Pencarian

Samurai Pengembara 6 2

Shugyosa Samurai Pengembara 6 Bagian 2


berdekapan. Cahaya lampu berwarna kuning membuat kedua orang itu tampak
damai. Laki-laki itu dengan dingin mulai menebas kedua
orang yang tengah tertidur lelap itu. Suara jeritan terdengar ketika pedang
lelaki tersebut menembus punggung laki-laki yang sedang pulas itu. Suara
jeritannya membangunkan perempuan di sampingnya. Ketika pe-
rempuan tersebut terbangun, pedang di tangan lelaki itu menebas tenggorokannya.
Darah menyembur ke
ranjang, kepala wanita tersebut hampir terpenggal. Seperti membawa dendam
kesumat lelaki itu melan-
jutkan pembantaian dengan kejam. Ia menikam dan
memenggal-menggal tubuh kedua korbannya dengan
darah dingin. Darah mengalir seperti anak sungai
membasahi seluruh lantai.
Sesudah puas menghabisi korbannya, lelaki itu me-
lemparkan pedangnya ke lantai, kemudian berlari keluar.
*** BENIH-BENIH CINTA
KIYOSU, tahun 1606.
Banteng itu berputar, kemudian dengan posisi siap
menanduk, ia berlari menyongsong lawannya. Terde-
ngar suara berderak ketika kedua kepala banteng tersebut beradu. Darah mengucur
di tanah. Debu ber-
kepul, sementara kaki-kaki banteng tersebut mencengkeram tanah. Arena adu
banteng seluas dua puluh
hektar itu gegap gempita oleh tepuk tangan yang mem-bahana. Puluhan orang
mengibar-ngibarkan bendera
warna kuning dan merah untuk membakar gairah ke-
dua binatang untuk saling membunuh.
Tiga orang yang menjadi pemandu adu banteng itu
mulai menggiring kedua binatang agar kembali bertarung.
Adu banteng merupakan tradisi yang sudah berusia
ratusan tahun di Jepang. Dahulu hanya kaisar yang
menyelenggarakan pertarungan banteng, tetapi seka-
rang, beberapa shogun turut mengadakannya. Perta-
rungan memang menjadi lebih keras, sadis, dan berdarah.
Sorak-sorai semakin gegap gempita. Orang menjerit-
jerit histeris ketika menyaksikan kedua banteng kembali berlaga. Darah mengucur
semakin deras, dari te-linga, mulut, dan tulang kepala yang retak. Kedua
binatang itu mulai limbung, namun matanya tetap ber-
api-api, sementara hidungnya menghembuskan udara
yang anyir darah.
Para pemandu pertandingan menggunakan cambuk
untuk menggiring banteng-banteng tersebut kembali
bertarung. Nobunaga merasa bosan setelah melihat kedua ban-
teng terhuyung-huyung. Ia bergegas keluar bersama
anaknya, Akechi Nobunaga. Mayumi bersama ayahnya
terpaksa setengah berlari menyusul. Mereka mening-
galkan arena adu banteng dengan perasaan kecewa.
Nobunaga telah kalah bertaruh, sehingga ia kehilangan banyak uang dari arena
aduan itu. Ketika kereta meninggalkan Kiyosu, Oda Nobunaga
memerintahkan kusir melarikan keretanya menuju
tempat kediaman mereka di Okehazama.
"Banteng Mino memang luar biasa," kata Matsu-
hide, ayah Mayumi, tanpa tekanan. "Tubuh serta gera-kannya sangat gesit. Tak
mengherankan kalau dia menang."
"Tahukah kau punya siapa binatang itu, Matsu-
hide?" "Tahu, Tuan. Mino punya Rumi Sasaki."
"Orang Osaki itu?"
"Benar, Tuan."
"Temui dia. Aku ingin membelinya."
"Saya tidak tahu apa dia mau menjualnya. Soalnya
saya tahu, binatang itu sudah membuatnya kaya raya."
"Kau kusuruh memberinya tawaran tinggi, tidak un-
tuk memberiku nasihat."
"Ba-baik, Tuan."
Oda Nobunaga mendengus. Perutnya yang gendut
bergoyang-goyang. Lelaki itu sekarang lebih tertarik dengan sake di cawannya.
Mendengar pembicaraan ayahnya dengan Nobuna-
ga, tiba-tiba Mayumi ingat Yukio Kogasaki. Lamat-
lamat ia teringat olehnya, ayahnya pernah berbicara dengan Yamashita, pamannya,
untuk menjodohkan dirinya dengan anaknya. Yukio Kogasaki. Ya, nama itu takkan ia
lupakan. Sebagai gadis Jepang, Mayumi tak melihat lelaki lain bakal jadi
suaminya kecuali Yukio Kogasaki. Ucapan ayahnya (seperti ucapan orang tua pada
umumnya) jadi hukum yang harus dipatuhi.
Ingatan itu mengganggunya. Untuk mengenyahkan
pikiran buruk, Mayumi membuka foudral agar bisa melihat pemandangan di luar.
Sinar bulan purnama
menampakkan hamparan kebun tebu. Bunganya yang
putih samar-samar mencuat dari sisi daun. Ada juga gelagah yang sudah gugur di
tanah. Semua jadi pertanda bakal datangnya musim tebang.
Mayumi masih termangu-mangu ketika Akechi me-
ngejutkan dengan ucapan bernada jengkel:
"Biadab!"
Oda Nobunaga tergeragap dari rasa kantuk. Lelaki
itu mengerjapkan mata.
"Apa yang kaukatakan, Akechi?" tanya ayahnya.
"Mengomentari pertarungan banteng itu," jawab
Akechi Nobunaga pendek.
"Tentang apa" Adu banteng itu?"
"Ya."
"Kau tidak berhak berkomentar tentang negeri ini,"
potong ayahnya singkat.
"Yoshiaki ternyata tidak mampu memecahkan tem-
bok feodalisme yang mengungkungnya," sambung Ake-
chi tak peduli. "Dia membiarkan saja penyelenggaraan adu banteng dengan penuh
kebiadaban. Sangat men-jengkelkan."
"Jepang bukan Cina."
"Bukan itu soalnya. Selama kekejian semacam itu
belum dienyahkan, Jepang tidak akan mampu berdi-
kari. Percuma dewan kekaisaran berusaha membangun
negeri ini."
Oda Nobunaga menghela napas panjang. Kereta
sampai Okasuki, terus meluncur menuju Okehazama.
"Bagaimana pendapatmu, Matsuhide?" sambung
Akechi beralih pada ayah Mayumi. "Apa pendapatmu
menyaksikan kebiadaban tadi. Apa pendapatmu?"
"Sudah menjadi tradisi, Tuan Muda."
"Tradisi" Siapa yang membuat tradisi?"
"Dengan sendirinya nenek-moyang bangsa Jepang."
"Kapan tradisi dibikin?"
"Beribu-ribu tahun yang lalu sejak zaman Minamo-
to. Zaman Taira atau bahkan zaman sebelum itu."
"Untuk apa tradisi dibikin?"
"Untuk mengatur agar tidak terjadi kekacauan,
Tuan Muda. Supaya kehidupan menjadi harmonis."
"Omong kosong!" potong Akechi ketus. "Kekacauan
memang tidak terjadi, tetapi kaum lelaki bangsa Jepang sudah bertindak biadab.
Mereka hidup dalam kekejaman. Tidak berperikemanusiaan."
"Tetapi, Tuan Muda, selama ini bangsa Jepang bisa
mengatur hidup menjadi tenang...."
"Siapa nama anakmu, Matsuhide?" sambung Akechi
sambil menatap Mayumi.
"Mayumi, Tuan Muda."
"Hei, Mayumi, setujukah kau dengan kekejaman
tradisi Jepang?"
Mayumi menunduk. Mengawasi ayahnya untuk
mendapatkan pegangan moral. Tetapi sama saja,
ayahnya kelihatan sedang kebingungan. Untung Oda
Nobunaga menengahi pembicaraan.
"Jepang berbeda dengan Cina. Di sini punya tradisi sendiri, itu yang membedakan
mereka dengan kita.
Kau tidak boleh mencelanya. Engkau kukirim ke Cina untuk mempelajari seni perang
serta kebudayaan
orang Cina, tetapi tidak untuk mengecam bangsamu
setelah kembali kemari."
"Bukan soal tradisi, tapi soal manusianya. Itu yang diajarkan kebijaksanaan
hidup orang Cina."
"Akh, kau terlalu muluk," potong Oda Nobunaga tak
suka. "Otakmu terlalu banyak dijejali teori. Kau bisa gila seperti Shizuko."
Sambil membuka foudral dan melihat ke luar, Ake-
chi berkata acuh tak acuh, "Ya, saya memang mau gila rasanya memikirkan semua
ini." Setelah itu tak ada yang bicara lagi, sampai kereta berhenti di depan rumah
Mayumi. Ayahnya mengajak
Mayumi turun. Setelah mengucapkan terima kasih de-
ngan membungkuk setengah badan ayah Mayumi
membuka pintu pagar rumahnya.
"Anak edan!" rutuk Matsuhide sengit. "Negeri ini bi-sa berantakan kalau dihuni
laki-laki macam itu!"
"Laki-laki macam apa, Ayah?"
"Macam Akechi. Tuanku Oda Nobunaga telah mela-
kukan kesalahan dengan mengirimnya belajar ke Ci-
na." *** Sepanjang malam Mayumi tak bisa memejamkan mata,
kata-kata Akechi selalu mengusik. Mayumi sependa-
pat, tapi tak mampu mengatakannya.
Wajah Akechi tak pernah hilang dari ingatan. Dan
sesuatu yang ajaib terjadi, mata Mayumi terbuka, ia melihat dengan jelas Akechi
memacu kuda di tengah
perkebunan. Akechi mengenakan baju putih, celana
putih. Beberapa kali Akechi turun dari kuda untuk
berbicara dengan kuli perkebunan. Lelaki-itu mengeluarkan buku, mencatat semua
hasil tanya-jawab itu, kemudian pulang.
Saat Mayumi terpejam, Akechi hilang. Mayumi tidak
tidur, tapi Mayumi melihatnya. Ya, ia melihatnya!
Musim giling tiba. Bunga tebu rontok dari pucuk gelagah. Upacara awal
penggilingan dilangsungkan seca-ra meriah. Jalan-jalan di sekitar pabrik dihias
dengan daun nyiur, bendera warna-warni. Ada berbagai per-tunjukan; tari-tarian
dan pesta topeng. Seperti biasa acara tari-tarian paling mendapat sambutan. Para
mandor kebun dan para kuli memenuhi lingkaran di
tengah perkebunan. Para penari yang berjumlah sepuluh orang memancing mereka
turun ke arena. Mereka
menari dengan penuh gairah.
Inilah Jepang! Negeri penuh upacara. Barangkali
hanya Jepang yang memiliki hari-hari upacara hampir setiap bulan. Upacara
perayaan sering dilakukan dalam ritus-ritus yang mirip ritus kaum primitif. Para
daimyo (samurai yang diberi hak mengelola tanah para shogun) mengungkapkan
kegembiraan mereka dengan
upacara-upacara suci.
Ketika ayahnya turun ke tengah arena untuk ikut
berdansa, Mayumi memutuskan untuk pulang. Di te-
ngah jalan Tuan Muda Akechi menghampirinya.
"Kenapa pulang, Mayumi?"
"Ya, Tuan Muda."
"Kenapa pulang?"
"Tidak apa-apa."
"Engkau tidak jujur," kata Akechi menyindir. "Aku tahu apa sebabnya. Tentu soal
para penari itu, bukan?"
"Bukan, Tuan Muda."
"Lantas kenapa engkau pulang?"
"Saya tidak bisa melihat ayah saya menari dengan
penari," jawabnya jujur. "Tidak rela."
"Engkau tidak rela kalau ayahmu menari itu sebuah
permulaan yang baik. Tetapi kenapa tidak disempur-
nakan?" "Maksud Tuan Muda?"
"Perkataanmu harusnya dibalik, bahwa engkau ti-
dak rela melihat para penari dengan ayahmu. Kenapa kau hanya memikirkan ayahmu"
Kenapa bukan penari
itu" Padahal merekalah kaummu, yang sekarang men-
jadi permainan laki-laki."
Mayumi terdiam. Akechi tampak bersungguh-sung-
guh dengan ucapannya. Mereka berhenti di seberang
jalan ketika gerobak lewat. Gerobak itu didandani pakai janur dan kertas warna,
gerobak tersebut khusus dipakai menjemput tebu pertama yang baru ditebang
Oda Nobunaga. Ini juga merupakan rangkaian acara
dalam perayaan buka giling tebu.
"Hal-hal semacam ini yang harus kaulawan," kata
Akechi pula. "Adat yang merendahkan derajat kaum-
mu pada hakikatnya adalah penjajahan. Engkau tahu, Mayumi," lanjut Akechi bersungguh-sungguh. "Pemerintah Jepang sudah
mensyahkan rancangan pengem-
balian tanah pada para petani. Tetapi semuanya tidak bisa datang dengan
sendirinya, kalian harus memperbaiki nasib sendiri. Menjadi pandai, dan menuntut
perbaikan nasib. Jangan diam saja, Mayumi, nanti ke-buru Jepang tenggelam di
dasar laut."
"Apakah Tuan Muda pengikut Hirohito?"
"Ya, kami sering mendiskusikan keadaan Jepang.
Banyak keadaan yang menyedihkan dan harus segera
diobati." "Hirohito juga berkata begitu."
"Bagi semua orang yang memahami buat apa dila-
hirkan harus berkata begitu. Tak boleh membisu,
Mayumi." Mayumi mendesah. Karena sudah sampai Mayumi
membelok ke rumah. Tuan muda berdiri sejenak di depan pintu pagar kemudian
berlalu. Sesudah membuat minuman, Mayumi duduk di
kursi. Tiba-tiba tangannya bergetar, kemudian ba-
hunya, dan seperti kemarin Mayumi melihat Akechi.
Bukan mimpi. Benar-benar Mayumi melihatnya. Di
ruang tamu yang penuh perabotan antik, Akechi ten-
gah berkacak pinggang di depan ayahnya. Mereka bertengkar. Istri Nobunaga
menangis, namun matanya
bernyala menahan marah.
Mayumi tak tahu apa yang mereka katakan, namun
dengan jelas ia lihat Oda Nobunaga. Dengan sangat
marah ia masuk kamar, ketika keluar membawa pe-
dang yang langsung diarahkan pada Akechi.
"Mayumi!" terdengar suara ayahnya. Mayumi berke-
dip sehingga gambar Akechi lenyap. "Kudengar kau ta-di pulang bersama Tuan
Muda," kata ayahnya datar.
Mayumi mengangguk.
"Apa saja yang dikatakan?"


Shugyosa Samurai Pengembara 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya soal perkebunan," jawab Mayumi berbo-
hong. "Hati-hati dengan mereka. Bapak dan anak sama
edannya." "Bapak berpikir begitu?"
"Ya. Semua daimyo di Jepang adalah orang-orang
edan yang menganggap wilayahnya sebagai kerajaan
kecil. Dan mereka sebagai rajanya," ayahnya hilir mu-dik di ruangan. Dari hawa
mulutnya terhirup bau
sake. Seperti orang bingung ia kembali duduk dan meneguk minuman beberapa kali.
"Mereka sudah diraja-
kan oleh undang-undang agragria," gerutu ayahnya.
"Meskipun tanam paksa dan kerja paksa dilarang, te-
tapi undang-undang sudah menyelamatkan mereka
dari kebangkrutan. Benar-benar edan!"
"Tuan Muda tadi juga membicarakan rencana kai-
sar Yoshiaki tentang pengembalian tanah pada rakyat dan petani. Juga perjuangan
Hirohito untuk mengurangi kekuasaan para daimyo."
"Yoshiaki dan Hirohito?" tanya ayahnya, disambung
ketawa bergelak. "Usaha mereka justru bikin tambah gendut orang-orang macam Oda
Nobunaga. Dengan
adanya jalan yang bagus, irigasi yang baik, serta sekolah untuk petani, kaum
modal bisa memanfaatkan un-
tuk memperbaiki perusahaan perkebunan. Selamanya
kita hanya mendapat ampasnya. Coba kaupikir, aku
dulu disekolahkan oleh Tuan Nobunaga, untuk apa
aku sekolah, Mayumi" Untuk dijadikan budaknya."
"Menjadi juru tulis, Ayah anggap sebagai budak?"
"Ya, budak. Tak lebih," jawab ayah Mayumi tiba-tiba murung. Wajahnya sekarang
lusuh. Ia melanjutkan
tanpa tenaga. "Seharusnya aku melawan, tetapi tidak berdaya."
Kemudian dengan langkah gontai ia ke kamar tidur.
Tubuhnya dilempar ke ranjang. Tak lama sudah pulas.
Mayumi menarik napas lega.
*** Berita yang pagi tersebar di Okehazama sungguh me-
ngejutkan; Istri Nobunaga terpaksa diangkut ke Osaki karena ditebas pedang
suaminya! Menurut desas-desus, kemarin terjadi pertengkaran antara Nobunaga
dengan Akechi. Karena marah Oda Nobunaga mengambil pedang. Sewaktu pedang
mengayun, istrinya
menubruk mencoba melindungi Akechi. Karuan dia
yang terkena tebasan itu.
Ayah Mayumi bergegas ke rumah Oda Nobunaga.
Tergopoh-gopoh ingin tahu kabar sebenarnya.
Di rumah Mayumi termangu-mangu. Mencoba meng-
hubung-hubungkan peristiwa itu dengan gambaran di
matanya, kemarin.
"Mayumi," ia mendengar suara lunak bergegas. Ga-
dis itu sangat terkejut. Rupanya Tuan Muda Akechi
sudah berdiri di ambang pintu. Pemuda itu mengambil kursi. "Aku mau menitipkan
barang-barangku di sini,"
katanya sambil meletakkan bungkusan. "Aku khawatir kalau di rumah bakal dibakar
ayahku." "Tuan Muda hendak pergi ke mana?"
"Ke Osaki, ke Mino, ke Kai, dan entah ke mana lagi.
Aku ingin menyaksikan sendiri kehidupan rakyat Je-
pang." "Bolehkah saya mengetahui isi bungkusan ini?"
"Buku-buku dan catatan-catatan yang kubikin se-
lama ini."
"Tentang Jepang?"
"Ya, tentang kuli perkebunan, petani, kuli pabrik
gula, tukang giling, aku mencatat semuanya."
"Apakah Tuan Muda sering pergi ke desa-desa un-
tuk mewawancarai kuli-kuli perkebunan?"
"Ya, itu kulakukan. Tetapi selama ini masih amat
terbatas dengan rakyat sekitar Okehazama dan Osaki.
Aku ingin tahu lebih banyak lagi. Kalau perlu petani di seluruh negeri ini."
"Kuletakkan di mana, Mayumi?" tanya Akechi geli-
sah. "Di mana kamarmu?"
"Tetapi kenapa Tuan Muda memilih rumah kami
untuk menyimpan buku-buku berharga ini?"
"Karena aku mempercayaimu," jawab Akechi ter-
senyum. "Kau satu-satunya orang yang kukenal baik.
Entah kenapa aku merasa dapat mempercayaimu. Di
mana kamarmu" Oh, ya, kuminta kau jangan membe-
ritahukan pada siapa pun tentang buku-buku ini.
Termasuk pada ayahmu. Banyak orang tak menyukai
jerih payahku ini."
Mayumi menunjukkan kamarnya. Ruangan itu sa-
ngat gelap, karena itu Mayumi membuka jendela. Sinar matahari menerobos masuk
lewat celah terali. Akechi memasukkan buku-bukunya di bawah ranjang. Setelah itu
ia berdiri. "Kau boleh membaca buku-buku ini," kata Akechi
tulus. "Aku mempercayaimu. Engkau sahabatku satu-
satunya di sini."
"Terima kasih, Tuan Muda."
"Oh ya, bagaimana kalau engkau tidak memanggil-
ku dengan... Tuan Muda?"
"Maksud, Tuan Muda?"
"Rasanya kurang enak dan kurang bersahabat. Kau
bisa memanggilku dengan namaku... Akechi."
Mayumi menunduk malu. Ia merasakan janggal me-
manggil nama putra seorang daimyo dengan sebutan
namanya. Tiba-tiba Mayumi merasakan jemari Akechi
menyentuh dagunya. Pemuda itu mengangkat wajah
Mayumi. "Jangan bersikap feodalis," kata Akechi lembut.
"Hanya orang-orang muda seperti kita yang bisa mengubah adat di Jepang ini."
Mayumi keluar dari kamar. Akechi mengikuti. De-
ngan terburu-buru Mayumi membuatkan minuman
untuk pemuda itu. Sewaktu Akechi meneguk minu-
mannya, Mayumi berkata, "Saya tidak tahu kenapa
Tuan Muda...."
"Masih ber-Tuan Muda," potong Akechi cepat.
"Biarkan saya menggunakan sebutan Tuan Muda,
lebih pantas kedengarannya. Maafkanlah saya...."
"Terserah padamu kalau begitu," akhirnya Akechi
tidak keberatan. "Kau tadi ingin menanyakan apa?"
"Saya.... Saya tidak mengerti kenapa Tuan Muda
harus pergi jauh. Bukankah di sini bisa hidup senang
dan bahagia?"
"Kau keliru, Mayumi," jawab Akechi murung. Lelaki
itu seperti menyesali diri sendiri. "Kekayaan, harta, kekuasaan, tak pernah
membuatku bahagia. Justru di
sini aku merasakan tekanan batin yang sangat berat.
Karena setiap saat, setiap detik, kulihat dengan mata kepalaku sendiri rakyat
Jepang sengsara karena tindakan ayahku. Kau bisa bayangkan orang memikul
dosa ayahnya" Aku ini orangnya."
"Soal itu juga yang membuat Tuan Muda kemarin
bertengkar dengan Tuan Nobunaga?"
Akechi menatap Mayumi kaget. "Oh, kau sudah
mengetahui peristiwa terkutuk itu?" tanyanya murung.
"Ya, memang soal ini juga, ditambah soal lainnya."
"Bolehkah saya mengetahui?"
"Bagus," puji Akechi gembira. "Kau mempunyai ba-
kat seperti Akemi, istri Hirohito, dia juga wanita yang berani dan berpikiran
maju," sambung Akechi. "Soal pribadi, aku tak ingin mengatakan padamu. Belum
saatnya. Yang terang ayahku tidak menyukai tinda-
kanku saat ini, sama seperti aku tidak menyukai tin-dakannya. Ia mengatakan para
pejuang Owari sebagai orang-orang kelaparan. Kukatakan terus terang bahwa dialah
sesungguhnya yang kelaparan, karena setiap
hari menghisap darah rakyat Jepang. Dia sangat ma-
rah, sehingga bermaksud membunuhku." Akechi ber-
henti sejenak. Matanya berkaca-kaca. "Sebenarnya
aku sudah siap dibunuh," ujarnya lirih. Suaranya bergetar. "Tetapi tak kusangka
ibuku mencoba melindu-
ngiku. Ia tertebas di bahunya."
Mayumi terharu. Istri Nobunaga benar-benar seo-
rang ibu sejati. Ini ia katakan terus terang, "Ibu Anda sudah menjalankan
kehormatan sebagai seorang wanita."
"Ya," jawab Akechi lirih. "Dia memang ibuku," lan-
jutnya datar. Kemudian, "Aku tidak tahu apakah No-
bunaga itu bapakku atau bukan. Orang tua itu benar-benar laknat!"
Sesudah berkata begitu, Akechi bangkit. Ia meme-
rangi perasaannya. Kemudian pergi.
Mayumi termangu. Kali ini ia sudah memasuki ki-
sah baru yang tak ia ketahui bakal membawa dirinya ke mana. Seperti arus sungai
yang coklat, ia terbenam di dalamnya. Tak bisa ia lihat ujung alirannya, namun
ia terseret tanpa mengetahui apa bakal nasibnya.
*** Okehazama, 26 Agustus 1596.
Rumah yang biasa dipakai melaksanakan persida-
ngan penuh sesak. Udara gerah membuat orang-orang
mendengus karena panas. Jaksa berjalan ke tengah
ruangan. Wajahnya yang bulat seperti jambu bol tampak berkeringat. Di kursi
terdakwa duduk seorang la-ki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya
yang tampan tak mampu menyembunyikan kegeli-
sahan dalam jiwanya. Nama lelaki itu Yukio Hasegawa.
"Hasegawa, benarkah ini pedang Anda?"
"Benar."
"Benarkah pada malam terbunuhnya keluarga Hira-
ta Anda datang ke rumahnya?"
"Benar. Tetapi saya datang pukul tujuh malam un-
tuk menemui tunangan saya."
"Siapakah yang bisa membuktikan Anda datang pa-
da waktu itu?"
"Misako. Tunangan saya."
"Jam berapa Anda pulang?"
"Pukul delapan."
"Ke mana Anda saat itu?"
"Saya pulang."
"Siapakah yang dapat membuktikan bahwa saat itu
Anda pulang?"
Hasegawa terdiam. Ia tahu tak mungkin menjawab
pertanyaan itu. Tidak seorang pun dapat menjadi saksi atas jawabannya.
"Saya seorang pria bujangan, Tuan Jaksa. Saya
tinggal sendirian di rumah itu," akhirnya ia mencoba menjelaskan.
"Apakah tidak ada pembantu di rumah Anda?"
"Tidak. Tiga orang pembantu saya pulang ke rumah
setiap hari. Tidak ada yang menginap."
Jaksa penuntut itu berdiri berkacak pinggang. Wa-
jahnya memancarkan kegembiraan karena yakin akan
memenangkan persidangan itu.
"Di mana Anda menyimpan pedang Anda, Tuan Ha-
segawa?" "Di laci di dekat tempat tidur."
"Siapa saja yang mengetahui Anda menyimpan pe-
dang di sana?"
Hasegawa terdiam. "Hanya saya," akhirnya dia men-
jawab lemah. "Hanya Anda?"
"Ya."
"Jadi Anda mengakui pada malam itu Anda pulang
untuk mengambil pedang kemudian...."
"Keberatan!" kata pembela Hasegawa sambil berdiri.
"Jaksa tidak sedang bertanya, tetapi langsung menja-tuhkan vonis, Yang Mulia."
Hakim berkata, "Keberatan diterima. Jaksa penun-
tut sebaiknya tidak menggunakan pertanyaan itu."
"Baiklah, Yang Mulia. Kalau begitu saya ingin mengubah pertanyaan pada
terdakwa," kata jaksa tersebut sambil melangkah mendekati Yukio Hasegawa.
"Hasegawa, kapan terakhir Anda memakai pedang itu?"
"Dua hari sebelum terjadinya pembunuhan."
"Di mana Anda memakainya?"
"Di perkebunan di belakang rumah."
"Untuk apa Anda menggunakan pedang itu?"
"Seperti orang lain membawa pedang, sebagai per-
lengkapan pakaian. Saya seorang samurai."
"Apakah Anda menggunakan pedang tersebut waktu
itu?" "Tidak."
"Kemudian Anda menyimpan kembali?"
"Benar."
Jaksa itu membuka-buka berkas perkara. Kemu-
dian berjalan sambil membaca berkas itu.
"Di sini diungkapkan oleh seorang saksi bahwa pa-
da pagi hari sebelum terjadi pembunuhan, Anda dilihat bertengkar dengan ayah
tunangan Anda. Benarkah
itu?" "Ya."
"Soal apa?"
"Mengenai rencana pernikahan kami. Ayah tuna-
ngan saya mendesak agar pernikahan dilangsungkan
lebih awal dari waktu yang saya rencanakan."
"Kenapa?"
"Dia menginginkan pernikahan itu dilangsungkan
secepatnya. Saya tidak tahu alasannya."
"Apakah Anda mengungkapkan alasan kenapa me-
rencanakannya lebih lambat?"
"Saya menunggu kedatangan kedua orang tua saya
dari Kiyoto."
"Karena merasa didesak itukah Anda kemudian
membunuh mereka?"
"Saya keberatan, Yang Mulia!" teriak pembela Hase-
gawa emosional. "Itu pertanyaan tidak masuk akal!"
Hakim itu berkata, "Keberatan diterima."
"Baiklah," kata jaksa. "Saya ingin tahu, apa yang
Anda bicarakan dengan Tuan Hirata?"
"Seperti sudah saya katakan, saya ingin meminta
waktu menangguhkan perkawinan."
"Itu soalnya?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Saya tidak bisa mengatakannya."
*** RENCANA PERKAWINAN
ODA NOBUNAGA waktu itu adalah seorang lelaki yang
menguasai dataran di wilayah Osaki dan Okehazama.
Ia membawahi perkebunan tebu sangat luas berikut
pabrik gulanya. Hampir tujuh tahun ia berkuasa sebagai penguasa wilayah itu,


Shugyosa Samurai Pengembara 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga kekuasaannya demikian menakutkan, dan telah membuatnya jadi kaya
raya. Kekuasaan Nobunaga di Osaki dan Okehazama,
dapat disamakan dengan kekuasaan para gubernur di
Jepang. Pada akhir tahun 1607 Jenderal Eiko Okada datang
ke Okehazama. Terjadi kesibukan. Atas perintah gu-
bernur, jalan sepanjang Osaki ke Okehazama dibersihkan. Dan semua pembesar
daerah menyambut di ja-
lan. Eiko Okada pernah bekerja selama enam belas tahun di Okehazama sebelum
pulang ke Kiyoto.
Eiko Okada orangnya besar dan tegap. Memiliki ke-
pribadian yang mengesankan. Senyumnya tak pernah
tertinggal apabila sedang berbicara. Ia mengendarai kereta warna hitam. Seorang
pencatat sejarah ikut
bersamanya. Pembesar itu berhenti sebentar di Okehazama, menyaksikan kerajinan
tenun dan keramik.
Mayumi sedang membuat keramik, bersama pulu-
han orang yang khusus didatangkan dari Sofu. Salah seorang dari rombongan itu
menegurnya, "Mayumi,"
Mayumi menoleh terkejut. "Aku teman Akechi," sam-
bungnya. "Apakah buku-buku yang dititipkan di ru-
mahmu cukup aman?"
Mayumi mengangguk.
"Syukurlah. Nanti seminggu lagi aku ke rumahmu,
ada sebuah catatan yang kubutuhkan."
"Di mana Tuan Muda Akechi?"
"Di Osaki."
Tanpa memperkenalkan namanya, orang itu pergi.
Seusai kunjungan Eiko Okada, Mayumi langsung pu-
lang. Di rumah ia benahi bungkusan buku Akechi. Ia masukkan beberapa buku yang
belum sempat ia baca.
Sepanjang waktu ini buku-buku Akechi berhasil
mengurangi kesepiannya. Entah kenapa, ia amat ter-
pikat membaca bukunya. Pertama kali dalam hidup
Mayumi, ia mengenal Eiko Okada lebih akrab. Okada, selain seorang jenderal yang
hebat, juga penulis buku.
Bukunya tak sampai tiga hari ia baca habis. Sudah
lama Mayumi ingin membaca buku yang pernah meng-
goncangkan dewan pemerintahan para daimyo itu, se-
karang terpenuhi. Karangan Eiko Okada, Pembebasan, sangat menyentuh hatinya.
Kemudian setumpuk buku
yang lain. Seperti sengaja dikumpulkan banyak karangan tentang rakyat Jepang.
Mayumi membaca satu per satu, peristiwa demi peristiwa, semua membuat jiwanya
menggeletar seakan kena cambuk ekor sapi. Betapa kesewenang-wenangan para daimyo
telah meng- hancurleburkan rakyat Jepang.
Kisah Eiko Okada benar membuatnya terharu. Le-
laki itu memperjuangkan hak serta perbaikan nasib
petani, yang terlunta-lunta akibat berhadapan dengan kekuasaan. Sesudah belajar
di Cina, Eiko Okada akhirnya kembali ke Jepang dan hidup dalam kemelaratan.
Ia menuliskan gugatan sosial pertama di Jepang sehubungan dengan nasib kaum
Jepang. Akhirnya dengan
perjuangan gigih, Okada berhasil menjadi jenderal di
Kiyoto. Ini benar-benar luar biasa!
Buku cerita Eiko Okada berjudul Nagatori membuat Mayumi terpaku. Buku ini
mengisahkan penderitaan
seorang wanita yang melawan adat feodal. Kekolotan.
Nagatori memberontak pada masyarakat yang menin-
das kaum wanita. "Rupanya orang lebih kasihan ke-
pada lapar kaum lelaki daripada lapar kaum wanita!"
ujar Nagatori berang. Ia melihat lelaki selalu mendapatkan pekerjaan lebih
tinggi dari wanita.
Tak beda di Okehazama, tak beda di Osaki, kaum
wanita hanya menjadi buruh, kuli perkebunan, gun-
dik, sedang laki-laki bisa menjadi pejabat pemerintah dan penguasa. Tak ada
tempat untuk wanita. Gundik, penari....
Tangan Mayumi gemetar. Bahunya gemetar. Ma-
tanya terbuka lebar. Kemudian seperti gambar hidup, Mayumi melihat Tuan Muda
Akechi. Ya, seperti kemarin, kemarin dulu, ia melihat Akechi di depan matanya.
Ia berada di tengah-tengah perkebunan tebu yang terbakar hebat. Rupanya terjadi
pemberontakan kuli di perkebunan. Api menjilat-jilat langit. Suaranya berderak
seakan kobaran itu mampu membakar jagat. Asap
hitam berkepul, membubung ke angkasa. Puluhan kuli berusaha memadamkan api
dengan ember. Dan di sisi
lain terlihat puluhan samurai mengejar kuli yang melakukan pembakaran. Tiba-tiba
tanpa ada yang bisa
menduga, seorang kuli melompat dan menghantam
Akechi dengan pacul!
Tanpa sadar Mayumi menjerit. Mata terpejam, dan
gambar hidup itu hilang. Ayahnya menerobos masuk
kamar. "Ada apa, Mayumi?" kata ayahnya cemas. "Kenapa
menjerit?"
Mayumi masih menutup mata dengan kedua tela-
pak tangan. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan ke-
pala. "Ada apa?" tanya ayahnya sambil menggoncang ba-
hunya. "Kau melihat apa" Katakan, Mayumi."
"Ayah tidak akan percaya," kata Mayumi.
"Katakan dulu persoalannya."
"Saya melihat Tuan Muda Akechi."
"Ha?"
"Dia dipukul memakai pacul."
"Di mana?"
"Saya tidak tahu," kata Mayumi. Kemudian ia ceri-
takan penglihatannya tentang pembakaran kebun tebu.
"Dia pasti terluka," Mayumi mengakhiri cerita.
Ayahnya membelai-belai rambutnya. Diam, mere-
nung, kemudian bangkit, "Kau terlalu lelah, Mayumi.
Dan terlalu membayangkan Tuan Muda. Makanya ja-
ngan terlalu erat bergaul dengannya. Berbahaya! Kita tidak tahu cara mereka
memikat wanita."
"Tetapi benar aku melihat dia. Saya tidak tidur.
Saya tidak bermimpi."
"Sudahlah, lupakan saja," kata ayahnya kalem.
"Semua akibat kau terlalu memikirkannya."
Mayumi diam. Menggigit bibir, diterangkan pun per-
cuma. Siapa yang bakal mempercayai keajaiban yang
ia alami. Tak ada.
Seminggu sejak peristiwa itu, laki-laki yang meng-
aku sahabat Akechi datang. Ia meminta Mayumi me-
ngeluarkan buku-buku dari bawah ranjang, kemudian
mencari catatan perjalanan Akechi. Ia terlalu serius sehingga tak sempat
memperkenalkan namanya.
"Bagaimana kabar Tuan Muda?" Mayumi bertanya
di sela pekerjaan.
"Masih dirawat."
"Akibat kerusuhan di perkebunan itu?"
"Ya," jawabnya pendek. Tapi kemudian ia terkejut.
"He, kau tahu dari mana ada kerusuhan di perkebu-
nan" Kurasa belum ada yang memberitakan peristiwa
itu." "Apakah dia benar dihantam pakai pacul?"
"Ya, kabarnya begitu. Saya belum sempat mencek,
hanya kebetulan ada kurir dari sana mengatakan bah-wa terjadi pembakaran
perkebunan. Tetapi dari siapa kau mengetahui?"
"Saya melihat sendiri," jawab Mayumi bimbang.
Laki-laki itu menghentikan kerjanya. Ia menge-
rutkan dahi mencoba menjajagi kebenaran ucapan
Mayumi. "Kau melihat di sana?" tanya lelaki itu berkerut kening.
Mayumi menggeleng. "Kulihat dari sini."
"Kau mimpi?"
Sekali lagi Mayumi menggeleng. "Aku menyaksikan
peristiwa sebenarnya, juga sewaktu Tuan Muda dipu-
kul. Benar-benar peristiwa mengerikan...."
"Hasil pertama dari perjuangan kami," sambung le-
laki tersebut bangga. Dan ia kelihatan tak menganggap penting keajaiban yang
dialami Mayumi. "Petani tebu sudah menyadari hak-haknya," lanjut lelaki itu
kembali sibuk memilih berkas catatan Akechi. "Penindasan para daimyo dan Taiko
Ishikawa benar-benar sudah di-lawan. Kau pernah mendengar tentang Taiko Ishika-
wa?" "Pernah dengar namanya, tapi tak tahu maksud-
nya." "Taiko Ishikawa adalah seorang ahli hukum Jepang.
Dia yang menciptakan Undang-Undang Pertanahan.
Lembaran Negara tahun 1584. Undang-undang ini
menentukan semua tanah di luar tiga kilometer dari batas desa sebagai milik
pemerintah yang diberikan sebagai konsesi pertanian jangka panjang selama 75
tahun, dengan sewa amat rendah, hanya 4 kan per
hektar per tahun. Cara ini telah mengakibatkan rakyat kehabisan tanah, dan
tempat pemukiman. Tak bisa
disangkal lagi Ishikawa telah menggantikan zaman tanam paksa dengan zaman
perampasan tanah. Ini yang
tengah diperjuangkan orang-orang seperti Akechi agar diperbaiki."
"Tetapi Tuan Muda juga membela kaum petani?"
"Ya, tentu."
"Kenapa dia dicelakai?"
"Kekacauan di mana-mana sama saja. Sangat ber-
bahaya, karena sering orang tak menggunakan akal
sehat. Dan kawan serta lawan tak lagi dibedakan."
"Kasihan Tuan Muda."
"Nah ini dia!" kata lelaki itu menemukan yang dica-ri. "Kau benahi lagi, Mayumi,
simpan yang baik. Jangan sampai ada orang tahu. Aku cukup membawa ca-
tatan Akechi yang baru untuk melengkapi data tulisan yang sedang kususun."
"Ya."
Sambil memasukkan catatan Akechi dalam tas, ia
duduk di kursi, minum dan makan roti yang dihidangkan Mayumi. Ia berpaling ke
kanan ke kiri. Lalu,
"Ayahmu sedang ke mana?"
"Setiap musim tebang ayah pulang hingga larut ma-
lam." "Akechi pandai mencari teman," katanya. "Engkau
tahu, Mayumi," lanjutnya datar. "Jepang mempunyai
hutang yang sangat besar pada para petani. Sejak tahun 1567 hingga 1600 saja
sudah 187 juta kan. Belum lagi jumlah hutang ketika Yoshiaki menjalankan politik
tanam paksa, ada 823 juta kan. Sekarang kau bayangkan, berapa sekolah yang bisa
dibangun dengan jum-
lah hutang sebesar itu. Orang-orang macam kau ber-
hak memperoleh pendidikan atas biaya pemerintah."
"Apakah itu mungkin?"
"Kenapa tidak" Minggu yang lalu Eiko Okada mem-
bicarakan rencana pendidikan bagi kaum tani. Menu-
rut rencana sejumlah anak petani akan dikirim ke Ci-na. Eiko Okada akan
memperjuangkan rencana itu le-
wat Yang Mulia Yoshiaki."
"Anak-anak petani akan mendapat sekolah?"
"Ya."
"Sekolah apa?"
"Apa saja; hukum, politik, kesenian atau pendidikan khusus untuk wanita."
"Kedengarannya sangat menyenangkan."
"Tak ada bedanya, Mayumi. Anak petani pun harus
mendapatkan pendidikan yang baik. Kau pernah ber-
sekolah?" "Ya, sebentar."
"Di mana?"
"Sekolah rendah"
"Baru sekolah rendah kau sudah secerdas ini, ba-
gaimana kalau kau bisa melanjutkan ke sekolah tinggi, apa Jepang tak akan
goncang?" Mayumi tersipu. Lelaki itu bangkit, ia memberi
Mayumi uang satu kan. Kemudian dengan langkah le-
bar ia pergi. Di dekat jendela Mayumi termenung. Anak petani
akan berlayar ke Cina. Sungguh membanggakan. Ka-
lau semua kaum wanita mendapatkan kesempatan se-
perti itu, Mayumi orang pertama yang bakal tunjuk ja-ri. Tapi nanti dulu, kalau
benar semua kaum wanita diberi pendidikan, apa bakal jadinya dengan Jepang"
*** Angin sore berhembus agak kencang. Membawa ge-
rimis tipis. Mendung di langit pun tidak setebal kain terpal. Bahkan warna biru
di langit masih kelihatan transparan.
Gerimis ternyata tak membuat diam anjing yang
menggonggong. Membuat malam semakin terasa sepi.
Gerobak tebu sudah sejak sore nangkring di pinggir pabrik, tetapi ayah Mayumi
tak tampak batang hidungnya. Lampu minyak sudah dinyalakan, kemudian
Mayumi duduk sambil membaca catatan Akechi. Ah,
bukan catatan sembarang catatan yang ia baca, tetapi pengaduan Tuan Muda pada
kaisar dan Eiko Okada
tentang penyelidikannya di perkebunan tebu Osaki,
Okehazama dan Payama. Begini isinya:
20 JUNI 1599 Tuanku Eiko Okada dan Yang Mulia Yoshiaki,
Kalau ada perkataan gabus tempat negeri ini tera-pung di atas laut untuk
mengatakan tentang gula, sekarang saya setuju. Sesudah mengadakan perjalanan
dari Osaki, Okehazama dan Mino, kenyataan memang membuktikan demikian.
Perkebunan, terutama gula, pengaruhnya besar sekali pada kehidupan rakyat
Jepang. Dan saya berani menyimpulkan; pabrik gula merupakan penyebab utama
kemiskinan para petani di Jepang.
Kebun tebu seperti juga sawah, perlu tanah subur, perlu air melimpah, dan butuh
tenaga buruh yang banyak. Hal ini merupakan sedotan terbesar pada keka-yaan
petani. Lebih-lebih sistem perekonomian tradisional menjadikan para petani 'kuda
tunggang' para daimyo. Untuk kepentingan pemilik perkebunan, para petani telah
dijadikan korban. Misalnya, seorang daimyo membayar sangat murah para petani,
karena dia memiliki hak mengusir para petani itu dari tanah mereka. Selain itu
para petani masih diperas tenaganya di tambang salpeter, guna membiayai hidup
para pen- guasa setempat. Masih ditambah pekerjaan mendaya-gunakan hutan jati. Sesudah
semua pekerjaan selesai, mereka masih harus menyetorkan hasil penebangan itu.
Tanpa bayar! Hanya memperoleh pembagian tanah, yang sukar digarap karena
waktunya habis untuk kepentingan penguasa. Sistem perekonomian itu juga dite-
rapkan oleh perkebunan tebu. Tanah disewa dari rakyat dengan cara memaksa,
melalui kepala desa atau para daimyo.
Kalau zaman tanam paksa pemerintah mengganti pe-narikan pajak dengan kerja
paksa, sekarang sebaliknya. Ishikawa telah menghapus tanah milik petani, tetapi
membayar sewa dan membayar tenaga kerjanya, meskipun sangat murah. Padahal Anda
tahu, pabrik gu-la membutuhkan tanah sangat luas, dan buruh sangat banyak.
Akibatnya petani tak berdaya melawan kekuasaan pabrik gula. Mereka diperas tanpa
ampun. Perkebunan dan pabrik gula berakibat majunya pro-duksi gula, tetapi juga


Shugyosa Samurai Pengembara 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keterbelakangan petani kecil.
Unsur terakhir ini merupakan penindasan, dan saya ki-ra bisa mengakibatkan
perlawanan kuli tebu. Ingat bukan" Tahun 1573 di Osaki berlangsung pemogokan
kuli tebu karena rendahnya upah. Saya kira protes itu dapat berkembang menjadi
pemberontakan! Kita lihat saja.
Semboyan ketentraman dan ketaatan sebenarnya telah ditipukan, karena petani taat
lantaran banyaknya tukang pukul. Mereka selalu membuat teror sehingga petani
takut melawan. Tetapi hal ini tinggal menunggu saat dan pimpinan.
Oh ya, Tuan-tuan, di tempat yang saya singgahi banyak sekali terjadi peristiwa
kejahatan. Perampokan merajalela. Saya rasa ini gelagat yang pantas disimak,
sudah ada benih keresahan sosial. Menurut firasat saya, awal abad ke-16 nanti
bakal terjadi revolusi. Ini tak akan terbendung. Apakah Tuan-tuan tidak melihat
kemungkinan bakal terjadinya hal itu" Pemberontakan di Cina terjadi tahun 1588
tersebut telah memaksa raja Ching turun tahta. Kalau hal ini terjadi di sini,
apa yang bisa Tuan-tuan bayangkan" Tak bisa tidak, kita harus kerja keras untuk
mencegah terjadinya revolusi berdarah!
Tuan-tuan tentu lebih tahu tentang teori revolusi, tetapi para petani lebih tahu
tentang nasib mereka.
*** Terdengar seruling pabrik mendengung ketika Mayumi
mendengar suara kereta kuda berhenti di pekarangan.
Pintu dibuka. Di bawah sinar bulan terlihat ayah
Mayumi datang bersama pamannya dan Yukio Koga-
saki. Sesudah menyediakan minum dan makan, Mayumi
masuk kamar, tetapi ayahnya memanggil keluar, dan
menyuruh duduk. Sambil mengunyah makanan, pem-
bicaraan ini dimulai:
"Umurmu berapa, Mayumi?"
"Enam belas,"
"Sama dengan Michiko, putri Yoshiaki."
"Ya."
"Engkau sudah cukup dewasa, sudah tiba waktu-
nya untuk berumah tangga. Ini pamanmu datang de-
ngan maksud mengambilmu sebagai menantu."
Mayumi tak menjawab. Menunduk seperti kebia-
saan gadis bangsa Jepang.
"Begini, Mayumi," sambung ayah Yukio Kogasaki
sambil mengelap mulut dengan serbet makan. "Keda-
tanganku yang pertama adalah menengok dirimu.
Syukur engkau dalam keadaan baik. Dan kedua ada-
lah untuk menjelaskan padamu mengenai pembicara-
anku dengan ayahmu. Kami berdua sudah sepakat un-
tuk menjodohkan engkau dengan Yukio Kogasaki. Ku-
rasa kalian sudah saling mengenal, dan masing-ma-
sing bukan orang lain."
"Engkau tahu, Mayumi," sambung ayahnya datar.
"Calon suamimu sudah tamat dari sekolah tinggi. Dan sebentar lagi akan bekerja
di sini. Kukira engkau tak bakal kelaparan mempunyai seorang suami sebagai
pegawai pemerintah," ia berhenti sebentar. "Engkau tahu kenapa ayah buru-buru
menemui pamanmu sesudah mendengar kabar Yukio Kogasaki lulus" Ayah
kuatir dia diserobot gadis lain. Tentu banyak yang menghendaki menantu seorang
yang punya jabatan di
pemerintah."
Paman dan ayah Mayumi tertawa bersama. Terber-
sit rasa bangga berlebihan pada keberhasilan Yukio Kogasaki. Mayumi tetap
menekuri lantai, tak berani mengangkat muka.
"Bagaimana pendapatmu, Yukio Kogasaki?" paman-
nya menambah. "Kau tidak menolak jika kunikahkan
dengan Mayumi, bukan?"
"Saya hanya menurut," katanya. "Semua saya se-
rahkan ayah dan paman bagaimana baiknya."
"Lalu engkau, Mayumi?"
"Saya... saya," Mayumi gagap. "Saya belum siap."
"Belum siap bagaimana?" ayahnya tersentak.
"Saya... saya masih belum ingin menikah."
Ayahnya tertawa. Sementara napas Mayumi ter-
engah mengendalikan keberanian. "Anak perempuan
berumur enam belas tahun belum siap menikah, itu
baru kau yang mengatakan," kata ayahnya masih de-
ngan sisa ketawa. "Setahun lagi kau sudah perawan
tua," sambungnya. "Sedang putra kaisar saja menikah dalam umur enam belas,
bagaimana kau bisa mengatakan belum siap" Apalagi yang kautunggu" Ingat, Mayumi,
engkau anak perempuan."
"Ayah tidak marah kalau saya mengatakan?"
"Coba katakan, biar pamanmu turut mendengar."
"Saya... saya, saya ingin sekolah...."
"Apa" Kau ingin sekolah?"
Mayumi mengangguk. Sekali lagi pamannya tergelak
bersama ayahnya. Mereka seperti melihat sesuatu yang ganjil. Tak bisa ditahan,
Mayumi menitikkan airmata.
Sedih. Teramat sedih.
"Di mana di Jepang ada anak perempuan berseko-
lah?" tanya ayahnya sambil geleng kepala. "Kau dapat menyelesaikan sekolah
rendah pun sudah membuat
penduduk Okehazama geleng kepala. Tingkatmu sama
dengan anak senator. Juanita juga hanya menamatkan sekolah rendah. Kau ingin
melanjutkan ke mana" Tidak jamak gadis bangsa Jepang sekolah tinggi."
"Selain itu engkau melawan kodrat," sambung pa-
mannya bersungguh-sungguh. "Kodrat perempuan itu
berada di belakang suami. Bukan di depannya. Kalau kodrat ini engkau langgar,
keharmonisan bakal hilang sirna. Karena sifat manusia tak pernah puas. Nanti
sesudah sekolah tinggi kau tentu ingin yang lebih tinggi, begitu seterusnya,
sehingga engkau kehilangan fitrah sebagai gadis Jepang."
Mayumi menunduk dalam. Sangat dalam.
"Kecuali itu siapa yang akan menanak nasi di da-
pur?" Sambung ayahnya kering. "Kalau wanita ber-
sekolah tinggi, adat serta tatacara pasti terjungkir-balik."
Mayumi kemudian menangis terisak. Seperti ada
duri salak mendekam di ulu hati. Nyerinya sampai ke otak. Betapa kunonya buah
pikiran ayah dan pamannya, namun untuk melawannya saat sekarang terasa
kurang bijaksana. Akhirnya Mayumi hanya diam, se-
mentara ayah dan pamannya memberi mata pelajaran
tentang adat, tatacara serta nilai kehidupan.
"Jangan memperkosa fitrah, Mayumi. Tak baik aki-
batnya," kata pamannya arif.
Kemudian mereka pulang. Kereta menerobos kege-
lapan. Lampu minyak yang ada di kanan-kiri kusir seperti kunang-kunang yang
berlari ke tengah malam.
Ayahnya memeluk bahu Mayumi, dan mengajak ga-
dis itu masuk. "Jangan kau lewatkan kesempatan emas ini," ujar
ayahnya membujuk. "Mencari calon suami sungguh
sukar di zaman ini. Lebih-lebih dia masih saudaramu."
Tanpa bereaksi Mayumi duduk. Ayahnya menjejeri.
"Menjadi istri yang baik lebih utama daripada wa-
nita bangsa Jepang yang berpendidikan tinggi," kata ayahnya lunak. "Ayah tak
ingin engkau menjadi pemberontak di dalam jiwamu. Sudah banyak dibicarakan gadis
Jepang kini banyak yang tak tahu adat. Tak ada harganya lagi kehidupan semacam
itu." *** Osaki, 22 September 1596.
Ruang pengadilan di tengah kota Osaki semakin
penuh. Orang-orang mengalir seperti air bah. Tua mu-da, anak-anak, dan orang tua
memenuhi ruang sidang.
Jaksa penuntut berdiri di tengah ruangan dengan
wajah bersinar-sinar. Matanya yang berwarna coklat menyapu ruangan, seakan ia
telah memenangkan pertarungan.
Yukio Hasegawa duduk di kursi terdakwa dengan
wajah tertekuk. Ia tampak sepuluh tahun lebih tua da-ri umur sebenarnya. Penjara
yang selama beberapa bulan ia huni, telah mengubah lelaki itu seperti daun layu.
Kulitnya kering dan sinar matanya telah redup.
Misako, tunangannya, duduk di deretan depan de-
ngan wajah membeku. Antara percaya dan tidak, ia tak mampu menjawab misteri
pembunuhan kedua orang
tuanya. "Tuan Hasegawa," kata Jaksa penuntut dengan sua-
ra lantang. Lelaki itu berjalan mendekati kursi terdakwa. "Anda mengatakan
sesudah pulang pukul tujuh
malam itu, tidak pergi kemana-mana lagi. Benarkah
begitu?" "Ya."
Jaksa itu menuju ke mejanya, lalu membuka-buka
berkas perkara di tangannya.
"Di dalam berkas kesaksian ini tercantum bahwa
pada pukul menjelang tengah malam, Anda datang
kembali ke kamar Nona Misako. Apakah Anda me-
nyangkal kesaksian ini?"
Yukio Hasegawa terdiam seketika. Ia menghela na-
pas panjang. Tak pernah ia bayangkan, Misako bakal memberikan kesaksian yang
menyudutkannya.
"Benarkah Anda datang menemui tunangan Anda
pada tengah malam itu?"
Hasegawa menghela napas, lalu menjawab, "Benar."
Seketika terdengar sorak-sorai pengunjung, sehing-
ga hakim terpaksa memukul meja beberapa kali untuk menghentikannya. Beberapa
orang mengumpat dan
memaki Yukio Hasegawa atas jawaban itu.
"Pembunuh!"
"Biadab!"
Jaksa penuntut tersenyum tipis. Wajahnya semakin
bersinar-sinar karena merasa kian yakin bakal memenangkan perkara itu.
Jaksa itu kembali mengajukan pertanyaan, "Menje-
lang tengah malam Anda datang ke rumah tunangan
Anda, untuk apa?"
"Sekadar menemuinya."
"Sekadar menemuinya?"
"Ya."
"Pada tengah malam?"
"Ya."
"Bohong! Anda telah berbohong!" sergap jaksa pe-
nuntut umum itu menggeram. "Di dalam berkas ini
tercantum kesaksian Nona Misako bahwa malam itu
Anda datang pada tengah malam bukan sekadar untuk
menemuinya, tetapi Anda telah mengajaknya bercinta.
Apakah Anda akan menyangkal kesaksiannya?"
Yukio Hasegawa terdiam. Lalu menjawab lemah, sa-
ngat lemah, "Tidak."
Sekali lagi pengunjung berteriak-teriak dan meng-
umpat Yukio Hasegawa. Orang-orang memaki dengan
penuh kebencian.
"Jadi Anda malam itu menemui tunangan Anda de-
ngan penuh kemesraan membisikkan rencana perka-
winan. Sesudah itu pulang bergegas, mengambil pe-
dang, lalu dengan darah dingin membunuh sampai
mati kedua orang tua tunangan Anda. Beberapa jam
setelah itu, dengan napsu menggelora, Anda pindah ke kamar tunangan Anda untuk
bercinta. Benar-benar
rangkaian cerita yang luar biasa. Hanya pembunuh
berdarah dingin yang dapat melakukan perbuatan terkutuk itu. Karena itu dengan
segala hormat pada hukum serta keadilan, saya menuntut agar hakim menja-tuhkan
hukuman mati bagi terdakwa. Terima kasih."
Orang-orang bersorak-sorai. Yukio Hasegawa secara
samar-samar mendengar umpatan-umpatan yang ditu-
jukan padanya. Dengan hati hancur ia mencoba me-
noleh, mencari tunangannya, ternyata bangku itu telah kosong. Misako telah
pergi. *** MISTERI DAN KEHILANGAN
SELAMANYA orang tak bisa menebak hari yang akan
datang. Juga Mayumi. Daerah Okehazama yang semu-
la tenang, pada bulan Juni menjadi gempar. Gara-
garanya sepele: Oda Nobunaga kehilangan buku-buku
dan pedang. Segera diadakan penggeledahan. Tiga orang pelayan
yang tak mengaku mengambil barang-barang itu dihu-
kum cambuk sampai pingsan. Tugizi, seorang pelayan petani berusia tujuh puluh
tahun, meninggal sehari sesudah pelaksanaan hukuman cambuk itu. Kecuali
itu samurai yang ada di Okehazama sampai Osaki di-
kerahkan untuk mengadakan penggeledahan. Semula
hanya rumah-rumah di sekitar pabrik gula, tetapi kemudian menjalar ke seluruh
desa. Orang yang dicuri-gai ditangkap. Seluruh penduduk menjadi gelisah.
Kecemasan itu juga menyerang Mayumi. Gadis itu
tahu betul bahaya yang mengancam. Buku-buku Ake-
chi bisa menyebabkan ia mengalami kesukaran. Maka
sebelum penggeledahan sampai ke rumahnya, ia men-
jumpai ayahnya untuk menceritakan perihal buku di
bawah ranjangnya.
Matsuhide diam. Jadi patung selama beberapa me-
nit. Wajahnya pucat. Segala kesegarannya lenyap seketika.
"Ini sangat berbahaya," katanya cemas. "Kita bisa
dipenjara. Oh, Mayumi, apa yang bisa kita lakukan sekarang" Kau sudah memasukkan
ayahmu ke neraka."
Mayumi menangis. Ada beberapa soal penyebabnya.
Pertama, ia merasa berdosa pada Akechi. Ia sudah
mengingkari janjinya. Kedua, ia juga merasa bersalah telah mengakibatkan ayahnya
mengalami kesukaran.
Ketiga, ia tak ingin buku-buku itu dilenyapkan apabila ayahnya menginginkannya.
"Padahal menurut jadwal, besok pagi rumah kita
bakal digeledah," kata ayahnya kehilangan akal. "Apa yang bisa kita lakukan"
Kalau diketahui ada barang-barang Tuan Muda di rumah ini, apa bakal nasibku"
Aku pasti dipecat. Dan rumah kita.... Oh, Mayumi, engkau sudah membenamkan
ayahmu ke neraka."
Masih terisak Mayumi mencoba memberikan usul.
"Kita masih punya waktu semalam untuk menyembu-
nyikannya."
"Menyembunyikan" Menyembunyikan di mana?"
"Itulah yang ingin saya tanyakan pada Ayah."
"Membawa keluar dari sini tidak mungkin," kata
ayahnya mengeluh. "Di setiap batas desa ada penja-
gaan. Semua orang yang keluar dari desa diperiksa dengan teliti. Oh, Mayumi,
kenapa kaulakukan perbua-
tan tolol ini" Ini akibatnya kalau perempuan ingin sa-ma dengan laki-laki.
Runyam! Semua runyam!"
"Kita harus mencari akal untuk menyembunyikan,"
kata Mayumi meyakinkan. "Hanya dengan memarahi
saya, Ayah tidak berarti menyelamatkan kita dari penjara."
"Tetapi bagaimana" Bagaimana coba?"
Mayumi diam. Rasanya sia-sia menunggu ayahnya
mendapatkan cara penyelamatan. Orang tua itu se-


Shugyosa Samurai Pengembara 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan telah kehilangan akal sehat. Namun karena
Mayumi sendiri tak mengerti harus berbuat apa, terpaksa ia diam membisu.
"Aku tahu," tiba-tiba ayahnya berkata gembira. "Semua harus diserahkan kembali
ke rumah Tuan Nobu-
naga." "Apa?" Mayumi kaget bukan main.
"Kita antar barang-barang terkutuk itu ke rumah-
nya." "Jangan!"
"Kurasa itu satu-satunya jalan untuk menyela-
matkan diri."
"Tetapi bagaimana kalau Ayah justru dituduh seba-
gai pencurinya?"
"Kita akan terangkan sejujur-jujurnya."
"Ayah ingat, Tuan Nobunaga dalam keadaan kalut.
Bisa saja dia mengambil keputusan keliru. Lagi pula dia sedang membenci Tuan
Muda, salah-salah Ayah dituduh bersekongkol dengan Tuan Muda...."
Ayah Mayumi terpaku. Resah. Gelisah. Seribu haru
biru melintas di matanya. Ia membisu sesaat lamanya.
"Kita bisa membakarnya," ujar Matsuhide lirih. "Tetapi itu pun sangat
mencurigakan. Abu dan asapnya
bisa menarik perhatian. Jangan. Jangan dibakar! Kita bisa mudah ditangkap."
"Lagi pula bagaimana kalau Tuan Muda menanya-
kan barang-barangnya?"
"Ya, karena itu jangan kita bakar. Bagaimana kalau kita kubur saja di kebun?"
"Buku itu akan membusuk," kata Mayumi men-
cegah. Tiba-tiba Mayumi menyadari ayahnya sudah
demikian panik. "Saya mempunyai usul kalau Ayah setuju," lanjutnya perlahan.
"Kita titipkan di rumah Yukio Kogasaki."
"Ya, itu bagus!" ujar ayahnya girang. "Di sana pasti aman. Tetapi bagaimana
caranya membawa ke sana?"
"Itu yang harus kita pikirkan."
Karena tak ada pilihan lain, ayahnya setuju mem-
bawa buku-buku Akechi ke rumah Yukio Kogasaki.
Caranya: kereta kuda yang akan dipergunakan mem-
bawa barang-barang itu dipenuhi daun tebu kering.
Mereka berjalan pada malam hari. Di beberapa pos
penjagaan, ayah Mayumi berkeringat dingin. Samurai yang berjaga di batas desa
menusuk-nusuk tumpukan
daun tebu itu dengan pedang. Untung selamat. Mereka diperbolehkan melanjutkan
perjalanan. Di luar desa,
kereta itu dipacu cepat.
Ayah Yukio Kogasaki terkejut melihat kedatangan
mereka. Setelah minum air putih, Mayumi mencerita-
kan semua kejadian di Okehazama. Juga sebab-sebab
kedatangannya. Pamannya geleng-geleng kepala.
"Kalau begitu bawa semua buku-buku itu ke rumah
Yukio Kogasaki. Di sana pasti aman. Jangan lupa timbuni dengan padi dan jagung."
Rumah Yukio Kogasaki terletak di belakang rumah
ayahnya. Bentuknya sederhana. Halamannya luas ber-
pagar bambu. Di depan rumah terdapat kandang ku-
da. Sambil menyembunyikan buku-buku itu di istal
(dan menimbuninya dengan jerami) Yukio Kogasaki memulai pembicaraan.
"Bagaimana, Mayumi, apa kau sudah memikirkan
perkawinan kita?"
"Perkawinan?" Mayumi kaget.
"Ya."
"Maaf. Aku masih bingung menghadapi peristiwa
ini, jadi belum sempat memikirkan persoalan itu."
"Aku mengetahui perasaanmu. Tetapi bagaimana
asal mulanya buku-buku ini berada di rumahmu?"
"Tuan Muda bertengkar dengan ayahnya. Karena
merasa tidak aman meninggalkan bukunya di rumah,
ia menitipkan di rumahku."
"Kenapa tiba-tiba dia memilih rumahmu?"
"Aku sendiri tidak tahu."
"Hati-hati dengan putra daimyo itu. Mulut dan ha-
tinya sering tidak sama."
Mayumi tak berkomentar. Diam-diam ia dapat me-
nangkap api cemburu di mata Yukio Kogasaki.
Sesudah selesai menyimpan barang-barang itu, Yu-
kio Kogasaki mengajak Mayumi duduk di kursi.
"Ayah sudah mewariskan rumah ini untuk kita," ujar Yukio Kogasaki bangga. "Kalau
nanti kita menikah, se-
belum pindah ke Okehazama kita tinggal di sini. Apakah engkau menyukai rumah
ini?" Mayumi tersenyum. Kemudian mengangguk terpak-
sa. "Baru seminggu yang lalu aku membeli kereta dan kuda itu," kata Yukio
Kogasaki sambil menunjuk keretanya di istal. "Rencanaku akan kuperbaiki agar
dapat kita pakai merayakan perkawinan kita. Kuharap tidak terlalu mengecewakan
dirimu." Mayumi menggelengkan kepala.
Ketika pulang, kegelisahan menerkam jiwa Mayumi.
Betapa jauh pikiran Yukio Kogasaki tentang perkawinan dengannya. Padahal sedikit
pun Mayumi belum
memikirkannya. Mayumi sendiri justru merasa risau. Orang-orang
itu dianggapnya tak mengetahui isi hatinya. Betapa lu-ka perasaannya memikirkan
kenyataan getir itu. Cita-citanya yang melambung ke langit seakan terpangkas
beliung, terpenggal, patah di tanah. Perkawinan dengan Yukio Kogasaki pasti akan
menjadi penjara da-
lam kehidupannya.
Sepanjang jalan Mayumi hanya diam. Tak terasa
matanya berkaca-kaca. Pohon tebu, gelagah, kuli-kuli, dan suara gerobak
pengangkut tebu tampak di pinggir jalan. Mereka semua seakan tengah menjalani
nasib dengan membisu.
Tiba-tiba tangannya gemetar, bahunya bergetar,
matanya terbuka, dan di bola matanya sesuatu sedang terjadi:
Tuan Muda Akechi sedang duduk di samping pem-
baringan ibunya. Di sisi lain terlihat sahabatnya, lelaki yang pernah datang ke
rumah Mayumi. Mereka terlibat pembicaraan serius. Meskipun bahu Akechi masih
dibalut, dan tangan kirinya digendong, ia tampak berpikir serius. Matanya yang
cerdas tampak bersungguh-
sungguh. Sahabatnya seperti tengah menerangkan se-
suatu, sementara ibu Akechi menghapus air mata.
Mayumi tak tahu air mata kesedihan atau kegembi-
raan. Sekonyong-konyong mereka bangkit karena pintu
terbuka dari luar. Tiga orang samurai menerobos masuk. Topinya yang lebar tidak
dibuka. Di belakangnya muncul samurai pemimpin lengkap dengan apaulet dan pedang
di pinggang. Ia berkata-kata sebentar dengan Akechi, setelah itu memberikan
surat. Akechi membaca, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi mu-
rung, sementara sahabatnya berusaha mencegah de-
ngan memberi alasan pada lelaki berapaulet itu. Tetapi semua sia-sia, Mayumi
melihat penangkapan itu tetap dilaksanakan. Istri Nobunaga menangis, dan sahabat
yang baik itu memeluk perempuan tersebut sambil
membelai rambutnya.
Akechi digelandang keluar, sementara samurai itu
bergegas meninggalkan ruangan itu.
Mayumi masih dapat melihat Akechi berjalan sambil
menunduk. "Sudah sampai," kata Sato tiba-tiba mengejutkan
Mayumi. Mayumi terhenyak. Matanya berkedip. Gambar Ake-
chi seketika hilang. Segera ia turun.
*** Paginya, sekitar pukul sembilan, ayah Mayumi datang
bersama laki-laki yang tak dikenal oleh Mayumi. Tanpa meminta persetujuannya,
laki-laki tersebut masuk ke kamar Mayumi. Di depan pintu ia komat-kamit membaca
mantra, kemudian memanggil Matsuhide dan Ma-
yumi. "Siapa namanya?" suara lelaki itu terdengar parau.
"Akechi," jawab ayah Mayumi.
"Bukan. Bukan itu. Nama sesungguhnya?"
"Siapa nama Tuan Muda Akechi?" ganti ayah
Mayumi bertanya pada anaknya.
"Ada apa sebenarnya?"
"Nanti kuberitahu."
"Untuk apa namanya?"
"Siapa namanya?"
"Akechi Nobunaga."
"Akechi Nobunaga," ulang ayah Mayumi pada lelaki
di hadapannya. Kembali mulut laki-laki itu komat-kamit. Ia menge-
luarkan sebotol sake, dan menyemprotkan air bunga ke seputar ranjang Mayumi.
Mulutnya bergumam. Dadanya terengah-engah. Sesudah selesai, Mayumi diajak duduk
di ruang tengah.
"Engkau harus minum ini," perintah lelaki itu sam-
bil menyodorkan segelas air kembang pada Mayumi.
"Untuk menolak niat jahat seseorang."
"Ada apa sebenarnya...."
"Minumlah."
Mayumi meminumnya seteguk.
"Kau sudah diguna-gunai," kata Matsuhide mantap.
"Menurut pengamatannya engkau sudah diguna-gunai
oleh Tuan Muda Akechi. Dia telah menggunakan du-
kun untuk memikatmu."
"Ah," Mayumi mengeluh.
"Dia menggunakan ilmu hitam," kata laki-laki itu
datar. "Dia menghendaki dirimu menjadi istrinya. Karena merasa tak mampu
mendapatkan secara wajar,
dia menggunakan mistik. Tetapi sekarang sudah berla-lu, aku tadi sudah melihat
rohmu kembali dalam ba-
danmu. Tidak dikuasai oleh orang itu lagi."
Mayumi hanya mendengus. Ia tak percaya pada te-
tek-bengek yang baru ia alami.
"Kalau aku berhasil menaklukkan dukun Akechi,"
kata laki-laki itu. "Anak muda itu akan celaka. Aku ta-di sudah menikam rohnya
dengan lidi. Dia dapat me-
ninggal." "Oh!" Mayumi memekik terkejut.
"Sudahlah. Semua sudah berlalu," kata ayahnya
sambil memeluk Mayumi. "Engkau sudah kembali ke-
mari." "Tetapi aku tak ingin Tuan Muda celaka."
"Engkau tak akan mengatakan hal itu besok pagi.
Kamarmu telah kuisi dengan penolak guna-guna."
Tiga hari Mayumi tak dapat melupakan peristiwa
buruk itu. Sebagai perempuan petani, mau tak mau ia was-was dengan tindakan
tersebut. Lelaki itu meminta agar dia melupakan Akechi. Kalau benar ia berhasil
mencelakakan Akechi, dua kali Mayumi merasa bersalah pada pemuda tersebut.
Kejadian silih berganti: lamaran Yukio Kogasaki,
penangkapan Akechi, dan dukun ayahnya, semua se-
akan membuat syaraf Mayumi terentang kencang. Ra-
sanya mau putus.
*** Okehazama, 23 Desember 1598.
Ruang pengadilan terasa membeku ketika hakim
memasuki ruang sidang. Wajahnya yang membeku tak
menggambarkan ekspresi apa pun. Sinar matanya te-
tap dingin, mirip pemain kabuki yang harus menam-
pilkan peran penuh kewibawaan.
Semenit berikutnya, iring-iringan dewan hakim me-
masuki ruang sidang. Kedua belas dewan hakim itu
pun melangkah seperti pemeran drama yang tengah
menuju panggung. Semua membisu, seakan menyem-
bunyikan gejolak dalam dirinya.
Ketika semua dewan hakim telah duduk, hakim itu
mengetukkan palu sebagai pertanda sidang dibuka.
"Apakah dewan hakim telah mengambil keputu-
san?" hakim tersebut bertanya.
Salah seorang dewan hakim berdiri, "Sudah, Yang
Mulia." Hakim memberi perintah pada petugas pengadilan
untuk mengambil kertas yang berisi keputusan dewan hakim. Hakim itu membaca
sepintas, lalu memberikan pada petugas pengadilan untuk dibacakan.
Petugas tersebut berdiri tegak, lalu membaca vonis itu. "Atas dakwaan melakukan
pembunuhan terenca-na, terdakwa dinyatakan bersalah...."
Teriakan-teriakan terdengar bersahutan. Tepuk ta-
ngan membuat ruangan riuh rendah. Orang-orang ber-
sorak-sorai. Di tengah suasana gegap-gempita itu, Yukio Hasegawa berdiri letih.
Ia menoleh ke arah kerumunan orang-orang. Dan di sana, ia melihat Misako jatuh
pingsan. (Bersambung ke buku ketujuh.)
*** Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
PENYELAMATAN TAK TERDUGA
*** *** *** PENGKHIANAT DAN PENYERBU
*** *** *** SEBUAH PERSEKUTUAN
*** *** BINGKISAN BERHARGA
*** PENGIRIMAN UTUSAN
*** *** AWAL KISAH MAYUMI
*** BENIH-BENIH CINTA
*** *** *** *** RENCANA PERKAWINAN
*** *** *** *** MISTERI DAN KEHILANGAN
***

Shugyosa Samurai Pengembara 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** *** Perserikatan Setan 2 Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam Anak Rajawali 19
^