Pencarian

Samurai Pengembara 5 1

Shugyosa Samurai Pengembara 5 Bagian 1


SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Kelima Oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
Buku Kelima MENGATUR SIASAT
SABURO melihat keempat samurai itu mulai menge-
pungnya. Mereka melangkah melebar dengan tangan di
hulu pedang. Rasanya tak mungkin Saburo dapat
mengelakkan pertarungan.
Satu hal yang menjadi pemikiran Saburo, bila per-
tarungan terjadi, dapat dipastikan samurai lain akan berdatangan. Bukan mustahil
hal itu membuat dirinya menghadapi kesulitan. Saat ini, semua orang dapat
bersekutu untuk melawannya. Menyadari hal ini, Sa-
buro merasa seperti seekor binatang menyongsong pe-
rangkap. Harus ada jalan keluar.
Saburo teringat siasat perang Soen Tzu: Berperang
seratus kali dan memenangkan seluruh pertempuran,
bukanlah siasat yang paling baik. Sedangkan menga-
lahkan musuh tanpa berperang sesungguhnya meru-
pakan siasat perang terbaik.
Aku harus mencoba.
Saburo berdiri menghadapi keempat samurai itu.
Tatapannya tidak berkedip, melihat setiap gerak mu-
suhnya. "Dengan siapa saya berhadapan saat ini?" Saburo
bertanya dengan suara tenang.
"Saya Fukumi, pengawal Yang Mulia Nobunaga," ka-
ta salah seorang di antara mereka. "Saya bermain pedang dengan gaya Junko. Hari
ini saya akan berterima kasih kalau bisa mendapat sedikit pelajaran ilmu pedang
darimu." Fukumi seorang samurai bertubuh tinggi, besar,
dan berpakaian rapi. Ia mengenakan kimono sutera
dengan lambang Nobunaga di lengan kanannya. Selain
kipas, Fukumi membawa dua buah pedang panjang
yang gagangnya dihias butir-butir mutiara. Semua itu
memberikan gambaran bahwa samurai tersebut tentu
memiliki jabatan tinggi.
"Saya Hiromi," samurai di sebelah Fukumi memper-
kenalkan diri. "Saya bermain pedang dengan gaya Gen-jito."
Hiromi kira-kira berusia dua puluh tujuh tahun.
Tubuhnya kurus, namun sinar matanya memperlihat-
kan kecerdasan. Meskipun tidak memakai lambang ke-
shogunan, tetapi tampak ia memiliki pengaruh yang
sangat kuat pada teman-temannya. Dua buah pedang
terselip di pinggangnya.
"Saya Yaeko," sambung temannya.
"Saya Junko."
Yaeko dan Junko berpakaian rapi. Tetapi dibanding
Hiromi dan Fukumi, tampak kedua samurai tersebut
mirip ronin. Kepalanya diikat ke atas tetapi rambut dahinya tetap dibiarkan
tumbuh, satu bukti bahwa
mereka bukan pasukan resmi Nobunaga.
Menurut tafsiran Saburo, dari keempat samurai di
hadapannya, ia harus memperhitungkan permainan
pedang Hiromi dan Fukumi. Dari cara mereka berdiri
pun, Saburo dapat mengetahui bahwa ilmu pedang
kedua orang tersebut cukup tinggi. Melawan mereka
berdua secara serempak pasti akan menyita enerji.
Saburo menatap mereka, kemudian dengan mena-
han perasaan ia berkata, "Sesungguhnya, dengan se-
nang hati saya melayani Anda berempat. Karena buat
saya menghadapi Anda tentu merupakan suatu ke-
hormatan. Tetapi saat ini, saya harus segera ke kuil Fukuda untuk bertemu Yang
Mulia Natane Yoshioka.
Apabila Anda tidak keberatan, biarlah saya menjum-
painya lebih dulu, sesudah itu kita dapat bertemu di suatu tempat."
Keempat samurai itu saling bertatapan. Sinar mata
mereka memancarkan kebimbangan.
Sebelum keempat samurai tersebut mengungkap-
kan keraguannya, Saburo segera berkata, "Saya ber-
sumpah demi ibu saya," katanya sambil membungkuk.
"Setelah kewajiban saya terhadap Yang Mulia Natane
Yoshioka, saya akan menjumpai Anda."
"Bagaimana kalau engkau menemui kami bersama
putra Ashikaga," kata Hiromi.
"Bila Anda menghendakinya, saya akan membawa-
nya serta."
Hiromi menatap ketiga sahabatnya.
"Kurasa ucapannya dapat dipercaya," kata Hiromi.
"Dia seorang samurai sejati, tak mungkin mengingkari sumpahnya. Kecuali itu,
apabila dia membawa serta
putra Ashikaga, kita akan diuntungkan. Sekali me-
langkah, dua kepala dapat kita peroleh. Karena itu aku setuju dengan
tawarannya."
"Bagaimana kalau dia tidak menepati janji?" tanya
Yaeko. "Namanya akan tercemar selamanya. Hidup pun
baginya tidak berharga."
Hiromi berpaling pada Saburo.
"Baiklah, Saburo," katanya penuh tekanan. "Kami
menerima usulanmu, tetapi bila engkau tidak mene-
pati janji, akan kami cemarkan namamu di seluruh
Jepang." "Terima kasih. Saya akan menepati janji."
"Selain itu, kami minta kau ajak Natane Yoshioka
pada pertemuan nanti."
"Saya janjikan pada Anda untuk mengajaknya serta."
"Sekarang kita tentukan, di mana pertemuan itu
akan kita adakan?"
"Saya akan menunggu tiga hari dari hari ini di Hu-
tan Fukuoka, satu mil di sebelah utara kuil Fukuda.
Kita akan bertemu menjelang tengah hari."
"Baiklah, kami akan datang."
"Kalau begitu saya minta diri."
Keempat samurai itu menatap Saburo dengan se-
sungging senyum kemenangan, sementara Saburo se-
gera bergegas pergi. Dengan langkah cepat ia menyelinap di antara rumah-rumah
bordil itu, lalu setengah berlari masuk ke hutan.
Ketika sampai di kuil Fukuda, Yoshioka telah me-
nunggu. Anak itu segera melompat saat melihat Sabu-
ro datang. "Saya sudah menunggu sejak tadi," kata Yoshioka
dengan wajah cemberut. "Saya kira terjadi sesuatu...."
"Memang terjadi sesuatu," tukas Saburo sambil
mengajak Yoshioka duduk. "Hampir saja aku meng-
alami kesulitan. Ada empat samurai yang mengena-
liku. Untung aku dapat memperdaya mereka untuk se-
buah pertarungan."
"Pertarungan?"
"Ya, mereka mau menunda pertarungan tiga hari
lagi." "Siapakah mereka?"
"Pengawal Nobunaga!"
Yoshioka mengerutkan kening. Terbayang di ma-
tanya Saburo bertarung menghadapi keempat samurai
itu. "Bagaimana hasil penyelidikanmu?" Saburo meng-
alihkan pembicaraan.
"Menarik," jawab Yoshioka. Kemudian dengan jelas
ia menguraikan hasil penyelidikannya. "Memang No-
bunaga mempunyai rencana busuk untuk membunuh
Imagawa dalam perjamuan itu. Dia telah memerintah-
kan pasukannya mengepung Istana Kamakura, sehing-
ga bila Imagawa telah masuk, tak mungkin dia dapat
lolos. Dengan jumlah pasukan yang kini menjadi kekuatan utama Nobunaga, rasanya
sulit membayangkan
kita dapat menyelamatkan Shogun Imagawa. Mereka
benar-benar telah menutup segala peluang."
Saburo diam. Ia mencoba mencerna seluruh cerita
Yoshioka dan hasil penyelidikannya sendiri. Meskipun tidak lengkap, tetapi ia
dapat merangkai-rangkaikan sehingga memperoleh gambaran menyeluruh. Naluri-nya
sebagai seorang panglima perang terus bekerja untuk menemukan peluang.
"Kalau kita dapat menyelamatkan Imagawa," kata
Saburo tanpa tekanan. "Kita memperoleh peluang un-
tuk mendapatkan dukungannya. Ini adalah kesempa-
tan yang sebaiknya kita manfaatkan. Pada saat ini per-sekutuan Imagawa dengan
Tokugawa merupakan sua-
tu kekuatan yang cukup kuat, itu sebabnya Nobunaga
akan menghancurkan Imagawa sebelum ia menyerang
Tokugawa. Bila seluruh rencana ini dapat dilaksana-
kan, bukan mustahil dia akan menjadi penguasa selu-
ruh wilayah Jepang. Paling tidak, Owari, Mikawa, dan Suruga dapat dijadikan batu
loncatan untuk menguasai daerah-daerah di sekitarnya."
"Apa yang sekarang bisa kita lakukan?"
"Menyerang lebih dulu kekuatan Nobunaga untuk
menyelamatkan Imagawa."
Yoshioka bertanya, "Tetapi adakah peluang untuk
menerobos pasukan Nobunaga?"
Saburo diam sejurus. Lalu berkata penuh keyaki-
nan, "Mari kita bicarakan strateginya."
*** Pada saat itu Oda Nobunaga sedang berdiri di ruang
kamarnya sambil menatap peta kulit sapi yang digan-
tungkan di dinding. Peta tersebut menggambarkan se-
luruh propinsi di bawah kekaisaran Jepang pada abad ke-16. Dengan nanar ia
menatap wilayah-wilayah yang berdekatan dengan Owari.
Naoko sedang mengaduk sake di dalam cawan. Wa-
nita itu mengenakan kimono yang agak terbuka di ba-
gian bahunya, sehingga memperlihatkan bahunya yang
putih mulus, serta payudaranya yang menggiurkan
terlihat menyembul keluar.
Sambil membawakan cawan sake untuk Nobunaga,
Naoko mendekati lelaki tersebut.
"Apa yang engkau pikirkan, Kekasihku?"
"Pergerakan kekuasaan yang akan kita jalankan."
Naoko menatap peta di dinding itu.
"Setelah Owari, sebentar lagi Suruga...."
"Sesudah itu?"
"Totomi."
"Sesudah itu?"
"Kai."
"Sesudah itu?"
"Shinano."
"Lalu?"
"Mino."
"Kemudian?"
"Mikawa."
"Setelah itu?"
"Aku akan bergerak ke seluruh propinsi untuk me-
naklukkan semua panglima propinsi. Menjadi shogun
di seluruh wilayah Tengah. Dengan kekuatan yang
ada, kukira impianku bukan sekadar omong kosong."
Naoko mendekat, lalu memberikan cawan sake pada
Nobunaga. "Kita akan membuktikan bersama."
*** NAFSU TAZUMI membuka pakaiannya. Ia membiarkan Ma-
yeda Toyotomi menciumi seluruh tubuhnya. Sambil
berbaring, wanita itu dengan lembut membelai pangkal paha kekasihnya. Lelaki
tersebut mendesah, merasakan kenikmatan merayap ke seluruh pori-pori tubuh-
nya. Ia merasakan getaran kenikmatan dari kepala
hingga ujung kaki. Seperti seorang anak yang merin-
dukan kasih sayang ibunya, Mayeda memeluk wanita
itu dengan penuh kasih sayang.
Terbayang di pelupuk matanya, ketika dulu masih
tinggal di Kana, sebuah desa kecil di wilayah Suruga.
Saat Mayeda lahir, ayahnya telah tiada. Menurut ibunya, ayah Mayeda seorang
samurai yang tewas dalam
suatu pertempuran di Mikawa. Peristiwa itu telah lama berlalu, namun hingga kini
meninggalkan kenangan
pahit baginya. Sejak kecil Mayeda hidup hanya dengan ibunya, se-
hingga ibunya menjadi satu-satunya gambaran wanita
di jiwanya. Masih terbayang dengan jelas, bagaimana ibunya membelai-belai
rambutnya ketika mereka berbaring di ranjang. Biasanya dalam saat-saat seperti
itu, ibunya akan menceritakan tentang kehebatan
ayah Mayeda. "Ayahmu seorang pemain pedang yang hebat," kata
ibunya berulang kali. "Dia samurai sejati yang meng-abdikan seluruh hidupnya
pada Shogun Toyotomi,
penguasa Suruga dan Imakawa. Karena itu ketika eng-
kau lahir, ayahmu memberimu nama Toyotomi untuk
mengenangkan pengabdiannya."
Pada saat-saat seperti itu, Mayeda akan memeluk
ibunya, untuk merasakan perlindungannya.
Pada saat Mayeda kecil, Jepang sedang penuh ke-
melut dan perang saudara. Bagai awan gelap yang me-
nutupi matahari, suatu zaman yang bergolak dan pe-
nuh pertumpahan darah serta peperangan tak henti-
hentinya terjadi. Kebangkitan kaum samurai melahir-
kan pertarungan di mana-mana. Kelompok puak Taira dan puak Monamoto mengobarkan
peperangan dah-syat. Hampir satu juta samurai tewas dalam pertikaian untuk
memperebutkan wilayah kekuasaan. Ribuan de-sa dibumihanguskan, kuil-kuil
dihancurkan, dan la-
dang-ladang dijadikan medan perang.
Di tengah kekalutan itu, Mayeda terbiasa berlin-
dung di dalam pelukan ibunya. Biasanya, bila ia melihat para samurai berderap di
jalan desanya, Mayeda
langsung lari ke ibunya. Kebiasaan itu membangkitkan kebahagiaan di dalam
jiwanya. Ibunya, bagi Mayeda,
bukan cuma wanita yang melahirkan dirinya ke dunia, tetapi lebih dari itu, dia
pelindung, pemberi kebahagiaan, dan penghibur yang penuh kasih sayang.
Sampai umur tujuh belas tahun, ketika ia sudah
menjadi pemain pedang yang hebat, Mayeda masih ti-


Shugyosa Samurai Pengembara 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dur dalam pelukan ibunya.
Suatu hari ibunya bertanya, "Kapan engkau akan
kawin, Mayeda?"
"Aku belum menemukan wanita yang cocok," jawab
Mayeda singkat.
"Belum ada yang cocok?"
"Ya."
"Apakah engkau sudah mencari?"
"Sudah."
"Perempuan macam apa yang kauinginkan menjadi
istrimu?" "Perempuan yang seperti ibu."
Ibunya tersenyum, lalu memeluk Mayeda dengan
penuh kemesraan.
"Kau memang benar-benar anakku," kata ibunya
sambil membelai rambutnya. "Aku bangga padamu."
Di Suruga, ketika Mayeda menjadi panglima perang,
sesungguhnya banyak gadis-gadis yang ingin menjadi
istrinya. Bahkan Imagawa beberapa kali mempertemu-
kan Mayeda dengan gadis-gadis istana, tetapi tak satu pun mampu menggerakkan
hati panglima perang itu.
Bagi Mayeda, gadis-gadis berusia belasan tahun itu tidak memberikan rangsangan
apa pun. Di matanya,
mereka seperti anak-anak kecil yang tidak mampu
membangkitkan nafsu birahi.
Maka ketika suatu hari ia bertemu Tazumi, jiwanya
tiba-tiba bergetar hebat. Wanita yang usianya hampir dua kali umur Mayeda itu
telah membangkitkan gelora nafsu dalam dirinya. Ia seakan menemukan kembali
ibunya! Hanya kini sedikit berbeda, Tazumi tidak saja mampu membangkitkan
kerinduan Mayeda pada ibunya, tetapi wanita itu juga dapat merangsang nafsu bi-
rahinya. Setiap kali Mayeda bercinta dengan Tazumi, ia selalu membayangkan
bercinta dengan ibunya.
Sambil terus membelai-belai tubuh Mayeda Toyo-
tomi, Tazumi berkata, "Kemarin Imagawa mengirim se-
orang kurir untuk memberikan beras sepuluh gantang untukku. Aku sendiri heran,
dia menganggap jumlah
tersebut cukup untuk memberi makan orang-orang
yang tinggal bersamaku di puri ini. Semakin lama dia semakin tidak tahu
diri...." Mayeda Toyotomi mendesah. "Jangan terlalu eng-
kau risaukan," katanya membujuk. "Sebentar lagi dia tak akan dapat memperlakukan
dirimu seperti itu lagi.
Perjalanannya ke Kamakura akan menjadi perjalanan-
nya yang terakhir. Sesudah itu, engkau dapat menjadi penguasa di Suruga."
"Rasanya aku sudah tidak sabar lagi melihat kepa-
lanya berada di atas nampan."
"Bersabarlah, tidak ada sepuluh hari lagi, hal itu
akan menjadi kenyataan."
Tazumi mencium bibir Mayeda. Mereka saling me-
magut dengan penuh nafsu. Lidah wanita itu menye-
ruak ke rongga mulut lelaki tersebut. Ketika berhenti berciuman, Tazumi
bertanya, "Sudah sejauh mana
persiapan kita untuk memulai suatu operasi?"
"Jangan kaurisaukan," jawab Mayeda datar. Ia men-
desah lagi. "Semua rencana telah kita jalankan. Seluruh mata-mata telah menyebar
di Kamakura, demikian
pula formasi pengawal Imagawa. Telah kususupkan
orang-orang kita di dalam pasukan pengawal itu, se-
hingga dapat kujamin rencana kita bakal terlaksana
dengan baik. Ketika Imagawa meninggalkan istana di
Suruga, ia seperti seekor binatang di tengah kepungan pemburu. Tak mungkin
lolos." "Harus kita binasakan seluruh keluarganya."
"Pasti."
"Aku tidak peduli apakah perempuan atau lelaki,
tua atau muda, semua orang yang memiliki pertalian
darah dengan Imagawa harus dibunuh."
"Kurasa itu merupakan sebuah rencana yang sem-
purna." "Aku tahu apa yang harus kulakukan."
"Sungguhkah?"
Tazumi menatap Mayeda, lalu tersenyum penuh pe-
ngertian. "Ya," katanya lembut. "Juga apa yang harus kulakukan saat ini...."
Mayeda mendesah ketika wanita itu melepas selu-
ruh pakaiannya, lalu mulai menindihnya.
*** Kaki-kaki kuda berderap di atas genangan air di atas
tanah. Air yang muncrat seperti kepingan-kepingan
kaca bertebaran. Sinar bulan purnama menerangi hu-
tan Amagi, berkas cahayanya menerobos sela-sela pe-
pohonan. Suara burung maliun sesekali terdengar di-
tingkah raungan serigala.
Mayeda Toyotomi terus memacu kudanya. Pakai-
annya yang berwarna putih tampak berkerjap-kerjap
dalam terpaan sinar rembulan. Kudanya yang berwar-
na hitam mendengus-dengus, sementara surai rambut-
nya berkibaran diterpa angin. Kaki-kaki binatang itu menderap di tanah,
meninggalkan debu tipis bertebaran.
"Heaaah!" teriak Mayeda sambil menghentakkan
kaki ke perut kudanya. "Heaaah!"
Kuda itu terus dipacu. Di tengah kegelapan malam,
kuda dan penunggangnya itu tampak seperti siluman
terbang. Di sebuah tikungan, Mayeda tiba-tiba mena-
rik tali kekang kudanya. Binatang itu seketika meringkik sambil berdiri di kedua
kaki belakangnya. Dengan kesigapan seorang ksatria samurai, Mayeda mencabut
pedangnya. Ia tadi melihat sesosok manusia berpakai-an serba hitam menerobos
semak belukar di depannya.
"Siapa di situ?" teriak Mayeda sambil mencoba me-
nguasai kudanya. "Siapa di situ" Keluarlah!"
Tidak ada jawaban. Hutan itu justru terasa lebih
sepi. Lebih menakutkan. Hanya suara angin yang meng-gesek dedaunan menimbulkan
suara gemerisik. Tetapi
Mayeda dapat merasakan kehadiran orang lain di tem-
pat itu. Ia terus duduk di punggung kudanya dengan
sikap waspada. Bilah pedang panjangnya berkilauan
tertimpa sinar rembulan.
"Saya tahu kau bersembunyi di balik semak," kata
Mayeda lantang. "Karena itu, siapa pun dirimu, keluarlah!"
Kuda itu terus meringkik-ringkik, ia seakan melihat iblis di tengah kegelapan.
Ketika orang yang dimaksud tidak juga keluar dari
persembunyian, Mayeda berteriak, "Saya Mayeda Toyo-
tomi, pengawal Yang Mulia Imagawa, apabila engkau
menginginkan nyawaku, keluarlah. Kita dapat berta-
rung sebagai kesatria. Dengan senang hati saya akan melayanimu...."
Dari balik semak yang kira-kira dua ratus meter da-
ri tempat Mayeda berhenti, tiba-tiba muncul sesosok hitam yang hampir seluruh
tubuhnya terbalut kain hitam.
"Ninja!" seru Mayeda kian waspada.
Ninja itu berdiri diam sambil menatap Mayeda Toyo-
tomi, tetapi ia tidak memperlihatkan sikap akan me-
nyerang. Hanya sinar matanya yang tajam menatap
Mayeda Toyotomi.
"Saya tidak berurusan dengan ninja," seru Mayeda
penuh tekanan. "Tetapi kalau seseorang telah menyu-
ruhmu untuk membunuhku, saya bersedia mengha-
dapimu. Namun sebelum engkau melaksanakan perin-
tah, sebaiknya engkau mengatakan asalmu dan siapa
yang memberimu perintah mencegatku."
Ninja itu diam membeku. Kemudian secara tiba-
tiba, ia membanting sesuatu ke tanah. Terdengar sua-ra ledakan mirip petasan
yang disusul asap warna hijau menyelubungi ninja tersebut. Ledakan itu mem-
buat Mayeda silau, untuk sejenak ia kehilangan pan-
dangannya, ketika penglihatannya telah pulih kembali, ternyata ninja tersebut
telah lenyap. "Bedebah!" rutuk Mayeda menggeram. "Siapa pun
kamu dan apa pun yang hendak kaulakukan, aku ti-
dak gentar menghadapimu."
Untuk beberapa saat Mayeda menunggu, tetapi ke-
tika ninja tersebut tidak muncul lagi, ia segera menggebrak punggung kuda dan
memacunya menuju Suru-
ga. "Heaaah!"
Suruga telah sepi. Rumah-rumah serta jalanan te-
lah ditelan kesunyian malam. Beberapa warung masih
buka, di dalamnya terlihat sejumlah orang masih berbincang-bincang sambil minum
sake. Beberapa di an-
taranya sudah mulai mabuk. Ketika mereka men-
dengar derap kaki kuda, orang-orang itu menoleh se-
bentar, membungkukkan kepala, lalu kembali dengan
keasyikan mereka dengan cawan sake.
Mayeda terus memacu menuju bangunan di dalam
benteng Istana Suruga. Sebagai seorang panglima pe-
rang, rumahnya berada di dalam benteng. Kira-kira li-ma ratus meter dari
kediaman Imagawa. Saat mema-
suki gerbang istana itu, Mayeda tersenyum sendiri. Di benaknya terbayang saat-
saat indah dalam kehidupannya.
Bila seluruh rencanaku berhasil, tidak lama lagi seluruh istana ini akan menjadi
milikku. Akan kutulis dengan tinta emas, awal sejarah baru di negeri ini.
Istana Suruga yang bertingkat tujuh, dari kejauhan
terlihat seperti susunan payung yang amat indah. Ratusan lampion yang menghiasi
istana tersebut, men-
ciptakan suatu pemandangan yang memukau. Mayeda
tahu, di dalam istana itu Imagawa memuaskan bakat
seninya dengan melukis dan menulis haiku (sajak pendek yang sangat indah).
Sesekali shogun menyelenggarakan upacara minum teh, untuk memamerkan keha-
lusan budi pekertinya. Mengenangkan hal ini, Mayeda tersenyum sendiri. Selama
ini Imagawa dapat menjala-ni kehidupan seni ritual itu karena Mayeda melakukan
segala upaya untuk menjaga keselamatan shogun tersebut. Tidak satu ancaman pun
dibiarkan lepas dari
pengamatannya. Tetapi apa yang kuperoleh selama ini" Hanya beras dua ratus gantang, gula,
garam, dan sejumlah pakaian yang kukenakan. Kehidupanku tetap sederhana. Shogun
seakan menganggap, pemberian jatah makanan
serta pakaian itu, telah cukup untuk panglima perang-
nya. Padahal ia tahu, tanpa kesetiaanku, Suruga sesungguhnya tak berarti apa-
apa. Bila bukan karena diriku, Tokugawa Ieyasu, penguasa Mikawa, telah
menggempur habis Suruga beberapa tahun lalu. Imagawa selama ini selalu
beranggapan, kekuasaan dapat dipertahankan dengan kebesaran nama leluhurnya dan
kewi-bawaan pribadinya. Segera, sesudah ia berangkat ke Kamakura, akan
kubuktikan bahwa kekuasaan tak dapat dipertahankan dengan cara itu. Kekuasaan
mem-butuhkan kekuatan pertahanan serta kemampuan penyerangan.
Mayeda Toyotomi sampai di depan rumahnya. Ia tu-
run. Seorang pelayan di rumahnya muncul tergopoh-
gopoh untuk membawa kuda ke kandang.
Sambil memberikan tali kekang kudanya, Mayeda
berkata, "Kau belum tidur?"
"Belum, Tuanku. Saya tahu Anda akan kembali."
"Terima kasih, kau sudah menungguku."
"Itu sudah menjadi kewajiban saya, Tuanku."
Mayeda tersenyum. Ia gembira mendengar jawaban
itu. Pelayan itu masih baru, baru tiga hari ia bekerja di rumah Mayeda
menggantikan pelayan lama yang tiba-tiba meninggal akibat keracunan. Meski baru
tiga hari bekerja, pelayan itu seakan sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk
menyenangkan majikannya.
Ketika Mayeda menaiki anak tangga rumahnya, ia
ingat tentang rencana perjalanannya besok pagi.
"Daisuke," panggilnya.
Pelayan itu berpaling, "Ya, Tuanku."
"Siapkan kuda itu besok pagi. Aku harus mengha-
dap Yang Mulia Imagawa."
"Sebelum Tuanku bangun, kuda ini sudah akan
saya siapkan."
"Jangan lupa kausiapkan pula pakaianku untuk
memasuki istana."
"Saya akan mempersiapkan semuanya."
"Hmm, baik. Kerjamu memang baik."
"Terima kasih, Tuanku."
Mayeda masuk ke dalam rumah. Daisuke Togakure
menatap bayangan majikannya hingga lenyap di balik
pintu. Tatapannya berubah dingin. Tanpa ekspresi.
*** PEMERIKSAAN NOBUNAGA berdiri di depan Ruang Perjamuan dengan
berbagai pikiran mengusik jiwanya. Ratusan orang tengah bekerja merapikan tempat
itu. Kecuali pintu-
pintu dorong diganti dengan pintu kayu yang tebal,
lantai kini dilapis kayu berpelitur, sehingga kecuali licin, lantai itu juga
berkilat - dan mudah terbakar.
Pohon-pohon di sekitar tempat itu ditebang, pagar-
pagar dicabut, dan kolam ikan di belakang ruangan itu ditimbun tanah. Sebuah
gazebo yang berada di samping tempat itu dibongkar untuk menghindari keba-
karan yang mungkin merambat ke bangunan istana.
Persiapan penyergapan benar-benar telah dilaksana-
kan dengan rapi.
"Tidak ada lagi peluang untuk lolos," kata Konishi-
wa yang berdiri di samping Nobunaga dengan bangga.
"Tempat ini sudah dikucilkan dari perlindungan yang kemungkinan dapat digunakan
orang-orang Imagawa."
"Perjamuan ini akan menjadi perjamuan terakhir
baginya." "Benar, Yang Mulia."
"Bagaimana dengan persediaan sake?"
"Kami telah mendatangkan seratus tong dari Oni,
sake terbaik untuk pesta."
"Sediakan sebanyak mungkin, sehingga Imagawa
memperoleh hari terakhir sebaik-baiknya. Jangan terlalu kikir pada para
pengawalnya agar mereka tidak
mempunyai dugaan apa pun sebelum pesta yang se-
sungguhnya dilangsungkan."
"Saya akan melaksanakan perintah Anda sebaik-
baiknya." Nobunaga berjalan mengelilingi ruang perjamuan
itu. Meskipun membisu, namun sinar matanya tampak
memancarkan kepuasan. Di benaknya terbayang ba-
gaimana orang-orang Imagawa sekarat ditelan kobaran api. Nobunaga sendiri
sesungguhnya menganggap
pembantaian itu sangat kejam. Ia lebih senang me-
menggal kepala mereka, namun cara tersebut akan
membangkitkan perlawanan para pengawalnya. Per-
tempuran pasti lak terhindarkan. Korban di kedua belah akan berjatuhan. Tetapi
dengan cara menyekap


Shugyosa Samurai Pengembara 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka di ruang tertutup, lalu membakarnya, mes-
kipun terasa kejam, tetapi sangat tepat. Tak akan ada korban di pihaknya, dan
seluruh musuh akan dapat
dimusnahkan. Tiga orang laki-laki sedang menggosok lantai kayu
ruang tersebut dengan kain perca. Saat melihat kehadiran Nobunaga, ketiga orang
itu langsung berhenti
dan bersujud. Nobunaga berdiri di tengah ruangan, menatap se-
tiap sudut bangunan itu. Lampu kristal yang tergan-
tung di tengah ruangan menarik perhatiannya. Lampu
tersebut dipenuhi ukiran yang rumit dan sangat halus buatannya. Cahaya matahari
yang menerobos dari celah ventilasi memantulkan sinar keperakan dari lampu itu.
Sesungguhnya Nobunaga merasa sayang membiarkan lampu kristal tersebut meleleh
dilalap api, namun kemegahannya dapat menghilangkan kecurigaan Imagawa.
Orang-orang Suruga akan kuberi kesempatan me-
ngagumi keindahan kristal itu sebelum mereka mati.
Sesudah berjalan keliling, Nobunaga melangkah ke
tengah ruangan. Ia tersenyum.
"Konishiwa," katanya kemudian. "Panggil kemari pe-
main shamizen. Aku ingin menari di sini."
Konishiwa menatap Nobunaga tidak percaya.
"Sebelum tempat ini dimusnahkan, aku ingin me-
nikmati keindahannya. Biarkan aku menari sambil
bernyanyi."
Konishiwa langsung membungkuk, lalu pergi. Sepu-
luh menit kemudian ia muncul lagi bersama seorang
perempuan pemain shamizen. Gadis itu berpakaian
sutera warna merah, dengan motif gambar sakura
yang sedang mekar. Rambutnya dibiarkan tergerai ke
bahu, sehingga mempertegas garis kecantikannya. De-
ngan sopan pemain shamizen tersebut duduk di sudut
ruangan menunggu perintah Oda Nobunaga.
"Mainkan yakazuri," kata Nobunaga.
Yakazuri merupakan nyanyian tentang perang. Se-
jak zaman Minamoto, lagu tersebut sering dinyanyikan ketika suatu pasukan hendak
berlaga di medan pertempuran. Lagu tersebut menjadi semacam ritual pe-
perangan di Jepang.
Nobunaga berdiri diam, lalu mulai merentangkan
tangan dengan gerak gemulai. Ia mulai melangkah de-
ngan ringan, berputar seperti seekor kupu-kupu. Ko-
nishiwa bersimpuh menyaksikan junjungannya menari
dengan gemulai. Langkah kakinya seakan tidak te-
rangkat dari lantai, namun melesat ke kanan ke kiri dengan cepat. Oda Nobunaga,
selain seorang panglima perang yang tangguh, memang memiliki kepandaian
menari yang mengagumkan. Gerakan tariannya demi-
kian mempesona, persis seperti ketika ia memainkan
pedang. Nobunaga mulai menyanyi:
Jauh awan di langit
ribuan bintang bertebaran,
musuh melawan dengan sengit
semangat berperang kita kian berkobar.
Gerakan Nobunaga kini semakin cepat, kelenturan
tubuhnya membuat Konishiwa terpesona. Kimono su-
tera merah yang dikenakannya seakan berubah men-
jadi sirip ikan pari yang berkembang lebar.
Merah senja di atas gunung
awan merayap ke angkasa raya,
darah tumpah saat bersabung
akan menjadi prajurit masuk surga.
La la la la la, la la la la....
Hasrat ksatria untuk menyerang
roh serta hati menyongsong ajal,
semangat baja di jalan pedang
merupakan jalan suci ke alam kekal.
Nobunaga terus menari, mengulang-ulang bait nya-
nyiannya dengan penuh penghayatan. Butir-butir ke-
ringat tampak di dahi, namun lelaki tersebut tak peduli. Ketika akhirnya tarian
itu selesai, ia tersenyum puas. Konishiwa bertepuk tangan untuk memberikan
penghormatan pada junjungannya.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Konishiwa-san?"
Nobunaga bertanya sambil menghapus keringat di dahi dengan tangannya. "Apakah
aku masih menari dengan
bagus?" "Sangat sempurna, Tuanku."
"Benarkah?"
"Tak kurang suatu apa."
"Kuingin kau mengenangkan hari ini, Konishiwa-
san, tarian tadi akan menjadi tanda tentang ber-
akhirnya marga Imagawa. Aku akan menandainya se-
bagai suatu penghormatan lenyapnya marga yang per-
nah besar dan berjaya dalam sejarah."
*** Di salah satu ruang istana, Naoko menunggu Nobuna-
ga dengan sesungging senyum mesra. Pada saat itu ia tengah bicara dengan seorang
laki-laki yang duduk
bersimpuh di lantai. Ketika melihat Nobunaga datang, mereka langsung diam.
"Bagaimana persiapan di Ruang Perjamuan?" Naoko
bertanya. "Tampaknya semua sudah siap. Tinggal pelaksa-
naannya saja."
"Saya mendengar engkau tadi menari di sana."
"Ya, aku membuat tarian sebagai pertanda akhir
dari marga Imagawa dalam sejarah."
Naoko tersenyum. Pada saat itu Nobunaga melihat
lelaki yang sedari tadi duduk di ruangan itu.
"Siapa dia?" Nobunaga bertanya.
"Seorang ninja," jawab Naoko tanpa tekanan.
"Ninja" Untuk apa?"
"Saya menyuruh dia mengumpulkan informasi ten-
tang Imagawa. Menurut keterangan yang berhasil di-
himpun, keberangkatan mereka kemari telah ditentu-
kan dalam rapat dewan marga. Tetapi ada keterangan
tambahan yang cukup menarik mengenai Mayeda To-
yotomi." "Mayeda" Kenapa?"
"Saat ini Mayeda Toyotomi sedang menghimpun ke-
kuatan untuk menggulingkan shogun Imagawa."
Nobunaga langsung berpaling pada ninja yang du-
duk di depannya. "Benarkah keterangan itu?"
Ninja itu membungkukkan badan hingga kepalanya
menyentuh lantai. "Demikianlah yang saya dengar,
Yang Mulia."
"Seberapa jauh rencana Mayeda?"
"Saat ini dia tengah menghimpun kekuatan dari pa-
ra ronin dari luar Suruga. Menurut yang hamba den-
gar, rencana penggulingan itu akan dilakukan bersa-
maan waktunya dengan kunjungan shogun Imagawa
kemari." "Seberapa besar kekuatannya?"
"Tidak seorang pun mengetahui, tetapi menurut de-
sas-desus ada dua ribu pengawal Imagawa telah me-
nyatakan bersedia mendukung rencananya. Mereka
adalah orang-orang yang merasa kecewa dengan Im-
agawa." "Sial! Itu akibat kekuasaan yang tidak ditopang ke-
beranian menumpas perlawanan," kata Nobunaga ge-
ram. Kumisnya bergerak-gerak karena menahan ma-
rah. "Mayeda Toyotomi," desisnya lirih. "Anak itu jauh lebih berbahaya dibanding
Imagawa. Dia seorang panglima perang, samurai sejati, dan seorang yang
kelihatannya mempunyai keberanian untuk berperang. Teta-
pi ketika aku bertemu dengannya beberapa bulan lalu, dia tampak seperti seorang
prajurit yang sangat setia pada Imagawa. Rasanya sukar dipercaya kalau sekarang
dia makar."
"Hamba telah menyusup ke dalam pasukannya, se-
hingga semua yang hamba laporkan adalah benar ada-
nya." Nobunaga menghela napas panjang. Wajahnya ber-
kerut seakan memikirkan sesuatu yang sangat pen-
ting. Ia berjalan mondar-mandir seperti lelaki linglung.
Kini terbayang di pelupuk matanya situasi rumit yang harus dipecahkan dengan
segera. Bila informasi itu
benar, maka jalan kemenangannya tak semudah yang
ia bayangkan. Kematian Imagawa, betapa pun tidak
secara otomatis memberikan kekuasaan padanya atas
wilayah Suruga. Bila pada saat yang bersamaan Ma-
yeda mengambil alih kekuasaan di Suruga, ia seakan
justru melicinkan jalan bagi Mayeda untuk berkuasa.
"Jahanam!" rutuknya geram. "Mayeda dapat me-
manfaatkan langkahku untuk merebut kekuasaan tan-
pa dicela rakyat Suruga. Kurang ajar!"
"Apakah yang sekarang akan kita lakukan?" Naoko
bertanya cemas.
"Aku sedang memikirkannya," jawab Nobunaga
sambil berpikir keras. Kemudian ia berkata seakan pa-da diri sendiri, "Rasanya
tidak mungkin Mayeda melakukan rencana ini seorang diri. Melihat ketulusan hati
anak itu, pasti ada seseorang yang menghasut dan
mempengaruhinya. Dan ini pastilah sesuatu yang luar biasa. Bila tidak luar
biasa, tak mungkin mampu meng-ubah kesetiaan seorang samurai menjadi pengkhia-
natan." Naoko langsung berpaling pada ninja itu, ia ber-
tanya, "Tahukah engkau siapa yang berada di belakang pengkhianatan Mayeda?"
"Tazumi," jawab ninja tersebut tegas. "Bekas istri
ayah shogun Imagawa."
"Persis!" kata Nobunaga menggeram. "Aku sudah
membayangkannya. Ular betina itu sejak dulu memang
berbahaya."
Naoko bertanya, "Apa yang sekarang akan engkau
lakukan?" Nobunaga tersenyum tipis. Sinar matanya kembali
berapi-api. "Jangan risau. Aku mempunyai suatu rencana."
*** PERTARUNGAN MATAHARI merayap di balik hutan. Cahayanya yang
berwarna perak menerobos sela-sela dedaunan. Angin
yang bertiup keras, menerbangkan daun dan sampah.
Bunga-bunga sakura mulai berguguran. Daunnya yang
berwarna kuning, sekarang bertebaran di atas rerum-
putan. Saburo Mishima berjalan mendaki hutan menuju ke
tempat pertarungan akan dilangsungkan. Langkahnya
mantap, seakan sedang menyongsong maut sebagai se-
orang pahlawan. Bayangan tubuhnya memanjang ke
belakang. Dua buah pedang panjang terselip di ping-
gang kanan, sementara pedang pendeknya melintang
di pinggang kiri.
Di belakang Saburo, Yoshioka berjalan bergegas. Ia
mengenakan kimono warna merah, dengan sebuah pe-
dang panjang dan pendek. Matanya berkerjap-kerjap
seakan memancarkan kegelisahan yang dipendam.
Berbeda dari biasanya, hari ini rambut Yoshioka di-
kuncir ke atas diikat kain sutera warna merah.
Sambil mengejar langkah Saburo, Yoshioka ber-
tanya, "Apakah pertarungan ini memang harus kita lakukan?"
Saburo menjawab, "Ya. Ini adalah jalan pedang seo-
rang samurai. Aku telah menjanjikan pertarungan ini pada mereka. Jadi tidak ada
alasan untuk menghindarinya. Kalau kita tidak datang, mereka akan menertawakan
kita. Kehormatan di jalan pedang menjadi lan-
dasan semangat bushido kaum samurai. Untuk kehormatan kita, kau harus berani
menebus dengan nya-
wamu." "Tetapi mereka berempat...."
"Jangankan berempat, seratus orang pun akan ku-
hadapi untuk mempertahankan kehormatan. Kita ti-
dak boleh mengingkari janji."
Yoshioka diam. Ia menengadah melihat dua ekor
burung gagak yang terbang tanpa mengepakkan sayap.
Kedua burung tersebut seperti layang-layang yang menukik rendah. Kedua sayapnya
merentang lebar mirip
selendang sutera hitam yang direntangkan.
"Burung-burung itu membawa isyarat bahwa me-
reka telah datang," kata Saburo pada Yoshioka. "Kuharap kita tidak terlambat."
"Rupanya mereka akan menggunakan kesempatan
menunggu untuk menghimpun kekuatan. Mereka su-
dah memperhitungkan kita dalam keadaan lelah ketika sampai di sana."
"Rupanya kau sudah banyak belajar."
"Bukankah itu taktik Soen Tzu mengenai posisi dan
penyerangan?"
Saburo tersenyum sambil membelai-belai rambut
Yoshioka. Mata anak itu bersinar-sinar bangga.
Kuil Fukuda terletak di dataran rendah di tengah
hutan Fukuoka. Selain dikelilingi hamparan rumput
hijau, kuil itu dikelilingi pohon kriptomeria yang ber-daun merah. Dahulu, di
zaman keemasan puak Mina-
moto, kuil Fukuda menjadi salah satu kuil pemujaan
yang ternama. Namun ketika Minamoto berperang de-
ngan puak Taira, kuil tersebut dihancurkan. Lima belas pendeta Budha yang
dicurigai menjadi mata-mata
musuh disalib lalu dibakar. Kini kuil tersebut tinggal sebagai puing-puing
berserakan. Batu-batu bangunan-nya bertebaran, berlumut, dan kusam.
Ketika Saburo dan Yoshioka tiba di tempat itu, se-
perti telah diduga, keempat samurai tersebut telah datang lebih dulu. Mereka
sekarang duduk-duduk di ba-
tu kuil menunggu. Wajah mereka langsung bersinar
ketika melihat kedatangan Saburo dan Yoshioka.
Fukumi langsung berdiri menyambut kedatangan
Saburo. "Saya kira Anda tidak datang," kata Fukumi tajam.
"Kami sudah menunggu lebih dari dua jam."
Saburo membungkukkan badan. "Saya minta maaf
atas keterlambatan ini. Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan sebelum
menuju kemari. Saya khawa-tir tidak akan kembali lagi."
"Anda terlalu merendahkan diri," sambut Hiromi
sambil membungkukkan badan. "Tetapi apa pun ala-
san keterlambatan Anda, terimalah rasa hormat kami
untuk Anda. Betapa pun kedatangan Anda kemari me-
rupakan bukti bahwa Anda seorang samurai sejati."
"Terima kasih atas pujian Anda."


Shugyosa Samurai Pengembara 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah anak itu putra Ashikaga?" Fukumi ber-
tanya. Saburo mengangguk. "Benar. Dialah Natane Yoshi-
oka." "Apakah Anda sudah menceritakan padanya menge-
nai soal-soal yang akan kita pertaruhkan hari ini?"
"Saya telah menceritakan semuanya. Bila hari ini
saya kalah bertarung dengan Anda, dia akan menye-
rahkan kepalanya."
Fukumi menatap Yoshioka, ia melihat pancaran ke-
beranian yang sukar dimengerti. Tatapan mata anak
itu membenarkan ucapan Saburo.
Sesudah menatap Yoshioka, Hiromi bertanya cerdik,
"Dapatkah Anda membuktikan bahwa dia benar-benar
putra Ashikaga?"
Saburo menatap Yoshioka. "Dapatkah kau mem-
buktikannya?"
Yoshioka membuka kimononya, di balik kimono itu
tampak pakaian sutera berwarna emas, lengkap de-
ngan lambang Ashikaga. Keempat samurai itu lang-
sung tersenyum menyeringai. Mereka merasa mene-
mukan keberuntungan yang begitu besar. Ratusan,
bahkan ribuan orang, memburu Saburo dan Yoshioka,
namun justru buronan itu kini datang untuk menye-
rahkan nyawa. "Apakah kalian percaya?"
Hiromi berpaling pada teman-temannya. Lalu men-
jawab, "Saya rasa kami mempercayainya."
"Kalau begitu mari kita mulai pertarungan kita."
"Anda sudah siap?"
"Takdir saya ditentukan hari ini."
Saburo mencabut pedang, kemudian melangkah
menyamping kanan. Tangannya bergetar, menghimpun
seluruh enerji ke dalam genggaman, lalu menyalurkannya ke pedangnya. Keempat
samurai itu melangkah
menyebar, mengepung. Tatapan mereka terpusat pada
Saburo, terus mengikuti setiap langkah lawannya. Hiromi mencabut kedua
pedangnya, kemudian mulai
mendesak lawannya. Saburo tahu, di antara mereka
berempat, Hiromi tak dapat dianggap enteng. Tatapan lelaki itu memperlihatkan
keteguhan jiwa seorang samurai. Fukumi mencabut pedang pendek dan pedang
panjang di pinggangnya. Ia melangkah mengepung de-
ngan gerak seringan tupai. Sementara Yaeko dan Jun-
ko ikut mempersempit ruang gerak Saburo.
Matahari terus mendaki langit. Panasnya seperti api membakar, membuat peluh
kelima samurai itu mem-bulir di tubuh mereka. Melihat setiap gerak musuh-
musuhnya, Saburo menyadari lengah sedetik saja, ia
pasti akan kehilangan kepala. Dari cara keempat mu-
suhnya melakukan pengepungan, Saburo dapat me-
ngetahui musuhnya berilmu cukup tinggi.
Gebrakan dimulai oleh tebasan Fukumi, sebuah te-
basan melintang dengan suara mendesis, Saburo me-
nundukkan kepala sehingga pedang itu memotong
udara dua inci di atas tubuhnya. Saat Saburo menge-
lak, Hiromi telah menerjang dengan ayunan pedang
vertikal, dengan cepat Saburo meloncat mundur sam-
bil mengirimkan tebasan horisontal. Pada saat itu secara serentak Yaeko dan
Junko menerjang ke depan,
terdengar bunyi gemerincing pedang beradu ketika Saburo menangkis serangan itu.
Ketegangan merayapi
hutan tersebut saat kelima samurai mulai berhadapan, menghitung langkah, dan
sama-sama mencari peluang.
Di luar dugaan Saburo, Fukumi ternyata memiliki
kegesitan luar biasa. Meskipun tubuhnya agak gemuk, namun tak mengganggu
gerakannya. Ia gesit, tebasan
pedangnya demikian kuat sehingga sering menggetar-
kan pertahanan Saburo. Tenaga dalam lelaki itu mem-
buat ayunan pedangnya seperti tebasan lima orang di-gabung menjadi satu.
Sebaliknya Hiromi, samurai tersebut tidak terlalu gesit, namun serangannya
sangat berbahaya. Dua samurai tersebut saling mengisi, sehingga Saburo kadang
kehilangan napas. Beberapa
kali Saburo terpaksa jungkir balik untuk menghindari mata pedang musuhnya.
Meskipun Yaeko dan Junko ilmunya berada di ba-
wah Fukumi maupun Hiromi, namun serangan kedua-
nya tak dapat diabaikan. Karena itu Saburo jadi bersi-kap hati-hati. Ia tak mau
memandang enteng lawan-
lawannya. Hiromi meloncat menerjang, pedangnya menebas ke
arah leher, Saburo menangkis sambil meloncat ke ka-
nan. Pada saat bersamaan, Fukumi menerjang dengan
tikaman ke arah jantungnya, Saburo menggunakan pe-
dang pendeknya untuk menangkis, lalu menebaskan
pedang melintang untuk mencegah serangan berikut-
nya. Genggaman tangannya mulai berkeringat, pung-
gungnya juga telah berkeringat, namun sejauh ini Saburo belum menemukan cara
untuk menaklukkan la-
wannya. Dengan sikap waspada, ia terus mencoba bertahan
sambil sesekali mengirimkan serangan. Namun perta-
hanannya sedikit demi sedikit menjadi rapuh karena
serangan keempat samurai tersebut datang bagai ba-
dai. Kilatan-kilatan pedang serta api di mata musuh membuat Saburo beberapa kali
terpaksa mundur. Yoshioka menatap pertarungan itu dengan cemas. Bebe-
rapa kali ia menghela napas panjang ketika melihat
Saburo terdesak. Apa pun alasannya, pertarungan itu juga mempertaruhkan
nyawanya. Apabila Saburo kalah, ia juga akan kehilangan kepalanya.
Tanah datar yang menghampar di depan kuil Fuku-
da, ternyata sangat merepotkan Saburo. Dua buah te-
basan pedang Fukumi dan Hiromi secara bersamaan,
telah merobek dadanya. Meskipun tidak dalam, namun
luka itu mengucurkan darah. Rasa pedih membuat
konsentrasinya sering terganggu. Luka di lengan telah mengalirkan darah ke dalam
genggamannya. Jari-jarinya jadi lengket karena darahnya sendiri.
"Kukira engkau akan kalah," kata Fukumi penuh
kemenangan. "Sebaiknya kau menyerah, sehingga ka-
mi dapat memperlakukan mayatmu dengan terhormat."
Saburo mendengus seperti banteng marah. Tiba-
tiba terlintas di benaknya strategi Soen Tzu: Biarkan lawanmu merasa menang,
sehingga ia lengah. Agar engkau dapat memenangkan pertarungan yang tidak
seimbang, berikan kesan pada lawanmu bahwa engkau mudah dikalahkan. Sesudah itu
serang mereka secara tiba-tiba. Serangan mendadak akan membuat lawanmu panik,
dan mudah ditaklukkan!
Sebuah tebasan Hiromi menyayat dahi Saburo. Luka
itu mengeluarkan darah.
"Kami sangat menghormatimu, Saburo," Fukumi se-
kali lagi membuka percakapan. "Engkau seorang pang-
lima Ashikaga yang hebat. Tetapi pertarungan ini tetap
akan kami menangkan."
Saat Fukumi menebas, Saburo berlari ke arah kuil
Fukuda. Keempat lawannya mengejar. Mereka kejar
mengejar, seperti seekor kelinci dikejar empat ekor serigala kelaparan. Saburo
tidak peduli, ia terus berlari ke tengah reruntuhan kuil. Sedari tadi ia sudah
menyadari, hamparan tanah datar itu tidak menguntung-
kan dirinya. Keempat musuhnya dapat menyerang dari
segala penjuru, dan dapat menerjangnya tanpa rinta-
ngan. Tapi kini, di antara batu-batu kuil yang berserakan, mereka tak dapat
leluasa lagi bergerak. Setiap serangan akan terhalang oleh reruntuhan kuil,
sehingga mengurangi kecepatan maupun gerakan mereka.
Agar engkau dapat memenangkan pertarungan yang
tidak seimbang, berikan kesan pada lawanmu bahwa engkau mudah dikalahkan.
Sesudah itu serang mereka secara tiba-tiba. Serangan mendadak akan membuat
lawanmu panik, dan mudah ditaklukkan!
Saburo mulai mengatur siasat. Seluruh enerji di da-
lam dirinya seperti menggelegak. Genggaman tangan-
nya bergetaran, darah lengket di sela-sela jarinya kini membangkitkan semangat
membara. Fukumi ia lihat
sebagai orang yang terlanjur memandangnya lemah,
karena itu dia yang harus diserang lebih dulu. Dengan cerdik Saburo mengambil
posisi di tengah reruntuhan batu kuil, dan menjadikan batu-batu itu sebagai
peri-sai dari serangan lawan. Musuh-musuhnya sekarang
tak dapat menyerang serentak.
Fukumi menggeser kakinya perlahan-lahan, ia men-
coba mengamati gerakan Saburo. Dalam pikirannya,
kini tergambar lelaki itu sudah mulai gentar. Dan ini sangat menguntungkan.
Orang gentar pasti mudah dikalahkan, pikirnya. Dengan segenap kekuatan, ia
mengangkat pedang dengan kedua tangannya di atas ke-
pala, ia siap mengayun untuk membelah tubuh lawan-
nya. Sedetik sebelum Fukumi mulai melangkahkan
kaki, tanpa diduga, Saburo meloncat menerjang meni-
kamkan pedangnya. Serangan itu sungguh tak terdu-
ga. Fukumi tak sempat mengelak, ia akan berteriak tetapi dari urat lehernya
menyembur darah segar. Pe-
dang Saburo telah merobek lehernya. Dan di dalam kecepatan yang sukar dipercaya,
Saburo mencabut pe-
dang dari leher Fukumi, lalu melompat menerjang
Yaeko, samurai tersebut masih terpana menyaksikan
kematian Fukumi, sehingga ia tak sempat bereaksi. Pedang Saburo membelah
dadanya. Junko yang berdiri
di samping Yaeko mencoba bereaksi, tetapi ini pun
sangat terlambat. Saburo tanpa berbalik, mundur dua langkah dan menikam
perutnya. Saat pedang Saburo
ditarik, Yaeko dan Junko roboh ke tanah.
Hiromi tak menduga serangan Saburo itu, ia men-
coba menguasai diri dengan menerjang musuhnya, ta-
pi kali ini pun ia salah memperhitungkan taktik lawan.
Sebelum Hiromi melangkah, Saburo telah melempar
pedang panjangnya menyongsong terjangan Hiromi.
Terdengar suara mendesis, dan dalam kecepatan ber-
lawanan, pedang Saburo menembus tubuh Hiromi dari
perut hingga ke punggungnya. Laki-laki itu meng-
hentikan langkah, terhuyung-huyung, tubuhnya lim-
bung sebentar, kemudian ambruk ke tanah.
Saburo berdiri tegak menghayati kemenangannya.
Yoshioka berlari mendekati Saburo dengan wajah
ceria. Ia tampak senang dan bangga atas kemenangan
Saburo. "Saya tadi sudah cemas kalau kita bakal kehilangan
kepala," kata Yoshioka dengan napas masih terengah-
engah. Saburo menghela napas panjang. Ia mencabut pe-
dang dari tubuh Hiromi dan mengibaskannya untuk
menghilangkan noda darah di pedang itu.
"Mereka adalah samurai-samurai yang baik," kata
Saburo datar. "Tetapi mereka tetap kalah."
"Karena taktik. Permainan pedang saja belum cu-
kup untuk memenangkan setiap pertarungan."
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus menghormati lawan kita. Mari kita peng-
gal kepala mereka, kemudian kita kuburkan tubuh-
nya." "Tubuhnya?"
"Ya."
"Bukankah untuk menghormati mereka kita seha-
rusnya menguburkan kepalanya?"
"Ya."
"Lalu kenapa kita akan menguburkan tubuhnya?"
"Aku punya rencana dengan kepala mereka."
"Apa?"
"Kita kirimkan pada Oda Nobunaga."
*** PENYERGAPAN HARI telah malam. Bunga-bunga persik berguguran.
Meskipun pohon buah itu berada di dalam benteng Pu-
ri Tazumi, namun angin malam berhasil menggo-
yangkannya dari dahan. Rembulan berlayar di langit, seperti biduk berwarna perak
melaju di antara awan.
Musim kemarau telah menghancurkan tanah liat di wi-
layah Suruga, menjadi butiran debu yang beterbangan ditiup angin.
Cahaya remang-remang menerangi kamar utama.
Dinding-dinding kertas sesekali menimbulkan suara
akibat getaran angin.
Tazumi menciumi leher Mayeda Toyotomi. Dengan
penuh penghayatan wanita tersebut menciumi tubuh
kekasihnya dari inci ke inci. Sentuhan bibir dan lidah-nya menyusuri lekuk-lekuk
tubuh Mayeda dengan gai-
rah birahi yang menyala-nyala. Dari leher, terus turun ke bahu, dada, perut,
kemudian terus turun lagi. Mayeda mendesis panjang, ia merasakan seluruh tubuh-
nya mengejang. Rasa nikmat yang sensasional menja-
lar seperti lava ke seluruh jaringan tubuhnya. Dengan kedua tangannya, ia
membelai rambut Tazumi yang
tergerai di dadanya itu. Gerakan perempuan itu mem-
buat Mayeda menghela napas panjang. Rasa hangat
yang nikmat seperti air mengairi tubuh dan jiwanya.
"Oh, bukan main...!"
Tazumi berhenti beraksi.
"Jangan berhenti. Oh, jangan berhenti."
Tazumi kembali beraksi. Mayeda pun mendesis pan-
jang. Di luar, tiga sosok ninja berlari mengendap-endap
dengan pakaian serba hitam. Hanya tepat di matanya
saja terdapat lubang untuk melihat. Di punggung me-
reka menyembul ninjato berbentuk pedang pendek. Se-untai rantai yang salah satu
ujungnya berbentuk gan-co tampak melilit di pinggang mereka. Tangan mereka
dibungkus shuko, cakar pemanjat yang sangat efektif untuk memanjat dinding puri.
Mereka terus berlari
sambil membungkukkan badan seperti tupai, menyu-
suri kebun anggrek, terus menuju ke bangunan uta-
ma. Langkah ketiga ninja tersebut terasa ringan se-
hingga tak menimbulkan suara apa pun.
Di salah satu sudut bangunan, salah seorang ninja
memberi isyarat pada temannya untuk melakukan pe-
ngepungan. Ia mendekatkan telinga ke dinding kertas, lalu membuat lubang untuk
mengintai. Matanya me-nyipit ketika ia melihat dua tubuh polos saling bergu-mul
di ranjang. Kelambu transparan warna biru meng-
halangi pandangannya, namun ia dengan jelas melihat dua orang yang tengah
bercinta habis-habisan. Tazumi duduk di atas tubuh Mayeda Toyotomi, ia
menggeliat-geliat, seakan berusaha melampiaskan rangsangan ke-
nikmatan yang belum tuntas direguk. Ketika melihat
tubuh Tazumi yang masih menggiurkan, ninja itu


Shugyosa Samurai Pengembara 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghela napas panjang, ia merasakan gairahnya ber-
diri. Sesaat ia diam. Berusaha mengusir rangsangan
yang mengganggu konsentrasinya. Kemudian dengan
isyarat tangan, pimpinan ninja tersebut memberi aba-aba untuk menyerbu.
Suara berderak dari dinding yang didobrak mem-
buat Mayeda terperanjat. Ia hampir mencapai klimaks ketika para ninja tersebut
menerobos kamarnya. Tazumi menjerit marah. Mayeda segera memeluk wanita
di atas tubuhnya itu, lalu berguling ke kanan, tiga buah pisau kecil melesat dan
menancap di dinding
kayu. Mayeda meraih pedang lalu berdiri menghadapi
ketiga musuhnya dengan polos.
"Siapa kalian?"
Ketiga ninja itu tidak menjawab, melainkan lang-
sung menyerang. Secara serempak mereka menghunus
ninjato, lalu menggebrak maju. Tiga pedang maut berkelebat ke arah Mayeda, namun
dengan gesit lelaki itu menangkis dan mengelakkan serangan itu. Ketiga ninja
tersebut sangat lincah, mereka bergerak seperti ru-sa, sementara pedangnya
berkelebat ke sana kemari.
Sesaat ketika Mayeda mengayunkan pedang ke salah
seorang ninja, ia melontarkan tendangan ke kanan,
terdengar suara keras saat salah seorang ninja terlempar ke belakang akibat
tendangan itu. Dinding kertas jebol terlanda tubuh ninja itu. Dengan suara keras
ninja tersebut jatuh di lantai, ia menggeliat dalam erangan sekarat.
Dua orang ninja yang ada di dalam ruangan men-
dengus geram. Serangan pedang mereka sekarang se-
perti permainan kipas, berlapis-lapis. Gerakan mereka secepat angin, bilah
pedangnya berkilauan diterpa cahaya lampu. Sesudah mengelak tiga kali dari
sabetan pedang musuhnya, Mayeda melejit ke arah kanan. Salah seorang ninja
memapasi dengan tebasan pedang
menyilang, Mayeda merunduk sambil mengirimkan ti-
kaman. Terdengar gemerincing suara pedang beradu,
disusul suara mendesis ayunan pedang ninja yang
lain. "Akh!"
Terdengar Mayeda menjerit ketika lengannya terse-
rempet pedang lawan. Dia merasakan perih pada le-
ngannya, lalu cairan merah hangat mengucur. Mes-
kipun menderita sakit dan kemarahannya mendidih,
Mayeda mencoba mengendalikan dirinya. Mayeda ha-
nya sempat menghela napas karena kedua ninja sudah
mulai menggempur lagi. Mereka terus mendesak.
Ninja yang tadi terlempar keluar kamar sudah bang-
kit lagi, ia menerobos dinding kamar untuk membantu temannya. Mereka kini
bertiga menyerbu Mayeda. Salah seorang ninja menerjang dengan tebasan horison-
tal, Mayeda menangkis, lalu menebaskan pedangnya.
Ninja itu menjerit ketika darah segar menyembur dari lehernya. Hanya sedetik ia
masih tegak berdiri, kemudian tumbang ke lantai tanpa nyawa.
Dua ninja lainnya bergerak menyerang, sekali lagi
Mayeda menyongsong mereka dengan tebasan melin-
tang. Gerakan kedua ninja tersebut terlalu kuat, sehingga mereka tak mampu
berhenti ketika Mayeda me-
nyongsong ke depan. Keduanya langsung ambruk de-
ngan dada terbelah. Dan sebelum mereka menyadari
apa yang sudah terjadi, Mayeda telah meloncat lalu
menghunjamkan pedangnya ke punggung mereka. Ke-
duanya mati seketika.
Mayeda berdiri polos dengan darah masih mengalir
dari lengannya. Tazumi segera berlari mendekatinya.
"Engkau terluka," katanya cemas. "Aku akan segera
memanggil orang untuk mengobati lukamu...."
Mayeda menangkap kedua lengan wanita itu. "Tidak
usah," katanya penuh tekanan. "Luka ini tak sebe-
rapa." "Kalau begitu biar aku memanggil pelayan untuk
menyingkirkan ketiga mayat itu."
"Tidak usah," kata Mayeda lagi. "Biarkan mereka te-
tap di sini. Aku sekarang ingin meneruskan urusan ki-ta tadi yang belum
selesai." "Maksudmu...."
"Aku ingin melanjutkan bercinta."
Selesai berkata begitu, Mayeda menarik Tazumi ke
pelukannya, lalu menciumi wanita tersebut dengan ciuman penuh nafsu. Pada
awalnya Tazumi kaget, tetapi kemudian ia luluh dalam dekapan kekasihnya. Mereka
bercinta sambil berdiri. Semakin hangat. Semakin
menggebu-gebu. *** Satu jam sesudah selesai bercinta, Mayeda Toyotomi
berkata, "Kita tidak pernah bermusuhan dengan ninja.
Tiba-tiba mereka datang menyerang membabi buta.
Memang tidak sesuatu pun kita dapatkan dari mulut-
nya, tetapi hal ini mengisyaratkan ada orang yang
mengkhianati kita. Ada orang yang mencium rencana
kita." "Mungkinkah Imagawa?"
"Tidak mungkin. Tadi sore aku masih bersamanya."
"Dia tidak bicara apa-apa?"
"Mengenai rencana kita" Tidak. Dia justru mena-
nyakan sudah sejauh apa persiapan kunjungannya ke
Kamakura."
"Lantas siapa yang kira-kira mengirim ninja ini?"
"Entahlah. Saat ini kita belum tahu, tetapi pada akhirnya pasti ketahuan juga."
"Jadi bagaimana dengan rencana kita?"
"Tak ada masalah. Tetap terus kita jalankan."
*** SEBUAH KIRIMAN RENCANA kunjungan Imagawa hampir tiba. Nobunaga
terus melakukan persiapan. Setiap hari ia berkeliling untuk melihat sudah sejauh
apa perintahnya dijalan-kan. Benteng yang mengelilingi Istana Kamakura telah
dihias bendera dan umbul-umbul. Demikian pula jalan-jalan di sepanjang kota.
Pagi itu Nobunaga berkuda dengan Konishiwa dan
Hosokawa, melintasi jembatan di benteng luar, untuk melihat suasana kota.
Sepanjang jalan orang-orang
membungkuk penuh hormat, sementara para samurai
yang banyak berkeliaran di jalan segera bersujud untuknya.
"Kota ini jauh lebih ramai dibanding dulu," kata Nobunaga pada Konishiwa.
"Memang demikian, Tuanku."
"Berapa sekarang penduduk Kamakura?"
"Dari penghitungan terakhir yang dilakukan dua
bulan lalu, penduduk Kamakura sudah mencapai tiga
ratus ribu orang."
"Tiga ratus ribu?"
"Begitulah, Tuanku."
"Berapa orang laki-lakinya dari jumlah sebanyak
itu?" "Hampir separuhnya."
"Seratus lima puluh ribu?"
"Begitulah, Tuanku."
"Berapa orang yang bisa mengangkat pedang untuk
membela negara?"
"Hampir seratus ribu orang."
"Luar biasa!" seru Nobunaga penuh kegembiraan.
"Dengan kekuatan seratus ribu prajurit, aku akan bisa menaklukkan seluruh
propinsi di Jepang. Tidak ada
yang akan mampu menghalangi keinginanku. Sesudah
Suruga, kemudian Mikawa, Oni, dan Shinano menjadi
incaranku. Apakah kaupikir Tokugawa cukup kuat un-
tuk menghadang tentaraku?"
"Tokugawa tidak memiliki tentara yang cukup un-
tuk merintangi keinginan Tuanku."
"Kudengar dia membiarkan orang-orang barbar dari
seberang lautan berdagang di Mikawa."
"Beberapa orang mengatakan begitu."
"Tindakannya sangat keliru. Cepat atau lambat,
orang-orang barbar itu akan menjadi kuat, dan suatu saat dapat membahayakan
kekuasaannya."
"Benar, Tuanku. Bahkan saya dengar orang-orang
barbar itu membawa senjata yang dapat meledak dan
menewaskan musuh dari jarak jauh."
"Dari beberapa orang yang kukirim ke sana memang
mengatakan demikian. Mereka menyebutnya senjata
api. Aku tidak tahu kenapa Tokugawa membiarkan sa-
ja senjata para pengecut itu dibawa masuk ke wila-
yahnya. Orang-orang barbar akan merusak para sa-
murai menjadi manusia-manusia pengecut tanpa ke-
hormatan."
"Saya sependapat dengan Tuanku."
Tiba-tiba Nobunaga berpaling pada Hosokawa, "Ho-
sokawa-san."
Hosokawa yang sejak tadi hanya diam, segera men-
jawab, "Ya, Tuanku."
"Aku ingin melihat senjata orang barbar itu. Hari ini kuperintahkan padamu untuk
mengirimkan orang ke
Mikawa. Sebaiknya dia seorang yang cerdas. Tugasnya, memperoleh senjata orang
barbar itu bagaimanapun
caranya. Dia bisa membelinya dengan menyamar seba-
gai pedagang, atau merampasnya sebagai ronin. Aku
ingin mengetahui apa kehebatan senjata itu."
"Hari ini juga akan saya kirim orang untuk ke Mi-
kawa." "Bagus. Kupikir apabila benar Tokugawa menda-
tangkan senjata itu ke wilayahnya, kita harus tahu
dan mempelajarinya juga, sehingga nanti saat penye-
rangan ke sana, kita sudah tahu macam apa kekua-
tannya." "Benar, Tuanku."
Mereka terus menyusuri kota, kemudian melewati
jembatan yang menghubungkan Owari dengan Mika-
wa. Nobunaga berhenti di atas jembatan kayu selebar enam meter itu, menatap jauh
ke hutan yang memben-tengi wilayah Mikawa. Seketika terbayang di pelupuk
matanya, wajah Tokugawa Ieyasu yang mirip tikus.
Tanpa sadar Nobunaga berkata, "Tikus tidak akan
pernah dapat mengalahkan harimau."
Hosokawa dan Konishiwa saling pandang penuh
keheranan. Konishiwa memberanikan diri bertanya, "Apa yang
Tuanku katakan?"
Nobunaga menghela napas panjang, lalu tersenyum.
"Seekor tikus tidak akan dapat mengalahkan seekor
harimau. Bukankah begitu?"
"Oh, ya, tentu saja."
"Itulah Tokugawa dan diriku."
Nobunaga kemudian menggebrak kudanya kembali
ke istana. Ia tampak puas. Persiapan untuk menyam-
but kedatangan Imagawa sudah seperti yang ia pikir-
kan. Satu hal yang masih mengganggu pikirannya ada-
lah belum kembalinya para ninja yang ia perintahkan membunuh Tazumi. Setelah
memperoleh informasi
tentang rencana Mayeda Toyotomi menggulingkan Ima-
gawa, Nobunaga langsung mengambil langkah me-
nyingkirkan Tazumi. Ia berpikir dengan kematian pe-
rempuan itu, Mayeda akan menyadari bahwa renca-
nanya telah diketahui sehingga akan menunda atau
bahkan membatalkan penggulingan Imagawa. Pada
saat itu, Nobunaga sudah akan mengambil kekuasaan
Suruga. Tetapi sudah tiga hari para ninja yang ia kirim belum kembali. Padahal
kunjungan Imagawa tinggal
dua hari lagi. Ketika memasuki benteng, Nobunaga melihat iring-
iringan penari wanita yang didatangkan dari Izu. Para penari itu berjumlah
delapan orang, rata-rata usianya tujuh belas tahun. Mereka tampak seperti buah
mur-bei yang segar. Rambutnya diandam besar-besar. An-
daman itu membuat wajahnya yang berbentuk bulat
telur kelihatan sangat menonjol. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang
kira-kira berusia dua puluh lima tahun. Mereka sedang menuju Ruang Perjamuan
untuk mempelajari tempat berlangsungnya pesta.
Salah seorang penari dalam rombongan itu sangat
menarik perhatian Nobunaga. Kecuali cantik jelita, gerak-gerik penari tersebut
sangat anggun. Rambutnya
yang diandam, hitam lebat, sehingga raut wajahnya
kelihatan sangat menawan. Ia mengenakan kimono
kuning gading dengan lukisan bunga sakura. Penari
itu menjinjing taiko yang berisi alat-alat kecantikannya. Gerakan tangannya
gemulai sehingga memper-
kuat penampilannya.
"Konishiwa-san," Nobunaga berkata. "Siapa pimpi-
nan rombongan penari itu?"
"Konishita, Tuanku."
"Panggil kemari."
"Baik, Tuanku."
Konishiwa segera turun dari punggung kuda, lalu
menghampiri Konishita. Beberapa detik kemudian laki-laki pimpinan rombongan
penari itu mendekati Nobu-
naga. Dengan sopan ia bersujud memberi penghorma-
tan. Nobunaga berkata, "Siapa penari nomor dua dari
belakang itu, Konishita-san?"
Konishita menoleh sesaat, lalu menjawab, "Mayumi,
Tuanku." "Mayumi?"
"Benar, Tuanku."
"Dari mana asalnya?"
"Dia berasal dari sebuah desa kecil di perbatasan
Owari." "Tetapi kudengar kau datang dari Fujiwara."
"Benar, Tuanku. Mayumi bergabung dengan hamba
baru beberapa hari yang lalu."
"Baru beberapa hari yang lalu?"
"Benar, Tuanku."
"Apakah dia sudah pantas ditampilkan dalam suatu
perjamuan untuk menghibur Shogun Imagawa?"
"Dia tidak akan mengecewakan, Tuanku. Meskipun
baru beberapa hari bergabung dengan hamba, tetapi
Mayumi memang berdarah penari. Bakatnya luar bi-
asa. Bahkan hamba berani mengatakan, dialah penari
terbaik yang hamba bawa."
"Baiklah. Aku mempercayaimu."
"Terima kasih, Tuanku."
Nobunaga mendengus kemudian menarik tali ke-
kang kudanya. Lima puluh samurai yang saat itu se-


Shugyosa Samurai Pengembara 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dang berlatih kendo, seketika menghentikan latihan
mereka. Kemudian secara serempak bersujud di tanah.
Sejak beberapa hari terakhir Nobunaga memang
memerintahkan pembentukan pasukan khusus terdiri
lima puluh samurai pilihan. Mereka berlatih siang malam untuk meningkatkan
kemampuan. Keempat murid
Yagyu menjadi instruktur pasukan tersebut.
Nobunaga turun dari kuda, kemudian bergegas me-
masuki ruang sidang utama. Kecuali seratus samurai
telah duduk di dalam ruangan itu, Naoko beserta da-
yang-dayangnya juga berada di sana. Ini juga merupakan pertemuan rutin yang
diadakan Nobunaga. Setiap
hari, sesudah berkuda, ia duduk di ruang sidang un-
tuk mendengarkan laporan dari komandan perangnya.
Biasanya, apabila tidak ada laporan penting, Nobunaga akan segera membubarkan
sidang lalu menyendiri di
kamarnya. Naoko meletakkan zabuton (bantal tipis untuk du-
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 5 Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Pendekar Sakti 11
^