Hantu Tangan Api 2
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api Bagian 2
gan pukulan andalan 'Cahaya Kematian'. Begitu
kedua tangannya yang telah berubah biru terang
sampai pangkal lengan menyentak, seketika itu
pula meluruk dua larik sinar biru terang mela-
brak pukulan Peramal Maut!
Bummm! Bummm! Hebat bukan main ledakan yang terjadi kali
ini. Seketika bumi berguncang keras. Ranting-
ranting pohon berderak. Bersamaan itu, Pembu-
nuh Iblis pun memekik keras. Tanpa ampun lagi
tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Tubuhnya
berputar-putar sebentar, sebelum akhirnya ter-
banting keras. Sementara Peramal Maut tertawa bergelak.
Walau tubuhnya sempat terhuyung-huyung bebe-
rapa langkah ke belakang akibat bentrokan tadi,
namun masih jauh lebih baik dibanding keadaan
Pembunuh Iblis.
"Huahhh!"
Darah merah kehitaman kontan meluncur
dari mulut Pembunuh Iblis. Namun pemuda yang
mengenakan jubah biru itu tetap mencoba berta-
han. Sembari mendekap dadanya kuat-kuat, di-
cobanya untuk melompat bangun. Namun
sayang, begitu kedua telapak kakinya menjejak
tanah, keseimbangan tubuhnya hilang. Akibatnya
pemuda ini kembali tersuruk jatuh.
Peramal Maut menjengekkan hidungnya.
Melihat keadaan Pembunuh Iblis yang amat men-
genaskan lelaki tua bengis ini malah tertawa bergelak. Nyawa manusia seolah
hanya dianggap mainan yang menyenangkan.
"Sekaranglah saatnya kau menerima kema-
tian, Bocah!" desis Peramal Maut penuh lecehan.
Dengan serta-merta, kembali telapak tangan ki-
rinya menghentak ke depan.
Seketika kembali selarik sinar hitam legam
melesat dari telapak tangan kiri Peramal Maut,
siap mengganyang tubuh Pembunuh Iblis. Namun
belum sempat sinar hitam itu mengenai sasaran,
tiba-tiba sebuah bayangan putih keperakan ber-
kelebat cepat. Langsung disambarnya tubuh
Pembunuh Iblis.
Brakkk! Batang pohon di belakang Pembunuh Iblis
kontan tumbang begitu terkena pukulan Peramal
Maut. Debu-debu kontan membubung tinggi,
memenuhi tempat pertarungan.
"Bajingan! Siapa lagi yang ingin mengantar
nyawa, hah"!"
7 Peramal Maut mengedarkan pandangan ke
sekeliling sambil menggeram penuh kemarahan
karena lawan yang hendak dijadikan sasaran le-
nyap. Sementara, ia belum tahu siapa orang yang
menyelamatkan Pembunuh Iblis. Gulungan debu-
debu yang membubung tinggi memenuhi tempat
pertarungan membuat pandangannya terhalang.
Karena tak sabar lagi melihat orang yang telah
menggagalkan maksudnya, segera ujung jubah-
nya dia kibaskan.
Werrr! Angin kencang dari kebutan jubah Peramal
Maut langsung membuat gulungan-gulungan de-
bu yang membubung itu sirna. Seketika itu pula,
terlihat dua sosok tubuh berdiri tak jauh di hadapannya. Yang sebelah kanan,
seorang pemuda gondrong berpakaian rompi dan celana bersisik
warna putih keperakan. Sambil memondong tu-
buh Pembunuh Iblis, sosok berpakaian putih ke-
perakan yang tak lain Siluman Ular Putih terse-
nyum nakal. Sedang di sebelah Siluman Ular Putih ada-
lah seorang gadis cantik berpakaian merah. Ram-
butnya digelung ke atas semakin mempercantik
wajahnya, walaupun sedang mendengus marah.
Wajahnya menampakkan kemuakan melihat ulah
Peramal Maut yang dengan kejinya ingin membu-
nuh lawan tak berdaya.
"Kau memang biadab, Peramal Maut! Ma-
nusia macam kau memang patut dilenyapkan dari
muka bumi!" hardik si gadis, garang.
"Ratu Adil! Kalau kau tak terima, boleh se-
kalian maju menghadapiku. Kebetulan sekali
tongkatku ini sudah lama tak menelan korban,"
sahut Peramal Maut, mengejek.
Gadis cantik berpakaian merah yang me-
mang Ratu Adil hanya menjengekkan hidungnya.
Memang, Yustika alias Ratu Adil sendiri pun
hampir celaka di tangan Peramal Maut. Untung
saja Siluman Ular Putih waktu itu keburu datang
menolong. "Bagaimana, Soma" Apakah tua bangka ini
patut dihajar?" tanya Ratu Adil, meminta persetu-juan Siluman Ular Putih.
"Terserah! Tapi...."
"Jangan khawatir, Soma! Kalau tua bangka
ini tidak curang, aku yakin belum tentu dapat
merobohkanku," potong Ratu Adil, tegas.
"Hm...! Baiklah kalau memang itu maumu.
Tapi, hati-hati! Tua bangka itu penuh tipu muslihat," ingat Soma.
"Aku tahu. Soma."
Peramal Maut mendengus bak kerbau mau
disembelih. Hatinya kesal sekali mendengar pem-
bicaraan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil yang
sangat melecehkannya.
"Majulah, Gadis keparat! Kali ini kau tak
mungkin lolos dari tangan mautku!" bentak Peramal Maut.
Ratu Adil tersenyum dingin. Selangkah
demi selangkah kakinya maju mendekati Peramal
Maut. "Bagus! Rupanya kau sudah tak sabar
menjemput ajalmu! Sekaranglah saatnya kau
modar di tanganku!"
"Jangan pongah, Peramal Maut! Ajal seseo-
rang bukan terletak di tangan manusia, tapi di
tangan Yang Maha Kuasa. Dialah yang menguasai
nyawa seseorang."
"Jangan berkhotbah di hadapanku, Bocah
Kemarin Sore! Aku jadi tak sabar lagi untuk me-
robek-robek mulutmu!" dengus Peramal Maut,
langsung menerjang.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Peramal
Maut segera mengerahkan pukulan andalannya
'Gelap Ngampar'. Maka begitu kedua telapak tan-
gannya dihentakkan ke depan, dua larik sinar hi-
tam segera melesat cepat siap meluluh-lantakkan
tubuh Ratu Adil.
Wesss! Wesss! Ratu Adil sejenak menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dan saat merasakan hawa panas mu-
lai menyentuh kulit tubuhnya, dikerahkannya te-
naga dalam penuh. Langsung kedua telapak tan-
gannya didorong ke depan, memapak serangan
Peramal Maut. Blammm! Blammm!"
Terdengar dua kali ledakan hebat disertai
bunga api menyebar ke segala arah. Seketika
udara panas memenuhi tempat pertarungan. An-
gin berkesiur akibat bentrokan dua tenaga dalam
tingkat tinggi itu ternyata mampu membuat po-
hon-pohon di sekitar tempat pertarungan menger-
ing layu! Sementara tubuh Peramal Maut tampak
terjajar beberapa langkah ke belakang dengan pa-
ras pucat pasi. Darah segar membersit dari sudut bibirnya sambil menggeram penuh
kemarahan, buru-buru lelaki tua itu menyekanya dengan
punggung tangan.
Di hadapannya, tubuh Ratu Adil pun sem-
pat terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Akibat bentrokan tenaga dalam tadi kedua
tangannya terasa panas bukan main. Ratu Adil
segera menyalurkan tenaga dalamnya ke telapak
tangan hingga hawa panas yang menyerang ber-
kurang. Dadanya pun sempat terguncang, walau-
pun hanya sesaat.
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar tak in-
gin mengampunimu, Gadis Gendeng! Kau harus
modar di tanganku!"
Kini, Peramal Maut menekuk lututnya da-
lam-dalam. Sedang tongkat di tangan kanannya
telah diselipkan di punggung. Dan ketika kedua
telapak tangan lelaki tua itu telah berubah men-
jadi kelabu hingga pangkal siku, Ratu Adil jadi
terkesiap kaget.
"Awas, Yustika! Tua bangka itu hendak me-
lontarkan 'Gada Akhirat'!" teriak Siluman Ular Putih mengingatkan dari luar
tempat pertarungan.
Soma yang tengah sibuk mengobati luka
dalam Pembunuh Iblis, diam-diam tak mengalih-
kan perhatiannya pada jalannya pertarungan.
Dan pemuda itu pun siap membantu Ratu Adil bi-
la terjadi hal yang tak di-inginkan.
"Aku tahu. Soma," sahut si gadis.
"Tapi bagaimanapun juga kau harus tetap
hati-hati!"
"Terima kasih atas peringatanmu, Soma."
Yustika kembali menghadapi Peramal
Maut. Namun diam-diam telah dipersiapkannya
pukulan andalan 'Cakar Samudera' yang merupa-
kan warisan terakhir gurunya di Nusa Kamban-
gan. Maka begitu tenaga dalamnya dikerahkan,
seketika kesepuluh kuku-kuku jari tangannya te-
lah berubah menjadi biru!
Peramal Maut yang sudah kalap malah
kian menggeram murka. Begitu kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan, saat itu pula
meluruk dua gulungan sinar kuning terang.
Wesss! Wesss! Ratu Adil sama sekali tidak tersurut mun-
dur. Begitu melihat datangnya serangan, kesepu-
luh jari tangannya segera diguratkan ke udara.
Maka dari jari-jari tangannya melesat sinar-sinar biru, langsung memapak pukulan
Peramal Maut. Class! Class! Sejenak, dua gulungan sinar kuning terang
tertahan di udara oleh sinar-sinar biru. Sementa-ra tubuh tokoh sesat dari
Gunung Kembang itu
bergetar hebat. Kedua kakinya melesak ke dalam
tanah! Namun Peramal Maut tetap tak ingin kalah
dalam adu tenaga dalam. Sambil menggeletukkan
gerahamnya kuat-kuat, tenaga dalamnya makin
dilipatgandakan ke telapak tangan.
"Hea!"
Tiba-tiba Ratu Adil memekik keras. Bersa-
maan dengan itu, kesepuluh jari-jari tangannya
disentakkan ke depan. Akibatnya sepuluh larik
sinar biru dari jari-jari tangannya terus mendesak gulungan sinar kuning milik
Peramal Maut. La-lu.... Class! Class!
Bukkk! Bukkk! "Aughhh...."
Tanpa ampun Peramal Maut kontan menje-
rit setinggi langit begitu sinar biru dari jari-jari tangan Ratu Adil menembus
pertahanannya dan
menghantam dada. Seketika tubuhnya yang tinggi
kurus terbanting keras dengan paras pias! Tam-
pak tubuh kurus keringnya hanya menggeliat-
geliat sebentar, lalu tidak bergerak-gerak sama sekali. Ratu Adil sejenak
termangu di tempatnya.
Ketika melihat tubuh Peramal Maut benar-benar
tak dapat bergerak lagi, selangkah demi selang-
kah si gadis pun mulai mendekati.
"Akhirnya kau tewas juga, Peramal Maut.
Manusia seperti kau memang tidak patut berke-
liaran di muka bumi ini," desis Ratu Adil.
Meski demikian Ratu Adil tetap waspada,
karena tak ingin terkecoh untuk kedua kali. Ma-
ka, diam-diam pun telah dikerahkannya pukulan
'Cakar Naga Samudera'.
Kira-kira tinggal berjarak satu tombak....
"Heh..."!"
Mendadak Ratu Adil memekik kaget ketika
tiba-tiba Peramal Maut bergulingan sambil meng-
hentakkan kedua telapak tangannya. Tanpa dapat
dicegah, dua gulungan sinar kuning terang melu-
ruk dari kedua telapak tangannya siap meluluh-
lantakkan tubuh Ratu Adil!
Wesss! Wesss! Ratu Adil yang untungnya telah bersiap se-
gera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga Samude-
ra'. Namun belum sempat murid Ratu Alit ini ber-
tindak.... Wesss! Blarr! Tiba-tiba telah melesat pula dua sinar pu-
tih yang disusul oleh dua ledakan hebat di udara.
Dengan demikian kandaslah serangan licik Pe-
ramal Maut. Pada saat yang hampir bersamaan, Peram-
al Maut meraung setinggi langit dengan tubuh
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergeser jauh ke belakang. Namun dengan sisa-
sisa kekuatannya, ia melompat bangun. Saat itu
juga tubuhnya segera berkelebat meninggalkan
tempat itu walaupun tampak terhuyung-huyung.
Yustika yang tubuhnya sempat terlempar
ke samping akibat bentrokan pukulan tadi,
menggeram penuh kemarahan. Hampir saja ia ce-
laka di tangan Peramal Maut untuk yang kedua
kali. Gadis ini hendak mengejar, tapi tubuh Pe-
ramal Maut telah begitu jauh.
"Soma! Terima kasih! Lagi-lagi kaulah yang
menolongku," ucap Ratu Adil.
Siluman Ular Putih tidak menyahut. Ma-
tanya masih terpaku ke arah kepergian Peramal
Maut. Soma bukannya tak ingin mengejar. Hanya
rasa kasihannya terhadap Pembunuh Iblis-lah
yang membuat niatnya diurungkan.
"Benar-benar licik, Tua Bangka itu! Untung
saja aku segera bertindak," gumam Siluman Ular Putih. "Yah...! Kau benar. Soma.
Tua bangka itu memang licik," timpal Ratu Adil membenarkan.
"Hoekh!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
dikagetkan suara orang yang tengah muntah-
muntah. Buru-buru mereka berpaling, dan men-
dekati Pembunuh Iblis yang tengah muntah-
muntah. "Bagaimana keadaanmu, Kawan?" tanya
Siluman Ular Putih begitu berada di samping
Pembunuh Iblis.
Pembunuh Iblis yang baru saja siuman se-
jenak membelalakkan matanya heran saat meli-
hat Siluman Ular Putih telah berada di hadapan-
nya. "Ah...! Lagi-lagi kau yang menyelamatkan-ku, Soma. Aku jadi malu," desah
Pembunuh Iblis dengan napas masih tersengal.
"Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Yang
penting kau selamat. Bukankah kita segolongan"
Kenapa mesti sungkan?"
"Aku mengerti, Soma," kata Pembunuh Iblis.
Teguh Sayekti berusaha bangun. Dan den-
gan sigap Siluman Ular Putih segera memban-
tunya. "Oh, ya" Siapakah temanmu itu, Soma?"
bisik Pembunuh Iblis lirih di telinga Siluman Ular
Putih. Entah mengapa setiap matanya melirik Ra-
tu Adil, dadanya bergemuruh. Bahkan tiba-tiba
timbul rasa kerinduan mendalam. Ada getaran
aneh yang menguasai dadanya.
"Yustika."
"Ooo...! Senang sekali aku bertemu den-
ganmu, Yustika. Perkenalkanlah.... Aku Teguh
Sayekti," kata Pembunuh Iblis, bergetar suaranya.
Apalagi ketika kembali menatap Yustika, wajah
gadis itu mengingatkannya pada wajah seseorang.
Tapi pemuda itu lupa, siapa.
Yustika alias Ratu Adil hanya mengangguk.
"Bagaimana" Apa lukamu sudah mendin-
gan?" tanya Soma, memecah keheningan.
"Sudah agak lumayan. Soma. Paling tinggal
memulihkan tenaga dalamku saja. Tapi ngomong-
ngomong, sekarang kau hendak ke mana lagi?"
tanya Pembunuh Iblis ingin tahu.
"Aku ingin mengejar Setan Haus Darah dan
pasukannya," jawab Soma.
Pembunuh Iblis tersenyum. Sebenarnya,
pemuda itu ingin berlama-lama lagi dengan Yus-
tika. Teguh Sayekti ingin ngobrol lebih banyak la-gi. Tapi hatinya merasa
sungkan terhadap Soma.
"Ayo, Yustika kita melanjutkan perjalanan,"
ajak Soma. "Ayo," sahut Ratu Adil, lalu menatap Teguh Sayekti sebentar. "Selamat tinggal,
Kawan!" Siluman Ular Putih dan Ratu Adil segera
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya
dalam beberapa kelebatan saja sosok mereka te-
lah menghilang di balik kerimbunan hutan depan
sana. "Hm...! Siluman Ular Putih benar-benar be-runtung. Ia selalu dikerubungi
gadis-gadis can-
tik... Tapi gadis yang bersama Siluman Ular Putih barusan..., ah. Mungkinkah ia
adikku..." Atau
hanya perasaanku saja" Kalau bukan, kenapa
wajahnya mirip dengan mendiang ibu...?"
8 Peramal Maut memperlambat kelebatan-
nya. Kini ia melangkah biasa namun terlihat gon-
tai akibat luka dalam yang parah. Sementara ke-
dua tangannya terus mendekap dada kuat-kuat.
Terus ditelusurinya jalan di pinggiran sebuah de-sa yang berbatasan dengan
hamparan sawah.
"Keparat! Entah, sudah berapa kali Silu-
man Ular Putih mencampuri urusanku! Hm...!
Sampai kapan pun aku tak mungkin dapat melu-
pakan dendamku padanya...! Tunggulah pemba-
lasanku, Siluman Ular Putih!" maki Peramal Maut dalam hati.
Kali ini, lelaki tua itu tak kuat lagi mena-
han langkah. Akibat luka dalamnya yang parah
membuat tubuhnya tersuruk jatuh. Dengan su-
sah payah, ia menggeser tubuhnya ke arah seba-
tang pohon. Begitu tubuhnya disandarkan, na-
pasnya memburu. Dadanya terasa mau pecah.
Tapi Peramal Maut berusaha bertahan.
"Edan! Tak kusangka Ratu Adil pun memi-
liki pukulan demikian dahsyat! Andai saja Silu-
man Ular Putih tidak membantu, aku yakin nya-
wa gadis itu sudah berada dalam genggaman tan-
ganku.... Huk huk huk...!"
Peramal Maut terbatuk-batuk. Pada saat
itu ia merasakan dari mulut dan hidungnya men-
galir darah segar. Buru-buru diambilnya butiran-
butiran biru dari kantung kecil yang menggan-
tung di pinggang. Tanpa ragu ditelannya butir-
butir biru yang memang berupa obat pulung. Per-
lahan-lahan hawa dingin akibat obat itu mulai
menjalar ke tenggorokannya. Dan hawa dingin itu
terus menerabas ke dalam perutnya.
"Untung saja aku membawa persediaan
obat. Kalau tidak, barangkali aku sudah tidak
kuat...," gumam Peramal Maut. "Yah...! Kukira aku harus menyembuhkan luka
dalamku terlebih
dulu. Masalah menuntut balas terhadap Siluman
Ular Putih, bisa ditunda untuk beberapa saat...."
Habis berpikir begitu, perlahan-lahan Pe-
ramal Maut beringsut. Dan dengan susah payah,
akhirnya ia dapat duduk bersila. Lelaki tua ini berusaha menenangkan pikirannya
sebentar, lalu mulai mengalur jalan napasnya. Tak selang bera-
pa lama, tokoh sesat dari puncak Gunung Kem-
bang ini pun sudah tenggelam dalam semadinya.
Saat itu, bulan bulat penuh tampak tengah
membanggakan sinar putih keperakannya pada
jutaan bintang di angkasa. Suara jangrik di pematang sawah terdengar riuh
mengusik ketenangan
malam. Keadaan ini tentu saja membuat Peramal
Maut merasa nyaman untuk menyembuhkan luka
dalamnya. Tarikan-tarikan napasnya pun mulai
teratur. Tidak memburu seperti tadi. Demikian
juga dadanya. Setelah melakukan semadi untuk
beberapa saat, tubuhnya pun terasa segar.
Malam kian beranjak. Bumi pun kian dite-
rangi cahaya putih keperakan sang dewi malam.
Peramal Maut tak mau peduli. Meski luka dalam-
nya berangsur-angsur sembuh, tapi ia masih
tenggelam dalam semadinya. Kedua kelopak ma-
tanya terpejam dengan telapak tangan memegang
lutut. Di puncak semadinya, mendadak hidung
Peramal Maut mencium bau busuk yang bukan
kepalang. Bahkan hampir membuat lelaki tua ini
muntah dengan perut mual.
"Setan! Bau busuk apa ini" Kenapa demi-
kian menusuk hidung...?" gerutu Peramal Maut.
Terpaksa lelaki tua ini menghentikan se-
madinya. Kelopak matanya membuka. Meski be-
lum sembuh benar, namun sudah terasa mendin-
gan. Luka dalamnya sudah tidak begitu meng-
ganggunya. Menyadari hal ini, diam-diam Peramal
Maut tersenyum senang.
Namun manakala bau busuk itu kian me-
nusuk hidung, tak urung juga Peramal Maut jadi
kesal bukan main. Sambil mengendus-endus hi-
dungnya, kepalanya bergerak ke samping. Namun
betapa terkejut hatinya, begitu kepalanya berpaling. Ternyata tak jauh darinya
telah berdiri sesosok tubuh tinggi kurus.
Sosok itu seorang kakek renta. Sepintas,
tubuhnya tak bertenaga. Tubuhnya yang kurus
kering terbalut pakaian warna merah menyala.
Rambut, bulu mata, alis mata, dan juga jenggot-
nya yang panjang juga berwarna merah menyala!
Wajahnya tirus kemerah-merahan dengan sepa-
sang mata melesak ke dalam tertutup tulang-
tulang pipi yang bertonjolan.
"Hantu Tangan Api...!" desis Peramal Maut penuh keterkejutan.
Sosok kakek renta yang memang Ki Ba-
naspati alias Hantu Tangan Api hanya mendengus
kasar. Sepasang matanya yang mencorong meng-
hujam tajam ke arah Peramal Maut.
Buru-buru Peramal Maut melompat ban-
gun. Gerakannya kali ini terlihat agak ringan. Hal ini saja sudah menandakan
kalau luka dalamnya
mulai berangsur sembuh. Meski demikian, sikap-
nya tak berani gegabah. Ia tahu, siapa Hantu
Tangan Api. Seorang tokoh sesat papan atas yang
amat diperhitungkan di kalangan tokoh putih
maupun tokoh golongan hitam. Dialah momoknya
dunia persilatan yang konon sudah lama menga-
singkan diri. "Pasti ada satu urusan yang amat penting
hingga Hantu Tangan Api sampai keluar dari
tempatnya bertapa...," gumam Peramal Maut.
"Peramal Maut! Apakah kau melihat Pendi-
dik Ulung dan orang yang bergelar Siluman Ular
Putih?" tanya Hantu Tangan Api langsung. Nadanya tetap garang, sarat ancaman.
Sebagai to- koh persilatan, Ki Banaspati pun pernah menden-
gar nama Siluman Ular Putih, walaupun belum
melihat orangnya.
"Hm...! Jadi tua bangka satu ini sedang
mencari Siluman Ular Putih dan Pendidik Ulung"
Hm...! Kebetulan sekali. Kukira aku dapat me-
manfaatkan tenaga tua bangka ini demi memba-
las dendamku...," Peramal Maut menggumam dalam hati.
Sejenak Peramal Maut manggut-manggut,
lalu menatap Ki Banaspati. Matanya tampak ber-
binar-binar. "Oh...! Jadi kau sedang mencari mereka,
Hantu Tangan Api" Kebetulan sekali. Aku me-
mang sedang mencari Pendidik Ulung. Tapi...."
"Jangan banyak bertele-tele, Peramal Maut!
Cepat katakan di mana Pendidik Ulung dan Silu-
man Ular Putih!" potong Ki Banaspati, tak sabar.
"Baik. Akan kukatakan terus terang. Aku
memang belum bertemu Pendidik Ulung. Tapi ba-
ru saja aku bertarung dengan Siluman Ular Pu-
tih," urai Peramal Maut agak gugup. Ngeri juga hatinya kalau sampai berbentrokan
dengan Ki Banaspati. "Bagus! Di mana sekarang Siluman Ular
Putih, Peramal Maut?" cecar Hantu Tangan Api.
"Hm...! Mungkin ia masih mengobati te-
mannya yang terluka di hutan sebelah sana!" jelas Peramal Maut seraya menuding
telunjuk ke arah gerumbulan hutan di sebelah timur.
"Bagus! Kalau begitu aku akan segera ke
sana," kata Hantu Tangan Api seraya berbalik.
"Tunggu, Hantu Tangan Api!" cegah Peram-al Maut menahan langkah tokoh sesat dari
Bukit Pedang itu. "Ada apa lagi, Peramal Maut?"
Ki Banaspati berbalik gusar. Pandang ma-
tanya yang, mencorong tajam, jelas memancarkan
satu hawa kematian yang hanya dapat ditebus
dengan darah. "Jangan gegabah, Hantu Tangan Api! Meski
kepandaianmu setinggi langit, namun kali ini aku mencium hawa kematian dari
dalam tubuhmu. Bau busuk dari tubuhmu itulah yang menanda-
kan kau harus lebih berhati-hati. Kalau tidak,
kau bisa celaka!" ingat Peramal Maut, merasa gatal kalau tidak meramal orang.
"Apa kau bilang" Aku akan celaka di tan-
gan Pendidik Ulung atau pemuda bau kencur ber-
gelar Siluman Ular Putih"!" sentak Hantu Tangan Api. Bukan main gusarnya
dipandang remeh demikian rupa.
"Jangan salah paham, Hantu Tangan Api!
Aku hanya mengingatkan. Dan satu lagi yang pa-
tut kau ingat! Ramalanku tak pernah meleset. Be-
runtung sebenarnya kau bertemu denganku. Apa-
lagi, aku tidak menuntut upah darimu," kilah Peramal Maut.
"Setan alas! Berani benar kau meminta
upah"! Apa kau sudah bosan dengan nyawa di
ragamu, hah"!"
"Bukan itu maksudku, Hantu Tangan Api,"
elak Peramal Maut. Merasa kecut juga hatinya
melihat kegarangan Ki Banaspati.
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu" Kenapa kau demikian lancang bera-
ni menahan langkahku, he"!" bentak Hantu Tangan Api.
Selangkah demi selangkah Ki Banaspati
mendekati Peramal Maut. Dan hati lelaki tua jago meramal itu makin kecut saja.
Walau tidak sedang menderita luka dalam, belum tentu ia sang-
gup menghadapi sepak terjang Hantu Tangan Api.
Maka tak heran kalau Peramal Maut tak ingin ca-
ri perkara. Malah kalau bisa ingin memanfaatkan
tenaganya. "Hantu Tangan Api! Kau adalah seorang
tokoh papan atas dunia persilatan. Namun ru-
panya, kau pun tetap harus berhati-hati. Mata
batinku mengatakan, kau akan celaka kalau tak
berhati-hati. Untuk itulah aku menahan lang-
kahmu!" jelas Peramal Maut, berusaha melunakkan hati Ki Banaspati.
"Setan! Bagaimanapun juga, kau dan ra-
malanmu tetap saja memandang remeh padaku,
Peramal Maut! Makanlah bogem mentahku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Hantu
Tangan Api telah menerjang Peramal Maut den-
gan ganas. Tubuhnya yang tinggi kurus berkele-
bat cepat laksana kilat. Sedang kedua telapak
tangannya yang terkepal segera mengirimkan jo-
tosan mengerikan.
Wutt! Wuttt! Sebelum serangan-serangan tokoh sesat
dari Bukit Pedang itu sempat mengenai sasaran,
terlebih dahulu Peramal Maut merasakan angin
kencang disertai hawa panas menampar-nampar
kulit tubuh! Tentu saja Peramal Maut tak ingin tubuh-
nya jadi sasaran empuk. Meski hatinya berat,
demi keselamatannya terpaksa segera dikerah-
kannya pukulan 'Gelap Ngampar'. Dan begitu ke-
dua telapak tangannya berubah jadi hitam legam,
segera dipapaknya pukulan Hantu Tangan Api.
Blammm! Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat di udara ke-
tika dua tenaga dalam tingkat tinggi itu beradu di udara. Bumi berguncang hebat
seperti terjadi
gempa. Berkesiurannya hawa panas akibat ben-
trokan bahkan mampu membuat tempat perta-
rungan dipenuhi hawa panas!
Sementara bersamaan bentrokan tadi, ter-
dengar satu pekik menyayat disusul terpentalnya
sosok tubuh Peramal Maut. Sejenak tubuhnya
berputaran, lalu terbanting keras di tanah.
Bukkk! Peramal Maut megap-megap. Dadanya
yang baru saja sembuh dari luka dalam terasa se-
sak bukan main. Parasnya pun pucat pasi! Meski
demikian, lelaki ini tetap berusaha bertahan. Perlahan-lahan ia mencoba bangkit.
Namun sayang, tubuhnya kembali luruh di tanah.
Hantu Tangan Api tertawa bergelak mena-
tap keadaan Peramal Maut. Sepasang matanya
yang mencorong jelas memancarkan hawa mem-
bunuh. "Celaka! Jangan-jangan tua bangka ini
memang menghendaki nyawaku?" desis Peramal
Maut, kecut. "Hm...! Sial benar nasibku belakan-gan ini. Sudah dipermalukan
Siluman Ular Putih
dua kali, masih pula harus berbentrokan dengan
Hantu Tangan Api."
Di depan sana, tampak Ki Banaspati mulai
melangkah mendekati Peramal Maut. Kedua tela-
pak tangannya telah berubah merah menyala
hingga pangkal siku. Sekali saja kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan, mustahil bagi
Peramal Maut dapat lolos dari tangan maut tokoh
sesaat dari Bukit Pedang itu.
"Ha ha ha...! Rasakanlah, Peramal Maut!
Manusia culas macam kau memang tak patut
menikmati indahnya dunia ini. Sikat saja tua
bangka culas itu, Kakek Merah!"
Tiba-tiba terdengar satu suara yang amat
dikenali Peramal Maut. Bersamaan dengan itu,
Peramal Maut melihat dua sosok bayangan berke-
lebat cepat mendekati tempat itu.
"Setan alas! Siapa lagi manusia-manusia
pencari mati ini, hah"!"
9 Sepasang mata merah menyala Hantu Tan-
gan Api kian bergerak-gerak beringas. Tak jauh di hadapannya kini telah berdiri
dua sosok tubuh.
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berambut gondrong dengan pakaian rompi
dan celana bersisik warna putih keperakan. Se-
dang di sebelahnya adalah seorang gadis cantik
berpakaian indah warna merah. Rambutnya yang
hitam panjang digelung ke atas dihiasi mutiara-
mutiara indah warna biru.
"Hantu Tangan Api! Rupanya, apa yang
kau katakan benar. Mereka memang manusia-
manusia pencari mati. Dan kalau kau tahu siapa
mereka, kau tentu akan terkejut. Terutama sekali, pemuda edan itu!" kata Peramal
Maut seraya menuding ke arah dua anak muda itu.
"Jangan mempermainkan aku, Peramal
Maut! Siapa dua bocah ingusan tak tahu diri itu?"
bentak Ki Banaspati.
"Ha ha ha,..!" Peramal Maut malah tertawa.
Lalu dengan susah payah ia melompat bangun.
"Katakan siapa dua bocah itu, Peramal
Maut!" bentak Hantu Tangan Api. Kali ini hawa amarah yang menggelegak dalam dada
benar-benar tak dapat lagi dikendalikan.
"Ketahuilah, Hantu Tangan Api. Manusia-
manusia pencari mati itu adalah Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil."
"Hah"! Siluman Ular Putih?" tokoh sesat dari Bukit Pedang itu terperangah,
seolah tak percaya dengan pendengarannya.
"Benar. Kunyuk gondrong itulah yang ber-
gelar Siluman Ular Putih!"
"Hhh...!"
Hantu Tangan Api mendengus gusar. Sepa-
sang mata bengisnya mencorong ke arah Ratu
Adil dan Siluman Ular Putih.
"Benarkah kau yang bergelar Siluman Ular
Putih, Bocah?" lanjut Hantu Tangan Api tetap dengan suara garang.
"Harap jangan menelan mentah-mentah
apa yang dikatakan Peramal Maut, Kakek Merah!
Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang
menyebabkan kau mencari-cari Siluman Ular Pu-
tih?" ujar Siluman Ular Putih santai. Sedikit pun tidak menyiratkan kesan gentar
dari raut wajahnya yang selalu menyunggingkan senyum.
"Jangan terlalu banyak menjual lagak, Bo-
cah! Katakan! Benarkah kau yang bergelar Silu-
man Ular Putih"!" tanya Hantu Tangan Api minta ketegasan.
"Hantu Tangan Api! Dia itulah yang berge-
lar Siluman Ular Putih!" sela Peramal Maut.
Siluman Ular Putih hanya mengumbar se-
nyum. Namun tidak demikian dengan Ki Banas-
pati. Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi kalau pemuda gondrong di hadapannya
adalah orang yang
bergelar Siluman Ular Putih. Apalagi manakala
melihat ciri-ciri pemuda gondrong di hadapannya.
"Hm...! Bagus! Kalau begitu kau memang
datang mengantar nyawa, Siluman Ular Putih! Ke-
tahuilah! Sekarang aku datang memenuhi tan-
tanganmu!" dengus Ki Banaspati.
"Hey...! Siapa yang menantangmu berta-
rung, Kakek Merah" Aku merasa tidak pernah
menantangmu bertarung. Ah...! Kau ini ada-ada
saja! Mengenalmu saja baru kali ini. Bagaimana
aku bisa menantangmu bertarung" Yang benar
saja, ah?" tukas Soma, kalem.
"Keparat! Kau jangan banyak tingkah, Si-
luman Ular Putih! Mustahil aku keluar dari tem-
pat bertapa kalau tak mendengar tantanganmu
dan Pendidik Ulung!" dengus Hantu Tangan Api lagi. "Siapa" Siapa yang
menyebarkan fitnah itu,
Kakek Merah" Apakah tua bangka Peramal Maut
itu" Eh...! Di manakah tua bangka itu?"
Siluman Ular Putih langsung celingukkan
ke sana kemari, namun tak menemukan Peramal
Maut di tempat itu. Demikian pula Yustika. Aki-
bat perhatian mereka tercurah pada Hantu Tan-
gan Api, sehingga ketika Peramal Maut pergi di-
am-diam tak seorang pun yang tahu.
"Sontoloyo! Pasti tua bangka itu yang men-
jadi biang keroknya!" gerutu Siluman Ular Putih.
"Jangan libatkan Peramal Maut, Siluman
Ular Putih. Tua bangka itu tidak tahu apa-apa!"
kata Hantu Tangan Api.
"Jadi" Peramal Maut bukan yang menye-
barkan fitnah ini" Lalu, siapa orangnya, Kakek
Merah?" "Ini bukan fitnah, Bocah Goblok! Muridku
tak mungkin berani dusta padaku," sergah Ki Banaspati.
"Oh...! Jadi muridmu yang menyebarkan
fitnah ini" Siapakah murid brengsekmu itu, Ka-
kek Merah?"
"Setan Haus Darah!" sebut Hantu Tangan Api, tandas. "Tapi, ingat! Ini bukan
fitnah. Kau jangan mungkir, Siluman Ular Putih! Majulah kalau kau ingin
menantangku bertarung!"
Siluman Ular Putih mana sudi menuruti
perintah lelaki tua berbaju merah itu. Kepalanya malah menoleh ke arah Ratu
Adil. "Bagaimana ini, Yustika!" tanya Siluman Ular Pulih, minta pendapat.
"Kukira, memang Setan Haus Darahlah
yang telah menyebarkan fitnah ini. Habis, siapa
lagi kalau bukan dia!" sungut Ratu Adil.
"Hm...! Bisa jadi. Mungkin ia merasa den-
dam padaku, lalu menyeret gurunya dengan me-
nebar fitnah," duga Siluman Ular Putih. Kemudian perhatiannya beralih pada Hantu
Tangan api. "Dengar, Kakek Merah! Buka telingamu lebar-lebar! Aku sama sekali tidak
pernah menantang-
mu bertarung. Kau paham" Mungkin karena ulah
muridmu hingga kau keluar dari tempatmu ber-
tapa. Harap jangan salah paham, Kakek Merah!"
"Hm...!" Bukan main gusarnya hati Hantu Tangan Api. Ia tidak tahu mana yang
benar. Yang jelas, amarahnya saat itu benar-benar sudah
mencapai ubun-ubun kepala.
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau aku
sudah turun dari tempatku bertapa, berarti harus ada nyawa yang harus
kurenggut!" geram Ki Banaspati penuh kemarahan.
"Yah...! Kenapa urusannya jadi begini, Yus-
tika" Bagaimana ini?" ujar Siluman Ular Putih, la-lu menggaruk-garuk kepala.
"Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini.
Soma!" cetus Ratu Adil mengusulkan.
"Ah, ya" Kau benar, Yustika. Daripada me-
ladeni Kakek Merah itu, lebih baik memang me-
ninggalkan tempat ini. Ayo!"
Siluman Ular Putih buru-buru menggan-
deng lengan Ratu Adil. Namun belum sempat me-
reka melangkah, tahu-tahu Hantu Tangan Api te-
lah melompat melewati kepala kedua orang anak
muda itu. Dan mantap sekali kakinya mendarat
di hadapan Siluman Ular Putih dan Yustika se-
jauh empat tombak.
"Boleh saja kalian berdua meninggalkan
tempat ini. Asal, tinggalkan kepala kalian di sini!"
bentak Hantu Tangan Api, sarat ancaman.
"Wah...! Mana bisa begitu, Kakek Merah."
"Bisa tidak bisa, kalian berdua harus mod-
ar di tanganku!" putus Hantu Tangan Api, langsung menerjang Siluman Ular Putih
dan Ratu Adil. Kedua telapak tangan Ki Banaspati yang
telah berubah jadi merah menyala hingga sampai
pangkal siku segera menghantam ke depan,
membuat dua larik sinar merah menyala melesat
cepat, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih
dan Ratu Adil. Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terperan-
gah. Mereka kontan merasakan hawa panas bu-
kan main, sebelum serangan-serangan tokoh se-
sat dari Bukit Pedang itu mengenai sasaran.
Wesss! Wesss! Menyadari adanya ancaman berbahaya, Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil segera melempar-
kan tubuh ke samping. Sehingga, dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangan Hantu
Tangan Api terus menerabas ke belakang. Dan....
Brakkk! Batang pohon sebesar tiga lingkaran tan-
gan manusia dewasa di belakang Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil yang menjadi sasaran seketi-
ka memperdengarkan bunyi berderak. Kemudian
disusul suara bergemuruh, sebelum akhirnya
tumbang! Blammm! Tanah debu berpasir kontan membubung
tinggi memenuhi tempat pertarungan. Ki Banas-
pati yang merasa geram sekali melihat serangan-
nya dapat dihindari dengan begitu mudah, kem-
bali menerjang Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
ganas. Kedua telapak tangannya yang berwarna
merah menyala kembali menghentak ke depan.
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wesss! Wesss! Srang! Ratu Adil cepat menarik keluar pedang pu-
sakanya yang menggelantung di pinggang. Tu-
buhnya segera melenting tinggi ke udara meng-
hindari sinar merah milik Ki Banaspati. Setelah
membuat putaran beberapa kali, dengan jurus
'Pedang Menembus Bulan' tubuhnya meluruk
dengan kecepatan luar biasa. Dan tiba-tiba, mata pedangnya telah mengancam ubun-
ubun kepala Hantu Tangan Api.
Sedang Siluman Ular Putih sendiri pun ru-
panya tak mau ketinggalan. Begitu melihat seran-
gan datang, murid Eyang Begawan Kamasetyo se-
gera mengeluarkan jurus 'Terjangan Maut Ular
Putih' andalannya. Tubuhnya cepat melompat ke
atas, lalu meluruk dengan kedua telapak tangan
telah membentuk dua kepala ular. Dan dengan
mengandalkan patukan-patukan kedua telapak
tangannya, langsung diserangnya Hantu Tangan
Api. Hebat bukan main kecepatan serangan Silu-
man Ular Putih. Ratu Adil yang menyerang lebih
dulu bahkan sempat tersusul.
Tukkk! Tukkk! Dua kali patukan tangan Siluman Ular Pu-
tih telak mengenai iga kiri Hantu Tangan Api.
Namun hebatnya, tubuh lelaki tua itu hanya
sempat terjajar ke samping tanpa sedikit menge-
luarkan suara pekikan. Bahkan pada saat demi-
kian, Ki Banaspati segera menghentakkan ka-
kinya ke tanah. Seketika tubuhnya yang tinggi
kurus langsung melenting tinggi ke udara. Kedua
telapak tangannya yang makin merah menyala
langsung menghentak.
Serangan Ratu Adil yang di mata Hantu
Tangan Api terlihat lambat jadi terkesiap kaget.
Sungguh sama sekali tidak disangka kalau seran-
gannya malah didahului Hantu Tangan Api. Pa-
dahal untuk merubah arah serangan, jelas tidak
mungkin. "Awas, Yustika!" teriak Siluman Ular Putih dari bawah.
Menyadari bahaya maut mengancam, Ratu
Adil segera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga
Samudera' yang menjadi andalan gurunya di Nu-
sa Kambangan. Maka saat itu juga, jari-jari tan-
gannya berubah menjadi biru begitu tenaga da-
lamnya tersalur. Dan setelah memindahkan pe-
dang ke tangan kiri....
"Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Ratu Adil cepat
mengguratkan jari-jari tangan kanan ke udara.
Seketika, meluruk lima larik sinar biru dari jari-jari tangan kanannya memapak
sinar-sinar merah
yang dilepaskan Ki Banaspati.
Classs! Classs! '
Lima larik sinar biru dari jari-jari tangan
Ratu Adil langsung berbenturan dengan sinar-
sinar merah Hantu Tangan Api. Saat itu juga
tempat pertarungan jadi terang benderang. Se-
mentara tubuh Ratu Adil pun yang masih di uda-
ra kontan terlempar jauh ke belakang.
Bukkk! Ratu Adil mengeluh tertahan begitu tu-
buhnya menghantam tanah. Parasnya pucat pas-
ti. Kedua bibirnya bergetar-getar hebat menahan
guncangan dalam dada!
"Kau tidak apa-apa, Yustika?" tanya Siluman Ular Putih cemas bukan main begitu
berada di dekat Ratu Adil.
Ratu Adil hanya tersenyum getir seraya
menggeleng perlahan.
"Tapi, kau terluka dalam, Yustika?" tukas Siluman Ular Putih tak puas melihat
Ratu Adil berusaha tegar di hadapannya. Padahal ia tahu,
akibat bentrokan tenaga dalam tadi telah menga-
duk-aduk isi dada si gadis.
"Cepat telan obat ini!" ujar Siluman Ular Putih sambil mengeluarkan butiran
kuning dari kantung kecil yang menggelantung di pinggang.
Ratu Adil cepat menerimanya dan langsung
menelan. Perlahan-lahan hawa dingin mulai men-
jalari tenggorokan dan terus menerabas ke dalam
perutnya. "Bersemadilah, Yustika! Biar luka dalammu
tidak bertambah parah," kata Siluman Ular Putih.
Lagi-lagi Ratu Adil hanya menggeleng per-
lahan. Malah dengan sigap segera melompat ban-
gun. "Yustika! Kau masih terluka!" cegah Siluman Ular Putih, cemas bukan main.
"Tak apa-apa, Soma. Ayo, kita balas seran-
gan Kakek Merah itu!" ajak Ratu Adil.
Siluman Ular Putih sebenarnya tidak rela
melihat Ratu Adil terlalu memaksakan diri. Na-
mun untuk mencegah jelas tidak mungkin. Gadis
itu telah dirasuki hawa amarah. Sehingga terlihat ingin sekali membalas
kekalahannya tadi.
Di hadapan mereka, tak henti-hentinya
Hantu Tangan Api terus mengumbar tawa. Kali ini
hatinya puas sekali melihat hasil serangannya ta-di. Hanya dalam sekali gebrakan
saja, gadis la-
wannya dapat dirobohkan. Namun manakala me-
lihat Ratu Adil dan Siluman Ular Putih telah berdiri di tempatnya kembali,
lelaki tua bengis itu ja-di menggeram murka.
"Bagus! Aku memang sudah tidak sabar la-
gi untuk mengirim nyawa kalian menemui malai-
kat maut! Majulah!" tangan Hantu Tangan Api bernada mengejek.
"Meski belum tahu duduk perkara yang se-
benarnya sampai kau menginginkan nyawa kami,
terpaksa kami harus membela diri, Kakek Merah,"
desis Siluman Ular Putih.
"Jangan banyak bacot, Bocah Tolol! Tahu
duduk persoalannya ataupun tidak, kalau Hantu
Tangan Api sudah berkehendak, siapa pun tidak
dapat menghalangiku. Dan sekarang, aku men-
ginginkan nyawa kalian. Maka kalian berdua pun
harus modar di tanganku!"
Belum lenyap gema suaranya, Hantu Tan-
gan Api tiba-tiba menekuk lututnya sedemikian
rupa. Sementara kedua telapak tangannya yang
masih merah menyala tiba-tiba kembali menyen-
tak ke depan. Seketika itu juga meluncur dua gu-
lungan bola api ke depan ke arah Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil.
Werrr! Werrr! Begitu melihat datangnya serangan, Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil segera bertindak.
Serta-merta, mereka segera menghentakkan ke-
dua telapak tangan ke depan. Masing-masing
dengan pukulan andalan, untuk memapak seran-
gan. Seketika sinar merah dan sinar putih mele-
sat, membentur bola-bola api yang dikeluarkan Ki Banaspati.
Besss! Aneh! Ternyata tidak terdengar bunyi leda-
kan sedikit pun akibat pertemuan pukulan-
pukulan andalan yang terjadi. Namun akibatnya,
tanah di sekitar tempat pertarungan mendadak
bergetar hebat. Sementara tubuh Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil pun tampak bergetar. Apalagi manakala gulungan dua bola api
dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api mulai mengem-
bang, menjadi lidah api yang menjulur-julur ke
tubuh mereka. "Ah...!"
Bukan main kagetnya hati kedua anak
muda itu. Mereka tidak menyangka kalau seran-
gan-serangan Hantu Tangan Api demikian hebat.
Meski telah mengerahkan tenaga dalam penuh,
tetap saja tubuh mereka tersurut beberapa lang-
kah ke belakang. Dan....
"Hea!"
Bersama teriakannya Hantu Tangan Api
menyentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Akibatnya tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil kontan terpelanting.
Bukk! Bukkk! Tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
jatuh saling tumpang tindih. Dan si pemuda men-
jadi kaget bukan main manakala melihat tubuh
Ratu Adil mendadak jadi lemas tak dapat dige-
rakkan lagi. Bukan main cemasnya hati murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu.
"Yustika!"
Siluman Ular Putih memekik kalap. Buru-
buru ditelitinya urat nadi di pergelangan tangan Ratu Adil. Ternyata Soma masih
merasakan getaran pada nadi si gadis. Dan pemuda itu pun bisa
menghela napas lega. Ternyata Ratu Adil hanya
pingsan. Meski demikian, Siluman Ular Putih te-
tap tak dapat menerima kenyataan itu. Setelah
menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratu Adil
segera pemuda ini melompat bangun.
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar ingin mengadu nyawa denganmu, Kakek Merah!"
dengus Siluman Ular Putih, gusar bukan main.
Hantu Tangan Api hanya tertawa bergelak. Se-
telah tawanya habis, kembali kedua telapak tangannya disentakkan ke depan.
10 Dua gulungan bola api dari kedua telapak
tangan Hantu Tangan Api kembali bergulung-
gulung mengerikan siap meluluhlantakan tubuh
Siluman Ular Putih. Ketika bergesekan dengan
udara terdengar suara bergemuruh mengandung
hawa panas luar biasa!
"Hm...! Rupanya kau benar-benar mengin-
ginkan kematianku, Kakek Merah. Sayang sekali.
Kukira, kau tak semudah itu untuk merobohkan-
ku," desis Siluman Ular Putih saking tak tahan menahan amarah.
Siluman Ular Putih merasa sekarang saat-
nya untuk mengerahkan pukulan andalan
'Tenaga Inti Bumi'. Maka begitu kedua telapak
tangannya berubah putih terang hingga pangkal
siku, segera dihentakkan ke depan. Seketika me-
luruk dua larik sinar putih terang langsung me-
mapak bola-bola api.
Wesss! Wesss! Blammm! Terdengar ledakan hebat ketika dua tenaga
dalam tingkat tinggi itu beradu di udara. Tanah di sekitar tempat pertarungan
membuncah dan ber-hamburan tinggi di udara. Angin berkesiur akibat bentrokan
tadi membuat daun-daun di sekitarnya
hangus terbakar!
Pada saat terjadinya bentrokan, tubuh
Hantu Tangan Api dan Siluman Ular Putih pun
sama-sama terpental ke belakang dengan paras
pias. Namun, Ki Banaspati segera dapat mengata-
si keseimbangan tubuhnya walaupun dengan wa-
jah kaget. "Setan alas! Rupanya kau masih terhitung
murid tua bangka dari Gunung Bucu itu, Bocah!"
dengus Hantu Tangan Api.
"Harap jangan membawa-bawa nama
eyangku, Kakek Merah! Kau tak pantas menyebut
eyangku!" ejek Siluman Ular Putih seraya membe-sut darah yang membasahi bibir
dengan pung- gung tangan. Setelah melirik sebentar punggung tangan-
nya yang bernoda darah, Siluman Ular Putih se-
gera melompat bangun. Sayang, tubuh murid
Eyang Begawan Kamasetyo agak limbung akibat
bentrokan tadi. Namun, pemuda ini berusaha te-
gar. Malah kini bersiap-siap menggabungkan ke-
dua pukulan andalan eyangnya di Gunung Bucu.
Setelah membuat gerakan, tangan kanan
Siluman Ular Putih jadi merah menyala. Sedang
tangan kirinya telah berubah menjadi putih te-
rang penuh 'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti
Api'! "Hebat! Tak kusangka kau yang masih semuda ini sudah mampu menggabungkan
pukulan 'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti Api'. Benar-
benar hebat! Aku patut mengagumimu, Bocah.
Tapi sayang, kekagumanku hanya berakhir sam-
pai di sini. Karena sebentar lagi, kau akan modar di tanganku!"
Siluman Ular Putih sedikit pun tak meng-
gubris ucapan Hantu Tangan Api. Hawa amarah
yang telah memenuhi dada membuatnya tak sa-
bar lagi untuk segera melontarkan pukulan anda-
lan. "Sekaranglah saatnya kau menerima kematianmu, Bocah! Hea!"
Di akhir bentakannya, tiba-tiba tokoh sesat
dari Bukit Pedang itu segera mengerahkan tenaga
dalamnya untuk melepas pukulan pamungkas
yang bernama pukulan 'Gemuruh Badai Api'. Dan
begitu kedua telapak tangannya telah berubah ja-
di merah terang, segera disentakkan ke depan.
Saat itu juga lidah api yang berkobar-kobar me-
luncur dari kedua telapak tangannya disertai an-
gin kencang berkesiur yang menggemuruh!
Werrr! Werrr! Benar-benar mengerikan lidah api yang
berkobar-kobar dari kedua telapak tangan Hantu
Tangan Api. Hawa panas yang ditimbulkannya
pun amat luar biasa. Sehingga sebelum seran-
gannya mengenai sasaran, terlebih dahulu terasa
hawa panas yang membakar kulit tubuh.
"Edan! Benar-benar satu pukulan maut
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang amat mematikan. Hm...! Sungguh dunia
persilatan bisa berantakan bila sepak terjang tokoh sesat ini tak dapat
dihentikan. Yah...! Sekaranglah saatnya aku mencoba menghentikan se-
pak terjangnya," kata batin Siluman Ular Putih.
Tanpa banyak buang waktu, Siluman Ular
Putih pun segera menghentakkan kedua telapak
tangannya ke depan, membuat dua larik sinar
merah dan putih meluncur cepat laksana kilat.
Besss! Tak ada ledakan yang berarti akibat ben-
trokan dua tenaga dalam barusan. Namun hebat-
nya, tubuh Siluman Ular Putih tampak goyah.
Kedua kakinya pun melesak ke dalam tanah.
Bahkan geraham si pemuda sampai bergemelutuk
saat berusaha menahan laju serangan Hantu
Tangan Api. Saat itu juga tenaga dalamnya dili-
patgandakan dengan kedua telapak tangan men-
dorong ke depan. Namun, celakanya malah kedua
kakinya makin terperosok ke dalam tanah. Dan....
"Aughhh...!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menjerit ke-
ras. Tanpa ampun tubuhnya terpental jauh ke be-
lakang dan terbanting keras.
Bukkk! Siluman Ular Putih menggereng penuh ke-
marahan. Seisi dadanya seolah-olah diaduk-aduk
hawa panas akibat pukulan Hantu Tangan Api.
Sementara kedua telapak tangannya pun mele-
puh! "Edan! Kenapa jadi begini" Hm...! Kukira sudah saatnya aku harus
mengeluarkan ajian
'Titisan Siluman Ular Putih'...," gumam Siluman Ular Putih gusar.
Siluman Ular Putih cepat beringsut dan se-
gera duduk bersila. Kedua telapak tangannya di-
rangkapkan di depan dada. Sementara kedua bi-
birnya mulai bergerak-gerak membacakan mantra
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'.
Tepat ketika mantra ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih' selesai dibacakan, saat itu juga tubuh Soma telah dipenuhi asap
putih tipis. Dan kini
sosoknya yang kekar hilang terbungkus asap pu-
tih bergulung-gulung.
Di tempatnya Hantu Tangan Api tercekat
untuk beberapa saat. Namun lelaki tua sesat ini
masih belum bertindak, kecuali hanya terus
memperhatikan ilmu yang akan dikeluarkan Si-
luman Ular Putih.
Ternyata setelah asap putih yang menyeli-
muti tubuh Siluman Ular Putih itu hilang tertiup angin....
"Ggggeeerrr...!!!"
* * * Bukan main terkejutnya Hantu Tangan Api
begitu melihat perubahan wujud musuh mu-
danya. Seketika sepasang matanya yang menco-
rong membelalak liar. Betapa di hadapannya kini
pemuda gondrong tadi telah menjelma menjadi
sosok seekor ular putih raksasa dengan taring-
taring yang runcing!
"Hm...! Jadi"! Inikah ilmu yang kau bang-
ga-banggakan itu, Siluman Ular Putih?"
Ular putih raksasa sebesar pohon kelapa
itu hanya menggereng penuh kemarahan. Suara
gerengannya yang berat terdengar menggema di
segenap penjuru. Ekornya, tak henti-hentinya
mengibas-ngibas ke sana kemari.
Bummm! Bummm! Bumi kontan bergetar hebat begitu terkena
kibasan-kibasan ekor Siluman Ular Putih. Tanah
berpasir di sekitar tempat pertarungan pun kon-
tan membuncah ke sana kemari.
"Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih mulai bersiap-siap me-
nerjang Hantu Tangan Api. Ekornya yang besar
sedikit ditekuk ke samping. Sedang taring-
taringnya yang berkilauan tertimpa sinar rembu-
lan tampak demikian mengerikan, seolah tak sa-
bar untuk mengganyang tubuh musuhnya.
"Siluman Ular Putih! Meski kau telah men-
jelma jadi ular putih raksasa, jangan dikira aku tak dapat merobohkanmu! Hayo,
majulah! Akan kulihat, sampai di mana kehebatanmu!" tantang tokoh sesat dari Bukit Pedang itu
pongah. Seolah ia yakin dapat merobohkan ular putih raksasa di
hadapannya dalam sekali gebrakan.
"Gggeeerrr!"
Ular Putih raksasa itu mengibas-ngibaskan
ekornya kasar. Dan dengan satu sentakan, sosok
panjangnya telah menerjang hebat Hantu Tangan
Api! Wesss! Justru Ki Banaspati tertawa pongah meli-
hat ular putih raksasa itu mulai bertindak. Tapi ketika serangan Siluman Ular
Putih hanya tinggal beberapa depa lagi, tubuhnya cepat berkelit seraya
mengirimkan satu jotosan keras yang tak
dapat dicegah lagi.
Bukk! Bukkk! Dua kali bogem mentah Hantu Tangan Api
mendarat telak di tubuh Siluman Ular Putih. Aki-
batnya tubuh ular putih raksasa itu terlempar
jauh ke samping diiringi teriakan keras, amat
memekakkan telinga!
"Ggggeeerrr!"
Hantu Tangan Api mencelos kaget melihat
kenyataan bahwa tubuh ular putih raksasa itu
tak mengalami cedera sedikit pun. Jangankan ter-
luka. Lecet pun tidak! Melihat kenyataan ini, hatinya jadi menggeram murka.
"Bangsat! Rupanya kau kebal juga terha-
dap pukulanku, Ular Putih Jejadian!"
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan
ekornya liar. Sepasang matanya yang mencorong
seolah ingin melumat tubuh lawannya.
"Majulah! Jangan dikira aku tak sanggup
meladenimu!" tantang Hantu Tangan Api diam-
diam kembali mengerahkan pukulan andalan.
Ular putih raksasa itu tampak demikian
marah begitu melihat kedua telapak tangan Han-
tu Tangan Api telah berubah jadi merah menyala
hingga ke pangkal. Hal ini saja sudah membukti-
kan kalau tokoh sesat dari Bukit Pedang ini be-
nar-benar telah mengerahkan kekuatan tenaga
dalam secara penuh.
"Gggeeerrr...!"
Tiba-tiba ular putih raksasa itu kembali
menerjang hebat. Hantu Tangan Api. Taring-
taringnya yang runcing pun kembali mengancam
lawan. Namun tokoh sesat dari Bukit Pedang ini
tak gentar sedikit pun. Dengan menjengekkan hi-
dungnya, tiba-tiba telapak tangannya kembali di-
hantamkan ke depan.
Werrr! Werrr! Seketika dua gulungan bola api dari kedua
telapak tangan Hantu Tangan Api melesat cepat
ke depan, memapak tubuh ular putih raksasa
yang masih melayang di udara.
"Gggeeerrr! Gggeeerrr!"
Ular putih raksasa itu menggereng hebat.
Tubuhnya yang panjang jatuh ke tanah, langsung
oleng ke sana kemari. Sedang dua gulungan bola
api dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api
tak henti-hentinya menyerang ular putih raksasa
itu. "Mampuslah kau, Ular Jejadian!"
Ular putih raksasa itu terus menggeliat.
Namun hebatnya, sosoknya yang panjang memu-
tih sama sekali tidak terpengaruh oleh gulungan
bola api yang mengurung.
Dan melihat kenyataan itu, hati Hantu
Tangan Api jadi gusar bukan main. Lebih gusar
lagi manakala tiba-tiba ekor ular putih raksasa
itu tahu-tahu telah meluruk mengancam tubuh-
nya. "Setan alas!" geram Hantu Tangan Api jengkel bukan main. Namun untuk
menghindar ia sudah terlambat. Akibatnya....
Bukkk! Tanpa ampun lagi tubuh kurus kering itu
pun telah jadi sasaran empuk kibasan ekor ular
putih raksasa jelmaan murid Eyang Begawan
Kamasetyo. Diiringi raungan setinggi langit, tubuh
Hantu Tangan Api kontan terlempar jauh ke bela-
kang dan terbanting keras dengan wajah pias.
Punggungnya yang terkena kibasan terasa mau
remuk. Untung saja tadi tenaga dalamnya telah
dikerahkan hingga tidak mengalami cedera berar-
ti. "Bangsat! Akan kubalas kibasan ekormu
tadi, Ular Putih Keparat! Akan kuhancurkan tu-
buhmu hingga berkeping-keping!" geram Hantu Tangan Api murka.
Tanpa banyak basa-basi lagi Hantu Tangan
Api segera melompat bangun. Darah segar yang
mengalir di sudut bibir segera dibesut dengan
menggunakan punggung tangannya.
"Kali ini kau tak mungkin lolos dari tangan mautku, Ular Putih Keparat! Makanlah
pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Hantu Tangan
Api kembali menerjang ular putih raksasa itu ga-
nas. Kedua telapak tangannya yang kian berubah
merah menyala segera disentakkan ke arah ular
putih raksasa itu. Saat itu juga meluruk dua lidah api yang berkobar-kobar dari
kedua telapak tangannya, langsung melabrak tubuh Siluman
Ular Putih tanpa ampun!
"Gggeeerrr! Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. So-
soknya yang panjang memutih oleng ke sana ke-
mari. Sedang lidah api yang berkobar-kobar dari
kedua telapak tangan Hantu Tangan Api terus
membakar sekujur tubuhnya tanpa ampun.
Lelaki tua kurus kering itu sendiri pun tak
sudi mengendurkan serangannya. Dengan menge-
rahkan segenap tenaga dalamnya, kobaran api
yang membakar sekujur tubuh Siluman Ular Pu-
tih pun makin mengerikan!
"Ggggeeerrr...!"
Bukan main hebatnya geliatan-geliatan tu-
buh Siluman Ular Putih. Tak henti-hentinya
ekornya dikibaskan ke sana kemari, seolah-olah
tak tahan dengan kobaran api yang memanggang
tubuhnya. "Ha ha ha...! Hari inilah nama besarmu
akan tamat, Siluman Ular Putih!" Hantu Tangan Api tertawa pongah.
Siluman Ular Putih kewalahan. Tampak
sekali kalau ular pulih raksasa itu sudah tak tahan lagi dengan lidah api yang
berkobar-kobar membakar tubuhnya.
"Ggggeeerrr...!!!"
Saking tidak tahan dengan kobaran api
yang memanggang tubuhnya, Siluman Ular Putih
menggereng hebat. Suaranya yang kasar dan be-
rat seolah-olah tengah menanggung derita maha
hebat! Ini lebih terbukti manakala tiba-tiba sekujur tubuhnya telah dipenuhi
asap putih tipis
hingga tidak kelihatan sama sekali.
Sejenak Hantu Tangan Api tertegun di
tempatnya. Lalu lelaki ini kembali tertawa bergelak sambil menunggu apa yang
akan dilakukan Siluman Ular Putih.
"Ha ha ha...! Kcluarkanlah semua kepan-
daianmu, Siluman Ular Putih! Kau toh tetap akan
tewas di tanganku!" ejek Hantu Tangan Api tertawa bergelak. Kini tangannya
diturunkan kembali,
membuat lidah api yang berkobar-kobar pun sir-
na. Sementara itu asap putih yang menyelimuti
sekujur tubuh ular putih raksasa itu pun mulai
sirna. Samar-samar dari gulungan-gulungan asap
putih itu, terlihat kalau sesosok tubuh pemuda
berpakaian rompi dan celana bersisik itu tengah
duduk bersila dengan paras pias! Darah segar
pun tampak keluar dari lobang hidung dan lobang
telinga, pertanda menderita luka dalam parah.
"Celaka! Rupanya memang sudah nasibku
harus modar di tangan Hantu Tangan Api...," desis Siluman Ular Putih gelisah
bukan main. Seku-
jur tubuhnya terasa lemah. Sulit sekali untuk
mengerahkan tenaga dalam.
"Ha ha ha...! Daripada kau menderita se-
perti itu, lebih baik lekas kukirim menemui ma-
laikat maut, Bocah! Selamat tinggal!" ejek Hantu Tangan Api.
Begitu habis kata-katanya, tokoh sesat dari
Bukit Pedang ini kembali menghentakkan kedua
telapak tangan ke depan, membuat dua larik si-
nar merah menyala meluncur, siap menghantam
tubuh Siluman Ular Putih.
Namun belum sempat dua larik sinar me-
rah itu mencapai sasaran, mendadak berkelebat
sesosok bayangan hitam, langsung menyambar
tubuh Siluman Ular Putih. Dan dengan kecepatan
mengagumkan meninggalkannya tempat itu.
"Bajingan! Siapa lagi yang berani main gila dengan Hantu Tangan Api, hah"!"
bentak Hantu Tangan Api gusar bukan main.
Tapi sayang, sosok bayangan hitam itu te-
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lah berkelebat di kejauhan sana. Lebih dari itu, ternyata sosok tubuh Ratu Adil
yang tadi tergeletak di luar tempat pertarungan pun sudah tak be-
rada di tempatnya lagi!
"Setan alas! Berani benar mempermainkan
Hantu Tangan Api seperti ini!"
Saking tak kuatnya amarah yang memba-
kar dada. Hantu Tangan Api membanting kakinya
keras. Seketika, tanah tempat bekas berpijaknya
terbongkar! Tanah berpasir di tempat itu pun
kontan membubung tinggi di udara, membuat
suasana di tempat itu jadi gelap pekat. Dan saat debu-debu yang membubung tinggi
itu sirna tertiup angin, ternyata sosok Hantu Tangan Api te-
lah meninggalkan tempat itu!
11 Sosok bayangan hitam-hitam yang melari-
kan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terus ber-
kelebat cepat menembus kegelapan malam. Meski
sambil memanggul dua sosok tubuh, sosok
bayangan hitam itu ternyata mampu berkelebat
cepat tanpa mengalami kesulitan sedikit pun. Hal ini jelas membuktikan kalau
ilmu meringankan
tubuhnya benar-benar sudah mencapai tingkat
tinggi! Srakkk! Srakkk!
Sesampainya di kawasan sebuah hutan ke-
cil, mendadak sosok bayangan hitam ini meng-
hentikan langkahnya. Untuk sesaat, ia masih te-
gak di tempatnya tanpa berbuat sesuatu. Hanya
kedua bola matanya saja yang bergerak-gerak
mengawasi keadaan sekitarnya dengan seksama.
"Hm...! Kukira tak ada orang yang sedang
mengawasiku. Juga, tua bangka itu. Sebaiknya
aku cepat masuk," gumam sosok bayangan itu
dalam hati. Dengan langkah hati-hati, sosok bayangan
itu menyibak semak belukar yang ternyata di ba-
liknya terdapat sebuah mulut goa. Tanpa ragu-
ragu sosok bayangan itu segera membawa Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil masuk ke dalam
goa. "Siapa"! Apakah kau yang datang, Paman?"
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan.
Sosok bayangan hitam itu tidak menyahut,
kecuali hanya batuk-batuk kecil. Kakinya terus
melangkah lebar memasuki goa. Dalam goa itu
memang tidak begitu lebar. Luasnya kira-kira
empat kali lima tombak. Namun di dalamnya ter-
dapat dua lorong kecil yang memisahkan ruang-
ruang di sebelahnya.
"Siapa yang kau bawa itu Paman?" tanya suara halus dengan kepala menyembul dari
balik lorong goa. Ternyata suara itu datang dari mulut seorang gadis cantik yang
mengenakan pakaian
serba hijau dengan rambut digelung ke atas. Hia-
san-hiasan bunga melati tampak menyemaraki
rambutnya. Sosok bayangan hitam itu tetap tidak me-
nyahut. Ia hanya mengisyaratkan gadis itu agar
masuk. Gadis itu menurut, segera melangkah
masuk. Baru kemudian, disusul sosok bayangan
itu. Dalam sebuah ruangan berukuran empat
kali lima tombak, sosok bayangan hitam itu sege-
ra meletakkan tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil ke tumpukan jerami. Sekali lihat saja, ia tahu kalau kedua anak muda itu
tengah menderita luka dalam amat hebat.
"Siluman Ular Putih...!" desis gadis cantik itu begitu mengenali sosok pemuda
berpakaian putih keperakan yang tengah tergeletak tak ber-
daya ditumpukan jerami.
"Ya! Dia memang Siluman Ular Putih. Tadi
sewaktu kita tidur, tiba-tiba aku mendengar sua-
ra orang tengah bertarung. Lalu diam-diam, aku
menyelinap keluar untuk melihat. Namun betapa
terkejutnya saat melihat Siluman Ular Putih ten-
gah bertarung melawan Hantu Tangan Api. Hm...!
Tak kusangka tua bangka itu kembali gentayan-
gan di dunia persilatan. Untung saja aku segera
bertindak. Kalau tidak, bukan mustahil Siluman
Ular Putih dan teman-temannya ini sudah tewas
di tangan Hantu Tangan Api."
"Siapa sebenarnya Hantu Tangan Api itu,
Paman?" tanya gadis itu penasaran sekali. Kalau Siluman Ular Putih sampai dapat
dikalahkan, tentu Hantu Tangan Api memiliki kesaktian yang
tinggi. Begitu pikir si gadis dalam hati.
"Dia adalah salah seorang tokoh sesat yang
sangat ditakuti di dunia persilatan. Arum. Kesak-tiannya sangat tinggi. Jarang
sekali yang mampu
menandingi sepak terjangnya. Aku sendiri mung-
kin tak mampu menghentikannya. Untuk itulah
aku lebih baik memilih menghindar dan menye-
lamatkan kedua orang anak muda itu," jelas sosok bayangan berpakaian hitam-hitam
yang ter- nyata seorang kakek renta.
"Paman Pendidik Ulung! Sedemikian he-
batnyakah kesaktian Hantu Tangan Api hingga
membuat Paman tampak ketakutan?" tanya gadis itu yang ternyata Arum Sari, heran.
"Harus kuakui, ilmu Paman masih seting-
kat di bawah Hantu Tangan Api. Untuk itulah
Paman memilih menyelamatkan Siluman Ular Pu-
tih dan kawannya daripada meladeni Hantu Tan-
gan Api," jelas si tua yang ternyata Pendidik Ulung. "Hm...! Tapi, buk...."
"Sudahlah, Arum! Sekarang kau duduk sa-
ja di situ. Paman akan menyembuhkan luka da-
lam kedua anak muda itu!" potong Pendidik
Ulung cepat. "Baik, Paman."
Pendidik Ulung segera mendekati tubuh Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil. Dalam pandan-
gan matanya, ia tahu kalau kedua anak muda itu
sama-sama menderita luka dalam parah.
Tanpa banyak cakap, Pendidik Ulung sege-
ra membalikkan tubuh Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil. Lalu ia sendiri duduk bersila di tengah tubuh kedua anak muda itu.
Telapak tangan kanannya segera ditempelkan ke punggung Siluman
Ular Putih. Sedang telapak tangan kiri segera ditempelkan ke punggung Ratu Adil.
Sejurus ke- mudian, mulailah tenaga dalamnya disalurkan ke
tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil.
Selama Pendidik Ulung sibuk mengobati Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil, entah kenapa
hati Arum Sari jadi rusuh bukan main. Sebentar-
sebentar, matanya memandang ke arah Siluman
Ular Putih. Namun sebentar kemudian, tatapan-
nya beralih pada Ratu Adil.
"Ah...! Pantas saja Soma lebih mencintai
gadis itu dibanding aku. Harus kuakui, gadis itu memang cantik. Mungkin masih
lebih cantik dia
dibanding aku. Tapi.... Tapi...."
Arum Sari tidak melanjutkan perasaan ha-
tinya yang sedang gundah. Ia hanya menggigit bi-
birnya kuat-kuat, seolah-olah ada kegalauan di
balik wajahnya yang cantik. Gadis ini sedih sekali bila mengingat penolakan
Siluman Ular Putih atas permintaan ibunya beberapa hari lalu. Kalau saja Soma
tak menolak permintaan ibunya, ahh...!
Arum Sari tak sanggup membayangkan betapa
bahagianya bila dapat sehidup semati bersama Si-
luman Ular Putih. Tapi sayang, pemuda itu ter-
nyata tak memenuhi permintaan ibunya. Juga,
tak memenuhi keinginan hatinya.
Arum Sari mengeluh tertahan. Tanpa sadar
matanya jadi merembang bila mengingat penola-
kan Siluman Ular Putih.
"Aku heran" Benarkah aku kalah cantik
dengan gadis cantik itu?" gumam Arum Sari kian dipermainkan perasaan.
"Ah...!" keluh Arum Sari tiba-tiba.
Saking tidak kuatnya menahan gejolak da-
lam hatinya, hampir saja Arum Sari menjerit. Un-
tung saja ia masih bisa mengendalikan perasaan-
nya. Kini matanya lekat memperhatikan Pendidik
Ulung yang tengah sibuk mengobati Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil. Dari pandang matanya, jelas ia seperti dililit perasaan
cemas kalau-kalau Siluman Ular Putih maupun Pendidik Ulung tahu
apa yang meresahkan hatinya. Namun akhirnya
Arum Sari menghela napas panjang.
"Tenang-tenang! Mereka tak mungkin
mendengar apa yang tengah bergolak dalam hati-
ku," desah hati Arum Sari menenangkan dirinya sambil mengelus-elus dada.
Saat itu tampak tubuh Siluman Ular Putih
mulai bergerak-gerak. Selang beberapa saat, ter-
dengar Ratu Adil pun mengeluh. Kemudian seper-
ti tersentak kaget, Siluman Ular Putih dan Ratu
Adil pun buru-buru berbalik.
"Jangan khawatir! Kalian berada di tempat
aman," ujar Pendidik Ulung.
Kini paras kakek renta itu tampak demi-
kian pias, saking banyaknya mengeluarkan tena-
ga dalam. Di samping itu, tubuh Pendidik Ulung
pun tampak gemetaran. Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil yang melihat keadaan Pendidik Ulung
jadi terharu sekali.
"Ah...! Ternyata kau yang telah menyela-
matkan nyawaku, Pendidik Ulung. Aku tak tahu,
bagaimana harus membalas budimu...," ujar Siluman Ular Putih, buru-buru
menelangkupkan kedua telapak tangan ke depan hidung penuh
hormat. "Budimu sungguh besar, Orang Tua. Tak
mungkin aku mampu membalas budimu yang be-
sar ini," kata Ratu Adil. Dengan penuh hormat gadis ini pun segera
menelangkupkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Sudahlah! Kita adalah orang-orang satu
golongan, kenapa kalian banyak peradatan?" tegur Pendidik Ulung. "Sekarang,
baiknya coba bersemadi biar luka dalam kalian cepat sembuh!"
"Baik, Orang Tua," sahut Ratu Adil penuh hormat. Namun manakala melihat Arum
Sari tampak diam membisu di tempatnya, gadis itu ja-
di merasa tak enak bila tidak menegurnya. "Nona pun tentunya telah menanam budi
padaku. Terima kasih, Nona. Kalau boleh tahu, siapakah na-
ma Nona" Aku, Yustika yang rendah ini mohon
berkenalan. Barangkali, lain waktu aku dapat
membalas budi Nona yang besar ini."
"Siapa yang menolongmu" Aku tidak meno-
longmu! Jadi, kenapa kau harus mengucapkan
terima kasih"!" sahut Arum Sari, terdengar ketus.
"Arum! Kau tak boleh berlaku kasar!" tegur Pendidik Ulung.
"Benar, Arum. Ada apa sih" Sejak kita tu-
run dari Gunung Bucu, kulihat sikapmu makin
aneh" Kau sering marah-marah walau tak ada
sebab pasti," tegur Siluman Ular Putih pula.
Arum Sari memandang gusar ke arah Pen-
didik Ulung dan Siluman Ular Putih. Lalu dengan
bibir memberengut, tiba-tiba gadis itu ngeloyor
meninggalkan tempat ini.
"Kau mau ke mana, Arum?" tanya Siluman
Ular Putih. "Sudahlah! Jangan hiraukan dia! Lebih
baik bersemadi saja biar luka dalammu cepat
sembuh!" "Hm...! Baiklah," ujar Siluman Ular Putih akhirnya.
Saat melihat Ratu Adil sudah tenggelam
dalam semadinya. Soma segera memusatkan piki-
rannya dan bersemadi.
* * * Keesokan harinya, Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil tengah duduk bersimpuh di hadapan
Pendidik Ulung. Keadaan mereka kini sedikit mu-
lai pulih setelah hampir semalam bersemadi. Wa-
lau belum sembuh benar, namun mereka kini su-
dah merasa lega karena dapat mengerahkan te-
naga dalam lagi.
"Kukira, sudah saatnya kami melanjutkan
perjalanan, Orang Tua," kata Siluman Ular Putih, mulai membuka percakapan.
"Kenapa buru-buru benar" Bukankah luka
dalam kalian belum sembuh?" tanya Pendidik
Ulung dengan kening berkerut.
"Memang belum, Orang Tua. Tapi kami kan
bisa menyembuhkan sambil jalan."
"Yah...! Kalau memang itu sudah menjadi
kehendak kalian, aku pun tak dapat lagi mena-
han. Cuma kalau boleh tahu, sebenarnya kalian
mau ke mana" Apakah kalian ingin kembali me-
nyatroni Hantu Tangan Api dan Setan Haus Da-
rah?" "Betul, Orang Tua. Tapi, di samping itu kami pun sebenarnya sedang mencari
seseorang."
Siluman Ular Putih yang menjawab.
"Siapa?"
Siluman Ular Putih tidak menjawab. Ma-
tanya malah mengerdip ke arah Ratu Adil.
"Gendon Prakoso, Orang Tua. Apakah kau
pernah bertemu atau mengenal orang yang ber-
nama Gendon Prakoso?" tanya Ratu Adil.
"Hm...!" kening Pendidik Ulung berkerut
dalam. "Rasa-rasanya aku belum pernah men-
dengar nama itu. Siapakah orang yang bernama
Gendon Prakoso itu, Gadis?"
"Dia... ayah kandungku, Orang Tua."
"Oh...!" Pendidik Ulung mengangguk-
angguk. "Sayang sekali aku tak mengenalnya. Ta-pi, aku pasti akan membantumu
untuk mencari- kan orang tuamu, Gadis."
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali."
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang tua! Di mana Arum Sari" Kenapa
aku tak melihatnya?" tanya Siluman Ular Putih.
"Hm...! Dia sedang latihan di luar."
"Oh, ya" Kalau begitu, kami sekalian pa-
mit, Orang Tua," lanjut Siluman Ular Putih.
"Pergilah!" Pendidik Ulung menganggukkan kepalanya.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil sejenak
menelangkup kedua telapak tangan ke depan hi-
dung. Lalu kedua anak muda itu segera melang-
kah meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di luar goa, Siluman Ular Pu-
tih dan Ratu Adil memang melihat Arum Sari ten-
gah berlatih silat. Namun begitu melihat kemun-
culan Soma bersama Ratu Adil latihannya segera
dihentikan. "Arum...! Kami akan melanjutkan perjala-
nan kembali. Terima kasih atas semua kebaikan-
mu," ucap Siluman Ular Putih berpamitan.
"Kau akan meninggalkanku, Soma?"
Arum Sari mendadak membelalakkan ma-
tanya lebar. "Iya."
"Dengan gadis itu?" tuding Arum Sari ke arah Ratu Adil.
"lya. Kenapa?"
"Ah...!" Arum Sari membantingkan kakinya kesal. "Jadi" Kau tak ingin lagi
membantuku mencari makam kedua orang tuaku, Soma?"
"Ah...! Bukan begitu maksudku, Arum. Ta-
pi...." Melihat gelagat yang kurang menyenangkan, Ratu Adil yang memang berwatak
halus se- gera tahu diri.
"Aku pergi, Soma," pamit Ratu Adil, tanpa pikir panjang lagi.
Habis berkata begitu, Ratu Adil pun segera
berkelebat cepat meninggalkan Soma dan Arum
Sari. Hanya dalam beberapa kelebatan saja so-
soknya telah berada di kejauhan sana.
"Tunggu, Yustika!"
Siluman Ular Putih hendak berkelebat
bermaksud menyusul Ratu Adil. Namun sebelum
bergerak, tiba-tiba Arum Sari telah menghadang
langkahnya. "Jadi" Kau lebih mencintai gadis itu. So-
ma?" tanya Arum Sari, tak dapat lagi menyembunyikan keresahan dalam hatinya.
"Aku.... Aku.... Ah...! Kenapa kau tanyakan ini, Arum" Aku tidak mencintai
siapa-siapa kecuali ibu dan eyangku," jawab Siluman Ular Putih, gelagapan.
"Jadi?" mata Arum Sari kian membeliak lebar. "Kau.... Kau memang pemuda tak tahu
diri, Soma. Kau.... Kau sekarang boleh pilih...."
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini?"
tanya Siluman Ular Putih gelisah bukan main.
Belum pernah seumur hidupnya segelisah itu.
"Kau terlalu memaksa, Arum. Baik. Untuk me-nentukan sikapku, sekarang aku tidak
mau ting- gal di sini. Juga, tidak mau menyusul ke mana
Yustika pergi. Aku akan meneruskan perjalanan
ke utara."
Saat itu juga Siluman Ular Putih segera
berkelebat meninggalkan tempat ini. Seperti yang diucapkannya, pemuda itu memang
berkelebat menuju utara. Entah kenapa, hati Arum Sari malah ber-
tambah gusar. Terus diperhatikannya sosok Si-
luman Ular Putih hingga menghilang di balik ke-
rimbunan hutan depan sana. Lalu dengan lang-
kah gontai, Arum Sari pun kembali masuk ke da-
lam goa. SELESAI Segera menyusul:
WARISAN AGUNG Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Document Outline
SELESAI Ilmu Silat Pengejar Angin 3 Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Playboy Dari Nanking 12
gan pukulan andalan 'Cahaya Kematian'. Begitu
kedua tangannya yang telah berubah biru terang
sampai pangkal lengan menyentak, seketika itu
pula meluruk dua larik sinar biru terang mela-
brak pukulan Peramal Maut!
Bummm! Bummm! Hebat bukan main ledakan yang terjadi kali
ini. Seketika bumi berguncang keras. Ranting-
ranting pohon berderak. Bersamaan itu, Pembu-
nuh Iblis pun memekik keras. Tanpa ampun lagi
tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Tubuhnya
berputar-putar sebentar, sebelum akhirnya ter-
banting keras. Sementara Peramal Maut tertawa bergelak.
Walau tubuhnya sempat terhuyung-huyung bebe-
rapa langkah ke belakang akibat bentrokan tadi,
namun masih jauh lebih baik dibanding keadaan
Pembunuh Iblis.
"Huahhh!"
Darah merah kehitaman kontan meluncur
dari mulut Pembunuh Iblis. Namun pemuda yang
mengenakan jubah biru itu tetap mencoba berta-
han. Sembari mendekap dadanya kuat-kuat, di-
cobanya untuk melompat bangun. Namun
sayang, begitu kedua telapak kakinya menjejak
tanah, keseimbangan tubuhnya hilang. Akibatnya
pemuda ini kembali tersuruk jatuh.
Peramal Maut menjengekkan hidungnya.
Melihat keadaan Pembunuh Iblis yang amat men-
genaskan lelaki tua bengis ini malah tertawa bergelak. Nyawa manusia seolah
hanya dianggap mainan yang menyenangkan.
"Sekaranglah saatnya kau menerima kema-
tian, Bocah!" desis Peramal Maut penuh lecehan.
Dengan serta-merta, kembali telapak tangan ki-
rinya menghentak ke depan.
Seketika kembali selarik sinar hitam legam
melesat dari telapak tangan kiri Peramal Maut,
siap mengganyang tubuh Pembunuh Iblis. Namun
belum sempat sinar hitam itu mengenai sasaran,
tiba-tiba sebuah bayangan putih keperakan ber-
kelebat cepat. Langsung disambarnya tubuh
Pembunuh Iblis.
Brakkk! Batang pohon di belakang Pembunuh Iblis
kontan tumbang begitu terkena pukulan Peramal
Maut. Debu-debu kontan membubung tinggi,
memenuhi tempat pertarungan.
"Bajingan! Siapa lagi yang ingin mengantar
nyawa, hah"!"
7 Peramal Maut mengedarkan pandangan ke
sekeliling sambil menggeram penuh kemarahan
karena lawan yang hendak dijadikan sasaran le-
nyap. Sementara, ia belum tahu siapa orang yang
menyelamatkan Pembunuh Iblis. Gulungan debu-
debu yang membubung tinggi memenuhi tempat
pertarungan membuat pandangannya terhalang.
Karena tak sabar lagi melihat orang yang telah
menggagalkan maksudnya, segera ujung jubah-
nya dia kibaskan.
Werrr! Angin kencang dari kebutan jubah Peramal
Maut langsung membuat gulungan-gulungan de-
bu yang membubung itu sirna. Seketika itu pula,
terlihat dua sosok tubuh berdiri tak jauh di hadapannya. Yang sebelah kanan,
seorang pemuda gondrong berpakaian rompi dan celana bersisik
warna putih keperakan. Sambil memondong tu-
buh Pembunuh Iblis, sosok berpakaian putih ke-
perakan yang tak lain Siluman Ular Putih terse-
nyum nakal. Sedang di sebelah Siluman Ular Putih ada-
lah seorang gadis cantik berpakaian merah. Ram-
butnya digelung ke atas semakin mempercantik
wajahnya, walaupun sedang mendengus marah.
Wajahnya menampakkan kemuakan melihat ulah
Peramal Maut yang dengan kejinya ingin membu-
nuh lawan tak berdaya.
"Kau memang biadab, Peramal Maut! Ma-
nusia macam kau memang patut dilenyapkan dari
muka bumi!" hardik si gadis, garang.
"Ratu Adil! Kalau kau tak terima, boleh se-
kalian maju menghadapiku. Kebetulan sekali
tongkatku ini sudah lama tak menelan korban,"
sahut Peramal Maut, mengejek.
Gadis cantik berpakaian merah yang me-
mang Ratu Adil hanya menjengekkan hidungnya.
Memang, Yustika alias Ratu Adil sendiri pun
hampir celaka di tangan Peramal Maut. Untung
saja Siluman Ular Putih waktu itu keburu datang
menolong. "Bagaimana, Soma" Apakah tua bangka ini
patut dihajar?" tanya Ratu Adil, meminta persetu-juan Siluman Ular Putih.
"Terserah! Tapi...."
"Jangan khawatir, Soma! Kalau tua bangka
ini tidak curang, aku yakin belum tentu dapat
merobohkanku," potong Ratu Adil, tegas.
"Hm...! Baiklah kalau memang itu maumu.
Tapi, hati-hati! Tua bangka itu penuh tipu muslihat," ingat Soma.
"Aku tahu. Soma."
Peramal Maut mendengus bak kerbau mau
disembelih. Hatinya kesal sekali mendengar pem-
bicaraan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil yang
sangat melecehkannya.
"Majulah, Gadis keparat! Kali ini kau tak
mungkin lolos dari tangan mautku!" bentak Peramal Maut.
Ratu Adil tersenyum dingin. Selangkah
demi selangkah kakinya maju mendekati Peramal
Maut. "Bagus! Rupanya kau sudah tak sabar
menjemput ajalmu! Sekaranglah saatnya kau
modar di tanganku!"
"Jangan pongah, Peramal Maut! Ajal seseo-
rang bukan terletak di tangan manusia, tapi di
tangan Yang Maha Kuasa. Dialah yang menguasai
nyawa seseorang."
"Jangan berkhotbah di hadapanku, Bocah
Kemarin Sore! Aku jadi tak sabar lagi untuk me-
robek-robek mulutmu!" dengus Peramal Maut,
langsung menerjang.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Peramal
Maut segera mengerahkan pukulan andalannya
'Gelap Ngampar'. Maka begitu kedua telapak tan-
gannya dihentakkan ke depan, dua larik sinar hi-
tam segera melesat cepat siap meluluh-lantakkan
tubuh Ratu Adil.
Wesss! Wesss! Ratu Adil sejenak menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dan saat merasakan hawa panas mu-
lai menyentuh kulit tubuhnya, dikerahkannya te-
naga dalam penuh. Langsung kedua telapak tan-
gannya didorong ke depan, memapak serangan
Peramal Maut. Blammm! Blammm!"
Terdengar dua kali ledakan hebat disertai
bunga api menyebar ke segala arah. Seketika
udara panas memenuhi tempat pertarungan. An-
gin berkesiur akibat bentrokan dua tenaga dalam
tingkat tinggi itu ternyata mampu membuat po-
hon-pohon di sekitar tempat pertarungan menger-
ing layu! Sementara tubuh Peramal Maut tampak
terjajar beberapa langkah ke belakang dengan pa-
ras pucat pasi. Darah segar membersit dari sudut bibirnya sambil menggeram penuh
kemarahan, buru-buru lelaki tua itu menyekanya dengan
punggung tangan.
Di hadapannya, tubuh Ratu Adil pun sem-
pat terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Akibat bentrokan tenaga dalam tadi kedua
tangannya terasa panas bukan main. Ratu Adil
segera menyalurkan tenaga dalamnya ke telapak
tangan hingga hawa panas yang menyerang ber-
kurang. Dadanya pun sempat terguncang, walau-
pun hanya sesaat.
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar tak in-
gin mengampunimu, Gadis Gendeng! Kau harus
modar di tanganku!"
Kini, Peramal Maut menekuk lututnya da-
lam-dalam. Sedang tongkat di tangan kanannya
telah diselipkan di punggung. Dan ketika kedua
telapak tangan lelaki tua itu telah berubah men-
jadi kelabu hingga pangkal siku, Ratu Adil jadi
terkesiap kaget.
"Awas, Yustika! Tua bangka itu hendak me-
lontarkan 'Gada Akhirat'!" teriak Siluman Ular Putih mengingatkan dari luar
tempat pertarungan.
Soma yang tengah sibuk mengobati luka
dalam Pembunuh Iblis, diam-diam tak mengalih-
kan perhatiannya pada jalannya pertarungan.
Dan pemuda itu pun siap membantu Ratu Adil bi-
la terjadi hal yang tak di-inginkan.
"Aku tahu. Soma," sahut si gadis.
"Tapi bagaimanapun juga kau harus tetap
hati-hati!"
"Terima kasih atas peringatanmu, Soma."
Yustika kembali menghadapi Peramal
Maut. Namun diam-diam telah dipersiapkannya
pukulan andalan 'Cakar Samudera' yang merupa-
kan warisan terakhir gurunya di Nusa Kamban-
gan. Maka begitu tenaga dalamnya dikerahkan,
seketika kesepuluh kuku-kuku jari tangannya te-
lah berubah menjadi biru!
Peramal Maut yang sudah kalap malah
kian menggeram murka. Begitu kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan, saat itu pula
meluruk dua gulungan sinar kuning terang.
Wesss! Wesss! Ratu Adil sama sekali tidak tersurut mun-
dur. Begitu melihat datangnya serangan, kesepu-
luh jari tangannya segera diguratkan ke udara.
Maka dari jari-jari tangannya melesat sinar-sinar biru, langsung memapak pukulan
Peramal Maut. Class! Class! Sejenak, dua gulungan sinar kuning terang
tertahan di udara oleh sinar-sinar biru. Sementa-ra tubuh tokoh sesat dari
Gunung Kembang itu
bergetar hebat. Kedua kakinya melesak ke dalam
tanah! Namun Peramal Maut tetap tak ingin kalah
dalam adu tenaga dalam. Sambil menggeletukkan
gerahamnya kuat-kuat, tenaga dalamnya makin
dilipatgandakan ke telapak tangan.
"Hea!"
Tiba-tiba Ratu Adil memekik keras. Bersa-
maan dengan itu, kesepuluh jari-jari tangannya
disentakkan ke depan. Akibatnya sepuluh larik
sinar biru dari jari-jari tangannya terus mendesak gulungan sinar kuning milik
Peramal Maut. La-lu.... Class! Class!
Bukkk! Bukkk! "Aughhh...."
Tanpa ampun Peramal Maut kontan menje-
rit setinggi langit begitu sinar biru dari jari-jari tangan Ratu Adil menembus
pertahanannya dan
menghantam dada. Seketika tubuhnya yang tinggi
kurus terbanting keras dengan paras pias! Tam-
pak tubuh kurus keringnya hanya menggeliat-
geliat sebentar, lalu tidak bergerak-gerak sama sekali. Ratu Adil sejenak
termangu di tempatnya.
Ketika melihat tubuh Peramal Maut benar-benar
tak dapat bergerak lagi, selangkah demi selang-
kah si gadis pun mulai mendekati.
"Akhirnya kau tewas juga, Peramal Maut.
Manusia seperti kau memang tidak patut berke-
liaran di muka bumi ini," desis Ratu Adil.
Meski demikian Ratu Adil tetap waspada,
karena tak ingin terkecoh untuk kedua kali. Ma-
ka, diam-diam pun telah dikerahkannya pukulan
'Cakar Naga Samudera'.
Kira-kira tinggal berjarak satu tombak....
"Heh..."!"
Mendadak Ratu Adil memekik kaget ketika
tiba-tiba Peramal Maut bergulingan sambil meng-
hentakkan kedua telapak tangannya. Tanpa dapat
dicegah, dua gulungan sinar kuning terang melu-
ruk dari kedua telapak tangannya siap meluluh-
lantakkan tubuh Ratu Adil!
Wesss! Wesss! Ratu Adil yang untungnya telah bersiap se-
gera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga Samude-
ra'. Namun belum sempat murid Ratu Alit ini ber-
tindak.... Wesss! Blarr! Tiba-tiba telah melesat pula dua sinar pu-
tih yang disusul oleh dua ledakan hebat di udara.
Dengan demikian kandaslah serangan licik Pe-
ramal Maut. Pada saat yang hampir bersamaan, Peram-
al Maut meraung setinggi langit dengan tubuh
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergeser jauh ke belakang. Namun dengan sisa-
sisa kekuatannya, ia melompat bangun. Saat itu
juga tubuhnya segera berkelebat meninggalkan
tempat itu walaupun tampak terhuyung-huyung.
Yustika yang tubuhnya sempat terlempar
ke samping akibat bentrokan pukulan tadi,
menggeram penuh kemarahan. Hampir saja ia ce-
laka di tangan Peramal Maut untuk yang kedua
kali. Gadis ini hendak mengejar, tapi tubuh Pe-
ramal Maut telah begitu jauh.
"Soma! Terima kasih! Lagi-lagi kaulah yang
menolongku," ucap Ratu Adil.
Siluman Ular Putih tidak menyahut. Ma-
tanya masih terpaku ke arah kepergian Peramal
Maut. Soma bukannya tak ingin mengejar. Hanya
rasa kasihannya terhadap Pembunuh Iblis-lah
yang membuat niatnya diurungkan.
"Benar-benar licik, Tua Bangka itu! Untung
saja aku segera bertindak," gumam Siluman Ular Putih. "Yah...! Kau benar. Soma.
Tua bangka itu memang licik," timpal Ratu Adil membenarkan.
"Hoekh!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
dikagetkan suara orang yang tengah muntah-
muntah. Buru-buru mereka berpaling, dan men-
dekati Pembunuh Iblis yang tengah muntah-
muntah. "Bagaimana keadaanmu, Kawan?" tanya
Siluman Ular Putih begitu berada di samping
Pembunuh Iblis.
Pembunuh Iblis yang baru saja siuman se-
jenak membelalakkan matanya heran saat meli-
hat Siluman Ular Putih telah berada di hadapan-
nya. "Ah...! Lagi-lagi kau yang menyelamatkan-ku, Soma. Aku jadi malu," desah
Pembunuh Iblis dengan napas masih tersengal.
"Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Yang
penting kau selamat. Bukankah kita segolongan"
Kenapa mesti sungkan?"
"Aku mengerti, Soma," kata Pembunuh Iblis.
Teguh Sayekti berusaha bangun. Dan den-
gan sigap Siluman Ular Putih segera memban-
tunya. "Oh, ya" Siapakah temanmu itu, Soma?"
bisik Pembunuh Iblis lirih di telinga Siluman Ular
Putih. Entah mengapa setiap matanya melirik Ra-
tu Adil, dadanya bergemuruh. Bahkan tiba-tiba
timbul rasa kerinduan mendalam. Ada getaran
aneh yang menguasai dadanya.
"Yustika."
"Ooo...! Senang sekali aku bertemu den-
ganmu, Yustika. Perkenalkanlah.... Aku Teguh
Sayekti," kata Pembunuh Iblis, bergetar suaranya.
Apalagi ketika kembali menatap Yustika, wajah
gadis itu mengingatkannya pada wajah seseorang.
Tapi pemuda itu lupa, siapa.
Yustika alias Ratu Adil hanya mengangguk.
"Bagaimana" Apa lukamu sudah mendin-
gan?" tanya Soma, memecah keheningan.
"Sudah agak lumayan. Soma. Paling tinggal
memulihkan tenaga dalamku saja. Tapi ngomong-
ngomong, sekarang kau hendak ke mana lagi?"
tanya Pembunuh Iblis ingin tahu.
"Aku ingin mengejar Setan Haus Darah dan
pasukannya," jawab Soma.
Pembunuh Iblis tersenyum. Sebenarnya,
pemuda itu ingin berlama-lama lagi dengan Yus-
tika. Teguh Sayekti ingin ngobrol lebih banyak la-gi. Tapi hatinya merasa
sungkan terhadap Soma.
"Ayo, Yustika kita melanjutkan perjalanan,"
ajak Soma. "Ayo," sahut Ratu Adil, lalu menatap Teguh Sayekti sebentar. "Selamat tinggal,
Kawan!" Siluman Ular Putih dan Ratu Adil segera
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya
dalam beberapa kelebatan saja sosok mereka te-
lah menghilang di balik kerimbunan hutan depan
sana. "Hm...! Siluman Ular Putih benar-benar be-runtung. Ia selalu dikerubungi
gadis-gadis can-
tik... Tapi gadis yang bersama Siluman Ular Putih barusan..., ah. Mungkinkah ia
adikku..." Atau
hanya perasaanku saja" Kalau bukan, kenapa
wajahnya mirip dengan mendiang ibu...?"
8 Peramal Maut memperlambat kelebatan-
nya. Kini ia melangkah biasa namun terlihat gon-
tai akibat luka dalam yang parah. Sementara ke-
dua tangannya terus mendekap dada kuat-kuat.
Terus ditelusurinya jalan di pinggiran sebuah de-sa yang berbatasan dengan
hamparan sawah.
"Keparat! Entah, sudah berapa kali Silu-
man Ular Putih mencampuri urusanku! Hm...!
Sampai kapan pun aku tak mungkin dapat melu-
pakan dendamku padanya...! Tunggulah pemba-
lasanku, Siluman Ular Putih!" maki Peramal Maut dalam hati.
Kali ini, lelaki tua itu tak kuat lagi mena-
han langkah. Akibat luka dalamnya yang parah
membuat tubuhnya tersuruk jatuh. Dengan su-
sah payah, ia menggeser tubuhnya ke arah seba-
tang pohon. Begitu tubuhnya disandarkan, na-
pasnya memburu. Dadanya terasa mau pecah.
Tapi Peramal Maut berusaha bertahan.
"Edan! Tak kusangka Ratu Adil pun memi-
liki pukulan demikian dahsyat! Andai saja Silu-
man Ular Putih tidak membantu, aku yakin nya-
wa gadis itu sudah berada dalam genggaman tan-
ganku.... Huk huk huk...!"
Peramal Maut terbatuk-batuk. Pada saat
itu ia merasakan dari mulut dan hidungnya men-
galir darah segar. Buru-buru diambilnya butiran-
butiran biru dari kantung kecil yang menggan-
tung di pinggang. Tanpa ragu ditelannya butir-
butir biru yang memang berupa obat pulung. Per-
lahan-lahan hawa dingin akibat obat itu mulai
menjalar ke tenggorokannya. Dan hawa dingin itu
terus menerabas ke dalam perutnya.
"Untung saja aku membawa persediaan
obat. Kalau tidak, barangkali aku sudah tidak
kuat...," gumam Peramal Maut. "Yah...! Kukira aku harus menyembuhkan luka
dalamku terlebih
dulu. Masalah menuntut balas terhadap Siluman
Ular Putih, bisa ditunda untuk beberapa saat...."
Habis berpikir begitu, perlahan-lahan Pe-
ramal Maut beringsut. Dan dengan susah payah,
akhirnya ia dapat duduk bersila. Lelaki tua ini berusaha menenangkan pikirannya
sebentar, lalu mulai mengalur jalan napasnya. Tak selang bera-
pa lama, tokoh sesat dari puncak Gunung Kem-
bang ini pun sudah tenggelam dalam semadinya.
Saat itu, bulan bulat penuh tampak tengah
membanggakan sinar putih keperakannya pada
jutaan bintang di angkasa. Suara jangrik di pematang sawah terdengar riuh
mengusik ketenangan
malam. Keadaan ini tentu saja membuat Peramal
Maut merasa nyaman untuk menyembuhkan luka
dalamnya. Tarikan-tarikan napasnya pun mulai
teratur. Tidak memburu seperti tadi. Demikian
juga dadanya. Setelah melakukan semadi untuk
beberapa saat, tubuhnya pun terasa segar.
Malam kian beranjak. Bumi pun kian dite-
rangi cahaya putih keperakan sang dewi malam.
Peramal Maut tak mau peduli. Meski luka dalam-
nya berangsur-angsur sembuh, tapi ia masih
tenggelam dalam semadinya. Kedua kelopak ma-
tanya terpejam dengan telapak tangan memegang
lutut. Di puncak semadinya, mendadak hidung
Peramal Maut mencium bau busuk yang bukan
kepalang. Bahkan hampir membuat lelaki tua ini
muntah dengan perut mual.
"Setan! Bau busuk apa ini" Kenapa demi-
kian menusuk hidung...?" gerutu Peramal Maut.
Terpaksa lelaki tua ini menghentikan se-
madinya. Kelopak matanya membuka. Meski be-
lum sembuh benar, namun sudah terasa mendin-
gan. Luka dalamnya sudah tidak begitu meng-
ganggunya. Menyadari hal ini, diam-diam Peramal
Maut tersenyum senang.
Namun manakala bau busuk itu kian me-
nusuk hidung, tak urung juga Peramal Maut jadi
kesal bukan main. Sambil mengendus-endus hi-
dungnya, kepalanya bergerak ke samping. Namun
betapa terkejut hatinya, begitu kepalanya berpaling. Ternyata tak jauh darinya
telah berdiri sesosok tubuh tinggi kurus.
Sosok itu seorang kakek renta. Sepintas,
tubuhnya tak bertenaga. Tubuhnya yang kurus
kering terbalut pakaian warna merah menyala.
Rambut, bulu mata, alis mata, dan juga jenggot-
nya yang panjang juga berwarna merah menyala!
Wajahnya tirus kemerah-merahan dengan sepa-
sang mata melesak ke dalam tertutup tulang-
tulang pipi yang bertonjolan.
"Hantu Tangan Api...!" desis Peramal Maut penuh keterkejutan.
Sosok kakek renta yang memang Ki Ba-
naspati alias Hantu Tangan Api hanya mendengus
kasar. Sepasang matanya yang mencorong meng-
hujam tajam ke arah Peramal Maut.
Buru-buru Peramal Maut melompat ban-
gun. Gerakannya kali ini terlihat agak ringan. Hal ini saja sudah menandakan
kalau luka dalamnya
mulai berangsur sembuh. Meski demikian, sikap-
nya tak berani gegabah. Ia tahu, siapa Hantu
Tangan Api. Seorang tokoh sesat papan atas yang
amat diperhitungkan di kalangan tokoh putih
maupun tokoh golongan hitam. Dialah momoknya
dunia persilatan yang konon sudah lama menga-
singkan diri. "Pasti ada satu urusan yang amat penting
hingga Hantu Tangan Api sampai keluar dari
tempatnya bertapa...," gumam Peramal Maut.
"Peramal Maut! Apakah kau melihat Pendi-
dik Ulung dan orang yang bergelar Siluman Ular
Putih?" tanya Hantu Tangan Api langsung. Nadanya tetap garang, sarat ancaman.
Sebagai to- koh persilatan, Ki Banaspati pun pernah menden-
gar nama Siluman Ular Putih, walaupun belum
melihat orangnya.
"Hm...! Jadi tua bangka satu ini sedang
mencari Siluman Ular Putih dan Pendidik Ulung"
Hm...! Kebetulan sekali. Kukira aku dapat me-
manfaatkan tenaga tua bangka ini demi memba-
las dendamku...," Peramal Maut menggumam dalam hati.
Sejenak Peramal Maut manggut-manggut,
lalu menatap Ki Banaspati. Matanya tampak ber-
binar-binar. "Oh...! Jadi kau sedang mencari mereka,
Hantu Tangan Api" Kebetulan sekali. Aku me-
mang sedang mencari Pendidik Ulung. Tapi...."
"Jangan banyak bertele-tele, Peramal Maut!
Cepat katakan di mana Pendidik Ulung dan Silu-
man Ular Putih!" potong Ki Banaspati, tak sabar.
"Baik. Akan kukatakan terus terang. Aku
memang belum bertemu Pendidik Ulung. Tapi ba-
ru saja aku bertarung dengan Siluman Ular Pu-
tih," urai Peramal Maut agak gugup. Ngeri juga hatinya kalau sampai berbentrokan
dengan Ki Banaspati. "Bagus! Di mana sekarang Siluman Ular
Putih, Peramal Maut?" cecar Hantu Tangan Api.
"Hm...! Mungkin ia masih mengobati te-
mannya yang terluka di hutan sebelah sana!" jelas Peramal Maut seraya menuding
telunjuk ke arah gerumbulan hutan di sebelah timur.
"Bagus! Kalau begitu aku akan segera ke
sana," kata Hantu Tangan Api seraya berbalik.
"Tunggu, Hantu Tangan Api!" cegah Peram-al Maut menahan langkah tokoh sesat dari
Bukit Pedang itu. "Ada apa lagi, Peramal Maut?"
Ki Banaspati berbalik gusar. Pandang ma-
tanya yang, mencorong tajam, jelas memancarkan
satu hawa kematian yang hanya dapat ditebus
dengan darah. "Jangan gegabah, Hantu Tangan Api! Meski
kepandaianmu setinggi langit, namun kali ini aku mencium hawa kematian dari
dalam tubuhmu. Bau busuk dari tubuhmu itulah yang menanda-
kan kau harus lebih berhati-hati. Kalau tidak,
kau bisa celaka!" ingat Peramal Maut, merasa gatal kalau tidak meramal orang.
"Apa kau bilang" Aku akan celaka di tan-
gan Pendidik Ulung atau pemuda bau kencur ber-
gelar Siluman Ular Putih"!" sentak Hantu Tangan Api. Bukan main gusarnya
dipandang remeh demikian rupa.
"Jangan salah paham, Hantu Tangan Api!
Aku hanya mengingatkan. Dan satu lagi yang pa-
tut kau ingat! Ramalanku tak pernah meleset. Be-
runtung sebenarnya kau bertemu denganku. Apa-
lagi, aku tidak menuntut upah darimu," kilah Peramal Maut.
"Setan alas! Berani benar kau meminta
upah"! Apa kau sudah bosan dengan nyawa di
ragamu, hah"!"
"Bukan itu maksudku, Hantu Tangan Api,"
elak Peramal Maut. Merasa kecut juga hatinya
melihat kegarangan Ki Banaspati.
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu" Kenapa kau demikian lancang bera-
ni menahan langkahku, he"!" bentak Hantu Tangan Api.
Selangkah demi selangkah Ki Banaspati
mendekati Peramal Maut. Dan hati lelaki tua jago meramal itu makin kecut saja.
Walau tidak sedang menderita luka dalam, belum tentu ia sang-
gup menghadapi sepak terjang Hantu Tangan Api.
Maka tak heran kalau Peramal Maut tak ingin ca-
ri perkara. Malah kalau bisa ingin memanfaatkan
tenaganya. "Hantu Tangan Api! Kau adalah seorang
tokoh papan atas dunia persilatan. Namun ru-
panya, kau pun tetap harus berhati-hati. Mata
batinku mengatakan, kau akan celaka kalau tak
berhati-hati. Untuk itulah aku menahan lang-
kahmu!" jelas Peramal Maut, berusaha melunakkan hati Ki Banaspati.
"Setan! Bagaimanapun juga, kau dan ra-
malanmu tetap saja memandang remeh padaku,
Peramal Maut! Makanlah bogem mentahku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Hantu
Tangan Api telah menerjang Peramal Maut den-
gan ganas. Tubuhnya yang tinggi kurus berkele-
bat cepat laksana kilat. Sedang kedua telapak
tangannya yang terkepal segera mengirimkan jo-
tosan mengerikan.
Wutt! Wuttt! Sebelum serangan-serangan tokoh sesat
dari Bukit Pedang itu sempat mengenai sasaran,
terlebih dahulu Peramal Maut merasakan angin
kencang disertai hawa panas menampar-nampar
kulit tubuh! Tentu saja Peramal Maut tak ingin tubuh-
nya jadi sasaran empuk. Meski hatinya berat,
demi keselamatannya terpaksa segera dikerah-
kannya pukulan 'Gelap Ngampar'. Dan begitu ke-
dua telapak tangannya berubah jadi hitam legam,
segera dipapaknya pukulan Hantu Tangan Api.
Blammm! Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat di udara ke-
tika dua tenaga dalam tingkat tinggi itu beradu di udara. Bumi berguncang hebat
seperti terjadi
gempa. Berkesiurannya hawa panas akibat ben-
trokan bahkan mampu membuat tempat perta-
rungan dipenuhi hawa panas!
Sementara bersamaan bentrokan tadi, ter-
dengar satu pekik menyayat disusul terpentalnya
sosok tubuh Peramal Maut. Sejenak tubuhnya
berputaran, lalu terbanting keras di tanah.
Bukkk! Peramal Maut megap-megap. Dadanya
yang baru saja sembuh dari luka dalam terasa se-
sak bukan main. Parasnya pun pucat pasi! Meski
demikian, lelaki ini tetap berusaha bertahan. Perlahan-lahan ia mencoba bangkit.
Namun sayang, tubuhnya kembali luruh di tanah.
Hantu Tangan Api tertawa bergelak mena-
tap keadaan Peramal Maut. Sepasang matanya
yang mencorong jelas memancarkan hawa mem-
bunuh. "Celaka! Jangan-jangan tua bangka ini
memang menghendaki nyawaku?" desis Peramal
Maut, kecut. "Hm...! Sial benar nasibku belakan-gan ini. Sudah dipermalukan
Siluman Ular Putih
dua kali, masih pula harus berbentrokan dengan
Hantu Tangan Api."
Di depan sana, tampak Ki Banaspati mulai
melangkah mendekati Peramal Maut. Kedua tela-
pak tangannya telah berubah merah menyala
hingga pangkal siku. Sekali saja kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan, mustahil bagi
Peramal Maut dapat lolos dari tangan maut tokoh
sesaat dari Bukit Pedang itu.
"Ha ha ha...! Rasakanlah, Peramal Maut!
Manusia culas macam kau memang tak patut
menikmati indahnya dunia ini. Sikat saja tua
bangka culas itu, Kakek Merah!"
Tiba-tiba terdengar satu suara yang amat
dikenali Peramal Maut. Bersamaan dengan itu,
Peramal Maut melihat dua sosok bayangan berke-
lebat cepat mendekati tempat itu.
"Setan alas! Siapa lagi manusia-manusia
pencari mati ini, hah"!"
9 Sepasang mata merah menyala Hantu Tan-
gan Api kian bergerak-gerak beringas. Tak jauh di hadapannya kini telah berdiri
dua sosok tubuh.
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berambut gondrong dengan pakaian rompi
dan celana bersisik warna putih keperakan. Se-
dang di sebelahnya adalah seorang gadis cantik
berpakaian indah warna merah. Rambutnya yang
hitam panjang digelung ke atas dihiasi mutiara-
mutiara indah warna biru.
"Hantu Tangan Api! Rupanya, apa yang
kau katakan benar. Mereka memang manusia-
manusia pencari mati. Dan kalau kau tahu siapa
mereka, kau tentu akan terkejut. Terutama sekali, pemuda edan itu!" kata Peramal
Maut seraya menuding ke arah dua anak muda itu.
"Jangan mempermainkan aku, Peramal
Maut! Siapa dua bocah ingusan tak tahu diri itu?"
bentak Ki Banaspati.
"Ha ha ha,..!" Peramal Maut malah tertawa.
Lalu dengan susah payah ia melompat bangun.
"Katakan siapa dua bocah itu, Peramal
Maut!" bentak Hantu Tangan Api. Kali ini hawa amarah yang menggelegak dalam dada
benar-benar tak dapat lagi dikendalikan.
"Ketahuilah, Hantu Tangan Api. Manusia-
manusia pencari mati itu adalah Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil."
"Hah"! Siluman Ular Putih?" tokoh sesat dari Bukit Pedang itu terperangah,
seolah tak percaya dengan pendengarannya.
"Benar. Kunyuk gondrong itulah yang ber-
gelar Siluman Ular Putih!"
"Hhh...!"
Hantu Tangan Api mendengus gusar. Sepa-
sang mata bengisnya mencorong ke arah Ratu
Adil dan Siluman Ular Putih.
"Benarkah kau yang bergelar Siluman Ular
Putih, Bocah?" lanjut Hantu Tangan Api tetap dengan suara garang.
"Harap jangan menelan mentah-mentah
apa yang dikatakan Peramal Maut, Kakek Merah!
Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang
menyebabkan kau mencari-cari Siluman Ular Pu-
tih?" ujar Siluman Ular Putih santai. Sedikit pun tidak menyiratkan kesan gentar
dari raut wajahnya yang selalu menyunggingkan senyum.
"Jangan terlalu banyak menjual lagak, Bo-
cah! Katakan! Benarkah kau yang bergelar Silu-
man Ular Putih"!" tanya Hantu Tangan Api minta ketegasan.
"Hantu Tangan Api! Dia itulah yang berge-
lar Siluman Ular Putih!" sela Peramal Maut.
Siluman Ular Putih hanya mengumbar se-
nyum. Namun tidak demikian dengan Ki Banas-
pati. Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi kalau pemuda gondrong di hadapannya
adalah orang yang
bergelar Siluman Ular Putih. Apalagi manakala
melihat ciri-ciri pemuda gondrong di hadapannya.
"Hm...! Bagus! Kalau begitu kau memang
datang mengantar nyawa, Siluman Ular Putih! Ke-
tahuilah! Sekarang aku datang memenuhi tan-
tanganmu!" dengus Ki Banaspati.
"Hey...! Siapa yang menantangmu berta-
rung, Kakek Merah" Aku merasa tidak pernah
menantangmu bertarung. Ah...! Kau ini ada-ada
saja! Mengenalmu saja baru kali ini. Bagaimana
aku bisa menantangmu bertarung" Yang benar
saja, ah?" tukas Soma, kalem.
"Keparat! Kau jangan banyak tingkah, Si-
luman Ular Putih! Mustahil aku keluar dari tem-
pat bertapa kalau tak mendengar tantanganmu
dan Pendidik Ulung!" dengus Hantu Tangan Api lagi. "Siapa" Siapa yang
menyebarkan fitnah itu,
Kakek Merah" Apakah tua bangka Peramal Maut
itu" Eh...! Di manakah tua bangka itu?"
Siluman Ular Putih langsung celingukkan
ke sana kemari, namun tak menemukan Peramal
Maut di tempat itu. Demikian pula Yustika. Aki-
bat perhatian mereka tercurah pada Hantu Tan-
gan Api, sehingga ketika Peramal Maut pergi di-
am-diam tak seorang pun yang tahu.
"Sontoloyo! Pasti tua bangka itu yang men-
jadi biang keroknya!" gerutu Siluman Ular Putih.
"Jangan libatkan Peramal Maut, Siluman
Ular Putih. Tua bangka itu tidak tahu apa-apa!"
kata Hantu Tangan Api.
"Jadi" Peramal Maut bukan yang menye-
barkan fitnah ini" Lalu, siapa orangnya, Kakek
Merah?" "Ini bukan fitnah, Bocah Goblok! Muridku
tak mungkin berani dusta padaku," sergah Ki Banaspati.
"Oh...! Jadi muridmu yang menyebarkan
fitnah ini" Siapakah murid brengsekmu itu, Ka-
kek Merah?"
"Setan Haus Darah!" sebut Hantu Tangan Api, tandas. "Tapi, ingat! Ini bukan
fitnah. Kau jangan mungkir, Siluman Ular Putih! Majulah kalau kau ingin
menantangku bertarung!"
Siluman Ular Putih mana sudi menuruti
perintah lelaki tua berbaju merah itu. Kepalanya malah menoleh ke arah Ratu
Adil. "Bagaimana ini, Yustika!" tanya Siluman Ular Pulih, minta pendapat.
"Kukira, memang Setan Haus Darahlah
yang telah menyebarkan fitnah ini. Habis, siapa
lagi kalau bukan dia!" sungut Ratu Adil.
"Hm...! Bisa jadi. Mungkin ia merasa den-
dam padaku, lalu menyeret gurunya dengan me-
nebar fitnah," duga Siluman Ular Putih. Kemudian perhatiannya beralih pada Hantu
Tangan api. "Dengar, Kakek Merah! Buka telingamu lebar-lebar! Aku sama sekali tidak
pernah menantang-
mu bertarung. Kau paham" Mungkin karena ulah
muridmu hingga kau keluar dari tempatmu ber-
tapa. Harap jangan salah paham, Kakek Merah!"
"Hm...!" Bukan main gusarnya hati Hantu Tangan Api. Ia tidak tahu mana yang
benar. Yang jelas, amarahnya saat itu benar-benar sudah
mencapai ubun-ubun kepala.
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau aku
sudah turun dari tempatku bertapa, berarti harus ada nyawa yang harus
kurenggut!" geram Ki Banaspati penuh kemarahan.
"Yah...! Kenapa urusannya jadi begini, Yus-
tika" Bagaimana ini?" ujar Siluman Ular Putih, la-lu menggaruk-garuk kepala.
"Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini.
Soma!" cetus Ratu Adil mengusulkan.
"Ah, ya" Kau benar, Yustika. Daripada me-
ladeni Kakek Merah itu, lebih baik memang me-
ninggalkan tempat ini. Ayo!"
Siluman Ular Putih buru-buru menggan-
deng lengan Ratu Adil. Namun belum sempat me-
reka melangkah, tahu-tahu Hantu Tangan Api te-
lah melompat melewati kepala kedua orang anak
muda itu. Dan mantap sekali kakinya mendarat
di hadapan Siluman Ular Putih dan Yustika se-
jauh empat tombak.
"Boleh saja kalian berdua meninggalkan
tempat ini. Asal, tinggalkan kepala kalian di sini!"
bentak Hantu Tangan Api, sarat ancaman.
"Wah...! Mana bisa begitu, Kakek Merah."
"Bisa tidak bisa, kalian berdua harus mod-
ar di tanganku!" putus Hantu Tangan Api, langsung menerjang Siluman Ular Putih
dan Ratu Adil. Kedua telapak tangan Ki Banaspati yang
telah berubah jadi merah menyala hingga sampai
pangkal siku segera menghantam ke depan,
membuat dua larik sinar merah menyala melesat
cepat, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih
dan Ratu Adil. Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terperan-
gah. Mereka kontan merasakan hawa panas bu-
kan main, sebelum serangan-serangan tokoh se-
sat dari Bukit Pedang itu mengenai sasaran.
Wesss! Wesss! Menyadari adanya ancaman berbahaya, Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil segera melempar-
kan tubuh ke samping. Sehingga, dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangan Hantu
Tangan Api terus menerabas ke belakang. Dan....
Brakkk! Batang pohon sebesar tiga lingkaran tan-
gan manusia dewasa di belakang Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil yang menjadi sasaran seketi-
ka memperdengarkan bunyi berderak. Kemudian
disusul suara bergemuruh, sebelum akhirnya
tumbang! Blammm! Tanah debu berpasir kontan membubung
tinggi memenuhi tempat pertarungan. Ki Banas-
pati yang merasa geram sekali melihat serangan-
nya dapat dihindari dengan begitu mudah, kem-
bali menerjang Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
ganas. Kedua telapak tangannya yang berwarna
merah menyala kembali menghentak ke depan.
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wesss! Wesss! Srang! Ratu Adil cepat menarik keluar pedang pu-
sakanya yang menggelantung di pinggang. Tu-
buhnya segera melenting tinggi ke udara meng-
hindari sinar merah milik Ki Banaspati. Setelah
membuat putaran beberapa kali, dengan jurus
'Pedang Menembus Bulan' tubuhnya meluruk
dengan kecepatan luar biasa. Dan tiba-tiba, mata pedangnya telah mengancam ubun-
ubun kepala Hantu Tangan Api.
Sedang Siluman Ular Putih sendiri pun ru-
panya tak mau ketinggalan. Begitu melihat seran-
gan datang, murid Eyang Begawan Kamasetyo se-
gera mengeluarkan jurus 'Terjangan Maut Ular
Putih' andalannya. Tubuhnya cepat melompat ke
atas, lalu meluruk dengan kedua telapak tangan
telah membentuk dua kepala ular. Dan dengan
mengandalkan patukan-patukan kedua telapak
tangannya, langsung diserangnya Hantu Tangan
Api. Hebat bukan main kecepatan serangan Silu-
man Ular Putih. Ratu Adil yang menyerang lebih
dulu bahkan sempat tersusul.
Tukkk! Tukkk! Dua kali patukan tangan Siluman Ular Pu-
tih telak mengenai iga kiri Hantu Tangan Api.
Namun hebatnya, tubuh lelaki tua itu hanya
sempat terjajar ke samping tanpa sedikit menge-
luarkan suara pekikan. Bahkan pada saat demi-
kian, Ki Banaspati segera menghentakkan ka-
kinya ke tanah. Seketika tubuhnya yang tinggi
kurus langsung melenting tinggi ke udara. Kedua
telapak tangannya yang makin merah menyala
langsung menghentak.
Serangan Ratu Adil yang di mata Hantu
Tangan Api terlihat lambat jadi terkesiap kaget.
Sungguh sama sekali tidak disangka kalau seran-
gannya malah didahului Hantu Tangan Api. Pa-
dahal untuk merubah arah serangan, jelas tidak
mungkin. "Awas, Yustika!" teriak Siluman Ular Putih dari bawah.
Menyadari bahaya maut mengancam, Ratu
Adil segera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga
Samudera' yang menjadi andalan gurunya di Nu-
sa Kambangan. Maka saat itu juga, jari-jari tan-
gannya berubah menjadi biru begitu tenaga da-
lamnya tersalur. Dan setelah memindahkan pe-
dang ke tangan kiri....
"Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Ratu Adil cepat
mengguratkan jari-jari tangan kanan ke udara.
Seketika, meluruk lima larik sinar biru dari jari-jari tangan kanannya memapak
sinar-sinar merah
yang dilepaskan Ki Banaspati.
Classs! Classs! '
Lima larik sinar biru dari jari-jari tangan
Ratu Adil langsung berbenturan dengan sinar-
sinar merah Hantu Tangan Api. Saat itu juga
tempat pertarungan jadi terang benderang. Se-
mentara tubuh Ratu Adil pun yang masih di uda-
ra kontan terlempar jauh ke belakang.
Bukkk! Ratu Adil mengeluh tertahan begitu tu-
buhnya menghantam tanah. Parasnya pucat pas-
ti. Kedua bibirnya bergetar-getar hebat menahan
guncangan dalam dada!
"Kau tidak apa-apa, Yustika?" tanya Siluman Ular Putih cemas bukan main begitu
berada di dekat Ratu Adil.
Ratu Adil hanya tersenyum getir seraya
menggeleng perlahan.
"Tapi, kau terluka dalam, Yustika?" tukas Siluman Ular Putih tak puas melihat
Ratu Adil berusaha tegar di hadapannya. Padahal ia tahu,
akibat bentrokan tenaga dalam tadi telah menga-
duk-aduk isi dada si gadis.
"Cepat telan obat ini!" ujar Siluman Ular Putih sambil mengeluarkan butiran
kuning dari kantung kecil yang menggelantung di pinggang.
Ratu Adil cepat menerimanya dan langsung
menelan. Perlahan-lahan hawa dingin mulai men-
jalari tenggorokan dan terus menerabas ke dalam
perutnya. "Bersemadilah, Yustika! Biar luka dalammu
tidak bertambah parah," kata Siluman Ular Putih.
Lagi-lagi Ratu Adil hanya menggeleng per-
lahan. Malah dengan sigap segera melompat ban-
gun. "Yustika! Kau masih terluka!" cegah Siluman Ular Putih, cemas bukan main.
"Tak apa-apa, Soma. Ayo, kita balas seran-
gan Kakek Merah itu!" ajak Ratu Adil.
Siluman Ular Putih sebenarnya tidak rela
melihat Ratu Adil terlalu memaksakan diri. Na-
mun untuk mencegah jelas tidak mungkin. Gadis
itu telah dirasuki hawa amarah. Sehingga terlihat ingin sekali membalas
kekalahannya tadi.
Di hadapan mereka, tak henti-hentinya
Hantu Tangan Api terus mengumbar tawa. Kali ini
hatinya puas sekali melihat hasil serangannya ta-di. Hanya dalam sekali gebrakan
saja, gadis la-
wannya dapat dirobohkan. Namun manakala me-
lihat Ratu Adil dan Siluman Ular Putih telah berdiri di tempatnya kembali,
lelaki tua bengis itu ja-di menggeram murka.
"Bagus! Aku memang sudah tidak sabar la-
gi untuk mengirim nyawa kalian menemui malai-
kat maut! Majulah!" tangan Hantu Tangan Api bernada mengejek.
"Meski belum tahu duduk perkara yang se-
benarnya sampai kau menginginkan nyawa kami,
terpaksa kami harus membela diri, Kakek Merah,"
desis Siluman Ular Putih.
"Jangan banyak bacot, Bocah Tolol! Tahu
duduk persoalannya ataupun tidak, kalau Hantu
Tangan Api sudah berkehendak, siapa pun tidak
dapat menghalangiku. Dan sekarang, aku men-
ginginkan nyawa kalian. Maka kalian berdua pun
harus modar di tanganku!"
Belum lenyap gema suaranya, Hantu Tan-
gan Api tiba-tiba menekuk lututnya sedemikian
rupa. Sementara kedua telapak tangannya yang
masih merah menyala tiba-tiba kembali menyen-
tak ke depan. Seketika itu juga meluncur dua gu-
lungan bola api ke depan ke arah Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil.
Werrr! Werrr! Begitu melihat datangnya serangan, Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil segera bertindak.
Serta-merta, mereka segera menghentakkan ke-
dua telapak tangan ke depan. Masing-masing
dengan pukulan andalan, untuk memapak seran-
gan. Seketika sinar merah dan sinar putih mele-
sat, membentur bola-bola api yang dikeluarkan Ki Banaspati.
Besss! Aneh! Ternyata tidak terdengar bunyi leda-
kan sedikit pun akibat pertemuan pukulan-
pukulan andalan yang terjadi. Namun akibatnya,
tanah di sekitar tempat pertarungan mendadak
bergetar hebat. Sementara tubuh Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil pun tampak bergetar. Apalagi manakala gulungan dua bola api
dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api mulai mengem-
bang, menjadi lidah api yang menjulur-julur ke
tubuh mereka. "Ah...!"
Bukan main kagetnya hati kedua anak
muda itu. Mereka tidak menyangka kalau seran-
gan-serangan Hantu Tangan Api demikian hebat.
Meski telah mengerahkan tenaga dalam penuh,
tetap saja tubuh mereka tersurut beberapa lang-
kah ke belakang. Dan....
"Hea!"
Bersama teriakannya Hantu Tangan Api
menyentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Akibatnya tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil kontan terpelanting.
Bukk! Bukkk! Tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
jatuh saling tumpang tindih. Dan si pemuda men-
jadi kaget bukan main manakala melihat tubuh
Ratu Adil mendadak jadi lemas tak dapat dige-
rakkan lagi. Bukan main cemasnya hati murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu.
"Yustika!"
Siluman Ular Putih memekik kalap. Buru-
buru ditelitinya urat nadi di pergelangan tangan Ratu Adil. Ternyata Soma masih
merasakan getaran pada nadi si gadis. Dan pemuda itu pun bisa
menghela napas lega. Ternyata Ratu Adil hanya
pingsan. Meski demikian, Siluman Ular Putih te-
tap tak dapat menerima kenyataan itu. Setelah
menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratu Adil
segera pemuda ini melompat bangun.
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar ingin mengadu nyawa denganmu, Kakek Merah!"
dengus Siluman Ular Putih, gusar bukan main.
Hantu Tangan Api hanya tertawa bergelak. Se-
telah tawanya habis, kembali kedua telapak tangannya disentakkan ke depan.
10 Dua gulungan bola api dari kedua telapak
tangan Hantu Tangan Api kembali bergulung-
gulung mengerikan siap meluluhlantakan tubuh
Siluman Ular Putih. Ketika bergesekan dengan
udara terdengar suara bergemuruh mengandung
hawa panas luar biasa!
"Hm...! Rupanya kau benar-benar mengin-
ginkan kematianku, Kakek Merah. Sayang sekali.
Kukira, kau tak semudah itu untuk merobohkan-
ku," desis Siluman Ular Putih saking tak tahan menahan amarah.
Siluman Ular Putih merasa sekarang saat-
nya untuk mengerahkan pukulan andalan
'Tenaga Inti Bumi'. Maka begitu kedua telapak
tangannya berubah putih terang hingga pangkal
siku, segera dihentakkan ke depan. Seketika me-
luruk dua larik sinar putih terang langsung me-
mapak bola-bola api.
Wesss! Wesss! Blammm! Terdengar ledakan hebat ketika dua tenaga
dalam tingkat tinggi itu beradu di udara. Tanah di sekitar tempat pertarungan
membuncah dan ber-hamburan tinggi di udara. Angin berkesiur akibat bentrokan
tadi membuat daun-daun di sekitarnya
hangus terbakar!
Pada saat terjadinya bentrokan, tubuh
Hantu Tangan Api dan Siluman Ular Putih pun
sama-sama terpental ke belakang dengan paras
pias. Namun, Ki Banaspati segera dapat mengata-
si keseimbangan tubuhnya walaupun dengan wa-
jah kaget. "Setan alas! Rupanya kau masih terhitung
murid tua bangka dari Gunung Bucu itu, Bocah!"
dengus Hantu Tangan Api.
"Harap jangan membawa-bawa nama
eyangku, Kakek Merah! Kau tak pantas menyebut
eyangku!" ejek Siluman Ular Putih seraya membe-sut darah yang membasahi bibir
dengan pung- gung tangan. Setelah melirik sebentar punggung tangan-
nya yang bernoda darah, Siluman Ular Putih se-
gera melompat bangun. Sayang, tubuh murid
Eyang Begawan Kamasetyo agak limbung akibat
bentrokan tadi. Namun, pemuda ini berusaha te-
gar. Malah kini bersiap-siap menggabungkan ke-
dua pukulan andalan eyangnya di Gunung Bucu.
Setelah membuat gerakan, tangan kanan
Siluman Ular Putih jadi merah menyala. Sedang
tangan kirinya telah berubah menjadi putih te-
rang penuh 'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti
Api'! "Hebat! Tak kusangka kau yang masih semuda ini sudah mampu menggabungkan
pukulan 'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti Api'. Benar-
benar hebat! Aku patut mengagumimu, Bocah.
Tapi sayang, kekagumanku hanya berakhir sam-
pai di sini. Karena sebentar lagi, kau akan modar di tanganku!"
Siluman Ular Putih sedikit pun tak meng-
gubris ucapan Hantu Tangan Api. Hawa amarah
yang telah memenuhi dada membuatnya tak sa-
bar lagi untuk segera melontarkan pukulan anda-
lan. "Sekaranglah saatnya kau menerima kematianmu, Bocah! Hea!"
Di akhir bentakannya, tiba-tiba tokoh sesat
dari Bukit Pedang itu segera mengerahkan tenaga
dalamnya untuk melepas pukulan pamungkas
yang bernama pukulan 'Gemuruh Badai Api'. Dan
begitu kedua telapak tangannya telah berubah ja-
di merah terang, segera disentakkan ke depan.
Saat itu juga lidah api yang berkobar-kobar me-
luncur dari kedua telapak tangannya disertai an-
gin kencang berkesiur yang menggemuruh!
Werrr! Werrr! Benar-benar mengerikan lidah api yang
berkobar-kobar dari kedua telapak tangan Hantu
Tangan Api. Hawa panas yang ditimbulkannya
pun amat luar biasa. Sehingga sebelum seran-
gannya mengenai sasaran, terlebih dahulu terasa
hawa panas yang membakar kulit tubuh.
"Edan! Benar-benar satu pukulan maut
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang amat mematikan. Hm...! Sungguh dunia
persilatan bisa berantakan bila sepak terjang tokoh sesat ini tak dapat
dihentikan. Yah...! Sekaranglah saatnya aku mencoba menghentikan se-
pak terjangnya," kata batin Siluman Ular Putih.
Tanpa banyak buang waktu, Siluman Ular
Putih pun segera menghentakkan kedua telapak
tangannya ke depan, membuat dua larik sinar
merah dan putih meluncur cepat laksana kilat.
Besss! Tak ada ledakan yang berarti akibat ben-
trokan dua tenaga dalam barusan. Namun hebat-
nya, tubuh Siluman Ular Putih tampak goyah.
Kedua kakinya pun melesak ke dalam tanah.
Bahkan geraham si pemuda sampai bergemelutuk
saat berusaha menahan laju serangan Hantu
Tangan Api. Saat itu juga tenaga dalamnya dili-
patgandakan dengan kedua telapak tangan men-
dorong ke depan. Namun, celakanya malah kedua
kakinya makin terperosok ke dalam tanah. Dan....
"Aughhh...!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menjerit ke-
ras. Tanpa ampun tubuhnya terpental jauh ke be-
lakang dan terbanting keras.
Bukkk! Siluman Ular Putih menggereng penuh ke-
marahan. Seisi dadanya seolah-olah diaduk-aduk
hawa panas akibat pukulan Hantu Tangan Api.
Sementara kedua telapak tangannya pun mele-
puh! "Edan! Kenapa jadi begini" Hm...! Kukira sudah saatnya aku harus
mengeluarkan ajian
'Titisan Siluman Ular Putih'...," gumam Siluman Ular Putih gusar.
Siluman Ular Putih cepat beringsut dan se-
gera duduk bersila. Kedua telapak tangannya di-
rangkapkan di depan dada. Sementara kedua bi-
birnya mulai bergerak-gerak membacakan mantra
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'.
Tepat ketika mantra ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih' selesai dibacakan, saat itu juga tubuh Soma telah dipenuhi asap
putih tipis. Dan kini
sosoknya yang kekar hilang terbungkus asap pu-
tih bergulung-gulung.
Di tempatnya Hantu Tangan Api tercekat
untuk beberapa saat. Namun lelaki tua sesat ini
masih belum bertindak, kecuali hanya terus
memperhatikan ilmu yang akan dikeluarkan Si-
luman Ular Putih.
Ternyata setelah asap putih yang menyeli-
muti tubuh Siluman Ular Putih itu hilang tertiup angin....
"Ggggeeerrr...!!!"
* * * Bukan main terkejutnya Hantu Tangan Api
begitu melihat perubahan wujud musuh mu-
danya. Seketika sepasang matanya yang menco-
rong membelalak liar. Betapa di hadapannya kini
pemuda gondrong tadi telah menjelma menjadi
sosok seekor ular putih raksasa dengan taring-
taring yang runcing!
"Hm...! Jadi"! Inikah ilmu yang kau bang-
ga-banggakan itu, Siluman Ular Putih?"
Ular putih raksasa sebesar pohon kelapa
itu hanya menggereng penuh kemarahan. Suara
gerengannya yang berat terdengar menggema di
segenap penjuru. Ekornya, tak henti-hentinya
mengibas-ngibas ke sana kemari.
Bummm! Bummm! Bumi kontan bergetar hebat begitu terkena
kibasan-kibasan ekor Siluman Ular Putih. Tanah
berpasir di sekitar tempat pertarungan pun kon-
tan membuncah ke sana kemari.
"Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih mulai bersiap-siap me-
nerjang Hantu Tangan Api. Ekornya yang besar
sedikit ditekuk ke samping. Sedang taring-
taringnya yang berkilauan tertimpa sinar rembu-
lan tampak demikian mengerikan, seolah tak sa-
bar untuk mengganyang tubuh musuhnya.
"Siluman Ular Putih! Meski kau telah men-
jelma jadi ular putih raksasa, jangan dikira aku tak dapat merobohkanmu! Hayo,
majulah! Akan kulihat, sampai di mana kehebatanmu!" tantang tokoh sesat dari Bukit Pedang itu
pongah. Seolah ia yakin dapat merobohkan ular putih raksasa di
hadapannya dalam sekali gebrakan.
"Gggeeerrr!"
Ular Putih raksasa itu mengibas-ngibaskan
ekornya kasar. Dan dengan satu sentakan, sosok
panjangnya telah menerjang hebat Hantu Tangan
Api! Wesss! Justru Ki Banaspati tertawa pongah meli-
hat ular putih raksasa itu mulai bertindak. Tapi ketika serangan Siluman Ular
Putih hanya tinggal beberapa depa lagi, tubuhnya cepat berkelit seraya
mengirimkan satu jotosan keras yang tak
dapat dicegah lagi.
Bukk! Bukkk! Dua kali bogem mentah Hantu Tangan Api
mendarat telak di tubuh Siluman Ular Putih. Aki-
batnya tubuh ular putih raksasa itu terlempar
jauh ke samping diiringi teriakan keras, amat
memekakkan telinga!
"Ggggeeerrr!"
Hantu Tangan Api mencelos kaget melihat
kenyataan bahwa tubuh ular putih raksasa itu
tak mengalami cedera sedikit pun. Jangankan ter-
luka. Lecet pun tidak! Melihat kenyataan ini, hatinya jadi menggeram murka.
"Bangsat! Rupanya kau kebal juga terha-
dap pukulanku, Ular Putih Jejadian!"
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan
ekornya liar. Sepasang matanya yang mencorong
seolah ingin melumat tubuh lawannya.
"Majulah! Jangan dikira aku tak sanggup
meladenimu!" tantang Hantu Tangan Api diam-
diam kembali mengerahkan pukulan andalan.
Ular putih raksasa itu tampak demikian
marah begitu melihat kedua telapak tangan Han-
tu Tangan Api telah berubah jadi merah menyala
hingga ke pangkal. Hal ini saja sudah membukti-
kan kalau tokoh sesat dari Bukit Pedang ini be-
nar-benar telah mengerahkan kekuatan tenaga
dalam secara penuh.
"Gggeeerrr...!"
Tiba-tiba ular putih raksasa itu kembali
menerjang hebat. Hantu Tangan Api. Taring-
taringnya yang runcing pun kembali mengancam
lawan. Namun tokoh sesat dari Bukit Pedang ini
tak gentar sedikit pun. Dengan menjengekkan hi-
dungnya, tiba-tiba telapak tangannya kembali di-
hantamkan ke depan.
Werrr! Werrr! Seketika dua gulungan bola api dari kedua
telapak tangan Hantu Tangan Api melesat cepat
ke depan, memapak tubuh ular putih raksasa
yang masih melayang di udara.
"Gggeeerrr! Gggeeerrr!"
Ular putih raksasa itu menggereng hebat.
Tubuhnya yang panjang jatuh ke tanah, langsung
oleng ke sana kemari. Sedang dua gulungan bola
api dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api
tak henti-hentinya menyerang ular putih raksasa
itu. "Mampuslah kau, Ular Jejadian!"
Ular putih raksasa itu terus menggeliat.
Namun hebatnya, sosoknya yang panjang memu-
tih sama sekali tidak terpengaruh oleh gulungan
bola api yang mengurung.
Dan melihat kenyataan itu, hati Hantu
Tangan Api jadi gusar bukan main. Lebih gusar
lagi manakala tiba-tiba ekor ular putih raksasa
itu tahu-tahu telah meluruk mengancam tubuh-
nya. "Setan alas!" geram Hantu Tangan Api jengkel bukan main. Namun untuk
menghindar ia sudah terlambat. Akibatnya....
Bukkk! Tanpa ampun lagi tubuh kurus kering itu
pun telah jadi sasaran empuk kibasan ekor ular
putih raksasa jelmaan murid Eyang Begawan
Kamasetyo. Diiringi raungan setinggi langit, tubuh
Hantu Tangan Api kontan terlempar jauh ke bela-
kang dan terbanting keras dengan wajah pias.
Punggungnya yang terkena kibasan terasa mau
remuk. Untung saja tadi tenaga dalamnya telah
dikerahkan hingga tidak mengalami cedera berar-
ti. "Bangsat! Akan kubalas kibasan ekormu
tadi, Ular Putih Keparat! Akan kuhancurkan tu-
buhmu hingga berkeping-keping!" geram Hantu Tangan Api murka.
Tanpa banyak basa-basi lagi Hantu Tangan
Api segera melompat bangun. Darah segar yang
mengalir di sudut bibir segera dibesut dengan
menggunakan punggung tangannya.
"Kali ini kau tak mungkin lolos dari tangan mautku, Ular Putih Keparat! Makanlah
pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Hantu Tangan
Api kembali menerjang ular putih raksasa itu ga-
nas. Kedua telapak tangannya yang kian berubah
merah menyala segera disentakkan ke arah ular
putih raksasa itu. Saat itu juga meluruk dua lidah api yang berkobar-kobar dari
kedua telapak tangannya, langsung melabrak tubuh Siluman
Ular Putih tanpa ampun!
"Gggeeerrr! Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. So-
soknya yang panjang memutih oleng ke sana ke-
mari. Sedang lidah api yang berkobar-kobar dari
kedua telapak tangan Hantu Tangan Api terus
membakar sekujur tubuhnya tanpa ampun.
Lelaki tua kurus kering itu sendiri pun tak
sudi mengendurkan serangannya. Dengan menge-
rahkan segenap tenaga dalamnya, kobaran api
yang membakar sekujur tubuh Siluman Ular Pu-
tih pun makin mengerikan!
"Ggggeeerrr...!"
Bukan main hebatnya geliatan-geliatan tu-
buh Siluman Ular Putih. Tak henti-hentinya
ekornya dikibaskan ke sana kemari, seolah-olah
tak tahan dengan kobaran api yang memanggang
tubuhnya. "Ha ha ha...! Hari inilah nama besarmu
akan tamat, Siluman Ular Putih!" Hantu Tangan Api tertawa pongah.
Siluman Ular Putih kewalahan. Tampak
sekali kalau ular pulih raksasa itu sudah tak tahan lagi dengan lidah api yang
berkobar-kobar membakar tubuhnya.
"Ggggeeerrr...!!!"
Saking tidak tahan dengan kobaran api
yang memanggang tubuhnya, Siluman Ular Putih
menggereng hebat. Suaranya yang kasar dan be-
rat seolah-olah tengah menanggung derita maha
hebat! Ini lebih terbukti manakala tiba-tiba sekujur tubuhnya telah dipenuhi
asap putih tipis
hingga tidak kelihatan sama sekali.
Sejenak Hantu Tangan Api tertegun di
tempatnya. Lalu lelaki ini kembali tertawa bergelak sambil menunggu apa yang
akan dilakukan Siluman Ular Putih.
"Ha ha ha...! Kcluarkanlah semua kepan-
daianmu, Siluman Ular Putih! Kau toh tetap akan
tewas di tanganku!" ejek Hantu Tangan Api tertawa bergelak. Kini tangannya
diturunkan kembali,
membuat lidah api yang berkobar-kobar pun sir-
na. Sementara itu asap putih yang menyelimuti
sekujur tubuh ular putih raksasa itu pun mulai
sirna. Samar-samar dari gulungan-gulungan asap
putih itu, terlihat kalau sesosok tubuh pemuda
berpakaian rompi dan celana bersisik itu tengah
duduk bersila dengan paras pias! Darah segar
pun tampak keluar dari lobang hidung dan lobang
telinga, pertanda menderita luka dalam parah.
"Celaka! Rupanya memang sudah nasibku
harus modar di tangan Hantu Tangan Api...," desis Siluman Ular Putih gelisah
bukan main. Seku-
jur tubuhnya terasa lemah. Sulit sekali untuk
mengerahkan tenaga dalam.
"Ha ha ha...! Daripada kau menderita se-
perti itu, lebih baik lekas kukirim menemui ma-
laikat maut, Bocah! Selamat tinggal!" ejek Hantu Tangan Api.
Begitu habis kata-katanya, tokoh sesat dari
Bukit Pedang ini kembali menghentakkan kedua
telapak tangan ke depan, membuat dua larik si-
nar merah menyala meluncur, siap menghantam
tubuh Siluman Ular Putih.
Namun belum sempat dua larik sinar me-
rah itu mencapai sasaran, mendadak berkelebat
sesosok bayangan hitam, langsung menyambar
tubuh Siluman Ular Putih. Dan dengan kecepatan
mengagumkan meninggalkannya tempat itu.
"Bajingan! Siapa lagi yang berani main gila dengan Hantu Tangan Api, hah"!"
bentak Hantu Tangan Api gusar bukan main.
Tapi sayang, sosok bayangan hitam itu te-
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lah berkelebat di kejauhan sana. Lebih dari itu, ternyata sosok tubuh Ratu Adil
yang tadi tergeletak di luar tempat pertarungan pun sudah tak be-
rada di tempatnya lagi!
"Setan alas! Berani benar mempermainkan
Hantu Tangan Api seperti ini!"
Saking tak kuatnya amarah yang memba-
kar dada. Hantu Tangan Api membanting kakinya
keras. Seketika, tanah tempat bekas berpijaknya
terbongkar! Tanah berpasir di tempat itu pun
kontan membubung tinggi di udara, membuat
suasana di tempat itu jadi gelap pekat. Dan saat debu-debu yang membubung tinggi
itu sirna tertiup angin, ternyata sosok Hantu Tangan Api te-
lah meninggalkan tempat itu!
11 Sosok bayangan hitam-hitam yang melari-
kan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terus ber-
kelebat cepat menembus kegelapan malam. Meski
sambil memanggul dua sosok tubuh, sosok
bayangan hitam itu ternyata mampu berkelebat
cepat tanpa mengalami kesulitan sedikit pun. Hal ini jelas membuktikan kalau
ilmu meringankan
tubuhnya benar-benar sudah mencapai tingkat
tinggi! Srakkk! Srakkk!
Sesampainya di kawasan sebuah hutan ke-
cil, mendadak sosok bayangan hitam ini meng-
hentikan langkahnya. Untuk sesaat, ia masih te-
gak di tempatnya tanpa berbuat sesuatu. Hanya
kedua bola matanya saja yang bergerak-gerak
mengawasi keadaan sekitarnya dengan seksama.
"Hm...! Kukira tak ada orang yang sedang
mengawasiku. Juga, tua bangka itu. Sebaiknya
aku cepat masuk," gumam sosok bayangan itu
dalam hati. Dengan langkah hati-hati, sosok bayangan
itu menyibak semak belukar yang ternyata di ba-
liknya terdapat sebuah mulut goa. Tanpa ragu-
ragu sosok bayangan itu segera membawa Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil masuk ke dalam
goa. "Siapa"! Apakah kau yang datang, Paman?"
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan.
Sosok bayangan hitam itu tidak menyahut,
kecuali hanya batuk-batuk kecil. Kakinya terus
melangkah lebar memasuki goa. Dalam goa itu
memang tidak begitu lebar. Luasnya kira-kira
empat kali lima tombak. Namun di dalamnya ter-
dapat dua lorong kecil yang memisahkan ruang-
ruang di sebelahnya.
"Siapa yang kau bawa itu Paman?" tanya suara halus dengan kepala menyembul dari
balik lorong goa. Ternyata suara itu datang dari mulut seorang gadis cantik yang
mengenakan pakaian
serba hijau dengan rambut digelung ke atas. Hia-
san-hiasan bunga melati tampak menyemaraki
rambutnya. Sosok bayangan hitam itu tetap tidak me-
nyahut. Ia hanya mengisyaratkan gadis itu agar
masuk. Gadis itu menurut, segera melangkah
masuk. Baru kemudian, disusul sosok bayangan
itu. Dalam sebuah ruangan berukuran empat
kali lima tombak, sosok bayangan hitam itu sege-
ra meletakkan tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil ke tumpukan jerami. Sekali lihat saja, ia tahu kalau kedua anak muda itu
tengah menderita luka dalam amat hebat.
"Siluman Ular Putih...!" desis gadis cantik itu begitu mengenali sosok pemuda
berpakaian putih keperakan yang tengah tergeletak tak ber-
daya ditumpukan jerami.
"Ya! Dia memang Siluman Ular Putih. Tadi
sewaktu kita tidur, tiba-tiba aku mendengar sua-
ra orang tengah bertarung. Lalu diam-diam, aku
menyelinap keluar untuk melihat. Namun betapa
terkejutnya saat melihat Siluman Ular Putih ten-
gah bertarung melawan Hantu Tangan Api. Hm...!
Tak kusangka tua bangka itu kembali gentayan-
gan di dunia persilatan. Untung saja aku segera
bertindak. Kalau tidak, bukan mustahil Siluman
Ular Putih dan teman-temannya ini sudah tewas
di tangan Hantu Tangan Api."
"Siapa sebenarnya Hantu Tangan Api itu,
Paman?" tanya gadis itu penasaran sekali. Kalau Siluman Ular Putih sampai dapat
dikalahkan, tentu Hantu Tangan Api memiliki kesaktian yang
tinggi. Begitu pikir si gadis dalam hati.
"Dia adalah salah seorang tokoh sesat yang
sangat ditakuti di dunia persilatan. Arum. Kesak-tiannya sangat tinggi. Jarang
sekali yang mampu
menandingi sepak terjangnya. Aku sendiri mung-
kin tak mampu menghentikannya. Untuk itulah
aku lebih baik memilih menghindar dan menye-
lamatkan kedua orang anak muda itu," jelas sosok bayangan berpakaian hitam-hitam
yang ter- nyata seorang kakek renta.
"Paman Pendidik Ulung! Sedemikian he-
batnyakah kesaktian Hantu Tangan Api hingga
membuat Paman tampak ketakutan?" tanya gadis itu yang ternyata Arum Sari, heran.
"Harus kuakui, ilmu Paman masih seting-
kat di bawah Hantu Tangan Api. Untuk itulah
Paman memilih menyelamatkan Siluman Ular Pu-
tih dan kawannya daripada meladeni Hantu Tan-
gan Api," jelas si tua yang ternyata Pendidik Ulung. "Hm...! Tapi, buk...."
"Sudahlah, Arum! Sekarang kau duduk sa-
ja di situ. Paman akan menyembuhkan luka da-
lam kedua anak muda itu!" potong Pendidik
Ulung cepat. "Baik, Paman."
Pendidik Ulung segera mendekati tubuh Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil. Dalam pandan-
gan matanya, ia tahu kalau kedua anak muda itu
sama-sama menderita luka dalam parah.
Tanpa banyak cakap, Pendidik Ulung sege-
ra membalikkan tubuh Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil. Lalu ia sendiri duduk bersila di tengah tubuh kedua anak muda itu.
Telapak tangan kanannya segera ditempelkan ke punggung Siluman
Ular Putih. Sedang telapak tangan kiri segera ditempelkan ke punggung Ratu Adil.
Sejurus ke- mudian, mulailah tenaga dalamnya disalurkan ke
tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil.
Selama Pendidik Ulung sibuk mengobati Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil, entah kenapa
hati Arum Sari jadi rusuh bukan main. Sebentar-
sebentar, matanya memandang ke arah Siluman
Ular Putih. Namun sebentar kemudian, tatapan-
nya beralih pada Ratu Adil.
"Ah...! Pantas saja Soma lebih mencintai
gadis itu dibanding aku. Harus kuakui, gadis itu memang cantik. Mungkin masih
lebih cantik dia
dibanding aku. Tapi.... Tapi...."
Arum Sari tidak melanjutkan perasaan ha-
tinya yang sedang gundah. Ia hanya menggigit bi-
birnya kuat-kuat, seolah-olah ada kegalauan di
balik wajahnya yang cantik. Gadis ini sedih sekali bila mengingat penolakan
Siluman Ular Putih atas permintaan ibunya beberapa hari lalu. Kalau saja Soma
tak menolak permintaan ibunya, ahh...!
Arum Sari tak sanggup membayangkan betapa
bahagianya bila dapat sehidup semati bersama Si-
luman Ular Putih. Tapi sayang, pemuda itu ter-
nyata tak memenuhi permintaan ibunya. Juga,
tak memenuhi keinginan hatinya.
Arum Sari mengeluh tertahan. Tanpa sadar
matanya jadi merembang bila mengingat penola-
kan Siluman Ular Putih.
"Aku heran" Benarkah aku kalah cantik
dengan gadis cantik itu?" gumam Arum Sari kian dipermainkan perasaan.
"Ah...!" keluh Arum Sari tiba-tiba.
Saking tidak kuatnya menahan gejolak da-
lam hatinya, hampir saja Arum Sari menjerit. Un-
tung saja ia masih bisa mengendalikan perasaan-
nya. Kini matanya lekat memperhatikan Pendidik
Ulung yang tengah sibuk mengobati Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil. Dari pandang matanya, jelas ia seperti dililit perasaan
cemas kalau-kalau Siluman Ular Putih maupun Pendidik Ulung tahu
apa yang meresahkan hatinya. Namun akhirnya
Arum Sari menghela napas panjang.
"Tenang-tenang! Mereka tak mungkin
mendengar apa yang tengah bergolak dalam hati-
ku," desah hati Arum Sari menenangkan dirinya sambil mengelus-elus dada.
Saat itu tampak tubuh Siluman Ular Putih
mulai bergerak-gerak. Selang beberapa saat, ter-
dengar Ratu Adil pun mengeluh. Kemudian seper-
ti tersentak kaget, Siluman Ular Putih dan Ratu
Adil pun buru-buru berbalik.
"Jangan khawatir! Kalian berada di tempat
aman," ujar Pendidik Ulung.
Kini paras kakek renta itu tampak demi-
kian pias, saking banyaknya mengeluarkan tena-
ga dalam. Di samping itu, tubuh Pendidik Ulung
pun tampak gemetaran. Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil yang melihat keadaan Pendidik Ulung
jadi terharu sekali.
"Ah...! Ternyata kau yang telah menyela-
matkan nyawaku, Pendidik Ulung. Aku tak tahu,
bagaimana harus membalas budimu...," ujar Siluman Ular Putih, buru-buru
menelangkupkan kedua telapak tangan ke depan hidung penuh
hormat. "Budimu sungguh besar, Orang Tua. Tak
mungkin aku mampu membalas budimu yang be-
sar ini," kata Ratu Adil. Dengan penuh hormat gadis ini pun segera
menelangkupkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Sudahlah! Kita adalah orang-orang satu
golongan, kenapa kalian banyak peradatan?" tegur Pendidik Ulung. "Sekarang,
baiknya coba bersemadi biar luka dalam kalian cepat sembuh!"
"Baik, Orang Tua," sahut Ratu Adil penuh hormat. Namun manakala melihat Arum
Sari tampak diam membisu di tempatnya, gadis itu ja-
di merasa tak enak bila tidak menegurnya. "Nona pun tentunya telah menanam budi
padaku. Terima kasih, Nona. Kalau boleh tahu, siapakah na-
ma Nona" Aku, Yustika yang rendah ini mohon
berkenalan. Barangkali, lain waktu aku dapat
membalas budi Nona yang besar ini."
"Siapa yang menolongmu" Aku tidak meno-
longmu! Jadi, kenapa kau harus mengucapkan
terima kasih"!" sahut Arum Sari, terdengar ketus.
"Arum! Kau tak boleh berlaku kasar!" tegur Pendidik Ulung.
"Benar, Arum. Ada apa sih" Sejak kita tu-
run dari Gunung Bucu, kulihat sikapmu makin
aneh" Kau sering marah-marah walau tak ada
sebab pasti," tegur Siluman Ular Putih pula.
Arum Sari memandang gusar ke arah Pen-
didik Ulung dan Siluman Ular Putih. Lalu dengan
bibir memberengut, tiba-tiba gadis itu ngeloyor
meninggalkan tempat ini.
"Kau mau ke mana, Arum?" tanya Siluman
Ular Putih. "Sudahlah! Jangan hiraukan dia! Lebih
baik bersemadi saja biar luka dalammu cepat
sembuh!" "Hm...! Baiklah," ujar Siluman Ular Putih akhirnya.
Saat melihat Ratu Adil sudah tenggelam
dalam semadinya. Soma segera memusatkan piki-
rannya dan bersemadi.
* * * Keesokan harinya, Siluman Ular Putih dan
Ratu Adil tengah duduk bersimpuh di hadapan
Pendidik Ulung. Keadaan mereka kini sedikit mu-
lai pulih setelah hampir semalam bersemadi. Wa-
lau belum sembuh benar, namun mereka kini su-
dah merasa lega karena dapat mengerahkan te-
naga dalam lagi.
"Kukira, sudah saatnya kami melanjutkan
perjalanan, Orang Tua," kata Siluman Ular Putih, mulai membuka percakapan.
"Kenapa buru-buru benar" Bukankah luka
dalam kalian belum sembuh?" tanya Pendidik
Ulung dengan kening berkerut.
"Memang belum, Orang Tua. Tapi kami kan
bisa menyembuhkan sambil jalan."
"Yah...! Kalau memang itu sudah menjadi
kehendak kalian, aku pun tak dapat lagi mena-
han. Cuma kalau boleh tahu, sebenarnya kalian
mau ke mana" Apakah kalian ingin kembali me-
nyatroni Hantu Tangan Api dan Setan Haus Da-
rah?" "Betul, Orang Tua. Tapi, di samping itu kami pun sebenarnya sedang mencari
seseorang."
Siluman Ular Putih yang menjawab.
"Siapa?"
Siluman Ular Putih tidak menjawab. Ma-
tanya malah mengerdip ke arah Ratu Adil.
"Gendon Prakoso, Orang Tua. Apakah kau
pernah bertemu atau mengenal orang yang ber-
nama Gendon Prakoso?" tanya Ratu Adil.
"Hm...!" kening Pendidik Ulung berkerut
dalam. "Rasa-rasanya aku belum pernah men-
dengar nama itu. Siapakah orang yang bernama
Gendon Prakoso itu, Gadis?"
"Dia... ayah kandungku, Orang Tua."
"Oh...!" Pendidik Ulung mengangguk-
angguk. "Sayang sekali aku tak mengenalnya. Ta-pi, aku pasti akan membantumu
untuk mencari- kan orang tuamu, Gadis."
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali."
Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang tua! Di mana Arum Sari" Kenapa
aku tak melihatnya?" tanya Siluman Ular Putih.
"Hm...! Dia sedang latihan di luar."
"Oh, ya" Kalau begitu, kami sekalian pa-
mit, Orang Tua," lanjut Siluman Ular Putih.
"Pergilah!" Pendidik Ulung menganggukkan kepalanya.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil sejenak
menelangkup kedua telapak tangan ke depan hi-
dung. Lalu kedua anak muda itu segera melang-
kah meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di luar goa, Siluman Ular Pu-
tih dan Ratu Adil memang melihat Arum Sari ten-
gah berlatih silat. Namun begitu melihat kemun-
culan Soma bersama Ratu Adil latihannya segera
dihentikan. "Arum...! Kami akan melanjutkan perjala-
nan kembali. Terima kasih atas semua kebaikan-
mu," ucap Siluman Ular Putih berpamitan.
"Kau akan meninggalkanku, Soma?"
Arum Sari mendadak membelalakkan ma-
tanya lebar. "Iya."
"Dengan gadis itu?" tuding Arum Sari ke arah Ratu Adil.
"lya. Kenapa?"
"Ah...!" Arum Sari membantingkan kakinya kesal. "Jadi" Kau tak ingin lagi
membantuku mencari makam kedua orang tuaku, Soma?"
"Ah...! Bukan begitu maksudku, Arum. Ta-
pi...." Melihat gelagat yang kurang menyenangkan, Ratu Adil yang memang berwatak
halus se- gera tahu diri.
"Aku pergi, Soma," pamit Ratu Adil, tanpa pikir panjang lagi.
Habis berkata begitu, Ratu Adil pun segera
berkelebat cepat meninggalkan Soma dan Arum
Sari. Hanya dalam beberapa kelebatan saja so-
soknya telah berada di kejauhan sana.
"Tunggu, Yustika!"
Siluman Ular Putih hendak berkelebat
bermaksud menyusul Ratu Adil. Namun sebelum
bergerak, tiba-tiba Arum Sari telah menghadang
langkahnya. "Jadi" Kau lebih mencintai gadis itu. So-
ma?" tanya Arum Sari, tak dapat lagi menyembunyikan keresahan dalam hatinya.
"Aku.... Aku.... Ah...! Kenapa kau tanyakan ini, Arum" Aku tidak mencintai
siapa-siapa kecuali ibu dan eyangku," jawab Siluman Ular Putih, gelagapan.
"Jadi?" mata Arum Sari kian membeliak lebar. "Kau.... Kau memang pemuda tak tahu
diri, Soma. Kau.... Kau sekarang boleh pilih...."
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini?"
tanya Siluman Ular Putih gelisah bukan main.
Belum pernah seumur hidupnya segelisah itu.
"Kau terlalu memaksa, Arum. Baik. Untuk me-nentukan sikapku, sekarang aku tidak
mau ting- gal di sini. Juga, tidak mau menyusul ke mana
Yustika pergi. Aku akan meneruskan perjalanan
ke utara."
Saat itu juga Siluman Ular Putih segera
berkelebat meninggalkan tempat ini. Seperti yang diucapkannya, pemuda itu memang
berkelebat menuju utara. Entah kenapa, hati Arum Sari malah ber-
tambah gusar. Terus diperhatikannya sosok Si-
luman Ular Putih hingga menghilang di balik ke-
rimbunan hutan depan sana. Lalu dengan lang-
kah gontai, Arum Sari pun kembali masuk ke da-
lam goa. SELESAI Segera menyusul:
WARISAN AGUNG Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Document Outline
SELESAI Ilmu Silat Pengejar Angin 3 Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Playboy Dari Nanking 12