Samurai Pengembara 3 2
Shugyosa Samurai Pengembara 3 Bagian 2
saya memang tinggal di kuil ini. Dan saya akan tetap di sini selamanya. Saya tak
pernah berpikir untuk lari."
"Kalau begitu serahkan anak itu."
"Kenapa saya harus menyerahkannya?"
"Kami tahu anak itu adalah Natane Yoshioka, putra
Ashikaga."
"Dari mana Anda tahu?"
"Dia telah mengatakan sendiri pada anak-anak yang
turut merayakan pesta toda-maru."
Bapa Lao menoleh pada Kojiro, anak itu mena-
tapnya dengan perasaan bersalah. Sesudah diam sejurus, pendeta itu akhirnya
berkata, "Anak ini tidak be-
rarti apa-apa. Dia hanya seorang budak yang mengu-
rus kebutuhan saya. Dialah yang sekarang merawat
kuil ini, menyapu, membersihkan daun-daunan, dan
mengisi kolam untuk mandi. Jadi saya akan merasa
sangat kehilangan kalau kalian membawanya pergi.
Padahal dia tak akan berguna bagi Shogun Nobunaga."
"Kami tidak akan membawanya pergi, kami akan
memenggal kepalanya!"
"Lebih-lebih. Sedang berbadan lengkap saja dia ti-
dak berguna, apalagi tinggal kepalanya. Paling Shogun Nobunaga akan membuangnya
ke selokan."
"Dibuang di mana itu bukan urusanmu, kami ha-
nya menjalankan tugas untuk memotong kepalanya."
Bapa Lao langsung berdiri. Ketiga samurai itu ham-
pir-hampir meloncat ke belakang. Entah kenapa me-
reka merasakan pengaruh yang begitu kuat pada diri pendeta itu. Kharisma di
dalam dirinya memancar sedemikian rupa, sehingga ketiga samurai itu (belum
apa-apa) sudah merasakan hawa serangan. Mereka se-
gera mencabut pedang dan mulai mengepung.
Bapa Lao melangkah ke tengah. Kedua tangannya
tetap berada dalam posisi di depan dada.
"Sebaiknya kalian urungkan niat," kata Bapa Lao
datar. "Tidak ada gunanya mengejar-ngejar anak ini.
Dia benar-benar anak tak berguna. Karena itu saya
memeliharanya sekadar untuk mengurus kuil ini."
Samurai itu rupanya sudah kehilangan kesabaran,
mereka serentak menerjang ke arah Bapa Lao sambil
menebaskan pedang. Tetapi secara tak terduga, pende-ta itu hanya menggeser kaki
kanannya untuk berkelit, dan ia terlepas dari tebasan itu. Ketika menyadari
serangannya gagal, ketiga samurai tersebut kemudian
menyerang secara bertubi-tubi. Mereka menebas, mengayun, dan menikam dengan
penuh nafsu. Namun de-
ngan tenang, Bapa Lao menghindari semua serangan
tersebut dengan berkelit ke kanan dan ke kiri. Gerakannya lentur seperti karet,
bahkan sesekali terayun mirip sebatang rotan. Tangan kirinya tetap di depan
dada, seakan ucapan maaf bagi para samurai itu karena dia telah menggagalkan
seluruh serangan me-
reka. Karena semua serangan mereka kandas, ketiga sa-
murai tersebut semakin bernafsu. Mereka menerjang
dengan rapat, dan menebas secara membabi buta. Pa-
da saat itulah, tiba-tiba Bapa Lao bergerak berputar sambil mengirimkan pukulan
dari jarak jauh. Terdengar suara keras, mirip benturan dua kekuatan yang saling
berlawanan. Ketiga samurai tersebut terpental ke belakang, tubuhnya ambruk tanpa
nyawa. Kojiro terperangah menyaksikan kejadian itu. Ia melihat dengan mata kepala
sendiri, Bapa Lao tidak menyentuh ketiga samurai tersebut, tetapi angin yang
ditimbulkan oleh pukulan tangannya telah membinasa-
kan ketiga samurai tersebut.
"Benar-benar luar biasa!" seru Kojiro penuh ke-
kaguman. "Bagaimana Bapa dapat melakukannya?"
Pendeta tersebut tidak menggubris pertanyaan Koji-
ro. Dia tengah memeriksa detak napas ketiga musuh-
nya. Sesudah yakin ketiganya meninggal, ia berpaling pada Kojiro.
"Kuburkan mereka segera."
"Kenapa tidak dibiarkan saja agar tubuh mereka ja-
di makanan gagak?"
"Kita harus menghormati jasad mereka."
"Tetapi dia tadi hampir membunuh kita."
"Kita harus menghormati mereka karena telah men-
jalankan kewajiban sebagai samurai. Mereka harus
memperoleh penguburan sewajarnya para pahlawan."
Ketika Kojiro menggali lubang untuk mengubur ke-
tiga samurai itu, Bapa Lao melangsungkan upacara.
Dengan khusuk ia berdoa untuk arwah ketiga samurai tersebut.
"Sesungguhnya aku bisa tidak membunuhnya," kata
Bapa Lao ketika selesai mengubur ketiga samurai itu.
"Tetapi aku menghadapi keadaan yang tak terhindar-
kan. Bila aku tidak membunuhnya, mereka akan me-
laporkan pada Nobunaga tentang kita. Bila hal itu terjadi, keadaan akan semakin
buruk. Bukan hanya ke-
palamu yang dipenggal, tetapi mungkin juga kepalaku.
Padahal aku masih senang punya kepala. Jadi terpak-sa aku membunuh mereka."
Kojiro menatap pendeta di depannya, ia mengerti
bagaimana terbelahnya hati pendeta itu.
"Apakah kau dapat belajar sesuatu dari kejadian
ini?" tanya Bapa Lao pada Kojiro.
"Pukulan Bapa Lao benar-benar menakjubkan!"
"Bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Kau jangan mudah mengatakan namamu pada
orang lain. Namamu berbau pembunuhan."
"Aku tidak mengerti."
"Seandainya kau tidak menyebutkan namamu pada
orang lain, tidak akan ada samurai yang mengikutimu kemari. Dan aku tak perlu
membunuh mereka. Karena
itu sebagai hukumanmu, kau tidak lagi kuizinkan turun ke desa."
"Bagaimana dengan upacara hatakena?"
"Lupakan saja."
Kojiro terdiam. Jiwanya berontak.
*** IMAGAWA IMAGAWA duduk di sebuah panggung yang berada di
tengah ruangan. Tubuhnya pendek, namun ia terlihat sangat berwibawa. Ia
bersimpuh rapi, tumitnya terlipat rapi di bawahnya. Dia didampingi empat orang
pengawal yang berpakaian serba putih. Mereka semua mengenakan kimono sutera dan
jubah luarnya penuh
hiasan dengan ikat pinggang lebar. Pada bagian bahunya, kimono itu melebar dan
berkanji, sehingga me-
nampilkan kesan gagah bagi pemakainya. Di bawah
ikat pinggang, mereka mengenakan hakama (pakaian tradisional yang dikenakan di
bagian luar kimono). Mereka bersimpuh santai. Wajah Imagawa yang berben-
tuk oval dihiasi kumis tipis di atas bibirnya. Matanya yang setajam mata elang
menatap tajam pada orang-orang di sekelilingnya.
Imagawa mulai berkuasa sejak lima tahun lalu, setelah orang tuanya meninggal.
Ayahnya, Yoshimasa, merupakan contoh penguasa yang tidak becus; ia hampir tidak
melakukan sesuatu pun kecuali mengeluarkan
dekrit-dekrit secara serampangan, sehingga banyak di-tentang oleh penguasa
propinsi lain. Caranya meme-
rintah banyak dipengaruhi istri dan selirnya yang tidak terhitung jumlahnya.
Salah seorang selirnya yang sangat berkuasa adalah Tazumi, wanita serakah yang
membuat Yoshimasa mengalami keruntuhan. Sebagai
istri shogun, ia justru memainkan pasaran beras dan menerima suap dari para
bangsawan di wilayahnya.
Yoshimasa tidak dapat berbuat apa-apa ketika Tazumi memungut pajak yang tidak
sah dari rakyatnya, bahkan dengan cara-cara penuh ancaman, ia menarik
pembayaran dari rakyat untuk membangun puri Ta-
zumi di sebelah utara Suruga.
Perubahan terjadi ketika Yoshimasa meninggal, dan
Imagawa menggantikannya. Berbeda dengan ayahnya,
Imagawa seorang lelaki terpelajar. Dia mulai membe-nahi puing-puing kekuasaan
ayahnya dengan meng-
hapus pesta-pesta yang dulu diadakan hampir setiap hari. Tazumi, diasingkan ke
purinya, sehingga tak memiliki kekuasaan apa pun untuk mengumbar kesera-
kahannya. Dalam waktu tiga tahun, Imagawa telah
menjadi shogun yang sangat disegani. Ia bukan saja ahli kendo, tetapi juga
pengayom agung upacara minum teh. Kecuali itu ia juga seorang penulis puisi yang
pandai. Suatu seni penting yang berkembang di bawah per-
lindungan Imagawa adalah lukisan tinta, yakni peng-gambaran sangat bersahaja
dengan cat air dan garis-garis transparan yang dianggap prestasi tertinggi seni
lukis Jepang. Lukisan-lukisan yang biasanya merupakan gambar pemandangan, kuda
berpacu, kehidupan
petani, dan lukisan kuil, berkembang pesat.
Jenis kesenian lainnya yang muncul di Suruga ada-
lah drama khas Jepang yang disebut No, suatu bentuk pertunjukan tradisional yang
berisi nyanyian dan tarian. Di bawah perlindungan Imagawa, pertunjukan ini jadi
hiburan istana yang halus dan bergaya. Bila dulu No menampilkan kehidupan
petani, kini mementaskan
roman besar sekitar kehidupan istana sehingga peng-gemarnya pun kian bertambah.
Tarian serta musik
yang diiringi genderang serta seruling, semakin sema-rak ketika Imagawa
menambahkan unsur topeng bagi
para pemainnya. Terbukti kemudian, cara tersebut
memacu kerajinan topeng di Suruga. Bahkan topeng-
topeng yang dipakai menari, kadang merupakan hasil karya seniman yang bernilai
seni sangat tinggi.
Di akhir tahun, biasanya Imagawa mengadakan
pesta pertunjukan No selama seminggu penuh, dengan cerita yang berbeda setiap
harinya. Pada acara terse-
but, biasanya para daimyo, shogun, serta bangsawan istana di sekitar Suruga
berdatangan untuk menyaksikan pertunjukan itu. Mereka semua terpesona dengan
cara-cara yang dilakukan Imagawa dalam menyuguh-kan teh. Tak mengherankan banyak
orang mengagu- minya, tak terkecuali pendeta-pendeta penganut Zen yang sesungguhnya menjadi
cikal bakal lahirnya upacara minum teh.
Laki-laki yang menjadi pelindung kesenian, penyair, pelukis, dan ahli kendo
itulah yang kini duduk bersimpuh di depan sejumlah pembantunya.
Di belakang keempat pengawal yang berpakaian
serba putih, berbaris dengan rapi sekitar lima puluh samurai berpakaian coklat.
Semua bersimpuh diam
dalam formasi yang rapat. Kepala mereka yang ber-
kuncir tampak berkilauan tertimpa sinar matahari.
Memagari ruang pertemuan itu, enam belas samurai
prajurit yang berjaga dengan sikap waspada. Mereka berdiri dalam jarak lima
meter, lengkap dengan samurai di pinggang serta sebatang tombak di tangannya.
Istri Imagawa, seorang wanita yang cantik, berumur sekitar dua puluh enam tahun,
duduk di sebelah kanan panggung. Persis di belakang pedang Imagawa
yang diletakkan pada sebuah meja kecil berlapis emas.
Di belakang istri Imagawa, terlihat empat dayang-dayang yang terus menerus
mengipasi wanita tersebut.
Ruang pertemuan itu senyap, sampai akhirnya Ho-
sokawa muncul diiringi sepuluh pengawalnya. Mereka adalah utusan Nobunaga untuk
menyampaikan hadiah
serta untaian bunga sebagai tanda persahabatan. Selain itu, Nobunaga juga
mengirimkan ajakan untuk
berburu babi hutan di Sekigahara. Imagawa menerima kehadiran Hosokawa dengan
senang hati. Dan seperti umumnya pergaulan di istana, utusan itu diminta tinggal
beberapa hari sambil menunggu jawaban tuan ru-
mah. Mereka dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, serta tari-tarian khas daerah
Suruga. Sudah tiga hari tiga malam Hosokawa menginap, sekarang mereka
akan kembali ke Kamakura.
Hosokawa dan para pengawalnya melangkah de-
ngan tegap ke ruang pertemuan itu. Dalam sikap pe-
nuh hormat, mereka bersimpuh, lalu membungkukkan
badan hingga kepalanya menyentuh lantai.
"Hosokawa-san," Imagawa berkata dengan suara
tinggi. "Bagaimana, apakah engkau dapat istirahat
enak di istanaku?"
"Kami semua dapat istirahat tanpa kurang suatu
apa, Tuanku."
"Syukurlah. Karena aku khawatir udara di Suruga
tidak cocok dengan dirimu."
"Kami semua dapat tidur nyenyak seperti di rumah
sendiri." "Aku gembira mendengarnya," kata Imagawa sambil
tersenyum. "Sebagai tuan rumah sudah sepantasnya
aku meminta maaf padamu apabila cara-cara kami
menerimamu kurang pada tempatnya."
"Tidak ada yang kurang. Bahkan kami semua mera-
sa sangat puas atas semua jamuan yang kami terima."
"Aku pun sudah mempertimbangkan dengan sung-
guh-sungguh undangan Shogun Nobunaga, dan kuha-
rapkan engkau dapat menyampaikan padanya bahwa
aku bersedia datang ke Kamakura. Mengenai wak-
tunya, bila tidak ada aral melintang, aku akan datang pada tanggal kamariah awal
tahun nanti. Mudah-mudahan tidak merepotkan Shogun Nobunaga."
"Tentu Tuanku Nobunaga akan bersuka cita men-
dengar kabar ini," sahut Hosokawa sambil membung-
kukkan badan. "Kalau begitu izinkan saya mohon diri, untuk dapat segera
menyampaikan jawaban pada Tuanku Nobunaga."
"Berangkatlah hari ini. Dan sampaikan juga bingki-
sanku padanya."
Hosokawa membungkukkan badan, kemudian be-
ranjak meninggalkan ruang pertemuan itu. Imagawa
menatap kepergian kesebelas orang itu dengan pan-
dangan puas. Sesudah Hosokawa tidak kelihatan, Imagawa berka-
ta, "Mayeda!"
Panglima perang Suruga membungkukkan badan.
"Ya, Tuanku."
"Bagaimana menurut pemikiranmu undangan No-
bunaga itu?"
"Tuanku," jawab Mayeda penuh tekanan. "Tampak-
nya undangan itu mengandung maksud baik. Namun
sebelum Tuanku memenuhi undangan tersebut, biar-
lah saya menyelidiki lebih dulu apa maksud dan tu-
juan Shogun Nobunaga."
"Apakah engkau berpikir bahwa dia akan menje-
bakku?" "Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada."
"Baiklah. Coba kaukirimkan orang untuk menyeli-
diki kemungkinan itu. Tetapi seperti sudah kukatakan, kalau tidak ada aral
melintang, aku ingin mengunjungi Nobunaga pada awal tahun nanti."
*** Tazumi duduk tenang sambil menuang air ke cangkir
yang berisi teh hijau. Kimononya yang berwarna me-
Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rah, dihias obi yang dasarnya berwarna kuning dengan bertaburan gambar
yotsudake. Tamoto kimononya yang panjang dan terbuat dari sutera tiruan terben-
tang di atas tatami. Gincunya yang berwarna merah
tua tampak mempertegas garis ketuaannya. Tazumi
berusia lima puluh tiga tahun berdasarkan perhitungan kazoe.
Dengan lembut ia mengambil sendok kayu, kemu-
dian mulai mengaduk air teh di dalam cangkir. Setelah selesai, dengan kedua
tangannya wanita itu mendorong cangkir ke arah Mayeda. Dengan perasaan bang-
ga karena dilayani oleh Tazumi, Mayeda mengangkat
cangkir tersebut dan meminum isinya. Rasa sake yang pahit menerobos
kerongkongannya, membangkitkan
kesegaran alami.
"Jadi Nobunaga mengundang Imagawa ke Kama-
kura?" terdengar suara Tazumi bergetar.
"Benar. Bahkan dia juga ingin mengajak Tuanku
Imagawa untuk berburu babi hutan di Sekigahara."
"Apakah undangan itu akan dipenuhi?"
"Tampaknya demikian. Tadi pagi, Tuanku Imagawa
telah mengirim pesan lewat Hosokawa-san untuk di-
sampaikan pada Nobunaga. Dia akan datang ke Ka-
makura pada minggu pertama tahun yang akan da-
tang." "Siapakah yang akan mengawalnya ke Kamakura?"
"Tentu saja saya."
"Baiklah kalau begitu. Sebaiknya segera dipikirkan bagaimana cara untuk
melicinkan rencana kita. Sesungguhnya aku sudah tidak sabar untuk bertindak,
merebut kekuasaan Imagawa. Anak itu hanya pandai
menulis puisi dan melukis, tetapi tidak dapat memimpin negara. Kurasa, aku lebih
pantas dibanding Im-
agawa untuk memimpin Suruga."
"Cepat atau lambat, cita-cita itu pasti terlaksana."
Tazumi mendekati Mayeda, kemudian dengan ke-
dua tangannya, wanita itu membelai wajah samurai di depannya. Sinar matanya
meredup, seperti tengah meredam hasrat birahi di dalam dirinya. Sambil menatap
ketampanan lelaki di depannya, Tazumi berkata lembut, "Kita akan menggulingkan
Imagawa bersama-sa-
ma. Kita akan memerintah Suruga dengan kebesaran
dan kemuliaan."
Mayeda mengangkat wajah, kemudian seperti tersi-
hir, lelaki itu diam saja ketika Tazumi merundukkan kepala untuk mencium
bibirnya. Mereka berciuman
seperti dua kekasih yang telah lama tak bertemu. Sen-tuhan lidah wanita itu
seakan membakar rongga mulut Mayeda, membuat ia tenggelam dalam kumparan nafsu.
Dengan liar, lelaki itu pun segera membalas ciuman Tazumi. Mereka kemudian
berguling-guling di
lantai kayu sambil melepaskan pakaian satu per satu.
Kimono, obi, dan yukata yang mereka pakai, berceceran di lantai.
Tubuh Mayeda yang kuat dengan enerji tak pernah
padam, merenggut tubuh Tazumi. Akibatnya tubuh
wanita tersebut menggeletar sedemikian rupa, seperti senar kecapi yang dipetik
tanpa irama. Tazumi mendesis, merasakan kenikmatan yang
menggeletarkan seluruh kelenjar dalam dirinya. Belum pernah ia merasakan bermain
cinta demikian memuaskan, seperti kalau bercinta dengan Mayeda.
Mayeda Toyotomi, seorang samurai berumur tiga
puluh tahun. Ia seorang samurai asal Uta-Jima. Se-
buah pulau yang dikenal sebagai Pulau Nyanyian. Pulau Uta-Jima terkenal dengan
kuil Ise, karena terletak di Teluk Ise, tempat para samurai belajar ilmu pedang
dari pendeta Ise. Di pulau inilah Mayeda menimba il-mu pedang, kemudian
mengembara ke Osaka, Nara,
Owari, hingga Suruga.
Ketika sampai di wilayah kekuasaan Yoshimasa, ia
masih berusia dua puluh tiga tahun. Seorang samurai yang gagah berani. Maka
ketika Yoshimasa ingin
memperkuat pasukannya, Mayeda Toyotomi mendaf-
tar. Ia lolos seleksi sesudah mengalahkan tujuh orang samurai dalam sebuah
pertarungan hidup dan mati.
Karena kemampuannya memainkan pedang, karier-
nya melesat seperti anak panah. Tak seorang pun dapat membayangkan, bagaimana
Mayeda dapat melewa-
ti sejumlah samurai kepercayaan Yoshimasa untuk
kemudian menjadi komandan pengawal istana. Hanya
Tazumi yang mengetahui rahasia itu.
Pada suatu malam, ketika hujan deras menggempur
Suruga, Yoshimasa sedang berburu rusa di hutan. Mayeda tengah berjaga ketika
Tazumi memanggil na-
manya. "Mayeda, kemarilah!"
Dengan kepatuhan seorang samurai, ia mengham-
piri suara itu. Ternyata yang memanggil adalah Tazu-mi. Perempuan itu berdiri di
belakang soji meminta Mayeda masuk ke kamarnya.
"Adakah yang dapat saya lakukan untuk Anda?"
Mayeda bertanya dengan hormat.
"Ada," jawab Tazumi. "Masuklah."
Dengan ragu-ragu Mayeda masuk. Seketika itu Ta-
zumi memegang lengannya kemudian menariknya ke
tempat tidur. "Aku kedinginan," kata Tazumi merayu. "Sebaiknya
kau menemaniku tidur."
Tanpa basa-basi, Tazumi segera membuka pakaian,
kemudian mulai menciumi tubuh di depannya. Mayeda
berontak. Antara kaget dan takut, ia berusaha me-
nolak kemauan wanita itu. Dengan sekuat tenaga ia
melawan. Sampai akhirnya Tazumi merasa lelah dan
melepaskan genggamannya. Mayeda langsung bersu-
jud, sementara Tazumi berdiri polos di hadapannya.
Tubuh wanita itu sangat menggiurkan. Meskipun usianya sudah cukup tua, namun
payudaranya masih ken-
cang, pinggulnya sangat menggairahkan, dan kulitnya halus seperti pualam.
Pameran kecantikan itu terjadi beberapa saat, sampai akhirnya Mayeda berbalik
untuk pergi. "Engkau tidak punya pilihan," kata wanita itu pe-
nuh nada ancaman. Mayeda terpaksa membeku di
tempatnya. "Kalau engkau tidak mau menemaniku ti-
dur, aku akan mengatakan pada Yoshimasa bahwa
engkau menerobos masuk ke dalam kamarku dan
bermaksud memperkosaku."
"Jangan," kata Mayeda sambil bersujud. "Tuanku
Yoshimasa akan memenggal kepalaku bila Anda me-
ngatakan hal itu."
"Aku pasti akan mengatakannya. Kecuali...."
Tazumi mendekati Mayeda Toyotomi. Perempuan itu
dengan penuh gairah memeluk Mayeda, menghimpit-
nya kuat-kuat, sehingga pemuda itu pun merasa nik-
mat. Ketika semua berakhir, tampak wajah Tazumi
berseri-seri. Sinar matanya begitu hidup memandang Mayeda yang terbaring di
sampingnya. Masih dengan perasaan bersalah, Mayeda menge-
nakan kembali pakaiannya. Sementara Tazumi hanya
duduk sambil memandangi lelaki di depannya dengan
perasaan puas. Belum pernah ia merasakan kepuasan
bercinta sehebat saat itu. Yoshimasa sudah terlalu tua.
Sebagai laki-laki ia memang berkuasa, tetapi kekuasaannya tidak berarti apa-apa
di atas ranjang. Berbeda sekali dengan Mayeda.
Ketika lelaki tersebut hendak pergi, Tazumi berkata,
"Besok kuminta kau kemari lagi."
Hubungan itu terus berlanjut. Hingga kini. Maka
ketika terjadi pergantian kekuasaan, dari Yoshimasa ke Imagawa, dan Tazumi
diusir dari istana Suruga,
mereka membulatkan tekad untuk merebut kekuasaan
Imagawa. Mereka menyusun rencana, mematangkan
persekongkolan, dan siap melaksanakannya - apa pun
resikonya. Bagi Tazumi, Mayeda Toyotomi bukan hanya seo-
rang lelaki yang mampu memberinya kepuasan sek-
sual, tetapi juga harapan di masa depan. Dengan tangan Mayeda ia ingin
melaksanakan pembalasan den-
dam terhadap Imagawa, dan menjadi penguasa tunggal propinsi Suruga. Sedang bagi
Mayeda, Tazumi adalah sumber inspirasi untuk merebut hari depan.
Tazumi berguling ke sisi Mayeda dengan tubuh
bermandikan keringat, mirip lilin meleleh dari ba-
tangnya. Napas perempuan itu terengah-engah, seperti seekor kuda yang baru saja
berlari seratus mil jauh-nya. Mereka berbaring sambil menatap langit-langit
kamar. Masih dalam desah napas yang tersengal, Tazumi
mencari-cari tangan Mayeda. Ia kemudian menggeng-
gamnya dengan erat. Dalam desis napas yang berat, ia berkata, "Rasakan
pembalasanku, Imagawa. Aku akan
rebut kekuasaanmu!"
*** PEMANDIAN SHUZENJI
MATAHARI seperti kepompong lusuh. Merambat perla-
han ke kaki langit. Udara ditaburi hujan gerimis sehingga mencegah orang-orang
keluar dari rumah. Pe-
mandian air panas Shuzenji yang biasanya dipenuhi
laki-laki yang ingin berendam, saat ini tampak sepi.
Bahkan kecuali tiga orang wanita tidak ada lagi orang lain di tempat itu.
Ishida Mitsunari membayar pada penjaga, kemu-
dian berjalan tertatih-tatih menuju ke pemandian itu.
Sudah tiga hari ia tidak mandi, rasa gerah, dan bau keringat membuat lelaki
tersebut tidak sabar lagi menikmati air hangat dari Gunung Amagi itu. Ia melepas
pakaian, kemudian masuk ke dalam kolam. Dengan
cermat ia meletakkan pedang di dekat tempatnya be-
rendam. Kebiasaannya sebagai samurai, di mana pun
selalu bersikap waspada.
Rasa panas menyengat, sementara bau belerang
menguap di tempat itu. Mitsunari tidak peduli. Ia
membiarkan tubuhnya terendam hingga dada. Gadis-
gadis yang saat itu tengah membersihkan badan, tampak acuh tak acuh padanya.
Sambil memejamkan mata, Mitsunari membayang-
kan masa-masa indah ketika ia masih menjadi pang-
lima Ashikaga. Di rumahnya, ia biasa berendam di kolam air hangat, sementara
istrinya dengan penuh kasih sayang menggosok punggungnya. Biasanya, sesam-painya
di rumah ia akan berendam selama satu atau
dua jam, sambil berbincang-bincang dengan istrinya.
Sesudah itu, mereka akan melanjutkan perbincangan
di kamar, sambil bercinta. Kenangan itu benar-benar indah. Tak seorang pun akan
membayangkan kehidupan yang begitu mapan tiba-tiba hancur beranta-
kan. Seluruh kesetiaan dan perjuangannya terhadap
Shogun Nobunaga, tidak berarti apa-apa. Bahkan is-
trinya yang cantik, dijual sebagai pelacur untuk melayani samurai-samurai
rendahan. Mitsunari memejamkan mata. Mencoba mengenyah-
kan kenangan buruk itu. Matanya terbuka ketika didengarnya langkah kaki
mendekati pemandian tersebut.
Ia melihat lima orang samurai berjalan menuju pe-
mandian. Mitsunari bersikap acuh tak acuh. Ia tak ingin kehadirannya menarik
perhatian para samurai itu.
Meskipun demikian, ia bergeser selangkah, mendekati pedangnya.
Setelah melepas pakaian, kelima samurai tersebut
mencebur ke dalam kolam.
"Tampaknya ilmu pedang Saburo Mishima semakin
hebat," kata salah seorang samurai tersebut pada temannya. "Sampai saat ini dia
selalu berhasil lolos,
bahkan dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya.
Dari berita yang kudengar, pemain pedang Ryoken itu dibinasakannya hanya dengan
satu kali gebrakan. Padahal kalian tahu, samurai Ryoken itu murid-murid
perguruan yang sangat diandalkan."
"Permainan pedang Saburo memang hebat," sahut
temannya yang berkumis lebat. "Tetapi dia tak mungkin melawan seratus samurai
yang mengejarnya. Beta-pa pun kekuatannya terbatas. Suatu saat ia pasti le-
ngah." "Pembantaian yang dilakukan terhadap pasukan
Seichi Okawa, merupakan bukti bahwa dia tidak mau
menyerah begitu saja."
"Anehnya, kenapa Saburo tidak membunuh Oka-
wa?" "Entahlah, barangkali dia menganggap cukup de-
ngan memenggal lengan anak itu."
"Kau mendengar bagaimana reaksi Shogun Nobu-
naga ketika mengetahui samurai andalannya dikutungi lengannya?"
"Dia sangat marah. Matanya melotot berapi-api,
kemudian dengan kemarahan yang sama, ia meme-
rintahkan Konishiwa mengumpulkan samurai lebih ba-
nyak lagi."
"Untuk mengejar Saburo?"
"Ya. Sesudah kebakaran yang ditimbulkan oleh Ishi-
da Mitsunari, kekalahan Okawa itu benar-benar mem-
buat Shogun kalang kabut. Selain meminta bantuan
Yagyu, dia telah mengirimkan Hosokawa ke Suruga."
"Untuk apa?"
"Nobunaga memperkirakan Saburo lari ke arah Su-
ruga." "Kemungkinan dugaan itu benar, sebab pembu-
nuhan yang dilakukan terhadap Denchiro terjadi di te-pi jalan menuju Suruga.
Kelihatannya, Saburo ingin
bersembunyi di sana meminta perlindungan Imagawa."
"Mungkinkah Imagawa bersedia melindunginya?"
"Mungkin saja. Sebab ketika dulu Yoshimasa masih
hidup, bukan hanya sekali dua kali Saburo memimpin samurai Ashikaga untuk
memusnahkan para ronin
dan perusuh di Suruga. Jadi dia mengenal Imagawa."
Seorang samurai yang bertubuh kurus menimpali,
"Tetapi kalau Imagawa berani melindungi Saburo, keadaan bakal panas. Bukan
mustahil Nobunaga akan
menyerang Imagawa. Dan kalian tahu sendiri, pe-
nguasa Suruga itu tidak pandai berperang. Sepanjang hari dia hanya melukis dan
menulis syair. Tangannya tidak pernah digunakan menggenggam senjata."
Samurai yang berkumis menjawab, "Tetapi jangan
lupa, di sana ada Mayeda Toyotomi, komandan perang yang sangat berbakat. Dia
seorang samurai yang luar biasa."
"Tetapi mungkinkah Imagawa mau mengambil resi-
ko demi persahabatannya dengan Saburo?"
"Bukan Saburo."
"Lalu?"
"Putra Ashikaga. Natane Yoshioka."
"Apakah anak itu masih bersama dengan Saburo?"
"Entahlah. Kalau menurut beberapa saksi mata,
Saburo selalu bepergian dengan seorang anak kecil.
Mungkin saja Yoshioka."
Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi dia juga mempunyai anak laki-laki seusia
Yoshioka, apakah tidak mungkin anak itu anaknya?"
Samurai yang berbadan kurus menukas, "Buat kita
sama saja. Siapa pun dia, kalau kita berhasil me-
menggal kepalanya, Nobunaga akan membayar dengan
harga tinggi. Buat apa kita pusingkan apa dia anak Saburo atau anak Ashikaga."
Pembicaraan itu berhenti. Kelima samurai itu meli-
hat gadis-gadis yang tadi berendam berjalan mening-
galkan kolam. "Sudah selesai, Anak manis?" samurai yang berku-
mis menggoda. "Kenapa tidak menemani kami dulu?"
"Benar," sahut yang kurus. "Kami sudah lama ber-
kelana." Gadis-gadis itu berlari ke kamar ganti sambil terta-wa cekikikan. Punggungnya
yang halus dan basah
tampak berkilauan.
Pembicaraan kemudian beralih pada soal lain.
"Bagaimana dengan Ishida Mitsunari?" tanya samu-
rai yang berkumis. "Apakah ada berita tentang laki-laki itu?"
"Tidak," jawab samurai yang paling muda. "Sejak
membakar rumah pelacuran itu, dia lenyap seperti angin. Tak seorang pun tahu di
mana laki-laki itu berada. Meskipun Hosokawa sudah memerintahkan lebih
dari dua ratus samurai mencarinya, Ishida tak pernah ditemukan."
"Mungkin dia ketakutan dan bersembunyi di hutan."
"Hampir semua hutan wilayah kekuasaan Nobu-
naga sudah disusuri, namun dia tak pernah ditemu-
kan." "Mungkinkah dia bunuh diri?"
"Mungkin saja. Sesudah kematian istrinya, tampak-
nya Ishida sangat terpukul. Bahkan ketika mening-
galkan Kamakura, dia tertawa-tawa seperti orang gila."
Ishida Mitsunari hanya diam. Mencoba tak berge-
rak. Ia memejamkan mata, meresapi air panas sambil terus memasang telinga
mendengarkan perbincangan
itu. "Nasib Ishida memang tragis," kata samurai termuda penuh tekanan. "Rupanya
dia telah dikorbankan
oleh Nobunaga. Setelah diusir dari Kamakura, istrinya diperkosa, lalu dijual
sebagai pelacur. Saya benar-benar dapat membayangkan bagaimana kehancuran
hatinya. Nobunaga benar-benar mencampakkannya."
"Tetapi saya dengar sejak dulu memang terjadi per-
saingan antara Ishida dengan orang-orang Nobunaga, seperti Konishiwa dan
Hosokawa. Mereka rupanya me-ngail di air keruh ketika Ishida mengalami kegagalan
dalam penyergapan itu. Dan sesudah ia terusir, orang-orang itu menggunakan
kesempatan untuk sekaligus
menghancurkan perasaannya."
"Siapa yang memperkosa istrinya?"
"Hosokawa. Dia pula yang menjual wanita itu ke
rumah pelacuran."
Tanpa sadar Mitsunari mendesis, "Hosokawa...."
Kelima samurai itu seketika berpaling. Mereka me-
natap Mitsunari dengan heran. Saat itu Mitsunari
membuka mata, kemudian memandang samurai di de-
pannya dengan pandangan tajam mengancam. Kelima
orang itu masih belum menyadari bahaya di depan ma-ta mereka. Lewat air yang
berkilauan, mereka mencoba melihat kaki lelaki di hadapannya. Di dalam kolam,
terlihat kaki besi melengkapi kaki Mitsunari yang terpenggal.
"Ishida!" pekik samurai termuda dengan wajah pu-
cat pasi. "Sialan!" rutuk yang kurus dengan tubuh gemetar.
Menyadari bahaya yang mereka hadapi, serempak
kelima samurai itu menyebar untuk mengambil pedang masing-masing. Tetapi
terlambat. Mitsunari sudah ber-kelebat dengan cepat. Pedang yang sejengkal dari
tangannya, tahu-tahu sudah menebas dan mengayun
sehingga membuat kelima samurai itu menjerit lalu
ambruk ke kolam dengan darah menyembur dari lu-
kanya. Tidak lebih dari setengah menit, kelima samurai itu telah mengapung. Air
kolam yang tadi biru jernih, kini berubah menjadi merah.
"Hosokawa...," desis Mitsunari lirih. Kemudian ia
berjalan tertatih-tatih keluar dari kolam yang airnya telah bercampur darah.
*** Ishida Mitsunari meninggalkan pemandian Shuzenji
menuju ke Suruga. Sekarang ia menempuh jalan naik
menuju ke Amagi. Sambil menikmati pemandangan
pegunungan sekitarnya, Ishida membayangkan perte-
muannya dengan Saburo Mishima. Kalau benar saat
ini Saburo sedang menuju wilayah Imagawa, mereka
pasti akan bertemu di sana. Pertemuan itu akan mela-hirkan pertarungan hidup dan
mati. Tanpa ampun.
Saburo akan kuberi kejutan pada akhir hidupnya.
Dia akan kubunuh dengan kakiku. Dia tak akan pernah menduga kaki yang ia penggal
dapat menikam jantung-nya.
Setelah Saburo, Mitsunari akan menantang Hoso-
kawa. Beruntung dia mampir ke pemandian Shuzenji,
sehingga mendengar berita tentang perkembangan terakhir perburuan terhadap
dirinya. Kalau benar, Nobunaga telah mengerahkan dua ratus samurai, jelas
sekarang ia harus lebih waspada. Setiap saat akan muncul samurai mata duitan
yang menginginkan kema-
tiannya. Jalan-jalan itu sekarang terjal dan berkerikil. Me-nanjak ke arah Bukit Amagi
yang tampak menghijau.
Awal musim semi telah menyebabkan pohon-pohon
memperoleh kesuburannya. Bunga sakura yang ber-
warna merah dan kuning terlihat indah. Dari jauh mirip kain sutera yang
direntangkan. Ketika Mitsunari sampai di ujung tanjakan, tiba-
tiba muncul delapan samurai di belakangnya. Mereka berlari cepat mencoba
menyusul. "Berhenti!" salah seorang samurai berteriak.
Ishida Mitsunari berhenti, lalu menoleh. Dilihatnya
kedelapan samurai itu telah mencabut pedang dan
bersikap menantang. Suara langkah kakinya berderap seperti sepasukan babi hutan
yang dikejar pemburu.
Ketika melihat Mitsunari berhenti, para samurai
yang beringas itu langsung mengepung. Mereka masih berusia muda, karena itu
tampak sangat bernafsu.
"Engkaukah yang membunuh kelima saudara per-
guruan kami?" salah seorang samurai yang rupanya
pemimpin mereka bertanya. "Dari penjaga pemandian
Shuzenji kami diberitahu bahwa pembunuhnya berka-
ki satu." "Memang aku yang membunuh mereka," jawab Mit-
sunari tenang. "Hal itu terpaksa kulakukan, sebab kalau bukan aku yang membunuh,
merekalah yang akan
membunuhku. Mereka menginginkan hadiah No-
bunaga dengan memenggal kepalaku."
"Kalau begitu, karena mereka gagal, biarlah kami
yang memenggal kepalamu!"
"Coba saja kalau kalian dapat melakukannya."
"Tahukah engkau siapa kami?"
"Kalian seperti ronin liar."
"Keliru. Kami dari perguruan Yukata. Kau tentu
pernah mendengar nama perguruan itu."
Mitsunari pura-pura berpikir. Padahal ia tahu per-
sis perguruan Yukata Kempo, sebuah perguruan yang
sangat disegani karena ilmu pedangnya sangat khas.
Yukata Kempo memulai hidup sebagai pedagang kain,
pencelup sutera, tetapi dengan tak henti-henti mengu-lang irama dan gerak
mencelup kain, ia menemukan
suatu gaya bermain pedang yang unik. Selain permainan yang mempertaruhkan
kelenturan tubuh, ia me-
nemukan gaya permainan pedang pendek yang tak ada
duanya. Sesudah mempelajari cara mempergunakan
tombak dari pendeta Hozoin, dan memadukan dengan
teknik pedang Kurama, akhirnya Yukata Kempo mela-
hirkan gayanya sendiri yang luar biasa. Permainan pedang panjang dan pedang
pendek secara bergantian.
Beberapa kali Shogun Ashikaga mengundang Yukata
ke Kamakura, untuk mengajar para panglima pe-
rangnya. Ishida Mitsunari sempat beberapa kali mengikuti pelajaran yang
diberikan Yukata Kempo.
Kini, di depannya ada delapan murid perguruan Yu-
kata Kempo yang masing-masing menggenggam pe-
dang panjang dan pendek. Mereka bergerak menge-
pung dengan sinar mata haus darah.
Pelan-pelan Mitsunari mengeluarkan pedangnya,
seluruh otot di tubuhnya menegang. Kekejaman dan
hasrat pembalasan dendam di dalam dirinya menyem-
bul di wajahnya. Ia tahu delapan samurai Yukata, sa-ma dengan enam belas samurai
biasa. Mereka bukan
lawan yang dapat diremehkan. Karena itu Mitsunari
segera mempersiapkan diri, menunggu serangan.
Udara seketika riuh rendah oleh pekikan dan lolo-
ngan kematian. Pada saat para samurai itu mulai menyerbu, Mitsunari tidak
menghindar, namun justru
menyongsong terjangan mereka. Pedangnya bergerak
menyerang, sementara penyangga kakinya menyabet
ke kanan ke kiri. Kaum samurai itu tidak menduga se-belumnya bahwa penyangga
kaki Mitsunari ternyata
senjata yang sangat mematikan. Mereka menyadari ketika satu per satu sahabatnya
tumbang bersimbah darah.
Mitsunari mengamuk seperti harimau lapar. Ia me-
nerjang ke depan, kemudian berbalik ke belakang
sambil mengayunkan penyangga kakinya. Setiap kali
bergerak, terdengar jerit kematian yang menyayat hati.
Pakaiannya yang berwarna coklat telah terpercik darah, namun ia tidak peduli.
Hasrat pembunuhan di dalam dirinya menggelegak, seperti kobaran api yang siap
membakar apa saja. Hulu pedangnya telah lengket ka-
rena darah, tetapi itu tak mengganggunya sama sekali.
Ia terus menebas dan menyayat musuh-musuhnya.
Tak lebih setengah jam, kedelapan samurai itu telah bergelimpangan di tanah.
Masih ada di antaranya yang mengerang, namun maut terlalu dekat dengan dirinya.
"Sayang, kalian harus mati muda," kata Mitsunari
sambil mengibaskan pedangnya. Kemudian ia berlalu
dari tempat tersebut sepertinya tidak pernah terjadi pembantaian yang mengerikan
itu. "Kalian hanya menghambat jalanku ke Suruga."
*** TERTANGKAPNYA MATA-MATA
HUTAN ilalang itu seperti membeku. Langit juga beku.
Udara beku. Hanya ada desau angin.
Shogun Nobunaga duduk di atas pelana kuda. Diam
mendengarkan desau angin yang membawa bau babi
hutan. Tangan kirinya memegang kendali, sedang ta-
ngan kanannya menggenggam tombak sepanjang tiga
meter. Di belakang Nobunaga, dalam jarak sekitar lima meter, Konishiwa dan
Hosokawa tampak bersikap waspada. Masing-masing memegang tombak, siap untuk
menikam binatang buruan. Dua puluh samurai berja-
jar di belakang rumpun ilalang itu sambil menggenggam pedang. Bilah pedang itu
berkilauan tertimpa sinar surya.
Suasana sunyi itu berlangsung beberapa lama. Wa-
jah Nobunaga berpaling cepat. Hidungnya mengendus
bau babi hutan. Sedetik berikutnya kebekuan itu pecah ketika Nobunaga menarik
kekang kuda kemudian
memacu ke arah lembah. Seketika hutan ilalang itu
menjadi riuh rendah dengan sorak-sorai samurai yang mengikuti kuda Nobunaga.
Seekor babi hutan tersuruk-suruk berlari mene-
robos ilalang dengan cepat. Suara lengkingannya yang memekakkan telinga tertutup
pekik dan jerit para samurai yang memburu binatang itu sambil mengacau-
ngacaukan pedang mereka. Sorak-sorai itu demikian
gegap gempita sehingga mirip keriuhan para prajurit yang menang perang.
Nobunaga terus memacu kudanya, mengikuti arah
lari binatang buruannya. Pelan-pelan ia mengangkat tombaknya, kemudian dengan
sekuat tenaga ia lem-parkan tombak itu. Terdengar lengkingan babi hutan ketika
binatang itu terjungkal dengan tombak Nobunaga menembus lehernya.
"Kenaaa!" teriak Nobunaga sambil memberi aba-aba
agar para samurai berhenti bersorak-sorai.
Babi hutan itu menggelepar-gelepar sekarat. Ia berusaha berdiri, namun tombak
sepanjang tiga meter itu menggagalkan usahanya. Darah membasahi rumpun
ilalang di sekitarnya, sementara keempat kaki binatang itu mengejang-ngejang
sekarat. Nobunaga turun dari kudanya. Dengan langkah
pasti, ia mendekati binatang itu. Pelan-pelan ia meng-hunus pedang, lalu berdiri
persis di samping tubuh babi hutan tersebut. Dengan kedua tangannya, Nobunaga
mengangkat tinggi-tinggi pedangnya. Ia memusatkan enerji ke dalam genggaman
tangannya. Lalu dalam ayunan yang sangat cepat, ia menebas leher babi hutan itu
hingga kepalanya terpisah dari badannya. Darah menyembur membasahi tanah di
sekitarnya. "Seperti binatang ini nasib Saburo Mishima," kata
Nobunaga bergetar. "Akan kupenggal kepalanya de-
ngan tanganku sendiri."
Nobunaga mengibaskan pedangnya, sehingga darah
di bilah pedang tersebut muncrat ke tanah. Dengan
kecepatan yang menakjubkan, pedang itu sudah ma-
suk ke dalam sarungnya kembali.
*** Malamnya, dataran di tepi hutan ilalang itu riuh ren-
dah. Lampu-lampu dinyalakan di seputar tenda yang
didirikan pasukan Nobunaga. Seratus orang samurai
yang mengiringi Nobunaga dalam perburuan itu, kini duduk melingkar mengelilingi
api unggun. Para samurai itu tersenyum dan tertawa sambil menikmati da-
ging binatang hasil buruan mereka. Ada tiga ekor babi hutan, seekor rusa, dan
delapan kelinci yang malam itu jadi hidangan lezat. Empat orang tukang masak
istana, memasak binatang tersebut dengan resep kesu-
kaan Nobunaga. Penari-penari Izu melengkapi malam hiburan itu.
Sebagian besar penari itu masih sangat muda, sehing-ga para samurai berteriak-
teriak untuk menarik perhatian mereka. Semua penari itu mengenakan kimono fu-
risode, dan wajahnya tertutup topeng. Mereka terus bergerak mengikuti irama
genderang dan kecapi yang dimainkan tiga pemusik pengiring.
Nobunaga menuang saos ke dalam irisan daging
babi, lalu memasukkan daging itu ke dalam mulutnya.
Ia mengunyah, menikmati kelezatan binatang hasil buruannya. Matanya sesekali
memandang para penari di arena, sambil sesekali ia turut bertepuk tangan.
Naoko yang duduk di sampingnya, mencoba mela-
yani Nobunaga dengan sebaik-baiknya.
"Siapa yang mengundang para penari itu?" tanya
Nobunaga dengan mulut berdecap penuh daging babi.
"Aku," jawab Naoko. "Sudah lama aku ingin menon-
ton penari-penari dari Izu. Mereka sangat terkenal dan katanya menjadi kesenian
yang sangat disukai Imagawa."
Nobunaga menatap heran pada Naoko, "Imagawa?"
Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar. Aku ingin mengetahui kenapa dia menyukai
tarian itu."
"Itu bukan urusan kita. Aku juga mendengar kabar
bahwa Imagawa senang melukis dan menulis syair, tetapi apa hubungannya denganku"
Apakah kaupikir
aku harus meniru Imagawa?"
Naoko tersenyum mesra. "Bukan itu maksudku,"
kata Naoko sambil membelai paha Nobunaga. "Kalau
kita mengetahui apa kesukaannya, kita bisa memaha-
mi jalan pikirannya. Dan kalau kita dapat memahami jalan pikirannya, dengan
mudah kita akan mengalah-kannya."
Nobunaga menatap Naoko penasaran, "Apa mak-
sudmu?" "Maksudku, kita akan mencoba mengerti jalan piki-
ran Imagawa lewat para penari Izu. Sesudah itu, kita tinggal menunggu kesempatan
untuk mengalahkan-nya."
"Kaupikir kita dapat menaklukkan Imagawa hanya
dengan penari itu?"
"Mungkin saja."
"Bagaimana mungkin?"
"Aku belum tahu bagaimana caranya, tetapi para
penari ini pasti dapat membantu."
Nobunaga mengambil sake, lalu menenggaknya
sampai habis. Masih dengan mulut basah oleh sake, ia mengambil daging babi, lalu
menjejalkan ke dalam mulutnya. Matanya yang bundar menatap para penari
bertopeng di tengah arena.
"Kita mempunyai pasukan lebih banyak dibanding
Imagawa, jadi jangan terlalu kaurisaukan. Kalau saja dia tidak mencoba menjalin
hubungan baik denganku, kupastikan dia akan menyesalinya. Dengan pasukan
penuh, aku akan menggempurnya."
Nobunaga tertawa lepas, lalu menarik Naoko ke da-
lam pelukannya. Laki-laki itu mencium bibir Naoko dengan penuh gairah.
Ketika ciuman itu lepas, Naoko berkata, "Kudengar
Imagawa mempunyai seorang panglima perang yang
sangat cakap. Namanya Mayeda Toyotomi."
"Jangan kaupikirkan. Apa artinya seorang panglima
perang dibanding ratusan, bahkan ribuan pasukanku."
"Tetapi...."
"Bagaimana kalau kita tidak usah membicarakan
soal Imagawa?" Nobunaga menukas. "Biarlah soal itu dibicarakan para samurai.
Mereka kumiliki untuk berperang dan memperkuat kekuasaanku. Sedang kau
kumiliki untuk melayaniku... dan sekarang, aku meng-inginkannya."
Nobunaga tertawa bergelak-gelak. Wajahnya me-
merah karena mabuk. Dalam keadaan sadar dan tidak
sadar, ia menarik Naoko berdiri. Kemudian dengan
terhuyung-huyung lelaki itu menyeret Naoko ke ten-
danya. Pada saat itu, seorang samurai mengendap-endap
mendekati tenda Nobunaga. Dengan sangat hati-hati ia berbaring di tanah,
mendengarkan perbincangan di
tenda itu. Sampai di tenda, Nobunaga sudah tidak kuat berdi-
ri. Ia ambruk di tempat tidur dengan mulut terus ber-ceracau. Naoko mulai
melepaskan pakaiannya satu
persatu, sambil sesekali menciumi tubuh Nobunaga
yang terbaring seperti buah nangka. Lelaki tersebut hanya mendesis dan sesekali
tergial karena nikmat.
"Oh, oh, aku menyukaimu," kata Nobunaga sambil
membelai rambut Naoko. "Rasanya engkau perempuan
milikku yang paling kusayang."
"Benarkah?"
"Sesungguhnya kukatakan itu dengan sepenuh hati."
"Kalau begitu kenapa aku tidak kaukawini?"
"Kawin?"
"Ya. Aku ingin menjadi istrimu."
Nobunaga membuka mata, lalu tertawa. Naoko mem-
buka pakaiannya, ia berdiri polos di tengah ruangan itu. Tubuhnya yang mulus dan
sangat menggairahkan, membuat Nobunaga berdecap-decap. Ia mengulurkan
tangan, tidak sabar lagi. Naoko berjalan mendekat, menyingkap selimut, lalu
masuk ke dalamnya. Sebentar kemudian terdengar desis dan desah napas Nobu-
naga yang terengah-engah.
Saat itu, orang yang tadi mengendap-endap, me-
langkah mundur. Tetapi malang, dia menyentuh pa-
pan-papan yang ada di sekitar tempat itu sehingga
menimbulkan suara berisik. Seorang samurai yang
menjaga tenda Nobunaga, berpaling, lalu berlari mendekatinya.
"Hei, siapa di situ?"
Samurai pengintai itu tidak memberi jawaban, teta-
pi justru mengirim tebasan menyilang hingga penjaga itu menjerit. Tubuhnya
melambung ke atas, lalu ambruk ke tanah tanpa nyawa. Jeritan tersebut meng-
ubah suasana pesta menjadi kengerian. Berpuluh-
puluh samurai yang tadi sedang duduk menikmati ta-
ri-tarian, segera berlari mengepung. Pertarungan segera terjadi. Namun kekuatan
yang tidak seimbang itu menyebabkan samurai pengintai tersebut terdesak.
Konishiwa menerobos ke depan sambil menggeng-
gam pedangnya. Ia menuding samurai tersebut dengan marah, "Siapa kamu?"
Samurai itu tidak menjawab, ia justru mengangkat
pedangnya, lalu menghunjamkannya ke perutnya sen-
diri. Terdengar suara mendesis, lalu disusul ambruknya samurai itu ke tanah.
Pada saat itu, Naoko muncul di tempat itu hanya
dengan selimut menutupi tubuhnya.
"Ada apa?" ia bertanya pada Konishiwa.
"Seorang mata-mata."
"Mata-mata, apa maksudmu?"
"Entah siapa telah mengirim mata-mata ini untuk
mendengarkan pembicaraan Tuanku Nobunaga. Seo-
rang pengawal berhasil memergokinya."
"Apakah dia mengaku?"
"Dia memilih bunuh diri."
Naoko menatap tubuh samurai pengintai itu, tubuh-
nya meringkuk seperti bangkai anjing. Wajahnya tak kelihatan, hanya rambutnya
yang dikuncir berantakan menjelaskan bahwa dia seorang ronin. Bukan samurai
prajurit. "Konishiwa-san," berkata Naoko dengan nada tegas.
Suaranya tajam penuh ancaman. "Dia jelas mata-mata musuh. Bagaimana dia dapat
menerobos masuk" Keamanan Tuanku Nobunaga berada di tanganmu. Seha-
rusnya kau tak membiarkan seekor lalat pun memba-
hayakan jiwanya."
"Baik," jawab Konishiwa sambil membungkukkan
badan. "Saya akan memeriksa semua orang yang men-
curigakan di tempat ini."
Sambil mendengus, Naoko berbalik. Punggungnya
yang putih mulus tampak sangat menggairahkan. Konishiwa menatapnya tanpa
berkedip. Jiwanya terbakar
kemarahan dan kekaguman sekaligus. Pertama kali
dalam hidupnya, ia menghadapi perempuan segalak
itu. Sikap yang membuatnya tersentak kaget, namun
sekaligus membuatnya terpesona.
Suatu saat, aku ingin menidurinya, bisik Konishiwa dalam hati. Lalu berbalik,
membubarkan pasukannya.
*** PERSEKONGKOLAN UDARA jernih di atas Puri Tazumi. Langit senjakala berwarna biru, mirip air
sungai yang bening. Cahaya matahari yang keperakan memantulkan panorama di
sekitar puri itu.
Mayeda Toyotomi keluar dari salah satu ruang di
puri itu, berjalan bergegas menuju ruang pertemuan.
Wajahnya yang memancarkan ambisi, seperti lempeng-
an baja yang dibakar untuk ditempa. Raut mukanya
membara, sinar matanya memancarkan nafsu dan se-
mangat yang menyala-nyala. Ia berjalan gagah dengan dua pedang panjang terselip
di pinggangnya. Sandal jerami yang dikenakan menapaki lantai papan berpelitur
dalam irama tegap penuh percaya diri.
Tazumi berjalan di belakang Mayeda. Langkahnya
juga cepat, menyeret kain yang melebar di belakang kimononya. Ia mengenakan geta
(terompah kayu yang dicat warna-warni). Gerakannya yang halus, penuh wibawa,
menjadikan ia tampak seperti peri yang berjalan melayang dengan cepat. Hanya
suara genta yang beradu dengan lantai saja yang mengisyaratkan bahwa
wanita tersebut seorang manusia.
Ketika melihat kedatangan Mayeda dan Tazumi, dua
samurai yang berjaga di depan fusuma (pintu sorong yang terbuat dari kertas)
menarik pintu disusul dengan gerak membungkukkan kepala. Kaki Mayeda melewati
pintu itu dengan cepat.
Di tengah ruangan, saat itu tampak tiga orang yang langsung membungkukkan badan
menyambut kedatangan Mayeda Toyotomi. Dari pakaian yang dikena-
kan, dapat diketahui orang-orang itu dari kalangan bangsawan.
Kenji Yamagita, seorang samurai propinsi yang sa-
ngat berpengaruh. Bukan saja karena ilmu pedangnya
cukup tinggi, tetapi dia orang yang kaya raya di daerah Suruga. Ayahnya dulu
seorang bangsawan di bawah
kekuasaan Yoshimasa, dan Kenji sebagai anak tunggal mewarisi kekayaan ayahnya.
Di daerah Suruga, ia
memiliki lebih dari dua ratus samurai yang setia padanya.
Kenji berwajah tampan, selalu berpakaian rapi. Ca-
ra bicaranya sopan dan ramah, sehingga orang-orang cepat akrab dengannya. Hanya
sedikit orang mengetahui, sesungguhnya Kenji seorang pembalas den-
dam. Di dekat matanya, terdapat bekas luka sepanjang dua sentimeter. Itu adalah
bekas yang ditinggalkan Imagawa ketika mereka bertarung dalam sebuah per-
tandingan kendo di masa kecil. Namun luka yang tak akan pernah hilang itu, bagi
Kenji, sudah cukup untuk membuat dirinya bertekad untuk membunuh Imagawa.
Tinggal soal waktu saja. Maka ketika Mayeda Toyotomi mengajaknya bersekutu
menggulingkan Imagawa,
ia langsung menyetujui.
"Luka di wajah saya tidak akan hilang," kata Kenji ketika Mayeda menemuinya.
"Seperti juga dendam ke-sumat di hatiku. Tidak ada yang lebih memuaskan
dibanding aku dapat menyayat-nyayat wajah Imagawa."
Taro Seijuro, seorang samurai yang kini menjadi pedagang tembikar. Ketika
Yoshimasa membuka hubu-
ngan perdagangan dengan luar negeri, terutama Cina dan India, Seijuro menjadi
orang kepercayaan shogun tersebut untuk melaksanakan perdagangan itu. Langkah
itu ternyata tepat, Seijuro bukan saja berhasil menjual dan membeli tembikar,
tetapi juga porselen serta rempah-rempah. Usahanya yang maju menyebabkan ia
meletakkan pedang, lalu menekuni usaha
dagang itu. Seijuro tahu, keberhasilannya saat ini tak terlepas dari bantuan
Tazumi. Wanita itulah yang dahulu mendorong Yoshimasa untuk memberi Seijuro
kesempatan berdagang. Tazumi pula yang memesan
tembikar, keramik, dan porselen Cina dalam jumlah
yang sangat besar.
Seijuro bertubuh gemuk, dengan pakaian sutera da-
ri corak yang paling mahal. Seperti umumnya peda-
gang, ia seorang yang ingin melihat segala-galanya sempurna. Karena itu ketika
Mayeda menyampaikan ajak-
an Tazumi memerangi Imagawa, Seijuro yang meminta
agar diadakan pertemuan seluruh orang yang akan
terlibat dalam pemberontakan itu. Ia ingin tahu secara mendetil apa rencana
Mayeda Toyotomi.
"Sejak Imagawa berkuasa dan dia mulai membatasi
jumlah pengiriman tembikar maupun porselen dari Ci-na, usaha saya terus-menerus
mengalami penurunan
keuntungan. Lebih-lebih usahanya mendirikan pusat
kerajinan di Sazuko, sungguh mengancam usaha saya.
Karena itu saya setuju kalau dia dijatuhkan... asal peluang impor nanti dibuka
lagi." Dempachi, seorang samurai bertubuh kekar dan
paling berantakan wajahnya. Selain pernah menderita sakit cacar, wajah Dempachi
ditumbuhi bisul sebesar kerikil yang hingga kini belum ada obatnya. Hanya ke-
kejamannya yang membuat orang tidak berani bersi-
kap sembarangan terhadapnya. Ilmu pedangnya yang
tinggi membuat lelaki itu sangat ditakuti. Dulu, Dempachi adalah algojo
Yoshimasa. Seorang pelaksana hukuman mati yang mengerikan. Tetapi ketika Imagawa
berkuasa, hukuman mati dihapuskan. Akibatnya Dem-
pachi disingkirkan. Perlakuan ini menumbuhkan benih dendam dalam jiwanya. Setiap
hari ia selalu memikirkan hari depannya yang suram, dan terus memu-
puk dendam dalam dirinya. Maka ketika Mayeda meng-
ajak bergabung, tanpa bimbang sedikit pun Dempachi menyetujuinya.
"Saatnya aku melakukan pembalasan pada Ima-
gawa," kata Dempachi pada Mayeda. "Saya ingin me-
menggal kepala laki-laki jahanam itu."
Mayeda dan Tazumi duduk di depan ketiga orang
itu. Pembicaraan pun dimulai.
Mayeda berkata, "Saya baru saja mendengar, seo-
rang samurai mata-mata kita tertangkap. Dia tewas.
Peristiwa ini sangat saya sayangkan, karena pasti akan membuat Nobunaga
bertambah waspada. Dia akan
memperkuat penjagaan dirinya, dan bersikap tidak terbuka. Karena itu saya
meminta pada Anda semua, un-
tuk bertindak lebih hati-hati, dan meningkatkan ke-waspadaan. Betapa pun rencana
yang telah kita su-
sun, tetap harus dilaksanakan."
Kenji bertanya, "Apakah rencana kunjungan ke Ka-
makura telah dijadwalkan waktunya?"
Mayeda menjawab, "Ya. Minggu pertama tahun baru
nanti, Shogun Imagawa akan mengunjungi Nobunaga.
Saat itulah kita bertindak."
Dempachi bertanya, "Setelah Nobunaga menangkap
mata-mata kita, mungkinkah dia membatalkan renca-
na kunjungan Tuanku Imagawa?"
Mayeda menjawab, "Sampai saat ini, tidak ada pem-
beritahuan mengenai hal itu. Jadi kurasa tidak akan ada perubahan waktu dari
rencana semula. Aku akan
berusaha meyakinkan Tuanku Imagawa bahwa kun-
jungan ke Kamakura sangat penting artinya untuk
keamanan wilayahnya. Beberapa waktu lalu telah ku-
katakan kepadanya, kekuatan militer Nobunaga saat
ini semakin kuat. Tidak sebanding dengan kekuatan
kita. Karena itu aku telah menyarankan untuk menjalin hubungan persaudaraan
dengannya. Karena itu
kunjungan ke Kamakura sangat strategis sifatnya."
Dempachi bertanya, "Kalau begitu bagaimana kita
melaksanakannya?"
"Aku akan mengatur sedemikian rupa, agar Tuanku
Imagawa mengunjungi Kamakura dengan pengawalan
tak lebih seratus orang. Setelah selama beberapa hari berpesta, mereka pasti
mengalami keletihan. Pada saat mereka pulang itulah, engkau harus bertindak.
Lakukan penyergapan di hutan Uzugi, di wilayah Nobunaga, sehingga muncul kesan
bahwa merekalah yang menyerang. Ini perlu dilakukan, untuk menghindari keka-
cauan di Suruga. Pada saat yang sama akan dilakukan pembersihan di istana."
Dempachi berkata, "Membinasakan seratus samurai
tentu tidak mudah. Kita membutuhkan suatu kekua-
tan besar."
Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau akan memimpin dua ratus samurai."
"Tetapi bagaimana caranya" Kedatangan dua ratus
samurai di wilayah Nobunaga, pasti akan sangat me-
narik perhatian. Dan kalau sampai mereka tahu, segalanya akan sulit
dilaksanakan."
"Lakukanlah penyamaran," kata Mayeda tegas. "Be-
rangkatkan dua ratus samurai jauh sebelum tahun ba-ru tiba. Biarkan mereka
berada di Kamakura sebagai ronin, sehingga tidak akan menarik perhatian
Nobunaga."
"Di sana mereka membutuhkan makan dan mi-
num...." "Seijuro akan menyediakan uang untuk bekal me-
reka. Soal itu jangan kaurisaukan."
"Baiklah kalau begitu. Aku mengerti tugasku."
"Bagaimana dengan Anda, Seijuro-san?"
"Seperti sudah saya katakan, saya bersedia menye-
diakan uang untuk rencana ini. Tetapi saya tak ingin terlibat di dalamnya.
Berapa pun uang yang dibutuhkan, akan saya sediakan, Anda tinggal mengatakan
kapan waktunya."
"Terima kasih, Seijuro-san."
"Selain itu, saya memiliki satu permintaan."
"Katakanlah."
"Sesudah kemenangan Anda peroleh, saya ingin di-
beri hak monopoli untuk melakukan perdagangan de-
ngan luar negeri. Anda harus berjanji, tidak memberikan hak ini kepada orang
lain kecuali keluarga Seijuro."
"Anda menginginkan monopoli?"
"Itulah imbalan yang saya minta."
"Baiklah. Saya setuju."
Seijuro kemudian mengeluarkan selembar kertas
yang berisi pernyataan hak monopoli perdagangan itu.
Lelaki tersebut menyodorkannya pada Mayeda Toyo-
tomi. Dari saku kimononya, Seijuro mengeluarkan tinta dan kuas.
"Saya mohon Anda menandatanganinya."
Mayeda membaca sekilas surat perjanjian itu, ke-
mudian dia menyingsingkan lengan kimononya, dan
membubuhkan tanda tangan di bawah surat pernya-
taan tersebut. Seijuro menyodorkan kertas itu pada Tazumi.
"Saya mohon, Anda juga membubuhkan tanda ta-
ngan di sini."
Tazumi menandatanganinya. Seijuro menatap surat
itu dengan puas.
Setelah diam sejurus, Mayeda Toyotomi berkata,
"Kalau begitu, mari sekarang kita bicarakan detail pe-laksanaan penyergapannya."
*** Pertemuan itu berakhir menjelang larut malam. Kemu-
dian setelah Kenji, Seijuro, dan Dempachi pulang, Tazumi menarik Mayeda Toyotomi
ke kamarnya. Dengan
bernafsu ia menciumi lelaki itu. Meskipun sudah cukup tua, namun pijar-pijar
kecantikan wanita itu masih bersinar terang. Mayeda dapat merasakan denyut-
denyut kewanitaan Tazumi memerangkapnya dalam
irama permainan cinta tak terlupakan. Tubuhnya yang kencang dan menggairahkan,
membuat Mayeda ber-sumpah untuk memiliki wanita itu. Dan satu syarat
yang pernah diungkapkan Tazumi, ia ingin mendam-
pingi Mayeda sebagai shogun menggantikan Imagawa.
Ciuman-ciuman itu menyebabkan kelenjar tubuh
Mayeda meregang. Ia menarik Tazumi ke dalam deka-
pannya, lalu menghimpitnya dengan kuat. Gerakan mereka liar dan penuh gairah.
Ibarat permainan pedang, Mayeda menikam-nikam musuhnya dengan buas. Namun
semakin lelaki itu bersikap buas, Tazumi semakin tergila-gila. Ranjang itu telah
porak-poranda, sprei dan bantal berserakan di lantai, namun kegairahan kedua
orang tersebut terus berkobar. Sampai akhirnya Tazumi tidak tahan. Kuku-kuku
jarinya menghunjam ke punggung Mayeda Toyotomi, sehingga lelaki itu melenguh -
merasakan kesakitan sekaligus kenikmatan! Keringat dan darah mereka bercampur
menjadi satu. Tazumi segera mendekap Mayeda, kemudian menji-
lati darah yang meleleh dari lukanya.
Setengah jam berikutnya, Tazumi berkata, "Kenapa
kita bersedia membubuhkan tanda tangan di surat
Seijuro" Bukankah itu dapat membahayakan kesela-
matan kita?"
Mayeda Toyotomi menjawab tegas, "Aku sudah me-
mikirkannya. Kita sekarang butuh uangnya untuk
membiayai rencana kita. Bila nanti sudah terlaksana, aku akan memenggal
kepalanya."
Tazumi bernapas lega. Ia menatap mata kekasihnya,
kemudian mulai menciuminya kembali dengan mesra.
*** MEDAN TANTANGAN
SEPANJANG jalan setapak berbatu yang menuju Suru-
ga, berdiri deretan rumah dengan atap jerami. Rumah-rumah kumuh yang bukan saja
telah berlumut, tetapi juga sudah rusak di sana-sini. Di bawah sinar matahari
siang yang terik, jalanan itu semerbak oleh bau ikan asin yang dibakar di atas
arang. Natane Yoshioka yang berjalan di depan Saburo, berkali-kali menghirup bau
ikan bakar itu dengan mulut berdecap.
"Baunya enak sekali," kata Yoshioka mengomentari.
"Kau sudah lapar?"
"Ya. Gara-gara bau itu perutku jadi keroncongan."
"Kalau begitu sebaiknya kita mencari warung untuk
makan." "Masih ada uang?"
Saburo tersenyum. "Masih cukup untuk makan tiga
hari. Bekal yang diberikan Yuriko-san cukup banyak."
"Baik sekali ibu itu."
"Ya."
"Apakah kita akan ke sana lagi?"
"Tidak."
Yoshioka menarik topeng dari pinggangnya - topeng
kayu itu selalu diikat tergantung di pinggang Yoshioka - kemudian mengamatinya
dengan puas. Berhari-
hari ia memperhatikan topeng itu, dan ia tak pernah merasa bosan. Semakin lama
dipandangi, topeng itu
tampak semakin indah. Ada semacam kekuatan magis
yang membuatnya memukau.
"Aku ingin bisa menari," tiba-tiba Yoshioka berkata.
"Suatu saat aku akan belajar menari."
Saburo hanya tersenyum. Ia memperhatikan saja
ketika Yoshioka memakai topeng itu, lalu menggerak-gerakkan kepala dan tangannya
menirukan gerakan
penari. Caranya bergerak tampak lucu, sehingga Sabu-
ro tak dapat menahan ketawa.
Yoshioka langsung mencopot topeng di wajahnya,
"Kenapa tertawa?"
"Kau lucu."
"Lucu atau bodoh?"
"Keduanya."
Yoshioka pura-pura cemberut sambil mengentak-
entakkan kaki dengan manja. Kemanjaan anak kecil
yang ingin diperhatikan. Saburo segera memeluk ba-
hunya, kemudian menariknya agar terus berjalan.
Mereka sekarang melewati perkampungan pembuat
keramik. Sejak Shogun Yoshimasa membuka pintu
perdagangan, Jepang seperti diserbu hasil kerajinan Cina. Porselen, tembikar,
dan keramik mengalir dari Laut Cina Timur. Para daimyo terpikat dengan hasil
kerajinan itu, karenanya dengan meniru keramik Cina, di wilayah Suruga tumbuh
desa-desa kerajinan semacam itu. Para petani banyak yang belajar membuat
keramik, untuk mengisi waktu luang sambil menunggu
musim panen tiba.
Saburo melihat orang-orang membuat keramik di
tepi jalan. Sebagian yang lain tengah menjemur atau mewarnai keramik yang akan
dibakar. Saburo sebenarnya ingin mencoba membuat keramik dari tanah
liat itu. Sejak kecil ia menyukai pekerjaan tangan. Dalam pikirannya, ia merasa
pasti dapat membuat mangkuk teh yang sederhana. Namun justru waktu itu, tukang
keramik yang umurnya hampir lima puluh ta-
hun, membuat mangkuk teh di depan matanya. Ter-
nyata barang sederhana itu membutuhkan keahlian
khusus untuk membuatnya. Melihat bagaimana orang
tua itu menggerakkan jari-jarinya di atas kape, menyadarkan Saburo bahwa ia
terlalu tinggi menilai kemampuan dirinya. Ternyata dibutuhkan keahlian, teknik,
dan imajinasi untuk membuat barang sederhana
itu. Persis ilmu pedang!
Berhari-hari Saburo memperhatikan tukang kera-
mik itu bekerja. Sampai akhirnya ia menyadari tidak memiliki bakat atau
ketabahan untuk melakukan pekerjaan itu.
Di depan sebuah warung, tampak hasil kerajinan
keramik dipamerkan; piring, sloki sake, kendi, dan pot bunga. Barang-barang itu
diatur sedemikian rupa sehingga tampak keindahannya. Dibanding dengan ru-
mah-rumah bobrok para pengrajin keramik itu, Saburo tersentak oleh ironi yang ia
saksikan. Betapa tidak, barang-barang ciptaan pengrajin itu suatu saat akan di-
pajang di rumah-rumah mewah para daimyo, atau
bahkan rumah shogun dan kaisar. Tetapi kehidupan
pembuatnya tak pernah beranjak dari kemiskinan. Mereka tetap hidup dalam kehina-
dinaan, tanpa harapan memperbaikinya.
Yoshioka melihat warung di tepi jalan, ia berseru
kegirangan, "Lihat, ada warung! Kita dapat istirahat sambil makan di sana!"
"Jangan makan banyak-banyak. Uang kita hanya
sedikit." "Jangan takut. Aku hanya ingin makan nasi dengan
sekerat ikan bakar."
Mereka sedang menuju warung itu ketika terdengar
suara memanggil.
"Hei, ronin!"
Saburo berhenti lalu menoleh. Ia melihat seorang
laki-laki ragu-ragu mendekatinya.
"Apakah Anda memanggil saya?" tanya Saburo.
"Apakah Anda Tuan Saburo Mishima?"
Saburo kaget. Namun berusaha menekan perasa-
annya. Nalurinya seketika menyuruhnya bersikap waspada. Ia memandang lelaki itu.
Melihat pakaian katun-nya yang berlapis, kakinya yang telanjang, dan tongkat
di tangannya, orang itu tentu petani biasa. Tak ada gambaran sedikit pun bahwa
dia seorang samurai.
"Tuan, apakah benar Tuan Saburo Mishima?" sekali
lagi orang itu bertanya.
"Benar."
"Terima kasih."
Orang itu kemudian berbalik dan berjalan mening-
galkan tempat itu. Saburo merasa heran melihat kela-kuannya.
"Siapa orang itu?" Yoshioka bertanya.
"Entahlah. Mungkin seseorang telah menyuruhnya
menanyakan namaku."
"Seseorang" Siapa?"
"Siapa pun dia, sebentar lagi pasti datang mene-
muiku. Kita harus berhati-hati."
Karena ditunggu beberapa saat ternyata orang itu
tidak muncul lagi, Saburo akhirnya mengajak Yoshioka memasuki warung itu. Mereka
duduk di bangku papan
yang kosong, kemudian memesan nasi dengan lauk-
pauknya. Saburo meminta sesloki sake untuk menye-
garkan tenggorokan. Pemilik warung itu seorang pe-
rempuan setengah baya. Meski sudah berumur, na-
mun masih tetap cantik. Ia melayani Saburo dengan
senyum ramah. Ketika makanan dihidangkan, Yoshi-
oka langsung makan. Dari caranya makan Saburo ta-
hu anak itu sudah kelaparan. Setiap kali memasukkan nasi ke mulutnya, Yoshioka
mengambil cangkir tanah, lalu minum. Ia tampak bernafsu melahap semua yang
ada di piringnya.
Saburo sendiri makan dengan tenang. Namun piki-
rannya berkecamuk mempertimbangkan kemungkinan
adanya serangan. Bagaimanapun pertanyaan orang
tadi mengusik hatinya. Tidak mungkin seseorang akan menanyakan namanya bila ia
tak punya kepentingan.
Sekarang persoalannya, apa kepentingan lelaki itu"
Apa yang membuatnya menanyakan namanya"
Apa yang dipikirkan Saburo terbukti menjadi kenya-
taan. Baru saja ia selesai makan, terdengar seseorang memanggil namanya. Saburo
menoleh, ia melihat lelaki tadi berdiri di samping dua orang samurai.
"Saburo Mishima!" kata salah seorang samurai itu
lantang. "Akhirnya kita bertemu."
Kedua samurai itu melangkah dengan tegap. Wajah
mereka membeku, dengan sinar mata bengis.
(Bersambung ke buku keempat.)
*** Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
LAHIRNYA SHUGYOSA
*** AWAL PERTENTANGAN BARU
*** *** PEMBANTAIAN *** *** *** BEBAN SEBUAH NAMA
*** IMAGAWA *** *** PEMANDIAN SHUZENJI
*** *** TERTANGKAPNYA MATA-MATA
*** *** PERSEKONGKOLAN *** *** MEDAN TANTANGAN
*** Si Rajawali Sakti 2 Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Nyawa Kedua Dari Langit 3
saya memang tinggal di kuil ini. Dan saya akan tetap di sini selamanya. Saya tak
pernah berpikir untuk lari."
"Kalau begitu serahkan anak itu."
"Kenapa saya harus menyerahkannya?"
"Kami tahu anak itu adalah Natane Yoshioka, putra
Ashikaga."
"Dari mana Anda tahu?"
"Dia telah mengatakan sendiri pada anak-anak yang
turut merayakan pesta toda-maru."
Bapa Lao menoleh pada Kojiro, anak itu mena-
tapnya dengan perasaan bersalah. Sesudah diam sejurus, pendeta itu akhirnya
berkata, "Anak ini tidak be-
rarti apa-apa. Dia hanya seorang budak yang mengu-
rus kebutuhan saya. Dialah yang sekarang merawat
kuil ini, menyapu, membersihkan daun-daunan, dan
mengisi kolam untuk mandi. Jadi saya akan merasa
sangat kehilangan kalau kalian membawanya pergi.
Padahal dia tak akan berguna bagi Shogun Nobunaga."
"Kami tidak akan membawanya pergi, kami akan
memenggal kepalanya!"
"Lebih-lebih. Sedang berbadan lengkap saja dia ti-
dak berguna, apalagi tinggal kepalanya. Paling Shogun Nobunaga akan membuangnya
ke selokan."
"Dibuang di mana itu bukan urusanmu, kami ha-
nya menjalankan tugas untuk memotong kepalanya."
Bapa Lao langsung berdiri. Ketiga samurai itu ham-
pir-hampir meloncat ke belakang. Entah kenapa me-
reka merasakan pengaruh yang begitu kuat pada diri pendeta itu. Kharisma di
dalam dirinya memancar sedemikian rupa, sehingga ketiga samurai itu (belum
apa-apa) sudah merasakan hawa serangan. Mereka se-
gera mencabut pedang dan mulai mengepung.
Bapa Lao melangkah ke tengah. Kedua tangannya
tetap berada dalam posisi di depan dada.
"Sebaiknya kalian urungkan niat," kata Bapa Lao
datar. "Tidak ada gunanya mengejar-ngejar anak ini.
Dia benar-benar anak tak berguna. Karena itu saya
memeliharanya sekadar untuk mengurus kuil ini."
Samurai itu rupanya sudah kehilangan kesabaran,
mereka serentak menerjang ke arah Bapa Lao sambil
menebaskan pedang. Tetapi secara tak terduga, pende-ta itu hanya menggeser kaki
kanannya untuk berkelit, dan ia terlepas dari tebasan itu. Ketika menyadari
serangannya gagal, ketiga samurai tersebut kemudian
menyerang secara bertubi-tubi. Mereka menebas, mengayun, dan menikam dengan
penuh nafsu. Namun de-
ngan tenang, Bapa Lao menghindari semua serangan
tersebut dengan berkelit ke kanan dan ke kiri. Gerakannya lentur seperti karet,
bahkan sesekali terayun mirip sebatang rotan. Tangan kirinya tetap di depan
dada, seakan ucapan maaf bagi para samurai itu karena dia telah menggagalkan
seluruh serangan me-
reka. Karena semua serangan mereka kandas, ketiga sa-
murai tersebut semakin bernafsu. Mereka menerjang
dengan rapat, dan menebas secara membabi buta. Pa-
da saat itulah, tiba-tiba Bapa Lao bergerak berputar sambil mengirimkan pukulan
dari jarak jauh. Terdengar suara keras, mirip benturan dua kekuatan yang saling
berlawanan. Ketiga samurai tersebut terpental ke belakang, tubuhnya ambruk tanpa
nyawa. Kojiro terperangah menyaksikan kejadian itu. Ia melihat dengan mata kepala
sendiri, Bapa Lao tidak menyentuh ketiga samurai tersebut, tetapi angin yang
ditimbulkan oleh pukulan tangannya telah membinasa-
kan ketiga samurai tersebut.
"Benar-benar luar biasa!" seru Kojiro penuh ke-
kaguman. "Bagaimana Bapa dapat melakukannya?"
Pendeta tersebut tidak menggubris pertanyaan Koji-
ro. Dia tengah memeriksa detak napas ketiga musuh-
nya. Sesudah yakin ketiganya meninggal, ia berpaling pada Kojiro.
"Kuburkan mereka segera."
"Kenapa tidak dibiarkan saja agar tubuh mereka ja-
di makanan gagak?"
"Kita harus menghormati jasad mereka."
"Tetapi dia tadi hampir membunuh kita."
"Kita harus menghormati mereka karena telah men-
jalankan kewajiban sebagai samurai. Mereka harus
memperoleh penguburan sewajarnya para pahlawan."
Ketika Kojiro menggali lubang untuk mengubur ke-
tiga samurai itu, Bapa Lao melangsungkan upacara.
Dengan khusuk ia berdoa untuk arwah ketiga samurai tersebut.
"Sesungguhnya aku bisa tidak membunuhnya," kata
Bapa Lao ketika selesai mengubur ketiga samurai itu.
"Tetapi aku menghadapi keadaan yang tak terhindar-
kan. Bila aku tidak membunuhnya, mereka akan me-
laporkan pada Nobunaga tentang kita. Bila hal itu terjadi, keadaan akan semakin
buruk. Bukan hanya ke-
palamu yang dipenggal, tetapi mungkin juga kepalaku.
Padahal aku masih senang punya kepala. Jadi terpak-sa aku membunuh mereka."
Kojiro menatap pendeta di depannya, ia mengerti
bagaimana terbelahnya hati pendeta itu.
"Apakah kau dapat belajar sesuatu dari kejadian
ini?" tanya Bapa Lao pada Kojiro.
"Pukulan Bapa Lao benar-benar menakjubkan!"
"Bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Kau jangan mudah mengatakan namamu pada
orang lain. Namamu berbau pembunuhan."
"Aku tidak mengerti."
"Seandainya kau tidak menyebutkan namamu pada
orang lain, tidak akan ada samurai yang mengikutimu kemari. Dan aku tak perlu
membunuh mereka. Karena
itu sebagai hukumanmu, kau tidak lagi kuizinkan turun ke desa."
"Bagaimana dengan upacara hatakena?"
"Lupakan saja."
Kojiro terdiam. Jiwanya berontak.
*** IMAGAWA IMAGAWA duduk di sebuah panggung yang berada di
tengah ruangan. Tubuhnya pendek, namun ia terlihat sangat berwibawa. Ia
bersimpuh rapi, tumitnya terlipat rapi di bawahnya. Dia didampingi empat orang
pengawal yang berpakaian serba putih. Mereka semua mengenakan kimono sutera dan
jubah luarnya penuh
hiasan dengan ikat pinggang lebar. Pada bagian bahunya, kimono itu melebar dan
berkanji, sehingga me-
nampilkan kesan gagah bagi pemakainya. Di bawah
ikat pinggang, mereka mengenakan hakama (pakaian tradisional yang dikenakan di
bagian luar kimono). Mereka bersimpuh santai. Wajah Imagawa yang berben-
tuk oval dihiasi kumis tipis di atas bibirnya. Matanya yang setajam mata elang
menatap tajam pada orang-orang di sekelilingnya.
Imagawa mulai berkuasa sejak lima tahun lalu, setelah orang tuanya meninggal.
Ayahnya, Yoshimasa, merupakan contoh penguasa yang tidak becus; ia hampir tidak
melakukan sesuatu pun kecuali mengeluarkan
dekrit-dekrit secara serampangan, sehingga banyak di-tentang oleh penguasa
propinsi lain. Caranya meme-
rintah banyak dipengaruhi istri dan selirnya yang tidak terhitung jumlahnya.
Salah seorang selirnya yang sangat berkuasa adalah Tazumi, wanita serakah yang
membuat Yoshimasa mengalami keruntuhan. Sebagai
istri shogun, ia justru memainkan pasaran beras dan menerima suap dari para
bangsawan di wilayahnya.
Yoshimasa tidak dapat berbuat apa-apa ketika Tazumi memungut pajak yang tidak
sah dari rakyatnya, bahkan dengan cara-cara penuh ancaman, ia menarik
pembayaran dari rakyat untuk membangun puri Ta-
zumi di sebelah utara Suruga.
Perubahan terjadi ketika Yoshimasa meninggal, dan
Imagawa menggantikannya. Berbeda dengan ayahnya,
Imagawa seorang lelaki terpelajar. Dia mulai membe-nahi puing-puing kekuasaan
ayahnya dengan meng-
hapus pesta-pesta yang dulu diadakan hampir setiap hari. Tazumi, diasingkan ke
purinya, sehingga tak memiliki kekuasaan apa pun untuk mengumbar kesera-
kahannya. Dalam waktu tiga tahun, Imagawa telah
menjadi shogun yang sangat disegani. Ia bukan saja ahli kendo, tetapi juga
pengayom agung upacara minum teh. Kecuali itu ia juga seorang penulis puisi yang
pandai. Suatu seni penting yang berkembang di bawah per-
lindungan Imagawa adalah lukisan tinta, yakni peng-gambaran sangat bersahaja
dengan cat air dan garis-garis transparan yang dianggap prestasi tertinggi seni
lukis Jepang. Lukisan-lukisan yang biasanya merupakan gambar pemandangan, kuda
berpacu, kehidupan
petani, dan lukisan kuil, berkembang pesat.
Jenis kesenian lainnya yang muncul di Suruga ada-
lah drama khas Jepang yang disebut No, suatu bentuk pertunjukan tradisional yang
berisi nyanyian dan tarian. Di bawah perlindungan Imagawa, pertunjukan ini jadi
hiburan istana yang halus dan bergaya. Bila dulu No menampilkan kehidupan
petani, kini mementaskan
roman besar sekitar kehidupan istana sehingga peng-gemarnya pun kian bertambah.
Tarian serta musik
yang diiringi genderang serta seruling, semakin sema-rak ketika Imagawa
menambahkan unsur topeng bagi
para pemainnya. Terbukti kemudian, cara tersebut
memacu kerajinan topeng di Suruga. Bahkan topeng-
topeng yang dipakai menari, kadang merupakan hasil karya seniman yang bernilai
seni sangat tinggi.
Di akhir tahun, biasanya Imagawa mengadakan
pesta pertunjukan No selama seminggu penuh, dengan cerita yang berbeda setiap
harinya. Pada acara terse-
but, biasanya para daimyo, shogun, serta bangsawan istana di sekitar Suruga
berdatangan untuk menyaksikan pertunjukan itu. Mereka semua terpesona dengan
cara-cara yang dilakukan Imagawa dalam menyuguh-kan teh. Tak mengherankan banyak
orang mengagu- minya, tak terkecuali pendeta-pendeta penganut Zen yang sesungguhnya menjadi
cikal bakal lahirnya upacara minum teh.
Laki-laki yang menjadi pelindung kesenian, penyair, pelukis, dan ahli kendo
itulah yang kini duduk bersimpuh di depan sejumlah pembantunya.
Di belakang keempat pengawal yang berpakaian
serba putih, berbaris dengan rapi sekitar lima puluh samurai berpakaian coklat.
Semua bersimpuh diam
dalam formasi yang rapat. Kepala mereka yang ber-
kuncir tampak berkilauan tertimpa sinar matahari.
Memagari ruang pertemuan itu, enam belas samurai
prajurit yang berjaga dengan sikap waspada. Mereka berdiri dalam jarak lima
meter, lengkap dengan samurai di pinggang serta sebatang tombak di tangannya.
Istri Imagawa, seorang wanita yang cantik, berumur sekitar dua puluh enam tahun,
duduk di sebelah kanan panggung. Persis di belakang pedang Imagawa
yang diletakkan pada sebuah meja kecil berlapis emas.
Di belakang istri Imagawa, terlihat empat dayang-dayang yang terus menerus
mengipasi wanita tersebut.
Ruang pertemuan itu senyap, sampai akhirnya Ho-
sokawa muncul diiringi sepuluh pengawalnya. Mereka adalah utusan Nobunaga untuk
menyampaikan hadiah
serta untaian bunga sebagai tanda persahabatan. Selain itu, Nobunaga juga
mengirimkan ajakan untuk
berburu babi hutan di Sekigahara. Imagawa menerima kehadiran Hosokawa dengan
senang hati. Dan seperti umumnya pergaulan di istana, utusan itu diminta tinggal
beberapa hari sambil menunggu jawaban tuan ru-
mah. Mereka dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, serta tari-tarian khas daerah
Suruga. Sudah tiga hari tiga malam Hosokawa menginap, sekarang mereka
akan kembali ke Kamakura.
Hosokawa dan para pengawalnya melangkah de-
ngan tegap ke ruang pertemuan itu. Dalam sikap pe-
nuh hormat, mereka bersimpuh, lalu membungkukkan
badan hingga kepalanya menyentuh lantai.
"Hosokawa-san," Imagawa berkata dengan suara
tinggi. "Bagaimana, apakah engkau dapat istirahat
enak di istanaku?"
"Kami semua dapat istirahat tanpa kurang suatu
apa, Tuanku."
"Syukurlah. Karena aku khawatir udara di Suruga
tidak cocok dengan dirimu."
"Kami semua dapat tidur nyenyak seperti di rumah
sendiri." "Aku gembira mendengarnya," kata Imagawa sambil
tersenyum. "Sebagai tuan rumah sudah sepantasnya
aku meminta maaf padamu apabila cara-cara kami
menerimamu kurang pada tempatnya."
"Tidak ada yang kurang. Bahkan kami semua mera-
sa sangat puas atas semua jamuan yang kami terima."
"Aku pun sudah mempertimbangkan dengan sung-
guh-sungguh undangan Shogun Nobunaga, dan kuha-
rapkan engkau dapat menyampaikan padanya bahwa
aku bersedia datang ke Kamakura. Mengenai wak-
tunya, bila tidak ada aral melintang, aku akan datang pada tanggal kamariah awal
tahun nanti. Mudah-mudahan tidak merepotkan Shogun Nobunaga."
"Tentu Tuanku Nobunaga akan bersuka cita men-
dengar kabar ini," sahut Hosokawa sambil membung-
kukkan badan. "Kalau begitu izinkan saya mohon diri, untuk dapat segera
menyampaikan jawaban pada Tuanku Nobunaga."
"Berangkatlah hari ini. Dan sampaikan juga bingki-
sanku padanya."
Hosokawa membungkukkan badan, kemudian be-
ranjak meninggalkan ruang pertemuan itu. Imagawa
menatap kepergian kesebelas orang itu dengan pan-
dangan puas. Sesudah Hosokawa tidak kelihatan, Imagawa berka-
ta, "Mayeda!"
Panglima perang Suruga membungkukkan badan.
"Ya, Tuanku."
"Bagaimana menurut pemikiranmu undangan No-
bunaga itu?"
"Tuanku," jawab Mayeda penuh tekanan. "Tampak-
nya undangan itu mengandung maksud baik. Namun
sebelum Tuanku memenuhi undangan tersebut, biar-
lah saya menyelidiki lebih dulu apa maksud dan tu-
juan Shogun Nobunaga."
"Apakah engkau berpikir bahwa dia akan menje-
bakku?" "Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada."
"Baiklah. Coba kaukirimkan orang untuk menyeli-
diki kemungkinan itu. Tetapi seperti sudah kukatakan, kalau tidak ada aral
melintang, aku ingin mengunjungi Nobunaga pada awal tahun nanti."
*** Tazumi duduk tenang sambil menuang air ke cangkir
yang berisi teh hijau. Kimononya yang berwarna me-
Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rah, dihias obi yang dasarnya berwarna kuning dengan bertaburan gambar
yotsudake. Tamoto kimononya yang panjang dan terbuat dari sutera tiruan terben-
tang di atas tatami. Gincunya yang berwarna merah
tua tampak mempertegas garis ketuaannya. Tazumi
berusia lima puluh tiga tahun berdasarkan perhitungan kazoe.
Dengan lembut ia mengambil sendok kayu, kemu-
dian mulai mengaduk air teh di dalam cangkir. Setelah selesai, dengan kedua
tangannya wanita itu mendorong cangkir ke arah Mayeda. Dengan perasaan bang-
ga karena dilayani oleh Tazumi, Mayeda mengangkat
cangkir tersebut dan meminum isinya. Rasa sake yang pahit menerobos
kerongkongannya, membangkitkan
kesegaran alami.
"Jadi Nobunaga mengundang Imagawa ke Kama-
kura?" terdengar suara Tazumi bergetar.
"Benar. Bahkan dia juga ingin mengajak Tuanku
Imagawa untuk berburu babi hutan di Sekigahara."
"Apakah undangan itu akan dipenuhi?"
"Tampaknya demikian. Tadi pagi, Tuanku Imagawa
telah mengirim pesan lewat Hosokawa-san untuk di-
sampaikan pada Nobunaga. Dia akan datang ke Ka-
makura pada minggu pertama tahun yang akan da-
tang." "Siapakah yang akan mengawalnya ke Kamakura?"
"Tentu saja saya."
"Baiklah kalau begitu. Sebaiknya segera dipikirkan bagaimana cara untuk
melicinkan rencana kita. Sesungguhnya aku sudah tidak sabar untuk bertindak,
merebut kekuasaan Imagawa. Anak itu hanya pandai
menulis puisi dan melukis, tetapi tidak dapat memimpin negara. Kurasa, aku lebih
pantas dibanding Im-
agawa untuk memimpin Suruga."
"Cepat atau lambat, cita-cita itu pasti terlaksana."
Tazumi mendekati Mayeda, kemudian dengan ke-
dua tangannya, wanita itu membelai wajah samurai di depannya. Sinar matanya
meredup, seperti tengah meredam hasrat birahi di dalam dirinya. Sambil menatap
ketampanan lelaki di depannya, Tazumi berkata lembut, "Kita akan menggulingkan
Imagawa bersama-sa-
ma. Kita akan memerintah Suruga dengan kebesaran
dan kemuliaan."
Mayeda mengangkat wajah, kemudian seperti tersi-
hir, lelaki itu diam saja ketika Tazumi merundukkan kepala untuk mencium
bibirnya. Mereka berciuman
seperti dua kekasih yang telah lama tak bertemu. Sen-tuhan lidah wanita itu
seakan membakar rongga mulut Mayeda, membuat ia tenggelam dalam kumparan nafsu.
Dengan liar, lelaki itu pun segera membalas ciuman Tazumi. Mereka kemudian
berguling-guling di
lantai kayu sambil melepaskan pakaian satu per satu.
Kimono, obi, dan yukata yang mereka pakai, berceceran di lantai.
Tubuh Mayeda yang kuat dengan enerji tak pernah
padam, merenggut tubuh Tazumi. Akibatnya tubuh
wanita tersebut menggeletar sedemikian rupa, seperti senar kecapi yang dipetik
tanpa irama. Tazumi mendesis, merasakan kenikmatan yang
menggeletarkan seluruh kelenjar dalam dirinya. Belum pernah ia merasakan bermain
cinta demikian memuaskan, seperti kalau bercinta dengan Mayeda.
Mayeda Toyotomi, seorang samurai berumur tiga
puluh tahun. Ia seorang samurai asal Uta-Jima. Se-
buah pulau yang dikenal sebagai Pulau Nyanyian. Pulau Uta-Jima terkenal dengan
kuil Ise, karena terletak di Teluk Ise, tempat para samurai belajar ilmu pedang
dari pendeta Ise. Di pulau inilah Mayeda menimba il-mu pedang, kemudian
mengembara ke Osaka, Nara,
Owari, hingga Suruga.
Ketika sampai di wilayah kekuasaan Yoshimasa, ia
masih berusia dua puluh tiga tahun. Seorang samurai yang gagah berani. Maka
ketika Yoshimasa ingin
memperkuat pasukannya, Mayeda Toyotomi mendaf-
tar. Ia lolos seleksi sesudah mengalahkan tujuh orang samurai dalam sebuah
pertarungan hidup dan mati.
Karena kemampuannya memainkan pedang, karier-
nya melesat seperti anak panah. Tak seorang pun dapat membayangkan, bagaimana
Mayeda dapat melewa-
ti sejumlah samurai kepercayaan Yoshimasa untuk
kemudian menjadi komandan pengawal istana. Hanya
Tazumi yang mengetahui rahasia itu.
Pada suatu malam, ketika hujan deras menggempur
Suruga, Yoshimasa sedang berburu rusa di hutan. Mayeda tengah berjaga ketika
Tazumi memanggil na-
manya. "Mayeda, kemarilah!"
Dengan kepatuhan seorang samurai, ia mengham-
piri suara itu. Ternyata yang memanggil adalah Tazu-mi. Perempuan itu berdiri di
belakang soji meminta Mayeda masuk ke kamarnya.
"Adakah yang dapat saya lakukan untuk Anda?"
Mayeda bertanya dengan hormat.
"Ada," jawab Tazumi. "Masuklah."
Dengan ragu-ragu Mayeda masuk. Seketika itu Ta-
zumi memegang lengannya kemudian menariknya ke
tempat tidur. "Aku kedinginan," kata Tazumi merayu. "Sebaiknya
kau menemaniku tidur."
Tanpa basa-basi, Tazumi segera membuka pakaian,
kemudian mulai menciumi tubuh di depannya. Mayeda
berontak. Antara kaget dan takut, ia berusaha me-
nolak kemauan wanita itu. Dengan sekuat tenaga ia
melawan. Sampai akhirnya Tazumi merasa lelah dan
melepaskan genggamannya. Mayeda langsung bersu-
jud, sementara Tazumi berdiri polos di hadapannya.
Tubuh wanita itu sangat menggiurkan. Meskipun usianya sudah cukup tua, namun
payudaranya masih ken-
cang, pinggulnya sangat menggairahkan, dan kulitnya halus seperti pualam.
Pameran kecantikan itu terjadi beberapa saat, sampai akhirnya Mayeda berbalik
untuk pergi. "Engkau tidak punya pilihan," kata wanita itu pe-
nuh nada ancaman. Mayeda terpaksa membeku di
tempatnya. "Kalau engkau tidak mau menemaniku ti-
dur, aku akan mengatakan pada Yoshimasa bahwa
engkau menerobos masuk ke dalam kamarku dan
bermaksud memperkosaku."
"Jangan," kata Mayeda sambil bersujud. "Tuanku
Yoshimasa akan memenggal kepalaku bila Anda me-
ngatakan hal itu."
"Aku pasti akan mengatakannya. Kecuali...."
Tazumi mendekati Mayeda Toyotomi. Perempuan itu
dengan penuh gairah memeluk Mayeda, menghimpit-
nya kuat-kuat, sehingga pemuda itu pun merasa nik-
mat. Ketika semua berakhir, tampak wajah Tazumi
berseri-seri. Sinar matanya begitu hidup memandang Mayeda yang terbaring di
sampingnya. Masih dengan perasaan bersalah, Mayeda menge-
nakan kembali pakaiannya. Sementara Tazumi hanya
duduk sambil memandangi lelaki di depannya dengan
perasaan puas. Belum pernah ia merasakan kepuasan
bercinta sehebat saat itu. Yoshimasa sudah terlalu tua.
Sebagai laki-laki ia memang berkuasa, tetapi kekuasaannya tidak berarti apa-apa
di atas ranjang. Berbeda sekali dengan Mayeda.
Ketika lelaki tersebut hendak pergi, Tazumi berkata,
"Besok kuminta kau kemari lagi."
Hubungan itu terus berlanjut. Hingga kini. Maka
ketika terjadi pergantian kekuasaan, dari Yoshimasa ke Imagawa, dan Tazumi
diusir dari istana Suruga,
mereka membulatkan tekad untuk merebut kekuasaan
Imagawa. Mereka menyusun rencana, mematangkan
persekongkolan, dan siap melaksanakannya - apa pun
resikonya. Bagi Tazumi, Mayeda Toyotomi bukan hanya seo-
rang lelaki yang mampu memberinya kepuasan sek-
sual, tetapi juga harapan di masa depan. Dengan tangan Mayeda ia ingin
melaksanakan pembalasan den-
dam terhadap Imagawa, dan menjadi penguasa tunggal propinsi Suruga. Sedang bagi
Mayeda, Tazumi adalah sumber inspirasi untuk merebut hari depan.
Tazumi berguling ke sisi Mayeda dengan tubuh
bermandikan keringat, mirip lilin meleleh dari ba-
tangnya. Napas perempuan itu terengah-engah, seperti seekor kuda yang baru saja
berlari seratus mil jauh-nya. Mereka berbaring sambil menatap langit-langit
kamar. Masih dalam desah napas yang tersengal, Tazumi
mencari-cari tangan Mayeda. Ia kemudian menggeng-
gamnya dengan erat. Dalam desis napas yang berat, ia berkata, "Rasakan
pembalasanku, Imagawa. Aku akan
rebut kekuasaanmu!"
*** PEMANDIAN SHUZENJI
MATAHARI seperti kepompong lusuh. Merambat perla-
han ke kaki langit. Udara ditaburi hujan gerimis sehingga mencegah orang-orang
keluar dari rumah. Pe-
mandian air panas Shuzenji yang biasanya dipenuhi
laki-laki yang ingin berendam, saat ini tampak sepi.
Bahkan kecuali tiga orang wanita tidak ada lagi orang lain di tempat itu.
Ishida Mitsunari membayar pada penjaga, kemu-
dian berjalan tertatih-tatih menuju ke pemandian itu.
Sudah tiga hari ia tidak mandi, rasa gerah, dan bau keringat membuat lelaki
tersebut tidak sabar lagi menikmati air hangat dari Gunung Amagi itu. Ia melepas
pakaian, kemudian masuk ke dalam kolam. Dengan
cermat ia meletakkan pedang di dekat tempatnya be-
rendam. Kebiasaannya sebagai samurai, di mana pun
selalu bersikap waspada.
Rasa panas menyengat, sementara bau belerang
menguap di tempat itu. Mitsunari tidak peduli. Ia
membiarkan tubuhnya terendam hingga dada. Gadis-
gadis yang saat itu tengah membersihkan badan, tampak acuh tak acuh padanya.
Sambil memejamkan mata, Mitsunari membayang-
kan masa-masa indah ketika ia masih menjadi pang-
lima Ashikaga. Di rumahnya, ia biasa berendam di kolam air hangat, sementara
istrinya dengan penuh kasih sayang menggosok punggungnya. Biasanya, sesam-painya
di rumah ia akan berendam selama satu atau
dua jam, sambil berbincang-bincang dengan istrinya.
Sesudah itu, mereka akan melanjutkan perbincangan
di kamar, sambil bercinta. Kenangan itu benar-benar indah. Tak seorang pun akan
membayangkan kehidupan yang begitu mapan tiba-tiba hancur beranta-
kan. Seluruh kesetiaan dan perjuangannya terhadap
Shogun Nobunaga, tidak berarti apa-apa. Bahkan is-
trinya yang cantik, dijual sebagai pelacur untuk melayani samurai-samurai
rendahan. Mitsunari memejamkan mata. Mencoba mengenyah-
kan kenangan buruk itu. Matanya terbuka ketika didengarnya langkah kaki
mendekati pemandian tersebut.
Ia melihat lima orang samurai berjalan menuju pe-
mandian. Mitsunari bersikap acuh tak acuh. Ia tak ingin kehadirannya menarik
perhatian para samurai itu.
Meskipun demikian, ia bergeser selangkah, mendekati pedangnya.
Setelah melepas pakaian, kelima samurai tersebut
mencebur ke dalam kolam.
"Tampaknya ilmu pedang Saburo Mishima semakin
hebat," kata salah seorang samurai tersebut pada temannya. "Sampai saat ini dia
selalu berhasil lolos,
bahkan dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya.
Dari berita yang kudengar, pemain pedang Ryoken itu dibinasakannya hanya dengan
satu kali gebrakan. Padahal kalian tahu, samurai Ryoken itu murid-murid
perguruan yang sangat diandalkan."
"Permainan pedang Saburo memang hebat," sahut
temannya yang berkumis lebat. "Tetapi dia tak mungkin melawan seratus samurai
yang mengejarnya. Beta-pa pun kekuatannya terbatas. Suatu saat ia pasti le-
ngah." "Pembantaian yang dilakukan terhadap pasukan
Seichi Okawa, merupakan bukti bahwa dia tidak mau
menyerah begitu saja."
"Anehnya, kenapa Saburo tidak membunuh Oka-
wa?" "Entahlah, barangkali dia menganggap cukup de-
ngan memenggal lengan anak itu."
"Kau mendengar bagaimana reaksi Shogun Nobu-
naga ketika mengetahui samurai andalannya dikutungi lengannya?"
"Dia sangat marah. Matanya melotot berapi-api,
kemudian dengan kemarahan yang sama, ia meme-
rintahkan Konishiwa mengumpulkan samurai lebih ba-
nyak lagi."
"Untuk mengejar Saburo?"
"Ya. Sesudah kebakaran yang ditimbulkan oleh Ishi-
da Mitsunari, kekalahan Okawa itu benar-benar mem-
buat Shogun kalang kabut. Selain meminta bantuan
Yagyu, dia telah mengirimkan Hosokawa ke Suruga."
"Untuk apa?"
"Nobunaga memperkirakan Saburo lari ke arah Su-
ruga." "Kemungkinan dugaan itu benar, sebab pembu-
nuhan yang dilakukan terhadap Denchiro terjadi di te-pi jalan menuju Suruga.
Kelihatannya, Saburo ingin
bersembunyi di sana meminta perlindungan Imagawa."
"Mungkinkah Imagawa bersedia melindunginya?"
"Mungkin saja. Sebab ketika dulu Yoshimasa masih
hidup, bukan hanya sekali dua kali Saburo memimpin samurai Ashikaga untuk
memusnahkan para ronin
dan perusuh di Suruga. Jadi dia mengenal Imagawa."
Seorang samurai yang bertubuh kurus menimpali,
"Tetapi kalau Imagawa berani melindungi Saburo, keadaan bakal panas. Bukan
mustahil Nobunaga akan
menyerang Imagawa. Dan kalian tahu sendiri, pe-
nguasa Suruga itu tidak pandai berperang. Sepanjang hari dia hanya melukis dan
menulis syair. Tangannya tidak pernah digunakan menggenggam senjata."
Samurai yang berkumis menjawab, "Tetapi jangan
lupa, di sana ada Mayeda Toyotomi, komandan perang yang sangat berbakat. Dia
seorang samurai yang luar biasa."
"Tetapi mungkinkah Imagawa mau mengambil resi-
ko demi persahabatannya dengan Saburo?"
"Bukan Saburo."
"Lalu?"
"Putra Ashikaga. Natane Yoshioka."
"Apakah anak itu masih bersama dengan Saburo?"
"Entahlah. Kalau menurut beberapa saksi mata,
Saburo selalu bepergian dengan seorang anak kecil.
Mungkin saja Yoshioka."
Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi dia juga mempunyai anak laki-laki seusia
Yoshioka, apakah tidak mungkin anak itu anaknya?"
Samurai yang berbadan kurus menukas, "Buat kita
sama saja. Siapa pun dia, kalau kita berhasil me-
menggal kepalanya, Nobunaga akan membayar dengan
harga tinggi. Buat apa kita pusingkan apa dia anak Saburo atau anak Ashikaga."
Pembicaraan itu berhenti. Kelima samurai itu meli-
hat gadis-gadis yang tadi berendam berjalan mening-
galkan kolam. "Sudah selesai, Anak manis?" samurai yang berku-
mis menggoda. "Kenapa tidak menemani kami dulu?"
"Benar," sahut yang kurus. "Kami sudah lama ber-
kelana." Gadis-gadis itu berlari ke kamar ganti sambil terta-wa cekikikan. Punggungnya
yang halus dan basah
tampak berkilauan.
Pembicaraan kemudian beralih pada soal lain.
"Bagaimana dengan Ishida Mitsunari?" tanya samu-
rai yang berkumis. "Apakah ada berita tentang laki-laki itu?"
"Tidak," jawab samurai yang paling muda. "Sejak
membakar rumah pelacuran itu, dia lenyap seperti angin. Tak seorang pun tahu di
mana laki-laki itu berada. Meskipun Hosokawa sudah memerintahkan lebih
dari dua ratus samurai mencarinya, Ishida tak pernah ditemukan."
"Mungkin dia ketakutan dan bersembunyi di hutan."
"Hampir semua hutan wilayah kekuasaan Nobu-
naga sudah disusuri, namun dia tak pernah ditemu-
kan." "Mungkinkah dia bunuh diri?"
"Mungkin saja. Sesudah kematian istrinya, tampak-
nya Ishida sangat terpukul. Bahkan ketika mening-
galkan Kamakura, dia tertawa-tawa seperti orang gila."
Ishida Mitsunari hanya diam. Mencoba tak berge-
rak. Ia memejamkan mata, meresapi air panas sambil terus memasang telinga
mendengarkan perbincangan
itu. "Nasib Ishida memang tragis," kata samurai termuda penuh tekanan. "Rupanya
dia telah dikorbankan
oleh Nobunaga. Setelah diusir dari Kamakura, istrinya diperkosa, lalu dijual
sebagai pelacur. Saya benar-benar dapat membayangkan bagaimana kehancuran
hatinya. Nobunaga benar-benar mencampakkannya."
"Tetapi saya dengar sejak dulu memang terjadi per-
saingan antara Ishida dengan orang-orang Nobunaga, seperti Konishiwa dan
Hosokawa. Mereka rupanya me-ngail di air keruh ketika Ishida mengalami kegagalan
dalam penyergapan itu. Dan sesudah ia terusir, orang-orang itu menggunakan
kesempatan untuk sekaligus
menghancurkan perasaannya."
"Siapa yang memperkosa istrinya?"
"Hosokawa. Dia pula yang menjual wanita itu ke
rumah pelacuran."
Tanpa sadar Mitsunari mendesis, "Hosokawa...."
Kelima samurai itu seketika berpaling. Mereka me-
natap Mitsunari dengan heran. Saat itu Mitsunari
membuka mata, kemudian memandang samurai di de-
pannya dengan pandangan tajam mengancam. Kelima
orang itu masih belum menyadari bahaya di depan ma-ta mereka. Lewat air yang
berkilauan, mereka mencoba melihat kaki lelaki di hadapannya. Di dalam kolam,
terlihat kaki besi melengkapi kaki Mitsunari yang terpenggal.
"Ishida!" pekik samurai termuda dengan wajah pu-
cat pasi. "Sialan!" rutuk yang kurus dengan tubuh gemetar.
Menyadari bahaya yang mereka hadapi, serempak
kelima samurai itu menyebar untuk mengambil pedang masing-masing. Tetapi
terlambat. Mitsunari sudah ber-kelebat dengan cepat. Pedang yang sejengkal dari
tangannya, tahu-tahu sudah menebas dan mengayun
sehingga membuat kelima samurai itu menjerit lalu
ambruk ke kolam dengan darah menyembur dari lu-
kanya. Tidak lebih dari setengah menit, kelima samurai itu telah mengapung. Air
kolam yang tadi biru jernih, kini berubah menjadi merah.
"Hosokawa...," desis Mitsunari lirih. Kemudian ia
berjalan tertatih-tatih keluar dari kolam yang airnya telah bercampur darah.
*** Ishida Mitsunari meninggalkan pemandian Shuzenji
menuju ke Suruga. Sekarang ia menempuh jalan naik
menuju ke Amagi. Sambil menikmati pemandangan
pegunungan sekitarnya, Ishida membayangkan perte-
muannya dengan Saburo Mishima. Kalau benar saat
ini Saburo sedang menuju wilayah Imagawa, mereka
pasti akan bertemu di sana. Pertemuan itu akan mela-hirkan pertarungan hidup dan
mati. Tanpa ampun.
Saburo akan kuberi kejutan pada akhir hidupnya.
Dia akan kubunuh dengan kakiku. Dia tak akan pernah menduga kaki yang ia penggal
dapat menikam jantung-nya.
Setelah Saburo, Mitsunari akan menantang Hoso-
kawa. Beruntung dia mampir ke pemandian Shuzenji,
sehingga mendengar berita tentang perkembangan terakhir perburuan terhadap
dirinya. Kalau benar, Nobunaga telah mengerahkan dua ratus samurai, jelas
sekarang ia harus lebih waspada. Setiap saat akan muncul samurai mata duitan
yang menginginkan kema-
tiannya. Jalan-jalan itu sekarang terjal dan berkerikil. Me-nanjak ke arah Bukit Amagi
yang tampak menghijau.
Awal musim semi telah menyebabkan pohon-pohon
memperoleh kesuburannya. Bunga sakura yang ber-
warna merah dan kuning terlihat indah. Dari jauh mirip kain sutera yang
direntangkan. Ketika Mitsunari sampai di ujung tanjakan, tiba-
tiba muncul delapan samurai di belakangnya. Mereka berlari cepat mencoba
menyusul. "Berhenti!" salah seorang samurai berteriak.
Ishida Mitsunari berhenti, lalu menoleh. Dilihatnya
kedelapan samurai itu telah mencabut pedang dan
bersikap menantang. Suara langkah kakinya berderap seperti sepasukan babi hutan
yang dikejar pemburu.
Ketika melihat Mitsunari berhenti, para samurai
yang beringas itu langsung mengepung. Mereka masih berusia muda, karena itu
tampak sangat bernafsu.
"Engkaukah yang membunuh kelima saudara per-
guruan kami?" salah seorang samurai yang rupanya
pemimpin mereka bertanya. "Dari penjaga pemandian
Shuzenji kami diberitahu bahwa pembunuhnya berka-
ki satu." "Memang aku yang membunuh mereka," jawab Mit-
sunari tenang. "Hal itu terpaksa kulakukan, sebab kalau bukan aku yang membunuh,
merekalah yang akan
membunuhku. Mereka menginginkan hadiah No-
bunaga dengan memenggal kepalaku."
"Kalau begitu, karena mereka gagal, biarlah kami
yang memenggal kepalamu!"
"Coba saja kalau kalian dapat melakukannya."
"Tahukah engkau siapa kami?"
"Kalian seperti ronin liar."
"Keliru. Kami dari perguruan Yukata. Kau tentu
pernah mendengar nama perguruan itu."
Mitsunari pura-pura berpikir. Padahal ia tahu per-
sis perguruan Yukata Kempo, sebuah perguruan yang
sangat disegani karena ilmu pedangnya sangat khas.
Yukata Kempo memulai hidup sebagai pedagang kain,
pencelup sutera, tetapi dengan tak henti-henti mengu-lang irama dan gerak
mencelup kain, ia menemukan
suatu gaya bermain pedang yang unik. Selain permainan yang mempertaruhkan
kelenturan tubuh, ia me-
nemukan gaya permainan pedang pendek yang tak ada
duanya. Sesudah mempelajari cara mempergunakan
tombak dari pendeta Hozoin, dan memadukan dengan
teknik pedang Kurama, akhirnya Yukata Kempo mela-
hirkan gayanya sendiri yang luar biasa. Permainan pedang panjang dan pedang
pendek secara bergantian.
Beberapa kali Shogun Ashikaga mengundang Yukata
ke Kamakura, untuk mengajar para panglima pe-
rangnya. Ishida Mitsunari sempat beberapa kali mengikuti pelajaran yang
diberikan Yukata Kempo.
Kini, di depannya ada delapan murid perguruan Yu-
kata Kempo yang masing-masing menggenggam pe-
dang panjang dan pendek. Mereka bergerak menge-
pung dengan sinar mata haus darah.
Pelan-pelan Mitsunari mengeluarkan pedangnya,
seluruh otot di tubuhnya menegang. Kekejaman dan
hasrat pembalasan dendam di dalam dirinya menyem-
bul di wajahnya. Ia tahu delapan samurai Yukata, sa-ma dengan enam belas samurai
biasa. Mereka bukan
lawan yang dapat diremehkan. Karena itu Mitsunari
segera mempersiapkan diri, menunggu serangan.
Udara seketika riuh rendah oleh pekikan dan lolo-
ngan kematian. Pada saat para samurai itu mulai menyerbu, Mitsunari tidak
menghindar, namun justru
menyongsong terjangan mereka. Pedangnya bergerak
menyerang, sementara penyangga kakinya menyabet
ke kanan ke kiri. Kaum samurai itu tidak menduga se-belumnya bahwa penyangga
kaki Mitsunari ternyata
senjata yang sangat mematikan. Mereka menyadari ketika satu per satu sahabatnya
tumbang bersimbah darah.
Mitsunari mengamuk seperti harimau lapar. Ia me-
nerjang ke depan, kemudian berbalik ke belakang
sambil mengayunkan penyangga kakinya. Setiap kali
bergerak, terdengar jerit kematian yang menyayat hati.
Pakaiannya yang berwarna coklat telah terpercik darah, namun ia tidak peduli.
Hasrat pembunuhan di dalam dirinya menggelegak, seperti kobaran api yang siap
membakar apa saja. Hulu pedangnya telah lengket ka-
rena darah, tetapi itu tak mengganggunya sama sekali.
Ia terus menebas dan menyayat musuh-musuhnya.
Tak lebih setengah jam, kedelapan samurai itu telah bergelimpangan di tanah.
Masih ada di antaranya yang mengerang, namun maut terlalu dekat dengan dirinya.
"Sayang, kalian harus mati muda," kata Mitsunari
sambil mengibaskan pedangnya. Kemudian ia berlalu
dari tempat tersebut sepertinya tidak pernah terjadi pembantaian yang mengerikan
itu. "Kalian hanya menghambat jalanku ke Suruga."
*** TERTANGKAPNYA MATA-MATA
HUTAN ilalang itu seperti membeku. Langit juga beku.
Udara beku. Hanya ada desau angin.
Shogun Nobunaga duduk di atas pelana kuda. Diam
mendengarkan desau angin yang membawa bau babi
hutan. Tangan kirinya memegang kendali, sedang ta-
ngan kanannya menggenggam tombak sepanjang tiga
meter. Di belakang Nobunaga, dalam jarak sekitar lima meter, Konishiwa dan
Hosokawa tampak bersikap waspada. Masing-masing memegang tombak, siap untuk
menikam binatang buruan. Dua puluh samurai berja-
jar di belakang rumpun ilalang itu sambil menggenggam pedang. Bilah pedang itu
berkilauan tertimpa sinar surya.
Suasana sunyi itu berlangsung beberapa lama. Wa-
jah Nobunaga berpaling cepat. Hidungnya mengendus
bau babi hutan. Sedetik berikutnya kebekuan itu pecah ketika Nobunaga menarik
kekang kuda kemudian
memacu ke arah lembah. Seketika hutan ilalang itu
menjadi riuh rendah dengan sorak-sorai samurai yang mengikuti kuda Nobunaga.
Seekor babi hutan tersuruk-suruk berlari mene-
robos ilalang dengan cepat. Suara lengkingannya yang memekakkan telinga tertutup
pekik dan jerit para samurai yang memburu binatang itu sambil mengacau-
ngacaukan pedang mereka. Sorak-sorai itu demikian
gegap gempita sehingga mirip keriuhan para prajurit yang menang perang.
Nobunaga terus memacu kudanya, mengikuti arah
lari binatang buruannya. Pelan-pelan ia mengangkat tombaknya, kemudian dengan
sekuat tenaga ia lem-parkan tombak itu. Terdengar lengkingan babi hutan ketika
binatang itu terjungkal dengan tombak Nobunaga menembus lehernya.
"Kenaaa!" teriak Nobunaga sambil memberi aba-aba
agar para samurai berhenti bersorak-sorai.
Babi hutan itu menggelepar-gelepar sekarat. Ia berusaha berdiri, namun tombak
sepanjang tiga meter itu menggagalkan usahanya. Darah membasahi rumpun
ilalang di sekitarnya, sementara keempat kaki binatang itu mengejang-ngejang
sekarat. Nobunaga turun dari kudanya. Dengan langkah
pasti, ia mendekati binatang itu. Pelan-pelan ia meng-hunus pedang, lalu berdiri
persis di samping tubuh babi hutan tersebut. Dengan kedua tangannya, Nobunaga
mengangkat tinggi-tinggi pedangnya. Ia memusatkan enerji ke dalam genggaman
tangannya. Lalu dalam ayunan yang sangat cepat, ia menebas leher babi hutan itu
hingga kepalanya terpisah dari badannya. Darah menyembur membasahi tanah di
sekitarnya. "Seperti binatang ini nasib Saburo Mishima," kata
Nobunaga bergetar. "Akan kupenggal kepalanya de-
ngan tanganku sendiri."
Nobunaga mengibaskan pedangnya, sehingga darah
di bilah pedang tersebut muncrat ke tanah. Dengan
kecepatan yang menakjubkan, pedang itu sudah ma-
suk ke dalam sarungnya kembali.
*** Malamnya, dataran di tepi hutan ilalang itu riuh ren-
dah. Lampu-lampu dinyalakan di seputar tenda yang
didirikan pasukan Nobunaga. Seratus orang samurai
yang mengiringi Nobunaga dalam perburuan itu, kini duduk melingkar mengelilingi
api unggun. Para samurai itu tersenyum dan tertawa sambil menikmati da-
ging binatang hasil buruan mereka. Ada tiga ekor babi hutan, seekor rusa, dan
delapan kelinci yang malam itu jadi hidangan lezat. Empat orang tukang masak
istana, memasak binatang tersebut dengan resep kesu-
kaan Nobunaga. Penari-penari Izu melengkapi malam hiburan itu.
Sebagian besar penari itu masih sangat muda, sehing-ga para samurai berteriak-
teriak untuk menarik perhatian mereka. Semua penari itu mengenakan kimono fu-
risode, dan wajahnya tertutup topeng. Mereka terus bergerak mengikuti irama
genderang dan kecapi yang dimainkan tiga pemusik pengiring.
Nobunaga menuang saos ke dalam irisan daging
babi, lalu memasukkan daging itu ke dalam mulutnya.
Ia mengunyah, menikmati kelezatan binatang hasil buruannya. Matanya sesekali
memandang para penari di arena, sambil sesekali ia turut bertepuk tangan.
Naoko yang duduk di sampingnya, mencoba mela-
yani Nobunaga dengan sebaik-baiknya.
"Siapa yang mengundang para penari itu?" tanya
Nobunaga dengan mulut berdecap penuh daging babi.
"Aku," jawab Naoko. "Sudah lama aku ingin menon-
ton penari-penari dari Izu. Mereka sangat terkenal dan katanya menjadi kesenian
yang sangat disukai Imagawa."
Nobunaga menatap heran pada Naoko, "Imagawa?"
Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar. Aku ingin mengetahui kenapa dia menyukai
tarian itu."
"Itu bukan urusan kita. Aku juga mendengar kabar
bahwa Imagawa senang melukis dan menulis syair, tetapi apa hubungannya denganku"
Apakah kaupikir
aku harus meniru Imagawa?"
Naoko tersenyum mesra. "Bukan itu maksudku,"
kata Naoko sambil membelai paha Nobunaga. "Kalau
kita mengetahui apa kesukaannya, kita bisa memaha-
mi jalan pikirannya. Dan kalau kita dapat memahami jalan pikirannya, dengan
mudah kita akan mengalah-kannya."
Nobunaga menatap Naoko penasaran, "Apa mak-
sudmu?" "Maksudku, kita akan mencoba mengerti jalan piki-
ran Imagawa lewat para penari Izu. Sesudah itu, kita tinggal menunggu kesempatan
untuk mengalahkan-nya."
"Kaupikir kita dapat menaklukkan Imagawa hanya
dengan penari itu?"
"Mungkin saja."
"Bagaimana mungkin?"
"Aku belum tahu bagaimana caranya, tetapi para
penari ini pasti dapat membantu."
Nobunaga mengambil sake, lalu menenggaknya
sampai habis. Masih dengan mulut basah oleh sake, ia mengambil daging babi, lalu
menjejalkan ke dalam mulutnya. Matanya yang bundar menatap para penari
bertopeng di tengah arena.
"Kita mempunyai pasukan lebih banyak dibanding
Imagawa, jadi jangan terlalu kaurisaukan. Kalau saja dia tidak mencoba menjalin
hubungan baik denganku, kupastikan dia akan menyesalinya. Dengan pasukan
penuh, aku akan menggempurnya."
Nobunaga tertawa lepas, lalu menarik Naoko ke da-
lam pelukannya. Laki-laki itu mencium bibir Naoko dengan penuh gairah.
Ketika ciuman itu lepas, Naoko berkata, "Kudengar
Imagawa mempunyai seorang panglima perang yang
sangat cakap. Namanya Mayeda Toyotomi."
"Jangan kaupikirkan. Apa artinya seorang panglima
perang dibanding ratusan, bahkan ribuan pasukanku."
"Tetapi...."
"Bagaimana kalau kita tidak usah membicarakan
soal Imagawa?" Nobunaga menukas. "Biarlah soal itu dibicarakan para samurai.
Mereka kumiliki untuk berperang dan memperkuat kekuasaanku. Sedang kau
kumiliki untuk melayaniku... dan sekarang, aku meng-inginkannya."
Nobunaga tertawa bergelak-gelak. Wajahnya me-
merah karena mabuk. Dalam keadaan sadar dan tidak
sadar, ia menarik Naoko berdiri. Kemudian dengan
terhuyung-huyung lelaki itu menyeret Naoko ke ten-
danya. Pada saat itu, seorang samurai mengendap-endap
mendekati tenda Nobunaga. Dengan sangat hati-hati ia berbaring di tanah,
mendengarkan perbincangan di
tenda itu. Sampai di tenda, Nobunaga sudah tidak kuat berdi-
ri. Ia ambruk di tempat tidur dengan mulut terus ber-ceracau. Naoko mulai
melepaskan pakaiannya satu
persatu, sambil sesekali menciumi tubuh Nobunaga
yang terbaring seperti buah nangka. Lelaki tersebut hanya mendesis dan sesekali
tergial karena nikmat.
"Oh, oh, aku menyukaimu," kata Nobunaga sambil
membelai rambut Naoko. "Rasanya engkau perempuan
milikku yang paling kusayang."
"Benarkah?"
"Sesungguhnya kukatakan itu dengan sepenuh hati."
"Kalau begitu kenapa aku tidak kaukawini?"
"Kawin?"
"Ya. Aku ingin menjadi istrimu."
Nobunaga membuka mata, lalu tertawa. Naoko mem-
buka pakaiannya, ia berdiri polos di tengah ruangan itu. Tubuhnya yang mulus dan
sangat menggairahkan, membuat Nobunaga berdecap-decap. Ia mengulurkan
tangan, tidak sabar lagi. Naoko berjalan mendekat, menyingkap selimut, lalu
masuk ke dalamnya. Sebentar kemudian terdengar desis dan desah napas Nobu-
naga yang terengah-engah.
Saat itu, orang yang tadi mengendap-endap, me-
langkah mundur. Tetapi malang, dia menyentuh pa-
pan-papan yang ada di sekitar tempat itu sehingga
menimbulkan suara berisik. Seorang samurai yang
menjaga tenda Nobunaga, berpaling, lalu berlari mendekatinya.
"Hei, siapa di situ?"
Samurai pengintai itu tidak memberi jawaban, teta-
pi justru mengirim tebasan menyilang hingga penjaga itu menjerit. Tubuhnya
melambung ke atas, lalu ambruk ke tanah tanpa nyawa. Jeritan tersebut meng-
ubah suasana pesta menjadi kengerian. Berpuluh-
puluh samurai yang tadi sedang duduk menikmati ta-
ri-tarian, segera berlari mengepung. Pertarungan segera terjadi. Namun kekuatan
yang tidak seimbang itu menyebabkan samurai pengintai tersebut terdesak.
Konishiwa menerobos ke depan sambil menggeng-
gam pedangnya. Ia menuding samurai tersebut dengan marah, "Siapa kamu?"
Samurai itu tidak menjawab, ia justru mengangkat
pedangnya, lalu menghunjamkannya ke perutnya sen-
diri. Terdengar suara mendesis, lalu disusul ambruknya samurai itu ke tanah.
Pada saat itu, Naoko muncul di tempat itu hanya
dengan selimut menutupi tubuhnya.
"Ada apa?" ia bertanya pada Konishiwa.
"Seorang mata-mata."
"Mata-mata, apa maksudmu?"
"Entah siapa telah mengirim mata-mata ini untuk
mendengarkan pembicaraan Tuanku Nobunaga. Seo-
rang pengawal berhasil memergokinya."
"Apakah dia mengaku?"
"Dia memilih bunuh diri."
Naoko menatap tubuh samurai pengintai itu, tubuh-
nya meringkuk seperti bangkai anjing. Wajahnya tak kelihatan, hanya rambutnya
yang dikuncir berantakan menjelaskan bahwa dia seorang ronin. Bukan samurai
prajurit. "Konishiwa-san," berkata Naoko dengan nada tegas.
Suaranya tajam penuh ancaman. "Dia jelas mata-mata musuh. Bagaimana dia dapat
menerobos masuk" Keamanan Tuanku Nobunaga berada di tanganmu. Seha-
rusnya kau tak membiarkan seekor lalat pun memba-
hayakan jiwanya."
"Baik," jawab Konishiwa sambil membungkukkan
badan. "Saya akan memeriksa semua orang yang men-
curigakan di tempat ini."
Sambil mendengus, Naoko berbalik. Punggungnya
yang putih mulus tampak sangat menggairahkan. Konishiwa menatapnya tanpa
berkedip. Jiwanya terbakar
kemarahan dan kekaguman sekaligus. Pertama kali
dalam hidupnya, ia menghadapi perempuan segalak
itu. Sikap yang membuatnya tersentak kaget, namun
sekaligus membuatnya terpesona.
Suatu saat, aku ingin menidurinya, bisik Konishiwa dalam hati. Lalu berbalik,
membubarkan pasukannya.
*** PERSEKONGKOLAN UDARA jernih di atas Puri Tazumi. Langit senjakala berwarna biru, mirip air
sungai yang bening. Cahaya matahari yang keperakan memantulkan panorama di
sekitar puri itu.
Mayeda Toyotomi keluar dari salah satu ruang di
puri itu, berjalan bergegas menuju ruang pertemuan.
Wajahnya yang memancarkan ambisi, seperti lempeng-
an baja yang dibakar untuk ditempa. Raut mukanya
membara, sinar matanya memancarkan nafsu dan se-
mangat yang menyala-nyala. Ia berjalan gagah dengan dua pedang panjang terselip
di pinggangnya. Sandal jerami yang dikenakan menapaki lantai papan berpelitur
dalam irama tegap penuh percaya diri.
Tazumi berjalan di belakang Mayeda. Langkahnya
juga cepat, menyeret kain yang melebar di belakang kimononya. Ia mengenakan geta
(terompah kayu yang dicat warna-warni). Gerakannya yang halus, penuh wibawa,
menjadikan ia tampak seperti peri yang berjalan melayang dengan cepat. Hanya
suara genta yang beradu dengan lantai saja yang mengisyaratkan bahwa
wanita tersebut seorang manusia.
Ketika melihat kedatangan Mayeda dan Tazumi, dua
samurai yang berjaga di depan fusuma (pintu sorong yang terbuat dari kertas)
menarik pintu disusul dengan gerak membungkukkan kepala. Kaki Mayeda melewati
pintu itu dengan cepat.
Di tengah ruangan, saat itu tampak tiga orang yang langsung membungkukkan badan
menyambut kedatangan Mayeda Toyotomi. Dari pakaian yang dikena-
kan, dapat diketahui orang-orang itu dari kalangan bangsawan.
Kenji Yamagita, seorang samurai propinsi yang sa-
ngat berpengaruh. Bukan saja karena ilmu pedangnya
cukup tinggi, tetapi dia orang yang kaya raya di daerah Suruga. Ayahnya dulu
seorang bangsawan di bawah
kekuasaan Yoshimasa, dan Kenji sebagai anak tunggal mewarisi kekayaan ayahnya.
Di daerah Suruga, ia
memiliki lebih dari dua ratus samurai yang setia padanya.
Kenji berwajah tampan, selalu berpakaian rapi. Ca-
ra bicaranya sopan dan ramah, sehingga orang-orang cepat akrab dengannya. Hanya
sedikit orang mengetahui, sesungguhnya Kenji seorang pembalas den-
dam. Di dekat matanya, terdapat bekas luka sepanjang dua sentimeter. Itu adalah
bekas yang ditinggalkan Imagawa ketika mereka bertarung dalam sebuah per-
tandingan kendo di masa kecil. Namun luka yang tak akan pernah hilang itu, bagi
Kenji, sudah cukup untuk membuat dirinya bertekad untuk membunuh Imagawa.
Tinggal soal waktu saja. Maka ketika Mayeda Toyotomi mengajaknya bersekutu
menggulingkan Imagawa,
ia langsung menyetujui.
"Luka di wajah saya tidak akan hilang," kata Kenji ketika Mayeda menemuinya.
"Seperti juga dendam ke-sumat di hatiku. Tidak ada yang lebih memuaskan
dibanding aku dapat menyayat-nyayat wajah Imagawa."
Taro Seijuro, seorang samurai yang kini menjadi pedagang tembikar. Ketika
Yoshimasa membuka hubu-
ngan perdagangan dengan luar negeri, terutama Cina dan India, Seijuro menjadi
orang kepercayaan shogun tersebut untuk melaksanakan perdagangan itu. Langkah
itu ternyata tepat, Seijuro bukan saja berhasil menjual dan membeli tembikar,
tetapi juga porselen serta rempah-rempah. Usahanya yang maju menyebabkan ia
meletakkan pedang, lalu menekuni usaha
dagang itu. Seijuro tahu, keberhasilannya saat ini tak terlepas dari bantuan
Tazumi. Wanita itulah yang dahulu mendorong Yoshimasa untuk memberi Seijuro
kesempatan berdagang. Tazumi pula yang memesan
tembikar, keramik, dan porselen Cina dalam jumlah
yang sangat besar.
Seijuro bertubuh gemuk, dengan pakaian sutera da-
ri corak yang paling mahal. Seperti umumnya peda-
gang, ia seorang yang ingin melihat segala-galanya sempurna. Karena itu ketika
Mayeda menyampaikan ajak-
an Tazumi memerangi Imagawa, Seijuro yang meminta
agar diadakan pertemuan seluruh orang yang akan
terlibat dalam pemberontakan itu. Ia ingin tahu secara mendetil apa rencana
Mayeda Toyotomi.
"Sejak Imagawa berkuasa dan dia mulai membatasi
jumlah pengiriman tembikar maupun porselen dari Ci-na, usaha saya terus-menerus
mengalami penurunan
keuntungan. Lebih-lebih usahanya mendirikan pusat
kerajinan di Sazuko, sungguh mengancam usaha saya.
Karena itu saya setuju kalau dia dijatuhkan... asal peluang impor nanti dibuka
lagi." Dempachi, seorang samurai bertubuh kekar dan
paling berantakan wajahnya. Selain pernah menderita sakit cacar, wajah Dempachi
ditumbuhi bisul sebesar kerikil yang hingga kini belum ada obatnya. Hanya ke-
kejamannya yang membuat orang tidak berani bersi-
kap sembarangan terhadapnya. Ilmu pedangnya yang
tinggi membuat lelaki itu sangat ditakuti. Dulu, Dempachi adalah algojo
Yoshimasa. Seorang pelaksana hukuman mati yang mengerikan. Tetapi ketika Imagawa
berkuasa, hukuman mati dihapuskan. Akibatnya Dem-
pachi disingkirkan. Perlakuan ini menumbuhkan benih dendam dalam jiwanya. Setiap
hari ia selalu memikirkan hari depannya yang suram, dan terus memu-
puk dendam dalam dirinya. Maka ketika Mayeda meng-
ajak bergabung, tanpa bimbang sedikit pun Dempachi menyetujuinya.
"Saatnya aku melakukan pembalasan pada Ima-
gawa," kata Dempachi pada Mayeda. "Saya ingin me-
menggal kepala laki-laki jahanam itu."
Mayeda dan Tazumi duduk di depan ketiga orang
itu. Pembicaraan pun dimulai.
Mayeda berkata, "Saya baru saja mendengar, seo-
rang samurai mata-mata kita tertangkap. Dia tewas.
Peristiwa ini sangat saya sayangkan, karena pasti akan membuat Nobunaga
bertambah waspada. Dia akan
memperkuat penjagaan dirinya, dan bersikap tidak terbuka. Karena itu saya
meminta pada Anda semua, un-
tuk bertindak lebih hati-hati, dan meningkatkan ke-waspadaan. Betapa pun rencana
yang telah kita su-
sun, tetap harus dilaksanakan."
Kenji bertanya, "Apakah rencana kunjungan ke Ka-
makura telah dijadwalkan waktunya?"
Mayeda menjawab, "Ya. Minggu pertama tahun baru
nanti, Shogun Imagawa akan mengunjungi Nobunaga.
Saat itulah kita bertindak."
Dempachi bertanya, "Setelah Nobunaga menangkap
mata-mata kita, mungkinkah dia membatalkan renca-
na kunjungan Tuanku Imagawa?"
Mayeda menjawab, "Sampai saat ini, tidak ada pem-
beritahuan mengenai hal itu. Jadi kurasa tidak akan ada perubahan waktu dari
rencana semula. Aku akan
berusaha meyakinkan Tuanku Imagawa bahwa kun-
jungan ke Kamakura sangat penting artinya untuk
keamanan wilayahnya. Beberapa waktu lalu telah ku-
katakan kepadanya, kekuatan militer Nobunaga saat
ini semakin kuat. Tidak sebanding dengan kekuatan
kita. Karena itu aku telah menyarankan untuk menjalin hubungan persaudaraan
dengannya. Karena itu
kunjungan ke Kamakura sangat strategis sifatnya."
Dempachi bertanya, "Kalau begitu bagaimana kita
melaksanakannya?"
"Aku akan mengatur sedemikian rupa, agar Tuanku
Imagawa mengunjungi Kamakura dengan pengawalan
tak lebih seratus orang. Setelah selama beberapa hari berpesta, mereka pasti
mengalami keletihan. Pada saat mereka pulang itulah, engkau harus bertindak.
Lakukan penyergapan di hutan Uzugi, di wilayah Nobunaga, sehingga muncul kesan
bahwa merekalah yang menyerang. Ini perlu dilakukan, untuk menghindari keka-
cauan di Suruga. Pada saat yang sama akan dilakukan pembersihan di istana."
Dempachi berkata, "Membinasakan seratus samurai
tentu tidak mudah. Kita membutuhkan suatu kekua-
tan besar."
Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau akan memimpin dua ratus samurai."
"Tetapi bagaimana caranya" Kedatangan dua ratus
samurai di wilayah Nobunaga, pasti akan sangat me-
narik perhatian. Dan kalau sampai mereka tahu, segalanya akan sulit
dilaksanakan."
"Lakukanlah penyamaran," kata Mayeda tegas. "Be-
rangkatkan dua ratus samurai jauh sebelum tahun ba-ru tiba. Biarkan mereka
berada di Kamakura sebagai ronin, sehingga tidak akan menarik perhatian
Nobunaga."
"Di sana mereka membutuhkan makan dan mi-
num...." "Seijuro akan menyediakan uang untuk bekal me-
reka. Soal itu jangan kaurisaukan."
"Baiklah kalau begitu. Aku mengerti tugasku."
"Bagaimana dengan Anda, Seijuro-san?"
"Seperti sudah saya katakan, saya bersedia menye-
diakan uang untuk rencana ini. Tetapi saya tak ingin terlibat di dalamnya.
Berapa pun uang yang dibutuhkan, akan saya sediakan, Anda tinggal mengatakan
kapan waktunya."
"Terima kasih, Seijuro-san."
"Selain itu, saya memiliki satu permintaan."
"Katakanlah."
"Sesudah kemenangan Anda peroleh, saya ingin di-
beri hak monopoli untuk melakukan perdagangan de-
ngan luar negeri. Anda harus berjanji, tidak memberikan hak ini kepada orang
lain kecuali keluarga Seijuro."
"Anda menginginkan monopoli?"
"Itulah imbalan yang saya minta."
"Baiklah. Saya setuju."
Seijuro kemudian mengeluarkan selembar kertas
yang berisi pernyataan hak monopoli perdagangan itu.
Lelaki tersebut menyodorkannya pada Mayeda Toyo-
tomi. Dari saku kimononya, Seijuro mengeluarkan tinta dan kuas.
"Saya mohon Anda menandatanganinya."
Mayeda membaca sekilas surat perjanjian itu, ke-
mudian dia menyingsingkan lengan kimononya, dan
membubuhkan tanda tangan di bawah surat pernya-
taan tersebut. Seijuro menyodorkan kertas itu pada Tazumi.
"Saya mohon, Anda juga membubuhkan tanda ta-
ngan di sini."
Tazumi menandatanganinya. Seijuro menatap surat
itu dengan puas.
Setelah diam sejurus, Mayeda Toyotomi berkata,
"Kalau begitu, mari sekarang kita bicarakan detail pe-laksanaan penyergapannya."
*** Pertemuan itu berakhir menjelang larut malam. Kemu-
dian setelah Kenji, Seijuro, dan Dempachi pulang, Tazumi menarik Mayeda Toyotomi
ke kamarnya. Dengan
bernafsu ia menciumi lelaki itu. Meskipun sudah cukup tua, namun pijar-pijar
kecantikan wanita itu masih bersinar terang. Mayeda dapat merasakan denyut-
denyut kewanitaan Tazumi memerangkapnya dalam
irama permainan cinta tak terlupakan. Tubuhnya yang kencang dan menggairahkan,
membuat Mayeda ber-sumpah untuk memiliki wanita itu. Dan satu syarat
yang pernah diungkapkan Tazumi, ia ingin mendam-
pingi Mayeda sebagai shogun menggantikan Imagawa.
Ciuman-ciuman itu menyebabkan kelenjar tubuh
Mayeda meregang. Ia menarik Tazumi ke dalam deka-
pannya, lalu menghimpitnya dengan kuat. Gerakan mereka liar dan penuh gairah.
Ibarat permainan pedang, Mayeda menikam-nikam musuhnya dengan buas. Namun
semakin lelaki itu bersikap buas, Tazumi semakin tergila-gila. Ranjang itu telah
porak-poranda, sprei dan bantal berserakan di lantai, namun kegairahan kedua
orang tersebut terus berkobar. Sampai akhirnya Tazumi tidak tahan. Kuku-kuku
jarinya menghunjam ke punggung Mayeda Toyotomi, sehingga lelaki itu melenguh -
merasakan kesakitan sekaligus kenikmatan! Keringat dan darah mereka bercampur
menjadi satu. Tazumi segera mendekap Mayeda, kemudian menji-
lati darah yang meleleh dari lukanya.
Setengah jam berikutnya, Tazumi berkata, "Kenapa
kita bersedia membubuhkan tanda tangan di surat
Seijuro" Bukankah itu dapat membahayakan kesela-
matan kita?"
Mayeda Toyotomi menjawab tegas, "Aku sudah me-
mikirkannya. Kita sekarang butuh uangnya untuk
membiayai rencana kita. Bila nanti sudah terlaksana, aku akan memenggal
kepalanya."
Tazumi bernapas lega. Ia menatap mata kekasihnya,
kemudian mulai menciuminya kembali dengan mesra.
*** MEDAN TANTANGAN
SEPANJANG jalan setapak berbatu yang menuju Suru-
ga, berdiri deretan rumah dengan atap jerami. Rumah-rumah kumuh yang bukan saja
telah berlumut, tetapi juga sudah rusak di sana-sini. Di bawah sinar matahari
siang yang terik, jalanan itu semerbak oleh bau ikan asin yang dibakar di atas
arang. Natane Yoshioka yang berjalan di depan Saburo, berkali-kali menghirup bau
ikan bakar itu dengan mulut berdecap.
"Baunya enak sekali," kata Yoshioka mengomentari.
"Kau sudah lapar?"
"Ya. Gara-gara bau itu perutku jadi keroncongan."
"Kalau begitu sebaiknya kita mencari warung untuk
makan." "Masih ada uang?"
Saburo tersenyum. "Masih cukup untuk makan tiga
hari. Bekal yang diberikan Yuriko-san cukup banyak."
"Baik sekali ibu itu."
"Ya."
"Apakah kita akan ke sana lagi?"
"Tidak."
Yoshioka menarik topeng dari pinggangnya - topeng
kayu itu selalu diikat tergantung di pinggang Yoshioka - kemudian mengamatinya
dengan puas. Berhari-
hari ia memperhatikan topeng itu, dan ia tak pernah merasa bosan. Semakin lama
dipandangi, topeng itu
tampak semakin indah. Ada semacam kekuatan magis
yang membuatnya memukau.
"Aku ingin bisa menari," tiba-tiba Yoshioka berkata.
"Suatu saat aku akan belajar menari."
Saburo hanya tersenyum. Ia memperhatikan saja
ketika Yoshioka memakai topeng itu, lalu menggerak-gerakkan kepala dan tangannya
menirukan gerakan
penari. Caranya bergerak tampak lucu, sehingga Sabu-
ro tak dapat menahan ketawa.
Yoshioka langsung mencopot topeng di wajahnya,
"Kenapa tertawa?"
"Kau lucu."
"Lucu atau bodoh?"
"Keduanya."
Yoshioka pura-pura cemberut sambil mengentak-
entakkan kaki dengan manja. Kemanjaan anak kecil
yang ingin diperhatikan. Saburo segera memeluk ba-
hunya, kemudian menariknya agar terus berjalan.
Mereka sekarang melewati perkampungan pembuat
keramik. Sejak Shogun Yoshimasa membuka pintu
perdagangan, Jepang seperti diserbu hasil kerajinan Cina. Porselen, tembikar,
dan keramik mengalir dari Laut Cina Timur. Para daimyo terpikat dengan hasil
kerajinan itu, karenanya dengan meniru keramik Cina, di wilayah Suruga tumbuh
desa-desa kerajinan semacam itu. Para petani banyak yang belajar membuat
keramik, untuk mengisi waktu luang sambil menunggu
musim panen tiba.
Saburo melihat orang-orang membuat keramik di
tepi jalan. Sebagian yang lain tengah menjemur atau mewarnai keramik yang akan
dibakar. Saburo sebenarnya ingin mencoba membuat keramik dari tanah
liat itu. Sejak kecil ia menyukai pekerjaan tangan. Dalam pikirannya, ia merasa
pasti dapat membuat mangkuk teh yang sederhana. Namun justru waktu itu, tukang
keramik yang umurnya hampir lima puluh ta-
hun, membuat mangkuk teh di depan matanya. Ter-
nyata barang sederhana itu membutuhkan keahlian
khusus untuk membuatnya. Melihat bagaimana orang
tua itu menggerakkan jari-jarinya di atas kape, menyadarkan Saburo bahwa ia
terlalu tinggi menilai kemampuan dirinya. Ternyata dibutuhkan keahlian, teknik,
dan imajinasi untuk membuat barang sederhana
itu. Persis ilmu pedang!
Berhari-hari Saburo memperhatikan tukang kera-
mik itu bekerja. Sampai akhirnya ia menyadari tidak memiliki bakat atau
ketabahan untuk melakukan pekerjaan itu.
Di depan sebuah warung, tampak hasil kerajinan
keramik dipamerkan; piring, sloki sake, kendi, dan pot bunga. Barang-barang itu
diatur sedemikian rupa sehingga tampak keindahannya. Dibanding dengan ru-
mah-rumah bobrok para pengrajin keramik itu, Saburo tersentak oleh ironi yang ia
saksikan. Betapa tidak, barang-barang ciptaan pengrajin itu suatu saat akan di-
pajang di rumah-rumah mewah para daimyo, atau
bahkan rumah shogun dan kaisar. Tetapi kehidupan
pembuatnya tak pernah beranjak dari kemiskinan. Mereka tetap hidup dalam kehina-
dinaan, tanpa harapan memperbaikinya.
Yoshioka melihat warung di tepi jalan, ia berseru
kegirangan, "Lihat, ada warung! Kita dapat istirahat sambil makan di sana!"
"Jangan makan banyak-banyak. Uang kita hanya
sedikit." "Jangan takut. Aku hanya ingin makan nasi dengan
sekerat ikan bakar."
Mereka sedang menuju warung itu ketika terdengar
suara memanggil.
"Hei, ronin!"
Saburo berhenti lalu menoleh. Ia melihat seorang
laki-laki ragu-ragu mendekatinya.
"Apakah Anda memanggil saya?" tanya Saburo.
"Apakah Anda Tuan Saburo Mishima?"
Saburo kaget. Namun berusaha menekan perasa-
annya. Nalurinya seketika menyuruhnya bersikap waspada. Ia memandang lelaki itu.
Melihat pakaian katun-nya yang berlapis, kakinya yang telanjang, dan tongkat
di tangannya, orang itu tentu petani biasa. Tak ada gambaran sedikit pun bahwa
dia seorang samurai.
"Tuan, apakah benar Tuan Saburo Mishima?" sekali
lagi orang itu bertanya.
"Benar."
"Terima kasih."
Orang itu kemudian berbalik dan berjalan mening-
galkan tempat itu. Saburo merasa heran melihat kela-kuannya.
"Siapa orang itu?" Yoshioka bertanya.
"Entahlah. Mungkin seseorang telah menyuruhnya
menanyakan namaku."
"Seseorang" Siapa?"
"Siapa pun dia, sebentar lagi pasti datang mene-
muiku. Kita harus berhati-hati."
Karena ditunggu beberapa saat ternyata orang itu
tidak muncul lagi, Saburo akhirnya mengajak Yoshioka memasuki warung itu. Mereka
duduk di bangku papan
yang kosong, kemudian memesan nasi dengan lauk-
pauknya. Saburo meminta sesloki sake untuk menye-
garkan tenggorokan. Pemilik warung itu seorang pe-
rempuan setengah baya. Meski sudah berumur, na-
mun masih tetap cantik. Ia melayani Saburo dengan
senyum ramah. Ketika makanan dihidangkan, Yoshi-
oka langsung makan. Dari caranya makan Saburo ta-
hu anak itu sudah kelaparan. Setiap kali memasukkan nasi ke mulutnya, Yoshioka
mengambil cangkir tanah, lalu minum. Ia tampak bernafsu melahap semua yang
ada di piringnya.
Saburo sendiri makan dengan tenang. Namun piki-
rannya berkecamuk mempertimbangkan kemungkinan
adanya serangan. Bagaimanapun pertanyaan orang
tadi mengusik hatinya. Tidak mungkin seseorang akan menanyakan namanya bila ia
tak punya kepentingan.
Sekarang persoalannya, apa kepentingan lelaki itu"
Apa yang membuatnya menanyakan namanya"
Apa yang dipikirkan Saburo terbukti menjadi kenya-
taan. Baru saja ia selesai makan, terdengar seseorang memanggil namanya. Saburo
menoleh, ia melihat lelaki tadi berdiri di samping dua orang samurai.
"Saburo Mishima!" kata salah seorang samurai itu
lantang. "Akhirnya kita bertemu."
Kedua samurai itu melangkah dengan tegap. Wajah
mereka membeku, dengan sinar mata bengis.
(Bersambung ke buku keempat.)
*** Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
LAHIRNYA SHUGYOSA
*** AWAL PERTENTANGAN BARU
*** *** PEMBANTAIAN *** *** *** BEBAN SEBUAH NAMA
*** IMAGAWA *** *** PEMANDIAN SHUZENJI
*** *** TERTANGKAPNYA MATA-MATA
*** *** PERSEKONGKOLAN *** *** MEDAN TANTANGAN
*** Si Rajawali Sakti 2 Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Nyawa Kedua Dari Langit 3