Samurai Pengembara 10 1
Shugyosa Samurai Pengembara 10 Bagian 1
SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Kesepuluh oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Buku Kesepuluh PENYELAMATAN NINJA
SABURO menerjang dengan jeritan nyaring, ia mene-
bas musuh seperti banteng mengamuk. Darah anyir
telah membasahi pakaiannya. Genggaman tangannya
lengket dan berbau amis. Ia terus bergerak, menerjang lawan. Satu persatu musuh
tumbang terkena sabetan pedangnya. Darah memancar di udara. Tangan dan
kaki beterbangan diiringi jeritan kesakitan.
Tetapi kepungan para ninja itu tidak surut. Tewas tiga orang muncul kembali enam
orang. Mereka seakan mengalir seperti air jeram. Terus mendesak Saburo dengan
segala cara. Salah seorang ninja mencoba menjerat Saburo menggunakan jala, namun
dengan sekali sabetan, jala itu terkoyak bersamaan dengan kepala ninja itu yang
retak. Ninja lain muncul dengan rantai berbandul bola berduri. Ia mencoba
menjerat kaki Saburo, tetapi dengan kekuatan tak terduga, Saburo menarik ninja
itu dan menyambutnya dengan tebasan
menyilang pada lehernya. Darah meruap seperti ca-
haya kembang api dari lehernya.
Salah seorang ninja berhasil menjerat tangan Sabu-ro, tetapi panglima Ashikaga
itu menarik tubuhnya dan menikam dadanya hingga tembus ke punggung.
Saburo mengamuk bagai seekor banteng luka. Ia mengayun pedang dalam irama paling
mengerikan. Satu per satu ninja itu ambruk ke tanah, sebentar sekarat, lalu
meninggal. "Hayo, maju!" teriak Saburo melengking. "Biar kutebas leher kalian!"
Para ninja tiba-tiba mengubah formasi. Mereka me-
ngurung Saburo dalam bentuk lingkaran. Masing-
masing mengeluarkan jala untuk menjaring tubuh Saburo. Dan dalam suatu jeritan
panjang, jaring itu tiba-tiba bertebaran seperti kembang mawar merekah dan
menjerat Saburo.
Dengan seluruh kekuatan, Saburo mencoba mele-
paskan diri, namun jaring-jaring itu mengikat kaki, tangan, dan tubuhnya
demikian kuat. Para ninja menghadapi Saburo seperti menghadapi seekor ikan dalam
jaring. Mereka mendekati satu per satu sambil menarik kencang tali jala itu.
Saburo berusaha menggerakkan tangan serta ka-
kinya, namun tak berhasil. Jerat itu demikian kuat.
Para ninja terus mendekati untuk segera menghabisi nyawanya.
Tiba-tiba dalam suatu lengkingan memanjang, mun-
cul ninja hitam dari berbagai sudut istana. Dengan sebuah loncatan yang indah,
tiga orang ninja berdiri mengelilingi Saburo, dan secara serentak mereka menebas
jala-jala yang terentang mengikat Saburo. Tebasan itu demikian kuat sehingga
Saburo langsung ter-lepas.
Ninja merah sangat terkejut menghadapi keadaan
itu, ia terhenyak, dan saat itu sejumlah ninja hitam langsung menebas tubuh
mereka. Terdengar pekik
kematian di malam panjang itu.
"Takeshi!" terdengar suara Saburo menyapa ninja di dekatnya.
"Awas, pegang tangan kami!"
Saburo memegang tangan Takeshi dan Mayumi,
dan dengan sekali hentakan, kedua ninja itu berputar-putar sambil membawa tubuh
Saburo. Mereka men-
jauhi tempat pengepungan itu.
Para ninja merah mencoba mengejar, namun niat
mereka dihalangi sejumlah ninja hitam yang siap menghadang. Pertarungan terjadi
lebih seru. Beberapa di antara para ninja melepas senjata ra-
hasia. Creeet! Creeet!
Mayumi dengan cepat menangkis. Terdengar suara
berdenting. Senjata rahasia berbentuk bintang itu melenting dan langsung
mengenai pemiliknya.
Dalam suatu loncatan yang sulit diikuti dengan ma-ta, Takeshi dan Mayumi
melompati pagar dan me-
nyelinap ke kegelapan malam.
Bertepatan dengan lenyapnya Mayumi, para ninja
hitam membanting petasan, muncul asap putih me-
ngelilingi mereka. Ketika asap itu lenyap, para ninja itu telah lenyap.
Mereka terus berlari menembusi hutan. Tak seorang pun mengeluarkan suara. Ketika
lari mereka telah
jauh, Takeshi dan Mayumi berhenti. Saburo Mishima yang sejak tadi berlari
mengikuti kedua sahabatnya duduk di tanah terengah-engah.
Mayumi membuka sapu tangannya, langsung mem-
bersihkan darah bercampur keringat di wajah Saburo.
"Kalian datang tepat pada waktunya," kata Saburo
dengan napas terengah-engah.
"Kami tahu kapan kami dibutuhkan," jawab Ma-
yumi datar. "Apakah engkau melihatku dalam penglihatanmu?"
"Ya."
"Untuk kesekian kali engkau dapat menyelamatkan
diriku." Mayumi hanya tersenyum tipis.
Tiba-tiba Saburo teringat pada Koyama, "Apakah
engkau melihat Koyama?"
Konishita yang kini dipanggil Takeshi dan Mayumi
saling berpandangan. "Tidak."
Saburo langsung berdiri, "Celaka kalau para ninja itu membongkar penyamarannya.
Dia bisa celaka!"
Takeshi memegang tangan Saburo.
"Sabar. Kita jangan tergesa-gesa. Kita masih punya waktu untuk
menyelamatkannya."
"Bagaimana kalau Naoko langsung menghukum-
nya?" "Kalau demikian pasti tak ada yang dapat kita lakukan untuknya."
"Bangsat!" raung Saburo sambil melawan pegangan
Takeshi. "Dia anakku!"
Mayumi dan Takeshi terperanjat. Mereka langsung
melepaskan tangan Saburo.
Saburo berkata dingin, "Aku harus kembali ke Ka-
makura. Aku tak mau membiarkan mereka membantai
anakku." "Tetapi, Saburo...."
"Kalian jangan mencegahku. Aku tahu apa yang ha-
rus kulakukan."
"Beberapa saat yang lalu engkau hampir tewas di
tangan para ninja merah."
"Aku tahu kalian telah menyelamatkan diriku," po-
tong Saburo dengan suara serak. "Tetapi aku tak akan membiarkan anakku mati
konyol di tangan mereka."
"Kita semua belum tahu apakah Naoko tahu penya-
marannya atau tidak?"
"Memang kita tidak tahu. Tetapi anak itu berada di sana, di tengah musuh yang
setiap saat dapat mem-bunuhnya."
"Jangan lupa, Saburo, Koyama sudah berada di sa-
na jauh hari sebelum kau menemuinya. Jadi tak ada alasan untuk mencemaskan
penyamarannya."
*** Di Istana Kamakura. Di kamar Naoko. Otami sedang
berdiri tegak di depan cermin membiarkan Naoko memakaikan kimono sutera di
tubuhnya. Wanita itu menatap dada Otami yang penuh bulu, lalu membelainya dengan
mesra. Kemudian dengan penuh kasih sayang, wanita itu mencium dada lelaki
tersebut. Ketika selesai mengikat tali kimono Otami, Naoko
berteriak memanggil pelayannya, "Koyama!"
Koyama masih termangu-mangu di dekat pintu. Ia
menatap lurus tempat ayahnya bertarung menghadapi para ninja. Terbayang di
benaknya bagaimana ayahnya menebas satu per satu musuhnya. Dan di saat kritis,
tiba-tiba muncul ninja hitam menyelamatkannya. Diam-diam, dalam hati, ia
bertanya tentang ninja hitam itu.
"Koyama!" terdengar suara Naoko dari dalam.
Koyama tersadar, lalu menjawab, "Ya, Tuan Putri."
Dengan tergopoh-gopoh karena merasa bersalah,
Koyama masuk ke dalam.
"Ambilkan sandal untuk Otami."
"Baik, Tuan Putri."
"Cepat!"
"Baik, Tuan Putri. Hamba segera laksanakan."
Koyama meninggalkan kamar itu. Selintas Otami me-
natap Koyama dengan sudut pandangnya. Tiba-tiba
terlintas di benaknya tentang mata-mata Ashikaga
yang berada di istana. Beberapa hari lalu, Takeshi dan Mayumi pernah
membicarakan tentang adanya seorang mata-mata yang masih bocah di Istana Kamaku-
ra. Mungkinkah Koyama"
Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk membuktikan dugaan itu.
*** YOSHIOKA BERTEMU MITSUNARI
UDARA mendung. Angin dari arah utara berhembus
kencang. Siang masih menyisakan genangan-genangan air hujan yang sepanjang pagi
mengguyur Owari. Di tanah, selain genangan air yang seperti kaca, tampak
bekas kaki ayam hutan dan babi.
Yoshioka duduk di tepi hutan sambil memperhati-
kan jalanan di depannya. Jalanan itu tampak seperti ikat pinggang warna coklat,
berkelok-kelok mengikuti lereng dan bukit di sekitarnya. Biasanya, jalanan
tersebut ramai dengan pedagang dan orang-orang yang
bergegas menuju Suruga atau sebaliknya, orang-orang yang menuju Owari.
Sesudah tidak berhasil menemukan Saburo, Yoshi-
oka sering duduk di tepi hutan itu untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di
Owari maupun Suruga.
Sesudah keberangkatan Oda Nobunaga ke Suruga, ki-
ni jalan tersebut terasa lengang. Rupanya penguasa Owari tersebut telah
mengerahkan seluruh pasukannya untuk menggempur Suruga.
Bila jalan pikirannya benar, berarti pertahanan di Kamakura saat ini lemah.
Sesungguhnya saat inilah yang tepat untuk merebut kembali Kamakura dari
Nobunaga. Tetapi di mana Paman Saburo Mishima" Dapatkah dia menyelamatkan diri" Atau sudah
tewas" Dada Yoshioka berdebar-debar. Dalam saat seperti
sekarang, sesungguhnya ia sangat membutuhkan Sa-
buro Mishima. Tetapi orang yang diharapkan justru tidak ada. Sejak Saburo
tenggelam di sungai, mereka tak pernah lagi bertemu. Yoshioka tak mengerti
apakah Saburo sudah tewas atau masih hidup.
Yoshioka masih melamun sambil menatap jalanan
di depannya, ketika seorang laki-laki mendekatinya.
"Sejak tadi aku memperhatikan dirimu," kata laki-
laki tersebut. "Engkau sepertinya melamunkan sesuatu."
Yoshioka mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang
laki-laki tegap, bercambang lebat, sebagian wajahnya tertutup caping, dan
berkaki satu. "Masih kecil jangan suka melamun. Engkau bisa gi-
la." "Saya tidak melamun," jawab Yoshioka tenang.
"Lalu sedang apa duduk sepanjang hari di sini?"
"Saya tengah memperkirakan perkembangan yang
akan terjadi di Owari."
"Perkembangan" Perkembangan apa?"
"Perkembangan perang yang bakal terjadi."
Laki-laki pincang itu tertawa berderai. Ia tak menduga bakal mendengar jawaban
seperti itu. Meskipun jawaban tersebut tidak ia anggap serius, namun ia menjadi
tertarik pada anak di depannya.
"Kenapa kau mengikuti perkembangan keadaan di
negeri ini?"
"Saya harus tahu," jawab Yoshioka tegas. "Bukan-
kah itu yang harus dilakukan seorang penguasa?"
"Penguasa apa?"
"Penguasa propinsi."
"Apakah kau ingin menjadi penguasa propinsi?"
"Ya, seperti Oda Nobunaga."
Laki-laki itu kembali memperdengarkan tawanya
yang memanjang. Tetapi rasa tertariknya jadi lebih besar.
"Engkau berasal dari mana?"
"Kamakura."
"Tetapi beberapa hari ini kulihat engkau berada di sini sepanjang hari."
"Saya menunggu seseorang."
"Siapa?"
"Paman."
"Diakah yang membesarkan dirimu?"
"Ya."
"Di mana orangtuamu?"
"Sudah meninggal."
"Jadi engkau sudah yatim piatu?"
"Ya."
"Kenapa engkau tidak ikut aku saja?"
"Sudah saya katakan, saya sedang menunggu pa-
man saya."
"Di mana dia sekarang?"
"Saya tidak tahu. Mungkin di Suruga, mungkin di
Mikawa, atau bahkan mungkin di Owari. Saya tidak
tahu." "Bagaimana mungkin kau menunggu seseorang te-
tapi tidak mengetahui kapan dia akan datang."
"Biarlah. Tetapi memang itulah yang harus saya lakukan."
Dari arah Suruga tiba-tiba tampak empat penung-
gang kuda berderap menuju Kamakura. Keempat pe-
nunggang kuda tersebut pada awalnya tampak seperti titik kecil diikuti tebaran
debu tipis di belakangnya.
Lama-kelamaan terlihat bahwa mereka adalah pengikut Oda Nobunaga.
Salah seorang membawa bendera dengan lambang
Nobunaga. Mereka kelihatan membawa misi khusus
karena tampak terburu-buru.
Sambil memandang keempat penunggang kuda yang
tengah mendaki bukit menuju ke arahnya, lelaki tersebut berkata, "Apa yang dapat
kausimpulkan sehubu-
ngan dengan penunggang kuda itu?"
"Sesuatu yang penting sedang terjadi."
"Sesuatu yang penting apa?"
"Oda Nobunaga mengalami kebimbangan terhadap
kekuatan pasukannya di Kamakura. Karena itu dia
akan memastikan hal itu dengan mengirim utusan."
"Bagaimana kau dapat menyimpulkan hal itu?"
"Kalau tidak, dia pasti akan mengirimkan sepuluh
prajurit. Tetapi hanya dengan empat orang dia membayangkan utusan itu akan lebih
efektif."
Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu mari kita buktikan."
Laki-laki tersebut berjalan terpincang-pincang ke tengah jalan. Ia melambai-
lambaikan tangan ketika pa-ra penunggang kuda itu sampai di tempat itu.
"Ada apa engkau menghalangi jalan kami?" tanya
pimpinan rombongan itu.
"Kalian terpaksa harus memutar," kata laki-laki pincang itu penuh tekanan.
"Ada apa?"
"Jembatan di depan roboh akibat hujan lebat sema-
lam. Tak bisa dilalui sama sekali."
"Kami harus memutar lewat mana?"
"Lewat Desa Katijima, dari sana ada jalan lurus menuju Istana Kamakura. Bukankah
kalian akan ke Ka-
makura?" "Benar."
"Tampaknya membawa misi penting."
"Ya, sangat penting."
"Apakah peperangan segera akan dimulai?"
"Begitulah. Karena itu kami diperintahkan segera
menyampaikan berita ini ke Kamakura."
"Sayang sekali, kalian harus lewat jalan memutar."
Tanpa berpikir panjang, keempat penunggang kuda
itu menggebrak kuda. Mereka memutar balik dan me-
macu kuda ke lereng bukit.
Laki-laki pincang itu tersenyum pada Yoshioka. Di-am-diam ia mengagumi
kecerdasan anak itu. Ia berjalan ke arah Yoshioka dengan senyum lebar.
"Kesimpulanmu benar," kata lelaki itu. "Mereka
membawa berita penting untuk Putri Naoko."
Baru beberapa saat lelaki itu sampai di dekat Yo-
shioka, tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan melengking.
Kedua penunggang kuda terlempar dari kudanya de-
ngan tiga anak panah menancap di punggungnya. Dari semak-belukar di dekatnya
berloncatan ninja merah langsung menyerang kedua penunggang kuda yang
masih hidup. Dari jauh terlihat kedua penunggang ku-da itu mengadakan
perlawanan, namun delapan ninja yang menyergap bukan tandingan mereka. Satu
persatu penunggang kuda itu jatuh ke tanah. Tewas.
"Siapa mereka?" laki-laki pincang itu bertanya.
"Pengikut Naoko," jawab Yoshioka datar.
Laki-laki pincang itu terperanjat, "Pengikut Naoko-san?"
"Ya."
"Bagaimana kau tahu?"
"Naoko sekarang sudah menguasai Istana Kama-
kura. Dia tak ingin diusik. Satu-satunya cara adalah melenyapkan semua utusan
Nobunaga. Dengan cara
itu kalau Oda Nobunaga berhasil memenangkan pe-
rang, dan kembali ke Kamakura, Naoko dapat menga-
takan bahwa tak seorang utusan pun pernah sampai
di Kamakura."
"Kesimpulanmu hebat."
"Lebih hebat lagi, kalau engkau tahu para ninja itu sebentar lagi akan sampai di
sini untuk membunuh ki-ta." "Membunuh kita" Kenapa?"
"Karena kita telah menjadi saksi mata atas pembu-
nuhan yang mereka lakukan."
"Kau benar-benar hebat...."
Belum laki-laki itu selesai bicara, lima anak panah mendesis ke arah mereka.
"Awaaas!" Yoshioka berteriak.
Laki-laki itu langsung mencopot capingnya, lalu
menjadikannya sebagai perisai. Kelima anak panah itu menancap di caping lelaki
itu. Baru saja mereka selamat dari serangan itu, delapan ninja merah telah
mengepung mereka. Tanpa bicara sepatah kata pun, para ninja langsung menerjang.
Tetapi kali ini mereka keliru kalau menganggap berhadapan dengan musuh yang
mudah dikalahkan. Laki-laki pincang itu dalam kecepatan yang sukar dipercaya,
telah berbalik dan menebas keempat ninja terdekat dengan pedangnya. Empat ninja
tersebut tak sempat menjerit ketika merasakan pedang musuh menebas tubuh mereka.
"Hayoo, kemari, aku Ishida Mitsunari pengikut Shogun Ashikaga akan melawan
kalian!" Salah seorang ninja menyerang dengan rantai ber-
ujung pisau. Mitsunari membiarkan rantai itu melilit pedangnya, lalu dengan
kekuatan penuh ia menarik rantai itu, kemudian menyongsong tubuh ninja tersebut
dengan kaki besinya. Terdengar suara menjerit ketika ninja tersebut merasakan
perutnya robek. Ketiga yang lain langsung menerjang, namun dengan gesit
Mitsunari mengelak. Pedang mereka beradu di udara.
Salah seorang ninja melempar senjata rahasia berupa bintang berpaku, namun
dengan lincah Mitsunari menebas senjata rahasia itu hingga kembali ke
pemiliknya. Terdengar jeritan kematian ketika senjata tersebut menghunjam ke
leher pemiliknya.
"Siapa kalian?" tanya Mitsunari sambil menghadapi kedua ninja yang tersisa. "Aku
Ishida Mitsunari, pengikut Ashikaga, akan memenggal kepala kalian!"
"Kami pengikut penguasa Kamakura."
"Kalian pengikut Oda Nobunaga?"
"Tidak! Kami pengikut Putri Naoko."
"Kalau begitu bersiaplah, kalian akan kukirim ke
neraka!" Seusai berkata begitu, Mitsunari langsung mener-
jang. Tebasan pedangnya meleset, namun dengan ce-
pat ia menebas musuh dengan pedang pendek yang
berada di penyangga kakinya. Terdengar jeritan pendek, salah seorang ninja
ambruk ke tanah dengan leher hampir putus. Ninja yang seorang lagi menerjang
dengan ganas, namun Mitsunari menyambutnya de-
ngan ayunan pedang yang membuat tubuhnya lang-
sung terbelah. Darah memancar ke tanah.
Ishida Mitsunari berdiri tegak, ia membiarkan darah di pedangnya mengalir ke
tanah. Sesudah selesai
membantai musuh-musuhnya, ia mengibaskan pe-
dangnya, lalu memasukkan ke dalam sarungnya.
"Bukan salahku kalau mereka tewas," kata Mitsu-
nari sambil menoleh. Ia terperanjat ketika menyadari anak kecil tadi sudah tidak
berada di tempatnya.
*** AWAL PENYERBUAN
DI ATAS bukit yang menghampar di perbatasan Suru-
ga, delapan ribu prajurit Nobunaga telah berbaris. Siap melakukan penyerbuan.
Pasukan panah berada di depan, lalu dilapis pasukan tombak, dan pasukan pe-
dang. Oda Nobunaga sedang berdiri tegak di tendanya.
Dua orang pengawalnya tengah mengenakan pakaian
perang pada tubuh lelaki itu. Semua dipakai berdasar-kan urut-urutan yang benar.
Pakaian itu sangat rumit.
Semua ada tiga puluh dua tahap yang terdiri lapisan sutera dan bilah-bilah besi.
Hosokawa duduk di depan Nobunaga seperti seo-
rang murid di hadapan gurunya.
"Hosokawa-san."
"Ya, Yang Mulia."
"Berapa lama perjalanan kita untuk sampai di Su-
ruga?" "Setengah hari, Yang Mulia."
"Tidak bisa lebih cepat?"
"Tidak mungkin, Yang Mulia, sebab kita harus me-
nyebrangi beberapa sungai kecil yang agak mengham-
bat." "Baiklah, kalau begitu persiapkan semua."
"Baik, Yang Mulia."
"Kau memimpin pasukan panah dan tombak untuk
maju lurus menikam pertahanan Mayeda Toyotomi.
Jangan lewatkan satu orang pun di belakangmu. Aku ingin memasuki Suruga dengan
penaklukan yang hebat."
Sebelum Hosokawa pergi, seorang pengawal Nobu-
naga datang sambil berlari.
"Seorang mata-mata telah datang dari Kamakura,
Yang Mulia."
"Suruh dia kemari."
"Baik, Yang Mulia."
Mata-mata itu seorang lelaki tua yang selama ini
menyamar sebagai pedagang ayam. Dia baru datang
dari Kamakura. Nobunaga adalah orang yang sering
tak sabar mendengarkan laporan, karena itu dia langsung mengajukan pertanyaan.
"Apa yang kaudapatkan?"
"Pembelotan, Yang Mulia."
"Pembelotan macam apa?"
"Putri Naoko melakukan perlawanan terhadap Yang
Mulia." "Apa maksudmu?"
"Hingga saat ini belum ada satu utusan pun yang
kembali kemari, karena semua dibunuh atas suruhan Naoko-san."
"Dibunuh" Apa maksudmu?"
"Saat ini Naoko-san telah membangun pertahanan
di Istana Kamakura dengan pasukan ninja. Merekalah sekarang yang menguasai
tempat itu. Hamba tahu ba-ru beberapa hari ini, semua utusan Yang Mulia telah
mereka bunuh."
"Kenapa?"
"Mereka tak ingin Yang Mulia mengetahui keadaan
di Kamakura."
"Kurang ajar! Apa lagi?"
"Saya mendengar panglima Ashikaga telah mema-
suki Kamakura untuk merebut kembali wilayah itu.
Bahkan menurut beberapa sumber, saat ini putra Ashikaga pun sudah berada di
sana." "Panggil kemari Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo."
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo datang. Mereka ber-
simpuh di depan Oda Nobunaga.
"Aku baru saja mendengar bahwa Naoko-san tengah
melakukan perlawanan terhadapku," kata Nobunaga
dengan suara lantang. "Kecuali itu panglima Ashikaga dan putra Ashikaga juga
sudah memasuki Kamakura.
Karena itu kuperintahkan pada kalian bertiga untuk hari ini juga berangkat ke
Kamakura untuk menghukum Naoko-san, mengamankan istana, dan menang-
kap Saburo maupun putra Ashikaga hidup atau mati."
"Bagaimana dengan rencana penyerangan kita?"
"Biar aku sendiri yang memimpin penyerbuan di si-
ni. Kurasa kita tidak akan menghadapi perlawanan
yang berarti di sini."
"Baiklah, Yang Mulia."
"Berangkatlah."
Hiroshi maju ke depan, "Yang Mulia, apa yang ha-
rus kami lakukan terhadap Putri Naoko apabila kami berhasil menangkapnya?"
"Penjarakan saja. Aku ingin mendengar dan melihat dengan mata kepalaku sendiri
tentang desas-desus
yang selama ini kita dengar. Bila semua memang terbukti, aku ingin mengerat
sendiri wajahnya."
"Baik, yang Mulia."
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo segera meninggalkan
tenda itu. Saat itu Nobunaga hampir selesai memakai pakaian perangnya. Seorang
pengawal tengah menye-
lipkan sebilah pedang ke pinggang Nobunaga.
"Hosokawa-san!"
"Ya, Yang Mulia."
"Aku ingin kita menaklukkan Suruga dalam waktu
cepat. Jangan biarkan aku kehilangan kesabaran."
"Baik, Yang Mulia."
"Dengan menggempur dari segala sisi, kurasa kita
dapat menghancurkan Mayeda dalam waktu kurang
dari dua hari."
"Benar, yang Mulia."
"Kalau begitu, mari kita berangkat."
*** Mayeda Toyotomi sedang duduk di tengah para pang-
limanya. Tiba-tiba salah seorang pengawalnya datang.
"Seorang mata-mata telah datang, Tuanku."
"Bawa kemari."
Mata-mata itu datang. Seorang laki-laki bertubuh kurus yang menyamar sebagai
pencari rumput. Mayeda mengenal lelaki tersebut.
"Apa laporanmu?"
"Saat ini pasukan Oda Nobunaga mulai bergerak."
"Bergerak bagaimana?"
"Mereka mulai meninggalkan bukit untuk memulai
penyerbuan kemari. Meskipun saya tidak mengetahui maksudnya, tetapi saya lihat
sekitar seribu orang telah meninggalkan pasukan induk menuju ke Owari."
"Ke Owari" Apa maksudmu?"
"Saya sendiri tidak dapat menyimpulkannya. Tetapi saya lihat seribu orang telah
menyimpang menuju ke Kamakura."
"Bagus kalau begitu, apa pun maksud kepergian se-
ribu pasukan, untuk kita berarti berkurangnya kekuatan musuh."
"Saya juga mendengar dari beberapa prajurit, ka-
tanya terjadi keadaan gawat di Kamakura. Selain Putri Naoko melakukan
perlawanan, terdengar panglima Ashikaga mulai menghimpun kekuatan di Kamakura."
"Itu akan memecah belah kekuatan Oda Nobunaga."
"Hanya itu yang dapat saya laporkan, Tuanku."
"Terima kasih. Sekarang engkau istirahatlah."
Mata-mata itu bersujud kemudian pergi.
Mayeda berkata pada para panglimanya, "Kalian te-
lah mendengar sendiri. Saat ini kekuatan Oda Nobunaga mulai terpecah. Ini adalah
kesempatan kita untuk menghancurkannya. Karena itu siapkan seluruh
pasukan, sebentar lagi kita akan menyambut kedatangan pasukan musuh."
Para panglima perang segera bersujud, lalu meninggalkan tempat itu. Mereka
bergegas ke anak pasukan masing-masing. Terompet telah ditiup, suaranya meng-
gaung di tengah bukit tempat perkemahan itu.
Mayeda segera memanggil pengawalnya untuk mem-
bantu mengenakan pakaian perangnya. Dengan cepat
kedua pengawal itu memakaikan satu persatu pakaian Mayeda.
Satu jam kemudian, Mayeda Toyotomi sudah duduk
di atas punggung kudanya. Ia menatap lurus ke arah pasukannya yang berbaris di
lereng bukit itu. Bendera-bendera, lambang Toyotomi masih berkibar. Namun tidak
sendirian. Kini bendera itu berdekatan dengan bendera warna merah, lambang
Imagawa. Mayeda menoleh pada panglima perangnya lalu ber-
tanya, "Di mana persisnya mereka sekarang berada?"
"Mereka sekarang tengah menyisir di perbatasan,"
jawab panglimanya. "Rupanya mereka akan bergerak
serentak setelah melewati perbatasan."
"Di dekat Sungai Ishi itu?"
"Benar."
"Baiklah, kalau begitu bawa pasukan panahmu un-
tuk menyambut kedatangan pasukan pertama mereka.
Kita akan mengepung dari kanan dan kiri agar mereka tak dapat melarikan diri."
"Baiklah."
"Aku akan membawa pasukanku langsung ke jan-
tung pertahanan lawan untuk menghadapi Oda Nobu-
naga." "Baiklah. Mari kita berangkat."
Panglima perang itu memacu kudanya menuju ke
pasukan panah. Kemudian diiringi suara genderang
Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perang, ribuan prajurit mulai menuruni bukit. Mereka adalah pasukan pertama yang
akan berhadapan langsung dengan tentara Nobunaga. Meskipun telah me-
nunggu cukup lama, namun semangat pasukan Ma-
yeda sangat tinggi. Mereka melangkah dengan penuh semangat, seakan kematian di
medan perang merupakan kebanggaan.
Sesudah pasukan panahnya bergerak menuruni le-
reng bukit, Mayeda mulai menarik tali kekang ku-
danya. Dalam cahaya matahari senja, pakaiannya memantulkan sinar keperakan.
Mayeda tampak gagah.
Sirip-sirip emas pada pakaiannya memperdengarkan
suara gemerincing.
"Kita akan berperang sampai mati!" teriak Mayeda
lantang. "Jangan ada yang mundur. Kita harus mendapatkan kemenangan!"
Kemudian seperti air bah, pasukan Mayeda mulai
menuruni lereng bukit.
*** Di Istana Suruga, Imagawa sedang membersihkan daun-
daun kering pada bonsai kesayangannya. Dengan hati-hati ia menggunakan pisau
untuk memotong ranting-
ranting kering.
Ketika itu muncul pengawalnya dengan seorang ma-
ta-mata garis depan.
"Hamba ingin melapor, Yang Mulia."
"Katakanlah."
"Saat ini seluruh pasukan Mayeda Toyotomi sudah
bergerak menyongsong pasukan Nobunaga. Kedua be-
lah pihak sama-sama berangkat menuju arah Sungai
Ishi. Meskipun sekarang ada seribu pasukan Nobuna-ga memisahkan diri menuju
Kamakura, namun jum-
lahnya tetap jauh lebih besar dibanding pasukan Mayeda. Tetapi seperti
sekumpulan binatang kalap, tentara Mayeda terus maju menuju titik peperangan."
"Apakah Mayeda akan bunuh diri?"
"Hamba tidak tahu."
"Tadi engkau mengatakan ada seribu pasukan No-
bunaga menuju Kamakura?"
"Benar, Yang Mulia."
"Kenapa menurut pendapatmu?"
"Oda Nobunaga sudah mendengar desas-desus me-
ngenai perlawanan Putri Naoko. Selain itu mereka juga mendengar kedatangan
Saburo Mishima."
"Terima kasih kalau begitu. Engkau boleh pergi."
Sesudah mata-mata itu pergi, Imagawa langsung
bergegas menuju ke balai panglima sambil melepas
kimononya. Ia tampak tergesa-gesa. Sambil memberikan kimono pada pengawalnya, ia
berkata, "Kumpul-
kan semua panglima di balai pertemuan."
"Baik, Yang Mulia."
Satu jam kemudian, Imagawa telah berdiri di depan panglimanya.
"Saat ini Nobunaga akan bertarung dengan Maye-
da," kata Imagawa dengan suara berat. Berbeda de-
ngan biasanya, kali ini tak ada kelembutan terpancar dari raut wajahnya. Matanya
bersinar-sinar memancarkan keteguhan sikap untuk menuju medan perang.
"Dengan kekuatan yang tak seimbang, Mayeda pasti
akan terpukul menghadapi Nobunaga. Karena itu, kita pun harus berangkat
sekarang, untuk memberikan dukungan. Mudah-mudahan Nobunaga tidak memperhi-
tungkan kehadiran kita, sehingga kekuatan yang berhasil kita himpun dapat
langsung menghancurkannya.
Jangan lupa, pasukan kita benar-benar masih segar dan penuh semangat. Mereka
selama ini tidak harus menunggu di medan perang."
"Seberapa besar yang harus kita kerahkan, Yang
Mulia?" "Berapa besar yang kita miliki?"
"Delapan ribu prajurit."
"Kita kerahkan semua."
"Kita harus mengumpulkannya?"
"Jangan khawatir. Kita akan berangkat sambil me-
ngumpulkan kekuatan."
Setengah jam berikutnya, Imagawa mulai mening-
galkan istana. Di depan terdapat pasukan genderang yang menabuh genderang
sepanjang perjalanan. Dari rumah-rumah mulai bermunculan orang-orang yang
menggabungkan diri dengan pasukan Imagawa. Para
petani, pedagang, penggembala, dan tukang-tukang
batu segera mengeluarkan pedang dan bergabung de-
ngan iring-iringan Imagawa.
Sedikit demi sedikit pasukan Imagawa terbentuk,
dari ratusan orang ketika meninggalkan istana, kini mulai berlipat ganda.
Kesetiaan terhadap Imagawa rupanya masih ampuh untuk memobilisasi pasukan.
Jumlah tersebut semakin lama semakin besar. Tak terhitung jumlahnya.
"Oda Nobunaga sekarang sedang menyerang Suru-
ga," kata Imagawa lantang di depan pasukannya. "Pasukan Mayeda Toyotomi yang
telah menyatakan setia padaku, kini tengah menghadang mereka. Tetapi karena
kekuatannya kurang memadai, Mayeda pasti akan
kalah, karena itu sudah sepantasnya kita mendu-
kungnya. Kekalahan Mayeda akan berarti kekalahan
kita. Bila Nobunaga menang, dia akan menghancurkan Suruga, membakar rumah
kalian, merampas istri dan anak kalian, serta memperlakukan anak perempuan
kalian sebagai pemuas nafsu. Karena itu tak ada alasan untuk berpangku tangan,
kita harus menyatukan tekad untuk melawan mereka. Jangan ragu-ragu, ma-rilah
berperang bersamaku!"
Iring-iringan itu terus bergerak, kini sudah tak terhitung jumlahnya. Tetapi
semua orang dengan mudah memperkirakan, sekitar delapan ribu samurai telah
bergabung dengan Imagawa.
Imagawa duduk di atas punggung kudanya dengan
tersenyum. Ia sudah memperkirakan kemenangan ba-
kal berada di pihaknya. Betapapun, ia akan menggunakan pasukan Mayeda untuk
melemahkan lawan, se-
sudah itu baru pasukannya akan menumpas tentara
Nobunaga. Mereka benar-benar bodoh!
*** MUSUH DALAM SELIMUT
UDARA malam membawa hawa dingin yang menikam.
Rembulan seperti berlayar di lautan tinta. Langit hitam pekat. Di tengah
kegelapan itu tampak bayangan warna kuning menyelinap di antara bangunan-
bangunan istana. Dia berjalan mendekati tempat tidur Koyama.
"Koyama!" ia memanggil.
Koyama tampak pulas.
"Koyama! Bangun!"
Koyama tak bergeming. Pendeta itu kemudian meng-
ambil kerikil dan melempar ke arah tubuh Koyama.
Anak itu tersentak bangun.
"Koyama!"
Koyama menoleh lalu melangkah mengendap-endap
menuju tempat persembunyian Bapa Lao.
"Ada apa?"
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
"Penting?"
"Sangat penting."
"Tentang apa?"
"Tentang ayahmu dan rencana penyerbuan kemari."
Koyama membeliakkan mata, lalu mendekatkan diri
pada pendeta itu.
*** Di kamar, Naoko tengah menciumi tubuh Otami. Me-
reka bercinta secara menggebu-gebu. Naoko menyusu-ri setiap lekuk liku tubuh
Otami, sinar matanya yang penuh gairah membuat wanita itu tampak dibakar nafsu.
Seluruh tubuh mereka berkeringat, tetapi tidak sedikit pun memancarkan
kelelahan. Ciuman demi ci-
uman, belaian demi belaian, semua membuat gairah
semakin menyala-nyala.
Otami mendesah, ia merasakan tubuhnya diceng-
keram kehangatan yang sensasional. Sambil berbaring ia mengamati tubuh Naoko;
payudaranya yang padat dan kenyal, pinggulnya yang indah, dan gelora asma-ranya
yang tak pernah padam. Selain itu ia kaya raya.
Otami tak pernah lagi memikirkan teman-teman-
nya. Ia merasa heran ketika diminta menari di kamar Naoko. Tak pernah
terbayangkan sebelumnya, itulah awal kehidupannya. Naoko tampak tergila-gila
padanya. Suatu saat Naoko mengungkapkan, betapa ia tak pernah mengalami kepuasan
bila bercumbu dengan
Nobunaga. Selama bertahun-tahun ia hanya menjadi
pelayan seks bagi penguasa Owari itu. Berbeda sekali
dengan Otami, Naoko merasa menjadi ratu. Apa pun
yang ia inginkan, Otami akan melayani dengan penuh hasrat.
Mereka dapat bercinta dengan berbagai cara, ka-
rena cara bercinta pemuda itu sangat sensasional.
Dalam kesempatan-kesempatan tertentu Naoko
mengikat kedua tangan Otami, lalu mencumbuinya sepuas hati. Ketika menyaksikan
tubuh Otami yang
menggeliat-geliat itulah, wanita tersebut merasakan puncak kepuasannya.
Permainan mereka berlangsung hampir empat jam.
Keduanya merasa letih. Karena itu mereka berbaring sambil berpelukan.
Naoko berbaring telentang, matanya menatap lurus
pada langit-langit kamar.
"Kukira ada mata-mata di istana ini," tiba-tiba Naoko berkata tanpa tekanan.
"Semua rahasia yang kubicarakan, selalu sampai di luar. Entah siapa, tetapi aku
yakin ada mata-mata yang bekerja di sini."
Antara sadar dan tidak, Otami berkata, "Koyama."
Naoko menoleh, "Koyama?"
"Ya."
"Bagaimana kau dapat menuduh begitu?"
"Beberapa waktu lalu, entah siapa mengatakan pa-
daku tentang seorang anak yang menjadi mata-mata.
Aku tidak pasti, tetapi memang bukan mustahil dia seorang mata-mata. Bukankah
dia orang yang selama ini paling dekat denganmu?"
Naoko menghela napas panjang.
"Dia anak asuh seorang pendeta Budha," kata Na-
oko datar. "Benar. Dia kau ambil ketika terjadi kerbau meng-
amuk, bukan?"
"Ya."
"Siapa yang melumpuhkan kerbau itu?"
"Pendeta Budha tersebut."
"Nah, bukankah tidak mungkin mereka memang
mengatur semua itu untuk memasukkan Koyama ke
istana?" "Ya, mungkin saja."
"Coba saja kau tangkap. Kalau keliru, kau tidak
akan merasa dirugikan, tetapi kalau dugaanku benar, kau berarti sudah
menyelamatkan istana dari incaran mata-mata."
Naoko langsung turun dari ranjang. Ia bergegas
mengenakan kimono suteranya. Lalu dengan cepat ia memanggil pengawalnya.
"Di mana Koyama?"
"Dia tidur di luar."
"Tangkap dia sekarang juga!"
"Baik, Tuan Putri."
Pengawal tersebut langsung pergi diikuti lima orang ninja merah. Mereka segera
menuju ke tempat Koyama biasa tidur. Tetapi tempat itu kosong.
Di persembunyian, Bapa Lao dan Koyama memper-
hatikan para ninja itu.
"Cari anak itu sampai ketemu!" perintah pengawal
Naoko. "Dia harus ditangkap sekarang juga!"
Salah seorang ninja bertanya, "Kenapa?"
"Dia mata-mata musuh."
Koyama menoleh pada Bapa Lao.
Pendeta itu berkata, "Seseorang telah membuka ke-
dokmu." Koyama mengangguk, "Rasanya aku tahu."
Bapa Lao memberi isyarat agar Koyama diam, ka-
rena ia melihat enam orang ninja berlari melewati persembunyian mereka. Saat
mereka telah pergi, pendeta itu memberi isyarat agar Koyama mengikutinya.
*** PENGHIMPUNAN KEKUATAN
KEMBALI ke kuil persembunyian Bapa Lao, Koyama terperanjat karena di tempat itu
sudah berkumpul orang-orang yang telah dikenalnya. Kecuali ayahnya, terdapat
enam orang berpakaian serba hitam. Yang menge-jutkan adalah kehadiran Ishida
Mitsunari. Lelaki berkaki satu itu diam di sudut ruangan tanpa membuka suara.
Setelah sampai di kuil, Bapa Lao segera mengeluarkan pakaian Yoshioka, lalu
menyuruh Koyama menge-
nakannya. "Untuk apa?" Koyama memprotes.
"Pakai saja," jawab Saburo singkat.
Koyama mengenakan pakaian itu. Semua orang ter-
pana menyaksikan pemandangan di depannya. Tak se-
orang pun akan menyangkal bahwa anak itu adalah
Yoshioka. Ketika semua sudah selesai, Bapa Lao memberikan
Pedang Muramasa pada Saburo.
Pedang Muramasa itu oleh Saburo kemudian dibe-
rikan pada Koyama.
"Mulai hari ini engkau kembali menjadi Yoshioka,
putra Ashikaga," kata Saburo tegas. "Apa pun yang terjadi, engkau harus
mempertahankan namamu."
Koyama mengangguk.
"Hilangkan dalam ingatanmu bahwa engkau adalah
Kojiro maupun Koyama."
"Baiklah."
"Sebagai seorang pewaris keshogunan Ashikaga,
engkau jangan banyak bicara."
"Kenapa?"
"Karena akan tampak kebodohanmu."
Koyama cemberut karena merasa diremehkan.
Saburo tidak peduli. "Mari sekarang kita berang-
kat." Di tengah udara dingin yang membekukan kulit,
rombongan Saburo Mishima meninggalkan kuil. Me-
reka berjalan menuju ke Kamakura.
"Kali ini kita berangkat hanya dengan sepuluh
orang," kata Saburo sambil memeluk Kojiro. "Tetapi kalau kelak kembali,
percayalah lebih dari seribu orang pasti berada di belakang kita."
Sesampai di pusat kota Kamakura, rombongan Sa-
buro berhenti untuk mengumumkan kehadiran Yoshi-
oka. Orang-orang yang tengah minum sake di kedai, segera berdatangan ke tempat
itu. Mereka ingin melihat putra Ashikaga.
Kojiro berdiri di tengah, sementara Bapa Lao, Sabu-ro, Mayumi, Takeshi, dan
Ishida Mitsunari serta beberapa pengikut Mayumi mengelilingi Kojiro untuk
melindunginya. "Hari ini kami membawa putra Ashikaga kembali ke
Kamakura," kata Saburo lantang. "Dia akan mengam-
bil kembali haknya. Karena itu bagi siapa pun yang ingin bergabung dengannya,
Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera merapatkan barisan di belakang kami. Kita akan menebus kebenaran dengan
pertumpahan darah. Bagi yang tak mau menerima kehadiran Yoshioka, putra
Ashikaga, segera me-nyingkir sebelum kami, dia menghukummu!"
Seperti sudah diduga, sejumlah samurai segera
menggabungkan diri dengan rombongan Saburo. Me-
reka melangkah maju, lalu berjongkok hormat.
"Kami memberikan kesetiaan pada Yang Mulia Yo-
shioka!" Kojiro menjawab, "Terima kasih. Sekarang berga-
bunglah di belakang."
Dari puluhan, akhirnya menjadi ratusan. Saburo
mengajak Yoshioka berkeliling Kamakura. Di setiap tempat berkumpul para samurai,
Saburo menceritakan
tentang Yoshioka. Seketika orang-orang tersentak oleh kenangan lama ketika
Shogun Ashikaga masih berkuasa. Mereka akhirnya satu persatu bergabung ke
dalam barisan pasukan Saburo Mishima.
Yoshioka meluap kegembiraannya ketika menyaksi-
kan pengikutnya bertambah terus.
"Kita berhasil!" katanya pada Saburo.
"Jangan gembira dulu, kita harus terus menghim-
pun kekuatan."
"Kita pasti berhasil!"
*** Naoko bangkit dari tidur ketika salah seorang mata-
matanya memberikan laporan tentang kedatangan Yo-
shioka itu. "Kirim pasukan untuk menghukumnya!"
Pada awalnya dua puluh lima ninja merah mengha-
dang rombongan Saburo Mishima. Mereka mencoba
menghalangi rombongan itu, tetapi mereka telah ter-lambat. Dua puluh lima orang
itu tidak berarti apa-apa dibanding Saburo dan Mitsunari. Kedua samurai itu
dibantu Mayumi dan Takeshi segera membuat mereka
kocar-kacir. Pertarungan tidak berlangsung lama, dengan sekali terjang para
ninja itu sudah bergelimpangan bermandikan darah.
Para samurai yang baru bergabung sesungguhnya
juga terbakar semangatnya, namun Saburo Mishima
mencegah mereka bertempur. Dia ingin memperli-
hatkan keperkasaan pengawal Yoshioka dalam me-
numpas musuh. Pameran kekuatan itu terbukti sangat berpengaruh pada semangat
para pengikut baru, mereka menjadi lebih bulat tekadnya untuk bergabung dengan
Yoshioka. Sepanjang malam mereka berkeliling kota, menye-
barkan berita tentang kepulangan putra Ashikaga. Ak-
hirnya ketika Saburo meninggalkan kota kembali ke hutan, sudah ada seribu lima
ratus samurai yang bergabung dengan mereka.
"Seribu lima ratus?" tanya Yoshioka. "Benar-benar luar biasa!"
"Kita harus berjuang lebih keras lagi," kata Saburo.
"Seribu lima ratus belum apa-apa dibanding pasukan Nobunaga."
"Tetapi untuk menaklukkan Kamakura...."
"Kita kembali tidak untuk menaklukkan Kamakura,
tetapi merebut kekuasaan seluruh propinsi Owari."
Takeshi bertanya, "Bagaimana langkah kita selan-
jutnya?" "Kita akan mulai keliling ke desa-desa di seluruh Owari."
"Owari ini memiliki delapan ratus desa...."
"Kita akan mengelilinginya."
"Gila!"
"Kita akan menghimpun seluruh kekuatan yang
ada." "Apakah kita tidak akan kehilangan waktu?"
"Tidak. Percayalah padaku."
Maka hari-hari selanjutnya Saburo memimpin rom-
bongan keliling ke desa-desa di Owari. Dan terbukti menjadi kenyataan, para
ronin dan samurai di desa-desa itu berbondong-bondong untuk bergabung de-
ngannya. *** Putri Naoko terperanjat ketika salah seorang mata-matanya datang padanya.
"Hamba mohon maaf, setelah hamba selidiki secara
teliti, ternyata kekuatan ninja hitam yang selalu menyelamatkan Saburo, terbukti
adalah rombongan pe-
nari Izu."
"Apa" Penari Izu?"
"Benar, Tuan Putri. Kami telah membongkar tempat
tinggal mereka dan kami menemukan sejumlah peralatan milik ninja. Bahkan kemarin
kami menemukan pakaian lengkap seorang ninja yang tertinggal dalam al-mari."
"Coba bawa kemari?"
Mata-mata itu menyerahkan seperangkat pakaian
milik ninja. Naoko mengamati dengan teliti. Ia tersentak ketika membaca tulisan
kecil di belakang pakaian itu berbunyi: Otami.
"Kurang ajar," desisnya marah. "Rupanya kita sela-ma ini menyimpan musuh dalam
selimut. Bawa kemari laki-laki jahanam itu!"
Otami saat itu sedang berbaring santai di ranjang Naoko. Tiba-tiba tiga orang
ninja datang kemudian menyeret dirinya.
"Hei, ada apa ini?"
Ketiga ninja itu seperti biasa, tetap membisu. Mereka mengikat tangan dan kaki
Otami, kemudian de-
ngan kasar menyeretnya ke hadapan Naoko.
Di ruang depan itu, kini sudah berkumpul para nin-ja. Mereka duduk membeku. Tak
seorang pun membu-
ka suara. Otami dipaksa bersimpuh di depan Naoko.
"Otami-san!"
"Ya, Tuan Putri."
"Engkau seorang mata-mata?"
"Mata-mata, apa maksudmu?"
"Kau adalah anggota ninja hitam."
"Bagaimana kau bisa menuduhku demikian?"
Naoko mengeluarkan pakaian hitam, dan menen-
dang ke depan Otami.
"Itu pakaianmu!"
Otami terdiam. Ia tak dapat menyangkal tuduhan
itu. Namun hasratnya untuk tetap hidup membuat ia bicara.
"Naoko-san," katanya sambil gemetar. "Dulu aku
memang ninja ketika datang kemari. Seluruh rombo-
ngan penari Izu sesungguhnya ninja yang ingin membalas kematian akibat
keluarganya ditumpas oleh Yang Mulia Oda Nobunaga. Tetapi sesudah bertemu
denganmu, aku sudah berjanji untuk setia padamu. Aku bersumpah."
"Kesetiaanmu tidak berarti apa-apa untukku," kata Naoko tegas.
"Ampunilah aku, Naoko-san."
Naoko berjalan menjauh, ia kemudian meminta pi-
sau pendek milik salah seorang pengawalnya.
"Kalau engkau ingin membuktikan kesetiaanmu,"
kata Naoko penuh tekanan. "Buktikan sekarang juga.
Aku ingin kau melakukan seppuku."
Otami menangis mengguguk. Rasanya ia tak mem-
peroleh kesempatan lagi untuk hidup. Seluruh angan-angannya lenyap. Padahal baru
beberapa jam yang lalu ia bercinta dengan Naoko. Memuaskan wanita itu hingga ia
menjerit-jerit karena permainannya. Tiba-tiba sekarang Naoko memintanya
melakukan seppuku. Tak
ada rasa iba atau penyesalan sedikit pun ketika wanita itu menyuruhnya seppuku.
Sinar matanya tetap seperti biasa, bahkan terasa lebih kejam.
Salah seorang ninja membuka ikatan tangan Otami,
kemudian memberikan pisau kecil berkilat ke tangannya.
Dengan gemetar Otami menerima pisau itu. Ga-
gangnya terasa dingin di tangan.
Ini benar-benar terkutuk! Bahkan aku tidak diberi kesempatan melakukan upacara
sebagaimana seharus-nya seppuku dilakukan. Perempuan jahanam itu seakan hanya
ingin menyaksikan kematianku! Benar-benar
bedebah! "Naoko-san...." Otami masih mencoba memperpan-
jang umurnya. Naoko tetap menatapnya tenang.
"Penuhilah sumpahmu," kata Naoko dingin. "Aku
ingin melihat kesetiaanmu."
"Engkau benar-benar perempuan jahanam!"
Seusai berkata begitu, secara tak terduga tiba-tiba Otami melenting ke atas
menuju ke arah Naoko. Ek-spresi wajahnya memancarkan amarah dan ingin me-
nikam Naoko. Kedua pengawal Naoko segera bertindak. Sebelum
tubuh Otami sampai di tanah, kedua pengawal itu telah menyambutnya dengan
tebasan pedang menyilang.
Otami langsung ambruk ke lantai dengan darah me-
nyembur dari urat leher dan dadanya. Sebelum ia merasakan kesakitan akibat
tebasan itu, salah seorang pengawal Naoko langsung memenggal kepalanya.
Naoko menatap kepala Otami menggelinding ke
arah kakinya, lalu pelan-pelan ia pergi meninggalkan tempat itu.
*** PERMAINAN NAOKO
FAJAR. Udara jernih. Langit seperti telaga. Biru menghampar di atas awan. Mega-
mega putih yang melayang rendah, dari jauh terlihat mirip gumpalan kapas tipis.
Seorang penjaga perbatasan memacu kudanya me-
nuju ke Istana Kamakura. Sebelum binatang itu berhenti, lelaki itu telah
melompat dari pelana.
"Di mana Tuan Putri Naoko?" ia bertanya.
Salah seorang pengawal menjawab, "Di taman."
Lelaki itu berlari menuju ke taman dengan napas
terengah-engah. Wajahnya berkeringat karena baru sa-ja melakukan perjalanan
jauh. Naoko sedang memberi makan ikan di kolam. Ia
tampak gembira menyaksikan ikan-ikan berwarna me-
rah berlarian di dalam kolam. Airnya yang jernih membuat ikan itu tampak dari
atas. Salah seorang pengawalnya telah memberitahukan tentang kehadiran penjaga
perbatasan itu.
"Biarkan dia kemari," kata Naoko datar.
Penjaga perbatasan itu bersujud di depannya.
"Gawat, Tuan Putri. Gawat!" kata penjaga perbata-
san itu terengah-engah.
"Apanya yang gawat?"
"Yang Mulia Nobunaga mengirim seribu pasukan
kemari. Tampaknya mereka membawa maksud yang
kurang baik. Bila tidak demikian, tidak mungkin seribu pasukan dikirim kemari."
"Sampai di mana mereka sekarang?"
"Saya terburu-buru, karena ketika saya bangun,
saya lihat mereka telah memasuki perbatasan. Pasukan itu dipimpin oleh murid-
murid Perguruan Yagyu."
"Kira-kira berapa lama lagi mereka akan sampai di sini?"
"Mungkin menjelang tengah hari."
"Baiklah kalau begitu, biarlah aku menyambut me-
reka. Sekarang kau kembali ke posmu agar tetap bisa mengirim laporan."
"Baik, Tuan Putri."
Sesudah mata-mata itu pergi, Naoko memutar otak
dengan keras, mencoba mencari jalan keluar dari ke-sulitan yang mungkin akan dia
hadapi. Akhirnya dia memanggil pengawalnya.
"Beritahukan pada para ninja untuk melepas pa-
kaian mereka, dan kenakan pakaian seperti umumnya pengawal istana," perintah
Naoko tegas. "Jangan ada
seorang pun yang tidak menjalankan perintah ini."
"Baik, Tuan Putri."
"Menjelang tengah hari nanti, pasukan Oda Nobu-
naga akan memasuki Kamakura. Biarkan mereka ma-
suk dan harus kita terima dengan baik. Jangan sampai terjadi pertikaian walaupun
sekecil apa pun."
"Baik, Tuan Putri."
"Pancangkan kepala Otami di depan gerbang istana
agar seluruh pasukan Nobunaga dapat melihatnya."
"Baik."
"Laksanakan segera, setelah itu kau temui aku lagi."
Pengawal itu segera pergi.
*** Pasukan di bawah pimpinan Hiroshi mulai memasuki
Kamakura. Pada awalnya sikap mereka tampak was-
pada. Mereka seakan berada di tengah kemungkinan adanya sergapan musuh. Tetapi
setelah mereka masuk ke arah istana, dan ternyata tidak sesuatu pun terjadi,
pasukan itu menjadi tenang. Mereka berjalan sambil bersenda-gurau.
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo duduk di atas pung-
gung kuda dengan gagah. Pandangan mereka menatap
lurus ke arah gerbang istana. Pintu gerbang itu telah dibuka.
"Rasanya tidak ada yang mencurigakan," kata Mi-
koto pada Hiroshi. "Mereka sangat ramah menyambut kedatangan kita."
"Kita harus tetap waspada."
"Kalau mereka bermain-main dengan kita, aku akan
melumatkan seluruh istana ini."
Pandangan mereka sekarang tertuju pada kepala
Otami yang dipancangkan di ujung tombak. Kepala itu berlumur darah, sementara
mata dan mulutnya mulai dikelilingi lalat hijau. Sepintas pemandangan itu jadi
sangat mengerikan.
"Kepala siapa itu?" Hiroshi bertanya.
"Nanti kita tanyakan pada Naoko-san."
Ruang pertemuan istana menjadi hangat. Naoko te-
lah memerintah agar pasukan Hiroshi disambut sela-yaknya prajurit yang baru saja
menang perang. Selain sake dan makanan yang lezat-lezat, Naoko telah
mendatangkan penari-penari terbaik Kamakura untuk menghibur orang-orang itu.
Akhirnya sepanjang sore dan malam hari itu mereka menghabiskan waktu untuk
bersuka ria. Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo sendiri baru sekali itu merasakan pesta, sesudah
beberapa lama mengalami
ketegangan di medan perang, karena itu mereka me-
nikmati sambutan Naoko dengan penuh kegembiraan.
Mereka melupakan sejenak tugas yang diberikan oleh Oda Nobunaga.
Di tengah pesta itu, Naoko bertanya, "Apa sebenarnya perintah Yang Mulia
Nobunaga sehingga dia harus mengirimkan seribu orang kemari?"
Sambil menikmati sake, Hiroshi berkata pada Nao-
ko, "Yang Mulia banyak mendengar hal-hal buruk tentang Kamakura. Ada berita yang
mengatakan bahwa
Tuan Putri sekarang memperkuat pasukan untuk me-
rebut kekuasaan Yang Mulia Nobunaga."
"Itu fitnah!" sahut Naoko cepat. "Mana mungkin aku mengkhianatinya. Tak pernah
terpikir sedikit pun mengenai hal itu."
"Rupanya ada orang yang ingin memecah belah ki-
ta." "Benar. Kurasa musuh mulai menggunakan taktik memecah belah."
Yotomo bertanya, "Lalu siapa yang mencegat utusan Yang Mulia sehingga tidak
sampai di sini?"
Naoko menukas, "Apakah engkau belum mendengar
tentang sepak terjang Saburo Mishima?"
"Saburo?"
"Ya. Sejak beberapa bulan ini panglima Ashikaga itu telah menghimpun kekuatan
dari para ronin dan shugyosa di Owari. Dia menggunakan putra Ashikaga untuk
memperoleh dukungan. Dialah yang melakukan
pencegatan utusan Yang Mulia Nobunaga di hutan."
"Dia berani memasuki Kamakura?"
Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah yang terjadi. Kudengar dia tengah memper-
siapkan pasukan untuk merebut istana. Karena itu kalau aku menambah jumlah
pengawal istana, bukan
maksudku untuk merebut kekuasaan Yang Mulia, te-
tapi semata-mata untuk mempertahankan diri apabila Saburo menyerang."
"Lantas siapa laki-laki yang dipenggal kepalanya
itu?" "Mata-mata Saburo Mishima."
"Kalau begitu seberapa jauh bahaya Saburo untuk
Tuan Putri?"
"Sangat berbahaya. Kalau saja kalian bersedia me-
numpas pasukan Saburo, aku akan berterima kasih
sekali. Kelak bila Yang Mulia datang, jasa kalian akan kusampaikan agar kalian
memperoleh hadiah yang sepantasnya."
"Kewajiban kami untuk melindungi Istana Kama-
kura." "Kalau begitu biarlah aku menulis surat untuk Yang Mulia sehubungan dengan
penumpasan pasukan Saburo Mishima."
"Kedengarannya menyenangkan. Tetapi biarlah ka-
mi menikmati pesta ini lebih dulu."
*** Pagi hari, ketika matahari mulai merayap ke ujung
daun, seluruh pasukan Hiroshi telah berbaris di ger-
bang istana. Meskipun tampak masih letih akibat pesta sepanjang malam, namun
mereka mencoba mela-
wan kantuk. Hiroshi berjalan gontai menuju kudanya.
"Kita akan berperang," kata Hiroshi dari atas ku-
danya. "Saburo Mishima kini tengah menghimpun ke-
kuatan di dalam hutan. Mereka sedang merencanakan menyerbu kemari. Karena itu,
kita akan bergerak lebih dulu. Tugas kita adalah menumpas seluruh kekuatannya.
Jangan sampai ada yang tersisa."
Didahului suara genderang, pasukan Hiroshi mulai
meninggalkan gerbang istana. Mereka bergerak me-
nuju hutan di tepi Kamakura.
Sesaat setelah Hiroshi meninggalkan gerbang, Nao-
ko berkata pada pengawalnya, "Biarkan mereka ber-
tempur untuk kita. Mari kita sekarang mengatur siasat untuk meraih kemenangan."
*** YOSHIOKA TERBELALAK
HUJAN gerimis mengguyur hutan di perbatasan Owari.
Orang-orang berjalan bergegas. Mereka memakai daun pisang sebagai payung. Sejak
kemarin gerimis memang menebar di sekitar hutan. Mendung hitam seakan sengaja
tak menjatuhkan hujan lebat. Gerimis yang seperti sisir kaca terlihat berkilauan
terkena sinar matahari.
Dari sebuah jalan setapak, tampak Yoshioka berja-
lan menuju kedai minum di desa Imaji. Pada sore hari, biasanya dia ke sana untuk
mencari sesuap nasi. Ini pun harus ia lakukan secara hati-hati. Pengalaman yang
lalu, ketika ia berjumpa Ishida Mitsunari, masih membayangi pikirannya.
Benarkah Mitsunari kini berpihak pada Saburo" Atau itu dikemukakan hanya untuk
memerangkapku"
Yoshioka merasa beruntung ketika itu dia dapat segera menghilang ke dalam hutan.
Tak dapat dibayangkan kalau saat itu Mitsunari mengetahui siapa dirinya.
Kalau dia tahu, mungkin sekarang kepalaku sudah menggelinding di tanah.
Yoshioka menjadi terbeliak ketika menyaksikan ri-
buan prajurit Nobunaga berada di tanah lapang dekat kedai itu. Pada mulanya ia
ragu, tetapi setelah melihat para prajurit itu tengah duduk-duduk istirahat,
Yoshioka memberanikan diri terus berjalan ke arah kedai itu. Dengan hati-hati
Yoshioka menyelinap di antara tubuh para prajurit, kemudian ia berdiri di dekat
kedai. Pada saat itu ia melihat beberapa prajurit sedang membersihkan pedang. Seketika
muncul pikiran di benaknya.
Yoshioka mendekati salah seorang prajurit.
"Saya bisa membersihkan pedang Bapak kalau Ba-
pak mau," kata Yoshioka sambil tersenyum.
Prajurit itu memandangnya.
"Kau bisa membersihkannya?"
"Ya. Ayah saya seorang samurai jadi saya sering
membersihkan pedangnya.
"Aku tidak bisa membayarmu."
"Cukup satu bungkus nasi dan Bapak akan menda-
patkan pedang Bapak seperti baru kembali."
"Untuk sebungkus nasi. Baiklah."
Yoshioka segera mengeluarkan kain dari kantung-
nya, kemudian mulai menggosok sarung pedang milik prajurit itu. Dengan teliti ia
bersihkan debu-debu serta karat di sarung pedang tersebut. Cara kerjanya yang
teliti rupanya menarik perhatian para samurai lain.
Beberapa di antara mereka segera memberikan pe-
dangnya untuk dibersihkan.
Tanpa mengeluh Yoshioka membersihkan semua
pedang itu. Ketika keadaannya sudah tepat, Yoshioka bertanya,
"Bapak-bapak mau ke mana?"
"Mau menumpas gerombolan penjahat," jawab pra-
jurit yang pertama memberikan pekerjaan pada Yoshioka.
"Menumpas penjahat" Di mana?"
"Di hutan. Gerombolan Saburo Mishima."
Yoshioka terperanjat.
"Apakah dia berada di hutan?"
"Ya. Mereka tengah menghimpun kekuatan untuk
merebut Istana Kamakura, karena itu kami mendapat perintah untuk menumpasnya."
"Kenapa mesti dengan begini banyak orang" Apakah
Saburo memiliki kekuatan yang besar?"
"Ya. Orang mengatakan prajuritnya tak kurang dari dua ribu orang."
"Dua ribu?"
"Benar."
Yoshioka terus berpikir. Bagaimana pun prajurit
yang kini berada di hadapannya dapat dimanfaatkan untuk menjumpai Saburo
Mishima. "Bolehkah saya ikut Bapak?"
"Ikut" Ke mana?"
"Ke mana saja, saya ingin menyaksikan prajurit ini menumpas gerombolan
penjahat."
"Kami sendiri belum tahu di mana Saburo ber-
sembunyi. Kami harus terus melakukan pengejaran
tanpa mengetahui di mana dia berada."
"Biarlah saya ikut Bapak. Paling tidak saya dapat membersihkan senjata Bapak,
atau bahkan bisa menjadi pembawa sandal Bapak."
"Pembawa sandal?"
"Ya, kenapa tidak?"
Prajurit itu tertawa berderai-derai. Ia memeluk Yoshioka dengan wajah gembira.
Hanya samurai ber-
pangkat yang dapat membayar pembawa sandal atau
pembersih pedang. Mereka biasanya mampu memba-
yar karena memperoleh bayaran tinggi dari majikannya. Sekarang samurai itu
merasa beruntung karena ada anak yang menawarkan tenaganya tanpa bayaran.
"Siapa namamu?"
"Kojiro."
"Kojiro, baiklah. Engkau ikut denganku. Tapi ja-
ngan rewel."
"Terima kasih. Nama Bapak siapa?"
"Genza. Panggil aku Genza."
"Baik."
Sejak sore itu Yoshioka ikut rombongan prajurit tersebut. Dia selalu berjalan di
samping Genza sambil membawa sandal dan peralatan perangnya. Meskipun
bawaan Genza tidak banyak, tetapi karena perjalanan yang mereka lakukan cukup
jauh, Yoshioka merasakan beban itu kian lama kian berat.
Genza sesekali melirik Yoshioka, tetapi kemudian
dia pura-pura tak melihatnya. Laki-laki itu membiarkan Yoshioka menggendong
semua miliknya.
Mereka berjalan menyusuri hutan, naik turun le-
reng bukit, tetapi tak seorang pun mengetahui tujuan perjalanan itu. Mata-mata
yang selalu muncul pada sore hari, tak pernah memberikan tujuan yang jelas.
Gerombolan Saburo seakan merupakan siluman yang
dapat menghilang begitu saja. Karena terus menerus berjalan tanpa tujuan,
akhirnya sebagian prajurit dijangkiti kebosanan. Yoshioka dapat merasakan hal
itu. Ia pun dijangkiti rasa putus asa. Yoshioka menganggap ikut pasukan Hiroshi
sesungguhnya konyol, namun ia tak melihat pilihan lain.
Mereka menembusi hutan dan desa-desa di wilayah
Owari, namun tak pernah ditemukan gerombolan Sa-
buro. Mereka hanya bertemu petani-petani, peladang, dan penduduk kampung yang
bersikap memusuhi.
Orang-orang itu jarang yang mau membicarakan ten-
tang Saburo Mishima.
"Kenapa mereka sepertinya memusuhi kita?" suatu
hari Yoshioka bertanya pada Genza saat mereka istirahat.
"Karena mereka berpihak pada Saburo."
"Kenapa mereka berpihak pada Saburo?"
"Menurut pikiran mereka, Saburo lebih memberikan
jaminan ketentraman dibanding Oda Nobunaga."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena menurut pikiran mereka, bila putra Ashi-
kaga kembali berkuasa, ketentraman dapat diwujud-
kan seperti dulu semasa Yang Mulia Ashikaga berkua-sa."
"Apakah memang lebih baik?"
"Ya," jawab Genza sambil menoleh ke kanan ke kiri.
"Kalau saja Yang Mulia Ashikaga tidak jatuh, aku tidak akan pernah jadi ronin.
Dulu aku seorang prajurit Ashikaga."
"Kenapa sekarang melawannya?"
"Demi sesuap nasi. Oda Nobunaga menjadikan se-
Pengelana Rimba Persilatan 3 Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Harpa Iblis Jari Sakti 34
SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Kesepuluh oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Buku Kesepuluh PENYELAMATAN NINJA
SABURO menerjang dengan jeritan nyaring, ia mene-
bas musuh seperti banteng mengamuk. Darah anyir
telah membasahi pakaiannya. Genggaman tangannya
lengket dan berbau amis. Ia terus bergerak, menerjang lawan. Satu persatu musuh
tumbang terkena sabetan pedangnya. Darah memancar di udara. Tangan dan
kaki beterbangan diiringi jeritan kesakitan.
Tetapi kepungan para ninja itu tidak surut. Tewas tiga orang muncul kembali enam
orang. Mereka seakan mengalir seperti air jeram. Terus mendesak Saburo dengan
segala cara. Salah seorang ninja mencoba menjerat Saburo menggunakan jala, namun
dengan sekali sabetan, jala itu terkoyak bersamaan dengan kepala ninja itu yang
retak. Ninja lain muncul dengan rantai berbandul bola berduri. Ia mencoba
menjerat kaki Saburo, tetapi dengan kekuatan tak terduga, Saburo menarik ninja
itu dan menyambutnya dengan tebasan
menyilang pada lehernya. Darah meruap seperti ca-
haya kembang api dari lehernya.
Salah seorang ninja berhasil menjerat tangan Sabu-ro, tetapi panglima Ashikaga
itu menarik tubuhnya dan menikam dadanya hingga tembus ke punggung.
Saburo mengamuk bagai seekor banteng luka. Ia mengayun pedang dalam irama paling
mengerikan. Satu per satu ninja itu ambruk ke tanah, sebentar sekarat, lalu
meninggal. "Hayo, maju!" teriak Saburo melengking. "Biar kutebas leher kalian!"
Para ninja tiba-tiba mengubah formasi. Mereka me-
ngurung Saburo dalam bentuk lingkaran. Masing-
masing mengeluarkan jala untuk menjaring tubuh Saburo. Dan dalam suatu jeritan
panjang, jaring itu tiba-tiba bertebaran seperti kembang mawar merekah dan
menjerat Saburo.
Dengan seluruh kekuatan, Saburo mencoba mele-
paskan diri, namun jaring-jaring itu mengikat kaki, tangan, dan tubuhnya
demikian kuat. Para ninja menghadapi Saburo seperti menghadapi seekor ikan dalam
jaring. Mereka mendekati satu per satu sambil menarik kencang tali jala itu.
Saburo berusaha menggerakkan tangan serta ka-
kinya, namun tak berhasil. Jerat itu demikian kuat.
Para ninja terus mendekati untuk segera menghabisi nyawanya.
Tiba-tiba dalam suatu lengkingan memanjang, mun-
cul ninja hitam dari berbagai sudut istana. Dengan sebuah loncatan yang indah,
tiga orang ninja berdiri mengelilingi Saburo, dan secara serentak mereka menebas
jala-jala yang terentang mengikat Saburo. Tebasan itu demikian kuat sehingga
Saburo langsung ter-lepas.
Ninja merah sangat terkejut menghadapi keadaan
itu, ia terhenyak, dan saat itu sejumlah ninja hitam langsung menebas tubuh
mereka. Terdengar pekik
kematian di malam panjang itu.
"Takeshi!" terdengar suara Saburo menyapa ninja di dekatnya.
"Awas, pegang tangan kami!"
Saburo memegang tangan Takeshi dan Mayumi,
dan dengan sekali hentakan, kedua ninja itu berputar-putar sambil membawa tubuh
Saburo. Mereka men-
jauhi tempat pengepungan itu.
Para ninja merah mencoba mengejar, namun niat
mereka dihalangi sejumlah ninja hitam yang siap menghadang. Pertarungan terjadi
lebih seru. Beberapa di antara para ninja melepas senjata ra-
hasia. Creeet! Creeet!
Mayumi dengan cepat menangkis. Terdengar suara
berdenting. Senjata rahasia berbentuk bintang itu melenting dan langsung
mengenai pemiliknya.
Dalam suatu loncatan yang sulit diikuti dengan ma-ta, Takeshi dan Mayumi
melompati pagar dan me-
nyelinap ke kegelapan malam.
Bertepatan dengan lenyapnya Mayumi, para ninja
hitam membanting petasan, muncul asap putih me-
ngelilingi mereka. Ketika asap itu lenyap, para ninja itu telah lenyap.
Mereka terus berlari menembusi hutan. Tak seorang pun mengeluarkan suara. Ketika
lari mereka telah
jauh, Takeshi dan Mayumi berhenti. Saburo Mishima yang sejak tadi berlari
mengikuti kedua sahabatnya duduk di tanah terengah-engah.
Mayumi membuka sapu tangannya, langsung mem-
bersihkan darah bercampur keringat di wajah Saburo.
"Kalian datang tepat pada waktunya," kata Saburo
dengan napas terengah-engah.
"Kami tahu kapan kami dibutuhkan," jawab Ma-
yumi datar. "Apakah engkau melihatku dalam penglihatanmu?"
"Ya."
"Untuk kesekian kali engkau dapat menyelamatkan
diriku." Mayumi hanya tersenyum tipis.
Tiba-tiba Saburo teringat pada Koyama, "Apakah
engkau melihat Koyama?"
Konishita yang kini dipanggil Takeshi dan Mayumi
saling berpandangan. "Tidak."
Saburo langsung berdiri, "Celaka kalau para ninja itu membongkar penyamarannya.
Dia bisa celaka!"
Takeshi memegang tangan Saburo.
"Sabar. Kita jangan tergesa-gesa. Kita masih punya waktu untuk
menyelamatkannya."
"Bagaimana kalau Naoko langsung menghukum-
nya?" "Kalau demikian pasti tak ada yang dapat kita lakukan untuknya."
"Bangsat!" raung Saburo sambil melawan pegangan
Takeshi. "Dia anakku!"
Mayumi dan Takeshi terperanjat. Mereka langsung
melepaskan tangan Saburo.
Saburo berkata dingin, "Aku harus kembali ke Ka-
makura. Aku tak mau membiarkan mereka membantai
anakku." "Tetapi, Saburo...."
"Kalian jangan mencegahku. Aku tahu apa yang ha-
rus kulakukan."
"Beberapa saat yang lalu engkau hampir tewas di
tangan para ninja merah."
"Aku tahu kalian telah menyelamatkan diriku," po-
tong Saburo dengan suara serak. "Tetapi aku tak akan membiarkan anakku mati
konyol di tangan mereka."
"Kita semua belum tahu apakah Naoko tahu penya-
marannya atau tidak?"
"Memang kita tidak tahu. Tetapi anak itu berada di sana, di tengah musuh yang
setiap saat dapat mem-bunuhnya."
"Jangan lupa, Saburo, Koyama sudah berada di sa-
na jauh hari sebelum kau menemuinya. Jadi tak ada alasan untuk mencemaskan
penyamarannya."
*** Di Istana Kamakura. Di kamar Naoko. Otami sedang
berdiri tegak di depan cermin membiarkan Naoko memakaikan kimono sutera di
tubuhnya. Wanita itu menatap dada Otami yang penuh bulu, lalu membelainya dengan
mesra. Kemudian dengan penuh kasih sayang, wanita itu mencium dada lelaki
tersebut. Ketika selesai mengikat tali kimono Otami, Naoko
berteriak memanggil pelayannya, "Koyama!"
Koyama masih termangu-mangu di dekat pintu. Ia
menatap lurus tempat ayahnya bertarung menghadapi para ninja. Terbayang di
benaknya bagaimana ayahnya menebas satu per satu musuhnya. Dan di saat kritis,
tiba-tiba muncul ninja hitam menyelamatkannya. Diam-diam, dalam hati, ia
bertanya tentang ninja hitam itu.
"Koyama!" terdengar suara Naoko dari dalam.
Koyama tersadar, lalu menjawab, "Ya, Tuan Putri."
Dengan tergopoh-gopoh karena merasa bersalah,
Koyama masuk ke dalam.
"Ambilkan sandal untuk Otami."
"Baik, Tuan Putri."
"Cepat!"
"Baik, Tuan Putri. Hamba segera laksanakan."
Koyama meninggalkan kamar itu. Selintas Otami me-
natap Koyama dengan sudut pandangnya. Tiba-tiba
terlintas di benaknya tentang mata-mata Ashikaga
yang berada di istana. Beberapa hari lalu, Takeshi dan Mayumi pernah
membicarakan tentang adanya seorang mata-mata yang masih bocah di Istana Kamaku-
ra. Mungkinkah Koyama"
Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk membuktikan dugaan itu.
*** YOSHIOKA BERTEMU MITSUNARI
UDARA mendung. Angin dari arah utara berhembus
kencang. Siang masih menyisakan genangan-genangan air hujan yang sepanjang pagi
mengguyur Owari. Di tanah, selain genangan air yang seperti kaca, tampak
bekas kaki ayam hutan dan babi.
Yoshioka duduk di tepi hutan sambil memperhati-
kan jalanan di depannya. Jalanan itu tampak seperti ikat pinggang warna coklat,
berkelok-kelok mengikuti lereng dan bukit di sekitarnya. Biasanya, jalanan
tersebut ramai dengan pedagang dan orang-orang yang
bergegas menuju Suruga atau sebaliknya, orang-orang yang menuju Owari.
Sesudah tidak berhasil menemukan Saburo, Yoshi-
oka sering duduk di tepi hutan itu untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di
Owari maupun Suruga.
Sesudah keberangkatan Oda Nobunaga ke Suruga, ki-
ni jalan tersebut terasa lengang. Rupanya penguasa Owari tersebut telah
mengerahkan seluruh pasukannya untuk menggempur Suruga.
Bila jalan pikirannya benar, berarti pertahanan di Kamakura saat ini lemah.
Sesungguhnya saat inilah yang tepat untuk merebut kembali Kamakura dari
Nobunaga. Tetapi di mana Paman Saburo Mishima" Dapatkah dia menyelamatkan diri" Atau sudah
tewas" Dada Yoshioka berdebar-debar. Dalam saat seperti
sekarang, sesungguhnya ia sangat membutuhkan Sa-
buro Mishima. Tetapi orang yang diharapkan justru tidak ada. Sejak Saburo
tenggelam di sungai, mereka tak pernah lagi bertemu. Yoshioka tak mengerti
apakah Saburo sudah tewas atau masih hidup.
Yoshioka masih melamun sambil menatap jalanan
di depannya, ketika seorang laki-laki mendekatinya.
"Sejak tadi aku memperhatikan dirimu," kata laki-
laki tersebut. "Engkau sepertinya melamunkan sesuatu."
Yoshioka mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang
laki-laki tegap, bercambang lebat, sebagian wajahnya tertutup caping, dan
berkaki satu. "Masih kecil jangan suka melamun. Engkau bisa gi-
la." "Saya tidak melamun," jawab Yoshioka tenang.
"Lalu sedang apa duduk sepanjang hari di sini?"
"Saya tengah memperkirakan perkembangan yang
akan terjadi di Owari."
"Perkembangan" Perkembangan apa?"
"Perkembangan perang yang bakal terjadi."
Laki-laki pincang itu tertawa berderai. Ia tak menduga bakal mendengar jawaban
seperti itu. Meskipun jawaban tersebut tidak ia anggap serius, namun ia menjadi
tertarik pada anak di depannya.
"Kenapa kau mengikuti perkembangan keadaan di
negeri ini?"
"Saya harus tahu," jawab Yoshioka tegas. "Bukan-
kah itu yang harus dilakukan seorang penguasa?"
"Penguasa apa?"
"Penguasa propinsi."
"Apakah kau ingin menjadi penguasa propinsi?"
"Ya, seperti Oda Nobunaga."
Laki-laki itu kembali memperdengarkan tawanya
yang memanjang. Tetapi rasa tertariknya jadi lebih besar.
"Engkau berasal dari mana?"
"Kamakura."
"Tetapi beberapa hari ini kulihat engkau berada di sini sepanjang hari."
"Saya menunggu seseorang."
"Siapa?"
"Paman."
"Diakah yang membesarkan dirimu?"
"Ya."
"Di mana orangtuamu?"
"Sudah meninggal."
"Jadi engkau sudah yatim piatu?"
"Ya."
"Kenapa engkau tidak ikut aku saja?"
"Sudah saya katakan, saya sedang menunggu pa-
man saya."
"Di mana dia sekarang?"
"Saya tidak tahu. Mungkin di Suruga, mungkin di
Mikawa, atau bahkan mungkin di Owari. Saya tidak
tahu." "Bagaimana mungkin kau menunggu seseorang te-
tapi tidak mengetahui kapan dia akan datang."
"Biarlah. Tetapi memang itulah yang harus saya lakukan."
Dari arah Suruga tiba-tiba tampak empat penung-
gang kuda berderap menuju Kamakura. Keempat pe-
nunggang kuda tersebut pada awalnya tampak seperti titik kecil diikuti tebaran
debu tipis di belakangnya.
Lama-kelamaan terlihat bahwa mereka adalah pengikut Oda Nobunaga.
Salah seorang membawa bendera dengan lambang
Nobunaga. Mereka kelihatan membawa misi khusus
karena tampak terburu-buru.
Sambil memandang keempat penunggang kuda yang
tengah mendaki bukit menuju ke arahnya, lelaki tersebut berkata, "Apa yang dapat
kausimpulkan sehubu-
ngan dengan penunggang kuda itu?"
"Sesuatu yang penting sedang terjadi."
"Sesuatu yang penting apa?"
"Oda Nobunaga mengalami kebimbangan terhadap
kekuatan pasukannya di Kamakura. Karena itu dia
akan memastikan hal itu dengan mengirim utusan."
"Bagaimana kau dapat menyimpulkan hal itu?"
"Kalau tidak, dia pasti akan mengirimkan sepuluh
prajurit. Tetapi hanya dengan empat orang dia membayangkan utusan itu akan lebih
efektif."
Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu mari kita buktikan."
Laki-laki tersebut berjalan terpincang-pincang ke tengah jalan. Ia melambai-
lambaikan tangan ketika pa-ra penunggang kuda itu sampai di tempat itu.
"Ada apa engkau menghalangi jalan kami?" tanya
pimpinan rombongan itu.
"Kalian terpaksa harus memutar," kata laki-laki pincang itu penuh tekanan.
"Ada apa?"
"Jembatan di depan roboh akibat hujan lebat sema-
lam. Tak bisa dilalui sama sekali."
"Kami harus memutar lewat mana?"
"Lewat Desa Katijima, dari sana ada jalan lurus menuju Istana Kamakura. Bukankah
kalian akan ke Ka-
makura?" "Benar."
"Tampaknya membawa misi penting."
"Ya, sangat penting."
"Apakah peperangan segera akan dimulai?"
"Begitulah. Karena itu kami diperintahkan segera
menyampaikan berita ini ke Kamakura."
"Sayang sekali, kalian harus lewat jalan memutar."
Tanpa berpikir panjang, keempat penunggang kuda
itu menggebrak kuda. Mereka memutar balik dan me-
macu kuda ke lereng bukit.
Laki-laki pincang itu tersenyum pada Yoshioka. Di-am-diam ia mengagumi
kecerdasan anak itu. Ia berjalan ke arah Yoshioka dengan senyum lebar.
"Kesimpulanmu benar," kata lelaki itu. "Mereka
membawa berita penting untuk Putri Naoko."
Baru beberapa saat lelaki itu sampai di dekat Yo-
shioka, tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan melengking.
Kedua penunggang kuda terlempar dari kudanya de-
ngan tiga anak panah menancap di punggungnya. Dari semak-belukar di dekatnya
berloncatan ninja merah langsung menyerang kedua penunggang kuda yang
masih hidup. Dari jauh terlihat kedua penunggang ku-da itu mengadakan
perlawanan, namun delapan ninja yang menyergap bukan tandingan mereka. Satu
persatu penunggang kuda itu jatuh ke tanah. Tewas.
"Siapa mereka?" laki-laki pincang itu bertanya.
"Pengikut Naoko," jawab Yoshioka datar.
Laki-laki pincang itu terperanjat, "Pengikut Naoko-san?"
"Ya."
"Bagaimana kau tahu?"
"Naoko sekarang sudah menguasai Istana Kama-
kura. Dia tak ingin diusik. Satu-satunya cara adalah melenyapkan semua utusan
Nobunaga. Dengan cara
itu kalau Oda Nobunaga berhasil memenangkan pe-
rang, dan kembali ke Kamakura, Naoko dapat menga-
takan bahwa tak seorang utusan pun pernah sampai
di Kamakura."
"Kesimpulanmu hebat."
"Lebih hebat lagi, kalau engkau tahu para ninja itu sebentar lagi akan sampai di
sini untuk membunuh ki-ta." "Membunuh kita" Kenapa?"
"Karena kita telah menjadi saksi mata atas pembu-
nuhan yang mereka lakukan."
"Kau benar-benar hebat...."
Belum laki-laki itu selesai bicara, lima anak panah mendesis ke arah mereka.
"Awaaas!" Yoshioka berteriak.
Laki-laki itu langsung mencopot capingnya, lalu
menjadikannya sebagai perisai. Kelima anak panah itu menancap di caping lelaki
itu. Baru saja mereka selamat dari serangan itu, delapan ninja merah telah
mengepung mereka. Tanpa bicara sepatah kata pun, para ninja langsung menerjang.
Tetapi kali ini mereka keliru kalau menganggap berhadapan dengan musuh yang
mudah dikalahkan. Laki-laki pincang itu dalam kecepatan yang sukar dipercaya,
telah berbalik dan menebas keempat ninja terdekat dengan pedangnya. Empat ninja
tersebut tak sempat menjerit ketika merasakan pedang musuh menebas tubuh mereka.
"Hayoo, kemari, aku Ishida Mitsunari pengikut Shogun Ashikaga akan melawan
kalian!" Salah seorang ninja menyerang dengan rantai ber-
ujung pisau. Mitsunari membiarkan rantai itu melilit pedangnya, lalu dengan
kekuatan penuh ia menarik rantai itu, kemudian menyongsong tubuh ninja tersebut
dengan kaki besinya. Terdengar suara menjerit ketika ninja tersebut merasakan
perutnya robek. Ketiga yang lain langsung menerjang, namun dengan gesit
Mitsunari mengelak. Pedang mereka beradu di udara.
Salah seorang ninja melempar senjata rahasia berupa bintang berpaku, namun
dengan lincah Mitsunari menebas senjata rahasia itu hingga kembali ke
pemiliknya. Terdengar jeritan kematian ketika senjata tersebut menghunjam ke
leher pemiliknya.
"Siapa kalian?" tanya Mitsunari sambil menghadapi kedua ninja yang tersisa. "Aku
Ishida Mitsunari, pengikut Ashikaga, akan memenggal kepala kalian!"
"Kami pengikut penguasa Kamakura."
"Kalian pengikut Oda Nobunaga?"
"Tidak! Kami pengikut Putri Naoko."
"Kalau begitu bersiaplah, kalian akan kukirim ke
neraka!" Seusai berkata begitu, Mitsunari langsung mener-
jang. Tebasan pedangnya meleset, namun dengan ce-
pat ia menebas musuh dengan pedang pendek yang
berada di penyangga kakinya. Terdengar jeritan pendek, salah seorang ninja
ambruk ke tanah dengan leher hampir putus. Ninja yang seorang lagi menerjang
dengan ganas, namun Mitsunari menyambutnya de-
ngan ayunan pedang yang membuat tubuhnya lang-
sung terbelah. Darah memancar ke tanah.
Ishida Mitsunari berdiri tegak, ia membiarkan darah di pedangnya mengalir ke
tanah. Sesudah selesai
membantai musuh-musuhnya, ia mengibaskan pe-
dangnya, lalu memasukkan ke dalam sarungnya.
"Bukan salahku kalau mereka tewas," kata Mitsu-
nari sambil menoleh. Ia terperanjat ketika menyadari anak kecil tadi sudah tidak
berada di tempatnya.
*** AWAL PENYERBUAN
DI ATAS bukit yang menghampar di perbatasan Suru-
ga, delapan ribu prajurit Nobunaga telah berbaris. Siap melakukan penyerbuan.
Pasukan panah berada di depan, lalu dilapis pasukan tombak, dan pasukan pe-
dang. Oda Nobunaga sedang berdiri tegak di tendanya.
Dua orang pengawalnya tengah mengenakan pakaian
perang pada tubuh lelaki itu. Semua dipakai berdasar-kan urut-urutan yang benar.
Pakaian itu sangat rumit.
Semua ada tiga puluh dua tahap yang terdiri lapisan sutera dan bilah-bilah besi.
Hosokawa duduk di depan Nobunaga seperti seo-
rang murid di hadapan gurunya.
"Hosokawa-san."
"Ya, Yang Mulia."
"Berapa lama perjalanan kita untuk sampai di Su-
ruga?" "Setengah hari, Yang Mulia."
"Tidak bisa lebih cepat?"
"Tidak mungkin, Yang Mulia, sebab kita harus me-
nyebrangi beberapa sungai kecil yang agak mengham-
bat." "Baiklah, kalau begitu persiapkan semua."
"Baik, Yang Mulia."
"Kau memimpin pasukan panah dan tombak untuk
maju lurus menikam pertahanan Mayeda Toyotomi.
Jangan lewatkan satu orang pun di belakangmu. Aku ingin memasuki Suruga dengan
penaklukan yang hebat."
Sebelum Hosokawa pergi, seorang pengawal Nobu-
naga datang sambil berlari.
"Seorang mata-mata telah datang dari Kamakura,
Yang Mulia."
"Suruh dia kemari."
"Baik, Yang Mulia."
Mata-mata itu seorang lelaki tua yang selama ini
menyamar sebagai pedagang ayam. Dia baru datang
dari Kamakura. Nobunaga adalah orang yang sering
tak sabar mendengarkan laporan, karena itu dia langsung mengajukan pertanyaan.
"Apa yang kaudapatkan?"
"Pembelotan, Yang Mulia."
"Pembelotan macam apa?"
"Putri Naoko melakukan perlawanan terhadap Yang
Mulia." "Apa maksudmu?"
"Hingga saat ini belum ada satu utusan pun yang
kembali kemari, karena semua dibunuh atas suruhan Naoko-san."
"Dibunuh" Apa maksudmu?"
"Saat ini Naoko-san telah membangun pertahanan
di Istana Kamakura dengan pasukan ninja. Merekalah sekarang yang menguasai
tempat itu. Hamba tahu ba-ru beberapa hari ini, semua utusan Yang Mulia telah
mereka bunuh."
"Kenapa?"
"Mereka tak ingin Yang Mulia mengetahui keadaan
di Kamakura."
"Kurang ajar! Apa lagi?"
"Saya mendengar panglima Ashikaga telah mema-
suki Kamakura untuk merebut kembali wilayah itu.
Bahkan menurut beberapa sumber, saat ini putra Ashikaga pun sudah berada di
sana." "Panggil kemari Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo."
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo datang. Mereka ber-
simpuh di depan Oda Nobunaga.
"Aku baru saja mendengar bahwa Naoko-san tengah
melakukan perlawanan terhadapku," kata Nobunaga
dengan suara lantang. "Kecuali itu panglima Ashikaga dan putra Ashikaga juga
sudah memasuki Kamakura.
Karena itu kuperintahkan pada kalian bertiga untuk hari ini juga berangkat ke
Kamakura untuk menghukum Naoko-san, mengamankan istana, dan menang-
kap Saburo maupun putra Ashikaga hidup atau mati."
"Bagaimana dengan rencana penyerangan kita?"
"Biar aku sendiri yang memimpin penyerbuan di si-
ni. Kurasa kita tidak akan menghadapi perlawanan
yang berarti di sini."
"Baiklah, Yang Mulia."
"Berangkatlah."
Hiroshi maju ke depan, "Yang Mulia, apa yang ha-
rus kami lakukan terhadap Putri Naoko apabila kami berhasil menangkapnya?"
"Penjarakan saja. Aku ingin mendengar dan melihat dengan mata kepalaku sendiri
tentang desas-desus
yang selama ini kita dengar. Bila semua memang terbukti, aku ingin mengerat
sendiri wajahnya."
"Baik, yang Mulia."
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo segera meninggalkan
tenda itu. Saat itu Nobunaga hampir selesai memakai pakaian perangnya. Seorang
pengawal tengah menye-
lipkan sebilah pedang ke pinggang Nobunaga.
"Hosokawa-san!"
"Ya, Yang Mulia."
"Aku ingin kita menaklukkan Suruga dalam waktu
cepat. Jangan biarkan aku kehilangan kesabaran."
"Baik, Yang Mulia."
"Dengan menggempur dari segala sisi, kurasa kita
dapat menghancurkan Mayeda dalam waktu kurang
dari dua hari."
"Benar, yang Mulia."
"Kalau begitu, mari kita berangkat."
*** Mayeda Toyotomi sedang duduk di tengah para pang-
limanya. Tiba-tiba salah seorang pengawalnya datang.
"Seorang mata-mata telah datang, Tuanku."
"Bawa kemari."
Mata-mata itu datang. Seorang laki-laki bertubuh kurus yang menyamar sebagai
pencari rumput. Mayeda mengenal lelaki tersebut.
"Apa laporanmu?"
"Saat ini pasukan Oda Nobunaga mulai bergerak."
"Bergerak bagaimana?"
"Mereka mulai meninggalkan bukit untuk memulai
penyerbuan kemari. Meskipun saya tidak mengetahui maksudnya, tetapi saya lihat
sekitar seribu orang telah meninggalkan pasukan induk menuju ke Owari."
"Ke Owari" Apa maksudmu?"
"Saya sendiri tidak dapat menyimpulkannya. Tetapi saya lihat seribu orang telah
menyimpang menuju ke Kamakura."
"Bagus kalau begitu, apa pun maksud kepergian se-
ribu pasukan, untuk kita berarti berkurangnya kekuatan musuh."
"Saya juga mendengar dari beberapa prajurit, ka-
tanya terjadi keadaan gawat di Kamakura. Selain Putri Naoko melakukan
perlawanan, terdengar panglima Ashikaga mulai menghimpun kekuatan di Kamakura."
"Itu akan memecah belah kekuatan Oda Nobunaga."
"Hanya itu yang dapat saya laporkan, Tuanku."
"Terima kasih. Sekarang engkau istirahatlah."
Mata-mata itu bersujud kemudian pergi.
Mayeda berkata pada para panglimanya, "Kalian te-
lah mendengar sendiri. Saat ini kekuatan Oda Nobunaga mulai terpecah. Ini adalah
kesempatan kita untuk menghancurkannya. Karena itu siapkan seluruh
pasukan, sebentar lagi kita akan menyambut kedatangan pasukan musuh."
Para panglima perang segera bersujud, lalu meninggalkan tempat itu. Mereka
bergegas ke anak pasukan masing-masing. Terompet telah ditiup, suaranya meng-
gaung di tengah bukit tempat perkemahan itu.
Mayeda segera memanggil pengawalnya untuk mem-
bantu mengenakan pakaian perangnya. Dengan cepat
kedua pengawal itu memakaikan satu persatu pakaian Mayeda.
Satu jam kemudian, Mayeda Toyotomi sudah duduk
di atas punggung kudanya. Ia menatap lurus ke arah pasukannya yang berbaris di
lereng bukit itu. Bendera-bendera, lambang Toyotomi masih berkibar. Namun tidak
sendirian. Kini bendera itu berdekatan dengan bendera warna merah, lambang
Imagawa. Mayeda menoleh pada panglima perangnya lalu ber-
tanya, "Di mana persisnya mereka sekarang berada?"
"Mereka sekarang tengah menyisir di perbatasan,"
jawab panglimanya. "Rupanya mereka akan bergerak
serentak setelah melewati perbatasan."
"Di dekat Sungai Ishi itu?"
"Benar."
"Baiklah, kalau begitu bawa pasukan panahmu un-
tuk menyambut kedatangan pasukan pertama mereka.
Kita akan mengepung dari kanan dan kiri agar mereka tak dapat melarikan diri."
"Baiklah."
"Aku akan membawa pasukanku langsung ke jan-
tung pertahanan lawan untuk menghadapi Oda Nobu-
naga." "Baiklah. Mari kita berangkat."
Panglima perang itu memacu kudanya menuju ke
pasukan panah. Kemudian diiringi suara genderang
Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perang, ribuan prajurit mulai menuruni bukit. Mereka adalah pasukan pertama yang
akan berhadapan langsung dengan tentara Nobunaga. Meskipun telah me-
nunggu cukup lama, namun semangat pasukan Ma-
yeda sangat tinggi. Mereka melangkah dengan penuh semangat, seakan kematian di
medan perang merupakan kebanggaan.
Sesudah pasukan panahnya bergerak menuruni le-
reng bukit, Mayeda mulai menarik tali kekang ku-
danya. Dalam cahaya matahari senja, pakaiannya memantulkan sinar keperakan.
Mayeda tampak gagah.
Sirip-sirip emas pada pakaiannya memperdengarkan
suara gemerincing.
"Kita akan berperang sampai mati!" teriak Mayeda
lantang. "Jangan ada yang mundur. Kita harus mendapatkan kemenangan!"
Kemudian seperti air bah, pasukan Mayeda mulai
menuruni lereng bukit.
*** Di Istana Suruga, Imagawa sedang membersihkan daun-
daun kering pada bonsai kesayangannya. Dengan hati-hati ia menggunakan pisau
untuk memotong ranting-
ranting kering.
Ketika itu muncul pengawalnya dengan seorang ma-
ta-mata garis depan.
"Hamba ingin melapor, Yang Mulia."
"Katakanlah."
"Saat ini seluruh pasukan Mayeda Toyotomi sudah
bergerak menyongsong pasukan Nobunaga. Kedua be-
lah pihak sama-sama berangkat menuju arah Sungai
Ishi. Meskipun sekarang ada seribu pasukan Nobuna-ga memisahkan diri menuju
Kamakura, namun jum-
lahnya tetap jauh lebih besar dibanding pasukan Mayeda. Tetapi seperti
sekumpulan binatang kalap, tentara Mayeda terus maju menuju titik peperangan."
"Apakah Mayeda akan bunuh diri?"
"Hamba tidak tahu."
"Tadi engkau mengatakan ada seribu pasukan No-
bunaga menuju Kamakura?"
"Benar, Yang Mulia."
"Kenapa menurut pendapatmu?"
"Oda Nobunaga sudah mendengar desas-desus me-
ngenai perlawanan Putri Naoko. Selain itu mereka juga mendengar kedatangan
Saburo Mishima."
"Terima kasih kalau begitu. Engkau boleh pergi."
Sesudah mata-mata itu pergi, Imagawa langsung
bergegas menuju ke balai panglima sambil melepas
kimononya. Ia tampak tergesa-gesa. Sambil memberikan kimono pada pengawalnya, ia
berkata, "Kumpul-
kan semua panglima di balai pertemuan."
"Baik, Yang Mulia."
Satu jam kemudian, Imagawa telah berdiri di depan panglimanya.
"Saat ini Nobunaga akan bertarung dengan Maye-
da," kata Imagawa dengan suara berat. Berbeda de-
ngan biasanya, kali ini tak ada kelembutan terpancar dari raut wajahnya. Matanya
bersinar-sinar memancarkan keteguhan sikap untuk menuju medan perang.
"Dengan kekuatan yang tak seimbang, Mayeda pasti
akan terpukul menghadapi Nobunaga. Karena itu, kita pun harus berangkat
sekarang, untuk memberikan dukungan. Mudah-mudahan Nobunaga tidak memperhi-
tungkan kehadiran kita, sehingga kekuatan yang berhasil kita himpun dapat
langsung menghancurkannya.
Jangan lupa, pasukan kita benar-benar masih segar dan penuh semangat. Mereka
selama ini tidak harus menunggu di medan perang."
"Seberapa besar yang harus kita kerahkan, Yang
Mulia?" "Berapa besar yang kita miliki?"
"Delapan ribu prajurit."
"Kita kerahkan semua."
"Kita harus mengumpulkannya?"
"Jangan khawatir. Kita akan berangkat sambil me-
ngumpulkan kekuatan."
Setengah jam berikutnya, Imagawa mulai mening-
galkan istana. Di depan terdapat pasukan genderang yang menabuh genderang
sepanjang perjalanan. Dari rumah-rumah mulai bermunculan orang-orang yang
menggabungkan diri dengan pasukan Imagawa. Para
petani, pedagang, penggembala, dan tukang-tukang
batu segera mengeluarkan pedang dan bergabung de-
ngan iring-iringan Imagawa.
Sedikit demi sedikit pasukan Imagawa terbentuk,
dari ratusan orang ketika meninggalkan istana, kini mulai berlipat ganda.
Kesetiaan terhadap Imagawa rupanya masih ampuh untuk memobilisasi pasukan.
Jumlah tersebut semakin lama semakin besar. Tak terhitung jumlahnya.
"Oda Nobunaga sekarang sedang menyerang Suru-
ga," kata Imagawa lantang di depan pasukannya. "Pasukan Mayeda Toyotomi yang
telah menyatakan setia padaku, kini tengah menghadang mereka. Tetapi karena
kekuatannya kurang memadai, Mayeda pasti akan
kalah, karena itu sudah sepantasnya kita mendu-
kungnya. Kekalahan Mayeda akan berarti kekalahan
kita. Bila Nobunaga menang, dia akan menghancurkan Suruga, membakar rumah
kalian, merampas istri dan anak kalian, serta memperlakukan anak perempuan
kalian sebagai pemuas nafsu. Karena itu tak ada alasan untuk berpangku tangan,
kita harus menyatukan tekad untuk melawan mereka. Jangan ragu-ragu, ma-rilah
berperang bersamaku!"
Iring-iringan itu terus bergerak, kini sudah tak terhitung jumlahnya. Tetapi
semua orang dengan mudah memperkirakan, sekitar delapan ribu samurai telah
bergabung dengan Imagawa.
Imagawa duduk di atas punggung kudanya dengan
tersenyum. Ia sudah memperkirakan kemenangan ba-
kal berada di pihaknya. Betapapun, ia akan menggunakan pasukan Mayeda untuk
melemahkan lawan, se-
sudah itu baru pasukannya akan menumpas tentara
Nobunaga. Mereka benar-benar bodoh!
*** MUSUH DALAM SELIMUT
UDARA malam membawa hawa dingin yang menikam.
Rembulan seperti berlayar di lautan tinta. Langit hitam pekat. Di tengah
kegelapan itu tampak bayangan warna kuning menyelinap di antara bangunan-
bangunan istana. Dia berjalan mendekati tempat tidur Koyama.
"Koyama!" ia memanggil.
Koyama tampak pulas.
"Koyama! Bangun!"
Koyama tak bergeming. Pendeta itu kemudian meng-
ambil kerikil dan melempar ke arah tubuh Koyama.
Anak itu tersentak bangun.
"Koyama!"
Koyama menoleh lalu melangkah mengendap-endap
menuju tempat persembunyian Bapa Lao.
"Ada apa?"
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
"Penting?"
"Sangat penting."
"Tentang apa?"
"Tentang ayahmu dan rencana penyerbuan kemari."
Koyama membeliakkan mata, lalu mendekatkan diri
pada pendeta itu.
*** Di kamar, Naoko tengah menciumi tubuh Otami. Me-
reka bercinta secara menggebu-gebu. Naoko menyusu-ri setiap lekuk liku tubuh
Otami, sinar matanya yang penuh gairah membuat wanita itu tampak dibakar nafsu.
Seluruh tubuh mereka berkeringat, tetapi tidak sedikit pun memancarkan
kelelahan. Ciuman demi ci-
uman, belaian demi belaian, semua membuat gairah
semakin menyala-nyala.
Otami mendesah, ia merasakan tubuhnya diceng-
keram kehangatan yang sensasional. Sambil berbaring ia mengamati tubuh Naoko;
payudaranya yang padat dan kenyal, pinggulnya yang indah, dan gelora asma-ranya
yang tak pernah padam. Selain itu ia kaya raya.
Otami tak pernah lagi memikirkan teman-teman-
nya. Ia merasa heran ketika diminta menari di kamar Naoko. Tak pernah
terbayangkan sebelumnya, itulah awal kehidupannya. Naoko tampak tergila-gila
padanya. Suatu saat Naoko mengungkapkan, betapa ia tak pernah mengalami kepuasan
bila bercumbu dengan
Nobunaga. Selama bertahun-tahun ia hanya menjadi
pelayan seks bagi penguasa Owari itu. Berbeda sekali
dengan Otami, Naoko merasa menjadi ratu. Apa pun
yang ia inginkan, Otami akan melayani dengan penuh hasrat.
Mereka dapat bercinta dengan berbagai cara, ka-
rena cara bercinta pemuda itu sangat sensasional.
Dalam kesempatan-kesempatan tertentu Naoko
mengikat kedua tangan Otami, lalu mencumbuinya sepuas hati. Ketika menyaksikan
tubuh Otami yang
menggeliat-geliat itulah, wanita tersebut merasakan puncak kepuasannya.
Permainan mereka berlangsung hampir empat jam.
Keduanya merasa letih. Karena itu mereka berbaring sambil berpelukan.
Naoko berbaring telentang, matanya menatap lurus
pada langit-langit kamar.
"Kukira ada mata-mata di istana ini," tiba-tiba Naoko berkata tanpa tekanan.
"Semua rahasia yang kubicarakan, selalu sampai di luar. Entah siapa, tetapi aku
yakin ada mata-mata yang bekerja di sini."
Antara sadar dan tidak, Otami berkata, "Koyama."
Naoko menoleh, "Koyama?"
"Ya."
"Bagaimana kau dapat menuduh begitu?"
"Beberapa waktu lalu, entah siapa mengatakan pa-
daku tentang seorang anak yang menjadi mata-mata.
Aku tidak pasti, tetapi memang bukan mustahil dia seorang mata-mata. Bukankah
dia orang yang selama ini paling dekat denganmu?"
Naoko menghela napas panjang.
"Dia anak asuh seorang pendeta Budha," kata Na-
oko datar. "Benar. Dia kau ambil ketika terjadi kerbau meng-
amuk, bukan?"
"Ya."
"Siapa yang melumpuhkan kerbau itu?"
"Pendeta Budha tersebut."
"Nah, bukankah tidak mungkin mereka memang
mengatur semua itu untuk memasukkan Koyama ke
istana?" "Ya, mungkin saja."
"Coba saja kau tangkap. Kalau keliru, kau tidak
akan merasa dirugikan, tetapi kalau dugaanku benar, kau berarti sudah
menyelamatkan istana dari incaran mata-mata."
Naoko langsung turun dari ranjang. Ia bergegas
mengenakan kimono suteranya. Lalu dengan cepat ia memanggil pengawalnya.
"Di mana Koyama?"
"Dia tidur di luar."
"Tangkap dia sekarang juga!"
"Baik, Tuan Putri."
Pengawal tersebut langsung pergi diikuti lima orang ninja merah. Mereka segera
menuju ke tempat Koyama biasa tidur. Tetapi tempat itu kosong.
Di persembunyian, Bapa Lao dan Koyama memper-
hatikan para ninja itu.
"Cari anak itu sampai ketemu!" perintah pengawal
Naoko. "Dia harus ditangkap sekarang juga!"
Salah seorang ninja bertanya, "Kenapa?"
"Dia mata-mata musuh."
Koyama menoleh pada Bapa Lao.
Pendeta itu berkata, "Seseorang telah membuka ke-
dokmu." Koyama mengangguk, "Rasanya aku tahu."
Bapa Lao memberi isyarat agar Koyama diam, ka-
rena ia melihat enam orang ninja berlari melewati persembunyian mereka. Saat
mereka telah pergi, pendeta itu memberi isyarat agar Koyama mengikutinya.
*** PENGHIMPUNAN KEKUATAN
KEMBALI ke kuil persembunyian Bapa Lao, Koyama terperanjat karena di tempat itu
sudah berkumpul orang-orang yang telah dikenalnya. Kecuali ayahnya, terdapat
enam orang berpakaian serba hitam. Yang menge-jutkan adalah kehadiran Ishida
Mitsunari. Lelaki berkaki satu itu diam di sudut ruangan tanpa membuka suara.
Setelah sampai di kuil, Bapa Lao segera mengeluarkan pakaian Yoshioka, lalu
menyuruh Koyama menge-
nakannya. "Untuk apa?" Koyama memprotes.
"Pakai saja," jawab Saburo singkat.
Koyama mengenakan pakaian itu. Semua orang ter-
pana menyaksikan pemandangan di depannya. Tak se-
orang pun akan menyangkal bahwa anak itu adalah
Yoshioka. Ketika semua sudah selesai, Bapa Lao memberikan
Pedang Muramasa pada Saburo.
Pedang Muramasa itu oleh Saburo kemudian dibe-
rikan pada Koyama.
"Mulai hari ini engkau kembali menjadi Yoshioka,
putra Ashikaga," kata Saburo tegas. "Apa pun yang terjadi, engkau harus
mempertahankan namamu."
Koyama mengangguk.
"Hilangkan dalam ingatanmu bahwa engkau adalah
Kojiro maupun Koyama."
"Baiklah."
"Sebagai seorang pewaris keshogunan Ashikaga,
engkau jangan banyak bicara."
"Kenapa?"
"Karena akan tampak kebodohanmu."
Koyama cemberut karena merasa diremehkan.
Saburo tidak peduli. "Mari sekarang kita berang-
kat." Di tengah udara dingin yang membekukan kulit,
rombongan Saburo Mishima meninggalkan kuil. Me-
reka berjalan menuju ke Kamakura.
"Kali ini kita berangkat hanya dengan sepuluh
orang," kata Saburo sambil memeluk Kojiro. "Tetapi kalau kelak kembali,
percayalah lebih dari seribu orang pasti berada di belakang kita."
Sesampai di pusat kota Kamakura, rombongan Sa-
buro berhenti untuk mengumumkan kehadiran Yoshi-
oka. Orang-orang yang tengah minum sake di kedai, segera berdatangan ke tempat
itu. Mereka ingin melihat putra Ashikaga.
Kojiro berdiri di tengah, sementara Bapa Lao, Sabu-ro, Mayumi, Takeshi, dan
Ishida Mitsunari serta beberapa pengikut Mayumi mengelilingi Kojiro untuk
melindunginya. "Hari ini kami membawa putra Ashikaga kembali ke
Kamakura," kata Saburo lantang. "Dia akan mengam-
bil kembali haknya. Karena itu bagi siapa pun yang ingin bergabung dengannya,
Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera merapatkan barisan di belakang kami. Kita akan menebus kebenaran dengan
pertumpahan darah. Bagi yang tak mau menerima kehadiran Yoshioka, putra
Ashikaga, segera me-nyingkir sebelum kami, dia menghukummu!"
Seperti sudah diduga, sejumlah samurai segera
menggabungkan diri dengan rombongan Saburo. Me-
reka melangkah maju, lalu berjongkok hormat.
"Kami memberikan kesetiaan pada Yang Mulia Yo-
shioka!" Kojiro menjawab, "Terima kasih. Sekarang berga-
bunglah di belakang."
Dari puluhan, akhirnya menjadi ratusan. Saburo
mengajak Yoshioka berkeliling Kamakura. Di setiap tempat berkumpul para samurai,
Saburo menceritakan
tentang Yoshioka. Seketika orang-orang tersentak oleh kenangan lama ketika
Shogun Ashikaga masih berkuasa. Mereka akhirnya satu persatu bergabung ke
dalam barisan pasukan Saburo Mishima.
Yoshioka meluap kegembiraannya ketika menyaksi-
kan pengikutnya bertambah terus.
"Kita berhasil!" katanya pada Saburo.
"Jangan gembira dulu, kita harus terus menghim-
pun kekuatan."
"Kita pasti berhasil!"
*** Naoko bangkit dari tidur ketika salah seorang mata-
matanya memberikan laporan tentang kedatangan Yo-
shioka itu. "Kirim pasukan untuk menghukumnya!"
Pada awalnya dua puluh lima ninja merah mengha-
dang rombongan Saburo Mishima. Mereka mencoba
menghalangi rombongan itu, tetapi mereka telah ter-lambat. Dua puluh lima orang
itu tidak berarti apa-apa dibanding Saburo dan Mitsunari. Kedua samurai itu
dibantu Mayumi dan Takeshi segera membuat mereka
kocar-kacir. Pertarungan tidak berlangsung lama, dengan sekali terjang para
ninja itu sudah bergelimpangan bermandikan darah.
Para samurai yang baru bergabung sesungguhnya
juga terbakar semangatnya, namun Saburo Mishima
mencegah mereka bertempur. Dia ingin memperli-
hatkan keperkasaan pengawal Yoshioka dalam me-
numpas musuh. Pameran kekuatan itu terbukti sangat berpengaruh pada semangat
para pengikut baru, mereka menjadi lebih bulat tekadnya untuk bergabung dengan
Yoshioka. Sepanjang malam mereka berkeliling kota, menye-
barkan berita tentang kepulangan putra Ashikaga. Ak-
hirnya ketika Saburo meninggalkan kota kembali ke hutan, sudah ada seribu lima
ratus samurai yang bergabung dengan mereka.
"Seribu lima ratus?" tanya Yoshioka. "Benar-benar luar biasa!"
"Kita harus berjuang lebih keras lagi," kata Saburo.
"Seribu lima ratus belum apa-apa dibanding pasukan Nobunaga."
"Tetapi untuk menaklukkan Kamakura...."
"Kita kembali tidak untuk menaklukkan Kamakura,
tetapi merebut kekuasaan seluruh propinsi Owari."
Takeshi bertanya, "Bagaimana langkah kita selan-
jutnya?" "Kita akan mulai keliling ke desa-desa di seluruh Owari."
"Owari ini memiliki delapan ratus desa...."
"Kita akan mengelilinginya."
"Gila!"
"Kita akan menghimpun seluruh kekuatan yang
ada." "Apakah kita tidak akan kehilangan waktu?"
"Tidak. Percayalah padaku."
Maka hari-hari selanjutnya Saburo memimpin rom-
bongan keliling ke desa-desa di Owari. Dan terbukti menjadi kenyataan, para
ronin dan samurai di desa-desa itu berbondong-bondong untuk bergabung de-
ngannya. *** Putri Naoko terperanjat ketika salah seorang mata-matanya datang padanya.
"Hamba mohon maaf, setelah hamba selidiki secara
teliti, ternyata kekuatan ninja hitam yang selalu menyelamatkan Saburo, terbukti
adalah rombongan pe-
nari Izu."
"Apa" Penari Izu?"
"Benar, Tuan Putri. Kami telah membongkar tempat
tinggal mereka dan kami menemukan sejumlah peralatan milik ninja. Bahkan kemarin
kami menemukan pakaian lengkap seorang ninja yang tertinggal dalam al-mari."
"Coba bawa kemari?"
Mata-mata itu menyerahkan seperangkat pakaian
milik ninja. Naoko mengamati dengan teliti. Ia tersentak ketika membaca tulisan
kecil di belakang pakaian itu berbunyi: Otami.
"Kurang ajar," desisnya marah. "Rupanya kita sela-ma ini menyimpan musuh dalam
selimut. Bawa kemari laki-laki jahanam itu!"
Otami saat itu sedang berbaring santai di ranjang Naoko. Tiba-tiba tiga orang
ninja datang kemudian menyeret dirinya.
"Hei, ada apa ini?"
Ketiga ninja itu seperti biasa, tetap membisu. Mereka mengikat tangan dan kaki
Otami, kemudian de-
ngan kasar menyeretnya ke hadapan Naoko.
Di ruang depan itu, kini sudah berkumpul para nin-ja. Mereka duduk membeku. Tak
seorang pun membu-
ka suara. Otami dipaksa bersimpuh di depan Naoko.
"Otami-san!"
"Ya, Tuan Putri."
"Engkau seorang mata-mata?"
"Mata-mata, apa maksudmu?"
"Kau adalah anggota ninja hitam."
"Bagaimana kau bisa menuduhku demikian?"
Naoko mengeluarkan pakaian hitam, dan menen-
dang ke depan Otami.
"Itu pakaianmu!"
Otami terdiam. Ia tak dapat menyangkal tuduhan
itu. Namun hasratnya untuk tetap hidup membuat ia bicara.
"Naoko-san," katanya sambil gemetar. "Dulu aku
memang ninja ketika datang kemari. Seluruh rombo-
ngan penari Izu sesungguhnya ninja yang ingin membalas kematian akibat
keluarganya ditumpas oleh Yang Mulia Oda Nobunaga. Tetapi sesudah bertemu
denganmu, aku sudah berjanji untuk setia padamu. Aku bersumpah."
"Kesetiaanmu tidak berarti apa-apa untukku," kata Naoko tegas.
"Ampunilah aku, Naoko-san."
Naoko berjalan menjauh, ia kemudian meminta pi-
sau pendek milik salah seorang pengawalnya.
"Kalau engkau ingin membuktikan kesetiaanmu,"
kata Naoko penuh tekanan. "Buktikan sekarang juga.
Aku ingin kau melakukan seppuku."
Otami menangis mengguguk. Rasanya ia tak mem-
peroleh kesempatan lagi untuk hidup. Seluruh angan-angannya lenyap. Padahal baru
beberapa jam yang lalu ia bercinta dengan Naoko. Memuaskan wanita itu hingga ia
menjerit-jerit karena permainannya. Tiba-tiba sekarang Naoko memintanya
melakukan seppuku. Tak
ada rasa iba atau penyesalan sedikit pun ketika wanita itu menyuruhnya seppuku.
Sinar matanya tetap seperti biasa, bahkan terasa lebih kejam.
Salah seorang ninja membuka ikatan tangan Otami,
kemudian memberikan pisau kecil berkilat ke tangannya.
Dengan gemetar Otami menerima pisau itu. Ga-
gangnya terasa dingin di tangan.
Ini benar-benar terkutuk! Bahkan aku tidak diberi kesempatan melakukan upacara
sebagaimana seharus-nya seppuku dilakukan. Perempuan jahanam itu seakan hanya
ingin menyaksikan kematianku! Benar-benar
bedebah! "Naoko-san...." Otami masih mencoba memperpan-
jang umurnya. Naoko tetap menatapnya tenang.
"Penuhilah sumpahmu," kata Naoko dingin. "Aku
ingin melihat kesetiaanmu."
"Engkau benar-benar perempuan jahanam!"
Seusai berkata begitu, secara tak terduga tiba-tiba Otami melenting ke atas
menuju ke arah Naoko. Ek-spresi wajahnya memancarkan amarah dan ingin me-
nikam Naoko. Kedua pengawal Naoko segera bertindak. Sebelum
tubuh Otami sampai di tanah, kedua pengawal itu telah menyambutnya dengan
tebasan pedang menyilang.
Otami langsung ambruk ke lantai dengan darah me-
nyembur dari urat leher dan dadanya. Sebelum ia merasakan kesakitan akibat
tebasan itu, salah seorang pengawal Naoko langsung memenggal kepalanya.
Naoko menatap kepala Otami menggelinding ke
arah kakinya, lalu pelan-pelan ia pergi meninggalkan tempat itu.
*** PERMAINAN NAOKO
FAJAR. Udara jernih. Langit seperti telaga. Biru menghampar di atas awan. Mega-
mega putih yang melayang rendah, dari jauh terlihat mirip gumpalan kapas tipis.
Seorang penjaga perbatasan memacu kudanya me-
nuju ke Istana Kamakura. Sebelum binatang itu berhenti, lelaki itu telah
melompat dari pelana.
"Di mana Tuan Putri Naoko?" ia bertanya.
Salah seorang pengawal menjawab, "Di taman."
Lelaki itu berlari menuju ke taman dengan napas
terengah-engah. Wajahnya berkeringat karena baru sa-ja melakukan perjalanan
jauh. Naoko sedang memberi makan ikan di kolam. Ia
tampak gembira menyaksikan ikan-ikan berwarna me-
rah berlarian di dalam kolam. Airnya yang jernih membuat ikan itu tampak dari
atas. Salah seorang pengawalnya telah memberitahukan tentang kehadiran penjaga
perbatasan itu.
"Biarkan dia kemari," kata Naoko datar.
Penjaga perbatasan itu bersujud di depannya.
"Gawat, Tuan Putri. Gawat!" kata penjaga perbata-
san itu terengah-engah.
"Apanya yang gawat?"
"Yang Mulia Nobunaga mengirim seribu pasukan
kemari. Tampaknya mereka membawa maksud yang
kurang baik. Bila tidak demikian, tidak mungkin seribu pasukan dikirim kemari."
"Sampai di mana mereka sekarang?"
"Saya terburu-buru, karena ketika saya bangun,
saya lihat mereka telah memasuki perbatasan. Pasukan itu dipimpin oleh murid-
murid Perguruan Yagyu."
"Kira-kira berapa lama lagi mereka akan sampai di sini?"
"Mungkin menjelang tengah hari."
"Baiklah kalau begitu, biarlah aku menyambut me-
reka. Sekarang kau kembali ke posmu agar tetap bisa mengirim laporan."
"Baik, Tuan Putri."
Sesudah mata-mata itu pergi, Naoko memutar otak
dengan keras, mencoba mencari jalan keluar dari ke-sulitan yang mungkin akan dia
hadapi. Akhirnya dia memanggil pengawalnya.
"Beritahukan pada para ninja untuk melepas pa-
kaian mereka, dan kenakan pakaian seperti umumnya pengawal istana," perintah
Naoko tegas. "Jangan ada
seorang pun yang tidak menjalankan perintah ini."
"Baik, Tuan Putri."
"Menjelang tengah hari nanti, pasukan Oda Nobu-
naga akan memasuki Kamakura. Biarkan mereka ma-
suk dan harus kita terima dengan baik. Jangan sampai terjadi pertikaian walaupun
sekecil apa pun."
"Baik, Tuan Putri."
"Pancangkan kepala Otami di depan gerbang istana
agar seluruh pasukan Nobunaga dapat melihatnya."
"Baik."
"Laksanakan segera, setelah itu kau temui aku lagi."
Pengawal itu segera pergi.
*** Pasukan di bawah pimpinan Hiroshi mulai memasuki
Kamakura. Pada awalnya sikap mereka tampak was-
pada. Mereka seakan berada di tengah kemungkinan adanya sergapan musuh. Tetapi
setelah mereka masuk ke arah istana, dan ternyata tidak sesuatu pun terjadi,
pasukan itu menjadi tenang. Mereka berjalan sambil bersenda-gurau.
Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo duduk di atas pung-
gung kuda dengan gagah. Pandangan mereka menatap
lurus ke arah gerbang istana. Pintu gerbang itu telah dibuka.
"Rasanya tidak ada yang mencurigakan," kata Mi-
koto pada Hiroshi. "Mereka sangat ramah menyambut kedatangan kita."
"Kita harus tetap waspada."
"Kalau mereka bermain-main dengan kita, aku akan
melumatkan seluruh istana ini."
Pandangan mereka sekarang tertuju pada kepala
Otami yang dipancangkan di ujung tombak. Kepala itu berlumur darah, sementara
mata dan mulutnya mulai dikelilingi lalat hijau. Sepintas pemandangan itu jadi
sangat mengerikan.
"Kepala siapa itu?" Hiroshi bertanya.
"Nanti kita tanyakan pada Naoko-san."
Ruang pertemuan istana menjadi hangat. Naoko te-
lah memerintah agar pasukan Hiroshi disambut sela-yaknya prajurit yang baru saja
menang perang. Selain sake dan makanan yang lezat-lezat, Naoko telah
mendatangkan penari-penari terbaik Kamakura untuk menghibur orang-orang itu.
Akhirnya sepanjang sore dan malam hari itu mereka menghabiskan waktu untuk
bersuka ria. Hiroshi, Mikoto, dan Yotomo sendiri baru sekali itu merasakan pesta, sesudah
beberapa lama mengalami
ketegangan di medan perang, karena itu mereka me-
nikmati sambutan Naoko dengan penuh kegembiraan.
Mereka melupakan sejenak tugas yang diberikan oleh Oda Nobunaga.
Di tengah pesta itu, Naoko bertanya, "Apa sebenarnya perintah Yang Mulia
Nobunaga sehingga dia harus mengirimkan seribu orang kemari?"
Sambil menikmati sake, Hiroshi berkata pada Nao-
ko, "Yang Mulia banyak mendengar hal-hal buruk tentang Kamakura. Ada berita yang
mengatakan bahwa
Tuan Putri sekarang memperkuat pasukan untuk me-
rebut kekuasaan Yang Mulia Nobunaga."
"Itu fitnah!" sahut Naoko cepat. "Mana mungkin aku mengkhianatinya. Tak pernah
terpikir sedikit pun mengenai hal itu."
"Rupanya ada orang yang ingin memecah belah ki-
ta." "Benar. Kurasa musuh mulai menggunakan taktik memecah belah."
Yotomo bertanya, "Lalu siapa yang mencegat utusan Yang Mulia sehingga tidak
sampai di sini?"
Naoko menukas, "Apakah engkau belum mendengar
tentang sepak terjang Saburo Mishima?"
"Saburo?"
"Ya. Sejak beberapa bulan ini panglima Ashikaga itu telah menghimpun kekuatan
dari para ronin dan shugyosa di Owari. Dia menggunakan putra Ashikaga untuk
memperoleh dukungan. Dialah yang melakukan
pencegatan utusan Yang Mulia Nobunaga di hutan."
"Dia berani memasuki Kamakura?"
Shugyosa Samurai Pengembara 10 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah yang terjadi. Kudengar dia tengah memper-
siapkan pasukan untuk merebut istana. Karena itu kalau aku menambah jumlah
pengawal istana, bukan
maksudku untuk merebut kekuasaan Yang Mulia, te-
tapi semata-mata untuk mempertahankan diri apabila Saburo menyerang."
"Lantas siapa laki-laki yang dipenggal kepalanya
itu?" "Mata-mata Saburo Mishima."
"Kalau begitu seberapa jauh bahaya Saburo untuk
Tuan Putri?"
"Sangat berbahaya. Kalau saja kalian bersedia me-
numpas pasukan Saburo, aku akan berterima kasih
sekali. Kelak bila Yang Mulia datang, jasa kalian akan kusampaikan agar kalian
memperoleh hadiah yang sepantasnya."
"Kewajiban kami untuk melindungi Istana Kama-
kura." "Kalau begitu biarlah aku menulis surat untuk Yang Mulia sehubungan dengan
penumpasan pasukan Saburo Mishima."
"Kedengarannya menyenangkan. Tetapi biarlah ka-
mi menikmati pesta ini lebih dulu."
*** Pagi hari, ketika matahari mulai merayap ke ujung
daun, seluruh pasukan Hiroshi telah berbaris di ger-
bang istana. Meskipun tampak masih letih akibat pesta sepanjang malam, namun
mereka mencoba mela-
wan kantuk. Hiroshi berjalan gontai menuju kudanya.
"Kita akan berperang," kata Hiroshi dari atas ku-
danya. "Saburo Mishima kini tengah menghimpun ke-
kuatan di dalam hutan. Mereka sedang merencanakan menyerbu kemari. Karena itu,
kita akan bergerak lebih dulu. Tugas kita adalah menumpas seluruh kekuatannya.
Jangan sampai ada yang tersisa."
Didahului suara genderang, pasukan Hiroshi mulai
meninggalkan gerbang istana. Mereka bergerak me-
nuju hutan di tepi Kamakura.
Sesaat setelah Hiroshi meninggalkan gerbang, Nao-
ko berkata pada pengawalnya, "Biarkan mereka ber-
tempur untuk kita. Mari kita sekarang mengatur siasat untuk meraih kemenangan."
*** YOSHIOKA TERBELALAK
HUJAN gerimis mengguyur hutan di perbatasan Owari.
Orang-orang berjalan bergegas. Mereka memakai daun pisang sebagai payung. Sejak
kemarin gerimis memang menebar di sekitar hutan. Mendung hitam seakan sengaja
tak menjatuhkan hujan lebat. Gerimis yang seperti sisir kaca terlihat berkilauan
terkena sinar matahari.
Dari sebuah jalan setapak, tampak Yoshioka berja-
lan menuju kedai minum di desa Imaji. Pada sore hari, biasanya dia ke sana untuk
mencari sesuap nasi. Ini pun harus ia lakukan secara hati-hati. Pengalaman yang
lalu, ketika ia berjumpa Ishida Mitsunari, masih membayangi pikirannya.
Benarkah Mitsunari kini berpihak pada Saburo" Atau itu dikemukakan hanya untuk
memerangkapku"
Yoshioka merasa beruntung ketika itu dia dapat segera menghilang ke dalam hutan.
Tak dapat dibayangkan kalau saat itu Mitsunari mengetahui siapa dirinya.
Kalau dia tahu, mungkin sekarang kepalaku sudah menggelinding di tanah.
Yoshioka menjadi terbeliak ketika menyaksikan ri-
buan prajurit Nobunaga berada di tanah lapang dekat kedai itu. Pada mulanya ia
ragu, tetapi setelah melihat para prajurit itu tengah duduk-duduk istirahat,
Yoshioka memberanikan diri terus berjalan ke arah kedai itu. Dengan hati-hati
Yoshioka menyelinap di antara tubuh para prajurit, kemudian ia berdiri di dekat
kedai. Pada saat itu ia melihat beberapa prajurit sedang membersihkan pedang. Seketika
muncul pikiran di benaknya.
Yoshioka mendekati salah seorang prajurit.
"Saya bisa membersihkan pedang Bapak kalau Ba-
pak mau," kata Yoshioka sambil tersenyum.
Prajurit itu memandangnya.
"Kau bisa membersihkannya?"
"Ya. Ayah saya seorang samurai jadi saya sering
membersihkan pedangnya.
"Aku tidak bisa membayarmu."
"Cukup satu bungkus nasi dan Bapak akan menda-
patkan pedang Bapak seperti baru kembali."
"Untuk sebungkus nasi. Baiklah."
Yoshioka segera mengeluarkan kain dari kantung-
nya, kemudian mulai menggosok sarung pedang milik prajurit itu. Dengan teliti ia
bersihkan debu-debu serta karat di sarung pedang tersebut. Cara kerjanya yang
teliti rupanya menarik perhatian para samurai lain.
Beberapa di antara mereka segera memberikan pe-
dangnya untuk dibersihkan.
Tanpa mengeluh Yoshioka membersihkan semua
pedang itu. Ketika keadaannya sudah tepat, Yoshioka bertanya,
"Bapak-bapak mau ke mana?"
"Mau menumpas gerombolan penjahat," jawab pra-
jurit yang pertama memberikan pekerjaan pada Yoshioka.
"Menumpas penjahat" Di mana?"
"Di hutan. Gerombolan Saburo Mishima."
Yoshioka terperanjat.
"Apakah dia berada di hutan?"
"Ya. Mereka tengah menghimpun kekuatan untuk
merebut Istana Kamakura, karena itu kami mendapat perintah untuk menumpasnya."
"Kenapa mesti dengan begini banyak orang" Apakah
Saburo memiliki kekuatan yang besar?"
"Ya. Orang mengatakan prajuritnya tak kurang dari dua ribu orang."
"Dua ribu?"
"Benar."
Yoshioka terus berpikir. Bagaimana pun prajurit
yang kini berada di hadapannya dapat dimanfaatkan untuk menjumpai Saburo
Mishima. "Bolehkah saya ikut Bapak?"
"Ikut" Ke mana?"
"Ke mana saja, saya ingin menyaksikan prajurit ini menumpas gerombolan
penjahat."
"Kami sendiri belum tahu di mana Saburo ber-
sembunyi. Kami harus terus melakukan pengejaran
tanpa mengetahui di mana dia berada."
"Biarlah saya ikut Bapak. Paling tidak saya dapat membersihkan senjata Bapak,
atau bahkan bisa menjadi pembawa sandal Bapak."
"Pembawa sandal?"
"Ya, kenapa tidak?"
Prajurit itu tertawa berderai-derai. Ia memeluk Yoshioka dengan wajah gembira.
Hanya samurai ber-
pangkat yang dapat membayar pembawa sandal atau
pembersih pedang. Mereka biasanya mampu memba-
yar karena memperoleh bayaran tinggi dari majikannya. Sekarang samurai itu
merasa beruntung karena ada anak yang menawarkan tenaganya tanpa bayaran.
"Siapa namamu?"
"Kojiro."
"Kojiro, baiklah. Engkau ikut denganku. Tapi ja-
ngan rewel."
"Terima kasih. Nama Bapak siapa?"
"Genza. Panggil aku Genza."
"Baik."
Sejak sore itu Yoshioka ikut rombongan prajurit tersebut. Dia selalu berjalan di
samping Genza sambil membawa sandal dan peralatan perangnya. Meskipun
bawaan Genza tidak banyak, tetapi karena perjalanan yang mereka lakukan cukup
jauh, Yoshioka merasakan beban itu kian lama kian berat.
Genza sesekali melirik Yoshioka, tetapi kemudian
dia pura-pura tak melihatnya. Laki-laki itu membiarkan Yoshioka menggendong
semua miliknya.
Mereka berjalan menyusuri hutan, naik turun le-
reng bukit, tetapi tak seorang pun mengetahui tujuan perjalanan itu. Mata-mata
yang selalu muncul pada sore hari, tak pernah memberikan tujuan yang jelas.
Gerombolan Saburo seakan merupakan siluman yang
dapat menghilang begitu saja. Karena terus menerus berjalan tanpa tujuan,
akhirnya sebagian prajurit dijangkiti kebosanan. Yoshioka dapat merasakan hal
itu. Ia pun dijangkiti rasa putus asa. Yoshioka menganggap ikut pasukan Hiroshi
sesungguhnya konyol, namun ia tak melihat pilihan lain.
Mereka menembusi hutan dan desa-desa di wilayah
Owari, namun tak pernah ditemukan gerombolan Sa-
buro. Mereka hanya bertemu petani-petani, peladang, dan penduduk kampung yang
bersikap memusuhi.
Orang-orang itu jarang yang mau membicarakan ten-
tang Saburo Mishima.
"Kenapa mereka sepertinya memusuhi kita?" suatu
hari Yoshioka bertanya pada Genza saat mereka istirahat.
"Karena mereka berpihak pada Saburo."
"Kenapa mereka berpihak pada Saburo?"
"Menurut pikiran mereka, Saburo lebih memberikan
jaminan ketentraman dibanding Oda Nobunaga."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena menurut pikiran mereka, bila putra Ashi-
kaga kembali berkuasa, ketentraman dapat diwujud-
kan seperti dulu semasa Yang Mulia Ashikaga berkua-sa."
"Apakah memang lebih baik?"
"Ya," jawab Genza sambil menoleh ke kanan ke kiri.
"Kalau saja Yang Mulia Ashikaga tidak jatuh, aku tidak akan pernah jadi ronin.
Dulu aku seorang prajurit Ashikaga."
"Kenapa sekarang melawannya?"
"Demi sesuap nasi. Oda Nobunaga menjadikan se-
Pengelana Rimba Persilatan 3 Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Harpa Iblis Jari Sakti 34