Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 4

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 4


bertanya Mahisa Murti. "Sayang. Orang-orang y ang telah memasuki reg ol
padepokan ini tidak akan dapat kesempatan untuk keluar
lagi," jawab orang itu.
Mahisa Murti m enarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata: "Kecuali tamu."
"Ya, ya. Kecuali tamu," jawab orang itu. Lalu katanya:
"Seorang tamu tentu saja tidak akan dapat ditahan jika tamu
itu ingin pulang." "Nampaknya kami juga akan segera keluar dari padepokan
ini setelah kami bertemu dengan Kiai Nagateleng.," berkata
Mahisa Murti kemudian. Orang itu tidak menjawab. Tetapi orang itu pun kemudian
telah mengajak kelima orang itu memasuki sebuah lorong
yang sempit. Sebuah pintu yang diselarak dari luar telah
dibuka oleh seorang penjaga. Namun, demikian kelima orang
itu masuk bersama para pengiringnya, maka pintu itu telah
tertutup dan diselarak kembali.
Mahisa Murti dan saudara-saudara menjadi semakin yakin,
bahwa mereka tidak datang ke tempat y ang sebenarnya
mereka tuju. Dengan demikian maka kelima orang itu pun
menjadi semakin berhati-hati.
"Bangsal kecil ada diujung lor ong ini," berkata orang y ang
membawa mereka memasuki padepokan ini.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian
telah menyusuri lorong yang cukup panjang. Meski pun
mereka tidak sempat melihat, tetapi mereka tahu bahwa di
sebelah meny ebelah lorong itu tentu terdapat beberapa orang
yang sedang sakit. Sakit apa pun juga. Mereka yang lewat
lor ong itu mendengar suara orang yang sedang merintih.
Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak berkata sesuatu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, maka mereka
pun telah sampai di ujung lorong. Mereka melihat sebuah
pintu yang tertutup. Ketika orang y ang membawa mereka itu
mengetuk dua kali ketukan tiga kali berturut-turut, maka
pintu itu pun telah terbuka.
"Marilah. Ma suklah. Kalian telah sampai k e bangsal kecil.
Yang duduk di pendapa kecil itu adalah Kiai Nagateleng,"
berkata orang itu. Kelima orang itu pun telah m emasuki pendapa kecil y ang
disebut bangsal kecil. Beberapa orang ber senjata ada di sekitar
pendapa itu. Di pendapa itu telah terbentang tikar pandan
yang sudah tidak putih lagi. Sementara itu, agak ke tepi duduk
seorang y ang bertubuh agak gemuk, berkumis tebal dan
bermata tajam. Pada pergelangan tangannya terdapat sejenis
akar -akaran y ang berwarna hitam membelit beberapa kali.
Dengan pakaian y ang serba hitam maka orang itu nampak
menyeramkan. Orang itu duduk di arah sebuah batu hitam y ang dibentuk
persegi. Diatasnya dibentangkan kulit seekor harimau loreng
yang masih utuh. Dua orang bertubuh raksasa berdiri di belakangnya.
Keduanya mengenakan pakaian hitam y ang seram. Namun
ikat pinggang mereka terbuat dari kulit harimau loreng pula.
Selain itu ada beberapa hiasan dari kulit harimau. Justru
sama sekali tidak ada hiasan atau tanda-tanda yang
berhubungan dengan seekor naga. Tidak ada kulit ular, hiasan
berbentuk ular sejenis peralatan y ang dibuat dari kulit ular.
Tidak pula nampak ukiran berbentuk naga atau apa pun yang
mempunyai hubungan dengan naga.
"Duduk," tiba -tiba orang y ang mengantar mereka dan
selalu mempersilahkan mereka dengan ramah itu menjadi
garang. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara orang
itu membentak lagi: "Duduk. Apakah kalian tuli" "
Tetapi Mahisa Pukat y ang masih belum duduk berkata:
"Kenapa kau berubah menjadi garang" Apakah karena kau
berada di hadapan Kiai Nagateleng, lalu kau m enjadi garang"
Atau karena kami sudah berada di dalam jebakanmu" "
"Tutup mulutmu," suara orang itu menjadi tajam: "kau
sekarang harus duduk, karena kau berada di hadapan Kiai
Nagateleng." "Baiklah," Mahisa Murti y ang menjawab. Namun kemudian
ia berkata kepada orang y ang disebutnya Kiai Nagateleng.
"Kiai, aku datang untuk membawa pesan bagi Kiai bahwa
langit telah masak."
Orang y ang disebut Kiai Nagateleng itu mengerutkan
keningnya. Dengan tajamnya ia memandang Mahisa Murti
tanpa berkedip. Sementara itu Mahisa Murti berkata
selanjutnya: "Dalam pengembaraan kami, maka kami telah
bertemu dengan Kiai Patah. Pesan itu datangnya dari Kiai
Patah. Bahwa langit telah menjadi masak."
Orang y ang disebut Kiai Nagateleng itu termangu-mangu.
Namun kemudian ia berkata lantang: "Kenapa kau tiba-tiba
mengingau" Apa maksudmu dengan langit telah menjadi
masak" Dengan demikian maka y akinlah Mahisa Murti, bahwa
orang itu sama sekali bukan Kiai Nagateleng. Karena itu, maka
ia pun berkata: "Yakinkan kepada kami, bahwa kau adalah Kiai
Nagateleng. Baru kami akan duduk."
" Iblis kau," geram orang itu, "kau berani menentang
perintahku" Kau l ihat orang -orang yang dicambuk" Kau lihat
orang-orang yang terikat pada patok-patok" Kau dengar orang
yang merintih kesakitan" Nah, masih ada satu lagi yang belum
kau lihat. Orang yang terikat pada patok-patok tetapi di dalam,
belumbang." Mahisa Murti tersenyum. Katanya: "Aku tahu. Kau sengaja
membawa kami melewati orang-orang y ang terkena hukuman.
Kau bermaksud menakut-nakuti kami."
"Cukup, Sekarang kau harus duduk," geram orang itu.
Tetapi Mahisa Murti berkata: "Sudah aku katakan, aku
hanya akan duduk dihadapan Kiai Nagateleng. Orang itu sama
sekali bukan Kiai Nagateleng. Ia sama sekali tidak tahu makna
pesan y ang aku sampaikan. Langit menjadi masak."
"Kau memang sedang mengigau. Aku tidak mau mendengar
lagi igauanmu itu. Sekarang duduk," bentak orang itu.
Tetapi Mahisa Murti menggeleng, ia pun kemudian,
menjawab tegas: "Aku tidak akan duduk karena orang itu
bukan Kiai Nagateleng."
Orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan
garangnya orang itu mengayunkan tangannya ke arah wajah
Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti sudah bersiap menghadapi
kekerasan seperti itu. Karena itu, demikian tangan orang itu
terayun, maka Mahisa Murti pun telah m erendah. Kemudian
dengan marah Mahisa Murti telah membalas meny erang.
Dengan kecepatan y ang sangat tinggi Mahisa Murti telah
menyerang lambung orang itu.
Orang itu sama sekali tidak mengira. Karena itu, maka
serangan Mahisa Murti itu bukan saja mengejutkannya, tetapi
telah melemparkannya. Bahkan kemudian orang itu telah terbanting jatuh beberapa
langkah saja dari kaki orang y ang disebutnya sebagai Kiai
Nagateleng itu. Kiai Nagateleng memang terkejut. Apalagi orang y ang
terbanting jatuh itu. Lambungnya yang terkena pukulan anak
muda itu terasa bagaikan tertimpa segumpal batu padas.
Perutnya pun menjadi mual dan seakan-akan semua isinya
akan tertumpah keluar, sementara nafasny a pun menjadi
sesak. Namun tertatih-tatih orang itu pun berusaha untuk bangkit
berdiri. Giginya gemeretak oleh kemarahan y ang tidak
tertahankan. Kiai Nagateleng pun menjadi semakin marah bahwa
ternyata ada orang yang berani menghinanya. Karena itu,
maka ia pun telah memberikan perintah kepada kedua orang
raksasa y ang berdiri di belakangnya: "Tangkap orang-orang
itu. Kalau mereka melawan, maka kematian adalah
peny elesaian yang paling baik bagi mereka."
Kedua orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab. Namun
keduanya pun kemudian selangkah demi selangkah telah
mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Anak-anak muda y ang gila," geram seorang diantara
mereka: "kau tidak dapat mengelak lagi. Kau sudah menyakiti
kawanku. Karena itu, maka hukuman y ang pantas nanti harus
kau terima." "Aku tidak pernah berbuat salah. Karena itu, m aka tidak
ada hukuman yang dapat dikenakan kepadaku.," jawab Mahisa
Murti. "Kau memang harus mati," yang seorang pun menggeram.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sekadar bersiap-siap
lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera memencar.
Sementara Mahisa Pukat masih berpesan: "Hanya itu yang
dapat kalian. Tidak lebih. Bahkan jika kalian mencoba
menyerang, maka aku akan segera meny elesaikan kalian."
"Kalian akan diikat kaki dan tangan kalian. Kalian tidak
akan dapat berbuat apa-apa," geram Mahisa Murti pula.
Tetapi orang yang disebut Kiai Nagateleng itu berteriak:
"Tangkap orang itu. Cepat. Jangan sampai lolos."
"Cepat tangkap orang itu. Semua pintu regol harus ditutup.
Semua jalan keluar padepokan ini harus dapat ditutup dengan
rapat. Bukan saja pintunya, tetapi juga dijaga oleh para
petugas. Kentongan kecil siap dibawa oleh para cantrik,
sehingga dengan cepat akan dapat disebar-luaskan jika
memang t erjadi usaha untuk melarikan diri. Apalagi orangorang
y ang telah berani melawan pimpinan padepokan ini."
Tetapi Mahisa Murti menjawab: "Kami tidak akan
melarikan diri. Kami akan memaksa kau untuk membuka
pintu reg ol y ang menghadap kemanapun, jika kami sudah
berniat untuk keluar. Tetapi lebih dahulu kami akan
menangkap kalian. Semua y ang telah terjadi disini akan
menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan hukuman
kalian. Tetapi itu pun bukan aku yang akan menentukannya.
Meski pun jalan pikiran orang-orang seperti kau ini tentu akan
mengatakan bahwa siapa yang menang berhak untuk
menghukum yang kalah."
"Persetan," geram Kiai Nagateleng itu: "cepat, tangkap
mereka." Kedua raksasa itu memang sudah bersiap. Sejenak
kemudian keduanya telah mengayunkan bindi mereka
berputaran. Seorang meny erang Mahisa Murti dan seorang
lagi menyerang Mahisa Pukat.
Tetapi keduanya memang sudah bersiaga. Karena itu, maka
sejenak kemudian telah terjadi pertempuran y ang sengit.
Namun rasa-rasanya sudah menjadi jemu bagi Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat untuk berkelahi terus-menerus.
Karena itu, maka ia ingin beristirahat dengan segera. Bahkan
ia masih harus singah di padepokan Kiai Nagateleng yang
sebenarnya. Pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru.
Kedua bindi dari kedua raksa sa itu telah terayun-ayun
mengerikan. Desing anginnya tajam terasa menusuk sampai
ke tulang di belakang telinga mereka.
Namun ternyata tidak hanya kedua orang bertubuh raksasa
itu saja y ang telah bersiap. Tetapi beberapa orang cantrik
dengan cepat terus melingkari keduanya y ang sedang
berkelahi melawan dua orang anak muda y ang mengaku ingin
bertemu ingin bertemu dengan Kiai Nagateleng.
Dalam pada itu Mahesa Semu dan Wantilan pun telah
bersiap sepenuhnya. Meski pun demikian seperti yang
dipesankan oleh Mahisa Murti, bahwa mereka tidak boleh
dengan begitu saja terpancing oleh para cantrik sehingga
justru keduanya kehilangan kewaspadaan.
Dalam pada itu, maka pertempuran semakin lama menjadi
semakin garang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-henar
telah b ertempur dengan sengitnya. Dua orang y ang bertubuh
raksasa itu memang memiliki kekuatan y ang sangat besar dan
ilmu kanuragan y ang pilih tanding.
Tetapi keduanya agak terlalu lambat dibandingkan dengan
orang y ang mengaku bernama Kiai Nagateleng sendiri.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri, m emang menjadi
sangat marah, bahwa beberapa orang telah berusaha menjebak
mereka dengan maksud yang tidak jela s.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segan pula
menanyakannya, sehingga mereka dapat menentukan sikap
mereka sendiri, apa pun maksud dari orang-orang padepokan
itu. Ketika para cantrik padepokan itu m endekati arena, maka
Mahisa Semu dan Wantilan pun tidak dapat hanya sekedar
berdiam diri. Bagaimana pun juga, mereka memang harus
terlibat langsung. Tetapi untuk beberapa saat lamanya mereka masih
menunggu. Jika para cantrik itu melibatkan diri, maka mereka
pun harus ikut melibatkan diri pula. Bahkan Mahisa Amping
pun telah berdesis: "Apakah kita tidak ikut" "
"Sst," desis Mahisa Semu "kau harus meny esuaikan dirimu.
Tetapi bukan berarti bahwa kau harus ikut bertempur."
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia mempunyai
luwuk kecil untuk bertempur.
Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur
melawan dua orang raksasa y ang dianggap oleh orang yang
mengaku Kiai Nagateleng itu akan dapat meny elesaikan tugas
mereka dengan baik dan dengan cepat, sehingga orang yang
telah berani menghinanya itu akan dihukum berat.
Biasanya maka kedua orang raksasa itu memang tidak usah
turun tangan. Tetapi menilik sikap dan key akinan diri dari
anak-anak muda y ang datang itu, maka orang yang mengaku
Kiai Nagateleng itu sudah m emerintahkan kepada keduanya
untuk mengambil tindakan.
Namun kedua orang bertubuh raksasa itu tidak segera
berhasil. Bahkan kedua anak muda itu telah m elawan dengan
cara yang sangat meyakinkan.
Setelah beberapa lama mereka bertempur, maka orang y ang
mengaku Kiai Nagateleng itu menjadi semakin tidak sabar
lagi. Dengan lantang ia pun berteriak: "Jika keduanya sulit
untuk ditangkap, maka kalian dapat langsung membunuhnya."
Kedua raksasa itu menggeram. Mereka pun telah
meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan sampai ke
puncak. Mereka memang ingin segera menyelesaikan
pertempuran itu.

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi sambil bertempur Mahisa Murti bertanya: "Apa
salah kami sehingga kalian ingin membunuh kami" "
"Persetan dengan kau," geram raksasa y ang m elawannya,
"kau telah berani membantah dan bahkan menghina Kiai
Nagateleng dengan sikap kalian terhadap salah seorang
kepercayaannya." "Tetapi kenapa kami telah ditemuinya di kedai itu dan
dibawa ke padepokan ini, y ang aku y akin bahwa padepokan ini
bukan padepokan Kiai Nagateleng."
"Jangan mengigau," geram raksasa itu: "ini memang
padepokan Kiai Nagateleng.
"Jangan bohongi kami," sahut Mahisa Murti, "orang y ang
kau sebut Kiai Nagateleng itu tidak mampu memecahkan
pesan sandi Kiai Patah. Berarti orang itu bukan Kiai
Nagateleng yang sebenarnya."
"Persetan dengan igauanmu," geram raksasa itu, "siapa pun
yang kalian hadapi, tetapi kalian sudah terlambat untuk
mohon ampun. Kalian akan mati disini tanpa arti apa pun
juga." Tetapi y ang terjadi justru sebaliknya. Mahisa Murtilah y ang
menghentakkan ilmunya sehingga lawannya y ang bertubuh
raksasa itu terkejut. Beberapa langkah ia meloncat surut.
Sementara Mahisa Murti m emburunya sambil berkata: "Seisi
padepokan ini memang harus dimusnahkan."
Rak sasa itu akan m enjawab, tetapi serangan Mahisa Murti
justru datang membadai. Bindi raksasa itu berputaran untuk m elindungi tubuhnya.
Namun raksasa itu tidak berday a ketika pedang Mahisa Murti
pun terayun-ayun pula mengerikan. Ketika t erjadi benturan
dengan bindi itu, maka Mahisa Murti tidak mempergunakan
ilmunya y ang lunak yang meny erap kekuatan lawan atau
ilmunya y ang mampu menghisap tenaga lawannya, tetapi
Mahisa Murti y ang marah itu telah mempergunakan ilmunya
dalam ujudnya yang keras.
Karena itu, maka telah terjadi satu benturan yang sangat
keras. Bindi raksasa itu ternyata tidak mampu dipertahankan.
Meski pun bindi itu merupakan senjata andalan yang kuat dan
untuk waktu yang lama m enjadi senjata kebanggaan raksasa
itu, tetapi membentur pedang Mahisa Murti dalam ilmunya
yang keras, telah terpental dari tangannya.
Rak sasa itu mengumpat habis-habisan. Sementara itu
Mahisa Murti telah berkata: "Bersiaplah untuk mati."
Namun orang y ang m engaku Kiai Nagateleng itu berkata
lantang kepada para cantrik: "Bunuh orang itu."
Mahisa Murti y ang memburu kedua raksasa itu terhenti
karena beberapa orang yang meloncat naik sambil
mengacukan ujung tombak, sehingga Mahisa Murti terpaksa
mengelak. Sementara itu raksasa itu telah merampas sebuah t ombak
pendek dari para cantrik yang telah melibatkan, diri itu. Bukan
sa ja membantu raksasa y ang telah bertempur melawan Mahisa
Murti, tetapi juga yang telah bertempur melawan Mahisa
Pukat. Tetapi Mahisa Pukat ternyata telah m empergunakan ilmu
yang berbeda dari Mahisa Murti. Mahisa Pukat telah
mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan
lawannya. Karena itu, maka Mahisa Pukat itu pun kemudian bagaikan
telah mengamuk. Serangannya mengarah kepada setiap orang
yang ikut bertempur melawannya.
Yang paling banyak berbenturan dengan senjatanya adalah
senjata raksasa itu. Berkali-kali senjatanya beradu dengan
senjata Mahisa Pukat. Namun bindinya itu tidak mampu
untuk segera meny elesaikan tugasnya menghancurkan kepala
anak yang dinilainya masih sangat muda itu.
Tetapi untuk mengalahkan Mahisa Pukat memang tidak
mudah. Bahkan kemudian terasa keletihan mulai
mencengkam tenaga orang bertubuh raksasa itu.
Dalam pada itu, Mahisa Semu dan Wantilan pun telah
terlibat pula dalam pertempuran itu. Beberapa orang cantrik
justru telah meny erang mereka pula.
Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi
semakin luas. Mahisa Murti dengan keras telah mengacaukan
kepungan lawan-lawannya. Bahkan orang bertubuh raksasa itu
seakan-akan semakin tidak berdaya. Ketika ia meny erang
Mahisa Murti dengan tombak y ang diambilnya dari seorang
cantrik, maka kemarahan Mahisa Murti y ang tidak
tertahankan lagi telah mematahkan tombak itu dengan
pedangnya y ang khusus. Pedang yang jarang ada duanya.
Sementara itu, Mahisa Pukat ju stru telah meloncat ke
halaman dan berteriak lantang: "Marilah. Siapa yang ingin
mati lebih dahulu?" Orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu pun
berdiri termangu-mangu. Ia melihat orang-orang yang datang
itu t idak seperti beberapa orang y ang pernah datang
sebelumnya. Tetapi orang-orang ini adalah orang-orang yang
memang berilmu tinggi. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti telah m elihat sesuatu
yang sangat menarik perhatiannya. Ia melihat beberapa orang
cantrik yang melihat pertempuran itu dengan wajah yang
penuh keragu-raguan. Ketika kedua orang bertubuh raksasa serta beberapa orang
cantrik y ang bertempur itu tidak segera menyelesaikan
pekerjaan m ereka, maka orang y ang meny ebut dirinya Kiai
Nagateleng itu pun berteriak: "Cepat. Selesaikan orang ini. He,
para cantrik. Kali ini adalah saatnya kalian menunjukkan
kesetiaan kalian kepada padepokan ini."
Beberapa orang cantrik memang dengan serta m erta telah
menyerang keempat orang itu. Namun Mahisa Amping yang
semula hanya berdiri tegang, tiba -tiba harus m embela dirinya
ketika seseorang ingin menangkapnya.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun menjadi semakin
garang. Ia berloncatan meny erang orang-orang yang
mengepungnya. Pedangnya berputaran dengan cepatnya.
Namun setiap kali telah mematuk dan m embentur senjatasenjata
yang teracu di sekitarnya.
Orang bertubuh raksasa yang melawan Mahisa Pukat itu
masih memegang bindinya. Beberapa kali bindinya telah
membentur pedang Mahisa Pukat. Namun bindi itu semakin
lama justru terasa menjadi semakin berat.
Ketika para cantrik y ang bertempur itu menjadi semakin
bingung m enghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meski
pun diantara mereka terdapat dua orang raksasa yang
dianggap memiliki kekuatan y ang sangat besar itu, maka orang
yang disebut Kiai Nagateleng itu pun telah bersiap-siap untuk
melibatkan diri. Namun ternyata pertempuran itu t elah m enarik perhatian
seisi padepokan itu. Para cantrik y ang ada di bagian lain dari
padepokan itu pun telah berlari-lari m enuju ke bangsal kecil
itu. Tetapi sementara itu, ternyata Mahisa Murti telah m elihat
satu kemungkinan yang lain. Ketika lawannya menjadi
semakin banyak, maka ia pun telah bertempur semakin keras.
Bahkan tiba -tiba saja Mahisa Murti itu pun berteriak:
"Marilah, siapa yang ingin menunjukkan kesetiaannya kepada
padepokan ini" Siapakah y ang merasa menjadi m urid yang
mendapat perlakuan sebagai lay aknya murid sebuah
padepokan" Siapakah yang tidak diperlakukan sebagai budak
yang tidak berharga, lawan kami. Tetapi siapa y ang merasa
diperlakukan lebih rendah dari seekor binatang, sekarang
adalah kesempatan bagi kalian untuk menunjukkan harga diri
kalian." Suara Mahisa Murti y ang lantang itu terdengar oleh para
cantrik yang telah memenuhi setiap ruangan di sekitar bangsal
kecil itu. Sementara itu, Mahisa Semu y ang mendengar suara Mahisa
Murti itu tiba -tiba saja telah mempunyai pikiran tersendiri.
Sekilas ia melihat Mahisa Amping y ang berhasil melepaskan
diri dari seorang cantrik yang nampaknya telah
menyerangnya. Dengan cepat Mahisa Semu telah menarik tangan anak itu
dan berusaha keluar dari lingkaran pertempuran.
"Ke mana"," bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Semu tidak menjawab. Sementara itu Wantilan
yang melihat keduanya bergeser menjauh, menjadi cemas.
Wantilan memang mengira bahwa Mahisa Semu akan
menyingkirkan Mahisa Amping, sehingga karena itu, ia pun
telah menyusulnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang melihat keduanya
meninggalkan arena, meski pun sambil berlari-lari mereka
masih juga harus bertempur.
Baru kemudian Wantilan menyadari apa y ang akan
dilakukan oleh Mahisa Semu. Ternyata Mahisa Semu telah
menemukan jalan menuju ke tempat orang-orang yang terikat.
Bukan saja y ang terikat di patok-patok di halaman yang
dipanasi oleh terik m atahari dan di rendam derasny a hujan,
tetapi juga y ang ada di dalam bilik -bilik y ang sempit.
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 89) Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : DanHIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 89 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 089 WANTILAN yang tanggap segera melindunginya. Dengan
kemampuannya Wantilan telah menahan beberapa orang yang
mengejarnya, sementara Mahisa Semu sempat memutuskan
tali beberapa orang y ang terikat bersama Mahisa Amping.
Satu dua orang memang tidak berdaya. Tetapi ada diantara
mereka y ang masih memiliki tenaga y ang cukup.
"Bangkitlah," teriak Mahisa Semu: "kami datang untuk
menolong kalian." Orang-orang itu m emang ragu-ragu. Mereka sudah terlalu
lama mengalami nasib y ang pahit sejak mereka
berpengharapan untuk menyadap ilmu di padepokan itu.
Tetapi yang m ereka ketemukan adalah justru kesulitan dan
kesengsaraan. Mahisa Semu melihat keragu-raguan itu. Karena itu, maka
ia pun berkata: "Jika kalian tidak memanfaatkan saat ini,
maka kalian tidak akan pernah mendapatkannya. Bahkan
kalian justru akan mengalami keadaan yang lebih pahit lagi."
Tetapi Mahisa Semu tidak mempunyai waktu lebih lama. Ia
pun segera harus melawan orang-orang yang m emburunya.
Namun ia sempat berkata: "Lepaskan kawan-kawanmu.
Pergilah dari neraka ini."
Ketika Mahisa Semu kemudian bertempur melawan orangorang
yang mengejarnya, Mahisa Amping masih sempat
memutuskan tali pengikat beberapa orang sambil berkata:
"Tolong kawan-kawanmu. Ajak mereka pergi."
Orang-orang yang kemudian telah bebas dari ikatannya itu
pun masih saja ragu-ragu. Tetapi mereka menyadari bahwa
keadaan menjadi semakin mendesak. Sementara Mahisa Semu
bergeser meninggalkan arena dan berlari-lari m enjauh diburu
oleh beberapa orang cantrik. Namun nampaknya ada beberapa
para cantrik y ang mulai memperhatikan orang-orang yang
telah dibebaskan itu. "Cepat. Lepa skan kawan-kawanmu. Kau harus melawan
mereka," berkata Mahisa Amping yang juga mulai gelisah.
Kata -kata Mahisa Amping ternyata lebih menyentuh dari
kata-kata Mahisa Semu, justru karena Mahisa Amping masih
kanak-kanak. Karena itu, maka beberapa orang telah mulai
menyadari keadaan. Dengan cepat mereka berusaha untuk
melepaskan tali kawan-kawannya yang juga terikat. Bahkan
mereka pun menyadari bahwa bukan hanya mereka saja yang
terikat di padepokan itu. Tetapi di balik bilik-bilik yang lain,
terdapat juga beberapa orang yang terikat.
"Hati-hati," berkata Mahisa Amping: "ada dua atau tiga
orang cantrik y ang datang."
Orang-orang y ang ada di dalam bilik itu pun telah bersiapsiap.
Mereka memang tidak dapat berdiam diri m enghadapi
kesempatan itu. Sementara Mahisa Amping telah berusaha
untuk bersembunyi melekat dinding disebelah pintu yang
terbuka. Dengan hati-hati para cantrik itu mendekati pintu bilik.
Sementara orang-orang y ang ada di dalamnya masih duduk di
tempatnya m eski pun mereka sebenarnya sudah tidak terikat
lagi. Demikian ketiga orang cantrik itu masuk, maka Mahisa
Amping telah menyerang mereka dengan tiba -tiba dari sisi
pintu. Seorang diantara para cantrik itu terkejut ketika tiba-tiba
sebuah luwuk telah menghunjam di lambungnya.
Demikian cantrik itu terhuyung-huyung jatuh, maka orangorang
yang telah dibebaskan itu pun segera bangkit. Beramairamai
mereka menyerang dua orang cantrik y ang lain tanpa
memberi kesempatan untuk membela diri.
Meski pun orang -orang y ang terikat itu belum sempat
menyadap ilmu kanuragan, tetapi m ereka telah dibekali oleh
perasaan dendam y ang m embakar jantung, sehingga dengan
demikian maka m ereka pun telah m eny erang para cantrik itu
dengan beraninya.

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga orang cantrik yang tidak siap menghadapi keadaan
itu ternyata menjadi t idak berdaya. Mereka pun terkapar
dengan berlumuran darah. Orang-orang y ang terlepas dari ikatannya itu ternyata telah
menemukan senjata. Karena itu, maka dengan pedang yang
dirampasnya dari para cantrik itu, mereka telah berusaha
untuk memutuskan tali pengikat dinding y ang meny ekat bilik
mereka dengan bilik di sebelah. Mereka m enganggap bahwa
dengan cara itu mereka akan lebih cepat mencapai kawankawan
mereka y ang masih terikat. Jika m ereka keluar dari
bilik itu, m aka m ereka akan dapat mengundang para cantrik
yang akan dapat meny erang dan menghalangi mereka.
Sebenarnyalah, ketika ijuk pengikat dinding sudah
terputus, maka dengan mudah m ereka dapat menembus ke
bilik berikutnya. Beberapa orang pun kemudian telah
dibebaskan pula. Meski pun ada juga diantara mereka yang
tidak mampu lagi bangkit berdiri, tetapi beberapa orang lain
masih cukup mempunyai tenaga untuk berbuat sesuatu.
Ketika kemudian dinding berikutnya juga dikoy ak dengan
pedang yang tajam itu, orang-orang y ang terikat pun telah
dapat dibebaskan pula. Orang-orang itu sempat memungut apa saja y ang dapat
mereka pergunakan sebagai senjata. Jika mereka bertemu
dengan beberapa orang cantrik, maka mereka akan dapat
melawannya beramai-ramai.
Dengan demikian, m aka orang-orang itu pun telah keluar
dari bilik-bilik tahanan mereka. Tiga orang yang sempat
merampas pedang itu pun berdiri di paling depan.
Dalam pada itu, mereka pun kemudian telah merayap
sampai ke bagian lain dari padepokan itu. Beberapa orang
yang sedang berlatih di bawah ancaman cambuk memang
sedang termangu-mangu karena m ereka tidak tahu pa sti apa
yang terjadi. Sementara itu orang -orang yang melatih m ereka
sambil membawa cambuk pun agak kebingungan menghadapi
keadaan yang tidak menentu.
Namun dalam pada itu, maka orang-orang yang bebas dari
belengu mereka itu pun tiba-tiba saja telah datang meny erang.
Seorang diantara mereka berteriak nyaring: "Kita telah bebas.
Kita harus membebaskan diri."
Orang-orang y ang baru melakukan latihan di bawah
bay angan ujung cambuk itu termangu -mangu. Namun dalam
pada itu, orang-orang yang baru saja merasa bebas dari
belenggu perbudakan di padepokan itu pun telah m eny erang
para pelatih yang membawa cam buk itu tanpa peringatan
sama sekali. Dendam dan kebencian membayang di wajah
mereka y ang garang. Orang-orang yang membawa cambuk itu pun tidak sempat
mengerti apa y ang telah terjadi. Mereka m enyadari keadaan
setelah ujung pedang mematuk jantung mereka.
Tetapi semuanya sudah terlambat. Para pelatih itu pun
kemudian telah terkapar jatuh.
Orang-orang y ang sedang melakukan latihan itu pun masih
juga ragu-ragu. Karena itu, orang-orang y ang datang itu pun
telah memberitahukan apa yang telah terjadi.
"Sekelompok orang yang tidak dikenal telah membebaskan
kami," berkata seorang diantara orang-orang yang dibebaskan
itu, "sekarang, kita harus mempertahankan kebebasan ini.
Jangan disia-siakan."
Orang-orang itu pun mulai menyadari pula apa yang telah
terjadi. Satu pemberontakan dari orang-orang yang untuk
beberapa lama mengalami siksaan lahir dan batinnya. Orangorang
yang datang dengan penuh harapan untuk m enyadap
ilmu, namun telah t erjerumus ke dalam sarang peny amun
yang garang. Mereka y ang terperosok ke neraka itu telah
dirampas semua bekal y ang m ereka bawa. Kemudian dengan
latihan-latihan y ang berat dan penuh penderitaan, mereka
telah dirubah menjadi orang-orang yang kehilangan dirinya
sendiri. Orang-orang yang tidak lagi berpribadi, sehingga
mereka akan melakukan segala perintah dari orang-orang
padepokan itu. Merampok, menyamun, merampas dan
tindakan-tindakan lain y ang sama sekali tidak terbayang
sebelumnya. Namun tiba -tiba jiwa mereka terguncang lagi. Demikian
tiba -tiba. Telinga m ereka mulai mendengar kabar kebebasan
yang telah mengejutkan mereka.
Beberapa saat mereka m asih ragu-ragu. Namun tiba-tiba
sa ja mereka m endengar suara mengancam: "Siapa yang tidak
ingin ikut serta membebaskan diri, aku anggap berpihak
kepada orang-orang padepokan ini."
Ternyata ancaman itu sempat membangunkan mereka.
Mereka pun dengan serta -merta telah b erteriak sebagaimana
orang-orang y ang dibebaskan lebih dahulu.
"Kita bebas sekarang. Kita bebas."
Mereka yang sedang berlatih itu telah memiliki senjata di
tangan mereka, meski pun sangat sederhana. Parang yang
telah berkarat atau pedang y ang patah. Namun dengan senjata
itu, maka mereka akan dapat menjadi bagian dari arus banjir
bandang y ang dahsy at y ang melanda padepokan itu.
Sebenarnyalah di padepokan itu telah terjadi
pemberontakan. Orang-orang yang untuk waktu yang cukup
lama mengalami tekanan lahir dan batin, tiba -tiba saja
bagaikan ledakan y ang sangat dahsy at melanda padepokan itu.
Para cantrik yang setia kepada orang yang mengaku sebagai
Kiai Nagateleng itu akhirnya mengalami kesulitan. Orangorang
y ang berontak itu telah meny erang mereka dengan liar.
Sementara itu Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping
yang telah berhasil mengobarkan pemberontakan itu, telah
ikut pula berada diantara mereka. Mahisa Semu dan Wantilan
ternyata memiliki bekal kemampuan yang cukup. Mereka
tidak lagi berlari-lari sambil bertempur. Tetapi kawan-kawan
mereka menjadi cukup banyak.
Di bagian belakang dari padepokan itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah berbuat lebih banyak lagi. Namun mereka
masih juga belum tahu pasti maksud Mahisa Semu dan
Wantilan. Karena itu, maka m ereka pun berusaha secepatnya
menyelesaikan pertempuran itu.
Mahisa Murti y ang mempergunakan ilmunya dalam
ujudnya y ang keras telah mematahkan hampir semua senjata
lawannya. Orang yang bertubuh raksasa y ang menjadi sangat
marah, ternyata tidak berday a menghadapinya.
Karena itu, maka sejenak k emudian, maka ayunan pedang
Mahisa Murti yang tidak dapat ditahan lagi telah m enyambar
bahu orang itu. Terdengar orang itu berteriak nyaring. Bukan
sa ja karena perasaan sakit y ang menyengat, tetapi juga karena
kemarahan yang memuncak. Apalagi beberapa orang cantrik
yang m embantunya telah terlempar dari arena pertempuran.
Sebagian dari mereka tidak lagi mampu untuk bangkit lagi.
Orang bertubuh raksasa yang terluka itu seakan-akan telah
kehilangan akal. Karena itu, dengan liar ia pun telah
menyerang Mahisa Murti yang juga menjadi marah
menghadapi perlakuan orang-orang padepokan itu.
Karena itu, maka ketika raksasa yang sangat marah itu
dengan sisa tenaganya meny erangnya, maka Mahisa Murti
justru telah membenturnya. Kekuatan Mahisa Murti yang
sangat besar itu ternyata telah mengakhiri pertempuran.
Pedang Mahisa Murti tidak dapat ditahan oleh orang bertubuh
raksasa itu, sehingga bukan saja sekedar m elukainya, tetapi
pedang itu telah menghunjam sampai ke jantung.
Orang bertubuh raksasa itu terdor ong beberapa langkah.
Ketika Mahisa Murti menarik pedangnya, maka raksasa itu
pun telah roboh dan sama sekali tidak berdaya lagi untuk
bangkit. Bahkan untuk selama-lamanya.
Kematian orang bertubuh raksasa itu memang sangat
berpengaruh. Sementara itu orang y ang mengaku Kiai
Nagateleng itu pun menggeram marah. Wajahnya menjadi
merah, seakan-akan seluruh darahnya y ang mendidih telah
berkumpul di kepalanya. Orang bertubuh raksasa itu adalah orang kepercayaannya
yang harus meny elesaikan persoalan-persoalan y ang paling
gawat diantara orang-orangnya dan orang-orang lain yang
mempergunakan kekerasan. Ternyata orang itu terbunuh oleh anak muda yang semula
dikiranya tidak berdaya, sehingga telah diperlakukan seperti
orang-orang lain y ang pernah datang ke padepokan itu.
Karena itu, maka orang y ang disebut Kiai Nagateleng itu
pun kemudian telah meloncat sambil meny ibakkan orangorangnya:
"Minggir. Biar aku sendiri meny elesaikan orang
ini." Mahisa Murti bergeser surut. Ia menyadari, meski pun
orang itu bukan Kiai Nagateleng yang sebenarnya, tetapi ia
tentu seorang y ang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia pun
harus semakin berhati-hati. Meski pun orang itu tidak sebesar
dan sekuat orang bertubuh raksasa itu, namun dengan
landasan ilmunya orang itu tentu seorang y ang berbahaya.
Apalagi ketika orang itu telah mengurai senjatanya. Dua
batang tongkat besi yang dihubungkan dengan rantai yang
tidak terlalu panjang. Mahisa Murti pun kemudian telah mempersiapkan diri
sebaik-baiknya menghadapi orang itu. Karena itu, maka ia pun
telah bergeser ketempat y ang lebih luas. Mahisa Murti ingin
bertempur denga leluasa. Jika perlu dengan mempergunakan
segala macam ilmu y ang dimilikinya.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti itu pun telah
terlibat dalam pertempuran melawan orang yang disebut Kiai
Nagateleng itu. Dalam sentuhan y ang pertama, maka Mahisa
Murti telah menyadari, bahwa ternyata orang itu memiliki
ilmu yang tinggi. Kekuatan tenaga cadangannya jauh
melampaui kekuatan orang kebanyakan.
Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah meny elesaikan
lawannya yang bertubuh raksasa itu. Lawannya tidak sempat
mengetahui, kenapa ia menjadi demikian cepatnya kehilangan
tenaganya, sehingga bindiny a justru telah menjadi beban yang
sangat berat. Ketika dengan susah pay ah ia mengangkat
bindiny a, maka ujung pedang lawannya yang muda itu telah
terayun menyilang mengoy ak dadanya.
Rak sasa itu berteriak marah. Suaranya menggelegar
bagaikan mengguncang pendapa kecil itu. Namun suaranya
pun kemudian segera leny ap bagaikan disapu prahara.
Rak sasa itu jatuh terjerembab. Sekali ia menggeliat. Namun
kemudian nafasnya pun terputus di kerongkongan.
Kematian kedua orang raksasa itu telah menggoy ahkan
keberanian para cantrik di padepokan itu. Meski pun mereka
masih juga bertempur melawan Mahisa Pukat, namun jantung
mereka terasa menjadi semakin keriput.
Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah karena
perlakuan orang y ang telah mencoba menjebaknya. Karena
itu, ketika orang itu juga memasuki arena pertempuran, maka
sa saran utamanya adalah orang itu.
Mahisa Pukat memang tidak memerlukan waktu terlalu
lama. Beberapa kali terjadi sentuhan senjata, maka orang itu
pun seakan-akan telah tidak berdaya lagi. Ternyata daya tahan
orang itu terlalu lemah, m eski pun ia memiliki kemampuan
dan menguasai berbagai macam unsur gerak y ang rumit.
Karena itu, m aka beberapa saat kemudian, orang itu pun
tidak m ampu lagi m elawan dengan baik serta mengimbangi
kecepatan gerak Mahisa Pukat, sehingga sejenak kemudian,
maka ujung pedang Mahisa Pukat pun telah membelah
lambungnya. Terdengar orang itu berteriak ny aring. Namun kemudian
orang itu pun telah jatuh terguling. Tidak seorang pun yang
akan mampu menolongnya lagi.
Demikianlah, maka para cantrik yang berada dipadepokan
itu dengan sadar, telah m enjadi semakin cemas m enghadapi
keadaan. Apalagi ketika gelombng pemberontakan mulai
terasa. Beberapa orang berlari-lari memasuki bagian dari
padepokan itu y ang disebut bangsal alit. Mereka berlari -lari
seperti orang yang sedang mabuk sambil mengayunngayunkan
senjata mereka. Ketika para cantrik menyadari keadaan, maka jumlah
orang-orang itu pun telah menjadi semakin banyak. Bahkan
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun berada
diantara mereka. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat m ereka,
maka barulah m ereka menyadari sepenuhnya apa y ang telah
terjadi. Agaknya Mahisa Semu tanggap akan kata-katanya
sehingga bersama Wantilan dan Mahisa Amping, mereka telah
mampu menggugah kesadaran orang-orang yang untuk
beberapa lama terbelenggu. Lahir dan batinnya.
Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun m enggeram:
"Setan. Kalian telah menggangu. ketenangan padepokanku.
Tidak ada hukuman y ang pantas daripada hukuman mati."
Mahisa Murti sempat juga menjawab: "Kau telah menjebak
puluhan orang ke dalam padepokanmu dengan memalsukan
nama Kiai Nagateleng. Sekarang saatnya sudah tiba, bahwa
padepokan ini harus dimusnahkan. Bukan kebiasaan kami
menghancurkan padepokan seseorang. Tetapi karena tempat
ini justru m enjadi sarang kejahatan y ang terselubung, yang
justru menjadi sangat berbahaya.
Kiai Nagateleng y ang bukan sebenarnya itu menjadi
semakin marah. Suaranya melengking tinggi: "Kau terlalu
sombong. Tetapi kau harus menghadapi keny ataan yang
barangkali tidak kau harapkan. Kau akan mati disini."
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, m aka pertempuran pun telah m embakar
seluruh padepokan. Orang-orang yang dibebaskan dari
belenggu y ang mengikat mereka lahir dan batin itu pun benarbenar
telah memuntahkan dendam mereka.
Dengan garangnya mereka telah meny erang para cantrik
yang setia kepada orang yang mengaku Ki Nagateleng itu.
Betapa pun para cantrik itu ditakuti sebelumnya, namun
ketika dendam itu meledak, maka m ereka sama sekali tidak
berday a. Apalagi dua orang raksasa y ang menjadi hantu di
padepokan itu telah terbunuh.
Pertempuran m emang telah t erjadi di m ana-mana. Tetapi
kemudian seakan-akan berpusat di sekitar bangsal kecil itu.
Mahisa Pukat y ang telah membunuh orang bertubuh
raksasa itu, masih harus melawan sekelompok cantrik yang
semakin lama semakin menjadi ragu-ragu melihat orangorang
y ang mengamuk itu siap menyerang mereka pula.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka
harus berusaha untuk melindungi diri mereka. Tidak seorang
pun cantrik y ang mendapat kesempatan untuk hidup jika
mereka jatuh ke tangan orang-orang yang mendendam itu.
Karena itu m aka mereka memang tidak mempunyai pilihan
lain kecuali mati namun sambil membunuh lawan-lawan
mereka. Tetapi itu pun sulit mereka lakukan. Sehingga ada beberapa
orang cantrik yang lebih baik memilih menghindar dari
pertempuran. Ternyata memang ada beberapa orang cantrik yang berhasil
melarikan diri dengan m eloncati dinding padepokan itu dan
berlari menjauhi melintas pematang dan lorong -lorong
sempit. Namun demikian, sebagian besar dari mereka, benar-benar
telah jatuh ke tangan orang-orang yang dendamnya telah
membakar jantung. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun telah b ertempur
melawan orang y ang meny ebut dirinya Kiai Nagategelng.
Orang yang meny ebut dirinya Ky ai Nagateleng, yang
menyadari bahwa Mahisa Murti memiliki ilmu yang tinggi itu,
ternyata tidak berusaha untuk menjajagi ilmunya. Beberapa
lama ia sudah memperhatikan Mahisa Murti bertempur
dengan keras dan berhasil membunuh orang bertubuh raksasa
yang menjadi kepercayaannya. Tetapi orang yang m eny ebut
dirinya Kiai Nagateleng itu langsung bertempur dalam tataran
ilmunya yang tertinggi. Sebenarnyalah ia ingin dengan cepat
menyelesaikan anak muda y ang sangat berbahaya itu. Apalagi
ia sadar, bahwa jika ia terlambat, maka orang-orangnya pun
akan dihabiskan oleh mereka yang telah memberontak, Orang
itu, setelah membinasakan anak-anak muda y ang datang dan
membuat onar di padepokannya, maka ia pun harus
menguasai kembali orang-orang y ang memberontak itu.
Menghukum mereka dengan hukuman yang seberat-beratnya.
Bahkan sebagian dari mereka memang harus dihukum sampai
mati. Tetapi ternyata Mahisa Murti memang memiliki ilmu y ang
sangat tinggi. Karena itu, maka orang yang menyebut dirinya
Kiai Nagateleng itu tidak segera mampu mengalahkannya.
Dengan demikian, maka orang yang menyebut dirinya Kiai
Nagateleng itu pun telah meningkatkan ilmu sampai ke
puncak. Dengan demikian, maka orang itu menjadi sangat
berbahaya dengan kemampuannya bergerak sangat cepat.
Tubuhnya seakan-akan tidak lagi berjejak di atas tanah.
Kakiny a berloncatan membawa tubuhnya menyambarnyambar.
Ilmunya meringankan tubuh ternyata telah mampu
membuat Mahisa Murti kadang-kadang kehilangan arah.
Namun Mahisa Murti y ang bertempur dengan keras itu
sekaligus telah mempergunakan ilmunya y ang mampu
menghisap ilmu lawannya sehingga lawannya itu akan banyak
kehilangan kekuatan dan kemampuannya.
Demikianlah, m aka dengan mengerahkan segenap tenaga
cadangan di dalam dirinya, Mahisa Murti berusaha untuk
mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Meski pun
kadang-kadang Mahisa Murti harus berloncatan mengambil
jarak. Namun dengan demikian, orang yang meny ebut dirinya
Kiai Nagateleng itu tidak mampu untuk segera mengalahkan
Mahisa Murti sehingga ia tidak dapat dengan cepat menolong
cantrik -cantriknya yang setia kepadanya. Mereka benar-benar
telah dilanda arus dendam y ang tidak terbendung lagi. Meski
pun ada satu dua diantara mereka y ang sempat melarikan diri,
tetapi hampir semua cantrik di padepokan itu telah
dimusnahkan. Namun, orang-orang y ang memberontak itu ternyata
tertegun juga melihat pertempuran antara Mahisa Murti dan
orang y ang m eny ebut dirinya Kiai Nagateleng. Mereka telah
melihat pertempuran y ang sulit mereka mengerti. Bahkan
seakan-akan mereka tidak sempat lagi melihat yang manakah
pemimpin dari padepokan itu dan y ang manakah anak muda
yang telah mengguncang kekuasaan orang yang menyebut Kiai
Nagateleng itu. Dengan garangnya maka senjata mereka pun berdentangan
beradu. Tetapi kecepatan gerak orang itu memang sangat
mengagumkan, sehingga ujung senjatanya y ang meski pun
tidak runcing itu, telah mampu mengoy ak kulit di lengan
Mahisa Murti. Bahkan tongkat pendek yang dihubungkan
dengan rantai itu rasa -rasanya telah mampu meretakkan
tulang-tulang ditubuhnya.
Beberapa kali tongkat itu meny entuh tubuh Mahisa Murti.
Jika sentuhan itu ju stru pada ujungnya, maka meski pun
ujung tongkat itu tumpul, namun mampu membuat luka di
kulit lawannya. Tetapi jika tongkat itu memukul tubuhnya,
maka sakitnya sampai ke tulang.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti benar-benar
menjadi marah. Anak muda itu telah meningkatkan
kemampuan, daya tahan dan tenaga cadangan di dalam
dirinya sampai ke puncak. Karena itu, maka ia pun m enjadi
semakin garang. Meski pun demikian, Mahisa Murti masih
belum mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya.
Tongkat lawannya itu kadang-kadang masih sempat
menembus pertahanannya. Meski pun benturan-benturan
selalu terjadi, t etapi tongkat itu masih juga mampu mengenai
tubuh Mahisa Murti. Perasaan sakit telah menggigit seluruh tubuh Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, k ekuatan ilmunya telah mulai terasa
pengaruhnya atas lawannya itu. Semakin lama geraknya pun
menjadi semakin lamban, sehingga pada suatu saat, Mahisa
Murti tidak lagi merasa terlalu sulit untuk mengimbangi
kecepatan geraknya. Tetapi pada saat y ang demikian, tubuh Mahisa Muiit pun
telah menjadi semakin lemah. Bukan saja karena ia harus
memeras tenaganya untuk mengimbangi kecepatan gerak
lawannya, tetapi tulang-tulangnya pun telah m enjadi sakit di
beberapa tempat. Namun Mahisa Murti masih mampu m enghentakkan sisa
tenaganya. Sementara lawannya benar -benar telah kehilangan
sebagian besar dari kekuatan dan kemampuannya.
Orang y ang disebut Kiai Nagateleng itu pun sempat
menjadi bingung atas dirinya sendiri. Ia merasa tubuhnya
menjadi begitu cepat kehilangan kekuatan. Tangannya
menjadi berat dan senjatanya pun menjadi semakin sulit
untuk digerakkan. Apalagi kakinya bagaikan dibebani oleh
gumpalan-gumpalan batu padas.
Dalam keadaan y ang demikian, maka Mahisa Murti
berusaha untuk dengan cepat m engakhiri pertempuran itu. Ia
benar-benar tidak dapat m emaafkan lawannya yang kecuali
telah membuat banyak sekali penderitaan atas orang lain,
ternyata bahwa ia pun telah melukainya.
Karena itu, m aka Mahisa Murti justru berusaha semakin
banyak terjadi benturan-benturan kekuatan dan sentuhansentuhan
senjata. Orang yang meny ebut dirinya Kiai Nagateleng itu akhirnya
merasa bahwa tenaganya tidak akan mampu mengimbangi
tenaga anak muda itu. Ia tidak sempat memecahkan teka-teki
tentang diriny a sendiri, kenapa tenaganya menjadi t erlalu
cepat susut. Karena itu, maka orang y ang disebut oleh para pengikutnya
Kiai Nagateleng itu, justru telah melakukan satu kesalahan
yang menentukan, karena ia berusaha menghindar dari arena
pertempuran. Nampaknya orang itu kurang memperhatikan keadaan
medan dalam keseluruhan. Ketika orang itu mendapat kesempatan, maka orang itu pun
telah meloncat dan berlari meninggalkan Mahisa Murti
dengan sisa tenaganya. Sementara itu tenaga Mahisa Murti
pun telah menjadi susut. Namun disamping Mahisa Murti, masih ada Mahisa Pukat,
Mahisa Semu, Wantilan dan orang-orang yang sedang
memberontak itu. Karena itu, demikian orang itu melarikan diri, maka
sekelompok orang yang pernah mengalami penderitaan di
padepokan itu telah melihatnya. Karena itu, maka beramairamai
mereka telah mengejarnya.
Diantara mereka terdapat Mahisa Semu dan Wantilan y ang
telah membakar keberanian orang-orang y ang hampir saja
menjadi putus asa dan kehilangan harapan untuk dapat hidup
selay aknya. Orang y ang disebut Kiai Nagateleng itu terkejut mengalami
keny ataan itu. Ternyata sudah tidak ada lagi cantrik-yang
mampu membantunya. Bahkan beberapa orang yang
dianggapnya sudah masak untuk dijadikan alat oleh
padepokan itu, ternyata justru telah ikut memberontak pula.
Beberapa orang telah berteriak-teriak seperti orang y ang
sedang memburu tupai. Dengan demikian, m aka orang yang
berada di bagian lain pun telah berdatangan pula. Orang yang
disebut Kiai Nagateleng itu masih sempat mengadakan
perlawanan. Senjatanya sempat menerbangkan tiga pucuk
senjata dan melukai dua orang. Tetapi orang itu sudah
menjadi terlalu lemah sehingga ketika ampat orang
menghadangnya di depan serta beberapa orang memburunya
dari belakang, maka ia benar-benar telah berputus asa.
Mahisa Murti yang sangat marah itu memang tidak hei buat
lebih banyak. Selain tubuhnya memang merasa menjadi
semakin lemah maka perasaan sakit pun telah m erambat ke
segenap bagian dari tubuhnya.
Dibiarkannya apa yang terjadi. Sementara Mahisa Semu,
Wantilan dan Mahisa Pukat telah berada di dekatnya pula.
Tetapi orang y ang disebut Kiai Nagateleng itu, sudah terlalu
banyak kehilangan tenaga dan kemampuannya karena
benturan dan sentuhan dengan Mahisa Murti. Karena itu, sulit
baginya untuk menghadapi orang-orang y ang telah
memberontak itu. Karena itu, maka dalam keadaan putus asa maka orang itu
telah memutar senjatanya. Tetapi tangannya benar-benar
telah menjadi jauh susut. Sehingga dengan demikian, m aka
putaran senjatanya pun sama sekali tidak bertenaga pula.
Karena itulah, m aka ketika orang-orang y ang marah dan
mendendam itu kemudian meny erangnya, orang yang disebut
Kiai Nagateleng, yang sebelumnya sangat berkuasa di
padepokan itu, sama sekali tidak berday a untuk melindungi
dirinya sendiri. Serangan y ang datang dari depan dan dari belakang,
membuat orang yang Kiai Nagateleng itu kebingungan. Ketika
beberapa pucuk senjata meny erangnya bersama-sama, maka
orang itu tidak mampu lagi menangkis dan menghindarinya.
Seseorang yang bersenjata sebilah pedang yang telah
berkarat, telah menghunjamkan pedangnya ke tubuh orang
yang disebut Kiai Nagateleng itu. Demikian pula seorang yang
memiliki sebuah golok panjang. Sedangkan seorang yang
mempunyai senjata sebilah tombak pendek yang ujungnya
telah patah, telah menyerang pula dari samping. Tombak
patahnya telah menusuk langsung masuk ke dalam
lambungnya. Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu berteriak kesakitan.
Tetapi orang-orang yang mendendam itu sama sekali tidak
menghiraukan lagi. Serangan-serangan mereka pun ju stru
semakin lama menjadi semakin kasar, sehingga akhirnya
orang itu pun tidak lagi dapat berbuat sesuatu.
Luka ditubuhnya menjadi arang keranjang. Seolah-olah
tidak ada lagi bagian pada kulitnya yang tidak tersentuh ujung
senjata, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Wantilan, Mahisa Semu dan
Mahisa Am ping pun kemudian menyaksikan tubuh orang yang
disebut Kiai Nagateleng itu terkapar diam di halaman
padepokan bagian belakang. Kematiannya memang sangat
mengerikan. Tetapi itu adalah buah dari perbuatannya sendiri.
Ia telah menanamkan dendam di hati banyak orang yang
disekapnya di padepokan itu. Dengan tipu muslihat orang itu
telah m eny erap banyak orang yang ingin berguru kepada Kiai
Nagateleng. Namun y ang membuat Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
heran, apakah Kiai Nagateleng yang sebenarnya
tidak m engetahui akan kelicikan orang-orang padepokan itu,
karena menurut perhitungan Mahisa Murti dan saudarasaudaranya,
jarak antara padepokan Kiai Nagateleng yang
sebenarnya dengan padepokan yang dihancurkan itu tidak
terlalu jauh. Tetapi hal itu memang mungkin karena rahasia padepokan
itu telah dipegang dengan sangat keras oleh para cantrik dan
orang-orang kepercayaan Kiai Nagateleng yang bukan
sebenarnya itu. Demikianlah, maka pemberontakan di padepokan itu pun
telah berakhir. Orang y ang disebut Kiai Nagateleng dan para
pengikutnya y ang setia telah dihancurkan.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat
mencegah orang-orang y ang marah itu membakar padepokan.
"Jika padepokan ini dibakar, lalu kalian akan berteduh di
mana"," bertanya Mahisa Murti.
Orang-orang itu berpikir sejenak. Lalu mereka pun
menyadari bahwa mereka masih dapat mempergunakan
bangunan padepokan itu untuk tinggal sementara.
Apalagi mereka tahu bahwa di lumbung terdapat padi
cukup banyak. Untuk beberapa hari mereka tidak akan
menjadi kelaparan. Bahkan mereka pun tahu, bahwa di sawah
milik padepokan itu, padi telah menguning dan siap dipetik.
Beberapa orang di antara mereka yang m emberontak adalah
orang-orang yang bagaikan budak dan pekerja paksa yang
bekerja di sawah dan ladang milik padepokan itu.
Setelah keadaan m enjadi agak tenang, maka Mahisa Murti
pun telah mengumpulkan mereka. Dengan lantang Mahisa
Murti berkata: "Yang pertama-tama harus kalian lakukan
adalah m enyelenggarakan sekian banyak mayat karena kalian
telah membunuh mereka membabi buta. Kalian tidak memilih
siapa y ang sepantasnya dibunuh, dan siapa y ang tidak.
Mungkin diantara orang -orang y ang kalian bunuh itu terdapat
orang-orang y ang sebenarnya juga ingin memberontak seperti
kalian, tetapi m ereka tidak mendapat kesempatan lagi. Setiap
cantrik di padepokan ini tidak tahu perasaan sahabat yang
paling dekat sekali pun terhadap kekuasaan orang yang


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disebut Kiai Nagateleng itu."
Di sisa hari itu, maka orang-orang y ang m emberontak itu
telah mengumpulkan mayat para pengikut orang y ang disebut
Kiai Nagateleng itu sendiri.
Ternyata ketika m ereka kemudian m elihat mayat terbujur
lintang di halaman padepokan itu di bagian belakang dan
tengah, maka kepala mereka mulai menjadi pening. Mereka
tidak mengira bahwa mereka beramai-ramai telah membunuh
sekian banyak orang, y ang seperti kata Mahisa Murti, sebagian
dari mereka mungkin memang tidak berdosa.
Tetapi usaha membebaskan dari belenggu Kiai Nageteleng
yang palsu itu memang menuntut banyak sekali pengorbanan.
Diantara m ereka yang memberontak, menuntut pembebasan
itu pun ada y ang terpaksa tidak dapat ikut merasakan
kebebasan mereka karena ujung senjata lawan mereka telah
bersarang di jantung mereka.
Tetapi semuanya itu sudah t erjadi. Yang terbunuh dalam
pertempuran itu tidak akan dapat bangkit kembali. Namun
pengorbanan y ang harus diberikan tidaklah sia-sia. Diantara
mereka y ang memberontak terhadap kesewenang-wenangan
itu berhasil juga mendapatkan kebebasannya.
Ternyata bahwa orang -orang yang tersisa di padepokan itu
harus bekerja hampir semalam suntuk. Baru menjelang fajar
mereka selesai. Sementara itu, beberapa orang y ang lain telah
bekerja keras pula menyiapkan makan dan minum bagi
saudara-saudara mereka y ang sedang mengumpulkan dan
kemudian menguburkan mayat -mayat itu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang tidak dapat
meninggalkan padepokan itu begitu saja. Sepeninggal
pemimpin padepokan yang sekaligus pemimpin sekelompok
perampok dan peny amun yang garang itu, maka harus ada
langkah-langkah berikutnya yang ditrapkan di padepokan itu.
Di hari berikutnya Mahisa Murti m asih belum m engambil
sikap apapun. Orang -orang y ang letih masih memerlukan
waktu untuk beristirahat dan bahkan untuk menenangkan hati
mereka y ang bergejolak. Baru di hari berikutnya, Mahisa Murti telah memanggil
semua orang y ang ada di padepokan itu.
"Kita akan berbicara," berkata Mahisa Murti: "tetapi aku
kira, kalian dapat menunjuk beberapa orang y ang kalian
percaya untuk berbicara dengan kami. Sepuluh atau sebelas
orang." Orang-orang y ang masih ada di padepokan itu ternyata
sependapat. Mereka kemudian telah menunjuk sepuluh orang
yang dianggap paling berpengaruh dan paling menentukan
dalam pemberontakan untuk merebut kebebasan mereka.
Dengan sepuluh orang itulah Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
berbicara. Pa da umumnya tidak seorang pun yang ingin menetap
untuk selanjutnya di padepokan itu. Seorang diantara mereka
berkata: "Padepokan ini akan selalu menimbulkan mimpi
buruk bagiku." Sedangkan yang lain berkata: "Setiap sudut padepokan
akan selalu menghantui hidupku kemudian jika aku tidak
meninggalkannya." Mahisa Murti pun dapat m engerti sikap itu. Tetapi k etika
Mahisa Murti bertanya: "Kalian lalu akan pergi ke mana"
Pulang ke rumah masing-masing atau ada rencana yang lain?"
Orang-orang itu termangu-mangu. Seorang diantara
mereka berkata: "Jika aku pulang tanpa membawa ilmu
setitikpun, maka rasa-rasanya malu juga kepada keluarga dan
tetangga, ketika aku berangkat, maka mereka berharap bahwa
aku akan pulang dengan segenggam kemampuan. Setidaktidaknya
aku akan dapat menjadi pelindung keluarga. Tetapi
ternyata aku telah terperosok ke dalam nereka ini."
"Baiklah," jawab Mahisa Murti, "aku akan melanjutkan
perjalanan. Aku akan mengunjungi orang yang sebenarnya
bernama Kiai Nagateleng. Aku akan menemuinya dan
menceriterakan apa yang telah terjadi disini. Jika padepokan
Kiai Nagateleng dapat menampung kalian, mungkin kalian
akan aku titipkan di padepokan itu. Tetapi jika padepokan Kiai
Nagateleng adalah sebuah padepokan kecil, maka nanti aku
akan berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang
dapat kalian tempuh."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab seorang diantara mereka.
"Namun dalam pada itu, maka kalian harus tetap berada di
padepokan ini. Kalian y ang senasib harus dapat mengatur diri
sebaik-baiknya. Dua orang diantara kalian akan menjadi
pemimpin dan pembantunya. Untuk sementara kalian harus
tunduk kepada keduanya. Namun dalam banyak hal kedua
orang itu harus mencari bahan-bahan dan berbicara dengan
baik diantara mereka dan y ang lain yang ada di padepokan ini.
Aku akan segera kembali untuk membuat langkah-langkah
yang terbaik bagi kalian. Tidak lebih dari dua hari. Meski pun
padepokan Kiai Nagateleng dapat aku tempuh beberapa waktu
sa ja karena sudah tidak lagi terlalu jauh, namun y ang mungkin
akan lama adalah pembicaraan-pembicaraan tentang
kemungkinan-kemungkinan itu."
Orang-orang y ang mewakili kawan-kawannya itu
mengangguk. Atas permintaan Mahisa Murti, maka mereka
telah menunjuk dua orang y ang akan memimpin mereka
untuk sementara, selagi Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
pergi selama dua hari. Di hari berikutnya, ketika matahari terbit, maka Mahisa
Murti dan saudara -saudaranya pun telah meninggalkan
padepokan itu. Perjalanan mereka sudah tidak panjang lagi.
Mereka hanya akan melintasi dua bulak panjang dan dua buah
padukuhan y ang memang agak besar. Kemudian di padukuhan
berikutnya m ereka akan berbelok memasuki jalan y ang lebih
kecil menuju ke padepokan Kiai Nageteleng.
Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah
singgah di kedai tempat mereka dijebak. Dengan singkat
Mahisa Murti menceriterakan kepada pemilik kedai yang
ketakutan itu. Apa yang telah terjadi.
"Aku tidak bersalah," suara pemilik kedai itu gemetar, "jika
aku sempat, aku selalu memberi peringatan kepada orangorang
y ang dijebak. Tetapi jika hal itu diketahui oleh para
pengikut dari padepokan yang dipalsukan itu, maka leherku
akan dipenggal." Mahisa Murti mengangguk-angguk, la dapat mengerti
kesulitan pemilik kedai itu. Karena itu, maka ia tidak beibuat
sesuatu atasny a kecuali menasehatkan, agar pemilik kedai itu
lebih berhati-hati dan menjadi lebih berani untuk menyatakan
kebenaran. "Tetapi aku masih belum ingin mati," berkata pemilik kedai
itu. "Seharusnya aku sekarang membunuhmu. Hari ini kau
sudah mati. Aku mendendammu karena kau tidak berusaha
mencegah sama sekali ketika aku dijerumuskan kedalam
neraka itu. Ternyata sebelum aku, berpuluh-puluh orang telah
menjadi korban. Dirampok, disekap dalam padepokan,
mengalami siksaan dan kemudian dijadikan budak. Sementara
itu kau yang melihat peristiwa seperti itu berpuluh kali, kau
sama sekali tidak berbuat apa -apa. Karena itu, sepantasnya
kau memang ikut terbunuh seperti orang-orang padepokan
itu," geram Mahisa Murti. Namun katanya kemudian: "Tetapi
kau akan tetap hidup. Kau telah berhutang nyawa kepadaku.
Karena itu, jika kau mati esok atau lu sa atau sepekan lagi,
maka umurmu sudah mendapatkan kelebihan dari yang
sehalusny a. Untuk itu, maka kau harus mempergunakan
nyawa y ang kau hutang daripadaku itu untuk melakukan
kebaikan. Jika kelak ada orang yang melakukan pemalsuan
lagi untuk melakukan pemerasan, perampokan dan kemudian
perbudakan, maka kau tidak boleh takut lagi. Karena umurmu
sebenarnya sudah bukan milikmu."
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Sementara Mahisa
Murti berkata: "Nah, kami minta diri. Aku titipkan
kepanjangan hidupmu itu kepadamu. Tetapi aku sudah
mensyaratkan penggunaannya."
Pemilik kedai itu masih m erasa bingung. Ia tidak mengerti
sepenuhnya kata-kata Mahisa Murti m eski pun ia m erasakan
sebagai satu ancaman. Namun Mahisa Murti memang t idak menunggu orang itu
menjawab. Ia pun telah m eninggalkan kedai itu diikuti oleh
saudara-saudaranya m enuju ke sebuah padepokan lain yang
memang menjadi tujuannya.
Tetapi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak lagi
sekedar menyampaikan pesan Kiai Patah untuk
menyampaikan sekedar berita keselamatan dan kata-kata
sandi yang tidak dimengerti artinya. Tetapi kata -kata sandi itu
sudah memberikan arti bagi Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
karena dengan demikian mereka tidak terlambat
meyakini, bahwa orang y ang mengaku Kiai Nagateleng itu
bukan orang y ang sebenarnya mereka cari.
Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya harus juga
berbicara tentang orang-orang y ang berada di padepokan yang
baru saja mengalami kemelut karena beberapa orang telah
memberontak untuk mendapatkan kebebasannya.
Demikianlah, maka kelima orang itu telah menempuh
perjalanan yang tidak begitu jauh. Mereka melintasi bulak dan
padukuhan menuju ke sebuah padepokan yang dipimpin oleh
Kiai Nagateleng. Ketika mereka mendekati padepokan itu, maka mereka
mulai membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi. "Apakah seperti yang sudah kita bicarakan, hanya kalian
berdua saja y ang akan memasuki padepokan itu"," bertanya
Mahisa Semu. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia pun berkata: "Ya. Masih ada kemungkinan lain dapat terjadi
di padepokan y ang satu ini. Karena itu, biarlah aku dan
Mahisa Pukat sajalah y ang masuk kedalamnya. Kalian
menunggu diluar. Jika sampai senja aku tidak menemui kalian
lagi, m aka kalian harus bergeser mundur. Tetapi kalian tidak
perlu pergi ke Padang Karautan. Tetapi kalian akan menunggu
kami di padepokan yang baru saja kita bebaskan. Jika kami
untuk selanjutnya tidak pula datang ke padepokan itu, maka
terserahkan kepada kalian, apakah yang akan kalian lakukan
dengan padepokan itu."
Mahisa Semu mengangguk kecil. Sementara itu Mahisa
Murti berkata selanjutnya: "Tetapi jika aku sampai kepada
orang yang sebenarnya maka kalian akan segera kami
beritahu. Karena itu kalian tidak perlu berada di tempat yang
terlalu jauh." Demikianlah, maka mereka berlima semakin lama menjadi
semakin dekat dengan padepokan yang mereka tuju. Mereka
telah sampai ke Banyusasak dan kemudian berbelok mengikuti
jalan yang lebih kecil m enuju kepadepokan y ang dihuni oleh
Kiai Nagateleng. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berharap bahwa yang ada
di padepokan itu adalah Kiai Nagateleng yang sebenarnya
sebagaimana disebut-sebut oleh Kiai Patah.
"Kita sudah terlalu sering berhenti untuk waktu y ang
menjadi terlalu lama. Mudah-mudahan kita tidak akan
berhenti terlalu lama disini.," berkata Mahisa Pukat.
Seperti yang sudah mereka sepakati, maka yang kemudian
langsung menuju ke padepokan itu. Keduanya telah benarbenar
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan
terjadi. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah melangkah
menuju kepintu gerbang sebuah padepokan y ang ternyata
lebih kecil dari padepokan yang baru saja berantakan karena
pemberontakan yang kemudian tidak terkendali, sehingga
harus jatuh banyak korban karenanya.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai ke pintu
gerbang, mereka sama sekali tidak melihat penjaga di pintu
gerbang itu. Tidak ada suasana kekerasan sama sekali di
padepokan itu. Bahkan ketika mereka memasuki halaman
padepokan, mereka sama sekali tidak melihat orang-orang
bersenjata di halaman itu. Yang m ereka lihat kemudian dua
orang cantrik yang hampir bersamaan melangkah ke arah
mereka berdua. Dengan ramah seorang diantara mereka bertanya: "Selamat
datang di padepokan kami Ki Sanak. Apakah Ki Sanak
mempunyai kepentingan dengan kami atau salah seorang
diantara kami" "
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat.
Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya: "Maaf Ki Sanak.
Apakah padepokan ini padepokan tempat tinggal Ki
Nagateleng?" Kedua orang cantrik itu berpandangan sejenak. Wajah
mereka menunjukkan gejolak di dalam hati mereka.
Seorang diantara mereka pun kemudian bertanya: "Apakah
Ki Sanak mencari Kiai Nagateleng" "
"Ya. Kami ingin menghadap Kiai Nagateleng," jawab
Mahisa Murti. Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih
juga bertanya: "Apakah Ki Sanak membawa persoalan yang
penting bagi Kiai Nagateleng" "
"Tidak," jawab Mahisa Murti: "tetapi karena kami
mendapat pesan dari seseorang, maka kami telah memerlukan
singgah di padepokan ini untuk menyampaikan pesan itu" "
"Apakah pesan itu harus disampaikan langsung kepada Kiai
Nagateleng"," bertanya cantrik itu.
"Ya Ki Sanak," jawab Mahisa Murti y ang mulai berhati-hati.
Kedua cantrik itu termangu -mangu sejenak. Namun
seorang diantara mereka pun kemudian berkata: "Maaf Ki
Sanak. Bukan karena kami ingin mempersulit Ki Sanak
berdua. T etapi sebenarnyalah bahwa kalian tidak akan dapat
bertemu dengan Kiai Nagateleng."
"Kenapa"," bertanya Mahisa Murti.
"Kiai Nagateleng telah meninggal," jawab cantrik itu
dengan nada dalam. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Hampir
bersamaan keduanya bertanya: "Kapan hal itu terjadi" "
Kedua cantrik itu termangu-mangu sejenak. Seorang diantara
mereka menjawab: "Hal itu t erjadi dengan tidak
terduga -duga. Kiai Nagateleng y ang hampir sepanjang hari
masih berada diantara kami yang bekerja dan berlatih, di sore
harinya telah meninggalkan kami semua."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tanpa sakit atau tanda-tanda lain"," bertanya Mahisa
Pukat. Cantrik itu menggeleng. Katanya: "Ketika senja mulai
turun, Kiai Nagateleng memang nampak letih. Tetapi kami
mengira bahwa pada usianya y ang semakin lanjut, maka Kiai
Nagateleng tentu akan lebih cepat m enjadi letih. Kepada para
cantrik Kiai Nagateleng ternyata telah membagi tugas. Tiga
orang cantrik mendapat tugas untuk memimpin kawankawannya.
Sementara yang lain telah mendapat petunjuk apa
yang harus mereka lakukan kemudian. Hal itu memang belum
pernah dilakukan sebelumnya. Kami mengira bahwa Kiai
Nagateleng memang sedang memberikan latihan kepada kami
untuk pada suatu saat mandiri. Kemudian, ketika senja lewat
Kiai Nageteleng berkata: "Aku akan tidur. Aku merasa sangat
letih." Para cantrik memang merasa heran. Biasanya sebelum
tengah malam, Kiai Nageteleng tidak pernah pergi ke
pembaringan. Namun Kiai Nageteleng berpesan: "Tepat tengah malam,
tolong, bangunkan aku."
Sebenarnyalah tepat tengah malam dua orang cantrik akan
membangunkannya. Tetapi Kiai Nagategeleng telah tidak ada.
Tubuhnya terbujur lurus di pembaringannya. Kedua
tangannya telah bersilang di dadanya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m enarik nafas panjang.
Sementara kedua orang cantrik itu nampak menjadi sedih.
Agaknya mereka telah mengenang kembali pimpinan
padepokan mereka yang sudah pergi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi
termangu-mangu sejenak. Tetapi hampir diluar sadarnya
Mahisa Murti berkata: " Itu adalah pertanda bahwa Kiai
Nagateleng tidak akan pernah mau menyulitkan para
cantriknya. Sampai saat meninggalnya pun ia sama sekali
tidak m embuat orang lain mengalami kesulitan. Kecuali saat
peny elenggaraan tubuhnya."
"Ya. Kami pun berpikir demikian. Kiai Nageteleng tidak
mau menjadi beban. Jika ia sakit untuk waktu yang lama,
maka para cantriknyalah yang akan menjadi t erlalu sibuk
untuk beberapa lama. Tetapi Kiai Nagateleng adalah seorang
yang mandiri sampai saat matinya," desis cantrik itu.
"Tetapi kapan kematian itu terjadi"," desak Mahisa -Pukat.
"Belum ada dua bulan," jawab cantrik itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Hampir ber samaan mereka berdesis: "Baru saja."
"Ya," jawab cantrik itu: "baru saja."
"Sayang sekali," berkata Mahisa Murti, "kami telah
terlambat." "Tetapi jika kau memang perlu dengan padukuhan kami,
maka kami akan mempertemukan dengan orang yang
kemudian m endapat tugas m embimbing para cantrik," jawab
cantrik itu. "Tiga orang cantrik seperti y ang kau katakan" "
Cantrik itu menggeleng. Dengan nada rendah ia berkata:
"Tiga orang cantrik itu memang mendapat tugas untuk
memimpin kawan-kawan kami. Tetapi pada saatnya kami
harus menyadari, bahwa ada orang yang lebih pantas dari
ketiga orang cantrik itu y ang dapat melakukan tugas Kiai
Nagateleng. Meski pun Kiai Nagateleng sama sekali tidak
menyebutnya, tetapi kamilah yang memohonnya agar ia
menggantikan kedudukan Kiai
Nagateleng melalui ketiga orang cantrik itu."
"Siapakah orang itu"," bertanya Mahisa Pukat.
"Murid terpilih diantara para cantrik yang jauh lebih
dahulu dari kami. Kami tahu bahwa ia telah m ewarisi semua
ilmu dan kemampuan Kiai Nagateleng, ditambah pengalaman
pengembaraannya dan pengetahuan yang didapatnya selama
pengembaraan itu. Karena itu, maka menurut penilaian kami,
maka ia benar-benar mampu dan bahkan memiliki beberapa
kelebihan dari Kiai Nagateleng sendiri."
"Siapakah orang itu"," bertanya Mahisa Pukat mendesak.
"Kiai Semangin," jawab cantrik itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak.
Nampaknya mereka menjadi ragu-ragu. Apakah ia perlu
menjumpai orang yang diangkat oleh para cantrik
menggantikan Kiai Nagateleng"
Namun m enurut pengamatan kedua orang anak muda itu,
padepokan itu adalah padepokan yang tidak dibay angi oleh
permusuhan dan kekerasan. Menilik sikap kedua orang cantrik
itu, maka isi padepokan itu adalah jauh berbeda dari
padepokan yang baru saja dilanda kekerasan.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menjawab:
"Baiklah Ki Sanak. Jika diperkenankan maka kami ingin
bertemu dan menghadap Kiai Semangin."
"Baiklah. Kami akan menyampaikannya," jawab salah
seorang cantrik. Namun kemudian ternyata hanya seorang saja diantara
kedua orang cantrik itu y ang masuk ke bangunan induk
padepokan itu, sementara y ang lain mempersilahkan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat naik ke pendapa.
Beberapa saat keduanya masih berbincang dengan cantrik
yang menemui mereka. Namun kemudian cantrik yang
seorang lagi telah keluar dari pendapa sambil berkata: "Ki
Sanak berdua diper silahkan menunggu. Sebentar lagi Kiai
Semangin akan menemui Ki Sanak."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti sambil mengangguk.
Sementara itu, cantrik yang seorang lagi juga ikut
mengundurkan diri bersama kawannya.
Yang kemudian duduk di pendapa adalah, tinggal Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Namun perasaan mereka merasa
tenang. Mereka melihat dua orang cantrik y ang lain sedang
sibuk membersihkan halaman padepokan itu. Mereka telah
memberikan satu suasana y ang damai di hati Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu.
Baru kemudian mereka melihat pintu pringgitan terbuka.
Kedua orang anak muda itu terkejut. Yang keluar dari pintu
pringgitan itu adalah justru orang yang dikenalnya dengan
nama Kiai Patah. Orang y ang telah memberikan pesan kepada
mereka untuk singgah di Banyusasak dan menemui Kiai
Nagateleng. Kiai Patah ter senyum melihat kedua anak muda itu.
Sejenak kemudian, maka orang itu pun segera duduk di
pendapa pula. Dengan agak gagap Mahisa Murti bertanya: "Tetapi apakah
arti pesan Kiai itu" "
Orang y ang di padepokan itu dikenal dengan nama Kiai
Semangin itu mengangguk-angguk sambil berkata: "Kalian
ternyata telah datang terlambat. Kiai Nagateleng telah
meninggal." "Dan ternyata Kiai berada disini," desis Mahisa Pukat.
"Nanti biarlah aku berceritera," berkata Kiai Semangin itu.
"Namun ternyata bahwa aku telah sampai di padepokan ini
justru lebih dahulu dari kalian. Ke m ana saja kalian selama
ini" Aku kira kalian telah melupakan pesanku atau kalian
memang tidak bersedia singgah di Banyusasak."
"Kami ternyata harus m enempuh perjalanan y ang panjang
Kami sudah berniat untuk menjalani laku dengan tapa
ngrame," jawab Mahisa Murti,
"Apa y ang kalian dapatkan dengan laku itu"," bertanya Kiai
Patah y ang juga disebut Kiai Semangin itu.
"Banyak sekali Kiai," jawab Mahisa Murti, "kami
mendapatkan banyak sanak kadang di perjalanan. Kami juga
mendapatkan pengalaman y ang sangat luas. Bukan saja
mengembangkan ilmu y ang kami miliki, t etapi kami juga
mendapatkan pengalaman tentang ragam kehidupan. Kami
telah menembus berbagai jenis dan warna dari kulit bumi ini."
Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Katanya: "Sokurlah jika
kalian dapat memetik manfaat dari laku y ang kalian jalani.
Tetapi lebih dari itu, kalian telah m emberikan arti dari hidup
kalian bagi sesama. Jika kalian jalani laku Tapa ngrame itu
dengan baik, maka kalian telah menolong sesama yang
mendapatkan kesulitan."
"Kami m emang telah m encoba melakukannya Kiai. Karena
itu kami telah merasa bahwa kami telah mendapatkan banyak
sanak kadang y ang tersebar di mana-mana," jawab Mahisa
Murti. Kiai Semangin y ang juga bernama Kiai Patah itu
mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata: " Bagus
anak-anak muda. Kau telah mendapatkan banyak sekali bekal
selama kalian m enjalani laku. Karena itu, m aka kalian akan
kembali ke padepokan kalian dengan pengalaman yang luas
sesuai dengan jerih payah yang pernah kalian jalani."
Kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Namun
kemudian Mahisa Murti pun berkata: "Terima kasih Kiai.
Mudah-mudahan kami dapat memanfaatkan pengalaman
kami untuk kepentingan banyak orang."
"Tentu, karena pengalaman kalian itu kalian dapatkan
dengan laku tapa ngrame. Laku yang kalian jalani itu sudah
memberikan manfaat kepada banyak orang. Apalagi
peningkatan ilmumu karena pengalamanmu itu, tentu akan
lebih berarti lagi bagi banyak orang," sahut Kiai Patah.
Kedua anak muda itu sama sekali tidak menyahut.
Keduanya hanya mengangguk-angguk kecil saja.
"Nah," berkata Kiai Patah: "kalian tentu tidak berkeberatan
untuk bermalam disini satu atau dua malam."
Kedua orang anak muda itu m engangguk-angguk. Namun
kemudian Mahisa Murti berkata: "Kiai. Kami sekarang tidak
hanya berdua." "Jadi"," dahi Kiai Patah berkerut.
"Kami sekarang berlima. Seorang anak muda bersama kami
di perjalanan. Kemudian menyusul seorang yang kami anggap
paman kami dan yang lain adalah seorang anak-anak. Dalam
pertemuan kami dengan m ereka seorang demi seorang telah
mendorong kami untuk mengajak mereka bersama kami.
Nampaknya mereka bergembira mendapat kesempatan itu,"
jawab Mahisa Murti. "Di mana mereka sekarang"," bertanya Kiai Patah.
"Mereka berhenti beberapa puluh patok di luar padepokan
ini," jawab Mahisa Murti.
"Kenapa" Kalian ragu-ragu membawa mereka kemari","
bertanya Kiai Patah pula.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya: "Kami memang ragu-ragu Kiai. Tetapi
kami mempunyai alasan."
"Kenapa"," desak Kiai Patah.
Mahisa Murti pun telah menceriterakan pengalamannya di
padepokan y ang sebenarnya tidak terlalu jauh dari padepokan
ini. Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya: "Kami sudah
mendengar tentang padepokan itu. Ketika Kiai Nagateleng
masih hidup, maka Kiai Nagateleng selalu m encegah setiap
usul untuk melakukan tindakan atas padepokan itu. Namun
sekarang aku berpendirian lain. Aku telah berbicara dengan
para cantrik di padepokan ini. Kami telah sepakat untuk
menemui pimpinan padepokan itu dan minta agar mereka
tidak lagi memanfaatkan nama Kiai Nagateleng. Apalagi untuk
tujuan buruk sebagaimana mereka lakukan selama ini.
Mungkin jiwaku tidak sejernih Kiai Nagateleng. Tetapi aku
menganggap bahwa tindakan itu akan dapat m eny elamatkan
banyak orang." "Ya Kiai," jawab Mahisa Murti, "ternyata banyak orang y ang
telah terjebak ke dalam padepokan itu. Pada saat kami
mencoba untuk membangunkan mereka, maka ternyata yang
terjadi adalah satu ledakan yang dahsy at dan tidak terkendali.
Banyak orang yang menjadi korban. Namun dengan demikian,
padepokan itu telah benar-benar menjadi bersih."
Kiai Patah m engangguk-angguk. Katanya: "Aku terlambat.
Tetapi karena hal itu telah kalian tangani, maka aku kira
akibatnya tidak akan banyak berbeda."
Mahisa Murti sempat menyampaikan permohonan orangorang
yang masih berada di padepokan itu memasuki
padepokan y ang dipimpin oleh Kiai Nagateleng yang
sebenarnya. Namun Ternyata y ang ada kemudian adalah Kiai
Semangin yang juga dikebut Kiai Patah.
"Aku tidak berkeberatan," berkata Kiai Patah: "tetapi sudah
tentu akan m emerlukan persiapan. Kau lihat, padepokan ini
adalah padepokan y ang hanya kecil saja. Jika kami harus
menampung beberapa orang lagi, m aka padepokan ini harus
diperluas. Tanah garapan y ang mendukung makan kami
sepanjang lahun pun harus diperluas pula, meski pun tidak
akan timbul masalah. Kami sudah mendapat persediaan tanah
cukup y ang diberikan oleh Ki Buyut sewaktu-waktu kami
memerlukannya. Tanah yang sekarang masih berupa hutan."
"Kita akan menebangi hutan"," bertanya Mahisa Pukat. Kiai
Patah tersenyum. Katanya: "Aku m engerti maksudmu. Tetapi
hutan y ang diberikan k epada kami telah diperhitungkan oleh
Ki Buyut bahwa dengan membuat daerah hunian y ang baru di
hutan itu, maka lingkungan tidak akan terganggu. Hutan yang
membujur di pinggir sungai itu akan dapat menjadi tanah
pertanian y ang baik tanpa mengurangi pengaruh hutan itu
dalam k eseluruhan, karena di sisi utara Kabuyutan ini masih
terdapat hutan y ang cukup luas. Demikian pula disisi Timur."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai
Patah pun berkata: "Panggil kawan-kawanmu itu."
"Maksud kami, kami akan kembali ke padepokan y ang
pecah itu untuk menyampaikan keputusan Kiai," jawab
Mahisa Murti, "kemudian baru kami akan datang lagi ke
padepokan ini." Kiai Patah mengangguk-angguk. Tetapi sekali lagi ia
berkata: "Jika mereka benar-benar ingin tinggal di padukuhan
ini, maka seperti aku katakan tadi, kita harus bekerja keras
untuk meny iapkan segala sesuatunya. Bukan saja tempat,
tetapi juga dukungan bekal hidup mereka selanjutnya."
"Ya Kiai," jawab Mahisa Murti: "aku mengerti."
"Tetapi, bukankah kau tidak tergesa -gesa kembali ke
padepokan itu" Bukankah kau dapat memanggil ketiga orang
saudaramu itu dan membawanya kemari, sedangkan kalian
berdua pergi ke padepokan itu"," bertanya Kiai Patah.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu Kiai
Patah bertanya selanjutnya: "Apakah kau masih dibayangi oleh


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keragu-raguan tentang padepokan ini sebagaimana padepokan
yang baru saja pecah itu" "
"Tidak," jawab Mahisa Murti dengan serta merta: "bagi
kami, tidak ada keragu-raguan lagi atas padepokan ini."
"Jika demikian, daripada kalian hilir mudik berlima,
kenapa ketiga orang saudaramu itu tidak kau tinggalkan disini
sa ja"," bertanya Kiai Patah.
Mahisa Murti mengangguk-angguk pula. Ia memang masih
mempunyai waktu cukup. Ia berjanji untuk kembali ke
padepokan y ang sedang pecah itu sekitar dua hari sejak ia
berangkat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya
kepada Mahisa Pukat: "Apakah kita akan memanggil saudarasaudara
kita itu" " "Baiklah," jawab Mahisa Pukat, "biarlah mereka menunggu
kita disini." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya: "Kami akan memanggil mereka Kiai. Biarlah m ereka
menunggu kami disini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah minta
diri sejenak untuk memanggil saudara-saudara mereka setelah
mereka yakin bahwa mereka telah memasuki satu lingkungan
yang pasti. Beberapa waktu kemudian, maka lima orang telah
memasuki padepokan yang suasananya ternyata jauh berbeda
dengan suasana padepokan y ang telah mereka masuki
sebelumnya. Suasana padepokan itu terasa tenang, tenteram
dan sejuk. Rasa-rasanya padepokan itu merupakan satu
lingkungan y ang penuh kedamaian, m eski pun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tahu, bahwa di kedalaman sampai ke dasar,
padepokan itu meny impan kekuatan ilmu y ang sangat
dahsy at. Ketika kemudian kelima orang itu telah duduk di pendapa
ditemui oleh Kiai Patah, maka mereka pun telah berbicara
tentang berbagai kemungkinan jika orang-orang yang tersesat
di padepokan sebelah harus beringsut ke padepokan itu.
"Kita harus membersihkan jiwa mereka dari perasaan
dendam itu," berkata Kiai Patah, "dan ini bukan pekerjaan
yang mudah. Kita memerlukan waktu dan ketekunan. Sebelum
aku yakin bahwa mereka telah bersih dari rasa dendam, maka
barulah aku dapat memberikan tuntunan olah kanuragan
kepada mereka. Selama mereka meny ingkirkan perasaan
dendam itu dari jiwa mereka, maka mereka harus bekerja
keras untuk menyiapkan tempat tinggal bagi mereka serta
lahan y ang akan menjadi tanah pertanian bagi mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka sadar bahwa hal itulah y ang harus mereka katakan
kepada orang-orang yang terperangkap ke dalam padepokan
sebelah. Kedua anak muda itu pun mengerti, namun apa yang
terjadi di padepokan itu tentu telah berkesan mendalam
didalam hati mereka. Mereka telah mengalami peristiwaperistiwa
y ang sangat mengerikan. Mereka mengalami
perlakuan yang sangat pahit sehingga tentu sulit bagi mereka
untuk melupakannya. Bahkan mereka akan dapat menganggap
bahwa setiap orang cenderung melakukan hal seperti itu atas
orang lain. Karena itu, jika orang-orang itu masih tetapi dibay angi oleh
luka itu, maka mereka akan menjadi orang-orang y ang sangat
berbahaya apabila mereka memiliki kemampuan.
"Baiklah Kiai," b erkata Mahisa Murti, "kami akan berterus
terang kepada mereka. Mereka harus bekerja keras sebelum
mereka dapat tinggal di padepokan ini. Selebihnya, siapa yang
tidak dapat m elupakan dendamnya kepada orang lain, m aka
sebaiknya mereka tidak ikut bersama kami kembali ke
padepokan ini." "Aku sependapat bahwa kau berterus terang kepada orangorang
itu. Tetapi tentu saja ada untung dan ada ruginya.
Mereka y ang mengetahui apa yang harus mereka lakukan,
akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya m enjalani paugeran
yang dipersiapkan sebelumnya. Tetapi hal itu juga akan dapat
memberi kesempatan seseorang berbuat pura-pura sekedar
untuk memenuhi persyaratan y ang ditentukan itu."
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun ia justru bertanya:
"Jadi bagaimana menurut Kiai" "
"Katakan saja bahwa mereka berkewajiban untuk bekerja
keras. Meny iapkan tempat tinggal dan lahan-lahan baru. Itu
sa ja. Selanjutnya aku akan m elihat langsung apakah mereka
dapat melupakan dendam mereka atau tidak. Bagi mereka
yang nampaknya akan dapat m elupakannya, m aka kita akan
menerima mereka dan membentuk mereka sesuai dengan pola
sikap kita di padepokan ini," berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Kiai Patah, bahwa orang-orang y ang terperangkap itu akan
mendapat penilaian langsung dari Kiai Patah ditilik dari sikap
mereka sehari-hari setelah mereka berada di padepokan itu.
Namun hari itu Mahisa Murti tidak sempat lagi kembali ke
padepokan yang baru saja mengalami kegoncangan itu. Senja
yang mulai turun telah menghambat kerja Mahisa Murti,
sehingga ia harus menunggu sampai di keesokan harinya.
Ketika malam turun, Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
segera dipersilahkan untuk beristirahat. Kiai Patah
tahu bahwa mereka sedang letih karena peri stiwa y ang mereka
alami di hari itu . Tetapi seperti biasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
cukup berhati-hati. Mereka tidak tidur bersama-sama. Salah
seorang diantara mereka harus tetap t erjaga untuk menjaga
segala kemungkinan yang dapat terjadi di padepokan mi.
Namun ternyata semalam suntuk mereka tidak mengalami
sesuatu. Ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya telah terbangun sebagaimana kebia saan
mereka tidur dumana pun juga. Di rumah-rumah yang hangat
atau di udara terbuka y ang dingin oleh embun dan angin
basah. Ketika matahari naik, sebelum Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat minta diri untuk kembali k e padepokan y ang baru saja
dibakar oleh pemberontakan itu, maka para cantrik telah
mempersilahkan mereka untuk makan pagi.
"Di mana Kiai Semangin"," bertanya Mahisa Murti dengan
agak berdebar-debar. "Di sawah. Sudah menjadi kebiasaan Kiai Semangin untuk
pergi ke sawah pagi-pagi b enar. Sebentar lagi Kiai Semangin
akan kembali. Tetapi sebelum Kiai Semangin berangkat, Kiai
Semangin telah berpesan agar kami menyediakan makan pagi
bagi kalian, karena Kiai Semangin tahu bahwa kalian akan
pergi pagi-pagi benar," jawab cantrik itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab:
"Terima kasih. Kiai Semangin terlalu memperhatikan kami."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m emang tidak m enunggu
Kiai Patah. Setelah makan pagi, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah minta diri untuk kembali ke padepokan
yang kemarin mereka tinggalkan.
Jarak kedua padepokan itu memang tidak begitu jauh.
Ketika langit menjadi cerah dan matahari memanjat langit
sepenggalah, maka keduanya telah sampai ke padepokan yang
kemarin mereka tinggalkan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
memanggil bukan saja orang y ang diserahi memimpin
padepokan itu untuk sementara, tetapi juga dengan semua
orang y ang masih tinggal.
Dengan singkat Mahisa Murti menceriterakan
pembicaraan-pembicaraan dengan pemimpin padepokan yang
semula dipimpin oleh Kiai Nagateleng y ang sebenarnya.
"Kiai Nagateleng telah tidak ada lagi. Tetapi y ang
memimpin padepokan itu kemudian adalah Kiai Semangin
yang juga disebut Kiai Patah," berkata Mahisa Murti, "namun
seperti yang dikatakannya, maka sy aratnya untuk tinggal dan
berguru kepada Kiai Patah adalah bekerja keras m embangun
tempat tinggal dan meny elenggarakan tanah per sawahan.
Karena kalian tidak saja bertempat tinggal di padepokan itu,
tetapi kalian juga harus makan dan minum. Bahkan kalian
juga akan m enanam bukan saja padi dan jagung, tetapi juga
pohon buah-buahan, kolam ikan dan peternakan."
Beberapa orang saling berpandangan. Namun ternyata
seorang diantara mereka berkata: "Menarik sekali. Satu
kesempatan y ang sangat baik untuk belajar tentang
memelihara ikan di kolam-kolam serta berternak."
"Jika kalian bersedia, maka Kiai Semangin akan dengan
senang menerima kalian. Tetapi siapa yang tidak ingin bekerja
keras, maka dipersilahkan untuk tidak usah pergi ke
padepokan Kiai Nagateleng," berkata Mahisa Murti, "namun
kerja di padepokan y ang sekarang dipimpin oleh Kiai Patah itu
berdasarkan kerelaan hati kalian sendiri. Tidak akan ada yang
memaksa kalian bekerja. Tidak akan ada y ang membawa
cambuk diantara kalian atau y ang memaksa kalian bekerja
berat seperti budak serta mengikat kalian di patok-patok
sebagai hukuman jika kalian melakukan kesalahan."
"Kami akan melakukan semuanya, anak muda," berkata
seseorang y ang umurnya sudah agak tua dari Mahisa Murti,
"disini kami mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya.
Kami harus bekerja keras melebihi seekor lembu atau kerbau.
Karena itu, maka kerja keras y ang macam apa pun akan kami
lakukan, apalagi dengan satu key akinan, bahwa hasil kerja itu
adalah bagi kami pula akhirnya."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti. Lalu katanya:
"Bersiaplah. Besok kita akan pergi ke padepokan Kiai
Semangin itu bersama-sama. Kita tinggalkan padepokan ini.
Namun jika pada suatu saat kita akan m empergunakan lagi,
maka padepokan ini akan dapat dibuka kembali, tatapi dengan
jiwa dan watak yang tentu saja berbeda."
Demikianlah, orang-orang y ang tinggal di padepokan itu
pun telah mempersiapkan diri mereka. Mereka telah
membenahi milik mereka masing-masing. Tetapi sebagian dari
mereka telah kehilangan hampir semua miliknya.
Dengan bekal yang ter sisa dari yang mereka bawa dari
rumah di saat mereka berangkat untuk berguru, maka mereka
telah mulai menganyam harapan-harapan baru. Meski pun
terlambat tetapi mereka masih mempunyai harapan untuk
kembali kepada keluarga mereka dengan ilmu jeni s apapun.
Mungkin ilmu kanuragan. Tetapi mungkin juga ilmu bercocok
tanam, berternak dan memelihara ikan di kolam-kolam.
Semuanya itu akan bermanfaat bagi keluarga mereka yang
mereka tinggalkan dan menunggu mereka kembali dengan
kemampuan yang bertambah.
Demikianlah, maka di keesokan harinya, sebuah iringiringan
telah keluar dari padepokan itu. Padepokan y ang juga
merupakan kuburan bagi orang yang telah mengaku bernama
Kiai Nagateleng bersama dengan para pengikutnya.
Namun sebelum mereka meninggalkan padepokan itu, Ma -
hisa Murti telah memerintahkan untuk membenahi
padepokan itu sehingga kelihatan tertib. Meski pun disana-sini
terdapat kerusakan, tetapi segala sesuatunya tidak
ditinggalkan begitu saja berserakan.
Para penghuni padukuhan di sebelah menyebelah
padepokan itu pada jarak yang agak jauh merasa gembira
dengan hapusnya padepokan y ang tidak lebih dari sarang
perampok dan peny amun. Tetapi tidak seorang pun bahkan
para bebahu padukuhan yang berani mengganggu gugat,
karena padepokan itu m emiliki kekuatan yang sangat besar.
Namun yang akhirnya dihancurkan oleh orang-orang y ang ada
di dalam padepokan itu sendiri meski pun apinya juga dijebak
ke dalam padepokan itu. Namun padepokan itu sendiri
ternyata telah menimbun minyak di dalam barak-baraknya
sehingga ketika api disulut, ledakan y ang dahsy at telah terjadi.
Orang-orang y ang terjebak itu tidak memerlukan waktu
yang panjang untuk m encapai padepokan berikutnya. Ketika
mereka memasuki pintu gerbang padepokan, mereka langsung
merasakan betapa jauh perbedaan suasana dari kedua
padepokan itu. Demikianlah, maka Kiai Patah sendiri telah menerima
orang-orang yang menyatakan keinginannya untuk tinggal di
padepokan itu. Satu jumlah y ang terhitung banyak sejak
padepokan itu didirikan. Biasanya tambahan penghuni
padepokan itu tidak lebih dari satu dua orang. Itu pun belum
tentu sebulan sekali. Namun kali ini beberapa orang bersamasama
telah datang dalam satu iring-iringan.
Setelah disuguhkan minum dan makanan, maka Kiai Patah
pun telah menguraikan beberapa persy aratan untuk dapat
diterima menjadi cantrik di padepokan itu. Bukan saja
persy aratan lahiriah. Tetapi juga kesediaan jiwani untuk
menerima ajaran y ang akan diterima di padepokan itu.
Ternyata keterangan Kiai Patah telah membuat hati orangorang
itu merasa sejuk. Mereka belum pernah mendengar
petunjuk dan petuah y ang berarti bagi hidup m ereka di hari
kemudian. Ketika mereka terjebak ke dalam padepokan yang
liar itu, y ang mereka alami setiap hari adalah bentakanbentakan
ka sar. Lecutan cam buk dan bahkan pukulanpukulan
carang bambu ampel y ang melukai tubuh mereka.
Satu dua diantara m ereka pernah mengalami hukuman yang
lebih berat. Diikat pada tonggak-tonggak di panasnya
matahari dan di dinginnya embun di malam hari.
Karena itu, m ereka merasa sangat berterima kasih bahwa
mereka telah diterima di padepokan y ang terasa sejuk bukan
sa ja oleh hijaunya dedaunan di halaman, tetapi juga oleh sikap
Kiai Patah dan para cantrik di padepokan itu.
"Malam nanti kalian akan tidur di serambi-serambi barak
di padepokan ini," berkata Kiai Patah: "kami masih belum
dapat meny ediakan tempat y ang lebih baik. Kalian datang
dengan tiba-tiba dalam jumlah y ang terlalu banyak bagi
padepokan kecil kami," berkata Kiai Patah. Namun kemudian
Kiai Patah itu pun berkata: "Tetapi apa y ang telah aku katakan
bukan berarti bahwa di padepokan ini tidak ada paugeran yang
harus dilaksanakan dengan tertib. Setiap padepokan tentu
memilikinya. Demikian padepokan ini. Kita harus
menegakkan paugeran y ang kita susun berdasarkan atas
pertimbangan dari berbagai sudut. Pengalaman yang panjang
serta perhitungan buat menghadapi masa depan. Kami pun
mengenal hukuman bagi mereka yang melanggar paugeran.
Namun kami tidak pernah m enutup pintu bagi m ereka yang
merasa berkeberatan atas paugeran itu untuk meninggalkan
padepokan ini. Padepokan tanpa ikatan paugeran yang kokoh


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan banyak berarti. Karena di padepokan, kalian akan
ditempa untuk meny ongsong masa depan yang keras dan
berat." Orang-orang itu pun mengangguk-angguk. Mereka
memang tidak merasa berkeberatan. Sikap y ang mereka
hadapi di padepokan itu bagi m ereka adalah sikap kebapaan
yang meny ejukkan. Ketika orang-orang baru itu kemudian beristirahat, maka
Kiai Patah telah menunjuk ampat orang cantriknya yang
terbaik untuk memimpin orang-orang itu. Keempat orang itu
harus mengetahui dengan past i sangkan-paran setiap orang
yang datang ke padepokan mereka itu. Dari mana mereka
datang, orang tua dan asal-usul mereka, serta untuk apa
mereka datang berguru. Keempat orang cantrik itu mendengarkan pesan Kiai Patah
dengan saksama. Mereka sadar, bahwa mereka akan mendapat
tugas y ang berat. S elama ini m ereka adalah orang -orang yang
masih selalu mendapatkan bimbingan dalam banyak hal.
Namun mereka akan segera mendapat tugas untuk
membimbing beberapa orang meski pun mereka sadar, bahwa
Kiai Patah tentu tidak akan melepaskan mereka.
"Kalian bukan lagi seorang cantrik atau jejanggan. Tetapi
kalian akan diangkat menjadi Putut yang akan membantuku
memimpin padepokan ini. Bahkan pada suatu saat kalian
benar-benar akan menjadi pemimpin padepokan yang baik,"
berkata Kiai Patah. Keempat orang cantrik yang akan diwisuda m enjadi Putut
itu m enundukkan kepala. Dengan sungguh-sungguh mereka
mendengarkan pesan Kiai Patah lebih lanjut: "Kalian harus
memantulkan kepemimpinan Kiai Nagateleng. Kalian akan
menunjukkan kepada setiap orang y ang berhubungan dengan
padepokan ini, bahwa bekas tangan Kiai Nagateleng masih
nampak jelas pada tangan-tangan kalian. Kesabaran,
ketekunan dan kedamaian. Tetapi kalian adalah orang-orang
yang siap menolong siapa pun yang mengalami kesulitan.
Seperti anak-anak muda yang datang ke padepokan kami dan
kemudian m embawa orang-orang y ang hampir putus a sa itu
kemari. Mereka menjalani laku dengan tapa ngrame. Satu laku
yang termasuk salah satu dari laku yang terbaik. Yang berarti
bagi banyak orang y ang memerlukan pertolongannya."
Keempat orang itu mengangguk-angguk kecil.
"Nah," berkata Kiai Patah, "sebelum kalian m ulai dengan
tugas kalian, maka sebaiknya kalian melihat ke dalam diri
kalian. Apakah kalian sudah benar-benar b ersiap untuk tugas
itu. Tentang ilmu kanuragan, aku y akin, bahwa kalian telah
memiliki k emampuan sampai ke puncak ilmu yang diberikan
oleh Kiai Nagateleng. Tetapi k eutuhan seseorang tidak dapat
dilihat hanya dari satu sisi. Olah kanuragan."
Keempat orang itu masih saja mengangguk-angguk.
Seorang diantara mereka pun kemudian berkata: "Baiklah
Kiai. Kami akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya."
"Tidak seorang pun yang tidak mempunyai cacat. Kita
masing-masing juga m empunyai cacat. Karena itu, maka hal
itu harus kita sadari. Harus kita ketahui kelemahan dan
kekurangan kita masing-masing sehingga akan dapat
dilakukan yang paling baik dari antara y ang cacat itu," berkata
Kiai Patah lebih lanjut. "Kami berjanji Kiai," jawab seorang diantara keempat orang
itu, "apa y ang akan kami lakukan adalah satu pengabdian.
Mudah-mudahan kami dapat memberikan arti pada hidup
kami." "Terima kasih," berkata Kiai Patah, "aku yang baru sesaat
memegang pimpinan di padepokan ini, merupakan
kepanjingan kebijaksanaan yang selama ini telah dirintis oleh
Kiai Nagateleng. Kita semuanya harus berusaha untuk tidak
menodai padepokan ini."
Keempat orang itu mengangguk-angguk.
"Baiklah," berkata Kiai Patah, "pada saatnya kita akan
mulai dengan tugas yang bagi padepokan kecil ini terhitung
tugas yang besar. Mudah-mudahan kita dapat m elakukannya
dengan baik. Aku masih akan minta anak-anak muda itu untuk
tinggal barang satu dua hari di padepokan ini. Mereka t entu
akan dapat m emberikan banyak petunjuk kepada kita, karena
meski pun mereka masih muda, namun mereka telah memiliki
pengalaman yang sangat luas. Apalagi kini mereka telah
memiliki sepa sang keri s yang nilainya sangat tinggi itu."
Tetapi Kiai Patah sama sekali tidak pernah m eny inggung
sepasang keris yang disebut sebagai pedang itu dengan anakanak
muda itu sendiri. Kiai Patah y ang mengerti arti dari
sepasang pusaka itu ikut bersyukur bahwa pusaka itu justru
jatuh ke tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Pusaka yang
memiliki nilai y ang sangat tinggi itu, akan menjadi sangat
berbahaya jika jatuh ke tangan orang-orang yang berhati
hitam. Demikianlah, maka Kiai Patah pun kemudian telah
menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pula. Meski
pun agak ragu-ragu, tetapi Kiai Patah minta mereka untuk
tinggal satu dua hari di padepokan itu.
"Aku tahu bahwa kalian ingin segera sampai ke padepokan.
Tetapi kami mohon bantuan untuk mengatur segala
sesuatunya karena kehadiran beberapa orang sekaligus di
padepokan ini." Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak dapat ingkar.
Merekalah y ang membawa orang -orang itu. Karena itu, maka
mereka pun harus ikut bertanggung jawab. Baru setelah
penempatan mereka menjadi tertib, m aka mereka akan dapat
meninggalkan padepokan itu dengan tenang.
Dalam pada itu, maka di hari berikutnya Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya telah ikut menentukan, di mana akan
dibangun barak baru bagi orang-orang yang datang itu.
Kemudian di hari berikutnya lagi, mereka sudah m emasang
patok di hutan-hutan yang memang dicadangkan bagi
padepokan itu apabila diperlukan oleh Ki Buyut, sehingga
dengan demikian maka pembukaan hutan yang dilakukan oleh
para penghuni padepokan itu tidak akan mengganggu
keseimbangan kehidupan. Para pemimpin padepokan serta orang-orang yang baru
datang itu kemudian telah berbicara, y ang mana y ang akan
mereka kerjakan l ebih dahulu. Apakah mereka akan menebas
hutan untuk tanah persawahan dan pategalan atau mereka
akan membangun barak-barak lebih dahulu.
Orang-orang yang baru datang di padepokan itu m emang
merasa canggung untuk ikut berbicara. Mereka tidak terbia sa
menyatakan pendapatnya, apalagi dihadapan pimpinan
padepokan. Mereka terbiasa melakukan perintah, bahkan
mirip dengan perbudakan sehingga m ereka sama sekali tidak
berhak untuk menyatakan pendapat mereka.
Karena itu, ketika mereka dibawa kedalam satu
perundingan maka mereka benar-benar tidak banyak dapat
mengeluarkan pendapat mereka, kecuali beberapa orang yang
memang berjiwa besar dan tabah. Itu pun hanya sepatahpatah
kata. Tetapi y ang sepatah-sepatah itu dapat merupakan
ungkapan dari perasaan mereka semuanya.
Akhirnya diputuskan, bahwa nereka akan m embuka hutan
lebih dahulu. Untuk sementara mereka sudah dapat
berlindung di serambi-serambi dan di bangsal-bangsal kecil di
padepokan, sehingga k ebutuhan barak-barak yang lebih baik
tidak terlalu mendesak. Mahisa Vlurti dan saudara-saudaranya ternyata tidak
sampai hati meninggalkan orang-orang itu pada hari kedua. la
pun tidak ingin melihat Kiai Patah menjadi terlalu sibuk.
Demikian pula cantrik-cantriknya. Kehadiran sekian banyak
orang memang memerlukan kerja yang keras dan tidak
mengenal jenuh. Ketika semuanya sudah siap, maka Kiai Patah telah
menemui Ki Buyut untuk menyatakan bahwa mereka telah
siap untuk benar-benar membuka hutan y ang telah
disediakan. "Kami saat ini sangat memerlukan, Ki Buyut," berkata Kiai
Patah. "Ternyata perhitunganku terbukti," berkata Ki Buyut.
"Tentang apa Ki Buyut "," bertanya Kiai Patah y ang dikenal
dengan nama Kiai Semangin.
"Padepokan itu akan berkembang semakin besar. Tetapi
kami sama sekali tidak berkeberatan. Kami merasa senang
bahwa di Kabuyutan ini terdapat sebuah padepokan.
Sementara itu padepokan yang lain telah terhapus dari
Kabuyutan ini ju stru oleh para cantrik itu sendiri," berkata Ki
Buyut. "Beberapa diantara mereka datang ke padepokan
kami"desis Kiai Semangin, "mereka benar-benar ingin
berguru. Tetapi mereka telah terjebak."
"Ternyata Kiai tidak perlu bertindak atas padepokan itu,"
berkata Ki Buyut. "Sebenarnya kami memang sudah bersiap-siap bersama
dengan anak-anak muda Kabuyutan ini. Bukankah hal itu
sudah dilaporkan kepada Ki Buyut " "
"Ya. Aku sudah menerima laporan itu dan aku sudah
memerintahkan kepada setiap Bekel di Kabuyutan ini agar
mereka ikut membantu. Bukan hanya Ki Bekel yang terletak di
paling dekat dengan padepokan itu," jawab Ki Buyut. "Namun
Kiai tidak perlu melakukannya."
"Ya. Yang Maha Agung masih melindungi para cantrik dan
anak-anak muda di Kabuyutan ini, sehingga tidak perlu jatuh
korban untuk membersihkan padepokan itu," berkata Kiai
Semangin. Lalu katanya pula: "Dan sekarang, aku harus
bersiap untuk mengambil alih kedudukan padepokan itu
sebagai tempat untuk menyadap ilmu. Bukan sebagai tempat
perbudakan dan bahkan pembantaian."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya: "Tetapi Kiai harus
berhati-hati. Mereka sudah agak lama berada di padepokan
itu. Meski pun mereka memberontak, namun mereka pun
tentu telah disusupi oleh sifat dan watak dari padepokan itu."
"Ya Ki Buyut," jawab Kiai Semangin, "kami akan mencoba
untuk bukan saja m enempa mereka dalam berbagai m acam
ilmu, termasuk ilmu bertani dan berternak serta olah
kanuragan, tetapi kami juga berusaha untuk m empengaruhi
sifat dan watak mereka sehingga padepokan kami tidak akan
mengalami persoalan dengan mereka kelak. Paugeran yang
sudah ditanamkan oleh Kiai Nagateleng, hendaknya menjadi
landasan padepokan kami untuk seterusnya."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
bertanya: "Apakah Kiai memerlukan bantuan?"
"Terima kasih Ki Buyut," berkata Kiai Semangin, "kami
akan mencoba bekerja keras dengan tenaga y ang ada pada
kami, Hanya jika keadaan m emaksa maka kami akan mohon
bantuan dari Ki Buyut."
"Baiklah," berkata Ki Buyut, "aku sudah melakukan
pengamatan seperlunya. Hutan yang kami sediakan bagi
padepokan Kiai tidak akan mengganggu lingkungan
kehidupan di sekitarnya. Juga lingkungan hutan itu sendiri.
Karena itu, maka jika kalian sudah siap untuk mulai, silahkan.
Jika kemudian ternyata kalian memerlukan bantuan kami,
maka kami pun akan membantu sejauh dapat kami lakukan.
"Terima kasih Ki Buyut," jawab Kiai Semangin, "besok kami
akan mulai menebang hutan itu. Sementara itu, kayu -kayunya
akan dapat kami pergunakan untuk membangun barak-barak
di padepokan kami bagi keluarga kami yang baru itu."
Demikianlah, maka Kiai Semangin serta para penghuni
padepokan yang lain, bukan saja y ang baru datang, akan mulai
dengan satu kerja y ang cukup besar.
Penghuni padepokan itu, atas ijin Ki Buyut telah mulai
menebang kekayuan di hutan yang telah ditandai dengan
patok-patok y ang dihubungkan dengan tali lawe.
Pekerjaan itu bukan pekerjaan yang ringan. Mereka harus
bekerja dengan mengerahkan segenap tenaga y ang ada di
padepokan. Mereka pun harus sangat berhati-hati, karena
merobohkan pohon-pohon besar adalah satu pekerjaan yang
berbahaya. Jika pohon-pohon y ang ditebang itu menimpa
seseorang, maka orang itu tentu akan menjadi lumat.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya ternyata telah
melibatkan diri dalam kerja itu. Ia tidak dapat begitu saja
meninggalkan Kiai Patah setelah meny erahkan beberapa
orang dari padepokan y ang rapuh dan dihancurkan dari dalam
karena ketamakan para pemimpinnya itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
telah tertahan tidak hanya satu dua hari. Tetapi mereka telah
sepekan berada di padepokan itu.
Dalam sepekan telah banyak y ang dihasilkan. Satu daerah
yang cukup luas telah terbentang. Meski pun masih belum
diratakan karena pokok-pokok kayu yang ditebangi masih
belum dapat diangkat seluruhnya. Tetapi sebagian dari hutan
yang telah terbuka itu mulai dapat ditanami dengan palawija.
Ubi kayu, jalar dan beberapa jeni s tanaman yang lain.
Sehingga dengan demikian, maka orang-orang y ang ada di
padepokan itu untuk masa beberapa bulan lagi, t idak akan
kekurangan bahan m akanan. Namun sebelum mereka mulai
dapat m emetik hasil tanaman itu, maka padepokan itu masih
harus m embeli beras dan jagung, karena persediaan yang ada
tidak mencukupi untuk makan para penghuninya yang dengan
tiba -tiba telah bertambah dengan jumlah yang cukup banyak.
Sementara itu, para cantrik dari padepokan itu terutama
mereka y ang baru datang, telah membawa balok-balok kayu ke
padepokan. Seisi padepokan itu mulai m embagi diri m enjadi
dua kelompok. Satu kelompok membersihkan tanah yang
sudah dibuka dan mengolah tanah sehingga dapat ditanami
meski pun untuk sementara masih belum dapat ditanami
dengan padi karena masih harus meny iapkan parit untuk
mengalirkan air. Sedang kelompok y ang lain mulai
membangun barak-barak y ang akan dipergunakan bagi orangorang
baru yang untuk sementara masih ditempatkan di
serambi-serambi dan bangsal -bangsal kecil y ang biasanya
untuk kepentingan-kepentingan lain dalam hubungannya
dengan peningkatan kemampuan dalam berbagai macam ilmu
bagi para cantrik. Dalam pada itu, maka Kiai Patah mulai memberikan tugastugas
kepemimpinan kepada ampat orang y ang disiapkan
untuk diangkat menjadi pembantunya sebagai Putat. Setiap
orang telah diserahi untuk memimpin sekelompok cantrik
yang baru saja memasuki padepokan itu, sehingga mereka


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali belum memiliki dasar -dasar kemampuan olah
kanuragan sama sekali. "Tetapi kalian harus m elihat apakah mereka sudah pernah
Keberanian Manusia 1 Pendekar Rajawali Sakti 90 Rajawali Murka Mahkota Cinta 2
^