Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 9

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 9


ramai." "Baiklah Kiai," berkata Mahisa Murti, "kami akan segera
mempersiapkan diri untuk meneruskan pengembaraan kami.
Disini ternyata kami telah berhenti terlalu lama."
Kiai Patah terseny um. Katanya, "Tetapi kalian berdua
telah meny elamatkan padukuhan ini dari kehancuran."
"Bukan aku, tetapi Kiai sendiri," jawab Mahisa Pukat.
Kiai Patah ju stru tertawa. Katanya, "Sudahlah. Siapa pun
yang melakukannya. Padukuhan ini sekarang harus
membenahi dirinya. Ki Buyut menganggap padukuhan ini
justru akan dapat menjadi contoh bagi padukuhan yang lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggukangguk.
Namun Mahisa Pukat pun kemudian berkata, "Pada
kesempatan lain kami akan datang lagi ke padukuhan ini."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah bersiap-siap. Mereka telah menemui Ki Buyut untuk
minta diri. "Kami minta kalian tidak melupakan Kabuyutan ini,"
minta Ki Buyut. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan nada
dalam Mahisa Murti berkata, "Kami m asih ingin singgah lagi
di Kabuyutan ini. Pada suatu saat tentu kami lakukan."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia pun kemudian tertawa
pula sambil berkata, "Kami selalu mengharapkan kehadiran
kalian pada suatu saat."
Demikianlah, pada satu pagi yang cerah, kedua anak
muda itu telah meninggalkan padukuhan y ang pernah
mengalami goncangan y ang hampir meruntuhkan sendi-sendi
martabat kemanusiaan itu. Ki Bekel y ang sudah menjadi
semakin baik dan hampir sembuh kembali telah m elepaskan
kedua anak muda itu ber sama paman-pamannya. Sementara
Kiai Patah dan beberapa orang padukuhan itu telah mengantar
anak muda itu sampai ke ujung lorong padukuhan.
"Jangan lupa, langit telah masak," berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat.
Hampir berbareng mereka menjawab, "Ya Kiai."
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah meninggalkan padukuhan itu. Keduanya menolak ketika
Ki Bekel menawarkan agar keduanya membawa bekal
secukupnya. Namun bagi Kiai Patah, hal itu wajar sekali, karena
keduanya tentu akan m enjaga harga diri m ereka sementara
mereka tentu sudah membawa bekal y ang cukup.
Sekali-sekali kedua anak muda itu masih juga berpaling.
Tetapi jarak mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh.
Namun demikian keduanya telah meninggalkan bekas di
padukuhan y ang baru saja mereka tinggalkan.
Beberapa saat keduanya berjalan menyusuri jalan-jalan
bulak panjang dan pendek. Sekali-sekali mereka menyusup ke
dalam padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Di siang hari,
mereka telah berhenti di sebuah kedai y ang cukup ramai di
dekat sebuah pasar. Pasar itu sendiri sudah mulai menjadi
sepi. Namun mereka y ang berdagang di pasar itu, masih
banyak y ang singgah di kedai-kedai yang terdapat di sekitar
pasar itu. -ooo0dw0ooo- (Bersambung ke Jilid 61 ).
HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid LXI Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 061 TIDAK ADA y ang menarik perhatian kedua orang anak
muda itu. Bagi keduanya sudah terlalu biasa m elihat seorang
yang m erasa berkuasa di pasar itu dan bertingkah-laku aneh.
Karena itu keduanya hampir tidak mempedulikan sama sekali.
Namun, ternyata bahwa orang yang sebenarnya paling
kuasa di antara mereka ada di dalam kedai itu. Ia mempunyai
beberapa orang y ang melakukan pemerasan di pasar itu, yang
kemudian diserahkan kepada seorang yang berkepala botak
dan berada di kedai itu pula.
Tetapi karena hal itu telah terjadi setiap hari, maka bagi
orang-orang y ang berada di dalam pasar itu, justru merupakan
satu hal yang nampaknya menjadi wajar. Bahkan para
pedagang y ang ada di kedai itu pun justru telah menjadi akrab
dengan orang itu. Tanpa segan-segan mereka berbicara
tentang hasil pemerasannya itu.
Namun y ang tidak terbiasa dilakukannya adalah ketika
orang berkepala botak itu m elihat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Apalagi ketika orang botak itu melihat kedua anak itu
membawa bekal uang y ang cukup.
Sambil tertawa orang berkepala botak itu kemudian
bertanya kepada kedua anak muda itu, "He, bukankah kalian
bukan orang y ang terbiasa datang ke pasar ini?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Yang menjawab kemudian adalah Mahisa Pukat,
"Tidak Ki Sanak. Kami baru kali ini lewat di pasar ini."
"Bagus," berkata orang berkepala botak itu, "ada
semacam peraturan di lingkungan ini, orang asing y ang lewat
dan apalagi singgah di lingkungan pasar ini akan dikenakan
pajak." "Pajak?" bertanya Mahisa Pukat, "pajak apa?"
"Pajak lewat. Aku tahu kalian membawa uang banyak.
Karena itu maka kalian dapat memberikan sebagian kecil dari
uang itu kepada kami. Kami tidak menentukan jumlahnya.
Kal ian sendirilah y ang menentukan karena kalianlah yang
tahu, berapa banyak uang y ang kalian bawa."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun agaknya Mahisa Murti tidak ingin suasana
menjadi ribut. Karena itu, maka ia pun telah memberikan
beberapa keping uang kepada orang berkepala botak itu.
Orang berkepala botak itu tertawa. Katanya, "Kalian
adalah anak-anak y ang baik hati. Terima kasih. Mudahmudahan
kalian selamat diperjalanan."
Orang berkepala botak itu pun kemudian melangkah ke
pintu. Sambil mengangkat tangannya yang menggenggam
beberapa keping uang itu, ia berkata kepada orang-orang yang
ada di kedai itu, "Nah, silahkan makan dan minum. Aku akan
melanjutkan tugasku, memungut pajak bersama beberapa
orang kawanku." Demikian orang itu melangkah keluar, Mahisa Pukat
pun berbisik, "Ada y ang aneh pada orang itu."
Mahisa Murti pun mengangguk.
" Ia t erlalu ramah bagi seorang pemeras sebagaimana
yang dilakukannya itu." Mahisa Pukat melanjutkan.
Mahisa Murti masih mengangguk-angguk.
Agaknya seseorang dapat menduga, apa yang dikatakan
oleh kedua anak m uda itu. Karena itu, maka orang itu pun
berkata, "Anak-anak muda. Jangan heran. Orang itu
sebenarnya orang baik. Tetapi ia mendapat warisan pekerjaan
itu dari pamannya y ang garang. Ia memang melanjutkan tugas
pamannya. Tetapi dengan caranya."
"Jika itu dikatakan tugas, siapakah yang memberikan
tugas itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak ada. Tugas itu dibuatnya sendiri," jawab orang
itu. "Dasarnya" Apakah di sini m emang ada paugeran y ang
memberi wewenang kepadanya untuk memberikan tugas
kepada diri sendiri?" bertanya Mahisa Pukat pula.
"Dasarnya adalah bahwa pamannya termasuk seorang
yang disegani di sini," jawab orang itu.
"Orang y ang menggantikannya itu" Apakah ia juga
disegani?" bertanya Mahisa Murti.
" Ia memiliki ilmu sebagaimana pamannya. Tetapi karena
ia jauh lebih baik dari pamannya, maka ia justru menjadi
sahabat dari orang -orang yang diperasnya. Orang botak ini
tidak pernah memaksakan berapa banyak seseorang harus
membayar pajak kepadanya," jawab orang itu.
"Dengan demikian, penghasilan dari pajaknya itu akan
berkurang dari sebelumnya," berkata Mahisa Pukat.
"Tentu. Tetapi orang berkepala botak itu tidak
menganggapnya penting. Ia mempunyai sawah yang luas,
ternak dan beberapa pedati y ang dapat dipakainya untuk
mencari uang." Dan orang itu merasa bahwa kemudian
katanya, "Namun orang-orang yang dipercayainya kadangkadang
bertindak lain dari yang dikehendakinya. Karena itu,
beberapa kali ia berbenturan justru dengan orang-orangnya
sendiri." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Semakin banyak mereka mengenal sifat-sifat seseorang, maka
mereka merasa semakin sempit pergaulan m ereka. Ternyata
bahwa terdapat sifat-sifat yang tidak diduganya sebelumnya
dan lain dari kebiasaan. Mereka semula menduga bahwa orang
berkepala botak itu mempunyai sifat dan watak sebagaimana
orang-orang y ang melakukan pekerjaan seperti itu. Kasar,
garang dan serakah. Tetapi orang berkepala botak itu tidak.
Keduanya semula sudah menyangka, bahwa mereka
harus berkelahi lagi seperti yang pernah terjadi. Tetapi
ternyata tidak. Beberapa saat kemudian, setelah keduanya selesai
makan dan minum, maka mereka pun telah minta diri. Mereka
membayar sebagaimana seharusny a, sementara Mahisa Murti
memang tidak meny embuny ikan bekal yang dibawanya.
Bukan maksudnya untuk meny ombongkan diri dan t erlalu
yakin akan kemampuannya melindungi bekalnya itu, tetapi ia
menganggap bahwa hal itu tidak akan menimbulkan
persoalan, karena orang berkepala botak itu adalah orang yang
baik. Dari kedai itu, maka keduanya telah menyusuri jalan di
sebelah pasar, menuju ke gerbang padukuhan.
Namun demikian keduanya memasuki bulak panjang,
maka keduanya terkejut. Orang berkepala botak itu sedang
bertengkar dengan empat orang y ang bertubuh tinggi kekar
dan garang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tertarik untuk
melihat apa y ang terjadi, sehingga keduanya sama sekali tidak
berhenti. Mereka berjalan terus semakin lama semakin dekat
dengan orang-orang yang bertengkar itu.
Ternyata dibalik sebatang pohon ny amplung yang besar,
masih ada seorang lagi y ang berdiri sambil memegangi
seorang perempuan yang ketakutan.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
dekat, maka ia mulai mendengar pertengkaran di antara
mereka. "Lepaskan perempuan itu," geram orang berkepala botak
itu. "Jangan ikut campur," bentak salah seorang y ang
berwajah garang. Lalu "Pamanmu bersikap baik terhadap
kami. Selama ini y ang kau lakukan tidak lebih dari tingkah
laku seorang yang banci. Kau paksa kami mengurangi
penghasilan kami dengan hampir separuh. Kami tidak
memberontak karena kami ingat kebaikan pamanmu terhadap
kami. Tetapi tentang perempuan ini, kau jangan turut
campur." "Kalian adalah orang-orangku. Aku tidak mau orangorang
bertindak liar dan buas melampaui seekor binatang
buas di hutan," geram orang berkepala botak itu.
"Kau tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan
perempuan ini. Aku akan membawanya ke bukit. Apa
pedulimu"," teriak orang y ang memegangi perempuan
dibawah pohon nyamplung itu.
Orang berkepala botak itu memandang orang y ang
berada di bawah pohon ny amplung dengan sorot mata yang
membara. Dengan lantang ia berkata, "Iblis kau. Setiap orang
mempunyai hubungan satu dengan y ang lain. Kenal atau tidak
kenal. Apalagi dalam keadaan seperti perempuan itu. Setiap
orang wajib m enolongnya. Aku m emang tidak mengenalnya
secara pribadi, tetapi martabat kemanusiaanku menolak
tingkah laku kalian y ang buas itu."
"Jangan hiraukan orang itu," berkata orang y ang
memegangi perempuan itu. "Jika kalian tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka
kalian tidak akan aku pakai lagi," orang berkepala botak itu
hampir berteriak, "bahkan aku tidak menganggap kalian
kawan-kawanku. Karena itu, kita akan berhadapan sebagai
lawan sekarang ini."
Keempat orang yang berdiri dihadapan orang berkepala
botak itu termangu-mangu. Namun orang yang memegangi
perempuan itu berteriak, "Kita pergi. Kita dapat berbuat apa
sa ja tanpa menjadi pengikutnya."
"Aku akan menghitung sampai tiga," geram orang
berkepala botak itu . Orang yang berada di bawah pohon ny amplung itu tidak
menghiraukannya. Bahkan ia pun kemudian telah menarik
perempuan itu melewati tanggul parit. Beberapa langkah di
belakang orang itu adalah pategalan yang lebat, sehingga
memungkinkan orang -orang itu menghilangkan jejaknya.
Karena itu, maka orang berkepala botak itu telah
meloncat dengan tangkasnya. Tidak menyerang salah seorang
dari empat orang y ang berada di hadapannya. Tetapi ia
langsung meny erang orang yang membawa perempuan itu.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata bahwa kemampuan orang berkepala botak itu
memang jauh lebih tinggi dari kemampuan kelima orang itu.
Loncatan y ang panjang telah membingungkan keempat orang
yang lain, sementara orang yang meny eret perempuan itu,
terpaksa, melepaskannya karena ia harus menangkis serangan
orang berkepala botak itu.
"Cepat lari," teriak orang berkepala botak itu.
Perempuan itu memang ketakutan. Tetapi teriakan itu
membuatnya bagaikan terbangun dari mimpi yang sangat
buruk. Dengan serta-merta perempuan itu pun berlari. Adalah
di luar sadarnya, bahwa perempuan itu telah berlari ke arah
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Bahkan kemudian telah
bersembunyi di belakang kedua orang anak muda itu.
Keempat orang y ang lain memang akan memburunya.
Namun tiba -tiba saja mereka hampir jatuh terjerembab,
karena orang berkepala botak itu telah meny erang mereka
langsung m enghantam punggung dengan kaki dan k emudian
tangannya berganti-ganti atas keempat orang itu.
Sejenak kemudian, maka perkelahian y ang seru telah
terjadi. Seorang melawan lima orang. Namun orang yang
berkepala botak itu benar-benar seorang y ang berilmu cukup
mapan. Dengan demikian maka kelima orang lawannya, y ang
semula adalah justru para pengikutnya itu telah mengerahkan
kemampuan mereka untuk mengalahkan orang berkepala
botak itu. Ternyata penilaian kelima orang itu atas orang y ang
dianggapnya lebih lemah dari pamannya itu salah. Orang
berkepala botak jauh lebih ramah dari pamannya itu tidak
bertindak kasar atas orang-orang y ang diperasnya itu, ternyata
memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan agaknya ju stru
lebih baik dari pamannya yang garang dan kasar.
Karena itulah, maka kelima orang itu sama sekali tidak
berhasil mengalahkan orang berkepala botak itu. Bahkan satusatu
kelima orang itu meny eringai menahan sakit, karena
serangan y ang cepat dari orang berkepala botak itu telah
mengenai tubuh mereka. Seorang di antara kelima orang itu
justru telah terlempar beberapa langkah dan jatuh di tanggul
parit. Bahkan ia tidak dapat mencegah dirinya sendiri, ketika
kemudian ia terguling ke dalam air y ang meskipun tidak
terlalu banyak namun cukup membasahi seluruh tubuh dan
pakaiannya. Orang itu menggeram. Sambil menggeretakkan giginya
ia bangkit dan meloncat meny erang bersama dengan keempat
kawannya lagi. Namun, demikian ia memasuki arena, dua
orang kawannya telah terlempar pula ke dalam parit.
Orang-orang yang basah kuyub itu m engumpat-umpat.
Tetapi mulut merekalah y ang kemudian menjadi serangan
tumit orang berkepala botak itu.
Beberapa saat kemudian ternyata bahwa kelima orang
itu benar-benar tidak mampu melawan orang y ang untuk
waktu yang cukup lama menjadi pemimpinnya itu. Bahkan
satu dua orang yang lewat di jalan itu pun telah terhenti dan
termangu-mangu menyaksikan perkelahian yang
mendebarkan jantung. Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung terlalu lama.
Kelima orang itu mulai tidak tahan lagi. Semakin lama tubuh
mereka semakin sering dikenai sehingga seakan-akan seluruh
tubuh mereka merasa sakit. Meskipun satu dua kali, orang
berkepala botak itu juga dapat mereka kenai, namun seakanakan
ia tidak merasakan kesakitan sama sekali.
Dalam keadaan y ang semakin terdesak, tiba -tiba saja
salah seorang di antara mereka bersuit nyaring. Dengan serta
merta maka keempat kawannya pun telah tanggap. Tanpa
diulang maka kelima orang itu pun kemudian telah berlari
meloncati tanggul parit menuju ke pategalan.
Orang berkepala botak itu menarik nafas dalam-dalam.
Sambil membenahi pakaiannya ia pun kemudian
melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Perempuan y ang ketakutan itu masih saja berada di belakang
kedua orang anak muda itu.
"Sudah selesai anak-anak muda," berkata orang
berkepala botak itu. Kemudian kepada perempuan yang
berdiri dengan gemetar di belakang kedua anak muda itu ia
bertanya, "Kau akan ke mana?"
Perempuan itu masih ketakutan, sehingga ia tidak dapat
segera menjawab. Orang berkepala botak itu pun mengerti
akan keadaan itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata,
"Cucilah wajahmu. Air parit itu cukup jernih dan bersih."
Perempuan itu dengan tubuh y ang masih gemetar turun
ke dalam parit kecil di pinggir jalan. Airnya memang bersih
sehingga perempuan itu pun benar-benar telah mencuci
wajahnya. Beberapa orang lewat memang berhenti. Tetapi orang
berkepala botak itu kemudian berteriak, "berjalanlah. Kenapa
kalian berhenti. Bukan tontonan yang menarik untuk
ditonton." Jalan y ang memang tidak t erlalu sering dilalui itu,
menjadi semakin lengang lewat tengah hari. Berbeda dengan
jalan y ang m embujur ke jurusan lain. Jalan y ang agak lebih
besar dan ramai. Setelah agak tenang, maka perempuan itu pun kemudian
menjawab, "Aku orang Kademangan sebelah."
"Jadi kau akan berjalan lewat jalan ini?" bertanya orang
berkepala botak itu . "Ya," jawab perempuan itu.
"Jadi kau ditangkap oleh orang-orang itu di sini.
Maksudku, bukan ditangkap di tempat lain lalu dibawa
kemari," bertanya orang berkepala botak itu pula.
"Ya. Aku dicegat dibawah pohon ini. Aku memang sudah
mengenal orang itu. Bahkan ia sering datang ke rumahku.
Tetapi aku tidak bersedia untuk menjadi isteriny a, karena
ternyata ia sudah berkeluarga," berkata perempuan itu.
"Jadi sebelumnya kau pernah berjanji untuk menerima
lamarannya?" desak orang berkepala botak itu.
"Karena ia membohongi aku. Katanya ia belum beristeri.
Tetapi ternyata ia sudah beristeri. Karena itu aku batalkan
kesediaanku menjadi isterinya. Agaknya ia menjadi marah. Ia
menangkap aku dan akan m embawaku ke bukit," perempuan
itu mulai menangis. "Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau dibawa ke bukit
itu?" bertanya orang berkepala botak itu .
Perempuan itu mengangguk. Katanya, "Aku akan
membunuh diri jika itu terjadi."
"Baiklah. Kelima orang itu agaknya tidak akan berani
mengganggumu lagi. Sebenarnya mereka adalah orangorangku.
Karena itu aku ikut bertanggung jawab atas tingkah
laku mereka." laki-laki berkepala botak itu menggeram.
"Terima kasih atas pertolongan itu," desis perempuan
itu. "Apakah kau harus aku antar pulang?" bertanya laki-laki
yang berkepala botak. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Biarlah
aku mengantarnya. Aku berjalan searah dengan perempuan
itu." Perempuan itu termangu-mangu. Nampaknya ia
menjadi ragu-ragu. Namun yang berkepala botak itu berkata,
"Baiklah. Bawa perempuan itu dan antarkan sampai ke
rumahnya." Perempuan itu nampaknya masih tetap ragu-ragu.
Tetapi orang berkepala botak itu telah melangkah
meninggalkannya. "Marilah," berkata Mahisa Murti kemudian, "berjalanlah
di depan." Perempuan itu m emang nampak gelisah. Tetapi ia pun
kemudian telah melangkah meneruskan perjalanan, betapa
pun ia ragu-ragu. "Di manakah padukuhanmu Ki Sanak?" bertanya Mahisa
Pukat. "Di seberang padukuhan yang nampak itu," jawab
perempuan itu. "Apakah kau dari pasar?" bertanya Mahisa Pukat pula.
Perempuan itu menggeleng. Tanpa berpaling perempuan
itu menjawab, "Tidak. Aku baru saja m engunjungi bibi yang
rumahnya memang tidak terlalu jauh dari pasar. Tetapi aku
tidak pergi ke pasar."
"Bagaimana laki -laki itu m enangkapmu" Apakah tidak
ada orang lain yang menolongmu kecuali orang itu, y ang maaf,
dari celah-celah ikat kepalanya yang tidak rapat, aku m elihat
kepalanya botak," bertanya Mahisa Pukat selanjutnya.
"Tidak ada orang yang berani menolongku. Mereka
malahan berusaha menghindar, karena tidak seorang pun
yang berani menentang kelima orang y ang garang itu. Mereka
adalah pemungut pajak y ang dahulu bekerja pada seorang
yang keras dan kejam. Namun sekarang agaknya telah sedikit
berubah, karena pemimpinnya sudah berganti. Meskipun
demikian sisa -sisa kekasaran itu masih ada dan orang banyak
telah terlanjur takut kepada mereka," jawab perempuan itu.
Namun perempuan itu masih juga tidak mau berpaling.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
menghiraukannya lagi. Mereka berjalan saja di belakangnya.
Bahkan keduanya telah membuat jarak beberapa langkah dari
perempuan itu ketika mereka memasuki padukuhan, agar
perjalanan mereka tidak justru menarik perhatian.
Namun ketika mereka kembali memasuki bulak panjang,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan lebih
mendekat. Apalagi karena di sebelah meny ebelah jalan itu
bukannya tanah persawahan, tetapi pategalan, karena air di
parit kadang-kadang memang tidak m engalir sampai berharihari.
Hal yang demikian itu sudah berlangsung bertahuntahun
sehingga sawah di sebelah-menyebelah bulak itu lambat
laun telah berubah m enjadi pategalan. Beberapa jeni s pohon
buah-buahan telah ditanam. Termasuk batang-batang kelapa.
Di bawah pohon buah-buahan itu, dalam musim tertentu
dapat ditanami padi gaga. Sejenis batang padi y ang tidak
terlalu banyak memerlukan air. Jika musim hujan datang,
maka air hujan di satu musim telah cukup untuk mengairi padi
gaga itu sampai saatnya menuai.
Ketika kemudian mereka sampai di tengah-tengah bulak
yang agak sepi, tiba -tiba saja mereka terkejut. Beberapa orang
telah berloncatan dari pategalan. Ternyata mereka telah
menunggu sambil bersembuny i di balik pepohonan.
Perempuan y ang diantar oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu telah melangkah surut dengan tubuh gemetar karena
ketakutan. Lima orang y ang telah m enangkap perempuan itu
tiba -tiba saja telah berada lagi dihadapan mereka. Sementara
itu, perempuan y ang ketakutan itu tidak dapat mengharapkan
lagi pert olongan orang berkepala botak y ang telah
menyelamatkannya. Yang ada hanyalah dua orang anak muda
yang berjalan bersamanya.
Orang y ang semula memeganginya dibawah pohon
nyamplung itu pun kemudian melangkah maju sambil berkata,
"Aku benar -benar tidak mau kehilangan kau. Aku berusaha
untuk menepati janjiku. Kau pun harus berbuat sama. Kita
akan hidup bersama sebagaimana pernah kita rencanakan.
Jika kau menolak, maka aku akan mempergunakan kekerasan.
Bagiku, lebih baik lenyap sama sekali daripada kau ingkar janji
dan pada suatu saat kau menjadi isteri orang lain."
"Tetapi kau telah menipu aku," suara perempuan itu
menjadi serak karena marah dan ketakutan.
Ketika laki -laki itu melangkah mendekat, perempuan itu
telah b erlari dan bersembuny i di belakang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Orang yang mendekatinya itu tertawa. Bahkan keempat
kawannya pun tertawa pula. Dengan nada tinggi orang yang
ingin memperisteriny a itu berkata, "Kau t idak dapat
mengharapkan pertolongan siapa pun sekarang. Anak-anak
muda itu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika mereka
mencoba melibatkan diriny a, maka mereka hanya akan
mengalami kesulitan saja. Jika mereka dengan sombong ingin
menjadi pahlawan, maka mereka adalah pahlawan yang
bernasib buruk. Mereka harus tahu, bahwa kami t idak pernah
ragu-ragu. Kami akan membunuh orang yang menghalangi
niat kami." Perempuan itu benar-benar menjadi ketakutan. Ia dapat
membayangkan apa y ang akan terjadi atas dirinya, jika kelima
orang itu berhasil membawanya ke bukit. Bahkan baginya
akan lebih baik mati saja daripada dibawa oleh orang-orang
yang telah menjadi buas itu.
Namun adalah tidak diduga sama sekali bahwa salah
seorang di antara anak muda itu berkata, "Jangan takut.
Meskipun orang yang menolongmu itu tidak ada lagi di sini,
tetapi kami berdua akan berusaha menggantikan
kedudukannya sebagai pelindungmu. Orang itu sudah
berpesan kepada kami, agar kami mengantarmu sampai ke
rumah, sementara kami sudah menyatakan kesediaan kami."
Kelima orang yang ingin menangkap perempuan itu
termangu-mangu. Namun orang y ang akan memperisterinya
itu pun kemudian telah m engumpat sambil berkata, "Kalian
agaknya memang ingin mati."
"Tidak begitu mudah m embunuh orang," sahut Mahisa
Pukat, "sebaiknya kalian tidak usah mencoba agar bukan
kalianlah y ang harus dikubur hari ini."
Kemarahan semakin mencengkam jantung kelima orang
itu. Ternyata kedua orang anak muda itu memang t erlalu
sombong di mata mereka. Bahkan dalam pada itu, Mahisa Murti telah berkata,
"berhati-hatilah kalian. Bukankah pemimpinmu tadi telah
berpesan dengan sungguh-sungguh, agar kalian tidak
mengulangi kesalahan kalian sebagaimana pernah kalian
lakukan dihadapan pemimpin kalian itu" Bukankah dengan
demikian, kalian akan dapat dipecat dari tugas-tugas kalian"
Bahkan pemimpin kalian tidak akan menganggap kalian
sebagai sahabat-sahabatnya lagi. Dan itu berarti, bahwa
pemimpin kalian itu akan dapat bertindak keras terhadap
kalian melampaui apa y ang telah dilakukannya."
"Persetan," geram orang y ang ingin memperisterikan
perempuan itu, "aku memberi kesempatan terakhir kepadamu.
Pergi atau kami benar-benar akan membunuh kalian."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Mahisa Pukat telah menjawab, "Aku memberi
kalian kesempatan terakhir untuk m eninggalkan tempat ini.
Jika kalian tidak mempergunakan kesempatan terakhir ini,
maka aku tidak bertanggung jawab, akibat apa y ang dapat
terjadi atas kalian nanti."
Jawaban Mahisa Pukat itu benar-benar telah membakar
jantung kelima orang itu. Karena itu, mereka tidak menunggu
lebih lama lagi. Terutama orang y ang akan memperisteri
perempuan itu. Dengan serta merta orang itu telah meny erang
Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah bersiap. Karena itu, maka
serangan itu sama sekali tidak mengenainya.
Bahkan Mahisa Pukat pun kemudian berkata Mahisa
Murti, "jaga perempuan itu. Biarlah mereka aku selesaikan."
Mahisa Murti yang telah melihat perkelahian antara
kelima orang itu melawan pemimpinnya y ang berkepala botak
itu, sama sekali tidak mencemaskan keadaan Mahisa Pukat.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menjawab,
"Baiklah. Aku akan menjaganya."
Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada perempuan
itu, "Kita sebaiknya sedikit menjauh dari arena."
Perempuan itu seakan-akan tidak sadar lagi tentang apa
yang dilakukannya. Ia pun kemudian telah bergeser saja
sebagaimana diminta oleh Mahisa Murti. Sementara itu
tubuhnya masih saja gemetar ketakutan.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah bertempur melawan
orang-orang y ang masih saja berniat menangkap perempuan
itu. Bahkan kelima-limanya telah memasuki arena
pertempuran. Dengan kemarahan yang bergejolak di dalam
dada masing -masing, maka kelima orang itu berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk melumpuhkan perlawanan Mahisa
Pukat, Namun ternyata bahwa Mahisa Pukat bergerak dengan
cepat dan kuat. Kelima orang itu sama sekali tidak berhasil
menyentuh tubuh Mahisa Pukat meskipun mereka telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Bahkan beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat lah y ang
justru telah berhasil m engenai m ereka seorang demi seorang.
Sambil berloncatan Mahisa Pukat berkata, "Nah, katakan.
Siapakah di antara kalian y ang akan mati lebih dahulu?"
Kelima orang itu telah mengumpat. Seorang di antara
mereka berteriak lantang, "Kaulah yang akan mati sekarang.
Karena itu meny erahlah."
Tetapi demikian orang itu mengatupkan mulutnya, maka
Mahisa Pukat telah m enyambar orang itu. Jari-jarinya telah
menyentuh bibirnya y ang baru saja terkatub. Namun orang itu
telah berteriak kesakitan. Ternyata bahwa jari-jari Mahisa
Pukat telah mematahkan dua buah giginya, sehingga dari selasela
bibirnya itu telah mengalir darah.
" Itu baru gigimu," berkata Mahisa Pukat, "sebentar lagi
nyawamu y ang akan tanggal."
"Persetan," geram orang itu.
Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Pukat.
Bahkan Mahisa Murti pun ikut tertawa sambil berteriak,
"Rontokkan giginya. Semua, jangan hanya sebagian."
"Setan alas," geram yang giginya tanggal, "kau pun akan
aku bunuh." Tetapi Mahisa Murti tidak berhenti tertawa.
Kemarahan orang yang giginya tanggal itu, sementara
perasaan sakit telah menggigit, justru m enghentak-hentak di
dadanya. Sikap Mahisa Murti telah membuatnya sangat
marah, sedangkan menurut perhitungannya, orang yang
melindungi perempuan itu tentu tidak memiliki ilmu yang
baik sebagaimana anak muda yang telah bertempur itu.
Karena itu, maka timbullah keinginannya untuk meny erang.
Orang yang giginya tanggal itu tidak sempat membuat
pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh. Kemarahannya
telah membuatnya menjadi mata gelap, sehingga dengan
demikian m aka orang itu telah m eloncat m eny erang Mahisa
Murti. Perempuan y ang mendapat perlindungan dari Mahisa
Murti itu terkejut. Bahkan perempuan itu hampir menjadi
pingsan karenanya. Jika orang yang m elindunginya itu tidak
dapat menghalau orang y ang meny erangnya, maka
keadaannya akan menjadi semakin sulit meskipun orang yang
lain dapat bertahan terhadap keempat orang lawannya.
Namun, y ang terjadi benar-benar di luar dugaan.
Demikian orang y ang kehilangan giginya itu menyerang, maka
tidak seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi. Yang
mereka lihat kemudian adalah bahwa orang yang kehilangan
giginya itu telah jatuh terlentang dan sekaligus menjadi
pingsan. "He, kau bunuh orang itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak. Aku tidak membunuhnya. Barangkali ia telah
pingsan," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Nah, siapakah y ang
akan menyusul, lakukanlah. Ia masih bersedia untuk membuat
satu dua orang lagi di antara kalian pingsan. Tapi siapa yang
tidak ingin pingsan, maka kemungkinan lebih buruk dapat
terjadi, karena aku agaknya akan membunuh."
Keempat orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat
itu justru mulai merenungkan kata-kata Mahisa Pukat itu.
Beberapa saat mereka sempat memperhatikan apa yang terjadi
sebenarnya. Mereka agaknya telah menyadari, bahwa ternyata
anak muda itu masih belum bersungguh-sungguh. Anak muda
itu nampaknya masih saja bermain-main meskipun akibatnya
telah semakin menyakiti tubuh lawan-lawannya.
Dalam keadaan semacam itu, maka hampir semua orang
terkejut ketika tiba -tiba saja mereka mendengar tepuk tangan.
Seseorang telah keluar dari pategalan sambil berteriak,
"Bagus anak-anak muda. Buat m ereka jera. Salah satu cara
membuat mereka jera adalah membunuh mereka."
Keempat orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat
itu pun menjadi berdebar-debar. Ternyata yang datang itu
adalah orang y ang berkepala botak.
"Aku tidak akan turut campur," berkata orang itu,
"barangkali akan lebih berkesan jika kalian mendapat
peringatan agak keras dari orang lain. Atau barangkali
peringatan y ang aku berikan masih terlalu lunak sehingga
sama sekali tidak berkesan bagi kalian."
Orang berkepala botak itu pun kemudian telah
mendekati arena. Ia masih saja bertepuk tangan dan berteriak
jika ia melihat Mahisa Pukat mengenai lawannya. Bahkan ia
pun kemudian berkata, "Aku senang melihat wajah kalian
menjadi pengab. Jika kalian tidak juga jera, m aka aku akan
melakukan lebih keras lagi. Aku tidak mengesampingkan
kemungkinan untuk membunuh kalian. Sejak semula aku
sudah ragu-ragu, apakah kalian benar -benar jera. Itulah
sebabnya, maka diam-diam aku telah mengikuti perempuan
itu. Ternyata yang aku cemaskan itu terjadi. Namun kalian
telah membentur kekuatan yang justru jauh lebih tinggi dari
kemampuanku. Sambil bermain-main anak muda itu dapat
berbuat apa saja terhadap kalian. Bahkan m embunuh kalian
berlima." Keempat orang yang masih saja bertempur itu memang
menjadi cemas. Bagi mereka tidak ada y ang lebih baik
daripada melarikan diri dari arena. Namun agaknya Mahisa
Pukat dapat membaca niat itu. Karena itu, m aka tiba-tiba ia
pun telah bersungguh-sungguh. Dengan loncatan-loncatan
panjang, maka ia telah m eny erang keempat orang lawannya.
Sentuhan-sentuhan dengan ujung jari di bahu, tepat di bawah
leher, telah menghentikan perlawanan keempat orang itu,
yang merasa seluruh tubuhnya menjadi lemah. Sehingga
keempat orang itu telah terhuyung-huyung dan kemudian
terjatuh berguling di tanah.
Keempat orang itu memang sangat terkejut. Mereka
tidak tahu bagaimana hal itu tiba -tiba telah terjadi. Mereka
menyadari keadaan diri mereka masing-masing setelah
mereka menjadi sangat lemah.
Orang berkepala botak itu pun terkejut pula. S ejenak ia
berdiri termangu-mangu. Ia pun tidak begitu jelas, apa yang
sudah dilakukan oleh anak muda itu. Namun ketika ia
menyadari apa y ang terjadi itu, m aka ia pun telah bertepuk
tangan sambil berkata lantang, "Nah, ternyata yang terjadi
lebih menarik dari apa y ang aku duga. Anak-anak muda itu
memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari ilmu y ang aku miliki."
Mahisa Pukat berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan
lantang ia bertanya, "Siapa di antara kalian yang ingin mati
lebih dahulu" Aku akan membunuh kalian berturut-turut.
Tetapi tentu tidak bersama-sama. Namun, aku akan bertanya
sa ja kepada kalian, siapakah y ang pertama, kedua, ketiga dan
keempat. Yang terakhir aku akan menunggu orang yang
pingsan itu sadar, agar ia tahu bahwa ia akan dibunuh."
Wajah-wajah pun menjadi pucat. Sementara Mahisa
Pukat berkata selanjutnya, "Membunuh kalian adalah
pekerjaan yang sangat mudah. Tetapi kami memang ingin
mempersulit diri agar kami m erasa benar -benar bahwa kami
telah membunuh." Keempat orang itu tidak dapat menjawab. Namun
jantung mereka terasa berdentang semakin cepat.
Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat itu telah berkata
pula, "Ada dua orang yang akan membantu kami, sehingga
kami dapat melakukan seorang satu. Pemimpin kalian dan
perempuan itu." "Ampuni kami," tiba -tiba terdengar seorang di antara
mereka bagaikan merintih.
Tiba-tiba saja yang lain pun berdesis pula, "Ya, ampuni
kami. Kami tidak akan melakukannya sekali lagi."
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Suaranya pun bagaikan
menggeretak di dalam dada mereka. Katanya di sela-sela derai
tertawanya, "Aku sudah melihat, bahwa kalian benar-benar
tidak dapat dipercaya. Kalian sudah diberi kesempatan sekali
oleh pemimpin kalian. Tetapi kalian telah berbohong.
Ternyata kalian justru telah m empergunakan kesempatan itu
untuk melakukan hal y ang sama. Bahkan mengancam akan
membunuh kami." "Kami mohon diampuni," salah seorang di antara
mereka hampir menangis, "kami telah terdorong niat jahat,
sehingga kami telah lupa diri. Khususnya aku mempunyai
isteri dan anak-anak yang masih kecil."
"Jika kau mempunyai isteri dan anak, kenapa hal seperti
ini kalian lakukan" Bagaimana perasaan kalian, jika hal seperti
yang akan terjadi atas perempuan itu terjadi atas anak kalian
masing-masing?" Keempat orang itu tidak menjawab.
Tetapi tiba -tiba saja Mahisa Pukat berteriak lagi, "Mari,
kita bunuh mereka beramai-ramai. Boleh dengan pedang,
pisau atau dengan duri. Atau jika m emang tidak ada apa-apa,
kita benamkan saja mereka di parit. Meskipun airnya kecil,
jika mereka kita tidurkan menelungkup dengan kaki dan
tangan terikat, maka lambat laun mereka akan mati. Sekalisekali
kita dapat menekan kepala mereka jika tersembul ke
atas air." "Jangan perlakukan kami seperti itu. Kami mohon
ampun," keempat orang itu ternyata telah menangis.
Mahisa Pukat akhirnya berhenti berolok-olok. Katanya
kepada orang berkepala botak itu , "Kau adalah pemimpinnya.
Kami serahkan m ereka kepadamu. Terserah, apa y ang akan
kau lakukan atas mereka. Jika kau berniat mengampuni
mereka, terserah. Tentu dengan janji dan ancaman yang
benar-benar dapat kau lakukan jika janji itu dilanggar."
Orang berkepala botak itu pun berhenti tertawa pula.
Wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Katanya, "Baiklah.
Aku terima mereka, karena mereka memang orang-orangku."
"Jika demikian, biarlah kami meneruskan perjalanan.
Kami berdua akan mengantarkan perempuan itu sampai ke
rumahnya," berkata Mahisa Pukat.
"Silahkan," berkata orang berkepala botak itu pula. "Aku
sangat berterima kasih kepada kalian. Yang kalian lakukan
akan memberi sedikit pelajaran bagi orang -orangku yang keras
kepala itu." Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah mempersilahkan perempuan itu meneruskan perjalanan.
Rumahnya ada di padukuhan yang telah berada di depan
mereka. Namun demikian, hampir saja perempuan yang sudah
hampir sampai di padukuhannya itu mengalami bencana.
Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah m elanjutkan perjalanan m ereka, mengantar perempuan
yang masih m erasa ketakutan itu. Namun semakin dekat ia
dengan padukuhannya, rasa-rasanya hatinya menjadi semakin
tenteram. Namun demikian ketegangan telah mencengkam
jantung perempuan itu. Demikian perempuan itu sampai di regol padukuhannya,
tiba -tiba saja ia telah kehilangan kendali perasaannya. Tibatiba
saja perempuan itu berlari sambil berteriak, "Ayah, ibu."
Tentu saja sikap perempuan itu telah m engejutkan seisi
padukuhan. Beberapa orang berlari -lari ke luar, melihat apa
yang telah terjadi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun terkejut melihat hal
itu. Tiba-tiba saja keduanya menjadi cemas, bahwa akan dapat
timbul salah paham dengan mereka berdua jika m ereka tidak
segera memberi penjelasan.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
dengan tergesa-gesa pula telah mengikuti perempuan itu.
Ternyata rumah perempuan itu tidak terlalu jauh dari
regol padukuhan. Sambil berteriak-teriak perempuan itu
berlari memasuki reg ol halaman rumahnya. Agaknya demikian
tajamnya ketegangan mencengkam jantungnya, sehingga tibatiba
telah meledak tanpa dapat dikekang lagi.
Seorang laki -laki yang berkumis lebat dan bertubuh
kekar, telah keluar dari dalam rumahnya disusul oleh seorang
perempuan y ang agak gemuk. Demikian mereka melihat
perempuan itu berlari-lari sambil berteriak-teriak m eny ebut
nama ayah dan ibunya, maka keduanya telah menghambur lari
ke halaman. Perempuan y ang berteriak-teriak itu langsung memeluk
ibunya y ang agak gemuk itu sambil menangis. Sementara
ay ahnya telah menggeram sambil bertanya, "Apa yang
terjadi?" Nampaknya ketegangan y ang sangat benar-benar tidak


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teratasi lagi akibatnya oleh perempuan itu. Bahkan demikian
lengking tangisnya meninggi, perempuan itu pun menjadi
pingsan. Akibatnya memang tidak diinginkan. Ayahnya y ang
berkumis lebat dan bertubuh kekar itu menggeram, sementara
ibunya ikut menjerit pula.
Perlahan-lahan orang berkumis lebat itu telah
mengangkat anaknya yang pingsan dan membawanya ke
pendapa rumahnya. Sambil membaringkan anaknya ia
bergumam dengan nada keras, "Siapa y ang telah
memperlakukan anakku seperti ini?"
Ibunya pun berteriak pula, "Cari orang itu kakang. Kita
minta orang itu mempertanggung jawabkan perbuatannya."
"Aku akan membunuhnya," geram laki-laki itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memasuki reg ol itu pula. Beberapa orang laki -laki telah
mengikutinya dengan dahi yang berkerut.
Ketika laki -laki berkumis lebat itu melihat dua orang
anak muda tergesa -gesa memasuki halaman rumahnya, maka
wajahnya menjadi merah. Dengan kemarahan yang
menghentak-hentak di dadanya ia melangkah mendekati
kedua anak muda y ang termangu-mangu itu.
"Kalian kejar anakku?" geram laki-laki itu, "aku akan
membunuh kalian berdua."
"Tunggu," berkata Mahisa Murti, "bertanyalah kepada
anakmu itu, apa yang telah terjadi?"
"Jangan ingkar. Anakku menjadi pingsan karena
ketakutan," bentak laki -laki itu. Lalu "Nah, apa y ang telah kau
lakukan" Katakan sebelum aku mencekik leher kalian berdua."
"Kami ju stru telah menolongnya," berkata Mahisa Pukat.
"Jangan m embual," potong laki-laki berkumis lebat itu,
"agaknya kau belum mengenal siapa aku, sehingga kau berani
mengganggu anakku." "Siapa pun kau, tetapi kami benar-benar tidak
mengganggunya. Anak perempuanmu telah ditangkap oleh
lima orang laki-laki yang biasanya mengambil pajak di pasar di
sebuah padukuhan di seberang dua bulak panjang."
"Siapa?" mata orang itu terbelalak. Tiba-tiba saja ia
tertawa, "Omong kosong. Mereka tidak akan berani
melakukannya. Mereka mengenal aku. Kecuali jika pemimpin
mereka ikut serta bersama mereka."
Mahisa Pukat melangkah maju selangkah. Dengan
singkat ia telah berusaha untuk menjelaskan apa yang telah
terjadi. Tetapi orang itu justru membentak, "Kau sudah
membuat ceritera y ang buruk. Aku sama sekali tidak
mempercayainya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti
berkata, "Kami berkata sebenarnya. Jika perempuan itu nanti
sa dar, maka biarlah ia berceritera."
"Sementara itu kalian telah menemukan jalan untuk
melarikan diri," jawab orang berkumis lebat itu.
"Kami tidak akan melarikan diri," geram Mahisa Murti
yang mulai menjadi marah pula.
"Persetan," geram laki -laki itu, "tidak ada hukuman y ang
lebih pantas aku berikan kepadamu selain membunuhmu."
Mahisa Murti masih berusaha untuk menahan diri,
katanya, "Aku minta kalian bersabar sebentar. Usahakan agar
perempuan itu cepat menjadi sadar. Selain baginya akan lebih
baik, ia pun akan dapat mengatakan y ang sebenarnya apa yang
telah t erjadi. Kami akan menunggu anakmu itu berbicara,
karena aku y akin, dengan demikian, maka semua salah paham
akan dapat diakhiri."
Tetapi laki-laki berkumis lebat itu pun kemudian telah
kehilangan kesabarannya. Ia pun telah mulai bergerak.
Kakiny a menjadi renggang tangannya bergerak dengan cepat
menyilang dan kemudian dadanya pun telah terbuka. Namun
ia tidak m enunggu lawannya meny erang. Dengan serta merta
orang berkumis lebat itu telah meloncat m enerkam Mahisa
Pukat. Mahisa Pukat ternyata telah kehilangan kesabarannya
pula. Karena itu, ia tidak membiarkan persoalan itu m enjadi
berlarut-larut. Karena itu, demikian lawannya yang berkumis
lebat itu m enyerang, maka Mahisa Pukat pun telah beringsut
setapak. Satu ayunan tangannya yang keras telah memukul
punggung orang itu. Betapa punggung orang bagaikan tertimpa sebongkah
batu padas. Tulang panggungnya bagaikan menjadi
berpatahan. Karenanya, maka Mahisa Pukat tidak perlu
mengulanginya, orang itu pun kemudian telah jatuh
terjerembab. Yang terdengar kemudian adalah keluhan
tertahan. "Aku sudah memberimu peringatan," berkata Mahisa
Pukat. Isterinya yang melihat suaminya terjatuh pada pukulan
yang pertama itu pun kemudian telah berlari -lari
mendapatkannya. Sambil menangis ia kemudian berteriak, " Ia
telah menyakiti suamiku. Tangkap orang itu."
Orang-orang yang berada di halaman itu menjadi
tegang. Sementara itu perempuan yang agak gemuk itu masih
sa ja berteriak, "Lihat suamiku. Dan lihat anakku. Kedua laki -
laki itu memang harus ditangkap."
Setiap orang yang ada di halaman itu menjadi ragu-ragu.
Mereka telah melihat apa yang terjadi. Laki-laki berkumis dan
bertubuh kekar itu adalah laki-laki yang disegani oleh seisi
padukuhan itu. Namun dengan satu ayunan tangan, laki-laki
itu sudah tidak berdaya. "Apa kalian akan membiarkan laki -laki itu berbuat
sewenang-wenang di padukuhan ini" He, siapa di antara
kalian yang tidak m au membantu suamiku, akan m eny esal.
Suamiku akan segera bangkit dan menilai apa yang telah
kalian lakukan untuknya," teriak perempuan itu pula.
Setiap orang menjadi berdebar -debar mendengar
ancaman perempuan itu. Jika yang dikatakan itu benar, maka
berarti malapetaka bagi mereka. Laki-laki itu tentu akan
mendendam mereka karena tidak mau membantunya
menangkap kedua anak muda itu. Tetapi ternyata bahwa
kedua orang anak muda itu adalah orang yang luar biasa. Apa
yang telah terjadi itu telah membuktikannya.
Ketika orang-orang itu termangu-mangu, maka
perempuan itu berteriak sekali lagi, "Tangkap mereka yang
telah menyakiti suamiku dan y ang telah menghina anak
perempuanku." Orang-orang itu tidak dapat berpikir lagi. Mereka pun
kemudian mulai bergerak selangkah demi selangkah
mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat yang m arah itu
pun berkata lantang, "Marilah. Siapa y ang akan maju lebih
dahulu" Kami berhak membela diri. Kami tidak akan sekedar
membuat kalian pingsan. Tetapi kami akan membunuh
kalian." Orang-orang yang bergerak itu tiba -tiba m enghentikan
langkahnya. Ketika mereka berpaling ke arah perempuan yang
berjongkok di samping tubuh suaminya yang pingsan itu,
mereka melihat perempuan itu bangkit dan menjerit, "Kalian
laki -laki sepadukuhan, apakah kalian kalah dengan hanya dua
orang cucurut buruk itu" Cepat tangkap mereka sebelum
mereka berlari. Atau jika kalian tidak berani, biarlah aku,
seorang perempuan, maju menangkap mereka. Meskipun
suamiku telah disakitinya, tetapi aku tidak takut. Suamiku
ternyata menjadi lengah karena kemarahan y ang membakar
jantungnya." Laki-laki padukuhan yang tersebar di halaman itu
memang tidak dapat berbuat lain. Mereka pun kemudian telah
maju lagi selangkah demi selangkah m endekati Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi
marah sekali mengalami perlakuan y ang tidak adil itu. Karena
itu, maka sekali lagi Mahisa Pukat memperingatkan, " Jika
kalian masih dapat berpikir, dengar tawaranku sekali lagi.
Usahakan agar perempuan yang pingsan itu menjadi sadar
sehingga kalian dapat b ertanya kepadanya, apakah yang telah
terjadi dengan diriny a dan tentu perempuan itu akan
mengenal kami berdua."
"Persetan," teriak perempuan itu, "cepat, jangan
menunggu suamiku bangkit dan marah terhadap kalian."
Laki-laki yang ada di halaman itu benar-benar tidak
mempunyai kesempatan memilih. Mereka pun kemudian telah
mengepung kedua anak muda itu. Ketika mereka sadar, bahwa
jumlah m ereka terlalu banyak bagi hanya dua orang, m aka
mereka pun menjadi semakin berani.
"Gila," geram Mahisa Pukat, "jadi kalian benar-benar
ingin mati?" "Anak itu hanya menggertak saja," jerit perempuan y ang
agak gemuk itu. Serentak orang-orang yang mengepung kedua orang itu
bergerak maju. Sementara itu, beberapa orang laki-laki masih
berdatangan. Bahkan laki -laki y ang ada di halaman itu
memang menjadi semakin banyak. Yang datang kemudian dan
mendengar tentang apa yang terjadi, justru menjadi lebih
garang. Mereka tidak melihat apa y ang dilakukan oleh Mahisa
Pukat terhadap laki -laki berkumis lebat dan bertubuh kekar
itu. Bahkan seorang anak muda yang baru datang, dengan
serta merta telah meny ibak orang-orang yang mengepung
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan dada tengadah anak muda itu b erkata lantang,
"Siapakah yang telah berani mengganggu perempuan
padukuhan ini" Dikira di padukuhan ini tidak ada laki-laki?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berusaha
mengekang diri betapa pun dadanya menjadi sakit. Sementara
itu mereka sempat melihat laki -laki berkumis itu telah
diangkat dan dibawa ke pendapa, sementara beberapa orang
perempuan memang berusaha untuk menyadarkan
perempuan yang pingsan itu.
"Jawab pertanyaanku, siapakah kalian he" Jika kalian
sudah berani mengganggu perempuan di padukuhan ini, maka
kalian harus berani menghadapi laki-lakinya sebagai seorang
laki -laki," geram anak muda itu.
Mahisa Pukat benar-benar kehilangan kesabarannya, ia -
pun menggeram, "Apa maumu he?"
"Berkelahi," jawab anak muda itu.
"Bagus. Mari, sekarang kita berkelahi," Mahisa Pukat
hampir menjadi mata gelap.
Anak muda itu pun telah melangkah maju. Dengan
isy arat ia minta agar orang-orang y ang berkerumun
mengepung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu agak mundur
beberapa langkah, sehingga kemudian telah terbentuk arena
yang melingkar di antara laki-laki padukuhan itu.
Ketika Mahisa Pukat maju selangkah, anak muda itu
berkata lantang, "Aku tantang kalian berdua bersama-sama.
Aku akan membenturkan kepala kalian. Jika kalian m ati, itu
bukan salahku." Mahisa Pukat y ang sedang marah itu, benar-benar tidak
dapat m enahan diri. Kata-kata orang itu bagaikan bara yang
menyengat dadanya. Karena itu maka Mahisa Pukat tidak
dapat menahan tangannya ketika tangannya itu terayun
menampar pipi anak muda yang dianggapnya telah
menghinanya itu. Demikian cepat dan kerasnya ay unan tangan Mahisa
Pukat, sehingga anak muda itu sama sekali tidak dapat
menghindarinya. Tamparan telapak tangan Mahisa Pukat itu
mengenai pipinya dan mematahkan dua buah giginya. Bahkan
anak muda itu tidak dapat mempertahankan
keseimbangannya, sehingga ia pun bukan saja terhuyunghuyung,
tetapi seakan-akan telah terlempar dan terbanting
jatuh. Yang terdengar adalah keluhan kesakitan. Anak muda
itu m emang mencoba untuk bangkit. Sementara itu mulutnya
memang telah berdarah. "Jangan coba menghina aku lagi," geram Mahisa Pukat,
"jika sekali lagi kau melakukannya, aku dapat membunuhmu."
Wajah anak muda itu menjadi sangat tegang. Sementara
itu Mahisa Murti melangkah mendekatinya sambil berkata,
"Sudahlah. Jangan memaksa diri. Kau tidak perlu bertahan
pada harga dirimu. Jika saudaraku itu benar-benar marah,
bukan hanya gigimu y ang akan r ontok. Tetapi tulang-tulang
igamu." Anak muda itu memandang Mahisa Murti dengan sorot
mata y ang menyala. Namun sekali lagi ia meny eringai
kesakitan ketika Mahisa Murti menangkap lengannya. Mahisa
Murti memang tidak berbuat apa -apa. Tetapi rasa-rasanya
lengannya itu bagaikan terjepit oleh lapisan-lapisan besi baja.
"Dengar Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "kau salah
menilai kami. Jika kami bergerak bersama-sama, maka kami
akan dapat membunuh bukan saja kau. Tetapi seisi padukuhan
ini akan mati. Nah, apakah kau m emang ingin m elihat kami
melakukannya?" Anak muda itu sekali-sekali berdesah m enahan sakit di
lengannya. Untuk beberapa saat ia memang m encoba untuk
menjaga harga diriny a. Namun Mahisa Murti kemudian
bertanya, "Apakah kau ingin bertahan. Jika kau tidak minta
belas kasihanku, maka aku tidak akan melepaskan tanganku."
Anak muda itu masih bertahan. Tetapi ketika
genggaman tangan Mahisa Murti menjadi semakin keras,
maka anak muda itu tidak dapat bertahan lagi. Apalagi ketika
Mahisa Murti meraba tengkuknya. Sebelum Mahisa Murti
menekan tengkuknya itu, ia pun telah berkata dengan nada
tinggi, "Cukup. Cukup."
"Apa yang cukup?" bertanya Mahisa Murti.
"Lenganku," jawab anak muda itu.
"Jika kau minta belas ka sihanku, aku akan
melepaskannya," berkata Mahisa Murti, "dan seperti kata
saudaraku, jika kau menghina kami sekali lagi, maka kami
berdua akan mematahkan tanganmu kiri dan kanan."
Kesakitan y ang sangat mencengkam lengannya. Karena
itu, maka anak muda itu tidak mempunyai pilihan lain,
sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berdiri tegak di
tempatnya tanpa bergerak sama sekali.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika kedua orang anak muda itu melangkah
meninggalkan halaman itu, tidak seorang pun y ang berani
menahannya. Lingkaran orang itu pun ju stru telah menyibak, sehingga
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak perlu mempergunakan
kekerasan. "Orang-orang bodoh," geram Mahisa Pukat di sepanjang
jalan padukuhan itu. "Ya. Mereka memang orang -orang bodoh yang keras
kepala. Karena itu, kita tidak perlu melayaninya," jawab
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi ia tidak
menjawab. Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu berjalan
sambil berdiam diri. Kepala m ereka tertunduk sambil m elihat
jalan y ang akan terinjak oleh kaki mereka.
Ketika keduanya keluar dari reg ol padukuhan, maka
mereka pun terkejut ketika mereka mendengar teriakanteriakan
di belakang mereka, memanggil-manggil.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang berpaling, ternyata
melihat sekelompok orang y ang sedang berlari -lari
mengejarnya. Kedua anak muda itu m enggeram. Sebenarnya
mereka telah berusaha menghindari kekerasan. Namun
mereka tentu tidak akan lari terbirit -birit seperti seekor tikus
yang melihat seekor kucing di belakangnya.
Karena itu, maka kedua orang anak muda itu justru telah
berhenti dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Orang-orang y ang mengejarnya itu pun telah
menghambur keluar dari regol padukuhan. Namun ketika
mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhenti,
maka mereka pun telah berhenti pula.
Beberapa saat mereka berdiri dengan tegang. Sementara
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berdiri tegak di
tempatnya tanpa bergerak sama sekali.
Kedua belah pihak ternyata bagaikan mematung. Orangorang
y ang m enghambur keluar dari regol itu pun bagaikan
telah membeku di tempatnya.
Karena orang -orang itu tidak berbuat apa-apa, maka
Mahisa Murti lah y ang kemudian membentak, "Kalian
mengejar kami?" Beberapa orang di antara m ereka saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian salah seorang telah memberanikan
diri melangkah maju meskipun ragu-ragu.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "sebelumnya kami mohon
maaf atas tingkah laku kami."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru terkejut.
Sementara orang itu berkata lebih lanjut, "Ki Sanak. Kami
mengharap Ki Sanak b ersedia kembali ke rumah perempuan
yang pingsan itu?" "Untuk apa?" bertanya Mahisa Pukat, "untuk
mendengarkan penghinaan yang lebih menyakitkan hati" Atau
untuk membunuh kalian semuanya?"
"Jangan salah paham Ki Sanak," berkata orang itu
dengan terbata-bata, "perempuan yang pingsan itu sudah
sa dar." "Jadi?" bertanya Mahisa Pukat.
"Temuilah perempuan itu barang sebentar," berkata
orang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang kemudian
sal ing berpandangan. Namun Mahisa Murti pun berkata,
"Katakan kepadanya, bahwa aku tergesa-gesa. Aku tidak
mempunyai waktu untuk kembali."
"Tetapi perempuan itu menunggu Ki Sanak berdua. Ia
minta dengan sangat," berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murti menggelengkan kepalanya,
"Kembalilah. Tidak ada salah paham. Aku mengerti maksud
kalian. Karena itu aku mengucapkan terima kasih."
Mahisa Murti pun kemudian m enggamit Mahisa Pukat.
Tanpa berbicara lagi keduanya pun kemudian telah
melanjutkan perjalanan mereka. Beberapa orang yang
menyusulnya itu- pun berlari-lari mengikuti keduanya. Orang
yang telah memberanikan diri untuk minta kedua anak muda
itu k embali, telah menyusulnya dan sambil b erjalan disisinya
ia berkata, "Tolong Ki Sanak. Kembalilah meskipun hanya
sebentar. Biarlah perempuan itu sempat menyatakan
perasaannya kepada Ki Sanak."
"Pergilah. Jangan ganggu kami," berkata Mahisa Murti
sambil berjalan terus. Orang y ang mencoba untuk mengajaknya kembali itu
kemudian menjelaskan, "jangan curiga terhadap kami, bahwa
kami akan m enjebak Ki Sanak berdua. Kami berkata dengan
jujur, bahwa kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya
mengharap Ki Sanak ber sedia kembali."
"Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kalian akan
menjebak kami. Kalian tidak akan dapat m elakukannya. Aku
mengerti bahwa kalian juga tidak akan berani m elakukannya.
Karena itu, sudah aku katakan. Tidak ada salah paham.
Apalagi perempuan y ang pingsan itu sudah sadar kembali,"
jawab Mahisa Murti, "tetapi aku tidak akan kembali. Kami
berdua tergesa-gesa, karena ada tugas penting yang harus
kami lakukan, karena kami bukan pejalan yang tidak ada
artinya." Ketika orang itu akan mendesaknya lagi, maka Mahisa
Pukat lah yang membentak, "Cepat kembali. Atau kalian akan
pingsan di sini?" Orang itu terkejut mendengar ancaman Mahisa Pukat.
Apalagi ketika Mahisa Pukat itu berhenti. Bahkan
Mahisa Murti pun berhenti pula. Dengan nada datar Mahisa
Pukat berkata sekali lagi, "Pergilah. Atau kami membuat
kalian pingsan agar kalian tidak mengikuti kami untuk
seterusnya." Orang-orang itu memang t idak berani memaksa. Betapa
pun berat hati mereka, tetapi mereka memang harus kembali.
Mereka tidak berhasil mengajak kedua anak m uda itu
untuk kembali. Sebenarnyalah orang-orang padukuhan memang
menunggu kedua anak muda itu kembali. Setelah perempuan
yang pingsan itu sadar, maka yang ditanyakan pertama-tama
adalah kedua anak muda y ang telah menolongnya.
"Maksudmu?" bertanya ibunya yang agak gemuk.
"Ya. Keduanya telah menolongku," jawab perempuan itu
yang kemudian dengan singkat telah menceriterakan apa yang
telah terjadi. Karena itu, maka perempuan gemuk itu telah dengan
tergesa -gesa menyuruh beberapa orang untuk membawa
kedua anak muda itu kembali. Apalagi ketika anak
perempuannya itu menjadi sangat meny esal atas peri stiwa
yang telah terjadi di halaman rumahnya itu.
"Ayah m emang seorang pemarah. Ayah m erasa seorang
yang m emiliki kemampuan yang sangat tinggi, sehingga apa
yang dipikirkannya itu tentu benar," berkata anak
perempuannya, "tetapi ternyata ayah dibuatnya pingsan.
Untung ayah tidak dibunuhnya."
Laki-laki berkumis lebat itu pun telah menjadi sadar
pula. Ia pun telah m endengar tentang apa yang sebenarnya
terjadi. "Aku meny esal sekali," katanya, "tetapi sebentar lagi
kedua anak muda itu akan datang lagi. Kita sempat minta
maaf kepadanya." Isterinya mengangguk-angguk. Sementara anak
perempuannya mulai meny esali tingkah ayah dan ibunya.
"Tanpa anak-anak muda itu, aku sudah membunuh diri,"
berkata anak perempuan itu.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan
nada rendah ia berkata, "Anak-anak muda itu m emang anakanak
muda y ang baik hati. Aku memperlakukan mereka
dengan kasar, bahkan aku sudah mengancam untuk
membunuh mereka. Tetapi k etika aku dipukulnya hanya satu
kali dan pingsan, maka dibiarkan aku dalam keadaan
demikian tanpa disentuhnya lagi. Jika keduanya pendendam,
maka aku kira, aku sudah dihancurkannya."
"Bersyukurlah," berkata isterinya, "kita harus menebus
kekasaran itu." Namun tiba -tiba saja, halaman rumah itu menjadi ribut.
Beberapa yang mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
datang tanpa kedua anak muda itu.
"Dimana mereka?" bertanya laki-laki berkumis lebat itu.
"Aku sempat menyusul m ereka diluar regol padukuhan
ini," jawab salah seorang di antara mereka.
"Lalu?" bertanya laki-laki berkumis itu tidak sabar.
"Keduanya tidak mau kembali," jawab orang y ang
menyusul itu. "Kenapa?" wajah laki-laki berkumis itu menjadi tegang.
"Aku tidak tahu," jawab orang y ang menyusul itu,
"semula m emang nampak ada kecurigaan, bahwa kita akan
menjebaknya. Tetapi akhirnya kami dapat meyakinkan bahwa
kami tidak akan berbuat apa-apa."
"Jadi anak-anak muda itu takut kita menjebaknya?"
bertanya laki-laki berkumis itu.
"Tidak. Mereka sama sekali tidak takut," jawab orang itu.
"Jadi bagaimana?" laki -laki berkumis itu menjadi
bingung. "Mereka tidak cemas akan diri mereka sendiri, tetapi
mereka justru ingin menghindari dari kemungkinan untuk
membunuh orang sepadukuhan. Jika kita m enjebak mereka,
maka ada kemungkinan bahwa mereka kehilangan kendali dan
membunuh kami semua," jawab orang itu.
Perempuan yang baru sadar dari pingsannya itu
kemudian berkata lantang, " salah ay ah dan ibu. Kita belum
sempat mengucapkan terima kasih. Justru kita menyakiti hati
mereka. Jika saja ay ah dan ibu melihat apa yang t erjadi atas
diriku." "Aku sudah berusaha memanggil mereka," berkata laki -
laki berkumis itu. "Kenapa ay ah tidak menyusulnya sekarang?" tangis anak
perempuan itu. "Baiklah, aku akan menyusul mereka," desis ay ahnya.
Tetapi orang-orang yang telah menyusul kedua anak
muda itu tetapi tidak berhasil berkata, "Kemana kita akan
menyusulnya. Mereka tentu sudah terlalu jauh. Dan kita tidak
tahu kemana arah dan tujuan mereka. Mungkin mereka
berbelok ke kiri, mungkin kekanan, tetapi mungkin mereka
berjalan terus." Laki-laki berkumis itu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara anak perempuannya dengan penuh sesal berkata,
"Ayah selalu bertindak tergesa -gesa tanpa pertimbangan yang
mapan. Kali ini ayah harus meny esal."
"Aku memang meny esal," berkata laki-laki berkum is itu,
"bukan saja karena orang itu telah menolongmu, tetapi bahwa
kami, orang-orang padukuhan ini, tidak mengalami bencana
yang sebenarnya, adalah pertanda sifat dan wataknya yang
terpuji. "Jadi apa y ang harus kita lakukan" Hanya cukup
menyesal saja," tangis anak perempuannya.
Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
"Memang tidak ada yang dapat kita lakukan sekarang."
Anak perempuannya itu mengusap air matanya.
Memang tidak ada y ang dapat dilakukan kecuali
menyesalinya. Demikian peny esalan itu menekan dadanya,
maka perempuan itu kemudian berkata, "Ayah. Jika ay ah
demikian marah dan berusaha untuk menghukum kedua anak
muda y ang ay ah sangka telah mengganggu aku, apa yang ay ah
lakukan terhadap orang yang benar-benar telah
menggangguku?" Wajah orang berkumis itu menjadi merah. Tetapi ia
tahu, bahwa untuk melawan kelima orang itu bersama-sama,
ia m emang merasa tidak sanggup. Apalagi jika pemimpinnya
yang botak itu membantu m ereka. Tetapi dalam hal ini, ia
mendengar dari anak perempuannya bahwa orang berkepala
botak itu telah lebih dahulu menolong anak perempuannya
daripada kedua orang anak muda itu.
Karena laki -laki itu tidak segera menjawab, maka
isterinya, ibu dari anak perempuan y ang baru sadar dari
pingsannya itu bertanya, "Apakah kau ingin ay ahmu
menghukum mereka" Jika kau memang berniat demikian,
biarlah ayahmu menemui pemimpin m ereka y ang botak itu
dan mengatakan keinginannya. Tetapi sudah barang tentu
ay ahmu tidak akan sendiri."
Tetapi perempuan itu kemudian telah berkata sambil
menggelengkan kepalanya, "Tidak ibu. Aku tidak ingin ay ah
menjadi pingsan lagi. Jika kelima orang itu yang m embuat
ay ah pingsan, maka ada kemungkinan ayah tidak akan bangun
lagi untuk selamanya. Kelima orang itu memang berbeda
dengan kedua anak muda y ang telah ayah perlakukan dengan
tidak adil itu." "Tetapi jika itu kau kehendaki, aku tidak akan gentar
menghadapi kelima orang itu, karena aku juga tidak sendiri,"
berkata ay ahnya, "dengan demikian aku akan m enunjukkan
bahwa mereka tidak dapat dengan sewenang-wenang
mengganggu anak orang. Apalagi jika pemimpin mereka itu
ada dipihak kami." "Kelima orang itu sudah mendapatkan hukumannya,"
jawab anak perempuannya, "tetapi jika mereka melakukan
lagi, maka ayah akan dapat membunuhnya."
Ayahnya merenung sejenak. Namun apa y ang terjadi
merupakan pengalaman yang sangat berharga baginya. Orang
berkumis itu menyadari, bahwa ternyata ia tidak dapat
memandang gerak kehidupan itu hanya dari satu sisi. Ada
sesuatu yang tidak dikenalnya hadir dalam kehidupan ini.
Dengan pengalaman itu, maka pikirannya pun telah
berkembang. Dengan nada rendah ia kemudian bergumam,
"Baiklah ngger. Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi. Tetapi
aku akan menemui orang berkepala botak itu. Aku akan
mengucapkan terima kasih kepadanya, bahwa ia telah
menolong anakku. Jika aku gagal mengucapkan terima ka sih
dan minta maaf kepada kedua anak muda itu, maka aku harap,
bahwa aku sempat berterima kasih kepada orang itu."
Anak perempuannya tidak berkata apa pun juga. Namun
kemudian ia pun berusaha untuk bangkit dan m eninggalkan
pendapa.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibunyalah y ang kemudian membantunya
membimbingnya masuk sampai kedalam biliknya. Dari kesan
di wajahnya, ibu-nya pun telah menunjukkan peny esalan yang
sangat dalam. Sebagai seorang isteri dari seorang laki-laki
yang disegani, maka perempuan yang agak gemuk itu pun
merasa dirinya lebih dari perempuan-perempuan lain pula.
Bahkan lebih dari setiap orang, karena tidak seorang pun yang
berani menentang kehendaknya karena mereka takut kepada
suaminya. Sehingga bahkan kadang-kadang ia ber sikap lebih
garang dari suaminya y ang berkumis lebat itu sendiri.
Tetapi ternyata bahwa kelebihan yang dimiliki suaminya
itu tidak m utlak. Dua orang anak yang m asih sangat muda
dengan tanpa berbuat apa-apa telah mengalahkannya. Bahkan
lima orang laki-laki y ang juga termasuk disegani di padukuhan
lain, telah menghinakan anak perempuannya.
Peri stiwa yang singkat itu ternyata telah merubah ragam
hidup keluarga orang berkumis lebat itu untuk seterusnya.
Juga anak muda yang giginya telah dir ontokkan itu.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menjadi semakin jauh. Keduanya memang masih berbicara
tentang keluarga yang sebenarnya perlu dikasihani itu.
"Mudah-mudahan peristiwa ini m emberikan peringatan
khusus baginya," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Desisnya, "Aku
tidak tahan. Aku rasa -rasanya memang ingin mencekiknya."
"Yang kau lakukan sudah cukup," berkata Mahisa Murti,
"akhirnya mereka menyesal. Tetapi sebaiknya kita memang
tidak kembali, agar kesan-kesan yang ada pada orang-orang
padukuhan itu lebih menukik kedalam jantung mereka,
sehingga tidak dilupakannya. Jika kita kembali, mereka
sempat minta maaf dan mungkin menjamu kita atau dengan
cara-cara lain yang dapat memberi kesan seakan-akan mereka
telah membayar hutang mereka. Dengan demikian maka
mereka akan dengan mudah melupakannya. Tetapi jika
membiarkan mereka dibebani oleh perasaan berhutang, maka
mereka tidak mudah melupakannya.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti
sikap Mahisa Murti. Bahkan ia pun juga tidak ingin kembali
dan sekedar menerima perm intaan maaf.
Demikianlah, maka kedua orang itu pun kemudian
seakan-akan tidak memikirkan lagi peristiwa yang telah terjadi
itu. Tentang seorang pemungut pajak yang berkepala botak,
tetapi baik hati dan tentang lima orang pengikutnya yang
ternyata kehilangan nilai-nilai dan martabat kemanusiaannya.
Karena itu, maka mereka kemudian berjalan terus,
seakan-akan tidak lagi berpaling. Sementara jalan yang
mereka tempuh pun kadang-kadang merupakan jalan setapak
yang sempit dan rumpil, namun kadang-kadang mereka
berjalan melalui jalan yang lebar dan rata.
Dalam perjalanan yang tenang itu, keduanya sempat
memperhatikan keadaan di sekeliling m ereka. Ketika m ereka
kemudian terlepas dari lingkungan padukuhan dan tanah
persawahan, maka mereka pun kemudian telah memasuki
lingkungan y ang berbeda. Mereka telah menempuh perjalanan
di sebuah padang perdu y ang luas. Dikejauhan nampak
hijaunya hutan yang membentang panjang. Seakan-akan
memanjang dari ujung sampai ke ujung cakrawala.
Meskipun keduanya telah menempuh perjalanan jauh,
tetapi jarang sekali mereka sempat memperhatikan betapa
kokohnya pegunungan yang berdiri menjulang bagaikan
menggapai langit dibalik cakrawala. Sedangkan di sisi lain,
lembah y ang dalam mengganggu memanjang. Di kedalaman
lembah terdengar arus air y ang mengalir disela-sela bebatuan.
Ra sa -rasanya memang segar berjalan di antara lembah
dan pegunungan y ang hijau. Bahkan seluruh alam seakanakan
telah menjadi hijau pula.
Namun kadang-kadang hijaunya alam itu telah diganggu
oleh berbagai m acam peri stiwa yang kebanyakan bersumber
dari tingkah laku m anusia, m eskipun akibatnya akan dapat
menimpa manusia itu pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang m eskipun belum
pernah menempuh melalui jalan itu, tetapi mereka mengenali
arah y ang dituju. Mereka dapat melihat arah dengan
mengamati saat matahari terbit atau terbenam di siang hari
dan dimalam hari mereka dapat berpedoman pada beberapa
jenis binatang di langit. Jika saja langit tidak berawan, maka
Bintang Gubug Penceng akan dapat menunjukkan arah
Selatan. Dengan demikian maka mereka akan dapat selalu
memelihara perjalanan mereka agar tidak tersesat ke arah
yang berbeda. Sementara puncak-puncak gunung yang
menjulang dapat mereka pergunakan sebagai pegangan dari
tujuan mereka. Demikianlah, kedua anak muda itu telah menempuh
perjalanan y ang panjang. Namun sebagai pengembara yang
berpengalaman, maka mereka tidak banyak mengalami
kesulitan di perjalanan. Di malam hari mereka bermalam dibawah birunya langit
atau di banjar -banjar padukuhan tidak pernah mereka
persoalkan. Mereka dapat berada di mana saja.
Namun ternyata perjalanan mereka tidak selalu
berlangsung tenang tanpa gangguan. Tanah Singasari yang
luas memang sulit untuk mendapatkan pengawasan yang
utuh. Ternyata kedua anak muda itu justru telah terjerat ke
dalam sebuah padukuhan y ang sama sekali tidak mereka
sangka sebelumnya. Padukuhan yang buram.
Ketika mereka memasuki sebuah pintu gerbang
padukuhan y ang belum mereka kenal, kedua anak muda itu
sama sekali tidak menyangka bahwa padukuhan yang ada
dihadapan mereka adalah padukuhan y ang penuh dengan
gejolak yang panas. Dua orang yang dianggap paling kuat di padukuhan itu
ternyata sedang bermusuhan. Dua orang y ang memang
memiliki darah keturunan penguasa bukan saja padukuhan
itu, tetapi keduanya adalah cucu dari Ki Buyut y ang telah
meninggal karena usianya y ang tua.
Anaknya yang sulung, ternyata tidak berumur panjang.
Anak laki -lakinya y ang sulung meninggal ketika Ki Buyut
berusaha untuk mempersiapkannya mengganti
kedudukannya. Karena itu, maka Ki Buyut telah memindahkan
perhatiannya kepada anaknya yang kedua. Namun ternyata
bahwa anaknya y ang keduanya pun tidak sempat berbuat
banyak atas Kabuyutan itu. Ia meninggal hanya beberapa hari
setelah diwisuda menggantikan kedudukan Ki Buyut yang
hampir pikun. Karena itu, maka yang kemudian menjadi Buyut di
Kabuyutan itu adalah menantunya.
Tetapi dengan demikian, maka per soalannya menjadi
agak kalut. Anaknya yang sulung dan anaknya y ang kedua
ternyata mempunyai masing-masing anak laki-laki. Keduanya
merasa memiliki hak untuk menggantikan kedudukan itu.
Anak laki-laki dari anak Ki Buyut yang sulung itu justru
menjadi curiga bahwa ayahnya telah dibunuh dengan cara
yang halus oleh adiknya y ang kemudian menggantikan
kedudukan itu. Namun anak laki -laki dari anak kedua Ki
Buyut yang sempat menjabat kedudukan Buyut untuk
beberapa saat itu pun juga merasa berhak untuk
menggantikan kedudukan kakeknya, justru karena ayahnya
pernah menjabat. Dan bahkan ia sempat menduga bahwa
ay ahnya itu pun telah dibunuh pula dengan cara yang rumit.
Sementara itu, keduanya memang telah menyatakan
menentang pengangkatan paman mereka menggantikan
jabatan itu. Pamannya itu m enurut mereka sama sekali tidak
berhak atas kedudukan y ang sedang mereka perebutkan,
karena ia bukan anak laki-laki kandung dari Ki Buyut y ang tua.
Tetapi ternyata menantu Ki Buyut yang tua itu memiliki
kewibawaan yang cukup tinggi. Dengan kemampuannya
mengatur kebijaksanaan pemerintahannya, maka ia m ampu
membatasi pertentangan antara kedua kemanakannya itu
didalam lingkungan yang kecil. Pertentangan itu justru hanya
terjadi dalam sebuah padukuhan.
Tetapi ternyata keduanya menyadari akan hal itu.
Karena itu, maka keduanya pun telah mempersiapkan
perhitungan. Jika pertentangan mereka sudah menemukan
peny elesaian, apa pun y ang terjadi, maka salah seorang dari
mereka baru akan m embuka medan m elawan Ki Buyut yang
sedang berkuasa. Kedua laki-laki itu sama sekali tidak berniat untuk
menggabungkan kekuatan mereka, karena mereka y akin,
bahwa dalam keadaan y ang demikian, mereka tidak akan
mampu melawan Ki Buyut yang berkuasa. Bahkan mereka pun
menyadari, jika keduanya bergabung, seandainya mereka
berhasil mengusir atau bahkan menghancurkan Ki Buyut yang
berkuasa, pertarungan di antara mereka berdua akan menjadi
semakin sengit. Keduanya masih sempat memperhitungkan
kehancuran mutlak di Kabuyutan itu, sehingga keduanya tidak
akan berhasil membangunkannya kembali.
Karena itu, maka kedua orang itu memang telah
bertekad untuk saling berhadapan dengan membatasi m edan.
Baru kemudian, setelah salah satu di antara mereka terhapus,
maka mereka akan mengibarkan panji-panji perlawanan
terhadap kuasa Ki Buyut yang tidak mereka anggap sah itu.
Persiapan-persiapan yang lebih cermat dan perjuangan yang
lebih lama akan terjadi. Dalam suasana y ang demikian itulah, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memasuki padukuhan itu.
Kedua anak muda itu memang m enjadi heran, bahwa
jalan induk padukuhan itu nampaknya menjadi sangat
lengang. Pintu -pintu regol halaman rumah tertutup rapat.
Namun keduanya tidak mengetahui bahwa jalan induk
padukuhan itu telah menjadi peny ekat antara kedua kekuatan
yang ada di padukuhan itu. Disebelah kiri jalan induk itu
berpihak kepada keturunan anak sulung Ki Buyut, sementara
di sebelah kanan jalan berpihak kepada anak laki-laki dari
anak kedua Ki Buyut yang sempat menjabat beberapa hari itu.
Keheranan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
semakin mencengkam ketika mereka sampai di simpang
empat di dalam padukuhan itu. Ternyata jalan y ang mengarah
ke kanan dan ke kiri telah ditutup dengan pagar kayu yang
rapat setinggi dinding halaman rumah.
"Apa y ang telah terjadi?" bertanya Mahisa Pukat seakanakan
ditujukan kepada diri sendiri.
Mahisa Murti hanya dapat menggeleng lemah. Katanya,
"Menilik keadaannya, maka ada permusuhan dari orang-orang
di sebelah kiri jalan dengan orang-orang y ang tinggal di
sebelah kanan jalan."
"Rasa-rasanya memang aneh," berkata Mahisa Pukat
kemudian, "tentu ada sebab yang sangat dalam sehingga hal
seperti itu telah terjadi."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Diamatinya suasana
di padukuhan itu dengan saksama.
Semakin lama memang semakin jela s pada kedua anak
muda itu, bahwa jalan itu memang merupakan batas antara
dua golongan yang tentu saling bertentangan.
Semula kedua orang anak muda itu tidak ingin
melibatkan diri dalam pertentangan yang terjadi di padukuhan
itu apa pun sebabnya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat justru telah mempercepat langkah mereka.
Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu pun telah melintasi jalan di padukuhan itu dan
keluar lagi dari pintu gerbang di ujung lain dari jalan itu.
Demikian mereka berada di luar pintu gerbang, maka
keduanya telah menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan
mereka telah terlepas dari kemungkinan buruk y ang dapat
menerkam m ereka di dalam padukuhan itu tanpa diketahui
sebab dan arahnya. Keduanya pun dengan cepat telah m elangkah menjauhi
pintu gerbang padepokan itu menyusuri jalan di antara kotakkotak
per sawahan. Namun ternyata dugaan mereka salah. Ketika m ereka
mendekati simpang empat y ang masih belum terlalu jauh dari
padukuhan, maka mereka melihat dua orang laki -laki yang
sedang dipukuli oleh beberapa orang laki -laki yang lain.
Meskipun kedua orang laki-laki itu berteriak-teriak,
tetapi pukulan-pukulan itu masih saja menimpa tubuhnya,
sehingga kedua orang laki-laki itu tidak lagi mampu berdiri.
Keduanya telah berjongkok sambil memegangi kepala mereka.
Namun tubuhnyalah yang kemudian mulai berdarah.
Semula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah
berniat untuk tidak terlibat itu pun berjalan saja melalui
simpang empat. Namun teriakan-teriakan kesakitan itu telah
membuat langkah mereka menjadi termangu-mangu.
Akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tidak
dapat tahan lagi. Keduanya pun telah melangkah kembali
menuju ke tempat orang-orang y ang bertengkar itu.
Demikian ia mendekat, belum lagi mengatakan apa -apa,
salah seorang yang m emukuli kedua orang laki-laki itu telah
meny ongsongnya. Dengan kata-kata ka sar ia berteriak, "Pergi.
Jangan campuri persoalan kami."
Tetapi sikap itu justru telah mendorong Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat untuk lebih m endekat meskipun orang itu
berteriak-teriak semakin keras.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "apa y ang sebenarnya
telah terjadi di sini sehingga kalian telah memukuli kedua
orang itu." "Persetan. Apa pedulimu," bentak laki -laki itu.
"Memang kami berdua tidak mengenali kalian. Namun
peristiwa y ang terjadi itu telah meny entuh perasaan kami,
sehingga kami merasa perlu untuk mencampurinya," jawab
Mahisa Murti. Ternyata orang-orang yang mendengar jawaban itu pun
telah berpaling kepada keduanya. Beberapa orang telah
melangkah mendekatinya sementara dua orang yang lain tetap
tinggal menunggui kedua orang y ang sudah tidak berday a itu.
Seorang y ang telah separuh bay a berdiri di paling depan
dari antara kawan-kawan mereka. Katanya, "Anak-anak muda,
kau jangan melibatkan dirimu dalam persoalan kami ini. Jika
kalian akan lewat, lewatlah. Kami tidak akan mengganggu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian." "Terima kasih," jawab Mahisa Murti. Tetapi ia pun
kemudian telah bertanya pula, "Tetapi kenapa dengan kedua
orang itu" Bagi kami, sungguh tidak adil jika dua orang harus
diperlakukan demikian kasarnya oleh beberapa orang
sekaligus." "Baiklah aku memberitahukan apa y ang telah terjadi
dengan mereka," jawab orang yang telah separuh baya itu.
Lalu "Kedua orang itu telah m elanggar hak kami. Keduanya
telah berani menangkap seekor kambing milik kami."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Jika memang demikian persoalannya, mereka memang
tidak dapat terlalu banyak mencampurinya. Tetapi adalah
tidak sepantasnya bahwa kedua orang itu dipukuli tanpa am
pun oleh sekian banyak orang. Sementara itu tentu ada orang
yang berwenang untuk mengadilinya.
Tetapi sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengatakan sesuatu, salah seorang dari mereka y ang dipukuli
itu menyahut, "Itu tidak benar."
Tetapi sebelum orang itu berkata lebih lanjut, tiba -tiba
sa ja kaki salah seorang y ang menungguinya telah menghantam
wajah orang itu sehingga ia telah terdorong dan jatuh
terlentang. Sebelum ia sempat bangun, maka kaki orang y ang
menendangnya itu telah menginjak perutnya pula.
"Cukup," Mahisa Pukat hampir berteriak, "kelakuan
yang demikian adalah tidak wajar. Seandainya orang itu salah
sekalipun, ia tidak semestiny a diperlakukan begitu."
"Apa pedulimu," bentak orang y ang telah menginjak
perut itu. "Ternyata keduanya tidak bersalah," berkata Mahisa
Pukat. "Omong kosong," bentak orang y ang sudah separuh
bay a. "Beri orang itu kesempatan untuk berbicara," berkata
Mahisa Murti, "maka akan terungkap bahwa keduanya tidak
mencuri kambing seperti yang kau katakan."
" Ia dapat berkata apa pun juga," geram orang y ang
separuh bay a itu, "tetapi kami sudah memutuskan untuk
menghukum keduanya."
"Tentu tidak," berkata Mahisa Pukat, "yang terjadi ini
tentu akibat saja per selisihan y ang telah lama berlangsung di
padukuhan itu antara orang y ang tinggal di sebelah kanan
dengan orang-orang yang tinggal di sebelah kiri jalan induk."
Orang-orang itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dengan tatapan mata y ang tajam. Orang yang sudah
separuh baya itu pun kemudian berkata, "Darimana kau
tahu?" "Aku sudah melihat keadaan padukuhan itu. Aku
memasuki padukuhan itu dan keluar lewat pintu gerbang yang
lain di ujung jalan. Aku m elihat pagar yang kuat di simpang
empat dan simpang tiga. Aku melihat, bagaimana orang-orang
padukuhan itu berusaha untuk memisahkan lingkungan di
sebelah kiri dan di sebelah kanan jalan."
Orang separuh bay a itu memotong, "Nah, jika demikian,
jangan campuri persoalan kami. Sekarang, pergilah agar kalian
berdua tidak terlibat."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti pula, "bagaimana aku
tidak melibatkan diri, jika perlakuan kalian terhadap orang
sepadukuhanmu seperti itu?"
"Apa yang kami lakukan, biarlah kami lakukan. Jangan
menunggu sampai kam i kehilangan kesabaran, sehingga ju stru
kalian berdua akan mengalami kesulitan di sini," berkata
orang itu. "Apa pun y ang akan terjadi atas diri kami, maka kami
memang berkewajiban untuk mencegah tingkah laku kalian
yang berkelebihan itu," berkata Mahisa Pukat. Lalu "Nah, jika
kalian memang ingin jujur dalam persoalan ini, biarlah kedua
orang itu berbicara. Kenapa mereka kalian pukuli" Apakah
sekedar pelepasan dendam atau benar-benar karena mereka
mencuri kambing?" "Sekali lagi aku beri kalian kesempatan untuk pergi. Jika
tidak, maka kepalamu akan kami pecahkan di sini. Kami
memang akan melepaskan kedua orang itu, tetapi kalian akan
menjadi gantinya," berkata orang separuh baya itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hampir
bersamaan. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, " Jika
kalian kehendaki, maka kami berdua tidak berkeberatan."
Wajah orang itu m enjadi m erah. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Kau benar-benar ingin mengalami perlakuan seperti
kedua orang itu?" " Jika itu memberikan kepuasan kepada kalian, maka
kami tidak akan menolak," jawab Mahisa Pukat, "tetapi aku
ingin keduanya berbicara lebih dahulu."
Orang separuh baya itu agaknya telah kehilangan
kesabarannya. Karena itu, maka ia pun berkata, "Baiklah. Jika
kalian ingin mengalami perlakuan seperti orang itu, kami tidak
akan berkeberatan." Lalu tiba -tiba saja ia memberi perintah
kepada orang-orangnya, "Perlakukan kedua anak muda ini
sebagaimana kalian lakukan terhadap kedua orang pencuri
itu." Beberapa orang pun dengan tiba-tiba telah berloncatan
menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana
mereka lakukan terhadap kedua orang y ang telah terbaring di
tanah hampir pingsan itu.
Tetapi orang-orang itu pun ternyata telah terkejut bukan
buatan. Tiga orang di antara mereka telah t erlempar dan jatuh
terbanting di tanah. Kemudian seorang lagi yang terdorong
menimpa beberapa orang kawan-kawannya, sehingga ju stru
beberapa orang telah jatuh pula tertelentang.
Orang y ang separuh baya itu pun telah terjatuh pula.
Tetapi ia pun segera berusaha bangkit. Dengan nada tinggi ia
berteriak marah, "Ay o bangun. Ternyata kedua anak muda ini
benar-benar anak iblis. Mereka memang ingin mengalami
perlakuan y ang tidak saja seperti kedua orang pencuri itu."
Orang-orang y ang telah jatuh terbanting itu pun telah
bangun pula. Mereka berusaha untuk tidak memperlihatkan,
betapa punggung mereka terasa hampir patah karenanya.
Dengan serta merta orang-orang itu telah m engepung
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi mereka tidak berani
lagi berlaku tergesa -gesa. Orang yang sudah separuh baya itu
berdiri dihadapan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sambil
berkata, "Meny erahlah. Hukumanmu akan menjadi jauh lebih
ringan. Kau tidak saja kami anggap seperti pencuri kambing
atau bahkan lembu sekalipun. Tetapi kalian sudah kami
anggap sebagai orang y ang telah berani menghina dan
menentang kami. Orang-orang y ang demikian menurut
paugeran y ang berlaku di padukuhan kami, akan mendapat
hukuman yang jauh lebih berat dari kedua orang yang telah
kami pukuli itu." "Hukuman apa saja yang dapat kalian jatuhkan kepada
kami?" bertanya Mahisa Murti.
"Segala macam hukuman. Termasuk hukuman mati.
Bahkan hukuman picis sekalipun," jawab yang sudah separuh
bay a. "Apakah hukuman seperti itu pernah kalian berikan
kepada seseorang?" bertanya Mahisa Murti.
Orang separuh baya itu menjadi ragu-ragu. Namun
kemudian ia pun menjawab, "Memang belum. Tetapi terhadap
kalian berdua akan dapat kami pertimbangkan, karena kalian
benar-benar telah menghina dan menentang kami."
"Dalam hal seperti ini, bukan akulah yang menghina
kalian. Tetapi kalianlah yang telah menghina kami. Karena itu,
kami- pun akan dapat m enjatuhkan hukuman kepada kalian
sebagaimana kalian akan dapat menjatuhkan hukuman
kepada kami." Orang yang sudah separuh bay a itu tidak sabar
menunggu lagi. Ia pun kemudian mulai bergerak maju.
Demikian pula orang-orang yang lain. Semakin lama
kepungan itu pun menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, kedua orang itu telah dipukuli itu
memperhatikan peri stiwa itu dengan jantung yang
berdebaran. Jika kedua orang anak muda itu tidak berhasil,
maka nasib m ereka berdua justru akan m enjadi lebih buruk.
Namun melihat keyakinan y ang memancar dari mata sepasang
anak muda itu, maka kedua orang yang telah dipukuli itu pun
mempunyai pengharapan bahwa m ereka akan tertolong. Atau
setidak-tidaknya ada kesempatan untuk melarikan diri ke
seberang batas. Sebenarnya bahwa beberapa orang laki -laki itu telah
memusatkan perhatiannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Apalagi kedua anak muda itu m emang dengan sengaja
memancing perhatian mereka.
Ketika orang-orang itu mulai meny erang, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser menjauhi kedua orang
laki -laki y ang telah dipukuli itu. Bahkan beberapa kali ia telah
mendorong orang-orang y ang mengepungnya itu sehingga
jatuh terlentang. Namun dengan cepat mereka segera bangkit
kembali dan meny erang kedua anak muda itu sambil
mengumpat-umpat. Ternyata orang-orang itu benar-benar m enjadi lengah.
Orang y ang semula menunggui kedua orang yang telah mereka
pukuli itu telah tertarik pula untuk membantu kawankawannya
mengeroyok kedua anak m uda y ang telah berani
mencampuri persoalan mereka.
Dalam kesempatan itu, kedua orang laki-laki y ang telah
dipukuli itu dengan sangat b erhati-hati telah berusaha untuk
merangkak. Sedikit demi sedikit. Namun tiba -tiba saja mereka
telah berlari sekencang-kencangnya. Meskipun tulang-tulang
mereka bagaikan berpatahan, namun mereka telah
mempergunakan sisa tenaga mereka.
Beberapa orang y ang sedang berkelahi dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat akhirnya melihat juga. Beberapa
orang telah menghambur mengejar m ereka. Tetapi jaraknya
cukup panjang. Meskipun jarak itu semakin lama menjadi
semakin pendek, namun orang -orang itu tidak berhasil
menangkap keduanya sehingga keduanya melewati simpang
empat. Demikian keduanya menyeberangi simpang empat,
maka tubuh mereka benar-benar terasa tidak berdaya lagi.
Keduanya pun segera terjatuh duduk di tanah bertelekan
tangan-tangan mereka. Nafas mereka terengah-engah di
lubang hidung mereka. Dua orang telah muncul dari balik tanaman di sawah
mendekati kedua orang itu, sementara orang-orang yang
mengejarnya telah berhenti di simpang empat.
"Setan," geram salah seorang dari antara y ang
mengejarnya, "mereka sempat lolos."
Dua orang yang datang m endekati mereka memandang
orang-orang itu dengan tatapan mata yang tajam. Dengan
garangnya seorang di antara mereka berkata, "Kalian telah
membuat perkara lagi. Jangan kalian sangka bahwa kami akan
berdiam diri." "Persetan," geram orang yang mengejarnya, "kau hanya
berani menantang di belakang batas."
"Apakah kau berani menyeberang?" bertanya orang
yang datang menolong itu.
Orang-orang y ang mengejar itu pun segera teringat
kepada dua orang anak muda y ang telah menyebabkan kedua
orang itu terlepas. Karena itu, maka seorang di antara mereka
berkata, "Kita selesaikan persoalan kita kelak. Kami masih
mempunyai urusan dengan kedua orang anak gila itu."
Orang-orang itu tidak menunggu jawaban. Mereka
segera berlari-lari ke arah kawan-kawannya yang sedang
berkelahi. Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah
tidak berminat lagi untuk berkelahi dengan mereka. Karena itu
setelah mereka y akin bahwa kedua orang itu telah terlepas dari
bahaya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
berusaha untuk melepaskan diri dari pertempuran itu.
Memang tidak sulit bagi kedua orang anak muda itu.
Karena itu maka sejenak kemudian, maka keduanya pun telah
berhasil meloncat keluar dari arena dan berlari menuju ke
simpang empat. Seperti kedua orang yang telah terlepas dari tangan
beberapa orang laki -laki y ang marah, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah pula meny eberang simpang empat dan
dengan demikian, m aka orang-orang yang mengejarnya tidak
menyusulnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun k emudian berdiri
termangu-mangu. Sejenak ia memperhatikan orang-orang
yang marah di seberang simpang empat. Namun kemudian
mereka- pun telah berpaling ke arah kedua orang yang
tubuhnya menjadi lemah karena tulang-tulangnya bagaikan
retak. Sementara itu, orang-orang y ang berada di seberang
simpang empat masih sempat mengumpat -umpatinya. Namun
me-reka pun kemudian telah meninggalkan simpang empat itu
dengan kemarahan y ang tertahan.
Ketika orang-orang itu telah pergi, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pun telah mendekati kedua orang yang telah
ditolongnya itu. Namun tiba -tiba dua orang yang datang
kemudian itu telah m encegahnya. Seorang di antara mereka
berkata, "Kalian mau apa" Kami tidak mengenal kalian."
"Kami telah m enolong kedua orang y ang dipukuli oleh
orang-orang seberang simpang empat itu," berkata Mahisa
Murti. "Kami tidak memerlukan pertolongan orang asing,"
berkata orang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar
jawaban itu. Ketika keduanya kemudian memandang orang
yang terluka itu, keduanya menjadi semakin heran, karena
salah seorang di antara mereka berkata, "Tanpa
pertolonganmu pun kami akan dapat melepaskan diri. Karena
itu jangan merasa bahwa kalian telah berjasa kepada kami
berdua, seolah-olah tanpa kalian kami akan mati."
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
justru termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti pun
berkata, "Apa sebenarnya y ang telah terjadi" Aku tidak
mengerti akan sikap kalian. Jika demikian, apakah memang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar kalian telah mencuri kambing mereka."
"Omong kosong," salah seorang y ang terluka itu hampir
berteriak, "aku tidak mencuri kambing. Kambingku yang
terlepas dan berlari ke seberang. Ketika aku akan
menangkapnya, maka mereka pun datang dan merekalah yang
menangkap aku sebelum aku berhasil menangkap
kambingku." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun Mahisa Pukat pun kemudian bertanya,
"Kenapa mereka menangkapmu" Bukankah kambing itu
kambingmu?" "Kambingku berada di daerah mereka," jawab orang
yang terluka itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun sementara itu salah seorang di antara kedua orang
yang terluka itu membentak, "Pergilah. Jangan merasa berjasa
kepada kami berdua."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat t idak menjawab. Tetapi
keduanya pun melangkah meninggalkan kedua orang yang
terluka serta dua orang yang menunggui mereka.
Di simpang empat kedua orang itu berhenti. Mereka
memandang ke kedua lingkungan yang dibatasi oleh jalan
yang membelah padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan.
"Memang aneh," berkata Mahisa Murti, "bukan saja
pembagian wilayah y ang keras, tetapi juga sifat-sifat orang di
padukuhan ini. Mereka sama sekali tidak merasa ditolong
meskipun pada saat mereka dipukuli oleh orang-orang di
lingkungan y ang berseberangan berteriak-teriak minta
tolong." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Sulit
untuk dimengerti. Tetapi justru menimbulkan keinginan
untuk mengetahui lebih banyak tentang padukuhan itu."
"Bukankah kita mempunyai kewajiban y ang harus kita
selesaikan?" bertanya Mahisa Murti, "semakin banyak kita
tersangkut persoalan-persoalan y ang terjadi di sepanjang
jalan, maka kita akan semakin lama meninggalkan padepokan
kita. Aku cemas bahwa ay ah menjadi tidak t elaten dan
meninggalkan padepokan tanpa menunggu kita kembali. Atau
barangkali terjadi hal -hal y ang tidak kita inginkan di
padepokan." Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian berkata, "Baiklah. Kali ini saja kita berhenti. Aku
menjadi penasaran dan ingin tahu isi dari padepokan yang
aneh ini." Mahisa Murti termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian bertanya, "Apa yang akan kita lakukan?"
"Kita memasuki padukuhan itu. Kita melihat-lihat isiny a
dan apa saja yang belum kita ketahui didalamnya," berkata
Mahisa Pukat. "Apakah akan ada artinya?" bertanya Mahisa Murti
pula. "Mungkin tidak. Sekedar ingin tahu," jawab Mahisa
Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Tetapi k ita jangan terlalu lama terkait oleh padukuhan aneh
ini. Jika kita tidak m enemukan apa-apa selain keanehan ini,
atau katakanlah bahwa jika kita tidak segera mendapatkan
jawaban atas teka teki yang ada di padukuhan ini, maka
sebaiknya kita tinggalkan saja padukuhan ini."
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Kita akan segera meninggalkan tempat ini jika kita tidak
menemukan sesuatu y ang pantas kita perhatikan."
Mahisa Murti mengangguk pula. Sekali lagi ia bertanya,
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Marilah, kita masuk saja ke padukuhan itu dan
melihat-lihat tanpa m enghiraukan batas itu," berkata Mahisa
Pukat. Mahisa Murti setuju, sehingga keduanya pun kemudian
telah m elangkah kembali ke padukuhan. Mereka m emasuki
pintu gerbang y ang lengang karena tidak seorang pun yang
akan lewat pintu gerbang itu. Orang yang tinggal di sebelah
kiri jalan akan m elalui pintu regol di samping kiri sementara
orang y ang tinggal di sebelah kanan akan keluar dan masuk
lewat regol sebelah kanan.
Untuk beberapa lama keduanya menelusuri jalan
padukuhan itu. Pintu-pintu regol halaman yang menghadap ke
jalan induk padukuhan itu tetap tertutup. Ternyata para
penghuninya memilih arah lain untuk keluar dari halaman
rumah masing-masing, sehingga mereka tidak langsung turun
ke jalan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang kemudian sampai
ke persimpangan jalan di dalam padukuhan yang sudah
ditutup dengan pagar, ternyata berniat untuk memasuki jalan
itu. Karena itu, maka keduanya pun telah memanjat dan
melompati pagar itu. Namun demikian mereka turun di belakang pagar, tibatiba
saja beberapa orang laki-laki telah mengerumuni mereka.
Tetapi demikian mereka melihat bahwa kedua orang
anak muda itu bukan orang di seberang jalan induk
padukuhan. maka mereka pun justru tidak segera berbuat
sesuatu. Namun orang yang tertua di antara mereka
melangkah maju sambil bertanya, "Siapakah kalian Ki Sanak.
Dan kenapa kalian memasuki daerah kami?"
Mahisa Pukat mengangguk hormat. Dengan nada rendah
ia berkata, "Ki Sanak. Padukuhan ini sangat menarik perhatian
kami. Setiap jalan simpang telah ditutup. Sementara
nampaknya orang-orang di seberang meny eberang jalan telah
bermusuhan. Di luar padukuhan ini aku telah m enolong dua
orang dari sisi ini y ang dipukuli oleh sekelompok laki -laki dari
sisi lain, sehingga kedua orang itu sempat berlari meny eberang
batas. Namun ternyata bahwa keduanya justru memusuhi
kami berdua dan menganggap kami mencampuri per soalan
mereka." Orang tertua itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Jadi kalian berdua telah mencampuri
persoalan kami?" Mahisa Pukat m engerutkan keningnya. Katanya, "Sama
sekali bukan maksudku. Kami berniat menolong kedua orang
yang berteriak-teriak sampai lehernya akan putus. Tetapi
setelah kami berhasil menolong m ereka, maka m ereka sama
sekali tidak berterima kasih."
"Ternyata kawan-kawanku itu benar," berkata orang
tertua itu, "kalian telah mencampuri persoalan kami."
"Bagaimana seandainya kami tidak menolong kedua
orang itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Apakah kau kira kami tidak dapat mengatasi persoalan
kami?" bertanya orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun termangu-mangu.
Mereka benar-benar tidak mengerti sifat orang-orang
padukuhan itu. Namun karena itu, maka Mahisa Pukat pun
telah menempuh cara yang tidak direncanakan semula.
Dengan tanpa menghiraukan orang-orang itu maka
Mahisa Pukat pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti,
"Marilah, kita berjalan-jalan."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tidak membantahnya ketika Mahisa Pukat
menariknya. Keduanya pun melangkah tanpa menghiraukan orangorang
y ang mengerumuninya. Bahkan Mahisa Pukat telah
menyibak orang -orang yang berdiri dihadapannya.
Orang-orang padukuhan itulah yang kemudian m enjadi
heran. Namun justru karena itu, maka mereka bagaikan
mematung di tempat masing-masing.
Baru kemudian orang-orang itu menyadari setelah
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membelakangi mereka.
"Tangkap orang-orang itu," tiba -tiba saja orang tertua
itu pun berteriak. Orang-orang itu pun kemudian telah berlari-lari
mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka telah
berusaha untuk menangkap kedua anak muda itu.
Mahisa Murti y ang kurang tahu rencana Mahisa Pukat
itu pun berdesis, "Apa yang akan kita lakukan?"
"Melawan mereka," berkata Mahisa Pukat.
"Melawan?" bertanya Mahisa Murti.
"Kita sakiti mereka," jawab Mahisa Pukat, "lalu kita lari
keluar dari lingkungan ini."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak ingkar. Karena itu, ketika orang-orang itu berusaha
menangkapnya, maka kedua anak muda itu telah melawan
mereka. Bahkan seperti y ang dimaksud oleh Mahisa Pukat,
keduanya benar-benar telah menyakiti beberapa orang yang
berusaha menangkapnya itu, sehingga ada di antara mereka
yang telah berteriak-teriak kesakitan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak banyak
mengalami kesulitan mengatasi orang-orang yang akan
menangkapnya itu. Seperti y ang mereka rencanakan, maka
setelah beberapa orang kesakitan, maka mereka pun telah
melarikan diri. Orang-orang padukuhan itu memang tidak berani
mengejar kedua anak muda y ang m emang ternyata memiliki
kelebihan dari mereka. Apalagi setelah beberapa orang di
antara mereka menjadi kesakitan dan tidak mampu berbuat
apa-apa lagi. Dengan sigapnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
meloncati pagar yang menutup jalan simpang itu, dan turun di
jalan induk padukuhan yang sepi.
Orang-orang y ang berusaha menangkapnya itu hanya
dapat memperhatikan keduanya dari balik pagar. Sementara
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan tanpa seorang pun
yang mengganggu. Beberapa saat lamanya keduanya berjalan di jalan induk.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat mengajak Mahisa Murti
untuk memasuki lingkungan yang lain dari lingkungan yang
telah mereka masuki. Mahisa Murti y ang sekedar mengikuti saja keinginan
Mahisa Pukat tidak membantah. Dengan hati-hati mereka
mendekati sebuah jalan simpang yang juga berpagar seperti
yang berbelok ke arah sisi y ang lain dari padukuhan itu.
"Marilah," ajak Mahisa Pukat.
Mahisa Murti pun mengangguk. Ketika kemudian
Mahisa Pukat meloncat, maka Mahisa Murti pun telah
meloncat pula. Seperti y ang terjadi di sebelah lain dari padukuhan itu,
maka sejenak kemudian beberapa orang laki -laki telah
berkerumun di sekeliling kedua orang anak muda.
Ternyata ada di antara mereka yang ikut memukuli dua
orang laki-laki di luar padukuhan itu. Karena itu dengan serta
merta orang itu melangkah maju sambil berteriak, "Kau adalah
orang yang telah mencampuri persoalan y ang terjadi di antara
kami dengan orang-orang gila di sebelah. Nah, sekarang kau
masuk ke daerah kami. Apa y ang sebenarnya kalian
kehendaki?" "Bukan apa-apa. Aku ingin berjalan ke mana aku suka.
Dan aku ingin memasuki daerah y ang ingin aku lihat," jawab
Mahisa Pukat. "Persetan," geram seorang yang bertubuh tinggi tegap,
"kau sebenarnya mau apa" Setelah mencampuri per soalan
kami dengan orang-orang sebelah, sekarang kau memasuki
lingkungan kami." "Sudah aku jawab. Aku mau berbuat apa saja sesuka
hatiku. Kau jangan mencampuri persoalanku, lebih-lebih yang
bersifat pribadi seperti ini," jawab Mahisa Pukat pula.
Orang-orang itu m enjadi semakin heran. Mereka tidak
mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh kedua orang
itu. Namun orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak m au
berpikir terlalu banyak. Katanya, "Sebelum kami menjadi
semakin marah, pergilah. Bahwa kau telah mencampuri
persoalan kami itu kau telah m enyakiti hati kami. Sekarang
kau berbuat aneh-aneh tanpa menghiraukan hak kami atas
tanah ini." " Jangan mencegah apa yang ingin kami lakukan," geram
Mahisa Pukat. " Ini daerah kami," bentak orang b ertubuh t inggi kekar
itu. "Aku tidak peduli," teriak Mahisa Pukat sehingga orangorang
itu telah terkejut karenanya.
Orang-orang itu kemudian telah menjadi marah. Seperti
orang-orang di sebelah, maka mereka pun telah berusaha
untuk menangkap Mahisa Pukat dan Mahisa Murti.
Tetapi seperti yang terjadi di sebelah pula, maka orangorang
itu pun satu-satu telah terlempar jatuh. Meskipun
mereka berusaha bangkit lagi, namun tubuh mereka terasa
menjadi sakit-sakit. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih saja
berkelahi. Namun kemudian orang-orang padukuhan itu tidak
berday a untuk menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Berbeda dengan ketika keduanya berada di bagian yang lain
dari padukuhan itu, maka keduanya sama sekali tidak
melarikan diri. Tetapi ketika perlawanan orang-orang
padukuhan itu berhenti, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah b erjalan justru m emasuki bagian dari padukuhan
itu semakin dalam. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menimbulkan persoalan di padukuhan yang sebelah itu.
Beberapa kali mereka harus berkelahi. Namun tidak ada di
antara orang -orang padukuhan itu y ang dapat m engalahkan
mereka apalagi menangkap mereka.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
dengan leluasa telah berjalan di sepanjang lor ong-lorong di
belahan padukuhan itu. Ternyata bahwa di belahan padukuhan itu, kehidupan
sehari-hari agaknya berlangsung wajar. Meskipun di beberapa
bagian nampak gardu-gardu tempat beberapa orang laki-laki
berkumpul. Agaknya mereka tidak hanya di malam hari saja
meronda, juga di siang hari. Justru karena kedua sisi
padukuhan itu saling bermusuhan.
Di gardu-gardu itulah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
harus berkelahi. Setelah melihat-lihat beberapa lama, maka Mahisa Murti


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan padukuhan itu.
Namun ternyata m ereka telah m elakukan lagi hal seperti itu
pula di belahan yang lain. Tetapi kepada laki-laki yang
punggungnya bagaikan patah, Mahisa Pukat berkata,
"Laporkan kedatanganku kepada pemimpinmu. H e, siapakah
pemimpin di sini" Ki Bekel" Atau siapa?"
Laki-laki itu termangu-mangu. Namun kemudian ia
menggeram, "Awas kau. Kami akan melaporkan kalian kepada
pemimpin kami." "Cepat, sebelum kami meninggalkan padukuhan ini,"
bentak Mahisa Pukat. Orang itu memang berusaha untuk melangkah tertatihtatih
menyusuri jalan padukuhan itu. Sementara kawankawan-"
ny a masih terbaring kesakitan.
Beberapa saat kemudian, orang itu telah datang kembali.
Seorang y ang bertubuh tinggi datang menyertainya
diiringi oleh tiga orang pengawalnya y ang bersenjata.
" Jadi kalian berdua yang telah mengacaukan lingkungan
kami ini?" berkata orang y ang bertubuh agak tinggi itu. Lalu
katanya, "Menurut laporan yang aku dengar, hari ini kau telah
dua kali datang kemari dan sekali memasuki belahan
padukuhan yang lain. Apakah kau diupah oleh mereka untuk
mengacaukan tempat ini?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian Mahisa Pukat pun berkata, "Ki
Sanak. Kaukah Bekel dari padukuhan ini?"
"Bukan," jawab orang itu, "Bekel padukuhan ini tidak
berarti apa-apa lagi bagiku. Tetapi aku adalah pemimpin dari
padukuhan ini." "Termasuk di belahan yang lain?" bertanya Mahisa
Murti. "Pada saatnya memang demikian. Bahkan bukan saja
sepadukuhan ini. Tetapi aku akan menjadi pemimpin dari
Kabuyutan ini," jawab orang y ang bertubuh agak tinggi itu.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat kemudian,
"sebenarnyalah bahwa kami ingin tahu, apa yang telah terjadi
di padukuhan ini. Bahwa padukuhan ini dibagi menjadi dua
bagian telah sangat menarik perhatian kami. Bahkan agaknya
kedua belah pihak dari kedua belahan padukuhan ini telah
bermusuhan." "Kalian tidak perlu mencampuri per soalan kami," jawab
orang bertubuh tinggi itu.
"Semua orang berkata begitu," jawab Mahisa Pukat,
"semua orang di belahan padukuhan ini dan di belahan yang
lain selalu mengatakan jangan campuri persoalan kami."
"Ya, kau dengar. Jangan campuri per soalan kami.
Sebelum kami kehabisan kesabaran, kalian harus pergi dari
tempat ini," berkata orang bertubuh tinggi itu.
"Tidak Ki Sanak. Aku tidak mau pergi. Aku ingin
mengetahui apa y ang telah terjadi. Menurut pengertianku,
ingin mengetahui sesuatu belum tentu berarti mencampuri
persoalan yang timbul padanya," jawab Mahisa Pukat.
Orang bertubuh tinggi itu m engangguk-angguk. Namun
kemudian katanya pula, "Sebaiknya kau pergi saja."
"Tidak. Ada beberapa keanehan y ang ingin kami
ketahui," jawab Mahisa Pukat.
" Jika kau tidak mau pergi, kami akan memaksamu,"
berkata orang bertubuh tinggi yang mengaku pemimpin dari
padukuhan itu. Namun Mahisa Pukat dengan singkat telah m engatakan
apa yang dilihatnya tentang dua orang yang telah dipukuli oleh
orang sebelah. Namun orang bertubuh tinggi itu pun tetap berkata,
"Kau telah m elakukan kesalahan. Kau memang mencampuri
persoalan kami." Mahisa Pukat menjadi jengkel karenanya. Tiba-tiba saja
ia m embentak, "Aku sudah jemu mendengar jawaban seperti
itu. Katakan, apa y ang sebenarnya terjadi di sini?"
Laki-laki bertubuh tinggi itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia pun berkata, "Hanya ada satu pilihan.
Perjalanan Ke Alam Baka 1 Trio Detektif 20 Misteri Gunung Monster Pedang Penakluk Cinta 1
^