Pencarian

Samurai Pengembara 1 3

Shugyosa Samurai Pengembara 1 Bagian 3


ingin berpisah denganmu."
"Bagaimana dengan istri Anda, Yang Mulia?"
"Dia akan tetap menjadi isteriku. Tetapi engkau
menjadi istri kesayanganku."
"Kalau benar ucapan itu, saya akan bersikap setia
dan mengabdikan seluruh hidup saya hanya untuk
Anda." "Aku bersumpah."
Sumpah itu terbukti tidak dilaksanakan. Hubungan
cinta itu terputus ketika istri Ashikaga melahirkan Natane Yoshioka. Kelahiran
Natane membuat shogun me-
lupakan janji-janjinya. Bahkan ia kemudian melupa-
kan Naoko karena terlampau bahagia mendapatkan
seorang anak laki-laki. Natane menghapus segala mim-
pi serta impiannya terhadap Naoko.
Sejak kelahiran anaknya, Ashikaga tidak pernah la-
gi menemui Naoko.
Peristiwa itu menumbuhkan sebatang dendam da-
lam jiwa Naoko. Diam-diam ia merintis jalan untuk
membalas dendam. Maka ketika suatu hari Shogun
Nobunaga bertemu dengannya, Naoko bersumpah un-
tuk melampiaskan dendam dengan menggunakan ke-
kejaman lelaki tersebut. Ia beruntung. Nobunaga, sa-
ma dengan Ashikaga, seorang laki-laki tua yang haus
seks dan kekuasaan. Penyerahan diri Naoko pada lela-
ki tersebut membuatnya lupa daratan. Di saat mereka
bercumbu, dan Naoko mempraktekkan ilmu seks Ka-
gemusha, Nobunaga langsung tergila-gila padanya. Le-
bih-lebih setelah shogun itu mendengarkan permainan
shamizen serta tarian yang dibawakannya, tak ada lagi yang dapat menghalangi
kegilaan Nobunaga.
Setiap kali sehabis bercinta, Nobunaga berkata pa-
da geisha itu. "Mintalah sesuatu, aku ingin memberikan apa pun
untukmu sebagai imbalan pelayananmu."
Naoko selalu menjawab, "Saya tidak meminta imba-
lan apa pun untuk pelayanan itu. Saya seorang geisha, akan saya lakukan apa pun
yang Anda minta."
Jawaban itu membuat Nobunaga semakin tergila-
gila. Pada pertemuan berikutnya, seusai mereka ber-
cinta sepanjang malam, Nobunaga kembali bertanya,
"Tidakkah kau ingin sesuatu dariku?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Aku dapat memberikan apa pun yang kau minta.
Kau berhak meminta imbalan, karena aku merasa
puas dengan pelayananmu."
"Tidak ada imbalan yang sepadan dengan kasih
sayang Anda. Karena itu tak pantas saya meminta se-
suatu sebagai imbalan pelayanan yang Anda terima."
"Benarkah?"
"Dengan setulusnya."
Nobunaga semakin tergila-gila. Ia lebih sering datang ke Fujiwara, khusus untuk
menjumpai geisha kesayangannya. Mereka bercinta seperti dua ekor ular naga,
saling membelit, melampiaskan gairah penuh gelora.
Sebagaimana orang Jepang yang memiliki cita rasa
tinggi, Nobunaga menulis haiku (puisi pendek) untuk
Naoko: Dengan munculnya bunga sakura
Musim semi jadi pesona Fujiwara
Tanah kering menjadi subur berbunga azaela
Sungai diairi selendang pelangi
Aku disergap kerinduan seorang geisha
Naoko Yoritomo namanya
Naoko membalas puisi itu dengan menari di depan
Nobunaga, suatu tarian gemulai yang sangat indah.
Dengan penuh muslihat, Naoko melepas pakaiannya
satu per satu. Semua dilakukan menurut irama sha-
mizen. Tubuhnya yang mulus, dengan kulit putih ber-
sih, membuat Nobunaga kian terpesona. Laki-laki itu
berkali-kali menghela napas panjang, sebelum akhir-
nya tak kuat menahan rangsangan seksual dalam di-
rinya. Ia menarik Naoko ke dalam dekapannya.
Dengan liar, Nobunaga menciumi seluruh tubuh
wanita itu. Tidak seinci pun dibiarkan tak tersentuh bibirnya. Naoko sendiri
membalas sentuhan serta ciuman Nobunaga dengan cara-cara yang penuh imaji-
nasi. Dengan penuh kemesraan ia menciumi seluruh
permukaan tubuh lelaki gemuk itu.
"Kau sangat pintar, Naoko-san."
"Nikmati saja, Yang Mulia. Saya akan membuat
Yang Mulia bahagia."
"Naoko-san, aku tidak kuat lagi," desis Nobunaga
gemetar. "Saya senang bermain-main," jawab Naoko tenang.
Kemudian ia mulai bermain-main lagi. Nobunaga me-
rasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dan akhir-
nya ia terkulai lemas sambil mendekap kepala Naoko
erat-erat. "Oh, luar biasa, Naoko-san."
Nobunaga memejamkan matanya. Dengan letih ia
berbaring sambil memeluk kekasihnya.
Setengah jam kemudian, Nobunaga bertanya, "Se-
karang mintalah sesuatu padaku, aku bersumpah un-
tuk mengabulkannya. Sudah begitu banyak yang kau
berikan padaku, sementara belum ada yang kuberikan
padamu. Maka saat ini, mintalah sesuatu...."
"Benarkah Anda akan mengabulkan apa pun per-
mintaan saya?"
"Ini sumpahku. Katakan permintaanmu."
"Istana Kamakura."
Nobunaga terperanjat, "Apa maksudmu?"
"Aku ingin tinggal di istana itu sebagai wanita yang Anda cintai."
Kini semua sudah terlaksana. Sumpah Nobunaga
benar-benar dilaksanakan. Dendam Naoko pun telah
terbalas. Bagi Naoko, sesungguhnya pelampiasan den-
dam terhadap Ashikaga, jauh lebih memuaskan diban-
dingkan apa saja. Namun, api dendam dalam dirinya
belum seluruhnya padam, lolosnya Natane Yoshioka
membuat pembalasan itu tidak sempurna. Karena itu
ia akan terus menghasut Nobunaga untuk menun-
taskan pembalasan dendamnya.
Di luar dinding kamar, tiba-tiba terdengar derap kaki mendekat. Shogun Nobunaga
mendorong tubuh telanjang Naoko, kemudian meraih pedang di sisi ranjang.
"Siapa di situ?" teriaknya lantang.
Orang-orang di luar dinding kamar terdengar ber-
simpuh. "Saya Konishiwa, Yang Mulia."
"Konishiwa-san, ada apa?"
"Saya ingin melaporkan peristiwa yang baru saja
terjadi di pinggir kota."
"Peristiwa apa?" nada suara Nobunaga terdengar ti-
dak sabar. "Ishida Mitsunari melakukan pembelotan. Dia telah
melawan perintah Anda."
Nobunaga terdengar mendengus. Ia merasa lega.
Tadinya ia menduga ada pemberontakan yang berba-
haya. "Kalau begitu gantung mayatnya di pinggir jalan
agar semua orang tahu risiko melawanku."
"Ishida Mitsunari telah membunuh ketujuh samurai
yang mengawalnya, Yang Mulia. Dia kemudian meng-
hilang entah ke mana."
Nobunaga bertanya menggeram, "Enam orang sa-
murai yang kau andalkan tewas di tangan seorang la-
ki-laki yang tidak punya kaki?"
"Benar, Yang Mulia."
"Bodoh! Kalian samurai-samurai bodoh! Kerahkan
seratus samurai, kejar laki-laki itu. Tangkap dia hidup atau mati!"
Konishiwa membungkukkan badan. "Bagaimana de-
ngan Saburo" Bagaimana dengan Yoshioka" Bagaima-
na dengan Pedang Muramasa?"
Nobunaga meledak karena marah, "Kerahkan seribu
samurai untuk mengejar mereka! Geledah semua ru-
mah di Kamakura, cari sampai ketemu, penggal kepala
mereka untukku!"
"Baik, Yang Mulia. Saya akan segera jalankan perin-
tah Anda."
Konishiwa mundur, bangkit berdiri, kemudian ber-
gegas meninggalkan tempat itu. Dua puluh samurai di
belakangnya segera mengikutinya.
Udara malam yang dingin tidak membuat Konishiwa
membeku. Sesungguhnya ia tidak menyukai perintah
itu, betapa pun Ishida Mitsunari adalah kakak iparnya.
Namun sebagai seorang samurai, ia terikat tradisi kesetiaan pada shogun. Karena
itu apa pun risikonya, ia harus mengejar Ishida dan memenggal kepalanya.
Tidak ada pilihan lain untukku.
Nobunaga duduk di tepi ranjang dengan tubuh ge-
metar. Jantungnya serasa berdetak kencang. Ia tak
menduga Ishida akan melawannya. Perlawanan itu be-
rarti perongrongan terhadap kewibawaannya. Keku-
asaannya! Belum usai satu persoalan, kini telah muncul satu
persoalan baru. Apa pun alasannya, pembelotan Ishida Mitsunari tetap menjadi
benih yang berbahaya. Kalau
sekarang dengan kaki terpenggal, lelaki itu dapat
membunuh enam samurai pilihan, tak dapat disangkal
kelak ia dapat membunuh lebih banyak lagi. Ia bisa lebih berbahaya dibanding
Saburo. Naoko tahu bagaimana gejolak hati Nobunaga. Ka-
rena itu dengan lembut ia memeluk lelaki itu dari belakang. Buah dadanya
menempel lekat ke punggung
Nobunaga. Kedua tangan geisha tersebut mulai mem-
belai-belai dadanya. Ia mulai merangsangnya.
Nobunaga memegang jemari Naoko, menarik wajah
wanita itu, kemudian mencium bibirnya dengan penuh
nafsu. Hisapan itu demikian kuat hingga membuat Na-
oko hampir tercekik.
Sesaat ketika Nobunaga menghentikan ciumannya,
lelaki itu bertanya, "Perlukah kita terus mengejar Yoshioka?"
Naoko kaget mendengar pertanyaan itu. "Kenapa
Anda bertanya begitu?"
"Bukankah dia hanya seorang anak yang belum da-
pat berbuat apa-apa?"
"Dia bukan seorang anak yang tidak dapat berbuat
apa-apa," tukas Naoko dengan nada penuh kebencian.
"Dia adalah benih yang berbahaya. Bila tidak dibunuh saat ini, kelak dia dapat
menjadi samurai yang meng-ancam kekuasaan Anda. Selain itu, jangan Anda re-
mehkan, Yoshioka kini bersama Saburo Mishima."
"Dapatkah dia melawan seribu tentaraku seorang
diri?" "Kita tidak dapat menduganya. Tetapi sejarah sering
membuktikan, banyak kekuasaan hancur karena ke-
kuatan yang tidak terduga."
*** Pagi hari. Udara dingin membekukan pori-pori kulit.
Angin menemperas masuk lewat celah-celah gubuk.
Natane Yoshioka, Kojiro, dan Saburo masih tidur nye-
nyak. Tiba-tiba pintu dibuka dengan keras dari luar.
Saburo langsung mencabut pedang. Cahaya matahari
yang menerobos masuk membuatnya matanya silau.
Sepintas ia melihat sesosok gadis kecil menatapnya,
kemudian gadis itu berlari ketakutan.
Hanya sejenak Saburo menoleh pada Yoshioka, lalu
segera melompat mengejar gadis itu.
"Tunggu! jangan lari!" teriak Saburo mencoba meng-
hentikan gadis itu.
Tetapi kata-katanya tak didengarkan, gadis itu te-
rus berlari ke arah sungai. Tanpa pikir panjang, Sabu-ro berlari lebih kencang
untuk mengejar gadis itu. Betapa pun kehadiran gadis tersebut dapat membahaya-
kan jiwa mereka.
Hampir seratus meter gadis itu lari, akhirnya Sabu-
ro berhasil menangkap pergelangan tangannya. Saat
disentakkan, gadis tersebut akan berteriak, dengan si-gap Saburo membekap
mulutnya. "Jangan berteriak," desis Saburo sambil terengah-
engah. "Kami bukan orang jahat."
Gadis itu sangat ketakutan. Matanya melotot, wa-
jahnya jadi pucat. Ia mencoba meronta, tetapi Saburo mendekapnya dengan kuat.
Apa pun alasannya, Saburo tidak ingin lengah. Ia harus dapat meyakinkan bah-wa
gadis itu tidak akan membuka rahasia.
Ketika gadis itu masih meronta-ronta, Natane dan
Kojiro sampai di tempat itu.
"Hei, kenapa Sensei menyakitinya?" tanya Yoshioka
tak menyetujui perbuatan Saburo.
"Saya sebenarnya tidak ingin menyakitinya, tetapi
saya mempunyai alasan untuk membuatnya tidak ber-
teriak." "Dia masih kecil. Dia pasti sangat ketakutan."
Saburo berkata pada gadis kecil itu, "Saya akan me-
lepasmu, tetapi kau harus berjanji tidak akan berte-
riak." Gadis itu menatap Yoshioka dan Kojiro, anak-anak
yang sebaya dengannya itu menatapnya tanpa ekspre-
si. "Ayahku akan melepasmu," kata Kojiro sambil men-
dekati gadis itu. "Tetapi engkau jangan menjerit atau berteriak. Teriakanmu
dapat membahayakan kami.
Percayalah, kami bukan orang jahat."
Yoshioka turut bicara, "Kalau engkau berjanji tidak
menjerit, kami akan membebaskan dirimu. Aku bah-
kan akan memberimu hadiah."
Gadis itu menatap bimbang pada Yoshioka. Lalu de-
ngan ragu-ragu ia mencoba menganggukkan kepala.
"Jangan menjerit," bisik Saburo lembut. "Karena ka-
lau engkau menjerit, kami terpaksa menyakitimu."
Gadis itu menganggukkan kepala.
"Lepaskan dia, Sensei," kata Yoshioka pada Saburo.
"Kita telah membuatnya sangat ketakutan."
Pelan-pelan Saburo melepaskan gadis itu.
"Siapa namamu?" Yoshioka mencoba bertanya.


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Miyagi."
"Saya Natane. Natane Yoshioka."
Gadis itu menatap Kojiro.
"Saya Kojiro," kata Kojiro tanpa tekanan. Kemudian
dia menunjuk Saburo. "Dia ayahku. Saburo Mishima."
"Kenapa kalian tidur di gubukku?" gadis itu mulai
berani bertanya.
Yoshioka dan Kojiro menatap Saburo. Mereka tidak
tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
"Kami kemalaman," jawab Saburo datar. "Karena itu
kami terpaksa bermalam di gubukmu."
"Apakah kalian tidak memiliki tempat tinggal?"
"Ya, kami memang pengembara."
"Kenapa kalian membawa pedang" Apakah kalian
samurai?" "Kami shugyosa, samurai pengembara," jawab Saburo sekenanya. "Kami biasa
bermalam di mana saja.
Kebetulan malam ini kami berada di sini."
Miyagi menatap Saburo, matanya nanar, seakan in-
gin mempercayai ucapan lelaki di depannya.
"Apakah engkau tinggal di sekitar tempat ini?" Sa-
buro kembali bertanya. Ia harus tahu pasti siapa-siapa yang tinggal bersama
gadis itu. "Ya," jawab Miyagi datar. "Saya tinggal bersama ayah dan ibu. Rumah kami tak
jauh dari sini, di lembah."
"Apakah ini gubuk orang tuamu?"
"Benar. Ayah dan ibu baru saja kembali dari hutan
mencari mugwort, kami biasa membuat moxa di sini."
Pantas selama ini mereka tak pernah kelihatan.
"Di mana orang tuamu sekarang?"
"Di rumah. Mereka lelah setelah seharian melaku-
kan perjalanan. Kini mereka sedang tidur. Apakah ka-
lian ingin bertemu dengan mereka?"
"Katakan pada orang tuamu, kami ingin bertemu.
Kami ingin minta maaf telah menggunakan gubukmu
tanpa izin."
"Baiklah, saya akan memanggil mereka."
Miyagi berlari menuju ke rumahnya. Rambut gadis
itu berkibar diterpa angin.
Saburo diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Kini
mereka berada dalam situasi yang kurang mengun-
tungkan. Saat ini sebenarnya lebih baik tidak berhu-
bungan dengan orang lain, karena dengan begitu, se-
mua rahasia tersimpan baik. Saburo yakin, pertemuan
ini akan berbuntut panjang.
Natane Yoshioka dan Kojiro sekarang duduk di atas
rumput. Masih berembun. Mereka tak peduli. Kedua
anak itu sama-sama diliputi ketegangan. Hampir dua
bulan mereka tak bertemu orang lain. Sekarang me-
reka bertemu, justru dalam suasana yang tidak menye-
nangkan. Hampir lima belas menit mereka menunggu, sampai
akhirnya terdengar ranting kering terinjak kaki. Sabu-ro Mishima segera
mendorong pedangnya keluar, sua-
tu tindakan berjaga-jaga. Ia tidak mau mati konyol.
Beberapa menit kemudian muncul dua orang laki-
laki, seorang perempuan, dan Miyagi. Kedua laki-laki itu masing-masing membawa
tombak. Tetapi melihat
cara menggenggam senjata itu, Saburo yakin mereka
hanya petani biasa. Karena itu ia merasa lega.
Kedua laki-laki itu berjalan mendekat. Ketika jarak
mereka hanya tinggal lima meter, salah seorang di antara mereka bertanya, "Siapa
kalian?" Saburo mendekati Natane Yoshioka, dengan cara itu
ia ingin menguji apakah para petani itu berada di pihak mana. Dugaan Saburo
menjadi kenyataan, ketika
kedua lelaki itu melihat pakaian Yoshioka, mereka terlihat terperanjat, saling
pandang, kemudian tanpa di-perintah, serentak bersujud di tanah.
"Yang Mulia Natane Yoshioka!
*** KUIL MURO KUIL Muro terletak di lereng Gunung Muro, sebuah kuil yang didirikan pada zaman
Heian. Dahulu kuil ini di-pergunakan Puak Taira untuk berlatih meditasi dan
Seni Perang. Hal itu berlangsung sesudah perlawatan
Puak Taira ke Cina. Mereka mendapatkan buku Seni
Perang buah karya Soen-Tzu. Tak mengherankan bila
di kuil ini terdapat banyak kata-kata bijaksana pening-galan jenderal Cina itu.
Soen-Tzu menulis:
"Inilah yang penting diketahui tentang medan perang
Ada yang dapat menerobos.
Ada yang membatasi
Ada bagian yang terpencil.
Ada yang memungkinkan gerak laju.
Ada jarak yang harus diperhitungkan. "
Ishida Mitsunari termangu, mencoba merenungkan
kata-kata itu. Di bagian dinding lain, ada tulisan Soen-Tzu.
Barang siapa mengenal seni perang, tak akan seram-pangan ia dalam gerakannya. Ia
kaya akan gagasan, dan membatasi nafsu. Namun demikian, barang siapa mengenal
dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia senantiasa menang dengan mudah. Barang
siapa mengenal langit dan bumi, ia senantiasa menang atas segalanya.
Ishida mencoba menerka-nerka, apa yang dimak-
sudkan oleh Soen-Tzu.
Namun kenyataannya, Seni Perang Soen-tzu tidak
berhasil menyelamatkan Kuil Muro. Ketika terjadi pertempuran antara Puak Taira
dan Minamoto, tentara Mi-
namoto berhasil menghancurkan musuhnya. Dengan
cerdik ia kemudian menghancurkan Kuil Muro untuk
mencegah musuhnya mempergunakan kuil ini untuk
kembali membangun kekuatan. Shogun Minamoto
mengeluarkan larangan bagi siapa pun untuk datang
ke Kuil Muro. Bagi yang melanggar larangan ini, Sho-
gun menjatuhi hukuman mati.
Itu sebabnya kuil ini tak terjamah oleh manusia.
Bangunan utamanya telah runtuh, patung-patung-
nya berserakan. Kesunyian di tengah kuil itu menum-
buhkan suasana angker yang mencekam. Tidak seo-
rang pun pernah mendatangi tempat itu. Kecuali se-
jumlah kera dan babi hutan, hanya burung dan kele-
lawar yang menghuni tempat tersebut.
Kesunyian itu sangat cocok untuk tempat persem-
bunyian. Ishida Mitsunari pernah sampai di kuil Muro, ketika menemani Shogun
Ashikaga berburu babi hu-
tan. Pada waktu itu ia hanya lewat. Tapi kini, ketika membutuhkan persembunyian,
tiba-tiba Ishida teringat kuil tersebut. Tak seorang pun akan menduga ia berada
di tempat itu. Sehabis membunuh ketujuh orang yang mengawal-
nya, Ishida Mitsunari telah bertekad melakukan pem-
balasan dendam. Ia bersumpah untuk membunuh Sa-
buro Mishima, untuk membersihkan namanya. Karena
itu, untuk melaksanakannya, ia perlu menyempurna-
kan ilmu pedangnya. Tempat terbaik untuk itu adalah
Kuil Muro. Enam hari enam malam Ishida berjalan kaki, me-
nembus hutan dan mendaki bukit. Akhirnya ia sampai
di tempat yang ia tuju. Ketika menatap reruntuhan
Kuil Muro, Ishida tersenyum lebar. Ia merasa menda-
patkan tempat yang sangat baik untuk berlatih. Selain sejumlah babi hutan, di
sekitar tempat itu banyak terdapat pohon buah-buahan.
Aku tidak akan kelaparan di sini. Kurasa tidak ada tempat yang lebih baik
dibanding kuil ini.
Mulailah Ishida menjalani pengasingan. Pada ma-
lam hari ia melakukan meditasi. Sesekali dengan nyala api buah kenari, ia
membuat lukisan di lantai dengan arang. Ia mencoba menggambarkan gerakan silat
yang telah ia pelajari. Di siang hari, tanpa mengenal lelah, Ishida menyempurnakan
ilmu pedangnya. Ia melatih
gerakan-gerakan tangannya, sambil membayangkan
ilmu pedang Saburo Mishima. Masih terbayang di pe-
lupuk matanya, bagaimana lelaki itu memenggal kaki-
nya. Senyum kemenangan Saburo setiap hari melintas
di dalam tidurnya.
Aku harus mengalahkannya. Hanya dengan mem-
bunuh Saburo dendamku terlampiaskan.
Dendam kesumat itu sering muncul dalam tidur-
nya. Berganti-ganti dengan ekspresi kemarahan Sho-
gun Nobunaga. Masih terbayang jelas di matanya, ba-
gaimana shogun itu mengusir dan mencacinya. Peng-
usiran itu benar-benar merupakan penistaan terhadap
dirinya. Bila mengenang hal itu, tumbuh dendam baru
di dalam dirinya. Ia menyadari, musuhnya bukan ha-
nya Saburo, tetapi juga shogun Nobunaga.
Betapa menyenangkan bila aku dapat membunuh
mereka berdua. Kedua orang itu telah menghancurkan hidupku. Mereka harus
menerima balasan yang setimpal.
Satu-satunya hambatan yang merisaukan Ishida
adalah kaki kirinya yang terpenggal. Cacat itu mengu-rangi kelincahan
gerakannya. Tebasan pedang yang
kuat, membutuhkan perimbangan gerakan pada kaki.
Ilmu pedang membutuhkan kegesitan sekaligus kelin-
cahan. Kenyataan itu lama-kelamaan menumbuhkan
perasaan frustrasi pada dirinya. Namun sebaliknya,
rasa frustrasi tersebut, semakin mempertebal dendam-
nya terhadap Saburo. Dendam itu membangkitkan se-
mangat hidupnya.
"Aku harus mengatasinya," kata Ishida meyakinkan
dirinya. "Apa pun yang terjadi, kakiku tidak akan ter-pulihkan. Tapi aku harus
menemukan jalan untuk me-
lampiaskan dendam."
Pada hari ketiga puluh tujuh, Ishida Mitsunari te-
ngah menggambarkan gerakan kaki pada ayunan pe-
dang 'Dewa Membelah Lautan', tiba-tiba kesadarannya
muncul, ia tak mungkin melakukan ayunan itu dengan
sempurna apabila kedua kakinya tidak menapak ta-
nah. Dengan arang, ia mencoret-coret bagian gambar
kaki yang cacat. Tiba-tiba coretan itu memberikan in-spirasi baru!
"Aku dapat melengkapi kakiku dengan kayu!" seru-
nya dalam hati. "Bila panjang kayu itu sama dengan
kakiku, tak ada bedanya aku memiliki kaki atau kayu!"
Esoknya Ishida membuat sambungan kaki dari ka-
yu ek. Pada sore hari, ia telah dapat berdiri tegak. Kaki itu terbukti sangat
membantu gerakannya. Bahkan in-spirasinya bertambah, ia ingin melapisi ujung
kakinya dengan mata lembing, sehingga kaki tersebut dapat di-pergunakan sebagai
senjata. "Aku memerlukan bantuan seseorang."
Paginya, dengan menyamar, Ishida Mitsunari turun
ke desa terdekat. Ia menjumpai seorang pandai besi.
"Buatkan saya kaki lembing untuk melapisi kaki
kayu ini," katanya menerangkan.
"Kenapa tidak menggunakan bahan dari karet saja?"
"Saya ingin dibuat dari baja terbaik sehingga tidak
mudah rusak. Kecuali itu, buatkan pula lapisan run-
cing di penyangga tubuhku."
"Empat puluh real."
"Tiga puluh."
"Saya lebih baik membuat pedang bila tidak dibayar
empat puluh."
"Baiklah. Saya akan membayarnya jika sudah sele-
sai." "Tiga hari lagi Tuan dapat kemari."
"Terima kasih."
Ketika akan kembali ke Kuil Muro, Ishida melihat
orang-orang berkerumun di depan sebatang pohon
kering. Ia mendekat, ingin melihat ada peristiwa apa sehingga menarik perhatian
begitu banyak orang.
Dahinya seketika berkerut ketika melihat apa yang
membuat orang-orang berkerumun. Tak lain, plakat
Shogun Nobunaga tentang sayembara perburuan Sa-
buro dan dirinya dengan hadiah seribu real. Ketika
Ishida mendekat, beberapa orang pergi dari tempat itu sambil menatapnya penuh
selidik. Satu hal yang menyelamatkan Ishida, ia kini membiarkan rambutnya te-
rurai panjang. Juga kumis serta jenggotnya. Penyama-
ran itu terbukti berhasil. Meskipun pada plakat itu
terdapat gambar dirinya, namun tak seorang pun me-
ngenalinya. Bangsat! Rupanya Nobunaga memberi harga seribu
real untuk kepalaku. Akan kubuat kepalanya tak berharga.
"Aku akan mencarinya ke Edo," kata seorang samu-
rai yang berdiri di dekat Ishida pada temannya. "Ishida seorang laki-laki kaya.
Dia tidak akan tahan hidup di hutan atau desa-desa. Satu-satunya kota yang
mungkin ia tuju hanya Edo. Di sana keluarganya berada."
"Apakah kau yakin dia menuju Edo?" temannya ber-
tanya. "Ya. Di Edo ia memiliki sejumlah teman. Kau sendiri
akan ke mana?"
"Aku akan menuju Izu. Siapa tahu dia bersembunyi
di sana." "Baiklah kalau begitu kita berpisah, mudah-mudah-
an kita dapat menemukan mereka."
Kedua samurai itu saling berjabat tangan, kemu-
dian berjalan meninggalkan tempat itu. Ishida mena-
tap mereka sambil menghela napas panjang.
Kelak aku akan membunuh mereka.
Tiga hari kemudian, Ishida menemui pandai besi.
"Sudah saya selesaikan semua," kata pandai besi
itu sambil memperlihatkan pesanan Ishida. "Sekarang
berikan dulu uangnya, baru saya berikan pesanan ini."
Secepat kilat Ishida mencabut pedang lalu menebas
tubuh pandai besi itu. Laki-laki tersebut tidak pernah menduga akan mendapat
serangan seperti itu. Ia tetap berdiri membeku ketika merasakan cairan hangat
berwarna merah membanjiri tubuhnya. Sabetan pedang
itu demikian hebat sehingga pandai besi itu tak dapat merasakan apa-apa. Saat
kesadarannya pulih, tubuhnya telah merosot, lalu terjungkal di tanah. Saat itu
is- tri pandai besi tersebut muncul dari rumahnya. Ketika melihat tubuh suaminya
terbaring berlumur darah, ia
menjerit histeris. Tetapi sebelum jeritan itu didengar orang lain, Ishida telah
menebas tubuh wanita itu dari belakang.
"Maafkan saya," kata Ishida Mitsunari sambil me-
masukkan pedangnya. "Saya terpaksa membunuh ka-
lian agar tidak ada yang tahu mengenai diriku."


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tertatih-tatih, Ishida kemudian meninggal-
kan tempat itu.
Di kuil, Ishida tersenyum lebar, bangga terhadap di-
rinya. Ia kini memiliki tiga senjata yang sangat mematikan. Pedang panjang di
tangan kanan, penyangga
kaki yang dapat berfungsi sebagai tombak, dan kaki
yang tajam mematikan.
Hujan deras mengguyur Kuil Muro, namun Ishida
tidak peduli. Kegembiraan telah mengalahkan keleti-
hannya. Ia terus berlatih, mencoba menggunakan se-
gala kemungkinan dengan kaki kirinya. Tak seorang
pun menduga, cacat itu akhirnya justru menjadi keku-
atan yang tak terduga. Rasa frustasinya seketika le-
nyap, pikirannya kini dipenuhi luapan kegembiraan
tak terkatakan. Ia gembira karena akan dapat melaku-
kan pembalasan dendam pada Saburo, dan Nobunaga!
"Aku bersumpah, akan memasuki jalan iblis untuk
membalas dendam. Akan kutumpas semua musuhku
hingga anak cucunya. Mereka akan menyadari kesala-
hannya, akan kubuat mereka meratap meminta kema-
tiannya!" *** PENGKHIANATAN BUKIT tempat persembunyian Saburo tampak lebih hi-
tam dibanding pernis yang paling hitam, sementara
gunung di kejauhan terlihat pucat seperti mika. Musim semi masih menebarkan bau
harum dan hangat. Bambu kuning dan tumbuhan wistaria menjerat kabut transparan.
Pondok bambu di lereng bukit itu terasa hangat. Te-
rutama bagi Yoshioka dan Kojiro. Kedua anak itu me-
rasa terlepas dari kesunyian. Keluarga Miyagi meneri-ma mereka dengan penuh
hormat. Mereka menanak
nasi kemudian mencarikan sayur-mayur untuk lauk.
Lelaki itu menangkap ikan dari kolam, lalu menghi-
dangkan sebagai ikan bakar yang lezat.
Natane Yoshioka dan Kojiro makan dengan lahap.
Selama ini mereka hanya makan buah-buahan dan
ikan segar, karena itu suguhan keluarga Miyagi mem-
buat mereka merasakan kenikmatan yang berlipat
ganda. Hanya Saburo yang mencoba menekan rasa la-
par dalam dirinya. Sebagai seorang samurai, ia tetap bersikap waspada. Betapa
pun, mereka belum tahu banyak tentang keluarga Miyagi, termasuk kesetiaannya
pada Shogun Ashikaga.
Dari keluarga itu pula, mereka mengetahui Shogun
Nobunaga telah mengeluarkan perintah pengejaran
terhadap mereka, dan Ishida Mitsunari. Pembelotan
Ishida menyebabkan Nobunaga murka, dan dia telah
memerintahkan seratus orang samurai mengejar lelaki
berkaki satu itu. Nobunaga telah menyebar plakat-
plakat di seluruh wilayah kekuasaannya berisi sayem-
bara menangkap Ishida dan Yoshioka.
"Shogun menyediakan hadiah seribu real untuk ke-
pala Yang Mulia," kata Miyazawa pada Saburo. "Bah-
kan bagi orang yang dapat memberitahukan tempat
persembunyian Anda, shogun tetap akan memberikan
hadiah itu."
"Kalau begitu kepalaku cukup berharga," seloroh
Yoshioka sambil tersenyum.
"Saya mendengar perburuan itu dilakukan sebenar-
nya karena hasutan geisha simpanan shogun Nobuna-
ga." "Siapa?"
"Kalau tidak salah namanya Naoko Yoritomo. Seo-
rang geisha dari Fujiwara yang memiliki dendam pada
Yang Mulia Ashikaga."
Yoshioka terpaksa menanggungkan dosa ayahnya.
Ia menjadi buronan karena dendam seorang geisha.
Pada saat mereka menyantap hidangan, seluruh ke-
luarga Miyagi duduk di atas tatami, lima meter dari
meja makan. Mereka menatap ketiga tamunya dengan
tatapan nanar. Tak pernah mereka bayangkan sebe-
lumnya, suatu saat bakal menjamu putra shogun Ashi-
kaga di rumahnya.
"Siapakah yang menanak nasi ini?" Natane Yoshi-
oka bertanya. "Miyagi," jawab lelaki itu bimbang. "Mohon dimaaf-
kan bila ternyata kurang enak."
"Justru saya ingin mengatakan nasi ini sangat enak.
Rasanya belum pernah saya makan nasi seenak ini."
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Apakah beras ini hasil panen sendiri?"
"Benar, Yang Mulia. Kami memiliki beberapa petak
sawah yang cukup subur."
"Sayur ini?"
"Demikian pula dengan sayur-sayuran itu. Kami
menanamnya sendiri di ladang."
"Ikan ini?"
"Kami memiliki kolam di belakang rumah. Bila Yang
Mulia menghendaki, kami dapat menangkap lagi."
"Apakah engkau ingin tambah ikannya?" Yoshioka
bertanya pada Kojiro.
"Tidak. Saya sudah kekenyangan. Rasanya tak ada
tempat lagi di perutku."
"Bagaimana kalau kita bawa pulang?"
"Ke mana?"
Yoshioka terdiam. Ia bingung menjawabnya. Sesu-
dah pertemuan dengan keluarga Miyagi, rasanya me-
reka tidak bebas lagi menggunakan gubuk di atas bu-
kit sebagai tempat persembunyian. Yoshioka kemudian
menoleh pada Saburo. Tetapi lelaki itu tak mem-
pedulikannya. "Apabila Yang Mulia berkenan, saya persilakan
menginap di sini. Kami masih memiliki dua buah ka-
mar yang kosong."
"Terima kasih, saya rasa...."
"Tidak perlu," potong Saburo cepat. "Apabila Anda
mengizinkan, kami akan berterima kasih sekali bila dibiarkan menggunakan gubuk
itu untuk sementara
waktu." "Saya merasa tidak pantas bila membiarkan Yang
Mulia tidur di gubuk itu."
"Jangan terlalu dipikirkan. Buktinya kami telah
tinggal di sana lewat satu bulan."
Ayah Miyagi membungkukkan badan hingga kepa-
lanya menyentuh lantai. "Kalau begitu, saya tak dapat menghalanginya."
Ayah Miyagi bernama Miyazawa, seorang pandai be-
si. Sudah hampir dua puluh tahun lelaki itu membuat
pedang untuk kaum samurai. Ia bekerja dibantu oleh
adiknya, Takezo, seorang lelaki bertubuh tegap dengan sinar mata mengandung
keculasan. Saat pertama ber-
temu di atas bukit, naluri Saburo mengatakan harus
bersikap hati-hati pada Takezo. Laki-laki tersebut tidak dapat dipercaya. Sikap
pendiamnya sangat mencuriga-kan. Karena itulah, Saburo terus bersikap waspada.
Beberapa kali Saburo melihat Takezo menatap Pedang
Muramasa di tangannya. Sebagai seorang pandai besi,
Takezo pasti tahu nilai Pedang Muramasa, karena itu
tatapan lelaki tersebut (bagi Saburo) mengandung ma-
rabahaya. Di depan rumah Miyazawa, terdapat tempat pembu-
atan pedang. Saburo membiarkan Yoshioka dan Kojiro
melihat bagaimana cara membuat naginata. Sebagai
calon samurai kedua anak itu memang harus me-
ngetahui rahasia di balik pedang mereka. Kedua anak
itu terheran-heran menyaksikan proses pembuatan
naginata. Pedang itu ternyata tidak dibuat dari baja yang kemudian ditempa
tipis, tetapi sekumpulan bilah-bilah baja dari berbagai tingkat ukuran yang
kemudian ditempa menjadi satu.
"Dahulu kami memang membuat pedang dari baja
tebal yang ditempa," kata Miyazawa menjelaskan. "Te-
tapi cara itu hanya dapat menghasilkan pedang kuali-
tas nomor dua. Meskipun ketajamannya tak perlu dira-
gukan, namun pedang jenis itu mudah patah. Pernah
pula kami coba mempergunakan baja lunak, tidak
mudah patah, namun jenis itu kehilangan ketajaman-
nya. Baru sesudah bertahun-tahun kami mencoba,
akhirnya menemukan cara pembuatan pedang seperti
yang sekarang kami lakukan."
Lapisan-lapisan baja dengan pelbagai tingkat keras
lunaknya ditempa bersama supaya bersatu menjadi li-
patan-lipatan logam. Lipatan itu kemudian dipa-
naskan, dilipat lagi, lalu ditempa lagi tipis-tipis. Sesudah diulang kira-kira
dua belas kali, baja itu menjadi ribuan lapisan logam keras dan lunak yang
masing- masing hanya setebal kertas. Bila salah satu sisinya diasah menjadi sisi yang
tajam, baja yang keras me-nyembul, oleh karenanya pedang itu tak mudah tum-
pul. Sedang akibat adanya baja lunak, kelenturan pe-
dang tersebut sangat luar biasa. Ia tidak mudah patah dan memiliki ketajaman
seperti pisau cukur.
"Bolehkah saya mencobanya?" Yoshioka bertanya
pada Miyazawa ketika lelaki itu menyelesaikan sebuah naginata.
"Silakan, Yang Mulia."
Yoshioka mengambil pedang itu, menimang-ni-
mangnya dengan riang. Belum pernah ia memegang
pedang sungguhan. Selama ini Saburo hanya membe-
rikan pedang kayu padanya. Pedang itulah yang mere-
ka gunakan untuk berlatih. Tapi kini, ketika ta-
ngannya menggenggam pedang sungguhan, tiba-tiba
daya hidupnya deras mengalir dalam dirinya.
Yoshioka bertanya lagi, "Dapatkah saya mencoba
ketajamannya?"
"Di belakang rumah, terdapat sebatang pohon yang
biasa kami gunakan untuk menguji pedang buatan
kami. Bila Yang Mulia berkenan, silakan mencobanya
di sana." "Di mana?"
Mereka berjalan memutari rumah itu. Di belakang
rumah tersebut memang terdapat beberapa batang po-
hon penuh luka. Natane Yoshioka mendekati sebatang
pohon yang cukup besar, kemudian ia menggenggam
gagang pedang itu selama beberapa saat, lalu dengan
menjerit, ia menebas pohon itu dengan ayunan melin-
tang. Seketika pohon itu terpotong menjadi dua.
"Benar-benar luar biasa," puji Yoshioka pada Miya-
zawa. "Bolehkah aku memilikinya?"
"Silakan bila Yang Mulia menghendakinya."
"Bolehkah saya memilikinya, Sensei?" Yoshioka ber-
tanya pada Saburo.
"Sesungguhnya belum saatnya," jawab Saburo.
"Kenapa?"
"Setiap pedang memiliki garis takdirnya sendiri. Se-
tiap samurai harus mengenal pedangnya seperti ia me-
ngenal dirinya sendiri. Karena itu saat ini lupakan lebih dulu keinginan itu,
bila nanti sudah saatnya, akan saya carikan pedang yang sesuai dengan jiwamu."
"Berapa lama saya harus menunggu?"
"Tergantung berapa lama kematangan jiwamu."
Yoshioka menyerahkan kembali pedang itu pada
Miyazawa. "Saya sesungguhnya ingin memiliki pedang itu, na-
mun karena Sensei berpandangan demikian, saya kem-
balikan pedang ini."
Miyazawa kemudian memperlihatkan cara menguji
ketajaman pedangnya. Ia mengambil sebuah ember
kayu yang cukup besar di halaman rumahnya, meng-
isinya dengan air, kemudian meletakkan pedang bua-
tannya tegak lurus di tengah ember itu.
"Untuk apa?" Yoshioka bertanya.
"Yang Mulia dapat melihat seberapa tajam pedang
buatan kami."
Takezo diminta mengambil daun pohon sakura, lalu
menebarkan di dalam ember itu. Pada awalnya, baik
Yoshioka maupun Kojiro tidak mengetahui maksud
Miyazawa. Namun semenit berikutnya, mereka me-
mandang pedang tersebut dengan perasaan takjub. Be-
tapa tidak, angin yang berhembus menggerakkan daun
sakura menyentuh sisi tajam pedang itu, daun-daun
tersebut terbelah menjadi dua.
Natane Yoshioka berseru takjub, "Wow, luar biasa!"
"Benar-benar setajam pisau cukur," sahut Kojiro pula.
"Apa jadinya bagi tubuh samurai yang tertebas pe-
dang ini?"
"Dia akan terbelah dua, Yang Mulia," kata Takezo
bangga. "Sangat mengerikan!"
Saburo hanya membisu. Ia membiarkan kedua anak
itu mengagumi pedang Miyazawa.
"Apakah aku tetap belum boleh memilikinya?" Yo-
shioka bertanya pada Saburo.
"Sekarang belum saatnya."
"Bukankah seorang samurai lebih baik memiliki pe-
dang sejak dini?"
"Tidak harus demikian. Pedang, seperti juga senjata
lain, sesungguhnya bermakna ganda. Dapat menjadi
suatu alat bela diri atau sebaliknya menjadi alat keja-hatan. Karena itu seorang
samurai harus memahami
lebih dulu filosofi kehidupannya sebelum dia memba-
wa pedang di pinggangnya."
"Apakah saya belum mengerti filosofi itu?"
"Masih dibutuhkan waktu untuk menyempurnakan-
nya." "Saya merasa sudah tidak sabar untuk segera me-
milikinya."
"Ingatlah, kesabaran adalah titik awal dari setiap
kemenangan. Bukankah Soen Tzu mengatakan begi-
tu?" Yoshioka mendengus.
"Percayalah, Yoshioka-san, akan tiba saatnya bagi-
mu memiliki sebuah pedang yang baik."
Natane Yoshioka agak kesal, namun ia tidak ingin
memaksakan kehendaknya. Sesudah dua bulan hidup
bersama Saburo dan Kojiro, dalam dirinya tumbuh
penghargaan yang tinggi terhadap samurai itu. Meski-


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun kadang bersikap kasar, namun Yoshioka tahu hati
lelaki tersebut baik. Lebih dari itu ia selalu bersikap tulus terhadapnya. Karena itu Yoshioka mencoba
menghargainya. Pada sore hari, menjelang matahari terbenam, Sa-
buro mengajak Yoshioka dan Kojiro naik ke atas. Dia
merasa lebih aman tinggal di gubuk kosong itu. Miya-
zawa dan isterinya mencoba mencegah, namun Saburo
tetap pada pendiriannya.
"Biarkan mereka belajar hidup sebagai shugyosa,"
kata Saburo pada Miyazawa. "Karena itulah garis hidup mereka.
*** Malam harinya, ketika tinggal berdua, Takezo berkata
pada Miyazawa. "Bagaimana kalau kita bunuh mereka?"
"Kau gila! Samurai itu telah mengalahkan Ishida Mi-
tsunari, kita bukan tandingannya."
"Lalu?"
"Bertarung dengannya sama dengan membiarkan
diri mati konyol."
"Apa sebaiknya kulaporkan pada Shogun Nobuna-
ga" Kalau mereka berhasil disergap, kita akan mempe-
roleh hadiah besar. Seribu real akan membuat kita
kaya raya."
"Bagaimana kalau pasukan Nobunaga gagal me-
nyergap mereka?"
"Itu bukan urusan kita."
"Samurai itu pasti akan kembali untuk memenggal
kepala kita."
Takezo terdiam. Ia menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Kata-kata Miyazawa benar, kalau
sampai ketiga orang itu lolos dari penyergapan, bukan mustahil mereka akan
kembali untuk membalas dendam. Tetapi hadiah seribu real terus mengganggunya.
"Mereka sekarang berada di atas bukit," akhirnya
Takezo berkata penuh tekanan. "Jika tentara Nobuna-
ga mengepung dari tiga penjuru, mereka tak mungkin
lolos. Di belakang mereka hanya ada jurang. Kukira
pengepungan itu pasti berhasil."
"Bagaimana kalau gagal?"
"Tidak akan gagal."
"Belum tentu. Buktinya selama ini hampir seribu
samurai mengejar mereka, tetapi tak seorang pun ber-
hasil menemukan tempat persembunyiannya."
"Justru itulah, kita harus melaporkannya. Kalau ti-
dak, kita dapat disalahkan oleh Shogun Nobunaga. Ka-
lau kita dituduh menyembunyikan ketiga orang itu,
matilah kita."
"Kita tidak menyembunyikannya."
"Tetapi gubuk itu milik kita. Kita tak mungkin me-
nolak tuduhan mereka."
Ganti Miyazawa yang terdiam. Ia menyadari kebena-
ran kata-kata adiknya. Tiba-tiba ia merasa bimbang.
Bila ia tidak melaporkan, seluruh keluarganya dapat
ditumpas oleh Nobunaga jika ketahuan Saburo ber-
sembunyi di rumahnya. Tetapi bila pengepungan itu
gagal, ia yakin Saburo akan datang untuk memenggal
kepalanya. Keduanya adalah dilema. Sulit memilih sa-
lah satu tanpa menghadapi risiko.
Ketika melihat kakaknya gelisah, Takezo segera ber-
kata, "Serahkan semua padaku. Biar aku yang berang-
kat ke Kamakura. Aku akan mencoba meyakinkan
Shogun, agar mengirimkan pasukan sebanyak-banyak-
nya. Penyergapan itu, bagaimana pun, tak boleh gag-
al." "Kau berani menanggungkan risikonya?"
"Kenapa tidak" Hidup ini memang penuh risiko, ke-
napa aku harus takut menghadapinya?"
"Aku takut...."
"Kenapa mesti takut, kita berada di wilayah Kama-
kura, demikian banyak samurai di sekeliling kita. Mereka semua mencari Saburo.
Hanya dengan secuil in-
formasi, mereka pasti akan membantu kita. Kecuali
itu, seribu real bukan jumlah sedikit. Kita dapat membeli rumah di Kamakura,
atau pindah ke Edo. Di sana
kita dapat hidup aman."
"Saburo Mishima bukan samurai sembarangan. Dia
dulu seorang panglima perang...."
"Apa artinya seorang panglima perang dibanding se-
ribu samurai bersenjata. Tidak ada kemungkinan dia
dapat menang."
"Kau yakin?"
"Yakin seyakin-yakinnya."
"Terserah kalau begitu. Kapan kau akan berang-
kat?" "Malam ini juga. Semakin cepat aku sampai di Ka-
makura, kurasa akan semakin baik. Besok aku akan
kembali dengan pasukan Nobunaga."
*** PENGEPUNGAN SABURO MISHIMA tersentak bangun. Tiba-tiba naluri-
nya yang tajam mengisyaratkan adanya bahaya. Seba-
gai samurai ia sangat terlatih. Indra keenamnya selalu memberi firasat bila
sesuatu akan terjadi. Dan biasanya, firasat itu selalu terjadi.
Sejak pertemuannya dengan Miyagi, naluri Saburo
mengatakan akan adanya bahaya. Keluarga pandai be-
si itu tidak dapat dipercaya, terutama Takezo. Sorot mata lelaki tersebut
mengisyaratkan kelicikan.
Saburo melihat Natane Yoshioka dan Kojiro masih
lelap. Dengan hati-hati ia berdiri sembari mengambil pedangnya. Ia melangkah
pelan-pelan. Lewat celah
dinding gubuk itu, Saburo mengintai keluar. Tidak ada siapa-siapa. Di luar tetap
sepi. Malam masih gelap.
Keadaan di luar hanya diterangi cahaya rembulan. Sa-
buro mencoba mempertajam pendengarannya. Dalam
suasana gelap, ia terbiasa mengandalkan telinganya.
Saburo meletakkan pedangnya, kemudian mem-
bungkuk, menempelkan telinganya di tanah. Dadanya
seketika berdebar-debar. Detak jantungnya serasa
berhenti berdenyut. Ia mendengar derap kaki ratusan
jumlahnya. Tanpa berpikir panjang lagi ia memba-
ngunkan Yoshioka dan Kojiro.
"Bangun. Kalian harus bangun!" Saburo berbisik
sambil menggoyang tubuh keduanya.
"Ada apa?" Natane Yoshioka bertanya sambil me-
ngerjap-ngerjapkan mata.
"Saya masih mengantuk," sambung Kojiro karena
tidurnya merasa terganggu.
"Seseorang mengkhianati kita," kata Saburo berbi-
sik. "Mereka sekarang mengepung kita."
"Siapa?"
"Tentara Nobunaga."
Yoshioka kaget, "Nobunaga?"
"Ya. Mereka sekarang sedang bergerak kemari. Ada
kira-kira tiga ratus prajurit sedang mendaki bukit ini."
"Tiga ratus" Bagaimana Sensei tahu?"
"Dari langkah mereka yang terdengar."
Kojiro bertanya, "Siapa yang mengkhianati kita?"
"Satu di antara dua pandai besi itu."
"Pasti Takezo," kata Kojiro geram. "Saya tidak me-
nyukainya sejak pertama kali bertemu."
"Soal siapa yang mengkhianati kita, tak usah dibi-
carakan sekarang," kata Saburo. "Sekarang yang pen-
ting kita mencari jalan keluar untuk lolos dari kepungan mereka."
"Bagaimana caranya?"
"Saya akan menuruni bukit untuk mengetahui se-
berapa besar kekuatan mereka. Kalian tunggu di sini.
Nanti setelah tahu jumlah musuh, kita baru bisa me-
mastikan harus berbuat apa."
"Baiklah, kami akan menunggu."
Saburo Mishima pelan-pelan berdiri. Ia berbalik, la-
lu bergegas pergi. Natane Yoshioka berpaling pada Kojiro, keduanya tampak
tegang. "Akan kupenggal kepala Takezo kalau kita dapat lo-
los dari pengepungan ini," kata Yoshioka penuh kebencian.
"Sejak awal aku sudah tidak menyukainya," sahut
Kojiro geram. "Benar-benar kurang ajar!"
"Akan kubunuh seluruh keluarganya kalau terbukti
mereka berkhianat."
"Kenapa seluruh keluarganya?"
"Mereka harus menanggungkan semua akibat
pengkhianatannya."
"Bagaimana kalau hanya Takezo yang mengkhianati
kita?" "Aku tidak peduli. Akan kupenggal kepala mereka
sebagai contoh bagi orang yang mengkhianati Ashika-
ga." "Juga Miyagi?"
Yoshioka seketika berpaling pada Kojiro. "Kenapa
dengan Miyagi?"
"Dia tak mungkin mengkhianati kita."
"Bagaimana kau tahu?"
"Dia gadis yang baik."
"Kau jatuh cinta padanya?"
Kojiro gelagepan untuk menjawab.
"Kau pasti sedang jatuh cinta," kata Yoshioka meng-
goda. Kojiro memerah wajahnya. Ia lalu bergegas mengin-
tip keadaan di luar lewat lubang pada dinding. Yoshi-
oka tersenyum mengerti.
Saburo berlari menuruni bukit. Ia mencari tempat
yang dapat untuk melihat hutan di bawahnya. Seketi-
ka hatinya terkesiap, pada jarak kira-kira tujuh ratus meter di bawahnya, ia
melihat ratusan tentara Nobunaga tengah mendaki bukit itu. Puluhan orang di
antaranya membawa obor, sehingga tempat di sekitarnya
terang benderang. Api obor itu bergerak-gerak tertiup angin, mirip lidah ular
naga. Setiap pembawa obor, di punggungnya terdapat bendera warna merah, lambang
keshogunan Nobunaga.
Derap kaki tentara itu terasa menggetarkan tanah
di sekitarnya. Mereka mendaki bukit dalam formasi
yang sangat rapat, sehingga mustahil Saburo dapat
bersembunyi. "Gila!" desis Saburo marah. "Rupanya Nobunaga ti-
dak ingin memberi kesempatan padaku."
Seorang laki-laki yang memimpin penyergapan itu
berteriak-teriak memberi aba-aba. Pakaiannya yang
berlapis besi berkilauan tertimpa sinar rembulan.
Saburo tak ingin membuang waktu, ia segera berlari
ke arah utara, mencari jalan untuk lolos. Harapannya sia-sia. Di lereng bukit
sebelah utara, tampak ratusan tentara panah tengah merayap mendaki bukit. Obor
yang dibawa untuk menerangi jalan menjadikan lereng
bukit itu seperti hutan terbakar.
"Sial!" Saburo mengumpat.
Menurut perkiraannya, ada sekitar dua ratus tenta-
ra panah memenuhi lereng bukit itu. Mereka terus
bergerak seperti semut api. Meskipun formasi mereka
tidak serapat tentara yang mendaki lereng bukit dari arah Barat, tetapi seperti
biasa, pasukan panah ini
bergerak berlapis-lapis. Rasanya sangat mustahil da-
pat menembus pertahanan mereka.
Saburo menyesal, kenapa membiarkan dirinya ter-
perangkap seperti saat ini. Coba seandainya ia mengikuti nalurinya yang memberi
isyarat bahaya ketika melihat sinar mata Takezo, mereka tak akan terperangkap
dalam bahaya. Seperti seekor harimau dikepung pemburu, Saburo
menggeram, menyesali kebodohannya. Ia kemudian
berlari ke arah Selatan, mencoba mencari kemungki-
nan untuk meloloskan diri. Kenyataannya justru lebih buruk. Di sebelah selatan,
ratusan samurai bergerak
mendaki bukit dengan pedang terhunus. Meskipun
jumlah mereka tidak sebanyak tentara panah, tetapi
Saburo tahu kaum samurai itu jauh lebih berbahaya
dibanding yang lain. Mereka adalah pendekar-pen-
dekar pedang Yagyu yang menjadi kekuatan utama
tentara Nobunaga.
Saburo mendesis. Dadanya tambah berdebar-debar.
Ia kemudian berlari kembali ke gubuk. Natane Yoshi-
oka dan Kojiro sudah menunggunya dengan harap-
harap cemas. "Bagaimana keadaannya?" Yoshioka bertanya tak
sabar. "Sangat buruk," jawab Saburo. "Mereka telah me-
ngepung bukit ini. Barisan mereka sangat rapat, se-
hingga mustahil kita dapat menerobos kepungan me-
reka. Sepertinya tidak ada peluang untuk meloloskan
diri." Kojiro berkata, "Kalau begitu kita lawan mereka...."
"Ada hampir empat ratus tentara di sana," kata Sa-
buro sambil menunjuk hutan di bawahnya. "Kita ha-
nya bertiga, rasanya tak mungkin melawan mereka."
"Lantas?"
"Kita harus tetap mencari jalan keluar."
"Bagaimana caranya?"
Saburo diam. Otaknya berpikir keras. Satu-satunya
jalan hanya berlari ke arah Timur. Meskipun ia tahu
akan berhadapan dengan jurang menganga, tetapi itu
merupakan satu-satunya pilihan. Dalam hati Saburo
berpikir, sambil mundur ia akan mencari jalan keluar.
Sesungguhnya keadaan tidak akan serumit saat ini
bila saja ia sendirian. Tetapi kini ada dua anak yang harus ia lindungi. Satu di
antaranya putra shogun
yang harus ia bela meski nyawa taruhannya.
"Kita lari ke Timur," katanya pada Yoshioka dan Ko-
jiro. Yoshioka meragukan keputusan Saburo, "Di bela-
kang kita hanya ada jurang."
"Barangkali itu satu-satunya jalan keluar."
"Saya lebih baik mati karena melawan mereka di-
banding harus lari sebagai seorang pengecut."
"Kita menghadapi lawan yang tak seimbang, lari me-
rupakan salah satu siasat untuk memenangkan per-
tempuran. Saya memang belum tahu apakah dengan
lari kita dapat selamat, tetapi paling tidak, itulah jalan satu-satunya yang


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat kita tempuh. Kalian masih
ingat ajaran Soen Tzu?"
Kojiro berkata, "Bila kita tidak mungkin menang, ki-
ta harus menghindari pertarungan."
"Benar. Itu satu-satunya jalan."
Natane Yoshioka menatap tajam mata Saburo. Mes-
kipun sebenarnya ia tidak menyetujui jalan pikiran-
nya, namun ia tak ingin melawan kemauan lelaki itu.
Saburo berpaling pada Kojiro, kemudian muncul se-
buah gagasan yang samar-samar, namun memberi ce-
lah untuk kemungkinan menyelamatkan Yoshioka.
Apa pun risikonya, ia harus menempuh jalan samurai,
jalan pengorbanan untuk keselamatan Natane Yoshi-
oka. Apa pun wujud pengorbanan itu.
"Kojiro," suaranya mantap, meski sedikit bergetar.
"Saatnya engkau tunjukkan kesediaanmu berkorban
bagi Yoshioka-san. Maukah engkau mempertaruhkan
nyawamu untuk Yoshioka-san?"
"Apa yang harus saya lakukan?"
"Nyawamu."
"Bagaimana caranya?"
Saburo menoleh pada Natane Yoshioka, "Yoshioka-
san, saya minta engkau melepas pakaian kebesaran-
mu, dan biarkan Kojiro memakainya."
"Kenapa?"
"Saat ini, tentara Nobunaga sedang mengejar diri-
mu. Tetapi sesungguhnya, mereka tidak mengetahui
wajahmu secara pasti. Karena itu biarkan Kojiro me-
ngenakan pakaianmu. Bila sesuatu yang buruk terjadi, mereka akan memenggal
kepala Kojiro, bukan dirimu."
"Tetapi...."
"Saat ini kita tidak perlu berdebat," potong Saburo
tegas. Suaranya tegas dan bergetar. "Ada empat ratus tentara Nobunaga mengejar
kita, sebaiknya kita tak
perlu saling berbantah." Saburo kemudian berpaling
pada anaknya. "Kojiro, sadarilah bahwa engkau seo-
rang samurai sejati. Pertaruhkan nyawamu untuk ke-
selamatan Yoshioka-san. Apabila engkau tertangkap,
mengakulah bahwa dirimu adalah Natane Yoshioka.
Mereka akan memenggal kepalamu. Tetapi jangan gen-
tar, jiwamu akan masuk ke dalam sorga."
Kojiro menatap ayahnya, "Saya siap melakukan-
nya." Tanpa banyak bicara, Saburo melepas pakaian Na-
tane Yoshioka, kemudian mengenakan pada anaknya.
Sebaliknya Yoshioka mengenakan pakaian Kojiro.
Ketika sudah selesai, Saburo memberikan Pedang
Muramasa pada anaknya.
"Bawa pedang ini sebagai bukti bahwa engkau ada-
lah Natane Yoshioka. Jangan lepaskan pedang ini,
meskipun tebusannya adalah nyawamu."
"Saya berjanji tidak akan melepaskannya."
Saburo berpaling pada Yoshioka, "Mulai hari ini,
engkau harus mengaku sebagai Kojiro, apa pun yang
terjadi." "Saya berjanji."
Saburo merangkul kedua anak itu, lalu berkata
dengan suara bergetar, "Sekarang kita siap menghada-
pi mereka."
Derap kaki tentara Nobunaga semakin dekat. Ter-
dengar gemerisik pepohonan yang diinjak kaki. Juga
suara desah napas mengandung hawa nafsu membu-
nuh. Kepungan itu semakin rapat. Tak memberi celah
sedikit pun bagi ketiga orang itu untuk meloloskan di-ri. Matahari mulai
merambat ke kaki langit. Cahayanya merayap di perbukitan itu. Mereka seperti
sekumpulan pemburu yang tengah mengepung binatang buruan.
Barisan terus menerus dirapatkan, tidak membiarkan
satu celah pun yang memberi kemungkinan lolos bina-
tang buruan mereka.
Suasana terasa semakin menekan. Ketegangan ada
di mana-mana. Suasana pagi yang lembut, perlahan-
lahan berubah menjadi padang perburuan yang sangat
mencekam. Tentara Nobunaga terus mendaki bukit. Anak pa-
nah mulai dipasang di tali busurnya. Tombak-tombak
disiagakan. Sementara para samurai mencabut pe-
dang. Bilah-bilah pedang itu berkilat berkilauan tertimpa cahaya matahari. Sinar
mata mereka seakan
membeku, membangkitkan nuansa pembunuhan yang
mengerikan. (Bersambung ke buku kedua.)
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
CATATAN UNTUK PEMBACA
PEMBANTAIAN *** PENYELAMATAN *** *** *** *** PENGORBANAN *** *** TERKEPUNG DI BUKIT
*** NOBUNAGA *** *** *** PENGUSIRAN *** *** *** JALAN PEDANG *** PENGEJARAN *** *** KUIL MURO *** PENGKHIANATAN *** *** PENGEPUNGAN Pendekar Bloon 28 Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan Golok Sakti 6
^