Api Di Bukit Menoreh 9
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 9
Tetapi ternyata Empu Pinang Aring itupun merupakan hantu dimedan itu. Meskipun empat orang berusaha melawannya, tetapi keempat orang itu seakan-akan tidak berdaya menghadapinya. Mereka setiap kali harus berloncatan menjauh apabila Empu Pinang Aring mengayunkan senjatanya berputaran.
Bahkan sekali-sekali Empu Pinang masih sempat tertawa sambil berkata. "Marilah anak-anak. Kita bermain kejar-kejaran. Tetapi kita tidak sekedar bertaruh gandu atau kecik sawo. Taruhan kita sekarang adalah nyawa kita."
Kata-kata Empu Pinang Aring itu memang dapat menggetarkan hati lawan-lawannya. Apalagi setelah mereka merasakan, betapa sambaran angin yang mengerikan mengikuti ayunan senjata orang yang oleh pengikutnya disebut Empu Pinang Aring.
Tetapi Empu Pinang Aring terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar jawaban disebelah, "Baiklah Empu. Aku pun ingin ikut serta dalam taruhan ini. Bukan kemiri, bukan pula gayam, tetapi taruhannya adalah umur kita masing masing."
Empu Pinang Aring memandang orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya itu. Beberapa langkah ia meloncat mundur menghindari lawan-lawannya. Dengan tajam ia menatap wajah Kiai Gringsing sambil bertanya, "Siapa kau?"
"Aku salah seorang dari pengawal Mataram," jawab Kiai Gringsing sambil berdiri menghadapi Empu Pinang Aring.
Empu Pinang Aring termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, "Baiklah. Bergabunglah dengan lawan-lawanku. Mungkin kau masih dapat membawa satu dua orang kawan lagi yang akan aku bantai bersama sama."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dari sorot matanya. Empu Pinang Aring memancarkan kepercayaan yang teguh kepada kemampuan diri sendiri, sehingga ia sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap Kiai Gringsing.
Tetapi Kiai Gringsingpun adalah orang yang memiliki beberapa kelebihan. Karena itu dengan tenang ia berkata kepada para pengawal Mataram yang termangu-mangu. "Tinggalkan aku. Jumlah kalian terlalu sedikit untuk melawan orang-orang yang bersembunyi dilembah ini. Biarlah Enpu Pinang Aring bermain-main bersamaku."
Empu Pinang Aring mengerutkan keningnya. Yang satu ini tentu akan lain dari keempat orang yang telah mengeroyoknya. Karena itu Empu Pinang Aring mulai tertarik kepada lawannya yang tua ini.
"Siapa kau sebenarnya ?" bertanya Empu Pinang Aring.
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ia masih memberi isyarat kepada para pengawal Mataram untuk meninggalkannya dan bertempur dalam arena yang kemudian telah menjadi perang brubuh.
"Siapa" " Empu Pinang Aring mengulanginya.
"Namaku tidak banyak disebut orang Empu. Tetapi orang memanggilku Kiai Gringsing."
"Kiai Gringsing," Empu Pinang Aring menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Jadi kaukah orang bercambuk itu?"
"Empu sudah pernah mendengar namaku?"
Empu Pinang Aring memandang Kiai Gringsing dari ujung kakinya sampai keujung rambutnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Aku percaya bahwa orang inilah yang disebut orang bercambuk. Baiklah. Kau sudah berhasil mendapatkan lawan. Dan dengan demikian kau sudah mengurangi tekanan pada pasukan pengawal Mataram, karena kau seorang diri dapat mewakili empat orang lawanku."
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dipandanginya medan yang semakin lama menjadi semakin seru. Namun terasa bahwa pasukan pengawal Mataram memang sudah terdesak.
"Kenapa Raden Sutawijaya masih belum memberikan isyarat kepada pasukan Sangkal Putung yang sudah siap," bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri.
Namun ternyata ia tidak menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian terdengar suara sangkakala menggema di lembah itu.
Swandaru yang berada dibelakang garis pertempuran menjadi gelisah ketika ia harus menunggu terlalu lama. Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya tentu ingin menjajagi kekuatan lawannya lebih dahulu dengan pasukannya.
Namun akhirnya suara sangkakala itu telah terdengar. Dengan demikian maka Swandarupun segera memberikan isyarat kepada pasukannya untuk segera bergerak.
Seperti keterangan yang telah diterimanya dari para penghubung, bahwa pasukan lawan cukup kuat, maka ia pun telah memberikan pesan-pesan terakhir kepada pasukannya. Kepada anak-anak muda yang sama sekali belum berpengalaman. Swandaru memberitahukan, bahwa mereka kini tidak sedang bermain-main. Kebetulan lawan mereka yang pertama adalah orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab, bukan saja terhadap sesama, tetapi juga kepada Sumber Hidup mereka.
"Berhati-hatilah. Mungkin kalian akan dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak pernah kalian bayangkan. Tetapi inilah yang disebut pertempuran yang sebenarnya."
Pandan Wangi dan Sekar Mirah oleh Swandaru tidak diletakkannya disayap gelarnya. Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia telah memasang kedua perempuan itu justru diinduk pasukan bersamanya. Agaknya ada semacam kecemasan bahwa kedua perempuan itu akan menghadapi kesulitan, jika keduanya terpisah daripadanya.
Sebenarnya Pandan Wangi dan Sekar Mirah sendiri menyatakan keinginannya untuk berada disayap sebelah menyebelah. Tetapi Swandaru menggeleng sambil berkata, "Kalian bersamaku."
Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak membantah. Kecuali hubungan pribadi diantara mereka, maka Swandaru adalah pimpinan pasukan Sangkal Putung yang berada di lembah itu.
Demikianlah, maka pasukan Sangkal Putung itu maju menyatu dengan garis pertempuran yang seru. Mereka langsung mengambil bagian diantara pasukan Mataram yang sudah terlebih dahulu terlibat dalam perang.
Kehadiran pasukan Sangkal Putung tidak mengejut kan pasukan yang berada dilembah itu. Sejak semula mereka menyadari, bahwa lawan mereka terdiri dari dua lapis.
Meskipun demikian, kehadiran pasukan Sangkal Putung yang cukup kuat itu langsung mempengaruhi keseimbangan. Namun demikian, jumlah pasukan yang berada dilembah itu masih cukup banyak untuk menekan kedua pasukan gabungan, karena jumlah mereka memang terlalu banyak.
Namun pasukan gabungan yang ada dilembah itu mulai merasa, bahwa pasukan Mataram dan pasukan Sangkal Putung bukannya pasukan-pasukan yang lemah. Apalagi diantara pasukan Mataram memang terdapat prajurit-prajurit Pajang.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Pasukan dari lembah itu tidak lagi mendesak lawannya. Mereka mulai merasakan, bahwa lawan mereka adalah kekuatan yang justru semakin berkembang.
Tetapi di sayap kedua pasukan yang berbenturan itu, tekanan pasukan lawan masih terasa berat. Kiai Gringsing yang bertempur melawan Empu Pinang Aring, kadang-kadang masih berdebar-debar melihat seorang yang bertubuh raksasa yang mengamuk bagaikan angin prahara diantara batang-batang ilalang.
Ki Lurah Branjangan adalah orang yang memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain. Namun ia merasa, betapa dahsyatnya kekuatan orang bertubuh raksasa itu, sehingga ia memerlukan beberapa orang untuk membantunya.
Tetapi kehadiran pasukan Sangkal Putung memberi kan sedikit kesempatan untuk bernafas. Meskipun pasukan Sangkal Putung tidak terlampau menekankan kekuatan di bagian sayapnya, karena semua kekuatan puncaknya berada di induk pasukan, namun kehadiran mereka terasa juga akibatnya, seakan-akan tugas pasukan pengawal dari Mataram itu menjadi agak ringan, meskipun seolah-olah maut masih tetap mengintai setiap orang disetiap saat.
Dalam pada itu. Empu Pinang Aring sendiri segera terbentur pada kekuatan yang tidak dapat ditembusnya. Ketika pertempuran mulai menjadi seru diantara kedua orang yang memiliki ilmu diluar jangkauan para pengawal yang lain itu. maka mereka masing-masing telah mempergunakan senjata yang paling mereka percaya.
Empu Pinang Aring telah menerima senjata khususnya dari seorang pengawalnya yang selalu mengikutinya. Senjata yang jarang-jarang sekali dipergunakan, kecuali dalam kesempatan-kesempatan yang paling berbahaya bagi dirinya.
Kiai Gringsing memperhatikan senjata yang agak aneh itu. Ia sadar bahwa senjata Empu Pinang Aring itu tentu didapatkannya dari orang-orang asing yang pernah berada di tlatah Pajang, atau masa-masa pemerintahan sebelumnya.
Senjata yang bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek itu, mempunyai tiga mata seperti trisula. Tetapi kedua mata tombaknya yang berada dibagian luar, mempunyai mata yang tajamnya menghadap kearah yang berlawanan, seperti ujung eri pandan, sedangkan mata tombak trisula yang berada ditengah, agak lebih panjang sedikit dari kedua ujung yang lain.
"Jangan takut menghadapi senjataku ini," desis Empu Pinang Aring ketika ia melihat wajah Kiai Gringsing menegang.
Kiai Gringsing yang menyadari keadaannya, tiba-tiba saja tersenyum. Jawabnya, "Aku tidak menjadi ketakutan. Tetapi aku menjadi heran. Jika saja kita tidak sedang bertempur, aku akan meminjam senjata itu barang sejenak."
Empu Pinang Aring mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Kau tidak saja akan meminjamnya, tetapi kau akan merasakan, bahwa trisulaku itu mempunyai kemampuan untuk berbuat apa saja dimedan. Aku dapat menyobek perutmu dengan tusukan. Tetapi aku dapat memecahkan kepalamu dengan ayunan, karena mata trisulaku mempunyai tajam seperti kapak disisi-sisinya."
"O," desis Kiai Gringsing yang telah menggenggam cambuknya, "aku akan mencoba melawan senjatamu yang aneh itu."
Empu Pinang Aring tidak menjawab lagi. Dengan serta merta ia telah menyerang. Senjata menusuk seperti sebatang tombak. Namun ketika ujungnya gagal menyentuh Kiai Gringsing, maka senjata itupun segera terayun seperti kapak yang bertangkai panjang.
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Senjata itu memang berbahaya. Dalam setiap geraknya senjata itu memungkinkan untuk melukainya, atau bahkan melumpuhkannya.
Karena itulah, maka untuk selanjutnya Kiai Gringsing harus benar-benar berhati-hati. Bahkan ia harus memperlihatkan kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan tatapan mata.
Sejenak kemudian pertempuran antara kedua orang itupun semakin menjadi dahsyat. Beberapa orang yang ada diseputarnya menjadi berdebar-debar. Senjata Empu Pinang Aring menyambar dari segala arah. Kemudian mematuk seperti seekor ular bandotan yang menerkam lawannya.
Namun dalam pada itu, setiap kali Empu Pinang Aring terkejut mendengar ledakan cambuk Kiai Gringsing. Suara cambuk yang tidak begitu keras menurut pendengaran telinga wadag. Tetapi ternyata bagi telinga Empu Pinang Aring dapat mengetahui bahwa bunyi cambuk itu bagaikan panggilan baginya dari daerah maut.
Dengan demikian maka kedua orang yang bertempur dengan kemampuan yang luar biasa itu telah menumbuhkan keadaan yang khusus didalam arena itu. Sementara para pengawal yang lain bertempur dengan sengitnya melawan orang kasar yang bersembunyi dilembah itu. Setiap kali mereka bersorak-sorak dan berteriak-teriak memekakkan telinga, sehingga kadang-kadang suara itu berhasil mempengaruhi ketahanan hati orang-orang Mataram dan Sangkal Putung.
Ki Lurah Branjangan yang memiliki pengalaman yang luas dimedan yang betapapun sulitnya, meskipun ia tidak dapat mengimbangi kekuatan lawannya seorang diri, telah berusaha mengurangi tekanan perasaan pada para pengawal dari Mataram dan Sangkal Putung. Lewat pengawal-pengawalnya ia memerintahkan agar para pengawal Mataram dan Sangkal Putung ikut pula meneriakkan kemenangan-kemenangan yang dapat mereka capai dipertempuran itu.
Sambil menjauhi lawannya sejenak, dan membiarkan para pengawalnya yang lain bertempur, ia berkata kepada seorang penghubung, "Lakukanlah seperti yang mereka lakukan. Dengan demikian maka kalian tidak akan mendengar apa yang mereka teriakkan, karena kalian telah berteriak pula."
Perintah itupun kemudian menjalar kepada setiap orang di sayap gelar orang-orang Mataram dan Sangkal Putung itu. Sehingga dengan demikian maka sayap gelar itupun menjadi sangat riuh dan ramai.
Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Branjangan, maka para pengawal Mataram dan Sangkal Putung tidak lagi terpengaruh oleh kata-kata yang dilontarkan lawannya, karena mereka tidak mendengar teriakan-teriakan itu lagi dengan jelas.
Sayap gelar pasukan Mataram dan Sangkal Putung itu benar-benar bagaikan arena benturan guruh dan guntur. Suaranya bagaikan menggugurkan lereng Merapi dan Merbabu. Setiap orang bertempur sambil berteriak. Tetapi teriakan mereka itupun hanyalah dapat mereka dengar sendiri. Karena setiap orang telah berteriak pula.
Orang dilembah itupun menjadi marah pula karena sikap para pengawal dari Mataram dan Sangkal Putung. Mereka tidak lagi dapat memperolok-olokkan mereka. Tidak lagi dapat mengumpati dan menyebut kematian demi kematian. Bahkan tidak lagi dapat berbohong untuk mempengaruhi perasaan para pengawal dari Mataram dan Sangkal Putung, karena mereka sendiripun telah berteriak-teriak tidak menentu.
"Gila," geram Kiai Jagarana ketika Ki Lurah Branjangan telah kembali melawannya, "kau ajari para pengawal Mataram itu berbuat seperti perampok-perampok dan penyamun."
"Aneh," desis Ki Lurah Branjangan, "orang-orang-mupun melakukannya."
"Mereka sebagian memang perompak dan penyamun. Tetapi sebagian lagi adalah prajurit-prajurit Pajang."
"Biar sajalah para pengawal dari Mataram berusaha menyumbat telinga mereka dengan mulutnya sendiri. Kata-kata yang dilontarkan oleh orang-orangmu, terutama oleh para perampok dan penyamun itu telah berhasil mempengaruhi jiwa para pengawal. Kata-kata kasar dan kotor itu memang memalukan sekali. Tetapi kini lontaran kata-kata mereka itu sudah tidak didengar lagi."
Orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab lagi. Dengan serta merta ia menyerang Ki Lurah Branjangan dengan senjata yang paling digemari. Sebuah bindi yang besar dan panjang bergerigi berlapis besi baja.
Ki Lurah Branjanganpun harus berhati-hati menghadapi lawannya. Tetapi pedangnya cukup lincah menyusup ayunan bindi Kiai Jagarana. Beberapa orang pengawal yang membantunyapun cukup lincah, sehingga untuk beberapa saat lamanya, pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya.
Di sayap yang lain Ki Sumangkar berada dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Dipajaya. Sesuai dengan pesan Raden Sutawijaya, maka Ki Dipajayapun telah bertempur bersama beberapa orang pengawalnya seperti yang dilakukan oleh Ki Lurah Branjangan menghadapi orang yang bernama Samparsada. Seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa, sejajar dengan kawan-kawannya dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sementara Ki Sumangkar telah bertemu dengan Kiai Kalasa Sawit yang pernah tinggal di padepokan Tambak Wedi. Ternyata bahwa Kiai Kelasa Sawit masih tetap garang dan kasar.
Tetapi luka-luka ditubuh Ki Sumangkar sudah tidak berpengaruh lagi. Ia sudah dapat memutar trisulanya dengan dahsyatnya. Sekali-sekali trisulanya itu bagaikan terjulur menyambar kepala lawannya. Namun kemudian berputar seperti baling-baling.
Kiai Kalasa Sawit menghadapi lawannya dengan hati-hati. Ia sadar, bahwa sambaran trisula itu akan dapat melubangi keningnya. Sehingga karena itu, maka ia harus berusaha untuk menghindarinya.
Ternyata sayap gelar pasukan Mataram itu telah tertahan oleh kekuatan yang agak lebih besar. Meskipun pasukan Sangkal Putung telah bergabung bersama mereka, tetapi rasa rasanya tekanan orang orang yang berada dilembah itu masih terasa sangat berat.
Di Pusat gelar pasukan Mataram yang bergabung dengan pasukan Sangkal Putung itu, pertempuranpun telah berkobar dengan dahsyatnya. Raden Sutawijaya telah menunjukkan kemampuannya sebagai seorang Senopati muda. Ia mampu menguasai seluruh keadaan medan yang panjang dengan penglihatannya, keterangan-keterangan yang didengarnya dan perhitungan-perhitungannya, seolah-olah ia telah melihat medan itu dalam keseluruhan.
Namun ketika Tumenggung Wanakerti sengaja menyongsongnya, maka Raden Sutawijayapun mulai terikat oleh pemusatan kemampuannya kepada Tumenggung yang memang sudah dikenalnya itu.
"Anak muda," berkata Tumenggung Wanakerti, "jika kau kemudian disebut Senopati Ing Ngalaga itu sama sekali bukan karena kemampuanmu dimedan perang. Tapi gelar Senopati Ing Ngalaga itu kau dapatkan sebagai sebuah kurnia dari ayahanda angkatmu yang kasihan melihat anaknya sama sekali tidak memiliki kemampuan apapun juga. Akhirnya kau terpaksa disingkirkan ke Mataram, karena kau hanya akan menghambat perkembangan prajurit Pajang."
Senopati Ing Ngalaga menggeram. Tetapi ia selalu ingat pesan Ki Juru Martani. Bahwa sebagai seorang pemimpin dari satu gelar yang besar ia tidak boleh terlalu terpengaruh oleh perasaannya. Jika ia kehilangan akal dan pengekangan diri, maka ia tidak akan dapat menguasai seluruh keadaan medan. Karena itulah maka ia menganggap kata-kata Tumenggung Wanakerti itu sebagai pancingan untuk membangkitkan kemarahannya.
Dalam pada itu, medanpun menjadi semakin dikuasai oleh nafsu membunuh. Setiap orang yang telah menjadi basah oleh keringat, seakan-akan telah menjadi wuru. Apalagi mereka yang telah mulai menitikkan darah dari goresan-goresan senjata.
"Kau masih harus berlatih dua tiga tahun lagi Senopati muda," berkata Tumenggung Wanakerti yang bertempur melawan Raden Sutawijaya.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ketika tombak pendeknya hampir saja meyambar hidung Tumenggung Wanakerti sehingga Tumenggung itu meloncat mundur. Raden Sutawijaya berkata, "Jika aku berguru dua tiga tahun lagi, maka alangkah ngerinya wajahmu sekarang."
Tetapi Tumenggung Wanakerti masih dapat tertawa. Katanya, "Bagus. Aku akan melihat, apakah yang dapat kau lakukan sekarang."
Namun sebenarnyalah hati Raden Sutawijaya menjadi semakin mapan, ia tidak lagi meronta dan memaksa diri untuk bersabar. Tetapi ia benar-benar tidak banyak terpengaruh lagi oleh kata-kata Ki Tumenggung Wanakerti yang memancing kemarahannya itu.
Tetapi dalam pada itu, ternyata bahwa di pusat gelar lawan, kekuatannya benar-benar menakjubkan. Beberapa Senopati dari Pajang telah terlibat pula didalamnya. Jika pasukan Mataram disertai dengan sekelompok prajurit Pajang, maka mereka telah berhadapan dengan beberapa orang Senopati yang memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajurit kebanyakan.
Namun di pusat gelar itupun kemudian hadir Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Kedatangan mereka telah mengejutkan lawan. Apalagi ketika cambuk Swandaru mulai meledak. Suaranya bagaikan guruh yang seolah-olah memecahkan selaput telinga wadag.
Tumenggung Wanakerti mengerutkan keningnya. Sambil bertempur ia mencoba memperhatikan bunyi cambuk itu. Tetapi telinganya ternyata dapat membedakan, bahwa bunyi cambuk itu adalah bunyi kekerasan wadag. Namun demikian ia menjadi berdebar-debar juga, karena di pusat gelar itu telah hadir seorang yang memiliki kekuatan raksasa.
Ki Juru Martanilah yang kemudian mengatur, dimana Swandaru harus bertempur. Ia tiba-tiba saja telah berada tidak jauh dari Raden Sutawijaya, sehingga kehadirannya langsung mempengaruhi medan. Para Senopati yang bertempur melawan dua atau tiga orang yang berpasangan, karena kemampuan mereka yang berbeda, telah terkejut pula.
Swandaru memang memiliki kelebihan. Seorang Senopati Pajang yang berada di dalam lingkungan orang-orang dilembah itu mencoba untuk menahannya. Namun kemudian ia harus mengakui, bahwa Swandaru bukannya seorang gembala yang hanya pandai meledakkan cambuknya keras-keras tanpa lantaran tenaga sama sekali.
Ketika cambuk Swandaru meledak dihadapan Senopati itu, maka langsung terasa, betapa sambaran angin telah menyapu tubuh lawannya sehingga dengan demikian lawannya mengetahui, bahwa cambuk itu benar-benar memiliki kekuatan untuk merobek kulitnya.
Selagi orang-orang dilembah itu masih dikuasai oleh kejutan hadirnya orang gemuk bersenjata cambuk itu, maka sekali lagi mereka terkejut. Disisi lain dari Raden Sutawijaya telah terjadi kegelisahan, karena dimedan itu telah muncul dua orang perempuan dengan senjata mereka yang menggemparkan. Pandan Wangi dengan pedang rangkapnya, sementara Sekar Mirah telah mempergunakan senjata yang diberikan oleh gurunya kepadanya. Sebatang tongkat baja yang berkepala tengkorak berwarna kekuning-kuningan.
"Tongkat itu," seorang Senopati yang lain berdesis.
Beberapa orang prajurit Pajangpun menjadi berdebar-debar pula. Sebagian dari mereka telah mengenal tongkat baja putih itu. Tongkat yang pernah menggemparkan Pajang saat Pajang masih harus bertempur melawan Jipang.
Sebenarnyalah Sekar Mirah menguasai tongkatnya sebaik-baiknya. Tidak kalah dari yang dapat dilakukan oleh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.
"Gila," geram seorang Senopati muda, seolah-olah aku telah menyaksikan sesuatu yang tidak mungkin. Dari wajah yang cantik itu telah memancar sorot mata penuh kebencian dan dendam."
Namun ia tidak dapat sekedar memandang dengan heran. Sejenak kemudian Senopati muda itu telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Sekar Mirah.
"Luar biasa," desis prajurit itu, selelah senjatanya membentur tongkat Sekar Mirah.
Sekar Mirah tidak menyahut. Sekilas ia memandang Senopati itu. Meskipun Senopati itu tidak lagi memakai pakaian keprajuritannya, namun ada beberapa ciri yang dapat memperkenalkan dirinya sebagai seorang prajurit.
Agung Sedayu tidak sempat menyahut lagi. Serangan Ki Gede Telengan telah datang bagaikan angin prahara. Tangannya yang mengandung kekuatan yang tidak terduga menyambar kening Agung Sedayu. Untunglah bahwa Agung Sedayu masih sempat bergeser sambil menarik kepalanya kesamping, sehingga yang terasa olehnya hanyalah sambaran angin yang mendebarkan jantung.
Namun Agung Sedayu tidak sempat merenungi kekuatan lawannya, karena Ki Gede Telengan lelah menyambar larnbungnya dengan kaki kanannya.
Sekali lagi Agung Sedayu terpaksa mengelak. Sebuah loncatan kecil kesamping telah melepaskannya dari sambaran kaki Ki Gede Telengan.
Tetapi gerak Ki Gede Telengan itu beruntun bagaikan deburan ombak dilautan. Demikian sebelah kakinya menjejak tanah, maka tubuhnya telah terputar seperti pusaran air. Kaki yang lain seakan-akan telah terlempar menyambar lawannya mendatar.
Agung Sedayu tidak sempat mengelak. Tetapi ia tidak mau dikenai tumit lawannya, karena ia sadar, bahwa perutnya tentu akan menjadi muak, dan bahkan mungkin terluka didalam, sehingga ia tidak akan mendapat kesempatan lebih banyak lagi untuk bertempur.
Karena itu, maka Agung Sedayupun segera merendahkan dirinya. Ia sadar, bahwa kekuatan lawannya adalah kekuatan raksasa. Karena itulah, maka iapun menghimpun segenap kekuatannya pada kedua tangannya yang bersilang di hadapan dadanya, sementara kedua kakinya merendah pada lututnya.
Benturan kekuatanpun tidak dapat dihindarkan lagi Kaki Ki Gede Telengan telah membentur siku tangan AgungSedayu.
Ternyata bahwa keduanya telah terperanjat. Bentaran kekuatan itu benar-benar merupakan benturan kekuatan raksasa yang sulit dicari imbangannya.
Agung Sedayu ternyata telah terdorong surut, setelah kedua kakinya yang merendah pada lututnya gemetar beberapa saat. Ia tidak dapat bertahan berdiri ditempatnya, sehingga sebelah kakinya telah bergeser dan kaki yang lain harus melangkah surut.
Namun sementara itu, kaki Ki Gede Telengan bagaikan telah dilontarkan oleh sebuah kekuatan yang tidak diperhitungkannya sama sekali. Sehingga iapun telah kehilangan keseimbangannya.
Sekejap ia mencoba bertahan, namun kemudian ia terpaksa jatuh pada lutut kaki kanannya.
Tetapi ia masih dapat meloncat dengan sigapnya. Ketika Agung Sedayu siap untuk menyerang, ternyata bahwa Ki Gede Telenganpun telah berdiri tegak pula menghadapi segala macam kemungkinan.
Namun demikian Ki Gede Telengan itu masih sempat mengumpat, "Anak Iblis. Kau benar-benar telah kerasukan. Kau mempunyai kekuatan yang tidak sewajarnya bagi anak-anak sebesar kau. Tetapi jika iblis ditubuhmu itu oncat, maka kau tidak lebih dari seonggok jerami yang tidak berdaya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia siap untuk bertempur lebih dahsyat lagi.
Sejenak kemudian maka Senopati muda itu tidak lagi dapat memandang wajah Sekar Mirah yang cantik. Yang nampak olehnya kemudian adalah segumpal awan putih yang bagaikan ingin melihat dirinya. Kilatan cahaya kekuning-kuningan diantara gumpalan putih itu bagaikan cahaya tatit ditengah-tengah mendung yang kelabu.
Pertempuran dilembah itupun semakin lama menjadi semakin seru. Pedang rangkap Pandan Wangi pun telah berputar dengan dahsyatnya. Sekali-sekali menyambar, namun kemudian mematuk mengerikan. Seperti Sekar Mirah, maka Pandan Wangipun telah mendebarkan jantung lawannya, seorang Senopati Pajang yang berada dipihak orang-orang yang berkumpul dilembah itu.
Namun dalam pada itu, jumlah orang-orang yang berada dilembah itu memang lebih banyak. Meskipun pada dasarnya, setiap pemimpin mereka telah berhasil ditahan oleh para pemimpin kelompok dari Mataram dan Sangkal Putung. namun orang orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang lebih banyak jumlahnya itu, masih juga berhasil menekan sehingga setapak demi setapak, pertempuran itu telah bergeser dari garis semula. Karena tidak disadari, pasukan Mataram dan Sangkal Putung meskipun hanya sejengkal demi sejengkal telah terdesak mundur.
Sementara itu, dibagian lain dari lembah itu, Ki Gede Telengan masih bertempur melawan Agung Sedayu. Ternyata bahwa Ki Gede Telengan telah bertemu dengan lawan yang tidak diduganya sama sekali. Agung Sedayu bukannya sekedar seorang anak petani yang kebetulan bermain-main dimedan pertempuran. Tetapi anak muda itu ternyata mampu mengimbangi ilmu Ki Gede Telengan.
Karena Ki Gede Telengan tidak bersenjata, maka Agung Sedayupun merasa lebih mantap bertempur tanpa senjata. Namun untuk mengimbangi ilmu Ki Gede Telengan, Agung Sedayupun telah mempergunakan ilmunya selengkapnya.
Ki Gede Telengan benar-benar heran melihat kemampuan lawannya yang masih sangat muda itu. Setiap kali Agung Sedayu selalu dapat membebaskan diri dari libatan serangannya. Betapapun ia memburu setiap gerak menghindar, namun pada suatu saat ia sendirilah yang harus berloncatan menghindari serangan anak muda itu yang membadai.
"He anak muda," tiba-tiba saja Ki Gede Telengan berteriak, "dimana kau berguru he" Sehingga kau mampu mengimbangi ilmuku pada usiamu yang masih sangat muda itu?"
Agung Sedayu terrnangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Ki Sanak. Setiap orang yang menengadahkan permohonannya kepada Sumber Hidupnya, ia akan memiliki sesuatu yang berharga. Cobalah mengerti tentang dirimu sendiri. Mungkin kau dapat memungut ilmu itu di daerah gelap dan hitam. Tetapi pada saatnya, maka yang hitam itu akan terhapus. Seandainya bukan aku, tentu ada orang lain yang akan datang dalam perjalanan hidupmu."
"Persetan," geram Ki Gede Telengan yang menyerang semakin dahsyat, "kau sempat menggurui aku. Baiklah. Terima kasih. Tetapi sebentar lagi kau akan mati."
Ki Gede Telengan yang menjadi semakin gelisah itu-pun tidak mau memperpanjang waktu lagi. Jika kepergiannya diketahui, maka ia akan semakin dalam terbenam kedalam kesulitan, karena baik Tumenggung Wanakerti maupun para pemimpin gerombolan yang lain, tentu tidak akan melepaskan pusaka-pusaka yang harus dijaganya itu dibawa pergi.
Karena itulah maka Ki Gede Telenganpun kemudian telah mengarahkan segenap kemampuannya untuk segera dapat membunuh lawannya, sementara pengikutnya telah bertempur mati-matian melawan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, tekanan dimedan disebelah Timur dari lembah itupun semakin lama terasa menjadi semakin berat bagi pasukan pengawal Mataram dan Sangkal Putung. Namun Sutawijaya masih berharap, bahwa pada suatu saat, pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan datang dan melihat lawan mereka dari belakang.
Namun ternyata pasukan Tanah Perdikan Menoreh datang terlalu lambat dari yang diperhitungkan. Pasukan Mataram dan Sangkal Putung sudah terdesak semakin jauh. Namun pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh sama sekali belum mempengaruhi medan.
Raden Sutawijaya tidak mengetahui, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah tertahan. Meskipun hanya bagian sayapnya saja yang bertempur dengan sengitnya melawan pasukan pengawal pusaka yang disembunyikan oleh orang-orang yang berkumpul dilembah itu, namun seluruh pasukanpun telah terhenti kerenanya.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Prastawa telah menempuh kebijaksanaan lain. Sepeninggal Ki Gede Menoreh dari induk pasukannya, maka Prastawa telah dikecewakannya. Ia ingin datang dan menunjukkan kelebihannya atas Agung Sedayu, dengan membebaskannya dari tekanan lawannya. Tetapi Ki Gede Menoreh tidak memperkenankannya.
Oleh kejengkelannya itulah maka ia telah menentukan sikap yang dianggapnya paling baik. Sesuai dengan pesan para penghubung dari medan disebelah Timur, pasukan Tanah Perdikan Menoreh harus menyerang dari Barat, karena jumlah lawan ternyata terlalu banyak.
"Biarlah sayap itu bertempur. Aku harus bergerak maju untuk membantu pasukan Mataram. Terutama sayap yang lain dan induk pasukan." katanya kepada seorang pengawalnya.
Tetapi sayap yang sedang bertempur itu akan terbuka. Jika maksud kita menahan setiap kemungkinan untuk melarikan diri, maka keterbukaan sayap sebelah itu akan memungkinkan orang-orang yang terkurung itu menerobos dan hilang didalam hutan yang lebat.
Prastawa termangu-mangu. Namun katanya, "Tetapi perintah dari Mataram telah kita dengar bersama."
"Mataram tentu tidak memperhitungkan peristiwa yang telah terjadi, sehingga pasukan ini telah tertahan."
"Tidak. Tidak ada seorangpun yang akan sempat menerobos." geram Prastawa.
"Tetapi induk pasukan ini jangan maju terlebih dahulu. Mungkin sebagian dari sayap yang lain dan sebagian dari induk pasukan ini. Namun kita masih harus tetap menutup kemungkinan merembesnya lawan digelar yang panjang ini.
Prastawa berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan meninggalkan sebagian dari induk pasukan dan pasukan disayap yang lain agar mereka dapat mengawasi keadaan. Yang lain harus segera memasuki medan dari arah belakang, karena dengan demikian akan mengurangi beban pada pasukan Mataram dan Sangkal Putung."
"Tetapi berhati-hatilah. Mungkin lawan akan membuat gelar yang tidak dapat dimengerti. Mereka dapat saja mengerahkan sebagian besar kekuatannya justru untuk menghancurkan pasukan kecil ini, sementara yang lain hanya sekedar menahan pasukan Mataram dan Sangkal Putung saja."
"Aku sudah memperhitungkan. Jika demikian, aku harus bergerak mundur. Dan pasukan yang tinggal ini harus bersiap-siap memberikan dukungan kepada pasukan kecilku."
Pengawal itu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Prastawa. Dan iapun menganggap bahwa anak muda itu dapat berpikir cepat dan cermat, meskipun masih terlalu didorong oleh perasaannya.
Dengan demikian maka Prastawa telah membawa sebagian dari pasukannya dan memerintahkan sebagian dari sayap yang tidak sedang mengalami gangguan itu untuk tetap maju memberian tekanan betapapun kecilnya dari arah Barat. Dengan demikian, maka perhatian pasukan yang ada dilembah itu akan terbagi, meskipun Prastawa mengetahui bahaya yang mungkin justru akan mengarah kepada pasukannya.
Tetapi medan yang penuh dengan pepohonan itu agaknya memberikan keuntungan padanya jika pasukannya mengalami tekanan yang tidak tertahankan. Pasukannya akan mundur dan bersandar pada kekuatan yang ditinggalkannya.
Diengan hati-hati maka sebagian dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu telah maju mendekaki arena pertempuran. Mereka menemukan bagian dari barak yang kosong, karena Ki Gede Telengan telah meninggalkan barak itu dan bertempur melawan sayap pasukan Ki Gede Menoreh yang disertai dengan Agung Sedayu dan kemudian disusul oleh Ki Gede Menoreh sendiri.
Ki Waskita yang ada disayap yang lain mendapat beberapa keterangan dari seorang penghubung tentang niat Prastawa untuk hadir dimedan. Agaknya Ki Waskitapun tidak berkeberatan atas rencana itu, sehingga iapun kemudian ikut serta maju bersama sebagian dari pasukan yang ada disayap itu
" " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " "
disekitarnya. Tetapi persoalan pusaka itu benar-benar telah mencengkam jantungnya.
Tiba-tiba saja tangannya telah menyambar baju orang itu. Sambil mengguncangkannya ia bertanya, "Apakah Ki Gede Telengan tidak berhasil mempertahankannya" Apakah kau dapat menyebut, siapa vang telah mengambil pusaka itu" Ki Gede Menoreh" Atau siapa?"
Orang itu menjadi semakin pucat. Nafasnya yang mulai teratur telah menyesak lagi didadanya.
"Bukan, bukan orang lain yang mengambilnya."
"Jadi siapa" He, berkatalah dengan jelas." Ki Tumenggung Wanakerti berteriak. Tetapi suaranya bagaikan lenyap dalam riuhnya suara pertempuran.
"Ki Gede Telengan sendiri."
"Ki Gede Telengan. He. apakah kau sudah gila?"
"Benar Ki Tumenggung. Ki Gede Telengan telah melarikan pusaka itu. Beberapa orang telah mencoba mencegahnya. Tetapi mereka telah terbunuh. Mungkin hanya aku atau barangkali satu dua orang lain yang berhasil lolos dari maut."
"Gila. Apak kau berkata sebenarnya" Apakah kau memang sudah gila, sehingga kau tidak tahu apa yang kau lihat dan tidak sadar, apa yang kau katakan?"
"Aku sadar sepenuhnya Ki Tumenggung. Aku melihat Ki Gede Telengan memerintahkan pengikutnya membawa pusaka-pusaka itu ke arah Barat."
"Gila. Benar-benar gila."
"Meskipun di sebelah Barat ada pasukan yang diduga adalah pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berpihak pada Mataram, namun Ki Gede Telengan tentu sudah mempunyai perhitungan tersendiri."
Wajah Ki Tumenggung menjadi merah padam. Dadanya bagaikan retak oleh kemarahan yang tidak tertahankan.
Sejenak Ki Tumenggung berdiri dengan tubuh gemetar. Ia sedang dibingungkan oleh keadaan. Ia tidak akan dapat membiarkan pusaka-pusaka itu hilang begitu saja dibawa oleh Ki Gede Telengan. Tetapi ia juga tidak akan dapat begitu saja meninggalkan medan yang menjadi tanggung jawabnya. Apalagi orang-orang terpenting dari pasukannya berada disayap sebelah menyebelah. Sehingga dengan demikian, ia tidak akan dapat langsung berbincang dengan mereka.
Dalam pada itu, pertempuran bagaikan membakar seluruh lembah. Sementara itu, pasukan Ki Tumenggung Wanakerti masih tetap berhasil menekan lawannya, sehingga medanpun masih tetap bergeser meski pun lambat sekali.
Kemenangan-kemenangan kecil itulah yang ikut memberikan keputusan pada Ki Tumenggung Wanakerti, iapun kemudian memberikan wewenang kepada seorang Senopati prajurit Paiang yang ada didalam pasukannya untuk sementara memegang pimpinan.
"Kita akan memenangkan pertempuran ini dalam waktu yang tidak terlalu lama. Aku mempunyai tugas yang lebih penting, dan yang masih belum jelas keadaannya," berkata Ki Tumenggung Wanakerti.
Senopati itu termangu-mangu sejenak. Ia merasa agak segan untuk menerima pimpinan itu, karena didalam pasukannya terdapat orang-orang seperti Empu Pinang Aring, Kiai Kalasa Sawit, Samparsada, Jagaraga dan pengikut-pengikutnya yang memiliki cara tersendiri untuk mematuhi perintah Panglimanya.
Tetapi ia sependapat dengan Ki Tumenggung Wanakerti, bahwa pertempuran itu agaknya tidak akan berlangsung terlalu lama lagi. Iapun yakin bahwa pasukan Mataram akan segera dapat didesak dan dihancurkan, meskipun ternyata ia tidak dapat menutup penglihatannya atas suatu kenyataan hadirnya seorang anak muda bertubuh gemuk bersenjata cambuk, seorang perempuan bersenjata rangkap dan seorang lagi bersenjata tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan.
" " " " ?" " " " ?" " " " ?" " " " ?" " " " ?" " " " ?"
Karena itulah, maka Ki Gede Telengan mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertempuran yang berkepanjangan itu. Betapapun ia berusaha mempergunakan segenap kemampuannya dalam oleh kanuragan ternyata bahwa ia tidak berhasil mengalahkan Agung Sedayu yang dapat bergerak selincah burung sikatan dan memiliki tenaga sebesar tenaganya sendiri.
"Aku harus mengajarinya tunduk kepada perintahku," berkata Ki Gede Telengan kepada diri sendiri.
Iapun kemudian memberikan isyarat kepada pengawalnya yang khusus membawa kedua pusaka itu untuk agak menjauh dan mengamati pusaka-pusaka itu dengan saksama. Ki Gede Telengan sendiri akan mengatur diri dan menyelesaikan pertempuran yang baginya sudah terlalu lama berlangsung itu.
Agung Sedayu yang melihat sikap dan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Ki Gede Telengan menjadi bertambah tegang. Ia dapat menangkap isyarat itu, bahwa Ki Gede Telengan akan sampai kepada ilmunya yang terakhir.
Sejenak kemudian. Agung Sedayu yang berusaha menekan Ki Gede itu dengan serangan-serangan yang semakin cepat, melihat Ki Gede Telengan justru meloncat menjauhinya. Ketika Agung Sedayu berusaha memburunya, ternyata tiga buah pisau belati telah menyambarnya.
Agung Sedayu terpaksa berloncatan menghindari serangan itu. Namun agaknya saat-saat itulah Ki Gede Telengan telah menentukan serangannya yang terakhir. Serangan yang tidak mempergunakan kekuatan wadagnya.
Buku 108 SESAAT Ki Gede Telengan memusatkan segenap kemampuan ilmu dan kekuatannya pada sorot matanya. Dengan tangan yang tersilang, ia berdiri tegak. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang berusaha memperbaiki keadaannya setelah pisau-pisau yang menyambarnya lewat.
Namun tiba tiba terasa seakan-akan urat-urat darahnya bagaikan tersumbat didadanya. Seakan-akan batu sebesar bukit telah menindihnya. Bukan saja darahnya yang berhenti mengalir, tetapi nafanyapun bagaikan terputus.
Sejenak Agung Sedayu mencoba rnembebaskandirinya dengan loncatan-loncatan. Setiap kali ia berhasil melepaskan diri dari garis pandangan mata Ki Gede Telengan, terasa dadanya menjadi longgar. Namun jika sentuhan tatapan matanya itu mengenai dirinya, terasa himpitan itu telah menekannya kembali.
Pada saat-saat tertentu Agung Sedayu mencoba untuk meloncat dan berguling ditanah. Dan terasa olehnya himpitan itu tidak berpengaruh langsung pada dadanya, tetapi pada bagian-bagian tubuhnya yang dapat dikenai oleh pandangan mata Ki Gede Telengan.
Akhirnya Agung Sedayu yakin, banwa Ki Gede Telengan benar-benar telah mempergunakan sorot matanya, dengan kekuatan llmunya, yang dapat mengenainya seperti serangan wadagnya.
Dalam pada itu, pertempuran disayap gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu berlangsung dengan sengitnya. Ki Gede Menoreh dengan pengawalnya telah mendekati arena. Dari kejauhan ia melihat betapa bahayanya benturan yang terjadi pada kedua belah pihak.
Seorang demi seorang, pengawal Ki Gede Telengan mempunyai kelebihan, karena mereka memang merupakan pengawal-pengawal terpilih. Tetapi dalam benturan kekuatan itu. ternyata pengawal Tanah Perdikan Menoreh berjumlah lebih banyak, sehingga anak-anak muda yang memang belum berpengalaman sama sekali masih sempat bertempur sambil memperhitungkan setiap kemungkinan, karena mereka tidak bertempur seorang melawan seorang.
Ketika Ki Gede Menoreh berada semakin dekat dengan arena, maka ia melihat betapa Agung Sedayu berusaha menghindarkan diri dari serangan lawan yang dahsyat itu.
Ki Gede Menoreh adalah orang yang memiliki pengalaman yang matang. Karena itulah, maka iapun langsung dapat mengetahui, apakah yang sedang terjadi dengan Agung Sedayu. Dengan cemas ia mendekat dan meyakinkan, bahwa lawan Agung Sedayu memiliki ilmu yang luar biasa. Ia mampu menyerang lawannya dengan sorot matanya yang mempunyai kekuatan wadag.
Ki Gede Menoreh yang memegang sebatang tombak pendek itupun mendekat. Ia telah membuat perhitungan tertentu untuk membantu Agung Sedayu. Ia harus menyerang orang yang luar biasa itu dari arah yang berbeda dengan Agung Sedayu, sehingga ia akan mampu mempengaruhi lontaran ilmu yang mengerikan itu.
"Lindungi aku dari Pengawal-pengawal orang itu," berkata Ki Gede Menoreh kepada pengawalnya, "aku akan membatu Agung Sedayu yang berada dalam kesulitan."
Pengawal Ki Gede Menoreh itupun segera mempersiapkan diri. Mereka harus dapat memberi kesempatan Ki Gede Menoreh mencapai lawan Agung Sedayu yang memiliki kemampuan yang luar biasa itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu benar-benar merasakan tubuhnya bagaikan menjadi semakin terhimpit oleh kekuatan lawannya. Itulah sebabnya, maka ia tidak mempunyai pilihan lain daripada mempergunakan segenap ilmu dan kemampuan yang ada padanya karena ia tidak akan dapat minta bantuan kepada siapapun juga untuk melawan ilmu Ki Gede Telengan itu. Dengan sadar ia dapat menilai, bahwa jika para pengawal Tanah Perdikun Menoreh yang masih muda-muda itu mendapat serangan serupa, maka mereka tentu akan pingsan pada sentuhan yang pertama. Nafas dan darah mereka akan berhenti mengalir untuk beberapa saat lamanya, meskipun serangan itu telah dilepaskan.
Apalagi pada saat itu, Agung Sedayu tidak melihat kehadiran Ki Gede Menoreh di medan.
Sementara itu, dibelakang medan disebelah Timur, Ki Tumenggung Wanakerti berlari-lari kecil menuju kebarak, Ki Tumenggung sengaja memilih jalan melingkar yang mungkin akan dapat menjebak Ki Gede Telengan. Hatinya benar-benar terguncang ketika ia melihat barak telah kosong. Barak penyimpanan pusakapun telah kosong pula.
"Gila Telengan memang telah gila,"geramnya.
Pengawal-pangawalnyapun telah dibakar oleh kemarahan pula ketika mereka melihat beberapa kawan mereka telah menjadi mayat. Dibeberapa tempat mereka melihat mayat yang terluka oleh senjata. Bahkan ada yang terluka dipunggungnya.
"Sebagian dari mereka telah terlusuk dipunggungnya," geram salah seorang pengawal, "ia tentu mati sebelum sempat melawan. Orang-orang Ki Gede Telengan itu tentu menusuk dari belakang."
Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang rasa-rasanya telah meledakkan jantungnya. Dengan suara lantang iapun kemudian meneriakkan perintah, "Kita akan mencarinya sampai ketemu, meskipun kita harus meninggalkan medan di lembah ini."
Para pengawalnya menjadi berdebar-debar. Mungkin yang akan mereka lakukan adalah sebuah perjalanan menyelusuri jejak Ki Gede Telengan. Apalagi sementara dari mereka mengetahui bahwa Ki Gede Telengan adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat.
Namua merekapun menyadari, bahwa Ki Tumeuggung Wanakerti adalah orang yang pilih tanding pula. Ki Tumenggung Wanakerti memiliki ilmu yang seakan-akan tidak masuk akal. Kekuatan dan daya tahan tubuhnya bagaikan sekedar ceritera dalam dongeng-dongeng masa lampau.
Dengan teliti Ki Tumenggung Wanskerti memeriksa jejak-jejak yang mungkin ditinggalkan oleh Ki Gede Telengan. Rerumputan yang berjatuhan, ranting-ranting yang tersibak dan dedaunan yang terinjak kaki.
"Ia pergi ke Barat," desis Ki Tumenggung Wanskerti. "Apakah ia tidak mengetahui bahwa di mulut lembah bagian Barat terdapat sepasukan Tanah Perdikan Menoreh."
Namun dalam pada itu, iapun telah melihat jejak yang lain. Jejak menuju kearah Timur.
Ternyata bahwa Ki Tumenggung yang berjalan melingkar itu tidak berpapasan dengan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang tidak lengkap itu.
Beberapa saat lamanya, Ki Tumenggung Wanskerti meyakinkan pengamatannya tentang jejak disekitar barak itu. Namun beberapa orang pengawalnya yang meragukannya berkata, "Yang kearah Timur adalah jejak kita sendiri saat kita berangkat meninggalkan barak ini."
"Mungkin. Tetapi pula tidak. Bahkan aku condong untuk menganggap bahwa itu bukan jejak kita, karena kita saat berangkat kemedan berkumpul di depan barak itu, sekelompok demi sekelompok. Kami berangkat dalam urutan pasukan dan tidak menebar seperti jejak ini."
Pengawal-pengawalnya mengangguk-angguk. Katanya, "Jika Kita tidak melingkar dan datang kebarak ini lewat sisi, kita akan dapat melihat, apakah jejak itu jejak kita sendiri atau bukan. Karena jika jejak itu bukan jejak kita sendiri, kita tentu akan berpapasan dengan mereka."
Ki Tumenggung Wanskerti menjadi termangu-mangu sejenak, ia menjadi agak bingung, kemana ia harus menyusul Ki Gede Telengan. Ki Tumenggung yang datang ke barak itu dengan menempuh jalan melingkar, sehingga ia datang ke barak itu dari lereng gunung, memperhitungkan bahwa mungkin ia masih dapat berpapasan dengan Ki Gede Telengan yang menurut dugaannya akan melarikan pusaka itu naik kelereng Gunung Merapi, karena Ki Gede Telenganpun sadar, bahwa dimulut lembah terdapat pasukan yang menunggunya.
Tetapi dilereng Gunung yang agak tinggi ia tidak menemukan jejak apapun juga. Sementara jejak di sekitar barak itu benar-benar telah membingungkannya.
Ki Tumenggung Wanakerti tidak sadar sama sekali bahwa sepasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh telah melintasi barak itu dan menuju kemedan.
Dalam pada itu, Prastawa memang tidak menebarkan pasukannya yang hanya sebagian. Sayap yang kosong karena terbentur Ki Gede Telengan sama sekali tidak diisinya, karena dengan demikian menurut perhitungaannya, pasukannya justru akan menjadi sangat lemah karena terbagi dalam garis tebar yang panjang. Dan itulah sebabnya, maka Ki Tumenggung Wanakerti yang justru berada diarah sayapnya yang kosong tidak dijumpainya.
Prastawa sadar, bahwa pasukannya terutama hanyalah sekedar memancing perhatian dan mengurangi tekanan pada pasukan Mataram dan Sangkal Putung. Itulah sebabnya maka ia memberatkan kekuatannya pada paruh pasukan dan melepaskan sayap yang tertinggal.
Dalam keragu-raguan, akhirnya Ki Tumenggung Wanakerti berkata. "Aku pasti, bahwa Ki Gede Telengan telah menempuh jalan ke Barat. Mungkin ia akan berbelok dan naik kelereng Gunung Merapi melingkari pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berjaga-jaga dimulut lembah."
"Ya. Aku kira mereka memang tidak akan pergi ke Timur," desis seorang pengawalnya.
"Mudah-mudahan mereka tidak jatuh ke tangan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Jika demikian maka pusaka-pusaka itupun akan jatuh ketangan Ki Gede Menoreh yang pasti akan menyerahkannya kepada orang-orang Mataram lagi." Geram Ki Tumenggung Wanakerti.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Wanakerti pun memutuskan untuk menyusul Ki Gede Telengan kearah Barat. Ia telah meninggalkan seorang pengawalnya untuk kembali ke medan.
"Jika orang-orang Mataram telah binasa, maka katakanlah kepada para pemimpin kelompok bahwa aku mencari Ki Gede Telengan. Biarlah mereka menghancurkan sama sekali orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh dan kemudian menunggu kedatanganku. Jika aku tidak berhasil menemukan orang gila itu atau jejaknya, maka kita akan bersama-sama memencar dan mencarinya."
"Tetapi matahari telah condong. Mungkin pertempuran hari ini masih belum dapat diselesaikan," jawab penghubung itu.
"O, kita bukan orang-orang cengeng yang meniup sangkakala ketika matahari terbenam dan meninggalkan medan, menunda pertempuran setelah fajar menyingsing. Aku yakin, bahwa para pemimpin dipasukan kita akan mampu bertempur sampai tiga hari tiga malam."
Penghubung itu ragu-ragu sejenak.
"Tentu Senopati itu menyadari, jika pertempuran agaknya masih akan berlangsung panjang, ia akan memerintahkan beberapa orang pengawal untuk menyediakan makan dan minum."
Penghubung itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mengalami pertempuran menjelang jatuhnya Jipang, bertempur sambil mengunyah makanan dan minum bergiliran, karena masing-masing tidak ingin menghentikan pertempuran setelah lewat sehari penuh.
Beberapa orang yang bertugas menyiapkan makanan menyusul kemedan dan membagikan makanan khusus kepada para prajurit yang sedang bertempur. Makanan yang dapat digenggam dan langsung masuk kedalam mulut.
"Pengawal yang bertugas sebagai penghubung itu pun kemudian kembali kepasukannya dimedan ketika Ki Tumenggang Wanakerti membawa pasukannya mengikuti jejak Ki Gede Telengan. Sekali-sekali Tumenggung Wanakerti mengalami kesulitan, namun kemudian diketemukannya kembali rerumputan yang terinjak kaki, ranting-ranting yang patah dan pohon-pohon perdu yang tersibak.
Dengan kemarahan yang menghentak-hentak didadanya, Ki Tumenggung Wanakerti berusaha secepat-cepatnya menyusul Ki Gede Telengan yang telah berkhianat dengan melarikan pusaka-pusaka yang tengah mereka pertahankan itu.
Sementara itu, pasukan yang dibawa oleh Prastawa dengan sebelah sayap itupun telah mendekati medan. Mereka mulai mempersiapkun diri untuk menghadapi pertempuran yang mungkin akan berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi Prastawa yakin bahwa pasukan Mataram dan Sangkal Putung tentu akan segera menguasai medan sehingga beban yang di pikulkan kepada pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak akan terlalu berat.
Tetapi terbersit pula keinginan Prastawa untuk menunjakkan, bahwa Iapun mampu melakukan tugas yang penting dan secara pribadi memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan sebagai seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi jumlah pasukan Tanah Perdikan Menoreh memang tidak terlalu banyak. Sebelah sayapnya tertinggal bersama Agung Sedayu. Sementara sebagian dari induk pasukannya dan sayap yang lainpun tidak lengkap bersamanya maju ke depan.
Namun dengan penuh keyakinan Prastawa mendekati medan. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah menggenggam senjata mereka erat. Mereka sudah mulai mendengar sorak yang riuh dipeperangan. Orang-orang Mataram dan Sangkal Putung yang tidak ingin terpengaruh oleh teriakan-terikan orang yang berada dilembah itu, telah berteriak pula. Selain dengan demikian mereka telah menyumbat telinga mereka sendiri, merekapan juga dapat memberikan gairah perjuangan bagi kawan-kawan mereka.
Karenapertempuran itu menjadi riuh, maka setiap isyarat dan perintah hanya dapat diberikan lewat isyarat bunyi yang dapat melampaui sorak sorai yang gegap itu.
Sejenak kemudian, pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu telah benar-benar berada di belakang medan. Seorang pengawas tiba-tiba saja telah melihatnya, sehingga dengan demikian maka dengan tergesa-gesa merekapun berlari-lari memberikan laporan kepada Senopati yang memegang pimpinan atas limpahan kekuasaan dari Ki Tumenggung Wanakerti.
"Pasukan yang lain telah datang dari arah belakang," suaranya mengatasi teriakan-teriakan dimedan itu.
Senapati yang sedang bertempur dengan gigihnya itu mendengar laporan yang kurang jelas. Karena itulah, maka iapun telah meninggalkan lawannya dan mempercayakannya kepada Senopati-Senopati pembantunya.
Dari pengawas itu ia mendengar laporan tentang pasukan yang datang dari arah belakang.
"Apakah mereka pasukan dari Tanah Perdikan Manoreh?"
"Aku kurang tahu."
"Jika demikian mereka telah melalui barak yang dijaga oleh Ki Gede Telengan."
"Ya. Telah terjadi pengkhianatan Ki Gede tidak setia."
Senapati itu termangu-mnangu sejenak. Namun ia harus segera mengambil kepatusan.
Karena itulah maka iapun kemudian memerintahkan beberapa orang untuk mangatasi kesulitan yang datang dari arah belakang. Beberapa orang pimpinan kelompok dengan orang-orangnya. Namun iapun telah melepas beberapa orang penghubung untuk memberikan isyarat kepada saysp pasukannya agar mereka menghadapi lawan yang datang dari belakang.
Kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu benar-benar telah mengejutkan para pemimpin pasukan di lembah itu. Beberapa tanggapan telah timbul diantara mereka. Ada yang menyangka bahwa Ki Gede Telengan telah dibinasakan oleh Ki Gade Menoreh yang mereka kenal sebagai seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna. Tetapi ada pula yang menduga bahwa pasukan yang datang itu telah merayap dilereng-lereng yang terjal dan turun di belakang barak yang dijaga oleh Ki Gede Telengan.
Namun bagaimanapun juga yang terjadi, mereka telah dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu telah mancapai medan dari arah yang lain.
Sejenak kemudian, pertempuran yang terjadi dilembah itu telah mempunyai bentuk yang lain. Gelar dari pasukan Mataram dan Sangkal Patung masih tetap dalam bentuknya, gelar Garuda Nglayang yang mempergunakan beberapa unsur dari gelar Gajah Meta karena bentuk medan. Sayap yang sekaligus merupakan taring yang dipersiapkan antuk manusuk langsung kedalam tubuh lawan, semula terbentar pada pertahanan lawan yang kant, sehingga ujudnya adalah sebagai sayap yang menahan laju lawan, meskipun harus bergerak mundur didorong oleh keadaan yang memaksa.
Kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh agaknya akan memberi kesempatan kepada gelar Garuda Nglayang itu untuk berubsh menjadi Gelar Dirada Meta. Gelar seekor Gajah yang mengamuk di liarnya rimba belantara.
Prastawa yang menyadari keadaan pasukannya yang kecil, telah merubah gelarnya. Ia tidak mau hadir dimedan dengan sayap patah sebelah. Karena itu, maka pasukannya telah dibenturkan dalam arena yang tidak terbatas. Dengan demikian, ia akan dapat lebih banyak menarik perhatian dan dapat membuat lawannya menjadi bingung.
Tetapi menyadari keadaan orang-orangnya, Prastawa masih tetap berpesan, "Jangan lepaskan anak-anak muda yang belum berpengalaman bertempur terpisah sama sekali meskipun kita akan mempergunakan gelar Glatik Neba. Kita akan menyerang. Tetapi jika pasukan Mataram dan Sangkal Putung mendesak, kita akan dapat segera menarik diri dan bertempur sesuai dengan keadaan.
Beberapa orang pemimpin kelompok agak ragu-ragu menangggapi sikap Prastawa. Dalam gelar Glatik Neba, maka kemampuan seorang demi seorang akan sangat menentukan.
"Prastawa sendiri yakin akan kemampuan diri. Tetapi bagaimana dengan anak-anak muda kita," desis seorang pemimpin kelompok.
"Kita akan mengalami kesulitan, tetapi mungkin baik bagi medan dalam keseluruhan. Mudah-mudahan pasukan Mataram dan Sangkal Putung dapat mengimbangi," jawab yang lain.
Kawannya tidak menyahut. Mungkin memang ada kesengajaan untuk melihat kemampuan seorang demi seorang. Tetapi mungkin pula memberi kesempatan kepada beberapa orang, termasuk dirinya sendiri, untuk menunjukkan kelebihannya.
Sejenak kemudian, pasukan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar telah menyerang lawan dalam gelar Glatik Neba, sehingga sayap yang kosong itupun telah terisi oleh bertebarnya pasukannya, meskipun tidak memadai seperti sayap yang lain.
Gelar Glatik Neba memang dapat membingungkan lawannya pada saat pasukannya membentur kekuatan di ekor gelar lawan. Namun karena mereka telah menyadari bahaya yang mengancam, maka lawannya telah bersiap menghadapinya.
Sesaat kemudian, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang seperti ditebarkan itu telah berada disepanjang medan. Orang-orang yang cukup berpengalaman tidak melepaskan anak-anak muda lepas dan pungawasan mereka, meskipun mereka sendiri harus bertempur mempertahankan hidup.
Tetapi ternyata lawan mereka, orang-rang yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itupun memiliki pengalaman pribadi yang cukup. Mereka adalah suatu gabungan dari bekas prajurit Pajang dan pengikut-pengikut dari orang-orang yang memiliki pengalaman bertualang.
Karena itulah, maka orang-orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itupun segera menyesuaikan diri dengan gelar lawannya. Mereka menghadang lawan-lawan mereka seorang demi seorang dalam tebaran gelar Glatik Neba.
Jika orang orang dilembah itu tidak harus menghadapi lawan dari arah yang berlawanan, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh seorang yang masih terlalu muda itu tentu akan segera terlibat dalam kesu"litan. Namun karena orang-orang dilembah itu telah terikat lebih dahulu melawan pasukan dari Mataram dan Sangkal Putung. maka perlawanan mereka terhadap pasukan Tanah Perdikan Menoreh itupun sangat terbatas.
Prastawa yang berada di pusat Gelar Glatik Nebanya langsung berada dipusat pertempuran. Dengan berani ia menyerang orang yang dianggapnya pemimpin dari pusat gelar lawan.
Namun ternyata bahwa ia tidak mendapatkan lawan yang dikehendakinya, meskipun ternyata seorang bekas Senapati muda langsung dapat mengimbangi kemampuannya. Yang dihadapi Prastawa adalah seorang Senapati, tetapi bukan yang mempunyai tanggung jawab atas gelar lawan.
Sebenarnyalah bahwa saat itu pusat gelar lawan itupun telah mengalami kesulitan. Dibagian lain dari medan, pasukan Matram dan Sangkal Putung telah berusaha untuk mengimbangi desakan lawan yang berat. Raden Sutawijaya dengan tombak pendeknya mengamuk bagaikan seekor banteng yang terluka. Apalagi ketika anak muda itu sadar, bahwa Ki Tumenggung Wanakerti sudah tidak barada di medan.
Sementara itu, dipusat gelar itu pula, terdapat Ki Juru Martani yang meskipun lebih banyak sekedar mengamati medan dan memberikan arah kepemimpman Raden Sutawijaya. Namun tidak seorang prajurit dipihak lawanpun yang dapat mengganggunya. Ternyata orang tua itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Tetapi agaknya ia tidak ingin langsung berada di medan, membunuh lawan sebanyak-banyaknya sambil menepuk dada. Yang dilakukan oleh Ki Juru Martanai seakan-akan hanyalah sekedar mengikuti Raden Sutawijaya yang bergelar Senapti Ing Ngalaga meskipun sekali-sekali harus melindunginya dari serangan-serangan yang curang.
Di induk pasukan Mataram dan Sangkal Putung itu terdapat pula seorang anakmuda yang gemuk dengan senjata cambuk yang mengerikan. Swandaru bagaikan harimau lapar menerkam lawannya dengan ujung cambuknya. Setiap kali lawannya berloncatan menjauh jika cambuk Swandaru berputaran seperti baling-baling.
Di sebelah lain, dua orang perempuan cantik telah bertempur pula dengan dahsyatnya. Benar-benar suatu keadaan yang saling bertentangan. Wajah-wajah yang cantik itu nampak gelap oleh ketegangan. Yang seorang menggenggam sepasang pedang di kedua tangannya, sedang yang lain bersenjata sebatang tongkat baja putih.
Tidak kalah dahsyatnya, pertempuran di sayap gelar kedua pasukan yang bertempur itu. Tekanan pasukan yang berada di lembah itu terasa tidak tertahankan. Mereka mendesak meskipun setapak demi setapak.
Ternyata kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh langsung berpengaruh atas medan itu dalam keseluruhan. Pasukan yang ada dilembah itu tiba-tiba saja tidak lagi menekan terlalu berat. Sebagian dari mereka harus mempertahankan serangan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dalam gelar Glatik Neba, sehingga jumlah mereka yang menghadapi pasukan Mataram dan Sangkal Putungpun segera berkurang jumlahnya.
Jumlah mereka yang lebih banyak itulah sebenarnya yang membuat pasukan dilembah itu berhasil menekan lawannya yang datang dari arah Timur. Karena itu, ketika jumlah itu berkurang, maka tekanan mereka pun menjadi jauh berkurang pula.
Empu Pinang Aring ternyata harus berjuang mati-matian menghadapi orang bercambuk yang bernama Kiai Gringsing itu. Namun ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing benar-benar merupakan isyarat yang menggetarkan jantung orang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang sempurna itu.
"Cambuknya memang mengerikan," desis Empu Pinang Aring didalam hatinya. Ia tidak dapat mengabaikan kenyataan, bahwa getaran ledakan cambuk yang tidak begitu mengejutkan di telinga wadag itu, namun benar-benar telah mengguncang isi dada. Penglihatan dan pendengaran yang bukan sekedar wadag dari Empu Pinang Aring itu dapat mengukur, betapa dahsyatnya sentuhan cambuk Kiai Gringsing itu apabila menyentuhnya.
Sementara itu. Ki Waskita yang berada didalam gelar Glatik Neba itupun seakan-akan telah terlepas dari seluruh gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Ia ikut berbaur kedalam medan pertempuran.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah sebabnya, maka ia langsung bertempur melawan siapa saja yang datang menyerangnya.
Sejenak Ki Waskita termangu-mangu. Iapun mengerti bahwa Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh tertinggal agak jauh dibelakang medan, karena mereka harus bertempur menghadapi sekelompok orang-orang yang akan menyingkir dari lembah. Namun seperti laporan yang diterimanya, orang-orang yang akan menyingkir dari lembah itu jumlahnya tidak terlalu banyak, sehingga tidak melampaui jumlah pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ada disayap itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu sedang dikejar oleh serangan Ki Gede Telengan yang dahsyat.
Tekanan yang seakan-akan langsung dapat menghentikan arus darah dan pernafasaanya.
Itulah sebabaya maka Agung Sedayu merasa bahwa tidak ada jalan lain kecuali melawan serangan-serangan yang dilontarkan oleh tatapan mata Ki Gede Telengan itu.
Tetapi Agung Sedayu harus mendapat kesempatan, meskipun hanya sekejap untuk bersikap dan melawan serangan Ki Gede Telengan itu dengan kekuatan serupa agar ia tidak sekedar menjadi sasaran yang harus meloncat-loncat, menggeliat dan berguling-guling menghindari serangan Ki Gede Telengan yang mengerikan itu.
Karena itulah, Agung Sedayupun kemudian mencari kemungkinan untuk mendapatkan waktu sesaat sehingga dapat bersikap untuk melawan Ki Gede Telengan.
Dalam keadaan yang terdesak, maka Agung Sedayupun kemudian tidak dapat menemukan cara lain kecuali cara yang dipergunakan pula oleh Ki Gade Telengan. Itulah sebabnya, maka Agang Sedayupun kemudian memungut dua butir batu sebesar telur ayam.
Ketika Agung Sedayu harus menghindarkan diri sambil meloncat berdiri, maka dipergunkannya waktu yang sekejap itu baik-baik. Meskipun dadanya terasa bagaikan tertindih bukit disaat ia berdiri, namun iapun kemudian berhasil melontarkan batu itu kearah Ki Gede Telengan.
Agung Sedaya adalah seorang anak mada yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Karena itu, meskipun waktunya hanya sekejap, namun kedua butir batu itu benar-benar telah mengarah kawajah Ki Gede Telangan.
Sejenak Ki Gede Telengan tersentak. Kedua batu itu masih dilihatnya meskipun ia sedang memusatkan kemampuannya pada tatapan matanya. Itulah sebabnya. maka untuk sekejap ia melepaskan Agung Sedayu. Disambarnya kedua butir batu itu dengan kekuatan matanya. Kekuatan yang tidak dapat dijamah dengan wadag, tetapi mempunyai kemampuan wadag.
Yang terdengar adalah benturan yang mengejutkan. Walaupun hanya sebuah ledakan kecil. Ternyata kedua butir batu itu tidak tahan disambar oleh kekuatan ilmu Ki Gede Telengan, sehingga seolah-olah keduanya telah meledak.
Betapa besarnya kekuatan Ki Gede Telengan. Jika saja lawannya bukan Agung Sedayu, maka kekuatan matanya tentu sudah berhasil meremukkan dadanya.
Namun dalam pada saat itu, sesaat ketika ilmu Ki Gede Telengan memecahkan kedua butir batu yang menyambar wajahnya, Agung Sedayu mendapat kesempatanh sesaat. Apalagi agaknya Ki Gede Telengan tidak terlalu tergesa gesa, karena ia tidak mengira bahwa Agung Sedayu hanya mamerlukan waktu yang pendek untuk merubah keseimbangan pertempuran itu.
Dalam waktu yang sekejab itu, maka Agung Sedayupun kemudian berdiri tegak dengan tangan bersilang didadanya. Wajahnya menjadi tegang dan nafasnya bagaikan tertahan sejenak. Dipusatkannya segenap kekuatannya lahir dan batin dalam lantaran ilmu yang ditemukannya didalam goa, saat-saat ia mengasingkan dirinya.
Agung Sedayu merasakan rabaan ilmu Ki Gede Telengan menekan dadanya sesasat setelah ia memusatkan ilmunya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Dengan sesuap daya dan kemampuannya, ia mengatasi tekanan yang manghimpit dadanya itu, untuk membangunkan kekuntan ilmunya yang tidak kalah dahsyatnya.
Sejenak kemudian, maka terasa, tekanan kekuatan lawannya telah berkurang. Agung Sedayu merasa bahwa sentuhan yang bersifat wadag dari sorot matanya telah membentur kekuatan Ki Gede Telengan yang terlontar dari sorot matanya pula.
Kedua orang itupun kemudian saling berpandangan dengan tegang dalam lontaran kekuatan ilmu masing-masing. Ilmu yang mempunyai ujud yang mirip, tetapi dilandasi oleh pegangan dan pandangan hidup yang justru berlawanan.
Untuk beberapa saat keduanya bertempur dengan cara yang tersendiri, sementara disekitarnya pertempuran yang sebenarnya masih berlangsung. Namun baik pengikut-pengikut Ki Gede Telengan, maupun pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh tidak mengganggu kedua orang yang sedang mengerahkan kemampuan masing-masing. bahkan mereka telah berusaha melindungi mereka yang sedang memusatkan segenap ilmunya itu dari gangguan yang datang dari manapun juga.
Meskipun Agung Sedayu masih muda, tetapi ternyata bahwa ilmunya cukup kuat untuk melawan kekuatan ilmu Ki Gede Telengan. Selain karena Agung Sedayu rajin melatih diri dengun tekun dan selalu mengikuti petunjuk-petunjuk gurunya. Agung Sedayu juga dilandasi oleh keyakinannya bahwa ia berdiri dipihak yang benar untuk menyelamatkan bukan saja sekedar kedua pusaka yang hilang itu, tetapi lebih daripada itu, adalah akibat dari setiap pemilikan kedua pusaka itu.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun selain memiliki kelengkapan ilmu yang utuh, juga berlandaskan kepada tekad pasrah diri kepada kekuasaan Yang Maha Sempurna, yang akan memilih, siapakah diantara keduanya yang dapat mengatasi lawannya.
"Aku berniat baik," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Dengan demikian, maka pemusatan ilmu Agung Sedayu ternyata menjadi lebih mapan dan lebih mantap.
Sejenak keduanya masih gigih dalam perjuangan yang aneh. Keduanya sama sekali tidak bersentuhan, karena keduanya berdiri pada jarak beberapa langkah. Namun keduanya telah bertempur mati matian mempertahankan nyawanya masing masing.
Ki Gede Menorehpun melihat pertempuran yang dahsyat itu. Justru karena itu, maha iapun tidak mengganggunya. Ia sadar, bahwa jika salah satu pihak, pemusatan ilmunya terganggu, maka Ia akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan dirinya.
Karena itu, maka Ki Gede Menoreh hanya menyaksikan pertempuran itu dari jarak tertentu. Ia tidak mau mendakati lagi, apalagi dalam jangkauan pandangan mala Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu sempat melihat bayangannya, maka ilmunya tentu akan terdorong oleh kekuntan ilmu Ki GedeTelengan.
Dalam pada itu, pertempuran masih terjadi dengan sengitnya. Meskipun secara pribadi, para pengikut Ki Gede Telengan memiliki kemampuan yang lebih baik, tetapi pasukan Tanah Perdikan Munoreh jumlahnya lebih banyak, sehingga karena itu, maka kedua belah pihak telah berhasil melindungi kedua orang yang sedang mempertemukan dalam benturan kekuatan dipihak masing-masing. Sejenak kemudian, ternyata keduanya telah menjadi gemetar. Peluh mengalir dari setiap lubang kulit masing-masing. Bahkan keduanya telah menjadi semakin tegang dan pucat, karena keduanya telah terhisap kedalam pengerahan tenaga yang barlebih-lebihan.
Sebenarnyalah bahwa keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing.
Agung Sedayu yang masih muda itu belum mempunyai cukup pengalaman dalam ilmunya, ilmu yang masih terhitung baru baginya. Namun yang sudah ditekuninya.
Dalam latihan-latihan ia tidak saja mempergunakan ilmunya sejauh-jauh dapat dilontarkannya. Tetapi ia selalu berusaha mengenalinya dan mendalami sifat serta wataknya.
Karena itulah, meskipun ia belum pernah mempergunakan dalam benturan ilmu seperti yang sedang terjadi itu, namun Agung Sedayu yang telah mengenal sifat dan watak ilmunya itu sebaik-baiknya, dapat menyesuaikan diri dengan benturan yang berlangsung.
Ternyata bahwa keduanya benar-benar memiliki kekuatan yang sukar dicari bandingannya. Ki Gede Telengan yang telah jauh lebih tua dari Agung Sedayu itupun menjadi heran, bahwa lawannya yang muda itu ternyata mampu mengimbangi ilmunya yang dibangga-banggakan.
"Tidak ada sepuluh orang ditelatah Pajang yang memiliki ilmu seperti anak muda ini," berkata Ki Gede Telengan didalam hati.
Sebenarnyalah bahwa semakin lama Ki Gede Telengan menjadi semakin sulit. Agung Sedayu yang semakin matang itu sempat mempergunakan saat-saat yang gawat itu untuk lebih mengenali diri dari ilmunya, serta hubungan antara diri dan ilmunya itu. Bahkan ia masih sempat mencoba untuk membuat perbandingan-perbandingan, dengan mencari dasar kekuatan yang terkecil dan kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Tetapi ketika tubuhnya menjadi gemetar dan wajahnya menjadi semakin putih. Agung Sedayu tidak berani lagi mencoba mempelajari perkembangan yang ada didalam dirinya. Yang dilakukan adalah melepaskan puncak kemampuan yang dikenalnya tanpa melepaskan dasar berpijak. Pasrah kepada Yang Maha Agung dengan sepenuh hati disertai permohonan yang tulus, bahwa yang dilakukan semata-mata didorong oleh hasrat untuk melenyapkan kebatilan ketamakan dan kedengkian, yang merupakan sumber lahirnya bermacam-macam kejahatan.
Dalam pada itu, Ki Gede Telengan menjadi semakin gelisah. Ia sadar bahwa lawannya tidak dapat diabaikannya, meskipun masih terlalu muda. Apalagi ketika terasa bahwa desakan ilmunya yang membentur ilmu anak muda itu mulai terasa menyesakkan dadanya.
Ternyata bahwa kegelisahannya itu telah mempengaruhi pemusatan ilmunya, sehingga dengan demikian maka semakin lama kekuatannya justru menjadi semakin susut. Sementara itu, tenaganya yang tua itu memang telah diperasnya habis untuk melawan tekanan yang semakin berat dari ilmu anak muda yang disangkanya anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
"Gila," Ki Gede Telengan mengumpat didalam hati, "di Tanah Perdikan Menoreh ada juga orang gila seperti anak muda itu."
Kegelisahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia teringat, bahwa seorang yang memiliki nama menggetarkan telah terbunuh pula oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
"Panembahan Agung dan Panembahan Alit mati pula disekitar daerah tanah Perdikan Menoreh," gumamnya kemudian didalam hati.
Dengan demikian, maka kadang-kadang Ki Gede Telengan merasa bahwa saat-saat yang paling gawat telah mencengkeramnya. Anak muda itu seakan-akan telah berubah menjadi semakin lama semakin besar dan kuat. Tekanan pada jantungnya tidak lagi dapat dielakkannya.
Agung Sedayu didalam penglihatan Ki Gede Telengan itu telah berubah menjadi raksasa sebesar gunung Merbabu itu sendiri. Matanya merah menyala, melontarkan kekuatan yang tidak terlawan, langsung menyusup kedalam dirinnya lewat sorotan matanya sendiri.
Kegelisahan, kecemasan dan kenangan atas masa-masa yang telah lewat atas kematian Panembahan Agung dan Panembahan Alit justru membuatnya menjadi semakin lemah. Ketahanannya telah terdesak bukan saja oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu, tetapi juga oleh kegelisahannya sendiri. Apalagi ketika teringat oleh Ki Gede Telengan bahwa orang-orang dilembah yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Wanakerti akan dapat menyusulnya pula.
Meskipun Ki Tumenggung Wanakerti mungkin tidak memiliki ilmu seperti yang sedang dibenturkan melawan ilmu anak muda itu, namun Ki Tumenggung Wanakerti memiliki ilmu Lembu Sekilan yang mungkin dapat melindungi dirinya dari sentuhan ilmunya.
Karena itulah, makaKi Gede Telengan menjadi semakin terdesak. Ia masih tetap tegak ditempatnya. Tetapi wajahnya telah menjadi seputih kapas. Keringatnya bagaikan diperas dari tubuhnya.
Semakin lama tubuh Ki Gede Telengan itupun menjadi semakin gemetar. Perlahan-lahan ilmunya mulai susut. Meskipun lawannyapun kemampuannya mulai menurun pula.
Tetapi dalam latihan-latihan, Agung Sedayu sudah terbiasa mengerahkan segenap kemampuan yang terperas sampai dasarnya. Bukan saja dalam latihan-latihan kanuragan, tetapi dipadepokan Agung Sedayu melatih kemampuan kekuatannya dengan seribu cara. Mengangkat kayu yang tidak terangkat oleh orang-orang lain, bekerja disawah melampui batas waktu yang dapat dilakukan oleh dua atau tiga orang bersambungan, yang dilakukannya dengan penuh kesadaran dan kesengajaan, sehingga sekaligus ia dapat berlatih pernafasan. Selebihnya, latihan-latihan yang dengan sengaja dilakukan semakin lama semakin berat dengan ikatan yang ketat pada diri sendiri.
Umurnya yang sedang tumbuh dimasa-masa perkembangannya telah ikut menentukan pula akhir dari pertempuran yang dahsyat itu. Ketahanan tubuh dun kemampuan mengatur pernafasannya, ternyata banyak memberikan kesempatan yang lebih baik bagi Agung Sedayu.
Ki Gede Telengan semakin lama merasa nafasnya menjadi semakin sesak. Jantungnya bagaikan semakin lambat bergetar, sehingga dadanya terasa sesak, dan tubuhnya seolah-olah tidak lagi dialiri oleh darahnya yang segar.
Agung Sedayu yang pucat dan gemetar merasa, perlawanan Ki Gede Telengan menjadi semakin lemah. Itulah sebabnya, maka ia telah menyiapkan dirinya, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ada padanya untuk memberikan hentakan terakhir pada lawannya.
Namun ia sadar sepenuhnya, jika ia tidak berhasil, maka ialah yang justru akan menghadapi kesulitan.
Pada saat yang gawat itu, Ki Gede Menorehpun menjadi tegang. Sejenak ia berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia tidak dapat memperhitungkan dengan tepat, apakah yang dapat terjadi atas kedua orang yang sedang mempertaruhkan nyawanya dengan ilmu yang dahsyat itu.
Namun dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan serunya. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menahan setiap usaha dari para pengikut Ki Gede Telengan untuk melarikan diri. Sementara kelompok pilihan yang langsung membawa dan mengawal pusaka-pusaka yang akan dilarikan oleh Ki Gede Telenganpun telah terkepung pula.
Ki Gede Menoreh akhirnya tidak dapat berdiam diri sambil melihat pertunjukan yang mengasyikkan itu. Ia pun tidak dapat mencampuri pertempuran itu langsung. Sementara ia masih melihat pusaka-pusaka yang akan diselamatkan itu ditangan orang-orang yang tidak berhak.
Sejenak Ki Gede termangu-mangu. Ia masih mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambilnya.
Dalam keadaan terakhir yang menentukan itu, tiba-tiba saja terdengar teriakan dikejauhan. Sementara orangnya masih belum nampak. Yang seakan-akan menggetarkan dedaunan hutan dan ranting-ranting.
Ki Gede Menoreh terkejut mendengar suara teriakan itu. Ia sadar, bahwa suara itu bukannya suara sewajarnya. Bukan suara seseorang yang ada pada jarak beberapa puluh langkah. Tetapi tentu lebih jauh. Lontaran suara yang bergema dilembah itu tentu didotong oleh kekuatan dari dalam oleh tenaga ilmu yang dahsyat.
"Gelap ngampar atau Sapu Angin," desis Ki Gede didalam hatinya.
Ternyata bahwa suara itu benar-benar telah mengejutkan. Rasa-rasanya lembah itu bagaikan runtuh. Gemanya bagaikan berputaran menggetarkan jantung.
"Telengan," terdengar suara itu mengguncang-guncang pepohonan, "kau tidak akan terlepas dari tanganku. Aku sudah mendengar suara jantungmu lewat aji Sapta Pangrungu. Aku sudah mendengar dentang senjata beradu diujung lembah ini. Kau sudah terjebak olah pasukan Tanah Perdikan Menoreh."
Suara itu benar-benar mengegelegar. Dan suara itu masih bergema terus, "Aku akan datang untuk membebaskan kau dari orang-orang Menoreh, tetapi setelah itu aku akan membunuhmu."
Suara itu melingkar-lingkar disetiap dada. Terlebih-lebih lagi Ki Gede Telengan yang sedang bertahan. Meskipun ia masih merasa mampu untuk menginbangi ilmu Agung Sedayu yang muda itu, namun ternyata bahwa pemusatan pikirannya telah benar-benar telah terganggu suara Ki Tumenggung Wanakerti yang sengaja mempengaruhi keadaan itu, telah merenggut sebagian dari perhatiannya, sehingga justru saat yang paling gawat, ia tidak dapat memusatkan ilmunya untuk bertahan.
Pada saat itulah, Agung Sedayu melepaskan sisa-sisa tenaga yang ada pada dirinya. Ia berhasil mengatasi gangguan pendengarannya, karena ia sudah memperhitungkan dengan matang, hentakkan yang terakhir itu akan memberikan akibat menentukan dari pertempuran yang gawat itu.
Meskipun sekilas hatinya juga tergetar, tetapi suara itu justru mempercepat hentakkan yang dilepaskannya.
Demikianlah pada saat-saat suara Ki Tumenggung Wanakerti mempengaruhi pemusatan ilmu Ki Gede Telengan, Agung Sedayu telah menghantam lawannya dengan kekuatannya lewat rabaan sorot matanya yang bersifat wadag, mendorong kekuatan ilmu Ki Gede Telengan.
Tekanan itu ternyata benar-benar telah menentukan. Kekuatan Ki Gede Telengan sendiri bagaikan justru memperkuat hentakkan ilmu lawannya.
Terasa dada Ki Gede Telengan berguncang. Kegelisahannya karena suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menentukan akhir dari perjuangannya dengan ilmunya yang dahsyat itu.
Terasa dada Ki Gede telengan bagaikan terbentur oleh Bukit. Nafasnya tiba-tiba saja terputus dan jantungnya berhenti berdenyut.
Sejenak kemudian, Ki Gede Telengan itupun menggeliat. Tetapi, ia sudah tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hidupnya lagi. Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian jatuh menelungkup perlahan-lahan.
Pertempuran itu telah digemparkan oleh peristiwa-peristiwa yang susul menyusul. Suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menggelisahkan segenap pengikut Ki Gede Telengan. Apalagi ketika pengikut-pengikutnya melihat Ki Gede Telengan tidak dapat membebaskan diri dari cengkaman kekuatan yang telah dilontarkan oleh anak yang masih muda itu.
Ki Gede Menoreh yang menjadi tegang karena lontaran ilmu dari orang yang masih belum diketahui, masih sempat mengagumi Agung Sedayu. Anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang dahsyat, jauh diluar dugaannya.
Ki Gede memang sudah menduga, bahwa ilmu Agung Sedayu akan meningkat dengan pesat. Tetapi ia tidak mengira, bahwa kemajuannya akan sepesat itu.
Namun Ki Gede kemudian menjadi berdebar-debar. Ia melihat Agung Sedayu terduduk lemah. Tangannya yang masih bersilang, seolah-olah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menahan badannya yang terbungkuk lesu.
Sejenak Ki Gede termangu-mangu. Namun kemudian ia sadar, bahwa ia harus bertindak tepat.
"Jangan beri kesempatan pusaka-pusaka itu meninggalkan medan," perintahnya kepada pengawal-pengawal pilihannya yang ada disisinya.
Pengawal-pengawal itu segera meninggalkan Ki Gede, mendekati arena pertempuran yang masih seru. Sebenarnyalah bahwa pengikut-pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pemimpinnya itu hanya dapat berusaha melarikannya dirinya dengan cara apapun.
Sementara para pengawal Ki Gede menahan agar pusaka-pusaka itu tidak sempat meninggalkan medan, maka iapun segera mendekati Agung Sedayu yang seakan-akan telah kehilangan kekuatannya sama sekali. Agaknya hentakkan yang terakhir telah memeras segenap tenaga yang ada pada dirinya.
Perlahan-lahan Ki Gede berjongkok disisi Agung Sedayu. Ia tidak segera menyentuh anak muda itu, agar tidak mengejutkannya sehingga akan berakibat buruk padanya.
Ki Gede Menoreh mendengar tarikan nafas yang tidak teratur. Namun Ki Gedepun mengetahui, bahwa Agung Sedayu masih tetap sadar untuk mengatur pernafasannya yang menjadi sesak.
Ki Gede Menoreh masih tetap tidak mengganggu anak muda yang sedang berusaha untuk mempertahankan dari kesulitan yang tumbuh didalam dirinya. Ia sama sekali sudah tidak berdaya lagi seandainya seorang lawan datang dengan pedang terhunus.
Namun perlahan-lahan Agung Sedayu berhasil menguasai dirinya. Nafasnya semakin lama menjadi semakin teratur, meskipun ia masih duduk dengan lemahnya. Kepalanya masih tertunduk dalam-dalam, sementara nafasnya mulai mengalir teratur.
Namun dalam pada itu, selagi pernafasannya mulai pulih, terdengar lagi suara yang dilontarkan dengan ilmu yang dahsyat sehingga gemanya seakan-akan menggetarkan seluruh lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Agung Sedayu terhentak oleh suara itu. Wajahnya yang pucat dan basah oleh keringat terangkat sedikit. Namun kembali ia tertunduk dengan lemahnya meskipun kegelisahan telah semakin mencengkam jantungnya sehingga pernafasannya yang mulai teratur itu telah menjadi kacau kembali.
Namun Ki Gede kemudian berbisik ditelinganya, "Jangan hiraukan orang yang hanya dapat berteriak itu. Biarlah aku disini. Jika ia datang, aku akan bertanya, apakah yang diteriakkannya itu."
Agung Sedayu mendengar suara Ki Gede Menoreh. Dengan demikian hatinya menjadi sedikit tenang. Pusaka-pusaka itu telah berada dibawah pengamatan orang yang dapat dipercaya.
Sementera itu, Ki Tumenggung Wanakerti yang marahpnn menjadi semakin dekat dengan arena pertempuran yang sebenarnya sudah hampir selesai. Suaranya masih melingkar sekali lagi memenuhi lembah. "Telengan. Kau tidak akan terlepas dari tanganku. Aku akan membunuhmu setelah aku membunuh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang menjebakmu."
"Agaknya telah terjadi sesuatu diantara mereka," gumam Ki Gede Menoreh.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia kemudian memusatkan segenap sisa kekuntannya untuk mengatur pernafasannya dan memulihkan segenap gerak dan getar didalam dirinya.
Sementara itu, Ki Gede Menoreh telah memerintahkan kepada seorang penghubung untuk pergi ke induk pasukan. Menurut perhitungannya, orang yang datang didahului oleh suaranya yang menggelegar itu tentu tidak sendiri. Ia tentu membawa pengawal yang akan mungkin mengacaukan pertahanan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata bahwa induk pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak sepenuhnya ada ditempat. Namun yang ada masih cukup untuk dapat memberikan bantuan kepada sayap yang sedang menghadapi lawan yang khusus itu.
Pemimpin kelompok yang ada diinduk pasukan itu memerintahkan beberapa orang tinggal untuk sekedar mengawasi keadaan dangan pesan agar mereka menghubungi pasukan-pasukan disayap jika terjadi sesuatu.
Sementara itu, ketika keadaan Agung Sedayu berangsur baik. Ki Gede Menorehpun telah mempersiapkan dirinya. Ia sadar, bahwa sebentar lagi orang yang telah melontarkan kekuatan ilmunya lewat suaranya itu tentu akan datang dengan sikapnya yang masih belum dapat diketahui dengan pasti.
"Tenangkanlah dirimu," berkata Ki Gede Menoreh kepada Agung Sedayu, "sebentar lagi keadaanmu akan pulih kembali. Kau akan dapat tampil lagi dimedan dengan ilmumu yang dahsyat itu. Biarlah aku manyelesaikan pekerjaan yang tersisa ini."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia benar benar telah menjadi tenang karena kehadiran Ki Gede Menoreh. Ia yakin bahwa tugas yang diembankan kepada para pengawal disayap itu tentu tidak akan sia-sia.
Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Gede Menoreh, maka sejenak kemudian telah muncul sekelompok pasukan yang datang dengan tergesa-gesa. Sekelompok pasukan yang belum diketahui dengan pasti, apakah yang sebenarnya mereka kehendaki. Namun sekali lagi Ki Gede memerintahkan kepada pengawalnya, bahwa yang menjadi pusat perhatian adalah kedua pusaka yang masih dipertahankan mati-matian itu.
"Apapun yang terjadi, kedua pusaka itu jangan sampai lolos. Aku akan menjumpai orang yang berteriak-teriak seperti anak kecil itu, meskipun ia memiliki aji pelontar yang dahsyat dan aji penangkap yang luar biasa pada inderanya."
Para pengawal Ki Gedepun telah melaksanakan perintah itu dengan kesungguhan hati. Didalam arena pertempuran yang sudah berbau darah itu, ternyata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih merupakan pengawal yang tidak kalah tangkasnya dari prajurit-prajurit Pajang sendiri. Apalagi mereka yang telah memiliki pengalaman dimedan-medan yang berat.
Namun kehadiran orang baru dimedan itu, telah menumbuhkan persoalan dihati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka masih belum tahu pasti, apakah yang harus mereka lakukan terhadap orang itu, karena menurut kata-katanya. Ki Gede Telengan adalah yang menjadi sasarannya, meskipun agaknya ia juga memusuhi Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, perintah Ki Gede Menoreh sudah jelas. Pusaka itu harus dicegah agar tidak meninggalkan tempat apapun yang terjadi.
Sementara itu. Ki Tumenggung Wanakerti telah tampil pula dimedan. Dalam waktu yang dekat ia segera mengetahui bahwa Ki Gede Telengan telah terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.
Namun tiba-tiba saja ia tertegun. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya sebelumnya, berdiri tegak dengan tombak pendek ditangannya.
"Argapati," desisnya.
Ki Gede Menoreh memandang orang itu dengan tegang pula. Kemudian dari bibirnya terdengar suaranya, "Jadi kau yang berteriak-teriak itu Wanakerti."
"Gila," geram Wanakerti, "katakan apa yang terjadi. Yang penting bagiku adalah Ki Gede Telengan. Aku memerlukannya."
Ki Gede Menoreh memandang Ki Tumenggung Wanakerti sejenak. Ia telah mengenal Tumenggung itu sebelumnya. Tetapi ia tidak menyangka samasekali bahwa Ki Tumenggung itu berada diantara orang-orang yang berkumpul dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.
"Argapati," teriak Ki Wanakerti, "katakan apa yang telah terjadi disini."
Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Tetapi ditunjuknya Ki Gede Telengan yang tertelungkup di tanah tidak jauh diri padanya.
"Mati," Ki Tumenggung terkejut, "siapakah yang telah membunuhnya" Kau?"
Ki Gede Menoreh menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Bukan aku."
"Tentu kau yang membunuhnya meskipun itu aku akan sangat heran Ki Gede Telengan adalah orang yang luar biasa. Aku tahu, bahwa kaupun termasuk orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi aku yakin bahwa kau tentu berbuat curang sehingga kau berhasil membunuh Ki Gede Telengan."
Ki Gede Menoreh memandang wajah Ki Tumenggung Wanakerti dengan para Pengikutnya yang masih termangu-mangu. Sementara itu pertempuran antara para pengikut Ki Gede Telengan dan orang-orang Tanah Perdikan Menorehpun sudah menjadi semakin mengendor, karena para perigikut Ki Gede Telengan yang sudah menjadi semakin lemah. Bukan saja karena jumlah mereka yang susut dan bahkan tinggal beberapa orang pilihan saja tetapi juga karena mereka merasa dicengkam oleh kebingungan yang tidak dapat mereka hindarkan lagi.
Merekapun sadar, bahwa kedatangan Ki Tumenggung Wanakerti tentu karena ia ingin menyusul Ki Gede Telengan. Bahkan agaknya Ki Tumenggung itu telah dibakar oleh kemarahan dan dendam. Pusaka-pusakanya telah dilarikan, dan orang-orangnya telah dibunuh.
Dalam pada itu Ki Gede Menoreh telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ia masih menjawab, "Tumenggung Wanakerti. Bukan aku yang membunuh Ki Gede Telengan meskipun dengan cara apapun juga. Tetapi lihatlah anak muda itulah yang telah membunuhnya. Ia berhasil melawan Ilmu Ki Gede Telengan dengan ilmu yang serupa. Ternyata bahwa anak muda itu berhasil mengimbanginya meskipun kini ia harus berusaha memulihkan kekuatannya."
"Gila," teriak Ki Tumenggung Wanakerti, "jangan mencoba mengelabuhi aku. Anak itu mungkin akan mati. Tetapi jangan katakan bahwa ialah yang telah membunuh Ki Gede Telengan."
"Aku tidak akan memaksamu percaya. Terserah kepadamu apakah yang baik menurut ceriteramu sendiri. Tetapi Ki Gede Telengan telah mati. Dan kau tidak akan dapat berbuat sesuatu disini."
Ki Tumenggung Wanakerti melihat pertempurun yang semakin susut. Ia masih melihat beberapa orang pengikut Ki Gede Telengan mempertahankan pusaka-pusakanya. Namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah mengepungnya. Dan bahkan tidak ada kemungkinan lagi bagi mereka daripada menyerahkan pusaka itu kepada para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Kedua pusaka itu ternyata telah menyalakan bara di dalam dada Ki Tumenggung Wanakerti. Kedua pasaka, itulah yang telah mengacaukan perasannnya sehingga ia meninggalkan medan dan berusaha menyelusuri jejak Ki Gede Telengan.
Karena itu maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Ambil pusaka-pusaka itu. Siapapun yang menghalangi bunuh saja mereka."
Para pengawalnya tidak menunggu perintah itu diulangi. Dengan serta mereka telah menghambur di arena dan bertempur melawan siapa saja.
Pertempuran dilembah itupun menjadi semakin kisruh. Ada tiga pihak yang saling bertempur dengan kacaunya. Para pengikut Ki Gede Telengan yang tersisa merasa bahwa pengikut-pengikut Ki Tumenggung Wanakerti tentu telah mendendam mereka, sementara para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk merebut pusaka-pusaka yang telah berada ditangan mereka. Sedangkan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh menganggap kedua pihak yang dipimpin oleh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti adalah musuh mereka, karena keduanya ingin memiliki pusaka-pusaka itu pula.
Para pengawal yang masih muda dari Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi bingung menghadapi keadaan itu. Justru kadang-kadang mereka kehilangan arah perlawanan mereka. Siapakah yang harus dilawannya dalam kacaunya medan itu.
Sementara itu Ki Tumenggung Wanakerti perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Gede Menoreh. Dengan wajah yang garang ia berkata, "Jika kau bersedia menarik orang-orangmu, maka aku tidak akan mengganggumu."
"Pergilah jika kau mau pergi," berkata Ki Gede Menoreh, "tetapi pusaka-pusaka itu jangan kau usik lagi. Pusaka-pusaka itu harus kembali ke Mataram."
"Kami adalah pemilik yang syah dari pusaka-pusaka itu," jawab Ki Tumenggung Wanakerti, "karena itu jangan ganggu kami yang sedang berusaha mengambil milik kami dari tangan orang-orang Pajang atau orang-orang yang mendapatkannya dari mereka. Jaka Tingkir sama sekali tidak berhak atas pusaka-pusaka yang tumurun dari Kerajaan Majapahit, apalagi kemudian Sutawijaya anak Pemanahan ... Ia sama sekali tidak berhak memiliki " dijunjung tinggi oleh mereka " masa pemerintahan Prabu B"
Ki Geda Menoreh men " ia tidak mendengarkan sesurah Ki Tumenggung Wanakerti karena pikirannya masih terikat kepada keadaan Agung Sedayu. Jika ia bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti, maka ia harus melepaskan Agung Sedayu. Hal itu akan sangat berbahaya bagi anak muda itu.
"He," teriak Ki Wanakerti, "kau dengar penjelasan ku" Nah. kau sekarang dapat memilih. Membiarkan aku mengambil kembali hakku atas warisan Majapahit atau kau harus aku bunuh disini."
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Tetapi ia mendengar ancaman Ki Tumenggung Wanakerti. Karena itu maka jawabnya, " Ki Tumenggung. Meskipun aku bukan prajurit Pajang, tetapi aku pernah mengalami seperti yang dialami oleh para prajurit didalam segala macam medan. Karena itu biarlah aku tetap bersikap seperti seorang prajurit.
Ki Tumenggung Wanakerti menggeretakkan giginya, ia kenal Kepala Tanah Perdikan Menoreh meskipun tidak begitu rapat. Tetapi iapun sadar bahwa Ki Gede Menoreh tentu akan melakukan seperti yang dikatakannya. Meskipun ia bukan seorang prajurit tetapi ia mempunyai sifat-sifat seorang prajurit pilihan.
Sejenak Ki Tumenggung memandang seluruh medan. Namun tiba-tiba ia berteriak, "Ambil pusaka itu dan bunuh semua orang. Termasuk anak yang sudah tidak berdaya itu."
"Licik." Ki Gede Menorehpun tiba-tiba berteriak, "anak itu masih belum mampu mempertahankan dirinya. Kau tidak boleh membunuhnya."
Ki Tumenggung Wanakerti tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kita berada dimedan perang. Saat Ki Gede Telengan sampai pada suatu keadaan tidak dapat melawan maka anak itu masih terus menekannya dengan ilmunya, sehingga Ki Gede Telengan terbunuh karenanya. Sekarang anak itulah yang berada pada suatu keadaan tidak dapat melawan. Karena itu dapat saja diberikan tekanan terakhir, bukan dengan ilmu yang mengerikan itu tetapi dengan tajamnya pedang. Mumpung ia masih duduk sambil menyilangkan tangannya." Ki Tumenggung Wanakerti berhenti sejenak. Lalu. "He datanglah kepadanya, dan penggal lehernya, meskipun ia sedang berusaha memulihkan kekuatannya."
"Gila," Ki Gede Menorehpun telah menyiapkan diri untuk melindungi Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung Wanakerti telah menyerangnya sambil berteriak, "He Ki Gede marilah kita melihat siapakah diantara kita yang mempanyai ilmu yang lebih tinggi."
Ki Gede Menoreh terpaksa menghindari serangan itu. Dengan tangkasnya ia meloncat kesamping, kemudian memutar tombak pendeknya dan segera menyerang kembali dengan patukan tombak pendeknya.
Ki Tumenggung masih sempat mengelak, ia mempergunakan pedangnya, sementara seorang pengawalnya telah melemparkan perisainya kepadanya. Sambil mengenakan perisai kecilnya Ki Tumenggung berkata, "He, ternyata kau sekarang timpang Ki Gede. Meskipun tidak terlalu nampak tetapi jika pertempuran ini berlangsung cukup lama, maka cacat itu akan semakin nampak. He sejak kapan kau menjadi timpang dan cacat kaki."
Ki Gede Menoreh menggeram. Mata Ki Tumenggung Wanakerti ternyata sangat tajam. Dalam loncatan-loncatan pertama ia langsung dapat melihat kelemahan Ki Gede Menoreh yang kakinya memang sudah cacat.
Tetapi Ki Gede Menoreh yakin bahwa kakinya tidak akan mengganggunya lagi. Kakinya sudah sembah sama sekali. Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di hatinya. Bagaimanakah jika pertempuran ini berlangsung lama?"
Dalam pada itu beberapa orang pengawal Ki Tumenggung Wanakerti langsung mendekati Agung Sedayu yang masih duduk untuk memulihkan pernafasannya, sehingga jalur-jalur darah serta getaran ilmunya menemukan kewajarannya kembali.
Namun dalam pada itu beberapa pengawal Tanah Perdikan Menorehpun menyadari keadaan itu. Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka telah berusaha menahan orang-orang yang akan menyerang Agung Sedayu.
Namun ternyata para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti telah bertempur dengan garangnya, sehingga Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terdesak karenanya.
Apalagi sebagian dari mereka harus tetap mengepung pusaka-pusaka yang sedang diperebutkan itu. Mereka harus menahan agar pusaka-pusaka itu tidak terlepas tetapi juga menahan agar orang-orang yang baru datang dibawah pimpinan Ki Tumenggung Wanakerti tidak berhasil merampasnya.
Dalam kekalutan itu para pengawal Tanah Perdikan Menoreh merasa bahwa tugas mereka menjadi sangat berat. Bahkan beberapa orang anak muda menjadi kebingungan dan hampir saja mereka menjadi putus asa.
Dalam kecemasan itulah telah muncul beberapa orang pengawal yang datang dari induk pasukan. Mereka datang dengan tergesa-gesa karena merekapun menyadari bahwa disayap itu telah terjadi pertempuran yang sengit.
"Cepatlah," Ki Gede Menoreh meneriakkan perintah, "kalian akan berdiri disampang tiga. Lawanmu adalah orang-orang yang bukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh siapapun mereka, meskipun diantara mereka juga terjadi pertempuran."
"Tidak," teriak Tumenggung Wanakerti, "kami akan menyelesaikan persoalan kami nanti atau besok atau kelak. Sekarang kami telah menjadi satu untuk membunuh kalian."
Jawaban Ki Tumenggung itu mempengruhi pula bagi orang-orangnya dan orang-orang yang telah ditinggalkan oleh Ki Gede Telengan. Namun ternyata ada juga diantara mereka yang ragu-ragu. Terutama orang-orang kepercayaan Ki Gede Telengan yang melindungi pusaka-pusaka itu.
Dalam pada itu untuk mempengaruhi keadaan yang mulai berubah atas hadirnya pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu Ki Tumenggung berkata seterusnya, "Aku akan memaafkan Ki Gede Telengan dan pengikut-pengikutnya. Apakah Ki Gede Telengan sudah tidak ada lagi. Pengikutnya akan tetap berada didalam lingkungan kami."
Kata-kata itu telah berpengaruh lebih dalam lagi didalam hati para pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pimpinan. Namun demikian mereka masih tetap ragu-ragu.
Sementara itu para pengawal yang datang dari induk pasukan telah membaurkan diri kedalam medan. Mereka bertempur dengan dahsyatnya. Tenaga mereka masih nampak segar, sementara kawan-kawannya sudah mulai nampak lelah oleh pertempuran yang seru meskipun belum berlangsung terlalu lama.
Seperti yang diperintahkan oleh Ki Tumenggung Wanakerti sasaran utama serangan-serangan pengikutnya tertuju kepada para pengawal yang mengepung pusaka-pusaka yang diperebutkan, sementara yang lain berusaha untuk menembus perlindungan para pengawal atas Agung Sedayu. Sedangkan Ki Gede Menoreh sendiri harus bertampur melawan Ki Tumenggung Wanakerti yang menyerangnya seperti badai.
Ki Tumenggung Wanakerti adalah orang Senapati yang mendapat kepercayaan dari orang yang disebut kakang Panji di Istana Pajang. Karena itu ia adalah seorang Senapati yang mumpuni ia memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang cukup luas.
Tetapi lawan Ki Tumenggung Wanakerti adalah Ki Gede Menoreh. Ia adalah orang yang pilih tanding. Meskipun ia bukan seorang prajurit, tetapi kemampuannya benar-benar telah mengagumkan. Ia memiliki kemampuan seorang Senapati pilihan dan sikap kepemimpinan yang matang justru karena ia adalah seorang Kepala Tanah Perdikan.
Dengan demikian, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ki Tumenggung Wanakerti menyambar-nyambar dengan tangkasnya seperti seekor burung sriti, semantara Ki Gede Menoreh dengan mantap mempermainkan tombak pendeknya. Ia hanya bergeser setapak demi setapak. Bahkan kakinya seakan-akan tidak beringsut dari tempatnya. Namun ia selalu menghadapi lawannya, kemanapun Ki Tumenggung Wanakerti terbang.
Tombak pendek Ki Gede Menoreh merupakan senjata yang sangat dikuasainya. Tombak itu dapat berputar bagaikan perisai ysng menutup tubuhnya dari serangan senjata lawannya. Namun tiba-tiba ujung tombak itu mematuk dengan dahsyatnya seperti sebatang anak panah yang lepas dari busurnya.
Namun dalam pada itu. Ki Gede Menoreh masih tetap diganggu oleh kegelisahan karena Agung Sedayu. Jika orang-orang yang melindunginya itu gagal, maka ia sama sekali tidak berdaya untuk mempertahankan diri, karena ia sudah memeras segenap k'ekuatan yang ada pada dirinya untuk melawan ilmu Ki Gede Telengan yang dahsyat.
Dalam pada itu, beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur diseputar Agung Sedayu. Merekapun sadar, betapapun juga tinggi ilmu anak muda itu. namun dalam keadaan demikian ia benar-benar tidak berdaya.
Tetapi orang-orang dilembah yang datang bersama Ki Tumenggung Wanakerti yang melihat pula kelamahan itu telah berusaha untuk memecahkan pertahanan para pengawal yang bertahan.
Meskipun pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertambah jumlahnya, namun mereka masih harus menyesuaikan diri. Ternyata sisa anak buah Ki Gede Telengan, memusatkan perlawanan mereka terhadap para pengawal Tanah perdikan Menoreh diluar sadar mereka sehingga dengan demikian maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur melawan sisa para pengikut Ki Gede Telengan dan pasukan yang mengawal Ki Tumenggung Wanakerti.
Dalam pada itu. Agung Sedayu telah berjuang untuk bertahan dari cengkaman kehancuran dibagian dalam tubuhnya. Dengan teratur ia menarik dan melepaskan nafasnya. Perlahan-lahan sambil memusatkan segenap kekuatan batinnya untuk memb rikan ketahanan badan wadagnya.
Perlahan-lahan darahnya mulai mengalir dengan teratur, setelah terhentak-hentak oleh ilmu Ki Gede Telengan dan ilmunya sendiri. Dadanya yang sesak bagaikan tertindih bukit rasa-rasanya telah menjadi lapang.
Namun demikian ia sadar sepenuhnya, jika seorang lawan yang betapapun lemahnya berhasil menyentuhnya dengan ujung senjata, maka ia tidak akan dapat bertahan lagi. Darahnya tentu akan terhentak-hentak mangalir dan memecahkan urat-uratnya, terutama pada luka-lukanya,
namun Agung Sedayu yang dikelilingi oleh pertempuran yang sengit itu telah pasrah. Jika harus ada seo"rang lawan yang datang kepadanya dan menggoreskan senjatanya, maka ia tidak akan manyesali keadaannya. Segalanya memang berada ditangan Yang Maha Kuasa. Ilmu dan kemampuan yang diterimakan kepadanya ternyata adalah ilmu dalam batasan kemampuan seo"rang manusia biasa. Pada suatu saat, terasa dirinya memeng terlampau kecil jika harus berhadapan dengan maut.
"Aku hanya dapat berusaha," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, "tetapi yang terjadi adalah ditangan Yang MahaKuasa."
Namun dalam pada itu, justru karena Agung Sedayu telah pasrah, maka hatinya menjadi tenang. Ia tidak lagi digelisahkan oleh apapun yang bakal terjadi atas dirinya.
Justru karena itulah, maka keadaannya menjadi semakin cepat berangsur baik. Perlahan-lahan darahnya mulai mengalir seperti seharusnya. Nafasnyapun telah teratur dan badannya terasa mulai menjadi hangat kembali.
Tetapi sementara itu, tekanan lawan atas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melindunginya menjadi semakin berat. Perlahan-lahan para pengawal mulai terdesak, sehingga lingkaran diseputar Agung Sedayu itupun menjadi kian menyempit.
"Gila," berkata salah seorang pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, "kalian benar-benar licik. Kalian berusaha untuk menyerang orang yang sedang tidak berdaya.
"Kami memang orang-orang licik. Tetapi kalian pun licik pula seperti kami."
"Persetan," teriak pemimpin kelompok, "jangan kalian ganggu Agung Sedayu."
"Kami akan membunuhnya dan membunuh se"mua orang dari Tanah Perdikan Menoreh."
Pemimpin kelompok itu tidak menjawab. Tetapi tekanan lawan terasa memang semakin berat. Para pengawal itu masih terus terdesak setapak demi se"tapak, sehingga beberapa orang diantara mereka menjadi gelisah demi melihat akhir yang buram dari pertempuran itu, apalagi nasib Agung Sedayu.
Meskipun demikian, para pengawal bertempur dengan sekuat tenaga. Mereka tidak akan membiarkan bencana itu menerkam Agung Sedayu yang telah berhasil mengalahkan Ki Gede Telangan meskipun mereka justru harus mengorbankan diri sendiri.
Dilingkaran pertempuran disekitar pusaka yang sedang dipeebutkan itupun keadaannya menjadi kalut. Sisa pengikut Ki Gede Telengan telah mempertahankan pusaka itu mati-matian. Sementara para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti telah menyerang dengan dahsyatnya para pengawal yang berusaha merebut pu"saka itu, sehingga para pengawal harus menghadapi ke"dua belah pihak. Hanyapada saat-saat tertentu dan menghentak sebentar pengikut Ki Gede Telengan bertahan terhadap pengikut Ki Tumenggung Wanakerti yang mendekati pusaka-pusaka itu.
Dengan demikian maka pertempuran itupun men"jadi semakin dahsyat. Ki Gede Menoreh telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Ternyata Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar orang yang luar biasa.
Pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu berjalan semakin cepat. Langit yang perlahan-lahan menjsdi redup ketika matahari mulai turun disebelah Barat. Namun pertempuran rnasih berlangsung terus, sehingga setiap orang mulai meramalkan bahwa pertempuran tidak akan dapat diselesaikan sebelum matahari terbenam.
"Pertempuran ini akan tertunda," desis seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh didalam dirinya.
Namun lawan yang dihadapinya bukannya pasukan segelar sepapan yang bertempur dalam gelar yang berbentuk. Perang yang terjadi adalah perang brubuh. Sehingga pengawal itu mulai meragukan, apakah perang akan berakhir saat matahari terbenam kemudian akan dilanjutkan dihari berikutnya.
"Tetapi pusaka-pusaka itu akan dapat dilarikan dimalam hari, pengawal itu berbantah dengan dirinya sendiri.
Ternyata bahwa para pengikut Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti sama sekali tidak me"mikirkan saat-saat matahari terbenam. Mereka bertempur terus sehingga mereka berhasil memenangkan pertempuran itu dengan cara apapun juga.
Dalam pada itu Ki Gede Menorehpun mulai memikirkan saat-saat matahari terbenam. Jika para pengawalnya yang melindungi Agung Sedayu mampu bertahan sesaat lagi, maka ia akan terlepas dari bahaya.
Tetapi Jika orang-orang dilembah itu menyadari kebiasaan didalam peperangan yang berlaku sebagai suatu hukum yang sama-sama dihormati, berkata Ki Gede Menoreh didalam hatinya. namun agaknya me"reka telah bertindak menurut hukum mereka sendiri. Meskipun sebagian besar dari mereka adalah prajurit-prajurit Pajang yang telah melarikan diri bersama Ki Tumenggung Wanakerti namun mereka telah dipengaruhi oleh suasana liar yang buas dilembah ini.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti masih saja berhasil mendesak lawannya yang berusaha melindungi Agung Sedayu, sehingga pada suatu saat. setiap dorongan kekuatan yang menghentak, akan berhasil mendesak para pengawal itu. sehingga mereka kehilangan keseimbangan perlindungannya.
Namun pada saat itu, Agung Sedayu telah menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia telah melepaskan sesak yang menyumbat dadanya. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan mengangkat wajahnya.
Ia terkejut ketika ia melihat arena yang sempit disekitarnya. Bahkan sekilas ia melihat, para pengawal yang melindunginya telah terdesak.
Kisah Si Naga Langit 8 Wiro Sableng 127 Mayat Persembahan Name Of Rose 3
Tetapi ternyata Empu Pinang Aring itupun merupakan hantu dimedan itu. Meskipun empat orang berusaha melawannya, tetapi keempat orang itu seakan-akan tidak berdaya menghadapinya. Mereka setiap kali harus berloncatan menjauh apabila Empu Pinang Aring mengayunkan senjatanya berputaran.
Bahkan sekali-sekali Empu Pinang masih sempat tertawa sambil berkata. "Marilah anak-anak. Kita bermain kejar-kejaran. Tetapi kita tidak sekedar bertaruh gandu atau kecik sawo. Taruhan kita sekarang adalah nyawa kita."
Kata-kata Empu Pinang Aring itu memang dapat menggetarkan hati lawan-lawannya. Apalagi setelah mereka merasakan, betapa sambaran angin yang mengerikan mengikuti ayunan senjata orang yang oleh pengikutnya disebut Empu Pinang Aring.
Tetapi Empu Pinang Aring terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar jawaban disebelah, "Baiklah Empu. Aku pun ingin ikut serta dalam taruhan ini. Bukan kemiri, bukan pula gayam, tetapi taruhannya adalah umur kita masing masing."
Empu Pinang Aring memandang orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya itu. Beberapa langkah ia meloncat mundur menghindari lawan-lawannya. Dengan tajam ia menatap wajah Kiai Gringsing sambil bertanya, "Siapa kau?"
"Aku salah seorang dari pengawal Mataram," jawab Kiai Gringsing sambil berdiri menghadapi Empu Pinang Aring.
Empu Pinang Aring termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, "Baiklah. Bergabunglah dengan lawan-lawanku. Mungkin kau masih dapat membawa satu dua orang kawan lagi yang akan aku bantai bersama sama."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dari sorot matanya. Empu Pinang Aring memancarkan kepercayaan yang teguh kepada kemampuan diri sendiri, sehingga ia sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap Kiai Gringsing.
Tetapi Kiai Gringsingpun adalah orang yang memiliki beberapa kelebihan. Karena itu dengan tenang ia berkata kepada para pengawal Mataram yang termangu-mangu. "Tinggalkan aku. Jumlah kalian terlalu sedikit untuk melawan orang-orang yang bersembunyi dilembah ini. Biarlah Enpu Pinang Aring bermain-main bersamaku."
Empu Pinang Aring mengerutkan keningnya. Yang satu ini tentu akan lain dari keempat orang yang telah mengeroyoknya. Karena itu Empu Pinang Aring mulai tertarik kepada lawannya yang tua ini.
"Siapa kau sebenarnya ?" bertanya Empu Pinang Aring.
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ia masih memberi isyarat kepada para pengawal Mataram untuk meninggalkannya dan bertempur dalam arena yang kemudian telah menjadi perang brubuh.
"Siapa" " Empu Pinang Aring mengulanginya.
"Namaku tidak banyak disebut orang Empu. Tetapi orang memanggilku Kiai Gringsing."
"Kiai Gringsing," Empu Pinang Aring menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Jadi kaukah orang bercambuk itu?"
"Empu sudah pernah mendengar namaku?"
Empu Pinang Aring memandang Kiai Gringsing dari ujung kakinya sampai keujung rambutnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Aku percaya bahwa orang inilah yang disebut orang bercambuk. Baiklah. Kau sudah berhasil mendapatkan lawan. Dan dengan demikian kau sudah mengurangi tekanan pada pasukan pengawal Mataram, karena kau seorang diri dapat mewakili empat orang lawanku."
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dipandanginya medan yang semakin lama menjadi semakin seru. Namun terasa bahwa pasukan pengawal Mataram memang sudah terdesak.
"Kenapa Raden Sutawijaya masih belum memberikan isyarat kepada pasukan Sangkal Putung yang sudah siap," bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri.
Namun ternyata ia tidak menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian terdengar suara sangkakala menggema di lembah itu.
Swandaru yang berada dibelakang garis pertempuran menjadi gelisah ketika ia harus menunggu terlalu lama. Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya tentu ingin menjajagi kekuatan lawannya lebih dahulu dengan pasukannya.
Namun akhirnya suara sangkakala itu telah terdengar. Dengan demikian maka Swandarupun segera memberikan isyarat kepada pasukannya untuk segera bergerak.
Seperti keterangan yang telah diterimanya dari para penghubung, bahwa pasukan lawan cukup kuat, maka ia pun telah memberikan pesan-pesan terakhir kepada pasukannya. Kepada anak-anak muda yang sama sekali belum berpengalaman. Swandaru memberitahukan, bahwa mereka kini tidak sedang bermain-main. Kebetulan lawan mereka yang pertama adalah orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab, bukan saja terhadap sesama, tetapi juga kepada Sumber Hidup mereka.
"Berhati-hatilah. Mungkin kalian akan dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak pernah kalian bayangkan. Tetapi inilah yang disebut pertempuran yang sebenarnya."
Pandan Wangi dan Sekar Mirah oleh Swandaru tidak diletakkannya disayap gelarnya. Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia telah memasang kedua perempuan itu justru diinduk pasukan bersamanya. Agaknya ada semacam kecemasan bahwa kedua perempuan itu akan menghadapi kesulitan, jika keduanya terpisah daripadanya.
Sebenarnya Pandan Wangi dan Sekar Mirah sendiri menyatakan keinginannya untuk berada disayap sebelah menyebelah. Tetapi Swandaru menggeleng sambil berkata, "Kalian bersamaku."
Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak membantah. Kecuali hubungan pribadi diantara mereka, maka Swandaru adalah pimpinan pasukan Sangkal Putung yang berada di lembah itu.
Demikianlah, maka pasukan Sangkal Putung itu maju menyatu dengan garis pertempuran yang seru. Mereka langsung mengambil bagian diantara pasukan Mataram yang sudah terlebih dahulu terlibat dalam perang.
Kehadiran pasukan Sangkal Putung tidak mengejut kan pasukan yang berada dilembah itu. Sejak semula mereka menyadari, bahwa lawan mereka terdiri dari dua lapis.
Meskipun demikian, kehadiran pasukan Sangkal Putung yang cukup kuat itu langsung mempengaruhi keseimbangan. Namun demikian, jumlah pasukan yang berada dilembah itu masih cukup banyak untuk menekan kedua pasukan gabungan, karena jumlah mereka memang terlalu banyak.
Namun pasukan gabungan yang ada dilembah itu mulai merasa, bahwa pasukan Mataram dan pasukan Sangkal Putung bukannya pasukan-pasukan yang lemah. Apalagi diantara pasukan Mataram memang terdapat prajurit-prajurit Pajang.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Pasukan dari lembah itu tidak lagi mendesak lawannya. Mereka mulai merasakan, bahwa lawan mereka adalah kekuatan yang justru semakin berkembang.
Tetapi di sayap kedua pasukan yang berbenturan itu, tekanan pasukan lawan masih terasa berat. Kiai Gringsing yang bertempur melawan Empu Pinang Aring, kadang-kadang masih berdebar-debar melihat seorang yang bertubuh raksasa yang mengamuk bagaikan angin prahara diantara batang-batang ilalang.
Ki Lurah Branjangan adalah orang yang memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain. Namun ia merasa, betapa dahsyatnya kekuatan orang bertubuh raksasa itu, sehingga ia memerlukan beberapa orang untuk membantunya.
Tetapi kehadiran pasukan Sangkal Putung memberi kan sedikit kesempatan untuk bernafas. Meskipun pasukan Sangkal Putung tidak terlampau menekankan kekuatan di bagian sayapnya, karena semua kekuatan puncaknya berada di induk pasukan, namun kehadiran mereka terasa juga akibatnya, seakan-akan tugas pasukan pengawal dari Mataram itu menjadi agak ringan, meskipun seolah-olah maut masih tetap mengintai setiap orang disetiap saat.
Dalam pada itu. Empu Pinang Aring sendiri segera terbentur pada kekuatan yang tidak dapat ditembusnya. Ketika pertempuran mulai menjadi seru diantara kedua orang yang memiliki ilmu diluar jangkauan para pengawal yang lain itu. maka mereka masing-masing telah mempergunakan senjata yang paling mereka percaya.
Empu Pinang Aring telah menerima senjata khususnya dari seorang pengawalnya yang selalu mengikutinya. Senjata yang jarang-jarang sekali dipergunakan, kecuali dalam kesempatan-kesempatan yang paling berbahaya bagi dirinya.
Kiai Gringsing memperhatikan senjata yang agak aneh itu. Ia sadar bahwa senjata Empu Pinang Aring itu tentu didapatkannya dari orang-orang asing yang pernah berada di tlatah Pajang, atau masa-masa pemerintahan sebelumnya.
Senjata yang bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek itu, mempunyai tiga mata seperti trisula. Tetapi kedua mata tombaknya yang berada dibagian luar, mempunyai mata yang tajamnya menghadap kearah yang berlawanan, seperti ujung eri pandan, sedangkan mata tombak trisula yang berada ditengah, agak lebih panjang sedikit dari kedua ujung yang lain.
"Jangan takut menghadapi senjataku ini," desis Empu Pinang Aring ketika ia melihat wajah Kiai Gringsing menegang.
Kiai Gringsing yang menyadari keadaannya, tiba-tiba saja tersenyum. Jawabnya, "Aku tidak menjadi ketakutan. Tetapi aku menjadi heran. Jika saja kita tidak sedang bertempur, aku akan meminjam senjata itu barang sejenak."
Empu Pinang Aring mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Kau tidak saja akan meminjamnya, tetapi kau akan merasakan, bahwa trisulaku itu mempunyai kemampuan untuk berbuat apa saja dimedan. Aku dapat menyobek perutmu dengan tusukan. Tetapi aku dapat memecahkan kepalamu dengan ayunan, karena mata trisulaku mempunyai tajam seperti kapak disisi-sisinya."
"O," desis Kiai Gringsing yang telah menggenggam cambuknya, "aku akan mencoba melawan senjatamu yang aneh itu."
Empu Pinang Aring tidak menjawab lagi. Dengan serta merta ia telah menyerang. Senjata menusuk seperti sebatang tombak. Namun ketika ujungnya gagal menyentuh Kiai Gringsing, maka senjata itupun segera terayun seperti kapak yang bertangkai panjang.
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Senjata itu memang berbahaya. Dalam setiap geraknya senjata itu memungkinkan untuk melukainya, atau bahkan melumpuhkannya.
Karena itulah, maka untuk selanjutnya Kiai Gringsing harus benar-benar berhati-hati. Bahkan ia harus memperlihatkan kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan tatapan mata.
Sejenak kemudian pertempuran antara kedua orang itupun semakin menjadi dahsyat. Beberapa orang yang ada diseputarnya menjadi berdebar-debar. Senjata Empu Pinang Aring menyambar dari segala arah. Kemudian mematuk seperti seekor ular bandotan yang menerkam lawannya.
Namun dalam pada itu, setiap kali Empu Pinang Aring terkejut mendengar ledakan cambuk Kiai Gringsing. Suara cambuk yang tidak begitu keras menurut pendengaran telinga wadag. Tetapi ternyata bagi telinga Empu Pinang Aring dapat mengetahui bahwa bunyi cambuk itu bagaikan panggilan baginya dari daerah maut.
Dengan demikian maka kedua orang yang bertempur dengan kemampuan yang luar biasa itu telah menumbuhkan keadaan yang khusus didalam arena itu. Sementara para pengawal yang lain bertempur dengan sengitnya melawan orang kasar yang bersembunyi dilembah itu. Setiap kali mereka bersorak-sorak dan berteriak-teriak memekakkan telinga, sehingga kadang-kadang suara itu berhasil mempengaruhi ketahanan hati orang-orang Mataram dan Sangkal Putung.
Ki Lurah Branjangan yang memiliki pengalaman yang luas dimedan yang betapapun sulitnya, meskipun ia tidak dapat mengimbangi kekuatan lawannya seorang diri, telah berusaha mengurangi tekanan perasaan pada para pengawal dari Mataram dan Sangkal Putung. Lewat pengawal-pengawalnya ia memerintahkan agar para pengawal Mataram dan Sangkal Putung ikut pula meneriakkan kemenangan-kemenangan yang dapat mereka capai dipertempuran itu.
Sambil menjauhi lawannya sejenak, dan membiarkan para pengawalnya yang lain bertempur, ia berkata kepada seorang penghubung, "Lakukanlah seperti yang mereka lakukan. Dengan demikian maka kalian tidak akan mendengar apa yang mereka teriakkan, karena kalian telah berteriak pula."
Perintah itupun kemudian menjalar kepada setiap orang di sayap gelar orang-orang Mataram dan Sangkal Putung itu. Sehingga dengan demikian maka sayap gelar itupun menjadi sangat riuh dan ramai.
Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Branjangan, maka para pengawal Mataram dan Sangkal Putung tidak lagi terpengaruh oleh kata-kata yang dilontarkan lawannya, karena mereka tidak mendengar teriakan-teriakan itu lagi dengan jelas.
Sayap gelar pasukan Mataram dan Sangkal Putung itu benar-benar bagaikan arena benturan guruh dan guntur. Suaranya bagaikan menggugurkan lereng Merapi dan Merbabu. Setiap orang bertempur sambil berteriak. Tetapi teriakan mereka itupun hanyalah dapat mereka dengar sendiri. Karena setiap orang telah berteriak pula.
Orang dilembah itupun menjadi marah pula karena sikap para pengawal dari Mataram dan Sangkal Putung. Mereka tidak lagi dapat memperolok-olokkan mereka. Tidak lagi dapat mengumpati dan menyebut kematian demi kematian. Bahkan tidak lagi dapat berbohong untuk mempengaruhi perasaan para pengawal dari Mataram dan Sangkal Putung, karena mereka sendiripun telah berteriak-teriak tidak menentu.
"Gila," geram Kiai Jagarana ketika Ki Lurah Branjangan telah kembali melawannya, "kau ajari para pengawal Mataram itu berbuat seperti perampok-perampok dan penyamun."
"Aneh," desis Ki Lurah Branjangan, "orang-orang-mupun melakukannya."
"Mereka sebagian memang perompak dan penyamun. Tetapi sebagian lagi adalah prajurit-prajurit Pajang."
"Biar sajalah para pengawal dari Mataram berusaha menyumbat telinga mereka dengan mulutnya sendiri. Kata-kata yang dilontarkan oleh orang-orangmu, terutama oleh para perampok dan penyamun itu telah berhasil mempengaruhi jiwa para pengawal. Kata-kata kasar dan kotor itu memang memalukan sekali. Tetapi kini lontaran kata-kata mereka itu sudah tidak didengar lagi."
Orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab lagi. Dengan serta merta ia menyerang Ki Lurah Branjangan dengan senjata yang paling digemari. Sebuah bindi yang besar dan panjang bergerigi berlapis besi baja.
Ki Lurah Branjanganpun harus berhati-hati menghadapi lawannya. Tetapi pedangnya cukup lincah menyusup ayunan bindi Kiai Jagarana. Beberapa orang pengawal yang membantunyapun cukup lincah, sehingga untuk beberapa saat lamanya, pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya.
Di sayap yang lain Ki Sumangkar berada dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Dipajaya. Sesuai dengan pesan Raden Sutawijaya, maka Ki Dipajayapun telah bertempur bersama beberapa orang pengawalnya seperti yang dilakukan oleh Ki Lurah Branjangan menghadapi orang yang bernama Samparsada. Seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa, sejajar dengan kawan-kawannya dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sementara Ki Sumangkar telah bertemu dengan Kiai Kalasa Sawit yang pernah tinggal di padepokan Tambak Wedi. Ternyata bahwa Kiai Kelasa Sawit masih tetap garang dan kasar.
Tetapi luka-luka ditubuh Ki Sumangkar sudah tidak berpengaruh lagi. Ia sudah dapat memutar trisulanya dengan dahsyatnya. Sekali-sekali trisulanya itu bagaikan terjulur menyambar kepala lawannya. Namun kemudian berputar seperti baling-baling.
Kiai Kalasa Sawit menghadapi lawannya dengan hati-hati. Ia sadar, bahwa sambaran trisula itu akan dapat melubangi keningnya. Sehingga karena itu, maka ia harus berusaha untuk menghindarinya.
Ternyata sayap gelar pasukan Mataram itu telah tertahan oleh kekuatan yang agak lebih besar. Meskipun pasukan Sangkal Putung telah bergabung bersama mereka, tetapi rasa rasanya tekanan orang orang yang berada dilembah itu masih terasa sangat berat.
Di Pusat gelar pasukan Mataram yang bergabung dengan pasukan Sangkal Putung itu, pertempuranpun telah berkobar dengan dahsyatnya. Raden Sutawijaya telah menunjukkan kemampuannya sebagai seorang Senopati muda. Ia mampu menguasai seluruh keadaan medan yang panjang dengan penglihatannya, keterangan-keterangan yang didengarnya dan perhitungan-perhitungannya, seolah-olah ia telah melihat medan itu dalam keseluruhan.
Namun ketika Tumenggung Wanakerti sengaja menyongsongnya, maka Raden Sutawijayapun mulai terikat oleh pemusatan kemampuannya kepada Tumenggung yang memang sudah dikenalnya itu.
"Anak muda," berkata Tumenggung Wanakerti, "jika kau kemudian disebut Senopati Ing Ngalaga itu sama sekali bukan karena kemampuanmu dimedan perang. Tapi gelar Senopati Ing Ngalaga itu kau dapatkan sebagai sebuah kurnia dari ayahanda angkatmu yang kasihan melihat anaknya sama sekali tidak memiliki kemampuan apapun juga. Akhirnya kau terpaksa disingkirkan ke Mataram, karena kau hanya akan menghambat perkembangan prajurit Pajang."
Senopati Ing Ngalaga menggeram. Tetapi ia selalu ingat pesan Ki Juru Martani. Bahwa sebagai seorang pemimpin dari satu gelar yang besar ia tidak boleh terlalu terpengaruh oleh perasaannya. Jika ia kehilangan akal dan pengekangan diri, maka ia tidak akan dapat menguasai seluruh keadaan medan. Karena itulah maka ia menganggap kata-kata Tumenggung Wanakerti itu sebagai pancingan untuk membangkitkan kemarahannya.
Dalam pada itu, medanpun menjadi semakin dikuasai oleh nafsu membunuh. Setiap orang yang telah menjadi basah oleh keringat, seakan-akan telah menjadi wuru. Apalagi mereka yang telah mulai menitikkan darah dari goresan-goresan senjata.
"Kau masih harus berlatih dua tiga tahun lagi Senopati muda," berkata Tumenggung Wanakerti yang bertempur melawan Raden Sutawijaya.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ketika tombak pendeknya hampir saja meyambar hidung Tumenggung Wanakerti sehingga Tumenggung itu meloncat mundur. Raden Sutawijaya berkata, "Jika aku berguru dua tiga tahun lagi, maka alangkah ngerinya wajahmu sekarang."
Tetapi Tumenggung Wanakerti masih dapat tertawa. Katanya, "Bagus. Aku akan melihat, apakah yang dapat kau lakukan sekarang."
Namun sebenarnyalah hati Raden Sutawijaya menjadi semakin mapan, ia tidak lagi meronta dan memaksa diri untuk bersabar. Tetapi ia benar-benar tidak banyak terpengaruh lagi oleh kata-kata Ki Tumenggung Wanakerti yang memancing kemarahannya itu.
Tetapi dalam pada itu, ternyata bahwa di pusat gelar lawan, kekuatannya benar-benar menakjubkan. Beberapa Senopati dari Pajang telah terlibat pula didalamnya. Jika pasukan Mataram disertai dengan sekelompok prajurit Pajang, maka mereka telah berhadapan dengan beberapa orang Senopati yang memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajurit kebanyakan.
Namun di pusat gelar itupun kemudian hadir Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Kedatangan mereka telah mengejutkan lawan. Apalagi ketika cambuk Swandaru mulai meledak. Suaranya bagaikan guruh yang seolah-olah memecahkan selaput telinga wadag.
Tumenggung Wanakerti mengerutkan keningnya. Sambil bertempur ia mencoba memperhatikan bunyi cambuk itu. Tetapi telinganya ternyata dapat membedakan, bahwa bunyi cambuk itu adalah bunyi kekerasan wadag. Namun demikian ia menjadi berdebar-debar juga, karena di pusat gelar itu telah hadir seorang yang memiliki kekuatan raksasa.
Ki Juru Martanilah yang kemudian mengatur, dimana Swandaru harus bertempur. Ia tiba-tiba saja telah berada tidak jauh dari Raden Sutawijaya, sehingga kehadirannya langsung mempengaruhi medan. Para Senopati yang bertempur melawan dua atau tiga orang yang berpasangan, karena kemampuan mereka yang berbeda, telah terkejut pula.
Swandaru memang memiliki kelebihan. Seorang Senopati Pajang yang berada di dalam lingkungan orang-orang dilembah itu mencoba untuk menahannya. Namun kemudian ia harus mengakui, bahwa Swandaru bukannya seorang gembala yang hanya pandai meledakkan cambuknya keras-keras tanpa lantaran tenaga sama sekali.
Ketika cambuk Swandaru meledak dihadapan Senopati itu, maka langsung terasa, betapa sambaran angin telah menyapu tubuh lawannya sehingga dengan demikian lawannya mengetahui, bahwa cambuk itu benar-benar memiliki kekuatan untuk merobek kulitnya.
Selagi orang-orang dilembah itu masih dikuasai oleh kejutan hadirnya orang gemuk bersenjata cambuk itu, maka sekali lagi mereka terkejut. Disisi lain dari Raden Sutawijaya telah terjadi kegelisahan, karena dimedan itu telah muncul dua orang perempuan dengan senjata mereka yang menggemparkan. Pandan Wangi dengan pedang rangkapnya, sementara Sekar Mirah telah mempergunakan senjata yang diberikan oleh gurunya kepadanya. Sebatang tongkat baja yang berkepala tengkorak berwarna kekuning-kuningan.
"Tongkat itu," seorang Senopati yang lain berdesis.
Beberapa orang prajurit Pajangpun menjadi berdebar-debar pula. Sebagian dari mereka telah mengenal tongkat baja putih itu. Tongkat yang pernah menggemparkan Pajang saat Pajang masih harus bertempur melawan Jipang.
Sebenarnyalah Sekar Mirah menguasai tongkatnya sebaik-baiknya. Tidak kalah dari yang dapat dilakukan oleh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.
"Gila," geram seorang Senopati muda, seolah-olah aku telah menyaksikan sesuatu yang tidak mungkin. Dari wajah yang cantik itu telah memancar sorot mata penuh kebencian dan dendam."
Namun ia tidak dapat sekedar memandang dengan heran. Sejenak kemudian Senopati muda itu telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Sekar Mirah.
"Luar biasa," desis prajurit itu, selelah senjatanya membentur tongkat Sekar Mirah.
Sekar Mirah tidak menyahut. Sekilas ia memandang Senopati itu. Meskipun Senopati itu tidak lagi memakai pakaian keprajuritannya, namun ada beberapa ciri yang dapat memperkenalkan dirinya sebagai seorang prajurit.
Agung Sedayu tidak sempat menyahut lagi. Serangan Ki Gede Telengan telah datang bagaikan angin prahara. Tangannya yang mengandung kekuatan yang tidak terduga menyambar kening Agung Sedayu. Untunglah bahwa Agung Sedayu masih sempat bergeser sambil menarik kepalanya kesamping, sehingga yang terasa olehnya hanyalah sambaran angin yang mendebarkan jantung.
Namun Agung Sedayu tidak sempat merenungi kekuatan lawannya, karena Ki Gede Telengan lelah menyambar larnbungnya dengan kaki kanannya.
Sekali lagi Agung Sedayu terpaksa mengelak. Sebuah loncatan kecil kesamping telah melepaskannya dari sambaran kaki Ki Gede Telengan.
Tetapi gerak Ki Gede Telengan itu beruntun bagaikan deburan ombak dilautan. Demikian sebelah kakinya menjejak tanah, maka tubuhnya telah terputar seperti pusaran air. Kaki yang lain seakan-akan telah terlempar menyambar lawannya mendatar.
Agung Sedayu tidak sempat mengelak. Tetapi ia tidak mau dikenai tumit lawannya, karena ia sadar, bahwa perutnya tentu akan menjadi muak, dan bahkan mungkin terluka didalam, sehingga ia tidak akan mendapat kesempatan lebih banyak lagi untuk bertempur.
Karena itu, maka Agung Sedayupun segera merendahkan dirinya. Ia sadar, bahwa kekuatan lawannya adalah kekuatan raksasa. Karena itulah, maka iapun menghimpun segenap kekuatannya pada kedua tangannya yang bersilang di hadapan dadanya, sementara kedua kakinya merendah pada lututnya.
Benturan kekuatanpun tidak dapat dihindarkan lagi Kaki Ki Gede Telengan telah membentur siku tangan AgungSedayu.
Ternyata bahwa keduanya telah terperanjat. Bentaran kekuatan itu benar-benar merupakan benturan kekuatan raksasa yang sulit dicari imbangannya.
Agung Sedayu ternyata telah terdorong surut, setelah kedua kakinya yang merendah pada lututnya gemetar beberapa saat. Ia tidak dapat bertahan berdiri ditempatnya, sehingga sebelah kakinya telah bergeser dan kaki yang lain harus melangkah surut.
Namun sementara itu, kaki Ki Gede Telengan bagaikan telah dilontarkan oleh sebuah kekuatan yang tidak diperhitungkannya sama sekali. Sehingga iapun telah kehilangan keseimbangannya.
Sekejap ia mencoba bertahan, namun kemudian ia terpaksa jatuh pada lutut kaki kanannya.
Tetapi ia masih dapat meloncat dengan sigapnya. Ketika Agung Sedayu siap untuk menyerang, ternyata bahwa Ki Gede Telenganpun telah berdiri tegak pula menghadapi segala macam kemungkinan.
Namun demikian Ki Gede Telengan itu masih sempat mengumpat, "Anak Iblis. Kau benar-benar telah kerasukan. Kau mempunyai kekuatan yang tidak sewajarnya bagi anak-anak sebesar kau. Tetapi jika iblis ditubuhmu itu oncat, maka kau tidak lebih dari seonggok jerami yang tidak berdaya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia siap untuk bertempur lebih dahsyat lagi.
Sejenak kemudian maka Senopati muda itu tidak lagi dapat memandang wajah Sekar Mirah yang cantik. Yang nampak olehnya kemudian adalah segumpal awan putih yang bagaikan ingin melihat dirinya. Kilatan cahaya kekuning-kuningan diantara gumpalan putih itu bagaikan cahaya tatit ditengah-tengah mendung yang kelabu.
Pertempuran dilembah itupun semakin lama menjadi semakin seru. Pedang rangkap Pandan Wangi pun telah berputar dengan dahsyatnya. Sekali-sekali menyambar, namun kemudian mematuk mengerikan. Seperti Sekar Mirah, maka Pandan Wangipun telah mendebarkan jantung lawannya, seorang Senopati Pajang yang berada dipihak orang-orang yang berkumpul dilembah itu.
Namun dalam pada itu, jumlah orang-orang yang berada dilembah itu memang lebih banyak. Meskipun pada dasarnya, setiap pemimpin mereka telah berhasil ditahan oleh para pemimpin kelompok dari Mataram dan Sangkal Putung. namun orang orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang lebih banyak jumlahnya itu, masih juga berhasil menekan sehingga setapak demi setapak, pertempuran itu telah bergeser dari garis semula. Karena tidak disadari, pasukan Mataram dan Sangkal Putung meskipun hanya sejengkal demi sejengkal telah terdesak mundur.
Sementara itu, dibagian lain dari lembah itu, Ki Gede Telengan masih bertempur melawan Agung Sedayu. Ternyata bahwa Ki Gede Telengan telah bertemu dengan lawan yang tidak diduganya sama sekali. Agung Sedayu bukannya sekedar seorang anak petani yang kebetulan bermain-main dimedan pertempuran. Tetapi anak muda itu ternyata mampu mengimbangi ilmu Ki Gede Telengan.
Karena Ki Gede Telengan tidak bersenjata, maka Agung Sedayupun merasa lebih mantap bertempur tanpa senjata. Namun untuk mengimbangi ilmu Ki Gede Telengan, Agung Sedayupun telah mempergunakan ilmunya selengkapnya.
Ki Gede Telengan benar-benar heran melihat kemampuan lawannya yang masih sangat muda itu. Setiap kali Agung Sedayu selalu dapat membebaskan diri dari libatan serangannya. Betapapun ia memburu setiap gerak menghindar, namun pada suatu saat ia sendirilah yang harus berloncatan menghindari serangan anak muda itu yang membadai.
"He anak muda," tiba-tiba saja Ki Gede Telengan berteriak, "dimana kau berguru he" Sehingga kau mampu mengimbangi ilmuku pada usiamu yang masih sangat muda itu?"
Agung Sedayu terrnangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Ki Sanak. Setiap orang yang menengadahkan permohonannya kepada Sumber Hidupnya, ia akan memiliki sesuatu yang berharga. Cobalah mengerti tentang dirimu sendiri. Mungkin kau dapat memungut ilmu itu di daerah gelap dan hitam. Tetapi pada saatnya, maka yang hitam itu akan terhapus. Seandainya bukan aku, tentu ada orang lain yang akan datang dalam perjalanan hidupmu."
"Persetan," geram Ki Gede Telengan yang menyerang semakin dahsyat, "kau sempat menggurui aku. Baiklah. Terima kasih. Tetapi sebentar lagi kau akan mati."
Ki Gede Telengan yang menjadi semakin gelisah itu-pun tidak mau memperpanjang waktu lagi. Jika kepergiannya diketahui, maka ia akan semakin dalam terbenam kedalam kesulitan, karena baik Tumenggung Wanakerti maupun para pemimpin gerombolan yang lain, tentu tidak akan melepaskan pusaka-pusaka yang harus dijaganya itu dibawa pergi.
Karena itulah maka Ki Gede Telenganpun kemudian telah mengarahkan segenap kemampuannya untuk segera dapat membunuh lawannya, sementara pengikutnya telah bertempur mati-matian melawan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, tekanan dimedan disebelah Timur dari lembah itupun semakin lama terasa menjadi semakin berat bagi pasukan pengawal Mataram dan Sangkal Putung. Namun Sutawijaya masih berharap, bahwa pada suatu saat, pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan datang dan melihat lawan mereka dari belakang.
Namun ternyata pasukan Tanah Perdikan Menoreh datang terlalu lambat dari yang diperhitungkan. Pasukan Mataram dan Sangkal Putung sudah terdesak semakin jauh. Namun pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh sama sekali belum mempengaruhi medan.
Raden Sutawijaya tidak mengetahui, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah tertahan. Meskipun hanya bagian sayapnya saja yang bertempur dengan sengitnya melawan pasukan pengawal pusaka yang disembunyikan oleh orang-orang yang berkumpul dilembah itu, namun seluruh pasukanpun telah terhenti kerenanya.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Prastawa telah menempuh kebijaksanaan lain. Sepeninggal Ki Gede Menoreh dari induk pasukannya, maka Prastawa telah dikecewakannya. Ia ingin datang dan menunjukkan kelebihannya atas Agung Sedayu, dengan membebaskannya dari tekanan lawannya. Tetapi Ki Gede Menoreh tidak memperkenankannya.
Oleh kejengkelannya itulah maka ia telah menentukan sikap yang dianggapnya paling baik. Sesuai dengan pesan para penghubung dari medan disebelah Timur, pasukan Tanah Perdikan Menoreh harus menyerang dari Barat, karena jumlah lawan ternyata terlalu banyak.
"Biarlah sayap itu bertempur. Aku harus bergerak maju untuk membantu pasukan Mataram. Terutama sayap yang lain dan induk pasukan." katanya kepada seorang pengawalnya.
Tetapi sayap yang sedang bertempur itu akan terbuka. Jika maksud kita menahan setiap kemungkinan untuk melarikan diri, maka keterbukaan sayap sebelah itu akan memungkinkan orang-orang yang terkurung itu menerobos dan hilang didalam hutan yang lebat.
Prastawa termangu-mangu. Namun katanya, "Tetapi perintah dari Mataram telah kita dengar bersama."
"Mataram tentu tidak memperhitungkan peristiwa yang telah terjadi, sehingga pasukan ini telah tertahan."
"Tidak. Tidak ada seorangpun yang akan sempat menerobos." geram Prastawa.
"Tetapi induk pasukan ini jangan maju terlebih dahulu. Mungkin sebagian dari sayap yang lain dan sebagian dari induk pasukan ini. Namun kita masih harus tetap menutup kemungkinan merembesnya lawan digelar yang panjang ini.
Prastawa berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan meninggalkan sebagian dari induk pasukan dan pasukan disayap yang lain agar mereka dapat mengawasi keadaan. Yang lain harus segera memasuki medan dari arah belakang, karena dengan demikian akan mengurangi beban pada pasukan Mataram dan Sangkal Putung."
"Tetapi berhati-hatilah. Mungkin lawan akan membuat gelar yang tidak dapat dimengerti. Mereka dapat saja mengerahkan sebagian besar kekuatannya justru untuk menghancurkan pasukan kecil ini, sementara yang lain hanya sekedar menahan pasukan Mataram dan Sangkal Putung saja."
"Aku sudah memperhitungkan. Jika demikian, aku harus bergerak mundur. Dan pasukan yang tinggal ini harus bersiap-siap memberikan dukungan kepada pasukan kecilku."
Pengawal itu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Prastawa. Dan iapun menganggap bahwa anak muda itu dapat berpikir cepat dan cermat, meskipun masih terlalu didorong oleh perasaannya.
Dengan demikian maka Prastawa telah membawa sebagian dari pasukannya dan memerintahkan sebagian dari sayap yang tidak sedang mengalami gangguan itu untuk tetap maju memberian tekanan betapapun kecilnya dari arah Barat. Dengan demikian, maka perhatian pasukan yang ada dilembah itu akan terbagi, meskipun Prastawa mengetahui bahaya yang mungkin justru akan mengarah kepada pasukannya.
Tetapi medan yang penuh dengan pepohonan itu agaknya memberikan keuntungan padanya jika pasukannya mengalami tekanan yang tidak tertahankan. Pasukannya akan mundur dan bersandar pada kekuatan yang ditinggalkannya.
Diengan hati-hati maka sebagian dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu telah maju mendekaki arena pertempuran. Mereka menemukan bagian dari barak yang kosong, karena Ki Gede Telengan telah meninggalkan barak itu dan bertempur melawan sayap pasukan Ki Gede Menoreh yang disertai dengan Agung Sedayu dan kemudian disusul oleh Ki Gede Menoreh sendiri.
Ki Waskita yang ada disayap yang lain mendapat beberapa keterangan dari seorang penghubung tentang niat Prastawa untuk hadir dimedan. Agaknya Ki Waskitapun tidak berkeberatan atas rencana itu, sehingga iapun kemudian ikut serta maju bersama sebagian dari pasukan yang ada disayap itu
" " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " "
disekitarnya. Tetapi persoalan pusaka itu benar-benar telah mencengkam jantungnya.
Tiba-tiba saja tangannya telah menyambar baju orang itu. Sambil mengguncangkannya ia bertanya, "Apakah Ki Gede Telengan tidak berhasil mempertahankannya" Apakah kau dapat menyebut, siapa vang telah mengambil pusaka itu" Ki Gede Menoreh" Atau siapa?"
Orang itu menjadi semakin pucat. Nafasnya yang mulai teratur telah menyesak lagi didadanya.
"Bukan, bukan orang lain yang mengambilnya."
"Jadi siapa" He, berkatalah dengan jelas." Ki Tumenggung Wanakerti berteriak. Tetapi suaranya bagaikan lenyap dalam riuhnya suara pertempuran.
"Ki Gede Telengan sendiri."
"Ki Gede Telengan. He. apakah kau sudah gila?"
"Benar Ki Tumenggung. Ki Gede Telengan telah melarikan pusaka itu. Beberapa orang telah mencoba mencegahnya. Tetapi mereka telah terbunuh. Mungkin hanya aku atau barangkali satu dua orang lain yang berhasil lolos dari maut."
"Gila. Apak kau berkata sebenarnya" Apakah kau memang sudah gila, sehingga kau tidak tahu apa yang kau lihat dan tidak sadar, apa yang kau katakan?"
"Aku sadar sepenuhnya Ki Tumenggung. Aku melihat Ki Gede Telengan memerintahkan pengikutnya membawa pusaka-pusaka itu ke arah Barat."
"Gila. Benar-benar gila."
"Meskipun di sebelah Barat ada pasukan yang diduga adalah pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berpihak pada Mataram, namun Ki Gede Telengan tentu sudah mempunyai perhitungan tersendiri."
Wajah Ki Tumenggung menjadi merah padam. Dadanya bagaikan retak oleh kemarahan yang tidak tertahankan.
Sejenak Ki Tumenggung berdiri dengan tubuh gemetar. Ia sedang dibingungkan oleh keadaan. Ia tidak akan dapat membiarkan pusaka-pusaka itu hilang begitu saja dibawa oleh Ki Gede Telengan. Tetapi ia juga tidak akan dapat begitu saja meninggalkan medan yang menjadi tanggung jawabnya. Apalagi orang-orang terpenting dari pasukannya berada disayap sebelah menyebelah. Sehingga dengan demikian, ia tidak akan dapat langsung berbincang dengan mereka.
Dalam pada itu, pertempuran bagaikan membakar seluruh lembah. Sementara itu, pasukan Ki Tumenggung Wanakerti masih tetap berhasil menekan lawannya, sehingga medanpun masih tetap bergeser meski pun lambat sekali.
Kemenangan-kemenangan kecil itulah yang ikut memberikan keputusan pada Ki Tumenggung Wanakerti, iapun kemudian memberikan wewenang kepada seorang Senopati prajurit Paiang yang ada didalam pasukannya untuk sementara memegang pimpinan.
"Kita akan memenangkan pertempuran ini dalam waktu yang tidak terlalu lama. Aku mempunyai tugas yang lebih penting, dan yang masih belum jelas keadaannya," berkata Ki Tumenggung Wanakerti.
Senopati itu termangu-mangu sejenak. Ia merasa agak segan untuk menerima pimpinan itu, karena didalam pasukannya terdapat orang-orang seperti Empu Pinang Aring, Kiai Kalasa Sawit, Samparsada, Jagaraga dan pengikut-pengikutnya yang memiliki cara tersendiri untuk mematuhi perintah Panglimanya.
Tetapi ia sependapat dengan Ki Tumenggung Wanakerti, bahwa pertempuran itu agaknya tidak akan berlangsung terlalu lama lagi. Iapun yakin bahwa pasukan Mataram akan segera dapat didesak dan dihancurkan, meskipun ternyata ia tidak dapat menutup penglihatannya atas suatu kenyataan hadirnya seorang anak muda bertubuh gemuk bersenjata cambuk, seorang perempuan bersenjata rangkap dan seorang lagi bersenjata tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan.
" " " " ?" " " " ?" " " " ?" " " " ?" " " " ?" " " " ?"
Karena itulah, maka Ki Gede Telengan mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertempuran yang berkepanjangan itu. Betapapun ia berusaha mempergunakan segenap kemampuannya dalam oleh kanuragan ternyata bahwa ia tidak berhasil mengalahkan Agung Sedayu yang dapat bergerak selincah burung sikatan dan memiliki tenaga sebesar tenaganya sendiri.
"Aku harus mengajarinya tunduk kepada perintahku," berkata Ki Gede Telengan kepada diri sendiri.
Iapun kemudian memberikan isyarat kepada pengawalnya yang khusus membawa kedua pusaka itu untuk agak menjauh dan mengamati pusaka-pusaka itu dengan saksama. Ki Gede Telengan sendiri akan mengatur diri dan menyelesaikan pertempuran yang baginya sudah terlalu lama berlangsung itu.
Agung Sedayu yang melihat sikap dan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Ki Gede Telengan menjadi bertambah tegang. Ia dapat menangkap isyarat itu, bahwa Ki Gede Telengan akan sampai kepada ilmunya yang terakhir.
Sejenak kemudian. Agung Sedayu yang berusaha menekan Ki Gede itu dengan serangan-serangan yang semakin cepat, melihat Ki Gede Telengan justru meloncat menjauhinya. Ketika Agung Sedayu berusaha memburunya, ternyata tiga buah pisau belati telah menyambarnya.
Agung Sedayu terpaksa berloncatan menghindari serangan itu. Namun agaknya saat-saat itulah Ki Gede Telengan telah menentukan serangannya yang terakhir. Serangan yang tidak mempergunakan kekuatan wadagnya.
Buku 108 SESAAT Ki Gede Telengan memusatkan segenap kemampuan ilmu dan kekuatannya pada sorot matanya. Dengan tangan yang tersilang, ia berdiri tegak. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang berusaha memperbaiki keadaannya setelah pisau-pisau yang menyambarnya lewat.
Namun tiba tiba terasa seakan-akan urat-urat darahnya bagaikan tersumbat didadanya. Seakan-akan batu sebesar bukit telah menindihnya. Bukan saja darahnya yang berhenti mengalir, tetapi nafanyapun bagaikan terputus.
Sejenak Agung Sedayu mencoba rnembebaskandirinya dengan loncatan-loncatan. Setiap kali ia berhasil melepaskan diri dari garis pandangan mata Ki Gede Telengan, terasa dadanya menjadi longgar. Namun jika sentuhan tatapan matanya itu mengenai dirinya, terasa himpitan itu telah menekannya kembali.
Pada saat-saat tertentu Agung Sedayu mencoba untuk meloncat dan berguling ditanah. Dan terasa olehnya himpitan itu tidak berpengaruh langsung pada dadanya, tetapi pada bagian-bagian tubuhnya yang dapat dikenai oleh pandangan mata Ki Gede Telengan.
Akhirnya Agung Sedayu yakin, banwa Ki Gede Telengan benar-benar telah mempergunakan sorot matanya, dengan kekuatan llmunya, yang dapat mengenainya seperti serangan wadagnya.
Dalam pada itu, pertempuran disayap gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu berlangsung dengan sengitnya. Ki Gede Menoreh dengan pengawalnya telah mendekati arena. Dari kejauhan ia melihat betapa bahayanya benturan yang terjadi pada kedua belah pihak.
Seorang demi seorang, pengawal Ki Gede Telengan mempunyai kelebihan, karena mereka memang merupakan pengawal-pengawal terpilih. Tetapi dalam benturan kekuatan itu. ternyata pengawal Tanah Perdikan Menoreh berjumlah lebih banyak, sehingga anak-anak muda yang memang belum berpengalaman sama sekali masih sempat bertempur sambil memperhitungkan setiap kemungkinan, karena mereka tidak bertempur seorang melawan seorang.
Ketika Ki Gede Menoreh berada semakin dekat dengan arena, maka ia melihat betapa Agung Sedayu berusaha menghindarkan diri dari serangan lawan yang dahsyat itu.
Ki Gede Menoreh adalah orang yang memiliki pengalaman yang matang. Karena itulah, maka iapun langsung dapat mengetahui, apakah yang sedang terjadi dengan Agung Sedayu. Dengan cemas ia mendekat dan meyakinkan, bahwa lawan Agung Sedayu memiliki ilmu yang luar biasa. Ia mampu menyerang lawannya dengan sorot matanya yang mempunyai kekuatan wadag.
Ki Gede Menoreh yang memegang sebatang tombak pendek itupun mendekat. Ia telah membuat perhitungan tertentu untuk membantu Agung Sedayu. Ia harus menyerang orang yang luar biasa itu dari arah yang berbeda dengan Agung Sedayu, sehingga ia akan mampu mempengaruhi lontaran ilmu yang mengerikan itu.
"Lindungi aku dari Pengawal-pengawal orang itu," berkata Ki Gede Menoreh kepada pengawalnya, "aku akan membatu Agung Sedayu yang berada dalam kesulitan."
Pengawal Ki Gede Menoreh itupun segera mempersiapkan diri. Mereka harus dapat memberi kesempatan Ki Gede Menoreh mencapai lawan Agung Sedayu yang memiliki kemampuan yang luar biasa itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu benar-benar merasakan tubuhnya bagaikan menjadi semakin terhimpit oleh kekuatan lawannya. Itulah sebabnya, maka ia tidak mempunyai pilihan lain daripada mempergunakan segenap ilmu dan kemampuan yang ada padanya karena ia tidak akan dapat minta bantuan kepada siapapun juga untuk melawan ilmu Ki Gede Telengan itu. Dengan sadar ia dapat menilai, bahwa jika para pengawal Tanah Perdikun Menoreh yang masih muda-muda itu mendapat serangan serupa, maka mereka tentu akan pingsan pada sentuhan yang pertama. Nafas dan darah mereka akan berhenti mengalir untuk beberapa saat lamanya, meskipun serangan itu telah dilepaskan.
Apalagi pada saat itu, Agung Sedayu tidak melihat kehadiran Ki Gede Menoreh di medan.
Sementara itu, dibelakang medan disebelah Timur, Ki Tumenggung Wanakerti berlari-lari kecil menuju kebarak, Ki Tumenggung sengaja memilih jalan melingkar yang mungkin akan dapat menjebak Ki Gede Telengan. Hatinya benar-benar terguncang ketika ia melihat barak telah kosong. Barak penyimpanan pusakapun telah kosong pula.
"Gila Telengan memang telah gila,"geramnya.
Pengawal-pangawalnyapun telah dibakar oleh kemarahan pula ketika mereka melihat beberapa kawan mereka telah menjadi mayat. Dibeberapa tempat mereka melihat mayat yang terluka oleh senjata. Bahkan ada yang terluka dipunggungnya.
"Sebagian dari mereka telah terlusuk dipunggungnya," geram salah seorang pengawal, "ia tentu mati sebelum sempat melawan. Orang-orang Ki Gede Telengan itu tentu menusuk dari belakang."
Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang rasa-rasanya telah meledakkan jantungnya. Dengan suara lantang iapun kemudian meneriakkan perintah, "Kita akan mencarinya sampai ketemu, meskipun kita harus meninggalkan medan di lembah ini."
Para pengawalnya menjadi berdebar-debar. Mungkin yang akan mereka lakukan adalah sebuah perjalanan menyelusuri jejak Ki Gede Telengan. Apalagi sementara dari mereka mengetahui bahwa Ki Gede Telengan adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat.
Namua merekapun menyadari, bahwa Ki Tumeuggung Wanakerti adalah orang yang pilih tanding pula. Ki Tumenggung Wanakerti memiliki ilmu yang seakan-akan tidak masuk akal. Kekuatan dan daya tahan tubuhnya bagaikan sekedar ceritera dalam dongeng-dongeng masa lampau.
Dengan teliti Ki Tumenggung Wanskerti memeriksa jejak-jejak yang mungkin ditinggalkan oleh Ki Gede Telengan. Rerumputan yang berjatuhan, ranting-ranting yang tersibak dan dedaunan yang terinjak kaki.
"Ia pergi ke Barat," desis Ki Tumenggung Wanskerti. "Apakah ia tidak mengetahui bahwa di mulut lembah bagian Barat terdapat sepasukan Tanah Perdikan Menoreh."
Namun dalam pada itu, iapun telah melihat jejak yang lain. Jejak menuju kearah Timur.
Ternyata bahwa Ki Tumenggung yang berjalan melingkar itu tidak berpapasan dengan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang tidak lengkap itu.
Beberapa saat lamanya, Ki Tumenggung Wanskerti meyakinkan pengamatannya tentang jejak disekitar barak itu. Namun beberapa orang pengawalnya yang meragukannya berkata, "Yang kearah Timur adalah jejak kita sendiri saat kita berangkat meninggalkan barak ini."
"Mungkin. Tetapi pula tidak. Bahkan aku condong untuk menganggap bahwa itu bukan jejak kita, karena kita saat berangkat kemedan berkumpul di depan barak itu, sekelompok demi sekelompok. Kami berangkat dalam urutan pasukan dan tidak menebar seperti jejak ini."
Pengawal-pengawalnya mengangguk-angguk. Katanya, "Jika Kita tidak melingkar dan datang kebarak ini lewat sisi, kita akan dapat melihat, apakah jejak itu jejak kita sendiri atau bukan. Karena jika jejak itu bukan jejak kita sendiri, kita tentu akan berpapasan dengan mereka."
Ki Tumenggung Wanskerti menjadi termangu-mangu sejenak, ia menjadi agak bingung, kemana ia harus menyusul Ki Gede Telengan. Ki Tumenggung yang datang ke barak itu dengan menempuh jalan melingkar, sehingga ia datang ke barak itu dari lereng gunung, memperhitungkan bahwa mungkin ia masih dapat berpapasan dengan Ki Gede Telengan yang menurut dugaannya akan melarikan pusaka itu naik kelereng Gunung Merapi, karena Ki Gede Telenganpun sadar, bahwa dimulut lembah terdapat pasukan yang menunggunya.
Tetapi dilereng Gunung yang agak tinggi ia tidak menemukan jejak apapun juga. Sementara jejak di sekitar barak itu benar-benar telah membingungkannya.
Ki Tumenggung Wanakerti tidak sadar sama sekali bahwa sepasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh telah melintasi barak itu dan menuju kemedan.
Dalam pada itu, Prastawa memang tidak menebarkan pasukannya yang hanya sebagian. Sayap yang kosong karena terbentur Ki Gede Telengan sama sekali tidak diisinya, karena dengan demikian menurut perhitungaannya, pasukannya justru akan menjadi sangat lemah karena terbagi dalam garis tebar yang panjang. Dan itulah sebabnya, maka Ki Tumenggung Wanakerti yang justru berada diarah sayapnya yang kosong tidak dijumpainya.
Prastawa sadar, bahwa pasukannya terutama hanyalah sekedar memancing perhatian dan mengurangi tekanan pada pasukan Mataram dan Sangkal Putung. Itulah sebabnya maka ia memberatkan kekuatannya pada paruh pasukan dan melepaskan sayap yang tertinggal.
Dalam keragu-raguan, akhirnya Ki Tumenggung Wanakerti berkata. "Aku pasti, bahwa Ki Gede Telengan telah menempuh jalan ke Barat. Mungkin ia akan berbelok dan naik kelereng Gunung Merapi melingkari pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berjaga-jaga dimulut lembah."
"Ya. Aku kira mereka memang tidak akan pergi ke Timur," desis seorang pengawalnya.
"Mudah-mudahan mereka tidak jatuh ke tangan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Jika demikian maka pusaka-pusaka itupun akan jatuh ketangan Ki Gede Menoreh yang pasti akan menyerahkannya kepada orang-orang Mataram lagi." Geram Ki Tumenggung Wanakerti.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Wanakerti pun memutuskan untuk menyusul Ki Gede Telengan kearah Barat. Ia telah meninggalkan seorang pengawalnya untuk kembali ke medan.
"Jika orang-orang Mataram telah binasa, maka katakanlah kepada para pemimpin kelompok bahwa aku mencari Ki Gede Telengan. Biarlah mereka menghancurkan sama sekali orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh dan kemudian menunggu kedatanganku. Jika aku tidak berhasil menemukan orang gila itu atau jejaknya, maka kita akan bersama-sama memencar dan mencarinya."
"Tetapi matahari telah condong. Mungkin pertempuran hari ini masih belum dapat diselesaikan," jawab penghubung itu.
"O, kita bukan orang-orang cengeng yang meniup sangkakala ketika matahari terbenam dan meninggalkan medan, menunda pertempuran setelah fajar menyingsing. Aku yakin, bahwa para pemimpin dipasukan kita akan mampu bertempur sampai tiga hari tiga malam."
Penghubung itu ragu-ragu sejenak.
"Tentu Senopati itu menyadari, jika pertempuran agaknya masih akan berlangsung panjang, ia akan memerintahkan beberapa orang pengawal untuk menyediakan makan dan minum."
Penghubung itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mengalami pertempuran menjelang jatuhnya Jipang, bertempur sambil mengunyah makanan dan minum bergiliran, karena masing-masing tidak ingin menghentikan pertempuran setelah lewat sehari penuh.
Beberapa orang yang bertugas menyiapkan makanan menyusul kemedan dan membagikan makanan khusus kepada para prajurit yang sedang bertempur. Makanan yang dapat digenggam dan langsung masuk kedalam mulut.
"Pengawal yang bertugas sebagai penghubung itu pun kemudian kembali kepasukannya dimedan ketika Ki Tumenggang Wanakerti membawa pasukannya mengikuti jejak Ki Gede Telengan. Sekali-sekali Tumenggung Wanakerti mengalami kesulitan, namun kemudian diketemukannya kembali rerumputan yang terinjak kaki, ranting-ranting yang patah dan pohon-pohon perdu yang tersibak.
Dengan kemarahan yang menghentak-hentak didadanya, Ki Tumenggung Wanakerti berusaha secepat-cepatnya menyusul Ki Gede Telengan yang telah berkhianat dengan melarikan pusaka-pusaka yang tengah mereka pertahankan itu.
Sementara itu, pasukan yang dibawa oleh Prastawa dengan sebelah sayap itupun telah mendekati medan. Mereka mulai mempersiapkun diri untuk menghadapi pertempuran yang mungkin akan berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi Prastawa yakin bahwa pasukan Mataram dan Sangkal Putung tentu akan segera menguasai medan sehingga beban yang di pikulkan kepada pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak akan terlalu berat.
Tetapi terbersit pula keinginan Prastawa untuk menunjakkan, bahwa Iapun mampu melakukan tugas yang penting dan secara pribadi memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan sebagai seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi jumlah pasukan Tanah Perdikan Menoreh memang tidak terlalu banyak. Sebelah sayapnya tertinggal bersama Agung Sedayu. Sementara sebagian dari induk pasukannya dan sayap yang lainpun tidak lengkap bersamanya maju ke depan.
Namun dengan penuh keyakinan Prastawa mendekati medan. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah menggenggam senjata mereka erat. Mereka sudah mulai mendengar sorak yang riuh dipeperangan. Orang-orang Mataram dan Sangkal Putung yang tidak ingin terpengaruh oleh teriakan-terikan orang yang berada dilembah itu, telah berteriak pula. Selain dengan demikian mereka telah menyumbat telinga mereka sendiri, merekapan juga dapat memberikan gairah perjuangan bagi kawan-kawan mereka.
Karenapertempuran itu menjadi riuh, maka setiap isyarat dan perintah hanya dapat diberikan lewat isyarat bunyi yang dapat melampaui sorak sorai yang gegap itu.
Sejenak kemudian, pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu telah benar-benar berada di belakang medan. Seorang pengawas tiba-tiba saja telah melihatnya, sehingga dengan demikian maka dengan tergesa-gesa merekapun berlari-lari memberikan laporan kepada Senopati yang memegang pimpinan atas limpahan kekuasaan dari Ki Tumenggung Wanakerti.
"Pasukan yang lain telah datang dari arah belakang," suaranya mengatasi teriakan-teriakan dimedan itu.
Senapati yang sedang bertempur dengan gigihnya itu mendengar laporan yang kurang jelas. Karena itulah, maka iapun telah meninggalkan lawannya dan mempercayakannya kepada Senopati-Senopati pembantunya.
Dari pengawas itu ia mendengar laporan tentang pasukan yang datang dari arah belakang.
"Apakah mereka pasukan dari Tanah Perdikan Manoreh?"
"Aku kurang tahu."
"Jika demikian mereka telah melalui barak yang dijaga oleh Ki Gede Telengan."
"Ya. Telah terjadi pengkhianatan Ki Gede tidak setia."
Senapati itu termangu-mnangu sejenak. Namun ia harus segera mengambil kepatusan.
Karena itulah maka iapun kemudian memerintahkan beberapa orang untuk mangatasi kesulitan yang datang dari arah belakang. Beberapa orang pimpinan kelompok dengan orang-orangnya. Namun iapun telah melepas beberapa orang penghubung untuk memberikan isyarat kepada saysp pasukannya agar mereka menghadapi lawan yang datang dari belakang.
Kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu benar-benar telah mengejutkan para pemimpin pasukan di lembah itu. Beberapa tanggapan telah timbul diantara mereka. Ada yang menyangka bahwa Ki Gede Telengan telah dibinasakan oleh Ki Gade Menoreh yang mereka kenal sebagai seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna. Tetapi ada pula yang menduga bahwa pasukan yang datang itu telah merayap dilereng-lereng yang terjal dan turun di belakang barak yang dijaga oleh Ki Gede Telengan.
Namun bagaimanapun juga yang terjadi, mereka telah dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu telah mancapai medan dari arah yang lain.
Sejenak kemudian, pertempuran yang terjadi dilembah itu telah mempunyai bentuk yang lain. Gelar dari pasukan Mataram dan Sangkal Patung masih tetap dalam bentuknya, gelar Garuda Nglayang yang mempergunakan beberapa unsur dari gelar Gajah Meta karena bentuk medan. Sayap yang sekaligus merupakan taring yang dipersiapkan antuk manusuk langsung kedalam tubuh lawan, semula terbentar pada pertahanan lawan yang kant, sehingga ujudnya adalah sebagai sayap yang menahan laju lawan, meskipun harus bergerak mundur didorong oleh keadaan yang memaksa.
Kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh agaknya akan memberi kesempatan kepada gelar Garuda Nglayang itu untuk berubsh menjadi Gelar Dirada Meta. Gelar seekor Gajah yang mengamuk di liarnya rimba belantara.
Prastawa yang menyadari keadaan pasukannya yang kecil, telah merubah gelarnya. Ia tidak mau hadir dimedan dengan sayap patah sebelah. Karena itu, maka pasukannya telah dibenturkan dalam arena yang tidak terbatas. Dengan demikian, ia akan dapat lebih banyak menarik perhatian dan dapat membuat lawannya menjadi bingung.
Tetapi menyadari keadaan orang-orangnya, Prastawa masih tetap berpesan, "Jangan lepaskan anak-anak muda yang belum berpengalaman bertempur terpisah sama sekali meskipun kita akan mempergunakan gelar Glatik Neba. Kita akan menyerang. Tetapi jika pasukan Mataram dan Sangkal Putung mendesak, kita akan dapat segera menarik diri dan bertempur sesuai dengan keadaan.
Beberapa orang pemimpin kelompok agak ragu-ragu menangggapi sikap Prastawa. Dalam gelar Glatik Neba, maka kemampuan seorang demi seorang akan sangat menentukan.
"Prastawa sendiri yakin akan kemampuan diri. Tetapi bagaimana dengan anak-anak muda kita," desis seorang pemimpin kelompok.
"Kita akan mengalami kesulitan, tetapi mungkin baik bagi medan dalam keseluruhan. Mudah-mudahan pasukan Mataram dan Sangkal Putung dapat mengimbangi," jawab yang lain.
Kawannya tidak menyahut. Mungkin memang ada kesengajaan untuk melihat kemampuan seorang demi seorang. Tetapi mungkin pula memberi kesempatan kepada beberapa orang, termasuk dirinya sendiri, untuk menunjukkan kelebihannya.
Sejenak kemudian, pasukan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar telah menyerang lawan dalam gelar Glatik Neba, sehingga sayap yang kosong itupun telah terisi oleh bertebarnya pasukannya, meskipun tidak memadai seperti sayap yang lain.
Gelar Glatik Neba memang dapat membingungkan lawannya pada saat pasukannya membentur kekuatan di ekor gelar lawan. Namun karena mereka telah menyadari bahaya yang mengancam, maka lawannya telah bersiap menghadapinya.
Sesaat kemudian, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang seperti ditebarkan itu telah berada disepanjang medan. Orang-orang yang cukup berpengalaman tidak melepaskan anak-anak muda lepas dan pungawasan mereka, meskipun mereka sendiri harus bertempur mempertahankan hidup.
Tetapi ternyata lawan mereka, orang-rang yang berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itupun memiliki pengalaman pribadi yang cukup. Mereka adalah suatu gabungan dari bekas prajurit Pajang dan pengikut-pengikut dari orang-orang yang memiliki pengalaman bertualang.
Karena itulah, maka orang-orang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itupun segera menyesuaikan diri dengan gelar lawannya. Mereka menghadang lawan-lawan mereka seorang demi seorang dalam tebaran gelar Glatik Neba.
Jika orang orang dilembah itu tidak harus menghadapi lawan dari arah yang berlawanan, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh seorang yang masih terlalu muda itu tentu akan segera terlibat dalam kesu"litan. Namun karena orang-orang dilembah itu telah terikat lebih dahulu melawan pasukan dari Mataram dan Sangkal Putung. maka perlawanan mereka terhadap pasukan Tanah Perdikan Menoreh itupun sangat terbatas.
Prastawa yang berada di pusat Gelar Glatik Nebanya langsung berada dipusat pertempuran. Dengan berani ia menyerang orang yang dianggapnya pemimpin dari pusat gelar lawan.
Namun ternyata bahwa ia tidak mendapatkan lawan yang dikehendakinya, meskipun ternyata seorang bekas Senapati muda langsung dapat mengimbangi kemampuannya. Yang dihadapi Prastawa adalah seorang Senapati, tetapi bukan yang mempunyai tanggung jawab atas gelar lawan.
Sebenarnyalah bahwa saat itu pusat gelar lawan itupun telah mengalami kesulitan. Dibagian lain dari medan, pasukan Matram dan Sangkal Putung telah berusaha untuk mengimbangi desakan lawan yang berat. Raden Sutawijaya dengan tombak pendeknya mengamuk bagaikan seekor banteng yang terluka. Apalagi ketika anak muda itu sadar, bahwa Ki Tumenggung Wanakerti sudah tidak barada di medan.
Sementara itu, dipusat gelar itu pula, terdapat Ki Juru Martani yang meskipun lebih banyak sekedar mengamati medan dan memberikan arah kepemimpman Raden Sutawijaya. Namun tidak seorang prajurit dipihak lawanpun yang dapat mengganggunya. Ternyata orang tua itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Tetapi agaknya ia tidak ingin langsung berada di medan, membunuh lawan sebanyak-banyaknya sambil menepuk dada. Yang dilakukan oleh Ki Juru Martanai seakan-akan hanyalah sekedar mengikuti Raden Sutawijaya yang bergelar Senapti Ing Ngalaga meskipun sekali-sekali harus melindunginya dari serangan-serangan yang curang.
Di induk pasukan Mataram dan Sangkal Putung itu terdapat pula seorang anakmuda yang gemuk dengan senjata cambuk yang mengerikan. Swandaru bagaikan harimau lapar menerkam lawannya dengan ujung cambuknya. Setiap kali lawannya berloncatan menjauh jika cambuk Swandaru berputaran seperti baling-baling.
Di sebelah lain, dua orang perempuan cantik telah bertempur pula dengan dahsyatnya. Benar-benar suatu keadaan yang saling bertentangan. Wajah-wajah yang cantik itu nampak gelap oleh ketegangan. Yang seorang menggenggam sepasang pedang di kedua tangannya, sedang yang lain bersenjata sebatang tongkat baja putih.
Tidak kalah dahsyatnya, pertempuran di sayap gelar kedua pasukan yang bertempur itu. Tekanan pasukan yang berada di lembah itu terasa tidak tertahankan. Mereka mendesak meskipun setapak demi setapak.
Ternyata kehadiran pasukan Tanah Perdikan Menoreh langsung berpengaruh atas medan itu dalam keseluruhan. Pasukan yang ada dilembah itu tiba-tiba saja tidak lagi menekan terlalu berat. Sebagian dari mereka harus mempertahankan serangan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dalam gelar Glatik Neba, sehingga jumlah mereka yang menghadapi pasukan Mataram dan Sangkal Putungpun segera berkurang jumlahnya.
Jumlah mereka yang lebih banyak itulah sebenarnya yang membuat pasukan dilembah itu berhasil menekan lawannya yang datang dari arah Timur. Karena itu, ketika jumlah itu berkurang, maka tekanan mereka pun menjadi jauh berkurang pula.
Empu Pinang Aring ternyata harus berjuang mati-matian menghadapi orang bercambuk yang bernama Kiai Gringsing itu. Namun ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing benar-benar merupakan isyarat yang menggetarkan jantung orang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang sempurna itu.
"Cambuknya memang mengerikan," desis Empu Pinang Aring didalam hatinya. Ia tidak dapat mengabaikan kenyataan, bahwa getaran ledakan cambuk yang tidak begitu mengejutkan di telinga wadag itu, namun benar-benar telah mengguncang isi dada. Penglihatan dan pendengaran yang bukan sekedar wadag dari Empu Pinang Aring itu dapat mengukur, betapa dahsyatnya sentuhan cambuk Kiai Gringsing itu apabila menyentuhnya.
Sementara itu. Ki Waskita yang berada didalam gelar Glatik Neba itupun seakan-akan telah terlepas dari seluruh gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Ia ikut berbaur kedalam medan pertempuran.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah sebabnya, maka ia langsung bertempur melawan siapa saja yang datang menyerangnya.
Sejenak Ki Waskita termangu-mangu. Iapun mengerti bahwa Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh tertinggal agak jauh dibelakang medan, karena mereka harus bertempur menghadapi sekelompok orang-orang yang akan menyingkir dari lembah. Namun seperti laporan yang diterimanya, orang-orang yang akan menyingkir dari lembah itu jumlahnya tidak terlalu banyak, sehingga tidak melampaui jumlah pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ada disayap itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu sedang dikejar oleh serangan Ki Gede Telengan yang dahsyat.
Tekanan yang seakan-akan langsung dapat menghentikan arus darah dan pernafasaanya.
Itulah sebabaya maka Agung Sedayu merasa bahwa tidak ada jalan lain kecuali melawan serangan-serangan yang dilontarkan oleh tatapan mata Ki Gede Telengan itu.
Tetapi Agung Sedayu harus mendapat kesempatan, meskipun hanya sekejap untuk bersikap dan melawan serangan Ki Gede Telengan itu dengan kekuatan serupa agar ia tidak sekedar menjadi sasaran yang harus meloncat-loncat, menggeliat dan berguling-guling menghindari serangan Ki Gede Telengan yang mengerikan itu.
Karena itulah, Agung Sedayupun kemudian mencari kemungkinan untuk mendapatkan waktu sesaat sehingga dapat bersikap untuk melawan Ki Gede Telengan.
Dalam keadaan yang terdesak, maka Agung Sedayupun kemudian tidak dapat menemukan cara lain kecuali cara yang dipergunakan pula oleh Ki Gade Telengan. Itulah sebabnya, maka Agang Sedayupun kemudian memungut dua butir batu sebesar telur ayam.
Ketika Agung Sedayu harus menghindarkan diri sambil meloncat berdiri, maka dipergunkannya waktu yang sekejap itu baik-baik. Meskipun dadanya terasa bagaikan tertindih bukit disaat ia berdiri, namun iapun kemudian berhasil melontarkan batu itu kearah Ki Gede Telengan.
Agung Sedaya adalah seorang anak mada yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Karena itu, meskipun waktunya hanya sekejap, namun kedua butir batu itu benar-benar telah mengarah kawajah Ki Gede Telangan.
Sejenak Ki Gede Telengan tersentak. Kedua batu itu masih dilihatnya meskipun ia sedang memusatkan kemampuannya pada tatapan matanya. Itulah sebabnya. maka untuk sekejap ia melepaskan Agung Sedayu. Disambarnya kedua butir batu itu dengan kekuatan matanya. Kekuatan yang tidak dapat dijamah dengan wadag, tetapi mempunyai kemampuan wadag.
Yang terdengar adalah benturan yang mengejutkan. Walaupun hanya sebuah ledakan kecil. Ternyata kedua butir batu itu tidak tahan disambar oleh kekuatan ilmu Ki Gede Telengan, sehingga seolah-olah keduanya telah meledak.
Betapa besarnya kekuatan Ki Gede Telengan. Jika saja lawannya bukan Agung Sedayu, maka kekuatan matanya tentu sudah berhasil meremukkan dadanya.
Namun dalam pada saat itu, sesaat ketika ilmu Ki Gede Telengan memecahkan kedua butir batu yang menyambar wajahnya, Agung Sedayu mendapat kesempatanh sesaat. Apalagi agaknya Ki Gede Telengan tidak terlalu tergesa gesa, karena ia tidak mengira bahwa Agung Sedayu hanya mamerlukan waktu yang pendek untuk merubah keseimbangan pertempuran itu.
Dalam waktu yang sekejab itu, maka Agung Sedayupun kemudian berdiri tegak dengan tangan bersilang didadanya. Wajahnya menjadi tegang dan nafasnya bagaikan tertahan sejenak. Dipusatkannya segenap kekuatannya lahir dan batin dalam lantaran ilmu yang ditemukannya didalam goa, saat-saat ia mengasingkan dirinya.
Agung Sedayu merasakan rabaan ilmu Ki Gede Telengan menekan dadanya sesasat setelah ia memusatkan ilmunya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Dengan sesuap daya dan kemampuannya, ia mengatasi tekanan yang manghimpit dadanya itu, untuk membangunkan kekuntan ilmunya yang tidak kalah dahsyatnya.
Sejenak kemudian, maka terasa, tekanan kekuatan lawannya telah berkurang. Agung Sedayu merasa bahwa sentuhan yang bersifat wadag dari sorot matanya telah membentur kekuatan Ki Gede Telengan yang terlontar dari sorot matanya pula.
Kedua orang itupun kemudian saling berpandangan dengan tegang dalam lontaran kekuatan ilmu masing-masing. Ilmu yang mempunyai ujud yang mirip, tetapi dilandasi oleh pegangan dan pandangan hidup yang justru berlawanan.
Untuk beberapa saat keduanya bertempur dengan cara yang tersendiri, sementara disekitarnya pertempuran yang sebenarnya masih berlangsung. Namun baik pengikut-pengikut Ki Gede Telengan, maupun pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh tidak mengganggu kedua orang yang sedang mengerahkan kemampuan masing-masing. bahkan mereka telah berusaha melindungi mereka yang sedang memusatkan segenap ilmunya itu dari gangguan yang datang dari manapun juga.
Meskipun Agung Sedayu masih muda, tetapi ternyata bahwa ilmunya cukup kuat untuk melawan kekuatan ilmu Ki Gede Telengan. Selain karena Agung Sedayu rajin melatih diri dengun tekun dan selalu mengikuti petunjuk-petunjuk gurunya. Agung Sedayu juga dilandasi oleh keyakinannya bahwa ia berdiri dipihak yang benar untuk menyelamatkan bukan saja sekedar kedua pusaka yang hilang itu, tetapi lebih daripada itu, adalah akibat dari setiap pemilikan kedua pusaka itu.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun selain memiliki kelengkapan ilmu yang utuh, juga berlandaskan kepada tekad pasrah diri kepada kekuasaan Yang Maha Sempurna, yang akan memilih, siapakah diantara keduanya yang dapat mengatasi lawannya.
"Aku berniat baik," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Dengan demikian, maka pemusatan ilmu Agung Sedayu ternyata menjadi lebih mapan dan lebih mantap.
Sejenak keduanya masih gigih dalam perjuangan yang aneh. Keduanya sama sekali tidak bersentuhan, karena keduanya berdiri pada jarak beberapa langkah. Namun keduanya telah bertempur mati matian mempertahankan nyawanya masing masing.
Ki Gede Menorehpun melihat pertempuran yang dahsyat itu. Justru karena itu, maha iapun tidak mengganggunya. Ia sadar, bahwa jika salah satu pihak, pemusatan ilmunya terganggu, maka Ia akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan dirinya.
Karena itu, maka Ki Gede Menoreh hanya menyaksikan pertempuran itu dari jarak tertentu. Ia tidak mau mendakati lagi, apalagi dalam jangkauan pandangan mala Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu sempat melihat bayangannya, maka ilmunya tentu akan terdorong oleh kekuntan ilmu Ki GedeTelengan.
Dalam pada itu, pertempuran masih terjadi dengan sengitnya. Meskipun secara pribadi, para pengikut Ki Gede Telengan memiliki kemampuan yang lebih baik, tetapi pasukan Tanah Perdikan Munoreh jumlahnya lebih banyak, sehingga karena itu, maka kedua belah pihak telah berhasil melindungi kedua orang yang sedang mempertemukan dalam benturan kekuatan dipihak masing-masing. Sejenak kemudian, ternyata keduanya telah menjadi gemetar. Peluh mengalir dari setiap lubang kulit masing-masing. Bahkan keduanya telah menjadi semakin tegang dan pucat, karena keduanya telah terhisap kedalam pengerahan tenaga yang barlebih-lebihan.
Sebenarnyalah bahwa keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing.
Agung Sedayu yang masih muda itu belum mempunyai cukup pengalaman dalam ilmunya, ilmu yang masih terhitung baru baginya. Namun yang sudah ditekuninya.
Dalam latihan-latihan ia tidak saja mempergunakan ilmunya sejauh-jauh dapat dilontarkannya. Tetapi ia selalu berusaha mengenalinya dan mendalami sifat serta wataknya.
Karena itulah, meskipun ia belum pernah mempergunakan dalam benturan ilmu seperti yang sedang terjadi itu, namun Agung Sedayu yang telah mengenal sifat dan watak ilmunya itu sebaik-baiknya, dapat menyesuaikan diri dengan benturan yang berlangsung.
Ternyata bahwa keduanya benar-benar memiliki kekuatan yang sukar dicari bandingannya. Ki Gede Telengan yang telah jauh lebih tua dari Agung Sedayu itupun menjadi heran, bahwa lawannya yang muda itu ternyata mampu mengimbangi ilmunya yang dibangga-banggakan.
"Tidak ada sepuluh orang ditelatah Pajang yang memiliki ilmu seperti anak muda ini," berkata Ki Gede Telengan didalam hati.
Sebenarnyalah bahwa semakin lama Ki Gede Telengan menjadi semakin sulit. Agung Sedayu yang semakin matang itu sempat mempergunakan saat-saat yang gawat itu untuk lebih mengenali diri dari ilmunya, serta hubungan antara diri dan ilmunya itu. Bahkan ia masih sempat mencoba untuk membuat perbandingan-perbandingan, dengan mencari dasar kekuatan yang terkecil dan kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Tetapi ketika tubuhnya menjadi gemetar dan wajahnya menjadi semakin putih. Agung Sedayu tidak berani lagi mencoba mempelajari perkembangan yang ada didalam dirinya. Yang dilakukan adalah melepaskan puncak kemampuan yang dikenalnya tanpa melepaskan dasar berpijak. Pasrah kepada Yang Maha Agung dengan sepenuh hati disertai permohonan yang tulus, bahwa yang dilakukan semata-mata didorong oleh hasrat untuk melenyapkan kebatilan ketamakan dan kedengkian, yang merupakan sumber lahirnya bermacam-macam kejahatan.
Dalam pada itu, Ki Gede Telengan menjadi semakin gelisah. Ia sadar bahwa lawannya tidak dapat diabaikannya, meskipun masih terlalu muda. Apalagi ketika terasa bahwa desakan ilmunya yang membentur ilmu anak muda itu mulai terasa menyesakkan dadanya.
Ternyata bahwa kegelisahannya itu telah mempengaruhi pemusatan ilmunya, sehingga dengan demikian maka semakin lama kekuatannya justru menjadi semakin susut. Sementara itu, tenaganya yang tua itu memang telah diperasnya habis untuk melawan tekanan yang semakin berat dari ilmu anak muda yang disangkanya anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
"Gila," Ki Gede Telengan mengumpat didalam hati, "di Tanah Perdikan Menoreh ada juga orang gila seperti anak muda itu."
Kegelisahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia teringat, bahwa seorang yang memiliki nama menggetarkan telah terbunuh pula oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
"Panembahan Agung dan Panembahan Alit mati pula disekitar daerah tanah Perdikan Menoreh," gumamnya kemudian didalam hati.
Dengan demikian, maka kadang-kadang Ki Gede Telengan merasa bahwa saat-saat yang paling gawat telah mencengkeramnya. Anak muda itu seakan-akan telah berubah menjadi semakin lama semakin besar dan kuat. Tekanan pada jantungnya tidak lagi dapat dielakkannya.
Agung Sedayu didalam penglihatan Ki Gede Telengan itu telah berubah menjadi raksasa sebesar gunung Merbabu itu sendiri. Matanya merah menyala, melontarkan kekuatan yang tidak terlawan, langsung menyusup kedalam dirinnya lewat sorotan matanya sendiri.
Kegelisahan, kecemasan dan kenangan atas masa-masa yang telah lewat atas kematian Panembahan Agung dan Panembahan Alit justru membuatnya menjadi semakin lemah. Ketahanannya telah terdesak bukan saja oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu, tetapi juga oleh kegelisahannya sendiri. Apalagi ketika teringat oleh Ki Gede Telengan bahwa orang-orang dilembah yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Wanakerti akan dapat menyusulnya pula.
Meskipun Ki Tumenggung Wanakerti mungkin tidak memiliki ilmu seperti yang sedang dibenturkan melawan ilmu anak muda itu, namun Ki Tumenggung Wanakerti memiliki ilmu Lembu Sekilan yang mungkin dapat melindungi dirinya dari sentuhan ilmunya.
Karena itulah, makaKi Gede Telengan menjadi semakin terdesak. Ia masih tetap tegak ditempatnya. Tetapi wajahnya telah menjadi seputih kapas. Keringatnya bagaikan diperas dari tubuhnya.
Semakin lama tubuh Ki Gede Telengan itupun menjadi semakin gemetar. Perlahan-lahan ilmunya mulai susut. Meskipun lawannyapun kemampuannya mulai menurun pula.
Tetapi dalam latihan-latihan, Agung Sedayu sudah terbiasa mengerahkan segenap kemampuan yang terperas sampai dasarnya. Bukan saja dalam latihan-latihan kanuragan, tetapi dipadepokan Agung Sedayu melatih kemampuan kekuatannya dengan seribu cara. Mengangkat kayu yang tidak terangkat oleh orang-orang lain, bekerja disawah melampui batas waktu yang dapat dilakukan oleh dua atau tiga orang bersambungan, yang dilakukannya dengan penuh kesadaran dan kesengajaan, sehingga sekaligus ia dapat berlatih pernafasan. Selebihnya, latihan-latihan yang dengan sengaja dilakukan semakin lama semakin berat dengan ikatan yang ketat pada diri sendiri.
Umurnya yang sedang tumbuh dimasa-masa perkembangannya telah ikut menentukan pula akhir dari pertempuran yang dahsyat itu. Ketahanan tubuh dun kemampuan mengatur pernafasannya, ternyata banyak memberikan kesempatan yang lebih baik bagi Agung Sedayu.
Ki Gede Telengan semakin lama merasa nafasnya menjadi semakin sesak. Jantungnya bagaikan semakin lambat bergetar, sehingga dadanya terasa sesak, dan tubuhnya seolah-olah tidak lagi dialiri oleh darahnya yang segar.
Agung Sedayu yang pucat dan gemetar merasa, perlawanan Ki Gede Telengan menjadi semakin lemah. Itulah sebabnya, maka ia telah menyiapkan dirinya, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ada padanya untuk memberikan hentakan terakhir pada lawannya.
Namun ia sadar sepenuhnya, jika ia tidak berhasil, maka ialah yang justru akan menghadapi kesulitan.
Pada saat yang gawat itu, Ki Gede Menorehpun menjadi tegang. Sejenak ia berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia tidak dapat memperhitungkan dengan tepat, apakah yang dapat terjadi atas kedua orang yang sedang mempertaruhkan nyawanya dengan ilmu yang dahsyat itu.
Namun dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan serunya. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menahan setiap usaha dari para pengikut Ki Gede Telengan untuk melarikan diri. Sementara kelompok pilihan yang langsung membawa dan mengawal pusaka-pusaka yang akan dilarikan oleh Ki Gede Telenganpun telah terkepung pula.
Ki Gede Menoreh akhirnya tidak dapat berdiam diri sambil melihat pertunjukan yang mengasyikkan itu. Ia pun tidak dapat mencampuri pertempuran itu langsung. Sementara ia masih melihat pusaka-pusaka yang akan diselamatkan itu ditangan orang-orang yang tidak berhak.
Sejenak Ki Gede termangu-mangu. Ia masih mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambilnya.
Dalam keadaan terakhir yang menentukan itu, tiba-tiba saja terdengar teriakan dikejauhan. Sementara orangnya masih belum nampak. Yang seakan-akan menggetarkan dedaunan hutan dan ranting-ranting.
Ki Gede Menoreh terkejut mendengar suara teriakan itu. Ia sadar, bahwa suara itu bukannya suara sewajarnya. Bukan suara seseorang yang ada pada jarak beberapa puluh langkah. Tetapi tentu lebih jauh. Lontaran suara yang bergema dilembah itu tentu didotong oleh kekuatan dari dalam oleh tenaga ilmu yang dahsyat.
"Gelap ngampar atau Sapu Angin," desis Ki Gede didalam hatinya.
Ternyata bahwa suara itu benar-benar telah mengejutkan. Rasa-rasanya lembah itu bagaikan runtuh. Gemanya bagaikan berputaran menggetarkan jantung.
"Telengan," terdengar suara itu mengguncang-guncang pepohonan, "kau tidak akan terlepas dari tanganku. Aku sudah mendengar suara jantungmu lewat aji Sapta Pangrungu. Aku sudah mendengar dentang senjata beradu diujung lembah ini. Kau sudah terjebak olah pasukan Tanah Perdikan Menoreh."
Suara itu benar-benar mengegelegar. Dan suara itu masih bergema terus, "Aku akan datang untuk membebaskan kau dari orang-orang Menoreh, tetapi setelah itu aku akan membunuhmu."
Suara itu melingkar-lingkar disetiap dada. Terlebih-lebih lagi Ki Gede Telengan yang sedang bertahan. Meskipun ia masih merasa mampu untuk menginbangi ilmu Agung Sedayu yang muda itu, namun ternyata bahwa pemusatan pikirannya telah benar-benar telah terganggu suara Ki Tumenggung Wanakerti yang sengaja mempengaruhi keadaan itu, telah merenggut sebagian dari perhatiannya, sehingga justru saat yang paling gawat, ia tidak dapat memusatkan ilmunya untuk bertahan.
Pada saat itulah, Agung Sedayu melepaskan sisa-sisa tenaga yang ada pada dirinya. Ia berhasil mengatasi gangguan pendengarannya, karena ia sudah memperhitungkan dengan matang, hentakkan yang terakhir itu akan memberikan akibat menentukan dari pertempuran yang gawat itu.
Meskipun sekilas hatinya juga tergetar, tetapi suara itu justru mempercepat hentakkan yang dilepaskannya.
Demikianlah pada saat-saat suara Ki Tumenggung Wanakerti mempengaruhi pemusatan ilmu Ki Gede Telengan, Agung Sedayu telah menghantam lawannya dengan kekuatannya lewat rabaan sorot matanya yang bersifat wadag, mendorong kekuatan ilmu Ki Gede Telengan.
Tekanan itu ternyata benar-benar telah menentukan. Kekuatan Ki Gede Telengan sendiri bagaikan justru memperkuat hentakkan ilmu lawannya.
Terasa dada Ki Gede Telengan berguncang. Kegelisahannya karena suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menentukan akhir dari perjuangannya dengan ilmunya yang dahsyat itu.
Terasa dada Ki Gede telengan bagaikan terbentur oleh Bukit. Nafasnya tiba-tiba saja terputus dan jantungnya berhenti berdenyut.
Sejenak kemudian, Ki Gede Telengan itupun menggeliat. Tetapi, ia sudah tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hidupnya lagi. Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian jatuh menelungkup perlahan-lahan.
Pertempuran itu telah digemparkan oleh peristiwa-peristiwa yang susul menyusul. Suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menggelisahkan segenap pengikut Ki Gede Telengan. Apalagi ketika pengikut-pengikutnya melihat Ki Gede Telengan tidak dapat membebaskan diri dari cengkaman kekuatan yang telah dilontarkan oleh anak yang masih muda itu.
Ki Gede Menoreh yang menjadi tegang karena lontaran ilmu dari orang yang masih belum diketahui, masih sempat mengagumi Agung Sedayu. Anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang dahsyat, jauh diluar dugaannya.
Ki Gede memang sudah menduga, bahwa ilmu Agung Sedayu akan meningkat dengan pesat. Tetapi ia tidak mengira, bahwa kemajuannya akan sepesat itu.
Namun Ki Gede kemudian menjadi berdebar-debar. Ia melihat Agung Sedayu terduduk lemah. Tangannya yang masih bersilang, seolah-olah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menahan badannya yang terbungkuk lesu.
Sejenak Ki Gede termangu-mangu. Namun kemudian ia sadar, bahwa ia harus bertindak tepat.
"Jangan beri kesempatan pusaka-pusaka itu meninggalkan medan," perintahnya kepada pengawal-pengawal pilihannya yang ada disisinya.
Pengawal-pengawal itu segera meninggalkan Ki Gede, mendekati arena pertempuran yang masih seru. Sebenarnyalah bahwa pengikut-pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pemimpinnya itu hanya dapat berusaha melarikannya dirinya dengan cara apapun.
Sementara para pengawal Ki Gede menahan agar pusaka-pusaka itu tidak sempat meninggalkan medan, maka iapun segera mendekati Agung Sedayu yang seakan-akan telah kehilangan kekuatannya sama sekali. Agaknya hentakkan yang terakhir telah memeras segenap tenaga yang ada pada dirinya.
Perlahan-lahan Ki Gede berjongkok disisi Agung Sedayu. Ia tidak segera menyentuh anak muda itu, agar tidak mengejutkannya sehingga akan berakibat buruk padanya.
Ki Gede Menoreh mendengar tarikan nafas yang tidak teratur. Namun Ki Gedepun mengetahui, bahwa Agung Sedayu masih tetap sadar untuk mengatur pernafasannya yang menjadi sesak.
Ki Gede Menoreh masih tetap tidak mengganggu anak muda yang sedang berusaha untuk mempertahankan dari kesulitan yang tumbuh didalam dirinya. Ia sama sekali sudah tidak berdaya lagi seandainya seorang lawan datang dengan pedang terhunus.
Namun perlahan-lahan Agung Sedayu berhasil menguasai dirinya. Nafasnya semakin lama menjadi semakin teratur, meskipun ia masih duduk dengan lemahnya. Kepalanya masih tertunduk dalam-dalam, sementara nafasnya mulai mengalir teratur.
Namun dalam pada itu, selagi pernafasannya mulai pulih, terdengar lagi suara yang dilontarkan dengan ilmu yang dahsyat sehingga gemanya seakan-akan menggetarkan seluruh lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Agung Sedayu terhentak oleh suara itu. Wajahnya yang pucat dan basah oleh keringat terangkat sedikit. Namun kembali ia tertunduk dengan lemahnya meskipun kegelisahan telah semakin mencengkam jantungnya sehingga pernafasannya yang mulai teratur itu telah menjadi kacau kembali.
Namun Ki Gede kemudian berbisik ditelinganya, "Jangan hiraukan orang yang hanya dapat berteriak itu. Biarlah aku disini. Jika ia datang, aku akan bertanya, apakah yang diteriakkannya itu."
Agung Sedayu mendengar suara Ki Gede Menoreh. Dengan demikian hatinya menjadi sedikit tenang. Pusaka-pusaka itu telah berada dibawah pengamatan orang yang dapat dipercaya.
Sementera itu, Ki Tumenggung Wanakerti yang marahpnn menjadi semakin dekat dengan arena pertempuran yang sebenarnya sudah hampir selesai. Suaranya masih melingkar sekali lagi memenuhi lembah. "Telengan. Kau tidak akan terlepas dari tanganku. Aku akan membunuhmu setelah aku membunuh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang menjebakmu."
"Agaknya telah terjadi sesuatu diantara mereka," gumam Ki Gede Menoreh.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia kemudian memusatkan segenap sisa kekuntannya untuk mengatur pernafasannya dan memulihkan segenap gerak dan getar didalam dirinya.
Sementara itu, Ki Gede Menoreh telah memerintahkan kepada seorang penghubung untuk pergi ke induk pasukan. Menurut perhitungannya, orang yang datang didahului oleh suaranya yang menggelegar itu tentu tidak sendiri. Ia tentu membawa pengawal yang akan mungkin mengacaukan pertahanan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata bahwa induk pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak sepenuhnya ada ditempat. Namun yang ada masih cukup untuk dapat memberikan bantuan kepada sayap yang sedang menghadapi lawan yang khusus itu.
Pemimpin kelompok yang ada diinduk pasukan itu memerintahkan beberapa orang tinggal untuk sekedar mengawasi keadaan dangan pesan agar mereka menghubungi pasukan-pasukan disayap jika terjadi sesuatu.
Sementara itu, ketika keadaan Agung Sedayu berangsur baik. Ki Gede Menorehpun telah mempersiapkan dirinya. Ia sadar, bahwa sebentar lagi orang yang telah melontarkan kekuatan ilmunya lewat suaranya itu tentu akan datang dengan sikapnya yang masih belum dapat diketahui dengan pasti.
"Tenangkanlah dirimu," berkata Ki Gede Menoreh kepada Agung Sedayu, "sebentar lagi keadaanmu akan pulih kembali. Kau akan dapat tampil lagi dimedan dengan ilmumu yang dahsyat itu. Biarlah aku manyelesaikan pekerjaan yang tersisa ini."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia benar benar telah menjadi tenang karena kehadiran Ki Gede Menoreh. Ia yakin bahwa tugas yang diembankan kepada para pengawal disayap itu tentu tidak akan sia-sia.
Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Gede Menoreh, maka sejenak kemudian telah muncul sekelompok pasukan yang datang dengan tergesa-gesa. Sekelompok pasukan yang belum diketahui dengan pasti, apakah yang sebenarnya mereka kehendaki. Namun sekali lagi Ki Gede memerintahkan kepada pengawalnya, bahwa yang menjadi pusat perhatian adalah kedua pusaka yang masih dipertahankan mati-matian itu.
"Apapun yang terjadi, kedua pusaka itu jangan sampai lolos. Aku akan menjumpai orang yang berteriak-teriak seperti anak kecil itu, meskipun ia memiliki aji pelontar yang dahsyat dan aji penangkap yang luar biasa pada inderanya."
Para pengawal Ki Gedepun telah melaksanakan perintah itu dengan kesungguhan hati. Didalam arena pertempuran yang sudah berbau darah itu, ternyata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih merupakan pengawal yang tidak kalah tangkasnya dari prajurit-prajurit Pajang sendiri. Apalagi mereka yang telah memiliki pengalaman dimedan-medan yang berat.
Namun kehadiran orang baru dimedan itu, telah menumbuhkan persoalan dihati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka masih belum tahu pasti, apakah yang harus mereka lakukan terhadap orang itu, karena menurut kata-katanya. Ki Gede Telengan adalah yang menjadi sasarannya, meskipun agaknya ia juga memusuhi Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, perintah Ki Gede Menoreh sudah jelas. Pusaka itu harus dicegah agar tidak meninggalkan tempat apapun yang terjadi.
Sementara itu. Ki Tumenggung Wanakerti telah tampil pula dimedan. Dalam waktu yang dekat ia segera mengetahui bahwa Ki Gede Telengan telah terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.
Namun tiba-tiba saja ia tertegun. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya sebelumnya, berdiri tegak dengan tombak pendek ditangannya.
"Argapati," desisnya.
Ki Gede Menoreh memandang orang itu dengan tegang pula. Kemudian dari bibirnya terdengar suaranya, "Jadi kau yang berteriak-teriak itu Wanakerti."
"Gila," geram Wanakerti, "katakan apa yang terjadi. Yang penting bagiku adalah Ki Gede Telengan. Aku memerlukannya."
Ki Gede Menoreh memandang Ki Tumenggung Wanakerti sejenak. Ia telah mengenal Tumenggung itu sebelumnya. Tetapi ia tidak menyangka samasekali bahwa Ki Tumenggung itu berada diantara orang-orang yang berkumpul dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.
"Argapati," teriak Ki Wanakerti, "katakan apa yang telah terjadi disini."
Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Tetapi ditunjuknya Ki Gede Telengan yang tertelungkup di tanah tidak jauh diri padanya.
"Mati," Ki Tumenggung terkejut, "siapakah yang telah membunuhnya" Kau?"
Ki Gede Menoreh menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Bukan aku."
"Tentu kau yang membunuhnya meskipun itu aku akan sangat heran Ki Gede Telengan adalah orang yang luar biasa. Aku tahu, bahwa kaupun termasuk orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi aku yakin bahwa kau tentu berbuat curang sehingga kau berhasil membunuh Ki Gede Telengan."
Ki Gede Menoreh memandang wajah Ki Tumenggung Wanakerti dengan para Pengikutnya yang masih termangu-mangu. Sementara itu pertempuran antara para pengikut Ki Gede Telengan dan orang-orang Tanah Perdikan Menorehpun sudah menjadi semakin mengendor, karena para perigikut Ki Gede Telengan yang sudah menjadi semakin lemah. Bukan saja karena jumlah mereka yang susut dan bahkan tinggal beberapa orang pilihan saja tetapi juga karena mereka merasa dicengkam oleh kebingungan yang tidak dapat mereka hindarkan lagi.
Merekapun sadar, bahwa kedatangan Ki Tumenggung Wanakerti tentu karena ia ingin menyusul Ki Gede Telengan. Bahkan agaknya Ki Tumenggung itu telah dibakar oleh kemarahan dan dendam. Pusaka-pusakanya telah dilarikan, dan orang-orangnya telah dibunuh.
Dalam pada itu Ki Gede Menoreh telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ia masih menjawab, "Tumenggung Wanakerti. Bukan aku yang membunuh Ki Gede Telengan meskipun dengan cara apapun juga. Tetapi lihatlah anak muda itulah yang telah membunuhnya. Ia berhasil melawan Ilmu Ki Gede Telengan dengan ilmu yang serupa. Ternyata bahwa anak muda itu berhasil mengimbanginya meskipun kini ia harus berusaha memulihkan kekuatannya."
"Gila," teriak Ki Tumenggung Wanakerti, "jangan mencoba mengelabuhi aku. Anak itu mungkin akan mati. Tetapi jangan katakan bahwa ialah yang telah membunuh Ki Gede Telengan."
"Aku tidak akan memaksamu percaya. Terserah kepadamu apakah yang baik menurut ceriteramu sendiri. Tetapi Ki Gede Telengan telah mati. Dan kau tidak akan dapat berbuat sesuatu disini."
Ki Tumenggung Wanakerti melihat pertempurun yang semakin susut. Ia masih melihat beberapa orang pengikut Ki Gede Telengan mempertahankan pusaka-pusakanya. Namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah mengepungnya. Dan bahkan tidak ada kemungkinan lagi bagi mereka daripada menyerahkan pusaka itu kepada para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Kedua pusaka itu ternyata telah menyalakan bara di dalam dada Ki Tumenggung Wanakerti. Kedua pasaka, itulah yang telah mengacaukan perasannnya sehingga ia meninggalkan medan dan berusaha menyelusuri jejak Ki Gede Telengan.
Karena itu maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Ambil pusaka-pusaka itu. Siapapun yang menghalangi bunuh saja mereka."
Para pengawalnya tidak menunggu perintah itu diulangi. Dengan serta mereka telah menghambur di arena dan bertempur melawan siapa saja.
Pertempuran dilembah itupun menjadi semakin kisruh. Ada tiga pihak yang saling bertempur dengan kacaunya. Para pengikut Ki Gede Telengan yang tersisa merasa bahwa pengikut-pengikut Ki Tumenggung Wanakerti tentu telah mendendam mereka, sementara para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk merebut pusaka-pusaka yang telah berada ditangan mereka. Sedangkan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh menganggap kedua pihak yang dipimpin oleh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti adalah musuh mereka, karena keduanya ingin memiliki pusaka-pusaka itu pula.
Para pengawal yang masih muda dari Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi bingung menghadapi keadaan itu. Justru kadang-kadang mereka kehilangan arah perlawanan mereka. Siapakah yang harus dilawannya dalam kacaunya medan itu.
Sementara itu Ki Tumenggung Wanakerti perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Gede Menoreh. Dengan wajah yang garang ia berkata, "Jika kau bersedia menarik orang-orangmu, maka aku tidak akan mengganggumu."
"Pergilah jika kau mau pergi," berkata Ki Gede Menoreh, "tetapi pusaka-pusaka itu jangan kau usik lagi. Pusaka-pusaka itu harus kembali ke Mataram."
"Kami adalah pemilik yang syah dari pusaka-pusaka itu," jawab Ki Tumenggung Wanakerti, "karena itu jangan ganggu kami yang sedang berusaha mengambil milik kami dari tangan orang-orang Pajang atau orang-orang yang mendapatkannya dari mereka. Jaka Tingkir sama sekali tidak berhak atas pusaka-pusaka yang tumurun dari Kerajaan Majapahit, apalagi kemudian Sutawijaya anak Pemanahan ... Ia sama sekali tidak berhak memiliki " dijunjung tinggi oleh mereka " masa pemerintahan Prabu B"
Ki Geda Menoreh men " ia tidak mendengarkan sesurah Ki Tumenggung Wanakerti karena pikirannya masih terikat kepada keadaan Agung Sedayu. Jika ia bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti, maka ia harus melepaskan Agung Sedayu. Hal itu akan sangat berbahaya bagi anak muda itu.
"He," teriak Ki Wanakerti, "kau dengar penjelasan ku" Nah. kau sekarang dapat memilih. Membiarkan aku mengambil kembali hakku atas warisan Majapahit atau kau harus aku bunuh disini."
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Tetapi ia mendengar ancaman Ki Tumenggung Wanakerti. Karena itu maka jawabnya, " Ki Tumenggung. Meskipun aku bukan prajurit Pajang, tetapi aku pernah mengalami seperti yang dialami oleh para prajurit didalam segala macam medan. Karena itu biarlah aku tetap bersikap seperti seorang prajurit.
Ki Tumenggung Wanakerti menggeretakkan giginya, ia kenal Kepala Tanah Perdikan Menoreh meskipun tidak begitu rapat. Tetapi iapun sadar bahwa Ki Gede Menoreh tentu akan melakukan seperti yang dikatakannya. Meskipun ia bukan seorang prajurit tetapi ia mempunyai sifat-sifat seorang prajurit pilihan.
Sejenak Ki Tumenggung memandang seluruh medan. Namun tiba-tiba ia berteriak, "Ambil pusaka itu dan bunuh semua orang. Termasuk anak yang sudah tidak berdaya itu."
"Licik." Ki Gede Menorehpun tiba-tiba berteriak, "anak itu masih belum mampu mempertahankan dirinya. Kau tidak boleh membunuhnya."
Ki Tumenggung Wanakerti tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kita berada dimedan perang. Saat Ki Gede Telengan sampai pada suatu keadaan tidak dapat melawan maka anak itu masih terus menekannya dengan ilmunya, sehingga Ki Gede Telengan terbunuh karenanya. Sekarang anak itulah yang berada pada suatu keadaan tidak dapat melawan. Karena itu dapat saja diberikan tekanan terakhir, bukan dengan ilmu yang mengerikan itu tetapi dengan tajamnya pedang. Mumpung ia masih duduk sambil menyilangkan tangannya." Ki Tumenggung Wanakerti berhenti sejenak. Lalu. "He datanglah kepadanya, dan penggal lehernya, meskipun ia sedang berusaha memulihkan kekuatannya."
"Gila," Ki Gede Menorehpun telah menyiapkan diri untuk melindungi Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung Wanakerti telah menyerangnya sambil berteriak, "He Ki Gede marilah kita melihat siapakah diantara kita yang mempanyai ilmu yang lebih tinggi."
Ki Gede Menoreh terpaksa menghindari serangan itu. Dengan tangkasnya ia meloncat kesamping, kemudian memutar tombak pendeknya dan segera menyerang kembali dengan patukan tombak pendeknya.
Ki Tumenggung masih sempat mengelak, ia mempergunakan pedangnya, sementara seorang pengawalnya telah melemparkan perisainya kepadanya. Sambil mengenakan perisai kecilnya Ki Tumenggung berkata, "He, ternyata kau sekarang timpang Ki Gede. Meskipun tidak terlalu nampak tetapi jika pertempuran ini berlangsung cukup lama, maka cacat itu akan semakin nampak. He sejak kapan kau menjadi timpang dan cacat kaki."
Ki Gede Menoreh menggeram. Mata Ki Tumenggung Wanakerti ternyata sangat tajam. Dalam loncatan-loncatan pertama ia langsung dapat melihat kelemahan Ki Gede Menoreh yang kakinya memang sudah cacat.
Tetapi Ki Gede Menoreh yakin bahwa kakinya tidak akan mengganggunya lagi. Kakinya sudah sembah sama sekali. Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di hatinya. Bagaimanakah jika pertempuran ini berlangsung lama?"
Dalam pada itu beberapa orang pengawal Ki Tumenggung Wanakerti langsung mendekati Agung Sedayu yang masih duduk untuk memulihkan pernafasannya, sehingga jalur-jalur darah serta getaran ilmunya menemukan kewajarannya kembali.
Namun dalam pada itu beberapa pengawal Tanah Perdikan Menorehpun menyadari keadaan itu. Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka telah berusaha menahan orang-orang yang akan menyerang Agung Sedayu.
Namun ternyata para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti telah bertempur dengan garangnya, sehingga Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terdesak karenanya.
Apalagi sebagian dari mereka harus tetap mengepung pusaka-pusaka yang sedang diperebutkan itu. Mereka harus menahan agar pusaka-pusaka itu tidak terlepas tetapi juga menahan agar orang-orang yang baru datang dibawah pimpinan Ki Tumenggung Wanakerti tidak berhasil merampasnya.
Dalam kekalutan itu para pengawal Tanah Perdikan Menoreh merasa bahwa tugas mereka menjadi sangat berat. Bahkan beberapa orang anak muda menjadi kebingungan dan hampir saja mereka menjadi putus asa.
Dalam kecemasan itulah telah muncul beberapa orang pengawal yang datang dari induk pasukan. Mereka datang dengan tergesa-gesa karena merekapun menyadari bahwa disayap itu telah terjadi pertempuran yang sengit.
"Cepatlah," Ki Gede Menoreh meneriakkan perintah, "kalian akan berdiri disampang tiga. Lawanmu adalah orang-orang yang bukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh siapapun mereka, meskipun diantara mereka juga terjadi pertempuran."
"Tidak," teriak Tumenggung Wanakerti, "kami akan menyelesaikan persoalan kami nanti atau besok atau kelak. Sekarang kami telah menjadi satu untuk membunuh kalian."
Jawaban Ki Tumenggung itu mempengruhi pula bagi orang-orangnya dan orang-orang yang telah ditinggalkan oleh Ki Gede Telengan. Namun ternyata ada juga diantara mereka yang ragu-ragu. Terutama orang-orang kepercayaan Ki Gede Telengan yang melindungi pusaka-pusaka itu.
Dalam pada itu untuk mempengaruhi keadaan yang mulai berubah atas hadirnya pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu Ki Tumenggung berkata seterusnya, "Aku akan memaafkan Ki Gede Telengan dan pengikut-pengikutnya. Apakah Ki Gede Telengan sudah tidak ada lagi. Pengikutnya akan tetap berada didalam lingkungan kami."
Kata-kata itu telah berpengaruh lebih dalam lagi didalam hati para pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pimpinan. Namun demikian mereka masih tetap ragu-ragu.
Sementara itu para pengawal yang datang dari induk pasukan telah membaurkan diri kedalam medan. Mereka bertempur dengan dahsyatnya. Tenaga mereka masih nampak segar, sementara kawan-kawannya sudah mulai nampak lelah oleh pertempuran yang seru meskipun belum berlangsung terlalu lama.
Seperti yang diperintahkan oleh Ki Tumenggung Wanakerti sasaran utama serangan-serangan pengikutnya tertuju kepada para pengawal yang mengepung pusaka-pusaka yang diperebutkan, sementara yang lain berusaha untuk menembus perlindungan para pengawal atas Agung Sedayu. Sedangkan Ki Gede Menoreh sendiri harus bertampur melawan Ki Tumenggung Wanakerti yang menyerangnya seperti badai.
Ki Tumenggung Wanakerti adalah orang Senapati yang mendapat kepercayaan dari orang yang disebut kakang Panji di Istana Pajang. Karena itu ia adalah seorang Senapati yang mumpuni ia memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang cukup luas.
Tetapi lawan Ki Tumenggung Wanakerti adalah Ki Gede Menoreh. Ia adalah orang yang pilih tanding. Meskipun ia bukan seorang prajurit, tetapi kemampuannya benar-benar telah mengagumkan. Ia memiliki kemampuan seorang Senapati pilihan dan sikap kepemimpinan yang matang justru karena ia adalah seorang Kepala Tanah Perdikan.
Dengan demikian, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ki Tumenggung Wanakerti menyambar-nyambar dengan tangkasnya seperti seekor burung sriti, semantara Ki Gede Menoreh dengan mantap mempermainkan tombak pendeknya. Ia hanya bergeser setapak demi setapak. Bahkan kakinya seakan-akan tidak beringsut dari tempatnya. Namun ia selalu menghadapi lawannya, kemanapun Ki Tumenggung Wanakerti terbang.
Tombak pendek Ki Gede Menoreh merupakan senjata yang sangat dikuasainya. Tombak itu dapat berputar bagaikan perisai ysng menutup tubuhnya dari serangan senjata lawannya. Namun tiba-tiba ujung tombak itu mematuk dengan dahsyatnya seperti sebatang anak panah yang lepas dari busurnya.
Namun dalam pada itu. Ki Gede Menoreh masih tetap diganggu oleh kegelisahan karena Agung Sedayu. Jika orang-orang yang melindunginya itu gagal, maka ia sama sekali tidak berdaya untuk mempertahankan diri, karena ia sudah memeras segenap k'ekuatan yang ada pada dirinya untuk melawan ilmu Ki Gede Telengan yang dahsyat.
Dalam pada itu, beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur diseputar Agung Sedayu. Merekapun sadar, betapapun juga tinggi ilmu anak muda itu. namun dalam keadaan demikian ia benar-benar tidak berdaya.
Tetapi orang-orang dilembah yang datang bersama Ki Tumenggung Wanakerti yang melihat pula kelamahan itu telah berusaha untuk memecahkan pertahanan para pengawal yang bertahan.
Meskipun pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertambah jumlahnya, namun mereka masih harus menyesuaikan diri. Ternyata sisa anak buah Ki Gede Telengan, memusatkan perlawanan mereka terhadap para pengawal Tanah perdikan Menoreh diluar sadar mereka sehingga dengan demikian maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur melawan sisa para pengikut Ki Gede Telengan dan pasukan yang mengawal Ki Tumenggung Wanakerti.
Dalam pada itu. Agung Sedayu telah berjuang untuk bertahan dari cengkaman kehancuran dibagian dalam tubuhnya. Dengan teratur ia menarik dan melepaskan nafasnya. Perlahan-lahan sambil memusatkan segenap kekuatan batinnya untuk memb rikan ketahanan badan wadagnya.
Perlahan-lahan darahnya mulai mengalir dengan teratur, setelah terhentak-hentak oleh ilmu Ki Gede Telengan dan ilmunya sendiri. Dadanya yang sesak bagaikan tertindih bukit rasa-rasanya telah menjadi lapang.
Namun demikian ia sadar sepenuhnya, jika seorang lawan yang betapapun lemahnya berhasil menyentuhnya dengan ujung senjata, maka ia tidak akan dapat bertahan lagi. Darahnya tentu akan terhentak-hentak mangalir dan memecahkan urat-uratnya, terutama pada luka-lukanya,
namun Agung Sedayu yang dikelilingi oleh pertempuran yang sengit itu telah pasrah. Jika harus ada seo"rang lawan yang datang kepadanya dan menggoreskan senjatanya, maka ia tidak akan manyesali keadaannya. Segalanya memang berada ditangan Yang Maha Kuasa. Ilmu dan kemampuan yang diterimakan kepadanya ternyata adalah ilmu dalam batasan kemampuan seo"rang manusia biasa. Pada suatu saat, terasa dirinya memeng terlampau kecil jika harus berhadapan dengan maut.
"Aku hanya dapat berusaha," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, "tetapi yang terjadi adalah ditangan Yang MahaKuasa."
Namun dalam pada itu, justru karena Agung Sedayu telah pasrah, maka hatinya menjadi tenang. Ia tidak lagi digelisahkan oleh apapun yang bakal terjadi atas dirinya.
Justru karena itulah, maka keadaannya menjadi semakin cepat berangsur baik. Perlahan-lahan darahnya mulai mengalir seperti seharusnya. Nafasnyapun telah teratur dan badannya terasa mulai menjadi hangat kembali.
Tetapi sementara itu, tekanan lawan atas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melindunginya menjadi semakin berat. Perlahan-lahan para pengawal mulai terdesak, sehingga lingkaran diseputar Agung Sedayu itupun menjadi kian menyempit.
"Gila," berkata salah seorang pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, "kalian benar-benar licik. Kalian berusaha untuk menyerang orang yang sedang tidak berdaya.
"Kami memang orang-orang licik. Tetapi kalian pun licik pula seperti kami."
"Persetan," teriak pemimpin kelompok, "jangan kalian ganggu Agung Sedayu."
"Kami akan membunuhnya dan membunuh se"mua orang dari Tanah Perdikan Menoreh."
Pemimpin kelompok itu tidak menjawab. Tetapi tekanan lawan terasa memang semakin berat. Para pengawal itu masih terus terdesak setapak demi se"tapak, sehingga beberapa orang diantara mereka menjadi gelisah demi melihat akhir yang buram dari pertempuran itu, apalagi nasib Agung Sedayu.
Meskipun demikian, para pengawal bertempur dengan sekuat tenaga. Mereka tidak akan membiarkan bencana itu menerkam Agung Sedayu yang telah berhasil mengalahkan Ki Gede Telangan meskipun mereka justru harus mengorbankan diri sendiri.
Dilingkaran pertempuran disekitar pusaka yang sedang dipeebutkan itupun keadaannya menjadi kalut. Sisa pengikut Ki Gede Telengan telah mempertahankan pusaka itu mati-matian. Sementara para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti telah menyerang dengan dahsyatnya para pengawal yang berusaha merebut pu"saka itu, sehingga para pengawal harus menghadapi ke"dua belah pihak. Hanyapada saat-saat tertentu dan menghentak sebentar pengikut Ki Gede Telengan bertahan terhadap pengikut Ki Tumenggung Wanakerti yang mendekati pusaka-pusaka itu.
Dengan demikian maka pertempuran itupun men"jadi semakin dahsyat. Ki Gede Menoreh telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Ternyata Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar orang yang luar biasa.
Pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu berjalan semakin cepat. Langit yang perlahan-lahan menjsdi redup ketika matahari mulai turun disebelah Barat. Namun pertempuran rnasih berlangsung terus, sehingga setiap orang mulai meramalkan bahwa pertempuran tidak akan dapat diselesaikan sebelum matahari terbenam.
"Pertempuran ini akan tertunda," desis seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh didalam dirinya.
Namun lawan yang dihadapinya bukannya pasukan segelar sepapan yang bertempur dalam gelar yang berbentuk. Perang yang terjadi adalah perang brubuh. Sehingga pengawal itu mulai meragukan, apakah perang akan berakhir saat matahari terbenam kemudian akan dilanjutkan dihari berikutnya.
"Tetapi pusaka-pusaka itu akan dapat dilarikan dimalam hari, pengawal itu berbantah dengan dirinya sendiri.
Ternyata bahwa para pengikut Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti sama sekali tidak me"mikirkan saat-saat matahari terbenam. Mereka bertempur terus sehingga mereka berhasil memenangkan pertempuran itu dengan cara apapun juga.
Dalam pada itu Ki Gede Menorehpun mulai memikirkan saat-saat matahari terbenam. Jika para pengawalnya yang melindungi Agung Sedayu mampu bertahan sesaat lagi, maka ia akan terlepas dari bahaya.
Tetapi Jika orang-orang dilembah itu menyadari kebiasaan didalam peperangan yang berlaku sebagai suatu hukum yang sama-sama dihormati, berkata Ki Gede Menoreh didalam hatinya. namun agaknya me"reka telah bertindak menurut hukum mereka sendiri. Meskipun sebagian besar dari mereka adalah prajurit-prajurit Pajang yang telah melarikan diri bersama Ki Tumenggung Wanakerti namun mereka telah dipengaruhi oleh suasana liar yang buas dilembah ini.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti masih saja berhasil mendesak lawannya yang berusaha melindungi Agung Sedayu, sehingga pada suatu saat. setiap dorongan kekuatan yang menghentak, akan berhasil mendesak para pengawal itu. sehingga mereka kehilangan keseimbangan perlindungannya.
Namun pada saat itu, Agung Sedayu telah menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia telah melepaskan sesak yang menyumbat dadanya. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan mengangkat wajahnya.
Ia terkejut ketika ia melihat arena yang sempit disekitarnya. Bahkan sekilas ia melihat, para pengawal yang melindunginya telah terdesak.
Kisah Si Naga Langit 8 Wiro Sableng 127 Mayat Persembahan Name Of Rose 3