Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 5

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 5


serba sedikit mendapat tuntutan olah kanuragan di
padepokannya y ang lama meski pun dengan cara apa pun
juga. Jika demikian maka mereka harus dibersihkan dahulu
dari dasar-dasar ilmu kanuragan itu. Sehingga kemudian
mereka bersama-sama akan mulai dari tataran yang paling
rendah dan tidak dikotori dengan unsur-unsur dari jenis ilmu
yang lain, apalagi y ang berasal dari sumber yang keruh," pesan
Kiai Patah. Keempat orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang
di-antara mereka berkata: "Bagaimana sekiranya anak-anak
muda itu diminta untuk berada di padepokan ini bersama
kita" " Kiai Patah y ang dikenal dengan nama Kiai Semangin itu
menggeleng. Katanya: "Mereka adalah pemimpin dari sebuah
padepokan y ang barangkali lebih besar dari padepokan kita
yang kecil ini." "Tetapi kenapa mereka mengembara"," bertanya yang lain.
"Bukankah aku pernah mengatakannya, bahwa bagi mereka
pengembaraannya itu merupakan laku"," sahut Kiai
Semangin. Keempat orang itu mengangguk-angguk. Kiai Semangin
memang pernah berceritera tentang laku y ang dijalani oleh
anak-anak muda itu. Tapa Ngrame.
Namun selagi anak-anak muda itu masih di padepokan,
maka keempat orang itu minta mereka untuk membantu
menilai para cantrik y ang baru saja datang itu. Tanpa setahu
orang-orang itu, maka keempat putut itu telah melakukan
pengamatan dan penilaian. Satu demi satu mereka telah
dipanggil untuk menghadap. Para cantrik yang sudah
dipersiapkan untuk menjadi Putut itu telah memancing
keterangan dari para cantrik itu tentang diri mereka, sikap
mereka serta tujuan mereka. Dari pembicaraan itu maka akan
tercermin sikap dan pribadi setiap orang diantara mereka.
Ternyata bahwa Kiai Semangin y ang menyaksikan
pembicaraan antara para cantrik yang diangkat menjadi
pembantunya itu telah mengajak Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pula untuk ikut menilai.
Pa da umumnya orang-orang itu telah menjawab dengan
jujur. Jika mereka berada di padepokan yang sudah terkoyakkoy
ak itu adalah karena mereka benar-benar telah terjebak.
Dengan demikian maka tidak ada kecurigaan lagi dari
diantara para pemimpin padepokan itu terhadap orang-orang
yang baru datang. Namun demikian Kiai Semangin masih juga
berpesan kepada ampat orang cantrik yang dipercaya itu
untuk tetap berhati-hati.
Mungkin pengaruh buruk selama mereka terjebak di padukuhan
sebelah itu berhasil diedapkan. Tetapi pada suatu
saat, jika jiwa orang itu teraduk, maka mungkin sekali
pengaruh itu akan mencuat lagi ke permukaan.
Karena itu, maka Kiai Semangin pun berkata: "Amati setiap
pribadi dengan saksama. Jangan sekedar melihat ujud
keseluruhan. Persoalan yang timbul terhadap seseorang
akibatnya akan dapat berbeda jika persoalan y ang sama timbul
pada orang lain." Keempat orang yang dipercaya oleh Kiai Semangin itu
mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata: "Kami
akan selalu memberikan laporan bagi setiap perkembangan, "
Namun dalam pada itu, ketika segalanya m enjadi mapan,
maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun merasa
bahwa mereka tidak perlu untuk terlalu lama berada di
padepokan itu. "Segala sesuatunya sudah menjadi semakin tertib. Barak
telah dibangun, sementara tanah y ang dibuka, sebagian sudah
dapat ditanami palawija. Jika parit itu kemudian sudah
mencapai tanah yang dibuka itu, maka akan segera dapat
dibuat kotak-kotak sawah untuk menanam padi. Jika mereka
menanam padi genjah, maka dalam tiga bulan mereka sudah
dapat memetik hasilnya. Sedangkan jika musim hujan segera
datang, maka tanpa menunggu parit itu, tanah itu akan segera
dapat ditanami padi pula," berkata Mahisa Murti.
Kiai Semangin mengangguk-angguk. Katanya: "Ya anakanak
muda. Nampaknya mereka memang sudah mapan.
Dalam waktu y ang tidak lama lagi, mereka akan dapat
menempati barak-barak m ereka yang baru. Meski pun tidak
cukup baik, tetapi barak-barak itu akan cukup memadai."
"Lebih dari cukup Kiai," jawab Mahisa Murti: "beberapa
orang y ang tangannya terampil telah mampu menganyam
dinding bambu yang kuat dengan rangkapan kepang yang
dianyam halus sehingga udara didalamnya tetap sejuk tetapi
tidak dingin. Atap ijuk pun memberikan kehangatan di malam
hari, t etapi tidak panas. Orang-orang itu tentu m erasa sangat
berterima kasih terhadap kelengkapan y ang mereka terima
disini. Di tempat-tempat yang lama mereka berada di gubuggubug
yang tidak lebih baik dari kandang kuda. Tetapi lebih
dari itu, perlakuan para pemimpin padepokan ini terasa jauh
lebih baik dari yang pernah mereka alami di padepokan yang
hancur itu." Kiai Semangin mengangguk-angguk. Katanya: "Baiklah
anak-anak muda. Jika kalian memang harus meninggalkan
kami, maka aku tidak akan dapat m enahan kalian lebih lama
lagi. Aku pun tahu bahwa kalian sudah terlalu lama
mengembara. Banyak perubahan telah terjadi. Tetapi sayang,
bahwa Kiai Nagateleng sudah tidak ada."
"Kami juga meny esal Kiai," jawab Mahisa Murti: "tetapi
kami tidak mengetahui bahwa kami akan terlambat."
"Aku berharap bahwa Kiai Nagateleng akan dapat
membantu kalian dalam banyak hal. Tetapi nampaknya kalian
sudah tidak hanya berdua," berkata Kiai Patah tanpa
menyebut-kepentingan kedua orang anak muda itu.
Mahisa Murti di luar sadarnya telah berpaling kepada
Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Baru sejenak kemudian Kiai Patah yang disebut Kiai
Semangin itu bertanya: "Kapan kalian akan berangkat" "
"Besok kami akan meneruskan perjalanan," jawab Mahisa
Murti. "Malam nanti kita akan berkumpul. Mungkin ada pesan
yang dapat kau berikan kepada para cantrik, khususnya yang
kau bawa dari padepokan sebelah," berkata Kiai Semangin.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya: "Baik Kiai.
Nanti kami akan minta diri."
Namun dalam pada itu, ketika Kiai Patah sempat berbicara
hanya dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada
kesempatan lain, maka Kiai Patah itu pun bertanya:
"Bagaimana pendapatmu dengan orang-orang yang
menyertaimu" " "Seorang y ang kami anggap paman kami adalah orang y ang
menyatakan diri untuk meny ertai perjalanan kami. Ia hanya
ingin tinggal bersama kami. Tidak lebih. Sedangkan kedua
orang yang lain, aku harapkan akan dapat menjadi kekuatan
masa datang. Terutama anak itu."
Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya: "Aku melihat
kelebihannya. Ketika ada waktu, tanpa orang lain, anak itu
berlatih di pinggir hutan. Sementara y ang lain beristirahat,
anak itu mempergunakan waktu sebaik-baiknya tanpa orang
lain. Namun aku ingin berpesan, jagalah agar anak itu tidak
terlalu sering berlatih tanpa pengawasan seperti y ang sempat
aku lihat di pinggir hutan saat kami membuka hutan itu."
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Ternyata keduanya
terlalu sibuk bersama para cantrik, sehingga mereka tidak
melihat anak itu berlatih sendiri.
"Anak itu melakukan gerakan y ang sebenarnya masih
belum perlu dilakukannya, meski pun ia dapat melakukan
dengan baik ?"berkata Kiai Patah.
"Terima kasih Kiai," desis Mahisa Murti.
"Nampaknya anak itu memang sulit dikendalikan,"
sambung Mahisa Pukat. "Agaknya memang demikian," desis Kiai Patah: "tetapi
kami berusaha sebaik-baiknya untuk mencegahnya."
Mahisa. Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
mengiakan. Ternyata ketajaman penglihatan Kiai Patah telah
menangkap sesuatu yang memang perlu m endapat perhatian
khusus. Tetapi lebih dari itu, peringatan itu merupakan
peringatan baginya bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
ternyata masih belum dapat menempatkan dirinya benarbenar
sebagai seorang guru yang lengkap. Mereka bukan saja
harus memberikan pengetahuan, tetapi juga mengawasi
dengan tertib, apa yang dilakukan oleh murid-muridnya,
justru dengan bahan-bahan y ang telah diberikannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata:
"Baiklah Kiai. Aku ternyata masih harus banyak belajar untuk
mampu benar-benar bertindak sebagai seorang guru. Tetapi
untuk selanjutnya aku akan belajar dari pengalaman dan
petunjuk-petunjuk dari siapa pun juga. Apa yang Kiai
nasehatkan kepada kami berdua adalah sangat berarti. Bukan
sekedar perhatian kami terhadap anak itu. Tetapi adalah dasar
dari kekurangan itu sendiri."
Kiai Patah terseny um. Katanya: "Tidak ada orang y ang
mempunyai bekal y ang lengkap. Tentu ada kekurangankekurangannya.
Mungkin secara kebetulan aku melihat
kekurangan kalian. Tetapi, pada kesempatan lain, kalian atau
orang lain akan melihat kekuranganku." Kiai Patah itu
berhenti sejenak, lalu, "Tetapi m enurut pengamatanmu, anak
itu memang menyimpan sesuatu yang tidak dimiliki oleh anakanak
sebay anya. Satu yang pasti, kemauan anak itu sangat
besar untuk dapat menerima warisan yang kalian berikan
kepadanya. Ia tidak ingin mengecewakan guru-gurunya yang
dengan sungguh-sungguh telah mengasuhnya meski pun
dengan cara y ang khusus, karena kalian selama ini masih
dalam pengembaraan."
Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mahisa
Pukat berdesis: "Kami memang baru mempersiapkannya Kiai.
Tetapi ternyata anak itu m aju terlalu pesat, sehingga kamilah
yang telah terseret arus kemauannya."
Kiai Patah mengangguk-angguk sambil berkata: "Aku
sependapat. Karena itu, maka kalian sebaiknya melakukan
pengamatan khusus dengan teliti terhadap semua
kemungkinan dalam dirinya. Kalian harus mencari kekuatan
yang paling menonjol diantara kekuatan-kekuatannya. Dengan
demikian, kalian akan dapat memanfaatkan kekuatan itu
untuk mengembangkan ilmu anak itu. Mungkin dengan
demikian, kalian akan dapat lebih cepat mencapai satu tataran
yang kalian kehendaki pada anak itu. Sudah tentu bahwa
kalian tidak akan dapat m embuat anak itu menguasai t erlalu
banyak hal. Jika kalian berdua memiliki berbagai macam ilmu
itu, karena kalian dapat mengungkit kekuatan di dalam diri
anak itu, mungkin ia akan dapat menjadi seorang anak muda
seperti kalian." "Mudah-mudahan Kiai," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi yang kita bicarakan itu adalah kelebihan anak itu
dalam ilmu kanuragan," berkata Kiai Patah.
"Jadi"," bertanya Mahisa Murti.
"Keutuhan seseorang tidak hanya terdapat dalam ilmu
kanuragan dan pengetahuan tentang lingkungannya," berkata
Kiai Patah: "tetapi kita juga harus berbicara tentang sifat dan
wataknya. Jika ia memiliki ilmu dan pengetahuan, namun sifat
serta wataknya tidak mendukungnya, maka ia justru akan
menjadi orang y ang sangat berbahaya. Karena itu, jika kalian
ingin membentuk anak itu, kalian harus membentuknya dalam
keutuhannya. Ilmu, pengetahuan dan wataknya, sehingga
keseluruhan pribadinya dapat kalian banggakan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata: "Aku mengerti
Kiai." "Hal ini berlaku juga terhadap murid-murid y ang lain.
Nampaknya anak muda yang kau bawa mengembara itu juga
akan kau bentuk m enjadi seorang y ang berilmu tinggi. Meski
pun bekal alami y ang ada di dalam diriny a tidak sekuat anak
itu, tetapi anak muda itu juga mempunyai kesungguhan. Ia
akan dapat m enyadap ilmu yang kalian berikan dengan baik,"
berkata Kiai Patah selanjutnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menganggukangguk.
Sementara Kiai Patah berkata pula: "Memang agak
berbeda dengan orang yang kalian sebut Paman Wantilan. Ia
sudah terbentuk. Namun sayang bahwa dasar dari ilmunya
nampaknya kurang mey akinkan. Aku tidak dapat melihat
dengan pasti karena untuk itu aku harus melihatnya benarbenar
b ertempur atau m elepaskan semua unsur gerak dalam
satu latihan khusus. Tetapi sekilas dapat aku tangkap beberapa
kekurangan dasar pada orang itu. Meski pun demikian bukan
berarti bahwa ia sama sekali tidak mempunyai kemampuan.
Sampai saat ini ia masih belum ketinggalan dari anak muda
yang kau sebut Mahisa Semu itu. Tetapi perkembangan ilmu
anak muda itu akan jauh lebih cepat dari Wantilan. Namun
demikian, kau tidak boleh mengecewakannya. Meski pun
menurut pengakuannya ia hanya akan sekedar ikut meny ertai
kalian, tetapi tentu ia ingin meningkatkan ilmunya pula. Dan
itu masih memungkinkan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng
menjawab: "Ya Kiai."
"Nah, ternyata kalian akan benar-benar disebut sebagai
guru. Hal itu akan memaksa kalian untuk bertanggung jawab
atas sebutan itu," berkata Kiai Patah pula.
Kiai Patah masih memberikan beberapa pesan kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka memang masih
memerlukan banyak pengalaman untuk dapat menjadi
seorang guru y ang baik. Namun menurut Kiai Patah, kedua
anak muda itu telah memiliki ilmu yang cukup. Meski pun Kiai
Patah sama sekali t idak meny ebut-ny ebut tentang sepa sang
pusaka y ang juga dikenalinya itu, namun Kiai Patah merasa
semakin y akin akan kemampuan kedua orang anak muda itu.
Seperti y ang direncanakan, maka ketika malam turun,
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah berkumpul
bersama-sama para cantrik dari padepokan itu. Termasuk
para cantrik yang baru. Justru pertemuan itu lebih banyak
diperuntukkan bagi mereka, karena Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya akan minta diri.
Ketika salah seorang diantara para cantrik y ang baru itu
diberi kesempatan untuk berbicara mewakili kawankawannya,
maka dengan tulus ia mengucapkan terima kasih


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas bantuan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sehingga
mereka dapat keluar dari neraka y ang mengerikan itu.
"Tanpa bantuan kalian, barangkali kami masih berada di
dalam kerangkeng-kerangkeng y ang sempit dan pengab.
Bahkan ada diantara kami y ang diikat dengan tiang-tiang bilik
yang sempit dan gelap. Ada pula yang diikat pada tiang -tiang
di halaman sehingga di siang hari dibakar oleh teriknya cahaya
matahari, sedangkan di malam hari, basah oleh titik -titik
embun y ang dingin. Yang lain selalu dilecuti dalam latihanlatihan
y ang ternyata tidak berarti sama sekali dengan
cambuk, cemeti atau rotan," berkata orang itu dengan suara
yang patah-patah. Kemudian: "Sekarang kami merasakan
kebebasan itu. Kami y ang semula merasa bahwa derajad kami
tidak lebih baik dari seekor binatang, kini kami merasa bahwa
kami t elah dianggap sebagaimana manusia y ang lain. Karena
itu, maka kami justru merasa, bahwa kami telah berhutang
budi tanpa dapat untuk m embayar kembali dengan cara apa
pun juga." Mahisa Murtilah y ang kemudian berbicara kepada mereka.
Selain minta diri, maka Mahisa Murti pun berkata:
"Pengalaman pahit itu hendaknya menjadi pendor ong bagi
kalian, bahwa kalian tidak akan memperlakukan orang lain
dengan semena-mena. Meski pun seandainya kalian m ampu
melakukannya karena kalian berilmu. Tetapi kalian harus
selalu ingat, bahwa betapa pun tinggi ilmu seseorang, namun
di hadapan Yang Maha Agung, kita tidak lebih dari sebutir
debu yang tidak berarti sama sekali. Karena itu, selagi kita
masih sempat, maka kita harus menunjukkan pengabdian kita
yang tulus terhadap Yang Maha Agung dan sesama."
Ternyata pesan Mahisa Murti benar-benar mampu meresap
ke dalam hati para cantrik yang merasa telah ditolongnya.
Mereka memang merasa berat untuk melepaskan Mahisa
Murti dan saudara-saudaranya itu meninggalkan mereka. Bagi
mereka, Mahisa Murti dan saudara-saudarnya adalah orangorang
y ang sangat berarti bagi hidup mereka.
Tetapi Mahisa Murti berkata kepada mereka: "Kiai
Semangin mengerti segala-galanya. Bahkan Kiai Nagateleng
yang sebenarnya pun telah mengetahui bahwa ada sebuah
padepokan yang telah menjebak banyak orang. Tetapi Kiai
Semangin tidak dapat bergerak dengan tergesa -gesa sebelum
mendapat cukup bahan-bahan dan bukti yang meyakinkan."
Namun Kiai Semangin yang juga disebut Kiai Patah itu
memotong: "Tetapi ternyata bahwa anak-anak muda itulah
yang datang menolong kalian. S elama itu agaknya aku hanya
mempunyai niat saja, tanpa berbuat apa-apa. Sementara anakanak
muda itu telah melakukannya dan ternyata apa yang
mereka perbuat menjadi sangat berarti bagi kalian."
Mahisa Muai menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata: "Kami adalah sekedar peny ambung kuasa
tangan Yang Maha Agung."
Demikianlah, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
sempat berbincang sampai jauh malam. Namun akhirnya Kiai
Patah pun menutup pertemuan itu. Katanya: "Berilah
kesempatan anak-anak muda itu beristirahat."
Namun ketika pertemuan itu benar-benar selesai, Mahisa
Amping telah memejamkan matanya meski pun ia masih tetap
duduk di tempatnya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
pun telah kembali ke dalam bilik mereka. Mereka
benar-benar ingin beristirahat, karena esok mereka akan
menempuh perjalanan y ang panjang. Kembali ke padepokan
Bajra Geni. Padepokan y ang m asih baru dan y ang ditunggui
oleh Mahendra, ay ah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
sudah terlalu tua untuk melakukan tugas-tugas yang berat,
sehingga Mahendra telah menghentikan pekerjaannya,
berdagang wesi aji dan batu-batu berharga.
Malam itu tidak terjadi sesuatu yang dapat m engganggu
istirahat m ereka. Pagi -pagi benar kelima orang itu pun telah
berbenah diri. Tetapi ternyata beberapa orang cantrik telah
bangun lebih pagi lagi untuk menyiapkan makan pagi mereka.
Sambil makan Mahisa Murti masih sempat juga
memberikan pesan kepada beberapa orang cantrik yang
mewakili kawan-kawannya, bahwa hutan y ang dibuka itu
harus mereka anggap sebagai sahabat mereka. Karena itu,
mereka tidak dapat berbuat sesuka hati.
Demikianlah m enjelang matahari naik, Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya telah bersiap meninggalkan padepokan
yang dipimpin oleh Kiai Semangin itu. Namun sebelum
mereka meninggalkan regol padepokan, Mahisa Murti masih
juga berkata: "Pada suatu saat, aku ingin kembali lagi ke
padepokan ini. Padepokan ini terhitung sudah tidak t erlalu
jauh lagi dari padepokan kami meski pun masih harus
bermalam di perjalanan. Kiai masih belum berceritera tentang
Kiai sendiri selama kami berada disini."
Kiai Patah tersenyum. Katanya: "Tidak ada yang penting
yang harus aku ceriterakan sepeninggal kalian. Tetapi baiklah.
Aku akan sangat berterima kasih jika kalian datang ke
padepokan ini bersama Ki Mahendra."
"Ayah sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan jauh,"
berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya: "Bagaimana jika Kiai
kami jemput untuk berkunjung ke padepokan kami" "
"Tentu aku tidak berkeberatan," berkata Kiai Patah,
"namun sebelumnya salamku kepada ayahmu itu."
Demikianlah, maka kedua anak muda itu bersama saudarasaudara
angkat mereka meninggalkan padepokan itu. Orangorang
y ang merasa berhutang budi kepadanya telah
mengantar mereka keluar dari pintu gerbang. Seorang yang
mewakili kawan-kawannya berkata dengan kata yang sendat:
"Jangan lupakan kami."
Mahisa Murti menepuk bahunya sambil berkata: "Aku akan
berusaha untuk kembali jika mungkin. Tetapi pesanku,
bersungguh-sungguhlah. Mudah-mudahan kau berhasil.
Jangan lupakan sangkan paraning dumadi."
"Kami mohon doa restu," berkata orang itu.
"Kita semua akan selalu berdoa," jawab Mahisa Murti.
Orang itu melepas Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
dengan hati yang berat. Namun mereka tidak dapat menahan
mereka dengan cara apa pun juga.
Ketika m atahari naik semakin tinggi, m aka mereka telah
melangkah semakin jauh. Seperti biasa, Mahisa Amping
berjalan di paling depan. Jika ia melihat sebatang pohon,
telapak kakinya rasa-rasanya digelitik untuk memanjat. Tetapi
ia sudah mampu menahan diri karena saudara-saudara
angkatnya tidak begitu senang m elihatnya m emanjat pohon
tanpa maksud apa -apa. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah turun ke jalan
yang lebih besar di padukuhan Banyusasak. Mereka pun
kemudian telah berada di jalan dari Padang Karautan yang
telah menjadi ramai menuju ke Singasari.
Dibandingkan dengan perjalanan panjang y ang telah
mereka tempuh, maka jalan menuju ke padepokan mereka
sudah tidak terlalu jauh lagi. Mereka tidak berniat untuk
singgah di Kota -raja. Tetapi mereka akan mengambil jalan
pintas langsung menuju ke padepokan Bajra Seta.
Namun di perjalanan y ang sudah tidak terlalu jauh lagi itu,
masih dapat saja terjadi sesuatu yang menghambat perjalanan
mereka. Perjalanan yang dapat mereka tempuh dalam sehari
lebih sedikit itu, mungkin justru akan berkepanjangan atau
bahkan telah membawa mereka menjauhi padepokan yang
mereka tuju. Tetapi mereka sudah berniat untuk kembali setelah mereka
menempuh perjalanan cukup panjang. Namun dengan
demikian, maka mereka pun telah memetik pengalaman yang
sangat berharga di sepanjang jalan. Banyak peri stiwa yang
terjadi. Bahkan kadang-kadang sangat berbahaya sehingga
nyawa mereka harus mereka pertaruhkan.
Ternyata bahwa Yang Maha Agung masih melindungi
mereka, sehingga mereka telah menempuh perjalanan kembali
ke padepokan mereka. Menembus segala macam hambatan
dan mengatasi segala macam kesulitan.
Tetapi betapa pun pendeknya jarak di hadapan mereka,
namun mereka masih belum sampai ke padepokan.
Ketika matahari naik semakin tinggi, maka panas pun
mulai terasa menggigit kulit. Meski pun demikian mereka
berjalan terus. Mereka tidak lagi merasakan betapa jalan-jalan
bagaikan membara di tengah hari. Apalagi ketika matahari
sedikit melampaui puncaknya.
Tetapi mereka sudah terbiasa untuk mengatasi perasaan
itu. Mereka sudah terbiasa berjalan di panggang oleh panasnya
sinar matahari. Namun ketika matahari mulai turun, Mahisa Murti mulai
memperhatikan Mahisa Amping. Bagaimana pun juga ia masih
seorang kanak-kanak yang memiliki day a tahan yang berbeda
dari yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian
berdesis kepada Mahisa Semu: "Amping agaknya sudah lapar."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya: "Ya. Kita
makan terlalu pagi."
"Kita akan singgah di sebuah kedai. Mudah-mudahan tidak
terjadi sesuatu yang menghambat perjalanan kita," berkata
Mahisa Murti. Mahisa Semu mengangguk-angguk. Bany ak hal memang
dapat terjadi. Tetapi mereka memang tidak dapat
mengabaikan keadaan Mahisa Amping y ang masih kanakkanak
itu. Karena itu, di sebuah padukuhan yang besar, m ereka telah
singgah di sebuah kedai. Kedai itu pun termasuk kedai yang
termasuk besar pula. Nampaknya kedai itu cukup banyak dikunjungi orang.
Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masuk ke dalam
kedai itu, m aka beberapa orang sudah lebih dahulu ada di
dalamnya. Nampaknya kedai itu juga mampu memberikan
suasana y ang tenang bagi para pengunjungnya.
Berbagai macam makanan dan minuman disediakan di
dalam kedai itu, sehingga mereka yang membelinya dapat
memilih sesuai dengn selera mereka masing-masing.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun kemudian telah
memilih tempat di sudut kedai itu. Mereka duduk di atas
sebuah amben bambu yang tidak begitu besar, y ang justru
sesuai dipergunakan oleh lima orang. Mereka pun kemudian
telah memesan minuman dan makanan bagi mereka berlima.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang sudah
berusaha untuk tidak tertarik kepada apa pun juga yang terjadi
di kedai itu. Mereka sudah dalam perjalanan pulang. Jaraknya
pun sudah tidak lagi terlalu jauh.
"Rasa-rasanya tidak ada yang lebih baik bagiku sekarang
daripada segera sampai ke padepokan Bajra Seta," berkata
Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Amping tiba-tiba
perhatianya mulai tertarik kepada seseorang. Hampir di luar
sa darnya ia berkata: "Orang itu tentu membawa banyak uang,
" "Sst," desis Mahisa Murti, "jika ada orang yang mendengar
akan dapat terjadi salah paham."
"Bukankah aku berbicara perlahan sekali"," justru Mahisa
Amping telah bertanya. "Ya. Tetapi jika ada orang yang mendengar akan dapat
salah paham. Mereka dapat saja mengira bahwa kita cepat
tertarik kepada barang-barang berharga. Atau bahkan orang
lain dapat mengira bahwa kita memang telah mengikutinya
sejak lama," desis Mahisa Pukat.
Anak itu menganguk-angguk. Namun ia nampak gelisah.
Beberapa kali ia bangkit berdiri. Dan ia pun kemudian kembali
duduk di tempatnya. "Ada apa sebenarnya dengan kau"," bertanya Mahisa Semu.
Anak itu menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata:
"Marilah kita berjalan terus. Aku sudah cukup."
"Kau memang sudah. Tetapi y ang lain belum," jawab
Mahisa Murti. Lalu katanya: "Karena itu, maka kita harus
bersabar menunggu mereka. Selain itu, kita juga
memanfaatkan saat seperti ini untuk beristirahat. Bukankah
kita sudah tidak perlu berjalan berhari-hari lagi. Besok kita
akan sampai ke padepokan Bajra Seta."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia memang mencoba
untuk menjadi tenang dan duduk kembali di tempatnya.
Tetapi setiap kali ia selalu berpaling kepada orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya mulai
memperhatikan Mahisa Amping. Mereka tidak begitu tertarik
kepada orang itu. Namun Mahisa Amping nampaknya sangat
terpengaruh oleh kehadiran orang itu.
Bahkan kemudian keduanya mulai bertanya-tanya, kenapa
Mahisa Amping menjadi sangat gelisah.
Keduanya justru mulai mengingat kembali apa yang pernah
terjadi. Kadang-kadang penggraita anak itu menjadi sangat
tajam. Ia m erasa cemas bahwa sesuatu akan t erjadi dengan
orang y ang dikatakannya membawa banyak uang itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk
menahan diri. Semuanya itu masih sekedar dugaan saja,
bahwa Mahisa Amping m emiliki ketajaman penglihatan jauh
melampaui orang kebanyakan. Bahkai, terhadap apa yang
belum terjadi. Setidak-tidaknya penglihatan perasaannya meski pun tidak
begitu jelas bagi anak itu sendiri.
Untuk beberapa saat Mahisa Amping memang tidak
memperhatikan orang itu lagi. Tetapi kemudian beberapa kali
ia berpaling dan semakin lama semakin nampak gelisah.
Namun akhirnya, semuanya pun telah selesai pula. Karena
itu, maka mereka telah memenuhi permintaan Mahisa Amping
untuk segera meninggalkan tempat itu.
Setelah membayar harga makanan dan minuman bagi
mereka berlima maka mereka pun telah keluar pula dari kedai
itu. Di pintu, mereka berpapasan dengan dua orang y ang
memasuki kedai itu. Seorang berwajah murah dan yang
seorang lagi nampak pucat.
Mahisa Amping tiba-tiba saja berpegangan kain panjang
Mahisa Pukat dengan erat. Beberapa kali ia memandangi
kedua orang y ang memasuki kedai itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
memperhatikan orang itu pula. Beberapa saat lamanya
keduanya berdiri di depan pintu. Kemudian mereka pun


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah masuk dan duduk tidak jauh dari orang yang
disebut membawa banyak uang itu.
Ketika perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertuju
kepada orang itu, maka Mahisa Amping pun berkata:
"Marilah. Kita akan pergi. Semakin cepat kita sampai ke
padepokan itu menjadi semakin baik bagi kita. Rasa-rasanya
aku ingin segera melihat apa y ang ada di dalam padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
melangkah pula. Mahisa Semu dan Wantilan yang
perhatiannya tertuju ke tempat lain, telah melangkah pula
mengikutinya. Tetapi sebelum mereka menjauhi kedai itu, maka tiba-tiba
sa ja tiga orang bersama-sama telah keluar dari kedai dan
tergesa -gesa m elangkah m enuju ke arah yang sama dengan
Mahisa Murti dan saudara -saudaranya, bahkan
mendahuluinya. Mahisa Amping masih nampak cemas. Nampaknya ia tidak
menjadi ketakutan bagi keselamatannya sendiri. Tetapi ia
mencemaskan bahwa sesuatu akan terjadi.
"Marilah," tiba-t iba Mahisa Amping m enarik kain panjang
Mahisa Pukat untuk berjalan lebih cepat.
"Kau ini kenapa"," bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia masih saja
menarik kain panjang Mahisa Pukat dan mengajaknya
berjalan lebih cepat. Mahisa Murti y ang menjadi heran pula melihat sikap
Mahisa Amping telah mengikutinya berjalan lebih cepat lagi di
samping Mahisa Pukat. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan
berlari-lari kecil menyusul mereka.
"Kenapa begini tergesa -gesa," berkata Wantilan.
"Mahisa Amping yang tergesa -gesa," jawab Mahisa Pukat.
"Apa yang kau kejar Amping"," bertanya Mahisa Semu.
"Anak ini seperti melihat seekor burung lepas dari
sangkarnya," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Amping sendiri tidak menjawab. Ia tidak lagi
menarik kain panjang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti telah berjalan dengan cepat mengikutinya.
Sementara Mahisa Semu dan Wantilan mengikutinya di
belakang berjarak beberapa langkah.
"Ada apa sebenarnya"," bertanya Wantilan kepada Mahisa
Semu." "Nampaknya anak itu tertarik kepada ketiga orang y ang
berjalan mendahului kita," jawab Mahisa Semu.
"Ada ada dengan mereka"," bertanya Wantilan.
"Entahlah," jawab Mahisa Semu.
Keduanya pun kemudian terdiam. Sementara itu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di belakang Mahisa
Amping masih saja berjalan cepat. Namun kemudian Mahisa
Amping telah memperlambat langkahnya, sehingga Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun berjalan semakin lambat pula.
Ketiga orang yang berjalan dihadapan mereka memang
menjadi semakin jauh. Ketiganya sama sekali tidak
menghiraukan kelima orang y ang berjalan di belakang mereka,
karena kelima orang itu mereka anggap tidak mengikuti
mereka. Kelima orang itu sudah berjalan ke arah itu ju stru
lebih dahulu dari mereka y ang kemudian mendahului.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian melihat
ketiga orang itu berbelok ke kiri meninggalkan jalan yang
mereka lalui itu. "Kita berjalan terus," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Amping tiba -tiba berhenti. Dengan nada rendah ia
berkata: "Apakah kita tidak berbelok ke kiri seperti ketiga
orang itu" " "Bukankah kau senang jika kita lebih cepat sampai ke
padepokan"," bertanya Mahisa Pukat.
"Tetapi hatiku menjadi berdebar -debar melihat orang itu.
Aku m elihat wajah orang itu kadang-kadang menjadi hitam,
tetapi kadang-kadang tampak putih seperti tidak berdarah.
Aneh bukan"," jawab anak itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak.
Mereka memang sudah menduga, bahwa ada sesuatu di dalam
diri anak itu y ang melebihi orang kebanyakan. Tetapi tidak
selalu dapat diangkat dari dasar hatinya ke permukaan,
sehingga karena itu, maka ia kadang-kadang seolah-olah
mendapat satu isyarat tentang sesuatu hal. Kadang-kadang
tidak. "Jika ia sempat mengembangkannya dengan tuntunan
orang y ang m emiliki ilmu dan kemampuan, mungkin ia akan
memiliki sesuatu y ang jarang dimiliki orang lain," berkata
Mahisa Murti di dalam hatinya.
"Bagaimana" Apakah kita dapat berbelok" Jika jarak y ang
harus kita tempuh terlalu jauh, kita akan berhenti dan kembali
lagi ke jalan ini," berkata anak itu.
"Apa y ang terlalu jauh" Aku tidak tahu ukuran apa y ang
harus kita pakai untuk m enentukan bahwa kita sudah t erlalu
jauh memasuki jalan itu jika kita memang berniat untuk
berbelok ke kiri," berkata Mahisa Murti.
Anak itu juga menjadi bingung. Tetapi anak itu dapat juga
menjawab: "Ukurannya adalah apabila kita sudah jemu
mengikuti orang itu, kita k embali. Sekarang kita tentu belum
jemu. Setidak-tidaknya aku belum."
Mahisa Murti tertawa. Katanya kemudian: " Baiklah. Tetapi
kita tidak akan mengikuti orang itu tanpa batas."
"Ya," jawab Mahisa Am ping.
Berlim a mereka meneruskan perjalanan. Ketika mereka
sampai ke simpangan y ang dilalui oleh ketiga orang itu,
barulah mereka tahu, bahwa simpangan itu adalah sekedar
lor ong kecil y ang nampaknya jarang dilalui orang. Tetapi
memenuhi permintaan Mahisa Amping, maka mereka berlima
telah menempuh jalan itu.
"Kakiku mulai terasa pedih," berkata Mahisa Semu:
"Kau bohong," sahut Mahisa Amping: "kita sudah
menempuh perjalanan yang panjang sekali. Kau tidak pernah
mengeluh seperti itu."
Yang mendengar jawaban Mahisa Amping itu tersenyum.
Tetapi Mahisa Semu masih mencoba menjawab: "Tetapi
selama ini kita berjalan diatas jalan yang baik. Rata dan
halus." "Kau bohong lagi," Mahisa Amping membantah.
"Jalan ini berbatu-batu tajam.," berkata Mahisa Semu pula.
"Kita pernah berjalan melewati jalan berbatu-batu padas.
Melewati padang perdu yang penuh dengan duri. Kita pernah
melalui jalan y ang jauh lebih buruk dari ini.," b erkata Mahisa
Amping. Mahisa Semu mengerutkan dahinya. Sementara Wantilan
tertawa tertahan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja tersenyum
sambil berjalan di belakang Mahisa Amping.
Ternyata mereka berjalan beberapa lama. Tetapi mereka
tidak melihat lagi ketiga orang y ang berjalan dihadapan
mereka. "Orang-orang itu telah hilang," desis Mahisa Semu, "kita
tidak akan dapat menemukan mereka lagi."
Mahisa Amping berpaling sejenak. Tetapi ia tidak
menjawab. Bahkan anak itu berjalan sambil berlari-lari kecil di
paling depan. Beberapa lama mereka berjalan, maka mereka sampai ke
sebuah tanggul sungai. Gerumbul-gerumbul perdu yang liar
tumbuh di sepanjang tanggul itu.
"Tunggu," desis Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Amping memang berhenti. Tetapi wajahnya
nampak tegang. Bahkan ia pun bertanya: "Kenapa kita
berhenti" " "Apakah kita akan menuruni tebing sungai itu dan akan
menyeberang "," bertanya Mahisa Murti, "apakah kita belum
jemu mengikutinya jalan ini" "
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya: "Kita akan melihat kesebelah tanggul. Jika
kita tidak melihat sesuatu, kita akan kembali."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya: "Kau
tinggal disini. Biarlah aku melihat tanggul itu.
Ber sama Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun telah
melangkah dengan hati-hati mendekati tanggul. Mereka
berhenti sambil berjongkok dibalik batang-batang perdu yang
tumbuh di-atas tanggal itu. Perasaan mereka nampaknya telah
menahan agar mereka tidak dengan serta merta melewati
tanggul. Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memperhatikan jalan setapak yang menuruni tebing rendah
sungai itu. Tetapi mereka berdua tidak turun lewat jalan
setapak itu. Bahkan penggraita mereka y ang tajam seakanakan
memberikan isy arat, bahwa ada sesuatu dibalik tanggul
itu. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser justru
menjauhi jalan setapak yang menuruni tebing, mereka
menjadi semakin curiga. Disebelah mereka melihat sungai itu
berbelok tajam. Ketika mereka menguak gerumbul-gerumbul perdu dengan
sangat berhati-hati, maka mereka terkejut. Ditepian mereka
melihat beberapa orang y ang tampaknya sedang
membicarakan sesuatu yang penting, dibalik kelokan yang
tajam itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Mereka telah m endekati padepokan mereka. Apakah mereka
akan terhambat lagi oleh persoalan y ang tidak m enyangkut
diri mereka" Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
dapat m eninggalkan orang-orang yang ada ditepian itu begitu
sa ja. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menahan mereka untuk
melihat selanjutnya, apa yang akan terjadi.
Bahkan keduanya justru telah bergerak lebih m ampu dan
agak m endekati tempat orang-orang itu berbincang. Namun
mereka tetap berada dibalik gerumbul-gerumbul liar diatas
tanggul. Meski pun demikian, serba sedikit mereka mendengar
orang-orang dibalik tanggul itu berkata-kata.
"Bagaimana sudah cukup?" terdengar seseorang berbicara
diantara mereka. Yang lain terdengar menjawab: "Tidak. Soalnya aku tidak
hanya berdua. Aku harus membagi bagianku menjadi ampat
dan sedikit hadiah buat penjaga bangsal yang pura-pura kau
ikat itu." "Ki Jagabaya," terdengar orang y ang berbicara sebelumnya,
"bagian y ang kami serahkan itu sudah imbang. Ki Jagabaya
dan kawan-kawan Ki Jagabaya mendapat sepertiga karena Ki
Jagabaya tidak berbuat apa -apa. Ki Jagabaya hanya
mengadakan sedikit pertemuan m akan-makan dengan anakanak
muda di padukuhan itu. Tetapi selanjutnya kamilah yang
bekerja sehingga berhasil."
"Tetapi aku memerlukan uang untuk meny ediakan makan
anak-anak muda itu sehingga kalian dapat melakukan
pekerjaan kalian dengan aman, disamping orang-orang seperti
yang aku katakan tadi.," jawab Ki Jagabaya: "karena itu,
sebaiknya kalian m emberikan kepada kami separo dari hasil
yang kalian peroleh."
Beberapa saat suasana m enjadi hening. Orang-orang y ang
berada dibalik tanggul itu terdiam. Mereka nampaknya sedang
berpikir. Namun kemudian seseorang diantara mereka berkata:
"Tidak Ki Jagabaya. Aku tetap pada pendirianku. Ki Jagabaya
akan menerima sepertiga."
"Aku menuntut separo," jawab orang y ang disebut Ki
Jagabaya itu. Tetapi agaknya kelompok y ang lain tidak mau merubah
sikapnya. Seorang diantara mereka berkata: "Ki Jagabaya
jangan memaksa." "Aku dapat menangkapmu.," berkata Ki Jagabaya.
"Kau kira kau berani menangkap kami " Kau kira kami
tidak mempunyai mulut untuk mengatakan bahwa Ki
Jagabaya terlibat dalam kejahatan ini"," sahut orang itu.
"Tetapi Ki Jagabaya terlalu percaya kepadaku. Jika kalian
menyebut-ny ebut namaku, maka aku dapat m enuduh kalian
telah merampok dan memfitnah."
Tetapi orang itu sama sekali tidak m enjadi kecut. Bahkan
orang itu pun tertawa pula. Katanya: " Jika demikian, kami
akan m eny elesaikan persoalan ini disini. Agar rahasia kami
tidak terdengar oleh orang lain hanya karena Ki Jagabaya
menghendaki upah terlalu besar."
"Apa maksudmu"," bertanya Ki Jagabaya.
"Kami akan membunuh Ki Jagabaya," jawab orang itu.
Tetapi ternyata Ki Jagabaya pun tidak menjadi gentar.
Dengan lantang ia berkata: "Baik. Kita akan bertempur. Kita
selesaikan persoalan ini dengan kekerasan. Kau perampok
yang ditakuti orang. T etapi aku adalah Jagabaya yang sudah
terbiasa menangkap perampok."
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 90).
Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 90 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo-

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 090 ORANG-ORANG y ang ada ditepian itu tiba -tiba telah
bergeser menjadi dua kelompok. Satu kelompok adalah
kelompok para perampok sedangkan kelompok yang lain
adalah kelompok y ang dipimpin oleh Ki Jagabaya.
Nampaknya keduanya tidak menemukan kata sepakat,
sehingga keduanya telah siap untuk bertempur.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kedua belah pihak
sama jahatnya. Kedua belah pihak harus ditangkap dan
diserahkan kepada Ki Buyut meski pun dengan demikian
perjalanan mereka akan terhambat lagi.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera
bertindak. Jika kedua kelompok itu b ertempur, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat akan dapat melihat kemampuan
mereka, sehingga keduanya akan dapat memperhitungkan
kemungkinan y ang akan mereka lakukan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, kedua belah pihak telah
bersiap. Para perampok itu ternyata terdiri dari ampat orang,
sedangkan Ki Jagabaya hanya disertai oleh dua orang. Tetapi
kedua orang kawan Ki Jagabaya itu nampaknya tidak kalah
garangnya dengan para perampok, sedang Ki Jagabaya sendiri
adalah seorang y ang bertubuh raksasa.
"Kau akan meny esal Ki Jagabaya," geram pemimpin
perampok itu: "jika kau tidak t erlalu tamak, maka kau akan
mendapat harta benda yang dapat kau pergunakan untuk
bersenang-senang sekeluarga sepanjang hidupmu. Tetapi
karena kau terlalu tamak, maka aku harus membunuhmu
sekarang." Ki Jagabaya tertawa nyaring. Katanya: "Aku adalah bekas
benggol kecu y ang belum pernah tertangkap oleh siapa pun
juga. Aku menguasai beberapa Kabuyutan dan bahkan hampir
satu Pakuwon. Nah, sekarang perampok-perampok kecil
macam kalian akan mengancam kami" "
"Satu kenangan yang indah dimasa mudamu Ki Jagabaya.
Sekarang kau sudah terlalu tua untuk bertempur," jawab
perampok itu. "Semakin tua ilmuku m enjadi semakin mantap," jawab Ki
Jagabaya. Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua pihak telah
bersiap. Kedua orang pembantu Ki Jagabaya itu pun telah
berpencar pula. Mereka sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Sedangkan Ki Jagabaya sendiri masih saja
tertawa menghadapi keempat orang perampok itu.
"Marilah, siapa y ang harus aku pilin lehernya lebih dahulu,"
berkata Ki Jagabaya. Tetapi para perampok itu sama sekali tidak merubah niat
mereka. Mereka pun telah bersiap sepenuhnya. Bahkan
mereka tidak lagi ingin bertempur dengan tangan mereka,
tetapi mereka telah menggenggam senjata di tangan.
Namun Ki Jagabaya pun telah melakukannya pula. Ki
Jagabaya telah menarik goloknya yang besar, yang nampaknya
memang dibuat khusus baginya. Tetapi ketika ia mulai
memutar goloknya itu, rasa -rasanya golok itu tidak lebih berat
dari sebatang lidi. Sedangkan kedua kawan Ki Jagabaya itu pun bersenjata
golok pula meski pun tidak sebesar golok Ki Jagabaya.
Para perampok itu pada umumnya bersenjata pedang.
Hanya seorang yang mempunyai jenis senjata yang lain.
Senjatanya adalah tongkat baja y ang ujungnya runcing seperti
ujung tombak, sehingga mirip dengan sebuah tombak pendek
bertangkai baja. Sejenak kemudian, maka kedua kelompok kecil itu pun
sudah mulai bertempur. Ki Jagabaya sendirilah yang harus
bertempur melawan dua orang. Tetapi Ki Jagabaya
nampaknya sama sekali tidak m enjadi gelisah. Goloknya yang
besar mulai berputaran dengan garangnya. Ketika ia
mengayunkan goloknya itu menebas mendatar, maka kedua
lawannya harus berloncatan mundur. Mereka tidak berani
dengan serta merta menangkis serangan itu, sebelum m ereka
menjajagi kekuatan Ki Jagabaya itu.
Namun dengan cepat keduanya mulai meny erang justru
dari arah yang berbeda. Seorang telah menjulurkan senjatanya
mengarah ke lambung. Sedangkan y ang lain mengayunkan
senjata menebas leher. Tetapi Ki Jagabaya ternyata cukup tangkas. Dengan cepat ia
meloncat menghindari serangan ke arah lambungnya,
sekaligus menangkis serangan lawannya y ang lain. Tetapi
kedua lawannya y ang sudah terbiasa bertempur dengan keras
itu pun telah berusaha untuk mendesaknya. Saat Ki Jagabaya
berusaha mengambil jarak dari kedua lawannya, maka
keduanya pun segera memburu. Namun langkah mereka
terhenti ketika Ki Jagabaya memutar goloknya y ang besar itu
melingkari tubuhnya. Bahkan k etika golok itu terayun deras,
maka kedua orang lawannya itu justru bergeser mundur.
Sementara itu kedua orang pembantu Ki Jagabaya telah
bertempur melawan kedua orang perampok yang
berkeberatan membagi hasil rampokannya menjadi dua
bagian yang sama besar itu.
Pertempuran itu semakin lama memang m enjadi semakin
sengit. Kedua pihak bertempur semakin keras dan kasar. Ki
Jagabaya y ang mengaku bekas seorang perampok itu pun
benar-benar menunjukkan kekuatan dan kemampuannya,
sehingga kedua lawannya pun harus mengerahkan segenap
kemampuannya untuk melawannya. Tetapi kedua lawannya
itu pun perampok-perampok y ang garang pula, sehingga
keduanya mampu m engimbangi kekerasan dan k ekasaran Ki
Jagabaya. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menyaksikan pertempuran itu dari belakang pohon-pohon
perdu di atas tanggul sungai. Keduanya tidak segera berbuat
sesuatu. Mereka masih sibuk mengamati apa y ang terjadi.
Keduanya sempat menilai kemampuan orang-orang yang
sedang bertempur itu. Ki Jagabaya ternyata benar -benar orang y ang sangat kuat.
Orang yang juga memiliki bekal kemampuan olah kanuragan.
Sehingga karena itu, maka kedua lawannya benar-benar
mengalami kesulitan untuk mengimbanginya.
Sementara itu kedua orang pembantu Ki Jagabaya dan
kedua orang perampok yang kasar itu pun masih juga
bertempur dengan kerasnya. Semakin lama semakin kasar.
Senjata mereka berputaran dan terayun-ay un mengerikan.
Yang terdengar adalah teriakan-teriakan dan umpatanumpatan
kotor dari mulut orang-orang yang bertempur itu.
Sementara itu Ki Jagabaya pun semakin lama nampak
menjadi semakin garang. Ternyata bahwa Ki Jagabaya bukan
sa ja memiliki kekuatan kewadagan yang sangat besar. Namun
beberapa saat kemudian, ternyata bahwa ayunan pedangnya
telah didorong pula oleh kekuatan ilmunya.
Semakin lama putaran golok Ki Jagabaya itu seakan-akan
bukan saja m enjadi semakin cepat. Tetapi setiap kali lawanlawannya
seakan-akan telah terdorong kekuatan angin yang
kuat. Namun salah seorang lawan Ki Jagabaya itu pun memiliki
kemampuan y ang tinggi pula. Pedangnya y ang berkilat itu
telah bergerak seperti baling-baling. Bahkan kemudian
menjadi seperti bay angan gumpalan awan kelabu yang
mengitari tubuhnya. Ketika kemudian benturan-benturan senjata tidak lagi
dapat dielakkan, ternyata bahwa pemimpin perampok itu juga
memiliki kekuatan y ang besar. Meski pun setiap kali nampak
kekuatan Ki Jagabaya lebih besar, namun ketangkasan
pemimpin perampok itu nampaknya mampu mengisi
kekurangannya, ditambah pula dengan seorang lawannya yang
mampu meny esuaikan diri dengan irama pertempuran yang
semakin cepat itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Tetapi mereka sempat memperhitungkan, bahwa
mereka bersama dengan Mahisa Semu dan Wantilan akan
dapat mengatasi para perampok itu. Tetapi yang ternyata sulit
bagi mereka adalah usaha untuk menangkap mereka hiduphidup.
Kemudian menyerahkannya kepada Ki Buyut. Ki
Jagabaya dan pemimpin perampok itu memiliki bekal olah
kanuragan y ang tinggi, sehingga dalam keadaan terpaksa,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapt t erjerumus
kedalam satu langkah yang t erlalu jauh. Jika mereka
membunuh Ki Jagabaya sebelum sempat diperiksa, mungkin
akibatnya akan sangat berbeda. Bahkan Ki Buyut akan dapat
menuduhnya dengan sengaja untuk menghilangkan jejak
kejahatan. Tetapi mereka berdua juga tidak sampai hati
membiarkan peri stiwa itu berkepanjangan dan kedua belah
pihak yang tidak menemukan kata sepakat itu akan saling
membunuh tanpa dapat diungkapkan oleh Ki Buyut dan para
bebahu y ang lain karena yang menang akan sempat melarikan
diri tanpa meninggalkan jejak.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berdesis:
"Kita sudah melihat kemampuan mereka. Panggil paman
Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping."
Mahisa Pukat pun kemudian telah bergeser dengan hatihati.
Nampaknya ia masih belum ingin mengganggu
pertempuran itu. Tanpa menimbulkan suara apa pun Mahisa
Pukat telah bergeser untuk memanggil orang-orang yang
ditinggalkannya. Dengan demikian maka sejenak kemudian, kelima orang itu
sudah berada di belakang gerumbul-gerumbul liar sambil
memperhatikan pertempuran itu.
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Ternyata y ang
dilihatnya berwajah aneh itu adalah orang-orang diantara
mereka y ang bertempur. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata: "Lihatlah dengan
jelas bagaimana mereka bertempur. Semuanya tujuh orang.
Kita akan turun dan kita yakin bahwa jika kita melibatkan diri,
maka semua orang, tentu akan melawan kita berempat.
"Apakah aku tidak dihitung"," bertanya Mahisa Amping.
"Kau masih terlalu kecil untuk ikut berkelahi," jawab
Mahisa Murti. "Bagaimana jika salah seorang diantara mereka meny erang
aku"," bertanya Mahisa Amping pula.
"Kau memang harus m empertahankan diri," jawab Mahisa
Murti pula. Mahisa Amping mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat
lamanya mereka masih memperhatikan pertempuran itu.
Dengan nada tinggi Mahisa Murti itu pun berkata: "Marilah.
Tetapi kita harus berusaha untuk tidak membunuh mereka.
Kecuali jika hal itu kita lakukan untuk melindungi hidup kita.
Tetapi jika mungkin kita akan menangkap semuanya dan
membawanya kepada Ki Buyut."
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi mereka mengerti
apa y ang harus mereka lakukan. Sementara itu menurut
pengamatan mereka, m aka para perampok m au pun kawankawan
Ki Jagabaya itu bukannya orang-orang yang
menakutkan. "Agaknya Ki Jagabaya dan pemimpin perampok itu akan
diselesaikan sendiri oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,"
berkata Mahisa Semu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka setelah mereka melihat pola tata gerak
orang-orang yang bertempur itu, m ereka pun telah beringsut
dari tempat persembuny ian mereka. Mereka tidak lagi
berusaha untuk bersembunyi. Karena itu, maka mereka
berlima pun kemudian telah duduk diatas batu di tanggul
sungai itu. Bahkan Mahisa Amping yang dibayangi oleh kecemasan
sebelumnya karena melihat wajah-wajah y ang menurut
penglihatannya aneh, telah bertepuk tangan dengan kerasnya
sambil berteriak-teriak: "Bagus. Penggal saja kepalanya. Tusuk
jantungnya. Tetapi perlahan-lahan sedikit. Jangan sampai
lawan kalian mati." "Ssst," desis Mahisa Murti: "jangan keras-keras." Tetapi
Mahisa Murti memang tidak bersungguh-sungguh mencegah
anak itu. Ia tidak berkeberatan jika suara Mahisa Amping itu
menarik perhatian orang-orang y ang sedang bertempur itu.
Sebenarnyalah ke tujuh orang yang bertempur itu telah
berloncatan mengambil jarak untuk mendapat kesempatan
melihat siapakah y ang berada di atas tanggul.
"Kenapa kalian berhenti berkelahi," teriak Mahisa Amping
keras-keras: "jangan mengecewakan aku."
Semua orang yang berada di tepian itu termangu-mangu.
Namun Ki Jagabaya lah yang pertama-tama berteriak: "He,
siapa kalian" "
"Kami orang-orang lewat y ang tidak mau membiarkan
tontonan ini berlangsung," teriak Mahisa Amping.
"Kau membuat mereka marah," desis Mahisa Pukat.
"Apakah kita tidak ingin dengan sengaja membuat mereka
marah kemudian menantang kita"," bertanya Mahisa Amping.
Sebenarnyalah Ki Jagabaya menjadi marah. Dengan nada
berat ia berkata: "Kami akan membunuh kalian lebih dahulu.
Baru kami akan meneruskan pertempuran diantara kami."
Tetapi Mahisa Murtilah y ang menyahut: "Ki Sanak. Jangan
marah. Kami m emang hanya sekedar ingin melihat, betapa
orang-orang berilmu tinggi itu bertempur."
"Turunlah," teriak Ki Jagabaya: "aku tahu bahwa kalian
bukan sekedar orang-orang yang ingin melihat perkelahian ini.
Kal ian tentu mempunyai maksud yang lain."
"Silahkan. Kami tidak akan m engganggu," berkata Mahisa
Pukat, " sebaiknya kalian bertempur sampai orang yang
terakhir." "Tutup mulutmu. Jika kalian tidak mau turun, kamilah
yang akan naik," teriak Ki Jagabaya.
Sementara itu, pemimpin perampok itu pun berteriak pula:
"Kalian dengan sengaja telah meletakkan kepala kalian di
dalam mulut harimau."
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya: "Sudahlah.
Berkelahi sajalah untuk memperebutkan uang yang telah
kalian rampok atas ijin Ki Jagabaya yang seharusnya ju stru
harus menjaga ketenteraman Padukuhan."
Namun seorang yang lain yang ada di tepian itu b erteriak:
"Turunlah, cepat. Mungkin kalian masih sempat mohon
ampun kepada kami."

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti pun telah menggamit Mahisa Pukat sambil
berkata: "Marilah. Kita akan turun." Lalu katanya kepada yang
lain: "Berhati-hatilah. Kalian sudah melihat cara mereka
bertempur. Kasar, keras dan sedikit liar."
"Ya," jawab Wantilan. "Kami akan berhati-hati."
Demikianlah, maka mereka berlima pun segera berloncatan
turun dari tanggul. Dengan langkah pendek di atas pasir
tepian, mereka berlima melangkah m endekati ke tujuh orang
itu. "Kenapa kalian berhenti bertempur"," bertanya Mahisa
Murti. "Kami harus membunuh kalian lebih dahulu," jawab Ki
Jagabaya. Mahisa Murti tersenyum. Dengan nada datar ia berkata:
"Kami tidak mencampuri persoalan kalian. Kenapa kalian
ingin membunuh kami" "
"Apa maksud kalian sebenarnya"," bertanya Ki Jagabaya.
"Bukankah aku sudah mengatakannya"," jawab Mahisa
Murti, "sekedar menonton."
"Jangan main-main. Jika aku membunuh, itu pun bukan
main-main," geram pemimpin perampok itu .
"Kami tidak main-main," jawab Mahisa Murti, "kami benarbenar
ingin melihat kalian bertempur. Jika kalian sudah
kehabisan t enaga, maka giliran kami untuk terjun ke m edan.
Tetapi kami tidak ingin membunuh siapapun. Kami ingin
menangkap kalian dan meny erahkannya kepada Ki Buyut.
Karena perampok-perampok adalah orang-orang yang
memang harus ditangkap. Mereka sangat membahayakan
banyak orang dan biasanya mereka sama sekali tidak
berperikemanusiaan. Sedangkan Ki Jagabaya adalah orang
yang tidak kalah berbahayanya. Kehadirannya di
padukuhannya dengan membawa kelompok-kelompok
perampok merupakan bahaya y ang sulit untuk dibiarkan
begitu saja; Seperti benalu y ang m enghisap makanan dengan
akar -akarnya y ang langsung menghunjam ke tubuh sebatang
pohon." "Diam," bentak Ki Jagabaya: "apa sebenarnya yang kau
kehendaki" " "Menangkap kalian. Nah, kau dengar?" jawab Mahisa
Murti. Ki Jagabaya menjadi sangat marah. Ia merasa sangat
terganggu oleh kehadiran orang-orang itu. Karena itu, m aka
katanya dengan garang: "Apa pun yang akan kalian lakukan,
siapa pun kalian atau untuk siapa hal ini kau lakukan, aku
tidak peduli. Aku hanya ingin membunuh. Itu saja."
"Persetan," geram Ki Jagabaya: "kalian sudah terlalu
menghina kami. Karena itu, maka kalian berlima akan mati disini."
"Tidak mudah melakukannya," jawab Mahisa Murti, "tetapi
jika kalian akan mencoba memaksa, silahkan."
"Kami tidak hanya akan sekedar mencoba," berkata Ki
Jagabaya, "tetapi kami benar-benar akan melakukannya."
Kemarahan Ki Jagabaya sudah tidak terkendali, ia pun
dengan garangnya m aju selangkah ke tengah tepian berpasir
itu. "Kita akan melihat, apakah perkembangan ilmu di saat-saat
terakhir itu sudah menunjukkan bahwa kalian benar-benar
pantas untuk berbuat seperti itu dihadapan kami.," berkata Ki
Jagabaya sambil memutar goloknya.
Tiba-tiba y ang Iain pun telah melangkah maju. Para
perampok dan pembantu Ki Jagabaya.
Nampaknya mereka sudah tidak mau menunda-nunda
waktu lagi. Karena itu, m aka sejenak kemudian, Ki Jagabaya itu pun
telah terlibat ke dalam pertempuran dengari Mahisa Murti.
Pemimpin perampok itu pun telah memilih lawan. Mahisa
Pukat. Sedangkan yang lain telah bertempur pula bersamasama.
Mahisa Semu dan Wantilan justru tidak memencar.
Mereka berdua bertekad untuk bertempur sambil m elindungi
Mahisa Amping. Pertempuran pun m ulai berkobar. Semakin lama menjadi
semakin keras. Mahisa Semu dari Wantilan masing-masing
menghadapi dua orang lawan, sementara Mahisa Amping
telah meny esuaikan diriny a, karena anak itu memang
menyadari, bahwa ia masih belum umur untuk secara
langsung turun dalam pertempuran.
Meski pun demikian, k elima orang itu telah m enunjukkan
sikap mereka. Dengan cepat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mampu memancing lawan-lawannya untuk bertempur pada
jarak yang agak jauh. Sebenarnyalah maka pertempuran menjadi semakin sengit.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat membekali Mahisa
Semu dan Wantilan tentang beberapa pesan sebelum
pertempuran itu benar-benar terjadi.
Sementara itu, Mahisa Murti sempat menjadi berdebardebar
melihat Mahisa Amping y ang ternyata tidak sekedar
menurut, dan tidak sampai keluar halaman.
Tetapi Mahisa Amping justru pernah dikejar-kejar oleh
beberapa orang perampok y ang mula -mula bertempur
berpasangan. Namun karena kawannya y ang bertempur
berpasangan memerlukan kawannya itu, maka Mahisa
Amping telah menjadi beba s kembali.
Demikianlah maka pertempuran di tepian itu semakin lama
menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah
mengerahkan segala kemampuan mereka.
Tetapi lawan mereka mulai terdesak adalah Mahisa Semu
dan Wantilan. Mereka harus melawan masing-masing dua
orang y ang memiliki ilmu seimbang.
Mahisa Murtilah yang mula-mula melepaskan ilmunya. Ia
ingin lawannya segera menghentikan perlawanannya, karena
ia tidak sampai hati membiarkan salah seorang diantara
mereka justru terbunuh. Karena itu, maka orang-orang yang berada di tepian itu pun
masih saja bertempur dengan tidak m engenal lelah. Namun
ternyata Mahisa Murti telah mempergunakan ilmunya y"ng
mampu menghisap tenaga lawannya. Apalagi ketika ia melihat
bahwa Mahisa Semu dan Wantilan menjadi semakin terdesak
oleh lawan-lawan mereka y ang bertempur dengan kasar.
Sementara itu Mahisa Amping yang menyesuaikan dirinya
dengan pertempuran y ang membakar tepian itu, kadangkadang
memang mampu memancing lawan y ang marah.
Tetapi anak itu pun segera mampu memasuki lingkungan
pertempuran bersama Mahisa Semu dan Wantilan.
Tetapi Mahisa Semu dan Wantilan memang mengalami
kesulitan. Mereka kadang-kadang harus bertempur masingmasing
melawan dua orang, seorang diantara mereka
berusaha untuk menangkap Mahisa Amping. Tetapi pada saat
lain, kedua orang itu harus bertempur melawan lima orang.
Namun dalam pada itu, lawan Mahisa Murti, telah
mengalami kesulitan. Rasa-rasanya kemampuannya tidak lagi
sewajarnya. Kekuatannya menjadi susut, dan tulang-tulangnya
menjadi berat. Demikian pula pemimpin perampok yang bertempur
melawan Mahisa Pukat. Ketika Mahisa Pukat pun kemudian
mengetrapkan ilmunya, maka keadaan pun menjadi segera
berubah. Kedua orang anak muda itu memang tidak ingin
membunuh lawan-lawan mereka. Keduanya ingin menangkap
ke tujuh orang y ang telah bersama-sama melakukan
kejahatan, namun y ang kemudian telah berselisih saat mereka
membagi hasil kejahatan mereka.
Ki Jagabaya yang merasa terdesak itu pun telah memanggil
seorang pembantunya untuk ikut bertempur bersamanya. Ki
Jagabaya memperhitungkan, bahwa jika ia dapat
menyelesaikan anak muda itu, maka yang lain pun akan
dengan cepat dapat diselesaikan pula.
Namun bukan saja Ki Jagabaya y ang memanggil kawannya.
Pemimpin perampok y ang bertempur melawan Mahisa Pukat
itu pun telah memberi isyarat kepada seorang kawannya untuk
bertempur bersamanya melawan anak muda yang garang itu.
Dengan demikian, maka keadaan pertempuran itu telah
berubah. Yang bertempur melawan masing-masing dua orang
lawan adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Usaha m ereka
untuk membantu Mahisa Semu dan Wantilan agaknya telah
berhasil. Sehingga Mahisa Semu dan Wantilan tidak lagi
mengalami kesulitan. Mereka masing-masing tinggal melawan
seorang. Sementara seorang perampok nampaknya masih saja
memperhatikan Mahisa Amping yang ternyata benar-benar
diluar dugaan, ia t idak saja mampu berlari-lari, menyusup
diantara pertempuran dan bersembunyi di balik putaran
senjata Mahisa Semu dan Wantilan. Namun anak itu sekalisekali
juga dapat menyerang dengan tiba-tiba.
Namun pertempuran itu ternyata tidak berlangsung terlalu
lama. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan cepat dapat
menguasai lawan-lawan mereka yang menjadi semakin lemah.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak memaksa
lawan-lawan mereka menjadi benar-benar tidak berdaya.
Ketika keduanya terdesak semakin berat dan tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk melawan, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, telah memaksa lawan-lawan mereka meny erah.
Mahisa Semu dan Wantilan yang kemudian dapat bernafas
setelah kedua orang lawan mereka terhisap oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, maka mereka pun segera mampu
menguasai lawan mereka pula. Bahkan Mahisa Amping pun
telah ikut pula mendesak ket iga orang lawannya y ang terdiri
dari dua orang perampok dan seorang pembantu Ki Jagabaya
itu untuk meny erah. "Kawan-kawan kalian sudah tidak berdaya," justru Mahisa
Amping lah y ang berteriak.
Lawan-lawan Mahisa Semu dan Wantilan itu memang
melihat, lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah tidak
memberikan perlawanan apa-apa lagi. Mereka seakan-akan
telah menjadi sangat letih.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian
memerintahkan mereka melepaskan senjata-senjata mereka,
maka mereka tidak dapat menolak lagi.
Dengan demikian maka ke tujuh orang itu benar-benar
sudah dikuasai oleh Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Bahkan Mahisa Amping telah menunjuk seorang diantara
mereka sambil berkata: "Orang inilah yang membawa uang
banyak sekali. Wajahnya nampak berubah-ubah menakutkan."
"Apakah kau sekarang tidak takut lagi"," bertanya Mahisa
Pukat. "Wajahnya sekarang nampak lain," jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Di dalam hati mereka mengakui, bahwa ada sesuatu
yang lebih pada anak itu, m eski pun tidak segera diketahui.
Bahkan kelebihan itu kadang-kadang seakan-akan leny ap dan
timbul kembali pada kesempatan lain.
Namun keduanya berpendapat bahwa kelebihan itu akan
dapat benar-benar dikuasai oleh Mahisa Amping jika ia
mendapat jalan untuk melakukannya. Jika ia menemukan
orang y ang menuntunnya, maka satu lubang pintu untuk
melihat dunia yang semakin dalam akan terbuka.
Tetapi siapakah orang yang mampu m enuntunnya itulah
yang masih harus dicari. "Mungkin ayah dapat memberikan petunjuk," berkata
Mahisa Murti di dalam hatinya.
Tertangkapnya para perampok serta pengkhianatan Ki
Jagabaya atas tugasnya itu pun segera ditangani oleh Ki Buyut.
Ternyata Ki Buyut y ang memimpin Kabuyutan itu sudah
cukup lama memegang jabatannya. Umurnya pun sudah lewat
setengan abad, sehingga rambutnya sudah m ulai ditumbuhi
uban. Namun Ki Buyut masih nampak segar dan kuat.
"Terima kasih anak-anak muda," berkata Ki Buyut kepada
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya datang ke rumah Ki
Buyut sambil membawa orang-orang y ang telah mereka
tangkap. "Menurut pendengaranku pada pembicaraan mereka,
justru seorang diantaranya adalah Ki Jagabaya," desis Mahisa
Murti." "Ya," jawab Ki Buyut: "aku m emang tidak mengira bahwa
pada suatu saat Ki Jagabaya akan terjerumus lagi ke dunia
yang hitam itu." "Jadi benar kata Ki Jagabaya bahwa dahulu Ki Jagabaya
seorang perampok"," bertanya Mahisa Murti.
K! Buyut mengangguk sambil menjawab: "Ya, anak muda.
Ki Jagabaya dahulu memang seorang perampok y ang ditakuti.
Bukan saja oleh orang-orang padukuhan. Tetapi Ki Jagabaya
adalah perampok yang sangat ditakuti oleh para perampok
yang lain. Namun perjalanan hidup Ki Jagabaya telah bergeser
ketika ia kawin dengan isteriny a yang telah meninggal. Sejak ia
kawin, maka tingkah lakunya berubah. Pandangan hidupnya
pun berubah pula. Ia tidak lagi menjadi perampok yang
garang. Tetapi ia justru menjadi petani yang rajin dan tekun.
Dengan kerja keras ia menggarap sawah dan sawah isterinya,
peninggalan orang tuanya, sehingga perlahan-lahan hidupnya
mulai dapat dicukupinya dengan hasil keringatnya yang jernih.
Bukan karena perampok, peny amun dan tindak kekerasan
yang lain. Bahkan akhirnya ia mampu menunjukkan ja saja
sanya kepada Kabuyutan ini. Selain kemampuannya
menggarap sawah yang lebih baik dari tetangga-tetangganya
sehingga ia dapat m enularkan kepandaiannya bertani itu, ia
pun masih mempunyai wibawa yang besar diantara para
penjahat, sehingga Kabuyutan ini menjadi aman. Karena
itulah maka ia telah dipilih menjadi Jagabaya di Kabuyutan
ini. Tetapi dua tahun yang lalu isterinya telah meninggal.
Kesedihan dan kepedihan hatinya telah merubah jalan
hidupnya. Ia bergeser lagi mendekati garis hidupnya yang
lama. Tidak ada orang yang dapat m emperingatkannya lagi
sepeninggal isterinya. Apalagi setelah setahun y ang lalu ia
kawin lagi. Maka segala sesuatunya telah berubah. Isterinya
yang baru bukan seorang isteri y ang baik. Karena itu, maka Ki
Jagabaya telah tergelincir lagi. Aku sudah berusaha
memperingatkannya. Tetapi ia sama sekali tidak mau
mendengarnya. Sekarang, biarlah orang lain
memperingatkannya, sehingga ia menyadari, bahwa Ki
Jagabaya bukan orang yang terbesar di dunia."
Ki Jagabaya yang mendengar kata-kata Ki Buyut itu hanya
menundukkan kepalanya. Ia memang tidak dapat membantah.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa y ang dikatakan oleh Ki Buyut itu memang sebenarnya
terjadi atas dirinya. Ia sudah m engalami perubahan setelah
sebelumnya ia berubah. Ki Jagabaya memang telah kembali ke jalan yang salah.
"Anak-anak muda," berkata Ki Buyut: "sebenarnya sudah
lama aku ingin berbuat sesuatu. Tetapi kami masih belum
mempunyai bukti cukup. Apalagi menangkap saat Ki Jagabaya
melakukan kejahatan. Ternyata bahwa sekarang anak-anak
mudalah y ang sempat melakukannya."
"Satu kebetulan Ki Buyut," desis Mahisa Murti. Ketika Ki
Buyu kemudian bertanya tentang anak-anak muda itu, maka
Mahisa Murti pun menjawab: "Kami adalah anak-anak dari
padepokan Bajra Seta."
"Bajra Seta," Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ternyata
Ki Buyut masih belum pernah mendengar nama padepokan
itu. Namun Ki Buyut itu kemudian bertanya: "Tetapi anak-anak
muda ini dari mana" Dari padepokan Bajra Seta atau baru
akan kembali ke padepokan" "
"Kami sedang m enuju kembali ke padepokan kami," jawab
Mahisa Murti. Lalu katanya: "Kami baru saja melakukan
pengembaraan. Terakhir kami singgah di padepokan yang
dipimpin oleh Kiai Nagateleng."
"Kiai Nagateleng"," ulang Ki Buyut.
"Tetapi Kiai Nagateleng sudah tidak ada lagi Ki Buyut,"
desis Mahisaa Murti. " Itulah," sahut Ki Buyut: "aku heran bahwa kau meny ebut
nama Kiai Nagateleng."
"Yang sekarang memimpin padepokan itu adalah Kiai
Semangin," berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya dengan nada
rendah "Padepokan itu adalah padepokan y ang baik. Seandainya Ki
Jagabaya tidak dapat kalian tangkap, mungkin aku akan minta
bantuan kepada para penghuni padepokan itu untuk
membantu menangkap Ki Jagabaya bersama bukti
kejahatannya. Namun ternyata bahwa kalian telah
melakukannya." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian: "Kami telah meny erahkan orang-orang yang
bersalah ini kepada Ki Buyut. Terserah Ki Buyut untuk
menanganinya." "Lalu, apakah kalian akan meninggalkan Kabuyutan ini?"
bertanya Ki Buyut. "Ya Ki Buyut," jawab Mahisa Murti: "kami akan mohon diri.
Kami telah ditunggu dipadepokan kami."
"Terima kasih anak-anak m uda. Kalian telah berjasa bagi
Kabuyutan ini," desis Ki Buyut.
Meski pun Ki Buyut mencoba untuk m enahan anak-anak
muda itu barang sehari, tetapi Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
tidak mempunyai kesempatan lagi. Ra sa-rasanya
mereka telah dikejar oleh waktu. Meski pun sehari tidak
berarti dibanding saat-saat pengembaraan mereka, namun
justru semakin dekat mereka dengan padepokan yang mereka
bangun dan mereka namai padepokan Bajra Seta, maka rasarasanya
mereka semakin ingin lebih cepat sampai.
Karena itu, maka mereka benar-benar tidak ingin menunda
lagi perjalanan mereka barang satu hari.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dengan saudarasaudaranya
itu telah menempuh perjalanan kembali ke
padepokan mereka. Mereka sudah tidak lagi berada di jalan
yang menuju ke Singasari. Tetapi m ereka telah m eny impang
untuk mengambil jalan pintas.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, peri stiwa yang baru
sa ja terjadi telah m embuka pengertian mereka tentang anak
yang mereka namai Mahisa Amping itu.
Peri stiwa itu sendiri tidak banyak m emberikan kesan bagi
keduanya. Peristiwa itu merupakan satu peri stiwa kecil
dibandingkan dengan banyak peristiwa yang telah mereka
alami. Tetapi peristiwa itu merupakan peri stiwa penting bagi
keduanya untuk mengenali anak itu lebih banyak.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih memerlukan
banyak keterangan lagi tentang anak itu. Kemudian mereka
memerlukan seorang yang dapat mengembangkannya
sehingga kelebihan anak-anak itu akan memberikan arti bagi
hidupnya kelak. Demikianlah, maka mereka tinggal meny elesaikan
perjalanan yang tersisa. Sementara itu, Mahisa Amping masih
sa ja berjalan di paling depan. Namun peristiwa di Kabuyutan
itu telah m eny ita waktu hampir sehari itu. Karena itu, maka
ketika senja turun, mereka masih berada di perjalanan.
"Kita masih harus bermalam," berkata Mahisa Murti.
"Kenapa kita tidak berjalan terus jika jaraknya tinggal
beberapa ribu patok"," bertanya Mahisa Amping.
"Perjalanan masih cukup panjang," jawab Mahisa Pukat,
"karena itu tidak ada salahnya kita berhenti disini atau di
tempat y ang kita anggap paling baik."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun Mahisa
Murti berdesis: "Kita akan melihat padukuhan di depan,
apakah kita dapat bermalam di banjar atau tidak."
Yang lain berkeberatan. Jika banjar padukuhan itu
memungkinkan, maka mereka m emang lebih baik bermalam
di banjar daripada di tempat terbuka.
Ketika malam menjadi semakin gelap, maka kelima orang
itu memasuki sebuah padukuhan y ang cukup besar. Namun
padukuhan itu merupakan padukuhan y ang nampaknya
tenang dan tidak banyak per soalan. Di gardu di dekat regol
padukuhan, beberapa orang anak muda duduk sambil
berkelakar meski pun malam baru saja turun. Agaknya mereka
bukan orang-orang yang bertugas m eronda. Tetapi anak-anak
muda y ang mengisi waktu luang mereka dengan duduk sambil
bergurau di gardu itu. Meski pun demikian, ketika Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
lewat, mereka telah memperhatikannya dengan
sak sama. Tetapi tidak seorang pun y ang menegur mereka.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak pula bertanya
sesuatu. Mereka hanya mengangguk saja sambil berjalan
terus. Mereka memperhitungkan bahwa banjar padukuhan
tentu berada di pinggir jalan induk itu.
Sebenarnyalah ketika mereka sampai ke jantung
padukuhan itu, m ereka melihat sebuah bangunan yang lebih
besar dari bangunan y ang lain. Mahisa Amping yang berjalan
di paling depan pun berdesis: "Agaknya itulah banjar
padukuhan ini." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Karena itu, ketika
mereka berada di regol bangunan itu, mereka telah berhenti.
"Aku akan bertanya seseorang yang ada di lingkungan
banjar itu," desis Mahisa Murti.
Yang lain m enunggu diluar. Mahisa Murti kemudian telah
mendorong regol bangunan y ang ternyata tidak diselarak. Dari
sela -sela, pintu regol Mahisa Murti semakin yakin, bahwa ia
berdiri di pintu banjar padukuhan.
Seperti y ang diduganya, maka penunggu banjar itu telah
menerima perm ohonan Mahisa Murti bermalam dengan
senang hati. Meski pun ketika Mahisa Murti mengatakan,
bahwa ia tidak sendiri. Tetapi ia datang berlima dengan
saudara-saudaranya. Namun akhirnya penunggu banjar itu berkata: "Baiklah.
Silahkan. Banjar ini tidak banyak dikunjungi orang di malam
hari. Tetapi di siang hari banjar ini menjadi ramai."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia melihat seperangkat
gamelan di pendapa banjar itu. Agaknya tempat itu
dipergunakan untuk berlatih tari -tarian di siang hari.
Namun agaknya halaman banjar itu juga dipergunakan
untuk sabung ay am, atau kepentingan-kepentingan yang lain.
Setelah menempatkan kelima orang itu di serambi belakang
banjar, maka penunggu banjar itu telah m enghubungi anakanak
muda yang berada di gardu. Penunggu banjar itu
memberitahukan bahwa ada lima orang yang bermalam di
banjar. "Mereka bersenjata meski pun nampaknya mereka bukan
orang y ang berbahaya."
Anak-anak muda yang berada di gardu itu saling
berpandangan sejenak. Sementara itu seorang yang
nampaknya berpikir lebih tenang diantara kawan-kawan
mereka y ang nampak gelisah itu pun berkata: "Kita berbicara
Ki Bekel. Sementara itu sebagian dari kita akan pergi ke
banjar. Tidak apa-apa. Sekedar duduk-duduk di pendapa."
Dua diantara mereka telah pergi melaporkan kepada Ki
Bekel. Sedang beberapa orang anak muda y ang lain telah
langsung pergi ke banjar.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya y ang berada di
serambi belakang m endengar juga kehadiran beberapa orang
anak muda. Namun karena anak-anak muda itu hanya dudukduduk
saja di pendapa banjar, maka mereka pun tidak berbuat
apa-apa. Bahkan setelah mencuci kaki dan tangan serta wajah
mereka, diantara orang-orang yang ditempatkan di serambi itu
telah berbaring. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m encoba memperhatikan
Mahisa Amping. Nampaknya tidak ada kesan kegelisahan pada
anak itu, sehingga dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berkesimpulan bahwa tidak akan terjadi sesuatu.
"Tetapi anak itu sering salah m enangkap isy arat," berkata
Mahisa Murti. " Ia masih terlalu kecil. Ia memerlukan seseorang untuk
membuka hatinya sehingga isy arat y ang dit erimanya itu dapat
diterjemahkannya dengan benar," sahut Mahisa Pukat.
Namun sementara itu, ternyata Ki Bekel telah t ertarik
kepada laporan anak-anak muda yang datang kepadanya.
Karena itu, maka Ki Bekel itu pun telah pergi pula ke banjar. Ia
ingin langsung berbicara dengan anak-anak muda itu untuk
mendapatkan kepastian, apakah anak-anak muda itu akan
berbuat jahat atau tidak.
Demikian Ki Buyut datang ke banjar itu, maka ia pun telah
diantar oleh penunggu banjar itu dengan dua orang anak
muda menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Karena itu, maka mereka yang telah berbaringan dengan
tergesa -gesa telah bangkit. Dengan mata y ang sudah
terkantuk-kantuk mereka telah keluar dari dalam bilik mereka
dan duduk diserambi bersama dengan Ki Bekel dan orangorangnya.
Ternyata Ki Bekel telah bersikap ramah pula terhadap
Mahisa Murti dan saudara -saudaranya. Tidak ada kata-kata
yang keras apalagi kasar y ang diucapkan oleh Ki Bekel. Juga
tidak ada kecurigaan y ang berlebihan meski pun Ki Bekel telah
mengajukan beberapa pertanyaan.
Namun ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu
menyatakan bahwa mereka akan kembali ke padepokan Bajra
Seta, maka Ki Bekel itu pun nampak termangu-mangu.
"Apakah Ki Bekel pernah mendengar nama Padepokan
Bajra Seta"," bertanya Mahisa Murti.
"Coba katakan kepadaku, dimanakah letak padukuhan itu,"
berkata Ki Bekel. Mahisa Murti pun kemudian menjelaskannya. Menurut
arah, mereka akan dapat mengambil jalan pintas. Mereka
memang tidak perlu mengikuti jalan ke Singasari, karena
mereka memang tidak ingin singgah. Karena itu, maka mereka
telah mengambil jalan y ang menurut perhitungan mereka
lebih dekat daripada mereka mengikuti jalan ke Singasari.
Ki Bekel mengangguk-angguk.
"Kami telah lama mengembara," berkata Mahisa Murti,
"kami telah menempuh perjalanan y ang sangat panjang.
Berputar-putar melalui beberapa Pakuwon. Bahkan berada di
telatah Kediri, Singasari dan melintasi lembah dan lerenglereng
pegunungan. Sekarang, kami ingin kembali ke sarang
kami." Ki Bekel m engangguk-angguk. Tetapi beberapa kali ia
memandang Mahisa Amping. Dari sorot matanya ia
menyimpan pertanyaan apakah anak itu juga ikut menempuh
perjalanan sepanjang itu.
Namun jawaban Mahisa Murti cukup m ey akinkan bahwa
mereka memang berasal dari padepokan Bajra Seta.
"Apa kalian tidak mengetahui berita terakhir tentang
padepokan Bajra Seta"," bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti menggeleng sambil mengerutkan dahinya.
Dengan suara y ang ragu ia bertanya: "Apakah ada sesuatu
yang terjadi di padepokan Bajra Seta" "
"Terus terang anak-anak muda," Jawab Ki Bekel, "aku
belum pernah melihat padepokan itu. Aku pun belum
mengenali penghuni-penghuninya kecuali sekarang setelah
kalian m engaku dari padepokan Bajra Seta. Tetapi ramainya
kabar y ang dibawa para pedagang dan perantau mengabarkan
bahwa telah terjadi serangan atas padepokan Bajra Seta itu."
"Serangan"," uiang Mahisa Pukat y ang menjadi tegang.
"Ya," jawab Ki Bekel.
"Darimana"," bertanya Mahisa Pukat dengan serta merta.
"Aku tidak tahu. Orang-orang y ang membawa berita itu
tidak pernah menceritakan peristiwanya dengan tuntas.
Mereka mendengar dari kawannya. Dan kawannya itu
mendengar dari pedagang yang sering berhubungan kerja
dengannya. Sementara itu pedagang itu mendengar dari orang
yang menyerahkan dagangan kepadanya sepekan sekali dan
demikian seterusny a," berkata Ki Bekel.
Wajah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menjadi
tegang. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang
belum pernah m elihat padepokan Bajra Seta itu pun menjadi
berdebar-debar pula. Mereka ingin tinggal bersama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat di padepokan itu. Namun tiba-tiba
mereka mendengar bahwa padepokan itu mendapat serangan.
Sementara itu Ki Bekel itu pun berkata: "Tetapi itu sudah
terjadi beberapa waktu yang lalu. Karena itu, kalian tidak usah
terlalu dalam memikirkan hal itu. Apa pun yang kalian
lakukan, tetapi itu sudah t erjadi. Karena itu, maka beristirahat
sa jalah dengan baik di banjar ini. Besok kalian akan dapat
meneruskan perjalanan kalian."
Demikianlah, setelah Ki Bekel y akin bahwa anak-anak
muda itu nampaknya bukan orang-orang y ang berniat jahat,
maka ia pun kemudian telah minta diri.
"Silahkan beristirahat anak-anak muda," berkata Ki Bekel.
Lalu katanya pula: "Aku akan minta diri. Biarlah anak-anak
muda padukuhan ini berada di pendapa. Jika kalian ingin
berbicara dengan mereka aku per silahkan. Tetapi jika kalian


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah merasa terlalu letih dan ingin beristirahat, m aka aku
persilahkan kalian untuk beristirahat."
"Kami akan beristirahat saja Ki Bekel," jawab Mahisa Murti.
"Silahkan. Silahkan," berkata Ki Bekel yang kemudian
meninggalkan anak-anak muda di serambi.
Namun sebelum anak-anak muda itu beristirahat, mereka
telah mendapat suguhan makan dan minum secukupnya.
Tetapi ketika mereka kembali ke pembaringan, maka
mereka telah menentukan urutan tugas untuk berjaga-jaga.
Bagaimana pun juga mereka harus tetap berhati-hati.
Tetapi ternyata bahwa mereka tidak segera, dapat tidur
meski pun bukan y ang mendapat giliran untuk bertugas.
Mereka masih m embayangkan apa yang telah terjadi dengan
padepokan Bajra Seta. Padepokan yang masih terhitung muda
dan masih belum terlalu kokoh berdiri meski pun dalam
umurnya yang singkat telah m endapatkan pengalaman yang
cukup banyak. Namun dalam pada itu, karena letih, maka akhirnya
mereka pun telah tertidur pula menjelang dini. Sehingga
Mahisa Murti y ang mendapat tugas terakhir, harus tetap
bertahan sampai pagi sehingga hampir semalam suntuk ia
tidak tidur sama sekali. Namun Mahisa Pukat pun hanya dapat
memejamkan matanya sesaat.
Malam itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak
mengalami gangguan apa pun juga. Ternyata mereka benarbenar
mendapat tempat yang baik untuk bermalam.
Bahkan di pagi hari ketika mereka telah mandi dan
berbenah diri, penunggu banjar itu telah meny ediakan makan
untuk mereka. "Anak-anak muda di pendapa pulang sebelum fajar,"
berkata penjaga banjar itu, "mereka tidak ingin mengganggu
kalian, sehingga mereka tidak minta diri."
"Tidak apa-apa," sahut Mahisa Murti, "kami sudah
menyatakan terima ka sih yang sebesar-besarnya atas segala
kebaikan kalian di padukuhan ini, termasuk Ki Bekel."
Tetapi sebelum mereka meninggalkan banjar, justru Ki
Bekel telah datang lagi ke banjar. Setelah mengucapkan
selamat jalan kepada anak-anak muda itu, Ki Bekel berkata:
"Hati-hatilah anak muda. Aku tidak tahu padepokan manakah
yang telah meny erang padepokan Bajra Seta. Tetapi rasarasanya
tentu sebuah padepokan y ang m erasa dirinya cukup
kuat. Karena itu, di sepanjang jalan, kalian jangan t erlalu
mudah mengaku orang-orang dari padepokan Bajra Seta
karena dengan demikian kalian akan dapat terjebak ke dalam
bahaya." Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab:
"Terima kasih Ki Bekel. Meski pun jarak sampai ke padepokan
kami tidak terlalu jauh lagi dibandingkan perjalanan kami
yang panjang, namun kami memang harus berhati-hati
sebagaimana Ki Bekel katakan."
"Selamat jalan anak-anak muda," berkata Ki Bekel sekali
lagi sambil mengantarkan anak-anak muda itu sampai ke
pintu regol. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
pun telah meninggalkan banjar padukuhan itu. Ki
Bekel menarik nafas dalam-dalam sambil berkata kepada
seorang anak muda y ang berdiri disampingnya: "Mereka
nampak m eyakinkan. Jika mereka sempat kembali ke tengahtengah
penghuni padepokan mereka, maka padepokan mereka
tentu akan mampu meny elematkan diri. Tetapi tanpa mereka,
masih harus dipertanyakan, apa y ang telah terjadi dengan
padepokan mereka." "Menurut kabar, padepokan Bajra Seta mampu bertahan ?"
berkata anak muda itu. "Daripada kau mendapat keterangan itu"," bertanya Ki
Bekel. "Orang-orang lewat. Pedagang-pedagang keliling dan
pengembara y ang kebetulan singah," jawab anak muda itu,
"namun memang masih harus diy akinkan kebenarannya."
"Mudah-mudahan m ereka tidak terjebak. Jika padepokan
itu telah dihuni orang lain, maka mereka akan mengalami
kesulitan," desis Ki Bekel.
Sementara itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
berjalan terus menyusuri jalan induk padukuhan. Namun
mereka pun kemudahan telah menyusup keluar regol
padukuhan itu. Demikian mereka berada di luar padukuhan, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat mulai b erbicara tentang berita yang
mereka dengar dari Ki Buyut bahwa padepokan Bajra Seta
telah mendapat serangan dari kekuatan yang belum diketahui.
Sementara itu mereka pun belum mengetahui nasib dari
padepokan itu. Apakah padepokan itu dapat diselamatkan
atau tidak. Kemudian bagaimana pula nasib ay ah mereka yang
sudah menjadi semkin tua.
"Tetapi aku yakin, ay ah masih mampu m elindungi dirinya
sendiri," berkata Mahisa Pukat.
"Namun, apakah ayah masih mampu melindungi
padepokan itu," sahut Mahisa Murti.
"Kita terlalu lama pergi. Kita memang mendapatkan banyak
pengalaman. Tetapi y ang terjadi di padepokan kita sendiri
justru kesulitan," desis Mahisa Pukat.
"Sudahlah," potong Mahisa Murti, "kita tidak dapat
menyesali diri. Semuanya sudah terlanjur. Kita juga terlanjur
menganggap bahwa padepokan kita tidak bermusuhan dengan
padepokan yang mana pun juga di saat-saat terakhir. Tetapi
kita lupa bahwa permusuhan yang pernah terjadi sebelumnya
masih mungkin menyala kembali."
"Semakin cepat kita kembali ke padepokan itu rasa-rasanya
semakin baik. Aku menjadi tidak sabar berjalan seperti siput
yang malas ini," berkata Mahisa Pukat kemudian.
"Kita tidak dapat berjalan lebih cepat," sahut Mahisa Murti.
Namun katanya kemudian: "Tetapi agaknya kita dapat
berjalan sambil mencari berita tentang padepokan kita."
"Apakah kita akan bertanya-tanya di sepanjang jalan","
bertanya Mahisa Pukat. "Jika banyak orang tahu bahwa kita dari padepokan Bajra
Seta, maka akan dapat terjadi ada pihak y ang m enghubungi
kita. Mungkin dengan maksud baik, tetapi mungkin sebaliknya
bagi orang-orang y ang pernah meny erang padepokan kita.
Namun dengan demikian di perjalanan kembali ke padepokan,
kita akan dapat mengetahui serba sedikit keadaan padepokan.
Kita berharap bahwa hari ini, meski pun malam hari, kita akan
mendekati padepokan itu. Padepokan Bajra Seta. Kita masih
harus m elihat, apa yang ada di dalam padepokan itu sebelum
memasukinya. Tetapi lebih baik jika kita mengetahui sebelum
kita sampai ke padepokan itu," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi pesan Ki Bekel justru sebaliknya," desis Mahisa
Pukat. "Ki Bekel ingin agar kita tidak terganggu di perjalanan serta
tidak ingin kita mendapatkan kesulitan. Namun kita
mempunyai kepentingan y ang lain," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya: "Aku dapat
mengerti." Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah
berbicara pula dengan Mahisa Semu, Wantilan dan juga
Mahisa Am ping. Mereka akan dengan sengaja menyatakan diri
bahwa mereka adalah orang-orang dari padepokan Bajra Seta.
"Kita akan melihat apa akibatnya," berkata Mahisa Murti.
Lalu katanya: "Mudah-mudahan jika terjadi sesuatu, kita
dapat menangkap semacam keterangan tentang padepokan
kita." Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Amping hanya termangu -mangu saja.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memperhatikan
anak itu tidak m elihat sesuatu kesan di wajahnya. Keduanya
berharap bahwa ada sesuatu yang terbersit di hati anak itu,
sehingga dapat memberikan isyarat kepada mereka.
Tetapi keduanya kemudian menyadari, bahwa mereka tidak
akan dapat berharap terlalu banyak kepada anak-anak yang
masih belum m engerti sepenuhnya apa y ang terjadi di dalam
dirinya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertekad
untuk menyatakan diri mereka secara terbuka justru untuk
memancing persoalan. Mereka berharap dari persoalan yang
timbul, mereka akan mendapat keterangna tentang padepokan
mereka sebelum mereka mendekati padepokan itu sendiri.
Demikianlah, maka ketika mereka singgah di sebuah kedai,
maka dengan sengaja Mahisa Murti berkata lantang kepada
pemilik kedai itu setelah m emesan makanan dan m inuman.
"Cepat sedikit Ki Sanak. Kami tidak banyak mempunyai
waktu. Kami harus segera kembali ke padepokan kami."
"Padepokan y ang mana Ki Sanak"," bertanya pemilik kedai
itu tanpa maksud apa -apa."
"Kami adalah keluarga dari padepokan Bajra Seta," jawab
Mahisa Murti. Pemilik kedai itu memang tidak memperhatikan lagi. Ia
tidak menghiraukan apakah pembeliny a itu dari padepokan
Bajra Seta atau bukan. Tetapi y ang justru memperhatikan adalah orang lain. Orang
yang kebetulan juga berada di kedai itu.
Kepada kawannya orang itu berbisik sambil
memperhatikan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang
duduk di sudut kedai itu: "Mereka orang-orang Bajra Seta."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Desisny a:
"Nampaknya anak-anak muda yang sombong. Tetapi m ereka
akan menyesali kesombongannya itu."
"Sikapnya memang aneh," sahut orang yang pertama,
"kenapa mereka dengan sengaja menyatakan diri orang-orang
dari Bajra Seta justru sekarang ini."
Namun dalam pada itu, pernyataan Mahisa Murti itu telah
menjalar dari mulut ke mulut. Orang-orang y ang m endengar
pernyataan itu, telah mengatakan kepada orang lain, sehingga
akhirnya, seorang diantara mereka berkata: "Kita akan
menunggu apa yang akan terjadi atas mereka."
Tetapi Mahisa Murti y ang dengan sengaja menyatakan
dirinya sebagai orang dari padepokan Bajra Seta justru telah
singgah pula di sebuah kedai di padukuhan berikutnya meski
pun hanya sekedar singgah untuk minum semangkuk
minuman panas serta meny ebut diriny a dan saudarasaudaranya
sebagai orang-orang padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian, maka berita tentang kehadiran orangorang
Bajra Seta itu cepat tersebar.
Bahkan sebelum mereka merasa letih di perjalanan, kelima
orang itu telah beristirahat di pintu-pintu gerbang padukuhan
atau di gardu-gardu yang kosong di siang hari.
Ternyata usaha Mahisa Murti itu pun berhasil. Demikian
mereka berhenti di sebuah gubug di bulak panjang, maka
seorang petani telah menemuinya dan berkata: "Hati-hati
anak-anak muda. Kalian berada diantara orang-orang yang
memusuhi padepokan Bajra Seta."
"Menurut pengertian mereka, orang-orang Bajra Seta
adalah penghuni sebuah padepokan yang dikendalikan oleh
orang-orang jahat," jawab petani itu.
"Siapakah y ang meny ebarkan berita itu" Dan apakah Ki
Sanak juga percaya"," bertanya Mahisa Pukat.
"Ki Sanak. Aku adalah seorang petani. Tetapi aku
mempunyai kegemaran lain. Bertualang. Karena itu, aku tahu
bahwa berita tentang orang-orang Bajra Seta y ang banyak aku
dengar disini adalah bertentangan dengan keadaan yang
sebenarnya sebagaimana pernah aku lihat sendiri," jawab
Petani itu. "Apalagi ketika permusuhan antara padepokan
Bajra Seta dengan sekelompok orang-orang yang tamak itu
semakin menjadi-jadi. Maka fitnah pun semakin menjadi-jadi
pula. Sehingga akhirnya orang-orang padepokan Bajra Seta
seakan-akan telah terpencil diantara sesamanya yang tinggal
disekelilingnya." Mahisa Murti dan saudara-saudaranya termangu-mangu
sejenak. Namun hampir diluar sadarnya Mahisa Murti
berkata: "Apakah sebelumnya orang-orang Bajra Seta sering
berkeliaran sampai ke daerah ini","
Petani itu m enjadi heran. Dengan nada tinggi ia bertanya:
"Bukankah kalian mengaku sebagai orang-orang Bajra Seta" "
"Ya. Kami bukan sekedar mengaku orang -orang Bajra Seta.
Kami memang orang-orang dari padepokan Bajra Seta," jawab
Mahisa Murti. "Kenapa kalian bertanya seperti itu"," bertanya petani itu.
"Terus terang Ki Sanak. Kami adalah orang-orang Bajra
Seta yang telah lama merantau. Saat kami kembali, kami
dengar padepokan kami telah pernah diserang oleh orangorang
y ang belum jela s," jawab Mahisa Murti.
"Siapa y ang mengatakannya," bertanya petani itu.
"Seorang Bekel dari sebuah padukuhan. Tetapi Ki Bekel itu
tidak tahu akhir dari peristiwa itu. Tidak tahu pula orangorang
manakah y ang telah m emusuhi padepokan Bajra Seta
yang menurut pengenalan kami atas padepokan kami itu,
bukan sebuah padepokan yang senang mengobarkan
permusuhan." "Sebagian dari berita y ang kau dengar itu benar," jawab
petani itu. "Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak ini" Jika orangorang
di daerah ini m emusuhi orang-orang padepokan Bajra
Seta, kenapa, Ki Sanak tidak melakukannya"," bertanya
Mahisa Murti. "Karena aku mengenal pemimpin padepokan itu. Meski
pun aku belum lama mengenalnya, tetapi aku tahu, bahwa
tuduhan y ang diberikan kepada orang-orang Bajra Seta itu
tentu tidak benar," jawab petani itu.
"Siapakah yang kau maksud dengan pemimpin padepokan
itu"," bertanya Mahisa Pukat.
Petani itu termangu -mangu. Katanya: " Jika kalian orangorang
Bajra Seta, kenapa kalian bertanya siapa pemimpin dari
padepokan itu." "Sudah kami katakan bahwa kami telah pergi cukup lama.
Mungkin sesuatu perubahan telah terjadi. Karena itu, aku
mohon Ki Sanak mau m eny ebut nama orang yang Ki Sanak
sebut sebagai pemimpin padepokan Bajra Seta y ang tidak
pantas melakukan sebagaimana dituduhkan orang kepada
dirinya itu" " "Namanya Mahendra," jawab petani itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan demikian maka mereka telah mendapat
keterangan bahwa ayah mereka masih selamat.
Tetapi Mahisa Pukat masih juga ingin meyakinkan. Karena
itu maka ia pun telah bertanya pula: "Di mana Ki Sanak
mengenal orang y ang bernama Mahendra itu" "
"Anak-anak muda. Apakah kalian m engenal Mahendra itu
pula," justru petani itulah yang bertanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti m enjawab: "Ya, aku kenal
Mahendra itu. Ia memang pemimpin padepokan itu sejak
semula. Dengan demikian maka kami tahu bahwa padepokan
itu masih tetap tidak berubah."
"Nah, padepokan itu memang masih tetap dikuasai oleh
orang-orang Bajra Seta. Tetapi padepokan itu semakin lama
menjadi semakin jauh dari orang-orang di sekitarnya.
Maksudku orang -orang y ang tidak mengenal dengan baik
padepokan itu," jawab petani itu.
"Bagaimana dengan orang -orang di padukuhan sekitar
padepokan itu"," bertanya Mahisa Pukat.
"Nampaknya tidak ada masalah dengan padukuhan y ang
justru di sekitar padepokan itu, karena orang-orang
padukuhan itu mengenal dengan baik orang-orang Bajra Seta.
Yang memusuhi orang -orang Bajra Seta justru orang-orang
yang tidak mengenal isi padepokan itu, tetapi mengetahui
bahwa padepokan itu ada," jawab petani itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu
petani itu pun berkata selanjutnya: "Karena itu, aku minta
kalian segera m eneruskan perjalanan. Bukankah padepokan
itu sudah tidak lagi terlalu jauh" Ambillah jalan pintas. Jika
kalian menempuh jalan setapak di sela-sela bukit yang
nampak itu, maka kalian akan lebih cepat sampai. Meski pun
jalan agak sulit, namun kalian tidak akan banyak m engalami
hambatan karena orang-orang yang membenci padepokan
Bajra Seta. Di sela-sela bukit itu tidak ada padukuhan yang
cukup besar y ang dihuni orang-orang yang mempunyai
kepentingan dengan orang lain sehingga memperhatikan
padepokan Bajra Seta. Orang-orang y ang tinggal di padukuhan
di celah -celah bukit itu adalah orang-orang y ang lebih banyak
memperhatikan diri mereka sendiri serta orang-orang yang
hidup bersama mereka di padukuhan-padukuhan kecil itu.
Mereka memang merupakan keluarga yang mencakup seluruh
isi setiap padukuhan. Namun hubungan mereka dengan
lingkungan di sekitar mereka sangat sedikit."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Kemudian dengan nada rendah Mahisa Murti
berkata: "Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mencoba mencari
jalan y ang paling pendek dan yang paling aman setelah kami
tahu, bahwa padepokan itu adalah padepokan Bajra Seta
sebagaimana saat aku tinggalkan."
Petani itu mengangguk sambil berkata: "Pergilah. Jangan
terlalu lama berada disini. Kalian telah melakukan kesalahan
besar dengan setiap kalian menyatakan diri kalian kepada
siapa pun sebagai orang-orang Bajra Seta. Menurut
pengenalanku atas pemimpin padepokan itu, ia sama sekali
tidak mempunyai kebiasaan meny ombongkan diri
sebagaimana kalian lakukan."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya: "Ki
Sanak. Kami sama sekali tidak bermaksud m eny ombongkan
diri. Tetapi kami memang m emancing persoalan agar kami
dapat mendengar berita tentang padepokan itu lebih banyak.
Yang penting bagi kami adalah kepastian, bahwa padepokan
itu masih tetap dihuni oleh perguruan Bajra Seta, dengan
pemimpin y ang sama. Seandainya kami tidak
meny ombongkan diri dengan sikap yang agak berlebihan,
mungkin Ki Sanak tidak tertarik kepada kehadiran kami
disini." Orang itu mengangguk-angguk. Katanya: "Aku semakin
yakin bahwa kalian memang orang-orang dari padepokan
Bajra Seta itu. Sekarang, pergilah secepatnya."
"Baik Ki Sanak," jawab Mahisa Murti.
Tetapi tiba -tiba saja orang itu mengerutkan keningnya
sambil berkata: "Terlambat. Aku melihat beberapa orang
mulai bergerak." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut akan k eterangan
itu. Mereka justru baru mulai m erasa curiga, bahwa mereka
melihat sesuatu yang tidak wajar masih dikejauhan. Tetapi
karena petani itu sudah memberikan peringatan kepada
mereka, maka m ereka tidak lagi dapat mencurigai petani itu.
Yang m ereka renungkan kemudian adalah justru petani itu.
Orang itu tentu orang yang berilmu dan berkemampuan tinggi,
sehingga orang itu pun sempat melihat sesuatu yang belum
jelas. Tetapi beberapa saat kemudian, mereka telah melihat
beberapa orang yang bermunculan di jalan bulak itu dan dari
tikungan-tikungan. Dari sela -sela batang jagung di sebelah
jalan simpang. Atau dari balik gerumbul-gerumbul di sebelah
menyebelah jalan panjang itu. Meski pun jaraknya masih agak
jauh, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat
mereka datang. Dalam pada itu, petani itu pun berkata: "Maaf Ki Sanak.
Sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalan padepokan
Bajra Seta." "Silahkan Ki Sanak. Kami mengucapkan terima kasih atas
keterangan Ki Sanak. Biarlah kami m encari jalan keluar dari
kesulitan ini tanpa harus melibatkan Ki Sanak. Dengan
demikian maka Ki Sanak tidak akan ikut dimusuhi oleh orangorang
itu," sahut Mahisa Murti.
"Mereka adalah orang -orang padukuhan di sekitar tempat
ini y ang tentu tersinggung karena sikap kalian, justru karena
kalian mengaku dari padepokan y ang mereka benci tanpa
mengetahui persoalan y ang sebenarnya."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian: "Ki Sanak. Apa y ang Ki Sanak beritahukan kepada
kami sudah cukup banyak. Sekarang pergilah, selagi mereka
masih belum terlalu dekat."
Petani itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
melangkah menjauhi kelima orang yang mengaku dari
padepokan Bajra Seta itu.
Tetapi ketika petani itu berpapasan dengan orang-orang
yang melangkah m endekat, maka ternyata ia telah dihentikan
oleh beberapa orang. Meski pun petani itu tidak disentuh,
tetapi ia sudah dibentak-bentak oleh orang-orang y ang datang
dan kemudian mengepung kelima orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam
ketika mereka melihat orang itu kemudian dibiarkan
melangkah pergi. Sementara itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah
terkepung. Beberapa orang diantara m ereka berdiri diantara
tanaman di sawah. Yang lain diatas tanggul dan beberapa
orang di jalan bulak. Tiga orang y ang paling berpengaruh diantara orang-orang
yang mengepung Mahisa Murti dan saudara -saudaranya itu
telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang berdiri di paling depan.
"Apakah kalian benar-benar orang-orang Bajra Seta","
bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.
"Ya," jawab Mahisa Murti tanpa ragu-ragu. "Kami adalah
orang-orang Bajra Seta."
"Kenapa kalian berkeliaran disini"," bertanya orang itu
pula. "Kami baru pulang dari sebuah perjalanan jauh. Karena itu,
kami lewat jalan ini," jawab Mahisa Murti.
"Apakah kalian tidak tahu, bahwa kami sama sekali tidak
ingin melihat orang-orang Bajra Seta berkeliaran di
lingkungan kami," berkata orang itu kemudian.
"Kenapa"," bertanya Mahisa Murti.
"Pertanyaanmu aneh. Atau kau sengaja menantang kami","
bertanya orang itu dengan wajah tegang.
"Aku tidak mengerti maksudmu," sahut Mahisa Murti.
"Kau telah membuat orang-orang padukuhan ini
menderita. Setidak-tidaknya menjadi resah dan ketakutan. Di
malam hari mereka menjadi kurang tidur. Di siang hari
mereka kurang makan karena tingkah laku kalian. Kenapa
kalian masih bertanya lagi," bentak orang itu.
"Omong kosong," Mahisa Murti pun membentak, "kau
katakan, apakah y ang pernah dilakukan oleh orang-orang
Bajra Seta disini." Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara
Mahisa Murti pun bertanya lagi dengan suara lantang: "Apa
yang pernah dilakukan oleh orang-orang Bajra Seta sehingga
kalian membencinya" Sehingga kalian menganggap bahwa
orang-orang Bajra Seta itu pantas dicurigai, diawasi dan
kemudian diusir dari tempat ini" Katakan, apa y ang pernah
kami lakukan disini."
Orang-orang itu termangu-mangu. Mereka mulai
mengingat apa yang pernah terjadi. Tetapi mereka memang
belum pernah melihat sesuatu terjadi.
Karena itu, maka orang-orang itu tidak segera dapat
menjawab pertanyaan Mahisa Murti.
Namun yang kemudian terdengar adalah suara dari antara
orang-orang y ang berdiri di tanggul parit: "Bohong. Kalian
selalu datang untuk merampas hak milik kami. Terutama
ternak kami. Hasil bumi kami bahkan anak gadis kami."
Wajah Mahisa Murti menjadi merah. Dengan lantang ia
berkata: "Bohong. Katakan, ternak siapakah yang pernah
diambil oleh orang-orang dari padepokan Bajra Seta. Katakan
hasil bumi siapakah y ang pernah kami ambil dan apalagi
siapakah y ang pernah kehilangan anak gadisnya karena
diambil oleh saudara-saudara kami itu" Katakan."
Tidak seorang pun y ang menjawab. Mereka memang belum
pernah kehilangan ternak m ereka. Belum pernah kehilangan
hasil bumi mereka. Dan tidak seorang pun y ang merasa
kehilangan anak gadisnya."
Tetapi suara diantara orang-orang yang ada di tanggul itu
terdengar lagi: "Jangan dengarkan orang itu. Banyak bukti
dapat disebut disini. Tetapi kami tidak memerlukannya. Kami
sekarang sudah berhadapan dengan orang y ang telah berbuat
resah di padukuhan kami. Kami tidak akan sekedar
mengusirnya. Kami harus menangkap mereka dan
memperlakukan mereka sesuai dengan sifat dan watak
mereka. Mereka bukan lagi seorang y ang pantas disebut
manusia. Tetapi kelakuan mereka tidak ubahnya dengan
kelakuan seekor binatang. Karena itu, kita tidak perlu
memperlakukannya seperti seorang manusia.
"Kalian dengar kata-katanya" Kalian tahu apa sebabnya ia
menjadi gelisah dan suaranya menjadi gemetar" Orang itu
menjadi ketakutan. Ia tidak ingin melihat kalian sadar dari
mimpi buruk itu," sahut Mahisa Murti.
"Omong kosong," suara itu membentak, "jangan biarkan
orang itu berbicara terlalu banyak lagi. Ujung lidahnya
ternyata menyemburkan racun ke telinga kalian, sehingga
kalian kehilangan kesadaran terhadap apa yang kalian hadapi
sebenarnya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mampu
mengetahui, yang manakah diantara orang-orang y ang ada di
tanggul itu y ang berbicara. Tidak hanya seorang, tetapi dua
orang. Dengan demikian, m aka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengetahui bahwa orang-orang itu tentu termasuk orang yang
ikut membakar kebencian orang-orang padukuhan itu
terhadap padepokan Bajra Seta.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa -gesa
bertindak. Mungkin masih ada yang lain sehingga mungkin ia
akan dapat mengetahui lebih banyak.
Yang dilakukan oleh Mahisa Murti kemudian adalah
berteriak ny aring: "Nah kalian dengar" Orang itu menganggap
bahwa ujung lidah menyemburkan racun, karena orang itu
tahu bahwa aku mulai mengungkapkan kenyataan tentang
orang-orang Bajra Seta dan orang-orang y ang telah sedikit
demi sedikit menyalakan api di hati kalian. Tetapi jangan
berpikir terlalu sempit. Jika orang-orang Bajra Seta pantas
dibenci, orang-orang padukuhan y ang dekat dengan
padepokan itu, justru tidak membencinya."
"Cukup," teriak suara y ang lain, suara yang terdengar
diantara orang-orajig y ang berada di tengah-tengah kotak
sawah di pinggir parit, "jangan biarkan orang itu m engigau.
Sekarang, cepat lakukan. Singkirkan saja orang-orang itu
tanpa ampun, agar dengan demikian kita sudah m engurangi
kekuatan perguruan iblis itu."
Mahahisa Murti dan Mahisa Pukat segera memberi isyarat
kepada Mahisa Semu, Wantilana dan Mahisa Amping.
Sementara itu m asih terdengar orang lain lagi berkata: "Kita
bunuh saja semuanya, termasuk anak itu. Anak itu memang
masih kecil. Tetapi ia sudah cukup besar untuk berceritera
tentang penglihatannya."
"Nah, kalian dengar"," sahut Mahisa Pukat, " orang itu akan
berusaha membungkam kami."
Namun Mahisa Pukat tidak sempat berbicara lebih banyak.
Beberapa orang bergerak m aju dari segala arah. Tetapi yang
lain nampak ragu-ragu. Meski pun demikian y ang mulai
bergerak itu- pun jumlahnya telah menjadi delapan orang.
Sedangkan lebih dari sepuluh orang masih berdiri termangumangu.
Beberapa saat lamanya, y ang ragu-ragu itu masih belum
bergerak sama sekali. Tetapi tiba -tiba saja terdengar suara
membentak: "Cepat. Sebelum kami melakukan tindakan yang
tidak pernah kalian duga sebelumnya. Selesaikan orang-orang
ini." Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Murti. Diselasela
tertawanya terdengar ia berkata lantang: "Nah, bukankah
sudah terbukti bahwa kalian tidak lebih telah dijadikan satu
alat untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta y ang tidak
bersalah" Orang-orang inilah yang agaknya telah gagal
menyerang padepokan Bajra Seta dan mencoba untuk
menghancurkan perguruan itu dengan cara yang licik."
"Setan kau," geram seseorang diantara orang -orang y ang
mengepung itu, "kau kira kalian dapat keluar hidup-hidup dari
kepungan ini." "Apa pun y ang akan terjadi atas diri kami, t etapi kami telah
berhasil menimbulkan persoalan di dalam diri orang-orang
yang telah ter sesat karena mempercayai orang -orang yang


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhati iblis seperti kalian," berkata Mahisa Murti "
"Persoalan di dalam diri m ereka itu pada suatu saat tentu
akan mengendapkan perasaan mereka terhadap kebenaran
persoalan yang tengah mereka hadapi."
Keadaan menjadi hening sejenak. Tetapi dengan isyarat
tepuk tangan, maka delapan orang telah mendekati kelima
orang y ang mereka kepung itu.
"Meny erahlah," berkata salah seorang dari kedelapan orang
itu. Nampaknya orang itu adalah pemimpin dari ke delapan
orang y ang telah mengepung lebih dekat lagi kelima orang
anak muda y ang sedang mengadakan perjalanan itu.
Tetapi yang menjawab adalah Mahisa Pukat: "Kalianlah
yang harus meny erah."
Orang itu menggeretakkan giginya. Sambil mengangkat
tangannya ia berteriak: "Cepat lakukan perintahku. Jika kalian
benar-benar tidak beranjak dari tempat kalian, m aka kalian
akan menyesal." Nampaknya bagi Mahisa Murti telah tidak mungkin melihat
jalan lain untuk mengatasi orang-orang y ang telah mengepung
mereka berlima itu, mereka pun telah bersiap untuk
bertempur. Kedelapan orang itu ternyata masih belum mulai
menyerang. Agaknya mereka masih mempunyai harapan
untuk dapat meny elesaikan persoalan itu.
Yang kemudian kebingungan adalah lebih dari sepuluh
orang y ang telah siap pula melakukan perintah bagi mereka
untuk membunuh kelima itu. Tetapi sebenarnyalah mereka
tidak dapat melakukan atau m enerima hal itu dengan serta
merta. Harus ada orang y ang bertanggung jawab dan
memelihara atau menerima hubungan antara padukuhan
mereka dengan orang-orang itu. Dengan demikian maka akan
dapat dihindari kemungkinan y ang paling buruk y ang dapat
dilakukan oleh sekelompok orang y ang jumlahnya tidak hanya
lima orang, tetapi cukup banyak.
Dengan demikian, maka orang-orang padukuhan itu
ternyata telah memilih kekuatan yang disangkanya lebih besar
di-antara orang-orang Bajra Seta dan orang-orang y ang ada
Pedang Golok Yang Menggetarkan 16 Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut Pahlawan Harapan 13
^