Pencarian

Samurai Pengembara 6 1

Shugyosa Samurai Pengembara 6 Bagian 1


SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Keenam oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
Buku Keenam PENYELAMATAN TAK TERDUGA
API menjilat-jilat. Kobarannya membakar langit. Angin dari arah utara yang
bertiup kencang mempercepat api membesar. Suara kayu terbakar membuat
kemungkinan lolos kian tipis. Asap tebal mulai memasuki ruang perjamuan, membuat
orang-orang yang terjebak dalam amukan api itu batuk-batuk, bahkan beberapa di
antaranya sudah jatuh pingsan.
Para samurai yang sudah mabuk, melangkah ter-
huyung-huyung tanpa mengetahui apa yang harus me-
reka lakukan. Tiga orang mencoba mendobrak pintu,
tetapi tubuh mereka justru terbakar. Kimono yang terbuat dari kain sutera
menyebabkan hanya dalam sekejap tubuh ketiganya terbungkus api. Mereka menjerit-
jerit, sebelum akhirnya ambruk, binasa dengan cara yang sangat mengerikan.
Orang-orang mulai panik. Mereka menjerit-jerit, saling berteriak, tetapi tak
seorang pun berhasil menemukan jalan keluar.
"Nobunaga benar-benar jahanam!" rutuk salah seo-
rang samurai sambil mencabut pedang. "Dia akan membakar kita hidup-hidup!"
"Pengecut busuk!"
"Apa yang harus kita lakukan?"
Samurai yang telah mencabut pedang itu berkata
tegas, seakan ia telah siap untuk mati, "Lindungi Yang Mulia Imagawa, sekarang
beri aku kekuatan dua puluh orang untuk menjebol pintu itu."
Dua puluh orang yang gagah berani segera maju ke
depan, mereka adalah samurai-samurai bertubuh kekar.
"Mari kita buktikan pengabdian kita," kata samurai pemimpin tadi. "Saling
bergandeng tangan, jangan dile-paskan, apa pun yang terjadi. Kita dobrak pintu
bersama-sama!"
Dua puluh satu samurai itu saling melingkarkan
tangan pada lengan samurai di sebelahnya. Mereka ki-ni menjadi gabungan kekuatan
mirip batu pendobrak.
Lalu dengan pekikan bunuh diri, mereka berlari se-
rempak mendobrak pintu yang masih diselimuti koba-
ran api. Ketika tubuh mereka menghantam pintu itu, terdengar suara berderak.
Pintu itu bergetar dengan hebat, namun tidak terbuka, sementara kedua puluh
satu samurai itu dibalut api yang membakar seluruh tubuh mereka.
Seperti tidak peduli dengan kematian mereka, dua
puluh satu samurai itu kembali mendobrak pintu. Ber-ulang-ulang. Tapi gerbang
yang telah dikunci dari luar itu hanya berderak, tidak terbuka. Akhirnya, satu
per satu samurai itu rubuh ke lantai dengan tubuh ha-ngus terbakar.
"Pintu itu sudah bergetar," kata seorang samurai
lain maju ke depan. "Siapa yang ingin membuktikan
kesetiaannya pada Yang Mulia Imagawa, mari berga-
bung denganku."
Dua puluh orang berkumpul lagi. Mereka saling me-
lingkarkan tangan, kemudian menyerbu untuk men-
dobrak pintu. Diiringi pekik serta jerit kengerian, dua puluh samurai itu
menjadi mirip gumpalan batu terbakar yang bergulung-gulung mendobrak pintu ruang
tersebut. Namun usaha itu sia-sia, justru menampilkan pemandangan mengerikan
ketika tubuh mereka
bergelimpangan dilalap api.
Kepanikan mulai menyelimuti semua orang di rua-
ngan itu. Shogun Imagawa berdiri di sudut ruangan
dalam perlindungan para pengawal setianya. Wajahnya tampak pucat, namun ia tak
melihat adanya jalan keluar.
"Benar-benar tak masuk akal," kata Imagawa meng-
geram putus asa. "Kunjunganku yang tulus justru me-
reka balas dengan kebiadaban. Sungguh tidak masuk
akal!" Dengan mata mulai pedih, Imagawa melihat orang-
orang di sekitarnya bergelimpangan di lantai. Sebagian besar dari mereka jatuh
pingsan akibat asap tebal mulai memenuhi ruangan. Dengan suara tercekik, para
samurai yang mabuk ambruk ke lantai menemui ajal.
Mayat bergelimpangan secara mengerikan, sementara
api terus menjilat-jilat seperti neraka.
Di tengah kekalutan itu, tiba-tiba Konishita meloncat ke tengah ruangan. Ia
berdiri kokoh. Kemudian anggota rombongannya meloncat di atas bahunya. Demikian
seterusnya sehingga kedelapan anggota rombongan penari menjulang tegak lurus ke
atap. Salah seorang penari yang berada paling atas segera meloncat ke atas, ia
mengeluarkan pedang untuk menghancurkan atap bangunan itu. Dalam sekejap tampak
lubang menganga di atap, penari itu melompat keluar, tetapi tubuhnya baru
sebagian yang keluar, terdengar ia menjerit ketika delapan anak panah menghunjam
dadanya. Tubuh penari
itu melayang jatuh tanpa nyawa.
Saat orang-orang melihat tubuh wanita tersebut
ambruk di lantai, semua orang terpekik ngeri.
"Mereka benar-benar akan membantai kita!" rutuk
salah seorang samurai yang mulai putus asa.
"Tak ada jalan lolos!"
"Sebentar lagi kita akan mati terbakar!"
Api terus melalap seluruh bangunan. Tubuh-tubuh
yang terbakar maupun yang pingsan akibat asap tebal semakin bertambah. Para
samurai yang ahli menghadapi pedang lawan tetapi tidak terbiasa berhadapan
dengan api tampak kebingungan. Sebagian menggeram
marah, sebagian yang lain menjerit putus asa. Mereka tiba-tiba berubah menjadi
binatang sekarat.
Di puncak kepanikan itu, tiba-tiba lantai di belakang
Imagawa berderak terbuka, dari dalamnya muncul Sa-
buro Mishima seperti iblis bangkit dari kubur. Samurai pengawal Imagawa segera
siap menyerang.
Saburo berseru, "Saya Saburo Mishima, panglima
Ashikaga, bila Yang Mulia Imagawa berkenan, saya
akan memandu untuk menyelamatkan diri."
"Engkau Saburo...?"
"Benar, Yang Mulia."
Tanpa banyak bicara, Imagawa bergegas mengikuti
Saburo. Mereka memasuki lorong bawah tanah yang
menghubungkan Istana Kamakura dengan Bukit Ama-
gi. Lorong itu demikian panjang dan berliku-liku, tetapi tak seorang pun
mengeluh. Dorongan untuk tetap hidup telah membangkitkan semangat mereka.
Imagawa sendiri, dalam seketika, seakan menyerahkan hidup-
nya pada Saburo Mishima. Ia berjalan bergegas di belakang Saburo, tanpa
kebimbangan sedikit pun. Ke-
munculan panglima Ashikaga di saat kritis telah meng-hapuskan keragu-raguan
Imagawa terhadap kemung-
kinan adanya maksud jahat lelaki tersebut.
Tanah di dalam terowongan itu licin dan berlumpur, dindingnya basah akibat air
yang merembes dari atas.
Keadaannya gelap gulita. Tetapi mereka tak peduli. Mereka terus berjalan
menyusuri lorong itu tanpa bicara.
Satu-satunya hal yang mereka pikirkan hanyalah lolos dari jebakan maut Nobunaga.
Atas perintah Saburo,
samurai yang berjalan paling belakang, disuruh menghancurkan tiang-tiang
penyangga lorong itu, sehingga setiap kali iring-iringan Imagawa telah berada
seratus meter di depan samurai tersebut, lorong tersebut runtuh. Langkah ini
dilakukan Saburo untuk menghindari kejaran pasukan Nobunaga.
Menjelang pagi hari, iring-iringan tersebut keluar dari lorong bawah tanah di
Bukit Amagi. Saburo segera memerintahkan para samurai Suruga menimbun lo-
rong tersebut. Setelah pekerjaan itu usai, mereka beristirahat. Beberapa orang
segera mencari buah-
buahan dan berburu binatang. Sebagian yang terluka, dibaringkan di tanah untuk
diobati. "Tempat ini dua belas mil jaraknya dari Kamakura,"
kata Saburo memberi penjelasan. "Kita sebaiknya memanfaatkan waktu yang ada
untuk beristirahat dan
mencari makanan untuk mengisi perut. Cepat atau
lambat, Oda Nobunaga pasti akan melakukan pengeja-
ran. Mereka membutuhkan waktu tiga sampai empat
jam untuk sampai di sini, kita punya waktu untuk memasuki hutan Amagi."
Imagawa yang masih kaget menghadapi kenyataan
yang baru saja dialami, beristirahat di tengah lingkaran para pengawalnya.
Perjalanan di bawah tanah sejauh dua belas mil telah membuat shogun tersebut
kehabisan tenaga. Ia berbaring di atas hamparan pa-
kaian para samurai yang ditumpuk menjadi bantal tipis bagi junjungan mereka.
Saburo menggunakan waktu untuk berjalan-jalan,
melihat keadaan samurai pengawal Imagawa. Dari dua ratus orang, kini pengawal
Imagawa kira-kira tinggal seratus tiga puluh orang. Hampir separuhnya menderi-ta
luka bakar. Ketika Saburo berjalan mendaki bukit, tiba-tiba seseorang memanggil namanya.
"Saburo!"
Saburo menoleh. Dalam keremangan kabut pagi, ia
melihat sesosok tubuh berlari mendekatinya.
Laki-laki tersebut menyapa, "Engkau lupa padaku?"
Saburo menunggu sampai laki-laki tersebut lebih
dekat. Ketika mereka sudah berhadapan satu sama
lain, senyum Saburo seketika merekah.
"Takeshi"!"
"Namaku sekarang Konishita."
"Kau masih hidup?"
"Seperti yang kaulihat."
"Apakah kau sudah mengabdi pada Yang Mulia Im-
agawa?" "Tidak."
"Bagaimana kau berada di antara mereka?"
"Aku memimpin rombongan penari dari Izu. Tak
pernah kubayangkan jahanam Oda Nobunaga berniat
menghabisi Imagawa."
"Kau menjadi pemimpin penari Izu?"
"Ya."
"Sejak kapan kau menjadi pengamen?"
"Sejak kekalahan kita tempo hari. Aku diselamatkan mereka."
"Itu alasanmu meninggalkan jalan samurai?"
"Tidak. Aku tidak meninggalkannya. Menjadi pe-
mimpin rombongan penari hanya salah satu jalanku
untuk mengamati keadaan. Aku terpaksa menyamar
untuk mengetahui seberapa besar kekuatan Nobunaga."
Saburo tersenyum bangga. Ia memeluk Takeshi de-
ngan tulus. Dua orang sahabat itu saling berpelukan.
Setelah itu mereka duduk di bawah pohon sambil berbincang-bincang.
"Aku mendengar engkau berhasil menyelamatkan
Tuanku Natane Yoshioka," kata Takeshi antusias.
"Ya."
"Di mana dia sekarang?"
"Mengembara."
"Mengembara" Apa maksudmu?"
"Aku tidak bisa mendampinginya terus menerus ka-
rena Nobunaga mengeluarkan perintah penangkapan
terhadapku. Mereka tahu aku selalu bersama Yoshi-
oka. Ini sangat berbahaya, karena itu dia kusuruh menjalani hidup sendiri."
"Kau membiarkan dia menghadapi ratusan samurai
yang mengejarnya seorang diri?"
"Ya."
"Sama saja kau membunuhnya."
"Kurasa tidak. Justru karena sendiri dia akan terlepas dari perhatian para
samurai Nobunaga. Kau tahu, dia tak lebih anak kecil biasa."
Takeshi menghela napas panjang. Ia mengerti jalan
pikiran Saburo.
"Aku ingin mendengar perjalananmu dengan Tuan-
ku Yoshioka," kata Takeshi bersemangat. "Terus te-
rang, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalian dapat lolos dalam pengepungan
itu." "Ceritanya panjang."
"Aku mau mendengarkannya. Biarpun harus se-
minggu penuh duduk di sini...."
Saburo tersenyum. Kemudian dengan panjang lebar
ia menceritakan perjalanannya dengan Yoshioka dan
Kojiro. Takeshi mendengarkan dengan penuh perhatian.
Dengan tulus Saburo menceritakan kesulitan-kesulitan yang ia hadapi, terutama
karena Oda Nobunaga terus memburunya. Apa yang diceritakan oleh Saburo mengetuk
hati Takeshi. Lelaki itu menaruh hormat atas kesetiaan serta pengabdian Saburo
pada junjungannya.
"Aku benar-benar tersentuh," kata Takeshi ketika
Saburo mengakhiri ceritanya. "Tuanku Ashikaga tidak keliru mempercayakan
putranya ke tanganmu."
Matahari merah di kaki langit, cahayanya menera-
ngi jagat raya. Bukit itu perlahan-lahan menampilkan panorama yang indah. Kabut
pagi yang mulai menghilang, digantikan pemandangan yang mempesona. Un-
ggas dan burung mulai berkicau.
Beberapa samurai telah kembali dari berburu, me-
reka membawa kelelawar, ayam hutan, tupai, dan babi hutan. Wajah mereka tampak
berseri-seri. "Bagaimana dengan dirimu?" Saburo bertanya.
"Panjang juga ceritanya."
"Aku bersedia mendengarkannya, meskipun harus
seminggu duduk di sini...."
Takeshi tersenyum. Ketika ia akan memulai berceri-
ta, tiba-tiba seorang gadis penari memanggil namanya.
Takeshi menoleh, ia melihat Mayumi berdiri di dekat mereka.
"Saburo," Takeshi berkata. "Aku ingin memperke-
nalkan dirimu dengan penariku, Mayumi."
Saburo segera berdiri untuk memperkenalkan diri.
"Nama saya Saburo Mishima, teman Takeshi."
"Saya Mayumi."
"Senang berkenalan dengan Anda."
"Saya yang harusnya mengatakan hal itu. Dulu Ta-
keshi sering menceritakan mengenai temannya, pang-
lima perang Ashikaga."
"Takeshi selalu berlebih-lebihan."
"Malam tadi saya melihat bukti kehebatan Anda."
Saburo membungkukkan badan dengan hormat,
"Terima kasih atas pujian Anda."
Mayumi tersenyum.
Takeshi bertanya, "Ada apa, Mayumi?"
Gadis itu menjawab, "Makanan sudah saya sedia-
kan." *** Di Istana Kamakura, api masih menyala, membakar
seluruh bangunan ruang perjamuan. Asap membu-
bung ke langit ditingkahi suara berderak-derak dari tiang-tiang kayu yang patah.
Kemudian dibarengi suara gemuruh, bangunan tersebut ambruk menghempas
ke bumi. Arang-arang membara bertebaran ke mana-


Shugyosa Samurai Pengembara 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana. Gumpalan api menggelegak seperti lava gunung berapi.
Nobunaga menatap reruntuhan puing bangunan
tersebut dengan puas. Ia tak membayangkan seluruh
rencananya berjalan dengan mulus. Tadinya ia me-
ngira para prajurit Imagawa akan berhasil menjebol dinding bangunan itu sehingga
ia harus mengerahkan pasukan panah untuk menumpasnya. Ternyata tidak.
Semua pasukan Imagawa tertumpas hanya dengan se-
kali gebrakan. Barangkali mereka terlalu banyak minum sake hingga mabuk. Terbukti tak seorang
pun berhasil meloloskan diri. Benar-benar bodoh!
Saat Nobunaga menyaksikan lidah api menjilat-jilat angkasa, Naoko berjalan
mendekatinya. "Sekarang saatnya engkau memerintahkan pasukan
untuk melakukan penaklukan di Suruga. Sebelum me-
reka mendengar berita tentang peristiwa ini, sebaiknya kita telah mengirimkan
paling tidak tiga ribu samurai ke wilayah Suruga. Jangan terlambat!"
"Kalau begitu, panggil Konishiwa kemari."
Seorang pengawal segera memanggil Konishiwa. Ke-
tika lelaki tersebut muncul, Nobunaga segera memberikan perintah.
"Bawa tiga ribu samurai untuk menaklukkan Suru-
ga. Apabila tidak ada perlawanan, segera duduki Istana Suruga. Tetapi bila
Mayeda Toyotomi tak mau me-
nyerahkan istana, kau kuberi kebebasan untuk me-
menggal kepalanya."
"Baik, Tuanku."
"Semua harus dilakukan sebelum orang-orang Su-
ruga mendengar berita kebakaran ini hingga mereka
memiliki kesempatan mempersiapkan diri."
"Baik, Tuanku."
"Berangkatlah sekarang. Jangan sampai terlambat."
"Baik, Tuanku."
Konishiwa segera memerintahkan membunyikan te-
rompet untuk mengumpulkan tiga ribu samurai. Ke-
tika matahari mulai merambat ke langit, tiga ribu samurai di bawah pimpinan
Konishiwa menderap ke
arah Suruga. *** Orang-orang di Kamakura masih membicarakan ten-
tang kebakaran yang terjadi di bagian dalam istana.
Desas-desus segera tersebar bahwa kebakaran itu
memang disengaja, suatu tindakan militer Oda Nobu-
naga untuk melenyapkan Imagawa. Orang-orang mem-
bicarakan secara sembunyi-sembunyi.
"Saya menganggapnya sangat jahat," kata seorang
pedagang yang sesungguhnya membenci Nobunaga.
"Serendah-rendahnya Ashikaga, dia tidak akan pernah melakukan perbuatan busuk
seperti itu."
"Saya pun tidak menduganya. Oda Nobunaga ter-
nyata sangat lalim. Dia mau melakukan kekejaman
apa pun demi kemenangan."
"Dia memang bukan samurai sejati."
"Kehebatannya adalah kejahatannya."
"Kalau putra Ashikaga masih hidup, aku akan meng-
abdi padanya."
Kojiro yang mendengar perbincangan itu seketika
menoleh. Dia melihat empat penduduk bukan samurai.
Mereka masih membicarakan soal pembantaian itu
sambil minum sake.
Saat itu Kojiro melihat kaum samurai yang selama
ini tinggal di luar benteng dan berkeliaran di lorong ko-ta, kini terlihat
berjalan bergegas menuju benteng. Tiga atau empat kurir memacu kudanya untuk me-
nyampaikan perintah Nobunaga. Persiapan-persiapan
tampaknya sedang dilakukan.
Bapa Lao yang sedari tadi memperhatikan kesibu-
kan di jalan di depannya, berkata seakan pada diri sendiri, tetapi ditujukan
pada Kojiro. "Engkau melihat kesibukan para samurai itu?"
"Ya, Bapa."
"Oda Nobunaga sedang melanjutkan rencananya.
Kurasa setelah melakukan pembantaian itu, dia akan mengerahkan pasukannya menuju
ke Suruga. Dia akan menaklukkannya. Jadi benar seperti sangkaan
banyak orang, sesungguhnya Nobunaga memang telah
merencanakan pembantaian itu. Sungguh tidak terhormat. Kalau seorang shogun
dapat melakukan kekeja-
man tanpa rasa hormat pada musuhnya, ia tidak akan bertahan lama. Rakyat pasti
akan memusuhinya. Dia
hanya ditakuti, tetapi tidak dihormati."
"Apa bedanya?"
"Jelas sangat berbeda. Pemimpin yang ditakuti tidak pernah memperoleh kesetiaan
pasukannya. Para prajuritnya berperang untuknya semata-mata karena rasa takut,
tetapi bukan karena kesetiaannya. Nobunaga
seorang pemimpin yang bodoh."
"Tetapi buat dia apa bedanya?"
"Buat dia memang tidak ada bedanya. Tapi ketika
suatu saat pasukannya lemah, dia akan memahami
perbedaannya."
Kojiro menatap Bapa Lao, ia mencoba memahami
ucapan pendeta itu. Tapi sulit.
"Menurut Bapa, Oda Nobunaga akan mengerahkan
tentara untuk menyerang Suruga?"
"Ya. Secepatnya."
"Kapan?"
"Kalau bisa hari ini mereka berangkat."
"Lantas apa yang harus kita lakukan?"
"Tidak ada."
"Kita tetap di sini sebagai penonton?"
"Tidak bisa lain. Kecuali itu aku belum melihat saat yang tepat untuk melakukan
sesuatu." "Kenapa kita tidak mendahului mereka ke Suruga
untuk memberitahukan rencana penyerangan ini?"
"Untuk apa" Kita toh belum tahu berapa besar ke-
kuatan yang dikerahkan Konishiwa, dan kita juga tidak tahu berapa kekuatan
prajurit Suruga. Lebih baik kita duduk di sini sambil menyaksikan mereka saling
bunuh." "Kalau aku bisa lebih cepat sampai di Suruga, pa-
ling tidak mereka akan mempersiapkan pasukan un-
tuk menyambut serbuan Konishiwa."
"Tidak ada orang yang akan mempercayai bualan
anak kecil bernama Koyama."
Kojiro membanting topinya ke tanah. "Sial! Koyama
sial!" Bapa Lao hanya tersenyum menyeringai.
"Koyama," kata Bapa Lao. "Kau harus lebih sabar.
Jangan mudah terpancing atau terburu nafsu. Tidak
ada sesuatu yang akan berhasil baik bila dilakukan secara terburu nafsu. Seorang
jenderal harus menga-nalisis keadaan secara tepat, lalu membuat rencana-rencana.
Tanpa itu dia akan kalah di setiap peperangan. Tak ada gunanya bertindak cepat,
tetapi keliru."
"Setelah pembakaran itu, kita akan tetap diam saja melihat pasukan Nobunaga
membantai orang-orang
Suruga?" kata Kojiro uring-uringan. "Aku benar-benar tidak mengerti."
"Itu sebabnya kau harus banyak belajar. Kali ini
tampaknya Oda Nobunaga salah perhitungan."
"Maksud Bapa?"
"Kita buktikan saja kata-kataku. Nanti kau akan
tahu sendiri."
*** PENGKHIANAT DAN PENYERBU
REMBULAN berlayar di langit. Malam seperti selimut hitam. Di ruang tengah Puri
Tazumi, Mayeda Toyotomi duduk membisu di depan mata-mata yang baru kembali dari
Owari. Seluruh rencananya berantakan. Apa yang semula dipikirkan sederhana,
ternyata tidak demikian jadinya. Rencana penyergapan terhadap Im-
agawa tak dapat dilaksanakan karena ia telah didahului Oda Nobunaga.
Mata-mata yang menyusup ke Kamakura melapor.
"Shogun Nobunaga membuat perangkap Tuanku Im-
agawa. Lalu kini dia memerintahkan Konishiwa me-
mimpin tiga ribu prajurit untuk menaklukkan Suruga.
Mereka berangkat menjelang fajar untuk memaklu-
matkan kekuasaan Nobunaga atas wilayah Suruga."
"Nobunaga adalah seekor serigala lapar yang melu-
pakan perangkap pemburu," kata Mayeda dalam nada
marah. "Bagaimana sekarang kehendak Tuanku?"
"Kita akan sambut kedatangan mereka dengan pe-
rang habis-habisan."
"Di mana kita akan menghadapi mereka?"
"Kita akan menunggu kedatangan mereka di perba-
tasan Sofu. Aku tahu bagaimana menghadapi mereka.
Sekarang juga kalian kutugaskan untuk memberitahu
penguasa benteng Sofu, Natsuko, dan Kiyoe Yamasuki, untuk menghimpun kekuatan
sebanyak-banyaknya
untuk mengepung pasukan Konishiwa. Kita akan beri
mereka pelajaran berharga agar tidak sombong dan
tamak." "Baiklah kalau begitu, biar sekarang juga hamba
bergerak."
"Pesanku, katakan pada Natsuko dan Yamasuki un-
tuk bergerak secara diam-diam. Jangan sampai mena-
rik perhatian musuh."
"Baik."
Kedua mata-mata itu segera meninggalkan puri. Ta-
zumi yang sedari tadi mendengarkan perbincangan itu segera mendekati Mayeda.
Tazumi tersenyum puas. Dengan lembut ia meng-
ulurkan tangan untuk meremas pangkal paha Mayeda
Toyotomi. Tetapi lelaki itu menangkap pergelangan tangannya.
"Jangan sekarang," kata Mayeda. "Jangan mengoto-
ri niat suciku untuk berperang."
*** Konishiwa duduk di atas pelana kuda dengan sema-
ngat berkobar-kobar. Selama ini ia merasa selalu gagal menjalankan tugas dengan
baik. Semenjak ia mengabdi pada Oda Nobunaga, selalu mengalami kegagalan dalam
melaksanakan tugas. Kegagalan memenggal kepala Saburo, membuat Nobunaga menjaga
jarak. De- mikian pula ketika mengepung kuil untuk menangkap
Yoshioka. Sejak itu Nobunaga lebih banyak memberi-
kan perintah pada Hosokawa. Sesungguhnya, semua
itu menyakiti hati Konishiwa. Diam-diam ia menunggu kesempatan untuk membuktikan
kesetiaannya. Dengan menahan perasaan, ia seperti seekor macan,
mengendap untuk menerkam kesempatan.
Maka ketika Nobunaga memerintahkan dirinya be-
rangkat ke Suruga dalam misi penaklukan, Konishiwa bersorak dalam hati. Ia
merasa memperoleh kesempatan untuk membuktikan kehebatannya. Padahal ia
tersenyum dalam hati, penaklukan yang akan ia laksanakan, tak lebih
penandatanganan akte penaklukan be-
laka. Tidak akan ada perang. Kematian Imagawa akan membuat orang Suruga
kehilangan pegangan, sehingga mudah ditekan.
Konishiwa membayangkan, sehabis penandatanga-
nan akte penaklukan wilayah Suruga, ia akan memin-
ta disediakan tiga atau empat gadis yang masih perawan untuk ia tiduri. Orang-
orang mengatakan, perempuan-perempuan Suruga pandai bercinta. Dan Koni-
shiwa, sudah berminggu-minggu tidak menggauli wa-
nita. Ia membayangkan gadis-gadis yang masih belia, merayap di kaki ranjangnya
tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Mereka berlutut gemetar, sementara
Konishiwa siap merajam mereka dengan leluasa.
Pasti akan menjadi pengalaman tak terlupakan.
Tiga ribu samurai prajurit berderap di belakangnya.
Suara ribuan kaki menderap di tanah, ditingkah gemerincing pedang serta tombak,
membuat arak-arakan
pasukan Konishiwa tampak megah dan menggetarkan.
Bendera-bendera warna perak dengan lambang Nobu-
naga, berkibar-kibar ditiup angin. Semua prajurit Konishiwa tampak berseri-seri,
mereka seakan telah menggenggam kemenangan di tangannya.
Ketika pasukan Owari mendekati perbatasan Suru-
ga, seorang mata-mata berlari menemui Konishiwa.
"Apa yang kaulihat di sana?" Konishiwa bertanya.
"Tidak sesuatu pun, Tuanku."
"Nah, benar kataku, bukan" Mereka akan menye-
rahkan Suruga dengan senang hati. Kelihatannya kita akan memperoleh sambutan
yang menyenangkan."
"Tadi pagi ketika hamba lewat Sofu, memang hamba
lihat ada kegiatan. Tetapi hanya kecil-kecilan. Hamba tidak tahu apakah itu
persiapan perang atau hanya sekadar latihan biasa."
"Apabila mereka melihat kedatangan tiga ribu tentaraku, aku yakin mereka akan
segera meletakkan senja-ta. Jadi tak perlu takut. Kita akan terus menuju Istana
Suruga." Meskipun pasukannya sudah lelah, namun karena
Konishiwa menganggap tak akan mendapat perlawa-
nan, ia memerintahkan tentaranya terus memasuki wilayah Suruga. Sebenarnya
sesudah berjalan tanpa istirahat selama dua hari, para prajurit merasa letih.
Mereka akhirnya berjalan hanya dengan mengandalkan
naluri. Mereka melangkah terseok-seok tanpa memperta-
hankan barisan. Beberapa samurai bahkan menum-
pang gerobak yang kebetulan lewat. Langkah kaki terasa berat, lebih-lebih bagi
prajurit yang memakai pakaian jirah. Mereka berjalan seperti kuda yang membawa
beban terlampau berat. Terseok-seok.
Konishiwa sendiri duduk di atas punggung kuda de-
ngan letih. Hanya karena pakaiannya yang terbuat dari besi membuat lelaki
tersebut tetap duduk tegak. Namun bila diperhatikan, gerak tubuhnya semata-mata
mengikuti ayunan angin.
Di tengah keletihan itu, tiba-tiba terdengar teriakan,
"Seraaang!"
Prajurit Konishiwa tak dapat memahami keadaan di
sekitarnya. Tiba-tiba mereka dihadapkan serangan
mendadak dari segala penjuru. Prajurit Suruga ru-
panya telah menunggu kehadiran mereka dari tempat-
tempat persembunyian. Dengan jerit lengking memba-
hana, ribuan prajurit di bawah komando Mayeda To-
yotomi mulai menyerbu. Anak panah menghujani pa-
sukan Konishiwa, terdengar jerit kematian diikuti rin-tih kesakitan yang tak
terperikan. Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba dari lubang-lubang
persembunyian di bawah tanah, berloncatan prajurit Suruga. Dalam sekejap terjadi
pertempuran hebat. Udara menjadi anyir darah ketika tangan dan kaki beterbangan
tertebas pedang. Prajurit Nobunaga yang tak menduga bakal
memperoleh serangan tersebut, jadi panik. Mereka tak dapat menguasai keadaan
ketika serbuan seperti air
bah menggelora. Satu per satu mereka tumbang ke tanah dengan tubuh terbelah.
Keletihan dalam perjalanan menyebabkan mereka tak mampu menandingi ke-
hebatan orang-orang Suruga.


Shugyosa Samurai Pengembara 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Konishiwa mencoba memberikan komando, tetapi
suaranya tertelan jerit kematian di sekitarnya. Dengan sisa tenaganya ia
mencabut pedang, tetapi pada saat itu sebuah tombak menghunjam bahunya.
"Bedebah!" jerit Konishiwa marah. Dengan sekuat
tenaga ia mencabut tombak yang menancap di ba-
hunya, kemudian sambil mengayun-ayunkan pedang-
nya ia menyerbu musuh.
Prajurit yang tadi melempar tombak, segera menca-
but pedang untuk menyambut serangan Konishiwa.
Terdengar suara gemerincing pedang mereka beradu.
Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, Konishiwa menerjang kembali. Dengan sebuah
tebasan menyilang, Ko-
nishiwa membabat musuhnya, terdengar lengkingan
pendek ketika urat leher prajurit Suruga itu menyem-burkan darah segar. Ia roboh
dengan kepala copot dari tubuhnya.
Darah terus mengucur di bahunya. Pakaiannya
menjadi lengket. Demikian pula genggaman tangannya.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Konishi-
wa mencoba tetap tegak di atas punggung kuda.
"Konishiwa!" tiba-tiba terdengar suara nyaring di
antara suara gemerincing pedang. Panglima perang
Nobunaga itu menoleh ke arah suara itu berasal. Di sana ia melihat Mayeda
Toyotomi duduk di atas punggung kuda lengkap dengan pakaian jirahnya. Laki-laki
itu mengacungkan pedang ke arah Konishiwa. "Saya
Mayeda Toyotomi, panglima perang Suruga. Saya me-
nantang Anda untuk bertarung sampai mati!"
Mayeda menggebrak punggung kudanya, kemudian
seperti badai, ia bergerak menyerbu Konishiwa.
"Saya panglima perang Yang Mulia Nobunaga akan
memenggal kepalamu!"
Dalam hitungan detik pertarungan antara dua pang-
lima perang itu pun terjadi. Tebasan demi tebasan, ayunan demi ayunan, suara
pedang gemerincing hingga
menimbulkan pijar api. Meskipun telah terluka, tetapi Konishiwa adalah ahli
pedang yang hebat. Ia dapat
mengimbangi permainan pedang Mayeda dengan baik.
Mayeda memegang hulu pedang dengan kedua ta-
ngannya, kemudian sambil menggeram ia menyerbu.
Sabetan pedangnya demikian kuat hingga membuat ta-
ngan Konishiwa bergetar. Tetapi dengan cepat, Konishiwa menebas dada musuhnya.
Mayeda terperanjat
mendapat serangan itu, ia meloncat ke belakang. Tapi terlambat. Dadanya
terlanjur kena sabetan pedang Konishiwa. Luka menganga sepanjang sejengkal dan
me- ngucurkan darah. Mereka kembali bertarung. Suara
pedang gemerincing, ditingkah desis serta hardikan ketika kedua musuh itu beradu
kekuatan. Namun lama-
kelamaan, tampak keletihan mengganggu konsentrasi
Konishiwa. Laki-laki itu kadang-kadang terlihat goyah sambil menebaskan pedang
dengan membabi buta.
Melihat musuhnya mulai goyah, Mayeda meningkat-
kan serangannya. Ia memaksakan serangan jarak de-
kat. Mereka saling menebas, menikam, dan mengayun
pedang. Suara pedang beradu dengan hebat. Angin tebasan mendesis berbau maut.
Mereka terus bertem-
pur, sementara di sekitarnya ribuan samurai menya-
bung nyawa. Tetapi dengan selintas memandang, terlihat siapa yang lebih unggul.
Pasukan Nobunaga tam-
pak kocar-kacir. Mereka bergelimpangan dengan luka mengucurkan darah.
Karena terdesak, Konishiwa mencoba menyela-
matkan tentaranya. Ia memacu kudanya ke tempat
yang tinggi. "Munduurr!" teriaknya lantang sambil menebaskan
pedangnya ke kanan ke kiri. "Munduuurr!"
Pada saat itu, Mayeda menerjang dengan kudanya.
Konishiwa yang tidak menduga serangan itu, terjungkal dari kudanya. Tubuhnya
berguling-guling di tanah.
Mayeda segera melompat menerjang. Pada saat Koni-
shiwa masih belum pulih kesadarannya, Mayeda telah sampai di dekatnya. Lelaki
itu menjambak rambut Konishiwa kemudian menebaskan pedang tepat di leher-
nya. Mayeda segera berdiri tegak di atas ketinggian. Tangan kanannya masih
menggenggam pedang yang ber-
lumur darah, sementara tangan kirinya memegang ke-
pala Konishiwa yang masih mengucur kan darah.
"Kita menang!" teriak Mayeda Toyotomi lantang.
"Aku telah memenggal kepala Konishiwa!"
Seruan itu disambut pasukannya, "Kita menang!"
"Konishiwa terbunuh!"
"Kepala Konishiwa telah dipenggal!"
Seruan itu saling bersambut. Dan pengaruhnya de-
mikian luar biasa. Hanya dalam beberapa menit, seluruh pasukan Nobunaga
meletakkan senjata. Prajurit
yang masih hidup memilih menyerah karena tak lagi
memiliki pemimpin. Beberapa di antaranya memilih
melakukan seppuku (membelah perutnya sendiri).
Mayeda Toyotomi naik kembali ke punggung kuda-
nya. Ia mengangkat tinggi-tinggi kepala Konishiwa
sambil meminta seluruh pasukan Nobunaga meletak-
kan senjata. *** Malam hari. Di perkemahan Mayeda Toyotomi. Di te-
ngah hujan deras yang mengguyur sejak sore hari,
Mayeda memanggil Mariko Watanabe, orang keperca-
yaannya. "Aku tidak pernah menduga kita akan berhasil me-
raih kemenangan dengan mudah," kata Mayeda de-
ngan senyum menyungging di bibirnya.
"Benar, Tuanku."
"Ini adalah kemenangan pertama yang berhasil kita
raih. Mudah-mudahan menjadi pertanda baik untuk
kita." "Menurut kepercayaan memang demikian."
Mayeda melihat dari lubang jendela kemah, air hu-
jan seperti sisir kaca yang gemerlap. Namun demikian di luar masih tampak para
prajuritnya melakukan kesibukan seperti biasa. Ada yang sedang membersihkan
kandang kuda, ada pula yang sedang menyanyi bersama teman-temannya.
"Aku ingin kemenangan ini menjadi peringatan pada
Oda Nobunaga, agar dia tidak mencoba-coba menye-
rang Suruga," kata Mayeda tegas. "Karena itu aku ingin meminta dirimu untuk
mengirimkan bingkisan pa-
da Nobunaga."
"Apa yang harus saya bawa, Tuanku?"
"Kepala Konishiwa."
"Apakah sekarang juga hamba harus berangkat?"
"Tidak, tetapi paling tidak, besok kau harus sudah berangkat. Aku tidak mau Oda
Nobunaga menerima
kirimanku yang sudah membusuk. Biarkan dia tahu
secepat ia kobarkan peperangan, secepat itu pula kita akan mengalahkannya."
*** SEBUAH PERSEKUTUAN
Di tengah tanah datar yang berada di lembah Amagi, persis di tepi sungai Kwasu,
Imagawa tengah berbin-
cang-bincang dengan Saburo Mishima. Sejak penyela-
matan dari perangkap Nobunaga, Imagawa menaruh
kepercayaan yang sangat besar pada Saburo. Lebih-
lebih ketika panglima Ashikaga itu menceritakan rencana pengkhianatan Mayeda
Toyotomi. Mereka sengaja berjalan-jalan di tepi sungai, se-
hingga tak seorang pun dapat mendengar pembicaraan mereka.
"Jadi menurut informasi yang berhasil kaukumpul-
kan, saat ini Mayeda tengah merencanakan menggu-
lingkan kedudukanku?"
"Demikianlah keyakinan saya."
"Kalau benar seperti yang kaukatakan, apa sebe-
narnya alasannya" Selama ini aku telah memberikan
kepercayaan penuh padanya. Bahkan kuberikan ru-
mah kediaman di lingkungan istana, serta gaji sebesar sepuluh ribu kan. Apalagi
yang mendorong dia ingin menyingkirkan diriku?"
"Pikiran orang seperti bentuk awan di langit, sukar ditebak wujudnya. Hingga
kini, tidak seorang pun mengetahui kenapa dia berbuat begitu. Tetapi menurut
berita yang berhasil saya kumpulkan, pengkhianatan Mayeda didorong oleh bekas
istri ayah Anda."
"Bekas istri ayahku?"
"Benar."
"Ayahku mempunyai istri dua puluh jumlahnya."
"Tazumi."
"Tazumi" Bagaimana kau dapat mengatakan hal
itu?" "Sudah lama terjalin hubungan asmara antara Ta-
zumi dengan Mayeda...."
"Aku sukar mempercayainya."
"Kebenaran kadang memang sukar dipercaya."
"Aku telah memberinya puri di pinggir kota, kehi-
dupan yang serba kecukupan, serta menempatkannya
sebagai wanita yang harus kuhormati. Bagaimana dia menginginkan kepalaku?"
"Dia tidak merasa puas dengan perlakuan Anda pa-
danya. Kecuali itu dia ingin berkuasa."
"Benar-benar tidak bisa dimengerti. Bagaimana dia
dapat berpikir sepicik itu?"
"Itulah salah satu watak manusia."
"Kalau begitu apa yang harus kulakukan?"
"Bersabarlah. Pada saat ini kita belum sepenuhnya
mengetahui siapa lawan dan siapa kawan. Tuanku be-
rada di tengah orang yang tidak diketahui isi hatinya.
Kalau benar Mayeda telah menyusupkan pengikutnya
dalam pasukan pengawal Anda, tak seorang pun dapat menduga siapa dia kecuali
kita membuktikannya."
"Caranya?"
"Anda harus bicara secara terbuka pada mereka.
Hanya ketulusan hati Anda yang akan mampu mem-
buka mata hati mereka."
"Kukira usulmu sangat baik dan sesuai dengan pe-
mikiranku. Terus terang, aku tidak menyukai darah, jadi kalau mereka bisa
kululuhkan hatinya, aku lebih suka melakukannya."
"Siang hari ini, seusai makan, kita adakan perte-
muan itu."
Seratus lima belas orang duduk di tanah datar itu
pada siang hari seusai makan. Mereka berkumpul un-
tuk mendengarkan pidato Imagawa. Semua duduk
sambil memegang pedang masing-masing.
"Hari ini kita berkumpul di sini untuk membicara-
kan langkah selanjutnya," Imagawa memulai. "Tidak
seorang pun dapat membayangkan, bahwa kita masih
hidup setelah jebakan maut itu. Keberhasilan melo-
loskan diri ini tentu karena pertolongan Dewa. Kemunculan Saburo menjadi bagian
rencana para Dewa. Ka-
rena itu kita harus mengucapkan syukur atas penye-
lamatan ini."
Semua orang diam, mereka merenungkan kata-kata
junjungannya. Semua orang tak ingin kehilangan satu patah kata pun.
"Sekarang sesudah selamat dari pembantaian, se-
harusnya kita cepat-cepat kembali ke Suruga untuk
menghimpun kekuatan. Tetapi nyatanya, sampai saat
ini saya tak pernah memberikan perintah untuk kem-
bali. Kenapa" Tentu ada sebabnya. Kita sekarang berada di tengah kepungan musuh.
Nobunaga di bela-
kang, Tokugawa di samping kanan, dan Mayeda Toyo-
tomi menghadang di depan."
Beberapa orang terperanjat mendengar pidato itu.
Terutama ketika Imagawa menyebut nama Mayeda
Toyotomi. "Menurut informasi yang kudengar, pada waktu kita
berangkat menuju Kamakura, sesungguhnya Mayeda
Toyotomi merencanakan niat jahat untuk menyer-
gapku. Dia telah mengirimkan sejumlah samurai un-
tuk memasuki Kamakura jauh sebelum kedatanganku.
Bahkan menurut kabar, Mayeda telah menyusupkan
pengikutnya ke dalam pasukan pengawalku. Tentu sa-
ja aku tidak akan mempercayai begitu saja informasi ini."
Imagawa berhenti bicara. Ia menatap para samurai
di depannya. Beberapa samurai tampak saling me-
mandang. "Kalian sudah mengetahui watakku," lanjut Imaga-
wa lagi. "Aku tidak menyukai pertumpahan darah. Aku pun tidak menyukai
pembalasan dendam. Satu-satunya keinginanku hanyalah hidup tentram bersama
keluarga dan di tengah sahabat-sahabat setia. Itu sebabnya, aku selama ini
membebaskan Mayeda untuk
mengurus pemerintahan di Suruga. Sejarah negeri kita yang penuh kekejaman, ingin
segera kutinggalkan. Ki-
ta kemudian masuk ke zaman kedamaian, di mana
anak dan cucu kita bisa hidup bahagia tanpa dihantui perasaan takut terhadap
serangan musuh. Apa artinya kehidupan apabila setiap saat kita harus merasa was-
was, cemas, atau ketakutan akibat memiliki banyak
musuh" Apa artinya kehidupan tanpa kedamaian"
Apabila kita hanya menurutkan hawa nafsu, perang
akan terjadi, dan bukan hanya kita yang memperta-
ruhkan nyawa, tetapi anak cucu kita, istri kita, anak perempuan kita, bahkan
orang-orang tua kita yang
sudah tua. Tegakah kita membiarkan mereka meratap
ketakutan atau mengalami perkosaan oleh musuh?"
Semua samurai di tempat itu tercekam oleh pidato
Imagawa. Meskipun ia bicara dengan nada halus, te-
tapi terasa menyentuh perasaan yang paling dalam.
"Sekarang aku ingin mengatakan pada kalian. Saat
ini, kita hanya berjumlah seratus tujuh belas orang.
Betapa tidak berartinya kekuatan ini bila harus menghadapi pasukan Nobunaga,
Tokugawa, atau bahkan
Mayeda. Mereka dapat menghimpun ribuan prajurit
untuk menghadang kita. Namun sebagai pemimpin,
apabila aku mendapatkan kesetiaan kalian, aku ber-
sumpah akan berusaha keluar dari kemelut ini. Aku
akan berupaya mempertemukan kalian dengan kelu-
arga kalian di Suruga. Karena meskipun aku yakin,
kalian telah dilepas oleh keluarga dengan ikhlas ketika harus berangkat
mengawalku, tetapi mereka akan lebih bahagia jika melihat kalian pulang."
Beberapa orang tersentuh oleh ucapan Imagawa,
dan mereka mulai menitikkan air mata. Secara tiba-
tiba mereka disergap kerinduan terhadap keluarga dan merasakan keluhuran budi
junjungannya.

Shugyosa Samurai Pengembara 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya tahu di antara kalian ada yang menjadi peng-
ikut Mayeda," lanjut Imagawa dengan suara lunak.
"Saya tak ingin menyeret kalian ke depanku untuk me-
nerima hukuman. Tetapi apabila kalian dapat melihat niat baikku untuk mendirikan
pemerintahan yang bersih dan damai, berilah aku kesempatan memimpin ka-
lian kembali ke Suruga. Kita akan hadapi bersama kesulitan atau pun prahara
dalam upaya untuk kembali, karena dengan cara itu kita saling membuktikan
kesetiaan satu dengan yang lain. Percayalah, dengan hati yang tulus, aku akan
setia pada rakyatku dibanding pada diriku sendiri...."
Tiba-tiba seorang samurai yang berusia sekitar em-
pat puluh tahun melangkah ke depan dan bersujud di depan Imagawa. Ia bicara
sambil menangis.
"Ampunilah hamba, Yang Mulia," kata samurai ter-
sebut sambil terisak-isak. "Hamba telah buta sehingga tak dapat membedakan
ketulusan hati dengan musli-hat. Hamba telah terhasut oleh bujukan Mayeda
Toyotomi sehingga bersedia menjalankan perintahnya."
"Bukankah engkau Koroku?"
"Benar, Yang Mulia."
"Apa perintah Mayeda?"
"Membunuh Yang Mulia."
"Oh, jadi benar informasi yang kuterima."
"Memang benar, Yang Mulia. Saya telah memimpin
dua puluh orang di dalam pasukan pengawal Yang
Mulia." "Siapakah mereka?"
"Sebagai seorang samurai, hamba tidak akan me-
langgar sumpah dengan mengatakan siapa mereka.
Apabila Yang Mulia tidak berkenan, izinkanlah hamba melakukan seppuku...."
Tiba-tiba sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dari tengah kerumunan pasukan
pengawal itu, tiga belas
samurai maju ke depan, mereka menggabungkan diri
dengan Koroku. Mereka bersujud sambil menyebutkan
nama masing-masing.
Koroku kaget melihat reaksi teman-temannya. Se-
mua anggota penyusup ternyata tampak bersujud.
Enam orang yang lainnya telah tewas dalam pemban-
taian di Kamakura.
"Apabila Tuanku memerintahkan kami seppuku,
sebagai penebusan dosa, kami siap untuk membelah
perut kami sebagai bukti penyesalan. Tetapi apabila Yang Mulia mengizinkan kami
kembali mengabdi, ma-ka terimalah sumpah setia kami untuk Yang Mulia Imagawa."
"Bukankah sudah kukatakan aku bukan seorang
pendendam?" kata Imagawa dengan suara mantap.
"Karena itu, sesuai sumpahku, kalian semua kumaaf-
kan dan kuterima sebagai abdiku."
Sambil bersujud serempak, keempat belas samurai
itu berkata, "Terima kasih, Yang Mulia."
"Namun karena kalian telah melakukan kesalahan,
aku wajib memberi hukuman, bukan?"
"Benar, Yang Mulia."
"Hukuman kalian harus dijalani sampai aku men-
cabutnya. Mulai hari ini kalian menjadi pasukan ter-depan dari tentaraku. Kalian
yang akan memimpinku
kembali ke Suruga."
*** Seusai pertemuan siang itu, Imagawa mengundang Sa-
buro Mishima ke gubuk persembunyiannya. Selama ini sudah terjalin persahabatan
yang sangat akrab antara keduanya. Imagawa masih ingat dengan jelas beberapa
tahun lalu Saburo telah memimpin pasukan Ashikaga
menyelamatkan wilayahnya. Sekarang, secara tak terduga, lelaki itu pun
meloloskan dirinya dari maut. Kenyataan ini membuat Imagawa menaruh hormat pada
Saburo. Mereka sering duduk sambil berbincang-bin-
cang tentang keadaan yang mereka hadapi. Imagawa
secara tidak langsung telah mengangkat Saburo sebagai penasihat militernya.
Apabila ada sesuatu yang akan ia lakukan, ia selalu terlebih dulu membicara-
kannya dengan panglima Ashikaga itu.
Saburo datang ke gubuk Imagawa begitu kurir me-
manggilnya. Ketika datang, Saburo melihat Imagawa
sedang duduk di dekat perapian sambil minum sake.
"Aku ingin minta pendapatmu mengenai rencanaku
mengirim orang ke Suruga," kata Imagawa tanpa tekanan. "Sebelum memutuskan untuk
kembali ke sana,
aku ingin mengetahui secara pasti keadaan Suruga.
Tetapi karena saat ini, menurut perkiraan kita, Mayeda Toyotomi telah mengambil
alih kekuasaan, tentu saja dia akan hati-hati menerima kurir yang kukirimkan.
Menurut pendapatmu, siapa orang yang paling tepat
kukirim ke sana?"
Saburo diam sejurus, lalu menjawab, "Koroku."
Imagawa terperanjat. "Koroku?"
"Benar, Yang Mulia. Dia saat ini telah menjadi pengikut paling setia. Sebagai
samurai sejati, Koroku tidak akan melanggar sumpahnya. Karena pengingkaran
sumpah hanya akan membuat ia tercemar."
"Tetapi apakah tidak berbahaya mengirim dia men-
jumpai Mayeda?"
"Justru sebaliknya. Koroku akan menjadi mata-
mata terbaik yang kita miliki."
"Baiklah kalau begitu, aku akan mengirimnya ke
Suruga." Saburo membungkukkan badan untuk mohon diri,
tetapi Imagawa berkata, "Satu hal lagi, Saburo."
"Ya, Yang Mulia."
"Di mana sekarang putra Ashikaga?"
"Dia berada di Kamakura."
"Di Kamakura?"
"Benar, Yang Mulia."
"Kau tidak sedang berolok-olok?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Bukankah pemburu tidak akan menangkap bina-
tang di kandangnya sendiri?"
Imagawa menahan napas, lalu tersenyum. Menurut
pikirannya, Saburo Mishima memang seorang penga-
tur taktik yang jempolan.
*** BINGKISAN BERHARGA
NOBUNAGA berdiri merapat di dinding, sementara Na-
oko terus menciumi tubuhnya. Lelaki itu mendesah
nikmat. Ia menyukai permainan baru kekasihnya. Kini Naoko selalu menggumulinya
sambil berdiri. Caranya mencumbu memberikan sensasi baru. Ketika Naoko
mempermainkan lidahnya, Nobunaga merasakan selu-
ruh tubuhnya mengejang, seakan ada sesuatu yang
akan meledak di dalam dirinya.
Dengan penuh perasaan, Naoko menciumi dada No-
bunaga. Menggigit dada lelaki itu hingga lelaki tersebut mendesis. Lalu pelan-
pelan ia bergerak ke bawah, dengan gaya menakjubkan wanita tersebut terus
merang-sang kekasihnya.
"Oh, nikmat sekali," desis Nobunaga sambil meme-
gang kepala Naoko, lalu menekannya rapat ke tubuh-
nya. Naoko justru menarik kepalanya. Seketika Nobuna-
ga mendesis. "Oh, Naoko, jangan membuatku tersiksa."
"Engkau diam. Nikmati saja."
Kemudian dengan agresif Naoko mulai mencumbu
lagi. Kian lama kian cepat. Seperti botol yang tersum-
bat, Nobunaga merasakan seluruh jaringan tubuhnya
akan membunuh. Rasa nikmat yang luar biasa akhir-
nya meledak juga dari dalam dirinya. Tangannya masih mencengkeram kepala Naoko,
menekannya rapat ke
tubuhnya, ia membiarkan rasa nikmat itu mengalir
kemudian luruh dalam keletihan yang melumpuhkan
kekuatan dirinya.
Pada saat itu terdengar suara pengawal dari luar
kamarnya, "Yang Mulia Nobunaga, hamba mohon am-
pun terpaksa mengganggu."
"Bangsat!" desis Nobunaga geram. Ia belum puas
merasakan kenikmatan yang baru saja terjadi.
"Yang Mulia...."
"Apa tidak bisa ditunda?"
"Ampun, Yang Mulia, ini berita dari Suruga...."
Nobunaga langsung mendorong Naoko, kemudian
seperti seekor kadal raksasa, ia berjalan untuk mengambil kimononya. Masih
dengan marah, ia menuju
pintu. Dengan kasar pintu zoji itu digeser hingga terbuka.
"Ada apa?" suaranya mengguntur.
Pengawal itu bersujud, tak berani mengangkat ke-
palanya. "Hamba mohon ampun, Yang Mulia," kata pengawal
tersebut masih dengan bersujud. "Ada bingkisan dari Suruga."
"Mana?"
Dengan gemetar pengawal itu mengangkat kotak.
"Apa isinya?"
"Hamba tidak tahu, Yang Mulia. Hamba tidak bera-
ni membukanya."
Nobunaga masih dengan rasa kesal membuka kotak
itu, seketika wajahnya pucat ketika melihat biji mata Konishiwa melotot
menatapnya. Dengan tangan kanannya ia melempar kotak itu sehingga kepala
Konishiwa terlempar keluar. Seketika dayang-dayang di sekitar tempat itu menjerit dengan
suara tercekik.
"Di mana Hosokawa?"
"Beliau sedang melatih ilmu pedang di dojo."
"Suruh dia kemari. Cepat!"
Pengawal itu bergegas pergi.
Nobunaga berbalik ke kamarnya. Saat itu Naoko
yang baru selesai berpakaian muncul setelah mende-
ngar jeritan para dayang-dayangnya.
Naoko bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Mayeda Toyotomi mengirimkan kepala Konishiwa."
"Oh!"
"Dia telah menantangku."
"Lalu apa yang akan engkau lakukan?"
"Akan kuperintahkan sepuluh ribu prajurit untuk
menaklukkannya."
Hosokawa muncul di depan pintu. Lelaki tersebut
bersujud. "Yang Mulia."
Nobunaga berpaling pada Hosokawa, lalu bergegas
menemuinya. "Mayeda telah menghancurkan pasukan Konishi-
wa," kata Nobunaga menggeram. "Kuminta kau seka-
rang menghimpun sepuluh ribu prajurit untuk meng-
hukum jahanam itu."
"Baik, Yang Mulia."
"Sebelum fajar tujuh hari semenjak saat ini, aku ingin pasukanmu sudah bisa
diberangkatkan."
"Baik, Yang Mulia."
Hosokawa bersujud, lalu pergi.
Nobunaga berbalik menuju ke kamarnya. Kemudian
berkata dengan penuh kemarahan, "Sejak dulu Koni-
shiwa memang bodoh. Tetapi Mayeda telah menan-
tangku dengan mengirimkan kepala orang bodoh itu
padaku. Aku bersumpah akan memenggal kepalanya
dan mempertontonkannya di jalanan agar semua orang tahu resiko bagi orang yang
menentang Nobunaga."
Hari-hari selanjutnya tampak kesibukan di Kama-
kura meningkat. Hosokawa melakukan penghimpunan
kekuatan. Kecuali diadakan pertemuan setiap pagi di dataran Sekigahara, sepuluh
ribu prajurit itu diharus-kan melakukan latihan perang. Hampir setiap sore,
Nobunaga melakukan pemeriksaan sendiri. Ia tampak
merasa puas. Hosokawa sendiri tidak mau setengah-setengah.
Dari pengalaman pahit yang dialami Konishiwa, ia menyadari Mayeda Toyotomi tidak
dapat dianggap remeh.
Kemenangannya membuktikan bahwa dia bukan ha-
nya seorang ahli pedang, tetapi komandan pasukan
yang baik. Tiga ribu prajurit musuh telah berhasil di-cerai-beraikan tanpa
perlawanan yang berarti. Hanya seorang jenderal yang hebat dapat melakukannya.
Karena itu kini Hosokawa menekankan disiplin latihan bagi prajuritnya. Meskipun
kekuatannya tiga kali lipat tentara Konishiwa, namun tanpa dibekali disiplin
yang kuat, kekuatan itu tak berarti banyak.
Bila pada pagi dan siang harinya mereka menjalani
latihan perang, pada malam harinya Hosokawa me-
ngumpulkan semua komandan prajurit untuk mendis-
kusikan strategi penyerbuannya. Dengan cermat me-
reka mempelajari peta-peta wilayah musuh, pola peme-taan tanah yang
menguntungkan dan merugikannya,
serta sejauh apa kesetiaan rakyat Suruga pada Mayeda Toyotomi.
"Kesetiaan rakyat sangat menentukan dalam sebu-
ah peperangan," kata Hosokawa menegaskan. "Apabila sebuah kekuatan tidak
didukung rakyat, maka kekuatannya tak akan bertambah, tetapi justru berkurang.
Kematian serta keletihan anggota pasukan secara terus-menerus akan mengurangi
kekuatan pasukan itu.
Tetapi dukungan rakyat yang kuat akan terus me-
nambah kekuatannya. Bila saja Mayeda berhasil me-
mobilisasi rakyat, maka bukan mustahil kita akan
menghadapi seratus ribu tentara Suruga."
Persiapan terus dijalankan dengan penuh sema-
ngat. Suasana di Kamakura menjadi menegangkan.
Kesibukan terasa meningkat.
Bapa Lao dan Kojiro terus mengamati perkemba-
ngan itu. Mereka hanya bisa menduga-duga apa yang
bakal dilakukan Nobunaga.
"Sebuah serangan besar-besaran," kata Kojiro men-
duga. Ia senang setiap hari dapat menyaksikan ribuan prajurit berbaris menuju
dataran Sekigahara.
"Kemungkinan Nobunaga akan kalah," kata Bapa
Lao datar. "Kalah?" Kojiro heran dengan jalan pikiran pendeta itu. "Bagaimana mungkin
mereka akan kalah dengan
kekuatan yang demikian besar?"
"Satu hal yang tidak diketahui Nobunaga, berapa
kekuatan lawan. Suatu pasukan yang akan menyerang
ke kedudukan lawan, ia harus terlebih dulu mengetahui kekuatan musuh. Tanpa
pengetahuan itu, dia ha-
nya akan mengorbankan prajuritnya, dan mati konyol seperti Konishiwa."
"Bapa seperti seorang jenderal saja lagaknya."
"Aku memang seorang jenderal."
"Ha?"
Bapa Lao tersenyum, lalu melanjutkan, "Jenderal


Shugyosa Samurai Pengembara 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagi diriku sendiri...."
"Huh!" Kojiro mendecih.
"Tetapi sebaiknya nanti kita buktikan saja teoriku, Koyama."
"Aku memang ingin membuktikannya."
"Kalau begitu, mari sekarang kita mencari sake un-
tuk menghangatkan perut."
"Itu pikiran yang kusenangi."
Bapa Lao tersenyum hangat. Mereka masuk ke se-
buah warung kemudian memesan secawan sake. Kojiro
memesan sukiyaki, kemudian dengan lahap ia menikmati makanan itu. Ketika sedang
asyik menikmati ma-kanannya, tiba-tiba mata Kojiro tertumbuk pada seorang
pengemis yang duduk di depan warung itu.
"Yoshi...," katanya mendesis. Ia bergegas turun dari kursi, pada saat itu
pengemis tersebut telah bergegas pergi. Kojiro segera mengejar, tetapi semakin
cepat Kojiro melangkah, pengemis itu pun semakin bergegas.
Akhirnya Kojiro berlari, tetapi seperti tahu kalau diikuti, pengemis tersebut
juga berlari. Kojiro ingin berseru memanggil namanya, tetapi ka-
rena di sekitar tempat itu tampak beberapa prajurit Nobunaga, ia tak jadi
melakukannya. Akhirnya ia mengejar dengan susah payah. Di sebuah tikungan, tiba-
tiba pengemis itu menghilang. Kojiro menoleh ke kanan ke kiri.
"Yoshi...." Kojiro mencoba memanggil. "Yoshi...."
Tetap tidak ada jawaban. Akhirnya dengan kesal ia
kembali ke warung. Bapa Lao tampak menunggunya.
"Kau seperti mengenalnya," kata Bapa Lao. "Siapa,
Koyama?" Kojiro merenung sejenak, lalu menjawab acuh tak
acuh, "Teman di waktu kecil."
"Rupanya kau masih saja bodoh," sahut pendeta itu
berbisik. "Di sini Koyama tidak mempunyai teman."
Kojiro menoleh, ia mengerutkan kening. Heran.
Di salah satu sudut kota, Yoshioka terduduk berde-
bar-debar. Ia merasakan jantungnya berdetak lebih
kencang. Napasnya terengah-engah. Pikirannya agak
kalut. Ia tak pernah membayangkan ada orang yang
mengenalinya. Padahal dulu ia tak pernah keluar dari istana.
Bagaimana mungkin ada yang mengenaliku"
Yoshioka mencoba berpikir keras, mencari kemung-
kinan siapa kira-kira yang mengenali dirinya. Tetapi sampai lama ia tak
menemukan satu nama pun yang
ia kenal. Ia duduk sambil bersandar memikirkan se-
gala kemungkinan. Tiba-tiba ia seperti mengenali suara itu. Yoshioka mencoba
mengumpulkan seluruh daya ingatnya, kemudian ketika berhasil mengingatnya,
seketika ia meloncat.
"Kojiro!"
Yoshioka segera berlari ke arah warung itu. Ini merupakan pertemuan tak terduga,
tetapi sangat berarti.
Sudah lama ia dan Saburo memikirkan Kojiro, ternyata tanpa diduga ia muncul di
sini. Yoshioka sampai di warung di mana ia bertemu Ko-
jiro, tetapi yang dicarinya sudah tidak ada.
"Di mana anak yang tadi makan di sini?" Yoshioka
bertanya pada pemilik warung.
"Sudah pergi."
"Ke arah mana?"
"Luar kota."
Yoshioka mengucapkan terima kasih, kemudian
berlari mengejar ke arah luar kota.
*** PENGIRIMAN UTUSAN
DENGAN didampingi Saburo Mishima, Imagawa me-
manggil Koroku. Lelaki tersebut datang bergegas, lalu bersujud.
"Koroku," kata Imagawa tanpa tekanan.
"Ya, Yang Mulia."
"Hari ini aku akan meminta engkau melaksanakan
perintah yang agak sulit."
"Hamba bersedia melakukannya meskipun harus
menebus dengan nyawa hamba."
"Berangkatlah hari ini juga ke Suruga untuk mene-
mui Mayeda Toyotomi. Katakan kepadanya, bahwa aku
masih hidup, dan kini terpaksa bertahan di hutan karena mendengar tentang
rencana pengkhianatannya.
Setelah itu, katakan padanya, dalam waktu yang tidak lama, aku akan kembali ke
Suruga. Apabila dia masih memiliki kesetiaan kepadaku, katakan bahwa aku telah
mengampuninya. Dia akan tetap menjadi panglima Suruga dan gajinya akan
kunaikkan. Tetapi apabila
dia tetap melawanku, katakan, aku siap menghadapi-
nya. Tetapi jelaskan, bahwa peperangan hanya akan
merugikan kita semua, karena yang menjadi korban
adalah rakyat Suruga. Selain itu, peperangan hanya akan memperlemah posisi kita
untuk menghadapi musuh dari luar. Pada saat ini, Oda Nobunaga pasti tengah
menghimpun kekuatan untuk menaklukkan Su-
ruga, bukankah akan lebih baik apabila kita menyatukan kekuatan untuk
menghadapinya?"
"Apakah hanya itu, tugas yang harus hamba laksa-
nakan?" "Katakan dengan sejujurnya pula, bahwa aku dapat
memahami perasaannya, tetapi aku tidak dapat me-
maafkan Tazumi, karena dia akan terus menjadi ulat yang merongrong kewibawaanku.
Mayeda harus membunuhnya untuk membuktikan kesetiaannya padaku."
"Itukah yang harus hamba sampaikan?"
"Ya. Engkau tentu tahu apa artinya melaksanakan
tugas itu, Koroku. Apabila cara bicaramu menyulut kemarahan Mayeda, engkau dapat
kehilangan kepala."
"Hamba mengerti, dan hamba akan menjalankan
sebaik-baiknya."
"Kalau begitu, bawalah bekal secukupnya, kemu-
dian berangkatlah."
Koroku bersujud, kemudian berbalik pergi. Imagawa
menoleh pada Saburo Mishima, lalu mereka tersenyum.
Baru sedetik mereka bertukar senyum, seorang ma-
ta-mata datang.
"Apa yang akan kaulaporkan, Satomi?"
Mata-mata itu bersujud, ia gembira junjungannya
mengetahui namanya. Dan ini memang bakat luar bi-
asa Imagawa, ia selalu hafal pada nama anak buahnya.
Bakat ini sesungguhnya yang membuat prajuritnya
bersedia mati untuknya.
"Hamba ingin melaporkan mengenai keadaan di
Owari," kata Satomi. "Dalam beberapa hari terakhir ini, Hosokawa telah
mengerahkan sepuluh ribu prajurit
untuk melakukan latihan secara keras. Hamba men-
dengar mereka dipersiapkan untuk menyerang Suruga.
Setelah kekalahan Konishiwa, rupanya Nobunaga ingin menghukum panglima Mayeda."
"Apakah engkau tahu kapan mereka akan berang-
kat ke Suruga?"
"Hamba dengar, tiga hari lagi. Karena itu hamba segera kemari untuk
melaporkannya."
"Terima kasih, Satomi. Kuminta kau kembali lagi ke Kamakura untuk mencatat
seluruh perkembangan
atau perubahan yang terjadi di sana. Kecuali itu sebarkan desas-desus di sana,
bahwa aku masih hidup.
Katakan terus terang, bahwa aku berhasil lolos dari perangkap Nobunaga melewati
lorong rahasia yang di-tunjukkan oleh panglima Ashikaga, Saburo Mishima.
Tetapi sebelumnya, panggilkan aku perwira Mitsuko."
"Baik, Yang Mulia."
Ketika Satomi meninggalkan perkemahan itu, Sabu-
ro bertanya, "Kenapa dia harus mengatakan bahwa
Anda masih hidup?"
"Tidak apa-apa. Itu hanya sebuah taktik."
"Taktik apa, Yang Mulia?"
Mitsuko datang.
"Hamba menunggu perintah, Yang Mulia."
"Mitsuko, aku ingin meminta engkau kembali ke
Suruga." "Apa yang harus hamba lakukan di sana?"
"Kembalilah ke Suruga, dan sebarkan berita bahwa
saat ini Oda Nobunaga tengah menghimpun tiga puluh ribu prajurit untuk
menggempur Suruga. Tambahkan
pula dalam berita yang kausebarkan, betapa hebat pe-ralatan perang mereka."
Selama Imagawa memberikan penjelasan atas perin-
tah yang diberikan pada Mitsuko, Saburo Mishima hanya diam saja. Tetapi benaknya
terus berputar mencoba menelaah jalan pikiran Imagawa. Dari semua uraian
penguasa Suruga itu, Saburo diam-diam mengagu-
minya. Dengan cara menyebar mata-mata, Imagawa
terbukti tengah merancang suatu peperangan yang hebat, meski tanpa pasukan. Di
dalam benak Saburo, ter-bayang suatu peperangan yang tengah dikendalikan da-ri
jarak jauh oleh Imagawa. Ini sesuatu yang hebat, dan Saburo ingin membuktikannya
di kemudian hari.
*** Pada malam hari, langit seperti kain terpal hitam digan-tungkan di atas jagat
raya. Bulan yang berwarna kuning telur, merangkak di antara awan. Ribuan bintang
berta-buran di langit. Sementara unggas dan binatang malam berbunyi bersahutan.
Kunang-kunang beterbangan,
menjadi garis-garis cahaya yang menakjubkan.
Saburo Mishima berjalan mendekati gubuk Koni-
shita. Ia melihat Mayumi sedang menjerang air. Gadis itu melihat padanya, lalu
tersenyum. Meskipun senyum itu hanya tampak sekilas, namun perasaan Sa-
buro tiba-tiba bergetar hebat. Belum pernah ia rasakan getaran seperti itu.
Bahkan tidak juga ketika pertama
kali ia bertemu istrinya. Dulu Saburo menikah dengan istrinya ketika mereka
masih sangat muda. Bahkan
sewaktu ayah mereka menyuruh menikah, tidak ada
perasaan apa-apa selain menjalankan perintah orang tua. Dan sejak perkawinan
itu, Saburo kemudian sibuk mengabdi pada keluarga Ashikaga. Waktu untuk
bertemu istrinya semakin langka. Perasaan cinta yang tumbuh kemudian, adalah
perasaan tanggung jawab
seorang suami terhadap keluarganya.
Tapi kini, tatapan mata Mayumi membuat Saburo
merasakan sesuatu yang berbeda. Senyum gadis itu
mampu membuat Saburo tak bisa tidur. Selama ting-
gal di persembunyian, beberapa kali Saburo bertemu dengan Mayumi, namun itu
dalam kesempatan-kesempatan terbatas, terutama di saat mereka makan.
Mayumi dan penari-penari lainnya memang bertugas
menyediakan makanan bagi para samurai. Di saat itulah, Saburo merasakan dadanya
berdebar lebih keras.
Jantungnya memukul-mukul lebih kencang. Ada suatu
perasaan yang tak terkatakan mengusik hatinya.
Pada awalnya Saburo menganggap hal itu dikarena-
kan ia telah lama tak bergaul dengan wanita. Semenjak ditinggal mati istrinya,
ia tak pernah berdekatan dengan wanita. Hidupnya tercurah untuk menyelamatkan
Yoshioka, sehingga mungkin saja, begitu melihat Mayumi ia memperoleh pelepasan
kerinduan yang selama ini ia tekan. Tetapi kenyataannya sangat berbeda dengan perasaan Saburo
ketika masuk ke rumah
bordil beberapa waktu lalu. Pada waktu itu tak ada getaran sama sekali.
Sangat berbeda apabila ia berdekatan dengan
Mayumi. Wanita itu mampu menggetarkan dawai-
dawai perasaannya yang paling dalam.
Ketika hal itu disampaikan pada Konishita, lelaki
itu tersenyum gembira.
"Kau menaruh hati padanya," kata Konishita sung-
guh-sungguh. "Bagaimana kau bisa mengatakan begitu?"
"Kaupikir aku belum pernah mengalaminya?"
"Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu apa-
kah aku mencintainya."
"Aku tidak keberatan kau mencintainya," kata Koni-
shita kemudian. "Tetapi ada satu hal yang ingin kukatakan padamu mengenai
Mayumi." "Katakanlah."
"Aku perlu waktu cukup panjang untuk mencerita-
kannya. Selain itu, aku tak yakin engkau akan me-
neruskan niatmu kalau sudah mengetahui semuanya."
"Engkau tidak bermaksud menakut-nakutiku?"
"Sejujurnya aku ingin mengatakan, suatu kebena-
ran kadang memang menakutkan."
Kini Saburo menjumpai Konishita untuk mende-
ngarkan cerita tentang Mayumi.
Sambil menatap sinar bulan purnama Konishita
berkata, "Sekarang aku dapat memulai ceritaku...."
*** AWAL KISAH MAYUMI
NAGAKUTE, menjelang tengah malam, tahun 1596.
Langit beku. Udara membawa kristal-kristal es. A-
ngin diam membisu. Awan di langit tak bergerak. Binatang malam hanya sesekali
terdengar bunyinya. Ru-
mah perguruan di Nagakute terasa sepi. Orang-orang lebih senang menyimpan diri
di kamar daripada berada di luar. Udara dingin terasa benar-benar membekukan
pori-pori kulit.
Seorang laki-laki berlari mengendap-endap. Sesekali ia bersembunyi di balik
pohon, untuk mengamati kea-
daan di sekitarnya. Matanya berkerjap-kerjap, menco-ba melawan udara dingin.
Pakaian lelaki tersebut serba hitam, hanya terbuka pada bagian matanya. Kedua
kakinya dibungkus pakaian panjang ketat, lalu sandal jerami berwarna hitam.
Sepintas orang dengan mudah menebak bahwa lelaki tersebut seorang ninja.
Ketika sampai di depan pintu bangunan paling be-
sar, lelaki itu mengeluarkan naginata (pedang panjang) dari sarungnya. Bilah
pedang tersebut berkilauan ter-timpa sinar lampu. Dengan bergegas lelaki itu
menaiki anak tangga, lalu menyelinap ke balik dinding di samping rumah itu.
Dengan hati-hati ia mencongkel daun jendela, lalu melompat ke dalam.
Ruangan utama rumah itu luas membentang. Kea-
daannya gelap. Lampu yang tergantung di atas rua-
ngan tersebut, tampak memantulkan cahaya lampu
dari luar. Ruangan itu sunyi. Tak tampak seorang pun berada di sana. Murid-murid
Perguruan Nagakute sedang berada di perkemahan Sekigahara. Nobunaga te-
lah memerintahkan semua samurai perguruan berlatih perang di Sekigahara untuk
menghadapi rencana serbuan dari Saito Dozan, penguasa propinsi Mino. De-
ngan pelan, lelaki tersebut menaiki anak tangga menuju ke lantai dua. Tangannya
yang dibungkus sarung kulit digerak-gerakkan agar terasa lebih enak menggenggam
hulu pedangnya.
Tanpa menimbulkan suara, laki-laki tersebut mem-
buka pintu kamar di lantai dua. Di kamar itu, ia melihat dua orang tidur sambil
Maut Dari Hutan Rangkong 1 Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut Bara Naga 9
^