Hijaunya Lembah Hijaunya 7
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 7
Adik ibu tiri Sardapa itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Terserah kepadamu. Tetapi berhatihatilah."
"Paman tidak dapat pergi sendiri," berkata Sardapa
kemudian, "aku akan menemani paman."
Tetapi Ki Panonjay a menggeleng. Katanya, "Justru
setelah aku tahu rencana mereka, maka aku berpendapat,
bahwa kau tidak usah pergi bersamaku."
"Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu dengan paman?"
bertanya Ki Sardapa. "Tidak akan t erjadi sesuatu atasku. Tentu aku dapat
mengatakan, bahwa sekelompok orang telah bersiap untuk
menuntut balas jika aku tidak keluar dari lingkungan mereka.
Menurut perhitunganku, untuk sementara mereka tidak akan
membuka permusuhan dengan pihak-pihak lain karena
sa saran utama mereka belum dapat mereka selesaikan" jawab
Ki Panonjaya. Ki Bekel merenungi kata-kata itu. Sementara adik ibu
tirinya itu berkata, "Agaknya kakang Panonjaya benar. Mereka
tentu akan menahan diri agar mereka tidak terlibat dalam
perkelahian dengan pihak lain lagi sebelum mereka
menyelesaikan kau." "Nah," berkata Ki Panonjay a, "biarkan aku berangkat
sendiri. Mudah-mudahan besok aku sudah kembali. Tetapi
jika besok lusa aku tidak kembali, terserah langkah-langkah
apa y ang akan kau ambil."
Ki Sardapa mengangguk. Ia m emang tidak m empunyai
cara lain. Sementara itu pamannya telah bertekad bulat untuk
melakukan rencananya itu. Seorang diri.
Demikianlah, maka Ki Panonjaya telah meninggalkan
rumah Ki Sardapa. Ia telah meletakkan beban y ang sangat
berat diatas pundaknya sendiri. Namun Ki Panonjaya memang
tidak mau Sardapa terbunuh, ia adalah satu-satunya
keturunan Ki Bekel tua y ang tinggal. Ki Panonjaya yang
ternyata adalah adik Ki Bekel tua itu, tidak akan membiarkan
keluarga ibu tiri Sardapa menghancurkan keberhasilan
Sardapa menggantikan kedudukan kakaknya.
Ternyata bahwa Ki Panonjaya benar-benar m emerlukan
waktu sehari dalam perjalanan. Tetapi karena Ki Panonjaya
tidak tergesa-gesa maka ia tidak berniat untuk mempercepat.
Bahkan ia akan merasa lebih tenang untuk bertemu dan
berbicara dengan saudara tertua iparnya itu.
Sebenarnyalah Ki Panonjay a memasuki regol halaman
rumah saudara tertua iparnya itu pada saat menjelang senja.
Kedatangan Ki Panonjaya memang diterima dengan
penuh kecurigaan. Dipersilahkannya untuk duduk di pendapa,
serta menunggu untuk waktu y ang cukup lama.
Ki Panonjaya cukup sabar. Ia m engerti bahwa saudarasaudara
iparnya itu tentu tengah berunding. Agaknya ada di
antara mereka y ang sedang berada di rumah itu.
Ternyata bukan saja beberapa. Namun kemudian Ki
Pan onjaya itu melihat mereka lengkap berada di rumah itu.
Ketika tiga orang di antara mereka menemuinya, maka yang
lain telah berkeliaran di halaman. Termasuk adik yang
termuda, yang memang pernah diusir oleh ki Bekel tua, ay ah
Ki Sardapa. "Ki Panonjaya," desis saudara tertua iparnya itu. "apakah
keperluanmu datang kemari" Apakah kau ingin bergabung
dengan kami?" "Untuk apa?" bertanya Ki Panonjay a, "apakah kalian
mempunyai satu rencana tentang sesuatu?"
"Jangan pura-pura," jawab saudara tertua iparnya itu,
"kau tentu sudah tahu apa y ang dilakukan oleh Sardapa. Nah,
kami, saudara-saudara ibu tirinya akan menuntut balas.
Seharusnya anak itu berterima kasih kepada ibu tirinya itu
yang sudah mengasuhnya sebagaimana mengasuh anak
sendiri. Namun akhirnya, ketika Sardapa mendekati saat-saat
peresmiannya menjadi seorang Bekel, ia sudah membunuh
ibunya itu." "Apakah kalian percaya kepada ceritera itu?" bertanya Ki
Pan onjaya. "Bukan sekedar ceritera," jawab yang tertua,
"sebenarnyalah telah terjadi seperti itu. Semua orang menjadi
sak si." Tetapi Ki Panonjaya menggeleng. Katanya, "Jangan
memutar balikkan keadaan. Aku berkata sebenarnya, bahwa
ceritera itu adalah fitnah. Memang ada dua kemungkinan.
Kal ian benar-benar tidak tahu apa y ang terjadi, atau kalian
sebenarnya sudah tahu, tetapi dengan sengaja m engaburkan
keny ataan itu?" "Ki Panonjaya," berkata yang tertua, "aku menaruh
hormat kepadamu. Tetapi jika kau mencoba untuk
mengaburkan kenyataan ini, maka kami akan menentangmu."
"Aku minta kalian berpikir bening" berkata Ki
Pan onjaya. "Aku sudah mempertimbangkan tiga empat kali bersama
saudara-saudaraku," berkata saudara tertua itu, "karena itu
maka jangan berusaha untuk mempengaruhi kami."
"Tidak," jawab Ki Panonjaya, "aku sebenarnya hanya
ingin tahu, keuntungan apakah yang akan kalian peroleh dari
usaha pembalasan dendam ini" Tentu sekedar permusuhan.
Sardapa mempunyai banyak pengikut, di samping
perlindungan dari Ki Buyut."
Saudara tertua dari ibu tiri Sardapa itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian katanya, "Pertanyaanmu aneh. Apa
yang aku peroleh jika aku membalas dendam" Bukankah kau
tahu, bahwa harga diri seorang laki -laki adalah sama dengan
nyawanya" Katakanlah, seorang di antara saudara kami telah
dibunuh oleh Sardapa. Bukankah kami berhak untuk
membalas dendam" Apalagi jika kami berbicara tentang
hubungan Sardapa dengan perempuan yang dibunuhnya.
Perempuan yang mengasuhnya sejak kecil dan m engasihinya
melampaui anaknya sendiri."
"Kau tidak perlu berkata begitu," jawab Ki Panonjaya,
"kita sama-sama tahu apa yang telah dilakukan oleh Ny ai
Demang itu atas Sardapa di masa kecilny a bahkan sampai ia
menginjak dewasa. Apakah kau dapat mengatakan, bahwa
Nyai Bekel telah mengasihi Sardapa melampaui anaknya
sendiri" Kau tentu mengetahui bagaimana cara Nyai Bekel
menghajar Sardapa. Kau tentu tahu, bahwa Sardapa pernah
dikurung dalam lumbung selama tiga hari sehingga anak itu
menjadi hampir gila karena ketakutan" Kau t entu tahu sikap
Nyai Bekel itu sehari-hari atas Sardapa. Itukah y ang kau
maksud dengan mengasihinya melampaui anaknya sendiri"
Kau dapat berkata seperti itu kepada orang lain. T etapi tidak
kepadaku." "Persetan," geram saudara tertua itu, "aku t idak peduli.
Tetapi kematian saudara perempuanku telah m embangkitkan
dendam di hati kami sesaudara. Kami sudah berjanji untuk
membunuh Ki Sardapa. Kapan pun dan dengan cara apapun."
"Kau tidak akan berhasil," berkata Ki Panonjaya, "jika
Sardapa tahu, bahwa kalian masih mendendamnya, maka
ialah yang akan mencari kalian dan membinasakan kalian
sebelum kalian sempat mencarinya."
"Persetan," geram saudara tertua itu, "aku disini
bersama semua saudara kami. Seandainya Sardapa membawa
orang sepadukuhan, ia tidak akan dapat mengalahkan kami."
"Kau salah menilai Ki Sardapa dan orang-orangnya,"
berkata Ki Panonjay a, "mereka adalah orang-orang yang
berilmu tinggi. Kau tahu apa y ang dilakukan Sura bersama
lima orang kawannya" Mereka adalah orang-orang yang
ditakuti. Tetapi kau lihat, bahwa mereka tidak berdaya apaapa
menghadapi Ki Sardapa dan para pengikutnya."
"Kau berbicara tentang Sura" Apa yang dapat
dibanggakan pada Sura" Ketamakannya" Atau barangkali ilmu
sirepny a?" bertanya saudara tertua ipar Ki Panonjaya itu.
"Bukankah dengan ilmu sirepnya ia mampu
memperlemah kekuatan lawan" Itu pun akhirnya Sura tidak
berday a" berkata Ki Panonjaya.
"Jangan kau samakan kami dengan Sura," berkata
saudara tertua itu, "sepuluh Sura tidak akan dapat menyamai
kami seorang demi seorang."
Ki Panonjaya ter senyum. Katanya, "Kau tidak akan
mempunyai cara untuk membunuhnya."
Tetapi orang itu pun tertawa. Semakin lama semakin
keras. Kemudian ia pun berkata kepada saudara-saudaranya
yang ikut menemui Ki Panonjaya, "Kalian dengar" Ki
Pan onjaya menyangsikan, apakah kami akan dapat
membunuh Sardapa." Saudara-saudaranya pun tertawa. Bahkan terdengar
tertawa pula di halaman. Tetapi Ki Panonjaya sengaja membuat hati mereka
panas. Katanya, "Kalian dapat tertawa sekarang disini. Tetapi
kalian akan menangis jika kalian telah melihat sendiri apa
yang dapat dilakukan oleh Ki Sardapa dan para pengikutnya.
Apalagi perlindungan Ki Buyut."
"Jangan takut Ki Panonjay a," berkata saudara tertua itu,
"aku akan segera membunuhnya."
Ki Panonjaya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Memang mungkin dapat kalian lakukan. Tetapi mungkin
sebulan atau bahkan setahun lagi."
"Tidak," saudara tertua itu hampir berteriak, "aku akan
membunuhnya sebelum sepekan. Jika aku gagal
membunuhnya sebelum sepekan ini, maka kami mengaku
kalah." Ki Panonjaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Baik. Aku sampaikan tantanganmu kepada Ki
Sardapa. Dalam sepekan ini akan bersiap-siap."
"Seharusnya kau tidak perlu menyampaikan rencana
kami kepada Sardapa. Kau akan dapat menggagalkan rencana
itu. Ia dapat bersembuny i di segala tempat. Bahkan mungkin
ia akan bersembuny i di rumah Ki Buyut" berkata saudara
tertua itu. " Itu haknya," berkata Ki Panonjaya, "ia dapat berbuat
apa saja untuk memenangkan taruhan ini. Aku kira memang
lebih baik ia bersembuny i. Dengan demikian ia dapat
memenangkan taruhan ini tanpa ada korban yang jatuh."
Tetapi saudara tertua itu menggeleng. Katanya, "Aku
tidak ingin terjadi taruhan licik seperti itu. Aku ingin
rencanaku berhasil baik."
"Lakukanlah. Tetapi aku pun akan melakukan
rencanaku pula" jawab Ki Panonjaya.
Tetapi saudara tertua itu menggeleng. Katanya, "Kau
tidak akan dapat berbuat apa-apa."
"Kenapa" Bukankah itu hakku" berkata Ki Panonjaya.
"Kau t idak akan sempat keluar dari tempat ini" ancam
saudara tertua itu. Ki Panonjaya tertawa. Katanya, "Siapa yang licik dalam
hal ini" Kau atau Sardapa?"
"Persetan. Tetapi kau akan ditahan disini sampai
pekerjaan kami selesai. Kami akan membunuh Sardapa dalam
pekan ini. Kepalanya akan kami bawa kembali dan kami
tunjukkan kepadamu. Dengan demikian kami akan dapat
membalaskan sakit hati saudara perempuan kami. Kematian
Sardapa adalah hukuman y ang paling pantas disandangnya"
berkata saudara tertua itu.
Wajah Ki Panonjaya menjadi tegang. Dengan nada tinggi
ia bertanya, "Jadi kau benar-benar akan menahanku disini?"
"Ya" jawab saudara tertua ibu tiri Sardapa itu.
Ki Panonjay a menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kau tahu bahwa aku juga tidak sendiri" Kau tahu bahwa aku
juga mempunyai sanak kadang?"
"Tentu kami m engetahui," jawab orang itu, "tetapi kami
memang berniat untuk m enahanmu. Aku tidak yakin bahwa
sanak kadangmu tahu bahwa kau ada disini?"
"Tentu mereka tahu," jawab Panonjaya, "mereka tahu
aku pergi ke rumah ini. Jika besok aku tidak kembali, maka
mereka tentu akan mencariku."
Tetapi saudara tertua itu berkata, "Aku tidak peduli.
Tetapi kau harus tinggal disini sampai saatnya kami membawa
kepala Sardapa itu kemari. Kami akan membuat
pertimbangan-pertimbangan baru tentang kau. Jika kau tidak
berbahaya bagi kami, maka kau akan kami lepa skan. Tetapi
jika kau ternyata berbahaya bagi kami, maka kau akan
mengalami nasib seperti Sardapa."
Pan onjaya sama sekali tidak menjadi ketakutan.
Katanya, "Aku pun tidak peduli apa y ang kau rencanakan. Aku
akan pergi dan memberitahukan kepada Sardapa bahwa ia ada
dalam bahaya. Sebenarnya kedatanganku hanya ingin
mencegah kemungkinan buruk y ang dapat terjadi. Aku ingin
menghilangkan salah paham antara kalian dengan Ki Sardapa.
Tetapi jika kalian berkeras untuk m elakukannya, maka aku
akan memberikan peringatan kepada kemanakanku itu."
" Ia memang kemanakanmu. Tetapi bukan
kemanakanku," geram saudara tertua itu. Lalu katanya,
"Tetapi aku peringatkan sekali lagi, bahwa kau tidak akan
dapat pergi dari tempat ini."
Ki Panonjaya menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang berkeliling m aka dilihatnya beberapa orang laki -
laki berdiri menebar di halaman rumah itu.
Dengan demikian maka Ki Panonjaya menyadari, bahwa
ia memang tidak akan dapat lari. Meskipun Ki Panonjaya akan
dapat m elawan dua atau tiga orang di antara mereka, namun
ia memang tidak akan mampu melawan mereka semuanya.
"Nah," berkata saudara tertua itu, "kau harus tunduk
kepada perintah kami agar kami tidak berbuat kasar
kepadamu." Ki Panonjaya m emang tidak m embantah. Ia menyadari
keadaannya. Tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan
kegelisahannya. " Ikutlah kami" berkata saudara tertua.
Ki Panonjaya tidak dapat ingkar lagi! Ia pun kemudian
telah dibawa ke sebuah bilik y ang kuat. Dengan nada berat
saudara tertua itu berkata, "Tinggalah disini sampai kepala
Sardapa aku lemparkan kedalam bilik ini."
Ki Panonjaya tidak menjawab. Ia pun telah m emasuki
bilik y ang disediakan untuknya. Beberapa saat ia m engamati
bilik itu dari sudut ke sudut.
Sementara itu saudara tertua itu berkata, "jangan
berusaha untuk melarikan diri. Tidak ada gunanya. Meskipun
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam sepekan ini kami pergi mengambil Sardapa, namun
disini sanak kadang kami y ang lain akan m enjagamu. Kami
sudah berpesan, jika kau berusaha untuk melarikan diri, maka
kau akan dibunuh tanpa banyak pertimbangan."
Ki Panonjaya tidak menjawab. Ia memang t idak melihat
kesempatan apa pun y ang dapat dilakukannya pada saat itu.
Karena itu, ia harus mempergunakan otaknya, bukan sekedar
perasaan. Beberapa saat kemudian, maka pintu bilik itu pun telah
tertutup. Ki Panonjaya mendengar selarak yang berat telah
dipasang di pintu itu. Beberapa orang terdengar berbicara di
luar. Agaknya saudara tertua itu sedang memberikan
beberapa pesan kepada orang -orang y ang ditugaskan untuk
menjaganya. Ki Panonjaya yang berada didalam bilik itu telah
meraba-raba dinding biliknya. Tidak terlalu rapat. Tetapi bilik
itu tentu satu bilik y ang kuat.
Namun Ki Panonjaya tidak berputus asa. Ia masih saja
berniat untuk dapat berbuat sesuatu. Jika mungkin, maka ia
akan berusaha untuk keluar dari bilik itu.
Dalam pada itu, maka saudara-saudara ibu tiri Sardapa
itu- pun telah berbicara di pendapa. Mereka sepakat untuk
segera melakukan rencana mereka. Namun demikian, m ereka
masih akan menunggu beberapa orang yang telah mereka ajak
mengambil Sardapa, hidup atau mati.
"Dalam dua hari ini m ereka akan datang" berkata salah
seorang di antara mereka.
"Kita menunggu," berkata y ang tertua. Namun ia pun
kemudian bertanya, "Berapa orang yang akan datang itu?"
"Tiga orang. Mereka bersama-sama dengan kita
mengambil Sardapa dan m embunuhnya. Kepalanya akan kita
bawa kembali ke rumah ini untuk ditunjukkan kepada Ki
Pan onjaya." Dengan demikian maka mereka harus bersabar untuk
dua hari. Orang-orang yang berjanji bersama mereka
membunuh Sardapa baru akan kembali dalam waktu dua hari
mendatang. Hari itu Panonjay a harus tinggal didalam bilik y ang
sempit dan tertutup dengan kuat. Di malam hari, sebuah
lampu minyak yang redup diletakkan diatas ajug-ajug di sudut
bilik itu. Sebenarnya Panonjay a memang menunggu malam itu
datang. Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Ia m endengar di sekitar bilik itu telah dijaga oleh beberapa
orang y ang berjalan hilir mudik.
Di hari berikutnya, Ki Panonjaya masih tetap berada
didalam bilik itu. Ia mendapat kesempatan di pagi hari untuk
pergi ke pakiwan. Kemudian dalam sehari ia mendapat makan
tiga kali, meskipun tidak sebaik makan di rumah sendiri.
Di rumah, Ki Sardapa menunggu. Ki Panonjaya
berpesan, jika di hari berikutnya ia tidak datang, maka Ki
Sardapa harus mengambil sikap.
Sebenarnyalah bahwa Ki Sardapa menjadi gelisah karena
Ki Panonjaya ternyata tidak kembali pada saat yang dijanjikan.
Karena itulah maka Ki Sardapa telah menemui Kiai Patah,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, untuk membicarakan, apa
yang sebaiknya mereka lakukan.
"Apa kata pamanmu?" bertanya Kiai Patah.
"Maksud Kiai, adik ibu tiriku itu?" bertanya Ki Sardapa
pula. "Menurut Paman, saudara tertuanya y ang keji itu tentu
akan menangkap Paman Panonjaya. Bahkan mungkin jika
saudara-saudaranya sudah berkumpul, mereka akan
kehilangan kendali dan bahkan mungkin telah membunuhnya.
Aku m enyesal, bahwa aku tidak m encegahnya pergi saat itu.
Tetapi saat itu aku masih berharap bahwa paman-pamanku
tidak akan melibatkan Ki Panonjaya" berkata Ki Sardapa.
"Jika demikian maka apa yang baik kita lakukan?"
bertanya Kiai Patah. Ki Sardapa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Kita temui Paman. Marilah. Aku mohon kalian
datang ke rumah." Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang sedang
berada di rumah Kiai Patah itu pun kemudian telah mengikuti
Ki Sardapa. Di rumah Ki Sardapa mereka membicarakan
langkah-langkah y ang akan mereka ambil.
Akhirnya mereka m engambil keputusan, bahwa mereka
harus menyusul ke rumah saudara ibu tiri Ki Sardapa yang
tertua. Apa pun yang akan terjadi.
Namun adik ibu tirinya y ang ada di rumah Ki Sardapa
itu sempat memberikan beberapa peringatan akan kelicikan
saudara-saudaranya. "Berhati -hatilah. Mereka benar-benar akan m embunuh
Sardapa. Karena itu, maka jika kalian memang ingin pergi ke
sana, maka kalian harus benar-benar bersiap menghadapi
segala kemungkinan" pesan pamannya itu.
Seperti Ki Sardapa, maka pamannya itu pun merasa
menyesal bahwa ia membiarkan Ki Panonjaya untuk pergi
seorang diri. Ternyata bahwa saudara-saudaranya benar-benar
orang-orang yang tidak mengenal perikemanusiaan sama
sekali. "Baiklah," berkata Kiai Patah, "kita akan menyusul Ki
Pan onjaya. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atasnya."
"Apakah kalian akan m enghimpun kekuatan?" b ertanya
adik ibu tiri Ki Sardapa itu.
"Kita akan pergi berempat," jawab Kiai Patah, "mudahmudahan
kita tidak memancing per soalan y ang lebih parah.
Jika kita pergi dengan sekelompok orang, maka mungkin akan
dapat menimbulkan persoalan dengan orang-orang yang tidak
berkepentingan." "Tetapi apa yang dapat kalian lakukan berempat?"
bertanya adik ibu tiri Sardapa itu, "mereka telah berkumpul
sembilan orang. Bahkan mungkin ada orang-orang lain yang
telah membantu mereka untuk membunuh Sardapa."
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun b erkata, "Aku masih mempunyai harapan,
bahwa mereka akan dapat diajak berbicara."
"Aku pun berpendapat demikian," berkata paman
Sardapa itu, "karena itu aku tidak menghalangi kakang
Pan onjaya untuk pergi seorang diri. Justru karena seorang
diri, maka tidak akan segera timbul kesan permusuhan. Tetapi
ternyata bahwa saudara-saudaraku telah berpendapat lain.
Kakang Panonjaya tidak kembali pada saat y ang telah
ditentukannya. Dengan demikian maka aku harap bahwa
kalian tidak hanya berempat pergi ke rumah kakang tertua
itu." Tetapi Kiai Patah menggeleng sambil berkata, "Tidak.
Aku tidak dapat membawa sekelompok orang seperti hendak
pergi berperang." "Jika demikian, aku akan ikut kalian" berkata adik ibu
tiri Sardapa itu. "Jangan dengan semata-mata m elakukannya dihadapan
saudara-saudaramu. Bagaimana pun juga mereka adalah
saudara-saudaramu. Karena itu maka sebaiknya kau
menunggu saja disini. Jika kami tidak kembali dalam dua tiga
hari, maka kau dan para bebahu akan dapat m elaporkannya
kepada Ki Buyut. Mungkin Ki Buyut mempunyai cara lain
untuk meny elesaikan persoalan ini."
Adik ibu tiri Sardapa itu tidak dapat memaksa untuk ikut
dan tidak pula dapat mencegahnya.
Demikianlah setelah mempersiapkan diri sebaikbaiknya,
m aka keempat orang itu pun telah meninggalkan
padukuhan itu untuk menyusul Ki Panonjaya y ang ternyata
telah ditahan oleh saudara-saudara ibu tiri Sardapa.
Dengan petunjuk dan ancar-ancar dari salah seorang
adik ibu tiri Ki Sardapa itulah, maka mereka menyusuri jalanjalan
y ang panjang menuju ke rumah saudara tertua.
Dengan sengaja mereka menunggu sampai malam
menjadi semakin dalam ketika mereka memasuki padukuhan.
Dengan sangat berhati-hati mereka mendekati rumah yang
disebut oleh adik ibu tiri Ki Sardapa y ang tidak setuju dengan
sikap saudara-saudaranya itu.
Ternyata rumah itu tidak mendapat penjagaan y ang
cukup. Agaknya para penghuninya tidak akan mengira sama
sekali, bahwa akan ada beberapa orang y ang akan datang
mencari Panonjaya, meskipun Ki Panonjaya sendiri telah
mengatakan bahwa kemungkinan seperti itu akan dapat
terjadi. Tetapi saudara tertua dari ibu tiri Sardapa itu
menganggap cukup untuk memperkuat penjagaan di bilik
tahanan itu saja, dengan pesan, jika terjadi sesuatu, mereka
harus segera membunyikan kentongan.
Karena itulah, maka mereka dengan aman telah
meloncat memasuki halaman lewat dinding belakang. Dengan
hati-hati mereka telah merayap mendekati bangunan induk.
"Kau menunggu disini," pesan Kiai Patah kepada Ki
Sardapa, "kami akan melihat-lihat keadaan rumah itu."
Bertiga, Kiai Patah merayap mendekati bangunan induk,
sementara Ki Sardapa bersembunyi di balik gerumbul yang
gelap. Ki Sardapa memang menyadari, bahwa ia tidak akan
dapat berbuat sebagaimana Kiai Patah serta kedua orang anak
muda itu. Karena itu, maka ia pun sama sekali tidak
membantah. Ketika mereka mendekati bangunan induk, maka
mereka- pun mulai berpencar. Sambil berbisik Kiai Patah
berkata, "Kita lihat, apakah Ki Panonjaya ditahan disini atau
ada kesan-kesan lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
"Kita akan berada disini setelah kita melihat-lihat
seluruh bangunan induk. Jika kita perlu bertemu segera, maka
jangan lupa, kita akan membunyikan isyarat. Kita akan
menyuarakan suara burung hantu" pesan Kiai Patah
kemudian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk.
Dengan hati-hati ketiga orang itu berpencar. Mereka berusaha
untuk melihat segala ruangan dan bilik yang ada di bangunan
induk itu. Barangkali m ereka menemukan ruang tempat Ki
Pan onjaya disimpan. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti lah yang secara
kebetulan menuju ke arah y ang sebenarnya mereka cari.
Ketika ia melihat beberapa orang berjaga-jaga, maka ia pun
segera menduga, bahwa di tempat itu Ki Panonjay a telah
ditahan. Dengan sangat berhati-hati Mahisa Murti telah bergeser
justru menjauh. Dengan sangat berhati-hati pula ia memanjat
sebatang pohon. Kemudian meloncat keatas genting, merayap
perlahan-lahan menuju ke atas bilik y ang sedang dijaga itu.
Dari atas atap, maka Mahisa Murti berusaha untuk dapat
melihat apa y ang ada didalam bilik yang dijaga ketat itu.
Sebenarnyalah, maka Mahisa Murti dapat m elihat dari
sela -sela atap bilik itu, seseorang yang tersimpan didalamnya.
Ia pun segera mengetahui bahwa orang itu tentulah Ki
Pan onjaya. Mahisa Murti tidak ingin bertindak sendiri, la tidak mau
melakukan kesalahan yang dapat berakibat buruk, baik bagi Ki
Pan onjaya, maupun bagi diri sendiri. Karena itu, maka ia pun
telah turun kembali dan sebagaimana mereka sepakati, maka
ia pun telah menirukan bunyi burung hantu.
Sejenak kemudian maka mereka bertiga telah
berkumpul. Mahisa Murti pun segera memberikan laporan
tentang penemuannya. "Kita harus membebaskannya," berkata Kiai Patah,
"baru kemudian kita berbicara dengan paman-paman Ki
Sardapa itu. Mudah-mudahan mereka masih membuka
kesempatan barang sepatah kata pun untuk menceriterakan
tentang peri stiwa yang sebenarnya terjadi."
Mereka pun kemudian telah menyusun tugas mereka
masing-masing. Mereka akan menyergap tempat itu dengan
tiba -tiba. Dengan demikian maka para pengawal yang berjagajaga
itu tidak akan sempat berbuat sesuatu.
"Jangan ada y ang lolos" berkata Kiai Patah.
"Kita apakan mereka?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita buat mereka pingsan," jawab Kiai Patah, "tetapi
hati-hati. Jangan terlanjur mati. Mereka mungkin sekali tidak
tahu persoalannya." Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia memang tidak
yakin bahwa ia tidak akan membunuh orang-orang yang
sedang bertugas di sekitar bilik tempat Ki Panonjaya ditahan.
Demikianlah maka mereka pun kemudian mulai
bergerak. Mereka mendekati bilik itu dari beberapa arah. Dari
tempat masing-masing m ereka melihat beberapa orang yang
bertugas. Ada di antara mereka yang sedang mendapat giliran
beristirahat, sehingga y ang terdengar adalah dengkur mereka
yang tertidur. Ketika mereka sudah mapan, serta sempat menghitung
orang yang bertugas, maka Kiai Patah telah memberikan
istirahat. Suara burung hantu yang diulang dua kali.
Suara burung hantu itu tidak menimbulkan kecurigaan.
Bahkan para petugas itu tidak memperhatikannya sama sekali.
Namun ternyata bahwa suara itu telah m engisyaratkan
satu sikap yang menentukan atas mereka.
Sebenarnyalah dalam waktu yang sekejap, Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Kiai Patah telah meloncat menyergap
mereka. Pukulan y ang tidak sempat mereka hindari atau
mereka tangkis telah mengenai tengkuk mereka, sehingga
orang-orang y ang bertugas itu pun telah menjadi pingsan
karenanya. Dengan hati-hati Kiai Patah telah membuka selarak
pintu bilik Ki Pan onjaya yang terkejut karenanya. Apalagi
ketika ia melihat siapa yang kemudian memasuki bilik itu.
Kiai Patah memberikan isyarat agar Ki Panonjaya tidak
berbicara dan bertanya tentang keadaan itu. Karena itu, maka
Ki Panonjaya pun telah ditarik oleh Kiai Patah agar ia
mengikutinya. Beberapa saat kemudian, Ki Panonjaya telah berkumpul
dengan Ki Sardapa pula. Dengan singkat mereka berbincang
tentang sikap yang akan mereka ambil. Namun Kiai Patah
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian berkata, "Ada baiknya kita m enjumpai pamanmu
tertua sekarang." "Aku sependapat," berkata Ki Sardapa. Lalu ia pun
bertanya kepada Ki Panonjaya, "Bagaimana pendapat
Paman?" "Aku setuju," jawabnya, "apa pun yang terjadi, aku
sudah siap." Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah.
Tetapi kita harus bersiap untuk bertempur."
Ki Panonjay a sempat berkata, "Aku memerlukan senjata.
Aku akan mengambil senjata salah seorang yang menjaga
bilikku itu." Demikianlah, maka mereka berlima pun telah m enuju
ke pendapa. Demikian mereka naik, maka ternyata mereka
telah terlihat oleh dua orang petugas yang ada di regol.
Agaknya untuk menjaga segala kemungkinan, saudara tertua
ibu tiri Ki Sardapa itu telah meny iapkan penjagaan di r egol,
meskipun penjagaan itu tidak akan banyak berarti.
Dengan tergesa-gesa kedua orang penjaga di reg ol itupun
telah m endekati Kiai Patah dan kawan-kawannya. Salah
seorang di antara mereka itu pun menyapa dengan garangnya,
"Siapa kalian, he?"
Kiai Patah tersenyum. Katanya, "Sabarlah Ki Sanak.
Jangan terlalu garang seperti itu."
"Kau belum menjawab, siapa kau?" geram orang itu.
"Kami adalah tamu -tamu disini. Tolong, sampaikan
kepada pemilik rumah ini, bahwa aku ingin bertemu dengan
mereka" berkata Kiai Patah.
"Tetapi kau belum meny ebut siapa dirimu" bentak orang
itu. Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jawabnya
benar-benar mengejutkan, "Katakan, Ki Panonjaya ingin
bertemu." Wajah orang itu menjadi tegang. Tetapi Kiai Patah justru
menarik Ki Panonjay a selangkah maju. Katanya, "Kau tidak
percaya?" Para penjaga di reg ol itu benar -benar m erasa bingung.
Menurut pengertiannya, Ki Panonjaya itu telah ditawan di
dalam bilik y ang khusus. Namun tiba -tiba ia kini berada di
halaman bersama-sama dengan orang-orang y ang tidak
dikenal. "Sudahlah," berkata Kiai Patah, "panggil pimpinanmu.
Atau bunyikan isy arat jika memang kalian harus
melakukannya." Kedua orang itu benar-benar kebingungan. Ternyata
lima orang itu sama sekali tidak nampak gentar meskipun
kedua penjaga itu sempat melihat mereka, sehingga keduanya
akan dapat membuny ikan isy arat. Bahkan seakan-akan
mereka telah menantang para penjaga itu agar mereka
membunyikan isy arat untuk memanggil para pemimpin
mereka. "Apakah orang-orang ini orang gila" bertanya para
penjaga itu didalam hatinya.
Tetapi mereka memang tidak ingin diper salahkan oleh
para pemimpin mereka. Karena itu, maka salah seorang di
antara mereka pun dengan tergesa-gesa telah pergi ke sebuah
kentongan kecil yang tergantung di dalam regol.
Kiai Patah dan kawan-kawannya sama sekali tidak
berusaha untuk menghalanginya. Bahkan seakan-akan mereka
tengah m enunggu sahabatnya y ang sedang dipanggil keluar
dari dalam rumahnya. Tidak menunjukkan ketegangan dan
kegelisahan sama sekali, meskipun mereka dapat menghadapi
satu bencana. Sejenak kemudian, suara kentongan telah bergema di
halaman rumah itu. Memang tidak terlalu keras. Tetapi suara
itu telah membangunkan seisi rumah y ang nampaknya
lengang itu. Sejenak kemudian, beberapa orang telah berlari-larian
keluar lewat beberapa buah pintu. Ada y ang lewat pintu
pringgitan, ada y ang lewat pintu samping dan bahkan ada
yang lewat pintu dapur. Sembilan orang laki -laki y ang garang,
ditambah lagi dengan beberapa orang pengikutnya. Dengan
serta merta mereka telah mengepung kelima orang yang
berada di halaman. Sementara itu saudara tertua dari ibu tiri Ki Sardapa itu
memandang Ki Panonjaya dengan mata y ang bagaikan
menyala. "Bagaimana kau dapat keluar dari bilikmu?" geram
orang itu. Ki Panonjaya berpaling kepada Kiai Patah. Namun
ketika Kiai Patah itu mengangguk, maka Ki Panonjaya itu pun
melangkah m aju. Dengan nada datar ia berkata, "Bukankah
aku telah nengatakan, jika kau menangkap aku, maka aku
tentu akan dicari. Sekarang hal itu telah terjadi. Sardapa dan
beberapa orang kawannya telah mencari aku dan bahkan
melepaskan aku dari bilik tahananku." Ki Panonjaya berhenti
sejenak, lalu "Tentu kau bertanya, kenapa aku tidak melarikan
diri saja tanpa menunggu kalian?" Pertanyaan itu dijawabnya
sendiri, "Aku memang ingin bertemu dengan kau."
"Persetan," geram saudara tertua itu, "ternyata
kesombonganmu akan dapat menjeratmu sekarang. Bukan
hanya kau yang akan masuk ke dalam tahananku. Tetapi
kalian semua. Bahkan agaknya kalian semua harus
menyaksikan, bagaimana aku memenggal kepala Sardapa dan
aku tanjir di regol rumahku ini."
Ki Panonjaya tertawa. Katanya, "Apakah kita bukan
orang-orang beradab?"
"Apakah Sardapa yang membunuh ibunya, meskipun ibu
tirinya, tetapi yang sudah memeliharanya sejak bay i,
membesarkannya dan mengasihinya itu pantas diperlakukan
sebagaimana orang beradab?" bertanya saudara tertua itu.
"Kau dapat saja memutar balikkan keny ataan," jawab Ki
Pan onjaya, "tetapi sekali lagi kami nyatakan, bahwa
kedatangan kami justru bermaksud menghilangkan kesalahpahaman.
Mudah-mudahan hal ini dapat kalian mengerti."
"Tutup mulutmu," bentak saudara tertua itu, "sekarang,
aku m inta agar kalian merelakan kepala Sardapa. Jika kalian
merelakan kepala Sardapa maka kalian akan mendapat
pengampunan. Kecuali Panonjaya yang lain akan kami beri
kesempatan untuk meninggalkan tempat ini."
"Kenapa dengan aku?" bertanya Panonjaya.
"Kau termasuk orang y ang pantas dimusnahkan
sebagaimana Sardapa," berkata saudara tertua itu, "kaulah
yang telah mengembangkan persoalan ini sehingga menjadi
semakin besar." "Kau masih saja mengigau," jawab Ki Panonjaya,
"bukankah kau y ang telah menangkapku justru pada saat aku
ingin meny elesaikan persoalan ini dengan baik?"
"Persetan," geram saudara tertua, "kau dan Sardapa
harus dipenggal lehernya di sini."
Ki Sardapa pun kemudian melangkah maju sambil
berkata," jadi, apakah memang tidak ada jalan y ang dapat
ditempuh selain saling membunuh?"
"Tidak saling membunuh." potong saudara tertua itu,
"kamilah y ang akan membunuh kalian."
"Jadi niat Paman sudah bulat" Apakah Paman tidak
ingin mendengar penjela sanku?" bertanya Ki Sardapa.
Wajah saudara tertua itu benar-benar m enjadi tegang.
Kemarahannya sudah tidak tertahankan lagi, sehingga ia pun
kemudian berkata, " Jika kau masih berbicara lagi, maka mulamula
akan aku potong lidahmu. Baru aku penggal kepalamu."
Namun Kiai Patah lah y ang tertawa. Katanya,
"Nampaknya kau memang terlalu garang. Tetapi baiklah. Jika
kau tidak lagi dapat diajak berbicara, maka kita akan
berkelahi. Ki Sardapa dan Ki Panonjay a tentu tidak akan
dengan suka rela m enyerahkan lehernya, sementara itu kami
kawan-kawannya akan membelanya. Jika ada di antara kami
yang harus mati, maka setiap orang akan bernilai sembilan
orang di antara kalian."
"Setan," geram saudara tertua. Dengan isy arat ia pun
memanggil saudara-saudaranya serta orang -orang yang
membantunya untuk mendekat. Katanya kepada mereka, "Kita
tidak mempunyai pertimbangan lain lagi. Kalian sudah
mendengarnya, bahwa semuanya akan kita bunuh atas
permintaan mereka sendiri."
Kesembilan orang saudara ibu tiri Ki Sardapa itu pun
segera bersiap. Mereka memang m enebar di segala penjuru
halaman itu, sedangkan orang-orang lain y ang akan
membantu mereka telah mengepung halaman itu pula.
Dalam keremangan cahaya obor di pendapa dan di reg ol,
maka Ki Sardapa memang melihat orang yang pernah
mengaku pamannya dan datang ke rumahnya.
Sejenak kemudian maka kedua belah pihak pun telah
bersiap. Namun jumlah mereka ternyata tidak seimbang. Jika
Sardapa hanya datang bersama tiga orang ditambah Ki
Pan onjaya, maka saudara t ertua ibu tiriny a ternyata telah
bersiap dengan jumlah y ang berlipat ganda. Di samping
sembilan orang bersaudara, m aka beberapa orang kawannya
telah hadir pula di samping pengikut mereka y ang cukup
banyak pula. Mereka adalah orang-orang upahan yang
menjadi alat dalam tugas-tugas mereka yang kasar. Bukan
hanya menghadapi tingkah laku Sardapa y ang mereka anggap
sebagai tantangan terhadap mereka bersaudara, tetapi juga
dalam kerja mereka sehari-hari y ang oleh Ki Panonjaya
disebut sebagai kerja yang tidak sewajarnya.
Namun bagaimanapun juga saudara tertua itu merasa
heran juga melihat sikap Ki Panonjay a dan kawan-kawannya
yang sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan, apalagi
ketakutan. Demikian pula saudara-saudaranya yang lain.
Tetapi mereka menduga, bahwa sikap itu adalah sikap
yang pura-pura saja. Meskipun sebenarnya mereka menjadi
gemetar, tetapi mereka berusaha untuk meny embunyikan
perasaan itu. Dalam pada itu, muka saudara t ertua serta saudarasaudaranya
pun telah bergerak semakin mendekat. Di tengahtengah
halaman Kiai Patah berdesis, "Kita bertempur dalam
lingkaran. Jangan sampai kita terpecah. Ki Sardapa dan Ki
Pan onjaya harus berada di antara kita. Jumlah mereka terlalu
banyak. _" 38 Ki Sardapa dan Ki Panonjay a mengerti maksud Kiai
Patah. Meskipun m ereka juga tidak gentar menghadapi apa
pun juga dengan akibat y ang paling parah sekalipun, namun
mereka tidak dapat menolak petunjuk Kiai Patah itu.
Demikianlah, maka kelima orang itu pun telah berada
didalam lingkaran menghadap ke segala arah. Ki Panonjaya
telah mengacukan senjata yang dipungutnya dari orang-orang
yang pingsan di luar bilik tahanannya, sementara y ang lain
pun lelah bersenjata pedang pula.
Sejenak kemudian, maka sembilan orang saudara,
bersama dengan kawan-kawannya telah mulai bergerak.
Mereka m emang memancing agar lingkaran yang terdiri dari
kelima orang itu b ertempur terpisah. Tetapi kelima orang itu
ternyata tidak terurai lagi.
Dengan demikian maka orang-orang y ang ingin
membunuh Ki Sardapa dan Ki Panonjaya itulah yang mulai
menyerang. Satu-satu mereka meloncat dengan senjata terjulur.
Mereka berusaha meny erang dari beberapa arah pula. Namun
serangan-serangan itu dengan tangkasnya dapat ditangkis oleh
kelima orang yang berdiri dalam satu lingkaran itu.
Demikianlah, maka serangan-serangan itu datang
semakin lama menjadi semakin sering. Ujung-ujung senjata
mematuk susul menyusul. Namun usaha itu tidak pernah
berhasil. Kelima orang y ang b erdiri dalam satu lingkaran itu
ternyata memiliki ilmu pedang yang tinggi.
Meskipun Ki Sardapa bukan seorang y ang berilmu tinggi
sedangkan Ki Panonjaya memiliki ilmu setingkat lebih tinggi
dari Ki Sardapa, namun di antara Kiai Patah, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, seakan-akan mereka pun m enjadi cukup
tangkas, karena serangan-serangan lawan tidak pernah
mampu menembus pertahanannya.
Kesembilan saudara dan kawan-kawannya itu menjadi
kebingungan. Mereka harus menemukan jalan untuk
memecah pertahanan kelima orang dalam satu lingkaran itu.
Tetapi mereka tidak pernah berhasil memancing salah seorang
di antara mereka. Ternyata kelima orang itu tidak pernah
berusaha memburu lawan-lawannya yang bergerak m undur.
Mereka hanya melangkah setapak maju dan sejauh jangkauan
ujung pedang mereka. Selebihnya, m ereka justru kembali ke
dalam lingkaran itu lagi.
Kesembilan saudara dan kawan-kawannya itu m emang
menjadi kebingungan untuk beberapa saat. Namun akhirnya
saudara mereka y ang tertua itu pun berkata, "jangan serang
mereka dari semua penjuru lingkaran. Kita serang mereka dari
arah setengah lingkaran. Kita harus meny erang mereka
berturut-turut, tanpa henti-hentinya di satu sisi. Betapa pun
kerasnya, pertahanan itu tentu akan pecah."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Karena itu,
maka bersama dengan saudara-saudaranya y ang lain, mereka
bergeser. Tidak lagi mengepung dalam satu lingkaran. Mereka
telah bersiap-siap untuk meny erang mereka dari satu sisi.
Tetapi Kiai Patah pun tanggap akan keadaan itu.
Lingkaran itu pun tiba -tiba telah berubah pula. Tidak lagi
merupakan lingkaran, tetapi kelima orang itu berdiri dan satu
baris dan menghadap ke arah lawan mereka akan datang.
"Setan," geram saudara t ertua. Meskipun demikian,
ternyata mereka pun telah mencoba. Mereka telah meny erang
kelima orang itu dari satu sisi.
Yang kebetulan berdiri di ujung adalah Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, sementara Kiai Patah berada di tengahtengah
diapit oleh Ki Sardapa dan Ki Panonjaya.
Dengan tangkasnya kelima orang itu telah menangkis
semua serangan yang datang beruntun susul menyusul.
Senjata y ang teracu dan ayunan yang kuat. Namun tidak
seorang pun di antara mereka yang berhasil m engenai tubuh
lawannya. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung dengan
keras dan garang. Sembilan orang bersaudara yang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendendam Sardapa dan Panonjaya sesuai dengan keinginan
mereka y ang dilandasi oleh dendam dan kebencian.
Tetapi ternyata bahwa mereka tidak segera dapat
berhasil. Tidak mudah bagi mereka untuk menembus
pertahanan kelima orang itu. Terutama kedua anak-anak
muda yang berdiri di ujung dan orang tua y ang berada di
tengah. Sementara itu, Ki Panonjaya dan Ki Sardapa pun telah
menunjukkan pula kemampuan mereka dalam ilmu pedang.
Untuk beberapa saat pertempuran itu berlangsung,
justru semakin lama semakin sengit. Namun ternyata
sembilan orang saudara itu sama sekali tidak dapat berbuat
banyak. Dengan demikian, maka mereka pun tidak lagi mau
bersabar. Saudara tertua mereka pun kemudian berkata, "Kita
tidak mempunyai pilihan lain. Kita hancurkan mereka menjadi
debu." "Tunggu," berkata y ang termuda, "aku ingin
mendapatkan mereka hidup-hidup. Jika mereka mati sebelum
tertangkap, maka kita akan kehilangan permainan yang
mengasy ikkan." "Aku sudah menjadi muak," geram saudaranya y ang lain,
"biarlah mereka mati dan tubuhnya hancur menjadi debu."
"Kita masih akan mencoba" berkata yang lain lagi.
Beberapa saat, sembilan orang saudara itu masih belum
menentukan sikap. Namun tiba-tiba saja yang tertua berkata
kepada para pengikutnya, "Kepung lagi mereka. Jangan beri
kesempatan seorang pun di antara mereka melepaskan diri."
Sejenak para pengikutnya termangu-mangu. Perintah
saudara tertua itu ternyata telah berubah-ubah.
Namun y ang tiba-tiba berteriak adalah Mahisa Pukat.
Katanya, "Lakukan perintahnya. Ia sedang kebingungan.
Mungkin ia tidak lagi mempunyai key akinan diri, sehingga
perintahnya berubah-ubah tanpa pegangan sama sekali."
"Persetan," geram saudara tertua itu. Namun ia pun
kemudian berteriak, "Minggirlah. Kami bersaudara akan
menyelesaikan dengan cara kami."
Para pengikut sembilan orang bersaudara itu pun telah
menepi. Namun mereka telah m embuat lingkaran di seputar
arena itu, sementara kesembilan saudara ibu tiri Ki Sardapa
yang sejalan itu telah berkumpul.
"Kita akan m elakukannya. Jika mereka dapat bertahan
hidup, maka kita akan m enangkapnya hidup-hidup" berkata
yang tertua. Yang lain mengangguk-angguk. Sejenak kemudian
terdengar salah seorang berkata, "Kitalah yang harus b erhatihati
agar mereka tidak cepat mati."
"Marilah," berkata y ang tertua, "kita jangan banyak
kehilangan waktu." Kesembilan orang bersaudara itu pun tiba-tiba telah
menebar. Tetapi mereka mulai mengepung kelima orang yang
akan mereka hancurkan itu. Beberapa saat mereka seakanakan
meny iapkan diri dengan pemusatan nalar budi. Namun
tiba -tiba terdengar orang tertua di antara mereka itu berteriak,
"Sekarang." Dalam sekejap, maka kesembilan orang itu tiba -tiba
telah berputar. Semakin lama semakin cepat. Sementara itu,
orang tertua itu m asih juga berkata, "Pergunakan senjatamu
lebih dahulu." Sebenarnyalah bahwa sembilan orang itu pun telah
mengacukan senjatanya. Sambil berputaran mereka
menyerang berganti-ganti, bahkan kadang-kadang dua atau
tiga orang menyerang berbareng dengan sasaran yang
berbeda. Kiai Patah pun kemudian memberikan isyarat kepada
kawan-kawannya termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
untuk berhati-hati. Namun bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat hal itu bukannya y ang pertama kali dihadapinya.
Mereka pernah bertemu dengan ungkapan ilmu yang
demikian. Putaran y ang semakin cepat, sehingga akhirnya
seperti angin pusaran y ang bergerigi tajam di bagian dalam,
senjata-senjatanya, sementara lingkaran pun semakin lama
menjadi semakin kecil. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjadi
cemas. Yang mereka lakukan kemudian adalah
mempersiapkan tenaga cadangan mereka sebaik-baiknya.
Keduanya tidak mau memandang rendah lawan-lawan mereka
karena memang belum mengetahui tingkat kemampuan
kesembilan orang itu. Dengan demikian maka m ereka telah
menyediakan tenaga cadangan mereka sebaik-baiknya agar
mereka tidak mengalami kesulitan karena kelengahan mereka.
Untuk beberapa saat, kelima orang itu masih belum
bertindak selain menangkis setiap serangan yang terjulur ke
arah mereka. Kiai Patah m emang berbisik kepada Ki Sardapa
dan Ki Panonjaya, "jangan bingung. Perhatikan setiap
serangan yang ditujukan kepada kalian masing-masing. Setiap
orang supaya memperhatikan keselamatan diri mereka sendiri
lebih dahulu. Jika kalian menjadi bingung, maka kesempatan
itu justru akan dipergunakan oleh orang-orang yang sedang
berputar itu." Ki Panonjaya dan Ki Sardapa mengangguk-angguk
sambil memutar pedangnya. Mereka mengerti bahwa yang
dimaksud oleh Kiai Patah bukannya mereka tidak akan saling
menolong, tetapi untuk menghindari kemungkinan buruk bagi
Ki Sardapa dan Ki Panonjaya yang mengakui bahwa ilmu
mereka jauh lebih lemah dibandingkan dengan ketiga orang
yang lain, maka mereka harus memusatkan perhatian kepada
setiap serangan y ang ditujukan kepada mereka masingmasing.
Sebenarnyalah bahwa putaran itu semakin lama menjadi
semakin cepat, sementara kelima orang yang menjadi sasaran
itu pun berdiri melingkar pula beradu punggung.
Namun dengan cara sebagaimana diberitahukan oleh
Kiai Patah, maka Ki Sardapa dan Ki Panonjaya selalu dapat
menangkis setiap serangan yang terjulur ke arah mereka.
Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk tidak menjadi
bingung dan kehilangan pegangan. Mereka memperhatikan
setiap ujung senjata y ang berputar secepat putaran kesembilan
orang bersaudara itu. Beberapa saat pertempuran yang aneh itu berlangsung.
Tetapi serangan-serangan m ereka y ang berputaran itu sama
sekali tidak mengenai sa saran. Apalagi Kiai Patah, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat akhirnya berdiri agak lebih maju dari
Ki Sardapa dan Ki Panonjaya ketika putaran itu menjadi
semakin cepat. Dengan demikian, m aka ketiga orang itulah yang telah
menyapu setiap serangan. Bahkan, ketika Mahisa Pukat menjadi jemu dengan
putaran itu berkata kepada Mahisa Murti, "Marilah, kita akhiri
permainan y ang memuakkan ini."
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun tiba -tiba ia
melihat satu gerakan y ang aneh pada Ki Sardapa, sehingga ia
pun telah bertanya, "Kau kenapa Ki Sardapa?"
"Kepalaku pening. Perutku serasa menjadi mual dan
bahkan isi perutku akan tumpah" sahut Ki Sardapa.
"Nah," gumam Mahisa Pukat sambil menangkis
serangan yang terjulur ke arahnya, "bukankah permainan ini
pantas diakhiri?" "Ya," y ang menjawab adalah Kiai Patah, "kita akhiri
permainan ini sebelum Ki Sardapa dan Ki Panonjay a jatuh
pingsan." Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat- pun segera bersiap dengan pedang-pedang mereka.
Untuk sesaat mereka masih memperhatikan ujung-ujung
senjata y ang bagaikan gerigi lingkaran di bagian dalam yang
berputar semakin lama semakin cepat dan semakin sempit.
Bahkan kemudian ujung-ujung senjata itu teracu pada letak
yang tetap dalam putaran yang cepat.
Dalam pada itu, Kiai Patah y ang juga sudah bersiap itu
pun segera berkata lantang, "Permainan kalian yang
memuakkan itu sudah cukup. Jika sampai hitungan ketiga
kalian tidak berhenti, maka kamilah yang akan memaksa
kalian berhenti." "Persetan," terdengar jawaban, "sampai hitungan ketiga
kalian sudah akan mati."
Tetapi Kiai Patah tidak menghiraukannya. Dengan suara
lantang ia mulai menghitung, "satu, dua, tiga."
Tepat pada hitungan ketiga, maka terjadilah sesuatu
yang tidak terduga sama sekali. Kiai Patah, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat justru bergeser m aju. Meskipun mereka harus
bertindak dengan sangat berhati-hati karena ancaman lawan
mereka, bahwa dihitungan ketiga mereka akan mati.
Namun Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah
yang ternyata bertindak lebih cepat. Dengan tangkasnya
mereka memutar pedang mereka. Dalam sekejap, maka
sembilan orang dalam putaran itu telah terguncang, sehingga
putaran itu dengan tiba -tiba telah melebar karena mereka
yang berada di dalam putaran itu berloncatan menjauh. Di
luar sadar maka putaran itu pun berhenti, sementara tiga
orang di antara mereka telah kehilangan senjata mereka,
sedangkan dua orang y ang lain telah tergores pedang di
lengannya. Terdengar suara Kiai Patah tertawa. Katanya, "Nah,
siapakah yang berkata benar" Kalian atau kami" Ternyata
dihitungan ketiga kalian tidak dapat m embunuh kami, tetapi
kami dapat memaksa kalian berhenti."
"Anak iblis," geram yang tertua. Dengan gigi y ang
gemeretak ia pun kemudian berkata, "kalian memang pantas
dilumatkan menjadi debu."
"Kau hanya bicara saja sejak semula," berkata Kiai
Patah, "kenapa kau tidak bersungguh-sungguh melakukan apa
yang kau katakan itu?"
Wajah saudara-saudara ibu tiri Ki Sardapa itu m enjadi
merah. Seorang di antara mereka berkata, "Kita lumatkan saja
mereka." "Jangan menunggu sampai matahari terbit," berkata
yang lain. "kita akan membuang sisa -sisa tubuh m ereka yang
hancur selagi masih gelap."
Saudara tertua di antara mereka pun itu pun tiba -tiba
telah m emberikan isy arat. Dengan buny i yang asing, maka ia
pun telah memerintahkan adik-adiknya untuk melingkari
lawannya lagi. Namun tiba-tiba saja mereka telah
menyarungkan senjata mereka.
Kiai Patah pun kemudian m enyadari, apa y ang akan
dilakukan oleh kesembilan orang itu. Karena itu, maka ia pun
kemudian berbisik kepada Ki Sardapa dan Ki Panonjaya,
"Agaknya mereka akan melepaskan sejeni s ilmu yang
didukung oleh kesembilan orang itu. Karena itu, lebih baik
kalian berada di tengah. Kalian tidak perlu memikirkan
bagaimana melawan orang-orang itu. Pusatkan nalar budi
kalian untuk membangunkan daya tahan di tubuh kalian, agar
ilmu y ang akan dilepaskan oleh kesembilan orang itu tidak
melukai kalian. Bahkan mungkin serangan itu akan dapat
menyusup ke bagian dalam tubuh kalian."
Ki Sardapa dan Ki Panonjaya tidak menjawab. Mereka
pun kemudian berdiri beradu punggung sambil menyilangkan
tangan mereka di dada. Sementara itu Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah bergeser maju selangkah. Mereka berdiri tegak
menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Beberapa saat kemudian maka saudara tertua di antara
kesembilan orang itu telah mengisy aratkan perintah pula,
sehingga lingkaran itu pun telah mulai bergerak pula.
Kesembilan orang itu mulai berputar melingkari kelima orang
yang ada di dalamnya, namun dua di antara m ereka seakanakan
telah terlindung didalamnya.
Beberapa saat kemudian, maka putaran kesembilan
orang bersaudara itu pun menjadi semakin cepat. Tetapi
mereka tidak lagi mengacukan senjata-senjata mereka.
Namun dengan demikian orang-orang yang ada didalam
lingkaran itu menjadi semakin berhati-hati. Jika sembilan
orang itu bersama-sama melontarkan ilmu ke arah mereka,
maka keadaan mereka pun akan menjadi gawat.
Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, maka orangorang
y ang berlari -lari dalam putaran itu mulai berdesis.
Kemudian suara desis itu segera berubah menjadi seperti
gaung y ang panjang. Semakin lama menjadi semakin keras.
Sehingga udara yang seakan-akan ikut berputar seperti angin
pusaran itu pun mulai menggelepar. Tekanan y ang kuat
seakan-akan mulai menghentak-hentak di dada mereka.
Ki Sardapa dan Ki Panonjaya merasa nafas mereka
semakin sesak. Ra sa-rasanya dada mereka telah terhimpit oleh
batu-batu padas y ang berat. Dengan sekuat tenaga mereka
berusaha untuk meningkatkan daya tahan mereka, agar dada
mereka tidak pecah karenanya.
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
belum begitu banyak terpengaruh oleh ilmu yang mulai
dilepaskan oleh kesembilan kakak beradik itu. Meskipun
demikian m ereka pun m enyadari, bahwa Ki Sardapa dan Ki
Pan onjaya tentu sudah mulai mengalami kesulitan. Meskipun
Ki Panonjaya memiliki kelebihan dari Ki Sardapa, tetapi
ternyata bahwa ilmu yang dilontarkan oleh kesembilan orang
bersaudara itu merupakan serangan y ang sangat berat pula
baginya. Untuk beberapa saat Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Kiai Patah bertahan. Namun ketika mereka menyadari, bahwa
Ki Sardapa mulai menggigil, maka mereka harus segera
mengambil sikap. Namun justru pada saat y ang demikian, kesembilan
orang itu telah menghentakkan ilmunya. Udara didalam
lingkaran itu seakan-akan benar-benar telah terguncang.
Getaran yang dahsyat m elanda setiap dada, sehingga seakanakan
isi dada mereka pun telah terhimpit oleh kekuatan yang
sulit dilawan. Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Sardapa
ternyata sudah tidak mampu lagi bertahan lebih lama.
Perasaan sakit y ang menghentak-hentak di dadanya telah
menghempaskannya ke dalam ketidak sadaran. Karena itu,
maka Ki Sardapa itu pun perlahan-lahan telah jatuh pada
lututnya, namun kemudian ia - pun telah terguling di tanah
dalam keadaan pingsan. Ki Panonjay a masih dapat bertahan sambil berdiri.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ia pun kemudian telah jatuh pula terduduk, meskipun
tidak segera menjadi pingsan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi cemas.
Mereka - pun merasakan tekanan y ang semakin berat. Jika
mereka tidak berbuat sesuatu, maka kemungkinan y ang parah
dapat terjadi atas Ki Sardapa dan Ki Panonjaya.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian berkata
kepada Kiai Patah, "Kiai, tolong jaga kedua orang itu. Aku
akan Mahisa Pukat akan menghentikan mereka."
"Apa yang akan kalian lakukan?" bertanya Kiai Patah.
"Serahkan kepada kami" jawab Mahisa Pukat.
Kiai Patah tidak m enjawab. Ia m enyadari bahwa kedua
anak Mahendra itu mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itu,
maka ia tidak mencegahnya. Namun sementara itu, ia
bertanggung jawab atas kedua orang y ang sudah tidak berdaya
itu. Ia harus melindungi keduanya jika ada di antara lawan
mereka yang datang menyerang atau bahkan mempergunakan
senjata. Dalam pada itu, putaran kesembilan orang itu pun
menjadi semakin cepat. Sementara itu, dengung di mulut
mereka pun menjadi semakin keras, sehingga udara pun
bergetar semakin keras pula. Dengan demikian maka tusukan
serangan ilmu kesembilan orang itu pun menjadi semakin
tajam pula menghunjam ke dalam dada mereka.
Karena itulah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak menunggu lebih lama lagi, agar Ki Sardapa dan Ki
Pan onjaya tidak mengalami bencana yang lebih parah. Namun
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih membatasi diri dengan
tidak melepaskan serangannya dari jarak tertentu untuk
melontarkan udara panas y ang dapat membakar mereka. Jika
kedua anak muda itu benar-benar kehilangan kesabaran, maka
mereka akan dapat melakukannya sehingga kemungkinan
bahwa kesembilan orang itu menjadi korban seluruhnya, akan
dapat terjadi. Dengan isy arat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bertekad untuk mempergunakan ilmu mereka yang lain.
Agaknya kesembilan orang itu dapat menangkap isy arat,
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan memberikan
perlawanan khusus atas mereka bersembilan. Dengan
penjagaan sebelumnya, kesembilan orang itu menyadari
bahwa kedua orang itu tentu termasuk orang berilmu tinggi.
Karena itu, maka kesembilan orang itu pun telah
meningkatkan pelepasan ilmu mereka. Putaran serta gaung
dari mulut mereka pun semakin lama menjadi semakin cepat
dan keras. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil
keputusan bulat, bahwa mereka harus menghentikan tingkah
laku kesembilan orang itu. Apalagi ketika serangan kesembilan
orang itu telah mulai pula menyakiti isi dada mereka.
Dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat melangkah semakin maju m eskipun
putaran dari kesembilan orang itu menjadi semakin sempit.
Kedua anak muda itu telah m eningkatkan day a tahan
tubuh m ereka. Suara y ang bergaung semakin keras itu rasarasanya
memang semakin tajam menusuk kedalam jantung.
Namun kedua anak muda itu masih mampu mengatasinya
sehingga mereka tidak kehilangan kemampuan mereka.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti pun telah
memberikan isy arat kepada Mahisa Pukat, sehingga dengan
kesiagaan tertinggi keduanya maju semakin dekat dengan
lingkaran. Ketika orang-orang yang berlarian dalam putaran
itu menghentak-hentakkan suaranya sehingga dada kedua
anak muda itu pun terasa bagaikan dihentak-hentakkan, maka
keduanya tiba-tiba saja telah meloncat meny erang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau dikelabui
oleh sa sarannya y ang bergerak sehingga orang y ang di
belakangnya justru dapat menyerangnya. Tetapi Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah memilih sasaran, dan untuk
menyerangnya mereka ikut pula dengan putaran itu.
Kesembilan orang yang ada didalam putaran itu
mengumpat didalam hati. Namun mereka tidak mau
membiarkan lingkaran mereka terputus. Karena itu, maka
mereka kesembilan orang itu telah bertindak hampir serentak
terhadap kedua orang anak muda itu.
Dengan hentakkan, maka sembilan orang itu telah
menghempaskan ilmu mereka dengan puncak kekuatan
mereka. Mereka berteriak sekuat tenaga mereka.
Akibatnya memang mencemaskan. Bukan saja Ki
Sardapa, bahkan Ki Panonjay a pun telah jatuh terbaring di
tanah. Sementara itu isi dada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun merasa semakin tajam tertusuk ilmu lawan-lawan mereka.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertindak.
Keduanya tetap ikut dalam putaran yang semakin cepat.
Namun kemampuan kedua anak muda itu memang lebih
tinggi dari lawan-lawannya, sehingga keduanya mampu
bergerak lebih cepat dari kesembilan orang bersaudara itu.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
dekat dengan sa sarannya, maka hentakkan-hentakkan ilmu
kesembilan orang itu masih pula meny erang kedua anak muda
itu. Namun tiba-tiba saja kedua anak muda itu telah
menyerang dengan dahsyatnya. Mahisa Pukat lah yang lebih
dahulu meluncur dengan derasnya sejalan dengan putaran
kesembilan orang bersaudara itu. Kakinyalah y ang terjulur
lurus mengarah ke pundak sasarannya.
Dua orang di belakang sasarannya telah ikut pula
melawan serangan Mahisa Pukat. Tiga orang berusaha
menangkis serangan itu. Tetapi Mahisa Pukat berhasil
memanfaatkan dorongan gerak putaran itu, sehingga tiga
orang di antara sembilan orang itu telah terdorong dan
terlempar dari putaran. Sementara itu, Mahisa Murti telah m elakukan serangan
pula. Berbeda dengan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti
justru telah menerkam lawannya dengan tangannya. Seperti
sa saran serangan Mahisa Pukat, maka seorang yang berada di
belakang sa saran serangan Mahisa Murti pun telah membantu
menangkis serangan Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti pun
dengan kuatnya telah mendorong lawannya, sejalan pula
dengan putarannya sendiri, sehingga mereka terpelanting
keluar lingkaran yang berputar itu pula.
Dengan demikian, maka lingkaran itu telah terputus.
Lima orang telah terlempar dan jatuh berguling-guling.
Sementara itu dengan tangkasny a mereka pun telah melenting
berdiri. "Anak iblis," geram yang tertua y ang kebetulan
terdorong oleh kekuatan Mahisa Murti, "kau benar-benar
ingin mati." Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun telah
meloncat meny erang lawannya y ang menjadi semakin marah.
Dengan isy arat, maka saudara tertua itu telah
memanggil seorang lagi di antara adiknya. Sehingga dengan
demikian, maka kesembilan orang itu masing -masing b ertiga
berhadapan dengan seorang lawan.
Agaknya setiap tiga orang itu pun mencoba untuk
mengetrapkan ilmu mereka pula. Mereka berusaha untuk
dapat berputar melingkar sambil melontarkan ilmu mereka
lewat gaung suara mereka dalam putaran y ang dapat membuat
lawan mereka pening. Tetapi ternyata mereka tidak sempat berbuat demikian.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah bertempur dengan serangan-serangannya yang keras dan
kuat. Karena itulah maka lawan-lawan mereka pun harus
bertempur pula sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Namun dalam pada itu, maka saudara tertua itu telah
memberikan isy arat kepada para pengikutnya untuk segera
melibatkan diri. Dengan senjata terhunus maka para pengikut dari
sembilan orang bersaudara itu telah menerjunkan diri
kedalam lingkaran-lingkaran pertempuran.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha
mengambil jarak agar mereka tidak merasa bertempur dalam
ruang yang berhimpitan. Dengan arena yang lebih luas, maka
kedua anak muda itu dapat bertempur dengan lebih baik.
Dalam pada itu, maka pertempuran y ang terjadi
kemudian adalah pertempuran bersenjata. Sembilan orang
bersaudara y ang telah menyarungkan pedang, dan bahkan
kehilangan senjatanya, telah menggenggam senjata pula.
Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran yang sengit. Benturan-benturan senjata
berdentangan, sementara bunga api pun telah berloncatan di
udara. Namun sangat mengherankan. Meskipun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tidak dengan semena-mena melukai lawan-
Untuk beberapa saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berloncatan dengan tangan terkem bang. Pedangnya pun
menyambar-ny ambar mengerikan. Keduanya bagaikan burung
elang y ang terbang-berputaran. Namun sekali-sekali telah
menukik menyambar mangsanya.
Tetapi sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
merasa tidak perlu m enghunjamkan pedang mereka ke dada
lawan-lawannya. Lebih-lebih para pengikut kesembilan orang
bersaudara yang ingin membunuh Ki Sardapa dan Ki
Pan onjaya itu. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, cukup berusaha
untuk membentur senjata lawan dengan senjata mereka. Atau
bahkan hanya meny entuh senjata lawan y ang meny erang susul
menyusul. Sembilan orang bersaudara itu tidak dapat mengerti,
kenapa satu-satu para pengikutnya bagaikan menjadi lumpuh.
Mereka merangkak menepi agar mereka tidak terinjak oleh
mereka y ang masih bertempur.
"Apa yang terjadi" pertanyaan itu telah mengganggu
sembilan orang bersaudara itu.
Sementara itu, tiga di antara mereka, mencoba
mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan Ki
Sardapa dan Ki Panonjay a. Namun ternyata mereka telah
membentur kemampuan ilmu Kiai Patah. Dengan ilmunya
yang tinggi, maka Kiai Patah tidak banyak menjumpai
kesulitan untuk melindungi Ki Sardapa dan Ki Panonjaya yang
ternyata telah menjadi pingsan.
Getaran-getaran ilmu y ang menghentak-hentak dadanya
ternyata tidak t eratasi oleh day a tahan mereka.
Namun dengan keadaan terakhir, ketika sembilan orang
bersaudara itu telah terpecah, maka lontaran ilmu yang
mereka lakukan bersama itu pun telah mengendor dan bahkan
akhirnya pudar sama sekali. Pada saat-saat mereka bertempur,
maka mereka tidak lagi mampu secara bersama-sama
menyerang dengan getaran yang menghentak karena
kemampuan ilmu mereka. Apalagi setelah mereka terpecah dalam kelompokkelompok
y ang terpisah. Karena itu, maka Ki Sardapa dan Ki Panonjaya y ang
tidak berdaya itu perlahan-lahan telah terlepas dari himpitan
ilmu y ang seakan-akan meny esak di dada mereka.
Ketika Kiai Patah kemudian sibuk bertempur mengusir
orang-orang y ang ingin langsung membunuh Ki Sardapa,
maka Ki Sardapa dan Ki Panonjaya pun mulai bergerak.
Ki Panonjaya lah y ang lebih dahulu menyadari
keadaannya. Karena itu maka ia pun telah berusaha untuk
bangkit. Sejenak Ki Panonjaya berusaha untuk memulihkan
segenap kesadarannya dan menghimpun kembali
kekuatannya. Ketika Ki Panonjaya kemudian bangkit sambil
menggenggam pedang, maka Ki Sardapa pun mulai bergerakgerak
pula. "Bangunlah," Ki Panonjaya lah yang kemudian
mengguncangnya, "kita harus bertempur."
Perlahan-lahan Ki Sardapa pun m ulai bangkit. Ia pun
berusaha untuk menghimpun kembali kekuatannya yang
bagaikan telah lenyap. Sejenak kemudian maka keduanya pun telah berdiri
sambil menggenggam senjata di tangan.
Tetapi seakan-akan keduanya memang tidak
memperoleh lawan. Kiai Patah telah mengusir setiap orang
yang akan mendekati mereka.
Namun ketika Kiai Patah kemudian m elihat keduanya
telah bangkit sambil menggenggam senjata, maka ia pun tidak
menjadi t erlalu cemas lagi.
Sementara itu, lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun semakin lama menjadi semakin berkurang. Para pengikut
sembilan orang bersaudara itu sama sekali tidak mampu untuk
melepaskan diri dari kekuatan ilmu kedua anak muda itu.
Satu-satu mereka jatuh dan harus merangkak menepi. Tulangtulang
mereka menjadi bagaikan terlepas sehingga tubuh
mereka tidak lagi mempunyai kekuatan.
"Apa yang terjadi, he?" saudara tertua di antara sembilan
orang itu berteriak. Tidak seorang pun yang dapat menjawab. Namun
korban- pun telah berjatuhan. Sehingga akhirnya tinggallah
sembilan orang bersaudara yang harus menghadapi tiga orang
yang berilmu tinggi. Ki Sardapa dan Ki Panonjaya, yang telah menemukan
kembali kemampuan dan kekuatan mereka, sempat bertempur
bersama-sama dengan Kiai Patah. Mereka sempat melawan
masing-masing seorang di antara kesembilan bersaudara itu.
Ternyata Ki Panonjaya memiliki kemampuan untuk
mempertahankan dirinya. Namun Ki Sardapa masih
memerlukan bantuan Kiai Patah karena ternyata bahwa
paman-pamannya memang memiliki kemampuan lebih besar.
Tetapi perlawanan kesembilan orang bersaudara itu
tidak lagi berbahaya bagi Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Tidak pula m emungkinkan lagi untuk m embunuh dan
apalagi memenggal kepala Ki Sardapa dan Ki Panonjaya.
Ketiga orang yang bertempur melawan Mahisa Murti
yang dengan keras meny erangnya beruntun susul m enyusul
seperti debur ombak yang membentur batu karang, sama
sekali t idak m elukainya. Bahkan dengan kebingungan mereka
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasakan betapa tenaga mereka semakin lama menjadi
semakin su sut. Begitu cepatnya, sehingga rasa-rasanya sesuatu
yang tidak wajar telah terjadi.
Sementara itu, Kiai Patah y ang mempergunakan cara
yang lain untuk menundukkan lawan-lawannya, ternyata telah
mempergunakan cara y ang lebih keras. Satu-satu tiga orang
bersaudara yang bertempur melawannya, telah dilukainya.
Yang berusaha m enyerang Ki Sardapa dan Ki Panonjaya pun
telah terluka pula oleh senjata Kiai Patah.
Sebenarnya bahwa Kiai Patah telah berusaha membatasi
dirinya dengan mempergunakan senjata. Tanpa senjata ia
akan m enjadi lebih berbahaya. Apalagi jika ia tidak sempat
menjangkau lawan karena jarak yang panjang. Maka ia akan
dapat mempergunakan ilmunya yang akan dapat
menghancurkan tubuh lawan-lawannya.
Demikianlah, maka pertempuran di halaman rumah
saudara tertua dari ibu tiri Ki Sardapa itu semakin lama telah
menjadi semakin susut. Lawan Kiai Patah y ang telah terluka
pun tidak lagi mampu berbuat banyak. Semakin banyak
mereka bergerak, maka darah pun semakin deras pula
mengalir dari tubuh mereka.
Menj elang fajar, maka semua lawan Kiai Patah, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah dilumpuhkan. Ketiga orang
lawan Kiai Patah y ang kehilangan banyak darah itu pun
seakan-akan sudah tidak mampu lagi menggerakkan
pedangnya. Sementara itu lawan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat benar-benar telah kehilangan tenaga. Sedangkan para
pengikutnya tidak ada yang mampu lagi berbuat sesuatu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah membuat
mereka menjadi seakan-akan lumpuh seluruh tubuhnya.
Dengan menyentuh mereka seorang demi seorang, maka sisasisa
tenaga mereka telah benar-benar terhisap sampai kering.
Dalam pada itu, Kiai Patah pun kemudian telah
membawa Ki Sardapa dan Ki Panonjaya untuk berdiri di
depan saudara tertua ibu tiri Ki Sardapa itu. Dengan lemahnya
saudara tertua itu telah didudukkan di tangga pendapa
bersama dua orang saudaranya.
"Ki Sanak," berkata Kiai Patah, "apakah kau masih juga
berkeberatan untuk mendengarkan penjelasan Sardapa
tentang kematian ibu tirinya" Atau barangkali kami harus
membawamu menghadap Ki Buyut untuk mendapatkan
penjelasannya." "Buyut y ang berkuasa di padukuhanmu bukan Buyut
yang berhak memerintah aku. Aku tidak tinggal di
kabuyutanmu" suaranya masih tetap garang.
Tetapi Mahisa Murti pun berkata, "Baiklah. Sekarang
dengarkan penjelasan Ki Sardapa y ang sekarang telah
menjabat sebagai seorang Bekel menggantikan kakaknya yang
ditangkap oleh Ki Buyut karena pembunuhan yang tidak
berperikemanusiaan."
"Aku tidak memerlukan penjelasannya. Aku sudah tahu
segala-galanya" berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murti pun kemudian mendekatinya
sambil berkata, "Ki Sanak. Kau tidak akan dapat menolak. Kau
tidak akan dapat pergi dari tempatmu itu."
"Persetan" geram orang itu.
Namun Mahisa Murti pun berkata kepada Ki Sardapa,
"Bicaralah. Biarlah ia mendengarkan."
Saudara tertua ibu tiri Ki Sardapa itu m encoba untuk
beringsut. Betapa pun lemahnya, namun ia telah naik ke
pendapa dan berusaha untuk bangkit. Tertatih-tatih ia
melangkah menjauh. Tetapi Mahisa Murti berkata, "jangan mempersulit
dirimu sendiri. Jika kau tidak menghiraukan kami, maka sisa
tenaga yang ada padamu itu pun segera akan lenyap pula. Dan
kau tidak akan lebih dari seorang y ang lumpuh. Hal itu akan
dapat terjadi jika kami menghendaki."
"Persetan," geram saudara tertua, "jika kalian ingin
membunuh aku, bunuhlah. Tetapi kau tidak akan mau
mendengarkan pembicaraanmu."
"Jangan keras kepala," berkata Mahisa Murti, "kau
hanya tinggal mendengarkan. Kau boleh percaya atau tidak."
"Aku tidak mau" orang itu hampir berteriak.
Tetapi ia tidak dapat melarikan diri ketika Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat menangkapnya dan membawanya kembali
ke tangga pendapa. "Duduklah dan dengarlah. Kau tidak akan dapat
mengelak lagi" berkata Mahisa Murti.
Ketika orang itu kemudian duduk kembali, maka sekali
lagi ia berusaha untuk bangkit. Tetapi ternyata bahwa
kekuatannya bagaikan telah terhisap habis. Saudara tertua ibu
tiri Ki Sardapa itu, tidak lagi sempat bangkit berdiri dan
bergeser dari tempatnya. Bahkan merangkak pun rasa-rasanya
tidak mungkin lagi. " Ilmu iblis y ang manakah yang kalian pergunakan"
geramnya. "Sudahlah," berkata Kiai Patah, "biarlah Ki Sardapa
memberikan keterangan. Kemudian terserah kepadamu.
Apakah kau percaya atau tidak. Tetapi satu hal yang pasti,
bahwa kau tidak akan mungkin lagi m embunuh Ki Sardapa.
Peri stiwa yang terjadi kali ini m erupakan peringatan bagimu,
karena jika sesuatu terjadi atas Ki Sardapa, maka sembilan
orang akan mati. Kemana pun kalian berusaha untuk lari,
kami akan memburu dan membunuh kalian di manapun."
Wajah saudara tertua itu menjadi merah. Tetapi ia
benar-benar tidak mampu bergeser dari tempatnya. Ra sarasanya
tulang-tulangnya telah terlepas dari tubuhnya.
Karena itu, maka mau tidak mau, ia harus tetap berada
di tempatnya. Sementara itu Kiai Patah pun berkata kepada Ki
Sardapa, "Jelaskan apa yang terjadi."
Ki Sardapa pun kemudian mulai b erbicara. Ternyata ia
tidak hanya berbicara kepada saudara tertua ibu tiriny a. Tetapi
ia pun berbicara dengan sembilan orang saudara ibu tirinya
itu, termasuk mereka yang terluka.
Sambil berjalan mendekati mereka seorang demi
seorang, Ki Sardapa berkata lantang, sehingga terdengar dari
seluruh halaman, "Kalian harus tahu apa yang sebenarnya
terjadi." Namun sangat mengherankan. Meskipun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tidak dengan semena-mena melukai lawanlawannya,
namun para pengikut kesembilan orang bersaudara
itu rasa-rasanya dengan cepat kehilangan tenaga mereka.
Betapa pun kesembilan orang pamannya itu ingin
menolak, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka
tidak dapat beranjak pergi karena mereka sudah tidak
mempunyai tenaga lagi. Sehingga dengan demikian, maka
mau tidak mau mereka harus mendengar apa y ang dikatakan
oleh Ki Sardapa dengan suara yang lantang.
Satu dua orang di antara mereka berusaha memalingkan
wajahnya. Tetapi suara Ki Sardapa itu masih tetap mereka
dengar menusuk-nusuk telinga dan rasa -rasanya menyakiti
jantung. Dalam pada itu Ki Sardapa sama sekali tidak peduli
apakah orang-orang itu m endengarkannya atau tidak. Tetapi
dengan lantang ia menceriterakan apa yang sebenarnya telah
terjadi di padukuhannya. "Aku sama sekali tidak tahu apa y ang sebenarnya
dilakukan oleh kakang Bekel. Karena itu, sudah barang tentu
aku tidak berbuat apa-apa sebelumnya. Baru ketika kemudian
rahasia tentang kecurangannya terbuka, maka aku terlibat
kedalam tindakan-tindakan berikutnya. Karena itu, adalah
fitnah y ang amat menyakitkan hati jika dikatakan, aku telah
berusaha merebut kedudukan kakang Bekel. Sebenarnya hal
ini dapat ditanyakan kepada setiap orang di padukuhanku.
Kepada Ki Buyut yang terkenal tegak pada paugeran. Apalagi
ia adalah bekas seorang prajurit sebelum ia harus memangku
jabatan y ang diwariskan oleh ay ahnya. Dan kalian dapat
bertanya kepada Kiai Patah yang dengan tekun dan hati-hati
menyelidiki peristiwa yang telah terjadi beberapa tahun yang
lalu, karena perampokan itu menyangkut keluarganya,"
berkata Ki Sardapa dengan kata-kata yang mengalir dari
mulutnya seperti banjir. Kesembilan orang pamannya itu berusaha untuk tidak
mengacuhkannya. Namun mereka memang terpaksa
mendengarkan kata -kata Ki Sardapa yang berkepanjangan.
Namun y ang kemudian dikatakannya bahwa kematian ibu
tirinya sama sekali bukan salahnya.
"Kalian akan dapat berbicara dengan orang-orang y ang
diupah oleh ibu untuk membunuhku," berkata Ki Sardapa,
"sehingga dengan demikian kalian akan mengetahui, siapakah
sebenarnya yang telah berniat untuk membunuhku."
Tidak seorang pun di antara kesembilan orang saudara
ibu tiri Ki Sardapa yang menjawab. Sementara itu Ki Sardapa
berkata selanjutnya, "Nah, kemudian terserah kepada kalian.
Percaya atau tidak percaya. Tetapi kali ini, kami memang tidak
berniat untuk membunuh kalian, meskipun hal seperti itu
sudah kalian rencanakan untuk kalian lakukan atasku dan
paman Panonjaya. Bahkan kami berlima. Tetapi jika sekali lagi
terjadi benturan, maka kalian tentu tidak akan dimaafkan oleh
Kiai Patah y ang sudah kehilangan hampir seluruh keluarganya
karena kejahatan kakang Bekel. Sekarang, Kiai Patah m asih
bersedia memaafkan kalian dan tidak akan membunuh
seorang pun di antara kalian. Tetapi jika lain kali y ang terjadi
tentu akan berbeda. Kiai Patah tentu akan menuntut kematian
saudara-saudaranya yang dibunuh dan dirampok oleh kakang
Bekel dengan cara yang licik. Nah, jika demikian halnya,
terserah atas penilaian kalian."
Halaman itu masih saja dicengkam keseny apan. Namun
dalam pada itu langit pun m ulai menjadi terang. Perlahanlahan
cahaya matahari mulai nampak memancar di langit.
Dengan demikian maka keadaan sembilan orang saudara
ibu tiri Ki Sardapa itu menjadi semakin jelas. Mereka
bertebaran di halaman dalam keadaan yang pahit. Bahkan ada
di antara mereka y ang tidak berdaya karena darah yang terlalu
banyak mengalir dari tubuh mereka y ang terluka.
"Nah," berkata Ki Sardapa kemudian, "aku sudah
mengatakan y ang sebenarnya. Terserah kepada kalian, apakah
kalian akan percaya atau tidak. Tetapi satu hal telah aku
kerjakan. Berusaha menunjukkan kebenaran kepada kalian.
Jika m ata kalian buta akan kebenaran, maka kalian m emang
tidak akan pernah menegakkan kebenaran itu."
Masih tidak ada jawaban. Sementara itu Kiai Patah lah
yang berkata, "Kalian telah m endengar apa y ang sebenarnya
telah terjadi itu. Yang ingin kami lakukan telah kami lakukan.
Karena itu maka tugas kami telah selesai. Ki Panonjaya yang
datang mendahului kami pun sebenarnya juga hanya ingin
menyampaikan keny ataan itu. Tetapi kalian telah berlaku
kasar atasnya dan bahkan kalian kemudian telah memutuskan
untuk membunuhnya." Kesembilan orang itu masih tetap berdiam diri. Karena
itu, maka Kiai Patah pun kemudian berkata, "Baiklah. Tugas
kami sudah selesai. Kalian dengar atau tidak, tetapi Ki Sardapa
sudah m enyampaikan peri stiwa yang sebenarnya telah terjadi
di padukuhannya serta kematian ibu tirinya. Karena itu, kami
akan meninggalkan rumah ini. Beberapa orang yang
kehilangan kekuatannya, perlahan-lahan akan timbul dan
bahkan pulih kembali. Yang t erluka sebaiknya segera diobati.
Mungkin dalam waktu beberapa hari, barulah semuanya akan
kembali seperti sediakala. Namun dengan satu pengertian, jika
kalian tidak merubah tanggapan kalian atas peri stiwa yang
telah terjadi, maka jangan m eny esali nasib kalian yang akan
menjadi jauh lebih buruk lagi."
Kiai Patah pun kemudian berkata kepada Ki Sardapa dan
Ki Panonjaya, "Apakah masih ada y ang ingin kalian katakan?"
Ki Sardapa menggeleng sambil berkata, "Tidak. Yang aku
katakan sudah cukup banyak. Terserah kepada mereka."
Sedang Ki Panonjaya pun berkata, "Memang tidak ada
lagi yang perlu dikatakan kepada mereka."
"Jika demikian, marilah. Kita tinggalkan tempat ini"
berkata Kiai Patah. Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia
memandangi wajah-wajah pamannya. Namun kemudian ia
pun berdesis, "Marilah. Kita biarkan mereka hidup. Mudahmudahan
aku tidak berubah pikiran."
Wajah saudara tertua di antara kesembilan saudara itu
menjadi semakin tegang. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.
Sesak di dadanya seakan-akan mencekiknya.
Dalam pada itu, Ki Sardapa, Ki Panonjaya dan ketiga
orang lainnya pun telah meninggalkan halaman rumah itu.
Sementara langit telah menjadi semakin panas oleh sinar
matahari y ang memanjat semakin tinggi.
Sepeninggal kelima orang itu, maka halaman rumah itu
pun masih saja m enjadi lengang. Orang-orang yang terbaring
terbujur lintang di halaman itu belum segera beringsut dari
tempatnya. Ternyata mereka memang tidak mempunyai
kekuatan sama sekali untuk bergeser dari tempatnya.
Beberapa orang memang masih berhasil merangkak
menepi, m endekati tangga pendapa. Namun y ang lain benarbenar
bagaikan seonggok pelepah pisang y ang tergolek di
halaman. Dalam pada itu, ketika suasana benar-benar telah
menjadi tenang, beberapa orang pelay an mulai memberanikan
diri menengok ke halaman. Ketika mereka melihat orangorang
yang bertebaran di halaman, maka mereka pun menjadi
kebingungan. Bahkan ada di antara mereka yang berteriakteriak
memanggil kawan-kawannya.
Halaman rumah itu telah menjadi gelisah lagi. Bukan
oleh pertempuran. Tetapi oleh mereka yang kebingungan. Para
pelayan, laki-laki dan perempuan, serta isteri sembilan orang
bersaudara y ang memang sudah berkumpul di rumah itu.
Mereka berlari-larian menolong terutama sembilan orang
bersaudara yang menjadi sangat lemah, bahkan di antara
mereka telah terluka. Satu-satu mereka telah diangkat dan didudukkan di
pendapa. Namun sembilan orang itu telah minta disandarkan
pada dinding pringgitan karena mereka hampir tidak lagi kuat
untuk duduk tanpa sandaran. Apalagi mereka y ang terluka.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya isteri saudara tertua
itu. "Obati yang luka itu" berkata saudara tertua di antara
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka. Beberapa orang telah berusaha untuk m engobati y ang
terluka itu lebih dahulu dengan obat y ang ditunjukkan oleh
saudara yang tertua itu. "Ambil m inuman buat kami semuanya" bentak saudara
tertua itu kepada seorang pelay an.
Pelay an y ang ketakutan itu pun kemudian berlari-lari
menemui beberapa orang untuk segera membuat minuman
bagi orang-orang yang bagaikan lumpuh di pendapa.
Saudara tertua itu berharap bahwa dengan minuman
hangat, maka tubuhnya akan menjadi segar lagi. Namun
ternyata meskipun ia telah m inum m inuman hangat, bahkan
dengan susah pay ah, tetapi tubuhnya masih saja bagaikan
lumpuh dan tidak berdaya.
Akhirnya saudara tertua di antara sembilan orang
saudara itu menyadari, bahwa mereka telah berhadapan
dengan orang-orang yang berilmu sangat tinggi.
Itulah sebabnya, maka mulailah timbul pertanyaan di
dalam diri saudara tertua itu, "Kenapa mereka tidak
membunuh kami." Ternyata pertanyaan itu telah berkembang didalam
dirinya. Bukan saja tentang kenapa orang-orang itu tidak
membunuh mereka, tetapi juga tentang keterangan yang
dikatakan oleh Ki Sardapa. Meskipun pada saat Ki Sardapa
mengucapkan, saudara tertua itu dan juga y ang lain-lainnya
tidak berusaha m endengarkan sama sekali, namun mau tidak
mau m ereka telah mendengarnya pula, sehingga keterangan
itu mulai bergejolak di dalam diri mereka.
Tetapi saudara tertua itu masih menyimpan persoalan
itu didalam dirinya. Sementara itu, kelima orang yang meninggalkan rumah
itu- pun telah menyusuri jalan padukuhan. Mereka tidak
menghiraukan beberapa pasang mata y ang memandang
mereka dengan pertanyaan di dalam hati.
Namun akhirnya, ada juga orang menjadi curiga. Di
halaman regol yang tertutup rapat itu terdengar kesibukan.
Bahkan seorang tetangga mengatakan, bahwa mereka telah
mendengar suara-suara ribut bukan saja setelah matahari
terbit. Tetapi sejak dini di halaman itu terdengar keributan
namun yang tidak jelas. "Apa tidak ada y ang menjenguknya?" bertanya
seseorang. Tetangga itu m enggeleng. Katanya, "Rumah itu adalah
rumah y ang khusus di padukuhan ini. Jarang orang yang
berani masuk. Di dalamnya tinggal seorang y ang berilmu
tinggi. Menurut beberapa orang, mereka telah melihat
saudara-saudaranya berkumpul di rumah itu bersama dengan
beberapa orang pengikut mereka."
Dengan demikian maka tidak seorang pun y ang
mencoba untuk menjenguk ke dalam halaman itu. Orangorang
yang betapa pun ingin m elihat, namun mereka tidak
mau dipersalahkan oleh para penghuninya, bahwa mereka
telah mencampuri per soalan y ang terjadi di dalam lingkungan
halaman rumah itu. Karena itu, maka apa yang terjadi di halaman itu tetap
tidak diketahui oleh orang-orang di sekitarnya. Jangankan
untuk membantu atau kepentingan yang lain, menjenguk pun
tidak seorang pun y ang berani melakukannya.
Dalam pada itu kelima orang y ang meninggalkan rumah
sembilan orang bersaudara itu pun telah menjadi semakin
jauh. Di perjalanan Kiai Patah itu pun berkata, "Aku kira,
mereka akan menghentikan kegiatan mereka untuk
selanjutnya." "Mudah-mudahan," berkata Ki Sardapa, "sebenarnya, di
hati kecil memang terbersit keinginan untuk membunuh saja
mereka, agar tidak akan menjadi duri dalam kehidupanku
selanjutnya. Tetapi ternyata serasa ada y ang mencegahnya di
dalam hati ini." Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Sambil menepuk
bahu Ki Sardapa ia berkata, "Jika masih ada yang terasa
mencegah di hati Ki Bekel, itu b erarti bahwa Ki Bekel m asih
belum kehilangan perasaan. Ki Bekel masih menyimpan
landasan kemanusiaan di dalam hati. Mudah-mudahan
landasan itu t idak akan larut dalam jabatan Ki Bekel
kemudian." Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak akan melupakan bagaimana aku merayap mencapai
kedudukan y ang sebelumnya tidak pernah aku impikan itu.
Namun ketika beban itu berada di pundak, maka aku pun
berusaha untuk mengangkatnya. Namun aku t idak pula akan
pernah melupakan, bagaimana aku dapat tegak dalam
kedudukan ini. Aku tidak akan dapat ingkar, bahwa aku tidak
dapat berdiri sendiri. Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya,
"Kesadaranmu akan hal itu, akan membantumu, menuntunmu
lewat jalan y ang benar." Kiai Patah berhenti sejenak, lalu
katanya kepada Ki Panonjaya, "Ki Panonjay a akan dapat
menjadi pendampingnya yang baik. Meskipun barangkali Ki
Pan onjaya tidak dapat terlalu sering mengunjunginya, namun
pada saat-saat tertentu Ki Panonjay a akan dapat memberikan
beberapa tuntunan yang berarti bagi Ki Bekel."
"Di samping barangkali aku yang merasa diri orang tua,
maka beberapa orang paman Ki Bekel y ang sebenarnya tidak
terlibat akan dapat membantunya" berkata Ki Panonjaya.
"Ya," sahut Kiai Patah, "setidak-tidaknya, seorang di
antara saudara ibu tirinya y ang sedang menunggu kita
sekarang ini." Ki Panonjaya m engangguk sambil berkata, "sebenarnya
ia tidak sendiri. Mungkin saudara-saudaranya yang lain tidak
memiliki keberanian bertindak seperti pamannya yang satu
itu." "Mungkin paman," desis Ki Sardapa, "namun aku akan
senang sekali jika paman-paman y ang mana pun akan
bersedia membantuku dalam segala segi tugas-tugasku."
Kiai Panonjaya terseny um. Baginya, Ki Sardapa adalah
orang y ang tepat untuk jabatannya. Meskipun ilmunya tidak
begitu tinggi, tetapi ia akan dapat bekerja dengan sungguhsungguh
dan nampaknya ia bukan orang yang mementingkan
diri sendiri. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan
di belakang ketiga orang y ang sibuk berbincang di depan
mereka. Keduanya tidak lagi berbicara tentang peristiwa y ang
baru saja mereka alami. Tetapi mereka mulai cemas, bahwa
usaha mereka mendapatkan seseorang untuk mewarisi
kemampuan mereka masih belum akan terpenuhi.
"Tetapi kita m emang tidak boleh tergesa-gesa," berkata
Mahisa Murti, "kita lebih mementingkan nilai dari seseorang
yang mungkin akan dapat m ewarisi ilmu kita dan selanjutnya
ikut membina perguruan kita daripada waktu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah
pada saat kita mulai sudah nampak pada kita, bahwa kita akan
dapat menjadi pewaris y ang baik?"
Mahisa Murti tersenyum. Dengan nada datar ia
menjawab, "Sebaiknya kita tanyakan kepada ayah. Apakah
ay ah melihat bahwa ada kelainan pada kita."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi tiba -tiba saja
ia berkata, "Ayah sudah terlalu lama berada di padepokan.
Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
"Jadi kapan kita akan kembali?" bertanya Mahisa Murti.
"Setelah suasana di padukuhan ini menjadi tenang,"
jawab Mahisa Pukat, "siapa tahu, ada peristiwa lain yang akan
menyusul." "Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan dapat terikat
pada padukuhan ini" berkata Mahisa Murti.
"Tentu tidak. Tetapi rangkaian peri stiwa ini memang
menarik untuk diikuti terus" jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti m engangguk-angguk. Tetapi ia kemudian
lebih banyak m emandangi sawah yang terhampar dihadapan
mereka. Lereng-lereng pegunungan di kejauhan. Alangkah
hijaunya. Namun jika terbayang pertentangan, kekerasan dan
apalagi perang, maka dahinya pun telah berkerut. Peperangan
yang ganas akan dapat m enjadi berserakan dilindas kaki-kaki
para prajurit y ang bertempur tanpa memperhitungkan medan.
Apalagi kaki-kaki kuda dari pasukan berkuda yang t egar.
Sementara itu, beberapa pihak dengan licik pernah berusaha
menghancurkan satu lingkungan untuk jangka panjang
dengan menebangi pepohonan di lereng pegunungan.
Dalam pada itu, maka udara pun menjadi semakin
panas. Matahari beredar terus melingkari langit. Sementara
leher pun rasa -rasanya menjadi kering.
Tetapi mereka tidak perlu merasa cemas, bahwa mereka
akan kehausan dan kelaparan di perjalanan, karena mereka
pun membawa bekal yang cukup. Uang di padukuhan Ki
Sardapa cukup banyak untuk bekal perjalanan berapa orang
pun untuk berapa hari sekalipun.
Karena itu, maka ketika haus dan lapar semakin terasa
mengganggu, maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai
yang cukup besar di sebuah padukuhan y ang besar, yang
nampaknya di padukuhan itu terdapat jalan silang antara
pusat-pusat perniagaan di sekitar padukuhan itu.
Beberapa saat lamanya mereka beristirahat. Setelah
tenaga mereka yang terperas semalam dan di perjalanan telah
terasa menjadi segar kembali, m ereka pun telah melanjutkan
perjalanan mereka y ang masih panjang.
Di perjalanan, mereka sama sekali t idak menemui
hambatan y ang berarti, sehingga akhirnya mereka kembali ke
padukuhan y ang agaknya telah m enunggu dengan berdebardebar,
justru di malam hari. Dengan singkat Ki Sardapa memberikan penjelasan
kepada salah seorang saudara ibu tiriny a yang tidak sejalan
dengan saudara -saudaranya y ang lain. Namun ia pun menarik
nafas dalam-dalam ketika ia mendengar akhir dari
perselisihan itu. "Aku berdoa, bahwa tidak ada korban y ang jatuh dalam
perselisihan ini," berkata orang itu. Lalu "Ternyata doaku itu
terpenuhi. Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian yang
masih berpegang pada landasan kemanusiaan. Meskipun
dengan demikian masih banyak kemungkinan dapat terjadi."
"Memang Paman," jawab Ki Sardapa, "tetapi aku
berharap bahwa paman-paman itu akan dapat mengerti arti
dari sikap kami ini."
Saudara ibu tiri Ki Sardapa itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Mudah-mudahan pada satu kesempatan aku dapat
membantu meredakan suasana. Tetapi apa y ang terjadi atas
mereka tentu merupakan pengalaman y ang sangat berarti."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ia pun berharap
bahwa untuk selanjutnya tidak akan terjadi apa-apa lagi.
Namun dalam pada itu, maka Ki Sardapa pun
berkewajiban untuk memberikan laporan kepada Ki Buyut apa
yang telah dilakukannya untuk mengatasi persoalan yang
menyangkut dirinya dengan keluarga ibu tirinya.
"Kami berharap bahwa mereka tidak akan mengganggu
tugas-tugasku," berkata Ki Sardapa. Namun katanya
kemudian, "Tetapi aku mohon perkenan Ki Buyut untuk
mempergunakan kekuatan anak-anak muda di padukuhanku,
bahkan para pengawal Kademangan untuk mengatasi
kesulitan jika mereka ternyata masih belum jera dan berusaha
menggangguku." "Tentu," jawab Ki Buyut yang menerima laporan itu,
"Kabuyutan ini merupakan satu kesatuan. Karena itu m aka
apa y ang t erjadi pada salah seorang warganya, akan
menyentuh setiap orang di Kabuyutan ini."
"Terima kasih," desis Ki Sardapa, "mungkin aku
memang memerlukannya. Tetapi aku berharap bahwa mereka
tidak akan mengganggu aku lagi."
"Jangan lengah," pesan Ki Buyut, "untuk sementara
anak-anak m uda di padukuhanmu m asih harus berjaga-jaga.
Bukan saja di banjar, tetapi juga di rumah Ki Bekel."
"Terima kasih atas pengertian Ki Buyut," berkata Ki
Sardapa, " sementara masih berada di padukuhan, m aka Kiai
Patah dan kedua anak muda itu akan sangat berarti bagi kita."
"Usahakan agar mereka kerasan tinggal di
padukuhanmu Ki Bekel" berkata Ki Buyut.
"Aku akan berusaha. Tetapi nampaknya kedua anak
muda itulah y ang sulit untuk ditunda kepergian mereka.
Namun untuk beberapa hari mungkin aku masih akan dapat
minta mereka tinggal" jawab Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Keduanya
mengaku pengembara. Tetapi aku berharap bahwa keduanya,
yang pernah berada di lingkungan keprajuritan di Kediri
dalam tugas sandi itu akan mengerti dan bersedia
membantumu selama masih belum ada kejelasan sikap dari
saudara-saudara ibu tirimu itu."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
Ki Buyut." "Cobalah" desis Ki Buyut.
Ki Bekel y ang kemudian telah berada di padukuhannya
kembali, memang berusaha untuk mengadakan persiapanpersiapan.
Ia sadar, bahwa saudara -saudara ibu tirinya itu
telah berjanji untuk berbicara dengan kesembilan saudaranya
yang lain. Dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masih bersedia untuk tinggal beberapa waktu lagi.
Tetapi mereka sudah mengatakan, bahwa pada suatu saat
mereka akan meninggalkan padukuhan itu untuk melanjutkan
perjalanan pengembaraan mereka.
Dalam beberapa hari, padukuhan itu sama sekali tidak
mendapat gangguan apapun. Agaknya bahwa kesembilan
orang bersaudara itu tidak memiliki kemampuan atau oleh
siapa pun juga, untuk memulihkan kekuatan mereka atau
setidak-tidaknya mempercepat usaha memulihkan kekuatan
itu. Tetapi kemungkinan y ang lain memang dapat t erjadi pada
kesembilan orang bersaudara itu. Mereka agaknya memang
tidak ingin memperpanjang permusuhan m ereka dengan Ki
Bekel. Sebenarnyalah, ketika kelima orang yang datang, di
antaranya terdapat Sardapa, meninggalkan rumah itu, saudara
tertua dari sembilan orang bersaudara itu mulai menilai
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali langkah-langkah y ang telah diambilnya.
Itulah sebabnya ketika perlahan-lahan kekuatan dan
kemampuan ilmunya pulih kembali di hari-hari berikutnya, ia
mulai berbicara dengan adik-adiknya tentang sikap mereka
terhadap Ki Sardapa. "Aku tetap pada keinginan kita sejak semula" berkata
yang paling muda. "Kau harus menilai sikap Sardapa. Kenapa ia tidak
membunuh kita meskipun ia dapat melakukannya di saat-saat
kita kehilangan kemampuan kita untuk melindungi diri kita"
berkata yang tertua. Seorang lagi di antara mereka berkata, "Permusuhan itu
ternyata tidak ada gunanya. Sementara itu kita tahu, siapakah
yang sebenarnyalah ber salah."
Tetapi yang termuda nampaknya tetap pada
pendiriannya. Katanya, "Dengan atau tidak dengan siapa pun
juga, aku akan tetap m embunuhnya. Sardapa bertumpu pada
kekuatan para pendatang di padukuhannya yang pada suatu
saat akan meninggalkan padukuhan itu."
Saudara tertua itu m enarik nafas dalam-dalam. Ia tahu
bahwa hati adiknya itu sekeras batu. Itulah sebabnya, maka ia
tidak dapat hidup sebagaimana layaknya. Adiknya itu t erlalu
banyak m empunyai musuh. Meskipun pada dasarnya mereka
berada di dunia yang sama-sama buram, tetapi saudaranya
yang bungsu ini m empunyai sifat yang jauh lebih kelam dari
saudara-saudaranya. Namun dalam pada itu, saudara tertua itu m asih juga
berusaha untuk meyakinkan adiknya. Katanya, "Soalnya
bukan lagi tentang kekuatan. Aku pun tahu, bahwa Sardapa
sendiri bukan apa -apa bagi kita. Aku sendiri akan dapat
membunuhnya. Tetapi agaknya Sardapa memang bersungguhsungguh
untuk tidak bermusuhan dengan kita. Pada saat yang
paling menguntungkan baginya, ia tidak membunuh kita.
Meskipun seandainya ia melakukannya, maka ia telah
membebaskan dirinya dari gangguan mimpi-mimpi buruk,
karena Sardapa tentu menyadari bahwa kita akan merupakan
bahaya bagi kehidupannya di masa-masa datang."
" Ia bukan seorang yang jujur. Juga kepada diri sendiri.
Meskipun ia menyadari kemungkinan y ang buruk itu, t etapi ia
adalah seorang y ang selalu ingin mendapatkan pujian
sebagaimana kakang memujinya sekarang. Seolah-olah ia
adalah seorang yang baik hati. Orang y ang tidak m endendam
dan berniat tidak bermusuhan" berkata saudara termuda itu.
"Tetapi ia benar-benar tidak berbuat sesuatu atas kita.
Jika ia sekedar ingin mendapat pujian, maka di hari
berikutnya ia dapat datang sendiri dengan orang-orang yang
paling lemah sekalipun untuk membunuh kita y ang tidak
berbahaya" berkata saudara tertua itu.
Adiknya y ang sulung itu ternyata masih juga menjawab,
" Ia tidak akan berani melakukannya. Namun bagiku,
bagaimanapun juga kesalahan Sardapa tidak dapat dimaafkan
lagi." "Apakah sebenarnya kesalahan Sardapa" Bukankah kita
tidak dapat menipu diri kita sendiri, bahwa kitalah yang telah
mengarang ceritera tentang tingkah lakunya" Bukankah kita
sebenarnya sudah mengetahui peri stiwa y ang sebenarnya
terjadi, sebagaimana diceriterakan oleh Sardapa itu?" berkata
saudara yang tertua itu. "Aku tidak peduli," jawab yang termuda, "bagaimanapun
juga Sardapa harus mati."
Saudara yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada rendah ia berkata, "Bagaimanapun juga aku
berpendirian, halnya permusuhan ini harus dihentikan
sementara harga diri kita masih belum dihancurkannya."
"Jangan berusaha mengekang aku lagi. Jika kakang
sudah jera hanya karena kekalahan kecil ini, maka biarlah aku
yang melanjutkan perjuangan ini" berkata yang bungsu.
"Perjuangan apa" Kita sudah mengalami kekalahan.
Bukan sekedar kekalahan dalam benturan kewadagan. Tetapi
ternyata jiwa kita jauh lebih kecil dari jiwa Sardapa itu. Aku
memang mempercayainya bahwa ia akan mendapat
perlindungan dari Ki Buyut y ang bekas seorang prajurit itu
seandainya orang-orang y ang membantunya datang kemari itu
pada suatu saat meninggalkannya" berkata yang tertua.
Tetapi meskipun kemudian saudara-saudaranya y ang
lain m embenarkan keterangan saudara tertuanya itu, namun
yang bungsu itu ternyata masih saja tetap pada pendiriannya.
"Aku hanya akan menunggu kekuatanku pulih kembali,"
berkata y ang bungsu, "kemudian aku akan pergi dan berbuat
sendiri." "Aku tidak yakin bahwa Sardapa akan dapat memaafkan
kita untuk kedua kalinya" berkata yang tertua.
Tetapi adiknya tidak m au mendengarkannya. Sehingga
akhirnya saudara-saudaranya yang lain pun tidak lagi
berusaha untuk mencegahnya.
Tetapi yang bungsu itu pun tidak segera dapat berbuat
sesuatu karena ia masih menunggu kekuatannya pulih
kembali. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata
masih belum meninggalkan padukuhan itu. Tetapi atas
permintaan Ki Sardapa y ang masih meragukan kesediaan
paman-pamannya untuk menghentikan permusuhan telah
minta agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tinggal di
rumah Kiai Patah, tetapi tinggal di rumahnya.
Kiai Patah tidak berkeberatan. Sementara Kiai Patah
sendiri akan dapat melindungi diriny a sendiri, siapa pun yang
akan datang ke rumahnya. Namun hari-hari yang pendek itu telah dipergunakan
oleh Ki Sardapa sebaik-baiknya selagi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masih tinggal. Dimintanya dalam waktu yang
pendek itu membantu mempersiapkan sekelompok anak-anak
muda pilihan agar mereka dapat membantu menjaga dan
melindungi padukuhan itu dari ancaman siapapun. Meskipun
Ki Sardapa sadar, bahwa yang dapat dicapai dalam waktu yang
pendek itu tidak terlalu banyak, tetapi itu lebih baik daripada
tidak sama sekali. Namun Ki Bekel itu pada suatu senja telah dikejutkan
oleh kehadiran saudara tertua dari ibu tirinya. Bahkan orang
itu telah datang bertiga dengan saudara-saudaranya y ang lain.
Namun mereka tidak bertemu dengan seorang di antara
saudaranya y ang telah datang dan m emberitahukan apa yang
akan mereka lakukan atas Ki Bekel, karena saudaranya itu
telah kembali setelah diketahuinya bahwa Ki Bekel selamat
setelah mengunjungi saudara tertuanya. Pada suatu
kesempatan y ang baik, ia memang ingin berbicara dengan
saudara-saudaranya tentang hubungan mereka dengan Ki
Sardapa. Dengan jantung yang berdebaran, Ki Bekel menemui
paman-pamannya bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ia sama sekali tidak dapat menduga, apakah keperluan mereka
datang menemuinya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
tidak melepaskan kewaspadaan. Apa pun y ang akan dilakukan
oleh ketiga orang itu. Sementara itu ketika ketiga orang itu sudah
dipersilahkan duduk di pendapa, maka Ki Sardapa pun segera
ingin tahu, apa yang akan dikatakan oleh ketiga orang
pamannya itu. Dengan hati-hati, maka Ki Sardapa pun telah b ertanya,
"Paman, apakah keperluan Paman bertiga datang ke
rumahku" Aku kira Paman tidak sekedar ingin berkunjung."
Saudara tertua di antara mereka itu pun berkata dengan
nada berat, "Ya Sardapa. Kami memang tidak sekedar
berkunjung. Tetapi kami ingin menyampaikan sesuatu
kepadamu." "Maksud paman?" bertanya Ki Bekel.
"Aku ingin berbicara kepadamu," jawab pamannya itu,
"mudah-mudahan kau masih mempunyai sisa kepercayaan
kepadaku." Ki Bekel m enarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Paman.
Sebenarnya aku sama sekali tidak kehilangan kepercayaan
kepada Paman. Aku yakin bagaimanapun juga, tentu m asih
ada sepercik sinar bening di hati Paman. Karena itu maka
kami telah datang kepada Paman dan jika aku benar-benar
telah kehilangan kepercayaan maka aku tentu akan sampai
hati membunuh Paman, bahkan bersembilan, karena pada
saat itu Paman telah tidak m empunyai kekuatan sama sekali.
Tetapi aku tidak berbuat demikian, karena aku menginginkan
bentuk peny elesaian yang lain."
Paman tertuanya itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya dengan suara b erat, "Aku m engerti Sardapa. Karena
itu, m aka aku telah datang menemuimu. Agar kau percaya,
maka aku sengaja datang ber sama paman-pamanmu y ang lain.
Dengan demikian kau akan lebih yakin akan sikap kami."
Ki Sardapa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
dengan ragu -ragu ia bertanya, "Jadi, apakah sebenarnya yang
akan Paman katakan?"
"Sardapa," berkata Pamannya y ang tertua, "sejak kau
meninggalkan kami, maka kami mulai berpikir tentang
persoalan yang sedang kita hadapi. Ternyata bahwa jalan
pikiran kami telah berkembang," pamannya itu berhenti
sejenak. Tiba-tiba saja ia bertanya, "Dimana Ki Panonjaya?"
-ooo0dw0oooHIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 60 "PAMAN PANONJAYA sedang keluar sebentar
Paman. Ke pasar. Ada sesuatu yang hendak dibelinya," jawab
Ki Sardapa. "Tetapi ia masih berada di padukuhan ini?" bertanya
pamannya itu. "Ya. Aku m ohon Paman Panonjay a tinggal disini untuk
beberapa lama. Rasa-rasanya aku memerlukannya. Di dekat
paman Panonjaya aku merasa di dekat ay ahku sendiri," jawab
Sardapa. Paman tertuanya mengangguk-angguk. Sementara itu
pamannya y ang lain berkata, "Ki Panonjaya adalah adik
ay ahmu. Sepantasnya kau merasa dekat dengannya."
Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mungkin memang demikian," namun dalam pada itu, ia pun
segera bertanya, "Tetapi apakah maksud paman datang
kemari?" Paman tertuanya menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Ada baiknya hal yang ingin aku katakan kepadamu didengar
oleh Ki Panonjaya. Tetapi jika tidak, maka ada dua orang saksi
yang lain y ang ada di sini."
Ki Sardapa di luar sadarnya telah berpaling ke arah
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sambil menarik nafas dalamdalam
ia berkata, "Jadi Paman memerlukan saksi?"
"Bukan saksi, maksudku biarlah ada orang lain y ang ikut
mendengarkan pernyataan kami," jawab pamannya yang
tertua. Ki Sardapa mengangguk-angguk. Namun ia sudah dapat
meraba, apa yang ingin dikatakan oleh pamannya.
Sebenarnyalah paman-pamannya itu telah menyatakan
peny esalan mereka atas tingkah laku m ereka. Dengan suara
serak pamannya y ang tertua berkata, "Sardapa. Kami datang
untuk minta maaf. Sebenarnyalah bahwa kami tahu apa yang
telah terjadi sebagaimana kau katakan. Kamilah yang telah
membuat ceritera bagi kepentingan kami sendiri agar kami
dapat berbuat sesuatu atasmu."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
juga sudah mengira Paman. Tetapi seperti y ang Paman
ketahui, bahwa aku masih mempunyai kepercayaan bahwa
Paman pada suatu saat akan menyadari bahwa apa y ang telah
terjadi bukannya cara yang terbaik untuk mencari
peny elesaian." "Kau benar Sardapa. Dan apa yang kau duga itu memang
telah terjadi pada diri kami. Kami memang telah m enyadari
apa yang terjadi. Dan kami datang atas nama saudarasaudaraku,
paman-pamanmu, untuk minta maaf," berkata
pamannya y ang tertua. Ki Sardapa memandang ketiga pamannya seorang demi
seorang. Ternyata wajah mereka y ang semula tegang, telah
berubah. Kerut di dahi tidak lagi nampak terlalu dalam. Ra sarasanya
sebagian beban y ang meny esak didalam dada m ereka
telah diletakkan. "Paman," berkata Ki Sardapa kemudian, "kedua anak
muda ini memang pantas disebut saksi. Jika paman-paman
dengan ikhlas menyatakan peny esalan, maka bagiku
pernyataan itu merupakan satu kurnia bagiku. Dengan
demikian persoalan kita akan selesai dengan cara sebagaimana
aku inginkan." "Kami berkata sebenarnya Sardapa," berkata y ang
tertua, "jika niat ini tidak lahir dari keikhlasan hati kami, maka
kami tidak akan datang kemari. Jika hal ini semata-mata
karena perasaan takut, maka itu tidak akan kami lakukan.
Kami adalah orang-orang y ang tidak pernah m engenal takut
sampai batas mati sekalipun. Tetapi y ang kami lakukan adalah
karena perkem bangan kesadaran kami menghadapi per soalan
yang telah terjadi. Dengan demikian maka kami telah datang
kepadamu." Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Suaranya pun
kemudian merendah, "Terima ka sih Paman. Dengan demikian
maka per soalan di antara kita sudah dapat kita anggap selesai.
Hubungan kita akan tetap sebagaimana sebelumnya.
Meskipun aku kemudian mengetahui bahwa orang y ang aku
anggap ibuku itu adalah seorang ibu tiri, namun aku tidak
pernah menganggap paman-paman semuanya bukan
pamanku sendiri." "Aku pun berterima ka sih kepadamu jika kau masih
tetap menganggap kami sebagai paman-pamanmu Sardapa.
Kami akan melupakan apa y ang pernah terjadi. Kami pun
tidak akan pernah menganggap bahwa kau bukan anak
saudara perempuanku. Kau akan kami anggap sebagai
kemanakan kami sepenuhnya."
"Mudah-mudahan sikap kami masing-masing tidak akan
berubah. Selama ini kami telah dipisahkan justru karena sikap
ibu dan pandangan paman-paman y ang salah terhadap
keadaan," berkata Ki Sardapa.
"Aku m engerti," jawab pamannya y ang tertua, "aku pun
berharap bahwa di hari -hari mendatang hubungan kita
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi semakin baik."
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Dengan penuh harap ia
berkata, "Hanya kitalah yang dapat memperbaiki keadaan ini.
Dan kita masing-masing telah berniat berbuat demikian."
Namun dalam pada itu, Ki Sardapa masih melihat
sesuatu y ang belum terucapkan pada paman-pamannya.
Sekali-sekali mereka saling berpandangan. Namun keraguraguan
masih saja membayang di wajah mereka.
Karena itu maka Ki Sardapa pun kemudian bertanya,
"Paman. Apakah masih ada sesuatu y ang belum terkatakan"
Aku kira jika kita memang ingin memperbaiki hubungan kita
sepenuhnya, maka kita akan lebih terbuka. Bahwa Paman
masih nampak ragu-ragu agaknya membuat aku ragu-ragu
pula." Pamannya yang t ertua menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya, "Memang masih ada keraguraguan
yang terselip di dalam hatiku. Betapa pun kam i benarbenar
berniat untuk membuka diri dalam hubungan kita,
tetapi ternyata bahwa m asih harus ada persoalan yang perlu
mendapat perhatian kita."
"Jika memang penting, aku per silahkan paman
mengatakannya," minta Ki Sardapa.
Ketiga orang pamannya itu masih saja nampak raguragu.
Beberapa kali mereka saling berpandangan. Namun
kemudian y ang tertua itu pun beringsut sejengkal, seakanakan
ingin mencari kekuatan di tempat duduknya untuk
mengatakan persoalan y ang masih tersisa di dalam dirinya.
"Sardapa," b erkata pamannya y ang tertua dengan nada
datar, "betapa pun kami berusaha untuk mengakhiri
pertentangan y ang ada di antara kami, keluarga ibumu yang
ternyata adalah ibu tirimu dengan kau, namun kami tidak
dapat berhasil sepenuhnya."
"Apakah yang Paman maksudkan?" bertanya Ki Sardapa.
"Pamanmu yang bungsu agaknya tidak sejalan dengan
pikiran kami. Kami sudah berusaha untuk menjelaskan
beberapa masalah y ang selama ini telah membuat jarak di
antara kita. Kami pun telah berusaha untuk melihat kedalam
diri kami sendiri, bahwa apa yang kami tuduhkan kepadamu
semata-mata karena khayalan y ang kami bangunkan sendiri.
Namun pamanmu y ang bungsu itu telah terlanjur terpancang
pada khayalan itu sendiri. Ia tidak dapat bergerak surut untuk
mengakui kebenaran. Tetapi ia tetap pada sikapnya. Khayalan
yang berhasil kita bangunkan itu, merupakan keny ataan
baginya. Kenyataan yang telah disusunnya sendiri dan
kemudian diy akininya," berkata saudaranya yang tertua.
Candi Murca 8 Because You Are Mine Karya Beth Kery Balada Padang Pasir 5
Adik ibu tiri Sardapa itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Terserah kepadamu. Tetapi berhatihatilah."
"Paman tidak dapat pergi sendiri," berkata Sardapa
kemudian, "aku akan menemani paman."
Tetapi Ki Panonjay a menggeleng. Katanya, "Justru
setelah aku tahu rencana mereka, maka aku berpendapat,
bahwa kau tidak usah pergi bersamaku."
"Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu dengan paman?"
bertanya Ki Sardapa. "Tidak akan t erjadi sesuatu atasku. Tentu aku dapat
mengatakan, bahwa sekelompok orang telah bersiap untuk
menuntut balas jika aku tidak keluar dari lingkungan mereka.
Menurut perhitunganku, untuk sementara mereka tidak akan
membuka permusuhan dengan pihak-pihak lain karena
sa saran utama mereka belum dapat mereka selesaikan" jawab
Ki Panonjaya. Ki Bekel merenungi kata-kata itu. Sementara adik ibu
tirinya itu berkata, "Agaknya kakang Panonjaya benar. Mereka
tentu akan menahan diri agar mereka tidak terlibat dalam
perkelahian dengan pihak lain lagi sebelum mereka
menyelesaikan kau." "Nah," berkata Ki Panonjay a, "biarkan aku berangkat
sendiri. Mudah-mudahan besok aku sudah kembali. Tetapi
jika besok lusa aku tidak kembali, terserah langkah-langkah
apa y ang akan kau ambil."
Ki Sardapa mengangguk. Ia m emang tidak m empunyai
cara lain. Sementara itu pamannya telah bertekad bulat untuk
melakukan rencananya itu. Seorang diri.
Demikianlah, maka Ki Panonjaya telah meninggalkan
rumah Ki Sardapa. Ia telah meletakkan beban y ang sangat
berat diatas pundaknya sendiri. Namun Ki Panonjaya memang
tidak mau Sardapa terbunuh, ia adalah satu-satunya
keturunan Ki Bekel tua y ang tinggal. Ki Panonjaya yang
ternyata adalah adik Ki Bekel tua itu, tidak akan membiarkan
keluarga ibu tiri Sardapa menghancurkan keberhasilan
Sardapa menggantikan kedudukan kakaknya.
Ternyata bahwa Ki Panonjaya benar-benar m emerlukan
waktu sehari dalam perjalanan. Tetapi karena Ki Panonjaya
tidak tergesa-gesa maka ia tidak berniat untuk mempercepat.
Bahkan ia akan merasa lebih tenang untuk bertemu dan
berbicara dengan saudara tertua iparnya itu.
Sebenarnyalah Ki Panonjay a memasuki regol halaman
rumah saudara tertua iparnya itu pada saat menjelang senja.
Kedatangan Ki Panonjaya memang diterima dengan
penuh kecurigaan. Dipersilahkannya untuk duduk di pendapa,
serta menunggu untuk waktu y ang cukup lama.
Ki Panonjaya cukup sabar. Ia m engerti bahwa saudarasaudara
iparnya itu tentu tengah berunding. Agaknya ada di
antara mereka y ang sedang berada di rumah itu.
Ternyata bukan saja beberapa. Namun kemudian Ki
Pan onjaya itu melihat mereka lengkap berada di rumah itu.
Ketika tiga orang di antara mereka menemuinya, maka yang
lain telah berkeliaran di halaman. Termasuk adik yang
termuda, yang memang pernah diusir oleh ki Bekel tua, ay ah
Ki Sardapa. "Ki Panonjaya," desis saudara tertua iparnya itu. "apakah
keperluanmu datang kemari" Apakah kau ingin bergabung
dengan kami?" "Untuk apa?" bertanya Ki Panonjay a, "apakah kalian
mempunyai satu rencana tentang sesuatu?"
"Jangan pura-pura," jawab saudara tertua iparnya itu,
"kau tentu sudah tahu apa y ang dilakukan oleh Sardapa. Nah,
kami, saudara-saudara ibu tirinya akan menuntut balas.
Seharusnya anak itu berterima kasih kepada ibu tirinya itu
yang sudah mengasuhnya sebagaimana mengasuh anak
sendiri. Namun akhirnya, ketika Sardapa mendekati saat-saat
peresmiannya menjadi seorang Bekel, ia sudah membunuh
ibunya itu." "Apakah kalian percaya kepada ceritera itu?" bertanya Ki
Pan onjaya. "Bukan sekedar ceritera," jawab yang tertua,
"sebenarnyalah telah terjadi seperti itu. Semua orang menjadi
sak si." Tetapi Ki Panonjaya menggeleng. Katanya, "Jangan
memutar balikkan keadaan. Aku berkata sebenarnya, bahwa
ceritera itu adalah fitnah. Memang ada dua kemungkinan.
Kal ian benar-benar tidak tahu apa y ang terjadi, atau kalian
sebenarnya sudah tahu, tetapi dengan sengaja m engaburkan
keny ataan itu?" "Ki Panonjaya," berkata yang tertua, "aku menaruh
hormat kepadamu. Tetapi jika kau mencoba untuk
mengaburkan kenyataan ini, maka kami akan menentangmu."
"Aku minta kalian berpikir bening" berkata Ki
Pan onjaya. "Aku sudah mempertimbangkan tiga empat kali bersama
saudara-saudaraku," berkata saudara tertua itu, "karena itu
maka jangan berusaha untuk mempengaruhi kami."
"Tidak," jawab Ki Panonjaya, "aku sebenarnya hanya
ingin tahu, keuntungan apakah yang akan kalian peroleh dari
usaha pembalasan dendam ini" Tentu sekedar permusuhan.
Sardapa mempunyai banyak pengikut, di samping
perlindungan dari Ki Buyut."
Saudara tertua dari ibu tiri Sardapa itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian katanya, "Pertanyaanmu aneh. Apa
yang aku peroleh jika aku membalas dendam" Bukankah kau
tahu, bahwa harga diri seorang laki -laki adalah sama dengan
nyawanya" Katakanlah, seorang di antara saudara kami telah
dibunuh oleh Sardapa. Bukankah kami berhak untuk
membalas dendam" Apalagi jika kami berbicara tentang
hubungan Sardapa dengan perempuan yang dibunuhnya.
Perempuan yang mengasuhnya sejak kecil dan m engasihinya
melampaui anaknya sendiri."
"Kau tidak perlu berkata begitu," jawab Ki Panonjaya,
"kita sama-sama tahu apa yang telah dilakukan oleh Ny ai
Demang itu atas Sardapa di masa kecilny a bahkan sampai ia
menginjak dewasa. Apakah kau dapat mengatakan, bahwa
Nyai Bekel telah mengasihi Sardapa melampaui anaknya
sendiri" Kau tentu mengetahui bagaimana cara Nyai Bekel
menghajar Sardapa. Kau tentu tahu, bahwa Sardapa pernah
dikurung dalam lumbung selama tiga hari sehingga anak itu
menjadi hampir gila karena ketakutan" Kau t entu tahu sikap
Nyai Bekel itu sehari-hari atas Sardapa. Itukah y ang kau
maksud dengan mengasihinya melampaui anaknya sendiri"
Kau dapat berkata seperti itu kepada orang lain. T etapi tidak
kepadaku." "Persetan," geram saudara tertua itu, "aku t idak peduli.
Tetapi kematian saudara perempuanku telah m embangkitkan
dendam di hati kami sesaudara. Kami sudah berjanji untuk
membunuh Ki Sardapa. Kapan pun dan dengan cara apapun."
"Kau tidak akan berhasil," berkata Ki Panonjaya, "jika
Sardapa tahu, bahwa kalian masih mendendamnya, maka
ialah yang akan mencari kalian dan membinasakan kalian
sebelum kalian sempat mencarinya."
"Persetan," geram saudara tertua itu, "aku disini
bersama semua saudara kami. Seandainya Sardapa membawa
orang sepadukuhan, ia tidak akan dapat mengalahkan kami."
"Kau salah menilai Ki Sardapa dan orang-orangnya,"
berkata Ki Panonjay a, "mereka adalah orang-orang yang
berilmu tinggi. Kau tahu apa y ang dilakukan Sura bersama
lima orang kawannya" Mereka adalah orang-orang yang
ditakuti. Tetapi kau lihat, bahwa mereka tidak berdaya apaapa
menghadapi Ki Sardapa dan para pengikutnya."
"Kau berbicara tentang Sura" Apa yang dapat
dibanggakan pada Sura" Ketamakannya" Atau barangkali ilmu
sirepny a?" bertanya saudara tertua ipar Ki Panonjaya itu.
"Bukankah dengan ilmu sirepnya ia mampu
memperlemah kekuatan lawan" Itu pun akhirnya Sura tidak
berday a" berkata Ki Panonjaya.
"Jangan kau samakan kami dengan Sura," berkata
saudara tertua itu, "sepuluh Sura tidak akan dapat menyamai
kami seorang demi seorang."
Ki Panonjaya ter senyum. Katanya, "Kau tidak akan
mempunyai cara untuk membunuhnya."
Tetapi orang itu pun tertawa. Semakin lama semakin
keras. Kemudian ia pun berkata kepada saudara-saudaranya
yang ikut menemui Ki Panonjaya, "Kalian dengar" Ki
Pan onjaya menyangsikan, apakah kami akan dapat
membunuh Sardapa." Saudara-saudaranya pun tertawa. Bahkan terdengar
tertawa pula di halaman. Tetapi Ki Panonjaya sengaja membuat hati mereka
panas. Katanya, "Kalian dapat tertawa sekarang disini. Tetapi
kalian akan menangis jika kalian telah melihat sendiri apa
yang dapat dilakukan oleh Ki Sardapa dan para pengikutnya.
Apalagi perlindungan Ki Buyut."
"Jangan takut Ki Panonjay a," berkata saudara tertua itu,
"aku akan segera membunuhnya."
Ki Panonjaya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Memang mungkin dapat kalian lakukan. Tetapi mungkin
sebulan atau bahkan setahun lagi."
"Tidak," saudara tertua itu hampir berteriak, "aku akan
membunuhnya sebelum sepekan. Jika aku gagal
membunuhnya sebelum sepekan ini, maka kami mengaku
kalah." Ki Panonjaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Baik. Aku sampaikan tantanganmu kepada Ki
Sardapa. Dalam sepekan ini akan bersiap-siap."
"Seharusnya kau tidak perlu menyampaikan rencana
kami kepada Sardapa. Kau akan dapat menggagalkan rencana
itu. Ia dapat bersembuny i di segala tempat. Bahkan mungkin
ia akan bersembuny i di rumah Ki Buyut" berkata saudara
tertua itu. " Itu haknya," berkata Ki Panonjaya, "ia dapat berbuat
apa saja untuk memenangkan taruhan ini. Aku kira memang
lebih baik ia bersembuny i. Dengan demikian ia dapat
memenangkan taruhan ini tanpa ada korban yang jatuh."
Tetapi saudara tertua itu menggeleng. Katanya, "Aku
tidak ingin terjadi taruhan licik seperti itu. Aku ingin
rencanaku berhasil baik."
"Lakukanlah. Tetapi aku pun akan melakukan
rencanaku pula" jawab Ki Panonjaya.
Tetapi saudara tertua itu menggeleng. Katanya, "Kau
tidak akan dapat berbuat apa-apa."
"Kenapa" Bukankah itu hakku" berkata Ki Panonjaya.
"Kau t idak akan sempat keluar dari tempat ini" ancam
saudara tertua itu. Ki Panonjaya tertawa. Katanya, "Siapa yang licik dalam
hal ini" Kau atau Sardapa?"
"Persetan. Tetapi kau akan ditahan disini sampai
pekerjaan kami selesai. Kami akan membunuh Sardapa dalam
pekan ini. Kepalanya akan kami bawa kembali dan kami
tunjukkan kepadamu. Dengan demikian kami akan dapat
membalaskan sakit hati saudara perempuan kami. Kematian
Sardapa adalah hukuman y ang paling pantas disandangnya"
berkata saudara tertua itu.
Wajah Ki Panonjaya menjadi tegang. Dengan nada tinggi
ia bertanya, "Jadi kau benar-benar akan menahanku disini?"
"Ya" jawab saudara tertua ibu tiri Sardapa itu.
Ki Panonjay a menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kau tahu bahwa aku juga tidak sendiri" Kau tahu bahwa aku
juga mempunyai sanak kadang?"
"Tentu kami m engetahui," jawab orang itu, "tetapi kami
memang berniat untuk m enahanmu. Aku tidak yakin bahwa
sanak kadangmu tahu bahwa kau ada disini?"
"Tentu mereka tahu," jawab Panonjaya, "mereka tahu
aku pergi ke rumah ini. Jika besok aku tidak kembali, maka
mereka tentu akan mencariku."
Tetapi saudara tertua itu berkata, "Aku tidak peduli.
Tetapi kau harus tinggal disini sampai saatnya kami membawa
kepala Sardapa itu kemari. Kami akan membuat
pertimbangan-pertimbangan baru tentang kau. Jika kau tidak
berbahaya bagi kami, maka kau akan kami lepa skan. Tetapi
jika kau ternyata berbahaya bagi kami, maka kau akan
mengalami nasib seperti Sardapa."
Pan onjaya sama sekali tidak menjadi ketakutan.
Katanya, "Aku pun tidak peduli apa y ang kau rencanakan. Aku
akan pergi dan memberitahukan kepada Sardapa bahwa ia ada
dalam bahaya. Sebenarnya kedatanganku hanya ingin
mencegah kemungkinan buruk y ang dapat terjadi. Aku ingin
menghilangkan salah paham antara kalian dengan Ki Sardapa.
Tetapi jika kalian berkeras untuk m elakukannya, maka aku
akan memberikan peringatan kepada kemanakanku itu."
" Ia memang kemanakanmu. Tetapi bukan
kemanakanku," geram saudara tertua itu. Lalu katanya,
"Tetapi aku peringatkan sekali lagi, bahwa kau tidak akan
dapat pergi dari tempat ini."
Ki Panonjaya menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang berkeliling m aka dilihatnya beberapa orang laki -
laki berdiri menebar di halaman rumah itu.
Dengan demikian maka Ki Panonjaya menyadari, bahwa
ia memang tidak akan dapat lari. Meskipun Ki Panonjaya akan
dapat m elawan dua atau tiga orang di antara mereka, namun
ia memang tidak akan mampu melawan mereka semuanya.
"Nah," berkata saudara tertua itu, "kau harus tunduk
kepada perintah kami agar kami tidak berbuat kasar
kepadamu." Ki Panonjaya m emang tidak m embantah. Ia menyadari
keadaannya. Tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan
kegelisahannya. " Ikutlah kami" berkata saudara tertua.
Ki Panonjaya tidak dapat ingkar lagi! Ia pun kemudian
telah dibawa ke sebuah bilik y ang kuat. Dengan nada berat
saudara tertua itu berkata, "Tinggalah disini sampai kepala
Sardapa aku lemparkan kedalam bilik ini."
Ki Panonjaya tidak menjawab. Ia pun telah m emasuki
bilik y ang disediakan untuknya. Beberapa saat ia m engamati
bilik itu dari sudut ke sudut.
Sementara itu saudara tertua itu berkata, "jangan
berusaha untuk melarikan diri. Tidak ada gunanya. Meskipun
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam sepekan ini kami pergi mengambil Sardapa, namun
disini sanak kadang kami y ang lain akan m enjagamu. Kami
sudah berpesan, jika kau berusaha untuk melarikan diri, maka
kau akan dibunuh tanpa banyak pertimbangan."
Ki Panonjaya tidak menjawab. Ia memang t idak melihat
kesempatan apa pun y ang dapat dilakukannya pada saat itu.
Karena itu, ia harus mempergunakan otaknya, bukan sekedar
perasaan. Beberapa saat kemudian, maka pintu bilik itu pun telah
tertutup. Ki Panonjaya mendengar selarak yang berat telah
dipasang di pintu itu. Beberapa orang terdengar berbicara di
luar. Agaknya saudara tertua itu sedang memberikan
beberapa pesan kepada orang -orang y ang ditugaskan untuk
menjaganya. Ki Panonjaya yang berada didalam bilik itu telah
meraba-raba dinding biliknya. Tidak terlalu rapat. Tetapi bilik
itu tentu satu bilik y ang kuat.
Namun Ki Panonjaya tidak berputus asa. Ia masih saja
berniat untuk dapat berbuat sesuatu. Jika mungkin, maka ia
akan berusaha untuk keluar dari bilik itu.
Dalam pada itu, maka saudara-saudara ibu tiri Sardapa
itu- pun telah berbicara di pendapa. Mereka sepakat untuk
segera melakukan rencana mereka. Namun demikian, m ereka
masih akan menunggu beberapa orang yang telah mereka ajak
mengambil Sardapa, hidup atau mati.
"Dalam dua hari ini m ereka akan datang" berkata salah
seorang di antara mereka.
"Kita menunggu," berkata y ang tertua. Namun ia pun
kemudian bertanya, "Berapa orang yang akan datang itu?"
"Tiga orang. Mereka bersama-sama dengan kita
mengambil Sardapa dan m embunuhnya. Kepalanya akan kita
bawa kembali ke rumah ini untuk ditunjukkan kepada Ki
Pan onjaya." Dengan demikian maka mereka harus bersabar untuk
dua hari. Orang-orang yang berjanji bersama mereka
membunuh Sardapa baru akan kembali dalam waktu dua hari
mendatang. Hari itu Panonjay a harus tinggal didalam bilik y ang
sempit dan tertutup dengan kuat. Di malam hari, sebuah
lampu minyak yang redup diletakkan diatas ajug-ajug di sudut
bilik itu. Sebenarnya Panonjay a memang menunggu malam itu
datang. Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Ia m endengar di sekitar bilik itu telah dijaga oleh beberapa
orang y ang berjalan hilir mudik.
Di hari berikutnya, Ki Panonjaya masih tetap berada
didalam bilik itu. Ia mendapat kesempatan di pagi hari untuk
pergi ke pakiwan. Kemudian dalam sehari ia mendapat makan
tiga kali, meskipun tidak sebaik makan di rumah sendiri.
Di rumah, Ki Sardapa menunggu. Ki Panonjaya
berpesan, jika di hari berikutnya ia tidak datang, maka Ki
Sardapa harus mengambil sikap.
Sebenarnyalah bahwa Ki Sardapa menjadi gelisah karena
Ki Panonjaya ternyata tidak kembali pada saat yang dijanjikan.
Karena itulah maka Ki Sardapa telah menemui Kiai Patah,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, untuk membicarakan, apa
yang sebaiknya mereka lakukan.
"Apa kata pamanmu?" bertanya Kiai Patah.
"Maksud Kiai, adik ibu tiriku itu?" bertanya Ki Sardapa
pula. "Menurut Paman, saudara tertuanya y ang keji itu tentu
akan menangkap Paman Panonjaya. Bahkan mungkin jika
saudara-saudaranya sudah berkumpul, mereka akan
kehilangan kendali dan bahkan mungkin telah membunuhnya.
Aku m enyesal, bahwa aku tidak m encegahnya pergi saat itu.
Tetapi saat itu aku masih berharap bahwa paman-pamanku
tidak akan melibatkan Ki Panonjaya" berkata Ki Sardapa.
"Jika demikian maka apa yang baik kita lakukan?"
bertanya Kiai Patah. Ki Sardapa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Kita temui Paman. Marilah. Aku mohon kalian
datang ke rumah." Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang sedang
berada di rumah Kiai Patah itu pun kemudian telah mengikuti
Ki Sardapa. Di rumah Ki Sardapa mereka membicarakan
langkah-langkah y ang akan mereka ambil.
Akhirnya mereka m engambil keputusan, bahwa mereka
harus menyusul ke rumah saudara ibu tiri Ki Sardapa yang
tertua. Apa pun yang akan terjadi.
Namun adik ibu tirinya y ang ada di rumah Ki Sardapa
itu sempat memberikan beberapa peringatan akan kelicikan
saudara-saudaranya. "Berhati -hatilah. Mereka benar-benar akan m embunuh
Sardapa. Karena itu, maka jika kalian memang ingin pergi ke
sana, maka kalian harus benar-benar bersiap menghadapi
segala kemungkinan" pesan pamannya itu.
Seperti Ki Sardapa, maka pamannya itu pun merasa
menyesal bahwa ia membiarkan Ki Panonjaya untuk pergi
seorang diri. Ternyata bahwa saudara-saudaranya benar-benar
orang-orang yang tidak mengenal perikemanusiaan sama
sekali. "Baiklah," berkata Kiai Patah, "kita akan menyusul Ki
Pan onjaya. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atasnya."
"Apakah kalian akan m enghimpun kekuatan?" b ertanya
adik ibu tiri Ki Sardapa itu.
"Kita akan pergi berempat," jawab Kiai Patah, "mudahmudahan
kita tidak memancing per soalan y ang lebih parah.
Jika kita pergi dengan sekelompok orang, maka mungkin akan
dapat menimbulkan persoalan dengan orang-orang yang tidak
berkepentingan." "Tetapi apa yang dapat kalian lakukan berempat?"
bertanya adik ibu tiri Sardapa itu, "mereka telah berkumpul
sembilan orang. Bahkan mungkin ada orang-orang lain yang
telah membantu mereka untuk membunuh Sardapa."
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun b erkata, "Aku masih mempunyai harapan,
bahwa mereka akan dapat diajak berbicara."
"Aku pun berpendapat demikian," berkata paman
Sardapa itu, "karena itu aku tidak menghalangi kakang
Pan onjaya untuk pergi seorang diri. Justru karena seorang
diri, maka tidak akan segera timbul kesan permusuhan. Tetapi
ternyata bahwa saudara-saudaraku telah berpendapat lain.
Kakang Panonjaya tidak kembali pada saat y ang telah
ditentukannya. Dengan demikian maka aku harap bahwa
kalian tidak hanya berempat pergi ke rumah kakang tertua
itu." Tetapi Kiai Patah menggeleng sambil berkata, "Tidak.
Aku tidak dapat membawa sekelompok orang seperti hendak
pergi berperang." "Jika demikian, aku akan ikut kalian" berkata adik ibu
tiri Sardapa itu. "Jangan dengan semata-mata m elakukannya dihadapan
saudara-saudaramu. Bagaimana pun juga mereka adalah
saudara-saudaramu. Karena itu maka sebaiknya kau
menunggu saja disini. Jika kami tidak kembali dalam dua tiga
hari, maka kau dan para bebahu akan dapat m elaporkannya
kepada Ki Buyut. Mungkin Ki Buyut mempunyai cara lain
untuk meny elesaikan persoalan ini."
Adik ibu tiri Sardapa itu tidak dapat memaksa untuk ikut
dan tidak pula dapat mencegahnya.
Demikianlah setelah mempersiapkan diri sebaikbaiknya,
m aka keempat orang itu pun telah meninggalkan
padukuhan itu untuk menyusul Ki Panonjaya y ang ternyata
telah ditahan oleh saudara-saudara ibu tiri Sardapa.
Dengan petunjuk dan ancar-ancar dari salah seorang
adik ibu tiri Ki Sardapa itulah, maka mereka menyusuri jalanjalan
y ang panjang menuju ke rumah saudara tertua.
Dengan sengaja mereka menunggu sampai malam
menjadi semakin dalam ketika mereka memasuki padukuhan.
Dengan sangat berhati-hati mereka mendekati rumah yang
disebut oleh adik ibu tiri Ki Sardapa y ang tidak setuju dengan
sikap saudara-saudaranya itu.
Ternyata rumah itu tidak mendapat penjagaan y ang
cukup. Agaknya para penghuninya tidak akan mengira sama
sekali, bahwa akan ada beberapa orang y ang akan datang
mencari Panonjaya, meskipun Ki Panonjaya sendiri telah
mengatakan bahwa kemungkinan seperti itu akan dapat
terjadi. Tetapi saudara tertua dari ibu tiri Sardapa itu
menganggap cukup untuk memperkuat penjagaan di bilik
tahanan itu saja, dengan pesan, jika terjadi sesuatu, mereka
harus segera membunyikan kentongan.
Karena itulah, maka mereka dengan aman telah
meloncat memasuki halaman lewat dinding belakang. Dengan
hati-hati mereka telah merayap mendekati bangunan induk.
"Kau menunggu disini," pesan Kiai Patah kepada Ki
Sardapa, "kami akan melihat-lihat keadaan rumah itu."
Bertiga, Kiai Patah merayap mendekati bangunan induk,
sementara Ki Sardapa bersembunyi di balik gerumbul yang
gelap. Ki Sardapa memang menyadari, bahwa ia tidak akan
dapat berbuat sebagaimana Kiai Patah serta kedua orang anak
muda itu. Karena itu, maka ia pun sama sekali tidak
membantah. Ketika mereka mendekati bangunan induk, maka
mereka- pun mulai berpencar. Sambil berbisik Kiai Patah
berkata, "Kita lihat, apakah Ki Panonjaya ditahan disini atau
ada kesan-kesan lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
"Kita akan berada disini setelah kita melihat-lihat
seluruh bangunan induk. Jika kita perlu bertemu segera, maka
jangan lupa, kita akan membunyikan isyarat. Kita akan
menyuarakan suara burung hantu" pesan Kiai Patah
kemudian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk.
Dengan hati-hati ketiga orang itu berpencar. Mereka berusaha
untuk melihat segala ruangan dan bilik yang ada di bangunan
induk itu. Barangkali m ereka menemukan ruang tempat Ki
Pan onjaya disimpan. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti lah yang secara
kebetulan menuju ke arah y ang sebenarnya mereka cari.
Ketika ia melihat beberapa orang berjaga-jaga, maka ia pun
segera menduga, bahwa di tempat itu Ki Panonjay a telah
ditahan. Dengan sangat berhati-hati Mahisa Murti telah bergeser
justru menjauh. Dengan sangat berhati-hati pula ia memanjat
sebatang pohon. Kemudian meloncat keatas genting, merayap
perlahan-lahan menuju ke atas bilik y ang sedang dijaga itu.
Dari atas atap, maka Mahisa Murti berusaha untuk dapat
melihat apa y ang ada didalam bilik yang dijaga ketat itu.
Sebenarnyalah, maka Mahisa Murti dapat m elihat dari
sela -sela atap bilik itu, seseorang yang tersimpan didalamnya.
Ia pun segera mengetahui bahwa orang itu tentulah Ki
Pan onjaya. Mahisa Murti tidak ingin bertindak sendiri, la tidak mau
melakukan kesalahan yang dapat berakibat buruk, baik bagi Ki
Pan onjaya, maupun bagi diri sendiri. Karena itu, maka ia pun
telah turun kembali dan sebagaimana mereka sepakati, maka
ia pun telah menirukan bunyi burung hantu.
Sejenak kemudian maka mereka bertiga telah
berkumpul. Mahisa Murti pun segera memberikan laporan
tentang penemuannya. "Kita harus membebaskannya," berkata Kiai Patah,
"baru kemudian kita berbicara dengan paman-paman Ki
Sardapa itu. Mudah-mudahan mereka masih membuka
kesempatan barang sepatah kata pun untuk menceriterakan
tentang peri stiwa yang sebenarnya terjadi."
Mereka pun kemudian telah menyusun tugas mereka
masing-masing. Mereka akan menyergap tempat itu dengan
tiba -tiba. Dengan demikian maka para pengawal yang berjagajaga
itu tidak akan sempat berbuat sesuatu.
"Jangan ada y ang lolos" berkata Kiai Patah.
"Kita apakan mereka?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita buat mereka pingsan," jawab Kiai Patah, "tetapi
hati-hati. Jangan terlanjur mati. Mereka mungkin sekali tidak
tahu persoalannya." Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia memang tidak
yakin bahwa ia tidak akan membunuh orang-orang yang
sedang bertugas di sekitar bilik tempat Ki Panonjaya ditahan.
Demikianlah maka mereka pun kemudian mulai
bergerak. Mereka mendekati bilik itu dari beberapa arah. Dari
tempat masing-masing m ereka melihat beberapa orang yang
bertugas. Ada di antara mereka yang sedang mendapat giliran
beristirahat, sehingga y ang terdengar adalah dengkur mereka
yang tertidur. Ketika mereka sudah mapan, serta sempat menghitung
orang yang bertugas, maka Kiai Patah telah memberikan
istirahat. Suara burung hantu yang diulang dua kali.
Suara burung hantu itu tidak menimbulkan kecurigaan.
Bahkan para petugas itu tidak memperhatikannya sama sekali.
Namun ternyata bahwa suara itu telah m engisyaratkan
satu sikap yang menentukan atas mereka.
Sebenarnyalah dalam waktu yang sekejap, Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Kiai Patah telah meloncat menyergap
mereka. Pukulan y ang tidak sempat mereka hindari atau
mereka tangkis telah mengenai tengkuk mereka, sehingga
orang-orang y ang bertugas itu pun telah menjadi pingsan
karenanya. Dengan hati-hati Kiai Patah telah membuka selarak
pintu bilik Ki Pan onjaya yang terkejut karenanya. Apalagi
ketika ia melihat siapa yang kemudian memasuki bilik itu.
Kiai Patah memberikan isyarat agar Ki Panonjaya tidak
berbicara dan bertanya tentang keadaan itu. Karena itu, maka
Ki Panonjaya pun telah ditarik oleh Kiai Patah agar ia
mengikutinya. Beberapa saat kemudian, Ki Panonjaya telah berkumpul
dengan Ki Sardapa pula. Dengan singkat mereka berbincang
tentang sikap yang akan mereka ambil. Namun Kiai Patah
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian berkata, "Ada baiknya kita m enjumpai pamanmu
tertua sekarang." "Aku sependapat," berkata Ki Sardapa. Lalu ia pun
bertanya kepada Ki Panonjaya, "Bagaimana pendapat
Paman?" "Aku setuju," jawabnya, "apa pun yang terjadi, aku
sudah siap." Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah.
Tetapi kita harus bersiap untuk bertempur."
Ki Panonjay a sempat berkata, "Aku memerlukan senjata.
Aku akan mengambil senjata salah seorang yang menjaga
bilikku itu." Demikianlah, maka mereka berlima pun telah m enuju
ke pendapa. Demikian mereka naik, maka ternyata mereka
telah terlihat oleh dua orang petugas yang ada di regol.
Agaknya untuk menjaga segala kemungkinan, saudara tertua
ibu tiri Ki Sardapa itu telah meny iapkan penjagaan di r egol,
meskipun penjagaan itu tidak akan banyak berarti.
Dengan tergesa-gesa kedua orang penjaga di reg ol itupun
telah m endekati Kiai Patah dan kawan-kawannya. Salah
seorang di antara mereka itu pun menyapa dengan garangnya,
"Siapa kalian, he?"
Kiai Patah tersenyum. Katanya, "Sabarlah Ki Sanak.
Jangan terlalu garang seperti itu."
"Kau belum menjawab, siapa kau?" geram orang itu.
"Kami adalah tamu -tamu disini. Tolong, sampaikan
kepada pemilik rumah ini, bahwa aku ingin bertemu dengan
mereka" berkata Kiai Patah.
"Tetapi kau belum meny ebut siapa dirimu" bentak orang
itu. Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jawabnya
benar-benar mengejutkan, "Katakan, Ki Panonjaya ingin
bertemu." Wajah orang itu menjadi tegang. Tetapi Kiai Patah justru
menarik Ki Panonjay a selangkah maju. Katanya, "Kau tidak
percaya?" Para penjaga di reg ol itu benar -benar m erasa bingung.
Menurut pengertiannya, Ki Panonjaya itu telah ditawan di
dalam bilik y ang khusus. Namun tiba -tiba ia kini berada di
halaman bersama-sama dengan orang-orang y ang tidak
dikenal. "Sudahlah," berkata Kiai Patah, "panggil pimpinanmu.
Atau bunyikan isy arat jika memang kalian harus
melakukannya." Kedua orang itu benar-benar kebingungan. Ternyata
lima orang itu sama sekali tidak nampak gentar meskipun
kedua penjaga itu sempat melihat mereka, sehingga keduanya
akan dapat membuny ikan isy arat. Bahkan seakan-akan
mereka telah menantang para penjaga itu agar mereka
membunyikan isy arat untuk memanggil para pemimpin
mereka. "Apakah orang-orang ini orang gila" bertanya para
penjaga itu didalam hatinya.
Tetapi mereka memang tidak ingin diper salahkan oleh
para pemimpin mereka. Karena itu, maka salah seorang di
antara mereka pun dengan tergesa-gesa telah pergi ke sebuah
kentongan kecil yang tergantung di dalam regol.
Kiai Patah dan kawan-kawannya sama sekali tidak
berusaha untuk menghalanginya. Bahkan seakan-akan mereka
tengah m enunggu sahabatnya y ang sedang dipanggil keluar
dari dalam rumahnya. Tidak menunjukkan ketegangan dan
kegelisahan sama sekali, meskipun mereka dapat menghadapi
satu bencana. Sejenak kemudian, suara kentongan telah bergema di
halaman rumah itu. Memang tidak terlalu keras. Tetapi suara
itu telah membangunkan seisi rumah y ang nampaknya
lengang itu. Sejenak kemudian, beberapa orang telah berlari-larian
keluar lewat beberapa buah pintu. Ada y ang lewat pintu
pringgitan, ada y ang lewat pintu samping dan bahkan ada
yang lewat pintu dapur. Sembilan orang laki -laki y ang garang,
ditambah lagi dengan beberapa orang pengikutnya. Dengan
serta merta mereka telah mengepung kelima orang yang
berada di halaman. Sementara itu saudara tertua dari ibu tiri Ki Sardapa itu
memandang Ki Panonjaya dengan mata y ang bagaikan
menyala. "Bagaimana kau dapat keluar dari bilikmu?" geram
orang itu. Ki Panonjaya berpaling kepada Kiai Patah. Namun
ketika Kiai Patah itu mengangguk, maka Ki Panonjaya itu pun
melangkah m aju. Dengan nada datar ia berkata, "Bukankah
aku telah nengatakan, jika kau menangkap aku, maka aku
tentu akan dicari. Sekarang hal itu telah terjadi. Sardapa dan
beberapa orang kawannya telah mencari aku dan bahkan
melepaskan aku dari bilik tahananku." Ki Panonjaya berhenti
sejenak, lalu "Tentu kau bertanya, kenapa aku tidak melarikan
diri saja tanpa menunggu kalian?" Pertanyaan itu dijawabnya
sendiri, "Aku memang ingin bertemu dengan kau."
"Persetan," geram saudara tertua itu, "ternyata
kesombonganmu akan dapat menjeratmu sekarang. Bukan
hanya kau yang akan masuk ke dalam tahananku. Tetapi
kalian semua. Bahkan agaknya kalian semua harus
menyaksikan, bagaimana aku memenggal kepala Sardapa dan
aku tanjir di regol rumahku ini."
Ki Panonjaya tertawa. Katanya, "Apakah kita bukan
orang-orang beradab?"
"Apakah Sardapa yang membunuh ibunya, meskipun ibu
tirinya, tetapi yang sudah memeliharanya sejak bay i,
membesarkannya dan mengasihinya itu pantas diperlakukan
sebagaimana orang beradab?" bertanya saudara tertua itu.
"Kau dapat saja memutar balikkan keny ataan," jawab Ki
Pan onjaya, "tetapi sekali lagi kami nyatakan, bahwa
kedatangan kami justru bermaksud menghilangkan kesalahpahaman.
Mudah-mudahan hal ini dapat kalian mengerti."
"Tutup mulutmu," bentak saudara tertua itu, "sekarang,
aku m inta agar kalian merelakan kepala Sardapa. Jika kalian
merelakan kepala Sardapa maka kalian akan mendapat
pengampunan. Kecuali Panonjaya yang lain akan kami beri
kesempatan untuk meninggalkan tempat ini."
"Kenapa dengan aku?" bertanya Panonjaya.
"Kau termasuk orang y ang pantas dimusnahkan
sebagaimana Sardapa," berkata saudara tertua itu, "kaulah
yang telah mengembangkan persoalan ini sehingga menjadi
semakin besar." "Kau masih saja mengigau," jawab Ki Panonjaya,
"bukankah kau y ang telah menangkapku justru pada saat aku
ingin meny elesaikan persoalan ini dengan baik?"
"Persetan," geram saudara tertua, "kau dan Sardapa
harus dipenggal lehernya di sini."
Ki Sardapa pun kemudian melangkah maju sambil
berkata," jadi, apakah memang tidak ada jalan y ang dapat
ditempuh selain saling membunuh?"
"Tidak saling membunuh." potong saudara tertua itu,
"kamilah y ang akan membunuh kalian."
"Jadi niat Paman sudah bulat" Apakah Paman tidak
ingin mendengar penjela sanku?" bertanya Ki Sardapa.
Wajah saudara tertua itu benar-benar m enjadi tegang.
Kemarahannya sudah tidak tertahankan lagi, sehingga ia pun
kemudian berkata, " Jika kau masih berbicara lagi, maka mulamula
akan aku potong lidahmu. Baru aku penggal kepalamu."
Namun Kiai Patah lah y ang tertawa. Katanya,
"Nampaknya kau memang terlalu garang. Tetapi baiklah. Jika
kau tidak lagi dapat diajak berbicara, maka kita akan
berkelahi. Ki Sardapa dan Ki Panonjay a tentu tidak akan
dengan suka rela m enyerahkan lehernya, sementara itu kami
kawan-kawannya akan membelanya. Jika ada di antara kami
yang harus mati, maka setiap orang akan bernilai sembilan
orang di antara kalian."
"Setan," geram saudara tertua. Dengan isy arat ia pun
memanggil saudara-saudaranya serta orang -orang yang
membantunya untuk mendekat. Katanya kepada mereka, "Kita
tidak mempunyai pertimbangan lain lagi. Kalian sudah
mendengarnya, bahwa semuanya akan kita bunuh atas
permintaan mereka sendiri."
Kesembilan orang saudara ibu tiri Ki Sardapa itu pun
segera bersiap. Mereka memang m enebar di segala penjuru
halaman itu, sedangkan orang-orang lain y ang akan
membantu mereka telah mengepung halaman itu pula.
Dalam keremangan cahaya obor di pendapa dan di reg ol,
maka Ki Sardapa memang melihat orang yang pernah
mengaku pamannya dan datang ke rumahnya.
Sejenak kemudian maka kedua belah pihak pun telah
bersiap. Namun jumlah mereka ternyata tidak seimbang. Jika
Sardapa hanya datang bersama tiga orang ditambah Ki
Pan onjaya, maka saudara t ertua ibu tiriny a ternyata telah
bersiap dengan jumlah y ang berlipat ganda. Di samping
sembilan orang bersaudara, m aka beberapa orang kawannya
telah hadir pula di samping pengikut mereka y ang cukup
banyak pula. Mereka adalah orang-orang upahan yang
menjadi alat dalam tugas-tugas mereka yang kasar. Bukan
hanya menghadapi tingkah laku Sardapa y ang mereka anggap
sebagai tantangan terhadap mereka bersaudara, tetapi juga
dalam kerja mereka sehari-hari y ang oleh Ki Panonjaya
disebut sebagai kerja yang tidak sewajarnya.
Namun bagaimanapun juga saudara tertua itu merasa
heran juga melihat sikap Ki Panonjay a dan kawan-kawannya
yang sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan, apalagi
ketakutan. Demikian pula saudara-saudaranya yang lain.
Tetapi mereka menduga, bahwa sikap itu adalah sikap
yang pura-pura saja. Meskipun sebenarnya mereka menjadi
gemetar, tetapi mereka berusaha untuk meny embunyikan
perasaan itu. Dalam pada itu, muka saudara t ertua serta saudarasaudaranya
pun telah bergerak semakin mendekat. Di tengahtengah
halaman Kiai Patah berdesis, "Kita bertempur dalam
lingkaran. Jangan sampai kita terpecah. Ki Sardapa dan Ki
Pan onjaya harus berada di antara kita. Jumlah mereka terlalu
banyak. _" 38 Ki Sardapa dan Ki Panonjay a mengerti maksud Kiai
Patah. Meskipun m ereka juga tidak gentar menghadapi apa
pun juga dengan akibat y ang paling parah sekalipun, namun
mereka tidak dapat menolak petunjuk Kiai Patah itu.
Demikianlah, maka kelima orang itu pun telah berada
didalam lingkaran menghadap ke segala arah. Ki Panonjaya
telah mengacukan senjata yang dipungutnya dari orang-orang
yang pingsan di luar bilik tahanannya, sementara y ang lain
pun lelah bersenjata pedang pula.
Sejenak kemudian, maka sembilan orang saudara,
bersama dengan kawan-kawannya telah mulai bergerak.
Mereka m emang memancing agar lingkaran yang terdiri dari
kelima orang itu b ertempur terpisah. Tetapi kelima orang itu
ternyata tidak terurai lagi.
Dengan demikian maka orang-orang y ang ingin
membunuh Ki Sardapa dan Ki Panonjaya itulah yang mulai
menyerang. Satu-satu mereka meloncat dengan senjata terjulur.
Mereka berusaha meny erang dari beberapa arah pula. Namun
serangan-serangan itu dengan tangkasnya dapat ditangkis oleh
kelima orang yang berdiri dalam satu lingkaran itu.
Demikianlah, maka serangan-serangan itu datang
semakin lama menjadi semakin sering. Ujung-ujung senjata
mematuk susul menyusul. Namun usaha itu tidak pernah
berhasil. Kelima orang y ang b erdiri dalam satu lingkaran itu
ternyata memiliki ilmu pedang yang tinggi.
Meskipun Ki Sardapa bukan seorang y ang berilmu tinggi
sedangkan Ki Panonjaya memiliki ilmu setingkat lebih tinggi
dari Ki Sardapa, namun di antara Kiai Patah, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, seakan-akan mereka pun m enjadi cukup
tangkas, karena serangan-serangan lawan tidak pernah
mampu menembus pertahanannya.
Kesembilan saudara dan kawan-kawannya itu menjadi
kebingungan. Mereka harus menemukan jalan untuk
memecah pertahanan kelima orang dalam satu lingkaran itu.
Tetapi mereka tidak pernah berhasil memancing salah seorang
di antara mereka. Ternyata kelima orang itu tidak pernah
berusaha memburu lawan-lawannya yang bergerak m undur.
Mereka hanya melangkah setapak maju dan sejauh jangkauan
ujung pedang mereka. Selebihnya, m ereka justru kembali ke
dalam lingkaran itu lagi.
Kesembilan saudara dan kawan-kawannya itu m emang
menjadi kebingungan untuk beberapa saat. Namun akhirnya
saudara mereka y ang tertua itu pun berkata, "jangan serang
mereka dari semua penjuru lingkaran. Kita serang mereka dari
arah setengah lingkaran. Kita harus meny erang mereka
berturut-turut, tanpa henti-hentinya di satu sisi. Betapa pun
kerasnya, pertahanan itu tentu akan pecah."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Karena itu,
maka bersama dengan saudara-saudaranya y ang lain, mereka
bergeser. Tidak lagi mengepung dalam satu lingkaran. Mereka
telah bersiap-siap untuk meny erang mereka dari satu sisi.
Tetapi Kiai Patah pun tanggap akan keadaan itu.
Lingkaran itu pun tiba -tiba telah berubah pula. Tidak lagi
merupakan lingkaran, tetapi kelima orang itu berdiri dan satu
baris dan menghadap ke arah lawan mereka akan datang.
"Setan," geram saudara t ertua. Meskipun demikian,
ternyata mereka pun telah mencoba. Mereka telah meny erang
kelima orang itu dari satu sisi.
Yang kebetulan berdiri di ujung adalah Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, sementara Kiai Patah berada di tengahtengah
diapit oleh Ki Sardapa dan Ki Panonjaya.
Dengan tangkasnya kelima orang itu telah menangkis
semua serangan yang datang beruntun susul menyusul.
Senjata y ang teracu dan ayunan yang kuat. Namun tidak
seorang pun di antara mereka yang berhasil m engenai tubuh
lawannya. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung dengan
keras dan garang. Sembilan orang bersaudara yang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendendam Sardapa dan Panonjaya sesuai dengan keinginan
mereka y ang dilandasi oleh dendam dan kebencian.
Tetapi ternyata bahwa mereka tidak segera dapat
berhasil. Tidak mudah bagi mereka untuk menembus
pertahanan kelima orang itu. Terutama kedua anak-anak
muda yang berdiri di ujung dan orang tua y ang berada di
tengah. Sementara itu, Ki Panonjaya dan Ki Sardapa pun telah
menunjukkan pula kemampuan mereka dalam ilmu pedang.
Untuk beberapa saat pertempuran itu berlangsung,
justru semakin lama semakin sengit. Namun ternyata
sembilan orang saudara itu sama sekali tidak dapat berbuat
banyak. Dengan demikian, maka mereka pun tidak lagi mau
bersabar. Saudara tertua mereka pun kemudian berkata, "Kita
tidak mempunyai pilihan lain. Kita hancurkan mereka menjadi
debu." "Tunggu," berkata y ang termuda, "aku ingin
mendapatkan mereka hidup-hidup. Jika mereka mati sebelum
tertangkap, maka kita akan kehilangan permainan yang
mengasy ikkan." "Aku sudah menjadi muak," geram saudaranya y ang lain,
"biarlah mereka mati dan tubuhnya hancur menjadi debu."
"Kita masih akan mencoba" berkata yang lain lagi.
Beberapa saat, sembilan orang saudara itu masih belum
menentukan sikap. Namun tiba-tiba saja yang tertua berkata
kepada para pengikutnya, "Kepung lagi mereka. Jangan beri
kesempatan seorang pun di antara mereka melepaskan diri."
Sejenak para pengikutnya termangu-mangu. Perintah
saudara tertua itu ternyata telah berubah-ubah.
Namun y ang tiba-tiba berteriak adalah Mahisa Pukat.
Katanya, "Lakukan perintahnya. Ia sedang kebingungan.
Mungkin ia tidak lagi mempunyai key akinan diri, sehingga
perintahnya berubah-ubah tanpa pegangan sama sekali."
"Persetan," geram saudara tertua itu. Namun ia pun
kemudian berteriak, "Minggirlah. Kami bersaudara akan
menyelesaikan dengan cara kami."
Para pengikut sembilan orang bersaudara itu pun telah
menepi. Namun mereka telah m embuat lingkaran di seputar
arena itu, sementara kesembilan saudara ibu tiri Ki Sardapa
yang sejalan itu telah berkumpul.
"Kita akan m elakukannya. Jika mereka dapat bertahan
hidup, maka kita akan m enangkapnya hidup-hidup" berkata
yang tertua. Yang lain mengangguk-angguk. Sejenak kemudian
terdengar salah seorang berkata, "Kitalah yang harus b erhatihati
agar mereka tidak cepat mati."
"Marilah," berkata y ang tertua, "kita jangan banyak
kehilangan waktu." Kesembilan orang bersaudara itu pun tiba-tiba telah
menebar. Tetapi mereka mulai mengepung kelima orang yang
akan mereka hancurkan itu. Beberapa saat mereka seakanakan
meny iapkan diri dengan pemusatan nalar budi. Namun
tiba -tiba terdengar orang tertua di antara mereka itu berteriak,
"Sekarang." Dalam sekejap, maka kesembilan orang itu tiba -tiba
telah berputar. Semakin lama semakin cepat. Sementara itu,
orang tertua itu m asih juga berkata, "Pergunakan senjatamu
lebih dahulu." Sebenarnyalah bahwa sembilan orang itu pun telah
mengacukan senjatanya. Sambil berputaran mereka
menyerang berganti-ganti, bahkan kadang-kadang dua atau
tiga orang menyerang berbareng dengan sasaran yang
berbeda. Kiai Patah pun kemudian memberikan isyarat kepada
kawan-kawannya termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
untuk berhati-hati. Namun bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat hal itu bukannya y ang pertama kali dihadapinya.
Mereka pernah bertemu dengan ungkapan ilmu yang
demikian. Putaran y ang semakin cepat, sehingga akhirnya
seperti angin pusaran y ang bergerigi tajam di bagian dalam,
senjata-senjatanya, sementara lingkaran pun semakin lama
menjadi semakin kecil. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjadi
cemas. Yang mereka lakukan kemudian adalah
mempersiapkan tenaga cadangan mereka sebaik-baiknya.
Keduanya tidak mau memandang rendah lawan-lawan mereka
karena memang belum mengetahui tingkat kemampuan
kesembilan orang itu. Dengan demikian maka m ereka telah
menyediakan tenaga cadangan mereka sebaik-baiknya agar
mereka tidak mengalami kesulitan karena kelengahan mereka.
Untuk beberapa saat, kelima orang itu masih belum
bertindak selain menangkis setiap serangan yang terjulur ke
arah mereka. Kiai Patah m emang berbisik kepada Ki Sardapa
dan Ki Panonjaya, "jangan bingung. Perhatikan setiap
serangan yang ditujukan kepada kalian masing-masing. Setiap
orang supaya memperhatikan keselamatan diri mereka sendiri
lebih dahulu. Jika kalian menjadi bingung, maka kesempatan
itu justru akan dipergunakan oleh orang-orang yang sedang
berputar itu." Ki Panonjaya dan Ki Sardapa mengangguk-angguk
sambil memutar pedangnya. Mereka mengerti bahwa yang
dimaksud oleh Kiai Patah bukannya mereka tidak akan saling
menolong, tetapi untuk menghindari kemungkinan buruk bagi
Ki Sardapa dan Ki Panonjaya yang mengakui bahwa ilmu
mereka jauh lebih lemah dibandingkan dengan ketiga orang
yang lain, maka mereka harus memusatkan perhatian kepada
setiap serangan y ang ditujukan kepada mereka masingmasing.
Sebenarnyalah bahwa putaran itu semakin lama menjadi
semakin cepat, sementara kelima orang yang menjadi sasaran
itu pun berdiri melingkar pula beradu punggung.
Namun dengan cara sebagaimana diberitahukan oleh
Kiai Patah, maka Ki Sardapa dan Ki Panonjaya selalu dapat
menangkis setiap serangan yang terjulur ke arah mereka.
Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk tidak menjadi
bingung dan kehilangan pegangan. Mereka memperhatikan
setiap ujung senjata y ang berputar secepat putaran kesembilan
orang bersaudara itu. Beberapa saat pertempuran yang aneh itu berlangsung.
Tetapi serangan-serangan m ereka y ang berputaran itu sama
sekali tidak mengenai sa saran. Apalagi Kiai Patah, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat akhirnya berdiri agak lebih maju dari
Ki Sardapa dan Ki Panonjaya ketika putaran itu menjadi
semakin cepat. Dengan demikian, m aka ketiga orang itulah yang telah
menyapu setiap serangan. Bahkan, ketika Mahisa Pukat menjadi jemu dengan
putaran itu berkata kepada Mahisa Murti, "Marilah, kita akhiri
permainan y ang memuakkan ini."
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun tiba -tiba ia
melihat satu gerakan y ang aneh pada Ki Sardapa, sehingga ia
pun telah bertanya, "Kau kenapa Ki Sardapa?"
"Kepalaku pening. Perutku serasa menjadi mual dan
bahkan isi perutku akan tumpah" sahut Ki Sardapa.
"Nah," gumam Mahisa Pukat sambil menangkis
serangan yang terjulur ke arahnya, "bukankah permainan ini
pantas diakhiri?" "Ya," y ang menjawab adalah Kiai Patah, "kita akhiri
permainan ini sebelum Ki Sardapa dan Ki Panonjay a jatuh
pingsan." Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat- pun segera bersiap dengan pedang-pedang mereka.
Untuk sesaat mereka masih memperhatikan ujung-ujung
senjata y ang bagaikan gerigi lingkaran di bagian dalam yang
berputar semakin lama semakin cepat dan semakin sempit.
Bahkan kemudian ujung-ujung senjata itu teracu pada letak
yang tetap dalam putaran yang cepat.
Dalam pada itu, Kiai Patah y ang juga sudah bersiap itu
pun segera berkata lantang, "Permainan kalian yang
memuakkan itu sudah cukup. Jika sampai hitungan ketiga
kalian tidak berhenti, maka kamilah yang akan memaksa
kalian berhenti." "Persetan," terdengar jawaban, "sampai hitungan ketiga
kalian sudah akan mati."
Tetapi Kiai Patah tidak menghiraukannya. Dengan suara
lantang ia mulai menghitung, "satu, dua, tiga."
Tepat pada hitungan ketiga, maka terjadilah sesuatu
yang tidak terduga sama sekali. Kiai Patah, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat justru bergeser m aju. Meskipun mereka harus
bertindak dengan sangat berhati-hati karena ancaman lawan
mereka, bahwa dihitungan ketiga mereka akan mati.
Namun Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah
yang ternyata bertindak lebih cepat. Dengan tangkasnya
mereka memutar pedang mereka. Dalam sekejap, maka
sembilan orang dalam putaran itu telah terguncang, sehingga
putaran itu dengan tiba -tiba telah melebar karena mereka
yang berada di dalam putaran itu berloncatan menjauh. Di
luar sadar maka putaran itu pun berhenti, sementara tiga
orang di antara mereka telah kehilangan senjata mereka,
sedangkan dua orang y ang lain telah tergores pedang di
lengannya. Terdengar suara Kiai Patah tertawa. Katanya, "Nah,
siapakah yang berkata benar" Kalian atau kami" Ternyata
dihitungan ketiga kalian tidak dapat m embunuh kami, tetapi
kami dapat memaksa kalian berhenti."
"Anak iblis," geram yang tertua. Dengan gigi y ang
gemeretak ia pun kemudian berkata, "kalian memang pantas
dilumatkan menjadi debu."
"Kau hanya bicara saja sejak semula," berkata Kiai
Patah, "kenapa kau tidak bersungguh-sungguh melakukan apa
yang kau katakan itu?"
Wajah saudara-saudara ibu tiri Ki Sardapa itu m enjadi
merah. Seorang di antara mereka berkata, "Kita lumatkan saja
mereka." "Jangan menunggu sampai matahari terbit," berkata
yang lain. "kita akan membuang sisa -sisa tubuh m ereka yang
hancur selagi masih gelap."
Saudara tertua di antara mereka pun itu pun tiba -tiba
telah m emberikan isy arat. Dengan buny i yang asing, maka ia
pun telah memerintahkan adik-adiknya untuk melingkari
lawannya lagi. Namun tiba-tiba saja mereka telah
menyarungkan senjata mereka.
Kiai Patah pun kemudian m enyadari, apa y ang akan
dilakukan oleh kesembilan orang itu. Karena itu, maka ia pun
kemudian berbisik kepada Ki Sardapa dan Ki Panonjaya,
"Agaknya mereka akan melepaskan sejeni s ilmu yang
didukung oleh kesembilan orang itu. Karena itu, lebih baik
kalian berada di tengah. Kalian tidak perlu memikirkan
bagaimana melawan orang-orang itu. Pusatkan nalar budi
kalian untuk membangunkan daya tahan di tubuh kalian, agar
ilmu y ang akan dilepaskan oleh kesembilan orang itu tidak
melukai kalian. Bahkan mungkin serangan itu akan dapat
menyusup ke bagian dalam tubuh kalian."
Ki Sardapa dan Ki Panonjaya tidak menjawab. Mereka
pun kemudian berdiri beradu punggung sambil menyilangkan
tangan mereka di dada. Sementara itu Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah bergeser maju selangkah. Mereka berdiri tegak
menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Beberapa saat kemudian maka saudara tertua di antara
kesembilan orang itu telah mengisy aratkan perintah pula,
sehingga lingkaran itu pun telah mulai bergerak pula.
Kesembilan orang itu mulai berputar melingkari kelima orang
yang ada di dalamnya, namun dua di antara m ereka seakanakan
telah terlindung didalamnya.
Beberapa saat kemudian, maka putaran kesembilan
orang bersaudara itu pun menjadi semakin cepat. Tetapi
mereka tidak lagi mengacukan senjata-senjata mereka.
Namun dengan demikian orang-orang yang ada didalam
lingkaran itu menjadi semakin berhati-hati. Jika sembilan
orang itu bersama-sama melontarkan ilmu ke arah mereka,
maka keadaan mereka pun akan menjadi gawat.
Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, maka orangorang
y ang berlari -lari dalam putaran itu mulai berdesis.
Kemudian suara desis itu segera berubah menjadi seperti
gaung y ang panjang. Semakin lama menjadi semakin keras.
Sehingga udara yang seakan-akan ikut berputar seperti angin
pusaran itu pun mulai menggelepar. Tekanan y ang kuat
seakan-akan mulai menghentak-hentak di dada mereka.
Ki Sardapa dan Ki Panonjaya merasa nafas mereka
semakin sesak. Ra sa-rasanya dada mereka telah terhimpit oleh
batu-batu padas y ang berat. Dengan sekuat tenaga mereka
berusaha untuk meningkatkan daya tahan mereka, agar dada
mereka tidak pecah karenanya.
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
belum begitu banyak terpengaruh oleh ilmu yang mulai
dilepaskan oleh kesembilan kakak beradik itu. Meskipun
demikian m ereka pun m enyadari, bahwa Ki Sardapa dan Ki
Pan onjaya tentu sudah mulai mengalami kesulitan. Meskipun
Ki Panonjaya memiliki kelebihan dari Ki Sardapa, tetapi
ternyata bahwa ilmu yang dilontarkan oleh kesembilan orang
bersaudara itu merupakan serangan y ang sangat berat pula
baginya. Untuk beberapa saat Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Kiai Patah bertahan. Namun ketika mereka menyadari, bahwa
Ki Sardapa mulai menggigil, maka mereka harus segera
mengambil sikap. Namun justru pada saat y ang demikian, kesembilan
orang itu telah menghentakkan ilmunya. Udara didalam
lingkaran itu seakan-akan benar-benar telah terguncang.
Getaran yang dahsyat m elanda setiap dada, sehingga seakanakan
isi dada mereka pun telah terhimpit oleh kekuatan yang
sulit dilawan. Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Sardapa
ternyata sudah tidak mampu lagi bertahan lebih lama.
Perasaan sakit y ang menghentak-hentak di dadanya telah
menghempaskannya ke dalam ketidak sadaran. Karena itu,
maka Ki Sardapa itu pun perlahan-lahan telah jatuh pada
lututnya, namun kemudian ia - pun telah terguling di tanah
dalam keadaan pingsan. Ki Panonjay a masih dapat bertahan sambil berdiri.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ia pun kemudian telah jatuh pula terduduk, meskipun
tidak segera menjadi pingsan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi cemas.
Mereka - pun merasakan tekanan y ang semakin berat. Jika
mereka tidak berbuat sesuatu, maka kemungkinan y ang parah
dapat terjadi atas Ki Sardapa dan Ki Panonjaya.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian berkata
kepada Kiai Patah, "Kiai, tolong jaga kedua orang itu. Aku
akan Mahisa Pukat akan menghentikan mereka."
"Apa yang akan kalian lakukan?" bertanya Kiai Patah.
"Serahkan kepada kami" jawab Mahisa Pukat.
Kiai Patah tidak m enjawab. Ia m enyadari bahwa kedua
anak Mahendra itu mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itu,
maka ia tidak mencegahnya. Namun sementara itu, ia
bertanggung jawab atas kedua orang y ang sudah tidak berdaya
itu. Ia harus melindungi keduanya jika ada di antara lawan
mereka yang datang menyerang atau bahkan mempergunakan
senjata. Dalam pada itu, putaran kesembilan orang itu pun
menjadi semakin cepat. Sementara itu, dengung di mulut
mereka pun menjadi semakin keras, sehingga udara pun
bergetar semakin keras pula. Dengan demikian maka tusukan
serangan ilmu kesembilan orang itu pun menjadi semakin
tajam pula menghunjam ke dalam dada mereka.
Karena itulah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak menunggu lebih lama lagi, agar Ki Sardapa dan Ki
Pan onjaya tidak mengalami bencana yang lebih parah. Namun
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih membatasi diri dengan
tidak melepaskan serangannya dari jarak tertentu untuk
melontarkan udara panas y ang dapat membakar mereka. Jika
kedua anak muda itu benar-benar kehilangan kesabaran, maka
mereka akan dapat melakukannya sehingga kemungkinan
bahwa kesembilan orang itu menjadi korban seluruhnya, akan
dapat terjadi. Dengan isy arat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bertekad untuk mempergunakan ilmu mereka yang lain.
Agaknya kesembilan orang itu dapat menangkap isy arat,
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan memberikan
perlawanan khusus atas mereka bersembilan. Dengan
penjagaan sebelumnya, kesembilan orang itu menyadari
bahwa kedua orang itu tentu termasuk orang berilmu tinggi.
Karena itu, maka kesembilan orang itu pun telah
meningkatkan pelepasan ilmu mereka. Putaran serta gaung
dari mulut mereka pun semakin lama menjadi semakin cepat
dan keras. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil
keputusan bulat, bahwa mereka harus menghentikan tingkah
laku kesembilan orang itu. Apalagi ketika serangan kesembilan
orang itu telah mulai pula menyakiti isi dada mereka.
Dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat melangkah semakin maju m eskipun
putaran dari kesembilan orang itu menjadi semakin sempit.
Kedua anak muda itu telah m eningkatkan day a tahan
tubuh m ereka. Suara y ang bergaung semakin keras itu rasarasanya
memang semakin tajam menusuk kedalam jantung.
Namun kedua anak muda itu masih mampu mengatasinya
sehingga mereka tidak kehilangan kemampuan mereka.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti pun telah
memberikan isy arat kepada Mahisa Pukat, sehingga dengan
kesiagaan tertinggi keduanya maju semakin dekat dengan
lingkaran. Ketika orang-orang yang berlarian dalam putaran
itu menghentak-hentakkan suaranya sehingga dada kedua
anak muda itu pun terasa bagaikan dihentak-hentakkan, maka
keduanya tiba-tiba saja telah meloncat meny erang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau dikelabui
oleh sa sarannya y ang bergerak sehingga orang y ang di
belakangnya justru dapat menyerangnya. Tetapi Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah memilih sasaran, dan untuk
menyerangnya mereka ikut pula dengan putaran itu.
Kesembilan orang yang ada didalam putaran itu
mengumpat didalam hati. Namun mereka tidak mau
membiarkan lingkaran mereka terputus. Karena itu, maka
mereka kesembilan orang itu telah bertindak hampir serentak
terhadap kedua orang anak muda itu.
Dengan hentakkan, maka sembilan orang itu telah
menghempaskan ilmu mereka dengan puncak kekuatan
mereka. Mereka berteriak sekuat tenaga mereka.
Akibatnya memang mencemaskan. Bukan saja Ki
Sardapa, bahkan Ki Panonjay a pun telah jatuh terbaring di
tanah. Sementara itu isi dada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun merasa semakin tajam tertusuk ilmu lawan-lawan mereka.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertindak.
Keduanya tetap ikut dalam putaran yang semakin cepat.
Namun kemampuan kedua anak muda itu memang lebih
tinggi dari lawan-lawannya, sehingga keduanya mampu
bergerak lebih cepat dari kesembilan orang bersaudara itu.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
dekat dengan sa sarannya, maka hentakkan-hentakkan ilmu
kesembilan orang itu masih pula meny erang kedua anak muda
itu. Namun tiba-tiba saja kedua anak muda itu telah
menyerang dengan dahsyatnya. Mahisa Pukat lah yang lebih
dahulu meluncur dengan derasnya sejalan dengan putaran
kesembilan orang bersaudara itu. Kakinyalah y ang terjulur
lurus mengarah ke pundak sasarannya.
Dua orang di belakang sasarannya telah ikut pula
melawan serangan Mahisa Pukat. Tiga orang berusaha
menangkis serangan itu. Tetapi Mahisa Pukat berhasil
memanfaatkan dorongan gerak putaran itu, sehingga tiga
orang di antara sembilan orang itu telah terdorong dan
terlempar dari putaran. Sementara itu, Mahisa Murti telah m elakukan serangan
pula. Berbeda dengan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti
justru telah menerkam lawannya dengan tangannya. Seperti
sa saran serangan Mahisa Pukat, maka seorang yang berada di
belakang sa saran serangan Mahisa Murti pun telah membantu
menangkis serangan Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti pun
dengan kuatnya telah mendorong lawannya, sejalan pula
dengan putarannya sendiri, sehingga mereka terpelanting
keluar lingkaran yang berputar itu pula.
Dengan demikian, maka lingkaran itu telah terputus.
Lima orang telah terlempar dan jatuh berguling-guling.
Sementara itu dengan tangkasny a mereka pun telah melenting
berdiri. "Anak iblis," geram yang tertua y ang kebetulan
terdorong oleh kekuatan Mahisa Murti, "kau benar-benar
ingin mati." Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun telah
meloncat meny erang lawannya y ang menjadi semakin marah.
Dengan isy arat, maka saudara tertua itu telah
memanggil seorang lagi di antara adiknya. Sehingga dengan
demikian, maka kesembilan orang itu masing -masing b ertiga
berhadapan dengan seorang lawan.
Agaknya setiap tiga orang itu pun mencoba untuk
mengetrapkan ilmu mereka pula. Mereka berusaha untuk
dapat berputar melingkar sambil melontarkan ilmu mereka
lewat gaung suara mereka dalam putaran y ang dapat membuat
lawan mereka pening. Tetapi ternyata mereka tidak sempat berbuat demikian.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah bertempur dengan serangan-serangannya yang keras dan
kuat. Karena itulah maka lawan-lawan mereka pun harus
bertempur pula sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Namun dalam pada itu, maka saudara tertua itu telah
memberikan isy arat kepada para pengikutnya untuk segera
melibatkan diri. Dengan senjata terhunus maka para pengikut dari
sembilan orang bersaudara itu telah menerjunkan diri
kedalam lingkaran-lingkaran pertempuran.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha
mengambil jarak agar mereka tidak merasa bertempur dalam
ruang yang berhimpitan. Dengan arena yang lebih luas, maka
kedua anak muda itu dapat bertempur dengan lebih baik.
Dalam pada itu, maka pertempuran y ang terjadi
kemudian adalah pertempuran bersenjata. Sembilan orang
bersaudara y ang telah menyarungkan pedang, dan bahkan
kehilangan senjatanya, telah menggenggam senjata pula.
Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran yang sengit. Benturan-benturan senjata
berdentangan, sementara bunga api pun telah berloncatan di
udara. Namun sangat mengherankan. Meskipun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tidak dengan semena-mena melukai lawan-
Untuk beberapa saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berloncatan dengan tangan terkem bang. Pedangnya pun
menyambar-ny ambar mengerikan. Keduanya bagaikan burung
elang y ang terbang-berputaran. Namun sekali-sekali telah
menukik menyambar mangsanya.
Tetapi sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
merasa tidak perlu m enghunjamkan pedang mereka ke dada
lawan-lawannya. Lebih-lebih para pengikut kesembilan orang
bersaudara yang ingin membunuh Ki Sardapa dan Ki
Pan onjaya itu. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, cukup berusaha
untuk membentur senjata lawan dengan senjata mereka. Atau
bahkan hanya meny entuh senjata lawan y ang meny erang susul
menyusul. Sembilan orang bersaudara itu tidak dapat mengerti,
kenapa satu-satu para pengikutnya bagaikan menjadi lumpuh.
Mereka merangkak menepi agar mereka tidak terinjak oleh
mereka y ang masih bertempur.
"Apa yang terjadi" pertanyaan itu telah mengganggu
sembilan orang bersaudara itu.
Sementara itu, tiga di antara mereka, mencoba
mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan Ki
Sardapa dan Ki Panonjay a. Namun ternyata mereka telah
membentur kemampuan ilmu Kiai Patah. Dengan ilmunya
yang tinggi, maka Kiai Patah tidak banyak menjumpai
kesulitan untuk melindungi Ki Sardapa dan Ki Panonjaya yang
ternyata telah menjadi pingsan.
Getaran-getaran ilmu y ang menghentak-hentak dadanya
ternyata tidak t eratasi oleh day a tahan mereka.
Namun dengan keadaan terakhir, ketika sembilan orang
bersaudara itu telah terpecah, maka lontaran ilmu yang
mereka lakukan bersama itu pun telah mengendor dan bahkan
akhirnya pudar sama sekali. Pada saat-saat mereka bertempur,
maka mereka tidak lagi mampu secara bersama-sama
menyerang dengan getaran yang menghentak karena
kemampuan ilmu mereka. Apalagi setelah mereka terpecah dalam kelompokkelompok
y ang terpisah. Karena itu, maka Ki Sardapa dan Ki Panonjaya y ang
tidak berdaya itu perlahan-lahan telah terlepas dari himpitan
ilmu y ang seakan-akan meny esak di dada mereka.
Ketika Kiai Patah kemudian sibuk bertempur mengusir
orang-orang y ang ingin langsung membunuh Ki Sardapa,
maka Ki Sardapa dan Ki Panonjaya pun mulai bergerak.
Ki Panonjaya lah y ang lebih dahulu menyadari
keadaannya. Karena itu maka ia pun telah berusaha untuk
bangkit. Sejenak Ki Panonjaya berusaha untuk memulihkan
segenap kesadarannya dan menghimpun kembali
kekuatannya. Ketika Ki Panonjaya kemudian bangkit sambil
menggenggam pedang, maka Ki Sardapa pun mulai bergerakgerak
pula. "Bangunlah," Ki Panonjaya lah yang kemudian
mengguncangnya, "kita harus bertempur."
Perlahan-lahan Ki Sardapa pun m ulai bangkit. Ia pun
berusaha untuk menghimpun kembali kekuatannya yang
bagaikan telah lenyap. Sejenak kemudian maka keduanya pun telah berdiri
sambil menggenggam senjata di tangan.
Tetapi seakan-akan keduanya memang tidak
memperoleh lawan. Kiai Patah telah mengusir setiap orang
yang akan mendekati mereka.
Namun ketika Kiai Patah kemudian m elihat keduanya
telah bangkit sambil menggenggam senjata, maka ia pun tidak
menjadi t erlalu cemas lagi.
Sementara itu, lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun semakin lama menjadi semakin berkurang. Para pengikut
sembilan orang bersaudara itu sama sekali tidak mampu untuk
melepaskan diri dari kekuatan ilmu kedua anak muda itu.
Satu-satu mereka jatuh dan harus merangkak menepi. Tulangtulang
mereka menjadi bagaikan terlepas sehingga tubuh
mereka tidak lagi mempunyai kekuatan.
"Apa yang terjadi, he?" saudara tertua di antara sembilan
orang itu berteriak. Tidak seorang pun yang dapat menjawab. Namun
korban- pun telah berjatuhan. Sehingga akhirnya tinggallah
sembilan orang bersaudara yang harus menghadapi tiga orang
yang berilmu tinggi. Ki Sardapa dan Ki Panonjaya, yang telah menemukan
kembali kemampuan dan kekuatan mereka, sempat bertempur
bersama-sama dengan Kiai Patah. Mereka sempat melawan
masing-masing seorang di antara kesembilan bersaudara itu.
Ternyata Ki Panonjaya memiliki kemampuan untuk
mempertahankan dirinya. Namun Ki Sardapa masih
memerlukan bantuan Kiai Patah karena ternyata bahwa
paman-pamannya memang memiliki kemampuan lebih besar.
Tetapi perlawanan kesembilan orang bersaudara itu
tidak lagi berbahaya bagi Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Tidak pula m emungkinkan lagi untuk m embunuh dan
apalagi memenggal kepala Ki Sardapa dan Ki Panonjaya.
Ketiga orang yang bertempur melawan Mahisa Murti
yang dengan keras meny erangnya beruntun susul m enyusul
seperti debur ombak yang membentur batu karang, sama
sekali t idak m elukainya. Bahkan dengan kebingungan mereka
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasakan betapa tenaga mereka semakin lama menjadi
semakin su sut. Begitu cepatnya, sehingga rasa-rasanya sesuatu
yang tidak wajar telah terjadi.
Sementara itu, Kiai Patah y ang mempergunakan cara
yang lain untuk menundukkan lawan-lawannya, ternyata telah
mempergunakan cara y ang lebih keras. Satu-satu tiga orang
bersaudara yang bertempur melawannya, telah dilukainya.
Yang berusaha m enyerang Ki Sardapa dan Ki Panonjaya pun
telah terluka pula oleh senjata Kiai Patah.
Sebenarnya bahwa Kiai Patah telah berusaha membatasi
dirinya dengan mempergunakan senjata. Tanpa senjata ia
akan m enjadi lebih berbahaya. Apalagi jika ia tidak sempat
menjangkau lawan karena jarak yang panjang. Maka ia akan
dapat mempergunakan ilmunya yang akan dapat
menghancurkan tubuh lawan-lawannya.
Demikianlah, maka pertempuran di halaman rumah
saudara tertua dari ibu tiri Ki Sardapa itu semakin lama telah
menjadi semakin susut. Lawan Kiai Patah y ang telah terluka
pun tidak lagi mampu berbuat banyak. Semakin banyak
mereka bergerak, maka darah pun semakin deras pula
mengalir dari tubuh mereka.
Menj elang fajar, maka semua lawan Kiai Patah, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah dilumpuhkan. Ketiga orang
lawan Kiai Patah y ang kehilangan banyak darah itu pun
seakan-akan sudah tidak mampu lagi menggerakkan
pedangnya. Sementara itu lawan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat benar-benar telah kehilangan tenaga. Sedangkan para
pengikutnya tidak ada yang mampu lagi berbuat sesuatu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah membuat
mereka menjadi seakan-akan lumpuh seluruh tubuhnya.
Dengan menyentuh mereka seorang demi seorang, maka sisasisa
tenaga mereka telah benar-benar terhisap sampai kering.
Dalam pada itu, Kiai Patah pun kemudian telah
membawa Ki Sardapa dan Ki Panonjaya untuk berdiri di
depan saudara tertua ibu tiri Ki Sardapa itu. Dengan lemahnya
saudara tertua itu telah didudukkan di tangga pendapa
bersama dua orang saudaranya.
"Ki Sanak," berkata Kiai Patah, "apakah kau masih juga
berkeberatan untuk mendengarkan penjelasan Sardapa
tentang kematian ibu tirinya" Atau barangkali kami harus
membawamu menghadap Ki Buyut untuk mendapatkan
penjelasannya." "Buyut y ang berkuasa di padukuhanmu bukan Buyut
yang berhak memerintah aku. Aku tidak tinggal di
kabuyutanmu" suaranya masih tetap garang.
Tetapi Mahisa Murti pun berkata, "Baiklah. Sekarang
dengarkan penjelasan Ki Sardapa y ang sekarang telah
menjabat sebagai seorang Bekel menggantikan kakaknya yang
ditangkap oleh Ki Buyut karena pembunuhan yang tidak
berperikemanusiaan."
"Aku tidak memerlukan penjelasannya. Aku sudah tahu
segala-galanya" berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murti pun kemudian mendekatinya
sambil berkata, "Ki Sanak. Kau tidak akan dapat menolak. Kau
tidak akan dapat pergi dari tempatmu itu."
"Persetan" geram orang itu.
Namun Mahisa Murti pun berkata kepada Ki Sardapa,
"Bicaralah. Biarlah ia mendengarkan."
Saudara tertua ibu tiri Ki Sardapa itu m encoba untuk
beringsut. Betapa pun lemahnya, namun ia telah naik ke
pendapa dan berusaha untuk bangkit. Tertatih-tatih ia
melangkah menjauh. Tetapi Mahisa Murti berkata, "jangan mempersulit
dirimu sendiri. Jika kau tidak menghiraukan kami, maka sisa
tenaga yang ada padamu itu pun segera akan lenyap pula. Dan
kau tidak akan lebih dari seorang y ang lumpuh. Hal itu akan
dapat terjadi jika kami menghendaki."
"Persetan," geram saudara tertua, "jika kalian ingin
membunuh aku, bunuhlah. Tetapi kau tidak akan mau
mendengarkan pembicaraanmu."
"Jangan keras kepala," berkata Mahisa Murti, "kau
hanya tinggal mendengarkan. Kau boleh percaya atau tidak."
"Aku tidak mau" orang itu hampir berteriak.
Tetapi ia tidak dapat melarikan diri ketika Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat menangkapnya dan membawanya kembali
ke tangga pendapa. "Duduklah dan dengarlah. Kau tidak akan dapat
mengelak lagi" berkata Mahisa Murti.
Ketika orang itu kemudian duduk kembali, maka sekali
lagi ia berusaha untuk bangkit. Tetapi ternyata bahwa
kekuatannya bagaikan telah terhisap habis. Saudara tertua ibu
tiri Ki Sardapa itu, tidak lagi sempat bangkit berdiri dan
bergeser dari tempatnya. Bahkan merangkak pun rasa-rasanya
tidak mungkin lagi. " Ilmu iblis y ang manakah yang kalian pergunakan"
geramnya. "Sudahlah," berkata Kiai Patah, "biarlah Ki Sardapa
memberikan keterangan. Kemudian terserah kepadamu.
Apakah kau percaya atau tidak. Tetapi satu hal yang pasti,
bahwa kau tidak akan mungkin lagi m embunuh Ki Sardapa.
Peri stiwa yang terjadi kali ini m erupakan peringatan bagimu,
karena jika sesuatu terjadi atas Ki Sardapa, maka sembilan
orang akan mati. Kemana pun kalian berusaha untuk lari,
kami akan memburu dan membunuh kalian di manapun."
Wajah saudara tertua itu menjadi merah. Tetapi ia
benar-benar tidak mampu bergeser dari tempatnya. Ra sarasanya
tulang-tulangnya telah terlepas dari tubuhnya.
Karena itu, maka mau tidak mau, ia harus tetap berada
di tempatnya. Sementara itu Kiai Patah pun berkata kepada Ki
Sardapa, "Jelaskan apa yang terjadi."
Ki Sardapa pun kemudian mulai b erbicara. Ternyata ia
tidak hanya berbicara kepada saudara tertua ibu tiriny a. Tetapi
ia pun berbicara dengan sembilan orang saudara ibu tirinya
itu, termasuk mereka yang terluka.
Sambil berjalan mendekati mereka seorang demi
seorang, Ki Sardapa berkata lantang, sehingga terdengar dari
seluruh halaman, "Kalian harus tahu apa yang sebenarnya
terjadi." Namun sangat mengherankan. Meskipun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tidak dengan semena-mena melukai lawanlawannya,
namun para pengikut kesembilan orang bersaudara
itu rasa-rasanya dengan cepat kehilangan tenaga mereka.
Betapa pun kesembilan orang pamannya itu ingin
menolak, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka
tidak dapat beranjak pergi karena mereka sudah tidak
mempunyai tenaga lagi. Sehingga dengan demikian, maka
mau tidak mau mereka harus mendengar apa y ang dikatakan
oleh Ki Sardapa dengan suara yang lantang.
Satu dua orang di antara mereka berusaha memalingkan
wajahnya. Tetapi suara Ki Sardapa itu masih tetap mereka
dengar menusuk-nusuk telinga dan rasa -rasanya menyakiti
jantung. Dalam pada itu Ki Sardapa sama sekali tidak peduli
apakah orang-orang itu m endengarkannya atau tidak. Tetapi
dengan lantang ia menceriterakan apa yang sebenarnya telah
terjadi di padukuhannya. "Aku sama sekali tidak tahu apa y ang sebenarnya
dilakukan oleh kakang Bekel. Karena itu, sudah barang tentu
aku tidak berbuat apa-apa sebelumnya. Baru ketika kemudian
rahasia tentang kecurangannya terbuka, maka aku terlibat
kedalam tindakan-tindakan berikutnya. Karena itu, adalah
fitnah y ang amat menyakitkan hati jika dikatakan, aku telah
berusaha merebut kedudukan kakang Bekel. Sebenarnya hal
ini dapat ditanyakan kepada setiap orang di padukuhanku.
Kepada Ki Buyut yang terkenal tegak pada paugeran. Apalagi
ia adalah bekas seorang prajurit sebelum ia harus memangku
jabatan y ang diwariskan oleh ay ahnya. Dan kalian dapat
bertanya kepada Kiai Patah yang dengan tekun dan hati-hati
menyelidiki peristiwa yang telah terjadi beberapa tahun yang
lalu, karena perampokan itu menyangkut keluarganya,"
berkata Ki Sardapa dengan kata-kata yang mengalir dari
mulutnya seperti banjir. Kesembilan orang pamannya itu berusaha untuk tidak
mengacuhkannya. Namun mereka memang terpaksa
mendengarkan kata -kata Ki Sardapa yang berkepanjangan.
Namun y ang kemudian dikatakannya bahwa kematian ibu
tirinya sama sekali bukan salahnya.
"Kalian akan dapat berbicara dengan orang-orang y ang
diupah oleh ibu untuk membunuhku," berkata Ki Sardapa,
"sehingga dengan demikian kalian akan mengetahui, siapakah
sebenarnya yang telah berniat untuk membunuhku."
Tidak seorang pun di antara kesembilan orang saudara
ibu tiri Ki Sardapa yang menjawab. Sementara itu Ki Sardapa
berkata selanjutnya, "Nah, kemudian terserah kepada kalian.
Percaya atau tidak percaya. Tetapi kali ini, kami memang tidak
berniat untuk membunuh kalian, meskipun hal seperti itu
sudah kalian rencanakan untuk kalian lakukan atasku dan
paman Panonjaya. Bahkan kami berlima. Tetapi jika sekali lagi
terjadi benturan, maka kalian tentu tidak akan dimaafkan oleh
Kiai Patah y ang sudah kehilangan hampir seluruh keluarganya
karena kejahatan kakang Bekel. Sekarang, Kiai Patah m asih
bersedia memaafkan kalian dan tidak akan membunuh
seorang pun di antara kalian. Tetapi jika lain kali y ang terjadi
tentu akan berbeda. Kiai Patah tentu akan menuntut kematian
saudara-saudaranya yang dibunuh dan dirampok oleh kakang
Bekel dengan cara yang licik. Nah, jika demikian halnya,
terserah atas penilaian kalian."
Halaman itu masih saja dicengkam keseny apan. Namun
dalam pada itu langit pun m ulai menjadi terang. Perlahanlahan
cahaya matahari mulai nampak memancar di langit.
Dengan demikian maka keadaan sembilan orang saudara
ibu tiri Ki Sardapa itu menjadi semakin jelas. Mereka
bertebaran di halaman dalam keadaan yang pahit. Bahkan ada
di antara mereka y ang tidak berdaya karena darah yang terlalu
banyak mengalir dari tubuh mereka y ang terluka.
"Nah," berkata Ki Sardapa kemudian, "aku sudah
mengatakan y ang sebenarnya. Terserah kepada kalian, apakah
kalian akan percaya atau tidak. Tetapi satu hal telah aku
kerjakan. Berusaha menunjukkan kebenaran kepada kalian.
Jika m ata kalian buta akan kebenaran, maka kalian m emang
tidak akan pernah menegakkan kebenaran itu."
Masih tidak ada jawaban. Sementara itu Kiai Patah lah
yang berkata, "Kalian telah m endengar apa y ang sebenarnya
telah terjadi itu. Yang ingin kami lakukan telah kami lakukan.
Karena itu maka tugas kami telah selesai. Ki Panonjaya yang
datang mendahului kami pun sebenarnya juga hanya ingin
menyampaikan keny ataan itu. Tetapi kalian telah berlaku
kasar atasnya dan bahkan kalian kemudian telah memutuskan
untuk membunuhnya." Kesembilan orang itu masih tetap berdiam diri. Karena
itu, maka Kiai Patah pun kemudian berkata, "Baiklah. Tugas
kami sudah selesai. Kalian dengar atau tidak, tetapi Ki Sardapa
sudah m enyampaikan peri stiwa yang sebenarnya telah terjadi
di padukuhannya serta kematian ibu tirinya. Karena itu, kami
akan meninggalkan rumah ini. Beberapa orang yang
kehilangan kekuatannya, perlahan-lahan akan timbul dan
bahkan pulih kembali. Yang t erluka sebaiknya segera diobati.
Mungkin dalam waktu beberapa hari, barulah semuanya akan
kembali seperti sediakala. Namun dengan satu pengertian, jika
kalian tidak merubah tanggapan kalian atas peri stiwa yang
telah terjadi, maka jangan m eny esali nasib kalian yang akan
menjadi jauh lebih buruk lagi."
Kiai Patah pun kemudian berkata kepada Ki Sardapa dan
Ki Panonjaya, "Apakah masih ada y ang ingin kalian katakan?"
Ki Sardapa menggeleng sambil berkata, "Tidak. Yang aku
katakan sudah cukup banyak. Terserah kepada mereka."
Sedang Ki Panonjaya pun berkata, "Memang tidak ada
lagi yang perlu dikatakan kepada mereka."
"Jika demikian, marilah. Kita tinggalkan tempat ini"
berkata Kiai Patah. Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia
memandangi wajah-wajah pamannya. Namun kemudian ia
pun berdesis, "Marilah. Kita biarkan mereka hidup. Mudahmudahan
aku tidak berubah pikiran."
Wajah saudara tertua di antara kesembilan saudara itu
menjadi semakin tegang. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.
Sesak di dadanya seakan-akan mencekiknya.
Dalam pada itu, Ki Sardapa, Ki Panonjaya dan ketiga
orang lainnya pun telah meninggalkan halaman rumah itu.
Sementara langit telah menjadi semakin panas oleh sinar
matahari y ang memanjat semakin tinggi.
Sepeninggal kelima orang itu, maka halaman rumah itu
pun masih saja m enjadi lengang. Orang-orang yang terbaring
terbujur lintang di halaman itu belum segera beringsut dari
tempatnya. Ternyata mereka memang tidak mempunyai
kekuatan sama sekali untuk bergeser dari tempatnya.
Beberapa orang memang masih berhasil merangkak
menepi, m endekati tangga pendapa. Namun y ang lain benarbenar
bagaikan seonggok pelepah pisang y ang tergolek di
halaman. Dalam pada itu, ketika suasana benar-benar telah
menjadi tenang, beberapa orang pelay an mulai memberanikan
diri menengok ke halaman. Ketika mereka melihat orangorang
yang bertebaran di halaman, maka mereka pun menjadi
kebingungan. Bahkan ada di antara mereka yang berteriakteriak
memanggil kawan-kawannya.
Halaman rumah itu telah menjadi gelisah lagi. Bukan
oleh pertempuran. Tetapi oleh mereka yang kebingungan. Para
pelayan, laki-laki dan perempuan, serta isteri sembilan orang
bersaudara y ang memang sudah berkumpul di rumah itu.
Mereka berlari-larian menolong terutama sembilan orang
bersaudara yang menjadi sangat lemah, bahkan di antara
mereka telah terluka. Satu-satu mereka telah diangkat dan didudukkan di
pendapa. Namun sembilan orang itu telah minta disandarkan
pada dinding pringgitan karena mereka hampir tidak lagi kuat
untuk duduk tanpa sandaran. Apalagi mereka y ang terluka.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya isteri saudara tertua
itu. "Obati yang luka itu" berkata saudara tertua di antara
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka. Beberapa orang telah berusaha untuk m engobati y ang
terluka itu lebih dahulu dengan obat y ang ditunjukkan oleh
saudara yang tertua itu. "Ambil m inuman buat kami semuanya" bentak saudara
tertua itu kepada seorang pelay an.
Pelay an y ang ketakutan itu pun kemudian berlari-lari
menemui beberapa orang untuk segera membuat minuman
bagi orang-orang yang bagaikan lumpuh di pendapa.
Saudara tertua itu berharap bahwa dengan minuman
hangat, maka tubuhnya akan menjadi segar lagi. Namun
ternyata meskipun ia telah m inum m inuman hangat, bahkan
dengan susah pay ah, tetapi tubuhnya masih saja bagaikan
lumpuh dan tidak berdaya.
Akhirnya saudara tertua di antara sembilan orang
saudara itu menyadari, bahwa mereka telah berhadapan
dengan orang-orang yang berilmu sangat tinggi.
Itulah sebabnya, maka mulailah timbul pertanyaan di
dalam diri saudara tertua itu, "Kenapa mereka tidak
membunuh kami." Ternyata pertanyaan itu telah berkembang didalam
dirinya. Bukan saja tentang kenapa orang-orang itu tidak
membunuh mereka, tetapi juga tentang keterangan yang
dikatakan oleh Ki Sardapa. Meskipun pada saat Ki Sardapa
mengucapkan, saudara tertua itu dan juga y ang lain-lainnya
tidak berusaha m endengarkan sama sekali, namun mau tidak
mau m ereka telah mendengarnya pula, sehingga keterangan
itu mulai bergejolak di dalam diri mereka.
Tetapi saudara tertua itu masih menyimpan persoalan
itu didalam dirinya. Sementara itu, kelima orang yang meninggalkan rumah
itu- pun telah menyusuri jalan padukuhan. Mereka tidak
menghiraukan beberapa pasang mata y ang memandang
mereka dengan pertanyaan di dalam hati.
Namun akhirnya, ada juga orang menjadi curiga. Di
halaman regol yang tertutup rapat itu terdengar kesibukan.
Bahkan seorang tetangga mengatakan, bahwa mereka telah
mendengar suara-suara ribut bukan saja setelah matahari
terbit. Tetapi sejak dini di halaman itu terdengar keributan
namun yang tidak jelas. "Apa tidak ada y ang menjenguknya?" bertanya
seseorang. Tetangga itu m enggeleng. Katanya, "Rumah itu adalah
rumah y ang khusus di padukuhan ini. Jarang orang yang
berani masuk. Di dalamnya tinggal seorang y ang berilmu
tinggi. Menurut beberapa orang, mereka telah melihat
saudara-saudaranya berkumpul di rumah itu bersama dengan
beberapa orang pengikut mereka."
Dengan demikian maka tidak seorang pun y ang
mencoba untuk menjenguk ke dalam halaman itu. Orangorang
yang betapa pun ingin m elihat, namun mereka tidak
mau dipersalahkan oleh para penghuninya, bahwa mereka
telah mencampuri per soalan y ang terjadi di dalam lingkungan
halaman rumah itu. Karena itu, maka apa yang terjadi di halaman itu tetap
tidak diketahui oleh orang-orang di sekitarnya. Jangankan
untuk membantu atau kepentingan yang lain, menjenguk pun
tidak seorang pun y ang berani melakukannya.
Dalam pada itu kelima orang y ang meninggalkan rumah
sembilan orang bersaudara itu pun telah menjadi semakin
jauh. Di perjalanan Kiai Patah itu pun berkata, "Aku kira,
mereka akan menghentikan kegiatan mereka untuk
selanjutnya." "Mudah-mudahan," berkata Ki Sardapa, "sebenarnya, di
hati kecil memang terbersit keinginan untuk membunuh saja
mereka, agar tidak akan menjadi duri dalam kehidupanku
selanjutnya. Tetapi ternyata serasa ada y ang mencegahnya di
dalam hati ini." Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Sambil menepuk
bahu Ki Sardapa ia berkata, "Jika masih ada yang terasa
mencegah di hati Ki Bekel, itu b erarti bahwa Ki Bekel m asih
belum kehilangan perasaan. Ki Bekel masih menyimpan
landasan kemanusiaan di dalam hati. Mudah-mudahan
landasan itu t idak akan larut dalam jabatan Ki Bekel
kemudian." Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak akan melupakan bagaimana aku merayap mencapai
kedudukan y ang sebelumnya tidak pernah aku impikan itu.
Namun ketika beban itu berada di pundak, maka aku pun
berusaha untuk mengangkatnya. Namun aku t idak pula akan
pernah melupakan, bagaimana aku dapat tegak dalam
kedudukan ini. Aku tidak akan dapat ingkar, bahwa aku tidak
dapat berdiri sendiri. Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya,
"Kesadaranmu akan hal itu, akan membantumu, menuntunmu
lewat jalan y ang benar." Kiai Patah berhenti sejenak, lalu
katanya kepada Ki Panonjaya, "Ki Panonjay a akan dapat
menjadi pendampingnya yang baik. Meskipun barangkali Ki
Pan onjaya tidak dapat terlalu sering mengunjunginya, namun
pada saat-saat tertentu Ki Panonjay a akan dapat memberikan
beberapa tuntunan yang berarti bagi Ki Bekel."
"Di samping barangkali aku yang merasa diri orang tua,
maka beberapa orang paman Ki Bekel y ang sebenarnya tidak
terlibat akan dapat membantunya" berkata Ki Panonjaya.
"Ya," sahut Kiai Patah, "setidak-tidaknya, seorang di
antara saudara ibu tirinya y ang sedang menunggu kita
sekarang ini." Ki Panonjaya m engangguk sambil berkata, "sebenarnya
ia tidak sendiri. Mungkin saudara-saudaranya yang lain tidak
memiliki keberanian bertindak seperti pamannya yang satu
itu." "Mungkin paman," desis Ki Sardapa, "namun aku akan
senang sekali jika paman-paman y ang mana pun akan
bersedia membantuku dalam segala segi tugas-tugasku."
Kiai Panonjaya terseny um. Baginya, Ki Sardapa adalah
orang y ang tepat untuk jabatannya. Meskipun ilmunya tidak
begitu tinggi, tetapi ia akan dapat bekerja dengan sungguhsungguh
dan nampaknya ia bukan orang yang mementingkan
diri sendiri. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan
di belakang ketiga orang y ang sibuk berbincang di depan
mereka. Keduanya tidak lagi berbicara tentang peristiwa y ang
baru saja mereka alami. Tetapi mereka mulai cemas, bahwa
usaha mereka mendapatkan seseorang untuk mewarisi
kemampuan mereka masih belum akan terpenuhi.
"Tetapi kita m emang tidak boleh tergesa-gesa," berkata
Mahisa Murti, "kita lebih mementingkan nilai dari seseorang
yang mungkin akan dapat m ewarisi ilmu kita dan selanjutnya
ikut membina perguruan kita daripada waktu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah
pada saat kita mulai sudah nampak pada kita, bahwa kita akan
dapat menjadi pewaris y ang baik?"
Mahisa Murti tersenyum. Dengan nada datar ia
menjawab, "Sebaiknya kita tanyakan kepada ayah. Apakah
ay ah melihat bahwa ada kelainan pada kita."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi tiba -tiba saja
ia berkata, "Ayah sudah terlalu lama berada di padepokan.
Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
"Jadi kapan kita akan kembali?" bertanya Mahisa Murti.
"Setelah suasana di padukuhan ini menjadi tenang,"
jawab Mahisa Pukat, "siapa tahu, ada peristiwa lain yang akan
menyusul." "Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan dapat terikat
pada padukuhan ini" berkata Mahisa Murti.
"Tentu tidak. Tetapi rangkaian peri stiwa ini memang
menarik untuk diikuti terus" jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti m engangguk-angguk. Tetapi ia kemudian
lebih banyak m emandangi sawah yang terhampar dihadapan
mereka. Lereng-lereng pegunungan di kejauhan. Alangkah
hijaunya. Namun jika terbayang pertentangan, kekerasan dan
apalagi perang, maka dahinya pun telah berkerut. Peperangan
yang ganas akan dapat m enjadi berserakan dilindas kaki-kaki
para prajurit y ang bertempur tanpa memperhitungkan medan.
Apalagi kaki-kaki kuda dari pasukan berkuda yang t egar.
Sementara itu, beberapa pihak dengan licik pernah berusaha
menghancurkan satu lingkungan untuk jangka panjang
dengan menebangi pepohonan di lereng pegunungan.
Dalam pada itu, maka udara pun menjadi semakin
panas. Matahari beredar terus melingkari langit. Sementara
leher pun rasa -rasanya menjadi kering.
Tetapi mereka tidak perlu merasa cemas, bahwa mereka
akan kehausan dan kelaparan di perjalanan, karena mereka
pun membawa bekal yang cukup. Uang di padukuhan Ki
Sardapa cukup banyak untuk bekal perjalanan berapa orang
pun untuk berapa hari sekalipun.
Karena itu, maka ketika haus dan lapar semakin terasa
mengganggu, maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai
yang cukup besar di sebuah padukuhan y ang besar, yang
nampaknya di padukuhan itu terdapat jalan silang antara
pusat-pusat perniagaan di sekitar padukuhan itu.
Beberapa saat lamanya mereka beristirahat. Setelah
tenaga mereka yang terperas semalam dan di perjalanan telah
terasa menjadi segar kembali, m ereka pun telah melanjutkan
perjalanan mereka y ang masih panjang.
Di perjalanan, mereka sama sekali t idak menemui
hambatan y ang berarti, sehingga akhirnya mereka kembali ke
padukuhan y ang agaknya telah m enunggu dengan berdebardebar,
justru di malam hari. Dengan singkat Ki Sardapa memberikan penjelasan
kepada salah seorang saudara ibu tiriny a yang tidak sejalan
dengan saudara -saudaranya y ang lain. Namun ia pun menarik
nafas dalam-dalam ketika ia mendengar akhir dari
perselisihan itu. "Aku berdoa, bahwa tidak ada korban y ang jatuh dalam
perselisihan ini," berkata orang itu. Lalu "Ternyata doaku itu
terpenuhi. Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian yang
masih berpegang pada landasan kemanusiaan. Meskipun
dengan demikian masih banyak kemungkinan dapat terjadi."
"Memang Paman," jawab Ki Sardapa, "tetapi aku
berharap bahwa paman-paman itu akan dapat mengerti arti
dari sikap kami ini."
Saudara ibu tiri Ki Sardapa itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Mudah-mudahan pada satu kesempatan aku dapat
membantu meredakan suasana. Tetapi apa y ang terjadi atas
mereka tentu merupakan pengalaman y ang sangat berarti."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ia pun berharap
bahwa untuk selanjutnya tidak akan terjadi apa-apa lagi.
Namun dalam pada itu, maka Ki Sardapa pun
berkewajiban untuk memberikan laporan kepada Ki Buyut apa
yang telah dilakukannya untuk mengatasi persoalan yang
menyangkut dirinya dengan keluarga ibu tirinya.
"Kami berharap bahwa mereka tidak akan mengganggu
tugas-tugasku," berkata Ki Sardapa. Namun katanya
kemudian, "Tetapi aku mohon perkenan Ki Buyut untuk
mempergunakan kekuatan anak-anak muda di padukuhanku,
bahkan para pengawal Kademangan untuk mengatasi
kesulitan jika mereka ternyata masih belum jera dan berusaha
menggangguku." "Tentu," jawab Ki Buyut yang menerima laporan itu,
"Kabuyutan ini merupakan satu kesatuan. Karena itu m aka
apa y ang t erjadi pada salah seorang warganya, akan
menyentuh setiap orang di Kabuyutan ini."
"Terima kasih," desis Ki Sardapa, "mungkin aku
memang memerlukannya. Tetapi aku berharap bahwa mereka
tidak akan mengganggu aku lagi."
"Jangan lengah," pesan Ki Buyut, "untuk sementara
anak-anak m uda di padukuhanmu m asih harus berjaga-jaga.
Bukan saja di banjar, tetapi juga di rumah Ki Bekel."
"Terima kasih atas pengertian Ki Buyut," berkata Ki
Sardapa, " sementara masih berada di padukuhan, m aka Kiai
Patah dan kedua anak muda itu akan sangat berarti bagi kita."
"Usahakan agar mereka kerasan tinggal di
padukuhanmu Ki Bekel" berkata Ki Buyut.
"Aku akan berusaha. Tetapi nampaknya kedua anak
muda itulah y ang sulit untuk ditunda kepergian mereka.
Namun untuk beberapa hari mungkin aku masih akan dapat
minta mereka tinggal" jawab Ki Bekel.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Keduanya
mengaku pengembara. Tetapi aku berharap bahwa keduanya,
yang pernah berada di lingkungan keprajuritan di Kediri
dalam tugas sandi itu akan mengerti dan bersedia
membantumu selama masih belum ada kejelasan sikap dari
saudara-saudara ibu tirimu itu."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
Ki Buyut." "Cobalah" desis Ki Buyut.
Ki Bekel y ang kemudian telah berada di padukuhannya
kembali, memang berusaha untuk mengadakan persiapanpersiapan.
Ia sadar, bahwa saudara -saudara ibu tirinya itu
telah berjanji untuk berbicara dengan kesembilan saudaranya
yang lain. Dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masih bersedia untuk tinggal beberapa waktu lagi.
Tetapi mereka sudah mengatakan, bahwa pada suatu saat
mereka akan meninggalkan padukuhan itu untuk melanjutkan
perjalanan pengembaraan mereka.
Dalam beberapa hari, padukuhan itu sama sekali tidak
mendapat gangguan apapun. Agaknya bahwa kesembilan
orang bersaudara itu tidak memiliki kemampuan atau oleh
siapa pun juga, untuk memulihkan kekuatan mereka atau
setidak-tidaknya mempercepat usaha memulihkan kekuatan
itu. Tetapi kemungkinan y ang lain memang dapat t erjadi pada
kesembilan orang bersaudara itu. Mereka agaknya memang
tidak ingin memperpanjang permusuhan m ereka dengan Ki
Bekel. Sebenarnyalah, ketika kelima orang yang datang, di
antaranya terdapat Sardapa, meninggalkan rumah itu, saudara
tertua dari sembilan orang bersaudara itu mulai menilai
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali langkah-langkah y ang telah diambilnya.
Itulah sebabnya ketika perlahan-lahan kekuatan dan
kemampuan ilmunya pulih kembali di hari-hari berikutnya, ia
mulai berbicara dengan adik-adiknya tentang sikap mereka
terhadap Ki Sardapa. "Aku tetap pada keinginan kita sejak semula" berkata
yang paling muda. "Kau harus menilai sikap Sardapa. Kenapa ia tidak
membunuh kita meskipun ia dapat melakukannya di saat-saat
kita kehilangan kemampuan kita untuk melindungi diri kita"
berkata yang tertua. Seorang lagi di antara mereka berkata, "Permusuhan itu
ternyata tidak ada gunanya. Sementara itu kita tahu, siapakah
yang sebenarnyalah ber salah."
Tetapi yang termuda nampaknya tetap pada
pendiriannya. Katanya, "Dengan atau tidak dengan siapa pun
juga, aku akan tetap m embunuhnya. Sardapa bertumpu pada
kekuatan para pendatang di padukuhannya yang pada suatu
saat akan meninggalkan padukuhan itu."
Saudara tertua itu m enarik nafas dalam-dalam. Ia tahu
bahwa hati adiknya itu sekeras batu. Itulah sebabnya, maka ia
tidak dapat hidup sebagaimana layaknya. Adiknya itu t erlalu
banyak m empunyai musuh. Meskipun pada dasarnya mereka
berada di dunia yang sama-sama buram, tetapi saudaranya
yang bungsu ini m empunyai sifat yang jauh lebih kelam dari
saudara-saudaranya. Namun dalam pada itu, saudara tertua itu m asih juga
berusaha untuk meyakinkan adiknya. Katanya, "Soalnya
bukan lagi tentang kekuatan. Aku pun tahu, bahwa Sardapa
sendiri bukan apa -apa bagi kita. Aku sendiri akan dapat
membunuhnya. Tetapi agaknya Sardapa memang bersungguhsungguh
untuk tidak bermusuhan dengan kita. Pada saat yang
paling menguntungkan baginya, ia tidak membunuh kita.
Meskipun seandainya ia melakukannya, maka ia telah
membebaskan dirinya dari gangguan mimpi-mimpi buruk,
karena Sardapa tentu menyadari bahwa kita akan merupakan
bahaya bagi kehidupannya di masa-masa datang."
" Ia bukan seorang yang jujur. Juga kepada diri sendiri.
Meskipun ia menyadari kemungkinan y ang buruk itu, t etapi ia
adalah seorang y ang selalu ingin mendapatkan pujian
sebagaimana kakang memujinya sekarang. Seolah-olah ia
adalah seorang yang baik hati. Orang y ang tidak m endendam
dan berniat tidak bermusuhan" berkata saudara termuda itu.
"Tetapi ia benar-benar tidak berbuat sesuatu atas kita.
Jika ia sekedar ingin mendapat pujian, maka di hari
berikutnya ia dapat datang sendiri dengan orang-orang yang
paling lemah sekalipun untuk membunuh kita y ang tidak
berbahaya" berkata saudara tertua itu.
Adiknya y ang sulung itu ternyata masih juga menjawab,
" Ia tidak akan berani melakukannya. Namun bagiku,
bagaimanapun juga kesalahan Sardapa tidak dapat dimaafkan
lagi." "Apakah sebenarnya kesalahan Sardapa" Bukankah kita
tidak dapat menipu diri kita sendiri, bahwa kitalah yang telah
mengarang ceritera tentang tingkah lakunya" Bukankah kita
sebenarnya sudah mengetahui peri stiwa y ang sebenarnya
terjadi, sebagaimana diceriterakan oleh Sardapa itu?" berkata
saudara yang tertua itu. "Aku tidak peduli," jawab yang termuda, "bagaimanapun
juga Sardapa harus mati."
Saudara yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada rendah ia berkata, "Bagaimanapun juga aku
berpendirian, halnya permusuhan ini harus dihentikan
sementara harga diri kita masih belum dihancurkannya."
"Jangan berusaha mengekang aku lagi. Jika kakang
sudah jera hanya karena kekalahan kecil ini, maka biarlah aku
yang melanjutkan perjuangan ini" berkata yang bungsu.
"Perjuangan apa" Kita sudah mengalami kekalahan.
Bukan sekedar kekalahan dalam benturan kewadagan. Tetapi
ternyata jiwa kita jauh lebih kecil dari jiwa Sardapa itu. Aku
memang mempercayainya bahwa ia akan mendapat
perlindungan dari Ki Buyut y ang bekas seorang prajurit itu
seandainya orang-orang y ang membantunya datang kemari itu
pada suatu saat meninggalkannya" berkata yang tertua.
Tetapi meskipun kemudian saudara-saudaranya y ang
lain m embenarkan keterangan saudara tertuanya itu, namun
yang bungsu itu ternyata masih saja tetap pada pendiriannya.
"Aku hanya akan menunggu kekuatanku pulih kembali,"
berkata y ang bungsu, "kemudian aku akan pergi dan berbuat
sendiri." "Aku tidak yakin bahwa Sardapa akan dapat memaafkan
kita untuk kedua kalinya" berkata yang tertua.
Tetapi adiknya tidak m au mendengarkannya. Sehingga
akhirnya saudara-saudaranya yang lain pun tidak lagi
berusaha untuk mencegahnya.
Tetapi yang bungsu itu pun tidak segera dapat berbuat
sesuatu karena ia masih menunggu kekuatannya pulih
kembali. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata
masih belum meninggalkan padukuhan itu. Tetapi atas
permintaan Ki Sardapa y ang masih meragukan kesediaan
paman-pamannya untuk menghentikan permusuhan telah
minta agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tinggal di
rumah Kiai Patah, tetapi tinggal di rumahnya.
Kiai Patah tidak berkeberatan. Sementara Kiai Patah
sendiri akan dapat melindungi diriny a sendiri, siapa pun yang
akan datang ke rumahnya. Namun hari-hari yang pendek itu telah dipergunakan
oleh Ki Sardapa sebaik-baiknya selagi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masih tinggal. Dimintanya dalam waktu yang
pendek itu membantu mempersiapkan sekelompok anak-anak
muda pilihan agar mereka dapat membantu menjaga dan
melindungi padukuhan itu dari ancaman siapapun. Meskipun
Ki Sardapa sadar, bahwa yang dapat dicapai dalam waktu yang
pendek itu tidak terlalu banyak, tetapi itu lebih baik daripada
tidak sama sekali. Namun Ki Bekel itu pada suatu senja telah dikejutkan
oleh kehadiran saudara tertua dari ibu tirinya. Bahkan orang
itu telah datang bertiga dengan saudara-saudaranya y ang lain.
Namun mereka tidak bertemu dengan seorang di antara
saudaranya y ang telah datang dan m emberitahukan apa yang
akan mereka lakukan atas Ki Bekel, karena saudaranya itu
telah kembali setelah diketahuinya bahwa Ki Bekel selamat
setelah mengunjungi saudara tertuanya. Pada suatu
kesempatan y ang baik, ia memang ingin berbicara dengan
saudara-saudaranya tentang hubungan mereka dengan Ki
Sardapa. Dengan jantung yang berdebaran, Ki Bekel menemui
paman-pamannya bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ia sama sekali tidak dapat menduga, apakah keperluan mereka
datang menemuinya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
tidak melepaskan kewaspadaan. Apa pun y ang akan dilakukan
oleh ketiga orang itu. Sementara itu ketika ketiga orang itu sudah
dipersilahkan duduk di pendapa, maka Ki Sardapa pun segera
ingin tahu, apa yang akan dikatakan oleh ketiga orang
pamannya itu. Dengan hati-hati, maka Ki Sardapa pun telah b ertanya,
"Paman, apakah keperluan Paman bertiga datang ke
rumahku" Aku kira Paman tidak sekedar ingin berkunjung."
Saudara tertua di antara mereka itu pun berkata dengan
nada berat, "Ya Sardapa. Kami memang tidak sekedar
berkunjung. Tetapi kami ingin menyampaikan sesuatu
kepadamu." "Maksud paman?" bertanya Ki Bekel.
"Aku ingin berbicara kepadamu," jawab pamannya itu,
"mudah-mudahan kau masih mempunyai sisa kepercayaan
kepadaku." Ki Bekel m enarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Paman.
Sebenarnya aku sama sekali tidak kehilangan kepercayaan
kepada Paman. Aku yakin bagaimanapun juga, tentu m asih
ada sepercik sinar bening di hati Paman. Karena itu maka
kami telah datang kepada Paman dan jika aku benar-benar
telah kehilangan kepercayaan maka aku tentu akan sampai
hati membunuh Paman, bahkan bersembilan, karena pada
saat itu Paman telah tidak m empunyai kekuatan sama sekali.
Tetapi aku tidak berbuat demikian, karena aku menginginkan
bentuk peny elesaian yang lain."
Paman tertuanya itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya dengan suara b erat, "Aku m engerti Sardapa. Karena
itu, m aka aku telah datang menemuimu. Agar kau percaya,
maka aku sengaja datang ber sama paman-pamanmu y ang lain.
Dengan demikian kau akan lebih yakin akan sikap kami."
Ki Sardapa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
dengan ragu -ragu ia bertanya, "Jadi, apakah sebenarnya yang
akan Paman katakan?"
"Sardapa," berkata Pamannya y ang tertua, "sejak kau
meninggalkan kami, maka kami mulai berpikir tentang
persoalan yang sedang kita hadapi. Ternyata bahwa jalan
pikiran kami telah berkembang," pamannya itu berhenti
sejenak. Tiba-tiba saja ia bertanya, "Dimana Ki Panonjaya?"
-ooo0dw0oooHIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 60 "PAMAN PANONJAYA sedang keluar sebentar
Paman. Ke pasar. Ada sesuatu yang hendak dibelinya," jawab
Ki Sardapa. "Tetapi ia masih berada di padukuhan ini?" bertanya
pamannya itu. "Ya. Aku m ohon Paman Panonjay a tinggal disini untuk
beberapa lama. Rasa-rasanya aku memerlukannya. Di dekat
paman Panonjaya aku merasa di dekat ay ahku sendiri," jawab
Sardapa. Paman tertuanya mengangguk-angguk. Sementara itu
pamannya y ang lain berkata, "Ki Panonjaya adalah adik
ay ahmu. Sepantasnya kau merasa dekat dengannya."
Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mungkin memang demikian," namun dalam pada itu, ia pun
segera bertanya, "Tetapi apakah maksud paman datang
kemari?" Paman tertuanya menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Ada baiknya hal yang ingin aku katakan kepadamu didengar
oleh Ki Panonjaya. Tetapi jika tidak, maka ada dua orang saksi
yang lain y ang ada di sini."
Ki Sardapa di luar sadarnya telah berpaling ke arah
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sambil menarik nafas dalamdalam
ia berkata, "Jadi Paman memerlukan saksi?"
"Bukan saksi, maksudku biarlah ada orang lain y ang ikut
mendengarkan pernyataan kami," jawab pamannya yang
tertua. Ki Sardapa mengangguk-angguk. Namun ia sudah dapat
meraba, apa yang ingin dikatakan oleh pamannya.
Sebenarnyalah paman-pamannya itu telah menyatakan
peny esalan mereka atas tingkah laku m ereka. Dengan suara
serak pamannya y ang tertua berkata, "Sardapa. Kami datang
untuk minta maaf. Sebenarnyalah bahwa kami tahu apa yang
telah terjadi sebagaimana kau katakan. Kamilah yang telah
membuat ceritera bagi kepentingan kami sendiri agar kami
dapat berbuat sesuatu atasmu."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
juga sudah mengira Paman. Tetapi seperti y ang Paman
ketahui, bahwa aku masih mempunyai kepercayaan bahwa
Paman pada suatu saat akan menyadari bahwa apa y ang telah
terjadi bukannya cara yang terbaik untuk mencari
peny elesaian." "Kau benar Sardapa. Dan apa yang kau duga itu memang
telah terjadi pada diri kami. Kami memang telah m enyadari
apa yang terjadi. Dan kami datang atas nama saudarasaudaraku,
paman-pamanmu, untuk minta maaf," berkata
pamannya y ang tertua. Ki Sardapa memandang ketiga pamannya seorang demi
seorang. Ternyata wajah mereka y ang semula tegang, telah
berubah. Kerut di dahi tidak lagi nampak terlalu dalam. Ra sarasanya
sebagian beban y ang meny esak didalam dada m ereka
telah diletakkan. "Paman," berkata Ki Sardapa kemudian, "kedua anak
muda ini memang pantas disebut saksi. Jika paman-paman
dengan ikhlas menyatakan peny esalan, maka bagiku
pernyataan itu merupakan satu kurnia bagiku. Dengan
demikian persoalan kita akan selesai dengan cara sebagaimana
aku inginkan." "Kami berkata sebenarnya Sardapa," berkata y ang
tertua, "jika niat ini tidak lahir dari keikhlasan hati kami, maka
kami tidak akan datang kemari. Jika hal ini semata-mata
karena perasaan takut, maka itu tidak akan kami lakukan.
Kami adalah orang-orang y ang tidak pernah m engenal takut
sampai batas mati sekalipun. Tetapi y ang kami lakukan adalah
karena perkem bangan kesadaran kami menghadapi per soalan
yang telah terjadi. Dengan demikian maka kami telah datang
kepadamu." Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Suaranya pun
kemudian merendah, "Terima ka sih Paman. Dengan demikian
maka per soalan di antara kita sudah dapat kita anggap selesai.
Hubungan kita akan tetap sebagaimana sebelumnya.
Meskipun aku kemudian mengetahui bahwa orang y ang aku
anggap ibuku itu adalah seorang ibu tiri, namun aku tidak
pernah menganggap paman-paman semuanya bukan
pamanku sendiri." "Aku pun berterima ka sih kepadamu jika kau masih
tetap menganggap kami sebagai paman-pamanmu Sardapa.
Kami akan melupakan apa y ang pernah terjadi. Kami pun
tidak akan pernah menganggap bahwa kau bukan anak
saudara perempuanku. Kau akan kami anggap sebagai
kemanakan kami sepenuhnya."
"Mudah-mudahan sikap kami masing-masing tidak akan
berubah. Selama ini kami telah dipisahkan justru karena sikap
ibu dan pandangan paman-paman y ang salah terhadap
keadaan," berkata Ki Sardapa.
"Aku m engerti," jawab pamannya y ang tertua, "aku pun
berharap bahwa di hari -hari mendatang hubungan kita
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi semakin baik."
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Dengan penuh harap ia
berkata, "Hanya kitalah yang dapat memperbaiki keadaan ini.
Dan kita masing-masing telah berniat berbuat demikian."
Namun dalam pada itu, Ki Sardapa masih melihat
sesuatu y ang belum terucapkan pada paman-pamannya.
Sekali-sekali mereka saling berpandangan. Namun keraguraguan
masih saja membayang di wajah mereka.
Karena itu maka Ki Sardapa pun kemudian bertanya,
"Paman. Apakah masih ada sesuatu y ang belum terkatakan"
Aku kira jika kita memang ingin memperbaiki hubungan kita
sepenuhnya, maka kita akan lebih terbuka. Bahwa Paman
masih nampak ragu-ragu agaknya membuat aku ragu-ragu
pula." Pamannya yang t ertua menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya, "Memang masih ada keraguraguan
yang terselip di dalam hatiku. Betapa pun kam i benarbenar
berniat untuk membuka diri dalam hubungan kita,
tetapi ternyata bahwa m asih harus ada persoalan yang perlu
mendapat perhatian kita."
"Jika memang penting, aku per silahkan paman
mengatakannya," minta Ki Sardapa.
Ketiga orang pamannya itu masih saja nampak raguragu.
Beberapa kali mereka saling berpandangan. Namun
kemudian y ang tertua itu pun beringsut sejengkal, seakanakan
ingin mencari kekuatan di tempat duduknya untuk
mengatakan persoalan y ang masih tersisa di dalam dirinya.
"Sardapa," b erkata pamannya y ang tertua dengan nada
datar, "betapa pun kami berusaha untuk mengakhiri
pertentangan y ang ada di antara kami, keluarga ibumu yang
ternyata adalah ibu tirimu dengan kau, namun kami tidak
dapat berhasil sepenuhnya."
"Apakah yang Paman maksudkan?" bertanya Ki Sardapa.
"Pamanmu yang bungsu agaknya tidak sejalan dengan
pikiran kami. Kami sudah berusaha untuk menjelaskan
beberapa masalah y ang selama ini telah membuat jarak di
antara kita. Kami pun telah berusaha untuk melihat kedalam
diri kami sendiri, bahwa apa yang kami tuduhkan kepadamu
semata-mata karena khayalan y ang kami bangunkan sendiri.
Namun pamanmu y ang bungsu itu telah terlanjur terpancang
pada khayalan itu sendiri. Ia tidak dapat bergerak surut untuk
mengakui kebenaran. Tetapi ia tetap pada sikapnya. Khayalan
yang berhasil kita bangunkan itu, merupakan keny ataan
baginya. Kenyataan yang telah disusunnya sendiri dan
kemudian diy akininya," berkata saudaranya yang tertua.
Candi Murca 8 Because You Are Mine Karya Beth Kery Balada Padang Pasir 5