Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 3

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 3


Glagah Putih tidak menyahut.
Demikianlah, sepeninggal Kiai Gringsing, penghuni padepokan kecil itupun segera tenggelam dalam kerja masing-masing seperti yang mereka lakukan setiap hari. Kehadiran tiga orang anak muda di padepokan itu rasa-rasanya agak meringankan kerja mereka masing-masing. Tetapi dengan demikian berarti bahwa mereka harus bekerja lebih keras pula untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak, karena tiga orang anak muda itu harus mendapat makan dan minumnya pula.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang dalam perjalanan ke Sangkal Putung seorang diri, sama sekali tidak mendapat hambatan apapun juga. Dengan selamat ia memasuki regol padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, langsung menuju kerumah Ki Demang yang sudah dikenalnya baik-baik.
Namun tiba-tiba saja ia tertegun. Ditariknya kendali kudanya, sehingga kudanyapun berhenti dengan serta-merta, dan bahkan Kiai Gringsingpun langsung meloncat turun.
Dipinggir jalan padukuhan berdiri dua orang yang terhenti pula langkahnya melihat Kiai Gringsing. Dua orang yang agaknya sedang menempuh perjalanan jauh. Yang seorang masih muda sedang yang lain sudah tua.
"Raden," bertanya Kiai Gringsing kemudian, "Apakah Raden baru saja dari Kademangan Sangkal Putung?"
Anak muda itu menggeleng sambil menjawab, "Belum Kiai. Aku memang akan pergi ke Kademangan Sangkal Putung. Tetapi aku dengar Kiai dan Agung Sedayu sedang tidak ada di Kademangan. Karena itu, akupun akan langsung pergi kepadepokan kecil didekat Jati Anom itu."
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, "Bukan sebuah padepokan. Sekedar sebuah pondokan kecil dipategalan yang sepi."
"Dan sekarang, apakah Kiai akan pergi ke Kademangan?"
"Ya Raden, Aku ingin menengok muridku yang seorang. Swandaru."
Anak muda itu termangu-mangu.
"Apakah Raden akan singgah sebentar di Kademangan. Akupun tidak akan lama berada di Sangkal Putung. Aku akan segera kembali ke Karang."
"Sepekan?" "O, tidak Raden. Sehari atau paling lama dua hari. Apakah Raden akan Singgah juga sehari dua hari di Sangkal Putung, kemudian bersama-sama pergi ke Karang?"
Anak muda itu termangu-mangu. Dipandanginya orang yang sudah lanjut usia itu dengan pertanyaan disorot matanya.
"Agaknya tidak ada jeleknya," berkata orang tua itu, "jika Raden ingin singgah barang satu dua hari di Sangkal Putung, kemudian satu dua hari di padepokan kecil itu."
Anak muda itupun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Kiai, aku akan singgah. Aku kini sudah tidak dalam perjalanan, tirakat seperti yang aku lakukan saat Sangkal Putung sedang dalam keramaian. Aku sudah kembali ke Mataram dan aku sudah selesai dengan saat-saat tirakatku. Aku sudah boleh singgah dan tinggal dibawah atap."
"O," Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "jadi Raden sudah selesai dan bahkan sudah kembali ke Mataram?"
"Ya. Aku sudah berada beberapa pekan di Mataram. Aku sudah mulai dengan berbagai macam kerja yang terbengkelai selama aku tinggalkan, meskipun pada umumnya berjalan baik." ia berhenti sejenak, lalu. "namun tiba-tiba saja aku telah didesak oleh keinginanku untuk bertemu dengan Kiai dan kedua murid Kiai."
"Terima kasih bahwa anak mas masih selalu ingat kepada kami." sahut Kiai Gringsing.
"Apakah alasannya bahwa aku akan melupakan Kiai dan kedua murid Kiai itu. Kiai sudah banyak berjasa kepada kami. Dan kini, Kiaipun masih sedang dalam keadaan yang memberikan harapan kepada kami atas hilangnya kedua pusaka kami dari perbendaharaan pusaka di Mataram."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya sudah lama sekali ia terpisah dari persoalan pusaka yang hilang dari Mataram, sehingga, tiba-tiba saja ia bagaikan terbangun dari tidurnya dan teringat kembali akan kedua pusaka itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dalam saat-saat terakhir kedua muridnya sedang disibukkan oleh persoalan sendiri. Persoalan Agung Sedayu yang sedang membentuk dirinya karena sikap kakaknya yang keras terhadapnya. Swandaru yang merasa dirinya akan bertanggung jawab atas dua daerah yang terpisah, yang sedang berusaha membentuk daerahnya menjadi daerah yang kuat dan mampu menjaga diri sendiri.
Dan kini Raden Sutawijaya datang dengan persoalan yang sudah cukup lama mereka perbincangkan, "Pusaka yang hilang."
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan kedua orang pemimpin dari Mataram itu bersamanya menuju ke regol Kademangan.
Beberapa orang yang melihat, justru memberikan hormat kepada Kiai Gringsing yang menuntun kudanya. Mereka merasa sama sekali tidak mengenal kedua orang yang berjalan bersama Kiai Gringsing. Mereka menyangka bahwa keduanya adalah orang-orang yang sedang berjalan bersama saja atau kawan-kawan Kiai Gringsing yang juga ingin pergi ke Kademangan dalam persoalan yang tidak ada hubungannya dengan orang tua itu.
Ketika ketiganya memasuki regol Kademangan, maka kehadiran Kiai Gringsing itu telah menyibukkan orang-orang di Kademangan itu. Ki Demang dan Swandaru dengan tergesa-gesa telah menyongsongnya disusul oleh Ki Sumangkar.
Namun merekapun terkejut pula, bahwa bersama dengan Kiai Gringsing telah datang pula dua orang dalam pakaian orang kebanyakan. Namun yang sudah mereka kenal dengan sebaik-baiknya.
"Raden Sutawijaya," desis Ki Demang di Sangkal Putung.
Raden Sutawijaya tersenyum.
"Marilah Raden. Marilah Ki Juru," Ki Demang mempersilahkan mereka dengan tergopoh-gopoh, lalu. "Marilah Kiai. Silahkan."
Orang-orang di Kademangan Sangkal Putung itu menyambut tamunya dengan sibuknya. Mereka menyangka bahwa Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani yang datang bersama Kiai Gringsing itu telah berkunjung kepadepokan kecil di Karang, dan kemudian bersama-sama pergi ke Sangkal Putung.
Namun setelah mereka duduk sejenak dan saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka tahulah orang-orang Sangkal Putung, bahwa Kiai Gringsing bertemu dengan kedua orang itu di Sangkal Putung.
"Jadi Raden dan Ki Juru sebenarnya tidak akan singgah dirumah ini " " bertanya Ki Demang.
"Kami memang akan pergi ke Kademangan ini Ki Demang," jawab Ki Juru, "adalah kebetulan saja bahwa Kiai Gringsing yang berkuda itu mendahului perjalanan kami."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi iapun, tersenyum dan tidak membantah keterangan Raden Sutawijaya, meskipun ia harus menahan tertawa.
Sejenak kemudian maka mereka mulai berbicara tentang keadaan Kademangan itu. Tentang usaha Swandaru untuk meningkatkan kemampuan para pengawal dan sudah tentu dirinya sendiri.
"Bagus sekali," puji Raden Sutawijaya, "kau akan menjadi seorang pemimpin yang besar. Adalah menjadi kewajibanmu untuk membentuk daerahmu menjadi daerah yang kuat."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Kami sedang mencoba Raden. Mudah-mudahan kami berhasil."
Dengan penuh gairah, Swandaru menyanggupi untuk memperlihatkan kemajuan Kademangannya dari beberapa segi. Gairah anak-anak muda dalam oleh kanuragan dan usaha mereka meningkatkan penghasilan sawah maupun pategalan. Juga usaha Swandaru untuk memberikan kesempatan para pande besi dan orang-orang yang membuat barang-barang keperluan sehari-hari untuk berkembang.
"Menarik sekali," berkata Ki Juru Martani, "kami tentu akan senang sekali melihatnya."
"Setelah Ki Juru beristirahat, maka kita akan berjalan-jalan sepanjang padukuhan induk ini. Jika ada kesempatan, kita akan melihat-lihat padukuhan-padukuhan yang lain."
"Senang sekali," jawab Raden Sutawijaya, "tetapi aku minta bahwa kami harus tetap dalam keadaan kami seperti ini. Jangan kau perkenalkan kami sebagai orang-orang Mataram."
Swandaru mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah Raden. Aku mengerti."
Dalam pada itu, Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun sempat menemui tamu mereka meskipun hanya sebentar. Kemudian para pelayanpun menghidangkan jamuan bagi tamu-tamu mereka.
Setelah beristirahat dan berbicara tentang berbagai hal, maka sampailah saatnya Swandaru ingin memperlihatkan keadaan Kademangannya kepada tamu-tamunya, dan terutama kepada gurunya. Kiai Gringsing.
"Silahkan Raden," berkata Ki Demang, "mungkin dengan berjalan-jalan disekeliling padukuhan induk, angger tidak segera menjadi jemu berada di Sangkal Putung."
Swandaru kemudian membawa tamu-tamunya untuk berjalan-jalan. Diregol ia berpesan kepada pengawal yang sedang duduk digardu. "Panggilah beberapa orang kawanmu. Aku memerlukan mereka setelah aku berjalan-jalan mengantarkan tamu-tamuku."
"Untuk apa" " bertanya pengawal itu, "apakah ada sesuatu yang penting akan terjadi ?"
"Tidak. Aku ingin mempertunjukkan kepada guru, bahwa kalian bukan lagi tikus-tikus sawah yang hanya dapat bersembunyi dilubang-lubang pematang."
Pengawal itu tersenyum. Kiai Gringsing, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martanipun tersenyum pula.
Demikianlah mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan induk. Mereka memang melihat kemajuan yang pesat dipadukuhan itu. Dimulut jalan mereka melihat pande besi yang sedang sibuk bekerja dengan tiga tungku perapian dalam sebuah rumah yang khusus.
"Semula mereka tidak berada ditempat itu " " berkata Swandaru.
Kiai Gringsing yang sudah mengenal Sangkal Putung dengan baik memang belum pernah melihat pande besi ujung jalan meskipun masih didalam lingkungan regol padukuhan.
"Mereka semula berada dirumah masing-masing," berkata Swandaru meneruskan, "tetapi kerja mereka terbatas. Kecuali peralatan yang kurang mencukupi, suara tempaan dan hiruk pikuk yang lain, kadang-kadang dapat mengganggu tetangga. Menjelang senja, meskipun ada pekerjaan yang tergesa-gesa mereka tidak dapat melanjutkannya, karena anak-anak tetangga mulai naik kepembaringan."
"Bagus sekali," desis Sutawijaya, "disini mereka akan mendapat bimbingan dan saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Juga tidak akan mengganggu tetangga-tetangga karena tetangga yang paling dekat itu-pun letaknya agak berjauhan. Selebihnya, dalam keadaan yang memaksa, mereka dapat bekerja siang dan malam."
"Ya Raden. Dipadukuhan induk ini ada tiga orang pande besi. Tetapi hampir disetiap padukuhan yang lain-pun terdapat pande besi seperti mereka, meskipun tingkat ketrampilan mereka tidak sama."
"Bagaimana dengan ketiga orang itu" " bertanya Ki Juru Martani.
"Hampir seimbang. Mereka adalah orang-orang terpercaya di Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah dapat membuat senjata yang baik. Pedang diseluruh Sangkal Putung hampir semuanya dihasilkan oleh ketiganya. Bahkan mereka membuat pula trisula, parang dan canggah."
"Bagaimana dengan keris dan tombak?"
"Tentu bukan seorang pande besi," jawab Swandaru, "diseluruh Sangkal Putung hanya ada seorang empu keris. Itupun bukan empu yang terbaik meskipun hasilnya tidak terlalu jelek."
Sutawijaya mengangguk-angguk. Kiai Gringsingpun merasakan beberapa perubahan yang menggembirakan, meskipun ada yang mencemaskan. Swandaru menekankan pembinaan Kademangannya terutama kepada kekuatan jasmaniah. Meskipun ada juga segi-segi yang menguntungkan dalam keseluruhan. Karena Swandaru juga memperhatikan jalan-jalan dan parit-parit.
Beberapa lama lagi mereka masih berjalan menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Mereka melihat hampir, disetiap lorong terdapat gardu-gardu peronda. Kentongan terdapat hampir disetiap regol halaman.
Setelah hampir seluruh lorong di Kademangan dilalui, maka merekapun memasuki jalan kembali ke Kademangan.
Beberapa orang yang melihat iring-iringan kecil itu mula-mula tertarik juga untuk mengetahui. Tetapi ketika mereka melihat diantara mereka terdapat Swandaru dan Kiai Gringsing, maka merekapun tidak lagi menaruh banyak perhatian.
Ketika Swandaru dan tamu-tamunya telah kembali dan duduk dipendapa Kademangan, maka mulai berdatanganlah beberapa orang pengawal yang telah dipanggil Swandaru. Mereka adalah pengawal-pengawal terbaik di Kademangan Sangkal Putung. Swandaru ingin memperlihatkan kekuatan Kademangannya kepada Kiai Gringsing dan terutama kepada Sutawijaya.
"Nah, sekarang Raden, Ki Juru dan guru dapat beristirahat. Setelah lewat tengah hari, biarlah para pengawal mempertunjukkan kemampuan mereka mempertahankan Kademangannya."
Ternyata bahwa kunjungan beberapa orang di Sangkal Putung itu menjadi sangat menarik. Sutawijaya dan Ki Juru Martani tidak mengira sama sekali, bahwa mereka akan dapat melihat kemampuan dari para pengawal di Sangkal Putung.
Ketika Sutawijaya, Ki Juru dan Kiai Gringsing sempat berbicara bertiga saja dipendapa, Raden Sutawijaya bertanya, "Kiai, apakah Agung Sedayu juga mengalami kemajuan seperti Swandaru?"
"Mudah-mudahan Raden," jawab Kiai Gringsing, "tetapi aku melihat keduanya mempunyai landasan kepribadian yang berbeda. Agung Sedayu lebih banyak melihat kedirinya sendiri, sementara Swandaru, sesuai dengan keadaannya dan kedudukannya, lebih nampak keluar. Ia sempat membentuk sepasukan pengawal terpilih, menggerakkan anak-anak muda di Sangkal Putung untuk melakukan kegiatan yang bermacam-macam. Tetapi Agung Sedayu tidak mempunyai kewenangan seperti Swandaru. Ia hanya dapat berbuat bagi dirinya sendiri."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi dengan demikian maka Sangkal Putung benar-benar telah menjadi Kademangan yang kuat. Setidak-tidaknya untuk melindungi dirinya sendiri." ia berhenti sejenak, lalu. "tetapi bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh" Ki Argapati adalah seorang yang kuat. Tetapi umurnya yang jauh lebih tua dari Swandaru tentu menumbuhkan perbedaan gairah perjuangan diantara mereka. Jika pada saatnya Swandaru mulai menjamah Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan itu tentu akan menjadi lebih besar dari sekarang."
"Mudah-mudahan Raden. Mudah mudahan Swandaru berhasil. Bukan saja menjadikan kedua daerah itu kuat, tetapi juga mapan."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.
Dalam pada itu, Swandaru dengan diam-diam telah mempersiapkan pengawalnya yang terbaik. Ia ingin menunjukkan kepada Sutawijaya bahwa Kademangannya adalah Kademangan yang kuat.
"Ki Sumangkar," berkata Swandaru, "jika benar Mataram ingin membuat imbangan atas Pajang yang dikatakannya sudah tidak akan dapat berkembang lagi itu, maka Mataram harus memperhitungkan Sangkal Putung. Aku masih meragukan, apakah Mataram yang baru saja tumbuh itu akan dapat menyusun kekuatan sebesar Sangkal Putung."
"Ah," desah Ki Sumangkar, "kita semua sudah melihat, betapa Mataram sudah berhasil menyusun kekuatan yang besar. Beberapa kelompok prajurit tiba-tiba saja telah diketemukan berada di Mataram setelah meninggalkan Pajang meskipun mereka tidak menumbuhkan keributan. Ki Juru Martani, Ki Lurah Branjangan, dan beberapa orang, yang lain merupakan kekuatan yang besar bagi Mataram. Nama mereka mempunyai pengaruh tersendiri. Apalagi Sultan Pajang telah dengan ikhlas menyerahkan beberapa pusaka terbesar kepada Raden Sutawijaya, putera angkat yang dikasihinya seperti anak sendiri. Bahkan tombak Kangjeng Kiai Pleretpun secara resmi telah berada di Mataram."
Swandaru mengangguk-angguk. Dengan demikian iapun sadar, bahwa meskipun terselubung, tetapi sebenarnya Sultan Pajang sudah mengakui kehadiran Mataram disamping Pajang.
Meskipun demikian ia menjawab, "Memang di Mataram terdapat beberapa orang prajurit yang menyatakan diri menjadi pengawal di Mataram. Namun susunan pengawal di Mataram terdiri dari orang-orang yang dapat dianggap baru dan kurang berpengalaman disamping sekelompok kecil prajurit."
"Ah, kau aneh Swandaru. Kita pernah bersama-sama melakukan pertempuran. Kita melihat kekuatan yang besar dari Mataram."
"Yang kita lihat adalah kekuatan Mataram beberapa saat yang lampau, saat Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh masih terlalu lemah, sehingga kita menyangka bahwa Mataram adalah suatu kekuatan yang tidak terkira besarnya. Tetapi sekarang, aku menganggapnya lain. Juga pimpinan tertinggi Mataram, Raden Sutawijaya, bukannya seorang anak muda yang mumpuni. Setelah aku meningkatkan ilmuku, maka aku kira, aku tidak akan kalah lagi dengan tingkat ilmunya."
"Jangan berpikir begitu Swandaru," berkata sumangkar, "Raden Sutawijaya adalah murid Sultan Pajang sekaligus anaknya yang dikasihi. Setiap orang tahu, siapa Sultan Pajang, dimasa mudanya ia bernama Mas Karebet dan bergelar Jaka Tingkir, karena ia tinggal di Tingkir. Ia memiliki kemampuan yang tidak dapat dinilai. Sehingga orang mengatakan rabaan tangannya dapat menggugurkan gunung, sedang tatapan matanya dapat mengeringkan lautan. Meskipun bukan sebenarnya demikian, namun julukan itu telah dapat memberikan gambaran akan kemampuannya yang tidak terhingga."
"Tetapi itu adalah Sultan Pajang. Sultan Hadiwijaya, bukan Raden Sutawijaya."
"Aku yakin, bahwa ilmu itu telah dimiliki oleh Raden Sutawijaya pula."
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata, "Ki Sumangkar. Sebenarnyalah bahwa aku memang harus menentukan sikap. Sangkal Putung terletak digaris lurus antara Pajang dan Mataram. Jika aku terombang-ambing diantara keduanya, maka aku tentu akan tergilas oleh keadaan. Tetapi untuk menentukan sikap, diperlukan pengamatan yang teliti."
"Kenapa kau harus menentukan sikap" Memang ada semacam persaingan antara Pajang dan Mataram. Tetapi itu bukan berarti bahwa keduanya akan berhadapan dalam benturan kekuatan."
"Tetapi kemungkinan itu dapat dilihat sekarang. Prajurit Pajang pada umumnya tidak senang melihat perkembangan Mataram. Sedang ada diantara mereka yang lari dan berpihak kepada Mataram. Bukankah itu suatu pertanda buruk" Apalah dengan hadirnya kekuatan yang menyebut dirinya pewaris yang sah dari Kerajaan Besar Majapahit. Maka keadaan tentu akan menjadi semakin gelap."
"Aku ingin menasehatkan kepadamu Swandaru," berkata Ki Sumangkar, "jangan terlalu bangga atas pencapaianmu. Aku tahu, pada umumnya seseorang yang baru saja menyelesaikan satu tingkat kemampuannya, cenderung untuk mencobanya."
Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya, "Bukan maksudku sekedar mencoba kemampuanku, tetapi justru aku ingin menjajagi kemampuan Raden Sutawijaya."
Ki Sumangkar menarik nafas. Tetapi agaknya sulit baginya untuk mencegah niat Swandaru. Karena itu, maka iapun berdiam diri. Namun ada keinginannya untuk menyampaikannya kepada Kiai Gringsing jika ia nanti naik kependapa, setelah ikut menyiapkan tempat yang akan dipergunakan oleh para pengawal untuk memperlihatkan kemampuan mereka.
Sebenarnyalah bahwa Ki Sumangkar menjadi agak kecewa melihat sikap Swandaru. Namun seperti yang diperhitungkannya sejak semula, agaknya Swandaru memang dipengaruhi oleh keadaan dan kedudukannya.
"Mungkin ia bermaksud baik," Sumangkar mencoba menenangkan hatinya sendiri. Tetapi kemudian, "Namun aku tidak sependapat cara-cara yang dipergunakannya."
Dalam pada itu, para tamu yang ada dipendapapun telah mendapat hidangan makan siang. Mereka masih sempat berbicara panjang lebar tentang perkembangan Sangkal Putung dan Mataram. Dan merekapun telah mulai berbicara tentang orang-orang yang menyebut diri mereka pewaris kerajaan Majapahit.
"Pertemuan itu telah ditunda Kiai," berkata Raden Sutawijaya, "mungkin kematian beberapa orang pemimpin mereka di Tambak Wedi, mungkin pula kegagalan mereka merampok Swandaru saat perkawinannya, atau sebab-sebab yang lain, telah menyebabkan mereka sampai saat ini masih belum menentukan sikap mereka menghadapi Pajang dan Mataram. Tetapi aku mendapat keyakinan, bahwa pusaka-pusaka itu memang berada di tangan mereka."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, "Maaf anakmas. Beberapa saat terakhir kami tenggelam dalam kesibukan kami sendiri. Persoalan yang menyangkut hubungan keluarga antara Agung Sedayu dan angger Untara. Antara Agung Sedayu dan Swandaru, serta kemudian keinginan Agung Sedayu untuk meningkatkan ilmunya, yang aku batasi waktu dari saat purnama sampai purnama berikutnya."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti. Jika saat itu keadaan mendesak, aku kira aku sudah mencari Kiai, karena aku tahu, bahwa bersama Kiai Gringsing adalah Ki Waskita, Ki Sumangkar, kedua murid Kiai dan barangkali kekuatan di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh dapat membantu Mataram."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ketika kemudian Swandaru, Ki Demang dan orang-orang Sangkal Putung yang lain ikut pula dalam pembicaraan, maka pembicaraan mereka itupun telah mereka batasi.
Namun dalam satu kesempatan, Ki Sumangkar telah sempat membisikkan perasaan Swandaru tentang Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram itu.
"Aneh," desis Kiai Gringsing, "aku akan menemuinya."
"Ia sibuk dengan persiapannya," desis Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing termangu-mangu. Sebenarnya ia dapat mengerti, bahwa pada suatu saat, Swandaru akan melakukan sesuatu yang dianggapnya agak berlebihan. Namun, Kiai Gringsing sama sekali tidak menduga, bahwa anak muda itu akan meragukan kemampuan Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga di Mataram.
"Mungkin ia tidak meragukan kemampuan Raden Sutawijaya," berkata Ki Sumangkar, "tetapi ia telah didorong oleh keinginannya untuk mengetahui tingkat kemajuannya."
"Tentu ada perasaan sombong didalam dirinya," desis Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menjawab, "Perasaan yang sama telah aku temui pula pada adiknya Sekar Mirah."
Kiat Gringsing termenung sejenak. Keraguannya tentang sikap batin Swandaru memang sudah tumbuh sejak beberapa lama. Tetapi kali ini ia benar-benar kecewa.
Karena itulah, maka iapun kemudian memerlukan menjumpai Swandaru. Dengan hati-hati telah memancing persoalan seperti yang dikatakan oleh Ki Sumangkar.
"Guru," bertanya Swandaru, "apakah Raden Sutawijaya telah benar-benar menerima semua ilmu dari Sultan Pajang ?"
"Tentu Swandaru. Bahkan menurut penilaian orang banyak, Raden Sutawijaya memiliki kelebihan dari putra Sultan sendiri. Pangeran Benawa tidak memiliki kemampuan ilmu setinggi Raden Sutawijaya."
"Tetapi apakah tidak ada orang lain yang sebaya dengan Raden Sutawijaya yang dapat menyamai ilmunya?"
"Mungkin ada. Tetapi aku kira sulit untuk mengetahui. Seandainya seseorang mengetahui bahwa ilmunya setingkat dengan ilmu Raden Sutawijaya, apakah yang akan didapatkannya?"
"Guru. Dalam jenjang keprajuritan, maka ketinggian ilmu tentu harus dipertimbangkan selain pengalaman dan kecerdasan. Mungkin memang ada seorang prajurit yang memiliki kemampuan mengatur pasukan dan pandangan yang tepat mengenai keadaan medan, meskipun ia sendiri secara pribadi kurang memiliki ilmu kanuragan. Dan orang yang demikian memang diperlukan. Tetapi bagi mereka yang memang memiliki ilmu yang cukup, maka apakah ia akan dapat diabaikan begitu saja?"
"Aku tidak tahu maksudmu Swandaru," bertanya Kiai Gringsing meskipun hatinya sudah semakin berdebar-debar, "mungkin, kau sedang memperbandingkan seseorang ?"
"Tegasnya Mataram dan Sangkal Putung. Bagaimanakah pendapat guru seandainya aku dapat memiliki ilmu setingkat dengan Raden Siiitawijaya" "
Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya, "Mungkin saja seseorang memiliki tingkat kemampuan yang menyamainya. Tetapi kedudukan Raiden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga telah dikuatkan oleh pengakuan Sultan. Selebihnya, namanya sudah dikenal oleh para Adipati dari ujung Barat sampai keujung Timur wilayah Pajang dalam keseluruhan. Bukan sekedar kota Pajang."
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian berkata, "Guru. Seseorang dapat menaruh hormat kepada orang lain, jika orang lain itu mempunyai kelebihan daripadanya. Bukan sekedar kelebihan derajad yang diwarisinya. Tetapi kelebihan pada diri seseorang itu sendiri."
Kiai Gringsing menegang sejenak. Lalu, "Kau terlalu ingin melihat kemajuan yang kau capai dalam waktu terakhir Swandaru, sehingga kau ingin membuktikannya. Sayang, yang datang pertama kali di Kademangan ini adalah justru Senopati ing Ngalaga, sehingga bagiku sangat daksura seandainya kau ingin menjajagi kemampuan yang kau capai pada sasaran yang seharusnya kita hormati."
"Guru," jawab Swandaru, "mungkin tanggapan orang lain berbeda dengan niat dan maksudku sebenarnya. Jika aku ingin menjajagi kemampuan seseorang, adalah sekedar ingin memantapkan sikapku kepadanya. Jika aku harus menghormatinya, aku akan hormat dengan ikhlas jika orang itu memang mempunyai kelebihan daripadaku."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi kau harus dapat menimbang, siapakah yang sedang kita hadapi."
"Justru Raden Sutawijaya adalah orang yang paling tepat untuk aku jadikan sasaran sekarang ini. Jika ia memiliki kelebihan daripadaku, maka aku akan menghormatinya seperti aku menghormati Sultan Pajang, karena meskipun aku belum pernah menjajagi kemampuan Sultan Pajang, namun aku yakin, bahwa ia adalah orang yang pantas dihormati."
Tidak ada cara lagi untuk mencegah Swandaru. Tetapi sikap itu benar-benar sangat mendebarkan jantung. Jika Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang juga masih muda itu salah paham, dan menganggap tindakan Swandaru itu benar-benar sebagai tantangan, maka hatinya tentu akan terluka untuk waktu yang sangat panjang. Banyak peristiwa yang dapat terjadi dimasa-masa berikutnya. Dan seribu kemungkinan akan dapat terjadi.
Kiai Gringsing benar-benar menjadi cemas melihat sikap Swandaru yang didalam perkembangan pribadinya menjadi jauh berbeda dengan Agung Sedayu.
Sementara itu, selagi Kiai Gringsing termangu-mangu, maka Swandarupun berkata, "Para pengawal sudah siap. Aku akan mengharap Raden Sutawijaya melihat kemajuan anak-anak muda Sangkal Putung didalam Sanggar."
Kiai Gringsing masih akan mencoba mencegah tingkah laku Swandaru, tetapi Swandaru telah mendahului, "Guru, biarlah aku mendapat pegangan atas sikapku. Jika tidak, maka aku akan selalu ragu-ragu dan tidak dapat melakukan tugas-tugasku dengan mantap."
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi iapun kemudian meninggalkan Swandaru dan kembali kependapa.
Dipendapa ternyata Ki Demang telah duduk pula bersama tamu-tamunya dari Mataram dan nampaknya sedang asyik berbincang tentang kemajuan yang sudah dicapai oleh Sangkal Putung. sejak Swandaru merasa wajib untuk ikut membinanya.
Ketika Kiai Gringsing naik kependapa, Ki Sumangkar memandangnya dengan gelisah. Apalagi ketika Kiai Gringsing kemudian menggelengkan kepalanya. Agaknya Ki Sumangkar langsung dapat mengetahui bahwa Kiai Gringsingpun tidak dapat mencegahnya lagi.
Tetapi bagaimanapun juga, orang-orang tua itu sealu dibayangi oleh kegelisahan. Keduanya adalah anak-anak muda yang masih mudah disentuh olah api perasaannya.
Sejenak kemudian ternyata Swandary telah mempersilahkan " " untuk melihat sanggar. Beberapa orang " telah menunggu. Mereka adalah pengawal yang terbaik yang akan ditunjukkan kepada Raden Sutawijaya.
Ketika para tamu telah memasuki sanggar, maka para pengawal itupun langsung dipersiapkan.
"Mereka adalah sebagian kecil dari seluruh kekuatan Sangkal Putung yang besar," berkata Swandaru, "pengawai Kademangan ini kini telah berlipat. Jauh lebih banyak dari saat Tohpati masih berkeliaran disekitar kademangan ini. Bukan saja jumlahnya, tetapi kemampuan merekapun jauh lebih baik dari pengawal dimasa itu," Swandaru memberikan penjelasan bahkan " para pengawal, maka setiap anak muda di Sangkal Putung adalah pengawal. Dan mereka mempunyai kewajiban yang harus dipertanggung jawabkan meskipun tidak " at para pengawal yang sesungguhnya. Dan latihan-latihan bagi merekapun tidak seberat para pengawal yang diangkat dengan resmi."
Raden Sutawijaya mengangguk angguk. Katanya, "Baik sekali Swandaru. Jika Sangkal Putung telah selesai, kau akan meloncat ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya. Tentu," jawab Swandaru sambil memandang Pandan Wangi yang ada didalam sanggar itu pula, "tetapi semuanya masih tergantung kepada Pandan Wangi."
Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan kepalanyapun ditundukkannya dalam-dalam.
Sementara itu, maka semua persiapan telah selesai. Swandarupun sudah siap memberikan aba-aba kepada para pengawal yang akan memberikan pameran kekuatan dihadapan pemimpin tertinggi Mataram.
Dengan isyarat Swandarupun kemudian memberikan aba-aba agar para pengawal itu mulai. Mula-mula beberapa orang yang menunjukkan unsur-unsur gerak dasar. Tetapi yang sudah mantap. Kemudian meningkat semakin sulit dan tinggi.
Pada tingkat selanjutnya Swandaru telah memasang beberapa pasang pengawal yang akan menunjukkan ketangkasannya berkelahi. Seorang lawan seorang, atau sekelompok melawan sekelompok.
Sejenak kemudian Sutawijaya telah terpukau. Sekali kepalanya terangguk-angguk. Bahkan kemudian desisnya, "Luar biasa."
Ia tersenyum melihat dua orang anak muda yang sedang bertempur tanpa senjata. Mereka benar-benar telah berkelahi dengan sentuhan-sentuhan lepas seperti mereka melepaskan serangan. Tetapi nampaknya keduanya memiliki kemampuan yang setingkat, sehingga serangan demi serangan dilontarkan tanpa mencelakai pihak masing-masing.
Sekali-sekali Swandaru memandang wajah Raden Sutawijaya. Ia melihat kekaguman pada wajah itu. Sesaat Swandaru menjadi bangga. Namun kemudian ia telah didorong oleh keinginannya untuk mengetahui betapa tingkat ilmu anak muda itu.
"Ia bangga dan kagum melihat anak-anak yang sedang bermain-main itu," berkata Swandaru didalam hatinya, "apakah dengan demikian berarti bahwa tingkat ilmu Raden Sutawijaya sendiri belum jauh terpaut dari anak-anak itu" Jika demikian, maka ilmu Raden Sutawijaya masih belum melampui ilmuku."
Dengan demikian maka keinginannya bagaikan tidak tertahan lagi. Namun ia masih menahan diri. Ia ingin melihat kekaguman Raden Sutawijaya menyaksikan permainan para pengawal itu untuk latihan-latihan berikutnya.
Kedua anak muda yang seakan-akan telah bertempur dengan sungguh-sungguh itu sekali-sekali mulai saling mengenai. Benar-benar mengenai lawannya sehingga lawannya menyeringai. Tetapi karena kemampuan mereka seimbang, maka seakan-akan mereka telah membagi berapa kali masing-masing harus mengenai lawannya.
Ketika keduanya seakan-akan telah mandi keringat, maka Swandarupun menghentikannya. Ia kemudian memerintahkan dua orang pengawal untuk mulai dengan latihan yang lain. Keduanya akan memperlihatkan kemampuan mereka mempergunakan senjata.
Sutawijaya memandang latihan-latihan itu bagaikan tanpa berkedip. Sekali-kali ia tersenyum sambil mengangguk-angguk. Bahkan seakan-akan diluar sadarnya ia telah bertepuk.
Swandaru memperhatikan Raden Sutawijaya dengan saksama. Namun diluar sadarnya, gurunya dan Ki Sumangkar justru memperhatikan Swandaru dengan hati yang berdebar-debar.
Ternyata bahwa Swandaru benar-benar ingin melakukan rencananya. Ketika orang-orang terakhir dari para pengawalnya telah melakukan latihan-latihan yang menegangkan, maka Swandaru telah mendekati Sutawijaya. Sambil memperhatikan orang terakhir, Swandaru berkata, "Mereka adalah para pengawal Kademangan ini Raden."
Raden Sutawijaya seakan-akan terkejut mendengar. Dengan serta-merta ia berpaling dan berkata, "Ya, ya. Bagus sekali. Mereka mempunyai kemampuan yang dapat dibanggakan. Sangkal Putung akan menjadi sebuah Kademangan yang kuat."
"Ya. Mereka mempunyai ikatan dan tanggung jawab diantara mereka dan kepada pemimpinnya. Aku telah mengajari mereka agar mereka tunduk dan taat kepada pimpinan mereka. Juga kepadaku."
Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, "Tepat. Memang mereka harus diikat oleh satu wibawa. Semakin tinggi kemampuan mereka, maka ikatan dan tanggung jawab itu harus menjadi semakin kuat. agar mereka tidak terlepas untuk melakukan tindakan-tindakan yang kurang menguntungkan bagi mereka sendiri dan bagi kesatuan mereka. Ada satu dua saja diantara merela yang melakukan kesalahan dan apalagi tindakan tercela maka seluruh pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung akan ternoda."
Swandaru mengangguk angguk. Sekilas dilihatnya orang-orang yang sedang memperhatikan latihan-latihan itu. Ia bangga karena latihan-latihan itu mendapat perhatian dari tamu-tamunya dan gurunya.
Sementara itu. maka iapun berkata, " Raden. Aku menanamkan sifat kepada para pengawal dan anak-anak muda di Sangkal Putung, bahwa mereka harus patuh kepada pemimpinnya. Tetapi itupun merupakan tanggung-jawab yang besar bagi para pemimpin, karena ia harus menunjukkan, bahwa sebenarnya ia adalah pemimpin."
Sutawijaya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak begitu memperhatikan maksud kalimat Swandaru, sehingga sambil mengangguk tanpa melepaskan perhatiannya kepada para pengawal yang sedang berlatih ia menjawab, "Itupun tepat. Seorang pemimpin harus menundukkan sikap dan perbuatan seorang pemimpin, sehingga wibawanya akan terpelihara."
Swandaru mengerutkan keningnya. Agaknya Raden Sutawijaya menganggap bahwa Swandaru hanya sekedar menyatakan pendapatnya tentang sikap seorang pemimpin.
"Raden," berkata Swandaru kemudian, "sebenarnya yang harus ditunjukkan oleh seorang pemimpin, bukannya sekedar sikap dan perbuatan."
Raden Sutawijaya masih memperhatikan latihan-latihan dengan saksama. Yang justru menjadi sangat gelisah adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
"Lalu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Seorang pemimpin harus mampu memberikan contoh yang baik."
"Ya. Ya. Itupun tepat."
"Jika ia seorang Senapati, maka ia harus menunjukkan bahwa ia memiliki kelebihan dari perwira dan apalagi prajurit-prajurit yang lain."
"Ya. Itu sebaiknya," jawab Sutawijaya. Ia mulai merasa terganggu, karena perhatiannya kepada latihan-latihan itu harus dibagi dengan mendengarkan kata-kata Swandaru.
Tetapi Swandaru berbicara terus. "Jika seorang pemimpin tidak dapat menunjukkan kelebihannya dari orang-orang yang berada ditingkat bawahnya, maka wibawanyapun kurang diakui, apalagi jika ia sekedar bersandar kepada nama pemimpin yang lain."
"Tepat," sahut Sutawijaya. Tetapi justru perhatiannya kepada kata-kata Swandaru semakin berkurang. Ia tidak lagi menangkap makna dari kata-kata itu, karena latihan-latihan yang dilihatnya meningkat semakin cepat.
Ketika Swandaru akan berbicara lagi, Sutawijaya telah mendahului, "Berbahaya sekali. Tetapi agaknya mereka memang sudah terlatih hampir sempurna. Senjata itu sama sekali tidak menyentuh tubuh mereka."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kemudian duduk semakin dekat disamping Sutawijaya. Katanya, "Mereka sudah akan sampai ke bagian terakhir dari latihannya. Tetapi Raden, aku ingin meneruskan kata-kataku. Tentang seorang pemimpin."
"O, ya"," desis Sutawijaya, tetapi ia tidak mau kehilangan bagian-bagian terakhir yang merupakan puncak dari latihan itu.
"Bukankah sudah sewajarnya, bahwa para pengawal itu memandang aku sebagai pemimpinnya, sehingga mereka menganggap aku mempunyai kelebihan dari mereka" Tetapi aku sudah membuktikannya Raden. Aku memang mempunyai kelebihan dari mereka. Apalagi "r. 'u akulah yang menuntun mereka sampai ketingkatnya yang sekarang."
"Bagus sekali."
"Tanpa menunjukkan dan membuktikan bahwa aku mempunyai kelebihan dari mereka, maka para pengawal itu akan mengabaikan aku, meskipun aku memang orang yang berhak memimpin mereka."
"Ya, ya." Kening Raden Sutawijaya mulai berkerut. Senjata ditangan para pengawal yang sedang berlatih itu semakin cepat bergerak.
"Berbahaya sekali," desis Sutawijaya.
Swandaru menjadi kecewa. Sutawijaya tidak memperhatikan kata-katanya. Tetapi Swandaru masih berusaha untuk memancing Sutawijaya agar ia dapat mengerti maksudnya.
"Raden, bukankah sikap itu sikap yang wajar?"
"Wajar sekali," Raden Sutawijaya asal menjawab.
"Dan itu berlaku bagi segala tingkat?"
"Tentu," jawab Raden Sutawijaya.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Iapun mulai jengkel. Sutawijaya lebih memperhatikan latihan-latihan itu daripada persoalan yang dikemukakan. Sehingga karena itu, maka ia lebih mendesak lagi dengan kata-kata yang lebih jelas.
"Raden, apakah Raden juga bersikap demikian?"
"Ya, akupun bersikap demikian. Pemimpin-pemimpinku harus membuktikan bahwa ia mempunyai kelebihan daripadaku. Tetapi aku sudah yakin akan hal itu."
"Apakah Raden menganggap bahwa Sultan Pajang mempunyai kelebihan dari Raden?"
Pertanyaan itu mulai menarik perhatian Sutawijaya. Tetapi sebagai seorang pemimpin yang berpandangan luas, maka dalam keadaan yang masih kabur, ia tidak akan merubah tata hubungan antara Pajang dan Mataram. Maka jawabnya sambil memperhatikan bagian terakhir dari latihan itu. "Ya. Aku menganggap bahwa ayahanda Sultan mempunyai kelebihan yang jauh daripadaku."
Swandaru mengatupkan giginya. Hampir saja ia berteriak karena kejengkelan yang menyesak dadanya.
Tetapi ia berusaha menahan diri.
Seperti Swandaru, maka dada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkarpun rasa-rasanya menjadi sesak meskipun dalam sudut perasaan yang berbeda. Mereka menjadi cemas, bahwa Swandaru benar-benar tidak dapat mengekang diri. Justru karena Raden Sutawijaya yang tidak menduga maksud Swandaru tidak segera dapat menangkap makna kata-katanya. Bahkan perhatiannya benar-benar tertuju kepada latihan-latihan yang semakin dahsyat dan mencapai puncaknya yang mendebarkan.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin membuat dadanya bertambah lapang. Tetapi ia sama sekali tidak mundur.
Sejenak Swandarupun memperhatikan latihan yang berlangsung dengan serunya. Senjata kedua orang yang sedang berlatih itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun keduanya adalah pengawal yang terampil dan menguasai senjata masing-masing.
"Raden," Swandaru seolah-olah sudah tidak sabar lagi, "ternyata bahwa akupun mempunyai sikap demikian. Aku hanya akan mengakui seorang pemimpin yang mempunyai kelebihan daripadaku."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Perhatinnya kepada latihan itu mulai terbagi. Namun ia masih bertanya, "Apakah kau merasa bahwa pimpinanmu tidak dapat mengimbangi kemampuanmu?"
"Bukan begitu. Tetapi sekedar membuktikan."
"Siapa yang kau maksud" Ayahmu atau mertuamu?"
Pertanyaan itu benar-benar menghentak dada Swandaru. Hampir-hampir saja ia kehilangan nalar. Untunglah, sambil menarik nafas dalam-dalam ia masih sempat menahan diri. Jawabnya dengan suara gemetar, "Raden. Bukankah kini aku berdiri disimpang jalan" Aku tahu bahhwa Pajang dan Mataram mulai berselisih jalan. Dan akupun tahu, meskipun Sultan Hadiwijaya di Pajang mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan, tetapi ia sekarang seakan-akan sudah sampai pada puncak kemampuannya didalam pemerintahan. Ia sudah berhenti. Ia lebih senang memperhatikan kesenangan diri sendiri, sehingga Pajang sama sekali sudah tidak bergerak maju. Kemukten yang dihayatinya sekarang telah menghentikan segala gerak dan perjuangan bagi tanah ini."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi matanya masih tetap tertuju pada latihan yang sengit.
"Raden," Swandaru meneruskan niatnya itu, "aku mulai berkiblat kepada Mataram, aku melihat Mataram berkembang pesat. Dan aku melihat sikap kepemimpinan Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram."
Kata-kata Swandaru yang terakhir telah mengguncang dada Raden Sutawijaya. Ia mulai sadar, apakah yang dimaksud oleh Swandaru. Sekilas ia mencoba mengingat apa saja yang sudah dikatakan oleh Swandaru sejak anak muda itu mendekatinya.
Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itupun usianya masih muda. Darahnya masih mudah mendidih seperti pada umumnya anak-anak muda. Itulah sebabnya, ketika ia menyadari maksud Swandaru ia telah beringsut setapak.
Tetapi disebelahnya yang lain duduk Ki Juru Martani. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mendengar kata-kata Swandaru dan justru Ki Jurulah yang lebih menangkap maksud Swandaru.
Ketika Ki Juru merasakan gejolak hati Raden Sutawijaya, maka iapun telah menggamitnya. Dengan isyarat ia mengharap agar Raden Sutawijaya agak bersabar menanggapi sikap Swandaru itu.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia melihat latihan yang benar-benar sudah mencapai pada akhirnya. Kedua orang yang sedang berlatih dengan senjata itu telah mulai mengekang diri dan kemudian merekapun berhenti sama sekali. Dengan bangga mereka memperhatikan orang-orang yang berada didalam sanggar, seolah-olah ingin mengatakan sambil menepuk dada. "Inilah aku, pengawal Kademangan Sangkal Putung."
Tetapi anak-anak muda yang sedang berlatih itu tidak bersalah. Swandaru memang mengajari mereka untuk berbangga terhadap kemampuan diri, meskipun maksudnya untuk membangkitkan kepercayaan kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, nafas Raden Sutawijaya terasa menyesak dadanya, justru karena ia menahan perasaannya. Namun agaknya pengalamannya yang luas dan kedudukannya yang meyakinkan justru membuatnya lebih tenang.
Raden Sutawijaya masih sempat mengangguk ketika anak-anak muda yang akan mundur dari arena itu mengangguk kepadanya. Sementara itu Swandaru berkata, "Latihan-latihan telah selesai. Kami ingin mendapatkan penilaian dari para tamu dan Kiai Gringsing, guruku. Sementara itu, kami akan menunggu apakah Raden Sutawijaya juga akan memberikan penilaian. Bukan saja terhadap para pengawal, tetapi juga bagi pelatihnya."
Terasa debar jantung orang-orang yang mendengar kata-kata Swandaru itu terasa semakin cepat. Terutama gurunya dan Ki Sumangkar. Apalagi ketika mereka melihat wajah Raden Sutawijaya yang menjadi merah. Seolah-olah Swandaru telah menyatakan tantangan dengan terbuka.
"Swandaru," Kiai Gringsing masih mencoba menengahi, "bagi seorang yang memiliki ketajaman penglihatan tentang olah kanuragan, maka ia akan langsung dapat melihat nilai dari seseorang lewat penanganannya terhadap orang lain. Maksudku, dengan melihat latihan-latihan ini, seseorang sudah dapat menilai juga tingkat ilmu pelatihnya, meskipun belum dapat disebut, guru."
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Mungkin guru. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, biarlah aku memantapkan sikapku menanggapi saat-saat terakhir dalam hubungan antara Pajang dan Mataram."
"Swandaru," Kiai Gringsing memotongi, "kau belum cukup masak untuk berbicara tentang Pajang dan Mataram saat ini."
Tetapi Swandaru justru tersenyum. Katanya, "Ayah juga menganggap begitu. Aku mengerti, bahwa orang-orang tua cenderung menganggap anak-anak muda itu terlampau bodoh. Jika seumurku masih dianggap belum masak untuk mengikuti perkembangan hubungan Pajang dan Mataram, maka apakah seumur Raden Sutawijaya yang hampir tidak terpaut dari umurku itu sudah pantas diangkat menjadi Senapati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram. Apalagi menerima pusaka-pusaka terpenting dari Pajang."
"Latar belakang kehidupanmu dan kehidupan Raden Sutawijaya berbeda. Aku kira Raden Sutawijaya pun masih kurang masak untuk mengetahui musim, kapan para petani mulai menanam padi, dan kapan harus menanam palawija. Raden Sutawijaya tidak akan segera mengetahui pertanda langit bahwa musim basah akan berganti dengan musim kering, sehingga para petani harus mulai mempersiapkan diri dengan tanaman yang tidak memerlukan banyak air." jawab Kiai Gringsing.
"Dan guru menganggap bahwa anak petani tidak pantas unuk berbicara tentang pemerintahan" Guru aku pernah mendengar ceritera tentang masa muda Mas Karebet yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya."
Dalam pada itu, Sutawijaya yang juga masih muda itupun menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar apa yang dimaksud oleh Swandaru. Namun sebagai seorang yang memiliki sikap dewasa, apalagi isyarat yang diberikan oleh Ki Juru Martani, maka raden Sutawijaya masih tetap menahan diri.
Betapapun dadanya bergejolak oleh kemudaannya, tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan pada sikap dan perbuatan. Bahkan ia masih sempat tersenyum dan berkata, "Sebenarnya bukan akulah yang harus menilai perkembangan Swandaru, tetapi tentu gurumu."
"Bukan sekedar menilai perkembangan ilmuku saja Raden, tetapi seperti yang aku katakan, apakah aku telah menunjukkan sikap yang benar terhadap orang-orang yang pantas aku hormati."
Raden Sutawijaya menarik nafas, sementara Kiai Gringsing berkata, "Swandaru. Sebenarnya kau harus menjaga keseimbangan perkembangan ilmu dan kedewasaan nalarmu. Ilmumu kau rasa maju sangat jauh, tetapi kau menanggapi perkembangan ilmumu dengan sikap kekanak-kanakan. Jika kau sebut Mas Karebet yang juga disebut Jaka Tingkir, maka kau harus mengerti, meskipun ia anak petani, tetapi ia sudah berada dilingkungan istana sejak ia diketemukan oleh Sultan Demak karena ia melakukan sesuatu yang menarik. Ia telah meloncati sebuah belumbang sambil berjongkok justru membelakangi belumbang itu. Sejak itu ia mulai mempelajari tata pemerintahan, meskipun kemudian ia harus keluar lagi dari istana dan mengembara ketempat yang jauh." ia berhenti sejenak, lalu. "apalagi masalah yang kau hadapi akan sangat berbeda dengan perkembangan yang kau katakan dalam hal penjajagan yang kau maksud."
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa orang-orang tua tentu tidak menyetujui sikapnya. Tetapi ia sudah yakin akan sikapnya. Jika Raden Sutawijaya tidak mempunyai kelebihan daripadanya, maka apakah gunanya ia setiap kali menundukkan kepala sambil memberikan hormat setinggi-tingginya meskipun ia bergelar Senopati ing Ngalaga" Jika Senopati tertinggi yang berkedudukan di Mataram itu tidak mampu melampui ilmunya, maka Mataram baginya akan tidak berarti apa-apa.
Karena itu maka Katanya, "Guru. Hubungan antara aku dan Raden Sutawijaya kini adalah hubungan antara seorang yang mendapat limpahan kekuasaan tertinggi dari Pajang dengan pimpinan pasukan pengawal di Sangkal Putung. Aku sama sekali tidak ingin menentang Senapati yang mendapat tanda kekuasaan dari Sultan Pajang. Yang aku lakukan adalah sekedar meyakinkan, apakah aku memang harus menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang baik."
Kiai Gringsing masih akan mencegahnya. Tetapi justru Raden Sutawijaya sudah berdiri.
Ia tertegun ketika Ki Juru menggamitnya. Namun Raden Sutawijaya itu tersenyum sambil mengangguk kecil.
Sikap itu agak memberikan ketenangan sedikit Kepada Kiai Gringsing. Dengan demikian ia mengerti, bahwa Raden Sutawijaya menanggapinya dengan dada yang lapang, meskipun Kiai Gringsing tidak tahu pasti perasaan apakah yang sebenarnya bergolak didada anak muda itu.
Sementara itu, Pandan Wangi hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia samasekali tidak sependapat dengan cara yang ditempuh suaminya untuk meyakinkan diri tentang ilmunya dan tentang hubungan antara Sangkal Putung dan Mataram dengan menjajagi kemampuan Senopati ing Ngalaga. Baginya, siapapun yang memegang pimpinan atas limpahan kekuasaan dari Sultan adalah sah, sehingga seseorang tidak perlu mempergunakan cara-cara seperti yang dilakukan oleh Swandaru. Pandan Wangi sadar, bahwa yang terpenting bagi Swandaru sebenarnya adalah ingin menjajagi kemampuan dirinya sendiri. Apakah ilmunya benar-benar telah maju.
Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mencegahnya. Betapapun ia cemas menghadapi perkembangan keadaan tetapi ia hanya dapat membeku ditempatnya.
Sementara itu Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Ia bangga dengan sikap kakaknya. Orang-orang yang mengatakan dirinya Senopati memang harus meyakinkan, apakah ia memang seseorang yang pantas memiliki gelar itu dan memang seorang yang pantas memimpin prajurit dimedan perang.
Dalam pada itu Sutawijaya yang sudah berdiri itupun berjalan ketengah arena yang baru saja dipergunakan untuk berlatih. Dengan sikap dan pakaiannya yang sederhana, maka ia saat itu memang tidak pantas disebut Senopati ing Ngalaga. Tetapi jika diperhatikan betapa tajamnya sorot matanya, maka orang akan mengetahuinya, bahwa ia adalah anak muda yang mesyimpan kemantapan didalam dirinya.
"Swandaru," berkata Raden Sutawijaya, "sebenar nya aku tidak bersedia untuk melakukan apapun juga sekarang ini. Aku kini sedang dalam perjalanan untuk melihat-lihat keadaan dan perkembangan daerah disekitar Mataram setelah aku mengembara untuk waktu yang agak lama. Tetapi jika kau memaksa, maka akupun wajib memberikan tanggapan. Bukan karena aku cemas bahwa akan kehilangan sikap hormat dari siapapun. Tetapi jika aku menghindar, maka kau tentu akan sangat kecewa."
"Raden benar," Swandarupun berdiri dan melangkah mendekat dengan sikap yang mantap, "dan aku harap Raden tidak marah dengan caraku ini."
"Sama sekali tidak," jawab Raden Sutawijaya, "aku senang bahwa kau berterus terang. Tetapi jika ada kelebihanku dari padamu, jangan dinilai sebagai sikap yang sombong. Bukankah itu yang kau kehendaki agar kau tidak ragu-ragu menganggapku sebagai Putera Sultan Hadiwijaya yang mendapat limpahan kekuasaan dengan gelar Senopati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram" Dengan demikian maka kedudukankupun akan menjadi mantap. Dan karena soalnya menyangkut nama ayahanda Sultan Hadiwijaya, maka akupun akan membuktikan bahwa putra Sultan Hadiwijaya di Pajang yang dipercaya untuk membina Mataram bukan seorang yang mengecewakan, sehingga Sultan Hadiwijaya tidak dapat dipersalahkan karena mempercayai puteranya yang tidak memiliki hampir seluruh ilmunya."
Yang mendengarkan kata-kata Raden Sutawijaya itu menjadi berdebar-debar. Bahkan wajah Swandarupun menjadi merah pula karenanya.
Dalam pada itu, Ki Juru Martanipun nampaknya heran mendengar kata-kata Raden Sutawijaya. Agaknya Raden Sutawijaya tidak biasa berkata demikian tentang dirinya sendiri.
Tetapi agaknya Raden Sutawijaya menangkap gerak perasaan Ki Juru Martani, sehingga karena itu maka katanya, "Paman, mungkin paman terkejut mendengar kata-kataku. Tetapi aku mencoba untuk mempergunakan cara yang dipergunakan oleh Swandaru. Swandaru mengharap agar aku tidak marah oleh sikapnya yang berterus terang. Akupun mengharap pula bahwa ia tidak akan marah jika aku berterus terang. Karena itu, mungkin aku akan berkata dengan cara yang lain jika aku berhadapan dengan Untara misalnya, atau dengan Agung Sedayu."
Hampir saja Swandaru mengumpat. Untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Namun dalam pada itu, terdengar giginya gemeretak oleh getar didalam dadanya.
Dalam pada itu Pandan Wangi menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sebagai seorang perempuan yang mudah tersentuh, ia merasa betapa tajamnya sindiran Raden Sutawijaya terhadap suaminya. Karena itu, terasa wajahnya yang tunduk itu menjadi panas. Sejak semula ia sama sekali tidak sependapat dengan cara yang akan ditempuh oleh suaminya untuk mengukur kemampuannya. Justru dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga di Mataram.
Tetapi ia, seperti juga orang-orang lain sama sekali sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kedua anak muda itu sudah berdiri ditengah-tengah sanggar. Bahkan mereka telah bersiap untuk melakukan penjajagan yang satu terhadap yang lain.
Namun tiba-tiba saja Raden Sutawijaya melangkah ketepi. Ia mengambil kerisnya yang tergantung dilambungnya, dibawah ujung bajunya, dan menyerahkannya kepada Ki Juru Martani, "Aku titip paman. Dalam kelakuan orang sering melupakan pengekangan diri. Jika ada hantu yang kebetulan lewat dan hinggap ditanganku, maka keris itu dapat berbahaya."
Swandarupun mengerutkan keningnya. Ia melihat Raden Sutawijaya menyerahkan senjata yang ada padanya. Karena itu pula maka iapun mengurai cambuknya dan menyerahkannya kepada isterinya. Katanya, "Bawalah. Aku tidak memerlukannya."
Namun dalam sekilas itu, Kiai Gringsing telah melihat, bahwa ujung cambuk itu telah berubah. Ada beberapa sisipan kepingan baja pada juntai cambuk itu. Tetapi Kiai Gringsing tidak menanyakannya.
Pandan Wangi menerima cambuk itu dan menggulungnya. Namun demikian hatinya masih tetap berdebar-debar menanggapi keadaan yang bakal terjadi.
Sejenak kemudian kedua anak muda itu telah berdiri berhadapan. Swandaru telah bersiap untuk mulai dengan perkelahian yang diharapkannya akan dapat memantapkan sikapnya terhadap Raden Sutawijaya. Namun sebenarnyalah bahwa yang terutama baginya adalah untuk menyatakan bahwa ilmunya telah jauh meningkat, dan bahkan mungkin telah melampui ilmu Raden Sutawijaya.
Tetapi sikap Raden Sutawijaya bagi Swandaru sangat terasa menjengkelkan. Ia sama sekali tidak menjadi cemas atau ragu-ragu meskipun Raden Sutawijaya belum dapat mengetahui kemajuan ilmunya. Bahkan ia telah menjadi kagum melihat para pengawal berlatih.
"Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri," berkata Swandaru di dalam hatinya.
Tetapi yang dikatakan oleh Sutawijaya benar-benar membuat jantungnya bagaikan terbakar, "Swandaru. Sebenarnya aku sependapat dengan Kiai Gringsing bahwa dengan melihat latihan hasil tuntunan yang kau berikan, meskipun bukan sebagai sikap guru terhadap muridnya, aku sudah dapat membayangkan, sampai tingkat yang manakah ilmumu kini. Tetapi kau masih ingin membuktikannya dan barangkali, seperti yang kau katakan, kau ingin menjajagi ilmuku untuk memantapkan sikapmu. Namun dengan demikian kau seakan-akan terikat oleh janji, bahwa jika ilmuku ternyata lebih tinggi dari ilmumu, apalagi terpaut jauh, maka tidak akan ada persoalan lagi antara Mataram dan Sangkal Putung. Karena kau telah meyakinkan, bahwa aku memang pantas untuk menjadi seorang pemimpin."
Ki Juru Martani menggigit bibirnya. Raden Sutawijaya benar-benar telah bersikap lain. Namun Ki Juru vang tua itupun dapat mengerti, bahwa yang terloncat dri mulut Raden Sutawijaya itu adalah ledakan dari kemarahan yang sebenarnya tertahan-tahan didadanya.
"Raden," berkata Swandaru yang dadanya sudah menjadi pepat, "marilah. Kita segera mulai dengan latihan yang khusus ini."
"Kaulah yang bermaksud menjajagi kemampuanku. Kaulah yang harus mulai lebih dahulu."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun katanya, "Baiklah Raden. Aku akan mulai lebih dahulu."
Sutawijaya berdiri tegang memandang anak muda yang gemuk itu. Tetapi ia telah benar-benar siap menghadapi serangan Swandaru.
Buku 103 ORANG-orang yang berada didalam sanggar itupun menjadi tegang. Mereka mulai membayangkan apa yang bakal terjadi. Kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga apabila keduanya tenggelam dalam arus perasaan yang tidak terkendali, maka akan terjadi perang tanding yang sangat dahsyat didalam sanggar itu.
Tetapi didalam sanggar itu ada orang-orang tua yang tentu akan dapat bertindak apabila keadaan menjadi gawat. Didalam sangar itu ada Ki Juru Martani, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang tentu tidak akan tinggal diam apabila keadaan menjadi berbahaya.
Demikianlah, sejenak kemudian Swandaru telah bersiap. Ia mulai mempersiapkan sebuah serangan. Dengan sengaja ia memperlihatkan kepada Sutawijaya, agar Sutawijaya bersiap menghadapinya.
Sejenak kemudian Swandaru telah meloncat dengan serangan kearah dada. Meskipun ia masih belum melontarkan serangannya dengan sepenuh tenaga, namun serangan itu adalah serangan yang berbahaya.
Tetapi semua orang terkejut melihat sikap Raden Sutawijaya. Ketika Swandaru meloncat menyerangnya, ia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya bahkan bergerakpun tidak.
Radien Sutawijaya ternyata telah membuat perhitungan yang sangat cermat. Ia yakin bahwa pertama yang dilontarkan dengan ragu-ragu itu tentu bukannya serangan yang menentukan. Tenaga Swandaru tentu tidak seluruhnya telah dilontarkan.
Karena itulah maka Raden Sutawijaya ingin membuat kejutan untuk yang pertama kali, justru karena ia berhadapan dengan Swandaru.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam benturan yang pertama Raden Sutawijaya telah dengan diam-diam mengerahkan ilmunya untuk melambari daya tahan tubuhnya. Itulah sebabnya ia tetap berdiri tegak tanpa berbuat sesuatu.
Swandaru sendiri terkejut melihat sikap Raden Sutawijaya. Sebenarnyalah bahwa ia memang belum mengerahkan segenap kekuatannya. Namun ia mengharap Raden Sutawijaya mengelak, sehingga dengan demikian maka ia telah memancing perkelahian selanjutnya.
Tetapi kini ia melihat Raden Sutawijaya itu tetap berdiri tegak ditempatnya. Tidak menghindar, tetapi juga menangkis.
Namun Swandaru sudah tidak sempat menahan serangannya. Itulah sebabnya maka serangannya itupun langsung mengenai dada Sutawijaya. Meskipun tidak dilambari dengan sepenuh kekuatan, namun setangan Swandaru adalah serangan yang kuat.
Sesaat kemudian serangan Swandaru itu telah membentur dada Raden Sutawijaya. Semua orang yang menyaksikan menahan nafasnya dengan tegang. Bahkan Ki Juru Martani yang tahu pasti kemampuan Raden Sutawijayapun menjadi berdebar-debar, karena justru ia belum tahu pasti kemampuan Swandaru dan kekuatan tenaga jasmaniahnya.
Benturan yang terjadi benar-benar telah menegangkan. Pukulan Swandaru yang mengenai dada Raden Sutawijaya itu bagaikan hantaman yang akan langsung menghancurkan dada. Namun ternyata bahwa dada Raden Sutawijaya seolah-olah telah menjadi selembar besi baja, sehingga hantaman tangan Swandaru itu telah membentur kekuatan yang tidak beringsut serambutpun.
Ketika benturan itu terjadi, orang-orang tua yang ada didalam Sanggar itu terkejut. Bahkan dengan sertamerta diluar sadarnya Kiai Gringsing berbisik, "Tameng Waja."
"Ya," desis Ki Sumangkar, "sama sekali bukan Lembu Sekilan."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar termangu-mangu sejenak. Yang dilihatnya adalah kemampuan yang tidak disangka-sangka. Jika semula mereka melihat sikap Raden Sutawijaya yang yakin akan dapat membebaskan diri dari serangan lawannya, mereka menduga bahwa Raden Sutawijaya tentu akan mempergunakan Aji Lembu Sekilan yang juga dimiliki oleh Sultan Hadiwijaya sehingga ia terbebas dari rencana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang utusan Arya Penangsang meskipun orang-orang itu sudah berhasil langsung memasuki bilik tidurnya dan menyerang dengan keris pusaka Adipati Jipang.
Tetapi kini ia melihat suatu perlindungan atas daya tahan tubuh dengan cara yang lain. Ketajaman pandangan mereka atas ilmu yang mereka saksikan langsung dapat membedakannya antara Aji Lembu Sekilan dan Aji Tameng Waja.
"Hanya Sultan Trengganalah yang memiliki ilmu itu. Tetapi hampir tidak dapat dipercaya, bahwa sekarang Raden Sutawijaya telah menunjukkan kemampuannya mempergunakan Aji Tameng Waja," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Ki Sumangkar adalah orang yang saat itu terlibat dalam pertentangan antara Pajang dan Jipang. Ia tahu benar kemampuan yang ada pada Sultan Trenggana, Pada Adipati Pajang dan Adipati Jipang.
Namun tiba-tiba ia dikejutkan oleh Aji Tameng Waja yang seolah-olah dengan tiba-tiba saja telah nampak pada anak muda yang bergelar Senepati ing Ngalaga itu.
Ternyata benturan itu telah menggetarkan dada Swandaru. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa tangannya seakan-akan telah membentur dinding baju yang kuat. Ia semula agak cemas bahwa ia akan mematahkan tulang iga Raden Sutawijaya. Namun yang kemudian ternyata adalah, bahwa Raden Sutawijaya itu tetap berdiri tegak. Dan bahkan sekilas nampak senyumnya yang membayang di bibirnya.
Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun semula telah dicengkam oleh kecemasan, bahkan Pandan Wangi telah memalingkan wajahnya sambil menahan nafasnya. Tetapi ia menjadi heran, bahwa Raden Sutawijaya itu bergeser-pun tidak.
Tetapi kedua perempuan itu sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi sebenarnya. Yang mereka ketahui bahwa Raden Sutawijaya tentu telah menguasai suatu ilmu yang dahsyat. Tetapi mereka tidak tahu, ilmu yang manakah yang ada pada Senepati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram itu.
Namun, dalam pada itu, yang diharapkan Raden Sutawijaya adalah meleset. Swandaru yang tidak berhasil menggetarkan sikapnya, ternyata tidak mau melihat kenyataan itu. Ia merasa bahwa yang dilakukannya belumlah puncak kemampuan dan kekuatannya. Kerena itu, maka iapun segera surut selangkah dan mempersiapkan serangan berikutnya.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Meskipun ia menguasai Aji Tameng Waja, namun ia sadar, bahwa segala macam kemampuan, dengan nama apapun, tentu ada batasnya. Juga ilmu yang dimilikinya itu tentu ada batasnya pula. Dengan demikian, maka ia tidak akan mau menanggung akibatnya, jika kekuatan Swandaru setelah ia meningkatkan diri itu melampai batas, kemampuan Aji penahan yang oleh Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar dikenal sebagai Aji Tameng Waja itu, maka ia tentu akan mengalami kesulitan.
Karena itulah, maka Raden Sutawijayapun telah mengambil suatu keputusan untuk benar-benar memberikan kenyataan kepada Swandaru bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram memiliki bekal yang cukup untuk melakukan tugasnya. Raden Sutawijaya telah bertekad untuk memaksa Swandaru mengakui, bahwa sebenarnyalah Sangkal Putung tidak akan dapat diperbandingkan dengan Mataram yang telah tumbuh subur dan berkembang.
"Anak ini harus yakin," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya. Dan iapun benar-benar ingin meyakinkan.
Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijayapun kemudian telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak mau membiarkan Swandaru menghantam dadanya lagi, karena pukulan yang berikutnya tentu akan dilambarinya dengan segenap kemampuan yang ada padanya.
Sejenak kemudian keduanya telah bersiap kembali. Swandaru yang merasa dirinya memiliki kemampuan cukup namun telah membentur kekuatan yang tidak diduganya itu, benar-benar telah menyiapkan segenap kekuatannya.
Sejenak kemudian Swandaru telah mengulangi serangannya. Bukan lagi sekedar untuk memancing perkelahian, tetapi serangan benar-benar telah dilontarkan dengan kekuatan raksasanya.
Raden Sutawijaya tidak membiarkan kekuatan Swandaru menembus ketahanan Aji Tameng Waja. Meskipun ia masih mengharap bahwa kekuatan Ajinya tidak dapat tembus oleh kekuatan Swandaru, tetapi ia tidak mau menyesal jika ia gagal.
Itulah sebabnya, maka iapun kemudian telah meloncat menghindar dan bahkan kemudian iapun telah terlibat dalam perkelahian melawan anak Demang Sangkal Putung itu.
Beberapa saat Sutawijaya masih ingin menjajagi kemampuan dan kekuatan Swandaru. Ia tahu bahwa Swandaru telah melontarkan segenap kekuatannya. Karena itulah, maka ia harus berhati-hati.
Mula-mula Raden Sutawijaya mulai dengan benturan-benturan kecil. Kemudian menangkis serangan Swandaru. Dan bahkan membentur kekuatan serangan anak muda itu.
Namun dengan demikian Raden Sutawijaya mulai dapat menjajagi kekuatan anak muda yang gemuk itu. Kekuatan yang terlontar pada serangan-serangannya adalah kekuatan yang luar biasa. Tetapi sebagian besar masih bertumpu pada kekuatan wadagnya, meskipun Swandaru sudah melepaskan kekuatan cadangan yang dapat dikuasainya.
Akhirnya Raden Sutawijayapun pasti, bahwa kekuatan Swandaru betapapun besarnya, dilambari dengan kemampuannya membangunkan kekuatan cadangan yang ada didalam dirinya, tidak akan dapat melampui daya tahan Aji Tameng Waja. Itulah sebabnya, maka Sutawijaya kembali kepada kepercayaan bahwa ia akan mampu menahan segala kekuatan yang akan dilontarkan oleh Swandaru. Selama Swandaru tidak melontarkan kekuatan ilmu yang dapat menyerap bukan saja tenaga cadangan didalam dirinya, tetapi juga hubungan kekuatan antara alam yang kecil dan alam yang besar sebagai kebulatan ujud dari diri pribadi dan lingkungannya.
Tetapi ternyata Swandaru tidak melakukannya. Ia terlalu percaya kepada dirinya sendiri, dan iapun telah melatih diri dalam kepercayaan itu, sehingga Swandaru tidak lebih dan tidak kurang dari orang yang sedang bertempur dengan Raden Sutawijaya itu.
Sejenak mereka masih bertempur dengan sengitnya. Namun kemudian Sutawijaya telah memantapkan Aji Tamenng Waja yang telah dikuasainya. Karena itulah, maka iapun kemudian bergeser menjauh selangkah. Kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang dan tangan yang bertolak pinggang.
Sikap itu benar-benar menyakitkan hati Swandaru. Ia melihat dada Raden Sutawijaya terbuka seutuhnya. Bahkan ia melihat seakan-akan Raden Sutawijaya dengan sengaja menunjukkan bahwa ia adalah orang yang tidak dapat disentuh oleh serangan lawannya.
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun ingin membuktikan, bahwa ia memiliki tenaga raksasa. Ia dapat menghancurkan perisai besi dengan bindinya, dan ia mampu menyobek kulit harimau dengan ujung cambuknya.
Karena itulah, maka iapun menyiapkan diri dengan ancang-ancang. Kemudian dengan geram ia meloncat sambil berteriak nyaring. Tangannya langsung menghantam dada anak muda yang dalam pandangan matanya adalah anak muda yang sangat sombong itu.
Sejenak kemudian terjadi benturan yang dahsyat. Benturan antara serangan Swandaru yang menghantam dada Raden Sutawijaya.
Ternyata bahwa Raden Sutawijaya yang telah matek Aji Temeng Waja seutuhnya itu terdorong juga surut selangkah meskipun ia masih tetap dapat menguasai keseimbangannya, sehingga ia tidak terhuyung-huyung karenanya.
Namun dalam pada itu, Swandaru yang membentur ketahanan tubuh Raden Sutawijaya justru terpental beberapa langkah surut. Rasa-rasanya kekuatannya telah membentur kekuatan yang tidak tertembus, sehingga ia justru telah terpental oleh hentakan kekuatannya sendiri. Selebihnya, terasa tangannya menjadi sakit oleh kekuatannya yang sepenuhnya dilontarkan, tetapi tertahan oleh ketahanan lawannya.
Swandaru yang terhuyung-huyung itu menyeringai kesakitan. Sejenak ia berusaha melepaskan diri dari perasaan sakit. Namun kemudian ia sama sekali tidak segera mengakui bahwa lawannya telah memiliki perisai yang tidak tertembus oleh kekuatannya.
Sekali lagi Swandaru ancang-ancang. Dan sekali ia meloncat melontarkan serangan. Namun seperti yang sudah terjadi, ia sama sekali tidak dapat menembus kekuatan Aji Raden Sutawijaya yang masih berdiri tegak meskipun ia terdorong sekali lagi selangkah surut.
Semua orang yang menyaksikan menjadi berdebar-debar. Mereka mulai yakin, bahwa Swandaru benar benar tidak akan dapat menembus kekuatan yang ada didalam diri Raden Sutawijaya.
Sejenak Swandaru termangu mangu. Dipandanginya wajah Raden Sutawijaya sejenak. Namun ketika ia melihat senyum dibibir anak muda itu, darahnya terasa telah mendidih. Karena itulah maka seolah-olah ia tidak melihat kenyataan itu. Dengan wajah yang merah membara, Swandaru telah menyiapkan serangan berikutnya.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Pandan Wangi menjadi gelisah melihat keadaan anak muda itu. Tetapi Sekar Mirah telah menggeretakkan giginya seperti Swandaru. Katanya didalam hati, "Betapa sombongnya."
Swandaru yang kehilangan pengamatan diri itupun telah meloncat sekali lagi. Ia telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada untuk menghantam bukan dada, tetapi mengarah kekening.
Serangan Swandaru benar-benar mengejutkan. Raden Sutawijayapun terkejut sekali. Ia tidak menduga, bahwa Swandaru akan menyerang keningnya. Bukan dadanya.
Ketika tangan Swandaru membentur kening Raden Sutawijaya dengan kekuatan sepenuhnya, terasa hentakan yang kuat seolah-olah telah mengguncang isi kepala Raden Sutawijaya. Keadaan yang tiba-tiba itu benar-benar diluar dugaannya, sehingga ia tidak sempat lagi untuk mengelak.
Meskipun Raden Sutawijaya masih dilambari kekuatan Aji yang seakan-akan menahan serangan Swandaru, namun kekuatan Swandaru yang didorong oleh kemarahan itu telah menyakiti Raden Sutawijaya. Bahkan kepalanya terasa pening dan hentakan itu telah mendorongnya bukan saja selangkah surut, tetapi anak muda yang memiliki Aji Tameng Waja itu telah terhuyung-huyung.
Sutawijaya harus berjuang untuk mempertahankan keseimbangannya. Tetapi ternyata bukan saja keseimbangan badannya, tetapi juga keseimbangan nalarnya, karena ia sadar sepenuhnya, bahwa serangan yang deksura itu seakan akan telah membakar dadanya.
Dalam pertempuran yang sebenarnya, serangan yang demikian bukan menjadi pantangan. Bahkan menyerang mata sekalipun dengan ujung-ujung jari. Tetapi sekedar penjajagan yang langsung mengarah kening adalah suatu perbuatan yang dapat mengungkat kemarahan.
Swandaru yang melihat Sutawijaya terhuyung-huyung, telah merasa bahwa ia mulai berhasil menembus ketahanan ilmu anak muda itu. Karena itu, ia justru menjadi semakin bernafsu. Dihadapan orang-orang yang dianggapnya berpengaruh atas dirinya, Swandaru ingin menunjukkan, bahwa ia bukan lagi anak-anak. Tetapi ia telah mampu melawan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga, sehingga dengan demikian, iapun pantas mendapat kedudukan yang setimpal dengan kemampuannya.
Karena itu, maka Swandaru tidak mau kehilangan kesempatan. Iapun segera memburu dan menyerang dengan sepenuh kekuatannya pula.
Raden Sutawijaya yang sedang mencari keseimbangannya itu, melihat betapa Swandaru seolah-olah telah membabi buta. Tetapi ia tidak berkesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka iapun kemudian mempercayakan ketahanan dirinya pada kekuatan ilmunya yang telah tersalur di tubuhnya, sehingga merupakan daya tahan yang sangat kuat
Sekali lagi serangan Swandaru yang dahsyat menghantam tubuh Raden Sutawijaya. Betapapun tubuh itu terlindungi oleh daya tahan yang kuat, namun dorongan serangan Swandaru telah mendesaknya sehingga sebelum ia menemukan keseimbangannya yang utuh, Raden Sutawijaya telah terdorong pula dengan kekuatan raksasa.
Raden Sutawijaya benar-benar tidak dapat menguasai keseimbangannya, meskipun tubuhnya tidak menjadi cidera oleh serangan itu. Karena itulah maka Raden Sutawijaya justru menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Kemudian dengan lincahnya ia melenting berdiri diatas kedua kakinya yang renggang
Tetapi wajah Raden Sutawijaya telah menjadi semburat merah oleh kemarahan yang semakin menggelitik hati.
Dalam pada itu, Ki Juru Martanipun menjadi berdebar-debar. Ia menjadi cemas melihat wajah Raden Sutawijaya yang membayangkan keresahan hatinya. Namun Ki Juru tidak sempat berbuat sesuatu. Ia melihat Swandaru sudah menyusul Raden Sutawijaya dengan serangan berikutnya.
Tetapi kali ini Raden Sutawijaya telah bersiap. Ia tidak ingin menghindari serangan Swandaru, bahkan dengan sengaja ia telah membenturkan ilmunya dengan kekuatan raksasa Swandaru yang menghantamnya.
Benturanm itupun terjadi dengan dahsyatnya. Swandaru benar-benar tidak menyadari, bahwa ia akan dapat mengalami kesulitan dengan lontaran kekuatannya sendiri.
Tertnyata dengan dorongan kekuatan Raden Sutawijaya, Swandaru itu telah terpental beberapa langkah. Bahkan Swandaru tidak mampu lagi untuk bertahan atas keseimbangannya. Dengan tanpa dapat berbuat apa-apa, Swandaru telah terbanting jatuh ditanah.
Ternyata bahwa Raden Sutawijaya bukan saja menyelubungi dirinya dengan ilmunya, tetapi ia telah melawan dan mendorong kekuatan Swandaru sendiri dan telah melontarkannya tanpa dapat dielakkan.
Swandaru yang terjatuh itu, darahnya benar-benar telah mendidih. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri. Ketika ia melihat Sutawijaya masih berdiri tegak, maka Swandaru yang menjadi mata gelap itu telah mengulangi serangannya pula dengan sekuat tenaganya.
Sekali lagi Raden Sutawijaya sengaja tidak mengelak. Ia telah bersiap untuk membentur kekuatan Swandaru dan dengan kekuatan ilmunya pula melemparkan anak muda Sangkal Putung itu.
Sekali lagi Swandaru terlempar dan jatuh terbanting ditanah. Lontaran yang kedua itu terasa jauh lebih pahit dari yang pertama. Punggungnya bagaikan merasa patah dan sendi-sendinya seakan-akan pecah karenanya.
Sejenak Swandaru menyeringai menahan sakit. Namun iapun kemudian berusaha untuk dengan cepat berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi ketika ia mulai bangkit, ia terkejut ketika ia melihat sepasang kaki dihadapan hidungnya. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Dan nampaklah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu berdiri tegak selangkah dihadapannya.
Swandaru tertegun sejenak. Tetapi ia masih tetap dicengkam oleh berbagai perasaan yang bergejolak.
"Swandaru," tiba-tiba terdengar suara Raden Sutawijaya, "aku kira aku sudah melontarkan sebagian dari kemampuanku sekedar untuk menunjukkan kepadamu, bahwa aku adalah Senapati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram. Aku adalah pemegang pusaka tertinggi dari Pajang yang langsung diserahkan kepadaku apapun alasannya. Dan aku adalah anak muda yang telah memenuhi keinginanmu, menunjukkan kemampuanku yang ternyata berada didatas kemampuanmu sekedar untuk menentukan apakah kau bersedia menganggap aku seorang pemimpin atau bukan. Kau sudah menjajagi kemampuan Aji Tameng Waja. Baru Aji Tameng Waja, karena aku belum merasa perlu mempergunakan yang lain."
Darah Swandaru bagaikan mendidih didalam jantungnya. Perlahan-lahan ia berdiri. Kemudian tegak dihadapan Raden Sutawijaya.
Ternyata Raden Sutawijaya membiarkannya. Ia tidak menyerang saat Swandaru berusaha untuk bersikap. Dan bahkan seolah-olah Raden Sutawijaya itu sekedar menunggu apakah yang akan dilakukan oleh Swandaru.
Semua orang yang ada didalam Sanggar itu menjadi tegang. Kiai Gringsing justru menahan nafasnya. Ia melihat kemarahan yang masih menyala dimata Swandaru.
Tetapi iapun melihat, bahwa ada semacam pengakuan dari Swandaru, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda yang bernama Sutawijaya dan bergelar Senopati ing Ngalaga itu.
Sejenak mereka termangu-mangu. Ki Jurupun menahan nafasnya, karena iapun sadar, bahwa Raden Sutawijaya yang juga masih muda itu, akan dapat kehilangan pengamatan diri pada suatu saat.
Namun dalam pada itu, hampir setiap orang menarik nafas dalam-dalam ketika mereka kemudian melihat Swandaru tersenyum. Sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata, "Raden. Aku seharusnya memang mengakui, bahwa Raden adalah sepantasnya bergelar Senopati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram. Menyimpan pusaka tertinggi dan memimpin daerah yang akan berkembang mengimbangi perkembangan Pajang yang seakan-akan telah berhenti."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar saling berpandangan sejenak. Namun nampak mereka seakan-akan telah terlepas dari himpitan perasaan yang selama itu mencengkam jantung.
Berbeda dengan orang-orang lain, maka Sekar Mirah mencibirkan bibirnya sambil berkata kepada diri sendiri, "Sombongnya. Seharusnya kakang Swandaru mengerahkan semua kekuatan yang ada pada dirinya. Ilmu kebal anak itu masih belum mampu melindungi dirinya mutlak terhadap setiap serangan."
Tetapi Sekar Mirah tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memperhatikan saja apa yang terjadi.
Raden Sutawijaya yang memperhatikan sikap Swandaru masih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum pula sambil menepuk bahu anak muda itu. Katanya, "Kau luar biasa. Kau pantas menjadi penggerak di Kademangan Sangkal Putung."
Suasana didalam sanggar itupun segera berubah. Semua orang yang mula-mula mengerutkan kening dengan tegang, nampak kemudian tersenyum cerah. Merekapun segera berdiri dan mengerumuni kedua orang yang sedang berdiri tegak di tengah-tengah arena.
Pandan Wangipun sedang melepaskan ketegangan hatinya. Tanpa di sadarinya, setitik air mata telah mengambang dipelupuknya. Namun ketika terasa matanya menjadi hangat, maka cepat-cepat ia menghapusnya sebelum orang lain melihatnya.
"Sudahlah. Marilah kita keluar dari ruang yang panas ini," ajak Kiai Gringsing.
Sesaat kemudian, maka orang-orang yang ada didalam sanggar itupun segera keluar dan berjalan kependapa. Beberapa orang pengawal masih berdiri termangu-mangu.
Sekar Mirah yang kemudian mendekati para pengawal itupun bertanya, "Apakah kalian sangka bahwa kakang Swandaru benar-benar tidak dapat memecahkan ilmu Raden Sutawijaya?"
Para pengawal itu tidak menjawab.
"Kakang Swandaru masih menghormatinya. Tetapi dalam keadaan yang sesungguhnya kakang Swandaru tentu dapat memecahkan ilmu pertahanan Raden Sutawijaya, yang entah Aji apapun namanya. Kakang Agung Sedayu mempunyai kekuatan yang luar biasa, sehingga ia akan mampu menembus setiap perisai yang wadag maupun yang halus."
Para pengawal hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka melihat sendiri, bahwa dalam setiap benturan, ternyata nampak bahwa Raden Sutawijaya mempunyai kelebihan dari Swandaru.
Ternyata pertemuan dipendapa itupun tidak berlangsung lama. Agaknya Swandarupun telah dicengkam oleh kekalahan.
Karena itulah, maka iapun segera minta diri untuk beristirahat.
Meskipun ternyata kemudian bahwa Swandaru dengan jujur mengakui kelebihan Raden Sutawijaya, namun pertemuan di Kademangan itu menjadi agak lain dari saat-saat sebelumnya. Hubungan antara Raden Sutawijaya dengan keluarga Ki Demang rasa-rasanya dibatasi oleh perasaan segan dan ragu-ragu.
"Kiai," berkata Raden Sutawijaya, "suasana ini agak kurang menguntungkan. Baiklah aku besok pagi-pagi akan meninggalkan Kademangan ini dan pergi kepadepokan Agung Sedayu. Aku ingin melihat, apakah yang sudah dilakukannya dipadepokannya. Dan apakah ia ingin memperlakukan aku seperti yang telah dilakukan oleh Swandaru."
Kiai Gringsing tidak dapat mencegahnya. Itulah sebabnya, ketika Raden Sutawijaya dan Ki Juru sudah bermalam semalam, merekapun segera mohon diri.
"Aku ingin segera melihat, apakah Agung Sedayu berhasil membangun sebuah padepokan."
"Padepokan kecil yang tidak berarti," sahut Swandaru.
"Itulah yang ingin aku lihat."
Kiai Gringsing tidak melepaskan kedua pemimpin dari Mataram itu pergi sendiri. Iapun segera minta diri pula untuk mengantarkan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani mengunjungi padepokan kecil yang dihuni oleh Agung Sedayu bersama gurunya dan beberapa orang lain.
Dalam pada itu, kekalahan Swandaru ternyata mempunyai beberapa pengaruh atas anak muda itu. Ia benar-benar tidak dapat ingkar, bahwa Raden Sutawijaya memang seorang yang memiliki ilmu yang tidak dapat diatasinya. Jika ia melawan lebih lama, itu berarti bahwa ia akan mengalami penilaian yang semakin buruk dari para pengawal dan orang-orang Sangkal Putung yang lain. Namun dalam pada itu, maka keragu-raguannya terhadap kepemimpinan Raden Sutawijaya telah dapat diatasinya. Ia kemudian yakin dengan jujur bahwa Raden Sutawijaya akan dapat memimpin Mataram dengan perkembangannya.
Sementara itu, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani telah berada diperjalanan bersama Kiai Gringsing menuju ke Jati Anom. Kiai Gringsing yang sebenarnya ingin berada di Sangkal Putung lebih lama lagi, terpaksa ikut pula kembali kepadepokan kecilnya, karena padepokan itu akan dikunjungi oleh dua tamu yang pantas dihormati, meskipun kedatangan mereka kali ini seolah-olah dalam penyamaran.
Ketika ketiganya lepas dari padukuhan, maka mereka pun mulai menempuh perjalanan dibulak-bulak panjang. Mereka menyusuri jalan yang dibatasi oleh hijaunya tanaman disawah, melintasi parit-parit yang menyilang jalan dibawah sakak bambu yang kuat.
Tetapi perjalanan itu tidak dapat berlangsung cepat, karena Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani tidak membawa kuda tunggangan. Seperti yang mereka kehendaki sendiri, mereka lebih senang berjalan kaki sambil melihat-lihat sawah dan ladang yang luas. Puncak Gunung Merapi yang kemerah-merahan oleh cahaya matahari pagi.
Ketika kemudian mereka menyusur jalan ditepi hutan, maka rasa-rasanya dedaunan yang rimbun yang seakan-akan berjuntai diatas kepala mereka, telah menahan sinar matahari yang mulai terasa panas.
Kiai Gringsing yang membawa seekor kuda terpaksa menuntun kudanya dan berjalan seiring dengan Raden Sutawijaya.
"Apakah Kiai akan mendahului," bertanya Raden Sutawijaya.
"Tidak Raden. Akupun akan berjalan kaki."
"Tetapi Kiai membawa seekor kuda."
"Itulah kebisaanku sekarang yang manja. Semula akupun orang yang selalu berjalan kaki kemanapun. Betapapun panjang jalan yang aku tempuh. Tetapi sekarang aku sudah dijangkiti penyakit ini."
Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Bukan suatu kemanjaan. Justru itulah yang wajar. Kamilah yang seolah-olah tidak mempunyai kewajiban apapun sehingga menghabiskan waktu kami disepanjang jalan."
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Tetapi bagi Raden, perjalanan itu sangat bermanfaat, karena tentu ada sesuatu yang dapat disadap sepanjang perjalanan."
Kiai Gringsing tertawa ketika ia melihat Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani yang tertawa pula.
Dalam pada itu, disepanjang perjalanan. Raden Sutawijaya dengan hati-hati mulai bertanya tentang kedua murid Kiai Gringsing. Ia tidak dapat menjajaginya setelah beberapa lama terpisah. Bahkan ia tidak menyangka bahwa di Sangkal Putung ia akan menghadapi sikap Swandaru yang aneh.
Pertanyaan-pertanyaan Raden Sutawijaya telah menimbulkan kegelisahan pula pada Kiai Gringsing. Bahkan Kiai Gringsing mulai ragu-ragu, apakah Sutawijaya yakin bahwa sikap Swandaru itu benar benar tumbuh dari hatinya sendiri.
"Apakah Raden Sutawijaya menyangka bahwa akulah yang telah mendorong Swandaru untuk bersikap deksura?" bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri.
Tetapi ia menarik nafas ketika Ki Juru berkata, "Kiai, sikap Swandaru sebenarnya sangat menarik perhatianku. Tetapi apakah sikap Agung Sedayu juga akan sama seperti sikap Swandaru" Sehingga angger Sutawijaya harus berkelahi lagi dan memamerkan kemampuannya?"
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, "Mudah-mudahan tidak Ki Juru. Meskipun aku tidak mengerti isi hati seseorang yang sebenarnya, tetapi menurut perhitunganku, Agung Sedayu tidak akan berbuat demikian."
"Apakah ada perbedaan sikap dari kedua murid Kiai itu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Agaknya memang demikian. Aku memang cemas melihat perkembangan jiwa Swandaru, justru karena ia merasa berhasil," berkata Kiai Gringsing yang kemudian menceriterakan tentang sifat dan tingkah lakunya. Keberhasilannya membangun Sangkal Putung, membuatnya kadang-kadang seperti seorang yang kehilangan pengekangan diri.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Itu adalah sikap yang berbahaya. Ia belum dewasa menanggapi keberhasilannya. Tetapi ada baiknya ia bertemu dengan aku dan membenturkan ilmunya dengan ilmuku."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Bahkan Ki Jurupun berpaling memandang wajah Raden Sutawijaya.
Tetapi nampaknya Raden bersungguh-sungguh. Bahkan kemudian katanya, "Murid Kiai sudah terlanjur menjajagai ilmuku. Aku akan melakukannya pula atas murid Kiai yang lain. Jika Agung Sedayu tidak ingin menjajagi ilmuku, akulah yang akan menjajagi ilmunya."
"Raden," potong Ki Juru Martani.
"Mungkin aku sudah menjadi gila seperti Swandaru."
Kiai Gringsing tidak segera dapat menjawab. Ia tidak tahu, apakah Raden Sutawijaya itu sekedar bergurau atau bersungguh-sungguh. Namun menilik wajah dan sikapnya, maka agaknya Raden Sutawijaya itu bersungguh-sungguh.
"Kenapa Kiai menjadi heran," bertanya Sutawijaya, "bukankah wajar bahwa anak-anak muda bersikap ingin mengetahui sejauh-jauhnya". Demikian pula aku. Aku juga ingin mengetahui sejauh-jauhnya, dengan siapakah aku berhadapan."
Kiai Gringsing menarik nafas. Jawabnya, "Aku tahu. bahwa Raden tidak bersungguh-sungguh. Tetapi semuanya terserah kepada Raden."
"Aku bersungguh-sungguh Kiai. Aku ingin menjajagi kemampuan Agung Sedayu. Mataram akan berkembang. Dan Mataram tentu akan memerlukan kawan sebanyak-banyaknya. Karena itu aku ingin mengetahui, apakah Agung Sedayu pantas aku jadikan kawan. Terhadap Swandaru justru aku tidak ragu-ragu lagi. Ia adalah anak yang mungkin agak sombong. Tetapi ternyata ia jujur dan terbuka seperti sifat-sifatnya yang pernah aku kenal. Ia mengakui kekalahannya dan ia tidak menjadi gila karena kekalahannya itu. Nah, aku ingin tahu, apakah Agung Sedayu juga bersikap demikian."
Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia sadar, bahwa perlakuan Swandaru agak kurang menyenangkan Raden Sutawijaya. Tetapi kemudian Raden Sutawijaya yang muda itu-pun telah mengambil sikap yang aneh-aneh pula.
"Apakah itu perlu ngger," bertanya Ki Juru Martani.
"Kenapa tidak paman"," jawab Sutawijaya.
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling memandangi Kiai Gringsing. dilihatnya orang tua itu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya berada dibelakang sambil memegangi kendali kudanya.
Raden Sutawijaya seolah-olah tidak menghiraukan sikap kedua orang tua itu. Iapun kemudian justru berjalan didepan dengan kepala tengadah.
Beberapa saat lamanya mereka yang berjalan beriring itupun saling berdiam diri. Kiai Gringsing yang berjalan dipaling belakang sambil menuntun kudanya masih saja memikirkan sikap Raden Sutawijaya. Agaknya sikap itu akan mengejutkan Agung Sedayu, karena Kiai Gringsing tahu pasti, bahwa sifat dan watak Agung Sedayu berbeda dengan sifat dan watak Swandaru.
"Mungkin Swandaru dapat melupakan hal itu dalam waktu singkat," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, "tetapi bagi Agung Sedayu hal serupa ini akan mempengaruhinya untuk waktu yang lama. Mungkin ia akan selalu bertanya-tanya, kenapa hal itu harus terjadi. Bukan kekalahan yang pasti akan dialaminya. Tetapi kenapa seseorang harus menjajagi ilmunya. Apalagi ia tidak tahu latar belakang gejolak hati Raden Sutawijaya yang mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan di Sangkal Putung.
Perjalanan yang gelisah itupun akhirnya sampai pula pada akhirnya. Ketiga orang itupun kemudian memasuki sebuah lorong sebelum mereka sampai ke Jati Anom. Beberapa tonggak menjelang pintu gerbang Kademangan Jati Anom, ketiganya berbelok sepanjang lorong yang agak panjang.
Kedatangan ketiganya ternyata telah mengejutkan seisi padepokan kecil itu. Yang pertama-tama menyongsong mereka adalah Ki Waskita yang kebetulan berada dipadepokan.
"Marilah Raden, marilah Ki Juru," ia mempersilahkan, "kedatangan Raden Sangat mengejutkan, karena kami disini sama sekali tidak menyangka bahwa kami akan mendapat kunjungan pimpinan tertinggi di Mataram."
Raden Sutawijayapun mengangguk hormat, disusul oleh Ki Juru Martani sambil berkata, "Padepokan ini sangat menarik perhatian. Kami sudah membayangkan sejak kami berangkat dari Sangkal Putung untuk kunjungan khusus ini. Ternyata ketika kami sampai, padepokan ini lebih baik dari yang kami bayangkan."
"Ki Juru memuji," sahut Kiai Gringsing, "tentu padepokan ini sebenarnya hanyalah sekedar tempat berteduh."
Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, "Aku sudah membayangkan bahwa padepokan Kiai Gringsing tentu hanya sebuah padepokan kecil. Bukan sebuah padepokan yang luas yang dilengkapi dengan sebuah barak bagi beberapa puluh orang cantrik, jejanggan dan beberapa orang putut."
"Ya Raden. Demikianlah keadaannya."
"Tetapi akupun sudah membayangkan bahwa padepokan kecil ini tentu padepokan yang asri dan terpelihara."
"Ah," desis Kiai Gringsing, "kami bukannya orang-orang yang mengenal tata keindahan. Kami mengatur asal saja sesuai dengan selera kami." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. "tetapi marilah. Silahkan naik kependapa."
Raden Sutawijaya dan Ki Juru masih memperhatikan halaman itu beberapa saat. Sementara Kiai Gringsing menambatkan kudanya pada patok bambu yang sudah dibuat oleh Glagah Putih.
"Apakah Agung Sedayu tidak ada dipadepokan?" bertanya Raden Sutawijaya tiba-tiba.
"Ia masih berada disawah Raden. Tetapi sebentar lagi ia tentu akan segera pulang," jawab Ki Waskita.
"Sampai menjelang senja?"
"Kadang-kadang memang demikian. Apalagi pada masa-masa tanaman padi memerlukan air dan menyiangi."
"Sendiri?" "Tidak. Dengan Glagah Putih dan beberapa orang kawan."
"Glagah Putih?"
"Putera Ki Widura. Ia berada dipadepokan kecil ini pula."
Sutawijaya mengangguk-angguk. Agaknya padepokan kecil ini mempunyai nafas yang jauh berbeda dengan Kademangan Sangkal Putung, sehingga Raden Sutawijayapun dapat membayangkan, bahwa tata kehidupan dari kedua murid Kiai Gringsingpun tentu akan mengalami perbedaan yang besar yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pandangan hidup mereka.
Sejenak kemudian maka Raden Sutawijaya, Ki Juru dan Kiai Gringsingpun telah duduk dipendapa, sementara Ki Waskita pergi kebelakang menyalakan api perapian dan menjerang air. Pekerjaan yang tidak pernah dilakukan dirumahnya, karena ia adalah orang yang cukup berada dan mempunyai beberapa orang pelayan. Tetapi dipadepokan kecil dan terpisah itu, ia mengerjakan apa saja seperti juga Kiai Gringsing dan penghuni-penghuninya yang lain.
Ketika api sudah menyala, maka ditinggalkannya air yang sedang dijerang itu untuk ikut menemui tamu-tamunya dari Mataram.
"Sebentar lagi Agung Sedayu tentu akan datang," katanya didalam hati, "biar ia sajalah atau Glagah Putih membuat minuman untuk tamu-tamu itu jika air sudah mendidih."
Sejenak mereka saling memperbincangkan keselamatan masing-masing. Kemudian pembicaraan itupun merambat kepada persoalan-persoalan padepokan kecil itu, sejak saat-saat dibangun sampai saat terakhir, dimana dedaunan sudah menjadi hijau rimbun, dan bahkan batang pohon buah buahan yang sudah berbunga.
"Tanah ini adalah tanah pategalan," Kiai Gringsing menerangkan, "sehingga pohon buah-buahan itu memang sudah ada sejak padepokan ini mulai dibangun."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk.
"Tanah pategalan ini adalah tanah peninggalan Ki Sadewa seijin Untara. Bahkan ia menjadi berbesar hati bahwa adiknya telah mulai dengan suatu cara hidup yang baru."
Raden Sutawijaya ternyata sangat tertarik kepada isi padepokan itu. Tidak jemu-jemunya ia memandang berkeliling. Memandangi pohon buah-buahan dan rumpun pohon bunga-bungaan.
"Menyenangkan sekali," desisnya beberapa kali. Namun kemudian ia bertanya dengan dahi berkerut, "Kapan Agung Sedayu kembali?"
"Sebentar lagi," jawab Ki Waskita, "ia tentu sudah berada di perjalanan."
"Sampai petang?" suara Raden Sutawijaya berubah.
Ki Waskita menggeleng, "Tidak Raden. Ia akan segera datang. Sebelum senja."
Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Sementara Ki Waskitapun bertanya didalam hatinya akan sikap Sutawijaya yang tidak diketahui maksudnya itu.
Tiba-tiba saja suasana dipendapa itu telah berubah. Raden Sutawijaya nampak gelisah dan kurang tenang. Setiap kali ia memandang regol padepokan, seolah-olah ia tidak sabar lagi menunggu kedatangan Agung Sedayu.
Ki Juru Martanipun telah menjadi gelisah pula karenanya. Beberapa kali ia mencoba memancing pembicaraan untuk menarik perhatian Raden Sutawijaya. Tetapi ia tidak berhasil, karena setiap kali Sutawijaya kembali merenungi regol dengan wajah yang tegang.
Kiai Grigsing yang menjadi gelisah pula tidak sempat memberitahukan kepada Ki Waskita apakah yang telah terjadi di Sangkal Putung. Karena itu, kegelisahannya itupun telah membuat Ki Waskita bertanya-tanya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu memang sedang dalam perjalanan kembali dari sawah bersama Glagah Putih dan kawan-kawannya yang lain. Wajah mereka nampak cerah secerah harapan yang membersit dihati tentang sawah dan ladang mereka. Tanaman mereka nampak hijau subur dan paritpun rasa-rasanya tidak akan pernah kering jika tidak terjadi kemarau yang sangat panjang sehingga arus sungai menjadi sangat kecil.
"Jika masih ada orang yang membuka tanah baru, maka parit itu memerlukan perhatian," berkata Glagah Putih.
"Ya. Bendungan itu harus diperbaiki. Sampai sekarang, air dari parit itu sudah terasa cukup. Tetapi jika kebutuhan air bertambah, maka parit itu memang memerlukan tambahan air," jawab Agung Sedayu. Lalu. "tetapi untuk sementara Ki Demang sudah menghentikan pembukaan tanah baru karena dipandang sudah cukup. Kitapun untuk sementara tak memerlukan lagi."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi pada suatu saat jumlah penduduk akan bertambah-tambah."
"Kita akan membuka tanah baru. Itulah agaknya, maka sekarang Ki Demang tidak memberikan kesempatan lagi, agar pada suatu saat kita tidak akan terjepit oleh kesempitan."
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Tetapi sambil mengamati hutan yang masih cukup luas ia membayangkan masa-masa mendatang, bahwa hutan itu akan menjadi semakin sempit karena tanah persawahan menjadi semakin luas.
Kawan-kawannya yang lain berjalan dibelakang Agung Sedayu dan Glagah Putih sambil menjinjing gendi dan keranjang kecil tempat mereka membawa bekal makanan dan minuman kesawah. Tetapi gendi dan keranjang kecil itu telah kosong.
Dalam pada itu, maka merekapun berjalan tanpa menghiraukan bahwa matahari telah menjadi semakin rendah, dan bahkan telah bertengger dipunggung Gunung. Sebentar lagi matahari itu akan terbenam, dan langitpun akan menjadi kelabu. Mereka berjalan seperti tidak ada kebutuhan lagi yang harus mereka lakukan. Seenaknya. Bukan saja karena mereka memang sudah lelah oleh kerja disawah, tetapi merekapun merasa bahwa kerja mereka sehari itu sudah selesai.
Karena mereka tidak menyadari, bahwa Raden Sutawijaya menunggu dengan gelisah dipendapa padepokan kecilnya, maka Agung Sedayu dan kawan-kawannya masih sempat singgah dan turun kesebuah sungai kecil. Mereka sempat membersihkan alat-alat yang mereka bawa dan kemudian mandi disebuah pancuran dipinggir sungai itu. Pancuran yang menyalurkan air dari sebuah belik kecil di bawah sebatang pohon preh yang besar.
Badan mereka yang lelah dan kehitam-hitaman disengat cahaya matahari hampir sehari penuh, telah terasa menjadi segar kembali. Wajah-wajah mereka yang memang cerah, nampak menjadi semakin cerah oleh segarnya air pancuran.
Tetapi mataharipun menjadi semakin rendah. Dan langit menjadi semakin merah menjelang senja.
"Ki Waskita tentu sudah menunggu," desis Glagah Putih.
"Ya," jawab Agung Sedayu. Aku masih harus menanak nasi," desis kawannya yang lain.
Merekapun kemudian naik tanggul sungai kecil itu dan berjalan semakin cepat pulang, setelah badan mereka terasa menjadi semakin segar.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya menjadi semakin gelisah. Ia tidak lagi duduk dipendapa, tetapi ia sudah berdiri dan turun kehalaman.
"Kau gelisah sekali ngger," desis Ki Juru perlahan-lahan, "apakah sebenarnya yang kau kehendaki?"
Adalah diluar dugaan, bahwa Raden Sutawijaya menjawab dengan lantang seakan-akan dengan sengaja agar didengar oleh Kiai Gringsing dan Ki Waskita, "Aku akan menjajagi kemampuannya. Aku sudah diperlakukan demikian. Apa salahnya jika akupun berbuat demikian?"
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tidak lagi menahan kegelisahannya dan bertanya kepada Kiai Gringsing, apakah yang sudah terjadi.
Dengan singkat Kiai Gringsing menceriterakan sikap Swandaru yang aneh. Meskipun Swandaru dengan jujur mengakui kekalahannya, dan nampaknya saat itu Raden Sutawijayapun memaafkannya, tetapi tiba-tiba saja sikap itu telah berubah ketika mereka berada diperjalanan. Bahkan dengan keras anak muda itu berniat untuk menjajagi kemampuan Agung Sedayu.
"Aneh sekali," gumam Ki Waskita.
Kiai Gringsing mengangkat bahunya. Tetapi seperti juga Ki Juru Martani, ia tidak akan dapat mencegah niat Raden Sutawijaya yang baginya juga aneh.
"Mungkin ada semacam dendam meskipun terlalu tajam jika disebut demikian," desis Kiai Gringsing, "dan sasarannya adalah Agung Sedayu yang tidak tahu menahu persoalannya."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi iapun hanya dapat berdebar-debar dan menunggu apa yang akan terjadi.
Dalam kegelisahan itu, Sutawijaya berjalan hilir mudik dihalaman, sementara langit menjadi bertambah buram, karena Matahari telah berada dibalik bukit.
Pada saat itulah. Agung Sedayu sampai keregol padepokannya. Dengan tanpa prasangka apapun ia melangkah memasuki regol itu bersama dengan Glagah Putih.
Namun demikian ia menginjak halaman padepokannya, maka tiba-tiba saja ia terkejut. Dengan serta merta Raden Sutawijaya berkata, "Nah, ia sudah datang. Marilah, kita akan melihat, apakah kau pantas menjadi seorang sahabat Raden Sutawijaya yang bergelar Senepati ingNgalaga."
Langkah Agung Sedayu tertegun. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, "Raden, kedatangan Raden benar-benar mengejutkan aku dan tentu saja kawan-kawanku. Kami tidak menyangka bahwa kami akan mendapat kehormatan, kunjungan Raden Sutawijaya yang bergelar Senepati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram."
"Lupakanlah basa basi yang manapun juga. Aku datang untuk menjajagi ilmumu. Letakkan cangkul dan bersiaplah. Kita akan bertempur di halaman padepokan ini." Raden Sutawijaya menjawab lantang.
Agung Sedayu menjadi bingung. Dipandanginya Ki Juru, gurunya dan Ki Waskita berganti-ganti.
"Raden," Ki Jurulah yang kemudian bergeser mendekati Raden Sutawijaya, "anak muda itu tentu akan menjadi bingung. Ia tidak tahu menahu apa yang telah terjadi sebelumnya."
"Persetan. Aku tidak peduli apakah ia tahu atau tidak. Tapi aku ingin mengetahui tingkat ilmunya." Sahabat Raden Sutawijaya, "haruslah orang-orang yang mumpuni seperti Swandaru Geni di Sangkal Putung."
Agung Sedayu menjadi bertambah bingung. Namun kemudian Ki Juru Martani mendekatinya sambil berkata, "Maaf Agung Sedayu. Ada sesuatu yang harus kau ketahui tentang adik seperguruanmu."
Agung Sedayu termangu-mangu.
"Jangan katakan kepadanya," geram Raden Sutawijaya, "tidak ada gunanya ia mengerti persoalannya."
Ki Juru menjadi bingung. Sementara itu Raden Sutawijaya melangkah satu-satu mendekati Agung Sedayu sambil berkata lantang, "Agung Sedayu. Cepatlah. Sebelum gelap kita akan berkelahi untuk saling menjajagi ilmu kita masing-masing. Aku dengar kau sudah meningkatkan ilmumu. Karena itu, aku ingin tahu sampai dimana tingkat ilmumu sekarang, sehingga aku akan dapat mengerti apakah kau sudah pantas menjadi sahabatku dalam keadaan seperti sekarang ini."
Agung Sedayu benar-benar tidak mengerti. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Apalagi karena gurunya, Ki Waskita dan bahkan Ki Juru Martani sendiri nampaknya juga kebingungan.
"Cepat, apakah kau takut?" bentak Raden Sutawijaya.
"Raden," Agung Sedayu termangu-mangu, "aku benar-benar tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang sudah terjadi disini ?"
"Kau tentu tidak banyak berbeda dengan Swandaru. Cepat, kita akan segera mulai."
"Aku menjadi bingung Raden. Benar-benar bingung. Kedatangan Raden di padepokan ini sudah mengejutkan aku. Apalagi tingkah laku Raden sekarang ini."
"Cukup," bentak Raden Sutawijaya, "kau tentu sudah memiliki ilmu yang tinggi seperti Swandaru. Kau tentu ingin menunjukkan bahwa ilmumu sudah setingkat dengan ilmu Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga. Karena itu jangan berpura-pura. Kita akan berkelahi. Sampai seberapa kebenaran angan-anganmu tentang tingkat ilmumu dibandingkan dengan Raden Sutawijaya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia menjawab, "Aku tidak mengerti. Aku sama sekali tidak merasa bahwa ilmuku sudah meningkat. Dipadepokan ini yang aku lakukan adalah bercocok tanam. Memelihara sawah dan ladang. Dan sedikit membuka hutan."
"Nah, kau sudah mulai membuka hutan. Kau tentu tidak puas melihat perkembangan Mataram. Dan kau mencoba untuk membuka hutan sendiri dan kemudian mengembangkannya menjadi suatu negeri."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Kiai Gringsing, seolah-olah ia ingin mendapatkan pertimbangannya. Tetapi Raden Sutawijaya seolah-olah mengetahui isi hatinya dan berkata, "Kau tidak usah menunggu pertimbangan gurumu. Lakukanlah menurut nuranimu sendiri."
"Tetapi semua yang Raden katakan itu tidak benar. Aku membuka hutan hanya sekedar membuat tanah persawahan bagi padepokan kecil ini dengan isinya. Dan bagaimana mungkin aku berpikir, bahwa aku akan membuka sebuah negeri" Mimpipun aku tidak akan melakukannya."
"Apa saja yang kau katakan. Tetapi cobalah menunjukkan sedikit kejantananmu. Jika kau berani berbuat sesuatu, kau tentu akan mempertanggung jawabkan."
"Apa yang harus aku pertanggung jawabkan" Aku tidak berbuat apa-apa."
"Aku tidak peduli. Tunjukkan peningkatkan ilmumu. Mungkin kau sudah dapat menggugurkan gunung atau mengeringkan lautan dengan sentuhan jari-jarimu. Tetapi ingat, bahwa Raden Sutawijaya bukannya kanak kanak yang kagum melihat gunung yang runtuh serta lautan yang menjadi kering."
"Aku tidak mengerti, sungguh tidak mengerti Raden."
"Bohong. Kau hanya berpura-pura."
Agung Sedayu benar-benar bingung. Apalagi gurunya, Ki Waskita dan Ki Juru Martani nampaknya hanya berdiri termangu-mangu saja tanpa berbuat apa-apa.
Sementara itu. Sutawijaya yang tidak sabar menunggu lagi, telah melangkah maju beberapa langkah mendekati Agung Sedayu. Wajahnya menjadi tegang dan tangannya bagaikan hendak meremasnya.
"Cepat," Raden Sutawijaya berteriak, "aku tidak, mempunyai banyak waktu."
Tetapi Agung Sedayu yang bingung sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia masih berdiri termangu-mangu sambil memandang orang-orang yang ada dihalaman itu berganti-ganti.
Ketika Raden Sutawijaya mendekat selangkah lagi, Agung Sedayu justru menjadi semakin bingung.
"Agung Sedayu," suara Raden Sutawijaya menjadi gemetar, "kenapa kau diam saja" Apakah kau ingin menghinaku dengan sikap dinginmu itu. Kau ingin menunjukkan bahwa kau telah menjadi kebal dan tidak lagi dapat dikenai oleh serangan apapun juga."
"Raden menjadi semakin aneh," desis Agung Sedayu, "siapakah yang mengatakan bahwa aku kebal dan tidak dapat disentuh oleh serangan yang manapun juga. Aku masih tetap seperti ini. Aku selama ini tidak bertambah apa-apa, selain sedikit kemampuan mengerjakan sawah."
"O, kau menjadi semakin sombong. Baiklah. Jika kau tidak mau berbuat apa-apa, biarlah aku mencoba kekebalanmu. Jika kau tahan pukulanku, maka aku akan berjongkok dan menyembahmu. Aku akan menyerahkan gelar Senopatiku kepadamu dengan segala macam kebesaran yang pernah aku terima."
"Itu tidak masuk akal," jawab Agung Sedayu dengan serta merta.
"Aku tidak peduli."
Sutawijaya nampaknya sudah tidak sabar lagi. Ia maju semakin dekat dengan sikap yang garang, sementara Agung Sedayu masih termangu-mangu kebingungan.
Tiba-tiba dalam ketegangan itu, Glagah Putih yang tidak tahu siapakah anak muda itu sesungguhnya karena ia belum mengenalnya, meloncat maju sambil melemparkan cangkulnya. Dengan dada tengadah ia berteriak nyaring, "He anak muda yang belum aku kenal sebelumnya. Aku tidak mempunyai persoalan dengan kau. Tetapi sikapmu telah membakar hatiku. Aku tahu kau memiliki kesaktian. Tetapi jika kesaktianmu itu sekedar sebagai bekal untuk menyombongkan diri, aku akan melawanmu."
Agung Sedayu yang melihat Glagah Putih meloncat maju. dengan tergesa-gesa menangkap lengannya. Sambil menariknya mundur ia berdesis, "Jangan Glagah Putih. Kau belum tahu, siapakah anak muda itu."
"Aku sudah mendengar namanya dan gelarnya. Aku memang pernah mendengar tentang perkembangan atau negeri yang bernama Mataram, yang justru banyak disebut-sebut orang. Tetapi jika ternyata Mataram dipimpin oleh seorang anak muda yang sombong dan tamak, apakah artinya perkembangan Mataram itu."
"Jangan berkata begitu. Kau belum mengetahui apapun juga tentang Mataram dan tentang pimpinannya."
"Aku memang tidak banyak mengetahui tentang Mataram, tentang Pajang dan tentang pemimpin-pemimpinnya. Tetapi sekarang, aku sudah mengetahuinya. Ternyata kelahiran Mataram bukannya didorong oleh cita-cita seorang yang kecewa melihat Pajang yang terhenti sekarang ini, tetapi sekedar didorong oleh nafsu ketamakan yang berlebih-lebihan."
"Glagah Putih," potong Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Kai Gringsingpun dengan tergesa-gesa mendekatinya sambil berkata, "Jangan kau katakan sesuatu yang tidak kau ketahui Glagah Putih."
"Kiai," Tiba-tiba saja Glagah Putih menengadahkan kepalanya, "aku adalah anak Ki Widura. Meskipun ayahku sekedar seorang prajurit kecil, tetapi ayahku dapat menyebut apa yang diketahuinya tentang Mataram dan Pajang. Ayahku mengajarkan kepadaku, bahwa aku harus mulai sekarang mencoba mempertajam penilaian dan tanggapan atas segala peristiwa yang aku hadapi. Aku tahu, bahwa yang aku hadapi bukannya yang aku pahami sekarang ini. Tetapi aku menjadi kecewa. Kecewa sekali melihat kenyataan ini. Ketika aku mendengar dari ayahku, seorang pemimpin muda dari Mataram yang rendah hati dan mumpuni, aku telah mengaguminya. Namun ketika tiba-tiba saja menantang dengan penuh kesombongan kakang Agung Sedayu yang ternyata terlalu sabar itu, hatiku benar-benar menjadi kecewa. Seperti kecewanya seseorang yang menggenggam pinggan dan terlepas jatuh diatas batu hitam. Pecah menjadi berkeping-keping."
Pedang Langit Dan Golok Naga 33 Rahasia The Secret Karya Rhonda Byrne Legenda Kematian 1
^