Pencarian

Samurai Pengembara 1 1

Shugyosa Samurai Pengembara 1 Bagian 1


SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Kesatu oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
Kutulis untuk Kissumi
CATATAN UNTUK PEMBACA
JEPANG di pertengahan abad keenam belas, sesudah
keshogunan Ashikaga runtuh, terjadilah pertarungan
dan perebutan kekuasaan di antara para jenderal dan
para daimyo. Oda Nobunaga, penguasa wilayah Owari,
mengerahkan ribuan samurai untuk menaklukkan
musuh-musuhnya. Termasuk melakukan pengejaran
terhadap putra Ashikaga yang berhasil diselamatkan
panglima perangnya - Saburo Mishima.
Nobunaga, shogun yang terkenal brutal, bodoh, dan
bengis ini hidup di tengah jerat nafsu serta ambisi kekuasaan gundiknya - Naoko.
Seks telah membuat No-
bunaga kehilangan pikiran waras, sehingga ia menjadi brutal dan tidak
berperadaban. Ia mulai menyerbu Im-agawa, penguasa Suruga. Lalu Tokugawa Ieyasu,
pen- guasa Mikawa. Penaklukan terus berusaha dilakukan
untuk memperluas wilayahnya.
Dalam masa penuh pergolakan itulah, kisah ini ter-
jadi. Kisah tentang putra Ashikaga yang ingin kembali berkuasa, seorang samurai
yang siap menempuh jalan
pedang dengan kesetiaan sampai mati, ambisi kekua-
saan seorang shogun yang ingin memiliki kekuasaan
mutlak, gundik yang sanggup menggunakan gelora
seks untuk meraih kekuasaan, selir yang disingkirkan, serta cinta seorang wanita
yang tulus suci, dan keari-fan pendeta yang tiada batas.
Novel Shugyosa penuh intrik, ambisi kekuasaan,
pertarungan, tipu muslihat, balas dendam, seks, cinta, dan ajaran hidup tentang
kesetiaan, cita-cita, serta ke-arifan. Sebuah novel yang mengungkap sisi lain
yang tak ditulis Eiji Yoshikawa dalam novel Musashi atau-
pun Taiko, atau sisi lain yang tak ditulis James Clavell dalam Shogun.
Novel yang lain daripada yang lain, dan mempesona
dari awal sampai akhir.
Barang siapa mengenal dirinya sendiri
dan mengenal musuhnya,
ia senantiasa menang dengan mudah.
Barang siapa mengenal langit dan bumi,
ia menang atas segalanya.
SOEN-TZU Buku Kesatu PEMBANTAIAN SABURO MISHIMA menarik tali kekang kudanya. Ia
menatap pasukan musuh yang kian dekat. Lebih dari
tiga ratus samurai telah dikirim Nobunaga. Rupanya lelaki ambisius itu
mengerahkan seluruh pasukannya
untuk menggempur Ashikaga.
Angin bertiup kencang di Lembah Aga. Jejak-jejak
kaki prajurit mengakibatkan debu tipis beterbangan di udara. Matahari persis di
puncak kulminasi, sehingga panasnya menyengat kulit. Tanah-tanah karang yang
menjadi dinding lembah tersebut, tampak memerah,
mirip batu terbakar. Namun cuaca yang menyakitkan
itu tidak mempengaruhi semangat prajurit Nobunaga.
Mereka terus melangkah dengan tegap, seakan keme-
nangan telah berada dalam genggamannya.
Saburo Mishima mengawasi gerakan musuh dari
persembunyiannya. Matanya yang setajam mata elang,
mengikuti gerak-gerik musuh dengan penuh kewaspa-
daan. "Ini adalah pertempuran hidup dan mati," teriak Mi-
shima pada tentaranya. "Shogun Ashikaga tidak menginginkan kita kembali dengan
kekalahan. Kita akan
sambut kedatangan musuh dengan keberanian atau
kematian!"
Semua prajurit menatap Saburo dengan diam. Se-
mua seakan penuh tekad menyerahkan jiwa raga me-
reka bagi pertarungan yang bakal terjadi.
Mishima memacu kudanya. Sekali lagi ia ingin me-
mastikan bahwa semuanya telah siap. Ini merupakan
pertempuran paling berat yang pernah ia hadapi.
Menurut berita, sejumlah daimyo (tuan tanah) telah
bergabung dengan Nobunaga. Bahkan Konishiwa Hi-
deaki, daimyo Kiyoto, telah berkhianat. Ia kini menjadi sekutu musuh. Bila ini
benar, keadaan memang ru-nyam. Nobunaga dapat melakukan pengepungan dari
segala penjuru. Istana Kamakura sulit diselamatkan.
Saburo, seorang panglima perang Shogun Ashikaga.
Perawakannya kekar dengan raut muka berbentuk
oval. Ia seorang samurai keturunan Akamatsu yang
sangat tersohor di Jepang. Kini ia duduk di atas pelana kudanya, lengkap dengan
pakaian perang. Sebagaimana layaknya seorang panglima perang, ia mengenakan
kimono dari kain brokat bergambar matahari, dan baju bersirip besi yang didesain
sangat indah. Di pinggangnya terdapat naginata (sebuah pedang berbilah panjang),
dan pedang pendek yang gagangnya berlapis pe-
rak. Takeshi memacu kudanya, mendekati Saburo Mi-
shima. "Saburo, mereka sudah memasuki jarak perlawa-
nan." "Siapkan panah!"
"Mereka tinggal menunggu aba-aba."
"Tunggu dulu, aku ingin memastikan dapat meng-
hancurkan mereka."
"Kita harus melakukan dengan cepat, sebelum me-
reka sampai di celah bukit, sehingga dengan mudah
mereka menemukan tempat berlindung."
"Sebentar lagi kita akan hancurkan mereka."
"Kami semua menunggu perintahmu."
Saburo Mishima tetap diam, menunggu. Ia berpe-
gang teguh pada ajaran Soen Tzu: Panglima perang yang memenangkan pertempuran
adalah dia yang
membuat banyak perencanaan sebelum peperangan
dimulai. Panglima perang yang kalah adalah dia yang sedikit membuat perencanaan.
Membuat rencana dan
strategi adalah kekuatan menuju ke kemenangan sejati.
Takeshi memutar balik kudanya. Ia memacu bina-
tang itu menuju tempat perlindungan pasukan panah.
Ada sekitar enam puluh pasukan panah di balik Lem-
bah Aga. Mereka telah siap dengan memasang anak
panah di busurnya.
Pasukan Saburo kini berada di atas bukit yang ter-
lindungi hutan azaela. Posisi ini sangat menguntungkan, karena dengan mudah
mereka mengamati mu-
suhnya. Pasukan Nobunaga sendiri, sekarang bergerak me-
masuki celah bukit. Mereka berada dalam posisi terje-pit oleh lereng bukit dan
hutan azaela. Bagi seorang ahli perang, biasanya akan menghindari tempat-tempat
seperti ini, karena mereka seperti memasuki pe-
rangkap musuh. Namun Nobunaga tahu tentara Ashi-
kaga tinggal sedikit. Jumlah mereka tak mungkin da-
pat menghancurkan tentaranya. Karena itu tanpa pe-
rasaan takut, Nobunaga memerintahkan penyerbuan
ke Istana Kamakura. Kekuatan pasukannya tak akan
mudah ditaklukkan oleh medan perang yang tidak
menguntungkan. Saburo Mishima kini duduk tegak di atas pelana.
Pandangannya lurus ke arah pasukan musuh yang
bergerak mendekat. Bendera-bendera warna merah
dan biru berkibaran tertiup angin. Gerakan mereka
mirip segerombolan binatang yang menderap ke depan.
Sinar mata mereka mirip mata serigala haus darah.
Tiba-tiba terlintas di pelupuk mata Mishima, wajah
istri dan anaknya - Itzumi dan Kojiro. Mereka kini berada di tengah keluarga
istana, menanti kabar tentang pertempuran ini. Bila pertempuran kali ini
berhasil dimenangkan, bukan mustahil Ashikaga akan meng-
angkatnya sebagai daimyo - bangsawan Jepang yang
sangat terhormat. Ia akan memiliki istana sendiri, pe-
ngawal sendiri, dan wilayah kekuasaan yang luas. Ju-
ga tanah pertanian yang akan memberinya kemakmu-
ran. Tetapi sebaliknya, bila kali ini ia kalah, per-
tempuran ini akan menjadi jalan baginya untuk mati.
Mati sebagai seorang pengawal Ashikaga tentu bukan
hal yang remeh, apalagi memalukan.
Hampir sepuluh tahun Saburo Mishima menjadi
pengawal istana. Ia hidup di tengah kebahagiaan ber-
sama anak dan isterinya. Itzumi, seorang wanita asal Kiyoto, telah memberinya
seorang anak laki-laki bernama Kojiro. Selama ini ia hidup untuk tiga orang:
Ashikaga, Itzumi, dan Kojiro. Serbuan Nobunaga akan
menjadi ujian bagi Saburo Mishima dalam melindungi
orang-orang yang ia cintai.
Nyawaku kupertaruhkan untuk ketiganya.
"Sebaiknya sekarang kita menyerang," tiba-tiba Ta-
keshi menyadarkan Saburo Mishima dari lamunan.
"Apabila mereka melewati celah itu, kita akan sulit
menekan pertahanannya."
"Baiklah. Mari kita hancurkan mereka."
"Saya akan menggerakkan pasukan dari belakang."
"Terobos langsung ke jantung pertahanan mereka,"
kata Saburo mengingatkan. "Hanya satu cara yang
akan membuat kita memenangkan pertarungan ini.
Buat mereka terpisah-pisah."
"Saya akan mencoba membuat mereka kocar-kacir."
"Kita akan bersandar pada Soen Tzu untuk meng-
hancurkan musuh."
Saburo mengenakan topi baja, ia mengikat talinya
di bawah dagu. Kemudian mencabut pedangnya. Ca-
haya matahari berpendar berkilauan di bilah pedang
Akamatsu itu. Kini Saburo melihat pasukan Nobunaga memasuki
lembah. "Apakah sudah ada berita dari Selatan?"
"Belum," jawab Takeshi. "Seharusnya sudah ada
kurir yang kemari."
"Aku khawatir Takeda mengalami kesulitan."
"Kita tidak harus memikirkan mereka. Sekarang
yang harus kita pikirkan bagaimana caranya meng-
hancurkan musuh di depan kita."
Saburo Mishima melirik Takeshi, ia merasa tersindir
dengan ucapan lelaki itu. Karena itu ia segera meng-
angkat pedang, lalu berteriak memberi komando.
"Seraaaang!"
Ratusan anak panah beterbangan menghujani pa-
sukan Nobunaga. Anak panah itu mirip hujan deras.
Jerit kematian segera terdengar. Tubuh-tubuh berge-
limpangan dengan erangan sekarat yang memilukan.
Sergapan tak terduga itu telah menimbulkan kepani-
kan pada musuh. Kesempatan ini tak ingin disia-sia-
kan oleh Mishima. Ia segera memerintahkan pasukan
berkuda yang berada di belakang untuk menyerang.
"Hancurkan mereka!"
Maka dengan teriakan penuh semangat membunuh,
ratusan pasukan berkuda merangsak maju. Pertempu-
ran dahsyat pun terjadi. Pedang-pedang berkelebat seiring dengan jeritan
kematian yang mendirikan bulu
roma. Pasukan Nobunaga yang menang dalam jumlah,
segera membentuk benteng pertahanan dengan perisai
dan tombak. Namun tentara Ashikaga menyerbu bagai
air bah sehingga pertahanan itu berantakan.
Saburo Mishima membabat ke kanan ke kiri dari
punggung kudanya. Sabetan pedangnya membuat be-
berapa samurai langsung tersungkur dengan luka me-
nganga. Darah musuh muncrat ke tubuhnya, namun
lelaki itu tak mempedulikannya. Di dalam benaknya
menggelegak semangat peperangan yang mengerikan.
Pedang Akamatsu di tangannya berkelebat ke segala
penjuru, merenggut nyawa samurai di dekatnya.
Lima orang samurai menghadang Mishima, mereka
mengepung dengan tekad untuk membunuhnya. Meng-
hadapi kelima musuh itu, Mishima hanya beberapa de-
tik memikirkan bagaimana cara mengalahkan mu-
suhnya. Tanpa gentar sedikit pun, ia menyongsong sa-
lah seorang samurai itu. Sambil memiringkan badan,
ia menyabetkan pedang secara horisontal, tak ayal lagi, kepala samurai di
depannya terpenggal lepas dari badannya. Darah menyembur dari urat lehernya.
Tubuh itu ambruk ke tanah, berkelojotan, lalu mati.
Empat samurai yang lain segera memburu. Dengan
gesit Mishima menarik kekang kudanya, ia segera me-
laju ke arah musuhnya. Salah seorang samurai me-
nyabetkan pedang, dengan cekatan ditangkis, dan se-
belum musuhnya berbalik, Mishima telah memutar
kudanya kemudian mengayunkan pedang sekuat tena-
ga, terdengar suara menjerit ketika tubuh musuhnya
ambruk ke tanah.
Samurai yang ketiga menghadang dengan tombak,
Mishima berkelit ke kanan, di saat bersamaan ia me-
nikam samurai itu dengan kekuatan penuh. Terdengar
lengkingan menyayat ketika mata pedang Mishima
menembus leher musuhnya. Saat pedang dicabut, da-
rah menyembur keluar bagai anak sungai. Sedetik be-
rikutnya, tubuh samurai itu roboh ke tanah.
Saburo Mishima memutar kembali kudanya, kemu-
dian seperti angin taufan, ia menyerbu ke arah musuh-musuhnya. Dengan tebasan
yang sangat kuat, tombak
samurai yang menghadangnya patah dua. Samurai itu
langsung mencabut pedang, namun di saat bersamaan
Mishima telah menebas dari samping. Sabetan itu de-
mikian kuat, sehingga musuhnya tak dapat merasakan
pedang tersebut telah merobek perutnya. Ketika ia
mengerahkan tenaga untuk menyerbu, tiba-tiba usus-
nya terburai keluar, tubuhnya lemah, kemudian ia ru-


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buh ke tanah. Samurai kelima mengangkat kedua tangannya ting-
gi-tinggi sambil menggenggam gagang pedangnya, ke-
mudian dengan teriakan nyaring, ia menyerbu ke arah
Saburo Mishima. Ini adalah salah satu jurus aliran
'Yagyu' yang sangat berbahaya. Sabetan vertikal itu
sangat kuat, sehingga dapat mematahkan pedang mu-
suh, sekaligus membelah tubuh lawan. Itulah jurus
'Pedang Menebas Angkasa', salah satu jurus yang
membuat 'Yagyu' ditakuti di seluruh Jepang. Saburo
Mishima menyadari bahaya itu, namun dengan penuh
ketetapan hati, ia menyongsong lawan dengan tubuh
tegak. Tangan kanannya menggenggam pedang secara
horisontal. Keduanya bergerak seperti dua hembusan
angin yang saling berhadapan. Hanya dalam hitungan
detik, Mishima dengan cepat memiringkan tubuhnya,
sabetan pedang itu hanya beberapa inci dari wajahnya.
Di saat musuhnya masih limbung ke depan, Mishima
menebaskan pedang ke belakang, seketika terdengar
jeritan menyayat ketika samurai itu merasakan pung-
gungnya robek. Saburo Mishima menarik kekang kuda, ia siap
menghadapi musuh berikutnya. Pertempuran di seki-
tarnya masih berlangsung dengan sengit. Suara geme-
rincing pedang diiringi jerit kematian terdengar di ma-na-mana. Tanah kering di
Lembah Aga kini berwarna
merah. Mayat-mayat bergelimpangan bagai setumpuk
bangkai binatang tak berharga. Entah sudah berapa
puluh samurai terkapar di tanah. Namun pertempuran
belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Kedua be-
lah pihak seakan ingin meyakinkan kemenangannya.
Baru saja Saburo Mishima menebas lawannya, ia
melihat Takeshi mendekatinya.
"Seorang kurir baru saja datang," kata Takeshi
sambil menghentikan kudanya. Debu-debu bercampur
darah berkepul di kaki kudanya. "Sektor selatan telah kalah. Kini Konishiwa
Hideaki memimpin penyerbuan
ke istana."
"Bagaimana kekuatan kita di sana?"
"Tidak akan mampu menahan serbuan Hideaki."
"Siapa yang memimpin pertahanan?"
"Ishida Mitsunari."
"Ishida?"
"Ya."
"Dia adalah ipar Hideaki."
Takeshi tidak sempat menjawab, ia harus memutar
kudanya sambil menyabetkan pedang ke arah samurai
yang menyerangnya. Samurai itu menjerit ketika pe-
dang Takeshi merobek lehernya.
Saburo Mishima berteriak pada Takeshi, "Kau pim-
pin pertahanan di sini. Aku akan kembali ke istana untuk menyelamatkan mereka!"
"Baiklah. Segeralah kamu ke sana, nanti aku akan
menyusul."
"Kau harus tahan musuh di sini," ujar Saburo sam-
bil memutar kudanya. "Aku membutuhkan waktu un-
tuk menguasai keadaan di istana."
"Jangan khawatir, aku akan pertaruhkan kepalaku
untuk pertempuran ini."
"Kuharap kita masih bisa bertemu, Takeshi."
"Aku pun berharap demikian. Sekarang pergilah."
Saburo Mishima memutar kekang kuda, kemudian
menggebrak punggung binatang itu agar lari menuju
istana. Ketika sampai di atas bukit, Saburo Mishima meng-
hentikan kudanya. Ia menoleh ke belakang, dilihatnya debu pertempuran masih
berkepul di sela gemerincing
suara pedang beradu dan jerit lengking kematian. Ke-
mudian ia menatap ke arah utara, tampak kepulan
asap di atas Istana Kamakura.
Musuh tampaknya sudah tak tertahankan. Mereka
telah berhasil menembus pertahanan Ishida. Atau justru sebaliknya, dia yang
memimpin penyerbuan itu" Kalau Ishida berkhianat, aku bersumpah untuk memenggal
kepalanya! Saburo Mishima sekali lagi menoleh pada ratusan
tentaranya yang sedang menyabung nyawa, lalu de-
ngan pancaran mata berapi-api, ia memacu kuda me-
nuju istana. Ia harus tiba di sana secepatnya. Selain Shogun Ashikaga, di sana
ada anak dan isterinya.
*** PENYELAMATAN SHOGUN ASHIKAGA bersimpuh di atas zabuton (kasur tipis yang diletakkan di
lantai). Kedua tangannya berada di paha.
Ashikaga, seorang laki-laki bertubuh gemuk, de-
ngan kepala bulat seperti jeruk. Rambutnya disisir ke belakang, dikuncir persis
di atas kepalanya. Kedua
matanya tajam menikam, pancaran kewibawaan dan
keteguhan hati. Cara bicaranya cepat, penuh tekanan-
tekanan intonasi, suatu gaya milik orang-orang yang
menggenggam kekuasaan.
Di belakang Ashikaga, kira-kira tiga meter di arah
samping kanan, tampak isterinya - Omiko, duduk
sambil memegangi pundak Natane Yoshioka, anak me-
reka. Omiko, seorang wanita berumur tiga puluh tahun.
Wajahnya berbentuk lonjong, kurus, seperti umumnya
perempuan Jepang. Rambutnya digelung ke belakang,
dilengkapi sebuah tusuk konde emas. Omiko memakai
kimono furisode (kimono wanita berlengan panjang) berwarna kuning. Seperti
biasa, ia duduk membeku,
seakan tengah berjuang menyembunyikan perasaan-
nya. Di samping Omiko, duduk Natane Yoshioka, seo-
rang anak laki-laki berumur sebelas tahun yang tam-
pak cerdas dan pemberani. Meskipun masih sangat
muda, namun dari sikapnya, tampak bahwa ia mewa-
risi darah seorang penguasa. Sinar matanya tajam,
memantulkan keteguhan hati yang memukau. Seperti
ayahnya, ia mengenakan hakama (pakaian tradisional Jepang yang dipakai kaum
laki-laki di atas kimono)
warna merah, lengkap dengan heko obi (ikat pinggang laki-laki) bersulamkan emas.
Sebagaimana keturunan
seorang samurai, meski masih sangat muda, Natane
Yoshioka telah diizinkan membawa daisho (pedang panjang dan pedang pendek)
simbol bahwa dirinya seorang samurai.
Di belakang Omiko terlihat istri Saburo Mishima
dan anaknya. Itzumi, seorang wanita sederhana, de-
ngan dandanan rambut sederhana pula. Namun dari
pancaran sinar matanya, tampak kecantikan luar bi-
asa. Bukan saja kecantikan, namun juga pesona ke-
pribadian yang memukau. Meskipun ia hanya mema-
kai kimono sederhana, namun dari obi densu (ikat pinggang sutera) yang
dikenakan, siapa pun mengetahui bahwa Itzumi istri seorang pembesar istana.
Kojiro, berumur sebelas tahun, sebaya dengan Na-
tane Yoshioka. Perawakannya lebih kecil, namun kebe-
ranian dan keteguhan hatinya dapat dirasakan hanya
dengan sekali memandang raut wajahnya. Ia menge-
nakan kimono sutera berwarna coklat. Berbeda dengan
Yoshioka, rambut Kojiro dikuncir tergerai ke belakang.
Ruangan hening. Pertemuan terasa mencekam.
Pandangan Shogun Ashikaga lurus ke depan, mena-
tap Ishida Mitsunari, seorang samurai kepercayaan-
nya, yang baru saja kembali dari medan perang.
"Jadi mereka telah menaklukkan Saburo?" Shogun
Ashikaga bertanya. Suaranya keras, berwibawa.
"Demikianlah berita yang saya terima. Tiga ratus
pasukan Saburo berhasil dipukul oleh musuh. Tak
seorang pun dibiarkan selamat. Mereka tidak saja me-
numpas kekuatan kita, tetapi juga mempermalukan
kehormatan kita. Saya dengar, kepala Saburo telah dipenggal, dan ditancapkan di
ujung tombak, dijadikan
lambang kemenangan mereka."
Itzumi menoleh cepat, namun wanita itu bertahan
untuk tidak menangis.
"Apabila pasukan Saburo telah berhasil mereka
tumpas, tidak ada lagi kekuatan yang dapat memper-
tahankan istana ini," kata Ashikaga bergetar. "Saburo memimpin prajurit-prajurit
terbaikku, kekalahannya
menyebabkan kita tidak memiliki lagi kesempatan un-
tuk menang."
"Cepat atau lambat mereka akan sampai kemari."
"Bagaimana dengan Takeshi?"
"Dia saat ini sudah dikepung hampir empat ratus
tentara Nobunaga. Rasanya sulit diharapkan Takeshi
dapat memenangkan pertarungan itu. Sebab kecuali
dua ratus samurai mengepungnya, Nobunaga memiliki
dua ratus senapan arquebuses bikinan Portugis yang dapat membunuh tentara
Takeshi. Sejak pertama,
saya telah mengatakan, Takeshi dan Saburo tidak pan-
tas menghadang pasukan Nobunaga. Mereka bukan
seorang panglima yang pandai mengatur taktik per-
tempuran."
"Dia seorang panglima perang yang dapat diandal-
kan. Sudah sepuluh tahun ia membuktikan kemahi-
rannya." "Kenyataannya, dia kini tak berdaya menghadapi
musuh." Ashikaga terdiam sesaat. Sebenarnya ia tak menyu-
kai kata-kata Ishida Mitsunari, tetapi pada saat ini hanya lelaki itu yang dapat
dimintai pertimbangan. Sejak dulu ia mengetahui terjadi persaingan antara
Mitsunari dengan Mishima untuk mendekatinya, namun se-
mua masih dapat dimengerti. Beruntung selama ini ia
dapat bertindak bijaksana, sehingga kedua orang itu
tidak pernah terlibat pertikaian yang dapat merugikannya.
"Bila Saburo telah tewas," kata Ashikaga lirih, "tidak seorang pun dapat
menghalangi Nobunaga masuk ke
dalam istana."
Samar-samar Shogun Ashikaga mendengar suara
gemerincing pedang serta jerit kematian di luar istana.
Menurut Ishida Mitsunari musuh telah mengepung is-
tana. Mereka terus menekan pertahanannya. Pertem-
puran tampaknya akan segera berakhir dengan keka-
lahannya. Tidak ada lagi yang dapat menyelamatkan-
nya. Pertikaian panjang dengan Nobunaga akan segera
mengakhiri kekuasaannya. Tetapi Ashikaga tak mau
kalah dan dipermalukan.
Nobunaga akan kubuat memenangkan pertempuran
ini dengan penyesalan. Sejak dulu ia menginginkan istana ini, saatnya istana ini
kuberikan, namun dalam keadaan hancur dan terbakar.
Tiba-tiba seorang samurai menerobos masuk, laki-
laki itu terhuyung-huyung di depan pintu, lalu ambruk ke lantai. Di punggungnya
tertancap sebilah naginata (pedang berbilah panjang) yang berlumur darah.
"Tuanku...," rintihnya. Lalu mati.
Semua orang yang berada di ruangan itu terkesiap,
dari pakaiannya dapat diketahui samurai itu adalah
salah seorang pengawal Istana Dalam Kamakura. Ini
merupakan pertanda musuh telah berhasil menerobos
ke dalam. Mitsunari segera membungkuk sehingga ia bicara
dengan penuh tekanan, "Tuanku harus segera meng-
ambil keputusan. Jangan membiarkan mereka menda-
patkan kemenangan mutlak."
"Aku tahu apa yang harus kulakukan," jawab Ashi-
kaga dengan suara bergetar. "Aku akan melakukan
seppuku." "Itulah keputusan seorang ksatria. Saya akan bang-
ga mati dengan mengenangkan kebesaran jiwa Tuan-
ku," kata Ishida sambil membungkukkan badan hing-
ga kepalanya menyentuh lantai.
"Hanya kematian yang dapat melindungi kehorma-
tanku," kata Ashikaga lagi. "Aku akan menjemputnya
dengan bangga."
Semua orang membungkukkan badan hingga ke-
pala mereka menyentuh lantai. Suatu lambang peng-
hormatan bagi seorang ksatria. Seppuku (bunuh diri dengan merobek perut) jelas
merupakan keputusan
terbaik bagi Ashikaga. Ia tak akan memberi kesempa-
tan bagi musuh untuk memenggal kepalanya dan me-
mamerkan ke rakyat sebagai bagian kemenangan me-
reka. Shogun Ashikaga menoleh pada isterinya.
"Isteriku," katanya dengan suara berat, "aku telah
mengambil keputusan untuk melakukan seppuku. Aku
tak sanggup menanggungkan perasaan malu di hada-
pan Nobunaga. Keputusan ini kurasakan sangat berat,
karena itu aku tak ingin mempengaruhi dirimu...."
"Saya akan ikut melakukan seppuku," tukas istri
Ashikaga sambil membungkukkan kepala. "Tidak ada
lagi yang kupertahankan. Karena itu saya mohon izin
untuk mengikuti langkah Tuanku."
"Bagaimana dengan putramu?"
"Dia putramu. Biarkan dia juga melakukan seppu-
ku." Shogun Ashikaga menatap Natane Yoshioka. Anak
berumur sebelas tahun itu membungkukkan badan
dalam-dalam. "Izinkan saya melakukan seppuku, Ayah."
"Kau tidak boleh mati!" terdengar suara Ashikaga
menggeledek dalam ruangan itu. Kata-katanya menge-
jutkan semua orang yang berada di tempat itu. "Kau
adalah satu-satunya putraku. Kau yang akan memba-
laskan kekalahan ini. Kuperintahkan padamu untuk
menanggungkan malu orang tuamu, dan suatu saat,
menebusnya kembali dengan kemenangan."
"Ayah, saya memilih melakukan seppuku," kata Yo-
shioka dengan suara bergetar. "Maafkan saya dengan
keputusan ini. Bukan maksud saya menentang perin-
tah Ayah, tetapi saya merasa tak sanggup menang-
gungkan malu."
"Kau harus sanggup," potong Ashikaga tegas. "Ha-
rus ada salah satu keluargaku yang hidup. Kau masih


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda, masih banyak yang dapat kaulakukan. Kecuali
itu, Nobunaga tidak akan membuang-buang waktu un-
tuk mengejarmu."
Sekali lagi Yoshioka membungkukkan badan. "Apa
yang dapat saya lakukan?"
"Mitsunari," kata Ashikaga sambil menoleh pada
samurai kepercayaannya, "kuberikan perintah padamu
untuk menyelamatkan putraku. Bawa dia meninggal-
kan istana secepatnya, lindungilah dengan nyawamu."
"Haik! " jawab Mitsunari sambil membungkukkan badan.
"Tidak ada apa pun yang lebih berharga dibanding
putraku, karena itu kuminta engkau menjaga kesela-
matannya. Bila kau gagal, segeralah penggal kepalanya agar Nobunaga tak sempat
mempermalukan keluarga-
ku." "Baik!"
Sekonyong-konyong dari luar berlompatan sejumlah
samurai Nobunaga. Seluruh pakaian mereka berwarna
hitam, bahkan kepala dan wajahnya tertutup rapat,
hanya menyisakan lubang mata.
"Ninja! " desis Ashikaga sambil berdiri untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ia
menoleh pada Mitsuna-
ri. "Rupanya Nobunaga menggunakan pembunuh-
pembunuh bayaran untuk melawanku. Mitsunari, ha-
dapi mereka!"
"Baik."
Mitsunari segera mencabut pedang, kemudian mu-
lai menyerang ninja-ninja itu. Sabetan pedangnya membuat seorang ninja terguling
dengan leher menganga.
Darah muncrat mewarnai dinding istana.
"Lakukan seppuku, Tuanku," kata Mitsunari pada
Ashikaga. "Biar saya yang menghadapi mereka."
Shogun Ashikaga yang telah mencabut pedangnya,
segera menyarungkan kembali, kemudian ia bergegas
meninggalkan ruangan itu menuju ke dalam bilik ista-
na. Istri dan anaknya mengikuti dari belakang. Juga Itzumi dan Kojiro.
Pertempuran sengit terjadi di ruangan istana. Ada
dua puluh ninja melakukan penyerbuan. Rupanya No-
bunaga tahu betapa sulit menembus pertahanan apa-
bila hanya mengandalkan tentaranya. Ia menggunakan
ninja untuk melakukan penyusupan. Bagi para pem-
bunuh bayaran itu, tidak ada medan yang tak dapat
ditembus. Benteng istana yang setinggi dua puluh me-
ter, dengan sangat mudah mereka daki, menggunakan
tali dan shuko (cakar pemanjat yang sekaligus berfungsi sebagai senjata). Selain
itu, serbuan mereka tidak menimbulkan suara, karena para pembunuh terla-
tih itu dapat berlari seperti angin. Kaki-kaki mereka
seakan tak menyentuh tanah.
Mitsunari membabat ke kanan ke kiri, tebasannya
menimbulkan suara angin mendesis. Ia kini mengha-
dapi tiga orang ninja, mereka menyerbu dari tiga jurusan, namun dengan ilmu
pedang Yagyu, Mitsunari
berhasil menangkis secara bersamaan, lalu menya-
betkan pedang dengan ayunan melengkung. Suara te-
basan itu mendesis ketika salah seorang ninja itu menjerit dengan tubuh robek.
Melihat kawannya ambruk,
salah seorang ninja melempar tombak, Mitsunari ber-
kelit ke kiri, mata tombak itu hanya setengah inci dari dadanya. Tanpa membuang
waktu Mitsunari berguling
mendekati ninja tersebut, dan dalam kecepatan yang
sukar dibayangkan, pedangnya telah menembus tubuh
musuhnya. Ninja ketiga segera mengayunkan rantai
berujung pisau ke arah Mitsunari, namun dengan si-
gap lelaki tersebut mengeluarkan pedang pendek di
pinggangnya untuk menangkis serangan itu. Rantai itu membelit pedang tersebut,
kemudian dengan kekuatan
penuh, Mitsunari menarik rantai tersebut. Ninja tersebut mengubah taktik, ia
mengikuti tarikan tersebut
sambil mencabut belati di pinggangnya untuk meni-
kam, tetapi pada saat tubuhnya melambung, Mitsunari
telah menyongsongnya ke depan sambil membabatkan
pedang panjangnya. Terdengar suara menjerit ketika
pedang itu merobek dada lawan.
Mitsunari segera berbalik, ia melangkah mundur,
membentengi jalan menuju bilik istana. Ada tiga ninja yang mencoba menerobos
pertahanannya, namun dengan bengis Mitsunari membabat tubuh mereka satu
per satu. Ketika ketiga ninja itu roboh, sejumlah samurai
mengepung Mitsunari. Laki-laki itu tiba-tiba mengi-
baskan pedangnya untuk membersihkan darah pada
pedang itu. "Saya Ishida Mitsunari," katanya lantang. "Kalian
jangan bodoh! Saya yang memimpin penyerbuan di si-
ni!" *** Di pinggiran Kota Kamakura, Saburo Mishima terus
memacu kudanya. Pakaian kebesarannya yang berupa
bilah-bilah besi gemerincing ditiup angin. Tangan kirinya dipakai mengendalikan
kuda, sementara tangan
kanannya masih menggenggam pedang panjang. Ia
memacu kudanya dengan cepat. Dada lelaki itu berde-
bar-debar. Sejumlah bangunan di pinggir istana telah terbakar. Asap mengepul
dari balik benteng. Terbayang di benak Saburo, penyerbuan di dalam istana.
Di beberapa tempat masih terjadi pertempuran. Pa-
sukan Nobunaga rupanya telah menerobos masuk ke
halaman istana. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan, sementara rintihan dan
lengking jerit kematian terdengar di mana-mana.
Mudah-mudahan aku belum terlambat. Kalau benar
Mitsunari telah berkhianat, sukar mengharap keluarga shogun dapat diselamatkan.
Bangsat itu berada di dalam istana!
Seorang tentara musuh menghadang di jalan de-
ngan tombak, tanpa menghiraukan keselamatannya,
Mishima menyongsong serangan itu. Ketika jarak ting-
gal satu meter, ia mengayunkan pedang menyilang,
sehingga tombak itu patah menjadi dua. Dan sebelum
penyerang tersebut menyadari apa yang terjadi, Mi-
shima telah menebas lehernya.
Pintu gerbang Istana Kamakura telah terbuka, ratu-
san pasukan Nobunaga tengah mengamuk. Tetapi me-
reka memperoleh perlawanan sengit dari samurai ista-
na. Meskipun tampak kekuatan tidak seimbang, na-
mun para samurai istana tidak mau menyerah. De-
ngan semangat bushido (semangat ksatria pantang menyerah) mereka melakukan
perlawanan hidup dan mati.
Kepulan asap membubung tinggi, panah-panah api
bertebaran di mana-mana, mayat bergelimpangan, dan
pertempuran sengit masih terus berlangsung.
*** Shogun Ashikaga menatap Natane Yoshioka, laki-laki
itu mencoba tidak menangis. Ia tak ingin memperli-
hatkan kepedihannya di depan anaknya. Pelan-pelan
ia mengambil pedang miliknya, lalu mengulurkannya
pada Yoshioka. "Yoshioka-san, kuberikan pedang ini padamu," kata
Ashikaga dengan suara penuh tekanan. "Pedang Mu-
ramasa, lambang kekuasaan Ashikaga. Pertahankan
pedang ini dengan nyawamu."
"Baik, Ayah!"
"Pedang Muramasa adalah pedang keramat keluar-
ga Ashikaga. Ini merupakan lambang kekuasaan di Is-
tana Kamakura. Selama pedang ini berada di tangan
kita, Nobunaga hanya menguasai bangunan-bangunan
istana ini, tetapi tidak jiwanya. Karena itu pertahankan pedang ini apa pun yang
terjadi." "Saya akan menjaganya dengan nyawa saya, Ayah."
"Itzumi," Ashikaga memanggil istri Saburo Mishima.
"Kau kuperintahkan melindungi putraku keluar istana.
Lindungi dia dengan jiwamu."
Itzumi membungkukkan badan dalam-dalam, "Baik,
Yang Mulia!"
"Apabila kau dapat menyelamatkan putraku, aku
akan mengangkat anakmu Kojiro menjadi daimyo. Jan-
jiku akan kutulis sebagai sumpah keluarga Ashikaga."
"Tanpa janji itu pun, saya akan melaksanakan apa
pun perintah Yang Mulia."
Shogun Ashikaga tidak menanggapi ucapan perem-
puan itu, ia mengambil kertas kemudian menulis sum-
pahnya dengan huruf kanji. Ketika selesai menulis, ia membubuhkan sidik jarinya
di kertas itu. "Yoshioka-san," panggil Ashikaga. "Ini adalah sum-
pahku pada Itzumi. Bila engkau selamat dan berhasil
merebut kembali istana ini, sebagai putraku, kau ha-
rus menjalankan sumpah ini."
"Baik, Ayah."
"Bersumpahlah demi aku dan ibumu."
"Saya bersumpah untuk melaksanakannya."
"Sekarang kalian pergi, tinggalkan istana ini sece-
patnya. Biarkan aku dan isteriku menyongsong ajal di sini."
Natane Yoshioka membungkukkan badan. Pelan-
pelan ia beranjak untuk memeluk kedua orang tuanya.
Betapa pun mereka menahan kepedihan, namun per-
pisahan itu tak mampu membendung air mata. Omiko
mendekap Yoshioka dengan berurai air mata.
"Jaga dirimu baik-baik," bisik Omiko bergetar.
"Baik, Ibu."
Kemudian Yoshioka memeluk ayahnya. Ashikaga
mendekap anaknya sambil menghela napas panjang.
Mata lelaki itu berkaca-kaca.
"Selamatkan dirimu, juga Pedang Muramasa," kata
Ashikaga dengan suara datar. "Pedang Muramasa ada-
lah kehormatanmu. Kau harus mempertahankannya
sampai mati."
"Baik, Ayah."
"Sekarang pergi secepatnya."
Kemudian tanpa menoleh, Yoshioka melangkah per-
gi. Itzumi dan anaknya membuntuti dari belakang. Me-
reka memasuki lorong rahasia di belakang bilik itu.
Ashikaga memejamkan mata. Pelan-pelan ia mem-
buka pakaiannya. Isterinya dengan penuh penghaya-
tan melipat kembali pakaian suaminya. Dengan te-
nang, Ashikaga membiarkan isterinya membelitkan
kain putih di seputar perutnya. Mereka melakukan
rangkaian upacara seppuku dengan tenang, tanpa ter-
buru-buru, seakan semua memberikan rasa damai
yang abadi. Sesudah kain putih membungkus perutnya, Ashi-
kaga mengambil sake kemudian minum seteguk.
Ketenangan itu tiba-tiba terganggu, ketika pintu bi-
lik tiba-tiba didobrak dari luar. Terdengar suara hiruk-pikuk berselang-seling
dengan suara gemerincing pe-
dang beradu. Ashikaga memejamkan mata. Mencoba menyalur-
kan seluruh enerji di dalam tubuhnya menyatu di da-
lam perut. Ia menghela napas panjang. Ia merasakan
kehangatan menjalari jiwanya. Ketika semua sudah
menyatu dengan kedamaian di dalam dirinya, lelaki itu mengulurkan tangan.
Isterinya sambil membungkukkan badan, memberikan pisau kepada suaminya.
Sambil menahan napas, Shogun Ashikaga meng-
hunjamkan pisau itu ke perutnya, lalu dengan mena-
hankan rasa sakit yang luar biasa, ia menggerakkan
ujung pisau itu ke atas, ke bawah, ke samping kanan, dan ke samping kiri,
membelah perutnya dengan penuh penghayatan. Darah menyembur, membasahi tu-
buhnya. Laki-laki itu tetap memejamkan mata, sampai
kekuatannya melemah, dan tubuhnya terguling ke lan-
tai. Ia sekarat. Lalu mati.
Omiko membungkukkan badan, memberikan peng-
hormatan terakhir pada suaminya. Sesudah itu ia
mengambil pisau yang masih tertancap di perut sua-
minya, kemudian menikam lehernya sendiri.
Bertepatan dengan hunjaman itu, pintu berhasil di-
dobrak dari luar. Ishida Mitsunari masuk ke dalam di-ikuti sejumlah pengawalnya.
"Terlambat!" rutuknya geram. Ia melihat Omiko se-
karat meregang nyawa, namun lelaki tersebut tidak
peduli. "Kita harus segera mengejarnya," kata Mitsuna-ri sambil menerobos lorong
rahasia di belakang bilik itu. "Yoshioka membawa Pedang Muramasa."
Ishida Mitsunari beserta pengawalnya bergegas me-
ngejar Yoshioka.
*** Satu menit sesudah Mitsunari meninggalkan bilik itu,
Saburo Mishima tiba di tempat itu. Laki-laki tersebut terpana menyaksikan tubuh
Ashikaga dan isterinya
yang terkapar tanpa nyawa.
Rupanya mereka telah memilih jalan kematian yang suci. Nobunaga tak berhasil
meraih seluruh kemenangan dalam penaklukan ini.
Dengan khidmat Saburo Mishima membungkukkan
badan, memberikan penghormatan terakhir pada je-
nazah Ashikaga dan isterinya.
Di mana Natane Yoshioka" Dia tidak berada di sini, berarti anak itu masih hidup.
Selain itu, saya tak melihat Pedang Muramasa di sini. Tidak bisa lain, hal itu
sebagai pertanda shogun telah mengusahakan pe-nyelamatan terhadap putranya.
Tetapi siapa yang mengawal dia" Bagaimana pula dengan istri dan anakku"
Mishima melihat pintu di belakang bilik itu terbuka, tanpa membuang waktu ia
berlari menerobos lorong
itu. *** PENGORBANAN NATANE YOSHIOKA berjalan bergegas, setengah berla-
ri menyusuri lorong rahasia itu. Di belakangnya tam-
pak tujuh orang pengawal istana, Itzumi, dan Kojiro.
Lorong itu terasa pengap, dindingnya lembab ka-
rena berada di bawah tanah. Bahkan di beberapa tem-
pat tampak bocoran air mengalir deras. Rupanya din-
dingnya mulai rusak, sehingga aliran Sungai Muro di
sisi istana merembes ke bawah. Maklumlah, lorong itu telah berusia hampir
seratus tahun, karena dibangun
ketika Shogun Yoritomo berkuasa.
Meskipun sudah tua, namun hanya tempat perlin-
dungan itulah yang dapat menyelamatkan Natane Yoshi-
oka. Hanya beberapa pengawal istana yang mengetahui adanya lorong tersebut.
Selain Saburo Mishima, hanya Ishida Mitsunari yang pernah memasuki lorong itu.


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena merasa aman, Natane Yoshioka berhenti.
"Bagaimana kalau kita beristirahat dulu?"
"Terserah Yang Mulia Yoshioka," jawab salah seo-
rang pengawalnya.
"Aku capek."
Itzumi segera mendekati Yoshioka. "Sebaiknya kita
jangan berhenti, Yang Mulia. Sesudah menemukan je-
nazah Shogun Ashikaga, bukan mustahil mereka me-
nemukan pintu lorong ini. Mereka bisa saja berada di belakang kita."
"Berapa jauh kita akan keluar dari lorong ini?"
"Masih jauh."
"Berapa kira-kira jauhnya?"
"Apa bedanya bagi Yang Mulia?"
"Saya ingin mengetahuinya."
"Suami saya pernah menceritakan mengenai lorong
ini, jauhnya kira-kira tiga puluh mil...."
Yoshioka menukas karena terkejut. "Tiga puluh mil?"
"Benar."
"Saya harus berjalan kaki sejauh tiga puluh mil?"
"Tidak ada pilihan lain. Ini satu-satunya jalan ke-
luar bila Yang Mulia ingin selamat."
"Saya lebih suka melakukan seppuku."
Samar-samar terdengar langkah kaki di belakang
mereka. Derap kaki bergegas mengejar mereka. Suara
itu bergema, kian lama kian keras.
Itzumi menoleh pada Natane Yoshioka, "Kita telah
membuang-buang waktu. Kalau tidak cepat mereka
pasti akan segera menyusul kita. Tak ada waktu lagi
untuk berdebat, kita harus segera pergi."
Salah seorang pengawalnya berkata, "Biarkan saya
di sini, Yang Mulia. Saya akan berusaha menghambat
mereka." Natane menatap pengawal itu dengan penuh rasa
hormat, lalu bergegas ia meninggalkan tempat itu.
Sepuluh menit kemudian Ishida Mitsunari sampai
di tempat itu. Meskipun keadaan agak gelap dan ia sedang terburu-buru, namun
lelaki itu tidak kehilangan kewaspadaan. Ia melihat kilauan pedang terayun ke
arahnya, secara refleks ia berkelit ke kanan, kemudian menebaskan pedang ke
perut penyerangnya. Terdengar
jeritan melengking ketika pengawal Yoshioka merasa-
kan perutnya robek. Ketika tubuhnya rubuh di tanah,
Mitsunari kembali menikam punggung lelaki itu.
"Mereka tidak jauh dari kita," kata Ishida Mitsunari bengis. "Kejar mereka!"
*** Natane Yoshioka berhenti ketika mendengar lengkingan
kematian pengawalnya. Dadanya menjadi berdebar-
debar. Meskipun sudah terlatih sebagai seorang samu-
rai, namun di dalam hatinya muncul pula sedikit rasa takut. Dengan bimbang ia
menatap Itzumi, ingin mendapatkan pegangan moral.
"Mereka telah membunuhnya," kata Yoshioka lirih.
"Jangan dihiraukan, Yang Mulia," kata Itzumi pe-
nuh tekanan. "Kematian bisa terjadi di mana-mana.
Sekarang kita harus lari lebih cepat."
"Kenapa kita harus lari?"
"Kita tak mungkin melawan mereka. Untuk kesela-
matan Yang Mulia, kita harus lari."
Yoshioka membantah ketus, "Lari hanya untuk orang-
orang pengecut."
"Kita lari karena menjalankan perintah Shogun Ashi-
kaga. Tidak seorang pun ingin disebut sebagai pe-
ngecut. Tetapi lari karena menjalankan perintah sho-
gun, sama mulianya dengan melakukan seppuku."
Natane Yoshioka terdiam. Ia membenarkan ucapan
Itzumi. Karena itu ia berkata, "Kita akan lari, tetapi harus ada yang menghambat
mereka." "Biarkan saya menghambat mereka," jawab dua orang
pengawal secara bersamaan.
"Baiklah. Hati-hatilah kalian menghadapi mereka."
"Nyawa kami taruhannya, Yang Mulia."
Sesudah diam sejurus, Natane Yoshioka berbalik,
lalu kembali berlari. Baru lima menit ia meninggalkan tempat itu, Mitsunari
muncul. Pertarungan pun terjadi. Dua pengawal itu dikepung enam orang pengawal
Mitsunari. Suara pedang beradu terdengar bergema di
dalam lorong itu, namun tidak berlangsung lama, kee-
nam samurai yang mengawal Mitsunari dengan mudah
merobohkan lawan mereka.
"Saya pastikan mereka tidak jauh dari sini," kata
Mitsunari pada pengawalnya. "Dapatkan mereka sece-
patnya. Aku ingin menyambut kedatangan Shogun No-
bunaga lengkap dengan kepala Yoshioka dan Pedang
Muramasa!"
Kejar-kejaran itu terjadi dengan penuh ketegangan.
Sampai akhirnya Natane Yoshioka ambruk di tanah
karena kelelahan. Anak itu terengah-engah. Seluruh
tubuhnya berkeringat. Napasnya serasa mau putus.
Mereka kini sampai di sebuah ruangan yang cukup
luas, dengan sebuah patung Budha di tengahnya. Ini
tentu kuil di dalam lorong itu. Ada dua buah lubang
angin di langit-langit sehingga cahaya matahari masuk ke dalam. Ruangan itu
menjadi agak terang.
"Saya... tidak kuat lagi," kata Yoshioka terengah-
engah sambil duduk di sebuah batu hitam.
Itzumi menukas, "Itu bukan ucapan seorang samu-
rai. Semangat bushido adalah pantang menyerah."
"Aku akan menghadapi mereka."
"Itu namanya bunuh diri."
"Apa bedanya dengan seppuku?"
"Sangat berbeda. Seppuku dilakukan untuk menjaga
kehormatan ketika kita berada dalam ancaman. Tetapi
perlawanan yang akan Yang Mulia lakukan, tak lebih
bunuh diri secara konyol, karena kita tahu Yang Mulia tak mungkin menang.
Kecuali itu, saat ini Yang Mulia menanggungkan kewajiban untuk menyelamatkan
diri. Kewajiban itu sama harganya dengan seppuku."
Natane Yoshioka menghela napas panjang. Ia mena-
tap Kojiro, anak Itzumi yang juga berusia sebelas tahun, sama dengannya. Anak
itu sejak awal melakukan
pelarian, tidak pernah mengeluh. Wajahnya membeku,
menahankan rasa lelah yang sudah pasti menggerogoti
kekuatannya. Ia seorang calon samurai sejati.
"Baiklah, mari kita berangkat...."
"Terlambat!" tiba-tiba terdengar suara Ishida Mitsu-
nari. Laki-laki itu muncul diiringi pengawalnya. Mereka
langsung melakukan pengepungan. Natane berdiri
dengan terperanjat. Ia melangkah mundur, sementara
Itzumi maju untuk melindunginya.
"Ishida Mitsunari, apa yang engkau lakukan dengan
pengepungan ini?" Itzumi bertanya heran. "Bukankah
Shogun Ashikaga memerintahkan engkau melindungi
putranya?"
"Saya akan segera mengirimnya ke sorga," kata Mit-
sunari dingin. "Setelah kedua orang tuanya, hanya
tinggal dia yang menjadi ancaman Shogun Nobunaga,
aku akan melengkapi kemenangannya dengan memper-
sembahkan kepala Yoshioka dan Pedang Muramasa."
"Pengkhianat!" desis Itzumi geram, serta merta ia
mencabut pisau di pinggangnya. "Kau tak lebih samu-
rai bayaran. Tak punya kehormatan!"
"Kehormatanku adalah pangkat sebagai seorang
daimyo," kata Mitsunari sambil tersenyum sinis. "Nobunaga telah menjanjikan
apabila aku berhasil mem-
bantunya merebut Istana Kamakura, dia akan meng-
angkatku sebagai daimyo di sini. Aku tidak sebodoh
suamimu yang seumur hidup bersedia menjadi budak
Ashikaga. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang
daimyo yang kaya raya."
"Dia lebih terhormat dibanding dirimu."
"Apa artinya kehormatan dibanding kekuasaan yang
bakal kuperoleh?"
"Tak ada artinya karena engkau memang tidak pan-
tas menyandang kehormatan sebagai seorang samurai.
Kau tak lebih begundal busuk tanpa martabat!"
Seusai berkata begitu, Itzumi memerintahkan pe-
ngawalnya mulai menyerang. Pertempuran pun terjadi.
Kilatan-kilatan pedang menimbulkan suara berden-
ting. Bunga api berpijar setiap kali pedang mereka beradu. Namun dalam beberapa
menit sudah terlihat sia-
pa yang bakal memenangkan pertarungan itu. Penga-
wal Natane Yoshioka satu per satu rubuh dengan luka
menganga di tubuhnya.
Ketika semua pengawalnya telah binasa, Itzumi ber-
gerak mundur melindungi Natane Yoshioka dan anak-
nya. "Kau harus membunuhku terlebih dulu sebelum
membunuh mereka," kata Itzumi dengan api kemara-
han meluap-luap.
Ishida Mitsunari melangkah ke depan, mendesak
mereka ke dinding. Sambil tersenyum, laki-laki itu
berkata, "Apa susahnya membunuhmu?"
"Kalau begitu lakukanlah!"
"Aku akan menikmati kemenanganku. Sesudah mem-
bunuhmu, aku akan membunuh anakmu. Baru sesu-
dah itu aku akan memenggal kepala Yoshioka...."
Belum selesai Mitsunari bicara, tiba-tiba Itzumi me-
nyerang dengan pisau di tangannya. Laki-laki tersebut hanya sedikit berkelit,
lalu dengan bengis mengayunkan pedang merobek punggung wanita itu. Itzumi me-
rasakan kepedihan menyeruak ke dalam tubuhnya, ia
berbalik, dan ia melihat Mitsunari kembali mengayun-
kan pedang membelah tubuhnya.
Ketika tubuh Itzumi melayang sebelum ambruk ke
tanah, Saburo Mishima muncul dari lorong yang gelap.
Hanya sekilas ia melihat tubuh isterinya bermandikan darah, karena saat itu para
samurai di ruangan itu telah menyerangnya.
"Kau benar-benar jahanam!" teriak Mishima marah.
"Kau telah mengkhianati Shogun Ashikaga."
"Nobunaga akan mengangkatku sebagai daimyo Ka-
makura." "Kau tak akan pernah mendapatkan kehormatan
itu, kau terlalu rendah sebagai seorang samurai."
"Bungkam mulutnya!"
Pengawal Mitsunari segera bergerak menebas, tetapi
kemarahan Mishima telah menjadikan kekuatannya
berlipat ganda. Ia menangkis, kemudian berputar sam-
bil menebas musuhnya. Seperti seekor banteng luka,
lelaki itu menyerang musuhnya dengan penuh kema-
rahan. Satu per satu musuhnya tumbang dengan luka
yang sangat dalam. Tidak lebih sepuluh menit, seluruh pengawal Mitsunari telah
berhasil dibinasakan.
"Permainan pedangmu masih bagus," puji Mitsunari
sambil berputar, siap menghadapi serangan.
Saburo Mishima tidak menggubris pujian itu, ia kini
menyilangkan pedangnya di depan mata secara hori-
sontal, matanya yang tajam mengikuti setiap gerak ka-ki musuhnya. Ia tahu siapa
yang tengah ia hadapi.
Ishida Mitsunari adalah murid perguruan Yagyu yang
sangat disegani. Dahulu lelaki itu hanya seorang shugyosa (samurai pengembara).
Berkat permainan pedangnya ia akhirnya bisa menjadi pengawal Shogun
Ashikaga. Tidak seorang pun meragukan kehebatan
permainan pedangnya.
Mitsunari menggenggam pedang dengan kedua ta-
ngannya ke samping kanan, pelan-pelan ia menggeser
kaki ke kiri. Kedua matanya menatap tajam pada mata
lawannya. Jurus 'Sabetan Pedang Pelangi', kata Mishima dalam hati. Rupanya ia ingin
menebas leherku dengan jurus terhebat 'Yagyu'.
Saburo segera mengubah posisi, ia menggenggam
pedang lurus di atas kepala. Ini adalah jurus 'Pedang Halilintar'. Bila Sabetan
Pedang Pelangi menguta-makan kecepatan, sebaliknya, jurus Pedang Halilintar
mempertaruhkan semua pada kekuatannya.
Mereka bergerak perlahan, menghitung setiap inci
gerakan lawan dengan teliti. Ketegangan kian memun-
cak. Natane Yoshioka dan Kojiro memperhatikan perta-
rungan itu dengan berdebar-debar.
Tiba-tiba dengan raungan panjang, Mitsunari me-
nyerbu lawan. Ia menebas leher Saburo, tetapi sebe-
lum pedang mengenai sasaran, pedang Saburo telah
menghantamnya, bunga api berpijar. Mitsunari berba-
lik sambil menebas perut lawan, kali ini Saburo mun-
dur dua langkah, kemudian melompat ke kanan sam-
bil mengirimkan tikaman. Sekali lagi terdengar suara pedang beradu, kemudian
mereka kembali memasang
kuda-kuda. Kini Saburo Mishima yang menyerang, ia menikam
dada musuh dengan kedua tangannya, Mitsunari ber-
kelit sambil menebaskan pedang ke pinggang lawan.
Mishima mencabut pisau kecil di pinggang untuk me-
nangkis serangan itu. Lalu dengan kekuatan penuh ia
membabat kepala musuhnya. Dengan kecepatan se-
persepuluh detik Mitsunari menyadari serangan itu,
namun ia terlambat menghindar, sabetan pedang Mi-
shima mengenai wajahnya. Mata lelaki itu mengucur-
kan darah dengan luka memanjang hingga ke pipi.
Pandangan Mitsunari menjadi kabur. Kecuali hanya
mata sebelah kanan yang berfungsi, darah, dan rasa
pedih membuat lelaki itu sangat terganggu.
"Jahanam," rutuk Mitsunari menggeram.
Dengan amarah meluap-luap lelaki itu kembali me-
nyerang. Ia menyabetkan pedang dengan penuh nafsu.
Serbuan itu membabi buta, sabetan pedangnya bagai
taufan yang memburu ke mana pun musuh menghin-
dar. Saburo Mishima menyadari ia tidak boleh lengah.
Sedetik saja ia lengah, maut akan menyergapnya.
Meski telah terluka, namun serangan Mitsunari tetap
berbahaya. Ingatannya melayang kembali ke pergu-
ruannya, saat itu ia menghadapi musuh yang sangat
bernafsu mengalahkannya.
"Nafsu hanya dapat dikalahkan oleh kesabaran,"
kata gurunya ketika itu. "Kau harus sabar menemukan


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

titik lemah lawan. Hanya dengan kesabaran, jalan ke-
menangan akan terbuka...."
Saburo Mishima menghindar, melompat ke belakang,
sementara Mitsunari terus memburunya. Lelaki terse-
but seakan ingin segera menyudahi pertarungan itu.
Saat Saburo berada di belakang tiang gua, Mitsunari
menebas sekuat tenaga, tiang bambu itu terpotong
menjadi dua. Karena kehilangan tiang penyangga, tanah di atasnya berguguran ke
bawah, Mitsunari menutup
mata, kesempatan yang hanya sepersekian detik itu tak disia-siakan oleh Saburo,
ia bergulingan sambil menebas kaki musuhnya. Terdengar jeritan melengking keti-
ka Mitsunari roboh ke tanah. Kaki kirinya putus.
Ketika kesadaran Mitsunari mulai pulih, ia merasa-
kan ujung pedang Mishima menempel di lehernya.
"Kau kalah," kata Saburo Mishima dengan bibir ge-
metar. "Bunuhlah aku," kata Mitsunari sambil merintih.
"Lengkapi kemenanganmu dengan kematianku."
"Kau bukan seorang samurai. Aku tidak akan mem-
bunuhmu karena tidak ada harganya."
"Jangan membuatku merasa terhina."
"Kau memang hina," tukas Mishima dingin. "Tidak
ada yang lebih hina dibanding seorang samurai yang
berkhianat. Kau lebih nista dibanding shugyosa. Aku
akan membiarkan dirimu tetap hidup agar kau me-
ngerti arti kehinaan dirimu."
Saburo menarik pedangnya.
"Kenapa kau tidak membunuhnya?" tiba-tiba Na-
tane Yoshioka bertanya. "Dia seorang pengkhianat."
Saburo membungkuk hormat. Kemudian menjawab,
"Dia telah kehilangan sebuah mata dan satu kakinya,
ia tak akan pernah lagi hidup sebagai seorang samu-
rai, lebih-lebih menjadi daimyo seperti keinginannya.
Dia akan menanggungkan penghinaan seumur hidup-
nya. Kematian hanya akan membuatnya senang, ka-
rena tak harus merasakan penderitaan."
"Tetapi dia masih dapat melakukan seppuku."
"Itu tidak akan dilakukannya, karena sebagai samu-
rai ia sudah tidak berhak melakukannya. Ia tahu, de-
ngan bunuh diri, jiwanya tidak akan diterima di sorga."
"Bunuhlah aku, Saburo," terdengar Mitsunari me-
rintih. "Jangan biarkan aku menanggungkan malu."
"Engkau tidak akan mendapatkan kematianmu dari
tanganku."
"Lakukanlah. Sebagai sahabat, kumohon kau mau
melakukannya, Saburo."
"Kau sudah bukan sahabatku, Mitsunari. Musuh
pun kau musuh yang paling hina."
"Saburo... penggallah kepalaku... kumohon...."
Saburo Mishima menatap dingin. Kemudian pelan-
pelan ia mendekati jenazah isterinya. Dengan perasaan sedih ia mendekap wanita
itu. Ia benamkan kepala isterinya ke dalam pelukannya. Ia merasakan seluruh tu-
buhnya bergetaran. Napasnya memburu. Jiwanya bergo-
lak. Penuh berisi kepedihan, kemarahan, dan keharuan sekaligus. Ia tak menyangka
isterinya berani menebus kesetiaannya kepada Ashikaga dengan nyawanya.
"Apa yang sekarang akan kita lakukan?" Yoshioka
tiba-tiba bertanya.
Saburo Mishima tersadar. Dia menoleh pada Yoshi-
oka dengan perasaan malu karena tak dapat menahan
perasaan. Ketika mengangkat muka, ia melihat tatapan polos anak itu.
"Sebaiknya kita segera berangkat," kata Mishima
kemudian. "Orang-orang Nobunaga masih terus me-
ngejar kita."
*** TERKEPUNG DI BUKIT
ANGIN lembut bertiup dari Tenggara, membawa bau
tanah, air, dan bunga sakura. Saat itu telah memasuki musim semi, namun udara
dingin masih terasa membekukan pori-pori kulit. Salju tipis masih terlihat
menyapu ujung daun dan pepohonan, juga pada kuntum-
kuntum bunga sakura yang pucuk-pucuknya mulai
mekar. Saburo Mishima menancapkan kayu di atas kubur
isterinya. Ia jongkok di depan makam itu sambil ber-
doa. Dada laki-laki itu penuh pergolakan; kepedihan, kemarahan, kekecewaan, dan
hasrat pembalasan dendam berbaur menjadi satu. Semua seakan lava gunung
yang siap meledak. Namun sebagai seorang samurai
sejati, ia diam. Meredam gelombang di dalam dirinya
hingga tak seorang pun mengetahuinya. Kecuali itu, ia sendiri tak ingin
memperlihatkan kepedihan pada Yoshioka dan Kojiro.
Selintas kenangan muncul, saat-saat ia pertama
kali memasuki Kamakura, setelah selama bertahun-
tahun menekuni ilmu pedang di Gunung Fuji. Pada
waktu itu Shogun Ashikaga tengah mencari pengawal
istana, karena wilayah Kamakura sering diserang para ronin (kaum samurai liar).
Hampir setiap hari terjadi perampokan di wilayahnya. Lumbung padi dan rumah-
rumah di pinggir kota, setiap saat didatangi perampok yang bertindak kejam.
Kadang bukan hanya harta
yang dirampas, tetapi mereka juga memperkosa para
wanita. Saburo bertugas di Desa Oji, sepuluh kilometer dari
Kamakura. Ia menjaga kampung itu bersama Ishida
Mitsunari. Suatu malam mereka mendengar jeritan da-
ri pinggiran desa, enam perampok telah menguras isi
rumah itu. Ketika meninggalkan rumah tersebut, me-
reka membawa serta anak perempuan pemilik rumah.
Saburo dan Mitsunari segera bertindak. Dalam sebuah
pertarungan, mereka berhasil membunuh keenam pe-
rampok itu. Ketika para penjahat sudah tewas, Saburo melihat
seorang gadis kecil, kira-kira berusia enam belas tahun, menatapnya dengan penuh
kekaguman. "Arigato gozaimasu, " gadis itu berterima kasih sambil membungkukkan badan.
"Gozaimasuka," balas Saburo dengan sikap yang sama.
Itulah pertemuan pertama dengan Itzumi. Enam bu-
lan kemudian Saburo meminang gadis tersebut sebagai
isterinya. Sesungguhnya Ishida Mitsunari juga jatuh
hati pada Itzumi, namun lelaki tersebut berusaha tidak memperlihatkan
perasaannya. Sebagai seorang istri, Itzumi sangat membahagia-
kan. Ia memberikan segala-galanya pada Saburo; kese-
tiaan, cinta, pelayanan seks, pengertian, dan seorang anak laki-laki. Mereka
menamakan anak itu Kojiro.
Anak itu tumbuh dengan cepat. Ia memiliki enerji yang seakan tak pernah habis,
dan otot-otot yang kuat.
"Dia kelak akan menjadi seorang samurai yang he-
bat," kata Saburo pada isterinya.
Itzumi tersenyum. "Aku sudah dapat merasakannya
sejak ia ada dalam kandungan. Gerakan kaki dan ta-
ngannya terlampau kuat untuk seorang bayi."
"Mungkin ia sudah belajar silat di dalam perutmu."
"Mungkin," jawab Itzumi sambil tersenyum. "Seperti
ayahnya." Saburo Mishima tersenyum, kemudian mendekap
isterinya dengan mesra. Ia mencium bibir wanita itu
Pendekar Panji Sakti 10 Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak Kisah Membunuh Naga 23
^