Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 4

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 4


"Glagah Putih," suara Agung Sedayu tertahan. Namun ia berkata selanjutnya, "Dari mana kau dapat mengucapkan kata-kata itu. Kau masih terlampau muda. Dan itu adalah ciri kemudaan bahwa kau tidak dapat menahan diri."
"Apakah Raden Sutawijaya itu juga masih terlalu muda" Jika ia masih terlalu muda, kenapa ia telah dianugerahi jabatan tertinggi di Mataram."
"Tentu tidak." "Tetapi iapun tidak dapat menahan diri. Aku kenal kakang Agung Sedayu. Dan aku yakin bahwa kakang tidak berbohong jika kakang menyatakan bahwa kakang tidak tahu menahu tentang sikap yang aneh dari pemimpin tertinggi Mataram itu. Kakang tidak pernah berbohong dalam hal ini. Dan kakang tidak berpura-pura. Tetapi anak muda itu benar-benar kehilangan kendali dan tidak tahu diri."
"Sudahlah. Sudahlah," Agung Sedayu hampir membentak, "tahanlah dirimu sedikit. Aku akan mohon penjelasan."
"Kakang, apakah kakang masih akan berbicara" Aku kira tidak ada gunanya. Sudah berapa kali kakang mencoba berbicara dengan rendah hati. Terlalu merendahkan diri. Tetapi sama sekali tidak dihiraukannya. Apakah itu bukan berarti suatu penghinaan?"
Agung Sedayu tiba-tiba saja memeluk Glagah Putih yang masih sangat muda itu. Sambil mengusap kepalanya ia berkata, "Kau benar Glagah Putih tetapi biarlah aku menyelesaikan masalah ini dengan caraku yang barangkali berbeda dengan kata hatimu."
Agung Sedayu benar benar menjadi bingung menghadapi anak itu. Karena itulah maka iapun kemudian berkata dengan berterus terang, "Glagah Putih, sikamu membuat aku bertambah bingung. Aku sudah hampir gila menghadapi sikap Raden Sutawijaya yang tidak aku mengerti dan terasa aneh sekali. Sekarang kau membuat aku semakin kehilangan akal."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun pengakuan itu ternyata telah menyentuh perasaan Glagah Putih sehingga iapun justru terdiam karenanya.
"Glagah Putih," berkata Agung Sedayu, "aku memang sedang mencoba melihat keadaan ini dengan kewajaran. Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga di Mataram itu memang seorang anak muda yang rendah hati. Ia bukan seorang yang sombong apalagi tamak dan dengki. Jika sekarang kau melihat sikap itu padanya, maka kau jangan bersikap kekanak-kanakan. Itulah yang sebenarnya aku maksudkan. Kau harus menilainya dengan sedikit cermat. Ayahmu, paman Widura telah mengatakan yang sebenarnya. Namun jika ternyata terjadi sesuatu yang lain, maka kita harus mencari sebabnya. Jangan tergesa-gesa mengambil sikap."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dan Agung Sedayu meneruskan, "Demikianlah atas Raden Sutawijaya ini. Semula aku menyangka bahwa Raden Sutawijaya sekedar bergurau. Tetapi ternyata tidak. Dan karena tidak, justru ini telah menyimpang dari kemungkinan yang dapat terjadi atas seorang anak muda yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu. Dan penyimpangan itulah yang harus kita cari."
Glagah Putih mengangguk. Namun katanya, "Tetapi sikapnya benar benar menyinggung perasaan kakang."
"Itulah yang aneh. Kenapa ia dapat melakukannya sehingga langsung menyinggung perasaan orang lain."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ketika Agung Sedayu menariknya menepi, Glagah Putih tidak menolaknya lagi. Meskipun demikian sekali-sekali ia masih berpaling memandang wajah Raden Sutawijaya yang mulai disaput oleh keremangan senja.
Sejenak orang-orang yang ada dihalaman itu termangu-mangu. Namun kemudian kesunyian itupun dipecahkan oleh suara Raden Sutawijaya, "Anak itu benar-benar memiliki sifat seorang prajurit. Jika ia anak paman Widura, maka ia akan menjadi seorang yang besar seperti bahkan melampaui ayahnya."
Suara Raden Sutawijaya telah berubah sama sekali. Sikapnyapun telah berubah, sehingga Agung Sedayu dan terutama Glagah Putih menjadi heran. Glagah Putih menyangka bahwa Raden Sutawijaya akan marah kepadanya dan mencincangnya, tetapi ia sama sekali tidak takut menghadapi akibat apapun. Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya tidak berbuat demikian.
Ki Juru yang semula menjadi bingung dan ragu ragu menghadapi sikap anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Ia mulai mengerti, apakah yang sebenarnya dihadapinya.
Dalam pada itu, keragu-raguan masih meliputi halaman padepokan kecil itu meskipun sudah mulai nampak gambaran yang mapan tentang sikap Raden Sutawijaya yang aneh itu.
Glagah Putih yang keheran-heranan itu bagaikan terbangun dari sebuah mimpi. Ia melihat sesuatu yang berbeda sekali dengan nalarnya. Raden Sutawijaya itu tidak marah. Bahkan sambil tersenyum anak muda itu berkata, "Kau akan menjadi orang besar Glagah Putih. Kau sangat yakin akan sikapmu dan uraianmu tentang persoalan yang kau hadapi ternyata melamaui kedewasaan umurmu."
Glagah Putih termangu-mangu dalam keheranannya.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berdiri termangu-mangu itupun kemudian berkata. "Tetapi marilah, silahkan duduk di pendapa. Jantung tua didalam dada ini rasa-rasanya sudah akan rontok, tetapi agaknya akulah yang terlampau bodoh."
Sutawijaya tersenyum. Iapun kemudian mengikuti Kiai Gringsing dan Ki Juru Martani yang menuju kependapa dan kemudian duduk dalam satu lingkaran.
"Duduklah disini Glagah Putih," ajak Kiai Gringsing ketika ia melihat anak muda itu termangu-mangu, "biarlah kawan-kawanmu pergi ke belakang menyiapkan segala sesuatunya. Menyalakan lampu dan barangkali semangkuk minuman."
"Aku sudah menyalakan api dan menjerang air," sahut Ki Waskita seakan-akan ingin pula ikut melepaskan ketegangannya, "tetapi justru karena aku terikat dihalaman, mungkin air itu belum mendidih, dan api sudah padam."
Ki Juru tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Merekapun kemudian duduk melingkar dipendapa dengan sikap yang kaku. Namun Raden Sutawijayalah yang mulai memecahkan keseganan, "Kiai, maaf jika sikapku kali ini agak berlebih-lebihan. Aku memang sengaja ingin menjajagi perasaan Agung Sedayu. Aku mencoba membuatnya marah. Tetapi aku tidak berhasil."
Kiai Gringsing menarik nafas.
"Ternyata ia mempunyai kelebihan daripadaku. Aku sebenarnya ingin menguji sikapku sendiri. Apakah sikapku menanggapi sikap Swandaru di Sangkal Putug itu sudah benar" Disini aku dihadapkan pada sebuah cermin. Untunglah bahwa akibatnya tidak justru meretakkan hubungan Mataram dengan Sangkal Putung, tetapi sebaliknya. Namun dihadapan Agung Sedayu aku merasa betapa kerdilnya jiwaku dihadapkan kepada kebesaran jiwanya."
"Ah," Agung Sedayu menjadi tersipu-sipu.
"Tidak Raden," jawab Kiai Gringsing, "aku kira sikap Raden sudah benar menghadapi Swandaru. Aku kira tidak ada sikap yang lebih tepat dari yang sudah Raden lakukan. Jika Raden bersikap lain, mungkin Swandaru justru tidak akan dapat menyadari, betapa kecilnya Sangkal Putung dibanding dengan kebesaran Mataram."
"Tetapi sikap Agung Sedayu sangat mengagumkan. Ia benar-benar sudah dewasa."
"Bagi Raden yang sudah dewasa pula. Tetapi tidak bagi Swandaru. Aku kira pada suatu saat, Swandaru pun akan menjajagi ilmu kakak sepergurunnya ini."
Raden Sutawijaya mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Tetapi aku dapat mengerti. Swandaru agaknya kurang yakin akan perkembangan ilmunya sehingga ia memerlukan perbandingan. Di Sangkal Putung ada Pandan Wangi. Tetapi karena Pandan Wangi justru telah menjadi isterinya, maka ia kurang mantap untuk membuat perbandingan dengan ilmunya. Swandaru tentu menyangka bahwa dalam beberapa hal Pandan Wangi tidak bersungguh-sungguh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun menyahut, "Tetapi aku sebenarnya menjadi sangat berdebar-debar. Seharusnya bukan Radenlah yang menjadi sasaran percobaan ilmunya itu."
Raden Sutawijaya tersenyum. Yang terpandang olehnya kemudian adalah Glagah Putih yang masih keheran-heranan.
Dengan singkat Kiai Gringsingpun kemudian menjelaskan kepada Glagah Putih tentang Raden Sutawijaya. Maksudnya dan juga latar belakang peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
"Aku minta maaf Raden," gumam Glagah Putih kemudian yang seolah-olah dapat didengarnya sendiri.
Tetapi Raden Sutawijaya mendengarnya pula. Sambil tersenyum ia menjawab, "Kau akan menjadi seorang anak muda yang perkasa. Kau tentu telah menempa diri bersama Agung Sedayu atau Kiai Gringsing dalam jalur ilmunya."
Raden Sutawijaya menjadi heran ketika ia melihat Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak Raden. Ia tidak berada dalam jalur ilmuku seperti Agung Sedayu dan Swandaru. Tetapi ia berada dalam jalur cabang perguruan Ki Sadewa."
"He?" Raden Sutawijaya menjadi heran, "siapakah gurunya" Ki Widura atau kakang Agung Sedayu. Ki Untara?"
"Bukan salah seorang dari keduanya," jawab kiai Gringsing.
Raden Sutawijaya menjadi termangu-mangu. Jika Glagah Putih berada dibawah bimbingan ayahnya sendiri atau Ki Untara, maka ilmu Glagah Putih tentu tidak akan dapat melampui keduanya, karena yang dituangkan dari keduanya masih belum tuntas.
"Siapakah gurunya " Apakah pada saat ini masih ada seseorang yang mampu menuangkan ilmu cabang perguruan Ki Sadewa dengan sempurna?"
"Tentu tidak Raden. Sejak dahulupun tidak ada seseorang yang mampu menyalurkan ilmu dengan sempurna" " jawab Kiai Gringsing.
"O," Raden Sutawijaya tersenyum, "maksudku, sampai tuntas. Sempurna menurut ukuran manusiawi yang serba kekurangan."
Kiai Gringsingpun tersenyum pula. Namun katanya kemudian, "Tidak ada seorang guru yang akan dapat memberikan bahan yang cukup kepadanya dalam jalur ilmunya yang dianutnya sekarang. Tetapi kami sedang berusaha. Dan kami mengharap bahwa Glagah Putih akan dapat mencapai suatu tingkatan yang baik baginya, jika ia tekun dan bersungguh-sungguh."
Raden Sutawijaya memandang Glagah Putih yang menundukkan kepalanya. Tubuhnya yang agak kekurusan. Menurut ukuran wajahnya yang masih kekanak-kanakan ia termasuk anak yang bertubuh tinggi. Kejujuran yang memancar dari wajah yang masih sangat muda itu telah menarik perhatian Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, beberapa orang yang dibelakang masih saja sibuk menjerang air dan menyalakan lampu. Mereka memasang lampu-lampu minyak di setiap ruangan. Salah seorang dari mereka telah membawa lampu kependapa pula.
Ketika lampu sudah menyala, maka Glagah Putih menjadi semakin gelisah. Karena itu, Kiai Gringsing yang tidak ingin membuatnya bertambah gelisah lagi berkata kepadanya, "Glagah Putih, jika kau ingin kebelakang, pergilah."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia telah terbebas dari satu tugas yang sedang mengikatnya.
Anak muda itupun kemudian minta diri dan dengan tergesa-gesa pergi kebelakang, seakan-akan ia ingin segera menjauhkan diri agar keputusan Kiai Gringsing itu tidak berubah dan memanggilnya kembali kependapa.
Sementara itu, minuman panas dan ketela rebus yang hangat sudah dihidangkan dipendapa. Sambil berkelakar Kiai Gringsing mempersilahkan, "Inilah hasil padepokan kami Raden. Jika ada seorang tamu, maka kami telah mencabut satu dua batang pohon ketela dan langsung merebusnya."
Raden Sutawijaya tersenyum. Ki Juru Martanipun tersenyum pula. Katanya, "Dengan demikian maka lumbungmu adalah lumbung yang hidup Kiai."
Kiai Gringsingpun tertawa. Kemudian dipersilahkannya Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani untuk minum dan makan makanan yang sudah dihidangkan.
Sambil mengunyah maka merekapun masih saja bercakap-cakap, yang kemudian justru merambat pada persoalan pokok yang sangat penting bagi Raden Sutawijaya.
"Pertemuan antara orang-orang yang mengaku masih mempunyai darah keturunan Majapahit itu akan segera dilakukan," berkata Raden Sutawijaya.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Beberapa saat terakhir kami sibuk dengan kepentingan kami sendiri Raden. Sejak perkawinan Swandaru yang hampir saja menenggelamkan Sangkal Putung dan sekaligus Tanah Perdikan Menoreh jika orang-orang itu berhasil membunuh Swandaru dan Pandan Wangi, kemudian persoalan Agung Sedayu dan padepokan kecil ini telah merampas segenap perhatian kami. Namun kamipun yakin saat itu bahwa pertemuan itu masih belum dilaksanakan karena beberapa perbedaan pendapat tentang imbangan kekuatan diantara mereka dan terutama bahwa merekapun telah saling mencurigai."
"Tetapi agaknya hal itu akan teratasi. Mereka akan melangsungkan pertemuan itu beberapa saat lagi. Kami masih selalu membayangi sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami."
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu mendengarkan berita itu dengan kerut merut dikening. Sejak semula mereka telah melibatkan diri dalam persoalan pusaka yang hilang itu, sehingga mereka tidak akan dapat menarik diri justru pada saat-saat terpenting.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Raden. Jika saatnya tiba, maka kami tentu tidak akan ingkar. Mungkin ada sesuatu yang dapat kami lakukan. Bahkan mungkin sebelum saat pertemuan itu tiba."
"Apa yang dapat kita lakukan sebelum saat pertemuan itu tiba" Aku kira kedua pusaka itu masih belum pasti ada diantara mereka sekarang ini. Tetapi menurut perhitunganku, pada saat pembicaraan mereka itu dengan resmi diadakan, kedua pusaka itu tentu sudah ada didalam pertemuan itu sebagai bagian dari pembicaraan mereka," berkata Raden Sutawijaya.
"Kami mengerti. Tetapi maksud kami, apa yang dapat kami lakukan sebelumnya adalah sekedar pengamatan."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih Kiai. Tetapi barangkali yang mereka lakukan sebelumnya masih dalam usaha mereka mempersiapkan pertemuan itu di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, dan yang lebih penting adalah mempertajam persoalan yang ada antara Pajang dan Mataram. Tetapi yang membuat aku semakin prihatin sekarang ini adalah keadaan ayahanda Sultan Pajang. Menurut keterangan yang aku dengar, sepeninggalkan ayahanda Ki Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram, maka kesehatan ayahanda Sultan Hadiwijaya menjadi semakin buruk. Sementara itu beberapa orang yang memegang pemerintahan di Pajang menjadi semakin tamak dan mendesak kekuasaan ayahanda Sultan. Bahkan terakhir aku sudah mendengar seorang Adipati yang dengan penuh kebencian ingin menghancurkan Mataram dengan kekerasan."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan wajah yang buram ia bertanya, "Tetapi apakah Adipati itu mempunyai hubungan dengan orang yang menyebut dirinya keturunan Majapahit yang berhak menerima warisan atas kekuasaan itu?"
"Aku tidak tahu jelas. Tetapi menurut perhitunganku, hal itu tentu dalam usaha memperebutkan pengaruh dan dukungan atas masa depan."
Kiai Gringsing memandang Agung Sedayu sekilas. Wajah anak muda itu menjadi tegang. Berbagai persoalan agaknya telah membelit dihatinya.
"Raden," Ki Waskitapun kemudian bertanya, "apakah peristiwa itu berarti bahwa keadaan menjadi semakin rumit sekarang ini" Jika seorang Adipati telah melibatkan diri langsung, maka keadaannya tentu tidak akan menguntungkan semua pihak."
"Tentu Ki Waskita. Itulah kesulitan yang tentu akan kita hadapi nanti."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sepercik keragu-raguan telah membayang diwajahnya. Agaknya ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi ia telah dicengkam oleh kebimbangan.
Tetapi Ki Juru Martani melihat kebimbangan itu. Karena itu, maka iapun mendahuluinya, "Ki Waskita. Apakah ada sesuatu yang agaknya ingin kau katakan?"
Ki Waskita termangu mangu.
"Apakah salahnya," berkata Ki Juru Martani pula, "cobalah. Katakan. Setuju atau tidak setuju, kami tentu akan mempertimbangkannya sebaik-baik nya."
"Aku mohon maaf Raden," berkata Ki Waskita, "aku kira keadaan memang menjadi sangat gawat. Hal ini tentu bermula karena salah paham sejak ayahanda Ki Gede Pemanahan meninggalkan istana Pajang dan kembali ke Sela dalam rangka tuntutannya atas janji Sultan Pajang untuk menyerahkan Alas Mentaok. Sementara Pati yang sudah menjadi semakin ramai dan besar telah diberikan langsung kepada Ki Penjawi. Namun kesalah pahaman itu tidak sebaiknya menjadi semakin berlarut-larut. Sepeninggal ayahanda Raden, Ki Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram, apakah tidak sebaiknya Raden sendiri berusaha mengakhiri salah paham itu dengan datang menghadap Sultan di Pajang."
Wajah Raden Sutawijaya menjadi semburat merah. Namun Ki Juru Martanipun kemudian tersenyum sambil berkata, "Itulah yang aku prihatinkan Ki Waskita. Jika angger Sutawijaya tidak berhati sekeras batu, maka aku kira akan dapat dicari jalan untuk menghindarkan salah paham ini."
"Paman," Raden Sutawijaya memotong, "paman tidak pernah mendengar penghinaan atasku dan ayahanda Ki Gede Pemanahan saat kami meninggalkan istana Pajang."
"Apakah ayahanda Sultan pernah menghina Raden?" bertanya Ki Waskita.
"Bukan ayahanda Sultan Hadiwijaya. Tetapi orang-orang didekatnya. Orang-orang disekitarnya."
"Itulah barangkali yang membuat hati ayahanda Sultan sekarang ini selalu muram. Kesalahan beberapa orang disekitarnya terhadap Raden, berakibat parah sekali bagi Pajang dan Mataram. Pusaka-pusaka Pajang yang diserahkan kepada Mataram, gelar Senopati ing Ngalaga itu tentu diberikan kepada Raden bukannya tanpa maksud. Kecuali Raden memang sudah berhak atas gelar itu, namun tentu ada juga niat ayahanda Sultan untuk memanggil Raden kembali memasuki Paseban Agung di Pajang setidak-tidaknya selapan hari sekali."
"Paman," wajah Raden Sutawijaya menjadi semakin tegang, "aku sudah mengajukan permohonan kepada ayahanda Sultan. Aku akan menghadap ke Paseban Agung bukan saja setiap selapan hari, tetapi setiap pekan dan saat apapun jika dikehendaki, asal orang-orang yang tidak aku senangi itu diusir dari istana."
Wajah Ki Waskita menegang sejenak. Ketika dilihatnya sekilas wajah Ki Juru, maka nampaknya penyesalan membayang diwajah yang tua itu. Bahkan katanya kemudian, "Ki Waskita. Akupun pernah mengajukan permohonan serupa kepada Raden Sutawijaya. Sultan Hadiwijaya adalah seorang yang mempunyai tiga kedudukan terpenting bagi Raden Sutawijaya. Ia adalah seorang ayah yang penuh kasih, seorang guru yang cakap dan mumpuni dalam olah kanuragan dan kesusasteraan. Selebihnya ia adalah seorang Raja yang bijaksana."
Wajah Raden Sutawijaya menjadi buram. Sekilas ia memandang Ki Juru Martani. Kemudian Ki Waskita dan orang-orang lain berganti-ganti.
Dengan nada yang dalam ia berkata, "Aku mengerti paman. Tetapi aku tidak dapat melihat kelemahan semakin membelit hati ayahanda Sultan di Pajang. Sebenarnyalah bahwa ayahanda Sultan tidak berani melihat kenyataan meskipun ia mengetahuinya. Seharusnya ayahanda telah mengusir beberapa orang yang dengan sengaja mempersulit kedudukan dan rencana-rencana ayahanda. Bahkan syahanda mengetahui bahwa beberapa orang telah menyalah gunakan kepercayaan ayahanda untuk kepentingan-kepentingan yang tidak menguntungkan. Apakah paman Juru Martani tidak mau mengakui, bagaimana buruknya pengaruh orang-orang yang dengan sadar dan sengaja didorong oleh pamrih pribadi telah menjerumuskan ayahanda kedalam cengkeraman nafsu yang semakin dalam. Perempuan perempuan cantik merupakan noda kelemahan yang selalu dipergunakan."
"Angger," suara Ki Juru sareh, "justru dalam keadaan serupa itu. Beberapa puluh kali aku mencoba memberikan nasehat bahwa jika angger berada diistana, maka angger akan dapat membantu ayahanda melepaskan diri dari belenggu nafsu yang seolah-olah tidak terkekang itu."
Tetapi Sutawijaya menggeleng. Jawabnya, "Uwa Mandaraka. Berpuluh kali pula aku mohon maaf, bahwa hatikulah yang tidak dapat dipaksa untuk datang menghadap ayahanda yang duduk dikitari oleh penjilat-penjilat yang dengan liciknya telah menjerumuskan ayahanda kedalam belenggu nafsu dan kesenangan duniawi."
Ki Juru Martani yang juga bergelar Mandaraka itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
"Aku sudah menentukan sikap," berkata Raden Sutawijaya, "aku tetap mencintai ayahanda Sultan Hadiwijaya sebagai seorang anak yang menyadari untuk membalas budi yang tidak ternilai, yang barangkali seumurku tidak akan dapat terbalas selapis tipispun. Dan akupun tetap menghormati sebagai seorang guru yang mumpuni. Bahkan aku tetap menjunjung segala perintahnya sebagai seorang Raja yang bijaksana. Namun didalam tindakannya yang tidak aku anggap bijaksana maka aku tidak akan dapat menjunjungnya diatas kepala."
"Baiklah Raden," gumam Ki Juru kemudian, "aku sudah mendengar pendirian itu berpuluh kali sebanyak aku mengucapkan harapan dan nasehatku. Tetapi baiklah. Raden sudah cukup dewasa untuk mengambil sikap. Jika aku tetap berada disisi angger, barangkali didalam sikap dan tindakan angger sehari-hari masih ada yang perlu dipertimbangkan."
"Ki Juru," berkata Raden Sutawijaya, "bagiku Ki Juru tetap seorang yang penting. Aku selalu melakukan segala nasehat Ki Juru, selain yang satu itu. Menghadap ayahanda dalam keadaan seperti sekarang."
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Betapapun buram sorot matanya, tetapi orang tua itu benar-benar tidak berhasil merubah sikap Raden Sutawijaya dalam satu hal itu.
Sementara itu Agung Sedayu mendengarkan dengan dada yang berdebar-debar. Dengan demikian Agung Sedayupun dapat mengerti, bahwa Raden Sutawijaya adalah orang yang keras hati. Apalagi ketika ia mendengar tentang beberapa orang yang berada disekitar Sultan Pajang, yang dengan cara yang licik telah melakukan usaha untuk kepentingan diri sendiri.
Tetapi kenapa Raden Sutawijaya tidak berada didekat ayahandanya Sultan Pajang, justru dalam keadaan seperti itu" pertanyaan yang serupa itupun telah mengganggu hatinya.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya berkata seterus nya. "Karena itu aku harus segera mulai. Tetapi aku tidak akan mulai dari orang-orang disekitar ayahanda Sultan di Pajang. Aku akan mulai dengan menemukan pusaka-pusaka yang hilang itu dan sekaligus menghancurkan orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit, karena aku yakin bahwa jalurnya akan sampai juga keistana Pajang. Beberapa orang petugas sandi yang aku tugaskan khusus, telah memberikan laporan yang menurut uraian dan perhitungan, bayak orang-orang di istana Pajang yang terlibat, bahkan mungkin mereka adalah pemikir-pemikirnya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku percaya bahwa Raden Sutawijaya tidak akan bertindak dengan tergesa-gesa Tetapi akupun percaya bahwa Raden Sutawijaya bukan seorang yang tidak melihat perkembangan peristiwa dan keadaan."
"Ya," jawab Raden Sutawijaya singkat, "dan kedatanganku menemui Kiai diantaranya juga dalam usaha penyelesaian itu. Aku tidak mengatakannya di Sangkal Putung karena suasananya tidak memungkinkan. Tetapi aku yakin bahwa Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru masih akan tetap bersedia membantuku. Khususnya menghadapi orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu."
Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya, "Percayalah Raden. Untuk menghadapi mereka, aku akan berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuanku. Mudah-mudahan yang akan kami lakukan itu cukup berarti bagi Raden."
"Tentu Kiai," berkata Raden Sutawijaya, "aku tidak dapat berhubungan dengan Untara, karena aku tidak mengetahui dengan pasti jalur apakah yang telah mengikatnya didalam lingkungan keprajuritan Pajang. Meskipun demikian aku tahu pasti, bahwa Untara adalah seorang yang setia akan kewajibannya. Ia adalah prajurit Pajang yang sangat baik. Tetapi justru itulah sulitlah bagiku untuk melakukan usaha yang dapat membawanya bekerja bersama dengan Mataram meskipun dalam persoalan yang khusus."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
"Karena itulah, aku mengharap bantuan Swandaru tegasnya Sangkal Putung dari arah ini, meskipun jika kita mulai, kita harus menghindari pengawasan Untara. Harapan yang sama juga akan aku sampaikan kepada Ki Gede di Menoreh. Kedua daerah itu akan merupakan kekuatan penyumbat lembah antara lereng Merbabu dan Merapi. Kamilah yang akan memasuki lembah itu dan menghancurkan mereka pada saatnya nanti. Tetapi kami harus meyakinkan diri, bahwa yang kami lakukan itu akan menguntungkan, dan menemukan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu."
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi dari sorot mata mereka, Ki Juru Martani dapat menangkap, bahwa mereka tidak berkeberatan untuk ikut membantunya.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing memang merasa wajib untuk setidak-tidaknya ikut mengetahui, siapakah yang berdiri dibelakang kegiatan yang dapat mengguncangkan sendi-sendi pemerintahan, baik Pajang maupun Mataram. Bahkan dalam keadaan yang paling parah, maka kekuatan itu benar-benar akan berhasil membenturkan Mataram atas Pajang. Sifat keras hati Raden Sutawijaya yang kurang menguntungkan bagi pendekatan antara anak muda itu dengan ayahandanya, benar-benar telah mencemaskan orang-orang tua.
"Kiai," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "baiklah aku berterus terang. Tanpa Kiai, Ki Waskita dan kekuatan murid-murid Kiai beserta para pengawal Sangkal Putung. maka kami akan mengalami kesulitan. Karena itu, kami mohon Kiai dapat memberikan bantuan itu. Seperti yang aku katakan, aku mengharap agar kekuatan dari Sangkal Putung menyumbat mulut lembah itu dari arah Timur sedangkan Tanah Perdikan Menoreh dari arah Barat. Jika tidak berkeberatan, kedua kekuatan itu kami minta perlahan-lahan memasuki lembah itu semakin dalam, agar kesempatan bergerak orang-orang yang akan membicarakan bangkitnya Majapahit itu semakin sempit."
"Baiklah angger," berkata Kiai Gringsing, "aku harap aku dapat meyakinkan Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi aku kira, Sangkal Putung tidak akan berkeberatan. Karena perjuangan itu bukannya sekedar perjuangan dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, tetapi juga akan sangat berpengaruh bagi perkembangan dan pertumbuhan kekuasaan diatas Tanah ini."
Raden Sutawijaya memandang wajah Ki Juru sejenak. Nampak sekilas harapan diwajah orang tua itu, seolah-olah ingin mengatakan bahwa Kiai Gringsingpun sebenarnya mempunyai kepentingan khusus dengan orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu.
"Kiai," berkata Raden Sutawijaya, "yang aku katakan sekarang ini adalah suatu pemberitahuan, bahwa kita semuanya harus mulai mempersiapkan diri. Kami masih akan mengadakan penyelidikan lebih jauh. Seterusnya kami akan selalu berhubungan meskipun bukan aku sendiri yang akan datang kemari."
"Baiklah Raden," jawab Kiai Gringsing, "aku akan melakukan sesuatu disini. Tetapi mungkin karena ketidak tenanganku. aku juga sekali sekali ingin melihat perkembangan langsung dilembah itu."
"Tentu saja aku akan berterima kasih Kiai. Karena yang akan Kiai lakukan itupun akan sangat menguntungkan Mataram. Mudah-mudahan kami dapat menemukan sesuatu yang berharga. Pusaka-Pusaka itu dan orang-orang yang sampai saat ini justru telah menggoyahkan kekuasaan ayahanda di Pajang, lewat perbuatan dan tindakan-tindakan yang licik sekali, diluar kesadaran ayahanda sendiri."
Untuk beberapa saat mereka masih membicarakan persoalan persoalan yang lebih terperinci. Namun pada pokoknya, mereka akan bersama sama memecahkan persoalan pusaka yang hilang sekaligus tentang orang-orang yang merasa dirinya masih harus mewarisi kerajaan dan kejayaan Majapahit. Tetapi lebih dari itu, Sutawijaya selalu merasa terganggu oleh orang-orang yang ada disekitar ayahandanya, yang justru tidak menguntungkan sikap dan wibawanya dalam keseluruhan, tetapi justru telah menjerumuskan kedalam kesulitan.
Meskipun dalam hal itu Sutawijaya yakin, bahwa ada beberapa orang Adipati yang sama sekali tidak menyetujui sikapnya. Bahkan ada yang dengan serta merta mohon ijin kepada Sultan Hadiwijaya untuk menghancurkan Mataram sebelum besar, karena ada tanda-tanda bahwa Mataram akan memberontak, yang ternyata dari sikap Raden Sutawijaya yang tidak mau menghadap dipaseban, namun Sutawijaya sudah mempersiapkan diri.
"Asal bukan Pajang sendiri langsung menyerang Mataram, maka Mataram tidak akan dapat digoyahkan," berkata Raden Sutawijaya.
Tetapi keyakinan itu sebenarnya masih belum lengkap. Mataram masih belum memiliki jumlah pasukan yang cukup banyak meskipun secara pribadi pengawal-pengawal di Mataram memiliki kemampuan seorang prajurit pilihan. Jika dua orang Adipati bergabung dan mendapat ijin dari Sultan atas namanya mempersempit kekuasaan Mataram maka Mataram akan mengalami kesulitan.
Namun keragu-raguan atas kepemimpinan Sultan Pajang yang mulai berkembang agaknya telah menyentuh hati setiap Adipati. Masih ada kesetiaan diantara mereka. Namun mereka mulai ragu-ragu bahwa Pajang tidak akan dapat lagi diharapkan dihari depannya. Para Adipati itu mengenal sikap dan pribadi Pangeran Benawa. Satu-satunya putera yang berhak mewarisi kerajaan dan pemerintahan Pajang. Tetapi nampaknya perhatian Pangeran Benawa tidak tertuju kepada pemerintahan. Ia lebih suka menyepi dan kadang-kadang berada dalam lingkungan para ulama. Nampaknya meskipun ia masih berusia muda, ia lebih senang hidup dalam ketenangan batin daripada digelitik oleh kesibukan pemerintahan yang rumit
Ia seorang yang luar biasa setiap orang memujinya, dalam usia mudanya, ia telah mewarisi semua ilmu kanuragan yang ada pada ayahandanya. Bahkan ia termasuk orang yang aneh, yang dapat menyadap ilmu yang betapapun sulitnya dalam waktu yang sangat pendek. Tetapi seolah-oleh ia tidak mempunyai minat pada ilmu-ilmunya. Seolah-olah dengan terpaksa karena kewajiban seorang putera Sultan sajalah ia mempelajari ilmu ilmu itu. Namun kemudian yang didambakannya adalah ketenangan hidup yang sebenarnya. Kedamaian hati dan ketenteraman rohaniah.
Karena itulah, maka seakan-akan ia tidak menghiraukan yang terjadi diistana.
Seperti Raden Sutawijaya, sebenarnyalah Pangeran Benawa telah dikecewakan oleh sikap ayahnya yang terlalu mudah disentuh oleh kecantikan wajah gadis-gadis muda. Namun dalam bentuk dan ujud yang lain sesuai dengan kepribadiannya.
Demikianlah, maka Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani masih berada di padepokan itu utuk sehari. Mereka telah bersepakat, dipagi harinya, mereka akan meninggalkan padepokan kecil itu kembali ke Mataram.
"Kita harus segera mulai, agar kita tidak terlambat," berkata Raden Sutawijaya.
Saat-saat yang tersisa, kemudan dipergunakan oleh Raden Sutawijaya untuk melihat-lihat padepokan itu. Bahkan iapun berkata kepada Agung Sedayu. "Kita berjalan-jalan kesawah dan ladangmu."
Agung Sedayu tidak menolak. Merekapun kemudian berjalan-jalan menyusuri jalan ditengah-tengah daerah persawahan.
Raden Sutawijaya merasa kagum juga melihat hasil kerja Agung Sedayu. Parit-parit yang membujur lintang diantara tanaman yang hijau. Lorong-lorong yang panjang dan beberapa batang pohon pelindung dipinggir jalan.
Kedua anak muda itu berjalan sambil berbincang. Mula-mula tentang masa depan Mataram dan sekitarnya dalam hubungannya dengan Pajang. Namun kemudian sampai juga kepada kemampuan yang telah dicapai oleh Agung Sedayu.
"Aku tidak mendapatkan kemajuan apapun juga selama ini selain kecakapan memelihara sawah dan ladang ini," berkata Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya yang telah mengenal sifat-sifatnya hanya tertawa saja. Anak muda yang rendah hati ini memang jauh berbeda dengan saudara seperguruannya, meskipun Raden Sutawijaya yakin bahwa Agung Sedayu telah mencapai satu tingkatan yang tidak kalah dari Swandaru.
"Agung Sedayu," berkata Raden Sutawijaya, "di Sangkal Putung aku telah dipaksa untuk menunjukkan kelebihanku dari Swandaru. Sebenarnya aku agak malu mengingatnya. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain untuk meyakinkan Swandaru."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Dan kini aku sebenarnya ingin juga melihat kemampuanmu. Aku sama sekali bukannya hendak menjajagi ilmumu atau mau mengukur apakah kau pantas atau tidak menjadi seorang Senapati atau dengan maksud-maksud lain. Aku benar-benar ingin sekedar mengetahuinya."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Tidak banyak berarti Raden. Yang aku miliki pernah Raden ketahui. Masih seperti itu. Mungkin ada juga peningkatan. Tetapi sedikit sekali. Dan itu tidak berarti apa-apa. sehingga karena itu, maka aku kira tidak ada gunanya aku pamerkan dihadapan Raden."
Raden Sutawijaya tersenyum pula Ia memang sudah menduga, bahwa tidak mudah memaksa Agung Sedayu untuk menunjukkan ilmunya dengan cara apapun juga.
Untuk beberapa saat mereka berjalan jalan melintasi bulak-bulak yang tidak begitu panjang. Mereka melihat juga ladang yang mulai ditanami pohon buah-buahan. Bukan saja pategalan Agung Sedayu yang diterimanya dari Untara, tetapi daerah pategalan baru yang dibukanya bersama-sama tanah persawahan dari hutan yang lebat.
Setelah mereka melingkari semua sudut tanah yang telah dibuka oleh Agung Sedayu, maka keduanyapun kemudian kembali kepadepokan. Raden Sutawijaya terasa sangat kecewa bahwa ia tidak dapat melihat tingkat kemajuan ilmu Agung Sedayu meskipun ia benar-benar hanya sekedar ingin mengetahuinya.
"Swandaru telah mencapai kemajuan yang pesat. Bahkan ia mampu menggoyahkan ilmuku, aji Tameng Waja. Jika Agung Sedayu tidak dapat mencapai tingkat yang sama dengan Swandaru, maka Swandaru tentu akan merasa dirinya lebih penting lagi dan bertindak kurang bijaksana atas kakak seperguruannya yang akan menjadi adik iparnya itu," katanya didalam hati.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak mengatakannya kepada siapapun. Juga tidak kepada Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Raden Sutawijaya masih bermalam dipadepokan itu sebelum pada pagi harinya, seperti yang direncanakannya, meninggalkan padepokan itu kembali ke Mataram.
"Mudah-mudahan semuanya segera dapat aku selesaikan," berkata Raden Sutawijaya saat ia minta diri, "jika masalah pusaka-pusaka yang hilang dan orang-orang yang mengaku keturunan Majapahit itu sudah aku selesaikan, maka aku akan dapat memusatkan perhatianku terhadap perkembangan Pajang. Keadaan ayahanda Sultan memang menjadi semakin gawat sedang adimas Pangeran Benawa agaknya tidak menghiraukannya sama sekali."
Ki Juru Martani menarik nafas. Ia kadang-kadang sulit mengerti pikiran anak-anak muda. Raden Sutawijaya dapat menyalahkan Pangeran Benawa yang kurang memperhatikan jalur pemerintahan dan keadaan ayahandanya yang dikelilingi oleh orang-orang yang sulit dibedakan antara mereka yang benar-benar setia dengan jujur, para penjilat, dan bahkan orang-orang yang dengan sengaja akan menjerumuskannya, sementara dirinya sendiri tidak langsung ikut serta membantu memecahkan kesulitan yang kurang disadari oleh Sultan Hadiwijaya itu.
Demikianlah, maka Raden Sutawijaya dan KiJuru Martani pun meninggalkan padepokan itu ketika Matahari mulai memanjat langit. Sekali-sekali keduanya masih berpaling. Dengan nada datar Ki Juru berkata, "Anak yang rendah hati. Ia mulai dari permulaan sekali. Sebuah Padepokan kecil. Tetapi nampaknya padepokan itu cukup tenang dan mempunyai harapan."
"Sebenarnya padepokan itu kurang menguntungkan bagi Agung Sedayu," sahut Raden Sutawijaya umurnya yang masih muda telah terkungkung dalam ikatan daerah yang sempit Sawah, ladang dan padepokannya itu." ia berhenti sejenak, lalu, "sebenarnya ada jalan yang lebih baik bagi Agung Sedayu untuk mencapai sesuatu dimasa depanya. Ia memiliki ilmu yang cukup, cerdas dan memiliki tanggapan yang tajam. Namun ia lebih senang berada ditempat yang terasing."
"Itu adalah watak dan sifatnya. Agaknya sifat gurunya yang lebih senang hidup tersembunyi itu menemukan persesuaian dihati anak muda itu." berkata Ki Juru kemudian.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun dari bibirnya terloncat, "Sayang Ia menyia-nyiakan hari harinya dimasa muda."
Ki Juru Martani tidak menyahut. Ia menyadari bahwa anggapan Raden Sutawijaya itu lebih banyak tertuju kepada Agung Sedayu sesuai dengan sifat dan wataknya sendiri. Raden Sutawijaya adalah seorang yang sejak masa anak-anaknya dipengaruhi oleh lingkungannya. Ia a dalah putera angkat Sultan Hadiwijaya. sehingga ia mengenal segi-segi pemerintahan dan bahkan kemudian menjadi sebagian besar dari seluruh hidupnya.
Selebihnya, karena Raden Sutawijaya menginginkan agar Agung Sedayu dengan tegas berada didalam lingkungannya. Lingkungan para pengawal di Mataram.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak dapat mengatakannya berterus terang kepada Agung Sedayu. Ia masih belum tahu pasti, apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh anak muda itu dan gurunya. Bagi Raden Sutawijaya ternyata Swandaru lebih mudah dapat dikuasainya daripada murid Kiai Gringsing yang seorang lagi itu. Bahkan tingkat ilmu yang sebenarnyapun Raden Sutawijaya tidak berhasil mengetahuinya.
Dalam pada itu, sepeninggal Raden Sutawijaya, Dibagian belakang dari padepokan itu, Glagah Putih menemui Agung Sedayu dan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya tentang Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram.
"Ia anak muda yang baik," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi sikapnya saat kakang datang, benar-benar membingungkan aku."
"Ia hanya bergurau," Agung Sedayu tertawa.
"Tentu tidak. Meskipun aku sadar, bahwa ia tidak bersungguh-sungguh. Aku menyesal akan sikapku."
"Ia tidak marah. Sikapmu adalah sikap yang wajar."
"Wajar?" "Wajar bagi anak semuda kau dan dalam luapan perasaan yang tidak terkendali. Hal itu menjadi pengalaman yang baik bagimu. Lain kali kau akan menjadi berhati-hati menanggapi peristiwa-peristiwa yang masih kabur dan kurang meyakinkan. Nah, bukankah kau lihat, bahwa ia tidak berbuat apa-apa meskipun aku tidak melayaninya?"
"Ya." namun kemudian Glagah Putih menjadi ragu-ragu, "tetapi apakah Raden Sutawijaya benar-benar memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kakang?"
"Tentu. Tentu. Kau harus yakin seperti aku yakin." Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Apakah kakang mau menceriterakan serba sedikit tentang Mataram ?"
"Tentu," jawab Agung Sedayu yang kemudian mulai bercerita tentang Mataram, "Raden Sutawijaya dan usahanya membuka hutan yang lebat dan menjadikannya sebuah negeri yang ramai dan kuat."
"O," desis Glagah Putih, "jika demikian, kenapa kita tidak membuka hutan lebih luas dan menjadikannya sebuah negeri " "
Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, "Ada bermacam-macam unsur yang dapat menjadikan sebuah hutan yang lebar menjadi sebuah negeri. Alas Mentaok telah diberikan oleh Sultan Pajang kepada putera angkatnya itu. Dan Alas Mentaok adalah hutan yang besar dan luas. Beberapa puluh kali lebih luas dari seluruh Kademangan Jati Anom."
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Ia mencoba membayangkan hutan yang luas itu telah menjadi sebuah negeri.
"Tentu memerlukan waktu dan tenaga yang tidak terkira," katanya.
"Ya. Usaha Raden Sutawijaya itu berlangsung untuk waktu yang lama dan tenaga yang tidak tanggung-tanggung. Tetapi Raden Sutawijaya adalah putera Sultan Hadiwijaya. Apalagi sebelumnya setiap orang mengetahui, bahwa dalam perselisihan antara Pajang dan Jipang, Raden Sutawijaya seakan-akan telah berhasil menentukan sikap penyelesaian dengan gugurnya Arya Penangsang. Dengan demikian, maka banyak orang yang mempercayainya dan bersedia dengan suka rela ikut serta membuka hutan dan menjadikannya sebuah negeri. Bahkan beberapa kelompok prajurit Pajang telah menyatakan keinginannya untuk mengikutinya dan langsung menjadi pengawal Tanah Mataram."
Glagah Putih mendengarkan ceritera itu dengan saksama. Namun tiba-tiba ia bertanya, "Jadi Sultan Pajang telah merestui usaha Raden Sutawijaya itu kakang?"
"Ya. Benar-benar merestuinya. Bukan sedekar karena ia merasa wajib berbuat demikian. Pertanda yang pasti adalah penyerahan beberapa pusaka terpenting dari Pajang kepada Mataram."
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia mulai mencoba mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Namun kebingungannya masih memaksanya untuk bertanya, "Kakang. Tetapi kenapa beberapa orang prajurit Pajang tidak menyukai perkembangan Mataram sekarang ini?"
"Siapa yang mengatakannya?"
Glagah Putih menjadi agak bingung. Namun kemudian jawabnya, "Aku hanya mendengar beberapa orang mengatakannya demikian."
"Sudahlah. Pada saatnya kau akan mendengar lebih banyak dan lebih jelas dari ayahmu dan mungkin dari kakang Untara. Tetapi kau harus mendengar pula imbangan keterangan dari orang lain. Tetapi jangan pikirkan sekarang."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lagi tentang Mataram dan tentang Raden Sutawijaya.
Sementara itu dipendapa padepokan kecil itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun sedang bercakap-cakap pula. Mereka mencoba menilai sikap Raden Sutawijaya yang semakin lama menjadi semakin jelas.
"Aku kurang sependapat dengan sikapnya Kiai," berkata Ki Waskita, "seharusnya ia tidak melepaskan diri dari istana Pajang yang menurut pendapatnya sendiri sedang diamuk oleh sikap dan nafsu beberapa orang bagi kepentingan pribadi."
Kiai Gringsing menarik nafas panjang.
"Aku sependapat sepenuhnya dengan Ki Juru," berkata Ki Waskita seterusnya, "tetapi bukan sekedar menyerahkan persoalannya kepada Raden Sutawijaya, namun Ki Juru harus menekan anak muda itu dengan segala pengaruhnya agar ia mau datang menghadap Sultan Pajang dan kemudian mengambil langkah-langkah penyelamatan diistana Pajang itu sendiri."
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sekilas. Kemudian dilontarkannya kekejauhan. Dengan nada yang dalam ia berkata, "Ki Juru sudah mencobanya. Tetapi Ki Juru tidak berhasil."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Kiai, sebenarnya aku masih belum dapat mengerti sikap dan pendapat Raden Sutawijaya menghadap Pajang. Kebenciannya kepada orang-orang yang diduganya akan dapat menggoyahkan pemerintahan telah menjauhkannya dari ayahandanya, justru saat ayahandanya sangat memerlukannya." Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. "Kiai. Apakah sikap itu tidak bersangkut paut dengan sikap ayahanda Raden Sutawijaya, Ki Gede Pemanahan, yang meninggalkan kedudukannya di istana Pajang sebagai tekanan agar Alas Mentaok segera diserahkan. Dimulai dari sikap itulah maka Raden Sutawijaya merasa segan untuk pada suatu saat menghadap kembali keistana. Dan itulah yang membuat ayahandanya Ki Gede Pemanahan menjadi sangat berprihatin."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, "Itu adalah salah satu sebab. Tetapi ada beberapa sebab yang lain."
Ki Waskitapun mengangguk-angguk pula. Ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing. Namun karena itu, maka ia tidak bertanya lebih lanjut.
Tetepi dengan demikian Kiai Gringsing dapat meraba tanggapan Ki Waskita atas anak muda yang bernama Raden Sutawijaya dan bergelar Senopati Ing Ngalaga itu. Agaknya ia tidak senang terhadap sikapnya yang seakan-akan telah menentang ayahanda angkatnya sekaligus guru dan rajanya menurut istilah Ki Juru Martani. Namun Ki Waskita tidak dapat mengatakannya. Dalam pada itu, maka pembicaraan kedua orangtua itupun terputus ketika mereka mendengar derap kaki kuda. Sejenak kemudian mereka melihat beberapa ekor kuda muncul dihalaman. Dipaling depan dari mereka adalah Untara.
"O," Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun segera berdiri menyongsongnya, "marilah ngger. Silahkan naik kependapa."
Untara yang telah meloncat turun dari kudanyapun mengangguk dalam. Setelah mengikat kudanya, maka ia-pun segera mengikuti Kiai Gringsing naik kependapa beserta Ki Waskita. Sementara ia memberikan isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk menunggu saja dihalaman.
"Apakah mereka tidak dipersilahkan naik?" bertanya Kiai Gringsing.
"Biar sajalah mereka menunggu Kiai. Aku tidak akan lama disini."
"Ah. Angger Untara tidak pernah tidak tergesa-gesa. Baru saja angger datang, angger sudah menyatakan ingin pergi lagi."
Untara tersenyum. Jawabnya, "Maaf Kiai. Mungkin terbawa oleh sikapku sejak kanak-kanak. Aku tidak pernah betah tinggal terlalu lama disuatu tempat."
Merekapun kemudian duduk dipendapa. Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mendengar derap kaki kuda itupun telah datang pula kependapa.
"Kakang Untara," Glagah Putih berdesis dibelakang Agung Sedayu.
Untara tersenyum. Sambil melambaikan tangannya ia memanggil, "Glagah Putih, kemarilah."
Tetapi Glagah Putih masih tetap saja bersembunyi dipunggung Agung Sedayu.
"He," desis Agung Sedayu, "mendekatlah. Kakang Untara memanggilmu."
Tetapi Glagah Putih masih tetap saja berada dibelakang Agung Sedayu.
"Kenapa kau memandangku seperti memandang hantu?" bertanya Untara.
Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja, sementara Agung Sedayu berkata, "Anak itu jarang-jarang bertemu dengan kakang Untara, sehingga ia nampaknya seperti seorang pemalu yang tidak pernah bertemu dengan orang lain."
Untara tertawa. Ia memang mengenal adik sepupunya itu sebagai seorang pemalu. Itulah sebabnya maka ia tidak memaksanya. Bahkan katanya. "Baiklah. Biarlah ia bersembunyi saja di punggungmu. Mudah-mudahan ia tidak selalu berbuat demikian sampai pada masanya ia bertemu dengan seorang gadis."
Yang mendengar kata-kata Untara itu tertawa. Jarang sekali Untara sempat berkelakar. Tetapi agaknya adik sepupunya itu memang menarik perhatiannya.
Sementara itu, setelah mereka duduk sejenak, Untarapun mulai bertanya kepada Agung Sedayu sesuai dengan kepentingannya datang ke padepokan itu, "Sedayu, apakah Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani telah datang kepadepokan ini, atau bahkan sekarang masih berada disini?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak dapat ingkar. Karena itu maka jawabnya, "Ya kakang. Baru saja Raden Sutawijaya meninggalkan padepokan ini."
"Apakah ia bermalam dipadepokan ini" "
"Ya. Darimana kakang mengetahuinya?"
"Seorang petugas sandi telah mendengar kabar kedatangannya. Ia mula-mula datang ke Sangkal Putung. Kemudidan ia pergi kepadepokan ini karena di Sangkal Putung kebetulan mereka bertemu dengan Kiai Gringsing."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, sementara Kiai Gringsing menyahut, "Ya anakmas. Aku memang telah berjumpa dengan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani di Sangkal Putung. Karena itu aku persilahkan mereka singgah barang sejenak dipadepokan ini."
Untara mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya lebih lanjut, "Apakah keperluannya datang ke Sangkal Putung Kiai."
"Ah. Aku kira Raden Sutawijaya hanya sekedar singgah. Seperti biasa ia sering mengadakan perjalanan jauh dalam pakaian orang kebanyakan."
"Justru kedatangannya dalam sikap orang kebanyakan hanya sekedar singgah. Seperti biasa ia sering mengadakan perjalanan jauh dalam pakaian orang kebanyakan."
"Justru kedatangannya dalam sikap orang kebanyakan itulah yang telah menimbulkan pertanyaan bagi kami. Aku masih Senopati didaerah ini. Meskipun ia sudah mendapat gelar Senopati ing Ngalaga, namun seharusnya ia menghubungi aku jika ia berada didaerah ini."
Agung Sedayu termang-mangu sejenak. Namun sebenarnyalah bahwa kakaknya adalah seorang Senapati. Karena itu, dalam kebimbangan ia memandang gurunya sejenak, seolah-olah minta pertimbangannya.
Kiai Gringsing beringsut setapak. Lalu katanya, "Anak-mas benar. Seharusnya kedatangan Raden Sutawijaya diketahui oleh anakmas. Tetapi agaknya karena Raden Sutawijaya menganggap kedatangannya sekedar dalam rangka hubungan yang telah akrab seperti saudara sendiri yang sudah lama tidak bertemu sehingga menimbulkan kerinduan sajalah, maka ia tidak memerlukan membertahukan kepada anakmas."
"Sudah aku katakan. Kedatangan yang tidak resmi seperti itulah yang justru harus mendapat perhatian. Jika ia datang dengan gelar kebesarannya diikuti oleh sepasukan pengawal maka adalah jelas bahwa ia tidak menyembunyikan sesuatu maksud. Aku sendiri akan menyongsongnya dan ikut dalam perjalanannya di daerah ini, meskipun seandainya Raden Sutawijaya belum melaporkan kepada Sultan di Pajang."
Kiai Gringsing tidak dapat membantah lagi. Sikap Untara adalah sikap yang seharusnya dilakukan sebagai seorang Senapati yang bertanggung jawab. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun hanyalah mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
"Agung Sedayu," berkata Untara kemudian, "aku minta dilain kali, kau melaporkan kepadaku jika kau mendapat kunjungannya. Bukan saja Raden Sutawijaya, tetapi juga ada pemimpin-pemimpin prajurit dari Pajang atau siapapun juga."
Agung Seday mengangguk. Jawabnya, "Ya kakang Aku akan melakukannya."
Sementara itu Glagah Putih yang gelisah sekali-sekali memandang Untara dengan ragu-ragu. Agaknya ada yang ingin dikatakannya. Tetapi mulutnya masih belum sanggup mengucapkannya.
Untara melihat sikap adik sepupunya yang gelisah. Tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berkata, "Apakah ada yang akan kau katakan Glagah Putih?"
Glagah Putih menundukkan kepalanya. Keringat dinginnya mulai membasahi Pakaiannya.
"Katakanlah," desak Untara.
Glagah Putih memandang wajah Agung Sedayu sekilas. Lalu katanya terputus-putus, "Ya kakang sebut Raden Sutawijaya tidak berbuat apa-apa disini kakang. Ia datang, melihat-lihat kemudian pergi."
"Ya. ya," jawab Untara, "aku kira ia memang tidak berbuat apa-apa."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia heran mendengar jawaban Untara. Jika ia mengetahui bahwa Raden Sutawijaya itu tidak berbuat apa-apa, kenapa ia berkeberatan" Tetapi pertanyaan itu tidak terucapkan, karena mulutnya tiba-tiba saja terasa menjadi seolah-olah terkatup rapat-rapat.
Untara melihat keringat yang mengembun dikening adik sepupunya. Karena itu maka katanya, "Glagah Putih. Belajarlah mengenal orang lain. Aku memang seorang prajurit. Tetapi aku adalah kakakmu. Katakan apa yang ingin kau katakan. Itu akan lebih baik daripada kau simpan saja didalam hati. Benar atau salah, lepaskanlah pikiranmu jika itu kau anggap perlu, ungkin pikiranmu itu berguna bagi orang lain meskipun hanya sebagai bahan pertimbangan. Tetapi jika kau simpan saja didalam hati, maka tidak seorangpun yang dapat mengetahuinya atau mempertimbangkannya."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, "Tidak kakang. Aku tidak mempunyai pendapat apapun juga."
Kiai Gringsing yang melihat sikap Glagah Putih itupun tersenyum. Katanya, "Sebenarnyalah angger Glagah Putih bukannya seorang yang tidak dapat menyatakan pendapatnya. Dalam kejutan perasaan, justru semuanya akan tertumpah. Ia dengan serta merta mengatakan apa yang dirasakannya meskipun belum matang dipertimbangkan sesuai dengan umurnya."
Glagah Putih menundukkan kepalanya. Tetapi keterangan Kiai Gringsing itu telah menarik perhatian Untara, yang kemudian bertanya, "Apakah yang sudah dilakukannya?"
Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Ia tidak mengatakan, bagaimana Glagah Putih bersikap menghadapi Raden Sutawijaya yang dengan serta merta seolah-olah telah menantangnya meskipun anak itu mengetahui bahwa ia tak akan dapat berbuat apa-apa.
"Anakmas Untara," berkata Kiai Gringsing kemudian, "angger Glagah Putih masih bersikap kekanak-kanakan. Kadang-kadang ia hanyut pada arus perasaannya, sehingga ia sama sekali tidak menunjukkan kesan pemalunya. Tetapi justru terhadap anakmas Untara ia rasa-rasanya ingin selalu menyembunyikan wajahnya."
Untara tertawa. Katanya, "Ia berbuat demikian juga dirumahnya jika aku berkunjung ke Banyu Asri."
Glagah Putih sendiri tidak menyahut. Ia masih saja duduk dibelakang Agung Sedayu.
Dalam pada itu, setelah seseorang menghidangkan minuman panas, maka Untarapun segera minta diri sambil berpesan, "Ingat-ingatlah Agung Sedayu, sampaikan kepadaku jika seseorang yang justru memegang pimpinan mengunjungi daerah ini dengan maksud apapun juga."
"Baik kakang." "Lain kali aku ingin melihat, apa yang kau dapatkan selama kau mengembara."
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Aku tidak mendapatan apa-apa kakang, selain pengalaman dan penglihatanku sajalah yang bertambah."
"Itupun sudah baik. Artinya ada yang bertambah padamu. Dengan demikian kaupun menjadi bertambah dewasa untuk menangkap getar kehidupan disekitarmu saat ini, berdasarkan pengalamanmu masa lampau, sehingga kau akan dapat mengambil langkah bagi masa depanmu."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Mudah-mudahan aku berhasil menemukan pilihan yang paling tepat bagi masa depanku."
"Paling tepat dan berarti. Bukan saja bagi dirimu sendiri. Tetapi bagi lingkunganmu dan bagi Tanah ini. Padepokan ini hendaknya hanya sekedar menjadi pancatan yang tidak akan mengikatmu disini seperti seorang kakek-kakek yang sudah kehilangan waktu untuk menentukan jalan hidupnya sendiri."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa yang dimaksud kakaknya adalah bahwa tidak sebaiknya ia berada dipadepokan kecil itu untuk seterusnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab.
Sementara itu Untara beringsut dari tempatnya. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu mengantarkannya turun kehalaman, sementara Glagah Putih mengikutinya dibelakang.
"Mudah-mudahan Kiai segera dapat memberikan jalan kepada Agung Sedayu," desis Untara ketika ia sudah memegang kendali kudanya. Lalu katanya kepada Ki Waskita, "apakah yang dapat Ki Waskita lihat pada masa depan anak itu" Kesuraman atau tempurung yang tertelungkup menyelubunginya?"
Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, "Tidak ada yang jelas bagiku anakmas. Semuanya sekedar uraian atas isyarat yang kadang-kadang tidak aku mengerti maknanya sama sekali."
Untara mengangguk-angguk. Kemudian sambil menuntun kudanya diikuti oleh pengawal-pengawalnya ia berkata, "Aku akan menyusul Raden Sutawijaya. Mudah-mudahan aku dapat bertemu. Bukankah Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani hanya berjalan kaki saja?"
Agung Sedayu menjadi tegang, sementara Kiai Gringsing bertanya, "Apakah ada yang penting untuk dibicarakan dengan angger Sutawijaya ?"
"Tidak. Tetapi sebagai Senopati yang lebih rendah tingkatnya, aku harus menemuinya dan menghormati kedatangannya. Tapi juga mengetahui keperluannya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sikap Untara tentu tidak akan dapat dirubahnya. Karena itu, ia tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika Agung Sedayu akan bertanya sesuatu, maka Kiai Gringsing telah menggamitnya, karena persoalannya adalah persoalan Untara sebagai seorang prajurit.
Sejenak kemudian maka kuda Untarapun telah berderap diikuti oleh para pengawalnya. Seperti yang dikatakannya, maka iapun berusaha menyusul Raden Sutawijaya.
Tetapi justru karena Raden Sutawijaya hanya berjalan kaki, maka Untara ternyata menemui kesulitan. Ketika ia melalui jalan simpang, maka ia tidak dapat menentukan, jalan manakah yang dilalui oleh Raden Sutawijaya.
"Kita tidak dapat melihat jejaknya," berkata Untara, "jika Raden Sutawijaya berkuda, maka jejaknya akan nampak jelas dijalan ini. Tetapi jejak kaki seseorang tidak akan dapat kita kenal diantara jejak yang lain, karena kita tidak dapat mengenal manakah jejak yang paling baru diantara jejak-jejak yang nampak. Apalagi jalan ini agaknya sudah menjadi jalan yang semakin ramai."
Pengawal-pengawalnya hanya mengangguk-angguk saja. Merekapun tidak tahu, bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya untuk mengetahui kemanakah Raden Sutawijaya pergi.
Namun dalam pada itu Untarapun berkata, "Marilah. Jalan inilah agaknya jalan yang lebih banyak mempunyai kemungkinan dilalui oleh Raden Sutawijaya."
Pengawal-pengawalpun membenarkannya. Karena itu maka Untarapun segera mempercepat langkah kudanya menyusul Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, di padepokan kecil yang ditinggalkan Untara. Agung Sedayu bertanya kepada Kiai Gringsing, "Apakah kakang Untara berkeberatan jika Raden Sutawijaya datang kepadepokan ini?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bukan berkeberatan. Tetapi kakakmu ingin mendapat laporan atau setidak-tidaknya diberitahukan bahwa ada seseorang penting yang datang didaerahnya."
"Kenapa kakang Untara mempersulit dirinya sendiri dengan kecurigaan semacam itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Kakakmu benar Agung Sedayu," sahut Ki Waskita.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"dalam keadaan yang goyah seperti ini, ia mempunyai kewajiban yang sangat berat. Terutama didaerah ini. Daerah yang benar-benar memerlukan pengamatan yang saksama."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Akupun menganggap bahwa Raden Sutawijaya keliru. Karena disini ada seseorang yang mendapat limpahan kekuasaan dari Sultan Demak, maka Raden Sutawijaya dalam kedudukannya harus datang atau menyuruh salah seorang pengawalnya untuk memberitahukan kehadirannya. Dengan demikian maka ia telah melakukan kewajibannya dengan tertib meskipun ia adalah Senapati ing Ngalaga."
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Namun sekilas ia memandang gurunya yang menarik nafas dalam-dalam.
"Agaknya Ki Waskita tidak begitu sependapat dengan Raden Sutawijaya," berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Baru sejenak kemudian, maka iapun minta diri kepada gurunya untuk pergi bersama Glagah Putih menengok sawah dan ladangnya.
"Pergilah," jawab Kiai Gringsing, "jagalah agar air diparit itu dapat mengalir ajeg."
"Ya guru," jawab Agung Sedayu yang kemudian bergeser meninggalkan pendapa bersama Glagah Putih.
Ternyata Glagah Putih yang masih sangat muda itu telah dapat menangkap perasaan yang tersirat didalam kata-kata Ki Waskita. Karena itu maka disepanjang jalan menuju kesawah ia bertanya, "Kakang, apakah Ki Waskita tidak senang kepada Raden Sutawijaya?"
"He," Agung Sedayu mengerutkan dahinya, "kenapa kau bertanya demikian."
"Sikapnya dan agaknya ia selalu menyalahkan Raden Sutawijaya dalam hubungannya dengan sikap kakang Untara."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Aku tidak tahu. Tetapi jangan kau pikirkan. Mungkin Ki Waskita mempunyai pertimbangan-angan lain. Bukan berarti tidak senang kepada Raden Sutawijaya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya masih ada yang tersisa diperasaannya. Namun ia tidak mengatakannya.
Meskipun demikian, agaknya Agung Sedayu masih dapat menangkap gejolak perasaan Glagah Putih yang tersimpan dihatinya itu.
Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martanipun masih dalam perjalanan menuju ke Mataram.
Meskipun mereka tidak tahu, bahwa Untara akan menyusulnya, ternyata mereka telah memilih jalan memintas, melalui pematang dan kemudian bahkan melintasi lapangan alang-alang yang cukup rapat. Mereka menyusuri jalan setapak yang sering dilalui oleh orang-orang yang sedang mencari kayu bakar kehutan atau kepentingan-kepentingan yang lain, namun jarang sekali.
Karena itulah, maka Untara yang mempercepat lari kudanya, tidak dapat menemukannya. Meskipun Untara sudah melintasi jarak yang cukup jauh, namun tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan dapat menjumpai Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani.
"Keterangan yang aku terima agak terlambat," desis Untara, "sehingga akupun lambat sampai kepadepokan Agung Sedayu."
"Keterangan dari Sangkal Putung itu memang baru saja datangnya. Semula orang-orang Sangkal Putung tidak mengira, bahwa orang yang berjalan beriringan dengan Kiai Gringsing itu adalah Raden Sutawijaya. Tetapi ternyata bahwa para pengawal yang khusus dipanggil oleh Swandaru meyakinkan, bahwa anak muda itu memang Raden Sutawijaya. Di Sangkal Putung ia memamerkan ilmu kebal yang dimilikinya."
Untara menarik keningnya. Namun kemudian ia menggeram, "Anak yang masih terlalu muda untuk menyimpan ilmu yang tinggi seperti dimiliki oleh Raden Sutawijaya. Itulah sebabnya, maka sekali sekali ia masih ingin menunjukkan kemampuannya dihadapan orang lain."
"Ya. Menurut keterangan itu Raden Sutawijaya sengaja memberikan kesempatan kepada Swandaru untuk memukulnya dengan kemampuannya yang sudah meningkat jauh. Tetapi ketika Raden Sutawijaya tersorong, bahkan terguling, maka iapun menjadi marah sehingga permainan itu hampir-hampir saja telah berubah menjadi arena perang tanding."
Untara mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Keteranganmu agak berbeda dengan yang aku dengar kemarin."
"Apa yang Senapati dengar?" bertanya pengawalnya itu.
"Swandarulah yang memulainya. Ia ingin meyakinkan diri, apakah sepantasnya Sutawijaya itu disembahnya sebagai seorang pemimpin."
Pengawalnya mengerutkan keningnya. Lalu, "Mungkin demikian. Tetapi yang terjadi kemudian adalah pameran kekuatan seperti yang sudah aku katakan."
"Baiklah," Untara memotong, "apapun alasannya, tetapi seharusnya, ia memberitahukan kepadaku, bahwa ia berada di daerahku. Apalagi jika benar-benar ia mengadakan pameran kekuatan untuk mempengaruhi mereka yang mengaguminya."
Pengawal-pengawalnya tidak menjawab. Namun nampaknya mereka sedang mencoba membayangkan, betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya. Bahkan ilmu anak Kademangan di Sangkal Putung itu.
Sangkal Putung telah menyusun kekuatan pengawal-pengawal itu berkata kepada diri sendiri.
Keterangan tentang perkembangan Sangkal Putung dan kedatangan Raden Sutawijaya memang telah menumbuhkan berbagai pernyataan dihati para prajurit di Jati Anom. Apalagi keterangan yang simpang siur. tentang peristiwa penjajagan ilmu Raden Sutawijaya oleh Swandaru. Bahkan ada yang menarik arti, bahwa Raden Sutawijayalah yang justru menjajagi ilmu Swandaru karena ia memerlukan seorang Senapati yang akan dapat membayangi kekuatan Untara sebagai Senapati yang mendapat wewenang dari Pajang. Bukan dari Mataram.
Dengan demikian maka para prajurit itupun beranggapan bahwa Sangkal Putung yang menjadi semakin kuat itupun memerlukan pengawasan yang saksama. Hubungan langsung dengan Raden Sutawijaya mungkin dapat menumbuhkan perkembangan yang lain dari Kademangan itu.
Dalam pada itu, setelah Untara yakin tidak akan dapat menjumpai Raden Sutawijaya, maka diperintahkannya para pengawalnya untuk kembali saja di Jati Anom.
"Sulit untuk menemukannya," berkata Untara.
"Apakah kita akan melingkar sehingga mungkin kita akan menjumpainya lewat jalan lain?" berkata salah seorang pengawalnya.
Untara berpikir sejenak. Kemudian sambil mengangguk ia menjawab, "Tidak ada buruknya. Tetapi aku kira Raden Sutawijaya tidak akan mengambil jalan yang besar. Tetapi ia akan memilih lorong-lorong sempit atau bahkan jalan-jalan memintas. Pematang atau tanggul-tanggul parit dan sungai."
Meskipun demikian, maka Untara telah mengambil jalan melingkar untuk kembali ke Jati Anom. Mungkin masih akan dijumpai kedua orang Mataram itu dijalan lain.
Tetepi seperti yang diperhitungkan oleh Untara, mereka sama sekali tidak bertemu dengan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. Sampai saatnya kuda mereka memasuki regol rumah Untara.
Sambil menggelengkan kepalanya Untara yang naik kependapa rumahnya berkata kepada seorang perwira bawahannya, "Aku tidak menjumpainya."
Perwira itu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Keterangan itu datangnya memang terlambat. Jadi Raden Sutawijaya telah meninggalkan padepokan kecil itu?"
"Ya. Tetapi seperti yang kita dengar, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani memang telah datang ke Sangkal Putung dan singgah dipadepokan Agung Sedayu. Tetapi aku aku datang sesaat setelah mereka meninggalkan padepokan itu."
Perwira itu tidak memberikan tanggapan langsung menganai kedatangan Raden Sutawijaya itu. Tetapi seperti juga pada hampir setiap prajurit, maka mereka dengan hati-hati mencoba untuk menilai sikap dan tingkah laku pemimpin-pemimpin Mataram seorang demi seorang.
Namun dalam pada itu Untara berkata, "Kedatangan Raden Sutawijaya kali ini tidak ada hubungannya dengan sikap Mataram. Ia adalah sahabat adikku Agung Sedayu dan adik seperguruannya Swandaru yang sudah lama tidak saling bertemu. Hanya itu. Jangan membuat tanggapan sendiri atas kedatangannya."
Para perwira bawahannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak yakin akan kata-kata Untara. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa Untara berusaha untuk tidak dikaburkan oleh tanggapan yang bersimpang siur dari prajurit-prajuritnya.
Sebenarnyalah Untara sendiri memang tidak menganggap kedatangan Raden Sutawijaya sekedar ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Tetapi ia ingin mendapat tanggapan yang sama dari anak buahnya, sehingga karena itu, maka ia hanya akan berbicara sesuai dengan perhitungan dan pertimbangannya dengan beberapa orang saja, sebelum ia mengambil kesimpulan.
Namun dalam pada itu, agaknya Untara sama sekali tidak tersentuh keterangan tentang orang-orang yang akan mengadakan pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Justru karena Pajang tidak mengalami gangguan langsung dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit yang sebagian memang berada diistana Pajang sendiri.
Berbeda dengan Raden Sutawijaya yang telah diguncang oleh kehilangan pusaka terpentingnya. Bukan saja nilai dari pusaka-pusaka yang hilang itu, namun Raden Sutawijaya merasa bertanggung jawab kepada ayahanda angkatnya. Meskipun ia tidak bersedia menghadap sebelum tekadnya untuk menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai terpenuhi sebagai jawaban atas tantangan beberapa orang pemimpin Pajang yang tidak mempercayainya, namun sebenarnyalah bahwa ia sama sekali tidak melupakan apa yang sudah diterimanya dari ayahanda angkatnya itu.
Bagi Untara, jika keadaan menjadi semakin baik dan tenang, maka sebagian tugasnya telah tertunaikan, meskipun ia tidak pernah meninggalkan kewaspadaan. Tetapi karena usahanya untuk sementara tertuju kepada ketenangan daerah pengawasannya, maka perhatiannya terbesar ditujukannya kepada ketenangan didalam rangkah.
Sementara itu sepeninggal Raden Sutawijaya, maka Swandaru yang telah meyakinkan diri, bahwa Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda yang pilih tanding, tidak mau mengingkari niatnya. Ia benar-benar bertekad untuk membantu anak muda itu bagi masa depan Mataram. Apalagi penilaiannya, gurunya Kiai Gringsing juga berdiri dipihak Mataram jika terjadi perselisihan dengan pihak yang manapun juga. Apalagi dengan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Mahapahit itu, meskipun banyak diantara mereka yang berada didalam lingkungan istana Pajang tanpa diketahui oleh Sultan.
Bahkan Swandaru telah menarik kesimpulan bahwa Raden Sutawijaya telah menyatakan niat dan harapannya, bahwa Sangkal Putung akan bersedia membantu Mataram dalam masa pertumbuhannya. Demikian juga dengan daerah disebelah Barat Alas Mentaok. Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan demikian, maka Swandarupun mulai membicarakan dengan ayahnya, niatnya untuk semakin memperkuat kedudukan Sangkal Putung yang justru berada hampir digaris lurus antara Pajang dan Mataram dan sekaligus berhadapan dengan kekuasaan Senopati Pajang yang berkedudukan di Jati Anom.
"Swandaru," berkata ayahnya, "aku tidak berkeberatan. Tetapi kau jangan justru mendahului Raden Sutawijaya. Sampai saat ini Raden Sutawijaya masih tetap mengakui kekuasaan Pajang. Sultan Pajang adalah ayahanda angkatnya yang mengasihinya."
"Tetapi bukankah sikapnya sudah jelas, ayah," jawab Swandaru.
"Kau masih harus mempelajari banyak hal tentang sikapnya. Ia tidak mau datang ke Pajang bukan karena ia ingin menentang ayahandanya. Tetapi ia ingin membuktikan semacam sumpahnya, bahwa Raden Sutawijaya tidak akan menginjak paseban Agung di Pajang sebelum Mataram menjadi sebuah negeri yang besar."
Swandaru tersenyum. Jawabnya, "Mungkin ayah benar. Tetapi bagaimanapun juga jarak itu semakin lama menjadi semakin lebar. Itulah sebabnya kita harus bersiap-siap. Jika tidak terjadi sesuatu, sukurlah. Tetapi jika terjadi ledakan antara Pajang dan Mataram, maka kita semuanya sudah siap. Ledakan apapun alasannya. Mungkin karena orang-orang dungu disekitar Sultan Pajang, tetapi mungkin juga karena orang-orang yang merasa dirinya mempunyai warisan atas Kerajaan Majapahit yang besar."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Jika kau sekedar ingin bersiap-siap saja, aku kira memang tidak ada buruknya. Tetapi ingat. Yang dapat kita lakukan benar-benar sekedar mempersiapkan diri. Bukan justru mendahului Raden Sutawijaya. Jika pada suatu saat, Raden Sutawijaya merasa janjinya terpenuhi, Mataram sudah menjadi negeri yang ramai, sehingga ia kemudian datang memasuki Paseban Agung dengan dada tengadah, dan bahkan kemudian menerima limpahan kekuasaan yang lebih besar lagi dari ayahanda angkatnya yang justru untuk membersihkan istana dari orang-orang yang dengki dan penuh pamrih pribadi itu, maka yang terjadi akan jauh berbeda sekali dengan gambaranmu sekarang."
"Aku sudah memperhitungkan ayah. Tetapi menurut pertimbanganku, tentu akan terjadi benturan kekuatan antara Raden Sutawijaya dengan salah satu pihak. Apakah mereka orang-orang Pajang sendiri yang harus dibersihkan, atau dengan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit. Nah, untuk itulah aku harus bersiap-siap. Sangkal Putung harus memilih jalan yang tegas, sehingga justru tidak akan terumbang-ambing oleh keadaan yang kabur."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Berhati-hatilah. Kau jangan bertindak tanpa perhitungan matang."
Swandaru masih saja tersenyum. Baginya, ayahnya adalah orang tua yang lamban dan selalu dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan bertindak. Sehingga karena itulah, maka setiap nasehat ayahnya bagi Swandaru seakan-akan hanyalah hambatan bagi perkembangan yang dikehendakinya.
"Aku akan membuat Sangkal Putung menjadi daerah yang tidak ada duaya didaerah Selatan ini. Berapa-pun kekuatan prajurit Pajang di Jati Anom, Untara tidak akan dapat melampui kekuatan Sangkal Putung."
Tanpa sesadarnya, ternyata Swandaru telah menempatkan diri berseberangan dengan Untara. Seolah-olah Swandaru telah berdiri dipihak Mataram, sedang Untara berdiri dipihak Pajang sementara Mataram dan Pajang telah berhadapan dan siap untuk bertempur.
Sikap Swandaru itu semakin lama benar-benar semakin mencemaskan ayahnya dan Ki Sumangkar. Bahkan agaknya Sekar Mirahpun telah terpengaruh pula oleh sikap kakaknya.
"Jika Agung Sedayu dapat mempercepat sedikit hubungannya dengan Sekar Mirah untuk segera memasuki jenjang perkawinan, maka Sekar Mirah tentu akan mendapatkan pengalaman batin yang lain," berkata Sumangkar kepada diri sendiri, "bagaimanapun jauh bedanya sifat kedua orang suami isteri, namun perlahan-lahan jika mereka menghendaki dengan sungguh-sungguh rumah tangganya berhasil, semakin lama tentu akan menjadi semakin dekat dan saling menyesuaikan diri. Kecuali jika mereka tidak berniat untuk bertahan lebih lama lagi."
Namun Sumangkarpun menyadari, bahwa hari-hari perkawinan Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu tentu akan berlangsung diwaktu yang masih jauh. Agaknya Agung Sedayu sama sekali belum siap menghadapi hari-hari perkawinannya. Bahkan nampaknya apa yang dilakukan disaat terakhir sama sekali tidak menarik bagi Sekar Mirah.
Tetapi betapapun gelisahnya hati Sumangkar. ia harus menyaksikan Swandaru bekerja giat untuk memperkuat Kadernangannya dengan caranya. Sekali-sekali Ki Sumangkar berbincang juga dengan Ki Demang tentang anak yang mulai menuruti keinginannya sendiri itu. Namun keduanya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
"Anak itu sulit sekali dikendalikan," berkata Ki Demang.
"Perkembangannya memang agak mencemaskan Ki Demang," sahut Sumangkar, "namun mudah-mudahan ia akan menyadarinya jika ia sudah mencapai puncak kemampuannya."
Ki Demang hanya mengangguk-angguk saja. Namun kemudian ia berdesis seolah-olah kepada diri sendiri. "Bagaimanakah jika kita minta Kiai Gringsing menungguinya disini" Mungkin akan berpengaruh juga bagi perkembangan jiwanya Swandaru, karena agaknya hanya gurunyalah yang diseganinya."
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Mungkin juga ada hasilnya. Tetapi baiklah aku akan berbicara dengan Kiai Gringsing."
"Mudah-mudahan Kiai Gringsing bersedia tinggal di sini untuk waktu yang agak panjang. Menurut dugaanku. Agung Sedayu mempunyai sifat dan watak yang lebih jinak dari anakku, sehingga seandainya ia ditinggalkan sendiri dipadepokan bersama beberapa orang pembantunya, tidak banyak akan mengalami perkembangan yang menyulitkan. Apalagi padepokan itu seolah-olah selalu dibawah pengawasan Untara dan Ki Widura."
Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Namun ia masih ragu-ragu, apakah Kiai Gringsing benar-benar bersedia tinggal di Kademangan Sangkal Putung justru setelah ia mempunyai padepokan kecil yang dibuatnya bersama Agung Sedayu meskipun hanya untuk waktu tertentu, dan barangkali ia tidak akan berkeberatan untuk sekali-seka li menengok padepokan yang ditinggalkannya itu.
Namun Ki Sumangkar masih akan mencoba. Ia akan meyakinkan Kiai Gringsing bahwa perkembangan Swandaru agak menggelisahkan orang tuanya.
Buku 104 "Jika gelora didalam dadanya itu mendapat pengarahan yang tepat, maka gairah yang menyala-nyala didalam dada Swandaru itu akan dapat menghasilkan sesuatu yang besar bagi Kademangannya. Tetapi jika sekedar didorong keinginannya sendiri," berkata Sumangkar didalam hatiya.
Karena itulah, maka setelah berbincang dengan Ki Demang, ia memutuskan untuk pergi ke padepokan kecil Kiai Gringsing didekat Jati Anom.
"Kenapa guru pergi kepadepokan itu?" bertanya Sekar Mirah ketika Ki Sumangkar minta diri kepada muridnya.
"Sekedar menengok penghuni-penghuninya. Rasa-rasanya aku sudah rindu kepada Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Apalagi agaknya Ki Waskita masih tetap berada dipadepokan itu."
Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi nampaknya ia tidak menaruh minat sama sekali kepada niat gurunya itu, meskipun ia tahu, bahwa dipadepokan kecil itu tinggal Agung Sedayu.
Sementara itu Swandaru seolah-olah acuh tidak acuh saja terhadap maksud Ki Sumangkar itu. Ketika Ki Sumangkar mengatakannya kepadanya, ia hanya mengangguk-angguk saja sambil menjawab singkat, "Silahkan Kiai."
Meskipun demikian, Ki Sumangkar benar-benar akan berangkat ke Jati Anom atas persetujuan Ki Demang Sangkal Putung.
"Jika Kiai Gringsing tidak dapat datang ke Sangkal Putung maka pertimbangan-pertimbangannyalah yang kita perlukan. Untunglah sampai saat ini Untara yang memegang limpahan kekuasaan Sultan Pajang didaerah ini belum mencurigai perkembangan Sangkal Putung dan mengambil langkah-langkah penertiban. Jika demikian maka tentu akan timbul benturan-benturan kekuatan yang sebenarnya tidak perlu." desah Ki Demang menyesali keadaan.
Yang menaruh perhatian atas kepergian Ki Sumangkar ke Jati Anom selain Ki Demang adalah justru Pandan Wangi. Ketika ia berdiri ditangga pendapa menjelang keberangkatan Ki Sumangkar, perempuan itu bertanya, "Apakah Ki Sumangkar akan segera kembali?"
"Ya Pandan Wangi. Aku akan segera kembali."
"Salamku buat penghuni padepokan kecil itu," Pandan Wangi menyambung. Kemudian, "Mudah-mudahan Kiai Gringsing menaruh perhatian terhadap perkembangan kakang Swandaru."
Ki sumangkar mengerutkan keningnya. Ia melihat sepercik harapan memancar dari sorot mata Pandan Wangi yang agaknya menjadi cemas pula atas perkembangan watak suminya.
Sambil mengangguk Ki Sumangkar berdesis, "Aku akan berusaha Pandan Wangi. Kiai Gringsing bukannya orang yang tidak acuh terhadap murid-muridnya."
Pandan Wangi mengangguk kecil. Ia benar-benar menaruh harapan, agar Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung untuk beberapa saat saja. Jika ia melihat sendiri perkembangan Swandaru, maka ia tentu tidak akan tinggal diam.
Demikianlah Ki Sumangkarpun meninggalkan Sangkal Putung dipagi hari yang segar dan cerah. Demikian matahari mulai memancar. Ki Sumangkar telah berada dipunggung kudanya meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ki Demang yang mengantarkannya sampai keregol menarik nafas dalam-dalam, sementara Sekar Mirah yang ada dibelakangnya bergumam, "Perjalanan yang tidak ada gunanya."
Ki Demang berpaling. Namun Sekar Mirah telah meninggalkannya tanpa memberikan penjelasan apapun juga. Sementara Swandaru dan Pandan Wangi yang berdiri ditangga pendapa sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun juga meskipun Ki Demang seakan-akan dapat melihat perbedaan isi didalam relung hati masing-masing.
Ki Sumangkar yang meninggalkan Kademangan Sangkal Putung membiarkan kudanya berlari perlahan-lahan. Ia tidak tergesa-gesa untuk sampai ke Jati Anom. Bahkan ia masih sempat memperhatikan sawah dan ladang yang hijau segar, sesegar tubuh Swandaru sendiri.
Ketika terpandang olehnya parit yang mengalirkan air yang bening, rimbunnya tanaman padi dan ayunan daun kelapa dipinggir padukuhan, Ki Sumangkar tidak dapat ingkar, bahwa Swandaru agaknya akan berhasil. Apalagi dengan dentang suara pandai besi yang tidak henti-hentinya, sejak matahari terbit, sampai saatnya matahari hampir terbenam.
"Namun tentu ada celanya," desis Sumangkar dengan kecewa.
Dalam pada itu, kudanyapun berlari semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung. Setelah ditinggalkannya padukuhan yang terakhir, maka Ki Sumangkarpun telah memasuki bulak yang panjang, sebelum ia akan sampai kepinggir padang ilalang dan hutan perdu.
Namun tiba-tiba saja Sumangkar mengerutkan keningnya ketika ia melihat dikejauhan dua ekor kuda yang berlari kencang. Kecurigaannyapun kemudian tumbuh ketika ia menyadari bahwa dua ekor kuda itu tidak berlari dijalan yang lapang, tetapi menyusur menurut lorong sempit yang akan melintasi hutan.
Hampir diluar sadarnya Ki Sumangkar mempercepat lari kudanya, seakan-akan hendak menyilang kedua ekor kuda bertari kencang itu. Namun jaraknya memang terlalu jauh, sehingga Ki Sumangkar hanya dapat memandanginya saja ketika dua ekor kuda itu melintas jalan yang akan dilaluinya.
"Bukan prajurit Pajang di Jati Anom," desisnya.
Menilik pakaiannya, keduanya memang bukan prajurit. Keduanya agaknya saudagar atau petani kaya yang sedang bepergian.
"Nampaknya tergesa-gesa sekali," desis Ki Sumangkar.
Namun tiba-tiba perhatiannya telah terampas lagi oleh dua orang penunggang kuda yang lain. Juga tergesa-gesa seperti penunggang yang terdahulu, sedangkan ujud lahiriahnya, keduanyapun menyerupai kedua orang yang baru saja menyilang jalan.
Ki Sumangkar termangu-mangu. Diluar sadarnya ia bergumam, "Siapa lagi mereka berdua itu?"
Namun ia tidak dapat mencegah keinginannya untuk mengetahui serba sedikit kedua orang berkuda itu. Sehingga karena itu, maka iapun memacu kudanya kembali.
Kali ini Ki Sumangkar tidak terlambat. Ia berhasil mencapai jalan kecil yang menyilang jalan yang sedang dilaluinya, dan bahkan menghentikan kudanya beberapa langkah disebelah jalan kecil itu sambil menunggu.
Kedua orang yang sedang berpacu itu memandang Ki Sumangkar sekilas. Tetapi nampaknya keduanya sama sekali tidak menghiraukannya, sehingga mereka tidak mengurangi kecepatan lari kudanya.
Ki Sumangkar tidak senang melihat sikap itu. Karena itu maka kudanyapun diajukannya lagi beberapa langkah sehingga kuda itu berdiri tepat dimulut lorong kecil itu.
Kedua penunggang kuda itu terkejut. Dengan serta merta keduanya menarik kekang kudanya, sehingga kudanya yang terkejut itupun meringkik keras-keras sambil berdiri dikedua kaki belakangnya.
"Kau gila," teriak salah seorang dari keduanya, "apakah kau sudah jemu melihat sinar matahari" Jika kudaku yang tegar ini melanggarmu, maka kau akan terpelanting dan mati seketika."
Ki Sumangkar mengangguk hormat sambil berdesis, "Maaf Ki Sanak. Kudaku memang sulit dikendalikan."
"Sekarang minggir," teriak yang lain.
Tetapi Sumangkar tetap berada ditempatnya sambil berkata, "Tetapi perkenankanlah aku memperkenalkan diriku."
"Itu tidak perlu," salah seorang dari keduanya berteriak lebih keras. "Minggir."
"Jangan berteriak Ki Sanak. Jika suaramu didengar oleh orang-orang yang sedang berada disawahnya, mereka akan terkejut dan berlari ketakutan."
Ketenangan Ki Sumangkar ternyata telah menarik perhatian mereka. Tidak banyak orang yang dapat bersikap setenang itu, jika ia bukan orang yang memiliki kepercayaan yang tebal terhadap diri sendiri.
"Apakah maksudmu Ki Sanak," bertanya salah seorang dari mereka dengan nada menurun.
Ki Sumangkar memandang keduanya berganti-ganti.Lalu iapun kemudian bertanya, "Akulah yang harus bertanya, siapakah kalian."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. lalu yang seorang menjawab, "Aku datang dari Kademangan Panggung menuju ke Prambanan. Nah. minggirlah."
"Nanti dulu," jawab Sumangkar.
"Siapa kau" Siapa" " Yang seorang bertanya dengan geram.
"Namaku Sumangkar. Aku adalah salah seorang pengawal dari Kademangan Macanan."
"Apa maksudmu?"
"Aku hanya ingin mengetahui, apakah maksudmu sebenarnya. Perjalananmu nampak sangat tergesa-gesa."
Kedua orang itu menjadi tegang. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mulai membakar jantung.
Dengan suara yang gemetar salah seorang dari mereka berkata, "Ki Sanak. Apakah hakmu untuk mengetahui siapa dan apakah yang akan aku lakukan?"
"Aku adalah pengawal Kademangan Macanan. Macanan sekarang sedang diganggu oleh kejahatan-kejahatan yang hampir merata. Karena itu, aku harus mencurigai setiap orang yang lewat didaerah Macanan."
Wajah orang itu menjadi semakin merah oleh kemarahan yang menghentak didadanya. Salah seorang dari keduanya menggeram, "Pengawal yang gila. Seandainya kau pengawal yang mumpuni dari Kademangan Macanan, dan seandainya aku seorang penjahat seperti yang kau sangka, apakah yang dapat kau lakukan sekarang?"
Yang lain tiba-tiba saja menyahut, "orang dungu. Apakah kau tidak menyesal bahwa dengan demikian kau sudah menuduh kami, bahwa kami adalah dua orang penjahat yang kau maksud?"
"Jangan salah paham Ki Sanak," Sumangkar masih tetap tenang, "aku hanya menjalankan tugasku. Semua orang asing mendapat perlakuan yang sama, sehingga sebenarnyalah aku sama sekali tidak menuduh kalian sebagai penjahat yang dimaksud mengganggu Kademangan ini. Tetapi agar jelas bagi kami, orang-orang Macanan, katakanlah, siapakah kalian, dari mana dan hendak kemana?"
"Minggir orang tua gila," seorang dari keduanya berteriak, "aku dapat membunuhmu dengan sekali pukul."
Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia tahu bahwa orang itu benar-benar memiliki kemampuan. Namun kecurigaannya semakin menjadi-jadi karena sikap keduanya.
"Aku mohon maaf. Jika kalian mengatakan bahwa kalian akan pergi ke Jati anom menemui Senapati didaerah ini, aku akan menyingkir, karena dengan demikian kalian adalah prajurit-prajurit Pajang dalam tugas sandi."
Tiba-tiba saja tanpa berpikir, salah seorang dari keduanya menjawab, "Ya. Kami akan menghadap Senapati Untara."
"O," Sumangkar mengangguk angguk, "jika demikian aku akan menyingkir untuk memberi jalan kepada kalian berdua. Dan kita akan berjalan bersama-sama ke Jati Anom. Sebenarnyalah akupun akan menghadap Ki Untara untuk melaporkan keadaan Kademangan Macanan seperti yang kami lakukan setiap sepekan sekali untuk mengetahui perkembangan keamanan didaerah kami."
"Gila," orang itu berteriak. Ia tidak mengira sama sekali bahwa orang tua itu akan mengikutinya. Namun dengan demikian maka kemarahan kedua orang itu sudah tidak tertahankan lagi. Salah seorang dari keduanya kemudian menggeram, "Pengawal tua. Mungkin kau mengira bahwa pengawal Kademangan akan mampu menahan kami. Ketuaanmu, ketenanganmu, memang nampaknya meyakinkan. Mungkin kau bekas seorang prajurit yang kemudian menjadi pemimpin pengawal Kademangan, atau seorang bekas penjahat ulung yang sudah tidak mampu lagi berburu dimedan yang luas, sehingga terpaksa kembali kekampung halaman dan kembali memegang tangkai cangkul sambil menebus dosa, menjadi pengawal Kademangan." ia berhenti sejenak, "namun jangan mimpi bahwa kau akan dapat berbuat sesuatu atas kami. Apalagi kami sekarang berdua."
Sumangkar tersenyum, katanya, "Darimana kau tahu tentang diriku Ki Sanak. Aku memang bekas seorang penjahat yang disebut Banaspati. Dan aku memang sedang menebus dosa. Karena itu, Kademangan Macanan untuk waktu yang lama tidak pernah diganggu oleh kejahatan. Jika sekarang kejahatan itu timbul, maka itu adalah suatu penghinaan kepada Sumangkar yang pernah digelari Banaspati."
Kemarahan yang sangat telah menghentak dada kedua orang berkuda itu. Demikian sesaknya dada mereka, sehingga tiba-tiba saja salah seorang tertawa menghentak untuk melepaskan kepepatan hati sambil berkata, "Apakah kau sudah bersiap untuk mati" Ternyata kau benar-benar keras kepala. Tetapi agaknya kau sudah cukup lama hidup mengalami seribu macam corak kehidupan, sehingga sekarang kau benar-benar ingin mati."
"Sudahlah Ki Sanak. Marilah, kita akan pergi ke Jati Anom. Bukankah Ki Sanak akan menghadap Senapati Untara ?"
Kedua orang yang marah itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari keduanya menggeram, "Minggir orang gila, atau aku harus membunuhmu."
Sumangkar menggeleng lemah sambil menyahut, "Kita akan pergi bersama-sama ke Jati Anom."
Kedua orang itu sudah tidak sabar lagi menghadapi sikap Sumangkar yang menjengkelkan itu. Sehingga karena itu, maka salah seorang dari mereka langsung mengayunkan cemeti kudanya dan menghantam punggung Ki Sumangkar.
Tetapi orang itu terkejut. Betapa cepat ayunan cemetinya, namun Sumangkar berhasil mengelakkan dirinya, membungkuk mendatar dipunggung kudanya. Bahkan dengan serta merta ia menggerakkan kendali kudanya dan mengatur diri menghadap kepada kedua orang itu.
"Hem," orang yang mengayunkan cemetinya itu menggeram, "kau benar-benar bekas seorang penjahat. Tetapi perbuatanmu ini benar-benar perbuatan gila. Jangan kau sangka bahwa seorang penjahat yang ulung-pun akan mampu menahan kami. Apalagi penjahat yang masih mempergunakan nama-nama gila untuk menakut-nakuti orang. Karena penjahat yang demikian tentu justru penjahat-penjahat yang sering mencuri ternak dikandang. Untuk membesarkan namanya, ia mempergunakan sebutan-sebutan yang aneh, seperti yang kau pergunakan. Banaspati."
"Mungkin Ki Sanak. Tetapi kali ini aku benar-benar ingin berjasa terhadap kampung halaman dan kepada prajurit Pajang di Jati Anom. Karena itu aku sudah bertekad untuk mengantarkan kalian ke Jati Anom, atau menangkap kalian berdua."
Sumangkar tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Salah seorang dari kedua orang yang marah itu langsung menyerangnya diatas punggung kuda.
Tetapi Ki Sumangkarpun sudah bersedia menghadapinya.
Ketika kuda salah seorang dari keduanya menghampirinya, dan sebuah serangan langsung mengarah ke pelipisnya, Sumangkar sempat mengelak dan kudanyapun bergerak kesamping.
Serangan yang gagal itu membuat orang itu semakin marah. Sesaat kemudian kudanyapun berputar dijalan menyilang lorong yang dilaluinya. Sementara kuda yang lain mulai bergerak dan siap untuk menyerangnya pula.
Perkelahian diatas punggung kuda dijalan yang tidak begitu lebar memang tidak menguntungkan. Itulah sebabnya, maka Sumangkar berniat memaksa lawannya untuk turun dari kudanya.
Itulah sebabnya, maka ketika serangan berikutnya datang, maka Sumangkar telah memperhitungkannya baik-baik. Dengan cepat ia berputar dan diluar dugaan lawannya, ia tidak mengelakkan serangannya, tetapi justru membenturnya dan sekaligus menangkap tangan lawannya.
Sebuah hentakan yang kuat telah menarik lawan Sumangkar itu dari kudanya. Tetapi ternyata orang itu telah berpegangan pada tangan Sumangkar pula, sehingga keduanyapun telah terloncat dari punggung kudanya dan jatuh berguling ditanah.
Tetapi ternyata bahwa keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Karena itulah, maka keduanya mampu menempatkan dirinya, sehingga keduanya tidak cidera karenanya. Bahkan dalam sekejap kemudian, keduanya telah meloncat berdiri dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, seorang lawan Sumangkar yang masih berada dipunggung kudanyapun merasa tidak banyak gunanya ia bertahan terus untuk bertempur diatas kudanya. Itulah sebabnya, maka iapun segera meloncat turun dan siap menghadapi Ki Sumangkar berpasangan.
"Ternyata kau memang sedikit mempunyai kemampuan pengawal tua," salah seorang dari keduanya menggeram, "tetapi bahwa kau sudah merasa dirimu melampaui kemampuan Untara dan berusaha menangkap kami berdua, adalah angan-angan yang gila dan tidak tahu diri. Betapapun tingginya ilmu pengawal Kademangan kecil seperti Macanan, ia tidak akan mampu menahan kami. Apalagi berdua."
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya, ia memang harus berhati-hati. Keduanya memang bukan orang-orang kebanyakan. Sehingga karena itulah maka sambil memperhatikan keduanya ia menjawab, "Aku sama sekali tidak merasa diriku melampaui kemampuan Ki Untara. Tetapi aku hanya berkeinginan untuk membawa kalian menghadap Ki Untara."
"Persetan," geram yang seorang, sementara yang lain maju selangkah, "bunuh saja orang ini. Kita tidak banyak mempunyai waktu."
Serangan berikutnyapun segera datang beruntun. Sumangkar berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan itu. Dengan cepatnya ia meloncat menghindar dan bahkan iapun berusaha menyerang dengan garangnya.
Agaknya kedua orang lawannya yang marah itu tidak mempunyai waktu terlalu banyak untuk bermain-main dengan pengawal Kademangan tua itu, sehingga sejenak kemudian keduanyapun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan Sumangkar yang telah dengan sombong menghentikan mereka.
Demikianlah maka merekapun segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Masing-masing lelah berusaha untuk segera memenangkan pertempuran itu.
Tetapi ternyata kemudian, bahwa kedua orang yang dihentikan oleh Sumangkar itu mampu bertempur berpasangan dengan baiknya, sehingga pada suatu saat, Sumangkarpun mulai nampak kebingungan menghadapi kedua lawannya.
Namun demikian, ia masih tetap bertempur mati-matian. Ia masih sempat selalu meloloskan diri dari serangan yang langsung membahayakan jiwanya. Namun demikian, semakin lama nafasnya menjadi semakin berdesakan dilubang hidungnya.
"Orang tua yang gila," geram salah seorang dari keduanya, "kami bukan orang-orang yang baik hati dan memaafkan segala kesalahanmu. Kau sudah menghentikan langkah kami. Karena itu, kau harus menyesalinya meskipun tidak perlu terlalu lama, karena sebentar lagi kau akan kami bunuh tanpa ampun."
Sumangkar tidak menjawab. Ia berusaha untuk bertahan terus. Meskipun ia masih dapat mengelakkan setiap serangan, tetapi semakin lama ia menjadi semakin terdesak.
Dengan segenap sisa tenaganya, Sumangkar masih tetap bertahan melingkar-lingkar. Ia tidak mau beranjak jauh dari tempatnya. Meskipun kadang-kadang ia harus meloncat jauh surut, tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri. Apalagi ketika lawannya berkata lantang, "Tidak ada gunanya kau melarikan diri. Kami yang sudah terlanjur turun dari kuda, akan meninggalkan mayat kalian disini."
Sumangkar tidak menjawab. Ia mencoba sekilas memandang berkeliling.
"Kau mencari kawan yang sedang berada disawah atau orang lalu" Jalan ini terlalu sepi. Mungkin akan ada dua atau tiga orang prajurit yang lewat. Tetapi dua tiga orang prajurit itupun akan kami bunuh pula jika mereka ikut serta melibatkan diri. Bahkan seandainya yang datang Untara sekalipun, kami tidak akan gentar."
"Jangan terlalu sombong," geram Sumangkar. Tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Serangan kedua lawannya benar-benar telah mendesaknya.
"Nah Ki Sanak," berkata salah seorang dari ke duanya, "mulailah dengan penyesalanmu."
"Tidak. Aku tidak menyesal," jawab Sumangkar, "aku akan menangkap kalian. Sekarang semakin kuat dugaanku, bahwa kalian berdua adalah penjahat yang selama ini sering mengganggu dan merampok Kademangan-ku."
"Gila." "Aku akan berteriak. Orang-orang yang ada disawah itu akan berdatangan. Mereka akan membantu aku dan jumlah mereka akan cukup banyak."
"Itu adalah suatu tindakan yang bodoh. Itu berarti bahwa kau telah membunuh kawan-kawanmu sendiri, karena aku benar-benar akan membunuh siapa saja yang terlibat dalam perkelahian ini."
Ki Sumangkar termangu-mangu sejenak. Tetapi serangan kedua orang lawannya datang seperti badai dari arah yang berbeda. Karena itulah maka ia harus berputaran seperti angin pusaran.
"Jangan gembira karena kemenangan-kemenangan kecil," desis Sumangkar, "karena sebentar lagi orang-orang Kademangan ini akan menangkap kalian berdua."
"Daerah ini terlampau sepi. Orang-orang yang ada disawah justru telah berlarian dan bersembunyi. Apa yang akan kau katakan?"
Ki Sumangkar tidak sempat menjawab. Serangan keduanya benar-benar hampir menyentuh kulitnya.
Karena itulah maka Ki Sumangkar harus berloncatan menghindarinya. Sekali-sekali ia sempat menyerang. Namun sebagian besar dari tata geraknya adalah sekedar berusaha menghindari serangan lawan.
Tetapi Ki Sumangkar tidak selalu berhasil. Serangan kedua orang lawannya semakin lama menjadi semakin cepat. Betapapun juga Sumangkar berusaha untuk menghindar, namun pada suatu saat, ia telah tersentuh oleh tangan lawannya.
Terdengar Sumangkar menyeringai. Sentuhan itu ternyata telah membuatnya semakin terdesak.
"Kau akan mati," geram salah seorang dari kedua lawannya.
Tetapi Sumangkar masih melawan terus. Ia tidak mau meninggalkan arena. Apapun yang akan terjadi, ia akan bertempur terus.
"Kau kira aku seorang pengecut," ia menggeram, "akupun pernah menjadi seorang yang pada suatu saat berhasil menyombongkan diri karena kemenangan-kemenangan kecil."
Sumangkar tidak sempat meneruskan kata-katanya. Sebuah serangan yang cepat dan keras telah mengenai pundaknya, sehingga ia terputar dan terbanting ditanah.
Sekali ia terguling, kemudian dengan serta merta ia meloncat berdiri.
Pada saat yang bersamaan, sebuah serangan kaki mendatar telah mengejarnya. Untunglah, bahwa justru keseimbangannya belum pulih kembali sehingga ia terjatuh tepat pada saat kaki lawannya hampir saja mengenai tengkuknya.
Lawannya yang tidak berhasil mengenainya itu menggeram marah. Ia masih ingin menyerangnya sekali lagi. Tetapi agaknya Sumangkar justru sudah berhasil berdiri dan meloncat jauh-jauh kebelakang.
"Kau akan lari," bentak salah seorang dari kedua lawannya.
Sumangkar tidak menyahut. Tetapi sorot matanya semakin lama seakan akan menjadi semakin redup.
"Jangan menyesal," geram lawannya. Sumangkar masih tetap berdiam diri. Tetapi ia selalu bersiaga menghadapi kedua lawannya yang memiliki ilmu yang tinggi itu.
Tetapi ternyata bahwa Sumangkar benar-benar telah terjepit. Kedua orang lawannya berhasil mendesaknya kebawah sebatang pohon Randu Alas yang tumbuh dipinggir jalan itu.
"Kau tidak akan dapat lari meninggalkan kami. Sekarang, katakanlah, apa yang kau kehendaki untuk yang terakhir kalinya."
"Kenapa yang terakhir?"
"Kau akan mati," geram orang itu.
Sumangkar menjadi tegang sejenak. Tetapi ia tidak dapat menyangkal. Serangan kedua orang itu semakin lama menjadi semakin garang. Dan bahkan seakan-akan telah mengurungnya dalam keadaan yang paling gawat.
Dalam saat-saat terakhir dari perkelahian itu Sumangkar terdesak tanpa dapat menahan arus serangan lawannya, sehingga pada suatu saat, ia berdiri ditanggul parit dengan ragu-ragu. Sementara dari dua arah yang berbeda, kedua lawannya mendekat dengan senjata yang sudah teracu.
"Saat kematian itu memang sudah mendekat," desis yang lain.
Ki Sumangkar memandang kedua ujung senjata itu. Berganti-ganti. Dalam keadaan yang sulit ia menjawab, "Jika keadaan yang paling pahit itu harus aku jalani, apa boleh buat. Tetapi pada saat terakhir aku sudah melihat, siapakah orang selama ini mengganggu Kademanganku. Mencuri ternak atau sekali-sekali mencuri harta milik dengan merusak dinding."
"Gila," geram yang satu, "kau masih saja gila."
"Kejahatan yang demikian tentu akan sampai pada batasnya. Jika prajurit Pajang menemukan kalian sedang mencuri kuda, bahkan mencuri ayam, maka kalian akan menyadari bahwa pasukan Pajang bukan terdiri dari pengawal-pengawal seperti aku."
"Tetapi anggapanmu bahwa kami adalah pencuri-pencuri itu adalah anggapan yang gila sekali. Apakah tampangku seperti pencuri ayam?"
"Aku tidak dapat membedakan tampang seseorang. Tetapi tingkah lakumu mengatakan kepadaku, bahwa kalian berdua adalah pencuri-pencuri yang selama ini sedang kami cari."
"Aku bukan pencuri. Jika kau sekali menyebut aku pencuri aku akan menyobek mulutmu."
Sumangkar termangu-mangu. Lalu dengan nada datar ia bertanya, "Jika kalian bukan pencuri ternak dan kuda, kenapa kalian takut aku hadapkan kepada Untara" Ia tidak pernah menghukum orang yang tidak bersalah."
"Aku bukan pencuri ayam. Jika ada sesuatu yang aku lakukan, maka semuanya itu aku lakukan karena cita-cita?"
Sumangkar tidak menyahut. Ketika tiba-tiba saja ia meloncat surut, melewati tanggul dan parit, salah seorang dari kedua itu telah meloncat memotong arah sambil berkata, "Kau tidak akan dapat lari kemana-mana Kau akan mati."
Wajah Sumangkar menjadi tegang dan gemetar. Namun ia masih berdesis, "Penjahat yang keji. Bertaubatlah. Kemudian tebuslah dosa-dosamu dengan berbuat kebajikan."
"Aku bukan penjahat," salah seorang dari keduanya berteriak, "orang tua gila," ia menggeram, "diambang pintu maut, dengarlah kata-kataku. Sebenarnyalah aku bukan penjahat seperti yang kau maksud."
"Jadi. jadi, siapakah kau?" Sumangkar melangkah surut dan turun ditanah persawahan.
Ke dua orang itu mendesak semakin ketat dari dua arah, sehingga Sumangkar menjadi semakin sulit terdesak. Bahkan rasa-rasanya kedua ujung senjata orang-orang marah itu tidak terkekang lagi memburunya.
"Kami jarang sekali mempergunakan senjata kami," berkata salah seorang dari keduanya, "tetapi karena aku sekarang sedang berhadapan dengan pengawal gila, maka aku telah mempergunakan senjataku. Tetapi jika senjata ini sudah tertarik dari sarungnya, maka senjata ini tentu akan menghisap darah korbannya."
Sumangkar tidak menyahut. Sekilas ia melihat kedua ujung senjata yang tajamnya melampaui tajam duri kemarung.
Yang dapat dilakukan Sumangkar kemudian hanyalah sekedar meloncat surut. Semakin lama semakin cepat. Namun diluar penguasaan keseimbangan tubuhnya, kakinya telah menyentuh pematang, sehingga Sumangkar itupun jatuh terlentang diantara tanaman yang hijau segar.
"Ajalmu telah sampai," geram salah seorang lawannya.
"Tetapi, kau belum menjawab. Siapakah kalian sebenarnya?"
"Tidak ada gunanya. Kami sudah terlanjur marah dan harus membunuhmu."
"Sebut nama kalian sebelum aku mati."
Sejenak keduanya ragu-ragu. Namun salah seorang kemudian berkata, "Namaku tidak ada artinya. Tetapi ketahuilah. Kami bukan penjahat kecil seperti yang kau sebut-sebut. Sebutan itu memang suatu penghinaan yang tidak termaafkan. Aku adalah orang-orang yang sedang mengemban tugas dari para pemimpin yang akan mewarisi kerajaan Agung Majapahit."
"Majapahit," Sumangkar menjadi heran.
"Kami adalah orang-orang yang sedang mengemban tugas dalam cita-cita, bukan sehina seperti yang kau sangka."
"Tetapi. Tetapi Majapahit itu sudah tidak ada lagi sekarang ini. Bahkan sudah diganti oleh kerajaan Demak beberapa keturunan, sehingga akhirnya Kerajaan kini berpusat di Pajang."
"Apa arti Jaka Tingkir anak padesan itu" Ia sama sekali tidak wenang mewarisi kejayaan Wilwatikta. Ia harus terusir dari tahta dan menyerahkan warisan kejayaan Majapahit yang dirampasnya kepada para pemimpin yang berhak."
"Siapakah yang kau maksud para pemimpin yang berhak itu?"
"Kau tidak perlu tahu tikus kecil. Kau harus mati."
"O," Sumangkar mengangguk-angguk, "jadi kalian adalah para petugas dari Kerajaan Agung Majapahit itu?"
"Ya. Kerajaan Agung Majapahit akan segera lahir."
"Dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu?"
Kedua orang itu tiba-tiba menjadi tegang. Salah seorang dari keduanya menggeram bertanya, "Dari manakah kau mendengar bahwa ada sesuatu peristiwa penting dilembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu?"
Sumangkar mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mencoba berdiri. Tetapi salah seorang dari kedua lawannya membentak. "Jangan bergerak. Itu hanya akan mempercepat kematianmu."
"Biarlah aku berdiri. Jika ujung senjatamu benar-benar akan menghunjam dijantungku, biarlah aku mendengar keteranganmu lebih banyak lagi."
"Tidak ada yang akan aku terangkan."
"Tentang lembah itu," Sumangkar masih berusaha untuk berdiri.
"Berdirilah. Kau akan mati sambil berdiri dan jatuh menelentang lagi dengan darah mengalir dari jantungmu yang akan aku sobek dengan senjataku. Bersiaplah. Jika kau benar-benar jantan, berdirilah dengan dada tengadah supaya aku tidak salah memilih arah jantungmu."
"Baiklah. Aku memang tidak ada pilihan lain. Tetapi sebutlah namamu berdua."
"Orang matipun tidak perlu mendengar namaku. Berdirilah tegap seperti seorang laki-laki sejati. Dosamu sudah terlalu banyak. Kau sudah menghina utusan Kerajaan Agung Majapahit sebagai penjahat-penjahat kecil. Dan kau sudah mendengar serba sedikit tentang pertemuan dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu."
"Aku memang sudah mendengar. Dilembah itu akan dibicarakan pula mengenai kedua pusaka yang hilang dari Mataram. Songsong kebesaran dan yang tak ternilai adalah pusaka terbesar Kangjeng Kiai Pleret."
"He, darimana kau tahu" " salah seorang dari keduanya berteriak
Sementara yang lain menggeram, "Cepat. Bunuh-orang ini. Ia sangat berbahaya. Kecuali jika kau dapat menyebut, bahwa kau adalah petugas diantara kami."
Tetapi Sumangkar menggeleng, "Aku bukan petugas sandi diantara kalian. Aku benar-benar seorang bekas penjahat yang kini menjadi pengawal sebuah Kademangan kecil disini. Dan aku benar ingin menangkapmu jika aku mampu dan membawamu menghadap Senepati Untara."
"Gila. Kau membenarkan keputusan kami untuk membunuhmu."
"Baiklah. Tetapi dengarlah penjelasanku tentang diriku," Sumangkar melanjutkan.
"Apakah itu penting?" geram lawannya yang lain.
"Sebelum kau membunuh aku, kau tahu pasti, siapah aku ini."
"Katakan. Cepat kalau itu memberikan sedikit ketenangan disaat matimu."
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berdiri tegak. Dari dua arah ia melihat ujung senjata yang siap menghujam ketubuhnya. Ketika sekilas ia memandang wajah orang-orang yang menggenggam senjata itu, dilihatnya wajah itu seolah-olah menjadi merah membara.
"Dengarlah," berkata Sumangkar sambil melangkah surut. Tetapi kedua orang itu melangkah mendekat pula tanpa menghiraukan tanaman yang terinjak-injak kaki.
"Aku adalah seorang penjahat yang paling dibenci oleh orang-orang Pajang. Itulah sebabnya aku berusaha membuat suatu jasa bagi mereka, khususnya prajurit Pajang di daerah ini."
"Cepat sebut, siapa kau."
"Aku adalah penjahat besar dari Jipang. Aku adalah adik seperguruan Patih Mantahun. guru seorang Senepati Jipang yang masih muda, Tohpati yang terbunuh didaerah ini pula."
"Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan pada jaman itu?"
"Ya. Namaku sudah aku sebut. Sumangkar."
Kedua orang itu termangu-mangu. Sebutan yang diucapkan oleh Sumangkar tentang dirinya sendiri sebagai saudara seperguruan Tohpati membuat orang itu berdebar-debar.
Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata lantang, "Jangan mengigau orang tua. Jika kau pernah menjadi seorang penjahat kecil, aku memang percaya. Tetapi jika kau mengaku saudara seperguruan dari Patih Mantahun, agaknya syarafmu mulai terganggu disaat kau menghadapi maut."
Sumangkar memandang orang itu sejenak. Namun ia tersenyum. Katanya, "Mungkin syarafku sudah terganggu. Tetapi aku adalah Sumangkar, adik seperguruan Patih Mantahun."
"Aku tidak peduli. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Kau tidak akan dapat memperpanjang nyawamu dengan ceritera-eeritera mimpi seperti itu."
Tetapi Sumangkar masih saja tersenyum. Katanya, "Aku sudah mengetahui tugasmu. Kau tentu dua orang diantara orang-orang yang mengaku dirinya memiliki hak untuk mewarisi Kerajaan Majapahit yang sudah tidak ada lagi itu."


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Aku tidak ingkar. Sekarang matilah dengan tenang."
"Aku masih belum ingin mati. Aku akan melanjutkan perlawananku. Aku juga mempunyai senjata yang akan dapat membantuku melepaskan diri dari ujung senjatamu."
Dadu Setan 1 Pendekar Rajawali Sakti 125 Rahasia Candi Tua Budha Pedang Penyamun Terbang 13
^