Pencarian

Samurai Pengembara 2 2

Shugyosa Samurai Pengembara 2 Bagian 2


Osaka. Tempat itu dibentengi sejumlah bukit kecil serta hutan pinus, suatu
keadaan yang sangat baik untuk medan pertempuran. Dahulu, ketika ia masih
menjadi panglima perang Ashikaga, Mitsunari beberapa kali
memimpin latihan perang di tempat itu. Sambil duduk di atas pelana kuda, ia
memimpin lebih dari seribu
samurai yang berlatih dengan penuh semangat. Pada
saat itu ia memiliki karier yang cemerlang. Sebagai seorang bangsawan ia
mempunyai sebuah puri dan istri yang cantik. Kehidupannya benar-benar menye-
nangkan. Semua berubah ketika Konishiwa menghasutnya
untuk berpihak pada Nobunaga. Seluruh karier serta
impiannya lenyap seketika, dan dirinya terusir dari Kamakura. Ia menanggungkan
kenistaan yang mengeri-
kan! Bagaimana dengan nasib isteriku"
Satu tahun sebelum peristiwa naas tersebut terjadi, Mitsunari baru saja
mengawini Ashami, seorang gadis rupawan dari Kyoto. Mereka belum dikaruniai
anak, namun kecantikan istrinya telah membuat Mitsunari
bahagia. Ia merasa sangat beruntung memiliki istri
yang memberikan kesetiaan serta hidupnya bagi sua-
mi. Ashami benar-benar seorang istri yang luar biasa.
Bukan hanya cantik, tetapi juga pintar memasak, dan memberikan pelayanan sebaik-
baiknya bagi Mitsunari.
Selama berbulan-bulan bersembunyi di kuil, kerin-
duan terhadap istrinya sering menyeruak dalam ha-
tinya. Mitsunari ingin kembali ke Kamakura, menemui Ashami, lalu (seperti dulu)
bercinta sepanjang hari di dalam kolam air hangat. Ingin sekali ia mengulang ma-
sa-masa indah itu. Karena itu, ketika kerinduan tersebut tak tertahankan lagi,
Mitsunari meninggalkan kuil untuk kembali ke Kamakura. Selama tiga bulan, ia
membiarkan kumis serta cambangnya tumbuh lebat.
Dengan cara itu ia berharap tak ada orang yang men-
genalinya. Dengan menempelak bayangan getir itu, Ishida Mit-
sunari berjalan menyusuri tepi hutan pinus. Matanya tertunduk, kakinya seperti
tenggelam dalam rumput
kering. Seekor burung kecil yang terbang di langit
tampak berputar-putar seakan penari yang tengah
memperlihatkan kepandaiannya.
Dengan langkah tertatih-tatih, Mitsunari memper-
cepat langkahnya. Tiba-tiba seorang perempuan tua
muncul di atas dataran rumput dengan wajah terkejut.
Entah apa yang sedang dilakukan perempuan itu hing-
ga ia berada di situ. Wajahnya yang bundar dengan
kulit berkeriput sejenak menatap Mitsunari, lalu be-ringsut mundur ketakutan.
Kimononya yang berwarna
hijau muda terlihat samar-samar di tengah hamparan
rumput di sekitarnya.
Mitsunari juga kaget karena pertemuan mendadak
itu. Ia menatap tajam perempuan di depannya, lalu
mencoba bersikap ramah dengan bertanya, "Apa yang
sedang engkau lakukan?"
"Siapa engkau?" perempuan itu justru balik berta-
nya. Hampir saja Mitsunari marah, sebagai seorang bang-
sawan, belum pernah ia menghadapi peristiwa seperti itu. Tak seorang rakyat pun
akan berani bersikap demikian terhadapnya. Namun kini, ia mencoba mene-
kan perasaannya, lalu menjawab, "Saya seorang pe-
ngembara."
"Engkau samurai pengembara?"
"Benar."
"Pernahkah engkau tinggal di Kamakura?"
"Belum. Belum pernah. Kenapa?"
"Oh, tidak. Barangkali mataku saja yang salah me-
lihat. Wajahmu seperti seseorang yang pernah kuken-
al, tetapi entah siapa."
"Barangkali orang yang mirip denganku."
"Oh, ya, kukira begitu."
Mitsunari menahan napas panjang. Ia mencoba
menunggu apakah perempuan itu mengenalinya. Ter-
nyata tidak. Karena itu ia berkata, "Saya heran melihat rumput dan perdu di sini
sudah tumbuh. Padahal musim semi baru akan mulai."
"Sekarang musim tidak dapat dipegang. Tahun lalu,
musim semi bahkan berlangsung seperti musim kema-
rau. Matahari panas seperti tembaga di atas tungku."
"Saya juga merasakannya."
Perempuan itu mengambil keranjangnya yang pe-
nuh berisi sledri, lobak, dan daun kering. Ia meletakkan keranjang itu ke
pinggulnya, lalu mulai berjalan meninggalkan tempat tersebut. Mitsunari
melangkah mengikuti, lalu bertanya, "Apakah engkau mempunyai
segelas air untukku?"
Perempuan tersebut berhenti. Ia menoleh, "Aku se-
dang menemani anakku melukis. Kalau engkau mau,datanglah ke tempat kami, di sana ada segelas sake yang menyegarkan."
"Terima kasih kalau begitu."
Mereka berjalan beriringan menuju ke tepi hutan
pinus kira-kira lima ratus meter dari tempat mereka bertemu. Setelah berjalan
kira-kira lima menit, Mitsunari melihat hamparan tatami di dekat pohon ek, pada
lereng yang landai. Di situ terdapat juga macam-ma-
cam alat yang biasa dipergunakan untuk melakukan
upacara minum teh. Termasuk ketel besi di atas api
tungku, dan cerek air dari tanah liat.
Laki-laki yang dilihat Mitsunari, mengingatkan
orang pada boneka porselen besar yang mengingatkan
dirinya pada seorang pangeran di Kyoto karena kulitnya yang putih halus mirip
marmer. Garis wajahnya
yang berbentuk oval, menampilkan pancaran kekuatan
pribadi yang mempesona. Meskipun perutnya besar,
namun tidak mengurangi ketampanannya.
"Yukio," perempuan tua tersebut menyebut nama
lelaki itu. "Seorang samurai mengharapkan kita dapat memberinya segelas air,
karena itu aku menawarkan
segelas sake."
Mitsunari membungkukkan badan ketika lelaki itu
menoleh padanya. Nama Yukio, mengingatkan Mitsu-
nari pada orang yang sangat terkenal di Osaka. Sebagai seorang bangsawan, Yukio
memiliki hubungan de-
kat dengan para shogun. Bahkan para prajurit di Osa-ka, akan segera turun dari
kuda apabila lewat di depan puri milik Yukio agar tak memberi kesan meren-
dahkannya. Nama Yukio sangat dikenal di kalangan istana kare-
na usahanya membuat berbagai perhiasan emas men-
jadi langganan orang-orang istana. Sejak Ashikaga, Nobunaga, Miyotomi, hingga
Mitsuhiro sangat menyukai
perhiasan buatan Yukio. Kemasyhuran Yukio, tidak
saja karena ia seorang pedagang emas kaya, tetapi ju-ga bakat seninya yang luar
biasa. Yukio juga seorang pelukis, penggubah syair, dan pelukis kaligrafi yang
hebat. Ia mengikuti aliran Sammyakuin dari timur
yang sangat populer dewasa ini. Yukio tampak tengah melukis di atas lembaran
kertas yang diletakkan di tanah. Dengan hati-hati ia membuat sketsa hutan pinus
yang membentang di hadapannya. Sejumlah lukisan
lain tampak berserakan di sekitar tempat itu. Mitsunari beberapa kali melihat
karya Yukio di Istana Kamakura, namun tak pernah ia bayangkan suatu hari bak-
al bertemu dengan pelukisnya.
"Apakah Anda mau minum teh bersama kami?" Yu-
kio bertanya ramah pada Mitsunari.
"Terima kasih. Kalau Anda tidak keberatan...."
"Silakan, kami memang tengah menyeduh teh un-
tuk menghadapi makan siang. Kalau Anda mau, kami
pun tidak keberatan bila Anda mau menemani kami.
Udara di sini segar, sehingga cocok untuk beristirahat.
Bukankah Anda telah melakukan perjalanan yang
jauh?" "Ya, terima kasih," kata Mitsunari. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di atas
kursi kecil yang ada di depan Yukio.
"Kalau saya dapat memperoleh sedikit lagi sayuran,"
sambung wanita tua itu, "saya dapat membuat bubur
yang enak. Mungkin sangat cocok untuk perut kita
yang lapar."
Mitsunari berkata hormat, "Saya tidak tahu bagai-
mana harus mengucapkan terima kasih pada Anda
berdua." Di tengah suasana penuh persahabatan itu, Mitsu-
nari merasa damai. Ia menekan api kebencian di dalam dirinya, seperti seekor
harimau menyembunyikan ca-karnya. Pertama kali dalam hidupnya, ia merasa me-
miliki sahabat yang membuatnya lebih tenang. Lebih-
lebih keadaan kakinya yang buntung, seakan tidak
menjadi persoalan bagi Yukio maupun ibunya. Mereka
menerima Mitsunari tanpa penghinaan.
"Kelihatannya Anda baru saja mengadakan perja-
lanan jauh," kata Yukio tanpa tekanan. "Kalau boleh saya tahu, apakah Anda
berasal dari Kyoto?"
"Tidak," jawab Mitsunari. "Saya dari Edo."
"Edo. Kota yang menyenangkan. Saya pernah ting-
gal di sana untuk suatu keperluan dagang. Tidak ber-lebihan bila saya katakan,
Edo merupakan kota yang
mempesona."
Sesudah mengajukan beberapa pertanyaan, Mitsu-
nari tahu kedua orang itu memang sering melakukan
perjalanan untuk melukis. Wanita itu ternyata ibu Yukio, seorang perempuan yang
sangat memperhatikan
bakat anaknya. Sambil membawa ketel teh, wanita itu menuang ke
cangkir Mitsunari sambil berkata, "Teh dari Kamakura terasa pahit, namun sangat
membantu pencernaan
makanan. Karena itu baik sekali diminum menjelang
makan." Wanita tersebut meletakkan cangkir di depan Mit-
sunari, lalu mengajak minum teh bersama. Cara bicara perempuan itu lembut,
seperti bicara dengan cucunya.
Ini menyebabkan Mitsunari tersentuh. Akhirnya ia bicara dengan cara biasa,
berusaha membuat suasana
tidak kaku. Sementara mereka berbincang-bincang,
matahari sudah merangkak ke langit. Cahayanya me-
nyebar menerangi hamparan rumput di sekitarnya.
"Kenapa Anda datang ke Kamakura?" tiba-tiba Yu-
kio bertanya sambil terus melukis. "Apakah Anda me-
miliki saudara di sana?"
"Tidak," jawab Mitsunari tanpa tekanan. "Saya ha-
nya ingin singgah sebentar sebelum meneruskan perjalanan ke Edo."
"Oh, saya pikir Anda ingin berkunjung dalam waktu
lama." "Tidak."
"Biasanya, pada musim seperti ini, saya berada di
Kamakura," lanjut Yukio lembut. "Tetapi sekarang keadaan tidak memungkinkan.
Suasana perang masih te-
rasa di sana. Lebih-lebih tekad Shogun Nobunaga un-
tuk menangkap Saburo dan Yoshioka begitu besar se-
hingga dia mendatangkan sejumlah samurai dari luar
kota untuk mengejar mereka. Kedatangan para samu-
rai yang haus darah membuat kota Kamakura tidak
nyaman untuk beristirahat."
Ishida Mitsunari berusaha tak memperlihatkan pe-
rasaan tertariknya. Ia diam saja sambil melihat bagaimana cara Yukio memainkan
kuas di atas kertas. Di
sela-sela waktu berpikir untuk menuangkan ide, lelaki tersebut mengangkat
cangkir, lalu menikmati sake di cangkirnya. Caranya minum sangat lembut dan
penuh keanggunan. Sesuatu yang khas dilakukan keluarga
bangsawan. Wanita tua itu meninggalkan api dan meletakkan
cangkir teh di depan mereka. Tidak perlu disangsikan lagi, ia betul-betul ahli
dalam upacara teh. Gerak-gerik-nya anggun, namun alamiah, sedang tangannya yang
lembut itu lemah gemulai. Meskipun umurnya sudah
lebih dari enam puluh tahun, ia tampak pantas dijadikan teladan bagi wanita
dalam menyelenggarakan upa-
cara minum teh.
Mitsunari merasa kagum pada wanita itu. Lebih-
lebih kue kismin yang disebut manju, terasa enak sekali. Kue itu diletakkan di
atas daun hijau yang jenis-nya tak terdapat di sekitar tempat itu. Semua sangat
teratur dan rapi, seakan memenuhi segala aturan dalam suatu upacara yang sakral.
Sesudah semua terhidang dengan sempurna, me-
reka makan bersama-sama. Mitsunari mengambil nasi
dan lauk-pauk, nafsu makannya begitu besar karena
sudah lama ia tidak menikmati makanan seperti yang
saat ini terhidang di depannya. Ia makan dengan la-
hap. "Apakah Anda memiliki saudara di Kamakura?" ti-
ba-tiba Yukio bertanya.
Mitsunari diam sejurus, lalu menjawab, "Tidak."
"Syukurlah. Kalau ada sebaiknya Anda sarankan
untuk segera meninggalkan kota itu. Shogun Nobuna-
ga telah mengubah kota itu menjadi kota pelacuran
kedua setelah Yoshiwara. Untuk menjamu para pen-
dekar yang bersedia bertempur di pihaknya, ia mendatangkan sejumlah geisha ke
Kamakura. Para samurai
yang biasanya haus darah, kini setiap hari berpesta pora, sambil menunggu
perintah untuk berperang."
Mitsunari terpancing bertanya, "Seperti itukah kea-
daan Kamakura saat ini?"
"Ya. Keadaannya sangat buruk untuk diceritakan."
"Pernahkah Anda berdua ke Kamakura dalam wak-
tu dekat ini?"
"Dua hari lalu kami berada di sana. Tetapi kami ha-
nya menginap semalam. Buat kami, tidak ada lagi yang menarik untuk kami lihat di
sana." Sesungguhnya Mitsunari ingin langsung bertanya
mengenai keadaan istrinya, siapa tahu kedua orang
tersebut mengetahui, namun ia ragu-ragu, khawatir
pertanyaan itu justru membuka penyamarannya. Ka-
rena itu Mitsunari diam. Ia berpikir keras untuk memperoleh jalan keluar.
"Tahukah Anda desas-desus terakhir di kota itu?"
tiba-tiba Yukio bertanya.
"Sudah saya katakan, lama saya tidak mengunjungi
Kamakura."
"Setidaknya, Anda mendengar berita dari sana?"
"Tidak juga. Desas-desus apa maksud Anda?"
"Saat ini Shogun Nobunaga tengah mengumpulkan


Shugyosa Samurai Pengembara 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih dari dua ribu samurai di istananya, karena dia ingin memerangi Shogun
Miyotomi. Rupanya dia ingin
meluaskan kekuasaannya hingga Kyoto dan Edo. Me-
nurut desas-desus, semua itu dilakukan atas hasutan geisha simpanannya, Naoko-
san." "Perempuan laknat itu?"
Yukio mengangkat kepala. "Apakah Anda menge-
nalnya?" Mitsunari menyadari telah kelepasan bicara, karena
itu ia berusaha menutupinya, "Eh, hanya pernah lewat dan mendengar tentang sepak
terjang perempuan itu."
"Saya tidak tahu kenapa seorang shogun begitu mu-
dah takluk di kaki seorang geisha."
Perempuan tua di sebelah Yukio menyambung, "Me-
reka tidak pernah menyadari, perang sesungguhnya
hanya menciptakan kepedihan. Tragedi."
"Benar," sahut Yukio. "Hanya tragedi. Contoh yang
paling baru adalah keluarga Ishida Mitsunari."
Mitsunari mencoba tenang, tetap menikmati sake di
cangkirnya. Ia tak menduga bakal mendengar berita
mengenai istrinya tanpa harus bertanya. Karena itu ia diam. Menunggu.
"Setelah Ishida Mitsunari diusir dari Kamakura, ia
kini menjadi buronan ratusan samurai yang mengha-
rapkan hadiah. Istrinya yang cantik kini mengalami
penderitaan yang belum pernah ia bayangkan. Shogun
telah menjadikan istri Mitsunari sebagai pelacur yang harus melayani kebutuhan
seksual para samurai pili-hannya."
Berita itu sangat tidak terduga, dan sangat menge-
jutkan bagi Mitsunari sendiri. Hampir saja cangkir di tangannya lepas kalau ia
tidak segera menyadari situ-asinya. Tangannya bergetar karena menahan api ke-
marahan yang memberontak di dadanya. Ia segera me-
letakkan cangkir, kemudian kedua tangannya diletak-
kan di atas lutut agar tak gemetar.
"Perang hanya melahirkan penderitaan," kata pe-
rempuan tua di samping Yukio. "Tidak hanya bagi laki-laki, tetapi terlebih bagi
wanita. Kaum laki-laki sangat bodoh kalau mengatakan perang merupakan urusan
mereka. Tidak. Kenyataannya, justru banyak kaum
wanita yang menjadi korban peperangan. Tidak dengan nyawanya, tetapi dengan
kehormatannya."
Mitsunari berusaha sekuat hati untuk bertanya te-
nang, "Di mana sekarang istri Mitsunari tinggal?"
Tanpa prasangka Yukio menjawab, "Di rumah pela-
curan geta. Di sana setiap hari dia harus melayani pa-ra samurai yang ingin
mengumbar nafsunya."
Pertahanan Mitsunari jebol juga akhirnya, "Terima
kasih. Sekarang saya harus pergi."
Mitsunari berdiri dengan susah payah.
"Kenapa...," tiba-tiba pertama kali Yukio menyadari kaki lelaki di depannya
hanya satu. "Apakah Anda
Ishida Mitsunari?"
Mendengar namanya disebut, Mitsunari berhenti.
"Benar," jawabnya dingin. Lalu dengan kecepatan
tak terduga ia telah mencabut pedang dan menebas
kedua orang di depannya.
*** ILMU KESEIMBANGAN
KAJIMA, sebuah bukit berhutan pinus, seratus mil di sebelah tenggara Kamakura.
Di tengah hutan tersebut terdapat Kuil Yajima yang menghadap ke arah barat
laut dan terletak hampir di puncak bukit itu.
Dengan mendaki kedua ratus buah anak tangga ba-
tu menuju kuil itu dan memandang ke belakang dari
tempat sebuah torii yang dijaga sepasang anjing dari batu, Kojiro dapat
menyaksikan betapa indah pemandangan di sekitarnya. Gunung Fuji samar-samar men-
julang di balik awan. Semua menampakkan panorama
indah yang tidak berubah sepanjang abad. Di puncak
bukit tumbuh dua batang pohon pina, yang dahan-
dahannya terpilin dan terangkai membentuk sebuah
torii (tiang gerbang kuil) melengkapi pemandangan menakjubkan di sekitarnya.
Pucuk-pucuk pohon pina itu setelah musim dingin tampak hijau tua.
Kuil Yajima dibuat untuk Watatsumi-Mikoto, dewa
laut. Kuil ini memiliki enam puluh buah cermin pe-
runggu. Satu di antaranya berbentuk anggur, berasal dari abad kedelapan. Lainnya
merupakan tiruan dari
sebuah cermin Cina berasal dari zaman Enam Dinasti, yang jumlahnya di seluruh
Jepang hanya ada delapan
atau sembilan buah saja; rusa-rusa dan tupai yang di-lukiskan pada bagian
belakang cermin itu tentulah berasal dari rimba Persia beberapa abad silam dan
telah menjelajah setengah belahan bumi, mengarungi benua
yang luas dan lautan tanpa tepi, sampai akhirnya me-netap di puncak bukit
Kajima. Pemandangan terindah lainnya di bukit itu ialah air terjun Kajima di sebelah
selatan. Air terjun setinggi dua ratus meter itu tampak seperti selendang sutera
putih yang membelah bukit karang di sekitarnya. Pada kaki bukit itu arus air
gemuruh tiada hentinya. Keindahan itu semakin mempesona pada pagi hari, ketika
matahari merambat seperti siput ke atas awan, sementara angin barat bertiup
dengan kencang membawa
bau semerbak buah kenari dari hutan yang mengham-
par di bawah air terjun Kajima.
Hampir sebulan Kojiro tinggal di kuil Yajima bersa-
ma Bapa Lao. Selama sebulan pula ia ditempa kehi-
dupan yang dulu tak pernah dialami. Setiap pagi, Kojiro disuruh memikul air dari
air terjun Kajima, dibawa naik ke kuil untuk persediaan mandi dan memasak.
Setiap pagi, dalam udara dingin yang mencekam, ia
memikul ember kayu dan menaiki jalan setapak yang
hampir dua ratus meter tingginya! Ini benar-benar pekerjaan melelahkan. Tetapi
Bapa Lao tidak peduli. Ia tetap memaksa Kojiro melakukan pekerjaan itu tanpa
bertanya. Kojiro ingat ketika ia berkata pada Bapa Lao, sesu-
dah pengejaran pasukan Nobunaga yang melelahkan
itu. "Maukah engkau mengajariku berlari secepat a-
ngin seperti yang kaulakukan untuk menyelamatkan
diriku?" Bapa Lao hanya membelai cambangnya.
"Aku ingin menjadi muridmu," lanjut Kojiro.
"Apa kaupikir aku seorang guru?"
"Ya. Mulai sekarang aku akan menganggapmu seba-
gai seorang guru."
"Begitukah caramu menjadikan diriku seorang guru?"
Kojiro terdiam. Lagi-lagi ia bingung menghadapi pertanyaan Bapa Lao. Akhirnya ia
bertanya, "Harus bagai-manakah aku mengatakannya?"
Bapa Lao tersenyum. Tangannya terus memutar-
mutar kalung buah kenari di tangannya. Lelaki tersebut membiarkan saja Kojiro
kebingungan. Setelah me-
nunggu beberapa saat, akhirnya lelaki tua tersebut
berkata, "Seorang murid harus menjunjung tinggi gu-
runya. Jadi sebelum diangkat sebagai murid, dia harus bersujud dulu untuk
membuktikan kesediaannya menjadi seorang murid."
Kojiro mencoba menggertak, "Aku putra Shogun Ashi-
kaga...." "Aku tidak peduli," jawab Bapa Lao dingin. "Aku ti-
dak membutuhkan murid dan aku juga tidak memin-
tamu menjadi muridku."
"Kalau ayahku masih hidup engkau pasti...."
"Ayahmu sudah mati. Aku tidak peduli."
"Aku pewaris tunggal Ashikaga."
"Aku pun tidak peduli."
Kojiro diam beberapa saat. Matanya berkaca-kaca.
Ingin rasanya mencabut Pedang Muramasa kemudian
menebas kepala lelaki menyebalkan di hadapannya.
Belum pernah rasanya ia memperoleh perlakuan men-
jengkelkan seperti itu. Bahkan tak seorang Jepang pun berani bersikap angkuh
terhadap kaum samurai, lebih-lebih keluarga shogun. Bila saat ini Kojiro me-
menggal kepala Bapa Lao, tak seorang pun akan me-
nyalahkannya. Memenggal kepala orang yang bersikap
tak hormat, merupakan salah satu hak seorang samu-
rai. "Kalau engkau ingin memenggal kepalaku, silakan,"
kata Bapa Lao ringan, sepertinya ia mengetahui isi hati Kojiro. "Tetapi itu tak
ada artinya. Bahkan akan menjadi lebih buruk untukmu, karena aku akan menjadi
hantu gentayangan dan setiap malam akan datang
mengganggumu."
Kojiro tersentak. Rasa takut menyergap jiwanya. Di-
am-diam ia merasa ngeri membayangkan setiap malam
didatangi hantu. Akhirnya dengan menahan air mata,
Kojiro meletakkan kedua tangannya di tanah dan ber-
sujud. "Jadilah engkau guruku," kata Kojiro dengan suara
bergetar. "Aku ingin menjadi muridmu."
Bapa Lao tersenyum, lalu berkata, "Benarkah eng-
kau ingin menjadi muridku?"
"Benar, Bapa."
"Tahukah engkau syarat untuk menjadi muridku
sangat berat?"
"Aku tidak tahu."
"Baru saja aku memberitahu."
"Apakah syarat itu?"
"Pertama, kau wajib patuh pada perintahku."
"Aku bersumpah akan patuh."
"Kedua, kau tidak boleh mempertanyakan apa pun
yang kuperintahkan."
"Aku bersumpah menjalankannya."
"Baiklah, engkau sekarang menjadi muridku."
Kojiro kembali bersujud hingga kepalanya menyen-
tuh tanah, "Terima kasih, Bapa. Terima kasih."
Sejak hari itu setiap pagi Kojiro diperintahkan mengambil air di air terjun
Kajima. Pada hari pertama hampir saja Kojiro menangis dan putus asa. Memikul dua
ember sambil menaiki bukit setinggi dua ratus meter, sungguh bukan pekerjaan
ringan. Lebih-lebih kimono
yang dikenakannya sangat menyulitkan langkahnya.
Pakaian keshogunan itu membuat Kojiro hampir me-
nangis. Lima puluh kali ia berhenti istirahat. Dan ketika sampai di atas, Bapa
Lao justru menertawakannya.
Laki-laki tersebut tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat air itu tinggal
seperempat ember. Kojiro ber-sandar di batang pohon pina dengan napas tersengal-
sengal. Bapa Lao mengambil air di ember itu, kemudian me-
minumnya, lalu berkata santai, "Terpaksa kau harus
turun kembali untuk sekali lagi memikul air."
Kojiro terkejut, "Apa?"
Bapa Lao tenang menjawab, "Kau harus kembali ke
bawah untuk mengambil air."
"Bukankah...."
"Air di embermu tinggal seperempat, tentu saja ti-
dak cukup untuk mandi dan memasak."
"Kenapa...."
"Eii, bukankah sudah kukatakan engkau tidak bo-
leh mempertanyakan perintahku?"
"Tetapi saya lelah sekali. Belum pernah saya mela-
kukan pekerjaan seperti ini."
"Aku tidak peduli," jawab Bapa Lao tanpa tekanan.
"Kalau kau masih ingin menjadi muridku, jalankan perintahku. Jangan banyak
tanya." Kojiro terduduk sambil menangis. Ia tak kuat me-
nahan kepedihan hatinya. Seluruh tubuhnya dirasa-
kan sakit semua, tetapi tanpa iba kasihan, Bapa Lao menyuruhnya kembali ke bawah
untuk sekali lagi
mengangkut air. Seketika ingatannya melayang ke ma-
sa lalu, ketika ia tinggal di Istana Kamakura. Tak pernah ia mengerjakan
pekerjaan kasar seperti itu. Se-
panjang hari belajar kendo di dojo bersama Yoshioka, lalu belajar menulis dan
melukis. Semua pekerjaan dilakukan dalam suasana yang bersih serta me-
nyenangkan. Tapi kini....
"Yoshioka," tiba-tiba terdengar Bapa Lao memanggil
namanya. Ketika Kojiro menoleh, lelaki tersebut berkata, "Sebaiknya kau lepas
kimono itu, pakaian itu tampaknya hanya merepotkan saja. Pakailah celana biasa,
agar kau lebih leluasa bergerak."
Kojiro ingin berterus terang bahwa ia sangat lelah,
"Bapa...."
Bapa Lao menukas, "Dan jangan lama-lama istira-
hat. Air di kamar mandi sudah habis, padahal aku ingin cepat mandi agar tubuh
menjadi segar."
Kojiro terdiam. Lalu diam-diam menangis menggu-
guk. Itulah hari-hari yang dilalui Kojiro. Ia harus bekerja keras menjalankan
perintah Bapa Lao. Pada pagi hari ia harus mengangkut air, siang hari memasak,
menanak nasi, membuat sayur, memancing ikan, dan
mencari kayu bakar. Malamnya, memijat Bapa Lao
sampai lelaki itu tertidur pulas. Pekerjaan itu dilakukan terus menerus, hingga
menjadi bagian rutin kehidupan Kojiro. Lama kelamaan ia merasa bosan, hingga
suatu pagi ia hanya duduk di bawah pohon pina, tidak mengambil air lagi.
Bapa Lao mendekatinya.
"Kenapa engkau hanya duduk di situ?"
"Aku bosan setiap hari menjadi tukang pikul air,"
jawab Kojiro tanpa tekanan.
"Tetapi itu perintahku. Kau mau melanggar sum-
pahmu?" "Bapa," kata Kojiro sambil berdiri. "Aku bersumpah
untuk menjadi muridmu. Aku ingin belajar ilmu bela
diri, bukan belajar jadi tukang pikul air. Kapan Bapa akan mengajariku ilmu...."
"Suatu saat," jawab Bapa Lao tenang. "Kalau kau
masih menjadi muridku. Tetapi kalau kau melanggar
sumpahmu, berarti kuanggap kau mengundurkan diri,
sehingga aku tak punya kewajiban mengajarimu lagi.
Itu tentu sangat mengasyikkan."
"Aku akan turun mengambil air asal Bapa mau me-
ngatakan kapan akan...."
"Turun ambil air, atau tidak sama sekali," tukas
Bapa Lao tegas berwibawa. "Jangan banyak bertanya."
Kojiro hampir menangis, "Bapa...."
"Cepat ambil air. Tubuhku rasanya gerah bila ter-
lambat mandi."
Kojiro termangu. Mulutnya bergetaran antara mau
marah dan mau menangis. Ketika ia menoleh, Bapa
Lao sudah tidak tampak. Akhirnya dengan menggeram,
Kojiro mengambil ember dan pikulannya, lalu berlari menuruni bukit.
Tak terasa, sebulan telah lewat Kojiro tinggal ber-
sama Bapa Lao. Namun tetap belum ada tanda-tanda
lelaki tersebut akan mengajarinya ilmu bela diri. Bahkan, membicarakan pun tidak
pernah. Setiap hari lela-ki itu hanya bekerja untuk dirinya sendiri. Setiap pagi
Bapa Lao menyapu halaman kuil dengan penuh keteli-tian. Ia menyapu hingga kuil
tersebut benar-benar bersih. Ia tidak akan membiarkan satu helai daun pun


Shugyosa Samurai Pengembara 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersisa. Lalu pada siang hari, dia akan menyimpan diri di kuil untuk membaca
kitab atau menulis syair. Pada
sore hari, ketika matahari mulai terbenam, Bapa Lao biasanya duduk di anak
tangga kuil, dekat torii, menikmati pemandangan indah yang menghampar di de-
pannya. Dan malamnya, dengan santai ia meminta Ko-
jiro memijati tubuhnya hingga ia tertidur pulas. Dari hari ke hari Bapa Lao
menjalani kehidupan seperti itu.
Tak pernah muncul tanda-tanda kapan dia akan mulai
mengajar Kojiro. Bahkan terucap pun tidak!
Lama kelamaan Kojiro pun menjadi terbiasa dengan
kehidupan seperti itu. Jiwanya yang dahulu mudah
terbakar, kini mulai reda. Hasratnya yang menggebu-
gebu untuk belajar ilmu bela diri, kian hari kian tenang. Lebih-lebih kesadaran
bahwa saat ini hanya Ba-pa Lao yang menjadi orang terdekatnya. Ia tidak tahu
bagaimana nasib ayahnya maupun Yoshioka. Selama
sebulan tak pernah sedikit pun ia mendengar tentang mereka.
Pada malam hari, setelah selesai memijat Bapa Lao,
Kojiro biasanya berbaring di samping lelaki itu. Ka-dangkala muncul kerinduan
yang mengoyak jiwanya.
Kerinduan terhadap ayahnya. Juga kerinduan pada
kehidupan masa lalu yang menyenangkan. Bila hal itu terjadi, biasanya Kojiro
baru dapat memejamkan mata menjelang dini hari. Dan esoknya, ketika matanya
masih mengantuk, Bapa Lao sudah membangunkannya
untuk segera mengambil air. Kojiro tersuruk-suruk
meninggalkan kuil menuju air terjun Kajima sambil
melawan rasa kantuknya. Keadaan seperti itu mem-
buat dirinya lebih tersiksa, karena itu setiap kali kerinduan muncul, ia mencoba
melenyapkannya dari I-
ngatan. Akhirnya rasa lelah karena seharian bekerja, justru membantu Kojiro
melupakan ayahnya.
Kojiro baru saja sampai di atas ketika ia melihat
Bapa Lao berjalan menghampirinya. Lelaki itu melihat air di dalam ember itu.
"Tampaknya kau semakin pintar," kata Bapa Lao
memuji. "Sekarang semakin sedikit air yang tumpah
selama kau bawa kemari."
"Aku tak ingin berulang-ulang mengambil air ke ba-
wah, Bapa."
"Bagus sekali. Rupanya selama sebulan di sini, eng-
kau bertambah cerdik."
"Terima kasih, Bapa. Selain sedikit air yang tum-
pah, apakah Bapa memperhatikan bahwa saya seka-
rang jauh lebih cepat dibanding dulu mendaki bukit
ini?" "Tampaknya begitu. Tahukah kau bahwa tanpa
kausadari engkau sudah banyak belajar dari ember
dan pikulan yang setiap pagi kau pergunakan?"
"Maksud Bapa?"
"Kau sudah belajar tentang keseimbangan. Hanya
dengan keseimbangan yang baik kau dapat membawa
dua ember tanpa banyak air yang tumpah mendaki
bukit ini. Itu merupakan pelajaranku yang pertama.
Setiap pendekar membutuhkan kemahiran menjaga
keseimbangan, karena hanya dengan keseimbangan
seseorang dapat menjaga keselarasan di dalam menye-
rang dan bertahan. Siapa yang mampu menyerang se-
baik dia bertahan, dia memiliki peluang untuk meme-
nangkan pertarungan."
Kojiro terpana. Ia tak menduga lelaki itu akan mengungkapkan hal itu. Ternyata
tanpa disadari, selama ini Bapa Lao menanamkan pelajaran yang begitu berharga.
Karena kegembiraan Kojiro meluap, ia meletakkan pikulan, lalu bersujud.
"Terima kasih, Bapa. Besok saya akan berusaha su-
paya air di dalam ember tidak tumpah sedikit pun."
"Tidak perlu," jawab Bapa Lao tenang. "Mulai besok
aku ingin mandi langsung di air terjun."
"Jadi aku sudah tidak perlu mengambil air?"
"Benar."
Kojiro tersenyum senang. Lalu sekali lagi ia bersu-
jud. "Terima kasih, Bapa. Terima kasih."
"Karena aku mau mandi di air terjun, kau tidak per-
lu mengambil air. Sebagai gantinya, engkau harus
menggendongku menaiki bukit."
Kojiro ternganga.
*** ILMU PEDANG KEDELAPAN
MATAHARI yang berkabut terhalang di belakang awan
jauh di cakrawala. Dua atau tiga ekor burung kormo-
ran terbang rendah, lehernya yang panjang mencuat
ke langit. Di tengah hamparan tirai kabut tipis, terlihat Sabu-ro Mishima tengah berhadapan
dengan Natane Yoshi-
oka. Mereka menggenggam pedang kayu dengan kedua
tangan, berdiri dalam posisi saling menyerang. Dimulai dengan gerakan lamban,
Saburo mulai menyerang Yoshioka dengan tebasan-tebasan pedang ke arah kepala dan
perut anak itu. Yoshioka menangkis, kemudian
sesekali ganti menyerang. Sabetan itu dimulai agak
lamban, lalu meningkat lebih cepat. Tebasan Saburo
kian lama kian kuat, sehingga Yoshioka harus selalu meningkatkan kewaspadaannya.
Seluruh tubuh mereka berkeringat, namun tidak
mereka pedulikan. Saburo terus mengayun pedang
mencoba menyerang bagian-bagian terlemah Yoshioka.
"Buat pertahananmu sempurna tanpa peluang," ka-
ta Saburo memperingatkan. "Bila bagian tubuhmu ma-
sih memberi peluang, musuh masih memiliki kebera-
nian menyerangmu."
"Aku harus bagaimana, Sensei?"
"Tutup seluruh peluangnya, sehingga ia merasa bim-
bang untuk menyerang. Keraguan musuh adalah awal
kemenanganmu."
"Baiklah. Akan kucoba."
Saburo kembali menyerang. Tebasan pedangnya
mendesis ke arah Yoshioka, namun dengan penuh ke-
beranian, anak itu menangkis lalu membalas menye-
rang. Diam-diam Saburo memuji bakat Yoshioka. Anak
itu memiliki bakat sebagai pemain pedang yang hebat.
Naluri di dalam dirinya seakan terasah secara alamiah.
Serangan maupun tangkisan pedangnya, memperli-
hatkan dasar yang kuat sebagai samurai sejati. De-
ngan disiplin yang ketat serta pengarahan yang tepat, Saburo yakin, sepuluh
tahun mendatang, Natane Yoshioka dapat menjadi pemain pedang yang disegani.
Ketika matahari tepat di kulminasi, mereka beristi-
rahat. Sambil duduk di atas batu, mereka menanak
nasi dan membakar ikan.
Semenjak lepas dari kejaran pasukan Nobunaga,
Saburo dan Yoshioka telah berjalan ke arah utara menembus hutan azaela, lalu
naik ke arah gunung Kinu-
gasa. Dahulu ketika masih menjadi panglima Ashika-
ga, Saburo sering menemani Shogun Ashikaga berburu
babi liar di hutan-hutan sepanjang lereng Kinugasa.
Salah satu tempat yang pernah ia singgahi ialah tempat yang sekarang mereka
tempati. Di tengah hutan
itu, mereka membangun sebuah rumah dari papan.
Tidak ada perabot mahal di tempat itu. Seluruh rua-
ngan yang dibiarkan terbuka, hanya diisi tikar untuk alas tidur, dan alat
menanak nasi yang mereka temukan di hutan itu, mungkin milik para pemburu yang
tidak mau membawanya lagi.
Pada saat berdiri di tempat itu, Saburo berkata, "Ki-
ta sekarang akan membangun tempat tinggal di sini.
Tentu saja tidak untuk selamanya. Suatu saat kita
akan pergi karena keinginan kita sendiri, atau terpaksa pergi karena pasukan
Nobunaga berhasil menemu-
kan tempat ini. Kita tidak perlu merisaukan kapan harus meninggalkan tempat ini,
karena sesungguhnya ki-ta tidak membutuhkannya, kecuali untuk bertahan
sementara. Tetapi sebelum pasukan Nobunaga datang
kemari, kita harus menggunakan waktu sebaik-
baiknya untuk meningkatkan ilmu pedang yang kita
miliki. Kelak bila musuh datang, kita dapat me-
nyambut mereka dengan sepantasnya."
Itulah kata-kata Saburo terpanjang yang pernah di-
dengar Natane Yoshioka, sesudah itu samurai tersebut lebih banyak diam. Lebih-
lebih di saat latihan. Ia ja-rang berbicara. Seluruh daya hidupnya seakan dicu-
rahkan ke dalam pedangnya.
"Sekali engkau memilih jalan pedang untuk hidup-
mu," kata Saburo pada Yoshioka, "curahkan sepenuh-
nya hidupmu di sana. Karena sedikit saja engkau le-
ngah, nyawamu taruhannya."
"Baik, Sensei."
"Kalau begitu mulailah berlatih. Ketajaman pedang
tidak pada bilah pedangmu, tetapi pada ketajaman pikiranmu. Hanya dengan
ketajaman pikiran, engkau
dapat mengalahkan musuh-musuhmu."
Natane Yoshioka sangat menghormati Saburo. Ia
tahu lelaki itu dirundung kesedihan, namun tidak pernah sekali pun ia
menampakkan kesedihannya di de-
pan Yoshioka. Bahkan Saburo tidak pernah berbicara tentang Kojiro, seakan
keberadaan anaknya telah ia
lupakan. Bagi Saburo, Kojiro telah memilih jalan samurai dengan menanggungkan
segala resikonya. Jadi
apa pun yang dialami anak itu, tak perlu lagi diper-soalkan. Kematian, bagi
seorang samurai, adalah pene-
busan kesucian hidupnya.
Kini, satu-satunya kewajiban yang harus dilaksa-
nakan adalah melindungi Yoshioka. Dan Saburo tak
ingin mengingkari sumpahnya sendiri. Kalau perlu ia akan menebus keselamatan
Yoshioka dengan nyawanya.
Pada malam hari, seperti dulu ketika mereka berada
di gubuk persembunyian, Saburo mengajarkan teori
enam belas ilmu pedang. Dengan gambar sederhana
Yoshioka mempelajari tentang kami tatewari (ilmu pedang 'Membelah Tegak', suatu
tebasan menyilang yang memangkas dari arah kepala hingga pangkal lengan).
"Tebasan ini tidak mudah dilakukan," kata Saburo
memberi penjelasan "Karena ilmu pedang ini hanya cocok digunakan apabila lawan
lebih pendek tubuhnya.
Atau dia berada dalam posisi yang rendah, misalnya
berada di tempat rendah sehingga ayunan ini dapat dilakukan. Sebaliknya, kau
harus berhati-hati bila berhadapan dengan musuh yang lebih tinggi, atau berada
dalam posisi lebih rendah. Tebasan pedang 'kami tatewari' sangat sulit
ditangkis. Bila engkau menghadapi serangan seperti ini, sebaiknya berusaha
menghindar."
Yoshioka mendengarkan dengan serius. Dan pagi-
nya, ia berlatih melakukan tebasan itu.
Di depan rumah mereka, Saburo meletakkan batang
kayu pina setinggi Yoshioka. Bila tidak berlatih berdua, ia menyuruh batang
pohon tersebut sebagai pengganti tubuh musuh. Saburo memberikan perintah agar
Yoshioka menerapkan ilmu pedang yang telah ia ajarkan.
Apabila ayunan pedang Yoshioka keliru, Saburo mem-
berikan petunjuk sampai anak tersebut melakukannya
secara benar. "Wakige merupakan tebasan mendatar pada ketiak lawan," kata Saburo memberikan
pelajaran ilmu pedang ketujuh. "Tebasan ini cukup sulit dilakukan, ka-
rena sekali lagi kau harus melihat tubuh lawanmu. Bi-la ia lebih pendek atau
sejajar denganmu, kau dapat menyerang dengan wakige. Karena sifatnya yang mudah
ditangkis, biasanya ilmu pedang ini digunakan untuk memberikan daya kejut pada
lawan. Sekadar mus-
lihat untuk mengacaukan konsentrasi musuh."
Dengan pedang kayu, Saburo mempraktekkan teba-
san wakige. Yoshioka menangkis. Secara bergantian
mereka menyerang dan menangkis. Semakin lama ge-
rakan mereka semakin cepat dan bertenaga. Dari sabetan pedang yang dilakukan
Yoshioka, Saburo dapat
merasakan getaran enerji anak itu. Tidak diragukan
lagi, putra Ashikaga itu telah menyatu dengan senjatanya.
"Bermain pedang adalah bermain dengan hati nu-
rani," kata Saburo di sela-sela waktu latihan. "Engkau harus yakin terlebih dulu
dengan kata hatimu. Seperti itu pula kau menggunakan pedangmu. Tanpa keyaki-nan
seperti itu, seorang samurai hanya mampu meng-
gunakan pedang namun tidak menjiwai ayunan mau-
pun tebasannya."
"Apa maksudnya dengan menjiwai ayunan maupun
tebasan pedang, Sensei?"
"Kau pernah memakai zori, bukan?"
"Ya."
"Ketika sudah mengenakan sandal tersebut, engkau
kemudian bermain di halaman. Berjalan atau berlari, masihkah kau merasakan bahwa
dirimu memakai alas
kaki tersebut?"
Yoshioka berpikir sejurus, lalu menjawab, "Tidak."
"Nah, itulah yang kumaksud dengan menjiwai ayu-
nan atau tebasan pedang."
Saburo melihat anak di depannya masih belum da-
pat sepenuhnya mencerna pelajaran yang ia berikan.
"Di istana engkau belajar menulis, bukan?"
"Tentu."
"Engkau menggunakan kuas, bukan?"
"Ya."
"Ketika kau mulai menulis, seluruh jiwamu tercu-
rah pada sesuatu yang kaupikirkan, bukan?"
"Benar."
"Karena seluruh pikiranmu tercurah pada hasrat
hati yang tengah kautuliskan, kuas menyatu dengan
tanganmu, sehingga ia mengikuti apa pun yang kau
maui. Tidak ada jarak antara dirimu dengan kuas tersebut. Kuas itu benar-benar
menjadi pikiranmu."
Sedikit demi sedikit Yoshioka mengetahui apa yang
dimaksudkan Saburo.
"Itu pula yang harus kaulakukan dengan pedang-
mu. Jadikan pedangmu jiwa serta pikiranmu. Jangan
sampai ada jarak antara dirimu dengan pedangmu.
Penyatuan ini akan membuatmu berkuasa atas apa
yang ingin kaulakukan dengan pedangmu."
"Saya mengerti."
Pelajaran kedelapan adalah kurumasaki, ayunan yang juga disebut jurus 'Ujung
Roda'. Tebasan mendatar persis di pusar musuh. Sabetan ini akan merobek perut
dan memburaikan usus.
"Tebasan ini tampaknya mudah, namun kenyata-
annya tidak demikian. Kurumasaki merupakan teba-
san mematikan yang tak mudah dilakukan, karena
engkau harus berada dalam jarak tebas yang pendek
baru dapat melakukannya. Padahal musuhmu tentu
tak akan membiarkan engkau membelah perutnya. Ia
akan menangkis, atau bahkan mencoba mendahului-


Shugyosa Samurai Pengembara 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mu dengan kami tatewari. Sedetik saja kau didahului lawan, bukan dia yang tewas,
tetapi tubuhmu yang
terbelah. Karena itu hati-hati menerapkan ilmu pedang ini."
Sesudah menguasai delapan ilmu yang menjadi da-
sar permainan pedang, suatu pagi Saburo mengajak
Yoshioka menuruni bukit. Mereka menuju hutan yang
banyak ditumbuhi pohon pisang. Ketika sampai di
tempat itu, Saburo berhenti.
"Aku ingin engkau menerapkan ilmu pedang yang
telah kaupelajari," kata Saburo. "Anggaplah pohon pisang di sekitarmu sebagai
musuh. Terapkan ayunan
atau tebasan yang kuteriakkan."
Yoshioka mengambil pedang kayunya.
"Kali ini engkau kuperbolehkan menggunakan pe-
dangku," kata Saburo sambil memberikan pedangnya.
Mata Yoshioka seketika berbinar-binar. Ia tampak
bahagia sekali ketika menggenggam naginata yang bi-
lahnya berkilauan. Ia segera memasang kuda-kuda,
kemudian menjalankan perintah Saburo. Yoshioka
bergerak dengan lincah, menebas ke kanan dan ke kiri dengan kelincahan dan
enerji yang meluap dalam dirinya. Berulang-ulang ia lakukan, hingga tempat itu
penuh dengan serpihan batang pisang. Saburo merasa
puas, ia melihat Yoshioka berhasil menguasai dasar-
dasar ilmu pedang dengan baik. Nyaris sempurna.
*** MITSUNARI MENGAMUK
SUASANA malam terasa hangat karena cahaya bulan
purnama. Kota Kamakura seperti seorang gadis muda
tengah bersolek. Wajahnya berbedak dan bergincu de-
ngan dandanan yang mencolok. Ratusan samurai yang
dikumpulkan Shogun Nobunaga, menjadikan Kamaku-
ra menjadi hidup. Sejumlah rumah pelacuran yang
tumbuh seperti jamur, masih ramai meski malam telah
larut. Bau sake dan makanan malam, menguap hingga
ke jalan-jalan. Lampion yang digantung di depan ru-
mah, menimbulkan nuansa keremangan yang roman-
tis. Dari sebuah rumah pelacuran yang paling ramai, terdengar senandung dari
Dongeng tentang Heike yang sangat terkenal. Nyanyian itu didendangkan seorang
geisha, diiringi petikan kecapi yang menyayat, mirip rintihan burung kedasih.
Kaisar yang menyendiri itu pun memutuskan
Pada musim semi tahun kedua
Melihat puri luar Kota Kenreimon'in
Di pegunungan dekat Ohara
Tetapi selama bulan kedua dan ketiga
Angin bertiup kencang, dan udara dingin mengapung Salju putih di puncak gunung
pun mencair Saat dua kekasih melakukan seppuku
Karena cinta yang tak direstui
Nyanyian itu seketika terhenti, ketika pintu soji di-dobrak dari luar. Seorang
laki-laki berkaki satu menerobos masuk dengan luapan amarah yang mengerikan.
Sejumlah pelacur yang tengah duduk di ruang tengah
menjerit sambil berlarian ke belakang, sementara sejumlah samurai segera
mengambil pedang untuk ber-
jaga-jaga. Mereka semua bersikap waspada.
"Aku Ishida Mitsunari, di mana istriku?" tanya laki-laki tersebut menggeram
seperti macan lapar. Wajah-
nya yang berkumis dan bercambang menjadikannya
bertambah seram. "Siapa yang punya rumah pelacuran
ini?" Seorang laki-laki setengah baya, berlari di depan
Mitsunari sambil bersujud.
"Maafkan saya, Ishida-san, maafkan saya. Semua
adalah keinginan Shogun Nobunaga."
"Siapa kamu?"
"Saya Keiji."
"Kamu pemilik rumah ini?"
"Benar, Ishida-san."
Mitsunari hampir saja menebas leher lelaki di de-
pannya, tetapi sesuatu yang lebih baik melintas di kepalanya. Ia mengurungkan
niatnya. Mitsunari bertanya, "Di mana istriku sekarang?"
"Tuanku akan mengampuni saya?"
"Tunjukkan tempatnya. Aku ingin bertemu dengan-
nya." Sekali lagi pemilik rumah itu bersujud, kemudian
berjalan bergegas ke belakang. Mitsunari mengikuti
dari belakang dengan pedang terhunus. Kakinya yang
pincang membuat setiap langkahnya bersuara.
Rumah pelacuran itu ternyata cukup luas. Dengan
melewati lorong selebar dua meter, mereka sampai di tengah halaman yang
dikelilingi kamar berderet-deret berbentuk tapal kuda. Kecuali bonsai dan air
mancur, ada taman yang diatur rapi mengikuti kaidah-kaidah
Zen. Tetapi sekarang tidak ada waktu lagi buat Mitsunari untuk menikmati
keindahan taman buatan terse-
but. Ia berjalan ke arah kamar yang paling luas dan paling indah di dekat pohon
pina. "Nagoka-san!" terdengar lelaki pemilik rumah pela-
curan itu. Ia berdiri di dekat soji sambil membungkuk-bungkuk. "Nagoka-san!"
Mitsunari tidak sabar, dengan keras ia menendang
pantat lelaki tersebut hingga tubuh lelaki itu terdorong begitu kuat menerobos
dinding kamar. Dari dalam terdengar jeritan kaget. Saat itu Ishida Mitsunari
melihat istrinya telentang, polos, di bawah himpitan seorang laki-laki gendut
yang juga polos. Karena merasa terganggu, lelaki tersebut meloncat sambil
menggeram marah. "Bangsat! Apa yang kalian lakukan?"
Keiji merayap bangun. "Maafkan saya...."
Laki-laki gendut itu menoleh pada Mitsunari, dan
tepat pada saat itu Mitsunari mengayunkan pedangnya dari kepala ke selangkangan
lelaki itu. Ayunan pedang itu begitu kuat sehingga tubuh lelaki tersebut hampir
terbelah dua. Ia ambruk ke lantai dengan darah mem-banjiri tatami. Istri
Mitsunari menjerit ngeri menyaksikan tubuh langganannya ambruk. Ia segera
menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos, namun
saat itu sebuah tebasan pedang Mitsunari telah me-
menggal kepalanya. Darah muncrat ke kelambu, mem-
buat kain berwarna putih itu berubah menjadi merah.
Keiji terpaku menyaksikan kejadian itu. Seluruh tu-
buhnya gemetar ketakutan. Bahkan ia terkencing-ken-
cing. Namun itu hanya sesaat, semua berubah menjadi gelap ketika Mitsunari
kembali menebaskan pedang ke arah leher lelaki itu. Ia pun tumbang. Kepalanya
meng-gelinding seperti buah pepaya yang jatuh dari batangnya.
Pembantaian telah berakhir. Ishida Mitsunari berdi-
ri di tengah kamar itu dengan kemarahan meluap-
luap. Ia merasakan seluruh hidupnya hancur beranta-
kan. Sebagai seorang bangsawan, peristiwa yang baru saja ia lihat, merupakan
penistaan yang paling buruk terhadap kehormatannya. Dengan hati hancur ia
pandangi tubuh polos istrinya yang berlumur darah. Ku-
litnya yang halus itu kini melengkung telentang ber-simbah darah. Dengan
tertatih-tatih, Mitsunari mendekati tubuh istrinya, kemudian mengambil selimut,
lalu menutupi tubuh itu.
"Maafkan aku terpaksa membunuhmu," katanya ber-
getar karena pedih dan marah. "Hanya dengan cara ini aku mengakhiri
penderitaanmu. Namun aku bersumpah untuk membalas penghinaan yang ditimpakan
kepa- damu dengan pedang. Mereka akan memperoleh pem-
balasan yang setimpal."
Ishida Mitsunari berbalik, dan dia melihat di taman itu telah berdiri menghadang
delapan orang samurai
dengan pedang terhunus. Rupanya kegaduhan di tem-
pat itu telah menyebar, sehingga sejumlah samurai yang memiliki keberanian
berniat menangkap Mitsunari.
"Ishida Mitsunari," kata salah seorang samurai de-
ngan suara menggeram. "Sebaiknya engkau menyerah.
Kami telah mengepungmu. Kalau engkau menyerah,
kami bersumpah untuk memberikan penguburan yang
sepantasnya untuk mayatmu."
Mitsunari berjalan menuruni anak tangga yang
menghubungkan kamar dengan taman.
"Menyerahlah! Biarkan kami memenggal kepalamu!"
"Kuragukan kalian dapat menangkapku," kata Mit-
sunari tanpa tekanan. "Kalian adalah samurai kemarin sore yang tidak mengerti
bagaimana cara menggunakan pedang."
"Kamu samurai rendah!" bentak salah seorang sa-
murai sambil mengambil posisi di samping kanan Mit-
sunari. "Kau telah membiarkan isterimu menjadi pelacur, dan...."
Belum selesai kata-kata itu diucapkan, dengan ke-
cepatan tak terduga, Mitsunari telah berbalik dan mengayunkan pedangnya. Ayunan
itu sangat tidak terduga, sehingga samurai tersebut hanya bisa merasakan cai-ran
hangat meleleh dari lehernya. Bersamaan dengan
ambruknya samurai itu, Mitsunari telah merangsak ke depan dengan 'Tebasan
Halilintar'. Suara pedangnya
mendesis dengan cepat dan membuat dua samurai ter-
sungkur dengan luka menganga. Serangan tersebut
sangat mengejutkan, sehingga pengepungan itu beran-
takan, dan Mitsunari menggunakan celah-celah di da-
lamnya untuk membabat musuh-musuhnya. Sesaat
kemudian, ketika Mitsunari kembali tegak berdiri, ke-
lima samurai yang tersisa hampir bersamaan ambruk
ke tanah. "Sudah kukatakan, kalian tidak tahu bagaimana
cara menggunakan pedang," kata Mitsunari sambil me-
ninggalkan tempat itu.
Saat Mitsunari berjalan di lorong rumah tersebut,
dua orang samurai menghadang dengan pedang telan-
jang. Mereka masih sangat muda. Barangkali umurnya
belum genap delapan belas tahun. Melihat cara mereka menggenggam pedang.
Mitsunari tahu keduanya bukan lawan yang berarti. Bahkan dalam keadaan biasa,
Mitsunari lebih suka menghindari pertarungan itu. Mereka bukan tandingannya.
Tapi saat ini, benak Mitsunari dipenuhi dendam
dan kemarahan. Karena itu tanpa membuang waktu ia
menerjang kedua samurai tersebut. Dalam sekejap,
kedua tubuh samurai itu melengkung menahankan ra-
sa sakit, lalu ambruk ke lantai. Perut mereka robek mengerikan.
"Hayo, siapa lagi yang ingin mampus?" tantang Mit-
sunari sambil terus melangkah keluar. Pedangnya ma-
sih meneteskan darah, seakan bilah pedang itu memi-
liki urat nadi yang terluka. "Bila di antara kalian masih ada yang menginginkan
hadiah dari Nobunaga, sekarang saatnya melawanku!"
Lima orang samurai yang berpakaian kumal dengan
kuncir rambut acak-acakan, melompati pagar untuk
menghadang. Sikap mereka beringasan, mirip seekor
anjing yang tak yakin bakal menang bergumul dengan
kucing. "Kalian ronin tak berharga," kata Mitsunari tajam.
"Samurai pengemis yang hanya membutuhkan uang
untuk makan. Manusia-manusia rendah tanpa kehor-
matan. Kemari kalian biar kuberi sedikit pelajaran tentang harga kehormatan."
Seorang samurai melompat untuk menebas kaki
Mitsunari, namun dengan mudah serangan itu ditang-
kis Mitsunari memakai penyangga tubuhnya. Dengan
bernafsu samurai itu kembali menerjang, namun de-
ngan mudah serangan tersebut dielakkan, dan sebe-
lum samurai itu berdiri tegak, Mitsunari telah menerobos pertahanannya sambil
menikam. Pedang itu me-
nembus jantung samurai tersebut. Ia tak sempat men-
jerit saat nyawanya melayang. Sambil menarik pedangnya, kembali Mitsunari
mengobrak-abrik pertahanan
lawan. Ia berputar dengan bertumpu pada penyangga
kakinya, sekaligus menebaskan pedang ke arah mu-
suh-musuhnya. Satu per satu samurai itu tumbang
dengan luka menganga.
Melihat kehebatan Mitsunari, dua puluh samurai
yang berada di tempat itu rupanya menjadi jeri. Mere-ka mundur meskipun tetap
dalam posisi mengepung.
"Kalian bukan lawanku," kata Mitsunari sambil me-
mungut lampion yang tergeletak di tanah. Ia melempar lampion itu ke atap rumah,
sehingga apinya cepat
membakar. Rumah tersebut beratapkan jerami, karena
itu api dengan cepat menyebar.
Seperti tak melakukan kekejian apa pun, Mitsunari
melangkah menyusuri jalan, "Aku akan dengan mudah
membunuh kalian satu per satu," katanya pada samu-
rai yang masih mengepungnya. "Kalau kalian tetap keras kepala, aku tak punya
keberatan apa-apa untuk
memenggal kepalamu. Pedangku sudah lama tak meng-
hirup darah. Kecuali itu, aku ingin menguji ilmu pedang yang baru kutemukan.
Jangan ragu-ragu, seren-
taklah menyerang, agar lebih cepat aku membunuh
kalian semua!"
Para samurai itu melangkah mundur. Mereka ber-
ingsut dengan perasaan gentar. Semua sudah melihat
kehebatan ilmu pedang Mitsunari. Hanya dalam waktu
singkat, ia telah membunuh lima belas samurai tanpa perlawanan yang berarti.
Kemampuan membunuh seperti itu hanya dimiliki samurai kawakan.
Mitsunari terus berjalan, sementara tempat itu se-
ketika menjadi hiruk pikuk. Kebakaran telah meluas, merambat dari satu rumah ke
rumah lainnya. Api yang berkobar membuat para pelacur ketakutan, sehingga
mereka berlari ketakutan sambil menjerit-jerit. Ada sejumlah pelacur yang
terpaksa berlari polos karena ketika api membakar kamarnya, ia belum selesai
melayani tamunya. Sejumlah orang yang tengah bermain cinta,
terpaksa berhenti. Mereka lari keluar dengan pakaian seadanya sambil memaki-
maki. Suasana hiruk pikuk membuat orang-orang meng-
alihkan perhatian pada kebakaran itu. Mereka melupakan Mitsunari. Kedua puluh
samurai yang tadi menge-
pung, secara diam-diam menyingkir, kemudian mem-
baurkan diri dengan orang-orang desa yang tengah
mencoba memadamkan api. Mereka merasa beruntung
telah menghindari pertarungan tanpa kehilangan muka.
Api terus berkobar. Semakin lama semakin membe-
sar, sehingga kota Kamakura jadi terang benderang.
Mitsunari sendiri, tersuruk-suruk, berjalan mening-
galkan jalan raya, membelok masuk ke dalam hutan.
*** Nobunaga tengah bercumbu dengan geisha kesayang-
annya. Mereka bercinta di dalam kamar. Naoko meme-
luk Nobunaga sambil menciumi lelaki tersebut. Sedang asyik keduanya memadu
asmara, tiba-tiba terdengar
derap kaki mendekati kamarnya.


Shugyosa Samurai Pengembara 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari luar terdengar langkah kaki itu berhenti, lalu disusul suara Hosokawa,
"Maafkan kami, Tuanku Shogun Nobunaga, kota Kamakura kebakaran!"
Nobunaga mendengus, sementara Naoko cemberut
karena kenikmatannya terganggu. "Sebentar, aku ha-
rus menemui mereka," kata Nobunaga sambil melepas-
kan diri dari dekapan Naoko.
"Kita belum selesai."
"Aku hanya sebentar. Nanti kita lanjutkan."
Dengan terburu-buru Nobunaga mengenakan haka-
ma, kemudian berjalan untuk membuka soji. Ketika pintu kertas itu terbuka,
Hosokawa dan pengawalnya
langsung bersujud hingga kepala mereka menyentuh
lantai. "Kebakaran telah terjadi di Jalan Hagura," kata Ho-
sokawa. Nobunaga menatap ke kejauhan, tampak api berko-
bar dengan hebat. Api itu memang tidak mungkin men-
jalar ke istana, tetapi tetap saja berbahaya.
"Kenapa bisa terjadi kebakaran?" Nobunaga berta-
nya. "Ishida Mitsunari yang membakarnya."
Nobunaga kaget bukan kepalang. "Mitsunari?"
"Benar, Tuanku."
"Dia berani muncul di dalam kota untuk membuat
huru-hara?" ia masih tidak percaya.
"Demikianlah, Tuanku. Ishida telah membunuh is-
trinya dan pemilik rumah pelacuran itu sebelum mem-
bakar kota."
"Apa tidak ada seorang samurai pun di sana sehing-
ga bedebah itu berbuat kurang ajar?"
"Dia telah membunuh lima belas samurai yang men-
coba menangkapnya."
"Lima belas samurai?"
"Benar, Tuanku."
"Bangsat!"
Hosokawa kembali bersujud di depan kaki Nobuna-
ga dengan perasaan menyesal karena tak mampu men-
jaga keamanan wilayahnya.
Sambil menatap api yang menjilat-jilat di kejauhan, Nobunaga bertanya, "Di mana
kelima samurai Yagyu?"
"Mereka telah siap di gerbang istana untuk me-
nunggu kedatangan Mitsunari."
"Goblok! Siapa bilang Mitsunari akan menerobos ke
istana" Kerahkan mereka untuk mengejar samurai ja-
hanam itu. Kurasa dia belum jauh meninggalkan Ka-
makura." "Baik, Tuanku."
"Bawa kemari kepala Mitsunari biar aku dapat me-
ludahinya."
"Baik."
Hosokawa bersujud, kemudian melangkah mundur,
baru setelah kira-kira lima meter dari Nobunaga, ia berdiri dan bergegas pergi.
Mitsunari benar-benar jahanam! Dia telah berani datang ke kota ini dan membuat
huru-hara. Ini adalah penghinaan yang tak terampuni. Sesudah ia melawan
perintahku, kini lebih buruk lagi. Dia berani menantang-ku. Dasar jahanam!
Dengan terseok-seok, Nobunaga berjalan kembali ke
dalam kamar. Di sana ia melihat tubuh mulus Naoko
yang masih polos. Gadis itu telentang. Tubuhnya ha-
nya ditutupi rambutnya yang terurai panjang. Segala ingatan tentang Mitsunari
seketika hilang. Sambil tersenyum lebar, Nobunaga naik ke ranjang.
"Ada apa?" Naoko bertanya.
"Terjadi kebakaran di kota."
"Kenapa?"
"Ishida Mitsunari telah membunuh istrinya, lalu
membakar rumah pelacuran di mana istrinya tinggal."
"Sudah ditangkap?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Dia bahkan telah membunuh lima belas samurai
yang mencoba menangkapnya."
Naoko seketika duduk tegak. Ia menatap Nobunaga
dengan tatapan tajam, lalu berkata penuh tekanan,
"Ini sangat keterlaluan. Dia telah meludahi wajahmu.
Bila persoalan ini tak segera diselesaikan, akan sangat buruk akibatnya. Bukan
persoalan nyawa, tetapi kewi-bawaanmu akan hilang. Sebaiknya, sekarang kerah-
kan samurai sebanyak-banyaknya untuk menangkap-
nya." "Aku telah memerintahkan Hosokawa untuk menge-
jarnya." "Hosokawa terlalu tolol untuk menangkap Mitsuna-
ri." "Dia didampingi kelima samurai Yagyu."
"Masih kurang. Sebaiknya kerahkan seluruh samu-
rai di Kamakura untuk mengejarnya."
"Baik. Besok akan kuperintahkan...."
"Bukan besok," tukas Naoko tajam. "Harus seka-
rang." "Sekarang?"
"Ya, perintahkan sekarang juga para samurai me-
ngejar Mitsunari, sebelum dia sempat menghilang ke
dalam hutan."
"Tetapi ini sudah terlalu larut malam."
"Sekarang atau kita akan dikalahkannya."
Nobunaga menatap Naoko dengan ternganga. Tidak
pernah ia membayangkan perempuan lembut dan meng-
gemaskan itu dapat memerintahnya dengan cara yang
sangat mengejutkan.
Ketika Nobunaga masih diam, Naoko berkata, "Se-
karang perintahkan mereka mengejar Mitsunari, sesu-
dah itu cepat kemari untuk meneruskan permainan ki-
ta tadi yang belum selesai."
Nobunaga menyeringai, "Itulah yang kuinginkan,"
katanya sambil melangkah terburu-buru untuk mem-
berikan perintah.
*** TERJEBAK DENGAN sekuat tenaga Natane Yoshioka mengayun-
kan pedang dengan jurus kedelapan. Tebasan itu sa-
ngat kuat sehingga batang pisang yang dijadikan sasaran terbelah menjadi dua.
Yoshioka tersenyum puas
karena berhasil melaksanakan perintah Saburo de-
ngan tepat. "Coba sekarang lakukan secara serentak," perintah
Saburo. "Kekuatanmu sudah cukup, namun kecepa-
tannya belum tepat. Padahal kekuatan dan kecepatan
merupakan keseimbangan yang harus menyatu dalam
permainan pedang."
"Aku akan melakukannya, Sensei."
"Ingat, setiap gerakan harus tepat iramanya sehing-
ga ayunan maupun tebasanmu sukar ditangkis."
"Aku akan mencoba."
Yoshioka mulai memasang kuda-kuda, kemudian
dengan kecepatan yang menakjubkan, ia mulai mene-
bas ke kanan ke kiri, dengan kekuatan yang sangat ter-ukur. Satu per satu batang
pisang di delapan sasaran terbelah dan tumbang akibat tebasannya. Pada saat
Yoshioka telah menyarungkan kembali pedangnya, dua
batang pisang baru jatuh ke tanah.
"Kecepatanmu masih kurang sempurna," kata Sa-
buro sambil mendekati Yoshioka. "Bila kecepatanmu
sempurna, saat kau memasukkan kembali pedangmu,
saat itulah batang pisang menyusul jatuh."
"Maksud, Sensei?"
"Akan kuperlihatkan caranya."
Saburo berdiri memasang kuda-kuda, matanya me-
natap tajam pada delapan pohon pisang di sekelilingnya. Napasnya tampak
tertahan, sepertinya ia tengah mengukur jarak dan peluang tebasannya. Ketika
jarak sudah diperhitungkan, dengan gerak yang sukar diikuti mata, Saburo mulai
menebas ke kanan dan ke kiri
sesuai delapan jurus ilmu pedang. Hanya sepersekian menit peristiwa itu terjadi.
Ketika pedang Saburo telah disarungkan, batang-batang pisang yang ditebas jatuh
satu per satu. Natane Yoshioka menatap takjub pada
kehebatan gurunya.
"Luar biasa," kata Yoshioka tak menyembunyikan
kekagumannya. "Aku berjanji akan berlatih lebih ke-
ras." "Kau harus lebih rajin dan disiplin. Disiplin meru-
pakan rahasia ilmu pedang yang paling utama. Tanpa
disiplin, seorang samurai hanya akan menjadi ronin, bukan pendekar."
Natane Yoshioka akan bicara, ketika secara tiba-
tiba Saburo melompat dan menutup mulutnya. "Sssst,
jangan bersuara," katanya memperingatkan.
Yoshioka kaget atas tindakan Saburo, ia ingin ber-
tanya, namun lelaki tersebut memberikan isyarat agar dia diam. Sambil pelan-
pelan melepaskan tangan dari mulut Yoshioka, Saburo mengajak anak itu mengen-
dap-endap ke arah semak belukar. Dari sana ia meli-
hat lebih dari dua puluh lima penunggang kuda men-
daki bukit. Dua orang prajurit membawa tombak yang
dilengkapi bendera warna merah.
"Prajurit Shogun Nobunaga," bisik Saburo pada Yo-
shioka. "Mereka sedang melakukan patroli."
"Aneh, tidak biasanya mereka melakukan patroli
sampai tempat ini."
"Mungkinkah ada orang yang melihat kita di sini ke-
mudian melaporkan pada Nobunaga?"
"Rasanya tidak. Selama kita berlatih tak pernah
bertemu seorang pun. Selain itu, hutan ini jauh dari pemukiman penduduk."
"Lalu kenapa mereka ada di sini?"
"Itu yang kuherankan. Kenapa mereka berada di si-
ni?" Para penunggang kuda itu berhenti di tepi hutan,
kemudian salah seorang yang rupanya menjadi pencari jejak melompat turun. Dengan
cermat dia mengamati
jejak kaki samar-samar di jalan setapak itu. Dahinya berkerut, seakan ia tengah
memikirkan kemungkinan
yang paling masuk akal.
"Apakah dia lewat di sini?" tanya komandan pasu-
kan itu dari atas kudanya.
Pencari jejak itu menggelengkan kepala. "Sudah ku-
katakan, tidak mungkin dia lewat di sini. Jalan setapak ini akan menyulitkan
langkahnya. Saya pastikan
dia memilih jalan besar ke Edo."
"Kau melihat jejak di sini?"
"Kurasa jejak petani dan anaknya."
"Dua orang?"
"Ya, orang dewasa dan seorang anak kira-kira ber-
usia sebelas tahun."
"Baiklah, kalau begitu sebaiknya kita cepat berpu-
tar ke arah Edo."
Komandan pasukan itu menarik tali kekang kuda,
kemudian kembali menuruni bukit itu. Derap kaki kuda gemuruh menuruni lereng
bukit itu, meninggalkan de-bu tipis berkepul. Pakaian mereka yang sebagian besar
berwarna merah, tampak berkibar ditiup angin.
Saburo tetap diam, menunggu sampai para penung-
gang kuda itu tak kelihatan.
"Mereka sedang mencari seseorang," kata Saburo
seperti bicara pada diri sendiri. "Tetapi bukan kita."
"Siapa kira-kira?"
"Entahlah, mungkin seorang samurai yang melawan
Nobunaga. Dari cara komandan itu bicara, tampaknya
buronan mereka termasuk berbahaya. Kalau tidak,
mana mungkin Nobunaga mengerahkan dua puluh li-
ma samurai untuk menangkapnya."
"Bila banyak samurai memberontak, semakin cepat
keruntuhan Nobunaga akan terjadi."
Saburo diam. Kemudian bergegas mengajak Yoshi-
oka pulang. Tiba-tiba nalurinya mengisyaratkan ada-
nya bahaya. Bila pengejaran tersebut terus dilakukan, bukan mustahil pasukan itu
akan sampai di tempat
tinggalnya. Bila hal itu terjadi, Saburo dapat mem-
bayangkan suatu pengepungan besar-besaran seperti
yang pernah ia alami. Dan itu sangat berbahaya. Belajar dari kegagalan
pengepungan yang pertama, Saburo tentu tak mau mengulangi kegagalannya. Ketika
dulu pengepungan dilakukan, sesungguhnya Saburo dan
Yoshioka diselamatkan oleh Tuhan. Semata-mata ke-
beruntungan! Bila saja mereka jatuh di batu karang, tubuh mereka pastilah remuk.
Dan keberuntungan,
tak dapat diharapkan terjadi dua kali.
"Kita harus cepat pergi. Cepat atau lambat mereka
akan sampai di sini."
"Mereka hanya akan menemukan batang pisang itu."
"Dengan melihat batang pisang itu, mereka akan
tahu kita berlatih. Seorang samurai akan mengetahui gaya permainan pedang dari
luka atau ayunan yang dilakukan seseorang. Mereka pasti tahu bahwa aku me-
latihmu di sana."
"Kedengarannya sangat aneh."
"Itulah misteri permainan pedang yang harus juga
kau pelajari. Setiap orang memiliki gaya sendiri. Tiap tebasan memantulkan watak
orang yang melakukan-
nya." Beberapa kali Saburo menoleh ke belakang, pera-
saannya mengatakan, seseorang sedang mengikutinya.
Tetapi setiap kali ia menoleh, tak seorang pun kelihatan. Ia hanya melihat
kerimbunan hutan pinus di be-
lakangnya. Beberapa ekor burung kormoran terbang
berputar-putar di langit. Bulunya yang hijau gemerlapan tampak sangat indah.
Mereka terus berjalan, lebih bergegas dari biasanya.
Napas Yoshioka sampai terengah-engah mengikuti ke-
cepatan melangkah Saburo.
Karena lelah, Yoshioka bertanya penasaran, "Kena-
pa tergesa-gesa, Sensei?"
"Kita harus cepat berkemas dan meninggalkan ru-
mah itu." "Ke mana?"
"Aku belum memastikan. Entah ke mana. Tetapi
harus pergi bila tak ingin mengalami pengepungan seperti dulu."
"Apakah engkau yakin mereka akan mengetahui
persembunyian kita?"
"Mereka akan tahu."
"Bagaimana mungkin?"


Shugyosa Samurai Pengembara 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seorang samurai harus melatih indra keenamnya,"
kata Saburo menjelaskan. "Dan sekarang, indra ke-
enamku mengatakan bahaya tengah mengintai kita.
Bila kita tak segera menghindar, kita akan menghadapi bahaya itu."
Natane Yoshioka terpaksa setengah berlari agar da-
pat mengimbangi kecepatan melangkah Saburo. Se-
sungguhnya ia ingin tidak cepat-cepat pergi, sehingga kalau benar terjadi
pengepungan, dia dapat mempraktekkan ilmu yang telah ia pelajari selama ini.
Sungguh tak ada gunanya belajar ilmu pedang bila tidak meng-gunakannya. Seperti
belajar menulis tetapi tak memi-
liki kertas dan pena.
Setelah berjalan kira-kira setengah jam, rumah me-
reka kelihatan di balik kerimbunan pohon. Atapnya
yang terbuat dari jerami, kelihatan kuning keperakan tertimpa sinar matahari.
Rumah itu tampak sepi. Tidak ada kehidupan yang tampak dari dalamnya.
Saburo merasa lega, perasaan was-was yang meng-
endap di dadanya tidak menjadi kenyataan. Tadi ia di-bayang-bayangi kenyataan
pasukan Nobunaga telah
mengepung rumahnya. Ternyata itu hanya bayangan
khayal. "Apakah engkau pikir kita masih berada dalam ba-
haya, Sensei?" Yoshioka bertanya menggoda. "Menu-
rutku tidak."
"Tetapi kita harus tetap pergi."
"Kenapa?"
"Suatu saat bahaya itu pasti datang."
"Baiklah kalau begitu, aku akan mengemasi barang
dan mengambil pedang kayuku." Berkata begitu, Yo-
shioka berlari menuju ke rumah. Pada saat itu Saburo melihat sebuah tongkat
sepanjang enam kaki di pagar, di atasnya terdapat sebuah topi pandan yang biasa
dipakai para ronin. Seketika kesadaran Saburo akan bahaya menggeliat, ia
berteriak memanggil Yoshioka.
"Kojirooo!"
Terlambat. Natane Yoshioka telah menerobos masuk
ke dalam rumah, dan pada saat bersamaan terdengar
ia menjerit kesakitan.
(Bersambung ke buku ketiga.)
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
MENJADIKAN ALAM SEBAGAI SEKUTU
*** *** BAPA LAO *** KEMARAHAN KONISHIWA
*** *** TEKAD SEORANG GEISHA
*** *** *** LIMA AHLI PEDANG YAGYU
*** *** *** API DENDAM BERKOBAR
*** ILMU KESEIMBANGAN
*** ILMU PEDANG KEDELAPAN
*** MITSUNARI MENGAMUK
*** *** TERJEBAK Korban Ratu Pelangi 2 Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih Hantu Wanita Berambut Putih 7
^