Pencarian

Perjalanan Ke Alam Baka 1

Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka Bagian 1


EPISODE: I ANAK LANGIT & PENDEKAR LUGU
II SANG MAHA SESAT
III LIMA UTUSAN AKHERAT
IV PERJALANAN KE ALAM BAKA
Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya
kebetulan belaka.
PERJALANAN KE ALAM BAKA Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE Setting Oleh: M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Perjalanan Ke Alam Baka
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Kuda berbulu putih tampak melesat melintas di
jalan berbatu. Di kanan kiri jalan itu yang kelihatan hanya kegersangan dan
padang tandus saja. Panas terik seperti memanggang batok kepala, membuat otak
terasa mendidih. Kabut beracun menghampar di se-
panjang lembah itu. Sementara laki-laki yang duduk di atas kuda tunggangan itu
tidak lain adalah seorang la-ki-laki berumur sekitar lima puluh lima tahun.
Kumis- nya putih sebagian, rambutnya pun demikian. Ia me-
makai baju selempang seperti seorang resi. Tampaknya
dia dalam keadaan tergesa-gesa.
Jalan itu rupanya membelok menuju ke tempat
yang lebih sulit dan dipenuhi dengan kabut dan lu-
bang-lubang mata air panas.
"Hiya! Hiya...!"
Laki-laki itu menggebah kuda tunggangannya,
terdengar suara ringkikan keras. Tidak lama kemudian
kuda itu pun tercebur ke dalam telaga beracun yang
menganga di depannya.
"Hieekk...!"
Kuda terus meringkik keras memperdengarkan
suara seperti hewan yang sedang sekarat dan meminta
tolong pada majikannya. Tidak seorang pun mampu
menolongnya. Sedangkan penunggangnya sendiri keti-
ka itu terpaksa berjuang menepi untuk menyela-
matkan selembar nyawanya. Setelah bersusah payah,
laki-laki itu dapat juga naik ke daratan. Tetapi sesuatu yang sangat mengerikan
terjadi pada dirinya. Ia melolong kesakitan. Tubuhnya menggelepar seperti
seekor ayam dipotong. Rupanya tubuh laki-laki malang
itu melepuh dan rusak di sana sini. Air telaga selain panas mendidih juga
mengandung racun yang sangat
ganas. Rambut laki-laki ini rontok, kumisnya, jenggotnya dan semua bulu yang ada
di tubuhnya rontok se-
perti tersiram air mendidih. Penderitaan laki-laki ini semakin bertambah
menghebat, karena telaga air panas itu mengandung racun pula.
"Akh... taubat. Tuhan, mengapa begini buruk-
nya nasibku! Cabut saja nyawaku, aku tidak dapat melaksanakan tugas yang
diberikan oleh baginda!"
rintihnya. Dia tidak lain adalah Patih Luragung, untuk lebih jelasnya mengapa
Patih ini sampai tersesat di
Bukit Kematian (Dalam Episode Lima Utusan Akherat).
Tertatih-tatih laki-laki yang telah kehilangan seluruh rambut dan kulitnya ini
berdiri. Keadaannya memang
sangat menyedihkan sekaligus mengerikan sekali. Wa-
laupun keadaannya sudah tidak memungkinkan un-
tuk mendaki ke puncak Bukit Kematian yang menju-
lang tinggi itu, Patih Luragung rupanya memaksakan
diri juga. "Tugas ini harus kulakukan, walaupun dengan
sisa-sisa nyawaku!" desis sang Patih mengerang sakit.
Sesungguhnya ia sudah tidak punya kemampuan apa-
apa lagi sejak ia bersama kudanya tercebur ke dalam
telaga air panas. Kulitnya yang mengelupas itu meru-
pakan siksaan tersendiri yang sungguh dahsyat. Na-
mun ketika mengingat keselamatan kerajaan yang
sangat terancam, maka Patih ini terpaksa melakukan
pendakian juga. Bila ada batu atau ranting pohon
mengenai dirinya, maka menjeritlah Patih Luragung
seperti prajurit perang yang ditembus pedang.
"Keadaanku sama seperti orang yang dikuliti
hidup-hidup. Sanggupkah aku mencapai puncak sa-
na?" bibir yang sudah kehilangan kumis itu menggeri-mit sakit. "Akh...!" Patih
Luragung tiba-tiba saja jatuh terguling, ia langsung tidak sadarkan diri. Angin
men-desir, begitu sepinya Bukit Kematian atau lebih dikenal
dengan Bukit Setan ini. Sehingga suara sehalus apa-
pun tetap terdengar dengan jelas namun menyeram-
kan. Patih Luragung ternyata tidak sadarkan diri ka-
rena luka-luka melepuh di sekujur tubuhnya. Keadaan
ini berlangsung cukup lama juga. Setelah hampir dua
jam, maka dari atas Bukit Kematian terdengar suara
bergemuruh yang disertai dengan suara ledakan-
ledakan dahsyat. Angin pun berhembus kencang. De-
bu beterbangan, berputar-putar di udara lalu melesat
ke langit. Tidak lama setelah itu terdengar pula suara tawa bekakakan. Suara
tawa serasa mengguncang
puncak bukit dan meruntuhkan daun-daun kering.
Sosok tubuh tampak berkelebat menuruni bu-
kit. Hanya dalam waktu sekedipan saja sosok tubuh
yang cuma memakai cawat ini telah berdiri di depan
Patih Luragung yang tidak sadarkan diri. Orang ini
ternyata berwajah sangat mengerikan, ia adalah mak-
hluk yang mengerikan di kolong langit ini, wajahnya
seburuk setan. Matanya cuma satu terletak di ten-
gah-tengah hidung. Mulutnya lebar, gigi-giginya yang
semerah darah tampak runcing tajam.
Melihat pada sosok tubuh Patih Luragung yang
mengelupas tawanya malah semakin menggema me-
menuhi seantero lembah. Dengan seenaknya tubuh
sang Patih ditentengnya. Di lain waktu ia telah bergerak kembali ke puncak
bukit. Sungguh kedatangan
dan kepergiannya cepat laksana setan gentayangan.
Tidak lama suasana berubah sunyi kembali.
Patih Luragung yang dalam keadaan setengah
matang ini langsung dibaringkan di atas lantai dingin.
Kakek bermata satu ini melangkah menghampiri pera-
pian yang tidak pernah padam selama-lamanya. Di
atas perapian batu terdapat sebuah kwali tanah beru-
kuran besar berisi air mendidih. Melihat ke dalam
tungku tersebut senyum angkernya terkembang.
"Sebentar lagi aku akan pesta besar! Ha ha
ha...!" Tawa kakek bertampang iblis ini menggema. La-lu ia menghampiri Patih
Luragung. Pakaian Patih ma-
lang ini dicopotnya, sehingga keadaan Patih jadi mem-
bugil. Pada saat si kakek berjanggut menjela sampai ke mata kaki ini melemparkan
pakaian sang Patih. Terdengar suara bergemerincing.
"Eh, apalagi itu?" desisnya. Lalu dihampirinya benda terbuat dari logam itu.
Benda berbentuk bulat
itu semerah darah. Si kakek terkejut. Matanya yang
mengerikan terbelalak, ia mengamati benda bulat itu
dengan teliti. Bibirnya yang lebar bersungut-sungut.
"Benda ini milik Sang Maha Sesat"! Sungguh
tidak dapat kupercaya" Batal keinginanku untuk me-
nikmati daging rebus yang lezat, heh... jadi orang ini diutus oleh Sang Maha
Sesat. Permainan apalagi ini"
Pasti ada masalah yang sangat besar sedang terjadi.
Tapi bagaimana bapak moyangnya iblis dan setan itu
mau mencampuri urusan manusia" Ha ha ha... aku
mengerti sekarang. Dia pasti sedang mencari pengikut
lagi dalam jumlah yang lebih besar. Ini sesuatu yang
sangat menarik. Aku akan ke sana! Tapi orang malang
ini harus kubuat sadar dulu, nanti ku sembuhkan!"
gumamnya sinis.
Siapa sesungguhnya kakek bermata satu bergi-
gi macam gergaji ini" Dia seperti sudah sama kita ke-
tahui (Dalam episode Lima Utusan Akherat). Dia tiada
lain adalah Pertapa Seribu Abad. Masih tergolong sa-
habat Sang Maha Sesat di bumi ini. Usianya sudah ra-
tusan tahun. Tapi belum juga mati, dalam umur yang
panjang itu dihabiskannya untuk bertapa. Kebiasaan-
nya sangat aneh yaitu memakan daging manusia se-
tiap seminggu sekali. Ia hanya meninggalkan tempat
pertapaannya apabila membutuhkan korban baru.
Setelah memperhatikan Patih Luragung cukup
lama, Pertapa Seribu Abad mengambil sepotong kayu
kecil berwarna merah darah. Ia mulai menyembuhkan
tubuh sang Patih hingga babak belur. Si Patih mengge-
liat, kemudian melolong-lolong kesakitan seperti seekor kerbau yang disembelih.
"Akh... hentikan, aku hendak kau apakan?"
"Diam"!" Pertapa Seribu Abad membentak ge-
ram. "Bagaimana aku bisa diam" Kau hendak mem-
bunuhku rupanya?" tanya sang Patih terus melolong-lolong. "Kalau kau mau hidup
memang beginilah cara menyembuhkanmu!" dengus si kakek mengerikan. Patih
Luragung menggeliat, menggelepar. Pemukulan itu
terus berlangsung hingga pada akhirnya terjadilah se-
suatu yang sangat sulit dipercaya. Sekujur tubuh sang Patih yang terkena pukulan
timbul warna merah seperti darah. Warna merah itu selanjutnya menghilang.
Sehingga pada akhirnya tumbuhlah kulit-kulit ba-ru di sekujur tubuhnya. Keadaan
Patih Luragung kembali seperti sediakala. Hanya rambutnya saja yang
tidak dapat tumbuh kembali, kumisnya, jenggotnya ju-
ga tidak tumbuh.
Kejut hati Patih Luragung bukan alang kepa-
lang. Ia sama sekali tidak menyangka kalau dirinya
dapat sembuh seperti sediakala. Hanya sang Patih ter-
paksa merelakan seluruh rambutnya yang tidak
mungkin tumbuh kembali lagi.
"Benar kau diperintahkan Sang Maha Sesat
kemari?" tanya Pertapa Seribu Abad.
"Benar, Ki Pertapa. Sang Maha Sesat mengha-
rap kehadiran Anda di kerajaan Ujung Dunia.
Akan ada peristiwa besar di sana." jelas Patih Luragung dengan wajah tertunduk.
"Kerajaan Ujung Dunia diperintah oleh Raja La-
lim Durjana, betul?" tanya Pertapa Seribu Abad.
"Betul."
"Dia raja paling kejam di dunia, betul?"
"Juga betul, Ki." sahut sang Patih.
"Putrinya cantik-cantik, selirnya banyak. Beliau punya sahabat keparat hartawan
Abdi Banda, betul?"
"Benul juga, eeh... betul juga, Ki." jawab laki-laki ini sambil angguk-anggukkan
kepala. "Ha ha ha...! Ketahuilah, sesungguhnya jika
cuma Lalim Durjana yang meminta bantuanku, tentu
aku menolak. Namun mengingat Sang Maha Sesat
adalah sahabatku. Dengan terpaksa aku meneri-
manya. Nah, sekarang kembalilah kepada rajamu...!"
"Tapi...."
"Goblok. Aku tahu apa yang mau kau ucapkan.
Kau hendak mengatakan apakah aku menerima pang-
gilan ini atau tidak bukan" Ketahuilah, kecepatanmu
berlari sama dengan kecepatanku berjalan. Kecepatan-
ku berlari lebih cepat lagi dari hembusan topan. Jika kau memilih berjalan
bersamaku, maka begitu sampai
di kerajaan nyawamu akan putus dan kau langsung
mampus. Pergi...!! Sebelum kesabaranku habis, Patih
tuyul gundul." bentak Pertapa Seribu Abad.
Bentakan suara sang Pertapa saja sudah mem-
buat tubuh Patih Luragung tersentak kemudian ter-
banting. Laki-laki setengah baya ini jadi ciut nyalinya.
Dengan cepat ia beringsut menjauh, lalu putar langkah dan mulai menuruni Bukit
Kematian. "Tolol, jangan lewat situ lagi, apa hendak cari
mampus!" "Jadi lewat mana...?" tanya Patih tanpa berani menoleh lagi.
"Ambil jalan yang di sebelah kiri!"
Patih Luragung pun mengambil jalan di sebelah
kiri. Pertapa Seribu Abad memperhatikan kepergian-
nya dengan tatapan matanya yang cuma satu. Lalu
terdengar suara tawanya tergelak-gelak.
* * * Laki-laki gendut pendek dan hanya memakai
cawat ini terus berlari sambil mengempit kepala Pan-
glima Arung Garda. Sesekali ia menoleh ke belakang.
Wajahnya yang mirip dengan muka kodok tampak ke-
takutan sekali. Bagaimana pun seumur hidupnya ia
baru sekali ini ia melihat ada orang yang telah kehilangan kepala, bahkan kepala
itu ia sendiri yang memba-
wanya. Namun orang yang telah kehilangan kepala itu
masih bertahan hidup bahkan terns mengikutinya ke-
mana pun ia pergi.
"Gher... grok... grok...!" Batang leher yang terputus, serta lubang tenggorokan
yang tersumbat darah
kental itu terus mengeluarkan suara seakan meminta
pada Raja Kodok supaya mengembalikan kepalanya
yang terus dikempit sambil dibawa berlari.
"Celaka"! Benar-benar celaka Panglima ini. Ke-
palanya sudah kubawa tapi ia masih mengejarku te-
rus. Hhh, bagaimana ini" Apakah kepala ini harus ku-
berikan"! Tapi menurut Pendekar bertampang ketolol-
tololan itu aku harus membawa kepala ini ke kota raja.
Entah apa maksud tujuannya aku tidak tahu?" kata Raja Kodok dalam hati.
Pemuda yang sekujur tubuhnya selalu basah
seperti seekor kodok itu terus berlari dan berlari. Sementara kodok-kodok yang


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di dalam sumpitnya
mengeluarkan bunyian aneh seakan memberi seman-
gat pada Raja Kodok agar terus berlari.
"Gher... krok... krok kokok...!" Tubuh tanpa kepala itu berkata (Kembalikan
kepalaku, kepalaku itu
mau dibawa kemana" Kembalikan cepat orang jelek!).
Mana Raja Kodok perduli. Malah larinya semakin ce-
pat, walaupun terkadang membuatnya menggelinding.
Panglima Arung Garda pun mengejar dengan pontang-
panting. Setelah menempuh jarak sekian jauhnya. Maka
sampailah Raja Kodok di alun-alun istana. Di sana ia
melihat seorang pemuda memakai baju putih dan seo-
rang kakek tua berpakaian putih pula sedang me-
nyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan di ha-
laman. Begitu melihat kemunculan Raja Kodok, maka
pemuda baju putih tersentak kaget.
"Gusti Allah"! Maha besar Engkau dengan sega-
la keanehan yang kau ciptakan. Kepala siapa yang di-
bawanya?" desisnya agak tertegun. Si kakek yang tidak lain adalah Malaikat
Penderitaan lain lagi. Ketika melihat kehadiran Raja Kodok sambil mengempit
kepala Panglima di keteknya malah menangis....
"Oh... oh.... Gusti...! Kulihat ada orang jelek membawa-bawa kepala tanpa badan
membuat aku menderita." katanya di tengah-tengah isak tangisnya.
Lalu muncul badan tanpa kepala menunjuk-nunjuk
Raja Kodok. Tangis Malaikat Penderitaan semakin
menghiba-hiba. "Ini lagi, yang ini lebih celaka. Sesungguhnya manusia itu sering
memperbodoh diri sendiri.
Menuntut ilmu di jalan yang sesat, setan gurunya, iblis menjadi petunjuknya.
Manusia tidak dapat melawan
kodrat, tidak bisa menentang takdir. Ilmumu yang me-
nahan rohmu terpisah dari ragamu. Orang paling jelek
muka kodok. Serahkan kepala itu padaku!!" perintah Malaikat. Penderitaan.
Raja Kodok menjadi ragu-ragu. Ia teringat pe-
san Pendekar Blo'on. Apa yang harus dilakukannya ki-
ni" Menyerahkan kepala Panglima Arung Garda pada
kakek yang suka menangis itu"
"Orang tua gagah cengeng. Bagaimana aku bisa
mempercayaimu" Sedangkan Pendekar rambut macam
rambut jagung meminta ku agar membawa kepala ini
kemari. Dia tidak pesan supaya aku menyerahkan ke-
pala ini padamu!"
"Hu hu hu! Orang yang kau maksudkan pasti-
lah Anak Ajaib itu" Si konyol yang punya senjata dapat merintih-rintih. Aku dan
pemuda ini masih terhitung
sahabatnya. Serahkan kepala itu padaku?" Malaikat Penderitaan mengulangi
perintahnya. Raja Kodok menjadi bingung. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Arung
Garda untuk merebut kepalanya kembali. Kepala terja-
tuh, begitu menggelinding di atas tanah matanya lang-
sung terbuka, mulutnya menyeringai lalu terdengar
suara tawanya yang menyeramkan. Raja Kodok menu-
bruk kepala tersebut. Namun sudah terlambat, sang
kepala telah melayang dan melekat pada potongan le-
hernya. Begitu Arung Garda mengusap-usap bekas lu-
ka itu maka leher dan kepalanya menyatu seperti se-
diakala. *** 2 Pemuda baju putih yang tidak lain adalah
Wahyu Sakaning Gusti alias Pendekar Lugu terkejut
melongo. Malaikat Penderitaan langsung melompat.
Gerakannya cepat seperti kilat. Di lain waktu ia sudah dapat menotok urat gerak
di tubuh Panglima kejam ini.
Sehingga membuatnya tidak mampu bergeser ke ma-
na-mana. "Ada yang ingin kau katakan, Panglima sebe-
lum Anak Langit datang menjumpai kita dalam rangka
membuka Surat Kedamaian Dunia?" tanya Malaikat
Penderitaan. "Ada!" sahut Arung Garda. "Kau adalah manusia paling pengecut. Kelak jika aku
terbebas dari totokan ini satu hal yang ingin kulakukan adalah me-
menggal kepalamu!" dengus laki-laki itu sengit.
"Hu hu hu...! Aku sangat menderita sekali
mendengar ucapanmu. Tapi kau lebih menderita lagi
karena niatmu tidak akan tercapai!"
"Huh, bagaimana kau tahu manusia busuk?"
"Tuhan Yang Maha Tahu. Ajal kematianku bu-
kan di tanganmu, ini menyangkut ketentuanNya. Agar
kau tahu aku kelak akan mati bila di dunia ini muncul manusia yang punya empat
mata empat telinga empat
lubang hidung dua mulut. Aku memang sedih, aku
menderita. Tapi aku lebih menderita lagi jika tidak ma-ti-mati. Huk huk huk!"
"Manusia edan!" maki Panglima Arung Garda.
"Aku memang penuh keedanan, namun kegi-
laanku jauh dari angkara murka yang membuat aku
menderita, yang membuat orang lain tersakiti dan yang menyeret manusia dalam
jurang penderitaan. Kau adalah seorang pemimpin. Apa nanti jawabmu dalam pen-
gadilan negeri akherat tentang apa yang kau pimpin"!"
"Persetan!" dengus Panglima Arung Garda.
"Ya, kau memang sahabat setan, kau salah sa-
tu pengikutnya. Itu sebabnya kau selalu menyebut-
nyebut makhluk terkutuk itu. Seret dia dan kumpul-
kan bersama si Raja Tega...!"
Maka Raja Kodok tanpa bicara apa-apa lagi
langsung memanggul Arung Garda kemudian didu-
dukkan dekat seorang laki-laki berwajah angker yang
telah kehilangan dua tangan dan sebelah kaki. Untuk
lebih jelasnya apa yang telah terjadi dan menimpa diri tokoh dari Sampuran
Harimau ini (Ikuti Episode Lima
Utusan Akherat). Panglima Arung Garda tentu kaget
setengah mati melihat Raja Tega dalam keadaan men-
genaskan. Laki-laki yang telah kehilangan tangan dan
kaki itu seakan kehilangan kewibawaannya lagi.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya
Arung Garda pelan.
"Bocah Setan berambut merah itu. Daripada
begini nasibku lebih baik aku mati saja. Sayang aku
tidak bisa melakukannya." Raja Tega menggeram.
"Begitu mudahnya manusia memilih mati. Bek-
al kebaikan apa yang sudah kau perbuat, Raja Tega"
Apa kau pikir segala perbuatan baik buruk manusia
kelak tidak ditanya?" kata Malaikat Penderitaan yang rupanya mendengar keluh
kesah Raja Tega.
Laki-laki paling sadis ini bungkam, hanya ma-
tanya saja memandang pada si kakek dengan melotot.
Rupanya ia sangat geram sekali. Malaikat Penderitaan
kemudian beralih pada Raja Kodok.
"Anak manusia. Siapakah engkau?"
"Aku... tidak punya nama yang pasti. Guruku
menyebutku Raja Kodok!" jawab pemuda gendut pendek muka kodok.
"Siapa gurumu?"
"Guruku Bidadari Sungai Ilir."
Malaikat Penderitaan memandang ke langit.
"Aku pernah mendengar manusia misterius itu. Hem, lalu mengapa kau sampai ke
sini, apa yang kau cari"!"
"Aku ini punya dendam yang tidak terkira. Aku
mencari hartawan Abdi Banda. Orang yang telah
membuat aku terlahir ke dunia, orang yang juga mem-
buat ibuku sengsara dan bunuh diri!" geram Raja Kodok. "Siapakah nama ibumu?"
tanya Pendekar Lugu.
"Ararini." sahut Raja Kodok.
Sepontan paras pemuda baju putih berwajah
polos seakan tanpa dosa ini berubah memucat. Sekilas
membayang masa lalu dalam ingatannya.
"Benarkah ibumu telah bunuh diri?" tanya
Pendekar Lugu lagi.
"Benar."
"Semoga Tuhan mengampuni semua dosanya.
Jika nanti kau telah bertemu dengan hartawan Abdi
Banda, kau hendak kemana?"
"Aku mau mencari paman Wahyu Sakaning
Gusti. Konon ia adalah kekasih ibuku. Aku ingin minta maaf pada orang itu atas
ketidak setiaan ibu dan juga minta maaf atas kesalahan kakekku."
"Ibumu tidak bersalah. Ia sekedar berbakti dan
menyenangkan hati orang tua. Kesalahan kakekmu
dapat dimaafkan, lalu apa keinginanmu yang lain?"
suara Pendekar Lugu biasa-biasa saja tanpa ekspresi
atau pun gejolak jiwa.
"Aku ingin berguru padanya. Menurut yang ku-
dengar paman Wahyu Sakaning Gusti tidak pernah
marah, tidak sombong, tidak iri, tidak dengki dan tidak suka mencela orang lain.
Sedangkan aku adalah orang
yang masih penuh amarah, penuh dendam, dan penuh
kebencian. Bahkan pada diri sendiri pun aku benci."
"Nanti kau pasti akan bertemu dengan orang
yang kau cari. Sebagai tanda niat baikmu itu, apakah
kau mau membantu kami meringkus raja Lalim Dur-
jana dan kawan-kawannya yang bersembunyi di istana
ini?" "Tentu saja aku mau. Tapi aku harus tahu, siapakah kau dan siapa pula
kakek yang selalu meren-
gek-rengek seperti anak kecil itu?" tanya Raja Kodok.
"Aku Pendekar Lugu. Sedangkan kawan kita
yang suka menangis itu adalah Malaikat Penderitaan."
jelas si pemuda.
Raja Kodok anggukkan kepala. "Lalu apakah
sekarang aku harus mulai mencari raja Lalim Durja-
na?" "Kau ikuti kami, memeriksa setiap lorong-lorong yang ada secara bersama-
sama." tegas Pendekar Lugu. "Bagaimana dengan kedua setan pelayangan
ini?" Raja Kodok kelihatan ragu-ragu.
"Biarkan saja, mereka tidak dapat pergi kema-
na-mana!" Malaikat Penderitaan yang menyahuti. Mereka bersama-sama memasuki
istana yang besar itu.
Apa yang mereka lakukan ini terutama bagi Pendekar
Lugu dan Malaikat Penderitaan adalah untuk yang ke-
tiga kalinya setelah pencarian pertama dan kedua
mengalami kegagalan.
* * * "Masih sakitkah lukamu?" tanya Pemuda baju
biru berambut hitam kemerah-merahan yang duduk di
samping si gadis. Sebagaimana telah sama kita ketahui gadis berbaju hitam
ringkas ini terluka setelah berta-rung dengan Panglima Arung Garda.
"Kurasa sudah agak baikan sedikit. Luka-luka
ini cepat mengering. Aku merasa berhutang nyawa pa-
damu." sahut Puspita Sari alias Rana Unggul.
"Hust, aku tidak menghutangkan apa-apa, kok.
Yang punya nyawa kan Gusti Allah, bersukurlah kepa-
daNya"!" kata murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api ini
sambil membalut luka memanjang di bagian iga Puspita.
Puspita memandang cukup lama pada pemuda
bertampang ketolol-tololan ini. Semakin ia memandang
pada wajah tampan ketolol-tololan tersebut. Maka ha-
tinya pun semakin bertambah resah.
"Betulkanlah pakaianmu. Semakin lama aku
memandangmu, aku sih tahan-tahan saja. Tapi adikku
tentu tersiksa." ujar Suro Blondo tampak menahan senyum. "Siapa adikmu?"
"Adik kecilku yang selalu ikut kemana saja aku
pergi. Ha ha ha...!"
"Pemuda gendeng! Bicaramu selalu ngawur dan
nyerempet-nyerempet terus!" gerutu Puspita bersungut-sungut. Seraya membenahi
pakaiannya yang agak
berantakan. Wajahnya berubah kemerah-merahan.
"Yang nyerempet itu selalu membuat deg-
degan, penasaran sekaligus menegangkan." Sama sekali Puspita tidak menanggapi.
Perlahan ia bangkit
berdiri. Sementara itu Utusan dari Kapuas, Madura
Indra Giri, telah selesai menguburkan mayat-mayat
anggota mereka. Mereka ini sebagaimana kita ketahui
tewas di tangan Panglima Arung Garda.
"Mari kita hampiri para utusan itu!" kata Si Bocah Ajaib Suro Blondo. Si konyol
membimbing Puspita
Sari, gadis itu menceritakan semua tujuan para Lima
Utusan Akherat pada si pemuda. Suro angguk-
anggukkan kepala. Kini ia semakin mengerti bahwa
sebenarnya para Utusan itu orang-orang baik yang pa-
tut didukung keinginannya.
"Mmm... sukurlah Nona dalam keadaan baik-
baik saja. Kami semua sudah cemas. Panglima iblis itu benar-benar setan. Ilmunya
aneh, badan sudah kehilangan kepala masih bisa jalan-jalan. Benar-benar gila.
Aku hampir nggak percaya kalo tidak lihat sendiri!" ka-ta Kalingga Jati penuh
rasa takjub. "Anda sekalian, sebaiknya sekarang kita pergi
ke Ujung Dunia."
"Pendekar, bagaimana pun kami harus mem-
bawa jenazah Manggar Kesuma, Bias dan Ubudana.
Karena walau cuma mayat mereka juga harus me-
nyaksikan apa yang ingin disampaikan oleh Anak Lan-
git." kata Kalingga Jati wakil dari Ujung Kulon yang telah kehilangan ketuanya,
yaitu Ubudana. Suro garuk-garuk kepala. "Mungkinkah orang
yang sudah menjadi mayat bisa menjadi saksi. Se-
dangkan lawan-lawan yang akan kita hadapi pun tidak
sedikit. Apakah mereka tidak merepotkan?" tanya Pendekar Mandau Jantan.
"Mayat pun bisa menjadi saksi." Dunga ikut bicara. "Guru kami mengatakan bahwa
mayat pun bisa menjadi saksi. Karena roh mereka sebelum dikubur-kan jenazahnya
tentu akan mengikuti kemana pun ja-
sad kasarnya dibawa pergi."
"Baiklah. Jika memang sudah begitu mau ka-
lian. Tapi hati-hatilah, siapa tahu mayat kawan-kawan kalian bisa ngompol atau
memberaki kalian. Aku terus
terang saja tidak bisa tanggung jawab." kata si konyol.
"Bercanda sih bercanda. Tapi jangan keterla-
luan!" Puspita mengingatkan.
Pendekar Blo'on langsung tutup mulutnya ra-
pat-rapat. * * * Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, te-
gang dan menyeramkan itu. Maka Patih Luragung
sampai pula di ujung jalan menuju kota raja. Suasana


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah terjadi perang besar-besaran di kota raja me-
mang lengang sekali. Kini semua orang berubah me-
musuhi pihak kerajaan. Terlebih-lebih rakyat yang se-
lama ini hidupnya tertindas penuh penderitaan. Patih
Luragung pun tidak berani muncul secara terang-
terangan. Ia tidak ubahnya seperti seekor tikus. Yang mudah curiga terhadap
sesuatu yang bergerak di sekitarnya.
"Aku tidak tahu apakah paduka sekarang ini
berada dalam keadaan aman atau malah sebaliknya.
Mudah-mudahan saja Malaikat Penderitaan tidak
mengetahui tempat persembunyiannya!" kata Patih
yang sekarang telah berubah gundul ini penuh rasa
harap. Patih kemudian membelok di jalan kecil menu-
ju lorong rahasia yang menghubungkan ke tempat per-
sembunyian raja Lalim Durjana di bawah tanah. Be-
lum sempat Patih mencapai lorong utama. Tiba-tiba
saja ia merasa ada hembusan angin menerpa wajah-
nya. Laki-laki ini tersentak kaget. Memandang jauh ke depannya, terlihat kabut
putih menghampar di depannya. Lalu terdengar suara seseorang....
"Patih, bagus kau telah melaksanakan tugas-
mu. Tapi kuingatkan padamu sebaiknya jangan kau
masuk ruangan rahasia. Musuh-musuh kita sudah
mulai berdatangan. Kita harus menjalankan sebuah
siasat yang baik. Mari ikuti aku!"
"Siapa kau?" tanya Patih Luragung curiga.
"Aku sang Maha Sesat. Jangan banyak tanya-
tanya lagi. Ikutilah aku!" perintah suara tadi.
Patih rupanya memang merasa tidak punya pi-
lihan lain lagi. Ia terpaksa mengikuti perintah Sang
Maha Sesat. Tidak lama kemudian mereka sudah
sampai di kamar-kamar peraduan putri raja.
"Salah satu kelemahan laki-laki adalah tidak
tahan menghadapi godaan perempuan cantik. Nah se-
karang kita coba, mudah-mudahan saja usaha ini
mendatangkan hasil." Sang Maha Sesat mengisiki.
"Nah sekarang kau bersiap-siaplah meringkus siapa saja yang masuk dalam
jebakanku!"
Meskipun belum mengerti benar apa yang akan
dilakukan makhluk alam gaib itu. Patih Luragung ke-
mudian bersembunyi di tempat yang aman. Sementara
kabut tadi sudah menyelinap memasuki kamar pera-
duan putri raja.
Pada waktu itulah terdengar suara langkah-
langkah mendekat ke arah kamar dimana kabut tipis
tadi menghilang. Rupanya orang yang datang ini tidak
lain adalah Si Raja Kodok. Sampai di depan pintu ia
tertegun. Suara-suara sumbang kodok dalam kepis
terdengar. "Mengapa hatiku berdebar-debar. Apa mungkin
raja bersembunyi di sini?" pikirnya. Dengan agak ragu-ragu Raja Kodok mendorong
pintu. Karena pintu da-
lam keadaan terkunci dari dalam. Maka ia mendo-
braknya dengan melepaskan pukulan dahsyat 'Kodok
Menyanyi Hujan Menggila'.
"Bumm!"
Pintu kamar hancur berantakan. Raja Kodok
melompat ke dalamnya. Ia terkesiap. Di atas ranjang ia melihat Puspita dalam
keadaan setengah telanjang.
Kaki dan tangannya dalam keadaan terikat.
"Tol... tolonglah aku...!" rintih gadis itu.
"Siapa yang telah melakukan ini?" tanya Raja Kodok yang sudah datang
menghampiri. "Aku tidak tahu, aku dibokong. ia... ia hampir
saja memperkosaku!" jawab Puspita, Raja Kodok langsung melepaskan tali-tali yang
mengikat tangan serta
kaki Puspita. Begitu terbebas, gadis itu langsung me-
meluk Raja Kodok sehingga dadanya yang putih tidak
terbalut apa-apa menekan keras dada Raja Kodok.
"Aku berterima kasih sekali padamu, Raja Ko-
dok. Aku hampir saja mendapat malu besar." desah si gadis tanpa melepaskan
pelukannya. "Aku heran, kemana perginya orang yang telah
membuatmu malu?" tanya Raja Kodok.
"Di... dia langsung pergi begitu mendengar sua-
ra langkah-langkah orang kemari." Raja Kodok yang
setengah keheranan-heranan ini segera menjauhkan
dirinya dari Puspita. Ia baru saja hendak mengatakan
agar Puspita membenahi pakaiannya. Pada saat itulah
Puspita dengan gerakan cepat menutup hidung Raja
Kodok dengan telapak tangannya.
"Haaar...!" Raja Kodok meronta.
Tapi usahanya ini sudah terlambat. Kabut tipis
beracun telah terhirup olehnya. Raja Kodok terhuyung, lalu ia tersungkur tidak
sadarkan diri. Puspita, tersenyum, kemudian tertawa mengakak. Puspita palsu ini
kemudian memanggil Patih Luragung.
*** 3 "Paman Patih, lihatlah kemari"! Dia merupakan
bagianmu untuk mengamankannya. Setelah mereka
semua terkumpul, seret ke alun-alun untuk menerima
hukuman pancung!" dengus Sang Maha Sesat yang ki-ni telah raib dari pandangan
mata. "Hmm, aku suka sekali melaksanakan tugas
ini!" gumam Patih Luragung. Ia mengeluarkan segulung tali dari balik pakaiannya.
Maka tidak lama ke-
mudian Raja Kodok pun sudah dalam keadaan terikat.
Kodok-kodok, dalam kepis memberontak melihat
tuannya mendapat perlakuan sedemikian rupa. Tentu
saja makhluk dua jenis alam ini tidak dapat keluar,
karena penutup kepis dalam keadaan terkunci. Patih
menyeret Raja Kodok untuk dibawanya ke tempat yang
aman. Sementara itu di ruangan lain, Pendekar Lugu
masih belum menemukan apa-apa. Tadi mereka me-
mang sepakat untuk berpencar, namun sekarang tim-
bul keragu-raguannya. Jangan-jangan jalan yang me-
reka tempuh malah membahayakan diri mereka. Pen-
dekar Lugu keluar dari kamar peraduan raja. Ia berge-
gas menuju ke kamar lainnya. Tiba-tiba saja ia melihat Raja Kodok dalam keadaan
terikat terlentang di atas
lantai tidak sadarkan diri.
"Raja Kodok"!" serunya kaget sekali.
Pendekar Lugu tanpa merasa curiga langsung
menghampiri. Setelah memeriksa keadaan Raja Kodok.
Maka semakin pucatlah wajahnya.
"Dia terkena racun jahat Sang Maha Sesat! Ti-
dak kusangka dia masih berkeliaran di istana ini. Ba-
gaimana cara aku menyembuhkannya"!" desis Pende-
kar Lugu cemas.
Baru saja Wahyu Sakaning Gusti hendak mem-
buka tali yang mengikat Raja Kodok. Pintu di bela-
kangnya menutup dengan suara keras. Cepat sekali
Pendekar Lugu menoleh ke belakang. Di saat itulah
angin kencang berhembus disertai menebarnya bau
wangi. Pendekar Lugu tiba-tiba saja terguling. Ia telah menghirup uap beracun
yang sangat ganas. Nasibnya
tidak ubahnya dengan kejadian yang dialami oleh Raja
Kodok. Sosok Raja Kodok tadi menghilang, lalu terden-
gar suara tawa bekakakan penuh kemenangan.
"Sekarang hanya tinggal Malaikat Penderitaan!
Orang satu ini sulit. Tentu dia tidak dapat ditipu, pa-dahal Surat Kedamaian
Dunia itu harus dapat kuambil
agar isinya tidak dapat diketahui oleh orang-orang
yang ingin menempuh jalan yang lurus!" kata Sang Maha Sesat. Kini muncul lagi
Patih berkepala botak, ia pun melakukan tugasnya untuk yang kedua kalinya.
Sang Maha Sesat dalam gaibnya bergerak ke
arah lain. Jika Malaikat Penderitaan saat itu sudah
menemukan jalan menuju ke dalam ruangan rahasia.
Maka pada waktu bersamaan pula Suro Blondo dan
kawan-kawannya sudah sampai di gerbang istana.
"Di sini terasa sepi sekali!" celetuk Dunga setelah memperhatikan situasi di
sekeliling mereka.
"Sepi menghanyutkan." sahut Suro. Keningnya berkerut-kerut, mulutnya termonyong-
monyong. "Lihat... bukankah dua ekor kunyuk itu yang hampir
membuat kita semua celaka" Eeh... ini yang aneh! Ke-
pala Arung Garda kok menempel lagi, herannya lagi
dia dan Raja Tega seperti tidak berdaya. Coba kita lihat...!" Kedelapan orang
ini langsung mendatangi. Melihat kedatangan mereka Panglima Arung Garda melo-
tot, sedangkan Raja Tega meludahi muka Pendekar
Blo'on. "Sial! Mestinya kau juga kehilangan gigi serta mulut. Ludahmu bau dosa.
Kalau saja aku tidak malu
sudah kukencingi kau punya muka!" gerutunya.
"Kau...!" Suro menunjuk Arung Garda. "Bagaimana kepalamu yang sudah kucopot itu
dapat me- nyambung kembali?"
"Hh, tanyakan pada setan-setan di neraka!"
dengus Panglima sinis. "Ingat! Jika aku terbebas dari pengaruh totokan jahanam
ini, kaulah yang paling pertama kukirim ke neraka!" ancamnya. Suro menyeringai.
Ia mendekat, lalu ditariknya dua helai kumis
Arung Garda. "Akkh... bangsat sialan. Anak Setan...!" maki Panglima telenggas ini sambil
meringis-ringis kesakitan.
"Nah kucabut kumismu saja sudah kesakitan.
Bagaimana kau bisa dengan sesuka hati menyakiti
orang lain, membunuh manusia tanpa sebab. Apa kau
kira nyawa manusia milik nenek moyangmu?" dengus murid Penghulu Siluman Kera
Putih dan Malaikat Berambut Api dingin.
"Sudahlah, biarkan saja. Sebaiknya kita susul
kawan-kawan kita yang mungkin sedang berada di
dalam sana." sergah Puspita Sari.
"Kau dan para utusan ini boleh bersama-sama
memberitahukan kedatangan kita pada Malaikat Pen-
deritaan. Kurasa mereka sudah tidak sabar menunggu
kedatangan Anak Langit!"
"Kau sendiri?"
"Biarkan aku tetap berada di sini menjaga sega-
la kemungkinan."
"Tuan Pendekar, menurutku keadaan di istana
ini sudah aman. Sebaiknya kita semua masuk saja ke
dalam." usul Dendra.
"Mana boleh begitu. Aku ragu raja Lalim Durja-
na minta bantuan sekutu-sekutunya. Jika kita semua
berada di dalam. Tentu kita tidak akan tahu jika se-
waktu-waktu musuh datang kemari!"
"Dia benar." Yang bicara adalah Dunga. "Kita harus menjaga segala kemungkinan.
Karena bukan mustahil raja telah melarikan diri, untuk kemudian
kembali lagi ke sini dengan membawa bantuan."
Alasan yang dikatakan Dunga memupus kera-
gu-raguan di hati para utusan juga hati Puspita. Setelah para utusan memasuki
istana, kini hanya tinggal
Suro saja yang berada di alun-alun istana. Ia mondar-
mandir sambil mengawasi tawanan. Namun bila orang-
orang ini memperhatikannya. Maka Pendekar Blo'on
cepat-cepat memalingkan perhatiannya ke arah lain.
* * * Pada waktu itu terdengar suara tangis sayup-
sayup di kejauhan. Angin tidak berhembus, matahari
redup. Suasana sunyi seakan berada di sebuah daerah
tanpa kehidupan. Semakin jelas sosok yang menangis
itu. Maka semakin kuatlah suara tangisnya. Hati se-
tiap orang tercenung, jiwa terguncang. Raja Tega, Panglima Arung Garda tidak
terkecuali Pendekar Blo'on
sendiri ikut terseret dalam tangis. Maka menangislah
mereka sejadi-jadinya. Keadaan mereka saat itu seperti orang yang sedang
menyesali sesuatu. Terbayang dosa-dosa yang mereka perbuat di masa lalu.
Raja Tega yang ikut terseret dalam tangis me-
nyedihkan itu kini meraung. Tidak ubahnya seperti
orang yang kehilangan kekasih yang sangat dicin-
tainya. Pendekar Blo'on kerahkan tenaga dalam untuk
menghilangkan pengaruh tangis yang menyedihkan
itu. Namun ia sama sekali tidak berdaya melakukan-
nya. Ia duduk bersila, lalu pejamkan matanya. Diko-
songkannya hati, jiwa dan pikirannya. Sementara
mulutnya terus termonyong-monyong.
Sekejap entah darimana datangnya. Di atas
tembok istana telah duduk seorang laki-laki tua me-
makai kupluk putih. Di tangannya memegang tasbih.
Wajahnya tertunduk, jenggot panjang dan ia terus me-
nangis tiada henti.
"Huuuuuu... hu hu hu...! Kudengar keluh ma-
tahari, ia memancarkan cahaya penerang bumi yang
sia-sia, karena begitu banyak manusia lalai menyem-
bah TuhanNya! Kudengar pula jeritan bumi, begitu be-
ratnya ia mengemban beban manusia-manusia berge-
limang dosa. Matahari diperbudak manusia, bumi diin-
jak-injak orang-orang kotor. Seandainya kalian tahu
pasti apa yang aku ketahui. Tidak ada kesempatan ba-
gi kalian untuk tertawa dan menyia-nyiakan umur. Ka-
lian lebih banyak menangis daripada tertawa. Hidup
delapan puluh lima tahun, hatiku selalu risau memi-
kirkan dosa-dosaku sendiri dan dosa orang lain. Ada-
kah manusia pernah berpikir untuk apa dia hidup,
buat apa dia dilahirkan" Apakah hanya untuk mengu-
rusi perut, memperturutkan hawa nafsu atau menjadi
budak setan"! Hu hu hu...! Sekali-kali tidak demikian, jika kau mau berpikir.
Manusia dilahirkan untuk berbakti pada Gusti Allah. Aku kasihan... manusia keba-
nyakan lalai karena disibukkan mengurusi harta ben-
da dan mengumpulkan anak-anak. Harta yang kau
kumpulkan dengan susah payah itu kelak akan kau
tinggalkan, orang-orang yang kau cintai itu kelak akan meninggalkanmu dan kau
akan dilupakannya. Jika
aku sudah terbujur menyatu dengan tanah bekal apa-
kah yang aku bawa" Adakah harta benda dan anak-
anakku dapat menolongku dan menyelamatkan diriku
dari sebuah azab yang pedih. Duh, betapa yang na-
manya manusia itu sangat sombong sekali, terlalu
membanggakan diri karena keberhasilannya, kedudu-
kannya, kekayaannya, kecantikannya dan mereka ke-
banyakan sangat mencintai dunia. Janganlah begitu,
nanti engkau akan tahu pasti. Jangan begitu kelak


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau akan menyesal, penyesalan yang sama sekali
tidak berguna. Aku sibuk, aku sedih melihat kalian
mengejar gemerlapnya dunia. Aku lebih sedih lagi me-
lihat dua alat pembunuh yang kini tidak berdaya. Oh,
aku lebih suka merenung, perenunganku membuat
aku menangis, tangisku karena penyesalan. Bukan
untuk persoalan dunia yang penuh dengan kebusukan
ini, tapi menyangkut urusanku dan urusan semua
orang setelah mati. Hu hu hu...!"
Si kakek yang kedua matanya memerah dan
bengkak-bengkak ini terus saja menangis. Raja Tega
masih juga menangis, Arung Garda mulai dapat men-
guasai diri. Sedangkan Suro sudah berdiri dan tidak
lagi menangis. Memandang ke atas tembok, ia melihat
si kakek berjanggut panjang terus tundukkan kepala
sambil menangis. Melihat ke bagian tangan, tasbih be-
sar itu terus berputar lambat namun pasti.
"Kisanak, siapakah Anda yang suka menangis?"
tanya Pendekar Mandau Jantan sambil menyeka sisa
air mata di pipinya.
"Hu hu hu, aku sibuk memikirkan dosa-
dosaku. Aku bingung dimana kelak aku ditempatkan"
Apakah di sorga atau neraka" Aku lupa siapa diriku
sendiri. Kudengar orang menyebutku sebagai 'Makhluk
Sibuk', kudengar pula orang menyebutku 'Si Perenung
Dosa'. Aku tidak perduli siapa aku, aku hanya perduli pada perbuatan baik
burukku...!"
Suro tercengang, mulut melongo. Ia cepat tutup
mulutnya dengan satu jari tangan. Ia jadi teringat pesan gurunya Malaikat
Berambut Api ketika ia berada
di puncak Mahameru dulu.
"Suro, di dunia ini ada seorang manusia yang
tidak sempat memikirkan urusan dan kemewahan du-
nia karena terlalu sibuknya ia memikirkan dosa sendiri dan dosa orang lain. Ia
tidak mau usilan, ia selalu me-lerai setiap ada pertikaian. Ia menangisi
kesalahannya di tempat sepi. Ia tidak pernah lupa mengingat Gusti
Allah. Orang itu adalah Si Perenung Dosa atau Mak-
hluk Sibuk. Kepadanya dapat kau tanyakan apa arti
dan hakekat hidup manusia yang sebenarnya. Lalu
ada lagi manusia sejati yang selalu memikirkan bagai-
mana kiranya manusia bisa selamat dari murka Tu-
hanNya. Dia adalah Wahyu Sakaning Gusti. Sedang-
kan Malaikat Penderitaan. Dia tergolong manusia se-
tengah Malaikat. Ujudnya antara ada dan tiada, tapi
juga dapat menjadi nyata. Masih banyak lagi golongan
lurus yang hidupnya hanya ingin mengajak orang lain
berbuat baik agar manusia tidak tersesat di dunia
dan akherat. Justru orang-orang yang kusebutkan ini,
kurang disukai oleh masyarakatnya. Keberadaannya
bahkan dimusuhi, dicaci dan dihina. Namun sedikit
pun mereka tidak membalas perlakuan buruk itu.
Orang-orang inilah sesungguhnya manusia yang be-
runtung...!"
Teringat akan pesan-pesan gurunya, tiba-tiba
saja Suro berlutut. Kakek di atas tembok semakin ke-
ras tangisnya. "Aku bukanlah apa-apa, mengapa kau meng-
hormat padaku" Mengapa engkau tidak menghormati
dirimu sendiri, Bocah Ajaib"!" Ucapan Perenung Dosa ini membuat Pendekar Blo'on
terkesima. Lalu ia bangkit lagi. Memandang ke atas tembok matanya berkaca-
kaca. "Perenung Dosa, ketahuilah bahwa aku adalah manusia hina yang punya begitu
banyak kesalahan.
Dosa-dosaku tidak terhitung banyaknya. Hutangku ju-
ga banyak, hutang air, hutang makanan, hutang uda-
ra, hutang segala kenikmatan hidup yang aku nikmati.
Aku hutang, penglihatan, hutang penciuman, hutang
pendengaran, hutang nyawa dan anuku juga berhu-
tang pada Gusti Allah, sudilah kiranya kau memberi
petunjuk padaku yang goblok ini!" kata Suro masih dengan merapatkan kedua
tangannya. Jika bukan Makhluk Sibuk yang mendengar
ucapan si pemuda, tentu sudah tertawa mendengar-
nya. "Apa yang kau sebutkan itu dalam arti yang luas. Semua itu cukup kau
panjatkan dengan rasa
syukur yang mendalam pada Tuhanmu. Ketahuilah
sebaik-baiknya manusia adalah orang yang selalu me-
rasa dirinya punya banyak kesalahan dan dosa. Den-
gan demikian berarti ia akan lebih berhati-hati dalam bertindak, berpikir,
menentukan langkah. Seburuk-buruknya manusia adalah orang yang selalu mengang-
gap dirinya yang paling baik dan yang paling benar.
Sedangkan orang lain dianggapnya salah semua. Hal-
hal seperti yang kusebutkan ini hanya menimbulkan
keangkuhan. Jika kau berbuat kebaikan anggap saja
seperti kau membuang hajat, jangan kau ingat-ingat
apa warnanya, bagaimana bentuknya, bulat, gepeng,
atau encer. Jika kesalahan yang kau lakukan, sebaik-
nya kau sesalilah, dan berjanji dalam hati agar tidak membuat kesalahan lagi. Hu
hu hu...!"
"Aku pun... hu hu hu...! Kalau boleh tahu da-
rimanakah asal-usulmu, Kek" Aku ingin tahu sesung-
guhnya tugas apa yang harus kulakukan dalam hidup
ini?" kata Suro Blondo.
"Tugas manusia adalah berbuat kebaikan seba-
nyak-banyaknya. Mengenai asal usulku adalah dari
lembah Penantian. Tempat itu jauhnya tujuh puluh
tahun perjalanan kaki." sahut Makhluk Sibuk. Suro geleng-gelengkan kepala.
"Jauh amat, Kek." gumam Suro sambil garuk-
garuk kepala. "Jika Gusti Allah menghendaki kelak kau akan
sampai ke sana."
"Okh... oh...!"
"Bocah Ajaib, kau kedatangan tamu! Huk huk
huk...!" Baru selesai Makhluk Sibuk bicara. Tiba-tiba di depan Suro berkelebat
sosok bayangan. Ketika Pendekar Mandau Jantan ini memandang ke depannya maka
di situ sejarak dua tombak telah berdiri seorang kakek berbadan semampai, punya
satu mata di tengah-tengah kening dan bergigi runcing macam gergaji. Ka-
kek berambut putih hanya memakai cawat ini tertawa
ngakak. Giginya yang merah berlumur darah yang su-
dah mengering terlihat sangat mengerikan.
"Jauh Bukit Kematian ku tinggalkan, aku da-
tang memenuhi panggilan sobatku Sang Maha Sesat.
Ternyata di sini sepi-sepi saja, tidak ada penyambutan.
Terkecuali seorang pemuda tolol dan tua bangka mo-
nyet yang duduk di tembok tanpa peradatan!" dengus Pertapa Seribu Abad.
Belum sempat Suro menyahuti, Makhluk Sibuk
yang duduk sambil menangis di atas tembok menya-
huti.... "Manusia yang paling konyol di dunia adalah Bocah Ajaib dan gurunya.
Manusia yang gemar membunuh tanpa perasaan adalah Si Raja Tega, hu hu
hu... manusia yang menyamai iblis di dunia ini adalah orang bermata satu bergigi
gergaji dan doyan daging
saudaranya sendiri. Dialah orang paling jelek, bertingkah laku seperti iblis
yang selalu meresahkan dan
menjerumuskan manusia dalam kesengsaraan. Aku
sedih melihat dosa-dosanya tujuh langit tembus. Huk
huk huk...!"
"Bangsat! Aku tahu siapa dirimu, kau terlalu
sibuk memikirkan dosa-dosamu, itu sebabnya kau di-
juluki Perenung Dosa. Lihatlah dosa-dosa orang lain
yang begitu banyaknya. Urusilah mereka jangan kau
campuri kepentinganku!" kata Pertapa Seribu Abad.
Rupanya kakek aneh ini sudah kenal dengan Makhluk
Sibuk yang konon dengan petuah-petuahnya membuat
orang menangis tiada henti. Jika Perenung Dosa sudah
menangis, kabarnya binatang dan makhluk hidup
lainnya juga terhanyut dalam tangisnya.
"Hu hu hu...! Aku selalu heran manusia ber-
buat dosa masih bisa tertawa. Tetapi aku lebih heran
lagi Pertapa sepertimu, manusia yang kejahatannya
melebihi setan dipanjangkan umurnya! Hu hu hu...
aku suka merenung bahkan aku tidak pernah berhenti
dari perenungan!" sahut Makhluk Sibuk di tengah-
tengah isak tangisnya yang semakin menggila.
*** 4 Wajah Pertapa Seribu Abad berubah kelam
membesi. Mata tunggalnya yang bulat besar kelihatan
memerah. Semakin lama semakin bertambah merah
laksana darah. Tiba-tiba dia berteriak keras, suara teriakan disusul dengan
melesatnya sinar merah meng-
hantam ke arah tembok. Sosok Mahkluk Sibuk lenyap
dari pandangan mata. Sinar merah menghamparkan
panas luar biasa melabrak tembok benteng.
"Buuuumm!"
Terdengar suara berdebum, tembok hancur
menjadi kepingan debu dan batu-batu kecil, tidak ter-
lukiskan bagaimana seandainya serangan itu menge-
nai manusia. Di bagian lain terdengar suara tangis ter-sendat-sendat. Tidak lama
Pertapa Seribu Abad me-
mandang ke arah itu. Ternyata Perenung Dosa telah
duduk di sana sambil menyeka air matanya.
"Hmm, lebih tenang lagi kau merenung di da-
lam kubur. Aku akan mengirimmu ke sana dengan bo-
cah tolol ini!" dengus mata satu.
Tidak lama Pertapa Seribu Abad mengedipkan
matanya ke arah Suro Blondo. Dua larik sinar merah
menerjang Si Bocah Ajaib dengan kecepatan luar bi-
asa. Suro tertawa bekakakan.
"Orang gila!" Suro menggerutu. "Kau kira aku ini perempuan pake main kedip mata
segala. Kalau pun aku perempuan mana aku mau dengan manusia
jelak sepertimu!" Pendekar Blo'on melompat sejauh dua tombak selamatkan diri.
Pukulan memang menghantam tempat kosong, tetapi hawa pukulan membuat
kulitnya seperti hangus.
Suro leletkan lidah, mulutnya termonyong-
monyong. Tiba-tiba saja pemuda itu menerjang ke de-
pan. Karena serangan pemuda konyol itu sangat cepat
datangnya dan ia sudah mempergunakan jurus 'Tawa
Kera Siluman'. Tidak ada kesempatan lagi bagi Pertapa Seribu Abad lepaskan
pukulan atau mengedipkan ma-ta.
Ia menyambut serangan itu dengan tangan
terkembang merobek dada, kaki kakek mata satu
pun menghantam ke arah perut Suro. Pemuda itu
menghindar ke samping, sedangkan tangannya me-
nangkis. "Dhaak...!"
"Heps...!"
Pemuda ini jatuh terduduk. Tangannya beng-
kak membiru, dari bibirnya sempat terdengar suara
tawa bekakakan. Pertapa Seribu Abad terus mencecar-
nya dengan serangan-serangan dahsyat. Pemuda itu
kalang kabut dan berguling-guling menghindari.
Hingga kemudian terdesaklah pemuda ini. Tiba-
tiba ia bangkit berdiri dan dengan cepat tubuhnya berkelebat lenyap dari
pandangan lawannya. Sementara
itu suara tawa terus terdengar di sekeliling Pertapa Seribu Abad. Suara tawa itu
bagi tokoh berkepandaian
tinggi ini terasa cukup mengganggu juga. Tiba-tiba saja ia berteriak keras.
Tinjunya secepat kilat menghantam wajah Suro. Suro merunduk, ketika kaki menyapu
ke arah pinggang Pendekar Blo'on melompat. Si kakek
mengejar, tapi Suro sudah menjatuhkan tubuhnya. La-
lu dengan bertumpu pada punggungnya, Suro lancar-
kan satu tendangan menggeledek.
"Duuk!"
"Ueh...!"
Kaki menggedor pinggang, tapi malah Suro
yang kaget dan meringis kesakitan.
Tubuh lawannya keras bukan main, terpin-
cang-pincang Pendekar Blo'on bangkit berdiri.
Di saat itulah lawan menyerangnya dengan pu-
kulan yang sulit terelakan. Si Bocah Ajaib tarik kepalanya ke belakang, perutnya
agak ke depan, gerakan-
nya ini terkesan lucu, sebab begitu pukulan beralih ke perut. Maka kepalanya
yang menyentak ke depan be-radu dengan kepala lawannya.
"Bletak!"
"Waduh...!" Suro menggerutu, dengan cepat ia mundur sambil usap-usap keningnya
yang benjol. Ee...
ternyata jidat lawannya juga benjol kok. Pertapa Seribu Abad selain geram juga
kagum karena dengan gerakan
yang serudak seruduk seperti monyet mabuk ternyata
lawan masih mampu menghindar dari serangan-
serangan yang cukup ganas.
"Sungguh bocah ini tidak pernah kusangka
punya kepandaian yang hebat. Gerakannya penuh
dengan keajaiban. Aku telah tertipu dengan penampi-
lannya yang seperti orang goblok tidak punya kepan-
daian apa-apa." gerutu kakek mata tunggal dalam hati.
"Iblis Edan ini tidak boleh dikasih hati. Aku takut dia minta kepalaku! Aku
harus punya satu cara
untuk menghancurkan tubuhnya yang atos itu." pikir Suro Blondo.
Belum lagi Suro sempat mengambil keputusan
yang tepat. Pertapa Seribu Abad sudah menghentak-
kan kedua tangannya masing-masing ke kiri dan ke
kanan. Ketika kedua tangannya disilangkan ke depan
dada. Berubahlah paras Makhluk Sibuk.
'"Sirna Raga?" desisnya. Lalu tangisnya semakin bertambah keras. "Itu adalah
pukulan sekaligus jurus yang paling keji!"
Pendekar Blo'on untuk beberapa saat lamanya
terkesiap. "Kurasa inilah jurus yang mematikan bagiku! Tangannya merah seperti
bara, bau amis ini meru-
pakan tanda di kedua tangannya terkandung racun
yang Maha ganas. Aku tidak mungkin bentrok badan
dengannya!" pikir si konyol. Begitu seriusnya ia menghadapi serangan ganas itu,
sampai-sampai di luar ke-
sadarannya mulutnya sudah pletat pletot.
"Heaaa...! Hancur..." teriak Pertapa Seribu Ab-ad.
'"Neraka Hari Terakhir'! Hyaa...!" teriak Pendekar Blo'on.
Tubuh si kakek mata tunggal yang sudah mele-
sat kencang ke arahnya ini seakan tertahan-tahan di
udara ketika ia melihat sinar merah kehitam-hitaman


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerbu ke arahnya. Sementara itu si kakek juga he-
ran mendengar suara jeritan-jeritan aneh di sekelilingnya. Jeritan itu seakan
datang dari makhluk-makhluk
penghuni neraka. Melihat tidak ada kesempatan ba-
ginya untuk menyelamatkan diri. Sambil memaki ia
pergunakan kedua tangannya untuk melindungi tu-
buhnya. Maka dari sikap menyerang sekarang tangan-
nya diputar hebat.
"Buuuum!"
Pertapa Seribu Abad menjerit tertahan. Ia jatuh
terduduk, nafasnya megap-megap, dadanya sakit se-
perti tertusuk ribuan barang jarum. Wajah laki-laki itu pucat. Memandang pada
murid Penghulu Siluman Ke-ra Putih sekaligus murid Malaikat Berambut Api. Pe-
muda itu tampak lebih konyol lagi. Rambutnya awut-
awutan, bibirnya meneteskan darah, baju bagian de-
pannya sobek. Ia tidak dapat lagi tersenyum, melain-
kan meringis kesakitan.
Suro segera atur jalan nafas, kerahkan tenaga
dalam untuk menyembuhkan luka yang dideritanya.
Dalam hati ia kaget juga 'Pukulan Neraka Hari Terak-
hir' adalah sebuah pukulan pada tingkatan paling
tinggi dan merupakan warisan kakek Dewana. Per-
tapa Seribu Abad bukan saja dapat menangkis seran-
gan maut itu, tapi ia masih bertahan hidup. Suro be-
lum pernah melihat lawan dapat bertahan seperti ini.
Selagi Suro masih memejamkan mata, Pertapa Seribu
Abad menyerbu ke arahnya. Tangannya cepat terayun
menghantam batok kepala Suro. Pemuda ini memang
sempat rasakan adanya sambaran angin, tapi untuk
bergerak mustahil baginya. Karena konsentrasi masih
berpusat pada bagian dada dalam usaha menyembuh-
kan luka. Kalau pun ia paksakan diri, akibatnya dapat membuat tubuhnya lumpuh.
Pada saat yang sangat kritis itu, berkelebat so-
sok bayangan, kemudian terdengar pergelangan tan-
gan seperti patah berderak.
"Aaa...!"
Pertapa Seribu Abad menjerit kesakitan. Tidak
jauh darinya berdiri Makhluk Sibuk.
"Perenung Dosa, mengapa kau campuri urusan
orang lain?" bentak kakek Pertapa. Ia mengurut-urut tangannya. Secara aneh
tangan itu menyambung dan
utuh kembali seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
"Huk hu hu hu...! Mencampuri urusan orang
lain hanya menambah dosa bagiku! Tapi aku akan le-
bih berdosa lagi jika melihat pembunuhan terjadi di
hadapanku, sementara aku hanya bersikap masa bo-
doh!" "Bangsat! Rupanya kau mau minta bagian mati duluan!" geram Pertapa Seribu
Abad. "Untuk apa aku sibuk-sibuk mengurusi amarah
setan. Aku sudah kelewat sibuk memikirkan dosaku
dan dosa umat. Huk huk huk..,!" Makhluk Sibuk tiba-tiba melompat. Sekali
berkelebat ia sudah berada di
atas genteng, nongkrong di sana sambil menangis.
Walaupun Pertapa Seribu Abad bermaksud
mengejarnya, namun di depannya telah menghadang
Pendekar Blo'on. Pemuda itu seka keningnya yang ber-
keringat bercampur debu.
"Punya hubungan apa kau dengan Malaikat Be-
rambut Api?" tanya si kakek.
"Perlu apa kau bertanya" Ingin mengulur waktu
atau mau mengulur jalan menuju akherat" Ha ha
ha...!" dengus Pendekar Mandau Jantan.
"Huh, jangan bermimpi bocah konyol. Dan jan-
gan pula kau kira gurumu manusia yang paling hebat!"
teriak Pertapa Seribu Abad. Tiba-tiba saja secara cu-
rang dan cepat ia mengedipkan matanya. Sinar me-
rah menyambar, Suro berusaha menghindar dengan
cara seperti monyet bergelantungan berpindah tempat.
Ternyata gerakannya yang cepat itu masih kalah cepat
dengan gerakan lawannya. Serangan itu menyambar
selangkangannya. Suro menjerit dan berguling-guling
untuk memadamkan api. Kedua pahanya kiri kanan
melepuh. Ia segera memeriksa. Mulutnya termonyong-
monyong. Untung cuma pahanya saja yang melepuh,
adiknya Suro yang sedang tidur tidak apa-apa.
"Bangsat betul kau. Sasaran lain masih ba-
nyak, kau malah memilih pusaka milik perempuan!
Aku benar-benar tidak terima lahir batin." maki Suro.
"Set!"
Pendekar Blo'on cabut senjata ampuh Mandau
Jantan di balik pakaiannya. Sinar hitam berkeredep
menyilaukan mata. Ketika Suro mengalirkan tenaga
dalam ke bagian senjata itu, maka semakin menghi-
tamlah Mandau Jantan di tangannya.
"Inilah senjata maut yang menghebohkan itu!"
batin Pertapa Seribu Abad. Tiba-tiba saja ia membeset lengannya dengan
mempergunakan ujung jemari tangannya. Sesuatu yang sangat mengerikan dan sulit
di- percaya terlihat. Si kakek mengambil benda putih kecil sepanjang siku. Senjata
itu tersimpan di bawah kulit di
dalam daging tangan Pertapa Seribu Abad. Di atas gen-
teng tangis Makhluk Sibuk semakin menjadi-jadi. Se-
mentara Suro yang sempat tercengang leletkan lidah-
nya. Kemudian ia menggerakkan senjata di tangannya.
Sinar hitam bergulung-gulung disertai dengan terden-
garnya suara meringkik, menangis dan suara tawa.
Suara yang aneh-aneh itu jelas berasal dari empat
buah lubang miring yang terdapat di cekungan pipih
yang terdapat di tengah-tengah mandau.
Walaupun sahabat Sang Maha Sesat ini sempat
kaget juga. Namun ia segera putar pedang tipis pendek yang dikenal dengan nama
'Perenggut Jiwa Penghancur Sukma'. Inilah pertempuran yang paling sengit pe-
nuh bahaya yang pernah dihadapi oleh Pendekar Ko-
nyol Suro Blondo. Sebab ketika itu masing-masing pi-
hak telah mengerahkan segenap kesaktian dan jurus-
jurus yang mereka miliki.
Sinar hitam dan sinar merah saling mendesak,
mengurung atau terkadang menerobos pertahanan
lawannya. Suro secara silih berganti merubah jurus-jurus serangannya. Kini ia
bahkan mempergunakan
jurus 'Kacau Balau', untuk menghindari tusukan dan
sabetan senjata lawan. Pemuda ini terhuyung kian
kemari, gerakannya tidak beraturan sulit ditebak,
bahkan Pertapa Seribu Abad sendiri sampai sejauh
itu tidak dapat memecahkan jurus lawan yang penuh
dengan bermacam-macam keanehan. Pertapa Seribu
Abad melompat mundur seperti frustrasi, sebaliknya
Suro melompat maju. Lalu tusukkan senjata ke lam-
bung si kakek. Orang ini menepisnya dengan memper-
gunakan senjata.
Tring...! Dua-duanya terhuyung ke belakang. Pucat wa-
jah Suro, tapi lawannya lebih pucat lagi. Benturan tadi membuat Suro merasa
tangannya panas seperti terba-
kar. Sampai-sampai Suro membolang-balingkan senja-
tanya untuk menghilangkan hawa panas yang menye-
rang tangannya.
Kesempatan yang sekejap itu tidak disia-siakan
Pertapa Seribu Abad. Ia menerjang ke depan sambil
tusukkan pedang 'Perenggut Jiwa Penghancur Sukma'.
Terdengar suara mendesing menyakitkan telinga. Suro
berkelit ke samping selamatkan diri. Tangannya te-
rangkat, lalu diayunkannya Mandau Jantan menera-
bas pangkal lengan si kakek.
"Hiiiiiik! Huuuuu! Ha ha ha...!"
Seiring dengan terdengarnya suara mandau
yang aneh-aneh itu. Maka....
"Traas!"
"Auuuukh...!"
Pertapa Seribu Abad menjerit kesakitan. Poton-
gan tangan berikut pedangnya terjatuh. Pedang diten-
dang oleh si konyol sesuka hatinya. Senjata itu melesat ke udara. Tapi begitu
sampai di angkasa terdengar suara ledakan yang sungguh dahsyat sekali.
Keanehan lagi-lagi terjadi pada lawannya. Si
kakek mata tunggal ini tiba-tiba menjerit seperti orang yang urat-urat di
sekujur tubuhnya dicabuti. Suro ter-lolong-lolong, terlebih-lebih ketika melihat
Pertapa Seribu Abad ambruk seperti orang lumpuh kehilangan
tenaga dan kekuatan.
"Huk huk huk! Aku manusia paling sibuk,
kau pendekar tolol tidak perlu sibuk memikirkan apa
yang terjadi pada Pertapa Seribu Abad. Ketahuilah,
bahwa pedang Perenggut Jiwa Penghancur Sukma me-
rupakan sumber kekuatannya. Ia juga sumber kesak-
tian orang itu, kau telah menendangnya secara tidak
sengaja. Kau tolol tapi pintar. Jika pedang itu terpisah sepuluh tombak dari
tuannya, maka seperti yang kau
saksikan itulah yang terjadi padanya." Makhluk Sibuk
mengisiki. "Oh begitu. Ha ha ha...! Jadi setan jelek itu ada kelemahannya. Nah sekarang aku
harus buat perhi-tungan padanya!" Dengan penuh kegeraman Suro
menghampiri. Mandau Jantan ditimang-timangnya.
"Hancur pakaianku harus diganti dengan kulitmu. Aku juga ingin mencabuti gigimu
yang jelek itu. Kemudian
matamu yang menyalahi kodrat dan tidak pada tem-
patnya harus kupindahkan ke sebelah kiri. Nah apa
usulmu Pertapa Seribu Abad!" tanya Suro, cengar cengir namun serius.
"Bangsat! Kalau kau mau membunuhku. bu-
nuh saja. Tidak perlu kau menyiksaku!' dengus si ka-
kek. Ia mengedipkan matanya. Namun tidak menim-
bulkan reaksi apa-apa. Ia benar-benar telah kehilan-
gan kesaktiannya.
"Mati bagimu terlalu enak, kau harus merasa-
kan penderitaan yang menyakitkan. Nah sekarang
akan ku mulai dari gigimu, matamu tentu saja yang te-
rakhir kali mendapat giliran, agar mata yang cuma sa-
tu itu dapat melihat Mandau ini melakukan tugasnya!"
kata Suro, lalu tersenyum sinis. Pada waktu itu pula ia mendengar suara bisikan.
"Apa nanti kata orang kau seorang Pendekar.
Tapi menyakiti dan menganiaya orang yang sudah ti-
dak berdaya. Bukankah itu merupakan tindakan yang
sangat pengecut?" Suro memandang ke atas genteng.
Makhluk Sibuk alias Perenung Dosa sudah tidak terli-
hat lagi. Tapi Suro konyol tetap merasa yakin yang
mengisiki barusan pastilah Perenung Dosa.
"Buah...! Kalau saja aku tidak takut disebut
pengecut. Sekarang kau pasti telah merasakan pemba-
lasanku. Nanti setelah kawan-kawanmu kukumpulkan
di sini. Kalian bersama-sama akan menuju ke Alam
Baka!" kata Suro. Pemuda bertampang konyol ini lalu
menghampiri Pertapa Seribu Abad. Lalu tiba-tiba saja
ia meremas tongkat milik si kakek. Tiba-tiba orang ini merasakan sekujur
tubuhnya menjadi kaku. Ia hendak
memaki karena sikap si pemuda yang konyol itu. Tapi
suaranya tidak terdengar. Si Bocah Ajaib kemudian
tertawa tergelak-gelak menuju ke istana. Lalu terden-
gar suaranya....
"Totokan pada tongkat membuat orang tidak
dapat bergerak dan bicara. Lebih dari itu ia tidak
mungkin bisa kurang ajar pada wanita selama lima ta-
hun! Sungguh manusia tidak berguna jika sudah lum-
puh segala-galanya...!"
"Manusia edan keparat!" maki Pertapa Seribu Abad tanpa mampu berbuat apa-apa.
*** 5 Malaikat Penderitaan menelusuri Lorong Raha-
sia di belakang istana. Dalam kesempatan itu pula ia
melihat ada seorang laki-laki menghadang di depan
kakek itu. Malaikat Penderitaan memandang ke depan.
Kedua matanya menyipit seakan ingin menyelidik.
"Aku Malaikat Penderitaan, sebaiknya orang di
depan menyingkir! Aku tidak mau cari perkara cari
urusan." gumam si kakek pelan suara.
"Aku memang sengaja menunggu kedatangan-
mu ke sini. Ternyata kau datang juga. Nah... sekarang serahkanlah kitab yang kau
bawa. Surat Kedamaian
Dunia isinya tidak boleh diketahui oleh orang lain. Dia harus dimusnahkan dari
muka bumi ini!"
Malaikat Penderitaan tertawa, namun tawanya
seperti orang yang sedang menangis.
"Hak hak hak. Mendengar permintaanmu
hanya membuat aku menderita. Kau tidak punya hak
apa-apa atas surat yang kubawa. Menyingkirlah!" tegas kakek bermuram durja itu
sinis. Laki-laki di depannya tarik salah satu kakinya
ke belakang. Tampaknya ia telah siap melakukan se-
suatu. "Malaikat Penderitaan." dengus laki-laki misterius di depannya sengit.
"Engkau, aku atau siapa saja sekarang ini tidak jauh bedanya dengan orang yang
sedang melakukan perjalanan ke alam baka. Surat
Kedamaian Dunia paling tidak harus kuketahui apa
isinya, jika kau ingin terselamat dari perjalanan itu.
Tetapi jika kau tidak menuruti kehendakku. Maka se-
sungguhnya perjalanan yang kau tempuh begitu sulit
mendaki dan penuh onak duri!"
"Huh huh huh....! Hidupku sepenuhnya kugan-
tungkan pada Gusti Allah. Jika hari ini Ia memanggil-
ku untuk kembali, maka sedikit pun tiada berat bagi-
ku. Aku menerima semua yang terjadi dan yang sudah
menjadi garisku dengan ikhlas. Namun jika kau me-
minta sesuatu yang menjadi tanggung jawabku, maka
aku akan mempertahankannya hingga titik darah yang
terakhir!" tegas Malaikat Penderitaan.
"Lebih baik kau ingkari, di sini hanya aku dan
kau saja, tidak ada siapa-siapa yang melihat. Jika kau penuhi keinginanku ini,
maka sepuluh puteri raja yang cantik-cantik menjadi milikmu, kau juga berhak
men-duduki tahta kerajaan menggantikan raja Lalim Durja-
na. Aku juga akan mengupayakan agar seluruh harta
benda peninggalan hartawan Abdi Banda menjadi mi-
likmu!" bujuk laki-laki misterius.
"Huh, lezatnya kenikmatan dunia memang se-


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mua orang ingin memiliki. Tapi ketahuilah, kau me-
minta pada orang yang salah, waktu yang kurang te-
pat. Wahai Sang Maha Sesat, jika kau berikan apa
yang kau janjikan itu pada orang yang mencintai kehi-
dupan dunia, mungkin mereka tidak akan menolak.
Malah mereka terus merasa kekurangan. Namun bagi-
ku dunia ini tidak ada apa-apanya. Sungguh pun kau
persembahkan bintang di tangan kiriku dan seribu bi-
dadari cantik di sebelah kananku! Kau tidak dapat
mengelabuhi aku. Pergilah, sebelum kesabaranku ha-
bis!" bentak Malaikat Penderitaan.
Sang Maha Sesat yang menyamar menjadi seo-
rang laki-laki tidak dikenal itu terkejut sendiri. Ia selalu kehilangan cara
untuk menghadapi Malaikat Pende-
ritaan, tokoh pikir, berilmu dan juga mengetahui sesuatu di balik kejadian.
Baginya lebih baik menghadapi
dan menggoda sejuta manusia yang bodoh dan punya
pengetahuan dan ilmu kesaktian terbatas, walaupun
sepanjang pagi dan malam berbakti pada TuhanNya.
"Meminta dengan cara baik-baik kau tidak
memberi. Kukira tidak ada salahnya jika sekarang aku
harus merampas kitab berisi surat Maha penting itu!
Lihatlah...!"
Si kakek memandang ke depan. Terlihat oleh-
nya rambut laki-laki itu berubah menjadi ribuan ekor
ular berbisa. Ketika laki-laki jelmaan Sang Maha Sesat ini menyentakkan
kepalanya ke belakang. Dua puluh
ekor ular besar meluncur deras meninggalkan kepala
laki-laki itu. Ular-ular tersebut langsung menyerang si kakek dengan mulut
ternganga siap memagut.
Malaikat Penderitaan lepaskan baju putihnya,
bibirnya mendesis. Baju diputar dengan cepat. Yang
keluar dari baju itu bukan saja hanya angin kencang
menderu-deru, tapi juga sepuluh sinar api berbentuk
memanjang berukuran lebih besar dan bergerak cepat
memangsa ular-ular jejadian tersebut.
"Tub! Tub! Tub!"
"Ssst!"
"Byaar!"
Dua puluh ekor ular besar berbisa ber-
warna hitam lenyap ditelan sepuluh lidah api yang
bentuknya menyerupai ular besar. Malaikat Penderi-
taan menyerbu ke depan. Baju saktinya ia kebutkan ke
arah Sang Maha Sesat. Laki-laki itu melompat mun-
dur, namun masih sempat terdengar suara raungan-
nya. Tiba-tiba sambil terhuyung-huyung ia membu-
ka mulutnya lebar-lebar. Mata Sang Maha Sesat seka-
rang telah berubah merah seperti bara. Itulah ujud asli mata setan. Kemudian
dari mulut yang terbuka itu terlihat ada ular besar yang meluncur keluar. Ular
itu bergerak meluncur ke arah si kakek. Panjang ular jejadian itu tidak kurang dari
dua batang tombak. Ular itu kemudian membelit si kakek. Kali ini kakek
berjenggot putih itu kelihatan agak kewalahan. Ia berusaha membebaskan diri dari
belitan ular yang semakin menye-
sakkan pernafasannya.
"Haaaaaa...!"
Malaikat Penderitaan melolong panjang. Dari
bagian kepala hingga sekujur tubuhnya tiba-tiba beru-
bah mengecil dan licin berselimut lendir. Karena peru-bahan itu terjadi secara
tiba-tiba, praktis ia dapat
membebaskan diri dari belitan ular tersebut.
Begitu dirinya terbebas dari ular milik Sang
Maha Sesat, maka bajunya langsung dikibaskan.
"Braak!"
Terjadi keanehan, ular tadi terpental dan tu-
buhnya terpotong menjadi dua. Namun begitu menyen-
tuh tanah, ular jejadian itu pun lenyap tidak mening-
galkan bekas. "Maha Sesat yang selalu memperdaya manusia,
menipu manusia, menjerumuskan, menyesatkan den-
gan berbagai macam cara. Apalagi yang akan kau la-
kukan untuk mencapai keinginanmu?"
"Inilah dia....'"
Maha Sesat tiba-tiba saja mengangkat kedua
tangannya ke udara. Tangan itu lalu diputar-putarnya.
Maka tidak lama kemudian menyemburlah lidah api
yang dalam waktu singkat telah membesar dan mela-
hap tubuh Malaikat Penderitaan.
Kakek berjanggut panjang berkemak-kemik.
Wajahnya tertunduk sedangkan kedua tangannya ten-
gadah. Tiba-tiba di dalam lorong itu entah dari mana
datangnya berhembuslah angin dingin bercampur air.
Angin kencang itu menyapu habis sekaligus mema-
damkan api yang diciptakan oleh Sang Maha Sesat.
Laki-laki penjelmaan bapak moyang setan ini terkejut.
Dua kali ia bermaksud membuat hangus lawannya.
Namun kelihatannya apa yang dilakukannya tidak
mendatangkan hasil sebagaimana yang diharapkan-
nya. Malaikat Penderitaan begitu terbebas langsung
lepaskan pukulan 'Mengusir Iblis Merenggut Amal'.
Kedua tangan si kakek yang didorongkannya ke depan
itu tampak memutih. Sinar putih laksana cahaya na-
mun menyejukkan itu spontan melabrak lawannya
Sang Maha Sesat menghindar. Akan tetapi sinar putih
terus mengejarnya kemana pun lawan menghindar.
Hingga kemudian satu sentuhan lembut menghantam
tubuh jelmaan Sang Maha Sesat. Laki-laki itu menjerit keras. Ujudnya menjadi
gumpalan kabut tipis. Malaikat Penderitaan segera dapat merasakan adanya bau
wangi bunga mayat. Jeritan Sang Maha Sesat terus
terdengar, semakin lama semakin menjauh. Lalu
sayup-sayup terdengar suaranya penuh ancaman...
"Malaikat Penderitaan! Aku boleh kalah hari ini
karena keteguhanmu. Tapi aku akan terus berusaha
menggoda anak cucu manusia, memperdaya mereka
hingga di hari kiamat nanti mereka menjadi pengikut-
pengikut dan temanku di neraka. Ha ha ha...!"
"Oh... aku menderita mendengar ancamanmu,
apa yang menjadi hakmu tetap hakmu, tapi apa yang
menjadi hak Gusti Allah akan tetap kembali kepa-
daNya!" sahut Malaikat Penderitaan. Akhirnya sambil berkeluh kesah tentang
penderitaannya ia terus menelusuri ruangan rahasia yang ternyata cukup luas ba-
gaikan istana kedua.
* * * Mayat Bias Pati, Manggar Kesuma dan Ubuda-
na masih terus dibawa-bawa oleh Lima Utusan Akhe-
rat. Padahal ketika itu mereka sudah jauh berada di
dalam kerajaan yang telah ditinggalkan oleh rajanya.
"Kita tidak menemukan apa-apa di sini. Apa
mungkin Surat Kedamaian berada di tangan Malaikat
Penderitaan?" tanya Malai Berung.
"Hal itu tidak dapat dibantah lagi. Aku ikut
mendengarkannya ketika Malaikat Penderitaan bicara
pada Suro Blondo." kata Puspita.
"Mungkinkah Anak Langit sudi datang ke sini.
Sedangkan aku pernah mendengar di sinilah tempat
kerusakan tingkah laku manusia?" tanya Kalingga Ja-ti.
"Sesuatu yang baik terkadang bisa saja datang
di tempat-tempat yang buruk sekali pun. Walaupun
tempat itu yang paling kotor di dunia!" jawab Dunga.
"Aku tidak melihat Raja Kodok. Aku khawatir
terjadi sesuatu yang tidak diingini padanya!" kata Puspita. "Kurasa ia sudah
sampai di sini. Coba sekarang kita sebaiknya mencari tahu dimana dia?" usul Den-
dra. Maka Puspita Sari dan Lima Utusan segera ber-
gegas memeriksa setiap ruangan yang ada. Pada waktu
itu pula pintu di belakang mereka tertutup dengan
hempasan yang sangat keras.
"Blaam!"
"Celaka! Kita terjebak!" desis Engku Bonang.
Kemudian terdengar suara tergelak-gelak. Me-
reka yang masuk ke dalam perangkap itu pun saling
berpandangan. "Setiap orang yang datang adalah tamu, tamu
harus dimuliakan. Tapi jika tamu tidak tahu perada-
tan, maka kecelakaan besar baginya! Ha ha ha...!"
"Siapa kau?" bentak Puspita Sari.
"Aku adalah orang yang dipercaya menjalankan
tugas di sini! Nasib kalian tidak berbeda dengan nasib Pendekar Lugu dan Raja
Kodok! Sekarang lihatlah ke-cerdikanku!" dengus sebuah suara.
Kemudian secara tidak terduga-duga dari setiap
penjuru sudut menerobos asap berwarna putih kebiru-
biruan. Asap yang menebarkan bau wangi namun
mengandung racun keji itu memang tidak terlihat nya-
ta. Akan tetapi keberadaannya sungguh sangat mem-
bahayakan!"
"Aku mencium bau yang sangat wangi. Eh...
ekh...." Datuk Paja tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba saja
ia tersungkur. Hidung
Suling Emas 14 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Pendekar Naga Mas 4
^