Api Di Bukit Menoreh 28
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 28
Para prajurit itu memang sudah bersiaga sepenuhnya. Demikian mereka melihat gerak yang mencurigakan, maka ditangan mereka telah tergenggam senjata mereka pula. Sementara mereka menarik kendali kuda masing-masing.
Seorang dari mereka yang langsung menyerang orang berkuda dipaling depan, ternyata tidak berhasil mengenainya. Senjatanya telah membentur senjata prajurit berkuda itu sehingga tergetar. Untunglah bahwa ia sempat mempertahankan senjatanya, sehingga senjatanya tidak terlepas dari tangannya.
Namun sementara itu, prajurit yang berkuda dipaling depan itu sama sekali tidak berhenti. Ia langsung memasuki regol halaman untuk segera melihat apa yang telah terjadi.
Tetapi empat orang prajurit yang lain, tidak sempat mengikutinya. Mereka terpaksa berhenti dan berputar melingkar, menempatkan diri untuk melawan para penyerangnya.
Untuk dapat melawan sebaik-baiknya, maka keempat prajurit itupun segera berloncatan turun dan melepaskan kuda-kuda mereka, yang kemudian berlari-lari kecil menepi. Tetapi seolah-olah tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi, maka kuda-kuda itupun justru menikmati helai-helai rumput yang hijau dipinggir jalan Kademangan itu.
Dengan demikian, maka segera terjadi pertempuran antara tujuh orang yang telah menunggunya melawan keempat prajurit, termasuk seorang perwira yang memimpin mereka. Seorang dari para prajurit itu sudah berada dihalaman, langsung melihat apa yang telah terjadi. Prajurit muda itu adalah Sabungsari.
Sejenak ia masih berada dipunggung kudanya. Ia memperhatikan arena pertempuran yang terbagi. Dengan sekilas ia melihat, betapa dahsyatnya cambuk Swandaru yang meledak-ledak. Tetapi terasa bahwa ledakkan cambuk itu tidak lagi melontarkan kedahsyatan kekuatan cadangannya.
Betapa lampu obor dari regol halaman dan lampu gantung dipendapa hanya lamat-lamat saja sampai, tetapi ketajaman mata Sabungsari itupun segera melihat darah yang meleleh pada tubuh anak muda bercambuk itu, yang tentu adalah saudara seperguruan Agung Sedayu.
Sementara itu. ia melihat pula dua orang perempuan yang bertempur dipendapa. Meskipun ia tidak mengenal keduanya, tetapi iapun segera mengetahui, bahwa yang seorang tentu isteri Swandaru dan yang lain adalah adiknya, seperti yang pernah didengarnya.
Dalam sekilas itu, iapun melihat, betapa dahsyatnya lawan Pandan Wangi. Ia melihat, betapa orang itu menghentakkan kakinya dan kemudian berteriak nyaring, sehingga suaranya seolah-olah memecahkan isi dada.
Yang Sabungsari tidak mengetahui adalah, kenapa orang yang garang itu telah memilih perempuan itu sebagai lawannya. Bukan Swandaru. Apakah menurut penilaian orang itu, perempuan itu memiliki kelebihan dari saudara seperguruan Agung Sedayu.
Tetapi Sabungsari tidak sempat membuat penilaian lebih jauh. Ia sudah siap terjun kearena melawan siapa-pun juga. Karena itu maka iapun segera berkata lantang, "Aku adalah prajurit Pajang di Jali Anom yang sedang meronda. Aku siap membantu kalian. Siapakah yang harus aku lawan?"
Tidak seorangpun yang segera menjawab. Bagaimanapun juga, Swandaru masih merasa dirinya belum memerlukan bantuan. Ia masih ingin menyelesaikan masalah Sangkal Putung itu dengan kemampuan sendiri.
Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa para pengawal Kademangan Sangkal Putung telah kehilangan kemampuan mereka untuk melawan. Apakah mereka telah terbunuh atau sekedar tetidur karena pengaruh sirep, masih belum diketahui dengan pasti. Dan adalah suatu kenyataan pula, bahwa yang kemudian bertempur dimuka regol Kademangan adalah para prajurit Pajang pula.
Dalam keadaan yang demikian, Swandaru menyadari kebenaran kata-kata isterinya. Bahwa dalam keadaan yang gawat itu, ia tidak dapat sekedar hanyut dalam arus perasaannya untuk mempertahankan harga diri semata-mata tanpa menghiraukan kepentingan Kademangan Sangkal Putung dalam keseluruhan.
Sementara itu, prajurit muda yang memasuki halaman itu masih berada dipunggung kuda. Sekali lagi ia berkata lantang, "Aku sudah siap. Apakah yang harus aku kerjakan ?"
Sabungsari tidak menunggu jawaban. Iapun segera meloncat turun dari kudanya dan melepaskan kudanya menepi.
Namun dalam pada itu, yang menjawab ternyata adalah lawan Pandan Wangi. Dengan suara lantang dan menggelegar ia berteriak, "He prajurit kerdil. Apa kerjamu disini. Pergilah sebelum kau mati. Aku sudah memerintahkan orang-orangku untuk membunuh semua orang dihalaman ini termasuk kalian. Tetapi aku ingin menyisakan seorang dari para prajurit yang dungu agar ia dapat berceritera kepada Pangeran Benawa, bahwa sebagian dendamku kepadanya sudah aku tebus."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, "Apa hubunganmu dengan Pangeran Benawa ?"
"Ia sudah membunuh kedua adik seperguruanku. Kakak beradik dari Pesisir Endut. Aku menuntut kematian Pangeran Benawa, Agung Sedayu dan Swandaru. Jika aku membunuh para prajurit, adalah sekedar memancing perhatian Pangeran Benawa untuk bertemu dalam perang tanding setelah aku hari ini membunuh Swandaru dan keluarganya. Aku akan membunuh siapa yang dapat aku ketemukan lebih dahulu. Agung Sedayu atau Pangeran Benawa."
Sabungsari tidak segera menjawab. Tetapi getar didadanya terasa semakin cepat. Ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah saudara seperguruan kedua kakak beradik dari Pesisir Endut.
"Jika kau mengerti maksudku, pergilah." Teriak lawan Pandan Wangi, "kau satu-satunya yang aku beri kesempatan untuk hidup."
Tiba-tiba terdengar suara Sabungsari bergetar, "Jadi kau keluarga dari Pesisir Endut."
"Ya. Akulah Carang Waja."
Sabungsari menggeretakkan giginya. Darahnya yang mengalir diseluruh tubuhnya, tiba-tiba terasa bagaikan mendidih. Dengan suara lantang ia berkata, "Adalah satu kurnia, bahwa aku dapat bertemu dengan keluarga dari Pesisir Endut."
Kata-kata itu benar-benar mengejutkan. Bahkan Swandarupun terkejut pula.
"Aku menunggu kesempatan ini," Sabungsari melanjutkan, "keluarga Pesisir Endut adalah keluarga yang telah banyak menodai ketenangan hidup di wilayah Pajang. Sehingga karena itu, maka adalah kuwajiban setiap prajurit untuk menghancurkannya. Dengan pertimbangan itu pula tentu Pangeran Benawa telah membunuh kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itu."
"Persetan," orang itu berteriak, meskipun ia masih bertempur melawan Pandan Wangi.
Namun dalam pada itu Swandarupun berkata lantang, "Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi serahkan Carang Waja itu kepadaku. Setelah aku mengusir kedua orang tikus-tikus kecil ini."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia mengerti keberatan Swandaru. Namun hatinya sendiri bagaikan sudah menyala. Kegagalannya membunuh Agung Sedayu, dan bahkan anak muda itu bagaikan telah membekukan darahnya, kini tiba-tiba darahnya itu telah bergejolak kembali. Ia telah kehilangan pengikutnya justru dibunuh oleh orang-orang Pesisir Endut. Apalagi kini ia bertemu dengan orang Pesisir Endut, yang justru adalah saudara tua kedua saudara Pesisr Endut yang lelah terbunuh itu.
Karena itu, maka katanya, "Swandaru. Aku mempunyai persoalan pribadi pula dengan orang ini. Jika aku sudah mati olehnya, maka lakukanlah perang tanding itu. Aku merasa mempunyai kewajiban unluk menagih kematian sahabatku. Tetapi jika aku tidak mampu mengalahkannya, maka aku relakan nyawaku."
Swandaru masih akan menjawab. Tetapi Carang Waja telah berteriak, "Prajurit gila. Kau sangka bahwa kemampuanmu sebagai prajurit rendahan itu akan dapat mengimbangi kemampuan Carang Waja" Datangkanlah semua perwira yang berada di Jati Anom. Bahkan bawalah Untara kemari. Ia akan mati dihalaman ini."
*** Buku 124 "APAPUNN yang akan kau lakukan terhadap Untara, Agung Sedayu maupun Swandaru bukanlah urusanku. Bunuhlah aku yang pertama-tama. Aku menuntut kematian sahabatku."
"Siapakah sahabatmu" " bertanya Carang Waja.
"Aku tidak perlu menyebutnya. Sudah terlalu banyak orang yang kau bunuh. Karena itu, kau tentu tidak akan dapat mengingatnya lagi."
Carang Waja menggeram. Sementara Sabungsari telah melangkah mendekatinya.
"Jika kau tidak keberatan, tinggalkan Carang Waja," berkata Sabungsari kepada Pandan Wangi.
"Ia amat berbahaya," sahut Pandan Wangi sambil bertempur.
Namun karena lawannya belum mempergunakan ilmunya yang aneh, maka Pandan Wangi tidak terlalu terdesak karenanya.
"Aku telah bertekad untuk membalas dendam, atau akan mati karenanya."
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Tetapi, ia masih tetap bertempur terus. Ia sadar, bahwa jika ia melepaskan lawannya kepada orang lain, Swandaru akan dapat tersinggung. Sehingga karena itu, maka seolah-olah ia menunggu keputusan suaminya.
Swandaru yang sudah banyak kehilangan tenaga, masih sempat berpikir. Ia memang tidak dapat berpegangan sekedar pada harga diri tanpa menghiraukan keadaan yang sebenarnya.
Swandaru pada kedudukannya bukan sekedar dirinya. Di Sangkal Putung ia adalah pimpinan pasukan pengawal. Karena itu, yang harus dipertimbangkannya adalah Sangkal Putung dalam keseluruhannya.
Kehadiran prajurit Pajang, bukannya akan menyusutkan harga dirinya sebagai pimpinan pasukan pengawal Sangkal Putung, karena Kademangan itu memang termasuk kedalam wilayah perlindungan Pajang.
Apalagi karena kenyataan yang terjadi atas dirinya. Darah yang sudah banyak mengalir dari luka-lukanya. Meskipun luka-luka itu sendiri tidak berbahaya, tetapi jika darah yang mengalir tidak dapat dipampatkan, maka akibatnya akan gawat, apalagi ia masih harus bertempur.
Karena itu, maka Swandaru tidak dapat tetap mengeraskan hatinya. Jika benar yang dikatakan prajurit itu, bahwa jika prajurit itu sudah mati, ia harus bertempur melawan orang yang bernama Carang Waja itu, maka ia harus mempunyai kesempatan untuk memampatkan darahnya. Baru kemudian ia akan mendapatkan kesempatan untuk berperang tanding.
Dalam pada itu, terdengar Carang Waja berkata, "Prajurit yang malang. Kau benar-benar orang yang tidak tahu diri. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang prajurit he " Sepantasnya kau mencari lawan yang seimbang. Tetapi jika kau hanya sekedar ingin membunuh diri, marilah, aku kira kau akan mendapat kesempatan itu. Dan aku akan mencari orang lain yang akan tetap hidup, mengabarkan peristiwa yang terjadi ini kepada Senapati Prajurit Pajang di Jati Anom, agar disampaikan kepada Pangeran Benawa. Aku akan menunggu kedatangannya dengan senang hati, karena aku memang ingin membunuhnya sebagaimana ia membunuh kedua saudara seperguruanku."
"Apapun yang akan terjadi atas diriku, maka aku akan memuntahkan dendam pribadiku jika lawanmu memberi kesempatan kepadaku."
Pandan Wangi masih belum melepaskan lawannya. Namun dalam pada itu terdengar Swandaru berkata, "Berilah orang itu kesempatan. Meskipun ia tidak bermaksud membunuh diri, tetapi ia dapat melihat kemungkinan pahit itu terjadi. Namun mudah-mudahan ia dapat melindungi dirinya sendiri."
Terdengar Carang Waja tertawa. Diantara suara tertawanya ia berkata, "Baiklah. Aku beri kau kesempatan untuk mati. Tetapi aku tidak akan membiarkan perempuan itu membunuh siapapun juga dari orang-orangku. Karena itu, biarlah ia mendapatkan lawannya."
Dalam pada itu, terdengar Carang Waja meneriakkan isyarat kepada orang-orangnya yang bertempur di luar regol halaman. Agaknya ia telah memanggil pengikutnya untuk menahan agar Pandan Wangi tidak sempat berbuat apapun juga.
"Apa artinya prajurit-prajurit diluar regol itu. Tahan sajalah agar mereka tidak sempat lari. Aku akan memilih, siapakah yang berhak hidup diantara mereka."
Sejenak kemudian, maka dua dari tujuh orang yang berada diregol itu meloncat memasuki halaman. Mereka langsung menempatkan, diri untuk melawan orang yang akan terlepas dari arena pertempuran melawan Carang Waja.
Dalam pada itu, para prajurit yang berada diluar pintu regol halaman Kademangan Sangkal Putung, mendapat kesempatan untuk bernafas. Karena lawan mereka berkurang dua orang, maka keseimbangan pertempuran itupun segera berubah. Jika semula para prajurit yang dipimpin oleh seorang perwira itu merasa terdesak dan bahkan seoalah-olah tidak ada harapan lagi untuk melepaskan diri, maka setelah dua orang lawan mereka memasuki halaman, para prajurit itupun telah mendapat kesempatan untuk bertempur seorang melawan seorang, kecuali pimpinan mereka yang masih harus bertempur melawan dua orang. Namun para prajurit yang lainpun tidak membiarkannya bertempur dalam kesulitan. Setiap kali para prajurit juga berusaha membantunya dengan melibatkan diri dalam pertempuran ganda.
Di halaman, Sabungsari segera melibatkan diri melawan Carang Waja yang telah ditinggalkan oleh Pandan Wangi. Demikian Carang Waja mendapatkan lawannya yang baru, maka dengan serta merta ia menghentakkan kakinya sambil berteriak nyaring.
Ilmunya itu ternyata telah mengejutkan Sabungsari. Rasa-rasanya lantai tempatnya berpijak itupun telah berguncang. Pendapa itu rasa-rasanya bagaikan diayun oleh gempa yang dahsyat.
Sejenak Sabungsari tertegun. Namun iapun harus berusaha mempertahankan keseimbangannya agar ia tidak terlempar jatuh.
Pada saat itulah Carang Waja menyerang dengan garangnya. Dengan pisau belati panjangnya ia menikam leher lawannya yang sedang berusaha memperbaiki keseimbangannya.
Tetapi Sabungsari tidak menyerah pada serangan yang pertama, Ia masih sempat menjatuhkan dirinya, sehingga serangan lawannya itu tidak menjatuhkan dirinya, sehingga serangan lawannya itu tidak menyentuhnya.
"Anak iblis," teriak Carang Waja, "betapapun juga, kau akan segera mati. Prajurit Pajang bukanlah lawan yang patut aku perhitungkan."
Carang Wajapun segera mempersiapkan dirinya pula. Namun ia menjadi heran, melihat betapa tangkasnya Sabungsari melenting berdiri. Demikian kakinya menjejak tanah, demikian anak muda itu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Kecepatan bergerak Sabungsari telah menarik perhatian Carang Waja. Ternyata bahwa Sabungsari bukannya prajurit kebanyakan. Karena itu. Carang Waja melihat, bahwa prajurit muda itu masih dapat diguncang dengan ilmunya. Karena itu, maka iapun tentu akan segera dapat diselesaikannya.
Selagi Sabungsari mempersiapkan dirinya, maka sekali lagi Carang Waja berteriak sambil menghentakkan kakinya. Dan sekali lagi rasa-rasanya tanah tempatnya berpijak itu berguncang. Seperti yang telah dilakukannya, maka Sabungsaripun segera berusaha memantapkan keseimbangannya dengan merendahkan dirinya, sementara ia masih sempat melihat serangan lawannya meluncur dengan dahsyatnya.
Sekali lagi Sabungsari terpaksa merendahkan dirinya dan bahkan berguling dilantai untuk menghindari sambaran pisau belati lawannya yang hampir menyentuh kening.
Dengan demikian, maka Sabungsaripun segera menyadari, bahwa ia memang berhadapan dengan seseorang yang pilih tanding, yang memiliki ilmu yang sulit dicari tandingnya.
Tetapi Sabungsari ternyata bukannya orang yang cepat kehilangan akal dan putus asa. Ia sengaja mempergunakan benturan-benturan pertama untuk mempelajari ilmu lawannya.
Karena itu ia tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Dengan penuh kewaspadaan ia meloncat bangkit. Ketika kakinya menjejak tanah, ia merasakan keseimbangannya tetap mantap.
Namun sesaat kemudian, sekali lagi ia melihat lawannya menghentakkan kakinya sambil berteriak. Seperti yang sudah terjadi maka iapun telah berguncang pula. Pendapa itu bagaikan akan runtuh karena gempa yang luar biasa.
Sekali lagi Sabungsari harus mempertahankan keseimbangannya. Tetapi ia tidak lagi berguling dilantai. Meskipun ia masih harus merendahkan dirinya, tetapi ia sudah mulai dapat mengatasai kebingungannya menghadapi ilmu yang aneh itu.
Karena itu, maka iapun menyilangkan kakinya sambil menjatuhkan diri duduk dilantai. Namun tangannya sudah siap menghadapai segala kemungkinan yang bakal terjadi. Seperti lawannya, Sabungsari tidak mempergunakan senjata panjangnya. Tetapi ia mencabut kerisnya untuk melawan pisau belati Carang Waja.
Ketika Carang Waja meluncur menyerang, maka dengan tangkasnya Sabungsari bergeser. Demikian serangan lawannya meluncur tanpa menyentuhnya, maka dengan kecepatan yang luar biasa, Sabungsari telah mengayunkan kakinya mengejar lawannya, tanpa menghiraukan keseimbangannya.
Kecepatan yang tidak diperhitungkan itulah yang telah mengejutkan Carang Waja. Tiba-tiba saja terasa lambungnya dihantam oleh kaki lawannya. Demikian kerasnya, sehingga Carang Waja telah terlempar beberapa langkah. Hampir saja kepalanya membentur tiang pendapa. Untunglah, bahwa ia sempat menahan dirinya, sehingga benturan itu dapat dihindarkan.
Tetapi pada saat yang sama, Sabungsaripun telah terbanting jatuh. Rasa-rasanya ia telah kehilangan keseimbangannya disaat ia melontarkan serangannya. Meskipun serangan itu mengenai sasarannya, tetapi iapun bagaikan terlempar pula dan jatuh dilantai.
Pada saat yang hampir bersamaan pula keduanya telah meloncat berdiri. Keduanyapun segera bersiap melancarkan serangan masing-masing.
Tetapi Carang Waja lebih cepat sekejap. Ia sempat menghentakkan kakinya dan sekali lagi mengguncang tanah tempat berpijak. Dan sekali lagi ia melihat lawannya menjatuhkan diri sambil menyilangkan kakinya, sementara kerisnya tegak didepan dadanya.
Carang Waja yang melihat ketangkasan lawannya tidak segera menyerangnya. Tetapi sekali lagi ia menghentakkan kakinya, sehingga guncangan bumi itupun rasa-rasanya menjadi semakin dahsyat. Pendapa itu benar-benar bagaikan runtuh menimpa kepala Sabungsari.
Tetapi pendapa itu tidak runtuh. Pendapa itu tetap tegak seperti tidak bergetar sama sekali.
Tetapi Sabungsari tidak sempat berpikir lebih panjang. Carang Waja telah meluncur dengan pisau belatinya mengarah kelehernya.
Dengan serta merta Sabungsari beringsut sambil merendahkan kepalanya hampir menyentuh lantai. Ia mulai menyadari, bahwa setelah serangan dilontarkan, maka guncangan tempatnya berpinjak menjadi susut.
Karena itu, maka sambil menjatuhkan diri hampir berbaring dilantai, Sabungsari telah siap melenting untuk mengejar lawannya dengan serangan.
Tetapi ternyata bahwa Carang Waja bergerak lebih cepat. Ujung pisau belatinya tidak seluruhnya dapat dihindari oleh lawannya. Ternyata bahwa Sabungsari telah berdesah menahan pedih yang telah menyengat pundaknya.
Seleret luka telah menyobek kulit dipundaknya, sehingga sejenak kemudian, maka darahpun mulai mengalir dari lukanya itu.
Terdengar Sabungsari menggeram. Ia sadar, bahwa lawannya memang orang yang luar biasa. Seorang yang sulit untuk diatasinya.
Ternyata bahwa luka itu telah memperlambat geraknya. Sebelum ia sempat bangkit dan bersiap sebaik-baiknya, Carang Waja telah menghentakkan kakinya sekali lagi, sehingga rasa-rasanya kepala Sabungsari menjadi pening karena gangguan keseimbangannya. Pendapa itu rasa-rasanya bukan saja berguncang, tetapi kemudian justru mulai berputar.
Tetapi justru karena itu, maka Sabungsari tidak berusaha bangkit berdiri. Ia masih tetap duduk bertelekan pada sikunya. Sementara tangannya yang lain telah siap dengan kerisnya untuk menghadapi kemungkinan yang lebih pahit, apabila Carang Waja menyerangnya dengan gerak pendek.
Tetapi perhitungan Carang Wajapun cukup cermat. Yang dilakukannya kemudian adalah meloncat sambil mengayunkan pisau belatinya mengarah kedadanya.
Sabungsari tidak bergeser. Tetapi ia siap menghadapi serangan itu dan menyongsongnya dengan ujung kerisnya. Namun ternyata bahwa Carang Waja hanya sekedar meloncat mendekat. Ia tidak menusukkan pisau belatinya, karena iapun tidak mau tergores oleh keris lawannya. Yang dilakukan kemudian adalah meloncat kesamping sambil menghentak sekali lagi dibarengi dengan teriakan yang nyaring.
Sabungsari benar-benar menjadi pening. Selagi ia bertahan agar isi dadanya tidak runtuh, ia melihat serangan lawannya menyambarnya sekali lagi. Dan sekali lagi ia terlambat. Ujung pisau belati itu telah mengenai punggungnya.
Sabungsari menjadi sangat marah. Ia sudah terluka ditubuhnya. Dan darah telah mulai mengalir. Namun ia tidak dapat ingkar akan kemampuan lawannya, sehingga ia tidak boleh membiarkan serangan-serangan demikian berlangsung terus atasnya.
Ketika kemudian Carang Waja menghentak bumi sekali lagi, maka Sabungsaripun meluncur turun dari tangga pendapa. Ia ingin bertempur ditempat yang lebih luas tanpa diganggu oleh tiang-tiang dan umpak-umpak batu. Namun, disaat ia meluncur turun kehalaman. Carang Waja masih sempat mengejarnya, dan melukainya sekali lagi dilambung meskipun hanya segores kecil.
Tetapi sebelum Sabungsari, bersiap, maka tanah tempatnya berpijak telah terguncang lagi. Sekali lagi pisau lawannya telah melukai dadanya. Lebih parah dari luka-luka yang terdahulu.
Betapa kemarahan menghentak-hentak dada anak muda itu. Seolah-olah ia tidak mendapat kesempatan untuk mengadakan perlawanan. Sekilas ia melihat lawannya menyambar. Namun kemudian berdiri tegak di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Sementara itu, Sabungsari masih terkapar bersandar tangga pendapa. Luka-lukanya terasa pedih sepedih luka dihatinya.
Dalam pada itu, Swandaru yang masih bertempur melawan dua orang pengikut Carang Waja, sempat juga melihat keadaan Sabungsari. Seakan-akan tidak ada lagi kesempatan bagi Sabungsari untuk bangkit dan melindungi dirinya sendiri.
Karena itulah, maka ia harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang bakal datang. Jika anak muda itu terbunuh, maka ia harus siap menggantikan tempatnya, apapun yang akan terjadi atasnya. Bahkan seakan-akan ia telah mengorbankan harga dirinya dengan memberikan kesempatan kepada anak muda itu untuk melawan Carang Waja, sehingga diluar niatnya, ia telah menjerumuskannya kedalam maut.
Dengan demikian, maka Swandaru yang telah susut kekuatannya karena darahnya yang mengalir itu tidak lagi memperhitungkan dirinya yang sudah terluka. Tiba-tiba saja ia menghentakkan segenap kemampuannya, melampaui perhitungan nalarnya. Cambuknyapun tiba-tiba telah meledak dengan dahsyatnya, sehingga kedua lawannyapun terkejut karenanya. Dengan mengerahkan kekuatan yang ada, maka Swandaru berusaha untuk secepatnya mengalahkan lawannya dan mempersiapkan diri untuk melawan Carang Waja yang garang itu.
Ternyata bahwa kedua lawan Swandaru terkejut menghadapi perubahan yang tiba-tiba itu. Cambuk Swandaru yang berputar seperti angin pusaran tiba-tiba telah meledak seperti guntur, dan mematuk seperti ujung petir menyambar puncak pepohonan.
Ketika terdengar ledakkan yang dahsyat, maka seorang lawannya telah berdesah tertahan. Segores luka telah menyobek keningnya yang tersentuh ujung cambuk Swandaru yang berkarah rangkap.
Swandaru yang melihat darah meleleh dikening, berusaha untuk menekan lawannya lebih dahsyat lagi, sehingga ia melupakan keadaannya sendiri. Cambuknya meledak semakin dahsyat dan ujung cambuknya seolah-olah mempunyai mata yang tajam, sehingga kemana lawannya pergi, ujung cambuk itu telah mengejarnya.
Sekali lagi orang yang terluka dikening itu mengaduh. Pundaknyapun telah dikoyak oleh juntai cambuk Swandaru yang dahsyat itu.
Sementara itu. Pandan Wangi yang mendapat kedua lawan yang baru, telah dengan mantap menempatkan dirinya. Keduanya tidak banyak dapat berbuat sesuatu. Hentakan kaki Carang Waja tidak banyak mempengaruhi Pandan Wangi yang telah menjadi semakin jauh dari padanya.
Yang menjerit kemudian adalah lawan Sekar Mirah. Ketika Carang Waja memburu lawannya, turun dari pendapa, maka jarak dari padanyapun menjadi semakin jauh. Karena itulah, maka Sekar Mirahpun kemudian segera dapat mendesak lawannya.
Yang paling malang dari para pengikut Carang Waja adalah lawan Sekar Mirah. Ternyata bahwa tongkat baja Sekar Mirah mampu mematahkan senjata lawannya.
Dengan wajah yang pucat lawan Sekar Mirah itupun kemudian harus menerima nasibnya yang buruk. Ayunan yang tidak terelakkan telah menghantam pelipisnya, sehingga seolah-olah kepalanya telah terlempar dari tubuhnya.
Namun meskipun kepala itu masih tetap melekat dilehernya, tetapi retak ditulang kepalanya, telah menghempaskan orang itu kedalam batas umurnya. Ketika ia menggeliat, maka terlepaslah nafasnya yang terakhir dari lubang hidungnya.
Sekar Mirah kemudian berdiri dengan garangnya. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu dengan wajah yang tegang.
Sementara itu. Pandan Wangi masih bertempur melawan dua orang pengikut Carang Waja. Demikian juga Swandaru. Tetapi salah seorang lawan Swandaru telah menjadi semakin lemah, bahkan seolah-olah tidak lagi mampu berbuat sesuatu, meskipun ia masih tetap berdiri dengan senjata ditangan.
Sekar Mirah yang melihat kakaknya terluka, segera mendekatinya. Namun yang terdengar adalah Swandaru yang membentaknya, "Jangan ganggu aku. Lihat, bagaimana dengan mbokayumu."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia berpaling. Dilihatnya Pandan Wangi masih bertempur melawan dua orang. Tetapi agaknya yang dua orang itu, tidak akan membahayakan keadaan Pandan Wangi.
Kehadiran lima orang prajurit Pajang itu benar-benar telah merubah keadaan. Perhitungan Carang Waja tentang kelima prajurit itu ternyata keliru. Lima orang prajurit itu tidak dapat dipatahkan seperti yang diperhitungkan. Apalagi salah seorang dari mereka, adalah anak muda yang siap melawannya, meskipun telah terluka parah.
Namun dalam pada itu, prajurit yang bertempur di luar regol halaman itu ternyata telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Ketahanan jasmaniah mereka semakin lama menjadi semakin susut. Jumlah lawan yang lebih banyak, memaksa mereka harus mengerahkan tenaga mereka berlebih-lebihan.
Carang Waja yang melihat lawannya terkapar bersandar tangga pendapa berdiri tegak dengan tangan bertolak pinggang. Pisau belatinya yang merah karena darah, digenggamnya erat-erat. Sesaat ia memandang lawannya. Kemudian dengan suara lantang ia berkata, "Kau akan segera mati. Yang lainpun akan mati pula. Seorang pengikutku telah terbunuh. Itu berarti bahwa seisi Kademangan ini akan mati pula. Para pengawal di gardu-gardupun akan mati."
Sabungsari masih bersandar tangga pendapa. Wajahnya yang merah karena marah menjadi bertambah tegang. Sementara matanya bagaikan menyala oleh gejolak hatinya. Namun, sikap Carang Waja itu adalah kesalahan yang besar yang telah dilakukannya dihadapan Sabungsari.
Beberapa saat lamanya Carang Waja masih berdiri tegak. Ia sudah siap menikmati kemenangannya yang pertama dengan membunuh anak muda yang mengenakan pakaian seorang prajurit dan telah berani menempatkan diri untuk melawannya.
Carang Waja masih berdiri tegak dengan bertolak pinggang. Terdengar kemudian suara tertawanya, "Ayo anak muda yang mendendam. Bangkitlah. Kita masih akan bertempur satu dua langkah lagi sebelum kau mati."
Tetapi Sabungsari sudah tidak berusaha untuk bangkit lagi. Ia masih terkapar bersandar tangga pendapa. Sementara Carang Waja tertawa berkepanjangan.
"Baiklah," berkata Carang Waja kemudian, "jika kau tidak lagi dapat bangkit karena putus asa, aku akan segera mengakhiri hidupmu. Pisauku akan menusuk dadamu langsung kearah jantung, karena kau sudah pasrah sehingga menumbuhkan belas kasihanku kepadamu. Dengan demikian, aku akan menolongmu untuk cepat mati tanpa merasakan siksaan kesakitan."
Carang Waja kemudian mempersiapkan diri untuk sekali lagi menghentakkan kakinya, membuat lawannya kehilangan keseimbangan. Kemudian meloncat membenamkan pisau belatinya.
Namun diluar sadarnya, pada saat itu. Carang Waja seolah-olah telah memberikan kesempatan yang cukup kepada Sabungsari untuk mempersiapkan ilmunya. Tanpa bergeser sejenggkalpun ia telah mempersiapkan diri, memusatkan kemampuan ilmunya yang dapat terpancar dari matanya.
Namun diluar sadarnya, pada saat itu, Carang Waja seolah-olah telah memberikan kesempatan yang cukup kepada Sabungsari untuk mempersiapkan diri, memusatkan kemampuan ilmunya yang dapat terpancar dari matanya.
Karena itu, maka pada saat yang bersamaan kedua orang itu telah bersiap untuk melepaskan ilmu puncak masing-masing. Carang Waja dengan ilmunya yang seolah-olah mampu mengguncang bumi, sedangkan Sabungsari telah siap melontarkan ilmunya lewat sorot matanya.
Tepat pada waktunya, ketika Carang Waja mulai menggerakkan kakinya untuk menghentak tanah tempat ia berpijak, Sabungsari yang seolah-olah tidak bergerak, dan masih terkapar bersandar tangga pendapa itu, telah melepaskan ilmunya lewat sorot matanya, yang menghantam tubuh lawannya.
Ketika Carang Waja berteriak sambil menghentak bumi, maka suara teriakannya tiba-tiba saja telah melengking tinggi. Sementara hentakan kakinya masih juga terasa oleh Sabungsari, dirinya bagaikan diguncang. Namun Sabungsari tidak melepaskan tatapan matanya yang seolah-olah mencengkam dada Carang Waja.
Terasa dada Carang Waja bagaikan tertimpa sebuah bukit batu. Jantungnya bagaikan diremas hancur, sementara pernafasannya bagaikan telah tersumbat.
Dengan gerak naluriah. Carang Waja telah meloncat dan membanting tubuhnya ditanah sambil melepaskan ilmunya menghentak tempat ia berpijak. Sekali lagi Sabungsari terguncang. Sehingga ia seolah-olah telah terlepas dari sandarannya.
Sabungsari yang berusaha untuk tetap mencengkam lawannya dengan ilmunya telah kehilangan ia sesaat. Pada saat Carang Waja menjatuhkan dirinya sambil mengguncang lawannya, maka Carang Waja telah terlepas beberapa kejap.
Namun yang beberapa kejap itu seolah-olah telah menunjukkan kepadanya, bahwa himpitan pada dadanya itu adalah karena lontaran ilmu lewat sorot mata lawannya.
Karena itu, maka dengan tenaga yang ada padanya. Carang Wajapun kemudian melenting berdiri. Ia sadar, bahwa lawannya akan mencengkamnya sekali lagi. Namun pada saat itu, ia masih sempat menghentakkan kakinya untuk mengelabui keseimbangan Sabungsari yang masih tetap saja ditempatnya.
Ketika terasa himpitan didadanya mengendor, karena Sabungsari sedang berusaha mempertahankan keseimbangannya. Carang Waja dengan serta merta telah melontarkan pisau ditangannya.
Sabungsari terkejut. Diluar sadarnya ia telah memperhatikan pisau yang meluncur cepat. Namun ia tidak sempat mengelak, karena ia tidak menduga sama sekali, bahwa serangan itu akan datang meluncur seperti anak panah. Apalagi ia sedang berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya.
Ketika ia berusaha bergeser setapak, maka pisau itu telah menancap didadanya. Untunglah, bahwa ia sempat berkisar, sehingga pisau itu tidak menghunjam dijantungnya.
Sabungsari bagaikan dibakar oleh dendam dan kemarahan tiada taranya. Dengan sisa tenaga yang ada, maka iapun kemudian menghempaskan segenap ilmunya menghantam lawannya. Diremasnya dada lawannya sehingga terdengar tulang-tulang iganya menjadi retak.
Carang Waja berteriak tertahan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan diri lagi dari cengkaman sorot mata Sabungsari. Anak muda itu sama sekali tidak menghiraukan lagi, ketika dirinya seolah-olah berguncang. Tetapi karena kemampuan tenaga lawan yang jauh susut oleh cengkaman ilmu Sabungsari, maka goncangan itu tidak banyak lagi berarti.
Sabungsari benar-benar tidak mau melepaskan lawannya. Ketika Carang Waja kemudian menggeliat dan menjatuhkan dirinya ditanah sambil berguling-guling, Sabungsari berusaha dengan tenaga yang tersisa untuk tetap mencengkam lawannya dengan sorot matanya.
Akhirnya Carang Waja sulit untuk berhasil melepaskan diri dari ilmu lawannya. Meskipun ia mencoba mengerahkan ilmunya, ia tetap merasa bahwa dadanya bagaikan dihimpit oleh sebuah bukit batu.
Namun demikian, Carang Waja masih berusaha untuk melepaskan diri dengan berguling dan melenting. Sekali-sekali ia terlempar keluar dari cengkaman ilmu Sabungsari. Namun sejenak kemudian, ilmu itu telah mencengkamnya kembali.
Meskipun demikian, Sabungsari menjadi cemas juga. Ia sadar bahwa Carang Waja sedang berusaha menjauhinya, dan kemudian berlindung dibalik arena pertempuran yang lain, atau dibalik gerumbul dan pepohonan.
Sabungsari tidak mau kehilangan lawannya. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, sambil mencengkam lawannya dengan ilmunya, maka iapun bangkit perlahan-lahan dengan tubuh gemetar.
Luka Sabungsari ditubuhnya adalah luka yang parah. Tetapi didorong oleh kemarahan yang tiada taranya, ia masih dapat melangkah maju mendekati Carang Waja yang sedang berusaha melepaskan diri dari padanya.
Tetapi Carang Waja sudah tidak mempunyai harapan lagi. Rasa-rasanya isi dadanya telah diremukkan oleh kekuatan sorot mata Sabungsari yang mempunyai sentuhan wadag itu.
Beberapa langkah ia masih dapat beringsut. Namun ternyata bahwa prajurit muda itu melangkah terhuyung-huyung mendekatinya. Dengan demikian maka kekuatan sorot matanya terasa semakin keras menghimpit tubuhnya.
Tetapi tiba-tiba terasa sesuatu yang mengejutkan Carang Waja. Ketika langkah Sabungsari menjadi semakin dekat, maka cengkaman ilmu anak muda itu justru terasa semakin kendor.
Dengan demikian, maka tiba-tiba saja telah melonjak kembali harapan dihati Carang Waja. Meskipun ilmu itu masih terasa menggenggam dadanya, tetapi Carang Waja sempat melihat Sabungsari tidak lagi dapat berdiri dengan mantap. Bahkan kemudian ilmu itu perlahan-lahan seakan-akan telah melepaskannya.
Selangkah dihadapannya Sabungsari berdiri. Wajahnya nampak pucat pasi. Darahnya mengalir dari lukanya tanpa terkendali lagi. Karena itulah, maka Sabungsari menjadi semakin lemah. Ia tidak lagi mampu memusatkan ilmunya untuk tetap mencengkam lawannya. Bahkan kepalanya terasa semakin lama semakin pening sementara matanya, pintu pancaran ilmunya yang khusus itu menjadi semakin kabur.
Pada saat itu. melonjak harapan dihati Carang Waja. Ia sadar bahwa lawannya tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Ia tentu akan segera pingsan dan barangkali mati. Dengan demikian, betapa luka parah didalam dadanya terasa pedih, namun ia akan dapat melepaskan diri dari himpitan yang tidak terlawan. Ia akan mendapat waktu untuk sekedar beristirahat, mengatur pernafasannya dan kemudian seperti yang pernah terjadi, melarikan diri.
Yang terjadi itu bagi Carang Waja, bagaikan sebuah peristiwa yang terulang kembali saat ia melawan Agung Sedayu yang memiliki kemampuan tidak terlawan olehnya. Dan kini prajurit muda itu telah bertempur dengan ilmu yang mirip dengan ilmu yang dimiliki Agung Sedayu, meskipun sumbernya dapat berbeda.
Carang Waja tidak menghiraukan lagi kawan-kawannya yang sedang bertempur dengan sengitnya. Ia berharap bahwa merekapun akan dapat mennyelesaikan pertempuran itu sebaik-baiknya. Prajurit-prajurit di regol itu akan mati. Prajurit muda yang melawannya itupun akan mati. Dan yang lain-lainpun akan terbunuh pula.
Pada saat itu, Carang Waja benar-benar merasa telah terlepas dari cengkaman ilmu lawannya. Betapapun dadanya terasa telah hancur, tetapi ia sempat melihat Sabungsari terhuyung-huyung selangkah dihadapannya.
Namun yang tidak diperhitungkannya adalah kesadaran terakhir yang mendorong gejolak perasaan Sabungsari. Dendamnya yang membara serta kemarahan yang tidak terkendali, telah memaksanya untuk selangkah lagi maju untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi ia tidak lagi mampu memeras ilmunya dan menghimpit lawannya dengan sorot matanya. Ia tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendorong ilmunya yang dahsyat itu, seperti juga Carang Waja sudah tidak mampu lagi menghentak tanah tempatnya berpijak.
Namun Sabungsari tidak mau gagal disaat terakhir.
Itulah sebabnya, maka Sabungsari memaksa diri dengan kekuatannya yang terakhir untuk melangkah maju. Ia tidak lagi mempergunakan sorot matanya untuk menghadiri pertempuran. Tetapi dengan kekuatan yang tersisa, dihentakannya tangannya untuk menghunjamkan keris ditangannya.
Carang Waja melihat keris itu terayun. Bahkan kemudian tubuh Sabungsari itu roboh menimpanya. Tetapi ia tidak mampu beringsut sama sekali. Karena itu, maka ia hanya dapat berdesah perlahan ketika tubuh prajurit muda itu jatuh pada tubuhnya yang terkapar. Carang Waja masih sempat merasa sebuah tusukan keris menghunjam didadanya. Oleh tekanan berat badan lawannya, maka keris yang tepat diarah jantungnya itu telah menembus tubuhnya dan merobek dinding jantungnya itu.
Carang Waja tidak sempat mengaduh. Tarikan nafasnya yang berat telah mengakhiri hidupnya diujung keris Sabungsari, seorang prajurit muda yang hatinya telah dibakar oleh dendam. Yang ternyata dendam itu telah membakar Carang Waja.
Pada saat yang bersamaan, maka Swandarupun telah menghentakkan kekuatannya yang terakhir. Iapun telah memaksa diri, bertempur melampaui ketahanan tubuhnya, sehingga demikian lawannya yang terakhir dilumpuhkannya, iapun telah terduduk dengan lemahnya di tangga pendapa.
Dalam pada itu, para pengikut Carang Waja tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghindarkan diri. Mereka yang masih mempunyai kekuatan untuk melarikan diri, segera melarikan diri tanpa menghiraukan kawan-kawannya yang lain. Mereka telah berusaha mencari keselamatan masing-masing.
Demikianlah, maka pertempuran di halaman Kademangan Sangkal Putung itupun berakhir. Beberapa sosok mayat tergolek dihalaman, termasuk Carang Waja. Dan orang dari Pesisir Endut terluka parah. Sementara Swandaru sendiri menjadi lemas oleh darahnya yang terlalu banyak mengalir. Sementara Sabungsari masih terbujur diam diatas tubuh Carang Waja. Sedangkan yang lain masih sempat melarikan diri menghindari para prajurit dan orang-orang Sangkal Putung.
Pandan Wangi yang tidak mengejar lawannya, dengan tergesa-gesa berlari mendekati suaminya. Sekar Mirahpun telah mengikutinya dan bersama-sama berjongkok disampingnya. Sementara para prajurit yang lain telah berlari-larian mendekati Sabungsari. Mengangkat tubuhnya dan membaringkannya menelentang.
"Pisau itu," desis salah seorang prajurit.
Perwira yang memimpin para prajurit itupun kemudian berdesis, "Aku akan mencabutnya. Aku membawa obat yang dapat menolongnya untuk sementara jika ia memang masih mungkin hidup."
Dalam pada itu, Swandaru yang menjadi sangat lemah masih sempat melihat para prajurit yang sibuk merawat Sabungsari, sementara itu Pandan Wangi dan Sekar Mirah mencemaskannya.
"Aku tidak apa-apa," berkata Swandaru, "bagaimana dengan prajurit itu ?"
Pandan Wangi yang mencemaskan keadaan Swandaru menyahut, "Prajurit yang lain telah berusaha menolongnya. Tetapi bagaimana keadaanmu sendiri. Lukamu masih berdarah."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah," berkata Pandan Wangi, "aku akan mengobati luka-lukamu lebih dahulu."
Swandaru tidak membantah ketika kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirah menolongnya, nampaknya masuk keruang dalam, dan membaringkannya disebuah ambin yang besar.
Ketika Pandan Wangi dan Sekar Mirah merawatnya, Swandaru sempat menilai dirinya sendiri. Ketika perasaannya bergejolak karena Carang Waja terbunuh oleh prajurit Pajang yang datang itu, maka iapun mencoba untuk menekannya. Meskipun ada juga singgungan pada perasaannya, bahwa orang lainlah yang telah membunuh orang itu, namun ternyata bahwa orang itupun berada dalam keadaan yang parah. Sementara itu, para prajurit telah mengangkat tubuh Sabungsari kependapa. Dengan hati-hati perwira yang memimpin kelima orang prajurit itupun mencabut pisau yang masih tertancap didada Sabungsari yang pingsan. Kemudian menaburkan obat yang dibawanya untuk menolong luka-luka itu sebelum mendapat perawatan yang lebih baik.
Ketika para prajurit masih dengan tegang menunggui Sabungsari yang pingsan, Swandaru dengan langkah yang belum mantap, telah keluar pula kependapa dengan dibantu oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Oleh obat yang ditaburkan diluka-lukanya, maka darahnya telah menjadi hampir pampat. Sehingga karena itulah, maka ketika ia sudah berada di pendapa, maka iapun segera duduk bersandar tiang dan membatasi geraknya, agar darahnya tidak menjadi deras lagi.
"Bagaimana keadaannya " " bertanya Swandaru dengan nada datar.
"Parah sekali," jawab perwira yang memimpin kelompok prajurit peronda itu, "darahnya terlalu banyak mengalir. Tetapi mudah-mudahan ia tertolong."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mengalami bertempur melawan Carang Waja meskipun orang itu kemudian meninggalkannya. Ia harus mengakui bahwa Carang Waja adalah orang yang luar biasa.
Meskipun demikian, Swandaru itu berkata didalam hatinya, "Seandainya ia tetap melawanku, akupun akan membunuhnya pula, meskipun mungkin aku akan menjadi lebih parah dari luka-lukaku ini."
Sementara itu, para prajurit itu masih dicengkam oleh ketegangan. Obat yang ditaburkan oleh perwira itu memang dapat menolong serba sedikit. Darah yang mengalirpun menjadi jauh berkurang.
Tiba-tiba saja hampir diluar sadarnya Swandaru berkata, "Apakah kalian bersedia menyampaikan hal ini kepada Kiai Gringsing " Mudah-mudahan ia sempat menolong prajurit yang terluka itu."
"Kiai Gringsing," perwira itu bergumam.
"Ya. Kiai Gringsing dipadepokan kecil itu," desis Swandaru.
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Apakah Kiai Gringsing mampu mengobatinya ?"
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi ia adalah seorang yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan. Kakang Untara mengetahui hal itu dengan pasti, karena ia pernah ditolong pula oleh Kiai Gringsing ketika ia terluka senjata."
Perwira itu memandang ketiga prajuritnya yang lain. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Marilah. Seorang dari kalian akan pergi bersamaku. Dua orang lainnya akan menjaga Sabungsari. Carilah air, dan titikkan dibibirnya yang kering agar ia mendapat sekedar kesegaran."
"Marilah," berkata Sekar Mirah. Lalu. "Aku akan mencari mangkuk di ruang belakang."
Seorang dari prajurit itupun mengikutinya, sementara perwira itupun kemudian minta diri bersama seorang prajuritnya yang lain untuk pergi ke Jati Anom. Melaporkan keadaannya dan singgah dipadepokan Kiai Gringsing.
Sepeninggal perwira itu, maka prajurit yang mengambil semangkuk air dibelakang, telah menitikkan air dibibir Sabungsari. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat bibir itu bergerak. Tetapi nampaknya Sabungsari masih tetap belum sadarkan diri.
Meskipun demikian, agaknya obat yang ditaburkan di luka-lukanya telah berhasil mengurangi arus darah yang mengalir. Bahkan semakin lama menjadi semakin pampat, sehingga prajurit-prajurit yang menungguinya itu telah berpengharapan, bahwa kawannya itu masih akan dapat ditolong jiwanya.
Dalam pada itu. Sekar Mirah telah mendekati pintu bilik ayahnya dan mengetuknya keras-keras. Agaknya pengaruh sirep telah lampau. Ketukan itu ternyata telah didengar oleh ayahnya dan bangun dengan gugup.
"Ada apa Sekar Mirah " " ia bertanya.
"Pergilah ke pendapa ayah," desis Sekar Mirah.
Dengan mengusap matanya, Ki Demangpun berjalan tertatih-tatih kependapa oleh kantuk yang masih saja seolah-olah melekat dimatanya.
Demikian ia keluar dari pintu ruang dalam, hatinya melonjak. Ia melihat seorang prajurit terbaring diam ditunggui oleh dua orang kawannya, sementara Swandaru duduk bersandar tiang tanpa bergerak.
"Apa yang telah terjadi " " ia bertanya.
"Silahkan ayah," berkata Sekar Mirah.
Ki Demangpun dengan wajah yang tegang, duduk dipendapa, disamping Swandaru yang lemah.
"Ceriterakan peristiwa ini kepada ayah Sekar Mirah," minta Swandaru.
Dengan singkat Sekar Mirah menceriterakan apa yang telah terjadi. Sambil menunjuk kehalaman ia berkata, "Ada beberapa sosok mayat dihalaman. Dan mungkin diantara mereka masih ada yang hidup. Tetapi kami tidak sempat berbuat apa-apa, karena kakang Swandaru terluka dan prajurit itupun parah sekali."
Ki Demang memandang berkeliling dengan tatapan mata yang tegang. Dilihatnya dua orang prajurit yang menunggui kawannya yang terbaring diam. Swandarupun duduk bersandar dengan pakaian yang masih dikotori dengan darahnya sendiri.
"Aku akan memanggil para pengawal," berkata Ki Demang, "he, kenapa kalian tidak membunyikan kentongan ?"
"Kentongan itu telah pecah," sahut Sekar Mirah.
"Kenapa " " bertanya Ki Demang.
"Aku memukulnya terlalu keras dengan tongkatku," jawab Sekar Mirah.
"Jadi kau sudah membunyikan kentongan itu " " bertanya Ki Demang.
"Sampai pecah," jawab Sekar Mirah pula.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun ber gumam, "Agaknya ada pengaruh sirep seperti yang pernah terjadi."
"Ya. Ada pengaruh sirep. Dan agaknya para pengawalpun sekarang masih belum bangun," berkata Sekar Mirah pula.
Ki Demang mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Aku akan membangunkan mereka. Jika orang-orang yang terusir itu menjadi gila, maka mereka akan dapat membunuh orang-orang yang sedang tidur nyenyak itu."
Dada Sekar Mirah tersirap. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Sehingga karena itu, maka iapun dengan serta merta menyahut, "Ayah benar. Marilah ayah. Kita akan membangunkan mereka."
Ki Demangpun kemudian berkemas. Sambil menjinjing pedang, iapun kemudian turun diikuti oleh Sekar Mirah. Ditangga ia berhenti sambil berkata, "Jaga suamimu baik-baik Pandan Wangi. Kita masih harus berhati-hati."
"Ya ayah. Kedua prajurit itu akan menemani kami."
Ki Demangpun segera turun diikuti oleh Sekar Mirah. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka berdiri digardu didepan regol. Ternyata mereka melihat tubuh yang terbujur lintang didalamnya.
"Apakah mereka sudah mati ?" desis Sekar Mirah.
Namun Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba dada salah seorang dari mereka, tangannya masih merasakan tarikan nafas orang itu.
"Mereka hanya tertidur," desis Ki Demang, "aku akan membangunkan mereka."
Sekar Mirah berdiri beberapa langkah dibelakang Ki Demang. Bagaimanapun juga ia masih harus tetap berhati-hati, karena mungkin masih ada diantara lawan yang bersembunyi diantara semak-semak.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Demang, ternyata para pengawal itu hanyalah tertidur demikian nyenyaknya karena pengaruh sirep, sehingga mereka sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi.
Mereka terkejut ketika Ki Demang mengguncang tubuh mereka dan menyebut seorang demi seorang.
"Bangun. Lihat, apa yang terjadi dihalaman Kademangan," berkata Ki Demang.
"Apa yang telah terjadi Ki Demang ?"
"Lihatlah sendiri. Kau akan dapat membayangkan, apakah kira-kira yang telah terjadi dihalaman Kademangan," jawab Ki Demang.
Para pengawal itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian Sekar Mirali berkata, "Jangan bingung. Bangunlah dan pergilah ke gardu-gardu. Bangunkan kawan-kawanmu yang sedang tidur. Kemudian sebagian dari kalian pergi ke halaman Kademangan, karena ada tugas yang harus kalian lakukan."
"Jangan lupa singgah dirumah Ki Jagabaya. Katakan, bahwa telah terjadi sesuatu di Kademangan." pesan Ki Demang kemudian.
Beberapa orang pengawal yang telah terbangun itupun segera berpencar. Mereka dengan tergesa-gesa membangunkan kawan-kawan mereka yang tertidur di gardu-gardu dan mengajak sebagian dari mereka kehalaman Kademangan.
"Yang lain, berhati-hatilah menghadapi kemungkinan yang masih dapat terjadi." pesan para pengawal yang akan pergi ke halaman Kademangan.
Sementara itu, yang pergi ke rumah Ki Jagabayapun segera mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, mereka melihat Ki Jagabaya berdiri sambil menjinjing pedangnya.
"Ada apa " " ia bertanya, "kalian membuat aku terkejut."
"Ki Demang memanggil Ki Jagabaya. Sesuatu telah terjadi dihalaman Kademangan."
"Apa yang telah terjadi ?"
"Kami tidak begitu jelas. Tetapi nampaknya cukup gawat."
"Siapa yang menyuruh kau kemari ?"
"Ki Demang sendiri."
Ki Jagabaya menjadi termangu-mangu. Dengan kening yang berkerut merut ia bertanya, "Apakah tidak ada tanda bahaya ?"
"Tidak. Ki Demang tidak memerintahkannya."
Ki Jagabayapun kemudian minta diri kepada keluarganya. Dengan tergesa-gesa bersama beberapa orang pengawal iapun pergi ke halaman Kademangan.
Betapa terkejut Ki Jagabaya melihat peristiwa yang telah terjadi. Di pendapa, seorang prajurit terluka parah, sementara Swandaru yang terlukapun masih duduk bersandar tiang. Ia masih belum berani banyak bergerak dan berbicara. Ia masih berusaha untuk memampatkan luka-lukanya sama sekali.
"Sebaiknya kau tidur saja dipembaringan," berkata Ki Jagabaya kepada Swandaru.
"Tidak mau paman," jawab Pandan Wangi, "aku. Sekar Mirah dan ayah sudah menasehatkan agar kakang Swandaru berbaring saja dipembaringan. Tetapi ia merasa wajib untuk berada dipendapa dalam keadaan yang gawat seperti ini."
"Serahkan semuanya kepada ayahmu," berkata Ki Jagabaya.
Swandaru menggeleng. Jawabnya, "Lukaku tidak terlalu parah. Prajurit itulah yang sangat parah. Sementara biarlah para pengawal melihat tubuh yang terbaring dihalaman. Apakah ada diantara mereka yang masih hidup."
Dalam pada itu, para pengawaipun mulai melakukan tugasnya. Mereka mulai meneliti tubuh-tubuh yang terbujur diam ditanah.
Mereka kemudian menemukan dua orang diantara orang-orang Pasisir Endut yang masih hidup. Mereka mengangkat kedua orang itu kependapa dan membaringkannya terpisah dari Sabungsari.
"Mereka masih hidup," berkata seorang pengawal.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali membiarkan kedua orang itu dibaringkan dipendapa. Ia tidak dapat mengingkari kewajiban, bahwa betapapun kemarahan membakar hati, tetapi adalah menjadi kewajiban untuk merawat orang-orang yang terluka dipeperangan, meskipun mereka adalah musuh sekalipun.
Para prajuritpun agaknya berpegang juga pada keharusan itu. sehingga mereka justru mengangguk-angguk ketika Swandaru diluar sadarnya memandangi para prajurit yang menunggui Sabungsari yang terluka. Sementara para pengawal yang lainpun telah memisahkan mereka yang terbunuh dipeperangan untuk diselenggarakan sebagaimana seharusnya.
Dalam pada itu, maka perwira prajurit Pajang yang sedang meronda itupun berpacu menuju ke Jati Anom. Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Mereka memerlukan waktu untuk mencapai Kademangan Jati Anom.
Kedua prajurit itu tidak peduli sama sekali ketika langit menjadi merah dan kemudian matahari mulai menjenguk dari balik batas pandangan. Mereka tidak menghiraukan orang-orang yang berpapasan disepanjang jalan, memandang mereka dengan heran dan cemas. Orang-orang yang pergi ke pasar itupun menjadi berdebar-debar pula melihat dua orang prajurit berpacu seperti angin.
Dua malam prajurit itu meronda. Namun jarak ke Jati Anom telah mereka tempuh kembali dalam waktu yang jauh lebih dekat. Mereka telah memilih jalan yang paling pendek. Dan merekapun berpacu secepat dapat mereka lakukan.
Ketika mereka memasuki Kademangan Jati Anom, maka orang-orang Jati Anompun terkejut pula. Prajurit yang berjaga-jaga diregol rumah Untara terkejut pula. Apalagi karena kedua orang prajurit itu hanya mengangguk saja ketika mereka melintas.
Di halaman keduanya meloncat turun. Menyerahkan kudanya kepada seorang pekatik yang menyongsongnya.
Untarapun terkejut ketika seorang prajurit memberitahukan kehadiran perwira yang sedang bertugas itu bersama seorang prajuritnya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun telah menerimanya.
"Laporkan," perintah Untara dengan singkat.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perwira itupun kemudian melaporkan peristiwa yang telah terjadi di Kademangan Sangkal Putung. Melaporkan keadaan Sabungsari dan Swandaru yang terluka parah.
"Sabungsari masih hidup," katanya kemudian, "tetapi keadaannya sangat gawat. Aku sudah mengobatinya untuk sementara. Sedangkan Swandaru minta agar aku singgah dipadepokan gurunya."
"Disini ada seorang yang ahli dalam pengobatan," berkata Untara, "bawa orang itu agar ia mengobati prajurit muda yang terluka itu."
"Bagaimana dengan Kiai Gringsing " " bertanya perwira itu.
"Kenapa harus Kiai Gringsing " " Untara ganti bertanya.
Perwira itu menjadi bingung. Ia sadar, bahwa dalam lingkungan keprajuritan memang sudah ada seorang yang ahli didalam soal obat-obatan. Tetapi iapun menerima pesan Swandaru agar ia singgah dipadepokan Kiai Gringsing untuk minta orang tua itu datang ke Sangkal Putung.
Karena itu, hampir diluar sadarnya, perwira itupun menjawab, "Menurut Swandaru, Ki Untara mengetahui dengan pasti, bahwa Kiai Gringsing memiliki ilmu pengobatan yang tinggi, karena Ki Untara sendiri pernah dirawatnya ketika Ki Untara terluka senjata."
Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki ilmu pengobatan yang lebih baik dari seorang perwiranya yang bertugas di bidang pengobatan. Ia mengerti Kiai Gringsing yang dahulu mempunyai hubungan khusus dengan ayahnya, adalah orang yang aneh, yang menyembunyikannya pada saat ia terluka, karena ia harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda dan sekaligus Pande Besi dari Sendang Gabus bersama beberapa orang kawannya.
Perwira yang menyampaikan hal itu, menjadi berdebar-debar. Ia melihat teka-teki diwajah Untara. Apakah ia dapat menerima pesan Swandaru, atau ia justru menjadi marah karenanya.
Namun akhirnya perwira itu menarik nafas dalam-dalam ketika Untara berkata, "Baiklah. Pergilah secepatnya kepada Kiai Gringsing, dan beritahukan apa yang terjadi. Muridnya itu tentu merasa lebih baik diobati oleh gurunya sendiri."
"Bagaimana dengan Sabungsari " " bertanya perwira itu.
"Percayakan juga ia kepada Kiai Gringsing," jawab Untara.
Perwira itu mengangguk sambil berkata, "Baiklah. Aku mohon diri untuk melaksanakan tugas ini."
"Makan sajalah dahulu." seorang kawannya memperingatkan ketika ia siap untuk berangkat.
Tetapi perwira itu menggeleng. Jawabnya, "Mereka yang terluka memerlukan pertolongan secepatnya."
"Tetapi kau tentu perlu beristirahat pula."
"Nanti aku akan beristirahat sehari semalam selelah tugas ini selesai."
Perwira itupun kemudian melanjutkan perjalanan ke padepokan kecil disebelah Jati Anom bersama seorang prajurit yang menyertainya dari Sangkal Putung.
Kedatangan prajurit itu dipadepokan Kiai Gringsing, membual seisi padepokan itu terkejut. Dengan tergesa-gesa mereka mempersilahkan mereka duduk dipendapa. Dengan wajah tegang, Kiai Gringsingpun segera bertanya, apakah yang lelah terjadi.
Dengan singkat perwira itu menceriterakan peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Tentang Swandaru yang terluka dan Sabungsari yang parah.
Wajah-wajah yang mendengar peristiwa itupun menjadi tegang. Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam Kiai Gringsing bertanya, "Bagaimana keadaan mereka saat Ki Sanak meninggalkan Sangkal Putung ?"
"Sabungsari dalam keadaan gawat Kiai. Sementara Swandaru atas usahanya dapat memampatkan luka-lukanya dengan sejenis obat-obatan," jawab perwira itu.
"Apakah obat itu tidak dipergunakan juga untuk angger Sabungsari " " bertanya Kiai Gringsing.
"Sabungsari mempergunakan obat yang kami bawa sebagai bekal. Dan agaknya dapat juga sedikit menolong untuk sementara," berkata perwira itu. Kemudian, "Atas saran Swandaru dan atas persetujuan Ki Untara, kami mohon Kiai bersedia datang ke Sangkal Putung."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baik. Baik. Aku akan bersiap-siap."
Ketika Kiai Gringsing dengan tergesa-gesa berdiri untuk bersiap, maka Agung Sedayupun berkata, "Aku ikut guru."
Kiai Gringsing berpikir sejenak. Lalu, "Baiklah. Marilah kita pergi bersama-sama."
Tetapi mereka tidak akan dapat meninggalkan Glagah Putih. Karena itu, sebelum Glagah Putih bertanya. Kiai Gringsing sudah mendahuluinya berkata, "Bersiaplah. Kau akan ikut pula."
"Tetapi, bukankah paman akan datang kemari " " bertanya Agung Sedayu kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya kepada Glagah Putih, "Apa kata ayahmu" Kapan ia akan datang ?"
"Ayah akan datang kapan saja," jawab Glagah Putih.
"Biarlah salah seorang pergi ke Banyu Asri mengabarkan kepergian Glagah Putih. Adalah lebih baik bahwa pada saat-saat padepokan ini kosong ayahnya berada disini. Tetapi ia tidak kecewa karena ia sudah mengetahui bahwa Glagah Putih tidak ada dipadepokan," berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayupun kemudian bangkit pula. Ia langsung pergi kebelakang untuk mempersiapkan kuda dan berpesan kepada salah seorang anak muda yang tinggal dipadepokan itu untuk pergi ke Banyu Asri.
Sejenak kemudian maka semuanya telah siap. Dengan membawa kuda-kudanya kehalaman Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan kedua prajurit itu untuk pergi bersamanya ke Sangkal Putung."
"Maaf, aku mengusir Ki Sanak berdua dari padepokan ini," berkata Kiai Gringsing.
"Justru itulah yang paling baik dalam keadaan seperti ini. Kiai," jawab perwira itu.
Sejenak kemudian maka kedua prajurit itupun telah berpacu ke Sangkal Putung diikuti oleh Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih. Disepanjang jalan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali, karena pikiran mereka sedang dicengkam oleh peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung.
Dala:m pada itu, dengan gelisah, para prajurit yang menunggui Sabungsari menunggu kawan-kawannya yang pergi ke Jati Anom. Sudah cukup lama mereka menunggu. Sekali-sekali mereka menitikkan air kebibir Sabungsari. Namun Sabungsari masih saja pingsan meskipun bibirnya kadang-kadang sudah mulai bergerak.
Tetapi mereka sedikit tenang karena obat yang mereka taburkan pada luka-luka Sabungsari berhasil mengurangi, bahkan hampir memampatkan darah dari luka-lukanya.
Swandaru yang masih duduk bersandar tiang, menjadi gelisah pula. Ia sendiri mengalami luka-luka. Tetapi lukanya tidak separah Sabungsari. Prajurit yang telah berhasil membunuh Carang Waja itu.
Ketika Swandaru minum seteguk air hangat, maka terasa tubuhnya menjadi lebih segar, meskipun ia masih juga merasa sangat lemah. Namun demikian, ia selalu menolak jika seseorang mempersilakannya untuk berbaring saja dipembaringannya.
Para prajurit itu tersentak ketika mereka melihat Sabungsari membuka matanya perlahan-lahan. Dengan penuh harapan mereka beringsut mendekat. Namun mata itupun kemudian tertutup kembali.
Kedua prajurit yang menungguinya menjadi semakin gelisah. Ketika mereka melihat bibir Sabungsari bergerak, mereka telah menitikkan air beberapa tetes kebibir yang kering itu.
Sekar Mirah yang kemudian mendekatinya pula berdesis, "Air itu akan memberinya kesegaran. Tetapi jangan terlalu banyak."
Kedua prajurit itu mengangguk. Salah seorang dari mereka berdesis, "Mudah-mudahan kedatangan Kiai Gringsing tidak terlambat."
Sementara para prajurit dan mereka yang berada dipendapa itu menjadi gelisah, Ki Demang dan Ki Jagabaya telah mengatur penyelenggaraan beberapa sosok mayat orang-orang Pesisir Endut yang terbunuh termasuk Carang Waja sendiri. Sementara mereka yang terluka telah pula ditolong dengan obat-obatan yang ada. Ketika mereka merintih kesakitan, maka beberapa orang pengawal telah mendekatinya.
"Air," desis salah seorang dari orang-orang Pasisir Endut yang terluka itu.
Senang atau tidak senang, maka salah seorang pengawal telah mencari air dan kemudian menitikkan kebibir orang-orang yang terluka itu.
"Terima kasih," desis salah seorang dari mereka.
Pengawal itu tidak menyahut. Namun ketika ia sempat memandang tatapan mata orang itu, maka timbullah perasaan iba dihatinya. Nampaknya orang itu sudah berputus asa. Tetapi agaknya adalah diluar dugaannya bahwa masih ada orang yang bersedia mengambil air untuknya. Justru karena itu, matanya tidak lagi nampak menyala oleh dendam. Tetapi justru menjadi sayu dan basah.
Sejenak pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berdesis, "Tunggulah sejenak. Jika Kiai Gringsing itu datang, maka kaupun tentu akan diobatinya."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam sekali. Agaknya ada yang akan dikatakannya. Tetapi bibirnya tidak melontarkan sepatah katapun.
Dalam pada itu, Kademangan Sangkal Putung telah menjadi sibuk karena kematian beberapa orang di halaman rumah Ki Demang. Kedatangan orang-orang Sangkal Putung untuk melihat apa yang telah terjadi, tidak dapat dibendung lagi. Para pengawal terpaksa mendorong beberapa orang untuk menyingkir dari tangga pendapa, karena ada diantara mereka yang memaksa untuk naik. Kecuali karena mereka ingin melihat keadaan Swandaru, merekapun ingin melihat keadaan prajurit Pajang yang terluka parah dan orang-orang Pesisir Endut yang terluka pula.
Dengan marah maka beberapa orang justru berteriak, "Bunuh saja mereka."
Tetapi para pengawal yang sempat menjelaskan, mengatakan, bahwa tidak seharusnya mereka yang tertawan itu dibunuh.
Ki Jagabaya yang juga mencemaskan keadaan Sabungsari dan Swandaru setiap kali mempersilahkan mereka dibawa masuk. Tetapi setiap kali Swandaru selalu menolak. Ia lebih senang berada dipendapa meskipun hanya sekedar duduk bersandar tiang, dari pada tidur dipembaringan.
Orang-orang Sangkal Putung ternyata tidak menunggu lebih lama lagi. Merekapun segera menyibak ketika beberapa orang yang berdiri dibelakang berteriak, "Minggir, minggir. Kiai Gringsing."
Bagi orang-orang Sangkal Putung, Kiai Gringsing jauh lebih banyak mereka kenal daripada para prajurit Pajang di Jati Anom. Karena itu, maka yang mereka sebut adalah dukun tua yang memang pernah tinggal di Sangkal Putung dengan nada penuh harapan, agar mereka yang terluka dapat segera disembuhkan. Terutama Swandaru.
Kedatangan sekelompok kecil orang-orang dari padepokan terpencil di Jati Anom itu telah menumbuhkan tanggapan yang cerah. Dengan serta merta maka Kiai Gringsingpun segera naik kependapa diikuti oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih, serta kedua prajurit yang telah datang kepadepokannya.
Yang mula-mula mempersilahkannya adalah justru Ki Jagabaya, "Silahkan Kiai. Itulah Swandaru Geni."
Tetapi Swandarulah yang menyahut, "Lukaku tidak seberapa. Guru. tolonglah dahulu prajurit itu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun segera melihat, bahwa keadaan Sabungsarilah yang benar-benar gawat. Karena itulah, maka iapun segera mendekati Sabungsari yang masih ditunggui oleh kedua orang kawannya.
Dengan sungguh-sungguh Kiai Gringsing memperhatikan keadaan Sabungsari. Luka-lukanya yang parah dan pernafasannya yang tersendat-sendat. Beberapa kerut kecemasan nampak membayang diwajahnya. Bahkan kemudian orang tua itu menarik nafas panjang.
"Bagaimana keadaannya Kiai " " bertanya perwira yang menjemputnya ke Jati Anom.
"Marilah kita berdoa didalam hati," berkata Kiai Gringsing, "aku akan mencobanya memberikan obat yang paling baik yang ada padaku. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa berkenan mempergunakannya sebagai alat limpahan belas kasihan-Nya kepada angger Sabungsari.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah Kiai mengenalnya ?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, "Ya. Aku kenal angger Sabungsari. Ia pernah datang kepadepokanku."
"Untuk apa?" bertanya perwira itu.
"Diwaktu senggang ia mengisinya dengan berbagai macam kerja dipadepokan sekedar untuk mendapatkan suasana yang berbeda. Bahkan kadang-kadang angger Sabungsari ikut pula kerja disawah dan ladang. Namun kadang-kadang ia hanya sekedar tinggal dipadepokan dengan duduk-duduk dan bergurau bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih."
Perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengganggu lagi, ketika kemudian Kiai Gringsing dengan sungguh-sungguh mulai mengobatinya dengan obat-obat yang dibawanya dari padepokannya.
Sementara itu. para pengawal masih saja sibuk dengan orang-orang Sangkal Putung yang ingin melihat apa yang terjadi. Bahkan dengan demikian, maka hampir tidak ada orang yang sempat membantu membawa sosok-sosok mayat kekuburan setelah perwira prajurit yang telah datang kembali ke Sangkal Putung itu mengijinkannya.
Namun akhirnya Ki Jagabayapun mendapatkan beberapa orang yang bersedia membantunya memebawa mayat-mayat itu kekubur diantar oleh sekelompok pengawal. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati karena kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan masih saja dapat terjadi. Dendam tentu masih menyala di Pesisir Endut karena kematian beberapa orang kawannya. Bahkan Carang Waja yang tidak ada duanya bagi orang-orang Pasisir Endut itupun telah terbunuh pula di Sangkal Putung.
Dalam pada itu, oleh sejenis obat-obatan yang paling baik dari Kiai Gringsing, serta doa yang sungguh-sungguh dihati orang tua itu serta mereka yang mengikuti pengobatan yang menegangkan itu, ternyata Sabungsari telah menggerakkan matanya. Perlahan-lahan ia berdesis. Namun agaknya ia telah mulai sadar akan keadaannya.
Tetapi justru karena itu, maka ia mulai merasa, betapa tubuhnya bagaikan remuk disayat-sayat oleh luka. Betapa perasaan pedih dan nyeri menggigit sampai ketulang-tulang.
Sabungsari mulai membuka matanya. Bukan saja sekedar membuka mata tanpa kesadaran. Ia mulai mengerti, betapa luka-lukanya sangat parah.
Namun kehadiran Kiai Gringsing yang mula-mula nampak kabur membuat prajurit muda itu menjadi heran. Semakin lama wajah orang tua itu nampak semakin jelas. Bahkan kemudian ia melihat sebuah senyum dibibir orang tua yang dikenalnya dengan baik itu.
"Kiai," desisnya perlahan-lahan sambil menyeringai menahan sakit.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya ngger. Aku ada disini bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dadanya terasa betapa sakitnya. Ia merasa sesuatu telah menitik dibibirnya dan kemudian hanyut di kerongkongannya.
Sabungsari mengerti, bahwa yang ditelannya itu adalah cairan yang dibubuhi obat oleh Kiai Gringsing selain obat yang ditaburkan pada lukanya.
Dengan demikian, maka harapan prajurit-prajurit dari Jati Anom itu telah menjadi semakin besar, bahwa Sabungsari akan dapat diobatinya. Dengan tegang mereka mengikuti perkembangan keadaannya. Meskipun kemudian Sabungsari justru terdengar menahan desah kesakitan, namun dengan demikian, maka para prajurit itu mengerti, bahwa kesadaran Sabungsari telah pulih kembali.
Baru setelah Sabungsari sadar sepenuhnya akan keadaannya, Kiai Gringsing beringsut mendekati Swandaru yang duduk bersandar tiang pendapa. Luka Swandarupun bukan luka yang dapat diabaikan. Untunglah bahwa ia telah meninggalkan serbuk obat yang untuk sementara dapat menolongnya.
Seperti Sabungsari. maka Swandarupun kemudian diberinya cairan obat yang dapat memperkuat daya tahan tubuhnya, yang terbuat dari jenis akar-akaran dan dedaunan.
"Swandaru," berkata Kiai Gringsing kemudian, "memang sebaiknya kau beristirahat dipembaringan untuk memulihkan keadaanmu."
Swandaru menggeleng. Katanya, "Aku tidak terlalu parah guru. Aku ingin melihat, apa yang dikerjakan oleh orang-orang Sangkal Putung dalam keadaan seperti ini. Para pengawal tentu akan menjadi semakin gelisah jika mereka melihat, seolah-olah aku terluka parah."
"Mereka sudah mengetahui apa yang terjadi." jawab Kiai Gringsing, "adalah wajar jika kau beristirahat barang sehari dua hari. Sementara biarlah angger Sabungsari juga dibaringkan dipembaringan. Keadaannya akan lebih baik daripada dibiarkannya saja berada dipendapa. Kegelisahan orang-orang Sangkal Putung yang mengerumuni pendapa ini akan dapat mengganggu perasaannya."
Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Biarlah prajurit itu dibawa kegandok."
Kemudian atas persetujuan ayahnya, prajurit yang terluka itupun diangkat oleh kawan-kawannya kegandok sebelah kiri dan membaringkannya disebuah amben yang besar. Sementara Swandaru masih tetap ingin duduk dipendapa bersama para bebahu Sangkal Putung yang telah berkumpul di Kademangan.
Dalam pada itu, Ki Demang dan Ki Jagabaya telah minta agar mereka yang berkerumun disekitar pendapa, meninggalkan halaman dan kembali kepada kerja masing-masing.
"Bukankah kalian harus pergi ke sawah " " bertanya Ki Jagabaya, "kita akan menyelesaikan kerja disini. Kerja yang memerlukan ketenangan. Karena itu, kami, para bebahu Kademangan minta tolong kepada kalian untuk membuat suasana di halaman ini menjadi tenang. Tiggalkan halaman ini, dan lakukanlah kerja kalian sehari-hari."
Orang-orang Sangkal Putung itu termangu-mangu. Namun akhirnya merekapun meninggalkan halaman Kademangan. Seorang demi seorang mereka melangkah keluar halaman sambil berbicara diantara mereka.
"Prajurit itu terluka parah," desis yang seorang.
Yang lain menjawab, "Ya. Swandarupun terluka. Tetapi ia adalah seorang pemimpin sejati. Bagaimanapun juga keadaannya, ia tetap bertanggung jawab. Untuk mengawasi medan ia tetap duduk dipendapa meskipun setiap orang minta agar ia beristirahat dipembaringan."
"Tetapi itu dapat membahayakan dirinya sendiri," jawab yang lain pula.
"Seorang pemimpin tidak menghiraukan keadaan dirinya sendiri," desis seorang pengawal yang mendengar pembicaraan itu.
Dalam pada itu, orang-orang Sangkal Putung yang kemudian melihat Kiai Gringsing mengobati orang-orang Pesisir Endut yang terluka, harus menahan perasaannya untuk tidak berteriak menentang sikap itu. Tetapi karena Swandaru, Ki Demang dan Ki Jagabaya tidak berkeberatan, bahkan nampaknya mereka justru sependapat, maka orang-orang Sangkal Putung itu tidak berteriak agar mereka dibunuh saja.
Tetapi seperti yang pernah terjadi, maka Swandaru sebenarnya menjadi kesal juga atas orang-orang itu. Jika Sangkal Putung terpaksa menahan mereka, maka hal itu akan merupakan beban waktu dan tenaga yang cukup menjemukan.
Namun ketika Swandaru memandang perwira prajurit Pajang yang nampaknya memperhatikan orang-orang Pasisir Endut yang terluka itu dengan saksama, maka timbullah niatnya untuk menyerahkan mereka kepada para prajurit Pajang di Jati Anom itu saja.
Ketika orang-orang Sangkal Putung yang berkerumun telah meninggalkan halaman, maka orang-orang yang berada dipendapa itupun mulai duduk dengan tenang melingkar ditengah-tengah pendapa, sementara orang-orang Pesisir Endut yang terluka itu masih berbaring disudut pringgitan.
Ketika Pandan Wangi menceriterakan apa yang terjadi, maka Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih mulai dapat membayangkan, bahwa peristiwa ini pernah pula terjadi. Agung Sedayu seolah-olah melihat kembali, bagaimana ia harus bertempur melawan Carang Waja, yang untunglah, bahwa keadaannya lebih baik dari yang terjadi atas Sabungsari.
"Jika Ki Demang tidak berkeberatan," berkata Kiai Gringsing kemudian, "biarlah Sabungsari berada disini barang dua tiga hari, sehingga luka-lukanya tidak berbahaya lagi. Baru kemudian ia akan dibawa kembali kebaraknya di Jati Anom."
Ki Demang mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baiklah Kiai. Aku tidak berkeberatan sama sekali. Agaknya hal itu akan lebih baik bagi prajurit muda itu."
"Tetapi bagaimana dengan Kiai Gringsing " " bertanya Ki Jagabaya.
"Aku akan merawatnya. Dan aku akan merawat Swandaru untuk beberapa saat." jawab Kiai Gringsing.
Sekar Mirah menarik nafas diluar sadarnya. Tetapi wajahnya menjadi kemerah-merahan karena ia telah menjadi gembira atas keputusan Kiai Gringsing. Seolah-olah orang-orang yang berada dipendapa itu mengetahui perasaannya, bahwa sebenarnya ia memang berharap, bahwa Agung Sedayu akan tinggal beberapa hari di Sangkal Putung.
Demikianlah, maka untuk merawat orang-orang yang terluka di Sangkal Putung, termasuk kedua orang Pesisir Endut, Kiai Gringsing harus tinggal untuk beberapa hari. Demikian pula. Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun ikut pula tinggal untuk sementara di Sangkal Putung. Kecuali untuk membantu merawat orang-orang yang terluka, maka agaknya Kiai Gringsingpun mempunyai pertimbangan lain. Mungkin keluarga atau perguruan Carang Waja akan mengambil sikap karena kematiannya.
Dalam pada itu, maka perwira prajurit Pajang di Jati Anom yang berada di Sangkal Putung tidak dapat tinggal terlalu lama. Iapun kemudian menyerahkan Sabungsari dalam perawatan Kiai Gringsing, sementara ia sendiri harus kembali ke Jati Anom. Tetapi ia meninggalkan seorang prajuritnya untuk mengawani Sabungsari dan membantunya jika ia memerlukan sesuatu agar tidak terlalu menyulitkan orang-orang Sangkal Putung yang merawatnya.
"Tiga atau empat hari lagi kami akan datang menjemput Sabungsari, jika keadaannya sudah memungkinkan," berkata perwira itu.
"Dan kami akan menyerahkan kedua orang Pesisir Endut itu," sahut Swandaru.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak akan ingkar. Maka jawabnya, "Aku akan membawanya bersama dengan Sabungsari."
Setelah mengucapkan terima kasih, maka perwira itupun kemudian meninggalkan Sangkal Putung bersama kedua orang prajuritnya kembali ke Jati Anom untuk melaporkan semuanya yang telah terjadi di Sangkal Putung. Agaknya masih ada harapan bagi Sabungsari untuk tetap hidup. Sementara kehadiran Kiai Gringsing di Sangkal Putung selain akan dapat memberikan pengobatan, juga akan dapat memberikan perlindungan bagi Sabungsari jika diperlukan.
Dengan sunggguh-sungguh. Kiai Gringsing telah merawat mereka yang terluka. Bukan saja Swandaru dan Sabungsari, tetapi juga kedua orang Pesisir Endut yang terluka.
Karena itulah, maka keadaan merekapun menjadi semakin baik. Swandaru dihari berikutnya telah dapat berjalan-jalan dihalaman. Ia sudah dapat berada diantara para pengawal yang masih saja digelisahkan oleh keadaan di halaman Kademangan. Dua kali peristiwa serupa itu telah terjadi. Jika saudara-saudara seperguruan Carang Waja masih juga mendendam, maka tidak mustahil bahwa peristiwa itu akan masih terulang kembali, meskipun yang melakukan orang lain.
Dalam pada itu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah terlibat dalam persoalan yang lama diantara mereka. Sekar Mirah sama sekali tidak menunjukkan keinginannya untuk tinggal dipadepokan. Ia masih saja selalu berbicara tentang masa depan yang lebih baik. Meskipun Sekar Mirah tidak begitu senang terhadap pribadi Untara yang dianggapnya kurang ramah dan terlalu berpegangan pada pendapatnya sendiri, tetapi sempat juga ia berkata kepada Agung Sedayu, "Kakang, bukankah setiap kali Kakang Untara juga mendorongmu, agar kau memilih jalan hidup yang lebih baik dari yang kau tempuh sekarang ?"
Setiap kali Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang ia merasa terlalu bebal untuk mengambil sikap. Ia mengerti perasaan Sekar Mirah. Tetapi ia merasa berdiri di jalan yang bersimpang sembilan. Ia tidak tahu, jalan manakah yang paling baik untuk dipilihnya.
"Kakang Agung Sedayu," berkata Sekar Mirah kemudian, "kau lihat prajurit muda itu " Ia dapat membunuh Carang Waja, tetapi ia terluka parah, sehingga jiwanya hampir dikorbankannya. Aku mempunyai perhitungan, bahwa kau memiliki kelebihan daripadanya. Aku mendasarkan perhitunganku pada saat kau mengalahkan Carang Waja itu. Jika ia kembali setelah sembuh, maka perwira yang menyaksikan peristiwa ini akan membuat laporan tentang dirinya. Dengan demikian maka tatarannyapun akan meningkat dan harapan baginya menjadi semakin cerah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya, maka iapun mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kakang, jika kau berpinjak pada harga dirimu, dan tidak mau menompang kedudukan kakang Untara, maka kau dapat memilih tugas ditempat lain, ditempat yang tidak berada dibawah kuasa kakang Untara. Meskipun kau harus melalui tataran yang paling rendah, tetapi kau masih mempunyai harapan."
Agung Sedayu masih berdiam diri.
"Atau, barangkali kau tidak ingin menjadi prajurit, kakang. Jika demikian, berbuat sesuatu, agar kau mendapat tempat bagi hidup kita kelak. Padepokanmu yang kecil itu tidak akan dapat memberikan apa-apa kepada kita. Nama tidak, harta benda juga tidak. Jika kau puas dengan sekedar pengabdian, maka hidup ini akan menjadi kering dan tidak memberikan gairah sama sekali," suara Sekar Mirah menjadi semakin dalam.
Tetapi seperti yang selalu dilakukan, maka Agung Sedayu hanyalah menunduk dan kebingungan. Ia tidak tahu, apakah yang harus diperbuatnya, apalagi jika mata Sekar Mirah kemudian menjadi basah. Dalam keadaan yang demikian. Sekar Mirah sama sekali menjadi lain dari Sekar Mirah yang garang, yang memegang tongkat baja putih berkepala tengkorak, peninggalan gurunya.
Jika mudah tidak mungkin lagi baginya untuk hanya berdiam diri, maka Agung Sedayu selalu mengatakan, "Aku akan memikirkannya Mirah."
Sekar Mirah mengusap matanya. Kemudian dengan wajah yang buram ia meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu.
Persoalan itu seolah-olah merupakan persoalan yang selalu kembali setiap saat dalam pembicaraannya dengan Sekar Mirah. Tidak ada habisnya dan tidak ada jalan yang nampaknya dapat ditempuh selain melakukan seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah.
Tanpa disadarinya, Agung Sedayupun kemudian bangkit dan melangkah kegandok, kedalam bilik Sabungsari yang masih terbaring diamben bambu.
Ketika prajurit muda itu melihat Agung Sedayu, maka iapun tersenyum sambil berkata, "Marilah Agung Sedayu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia masih berdiri beberapa saat dimuka pintu, sehingga prajurit yang berada bersama Sabungsari didalam bilik itupun mempersilahkannya, "Marilah. Masuklah."
Agung Sedayu menajrik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun melangkah masuk dan duduk dibibir amben tempat Sabungsari terbaring. Diluar sadarnya ia meraba leher Sabungsari sambil bertanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang ?"
Sabungsari masih tersenyum. Jawabnya, "Aku sudah menjadi jauh lebih baik sekarang."
"Tetapi tubuhmu masih terasa agak panas."
Sabungsari beringsut setapak. Katanya, "Setiap kali aku minum obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing, tubuhku memang terasa panas. Tetapi itu tidak lama. Jika keringat telah membasahi punggung, terasa tubuhku menjadi segar. Rasa-rasanya luka-lukaku telah sembuh."
Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, "Luka-lukamu masih sangat berbahaya. Kau harus mengikuti segala petunjuk guru, agar kau benar-benar akan sembuh. Pada suatu saat keadaanmu menjadi seolah-olah telah baik sama sekali. Tetapi jika kau kurang berhati-hati dan terlalu banyak bergerak, maka mungkin sekali akan timbul akibat sampingan dari sakitmu sekarang ini sehingga akan dapat terjadi hal yang tidak terduga-duga."
Sabungsari tertawa. Katanya, "Yang kau katakan seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Agaknya kaupun mulai mempelajari ilmu yang satu ini."
Agung Sedayupun tersenyum. Jawabnya, "Aku adalah muridnya. Meskipun aku belum mulai belajar dengan sungguh-sungguh ilmu pengobatan, tetapi aku sering melihat dan mendengar apa yang dilakukan dan apa yang dipesankan kepada orang-orang sakit."
Suara tertawa Sabungsari meninggi. Tetapi iapun kemudian menyeringai menahan sakit pada lukanya.
"Sudahlah," berkata Agung Sedayu kemudian, "jika mungkin tidurlah sebanyak-banyaknya. Kesehatanmu akan segera menjadi bertambah baik. Jika kawan-kawanmu datang untuk menjemputmu, kau sudah dapat melakukan segala keperluanmu sendiri. Kau tidak perlu didukung memanjat sangga wedi kudamu. Atau jika mereka membawa pedati, kau tidak usah diangkat naik kepedati."
Sabungsari mengangguk. Tetapi ia masih tersenyum.
Sesaat Agung Sedayu masih duduk diamben itu. Prajurit yang menunggui Sabungsari seolah-olah mendapat kesempatan untuk meninggalkan kawannya yang sedang sakit itu untuk beberapa lamanya. Karena itu maka iapun justru pergi keluar dan turun kehalaman menghirup udara yang segar diluar biliknya.
Prajurit itu berpaling ketika ia mendengar Glagah Putih bertanya, "Paman, kau lihat kakang Agung Sedayu ?"
"Ia berada didalam bilik Sabungsari," jawab prajurit itu.
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Terima kasih." Tetapi Glagah Putih tidak langsung menuju kebilik itu. Ia justru pergi kebiliknya sendiri.
Sementara itu, Agung Sedayu masih duduk di dekat Sabungsari berbaring. Diluar sadarnya, ia justru merenungi kata-kata Sekar Mirah. Sabungsari yang terbaring karena luka-lukanya itu, telah melakukan sesuatu dalam penilaian atasannya. Mungkin ia akan mendapat pujian, atau mungkin kenaikan tataran kepangkatannya. Meskipun anak muda itu tidak benar-benar ingin menjadi seorang prajurit. Jika ia berada didalam lingkungan keprajuritan, justru ia mempunyai maksud-maksud yang lain, yang bertentangan dengan tugas seorang prajurit.
Tetapi sesuatu telah terjadi atas Sabungsari. Ia mengalami suatu pengalaman jiwa yang akan dapat mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya.
Dalam pada itu, Sabungsari yang berbaring dipembaringan itupun tiba-tiba telah berdesis, "Agung Sedayu. Aku sudah melakukan sesuatu yang memberikan warna tersendiri dalam perjalanan hidupku. Aku sudah melakukan sesuatu yang meskipun tidak dengan sengaja, tetapi langsung sampai kesasaran."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena hanya mereka berdua saja yang berada didalam bilik itu, maka iapun menjawab, "Kau melakukannya karena dendam ?"
"Tidak. Mulanya aku melakukan karena tiba-tiba saja aku merasa berkewajiban. Aku tidak tahu, sejak kapan aku merasa diriku benar-benar seorang prajurit," jawab Sabungsari, "tetapi adalah kebetulan sekali bahwa orang yang berada di Sangkal Putung itu adalah orang-orang Pesisir Endut. Aku tidak menyangkal bahwa memang ada dorongan dari endapan perasaanku untuk menyalurkan dendam yang terbendung. Dan ternyata aku telah melakukannya. Tetapi seperti bendungan yang telah pecah, maka beban dihatikupun menjadi bertambah ringan. Rasa-rasanya, merasa berkewajiban ini akan aku pelihara. Dan aku akan tetap berada didalam lingkungan keprajuritan dengan tujuan yang lain dari saat aku memasukinya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Sokurlah. Kau sudah menemukan pribadimu dan lingkungan yang paling baik bagimu. Meskipun bukan tujuan, tetapi kemampuanmu tentu akan cepat membawamu kejenjang yang lebih baik."
"Ah," desah Sabungsari, "seperti yang kau katakan. Itu bukan tujuan. Aku masih muda. Aku belum mempunyai beban keluarga yang memerlukan sandaran hidup yang berat. Karena itu, maka kewajibanlah yang penting bagiku, meskipun harapan-harapan seperti yang kau katakan itu mungkin saja tumbuh didalam hati ini."
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu, "jika kau berharap untuk mendapat jenjang yang lebih tinggi, bukankah karena kepentingan pribadimulah yang berdiri dipaling depan. Tetapi dengan jenjang yang lebih tinggi, kau mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk menunjukkan pengabdianmu. Karena jenjang itu akan mempunyai akibat kewajiban dan tanggung jawab."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti. Mudah-mudahan perlahan-lahan aku dapat menyesuaikan diriku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia telah berhasil meyakinkan Sabungsari bahwa ia telah berada ditempat yang paling baik dan tepat baginya.
Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Persoalan yang paling pelik baginya adalah dirinya sendiri. Ia sendirilah yang masih berdiri di atas jalan yang menuju ke simpang sembilan. Ialah yang seharusnya mendengarkan nasehat seperti yang dikatakannya kepada Sabungsari.
Sejenak Agung Sedayu merenungi dirinya sendiri. Jika ia berada dilingkungan keprajuritan, maka iapun akan mendapat kesempatan seperti Sabungsari. Pada saat-saat ia dihadapkan pada kewajiban, maka ia akan menemukan kepuasan dan kebanggaan apabila ia dapat menyelesaikannya. Kemudian mendapat kesempatan untuk meningkat dari satu tataran ketataran berikutnya.
Pada permulaannya, tentu ia akan mengorbankan harga dirinya, karena ia akan berada dibawah tataran orang-orang yang memiliki kemampuan jauh lebih rendah dari dirinya. Orang-orang yang barangkali karena sebab-sebab khusus berada dijenjang yang tinggi, namun yang tidak memiliki kemampuan. Baik dimedan maupun lingkungannya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia sudah berada di dunia angan-angan yang mulai menyimpang. Karena itulah, maka iapun kemudian mencoba untuk melihat dengan hati yang bening tentang dirinya sendiri.
"Apakah salahnya jika akupun mulai menentukan pilihan seperti yang mulai di yakini kebenarannya oleh Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian didalam hatinya, "jika guru sependapat, aku akan mencobanya."
Rasa-rasanya Agung Sedayu telah menemukan alas tempat berpijak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Sabungsari. Cobalah meyakini bahwa kau telah berada dijalan yang benar."
Sabungsari memandang Agung Sedayu sejenak. Namun diluar dugaan Agung Sedayu, anak muda itu bertanya, "Agung Sedayu. Bagaimanakah dengan engkau sendiri " Apakah kau tidak mungkin memilih jalan seperti yang dilalui oleh kakakmu."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Namun ia memaksa dirinya untuk tersenyum sambil berkata, "Aku sedang memikirkannya."
Sabungsaripun tersenyum pula. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian bangkit dan minta diri untuk keluar dari bilik itu. Dengan angan-angannya ia berjalan menyusuri serambi, kemudian turun kelongkangan. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu kemudian justru turun kehalaman depan dan berjalan perlahan-lahan melintas menuju keregol.
Satu pertanyaan telah tumbuh dihatinya yang memang sudah buram, "Jika aku ingin menjadi seorang prajurit, apakah aku harus pergi ke Pajang atau ke Mataram."
Kebimbangan demi kebimbangan masih saja selalu membayanginya, sehingga alas tempatnya berpinjak, yang rasa-rasanya mulai mapan itu telah berguncang lagi.
Keragu-raguan itu agaknya akan tetap membayanginya. Meskipun setiap kali ia bertemu dengan Sekar Mirah, rasa-rasanya ia sudah siap untuk berlari ke Pajang atau ke Mataram, menyatakan diri untuk menjadi prajurit atau pengawal.
Tetapi selalu diikuti dengan pertanyaan, "Kemana " Ke Pajang atau ke Mataram?"
Bagaimanapun juga Agung Sedayu tidak akan dapat menutup mata melihat pertentangan yang sebenarnya telah membayangi kedua pusat pengaruh yang seharusnya tidak terpisahkan. Seandainya tidak pada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dengan Mas Karebet yang bergelar Sultan Hadiwijaya itu, namun pengaruh dalam lingkungannyalah yang agaknya telah menggali jurang yang semakin lama menjadi semakin dalam.
Di saat-saat berikutnya. Agung Sedayu justru terbenam lebih dalam lagi dalam kebimbangan. Rasa-rasanya ia sudah memutuskan. Namun kemudian ia kembali menjadi bimbang.
Sangkal Putung menjadi ramai dihari-hari berikutnya, ketika sepasukan kecil prajurit dari Jati Anom datang untuk menjemput Sabungsari yang mulai berangsur baik. Sebuah pedati yang khusus telah dibawa oleh sekelompok prajurit itu, untuk membawa Sabungsari yang belum memungkinkan untuk pergi berkuda. Bahkan ternyata bahwa selain Sabungsari, prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom itu juga akan membawa kedua orang Pesisir Edut yang terluka.
Kedatangan sekelompok prajurit dalam sikap yang resmi itu memang telah menumbuhkan kebanggaan dihati Sabungsari. Ketika ia sempat berbisik di telinga Agung Sedayu, ia berkata, "Agung Sedayu. Jika kau ingin membuat perhitungan, maka hutangku kepadamu akan semakin bertimbun. Kau sudah mencegah aku untuk membunuh orang yang nampaknya tidak bersalah, meskipun sebenarnya justru karena aku telah kau kalahkan. Kemudian kau telah memantapkan kedudukanku sebagai seorang prajurit, meskipun ditataran yang paling rendah. Betapapun juga aku akan berbangga karena aku telah mendapat perhatian yang sangat besar dari Senapati prajurit Pajang di Jati Anom. Kesempatan semacam ini sama sekali tidak pernah aku mimpikan ketika aku berangkat dari padepokan dengan membawa dendam didalam hati."
"Kau harus menanggapi kesempatan ini dengan hati yang jernih," sahut Agung Sedayu.
"Terima kasih Agung Sedayu. Agaknya sudah waktunya aku untuk meninggalkan Sangkal Putung bersama dengan para prajurit yang menjemputku."
Seperti yang dikatakan oleh Sabungsari, maka perwira yang memimpin kelompok peronda sehingga melibatkan Sabungsari kedalam benturan melawan Carang Waja, yang telah mendapat tugas untuk memimpin sekelompok prajurit yang menjemput Sabungsari, tidak tinggal terlalu lama di Sangkal Putung. Iapun segera menyampaikan maksudnya kepada Ki Demang Sangkal Putung, para bebahu dan para tamu mereka.
Ki Demang Sangkal Putung tidak dapat menahan prajurit yang terluka itu di Sangkal Putung. Iapun menyerahkan Sabungsari yang meskipun masih nampak sangat lemah, namun luka-lukanya sudah berangsur baik.
"Atas nama pimpinan prajurit Pajang di Jati Anom, aku mengucapkan terima kasih Kiai," berkata perwira yang menjemput Sabungsari.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Aku hanya sekedar alat dari belas kasihan Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan angger Sabungsari menjadi semakin baik dan segera sembuh sama sekali. Ia adalah seorang prajurit kecil yang besar."
Perwira itu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Segalanya yang telah dilakukan telah diketahui oleh Ki Untara. Tentu ada perhatian khusus dan peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Ia telah berbuat melampaui batas tatarannya, sehingga kesempatan untuk meningkat telah terbuka baginya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil bergumam, "Ia adalah satu kekuatan yang sulit dicari bandingnya."
"Ya. Agaknya memang demikian," jawab perwira itu. "Mudah-mudahan ia akan merupakan kekuatan yang pilih tanding, tetapi juga yang baik sebagai seorang prajurit."
Demikianlah, maka Sabungsaripun kemudian telah diangkat kedalam pedati yang sudah disediakan bagi dirinya. Kepada Swandaru yang berdiri disebelah pedatinya bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah ia berkata, "Aku minta diri. Aku berhutang budi kepada Sangkal Putung dan segala penghuninya yang bersikap sangat baik kepadaku dan yang telah memberi aku tempat selama aku hampir saja kehilangan nyawaku."
Swandaru tersenyum. Meskipun mula-mula ada perasaan yang terasa menggelitik hati, karena kehadiran anak muda itu di medan, namun akhirnya Swandaru berhasil untuk mengesampingkannya, karena justru Sabungsari adalah seorang prajurit. Yang dilakukan di halaman Sangkal Putung, bukannya sekedar memamerkan dan menyombongkan kekuatannya dan kemampuannya untuk membunuh Carang Waja. Tetapi anak muda itu agaknya telah dibebani oleh perasaan wajib karena ia memang seorang prajurit.
Sementara itu, dipedati yang lain, dua orang dari Pesisir Endut telah naik pula diawasi oleh beberapa orang prajurit.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itupun meninggalkan Sangkal Putung. Agung Sedayu yang melepas iring-iringan itu sampai keregol padukuhan induk, untuk beberapa saat masih saja berdiri memandangi mereka sampai iring-iringan itu semakin jauh.
"Kakang ingin ikut serta bersama mereka " " tiba-tiba saja Glagah Putih yang mengikutinya bertanya.
Agung Sedayu berpaling. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Sabungsari telah melakukan tugas seorang prajurit dengan hampir saja mempertaruhkan nyawanya. Ia adalah seorang anak muda yang luar biasa."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Diluar dugaan Agung Sedayu, Glagah Putih berkata, "Setiap kali aku melihat anak-anak muda yang memiliki kelebihan, aku selalu merasa diriku semakin kecil."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Tentu tidak Glagah Putih. Kau masih jauh lebih muda dari Sabungsari. Umur anak muda itu tentu tidak kurang dari umurku. Dan kau masih mempunyai hitungan tahun untuk mematangkan ilmumu, setingkat dengan Sabungsari."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu melanjutkan, "Kau jangan merasa dirimu sangat kecil. Kau sudah menjadi jauh lebih baik dari saat kau berada di Pesisir."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi tatapan matanya masih membayangkan perasaan kecewa.
Agung Sedayu yang kemudian mengajak Glagah Putih kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang pergi bersama mereka sampai keregol mengikuti pula kembali ke Kademangan, sementara iring-iringan para prajurit yang membawa Sabungsari dan para tawanan itu menjadi semakin jauh.
Dalam pada itu. diperjalanan kembali ke Jati Anom, rasa-rasanya Sabungsari benar-benar telah menemukan dirinya. Ia menjadi semakin mantap sebagai seorang prajurit. Ia tidak lagi merasa bahwa dirinya berada dilingkungan keprajuritan, sekedar mencari tempat yang paling baik untuk menunggu kedatangan Agung Sedayu, kemudian menantangnya perang tanding dan membunuhnya. Ia gagal melakukan, karena ternyata ia telah dikalahkan oleh Agung Sedayu. Tetapi tidak dibunuhnya. Sehingga karena itulah, maka sisa hidupnya kemudian sudah sepantasnyalah jika dipergunakannya untuk mengikuti petunjuk Agung Sedayu, menyerahkan bagi kebajikan.
Namun dalam pada itu, ia teringat akan kawan-kawannya yang menunggunya di Jati Anom, iapun menjadi berdebar-debar. Apakah yang sebaiknya dikatakan kepada mereka.
Tetapi akhirnya Sabungsari berkata didalam hati, "Aku akan mengatakan seperti yang terjadi. Aku tidak akan hidup dalam dunia yang gelap lagi. Aku sudah mendapat jalan keluar dari duniaku, dunia yang diwariskan oleh orang tuaku. Semua pengikut dan pengawal padepokanku harus mengetahuinya dan menyadari, bahwa jalan itu adalah jalan yang paling baik. Mereka yang berada dipadepokan dapat menyiapkan diri menempuh jalan kehidupan yang baru. Sawah cukup luas, dan tempat tinggalpun mencukupi pula. Sehingga mereka tidak akan kekurangan makan, minum, pakaian dan rumah."
Namun, agaknya ada yang dilupakan oleh Sabungsari. Ia pernah mengatakan kepada seorang prajurit, bahkan dengan menunjukkan kelebihannya membunuh dengan kekuatan pandangan matanya, seekor kambing yang terikat, bahwa ia akan membunuh Agung Sedayu. Ia tidak memberikan kesempatan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri.
Sepeinggal para prajurit Pajang di Jati Anom membawa Sabungsari dan kedua orang Pesisir Endut yang terluka, Kiai Gringsing masih tetap tinggal di Sangkal Putung bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Kiai Gringsing masih tetap merawat Swandaru yang meskipun sudah berangsur baik, tetapi masih belum sembuh sama sekali.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang setiap kali harus berpikir tentang masa depannya, justru karena Sekar Mirah selalu bertanya kepadanya apakah ia sudah mempunyai pilihan, seolah-olah telah berketetapan untuk memilih jalur kehidupan yang akan dapat menjadi arena pengabdian sesuai dengan kemampuannya.
"Aku akan berkata kepada Kakang Untara, bahwa akupun akan terjun ke dalam lingkungan keprajuritan," berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Anak muda itu melihat, bahwa didalam lingkungan keprajuritan ia akan terhindar dari permusuhan pribadi. Tentu tidak akan ada orang yang mendendamnya secara pribadi, apabila ia telah berbuat sesuai dalam menjalankan tugasnya, karena yang dilakukan bukan atas namanya sendiri.
"Demikian aku sampai ke Jati Anom, aku akan menjumpai kakang Untara. Aku tidak akan dapat selalu mengelak dari pertanyaan dan permintaan Sekar Mirah."
"Ia berhak berbuat demikian, karena hidupnya dimasa datang, akan berkaitan dengan hidupku," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera meninggalkan Sangkal Putung karena ia menunggu Kiai Gringsing yang masih merawat Swandaru yang belum sembuh sama sekali.
Bagi Swandaru, yang terjadi itu merupakan cambuk yang pedih bagi Kademangannya. Kepada para pengawalnya ia mengatakan, seandainya tidak segera kebetulan para prajurit Pajang itu meronda sampai ke Sangkal Putung, apakah Kademangan itu tidak akan mengalami bencana"
"Mungkin aku dapat menyelamatkan diri dan berhasil melumpuhkan Carang Waja yang ternyata terbunuh oleh Sabung Sari. Tetapi bagaimana dengan para pengawal yang tertidur nyenyak" Orang-orang Carang Waja yang marah, tentu akan mencari sasaran siapapun juga. Kalian yang tidur nyenyak akan dibantai tanpa ampun," berkata Swandaru pula.
Para pengawal hanya dapat menundukkan kepalanya. Yang terjadi memang berada diluar kemampuannya. Tidak seorangpun diantara mereka yang mampu melawan sirep yang demikian kuatnya.
"Kita harus menemukan cara," berkata Swandaru, "kita harus mencari satu atau dua orang dari isi Kademangan ini, yang dapat menolak sirep dari satu segi. Sementara kita, akan dapat menghadapi lawan dari segi benturan kekuatan dan pertempuran. Mungkin ada satu dua orang-orang tua yang memiliki ilmu yang dapat melawan sirep."
"Kita akan minta kepada mereka untuk ikut serta melindungi Kademangan ini dari kejahatan disaat yang lain. Karena sepeninggal Carang Waja bukan berarti bahwa perguruannya tidak lagi akan mengganggu kita."
Para pengawalpun sependapat. Namun mereka yang tidak mungkin melalukan hal itu, bertekad untuk mempelajari ilmu pedang atau senjata-senjata lain lebih banyak lagi.
"Kita harus mempergunakan sebagian waktu kita untuk berlatih tanpa jemu," berkata Swandaru kepada para pengawal, "pada saatnya kita harus menunjukkan, bahwa Sangkal Putung adalah Kademangan yang sudah dewasa. Yang dapat menjaga dirinya sendiri dari segala macam bencana."
Ternyata seperti yang diharapkan oleh Swandaru, para pengawal memang bertekad untuk melakukannya. Mereka tidak menunggu sepekan dua pekan. Mereka langsung menyusun rencana untuk melaksanakannya.
"Selama aku belum sembuh benar, maka kalian dapat melakukannya. Sementara aku akan menyaksikan saja," berkata Swandaru.
Selagi Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di Sangkal Putung, maka merekapun sempat menyaksikan, bagaimana para pengawal dengan gairah yang tinggi, melatih diri menyempurnakan bekal mereka.
Yang terjadi di Sangkal Putung itu telah merupakan pendorong bagi Agung Sedayu untuk terjun kedalam lingkungan keprajuritan. Meskipun dorongan terbesar adalah karena keinginan Sekar Mirah, namun Agung Sedayu melihat, bahwa jalan itu adalah jalan yang paling baik untuk dilaluinya.
"Sekar Mirah akan dapat memuaskan dirinya, seandainya pada suatu saat aku telah dapat meningkat ke jenjang yang lebih tinggi," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "meskipun ia tahu, bahwa kesempatan untuk mencapai tataran berikutnya kadang-kadang tidak dinilai atas dasar kemampuan saja."
Demikian dari hari kehari, keadaan Swandaru telah berangsur baik. Bahkan sudah tidak mengganggunya lagi. Pada saat-saat para pengawal berlatih. Swandaru telah dapat ikut serta untuk memberikam petunjuk dan bimbingan kepada mereka.
Karena itu, maka Kiai Gringsing yang sudah berada di Sangkal Putung untuk beberapa hari, merasa bahwa Swandaru tidak perlu ditungguinya lagi. Dalam.beberapa hari, luka-luka itu sudah akan dapat sembuh sama sekali. Mungkin bekas-bekasnya sajalah yang masih memerlukan perawatan khusus agar kemudian tidak akan menjadi noda pada tubuhnya.
"Kita sudah dapat kembali ke Jati Anom," berkata Kiai Gringsing pada suatu saat kepada Agung Sedayu.
"Apakah Sangkal Putung sudah dapat kita tinggalkan?" berkata Agung Sedayu.
Kiai Gringsing merenungkan sejenak. Seolah-olah ia masih membuat pertimbangan-pertimbangan khusus tentang Sangkal Putung. Namun kemudian ia berkata, "Menurut pertimbanganku, Sangkal Putung sudah tidak perlu dicemaskan lagi. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat. Sementara itu, luka-luka Swandaru tentu sudah akan sembuh sama sekali."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun masih juga ada kecemasan dihati Agung Sedayu. Seolah-olah dalam saat-saat terakhir. Agung Sedayu tidak melihat usaha Swandaru untuk meningkatkan ilmunya sejak ia tidak lagi berada dekat dengan gurunya.
"Mudah-mudahan aku hanya tidak mengetahuinya saja," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "seperti Swandaru tentu juga tidak mengetahui, apakah ilmuku meningkat atau tidak. Tetapi pengaruh kehadiran guru, tentu akan banyak memberikan dorongan untuk berusaha meningkatkan ilmu."
Namun dalam pada itu, secara tidak langsung. Agung Sedayu mendengar dari Sekar Mirah, bahwa Swandarupun telah berusaha terus menerus untuk meningkatkan ilmunya bersama dengan Pandan Wangi dan dirinya sendiri. Mereka bertiga bersumber dari tiga perguruan yang memiliki dasar ilmu yang berbeda. Namun dengan berlatih bersama, mereka berusaha untuk menemukan paduan tata gerak yang akan dapat meningkatkan ilmu mereka masing-masing.
"Tetapi yang dilakukan oleh Swandaru adalah petungkatan ketrampilan jasmaniah. Ia kurang bersungguh-sungguh untuk membina kemampuannya mempergunakan tenaga cadangan meskipun demikian, kecepatan bergerak Swandaru benar-benar mengagumkan disamping kekuatannya yang jauh melampaui kekuatan orang kebanyakan," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Dan saat-saat untuk kembali kepadepokan kecil itupun semakin dekat pula. Kiai Gringsing sudah tidak menganggap perlu lagi untuk berada di Sangkal Putung. Apalagi jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom memang tidak terlalu jauh.
Namun dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing sudah berniat untuk minta diri kepada Ki Demang disatu sore. Sangkal Putung telah diguncangkan oleh kehadiran iring-iringan yang melintas dari arah Timur menuju ke Barat.
Seorang pengawal berkuda yang melihat iring-iringan itu, dengan tergesa-gesa telah berpacu ke Kademangan induk, sementara kawannya telah mempersiapkan dengan tergesa-gesa para pengawal dipadukuhan diujung Kademangan itu.
"Apakah kita perlu memberikan isyarat " " bertanya salah seorang pengawal.
"Kita akan menunggu, siapakah mereka," jawab pimpinan pengawal padukuhan itu.
"Tetapi jika mereka bermaksud buruk, kita akan terlambat," sahut yang lain.
"Kita akan berpencar. Kita memperhatikan dari tempat yang tersembunyi. Jika mereka berbuat jahat, maka kita akan tampil sambil membunyikan tanda. Para pengawal-pengawal dipadukuhan terdekat akan segera datang, sebelum para pengawal dari padukuhan induk beserta Swandaru datang pula."
"Swandaru sedang sakit," sahut yang lain pula.
"Ia sudah sembuh. Ia sudah mampu bertempur lagi. Apalagi gurunya masih berada di padukuhan induk pula."
Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Kehadiran Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih seolah-olah dapat menenangkan mereka, karena selain Swandaru, mereka akan mendapat perlindungan dari orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Demikianlah, maka beberapa orang pengawal telah berpencar dan justru berlindung di antara tanaman-tanaman di sawah dipinggir padukuhan. Hanya beberapa orang saja yang berada di gardu, seolah-olah mereka tidak menaruh curiga sama sekali terhadap mereka yang datang mendekati padukuhan itu.
Sementara itu, maka pengawal berkuda yang berpacu kepadukuhan induk telah berhenti sejenak disetiap padukuhan yang dilaluinya. Pengawal itu telah memperingatkan, agar para pengawal yang mungkin dikumpulkan, segera berkumpul dan mempersiapkan diri.
"Kenapa " " bertanya anak-anak muda yang mendengar keterangan itu.
"Sebuah iring-iringan telah mendekati padukuhan diujung Kademangan. Kami belum tahu, siapakah mereka itu. Jika mereka bermaksud buruk, maka kita harus berbuat sesuatu."
"Apakah tidak ada tanda-tanda yang nampak pada iring-iringan itu ?"
Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeleng, "Kami tidak melihatnya. Seorang pengawal yang sedang berada disawah melihatnya dari kejauhan. Kemudian dengan tergesa-gesa ia berlari kepadukuhan, sambil berlindung dibalik batang-batang jagung, sehingga iring-iringan itu tidak melihatnya."
"Baiklah. Kami akan bersiap-siap. Kami akan mengumpulkan para pengawal yang ada."
"Jika perlu, kalian harus membantu kepadukuhan diujung," berkata pengawal berkuda itu.
"Tetapi jika tidak ada tanda-tanda atau tengara, kami tidak akan mengetahuinya."
"Tentu mereka akan memberikan isyarat. Mereka akan membunyikan kentongan jika perlu," berkata pengawal itu, "lebih baik kalian mempersiapkan empat atau lima ekor kuda yang dapat segera kalian pergunakan."
Sepeninggal pengawal berkuda itu, maka anak-anak muda dipadukuhan itupun segera mempersiapkan diri dengan tergesa-gasa. Tiga orang diantara mereka siap dengan kuda-kuda mereka sementara dua orang yang lain telah mendapatkan pinjaman dua ekor kuda yang siap pula dipergunakan. Sementara yang lain, telah berada di gardu dengan senjata masing-masing.
Mutiara Hitam 14 Kau Tak Perlu Mencintaiku Karya Almino Situmorang Tersesat Di Lembah Kematian 2
Para prajurit itu memang sudah bersiaga sepenuhnya. Demikian mereka melihat gerak yang mencurigakan, maka ditangan mereka telah tergenggam senjata mereka pula. Sementara mereka menarik kendali kuda masing-masing.
Seorang dari mereka yang langsung menyerang orang berkuda dipaling depan, ternyata tidak berhasil mengenainya. Senjatanya telah membentur senjata prajurit berkuda itu sehingga tergetar. Untunglah bahwa ia sempat mempertahankan senjatanya, sehingga senjatanya tidak terlepas dari tangannya.
Namun sementara itu, prajurit yang berkuda dipaling depan itu sama sekali tidak berhenti. Ia langsung memasuki regol halaman untuk segera melihat apa yang telah terjadi.
Tetapi empat orang prajurit yang lain, tidak sempat mengikutinya. Mereka terpaksa berhenti dan berputar melingkar, menempatkan diri untuk melawan para penyerangnya.
Untuk dapat melawan sebaik-baiknya, maka keempat prajurit itupun segera berloncatan turun dan melepaskan kuda-kuda mereka, yang kemudian berlari-lari kecil menepi. Tetapi seolah-olah tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi, maka kuda-kuda itupun justru menikmati helai-helai rumput yang hijau dipinggir jalan Kademangan itu.
Dengan demikian, maka segera terjadi pertempuran antara tujuh orang yang telah menunggunya melawan keempat prajurit, termasuk seorang perwira yang memimpin mereka. Seorang dari para prajurit itu sudah berada dihalaman, langsung melihat apa yang telah terjadi. Prajurit muda itu adalah Sabungsari.
Sejenak ia masih berada dipunggung kudanya. Ia memperhatikan arena pertempuran yang terbagi. Dengan sekilas ia melihat, betapa dahsyatnya cambuk Swandaru yang meledak-ledak. Tetapi terasa bahwa ledakkan cambuk itu tidak lagi melontarkan kedahsyatan kekuatan cadangannya.
Betapa lampu obor dari regol halaman dan lampu gantung dipendapa hanya lamat-lamat saja sampai, tetapi ketajaman mata Sabungsari itupun segera melihat darah yang meleleh pada tubuh anak muda bercambuk itu, yang tentu adalah saudara seperguruan Agung Sedayu.
Sementara itu. ia melihat pula dua orang perempuan yang bertempur dipendapa. Meskipun ia tidak mengenal keduanya, tetapi iapun segera mengetahui, bahwa yang seorang tentu isteri Swandaru dan yang lain adalah adiknya, seperti yang pernah didengarnya.
Dalam sekilas itu, iapun melihat, betapa dahsyatnya lawan Pandan Wangi. Ia melihat, betapa orang itu menghentakkan kakinya dan kemudian berteriak nyaring, sehingga suaranya seolah-olah memecahkan isi dada.
Yang Sabungsari tidak mengetahui adalah, kenapa orang yang garang itu telah memilih perempuan itu sebagai lawannya. Bukan Swandaru. Apakah menurut penilaian orang itu, perempuan itu memiliki kelebihan dari saudara seperguruan Agung Sedayu.
Tetapi Sabungsari tidak sempat membuat penilaian lebih jauh. Ia sudah siap terjun kearena melawan siapa-pun juga. Karena itu maka iapun segera berkata lantang, "Aku adalah prajurit Pajang di Jali Anom yang sedang meronda. Aku siap membantu kalian. Siapakah yang harus aku lawan?"
Tidak seorangpun yang segera menjawab. Bagaimanapun juga, Swandaru masih merasa dirinya belum memerlukan bantuan. Ia masih ingin menyelesaikan masalah Sangkal Putung itu dengan kemampuan sendiri.
Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa para pengawal Kademangan Sangkal Putung telah kehilangan kemampuan mereka untuk melawan. Apakah mereka telah terbunuh atau sekedar tetidur karena pengaruh sirep, masih belum diketahui dengan pasti. Dan adalah suatu kenyataan pula, bahwa yang kemudian bertempur dimuka regol Kademangan adalah para prajurit Pajang pula.
Dalam keadaan yang demikian, Swandaru menyadari kebenaran kata-kata isterinya. Bahwa dalam keadaan yang gawat itu, ia tidak dapat sekedar hanyut dalam arus perasaannya untuk mempertahankan harga diri semata-mata tanpa menghiraukan kepentingan Kademangan Sangkal Putung dalam keseluruhan.
Sementara itu, prajurit muda yang memasuki halaman itu masih berada dipunggung kuda. Sekali lagi ia berkata lantang, "Aku sudah siap. Apakah yang harus aku kerjakan ?"
Sabungsari tidak menunggu jawaban. Iapun segera meloncat turun dari kudanya dan melepaskan kudanya menepi.
Namun dalam pada itu, yang menjawab ternyata adalah lawan Pandan Wangi. Dengan suara lantang dan menggelegar ia berteriak, "He prajurit kerdil. Apa kerjamu disini. Pergilah sebelum kau mati. Aku sudah memerintahkan orang-orangku untuk membunuh semua orang dihalaman ini termasuk kalian. Tetapi aku ingin menyisakan seorang dari para prajurit yang dungu agar ia dapat berceritera kepada Pangeran Benawa, bahwa sebagian dendamku kepadanya sudah aku tebus."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, "Apa hubunganmu dengan Pangeran Benawa ?"
"Ia sudah membunuh kedua adik seperguruanku. Kakak beradik dari Pesisir Endut. Aku menuntut kematian Pangeran Benawa, Agung Sedayu dan Swandaru. Jika aku membunuh para prajurit, adalah sekedar memancing perhatian Pangeran Benawa untuk bertemu dalam perang tanding setelah aku hari ini membunuh Swandaru dan keluarganya. Aku akan membunuh siapa yang dapat aku ketemukan lebih dahulu. Agung Sedayu atau Pangeran Benawa."
Sabungsari tidak segera menjawab. Tetapi getar didadanya terasa semakin cepat. Ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah saudara seperguruan kedua kakak beradik dari Pesisir Endut.
"Jika kau mengerti maksudku, pergilah." Teriak lawan Pandan Wangi, "kau satu-satunya yang aku beri kesempatan untuk hidup."
Tiba-tiba terdengar suara Sabungsari bergetar, "Jadi kau keluarga dari Pesisir Endut."
"Ya. Akulah Carang Waja."
Sabungsari menggeretakkan giginya. Darahnya yang mengalir diseluruh tubuhnya, tiba-tiba terasa bagaikan mendidih. Dengan suara lantang ia berkata, "Adalah satu kurnia, bahwa aku dapat bertemu dengan keluarga dari Pesisir Endut."
Kata-kata itu benar-benar mengejutkan. Bahkan Swandarupun terkejut pula.
"Aku menunggu kesempatan ini," Sabungsari melanjutkan, "keluarga Pesisir Endut adalah keluarga yang telah banyak menodai ketenangan hidup di wilayah Pajang. Sehingga karena itu, maka adalah kuwajiban setiap prajurit untuk menghancurkannya. Dengan pertimbangan itu pula tentu Pangeran Benawa telah membunuh kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itu."
"Persetan," orang itu berteriak, meskipun ia masih bertempur melawan Pandan Wangi.
Namun dalam pada itu Swandarupun berkata lantang, "Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi serahkan Carang Waja itu kepadaku. Setelah aku mengusir kedua orang tikus-tikus kecil ini."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia mengerti keberatan Swandaru. Namun hatinya sendiri bagaikan sudah menyala. Kegagalannya membunuh Agung Sedayu, dan bahkan anak muda itu bagaikan telah membekukan darahnya, kini tiba-tiba darahnya itu telah bergejolak kembali. Ia telah kehilangan pengikutnya justru dibunuh oleh orang-orang Pesisir Endut. Apalagi kini ia bertemu dengan orang Pesisir Endut, yang justru adalah saudara tua kedua saudara Pesisr Endut yang lelah terbunuh itu.
Karena itu, maka katanya, "Swandaru. Aku mempunyai persoalan pribadi pula dengan orang ini. Jika aku sudah mati olehnya, maka lakukanlah perang tanding itu. Aku merasa mempunyai kewajiban unluk menagih kematian sahabatku. Tetapi jika aku tidak mampu mengalahkannya, maka aku relakan nyawaku."
Swandaru masih akan menjawab. Tetapi Carang Waja telah berteriak, "Prajurit gila. Kau sangka bahwa kemampuanmu sebagai prajurit rendahan itu akan dapat mengimbangi kemampuan Carang Waja" Datangkanlah semua perwira yang berada di Jati Anom. Bahkan bawalah Untara kemari. Ia akan mati dihalaman ini."
*** Buku 124 "APAPUNN yang akan kau lakukan terhadap Untara, Agung Sedayu maupun Swandaru bukanlah urusanku. Bunuhlah aku yang pertama-tama. Aku menuntut kematian sahabatku."
"Siapakah sahabatmu" " bertanya Carang Waja.
"Aku tidak perlu menyebutnya. Sudah terlalu banyak orang yang kau bunuh. Karena itu, kau tentu tidak akan dapat mengingatnya lagi."
Carang Waja menggeram. Sementara Sabungsari telah melangkah mendekatinya.
"Jika kau tidak keberatan, tinggalkan Carang Waja," berkata Sabungsari kepada Pandan Wangi.
"Ia amat berbahaya," sahut Pandan Wangi sambil bertempur.
Namun karena lawannya belum mempergunakan ilmunya yang aneh, maka Pandan Wangi tidak terlalu terdesak karenanya.
"Aku telah bertekad untuk membalas dendam, atau akan mati karenanya."
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Tetapi, ia masih tetap bertempur terus. Ia sadar, bahwa jika ia melepaskan lawannya kepada orang lain, Swandaru akan dapat tersinggung. Sehingga karena itu, maka seolah-olah ia menunggu keputusan suaminya.
Swandaru yang sudah banyak kehilangan tenaga, masih sempat berpikir. Ia memang tidak dapat berpegangan sekedar pada harga diri tanpa menghiraukan keadaan yang sebenarnya.
Swandaru pada kedudukannya bukan sekedar dirinya. Di Sangkal Putung ia adalah pimpinan pasukan pengawal. Karena itu, yang harus dipertimbangkannya adalah Sangkal Putung dalam keseluruhannya.
Kehadiran prajurit Pajang, bukannya akan menyusutkan harga dirinya sebagai pimpinan pasukan pengawal Sangkal Putung, karena Kademangan itu memang termasuk kedalam wilayah perlindungan Pajang.
Apalagi karena kenyataan yang terjadi atas dirinya. Darah yang sudah banyak mengalir dari luka-lukanya. Meskipun luka-luka itu sendiri tidak berbahaya, tetapi jika darah yang mengalir tidak dapat dipampatkan, maka akibatnya akan gawat, apalagi ia masih harus bertempur.
Karena itu, maka Swandaru tidak dapat tetap mengeraskan hatinya. Jika benar yang dikatakan prajurit itu, bahwa jika prajurit itu sudah mati, ia harus bertempur melawan orang yang bernama Carang Waja itu, maka ia harus mempunyai kesempatan untuk memampatkan darahnya. Baru kemudian ia akan mendapatkan kesempatan untuk berperang tanding.
Dalam pada itu, terdengar Carang Waja berkata, "Prajurit yang malang. Kau benar-benar orang yang tidak tahu diri. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang prajurit he " Sepantasnya kau mencari lawan yang seimbang. Tetapi jika kau hanya sekedar ingin membunuh diri, marilah, aku kira kau akan mendapat kesempatan itu. Dan aku akan mencari orang lain yang akan tetap hidup, mengabarkan peristiwa yang terjadi ini kepada Senapati Prajurit Pajang di Jati Anom, agar disampaikan kepada Pangeran Benawa. Aku akan menunggu kedatangannya dengan senang hati, karena aku memang ingin membunuhnya sebagaimana ia membunuh kedua saudara seperguruanku."
"Apapun yang akan terjadi atas diriku, maka aku akan memuntahkan dendam pribadiku jika lawanmu memberi kesempatan kepadaku."
Pandan Wangi masih belum melepaskan lawannya. Namun dalam pada itu terdengar Swandaru berkata, "Berilah orang itu kesempatan. Meskipun ia tidak bermaksud membunuh diri, tetapi ia dapat melihat kemungkinan pahit itu terjadi. Namun mudah-mudahan ia dapat melindungi dirinya sendiri."
Terdengar Carang Waja tertawa. Diantara suara tertawanya ia berkata, "Baiklah. Aku beri kau kesempatan untuk mati. Tetapi aku tidak akan membiarkan perempuan itu membunuh siapapun juga dari orang-orangku. Karena itu, biarlah ia mendapatkan lawannya."
Dalam pada itu, terdengar Carang Waja meneriakkan isyarat kepada orang-orangnya yang bertempur di luar regol halaman. Agaknya ia telah memanggil pengikutnya untuk menahan agar Pandan Wangi tidak sempat berbuat apapun juga.
"Apa artinya prajurit-prajurit diluar regol itu. Tahan sajalah agar mereka tidak sempat lari. Aku akan memilih, siapakah yang berhak hidup diantara mereka."
Sejenak kemudian, maka dua dari tujuh orang yang berada diregol itu meloncat memasuki halaman. Mereka langsung menempatkan, diri untuk melawan orang yang akan terlepas dari arena pertempuran melawan Carang Waja.
Dalam pada itu, para prajurit yang berada diluar pintu regol halaman Kademangan Sangkal Putung, mendapat kesempatan untuk bernafas. Karena lawan mereka berkurang dua orang, maka keseimbangan pertempuran itupun segera berubah. Jika semula para prajurit yang dipimpin oleh seorang perwira itu merasa terdesak dan bahkan seoalah-olah tidak ada harapan lagi untuk melepaskan diri, maka setelah dua orang lawan mereka memasuki halaman, para prajurit itupun telah mendapat kesempatan untuk bertempur seorang melawan seorang, kecuali pimpinan mereka yang masih harus bertempur melawan dua orang. Namun para prajurit yang lainpun tidak membiarkannya bertempur dalam kesulitan. Setiap kali para prajurit juga berusaha membantunya dengan melibatkan diri dalam pertempuran ganda.
Di halaman, Sabungsari segera melibatkan diri melawan Carang Waja yang telah ditinggalkan oleh Pandan Wangi. Demikian Carang Waja mendapatkan lawannya yang baru, maka dengan serta merta ia menghentakkan kakinya sambil berteriak nyaring.
Ilmunya itu ternyata telah mengejutkan Sabungsari. Rasa-rasanya lantai tempatnya berpijak itupun telah berguncang. Pendapa itu rasa-rasanya bagaikan diayun oleh gempa yang dahsyat.
Sejenak Sabungsari tertegun. Namun iapun harus berusaha mempertahankan keseimbangannya agar ia tidak terlempar jatuh.
Pada saat itulah Carang Waja menyerang dengan garangnya. Dengan pisau belati panjangnya ia menikam leher lawannya yang sedang berusaha memperbaiki keseimbangannya.
Tetapi Sabungsari tidak menyerah pada serangan yang pertama, Ia masih sempat menjatuhkan dirinya, sehingga serangan lawannya itu tidak menjatuhkan dirinya, sehingga serangan lawannya itu tidak menyentuhnya.
"Anak iblis," teriak Carang Waja, "betapapun juga, kau akan segera mati. Prajurit Pajang bukanlah lawan yang patut aku perhitungkan."
Carang Wajapun segera mempersiapkan dirinya pula. Namun ia menjadi heran, melihat betapa tangkasnya Sabungsari melenting berdiri. Demikian kakinya menjejak tanah, demikian anak muda itu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Kecepatan bergerak Sabungsari telah menarik perhatian Carang Waja. Ternyata bahwa Sabungsari bukannya prajurit kebanyakan. Karena itu. Carang Waja melihat, bahwa prajurit muda itu masih dapat diguncang dengan ilmunya. Karena itu, maka iapun tentu akan segera dapat diselesaikannya.
Selagi Sabungsari mempersiapkan dirinya, maka sekali lagi Carang Waja berteriak sambil menghentakkan kakinya. Dan sekali lagi rasa-rasanya tanah tempatnya berpijak itu berguncang. Seperti yang telah dilakukannya, maka Sabungsaripun segera berusaha memantapkan keseimbangannya dengan merendahkan dirinya, sementara ia masih sempat melihat serangan lawannya meluncur dengan dahsyatnya.
Sekali lagi Sabungsari terpaksa merendahkan dirinya dan bahkan berguling dilantai untuk menghindari sambaran pisau belati lawannya yang hampir menyentuh kening.
Dengan demikian, maka Sabungsaripun segera menyadari, bahwa ia memang berhadapan dengan seseorang yang pilih tanding, yang memiliki ilmu yang sulit dicari tandingnya.
Tetapi Sabungsari ternyata bukannya orang yang cepat kehilangan akal dan putus asa. Ia sengaja mempergunakan benturan-benturan pertama untuk mempelajari ilmu lawannya.
Karena itu ia tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Dengan penuh kewaspadaan ia meloncat bangkit. Ketika kakinya menjejak tanah, ia merasakan keseimbangannya tetap mantap.
Namun sesaat kemudian, sekali lagi ia melihat lawannya menghentakkan kakinya sambil berteriak. Seperti yang sudah terjadi maka iapun telah berguncang pula. Pendapa itu bagaikan akan runtuh karena gempa yang luar biasa.
Sekali lagi Sabungsari harus mempertahankan keseimbangannya. Tetapi ia tidak lagi berguling dilantai. Meskipun ia masih harus merendahkan dirinya, tetapi ia sudah mulai dapat mengatasai kebingungannya menghadapi ilmu yang aneh itu.
Karena itu, maka iapun menyilangkan kakinya sambil menjatuhkan diri duduk dilantai. Namun tangannya sudah siap menghadapai segala kemungkinan yang bakal terjadi. Seperti lawannya, Sabungsari tidak mempergunakan senjata panjangnya. Tetapi ia mencabut kerisnya untuk melawan pisau belati Carang Waja.
Ketika Carang Waja meluncur menyerang, maka dengan tangkasnya Sabungsari bergeser. Demikian serangan lawannya meluncur tanpa menyentuhnya, maka dengan kecepatan yang luar biasa, Sabungsari telah mengayunkan kakinya mengejar lawannya, tanpa menghiraukan keseimbangannya.
Kecepatan yang tidak diperhitungkan itulah yang telah mengejutkan Carang Waja. Tiba-tiba saja terasa lambungnya dihantam oleh kaki lawannya. Demikian kerasnya, sehingga Carang Waja telah terlempar beberapa langkah. Hampir saja kepalanya membentur tiang pendapa. Untunglah, bahwa ia sempat menahan dirinya, sehingga benturan itu dapat dihindarkan.
Tetapi pada saat yang sama, Sabungsaripun telah terbanting jatuh. Rasa-rasanya ia telah kehilangan keseimbangannya disaat ia melontarkan serangannya. Meskipun serangan itu mengenai sasarannya, tetapi iapun bagaikan terlempar pula dan jatuh dilantai.
Pada saat yang hampir bersamaan pula keduanya telah meloncat berdiri. Keduanyapun segera bersiap melancarkan serangan masing-masing.
Tetapi Carang Waja lebih cepat sekejap. Ia sempat menghentakkan kakinya dan sekali lagi mengguncang tanah tempat berpijak. Dan sekali lagi ia melihat lawannya menjatuhkan diri sambil menyilangkan kakinya, sementara kerisnya tegak didepan dadanya.
Carang Waja yang melihat ketangkasan lawannya tidak segera menyerangnya. Tetapi sekali lagi ia menghentakkan kakinya, sehingga guncangan bumi itupun rasa-rasanya menjadi semakin dahsyat. Pendapa itu benar-benar bagaikan runtuh menimpa kepala Sabungsari.
Tetapi pendapa itu tidak runtuh. Pendapa itu tetap tegak seperti tidak bergetar sama sekali.
Tetapi Sabungsari tidak sempat berpikir lebih panjang. Carang Waja telah meluncur dengan pisau belatinya mengarah kelehernya.
Dengan serta merta Sabungsari beringsut sambil merendahkan kepalanya hampir menyentuh lantai. Ia mulai menyadari, bahwa setelah serangan dilontarkan, maka guncangan tempatnya berpinjak menjadi susut.
Karena itu, maka sambil menjatuhkan diri hampir berbaring dilantai, Sabungsari telah siap melenting untuk mengejar lawannya dengan serangan.
Tetapi ternyata bahwa Carang Waja bergerak lebih cepat. Ujung pisau belatinya tidak seluruhnya dapat dihindari oleh lawannya. Ternyata bahwa Sabungsari telah berdesah menahan pedih yang telah menyengat pundaknya.
Seleret luka telah menyobek kulit dipundaknya, sehingga sejenak kemudian, maka darahpun mulai mengalir dari lukanya itu.
Terdengar Sabungsari menggeram. Ia sadar, bahwa lawannya memang orang yang luar biasa. Seorang yang sulit untuk diatasinya.
Ternyata bahwa luka itu telah memperlambat geraknya. Sebelum ia sempat bangkit dan bersiap sebaik-baiknya, Carang Waja telah menghentakkan kakinya sekali lagi, sehingga rasa-rasanya kepala Sabungsari menjadi pening karena gangguan keseimbangannya. Pendapa itu rasa-rasanya bukan saja berguncang, tetapi kemudian justru mulai berputar.
Tetapi justru karena itu, maka Sabungsari tidak berusaha bangkit berdiri. Ia masih tetap duduk bertelekan pada sikunya. Sementara tangannya yang lain telah siap dengan kerisnya untuk menghadapi kemungkinan yang lebih pahit, apabila Carang Waja menyerangnya dengan gerak pendek.
Tetapi perhitungan Carang Wajapun cukup cermat. Yang dilakukannya kemudian adalah meloncat sambil mengayunkan pisau belatinya mengarah kedadanya.
Sabungsari tidak bergeser. Tetapi ia siap menghadapi serangan itu dan menyongsongnya dengan ujung kerisnya. Namun ternyata bahwa Carang Waja hanya sekedar meloncat mendekat. Ia tidak menusukkan pisau belatinya, karena iapun tidak mau tergores oleh keris lawannya. Yang dilakukan kemudian adalah meloncat kesamping sambil menghentak sekali lagi dibarengi dengan teriakan yang nyaring.
Sabungsari benar-benar menjadi pening. Selagi ia bertahan agar isi dadanya tidak runtuh, ia melihat serangan lawannya menyambarnya sekali lagi. Dan sekali lagi ia terlambat. Ujung pisau belati itu telah mengenai punggungnya.
Sabungsari menjadi sangat marah. Ia sudah terluka ditubuhnya. Dan darah telah mulai mengalir. Namun ia tidak dapat ingkar akan kemampuan lawannya, sehingga ia tidak boleh membiarkan serangan-serangan demikian berlangsung terus atasnya.
Ketika kemudian Carang Waja menghentak bumi sekali lagi, maka Sabungsaripun meluncur turun dari tangga pendapa. Ia ingin bertempur ditempat yang lebih luas tanpa diganggu oleh tiang-tiang dan umpak-umpak batu. Namun, disaat ia meluncur turun kehalaman. Carang Waja masih sempat mengejarnya, dan melukainya sekali lagi dilambung meskipun hanya segores kecil.
Tetapi sebelum Sabungsari, bersiap, maka tanah tempatnya berpijak telah terguncang lagi. Sekali lagi pisau lawannya telah melukai dadanya. Lebih parah dari luka-luka yang terdahulu.
Betapa kemarahan menghentak-hentak dada anak muda itu. Seolah-olah ia tidak mendapat kesempatan untuk mengadakan perlawanan. Sekilas ia melihat lawannya menyambar. Namun kemudian berdiri tegak di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Sementara itu, Sabungsari masih terkapar bersandar tangga pendapa. Luka-lukanya terasa pedih sepedih luka dihatinya.
Dalam pada itu, Swandaru yang masih bertempur melawan dua orang pengikut Carang Waja, sempat juga melihat keadaan Sabungsari. Seakan-akan tidak ada lagi kesempatan bagi Sabungsari untuk bangkit dan melindungi dirinya sendiri.
Karena itulah, maka ia harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang bakal datang. Jika anak muda itu terbunuh, maka ia harus siap menggantikan tempatnya, apapun yang akan terjadi atasnya. Bahkan seakan-akan ia telah mengorbankan harga dirinya dengan memberikan kesempatan kepada anak muda itu untuk melawan Carang Waja, sehingga diluar niatnya, ia telah menjerumuskannya kedalam maut.
Dengan demikian, maka Swandaru yang telah susut kekuatannya karena darahnya yang mengalir itu tidak lagi memperhitungkan dirinya yang sudah terluka. Tiba-tiba saja ia menghentakkan segenap kemampuannya, melampaui perhitungan nalarnya. Cambuknyapun tiba-tiba telah meledak dengan dahsyatnya, sehingga kedua lawannyapun terkejut karenanya. Dengan mengerahkan kekuatan yang ada, maka Swandaru berusaha untuk secepatnya mengalahkan lawannya dan mempersiapkan diri untuk melawan Carang Waja yang garang itu.
Ternyata bahwa kedua lawan Swandaru terkejut menghadapi perubahan yang tiba-tiba itu. Cambuk Swandaru yang berputar seperti angin pusaran tiba-tiba telah meledak seperti guntur, dan mematuk seperti ujung petir menyambar puncak pepohonan.
Ketika terdengar ledakkan yang dahsyat, maka seorang lawannya telah berdesah tertahan. Segores luka telah menyobek keningnya yang tersentuh ujung cambuk Swandaru yang berkarah rangkap.
Swandaru yang melihat darah meleleh dikening, berusaha untuk menekan lawannya lebih dahsyat lagi, sehingga ia melupakan keadaannya sendiri. Cambuknya meledak semakin dahsyat dan ujung cambuknya seolah-olah mempunyai mata yang tajam, sehingga kemana lawannya pergi, ujung cambuk itu telah mengejarnya.
Sekali lagi orang yang terluka dikening itu mengaduh. Pundaknyapun telah dikoyak oleh juntai cambuk Swandaru yang dahsyat itu.
Sementara itu. Pandan Wangi yang mendapat kedua lawan yang baru, telah dengan mantap menempatkan dirinya. Keduanya tidak banyak dapat berbuat sesuatu. Hentakan kaki Carang Waja tidak banyak mempengaruhi Pandan Wangi yang telah menjadi semakin jauh dari padanya.
Yang menjerit kemudian adalah lawan Sekar Mirah. Ketika Carang Waja memburu lawannya, turun dari pendapa, maka jarak dari padanyapun menjadi semakin jauh. Karena itulah, maka Sekar Mirahpun kemudian segera dapat mendesak lawannya.
Yang paling malang dari para pengikut Carang Waja adalah lawan Sekar Mirah. Ternyata bahwa tongkat baja Sekar Mirah mampu mematahkan senjata lawannya.
Dengan wajah yang pucat lawan Sekar Mirah itupun kemudian harus menerima nasibnya yang buruk. Ayunan yang tidak terelakkan telah menghantam pelipisnya, sehingga seolah-olah kepalanya telah terlempar dari tubuhnya.
Namun meskipun kepala itu masih tetap melekat dilehernya, tetapi retak ditulang kepalanya, telah menghempaskan orang itu kedalam batas umurnya. Ketika ia menggeliat, maka terlepaslah nafasnya yang terakhir dari lubang hidungnya.
Sekar Mirah kemudian berdiri dengan garangnya. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu dengan wajah yang tegang.
Sementara itu. Pandan Wangi masih bertempur melawan dua orang pengikut Carang Waja. Demikian juga Swandaru. Tetapi salah seorang lawan Swandaru telah menjadi semakin lemah, bahkan seolah-olah tidak lagi mampu berbuat sesuatu, meskipun ia masih tetap berdiri dengan senjata ditangan.
Sekar Mirah yang melihat kakaknya terluka, segera mendekatinya. Namun yang terdengar adalah Swandaru yang membentaknya, "Jangan ganggu aku. Lihat, bagaimana dengan mbokayumu."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia berpaling. Dilihatnya Pandan Wangi masih bertempur melawan dua orang. Tetapi agaknya yang dua orang itu, tidak akan membahayakan keadaan Pandan Wangi.
Kehadiran lima orang prajurit Pajang itu benar-benar telah merubah keadaan. Perhitungan Carang Waja tentang kelima prajurit itu ternyata keliru. Lima orang prajurit itu tidak dapat dipatahkan seperti yang diperhitungkan. Apalagi salah seorang dari mereka, adalah anak muda yang siap melawannya, meskipun telah terluka parah.
Namun dalam pada itu, prajurit yang bertempur di luar regol halaman itu ternyata telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Ketahanan jasmaniah mereka semakin lama menjadi semakin susut. Jumlah lawan yang lebih banyak, memaksa mereka harus mengerahkan tenaga mereka berlebih-lebihan.
Carang Waja yang melihat lawannya terkapar bersandar tangga pendapa berdiri tegak dengan tangan bertolak pinggang. Pisau belatinya yang merah karena darah, digenggamnya erat-erat. Sesaat ia memandang lawannya. Kemudian dengan suara lantang ia berkata, "Kau akan segera mati. Yang lainpun akan mati pula. Seorang pengikutku telah terbunuh. Itu berarti bahwa seisi Kademangan ini akan mati pula. Para pengawal di gardu-gardupun akan mati."
Sabungsari masih bersandar tangga pendapa. Wajahnya yang merah karena marah menjadi bertambah tegang. Sementara matanya bagaikan menyala oleh gejolak hatinya. Namun, sikap Carang Waja itu adalah kesalahan yang besar yang telah dilakukannya dihadapan Sabungsari.
Beberapa saat lamanya Carang Waja masih berdiri tegak. Ia sudah siap menikmati kemenangannya yang pertama dengan membunuh anak muda yang mengenakan pakaian seorang prajurit dan telah berani menempatkan diri untuk melawannya.
Carang Waja masih berdiri tegak dengan bertolak pinggang. Terdengar kemudian suara tertawanya, "Ayo anak muda yang mendendam. Bangkitlah. Kita masih akan bertempur satu dua langkah lagi sebelum kau mati."
Tetapi Sabungsari sudah tidak berusaha untuk bangkit lagi. Ia masih terkapar bersandar tangga pendapa. Sementara Carang Waja tertawa berkepanjangan.
"Baiklah," berkata Carang Waja kemudian, "jika kau tidak lagi dapat bangkit karena putus asa, aku akan segera mengakhiri hidupmu. Pisauku akan menusuk dadamu langsung kearah jantung, karena kau sudah pasrah sehingga menumbuhkan belas kasihanku kepadamu. Dengan demikian, aku akan menolongmu untuk cepat mati tanpa merasakan siksaan kesakitan."
Carang Waja kemudian mempersiapkan diri untuk sekali lagi menghentakkan kakinya, membuat lawannya kehilangan keseimbangan. Kemudian meloncat membenamkan pisau belatinya.
Namun diluar sadarnya, pada saat itu. Carang Waja seolah-olah telah memberikan kesempatan yang cukup kepada Sabungsari untuk mempersiapkan ilmunya. Tanpa bergeser sejenggkalpun ia telah mempersiapkan diri, memusatkan kemampuan ilmunya yang dapat terpancar dari matanya.
Namun diluar sadarnya, pada saat itu, Carang Waja seolah-olah telah memberikan kesempatan yang cukup kepada Sabungsari untuk mempersiapkan diri, memusatkan kemampuan ilmunya yang dapat terpancar dari matanya.
Karena itu, maka pada saat yang bersamaan kedua orang itu telah bersiap untuk melepaskan ilmu puncak masing-masing. Carang Waja dengan ilmunya yang seolah-olah mampu mengguncang bumi, sedangkan Sabungsari telah siap melontarkan ilmunya lewat sorot matanya.
Tepat pada waktunya, ketika Carang Waja mulai menggerakkan kakinya untuk menghentak tanah tempat ia berpijak, Sabungsari yang seolah-olah tidak bergerak, dan masih terkapar bersandar tangga pendapa itu, telah melepaskan ilmunya lewat sorot matanya, yang menghantam tubuh lawannya.
Ketika Carang Waja berteriak sambil menghentak bumi, maka suara teriakannya tiba-tiba saja telah melengking tinggi. Sementara hentakan kakinya masih juga terasa oleh Sabungsari, dirinya bagaikan diguncang. Namun Sabungsari tidak melepaskan tatapan matanya yang seolah-olah mencengkam dada Carang Waja.
Terasa dada Carang Waja bagaikan tertimpa sebuah bukit batu. Jantungnya bagaikan diremas hancur, sementara pernafasannya bagaikan telah tersumbat.
Dengan gerak naluriah. Carang Waja telah meloncat dan membanting tubuhnya ditanah sambil melepaskan ilmunya menghentak tempat ia berpijak. Sekali lagi Sabungsari terguncang. Sehingga ia seolah-olah telah terlepas dari sandarannya.
Sabungsari yang berusaha untuk tetap mencengkam lawannya dengan ilmunya telah kehilangan ia sesaat. Pada saat Carang Waja menjatuhkan dirinya sambil mengguncang lawannya, maka Carang Waja telah terlepas beberapa kejap.
Namun yang beberapa kejap itu seolah-olah telah menunjukkan kepadanya, bahwa himpitan pada dadanya itu adalah karena lontaran ilmu lewat sorot mata lawannya.
Karena itu, maka dengan tenaga yang ada padanya. Carang Wajapun kemudian melenting berdiri. Ia sadar, bahwa lawannya akan mencengkamnya sekali lagi. Namun pada saat itu, ia masih sempat menghentakkan kakinya untuk mengelabui keseimbangan Sabungsari yang masih tetap saja ditempatnya.
Ketika terasa himpitan didadanya mengendor, karena Sabungsari sedang berusaha mempertahankan keseimbangannya. Carang Waja dengan serta merta telah melontarkan pisau ditangannya.
Sabungsari terkejut. Diluar sadarnya ia telah memperhatikan pisau yang meluncur cepat. Namun ia tidak sempat mengelak, karena ia tidak menduga sama sekali, bahwa serangan itu akan datang meluncur seperti anak panah. Apalagi ia sedang berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya.
Ketika ia berusaha bergeser setapak, maka pisau itu telah menancap didadanya. Untunglah, bahwa ia sempat berkisar, sehingga pisau itu tidak menghunjam dijantungnya.
Sabungsari bagaikan dibakar oleh dendam dan kemarahan tiada taranya. Dengan sisa tenaga yang ada, maka iapun kemudian menghempaskan segenap ilmunya menghantam lawannya. Diremasnya dada lawannya sehingga terdengar tulang-tulang iganya menjadi retak.
Carang Waja berteriak tertahan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan diri lagi dari cengkaman sorot mata Sabungsari. Anak muda itu sama sekali tidak menghiraukan lagi, ketika dirinya seolah-olah berguncang. Tetapi karena kemampuan tenaga lawan yang jauh susut oleh cengkaman ilmu Sabungsari, maka goncangan itu tidak banyak lagi berarti.
Sabungsari benar-benar tidak mau melepaskan lawannya. Ketika Carang Waja kemudian menggeliat dan menjatuhkan dirinya ditanah sambil berguling-guling, Sabungsari berusaha dengan tenaga yang tersisa untuk tetap mencengkam lawannya dengan sorot matanya.
Akhirnya Carang Waja sulit untuk berhasil melepaskan diri dari ilmu lawannya. Meskipun ia mencoba mengerahkan ilmunya, ia tetap merasa bahwa dadanya bagaikan dihimpit oleh sebuah bukit batu.
Namun demikian, Carang Waja masih berusaha untuk melepaskan diri dengan berguling dan melenting. Sekali-sekali ia terlempar keluar dari cengkaman ilmu Sabungsari. Namun sejenak kemudian, ilmu itu telah mencengkamnya kembali.
Meskipun demikian, Sabungsari menjadi cemas juga. Ia sadar bahwa Carang Waja sedang berusaha menjauhinya, dan kemudian berlindung dibalik arena pertempuran yang lain, atau dibalik gerumbul dan pepohonan.
Sabungsari tidak mau kehilangan lawannya. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, sambil mencengkam lawannya dengan ilmunya, maka iapun bangkit perlahan-lahan dengan tubuh gemetar.
Luka Sabungsari ditubuhnya adalah luka yang parah. Tetapi didorong oleh kemarahan yang tiada taranya, ia masih dapat melangkah maju mendekati Carang Waja yang sedang berusaha melepaskan diri dari padanya.
Tetapi Carang Waja sudah tidak mempunyai harapan lagi. Rasa-rasanya isi dadanya telah diremukkan oleh kekuatan sorot mata Sabungsari yang mempunyai sentuhan wadag itu.
Beberapa langkah ia masih dapat beringsut. Namun ternyata bahwa prajurit muda itu melangkah terhuyung-huyung mendekatinya. Dengan demikian maka kekuatan sorot matanya terasa semakin keras menghimpit tubuhnya.
Tetapi tiba-tiba terasa sesuatu yang mengejutkan Carang Waja. Ketika langkah Sabungsari menjadi semakin dekat, maka cengkaman ilmu anak muda itu justru terasa semakin kendor.
Dengan demikian, maka tiba-tiba saja telah melonjak kembali harapan dihati Carang Waja. Meskipun ilmu itu masih terasa menggenggam dadanya, tetapi Carang Waja sempat melihat Sabungsari tidak lagi dapat berdiri dengan mantap. Bahkan kemudian ilmu itu perlahan-lahan seakan-akan telah melepaskannya.
Selangkah dihadapannya Sabungsari berdiri. Wajahnya nampak pucat pasi. Darahnya mengalir dari lukanya tanpa terkendali lagi. Karena itulah, maka Sabungsari menjadi semakin lemah. Ia tidak lagi mampu memusatkan ilmunya untuk tetap mencengkam lawannya. Bahkan kepalanya terasa semakin lama semakin pening sementara matanya, pintu pancaran ilmunya yang khusus itu menjadi semakin kabur.
Pada saat itu. melonjak harapan dihati Carang Waja. Ia sadar bahwa lawannya tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Ia tentu akan segera pingsan dan barangkali mati. Dengan demikian, betapa luka parah didalam dadanya terasa pedih, namun ia akan dapat melepaskan diri dari himpitan yang tidak terlawan. Ia akan mendapat waktu untuk sekedar beristirahat, mengatur pernafasannya dan kemudian seperti yang pernah terjadi, melarikan diri.
Yang terjadi itu bagi Carang Waja, bagaikan sebuah peristiwa yang terulang kembali saat ia melawan Agung Sedayu yang memiliki kemampuan tidak terlawan olehnya. Dan kini prajurit muda itu telah bertempur dengan ilmu yang mirip dengan ilmu yang dimiliki Agung Sedayu, meskipun sumbernya dapat berbeda.
Carang Waja tidak menghiraukan lagi kawan-kawannya yang sedang bertempur dengan sengitnya. Ia berharap bahwa merekapun akan dapat mennyelesaikan pertempuran itu sebaik-baiknya. Prajurit-prajurit di regol itu akan mati. Prajurit muda yang melawannya itupun akan mati. Dan yang lain-lainpun akan terbunuh pula.
Pada saat itu, Carang Waja benar-benar merasa telah terlepas dari cengkaman ilmu lawannya. Betapapun dadanya terasa telah hancur, tetapi ia sempat melihat Sabungsari terhuyung-huyung selangkah dihadapannya.
Namun yang tidak diperhitungkannya adalah kesadaran terakhir yang mendorong gejolak perasaan Sabungsari. Dendamnya yang membara serta kemarahan yang tidak terkendali, telah memaksanya untuk selangkah lagi maju untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi ia tidak lagi mampu memeras ilmunya dan menghimpit lawannya dengan sorot matanya. Ia tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendorong ilmunya yang dahsyat itu, seperti juga Carang Waja sudah tidak mampu lagi menghentak tanah tempatnya berpijak.
Namun Sabungsari tidak mau gagal disaat terakhir.
Itulah sebabnya, maka Sabungsari memaksa diri dengan kekuatannya yang terakhir untuk melangkah maju. Ia tidak lagi mempergunakan sorot matanya untuk menghadiri pertempuran. Tetapi dengan kekuatan yang tersisa, dihentakannya tangannya untuk menghunjamkan keris ditangannya.
Carang Waja melihat keris itu terayun. Bahkan kemudian tubuh Sabungsari itu roboh menimpanya. Tetapi ia tidak mampu beringsut sama sekali. Karena itu, maka ia hanya dapat berdesah perlahan ketika tubuh prajurit muda itu jatuh pada tubuhnya yang terkapar. Carang Waja masih sempat merasa sebuah tusukan keris menghunjam didadanya. Oleh tekanan berat badan lawannya, maka keris yang tepat diarah jantungnya itu telah menembus tubuhnya dan merobek dinding jantungnya itu.
Carang Waja tidak sempat mengaduh. Tarikan nafasnya yang berat telah mengakhiri hidupnya diujung keris Sabungsari, seorang prajurit muda yang hatinya telah dibakar oleh dendam. Yang ternyata dendam itu telah membakar Carang Waja.
Pada saat yang bersamaan, maka Swandarupun telah menghentakkan kekuatannya yang terakhir. Iapun telah memaksa diri, bertempur melampaui ketahanan tubuhnya, sehingga demikian lawannya yang terakhir dilumpuhkannya, iapun telah terduduk dengan lemahnya di tangga pendapa.
Dalam pada itu, para pengikut Carang Waja tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghindarkan diri. Mereka yang masih mempunyai kekuatan untuk melarikan diri, segera melarikan diri tanpa menghiraukan kawan-kawannya yang lain. Mereka telah berusaha mencari keselamatan masing-masing.
Demikianlah, maka pertempuran di halaman Kademangan Sangkal Putung itupun berakhir. Beberapa sosok mayat tergolek dihalaman, termasuk Carang Waja. Dan orang dari Pesisir Endut terluka parah. Sementara Swandaru sendiri menjadi lemas oleh darahnya yang terlalu banyak mengalir. Sementara Sabungsari masih terbujur diam diatas tubuh Carang Waja. Sedangkan yang lain masih sempat melarikan diri menghindari para prajurit dan orang-orang Sangkal Putung.
Pandan Wangi yang tidak mengejar lawannya, dengan tergesa-gesa berlari mendekati suaminya. Sekar Mirahpun telah mengikutinya dan bersama-sama berjongkok disampingnya. Sementara para prajurit yang lain telah berlari-larian mendekati Sabungsari. Mengangkat tubuhnya dan membaringkannya menelentang.
"Pisau itu," desis salah seorang prajurit.
Perwira yang memimpin para prajurit itupun kemudian berdesis, "Aku akan mencabutnya. Aku membawa obat yang dapat menolongnya untuk sementara jika ia memang masih mungkin hidup."
Dalam pada itu, Swandaru yang menjadi sangat lemah masih sempat melihat para prajurit yang sibuk merawat Sabungsari, sementara itu Pandan Wangi dan Sekar Mirah mencemaskannya.
"Aku tidak apa-apa," berkata Swandaru, "bagaimana dengan prajurit itu ?"
Pandan Wangi yang mencemaskan keadaan Swandaru menyahut, "Prajurit yang lain telah berusaha menolongnya. Tetapi bagaimana keadaanmu sendiri. Lukamu masih berdarah."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah," berkata Pandan Wangi, "aku akan mengobati luka-lukamu lebih dahulu."
Swandaru tidak membantah ketika kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirah menolongnya, nampaknya masuk keruang dalam, dan membaringkannya disebuah ambin yang besar.
Ketika Pandan Wangi dan Sekar Mirah merawatnya, Swandaru sempat menilai dirinya sendiri. Ketika perasaannya bergejolak karena Carang Waja terbunuh oleh prajurit Pajang yang datang itu, maka iapun mencoba untuk menekannya. Meskipun ada juga singgungan pada perasaannya, bahwa orang lainlah yang telah membunuh orang itu, namun ternyata bahwa orang itupun berada dalam keadaan yang parah. Sementara itu, para prajurit telah mengangkat tubuh Sabungsari kependapa. Dengan hati-hati perwira yang memimpin kelima orang prajurit itupun mencabut pisau yang masih tertancap didada Sabungsari yang pingsan. Kemudian menaburkan obat yang dibawanya untuk menolong luka-luka itu sebelum mendapat perawatan yang lebih baik.
Ketika para prajurit masih dengan tegang menunggui Sabungsari yang pingsan, Swandaru dengan langkah yang belum mantap, telah keluar pula kependapa dengan dibantu oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Oleh obat yang ditaburkan diluka-lukanya, maka darahnya telah menjadi hampir pampat. Sehingga karena itulah, maka ketika ia sudah berada di pendapa, maka iapun segera duduk bersandar tiang dan membatasi geraknya, agar darahnya tidak menjadi deras lagi.
"Bagaimana keadaannya " " bertanya Swandaru dengan nada datar.
"Parah sekali," jawab perwira yang memimpin kelompok prajurit peronda itu, "darahnya terlalu banyak mengalir. Tetapi mudah-mudahan ia tertolong."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mengalami bertempur melawan Carang Waja meskipun orang itu kemudian meninggalkannya. Ia harus mengakui bahwa Carang Waja adalah orang yang luar biasa.
Meskipun demikian, Swandaru itu berkata didalam hatinya, "Seandainya ia tetap melawanku, akupun akan membunuhnya pula, meskipun mungkin aku akan menjadi lebih parah dari luka-lukaku ini."
Sementara itu, para prajurit itu masih dicengkam oleh ketegangan. Obat yang ditaburkan oleh perwira itu memang dapat menolong serba sedikit. Darah yang mengalirpun menjadi jauh berkurang.
Tiba-tiba saja hampir diluar sadarnya Swandaru berkata, "Apakah kalian bersedia menyampaikan hal ini kepada Kiai Gringsing " Mudah-mudahan ia sempat menolong prajurit yang terluka itu."
"Kiai Gringsing," perwira itu bergumam.
"Ya. Kiai Gringsing dipadepokan kecil itu," desis Swandaru.
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Apakah Kiai Gringsing mampu mengobatinya ?"
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi ia adalah seorang yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan. Kakang Untara mengetahui hal itu dengan pasti, karena ia pernah ditolong pula oleh Kiai Gringsing ketika ia terluka senjata."
Perwira itu memandang ketiga prajuritnya yang lain. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Marilah. Seorang dari kalian akan pergi bersamaku. Dua orang lainnya akan menjaga Sabungsari. Carilah air, dan titikkan dibibirnya yang kering agar ia mendapat sekedar kesegaran."
"Marilah," berkata Sekar Mirah. Lalu. "Aku akan mencari mangkuk di ruang belakang."
Seorang dari prajurit itupun mengikutinya, sementara perwira itupun kemudian minta diri bersama seorang prajuritnya yang lain untuk pergi ke Jati Anom. Melaporkan keadaannya dan singgah dipadepokan Kiai Gringsing.
Sepeninggal perwira itu, maka prajurit yang mengambil semangkuk air dibelakang, telah menitikkan air dibibir Sabungsari. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat bibir itu bergerak. Tetapi nampaknya Sabungsari masih tetap belum sadarkan diri.
Meskipun demikian, agaknya obat yang ditaburkan di luka-lukanya telah berhasil mengurangi arus darah yang mengalir. Bahkan semakin lama menjadi semakin pampat, sehingga prajurit-prajurit yang menungguinya itu telah berpengharapan, bahwa kawannya itu masih akan dapat ditolong jiwanya.
Dalam pada itu. Sekar Mirah telah mendekati pintu bilik ayahnya dan mengetuknya keras-keras. Agaknya pengaruh sirep telah lampau. Ketukan itu ternyata telah didengar oleh ayahnya dan bangun dengan gugup.
"Ada apa Sekar Mirah " " ia bertanya.
"Pergilah ke pendapa ayah," desis Sekar Mirah.
Dengan mengusap matanya, Ki Demangpun berjalan tertatih-tatih kependapa oleh kantuk yang masih saja seolah-olah melekat dimatanya.
Demikian ia keluar dari pintu ruang dalam, hatinya melonjak. Ia melihat seorang prajurit terbaring diam ditunggui oleh dua orang kawannya, sementara Swandaru duduk bersandar tiang tanpa bergerak.
"Apa yang telah terjadi " " ia bertanya.
"Silahkan ayah," berkata Sekar Mirah.
Ki Demangpun dengan wajah yang tegang, duduk dipendapa, disamping Swandaru yang lemah.
"Ceriterakan peristiwa ini kepada ayah Sekar Mirah," minta Swandaru.
Dengan singkat Sekar Mirah menceriterakan apa yang telah terjadi. Sambil menunjuk kehalaman ia berkata, "Ada beberapa sosok mayat dihalaman. Dan mungkin diantara mereka masih ada yang hidup. Tetapi kami tidak sempat berbuat apa-apa, karena kakang Swandaru terluka dan prajurit itupun parah sekali."
Ki Demang memandang berkeliling dengan tatapan mata yang tegang. Dilihatnya dua orang prajurit yang menunggui kawannya yang terbaring diam. Swandarupun duduk bersandar dengan pakaian yang masih dikotori dengan darahnya sendiri.
"Aku akan memanggil para pengawal," berkata Ki Demang, "he, kenapa kalian tidak membunyikan kentongan ?"
"Kentongan itu telah pecah," sahut Sekar Mirah.
"Kenapa " " bertanya Ki Demang.
"Aku memukulnya terlalu keras dengan tongkatku," jawab Sekar Mirah.
"Jadi kau sudah membunyikan kentongan itu " " bertanya Ki Demang.
"Sampai pecah," jawab Sekar Mirah pula.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun ber gumam, "Agaknya ada pengaruh sirep seperti yang pernah terjadi."
"Ya. Ada pengaruh sirep. Dan agaknya para pengawalpun sekarang masih belum bangun," berkata Sekar Mirah pula.
Ki Demang mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Aku akan membangunkan mereka. Jika orang-orang yang terusir itu menjadi gila, maka mereka akan dapat membunuh orang-orang yang sedang tidur nyenyak itu."
Dada Sekar Mirah tersirap. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Sehingga karena itu, maka iapun dengan serta merta menyahut, "Ayah benar. Marilah ayah. Kita akan membangunkan mereka."
Ki Demangpun kemudian berkemas. Sambil menjinjing pedang, iapun kemudian turun diikuti oleh Sekar Mirah. Ditangga ia berhenti sambil berkata, "Jaga suamimu baik-baik Pandan Wangi. Kita masih harus berhati-hati."
"Ya ayah. Kedua prajurit itu akan menemani kami."
Ki Demangpun segera turun diikuti oleh Sekar Mirah. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka berdiri digardu didepan regol. Ternyata mereka melihat tubuh yang terbujur lintang didalamnya.
"Apakah mereka sudah mati ?" desis Sekar Mirah.
Namun Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba dada salah seorang dari mereka, tangannya masih merasakan tarikan nafas orang itu.
"Mereka hanya tertidur," desis Ki Demang, "aku akan membangunkan mereka."
Sekar Mirah berdiri beberapa langkah dibelakang Ki Demang. Bagaimanapun juga ia masih harus tetap berhati-hati, karena mungkin masih ada diantara lawan yang bersembunyi diantara semak-semak.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Demang, ternyata para pengawal itu hanyalah tertidur demikian nyenyaknya karena pengaruh sirep, sehingga mereka sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi.
Mereka terkejut ketika Ki Demang mengguncang tubuh mereka dan menyebut seorang demi seorang.
"Bangun. Lihat, apa yang terjadi dihalaman Kademangan," berkata Ki Demang.
"Apa yang telah terjadi Ki Demang ?"
"Lihatlah sendiri. Kau akan dapat membayangkan, apakah kira-kira yang telah terjadi dihalaman Kademangan," jawab Ki Demang.
Para pengawal itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian Sekar Mirali berkata, "Jangan bingung. Bangunlah dan pergilah ke gardu-gardu. Bangunkan kawan-kawanmu yang sedang tidur. Kemudian sebagian dari kalian pergi ke halaman Kademangan, karena ada tugas yang harus kalian lakukan."
"Jangan lupa singgah dirumah Ki Jagabaya. Katakan, bahwa telah terjadi sesuatu di Kademangan." pesan Ki Demang kemudian.
Beberapa orang pengawal yang telah terbangun itupun segera berpencar. Mereka dengan tergesa-gesa membangunkan kawan-kawan mereka yang tertidur di gardu-gardu dan mengajak sebagian dari mereka kehalaman Kademangan.
"Yang lain, berhati-hatilah menghadapi kemungkinan yang masih dapat terjadi." pesan para pengawal yang akan pergi ke halaman Kademangan.
Sementara itu, yang pergi ke rumah Ki Jagabayapun segera mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, mereka melihat Ki Jagabaya berdiri sambil menjinjing pedangnya.
"Ada apa " " ia bertanya, "kalian membuat aku terkejut."
"Ki Demang memanggil Ki Jagabaya. Sesuatu telah terjadi dihalaman Kademangan."
"Apa yang telah terjadi ?"
"Kami tidak begitu jelas. Tetapi nampaknya cukup gawat."
"Siapa yang menyuruh kau kemari ?"
"Ki Demang sendiri."
Ki Jagabaya menjadi termangu-mangu. Dengan kening yang berkerut merut ia bertanya, "Apakah tidak ada tanda bahaya ?"
"Tidak. Ki Demang tidak memerintahkannya."
Ki Jagabayapun kemudian minta diri kepada keluarganya. Dengan tergesa-gesa bersama beberapa orang pengawal iapun pergi ke halaman Kademangan.
Betapa terkejut Ki Jagabaya melihat peristiwa yang telah terjadi. Di pendapa, seorang prajurit terluka parah, sementara Swandaru yang terlukapun masih duduk bersandar tiang. Ia masih belum berani banyak bergerak dan berbicara. Ia masih berusaha untuk memampatkan luka-lukanya sama sekali.
"Sebaiknya kau tidur saja dipembaringan," berkata Ki Jagabaya kepada Swandaru.
"Tidak mau paman," jawab Pandan Wangi, "aku. Sekar Mirah dan ayah sudah menasehatkan agar kakang Swandaru berbaring saja dipembaringan. Tetapi ia merasa wajib untuk berada dipendapa dalam keadaan yang gawat seperti ini."
"Serahkan semuanya kepada ayahmu," berkata Ki Jagabaya.
Swandaru menggeleng. Jawabnya, "Lukaku tidak terlalu parah. Prajurit itulah yang sangat parah. Sementara biarlah para pengawal melihat tubuh yang terbaring dihalaman. Apakah ada diantara mereka yang masih hidup."
Dalam pada itu, para pengawaipun mulai melakukan tugasnya. Mereka mulai meneliti tubuh-tubuh yang terbujur diam ditanah.
Mereka kemudian menemukan dua orang diantara orang-orang Pasisir Endut yang masih hidup. Mereka mengangkat kedua orang itu kependapa dan membaringkannya terpisah dari Sabungsari.
"Mereka masih hidup," berkata seorang pengawal.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali membiarkan kedua orang itu dibaringkan dipendapa. Ia tidak dapat mengingkari kewajiban, bahwa betapapun kemarahan membakar hati, tetapi adalah menjadi kewajiban untuk merawat orang-orang yang terluka dipeperangan, meskipun mereka adalah musuh sekalipun.
Para prajuritpun agaknya berpegang juga pada keharusan itu. sehingga mereka justru mengangguk-angguk ketika Swandaru diluar sadarnya memandangi para prajurit yang menunggui Sabungsari yang terluka. Sementara para pengawal yang lainpun telah memisahkan mereka yang terbunuh dipeperangan untuk diselenggarakan sebagaimana seharusnya.
Dalam pada itu, maka perwira prajurit Pajang yang sedang meronda itupun berpacu menuju ke Jati Anom. Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Mereka memerlukan waktu untuk mencapai Kademangan Jati Anom.
Kedua prajurit itu tidak peduli sama sekali ketika langit menjadi merah dan kemudian matahari mulai menjenguk dari balik batas pandangan. Mereka tidak menghiraukan orang-orang yang berpapasan disepanjang jalan, memandang mereka dengan heran dan cemas. Orang-orang yang pergi ke pasar itupun menjadi berdebar-debar pula melihat dua orang prajurit berpacu seperti angin.
Dua malam prajurit itu meronda. Namun jarak ke Jati Anom telah mereka tempuh kembali dalam waktu yang jauh lebih dekat. Mereka telah memilih jalan yang paling pendek. Dan merekapun berpacu secepat dapat mereka lakukan.
Ketika mereka memasuki Kademangan Jati Anom, maka orang-orang Jati Anompun terkejut pula. Prajurit yang berjaga-jaga diregol rumah Untara terkejut pula. Apalagi karena kedua orang prajurit itu hanya mengangguk saja ketika mereka melintas.
Di halaman keduanya meloncat turun. Menyerahkan kudanya kepada seorang pekatik yang menyongsongnya.
Untarapun terkejut ketika seorang prajurit memberitahukan kehadiran perwira yang sedang bertugas itu bersama seorang prajuritnya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun telah menerimanya.
"Laporkan," perintah Untara dengan singkat.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perwira itupun kemudian melaporkan peristiwa yang telah terjadi di Kademangan Sangkal Putung. Melaporkan keadaan Sabungsari dan Swandaru yang terluka parah.
"Sabungsari masih hidup," katanya kemudian, "tetapi keadaannya sangat gawat. Aku sudah mengobatinya untuk sementara. Sedangkan Swandaru minta agar aku singgah dipadepokan gurunya."
"Disini ada seorang yang ahli dalam pengobatan," berkata Untara, "bawa orang itu agar ia mengobati prajurit muda yang terluka itu."
"Bagaimana dengan Kiai Gringsing " " bertanya perwira itu.
"Kenapa harus Kiai Gringsing " " Untara ganti bertanya.
Perwira itu menjadi bingung. Ia sadar, bahwa dalam lingkungan keprajuritan memang sudah ada seorang yang ahli didalam soal obat-obatan. Tetapi iapun menerima pesan Swandaru agar ia singgah dipadepokan Kiai Gringsing untuk minta orang tua itu datang ke Sangkal Putung.
Karena itu, hampir diluar sadarnya, perwira itupun menjawab, "Menurut Swandaru, Ki Untara mengetahui dengan pasti, bahwa Kiai Gringsing memiliki ilmu pengobatan yang tinggi, karena Ki Untara sendiri pernah dirawatnya ketika Ki Untara terluka senjata."
Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki ilmu pengobatan yang lebih baik dari seorang perwiranya yang bertugas di bidang pengobatan. Ia mengerti Kiai Gringsing yang dahulu mempunyai hubungan khusus dengan ayahnya, adalah orang yang aneh, yang menyembunyikannya pada saat ia terluka, karena ia harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda dan sekaligus Pande Besi dari Sendang Gabus bersama beberapa orang kawannya.
Perwira yang menyampaikan hal itu, menjadi berdebar-debar. Ia melihat teka-teki diwajah Untara. Apakah ia dapat menerima pesan Swandaru, atau ia justru menjadi marah karenanya.
Namun akhirnya perwira itu menarik nafas dalam-dalam ketika Untara berkata, "Baiklah. Pergilah secepatnya kepada Kiai Gringsing, dan beritahukan apa yang terjadi. Muridnya itu tentu merasa lebih baik diobati oleh gurunya sendiri."
"Bagaimana dengan Sabungsari " " bertanya perwira itu.
"Percayakan juga ia kepada Kiai Gringsing," jawab Untara.
Perwira itu mengangguk sambil berkata, "Baiklah. Aku mohon diri untuk melaksanakan tugas ini."
"Makan sajalah dahulu." seorang kawannya memperingatkan ketika ia siap untuk berangkat.
Tetapi perwira itu menggeleng. Jawabnya, "Mereka yang terluka memerlukan pertolongan secepatnya."
"Tetapi kau tentu perlu beristirahat pula."
"Nanti aku akan beristirahat sehari semalam selelah tugas ini selesai."
Perwira itupun kemudian melanjutkan perjalanan ke padepokan kecil disebelah Jati Anom bersama seorang prajurit yang menyertainya dari Sangkal Putung.
Kedatangan prajurit itu dipadepokan Kiai Gringsing, membual seisi padepokan itu terkejut. Dengan tergesa-gesa mereka mempersilahkan mereka duduk dipendapa. Dengan wajah tegang, Kiai Gringsingpun segera bertanya, apakah yang lelah terjadi.
Dengan singkat perwira itu menceriterakan peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Tentang Swandaru yang terluka dan Sabungsari yang parah.
Wajah-wajah yang mendengar peristiwa itupun menjadi tegang. Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam Kiai Gringsing bertanya, "Bagaimana keadaan mereka saat Ki Sanak meninggalkan Sangkal Putung ?"
"Sabungsari dalam keadaan gawat Kiai. Sementara Swandaru atas usahanya dapat memampatkan luka-lukanya dengan sejenis obat-obatan," jawab perwira itu.
"Apakah obat itu tidak dipergunakan juga untuk angger Sabungsari " " bertanya Kiai Gringsing.
"Sabungsari mempergunakan obat yang kami bawa sebagai bekal. Dan agaknya dapat juga sedikit menolong untuk sementara," berkata perwira itu. Kemudian, "Atas saran Swandaru dan atas persetujuan Ki Untara, kami mohon Kiai bersedia datang ke Sangkal Putung."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baik. Baik. Aku akan bersiap-siap."
Ketika Kiai Gringsing dengan tergesa-gesa berdiri untuk bersiap, maka Agung Sedayupun berkata, "Aku ikut guru."
Kiai Gringsing berpikir sejenak. Lalu, "Baiklah. Marilah kita pergi bersama-sama."
Tetapi mereka tidak akan dapat meninggalkan Glagah Putih. Karena itu, sebelum Glagah Putih bertanya. Kiai Gringsing sudah mendahuluinya berkata, "Bersiaplah. Kau akan ikut pula."
"Tetapi, bukankah paman akan datang kemari " " bertanya Agung Sedayu kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya kepada Glagah Putih, "Apa kata ayahmu" Kapan ia akan datang ?"
"Ayah akan datang kapan saja," jawab Glagah Putih.
"Biarlah salah seorang pergi ke Banyu Asri mengabarkan kepergian Glagah Putih. Adalah lebih baik bahwa pada saat-saat padepokan ini kosong ayahnya berada disini. Tetapi ia tidak kecewa karena ia sudah mengetahui bahwa Glagah Putih tidak ada dipadepokan," berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayupun kemudian bangkit pula. Ia langsung pergi kebelakang untuk mempersiapkan kuda dan berpesan kepada salah seorang anak muda yang tinggal dipadepokan itu untuk pergi ke Banyu Asri.
Sejenak kemudian maka semuanya telah siap. Dengan membawa kuda-kudanya kehalaman Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan kedua prajurit itu untuk pergi bersamanya ke Sangkal Putung."
"Maaf, aku mengusir Ki Sanak berdua dari padepokan ini," berkata Kiai Gringsing.
"Justru itulah yang paling baik dalam keadaan seperti ini. Kiai," jawab perwira itu.
Sejenak kemudian maka kedua prajurit itupun telah berpacu ke Sangkal Putung diikuti oleh Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih. Disepanjang jalan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali, karena pikiran mereka sedang dicengkam oleh peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung.
Dala:m pada itu, dengan gelisah, para prajurit yang menunggui Sabungsari menunggu kawan-kawannya yang pergi ke Jati Anom. Sudah cukup lama mereka menunggu. Sekali-sekali mereka menitikkan air kebibir Sabungsari. Namun Sabungsari masih saja pingsan meskipun bibirnya kadang-kadang sudah mulai bergerak.
Tetapi mereka sedikit tenang karena obat yang mereka taburkan pada luka-luka Sabungsari berhasil mengurangi, bahkan hampir memampatkan darah dari luka-lukanya.
Swandaru yang masih duduk bersandar tiang, menjadi gelisah pula. Ia sendiri mengalami luka-luka. Tetapi lukanya tidak separah Sabungsari. Prajurit yang telah berhasil membunuh Carang Waja itu.
Ketika Swandaru minum seteguk air hangat, maka terasa tubuhnya menjadi lebih segar, meskipun ia masih juga merasa sangat lemah. Namun demikian, ia selalu menolak jika seseorang mempersilakannya untuk berbaring saja dipembaringannya.
Para prajurit itu tersentak ketika mereka melihat Sabungsari membuka matanya perlahan-lahan. Dengan penuh harapan mereka beringsut mendekat. Namun mata itupun kemudian tertutup kembali.
Kedua prajurit yang menungguinya menjadi semakin gelisah. Ketika mereka melihat bibir Sabungsari bergerak, mereka telah menitikkan air beberapa tetes kebibir yang kering itu.
Sekar Mirah yang kemudian mendekatinya pula berdesis, "Air itu akan memberinya kesegaran. Tetapi jangan terlalu banyak."
Kedua prajurit itu mengangguk. Salah seorang dari mereka berdesis, "Mudah-mudahan kedatangan Kiai Gringsing tidak terlambat."
Sementara para prajurit dan mereka yang berada dipendapa itu menjadi gelisah, Ki Demang dan Ki Jagabaya telah mengatur penyelenggaraan beberapa sosok mayat orang-orang Pesisir Endut yang terbunuh termasuk Carang Waja sendiri. Sementara mereka yang terluka telah pula ditolong dengan obat-obatan yang ada. Ketika mereka merintih kesakitan, maka beberapa orang pengawal telah mendekatinya.
"Air," desis salah seorang dari orang-orang Pasisir Endut yang terluka itu.
Senang atau tidak senang, maka salah seorang pengawal telah mencari air dan kemudian menitikkan kebibir orang-orang yang terluka itu.
"Terima kasih," desis salah seorang dari mereka.
Pengawal itu tidak menyahut. Namun ketika ia sempat memandang tatapan mata orang itu, maka timbullah perasaan iba dihatinya. Nampaknya orang itu sudah berputus asa. Tetapi agaknya adalah diluar dugaannya bahwa masih ada orang yang bersedia mengambil air untuknya. Justru karena itu, matanya tidak lagi nampak menyala oleh dendam. Tetapi justru menjadi sayu dan basah.
Sejenak pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berdesis, "Tunggulah sejenak. Jika Kiai Gringsing itu datang, maka kaupun tentu akan diobatinya."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam sekali. Agaknya ada yang akan dikatakannya. Tetapi bibirnya tidak melontarkan sepatah katapun.
Dalam pada itu, Kademangan Sangkal Putung telah menjadi sibuk karena kematian beberapa orang di halaman rumah Ki Demang. Kedatangan orang-orang Sangkal Putung untuk melihat apa yang telah terjadi, tidak dapat dibendung lagi. Para pengawal terpaksa mendorong beberapa orang untuk menyingkir dari tangga pendapa, karena ada diantara mereka yang memaksa untuk naik. Kecuali karena mereka ingin melihat keadaan Swandaru, merekapun ingin melihat keadaan prajurit Pajang yang terluka parah dan orang-orang Pesisir Endut yang terluka pula.
Dengan marah maka beberapa orang justru berteriak, "Bunuh saja mereka."
Tetapi para pengawal yang sempat menjelaskan, mengatakan, bahwa tidak seharusnya mereka yang tertawan itu dibunuh.
Ki Jagabaya yang juga mencemaskan keadaan Sabungsari dan Swandaru setiap kali mempersilahkan mereka dibawa masuk. Tetapi setiap kali Swandaru selalu menolak. Ia lebih senang berada dipendapa meskipun hanya sekedar duduk bersandar tiang, dari pada tidur dipembaringan.
Orang-orang Sangkal Putung ternyata tidak menunggu lebih lama lagi. Merekapun segera menyibak ketika beberapa orang yang berdiri dibelakang berteriak, "Minggir, minggir. Kiai Gringsing."
Bagi orang-orang Sangkal Putung, Kiai Gringsing jauh lebih banyak mereka kenal daripada para prajurit Pajang di Jati Anom. Karena itu, maka yang mereka sebut adalah dukun tua yang memang pernah tinggal di Sangkal Putung dengan nada penuh harapan, agar mereka yang terluka dapat segera disembuhkan. Terutama Swandaru.
Kedatangan sekelompok kecil orang-orang dari padepokan terpencil di Jati Anom itu telah menumbuhkan tanggapan yang cerah. Dengan serta merta maka Kiai Gringsingpun segera naik kependapa diikuti oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih, serta kedua prajurit yang telah datang kepadepokannya.
Yang mula-mula mempersilahkannya adalah justru Ki Jagabaya, "Silahkan Kiai. Itulah Swandaru Geni."
Tetapi Swandarulah yang menyahut, "Lukaku tidak seberapa. Guru. tolonglah dahulu prajurit itu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun segera melihat, bahwa keadaan Sabungsarilah yang benar-benar gawat. Karena itulah, maka iapun segera mendekati Sabungsari yang masih ditunggui oleh kedua orang kawannya.
Dengan sungguh-sungguh Kiai Gringsing memperhatikan keadaan Sabungsari. Luka-lukanya yang parah dan pernafasannya yang tersendat-sendat. Beberapa kerut kecemasan nampak membayang diwajahnya. Bahkan kemudian orang tua itu menarik nafas panjang.
"Bagaimana keadaannya Kiai " " bertanya perwira yang menjemputnya ke Jati Anom.
"Marilah kita berdoa didalam hati," berkata Kiai Gringsing, "aku akan mencobanya memberikan obat yang paling baik yang ada padaku. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa berkenan mempergunakannya sebagai alat limpahan belas kasihan-Nya kepada angger Sabungsari.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah Kiai mengenalnya ?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, "Ya. Aku kenal angger Sabungsari. Ia pernah datang kepadepokanku."
"Untuk apa?" bertanya perwira itu.
"Diwaktu senggang ia mengisinya dengan berbagai macam kerja dipadepokan sekedar untuk mendapatkan suasana yang berbeda. Bahkan kadang-kadang angger Sabungsari ikut pula kerja disawah dan ladang. Namun kadang-kadang ia hanya sekedar tinggal dipadepokan dengan duduk-duduk dan bergurau bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih."
Perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengganggu lagi, ketika kemudian Kiai Gringsing dengan sungguh-sungguh mulai mengobatinya dengan obat-obat yang dibawanya dari padepokannya.
Sementara itu. para pengawal masih saja sibuk dengan orang-orang Sangkal Putung yang ingin melihat apa yang terjadi. Bahkan dengan demikian, maka hampir tidak ada orang yang sempat membantu membawa sosok-sosok mayat kekuburan setelah perwira prajurit yang telah datang kembali ke Sangkal Putung itu mengijinkannya.
Namun akhirnya Ki Jagabayapun mendapatkan beberapa orang yang bersedia membantunya memebawa mayat-mayat itu kekubur diantar oleh sekelompok pengawal. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati karena kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan masih saja dapat terjadi. Dendam tentu masih menyala di Pesisir Endut karena kematian beberapa orang kawannya. Bahkan Carang Waja yang tidak ada duanya bagi orang-orang Pasisir Endut itupun telah terbunuh pula di Sangkal Putung.
Dalam pada itu, oleh sejenis obat-obatan yang paling baik dari Kiai Gringsing, serta doa yang sungguh-sungguh dihati orang tua itu serta mereka yang mengikuti pengobatan yang menegangkan itu, ternyata Sabungsari telah menggerakkan matanya. Perlahan-lahan ia berdesis. Namun agaknya ia telah mulai sadar akan keadaannya.
Tetapi justru karena itu, maka ia mulai merasa, betapa tubuhnya bagaikan remuk disayat-sayat oleh luka. Betapa perasaan pedih dan nyeri menggigit sampai ketulang-tulang.
Sabungsari mulai membuka matanya. Bukan saja sekedar membuka mata tanpa kesadaran. Ia mulai mengerti, betapa luka-lukanya sangat parah.
Namun kehadiran Kiai Gringsing yang mula-mula nampak kabur membuat prajurit muda itu menjadi heran. Semakin lama wajah orang tua itu nampak semakin jelas. Bahkan kemudian ia melihat sebuah senyum dibibir orang tua yang dikenalnya dengan baik itu.
"Kiai," desisnya perlahan-lahan sambil menyeringai menahan sakit.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya ngger. Aku ada disini bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dadanya terasa betapa sakitnya. Ia merasa sesuatu telah menitik dibibirnya dan kemudian hanyut di kerongkongannya.
Sabungsari mengerti, bahwa yang ditelannya itu adalah cairan yang dibubuhi obat oleh Kiai Gringsing selain obat yang ditaburkan pada lukanya.
Dengan demikian, maka harapan prajurit-prajurit dari Jati Anom itu telah menjadi semakin besar, bahwa Sabungsari akan dapat diobatinya. Dengan tegang mereka mengikuti perkembangan keadaannya. Meskipun kemudian Sabungsari justru terdengar menahan desah kesakitan, namun dengan demikian, maka para prajurit itu mengerti, bahwa kesadaran Sabungsari telah pulih kembali.
Baru setelah Sabungsari sadar sepenuhnya akan keadaannya, Kiai Gringsing beringsut mendekati Swandaru yang duduk bersandar tiang pendapa. Luka Swandarupun bukan luka yang dapat diabaikan. Untunglah bahwa ia telah meninggalkan serbuk obat yang untuk sementara dapat menolongnya.
Seperti Sabungsari. maka Swandarupun kemudian diberinya cairan obat yang dapat memperkuat daya tahan tubuhnya, yang terbuat dari jenis akar-akaran dan dedaunan.
"Swandaru," berkata Kiai Gringsing kemudian, "memang sebaiknya kau beristirahat dipembaringan untuk memulihkan keadaanmu."
Swandaru menggeleng. Katanya, "Aku tidak terlalu parah guru. Aku ingin melihat, apa yang dikerjakan oleh orang-orang Sangkal Putung dalam keadaan seperti ini. Para pengawal tentu akan menjadi semakin gelisah jika mereka melihat, seolah-olah aku terluka parah."
"Mereka sudah mengetahui apa yang terjadi." jawab Kiai Gringsing, "adalah wajar jika kau beristirahat barang sehari dua hari. Sementara biarlah angger Sabungsari juga dibaringkan dipembaringan. Keadaannya akan lebih baik daripada dibiarkannya saja berada dipendapa. Kegelisahan orang-orang Sangkal Putung yang mengerumuni pendapa ini akan dapat mengganggu perasaannya."
Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Biarlah prajurit itu dibawa kegandok."
Kemudian atas persetujuan ayahnya, prajurit yang terluka itupun diangkat oleh kawan-kawannya kegandok sebelah kiri dan membaringkannya disebuah amben yang besar. Sementara Swandaru masih tetap ingin duduk dipendapa bersama para bebahu Sangkal Putung yang telah berkumpul di Kademangan.
Dalam pada itu, Ki Demang dan Ki Jagabaya telah minta agar mereka yang berkerumun disekitar pendapa, meninggalkan halaman dan kembali kepada kerja masing-masing.
"Bukankah kalian harus pergi ke sawah " " bertanya Ki Jagabaya, "kita akan menyelesaikan kerja disini. Kerja yang memerlukan ketenangan. Karena itu, kami, para bebahu Kademangan minta tolong kepada kalian untuk membuat suasana di halaman ini menjadi tenang. Tiggalkan halaman ini, dan lakukanlah kerja kalian sehari-hari."
Orang-orang Sangkal Putung itu termangu-mangu. Namun akhirnya merekapun meninggalkan halaman Kademangan. Seorang demi seorang mereka melangkah keluar halaman sambil berbicara diantara mereka.
"Prajurit itu terluka parah," desis yang seorang.
Yang lain menjawab, "Ya. Swandarupun terluka. Tetapi ia adalah seorang pemimpin sejati. Bagaimanapun juga keadaannya, ia tetap bertanggung jawab. Untuk mengawasi medan ia tetap duduk dipendapa meskipun setiap orang minta agar ia beristirahat dipembaringan."
"Tetapi itu dapat membahayakan dirinya sendiri," jawab yang lain pula.
"Seorang pemimpin tidak menghiraukan keadaan dirinya sendiri," desis seorang pengawal yang mendengar pembicaraan itu.
Dalam pada itu, orang-orang Sangkal Putung yang kemudian melihat Kiai Gringsing mengobati orang-orang Pesisir Endut yang terluka, harus menahan perasaannya untuk tidak berteriak menentang sikap itu. Tetapi karena Swandaru, Ki Demang dan Ki Jagabaya tidak berkeberatan, bahkan nampaknya mereka justru sependapat, maka orang-orang Sangkal Putung itu tidak berteriak agar mereka dibunuh saja.
Tetapi seperti yang pernah terjadi, maka Swandaru sebenarnya menjadi kesal juga atas orang-orang itu. Jika Sangkal Putung terpaksa menahan mereka, maka hal itu akan merupakan beban waktu dan tenaga yang cukup menjemukan.
Namun ketika Swandaru memandang perwira prajurit Pajang yang nampaknya memperhatikan orang-orang Pasisir Endut yang terluka itu dengan saksama, maka timbullah niatnya untuk menyerahkan mereka kepada para prajurit Pajang di Jati Anom itu saja.
Ketika orang-orang Sangkal Putung yang berkerumun telah meninggalkan halaman, maka orang-orang yang berada dipendapa itupun mulai duduk dengan tenang melingkar ditengah-tengah pendapa, sementara orang-orang Pesisir Endut yang terluka itu masih berbaring disudut pringgitan.
Ketika Pandan Wangi menceriterakan apa yang terjadi, maka Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih mulai dapat membayangkan, bahwa peristiwa ini pernah pula terjadi. Agung Sedayu seolah-olah melihat kembali, bagaimana ia harus bertempur melawan Carang Waja, yang untunglah, bahwa keadaannya lebih baik dari yang terjadi atas Sabungsari.
"Jika Ki Demang tidak berkeberatan," berkata Kiai Gringsing kemudian, "biarlah Sabungsari berada disini barang dua tiga hari, sehingga luka-lukanya tidak berbahaya lagi. Baru kemudian ia akan dibawa kembali kebaraknya di Jati Anom."
Ki Demang mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baiklah Kiai. Aku tidak berkeberatan sama sekali. Agaknya hal itu akan lebih baik bagi prajurit muda itu."
"Tetapi bagaimana dengan Kiai Gringsing " " bertanya Ki Jagabaya.
"Aku akan merawatnya. Dan aku akan merawat Swandaru untuk beberapa saat." jawab Kiai Gringsing.
Sekar Mirah menarik nafas diluar sadarnya. Tetapi wajahnya menjadi kemerah-merahan karena ia telah menjadi gembira atas keputusan Kiai Gringsing. Seolah-olah orang-orang yang berada dipendapa itu mengetahui perasaannya, bahwa sebenarnya ia memang berharap, bahwa Agung Sedayu akan tinggal beberapa hari di Sangkal Putung.
Demikianlah, maka untuk merawat orang-orang yang terluka di Sangkal Putung, termasuk kedua orang Pesisir Endut, Kiai Gringsing harus tinggal untuk beberapa hari. Demikian pula. Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun ikut pula tinggal untuk sementara di Sangkal Putung. Kecuali untuk membantu merawat orang-orang yang terluka, maka agaknya Kiai Gringsingpun mempunyai pertimbangan lain. Mungkin keluarga atau perguruan Carang Waja akan mengambil sikap karena kematiannya.
Dalam pada itu, maka perwira prajurit Pajang di Jati Anom yang berada di Sangkal Putung tidak dapat tinggal terlalu lama. Iapun kemudian menyerahkan Sabungsari dalam perawatan Kiai Gringsing, sementara ia sendiri harus kembali ke Jati Anom. Tetapi ia meninggalkan seorang prajuritnya untuk mengawani Sabungsari dan membantunya jika ia memerlukan sesuatu agar tidak terlalu menyulitkan orang-orang Sangkal Putung yang merawatnya.
"Tiga atau empat hari lagi kami akan datang menjemput Sabungsari, jika keadaannya sudah memungkinkan," berkata perwira itu.
"Dan kami akan menyerahkan kedua orang Pesisir Endut itu," sahut Swandaru.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak akan ingkar. Maka jawabnya, "Aku akan membawanya bersama dengan Sabungsari."
Setelah mengucapkan terima kasih, maka perwira itupun kemudian meninggalkan Sangkal Putung bersama kedua orang prajuritnya kembali ke Jati Anom untuk melaporkan semuanya yang telah terjadi di Sangkal Putung. Agaknya masih ada harapan bagi Sabungsari untuk tetap hidup. Sementara kehadiran Kiai Gringsing di Sangkal Putung selain akan dapat memberikan pengobatan, juga akan dapat memberikan perlindungan bagi Sabungsari jika diperlukan.
Dengan sunggguh-sungguh. Kiai Gringsing telah merawat mereka yang terluka. Bukan saja Swandaru dan Sabungsari, tetapi juga kedua orang Pesisir Endut yang terluka.
Karena itulah, maka keadaan merekapun menjadi semakin baik. Swandaru dihari berikutnya telah dapat berjalan-jalan dihalaman. Ia sudah dapat berada diantara para pengawal yang masih saja digelisahkan oleh keadaan di halaman Kademangan. Dua kali peristiwa serupa itu telah terjadi. Jika saudara-saudara seperguruan Carang Waja masih juga mendendam, maka tidak mustahil bahwa peristiwa itu akan masih terulang kembali, meskipun yang melakukan orang lain.
Dalam pada itu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah terlibat dalam persoalan yang lama diantara mereka. Sekar Mirah sama sekali tidak menunjukkan keinginannya untuk tinggal dipadepokan. Ia masih saja selalu berbicara tentang masa depan yang lebih baik. Meskipun Sekar Mirah tidak begitu senang terhadap pribadi Untara yang dianggapnya kurang ramah dan terlalu berpegangan pada pendapatnya sendiri, tetapi sempat juga ia berkata kepada Agung Sedayu, "Kakang, bukankah setiap kali Kakang Untara juga mendorongmu, agar kau memilih jalan hidup yang lebih baik dari yang kau tempuh sekarang ?"
Setiap kali Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang ia merasa terlalu bebal untuk mengambil sikap. Ia mengerti perasaan Sekar Mirah. Tetapi ia merasa berdiri di jalan yang bersimpang sembilan. Ia tidak tahu, jalan manakah yang paling baik untuk dipilihnya.
"Kakang Agung Sedayu," berkata Sekar Mirah kemudian, "kau lihat prajurit muda itu " Ia dapat membunuh Carang Waja, tetapi ia terluka parah, sehingga jiwanya hampir dikorbankannya. Aku mempunyai perhitungan, bahwa kau memiliki kelebihan daripadanya. Aku mendasarkan perhitunganku pada saat kau mengalahkan Carang Waja itu. Jika ia kembali setelah sembuh, maka perwira yang menyaksikan peristiwa ini akan membuat laporan tentang dirinya. Dengan demikian maka tatarannyapun akan meningkat dan harapan baginya menjadi semakin cerah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya, maka iapun mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kakang, jika kau berpinjak pada harga dirimu, dan tidak mau menompang kedudukan kakang Untara, maka kau dapat memilih tugas ditempat lain, ditempat yang tidak berada dibawah kuasa kakang Untara. Meskipun kau harus melalui tataran yang paling rendah, tetapi kau masih mempunyai harapan."
Agung Sedayu masih berdiam diri.
"Atau, barangkali kau tidak ingin menjadi prajurit, kakang. Jika demikian, berbuat sesuatu, agar kau mendapat tempat bagi hidup kita kelak. Padepokanmu yang kecil itu tidak akan dapat memberikan apa-apa kepada kita. Nama tidak, harta benda juga tidak. Jika kau puas dengan sekedar pengabdian, maka hidup ini akan menjadi kering dan tidak memberikan gairah sama sekali," suara Sekar Mirah menjadi semakin dalam.
Tetapi seperti yang selalu dilakukan, maka Agung Sedayu hanyalah menunduk dan kebingungan. Ia tidak tahu, apakah yang harus diperbuatnya, apalagi jika mata Sekar Mirah kemudian menjadi basah. Dalam keadaan yang demikian. Sekar Mirah sama sekali menjadi lain dari Sekar Mirah yang garang, yang memegang tongkat baja putih berkepala tengkorak, peninggalan gurunya.
Jika mudah tidak mungkin lagi baginya untuk hanya berdiam diri, maka Agung Sedayu selalu mengatakan, "Aku akan memikirkannya Mirah."
Sekar Mirah mengusap matanya. Kemudian dengan wajah yang buram ia meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu.
Persoalan itu seolah-olah merupakan persoalan yang selalu kembali setiap saat dalam pembicaraannya dengan Sekar Mirah. Tidak ada habisnya dan tidak ada jalan yang nampaknya dapat ditempuh selain melakukan seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah.
Tanpa disadarinya, Agung Sedayupun kemudian bangkit dan melangkah kegandok, kedalam bilik Sabungsari yang masih terbaring diamben bambu.
Ketika prajurit muda itu melihat Agung Sedayu, maka iapun tersenyum sambil berkata, "Marilah Agung Sedayu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia masih berdiri beberapa saat dimuka pintu, sehingga prajurit yang berada bersama Sabungsari didalam bilik itupun mempersilahkannya, "Marilah. Masuklah."
Agung Sedayu menajrik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun melangkah masuk dan duduk dibibir amben tempat Sabungsari terbaring. Diluar sadarnya ia meraba leher Sabungsari sambil bertanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang ?"
Sabungsari masih tersenyum. Jawabnya, "Aku sudah menjadi jauh lebih baik sekarang."
"Tetapi tubuhmu masih terasa agak panas."
Sabungsari beringsut setapak. Katanya, "Setiap kali aku minum obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing, tubuhku memang terasa panas. Tetapi itu tidak lama. Jika keringat telah membasahi punggung, terasa tubuhku menjadi segar. Rasa-rasanya luka-lukaku telah sembuh."
Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, "Luka-lukamu masih sangat berbahaya. Kau harus mengikuti segala petunjuk guru, agar kau benar-benar akan sembuh. Pada suatu saat keadaanmu menjadi seolah-olah telah baik sama sekali. Tetapi jika kau kurang berhati-hati dan terlalu banyak bergerak, maka mungkin sekali akan timbul akibat sampingan dari sakitmu sekarang ini sehingga akan dapat terjadi hal yang tidak terduga-duga."
Sabungsari tertawa. Katanya, "Yang kau katakan seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Agaknya kaupun mulai mempelajari ilmu yang satu ini."
Agung Sedayupun tersenyum. Jawabnya, "Aku adalah muridnya. Meskipun aku belum mulai belajar dengan sungguh-sungguh ilmu pengobatan, tetapi aku sering melihat dan mendengar apa yang dilakukan dan apa yang dipesankan kepada orang-orang sakit."
Suara tertawa Sabungsari meninggi. Tetapi iapun kemudian menyeringai menahan sakit pada lukanya.
"Sudahlah," berkata Agung Sedayu kemudian, "jika mungkin tidurlah sebanyak-banyaknya. Kesehatanmu akan segera menjadi bertambah baik. Jika kawan-kawanmu datang untuk menjemputmu, kau sudah dapat melakukan segala keperluanmu sendiri. Kau tidak perlu didukung memanjat sangga wedi kudamu. Atau jika mereka membawa pedati, kau tidak usah diangkat naik kepedati."
Sabungsari mengangguk. Tetapi ia masih tersenyum.
Sesaat Agung Sedayu masih duduk diamben itu. Prajurit yang menunggui Sabungsari seolah-olah mendapat kesempatan untuk meninggalkan kawannya yang sedang sakit itu untuk beberapa lamanya. Karena itu maka iapun justru pergi keluar dan turun kehalaman menghirup udara yang segar diluar biliknya.
Prajurit itu berpaling ketika ia mendengar Glagah Putih bertanya, "Paman, kau lihat kakang Agung Sedayu ?"
"Ia berada didalam bilik Sabungsari," jawab prajurit itu.
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Terima kasih." Tetapi Glagah Putih tidak langsung menuju kebilik itu. Ia justru pergi kebiliknya sendiri.
Sementara itu, Agung Sedayu masih duduk di dekat Sabungsari berbaring. Diluar sadarnya, ia justru merenungi kata-kata Sekar Mirah. Sabungsari yang terbaring karena luka-lukanya itu, telah melakukan sesuatu dalam penilaian atasannya. Mungkin ia akan mendapat pujian, atau mungkin kenaikan tataran kepangkatannya. Meskipun anak muda itu tidak benar-benar ingin menjadi seorang prajurit. Jika ia berada didalam lingkungan keprajuritan, justru ia mempunyai maksud-maksud yang lain, yang bertentangan dengan tugas seorang prajurit.
Tetapi sesuatu telah terjadi atas Sabungsari. Ia mengalami suatu pengalaman jiwa yang akan dapat mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya.
Dalam pada itu, Sabungsari yang berbaring dipembaringan itupun tiba-tiba telah berdesis, "Agung Sedayu. Aku sudah melakukan sesuatu yang memberikan warna tersendiri dalam perjalanan hidupku. Aku sudah melakukan sesuatu yang meskipun tidak dengan sengaja, tetapi langsung sampai kesasaran."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena hanya mereka berdua saja yang berada didalam bilik itu, maka iapun menjawab, "Kau melakukannya karena dendam ?"
"Tidak. Mulanya aku melakukan karena tiba-tiba saja aku merasa berkewajiban. Aku tidak tahu, sejak kapan aku merasa diriku benar-benar seorang prajurit," jawab Sabungsari, "tetapi adalah kebetulan sekali bahwa orang yang berada di Sangkal Putung itu adalah orang-orang Pesisir Endut. Aku tidak menyangkal bahwa memang ada dorongan dari endapan perasaanku untuk menyalurkan dendam yang terbendung. Dan ternyata aku telah melakukannya. Tetapi seperti bendungan yang telah pecah, maka beban dihatikupun menjadi bertambah ringan. Rasa-rasanya, merasa berkewajiban ini akan aku pelihara. Dan aku akan tetap berada didalam lingkungan keprajuritan dengan tujuan yang lain dari saat aku memasukinya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Sokurlah. Kau sudah menemukan pribadimu dan lingkungan yang paling baik bagimu. Meskipun bukan tujuan, tetapi kemampuanmu tentu akan cepat membawamu kejenjang yang lebih baik."
"Ah," desah Sabungsari, "seperti yang kau katakan. Itu bukan tujuan. Aku masih muda. Aku belum mempunyai beban keluarga yang memerlukan sandaran hidup yang berat. Karena itu, maka kewajibanlah yang penting bagiku, meskipun harapan-harapan seperti yang kau katakan itu mungkin saja tumbuh didalam hati ini."
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu, "jika kau berharap untuk mendapat jenjang yang lebih tinggi, bukankah karena kepentingan pribadimulah yang berdiri dipaling depan. Tetapi dengan jenjang yang lebih tinggi, kau mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk menunjukkan pengabdianmu. Karena jenjang itu akan mempunyai akibat kewajiban dan tanggung jawab."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti. Mudah-mudahan perlahan-lahan aku dapat menyesuaikan diriku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia telah berhasil meyakinkan Sabungsari bahwa ia telah berada ditempat yang paling baik dan tepat baginya.
Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Persoalan yang paling pelik baginya adalah dirinya sendiri. Ia sendirilah yang masih berdiri di atas jalan yang menuju ke simpang sembilan. Ialah yang seharusnya mendengarkan nasehat seperti yang dikatakannya kepada Sabungsari.
Sejenak Agung Sedayu merenungi dirinya sendiri. Jika ia berada dilingkungan keprajuritan, maka iapun akan mendapat kesempatan seperti Sabungsari. Pada saat-saat ia dihadapkan pada kewajiban, maka ia akan menemukan kepuasan dan kebanggaan apabila ia dapat menyelesaikannya. Kemudian mendapat kesempatan untuk meningkat dari satu tataran ketataran berikutnya.
Pada permulaannya, tentu ia akan mengorbankan harga dirinya, karena ia akan berada dibawah tataran orang-orang yang memiliki kemampuan jauh lebih rendah dari dirinya. Orang-orang yang barangkali karena sebab-sebab khusus berada dijenjang yang tinggi, namun yang tidak memiliki kemampuan. Baik dimedan maupun lingkungannya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia sudah berada di dunia angan-angan yang mulai menyimpang. Karena itulah, maka iapun kemudian mencoba untuk melihat dengan hati yang bening tentang dirinya sendiri.
"Apakah salahnya jika akupun mulai menentukan pilihan seperti yang mulai di yakini kebenarannya oleh Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian didalam hatinya, "jika guru sependapat, aku akan mencobanya."
Rasa-rasanya Agung Sedayu telah menemukan alas tempat berpijak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Sabungsari. Cobalah meyakini bahwa kau telah berada dijalan yang benar."
Sabungsari memandang Agung Sedayu sejenak. Namun diluar dugaan Agung Sedayu, anak muda itu bertanya, "Agung Sedayu. Bagaimanakah dengan engkau sendiri " Apakah kau tidak mungkin memilih jalan seperti yang dilalui oleh kakakmu."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Namun ia memaksa dirinya untuk tersenyum sambil berkata, "Aku sedang memikirkannya."
Sabungsaripun tersenyum pula. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian bangkit dan minta diri untuk keluar dari bilik itu. Dengan angan-angannya ia berjalan menyusuri serambi, kemudian turun kelongkangan. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu kemudian justru turun kehalaman depan dan berjalan perlahan-lahan melintas menuju keregol.
Satu pertanyaan telah tumbuh dihatinya yang memang sudah buram, "Jika aku ingin menjadi seorang prajurit, apakah aku harus pergi ke Pajang atau ke Mataram."
Kebimbangan demi kebimbangan masih saja selalu membayanginya, sehingga alas tempatnya berpinjak, yang rasa-rasanya mulai mapan itu telah berguncang lagi.
Keragu-raguan itu agaknya akan tetap membayanginya. Meskipun setiap kali ia bertemu dengan Sekar Mirah, rasa-rasanya ia sudah siap untuk berlari ke Pajang atau ke Mataram, menyatakan diri untuk menjadi prajurit atau pengawal.
Tetapi selalu diikuti dengan pertanyaan, "Kemana " Ke Pajang atau ke Mataram?"
Bagaimanapun juga Agung Sedayu tidak akan dapat menutup mata melihat pertentangan yang sebenarnya telah membayangi kedua pusat pengaruh yang seharusnya tidak terpisahkan. Seandainya tidak pada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dengan Mas Karebet yang bergelar Sultan Hadiwijaya itu, namun pengaruh dalam lingkungannyalah yang agaknya telah menggali jurang yang semakin lama menjadi semakin dalam.
Di saat-saat berikutnya. Agung Sedayu justru terbenam lebih dalam lagi dalam kebimbangan. Rasa-rasanya ia sudah memutuskan. Namun kemudian ia kembali menjadi bimbang.
Sangkal Putung menjadi ramai dihari-hari berikutnya, ketika sepasukan kecil prajurit dari Jati Anom datang untuk menjemput Sabungsari yang mulai berangsur baik. Sebuah pedati yang khusus telah dibawa oleh sekelompok prajurit itu, untuk membawa Sabungsari yang belum memungkinkan untuk pergi berkuda. Bahkan ternyata bahwa selain Sabungsari, prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom itu juga akan membawa kedua orang Pesisir Edut yang terluka.
Kedatangan sekelompok prajurit dalam sikap yang resmi itu memang telah menumbuhkan kebanggaan dihati Sabungsari. Ketika ia sempat berbisik di telinga Agung Sedayu, ia berkata, "Agung Sedayu. Jika kau ingin membuat perhitungan, maka hutangku kepadamu akan semakin bertimbun. Kau sudah mencegah aku untuk membunuh orang yang nampaknya tidak bersalah, meskipun sebenarnya justru karena aku telah kau kalahkan. Kemudian kau telah memantapkan kedudukanku sebagai seorang prajurit, meskipun ditataran yang paling rendah. Betapapun juga aku akan berbangga karena aku telah mendapat perhatian yang sangat besar dari Senapati prajurit Pajang di Jati Anom. Kesempatan semacam ini sama sekali tidak pernah aku mimpikan ketika aku berangkat dari padepokan dengan membawa dendam didalam hati."
"Kau harus menanggapi kesempatan ini dengan hati yang jernih," sahut Agung Sedayu.
"Terima kasih Agung Sedayu. Agaknya sudah waktunya aku untuk meninggalkan Sangkal Putung bersama dengan para prajurit yang menjemputku."
Seperti yang dikatakan oleh Sabungsari, maka perwira yang memimpin kelompok peronda sehingga melibatkan Sabungsari kedalam benturan melawan Carang Waja, yang telah mendapat tugas untuk memimpin sekelompok prajurit yang menjemput Sabungsari, tidak tinggal terlalu lama di Sangkal Putung. Iapun segera menyampaikan maksudnya kepada Ki Demang Sangkal Putung, para bebahu dan para tamu mereka.
Ki Demang Sangkal Putung tidak dapat menahan prajurit yang terluka itu di Sangkal Putung. Iapun menyerahkan Sabungsari yang meskipun masih nampak sangat lemah, namun luka-lukanya sudah berangsur baik.
"Atas nama pimpinan prajurit Pajang di Jati Anom, aku mengucapkan terima kasih Kiai," berkata perwira yang menjemput Sabungsari.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Aku hanya sekedar alat dari belas kasihan Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan angger Sabungsari menjadi semakin baik dan segera sembuh sama sekali. Ia adalah seorang prajurit kecil yang besar."
Perwira itu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Segalanya yang telah dilakukan telah diketahui oleh Ki Untara. Tentu ada perhatian khusus dan peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Ia telah berbuat melampaui batas tatarannya, sehingga kesempatan untuk meningkat telah terbuka baginya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil bergumam, "Ia adalah satu kekuatan yang sulit dicari bandingnya."
"Ya. Agaknya memang demikian," jawab perwira itu. "Mudah-mudahan ia akan merupakan kekuatan yang pilih tanding, tetapi juga yang baik sebagai seorang prajurit."
Demikianlah, maka Sabungsaripun kemudian telah diangkat kedalam pedati yang sudah disediakan bagi dirinya. Kepada Swandaru yang berdiri disebelah pedatinya bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah ia berkata, "Aku minta diri. Aku berhutang budi kepada Sangkal Putung dan segala penghuninya yang bersikap sangat baik kepadaku dan yang telah memberi aku tempat selama aku hampir saja kehilangan nyawaku."
Swandaru tersenyum. Meskipun mula-mula ada perasaan yang terasa menggelitik hati, karena kehadiran anak muda itu di medan, namun akhirnya Swandaru berhasil untuk mengesampingkannya, karena justru Sabungsari adalah seorang prajurit. Yang dilakukan di halaman Sangkal Putung, bukannya sekedar memamerkan dan menyombongkan kekuatannya dan kemampuannya untuk membunuh Carang Waja. Tetapi anak muda itu agaknya telah dibebani oleh perasaan wajib karena ia memang seorang prajurit.
Sementara itu, dipedati yang lain, dua orang dari Pesisir Endut telah naik pula diawasi oleh beberapa orang prajurit.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itupun meninggalkan Sangkal Putung. Agung Sedayu yang melepas iring-iringan itu sampai keregol padukuhan induk, untuk beberapa saat masih saja berdiri memandangi mereka sampai iring-iringan itu semakin jauh.
"Kakang ingin ikut serta bersama mereka " " tiba-tiba saja Glagah Putih yang mengikutinya bertanya.
Agung Sedayu berpaling. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Sabungsari telah melakukan tugas seorang prajurit dengan hampir saja mempertaruhkan nyawanya. Ia adalah seorang anak muda yang luar biasa."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Diluar dugaan Agung Sedayu, Glagah Putih berkata, "Setiap kali aku melihat anak-anak muda yang memiliki kelebihan, aku selalu merasa diriku semakin kecil."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Tentu tidak Glagah Putih. Kau masih jauh lebih muda dari Sabungsari. Umur anak muda itu tentu tidak kurang dari umurku. Dan kau masih mempunyai hitungan tahun untuk mematangkan ilmumu, setingkat dengan Sabungsari."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu melanjutkan, "Kau jangan merasa dirimu sangat kecil. Kau sudah menjadi jauh lebih baik dari saat kau berada di Pesisir."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi tatapan matanya masih membayangkan perasaan kecewa.
Agung Sedayu yang kemudian mengajak Glagah Putih kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang pergi bersama mereka sampai keregol mengikuti pula kembali ke Kademangan, sementara iring-iringan para prajurit yang membawa Sabungsari dan para tawanan itu menjadi semakin jauh.
Dalam pada itu. diperjalanan kembali ke Jati Anom, rasa-rasanya Sabungsari benar-benar telah menemukan dirinya. Ia menjadi semakin mantap sebagai seorang prajurit. Ia tidak lagi merasa bahwa dirinya berada dilingkungan keprajuritan, sekedar mencari tempat yang paling baik untuk menunggu kedatangan Agung Sedayu, kemudian menantangnya perang tanding dan membunuhnya. Ia gagal melakukan, karena ternyata ia telah dikalahkan oleh Agung Sedayu. Tetapi tidak dibunuhnya. Sehingga karena itulah, maka sisa hidupnya kemudian sudah sepantasnyalah jika dipergunakannya untuk mengikuti petunjuk Agung Sedayu, menyerahkan bagi kebajikan.
Namun dalam pada itu, ia teringat akan kawan-kawannya yang menunggunya di Jati Anom, iapun menjadi berdebar-debar. Apakah yang sebaiknya dikatakan kepada mereka.
Tetapi akhirnya Sabungsari berkata didalam hati, "Aku akan mengatakan seperti yang terjadi. Aku tidak akan hidup dalam dunia yang gelap lagi. Aku sudah mendapat jalan keluar dari duniaku, dunia yang diwariskan oleh orang tuaku. Semua pengikut dan pengawal padepokanku harus mengetahuinya dan menyadari, bahwa jalan itu adalah jalan yang paling baik. Mereka yang berada dipadepokan dapat menyiapkan diri menempuh jalan kehidupan yang baru. Sawah cukup luas, dan tempat tinggalpun mencukupi pula. Sehingga mereka tidak akan kekurangan makan, minum, pakaian dan rumah."
Namun, agaknya ada yang dilupakan oleh Sabungsari. Ia pernah mengatakan kepada seorang prajurit, bahkan dengan menunjukkan kelebihannya membunuh dengan kekuatan pandangan matanya, seekor kambing yang terikat, bahwa ia akan membunuh Agung Sedayu. Ia tidak memberikan kesempatan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri.
Sepeinggal para prajurit Pajang di Jati Anom membawa Sabungsari dan kedua orang Pesisir Endut yang terluka, Kiai Gringsing masih tetap tinggal di Sangkal Putung bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Kiai Gringsing masih tetap merawat Swandaru yang meskipun sudah berangsur baik, tetapi masih belum sembuh sama sekali.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang setiap kali harus berpikir tentang masa depannya, justru karena Sekar Mirah selalu bertanya kepadanya apakah ia sudah mempunyai pilihan, seolah-olah telah berketetapan untuk memilih jalur kehidupan yang akan dapat menjadi arena pengabdian sesuai dengan kemampuannya.
"Aku akan berkata kepada Kakang Untara, bahwa akupun akan terjun ke dalam lingkungan keprajuritan," berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Anak muda itu melihat, bahwa didalam lingkungan keprajuritan ia akan terhindar dari permusuhan pribadi. Tentu tidak akan ada orang yang mendendamnya secara pribadi, apabila ia telah berbuat sesuai dalam menjalankan tugasnya, karena yang dilakukan bukan atas namanya sendiri.
"Demikian aku sampai ke Jati Anom, aku akan menjumpai kakang Untara. Aku tidak akan dapat selalu mengelak dari pertanyaan dan permintaan Sekar Mirah."
"Ia berhak berbuat demikian, karena hidupnya dimasa datang, akan berkaitan dengan hidupku," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera meninggalkan Sangkal Putung karena ia menunggu Kiai Gringsing yang masih merawat Swandaru yang belum sembuh sama sekali.
Bagi Swandaru, yang terjadi itu merupakan cambuk yang pedih bagi Kademangannya. Kepada para pengawalnya ia mengatakan, seandainya tidak segera kebetulan para prajurit Pajang itu meronda sampai ke Sangkal Putung, apakah Kademangan itu tidak akan mengalami bencana"
"Mungkin aku dapat menyelamatkan diri dan berhasil melumpuhkan Carang Waja yang ternyata terbunuh oleh Sabung Sari. Tetapi bagaimana dengan para pengawal yang tertidur nyenyak" Orang-orang Carang Waja yang marah, tentu akan mencari sasaran siapapun juga. Kalian yang tidur nyenyak akan dibantai tanpa ampun," berkata Swandaru pula.
Para pengawal hanya dapat menundukkan kepalanya. Yang terjadi memang berada diluar kemampuannya. Tidak seorangpun diantara mereka yang mampu melawan sirep yang demikian kuatnya.
"Kita harus menemukan cara," berkata Swandaru, "kita harus mencari satu atau dua orang dari isi Kademangan ini, yang dapat menolak sirep dari satu segi. Sementara kita, akan dapat menghadapi lawan dari segi benturan kekuatan dan pertempuran. Mungkin ada satu dua orang-orang tua yang memiliki ilmu yang dapat melawan sirep."
"Kita akan minta kepada mereka untuk ikut serta melindungi Kademangan ini dari kejahatan disaat yang lain. Karena sepeninggal Carang Waja bukan berarti bahwa perguruannya tidak lagi akan mengganggu kita."
Para pengawalpun sependapat. Namun mereka yang tidak mungkin melalukan hal itu, bertekad untuk mempelajari ilmu pedang atau senjata-senjata lain lebih banyak lagi.
"Kita harus mempergunakan sebagian waktu kita untuk berlatih tanpa jemu," berkata Swandaru kepada para pengawal, "pada saatnya kita harus menunjukkan, bahwa Sangkal Putung adalah Kademangan yang sudah dewasa. Yang dapat menjaga dirinya sendiri dari segala macam bencana."
Ternyata seperti yang diharapkan oleh Swandaru, para pengawal memang bertekad untuk melakukannya. Mereka tidak menunggu sepekan dua pekan. Mereka langsung menyusun rencana untuk melaksanakannya.
"Selama aku belum sembuh benar, maka kalian dapat melakukannya. Sementara aku akan menyaksikan saja," berkata Swandaru.
Selagi Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di Sangkal Putung, maka merekapun sempat menyaksikan, bagaimana para pengawal dengan gairah yang tinggi, melatih diri menyempurnakan bekal mereka.
Yang terjadi di Sangkal Putung itu telah merupakan pendorong bagi Agung Sedayu untuk terjun kedalam lingkungan keprajuritan. Meskipun dorongan terbesar adalah karena keinginan Sekar Mirah, namun Agung Sedayu melihat, bahwa jalan itu adalah jalan yang paling baik untuk dilaluinya.
"Sekar Mirah akan dapat memuaskan dirinya, seandainya pada suatu saat aku telah dapat meningkat ke jenjang yang lebih tinggi," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "meskipun ia tahu, bahwa kesempatan untuk mencapai tataran berikutnya kadang-kadang tidak dinilai atas dasar kemampuan saja."
Demikian dari hari kehari, keadaan Swandaru telah berangsur baik. Bahkan sudah tidak mengganggunya lagi. Pada saat-saat para pengawal berlatih. Swandaru telah dapat ikut serta untuk memberikam petunjuk dan bimbingan kepada mereka.
Karena itu, maka Kiai Gringsing yang sudah berada di Sangkal Putung untuk beberapa hari, merasa bahwa Swandaru tidak perlu ditungguinya lagi. Dalam.beberapa hari, luka-luka itu sudah akan dapat sembuh sama sekali. Mungkin bekas-bekasnya sajalah yang masih memerlukan perawatan khusus agar kemudian tidak akan menjadi noda pada tubuhnya.
"Kita sudah dapat kembali ke Jati Anom," berkata Kiai Gringsing pada suatu saat kepada Agung Sedayu.
"Apakah Sangkal Putung sudah dapat kita tinggalkan?" berkata Agung Sedayu.
Kiai Gringsing merenungkan sejenak. Seolah-olah ia masih membuat pertimbangan-pertimbangan khusus tentang Sangkal Putung. Namun kemudian ia berkata, "Menurut pertimbanganku, Sangkal Putung sudah tidak perlu dicemaskan lagi. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat. Sementara itu, luka-luka Swandaru tentu sudah akan sembuh sama sekali."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun masih juga ada kecemasan dihati Agung Sedayu. Seolah-olah dalam saat-saat terakhir. Agung Sedayu tidak melihat usaha Swandaru untuk meningkatkan ilmunya sejak ia tidak lagi berada dekat dengan gurunya.
"Mudah-mudahan aku hanya tidak mengetahuinya saja," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "seperti Swandaru tentu juga tidak mengetahui, apakah ilmuku meningkat atau tidak. Tetapi pengaruh kehadiran guru, tentu akan banyak memberikan dorongan untuk berusaha meningkatkan ilmu."
Namun dalam pada itu, secara tidak langsung. Agung Sedayu mendengar dari Sekar Mirah, bahwa Swandarupun telah berusaha terus menerus untuk meningkatkan ilmunya bersama dengan Pandan Wangi dan dirinya sendiri. Mereka bertiga bersumber dari tiga perguruan yang memiliki dasar ilmu yang berbeda. Namun dengan berlatih bersama, mereka berusaha untuk menemukan paduan tata gerak yang akan dapat meningkatkan ilmu mereka masing-masing.
"Tetapi yang dilakukan oleh Swandaru adalah petungkatan ketrampilan jasmaniah. Ia kurang bersungguh-sungguh untuk membina kemampuannya mempergunakan tenaga cadangan meskipun demikian, kecepatan bergerak Swandaru benar-benar mengagumkan disamping kekuatannya yang jauh melampaui kekuatan orang kebanyakan," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Dan saat-saat untuk kembali kepadepokan kecil itupun semakin dekat pula. Kiai Gringsing sudah tidak menganggap perlu lagi untuk berada di Sangkal Putung. Apalagi jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom memang tidak terlalu jauh.
Namun dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing sudah berniat untuk minta diri kepada Ki Demang disatu sore. Sangkal Putung telah diguncangkan oleh kehadiran iring-iringan yang melintas dari arah Timur menuju ke Barat.
Seorang pengawal berkuda yang melihat iring-iringan itu, dengan tergesa-gesa telah berpacu ke Kademangan induk, sementara kawannya telah mempersiapkan dengan tergesa-gesa para pengawal dipadukuhan diujung Kademangan itu.
"Apakah kita perlu memberikan isyarat " " bertanya salah seorang pengawal.
"Kita akan menunggu, siapakah mereka," jawab pimpinan pengawal padukuhan itu.
"Tetapi jika mereka bermaksud buruk, kita akan terlambat," sahut yang lain.
"Kita akan berpencar. Kita memperhatikan dari tempat yang tersembunyi. Jika mereka berbuat jahat, maka kita akan tampil sambil membunyikan tanda. Para pengawal-pengawal dipadukuhan terdekat akan segera datang, sebelum para pengawal dari padukuhan induk beserta Swandaru datang pula."
"Swandaru sedang sakit," sahut yang lain pula.
"Ia sudah sembuh. Ia sudah mampu bertempur lagi. Apalagi gurunya masih berada di padukuhan induk pula."
Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Kehadiran Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih seolah-olah dapat menenangkan mereka, karena selain Swandaru, mereka akan mendapat perlindungan dari orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Demikianlah, maka beberapa orang pengawal telah berpencar dan justru berlindung di antara tanaman-tanaman di sawah dipinggir padukuhan. Hanya beberapa orang saja yang berada di gardu, seolah-olah mereka tidak menaruh curiga sama sekali terhadap mereka yang datang mendekati padukuhan itu.
Sementara itu, maka pengawal berkuda yang berpacu kepadukuhan induk telah berhenti sejenak disetiap padukuhan yang dilaluinya. Pengawal itu telah memperingatkan, agar para pengawal yang mungkin dikumpulkan, segera berkumpul dan mempersiapkan diri.
"Kenapa " " bertanya anak-anak muda yang mendengar keterangan itu.
"Sebuah iring-iringan telah mendekati padukuhan diujung Kademangan. Kami belum tahu, siapakah mereka itu. Jika mereka bermaksud buruk, maka kita harus berbuat sesuatu."
"Apakah tidak ada tanda-tanda yang nampak pada iring-iringan itu ?"
Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeleng, "Kami tidak melihatnya. Seorang pengawal yang sedang berada disawah melihatnya dari kejauhan. Kemudian dengan tergesa-gesa ia berlari kepadukuhan, sambil berlindung dibalik batang-batang jagung, sehingga iring-iringan itu tidak melihatnya."
"Baiklah. Kami akan bersiap-siap. Kami akan mengumpulkan para pengawal yang ada."
"Jika perlu, kalian harus membantu kepadukuhan diujung," berkata pengawal berkuda itu.
"Tetapi jika tidak ada tanda-tanda atau tengara, kami tidak akan mengetahuinya."
"Tentu mereka akan memberikan isyarat. Mereka akan membunyikan kentongan jika perlu," berkata pengawal itu, "lebih baik kalian mempersiapkan empat atau lima ekor kuda yang dapat segera kalian pergunakan."
Sepeninggal pengawal berkuda itu, maka anak-anak muda dipadukuhan itupun segera mempersiapkan diri dengan tergesa-gasa. Tiga orang diantara mereka siap dengan kuda-kuda mereka sementara dua orang yang lain telah mendapatkan pinjaman dua ekor kuda yang siap pula dipergunakan. Sementara yang lain, telah berada di gardu dengan senjata masing-masing.
Mutiara Hitam 14 Kau Tak Perlu Mencintaiku Karya Almino Situmorang Tersesat Di Lembah Kematian 2