Pencarian

Perserikatan Setan 2

Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan Bagian 2


rencanakan pembentukan Perserikatan Setan.
Mereka hendak bersekutu dengan tokoh-tokoh
golongan sesat. Dalam surat tokoh golongan sesat yang sempat ditulis hanya 'Tiga
Datuk Kar....' Aku yakin dia hendak menulis Tiga Datuk Karang!" papar sesepuh
golongan putih, panjang lebar.
"Jadi?"
"Ah, otakmu kau gadaikan ke mana, Buncit" Ten-
tu saja tiga manusia busuk itu akan mengincar ketiga kalung yang dikenakan
muridmu untuk mendapatkan
kitab pamungkas mereka kembali. Bukankah...."
"Kalung"!" Nyai Silili-lilu menyela. "Kau tadi sebut kalung milik murid murtad
si Buncit, Iler?"
"Ya."
"Satu kalung itu dipegang cicit kita. Bukan begi-tu, Anak Sial"!" Nyai Silili-
lilu menoleh ke arah Andika berdiri sebelumnya. Tapi, pendekar muda itu sudah
tak ada lagi di tempatnya.
"Hei, ke mana kau"!"
Pendekar Slebor sedang mengejar seseorang yang
mengintai dari puncak bukit karang sewaktu dirinya,
Petaruh Sakti Perut Buncit, Nyai Silili-lilu, dan Ki Saptacakra sedang berkumpul
di depan gua kecil. Tanpa
sepengetahuan ketiga dedengkot yang sedang sibuk
berbicara itu, Andika mengendap-endap mengelilingi
tepi bukit karang. Akan diringkusnya si pengintai dari bagian belakang bukit
karang. Sewaktu tiba di bagian belakang bukit karang
yang bagian atasnya menjorok ke laut, Pendekar Sle-
bor sudah tak menemukan pengintai tadi. Dia cepat
naik ke atas untuk meyakinkan diri.
Di atas, orang tadi memang benar-benar telah
melarikan diri. Kebetulan sekali, dari tempat setinggi itu, Pendekar Slebor bisa
melepas pandangan cukup
jauh. Mata sejeli elang pemuda itu menangkap kembali si pengintai.
Anak muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah
Kutukan itu segera turun mengejar. Dihelanya seluruh ilmu peringan tubuh yang
dimiliki. *** 6 Hari menjelang malam. Ladang kering di wilayah
Wetan Jawa yang belakangan menggegerkan dunia
persilatan dengan hadirnya makhluk menakutkan ter-
lihat senyap. Jangkerik berkerik dalam kegelisahan.
Kekurangan air telah menyiksa binatang kecil melata
sampai manusia.
Tanah kering kerontang, serta retak-retak telan-
jang tanpa tanaman seperti bulan-bulan sebelum mu-
sim kering merajalela. Bulan bulat berwarna kemera-
han. Mengambang di angkasa raya, bebas menebar
cahayanya seakan tak peduli pada segenap keluh ke-
sah satwa. Amitha berdiri di tengah-tengah bentangan la-
dang kering. Angin kering berhembus mempermainkan
ujung sorban dekil dan kain cawatnya yang tak kalah
dekil. Tangannya bersedekap. Matanya kaku dan keras
menatapi rembulan. Wajahnya sangat sepi. Namun
bersit di mata cekungnya tetap memancarkan bara
dendam tak kunjung padam.
Malam ini, dia sedang menunggu seseorang yang
akan menemuinya. Tepatnya ketika rembulan men-
gambang tepat di atas kepala. Tak jelas siapa orang
yang akan ditemuinya.
Siang tadi, dia mendapat pesan yang diikatkan di
kaki seekor burung merpati. Isi surat menjelaskan kalau seseorang ingin
menemuinya tanpa membubuhkan
nama. Si pengirim surat mengatakan dirinya memiliki
keterangan berkenaan kematian istri Amitha.
Tentu saja hal itu memicu rasa penasaran Ami-
tha. Sepanjang pengetahuannya, pemuda berjuluk
Pendekar Sleborlah pembunuh istrinya. Hanya itu
yang diketahui. Tentang alasan kenapa Neelam istrinya dibunuh tetap menjadi
tanda tanya. Juga dia belum
paham apa hubungan antara kematian istrinya dengan
kalung yang diperlihatkan Pendekar Slebor padanya
beberapa waktu lalu.
Terakhir bertemu dengan si pendekar muda dari
Lembah Kutukan, Amitha jadi merasa ragu apakah dia
telah menempatkan tuduhan pada pihak yang tepat"
Sebab menurut pengamatannya, tak ada kesan di wa-
jahnya kalau pemuda gondrong itu berdusta.
Namun, bukankah dunia ini penuh kepalsuan"
Wajah bersahabat tak selamanya membuktikan jiwa
bersih dari keculasan. Lain luar, lain dalam. Lain di wajah, lain pula di hati.
Curiga hati Amitha.
Meski begitu, kenapa pendekar yang menurut
kabar beberapa orang memiliki kesaktian tinggi itu merasa harus lari
menghindariku. Hatinya bertanya-tanya kembali. Kabar lain yang didengar pun
mengatakan kalau Pendekar Slebor adalah tokoh muda jajaran te-
ras golongan lurus. Tak mungkin dia melarikan diri
dari satu pertarungan seperti seorang pecundang tan-
pa alasan yang benar-benar jelas.
Pikiran seperti itu mengembalikan kembali kera-
guan dalam diri Amitha.
"Selamat malam, Lelaki India!" sapa seseorang di belakangnya.
Pandangan Amitha yang semula menancap tepat
di kebisuan bulan, beralih ke asal suara. Dilihatnya seseorang telah berdiri di
belakangnya. Sapuan sinar lamat bulan memperjelas wajah lelaki itu. Dia berjeng-
got seperti kambing gunung. Usianya sekitar delapan
puluhan. Alisnya hitam, tebal dan lebat, menaungi sepasang mata setajam sembilu.
Meski usianya tua, ma-
sih tampak sisa ketampanannya. Kening lelaki itu le-
bar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala.
Memanjang lepas menutupi bokong. Perawakannya
tinggi besar dan berotot. Pada kulit dari bagian leher ke bawah, seluruhnya
berkerut-kerut. Serupa dengan
karet terbakar dengan warna merah kehitaman.
Siapa dia" Pertanyaan itu tentu timbul dalam diri
Amitha. Baginya, pendatang itu masih penuh teka-teki.
Dialah orang yang telah mengirim surat padanya mela-
lui merpati beberapa waktu lalu. Meski tak dijelaskan
ciri-cirinya dalam surat tersebut. Amitha tetap yakin memang dia orangnya.
Amitha boleh tidak mengenalnya, tapi dunia per-
silatan sudah cukup tahu siapa sesungguhnya lelaki
satu ini. Pangeran Neraka! Salah seorang yang siap
menggabungkan diri ke dalam Perserikatan Setan.
Apa sesungguhnya sesuatu yang mendekam da-
lam pikiran licik lelaki satu ini dengan menemui Amitha" Jika Pangeran Neraka
melakukan sesuatu, tak
ada yang pernah terlepas dari satu rencana busuknya.
Dia adalah manusia yang hidup dengan setiap desah
napas kelicikan. Sementara hidup sendiri baginya adalah permainan culas yang
mesti dimenangkan dengan
segala cara. Seperti pernah diceritakan sebelumnya. Pangeran
Neraka menjadi sukarelawan pertama dalam Perserika-
tan Setan dalam melaksanakan kerja besar menying-
kirkan Pendekar Slebor. Selama tahun-tahun belakan-
gan, hanya niat itu menjadi hasrat hebatnya. Dendam-
nya terhadap si pemuda sakti dari Lembah Kutukan
menempati dirinya bagai lebih besar dari tubuhnya. Itu sebabnya dia begitu
bersemangat ketika tiga murid
murtad Petaruh Sakti Perut Buncit mengiming-imingi
akan membuat rencana awal membunuh Pendekar
Slebor sebagai usaha pertama pembentukan Perserika-
tan Setan. Sewaktu pertama menyatakan diri sebagai suka-
relawan untuk perencanaan siasat licik menyingkirkan Pendekar Slebor, Pangeran
Neraka tak mendapat gaga-san sama sekali.
Beberapa hari kemudian, secara kebetulan dia
mendengar kegegeran di daerah perladangan sekitar
Wetan Jawa. Tentang munculnya makhluk mengerikan
berwujud macan kepala puluhan ular. Ketertarikannya
terpicu manakala mengetahui kalau makhluk jejadian
itu menyebut-nyebut nama Pendekar Slebor ketika
membunuh orang-orang persilatan.
Pangeran Neraka pun segera berangkat ke wi-
layah kegegeran. Diam-diam, dia menyelidik. Diin-
tainya setiap saat wilayah ladang kering tersebut di tempat tersembunyi yang tak
pernah diduga Amitha
sama sekali. Dengan tanah lapang yang membentang
kering seperti itu, akan terlalu sulit bagi siapa pun untuk mengintai. Pangeran
Neraka tidak kehilangan akal.
Ketika Amitha pergi ke jantung Kadipatenan Karang
Gantung, dibuatnya satu lubang persembunyian dalam
tanah. Lengkap dengan lubang udara untuk saluran
bernapas. Lubang itu kemudian ditutupinya dengan
tumpukan jewawut kering yang banyak tersebar di se-
kitar tempat itu. Dari dalam tumpukan jewawut yang
agak tinggi, kepalanya dapat mengawasi keluar melalui celah-celahnya.
Sampai suatu hari, dia menyaksikan Pendekar
Slebor mendatangi tempat tersebut. Sebelumnya, Ami-
tha memang tak ada di tempat tersebut. Itu sebabnya
kenapa Pendekar Slebor waktu itu tetap merasa ada
yang mengawasi.
Setelah mengamati seluruh kejadian antara Pen-
dekar Slebor dengan Amitha, mencuat akal licik dalam benak Pangeran Neraka.
Kesaktian Amitha dianggap-nya cukup tangguh untuk menyingkirkan si pendekar
muda bernama besar itu. Adu domba. Kelicikan yang
sesungguhnya sudah berusia demikian tua akan di-
atur! Hadiah besar bagi Pendekar Slebor, pikirnya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Amitha. Matanya mengawasi Pangeran Neraka, padat
kecurigaan. "Aku" Tak penting siapa aku...," jawab Pangeran Neraka. Kelicikan dalam pancar
matanya disembunyi-kan oleh wajah yang dipasang sedemikian bersahabat.
"Aku tahu kau orang dunia persilatan! Kau tahu,
aku paling benci orang-orang dunia persilatan. Sepertinya keinginanku untuk
membunuh mereka tak per-
nah terpuaskan. Jika kau bertele-tele padaku, kau pun akan mengalami nasib
serupa dengan orang-orang
persilatan lain!" ancam Amitha, gusar karena perta-nyaannya tak mendapat jawaban
memuaskan. "Sabar, Saudara," Pangeran Neraka menenangkan, dengan sandiwara yang demikian
matang. Sikap- nya saat itu seolah-olah seorang suci yang tak gam-
pang terpancing kemarahannya.
"Aku cuma seorang yang menginginkan keadilan
tegak di muka bumi ini," lanjut Pangeran Neraka, padat kedustaan.
"Tidak ada keadilan di bumi ini!" terabas Amitha mengkelap. Tergambar kembali
keadaan mayat Neelam
ketika ditemukan di belakang gubuk kecil mereka.
Bayangan itu menyesakkan dadanya.
"Kau tahu, aku cuma orang kecil mencoba men-
gadu nasib di negeri orang. Bersama istriku, aku ke
pulau Jawa ini. Kami membanting tulang memeras ke-
ringat hanya untuk dapat bertahan hidup sehari dua
hari. Kami tak mengusik siapa pun untuk menda-
patkan makan. Kami tak pernah menyakiti siapa pun.
Tapi kenapa tiba-tiba istriku direnggut dari sisiku" Apa salah kami" Apa" Kau
pikir itu keadilan?" serbu Amitha meledak-ledak kalap.
"Keadilan memang kian rapuh di dunia, Sauda-
ra," ucap Pangeran Neraka, berpura-pura turut prihatin atas nasib lelaki India
di depannya. Lalu lanjutnya,
"Karena itu pula aku merasa harus menjadi seorang penegak keadilan...."
"Aku tak percaya! Kukenal pun kau tidak. Lalu
bisa-bisanya kau mengatakan padaku bahwa kau seo-
rang penegak keadilan!"
"Percayalah, Saudara," bujuk Pangeran Neraka
bersama senyumnya yang memikat dilihat dari luar.
Namun siap menusuk di dalam.
Kepalsuan adalah bagian dari diri Pangeran Ne-
raka. Untuk mengakali Amitha, kepalsuan pun menja-
di senjata andalan lelaki berotak cemerlang namun
berhati busuk bak bangkai itu. Kata-katanya mengalir bak kemilau mutiara. Di
balik itu, tersenyum tipu
daya. "Aku sengaja ingin menemuimu karena aku tahu bahwa kau adalah salah
seorang yang tidak mendapat
keadilan di muka bumi. Aku datang untuk mendu-
kungmu dalam mendapatkan keadilan itu."
"Dusta!"
"Dusta" Aku tidak berdusta. Untuk apa aku
mendustaimu" Apa untungnya aku mendustaimu"!"
dalih Pangeran Neraka, licik.
Dada kurus Amitha turun-naik. Kemarahannya
pada orang dunia persilatan membakar dari dalam,
menghanguskan seluruh rasa kemanusiaannya. Tapi
menghadapi lelaki satu ini, dia seperti dipaksa untuk berpikir keras. Khususnya
setiap perkataan yang tampaknya benar menurut penilaian Amitha.
"Kau marah pada orang-orang persilatan?" lanjut Pangeran Neraka. Perlahan dia
mendekat. Selangkah
demi selangkah. Seolah seorang pawang binatang buas
yang hendak menjinakkan hewan peliharaannya.
"Kau ingin membunuh seluruh orang persilatan
bukan" Kalau kau merasa tidak puas telah membunuh
setiap nyawa yang semestinya tak pantas kau bunuh,
sebaiknya kau bunuh aku...," tambah Pangeran Neraka, mencoba dengan siasat lain.
Mata Amitha menatap nanar.
"Kenapa ragu. Kau bisa membunuhku sekarang
bukan" Ayolah, bunuh aku!" desak Pangeran Neraka.
Pada saat itu, dia tahu benar kalau ucapannya telah
menancapkan keraguan dalam pada diri Amitha.
"Kenapa kini kau hanya bisa diam, Saudara?"
Wajah Amitha semakin diberangus keraguan.
"Aku tahu kau ragu untuk membunuhku. Karena
di dasar hatimu, kau tahu tak seorang pun pantas kau bunuh...."
"Aku dendam pada orang persilatan!" maki Amitha, merasa tersudut.
"Tidak semua orang persilatan!" sentak Pangeran Neraka. Dia telah tiba di depan
Amitha. Jarak yang terlalu dekat dan berbahaya seandainya Amitha benar-
benar melakukan serangan. Tapi, tampaknya Pangeran
Neraka telah memperhitungkan semuanya dengan be-


Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gitu teliti. "Kau hanya dikendalikan hawa kemarahanmu!
Orang-orang yang kau bunuh selama ini sebenarnya
tidak patut menerimanya. Kau menuntut keadilan
dengan cara yang tidak adil! Apa kau pikir membunuh
orang tak bersalah adalah perbuatan yang adil!"
Entah bagaimana, kepala lelaki India di depan-
nya perlahan-lahan merunduk. Amitha makin terpero-
sok dalam jebakan Pangeran Neraka!
"Katakan padaku, Saudara, apakah kau pantas
membunuh orang-orang tak bersalah"!" desak Pangeran Neraka dengan nada suara
menjangkit naik. "Katakan padaku!"
"Tidak!" jawab Amitha keras. Kepalanya menen-gadah kembali. "Aku hanya pantas
membunuh orang yang telah menyingkirkan istriku!"
Pangeran Neraka diam. Ditariknya napas. Dalam
hatinya, dia justru bersorak gembira. Pancingannya
sebentar lagi akan mendapat hasil, pikirnya.
"Kau tahu siapa orang itu?" susul Pangeran Neraka. "Pendekar Slebor," geram
Amitha. "Kau yakin?" Pangeran Neraka melanjutkan kucing-kucingan itu.
Amitha menggeleng.
"Kenapa?"
"Yang kudengar, dia adalah seorang pendekar go-
longan lurus. Dia sendiri berkata padaku, tak ada alasan baginya untuk membunuh
istriku...."
"Kau keliru," kata Pangeran Neraka sambil menggeleng perlahan. Wajahnya berubah,
menampakkan keprihatinan. Lalu dia berbalik membelakangi Amitha.
"Apa yang kau ketahui tentang dia?" tanya Amitha. Sikap lelaki di depannya,
memancing rasa penasaran di hati Amitha. Memang itu yang diinginkan Pan-
geran Neraka. Tanpa berniat menjawab pertanyaan Amitha se-
cepatnya, Pangeran Neraka memancing rasa penasaran
Amitha lebih jauh. Lagi-lagi korban kelicikannya terjerat. "Katakan padaku, apa
yang kau ketahui tentang pendekar muda itu!" desak Amitha. Tangannya men-
cengkeram kerah belakang Pangeran Neraka kuat-
kuat. "Jangan sebut dia 'pendekar'. Sesungguhnya, dia bukan pendekar sejati lagi
kini...." "Jangan bertele-tele! Ceritakan padaku cepat!"
Pangeran Neraka berbalik. Ditatapnya si lelaki India dengan tatapan mantap.
"Semula, dia memang seorang ksatria terpuji.
Namun bujuk rayu duniawi telah menyesatkan ji-
wanya," mulai Pangeran Neraka lagi. Dia siap melepas kata-kata berbisa, seperti
pernah meracuni pikiran
kemenakannya sendiri untuk membunuh Pendekar
Slebor. (Kisahnya bisa dibaca dalam episode: "Sepasang Bidadari Merah").
"Apakah kau pernah diperlihatkan sebuah ka-
lung?" tanya Pangeran Neraka lebih jauh.
"Dari mana kau tahu?"
Lelaki berotak licik itu tak menjawab pertanyaan
Amitha. Diteruskannya kalimat yang terhenti sejenak.
"Pendekar Slebor ingin memburu seorang India.
Orang India itulah si pemilik kalung."
"Aku tak mengerti maksudmu. Kau terlalu berpu-
tar-putar!"
"Pemilik kalung itu memiliki satu kitab sakti tentang ilmu yoga tingkat tinggi.
Kau tentu tahu ilmu itu, bukan" Keserakahannya telah membuat hatinya mati.
Dia ingin menguasai kitab yoga itu agar nantinya da-
pat dipakai untuk membuat dirinya lebih sakti tak ter-kalahkan. Ketika terjadi
pertarungan dengan lelaki India pemilik kitab, tanpa sengaja Pendekar Slebor me-
nyambar kalung dari lehernya. Pemilik kitab yoga lalu melarikan diri. Pendekar
Slebor terus mencari. Dengan modal kalung itu, dia menanyakan setiap orang India
yang ditemuinya. Kebetulan sekali, dia bertemu den-
gan istrimu. Dia pun menanyakan perihal lelaki India yang diburunya pada
istrimu. Karena istrimu tak ingin memberi keterangan, pemuda itu gusar dan
membunuhnya!" papar Pangeran Neraka, mengakhiri cerita palsu, kenyataan yang
diputar balikkan!
*** 7 "Hei, berhenti kau!"
Pendekar Slebor berseru. Buruannya terus berlari
tak peduli. Dari kecepatannya berlari serta ringannya dia menggerakkan tubuh,
Andika bisa menilai kalau
buruannya memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Kejar-kejaran dari senja hingga mengambangnya
rembulan itu berlangsung alot. Andika sudah menge-
rahkan segenap kemampuan lari cepatnya. Orang yang
dikejar tak juga dapat didekati. Selama, kejar-kejaran, jaraknya dengan buruan
seperti tak pernah berubah.
Tak berkurang, tidak juga bertambah jauh. Lama ke-
lamaan si anak muda sakti tanah Jawa menyadari ka-
lau buruannya sengaja mempermainkan. Tampaknya
kesaktian orang itu memang tak bisa dianggap remeh.
Satu bukti, orang itu dengan sengaja bermain kucing-
kucingan dengan Pendekar Slebor. Padahal nama be-
sar Andika sudah dikenal dalam kehebatan ilmu pe-
ringan tubuh. Banyak kalangan persilatan mengiba-
ratkan kecepatan gerak Pendekar Slebor sebagai kele-
batan siluman. Jadi, kalau ada orang yang bisa mem-
permainkannya, tentu kesaktian orang itu berada be-
berapa tingkat di atasnya.
"Slompret sekali! Siapa sebenarnya kunyuk ini?"
gerutu Pendekar Slebor. Bukan masalah kalau nama
terhormatnya di dunia persilatan menjadi cemar kare-
na dipermainkan. Dipermalukan atau tidak dalam du-
nia persilatan, tak ada masalah baginya. Dalam hal
itu, acuh saja sudah cukup baginya. Percuma saja ka-
lau julukannya Pendekar Slebor. Selama harga dirinya tak diusik-usik siapa pun,
Andika tak akan memper-soalkan.
Kalau dia kesal kali ini karena, bagi Andika kejar-
kejaran yang diyakininya sengaja diatur oleh sang buruan itu sama buruknya
dengan permainan bocah
gendeng kurang kerjaan. Selain itu, dia merasa dihina.
Siapa yang tak merasa harga dirinya dilecehkan kalau seseorang mempermainkan.
(Ngomong-ngomong soal
'mempermainkan orang', Andika tampaknya lupa ka-
lau dirinya sendiri paling piawai dalam hal itu!)
Selama mengadakan pengejaran konyol itu, An-
dika sama sekali tak memiliki kesempatan untuk men-
genali buruannya. Dia hanya melihat kelebatan bayan-
gan orang berlari. Mengenakan jubah gelap dan be-
rambut panjang dengan ikat kepala. Jangankan malam
seperti kini, tadi sore pun ketika kejar-kejaran berlangsung, Andika tak bisa
mengenalinya. Orang itu
benar-benar memanfaatkan kesempurnaan peringan
tubuhnya untuk mempermainkan Pendekar Slebor.
Dengan begitu, Andika tentu saja jadi makin dongkol
setengah modar.
Terkadang, orang yang dikejar melenting-lenting
di dahan atau pucuk pepohonan kerontang. Ringan
tubuhnya mengalah kelincahan seekor kadal terbang.
Kadang-kadang pula, tubuh orang itu menyelinap-
nyelinap di balik batang pepohonan, seolah-olah se-
dang mengejek Pendekar Slebor dengan cara itu.
"Hei, kunyuk bau pesing! Kenapa kau tak meng-
hentikan saja permainan konyol ini"!" seru Pendekar Slebor gusar.
"Kenapa" Kau merasa sudah tak mampu lagi
mengejar"! Ha ha ha! Mana kehebatanmu, Anak Muda
Keparat!" sahut orang yang dikejar.
"Aku bukannya tak mampu mengejarmu. Cuma...
cuma...." Anak muda itu tak bisa cepat-cepat mencari alasan yang cukup bagus
pada saat berlari setengah
sinting seperti itu. Sudah keringat membanjir, paru-
parunya rasanya sudah mau meledak.
"Cuma apa?"
"Aku cuma ingin membiarkan kau berlari saja.
Apa itu dosa besar?" jawab Andika, sekenanya. Asal dia punya alasan. Asal dia
tidak disebut pendekar
'keok'. "Kau tetap menjengkelkan seperti dulu, Anak
Muda Keparat!"
"Rasanya dari kecil aku memang sudah menjeng-
kelkan. Kenapa sekarang harus tidak?"
"Bagus. Sayangnya, sebentar lagi kebiasaanmu
itu akan segera hilang!"
"Ooo, apa, kau semacam dukun, begitu" Bisa
mengobati sifat menjengkelkan seseorang"!"
"Sebab kau akan segera mampus!" hardik orang di depan sana. Meski sudah cukup
tahu kalau penge-jarnya sangat menjengkelkan, tapi tampaknya dia te-
tap terpancing oleh serangan mulut ceriwis Pendekar
Slebor. "Ooo, kalau begitu aku salah mengira. Kau pasti bukan dukun sembarang dukun.
Tentu kau sejenis
dukun santet. Betul apa benar?" Meski lelahnya sudah tak tertolong, Pendekar
Slebor berusaha untuk bersi-kap seolah-olah dia tak kelelahan.
Kejar-kejaran itu tak berlanjut ketika mendadak
orang di depan sana menghentikan larinya.
Pendekar Slebor berhenti pula. Inginnya dia me-
runduk sambil terengah-engah. Tapi karena takut
orang yang dikejar punya alasan mengejeknya, dia ma-
lah menyorongkan dada. Napas memburunya dicoba
ditahan-tahan. Celakanya, justru 'napas' itu menye-
ruak terpaksa dari lubang bawah.
"Slompret, mengganggu, 'keamanan'-ku saja!"
makinya mendesis. Tentu saja sambil bersicepat mem-
bungkam bagian tersebut. Kalau terdengar calon la-
wan, apa jadinya" Pikir Andika.
Di lain tempat, sekitar dua puluh lima depa dari
tempat Pendekar Slebor, orang berjubah gelap berdiri menghadap ke arahnya. Sinar
bulan yang memancar
dari arah belakang tubuh orang itu membuat si anak
muda keras kepala tak mempunyai kesempatan lagi
untuk mengenali wajah orang itu. Sosoknya hanya
tampak seperti bayangan. Berdiri di atas tanah berbukit kecil. Kukuh, dan
menantang. Angin menyibak ba-
gian bawah jubah dan rambutnya.
"Kau jangan merasa yakin akan bisa menyela-
matkan nyawamu kali ini, Anak Muda Keparat!" geram orang di sana. Biarpun
diucapkan tak terlalu kencang, Pendekar Slebor mendengarnya.
Andika diam sejenak, mengatur napasnya diam-
diam. Usai mengurus napasnya, dia mulai berpikir un-
tuk mencari tahu siapa sesungguhnya orang itu.
Kalau mendengar dia menyebutkan dengan 'Anak
Muda Keparat', tampaknya dia cukup tahu siapa diri-
ku. Andika berpikir. Tapi apakah aku dan dia pernah
terlibat satu urusan" Kalau menilai kalimat ter akhirnya yang menyebut-nyebut
kata 'kali ini' tentunya karena dia memang pernah berurusan denganku
'sebelumnya'. Dan tampaknya orang ini memendam
dendam terhadapku. Siapa dia" Benak si anak muda
berotak seencer bubur kakek jompo itu menilai-nilai.
Tanpa menyaksikan langsung wajahnya, aku tak
akan dapat memastikan apakah dia pernah berurusan
denganku atau tidak. Hm, bagaimana kalau aku ber-
pura-pura mengenalnya" Aku ingin lihat bagaimana
sikapnya jika aku begitu! Bukankah dia telah berbalik ke arah ku. Dan mungkin
saja dia belum menyadari
kalau wajahnya terlalu gelap untuk ku kenali, pikir Pendekar Slebor.
"Ah, rupanya kau Pak Tua Brengsek!" seru Pendekar Slebor, sok yakin. Sengaja
disebutnya orang itu dengan Pak Tua, karena dinilai dari bayangan tubuh
orang itu, punggungnya agak membungkuk layaknya
orang-orang berusia senja.
"Ya, aku! Kau pikir siapa"!" seru orang itu kembali. Pancingan Andika mengena!
Korban kecerdikan-
nya tampak merasa Andika telah mengenalinya. Itu bi-
sa dinilai dari caranya menyahuti seruan Andika.
"Aku heran. Telah lama kau menghilang seperti
cecurut di liangnya. Kenapa tiba-tiba kau muncul
kembali?" pancing Pendekar Slebor lagi, untung-
untungan. "Lama" Kau pikir peristiwa itu telah lama berlalu, Anak Muda Keparat!
Kegagalanku di Piramida Tonggak
Osiris tak akan menyurutkan semangatku terlalu la-
ma!" Piramida Tonggak Osiris" Hey, aku tahu siapa dia kini! Seru Pendekar Slebor
dalam hati. Orang itu pasti si tua Gila Petualang! Tokoh sesat penuh dendam yang
sekitar setahun lalu merencanakan per-mainan maut
besar-besaran di Piramida Tonggak Osiris Mesir!
Astaga, si tua yang begitu banyak menguasai ke-
saktian dari berbagai penjuru dunia ini telah muncul kembali! Desis Andika
membatin. Dunia persilatan
akan mendapat kesulitan besar dengan munculnya
orang tua penuh dendam ini.
(Untuk mengetahui petualangan dahsyat Pende-
kar Slebor di Mesir, bacalah dalam tiga episode: "Undangan Ratu Mesir",
"Piramida Kematian", dan "Warisan Ratu Mesir")!
Sambil tersenyum-senyum dikulum karena sia-
satnya berjalan semulus betis perawan, Pendekar Sle-
bor mengangguk-anggukkan kepala.
"Kenapa waktumu selama ini tak kau gunakan
untuk mencoba merenung dan bertobat..., Pak Tua Gi-
la Petualang?" tukasnya, penuh keyakinan.
"Ha ha ha! Tobat" Kau mau mengajarkan aku
Anak Muda tahu adat"! Kau pikir seberapa hebat pen-
getahuanmu dibanding aku"!" ejek lelaki yang sesungguhnya memang si Gila
Petualang. "Dibanding kau, aku tak punya cukup pengeta-
huan untuk ku banggakan. Tapi, semestinya kau yang
memiliki banyak pengetahuan memiliki pula banyak
kebijakan. Karena kebijakan datang dari pengetahuan
bukan" Dengan kebijakan itu, kau mestinya dapat
menilai hidup secara arif...."
"Aku tak perlu khotbahmu, Pemuda Sial!"
Andika menghela napas.
"Ya, sudah...," dengusnya kesal. "Jadi, apa maksudmu mengintai kami di Pesisir
Pantai Laut Selatan?"
lanjutnya. "Kau mau tahu" Kau yakin mau tahu" Ha ha ha!
Kami akan menyingkirkanmu untuk selamanya. Ter-
masuk menyingkirkan seluruh keturunan keluarga
buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan!"
Alis Pendekar Slebor bertaut.


Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami" Kami siapa maksudmu"!"
Pertanyaan Andika tak mendapat jawaban. Si Gi-
la Petualang sudah bergerak lagi dari tempatnya berdi-ri.
"Hei, tunggu!"
Pendekar Slebor berusaha mengejar. Tapi ke ma-
na pun dia melepas pandangan, sosok si Gila Petua-
lang sudah tak ada lagi.
Andika tercenung sendiri. Pikirannya terus ber-
tanya-tanya. Kami" Apa maksudnya"
Pendekar Slebor tak tahu pasti di mana dia bera-
da kini. Setelah tak karuan berlari mengejar si Gila Petualang sekian lama,
tentunya dia sudah berpindah
jauh dari Pesisir Pantai Laut Selatan.
Ada yang terasa ganjil bagi pendekar muda bero-
tak cemerlang itu kalau teringat kejadian tersebut. Bukankah terlalu ganjil jika
si Gila Petualang yang demikian sarat memendam dendam terhadap dirinya berlari
sekian lama dalam pengejaran"
Kalau si Gila Petualang hendak melampiaskan
dendam, kenapa saat sudah berhadapan dia tak segera
menyerang Pendekar Slebor"
Setelah direnung-renungkan, Andika mulai men-
gendusi dirinya sengaja dipancing agar sampai di tempatnya kini. Tapi di mana"
Untuk memberantas rasa penasarannya, Pende-
kar Slebor menebar pandangan. Sama seperti keadaan
bagian tanah Jawa lain, di sana-sini cuma ada keke-
ringan. Bukit-bukit tanah kecil. Barisan pepohonan
karet kering. Rupanya dia telah cukup jauh beranjak
dari wilayah pantai, nilai Andika.
Ketika matanya mengarah kesatu penjuru, anak
muda itu menyaksikan sesuatu yang mencurigakan di
dekat semak kering. Ada tiga benda sebesar manusia
tergeletak tak berjauhan satu sama lain.
Begitu diamati seksama, Pendekar Slebor dibuat
terperanjat. Tiga benda itu ternyata benar-benar ma-
nusia! Karena sebagian tubuhnya tertutup dahan se-
mak kering, bentuk tubuh mereka menjadi tak jelas.
Andika bergegas mendekat. Ditemukannya tiga
orang terkapar. Seorang wanita cantik. Dua sisanya lelaki. Satu lelaki itu
bertubuh cebol. Sedang yang lain bertubuh tinggi berwajah menyeramkan. Dilihat
dari keadaannya, mereka tampak mengalami luka parah.
Tak ada darah setetes pun. Namun di bagian-bagian
tubuh tertentu terlihat tanda telapak tangan berwarna biru kehitaman.
Diperiksanya nadi ketiga orang itu.
Dua lelaki sudah tak bernyawa. Sedangkan si wanita
cantik dalam keadaan sekarat.
Siapa mereka" Hati Andika terusik. Sinar lembut
bulan sabit membantu si pemuda sakti dari Lembah
Kutukan melihat rupa dan penampilan ketiganya.
Saat itu, Andika jadi teringat pada keterangan Pe-
taruh Sakti Perut Buncit. Sempat orang tua berperut
luar biasa itu menjelaskan ciri-ciri ketiga murid mur-tadnya pada Andika. Dan
ketiga orang yang ditemukan
kini mencirikan serupa dengan penjelasan Petaruh
Sakti Perut Buncit.
"Kalau mereka benar-benar ketiga murid murtad
itu, tentunya mereka mengenakan kalung," bisik Pendekar Slebor samar.
Diperiksanya leher ketiga tubuh
tadi. Tak ada kalung di sana. Tapi, mata jeli Pendekar Slebor menemukan yang
lain. Dilihatnya ada goresan
luka kemerahan memanjang di sekeliling leher si wani-ta cantik dan lelaki
berwajah seram. Andika yakin, garis merah melingkari leher itu adalah akibat
tarikan paksa pada kalung yang mereka kenakan. Lain lagi di
leher mayat lelaki cebol. Andika tak menemukan gore-
san merah. Hanya ada bekas seperti itu yang sudah
menghitam pudar.
"Jadi ada orang yang telah mencuri kalung dua
orang ini. Sedangkan lelaki cebol ini telah kehilangan kalungnya lama sebelum
itu...." Sejenak otak cemerlang si anak muda menghu-
bung-hubungkan beberapa kejadian.
"Aku yakin merekalah ketiga murid murtad itu.
Kalung yang kudapatkan dari tangan perempuan India
gemuk waktu itu adalah milik si lelaki cebol ini. Si cebol ini pula yang
membunuh perempuan India itu. Aku
ingat, tanda pukulan di tubuh mayat si perempuan In-
dia berukuran kecil. Waktu itu aku mengira pembu-
nuhnya adalah seorang bocah," simpulnya jeli. "Tapi kenapa dua kalung milik
saudara Seperguruan si cebol ini dicuri" Ah, aku yakin ini bukan sekedar
pencurian biasa. Mereka telah dibegal. Pembegal itu menginginkan kalung yang
dikenakan mereka. Karena mereka
bersikeras tak memberikan, lalu timbul pertarun-
gan...." Pendekar Slebor mengeluarkan kalung milik si
cebol yang selama ini dipegangnya.
"Tiga kalung yang penuh teka-teki...," gumamnya.
Tentu ada rahasia besar yang berkait dengan semua
kalung. Yang jadi pertanyaan kini, apa rahasia besar di balik semua teka-teki
ini. Dan siapa pula yang telah merampas dua kalung lain secara paksa"
Gumaman Pendekar Slebor dipenggal oleh suara
mencurigakan. Telinga terlatih Andika lamat-lamat
menangkap gerakan halus dari tiga penjuru. Ada yang
bermaksud mengepungnya. Dari suara yang demikian
lembut, Andika yakin pengepungnya rata-rata berilmu
tinggi. *** 8 Seperti dugaan Pendekar Slebor, ada tiga orang
yang telah mengelilinginya dari tiga penjuru. Lamat-lamat disaksikannya tiga
sosok berdiri di tempat berbeda. Ketika Andika memperjelas penglihatannya, dia
jadi geli sendiri. Semula dikiranya mereka adalah
orang-orang golongan sesat yang mungkin telah meng-
gabungkan diri ke dalam Perserikatan Setan. Nya-
tanya, ketiga orang itu tak lain tak bukan tiga tua
bangka tengik. Siapa lagi kalau bukan Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu dan
Petaruh Sakti Perut Buncit"
"Bocah gendeng, dari mana saja kau" Kami ke-
limpungan mencari-carimu ke mana-mana, tahu"!"
sembur Nyai Silili-lilu.
Andika cengengesan pasrah. "Mengejar seseo-
rang," jawabnya.
Petaruh Sakti Perut Buncit menggaruk-garuk pe-
rutnya. "Kenapa seharian ini banyak sekali terjadi kejar-kejaran" Padahal aku
paling benci pekerjaan itu!
Sungguh, percayalah padaku...," gerutunya, entah pa-da siapa.
"Pak Tua Buncit!" panggil Andika.
"Yok?"
"Bisakah kau lebih dekat ke tempatku?"
"Tentu... tentu... tentu...!" tukas lelaki berperut boros itu sambil berjalan
tersuruk-suruk menuruni tanah melandai. Perutnya pun mengangguk-angguk.
Menyusul Ki Saptacakra dan Nyai Silili-lilu.
"Kau kenal pada mereka?" susul Pendekar Slebor, setibanya Petaruh Sakti Perut
Buncit di dekatnya.
"Weleh! Ini kan murid-murid kutu kupret itu!" perangah si tua bangka berperut
buncit begitu memper-
hatikan gelimpangan tiga sosok tubuh. "Bagaimana mereka bisa tidur-tiduran di
tempat seperti ini?"
"Mereka bukan tidur-tiduran!" potong Andika.
"Dua lelaki itu sudah mampus. Sedangkan perempuan cantik itu masih bernyawa."
"Lho, mampus toh" Siapa yang melakukannya"
Ah, apa peduliku! Mereka toh murid-murid murtad.
Sudah bagus bukan tanganku yang melempar mereka
ke neraka!" Sumpah serapah Petaruh Sakti Perut Buncit terulur. Dengan wajah
asam, ditendangnya mayat si lelaki cebol, Katak Merah. Lalu, tak kalah,
bernafsu, ditendangnya pula Mata Dewa Kematian. Tampaknya
kekesalan yang terpendam selama memburu ketiga
muridnya itu hendak sedikit dilampiaskan. Kalau be-
lum ketiga-tiganya mendapat jatah masing-masing, Pe-
taruh Sakti Perut Buncit belum puas. Dewi Kecubung
pun siap mendapat jatahnya sendiri....
"Hey, jangan dia!" cegah Andika.
"Kenapa?" pelotot Petaruh Sakti Perut Buncit. Diliriknya Ki Saptacakra.
"Saptacakra, apakah muridmu termasuk pemuda mata bongsang?"
Tak sudi dikatakan seperti itu, hidung Andika
kembang-kempis. Maaf-maaf saja, tepisnya dalam hati.
"Jangan salah paham, Pak Tua Buncit. Aku cuma
tak tega. Bukankah sudah kubilang kalau perempuan
cantik satu ini masih bernyawa" Sebaiknya...."
"Kubunuh saja dia dulu, setelah itu baru dia ku-tendang"!" terjang Petaruh Sakti
Perut Buncit bersemangat.
Andika menggeleng-gelengkan kepala. Itu malah
lebih sinting, pikirnya. "Apa tak terpikir olehmu untuk memberinya kesempatan
bertobat?" tanyanya pada Petaruh Sakti Perut Buncit. Matanya kemudian melirik
mayat Katak Merah.
"Iya-iya! Aku tahu maksudmu! Kau mengusulkan
agar aku menendang bangkai murid cebol yang murtad
ini untuk menggantikan jatah tendangan yang mes-
tinya diterima murid perempuan kutu kupretku itu,
bukan?" rutuk Petaruh Sakti Perut Buncit. Sambil merutuk, kakinya menendang
mayat Katak Merah geram-
geram. Perasaannya sudah digadaikan entah ke mana.
"Jadi apa yang akan kau lakukan terhadap pe-
rempuan itu?" tanya si lelaki tua berperut buncit, puas dia melampiaskan
kekesalan. Andika mengangkat tangan ke depan dada. "Hey,
jangan tanya aku! Bukankah kau gurunya?" tampik si pemuda sakti tanah Jawa.
Biasanya, dia mau sedikit
berpura-pura. Tak enak kan, dianggap pemuda mata
bongsang" Perbuatannya itu mengakibatkan 'kecelakaan ke-
cil' menimpa dalam sekejap. Ubun-ubunnya kejatuhan
jitakan gemas dari belakang.
"Anak muda tengik! Kau pikir aku tak tahu apa
yang ada dalam pikiranmu sekarang!" maki Ki Saptacakra di belakang Andika.
Sesepuh dunia persilatan
itu yang telah menghadiahkan jitakan manis di kepala Pendekar Slebor barusan.
"Kenapa kau tak langsung saja membopongnya. Perempuan itu bakal benar-benar
mati tak tertolong kalau terus dibiarkan begitu!"
Andika meringis. Cita rasa jitakan di ubun-
ubunnya masih berdenyut-denyut hebat. Mulutnya
menggerutu, tapi hatinya bicara lain. Dipujinya buyutnya itu setinggi langit.
Kau tahu saja kemauan anak muda, Ki Buyut.
"Jangan cuma meringis! Tulang kami bertiga su-
dah keropos! Kami bisa masuk angin kalau berdiri la-
ma-lama di sini!" bentak Nyai Silili-lilu cempreng.
Andika buru-buru mengangkat tubuh Dewi Ke-
cubung ke bahunya.
"Bawa dia ke tempat si Buncit! Cepat!" perintah Ki Saptacakra.
"Lari sana, lari!" timpal Petaruh Sakti Perut Buncit, sama membentaknya dengan
adik-kakak bangko-
tan tadi. Huh, jangan mentang-mentang kalian semua
sama-sama tua, kalian keroyok aku! Andika merutuk
membatin. "Ssst...!" Nyai Silili-lilu tiba-tiba berbisik. Matanya melirik ke satu arah
tanpa berkedip. "Aku mendengar suara mencurigakan," bisiknya lagi pada yang
lain. Biarpun tergolong manusia lapuk, Pendekar Sle-
bor sadar peringatan Nyai Silili-lilu tidak bisa dianggap main-main. Telinga
perempuan tua itu mungkin lebih
tajam dari pendengaran seekor serigala betina. Pendekar Slebor segera saja
memusatkan pandangan dan
pendengaran ke arah yang dilirik Nyai Silili-lilu. Begitu juga Ki Saptacakra dan
Petaruh Sakti Perut Buncit.
Cukup lama mereka berdiri tegang seperti empat
potong arca batu. Sampai akhirnya mereka menarik
napas lega ketika mata masing-masing hanya menyak-
sikan seekor kelinci kurus keluar dari liangnya.
"Sial. Kukira kita akan sedikit melenturkan otot-otot," gerutu Nyai Silili-lilu.
Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan kepala.
Kalau dekat ketiga tua bangka tengik itu, dia jadi sering menggeleng-gelengkan
kepala. Setelah itu, tak banyak bicara ditinggalkannya tempat tersebut.
Di belakangnya, ketiga manusia uzur setengah
sinting mengikuti.
Tak lama setelah ketiganya menghilang, muncul
sosok-sosok yang lain dari balik tanah melandai yang membentuk bukit-bukit
kecil. Jumlahnya lima orang.
Tiga orang berdiri di sebelah selatan. Dua yang lain di barat. Mereka ternyata
Tiga Datuk Karang, Pangeran
Neraka, dan... Amitha.
Sedang apa mereka di sana"
"Sial kau, Pangeran Neraka! Kau bilang rencana-
mu sudah matang"! Mana buktinya"! Ternyata cuma
omong kosong!" seru Datuk Kening Perak.
"Rencanaku memang telah matang. Semuanya
akan berjalan mulus, kalau saja ketiga tua bangka tadi tak muncul!" bantahnya.
Lelaki berotak licik itu memang telah menyusun rencana untuk menjebak Pen-
dekar Slebor. Dua hari lalu, setelah berhasil menghasut Ami-
tha, Pangeran Neraka mengajak lelaki India itu untuk bergabung sementara dengan
Perserikatan Setan. Tanpa menyebut-nyebut nama persatuan golongan sesat
itu, Pangeran Neraka menjelaskan pada Amitha bahwa
perkumpulan mereka berniat menyingkirkan Pendekar
Slebor yang telah menjadi sesat. Amitha dijanjikan
bantuan untuk menemukan Pendekar Slebor. Amitha
bagai seekor kerbau dicucuk hidungnya, menuruti saja seluruh ajakan Pangeran
Neraka. Ketika kembali ke markas sementara Perserika-
tan Setan, dalam perjalanan tanpa sengaja mereka
menyaksikan kejadian tak terduga. Tiga Datuk Karang
sedang bertengkar keras dengan tiga murid murtad Pe-
taruh Sakti Perut Buncit. Agar Amitha tak curiga pada
siapa dia berurusan sebenarnya, lelaki licik itu meminta Amitha untuk
menunggunya di suatu tempat yang
cukup jauh dari tempat kejadian.
Dari pertengkaran yang akhirnya memicu perta-
rungan maut itu, Pangeran Neraka mengetahui kalau
Tiga Datuk Karang menginginkan kalung milik Dewi
Kecubung dan Mata Dewa Kematian. Sementara sein-
gatnya, Pendekar Slebor pun menyimpan kalung seru-


Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pa ketika diperlihatkan pada Amitha beberapa waktu
lalu. Ketika tiga murid sesat Petaruh Sakti Perut Buncit terkapar, Pangeran
Neraka keluar dari persembu-
nyian. Tiga Datuk Karang murka. Mereka merasa di-
mata-matai. Mereka tak pernah ingin rahasia besar
mereka selama ini diketahui orang lain, meskipun
orang itu kini menjadi sekutu mereka dalam Perserikatan Setan.
Dengan silat lidah yang lincah, Pangeran Neraka
berhasil meredam kemarahan ketiga dedengkot golon-
gan sesat tersebut. Dikatakannya, dia mengetahui satu kalung yang diinginkan
Tiga Datuk Karang. Diiming-iminginya pula janji bahwa dia bisa merencanakan pe-
rebutan kalung dari tangan Pendekar Slebor tanpa be-
rurusan dengan Pendekar Lembah Kutukan, Nyai Sili-
li-lilu, dan Petaruh Sakti Perut Buncit.
Lalu, Pangeran Neraka merencanakan menggiring
Andika agar bisa dikepung sendiri. Dia lalu meminta
seorang dari Tiga Datuk Karang untuk bersandiwara
seolah-olah dirinya si Gila Petualang. Karena tak menguasai seni penyamaran,
Datuk Kening Perak yang
meminta mengaku sebagai si Gila Petualang harus
berhadapan langsung dengan Pendekar Slebor setelah
malam benar-benar telah turun.
Otak cerdik Pendekar Slebor selama ini pun ter-
mangsa oleh kelicikan Pangeran Neraka. Dikira Andi-
ka, dia telah berhasil mengenali orang yang dikejarnya beberapa waktu lalu.
Nyatanya, justru dia yang termakan tipu daya.
Sementara Datuk Kening Perak menggiring Pen-
dekar Slebor, Pangeran Neraka, Amitha dan dua dari
Tiga Datuk Karang yang lain menanti di wilayah ber-
bukit, tempat kini mereka memunculkan diri.
Itu sebabnya Pendekar Slebor merasa ada yang
tak beres ketika itu.
*** Pendekar Slebor, Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu,
dan Petaruh Sakti Perut Buncit masih berlari. Selang dua kali penanakan nasi
berlari, Ki Saptacakra mendadak berseru.
"Eit, tunggu!" Ki Saptacakra menahan laju larinya. "Apa ada yang telah kita
lupakan?" simpulnya pada Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut Buncit dan Nyai
Silili-lilu. "Apa, Ki Buyut" Apa"!" sambar Pendekar Slebor.
Dia sudah tak sabar ingin cepat sampai. Masalahnya,
yang dibopongnya kini seorang wanita cantik bertubuh
'ehm'. Membopongnya saja bisa membuat dada pemu-
da itu berdentum-dentum tak karuan. Pasalnya, ketika dia berlari dua bukit sekal
di bagian dada perempuan itu tanpa diatur 'mengurut-ngurut' punggungnya. (Tukang
pijat saja, kalah nikmatnya)! Andika jadi merinding juga. Tapi, bukan dengan
begitu dia tak menikmati.
Rezeki nomplok yang bikin merinding, kicaunya mem-
batin. Selain itu, dia juga ingin cepat-cepat memelototi sepuas-puasnya wajah
cantik itu setibanya di tempat
Petaruh Sakti Perut Buncit nanti. Tentunya....
"Kau ke manakan otakmu!" bentak Pendekar
Lembah Kutukan.
"Mak!" Andika terlonjak dengan mata mendelik dan lubang hidung menganga. Sedang
asyik-asyiknya membayangkan wajah cantik Dewi Kecubung, Ki Sap-
tacakra menghardik. Tak punya perasaan, gerutunya.
"Apa kau lupa kalau mayat dua murid murtad itu
belum diurus"!" tebas Ki Saptacakra kembali,
"Biar saja bangkai mereka jadi makanan burung
pemakan bangkai!" sela Petaruh Sakti Perut Buncit.
Setuju sekali ah! Seru Andika membatin. Dia ta-
hu kalau mayat itu harus diurus, pasti Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah
Kutukan akan melimpahkan
kepadanya. Dia bisa kehilangan keasyikan!
"Tidak bisa!" tegas Ki Saptacakra. "Sebejat-bejatnya mereka, mereka tetap
manusia!" "Siapa yang bilang kampret!" gumam Pendekar Slebor.
"Jadi...," mulai Ki Saptacakra lagi. Diliriknya Andika. Tuh, benar kataku,
gerutu pemuda sakti tanah
Jawa. "Kau kembali ke tempat itu! Urus mayat mereka secara baik! Kita harus
menghormati jenazah orang-orang yang telah kembali ke pangkuan Yang Esa!"
Bersungut-sungut, Andika melangkah. Perintah
buyutnya tak boleh ditolak.
"Hey, mau ke mana kau"!" tahan Ki Saptacakra.
Wajah buyutnya merengut. "Bukankah kau baru-
san menyuruhku untuk mengurus mayat dua lelaki
itu?" katanya tak bersemangat.
"Dengan membopong-bopong perempuan di ba-
humu?" sindir Nyai Silili-lilu, menyala.
Pendekar Slebor nyengir badak. Saking keasyi-
kan, dia sampai kelupaan....
*** 9 Malam kian larut. Sepanjang malam, satwa me-
rintih-rintih tersiksa. Hanya yang kuat masih sanggup bertahan. Air untuk
melangsungkan kehidupan sudah
terlalu sulit didapat. Hujan tak kunjung datang. Hu-
kum alam berlaku. Tapi, apakah semuanya sekadar
hukum alam" Bukankah alam sendiri adalah perwuju-
dan hukum Tuhan" Bagi para satwa, Tuhan sedang
berbincang dengan penderitaan mereka.
Andika berjalan kembali ke tempat semula. Ter-
gopoh-gopoh tidak, santai pun tidak. Pikirannya se-
dang digempur pertanyaan demi pertanyaan. Peristiwa
pertemuan dengan si Gila Petualang mengusiknya
kembali. Kenapa si tua musuh lamanya itu me-
mancingnya untuk melakukan kejar-kejaran" Kalau
sekadar hendak balas dendam, kenapa harus begitu
lama berlari"
Tiba di alur sungai kering berbatu-batu kerikil,
Andika berhenti sejenak. Tempat yang ditujunya sudah tak seberapa jauh lagi.
"Pasti si Gila Petualang punya maksud. Dia sen-
gaja melakukan itu padaku. Tapi apa tujuannya?" bisiknya seraya mengusap-usap
dagu bergaris jantan.
Lalu dicobanya dia berpikir seperti tokoh-tokoh
golongan sesat. Terpikir olehnya, jika dia menjadi
orang golongan sesat, segala cara akan dilakukan dan dihalalkan untuk mencapai
tujuan. Jika punya lawan,
maka kelicikan pun diperbuat! Tipu daya. Ya, tipu
daya! Pendekar Slebor mulai bisa mereka-reka maksud
lelaki tua yang sebelumnya dikejar-kejar sekian lama itu. "Pasti ada semacam
tipu daya yang dipersiapkan untukku!" simpul si anak muda berotak encer.
Bibirnya saat itu juga menyunggingkan senyum.
Di tempurung kepalanya, terbayang wajah buyutnya,
Ki Saptacakra. "Rupanya si tua brengsek itu telah pula mengen-
dusi ketidakberesan tersebut. Pantas saja aku diperintahkan kembali. Pasti Ki
Buyut tak sekadar menyu-
ruhku mengurus pemakaman dua mayat di sana. Sia-
lan, kenapa aku jadi kalah cepat dengan otak lelaki
uzur itu! Dibuat dari apa otak si tua itu, sampai tetap bisa berpikir demikian
cepat dalam usia kero-pos!" Andika cengengesan. "Yang jelas bukan terbuat dari
kolak singkong," gumamnya berkelakar sendiri.
Pendekar Slebor beranjak kembali. Diputuskan
untuk kembali ke tempat semula secara diam-diam.
Dengan mengerahkan seluruh kemampuan peringan
tubuhnya, pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan itu berlari cepat mendaki tanah me-
ninggi yang membentuk bukit. Sengaja dipilihnya tem-
pat yang paling tinggi. Tempat seperti itu memungkinkan dia mengawasi sekitarnya
lebih leluasa. Di balik pohon jati besar kering yang tumbuh da-
lam kepungan pepohonan karet, Pendekar Slebor men-
gintai ke tempat dua mayat murid murtad Petaruh
Sakti Perut Buncit tergeletak.
Sepi. Tak ada siapa-siapa di bawah sana.
Malam mengendap-endap terus. Sekian lama
mengintai, tetap juga tak terlihat tanda-tanda mencurigakan. Pendekar Slebor
mulai ragu, apakah kecuri-
gaannya memang benar. Atau semua pikiran itu cuma
pembawaan perasaannya saja"
Karena merasa bosan, juga tak yakin lagi dengan
prasangkanya, Andika hendak keluar dari persembu-
nyian. Sebelum sempat menggerakkan tubuh, dilihat-
nya seseorang datang ke tempat yang diawasi di ba-
wah. Andika merapatkan tubuh ke batang pohon jati.
Diperhatikannya tegas-tegas si pendatang. Meski bulan hanya bersinar sebagian,
mata Andika masih sanggup
mengenali orang itu. Dia dibuat terkesiap, Darahnya
berdesir cepat menyaksikan orang tadi.
"Pangeran Neraka...," desisnya. Ada kegusaran terikut dalam desis tadi. "Jadi
benar dugaanku kalau manusia selicin belut dan selicik serigala ini juga telah
muncul kembali...." Wajah pemuda itu tampak memperlihatkan garis-garis
kekhawatiran. Bagaimana tidak khawatir. Kini dia tahu, setidaknya telah muncul
si Gi-la Petualang. Tokoh tua satu itu dengan pengetahuan
dan kesaktian yang dikumpulkan dari berbagai penju-
ru dunia saja akan banyak menebar bencana bagi du-
nia persilatan. Sekarang disaksikannya pula Pangeran Neraka. Secerdik-cerdiknya
Andika, dia masih harus
mengakui bahwa otak lelaki di bawah sana tak kalah
cerdik dari dirinya. Dulu pun dia sempat diperdaya begitu rupa (dalam episode:
"Sepasang Bidadari Merah")!
Kuat dugaan Pendekar Slebor kalau mereka tentu
ada hubungan dengan Perserikatan Setan. Hal paling
buruk, keduanya turut bergabung dengan rencana ter-
kutuk itu tiga murid murtad Petaruh Sakti Perut Bun-
cit. Setelah mereka muncul, siapa lagi tokoh jajaran atas yang akan menyusul"
Tanya hati Andika giris.
Satu hal turut mengambang di benaknya berke-
naan dengan Perserikatan Setan. Kenapa tiga orang
pencetus rencana besar itu mendapat nasib naas" Dua
orang di antaranya, Katak Merah dan Mata Dewa Ke-
matian malah telah menemui ajal. Siapa yang telah
mencelakakan mereka" Kalau teringat pada kalung
mereka yang hilang secara paksa, tentu saja jawaban-
nya terdapat dalam ketiga kalung itu. Andika yakin.
Tapi untuk apa semua benda yang tampaknya tak
berharga itu" Apakah orang yang membunuh mereka
orang golongan sesat juga?"
Sedang sibuk-sibuk Andika berpikir, tiba-tiba
disadarinya ada orang lain yang telah begitu lama
memperhatikan di belakang. Andika sigap menoleh.
"Kau...," katanya singkat. Orang itu ternyata Amitha. Telah berdiri cukup lama
tanpa disadari oleh Pendekar Slebor sendiri.
"Kita bertemu lagi, Pendekar Slebor!"
Andika memasang wajah penuh persahabatan-
nya. Senyumnya mengembang lebar-lebar. Tak menga-
pa jadi terlihat sedikit tolol, yang penting lelaki India itu tahu kalau dirinya
tak ingin bermusuhan.
Di bawah siraman lamat sinar bulan, wajah Ami-
tha tak berubah. Kedua ujung bibirnya terungkit, me-
lempar ejekan. "Jangan menipuku dengan senyummu, Pendekar
Terkutuk! Aku tak akan bisa kau perdayai lagi!"
Dalam hati, Andika mulai tak suka dengan sikap
Amitha. Apalagi dengan ucapannya.
"Kau mengatakan sesuatu yang tidak aku men-
gerti, Saudara," ucap Pendekar Slebor, sungguh-
sungguh. Tak ada lagi senyumnya.
"Itulah kau, Pendekar Slebor. Dibalik keharuman namamu, ternyata kau tak lebih
dari binatang durja-na!" "Itu pun aku tak mengerti," sambar Pendekar Slebor.
Amitha mendengus.
"Aku sudah muak dengan kepalsuanmu, Ksatria
Palsu!" serapahnya bertekanan. "Kau telah mencabut nyawa istriku. Sekarang, kau
tak perlu banyak mulut.
Bersiap saja untuk mati! Aku akan menuntut hutang
nyawa itu!" tandas Amitha.
"Kau tak bisa menuntut apa-apa dariku, Amitha!"
seru Andika lantang.
Mereka kini berdiri berjajar. Cara berdiri mereka
memperlihatkan bagaimana kedua orang itu siap ber-
tarung hidup mati dengan lawan. Pendekar Slebor ba-
gaimanapun meski siap menghadapi amukan Amitha
yang setiap saat bisa meledak.
Bulan mengapung di angkasa, tepat di kepala ke-
dua orang itu, membuat tubuh mereka tak begitu jelas dari arah depan. Mereka
seolah dua bayangan yang
siap menjemput nyawa lawan masing-masing.
"Kau pikir, kau akan dapat lolos dari tanganku, Pendekar Slebor"! Kau salah
duga! Hari ini, tak akan kubiarkan hutang nyawa itu luput untuk kau bayar!"
tegas Amitha padat kemurkaan seorang dikuasai den-
dam. "Bukankah sudah kukatakan padamu dulu bah-
wa semuanya hanya salah paham," tandas Pendekar Slebor. Betapa dia merasa
dirinya terlalu dipojokkan Amitha. Sementara Andika sendiri tahu pasti, dia tak
memiliki bukti cukup kuat untuk meyakinkan lelaki
India itu. "Dusta!"
Mata Andika mendelik. Dusta" Dia mengatakan
aku berdusta" E, sejak kapan Pendekar Slebor berkata dusta pada orang yang tak
patut didustai"
"Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura tolol, Pendekar Slebor. Du-lu orang persilatan boleh
menganggap kau sebagai seorang ksatria. Kini, kau tak lebih dari cecunguk busuk.
Kau terlalu dibuai nama besarmu!"
"Apa maksudmu"!" Andika makin mendelik-delik.
Dia belum juga mengerti.
"Nama besarmu itu telah membuat kau lupa diri.
Kau ingin tetap diagungkan dunia persilatan, lalu kau mulai rakus terhadap
kesaktian. Kau buru seorang le-
laki India untuk merebut kitab yoganya!"
"Apa maksudmu"! Ini benar-benar gila"!" Andika mencak-mencak kalang kabut.
Wajahnya porak-poranda seperti letusan bisul mendengar setiap tudingan Amitha.
"Dan yang lebih busuk dari semua itu, kau bu-
nuh istriku hanya untuk satu keterangan!" cecar Amitha, tanpa memberi kesempatan
pada Pendekar Slebor
untuk membela diri.
"Diam! Omong kosong siapa yang telah kau den-
gar"!" hardik Pendekar Slebor. Kini mulai diendusinya ketidakberesan. Seseorang


Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menghasut Amitha.
Hanya ada yang masih belum diketahui. Siapa peng-
hasut itu" Menilai ucapan Amitha yang demikian yakin bahwa Pendekar Slebor
adalah pembunuh istrinya,
tentu si penghasut adalah orang yang amat lihai mem-
pengaruhi orang lain.
Andika jadi ingat pada seorang musuh lamanya
ketika dia harus berhadapan dengan Pendekar Wanita
Tanah Buangan, seorang pendekar wanita pendendam
yang terjerat permainan licik pamannya sendiri, Pangeran Neraka.
Amitha tak mau mengulur-ngulur waktu lebih
lama. Keadaannya dirinya makin tak memungkinkan
untuk bertele-tele. Gejolak dendam dalam dirinya su-
dah tak lagi dapat dibendung.
Amitha segera menghambur ke arah Pendekar
Slebor. Anak muda sakti dari Lembah Kutukan sendiri
saat itu telah bersiap diri menghadapi kemungkinan
terburuk yang bakal dilakukan Amitha.
"Grrhhhaaah!"
Dengan berjumpalitan tiga empat kali di atas ta-
nah keras layaknya seekor singa lapar, Amitha mem-
persempit jarak dengan calon lawannya. Setiap kali
tangannya terjejak jari-jemarinya menembus tanah.
Tahu dirinya belum bahaya besar, Pendekar Sle-
bor segera melenting ke sisi kiri. Gerakan terkaman
Amitha yang demikian cepat memburu perutnya di
udara. Pendekar Slebor dipaksa untuk menahan sam-
baran jari mengejang lawan.
Wukh! Dash! Menyambut sambaran cakar lawan, Pendekar
Slebor mengayunkan tangannya ke depan. Jari men-
gembang kejang Amitha bertumbukan kuat dengan
pergelangan tangan Pendekar Slebor.
Andika tahu, dia harus membalas. Jika tidak, la-
wan akan memiliki kesempatan melepas serangan su-
sulan. Meski amat sadar Amitha cuma termakan fit-
nah, Pendekar Slebor terpaksa juga menyerangnya. Sa-
tu tendangan berantai dilancarkan. Padahal, tubuhnya masih berada di udara.
Deb! Deb! Deb! Amitha mungkin tergolong tokoh kemarin sore.
Kedigdayaan sesat belum lama dikuasainya. Untuk ke-
saktian yang didapat demikian cepat itu, malah Pendekar Slebor masih setingkat
di bawahnya. Lepas dari
itu, Amitha tak mau ambil resiko terhadap serbuan
tendangan berantai kaki lawan. Cepat dia menghem-
pas tubuh ke belakang kembali.
Kesempatan itu dipergunakan Pendekar Slebor
untuk mengokohkan kuda-kuda kembali di atas tanah.
"Saudara, sebaliknya kau memberiku kesempatan untuk membuktikan semua ucapanku!"
ujarnya, menco-ba menahan amukan Amitha lebih kuat.
"Tak perlu! Kau hanya harus mampus hari ini!
Hearh!" Serbuan lelaki India terbakar dendam itu dimulai
kembali. Berkawal sumpah serapah tak kentara, Pendekar
Slebor melempar tubuhnya tinggi ke udara. Di udara
dia berguliran deras dengan tubuh terlekuk dalam.
Dengan cara itu, dia hendak memperdayai Amitha.
Saat lawan lengah mengikuti gerak tubuhnya, akan di-
lancarkannya seruntun totokan cepat secara tak ter-
duga. Biarpun belum cukup berpengalaman dalam
kancah dunia persilatan, rupanya Amitha tak mudah
tertipu. Dengan cukup jeli dia dapat menduga-duga
maksud lawan. Sebelum jari tangan Pendekar Slebor melepas se-
puluh totokan cepat ke sepuluh titik jalan darah di tubuh si lelaki kalap,
Amitha sudah lebih dahulu memu-
tar sepasang tangan kurusnya bagai kincir angin rak-
sasa. Srrr! Tas... tas... tas...!
Sepuluh patukan jari Pendekar Slebor ke sepuluh
tempat berbeda di tubuh Amitha tak menghasilkan
apa-apa. Hanya tulang lengan Amitha saja yang terla-
brak. Hampir sekujur tubuh bagian depan lelaki India itu terlindungi oleh
putaran tangan.
Menyaksikan hal itu, Andika merasa harus. men-
gatur siasat lain. Tiba di tanah, tubuhnya langsung
berguling tangkas dan cepat menuju lawan. Memang,
kejelian mata pendekar muda yang ditempa pengala-
man itu menemukan celah lowong yang tak terlindungi
putaran tangan di bawah tubuh Amitha.
Amitha sebelumnya sibuk dengan terjangan pa-
tukan jari lawan. Dia tak menyadari kalau lawan su-
dah berada begitu dekat dengan pertahanan terlemah
di bagian bawah tubuhnya. Tatkala menyadari, semu-
anya sudah terlambat. Tanpa perlu tiba di dekat la-
wan, Pendekar Slebor telah melepas tenaga dalam me-
lalui jari telunjuknya.
Tubs! Tubs! Lontaran tenaga dalam kecil itu mendarat tepat
di dua titik jalan darah di pangkal paha Amitha.
Si lelaki India mengeluh tertahan. Saat itu juga
sepasang kakinya bagai kehilangan tulang. Tubuhnya
tersungkur ke depan. Lalu tersimpuh di tempat.
*** Sehari lalu. Jauh dari tempat pertarungan antara
Pendekar Slebor dengan Amitha, tepatnya di Kadipaten Blitar, sebelah timur tanah
Jawa. Di sebelah selatan kadipaten tersebut terdapat dusun bernama Beran Kidul.
Sama seperti kebanyakan daerah Jawa lain, pada
saat itu dusun Beran Kidul pun sedang dilanda keke-
ringan hebat Seseorang perempuan tampak berjalan di pinggi-
ran dusun tersebut. Dilihat dari penampilannya, tam-
pak perempuan itu seorang warga persilatan. Pakaian-
nya merah, memperlihatkan kesan keberanian dan ke-
gairahan pemakainya. Wajahnya demikian memikat
untuk ukuran seorang yang mengetahui keindahan.
Rambutnya legam panjang terurai. Daya pikatnya
menjadi lengkap dengan dada sekal, pinggang ramp-
ing, serta pinggul padatnya.
Peluh di dahi pendekar wanita itu bercucuran,
kotor bercampur dengan debu. Sesekali, lengan ba-
junya disapukan ke bagian tersebut. Bibirnya yang
memiliki bentuk demikian mempesona tampak kering
dan agak pecah-pecah. Panas siang telah lancang se-
dikit merusak kecantikannya.
"Ke mana Uwak Nyai Silili-lilu sebenarnya?" tanya perempuan itu, mendesah.
Keluhnya terdengar. Telah
dua minggu dia berjalan mencari. Orang yang dicari
seperti raib ditelan bumi.
Siapa pendekar wanita yang mencari Nyai Silili-
lilu ini. Beberapa waktu lalu, dia menggegerkan dunia persilatan dengan julukan
Ratu Lebah. Nama aslinya
Mayangseruni. Murid satu-satunya si nenek nyentrik, Nyai Silili-lilu.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang Ratu Le-
bah, bacalah episode "Pendekar Wanita Tanah Buangan", dan "Sepasang Bidadari
Merah")! Kurang lebih dua minggu lalu, Mayangseruni
menemukan tempat tinggal Nyai Silili-lilu kosong.
Tempat tinggal berupa pohon tua berlubang dengan
ruangan di bawahnya itu ditinggal dalam keadaan ka-
cau-balau. Bau pesing pula.
Tentu saja hal itu membuat Mayangseruni men-
jadi khawatir. Sebab, tak biasa-biasanya Nyai Silili-lilu meninggalkan tempat
tersebut. Mayangseruni memutuskan untuk segera menca-
rinya. Hari ini, masuk hari ketiga belas masa penca-
riannya. Mayangseruni terus berjalan. Sampai langkahnya
terhenti di tepi Sungai Brantas. Sungai dalam keadaan sekarat. Tepiannya sudah
kering sama sekali. Sisa air demikian menyedihkan. Hanya mengalir kecil seperti
selokan di tengah-tengah badan sungai. Rasa haus
yang menggelantung begitu pekat di tenggorokan me-
nuntut Mayangseruni untuk meneguk air sungai.
Didekatinya bagian yang paling jernih. Mayangse-
runi bersimpuh. Kedua tangannya menjulur, menciduk
air. Diteguknya air itu dengan penuh kenikmatan. Da-
lam keadaan teramat haus, rasanya air adalah surga.
Puas melepas dahaga, Mayangseruni membasuh
wajah dan sebagian rambutnya dengan air. Biar enyah
semua perasaan penat. Dinikmatinya sesaat kesegaran
air dan terpaan angin. Setelah benar-benar puas, pe-
rempuan itu bangkit.
Belum lama dia berdiri, mendadak perutnya tera-
sa mual. Matanya berkunang-kunang. Bumi bagai di-
ayun ke kiri ke kanan. Kepalanya pun memberat.
"Kenapa dengan diriku?" keluhnya lirih.
Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tu-
buh Mayangseruni ambruk.
Tak lama kemudian, datang sesosok tubuh men-
jemputnya. Tubuh pendekar wanita itu dibopong den-
gan kedua tangan, lalu dilarikan. Entah ke mana.
*** Kembali ke pertarungan antara Pendekar Slebor
dan Amitha. Amitha ketika itu berhasil dilumpuhkan kuda-
kudanya oleh dua totokan Pendekar Slebor pada kedua
pangkal pahanya. Lelaki India itu tersimpuh di tempat tanpa bisa berbuat apa-
apa. Wajahnya memperlihatkan kegeraman berbaur dengan kemurkaan me-
muncak. Menjadikan sorot matanya demikian menggi-
dikkan, meski bagi nyali alot seorang Pendekar Slebor.
"Maaf, Saudara. Terpaksa aku melakukan," sesal Andika.
"Jangan banyak basa-basi! Aku sudah muak me-
lihat semua kepalsuanmu!" desis Amitha tertahantahan akibat desakan-desakan
kemarahan. "Aku tak bisa percaya ini!" bentak Pendekar Slebor. "Sementara, aku sendiri
sampai saat ini belum mengetahui siapa namamu, kenapa kita harus bermusuhan"
Bagaimana caraku agar membuatmu percaya
bahwa aku bukanlah pembunuh istrimu"!"
"Tak perlu! Sebab kau akan tetap mati. Jangan
mengira aku sudah kalah karena telah tertotok oleh-
mu!" ancam Amitha.
Andika menggeleng-gelengkan kepala, masyghul.
Ancaman Amitha nyatanya bukan pepesan ko-
song dari mulut seorang pecundang. Dia membuktikan
ancaman tadi, dengan memejamkan mata. Kedua tan-
gannya bersilangan di depan wajah. Tubuhnya bebera-
pa saat kemudian bergetaran, bagai ada gempa dari
dalam dirinya. Pendekar Slebor terus memperhatikan. Tak per-
nah terlintas dalam pikirannya untuk kembali lari dari Amitha. Dia terlalu ingin
tahu sebenarnya apa yang
hendak dilakukan Amitha saat itu. Lagi pula, dia su-
dah bosan menghindar terus. Persoalan harus dijer-
nihkan hari ini juga, tekadnya.
Perhatian Pendekar Slebor makin tercurah, keti-
ka samar-samar disaksikannya dari sekujur permu-
kaan kulit Amitha mulai menyeruak pendar-pendar
cahaya berkabut berwarna merah bara.
Detik itulah, Pendekar Slebor baru menyadari ka-
lau si lelaki India sedang mengerahkan ajian sesatnya.
Dia akan segera berubah wujud menjadi makhluk jeja-
dian, Macan Kepala Ular! Andika menyadari keadaan
itu karena dia teringat ketika pertama menyaksikan
makhluk jelmaan diri Amitha dulu. Sewaktu makhluk
jejadian terkutuk itu berubah wujud men-jadi Amitha, Andika pun menyaksikan
pendar-pendar cahaya berkabut merah bara.
Tanpa tahu mesti berbuat apa-apa, bahaya yang
disadari Andika sudah jadi terlambat. Di depannya,
tubuh Amitha kini telah benar-benar menjelma menja-
di makhluk berwujud... tak utuh. Seekor macan ber-
kepala puluhan ular yang mendesis-desis membentuk
dengung bergaung, mencakar nyali.
"Nggsnngsss!"
Berikutnya kejadian yang tak terduga Pendekar
Slebor menyusul. Makhluk jejadian itu telah berhasil membebaskan dua totokan
yang tergolong sulit dibe-baskan. Dibantu orang lain saja, sudah amat sulit.
Apalagi dengan usahanya sendiri. Tapi, itu benar-
benar terjadi! "Saudara! Ini sudah keterlaluan!" seru Pendekar Slebor, nyaris seperti memekik.
Dia berusaha keras
untuk mencegah amukan Amitha yang telah menjelma
menjadi sosok dari dasar neraka itu.
"Hadapilah semuanya dengan pikiran jernih! Ka-
lau kau ingin mengetahui satu kebenaran, kau tak bi-
sa hanya mengikuti perasaanmu saja!"
Semua usaha Andika tak mendapat tanggapan
apa-apa, kecuali dengung bergaung yang makin san-
ter. Sebelum akhirnya dari puluhan pasang mata ular
di leher binatang menyeramkan itu menerjangkan dua
larik cahaya panjang berwarna merah bara ke mata
Pendekar Slebor.
Pendekar muda dari Lembah Kutukan yang tak
pernah menduga kejadian itu tak bisa lagi menghindar dari terkaman cepat juluran
cahaya tadi. Tepat di dua bola matanya, sinar menyilaukan tadi menusuk masuk.
"Aaa!"
Pendekar Slebor melepas lengkingan tinggi, me-
notok langit. Tangannya menutup mata. Apa yang se-
dang dirasakan Pendekar Slebor saat itu benar-benar
tak terperikan. Dirinya seperti dirasuki ratusan roh-roh sesat, memadati garba
batinnya dan menyiksanya
dari dalam. Nyawanya seakan hendak ditendang ke-
luar dari tubuh sendiri. Seribu rasa sakit yang pernah dialami manusia di dunia,
dirasakan Andika saat itu.
Di lain pihak, makhluk jejadian di depannya
mendengung lebih santer. Dari caranya berdiri, tam-
pak jelas kalau dia siap melakukan terkaman maut ke
arah korbannya....
Pada saatnya, terkaman buas itu benar-benar
terjadi. Dari jarak yang cukup jauh, makhluk jejadian


Pendekar Slebor 44 Perserikatan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeramkan di depan Pendekar Slebor mencelat. Ke-
dua kaki depannya mengeras. Kuku-kukunya bersem-
bulan dalam sekejap, memendam kesan haus darah.
Pihak yang diserang sendiri saat itu sedang ber-
kutat dengan segenap rasa menyiksa. Bersumber dari
sepasang biji matanya, Pendekar Slebor merasakan di-
rinya nyaris sekarat. Sulit untuk mempertahankan ke-
sadaran. Jika untuk itu saja sudah sulit, bagaimana
lagi dia harus menghindari terkaman lawan"
Beriring dengung berat Macan Kepala Ular, teng-
gorokan Pendekar Slebor melepas lengkingan untuk ke
sekian kalinya. Tak ada yang bisa diperbuat selain itu.
Dia sudah tak sanggup melakukan apa-apa.
Namun, teriakan yang terdorong oleh rasa sakit
luar biasa tadi justru membangkitkan kekuatan 'Inti
Petir' yang selama ini mendekam dalam dirinya. Tanpa sadar, gelegak tenaga 'Inti
Petir' membuncah ke sekujur tubuhnya, mengalirinya dengan kekuatan listrik
alam tak terhingga untuk ketahanan tubuh seorang
manusia. Dalam sekejapan, kulit tubuh pendekar muda
pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu ber-
pendar menyilaukan. Pada saat yang sama, kuku-
kuku sang makhluk jejadian mendarat didua belahan
dada bidang si pemuda yang mengejang.
Terlambunglah suara menggidikkan ke angkasa.
Dazzz! Suara asing yang begitu mirip dengan desis lidah
halilintar memangsa pucuk pohon kelapa! Sepersekian
kejap dari suara meninggi tadi, meluruk pula dengung berat dari mulut puluhan
ular di leher macan jejadian.
Kalau sebelumnya bernada kemurkaan, kini padat
dengan nada giris merintih.
Berbarengan dengan itu, kerongkongan Pendekar
Slebor bergetar kembali, melempar kekuatan lengkin-
gan yang sanggup dilempar sekuatnya. Siksaan dalam
dirinya telah meningkat berlipat kali!
Tubuh berbeda wujud itu bergeletaran liar. Kea-
daannya seperti dua makhluk yang disengat terus me-
nerus oleh seruntun petir menggila. Yang aneh, kuku-
kuku di kedua kaki depan makhluk jejadian, sama se-
kali tak terlepas dari dada Pendekar Slebor. Padahal, benda-benda tajam tersebut
sama sekali tak menembus dada si pemuda sakti tanah Jawa, bahkan sekadar
mengoyak kulitnya.
Sementara Pendekar Slebor jatuh berlutut, den-
gan tubuh mengejang dan tangan terbentang, makhluk
jejadian di dekatnya tersentak-sentak. Dua kaki belakangnya berkutat liar hendak
melepaskan diri dari pagutan tak terjelaskan dari tubuh lawan. Beberapa kali
hentakan nyalang dilakukan ke tanah, tapi tetap saja tak sanggup membobol
kekuatan pagutan tadi.
Cukup lama kejadian tersebut berlangsung.
Sampai keduanya kemudian terkulai perlahan. Pende-
kar Slebor terjatuh ke belakang. Kakinya terlipat. Sedangkan lawan anehnya
terkulai ke samping. Ketika
itu, pendar cahaya menyilaukan di sekujur kulit Pen-
dekar Slebor memudar lamat-lamat. Lalu menghilang.
Kuku-kuku kedua kaki depan makhluk jejadian telah
terlepas dari permukaan kulit dadanya. Itu yang me-
nyebabkan tubuh Macan Kepala Ular dapat dengan
mudah terkulai.
Keduanya tergeletak tanpa gerak di tanah. Diam.
Bisu. Juga hening.
Selang setengah penanakan nasi, suatu keane-
han baru mencuat dari tubuh macan berkepala pulu-
han ular. Seberkas sinar merah bara panas dan me-
nyengat mata bergemul sesaat. Selanjutnya sinar me-
rah bara tadi melepaskan diri dari tubuh yang sudah
menjadi bangkai. Dari tubuh Macan Berkepala Ular,
cahaya itu berpindah dalam kecepatan yang sulit di-
ikuti mata ke dalam tubuh Pendekar Slebor....
Selang berikutnya, wujud mengerikan Macan Ke-
pala Ular perlahan dan samar berubah kembali menja-
di sosok lelaki India kurus. Dia telah kehilangan nyawa untuk suatu yang sia-
sia.... *** Rahasia apa yang sesungguhnya tersembunyi da-
lam tiga kalung milik Katak Merah, Dewi Kecubung
dan Mata Dewa Kematian" Mengapa Tiga Datuk Ka-
rang begitu menginginkannya"
Apa pula yang terjadi dengan Pendekar Slebor"
Lalu, apakah Tiga Datuk Karang akan menda-
patkan kitab pamungkas ilmu 'Karang' mereka"
Banyak pertanyaan menanti jawaban. Semuanya
akan terjawab tuntas dalam episode berikutnya.
Jaga waktu terbitnya:
AJIAN SESAT PENDEKAR SLEBOR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Eng Djiauw Ong 31 Dewi Ular 88 Misteri Bencana Kiamat Pedang Keadilan 37
^