Api Di Bukit Menoreh 11
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 11
Dengan hati-hati maka pasukan kecil itupun semakin lama menjadi semakin dekat dengan medan. Mereka tidak terlalu sulit untuk merenungkannya, karena arahnya sudah pasti. Mereka tinggal menyusuri lembah itu. dan mereka tidak akan salah arah.
Beberapa puluh langkah lagi kedepan, maka seperti yang mereka duga, nampak obor yang menebar di pertempuran.
"Kita sudah sampai," berkata Ki Gede Menoreh, "kita akan mencari hubungan dengan pasukan Mataram atau dengan Prastawa dan Ki Waskita."
"Kita akan memastikan diri, apa yang akan kita lakukan Ki Gede," sahut Agung Sedayu.
"Ya. Dan kita tidak boleh salah hitung, karena pada kita terletak pertanggungan jawab terbesar atas pusaka-pusaka ini."
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi wajahnya nampak berkerut oleh ketegangan didalam hatinya.
Sementara itu, dua orang penghubung telah diperintahkan oleh Ki Gede Menoreh untuk mencari hubungan. Mereka harus mendapatkan gambaran dari seluruh medan dibagian Barat.
Sepercik kecemasan telah tumbuh dihati Ki Gede Menoreh. Jika dibagian Barat ini dengan mudah dapat ditembus oleh lawan, maka apakah pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak berdaya sama sekali. Sementara itu, dengan berdebar-debar pula Ki Gede mulai menilai seluruh pertempuran meskipun hanya sekedar dari tebaran dan jumlah obor.
Pertempuran itu agaknya benar-benar merupakan pertempuran yang besar.
"Seharusnya pertempuran itu berhenti ketika gelap turun," tiba-tiba saja Ki Gede bergumam.
Agung Sedayu berpaling kearahnya. Dengan suara datar ia berkata, "Seharusnya Ki Gede. Tetapi orang-orang di lembah ini tentu tidak akan memaksa diri untuk mengetrapkan unggah-ungguh peperangan. Jika mereka merasa malam justru menguntungkan, maka mereka akan mempergunakan malam itu untuk kepentingan mereka."
Ki Gede mengangguk. Namun kemudian katanya, "Kita akan beristirahat sejenak. Kau tentu masih lelah, dan kakiku masih terasa sedikit mengganggu."
Ki Gedepun kemudian duduk diatas sebuah batu. Pusaka yang ditangannya sama sekali tidak dilepaskannya. Digerakkannya kakinya yang setiap kali kambuh, justru pada saat-saat yang gawat. Sementara Agung Sedayupun telah duduk pula disebuah batu yang lain untuk melepaskan lelahnya pula. Dalam pada itu. para pengawal menebar disekilar kedua orang yang sedang memegang pusaka yang telah berhasil dirampas itu. Meskipun mereka ikut beristirahat pula. tetapi merasa tidak meninggalkan kewaspadaan. Karena itulah maka mereka telah berada disegala arah untuk mengawasi keadaan, karena mereka berada didaerah yang gawat dan kurang mereka kuasai keadaannya. Apalagi dalam gelapnya malam, sementara obor mereka yang kecil menjadi semakin kecil dan tidak berdaya lagi mencapai jarak yang cukup, selain sekedar untuk melihat selangkah didepan kakinya sendiri.
Dalam pada itu. dua orang merayap mendekati medan. Mereka mencoba mengenal pertempuran itu dari jarak yang semakin dekat. Dari cahaya obor. mereka mulai dapat membedakan siapakah yang ada dimedan.
Dengan hati-hati kedua orang itu mencari seseorang yang mereka kenal, terutama pengawal Tanah Perdikan Menoreh, meskipun dengan demikian berarti bahwa merekapun harus berada dimedan.
"Kau tinggal disini," berkata salah seorang dari kedua pengawal itu, "aku akan berada dipertempuran itu."
"Kenapa aku harus tinggal disini" " bertanya kawannya.
"Jika setelah aku memasuki medan dan aku tidak sempat keluar, maka kau harus memberitahukannya kepada Ki Gede."
"Ah. Jika kemungkinan tidak ada, kenapa kau harus mendekat. Yang kita saksikan sudah cukup meyakinkan, bahwa pertempuran itu sampai saat ini masih belum dapat menentukan, siapakah yang akan menguasai medan. Kita sudah dapat melihat, bahwa pertempuran itu bagaikan bercampur baurnya kawan dan lawan."
"Jadi, apakah kau sangka dengan demikian sudah cukup" Kita bukan sekedar melihat pertempuran itu. Tetapi kita akan mencari hubungan."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam.
"Tinggallah disini. Tunggulah beberapa saat. Jika aku tidak kembali, tinggalkan aku dimedan."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi kecemasan nampak membayang diwajahnya.
Yang seorang tidak menunggu lebih lama. Nampaknya ia tidak menghiraukan lagi kawannya, meskipun sebenarnya ia menyadari, bahwa kawannya yang masih belum berpengalaman benar-benar menjadi cemas.
"Apa boleh buat," desisnya, "tugas ini harus dilakukan."
Sepeninggal kawannya, pengawas yang seorang menjadi semakin cemas. Bukan saja tentang nasib kawannya, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Rasa-rasanya didalam gelapnya malam, berpuluh-puluh pasang mata sedang mengintipnya dari balik kegelapan.
Dengan memaksa diri pengawal itu mengatasi kengerian dihatinya. Ia berkewajiban untuk tinggal ditempatnya menunggu kawannya yang mencari hubungan kemedan. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat ikut serta, karena jika demikian, apabila kedua-duanya mengalami kesulitan, tidak ada orang yang akan dapat melaporkan lagi kepada Ki Gede Menoreh.
Sementara itu, kawannya telah mendekati medan dengan senjata ditangan. Ketika ia sekilas melihat seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh sedang bertempur, maka iapun segera mendekatinya dan ikut melibatkan diri kedalam pertempuran itu.
"He, kau." desisnya sambil bertempur bersama.
Namun ia tidak banyak mendapat kesempatan. Ketika pertempuran itu bergeser seperti geseran air tersentuh batang yang tergelincir kedalamnya. maka kawannya telah tergeser pula, dan ia harus bertempur menghadapi orang lain.
Tetapi segera ia mendapat kesimpulan, bahwa jumlah dan kekuatan kedua belah pihak agaknya memang berimbang.
"Pertempuran itu dapat berlangsung tujuh hari tujuh malam," katanya didalam hati, "jika tidak ada perubahan keseimbangan, maka sampai pada batas terakhir, akan tinggal dua orang saja yang masih hidup dan bertempur sampai yang seorang terbunuh."
Tetapi ia tidak dapat membiarkan dirinya terseret oleh angan-angannya karena senjata lawannya hampir saja mengenai hidungnya.
Namun tiba-titia geseran berikutnya, telah menempatkannya pada lingkungan yang lebih menguntungkan. Beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh sedang berusaha mempertahankan kedudukan masing-masing dalam kerja sama yang rapi.
"Bagus," desis penghubung itu, "orang tua itu tentu berhasil mempertahankan kedudukannya."
Penghubung itupun kemudian berusaha untuk bergeser pula meskipun bagaikan menentang arus. Namun perlahan-lahan ia berhasil mencapai kawan-kawannya yang sebagian besar sudah dikenalnya dengan baik.
"Dimana Prastawa?" pertanyaan itulah yang pertama-tama dilontarkan.
Seorang dari pengawal itu berpaling sejenak. Kemudian jawabnya, "Ia berada diinduk daerah pertempuran ini."
"Aku ingin menemuinya. Tetapi apakah kau dapat memberikan beberapa keterangan?"
Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia meninggalkan lawannya yang segera mendapat lawan yang lain bersama pengawal yang bertugas sebagai penghubung itu keluar dari arena.
"Pertempuran sudah tidak terlalu keras. Tetapi masing-masing memang berusaha untuk menjaga harga diri. Tidak ada diantara kedua pihak untuk mau mendahului memberikan tawaran untuk menghentikan pertempuran meskipun kami sudah sangat letih. Perut kami menjadi sangat lapar, dan leher kami bagaikan kering."
"Diperkemahan orang-orang yang berada dilembah ini sedang sibuk menyiapkan makanan."
"Tidak ada diantara kami yang melakukan hal itu."
"Kenapa?" "Prastawa tidak memerintahkan."
"Ia masih terlalu muda. Apakah ia sendiri tidak lapar dan haus."
"Tetapi biarlah. Kita akan berusaha merampasnya jika lawan memberikan kesempatan kepada kawan-kawan mereka."
"Sulit. Mungkin mereka mempunyai cara yang khusus. Jika perlu, biarlah kami melakukannya."
"Tetapi apakah yang akan kau katakan?"
"Ki Gede mendekati medan ini bersama Agung Sedayu. Aku ingin mengatakannya kepada Prastawa."
"Apakah persoalanmu sudah selesai?"
"Sudah. Tetapi yang masih kami perlukan adalah keterangan tentang medan. Aku melihat pihak lain diarena ini. Atau aku sudah tidak dapat melihat lagi dalam keremangan malam yang hanya diterangi dengan obor-obor kecil itu" "
Penghubung itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan nada datar ia berkata, "Pasukan Mataram sudah berada dimedan ini pula agaknya. Jika demikidan, pertempuran ini benar-benar merupakan pertempuran yang kacau. Bukan saja perang brubuh, tetapi campur baur yang kisruh."
"Tidak. Masih ada batas. Prastawa memang memilih gelar Glatik Neba," jawab pengawal itu, "tetapi agaknya disebelah Timur masih terdapat gelar."
Penghubung itu mengangguk-angguk. Kemudidan katanya sambil melapaskan lawannya, "Aku akan mencari Prastawa."
"Ia berada diinduk Pasukan."
Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan Prastawa didalam perang yang kacau itu. Namun demikian, akhirnya ia menemukannya juga diantara beberapa orang pengawal. Sementara tidak terlalu jauh dari padanya, terdapat seorang anak muda yang sedang mengamuk seperti seekor banteng.
"Raden Sutawijaya,"desisnya, "ia berada dimedan ini juga."
Pengawal itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian berusaha untuk mendekati Pratawa. Beberapa lama baru ia berhasil. Sambil mengikuti gerak pertempuran di induk pasukan, maka iapun kemudian melaporkan kepada Prastawa, apa yang sudah terjadi.
"He," Prastawa terkejut, "orang yang bernama Ki Gede Telengan dan Tumenggung Wanakerti sudah mati?"
"Ya. Keduanya dibunuh oleh Agung Sedayu."
"Kau gila, katakan yang sebenarnya."
"Ya. Dibunuh oleh Agung Sedayu."
"Tutup mulutmu, atau aku sumbat dengan ujung pedang. Aku tidak tahu siapakah keduanya. Tetapi karena keduanya memiliki tugas-tugas khusus tentu kedua orang-orang yang berilmu."
"Ya. Keduanya memang orang yang pilih tanding. Tetapi keduanya telah dibunuh oleh anak muda dari Sangkal Putung itu."
"Kalau kau sebut sekali lagi, aku bunuh kau." Pengawal itu menjadi heran. Tetapi ia benar-benar tidak berani mengatakannya lagi.
"Bagaimana dengan paman Argapati."
"Aku diperintahkannya mencari hubungan. Pasukannya sudah dekat dibelakang medan ini. Kami akan segera menggabungkan diri."
"Bagus. Kita akan segera menyelesaikan pertempuran ini dan menghancurkan orang-orang tamak yang menyebut dirinya pendukung Kerajaan Agung Majapahit."
"Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Gede. Sebentar lagi pasukan kami akan datang."
"Pergilah. Aku akan menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya."
Penghubung itu mengangguk. Iapun kemudian menarik diri dari peperangan dan kembali untuk menemukan kawannya dipersembunyiannya yang gelap dan sepi.
Ketika ia menemukannya, maka kawannya itu hampir tidak tahan lagi menunggu. Tubuhnya menjadi gemetar dan peluh dingin mengalir diseluruh tubuhnya.
"Uh. kau lama sekali. Aku hampir beku disini."
"Aku hampir luluh dimedan yang panas."
"Disini dingin sekali."
"Marilah. Kita melaporkannya kepada Ki Gede. Medan itu merupakan medan yang kacau balau."
Dengan tergesa-gesa keduanya pergi menghadap Ki Gede Menoreh yang telah menunggu dengan gelisah. Dengan jelas, penghubung itu melaporkan apa yang telah dilihatnya.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. "Gelar Glatik Neba agak terlalu berbahaya bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Gelar itu merupakan hantu bagi lawan, jika jumlahnya cukup dan secara pribadi para pengawal memiliki kemampuan yang tinggi."
"Prastawa menilai pasukannya seperti ia menilai dirinya sendiri. Mungkin ia sendiri dapat membuat kejutan-kejutan dimedan perang brubuh. Tetapi para pengawal muda akan menjadi gelisah. Apalagi dalam pertempuran yang sangat panjang," berkata Ki Gede Menoreh.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia membayangkan kesulitan yang dialami oleh para pengawal, terutama yang masih sangat muda. Muda umurnya dan muda pengalamannya.
"Marilah," Ki Gede tiba-tiba saja menjatuhkan perintah, "kita akan segera berangkat."
Pasukan kecil itupun segera mempersiapkan diri. Mereka menyalakan kembali obor-obor yang sebagian telah dipadamkan. Kemudian dengan hati-hati mereka menyusuri jalan diantara pepohonan hutan mendekati medan.
"Angger Agung Sedayu," berkata Ki Gede, "mungkin tenaga kita akan diperlukan dimedan. Karena itu. biarlah kedua pusaka ini dibawa oleh dua orang pengawal yang dapat dipercaya. Salah seorang dari kita akan mengawal pusaka ini bersama beberapa orang pilihan, sedang salah seorang lagi langsung memasuki medan."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak.
"Aku akan mengawal pusaka ini," berkata Ki Gede Menoreh, "jika aku cukup beristirahat, kakiku tidak akan mengganggu aku lagi."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Baiklah Ki Gede. Aku akan memasaki medan! Tetapi baiklah kita berjanji. Jika Ki Gede mengalami kesulitan, berilah tanda khusus, sehingga aku akan segera datang membantu."
"Panah sendaren. Aku akan memerintahkan melepaskan tiga buah panah sendaren berturut-turut. Panah itu akan melintasi medan, sehingga kau akan dapat mendengarnya."
Agung-Sedayu mengangguk. Sejenak kemudian Ki Gede telah membagi pengawalnya. Sepuluh orang bersama dirinya sendiri, telah mengawal dua orang yang membawa pusaka itu. sementara yang lain mengikuti Agung Sedayu dibelakang penghubung yang telah menjumpai Prastawa sebagai petunjuk jalan. Sementara seorang yang tinggal telah selalu siap dengan busur dan anak panah sendaren jika setiap saat diperlukan.
Sepeninggal Agung Sedayu, Ki Gedepun selalu bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, justru karena kedua pusaka itu berada dibawah tanggung jawabnya. Karena itu. maka iapun telah mengatur pengawasan dengan sepuluh orang yang ada. Seluruhnya harus bersiaga.
Sementara itu, ia mulai berpikir juga tentang persediaan makan bagi orang-orangnya yang terlibat didalam perang. Ia sama sekali tidak membawa persediaan. Jika satu dua orang sempat kembali ke mulut lembah maka mereka akan dapat mengambil beberapa macam alat dan persediaan makanan.
"Tetapi itu akan memerlukan waktu yang lama sekali," katanya didalam hati.
Karena itu, maka yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu perkembangan keadaan. Ia masih ingin melihat, bagaimana cara orang-orang dilembah itu memberikan persediaan makan dan minum kepada orang-orangnya yang masih bertempur dimedan.
"Mudah-mudahan para pengawal Mataram dan Sangkal Putung membuat persediaan itu, sehingga pasukan yang mengurung lembah ini tidak akan lumpuh karena kelaparan."
Dalam pada itu. Agung Sedayu sudah mendekati lembah, ia sudah melihat semakin jelas cahaya obor yang menerangi medan. Bahkan ia sudah dapat melihat, pertempuran yang seru antara kedua belah pihak. Iapun sudah dapat membedakan, yang manakah pengawal Tanah Perdikan Menoreh, yang mana pasukan pengawal dari Mataram dan yang manakah orang-orang yang berada dilembah itu.
"Kita akan segera memasuki medan," berkata Agung Sedayu kepada para pengawal Tanah Perdidkaii Menoreh.
"Kita akan bergabung dengan kawan-kawan yang terdahulu," desis seseorang.
"Ya bukankah kau lihat, mereka masih sedang bertempur dengan sengitnya" Tetapi sudah nampak tenaga mereka mulai susut. Baik dari pihak kita, maupun dari pihak lawan. Agaknya orang-orang dilembah ini tidak mau menghentikan perang menjelang malam. Mereka akan menyelesaikan sampai tuntas," jawab Agung Sedayu.
Para pengawal itu tidak menjawab. Namun nampak tenaga mereka pun sudah mulai susut pula. Mereka lelah bertempur hampir sehari penuh. Sementara mereka sama sekali tidak mendapatkan makan apapun juga.
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat memikirkan, Ia menyerahkan kemungkinan untuk mendapatkan makanan kepada pimpinan pasukan. Mungkin ia sudah melakukan sesuatu bagi anak buahnya.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah memasuki medan. Oleh penghubung yang membawanya ia tidak langsung di serahkan kepada Prastawa, karena ternyata Ki Gede tidak ikut bersama pasukan itu. Apalagi sikap Prasiawa agak mengherankan penghubung itu, bahwa agaknya Prastawa tidak senang mendengar berita kemenangan Agung Sedayu yang sudah berhasil membunuh dua orang pimpinan Utama dari pasukan lawan.
Karena itu, maka Agung Sedayu ternyata telah berada disayap pasukan. Diluar sadarnya, ia teluh berada dimedan yang bertentangan dengan medan yang para pengawal Mataram dipimpin oleh Ki Lurah Dipajaya bersama Ki Sumangkar.
Agaknya Ki Sumangkar yang baru sembuh dari luka-lukanya, tenaganya masih belum pulih sama sekali. Ia tidak segera, berhasil mengalahkan lawannya. Kiai Kelasa Sawit, meskipun ia berhasil mendesaknya. Ia masih selalu harus memperhitungkan tenaganya sebaik-baiknya, karena ia sadar, bahwa pertempuran itu akan berlangsung lama. Bahkan mungkin dua hari dua malam, atau tiga hari tiga malam.
Sementara itu, Ki Lurah Dipajaya semakin lama menjadi semakin sulit untuk mengatasi ilmu Kiai Samparsada, meskipun ia dibantu oleh beberapa orang pengawalnya. Setiap kali pengawal-pengawal Mataram itu terdesak, dan bahkan satu dua diantara mereka, harus segera diganti karena luka-luka yang menggores tubuh mereka.
Kehadiran Agung Sedayu dibagian lain dari medan itu, telah menimbulkan pengaruh yang terasa sampai keseberang. Dengan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sempat beristirahat meskipun hanya sejenak itu. Agung Sedayu memasuki medan dengan garangnya.
Dalam perang brubuh, maka keragu-raguan Agung Sedayu ternyata lebih cepat tersisih. Ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan, karena lawannya seolah-olah berada di segala arah. Bahkan kawan-kawannya, para pengawal yang datang bersamanyapun seolah-olah telah tenggelam dalam arena dan hilang ditelan gelombang pertempuran.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tangannya sudah mulai mengayunkan cambuknya dan menyibakkan lawan-lawannya.
Suara cambuk Agung Sedayu telah mengejutkan arena diujung sayap itu. Beberapa orang sudah mendengar tentang orang-orang bercambuk. Merekapun dapat mendengar lamat-lamat, suara cambuk Swandaru yang berada di induk pasukan. Apalagi kemudian suara cambuk itu terdengar begitu dekat, sementara suara cambuk yang lain. meskipun lirih, masih juga mereka dengar disela-sela sorak sorai yang kadang-kadang masih meledak.
Ternyata suara cambuk Agung Sedayu telah menarik perhatian. Ki Sumangkar yang mulai susut tenaganya, berhadapan dengan Kiai Kelasa Sawit, mendengar pula ledakan cambuk itu. Dengan serta merta ia berdesis, "Tentu Agung Sedayu. Ia datang dengan pasukan Tanah Perdikan Menoreh." Namun sebuah pertanyaan telah menyelinap, "Tetapi kenapa begitu lambat" Kenapa baru sekarang ia datang?"
Ki Sumangkar sadar, bahwa disekitarnya tentu tidak ada orang yang akan dapat menjawab. Namun kehadirannya telah memberikan gairah baru dalam perjuangannya disayap pasukan pengawal Mataram itu.
Kiai Samparsada yang bertempur melawan beberapa orangpun mendengar suara cambuk itu seperti juga Kiai Kelasa Sawit. Agaknya Kiai Samparsada juga pernah mendengar, bahwa orang-orang bercambuk itu mempunyai kemampuan yang melampaui kemampuan prajurit-prajurit kebanyakan.
Karena itulah, maka timbul keinginannya untuk melihat, siapakah yang telah membunyikan cambuk itu. sementara suara cambuk di induk pasukan masih tetap terdengar menggelegar berurutan.
Dengan wajah yang tegang. Kiai Samparsada menyibak medan. Ia tidak terlalu sulit mencari arah Agung Sedayu karena ledakan-ledakan cambuknya. Namun dengan dada berdebar-debar. Kiai Samparsada sempat membedakan suara cambuk dekat dimedan yang menghadap ke Barat, dan ledakan cambuk di induk pasukan.
"Ada perbedaan yang tajam antara kedua orang bercambuk itu," berkata Samparsada didalam hatinya, "yang seorang memiliki tenaga raksasa. Tangannya akan mampu memecahkan perisai baja sekalipun. Tetapi kekuatan yang lain dan ini justru tidak pada tenaga wadagnya, meskipun akibatnya justru akan lebih dahsyat."
Namun demikian, Kiai Samparsada justru telah berusaha semakin cepat mencapai orang bercambuk yang berada disayap itu meskipun datang dari arah Barat.
Sejenak kemudian, maka Kiai Samparsada melihat, arena yang bagaikan disibakkan oleh putaran maut. Beberapa orang berdiri beberapa langkah dari seorang anak muda yang menganggap cambuk ditangan. Mereka mengacu-acukan senjata, tetapi seolah-olah mereka tidak berani mendekat.
"Anak itu masih sangat muda," desis Kiai Samparsada.
Perlahan-lahan ia mendekati Agung Sedayu. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya dengan suara lantang diantara hiruk pikuk perternpuran, "He, kaukah yang disebut orang bercambuk?"
Agung Sedayu berpaling. Ia sadar, bahwa pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Karena itu. maka iapun menjawab, "Ya. Aku adalah orang bercambuk, karena kebetulan aku memang bersenjata cambuk."
Kiai Samparsada melangkah semakin dekat, Dengan ragu-ragu ia memandang Agung Sedayu yang muda itu. Lalu sekali lagi ia bertanya, "Kaukah yang bermain-main dengan cambuk di sayap ini?"
"Aku memang bermain-main dengan cambuk. Tetapi aku tidak tahu, apakah kau maksud memang aku."
"Aku mendengar suara cambuk lain di induk pasukan. Suaranya menggelegar seperti guruh."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya ragu, "Aku kira ia adalah adik seperguruanku. Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah benar ia yang kau maksud."
"Adik seperguruanmu?"
"Ya." Kiai Samparsada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kau memang menarik sekali. Pada umurmu yang masih sangat muda, kau sudah pandai bermain-main dengan cambuk beralaskan tenaga cadangan, yang sulit untuk dikuasai. Sedangkan agaknya kau meskipun serba sedikit, sudah dapat mengenalnya dan mempergunakannya."
Agung Sedayu tidak menjawab.
"Anak muda. Sayang jika pada saat yang gawat ini kau berada di arena. Lebih baik kau menyerah. Aku ingin menjadikanmu seorang murid yang baik. Aku akan membersihkan dirimu dari pengaruh ilmu cambuk yang tidak banyak berarti itu. Aku ingim memberimu pengetahuan tentang tenaga wantah dan tenaga rangkap. Aku yakin bahwa kau akan menjadi seorang murid yang baik," berkata Kiai Samparsada.
Tetapi diluar dugaan, seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mendengar kata-kata itu menjadi marah dan menjawab, justru bukan Agung Sedayu sendiri, "Kaulah yang pantas berguru kepada anak muda itu."
Kiai Samparsada berpaling kepada pengawal itu.
Namun pengawal itu masih berteriak, "Ia telah membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Bagaimana mungkin ia harus berguru kepadamu?"
Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Sejenak wajah Ki Samparsada, dan bahkan orang-orang lain yang mendengarnya menjadi tegang. Berita kematian itu benar-benar telah mengejutkan mereka.
Pengawal itu ternyata cerdik. Ia melihat akibat dari berita yang dibawanya. Karena itu, justru ia mengulangi lebih keras, "Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti telah terbunuh."
"Bohong," teriak Ki Samparsada.
Tetapi jawaban itu telah mengundang jawaban lagi yang justru semakin banyak. Hampir bersamaan beberapa orang pengawal yang datang bersama Agung Sedayu, dan yang mendengar jawaban Kiai Samparsada itu berteriak, "Sebenarnyalah Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti sudah terbunuh."
Teriakan-teriakan itu telah mencengkam arena disekitar Agung Sedayu dan Kiai Samparsada. Berita itu benar-benar telah menghentak setiap dada meskipun masih ada juga keragu-raguan.
Seorang yang bertubuh tinggi kekar berteriak, "Bohong. Tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan Ki Gede Telengan."
Para pengawai Tanah Perdikan Menoreh berteriak semakin keras, "Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti telah mati."
Orang itu benar-benar telah menjadi tegang oleh kebimbangan. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dapat mengambil kesimpulan, bahwa rencana Ki Gede Telengan untuk melarikan! pusaka itu dari lingkungannya, masih belum diketahui oleh banyak orang diantara pasukan yang berada dilembah. Agaknya berita itu langsung diterima oleh Ki Tumenggung Wanakerti dan diperintahkannya untuk merahasiakan agar tidak timbul kegelisahan dimedan yang luas ini.
Tetapi ternyata para pengawal tidak lagi dapat dicegah. Mereka berteriak sesuka hati. Apalagi ketika mereka yakin, bahwa teriakan-teriakan mereka telah benar-benar mempengaruhi perasaan lawan.
"Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan telah mati. Kedua pusaka yang diperebutkan telah berada ditangan kami."
Agung Sedayu sendiri menjadi tegang. Apakah berita itu mengutungkan bagi seluruh perjuangan Raden Sutawijaya. Mungkin pengaruhnya besar sekali bagi pertempuran dilembah itu. Tetapi bagai langkah selanjutnya, apakah dapat dibenarkan oleh pemimpin Mataram yang masih muda itu.
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Bahkan teriakan itu bagaikan menjalar dari sayap merambat perlahan-lahan ke induk pasukan.
Ketika para pengawal di induk pasukan berteriak tentang kematian Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan. Sutawijaya baru menerima seorang penghubung yang melaporkannya agak jelas setelah ia sempat menghubungi beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ada beberapa keragu-raguan dihati Raden Sutawijaya. Ketika Prastawa mendekatinya, ia hanya mengatakan bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang lain akan bergabung dimedan ini. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Menoreh sendiri. Tetapi dari penghubungnya ia mendapat laporan, bahwa Agung Sedayulah yang kini berada disayap pasukan Tanah Perdikan Menoreh dengan pengawal yang tidak terlalu banyak. Tetapi cukup mempengaruhi keseimbangan, sementara para pengawal telah menceriterakan apa yang terjadi atas Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti.
"Jadi Agung Sedayu dan Ki Gede sudah berhasil menguasai pusaka itu?" bertanya Sutawijaya hampir berbisik kepada pengawal yang melaporkan.
"Raden. Kini Ki Gede sedang menjaganya, sementara Agung Sedayu berada dimedan."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu, para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh masih saja berteriak-teriak tentang kematian Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan. Juga tentang pusaka-pusaka yang telah dirampas.
Raden Sutawijayapun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa prajurit-prajurit Pajang, baik yang ada didalam pasukannya, maupun yang berpihak pada Ki Tumenggung Wanakerti akan mendengarnya. Dan Raden Sutawijayapun sadar, bahwa persoalannya tentu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
"Istana Pajang telah menjadi sarang ketamakan dan kebencian," berkata Raden Sutawijaya kepada dirinya.
Tetapi didasar hatinya terbersit juga suatu tuntutan hati nuraninya kepada diri sendiri, "Dan kau tidak mau memasuki arena langsung di dalam istana itu sendiri."
Sutawijaya menggeretakkan giginya. Diluar sadarnya ia tidak lagi bertempur melawan beberapa orang yang bersama-sama melawannya, sehingga pengawal-pengawalnya harus melindunginya. Sebuah angan-angan tentang istana Pajang telah bermain dengan gelisah seperti kegelisahan hatinya sendiri.
Tetapi harga dirinya ternyata telah menahannya untuk tidak menginjak lantai paseban di Pajang, sebelum Mataram menjadi sebuah kota yang besar dan ramai.
"Tetapi seberapakah sebenarnya ukuran Kota yang besar dan ramai bagi Mataram itu" " sebuah pertanyaan telah menyelinap didalam hatinya.
"Pati," Sutawijaya hampir berteriak sehingga pengawalnya terkejut dan bertanya kepadanya, "Apakah yang Raden maksud dengan Pati?"
"Tidak. Tidak ada apa-apa." geram Sutawijaya, "sekarang, kita harus menghancurkan musuh. Kita akan berterima kasih kepada Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh."
Namun dalam pada itu, Prastawa yang telah kembali kearena setelah bertemu sejenak dengan Sutawijaya, telah mendengar teriakan-teriakan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Semakin lama semakin jelas terdengar bahwa Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan sudah mati. Sedangkan pusaka yang hilang itu telah diketemukan kembah.
Wajah Prastawa yang tegang oleh pertempuran, menjadi semakin tegang. Ketika tiba-tiba saja seorang pengawal tidak jauh dari padanya berteriak tentang kematian kedua orang pemimpin lawan itu, ia berteriak pula, "Diam. Diam kau."
Tetapi pengawal itu tidak begitu mengerti maksudnya, bahkan ia berteriak semakin keras.
"Tutup mulutmu anak dungu," Prastawa membentak.
Pengawal itu terdiam. Tetapi ia menjadi heran.
Sementara itu, Prastawa tidak tahan lagi hatinya mendengar teriakan yang bahwa menjalar semakin jauh. Seolah-olah telinganya menjadi panas seperti tersentuh bara api.
Dengan tergesa-gesa tiba-tiba saja meninggalkan medan, sehingga menimbulkan goncangan. Untunglah para pengawal segera dapat mengatasinya. Beberapa orang telah mengambil alih pertempuran sementara tenaga mereka benar-benar telah menjadi semakin susut. Namun kemenangan-kemenangan yang mengejutkan itu, seolah-olah telah memulihkan tenaga mereka.
Prastawa yang tidak mau mendengar kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Agung Sedayu itupun telah menelusuri berita kematian Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Bahkan berlari-lari kecil ia menuju kesayap untuk mendengar dan meyakinkan, apakah yang telah terjadi.
Tetapi Prastawa sengaja tidak mau menemui Agung Sedayu. Ia mendengar apa yang telah terjadi dari beberapa orang pengawal.
"Kalian telah berbohong. He, siapakah yang telah niempergunakan akal yang cerdik. Aku tidak menyalahkan cara yang kalian pergunakan. Dengan demikian lawan kita akan gelisah dan bahkan mungkin mereka benar-benar akan kehilangan gairah perjuangannya. Tetapi apakah yang sebenarnya terjadi itulah yang ingin aku ketahui. Dan siapakah yang telah menemukan akal yang bagus untuk melahirkan ceritera bohong tentang kematian kedua orang itu dan bahwa pusaka-pusaka itu telah dapat kita ketemukan."
"Itu bukan ceritera bohong," jawab pengawal itu, "keduanya telah mati dibunuh Agung Sedayu."
"Cukup," Prastawa membentak, "aku ingin mendengar langsung dari paman Argapati. Dimana paman Argapati sekarang."
Pengawal itupun kemudian menunjukkan dimana Ki Gede Menoreh beristirahat sambil menunggui pusaka yang telah berhasil dikuasainya itu.
"Tetapi jika ceritera itu bohong, aku akan memenggal lehermu," geram Prastawa.
Pengawal itupun terheran-heran. Ia sama sekali tidak mengerti, persoalan apakah yang sebenarnya bergejolak dihati anak muda itu. Seharusnya ia ikut bergembira dan berbangga. bahwa tugas besar itu sebagian, bahkan yang pokok, sudah terselesaikan.
Sementara itu, dengan tergesa-gesa Prastawa berlari-lari kecil mencari Ki Argapati seperti yang ditunjukkan oleh pengawal itu. Meskipun jalannya cukup gelap, akhirnya Prastawa berhasil menemukannya juga. Ia membentak ketika seorang pengawal tiba-tiba saja berada dihadapannya sambil mengacukan tombak pendek kedadanya.
"Apakah matamu sudah buta," bentak Prastawa kasar.
Pengawal itu terkejut. Namun kemudian iapun menundukkan kepalanya sambil menyahut, "Gelap sekali, sehingga aku tidak segera mengenalmu."
"Kau memang sudah rabun. Minggir, jangan berdiri disitu," Prastawa masih saja membentaknya.
Namun rasa-rasanya hatinya kuncup ketika ia mendengar seseorang berkata, "Ia tidak bersalah. Adalah seharusnya bahwa ia berhati-hati dalam keadaan seperti ini."
Prastawa memandang kedalam gelap. Iapun kemudian melihat sesosok tubuh dalam keremangan malam. Ki Argapati.
"Apakah ada sesuatu yang penting sekali Prastawa?"
"Paman," Prastawapun kemudian mendekati pamannya, "ada teriakan-teriakan kacau dimedan. Apakah benar pusaka-pusaka itu sudah berada ditangan kita?"
"Benar Prastawa. Kedua pusaka itu memang sudah berada ditangan kita." jawab Ki Gede.
"Dan dua orang pemimpin musuh sudah terbunuh?"
"Ya. Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti."
"Pamankah yang sudah membunuh keduanya?"
"Bukan aku. Tetapi Agung Sedayu."
Wajah Prastawa menjadi panas. Sejenak ia mematung. Yang mengatakan itu adalah pamannya sendiri.
Namun dengan ragu-ragu ia masih bertanya, "Tetapi apakah benar yang membunuhnya Agung Sedayu" Atau barangkali Agung Sedayu bersama sepuluh atau duapuluh orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh beramai-ramai melawannya."
Ki Gede Menoreh memandang Prastawa dengan tajamnya. Meskipun didalam kegelapan, tetapi Ki Gede seakan-akan dapat melihat, bukan saja kegelisahan diwajah Prastawa, tetapi gejolak didalam dadanya. Anak muda itu tentu mempunyai perasaan lain dari yang diharapkan, bahwa lawan-lawannya telah berkurang.
"Prastawa," suara Ki Gede merendah, "Agung Seiayu seorang diri telah melakukan perang tanding berturut-turut. Mula-mula ia telah membunuh Ki Gede Telengan dengan cara yang sangat mengagumkan. Kemudian dengan mengejutkan pula ia berhasil membunuh Ki Tumenggung Wanakerti."
Tiba-tiba saja tubuh Prastawa menjadi gemetar. Ia tidak mengerti, perasaan apakah yang bergejolak didalam dirinya. Namun ia merasa tidak senang bahwa semuanya itu telah terjadi. Bahkan ia masih tetap tidak percaya, bahwa Agung Sedayu seorang diri berhasil membunuh kedua orang pemimpin lawan itu.
Namun akhirnya ia berkata Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti bukan orang-orang penting diantara lawan paman. Mereka bukan orang yang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan, sehingga sudah sepantasnya jika mereka terbunuh oleh Agung Sedayu. Itu bukan karena kelebihan yang ada pada Agung Sedayu, tetapi lawannya itulah yang terlalu lemah, meskipun keduanya mempunyai nama yang mengerikan. Karena itu, apa yang terjadi adalah sewajarnya."
Ki Argapati memandang kemanakannya dengan heran. Tetapi lambat laun ia dapat menangkap, perasaan apakah yang sebenarnya tersirat dihati anak muda itu. Tentu ia merasa iri, bahwa Agung Sedayu adalah dapat melakukan sesuatu yang luar biasa pada umurnya yang masih sangat muda.
"Atau justru ada persoalan lain yang lebih menggelisahkan lagi?" bertanya Ki Gede Menoreh kepada diri sendiri.
Sementara itu, Prastawa yang masih berdiri tegak itupun berkata, "Aku akan kembali kemedan paman. Aku hanya ingin mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi."
"Prastawa," berkata Ki Gede Menoreh, "sebenarnya aku merasa heran bahwa kau dengan serta merta datang untuk bertanya, apakah benar Agung Sedayu telah melakukannya. Pertanyaanpun bukannya pertanyaan yang ingin meyakinkan kebenaran berita itu, tetapi justru kau sudah memperkecil arti dari peristiwa itu. Ketahuilah Prastawa, dengan jujur aku mengatakan, bahwa aku telah hampir mengalami kesulitan yang gawat, saat aku bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti. Kakiku terasa mulai mengganggu. Namun akhirnya Ki Tumenggung itu mati oleh Agung Sedayu setelah ia lebih dahulu membunuh Ki Gede Telengan. Aku tidak akan memberikan kesimpulan atas peristiwa itu. Tetapi itulah yang terjadi."
Dada Prastawa bagaikan retak mendengar penjelasan itu, seolah-olah pamannyapun telah terbius oleh kehadiran anak muda itu. Namun Prastawa tidak membantah, ia hanya menundukkan kepalanya saja.
"Prastawa, kembalilah kemedan. Kau sudah mendengar apa yang sebenarnya telah terjadi atas kedua orang itu."
"Baiklah paman," suara Prastawa rendah, "aku mohon diri."
Prastawapun kemudian berlari-lari kecil meninggalkan pamannya seolah-olah ia ingin menjauhi berita yang diucapkan oleh pamannya yang mengagumi Agung Sedayu itu.
"Semuanya telah berbohong," geramnya seorang diri, "jika Tumenggung Wanakerti telah bertempur lebih dahulu melawan paman, maka sebenarnya ia sudah tidak mampu lagi bernafas karena kelelahan. Tentu saja Agung Sedayu dapat merunduknya dan melecut punggungnya sehingga lawannya lumpuh. Kemudian dengan mudahnya ia mengulangi serangan-.serangannya sehingga Tumenggung itu mati."
Namun sekah-sekali terdengar ia menggeretakkan giginya. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa Agung Sedayu telah mengalahkan orang-orang yang mumpuni.
"Tidak," sekali lagi ia menggeram, "keduanya bukan orang yang penting. Akupun membunuh mereka jika aku mendapat kesempatan seperti Agung Sedayu."
Tetapi kegelisahan itu bagaikan bersarang didadanya. Betapapun ia berusaha untuk mengusirnya, namun ia selalu dibayangi oleh pendengarannya bahwa Agung Sedayu telah melakukan sesuatu yang luarbiasa pada usianya yang muda.
Sementara itu, Agung Sedayu telah menghadapi lawan yang lain dimedan pertempuran yang kacau.
Namun terasa bahwa masing-masing pihak telah semakin diganggu oleh kelelahan. Sementara itu, beberapa orang yang telah menjauii dari medan sedang sibuk mempersiapkan makan dan minum. Tetapi tidak seorangpun dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melakukannya.
Prastawa sama sekali tidak ingat lagi. apakah yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan yang sebenarnya gawat itu. Jika lawan sempat memberikan makan dan minum pada pasukannya, sementara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dibiarkannya lapar, maka akibatnya akan sangat pahit bagi pasukan itu. Penyesalan akan berkepanjangan dari waktu ke waktu oleh kekhilafan yang mungkin dianggap hanya sekedar makan dan minum.
Namun dalam pada itu, para petugas dari Mataram dan Sangkal Putung tengah sibuk menyediakannya. Seorang penghubung telah memberitahukan bahwa di arena pertempuran sebelah Barat, tidak ada seorangpun yang mendapat tugas untuk menyiapkan makan dan minum, sehingga hal itu perlu mendapat perhatian para petugas di arena pertempuran sebelah Timur.
Sebenarnyalah bahwa arena pertempuran itu semakin lama menjadi semakin tipis. Jarak antara arena yang berlawanan arah itu sudah tidak terlalu jauh lagi. Pasukan Mataram yang berhasil menembus lawan dan kemudian berada diinduk pasukan bagian Barat dan dipimpin langsung oleh Raden Sutawijaya, benar-benar telah menekan lawannya. Sementara Swandaru bersama isteri dan adiknya merupakan hantu yang menakutkan diarena yang berhadapan dengan pasukan yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya.
Betapapun lambatnya, ternyata pasukan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan di induk pasukan nampak mencapai kemajuan-kemajuan kecil. Sementara ketika Prastawa hadir lagi dipertempuran. maka itupun telah mengamuk dengan dahsyatnya.
"Setiap orang mempercakapkan Agung Sedayu," katanya didalam hati namun mereka harus menyadari bahwa aku dapat berbuat lebih banyak daripadanya."
Prastawa benar-benar telah menjadi gila. Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa sesuatu telah mendorongnya untuk melakukan perjuangan yang lebih sengit.
Dari pengawal Mataram yang sudah berada diinduk pasukannya, ia mendengar bahwa Sekar Mirah bertempur pula diinduk pasukan dari gelar para pengawal Sangkal patung yang bertempur bersama pengawal dari Mataram.
Sutawijaya yang berada tidak terlalu jauh dari anak muda itu. sekali-kali telah memperhatikannya. Setiap kali Raden Sutawijaya bertanya kepada diri sendiri, kenapa tiba-tiba saja Prastawa telah mengamuk tanpa memperhitungkan daya tahan tubuhnya yang tentu sudah lelah. Jika ia telah terbenam dalam suatu saat ia akan mengalami kesulitan.
Tetapi Sutawijaya masih membiarkannya. Ia masih ingin melihat apa sebenarnya yang telah mendorong anak muda itu untuk mengerahkan kemampuannya setelah ia menghilang beberapa saat dari medan.
Ternyata bukan saja tekanan yang berat, dirasakan dimedan oleh orang-orang yang bertahan dilembah itu. Berita tentang kematian Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah mempengaruhi hati mereka. Bahkan Senapati yang kemudian mengenakan tanda Panghma ternyata menjadi gelisah bahwa keseimbangan pertempuran itu akan berubah dengan pasti, menuju ke akhir yang pahit.
Pengaruh berita kematian Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan benar-benar telah memukul jantungnya, sehingga kecemasan telah mulai mencengkam hatinya.
Apalagi tekanan Raden Sutawijaya dan Prastawa dibagian Barat, serta ledakan-ledakan cambuk Swandaru di medan sebelah Timur, agaknya sulit untuk diatasi lagi. Bahkan kedua perempuan itupun bagaikan iblis betina yang mengamuk diantara lawan-lawannya yang lemah.
"Apakah perempuan-perempuan itu akan dapat bertahan lebih lama lagi" " pertanyaan itu agaknya telah melonjak dihati mereka.
Tetapi agaknya kedua perempuan itu benar benar telah terlatih untuk menghadapi keadaan yang sangat berat. Bahkan agaknya keduanya telah berhasil mengatasi sifat-sifat keperempuan mereka sehari-hari. Bertempur tanpa makan tanpa minum sampai saatnya mereka akan mendapatkannya. Tetapi tentu sudah terlalu lambat menurut kebiasaan hidup sehari-hari.
Ternyata kemudian, bahwa tekanan yang semakin berat tidak saja terjadi di induk pasukan. Di sayap-sayap pasukanpun perubahan itu timbul dengan perlahan-lahan tetapi tanpa dapat dibendung lagi.
Ki Waskita adalah orang yang memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan seperti juga Kiai Gringsing. Ternyata keduanya memiliki daya tahan melampaui lawan-lawannya. Meskipun mereka masih belum dapat memastikan akhir dari perjuangannya, tetapi Empu Pinang Aring dan Kiai Jagarana agaknya mulai digelisahkan oleh kelelahan. Apalagi ketika mereka mendengar teriakan-teriakan yang menjalar sampai keujung-ujung sayap bahwa Ki Gede Telejngan dan Ki Tumenggung Wanakerti telah mati.
Kiai Gringsing yang memiliki pengalaman yang matang itupun berusaha untuk tetap menguasai dirinya. Ia bertempur dengan perhitungan yang teliti. Ia sadar, bahwa pertempuran akan berlangsung berkepanjangan, sehingga karena itu, pada saat-saat tertentu ia tidak memaksa diri untuk dengan cepat memenangkan pertempuran, karena hal itu tentu akan sia-sia.
Perhitungan yang serupa sebenarnya dimiliki pula oleh Empu Pinang Aring. Tetapi peristiwa peristiwa yang terjadi benar-benar tidak dapat diabaikannya. Jika benar Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti mati, apalagi pusaka-pusaka itu akan kehilangan arti.
Namun dari penghubungnya. Empu Pinang Aring mendengar, bahwa pusaka itu masih ada dilembah. Seorang pengawas berhasil melihat pusaka-pusaka itu dijaga oleh sekelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Harapan-harapan yang kabur itu mulai tumbuh lagi.
Bahkan terbersit niatnya untuk berjuang lepas dari ikatan gelar untuk mendapatkan pusaka itu.
Tetapi untuk melakukannya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dihadapaknya ada orang bercambuk yang memiliki kemampuan luar biasa, sehingga seandainya ia bergeser dari medan, maka orang bercambuk itu tentu akan mengikutinya.
"Aku harus membunuhnya lebih dahulu," geram Empu Pinang Aring.
Namun niatnya itu telah membentur pengakuan didalam dirinya, bahwa jika ia mampu membunuhnya, maka itu tentu sudah dilakukannya sejak pertempuran itu baru dimulai.
Dengan demikian maka perubahan-perubahan yang terjadi dalam keseimbangan pertempuran telah terjadi dengan lambat sekali. Bahkan kadang-kadang masih juga terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak terduga.
Namun dalam pada itu. di sayap yang lain, perubahan itu nampak lebih jelas ketika Agung Sedayu dan sekelompok pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah mulai memasuki arena. Kedatangan orang-orang baru itu sudah menumbuhkan geseran-geseran yang menggelisahkan bagi lawan.
Kiai Samparsada yang kemudian berhadapan dengan Agung Sedayu mulai dirayapi pengakuan, bahwa anak muda ini memang memiliki ilmu yang luar biasa.
"Tetapi apakah benar ilmunya melampaui ilmu Ki Gede Telengan," ia bertanya kepada diri sendiri. Namun sebuah jawaban telah membuatnya agak tenang, "Namun mungkin sekali Ki Gede Telengah telah melakukan suatu kesalahan yang menjerumuskannya kedalam maut. Karena itu aku tidak boleh membuat kesalahan."
Aku tidak boleh menganggap anak ini kawan bermain-main, karena cambuknya benar-benar dapat mematahkan tulang. Jika benar Ki Tumenggung Wanakerti luati pula olehnya, maka ia telah berhasil menembus perisai yang tidak kasatmata disekitar tubuh Ki Tumenggung Wanakerti."
Dengan demikian Kiai Samparsada harus bertempur dengan sangat hati-hati. Ia tidak boleh lengah dan mengalami nasib seperti Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti ditangan anak muda yang aneh itu.
Namun dalam pada itu, para pengawal yang baru datang itupun telah membuat kejutan-kejutan yang menggelisahkan. Mereka mulai menyusup dimedan yang seolah-olah dalam keadaan seimbang itu. sehingga pengaruh yang kecil itupun akan segera nampak merubah keseimbangan.
Kegelisahan telah timbul di sayap itu. Beberapa orang mulai melihat, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh dimedan sebelah Barat berhasil menghimpit lawannya yang membentur pasukan pengawal Mataram diarah Timur.
Namun dalam pada itu. Ki Sumangkar yang baru sembuh dari luka-lukanya mulai merasa terganggu. Ketahanan tubuhnya memang sudah pulih. Tetapi luka-lukanya yang masih nampak tergores di tubuhnya, masih terlalu lemah, sehingga geseran-geseran kecil telah mengelupas kulitnya dan darah mulai memerah dipakaiannya.
Lawannya menjadi heran. Orang tua itu sangat lincah sehingga senjatanya sama sekali belum berhasil menyentuh meskipun mereka sudah bertempur sehari penuh. Namun tiba-tiba didalam cahaya obor ia melihat noda-noda yang semakin jelas pada pakaian Ki Sumangkar.
Ki Sumangkar sendiri menjadi cemas. Ia merasa tenaganya mulai susut. Jika pertempuran itu berjalan terlalu lama, maka ia akan kehilangan sebagian dari tenaganya. Apalagi jika darah dari lukanya itu mengalir semakin banyak.
Tetapi ternyata bahwa perubahan keseimbangan di medan sebelah Barat itu mempengaruhi pula medan di sebelah Timur, Karena tekanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maka beberapa orang telah berpaling dan memperkuat perlawanan terhadap mereka.
Dengan demikian, maka perubahan yang paling laju ternyata telah terjadi diarena yang paling ujung. Agung Sedayu yang menyadari bahwa pertempuran telah berlangsung terlalu lama, merasakan betapa kelelahan mulai mencengkam. Apalagi Agung Sedayu menyadari, bahwa Prastawa tidak berusaha untuk berbuat sesuatu untuk mempertahankan ketahanan kekuatan wadag orang-orangnya.
Itulah sebabnya, maka ia berpendapat, bahwa pertempuran harus segera diselesaikan. Kesempatan yang mulai nampak pada sayap itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Agung Sedayu. Dengan para pengawal yang baru datang, rasa-rasanya pasukan disayap itu telah bertempur dengan tenaga baru.
Kiai Samparsada menjadi semakin cemas menghadapi kenyataan itu. Seperti Agung Sedayu maka iapun berpendapat, bahwa pertempuran harus segera diakhiri.
"Anak ini harus segera dilumpuhkan," geramnya didalam hati.
Namun cambuk Agung Sedayu justru bergetar lebih dahsyat menurut pendengaran telinga hati Kiai Samparsada, sehingga justru ia menjadi semakin geli.sah. Ia menjadi semakin yakin akan kebenaran ceritera tentang kematian Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti, karena semakin lama ia samakin menyadari, bahwa perlawanannya menjadi bertambah berat.
Dengan demikian, maka baik pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maupun pasukan pengawal dari Mataram telah berhasil mendesak lawan mereka, sehingga medan pertempuran disayap itupun benar-benar telah berubah menjadi perang brubuh yang kacau. Bukan saja dari arah Barat yang sejak semula pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah berbaur dalam gelar Glatik Neba, meskipun jumlah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu banyak yang sampai kesayap itu, ditambah dengan kehadiran pasukan pengawal Mataram yang menyesuaikan diri dalam gelar yang sama, namun gelar dimedan sebelah Timurpun sudah menjadi semakin kabur. Pasukan pengawal Mataram telah menerobos semakin dalam sementara yang lain menekan semakin jerat.
Jika di induk pasukan, terutama diarah Timur, masih jelas nampak batas antara kedua pasukan yang sedang bertempur, maka di sayap gelar itu, batas antara pasukan yang berada dilembah itu dengan pasukan yang datang dari Mataram, dari Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin kacau. Namun karena masing-masing seolah-olah telah mempunyai ciri dan tanda masing masing, maka mereka masih dapat mengenal, yang manakah lawan dan yang manakah kawan.
Kekaburan itu bukan saja terjadi pada para pengawal. Tetapi Agung Sedayu yang mendesak lawannya, seakan-akan tenggelam semakin dalam diantara hiruk pikuknya pertempuran. Beberapa orang pengawal berusaha mtuk mendampinginya dan berjaga-jaga sambil memagari pertempuran antara Agung Sedayu dan lawannya, karena kecurangan mungkin saja teriadi didalam perang brubuh.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, Sumangkar yang bertempur melawan Kiai Kelasa Sawit setiap kali merasa seakan-akan mendengar ledakan kebanggaan jika ia mendengar suara cambuk Agung Sedayu. Ki Sumangkar ikut merasa berbesar hati atas kemajuan yang telah dicapai anak muda itu. Dari pendengaran yang agak kurang pasti ia mengetahui bahwa Agung Sedayu telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti.
Ki Sumangkar belum mengetahui, betapa tinggi ilmu Ki Gede Telengan. Yang diketahuinya adalah Ki Tumenggung Wanakerti. Sebagai seorang yang berpengaruh di Pajang ia pernah mengenal Ki Tumenggung Wanakerti, sehingga didalam hatinya ia berkata, "Jika benar Agung Sedayu berhasil mengalahkan Ki Tumenggung Wanakerti, maka ilmu Agung Sedayu tentu sudah menyamai, atau tidak-tidaknya mendekati tataran ilmu gurunya."
Namun dalam pada itu, Ki Sumangkar sendiri merasa bahwa kedudukannya benar-benar menjadi semakin sulit. Keadaan luka-lukanya terasa semakin mengganggu.
Apalagi luka-lukanya yang dalam, yang nampaknya sudah sembuh benar, ternyata masih berdarah.
Dalam kesulitan itu, maka yang dapat dilakukannya kemudian adalah sekedar bertahan sambil berusaha memelihara feetahanan tubuhnya agar tidak semakin cepat susut dan akhirnya lumpuh sama sekali.
Sementara itu. tenyata Agung Sedayu berhasil mendesak lawannya semakin dalam. Cambuknya meladak ledak semakin cepat dan gemuruh bagi telinga hati lawannya. Seolah-olah cambuk itu meledak-ledak didalam dadanya.
"Anak iblis ini benar-benar berbahaya," guman Kiai Samparsada didalam hatinya.
Namun betapapun iuga ia berusaha, ia sama sekali tidak mampu untuk mendesak anak muda bersenjata cambuk itu.
Dalam pada itu. didalam cahaya obor. maka Agung Sedayu terkejut ketika sekilas ia melihat senjata yang berputar pada seutas rantai. Ternyata bahwa senjata itu adalah sebuah trisula, sedangkan trisula yang lain berada didalam genggaman
"Ki Sumangkar," desis Agung Sedayu. "Ternyata aku dapat bertemu dengan Ki Sumangkar disini."
Agaknya Ki Sumangkarpun telah melihat Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun melambaikan trisulanya yang berada dalam genggaman, sementara trisulanya yang lain masih saja berputar seperti baling-baling.
Namun dalam tataran pertempuran berikutnya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ketajaman penglihatannya dan penilaiannya atas kedua orang itu. maka segera ia mengetahui bahwa Ki Sumangkar berada dalam kesulitan.
"Kenapai ?" pertanyaan itu tiba-tiba saja tumbuh didalam hatinya.
Ki Sumangkar menurut pengenalan Agung Sedayu adalah seorang yang pilih tanding. Tetapi kenapa ia nampak terdesak, dan bahwa semakin lama semakin berbahaya bagi keselamatannya.
"Luka-lukanya," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, "luka itu tentu belum sembuh benar. Luka-lukaku yang tidak sebanding dengan luka-lukanya memang sudah sembuh. Tetapi luka-luka Ki Sumangkar jauh lebih parah dan tentu masih terasa sangat mengganggunya."
Dalam pada itu. selagi Agung Sedayu sedang bertempur melawan Kiai Samparsada, setiap kali ia justru merasa terganggu oleh keadaan Ki Sumangkar. Sehingga dengan demikian ia berusaha memancing lawannya untuk mendekati Ki Sumangkar.
Ketika ia menjadi semakin dekat, maka Agung Sedayupun melihat, bahwa pakaian Ki Sumangkar tidak saja basah oleh keringat, tetapi basah oleh darah.
"Itu berbahaya sekali," desis Agung Sedayu, "ia akan dapat kehabisan darah. Dengan demikidan lawannya akan dapat membunuhnya pada saat ia sudah kehilangan kekuatannya sama sekali.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat apapun juga, karena ia masih harus bertempur melawan Kiai Samparsada. Apalagi Kiai Samparsada termasuk salah seorang yang dianggap sebagai pemimpin dari pasukan yang ada dilembah, karena kehadirannya juga membawa pasukan yang kuat untuk mengimbangi pasukan yang dibawa oleh Ki Tumenggung Wanakerti. Kiai Kalasa Sawit. Empu Pinang Aring. dan Kiai Jagaraga.
Namun keadaan Ki Sumangkar benar-benar telah menggelisahkannya. Semakin lama semakin nampak, bahwa Ki Sumangkar telah kehilangan sebagian dari tenaganya.
Dalam pada itu, tidak ada cara lain bagi Agung Sedayu untuk membebaskan Ki Sumangkar dari malapetaka selain membantunya atau mengambil alih tugasnya, bertempur malawan Kiai Kalasa Sawit.
Tetapi dengan demikian maka Agung Sedayu harus segera menyelesaikan lawannya.
"Apaboleh buat," geramnya.
Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian Agung Sedayu benar-benar telah mengerahkan segenap ilmunya. Keadaan Ki Sumangkar telah mendorongnya untuk berbuat jauh lebih banyak dari keinginannya sendiri.
Agung Sedayu telah terlempar dari keragu-raguannya justru karena ia tidak sampai hati melihat keadaan Ki Sumangkar. Dengan dahsyatnya ia segera melihat lawannya. Cambuknya tidak lagi hanya sekali-kali saja meledak. Namun kemudian suara cambuknya benar-benar telah memenuhi arena pertempuran disayap yang kacau itu.
Kiai Samparsada terkejut melihat perubahan sikap anak muda itu. Justru menjadi semakin garang. Bahkan sekali-kali cambuknya telah mulai menyentuh tubuhnya.
"Anak gila. Anak iblis," Kiai Samparsada mengumpat.
Agung Sedayu menjadi semakin bernafsu ketika ia melihat Ki Sumangkar meloncat menjauhi lawannya dengan nafas terengah-engah. Tetapi lawannya segera memburunya dan justru ingin mempergunakan setiap kesempatan untuk menghancurkan lawannya.
Dengan sepenuh kemampuannya, yang tersalur pada setiap bagian dari tubuhnya dan menjalar pada cambuknya. Agung Sedayu menyerang Kiai Samparsada dengan segenap tenaganya. Itulah sebabnya maka cambuknya telah meledak dan bukan saja bagaikan memecahkan dinding jantungnya, tetapi juga selaput telinganya. Kekuatan wantah dan kekuatan rangkapnya telah bersama-sama menggetarkan juntai cambuknya dan meledakkannya bagaikan sepuluh guruh meledak bersama dilangit.
Sikap Agung Sedayu benar-benar mengejutkan. Jika semula setiap orang yang memiliki pengamatan yang mendalam pada ilmu kanuragan menjadi heran, karena kekuatan yang tersalur lewat hentakkan cambuk yang menggetarkan dinding jantung, ternyata telah dibarengi oleh kekuatan wadag yang luar biasa. Dari ledakan-ledakan cambuknya dapat dikenal, bahwa Agung Sedayu memang memiliki kekuatan ilmu yang mumpuni dan kekuatan wadag yang sangat besar.
Kiai Samparsadapun tergetar hatinya. Ia sadar, bahwa lawannya adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan melampui kebanyakan orang. Sehingga karena itulah, maka Kiai Samparsada telah memberikan isyarat kepada dua orang pengawalnya yang terpercaya untuk bersama-sama melawan Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Melawan tiga orang tentu akan lebih berat dari melawan seorang, betapapun jauhnya imbangan kekuatan diantara mereka.
Karena itulah maka kehadiran kedua orang lawan yang baru itu telah semakin menggelisahkan Agung Sedayu. Beberapa orang pengawal yang ingin mencegahnya telah mendapatkan lawan ma.sing-masing, sehingga kedua orang pengawal Samparsada itu berhasil mendekati dan membantunya melawan Agung Sedayu yang semakin garang.
Dalam pada itu, keadaan Ki Sumangkar menjadi semakin sulit. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah. Meskipun lawannya juga sudah mulai susut kemampuannya oleh pertempuran yang keras dan panjang, namun luka-luka Ki Sumangkarlah yang telah menentukan, apa yang akan terjadi atasnya.
Hal itulah yang kemudian mempengaruhi perasaan Agung Sedayu sepenuhnya, sehingga ia menjadi semakin lama semakin garang.
Ujung cambuknya yang meledak-meledak itu benar-benar telah menggetarkan hati lawannya. Kedua orang pengawal Kiai Samparsada yang hadir diarena pertempuran itu, benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ujung cambuk itu bagaikan mengejar mereka, kemanapun mereka pergi.
Kiai Samparsada yang merasa dirinya memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari kedua pengawalnya, telah mengambil sikap untuk memancing perhatian terbesar dari Agung Sedayu, sementara kedua pengawalnya akar dapat menyerangnya dari arah yang berbeda.
Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak dapat dijebaknya. Bahkan tiba-tiba saja ketika cambuk itu berputar beberapa kali, maka diluar pengamatan Samparsada, tiba-tiba saja kedua kawannya telah terlempar beberapa langkah.
Ketika keduanya berusaha untuk bangkit, maka keduanya telah terjatuh kembali. Kaki mereka seolah-olah menjadi lumpuh.
Barulah kemudian mereka melihat, maka darah telah mengalir dari luka di kaki mereka. Serta tulang-tulang mereka rasa-rasanya bagaikan remuk oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu.
Kiai Samparsada menggeram. Kedua pengawalnya itu ternyata sama sekali tidak berarti bagi Agung Sedayu. Sehingga dengan demikian maka kembali Kiai Samparsada harus menghadapinya seorang diri.
Pertempuran berikutnya, benar-benar telah menggetarkan jantung Kiai Samparsada. Cambuk Agung Sedayu berputaran, mematuk dan menebas dengan dahsyatnya.
Tetapi Samparsada yang merasa dirinya memiliki kelebihan dan menjadi sandaran bagi anak buahnya, tidak dapat mengingkari tugasnya Ia harus menghadapi Agung Sedayu, apapun yang terjadi.
Sebenarnyalah, bahwa serangan-serangan Agung Sedayu yang didorong oleh kegelisahannya melihat keadaan Ki Sumangkar, tidak lagi dapat dihindari. Ujung cambuk yang semakin lama semakin dekat diseputar tubuhnya, akhirnya mulai menyengat kulitnya.
Betapa kuat daya tahan Kiai Samparsada, namun terasa ujung cambuk itu telah membuat kulitnya menjadi pedih.
Satu-satu luka mulai menyobek kulit Kiai Samparsada. Pedih dan nyeri telah menjalari seluruh tubuhnya. Bahkan ketika darah semakin banyak mengalir dari luka-lukanya, maka benar-benar telah merasa kehilangan kesempatan untuk melawan.
Agung Sedayu yang gelisah, seakan-akan tidak lagi dapat mengamati keadaan lawannya. Ia menyerang dengan sepenuh kemampuannya, agar ia dapat segera menyelesaikan pertempuran itu dan melepaskan Ki Sumangkar dari malapetaka yang semakin dekat.
Betapapun Kiai Samparsada berusaha mengelak, tetapi cambuk Agung Sedayu selalu mengejarnya. Ketika ujung cambuk itu menyambar mendatar. Kiai Samparsada telah menjatuhkan dirinya, kemudian dengan serta merta ia meloncat menyerang Agung Sedayu yang menurut perhitungannya masih harus menguasai cambuknya yang tidak mengenai sasaran.
Tetapi demikian ia meloncat, maka cambuk Agung Sedayu telah meledak dengan hentakan sendai pancing menyambar lambung.
Terdengar keluhan tertahan. Serangan Agung Sedayu yang tergesa-gesa itu tidak terlontar dengan sepenuh kekuatan. Namun demikian, ketika Agung Sedayu menarik cambuknya, Kiai Samparsada telah terputar dan kehilangan keseimbangan.
Orang yang disegani itu telah terlempar jatuh. Dengan serta merta ia berusaha untuk bangkit. Namun Agung Sedayu yang gelisah itu telah memburunya. Sekali lagi cambuknya meledak pada punggung Kiai Samparsada, sehingga orang itu menggeliat. Namun kemudian tubuhnya bagaikan kehilangan tulang-tulangnya.
Agung Sedayu menyadari keadaan lawannya, ketika tiba-tiba saja kepala lawannya itu terkulai diatas tanah. Kedua tangannya terentang dan masih terdengar ia menggerang.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Cambuknya yang sudah terangkat, perlahan-lahan turun diluar sadarnya.
Namun dalam pada itu. ia melihat Ki Sumangkar telah terdorong beberapa langkah dan kehilangan keseimbangan pula. kekuatannya yang benar-benar telah susut, tidak mampu lagi menahan tubuhnya sehingga iapun kemudian terjatuh ditanah.
Kiai Kelasa Sawit melihat lawannya sudah tidak berdaya. Sejenak ia memandang dengan penuh kebanggaan. Ia ingin menikmati kemenangannya dan membunuh lawannya dengan dada tengadah.
Tetapi Ki Sumangkar tidak menyerah pada keadaan yang nampaknya sangat gawat. Ia masih menggenggam trisulanya yang akan dapat menangkis serangan Kiai Kelasa Sawit, meskipun ia masih harus tetap terbaring ditanah.
Kiai Kelasa Sawit tertawa melihat keadaan Sumangkar. Dengan nada tinggi ia berkata, "Bersiaplah untuk mati Sumangkar. Perguruanmu terkenal sebagai perguruan yang tidak ada duanya, karena setiap orang di-dalam perguruanmu telah dirangkap dengan nyawa cadangan. Tetapi ternyata Mantahun dan Macan Kepatihan yang perkasa itupun telah mati. Dan sekarang kau akan mati juga."
Ki Sumangkar tidak menyahut. Ia mengerahkan segenap sisa tenaganya pada senjatanya yang masih dalam genggaman.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak dapat membiarkan malapetaka itu terjadi pada Ki Sumangkar. Meskipun jarak antara dirinya dan Ki Sumangkar tidak terlalu dekat, namun ia harus berusaha untuk menolongnya.
Pada saat yang gawat itu. Kiai Kelasa Sawit telah berdiri tegak menghadapi Sumangkar yang bagaikan telah kehilangan segenap kekuatannya. Perlahan-lahan ia mengangkat senjatanya dan siap membunuh tanpa ampun.
Tetapi Kiai Kelasa Sawit terkejut bukan buatan. Ia merasa sebuah tenaga yang kuat telah menyambar ujung senjatanya, sehingga tangannya telah terdorong kesamping.
Kiai Kelasa Sawit terpaksa memperbaiki kedudukannya. Namun dengan demikian ia sadar, bahwa ada kekuatan lain yang siap membantu Sumangkar yang sudah tidak berdaya itu.
Sebenarnyalah Agung Sedayu yang tidak dapat menjangkau Kiai Kelasa Sawit telah memungut sebuah batu. Ketika senjata Kiai Kelasa Sawit siap menghabisi nyawa Ki Sumangkar, ia telah mempergunakan kemampuan bidiknya untuk melempar senjata itu, sehingga terayun.
Etengan demikian maka saat-saat pembunuhan itu telah tertunda.
Yang sejenak itu ternyata dapat dipergunakan oleh Agung Sedayu sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil mengayunkan cambuknya mendekati Kiai Kelasa Sawit.
"Curang," teriak Kiai Kelasa Sawit.
"Tidak. Aku tidak menyerangmu. Aku hanya menyentuh senjatamu." jawab Agung Sedayu.
Kiai Kelasa Sawit termangu-mangu sejenak. Hampir ia tidak percaya, bahwa seseorang dapat membidik senjatanya dari jarak yang tidak terlampau pendek.
Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa itu sudah terjadi.
Agung Sedayu berdiri beberapa langkah dari Ki Sumangkar yang lemah. Sekilas ia menatap mata orang tua itu. Mata yang sudah redup meskipun nampaknya Ki Sumangkar tidak berputus asa.
"Kau Sedayu," terdengar orang itu berdesis.
"Persetan," Kiai Kelasa Sawit berteriak sebelum Agung Sedayu menjawab.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia berdiri tegak sambil menggenggam pangkal cambuknya, sementara Kiai Kelasa Sawit menjadi termangu-mangu.
Sementara itu, beberapa orang pengawal dari Mataram yang melihat keadaan Ki Sumangkar telah dengan tergesa-gesa mendekatinya, justru pada saat-saat kekuatan dari Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh semakin menguasai keadaan dimedan.
"Gila," teriak Kiai Kelasa Sawit.
Tetapi ketika ia akan meloncat kearah Sumangkar yang lemah, terdengar cambuk Agung Sedayu meledak dengan dahsyatnya. Yang didengar bukan saja oleh telinga wadag Kiai Kelasa Sawit, tetapi juga oleh telinga batinnya yang tajam.
"Kau ingin menakut-nakuti aku anak muda," geram Kiai Kelasa Sawit.
"Tidak. Tetapi biarlah aku mencoba menahanmu agar kau tidak merasa bahwa medan ini adalah sebuah lapangan permainan yang mengasikkan bagimu," jawab Agung Sedayu.
"Sumangkar, orang terpenting di Jipang sesudah Patih Mantahun kini sudah aku lumpuhkan. Apalagi kau."
Seperti yang telah terjadi, maka orang lain sempat menjawabnya, "Ia telah membunuh Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti dan Kiai Samparsada."
"He," wajah Kiai Kelasa Sawit menjadi merah.
"Kiai Samparsada tidak mati," desis Agung Sedayu, "ia masih mungkin hidup jika Kiai Gringsing nanti sempat mengobatinya setelah pertempuran selesai."
"Persetan. Kau masih sempat mengigau." bentak Kiai Kelasa Sawit. Lalu. "Seandainya kau berhasil membunuh setan iblis sekalipun, tetapi kau tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadapku."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat beberapa orang pengawal Mataram yang sedang bertempur sementara beberapa orang yang lain melindungi Ki Sumangkar.
"Bawalah menepi," berkata Agung Sedayu.
"Tidak," Kiai Kelasa Sawit berteriak, "aku akan membunuhnya."
"Kiai," Agung Sedayu menyahut, "biarlah ia dibawa menepi. Ki Sumangkar yang sebelumnya telah terluka saat ia memasuki arena ini, ternyata telah diganggu oleh luka-lukanya."
"Omong kosong. Jangan memperkecil arti Kelasa Sawit. Akulah yang telah melumpuhkannya. Dan sekarang, apakah kau muridnya ?"
Agung Sedayu memandang Kiai Kelasa Sawit dengan tajamnya. Namun katanya sebelum Agung Sedayu menjawab, "Tentu bukan. Kau adalah murid orang bercambuk itu."
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan segera terjadi. Mungkin Kiai Kelasa Sawit akan menyerangnya. Tetapi mungkin dengan serta merta akan meloncat menyerang Ki Sumangkar yang masih tetap dilindungi oleh beberapa orang pengawal.
Namun agaknya Kiai Kelasa Sawit masih menimbang-nimbang. Sekilas dipandanginya Ki Sumangkar yang telah diangkat oleh beberapa orang dibawah pengawalan beberapa orang yang lain. Kemudian dipandanginya Agung Sedayu yang berdiri dengan teguhnya sambil menggenggam cambuk.
Kemarahan Kiai Kelasa Sawit rasa-rasanya telah membakar isi dadanya, "Anak muda bercambuk itu sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan apalagi kecemasan meskipun ia melihat, bahwa Kiai Kelasa Sawit telah berhasil melumpuhkan saudara seperguruan Patih Mantaun dari Jipang itu."
"Kiai," berkata Agung Sedayu, "apakah kau tidak menyadari, bahwa akhirnya pertempuran ini akan menjadi ajang pembantaian yang semakin mengerikan. Aku yakin, bahwa kau mempunyai pengaruh yang besar atas pasukan dilembah ini dalam keseluruhan. Karena itu, apakah tidak ada jalan lain dari pembunuhan-pembunuhan yang semakin liar."
"Persetan. Jangan banyak bicara. Tetapi kau harus lebih banyak memperhatikan kenyataan, siapakah yang sedang kau hadapi. Jika kau sudah dijalari oleh ketakutan, minggirlah. Aku akan tetap membunuh Ki Sumangkar. Jika kau tidak mau pergi, maka kaulah yang pertama-tama harus dibunuh. Dan akhirnya Sumangkarpun akan mati pula."
Agung Sedayu memandang wajah Kiai Kelasa Sawit yang buas bagaikan hantu lapar melihat mayat bergelimpangan. Namun dengan demikian Agung Sedayu sadar, bahwa ia tidak akan dapat berbuat lain daripada mempergunakan kekerasan seperti yang seharusnya berlaku dimedan perang.
Kiai Kelasa Sawit yang melihat Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya, tiba-tiba saja telah meloncat penyerangnya. Dengan garangnya ia mengayunkan senjatanya langsung mengarah keleher lawannya.
Tetapi Agung Sedayu telah bersiap menghadapi kemungkinan itu, sehingga karena itu. ia masih sempat mengelakkan serangan itu. Bahkan sekejap kemudian, terdengar cambuknya meledak dengan dahsyatnya.
Kiai Kelasa Sawit mengumpat dengan kasarnya. Anak muda itu sempat mengelak dan sekaligus menyerang.
"Anak setan ini benar-benar berbahaya," berkata Kiai Kelasa Sawit kepada diri sendiri.
Apalagi ketika keduanya kemudian terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Kiai Kelasa Sawit yang memiliki ilmu yang tinggi itu segera menyadari bahwa anak yang masih muda itu ternyata memiliki ilmu dan kemampuan olah kanuragan yang dapat disejajarkan dengan orang yang bernama Sumangkar, adik seperguruan Patih Mantaun yang pernah disebut bernyawa rangkap.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru meskipun keduanya mulai terganggu oleh keterbatasan ketahanan tubuh mereka, setelah mereka memeras segenap kemampuan untuk waktu yang panjang.
Sementara itu, di induk pasukan. Swandaru telah mengamuk dengan dahsyatnya, di ujung ujung dari induk pasukan itu. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah bertempur dengan sengitnya. Meskipun nampak tenaga merekapun telah susut, tetapi lawan-lawan merekapun telah menjadi letih pula.
Apalagi tekanan Raden Sutawijaya dan Prastawa dari arah lain di induk pasukan itu, maka rasa-rasanya kekuatan lawanpun mulai terhimpit dari kedua arah.
Namun sebagian terbesar dari bekas prajurit Pajang berada di induk pasukan itu sehingga mereka masih bertahan dengan gigihnya.
Di sayap yang lain. Kiai Gringsing ternyata memiliki daya tahan yang lebih besar dari Empu Pinang Aring. Meskipun kedua orang tua itu memiliki ilmu yang seimbang, namun Empu Pinang Aring mulai nampak menjadi semakin susut karena kemampuannya yang bagaikan terperas.
Tubuhnya bagaikan tercelup kedalam air oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang-lubang dipermukaan kulitnya. Bahkan sentuhan-sentuhan kecil dari ujung cambuk Kiai Gringsing telah membuat noda-noda merah di tubuhnya.
Semakin lama Empu Pinang Aring merasakan, bahwa ia akan mengalami kesulitan dalam saat-saat selanjutnya. Kiai Gringsing masih nampak sigap dan tangkas. Bahkan sekali-sekali ujung cambuk telah menggetarkannya. Orang tua itu masih tetap menyimpan tenaga cukup untuk melanjutkan pertempuran sampai pagi sekalipun.
"Gila," Empu Pinang Aring menggeram didalam hati, "apakah ia menyimpan tenaga iblis didalam dirinya?"
Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Kiai Gringsing justru masih mampu melepaskan kekuatan yang menggetarkan jantung lewat ujung cambuknya, sementara Empu Pinang Aring sendiri merasa tenaganya semakin menipis.
Buku 110 DI BAGIAN lain dari sayap itu. Ki Waskita telah berhasil mengatasi kusulitan yang paling gawat. Iapun telah berhasil menekan lawannya yang mulai lelah. Lawannya yang bertubuh dan berkekuatan raksasa itu, ternyata sulit untuk mengimbangi Ki Waskita. Bukan saja ketangkasan dan kecepatan bergerak, tetapi ternyata Ki Waskita memiliki kelebihan daya tahan seperti halnya Kiai Gringsing.
Dengan demikian, maka bindi Kiai Jagaraga yang besar dan bergerigi itu tidak lagi banyak mempunyai arti. Ayunan yang semakin lamban tidak akan dapat menyentuh tubuh lawannya yang masih tetap tangkas dan trampil.
"Kau akan kehilangan segenap kekuatanmu," berkata K i Waskita kepada raksasa bersenjata bindi itu.
Tetapi lawannya yang lelah itu menggeram. Bagaimanapun juga ia harus menyelesaikan pertempuran itu. Meskipun ia sadar bahwa tenaganya mulai lelah, tetapi ia masih mengharap bahwa tenaga raksasanya masih tetap melampaui kekuatan lawannya.
Namun Ki Waskita benar-benar memiliki kelebihan. Ia masih dapat bergerak cepat, sehingga setiap kali lawannya menjadi bingung dan kehilangan arah.
Sekali-sekali senjata Ki Waskita berhasil menyentuh lawannya, sehingga lawannya menjadi semakin bingung oleh kelelahan dan sakit. Namun demikian, ia masih tetap seorang raksasa yang berbahaya.
Demikianlah maka pertempuran yang lama itu dalam keseluruhan menjadi lamban. Tetapi nafsu membunuh masih tetap membayang di wajah-wajah mereka yang menggenggam senjata di medan itu, apalagi jika mereka melihat kawan-kawan mereka yang telah terbunuh maupun terluka parah. Maka kemarahan dan kebencian telah medorong mereka untuk membunuh semakin banyak meskipun kadang-kadang yang terjadi justru sebaliknya.
Sementara itu. orang-orang yang berada dibela-kang medan, sedang berusaha untuk mempercepat agar masakan mereka Jekas masak dan dapat dikirimkan kemedan perang. Beberapa orang petugas sudah dengan tidak sabar memperingatkan, bahwa para prajurit dan pengawal dimedan sudah hampir kelaparan.
"Mereka tidak akan mempu bertempur," berkata seorang petugas yang mengurus makan mereka yang bertempur.
"Kami sudah bekerja keras," jawab juru masak, "kami tidak dapat berbuat lebih cepat."
"Tetapi kelambatanmu akibatnya dapat menghancurkan seluruh pasukan."
"He. kenapa" " juru masak yang didesak-desak itu agak jengkel juga.
"Lapar dan haus menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan. Mereka akan dengan mudah dapat dikalahkan. Bukan hanya satu dua orang, tetapi beberapa puluh dan bahkan beberapa ratus orang, sehingga keseimbangan pertempuran segera menentukan akhir dari perjuangan yang akan menjadi sia-sia."
"Aku sudah tahu. Tetapi aku tidak dapat berbuat lebih cepat. Nasi harus ditanak. Kecuali jika aku harus mengirimkan beras saja kemedan."
Petugas yang mengurus makanan itupun marah. Dengan garang ia berkata, "Jangan banyak mulut. Lakukan perintahku. Aku dapat memenggal kepalamu."
Pemimpin juru masak yang merasa sudah bekerja sekuat tenaga itupun marah pula. Jawabnya, "Jangan keras kepala. Meskipun disini aku juru masak, tetapi aku juga prajurit. Kau kira aku tidak dapat mempertahankan-diri."
Beberapa orang yang melihat perbantahan itupun segera melerai. Seorang yang berambut putih berkata, "Apakah kalian sangka dengan pertengkaran itu tugas-tugas kalian dapat kalian selesaikan?"
Kedua orang yang bertengkar itupun masih saling berpandangan dengan tegang. Namun pemimpin juru masak itupun kemudian beringsut pergi kembali ketugasnya meskipun wajahnya masih nampak tegang.
"Ayo cepat," iapun berteriak membentak-bentak pembantu-pembantunya.
Namun akhirnya nasipun masak. Tetapi untuk mempermudah cara para prajurit dan pengawal makan, maka juru masak dari Mataram dan Kademangan Sangkal Putung telah menggilas nasi itu dengan penumbuk padi dalam bakul, dicampur dengan kelapa dan garam, sehingga kemudian nasi itu dapat dipotong dan digemgam dengan sebelah tangan.
Ternyata para pengikut orang-orang yang berkumpul dilembah itupun telah menyelesaikan masakan mereka, sehingga beberapa orang dari mereka telah mengirimkan makanan kemedan dengan cara yang hampir sama, seperti kebiasaan setiap kelompok yang bertempur melalui jarak waktu sewajarnya.
Meskipun pertempuran masih berlangsung, tetapi diluar pembicaraan antara kedua belah pihak, seakan-akan keduanya memberi kesempatan kepada petugas-petugas masing-masing untuk menyampaikan makan dan minum kepada mereka yang sedang bertempur. Berganti-ganti mereka minum dari gendi dan menerima sepotong nasi yang sudah digilas dan kemudian dipotong-potong.
Namun dengan demikian berarti bahwa pertempuran masih akan berlangsung panjang. Mereka yang bertempur itu tidak lagi memikirkan apakah mereka akan menunda pertempuran untuk waktu waktu yang pendek.
Para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang berada disebelah Baratpun ternyata telah mendapatkan bagian mereka, sehingga rasa-rasanya tubuh mereka menjadi segar oleh air gendi dan segumpal makanan.
Namun ada juga para pengawal yang teringat kepada Ki Gede dan beberapa orang pengawalnya. Karena itu, maka dibawanya para petugas untuk menyampaikan makan dan minum itu juga kepada mereka.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang bertempur melawan Kiai Kelasa Sawit ternyata semakin menjadi bertambah seru. Kiai Kelasa Sawit yang marah telah kehilangan semua perhitungan dan pertimbangan selain nafsu untuk membunuh anak muda bercambuk itu.
Tetapi betapapun ia berusaha. Agung Sedayupun telah berusaha pula menghindarkan dirinya dari terkaman maut. Bahkan sekali-kali jika cambuknya meledak, maka lawannya bagaikan dihentak oleh kekuatan yang tidak terlawan.
Diinduk pasukanpun keseimbangan perlahan-lahan menjadi semakin jelas. Swandaru benar-benar merupakan kekuatan yang menggetarkan. Cambuknya yang meledak-ledak bagaikan mengguncang seluruh medan. Sementara diseberang Raden Sutawijaya tiduk lagi dapat dibendung. Senjatanya merupakan penyebar maut yang sangat menggetarkan, sehingga lawan-lawannya menjadi semakin ngeri menghadapinya.
Yang terjadi disayap yang lainpun tidak banyak berbeda. Ternyata bahwa orang yang berada dilembah itu salah hitung atas kemampuan para pengawal. Mereka menganggap bahwa para pengawal dari Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun memiliki kemampuan bertempur yang cukup, tetapi mereka tidak terlatih untuk bertempur dalam waktu yang panjang. Namun ternyata bahwa mereka masih tetap mampu mengimbanginya.
Disayap yang telah kehilangan seorang pemimpinnya, yang dilumpuhkan oleh Agung Sedayu, maka kekuatan lawan benar-benar sudah teratasi. Ketika Kiai Samparsada dibawa menyingkir, maka pengawal pengawalnya menjadi semakin gelisah. Apalagi mereka sudah mendengar bahwa Agung Sedayu jugalah yang telah membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Kemudian Kiai Samparsada dilumpuhkannya pula. Kini yang dihadapinya adalah Kiai Kelasa Sawit, sehingga para pengikutnya telah mencemaskan keselamatannya.
Namun mereka tidak dapat berbuat banyak. Para pengawal Tanah Perdikan Menorehpun memiliki ketajaman perhitungan, sehingga hampir tidak ada kesempatan untuk membantu Kiai Kelasa Sawit yang garang itu.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Kelasa Sawit telah mengerahkan segenap kemampuan. Ilmunya yang melampaui orang-orang kebanyakan ternyata mempunyai pengaruh yang kuat. Senjatanya bagaikan memiliki dorongan kekuatan yang berlipat, sementara kakinya bagaikan kaki kijang yang kuat dan cepat.
Namun Agung Sedayupun telah menguasai ilmunya dengan masak. Dengan demikian, maka ia merupakan benteng yang tidak tertembus oleh lawan.
Bahkan semakin lama serangan Agung Sedayu menjadi semakin banyak menyentuh tubuh lawannya. Kecepatan bergerak Kiai Kelasa Sawit ternyata masih belum melampaui kecepatan bergerak ujung cambuk Agung Sedayu yang digetarkan oleh ilmu yang hampir sempurna.
Setiap sentuhan ditubuh Kiai Kelasa Sawit telah menimbulkan noda merah kebiru-biruan. Namun jika kekuatan Agung Sedayu tersalur sepenuhnya pada hentakan kekuatannya, maka tubuh Kiai Kelasa Sawit yang mengeras bagaikan tembaga itu masih juga berhasil dilukai, sehingga darah menitik dari kulit yang sobek ditubuhnya.
Meskipun Kiai Kelasa Sawit setiap kali menyeringai menahan pedih, serta kekuatannya yang semakin susut, tetapi luka-luka itu nampaknya tidak terlalu banyak berpengaruh. Ia masih tetap bertempur dengan garangnya, seakan-akan senjata lawannya sama sekali tidak berarti lagi baginya.
Agung Sedayu menjadi heran bahwa lawannya seakan akan tidak merasakan akibat dari sentuhan ujung cambuknya. Bahkan Kiai Kelasa Sawit yang marah itu menyerang semakin sengit.
Karena itulah maka Agung Sedayu terdorong kepada keharusan untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Kekuatan daya tahan Kiai Kelasa Sawit benar-benar telah menumbuhkan kengerian pada dirinya. Apalagi karena Agung Sedayupun telah merasa dijalari oleh kelelahan yang semakin menghisap tenaganya.
"Aku tidak boleh kehilangan tenagaku lebih dahulu dari orang ini," berkata Agung Sedayu..
Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian telah membuat perhitungan yang cermat. Apakah lebih baik baginya untuk bertahan mengimbangi kemampuan lawannya dengan sekali-sekali saja menyerang atau mengerahkan segenap kemampuannya dan segera melumpuhkan lawannya.
Agung Sedayu tidak dapat mencari pilihan. Kiai Kelasa Sawitlah yang kemudian melibatnya dalam pertempuran bagaikan dalam badai yang dahsyat. Agaknya orang itu memilih dengan cepat menyelesaikan pertempuran, menang atau kalah.
Hentakan-hentakan senjata semakin dahsyat telah saling berbenturan dan saling melukai. Bukan saja Kiai Kelasa Sawit, tetapi sentuhan senjatanya telah melukai Agung Sedayu pula.
Oleh luka dan kelelahan, maka Agung Sedayupun menjadi semakin garang. Bagaikan mengamuk ia menyerang lawannya, langsung pada tempat tempat yang paling berbahaya.
Akhirnya Kiai Kelasa Sawit tidak dapat mengingkari keadaannya. Ia masih tetap sadar, bahwa kekuatannya memang menjadi jauh susut, apalagi badannya bagaikan dipenuhi oleh luka-luka karena sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu.
Tetapi Kiai Kelasa Sawit tidak membiarkan dirinya terbunuh oleh anak muda itu seperti Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Dan iapun tidak mau dilumpuhkan seperti Kiai Samparsada yang belum diketahui nasibnya, apakah ia benar benar mati atau terluka parah.
Karena itulah. Maka Kiai Kelasa Sawit yang sudah terluka silang melintang itu mulai memikirkan jalan keluar dari kesulitannya. Tubuhnya yang menjadi semakin lemah oleh kelelahan dan darah, hampir tidak sempat lagi melakukan perlawanan.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja terdengar suitan nyaring dari mulutnya. Kiai Kelasa Sawit telah memberikan isyarat bagi keselamatannya.
Agung Sedayu sadar, bahwa lawannya telah memberikan suatu isyarat. Tetapi ia tidak mengetahui, apakah yang akan terjadi kemudian. Yang dapat dilakukannya hanyalah mempersiapkan dirinya menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Bahkan beberapa orang pengawal yang mendengar isyarat itupun telah bersiap-siap pula. Mungkin akan terjadi perubahan yang tiba-tiba diarena pertempuran itu.
Agung Setlayu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat geseran yang serentak pada pasukan lawan. Beberapa orang telah menyibak dan dengan cepat mereka telah berkerumun seolah-olah membuat sebuah lingkaran kecil yang bersusun.
Barulah Agung Sedayu kemudian sadar. Kiai Kelasa Sawit yang sudah tidak berdaya lagi itu berusaha untuk melindungi dirinya. Ia tentu akan menyingkir dari arena untuk mempersiapkan diri atau justru untuk tidak menampakkan dirinya lagi.
Sejenak Agung Sedayu diguncang oleh keragu-raguan. Jika ia melihat luka-luka ditubuh lawannya. maka dua hal yang saling bertentangan telah berdesakan didalam hati.
Dengan mudah Agung Sedayu akan dapat membinasakan lawannya yang sudah kehilangan kemampuannya untuk melawan itu. Ia dapat memerintah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk memecahkan lingkaran perlindungan itu dan ia sendiri memasuki sampai kepusarnya dan membunuh Kiai Kelasa Sawit.
Namun, terasa sesuatu telah menahannya. Orang itu sudah tidak berdaya lagi seperti Kiai Samparsada. Apakah sudah wajar jika ia masih saja memburynya dan membunuhnya sama sekali"
Keragu-raguannya itulah agaknya yang memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menyembunyikan Kiai Kelasa Sawit ditengah-tengah medan. Sementara Agung Sedayu diam mematung, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memandanginya dengan tegang. Mereka menunggu apakah yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Tepai agaknya Agung Sedayu itu bagaikan membeku ditempatnya.
Para pengawal itu menyadari keadaan mereka, dan tanpa menunggu lagi menghantam lingkaran itu. Namun ternyata bahwa Kiai Kelasa Sawit sudah dilarikan oleh pengawal-pengawalnya yang setia.
"Ia melarikan diri," geram seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
"Agung Sedayu terlalu lamban," desis yang lain, "sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk melakukannya jika ia mau."
"Ia mulai kambuh. Keragu-raguannya sudah mencengkam jantungnya lagi," desis yang lain.
"Sikapnya tidak menguntungkan sama sekali. He. bagaimana hal itu dapat terjadi atasnya?" bertanya yang lain, "bukankah ia sudah membunuh Ki Gede Telengan. Ki Tumenggung Wanakerti dan Kiai Samparsada?"
Medan dipertempuran itu menjadi gempar. Hilangnya Kiai Kelasa Sawit membuat para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal Mataram yang sudah melingkari medan dari arah Timur ke arah Barat menjadi ribut. Berbagai tanggapan telah mereka lontarkan terhadap Agung Sedayu. Namuun adalah sudah menjadi suatu kenyataan bahwa Kiai Kelasa Sawit sudah melarikan diri.
Tiba-tiba saja salah seorang pengawal yang tidak dapat menahan diri telah berteriak, "Kelasa Sawit melarikan diri."
Teriakan itu diluar dugaan lelah disambut oleh yang lain. "Kelasa Sawit melarikan diri."
Ternyata bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Mataram yang lainpun telah berteriak pula sambung bersambung, "Kiai Kelasa Sawit melarikan diri dari sayap."
Dalam pada itu. Kiai Kelasa Sawit memang telah melarikan diri dari sayap. Dalam perlindungan anak buahnya ia berusaha untuk lepas dari medan. Namun tidak disayap, karena para pengawal semuanya seakan-akan telah memperhatikannya.
Dalam waktu yang singkat. Kiai Kelasa Sawit dibimbing oleh pengawalnya yang setia telah meninggalkan sayap pasukan lembah itu dan memasuki induk pasukan. Selanjutnya ia berusaha untuk menemukan lubang yang dapat dilaluinya untuk meninggalkan arena pertempuran karena luka-lukanya yang parah.
Tetapi teriakan para pengawal itu menjalar terlampau cepat. Bahkan beberapa orang pengawal di induk pasukannya telah mendengarnya dan mereka yang berada dibatas sayap dan induk pasukanpun ikut berteriak, "Kiai Kelasa Sawit melarikan diri."
Kiai Kelasa Sawit menjadi berdebar-debar. Tetapi ia merasa dirinya telah terlepas dari Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu tidak akan mengejarnya sampai keinduk pasukan.
"Kita harus segera meloloskan diri," desis Kiai Kelasa Sawit, "aku memerlukan beberapa saat beristirahat sebelum aku kembali menghadapi anak itu."
"Malam ini Kiai?" bertanya seorang pengawalnya.
"Kau dungu. Tentu aku harus beristirahat tidak hanya malam ini. Agaknya keadaanku belum menjadi baik."
"Sehari semalam?"
"Bodoh. Aku akan beristirahat sebulan lamanya."
"Sebulan" " pengawalnyalah yang kemudian menjadi heran.
Tetapi Kiai Kelasa Sawit tidak menjawab. Ia merasa dadanya menjadi sesak dan luka-lukanya bertambah pedih. Darah semakin banyak mengalir dari tubuhnya meskipun daya tahannya telah berhasil memperkecil kemungkinan cambuk lawannya merobek kulitnya.
Namun dalam pada itu, teriakan-teriakan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Mataram menjadi semakin keras, dan yang bahkan disambut pula oleh para pengawal dari Sangkal Putung, "Kiai Kelasa Sawit melarikan diri."
Dengan tergesa-gesa Kiai Kelasa Sawitpun mencari jalan keluar. Pengawalnya tidak dapat mencegahnya lagi meskipun ia sadar, bahwa pasukan di sayap itu akan segera bercerai berai tanpa pimpinannya. Namun iapun sadar, bahkan jika Kiai Kelasa Sawit tidak meninggalkan medan, maka ia akan dibunuh oleh Agung Sedayu.
Sementara itu. Agung Sedayu yang berada di sayap itupun termangu-mangu. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram dibagian Barat, serta para pengawal Mataram dan Sangkal Putung dibagian Timur ternyata telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Hilangnya Kiai Kelasa Sawit, benar-benar telah melumpuhkan kekuatan lawan. Terutama karena goncangan perasaan. Sebenarnya jika mereka tidak mudah disentuh oleh keputus-asaan. maka mereka masih akan dapat bertahan dan mencari jalan keluar. Tetapi hilangnya dua orang pemimpin di sayap itu membuat hati para pengikutnya menjadi kecut.
Meskipun ternyata kemudian Agung Sedayu tidak berbuat seperti yang mereka duga, namun agaknya meraka menyangka bahwa yang demikian itu. hanyalah menunggu saat yang akan segera datang.
Sebenarnyalah Agung Sedayu mulai lagi dicengkam oleh keragu-raguan. Selelah ia membunuh Ki Gede Telengan. Ki Tumenggung Wanakerti dan melukai Kiai Samparsada sehingga parah, kemudian Kiai Kelasa Sawit, maka rasa-rasanya goncangan-goncangan didalam dirinya tidak terelakkan lagi. Apalagi waktu mereka melihat didalam cahaya obor. tubuh yang silang melintang dipertempuran. Orang kesakitan dan bahkan kadang-kadang terdengar tangis tertahan.
Rasa-rasanya getar hati anak muda itu tidak tertahankan lagi. Bukan kemenangan yang terasa memberi kebanggaan dihati, tetapi justru penyesalan dan kengerian.
Itulah sebabnya untuk beberapa saat lamanya ia berdiri tegak ditempatnya. Para pengawal Tanah Perdikan dan para pengawal dari Mataram menjadi heran melihat sikapnya. Mereka menduga bahwa Agung Sedayu akan segera mengamuk dan menghalau setiap lawan yang ada disayap itu, bahkan membunuhnya. Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan itu. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu tanpa berbuat apa-apa.
Meskipun demikian, maka para pengawal itu tidak ikut termangu-mangu. Sebagian dari mereka mengerti, bahwa penyakit Agung Sedayu telah kambuh lagi. Keragu-raguan dan kebimbangan.
Karena itulah, maka para pengawal Tanah Perdikan Menorehlah yang kemudian bersama-sama dengan para pengawal dari Mataram seakan akan telah mengamuk mengusai medan. Orang-orang yang bertahan di lembah itu semakin lama menjadi semakin terdesak dan tidak berdaya.
Pertempuran itu masih berlangsung beberapa lama, sementara Agung Sedayu bagaikan orang bingung berdiri di tempatnya Namun agaknya goncangan-goncangan didalam hatinya tidak tertahankan lagi. Diluar dugaan para pengawal. Agung Sedayu justru meninggalkan medan dengan langkah yang gontai.
"Kemana," terdengar seseorang bertanya kepada kawannya.
"Agaknya ia akan kembali kepada Ki Gede yang menjaga pusaka itu," jawab yang lain.
Mereka menjadi semakin heran. Namun kemudian mereka tidak menghiraukannya lagi dan bertempur semakin sengit.
Agung Sedayu berjalan didalam gelapnya malam. Seakan-akan ia menuruti kemana kakinya melangkah. Adalah karena nalurinya saja iapun berjalan menuju ketempat Ki Gede Menoreh menunggu dengan hati yang berdebar-debar.
Kedatangan Agung Sedayu mengejutkan para pengawas. Ketika seorang pengawas melihat sesosok bayangan yang berjalan mendekat, maka sambil mengacukan tombaknya ia berdesis, "Siapa?"
Agung Sedayu berhenti. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian pengawas itu segera mengenalnya. Bahkan ia menjadi cemas melihat keadaan Agung Sedayu yang seakan-akan kehilangan sesuatu.
"He. kenapa kau?" bertanya pengawas itu. Agung Sedayu memandang pengawas itu sejenak.
Namun kemudian Jawabnya, "Aku tidak apa-apa."
Pengawas itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Tetapi suaramu gemetar. Apakah yang sudah terjadi?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia berjalan terus.
"Ki Gede ada dibalik batu padas," desis pengawas itu.
Agung Sedayu barjalan terus menuju kebatu padas yang nampak hitam pekat dimalam hari. Cahaya obor kecil yang sengaja ditempatkan agak jauh, memberikan sedikit ancar-ancar tempat Ki Gede Menoreh beristirahat.
Ki Gede berpaling ketika ia mendengar desir perlahan. Sebuah bayang nampak mendekatinya dengan ragu-ragu.
"Agung Sedayu," desis Ki Gede.
Agung Sedayu menjadi semakin dekat. Kemudian dengan lemahnya ia menjatuhkan diri dan duduk beberapa langkah dihadapan Ki Gede Menoreh.
Ki Gede Menoreh terkejut melihat keadaan anak muda itu. Dengan tergesa-gesa ia mendekatinya sambil bertanya, "Kau kenapa?"
Agung Sedayu mencoba menenangkan hatinya. Perlahan-lahan ia menarik nafas panjang sekali, seakan-akan udara malam diseluruh hutan itu akan dihisapnya.
"Kau terluka" " bertanya Ki Gede.
"Tidak seberapa Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "hanya goresan-goresan kecil."
"Tetapi kau nampak letih sekali."
"Aku memang letih sekali."
Ki Gedepun kemudian duduk disamping Agung Sedayu. Terasa tubuh anak muda itu gemetar. Nafasnya kadang-kadang memburu, namun kadang-kadang bagaikan terhenti.
"Aneh," berkata Ki Gede didalam hatinya, "pernafasannya hampir sempurna. Tetapi terasa kini seakan-akan ia tidak memiliki kemampuan untuk menguasai diri dan mengatur pernafasannya sendiri."
"Agung Sedayu," desis Ki Gede, "agaknya kau memang terlalu letih. Tetapi seharusnya kau dapat mengatasi kesulitan pernafasanmu, sehingga tubuhmu akan menjadi agak segar. Apalagi sejuknya embun malam akan dapat membantu menyegarkan kelelahanmu."
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi keadaannya tidak bertambah baik.
Agung Sedayu masih saja gelisah, sementara nafasnya sama sekali masih belum teratur.
Ki Gede Menoreh yang sudah semakin tua itupun ternyata memiliki penglihatan batin yang tajam. Meskipun yang nampak pada wadag Agung Sedayu tidak membahayakannya, namun ternyata kelelahan batinnya membuatnya seolah-olah kehilangan nalar dan pertimbangan.
Ki Gede kemudian semakin menyadari ketika meraba tubuh Agung Sedayu yang gemetar.
"Apa yang sudah terjadi Agung Sedayu?" bertanya Ki Gede Menoreh.
Agung Sedayu memandang Ki Gede dengan tatapan mata yang suram.
"Apakah kau menjumpai peristiwa yang tidak kau kehendaki" " desak Ki Gede.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian desisnya gemetar, "Bukan maksudku Ki Gede. Benar-benar bukan maksudku."
"Memang bukan maksudmu Agung Sedayu. Tetapi apakah yang sudah terjadi?"
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja seakan-akan nampak dihadapannya Kiai Samparsada yang terbaring dengan luka-lukanya, sementara Kiai Kalasa Sawit yang terhuyung-huyung karena ujung cambuknya. Dengan susah payah orang itu bersuit memanggil pengawalnya untuk membuat lingkaran pelindung diseputarnya. Apalagi kemudian seolah-olah berdiri dikegelapan sambil memandanginya dengan mata merah menyala Ki Gede Telengan yang bersilang tangan dan Ki Tumenggung Wanakerti yang seakan-akan tidak dapat disentuh oleh senjata. Namun keduanya telah berhasil dibunuhnya.
"O," Agung Sedayu tiba-tiba saja mengeluh, dipandanginya kedua telapak tangannya dan tangkai cambuknya. Tiba-tiba saja tangannya menjadi semakin gemetar.
Ki Gede Menoreh mengerti, apa yang tersirat dihati anak muda itu. Anak muda yang selalu diganggu oleh sifat-sifatnya yang berdasar lubuk hati sejak ia masih kanak-kanak. Keragu-raguan, kebimbangan dan tidak berketentuan.
Betapapun Agung Sedayu berhasil menguasai berbagai ilmu yang menggetarkan, yang dapat mengatasi dan bahkan melampaui ilmu Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti, namun ia tidak dapat mengatasi gemuruhnya jantung didalam dadanya sendiri.
Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian menyuruh seorang pengawalnya mengambil gendi yang diberikan kepada kelompok itu dan memberikannya kepada Agung Sedayu, "Minumlah Agung Sedayu. Kau benar-benar harus beristirahat."
Agung Sedayu tidak menolak. Iapun kemudian menghirup air dari dalam gendi itu. Seteguk demi seteguk.
Segarnya air gendi dan segarnya malam dapat sedikit memberi ketenangan kepada Agung Sedayu. Beberapa kali ia menarik nafas, seolah-olah ia sedang mengingat apa yang telah dilakukannya dimedan perang yang mengerikan itu.
Ki Gede Menoreh masih menunggui dengan sabar. Sekali-kali Agung Sedayu berdesah. Kemudian tatapan matanya kembaki terlempar kedalam gelapnya malam.
Namun kemudian dengan nafas yang tersendat-sendat. Agung Sedayu menceriterakan bahwa ia telah melukai Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit.
"Keduanya terluka parah," desis Agung Sedayu, "bukan maksudku untuk menjadi pembunuh yang tidak berjantung meskipun dipeperangan. Aku sudah membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Apakah aku harus membunuh dan membunuh apapun alasannya?"
Ki Gede Menoreh sudah menduga. Ternyata bahwa ilmu dan kemampuan Agung Sedayu yang melampaui tataran itu justru telah membuat hatinya kadang-kadang terluka.
"Agung Sedayu," berkata Ki Gede Menoreh, "setiap kali kau hadir dipeperangan, maka kau selalu dicengkam oleh kegelisahan semacam itu. Tetapi itupun bukan salahmu. Semua yang terjadi adalah urutan peristiwa yang tidak terpisahkan. Suatu rangkaian peristiwa yang saling berkait. Juga tentang dirimu sendiri."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Sebenarnya kau tidak dapat menyesali perbuatanmu dipeperangan. Membunuh memang pekerjaan yang terkutuk. Tetapi peperangan merupakan usaha terakhir untuk mempertahankan sikap seseorang dan sekelompok orang yang mempunyai keyakinan dan landasan yang sejalan."
Agung Sedayu masih tetap menundukkan kepalanya.
"Kau dapat mengerti Agung Sedayu" " bertanya Ki Gede.
"Pengertian yang dapat ditangkap oleh nalarku tidak sejalan dengan perasaanku Ki Gede," desis Agung Sedayu.
"Kau sadari itu" " bertanya Ki Gede.
"Tanpa kesadaran ini barangkali aku sudah menjadi gila. Aku berusaha untuk menemukan keseimbangan antara nalar dan perasaan. Tetapi kadang-kadang pertanyaan didalam hatiku terlampau banyak yang tidak dapat aku jawab," berkata Agung Sedayu seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, "diantaranya, apakah aku memang harus menjadi pembunuh yang tidak berperikemanusiaan" Aku sadar Ki Gede. apakah artinya perikemanusiaan didalam peperangan. Tanpa melenyapkan kebatilan maka akupun telah berkhianat terhadap perikemanusiaan itu sendiri, karena akibat dari kelestarian kebatilan adalah perkosaan terhadap perikemanusiaan. Tetapi kenapa aku harus melakukannya dengan cara yang tidak dapat aku pilih sesuai dengan cara yang paling baik menurut pendapatku?"
"Agung Sedayu. Jika cara itu harus kau lakukan, karena kau tidak mendapat kesempatan untuk memilih justru kau berada didalam keadaan tanpa pilihan, maka kau harus menerima kenyataan itu. Bukan kau yang telah memaksakannya terjadi. Tetapi kau hanyalah menerima keadaan tanpa pilihan itu. sehingga kau telah berdiri pada satu kesempatan, membunuh. Karena jika kau ingkari kesempatan itu, maka kau telah melakukan kesalahan yang sama nilainya, memberi kesempatan orang lain membunuhmu, padahal kau mempunyai kemampuan untuk menyelematkan dirimu meskipun yang terjadi harus sebaliknya.
Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Dipandanginya langit yang hitam ditaburi oleh bintang-bintang yang berkeredipan. Malam telah semakin dalam, sementara di lembah itu pertempuran masih berlangsung meskipun telah menjadi semakin kendor.
"Sudahlah Agung Sedayu," berkata Ki Gede, "beristirahatlah. Kau adalah seorang anak muda yang memiliki sesuatu yang merupakan kurnia dari Yang Maha Kuasa. Tergantung kepadamu, apakah kau dapat mengamalkannya, atau sekedar akan kau rendam dalam pelukan perasaanmu yang gelisah. Bukan saja saat ini, tetapi saat-saat mendatangpun persoalan semacam ini akan selalu kau jumpai didalam hidupmu. Karena persoalan baik dan buruk itu merupakan persoalan yang lahir bersama kelahiran manusia itu sendiri."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun terasa sesuatu bergetar didalam dirinya, meskipun masih samar-samar.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semantara itu, Ki Gede Menorehpun kemudian meninggalkannya kembali ketempatnya. Ia tidak boleh lengah. Kedua pusaka itu seolah-olah didalam tanggung jawabnya.
Ketika seorang pengawal mendekatinya, maka iapun berkata, "Awasi Agung Sedayu yang kecewa terhadap dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, ia seakan-akan telah berubah. Karena itu. jika ada orang yang bermaksud jahat, maka ia tidak akan mempedulikannya."
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Ki Gede, apakah artinya aku bagi Agung Sedayu."
"Kau bukan seorang yang ragu-ragu seperti Agung Sedayu. Itulah kelebihanmu. Karena itu, awasilah anak muda yang sedang diamuk oleh kebimbangan itu."
Pengawal itu tidak membantah. Iapun kemudian mendekati Agung Sedayu yang bersandar pada sebatang pohon. Sambil duduk disampingnya pengawal itu bertanya, "Kau lelah?"
"Ya. aku lelah."
Pengawal itu tidak bertanya lagi. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Gede, Agung Sedayu itupun kemudian duduk bersandar sebatang pohon sambil meletakkan kepalanya pada kedua telapak tangannya yang diangkatnya dibelakang. Ia seakan-akan telah tenggelam kedalam suatu dunia yang lain dari dunia wadagnya, sehingga seperti yang dikatakan orang, namun ia sama sekali tidak memperhatikannya lagi.
"Anak muda yang aneh," desis pengawal itu. Tetapi ia tetap berdiam diri sambil mengawasi kegelapan yang terhampar disekitarnya.
"Aku tidak boleh lengah seperti Agung Sedayu," berkata pengawal itu kepada diri sendiri, sehingga karena itulah, maka ia menggenggam tombaknya erat-erat meskipun iapun kemudian bersandar pula pada sebatang pohon disebelah Agung Sedayu. sementara para pengawal yang lainpun tetap bersiaga sepenuhnya karena mereka menyadari, bahwa kedua pusaka yang tidak ternilai harganya itu ada diantara mereka yang berada ditempat terpisah dari peperangan itu.
Sementara itu, pertempuran dilembah memang sudah menjadi semakin lamban. Kedua belah pihak sudah kehilangan puncak kemampuan mereka karena kelelahan.
Orang-orang yang merasa dirinya keturunan Kerajaan Agung Majapahit semakin lama semakin merasa, betapa tekanan para pengawal Mataram. Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh tidak lagi dapat dilawan.
Disayap yang telah ditinggalkan Agung Sedayu, para pengikut orang-orang yang menyatakan dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu menjadi semakin gelisah. Pemimpin-pemimpin mereka telah tidak ada lagi diantara mereka. Kiai Kelasa Sawit seakan-akan telah hilang didalam gulungan pengawalnya.
Karena itulah, maka mereka seakan-akan sudah kehilangan segala kesempatan. Tekanan yang semakin dahsyat dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para pengawal dari Mataram yang menghimpit mereka pada kekuatan pengawal dari Kademangan Sangkal Putung dan sebagian yang lain dari para pengawal dari Mataram, membuat mereka kehilangan semua harapan untuk dapat melepaskan diri dari bencana.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya yang berada diinduk pasukan, dengan cerdik telah memotong sayap yang kehilangan pimpinannya itu dengan pasukannya. sehingga sayap itu seakan-akan telah terpisah dari induk pasukannya.
Tidak ada yang dapat dilakukan lagi oleh mereka yang berada disayap pasukan yang terkepung itu. Ketika seorang pemimpin pengawal dari Mataram meneriakkan ancaman-ancaman yang mengerikan, maka mereka menjadi semakin ragu-ragu untuk meneruskan pertempuran.
Namun akhirnya pemimpin pengawal dari Mataram itu berkata, "Tetapi kami masih mempunyai perhitungan. Jika kalian menyerah sebelum saat-saat yang mengerikan itu tiba, maka nasib kalian akan menjadi bertambah baik. Kemarahan dan dendam dihati kami akan berkurang, karena penyerahan kalian berarti mengurangi jumlah korban dipihak kami."
Tawaran itu benar-benar mempengaruhi perasaan para pengikut orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Dalam keadaan putus asa, maka kesempatan untuk menyerah itu adalah satu-satunya kesempatan terbaik yang akan menghindarkan mereka dari kematian, meskipun mungkin mereka akan jatuh kedalam suatu keadaan yang tidak kalah buruknya daripada mati.
"Kami masih memberi kesempatan," berkata pemimpin dari Mataram itu, "jika kalian ingin menyerah, maka lepaskanlah senjata kalian dari tangan."
Tetapi orang-orang yang putus asa itu masih ragu-ragu. Jika mereka melepaskan senjata mereka, sementara lawan mereka masih belum menemukan keseimbangan, sehingga dendamnya masih menyala, maka nasib mereka justru akan menjadi bertambah buruk.
Namun pemimpin pengawal dari Mataram itupun kemudian meneriakkan aba-aba kepada para pengawal agar mereka memberi kesempatan lawan untuk menyerah.
Para pemimpin pengawal dari Kademangan Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menoreh yang berseberanganpun mendengar perintah itu. Sementara mereka masih tetap mengakui, bahwa mereka berada di bawah perintah dari pimpinan pasukan dari Mataram, sehingga perintah yang mengalir dari pimpinan pasukan Mataram, merupakan perintah bagi seluruh pasukan.
"Nah," teriak pemimpin pengawal dari Mataram, "ulangi perintahku, beri kesempatan kepada mereka untuk menyerah."
Para pemimpin kelompok, baik dari Mataram, dari Sangkal Putung maupun dari Tanah Perdikan Menorehpun kemudian mengulangi perintah itu sambung bersambung sampai keujung sayap.
Tidak ada kesempatan lain. Kelelahan, putus asa dan hilangnya harapan telah menyudutkan para pengikut mereka yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu untuk menerima tawaran itu, betapapun buruknya.
"Seorang pemimpin kelompok yang sudah kehilangan ikatan induknya itupun tiba-tiba saja sudah meneriakkan perintah bagi kelompoknya, "Pisahkan diri dari lawan. Kalian mendapat kesempatan untuk menyerah. Tetapi tidak untuk membunuh diri."
Ternyata bahwa perintah itu mendapat sambutan dari beberapa orang pemimpin kelompok yang lain meskipun hal itu bukannya merupakan jalur perintah. Mereka merasa bahwa setiap kelompok harus menentukan sikap mereka sendiri, setelah Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit hilang dari sayap itu.
Para pengikut yang berada dilembah itupun tidak mempunyai kesempatan lain. Itulah sebabnya, mereka-pun kemudian seolah-olah berusaha untuk menjauhi lawan masing-masing sambil mengangkat senjata mereka meskipun senjata itu masih belum dilontarkan.
Para pengawal dari Mataram, dari Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menorehpun termangu-mangu sejenak. Pernah untuk memberi kesempatan lawan mereka menyerah tidak dapat mereka abaikan, sehingga karena itu. maka merekapun membiarkan lawan mereka melangkah surut dan seakan-akan berkumpul didalam sebuah lingkaran yang besar.
Pedang Dan Kitab Suci 22 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Mentari Senja 2
Dengan hati-hati maka pasukan kecil itupun semakin lama menjadi semakin dekat dengan medan. Mereka tidak terlalu sulit untuk merenungkannya, karena arahnya sudah pasti. Mereka tinggal menyusuri lembah itu. dan mereka tidak akan salah arah.
Beberapa puluh langkah lagi kedepan, maka seperti yang mereka duga, nampak obor yang menebar di pertempuran.
"Kita sudah sampai," berkata Ki Gede Menoreh, "kita akan mencari hubungan dengan pasukan Mataram atau dengan Prastawa dan Ki Waskita."
"Kita akan memastikan diri, apa yang akan kita lakukan Ki Gede," sahut Agung Sedayu.
"Ya. Dan kita tidak boleh salah hitung, karena pada kita terletak pertanggungan jawab terbesar atas pusaka-pusaka ini."
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi wajahnya nampak berkerut oleh ketegangan didalam hatinya.
Sementara itu, dua orang penghubung telah diperintahkan oleh Ki Gede Menoreh untuk mencari hubungan. Mereka harus mendapatkan gambaran dari seluruh medan dibagian Barat.
Sepercik kecemasan telah tumbuh dihati Ki Gede Menoreh. Jika dibagian Barat ini dengan mudah dapat ditembus oleh lawan, maka apakah pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak berdaya sama sekali. Sementara itu, dengan berdebar-debar pula Ki Gede mulai menilai seluruh pertempuran meskipun hanya sekedar dari tebaran dan jumlah obor.
Pertempuran itu agaknya benar-benar merupakan pertempuran yang besar.
"Seharusnya pertempuran itu berhenti ketika gelap turun," tiba-tiba saja Ki Gede bergumam.
Agung Sedayu berpaling kearahnya. Dengan suara datar ia berkata, "Seharusnya Ki Gede. Tetapi orang-orang di lembah ini tentu tidak akan memaksa diri untuk mengetrapkan unggah-ungguh peperangan. Jika mereka merasa malam justru menguntungkan, maka mereka akan mempergunakan malam itu untuk kepentingan mereka."
Ki Gede mengangguk. Namun kemudian katanya, "Kita akan beristirahat sejenak. Kau tentu masih lelah, dan kakiku masih terasa sedikit mengganggu."
Ki Gedepun kemudian duduk diatas sebuah batu. Pusaka yang ditangannya sama sekali tidak dilepaskannya. Digerakkannya kakinya yang setiap kali kambuh, justru pada saat-saat yang gawat. Sementara Agung Sedayupun telah duduk pula disebuah batu yang lain untuk melepaskan lelahnya pula. Dalam pada itu. para pengawal menebar disekilar kedua orang yang sedang memegang pusaka yang telah berhasil dirampas itu. Meskipun mereka ikut beristirahat pula. tetapi merasa tidak meninggalkan kewaspadaan. Karena itulah maka mereka telah berada disegala arah untuk mengawasi keadaan, karena mereka berada didaerah yang gawat dan kurang mereka kuasai keadaannya. Apalagi dalam gelapnya malam, sementara obor mereka yang kecil menjadi semakin kecil dan tidak berdaya lagi mencapai jarak yang cukup, selain sekedar untuk melihat selangkah didepan kakinya sendiri.
Dalam pada itu. dua orang merayap mendekati medan. Mereka mencoba mengenal pertempuran itu dari jarak yang semakin dekat. Dari cahaya obor. mereka mulai dapat membedakan siapakah yang ada dimedan.
Dengan hati-hati kedua orang itu mencari seseorang yang mereka kenal, terutama pengawal Tanah Perdikan Menoreh, meskipun dengan demikian berarti bahwa merekapun harus berada dimedan.
"Kau tinggal disini," berkata salah seorang dari kedua pengawal itu, "aku akan berada dipertempuran itu."
"Kenapa aku harus tinggal disini" " bertanya kawannya.
"Jika setelah aku memasuki medan dan aku tidak sempat keluar, maka kau harus memberitahukannya kepada Ki Gede."
"Ah. Jika kemungkinan tidak ada, kenapa kau harus mendekat. Yang kita saksikan sudah cukup meyakinkan, bahwa pertempuran itu sampai saat ini masih belum dapat menentukan, siapakah yang akan menguasai medan. Kita sudah dapat melihat, bahwa pertempuran itu bagaikan bercampur baurnya kawan dan lawan."
"Jadi, apakah kau sangka dengan demikian sudah cukup" Kita bukan sekedar melihat pertempuran itu. Tetapi kita akan mencari hubungan."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam.
"Tinggallah disini. Tunggulah beberapa saat. Jika aku tidak kembali, tinggalkan aku dimedan."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi kecemasan nampak membayang diwajahnya.
Yang seorang tidak menunggu lebih lama. Nampaknya ia tidak menghiraukan lagi kawannya, meskipun sebenarnya ia menyadari, bahwa kawannya yang masih belum berpengalaman benar-benar menjadi cemas.
"Apa boleh buat," desisnya, "tugas ini harus dilakukan."
Sepeninggal kawannya, pengawas yang seorang menjadi semakin cemas. Bukan saja tentang nasib kawannya, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Rasa-rasanya didalam gelapnya malam, berpuluh-puluh pasang mata sedang mengintipnya dari balik kegelapan.
Dengan memaksa diri pengawal itu mengatasi kengerian dihatinya. Ia berkewajiban untuk tinggal ditempatnya menunggu kawannya yang mencari hubungan kemedan. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat ikut serta, karena jika demikian, apabila kedua-duanya mengalami kesulitan, tidak ada orang yang akan dapat melaporkan lagi kepada Ki Gede Menoreh.
Sementara itu, kawannya telah mendekati medan dengan senjata ditangan. Ketika ia sekilas melihat seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh sedang bertempur, maka iapun segera mendekatinya dan ikut melibatkan diri kedalam pertempuran itu.
"He, kau." desisnya sambil bertempur bersama.
Namun ia tidak banyak mendapat kesempatan. Ketika pertempuran itu bergeser seperti geseran air tersentuh batang yang tergelincir kedalamnya. maka kawannya telah tergeser pula, dan ia harus bertempur menghadapi orang lain.
Tetapi segera ia mendapat kesimpulan, bahwa jumlah dan kekuatan kedua belah pihak agaknya memang berimbang.
"Pertempuran itu dapat berlangsung tujuh hari tujuh malam," katanya didalam hati, "jika tidak ada perubahan keseimbangan, maka sampai pada batas terakhir, akan tinggal dua orang saja yang masih hidup dan bertempur sampai yang seorang terbunuh."
Tetapi ia tidak dapat membiarkan dirinya terseret oleh angan-angannya karena senjata lawannya hampir saja mengenai hidungnya.
Namun tiba-titia geseran berikutnya, telah menempatkannya pada lingkungan yang lebih menguntungkan. Beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh sedang berusaha mempertahankan kedudukan masing-masing dalam kerja sama yang rapi.
"Bagus," desis penghubung itu, "orang tua itu tentu berhasil mempertahankan kedudukannya."
Penghubung itupun kemudian berusaha untuk bergeser pula meskipun bagaikan menentang arus. Namun perlahan-lahan ia berhasil mencapai kawan-kawannya yang sebagian besar sudah dikenalnya dengan baik.
"Dimana Prastawa?" pertanyaan itulah yang pertama-tama dilontarkan.
Seorang dari pengawal itu berpaling sejenak. Kemudian jawabnya, "Ia berada diinduk daerah pertempuran ini."
"Aku ingin menemuinya. Tetapi apakah kau dapat memberikan beberapa keterangan?"
Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia meninggalkan lawannya yang segera mendapat lawan yang lain bersama pengawal yang bertugas sebagai penghubung itu keluar dari arena.
"Pertempuran sudah tidak terlalu keras. Tetapi masing-masing memang berusaha untuk menjaga harga diri. Tidak ada diantara kedua pihak untuk mau mendahului memberikan tawaran untuk menghentikan pertempuran meskipun kami sudah sangat letih. Perut kami menjadi sangat lapar, dan leher kami bagaikan kering."
"Diperkemahan orang-orang yang berada dilembah ini sedang sibuk menyiapkan makanan."
"Tidak ada diantara kami yang melakukan hal itu."
"Kenapa?" "Prastawa tidak memerintahkan."
"Ia masih terlalu muda. Apakah ia sendiri tidak lapar dan haus."
"Tetapi biarlah. Kita akan berusaha merampasnya jika lawan memberikan kesempatan kepada kawan-kawan mereka."
"Sulit. Mungkin mereka mempunyai cara yang khusus. Jika perlu, biarlah kami melakukannya."
"Tetapi apakah yang akan kau katakan?"
"Ki Gede mendekati medan ini bersama Agung Sedayu. Aku ingin mengatakannya kepada Prastawa."
"Apakah persoalanmu sudah selesai?"
"Sudah. Tetapi yang masih kami perlukan adalah keterangan tentang medan. Aku melihat pihak lain diarena ini. Atau aku sudah tidak dapat melihat lagi dalam keremangan malam yang hanya diterangi dengan obor-obor kecil itu" "
Penghubung itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan nada datar ia berkata, "Pasukan Mataram sudah berada dimedan ini pula agaknya. Jika demikidan, pertempuran ini benar-benar merupakan pertempuran yang kacau. Bukan saja perang brubuh, tetapi campur baur yang kisruh."
"Tidak. Masih ada batas. Prastawa memang memilih gelar Glatik Neba," jawab pengawal itu, "tetapi agaknya disebelah Timur masih terdapat gelar."
Penghubung itu mengangguk-angguk. Kemudidan katanya sambil melapaskan lawannya, "Aku akan mencari Prastawa."
"Ia berada diinduk Pasukan."
Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan Prastawa didalam perang yang kacau itu. Namun demikian, akhirnya ia menemukannya juga diantara beberapa orang pengawal. Sementara tidak terlalu jauh dari padanya, terdapat seorang anak muda yang sedang mengamuk seperti seekor banteng.
"Raden Sutawijaya,"desisnya, "ia berada dimedan ini juga."
Pengawal itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian berusaha untuk mendekati Pratawa. Beberapa lama baru ia berhasil. Sambil mengikuti gerak pertempuran di induk pasukan, maka iapun kemudian melaporkan kepada Prastawa, apa yang sudah terjadi.
"He," Prastawa terkejut, "orang yang bernama Ki Gede Telengan dan Tumenggung Wanakerti sudah mati?"
"Ya. Keduanya dibunuh oleh Agung Sedayu."
"Kau gila, katakan yang sebenarnya."
"Ya. Dibunuh oleh Agung Sedayu."
"Tutup mulutmu, atau aku sumbat dengan ujung pedang. Aku tidak tahu siapakah keduanya. Tetapi karena keduanya memiliki tugas-tugas khusus tentu kedua orang-orang yang berilmu."
"Ya. Keduanya memang orang yang pilih tanding. Tetapi keduanya telah dibunuh oleh anak muda dari Sangkal Putung itu."
"Kalau kau sebut sekali lagi, aku bunuh kau." Pengawal itu menjadi heran. Tetapi ia benar-benar tidak berani mengatakannya lagi.
"Bagaimana dengan paman Argapati."
"Aku diperintahkannya mencari hubungan. Pasukannya sudah dekat dibelakang medan ini. Kami akan segera menggabungkan diri."
"Bagus. Kita akan segera menyelesaikan pertempuran ini dan menghancurkan orang-orang tamak yang menyebut dirinya pendukung Kerajaan Agung Majapahit."
"Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Gede. Sebentar lagi pasukan kami akan datang."
"Pergilah. Aku akan menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya."
Penghubung itu mengangguk. Iapun kemudian menarik diri dari peperangan dan kembali untuk menemukan kawannya dipersembunyiannya yang gelap dan sepi.
Ketika ia menemukannya, maka kawannya itu hampir tidak tahan lagi menunggu. Tubuhnya menjadi gemetar dan peluh dingin mengalir diseluruh tubuhnya.
"Uh. kau lama sekali. Aku hampir beku disini."
"Aku hampir luluh dimedan yang panas."
"Disini dingin sekali."
"Marilah. Kita melaporkannya kepada Ki Gede. Medan itu merupakan medan yang kacau balau."
Dengan tergesa-gesa keduanya pergi menghadap Ki Gede Menoreh yang telah menunggu dengan gelisah. Dengan jelas, penghubung itu melaporkan apa yang telah dilihatnya.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. "Gelar Glatik Neba agak terlalu berbahaya bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Gelar itu merupakan hantu bagi lawan, jika jumlahnya cukup dan secara pribadi para pengawal memiliki kemampuan yang tinggi."
"Prastawa menilai pasukannya seperti ia menilai dirinya sendiri. Mungkin ia sendiri dapat membuat kejutan-kejutan dimedan perang brubuh. Tetapi para pengawal muda akan menjadi gelisah. Apalagi dalam pertempuran yang sangat panjang," berkata Ki Gede Menoreh.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia membayangkan kesulitan yang dialami oleh para pengawal, terutama yang masih sangat muda. Muda umurnya dan muda pengalamannya.
"Marilah," Ki Gede tiba-tiba saja menjatuhkan perintah, "kita akan segera berangkat."
Pasukan kecil itupun segera mempersiapkan diri. Mereka menyalakan kembali obor-obor yang sebagian telah dipadamkan. Kemudian dengan hati-hati mereka menyusuri jalan diantara pepohonan hutan mendekati medan.
"Angger Agung Sedayu," berkata Ki Gede, "mungkin tenaga kita akan diperlukan dimedan. Karena itu. biarlah kedua pusaka ini dibawa oleh dua orang pengawal yang dapat dipercaya. Salah seorang dari kita akan mengawal pusaka ini bersama beberapa orang pilihan, sedang salah seorang lagi langsung memasuki medan."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak.
"Aku akan mengawal pusaka ini," berkata Ki Gede Menoreh, "jika aku cukup beristirahat, kakiku tidak akan mengganggu aku lagi."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Baiklah Ki Gede. Aku akan memasaki medan! Tetapi baiklah kita berjanji. Jika Ki Gede mengalami kesulitan, berilah tanda khusus, sehingga aku akan segera datang membantu."
"Panah sendaren. Aku akan memerintahkan melepaskan tiga buah panah sendaren berturut-turut. Panah itu akan melintasi medan, sehingga kau akan dapat mendengarnya."
Agung-Sedayu mengangguk. Sejenak kemudian Ki Gede telah membagi pengawalnya. Sepuluh orang bersama dirinya sendiri, telah mengawal dua orang yang membawa pusaka itu. sementara yang lain mengikuti Agung Sedayu dibelakang penghubung yang telah menjumpai Prastawa sebagai petunjuk jalan. Sementara seorang yang tinggal telah selalu siap dengan busur dan anak panah sendaren jika setiap saat diperlukan.
Sepeninggal Agung Sedayu, Ki Gedepun selalu bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, justru karena kedua pusaka itu berada dibawah tanggung jawabnya. Karena itu. maka iapun telah mengatur pengawasan dengan sepuluh orang yang ada. Seluruhnya harus bersiaga.
Sementara itu, ia mulai berpikir juga tentang persediaan makan bagi orang-orangnya yang terlibat didalam perang. Ia sama sekali tidak membawa persediaan. Jika satu dua orang sempat kembali ke mulut lembah maka mereka akan dapat mengambil beberapa macam alat dan persediaan makanan.
"Tetapi itu akan memerlukan waktu yang lama sekali," katanya didalam hati.
Karena itu, maka yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu perkembangan keadaan. Ia masih ingin melihat, bagaimana cara orang-orang dilembah itu memberikan persediaan makan dan minum kepada orang-orangnya yang masih bertempur dimedan.
"Mudah-mudahan para pengawal Mataram dan Sangkal Putung membuat persediaan itu, sehingga pasukan yang mengurung lembah ini tidak akan lumpuh karena kelaparan."
Dalam pada itu. Agung Sedayu sudah mendekati lembah, ia sudah melihat semakin jelas cahaya obor yang menerangi medan. Bahkan ia sudah dapat melihat, pertempuran yang seru antara kedua belah pihak. Iapun sudah dapat membedakan, yang manakah pengawal Tanah Perdikan Menoreh, yang mana pasukan pengawal dari Mataram dan yang manakah orang-orang yang berada dilembah itu.
"Kita akan segera memasuki medan," berkata Agung Sedayu kepada para pengawal Tanah Perdidkaii Menoreh.
"Kita akan bergabung dengan kawan-kawan yang terdahulu," desis seseorang.
"Ya bukankah kau lihat, mereka masih sedang bertempur dengan sengitnya" Tetapi sudah nampak tenaga mereka mulai susut. Baik dari pihak kita, maupun dari pihak lawan. Agaknya orang-orang dilembah ini tidak mau menghentikan perang menjelang malam. Mereka akan menyelesaikan sampai tuntas," jawab Agung Sedayu.
Para pengawal itu tidak menjawab. Namun nampak tenaga mereka pun sudah mulai susut pula. Mereka lelah bertempur hampir sehari penuh. Sementara mereka sama sekali tidak mendapatkan makan apapun juga.
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat memikirkan, Ia menyerahkan kemungkinan untuk mendapatkan makanan kepada pimpinan pasukan. Mungkin ia sudah melakukan sesuatu bagi anak buahnya.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah memasuki medan. Oleh penghubung yang membawanya ia tidak langsung di serahkan kepada Prastawa, karena ternyata Ki Gede tidak ikut bersama pasukan itu. Apalagi sikap Prasiawa agak mengherankan penghubung itu, bahwa agaknya Prastawa tidak senang mendengar berita kemenangan Agung Sedayu yang sudah berhasil membunuh dua orang pimpinan Utama dari pasukan lawan.
Karena itu, maka Agung Sedayu ternyata telah berada disayap pasukan. Diluar sadarnya, ia teluh berada dimedan yang bertentangan dengan medan yang para pengawal Mataram dipimpin oleh Ki Lurah Dipajaya bersama Ki Sumangkar.
Agaknya Ki Sumangkar yang baru sembuh dari luka-lukanya, tenaganya masih belum pulih sama sekali. Ia tidak segera, berhasil mengalahkan lawannya. Kiai Kelasa Sawit, meskipun ia berhasil mendesaknya. Ia masih selalu harus memperhitungkan tenaganya sebaik-baiknya, karena ia sadar, bahwa pertempuran itu akan berlangsung lama. Bahkan mungkin dua hari dua malam, atau tiga hari tiga malam.
Sementara itu, Ki Lurah Dipajaya semakin lama menjadi semakin sulit untuk mengatasi ilmu Kiai Samparsada, meskipun ia dibantu oleh beberapa orang pengawalnya. Setiap kali pengawal-pengawal Mataram itu terdesak, dan bahkan satu dua diantara mereka, harus segera diganti karena luka-luka yang menggores tubuh mereka.
Kehadiran Agung Sedayu dibagian lain dari medan itu, telah menimbulkan pengaruh yang terasa sampai keseberang. Dengan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sempat beristirahat meskipun hanya sejenak itu. Agung Sedayu memasuki medan dengan garangnya.
Dalam perang brubuh, maka keragu-raguan Agung Sedayu ternyata lebih cepat tersisih. Ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan, karena lawannya seolah-olah berada di segala arah. Bahkan kawan-kawannya, para pengawal yang datang bersamanyapun seolah-olah telah tenggelam dalam arena dan hilang ditelan gelombang pertempuran.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tangannya sudah mulai mengayunkan cambuknya dan menyibakkan lawan-lawannya.
Suara cambuk Agung Sedayu telah mengejutkan arena diujung sayap itu. Beberapa orang sudah mendengar tentang orang-orang bercambuk. Merekapun dapat mendengar lamat-lamat, suara cambuk Swandaru yang berada di induk pasukan. Apalagi kemudian suara cambuk itu terdengar begitu dekat, sementara suara cambuk yang lain. meskipun lirih, masih juga mereka dengar disela-sela sorak sorai yang kadang-kadang masih meledak.
Ternyata suara cambuk Agung Sedayu telah menarik perhatian. Ki Sumangkar yang mulai susut tenaganya, berhadapan dengan Kiai Kelasa Sawit, mendengar pula ledakan cambuk itu. Dengan serta merta ia berdesis, "Tentu Agung Sedayu. Ia datang dengan pasukan Tanah Perdikan Menoreh." Namun sebuah pertanyaan telah menyelinap, "Tetapi kenapa begitu lambat" Kenapa baru sekarang ia datang?"
Ki Sumangkar sadar, bahwa disekitarnya tentu tidak ada orang yang akan dapat menjawab. Namun kehadirannya telah memberikan gairah baru dalam perjuangannya disayap pasukan pengawal Mataram itu.
Kiai Samparsada yang bertempur melawan beberapa orangpun mendengar suara cambuk itu seperti juga Kiai Kelasa Sawit. Agaknya Kiai Samparsada juga pernah mendengar, bahwa orang-orang bercambuk itu mempunyai kemampuan yang melampaui kemampuan prajurit-prajurit kebanyakan.
Karena itulah, maka timbul keinginannya untuk melihat, siapakah yang telah membunyikan cambuk itu. sementara suara cambuk di induk pasukan masih tetap terdengar menggelegar berurutan.
Dengan wajah yang tegang. Kiai Samparsada menyibak medan. Ia tidak terlalu sulit mencari arah Agung Sedayu karena ledakan-ledakan cambuknya. Namun dengan dada berdebar-debar. Kiai Samparsada sempat membedakan suara cambuk dekat dimedan yang menghadap ke Barat, dan ledakan cambuk di induk pasukan.
"Ada perbedaan yang tajam antara kedua orang bercambuk itu," berkata Samparsada didalam hatinya, "yang seorang memiliki tenaga raksasa. Tangannya akan mampu memecahkan perisai baja sekalipun. Tetapi kekuatan yang lain dan ini justru tidak pada tenaga wadagnya, meskipun akibatnya justru akan lebih dahsyat."
Namun demikian, Kiai Samparsada justru telah berusaha semakin cepat mencapai orang bercambuk yang berada disayap itu meskipun datang dari arah Barat.
Sejenak kemudian, maka Kiai Samparsada melihat, arena yang bagaikan disibakkan oleh putaran maut. Beberapa orang berdiri beberapa langkah dari seorang anak muda yang menganggap cambuk ditangan. Mereka mengacu-acukan senjata, tetapi seolah-olah mereka tidak berani mendekat.
"Anak itu masih sangat muda," desis Kiai Samparsada.
Perlahan-lahan ia mendekati Agung Sedayu. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya dengan suara lantang diantara hiruk pikuk perternpuran, "He, kaukah yang disebut orang bercambuk?"
Agung Sedayu berpaling. Ia sadar, bahwa pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Karena itu. maka iapun menjawab, "Ya. Aku adalah orang bercambuk, karena kebetulan aku memang bersenjata cambuk."
Kiai Samparsada melangkah semakin dekat, Dengan ragu-ragu ia memandang Agung Sedayu yang muda itu. Lalu sekali lagi ia bertanya, "Kaukah yang bermain-main dengan cambuk di sayap ini?"
"Aku memang bermain-main dengan cambuk. Tetapi aku tidak tahu, apakah kau maksud memang aku."
"Aku mendengar suara cambuk lain di induk pasukan. Suaranya menggelegar seperti guruh."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya ragu, "Aku kira ia adalah adik seperguruanku. Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah benar ia yang kau maksud."
"Adik seperguruanmu?"
"Ya." Kiai Samparsada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kau memang menarik sekali. Pada umurmu yang masih sangat muda, kau sudah pandai bermain-main dengan cambuk beralaskan tenaga cadangan, yang sulit untuk dikuasai. Sedangkan agaknya kau meskipun serba sedikit, sudah dapat mengenalnya dan mempergunakannya."
Agung Sedayu tidak menjawab.
"Anak muda. Sayang jika pada saat yang gawat ini kau berada di arena. Lebih baik kau menyerah. Aku ingin menjadikanmu seorang murid yang baik. Aku akan membersihkan dirimu dari pengaruh ilmu cambuk yang tidak banyak berarti itu. Aku ingim memberimu pengetahuan tentang tenaga wantah dan tenaga rangkap. Aku yakin bahwa kau akan menjadi seorang murid yang baik," berkata Kiai Samparsada.
Tetapi diluar dugaan, seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mendengar kata-kata itu menjadi marah dan menjawab, justru bukan Agung Sedayu sendiri, "Kaulah yang pantas berguru kepada anak muda itu."
Kiai Samparsada berpaling kepada pengawal itu.
Namun pengawal itu masih berteriak, "Ia telah membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Bagaimana mungkin ia harus berguru kepadamu?"
Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Sejenak wajah Ki Samparsada, dan bahkan orang-orang lain yang mendengarnya menjadi tegang. Berita kematian itu benar-benar telah mengejutkan mereka.
Pengawal itu ternyata cerdik. Ia melihat akibat dari berita yang dibawanya. Karena itu, justru ia mengulangi lebih keras, "Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti telah terbunuh."
"Bohong," teriak Ki Samparsada.
Tetapi jawaban itu telah mengundang jawaban lagi yang justru semakin banyak. Hampir bersamaan beberapa orang pengawal yang datang bersama Agung Sedayu, dan yang mendengar jawaban Kiai Samparsada itu berteriak, "Sebenarnyalah Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti sudah terbunuh."
Teriakan-teriakan itu telah mencengkam arena disekitar Agung Sedayu dan Kiai Samparsada. Berita itu benar-benar telah menghentak setiap dada meskipun masih ada juga keragu-raguan.
Seorang yang bertubuh tinggi kekar berteriak, "Bohong. Tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan Ki Gede Telengan."
Para pengawai Tanah Perdikan Menoreh berteriak semakin keras, "Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti telah mati."
Orang itu benar-benar telah menjadi tegang oleh kebimbangan. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dapat mengambil kesimpulan, bahwa rencana Ki Gede Telengan untuk melarikan! pusaka itu dari lingkungannya, masih belum diketahui oleh banyak orang diantara pasukan yang berada dilembah. Agaknya berita itu langsung diterima oleh Ki Tumenggung Wanakerti dan diperintahkannya untuk merahasiakan agar tidak timbul kegelisahan dimedan yang luas ini.
Tetapi ternyata para pengawal tidak lagi dapat dicegah. Mereka berteriak sesuka hati. Apalagi ketika mereka yakin, bahwa teriakan-teriakan mereka telah benar-benar mempengaruhi perasaan lawan.
"Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan telah mati. Kedua pusaka yang diperebutkan telah berada ditangan kami."
Agung Sedayu sendiri menjadi tegang. Apakah berita itu mengutungkan bagi seluruh perjuangan Raden Sutawijaya. Mungkin pengaruhnya besar sekali bagi pertempuran dilembah itu. Tetapi bagai langkah selanjutnya, apakah dapat dibenarkan oleh pemimpin Mataram yang masih muda itu.
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Bahkan teriakan itu bagaikan menjalar dari sayap merambat perlahan-lahan ke induk pasukan.
Ketika para pengawal di induk pasukan berteriak tentang kematian Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan. Sutawijaya baru menerima seorang penghubung yang melaporkannya agak jelas setelah ia sempat menghubungi beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ada beberapa keragu-raguan dihati Raden Sutawijaya. Ketika Prastawa mendekatinya, ia hanya mengatakan bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang lain akan bergabung dimedan ini. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Menoreh sendiri. Tetapi dari penghubungnya ia mendapat laporan, bahwa Agung Sedayulah yang kini berada disayap pasukan Tanah Perdikan Menoreh dengan pengawal yang tidak terlalu banyak. Tetapi cukup mempengaruhi keseimbangan, sementara para pengawal telah menceriterakan apa yang terjadi atas Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti.
"Jadi Agung Sedayu dan Ki Gede sudah berhasil menguasai pusaka itu?" bertanya Sutawijaya hampir berbisik kepada pengawal yang melaporkan.
"Raden. Kini Ki Gede sedang menjaganya, sementara Agung Sedayu berada dimedan."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu, para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh masih saja berteriak-teriak tentang kematian Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan. Juga tentang pusaka-pusaka yang telah dirampas.
Raden Sutawijayapun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa prajurit-prajurit Pajang, baik yang ada didalam pasukannya, maupun yang berpihak pada Ki Tumenggung Wanakerti akan mendengarnya. Dan Raden Sutawijayapun sadar, bahwa persoalannya tentu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
"Istana Pajang telah menjadi sarang ketamakan dan kebencian," berkata Raden Sutawijaya kepada dirinya.
Tetapi didasar hatinya terbersit juga suatu tuntutan hati nuraninya kepada diri sendiri, "Dan kau tidak mau memasuki arena langsung di dalam istana itu sendiri."
Sutawijaya menggeretakkan giginya. Diluar sadarnya ia tidak lagi bertempur melawan beberapa orang yang bersama-sama melawannya, sehingga pengawal-pengawalnya harus melindunginya. Sebuah angan-angan tentang istana Pajang telah bermain dengan gelisah seperti kegelisahan hatinya sendiri.
Tetapi harga dirinya ternyata telah menahannya untuk tidak menginjak lantai paseban di Pajang, sebelum Mataram menjadi sebuah kota yang besar dan ramai.
"Tetapi seberapakah sebenarnya ukuran Kota yang besar dan ramai bagi Mataram itu" " sebuah pertanyaan telah menyelinap didalam hatinya.
"Pati," Sutawijaya hampir berteriak sehingga pengawalnya terkejut dan bertanya kepadanya, "Apakah yang Raden maksud dengan Pati?"
"Tidak. Tidak ada apa-apa." geram Sutawijaya, "sekarang, kita harus menghancurkan musuh. Kita akan berterima kasih kepada Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh."
Namun dalam pada itu, Prastawa yang telah kembali kearena setelah bertemu sejenak dengan Sutawijaya, telah mendengar teriakan-teriakan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Semakin lama semakin jelas terdengar bahwa Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan sudah mati. Sedangkan pusaka yang hilang itu telah diketemukan kembah.
Wajah Prastawa yang tegang oleh pertempuran, menjadi semakin tegang. Ketika tiba-tiba saja seorang pengawal tidak jauh dari padanya berteriak tentang kematian kedua orang pemimpin lawan itu, ia berteriak pula, "Diam. Diam kau."
Tetapi pengawal itu tidak begitu mengerti maksudnya, bahkan ia berteriak semakin keras.
"Tutup mulutmu anak dungu," Prastawa membentak.
Pengawal itu terdiam. Tetapi ia menjadi heran.
Sementara itu, Prastawa tidak tahan lagi hatinya mendengar teriakan yang bahwa menjalar semakin jauh. Seolah-olah telinganya menjadi panas seperti tersentuh bara api.
Dengan tergesa-gesa tiba-tiba saja meninggalkan medan, sehingga menimbulkan goncangan. Untunglah para pengawal segera dapat mengatasinya. Beberapa orang telah mengambil alih pertempuran sementara tenaga mereka benar-benar telah menjadi semakin susut. Namun kemenangan-kemenangan yang mengejutkan itu, seolah-olah telah memulihkan tenaga mereka.
Prastawa yang tidak mau mendengar kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Agung Sedayu itupun telah menelusuri berita kematian Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Bahkan berlari-lari kecil ia menuju kesayap untuk mendengar dan meyakinkan, apakah yang telah terjadi.
Tetapi Prastawa sengaja tidak mau menemui Agung Sedayu. Ia mendengar apa yang telah terjadi dari beberapa orang pengawal.
"Kalian telah berbohong. He, siapakah yang telah niempergunakan akal yang cerdik. Aku tidak menyalahkan cara yang kalian pergunakan. Dengan demikian lawan kita akan gelisah dan bahkan mungkin mereka benar-benar akan kehilangan gairah perjuangannya. Tetapi apakah yang sebenarnya terjadi itulah yang ingin aku ketahui. Dan siapakah yang telah menemukan akal yang bagus untuk melahirkan ceritera bohong tentang kematian kedua orang itu dan bahwa pusaka-pusaka itu telah dapat kita ketemukan."
"Itu bukan ceritera bohong," jawab pengawal itu, "keduanya telah mati dibunuh Agung Sedayu."
"Cukup," Prastawa membentak, "aku ingin mendengar langsung dari paman Argapati. Dimana paman Argapati sekarang."
Pengawal itupun kemudian menunjukkan dimana Ki Gede Menoreh beristirahat sambil menunggui pusaka yang telah berhasil dikuasainya itu.
"Tetapi jika ceritera itu bohong, aku akan memenggal lehermu," geram Prastawa.
Pengawal itupun terheran-heran. Ia sama sekali tidak mengerti, persoalan apakah yang sebenarnya bergejolak dihati anak muda itu. Seharusnya ia ikut bergembira dan berbangga. bahwa tugas besar itu sebagian, bahkan yang pokok, sudah terselesaikan.
Sementara itu, dengan tergesa-gesa Prastawa berlari-lari kecil mencari Ki Argapati seperti yang ditunjukkan oleh pengawal itu. Meskipun jalannya cukup gelap, akhirnya Prastawa berhasil menemukannya juga. Ia membentak ketika seorang pengawal tiba-tiba saja berada dihadapannya sambil mengacukan tombak pendek kedadanya.
"Apakah matamu sudah buta," bentak Prastawa kasar.
Pengawal itu terkejut. Namun kemudian iapun menundukkan kepalanya sambil menyahut, "Gelap sekali, sehingga aku tidak segera mengenalmu."
"Kau memang sudah rabun. Minggir, jangan berdiri disitu," Prastawa masih saja membentaknya.
Namun rasa-rasanya hatinya kuncup ketika ia mendengar seseorang berkata, "Ia tidak bersalah. Adalah seharusnya bahwa ia berhati-hati dalam keadaan seperti ini."
Prastawa memandang kedalam gelap. Iapun kemudian melihat sesosok tubuh dalam keremangan malam. Ki Argapati.
"Apakah ada sesuatu yang penting sekali Prastawa?"
"Paman," Prastawapun kemudian mendekati pamannya, "ada teriakan-teriakan kacau dimedan. Apakah benar pusaka-pusaka itu sudah berada ditangan kita?"
"Benar Prastawa. Kedua pusaka itu memang sudah berada ditangan kita." jawab Ki Gede.
"Dan dua orang pemimpin musuh sudah terbunuh?"
"Ya. Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti."
"Pamankah yang sudah membunuh keduanya?"
"Bukan aku. Tetapi Agung Sedayu."
Wajah Prastawa menjadi panas. Sejenak ia mematung. Yang mengatakan itu adalah pamannya sendiri.
Namun dengan ragu-ragu ia masih bertanya, "Tetapi apakah benar yang membunuhnya Agung Sedayu" Atau barangkali Agung Sedayu bersama sepuluh atau duapuluh orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh beramai-ramai melawannya."
Ki Gede Menoreh memandang Prastawa dengan tajamnya. Meskipun didalam kegelapan, tetapi Ki Gede seakan-akan dapat melihat, bukan saja kegelisahan diwajah Prastawa, tetapi gejolak didalam dadanya. Anak muda itu tentu mempunyai perasaan lain dari yang diharapkan, bahwa lawan-lawannya telah berkurang.
"Prastawa," suara Ki Gede merendah, "Agung Seiayu seorang diri telah melakukan perang tanding berturut-turut. Mula-mula ia telah membunuh Ki Gede Telengan dengan cara yang sangat mengagumkan. Kemudian dengan mengejutkan pula ia berhasil membunuh Ki Tumenggung Wanakerti."
Tiba-tiba saja tubuh Prastawa menjadi gemetar. Ia tidak mengerti, perasaan apakah yang bergejolak didalam dirinya. Namun ia merasa tidak senang bahwa semuanya itu telah terjadi. Bahkan ia masih tetap tidak percaya, bahwa Agung Sedayu seorang diri berhasil membunuh kedua orang pemimpin lawan itu.
Namun akhirnya ia berkata Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti bukan orang-orang penting diantara lawan paman. Mereka bukan orang yang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan, sehingga sudah sepantasnya jika mereka terbunuh oleh Agung Sedayu. Itu bukan karena kelebihan yang ada pada Agung Sedayu, tetapi lawannya itulah yang terlalu lemah, meskipun keduanya mempunyai nama yang mengerikan. Karena itu, apa yang terjadi adalah sewajarnya."
Ki Argapati memandang kemanakannya dengan heran. Tetapi lambat laun ia dapat menangkap, perasaan apakah yang sebenarnya tersirat dihati anak muda itu. Tentu ia merasa iri, bahwa Agung Sedayu adalah dapat melakukan sesuatu yang luar biasa pada umurnya yang masih sangat muda.
"Atau justru ada persoalan lain yang lebih menggelisahkan lagi?" bertanya Ki Gede Menoreh kepada diri sendiri.
Sementara itu, Prastawa yang masih berdiri tegak itupun berkata, "Aku akan kembali kemedan paman. Aku hanya ingin mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi."
"Prastawa," berkata Ki Gede Menoreh, "sebenarnya aku merasa heran bahwa kau dengan serta merta datang untuk bertanya, apakah benar Agung Sedayu telah melakukannya. Pertanyaanpun bukannya pertanyaan yang ingin meyakinkan kebenaran berita itu, tetapi justru kau sudah memperkecil arti dari peristiwa itu. Ketahuilah Prastawa, dengan jujur aku mengatakan, bahwa aku telah hampir mengalami kesulitan yang gawat, saat aku bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti. Kakiku terasa mulai mengganggu. Namun akhirnya Ki Tumenggung itu mati oleh Agung Sedayu setelah ia lebih dahulu membunuh Ki Gede Telengan. Aku tidak akan memberikan kesimpulan atas peristiwa itu. Tetapi itulah yang terjadi."
Dada Prastawa bagaikan retak mendengar penjelasan itu, seolah-olah pamannyapun telah terbius oleh kehadiran anak muda itu. Namun Prastawa tidak membantah, ia hanya menundukkan kepalanya saja.
"Prastawa, kembalilah kemedan. Kau sudah mendengar apa yang sebenarnya telah terjadi atas kedua orang itu."
"Baiklah paman," suara Prastawa rendah, "aku mohon diri."
Prastawapun kemudian berlari-lari kecil meninggalkan pamannya seolah-olah ia ingin menjauhi berita yang diucapkan oleh pamannya yang mengagumi Agung Sedayu itu.
"Semuanya telah berbohong," geramnya seorang diri, "jika Tumenggung Wanakerti telah bertempur lebih dahulu melawan paman, maka sebenarnya ia sudah tidak mampu lagi bernafas karena kelelahan. Tentu saja Agung Sedayu dapat merunduknya dan melecut punggungnya sehingga lawannya lumpuh. Kemudian dengan mudahnya ia mengulangi serangan-.serangannya sehingga Tumenggung itu mati."
Namun sekah-sekali terdengar ia menggeretakkan giginya. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa Agung Sedayu telah mengalahkan orang-orang yang mumpuni.
"Tidak," sekali lagi ia menggeram, "keduanya bukan orang yang penting. Akupun membunuh mereka jika aku mendapat kesempatan seperti Agung Sedayu."
Tetapi kegelisahan itu bagaikan bersarang didadanya. Betapapun ia berusaha untuk mengusirnya, namun ia selalu dibayangi oleh pendengarannya bahwa Agung Sedayu telah melakukan sesuatu yang luarbiasa pada usianya yang muda.
Sementara itu, Agung Sedayu telah menghadapi lawan yang lain dimedan pertempuran yang kacau.
Namun terasa bahwa masing-masing pihak telah semakin diganggu oleh kelelahan. Sementara itu, beberapa orang yang telah menjauii dari medan sedang sibuk mempersiapkan makan dan minum. Tetapi tidak seorangpun dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melakukannya.
Prastawa sama sekali tidak ingat lagi. apakah yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan yang sebenarnya gawat itu. Jika lawan sempat memberikan makan dan minum pada pasukannya, sementara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dibiarkannya lapar, maka akibatnya akan sangat pahit bagi pasukan itu. Penyesalan akan berkepanjangan dari waktu ke waktu oleh kekhilafan yang mungkin dianggap hanya sekedar makan dan minum.
Namun dalam pada itu, para petugas dari Mataram dan Sangkal Putung tengah sibuk menyediakannya. Seorang penghubung telah memberitahukan bahwa di arena pertempuran sebelah Barat, tidak ada seorangpun yang mendapat tugas untuk menyiapkan makan dan minum, sehingga hal itu perlu mendapat perhatian para petugas di arena pertempuran sebelah Timur.
Sebenarnyalah bahwa arena pertempuran itu semakin lama menjadi semakin tipis. Jarak antara arena yang berlawanan arah itu sudah tidak terlalu jauh lagi. Pasukan Mataram yang berhasil menembus lawan dan kemudian berada diinduk pasukan bagian Barat dan dipimpin langsung oleh Raden Sutawijaya, benar-benar telah menekan lawannya. Sementara Swandaru bersama isteri dan adiknya merupakan hantu yang menakutkan diarena yang berhadapan dengan pasukan yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya.
Betapapun lambatnya, ternyata pasukan Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan di induk pasukan nampak mencapai kemajuan-kemajuan kecil. Sementara ketika Prastawa hadir lagi dipertempuran. maka itupun telah mengamuk dengan dahsyatnya.
"Setiap orang mempercakapkan Agung Sedayu," katanya didalam hati namun mereka harus menyadari bahwa aku dapat berbuat lebih banyak daripadanya."
Prastawa benar-benar telah menjadi gila. Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa sesuatu telah mendorongnya untuk melakukan perjuangan yang lebih sengit.
Dari pengawal Mataram yang sudah berada diinduk pasukannya, ia mendengar bahwa Sekar Mirah bertempur pula diinduk pasukan dari gelar para pengawal Sangkal patung yang bertempur bersama pengawal dari Mataram.
Sutawijaya yang berada tidak terlalu jauh dari anak muda itu. sekali-kali telah memperhatikannya. Setiap kali Raden Sutawijaya bertanya kepada diri sendiri, kenapa tiba-tiba saja Prastawa telah mengamuk tanpa memperhitungkan daya tahan tubuhnya yang tentu sudah lelah. Jika ia telah terbenam dalam suatu saat ia akan mengalami kesulitan.
Tetapi Sutawijaya masih membiarkannya. Ia masih ingin melihat apa sebenarnya yang telah mendorong anak muda itu untuk mengerahkan kemampuannya setelah ia menghilang beberapa saat dari medan.
Ternyata bukan saja tekanan yang berat, dirasakan dimedan oleh orang-orang yang bertahan dilembah itu. Berita tentang kematian Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah mempengaruhi hati mereka. Bahkan Senapati yang kemudian mengenakan tanda Panghma ternyata menjadi gelisah bahwa keseimbangan pertempuran itu akan berubah dengan pasti, menuju ke akhir yang pahit.
Pengaruh berita kematian Ki Tumenggung Wanakerti dan Ki Gede Telengan benar-benar telah memukul jantungnya, sehingga kecemasan telah mulai mencengkam hatinya.
Apalagi tekanan Raden Sutawijaya dan Prastawa dibagian Barat, serta ledakan-ledakan cambuk Swandaru di medan sebelah Timur, agaknya sulit untuk diatasi lagi. Bahkan kedua perempuan itupun bagaikan iblis betina yang mengamuk diantara lawan-lawannya yang lemah.
"Apakah perempuan-perempuan itu akan dapat bertahan lebih lama lagi" " pertanyaan itu agaknya telah melonjak dihati mereka.
Tetapi agaknya kedua perempuan itu benar benar telah terlatih untuk menghadapi keadaan yang sangat berat. Bahkan agaknya keduanya telah berhasil mengatasi sifat-sifat keperempuan mereka sehari-hari. Bertempur tanpa makan tanpa minum sampai saatnya mereka akan mendapatkannya. Tetapi tentu sudah terlalu lambat menurut kebiasaan hidup sehari-hari.
Ternyata kemudian, bahwa tekanan yang semakin berat tidak saja terjadi di induk pasukan. Di sayap-sayap pasukanpun perubahan itu timbul dengan perlahan-lahan tetapi tanpa dapat dibendung lagi.
Ki Waskita adalah orang yang memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan seperti juga Kiai Gringsing. Ternyata keduanya memiliki daya tahan melampaui lawan-lawannya. Meskipun mereka masih belum dapat memastikan akhir dari perjuangannya, tetapi Empu Pinang Aring dan Kiai Jagarana agaknya mulai digelisahkan oleh kelelahan. Apalagi ketika mereka mendengar teriakan-teriakan yang menjalar sampai keujung-ujung sayap bahwa Ki Gede Telejngan dan Ki Tumenggung Wanakerti telah mati.
Kiai Gringsing yang memiliki pengalaman yang matang itupun berusaha untuk tetap menguasai dirinya. Ia bertempur dengan perhitungan yang teliti. Ia sadar, bahwa pertempuran akan berlangsung berkepanjangan, sehingga karena itu, pada saat-saat tertentu ia tidak memaksa diri untuk dengan cepat memenangkan pertempuran, karena hal itu tentu akan sia-sia.
Perhitungan yang serupa sebenarnya dimiliki pula oleh Empu Pinang Aring. Tetapi peristiwa peristiwa yang terjadi benar-benar tidak dapat diabaikannya. Jika benar Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti mati, apalagi pusaka-pusaka itu akan kehilangan arti.
Namun dari penghubungnya. Empu Pinang Aring mendengar, bahwa pusaka itu masih ada dilembah. Seorang pengawas berhasil melihat pusaka-pusaka itu dijaga oleh sekelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Harapan-harapan yang kabur itu mulai tumbuh lagi.
Bahkan terbersit niatnya untuk berjuang lepas dari ikatan gelar untuk mendapatkan pusaka itu.
Tetapi untuk melakukannya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dihadapaknya ada orang bercambuk yang memiliki kemampuan luar biasa, sehingga seandainya ia bergeser dari medan, maka orang bercambuk itu tentu akan mengikutinya.
"Aku harus membunuhnya lebih dahulu," geram Empu Pinang Aring.
Namun niatnya itu telah membentur pengakuan didalam dirinya, bahwa jika ia mampu membunuhnya, maka itu tentu sudah dilakukannya sejak pertempuran itu baru dimulai.
Dengan demikian maka perubahan-perubahan yang terjadi dalam keseimbangan pertempuran telah terjadi dengan lambat sekali. Bahkan kadang-kadang masih juga terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak terduga.
Namun dalam pada itu. di sayap yang lain, perubahan itu nampak lebih jelas ketika Agung Sedayu dan sekelompok pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah mulai memasuki arena. Kedatangan orang-orang baru itu sudah menumbuhkan geseran-geseran yang menggelisahkan bagi lawan.
Kiai Samparsada yang kemudian berhadapan dengan Agung Sedayu mulai dirayapi pengakuan, bahwa anak muda ini memang memiliki ilmu yang luar biasa.
"Tetapi apakah benar ilmunya melampaui ilmu Ki Gede Telengan," ia bertanya kepada diri sendiri. Namun sebuah jawaban telah membuatnya agak tenang, "Namun mungkin sekali Ki Gede Telengah telah melakukan suatu kesalahan yang menjerumuskannya kedalam maut. Karena itu aku tidak boleh membuat kesalahan."
Aku tidak boleh menganggap anak ini kawan bermain-main, karena cambuknya benar-benar dapat mematahkan tulang. Jika benar Ki Tumenggung Wanakerti luati pula olehnya, maka ia telah berhasil menembus perisai yang tidak kasatmata disekitar tubuh Ki Tumenggung Wanakerti."
Dengan demikian Kiai Samparsada harus bertempur dengan sangat hati-hati. Ia tidak boleh lengah dan mengalami nasib seperti Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti ditangan anak muda yang aneh itu.
Namun dalam pada itu, para pengawal yang baru datang itupun telah membuat kejutan-kejutan yang menggelisahkan. Mereka mulai menyusup dimedan yang seolah-olah dalam keadaan seimbang itu. sehingga pengaruh yang kecil itupun akan segera nampak merubah keseimbangan.
Kegelisahan telah timbul di sayap itu. Beberapa orang mulai melihat, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh dimedan sebelah Barat berhasil menghimpit lawannya yang membentur pasukan pengawal Mataram diarah Timur.
Namun dalam pada itu. Ki Sumangkar yang baru sembuh dari luka-lukanya mulai merasa terganggu. Ketahanan tubuhnya memang sudah pulih. Tetapi luka-lukanya yang masih nampak tergores di tubuhnya, masih terlalu lemah, sehingga geseran-geseran kecil telah mengelupas kulitnya dan darah mulai memerah dipakaiannya.
Lawannya menjadi heran. Orang tua itu sangat lincah sehingga senjatanya sama sekali belum berhasil menyentuh meskipun mereka sudah bertempur sehari penuh. Namun tiba-tiba didalam cahaya obor ia melihat noda-noda yang semakin jelas pada pakaian Ki Sumangkar.
Ki Sumangkar sendiri menjadi cemas. Ia merasa tenaganya mulai susut. Jika pertempuran itu berjalan terlalu lama, maka ia akan kehilangan sebagian dari tenaganya. Apalagi jika darah dari lukanya itu mengalir semakin banyak.
Tetapi ternyata bahwa perubahan keseimbangan di medan sebelah Barat itu mempengaruhi pula medan di sebelah Timur, Karena tekanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maka beberapa orang telah berpaling dan memperkuat perlawanan terhadap mereka.
Dengan demikian, maka perubahan yang paling laju ternyata telah terjadi diarena yang paling ujung. Agung Sedayu yang menyadari bahwa pertempuran telah berlangsung terlalu lama, merasakan betapa kelelahan mulai mencengkam. Apalagi Agung Sedayu menyadari, bahwa Prastawa tidak berusaha untuk berbuat sesuatu untuk mempertahankan ketahanan kekuatan wadag orang-orangnya.
Itulah sebabnya, maka ia berpendapat, bahwa pertempuran harus segera diselesaikan. Kesempatan yang mulai nampak pada sayap itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Agung Sedayu. Dengan para pengawal yang baru datang, rasa-rasanya pasukan disayap itu telah bertempur dengan tenaga baru.
Kiai Samparsada menjadi semakin cemas menghadapi kenyataan itu. Seperti Agung Sedayu maka iapun berpendapat, bahwa pertempuran harus segera diakhiri.
"Anak ini harus segera dilumpuhkan," geramnya didalam hati.
Namun cambuk Agung Sedayu justru bergetar lebih dahsyat menurut pendengaran telinga hati Kiai Samparsada, sehingga justru ia menjadi semakin geli.sah. Ia menjadi semakin yakin akan kebenaran ceritera tentang kematian Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti, karena semakin lama ia samakin menyadari, bahwa perlawanannya menjadi bertambah berat.
Dengan demikian, maka baik pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maupun pasukan pengawal dari Mataram telah berhasil mendesak lawan mereka, sehingga medan pertempuran disayap itupun benar-benar telah berubah menjadi perang brubuh yang kacau. Bukan saja dari arah Barat yang sejak semula pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah berbaur dalam gelar Glatik Neba, meskipun jumlah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu banyak yang sampai kesayap itu, ditambah dengan kehadiran pasukan pengawal Mataram yang menyesuaikan diri dalam gelar yang sama, namun gelar dimedan sebelah Timurpun sudah menjadi semakin kabur. Pasukan pengawal Mataram telah menerobos semakin dalam sementara yang lain menekan semakin jerat.
Jika di induk pasukan, terutama diarah Timur, masih jelas nampak batas antara kedua pasukan yang sedang bertempur, maka di sayap gelar itu, batas antara pasukan yang berada dilembah itu dengan pasukan yang datang dari Mataram, dari Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin kacau. Namun karena masing-masing seolah-olah telah mempunyai ciri dan tanda masing masing, maka mereka masih dapat mengenal, yang manakah lawan dan yang manakah kawan.
Kekaburan itu bukan saja terjadi pada para pengawal. Tetapi Agung Sedayu yang mendesak lawannya, seakan-akan tenggelam semakin dalam diantara hiruk pikuknya pertempuran. Beberapa orang pengawal berusaha mtuk mendampinginya dan berjaga-jaga sambil memagari pertempuran antara Agung Sedayu dan lawannya, karena kecurangan mungkin saja teriadi didalam perang brubuh.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, Sumangkar yang bertempur melawan Kiai Kelasa Sawit setiap kali merasa seakan-akan mendengar ledakan kebanggaan jika ia mendengar suara cambuk Agung Sedayu. Ki Sumangkar ikut merasa berbesar hati atas kemajuan yang telah dicapai anak muda itu. Dari pendengaran yang agak kurang pasti ia mengetahui bahwa Agung Sedayu telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti.
Ki Sumangkar belum mengetahui, betapa tinggi ilmu Ki Gede Telengan. Yang diketahuinya adalah Ki Tumenggung Wanakerti. Sebagai seorang yang berpengaruh di Pajang ia pernah mengenal Ki Tumenggung Wanakerti, sehingga didalam hatinya ia berkata, "Jika benar Agung Sedayu berhasil mengalahkan Ki Tumenggung Wanakerti, maka ilmu Agung Sedayu tentu sudah menyamai, atau tidak-tidaknya mendekati tataran ilmu gurunya."
Namun dalam pada itu, Ki Sumangkar sendiri merasa bahwa kedudukannya benar-benar menjadi semakin sulit. Keadaan luka-lukanya terasa semakin mengganggu.
Apalagi luka-lukanya yang dalam, yang nampaknya sudah sembuh benar, ternyata masih berdarah.
Dalam kesulitan itu, maka yang dapat dilakukannya kemudian adalah sekedar bertahan sambil berusaha memelihara feetahanan tubuhnya agar tidak semakin cepat susut dan akhirnya lumpuh sama sekali.
Sementara itu. tenyata Agung Sedayu berhasil mendesak lawannya semakin dalam. Cambuknya meladak ledak semakin cepat dan gemuruh bagi telinga hati lawannya. Seolah-olah cambuk itu meledak-ledak didalam dadanya.
"Anak iblis ini benar-benar berbahaya," guman Kiai Samparsada didalam hatinya.
Namun betapapun iuga ia berusaha, ia sama sekali tidak mampu untuk mendesak anak muda bersenjata cambuk itu.
Dalam pada itu. didalam cahaya obor. maka Agung Sedayu terkejut ketika sekilas ia melihat senjata yang berputar pada seutas rantai. Ternyata bahwa senjata itu adalah sebuah trisula, sedangkan trisula yang lain berada didalam genggaman
"Ki Sumangkar," desis Agung Sedayu. "Ternyata aku dapat bertemu dengan Ki Sumangkar disini."
Agaknya Ki Sumangkarpun telah melihat Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun melambaikan trisulanya yang berada dalam genggaman, sementara trisulanya yang lain masih saja berputar seperti baling-baling.
Namun dalam tataran pertempuran berikutnya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ketajaman penglihatannya dan penilaiannya atas kedua orang itu. maka segera ia mengetahui bahwa Ki Sumangkar berada dalam kesulitan.
"Kenapai ?" pertanyaan itu tiba-tiba saja tumbuh didalam hatinya.
Ki Sumangkar menurut pengenalan Agung Sedayu adalah seorang yang pilih tanding. Tetapi kenapa ia nampak terdesak, dan bahwa semakin lama semakin berbahaya bagi keselamatannya.
"Luka-lukanya," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, "luka itu tentu belum sembuh benar. Luka-lukaku yang tidak sebanding dengan luka-lukanya memang sudah sembuh. Tetapi luka-luka Ki Sumangkar jauh lebih parah dan tentu masih terasa sangat mengganggunya."
Dalam pada itu. selagi Agung Sedayu sedang bertempur melawan Kiai Samparsada, setiap kali ia justru merasa terganggu oleh keadaan Ki Sumangkar. Sehingga dengan demikian ia berusaha memancing lawannya untuk mendekati Ki Sumangkar.
Ketika ia menjadi semakin dekat, maka Agung Sedayupun melihat, bahwa pakaian Ki Sumangkar tidak saja basah oleh keringat, tetapi basah oleh darah.
"Itu berbahaya sekali," desis Agung Sedayu, "ia akan dapat kehabisan darah. Dengan demikidan lawannya akan dapat membunuhnya pada saat ia sudah kehilangan kekuatannya sama sekali.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat apapun juga, karena ia masih harus bertempur melawan Kiai Samparsada. Apalagi Kiai Samparsada termasuk salah seorang yang dianggap sebagai pemimpin dari pasukan yang ada dilembah, karena kehadirannya juga membawa pasukan yang kuat untuk mengimbangi pasukan yang dibawa oleh Ki Tumenggung Wanakerti. Kiai Kalasa Sawit. Empu Pinang Aring. dan Kiai Jagaraga.
Namun keadaan Ki Sumangkar benar-benar telah menggelisahkannya. Semakin lama semakin nampak, bahwa Ki Sumangkar telah kehilangan sebagian dari tenaganya.
Dalam pada itu, tidak ada cara lain bagi Agung Sedayu untuk membebaskan Ki Sumangkar dari malapetaka selain membantunya atau mengambil alih tugasnya, bertempur malawan Kiai Kalasa Sawit.
Tetapi dengan demikian maka Agung Sedayu harus segera menyelesaikan lawannya.
"Apaboleh buat," geramnya.
Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian Agung Sedayu benar-benar telah mengerahkan segenap ilmunya. Keadaan Ki Sumangkar telah mendorongnya untuk berbuat jauh lebih banyak dari keinginannya sendiri.
Agung Sedayu telah terlempar dari keragu-raguannya justru karena ia tidak sampai hati melihat keadaan Ki Sumangkar. Dengan dahsyatnya ia segera melihat lawannya. Cambuknya tidak lagi hanya sekali-kali saja meledak. Namun kemudian suara cambuknya benar-benar telah memenuhi arena pertempuran disayap yang kacau itu.
Kiai Samparsada terkejut melihat perubahan sikap anak muda itu. Justru menjadi semakin garang. Bahkan sekali-kali cambuknya telah mulai menyentuh tubuhnya.
"Anak gila. Anak iblis," Kiai Samparsada mengumpat.
Agung Sedayu menjadi semakin bernafsu ketika ia melihat Ki Sumangkar meloncat menjauhi lawannya dengan nafas terengah-engah. Tetapi lawannya segera memburunya dan justru ingin mempergunakan setiap kesempatan untuk menghancurkan lawannya.
Dengan sepenuh kemampuannya, yang tersalur pada setiap bagian dari tubuhnya dan menjalar pada cambuknya. Agung Sedayu menyerang Kiai Samparsada dengan segenap tenaganya. Itulah sebabnya maka cambuknya telah meledak dan bukan saja bagaikan memecahkan dinding jantungnya, tetapi juga selaput telinganya. Kekuatan wantah dan kekuatan rangkapnya telah bersama-sama menggetarkan juntai cambuknya dan meledakkannya bagaikan sepuluh guruh meledak bersama dilangit.
Sikap Agung Sedayu benar-benar mengejutkan. Jika semula setiap orang yang memiliki pengamatan yang mendalam pada ilmu kanuragan menjadi heran, karena kekuatan yang tersalur lewat hentakkan cambuk yang menggetarkan dinding jantung, ternyata telah dibarengi oleh kekuatan wadag yang luar biasa. Dari ledakan-ledakan cambuknya dapat dikenal, bahwa Agung Sedayu memang memiliki kekuatan ilmu yang mumpuni dan kekuatan wadag yang sangat besar.
Kiai Samparsadapun tergetar hatinya. Ia sadar, bahwa lawannya adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan melampui kebanyakan orang. Sehingga karena itulah, maka Kiai Samparsada telah memberikan isyarat kepada dua orang pengawalnya yang terpercaya untuk bersama-sama melawan Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Melawan tiga orang tentu akan lebih berat dari melawan seorang, betapapun jauhnya imbangan kekuatan diantara mereka.
Karena itulah maka kehadiran kedua orang lawan yang baru itu telah semakin menggelisahkan Agung Sedayu. Beberapa orang pengawal yang ingin mencegahnya telah mendapatkan lawan ma.sing-masing, sehingga kedua orang pengawal Samparsada itu berhasil mendekati dan membantunya melawan Agung Sedayu yang semakin garang.
Dalam pada itu, keadaan Ki Sumangkar menjadi semakin sulit. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah. Meskipun lawannya juga sudah mulai susut kemampuannya oleh pertempuran yang keras dan panjang, namun luka-luka Ki Sumangkarlah yang telah menentukan, apa yang akan terjadi atasnya.
Hal itulah yang kemudian mempengaruhi perasaan Agung Sedayu sepenuhnya, sehingga ia menjadi semakin lama semakin garang.
Ujung cambuknya yang meledak-meledak itu benar-benar telah menggetarkan hati lawannya. Kedua orang pengawal Kiai Samparsada yang hadir diarena pertempuran itu, benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ujung cambuk itu bagaikan mengejar mereka, kemanapun mereka pergi.
Kiai Samparsada yang merasa dirinya memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari kedua pengawalnya, telah mengambil sikap untuk memancing perhatian terbesar dari Agung Sedayu, sementara kedua pengawalnya akar dapat menyerangnya dari arah yang berbeda.
Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak dapat dijebaknya. Bahkan tiba-tiba saja ketika cambuk itu berputar beberapa kali, maka diluar pengamatan Samparsada, tiba-tiba saja kedua kawannya telah terlempar beberapa langkah.
Ketika keduanya berusaha untuk bangkit, maka keduanya telah terjatuh kembali. Kaki mereka seolah-olah menjadi lumpuh.
Barulah kemudian mereka melihat, maka darah telah mengalir dari luka di kaki mereka. Serta tulang-tulang mereka rasa-rasanya bagaikan remuk oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu.
Kiai Samparsada menggeram. Kedua pengawalnya itu ternyata sama sekali tidak berarti bagi Agung Sedayu. Sehingga dengan demikian maka kembali Kiai Samparsada harus menghadapinya seorang diri.
Pertempuran berikutnya, benar-benar telah menggetarkan jantung Kiai Samparsada. Cambuk Agung Sedayu berputaran, mematuk dan menebas dengan dahsyatnya.
Tetapi Samparsada yang merasa dirinya memiliki kelebihan dan menjadi sandaran bagi anak buahnya, tidak dapat mengingkari tugasnya Ia harus menghadapi Agung Sedayu, apapun yang terjadi.
Sebenarnyalah, bahwa serangan-serangan Agung Sedayu yang didorong oleh kegelisahannya melihat keadaan Ki Sumangkar, tidak lagi dapat dihindari. Ujung cambuk yang semakin lama semakin dekat diseputar tubuhnya, akhirnya mulai menyengat kulitnya.
Betapa kuat daya tahan Kiai Samparsada, namun terasa ujung cambuk itu telah membuat kulitnya menjadi pedih.
Satu-satu luka mulai menyobek kulit Kiai Samparsada. Pedih dan nyeri telah menjalari seluruh tubuhnya. Bahkan ketika darah semakin banyak mengalir dari luka-lukanya, maka benar-benar telah merasa kehilangan kesempatan untuk melawan.
Agung Sedayu yang gelisah, seakan-akan tidak lagi dapat mengamati keadaan lawannya. Ia menyerang dengan sepenuh kemampuannya, agar ia dapat segera menyelesaikan pertempuran itu dan melepaskan Ki Sumangkar dari malapetaka yang semakin dekat.
Betapapun Kiai Samparsada berusaha mengelak, tetapi cambuk Agung Sedayu selalu mengejarnya. Ketika ujung cambuk itu menyambar mendatar. Kiai Samparsada telah menjatuhkan dirinya, kemudian dengan serta merta ia meloncat menyerang Agung Sedayu yang menurut perhitungannya masih harus menguasai cambuknya yang tidak mengenai sasaran.
Tetapi demikian ia meloncat, maka cambuk Agung Sedayu telah meledak dengan hentakan sendai pancing menyambar lambung.
Terdengar keluhan tertahan. Serangan Agung Sedayu yang tergesa-gesa itu tidak terlontar dengan sepenuh kekuatan. Namun demikian, ketika Agung Sedayu menarik cambuknya, Kiai Samparsada telah terputar dan kehilangan keseimbangan.
Orang yang disegani itu telah terlempar jatuh. Dengan serta merta ia berusaha untuk bangkit. Namun Agung Sedayu yang gelisah itu telah memburunya. Sekali lagi cambuknya meledak pada punggung Kiai Samparsada, sehingga orang itu menggeliat. Namun kemudian tubuhnya bagaikan kehilangan tulang-tulangnya.
Agung Sedayu menyadari keadaan lawannya, ketika tiba-tiba saja kepala lawannya itu terkulai diatas tanah. Kedua tangannya terentang dan masih terdengar ia menggerang.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Cambuknya yang sudah terangkat, perlahan-lahan turun diluar sadarnya.
Namun dalam pada itu. ia melihat Ki Sumangkar telah terdorong beberapa langkah dan kehilangan keseimbangan pula. kekuatannya yang benar-benar telah susut, tidak mampu lagi menahan tubuhnya sehingga iapun kemudian terjatuh ditanah.
Kiai Kelasa Sawit melihat lawannya sudah tidak berdaya. Sejenak ia memandang dengan penuh kebanggaan. Ia ingin menikmati kemenangannya dan membunuh lawannya dengan dada tengadah.
Tetapi Ki Sumangkar tidak menyerah pada keadaan yang nampaknya sangat gawat. Ia masih menggenggam trisulanya yang akan dapat menangkis serangan Kiai Kelasa Sawit, meskipun ia masih harus tetap terbaring ditanah.
Kiai Kelasa Sawit tertawa melihat keadaan Sumangkar. Dengan nada tinggi ia berkata, "Bersiaplah untuk mati Sumangkar. Perguruanmu terkenal sebagai perguruan yang tidak ada duanya, karena setiap orang di-dalam perguruanmu telah dirangkap dengan nyawa cadangan. Tetapi ternyata Mantahun dan Macan Kepatihan yang perkasa itupun telah mati. Dan sekarang kau akan mati juga."
Ki Sumangkar tidak menyahut. Ia mengerahkan segenap sisa tenaganya pada senjatanya yang masih dalam genggaman.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak dapat membiarkan malapetaka itu terjadi pada Ki Sumangkar. Meskipun jarak antara dirinya dan Ki Sumangkar tidak terlalu dekat, namun ia harus berusaha untuk menolongnya.
Pada saat yang gawat itu. Kiai Kelasa Sawit telah berdiri tegak menghadapi Sumangkar yang bagaikan telah kehilangan segenap kekuatannya. Perlahan-lahan ia mengangkat senjatanya dan siap membunuh tanpa ampun.
Tetapi Kiai Kelasa Sawit terkejut bukan buatan. Ia merasa sebuah tenaga yang kuat telah menyambar ujung senjatanya, sehingga tangannya telah terdorong kesamping.
Kiai Kelasa Sawit terpaksa memperbaiki kedudukannya. Namun dengan demikian ia sadar, bahwa ada kekuatan lain yang siap membantu Sumangkar yang sudah tidak berdaya itu.
Sebenarnyalah Agung Sedayu yang tidak dapat menjangkau Kiai Kelasa Sawit telah memungut sebuah batu. Ketika senjata Kiai Kelasa Sawit siap menghabisi nyawa Ki Sumangkar, ia telah mempergunakan kemampuan bidiknya untuk melempar senjata itu, sehingga terayun.
Etengan demikian maka saat-saat pembunuhan itu telah tertunda.
Yang sejenak itu ternyata dapat dipergunakan oleh Agung Sedayu sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil mengayunkan cambuknya mendekati Kiai Kelasa Sawit.
"Curang," teriak Kiai Kelasa Sawit.
"Tidak. Aku tidak menyerangmu. Aku hanya menyentuh senjatamu." jawab Agung Sedayu.
Kiai Kelasa Sawit termangu-mangu sejenak. Hampir ia tidak percaya, bahwa seseorang dapat membidik senjatanya dari jarak yang tidak terlampau pendek.
Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa itu sudah terjadi.
Agung Sedayu berdiri beberapa langkah dari Ki Sumangkar yang lemah. Sekilas ia menatap mata orang tua itu. Mata yang sudah redup meskipun nampaknya Ki Sumangkar tidak berputus asa.
"Kau Sedayu," terdengar orang itu berdesis.
"Persetan," Kiai Kelasa Sawit berteriak sebelum Agung Sedayu menjawab.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia berdiri tegak sambil menggenggam pangkal cambuknya, sementara Kiai Kelasa Sawit menjadi termangu-mangu.
Sementara itu, beberapa orang pengawal dari Mataram yang melihat keadaan Ki Sumangkar telah dengan tergesa-gesa mendekatinya, justru pada saat-saat kekuatan dari Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh semakin menguasai keadaan dimedan.
"Gila," teriak Kiai Kelasa Sawit.
Tetapi ketika ia akan meloncat kearah Sumangkar yang lemah, terdengar cambuk Agung Sedayu meledak dengan dahsyatnya. Yang didengar bukan saja oleh telinga wadag Kiai Kelasa Sawit, tetapi juga oleh telinga batinnya yang tajam.
"Kau ingin menakut-nakuti aku anak muda," geram Kiai Kelasa Sawit.
"Tidak. Tetapi biarlah aku mencoba menahanmu agar kau tidak merasa bahwa medan ini adalah sebuah lapangan permainan yang mengasikkan bagimu," jawab Agung Sedayu.
"Sumangkar, orang terpenting di Jipang sesudah Patih Mantahun kini sudah aku lumpuhkan. Apalagi kau."
Seperti yang telah terjadi, maka orang lain sempat menjawabnya, "Ia telah membunuh Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti dan Kiai Samparsada."
"He," wajah Kiai Kelasa Sawit menjadi merah.
"Kiai Samparsada tidak mati," desis Agung Sedayu, "ia masih mungkin hidup jika Kiai Gringsing nanti sempat mengobatinya setelah pertempuran selesai."
"Persetan. Kau masih sempat mengigau." bentak Kiai Kelasa Sawit. Lalu. "Seandainya kau berhasil membunuh setan iblis sekalipun, tetapi kau tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadapku."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat beberapa orang pengawal Mataram yang sedang bertempur sementara beberapa orang yang lain melindungi Ki Sumangkar.
"Bawalah menepi," berkata Agung Sedayu.
"Tidak," Kiai Kelasa Sawit berteriak, "aku akan membunuhnya."
"Kiai," Agung Sedayu menyahut, "biarlah ia dibawa menepi. Ki Sumangkar yang sebelumnya telah terluka saat ia memasuki arena ini, ternyata telah diganggu oleh luka-lukanya."
"Omong kosong. Jangan memperkecil arti Kelasa Sawit. Akulah yang telah melumpuhkannya. Dan sekarang, apakah kau muridnya ?"
Agung Sedayu memandang Kiai Kelasa Sawit dengan tajamnya. Namun katanya sebelum Agung Sedayu menjawab, "Tentu bukan. Kau adalah murid orang bercambuk itu."
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan segera terjadi. Mungkin Kiai Kelasa Sawit akan menyerangnya. Tetapi mungkin dengan serta merta akan meloncat menyerang Ki Sumangkar yang masih tetap dilindungi oleh beberapa orang pengawal.
Namun agaknya Kiai Kelasa Sawit masih menimbang-nimbang. Sekilas dipandanginya Ki Sumangkar yang telah diangkat oleh beberapa orang dibawah pengawalan beberapa orang yang lain. Kemudian dipandanginya Agung Sedayu yang berdiri dengan teguhnya sambil menggenggam cambuk.
Kemarahan Kiai Kelasa Sawit rasa-rasanya telah membakar isi dadanya, "Anak muda bercambuk itu sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan apalagi kecemasan meskipun ia melihat, bahwa Kiai Kelasa Sawit telah berhasil melumpuhkan saudara seperguruan Patih Mantaun dari Jipang itu."
"Kiai," berkata Agung Sedayu, "apakah kau tidak menyadari, bahwa akhirnya pertempuran ini akan menjadi ajang pembantaian yang semakin mengerikan. Aku yakin, bahwa kau mempunyai pengaruh yang besar atas pasukan dilembah ini dalam keseluruhan. Karena itu, apakah tidak ada jalan lain dari pembunuhan-pembunuhan yang semakin liar."
"Persetan. Jangan banyak bicara. Tetapi kau harus lebih banyak memperhatikan kenyataan, siapakah yang sedang kau hadapi. Jika kau sudah dijalari oleh ketakutan, minggirlah. Aku akan tetap membunuh Ki Sumangkar. Jika kau tidak mau pergi, maka kaulah yang pertama-tama harus dibunuh. Dan akhirnya Sumangkarpun akan mati pula."
Agung Sedayu memandang wajah Kiai Kelasa Sawit yang buas bagaikan hantu lapar melihat mayat bergelimpangan. Namun dengan demikian Agung Sedayu sadar, bahwa ia tidak akan dapat berbuat lain daripada mempergunakan kekerasan seperti yang seharusnya berlaku dimedan perang.
Kiai Kelasa Sawit yang melihat Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya, tiba-tiba saja telah meloncat penyerangnya. Dengan garangnya ia mengayunkan senjatanya langsung mengarah keleher lawannya.
Tetapi Agung Sedayu telah bersiap menghadapi kemungkinan itu, sehingga karena itu. ia masih sempat mengelakkan serangan itu. Bahkan sekejap kemudian, terdengar cambuknya meledak dengan dahsyatnya.
Kiai Kelasa Sawit mengumpat dengan kasarnya. Anak muda itu sempat mengelak dan sekaligus menyerang.
"Anak setan ini benar-benar berbahaya," berkata Kiai Kelasa Sawit kepada diri sendiri.
Apalagi ketika keduanya kemudian terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Kiai Kelasa Sawit yang memiliki ilmu yang tinggi itu segera menyadari bahwa anak yang masih muda itu ternyata memiliki ilmu dan kemampuan olah kanuragan yang dapat disejajarkan dengan orang yang bernama Sumangkar, adik seperguruan Patih Mantaun yang pernah disebut bernyawa rangkap.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru meskipun keduanya mulai terganggu oleh keterbatasan ketahanan tubuh mereka, setelah mereka memeras segenap kemampuan untuk waktu yang panjang.
Sementara itu, di induk pasukan. Swandaru telah mengamuk dengan dahsyatnya, di ujung ujung dari induk pasukan itu. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah bertempur dengan sengitnya. Meskipun nampak tenaga merekapun telah susut, tetapi lawan-lawan merekapun telah menjadi letih pula.
Apalagi tekanan Raden Sutawijaya dan Prastawa dari arah lain di induk pasukan itu, maka rasa-rasanya kekuatan lawanpun mulai terhimpit dari kedua arah.
Namun sebagian terbesar dari bekas prajurit Pajang berada di induk pasukan itu sehingga mereka masih bertahan dengan gigihnya.
Di sayap yang lain. Kiai Gringsing ternyata memiliki daya tahan yang lebih besar dari Empu Pinang Aring. Meskipun kedua orang tua itu memiliki ilmu yang seimbang, namun Empu Pinang Aring mulai nampak menjadi semakin susut karena kemampuannya yang bagaikan terperas.
Tubuhnya bagaikan tercelup kedalam air oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang-lubang dipermukaan kulitnya. Bahkan sentuhan-sentuhan kecil dari ujung cambuk Kiai Gringsing telah membuat noda-noda merah di tubuhnya.
Semakin lama Empu Pinang Aring merasakan, bahwa ia akan mengalami kesulitan dalam saat-saat selanjutnya. Kiai Gringsing masih nampak sigap dan tangkas. Bahkan sekali-sekali ujung cambuk telah menggetarkannya. Orang tua itu masih tetap menyimpan tenaga cukup untuk melanjutkan pertempuran sampai pagi sekalipun.
"Gila," Empu Pinang Aring menggeram didalam hati, "apakah ia menyimpan tenaga iblis didalam dirinya?"
Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Kiai Gringsing justru masih mampu melepaskan kekuatan yang menggetarkan jantung lewat ujung cambuknya, sementara Empu Pinang Aring sendiri merasa tenaganya semakin menipis.
Buku 110 DI BAGIAN lain dari sayap itu. Ki Waskita telah berhasil mengatasi kusulitan yang paling gawat. Iapun telah berhasil menekan lawannya yang mulai lelah. Lawannya yang bertubuh dan berkekuatan raksasa itu, ternyata sulit untuk mengimbangi Ki Waskita. Bukan saja ketangkasan dan kecepatan bergerak, tetapi ternyata Ki Waskita memiliki kelebihan daya tahan seperti halnya Kiai Gringsing.
Dengan demikian, maka bindi Kiai Jagaraga yang besar dan bergerigi itu tidak lagi banyak mempunyai arti. Ayunan yang semakin lamban tidak akan dapat menyentuh tubuh lawannya yang masih tetap tangkas dan trampil.
"Kau akan kehilangan segenap kekuatanmu," berkata K i Waskita kepada raksasa bersenjata bindi itu.
Tetapi lawannya yang lelah itu menggeram. Bagaimanapun juga ia harus menyelesaikan pertempuran itu. Meskipun ia sadar bahwa tenaganya mulai lelah, tetapi ia masih mengharap bahwa tenaga raksasanya masih tetap melampaui kekuatan lawannya.
Namun Ki Waskita benar-benar memiliki kelebihan. Ia masih dapat bergerak cepat, sehingga setiap kali lawannya menjadi bingung dan kehilangan arah.
Sekali-sekali senjata Ki Waskita berhasil menyentuh lawannya, sehingga lawannya menjadi semakin bingung oleh kelelahan dan sakit. Namun demikian, ia masih tetap seorang raksasa yang berbahaya.
Demikianlah maka pertempuran yang lama itu dalam keseluruhan menjadi lamban. Tetapi nafsu membunuh masih tetap membayang di wajah-wajah mereka yang menggenggam senjata di medan itu, apalagi jika mereka melihat kawan-kawan mereka yang telah terbunuh maupun terluka parah. Maka kemarahan dan kebencian telah medorong mereka untuk membunuh semakin banyak meskipun kadang-kadang yang terjadi justru sebaliknya.
Sementara itu. orang-orang yang berada dibela-kang medan, sedang berusaha untuk mempercepat agar masakan mereka Jekas masak dan dapat dikirimkan kemedan perang. Beberapa orang petugas sudah dengan tidak sabar memperingatkan, bahwa para prajurit dan pengawal dimedan sudah hampir kelaparan.
"Mereka tidak akan mempu bertempur," berkata seorang petugas yang mengurus makan mereka yang bertempur.
"Kami sudah bekerja keras," jawab juru masak, "kami tidak dapat berbuat lebih cepat."
"Tetapi kelambatanmu akibatnya dapat menghancurkan seluruh pasukan."
"He. kenapa" " juru masak yang didesak-desak itu agak jengkel juga.
"Lapar dan haus menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan. Mereka akan dengan mudah dapat dikalahkan. Bukan hanya satu dua orang, tetapi beberapa puluh dan bahkan beberapa ratus orang, sehingga keseimbangan pertempuran segera menentukan akhir dari perjuangan yang akan menjadi sia-sia."
"Aku sudah tahu. Tetapi aku tidak dapat berbuat lebih cepat. Nasi harus ditanak. Kecuali jika aku harus mengirimkan beras saja kemedan."
Petugas yang mengurus makanan itupun marah. Dengan garang ia berkata, "Jangan banyak mulut. Lakukan perintahku. Aku dapat memenggal kepalamu."
Pemimpin juru masak yang merasa sudah bekerja sekuat tenaga itupun marah pula. Jawabnya, "Jangan keras kepala. Meskipun disini aku juru masak, tetapi aku juga prajurit. Kau kira aku tidak dapat mempertahankan-diri."
Beberapa orang yang melihat perbantahan itupun segera melerai. Seorang yang berambut putih berkata, "Apakah kalian sangka dengan pertengkaran itu tugas-tugas kalian dapat kalian selesaikan?"
Kedua orang yang bertengkar itupun masih saling berpandangan dengan tegang. Namun pemimpin juru masak itupun kemudian beringsut pergi kembali ketugasnya meskipun wajahnya masih nampak tegang.
"Ayo cepat," iapun berteriak membentak-bentak pembantu-pembantunya.
Namun akhirnya nasipun masak. Tetapi untuk mempermudah cara para prajurit dan pengawal makan, maka juru masak dari Mataram dan Kademangan Sangkal Putung telah menggilas nasi itu dengan penumbuk padi dalam bakul, dicampur dengan kelapa dan garam, sehingga kemudian nasi itu dapat dipotong dan digemgam dengan sebelah tangan.
Ternyata para pengikut orang-orang yang berkumpul dilembah itupun telah menyelesaikan masakan mereka, sehingga beberapa orang dari mereka telah mengirimkan makanan kemedan dengan cara yang hampir sama, seperti kebiasaan setiap kelompok yang bertempur melalui jarak waktu sewajarnya.
Meskipun pertempuran masih berlangsung, tetapi diluar pembicaraan antara kedua belah pihak, seakan-akan keduanya memberi kesempatan kepada petugas-petugas masing-masing untuk menyampaikan makan dan minum kepada mereka yang sedang bertempur. Berganti-ganti mereka minum dari gendi dan menerima sepotong nasi yang sudah digilas dan kemudian dipotong-potong.
Namun dengan demikian berarti bahwa pertempuran masih akan berlangsung panjang. Mereka yang bertempur itu tidak lagi memikirkan apakah mereka akan menunda pertempuran untuk waktu waktu yang pendek.
Para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang berada disebelah Baratpun ternyata telah mendapatkan bagian mereka, sehingga rasa-rasanya tubuh mereka menjadi segar oleh air gendi dan segumpal makanan.
Namun ada juga para pengawal yang teringat kepada Ki Gede dan beberapa orang pengawalnya. Karena itu, maka dibawanya para petugas untuk menyampaikan makan dan minum itu juga kepada mereka.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang bertempur melawan Kiai Kelasa Sawit ternyata semakin menjadi bertambah seru. Kiai Kelasa Sawit yang marah telah kehilangan semua perhitungan dan pertimbangan selain nafsu untuk membunuh anak muda bercambuk itu.
Tetapi betapapun ia berusaha. Agung Sedayupun telah berusaha pula menghindarkan dirinya dari terkaman maut. Bahkan sekali-kali jika cambuknya meledak, maka lawannya bagaikan dihentak oleh kekuatan yang tidak terlawan.
Diinduk pasukanpun keseimbangan perlahan-lahan menjadi semakin jelas. Swandaru benar-benar merupakan kekuatan yang menggetarkan. Cambuknya yang meledak-ledak bagaikan mengguncang seluruh medan. Sementara diseberang Raden Sutawijaya tiduk lagi dapat dibendung. Senjatanya merupakan penyebar maut yang sangat menggetarkan, sehingga lawan-lawannya menjadi semakin ngeri menghadapinya.
Yang terjadi disayap yang lainpun tidak banyak berbeda. Ternyata bahwa orang yang berada dilembah itu salah hitung atas kemampuan para pengawal. Mereka menganggap bahwa para pengawal dari Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun memiliki kemampuan bertempur yang cukup, tetapi mereka tidak terlatih untuk bertempur dalam waktu yang panjang. Namun ternyata bahwa mereka masih tetap mampu mengimbanginya.
Disayap yang telah kehilangan seorang pemimpinnya, yang dilumpuhkan oleh Agung Sedayu, maka kekuatan lawan benar-benar sudah teratasi. Ketika Kiai Samparsada dibawa menyingkir, maka pengawal pengawalnya menjadi semakin gelisah. Apalagi mereka sudah mendengar bahwa Agung Sedayu jugalah yang telah membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Kemudian Kiai Samparsada dilumpuhkannya pula. Kini yang dihadapinya adalah Kiai Kelasa Sawit, sehingga para pengikutnya telah mencemaskan keselamatannya.
Namun mereka tidak dapat berbuat banyak. Para pengawal Tanah Perdikan Menorehpun memiliki ketajaman perhitungan, sehingga hampir tidak ada kesempatan untuk membantu Kiai Kelasa Sawit yang garang itu.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Kelasa Sawit telah mengerahkan segenap kemampuan. Ilmunya yang melampaui orang-orang kebanyakan ternyata mempunyai pengaruh yang kuat. Senjatanya bagaikan memiliki dorongan kekuatan yang berlipat, sementara kakinya bagaikan kaki kijang yang kuat dan cepat.
Namun Agung Sedayupun telah menguasai ilmunya dengan masak. Dengan demikian, maka ia merupakan benteng yang tidak tertembus oleh lawan.
Bahkan semakin lama serangan Agung Sedayu menjadi semakin banyak menyentuh tubuh lawannya. Kecepatan bergerak Kiai Kelasa Sawit ternyata masih belum melampaui kecepatan bergerak ujung cambuk Agung Sedayu yang digetarkan oleh ilmu yang hampir sempurna.
Setiap sentuhan ditubuh Kiai Kelasa Sawit telah menimbulkan noda merah kebiru-biruan. Namun jika kekuatan Agung Sedayu tersalur sepenuhnya pada hentakan kekuatannya, maka tubuh Kiai Kelasa Sawit yang mengeras bagaikan tembaga itu masih juga berhasil dilukai, sehingga darah menitik dari kulit yang sobek ditubuhnya.
Meskipun Kiai Kelasa Sawit setiap kali menyeringai menahan pedih, serta kekuatannya yang semakin susut, tetapi luka-luka itu nampaknya tidak terlalu banyak berpengaruh. Ia masih tetap bertempur dengan garangnya, seakan-akan senjata lawannya sama sekali tidak berarti lagi baginya.
Agung Sedayu menjadi heran bahwa lawannya seakan akan tidak merasakan akibat dari sentuhan ujung cambuknya. Bahkan Kiai Kelasa Sawit yang marah itu menyerang semakin sengit.
Karena itulah maka Agung Sedayu terdorong kepada keharusan untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Kekuatan daya tahan Kiai Kelasa Sawit benar-benar telah menumbuhkan kengerian pada dirinya. Apalagi karena Agung Sedayupun telah merasa dijalari oleh kelelahan yang semakin menghisap tenaganya.
"Aku tidak boleh kehilangan tenagaku lebih dahulu dari orang ini," berkata Agung Sedayu..
Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian telah membuat perhitungan yang cermat. Apakah lebih baik baginya untuk bertahan mengimbangi kemampuan lawannya dengan sekali-sekali saja menyerang atau mengerahkan segenap kemampuannya dan segera melumpuhkan lawannya.
Agung Sedayu tidak dapat mencari pilihan. Kiai Kelasa Sawitlah yang kemudian melibatnya dalam pertempuran bagaikan dalam badai yang dahsyat. Agaknya orang itu memilih dengan cepat menyelesaikan pertempuran, menang atau kalah.
Hentakan-hentakan senjata semakin dahsyat telah saling berbenturan dan saling melukai. Bukan saja Kiai Kelasa Sawit, tetapi sentuhan senjatanya telah melukai Agung Sedayu pula.
Oleh luka dan kelelahan, maka Agung Sedayupun menjadi semakin garang. Bagaikan mengamuk ia menyerang lawannya, langsung pada tempat tempat yang paling berbahaya.
Akhirnya Kiai Kelasa Sawit tidak dapat mengingkari keadaannya. Ia masih tetap sadar, bahwa kekuatannya memang menjadi jauh susut, apalagi badannya bagaikan dipenuhi oleh luka-luka karena sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu.
Tetapi Kiai Kelasa Sawit tidak membiarkan dirinya terbunuh oleh anak muda itu seperti Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Dan iapun tidak mau dilumpuhkan seperti Kiai Samparsada yang belum diketahui nasibnya, apakah ia benar benar mati atau terluka parah.
Karena itulah. Maka Kiai Kelasa Sawit yang sudah terluka silang melintang itu mulai memikirkan jalan keluar dari kesulitannya. Tubuhnya yang menjadi semakin lemah oleh kelelahan dan darah, hampir tidak sempat lagi melakukan perlawanan.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja terdengar suitan nyaring dari mulutnya. Kiai Kelasa Sawit telah memberikan isyarat bagi keselamatannya.
Agung Sedayu sadar, bahwa lawannya telah memberikan suatu isyarat. Tetapi ia tidak mengetahui, apakah yang akan terjadi kemudian. Yang dapat dilakukannya hanyalah mempersiapkan dirinya menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Bahkan beberapa orang pengawal yang mendengar isyarat itupun telah bersiap-siap pula. Mungkin akan terjadi perubahan yang tiba-tiba diarena pertempuran itu.
Agung Setlayu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat geseran yang serentak pada pasukan lawan. Beberapa orang telah menyibak dan dengan cepat mereka telah berkerumun seolah-olah membuat sebuah lingkaran kecil yang bersusun.
Barulah Agung Sedayu kemudian sadar. Kiai Kelasa Sawit yang sudah tidak berdaya lagi itu berusaha untuk melindungi dirinya. Ia tentu akan menyingkir dari arena untuk mempersiapkan diri atau justru untuk tidak menampakkan dirinya lagi.
Sejenak Agung Sedayu diguncang oleh keragu-raguan. Jika ia melihat luka-luka ditubuh lawannya. maka dua hal yang saling bertentangan telah berdesakan didalam hati.
Dengan mudah Agung Sedayu akan dapat membinasakan lawannya yang sudah kehilangan kemampuannya untuk melawan itu. Ia dapat memerintah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk memecahkan lingkaran perlindungan itu dan ia sendiri memasuki sampai kepusarnya dan membunuh Kiai Kelasa Sawit.
Namun, terasa sesuatu telah menahannya. Orang itu sudah tidak berdaya lagi seperti Kiai Samparsada. Apakah sudah wajar jika ia masih saja memburynya dan membunuhnya sama sekali"
Keragu-raguannya itulah agaknya yang memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menyembunyikan Kiai Kelasa Sawit ditengah-tengah medan. Sementara Agung Sedayu diam mematung, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memandanginya dengan tegang. Mereka menunggu apakah yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Tepai agaknya Agung Sedayu itu bagaikan membeku ditempatnya.
Para pengawal itu menyadari keadaan mereka, dan tanpa menunggu lagi menghantam lingkaran itu. Namun ternyata bahwa Kiai Kelasa Sawit sudah dilarikan oleh pengawal-pengawalnya yang setia.
"Ia melarikan diri," geram seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
"Agung Sedayu terlalu lamban," desis yang lain, "sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk melakukannya jika ia mau."
"Ia mulai kambuh. Keragu-raguannya sudah mencengkam jantungnya lagi," desis yang lain.
"Sikapnya tidak menguntungkan sama sekali. He. bagaimana hal itu dapat terjadi atasnya?" bertanya yang lain, "bukankah ia sudah membunuh Ki Gede Telengan. Ki Tumenggung Wanakerti dan Kiai Samparsada?"
Medan dipertempuran itu menjadi gempar. Hilangnya Kiai Kelasa Sawit membuat para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal Mataram yang sudah melingkari medan dari arah Timur ke arah Barat menjadi ribut. Berbagai tanggapan telah mereka lontarkan terhadap Agung Sedayu. Namuun adalah sudah menjadi suatu kenyataan bahwa Kiai Kelasa Sawit sudah melarikan diri.
Tiba-tiba saja salah seorang pengawal yang tidak dapat menahan diri telah berteriak, "Kelasa Sawit melarikan diri."
Teriakan itu diluar dugaan lelah disambut oleh yang lain. "Kelasa Sawit melarikan diri."
Ternyata bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Mataram yang lainpun telah berteriak pula sambung bersambung, "Kiai Kelasa Sawit melarikan diri dari sayap."
Dalam pada itu. Kiai Kelasa Sawit memang telah melarikan diri dari sayap. Dalam perlindungan anak buahnya ia berusaha untuk lepas dari medan. Namun tidak disayap, karena para pengawal semuanya seakan-akan telah memperhatikannya.
Dalam waktu yang singkat. Kiai Kelasa Sawit dibimbing oleh pengawalnya yang setia telah meninggalkan sayap pasukan lembah itu dan memasuki induk pasukan. Selanjutnya ia berusaha untuk menemukan lubang yang dapat dilaluinya untuk meninggalkan arena pertempuran karena luka-lukanya yang parah.
Tetapi teriakan para pengawal itu menjalar terlampau cepat. Bahkan beberapa orang pengawal di induk pasukannya telah mendengarnya dan mereka yang berada dibatas sayap dan induk pasukanpun ikut berteriak, "Kiai Kelasa Sawit melarikan diri."
Kiai Kelasa Sawit menjadi berdebar-debar. Tetapi ia merasa dirinya telah terlepas dari Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu tidak akan mengejarnya sampai keinduk pasukan.
"Kita harus segera meloloskan diri," desis Kiai Kelasa Sawit, "aku memerlukan beberapa saat beristirahat sebelum aku kembali menghadapi anak itu."
"Malam ini Kiai?" bertanya seorang pengawalnya.
"Kau dungu. Tentu aku harus beristirahat tidak hanya malam ini. Agaknya keadaanku belum menjadi baik."
"Sehari semalam?"
"Bodoh. Aku akan beristirahat sebulan lamanya."
"Sebulan" " pengawalnyalah yang kemudian menjadi heran.
Tetapi Kiai Kelasa Sawit tidak menjawab. Ia merasa dadanya menjadi sesak dan luka-lukanya bertambah pedih. Darah semakin banyak mengalir dari tubuhnya meskipun daya tahannya telah berhasil memperkecil kemungkinan cambuk lawannya merobek kulitnya.
Namun dalam pada itu, teriakan-teriakan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Mataram menjadi semakin keras, dan yang bahkan disambut pula oleh para pengawal dari Sangkal Putung, "Kiai Kelasa Sawit melarikan diri."
Dengan tergesa-gesa Kiai Kelasa Sawitpun mencari jalan keluar. Pengawalnya tidak dapat mencegahnya lagi meskipun ia sadar, bahwa pasukan di sayap itu akan segera bercerai berai tanpa pimpinannya. Namun iapun sadar, bahkan jika Kiai Kelasa Sawit tidak meninggalkan medan, maka ia akan dibunuh oleh Agung Sedayu.
Sementara itu. Agung Sedayu yang berada di sayap itupun termangu-mangu. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram dibagian Barat, serta para pengawal Mataram dan Sangkal Putung dibagian Timur ternyata telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Hilangnya Kiai Kelasa Sawit, benar-benar telah melumpuhkan kekuatan lawan. Terutama karena goncangan perasaan. Sebenarnya jika mereka tidak mudah disentuh oleh keputus-asaan. maka mereka masih akan dapat bertahan dan mencari jalan keluar. Tetapi hilangnya dua orang pemimpin di sayap itu membuat hati para pengikutnya menjadi kecut.
Meskipun ternyata kemudian Agung Sedayu tidak berbuat seperti yang mereka duga, namun agaknya meraka menyangka bahwa yang demikian itu. hanyalah menunggu saat yang akan segera datang.
Sebenarnyalah Agung Sedayu mulai lagi dicengkam oleh keragu-raguan. Selelah ia membunuh Ki Gede Telengan. Ki Tumenggung Wanakerti dan melukai Kiai Samparsada sehingga parah, kemudian Kiai Kelasa Sawit, maka rasa-rasanya goncangan-goncangan didalam dirinya tidak terelakkan lagi. Apalagi waktu mereka melihat didalam cahaya obor. tubuh yang silang melintang dipertempuran. Orang kesakitan dan bahkan kadang-kadang terdengar tangis tertahan.
Rasa-rasanya getar hati anak muda itu tidak tertahankan lagi. Bukan kemenangan yang terasa memberi kebanggaan dihati, tetapi justru penyesalan dan kengerian.
Itulah sebabnya untuk beberapa saat lamanya ia berdiri tegak ditempatnya. Para pengawal Tanah Perdikan dan para pengawal dari Mataram menjadi heran melihat sikapnya. Mereka menduga bahwa Agung Sedayu akan segera mengamuk dan menghalau setiap lawan yang ada disayap itu, bahkan membunuhnya. Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan itu. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu tanpa berbuat apa-apa.
Meskipun demikian, maka para pengawal itu tidak ikut termangu-mangu. Sebagian dari mereka mengerti, bahwa penyakit Agung Sedayu telah kambuh lagi. Keragu-raguan dan kebimbangan.
Karena itulah, maka para pengawal Tanah Perdikan Menorehlah yang kemudian bersama-sama dengan para pengawal dari Mataram seakan akan telah mengamuk mengusai medan. Orang-orang yang bertahan di lembah itu semakin lama menjadi semakin terdesak dan tidak berdaya.
Pertempuran itu masih berlangsung beberapa lama, sementara Agung Sedayu bagaikan orang bingung berdiri di tempatnya Namun agaknya goncangan-goncangan didalam hatinya tidak tertahankan lagi. Diluar dugaan para pengawal. Agung Sedayu justru meninggalkan medan dengan langkah yang gontai.
"Kemana," terdengar seseorang bertanya kepada kawannya.
"Agaknya ia akan kembali kepada Ki Gede yang menjaga pusaka itu," jawab yang lain.
Mereka menjadi semakin heran. Namun kemudian mereka tidak menghiraukannya lagi dan bertempur semakin sengit.
Agung Sedayu berjalan didalam gelapnya malam. Seakan-akan ia menuruti kemana kakinya melangkah. Adalah karena nalurinya saja iapun berjalan menuju ketempat Ki Gede Menoreh menunggu dengan hati yang berdebar-debar.
Kedatangan Agung Sedayu mengejutkan para pengawas. Ketika seorang pengawas melihat sesosok bayangan yang berjalan mendekat, maka sambil mengacukan tombaknya ia berdesis, "Siapa?"
Agung Sedayu berhenti. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian pengawas itu segera mengenalnya. Bahkan ia menjadi cemas melihat keadaan Agung Sedayu yang seakan-akan kehilangan sesuatu.
"He. kenapa kau?" bertanya pengawas itu. Agung Sedayu memandang pengawas itu sejenak.
Namun kemudian Jawabnya, "Aku tidak apa-apa."
Pengawas itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Tetapi suaramu gemetar. Apakah yang sudah terjadi?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia berjalan terus.
"Ki Gede ada dibalik batu padas," desis pengawas itu.
Agung Sedayu barjalan terus menuju kebatu padas yang nampak hitam pekat dimalam hari. Cahaya obor kecil yang sengaja ditempatkan agak jauh, memberikan sedikit ancar-ancar tempat Ki Gede Menoreh beristirahat.
Ki Gede berpaling ketika ia mendengar desir perlahan. Sebuah bayang nampak mendekatinya dengan ragu-ragu.
"Agung Sedayu," desis Ki Gede.
Agung Sedayu menjadi semakin dekat. Kemudian dengan lemahnya ia menjatuhkan diri dan duduk beberapa langkah dihadapan Ki Gede Menoreh.
Ki Gede Menoreh terkejut melihat keadaan anak muda itu. Dengan tergesa-gesa ia mendekatinya sambil bertanya, "Kau kenapa?"
Agung Sedayu mencoba menenangkan hatinya. Perlahan-lahan ia menarik nafas panjang sekali, seakan-akan udara malam diseluruh hutan itu akan dihisapnya.
"Kau terluka" " bertanya Ki Gede.
"Tidak seberapa Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "hanya goresan-goresan kecil."
"Tetapi kau nampak letih sekali."
"Aku memang letih sekali."
Ki Gedepun kemudian duduk disamping Agung Sedayu. Terasa tubuh anak muda itu gemetar. Nafasnya kadang-kadang memburu, namun kadang-kadang bagaikan terhenti.
"Aneh," berkata Ki Gede didalam hatinya, "pernafasannya hampir sempurna. Tetapi terasa kini seakan-akan ia tidak memiliki kemampuan untuk menguasai diri dan mengatur pernafasannya sendiri."
"Agung Sedayu," desis Ki Gede, "agaknya kau memang terlalu letih. Tetapi seharusnya kau dapat mengatasi kesulitan pernafasanmu, sehingga tubuhmu akan menjadi agak segar. Apalagi sejuknya embun malam akan dapat membantu menyegarkan kelelahanmu."
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi keadaannya tidak bertambah baik.
Agung Sedayu masih saja gelisah, sementara nafasnya sama sekali masih belum teratur.
Ki Gede Menoreh yang sudah semakin tua itupun ternyata memiliki penglihatan batin yang tajam. Meskipun yang nampak pada wadag Agung Sedayu tidak membahayakannya, namun ternyata kelelahan batinnya membuatnya seolah-olah kehilangan nalar dan pertimbangan.
Ki Gede kemudian semakin menyadari ketika meraba tubuh Agung Sedayu yang gemetar.
"Apa yang sudah terjadi Agung Sedayu?" bertanya Ki Gede Menoreh.
Agung Sedayu memandang Ki Gede dengan tatapan mata yang suram.
"Apakah kau menjumpai peristiwa yang tidak kau kehendaki" " desak Ki Gede.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian desisnya gemetar, "Bukan maksudku Ki Gede. Benar-benar bukan maksudku."
"Memang bukan maksudmu Agung Sedayu. Tetapi apakah yang sudah terjadi?"
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja seakan-akan nampak dihadapannya Kiai Samparsada yang terbaring dengan luka-lukanya, sementara Kiai Kalasa Sawit yang terhuyung-huyung karena ujung cambuknya. Dengan susah payah orang itu bersuit memanggil pengawalnya untuk membuat lingkaran pelindung diseputarnya. Apalagi kemudian seolah-olah berdiri dikegelapan sambil memandanginya dengan mata merah menyala Ki Gede Telengan yang bersilang tangan dan Ki Tumenggung Wanakerti yang seakan-akan tidak dapat disentuh oleh senjata. Namun keduanya telah berhasil dibunuhnya.
"O," Agung Sedayu tiba-tiba saja mengeluh, dipandanginya kedua telapak tangannya dan tangkai cambuknya. Tiba-tiba saja tangannya menjadi semakin gemetar.
Ki Gede Menoreh mengerti, apa yang tersirat dihati anak muda itu. Anak muda yang selalu diganggu oleh sifat-sifatnya yang berdasar lubuk hati sejak ia masih kanak-kanak. Keragu-raguan, kebimbangan dan tidak berketentuan.
Betapapun Agung Sedayu berhasil menguasai berbagai ilmu yang menggetarkan, yang dapat mengatasi dan bahkan melampaui ilmu Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti, namun ia tidak dapat mengatasi gemuruhnya jantung didalam dadanya sendiri.
Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian menyuruh seorang pengawalnya mengambil gendi yang diberikan kepada kelompok itu dan memberikannya kepada Agung Sedayu, "Minumlah Agung Sedayu. Kau benar-benar harus beristirahat."
Agung Sedayu tidak menolak. Iapun kemudian menghirup air dari dalam gendi itu. Seteguk demi seteguk.
Segarnya air gendi dan segarnya malam dapat sedikit memberi ketenangan kepada Agung Sedayu. Beberapa kali ia menarik nafas, seolah-olah ia sedang mengingat apa yang telah dilakukannya dimedan perang yang mengerikan itu.
Ki Gede Menoreh masih menunggui dengan sabar. Sekali-kali Agung Sedayu berdesah. Kemudian tatapan matanya kembaki terlempar kedalam gelapnya malam.
Namun kemudian dengan nafas yang tersendat-sendat. Agung Sedayu menceriterakan bahwa ia telah melukai Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit.
"Keduanya terluka parah," desis Agung Sedayu, "bukan maksudku untuk menjadi pembunuh yang tidak berjantung meskipun dipeperangan. Aku sudah membunuh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti. Apakah aku harus membunuh dan membunuh apapun alasannya?"
Ki Gede Menoreh sudah menduga. Ternyata bahwa ilmu dan kemampuan Agung Sedayu yang melampaui tataran itu justru telah membuat hatinya kadang-kadang terluka.
"Agung Sedayu," berkata Ki Gede Menoreh, "setiap kali kau hadir dipeperangan, maka kau selalu dicengkam oleh kegelisahan semacam itu. Tetapi itupun bukan salahmu. Semua yang terjadi adalah urutan peristiwa yang tidak terpisahkan. Suatu rangkaian peristiwa yang saling berkait. Juga tentang dirimu sendiri."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Sebenarnya kau tidak dapat menyesali perbuatanmu dipeperangan. Membunuh memang pekerjaan yang terkutuk. Tetapi peperangan merupakan usaha terakhir untuk mempertahankan sikap seseorang dan sekelompok orang yang mempunyai keyakinan dan landasan yang sejalan."
Agung Sedayu masih tetap menundukkan kepalanya.
"Kau dapat mengerti Agung Sedayu" " bertanya Ki Gede.
"Pengertian yang dapat ditangkap oleh nalarku tidak sejalan dengan perasaanku Ki Gede," desis Agung Sedayu.
"Kau sadari itu" " bertanya Ki Gede.
"Tanpa kesadaran ini barangkali aku sudah menjadi gila. Aku berusaha untuk menemukan keseimbangan antara nalar dan perasaan. Tetapi kadang-kadang pertanyaan didalam hatiku terlampau banyak yang tidak dapat aku jawab," berkata Agung Sedayu seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, "diantaranya, apakah aku memang harus menjadi pembunuh yang tidak berperikemanusiaan" Aku sadar Ki Gede. apakah artinya perikemanusiaan didalam peperangan. Tanpa melenyapkan kebatilan maka akupun telah berkhianat terhadap perikemanusiaan itu sendiri, karena akibat dari kelestarian kebatilan adalah perkosaan terhadap perikemanusiaan. Tetapi kenapa aku harus melakukannya dengan cara yang tidak dapat aku pilih sesuai dengan cara yang paling baik menurut pendapatku?"
"Agung Sedayu. Jika cara itu harus kau lakukan, karena kau tidak mendapat kesempatan untuk memilih justru kau berada didalam keadaan tanpa pilihan, maka kau harus menerima kenyataan itu. Bukan kau yang telah memaksakannya terjadi. Tetapi kau hanyalah menerima keadaan tanpa pilihan itu. sehingga kau telah berdiri pada satu kesempatan, membunuh. Karena jika kau ingkari kesempatan itu, maka kau telah melakukan kesalahan yang sama nilainya, memberi kesempatan orang lain membunuhmu, padahal kau mempunyai kemampuan untuk menyelematkan dirimu meskipun yang terjadi harus sebaliknya.
Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Dipandanginya langit yang hitam ditaburi oleh bintang-bintang yang berkeredipan. Malam telah semakin dalam, sementara di lembah itu pertempuran masih berlangsung meskipun telah menjadi semakin kendor.
"Sudahlah Agung Sedayu," berkata Ki Gede, "beristirahatlah. Kau adalah seorang anak muda yang memiliki sesuatu yang merupakan kurnia dari Yang Maha Kuasa. Tergantung kepadamu, apakah kau dapat mengamalkannya, atau sekedar akan kau rendam dalam pelukan perasaanmu yang gelisah. Bukan saja saat ini, tetapi saat-saat mendatangpun persoalan semacam ini akan selalu kau jumpai didalam hidupmu. Karena persoalan baik dan buruk itu merupakan persoalan yang lahir bersama kelahiran manusia itu sendiri."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun terasa sesuatu bergetar didalam dirinya, meskipun masih samar-samar.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semantara itu, Ki Gede Menorehpun kemudian meninggalkannya kembali ketempatnya. Ia tidak boleh lengah. Kedua pusaka itu seolah-olah didalam tanggung jawabnya.
Ketika seorang pengawal mendekatinya, maka iapun berkata, "Awasi Agung Sedayu yang kecewa terhadap dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, ia seakan-akan telah berubah. Karena itu. jika ada orang yang bermaksud jahat, maka ia tidak akan mempedulikannya."
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Ki Gede, apakah artinya aku bagi Agung Sedayu."
"Kau bukan seorang yang ragu-ragu seperti Agung Sedayu. Itulah kelebihanmu. Karena itu, awasilah anak muda yang sedang diamuk oleh kebimbangan itu."
Pengawal itu tidak membantah. Iapun kemudian mendekati Agung Sedayu yang bersandar pada sebatang pohon. Sambil duduk disampingnya pengawal itu bertanya, "Kau lelah?"
"Ya. aku lelah."
Pengawal itu tidak bertanya lagi. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Gede, Agung Sedayu itupun kemudian duduk bersandar sebatang pohon sambil meletakkan kepalanya pada kedua telapak tangannya yang diangkatnya dibelakang. Ia seakan-akan telah tenggelam kedalam suatu dunia yang lain dari dunia wadagnya, sehingga seperti yang dikatakan orang, namun ia sama sekali tidak memperhatikannya lagi.
"Anak muda yang aneh," desis pengawal itu. Tetapi ia tetap berdiam diri sambil mengawasi kegelapan yang terhampar disekitarnya.
"Aku tidak boleh lengah seperti Agung Sedayu," berkata pengawal itu kepada diri sendiri, sehingga karena itulah, maka ia menggenggam tombaknya erat-erat meskipun iapun kemudian bersandar pula pada sebatang pohon disebelah Agung Sedayu. sementara para pengawal yang lainpun tetap bersiaga sepenuhnya karena mereka menyadari, bahwa kedua pusaka yang tidak ternilai harganya itu ada diantara mereka yang berada ditempat terpisah dari peperangan itu.
Sementara itu, pertempuran dilembah memang sudah menjadi semakin lamban. Kedua belah pihak sudah kehilangan puncak kemampuan mereka karena kelelahan.
Orang-orang yang merasa dirinya keturunan Kerajaan Agung Majapahit semakin lama semakin merasa, betapa tekanan para pengawal Mataram. Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh tidak lagi dapat dilawan.
Disayap yang telah ditinggalkan Agung Sedayu, para pengikut orang-orang yang menyatakan dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu menjadi semakin gelisah. Pemimpin-pemimpin mereka telah tidak ada lagi diantara mereka. Kiai Kelasa Sawit seakan-akan telah hilang didalam gulungan pengawalnya.
Karena itulah, maka mereka seakan-akan sudah kehilangan segala kesempatan. Tekanan yang semakin dahsyat dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para pengawal dari Mataram yang menghimpit mereka pada kekuatan pengawal dari Kademangan Sangkal Putung dan sebagian yang lain dari para pengawal dari Mataram, membuat mereka kehilangan semua harapan untuk dapat melepaskan diri dari bencana.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya yang berada diinduk pasukan, dengan cerdik telah memotong sayap yang kehilangan pimpinannya itu dengan pasukannya. sehingga sayap itu seakan-akan telah terpisah dari induk pasukannya.
Tidak ada yang dapat dilakukan lagi oleh mereka yang berada disayap pasukan yang terkepung itu. Ketika seorang pemimpin pengawal dari Mataram meneriakkan ancaman-ancaman yang mengerikan, maka mereka menjadi semakin ragu-ragu untuk meneruskan pertempuran.
Namun akhirnya pemimpin pengawal dari Mataram itu berkata, "Tetapi kami masih mempunyai perhitungan. Jika kalian menyerah sebelum saat-saat yang mengerikan itu tiba, maka nasib kalian akan menjadi bertambah baik. Kemarahan dan dendam dihati kami akan berkurang, karena penyerahan kalian berarti mengurangi jumlah korban dipihak kami."
Tawaran itu benar-benar mempengaruhi perasaan para pengikut orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Dalam keadaan putus asa, maka kesempatan untuk menyerah itu adalah satu-satunya kesempatan terbaik yang akan menghindarkan mereka dari kematian, meskipun mungkin mereka akan jatuh kedalam suatu keadaan yang tidak kalah buruknya daripada mati.
"Kami masih memberi kesempatan," berkata pemimpin dari Mataram itu, "jika kalian ingin menyerah, maka lepaskanlah senjata kalian dari tangan."
Tetapi orang-orang yang putus asa itu masih ragu-ragu. Jika mereka melepaskan senjata mereka, sementara lawan mereka masih belum menemukan keseimbangan, sehingga dendamnya masih menyala, maka nasib mereka justru akan menjadi bertambah buruk.
Namun pemimpin pengawal dari Mataram itupun kemudian meneriakkan aba-aba kepada para pengawal agar mereka memberi kesempatan lawan untuk menyerah.
Para pemimpin pengawal dari Kademangan Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menoreh yang berseberanganpun mendengar perintah itu. Sementara mereka masih tetap mengakui, bahwa mereka berada di bawah perintah dari pimpinan pasukan dari Mataram, sehingga perintah yang mengalir dari pimpinan pasukan Mataram, merupakan perintah bagi seluruh pasukan.
"Nah," teriak pemimpin pengawal dari Mataram, "ulangi perintahku, beri kesempatan kepada mereka untuk menyerah."
Para pemimpin kelompok, baik dari Mataram, dari Sangkal Putung maupun dari Tanah Perdikan Menorehpun kemudian mengulangi perintah itu sambung bersambung sampai keujung sayap.
Tidak ada kesempatan lain. Kelelahan, putus asa dan hilangnya harapan telah menyudutkan para pengikut mereka yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu untuk menerima tawaran itu, betapapun buruknya.
"Seorang pemimpin kelompok yang sudah kehilangan ikatan induknya itupun tiba-tiba saja sudah meneriakkan perintah bagi kelompoknya, "Pisahkan diri dari lawan. Kalian mendapat kesempatan untuk menyerah. Tetapi tidak untuk membunuh diri."
Ternyata bahwa perintah itu mendapat sambutan dari beberapa orang pemimpin kelompok yang lain meskipun hal itu bukannya merupakan jalur perintah. Mereka merasa bahwa setiap kelompok harus menentukan sikap mereka sendiri, setelah Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit hilang dari sayap itu.
Para pengikut yang berada dilembah itupun tidak mempunyai kesempatan lain. Itulah sebabnya, mereka-pun kemudian seolah-olah berusaha untuk menjauhi lawan masing-masing sambil mengangkat senjata mereka meskipun senjata itu masih belum dilontarkan.
Para pengawal dari Mataram, dari Sangkal Putung dan dari Tanah Perdikan Menorehpun termangu-mangu sejenak. Pernah untuk memberi kesempatan lawan mereka menyerah tidak dapat mereka abaikan, sehingga karena itu. maka merekapun membiarkan lawan mereka melangkah surut dan seakan-akan berkumpul didalam sebuah lingkaran yang besar.
Pedang Dan Kitab Suci 22 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Mentari Senja 2