Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 6

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 6


membunuhmu sekaligus membunuh Ki Sardapa yang curang
dan telah berkhianat terhadap kakaknya sendiri?"
"Jangan mengada-ada," jawab Mahisa Pukat, "sebaiknya
kita tidak usah terlalu banyak bicara. Aku tahu bahwa kau
telah mendapat upah untuk membunuh Ki Sardapa dan
barangkali sekaligus ingin merampok banjar ini. Kau
pergunakan ilmu sirep y ang sangat tajam sehingga semua
pengawal telah tertidur ny enyak. Tetapi bagaimanapun juga,
niat buruk itu pantas digagalkan. Adalah tugas kami berdua
untuk menggagalkan niat kalian membunuh Ki Sardapa untuk
sekedar menerima upah."
"Cukup," potong Sura. Sambil berpaling kepada kawankawannya
ia berkata, "Kita tidak usah ragu-ragu lagi.
Selesaikan mereka berdua. Aku akan meny elesaikan Ki
Sardapa yang tertidur ny enyak. Ia tidak tahu, bahwa ia tidak
akan pernah terbangun lagi dari tidurnya."
"Terbalik," berkata Mahisa Pukat, "kamilah yang akan
menyelesaikan kalian dan meny elamatkan Ki Sardapa yang
tidak bersalah. Tetapi cara kami agak lebih baik dari cara yang
kalian tempuh. Kami tidak akan membunuh kalian. Tetapi
kami akan menangkap kalian dan menyerahkan kepada Ki
Buyut." "Gila," Sura hampir berteriak. Lalu "Cepat, lakukan. Kita
tidak mempunyai waktu banyak sebelum orang-orang itu
terbangun. Jika mereka sempat ikut campur, m aka kita akan
membunuh lebih banyak lagi."
Kelima orang kawan Sura itu pun mulai bergerak.
Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah meloncat meny erang. Demikian
cepatnya, sehingga orang -orang itu tidak sempat mengelak.
Pa da serangan pertama itu, m aka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah melemparkan dua orang diantara mereka sehingga
jatuh berguling. Kemudian mendesak y ang lain lagi dengan
ccpat. Dua orang lagi telah terlempar jatuh pula. Sementara itu
Sura dan laki-laki y ang pernah membawa ibu tiri Ki Sardapa
itu sempat bergeser mundur.
"Bukan main," desis laki-laki itu.
"Anak iblis," Sura mengumpat.
Ketika orang-orang yang terjatuh itu bangkit berdiri,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sempat
mengangkat Ki Sardapa dan m embawanya m asuk ke ruang
dalam. Namun ketika orang-orang itu berusaha untuk
menyusulnya, maka keduanya telah berdiri tegak di depan
pintu. "Nah," berkata Mahisa Murti, "sekarang tinggal kita
sa jalah y ang berhadapan. Kalian tidak akan dapat
mengganggu Ki Sardapa. Jika saja ia tidak tertidur, maka
kalian memang tidak akan dapat meny entuhnya. Kalian hanya
berani menghadapinya dengan cara yang sangat licik."
"Setan kau," geram Sura, "itu bukan sesuatu yang licik.
Tetapi itu adalah kelebihanku."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Baiklah. Tetapi
sekarang kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi."
"Aku m enawarkan pengampunan k epada kalian berdua
jika kalian mau m eny erahkan Ki Sardapa kepadaku," berkata
Sura. Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Katanya, "Kau
memang aneh. Aku sama sekali tidak memerlukan
pengampunanmu." Sura sudah tidak sabar lagi. Maka ia pun telah
memberikan isyarat kepada orang-orangnya.
"Kita tidak m empunyai banyak waktu m emang," geram
seseorang sambil menarik senjatanya, "kita sudah saatnya
benar-benar bertindak."
"Bagus," desis Sura, "lakukan tanpa ragu-ragu lagi."
Kelima orang itu pun segera bersiap dengan senjata
mereka masing-masing. Berjenis-jenis senjata y ang memang
menggetarkan jantung. Namun Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sama sekali tidak menjadi gentar karenanya. Mereka
memang sudah bersiap menghadapi kemungkinan seperti itu.
Karena itu maka selangkah keduanya maju. Untuk tidak
memancing keheranan dan dianggap menggertak dengan
pangeram-eram. maka keduanya telah menggenggam pedang.
Hanya jika terpaksa sekali keduanya akan m elepaskan ilmu
mereka. Sementara itu mereka masih akan berusaha
mengatasi lawan-lawan mereka dengan senjata wajar.
Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran pun
telah terjadi. Karena keenam orang itu terlalu bernafsu untuk
segera dapat membunuh, maka pertempuran pun segera
menjadi seru. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang membawa
pedang di tangan mereka, telah bergerak dengan cepatnya.
Pedang di tangan mereka berputaran seperti baling-baling.
Namun lawan-lawan mereka telah mempergunakan
berbagai macam senjata. Pedang dan pisau belati, tombak
berkait, golok yang besar, rantai baja y ang m emakai bandul
besi bergerigi di ujung dan jenis-jenis senjata lain.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
harus mampu meny esuaikan perlawanan mereka atas senjatasenjata
yang dipergunakan oleh lawannya itu. Karena watak
senjata-senjata itu berbeda, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat tidak boleh lengah karenanya, la tidak akan dapat
melawan pedang dan belati di tangan orang y ang bertubuh
gemuk itu sebagaimana ia melawan tombak pendek yang
ujungnya berkait la pun harus mempergunakan cara tersendiri
untuk melawan rantai dengan bandul besi bergerigi.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempelajari berbagai macam watak senjata, sehingga dengan
demikian, maka ia pun dapat mengimbangi keenam lawan
mereka dengan m engerahkan tenaga cadangan di dalam diri
mereka, sehingga m ereka m ampu bergerak cepat. Sementara
itu di setiap benturan, kekuatan kedua anak muda itu telah
menggetarkan tangan lawan-lawan mereka.
Namun lawan-lawan mereka bukan orang kebanyakan.
Mereka telah m emiliki pengalaman y ang sangat luas. Karena
itu, maka mereka pun telah berusaha untuk menyesuaikan
gerak senjata mereka yang berbeda -beda. Dengan senjata
masing-masing, mereka berusaha untuk membuat Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat kebingungan, sehingga dengan
demikian pada satu saat mereka akan dapat menembus
pertahanannya y ang sangat rapat.
Mula-mula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
mampu melawan bermacam-macam senjata itu dengan
kecepatan geraknya serta kekuatan tenaga cadangan m ereka.
Namun ternyata bahwa keenam orang itu m emiliki ilmu yang
mampu membuat kedua anak muda itu menjadi gelisah.
Berganti-ganti mereka datang menyerang dengan jenis senjata
yang berbeda. Bahkan kadang-kadang dua orang bersama-sama telah
menyerang salah seorang dari kedua anak muda itu.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berusaha untuk bertahan. Namun mereka pun mulai terdesak
ke arah pintu. Sementara itu Sura pun berkata, "Saat
pengampunan telah lewat. Kesombonganmu telah
mengantarkanmu ke lubang kematian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat t idak menjawab. Tetapi
melawan enam jeni s senjata yang berbeda -beda semuanya,
bukanlah satu tugas y ang mudah bagi mereka.
Laki-laki y ang bersenjata rantai itu ternyata mempunyai
kemampuan yang sangat khusus. Meskipun rantainya
berputar, kadang-kadang mendatar, kadang-kadang tegak,
namun seakan-akan ia sama sekali tidak mengganggu kawankawannya
y ang bersenjata tajam. Bahkan ia mampu bekerja
bersama dengan baik sekali dengan Sura y ang bersenjata
pedang. Untuk sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
terdesak. Di saat pedang Mahisa Murti t erkait t ombak orang
berjambang, maka ujung golok y ang besar telah m enikam ke
arah jantung. Untunglah bahwa Mahisa Murti memiliki kekuatan y ang
sangat besar, sehingga ketika ia menghentakkan kekuatannya,
maka justru t ombak berkait itulah y ang hampir terlepas dari
tangan pemiliknya. Tetapi setiap kali, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang berada dalam bahaya y ang mendebarkan. Bahkan
sekali pakaian Mahisa Pukat telah tersentuh oleh ujung belati
orang y ang agak gemuk itu , justru pada saat pedangnya tidak
mengenai sasaran. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meningkatkan
kemampuannya, maka keenam orang itu pun telah
mengerahkan kemampuan mereka pula, sehingga kedua anak
muda itu masih saja berada dalam kesulitan.
Karena itulah, maka mereka tidak mempunyai pilihan
lain. Apalagi ketika kulit Mahisa Pukat benar-benar telah
tersentuh ujung tombak lawannya, sehingga sebuah goresan
telah mewarnai lengannya.
Dengan isy arat maka Mahisa Murti pun telah
memutuskan untuk melepaskan salah satu ilmunya yang
mungkin dipergunakannya untuk dapat menangkap keenam
orang itu hidup-hidup. Mahisa Pukat pun segera tanggap akan isyarat itu.
Karena itu, m aka sejenak kemudian, maka k edua anak muda
itu telah mempergunakan salah satu ilmunya y ang jarang ada
duanya. Beberapa saat kemudian, pertempuran masih
berlangsung. Bahkan bandul bergerigi itu sempat pula meny entuh
pundak Mahisa Murti, sehingga berdarah. Meskipun lukanya
tidak dalam, tetapi tiga goresan telah memanjang di
pundaknya itu. "Untunglah, bukan dahiku," desis Mahisa Murti kepada
dirinya sendiri. Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti pun
benar-benar telah mengerahkan ilmunya sebagaimana
dilakukan Mahisa Pukat yang juga telah terluka.
Sura yang memimpin kelima orang kawannya menjadi
tidak telaten. Dengan lantang ia berteriak, "Cepat, bunuh
mereka sekarang." Keenam orang yang merasa bahwa mereka akan mampu
mengalahkan kedua orang anak muda itu menjadi semakin
bernafsu. Apalagi karena kedua anak muda itu telah terluka.
Darah telah menitik dari luka-luka mereka.
Apalagi karena mereka menganggap bahwa waktu
mereka memang terbatas karena pada suatu saat kekuatan
sirep itu akan memudar. Jika demikian, maka mereka yang
tertidur itu-pun akan segera terbangun. Ki Sardapa pun akan
terbangun juga dan akan bergabung dengan kedua anak muda
yang melindunginya bersama anak-anak muda y ang lain.
Karena itu, m aka keenam orang itu benar -benar telah
mengerahkan segenap kemampuan y ang ada didalam diri
mereka. Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi
semakin seru. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
semakin sibuk melayani serangan-serangan lawannya.
Dalam pertempuran yang cepat itu, ujung tombak
berkait itu telah menggores punggung Mahisa Pukat,
sedangkan pedang Sura telah m elukai pula Mahisa Murti di
tangannya. Ketika luka-luka itu telah tergores lagi di tubuh kedua
anak muda itu, maka keenam orang itu merasa bahwa
kemenangan mereka telah menjadi semakin dekat. Dengan
demikian maka mereka pun semakin m empercepat putaran
senjata mereka. Serangan demi serangan saling menyusul.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus bekerja
terlalu keras untuk menangkis serangan-serangan itu. Namun
mereka sama sekali t idak bergeser surut lebih jauh lagi.
Apalagi memasuki pintu karena dengan demikian mereka
akan memberikan peluang kepada orang-orang itu untuk
menyusup masuk dan membunuh Ki Sardapa y ang masih
tertidur ny enyak. Beberapa saat kemudian mereka masih bertempur
dengan sengitnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha
untuk menangkis serangan yang datang beruntun itu. Namun
karena demikian banyaknya senjata lawan, maka sentuhansentuhan
y ang terjadi dengan setiap senjata diantara senjata
lawannya adalah tidak terlalu sering.
Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat benar-benar t elah berada dalam kesulitan, orang yang
bertubuh gemuk itu seakan-akan sudah tidak mampu lagi
untuk bertempur terus. Rasa-rasanya kekuatannya bagaikan
sudah terkuras habis. "Cepat, berbuatlah sesuatu," teriak Sura.
Orang bertubuh gemuk itu berusaha menghentakkan
sisa kekuatannya, ia bergerak mendekati Mahisa Murti sambil
mengayunkan senjatanya. Namun karena ay unan itu tidak
begitu keras, maka tangkisan Mahisa Murti justru telah
melemparkan senjata ditangannya. Bahkan ketika ia
melangkah berlari, tiba -tiba saja ia telah jatuh terjerembab.
Tenaganya benar-benar tidak lagi mampu sekedar mendukung
berat tubuhnya. Sura m emang m enjadi sangat marah. Ia pun berteriak
lantang, "Pemalas. Bangun dan lakukan tugasmu dengan baik.
Atau kau tidak terhitung lagi berada diantara kami sekarang."
Orang itu berusaha bangkit, tetapi ia memang sudah
tidak berday a. Meskipun ia berhasil berdiri, tetapi
keseimbangannya seakan-akan sudah tidak utuh lagi.
Sura memang m erasa heran. Apalagi ketika orang y ang
berjambang lebat itu pun terhuyung -huyung selangkah surut.
Meskipun senjatanya masih berada ditangannya, tetapi
ia tidak lagi mampu mengangkat dan apalagi menusuk ke arah
dada lawan. "Gila," bentak Sura, "kenapa dengan kalian" Bukankah
kalian telah mengikuti petunjukku untuk menghindari
kekuatan sirep itu?"
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun satu lagi orang
yang telah kehilangan senjatanya. Dalam benturan yang
terjadi dengan pedang Mahisa Pukat, maka senjata orang itu
pun t elah terlepa s dari tangan. Demikian orang itu berusaha
untuk memungutnya, maka ia pun telah terjatuh di tanah


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun tangannya sempat menggapai. Karena itu, maka ia
pun tidak lagi dapat bangkit berdiri.
Sura yang membentak-bentak akhirnya mengalami juga.
Bertiga ia melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Semakin sering senjata mereka beradu, m aka semakin cepat
kekuatan mereka bagaikan terhisap dari tubuh.
Dengan demikian, maka Sura dan kedua kawannya y ang
tersisa pun akhirnya tidak lagi memiliki sisa tenaga untuk
melawan kedua orang anak muda itu.
Akhirnya keenam orang itu telah menjadi sangat lemah.
Mereka benar-benar telah kehilangan tenaga mereka.
Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menyentuh tubuh mereka langsung dengan tangan. Maka
tenaga y ang tersisa dari keenam orang itu benar -benar telah
terhisap habis. Sejenak kemudian maka keenam orang itu pun telah
terbaring diam. Mereka memang masih mampu bergerak,
tetapi hanya sekedar beringsut dan sedikit menggerakkan
anggauta badan mereka. "Kalian telah melukai kami," tiba -tiba terdengar Mahisa
Pukat menggeram. Keenam orang itu pun kemudian melihat Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat berdiri di sebelah meny ebelah dengan
pedang teracu. "Kalian telah mampu membuat sebagian besar dari
penghuni padukuhan ini tertidur nyenyak. Dengan demikian
kalian akan dapat berbuat apa saja atas lawan-lawan kalian.
Juga perintah orang yang mengupahmu itu telah tertidur
pula," berkata Mahisa Pukat, "tetapi yang terjadi sekarang,
kalian pun telah kehilangan tenaga. Meskipun kalian tidak
tertidur dan masih m enguasai kesadaran kalian sepenuhnya,
namun kalian tidak dapat berbuat apa-apa, karena kalian
sudah tidak lagi bertenaga."
"Anak iblis. Kau pergunakan ilmu apa he?" bertanya
Sura yang masih juga terbaring diam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tegak dengan
pedang teracu. Setapak Mahisa Pukat maju sambil menjawab,
" Ilmu apa pun jenisnya, namun kami telah dapat menangkap
kalian hidup-hidup."
"Persetan," geram Sura, "kenapa kalian tidak membunuh
kami?" "Bukan kewajibanku," berkata Mahisa Pukat, "biarlah
kalian diadili oleh Ki Buyut. Kau tahu bahwa Ki Buyut akan
bertindak adil. Orang-orang padukuhan ini, bahkan termasuk
Ki Bekel telah dijatuhi hukuman pula, karena mereka bersalah.
Demikian pula kalian tentu akan dijatuhi hukuman pula
karena kalian telah berniat untuk membunuh. Apalagi
membunuh orang y ang sudah disiapkan untuk menduduki
jabatan tertinggi di padukuhan ini."
"Persetan," geram Sura, "jika kau tidak membunuhku
sekarang, m aka pada kesempatan y ang akan datang, akulah
yang akan membunuhmu."
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Jika kau mampu
membunuhku, maka hal itu tentu sudah kau lakukan."
Sura menggeram. Yang terdengar adalah umpatanumpatan
kasar. Tetapi Sura sendiri masih saja terbaring
dengan lemahnya. "Tunggulah," berkata Mahisa Pukat, "aku akan
mengobati lukaku lebih dahulu."
Ketika Sura kemudian m engumpat-umpat kasar, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukannya.
Mereka pun justru telah duduk di sudut ruang dalam untuk
mengobati luka mereka berganti-ganti.
Sentuhan serbuk obat itu memang terasa pedih. Tetapi
dengan demikian maka luka itu m enjadi pampat dan tidak
berdarah lagi. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera
berbuat sesuatu. Meskipun kemudian Mahisa Murti mendekati
Sura yang terbaring, namun ia tidak berbuat sesuatu.
"Kenapa kalian diam saja?" teriak Sura, "kenapa kalian
tidak berbuat sesuatu atas kami?"
"Tidak," jawab Mahisa Murti, "aku menunggu anak-anak
itu terbangun. Biarlah mereka memanggil Kiai Patah, orang
yang untuk sementara memegang pimpinan di padukuhan ini
sebelum Ki Sardapa ditetapkan besok saat purnama naik."
"Jangan beri kesempatan mereka menghukum kami,"
tiba -tiba orang bertubuh gemuk itu berteriak.
"Tidak," berkata Mahisa Murti, "mereka tidak akan
menghukum kalian. Mereka tidak terbiasa berbuat sendirisendiri."
Orang bertubuh gemuk itu m emang terdiam. Tetapi ia
masih saja gelisah. Keenam orang y ang kehilangan kekuatan tubuhnya itu
menjadi semakin gelisah ketika mereka melihat Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat justru telah duduk kembali di depan pintu.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Jangan
gelisah. Tidur sajalah."
"Gila kau," geram Sura, "jangan meny esal jika aku kelak
benar-benar membunuhmu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
menghiraukannya. Tetapi keduanya justru berbicara diantara
mereka sendiri. Namun agaknya Sura sempat berpikir dalam keadaan
yang sulit itu. Karena itu, maka ia pun berbisik kepada orang
yang terdekat, "Kita harus memulihkan tenaga kita. Karena
itu, jangan kehilangan akal. Kita pusatkan nalar budi kita
untuk membangunkan kembali tenaga kita y ang tentu terhisap
oleh ilmu iblis kedua anak muda itu."
Yang berada di dekatnya adalah orang y ang berjambang
lebat. Namun ia pun telah berbisik pula kepada laki -laki yang
pernah membawa ibu Sardapa itu. Tetapi ternyata laki-laki itu
menjawab, "Aku sudah melakukannya sejak tadi."
Orang berjambang itu pun terdiam. Sementara laki -laki
itu berusaha untuk berbicara dengan orang yang ada disisinya.
Demikianlah, akhirnya keenam orang itu telah sepakat
untuk berdiam diri, justru m emusatkan nalar budi, m engatur
jalan pernafasan mereka, agar tenaga mereka segera pulih
kembali. Tetapi ternyata usaha mereka tidak dapat mereka
lakukan dengan mudah dan cepat. Adalah sangat perlahanlahan
bahwa kekuatan mereka mulai tumbuh kembali
mengaliri urat nadi mereka.
Namun keenam orang itu sama sekali tidak berbuat
sesuatu. Mereka justru berdiam diri sambil mengatur
pernafasan mereka sebaik-baiknya.
"Kami berpacu dengan anak-anak muda itu," berkata
Sura didalam hatinya, ia berharap bahwa ia akan lebih dahulu
mendapat kekuatannya kembali daripada leny apnya pengaruh
sirep. Bahkan seandainya pengaruh sirep itu sudah lenyap, ia
berharap bahwa anak-anak itu pun akan tetap tertidur dengan
lelap. Sehingga dengan demikian mereka atau diantara mereka
berenam akan sempat melarikan diri. Mungkin dua orang
diantara mereka akan tertangkap, namun y ang lain akan
selamat. Adalah menjadi semacam paugeran. jika satu atau dua
orang kawan mereka tertangkap sedangkan y ang lain dapat
melarikan diri, maka yang lepa s itu akan membantu
kehidupan keluarga dari mereka yang tertangkap dan
barangkali harus menjalani hukuman berat dan lama. Atau
bahkan hukuman mati. Untuk beberapa saat Sura dan kawan-kawannya telah
sal ing berdiam diri. Dengan mengatur pernafasan mereka
sebaik-baiknya, maka kekuatan mereka pun perlahan-lahan
telah bangkit kembali. Mula -mula mereka dapat
membenarkan letak tubuh mereka. Tangan mereka pun
kemudian tersilang di dada.
Namun belum seorang pun diantara mereka y ang
berusaha untuk bangkit. Mereka memang menunggu sampai
tenaga mereka akan pulih sepenuhnya.
Tetapi akhirnya mereka pun m enyadari, bahwa hal itu
adalah sia-sia. Mungkin dalam waktu sehari tenaga mereka
masih belum pulih sama sekali. Betapapun mereka berusaha,
tetapi ternyata bahwa pekerjaan y ang mereka lakukan itu tidak
akan dapat menghasilkan apa -apa.
Sementara itu, kekuatan tenaga sirep pun semakin lama
menjadi semakin susut. Orang-orang y ang semula dicengkam
oleh kekuatan sirep sehingga sama sekali tidak dapat
dibangunkan dengan cara apapun, mulai menggeliat dan
beringsut meskipun mereka masih juga tertidur ny enyak.
"Aku kira pengaruh sirep telah jauh berkurang," desis
Mahisa Murti. Sura berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Ia pun
berpendapat demikian pula. Pengaruh ilmu sirepnya tentu
sudah jauh susut. Dan bahkan telah tidak berdaya sama sekali.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun kemudian berkata,
"Aku akan mencoba membangunkan mereka."
"Sebaiknya bukan hanya mereka yang berada di banjar
ini," sahut Mahisa Murti.
"Maksudmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita bangunkan orang-orang yang tertidur di rumah
mereka masing-masing," jawab Mahisa Murti.
"Kita pergi ke setiap pintu?" bertanya Mahisa Pukat
pula. "Tentu tidak perlu," jawab Mahisa Murti sambil
menunjuk kentongan y ang tergantung di serambi banjar.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, "Aku memang
bodoh." Mahisa Pukat pun kemudian telah bangkit. Selangkah
demi selangkah ia pergi ke serambi mendekati kentongan yang
tergantung. Tetapi tiba -tiba saja Sura berteriak, "jangan gunakan
cara itu. Atau bunuh aku lebih dahulu."
Mahisa Pukat berpaling. Namun kemudian ia pun
menjawab, "Tidur sajalah. Bahkan ketika anak-anak muda di
banjar ini terbangun oleh suara kentongan, kalian berlimalah
yang masih akan tetap terbaring."
"Persetan," geram Sura, yang justru menyadari bahwa ia
tidak akan mampu menghimpun tenaga secukupnya untuk
melarikan diri, maka ia pun telah berusaha untuk bangkit.
Ternyata tubuhnya masih sangat lemah. Namun ia pun
kemudian berhasil untuk duduk. Demikian pula beberapa
orang kawan-kawannya. "Kenapa kau berhenti berusaha menghimpun tenaga?"
bertanya Mahisa Pukat. "Tidak ada gunanya," sahut Sura, "karena itu, maka aku
merasa tidak perlu melakukannya. Tetapi aku minta kalian
membunuh aku saja daripada kalian membangunkan anakanak
muda itu." "Jangan takut," berkata Mahisa Pukat, "m ereka tidak
segarang kalian berenam. Mereka adalah orang -orang beradab
yang tahu diri. Justru setelah Ki Bekel ditangkap oleh Ki
Buyut." Sura tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Apa pun y ang
akan dilakukan oleh anak-anak muda itu atasnya, harus
dijalaninya, suka atau tidak suka.
Karena itu, maka Sura pun hanya dapat melihat dengan
jantung y ang berdebaran Mahisa Pukat melangkah mendekati
kentongan yang tergantung di serambi.
Sejenak kemudian memang terdengar suara kentongan
itu. Namun hati Sura menjadi agak tenang, karena yang
didengarnya bukan irama titir, tetapi irama dan nada dara
muluk. Dengan demikian, m ereka yang terbangun oleh suara
kentongan itu tidak akan dengan tergesa -gesa berlari -larian ke
banjar. Sebenarnyalah suara kentongan dalam irama dara
muluk yang panjang itu telah membangunkan orang-orang
yang baru saja lelap tertidur. Mereka y ang berada di rumah
masing-masing dan mereka yang berada di banjar. Namun
karena y ang terdengar adalah irama dara muluk, maka orangorang
y ang terbangun oleh suara kent ongan itu tidak menjadi
gelisah atau bahkan kebingungan. Tetapi mereka sempat
menggeliat dan menguap. Kemudian perlahan-lahan
membuka matanya. Beberapa orang sempat mengingat, betapa lelapnya
mereka tidur. Bahkan rasa-rasanya mereka masih saja ingin
memejamkan matanya lagi. Tetapi suara kentongan dara muluk itu masih juga
terdengar. Panjang sekali. Bahkan ganda.
"Anak-anak masih saja suka bermain dengan
kentongan," desis seorang yang hanya beringsut saja di tempat
pembaringannya dan justru menarik kain panjangnya
menutup seluruh tubuhnya.
Berbeda dengan orang-orang yang berada di rumah masing-
masing, maka anak-anak muda di banjar itu pun terkejut
mendengar suara kentongan. Begitu dekat dan panjang.
Karena itu, dengan serta merta mereka pun bangkit.
Sambil mengusap mata mereka mencoba mengingat, apa yang
sedang terjadi atas diri mereka.
Dua orang yang tertidur di reg ol pun telah terbangun
pula. Demikian gugupnya, karena m ereka segera menyadari,
bahwa mereka sedang bertugas.
"Kau tertidur?" bertanya seorang diantara mereka.
"Bukan hanya aku. Tetapi kita tertidur disini," jawab
kawannya. "Bagaimana hal ini dapat terjadi?" desis orang y ang
pertama. Kedua-duanya menjadi bingung. Namun demikian
mereka memandang ke arah pendapa, dilihatnya beberapa
orang pun sedang bangkit.
"Mereka juga tertidur," desis mereka hampir bersamaan.
Seorang diantara mereka pun kemudian berkata, "tentu
telah terjadi sesuatu."
Kedua orang itu pun dengan tergesa -gesa telah pergi ke
pendapa. Sementara itu Mahisa Murti pun telah berdiri pula.
Di ruang dalam Ki Sardapa bagaikan menjadi kebingungan.
Untuk beberapa saat orang-orang itu termangu-mangu.
Namun k emudian terdengar Mahisa Murti berkata, "Marilah.
Silahkan naik ke pendapa. Kita akan berbicara. Tidak ada apaapa
y ang telah terjadi disini."
Anak-anak muda itu pun kemudian telah duduk di
pendapa banjar. Mula-mula mereka tidak memperhatikan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa di pendapa itu terdapat orang lain. Namun kemudian
beberapa orang anak muda mulai memperhatikannya.
Seorang anak muda y ang terheran-heran bertanya
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Siapakah mereka?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab.
Namun diperhatikannya keenam orang y ang masih sangat
lemah itu. Mereka mencoba beringsut dan duduk diantara
anak-anak muda padukuhan itu.
Tetapi tiba -tiba saja salah seorang diantara anak muda
itu melihat sesuatu yang menarik dari tubuh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Dengan serta m erta ia pun segera bangkit dan
mendekatinya. "Kalian kenapa?" bertanya anak muda itu.
Beberapa orang anak muda mulai memperhatikan
keadaan. Mereka melihat beberapa jeni s senjata berserakan.
Mereka pun melihat keadaan banjar itu agak lain dari
kebiasaannya. "Tentu sesuatu telah terjadi disini," berkata Ki Sardapa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Baru sejenak kemudian Mahisa Murti berkata, "Memang telah
terjadi sesuatu. Tetapi duduklah. Marilah kita berbicara
dengan tenang." Anak-anak muda itu masih saja termangu-mangu. Ki
Sardapa mulai memperhatikan orang-orang itu satu demi satu.
Sehingga akhirnya ia memandang Sura dan laki -laki yang
pernah membawa ibu tirinya itu berganti-ganti.
"Aku pernah melihat mereka," geram Sardapa.
"Mungkin saja," sahut Mahisa Murti, "tetapi kapan dan
di mana" Apakah Ki Sardapa masih ingat?"
Sardapa menggelengkan kepalanya, ia memang tidak
ingat lagi, kapan dan di mana. Tetapi rasa -rasanya ia memang
pernah melihatnya. Mahisa Pukat lah y ang kemudian berkata, "Agaknya Ki
Sardapa benar. Ki Sardapa tentu pernah mengenal mereka,
karena m ereka pun mengenal Ki Sardapa. Mereka tahu pasti,
yang manakah yang bernama Sardapa diantara anak-anak
muda padukuhan ini."
"Ya," Ki Sardapa mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Agaknya mereka datang dari padukuhan lain. Sekali-sekali
kami pernah bertemu. Mungkin di pasar, atau di perjalanan
atau di tempat-tempat lain. Tempat y ang tidak dapat aku ingat
lagi. Namun kedatangan mereka memang sangat menarik
perhatian." "Silahkan duduk," berkata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat y ang kemudian duduk pula diantara anak-anak muda
itu. Kemudian katanya, "Memang ada sesuatu y ang penting
kalian ketahui. Keenam orang itu memang bukan orang-orang
padukuhan ini. Mereka datang dari padukuhan lain dengan
dibebani tugas tertentu."
"Tentu mereka berniat buruk," berkata seorang anak
muda. "Mereka memerlukan aku," tiba-t iba suara Ki Sardapa
merendah. "Aku tahu sekarang, bahwa di banjar ini telah
disebarkan ilmu sirep y ang mencengkam. Kita semua telah
tertidur. Mungkin hanya kedua anak m uda itu sajalah yang
mampu melawan sirep itu. Selanjutnya tentu telah terjadi
benturan kekerasan."
"Keduanya telah terluka," berkata anak muda y ang
mula-mula melihat luka di tubuh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, meskipun luka itu agaknya tidak mempengaruhi
keadaannya. "Aku y akin, bahwa mereka telah membawa beban tugas
untuk membunuhku," berkata Ki Sardapa tiba -tiba.
Anak-anak muda itu terkejut. Mereka serentak berpaling
ke arah enam orang y ang duduk lemah itu. Bahkan mereka
pun seakan-akan telah pasrah dan tidak lagi sempat berbuat
apa pun juga. Beberapa orang anak muda memang telah beringsut.
Namun Mahisa Murti kemudian berkata, "Ki Sardapa. Aku
minta Ki Sardapa dapat mengekang diri. Demikian pula anakanak
muda y ang lain. Keenam orang itu memang telah diupah
untuk membunuh Ki Sardapa."
"Jika demikian, bunuh saja mereka," tiba -tiba saja
seorang anak muda berteriak.
"Tunggu," cegah Mahisa Murti, "bukan wewenang kalian
untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka. Biarlah Ki
Buyut melakukannya."
"Jadi apakah yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya
seorang anak muda. "Tentu kita akan meny erahkannya kepada Ki Buyut,"
berkata Mahisa Murti. "Bagus," sahut anak muda yang lain, "kita bawa mereka
sekarang kepada Ki Buyut. Kita minta Ki Buyut
menyerahkannya kepada kita."
"Mereka tidak akan dapat pergi sekarang," sahut Mahisa
Murti pula. Lalu katanya, "Mereka dalam keadaan sangat
lemah. Berdiri pun mereka tidak akan mampu."
Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Mereka
tidak tahu apakah sebabny a, keenam orang itu menjadi sangat
lemah. Mereka hanya mengira, bahwa keenam orang itu telah
men jadi sangat letih bertempur melawan kedua orang anak
muda yang berilmu sangat tinggi itu.
Namun dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun mengambil keputusan untuk memanggil Kiai Patah.
Karena itu, maka Mahisa Murti berkata kepada anak-anak
muda itu, "Aku minta dua diantara kalian pergi menemui Kiai
Patah. Mohon Kiai Patah untuk datang ke banjar."
"Kiai Patah berada di mana?" bertanya seorang anak
muda yang siap untuk pergi memanggilnya.
"Agaknya Kiai Patah ada di rumahnya setelah ia
meninggalkan banjar ini," berkata Mahisa Murti.
Dua orang anak muda pun telah bersiap. Namun ketika
keduanya turun dari pendapa, maka terdengar suara di
kegelapan, "Aku disini."
Kedua orang anak muda itu terkejut. Namun mereka
pun kemudian melihat sesosok tubuh berjalan mendekati
mereka. Ternyata orang itu adalah Kiai Patah. Sambil ter senyum
ia naik ke pendapa. "Kiai sudah ada di sini?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku ada disini sejak permainan ini dimulai," berkata
Kiai Patah sambil tersenyum, "pengaruh sirep telah membuat
aku menjadi curiga, sehingga aku telah datang ke banjar.
Ternyata bahwa disini memang telah terjadi sesuatu."
"Jadi Kiai melihat semuanya?" bertanya Mahisa Pukat.
Kiai Patah mengangguk. Dengan langkah satu-satu ia
mendekati Sura dan kawan-kawannya. Sambil menepuk bahu
Sura. Kiai Patah berkata, "Ternyata kau telah membentur
kekuatan yang tidak kau duga sebelumnya."
Sura tidak menjawab, ia memang tidak dapat
mengingkari kenyataan itu. Sementara itu. Kiai Patah pun
berkata kepada Ki Sardapa, "Agaknya peristiwa ini memang
lebih baik terjadi sekarang. Jika t idak, maka pada saatnya pun
tentu akan meledak pula."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
tinggi ia pun berkata, "Jadi ibu memang bersungguhsungguh."
"Kau dapat bertanya kepadanya," desis Kiai Patah.
Ki Sardapa mengangguk. Ia pun sebenarnya sudah yakin
bahwa semuanya itu terjadi atas perintah ibu tiriny a. Tetapi
rasa-rasanya ia tidak mau menerima hal itu terjadi, ia
menganggap ibu tiriny a adalah orang yang telah
membesarkannya apa pun perlakuan yang diberikan olehnya.
Sikap ibu tirinya itu memang menimbulkan persoalan di
dalam diriny a. Ibunya yang saat itu belum diketahuinya
sebagai ibu tiri, memang memperlakukannya jauh berbeda
dari kakaktua y ang kemudian menjadi seorang Bekel di
padukuhan itu, m eskipun kakaknya itu sendiri bersikap baik
kepadanya. Karena Ki Sardapa tidak segera berbuat sesuatu, Kiai
Patah pun berkata, "Meskipun kita semuanya sudah y akin,
tetapi biarlah orang ini mengucapkan pengakuannya
dihadapan kita." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menarik nafas
dalam-dalam. Namun keduanya pun kemudian menganggukangguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti pun kemudian
bertanya kepada Sura, "Ki Sanak. Katakanlah. Apa yang akan
Ki Sanak lakukan disini?"
Sura memandang wajah Mahisa Murti dengan penuh
kebencian. Dengan geram ia menjawab, "Kau tidak akan dapat
memaksa aku berkata apa pun juga."
"Kami hanya memerlukan pengakuanmu karena kami
sudah tahu apa yang kau lakukan disini. Kau tentu akan
membunuh Ki Sardapa. Nah, katakan. Kau mendapat perintah
dari siapa dengan upah berapa dan apalagi," berkata Mahisa
Pukat, "kau tidak usah ingkar, karena kami sudah tahu."
"Jika kalian sudah tahu, kenapa kalian memaksa aku
untuk berbicara?" geram Sura.
"Sekedar pengakuan," bentak Mahisa Pukat, "cepat.
Kami tidak mempunyai banyak waktu. Kami akan
membawamu kepada Ki Buyut."
"Kau tidak akan dapat memaksaku untuk berjalan ke
rumah Ki Buyut. Aku tidak mampu berbuat apa -apa
sekarang," jawab Sura.
"Kau sudah dapat duduk sekarang. Sebentar lagi kau
akan dapat berjalan ke rumah Ki Buyut itu," berkata Kiai
Patah. "Tidak," jawab Sura, "belum tentu sehari ini aku dapat
memulihkan kekuatanku seperti semula."
"Meskipun kekuatanmu belum pulih, tetapi kau tentu
akan mampu berjalan," berkata Kiai Patah, "jika tidak, maka
kami akan dapat memaksamu."
"Bagaimana kalian dapat memaksa kami jika kami
memang tidak mungkin dapat berjalan?" bertanya Sura.
"Baiklah. Kita lupakan saja hal itu untuk sementara,"
berkata Kiai Patah, "sekarang, katakan. Siapa yang telah
mengupahmu kemari untuk membunuh Ki Sardapa" Kami
sudah tahu bahwa orang itu adalah ibunya. Tetapi kau harus
mengucapkan pengakuan itu?"
"Persetan," geram Sura.
"Baiklah. Jika demikian, maka kedua anak muda itu
akan dapat memusnahkan kembali seluruh kekuatanmu.
Bukan hanya untuk satu dua hari, tetapi untuk selamalamanya,"
berkata Kiai Patah. "Gila," geram Sura.
"Atau seperti yang kalian kehendaki, menunda-nunda
waktu sampai m atahari terbit, sehingga seisi padukuhan ini
akan terbangun. Nah, merekalah y ang akan memaksamu
untuk berbicara," berkata Kiai Patah.
Wajah Sura pun tiba-tiba berubah. Di luar sadarnya ia
memandang berkeliling. Wajah-wajah anak-anak muda yang
memandangnya dengan tatapan mata y ang mendebarkan. Jika
besok matahari terbit dan seisi padukuhan ini terbangun,
maka wajah-wajah y ang membencinya itu akan semakin
bertambah. Mereka akan datang seperti air yang mengalir masuk ke
halaman banjar ini. Mereka akan mengepungnya dengan
kawan-kawannya dan menghukumnya menurut cara mereka.
Sura m enjadi berdebar -debar. Meskipun ia pun yakin,
bahwa orang-orang itu sudah tahu untuk siapa ia bekerja.
Namun mereka pun memerlukan pengakuannya.
Beberapa saat Sura berpikir. Namun memang tidak ada
kemungkinan lain y ang dapat dilakukan daripada m elakukan
sebagaimana diminta oleh orang-orang itu. Ia pun sadar, jika
ia tidak mengatakannya maka keadaannya akan menjadi
semakin buruk. Orang-orang y ang m enguasai itu akan dapat
berbuat apa saja atas diriny a. Bahkan merampas kembali
tenaganya sehingga ia akan terbaring lemah. Jika ia berlaku
untuk waktu y ang terlalu panjang, maka ia akan menjadi orang
yang tidak berguna sama sekali. Bahkan ia hanya akan
menyusahkan keluarganya saja, karena ia akan menjadi beban
mereka. Karena itu, maka Sura itu pun tidak mempunyai pilihan
lain. Apalagi orang -orang itu m emang sudah mengetahuinya
apa yang sebenarnya t erjadi, sehingga apapun yang
dikatakannya tidak akan berpengaruh sama sekali.
Jika orang-orang itu memaksanya mengucapkan
pengakuan itu sekedar untuk m engesahkan keputusan yang
akan mereka ambil terhadap diri mereka dan sudah tentu
orang yang telah menugaskan mereka untuk melakukan
pembunuhan. Karena itu, daripada k eadaan mereka menjadi semakin
parah, sementara hukuman akan tetap ditimpakan kepada
mereka, maka Sura pun kemudian telah mengucapkan
pengakuan. Bahwa mereka memang mendapat upah dari ibu Ki
Bekel yang ditangkap oleh Ki Buyut untuk membunuh Ki
Sardapa. Namun dalam pada itu, laki -laki yang pernah membawa
ibu tiri Ki Sardapa itu dari sisi Ki Bekel y ang tua pun berkata
dengan nada geram, "Pengecut. Seharusny a kau tidak perlu
mengucapkannya. Jika mereka sudah tahu, biar sajalah
mereka tahu." Sura berpaling kepada laki -laki itu. Namun ia tidak
mengatakan sesuatu. Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
sudah mendengar pengakuanmu yang diperkuat oleh laki-laki,
kawanmu itu." "Aku tidak membenarkannya," geram laki -laki itu.
"Tidak langsung y ang kau ucapkan adalah justru
pengakuan," berkata Kiai Patah.
"Terserah. Aku tidak peduli," jawab laki-laki itu.
Kiai Patah mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah.
Sekarang aku minta ibu Ki Bekel itu dibawa kemari."
Namun tiba -tiba saja Ki Sardapa memotong, "jangan.
Jangan perempuan itu."
" Ia sudah mengupah orang untuk membunuhmu,"
berkata Kiai Patah. "Aku mengerti. Jantungmu m elonjak. Tetapi aku tidak
dapat melupakan bahwa perempuan itu telah merawat dan
membesarkan aku dengan cara apa pun juga," berkata Ki


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sardapa. "Satu ujian bagimu," berkata Kiai Patah, "jika kau kelak
menjadi seorang pemimpin padukuhan, maka kau harus dapat
menyingkirkan perasaan seperti itu. Siapa pun yang bersalah,
ia akan mendapat hukuman bagi kesalahannya. Bahkan bukan
ibu tirimu, misalnya, ibumu sendiri. Atau malahan isteri dan
anakmu." Ki Sardapa menarik nafas panjang. Sebentar lagi ia akan
ditetapkan menjadi seorang Bekel.
Karena itu, maka ia tidak mencegah lagi ketika Kiai
Patah memerintahkan anak-anak muda untuk m engambil ibu
tiri Ki Sardapa. Sementara itu, maka Kiai Patah pun telah mengatur
anak-anak muda y ang berada di banjar itu. Mereka diminta
untuk meninggalkan pendapa dan kembali kepada tugas
mereka masing-masing. Demikian pula mereka yang berada di
regol, di ruang dalam dan yang semula tidur di serambi pun
telah duduk-duduk pula di amben y ang besar itu.
Di pendapa tinggal duduk enam orang y ang berusaha
membunuh Ki Sardapa bersama Ki Sardapa sendiri, sementara
senjata-senjata mereka pun telah diletakkan di pangkuan
keenam orang itu. Keenam orang itu tidak dapat menolaknya. Bahkan
mereka pun tidak dapat meny ingkirkan senjata-senjata itu
dari pangkuan mereka. Mereka tidak mempunyai tenaga yang
cukup untuk melemparkan senjata mereka sendiri.
Sura dan kelima orang kawan-kawannya mengumpat
didalam hati. Mereka tidak akan dapat berbuat apa -apa.
Sementara itu, perempuan yang mengupah m ereka pun akan
segera datang. "Kalian permainkan kami dengan bengis," geram Sura.
Dari balik dinding terdengar jawaban, "jangan marah
Sura. Kau tidak akan mengalami kesulitan apa pun jika
perempuan itu nanti datang. Aku justru minta Ki Sardapa
bersiap untuk mengelak."
Suara itu adalah suara Kiai Patah yang akan m engikuti
semua peri stiwa yang terjadi dengan bersembuny i di balik
pintu. Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, maka
perempuan itu pun telah datang, dibay angi oleh empat orang
anak muda. Perlahan-lahan mereka memasuki halaman
banjar. Dengan hati y ang berdebar-debar perempuan itu melihat
para pengawal yang berjaga-jaga. Namun ketika ia mendekati
pendapa, maka jantungnya pun menjadi berdebaran. Yang ada
di pendapa adalah Sardapa dan enam orang laki-laki dengan
berbagai jenis senjata di pangkuannya. Namun agaknya laki -
laki itu sama sekali tidak berbuat apa-apa.
"Setan," geram perempuan itu.
Anak-anak muda yang membawanya telah mendapat
banyak pesan dari Kiai Patah, sehingga ketika mereka
mendengar perempuan itu mengumpat, salah seorang
diantara mereka bertanya, "Ada apa Ny ai."
"Pengkhianat," perempuan itu masih menggeram. "Aku
mengupah mereka." "O," desis pemuda itu. Namun ia pun berkata, "Ny ai
tidak usah terkejut. Mereka m emang berkhianat, karena Ki
Sardapa itu menawarkan upah yang lebih tinggi y ang Ny ai
tawarkan kepada mereka. Karena itu, maka mereka pun telah
berpihak kepada Ki Sardapa."
"Demit, thethekan," perempuan itu marah sekali.
Sementara keempat anak muda itu telah membawa
perempuan itu justru tidak ke pendapa. Tetapi mereka hanya
lewat di sebelah pendapa menuju ke bagian belakang dari
banjar itu. Perempuan itu melihat dengan jelas bahwa Sardapa
duduk-duduk di banjar itu bersama beberapa orang laki-laki
termasuk Sura. Namun ketika mereka berada di sisi pendapa,
perempuan itu tidak dapat menahan perasaannya lagi. Karena
itu, maka ia pun berkata lantang: "He Sura. Kau telah menipu
aku he" Kau telah bersedia menerima upahku untuk
membunuh Sardapa. Tetapi sekarang kalian justru
berkhianat." Sura tidak menjawab. Namun anak muda y ang
mengawalnya itulah yang berkata, " sudahlah Ny ai. Apa pun
yang terjadi, tidak akan dapat diulang kembali."
Tetapi perempuan itu tidak segera melangkah
meninggalkan pendapa itu. Ia masih saja m engumpat marah,
"Kalian memang berjiwa iblis. Kalian sama sekali tidak
mempunyai harga diri."
Ki Sardapa lah y ang kemudian bangkit berdiri sambil
bergerak selangkah maju. Katanya, " Ibu, marilah. Silahkan
duduk bersama kami."
"Sudah aku katakan," perempuan itu hampir berteriak,
"jangan panggil aku ibu. Aku bukan ibumu."
"Siapa pun y ang sekarang berhadapan dengan aku,
tetapi aku menganggap ia adalah ibuku."
"Kau menghina aku dengan cara yang kotor sekali,"
teriak perempuan itu pula, "aku memang akan membunuhmu,
karena kau telah memfitnah kakakmu untuk merebut
kedudukannya. Buat apa aku kau panggil ibu?"
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian berkata, "Sudahlah. Persoalan kita akan kita anggap
selesai. Aku tidak akan mempersoalkannya lagi."
Wajah perempuan itu menjadi merah. Telinganya
bagaikan tersentuh api. Ternyata bahwa jantungnya y ang membara oleh
kemarahan yang tidak terkendali, telah membuatnya mata
gelap. Tiba-tiba saja orang itu merebut tombak di tangan anak
muda y ang mengawalnya. Demikian tiba -tiba dan tidak
terduga, sehingga pengawal itu tidak sempat
mempertahankannya. Dengan cepat pula perempuan itu meloncat naik ke
pendapa. Dengan kemarahan yang membakar isi dadanya,
maka ia telah berlari sambil mengarahkan ujung tombaknya
ke dada anak tirinya. Semua orang terkejut. Sardapa juga terkejut. Namun ia
masih sempat mengelak sambil menepuk landean tombak
yang hampir saja menusuk dadanya.
Dengan demikian maka ujung tombak itu telah bergeser.
Sementara ia terdorong oleh kekuatan sendiri, sehingga
hampir jatuh tertelungkap.
Namun adalah malang baginya, bahwa ujung tombak itu
justru telah mengarah ke punggung laki-laki y ang pernah
membawanya dan memisahkannya dengan Ki Bekel tua, ayah
Ki Sardapa. Tanpa mengelak sama sekali, maka ujung tombak
itu-pun kemudian telah menikam punggung orang y ang tidak
lagi dapat beringsut dari tempatnya itu.
Terdengar teriakan nyaring. Sementara itu, perempuan
itu pun terkejut bukan buatan. Ia sendiri telah jatuh pada
lututnya, sementara tombaknya y ang sudah tertancap di
punggung itu terlepas dari tangannya.
Sejenak kemudian, laki -laki y ang lemah itu sempat
berpaling. Dilihatnya wajah perempuan y ang pernah
dianggapnya sangat cantik itu. Namun tiba -tiba wajah itu telah
berubah bagaikan wajah iblis betina y ang sangat menakutkan.
Tetapi sejenak kemudian segalanya gelap dan bahkan
kesadarannya pun menjadi kabur dan hilang sama sekali.
Ibu tiri Sardapa itu m enjadi semakin kebingungan. Ia
benar-benar telah kehilangan akal. Sementara itu, Sardapa
masih saja berdiri termangu-mangu. Sedangkan orang-orang
yang telah diupahnya itu masih saja duduk tanpa berbuat
sesuatu. Dalam k etidak pastian dan kehilangan akal, maka tiba -
tiba saja perempuan itu telah mencabut tombak yang
tertancap di punggung laki -laki y ang pernah membawanya
pergi dari sisi Ki Bekel itu. Ia menganggap bahwa orang-orang
yang diupahnya itu telah berkhianat kepadanya, sehingga
dalam keadaan yang baur dan putus-asa, maka ia tidak dapat
berpikir lagi. Dengan serta merta, maka ia pun telah
mengayunkan t ombak itu untuk m embunuh Sura y ang tidak
beranjak dari tempatnya. Tetapi Ki Sardapa bergerak lebih cepat. Dengan
tangkasnya ia telah m eloncat dan meny erang perempuan itu
dengan kakinya, sehingga perempuan itu terjatuh dan
tombaknya terlepas dari tangannya.
Dengan tangkas pula Ki Sardapa memungut tombak itu
sambil berkata, "Bukan waktunya untuk membunuh.
Semuanya ada di tangan Ki Buyut."
Perempuan itu menggeram. Dengan garang ia berkata,
"Jika mereka telah berkhianat, maka biarlah aku sendiri
membunuhmu." Ki Sardapa termangu-mangu. Dipandanginya
perempuan itu bangkit berdiri sambil memandanginya dengan
sor ot mata y ang membara.
" Ibu, sudahlah. Jangan kehilangan akal seperti itu,"
berkata Ki Sardapa. Perempuan itu menggeram. Adalah diluar dugaan pula,
bahwa ternyata perempuan itu m embawa sebuah patrem di
bawah kain kembennya. Sambil menarik patrem dari sarungnya, maka
perempuan itu berkata, "Patrem ini adalah salah satu dari
pusaka Ki Bekel. Ayah Ki Bekel y ang telah kau khianati.
Ternyata bahwa kau harus mati oleh patrem ini."
Ki Sardapa termangu-mangu. Patrem y ang berujud keris
kecil dengan luk tujuh itu memang salah satu pusaka ayahnya.
Ternyata bahwa pusaka kecil itu kini berada di tangan ibu
tirinya. "Kau m enjadi ketakutan m elihat pusaka ini?" bertanya
perempuan itu. Ki Sardapa tidak menjawab. Namun senjata itu memang
terlalu kecil bagi ibu tiri Ki Sardapa. Bagaimanapun juga ia
berusaha, namun ayunannya, sambarannya dan bahkan
sekali-sekali mematuk ke arah tubuh Ki Sardapa, tidak pernah
dapat meny entuh kulit Ki Sardapa, karena Ki Sardapa tahu,
bahwa goresan kecil dari ujung keris itu akan dapat
membunuhnya. " Ibu," desis Ki Sardapa, "sudahlah. Sarungkan patrem
itu." "Persetan," geram perempuan itu.
Dengan garang ibu tiri Ki Sardapa itu meny erang
membabi buta. Sementara itu, kelima orang upahan perempuan itu
masih tetap duduk di tempatnya. Mereka m emang berusaha
untuk beringsut. Tetapi mereka harus mengerahkan sisa
tenaga y ang dapat mereka bangun kembali. Sementara itu,
mereka hanya dapat beringsut setapak demi setapak.
Karena ibu tiriny a masih saja meny erangnya, m aka Ki
Sardapa sekali lagi berteriak, " Ibu. Jangan lakukan itu."
"Persetan," geram perempuan itu, "orang-orang y ang
sudah sanggup membunuhmu ternyata dapat kau bujuk untuk
mengkhianati aku. Memang di banjar ini terdapat harta benda
dan barang-barang berharga lebih banyak dari y ang aku miliki
sekarang setelah orang-orangmu merampok milikku itu
sekaligus kau fitnah Ki Bekel."
Ki Sardapa semakin lama memang menjadi semakin
kehilangan kesabaran. Karena itu, maka ketika perempuan itu
berlari meny erangnya, Ki Sardapa telah bergeser ke samping
sambil m endorongnya. Tidak terlalu keras. Tetapi perempuan
itu telah jatuh terjerem bab. Demikian kerasnya sehingga
perempuan itu telah terguling terlempar dari lantai pendapa
dan jatuh di halaman. Ki Sardapa memang terkejut. Dengan tergesa -gesa ia
memburunya sambil memanggil, " Ibu, ibu."
Perempuan y ang menelungkup itu tidak bergerak. Tetapi
terdengar ia mengerang. " Ibu," Ki Sardapa pun telah berlutut di sisinya. Dengan
hati-hati ia m emutar tubuh yang m enelungkup Itu. Namun
tiba -tiba saja terdengar suaranya gemetar, " Ibu. Ibu."
Perempuan itu tidak menjawab. Darah mengalir dari
jantungnya. Agaknya patremnya sendiri telah menusuk
dadanya di saat ia jatuh menelungkup.
Dengan tangan gemetar Ki Sardapa mengangkat
perempuan itu dan membawanya naik ke pendapa.
Diletakkannya perempuan itu di lantai pendapa. Namun
perempuan itu sama sekali sudah tidak bergerak.
Ternyata Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
terkejut melihat hal itu. Anak-anak muda y ang semula
menyingkir pun telah berlari-larian naik ke pendapa pula.
Namun kepala m ereka pun segera tertunduk. Perempuan itu
telah meninggal. Kiai Patah pun merasa sangat meny esal. Ia adalah orang
yang mengatur permainan itu. Tetapi ia tidak mengira, bahwa
yang terjadi adalah demikian menggetarkan jantung. Seorang
laki -laki mati tertusuk tombak di punggungnya dan
perempuan itu meninggal tertusuk patrem di dadanya. Keduaduanya
sama sekali tidak dengan sengaja.
"Aku minta maaf Ki Sardapa," suara Kiai Patah bernada
rendah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ikut menundukkan
kepala, sementara Ki Sardapa berkata, "Tidak seorang pun
yang pantas dipersalahkan dalam hal ini. Aku juga cenderung
menyalahkan diriku sendiri. Tetapi aku juga tidak bersalah.
Biarlah Ki Buyut menilai apa y ang telah terjadi disini."
Kiai Patah mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Sebaiknya kita segera memberikan laporan."
Di sisa malam itu juga, empat orang telah diperintahkan
untuk memberikan laporan kepada Ki Buyut. Dimohon Ki
Buyut dapat melihat keadaan yang terjadi di Banjar
padukuhan itu. Ternyata Ki Buyut y ang pernah menjadi seorang prajurit
itu bertindak tangkas. Ia tidak m enunggu lebih lama lagi. Ia
berangkat bersama keempat orang y ang melaporkan
kepadanya, ditemani oleh dua orang pengawal.
Ketika Ki Buyut datang, maka matahari mulai
membayang di cahaya fajar. Langit menjadi merah dan
padukuhan itu pun telah terbangun. Ayam jantan berkokok
bersahutan, sementara induk ayam telah membawa anakanaknya
turun ke halaman. Di beberapa halaman terdengar derit sapu lidi dan di sisi


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah terdengar pula senggot timba y ang berderak oleh
mereka y ang sedang mengisi jambangan di pakiwan.
Beberapa saat Ki Buyut termangu-mangu. Namun
kemudian Ki Sardapa pun telah memberikan laporan apa yang
telah terjadi. Lima orang yang kehilangan tenaga itu telah disisihkan.
Mereka telah duduk di amben bambu di serambi samping
banjar, dijaga oleh anak-anak muda y ang b ertugas semalam.
Sedangkan dua sosok mayat masih berada di pendapa. Darah
yang mengalir dari tubuh mereka telah membeku dan
mengotori lantai. Bahkan juga tubuh Ki Sardapa.
Ki Buyut pun telah menerima laporan pula bahwa
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah terluka. meskipun
lukanya tidak berarti. "Aku hampir tidak percaya bahwa kedua anak muda itu
terluka," berkata Ki Buyut.
"Keduanya tidak mempergunakan segenap ilmunya. Jika
mereka berniat, maka keenam orang itu akan dapat
dihanguskannya menjadi debu. Tetapi keduanya tidak
melakukannya," jawab Kiai Patah.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling ke
serambi dilihatnya kelima orang y ang m asih merasa dirinya
sangat lemah itu. Namun dalam pada itu, maka Ki Buyut pun berkata,
"Mudah-mudahan peristiwa ini tidak akan mengganggu
rencana besar padukuhan ini untuk mendapatkan seorang
pemimpin." Kiai Patah lah y ang m enyahut, "Jika Ki Sardapa tidak
dianggap bersalah, maka semuanya akan dapat
dilangsungkan." "Apakah Kiai Patah berpikir bahwa Ki Sardapa
bersalah?" bertanya Ki Buyut.
"Aku justru yakin, bahwa Ki Sardapa berhak m elakukan
sebagaimana telah terjadi," jawab Kiai Patah.
Ki Buyut menganguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata, "Jika demikian m aka rencana wisudanya tidak akan
terpengaruh oleh keadaan ini."
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Sambil
berpaling kepada Ki Sardapa ia berkata, "Kita harus
menyelesaikan segala persiapan dengan baik. di samping
kepahitan peristiwa yang telah terjadi di padukuhan ini.
Beberapa saat lagi, kita akan sampai pada hari y ang ditunggu
itu. Saat purnama naik, sementara tanah masih basah di
kuburan." Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apa
boleh buat. Bukankah yang terjadi itu bukan y ang kita
kehendaki. Kitalah y ang telah disudutkan oleh keadaan."
Kiai Patah mengangguk-angguk. Sementara itu, maka
katanya, "Segala sesuatunya m emang kami serahkan kepada
Ki Buyut. Lima orang itu pun akan kami serahkan pula,
hukuman apa yang pantas diletakkan atas mereka."
Ki Buyut memandang kelima orang itu dengan tajamnya.
Tiba-tiba saja ia memanggil seorang diantara
pengawalnya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Apakah ada
yang kau kenal diantara mereka?"
Pengawal itu mengangguk. Katanya, "Dua orang
diantara m ereka telah aku kenal. Bahkan m ereka merupakan
orang-orang yang mempunyai nama yang telah cacad. Tetapi
kami tidak mempunyai bukti y ang cukup untuk menangkap
dan m enghukum m ereka. Apalagi mereka bukan orang-orang
padukuhan ini." Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita
akan membawa mereka dan mengadiliny a. Kita akan
menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahan mereka,
meskipun mereka bukan orang padukuhan, bahkan bukan
orang Kabuyutan ini."
"Tetapi perlu diperhitungkan, bahwa kawan-kawannya,
tetangga-tetangganya, bahkan isi padukuhan atau
Kabuyutannya ikut campur."
Ki Buyut tersenyum. Katanya, "Aku tidak
mencemaskannya. Jika m ereka memang bersalah, m aka kita
tidak usah ragu-ragu. Para bebahu di padukuhan asalnya
justru akan berterima kasih kepada kita disini, bahwa kita
telah berusaha merubah sikap dan tingkah laku orang-orang
padukuhan mereka y ang kurang baik."
Pengawal itu mengangguk kecil. Katanya kemudian,
"Kita akan dapat memaksa mereka mengatakan asal mereka."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Kita menunggu
mereka sempat m engumpulkan kekuatan untuk berjalan ke
padukuhan induk Kabuyutan ini."
"Terserah kepada Ki Buyut," berkata pengawalnya.
"Kita disini hari ini untuk ikut membantu kesibukan
para bebahu di padukuhan ini," desis Ki Buyut.
Demikianlah, maka Ki Buyut itu pun kemudian telah
dipersilahkan masuk ke dalam banjar. Hari itu, Ki Buyut akan
tetap berada di padukuhan yang sedang sibuk. Orang-orang
padukuhan itu harus meny elenggarakan dua sosok mayat.
Namun ternyata karena kedudukan kedua sosok mayat itu
berbeda, maka peny elenggaraannya pun berbeda pula.
Betapapun juga, Ki Sardapa telah memerintahkan
membawa tubuh ibu tirinya pulang ke rumah. Segala macam
upacara akan berlangsung sebagaimana seharusnya, karena
perempuan itu adalah bekas istri dan juga ibu seorang bekel.
Ki Buyut sama sekali tidak berusaha untuk merubah
keputusan Ki Sardapa. Dibiarkannya apa yang ingin dilakukan.
Menj elang matahari turun, maka Ki Buyut pun telah
menganggap pada dasarnya persoalan padukuhan itu sudah
selesai. Karena itu, maka ia pun telah bersiap-siap untuk
kembali ke padukuhan induk.
Kepada Kiai Patah ia pun berpesan, "Kiai, tolong biarlah
para pengawal mengantarkan kelima orang itu ke Kabuyutan.
Besok, jika keadaan mereka telah pulih kembali, kami akan
memeriksanya. Kami akan menentukan hukuman apa yang
paling baik dijatuhkan terhadap mereka."
"Apakah Ki Buyut akan segera kembali. Bukankah
matahari masih belum tenggelam?" bertanya Kiai Patah.
"Justru mumpung belum senja," jawab Ki Buyut. Lalu
"Untuk selanjutnya segala persiapan supaya diteruskan. Aku
tidak akan bergeser dari saat yang sudah aku tentukan."
Ki Sardapa, Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak dapat menahan Ki Buyut. Maka Ki Buyut pun akan
segera telah dilepas bersama dua orang pengawalnya kembali
ke Kabuyutan induk. Sampai menjelang malam, maka kesibukan di
padukuhan itu masih saja nampak. Orang-orang y ang semula
tidak tahu m enahu bahwa telah terjadi sesuatu di banjar di
malam harinya, maka di hari itu semua peristiwa telah
didengar bukan saja oleh orang -orang padukuhan itu, tetapi
bahkan orang se Kabuyutan telah membicarakannya.
Hari-hari y ang datang kemudian, dilewati dengan
kesiagaan sepenuhnya. Bukan saja di padukuhan y ang akan
diwisuda seorang Bekel, tetapi di padukuhan-padukuhan di
sekitarnya. Bahkan di seluruh Kabuyutan. Sesuatu yang tidak
diinginkan dapat saja terjadi di lingkungan Kabuyutan yang
cukup luas itu. Karena itulah, Ki Buyut telah memerintahkan kepada
setiap Bekel untuk bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Orang-orang yang kecewa dan bahkan keluarga dari
kelima orang y ang tertangkap dan seorang y ang terbunuh itu
akan membalas dendam. Dengan cara y ang jantan, m aupun
dengan cara y ang licik. Setiap padukuhan telah m emiliki kentongan di hampir
setiap rumah dan gardu. Jika terjadi sesuatu, maka kentongan
itu akan dapat menjadi isy arat untuk memanggil Ki Buyut.
Dalam kesiagaan itu, Ki Buyut telah mengumpulkan
beberapa ekor kuda y ang siap dipergunakan jika keadaan
memaksa. Meskipun demikian Ki Buyut itu pun berpesan kepada
Ki Bekel yang baru, "berusahalah agar keduanya dapat berada
di padukuhan itu sepanjang mungkin. Jika kau dapat
melakukan pendekatan lebih akrab, maka keduanya akan
dapat dimohon untuk memberikan latihan-latihan kepada
anak-anak muda. Sebenarnya aku y ang bekas seorang prajurit
akan dapat pula melakukannya. Tetapi jika aku yang
melakukannya, maka aku harus bersikap adil bagi semua
padukuhan. Dan sebenarnyalah hal ini sudah menjadi
rencanaku. Tetapi sudah tentu harus disesuaikan dengan
tugas-tugasku y ang lain. Jika kau dapat mempersilahkan
anak-anak muda itu m emberikan latihan-latihan, bagi anakanak
muda, maka sudah barang tentu akan memperingan
tugasku." Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, "Aku m ohon
mencoba Ki Buyut." "Usahakan," berkata Ki Buyut, "namun sudah barang
tentu tidak hanya kedua anak muda itu. Tetapi Kiai Patah
memiliki kemampuan y ang tinggi pula, sehingga akan dapat
melakukan sebagaimana kita inginkan dari kedua anak muda
itu. Tetapi justru karena kesediaan Kiai Patah untuk tinggal,
maka kita tidak perlu tergesa -gesa berbicara dengannya."
Kiai Patah yang mendengar kata-kata Ki Buyut itu hanya
tersenyum saja tanpa menjawabnya.
Ki Sardapa lah yang kemudian berkata, "Baiklah Ki
Buyut. Kita akan merencanakannya. Mudah-mudahan kedua
anak muda itu bersedia tinggal barang beberapa pekan atau
bulan di padukuhan kami."
Ki Buyut m engangguk-angguk. Lalu Katanya, "Bahkan
jika ia bersedia, maka ia akan dapat memberikan sesuatu
kepada anak-anak m uda itu di seluruh Kabuyutan. Usianya
yang muda tentu akan memberikan arti tersendiri. Ia akan
lebih akrab dengan anak-anak muda daripada kami y ang lebih
tua. Selain kemudaan mereka, ilmu m ereka pun berada jauh
diatas kemampuan ilmu kita, kecuali Kiai Patah."
"Tentu aku pun termasuk orang tua y ang tidak akan
dapat mengimbangi lagi ketangkasan anak-anak muda,"
berkata Kiai Patah. Ki Buyut lah y ang kemudian ter senyum sambil berkata,
"Kiai m emang lebih senang merendahkan diri. Sudah sekian
lama Kiai tinggal di padukuhan itu, tetapi semua orang
menganggap Kiai Patah tidak lebih dari seorang tua yang tidak
berarti apa -apa. Baru kemudian mata seisi padukuhan itu
terbuka setelah peristiwa yang menggemparkan itu terjadi."
"Hanya satu kesempatan. Kedua anak muda itu pula
yang telah membuka kesempatan itu bagiku," berkata Kiai
Patah. "Jika demikian, maka kalian dapat mencoba," berkata Ki
Buyut. "jika keduanya bersedia, aku akan berbicara dengan
mereka. Tetapi kita sudah menyadari sebelumnya, bahwa
kedua anak muda itu pada satu saat tentu akan meninggalkan
kita, sementara dendam masih mengancam padukuhan itu
dari berbagai arah."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Ia pun masih memikirkan
kemungkinan y ang buruk terjadi di padukuhannya. Orangorang
y ang barangkali mendendamnya karena lima orang yang
ditangkap di padukuhannya dan bahkan seorang diantaranya
telah terbunuh. Bahkan mungkin orang -orang lain yang
mempunyai hubungan keluarga dengan ibu tirinya. Sebagai
seorang anak y ang tidak banyak mendapat perhatian dari
ibunya yang ternyata adalah ibu tirinya, Ki Sardapa memang
tidak begitu banyak mengenal keluarga ibunya itu. Ia tidak
banyak m engenal saudara-saudaranya y ang barangkali dapat
berbuat sesuatu karena kematiannya.
Karena itu, maka kesiagaan tertinggi memang dianggap
sangat perlu oleh Ki Sardapa yang kemudian menggantikan
kedudukan kakaknya seay ah.
Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun kemudian berkata,
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di padukuhan itu Ki
Bekel. Tetapi jika Ki Bekel m elihat gelagat y ang kurang baik,
aku harap Ki Bekel memberikan laporan kepadaku. Jika Ki
Bekel dapat mengatasiny a sendiri, maka alangkah baiknya.
Tetapi jika tidak, maka aku akan dapat membantunya."
"Terima kasih Ki Buyut," jawab Ki Bekel, "bahwa
tanggung jawab atas keluarga kita sendiri yang melakukan
kejahatan serta lima orang yang tertangkap telah diam bil alih
Ki Buyut, kami sepadukuhan mengucapkan terima kasih."
"Tetapi aku pun harus bersiap-siap sebagaimana Ki
Bekel," berkata Ki Buyut, "untunglah bahwa aku telah
menempa sekelompok pengawal yang m emiliki kemampuan
yang cukup untuk mengawal padukuhan induk. Tetapi aku
belum sempat memperluasny a karena keterbatasan tenaga
dan waktu. Mudah-mudahan kedua anak m uda itu dan Kiai
Patah bersedia membantu, setidak-tidaknya bagi
padukuhanmu. Yang menurut pengamatanku, saat ini
merupakan padukuhan yang paling rawan. Justru pada saat
kau menerima beban pemerintahan di padukuhan itu."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
mencoba berbuat sebaik-baiknya Ki Buyut."
"Nah, aku minta kau bersungguh-sungguh dengan kedua
anak muda itu. Hal itu akan sangat penting bagi
padukuhanmu dan Kabuyutan ini. Jika anak-anak muda di
padukuhanmu mampu meningkatkan kemampuannya, maka
mereka akan dapat menjadi inti kekuatan seluruh Kabuyutan.
Bagaimanapun juga, kita harus mampu menjaga keamanan
lingkungan kita sendiri," berkata Ki Buyut pula.
Demikianlah, dengan membawa pesan itu, Ki Bekel dan
Kiai Patah telah kembali ke padukuhan. Bagi keduanya,
mempersiapkan kekuatan bagi pengamanan padukuhan
memang penting sebagaimana dikatakan oleh Ki Bekel.
Apalagi padukuhan mereka memang mempunyai per soalan
yang cukup gawat. Justru dengan orang-orang y ang terbiasa
mempergunakan kekerasan. Karena itulah, maka Ki Buyut
telah berpesan dengan sungguh-sungguh dan segera.
Ki Sardapa sendiri masih dalam keadaan murung, ketika
banjar padukuhan itu mulai dipasang beberapa kelengkapan
keramaian. Ki Sardapa tidak dapat begitu saja melupakan kematian
ibunya, yang seakan-akan telah dibunuhnya dengan
tangannya itu. Namun waktu yang berjalan terus telah
memaksanya untuk mempersiapkan diri, menjabat kedudukan
kakaknya y ang tersingkir.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak mustahil bahwa ada juga orang yang berpendapat
seperti ibu," berkata Ki Sardapa.
Tetapi ia harus menekan berbagai macam persoalan
yang bergolak di dalam dadanya, karena ia harus
menempatkan kepentingan padukuhan itu diatas segala
kepentingan pribadiny a. Ketika akhirnya saatnya tiba, maka padukuhan itu
memang menjadi sangat ramai. Di banjar telah diatur sebaikbaiknya.
Tikar pandan y ang putih bergaris-garis telah
dibentangkan seluas pendapa, pringgitan dan bahkan bagian
dalam. Ki Buyut akan m enetapkan dengan wisuda, Ki Sardapa
menjadi Bekel di padukuhan itu.
Orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak
mencemaskan beaya yang harus mereka keluarkan untuk
keramaian itu. Mereka telah m enyembelih bukan saja kambing, tetapi
juga kerbau. Mereka dapat membeli berapa saja yang
diperlukan untuk kepentingan keramaian itu, karena di banjar
itu terdapat harta benda dan barang-barang berharga yang
tidak ada taranya banyaknya.
Keramaian itu menjadi lebih semarak karena langit
nampak ber sih. Sejak lewat senja, maka cahaya bulan sudah
mulai membayang di langit.
Ki Buyut dan para Bekel dari beberapa padukuhan di
Kabuyutan itu pun telah hadir pula di lewat senja. Mereka
duduk di pringgitan bersama beberapa orang tua di
padukuhan itu. Sementara para tamu berada di pendapa yang
cukup luas. Di ruang dalam duduk beberapa orang perempuan y ang
dianggap orang -orang tua pula di padukuhan itu. Diantara
mereka adalah orang-orang y ang telah m eny iapkan berbagai
macam sesaji bagi keselamatan wisuda itu.
Demikianlah, ketika bulan purnama yang hinggap di
langit menjadi semakin tinggi, maka upacara wisuda pun
segera dilakukan. Ki Buyut dengan tanda-tanda kebesaran dan
wewenangnya telah menetapkan dan mengesahkan Ki Sardapa
menjadi Bekel di padukuhan itu.
Kegembiraan pun telah meluap. Ketika Ki Buyut
mengalungkan pertanda kedudukan Ki Bekel, maka orangorang
y ang ada di pendapa bahkan di halaman banjar itu telah
bersorak gemuruh. Demikianlah, maka Ki Sardapa pun kemudian telah
duduk pula diantara para Bekel padukuhan di Kabuyutan itu.
Namun sebenarnyalah, bahwa keramaian di banjar itu
telah diimbangi pula oleh kesiagaan di setiap padukuhan,
termasuk padukuhan y ang sedang mengadakan keramaian itu.
Beberapa orang anak muda terpaksa tidak ikut meramaikan
wisuda itu di halaman banjar, karena mereka harus berada di
pintu-pintu gerbang padukuhan serta di gardu-gardu. Tetapi
orang-orang y ang berada di banjar tidak melupakan m ereka,
sehingga beberapa orang telah membawa makanan dan
minuman bagi mereka. Karena itu, maka semua orang di padukuhan itu ikut
merasakan kegembiraan karena mereka akan mendapatkan
lagi seorang pemimpin y ang mereka harapkan akan lebih baik
dari pemimpin mereka y ang terdahulu.
Malam itu, hampir tidak ada orang y ang tertidur di
padukuhan itu kecuali anak-anak. Semua orang bergembira,
sementara di banjar pun telah diselenggarakan beberapa
macam pertunjukkan y ang menarik bagi orang-orang
padukuhan itu. Ketika kemudian fajar mulai membayang di langit, maka
tamu-tamu di banjar pun mulai susut. Ki Buyut pun kemudian
telah minta diri pula untuk kembali ke padukuhan induk.
Beberapa pesat sempat diberikan kepada Ki Bekel yang baru
sa ja menjabat kedudukannya itu.
"Mungkin Ki Bekel harus mulai tugas Ki Bekel dengan
sangat hati-hati," berkata Ki Buyut.
"Aku akan mencobanya Ki Buyut. Mudah-mudahan
rakyat padukuhan ini bersedia membantu tugas-tugas beratku
itu," jawab Ki Bekel.
"Kau telah lama mengamati tugas kakakmu selain
langkah-langkah yang sesat itu," berkata Buyut, "dengan
demikian maka sedikit banyak kau sudah memiliki
pengalaman untuk itu."
Ki Sardapa mengangguk. Jawabnya dengan nada
rendah, "Mudah-mudahan aku dapat memanfaatkan
pengalamanku yang sedikit itu ."
Demikianlah sepeninggal Ki Buyut itu, maka tamu-tamu
yang lain pun telah meninggalkan banjar pula. Yang kemudian
tinggal adalah anak-anak muda y ang bertugas untuk
membersihkan banjar itu. Namun dalam pada itu, pada hari itu juga Ki Bekel y ang
baru bersama Kiai Patah telah diminta untuk datang ke
padukuhan induk menemui Ki Buyut.
Keduanya telah memenuhi panggilan itu dan datang
sebelum tengah hari. Ternyata Ki Bekel hanya ingin secara resmi m engambil
kembali beban y ang telah diletakkan di pundak Kiai Patah dan
sekaligus m eny erahkannya kepada Ki Sardapa. Namun masih
dengan permintaan, "Kami tetap berharap bahwa Kiai Patah
dan kedua anak m uda itu dapat tinggal untuk sementara di
padukuhan itu." Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak berkeberatan Ki Buyut. Tetapi aku tidak dapat
mengatakan, apakah kedua anak muda itu akan bersedia pula
tinggal." Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa
kedua anak muda itu m emang sedang dalam pengembaraan.
Sehingga karena itu, agaknya mereka tidak akan dapat tinggal
terlalu lama di satu tempat.
Di hari-hari pertama Ki Bekel memegang kendali
pemerintahan di padukuhannya, maka ia berusaha untuk
mengenali keadaan sebaik-baiknya. Ia berusaha
mendengarkan pendapat setiap orang, terutama orang-orang
tua. Namun bukan berarti bahwa pendapat anak-anak muda
diabaikan. Ki Bekel y ang baru itu sadar, bahwa kadang-kadang
memang terdapat perbedaan sikap antara yang tua dan yang
muda. Dan Ki Bekel itu pun menyadari, bahwa ia harus
mengambil keseimbangan antara kedua ujung y ang berbeda
itu. Namun dengan pembicaraan-pembicaraan yang saling
terbuka dan tulus, maka banyak hal y ang dapat mereka
pecahkan. Dalam pada itu, Ki Bekel dan Kiai Patah telah mencoba
untuk berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Keduanya mengharap agar kedua anak muda itu bersedia
meninggalkan arti bagi padukuhan itu.
"Kami sadari, bahwa kalian berdua akan melanjutkan
perjalanan. Mungkin kalian akan m enuju ke Singasari, Kediri
atau kembali ke padepokan kalian, atau kalian akan
menempuh pengembaraan yang sangat jauh. Tetapi sebelum
itu, padukuhan y ang dalam kecemasan ini minta kau menunda
kepergianmu. Biarlah anak-anak muda di padukuhan ini
sempat membenahi dirinya, sehingga jika benar -benar terjadi
sesuatu, mereka tidak akan mengecewakan lagi bagi
padukuhan ini," berkata Kiai Patah.
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Namun
kemudian Mahisa Murti t ertawa sambil berkata, "Bagaimana
harus demikian" Bukankah disini ada Kiai Patah" Apa artinya
kami berdua dibandingkan dengan Kiai Patah?"
"Jangan begitu," sahut Kiai Patah, "katakanlah bahwa
aku memiliki ilmu yang pantas aku berikan kepada anak-anak
muda di padukuhan ini. Tetapi tentu lebih baik jika aku tidak
melakukannya sendiri. Apalagi tentu lebih tangkas kalian yang
masih muda daripada orang setua aku ini. Bahkan mungkin
ada sesuatu yang sudah kurang sesuai bagi anak-anak muda.
Atau bahkan penalaranku dan tanggapan atas keadaan yang
dihadapi oleh anak-anak muda sudah jauh tertinggal."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun mereka pun kemudian mengerti, bahwa Kiai Patah
memerlukan kawan yang dapat diajak berbincang dan
sekaligus ikut membenahi padukuhan itu.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Baiklah Kiai. T etapi sebagaimana Kiai Katakan, bahwa pada
saatnya y ang tidak terlalu lama, kami akan meninggalkan
padukuhan ini." "Kami mengerti," jawab Kiai Patah, "Ki Sardapa dan seisi
padukuhan ini pun mengerti."
Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Ia mengerti
bahwa selain kesediaan mereka m erangkul tugas yang akan
diletakkan diatas bahu mereka, maka mereka pun masih
dibayangi oleh satu keinginan untuk menemukan satu dua
orang remaja y ang akan dapat mereka bimbing dan mereka
percaya untuk mewarisi ilmu mereka seutuhnya sehingga akan
dapat menjadi inti kekuatan dari perguruannya. Dan yang
kelak akan dapat menggantikan pimpinan pada jalur
perguruannya. Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
untuk beberapa waktu tetap berada di padukuhan itu.
Ber sama Kiai Patah dan Ki Sardapa mereka telah m enyusun
rencana untuk meningkatkan kemampuan anak-anak muda
padukuhan itu. Namun demikian mereka mulai dengan rencana itu,
maka yang mereka cemaskan pun telah terjadi.
Selagi Ki Bekel berada di serambi rumahnya, menjelang
senja, maka telah datang seorang yang kurang dikenalnya,
langsung naik ke pendapa dan memanggil namanya.
"Sardapa. Sardapa. Kau dengar suaraku?" bertanya
orang itu. Ki Sardapa terkejut. Ia pun segera bangkit dan menuju
ke pendapa. Langkahnya tertegun ketika dilihatnya orang yang tidak
dikenalnya itu berdiri tegak sambil memandanginya dengan
tajamnya. "Sardapa," geram orang itu.
Ki Sardapa melangkah mendekat. Tetapi ia sadar, bahwa
sikap orang itu mungkin dapat berbahaya bagi dirinya. Karena
itu maka Ki Sardapa pun menjadi sangat berhati-hati.
"Siapakah kau?" bertanya Ki Sardapa.
"Kau tidak akan mau mengenali aku lagi," berkata orang
itu, "itu baru dalam kedudukanmu sebagai Bekel di
padukuhan ini. Itu pun kedudukan yang telah kau rebut dari
kakakmu dengan sikap y ang licik. Apalagi jika pada suatu saat
kau sempat menjadi Buyut di Kabuyutan ini. Maka kau tidak
akan dapat melihat orang lagi."
"Ki Sanak," berkata Ki Bekel, "apakah sebenarnya y ang
kau kehendaki?" "Jangan berpura-pura," jawab orang itu, "kau dapat
memperlakukan ibumu, orang yang telah mengasuhmu dan
membesarkanmu dengan licik dan ka sar. Bahkan kau telah
membunuhnya. Tetapi kau tidak akan dapat berbuat seperti
itu atasku." "Sebut, siapakah kau?" suara Ki Sardapa lantang.
Orang itu tertawa kecil. Katanya, "Baiklah. Jika kau
memang t idak mau mengenalku lagi, biarlah aku
memperkenalkan diriku. Aku adalah pamanmu y ang pada saat
kau kecil, ikut membinamu dan membesarkanmu. Aku
meninggalkan ibumu di saat kau mulai tumbuh. Namun
akhirnya aku mendengar, bahwa perempuan yang
menghidupimu itu telah kau bunuh."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
sudah mengira bahwa akhirnya akan ada orang yang datang
kepadaku dengan alasan sebagaimana kau katakan. Aku tidak
tahu, apakah y ang kau katakan itu benar atau tidak, tetapi
katakan, apa yang kau kehendaki sekarang?"
Orang itu m emandang Ki Sardapa dengan tatapan mata
yang tajam. Dengan kata-kata kasar ia berkata, "Jadi kau
benar-benar lupa kepadaku?"
Ki Sardapa menjadi ragu-ragu. Ia m encoba m engingatingat
wajah orang itu. Tetapi ia tidak berhasil menemukan
ingatannya kembali tentang orang itu.
"Ketika aku pergi, kau bukan bay i lagi. Kau sudah
tumbuh menjadi semakin besar," berkata orang itu, "tetapi apa
boleh buat. Jika kau tidak dapat mengingat lagi, aku memang
tidak memerlukan ingatanmu itu. Yang aku kehendaki adalah,
bahwa kau harus meninggalkan padukuhan ini. Kau boleh
pergi ke maha saja. Kemudian kau tidak boleh menuntut apa
pun juga atas warisan ayahmu."
"Kau ini berbicara tentang apa?" Ki Sardapa menjadi
semakin marah, "aku adalah Bekel di padukuhan ini. Itu sudah
ditetapkan. Kau tidak dapat merubah keputusan Ki Buyut
begitu saja. Atau jika kau memang menghendaki, pergilah
kepada Ki Buyut. Beritahukan alasanmu atas tuntutanmu itu.
Jika y ang kau katakan m asuk akal bagi Ki Buyut, mungkin
permintaanmu akan dipenuhi."
"Aku tidak berurusan dengan Ki Buyut," berkata orang
itu, "aku minta kau pergi dari padukuhan ini atau membunuh
diri. Itu saja." "Persetan. Kau kira aku ini apa" " Ki Sardapa benarbenar
menjadi sangat marah, "aku m inta kau sekarang juga
meninggalkan rumah ini. Atau aku panggil para pengawal?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Aku m emang akan pergi.
Apa pun jawabmu. T etapi kau tahu, bahwa aku tidak pernah
mengakui pendapat orang lain. Siapa yang menolak
perintahku, m aka ia akan diselesaikan. Tentu tidak seketika.
Tetapi mungkin besok atau lusa, maka kau tentu akan
membunuh dirimu sendiri."
"Kau tidak perlu menakut-nakuti aku. Mungkin kau akan
berhasil jika aku m enjadi ketakutan dan putus asa, sehingga
aku akan benar-benar membunuh diri. Tetapi aku tidak takut,
karena batas terakhir dari hidupku adalah kematian. Bagiku
lebih baik mati sebagaimana seorang laki -laki daripada
membunuh diri. Nalarku dapat membuat perhitungan bahwa
akibatnya akan sama," berkata Sardapa.
"Tentu tidak," berkata orang itu, "jika kau membunuh
diri, maka kau akan mati dengan cepat. Tetapi jika kau
mencoba mengelak, justru kau akan mengalami kesulitan
menjelang saat kematianmu. Kau akan mati dalam waktu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepuluh hari, bahkan lebih. Kau akan mengalami siksaan yang
belum pernah kau bay angkan."
Terasa kulit Ki Sardapa memang meremang. Tetapi ia
justru berusaha untuk tertawa. Katanya, "Kau salah langkah Ki
Sanak. Aku bukan pengecut sebagaimana kau duga. Jika kau
ingin membuat satu permainan yang menarik, maka aku akan
melayanimu. Aku atau kau yang akan mengalami kesulitan
untuk mati." "Gila. Kau tantang kuasaku?" geram orang itu.
"Kau yang m enantang kuasaku," jawab Ki Bekel. Lalu
katanya, "Pergi kau, atau aku akan menghukummu dengan
hukuman picis. Ancamanmu menumbuhkan keinginan di
hatiku untuk mencobanya. Sementara itu kaulah y ang ada
disini sekarang, sehingga agaknya kau akan dapat menjadi
sa saran perc obaan yang tentu akan sangat menarik itu."
"Anak iblis," geram orang itu, "jangan meny esal jika kau
akan benar-benar mengalaminya."
Ki Sardapa pun tiba -tiba saja memandang ke reg ol
halaman. Katanya, "Tentu ada pengawal di reg ol. Aku dapat
memanggilnya dengan isyarat. Sebentar saja halaman rumah
ini akan penuh dengan anak-anak muda dan pengawal.
Mereka akan senang sekali melakukan percobaanku itu."
"Aku akan datang dalam waktu dekat. Aku tidak dapat
mengampuni kau lagi," geram orang itu pula. Lalu, "jangan
kau anggap aku bergurau. Aku akan benar-benar
membunuhmu dengan cara y ang sudah aku katakan."
Ki Sardapa tidak menjawab. Ia hanya memandangi saja
orang y ang bergegas m eninggalkan pendapa itu. Ketika orang
itu keluar dari reg ol halaman, Ki Bekel memang melihat
seorang anak muda y ang melangkahi pintu regol dan m enuju
ke gardu kecil di sebelah reg ol itu. Ketika ia kemudian duduk,
maka seorang kawannya telah masuk pula ke halaman dan
duduk di sampingnya. Ki Bekel m enarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar,
bahwa ia benar-benar dalam bahaya. Orang itu mungkin
memang sengaja mengaku keluarganya untuk tujuan tertentu.
Tetapi Ki Bekel itu masih juga ragu-ragu.
Hampir diluar sadarnya jika ia pun kemudian duduk di
pendapa ber sandar tiang. Ia m encoba mengingat-ingat orang
itu. Tentu di masa ia masih kecil.
Memang ada beberapa orang pernah dikenalnya di masa
ia masih anak-anak. Ki Sardapa mengerutkan keningnya jika tiba-tiba saja ia
memang teringat seseorang. Seorang diantara pamanpamannya
y ang pernah diusir oleh ay ahnya dari rumah itu.
"Agaknya orang itulah y ang telah pernah diusir ayah
waktu itu," berkata Ki Bekel. Ketika ia menajamkan
ingatannya, maka rasa -rasanya ia memang melihat wajah
orang itu. Tetapi karena waktu ia memang masih terlalu kanakkanak,
maka ia tidak tahu kenapa orang itu diusir oleh
ay ahnya. Namun itulah agaknya sebabnya bahwa orang itu
tidak pernah lagi nampak datang ke rumahnya sampai ia
menjadi dewasa sepenuhnya.
"Sayang, aku tidak ingat lagi, apa sebabnya ia diusir oleh
ay ah pada waktu itu. Tetapi agaknya padukuhan ini perlu
disiapkan sebaik-baiknya," berkata Ki Bekel kepada diri
sendiri. Kedatangan orang itulah yang kemudian menjadi bahan
pembicaraan para bebahu padukuhan itu. Ki Bekel telah
mengatakan apa yang diingatnya tentang orang itu. Bahkan Ki
Bekel telah pula melaporkan kepada Ki Buyut.
Ki Buyut menaruh perhatian y ang besar pada laporan
itu. Bahkan ia pun berkata, "Padukuhan itu m emang sedang
mendapat ujian y ang datang seperti ombak di laut. Susul
menyusul. Tetapi kau jangan berkecil hati. Kau harus berusaha
mengatasinya. Kau harus berusaha mendapatkan keterangan
tentang orang itu." "Ke mana aku harus mendapatkan keterangan" Jika
benar orang itu adalah orang yang sudah pernah diusir oleh
ay ahku, maka aku tidak tahu di mana tempat tinggalnya dan
apa pekerjaannya sekarang," jawab Ki Bekel.
"Barangkali kau tahu salah seorang diantara keluarga
ay ahmu atau ibu tirimu itu" Nah, kau dapat m enelusurinya.
Barangkali kau menemukan tempat tinggalnya. Atau
keterangan tentang orang itu."
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin
aku dapat melakukannya."
Petunjuk Ki Buyut itulah y ang kemudian memberikan
kemungkinan kepada Ki Bekel untuk menemukan orang yang
pernah mengancamnya itu. Namun Kiai Patah tidak membiarkannya pergi seorang
diri untuk melakukan peny elidikan itu. Karena itu, m aka ia
pun telah minta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk
mengawaninya jika Ki Bekel akan mengusutnya.
Ternyata bahwa Ki Bekel masih dapat mengingat
beberapa orang keluarga ayah dan ibu tirinya. Karena itu,
maka ia pun berusaha untuk menemui mereka, barangkali ada
diantara m ereka y ang dapat memberikan keterangan tentang
seseorang yang pernah diusir oleh ay ahnya pada saat ia masih
kecil. Tetapi ternyata bahwa usahanya tidak berjalan dengan
rancak. Ketika ia datang ke sebuah padukuhan yang tidak
terlalu jauh, namun terletak di Kabuyutan lain, maka
sambutannya sangat menyakitkan hati. Orang yang dikunjungi
itu adalah salah seorang adik ibu tirinya, y ang menganggapnya
bahwa ia adalah orang y ang telah membunuh ibu tirinya itu.
"Kau m asih juga berani datang kemari anak durhaka?"
bertanya adik ibu tiriny a itu.
"Aku ingin menjelaskan apa y ang telah terjadi," jawab Ki
Sardapa. "Omong kosong. Kau akan mengurangi kesalahanmu
dengan ceritera y ang barangkali m engharukan tentang kau?"
geram adik ibu tirinya itu, "seharusny a kau malu atas apa yang
pernah kau lakukan itu. Ibumu itu sudah tua. Apalagi seorang
perempuan. Bagaimana mungkin kau sampai hati
membunuhnya." "Aku tidak membunuhnya," desis Ki Sardapa.
"Apapun dapat kau katakan. Tetapi orang-orang
padukuhanmu mengatakan, bahwa kau dor ong perempuan itu
sehingga ia terjatuh. Kemudian kau telah menusuknya
sebelum perempuan itu sempat bangkit," berkata orang itu.
"Bohong. Aku memang m endorongnya karena ibu telah
menyerang aku dengan patrem. Pada saat ia jatuh, patrem
itulah yang mengenainya sendiri," jawab Ki Bekel.
"Tutup mulutmu. Atau jika kau memang jantan, kau
dapat mencoba melakukannya atas aku," geram orang itu.
Ki Bekel tidak m au menambah lawan. Karena itu, maka
ia -pun telah meninggalkan rumah itu. Betapapun hatinya
merasa tersinggung. Tetapi Ki Bekel masih mempunyai paman yang lain.
Adik ay ahnya. Mungkin orang ini tahu, apa yang telah terjadi.
Dengan jantung y ang berdebar-debar Ki Bekel
memasuki halaman rumah pamannya. Ketika ia mendekati
tangga pendapa, seseorang telah menyapanya. Agaknya orang
itu adalah salah seorang pembantu pamannya.
"Kau cari siapa Ki Sanak," bertanya pelay an itu.
"Aku mencari paman Panonjaya. Apakah ia ada di
rumah?" bertanya Ki Bekel.
"Ada Ki Sanak. Tetapi siapakah nama Ki Sanak?"
bertanya pelay an itu. "Namaku Sardapa. Paman tentu mengenalnya," jawab Ki
Bekel. Pelay an itu mengangguk-angguk. Lalu ia pun
mempersilahkan Ki Sardapa dan kedua anak muda yang
menyertainya untuk naik ke pendapa.
Sejenak kemudian, maka orang yang disebut Panonjaya
itu telah keluar dari ruang dalam. Ia terkejut ketika melihat Ki
Sardapa. Namun ia berjalan juga mendekat dan duduk pula
bersama Ki Sardapa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Apa keperluanmu kemari?" bertanya orang itu.
"Aku mempunyai sedikit keperluan paman?" jawab Ki
Bekel. "Apakah kau sudah m erasa puas, bahwa kau sekarang
sudah mendjadi Bekel?" bertanya pamannya itu.
Ki Bekel termangu-mangu. Namun ia pun kemudian
bertanya, "Apakah maksud paman?"
"Maksudku jela s. Aku ingin mengetahui perasaanmu
setelah kau berhasil menduduki jabatan yang kau inginkan
itu," pamannya menjelaskan.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai
mengerti maksud pamannya itu. Meskipun tidak sekarang
adik ibu tiri -nya, namun nadanya hampir sama. Pamannya
juga menganggap bahwa ia telah memfitnah kakaknya dan
merebut kedudukannya. Kemudian membunuh ibu tirinya.
Karena itu, maka Ki Sardapa pun bertanya, "Paman, aku
ingin memberikan penjelasan tentang peristiwa yang terjadi
atas keluargaku." Ki Panonjaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah, "Apa y ang akan kau jelaskan. Semuanya
sudah jelas. Semua orang sudah tahu apa y ang terjadi. Kau
bunuh ibumu, kau singkirkan dahulu kakakmu, kemudian kau
menjadi seorang Bekel. He, Sardapa. Aku justru ingin bertanya
kepadamu, apakah nilai kedudukan seorang Bekel lebih dari
nilai seorang kakak dan seorang ibu?"
"Jadi paman juga menilai seperti itu?" bertanya Sardapa.
"Lalu apa yang harus aku katakan tentang kau" Tentang
langkah-langkah y ang kau ambil selama ini untuk merintis
jalan kedudukanmu yang sekarang" Sardapa, apa artinya
kedudukan Bekel bagimu sehingga kau korbankan kakak dan
ibumu" " suara Ki Panonjay a menjadi semakin keras.
"Dengar Paman," berkata Ki Sardapa, "aku ingin
menjelaskannya. Terserah kepada Paman, apakah Paman
percaya, atau tidak."
Ki Panonjava mengerutkan dahinya. Sementara Ki
Sardapa berusaha untuk menjelaskan apa y ang telah terjadi.
Tanpa ada yang dikurangi dan tanpa ada yang ditambah.
"Aku tahu bahwa aku adalah anak tiri adalah justru dari
ibu sendiri y ang mengatakannya. Ibu mengatakan, bahwa ayah
telah terjerat oleh perempuan liar dan lahirlah aku. Sementara
ibuku yang sebenarnya meninggal, maka atas kebaikan hati
ibu tiriku. aku telah dipeliharanya," berkata Ki Sardapa.
" Itu tidak benar. Bukan salah ayahmu semata-mata.
Tetapi justru karena ibu tirimu itu telah meninggalkannya dan
pergi bersama seorang laki-laki lain.," sahut Pamannya.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia
sudah mengetahuinya dari orang tua y ang menjadi
pemomong-ny a. namun ia berkata, "Aku tidak tahu. apakah
benar ay ahku tertarik kepada perempuan liar atau ibu tiriku
yang meninggalkannya, tetapi yang aku kenal ia adalah ibuku."
" Ibu tirimu itulah yang liar," berkata Ki Panonjava.
"Nah," berkata Ki Sardapa, "terserah kepada Paman,
apakah Paman mempercayai aku. Sebenarnya Paman dapat
membuktikan kebenaran kata-kataku dengan menghubungi Ki
Buyut. Aku memang tidak pernah bermimpi untuk menjadi
seorang Bekel. T etapi karena tidak ada orang lain. maka aku
terpaksa menerimanya. Bagiku, sebagaimana paman katakan,
apakah arti kedudukan seorang Bekel dibandingkan dengan
harga keluargaku." Ternyata Ki Panonjaya mulai berpikir. Kemudian sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Sardapa.
Sebenarnyalah aku mengenal watak ibu tirimu. Dengan
demikian, maka apa y ang kau katakan itu memang masuk
akal." "Aku harap Paman menghubungi orang-orang penting di
padukuhanku, agar Paman tidak ragu -ragu," berkata Ki
Sardapa. Ki Panonjaya itu pun akhirnya mengangguk-angguk.
Lalu ia pun kemudian bertanya, "Apakah kau hanya ingin
sekedar menjelaskan tentang kematian ibumu dan
tersingkirnya kakakmu?"
"Masih ada hal y ang penting yang ingin aku tanyakan
kepada paman," berkata Ki Sardapa.
"Tentang apa?" bertanya Ki Panonjaya pula.
Ki Sardapa pun kemudian menceriterakan tentang
seorang laki -laki yang datang padanya, mengaku sebagai
pamannya. Mula-mula Ki Sardapa tidak dapat mengingatnya,
namun akhirnya ia m enduga, bahwa orang itu adalah orang
yang pernah diusir oleh ay ahnya. Karena itu maka ia pun
bertanya, "Apakah paman mengetahui tentang seseorang yang
pernah diusir oleh ayah?"
Ki Panonjaya mengangguk-angguk kecil. Katanya, " Itu
sudah terjadi lama sekali. Kau memang m asih kecil. Tetapi
mungkin kau memang dapat menjadi lupa-lupa ingat."
"Jadi ay ah memang pernah mengusir seseorang?"
bertanya Ki Sardapa pula.
"Jadi adik ayah pula seperti Paman" " suara Ki Sardapa
meninggi. Tetapi Ki Panonjaya menggeleng. Katanya, "Bukan adik
ay ahmu. Tetapi salah seorang diantara adik-adik ibu tirimu.
Ibu tirimu mempunyai dua bela s orang bersaudara. Tiga
diantaranya menjadi orang baik-baik. Jika ibu tirumu m asih
termasuk orang y ang baik, maka ibu tirimu adalah orang
keempat. Tetapi sembilan diantaranya adalah orang-orang
bertabiat buruk. Yang paling buruk adalah orang yang telah
diusir oleh ay ahmu itu. Jadi ingatanmu itu benar, bahwa
ay ahmu pernah mengusir seseorang. Tetapi menurut
keteranganmu, ada kemungkinan lain, bahwa orang itu bukan
orang yang diusir oleh ayahmu, tetapi mungkin pamanmu
yang lain diantara y ang sembilan orang itu. Sebagian besar
dari m ereka memang tidak lagi pernah berkunjung ke rumah
ay ahmu. Apalagi sebelum ay ahmu meninggal. Mungkin
setelah ay ahmu meninggal dengan warisan harta benda yang
banyak, mereka mulai berhubungan lagi dengan kakak dan
terutama ibumu." "Aku tidak pernah melihat mereka berhubungan dengan
kakak," berkata Ki Sardapa.
"Mungkin kakakmu mewarisi ketegasan ayahmu. Namun
ternyata menurut keteranganmu, ia mewarisi kelicikan ibunya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan membunuh orang-orang y ang tidak bersalah, untuk
dirampok barang-barang berharganya yang mereka bawa,"
berkata Ki Panonjaya. "Jadi bagaimana menurut pertimbangan Paman tentang
orang itu" Sebenarnya aku dapat berlindung dibawah
kekuatan padukuhan dan bahkan Kabuyutanku. Tetapi jika
persoalan itu tidak diselesaikan dengan tuntas, maka pada
satu saat akan meledak," berkata Ki Sardapa.
"Jadi bagaimana maksudmu" " justru Ki Panonjay a lah
yang bertanya. Ki Sardapa termangu-mangu sejenak. Lalu katanya,
"Sebenarnya aku tidak ingin terjadi per selisihan yang lebih
luas. Tetapi orang itu mengancamku. Karena itu, aku ingin
mengetahui dimanakah rumahnya dan mungkin aku dapat
menemuinya dan menjelaskan persoalannya."
"Agaknya mereka sulit untuk mempercayaimu. Aku pun
harus berpikir ulang, apakah aku dapat percaya kepadamu
atau tidak. Tetapi keteranganmu agaknya memang masuk
akal. Bahkan seperti katamu aku dapat meneliti kebenarannya
pada Ki Buyut dan orang-orang tua di padukuhanmu," berkata
Ki Panonjaya, "tetapi jika paman-pamanmu itu adalah
keluarga ibumu, y ang ternyata memang ibu tirimu itu,
agaknya kau akan mengalami banyak kesulitan. Pamrih
pribadi dan dendam akan bercampur baur diantara mereka.
Mereka tentu ingin mewarisi kekayaan kakakmu, dan
sekaligus menyingkirkanmu dari kedudukan itu."
"Kedua-duanya tidak lagi akan dapat terpenuhi," jawab
Ki Sardapa, "harta benda kakang Bekel sebagian besar telah
dibawa ke banjar, diserahkan bagi kepentingan padukuhan.
Sedangkan kedudukan pun tidak akan mungkin jatuh k epada
salah seorang adik ibu tiriku. Jika aku mati, maka y ang paling
berhak adalah sudah barang tentu saudara-saudara ay ahku.
Keturunan derajad mengalir ini menurut aliran darah ayahku.
Ki Panonjaya mengangguk-angguk. Katanya, "Kau
benar. Tetapi mereka y ang sudah menjadi silau itu t idak akan
dapat kau ajak berbicara dengan baik. Apalagi mereka
mendendammu karena kau adalah peny ebab kematian ibu
tirimu, sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak
langsung." Ki Sardapa mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
pun bertanya, "Bagaimana pendapat paman tentang hal ini?"
"Memang sulit bagimu," berkata Ki Panonjaya, "tetapi
jika kau memang ingin mencoba, temuilah salah seorang
diantara mereka. Kau dapat bertanya tentang orang y ang telah
datang ke rumahmu itu."
"Aku telah diusirnya seperti anjing," berkata Ki Sardapa.
"Datanglah ke rumah yang lain," berkata Ki Panonjay a.
"Aku belum tahu, kemana aku harus pergi. Yang aku
ketahui rumahnya hanya seorang. Agaknya aku tidak
mendapat kesempatan untuk berbicara," berkata Ki Sardapa.
Ki Panonjaya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengetahui rumah saudara laki -laki ibu tirimu y ang tertua.
Tetapi kau harus tahu sebelumnya, bahwa ia adalah seorang
gegedug yang berilmu tinggi. Aku tidak tahu, bagaimana
sikapnya terhadapmu."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian berkata, "Bagaimana jika aku mengunjunginya?"
Ki Panonjaya termangu-mangu sejenak. Dengan wajah
yang buram ia pun berkata, "Aku tidak dapat membayangkan
akibatnya. Orang itu licik seperti ibu tirimu. Agaknya memang
demikian watak dari kesembilan pamanmu itu."
"Apakah paman mengenal ketiga orang pamanku y ang
baik itu?" bertanya Ki Sardapa.
Ki Panonjay a menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku memang pernah mengenal mereka. Tetapi itu sudah
terjadi lama sekali. Aku tidak pernah menemui m ereka lagi.
Meskipun menurut berita y ang pernah aku dengar, mereka
tidak tinggal terlalu jauh dari padukuhan ini. Tidak lebih dari
perjalanan satu hari. Tetapi aku tidak tahu di mana letaknya.
-oo0dw0oooHIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 059 KI SARDAPA mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Baiklah. Jika demikian apa pun y ang terjadi, aku datang ke
rumah paman tertua itu."
Ki Panonjaya merenung sejenak. Tetapi katanya,
"Jangan pergi sendiri. Biarlah aku m engawanimu. Orang itu
mengenal aku. Mungkin aku dapat ikut memberikan
penjelasan, sehingga tidak akan lagi ter simpan dendam yang
pada satu saat akan meledak."
Ki Sardapa termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Baiklah paman Aku akan sangat berterima ka sih.
Kedua kawanku y ang masih muda ini pun tentu akan dengan
senang hati pergi bersamaku."
Ki Panonjay a mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Nah, kau dapat bersiap-siap. Besok pagi -pagi aku datang ke
rumahmu. Kita akan berangkat bersama-sama. Mudahmudahan
kita dapat mencapainya dalam sehari."
Ki Sardapa pun kemudian telah minta diri. Hatinya
menjadi sedikit terhibur, karena pamannya, adik ayahnya,
bersikap agak baik kepadanya. Namun demikian, ia masih juga
menyimpan pertanyaan, dari siapa pamannya itu m endengar
tentang kematian ibu tirinya, sehingga tuduhannya yang
pertama adalah sama seperti tuduhan yang pernah dilontarkan
oleh pamannya yang lain, adik ibu tirinya.
"Agaknya paman Panonjaya m endapat keterangan y ang
salah" berkata Ki Sardapa.
Namun untuk menanyakan hal itu langsung kepada
pamannya, ia memang merasa agak segan.
Demikianlah, Ki Sardapa justru mendapat kesempatan
untuk berbicara dengan Kiai Patah di rumahnya. Agaknya Kiai
Patah pun cenderung untuk berpesan, agar Ki Sardapa
berhati-hati menghadapi sikap paman-pamannya itu.
Sampai larut malam Ki Sardapa masih berbincang
dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai Patah.
Menj elang tengah malam, mereka terkejut ketika
seorang peronda mengetuk pintu pringgitan.
"Siapa?" bertanya Ki Sardapa.
"Aku, peronda Ki Bekel. Ada seorang tamu y ang ingin
bertemu dengan Ki Bekel" jawab peronda itu.
Ki Sardapa memang menjadi ragu -ragu. Tetapi jika y ang
datang itu hanya seorang, ia tentu tidak akan dapat berbuat
apa-apa di tempat itu. Apalagi di rumah itu terdapat kedua
anak muda berilmu tinggi itu serta Kiai Patah.
Karena itu, maka Ki Sardapa pun tidak merasa
keberatan untuk m enerimanya, justru kepentingan orang itu
akan bersangkut paut dengan kesulitan y ang sedang
dihadapinya. Dengan nada datar Ki Bekel itu kemudian m enjawab,
"Bawalah orang itu kemari."
"Baik Ki Bekel" jawab peronda itu.
Ketika peronda itu kembali lagi setelah menjemput
orang y ang akan bertemu dengan Ki Bekel itu di gardu, maka
Ki Bekel telah membuka pintu.
Sebenarnyalah Ki Bekel itu terkejut. Ia merasa pernah
melihat orang itu. Wajah orang itu justru sangat mirip dengan
wajah ibu tirinya. "Apakah kau lupa kepadaku?" suara orang itu ternyata
terasa lunak. Ki Bekel termangu-mangu. Namun akhirnya ia dapat
mengingatnya kembali. Orang itu adalah salah seorang di
antara saudara-saudara ibu tirinya.
"Kau benar-benar tidak ingat lagi?" desak orang itu.
Ki Bekel mengangguk kecil. Dengan nada yang bimbang
ia menjawab, "Tidak. Aku tidak lupa."
"Nah. Jika demikian, apakah aku boleh masuk?"
bertanya orang itu. Ki Bekel menjadi berdebar-debar. Tiba-t iba saja
terbayang lagi salah seorang y ang m engaku pamannya telah
datang mengumpatinya, bahkan kemudian telah
mengancamnya. Namun karena Ki Bekel tidak sendiri, maka
dipersilahkan orang itu masuk, meskipun sikapnya cukup
berhati-hati. Agar tamu-tamunya juga dapat bersikap hati-hati, maka
Ki Bekel langsung memperkenalkannya, bahwa tamunya itu
adalah adik ibu tirinya. Sebenarnyalah bahwa Kiai Patah, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun menjadi lebih berhati-hati menghadapi
orang itu. Meskipun demikian m ereka berusaha untuk tidak
memberikan kesan yang demikian kepada paman Ki Bekel itu.
Setelah paman Ki Bekel itu duduk, m aka Ki Bekel pun
telah bertanya, "Paman, apakah keperluan Paman datang
kemari?" Pamannya mengerutkan keningnya. Dengan nada
rendah ia menjawab, "Aku ingin menengok kemanakanku."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima
kasih Paman." Pamannya pun termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Sardapa. Apakah sebenarnya
yang terjadi atasmu" Sikapmu terlalu dingin. Bahkan terasa
penuh kecurigaan. Mungkin karena aku datang pada m alam
hari atau mungkin karena persoalan lain?"
Ki Sardapa memang tersentuh hatinya mendengar
pertanyaan pamannya itu. Tetapi ia tidak mau mengalami
kesulitan karena kedatangannya. Karena itu, maka dipaksanya
mulutnya berkata, "Paman. Aku telah mendapat kesulitan
karena peristiwa y ang baru saja terjadi beberapa waktu yang
lalu. Aku mendapat bermacam-macam tuduhan sehingga aku
menjadi curiga kepada setiap orang y ang menemui aku.
Apalagi dari keluarga ibu. Maksudku, saudara-saudaranya."
Paman Sardapa itu mengangguk-angguk. Lalu dengan
nada y ang agak meninggi ia bertanya, "Siapa y ang pernah
menyulitkanmu?" "Beberapa orang pamanku" jawab Ki Sardapa.
"Kenapa mereka menyulitkanmu?" pamannya bertanya
lagi. Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ialah
yang kemudian bertanya, "Bagaimana tanggapan Paman
tentang peri stiwa yang menimpa ibu?"
"Kau bunuh ibumu yang membesarkanmu" jawab orang
itu. "Bukankah seperti yang aku duga" desis Ki Sardapa.
"Apa yang kau duga?" bertanya pamannya.
"Paman akan mengatakan bahwa aku telah m embunuh
ibu, memfitnah kakang Bekel untuk dapat m engusirnya dari
kedudukannya. Kemudian mengambil kedudukannya itu,
bukankah begitu?" Orang itu tersenyum. Dengan nada y ang datar ia
berkata, "Aku sudah mendapat keterangan tentang hal itu.
Tepat seperti y ang kau katakan. Aku pun tahu, bahwa
pamanmu y ang termuda telah datang kepadamu dan bahkan
telah mengancammu. Bukankah begitu?"
Ki Sardapa mengerutkan keningnya. Dengan serta merta
ia bertanya, "Jadi y ang datang itu Paman y ang termuda?"
"Ya. Sekarang paman-pamanmu telah berkumpul.
Mereka sepakat untuk membuat perhitungan denganmu"
jawab pamannya itu. "Paman datang untuk menyampaikan ancaman itu?"
bertanya Ki Bekel. Orang itu menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku adalah
salah seorang di antara mereka. Aku mengenal sifat dan watak
mereka sebaik-baiknya. Tetapi justru karena itu, maka aku
tidak begitu saja mempercayai mereka. Aku sengaja datang
kepadamu untuk mendengar keteranganmu tentang keadaan
yang sebenarnya. Setidak -tidaknya aku dapat mendengar
peristiwa ini dari sisi pandangan y ang berbeda untuk
mengambil kesimpulan."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia
pun berkata, "Biarlah anak-anak muda ini y ang berceritera. Ia
tahu benar apa y ang terjadi disini. Mungkin akan lebih berarti
bagi Paman daripada akulah yang berceritera."
Paman Ki Sardapa itu memandangi ketiga orang y ang
ada di ruang dalam itu berganti-ganti. Lalu jawabnya,
"Silahkan. Siapa pun yang akan berceritera."
Ki Sardapa pun kemudian berpaling ke arah Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sambil berkata, "Aku minta tolong,
ceriterakan apa y ang terjadi. Mungkin Paman akan lebih
percaya kepada kalian daripada kepadaku."
Kedua anak muda itulah yang kemudian saling
berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti lah berbicara
kepada paman Ki Bekel itu. Diceriterakannya apa y ang terjadi
menurut pengertiannya tentang padukuhan itu, tentang diri
mereka berdua y ang diusir Ki Buyut dari banjar, tentang Ki
Bekel y ang lama, dan tentang keputusan Ki Buyut untuk
menunjuk penggantinya. Bukan sekedar m enunjuk, tetapi Ki
Buyut berusaha untuk menemukan orang yang terbaik dan
memenuhi sy arat-syarat y ang wajar. Jika ternyata tidak ada,
maka barulah Ki Buyut akan mengambil satu kebijak sanaan.
Adik ibu tiri Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah ia berkata, "Aku percaya. Aku memang lebih
percaya kepada kalian daripada kepada adikku y ang termuda
itu." Ki Sardapa menjadi berdebar-debar. Memang ada
semacam kecurigaan. Tetapi ia masih saja tetap berusaha
menyembuny ikannya. Namun dalam pada itu, Ki Sardapa mempunyai
perhitungan lain. Besok pagi -pagi Ki Panonjaya akan datang.
Jika kedua pamannya itu bertemu, maka tentu ada
pembicaraan y ang cukup menarik.
Karena itu, maka Ki Sardapa pun berkata, "Paman. Hari
telah larut malam. Aku ingin mempersilahkan paman
beristirahat dahulu. Jika Paman belum makan, biarlah
dihidangkan makan untuk Paman."
"Aku sudah makan di perjalanan. Jangan repot. Aku
memang ingin beristirahat saja" berkata paman Ki Bekel itu.
Tetapi ketika seorang pelay an menyuguhkan m inuman
panas, m aka orang itu pun meneguknya pula, sehingga rasarasanya
tubuhnya menjadi segar. Tetapi Ki Sardapa kemudian telah mempersilahkan
orang itu bermalam di gandok kanan. Di sebuah bilik yang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang diperuntukkan bagi para tamu Ki Bekel yang
bermalam. Namun Ki Bekel tidak melepaskan kewaspadaan.
Kepada dua orang peronda ia minta agar orang yang
bermalam di gandok itu diawasi.
"Jika orang itu m eninggalkan halaman ini, m aka kalian
harus memberitahukan kepadaku" berkata Ki Bekel kepada
peronda itu. "Baik Ki Bekel" jawab salah seorang dari keduanya.
Ki Bekel pun kemudian telah kembali ke ruang dalam.
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m asih berada di
ruang itu pula. Untuk beberapa saat mereka masih berbincang.
Namun kemudian mereka pun telah pergi beristirahat pula.
Tetapi untuk menjaga segala kemungkinan, maka ketiga
orang itu telah tidur di sebuah amben yang besar di ruang
tengah. Agaknya mereka masih dicengkam oleh keadaan yang
menggetarkan jantung mereka. Seorang yang mengaku berniat
baik itu, m ungkin saja akan m elakukan satu tindakan yang
mengejutkan. Ternyata ketika ayam jantan berkokok di dini hari,
ketiga orang y ang tidur di ruang tengah itu telah terbangun
tanpa terganggu apa pun juga. Ketika mereka membuka pintu
pringgitan, di luar masih nampak remang-remang, m eskipun
induk-induk ayam telah membawa anak-anaknya turun ke
halaman. Sejenak kemudian, m aka ketiga orang itu telah m andi
dan berbenah diri. Sejenak kemudian Ki Sardapa telah keluar
pula dari bilikny a. Demikian pula pamannya y ang tidur di
gandok. Ketika matahari terbit, semuanya telah selesai berbenah
diri dan duduk di pendapa. Seorang pelay an telah
menghidangkan minuman hangat serta beberapa potong
makanan. Ki Sardapa telah m empersilahkan tamu-tamunya untuk
meneguk minuman hangat itu serta makan makanan yang
sudah disediakan. Namun dalam pada itu, seorang petugas di reg ol
halaman telah memberitahukan, bahwa ada seorang tamu
yang mencari Ki Sardapa. "Siapa?" bertanya Ki Sardapa.
"Orang itu meny ebut dirinya Ki Panonjaya" jawab
petugas itu. "Paman Panonjaya. Silahkan ia masuk" sahut Ki Sardapa
dengan serta merta. Ternyata pamannya itu telah memenuhi janjinya. Justru
lebih pagi dari yang disangkanya.
Ketika Ki Panonjaya naik ke pendapa, maka dilihatnya
paman Ki Sardapa yang seorang lagi. Adik ibu tirinya.
Ternyata keduanya telah saling mengenal. Bahkan
dengan nada ramah keduanya telah saling bertegur sapa.
Ketika Ki Panonjaya m endengar dari Ki Sardapa bahwa
pamannya itu datang semalam serta niatnya untuk mendengar
penjelasan Ki Sardapa tentang peristiwa y ang telah terjadi itu,
maka Ki Panonjaya pun mengangguk-angguk.
Dengan nada dalam Ki Panonjaya berkata, "Sardapa.
Orang inilah salah seorang dari mereka yang aku katakan baik.
Maksudku di antara semua paman-pamanmu."
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Dengan sungguhsungguh
ia berkata, "Terima kasih atas kesediaan paman
untuk datang. Juga aku mengucapkan terima kasih kepada
paman Panonjaya. Sekarang aku justru mohon petunjuk, apa
yang sebaiknya aku lakukan" Apakah kita akan tetap pada
rencana semula" Pergi ke rumah paman tertua untuk
memberikan penjela san?"
"Jadi kalian memang sudah merencanakannya?"
bertanya adik ibu tiri Ki Sardapa.
"Ya" jawab Ki Panonjay a.
"Tetapi menurut pengetahuanku, saudara-saudaraku
telah siap untuk membalas dendam. Aku pun telah
dipanggilnya dan mendapat beberapa keterangan yang
bertentangan dengan keterangan y ang aku dengar dari
Sardapa serta kawan-kawannya" jawab saudara ibu tiri Ki
Sardapa itu. "Jadi bagaimana m enurut pertimbanganmu?" bertanya
Ki Panonjaya. "Agaknya m ereka tidak dapat diajak berbicara dengan
baik. Mereka telah mengambil keputusan. Justru itu aku
datang untuk memberi peringatan kepada Sardapa, karena
aku memang sudah mengira, bahwa ia tidak bersalah" berkata
orang itu. Ki Panonjaya m enarik nafas dalam-dalam. Ia m emang
sudah mengira bahwa sulit untuk menjelaskan keadaan
sebenarnya kepada paman-paman Sardapa itu. Bahkan
seandainya mereka mengerti keadaan sebenarnya sekali pun
mereka tentu akan tetap mengatakan sesuai dengan
kepentingan mereka atas Sardapa.
Namun demikian Ki Panonjaya itu berkata, "Jika
demikian, m aka biarlah aku saja yang menemui saudaramu
yang tertua. Aku akan dapat menjajagi rencana yang
sebenarnya yang akan dilakukannya."
"Aku sudah tahu," sahut adik ibu tiri Ki Sardapa itu,
"mereka akan membuat perhitungan dengan Sardapa."
"Mungkin keputusan mereka akan berubah jika aku
berhasil mey akinkan mereka" berkata Panonjay a.
Perfume 3 Wiro Sableng 174 Dua Nyawa Kembar Senja Jatuh Di Pajajaran 5
^