Pencarian

Nyawa Kedua Dari Langit 3

Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit Bagian 3


kau tahu, kalau aku memiliki naluri tajam"! Juga kalau kau amati, bisa ditemukan
hal-hal yang janggal!
Nasib yang menimpa putrimu, aku yakin sudah diren-
canakan istrimu! Dia ingin menyingkirkan Arimbi, agar bisa menguasai perguruan
ini! Aku yakin, racun yang
mengalir di tubuhmu hasil perbuatannya. Mungkin
yang digunakan racun tidak berwarna, berasa, atau
berbau. Racun itu dicampurkan dalam minumanmu.
Dan..." Brakkk!
Pembicaraan si Rantai Penggulung Jagad kon-
tan terhenti, ketika Ular Angkasa menggebrak meja
dengan keras. Meja itu bergetar, tapi tidak hancur sa-ma sekali. Retak pun
tidak! "Tutup mulutmu, Rantai!" bentak Ular Angkasa keras dibarengi hantaman pada daun
meja. "Atau, aku terpaksa akan menyerangmu! Ucapanmu sudah keterlaluan!" "Kau
yang buta karena cinta tuamu itu, Ular!"
bentak Rantai Penggulung Jagad, tak kalah keras. "Tidakkah kau sadar, kalau kau
tengah dibunuh pelan-
pelan. Asal tahu saja, sekarang kau tidak lebih dari seorang kakek-kakek jompo!
Tenaga dalammu telah
lenyap! Tidakkah kau sadari meja yang kau hantam,
jangankan hancur, retak pun tidak! Lihat baik-baik!
Buang dulu perasaan cintamu yang berlebih-lebihan
itu!" Ular Angkasa terdiam. Baru disadari kalau me-ja yang digebrak tidak hancur
sebagaimana biasanya.
Kata Rantai Penggulung Jagad rupanya masuk akal-
nya. Kembali dicobanya untuk mengerahkan tenaga
dalam. Tapi, tidak dirasakan adanya putaran tenaga
dalam di pusarnya.
Ular Angkasa merasa penasaran. Dicobanya
untuk mengalirkan ke tangan. Tapi seperti hasil sebelumnya kali ini pun
kekecewaan yang didapat. Benar
perkataan Rantai Penggulung Jagad! Tenaga dalamnya
telah lenyap! "Bagaimana"! Benar kan ucapanku, Ular"!"
tanya Rantai Penggulung Jagad dengan suara lebih pe-
lan. "Mungkinkah itu, Rantai"! Mungkinkah istriku bertindak demikian keji"!"
Seperti layaknya seorang anak kecil, Ular Ang-
kasa mengajukan pertanyaan terbata-bata.
"Mungkinkah racun dibubuhkan dalam maka-
nan dan minumanku"!"
"Mungkin saja, Ular," sahut Rantai Penggulung Jagad mengangguk, mantap. Tapi,
ketika pandangannya berbentur pada makanan dan minuman di meja
yang telah disantapnya bersama Taruna dan Ular Ang-
kasa, wajah lelaki pendek kekar ini memucat!
Ular Angkasa melihat arah pandangan Rantai
Penggulung Jagad. Dan wajahnya pun berubah hebat.
Meja empat persegi panjang kini menjadi sasa-
ran pandangan dua lelaki setengah baya yang terkenal sebagai pendekar besar.
Meja berwarna coklat itu, pa-da beberapa bagian tampak hangus! Dan bagian yang
hangus adalah bagian di mana percikan-percikan mi-
numan terdapat! Tanpa berpikir lebih lama lagi, Rantai Penggulung agad dan Ular
Angkasa tahu penyebab me-ja itu bernasib demikian mengerikan! Apalagi kalau
bukan racun yang amat ganas"
"Apakah istrimu yang menyediakan makanan
dan minuman ini, Ular"!" tanya Rantai Penggulung Jagad dengan suara seperti
tercekik di tenggorokan.
Ular Angkasa tidak memberi jawaban, Rahang-
nya menggembung. Wajahnya pun menegang penuh
kemarahan, ketika mengeluarkan kata-kata yang be-
rupa desisan! "Wanita iblis!"
"Hi... hi... hi...!"
Seperti menyambut makian Ular Angkasa, ter-
dengar tawa mengikik. Nadanya mengejek dan mere-
mehkan. Kemudian disusul tawa bergelak. Nadanya
sama, mengejek dan penuh kemenangan.
Serentak Ular Angkasa, Rantai Penggulung Ja-
gad, dan Taruna menoleh ke arah pintu yang menghu-
bungkan ruangan tempat mereka berada dengan ruang
dalam. Tak lama dari ruang dalam muncul dua sosok
"Kau...!?"
Mata Ular Angkasa kontan terbelalak lebar, se-
perti tengah melihat hantu. Sosok yang berada di sebelah istrinyalah yang
membuatnya terperanjat kaget.
Sosok itu adalah seorang lelaki kurus dengan kumis
tipis dan mata sipit.
"Kaget, Tua Bangka Jompo"!"
Lelaki bermata sipit itu tersenyum mengejek.
Kemudian tangan kirinya dilingkarkan ke leher istri
muda Ular Angkasa. Bahkan jari-jari tangannya tanpa
tahu malu mengusap-usap pipi dan tengkuk wanita
itu. Sedangkan istri muda Ular Angkasa menggeliat-
geliat keenakan seperti seekor kucing dibelai!
Sepasang mata Ular Angkasa bagaikan hendak
melompat keluar dari rongganya ketika melihat pe-
mandangan itu. Hatinya mendidih oleh amarah me-
luap-luap! "Murid murtad! Jahanam! Mau apa kau kemari
heh"!" Dalam cekaman amarah yang menggelegak, Ula Angkasa bangkit dari kursinya.
Hendak menghampiri
lelaki bermata sipit ini. Sikapnya penuh ancaman.
Rantai Penggulung Jagad tahu maksud Ular
Angkasa. Buru-buru dicekalnya pergelangan tangan le-
laki muka kuning itu, untuk mencegah maksudnya.
Disadari Ular Angkasa hanya akan mencari penyakit
bila meneruskan maksudnya.
"Mau apa aku kemari"!" ulang lelaki bermata
sipit ini bernada mengejek. "Lucu sekali pertanyaan itu. Aku sudah lama di sini,
Tua Bangka Jompo! Aku
sudah hampir enam tahun di sini. Aku tinggal di ruang larangan itu. Dan mungkin
perlu kutambahkan, wanita yang kau akui sebagai istrimu ini adalah kekasihku!
Ha ha ha..,!"
Andaikata ada petir menyambar di dekatnya,
Ular Angkasa tidak akan terkejut seperti ini. Tubuhnya kontan limbung. Untung,
Rantai Penggulung Jagad
memeganginya. "Sebagai tambahan, perlu kukatakan. Semua
dugaan kawanmu itu benar! Aku yang menyebabkan
Arimbi minggat dari sini. Akulah yang menjebaknya,
agar tidak lagi jadi penghalang bagiku! Dan kau pun
telah kuracuni sejak lama. Sedikit demi sedikit. Hanya saja, racun yang
kuberikan tidak keras. Karena, aku
masih butuh bantuanmu. Sedangkan racun yang ka-
lian tenggak bersama-sama, adalah racun yang memi-
liki daya kerja cepat. Kalian bertiga akan mati! Hi hi hi...!" timpal wanita
berpakaian biru langit penuh ke-gembiraan. "Dan, aku pula yang menyelundupkan
kekasihku ini ke dalam ruang larangan itu."
7 "Jahanam...!"
Kali ini Rantai Penggulung Jagad yang menge-
luarkan seruan kemarahan. Saat itu juga lelaki ini melesat ke depan. Tapi baru
juga setindak, langkahnya
terhenti. Tangannya yang semula siap dilayangkan kini dipergunakan untuk
mendekap dada yang mendadak
terasa sakit. "Hihihik...!"
Wanita berpakaian biru langit kembali tertawa
gembira. "Jangan coba-coba mengerahkan tenaga dalam
kalau masih sayang nyawa, Tua Bangka bau tanah!
Racun yang mengendap dalam tubuhmu akan menye-
rang setiap kali kau mengerahkan tenaga dalam! Dan
itu berarti kau akan mati jauh lebih cepat! Menurutku tidak perlu buru-buru
menemui malaikat maut. Tenang-tenang saja, Tua Bangka! Nanti pun saat yang
kau inginkan akan tiba! Hi hi hik...!"
Rantai Penggulung Jagad mengerti betul uca-
pan istri muda Ular Angkasa yang bukan sekadar ger-
takan. Bukti ancaman itu telah dirasakan sendiri.
Dengan wajah pucat, ditatapnya Ular Angkasa.
Ketua Perguruan Ular Sakti itu sendiri terdiam
tempatnya. Lelaki itu tahu, tidak ada hal apa pun yan bisa dilakukan!
"Mengapa kau tega bertindak sekeji ini, Wardi-
ni"!" tanya Ular Angkasa menyebut nama istrinya, tanpa menyembunyikan keheranan
dan penasaran. "Apakah selama ini aku kurang baik terhadapmu"!"
Wanita berpakaian biru langit yang bernama
Wardini tersenyum mengejek.
"Kau memang cukup baik hati, Tua Bangka!
Meskipun, permainan cintamu membuatku muak. Dan
aku tak akan melakukan seperti ini, kalau kau tidak
bertindak jahat terhadap Salangi kekasihku!" jawab Wardini sambil bergelayut
manja di pundak laki-laki
bermata sipit yang dipanggil Salangi.
"Siapa yang bertindak jahat, Wardini"!" bantah Uiar Angkasa, penasaran. "Aku
justru masih bertindak baik hati. Salangi, kuhukum usir dari perguruan, karena
kerap mengganggu istri orang! Dia pun tak se-
gan-segan menggunakan kepandaiannya untuk me-
nimbulkan kekacauan di kaki gunung. Makanya dia
kuusir dan tak kuanggap sebagai murid! Tujuh tahun
lalu hal itu kulakukan! Sebenarnya, hatiku berat me-
lakukannya. Karena, dia muridku yang paling berba-
kat. Bahkan kuharapkan menjadi pimpinan perguruan
ini sepeninggalku!"
"Saat ini pun, aku bisa menjadi Ketua pergu-
ruan ini, Tua Bangka!" ejek Salangi penuh perasaan menang. "Setahun lebih
setelah kau usir, aku dapat masuk ke tempat ini dengan perantara kekasihku ini!
Dia menjadi istrimu, atas siasat kami bersama. Kau
tahu, Tua Bangka. Saat menjadi istrimu, dia telah
menjadi kekasihku selama empat bulan. Dia kutemui
di perjalanan. Dan sifat kami saling cocok satu sama lain!" Ular Angkasa
membisu. Di dalam hatinya, lelaki ini malu bukan main terhadap Rantai Penggulung
Jagad, karena ditipu mentah-mentah! Ular Angkasa
marah bukan main! Tapi, apa yang bisa dilakukan-
nya"! Terbayang kembali di benaknya pertemuannya
dengan Wardini! Wanita itu ditemukan salah seorang
muridnya, ketika tergolek di dekat pintu gerbang da-
lam keadaan terluka! Sama sekali tidak disangka kalau luka itu merupakan siasat
licik! Siapa lagi yang melukainya kalau bukan Salangi"!
"Kurasa semuanya sudah jelas, Tua Bangka!
Sekarang, sudah tiba saatnya bagiku untuk mengi-
rimmu ke neraka! Aku akan menjadi Ketua Perguruan
Ular Sakti, seperti yang selama ini kuimpikan! Dengan adanya murid-murid
perguruan sebagai anak buahku,
kedudukanku akan lebih kuat! Ha ha ha...!"
"Mereka tak akan sudi menjadi anak buahmu,
Salangi!" desis Ular Angkasa, tajam.
"Siapa bilang, Tua Bangka"! Aku akan bertin-
dak tegas! Siapa yang tidak ingin menjadi anak bua-
hku akan mati mengerikan! Aku yakin, mereka lebih
tahu cara hidup yang lebih baik! Ha ha ha!"
Ular Angkasa dan Rantai Penggulung Jagad
hanya dapat mengeluh dalam hati. Tidak ada yang bisa melakukan apa-apa. Taruna
sendiri berdiri di belakang ayahnya. Mereka bertiga hanya menunggu datangnya
maut dengan hati berdebar tegang!
*** "Anjing-anjing rakus seperti kalian, jangan
mimpi untuk bisa menjadi pemimpin di Perguruan
Ular Sakti..,!"
Ular Angkasa, Rantai Penggulung Jagad, Taru-
na, tak terkecuali Salangi dan Wardini, mengedarkan
pandangan ke sekitar ruangan itu. Semuanya mencari
asal suara yang diutarakan secara pelan, tapi mengandung pengaruh yang membuat
bulu kuduk berdiri!
Wardini yang memiliki watak berangasan kon-
tan merah padam mukanya. Dia marah bukan main
mendapat hinaan seperti itu. Dengan mata penuh an-
caman pandangannya diedarkan ke sekeliling.
Rantai Penggulung Jagad dan Taruna hanya
menunggu dengan perasaan ingin tahu. Mereka, seper-
ti juga yang lain, tidak bisa mengira-ngira dari mana asal suara itu yang
seperti dari segala arah! Rantai Penggulung Jagad tahu, sang pemilik suara
memiliki tenaga dalam amat kuat!
Di antara semua orang yang ada di situ, hanya
Salangi dan Ular Angkasa yang memberikan tanggapan
lain. Dahi kedua orang ini, terutama sekali Ular Angkasa, berkernyit dalam.
Tindakan mereka ini seperti
orang yang tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Kalian mencari siapa"! Aku sejak tadi di sini!
Tidakkah kau melihat"!"
Suara dingin tanpa nada apa pun terdengar la-
gi. Kali ini, rupanya si pemilik suara itu tidak mengeluarkan ilmunya yang
istimewa. Sehingga, semua
orang yang berada di situ bisa memperkirakan asal-
nya. Mereka semuanya mengarahkan pandangan ke
bawah meja tempat makan dan minuman berada.
Di bawah meja, duduk bersila sesosok tubuh
ramping menggiurkan dan enak dipandang. Kepalanya
bertempelan dengan bawah daun meja. Wajahnya ti-
dak tampak jelas, karena terhalang kursi-kursi.
Bulu kuduk semua tokoh yang berada di situ
terasa meremang! Bagaimana mungkin sosok ramping
itu bisa berada di bawah meja, tanpa seorang pun yang tahu"! Padahal, sewaktu
semua masih ada di kursi,
mereka yakin sosok ramping itu tidak ada di situ. Lalu, bagaimana sosok itu bisa
berada di bawah meja tanpa
menimbulkan bunyi sama sekali"!
Sebelum tokoh-tokoh itu semuanya sadar dari
perasaan kaget dan bingung, meja itu melayang ke
atas membawa sosok ramping yang masih duduk ber-
sila dengan kepala masih menempel pada bawah daun
meja! Semua tokoh terkejut bukan main. Pemandan-
gan yang disaksikan merupakan pameran tenaga da-
lam luar biasa. Dengan mata membelalak, kelima
orang yang semula saling bertentangan, memperhati-
kan peristiwa yang masih terus berlangsung dengan
perasaan takjub.
Sementara itu meja terus melayang naik sam-
pai setinggi satu tombak lebih. Baru setelah itu me-


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

layang ke arah empat orang yang tengah berdiri berha-
dap-hadapan. Di tengah-tengah dua pihak yang berdiri ber-
hadapan, meja itu melayang turun perlahan-lahan.
Tanpa bunyi sedikit pun, sosok ramping itu menda-
ratkan pantatnya pada lantai! Bahkan meja di atas kepalanya tidak bergeming sama
sekali! Tidak kelihatan tubuh sosok ramping itu berge-
rak, tapi meja itu melayang naik ke atas dan kembali ke tempat semula. Dan semua
itu tanpa bunyi sama
sekali! Seakan-akan, meja itu diangkat, dibawa, dan
diletakkan seseorang yang tidak tampak.
Sosok ramping itu kemudian bangkit, berdiri
tegak. Semua yang melihat terkesima, seakan-akan
tengah melihat hantu!
Sosok ramping yang diduga adalah gadis beru-
sia paling banyak dua puluh lima tahun itu memang
benar-benar menggiriskan. Sekujur tubuh yang tidak
tertutup pakaian, ditumbuhi bulu-bulu berdiri mirip
bulu landak! Rambutnya pun berdiri! Untung saja,
rambutnya pendek! Wajahnya pun pucat pasi bagaikan
tak berdarah! Tapi, sepasang matanya lebih mengeri-
kan! Tidak memiliki biji mata hitam! Bahkan bagian
mata yang seharusnya berwarna putih pun berwarna
merah membara! "Sss... siapa kau..."!" tanya Ular Angkasa, meskipun tidak lancar.
"Sepertinya..., aku tidak asing denganmu...,"
Sosok ramping bermata merah membara itu
tersenyum. Tapi hal itu justru membuatnya terlihat
semakin mengerikan! Senyumnya dingin, tanpa mem-
beri jawaban sama sekali.
Sosok bermata merah itu lantas mengalihkan
perhatian pada Wardini. Matanya yang merah memba-
ra seperti mengeluarkan api, ketika menatap kekasih
Salangi. Ucapan Ular Angkasa membuat Salangi men-
gernyitkan alis. Memang, sosok ramping itu wajahnya
kelihatan mengerikan. Tapi lelaki yang berusia sekitar tiga puluh tahun ini
yakin, pernah melihat sebelumnya. Baik bentuk wajah, maupun potongan tubuhnya.
Perasaan ini juga menghantui Rantai Penggu-
lung Jagad. Lelaki ini merasa pernah melihat sosok
ramping itu. Hanya saja, dia tidak mengingat lebih
jauh. "Wanita berhati busuk!" desis sosok ramping itu tajam, tapi tanpa
mengemikkan bibir. "Dulu dengan siasat licikmu, kau berhasil membuatku terusir
dari tempat ini! Tempat di mana aku dibesarkan! Dulu kau
berhasil lolos dan menang! Tapi sekarang, kau akan
binasa di tanganku!"
Meski ucapan itu tidak keras, tapi membuat
semua yang berada di situ seakan mendengar petir
menggelegar. Kalau Wardini dan Salangi hanya terke-
jut bercampur ngeri karena tahu akan adanya anca-
man, Ular Angkasa merasakan dadanya sesak oleh ra-
sa haru yang menyeruak. Rasa bersalah pun semakin
besar. Ucapan itu telah membuatnya langsung bisa
mengetahui sosok ramping yang menggiriskan hati ini.
"Ya, Allah...," desis Ular Angkasa dengan suara terbata-bata. Bibirnya bergetar
hebat. "Kau... Arimbi..."! Kau, Anakku,.."! Apa yang terjadi dengan diri-mu,
Nak"!"
Ular Angkasa dengan raut muka sulit dilu-
kiskan, melangkah mendekati sosok ramping yang ter-
nyata Arimbi. Arimbi sendiri tidak mempedulikan sama sekali
keadaan Ular Angkasa. Sosok ini berdiri dengan tata-
pan tajam menusuk pada Wardini.
Rantai Penggulung Jagad yang juga merasa
terkejut ketika mengetahui sosok ramping itu adalah
Arimbi, terkesima di tempatnya. Tapi langsung disadari ketika melihat tindakan
Ketua Perguruan Ular Sakti
itu. Rantai Penggulung Jagad tahu, Arimbi yang se-
karang kemungkinan besar berbeda jauh dengan
Arimbi yang dulu. Bukan tidak mungkin, tindakan
Ular Angkasa akan membuat sosok yang dulu cantik
itu akan membunuhnya. Maka lelaki pendek kekar ini
segera bertindak cepat. Langsung dicekalnya pergelangan tangan Ular Angkasa.
Kali ini Ular Angkasa meronta. Lelaki bermuka
kuning kini tidak ingin dihalangi.
"Tenangkan hatimu, Ular," ujar Rantai Penggulung Jagad, memberi nasihat "Lebih
baik tunda dulu niatmu. Kita belum tahu, bagaimana Arimbi sekarang.
Biarkan dia melakukan apa yang diinginkannya. Aku
khawatir, tindakanmu disalahartikan. Bukan tidak
mungkin dia akan membunuhmu, karena dianggap
merintangi maksudnya."
"Tapi dia anakku, Rantai," bantah Ular Angkasa.
"Itu memang benar. Tapi tidakkah kau lihat, dia telah berubah dahsyat! Siapa
tahu dia tidak menge-nalmu lagi sekarang. Bagaimana"!"
"Tidak mungkin!" Ular Angkasa masih bersikeras. "Kenyataannya dia masih mengenal
Wardini. Pasti, dia mengenalku. Aku lebih lama hidup bersamanya...!"
"Bisa saja dia lupa padamu. Tapi, ingat pada
Wardini! Bisa jadi karena perasaan dendam, membuat
dia teringat pada Wardini! Perhatikan baik-baik, Ular.
Aku tidak yakin, Arimbi masih hidup. Maksudku...,
aku lebih percaya kalau dia Arimbi yang bangkit kem-
bali dari kematian! Entah bagaimana itu bisa terjadi, tapi aku yakin betul.
Tidakkah kau lihat keadaannya"!
Tidak mungkin seorang manusia memiliki ciri-ciri de-
mikian mengerikan!" papar si Rantai Penggulung Jagad. Di saat Ular Angkasa dan
Rantai Penggulung
Jagad terlibat pertengkaran, Wardini melompat ke be-
lakang sejauh dua tombak diikuti Salangi. Sepasang
kekasih ini sama-sama mencabut senjata masing-
masing. Salangi menghunus golok besar, sedangkan
Wardini sepasang tusuk konde bergagang kepala ular
kobra. Ruangan itu memang luas sekali, sehingga me-
mungkinkan untuk menggelar pertarungan.
Berbeda dengan Wardini dan Salangi yang telah
siap sedia, Arimbi sendiri tidak bergeming dari tempatnya. Tetap diam bak patung
batu. Dan mendadak Salangi mengirimkan serangan
dengan tusukan bertubi-tubi!
Wutt! Wutt! Batang golok lelaki itu seperti berjumlah bela-
san, saking cepatnya digerakkan. Dan semua serangan
itu tertuju pada Arimbi.
Namun Arimbi tetap tidak bergeming dari tem-
patnya. Tidak juga terlihat melakukan gerakan apa-
apa, kecuali hanya membenturkan telapak tangannya
satu sama lain!
Splash...! Semua pasang mata terbelalak lebar ketika me-
lihat kilatan cahaya menyilaukan laksana halilintar
muncul dari kedua telapak tangannya yang dibentur-
kan. Cahaya menyilaukan itu terus meluncur ke
arah tubuh Salangi yang masih berada di udara.
"Heh"!"
"Akhhh...!"
Wardini sampai terpekik kaget. Namun lain
halnya Salangi. Pekikan yang keluar dari mulutnya
terdengar menyayat hati ketika cahaya menyilaukan
itu menerpa tubuhnya tanpa sempat dielakkan.
Tubuh Salangi langsung terlempar laksana
daun kering dihembus angin. Bau sangit daging yang
terbakar menyebar di sekitar tempat itu seiring me-
layangnya tubuh lelaki itu dalam keadaan hangus
menghitam! Semua pasang mata yang berada di situ kontan
terpaku. Tidak terkecuali Wardini. Baru ketika tubuh Salangi menimpa lantai,
wanita ini menjerit penuh kesedihan.
"Kubunuh kau...!"
Wardini yang kalap menghambur ke arah
Arimbi. Tapi langkahnya langsung terhenti, ketika
Arimbi membenturkan jari tangan kiri dan kanannya.
Splash! "Aakh...!"
Wanita culas ini kontan terjatuh sambil menje-
rit kesakitan. Cahaya menyilaukan itu menerpa paha
kanan dan menghanguskannya.
Arimbi rupanya benar-benar hendak melam-
piaskan sakit hatinya. Sasaran yang dituju tidak ba-
gian yang mematikan. Dan sadar kekuatan sinar me-
nyilaukannya pun tidak terlalu dahsyat.
Wardini benar-benar bagaikan ayam disembe-
lih. Tubuhnya menggeliat-geliat ke sana kemari, ketika cahaya menyilaukan dari
Arimbi mengenai bagian-bagian tubuhnya bertubi-tubi.
Rantai Penggulung Jagad, Ular Angkasa, dan
Taruna, bergidik melihat pemandangan ini. Mereka ti-
dak sampai hati melihat Wardini demikian menderita.
Menggeliat-geliat sambil merintih-rintih memohon di-
bunuh! Keringat sebesar biji-biji jagung tampak meng-hiasi sekujur wajahnya.
Arimbi berdiri tegak bagai patung memperhati-
kan tingkah laku lawannya yang telah sekarat. Selu-
ruh anggota tubuh Wardini, kecuali wajah dan badan,
hangus menghitam. Tapi anehnya, wanita itu tidak
mati. Kecuali merasakan panas luar biasa yang me-
nyiksa dirinya.
"Bunuh saja aku, Arimbi. Jangan kau siksa aku
seperti ini," ratap Wardini lirih.
Arimbi tidak bergeming. Sementara Ular Angka-
sa yang sejak tadi seperti terpengaruh sihir sehingga membuatnya berdiri diam
bagai patung, tersadar. Dia
tidak sampai hati melihat keadaan Wardini.
"Lupakan dendammu, Arimbi. Kau telah mem-
balasnya. Sekarang, penuhilah keinginannya, Nak!
Bunuhlah dia...! Bukan watak seorang pendekar, me-
nyiksa lawannya!" ujar Ular Angkasa.
Arimbi yang sejak tadi membeku, berbalik.
Dengan sinar mata merah, ditatapnya Ular Angkasa.
Lelaki gagah yang tidak pernah merasa gentar itu un-
tuk pertama kalinya mundur selangkah tanpa sadar
melihat tatapan Arimbi yang benar-benar menggi-
riskan! Setelah melempar tatapan seperti itu, Arimbi melesat meninggalkan tempat
ini. Ular Angkasa, Rantai Penggulung Jagad, dan Taruna bergidik ketika me-
lihat Arimbi tidak menjejakkan kaki atau menekuk lu-
tut untuk melompat!
Bertepatan dengan perginya Arimbi, belasan
murid Perguruan Ular Sakti muncul, setelah menden-
gar bunyi gaduh. Semula mereka ragu, karena Ular
Angkasa telah berpesan agar jangan diganggu sedikit
pun. Tapi karena bunyi gaduh itu semakin menjadi-
jadi, mereka nekat mendatangi tempat ini setelah me-
rundingkannya lebih dulu.
Kini mereka terperangah ketika melihat pe-
mandangan yang terpampang. Apalagi, ketika melihat
Ular Angkasa membunuh istri mudanya dengan menu-
suk ulu hatinya.
8 Dewa Arak kebingungan sampai-sampai alisnya
berkernyit. Kakinya yang kokoh kini berdiri di tanah berumput hijau segar yang
terawat baik. Beberapa
tombak di depannya terdapat hamparan rumput yang
juga hijau, tapi tingginya sekitar satu tombak. Sekeli-lingnya tanaman bunga. Di
antara tanaman-tanaman
itu, membentang jalan setapak.
Telah cukup lama pemuda berambut putih ke-
perakan ini berada di sini. Sekarang ini Dewa Arak
tengah dalam perjalanan menuju Istana Iblis. Tapi ba-ru pada pintu pertamanya di
bagian taman ini, dia tidak bisa berbuat banyak. Pemuda ini hanya berputar-
putar di tempat yang sama dan kembali di tempat itu
tanpa tahu lagi jalan kembali. Sedangkan jalan yang
dicari pun, belum juga didapatkan.
Arya menghapus peluh yang membasahi ken-
ing. Perasaan khawatir mulai menyergap hatinya. De-
wa Arak tahu, bila jalan keluar tetap tidak diketemukan, bisa mati di tempat
ini! Apalagi juga dirasakan adanya hawa beracun di sini! Mungkin berasal dari
salah satu tanaman yang ada.
Sekarang Arya baru mengerti, mengapa banyak
tokoh persilatan yang tidak kembali dalam perjalanan menuju Istana Iblis.
Mungkin, sebagian besar tewas di tempat ini. Buktinya, hidungnya masih bisa
membaui mayat! Tengah Dewa Arak berpikir lebih jauh lagi
mendadak... "Dari tempatmu berdiri, maju ke depan lurus!
Berdirilah tepat di depan rumput yang pada bagian
ujungnya menempel belalang kecil. Belalang itu palsu.
Dari situ melangkah ke kanan tiga tindak..."
Terdengar suara nyaring merdu khas suara
seorang wanita muda, merasuk ke dalam telinga Arya.
Dewa Arak berpikir sejenak, tidak langsung
menuruti pemberitahuan yang dikirim melalui ilmu
pengirim suara dari jauh itu. Dia mempertimbangkan-
nya, sebelum mengambil keputusan.
Arya yakin, petunjuk itu benar. Kalau tipuan
dengan maksud untuk membuatnya tewas rasanya ti-
dak mungkin. Tanpa ditipu pun, dia memang sudah
tersesat. Hanya kebetulan saja dia belum celaka di
tempat-tempat salah yang diambilnya.
Maka Arya mengambil keputusan, mengikuti
petunjuk itu. Tanpa banyak pertimbangan, diikutinya
secara membuta. Terkadang menabrak tanaman, ber-
jalan mundur, melingkar, dan melompat-lompat. Tapi,
hebatnya, tak lama kemudian dia telah sampai di tem-
pat kedatangannya semula.
Dewa Arak tidak kecewa dengan kegagalannya
menemukan Istana Iblis. Di tempat jalan-jalan aneh
menuju istana rahasia itu, di luarnya Dewa Arak melihat dua sosok. Yang seorang
gadis muda, sedangkan
yang lainnya seorang nenek!
Dua sosok yang berdiri berjarak lima tombak di
depan Dewa Arak itu mengangguk. Sifat mereka tam-


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pak ramah. Arya balas mengangguk. Sebentar dia ter-
senyum, lalu menghampiri.
"Terima kasih atas pertolongan kalian berdua.
Perkenalkan, namaku Arya. Tanpa kalian, mungkin
aku telah menjadi mayat," ucap Arya sambil mengembangkan senyum lebar.
"Lupakanlah, Arya," ujar gadis berpakaian kuning. Gadis ini diyakini Arya
sebagai orang yang mengirim petunjuk. Tapi dugaannya tidak dikatakannya.
"Aku Sumarni. Dan ini guruku," lanjut gadis yang mengaku bernama Sumarni.
"Selamat berjumpa, Nek," tegur Arya, sopan.
Si nenek bongkok. Dia mengenakan pakaian hi-
tam dengan jubah putih. Bibirnya yang keriput men-
gembangkan senyum. Giginya ternyata telah tanggal
semua. Usianya tentu telah amat tua.
"Maaf kalau aku berlaku lancang, Nek. Apakah
Nenek yang disebut-sebut orang sebagai permilik Ista-na Iblis"!" ucap Arya
sopan. Si nenek mengangguk.
"Benarkah banyak orang yang tewas sebelum
mencapai Istana Iblis, Nek"!"
Kali ini si nenek tidak memberi jawaban lang-
sung. Malah ditatapnya Arya.
Pemuda ini terkesiap melihat mata nenek itu
mencorong tajam. Sorotnya lebih terang dibanding to-
koh mana pun yang pernah dijumpainya!
Arya sudah merasa khawatir kalau nenek ini
marah dan menyerangnya. Sementara Sumarni keliha-
tannya gelisah. Dengan bahasa isyarat, dipintanya
Arya untuk tidak banyak bertanya.
Arya menarik napas lega ketika mata nenek itu
meredup kembali. Dan Sumarni pun tenang. Wajahnya
bahkan berseri ketika melihat gurunya mengangguk.
"Kau hendak bertanya lagi kan, Dewa Arak"!"
tukas nenek itu, tapi tidak terasa adanya nada kema-
rahan di dalamnya.
Arya diam sejenak, sebelum akhirnya men-
gangguk. "Bukankah kau hendak mengajukan perta-
nyaan, mengapa orang-orang itu tidak kutolong"!"
Untuk kedua kalinya Dewa Arak mengangguk.
Diam-dilam pemuda ini merasa takjub, menyadari ka-
lau nenek ini bisa membaca pikirannya. Dugaan yang
dilontarkannya memang tepat
"Kau tidak usah merasa takjub, Dewa Arak.
Aku memang mempunyai kemampuan membaca piki-
ran orang lain," jelas si nenek lagi. "Ketahuilah. Ada dua hal yang membuatku
tidak membiarkan kau mati
di sana, sebagaimana orang lain!"
Si nenek mengarahkan pandangan ke lereng
gunung. Sikapnya seperti orang yang tengah menung-
gu sesuatu. Kesempatan itu dipergunakan Arya untuk
mengerling ke arah gadis berpakaian kuning yang ber-
nama Sumarni. Arya harus mengakui, Sumarni amat cantik.
Kulit wajah dan tubuhnya putih, halus, dan mulus.
Bentuk tubuhnya sintal. Indah dan menggiurkan.
Sungguh seorang gadis yang amat menarik!
"Hal pertama," suara si nenek membuat Arya mengalihkan perhatian kembali.
Arya sudah merah wajahnya karena khawatir
perbuatannya dipergoki. Tapi hatinya lega ketika ne-
nek itu masih tetap menerawang ke depan.
"Karena kau adalah tokoh yang berjuluk Dewa
Arak" Arya melongo. Nenek ini tahu tentang Dewa Arak"! Berarti dia masih suka
terjun ke dunia persilatan!
"Dari mulut muridku, yang mendengar berita
mengenaimu di luaran, aku tahu kau terhitung pende-
kar berhati lurus. Aku tahu kedatanganmu menempuh
bahaya ke Istana Iblis, tidak untuk nafsu serakah sebagaimana orang lain."
"Aku datang kemari untuk meminta petunjuk,
mengenai cara membunuh seorang lawan yang amat
sakti dan memiliki ilmu aneh, Nek," jelas Arya, buru-buru "Aku tahu itu, Dewa
Arak. Kulihat sendiri di benakmu. Bahkan sepotong-potong, kulihat apa yang
kau lihat mengenai tokoh luar biasa itu. Kedatangan-
mu hendak meminta cabai putih hitam bukan"!
Sayang, aku tidak menyimpannya," terabas si nenek.
Arya menghela napas berat. Harapannya ter-
nyata pupus. "Ada pun hal kedua," sambung si nenek. "Karena permintaan muridku yang kau
anggap amat mena-
rik hati! Dialah yang memintaku untuk mengampuni
tindakanmu. Dia melihatmu terancam, dan ingin me-
nolongmu...!"
Dua wajah anak muda langsung merah padam,
Jika Arya merasa rahasianya terbongkar, karena men-
gerling ke arah Sumarni yang dilakukan diam-diam.
Sedangkan Sumarni, dibuka isi hatinya!
"Oleh karena itu, Dewa Arak," si nenek terus saja berbicara, tak peduli perasaan
sepasang anak muda itu. "Kuminta kau membawa Sumarni dari sini.
Aku tidak ingin dia celaka di tangan tokoh luar biasa itu. Syukur-syukur, aku
bisa mengalahkannya. Sehingga, kau tidak perlu membawanya kabur. Tapi, in-
gat. Kalau bisa, sebelum meninggalkan tempat ini, berikan kesempatan bagiku
untuk memberitahukanmu
mengenai kelemahan tokoh itu."
"Jadi kau telah mengetahui kelemahan Jagal-
pati, Nek"!" tanya Arya, mempunyai bahan mengatih-kan persoalan.
"Sekarang belum," jawab si nenek.
"Nanti, setelah bertarung dengannya dan mem-
perhatikan ilmunya, mungkin bisa kuketahui kelema-
hannya. Itu baru kemungkinan. Tapi kemungkinan itu
besar. Karena aku sudah mempunyai sedikit gambaran
penangkalnya, berdasarkan gerakan dan pameran ilmu
yang sempat kulihat di benak Sumarni dan kau! Mu-
dah-mudahan saja."
*** "Jadi, Jagalpati akan menuju kemari, Nek"!"
Lagi-lagi Arya mengajukan pertanyaan, setelah
membiarkan suasana hening.
"Begitulah menurut dugaanku, Dewa Arak. Ja-
galpati ingin bersembunyi. Dan tidak ada tempat yang lebih baik, selain Istana
Iblis. Bisa kurasakan, kalau saat ini dia tengah dilanda ketakutan hebat Dia
ber-lomba dengan waktu, untuk mencari keselamatan. Aku
tidak tahu, mengapa dia sampai demikian takut," jelas si nenek, mendesah.
"Jagalpati tengah ketakutan, Nek"!" ulang Arya ingin jawaban yang lebih jelas.
"Mungkinkah hal yang ditakutinya ketika hampir berhasil membunuhku"!"
Si nenek bagaikan disengat kalajengking hingga
terjingkat. Suaranya penuh tekanan, ketika berkata
pada Arya. Sehingga, tidak hanya Arya saja yang kaget Sumarni pun demikian.
Gadis ini sampai mengangkat
wajahnya yang sejak tadi ditundukkan. Dia merasa he-
ran. Biasanya gurunya bersikap tenang, bahkan terke-
san dingin. Tapi mengapa sekarang demikian kalap"!
"Coba kau bayangkan wajah Jagalpati ketika
ketakutan di saat hendak membunuhmu, Dewa Arak!"
perintah si nenek, setelah lebih dulu menyuruh Arya
menceritakan pertemuannya dengan Jagalpati.
Otak Arya yang cerdas dapat menangkap mak-
sud perintah itu. Keturunan terakhir pemilik Istana Iblis ini, ingin membaca
pikiran Jagalpati saat tengah ketakutan!
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
memusatkan pikiran untuk membayangkannya. Tidak
terlalu sukar, karena sikap Jagalpati amat menarik
perhatiannya sehingga terekam erat di otaknya.
Si nenek menatap Arya tajam-tajam beberapa
saat sambil mengernyitkan kening. Membaca pikiran
orang yang berupa gambaran pikiran seseorang, ter-
nyata menguras kemampuannya. Jauh lebih sukar da-
ripada membaca pikiran orang yang ada di hadapan-
nya. "Aneh...," gumam si nenek sambil menghapus keringat yang membasahi kening,
karena cukup banyak mengerahkan kemampuan.
Saat itu, sebuah pertanyaan sudah berada di
ujung lidah Dewa Arak dan Sumarni. Namun karena
perasaan tidak enak, membuat keduanya menekan pe-
rasaan. Dan pertanyaan itu tidak terlontar keluar.
Nenek penghuni Istana Iblis itu sendiri seperti
tidak tahu perasaan yang bergolak di hati Arya dan
Sumarni. Dia malah mengelus-elus dagu sambil meng-
geleng-gelengkan kepala. Seakan-akan, jawaban yang
didapat mengherankan hatinya.
"Rasanya tidak masuk akal, Dewa Arak...."
"Mengapa, Nek?" tanya Arya ketika memperoleh kesempatan dan keberanian.
"Hasil yang kudapat dari hasil pemusatan per-
hatianmu terhadap wajah Jagalpati, menunjukkan ka-
lau dia takut pada halilintar!"
Sumarni melongo. Heran. Sedangkan Arya me-
longo sebentar, tapi tidak heran.
"Kurasa itu tidak mungkin, Nek"!" bantah Arya, yakin. "Kalau petir yang
ditakutinya, mengapa tidak sejak sebelumnya! Perlu kau ketahui, Nek. Di saat dia
hendak menjatuhkan pukulan menentukan padaku,
petir telah beberapa kali meledak. Sebelum aku diro-
bohkannya, beberapa kali petir telah menyambar bu-
mi! Kalau dia memang takut pada petir, kenapa tidak
sejak pertama kali petir menyalak. Maaf, Nek. Bukan-
nya tidak percaya. Aku pun semula menduga sama
denganmu. Tapi sangkalan yang kudapat kemudian
amat kuat. Bukan petir yang menyebabkannya takut,
Nek." "Tidak kusalahkan kalau kau berpendapat demikian, Dewa Arak. Tapi,
ketahuilah. Jawaban itu sa-
tu-satunya yang kudapatkan dari bayangan khayal Ja-
galpati melalui alam pikiranmu! Terlihat jelas! Bahkan ketika kuulang untuk
lebih meyakinkan, jawaban sa-ma yang kuperoleh!"
Dewa Arak diam. Benaknya diputar keras un-
tuk mencoba memecahkan masalah yang aneh ini. Se-
benarnya dia tidak merasa aneh mendengar jawaban
yang diberikan si nenek. Hanya yang menjadi pikiran-
nya, hanya sangkalan yang diberikannya! Benarkah
petir yang ditakuti Jagalpati"! Tapi, mengapa bukan
petir pertama yang ditakutinya" Ataukah petir yang
meledak di saat serangan menentukan terhadap Dewa
Arak dilancarkan, berbeda dengan petir-petir sebelumnya" Arya yang hendak
membuka mulut untuk men-
geluarkan buah pikirannya, segera menahan ucapan-
nya ketika melihat penghuni Istana Iblis itu memperhatikan lereng gunung dengan
sikap amat tertarik.
Pandangannya pun dialihkan.
Tampak di kejauhan, sesosok tubuh meluncur
dengan kecepatan menakjubkan ke arah mereka. Na-
mun, Arya hanya memperhatikannya sebentar.
. "Aku yakin, dia bukan Jagalpati, Nek!" ujar Arya setengah memberitahukan.
"Hmmm...!"
Si nenek mengeluarkan gumaman sebagai
tanggapan. Tapi pandangannya tetap tidak dialihkan
sama sekali. Hatinya masih belum yakin kalau belum
membuktikannya sendiri. Sayang, jarak masih terlalu
jauh untuk bisa melihat sosok itu secara jelas
"Jagalpati tidak mengenakan pakaian putih,
Nek. Dia berpakaian serba hitam," tambah Arya untuk menguatkan keterangannya.
Seperti juga si nenek, Dewa Arak pun belum
melihat jelas wajah sosok yang bergerak cepat menuju tempat mereka. Tapi, dari
warna pakaiannya, Arya bisa menduga.
"Kau kenal siapa dia, Dewa Arak"!"
Arya memperhatikan sosok yang tengah mele-
sat dengan kecepatan tinggi beberapa saat sampai wa-
jahnya terlihat cukup jelas. Pelan dan mantap kepa-
lanya digelengkan.
"Aku belum pernah melihatnya, Nek"
Jawaban itu meski agak berputar, tapi telah
memberi petunjuk pada penghuni Istana Iblis.
"Mau apa dia kemari"! Apakah ingin menyatro-
ni Istana Iblis"! Rasanya, tidak mungkin! Sudah belasan tahun Istana Iblis tidak
didatangi orang," gumam si nenek seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Kau pernah melihatnya, Sumarni"!"
Sumarni menggeleng.
"Tidak, Guru."
*** Sosok yang menarik perhatian penghuni Istana
Iblis, Dewa Arak, dan Sumarni menghentikan larinya
berjarak lima tombak. Sosok itu ternyata seorang lelaki berusia setengah abad
lebih. Kumisnya tipis, dengan
wajah masih kelihatan tampan. Dia balas memperhati-
kan sosok-sosok di depannya, karena tahu kalau ke-
hadirannya sejak tadi telah menarik perhatian mereka.
Sesaat dua belah pihak saling memperhatikan
satu sama lain. Tapi, lelaki berpakaian putih yang tak lain Kebo Gandrung
tersenyum dan menganggukkan
kepala. Rasa hormat dan sopannya hanya ditujukan
pada nenek berjubah putih.
"Namaku Kebo Gandrung. Kalau aku tidak sa-
lah mengenali orang, Nenek pasti yang dulu disebut-
sebut sebagai penghuni Istana Iblis itu, kan"!" kata Kebo Gandrung membuka
percakapan. "Untuk apa kau datang kemari, Kebo Gan-
drung"!" tanya si nenek dingin, tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang baru saja
ditinggal mati istrinya.
Kebo Gandrung tidak menjadi tersinggung atau
kecil hati mendapat tanggapan seperti itu. Senyum
terkembang masih menghjas bibirnya.
"Mungkin kedatanganku ini tidak menyenang-
kan hatimu, Nek. Kedatanganku karena ingin memin-
tamu untuk mengangkatku sebagai murid. Aku berse-
dia menjadi budakmu, Nek. Asalkan, kau mau meme-
nuhi permintaanku ini."
"Orang setua kau untuk apa belajar kepan-
daian lagi, Kebo Gandrung"!" tukas penghuni Istana
Iblis, mulai ramah melihat sikap Kebo Gandrung yang
merendahkan diri itu. "Kulihat kau telah memiliki kepandaian cukup! Tak
sembarang orang yang mampu
memiliki tingkat kepandaian sepertimu!"
"Tapi kepandaian yang kumiliki sekarang tidak
ada artinya, jika dipergunakan untuk menghadapi mu-
suh besarku, Nek. Dia memiliki kepandaian tinggi. Dan dengan kepandaiannya, dia


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah membunuh istriku
secara kejam!" jelas Kebo Gandrung.
Si nenek terdiam sebentar, seperti berpikir. Se-
pasang matanya menatap lekat-lekat wajah Kebo Gan-
drung. Sesaat kemudian, dia melepaskan napas berat.
"Aku tidak yakin akan bisa memenuhi permin-
taanmu, Kebo Gandrung. Musuh yang kau maksud
memiliki kepandaian teramat tinggi. Jangankan hanya
kau mempelajari ilmu dariku. Aku sendiri belum tentu mampu mengalahkan musuhmu
itu!" "Kau tahu siapa musuh besarku itu, Nek"!"
tanya Kebo Gandrung kaget setengah tidak percaya.
Sementara Arya dan Sumarni segera tahu kalau
si nenek telah menggunakan ilmunya yang khas.
Membaca pikiran orang lain! Dan dengan ilmu itu, mu-
suh besar Kebo Gandrung diketahui.
Sebuah dugaan muncul di benak Arya dan Su-
marni begitu mendengar ucapan penghuni Istana Iblis.
Mungkinkah musuh besar Kebo Gandrung adalah Ja-
galpati pula"! Rasanya memang tidak salah lagi!
Si nenek mengangguk, membenarkan perta-
nyaan Kebo Gandrung. "Musuh besarmu Jagalpati bukan"!" tebak si nenek, penuh
keyakinan. Kebo Gandrung melongo mendengar jawaban
penghuni Istana Iblis yang demikian tepat. Si nenek
sendiri bersikap tidak peduli.
"Lebih baik kau tunggu di sini. Aku yakin, mu-
suh besarmu itu akan tiba di sini tak lama lagi. Pera-saanku mengatakan
demikian. Dan biasanya, pera-
saanku tidak salah. Mudah-mudahan saja, ditempat
ini Jagalpati harus terkubur!" lanjut si nenek penghuni Istana Iblis.
Kebo Gandrung semakin bingung. Ditatapnya
Arya dan Sumarni. Orang yang ditatap tersenyum.
Meski masih bingung, lelaki setengah baya yang masih ganteng ini ikut tersenyum
pula. Senyum yang terhias kesan bingungan.
*** "Aku yakin Jagalpati yang tengah menuju ke-
mari...," desah si nenek dengan pandangan mata tidak berkedip ke depan.
Arya, Sumarni, dan juga Kebo Gandrung mela
yangkan tatapan ke bawah lereng. Mereka melihat se-
sosok hitam tengah melesat cepat. Arah yang dituju
adalah tempat mereka semua berada.
"Benar! Dia Jagalpati...."
Jawaban itu keluar secara bersamaan dari mu-
lut Arya dan Sumarni. Kebo Gandrung masih memper-
hatikan penuh perhatian. Sudah cukup lama pemuda
cabul itu tidak dijumpai. Maka dia cukup menemui ke-
sulitan untuk segera mengenalnya.
"Ha ha ha...!"
Jaraknya masih belasan tombak. Tapi sosok hi-
tam yang memang Jagalpati itu telah tertawa bergelak.
Seperti juga keempat orang itu, Jagalpati telah melihat keberadaan orang-orang
yang memperhatikannya penuh minat!
"Mimpi apa aku semalaman, sehingga orang-
orang yang kucari semuanya berkumpul di sini! Apa-
kah kalian semua memang telah bersepakat untuk ma-
ti bersama-sama di tempat ini"! Ha ha ha...!"
"Jagalpati...! Manusia berhati binatang...! Syukur kau datang kemari! Kau harus
menebus kematian
Cempaka, istriku!" dengus Kebo Gandrung, langsung melompat menerjang dengan satu
tendangan terbang
ke arah dada. Jagalpati yang telah menghentikan larinya ter-
tawa ganda. Padahal saat itu serangan Kebo Gandrung
tengah meluncur ke arahnya.
Begitu serangan Kebo Gandrung tiba, Jagalpati
mengulurkan tangan. Kelihatan tak bertenaga dan
sembarangan. Dan....
Tap! Tapi pergelangan kaki Kebo Gandrung telah
berhasil dicekal Jagalpati.
Kebo Gandrung kaget, tapi tidak mempunyai
banyak waktu lagi. Jagalpati yang berhati keji lang-
sung melancarkan gerakan lanjutan. Tangannya berge-
rak menekuk, sehingga...
Krak! "Aaakh...!"
Seketika tulang kaki Kebo Gandrung pun pa-
tah! Laki-laki ini meringis kesakitan!
Sementara Jagalpati tidak peduli. Dengan se-
nyum kejinya, dibantingnya tubuh Kebo Gandrung ke
tanah dengan keras.
Bruk! Tubuh Kebo Gandrung kontan menghantam
tanah. Laki-laki ini menyeringai. Tapi, tidak terdengar keluhan sedikit pun dari
mulutnya. Tanah yang ter-hantam tubuhnya sampai amblas beberapa jari.
"Orang sepertimu harus mati secara mengeri-
kan, Kebo!" desis Jagalpati penuh kemarahan sambil
melayangkan kaki untuk menjejak bahu!
Kebo Gandrung ingin mengelak, tapi rasa sakit
dan nyeri yang melanda membuatnya sulit untuk ber-
gerak. Melihat ancaman bahaya terhadap Kebo Gan-
drung, Dewa Arak tidak bisa berdiam diri lagi. Tubuhnya cepat melompat sambil
mengayunkan guci ke arah
Jagalpati! "Huh!"
Jagalpati mendengus. Serangan Dewa Arak
membuatnya membatalkan serangan terhadap Kebo
Gandrung. Secepat kilat tangannya disampokkan un-
tuk memapak serangan yang mengancam kepala.
Prang! Benturan keras terdengar ketika guci pusaka
dan tangan berbenturan. Namun tubuh Jagalpati tidak
bergeming. Sebaliknya, Dewa Arak terlempar dan ter-
putar. Percikan-percikan arak bertumpahan dari da-
lam guci. Jagalpati tidak mempedulikan Dewa Arak lagi.
Rupanya, dia amat dendam terhadap Kebo Gandrung.
Begitu berhasil menyingkirkan Dewa Arak, serangan-
nya terhadap Kebo Gandrung kembali dilanjutkan!
"Chiaaat... Heh?"
Tapi lagi-lagi Jagalpati harus bisa menahan di-
ri, karena maksudnya tak terlaksana. Tanpa diduga,
nenek penguni Istana Iblis telah membuat serangan-
nya gagal. Nenek itu menyerang dengan sodokan tongkat
ke arah ulu hati. Serangannya jauh lebih dahsyat daripada serangan Dewa Arak.
Kendati demikian, Jagalpati tidak menjadi gen-
tar. Segera disambutnya serangan itu dengan cara sa-
ma. Tap! Tongkat itu ditangkap Jagalpati. Tangan pemu-
da ini sampai bergetar ketika maksudnya kesampaian!
Jagalpati benar-benar yakin akan kemampuan
diri sendiri. Meski tahu kalau penghuni Istana Iblis memiliki tenaga dalam tidak
lumrah manusia, tongkat
yang ditangkap pun ditariknya.
Sementara nenek berjubah putih tentu saja ti-
dak menginginkan hal itu terjadi. Dia pun balas menarik. Sehingga tarik-tarikan
tongkat pun tidak bisa di-hindari lagi.
Dewa Arak, Kebo Gandrung, dan Sumarni,
memperhatikan dengan perasaan tegang. Mereka se-
mua tahu, pertarungan seperti ini amat berbahaya. Bi-la salah satu pihak ada
yang kalah, lawan akan mudah membunuhnya dengan perantaraan tongkat.
Tenaga dalam dua tokoh luar biasa sakti yang
berbeda jauh dalam usia itu ternyata berimbang. Ka-
rena sampai sekian jauh, adu tarik-tarikan itu masih berlangsung sengit.
Yang kalah kuat adalah tongkat yang tengah
diperebutkan! Karena....
Krakkk! Senjata itu patah dua tepat di tengah-tengah.
Hal ini membuat kedua tokoh yang sama-sama tengah
mengerahkan seluruh kekuatan menarik, kontan ter-
jengkang ke belakang terbawa tenaga tarikan sendiri.
Jagalpati memang pemuda culas yang memiliki
watak licik. Dalam keadaan terjengkang, dia masih
sempat melancarkan serangan. Seketika kepalanya di-
goyangkan. Rambutnya yang panjang sampai ke ping-
gang putus di tengah-tengah.
Wess...! Wess...!
Rambut yang jumlahnya tak terhitung itu me-
luncur ke arah si nenek. Semula berkelompok, tapi
kemudian di tengah jalan memecah menjadi beberapa
bagian. Dan rambut-rambut itu menegang kaku laksa-
na jarum. "Hiaaa...!"
Penghuni Istana Iblis membentak keras. Aki-
batnya, rambut-rambut yang menegang kaku itu kem-
bali melemas seperti semula dan berjatuhan ke tanah, seperti membentur dinding
tidak tampak. Dewa Arak, Sumarni, dan Kebo Gandrung yang
semula merasa khawatir, menjadi lega bercampur ka-
gum. Tapi perasaan itu kembali pupus, ketika melihat Jagalpati menerkam laksana
macan luka ke arah nenek berjubah putih ini.
Si nenek yang baru saja memunahkan seran-
gan rambut, tidak mempunyai kesempatan lagi untuk
mengelak. Serangan susulan Jagalpati memang berse-
lisih sebentar dengan serangan rambut, setelah pemu-
da itu dapat mematahkan kekuatan yang membuat tu-
buhnya terpental.
Tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan
diri, membuat penghuni Istana Iblis ini memutuskan
untuk memapak serangan Jagalpati!
Sementara Jagalpati memang luar biasa cerdik.
Begitu serangan tangannya hampir mencapai sasaran,
kaki kanannya pun ikut pula dilayangkan!
Plak, plak, desss, desss!
Hampir berbarengan dengan benturan dua pa-
sang tangan, kaki kanan Jagalpati berhasil menghan-
tam paha kanan si nenek.
Sementara nenek berjubah putih yang menya-
dari keadaannya kurang menguntungkan itu memang
sengaja membiarkan serangan mendarat. Di saat yang
bersamaan, kaki kirinya dilayangkan ke arah dada.
Sudah terbayang di benaknya kalau dada Jagalpati
akan hancur berantakan!
Akibat masing-masing serangan, membuat tu-
buh Jagalpati dan penghuni Istana Iblis melayang jauh ke belakang. Tapi kalau
Jagalpati mampu menjejak tanah secara mantap, tubuh nenek itu justru terbanting
keras di tanah dan langsung memuntahkan darah segar. Penghuni Istana Iblis ini
terluka dalam yang amat parah! "Nenek...!"
Sumarni langsung meluruk ke arah gurunya.
Tanpa memikirkan keselamatannya kalau-kalau Ja-
galpati menyerang lagi, dia duduk bersimpuh di dekat si nenek.
Dewa Arak memperkirakan hal ini. Maka segera
kakinya melangkah maju dan berdiri di antara Jagal-
pati dan penghuni Istana Iblis. Sikapnya terlihat penuh kewaspadaan.
Namun, Jagalpati tidak mempedulikannya. Pe-
muda ini malah bertolak pinggang, seraya memperden-
garkan tawanya yang sarat kesombongan.
"Sebentar lagi, kalian semua akan kukirim ke
neraka! Kau, Dewa Arak! Kalau masih ingin hidup,
tinggalkan tempat ini! Kau tidak mempunyai urusan
denganku! Aku tidak terlalu berselera membunuhmu!
Pergilah cepat!"
Ucapan Jagalpati memang tidak sepenuhnya
bualan. Penghuni istana Iblis telah tidak mampu
memberi perlawanan lagi. Nenek ini tergolek lemah.
Tak berdaya. "Marni, muridku...," ucap nenek berjubah putih, terputus-putus,
"Segeralah pergi tinggalkan tempat ini. Tidak
ada gunanya, melawan Jagalpati. Iblis itu tidak akan
bisa dibuhuh, kecuali oleh orang yang ada pertalian
batin dengannya. Tidak hanya saudara, istri, maupun
kekasih. Tapi, orang yang telah dicabuli olehnya. Itu saja pun tidak cukup.
Orang itu harus mempunyai sesuatu di dalamnya. Sesuatu dari alam yang akan men-
jadi kekuatan besar di dalam dirinya. Sesuatu itulah yang akan dapat digunakan
untuk membunuh Jagalpati. Katakan, hal ini pada Dewa Arak!"
"Akan kusampaikan, Nek," sahut Sumarni pa-
tuh, terbata-bata.
Sebenarnya, Sumarni tidak perlu menyampai-
kan hal itu. Karena meski diucapkan secara terputus-
putus dan lemah, telinga Arya masih mampu menang-
kapnya. Meski saat itu, Dewa Arak sibuk memperhati-
kan gerak-gerik Jagalpati.
Karena memperhatikan gerak-gerik Jagalpati
itu, Dewa Arak segera melihat keanehan sikapnya. Ja-
galpati yang tadi bersikap pongah, mendadak gelisah.
Perhatiannya tidak ditujukan lagi pada Arya.
"Hi hi hik...!"
Seperti menyambuti kegelisahan Jagalpati,
mendadak terdengar tawa mengikik. Tinggi, melengk-
ing, dan mengerikan. Dan sebelum gema tawa itu le-
nyap, berkelebat sesosok tubuh ramping dan mendarat
di situ. Kulit wajahnya yang pucat kelihatan mengerikan dengan sepasang matanya
yang merah membara.
Bulu-bulu di tubuhnya yang tidak tertutup pakaian
tampak berdiri!
Sosok ramping itu tak lain daripada Arimbi! Pu-
tri Ular Angkasa, Ketua Perguruan Ular Sakti.
Kehadiran Arimbi yang tertawa-tawa ini menge-
jutkan semua orang. Hanya saja, ada dua orang yang
memiliki keterkejutan bercampur perasaan lain. Orang pertama adalah Jagalpati!
Keterkejutan yang diala-
minya, bercampur ketakutan dan kegentaran hebat.
Perasaan itu tampak jelas pada wajah dan sinar ma-
tanya. Orang kedua adalah penghuni Istana Iblis. Nenek ini dengan kemampuannya
membaca pikiran, se-
gera mengetahui kalau Arimbi adalah orang yang dapat membinasakan Jagalpati. Hal
inilah yang membuat


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya berseri-seri.
Kebo Gandrung adalah orang terakhir. Keterke-
jutan yang dialaminya bercampur ketegangan. Tegang,
karena yakin sekali mengenal sosok ramping bermata
merah darah itu.
Tapi, Kebo Gandrung tidak yakin. Maka dengan
jantung memukul keras, ditunggunya kejadian selan-
jutnya. Di lain pihak, Jagalpati berusaha berbalik dan berlari. Tapi ketika
Arimbi mengaum laksana harimau
murka, kedua kaki pemuda ini menggigil. Rasanya,
apabila Arimbi mengaum sekali lagi, Jagalpati akan jatuh! "Manusia berhati
binatang!" desis Arimbi, penuh kebencian. "Sudah saatnya kau harus menebus
kekejianmu terhadap diriku! Kau akan menemui rohku
di alam baka! Ayo, Jagalpati! Ini aku, Cempaka. Wanita yang kau gandrungi, peluk
aku! Cium aku! Perlakukan
aku semaumu!"
"Tidaaak...!" teriak Jagalpati, keras.
Teriakan itu rupanya membuat tenaganya tim-
bul kembali. Jagalpati kemudian menghentakkan ke-
dua tangannya, melakukan pukulan jarak jauh amat
dahsyat. "Hi... hi... hi...!"
Namun Arimbi tertawa mengikik. Dengan kedua
tangan terbuka, disambutnya serangan itu.
Pletak! Tar! "Aakh...!"
"Aakh...!"
Terdengar bunyi letupan yang aneh ketika dua
pukulan jarak jauh itu bertemu di udara, disusul dua jeritan nyeri pun
berkumandang. Jeritan susul-menyusul yang keluar dari mulut Jagalpati dan Arim-
bi. Di saat lengkingan sekarat itu semakin meninggi....
Blarr! Blarrr! Terdengar bunyi ledakan, disusul tubuh Jagal-
pati dan Arimbi yang langsung hancur.
Dewa Arak yang berdiri paling dekat, melompat
mundur agar tidak terkena percikan darah dan caca-
han-cacahan daging. Pada saat yang hampir bersa-
maan, Kebo Gandrung menjerit memilukan, langsung
berhambur ke arah Arimbi yang mengaku bernama
Cempaka. Keadaannya tidak memungkinkan, mem-
buat lari lelaki ini terhuyung-huyung.
"Cempaka...! Istriku...!"
Kebo Gandrung bersimpuh di tempat Arimbi
tadi berdiri. Dengan penuh penyesalan, dipukulnya tanah bertubi-tubi. Mulutnya
mengemikkan perkataan
maaf. "Apa yang terjadi, Nek"! Itukah gadis yang menurut pendapatmu mendapat
kekuatan dari alam"!"
tanya Arya, setengah menebak.
Penghuni Istana iblis mengangguk.
"Gadis itu, ternyata istri Kebo Gandrung. Seper-ti katanya, istrinya telah mati
oleh Jagalpati. Mungkin telah dikuburkannya. Tapi entah dengan cara bagaimana,
mayat Cempaka yang kemungkinan besar telah
dikubur Kebo Gandrung tersambar petir. Jelas itu ka-
rena kuasa Allah. Kalau pada orang lain tidak terjadi
apa pun, tidak demikian mayat Cempaka. Entah den-
gan cara bagaimana, petir mampu membuat Cempaka
hidup kembali. Mungkin karena pengaruh ilmu Jagal-
pati," jelas si nenek panjang lebar.
Dugaan si nenek memang benar. Tapi ada sua-
tu rahasia yang belum diketahui mereka, kecuali Kebo Gandrung. Cempaka
sebenarnya Arimbi yang terpukul
akibat sikap ayahnya yang mengusirnya.
Arya menghela napas berat melihat Kebo Gan-
drung tetap meratap-ratap dalam dukanya. Tapi per-
hatiannya terusik, karena merasa ada orang yang
memperhatikannya. Pemuda ini menoleh. Tampak wa-
jah manis milik Sumarni menyemburat. Arya jadi bin-
gung. Tapi, penghuni Istana Iblis malah terkikik.
"Mungkin kalian harus diikat tali perkawinan
agar tidak saling malu-malu lagi! Hi hi hik...!"
Tawa si nenek mengendur dengan sendirinya.
Tampak ada seraut wajah jelita di benak Dewa Arak.
Berarti, pemuda ini telah mempunyai tambatan hati.
Dan kelanjutannya, Sumarni pasti akan patah hati.
Arya tersenyum penuh permohonan maaf pada
penghuni Istana Iblis. Sengaja benaknya membayang-
kan Melati agar si nenek tahu, kalau dia sudah punya kekasih.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tanah Kutukan 1 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Pengelana Rimba Persilatan 3
^