut. Bahkan dengan hampir tidak percaya ia telah
menemui Ki Buyut untuk mendapat penjelasan tentang kabar
yang diterimanya itu. "Aku bersungguh-sungguh," berkata Ki Buyut, "aku
sudah cukup lama mengamati keadaan, sementara
pemeriksaan terhadap Kakakmu menunjukkan bahwa ia
memang benar-benar bersalah, sehingga dengan demikian,
maka ia harus menjalani hukuman y ang antara lain adalah
diberhentikan dari kedudukannya."
"Tetapi apakah tidak ada kesan buruk terhadapku,
seolah-olah aku telah mendesak kedudukan kakakku?"
bertanya Ki Sardapa. Ki Buyut menggelengkan kepalanya. Katanya, "semua
orang tahu, bahwa yang telah m embongkar rahasia ini adalah
Kiai Patah. Seandainya bukan Kiai Patah adalah aku sendiri
yang telah mendapat keterangan yang sama dengan yang
diperoleh oleh Kiai Patah."
Ki Sardapa y ang sama sekali tidak bermimpi untuk
mendapatkan kedudukan kakaknya itu ternyata m asih tetap
bimbang. Apalagi ketika ia kemudian bertemu dengan ibunya.
Dengan nada tinggi tiba-tiba saja ibunya telah berteriak,
"jadi kau terima pencalonan itu?"
"Apa keberatannya ibu?" bertanya Ki Sardapa.
"Kau sampai hati merampas kedudukan kakakmu"
Sepeninggal ay ahmu, maka kakakmu telah menggantikan
kedudukannya dengan sah," bertanya ibunya.
"Apakah y ang akan aku jalani ini bukan kedudukan y ang
sah" Aku sendiri tidak tahu menahu tentang pencalonan ini. Ki
Buyut lah y ang telah menunjuk aku tanpa sepengetahuanku
sebelumnya," berkata Ki Sardapa.
"Tetapi kau dengan sengaja telah m endesak kedudukan
kakakmu itu," berkata perempuan itu dengan geram.
"Aku tidak mengerti maksud ibu. Bukankah aku adiknya
yang juga berhak atas kedudukan ini jika kakang
berhalangan?" bertanya Ki Sardapa, " semula aku sama sekali
tidak m emikirkan kedudukan itu. Tetapi justru sekarang aku
mulai memikirkannya," berkata Ki Sardapa selanjutnya.
Tetapi perempuan y ang disebut ibu oleh Ki Sardapa itu
justru telah berkata, "Kau harus malu menerima jabatan itu."
"Kenapa aku harus malu" Bukankah itu berarti bahwa
kedudukan ayah tetap tidak bergeser kepada keturunan orang
lain" Meskipun kakang telah melakukan kesalahan, tetapi aku
akan dapat memperbaiki kesalahan itu. Nama keluarga kita
akan tetap terjaga untuk seterusnya," berkata Ki Sardapa.
Tetapi wajah perempuan itu justru menjadi semakin
tegang. Dengan tatapan mata yang tajam ia memandangi Ki
Sardapa y ang termangu-mangu.
"Kau sudah lewat dewasa," berkata perempuan itu,
"sudah sepantasnya kau mengetahui siapakah kau
sebenarnya." Wajah Ki Sardapa menjadi semakin tegang. Dengan
suara bergetar ia bertanya, " Ibu, jika ternyata ada y ang lain
dari y ang aku ketahui, katakan. Aku sama sekali tidak
berkeberatan. Dan jika ternyata aku tidak pantas untuk
menduduki jabatan ini, maka biarlah aku mengembalikan
pencalonan ini kepada Ki Buyut."
Perempuan itu mencibirkan bibirnya. Kemudian katanya
dengan nada tinggi, "Kau harus tahu, bahwa kau sebenarnya
bukanlah anakku. Sampai hari ini aku masih mencoba
mempertahankan anggapan itu. Aku masih berusaha agar kau
tidak menjadi sakit hati dan merasa rendah diri jika kau
mengerti keadaanmu y ang sebenarnya."
Ki Sardapa terkejut bukan kepalang. Sampai umurnya
yang sepertiga abad ini, benar-benar ia tidak tahu, bahwa ia
bukan anak perempuan yang disebut ibunya itu. Dengan
jantung y ang terasa berdegup semakin keras ia bertanya, "jadi
siapakah kau sebenarnya?"
"Bertanyalah kepada orang-orang tua. Mereka akan
mengatakan bahwa kau bukanlah adik kandung yang
sebenarnya dari Ki Bekel y ang telah difitnah oleh beberapa
orang padukuhan ini. Agaknya kau telah dengan sengaja
melakukannya, agar kau kemudian mendapat kesempatan
untuk menggantikan kedudukannya," geram perempuan itu.
" Ibu tidak dapat menuduh seperti itu," sahut Ki Sardapa.
"Jangan panggil aku ibu," bentak perempuan itu, "kau
tidak lebih dari anak seorang perempuan liar y ang kebetulan
berhasil menjerat Ki Bekel tua pada waktu itu. Kemudian kau
telah lahir karenanya. Namun karena keliarannya dan karena
hukuman alam yang berlaku, ibumu meninggal di saat kau
lahir. Kau telah membunuh ibumu y ang liar itu, sehingga
karena itu, maka sebenarnya kau adalah orang yang tidak
berharga sama sekali. Tetapi atas kemurahan hatiku dan
karena desakan Ki Bekel tua, ay ahmu itu, maka kau mau
memeliharamu seperti anakku sendiri. Tetapi aku tidak
mengira bahwa pada suatu saat, kau sampai hati m emfitnah
kakakmu itu. Bahwa seharusny a kau telah berterima ka sih


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadaku, bukan sebaliknya justru telah m encoreng arang di
kening kakakmu, anakku itu."
Ki Sardapa berusaha menahan gejolak di dadanya.
Sementara itu perempuan itu masih berkata, "Sardapa. Jika
kau sedikit saja m engenal terima kasih, maka kau tidak akan
berbuat seperti itu. Justru saat-saat kakakmu difitnah orang,
maka kau telah menemukan kedudukannya yang ditinggalkan.
Jika kau memang tidak sengaja berbuat demikian, maka kau
tentu akan menolaknya. Bahkan mungkin kau akan menuntut
agar kakakmu itu dibebaskan karena ia memang tidak
bersalah." "Tetapi kakang bersalah," berkata Ki Sardapa.
"Orang-orang y ang berkhianat itu telah memasang sak sisak
si palsu. Nah, apa katamu" Bukankah kau bukan saja salah
seorang diantara m ereka yang berkhianat, tetapi justru kau
adalah perancang dari pengkhianatan dan fitnah itu" " geram
perempuan itu. "Tidak," Ki Sardapa hampir berteriak, "aku tidak tahu
menahu apa y ang terjadi. Tetapi ternyata bahwa yang
memberatkan kakang, bukan saja saksi, bukti dan ketajaman
pengamatan Ki Buyut sendiri. Tetapi juga pengakuan kakang
Bekel." "Omong kosong," sahut perempuan itu, "pengakuan
dapat saja dibuat jika kakakmu itu sudah tidak tahan lagi
mengalami siksaan Ki Buyut. Dan bukankah itu yang kau
kehendaki." "Tidak. Tidak," Ki Sardapa hampir berteriak.
"Jika tidak, kau harus dapat membuktikan. Kau harus
dapat berusaha membebaskan kakakmu. Dengan atau tanpa
kekerasan." berkata perempuan itu.
Wajah Ki Sardapa menjadi tegang. Namun ia pun tiba -
tiba saja telah meninggalkan perempuan yang semula
dianggapnya sebagai ibunya sendiri.
Dengan pikiran yang kalut Ki Sardapa duduk di serambi
belakang, memandang pepohonan yang menjadi semakin
buram di saat senja mulai turun. Untuk beberapa saat ia
sempat merenungi hidupnya di masa kanak-kanaknya.
Keterangan perempuan itulah agaknya yang menyebabkan
sikap perempuan itu terhadap kakaknya dan terhadap dirinya
memang berbeda. Ia m erasa selalu disisihkan, sementara kakaknya selalu
mendapat banyak kesempatan didalam beberapa hal.
Tetapi ayahnya tidak berbuat demikian. Ayahnya
bersikap adil menurut penilaiannya.
Dengan langkah yang berat. Ki Sardapa kemudian
menuruni tangga serambi rumahnya. Ketika dilihatnya lampu
kecil y ang menyala di rumah kecil dekat kandang kudanya,
maka ia pun telah melangkah menuju ke rumah kecil itu.
Dengan wajah yang muram, Ki Sardapa mengetuk pintu
yang sudah tertutup meskipun belum diselarak.
"Siapa" " terdengar suara seorang tua.
"Aku paman," jawab Ki Sardapa.
"Ki Sardapa?" b ertanya orang tua didalam rumah kecil
itu. "Ya, aku," jawab Ki Sardapa pula.
Terdengar langkah tergesa -gesa ke arah pintu.
Kemudian ketika pintu terbuka, seorang tua menganggukkan
kepalanya sambil mempersilahkannya masuk.
Ki Sardapa yang berwajah murah itu pun melangkah
masuk dengan langkah y ang berat. Rasa-rasanya nalarnya
memang telah m enjadi gelap. Ia sama sekali tidak m enduga,
bahwa kenyataan tentang dirinya sama sekali bukannya
sebagaimana diketahuinya selama ini.
"Ki Sardapa," terdengar suara orang itu, "silahkan
duduk. Apakah ada sesuatu y ang sedang Ki Sardapa pikirkan?"
Ki Sardapa pun kemudian duduk diatas sebuah amben
bambu. Sor ot matanya sama sekali tidak bercahaya
sebagaimana bia sanya. "Kakek," suara Ki Sardapa terasa berat, "aku telah
terlempar ke dalam satu kenyataan yang sangat pahit tentang
diriku. Kakek. Kau adalah orang yang aku anggap tertua di
rumah ini. Sejak aku ingat di masa kecilku, kau adalah
pemomongku. Karena itu, aku ingin mendengar keteranganmu
tentang diriku. Aku harap kau berkata y ang sebenarnya
tentang diriku." Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
sambil duduk di sebelah Ki Sardapa ia bertanya, "Kenapa tibatiba
saja Ki Sardapa bertanya seperti itu?"
"Katakan kek," desak Ki Sardapa, "seseorang
mengatakan kepadaku, bahwa sebenarnya aku bukan saudara
seay ah dan seibu dengan kakang Bekel."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Dengan nada
rendah ia bertanya, "Siapakah y ang m engatakan begitu" Jika
Ki Sardapa bukan saudara seay ah dan seibu, lalu apa?"
"Jangan berpura-pura begitu kek," desis Ki Sardapa,
"aku minta kau berkata yang sebenarnya tentang keluargaku."
"Jangan berpikir yang bukan-bukan. Jika ada orang y ang
mengatakan demikian, tentu orang-orang yang tidak senang
terhadap keadaan keluarga Ki Sardapa dalam keseluruhan.
Hal itu tidak usah Ki Sardapa pikirkan," berkata orang tua itu.
"Sudahlah. Aku minta kau berkata sebenarnya," desak Ki
Sardapa pula, "orang y ang mengatakan kepadaku adalah orang
yang paling tahu tentang keadaan keluargaku."
Wajah orang tua itu menjadi tegang. Dengan kening
yang berkerut ia bertanya, "Siapa yang mengatakannya"
Katakan Ki Sardapa. Jika Ki Sardapa mau mengatakan tentang
orang itu, maka aku akan mempertimbangkannya."
" Ibu," jawab Ki Sardapa singkat, "orang yang selama ini
aku panggil ibu. Kini tiba -tiba telah membentakku "jangan
panggil aku ibu"."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah, "Akhirnya saat itu tiba juga. Aku sudah
menduga, bahwa pada satu saat hal seperti itu akan terjadi."
"Tetapi katakan kepadaku, siapakah aku sebenarnya?"
bertanya Ki Sardapa. Ki Sardapa seakan-akan tidak sabar menunggu orang tua
itu mulai menjawab pertanyaannya. Ketika orang tua itu masih
sa ja merenung, maka Ki Sardapa telah mengguncang
tubuhnya sambil berkata, "Kakek. Cepat katakan. Jangan
menunggu aku menjadi gila."
"Baiklah," sahut orang tua itu. Namun ia pun berkata,
"Tetapi katakan lebih dahulu. Apakah kata ibumu tentang
dirimu?" " Ibu mengatakan, bahwa aku adalah anak seorang
perempuan liar yang kebetulan berhasil menjerat perhatian Ki
Bekel tua. Ayahku. Kemudian ketika aku lahir, maka aku telah
membunuh ibuku itu. Juga karena ibuku terkena hukuman
alam karena keliarannya, maka ia meninggal saat ia
melahirkan aku," berkata Ki Sardapa. Lalu "kemudian atas
kebaikan hati ibu itu, maka aku telah diambilnya sebagai
anaknya dan dipeliharanya sebagai anaknya sendiri. Juga
karena ayah memang berkehendak begitu."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki
Sardapa. Aku adalah orang tua. Aku tahu apa yang telah
terjadi dalam keseluruhannya. Aku tahu siapakah ibumu yang
sebenarnya dan siapakah perempuan y ang kemudian kau
kenal sebagai ibumu itu."
"Jadi, apakah ceritera itu benar?" bertanya Ki Sardapa.
"Tidak seluruhnya benar," jawab orang tua itu, "yang
benar bahwa Ki Sardapa memang bukan anak perempuan itu.
Namun sekarang perempuan itu m emang dapat m engatakan
apa saja tentang ibumu yang sebenarnya dan tentang Ki Bekel
tua, karena kedua-duanya sudah tidak ada."
"Jadi bagaimana y ang sebenarnya tentang ibuku dan
ay ahku itu?" bertanya Ki Sardapa.
"Ki Sardapa," berkata orang tua itu, "pada satu saat,
perempuan yang kau anggap sebagai ibumu itu, telah
melakukan satu kesalahan y ang besar. Ia telah m eninggalkan
ay ahmu karena di dalam hatinya telah hadir laki -laki lain.
Ayahmu memang seorang y ang sabar. Ia tidak berbuat sesuatu
terhadap laki -laki y ang telah membawa perempuan y ang telah
menjadi isteriny a itu pergi. Bahkan perempuan itu telah
mendapatkan seorang anak daripadanya, kakakmu, Ki Bekel
yang sekarang ditahan oleh Ki Buyut karena tingkah lakunya
itu. Pada saat yang demikian itulah hadir seorang perempuan
lain di rumah Ki Bekel tua. Seorang y ang lembut dan keibuan.
Aku tidak memujinya karena disini ada Ki Sardapa. Karena
perempuan itu adalah ibu Ki Sardapa. Namun, sebagaimana
dikatakan oleh perempuan yang kau anggap ibu itu, ibu Ki
Sardapa itu m eninggal di saat kau dilahirkan." orang tua itu
berhenti sejenak, lalu "Dalam pada itu, ternyata hubungan
perempuan yang kau anggap ibumu dengan laki -laki yang
memisahkannya dengan Ki Bekel itu menjadi retak. Dengan
menangis-nangis, perempuan itu datang kembali kepada Ki
Bekel. Mohon maaf, dan mohon untuk dapat diterima kembali
disisiny a. Ternyata Ki Bekel memang seorang yang berjiwa
besar. Perempuan itu diterimanya, namun dengan syarat,
bahwa ia harus memeliharamu sebagai anaknya sendiri."
"Jadi ibuku y ang sebenarnya itu bukan seorang
perempuan liar seperti y ang dikatakannya?" bertanya Ki
Sardapa. "Sepengetahuanku tidak," jawab orang tua itu, "menurut
pendapatku, justru orang y ang kau anggap ibumu itulah yang
pantas disebut sebagai perempuan liar."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa
yang sebenarnya terjadi pada perempuan yang dikatakan
ibunya itu. Tetapi yang ternyata tidak lebih dari ibu tirinya.
Ternyata bahwa ibu tirinya itu merasa tersinggung
karena anaknya laki -laki y ang sebenarnya telah ditangkap dan
kesempatan berikutnya akan diberikan kepada anak tirinya.
"Kakek," berkata Ki Sardapa kemudian, "aku kira kau
mengerti apa y ang telah terjadi atas diriku. Orang y ang aku
anggap ibuku itu telah mengumpatku sebagai seorang yang
tidak tahu diri. Bahkan menganggap akulah sumber dari
bencana yang menimpa kakang Bekel. Padahal, kakang Bekel
itu aku anggap sebagai kakakku sendiri. Aku memang tidak
tahu siapa aku sebenarnya sehingga aku memang mengira
bahwa ia adalah benar-benar kakakku seayah dan seibu."
" Ia memang kakakmu," berkata orang tua itu.
"Ya. Ia baik terhadapku. Karena itu, kenapa aku
mengkhianatinya sebagaimana dituduhkan oleh orang yang
aku anggap ibuku itu" Sebenarnya aku menjadi amat
tersinggung atas tuduhan itu," berkata Ki Sardapa.
"Lalu apa y ang dimaui ibu tirimu itu?" bertanya orang
tua itu. "Aku dimintanya untuk membebaskan kakang Bekel
yang ditahan oleh Ki Buyut. Dengan atau tidak dengan
kekerasan," jawab Ki Sardapa.
"Membebaskan Ki Bekel," desis orang tua itu,
"bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan. Ki Buyut sudah
mengetahui apa yang dilakukan oleh Ki Bekel. Bahkan hampir
semua orang sudah tahu apa y ang telah terjadi. Ditambah oleh
pengakuan Ki Bekel sendiri. Jika Ki Sardapa harus
mempergunakan kekerasan, dari mana Ki Sardapa akan
mendapat kekuatan untuk itu" Ki Sardapa tidak akan dapat
mempergunakan pengaruh Ki Sardapa y ang ada sekarang
untuk kepentingan itu, justru pada saat kepercayaan Ki Buyut
dilimpahkan kepada Ki Bekel."
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti. Tetapi dengan demikian, maka orang yang aku
anggap ibuku itu akan tetap m enuduh aku, bahwa aku telah
berkhianat." "Apa pedulimu," bertanya orang tua itu, "perempuan itu
bukan ibumu. Ia justru seorang perempuan yang tidak setia
dan kini ia telah dicengkam oleh kedengkian terhadapmu.
Sebaiknya kau t idak usah m enghiraukannya. Hari wisudamu
sudah menjadi semakin dekat."
Ki Sardapa termangu-mangu. Sementara itu orang tua
itu berkata selanjutnya, "jangan hiraukan kata-katanya,
tuduhannya dan barangkali sindiran-sindirannya. Kau tidak
bersalah. Yakinlah. Juga bukan karena kemauanmu sendiri
kau diangkat menggantikan kedudukan kakakmu y ang licik
dan curang itu." Ki Sardapa mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata, "Bagaimanapun juga perempuan itu pernah merawat
aku." "Tetapi kau tahu, bahwa kau tidak diperlakukan sama
sebagaimana kau memperlakukan Ki Bekel. Aku tahu pasti itu.
Karena itu, maka sejak kecil kau lekat padaku, justru karena
aku tahu siapakah kau sebenarnya," berkata orang tua itu.
Tetapi kemudian ia pun berkata, "Ki Sardapa. Bukan
maksudku untuk mendorong Ki Sardapa agar membalas
dendam. Tetapi aku hanya menasehatkan, agar Ki Sardapa
tidak menghiraukan permintaan itu dan melupakannya saja."
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
akan berdiam diri saja sehubungan dengan permintaan ibu
tiriku itu." "Nah, mudah-mudahan ibu tirimu itu akan m enyadari
kelak, bahwa tidak sewajarnya ia minta agar kau m elepaskan
kakakmu. Apalagi jika kemudian ternyata kau tidak
mendendamnya. Setelah kau kelak benar-benar diangkat
menjadi seorang Bekel, m aka kau perlakukan perempuan itu
dengan baik, sebagaimana kau memperlakukan ibumu
sendiri," berkata orang tua itu.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian telah meninggalkan rumah orang tua itu sambil
berkata, "Aku akan mencobanya."
Meskipun terasa kegelisahan di hati Ki Sardapa, namun
ia benar-benar berusaha untuk menghindari pertemuan
dengan ibu tirinya itu. Tetapi ternyata bahwa Ki Sardapa tidak lepas dari
kejaran ibu tirinya itu. Ketika Ki Sardapa sedang berada di
serambi belakang, tiba-tiba saja ibu tirinya telah muncul dari
balik pintu. "Kenapa kau m asih diam saja Sardapa?" bertanya ibu
tirinya. "Apa yang harus aku lakukan?" bertanya Sardapa pula.
"Sudah aku katakan. Bebaskan kakakmu," berkata ibu
tirinya itu. "Bagaimana hal itu dapat aku lakukan" Ia berada di


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah Ki Buyut. Dalam bilik yang dijaga ketat. Sementara
para pengawal siap digerakkan jika terjadi sesuatu. Nah, apa
yang dapat aku lakukan untuk membebaskan kakang Bekel,"
desis Ki Sardapa. "Jika demikian maka aku menjadi pasti," jawab ibu
tirinya, "kaulah y ang telah membuat keonaran di padukuhan
ini sekedar didorong oleh perasaan dengki. Kaulah yang telah
memfitnah dan bahkan kemudian menjerumuskan kakakmu
ke dalam keadaan y ang sangat buruk. Kedudukan lepas,
namanya tercemar. Sementara kau m enemukan kesempatan
untuk menggantikannya."
"Jangan sebut-sebut lagi. Aku m enjadi muak," tiba -tiba
sa ja Ki Sardapa berkata lantang.
"Oo, jadi kau berani membentakku sekarang he" Setelah
kau dicalonkan menjadi seorang Bekel, maka kau merasa
dirimu berhak membentak aku seperti itu?" perempuan itu
pun hampir berteriak. "Maafkan aku," berkata Ki Sardapa, "tetapi jika aku
selalu dikejar-kejar oleh tuduhan-tuduhan seperti itu, m aka
aku akan dapat m enjadi gila atau aku dapat berbuat di luar
kesadaranku." Perempuan itu memandang Ki Sardapa dengan tatapan
mata yang tajam. Seakan-akan dari sor ot matanya memancar
kebenciannya y ang tidak terbatas.
Dengan suara yang serak karena getaran perasaan y ang
bergejolak ia berkata, "He anak tidak tahu diri. Kau kira aku
ini siapa he" Aku adalah perempuan yang selama ini kau sebut
sebagai ibumu, meskipun aku bukan ibumu. Aku pelihara kau
seperti anakku, m eskipun kau anak seorang perempuan liar
yang justru telah menyakiti hatiku. Dan sekarang, setelah kau
fitnah kakakmu, maka kau bentak-bentak aku dan bahkan
tidak mustahil, bahwa sebentar lagi aku tentu akan kau
singkirkan." "Siapa y ang mengatakannya demikian," potong Ki
Sardapa, "seharusnya ibu tidak terlalu berprasangka."
"Aku bukan ibumu," bentak perempuan itu lagi.
"Jadi aku harus memanggil bagaimana?" bertanya Ki
Sardapa, "bibi, atau Ny ai Bekel atau apa?"
"Aku tidak peduli. Tetapi jangan panggil ibu," geram
perempuan itu. "Baiklah. Siapapun kau, tetapi kau sudah cukup
membuat jantungku parah. Aku tidak bermaksud buruk. Aku
merasa bahwa aku lebih baik diam dan menunggu
pelaksanaan sikap Ki Buyut. Tetapi kau seakan-akan selalu
mengejarku, memerintahkan aku melakukan hal -hal diluar
kemampuanku. Sementara itu kau m enuduh aku m elakukan
sesuatu yang tidak pernah aku lakukan," berkata Ki Sardapa
yang hampir kehabisan kesabaran.
"Aku tidak m empunyai pilihan lain. Kau pun tidak. Kau
harus melakukan perintahku untuk membebaskan kakakmu.
Atau aku akan melakukannya sendiri dengan caraku. Karena
kau tidak lagi mau m enurut perintahku, maka kau pun tidak
akan berarti apa -apa lagi bagiku," berkata perempuan itu
dengan garangnya. "Jadi kau mau apa?" bertanya Ki Sardapa.
"Jangan mengira aku tidak mempunyai kekuatan cukup
untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keinginanku." geram
perempuan itu, "Kau akan meny esal, bahwa kau telah
berkhianat. Kau telah memfitnah, dan orang-orang padukuhan
ini telah merampok harta kekayaan kakakmu dengan kasar."
"Mereka tidak merampok," jawab Ki Sardapa, "tetapi
sudah m enjadi keputusan bersama, bahwa harta benda yang
didapat baik seluruhnya atau pun sebagai modal yang
dikembangkan dari hasil pembunuhan y ang licik itu, diam bil
untuk kepentingan padukuhan sebagaimana sudah disetujui
oleh Kiai Patah, orang y ang sebenarnya paling berhak atas
harta benda itu." "Kau kira aku dapat mempercayai igauan itu" Meskipun
kau akan berkicau sehari-semalam, mengulang-ulang
keterangan itu sampai bibirmu bengkak, aku tidak akan
percaya," berkata perempuan itu dengan nada tajam.
Ki Sardapa benar-benar telah kehabisan kesabaran.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap perempuan
yang pernah dianggapnya sebagai ibunya itu, selain berteriak,
"Cukup. Aku tidak mau mendengarnya lagi."
Tetapi perempuan itu pun tidak mau diam. Katanya,
"Jika kau tidak mau melakukan y ang aku katakan, maka
sebelum purnama naik, sebagaimana saat yang kau tunggu
karena hasil pengkhianatanmu y ang licik itu, maka aku akan
kehilangan orang y ang pernah aku anggap sebagai anakku
sendiri." Wajah Ki Sardapa menjadi merah. Namun perempuan
itulah y ang kemudian m eninggalkannya dengan kesan yang
mendebarkan. Ki Sardapa menyadari, bahwa itu adalah satu ancaman.
Tetapi ia tidak boleh melangkah surut karena ancaman itu.
Namun demikian, Ki Sardapa ternyata memandang
perlu untuk berbicara dengan orang yang mendapat kuasa dari
Ki Buyut untuk sementara memimpin padukuhan itu. Kiai
Patah. Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mendengarkan pengaduan Ki Sardapa dengan sungguhsungguh.
Bahkan Kiai Patah pun merasa heran, bahwa
ternyata Ki Sardapa bukannya saudara seay ah dan seibu
dengan Ki Bekel y ang telah melakukan kesalahan sehingga
ditahan di rumah Ki Buyut.
"Bagaimana pendapatmu?" bertanya Kiai Patah, "apakah
kau menganggap bahwa ibu tirimu itu bersungguh-sungguh
mengancammu?" "Menurut pendapatku demikian Kiai," jawab Ki Sardapa,
"menilik sorot matanya y ang bagaikan m enyalakan api, ibu
bersungguh-sungguh. Dengan demikian maka kau memang
merasa gelisah. Bukannya aku menjadi ketakutan. Tetapi
apakah aku benar-benar harus melawan orang yang pernah
memelihara aku sebagai anaknya bagaimanapun juga aku
dibedakan dengan kakang Bekel sejak masa kanak-kanakku."
"Tetapi bukankah orang lain y ang akan diperalat untuk
memaksakan kehendaknya atasmu?" bertanya Kiai Patah.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mudah-mudahan demikian. Jika bahaya itu datang dari ibu
tiriku, tetapi dengan tangan orang lain, maka aku tidak akan
ragu-ragu menghadapinya. Tetapi jika ibu sendiri yang
melakukannya, apa y ang harus aku perbuat?"
"Bagaimana mungkin ia akan melakukannya sendiri?"
bertanya Kiai Patah. "Mungkin saja. Racun atau cara licik yang lain.
Bukankah kakang Bekel juga membunuh dengan racun," sahut
Ki Sardapa. Kiai Patah mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jika
demikian maka sebaikny a kau dan ibu tirimu tidak tinggal di
satu rumah. Kemungkinan semacam itu akan dapat
dikurangi." "Aku akan m encoba. Aku akan berada di banjar sampai
saatnya Purnama naik," berkata Kiai Patah.
Kiai Patah mengangguk-angguk. Mungkin y ang
dilakukan oleh Ki Sardapa itu bermanfaat. Jika ia sudah
terpisah dari ibu tirinya, mungkin keadaannya akan lebih baik.
Ia tidak selalu dibayangi oleh keinginan ibu tirinya y ang tidak
akan dapat dipenuhinya, namun ia pun tidak memiliki
ketabahan hati untuk menentangnya. Betapapun keny ataan
yang dihadapinya, namun perempuan itu pernah dianggapnya
sebagai ibunya sendiri. Namun demikian, Kiai Patah masih juga meragukan
keselamatan Ki Sardapa. Jika ibu tirinya benar-benar lupa diri
dan sampai hati berupaya untuk membunuh Ki Sardapa, maka
persoalannya akan menjadi rumit. Padukuhan itu akan
kehilangan satu-satunya orang y ang berdarah keturunan
orang yang memang berhak atas kedudukan itu. Jika hal itu
terjadi, maka terpaksa dicari orang dari darah keturunan lain
yang pantas untuk kedudukan itu.
Karena itu, maka Kiai Patah telah m inta Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat untuk menemani Ki Sardapa dan berada di
banjar. Menurut Kiai Patah, meskipun di banjar terdapat
anak-anak muda yang di saat-saat terakhir bersiaga, apalagi
menjelang saat-saat wisuda, tetapi jika ibu tiri Ki Sardapa
sampai hati berhubungan dengan orang-orang y ang berilmu
tinggi untuk menyingkirkan anak tirinya itu dengan penuh
kedengkian, maka keadaan Ki Sardapa memang menjadi
gawat. Dengan berbagai pesan, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat tahu pasti apa y ang harus mereka lakukan.
Ki Sardapa sendiri merasa senang sekali bahwa ia
mendapat teman y ang benar-benar m ey akinkan. Karena itu,
maka ia pun menjadi semakin mantap untuk berada di banjar
padukuhan. Ternyata sikap Ki Sardapa y ang tidak pulang lagi ke
rumahnya. membuat ibu tirinya m enjadi semakin garang. Ia
semakin y akin, bahwa anak tirinya itu sudah tidak lagi m au
menuruti perintahnya. Bahkan dengan terang-terangan telah
menentangnya. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain.
Perempuan itu benar-benar berniat untuk meny ingkirkan Ki
Sardapa. "Jika anakku t idak dapat memegang kedudukan
ay ahnya, maka anak perempuan liar itu juga tidak boleh
mendudukinya," berkata perempuan itu kepada diri sendiri.
Dengan perasaan dendam di hatinya maka perempuan
itu telah pergi menemui beberapa orang kenalannya.
Kenalannya di saat ia meninggalkan Ki Bekel tua mengikuti
seorang laki-laki yang ternyata tidak memberikan kebahagiaan
kepadanya. . Tidak disangka bahwa perempuan itu justru telah
bertemu pula dengan laki -laki itu. Tetapi sebagaimana
perempuan itu sendiri, maka laki-laki itu pun telah m enjadi
tua. "Untuk apa kau datang kemari?" bertanya laki-laki itu.
"Aku tidak berkepentingan dengan kau," jawab
perempuan itu. "Siapa y ang kau cari disini?" bertanya laki-laki itu pula.
"Aku mencari Sura," jawab perempuan itu.
"Untuk apa?" bertanya laki-laki itu.
"Aku memerlukan bantuannya," jawab ibu tiri Ki
Sardapa. Laki-laki itu termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Kau dapat minta tolong kepadaku. Tetapi setiap
pertolonganmu sekarang harus diperhitungkan."
"Kau sudah terlalu tua. Kau tidak akan dapat berbuat
apa-apa lagi," berkata perempuan itu.
"Jangan menghina aku," geram laki-laki itu.
"Aku ingin berbicara dengan Sura," perempuan itu
hampir berteriak. Ternyata bahwa orang y ang disebutnya Sura itu pun
kemudian telah muncul dari balik pintu ruang belakang.
Dengan wajah y ang tegang dipandanginya perempuan itu.
Sementara itu perempuan itu pun memandangi tubuh Sura
yang tegap kekar. Wajahnya keras seperti batu karang, sementara sorot
matanya seperti api yang menjilat-jilat.
"Kau mau apa" Bukankah kau telah bertemu dengan
laki -laki y ang kau perlukan?" bertanya orang y ang bernama
Sura itu dengan suara y ang bagaikan menggelepar.
"Aku tidak memerlukannya," berkata perempuan itu,
"aku memerlukan kau."
"Untuk apa?" bertanya Sura.
"Singkirkan anak tiriku," berkata perempuan itu, "ia
akan diangkat menjadi Bekel menggantikan kakaknya."
"Kenapa harus disingkirkan" Bukankah itu wajar, bahwa
ia akan menggantikan kedudukan kakaknya yang ditangkap
itu" Bukankah dengan demikian kau pun m asih akan dapat
ikut terhormat sebagai seorang ibu dari pimpinan tertinggi
padukuhan itu" Menurut pengenalanku, Sardapa itu tidak
tahu siapa kau sebenarnya. Bukankah ia menganggap kau
sebagai ibunya?" bertanya Sura.
Namun tiba -tiba laki -laki y ang pernah berhubungan
dengan isteri Ki Bekel itu menggeram, "Darimana kau ketahui
semuanya itu he" Apakah kalian juga pernah berhubungan"
Meskipun perempuan gila itu jauh lebih tua dari umurmu,
tetapi dapat saja kau dijeratnya karena perempuan itu
memang cantik. Bahkan sampai hari tuanya sekarang ini, ia
masih nampak cantik."
"Persetan," geram perempuan itu, "aku memerlukan
bantuannya." "Kau tutup saja mulutmu pemalas," geram Sura pula
kepada laki -laki itu. Lalu katanya kepada ibu tiri Sardapa,
"Apa yang harus lakukan dan apa yang dapat kau berikan
kepadaku?" "Meskipun sebagian harta benda Ki Bekel, anakku itu
telah dirampas dan disimpan di banjar, namun aku masih
mempunyai uang cukup untuk membayarmu. Bahkan jika kau
berhasil, kau dapat mengambil sendiri uang dan harta benda
yang disimpan di banjar."
Sura itu mengangguk-angguk. Katanya, "beri aku
penjelasan. Aku akan melakukannya."
"Jangan sendiri," berkata perempuan itu.
Sura mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata, "Kau mulai menghina aku."
"Jangan bodoh," berkata perempuan itu, "kau agaknya
tidak mengetahui medan y ang akan kau terjuni."
Sura termangu-mangu. Sementara itu, perempuan itu
telah m emberikan beberapa keterangan tentang anak tirinya.
Tentang pergolakan di padukuhan itu, keputusan Ki Buyut
untuk mengangkat anak tirinya dan kemudian anak tirinya
yang meninggalkan rumahnya.
"Aku tidak dapat meracunnya," berkata perempuan itu.
"Satu tindakan bodoh. Jika kau meracunnya berarti kau
akan ditangkap oleh Ki Buyut karena kau telah m embunuh
anak tirimu itu," berkata Sura.
"Jika aku dapat melakukannya, aku tidak peduli. Bahkan
seandainya aku digantung sekalipun. Jika aku melihat anak itu
mati, maka aku tidak akan m enyesal lagi hukuman apa pun


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang harus aku terima," berkata perempuan itu.
Sura mengerutkan k eningnya. Namun ia pun kemudian
tertawa. Katanya, "Kau memang iblis betina. Anakmu
memiliki sifat-sifatmu, sehingga ia sampai hati membunuh
sekelompok orang yang seharusnya dilindunginya."
"Tutup mulutmu," bentak perempuan itu, "lakukan
permintaanku. Kau tidak perlu menilai perbuatan anakku dan
perbuatanku sendiri."
Sura tertawa semakin keras. Kemudian ia pun b ertanya
kepada laki -laki yang pernah berhubungan dengan perempuan
itu, "Agaknya sifat iblisny a itulah y ang telah menarik
perhatianmu, pemalas."
"Sifat iblisnya dan ia pun ternyata telah dilengkapi
dengan paras y ang cantik," jawab laki-laki itu.
"Persetan kalian," geram perempuan itu. Lalu, "Sardapa
harus mati sebelum saat purnama naik. Ia harus mati sebelum
mendapatkan kedudukannya. Tetapi ingat, jangan lakukan
sendiri. Di banjar, anak-anak muda sedang berjaga -jaga."
"Kau tahu bahwa aku memiliki ilmu sirep?" bertanya
Sura. "Tetapi ada orang y ang mampu melepaskan diri dari
pengaruh sirep," jawab perempuan itu.
"Baiklah. Kau tidak usah menilai aku pula. Apa pun y ang
aku lakukan, y ang penting adalah Sardapa mati," berkata Sura
itu pula. Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian melangkah pergi sambil berkata, "Upahmu dapat
kau ambil setelah Sardapa mati. Kau dapat membunuhnya di
banjar dengan mengandalkan ilmu sirepmu. Tetapi kau dapat
membunuhnya di jalan-jalan jika kau jumpai anak itu. Tetapi
aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan. Aku hanya mau
anak itu mati." Perempuan itu tidak menunggu jawaban Sura. Tetapi
dengan tergesa-gesa ia telah meninggalkan tempat itu.
Tidak ada orang y ang memperhatikan, apa yang telah
dilakukan oleh ibu tiri Ki Sardapa itu, sehingga tidak seorang
pun y ang menaruh curiga kepadanya, selain Ki Sardapa
sendiri. Sepeninggal ibu tiri Ki Sardapa itu, maka Sura pun telah
bersiap-siap. Laki-laki y ang pernah m embawa perempuan itu
bersamanya telah menawarkan diri untuk membantunya jika
Sura memerlukannya. "Aku memang memerlukan seorang kawan," berkata
Sura, "tetapi yang bukan seorang pemalas."
"Kau tahu bahwa aku berilmu sehingga Bekel itu tidak
berani berbuat apa-apa ketika isteriny a aku bawa pergi?"
bertanya laki-laki itu. "Aku tahu bahwa kau berilmu. Tetapi jika kau lakukan
tugas ini sambil tidur, maka aku kira kita tidak akan berhasil.
Kau sudah mendengar sendiri keterangan perempuan itu
tentang medan y ang harus kita hadapi," berkata Sura, "karena
itu kita harus benar-benar bersiap."
"Kau memang dungu. Kau kira aku dapat tidur jika
nyawaku terancam" " desis laki-laki yang disebutnya pemalas
itu. "Baiklah. Tetapi aku masih akan membawa seorang
kawan lagi yang dapat kita percaya," berkata Sura.
"Terserah kepadamu. Tetapi jika upah yang kau terima
tidak sepadan dengan tenaga dan bahaya yang kita alami,
maka kau jangan mengumpat-umpat," berkata laki-laki itu.
"Tetapi bagiku, lebih baik menerima upah sedikit tetapi
tetap hidup dari pada mengharap banyak tetapi mati," berkata
Sura. Laki-laki itu tidak menjawab. Memang baginya,
segalanya terserah kepada Sura yang memiliki ilmu yang
tinggi. Bahkan ia memiliki pula ilmu sirep.
Bagi Sura, waktu y ang tersedia memang tidak begitu
banyak. Ia harus m embunuh Sardapa sebelum purnama naik.
Sehingga karena itu, maka ia harus melakukannya secepatnya.
Hari itu juga Sura telah memanggil seorang kawannya
lagi. Bertiga mereka telah membicarakan cara yang paling baik
untuk membunuh. "Kita harus mengamati, setidak-tidaknya mengetahui
serba sedikit tentang keadaan banjar padukuhan itu. Letaknya
dan barangkali jumlah orang y ang ada di sana," berkata kawan
Sura. "Besok kita akan melakukannya. Tetapi tidak perlu k ita
bertiga," berkata Sura.
"Aku dapat pergi sendiri," berkata kawan Sura itu.
Sebenarnyalah, maka di hari berikutnya, kawan Sura itupun
telah berada di padukuhan yang sedang mempersiapkan
penetapan pimpinan padukuhan. Di sebuah kedai makan,
kawan Sura itu mendapat beberapa keterangan tentang banjar
padukuhan. Dengan cerdik, orang itu telah memancing agar
pemilik kedai itu mau mengatakan serba sedikit yang
diketahuinya tentang banjar itu.
"Jadi setiap malam ada sekelompok anak muda y ang
bertugas menjaga banjar itu?" bertanya orang itu.
Tanpa prasangka apa pun juga pemilik kedai itu
mengangguk sambil menjawab, "Ya. Sekitar sepuluh orang."
Kawan Sura itu m engangguk-angguk. Baginya dan bagi
Sura sepuluh orang itu tidak banyak berarti. Tetapi orang itu
menyadari bahwa yang harus diperhitungkan bukan yang
sepuluh orang itu. Tetapi jika diantara sepuluh orang itu
kemudian m embuny ikan isy arat dengan kentongan, maka itu
akan berarti bahwa mereka harus menghadapi seluruh laki -
laki yang ada di padukuhan itu.
Tetapi orang itu pun tahu, bahwa Sura memiliki
kemampuan untuk membius orang-orang itu dengan ilmu
sirepny a. Dengan demikian maka tugas m ereka akan menjadi
lebih ringan. Jika ada satu dua orang y ang terlampaui, termasuk Ki
Sardapa, maka adalah tugas mereka untuk menyelesaikan,
karena memang Ki Sardapa itu adalah sasaran utamanya.
Namun dalam pada itu, orang itu pun tidak dapat
mengabaikan kekuatan yang ada di padukuhan itu. Menurut
pendengarannya sebagai mana juga disampaikan oleh ibu tiri
Ki Sardapa, bahwa di padukuhan itu ada seorang yang
ternyata memiliki ilmu y ang tinggi. Orang y ang sebelumnya
dianggap tidak berarti apa -apa. Sementara itu telah datang
pula dua orang pengembara yang ternyata ikut menentukan
keadaan. Meskipun orang itu telah mendapat beberapa
keterangan, namun mereka cukup mempunyai keberanian
untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya serta dua
orang kawannya. Menurut perhitungan mereka bertiga, maka
jika ilmu sirep Sura mampu menguasai anak-anak muda yang
ada di banjar, maka tugas mereka akan menjadi sedikit ringan.
Namun demikian, orang itu akan m emberikan pendapatnya,
bahwa mereka memerlukan orang lebih banyak untuk tugas
itu. Apalagi ketika diketahuinya kemudian, bahwa di banjar itu
juga disimpan harta benda berharga y ang dipungut dari orangorang
y ang dianggap bersalah. "Jadi semua barang-barang berharga dan uang telah
dirampas" " orang itu menegaskan.
"Tidak semua," jawab pemilik kedai itu, "tetapi sebagian
besar." Orang itu mengangguk-angguk. Namun untuk
menghilangkan kecurigaan sama sekali, m aka ia masih duduk
beberapa lama di kedai itu sambil berbicara tentang hal-hal
yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan banjar itu.
Demikianlah, maka orang itu pun kemudian telah
menyampaikan hasil pengamatannya kepada Sura dan laki -
laki yang disebutnya pemalas. Sekaligus orang itu
berpendapat, bahwa untuk menguasai banjar dalam
keseluruhan mereka memerlukan kawan lebih banyak.
"Kita jangan bergeser dari sasaran," berkata Sura, "yang
penting adalah membunuh Ki Sardapa."
"Untuk apa kita membunuh?" bertanya kawannya.
"Kita diupah," jawab Sura.
"Baik. Kita akan mendapat uang karenanya. Tetapi jika
uang itu terdapat lebih banyak di banjar, bagaimana
pendapatmu?" Sura justru menggeretakkan giginya. Katanya, "jahanam
kau. Betapapun jahatnya kita, tetapi kita mempunyai harga
diri y ang cukup. Aku sudah m enyanggupi untuk membunuh
Sardapa. Aku tidak memikirkan yang lain."
(Bersambung ke Jilid 58).
Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Dino
--ooo0dw0ooo- Jilid 058 TETAPI laki -laki pemalas itu tiba-tiba saja tertawa.
Katanya, " Jangan berpura-pura. Bukankah barang-barang
berharga itu penting juga bagi kita" Apa artinya harga diri itu
jika kita sudah menjual diri untuk membunuh sekedar
mendapat upah" Nah, aku akan mengambil jalan tengah.
Ju stru karena Ki Sardapa ada di banjar. Kita bunuh Sardapa
dan setelah kita selesai dengan kesanggupan itu, kita berbuat
menurut keinginan kita sendiri. Merampok banjar itu. Nah,
apa katamu?" Sura termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Kita
harus memisahkannya. Membunuh Sardapa dan merampok
banjar." "Bukankah perempuan itu juga mengatakan, jika kau
ingin mengambil barang-barang berharga di banjar, ambillah
sendiri," berkata laki-laki y ang disebut pemalas itu.
Sura menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Baiklah. Kita akan merampok banjar itu setelah sasaran
utama kita dapat kita selesaikan. Tetapi dengan demikian kita
harus sadar, bahwa kita akan melawan seisi padukuhan itu."
"Karena itu, maka jumlah kawan kita harus ditambah,"
berkata kawan Sura itu. Akhirnya Sura mengambil keputusan, bahwa yang akan
pergi ke banjar itu ditambah jumlah y ang tidak tanggungtanggung.
Dua kali lipat dari rencana semula. Enam orang
termasuk Sura sendiri. Seperti pesan ibu tiri Sardapa, maka Sardapa harus
dibunuh sebelum purnama naik. Dengan demikian maka
waktu mereka memang terlalu sempit, sehingga m ereka pun
telah merencanakan bahwa di malam berikutnya mereka akan
pergi ke banjar padukuhan itu untuk melakukan tugas mereka.
Dengan demikian, maka m ereka pun telah melakukan
persiapan sebaik-baiknya. Di siang hari Sura menganjurkan
agar kawan-kawannya beristirahat secukupnya, agar di malam
harinya jika diperlukan, mereka mempunyai tenaga yang
segar. Sementara Ki Sura sendiri hari itu telah berada di
sanggarnya. Ia telah m empersiapkan ilmunya sebaik-baiknya,
terutama ilmu sirepnya y ang akan dapat melumpuhkan
perlawanan lawan sebelum mulai turun ke medan.
Baru menjelang sore hari Sura sempat beristirahat.
Demikian ia keluar dari sanggar, maka ia pun telah
membenahi diri. Kemudian setelah makan dan minum
minuman hangat, ia pun meny empatkan diri untuk tidur
barang sejenak. Berbeda dengan Sura, maka kawan-kawannya tidak
perlu pergi ke sanggar. Mereka cukup beristirahat saja sebaikbaiknya
sebagaimana dianjurkan oleh Sura. Bahkan makan
dan minum sepuas-puasny a menjelang tugas yang berat.
Seorang y ang bertubuh gemuk telah mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia makan sebanyakbanyaknya,
sambil berkata, "Jika aku harus bertempur
semalam suntuk, maka aku tidak boleh menjadi gemetar
karena lapar." Kawannya yang berjambang lebat menyahut, "Makanlah
sekeny ang-keny angnya. Mungkin kau tidak akan pernah
sempat makan lagi." "Ah jangan begitu," berkata yang gemuk, "aku masih
belum ingin mati." "Tugas kita bercanda dengan maut," jawab y ang
berjambang. "Tetapi bukannya tidak memakai perhitungan sama
sekali," jawab y ang bertubuh gemuk. Lalu katanya, "Sura tentu
sudah mempunyai perhitungan y ang masak. Ia akan membuat
semua orang tertidur. Namun jika ada juga y ang luput dari
pengaruh sirepny a, y ang tentu termasuk orang berilmu, maka
tugas kita membunuhnya di samping Sardapa sendiri."
Yang berjambang tersenyum. Katanya, "jangan cemas.
Kita akan meny elesaikan tugas kita dengan sebaik-baiknya."
Yang gemuk itu t ermangu-mangu. Namun ia pun tidak
menjawab lagi. Demikianlah ketika matahari t enggelam, keenam orang
yang disiapkan Sura untuk meny elesaikan kesanggupannya
kepada ibu tiri Sardapa itu pun telah berbenah diri. Mereka
telah mempersiapkan senjata mereka sebaik-baiknya. Orang
yang bertubuh gemuk itu membawa sepasang senjata di
lambungnya. Pedang di lambung kiri dan sebilah pisau belati di
lambung kanan. Sedangkan orang yang berjambang itu
membawa sebatang tombak pendek y ang ujungnya berkait
seperti duri daun pandan. Sura sendiri bersenjata pedang pula.
Sedangkan laki -laki y ang pernah merampas ibu tiri Sardapa
dari sisi suaminya itu bersenjata seutas rantai baja yang di
ujungnya terdapat bandul besi sebesar genggaman tangan dan
bergerigi runcing di permukaannya.
Dengan penuh key akinan mereka mulai bergerak
menuju ke padukuhan y ang akan menjadi sasaran. Namun
sebagaimana dikatakan oleh Sura, bahwa sasaran utama
mereka adalah membunuh Ki Sardapa. Namun bahwa di
banjar terdapat harta benda yang berharga, agaknya menjadi
tujuan mereka pula.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika mereka berenam m endekati padukuhan m ereka
tidak segera berusaha masuk. Mereka masih harus m enunggu
sampai m alam m enjadi semakin dalam. Jika dingin m alam
semakin mencengkam, maka Sura akan melepaskan ilmu
sirepny a, sehingga orang-orang di padukuhan itu, terutama
yang berada di banjar, akan tertidur karenanya.
Yang beberapa saat itu terasa lama sekali. Waktu seakanakan
tidak bergerak sama sekali, sehingga beberap orang dari
mereka telah menjadi gelisah karenanya.
Namun akhirnya Sura pun m emberikan isy arat kepada
mereka untuk memasuki padukuhan itu. Sudah tentu tidak
melalui regol di jalan induk. Tetapi mereka akan meloncati
dinding padukuhan y ang tidak dalam pengawasan
sepenuhnya. Dengan sangat berhati-hati m ereka berusaha mendekati
banjar. Mereka meloncat-loncat dari satu halaman ke halaman
yang lain, sementara para penghuninya telah tertidur ny enyak.
Namun jika mereka sempat melihat gardu di ujung
lor ong maka m ereka melihat anak-anak muda yang meronda
masih duduk sambil berkelakar.
Tetapi mereka tidak ingin mengusik anak-anak muda
itu. Namun Sura berdesis perlahan, "Sebentar lagi mereka
akan tertidur ny enyak."
Tetapi seorang kawannya sempat bertanya, "Sejauh
manakah kemampuan jangkauan ilmu sirepmu?"
"Kekuatan sirepku akan meliputi seluruh padukuhan ini.
Meskipun yang paling tajam adalah sasaran utamanya. Namun
orang-orang y ang tersebar di padukuhan ini akan tertidur
semakin lelap. Bahkan seandainya mereka terbangun juga,
mereka tidak akan tahu apa y ang terjadi di banjar," jawab
Sura. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka
memang y akin bahwa Sura akan dapat membius seisi
padukuhan itu dengan ilmu sirepnya. Beberapa kali mereka
telah bekerja bersama dalam tugas-tugas seperti itu. Dan
setiap kali Sura selalu membuktikan bahwa tidak seorang pun
yang mampu melawan ilmu sirepny a. Selain udara y ang dingin
yang mendorong seseorang pergi ke pembaringan, maka
pengaruh sirepnya akan mempercepat keadaan, sehingga
mereka akan tertidur semakin ny enyak.
Dengan tanpa menimbulkan keributan, maka keenam
orang itu pun segera berada di belakang banjar padukuhan.
Dengan kemampuannya y ang tinggi. Sura telah meloncat
dinding dan melihat keadaan di dalam banjar.
Seperti y ang dikatakan oleh kawannya y ang pernah
mengamati keadaan banjar itu, ada beberapa orang yang
berjaga-jaga. Dan Sura pun menduga, bahwa diantara mereka
tentu terdapat Ki Sardapa.
Dari kegelapan Sura memang m elihat anak-anak muda
yang duduk di pendapa. Sementara itu dua orang berada di
pintu gerbang. Namun di serambi, masih ada tiga empat orang
anak muda yang sedang tidur. Agaknya mereka akan berganti
berjaga-jaga lewat tengah malam.
Dalam pada itu Sura ternyata telah m elihat, bahwa Ki
Sardapa memang duduk diantara anak-anak muda yang
berada di pendapa banjar.
"Anak-anak yang dungu," berkata Sura di dalam hatinya,
"seandainya seorang pencuri yang biasanya sekedar m encuri
ay am pun akan dapat m emasuki banjar dari belakang tanpa
diketahui oleh mereka y ang sedang berjaga-jaga."
Namun Sura pun tidak tergesa -gesa. Ia justru menduga
pula bahwa di tempat peny impanan harta benda berharga itu
ada anak muda yang secara khusus mengamatinya. Mungkin
hanya seorang y ang bertugas bergantian. Tetapi mungkin juga
lebih. Ju stru karena itu, maka cara y ang terbaik adalah
memaksa mereka untuk tidur ny enyak.
Dengan demikian maka tidak ada cara lain yang akan
ditempuh oleh Sura selain mempergunakan ilmu sirepnya.
Menurut perhitungannya, maka orang-orang y ang ada di
banjar itu dan sekitarnya tentu akan terpengaruh oleh ilmunya
itu, sehingga mereka akan tertidur ny enyak. Sementara itu,
meskipun semakin jauh dari pusat sa sarannya ilmunya
menjadi semakin lemah, tetapi bagi mereka y ang memang
sudah mengantuk, akan menjadi semakin kehilangan
kesadaran diri sehingga mereka benar-benar akan tertidur
ny enyak sekali. Apalagi mereka y ang memang sudah tidur
menjelang tengah malam. Maka mereka akan menjadi seakanakan
pingsan. Meskipun seandainya Gunung Berapi meledak
ditelinganya, mereka tidak akan terbangun karenanya.
Demikianlah, maka ia pun telah memberi isy arat kepada
orang-orangnya untuk bersiap-siap.
Kelima orang kawan Sura itu pun bergeser semakin
dekat. Sementara itu Sura pun berkata, "Amati mereka. Aku
akan mulai mengetrapkan ilmu sirepku. Dua orang bersamaku
dan lindungi aku jika sesuatu terjadi. Namun kalian harus
mengetrapkan sy arat seperti yang sudah aku katakan, agar
kalian tidak justru ikut tertidur. Jika semuanya sudah tertidur
ny enyak, maka kita akan segera bertindak."
Kawan-kawan Sura itu pun mengangguk. Tiga orang
diantara mereka telah bergeser mendekati pendapa. Dengan
sangat berhati-hati mereka berusaha untuk dapat melihat
dengan jelas, akibat y ang akan timbul setelah Sura
mengetrapkan ilmunya. Demikianlah, maka Sura pun telah duduk di dalam
kegelapan. Tangannya pun kemudian bersilang di dadanya.
Dengan memusatkan nalar budiny a, maka Sura mulai
mengetrapkan ilmu sirepny a.
Getaran yang meny ebarkan perasaan kantuk telah mulai
melingkar -lingkar dan menyusup ke lingkungan di sekitarnya.
Semakin lama getaran itu menjadi semakin meluas.
Perlahan-lahan getaran itu telah m enyusup pula ke pendapa
ban jar padukuhan sedangkan putaran yang lain telah
menyentuh mereka y ang bertugas di reg ol halaman.
Perasaan yang aneh telah mencengkam anak-anak muda
yang berada di banjar itu. Mereka y ang duduk di pendapa,
telah kehilangan pengamatan atas diri m ereka sendiri, ketika
satu persatu mereka telah terbaring.
Ki Sardapa juga merasa dicengkam oleh perasaan
kantuk. Ia masih sempat berpikir, bahwa jika semua orang
tertidur, maka banjar itu berada dalam bahaya.
Karena itu, Ki Sardapa memang berniat untuk berbuat
sesuatu. Ia berusaha untuk m embangunkan anak muda yang
terbaring di sisiny a. Namun meskipun anak muda itu telah
diguncangnya, namun ternyata anak itu tidak juga terbangun.
Ki Sardapa m enjadi semakin cemas. Namun perasaan
kantuk itu telah m enerkamnya juga. Matanya bagaikan tidak
dapat dibukanya lagi. Pelupuknya serasa telah-melekat.
Ketika ia menghentakkan diri, ia sempat m elihat kedua
orang y ang bertugas di regol pun telah terbaring di muka pintu
regol yang tertutup. "Gila," geram Sardapa.
Namun ternyata bahwa betapa ia berusaha, namun ia
tidak mampu bertahan terhadap ilmu sirep Sura yang sangat
kuat. Demikian pula anak-anak muda y ang berada di banjar,
di regol, bahkan di gardu di luar reg ol. Ternyata bahwa
semuanya telah tertidur ny enyak.
Dalam pada itu sebagaimana diperkirakan oleh Sura, di
bilik peny impanan harta benda berharga di banjar itu yang
dikumpulkan dari orang-orang terkaya yang telah terlibat
dalam perampokan dan pembunuhan y ang licik itu, dua orang
anak muda telah berjaga-jaga. Namun ternyata mereka berdua
pun sama sekali t idak m ampu bertahan terhadap pengaruh
sirep y ang sangat tajam itu.
Dengan demikian, maka semua orang y ang berada di
banjar itu memang sudah tertidur ny enyak, kecuali seorang
anak muda y ang berada di ruang dalam.
Anak muda itu adalah Mahisa Murti. Sedangkan Mahisa
Pukat yang bersepakat untuk berjaga-jaga bergantian ju stru
telah tertidur lebih dahulu, sebelum pengaruh sirep
mencengkam banjar itu. Mahisa Murti y ang berjaga-jaga justru telah merasa
tersentuh oleh pengaruh yang asing. Ia pun telah merasa
kantuk sekali. Bahkan m atanya pun seakan-akan tidak dapat dibuka
lagi. Namun justru karena itu, maka ia pun telah menjadi
curiga. Karena itu, maka betapapun perasaan kantuk
mencengkamnya, ia telah bangkit dan berjalan ke bilik
peny impanan harta benda berharga itu. Ia pun terkejut ketika
ditemui dua orang anak muda telah tertidur mendengkur.
Dengan hati-hati Mahisa Murti pun telah menuju ke
pintu. Ia tidak menggerakkan daun pintu karena sikap hatihatinya.
Tetapi dari celah-celah dinding ia telah mengintip.
Ternyata anak-anak muda y ang berada di pendapa pun
telah tertidur ny enyak termasuk Ki Sardapa.
Sejenak Mahisa Murti termangu -mangu. Tetapi ketika
matanya kemudian terpejam dan kesadarannya hilang sesaat,
ia -pun justru sadar, bahwa agaknya telah terjadi sesuatu.
Bahkan ia pun langsung teringat akan ilmu y ang mampu
mempengaruhi ketahanan kesadaran seseorang. Sirep.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun telah
memusatkan nalar budiny a pula. Dikerahkannya daya
tahannya untuk mengatasi perasaan kantuk yang luar biasa.
Perlahan-lahan Mahisa Murti dapat menguasai dirinya.
Namun ia harus membangunkan Mahisa Pukat y ang
memang sudah tertidur sejak sebelum pengaruh itu
mencengkam banjar. Sementara itu, Mahisa Murti pun sadar, bahwa ia harus
bekerja cepat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun segera duduk di
sebelah Mahisa Pukat terbaring untuk membangunkannya
dengan cepat. Perlahan-lahan Mahisa Murti telah meletakkan
tangannya di ujung kaki Mahisa Pukat. Perlahan-lahan dan
dengan hati-hati sekali ia telah menyalurkan tenaga dalamnya
untuk membantu Mahisa Pukat mengatasi perasaan
kantuknya y ang ditimbulkan oleh ilmu sirep lawan, karena
dalam keadaan tidur, Mahisa Pukat tidak dapat melakukannya
sendiri. Baru kemudian, Mahisa Murti telah mengguncang tubuh
Mahisa Pukat. Dengan bantuan tenaga dalam Mahisa Murti, maka
Mahisa Pukat segera terbangun. Namun ia pun dengan segera
pula merasakan kantuknya bagaikan mencengkam.
"Usahakan untuk menyadari keadaan," desis Mahisa
Murti perlahan-lahan, "kita harus mengatasi serangan sirep."
"Bukankah belum waktunya aku bangun?" bertanya
Mahisa Pukat sambil menguap.
"Memang belum. Tetapi kita telah diserang dengan ilmu
sirep," desis Mahisa Murti pula.
Kesadaran Mahisa Pukat atas bantuan tenaga dalam
Mahisa Murti sempat menangkap peringatan itu. Karena itu,
maka "a pun telah menghentakkan diri dari perasaan
kantuknya. Bahkan ia pun kemudian sempat meningkatkan
day a tahannya, sehingga perlahan-lahan perasaan kantuknya
pun dapat disingkirkannya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menyadari sepenuhnya bahwa banjar itu telah dikuasai oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan ilmu sirepnya.
"Semua orang telah tertidur," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun telah melihat
dua orang anak muda yang tertidur di bilik peny impanan harta
benda berharga itu. Ia pun telah mengintip pula anak-anak
muda di pendapa termasuk Ki Sardapa, telah tertidur pula.
"Apa yang perlu kita lakukan sekarang?" bertanya
Mahisa Pukat. "Kita amati bilik ini. Demikian mereka masuk, kita akan
menangkap mereka," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun mulai
bergeser ke bilik itu sambil berdesis, "Kita masuk saja ke
dalamnya." Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti m emberinya isy arat
untuk mendekat. "Ada apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ada dua hal yang perlu kita perhatikan," berkata
Mahisa Murti, "justru y ang utama bukan harta benda ini.
Bukankah ibu tiri Ki Sardapa itu telah mengancamnya?"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya hampir
tidak bersuara, "Kita awasi Ki Sardapa."
Mahisa Murti mengangguk-angguk pula. Sementara itu
Mahisa Pukat pun telah merangkak melekat dinding untuk
mengintip anak-anak muda y ang tertidur di pendapa,
termasuk Ki Sardapa. Sementara itu, Ki Sura telah selesai dengan kerjanya,
melepaskan ilmu sirepnya. Perlahan-lahan ia pun telah
bangkit b erdiri. Sambil memberi isy arat kepada kedua orang
kawannya yang m enjaganya, m aka ia pun m elangkah tanpa
ragu-ragu mendekati pendapa.
Tiga orang kawannya y ang lebih dahulu mendekati
pendapa untuk mengamati keadaan anak-anak muda y ang ada
di pendapa itu, telah bergabung pula bersama mereka.
"Mereka telah tertidur ny enyak," berkata salah seorang
diantara mereka. Sura m engangguk. Katanya, "Kita cari Ki Sardapa. Kita
harus cepat menyelesaikannya. Kemudian kita akan memasuki
banjar dan mencari harta benda itu."
"Kita tidak perlu bersusah payah," jawab salah seorang
diantara mereka, "tugas kita ternyata terlalu ringan."
" Itu adalah karena kemampuanku," sahut Sura.
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka pun
langsung naik ke pendapa. Mereka sudah tahu, bahwa Ki
Sardapa ada diantara mereka yang tertidur di pendapa itu.
Sejenak keenam orang itu berdiri tegak sambil
memperhatikan orang -orang yang tidur terbujur lintang.
Namun m ereka tidak memerlukan waktu y ang lama. Mereka
segera menemukan Ki Sardapa yang tidur dengan nyenyaknya.
"Kita selesaikan orang ini. Ini adalah tugas utama kita,"
berkata Sura. Orang yang bertubuh agak gemuk telah bergeser maju


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil berkata, "Aku akan meny elesaikannya."
Tetapi Sura mendor ongnya sambil berkata, "Ini adalah
tugasku. Akulah y ang akan langsung m embunuhnya dengan
tanganku." Orang bertubuh gemuk itu pun surut selangkah, ia
memang tidak akan dapat melanggar hak Sura, karena Sura
lah y ang membawanya ke banjar itu.
Perlahan-lahan Sura melangkah maju. Katanya dengan
nada berat, "Kalian adalah saksi, bahwa akulah yang telah
membunuh Sardapa y ang curang itu."
Kelima orang kawannya mengangguk-angguk. Namun
mereka pun menjadi berdebar-debar. Sudah terlalu sering
mereka m elihat orang terbunuh. Namun kali ini Sura akan
membunuh orang y ang sedang tidur ny enyak.
Namun, demikian Sura melangkah setapak lagi maju,
maka tiba-tiba saja pintu pringgitan telah terbuka. Dua orang
anak muda melangkah keluar dengan langkah yang
meyakinkan. Tatapan mata mereka y ang jernih menunjukkan,
bahwa mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmu sirep
yang dilepaskan oleh Sura.
Sura memandang keduanya dengan wajah yang tegang.
Dengan nada tinggi ia bertanya, "Siapa kalian sebenarnya"
Kami memang telah mendengar bahwa ada dua orang anak
muda yang telah membantu Kiai Patah mengacaukan
padukuhan ini atas perintah Ki Sardapa."
"Apakah kalian memerlukan keterangan tentang diri
kami?" bertanya Mahisa Murti.
Sura memandang Mahisa Murti dengan tajamnya.
Namun ia pun melihat kesan y ang mendebarkan tentang anakanak
muda itu. Keduanya ternyata memiliki kepercayaan yang
sangat besar terhadap diri sendiri. Dua orang anak muda itu
sama sekali tidak menjadi gentar melihat mereka berenam.
Karena itu Sura pun harus berhati-hati menghadapi
kedua anak muda itu. Namun bagaimanapun juga, mereka
berenam adalah orang-orang yang berilmu sehingga Sura
yakin bahwa mereka akan dapat menguasai kedua orang anak
muda itu. Karena itu, m aka Sura pun kemudian berkata, "Anakanak
muda. Sebentar lagi kalian akan mati. Karena itu,
sebaiknya kalian meny ebut nama kalian, agar setelah kalian
mati, nama kalian akan dapat diingat oleh orang-orang
padukuhan ini." "Orang-orang padukuhan ini sudah tahu siapakah aku.
Jika kau belum, maka kau tentu bukan orang padukuhan ini,"
berkata Mahisa Murti. Sura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Agaknya kau memang sudah tidak
menganggap perlu lagi dikenali. Karena itu, maka kesempatan
yang terakhir bagimu adalah memilih cara kematianmu. Kami
akan membantumu agar kau dapat mati dengan cepat.
Barangkali itulah y ang paling baik bagimu, karena cara mati
yang lain akan dapat sangat meny iksamu."
Mahisa Pukat lah y ang kemudian menyahut, "Kenapa
kau tidak bertanya kepada dirimu sendiri atau kepada kawankawanmu,
cara apa y ang m ereka sukai" Digantung, ditikam
atau dipicis" Besok aku akan dapat mengatakannya kepada Ki
Buyut. Bahkan akan dapat menjadi tontonan di saat Ki
Sardapa diangkat dan diwisuda m enjadi Bekel di padukuhan
ini." "Persetan," geram Sura, "kau benar-benar gila. Apakah
kau tidak melihat bahwa kami berenam siap untuk
Pembunuhan Di Malam Natal 2 Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat Keris Pusaka Sang Megatantra 2
^