Pencarian

Istana Ular Emas 3

Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas Bagian 3


ka tubuhnya melesat ke atas, dan cepat bersembunyi
di dalam wuwungan, setelah membuka genteng dan
menutupnya kembali.
*** Soma kini berada dalam sebuah ruangan, di wu-
wungan. Kemudian dengan gerakannya gesit sekali pe-
muda itu cepat meloncat turun. Ringan sekali gerak-
annya sama sekali tidak menimbulkan suara saat
menjejak ke lantai.
"Sekarang, bagaimana ini" Apa yang harus kula-
kukan?" gumam Soma dalam hati. "Ah...! Peduli setan!
Pokoknya aku harus dapat membebaskan Angkin Pem-
bawa Maut dan para tawanan yang lain dari cengke-
raman tangan Bunda Kurawa!"
Sehabis menggumam begitu, Soma cepat berkele-
bat ke bagian yang tergelap di dalam Istana Ular Emas.
Sejenak diperhatikannya beberapa orang murid Istana
Ular Emas yang tengah tegak di halaman depan sana.
Lalu sambil mengendap-endap langkahnya diteruskan.
Dan sesampainya di dekat pintu yang terbuka, sejenak diperhatikannya suasana di
dalam sebuah ruangan
depannya. "Aneh"! Ruangan ini pun kosong Kemanakah
murid-murid Istana Ular Emas itu?" gumam Soma dalam hati.
Dan sambil membesarkan hatinya, Soma cepat
menyelinap masuk. Kembali ia berjalan mengendap-
endap mendekati ruangan di depannya.
Hati-hati sekali si pemuda mengintip ruangan
yang tampak besar sekali. Luasnya hampir mencapai
sepuluh tombak. Dari beberapa buah obor besar yang
menancap di dinding, semakin membuat suasana
ruang terang benderang. Soma kembali meneliti kea-
daan sekitar lebih saksama. Ruangan di depan Silu-
man Ular Putih benar-benar menakjubkan. Baik, ting-
gi, besar, dan dalamnya ruangan ini jauh melebihi
ruangan pada umumnya.
Perlahan-lahan si pemuda kembali melangkah
sambil bersiap siaga bila ada serangan mendadak. Dan yang pertama kali
tertangkap sepasang mata birunya
adalah.... "Angkin Pembawa Maut...?" sebut Soma, dalam hati. Gadis cantik itu tampak tengah
menghadap dinding sebelah kiri. Di sampingnya tak lain Setan
Cantik yang tengah berdiri tegak di tengah ruangan.
Karena mereka membelakangi pintu masuk, maka ke-
datangan pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo ini tidak terlihat.
Perlahan-lahan Soma meneruskan langkahnya.
Sejenak matanya melirik ke arah dinding di hadapan
Angkin Pembawa Maut dan Setan Cantik. Di situ ter-
dapat sebuah pintu terbuat dari batu bundar yang
tampak kokoh sekali. Bisa ditebak kalau di balik pintu batu itu masih terdapat
kamar. Entah kamar siapa.
Namun ketika Soma hendak meneruskan lang-
kahnya mendekati dua gadis cantik di hadapannya,
sepasang mata birunya kontan terbelalak liar. Di ha-
dapan pemuda gondrong saat ini, tepatnya di tengah-
tengah ruangan, terdapat sebuah lubang melingkar
yang di dalamnya terdapat ribuan ular kecil berwarna
kuning keemasan tengah menjulur-julurkan lidahnya
dengan kepala terangkat tinggi-tinggi.
Soma terpekik ngeri tidak tahan dengan apa yang
dilihatnya. Dan meski pekikan itu terdengar lirih sekali, namun cukup sampai ke
telinga dua gadis cantik di hadapannya.
Setan Cantik seketika memutar tubuhnya. Dan
matanya kontan melotot, melihat pemuda gondrong
yang bergelar Siluman Ular Putih telah berdiri tegak di hadapannya. .
"Kau.... Kau berani datang kemari" Dan kau
apakan Mbakyuku Teratai Emas, he?" bentak Setan Cantik garang, menyadari kakak
seperguruannya yang
bernama Teratai Emas tak terlihat.
Angkin Pembawa Maut yang melihat kedatangan
Soma kontan gemetaran. Dengan pandangan mata sa-
ngat menyesalkan atas kenekatan Soma, gadis cantik
itu terus pandangi si pemuda. Hatinya saat itu gelisah sekali. Soma berjalan
mendekat. Tubuhnya membung-kuk sedikit, menjura hormat di hadapan Setan Cantik.
"Setan Cantik! Sudilah maafkan aku atas kelan-
canganku tadi."
Setan Cantik mengegoskan badannya menampik
penghormatan Soma.
"Pemuda sinting! Berani benar kau datang kema-
ri lagi, he"!" bentak Setan Cantik sambil mengibaskan tangannya.
Serrr! Serrr...!
Sinar-sinar kuning yang tak lain jarum-jarum
emas langsung meluruk cepat, mengancam keselama-
tan Siluman Ular Putih.
Soma yang sudah terlalu sering menghadapi ja-
rum-jarum emas murid-murid Istana Ular Emas, sama
sekali tidak gentar. Tubuhnya hanya dimiringkan sedikit, maka tiga batang jarum
emas Setan Cantik hanya
mengenai tempat kosong.
"Ah...! Bodohnya aku! Mengapa aku sampai lupa
kalau murid-murid Istana Ular Emas sangat kejam dan
telengas?" gumam Soma dalam hati.
Lalu tanpa mempedulikan kegusaran Setan Can-
tik yang melihat serangan-serangannya dapat dihindari dengan mudah, Soma lantas
menghampiri Angkin
Pembawa Maut. "Angkin Pembawa Maut! Apa kau pernah diperla-
kukan kasar oleh Bunda Kurawa atau murid-murid
bejat Istana Ular Emas?"
Mendengar pertanyaan pemuda tampan di hada-
pannya, wajah cantik Angkin Pembawa Maut malah
jadi tegang. Kedua bibirnya berkemik-kemik, tak
mampu menjawab pertanyaan Soma.
Si pemuda terus memandangi seraut wajah can-
tik di hadapannya penuh perhatian. Namun ketika
hendak membuka mulutnya kembali, mendadak terasa
angin dingin menyambar punggungnya.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Soma cepat
melemparkan tubuhnya ke samping menghindari se-
rangan-serangan gelap Setan Cantik.
"Setan Cantik! Kau memang manusia telengas!
Sudah tidak membalas penghormatanku, masih mem-
bokong lagi!" geram Soma kesal. "Terus terang, tadi aku memang masih berlaku
hormat padamu. Tapi ini
bukan berarti aku takut padamu, melainkan karena
masih memandang muka Angkin Pembawa Maut yang
cantik ini! Kau paham?"
Setan Cantik menggeram penuh kemarahan. Wa-
jah cantiknya tampak demikian dingin dengan sepa-
sang mata mencorong tajam.
"Keparat! Apa kau kira kau dapat keluar dari Istana Ular Emas ini dengan membawa
nyawa busukmu, he"!" bentak Setan Cantik garang.
Lalu tanpa banyak cakap lagi Setan Cantik pun
cepat menerjang Soma. Tangan kirinya cepat mengi-
bas, melontarkan jarum-jarum emasnya yang berkere-
depan. Soma tersenyum kecut. Lalu sekali mengebutkan
ujung rompinya, maka jarum-jarum emas itu pun ber-
guguran ke lantai.
"Angkin! Kau jangan khawatir! Wanita kampret
ini tidak mungkin dapat membuatmu celaka. Sebaik-
nya jangan cepat menyerahkan diri pada wanita kamp-
ret itu! Aku yakin dengan kekuatan kita, kau bisa keluar dari kubangan orang-
orang berhati iblis!" teriak Soma seraya melemparkan tubuhnya ke sana kemari,
menghindari serangan-serangan Setan Cantik.
Setan Cantik gusar bukan main. Sungguh tidak
disangka kalau serangan-serangannya dapat dihindari
dengan mudah. Namun tidak demikian halnya Angkin
Pembawa Maut. Melihat pemuda tampan yang diam-
diam mulai mengusik hatinya itu dapat menghindari
serangan-serangan kakak seperguruannya demikian
mudah, harapannya untuk keluar dari Istana Ular
Emas pun kembali timbul. Maka kini hati Angkin Pem-
bawa Maut itu pun sedikit lega. Apalagi ketika pemuda gondrong murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu mulai
membalas serangan-serangan Setan Cantik. Bahkan
dengan jurus-jurus aneh yang belum dikenalnya.
Pemuda tampan bergelar Siluman Ular Putih itu
kini mampu balik mendesak Setan Cantik hebat. Dan
entah sudah berapa kali tubuh tinggi ramping itu terpaksa berjumpalitan
menghindari serangan serangan
Siluman Ular Putih.
Setan Cantik menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sambil terus berkelit ke sana kemari, diam-diam wanita ini terus berusaha
mencari kelemahan jurus-jurus sakti 'Terjangan Maut Ular Putih' yang tengah
diperagakan Siluman Ular Putih. Namun sampai bebe-
rapa jurus, tetap saja Setan Cantik belum mampu
mencari-cari kelemahannya.
Wesss! Wesss! Setan Cantik cepat merundukkan kepalanya,
menghindari patukan-patukan kedua telapak tangan
Siluman Ular Putih yang terus menggempur hebat.
Sambil terus menghindar, tangan kanannya menghan-
tam ke dada Siluman Ular Putih.
Wesss! Melihat serangan Setan Cantik sudah demikian
dekatnya, tiba-tiba saja Siluman Ular Putih cepat memutar tubuhnya beberapa
kali. Dan tanpa diduga-
duga sama sekali kaki kirinya melepas tendangan ke
arah tangan kanan Setan Cantik.
Plak! Setan Cantik terpekik kaget. Tangannya yang
terkena tendangan kaki Siluman Ular Putih terasa nye-ri bukan main. Dan belum
sempat ia berbuat apa-apa,
tiba-tiba kaki kanan Siluman Ular Putih yang berpusaran cepat seperti gasing
tahu-tahu telah mengancam
dadanya. "Ah...!" pekik Setan Cantik, kaget bukan main.
Namun di saat Setan Cantik tengah kebingungan
menghadapi serangan serangan pemuda gondrong mu-
suhnya, mendadak....
Wesss...! Serangkum angin dingin melesat, kearah kaki
kanan Siluman Ular Putih. Soma terkesiap kaget.
Sempat dilihatnya, seleret sinar kuning keemasan yang diiringi pula bau busuk
satu tombak lagi menghajar
kakinya. "Uts!"
Buru-buru pemuda ini menarik pulang kaki ka-
nannya sambil mengerahkan pukulan saktinya 'Tenaga
Inti Bumi. Seketika itu juga kedua telapak tangan Siluman Ular Putih pun telah
berobah menjadi putih te-
rang. "Heaaa...!"
Tanpa banyak membuang-buang waktu lagi, Si-
luman Ular Putih pun cepat menghantamkan kedua
tangannya ke arah sinar kuning yang hendak mela-
braknya. Wesss! Wesss! Blaaarrr...! Hebat bukan main akibat bentrokan dua tenaga
dalam di udara itu. Tubuh Siluman Ular Putih yang
saat itu masih melayang-layang di udara seketika terpental ke belakang, langsung
membentur dinding dan
jatuh bergedebukan di tanah. Darah segar langsung
membersit di sudut-sudut bibirnya.
"Siapa pun juga yang berani menyelinap ke da-
lam Istana Ular Emas, berarti mati!"
*** 7 Sepasang mata biru Siluman Ular Putih terbeliak
lebar. Di hadapannya kini berdiri seorang perempuan
cantik berpakaian kuning keemasan. Usianya sebenar-
nya sudah sangat tua. Namun anehnya tubuhnya te-
tap tampak masih sintal. Kulitnya putih bersih seperti kulit-kulit putri kraton.
Demikian juga sikapnya yang lemah lembut, laksana sikap seorang ratu. Sungguh
tidak sesuai dengan wajahnya yang dingin. Sedang
rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas, se-
makin mencerminkan sikap angkuhnya.
Siapa lagi tokoh yang satu ini kalau bukan pemi-
lik Istana Ular Emas yang bergelar Bunda Kurawa.
Dan tokoh sesat yang akhir-akhir ini menjadi momok
dunia persilatan itu kini menatap tajam pada pemuda
gondrong di hadapannya.
Soma menggerutkan gerahamnya kuat-kuat. Per-
lahan-lahan pangkal lengannya membesut darah yang
membasahi sudut-sudut bibirnya, begitu melompat
bangun. Sepasang mata birunya berkilat-kilat penuh
kemarahan. "Soma! Kau... kau tidak apa-apa?" tanya Angkin Pembawa Maut dengan suara cemas
sambil mendekati
Soma, tanpa mempedulikan kehadiran Bunda Kurawa
lagi! Tadi sewaktu Bunda Kurawa melepaskan puku-
lan 'Ular Emas', gadis cantik yang diam-diam kini mulai menaruh hati pada Soma
itu sempat berteriak nge-
ri. Dan lebih ngerinya lagi ketika melihat tubuh pemu-da itu terpental ke
belakang akibat bentrokan tenaga dalam dengan Bunda Kurawa. Dan walau Soma sudah
tegak kembali, tak urung juga hati Angkin Pembawa
Maut masih juga dibalut kecemasan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Bunda," ucap Setan Cantik seraya menjatuhkan
diri berlutut di hadapan Bunda Kurawa.
Bunda Kurawa mengangguk-angguk angkuh. Na-
mun pandangan matanya tetap ditujukan ke arah Ang-
kin Pembawa Maut. Sekali lihat saja, perempuan tua
pemilik Istana Ular Emas itu tahu kalau muridnya
yang satu ini telah kehilangan tenaga sakti 'Ular Emas'


Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menjadi kebanggaan Bunda Kurawa.
Setelah mengamati sekujur tubuh Angkin Pem-
bawa Maut, Bunda Kurawa cepat menggerakkan ang-
kin panjangnya yang berwarna kuning keemasan. Dan
laksana seekor ular kuning, senjata andalannya itu
sudah melibat pinggang Angkin Pembawa Maut yang
bermaksud mendekati Soma.
Slap! "Heh..."!"
Soma terkesiap kaget. Tanpa banyak cakap, tu-
buhnya berkelebat ke arah Angkin Pembawa Maut. Ta-
pi sayang terlambat. Dengan angkin panjangnya, tokoh sesat pemilik Istana Ular
Emas itu cepat mengangkat
tubuh tinggi ramping Angkin Pembawa Maut tinggi-
tinggi sambil menggeleng-geleng saking kesalnya.
"Heaaah...!"
Kemudian dengan perasaan gemas sekali, Burida
Kurawa cepat menggerakkan angkinnya. Maka seketi-
ka itu juga, tubuh tinggi ramping Angkin Pembawa
Maut pun terlempar menimpa Soma yang datang
memburu. "Keparat! Kau bukan lagi muridku! Kau boleh
pergi sesuka hatimu, Anak Setan!" bentak Bunda Kurawa garang.
Bruk! Soma yang tertimpa tubuh Angkin Pembawa
Maut cepat menangkap tubuh gadis itu. Perlahan-
lahan diturunkannya tubuh Angkin Pembawa Maut.
"Angkin Pembawa Maut! Jangan takut! Selama
masih ada aku di sini, kau pasti akan kulindungi."
Angkin Pembawa Maut menangis ketakutan da-
lam pelukan pemuda gondrong yang bergelar Siluman
Ular Putih. Seolah-olah kata-kata pemuda tampan da-
lam pelukannya hanyalah sebuah nyanyian sunyi di
malam gelap yang tetap saja tidak dapat merobah na-
sib. Soma terus memeluk gadis itu erat-erat, demi-
kian pula Angkin Pembawa Maut. Meski perkenalan
kedua anak muda itu baru terjalin sejak tadi siang,
namun sepertinya mereka enggan melepaskan pelukan
masing-masing. Malah tangis Angkin Pembawa Maut
terdengar makin menyayat dalam pelukan pemuda
gondrong itu "Angkin Pembawa Maut! Jangan menangis terus
dong! Golongan Ular Emas memang segerombolan
orang berhati keji. Mereka pantas mendapat caci maki di dunia persilatan. Dan
kau masih beruntung, karena dapat keluar dari kubangan mereka. Sekarang. apa la-
gi yang harus ditangisi?" hibur Soma, sebisanya.
Angkin Pembawa Maut menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Soma! Dengan kepandaianmu sekarang, rasanya
kau tidak terlalu sukar untuk keluar dari Istana Ular Emas. Tapi untukku,
rasanya percuma saja. Lekas!
Pergilah sendiri, Soma!" kata Angkin Pembawa Maut.
"Mengapa kau tidak mau lari, Angkin" Bagaima-
na mereka memperlakukan mu di sini?" tanya Soma cemas.
"Nasib semua murid Istana Ular Emas yang di-
usir dari sini tetap sama saja. Jangan tanyakan itu, Soma! Sekarang, lekaslah
tinggalkan tempat ini! Biarpun perkenalan kita belum begitu lama, tapi... rasa-
rasanya sulit sekali aku melupakanmu! Apalagi aku
sebenarnya seorang anak asuh di sini. Dulu sewaktu
berumur tiga tahun, aku sudah dibawa orang yang
bergelar Bunda Kurawa kemari. Sehingga aku tidak
tahu lagi siapa ayah dan ibuku yang sebenarnya. Ra-
sanya bila aku mati di tempat ini, itu sudah wajar. Hitung-hitung sebagai
penebus dosa atas perbuatan ja-
hatku selama ini. Tapi kau...! Lekaslah tinggalkan
tempat ini, Soma! Kumohon, turutilah kata-kataku!"
desak Angkin Pembawa Maut makin membuat hati
Soma tersayat. "Tidak, Angkin Pembawa Maut! Tidak mungkin
aku meninggalkanmu di sini. Betapapun besar ba-
hayanya, aku akan tetap membawamu keluar dari
tempat terkutuk ini!"
Sehabis berkata begitu, pandangan Soma segera
beralih ke arah Bunda Kurawa. Namun anehnya Bun-
da Kurawa hanya tersenyum.
"Mengapa canda mesra kalian berhenti" Hayo le-
kas lanjutkan! Mumpung Raja Akhirat belum menjem-
put nyawa kalian!"
Soma geram bukan main mendengar ejekan
Bunda Kurawa. Namun belum sempat pemuda gon-
drong bergelar Siluman Ular Putih itu bertindak, Angkin Pembawa Maut telah
bergerak cepat membuka pin-
tu bundar di dinding sebelah kiri.
"Lekaslah masuk kemari, Soma!"
Tapi Bunda Kurawa yang sudah habis kesaba-
rannya cepat mengebutkan angkin panjangnya, meno-
tok beberapa jalan darah di tubuh Siluman Ular Putih.
"Hup!"
Soma cepat berjumpalitan ke sana kemari,
menghindari serangan-serangan angkin panjang Bun-
da Kurawa. Dan ketika tubuhnya berada di udara,
tangan kirinya didorongkan ke arah Angkin Pembawa
Maut. Maka seketika itu juga serangkum angin dingin
dari telapak tangan kiri Siluman Ular Putih meluruk
mendorong tubuh ramping Angkin Pembawa Maut.
"Angkin Pembawa Maut! Masuklah lebih dulu.
Dan, cepat kunci pintunya rapat-rapat! Biar aku yang berjaga-jaga di sini kalau
dua iblis wanita ini nekat menerjang masuk."
Angkin Pembawa Maut memang sempat terlem-
par masuk ke dalam ruangan di sebelah kiri, akibat
dorongan telapak tangan kiri Siluman Ular Putih tadi.
Namun pintu ruangan batu itu tidak ditutup. Malah
kakinya melangkah maju.
"Tidak mungkin kau berlaku seperti ini, Soma.
Baiklah! Kalau begitu. Biar aku turut membantumu
saja!" Baru saja gadis cantik itu selesai dengan ucapannya, mendadak angkin
panjang Bunda Kurawa te-
lah bergerak cepat bagaikan ular emas besar.
Slap! Dan tahu-tahu, tubuh tinggi ramping Angkin
Pembawa Maut telah terlilit angkin panjang di tangan gurunya. Kemudian belum
sempat Angkin Pembawa
Maut menyadari apa yang terjadi, angkin panjang
Bunda Kurawa pun kembali menyentak ke atas menu-
ju lubang di tengah ruangan yang berisi ribuan ular
emas ganas! Wuttt! "Aaa...!"
Angkin Pembawa Maut yang dilemparkan gu-
runya ke tempat ular-ular emas seketika itu menjerit teramat menyayat.
"Selamat tinggal, Soma! Sampai bertemu kembali
di lain penitisan!" teriak gadis cantik itu, memelas.
Soma kaget bukan alang kepalang. Maka, tanpa
mempedulikan serangan-serangan Bunda Kurawa, tu-
buhnya cepat berkelebat mendahului lesatan Angkin
Pembawa Maut yang tengah melayang-layang di udara.
Tap! Di saat tubuh Angkin Pembawa Maut hampir sa-
ja jatuh ke dalam kubangan ular-ular emas, Soma te-
lah berhasil menyambarnya dan cepat melemparkan-
nya kembali keluar lubang ribuan ular emas.
"Oh..."!"
Tapi akibat lemparan ini, Siluman Ular Putih jadi
kehilangan keseimbangan. Maka tanpa ampun lagi, tu-
buh tinggi kekarnya masuk ke dalam kubangan ribuan
ular emas! "Soma...!" pekik Angkin Pembawa Maut cemas bukan main.
Beberapa ekor ular emas yang tampak kelaparan
sudah cepat mengejar mangsanya. Dan tanpa ampun
lagi, kaki Siluman Ular Putih telah terpagut ular-ular itu. Tukkk! Tukkk! Tukkk!
"Aguhhh...!" jerit Siluman Ular Putih menahan sakit. Dan seketika itu juga kaki
kanan si pemuda yang terpagut ular-ular emas terasa nyeri bukan main. Cepat
ditotoknya beberapa jalan darah di kaki kanannya agar racun ular itu tidak
menjalar ke bagian lain.
Bed! Bed! Kemudian dengan menggunakan kedua tangan-
nya, Siluman Ular Putih pun segera bergerak cepat
menampar ular-ular ganas yang berani mendekatinya.
Maka seketika itu juga ular-ular itu mati tak bergerak-gerak lagi dengan kepala
hancur. Meski demikian, tiba-tiba saja Soma merasakan
kaki kanannya seperti lumpuh akibat patukan-
patukan ular emas tadi. Akibatnya, gerakan pemuda
gondrong itu jadi lamban. Apalagi saat itu, telapak
tangan kanannya pun masih terasa nyeri akibat racun
bunga teratai emas sewaktu bertempur dengan murid
pertama Bunda Kurawa yang bergelar Teratai Emas
tadi siang. Padahal, saat itu ia ingin cepat menjaga keselamatan Angkin Pembawa
Maut yang tadi dilempar-
kannya keluar dari kubangan ular-ular emas.
"Bocah bandel! Kau telah terkena gigitan ular-
ular emas kami, tahu"! Apa kau masih berani jual la-
gak di sini?" ejek Setan Cantik di antara suara tawanya.
Siluman Ular Putih menggeram murka. Sejenak
ia berloncatan ke sana kemari menghindari pagutan-
pagutan puluhan ular emas yang kelaparan itu. Dan
tiba-tiba kakinya menjejak ke tanah.
"Hup!"
Dan dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkat tinggi, Soma pun cepat me-
lompat tinggi. Begitu berada di udara, Siluman Ular
Putih cepat melontarkan pukulan sakti 'Tenaga Inti
Bumi' ke arah Setan Cantik dan Bunda Kurawa.
Wesss! Wesss! Dua leret sinar putih terang dari kedua telapak
tangan Siluman Ular Putih cepat meluruk ke arah dua
wanita iblis dari Istana Ular Emas itu.
Bunda Kurawa dan Setan Cantik sempat terkejut
juga. Mereka tidak menyangka kalau Siluman Ular Pu-
tih yang telah terluka parah akibat gigitan ular-ular emas masih dapat
melancarkan serangan demikian
hebatnya. "Heaaahhh...!"
Namun Bunda Kurawa dan Setan Cantik pun ce-
pat memapaki pukulan 'Tenaga Inti Bumi' dengan pu-
kulan sakti andalan Istana Ular Emas.
Wesss! Wesss! Blaaarrr...! Terdengar satu ledakan dahsyat akibat berte-
munya tenaga dalam ketiga orang itu tadi. Akibatnya, tanah dalam ruangan batu
itu bergetar hebat. Angin
kencang berkesiur menyambar-nyambar dinding-
dinding ruangan. Sedang tubuh Siluman Ular Putih
yang saat itu masih melayang-layang tinggi di udara, kembali terpental beberapa
tombak ke belakang. Lun-curannya baru berhenti ketika membentur dinding
ruangan, akhirnya jatuh bergedebuk di tanah.
"Soma...! Kau.... Kau tidak apa-apa?" teriak Angkin Pembawa Maut panik bukan
main. Siluman Ular Putih hanya menggeram penuh
kemarahan, seolah-olah tidak mempedulikan ucapan
Angkin Pembawa Maut barusan. Wajahnya pucat pasi.
Darah segar tampak membasahi sudut-sudut bibirnya,
pertanda tengah terluka dalam cukup parah.
Melihat musuh mudanya tampaknya sudah tidak
berdaya akibat bentrokan tadi dan juga akibat gigitan-gigitan ular emas, Bunda
Kurawa tersenyum mengejek.
Dan kini perhatiannya pun dialihkan ke arah Angkin
Pembawa Maut. "Kau budak hina! Meski tidak menerima huku-
man pagutan ular emas, namun jangan dikira dapat
keluar dari Istana Ular Emas ini dengan selamat! Sekarang, rasakanlah hukumanku
ini!" Sehabis berkata begitu, Bunda Kurawa menge-
butkan angkin panjangnya yang tiba-tiba saja menjadi keras laksana lempengan
baja ke arah batok kepala
Angkin Pembawa Maut!
Siluman Ular Putih terkesiap kaget.
"Setan alas! Kalian benar-benar sudah keterla-
luan!" teriak Siluman Ular Putih kalap.
Maka tanpa mempedulikan keselamatannya lagi,
tahu-tahu tubuh tinggi kekar Siluman Ular Putih telah
berkelebat cepat. Langsung ditubruknya angkin pan-
jang Bunda Kurawa yang siap meremukkan batok ke-
pala Angkin Pembawa Maut. Namun pada saat yang
sama Setan Cantik menghentakkan tangannya, mele-
pas pukulan jarak jauh. Dan....
Bukkk! "Aaakh...!"
Siluman Ular Putih terpekik tertahan. Tubuhnya
kontan terpental ke belakang terhantam pukulan jarak jauh Setan Cantik. Di saat
tubuhnya melayang, pemuda ini sempat melihat Angkin Pembawa Maut tengah
sibuk menghindari serangan-serangan gurunya, sebe-
lum akhirnya terhantam pada bagian iganya. Dan se-
ketika itu juga gadis itu roboh tak berdaya. Entah ma-ti, entah tidak!
Bukan main murkanya Siluman Ular Putih begi-
tu bangkit dari jatuhnya. Wajahnya pucat pasi. Kedua bibirnya berkemik-kemik
hebat. Dan karena saking tidak kuatnya menahan amarah menggelegak tiba-tiba
saja sekujur tubuhnya mulai diselimuti asap putih tipis. Dan akhirnya, sosok
tinggi kekar pemuda gon-
drong murid Eyang Begawan Kamasetyo itu tidak keli-
hatan sama sekali tertutup asap putih tipis. Dan keti-ka asap putih yang
menyelimuti sekujur tubuh Silu-
man Ular Putih hiking....
"Gggeeerrr...!"
*** "Si.... Siluman Ular Putih..."!" pekik Bunda Kurawa dan Setan Cantik hampir
berbarengan. . Kedua orang wanita iblis itu terbeliak ngeri meli-
hat seekor ular raksasa sebesar pohon kelapa berwar-
na putih keperakan dengan taring mengerikan! Sedang


Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepasang matanya yang berwarna merah menyala te-
rus memandang beringas Bunda Kurawa dan Setan
Cantik. Bunda Kurawa dan Setan Cantik mundur bebe-
rapa tindak ke belakang saking gentarnya. Namun se-
kejap kemudian, seperti mendapat kata sepakat kedua
wanita iblis itu menerjang terlebih dahulu.
Siluman Ular Putih memapaki serangan-
serangan Bunda Kurawa dan Setan Cantik dengan ki-
basan-kibasan ekornya. Akibatnya, ruangan tempat
terjadinya pertarungan tergetar hebat. Dinding-dinding batu rontok menimpa tiga
sosok yang sedang bertempur hebat di bawahnya.
Bunda Kurawa dan Setan Cantik makin garang
menghujami sekujur tubuh Siluman Ular Putih dengan
senjata di tangan. Namun anehnya, tubuh memanjang
sebesar pohon kelapa itu hanya menggeliat-geliat saja, seperti tidak merasakan
bacokan-bacokan pedang di
tangan Setan Cantik maupun sambaran-sambaran
angkin Bunda Kurawa yang mengeras laksana lempen-
gan baja! Bukkk! Bukkk! Crakkk! Setan Cantik dan Bunda Kurawa terperangah,
menyadari kalau tubuh Siluman Ular Putih kebal ter-
hadap berbagai macam senjata! Jangankan untuk
membabat buntung atau meremukkan tulang-tulang
tubuh Siluman Ular Putih dengan sambaran-sambaran
angkin di tangan Bunda Kurawa. Untuk melukai kulit
tubuhnya saja mereka tidak bisa. Hal ini tentu saja
membuat nyali kedua wanita iblis itu makin ciut.
Sedang Siluman Ular Putih terus mengamuk he-
bat. Kibasan-kibasan ekor maupun terkaman-
terkamannya makin membuat Bunda Kurawa dan Se-
tan Cantik pontang panting. Bahkan tak jarang, kiba-
san-kibasan ekor maupun terkaman-terkamannya
mampu melukai tubuh kedua orang pengeroyoknya.
Bahkan sebelum kedua orang wanita itu bisa
berbuat sesuatu, tiba-tiba saja Siluman Ular Putih
mengibaskan ekornya kuat-kuat. Begitu cepat gera-
kannya, sehingga....
Bukkk! Bukkk! Tanpa ampun lagi dua tubuh tinggi ramping ter-
pental beberapa tombak ke belakang terhantam ekor
ular raksasa itu. Tubuh mereka berputar-putar seben-
tar, dan akhirnya membentur dinding-dinding ruan-
gan. Setan Cantik dan Bunda Kurawa menggeram pe-
nuh kemarahan. Dada mereka yang terkena kibasan
ekor Siluman Ular Putih terasa mau jebol. Untung saja tenaga dalam kedua wanita
cantik itu cukup kuat. Sehingga, tidak begitu membahayakan keselamatannya.
Namun hal ini tentu saja sudah membuat nyali
kedua wanita cantik itu makin ciut saja. Dan sebelum Siluman Ular Putih
menerjang kembali, Bunda Kurawa
cepat memberi isyarat kepada muridnya. Maka tanpa
banyak cakap lagi, kedua wanita cantik itu pun cepat berkelebat keluar dari
ruangan. "Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng penuh kemara-
han, menggetar-getarkan dinding-dinding ruangan.
Sepasang matanya yang berwarna merah menyala te-
rus memperhatikan ke arah Setan Cantik dan Bunda
Kurawa yang melarikan diri. Sepertinya ia bermaksud
mengejar kedua wanita cantik itu. Namun ketika pan-
dangan matanya tertumbuk pada sesosok tubuh ramp-
ing yang tergeletak di tanah, entah mengapa niatnya diurungkan.
"Gggeeerrr...!"
Dengan kemarahan meluap, Siluman Ular Putih
kembali menggereng hebat. Dan belum hilang gaung
suaranya, tiba-tiba saja sekujur tubuh ular raksasa itu mulai dipenuhi asap
putih tipis. Sehingga, sosok memanjang sebesar pohon kelapa itu tidak kelihatan
sa- ma sekali. Ketika asap putih itu hilang, yang tampak kini
adalah sosok pemuda gondrong yang berpakaian rompi
dan bercelana sisik warna putih keperakan. Siapa lagi pemuda gondrong itu kalau
bukan pemuda sakti murid Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Buru. So-
ma! "Jangkrik buntung! Kalau saja Angkin Pembawa Maut tidak terluka parah sudah
pasti aku akan meremukkan batok kepala mereka!" gerutu Soma kesal.
Kemudian sambil menyeret kaki kanannya yang
lumpuh, Soma buru-buru mendekati Angkin Pembawa
Maut yang tergeletak di tanah. Namun....
Serrr...! Serrr...!
"Heh"! Sial!"
Belum sempat Soma melaksanakan niatnya, ti-
ba-tiba saja meluncur puluhan sinar keemasan yang
tak lain jarum-jarum emas bagaikan hujan. Samar-
samar dari arah pintu masuk ruangan ini, Soma meli-
hat Bunda Kurawa dan beberapa orang muridnya ten-
gah bersembunyi di ruangan sebelah.
Soma geram bukan main. Untuk menangkis ron-
tok semua jarum emas itu rasanya tidak mungkin.
Maka cepat tubuhnya bergulingan mendekati tubuh
Angkin Pembawa Maut. Begitu sampai di dekat gadis
itu tergeletak, Soma cepat menyeretnya ke sebuah
ruangan yang pintunya terbuka lebar dan mengun-
cinya rapat-rapat.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Meski dapat lolos da-ri tangan mautku, namun kalian
tak akan dapat lolos
dari pagutan ribuan ular emas di dasar Istana Ular
Emas ini!"
Bunda Kurawa tertawa kegirangan sebelum ak-
hirnya menghilang ke balik ruangan sebelah. Entah
apa yang akan dilakukan tokoh sesat pemilik Istana
Ular Emas itu. * * * 8 Suasana gelap pekat menyelimuti lorong, begitu
Soma menutup pintu batu di depannya dan mengun-
cinya rapat-rapat dari dalam. Pemuda ini hanya me-
merlukan waktu tidak lama untuk menyesuaikan pan-
dangan matanya dengan keadaan gelap. Sebentar saja,
kakinya telah melangkah sambil membopong tubuh
Angkin Pembawa Maut. Ternyata nyawa gadis ini ma-
sih melekat di badan dan hanya tak sadarkan diri.
Sambil menyeret sebelah kakinya yang lumpuh
terkena pagutan ular emas tadi, Soma terus menyusuri lorong yang ternyata
menurun ke bawah.
Tiba di ruangan bawah tanah yang tidak terlalu
besar, pemuda ini merasa telah menemukan tempat
yang cukup nyaman. Maka langkahnya segera dihenti-
kan. Lalu dengan hati-hati sekali tubuh Angkin Pem-
bawa Maut yang terluka parah itu direbahkan di ta-
nah. Sejenak Soma menghela napasnya sesak. Seraut
wajah cantik di hadapannya tampak demikian pucat-
nya. Kemudian dengan perasaan trenyuh, mulai dipe-
riksanya tubuh Angkin Pembawa Maut. Dan ternyata,
tiga tulang iga di depan dada si gadis patah. Berun-
tung sekali Soma pernah belajar bagaimana caranya
mengobati iga patah dari eyangnya di Gunung Bucu.
Maka dengan wajah bersemu merah, perlahan-lahan
dibukanya baju kuning Angkin Pembawa Maut secu-
kupnya pada bagian dada.
Begitu baju bagian atas tubuh gadis cantik ini
terbuka, maka seketika itu juga mencuat dua buah
bukit kembar berkulit putih bersih tanpa cacat. Tanpa sadar, sejenak pemuda
gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo terkesima memandangi dua bukit
kembar yang teramat menantang. Hatinya deg-degan
tidak karuan. Ada satu perasaan aneh demikian kuat-
nya menggelitik hasratnya.
"Ah...! Mengapa pikiranku jadi ngeres begini"!"
sentak Siluman Ular Putih dalam hati, seraya mengga-
ruk-garuk kepalanya.
Lalu pemuda gondrong itu memejamkan matanya
rapat-rapat, mencoba menenangkan hasrat dalam ha-
tinya. Selang beberapa saat, Siluman Ular Putih kem-
bali membuka matanya. Wajahnya tidak lagi bersemu
merah seperti tadi. Dan kedua tangannya pun juga ti-
dak lagi gemetar. Sehingga kini pekerjaannya dapat
dimulai dengan hati tenang. Maka dengan hati-hati sekali, kedua tangannya mulai
meregangkan bagian-
bagian tulang iga Angkin Pembawa Maut yang patah,
dan kembali menempelkan seperti semula agar tidak
saling bergesekan. Setelah itu baru dikeluarkannya
bubuk berwarna kuning dari kantung hitam kecil yang
menggelantung di pinggang. Lalu mulailah murid
Eyang Begawan Kamasetyo menaburkan bubuk itu ke
dada Angkin Pembawa Maut.
Setelah beres, perlahan-lahan Soma kembali me-
nutup baju gadis cantik itu.
"Ohh...!"
Angkin Pembawa Maut merintih menahan sakit
seraya membuka kedua kelopak matanya, begitu kesa-
darannya berangsur-angsur pulih.
"Syukurlah kalau kau sudah siuman, Angkin.
Sekarang beristirahatlah dulu di sini! Biar, aku yang menjagamu," ujar Soma
lega. Angkin Pembawa Maut memandang trenyuh ke
arah Soma. Namun entah kenapa tiba-tiba saja gadis
cantik itu tersenyum, meski seperti dipaksakan.
"Soma! Di manakah sekarang kita ini" Apakah
kita telah meninggalkan dunia yang penuh ular dan
juga manusia-manusia yang berhati ular?" tanya Angkin Pembawa Maut lirih.
Soma tersenyum hambar. Ia tidak tahu, apa yang
harus dikatakan pada gadis cantik di hadapannya. Ra-
sanya tidak tega membangunkan lamunan gadis can-
tik itu yang telah mengira kalau mereka berdua telah mati sehingga dapat berkata
demikian. "Kau benar, Angkin. Kita memang tidak perlu ta-
kut pada siapa pun. Tapi, sekarang sebaiknya tidurlah dulu!" kata Soma hati-
hati, takut membuyarkan lamunan gadis itu.
Angkin Pembawa Maut tersenyum manis sekali.
Lalu dicobanya menggerakkan badan untuk bangun.
Namun akibatnya....
"Aughhh,..!" pekik gadis itu kesakitan, Tulang-tulang iga si gadis yang belum
sembuh benar terasa
nyeri bukan main, seperti ditusuk ribuan jarum. Wa-
jahnya pun makin pucat pasi. Napasnya tersengal-se-
ngal. "Jangan mencoba membohongiku, Soma! Seka-
rang lekas katakan! Di mana bekas guruku sekarang
berada"!" sentak Angkin Pembawa Maut sambil meng-gigit bibir.
Soma menghela napas panjang. Sulit sekali men-
jawab pertanyaan gadis cantik itu.
"Aku tidak tahu pasti. Mungkin sekarang masih
berada di sebuah ruangan bawah tanah," kata Soma akhirnya.
Entah mengapa Angkin Pembawa Maut mengge-
leng-geleng seraya memandang sedih pemuda tampan
di hadapannya. Malah air matanya kembali merembes
keluar membasahi kedua pipinya.
"Lekaslah pondong aku ke dalam! Lekas! Mung-
kin dia akan segera datang kemari!" pinta Angkin Pembawa Maut gelisah sekali.
Tanpa banyak cakap lagi, Soma segera membo-
pong tubuh ramping Angkin Pembawa Maut. Kemu-
dian sambil menyeret kaki kanannya yang seperti lum-
puh, ia cepat berjalan terseok-seok menyusuri lorong bawah tanah Istana Ular
Emas. "Ah...! Kasihan sekali kau, Soma! Ternyata racun ular emas telah membuat kakimu lumpuh!" desah
Angkin Pembawa Maut terharu ketika menyadari kea-
daan kaki kanan Soma.
"Sudahlah! Jangan kau pikirkan aku! Sekarang
kita mau ke lorong yang sebelah mana, Angkin?" tukas Soma, tak mempedulikan kaki
kanannya yang terluka.
Di hadapan si pemuda kini terdapat dua lorong
memanjang. Yang satu menuju ke timur, sedang yang
satunya terus lurus ke depan.
"Soma! Lekaslah dorong tembok batu itu! Doron-
glah kuat-kuat!" ujar Angkin Pembawa Maut seraya menunjuk ke tembok batu di
lorong yang menuju ke
timur. Dengan langkah kaki terseok-seok, Soma buru-
buru membelokkan langkahnya ke kiri. Kemudian
dengan tubuh Angkin Pembawa Maut di pundaknya,
Soma mulai mendorong tembok batu itu dengan meng-
gunakan kedua tangannya yang disertai tenaga dalam
tinggi. Selang beberapa saat, tembok batu itu bergeser memutar. Dan, terbukalah
pintu rahasia bawah tanah
itu. Soma buru-buru masuk ke dalam lorong gelap
itu, kemudian Soma kembali menutup tembok batu
yang ternyata pintu rahasia menuju lorong lain.
"Maju terus, Soma! Jika bekas guruku tidak ma-
suk kemari, tentu kita dapat keluar dari tempat ini
dengan selamat," ujar Angkin Pembawa Maut lagi.
Siluman Ular Putih kembali melanjutkan lang-
kahnya. "Soma! Apa kau tidak merasa lapar" Jika kita
berjalan ke kiri sedikit, di sana akan dapat menemu-
kan ruangan tempat Bunda Kurawa membuat berbagai
macam obat. Dan ruangan sebelahnya adalah dapur.
Namun kalau kita ke kanan, berarti menuju ke Pintu
Terlarang. Satu tempat yang tidak boleh didatangi sia-pa pun kecuali Bunda
Kurawa sendiri. Tapi sebaiknya
ambil bahan-bahan makanan dulu, baru kita ke sana
untuk bersembunyi!" kata si gadis menjelaskan.
"Iya, Angkin. Perutku memang lapar. Sejak tadi
pagi aku belum makan. Tapi, aku malah lebih tertarik mengambil obat-obatan
buatan bekas gurumu itu.
Siapa tahu ada obat pemunah racun ular emas."
"Ya, ya, ya...! Bunda Kurawa memang banyak se-
kali membuat obat pemunah racun ular emas. Hayo,
sebaiknya kita ambil obat pemunah racun untuk men-
gobati kakimu, sekalian bahan-bahan makanan yang
kita perlukan!" kata Angkin Pembawa Maut berseman-


Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gat. "Ya, ya, ya...! Tapi jangan terlalu bernafsu begitu, dong! Kalau kaki
kiriku terkilir, apa kau sudi membo-pongku?" seloroh Soma.
"Ih...! Kau mulai genit, Soma!" seru gadis cantik itu seraya mencubit punggung
Soma gemas. Namun
diam-diam ia senang sekali mendengar godaan pemu-
da tampan yang bergelar Siluman Ular Putih ini.
Soma memekik tertahan. Entah mengapa, ia ma-
lah keluarkan pekikan seperti itu. Padahal, cubitan
Angkin Pembawa Maut tadi hanyalah sekadar cubitan
sayang... Begitu sampai di ruang obat-obatan yang penuh
bangkai-bangkai ular emas yang bergelantungan, Ang-
kin Pembawa Maut cepat menunjuk beberapa obat
yang dibutuhkan Soma, Dengan mata berbinar-binar,
Soma buru-buru mengambil beberapa buah obat pu-
lung berwarna kuning yang ditunjuk Angkin Pembawa
Maut. Langsung ditelannya lima butir. Sedang sisanya buru-buru dimasukkan ke
dalam saku celananya.
"Kau serakah sekali, Soma! Satu saja sudah cu-
kup, pakai menelan lima sekaligus!" goda Angkin Pembawa Maut.
"Biar cepat sembuh!" sahut Soma asal saja.
"Hayo sekarang kita cepat ambil bahan-bahan
makanan!" kata Angkin Pembawa Maut lagi.
"Tentu, Tuan Putri!" sahut Soma alias Siluman Ular Putih menggoda.
Lalu buru-buru pemuda ini pun keluar dari
ruang obat-obatan. Dan berkat menelan obat curian
itu tadi, kini kaki kanannya tidak begitu terasa kaku lagi. Kuku-kuku jari
tangan kanannya pun tidak lagi
berwarna kuning seperti sebelumnya.
Soma cukup senang melihat hasil kerja obat cu-
riannya tadi. Maka dengan menggunakan kaki kanan-
nya yang mulai dapat digerakkan dengan leluasa, Si-
luman Ular Putih cepat keluar dari ruang obat-obatan.
Langsung ia menuju dapur. Dan di saat hendak masuk
ke dapur, tiba-tiba langkahnya dihentikan. Sejenak diperhatikannya lorong sempit
tak jauh dari ruang dapur yang entah menuju ke mana.
"Ke manakah tembusan jalan lorong ini, Angkin?"
tanya Soma heran.
"Itulah jalan yang menuju ruang batu yang per-
tama kali kau masuk tadi. Sudah jangan banyak
tanya-tanya lagi! Lekas ambil bahan makanan untuk
makan kita nanti!"
Sebenarnya Soma hendak menukas. Namun ke-
tika menyadari bahaya maut masih menghadang me-
reka, lantas buru-buru pemuda ini ke dapur. Segera
diambilnya makanan di dapur itu secukupnya.
Soma bergegas keluar dari dapur. Namun baru
saja hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja matanya yang tajam melihat Setan
Cantik berkelebat cepat dari lorong kecil tadi.
Untungnya, saat itu Soma dan Angkin Pembawa
Maut tengah berada dalam kegelapan. Sehingga, Setan
Cantik tidak dapat melihat mereka. Setelah wanita iblis itu lenyap di salah
sebuah lorong, baru Soma dan
Angkin Pembawa Maut keluar dari dapur.
Kali ini Soma bertindak hati-hati. Sambil mema-
sang telinganya tajam-tajam, pemuda ini mulai kemba-
li ke tempat semula.
Mereka lantas membelok ke kanan. Betul saja.
Ternyata tak jauh dari mereka berlari sudah terlihat sebuah pintu bundar. Soma
cepat mendorong pintu
batu itu. Namun anehnya, pintu batu itu tidak bergeming sedikit pun. Soma
penasaran sekali. Lalu tenaga
dalamnya dilipat gandakan saat mendorong pintu batu
itu. Namun tetap saja pintu itu tidak bergeming!
Kemudian karena takut dipergoki Setan Cantik,
Soma tidak berani lagi mendorong pintu batu itu den-
gan kekerasan. Sehingga pintu batu itu tetap tertutup rapat-rapat. Meski
demikian, Soma tetap merasa penasaran sekali.
"Masa mendorong pintu batu itu saja tidak bisa,"
gumam Soma dalam hati.
Sehabis menggumam demikian, Siluman Ular
Putih kembali mencoba mendorong pintu batu itu den-
gan sepenuh tenaga dalamnya. Namun, di saat demi-
kian, tiba-tiba pintu batu itu terbuka dari dalam. Akibatnya....
"Oh..."!"
Soma yang tetap memondong Angkin Pembawa
Maut tersungkur akibat tenaga dorongannya sendiri.
Dan belum sempat tahu siapa yang membuka
pintu batu dari dalam, tiba-tiba dirasakannya angin
dingin berkesiur menyerang pantatnya. Belum sempat
serangan gelap itu ditangkis, tahu-tahu pantatnya telah terkena tendangan kaki
seseorang! Desss...! Maka tanpa ampun lagi tubuh Soma dan Angkin
Pembawa Maut jatuh bergedebungan didasar kuban-
gan yang ternyata tempat murid-murid Istana Ular
Emas menjalani hukuman dipagut ribuan ular emas.
Bukkk! Bukkk! Tubuh kedua anak muda itu tepat menimpa
tumpukan tulang-tulang yang berserakan di dasar ku-
bangan. Malah ada sebagian mayat yang belum sepe-
nuhnya membusuk, sehingga menebarkan bau anyir
yang bukan kepalang. Dan ketika melayang-layang di
udara tadi, Soma sempat melihat sesosok bayangan
berpakaian kuning keemasan telah berkelebat cepat
menuju pintu batu.
"Beruntunglah kalian, aku masih berbaik hati
menunjukkan jalan menuju ke neraka! Selamat me-
nikmati pagutan ribuan ular emasku, Bocah-bocah To-
lol!" kata sosok berpakaian kuning keemasan yang ternyata Bunda Kurawa di ambang
pintu batu. Soma menggerutkan gerahamnya kuat-kuat meli-
hat Bunda Kurawa. Namun ketika hendak melompat
bangun, kontan matanya membeliak lebar. Tubuh ba-
gian bawahnya sama sekali tidak dapat digerakkan!
Pemuda ini geram bukan main. Bersamaan den-
gan tendangan kaki Bunda Kurawa tadi, ia memang
merasakan satu totokan yang telak sekali mengenai
punggungnya. Mengingat itu, buru-buru ditotoknya
beberapa jalan darah di punggungnya. Namun aneh-
nya tubuh bagian bawahnya tetap saja tidak dapat di-
gerakkan! "Setan alas! Demi langit dan bumi, aku akan
mengadu jiwa denganmu!" teriak Siluman Ular Putih penuh kemarahan.
"Hm, hm...! Percuma! Percuma saja melawanku.
Kau tetap tidak dapat mengalahkanku, Pemuda Tolol!
Malah seharusnya kau berterima kasih, karena aku
sengaja memberi kemerdekaan tubuh bagian atasmu
untuk melawan serangan-serangan pagutan ribuan
ular emasku!" ejek Bunda Kurawa angkuh. "Ini semua bekal makananmu juga boleh
kau bawa. Siapa tahu,
kau masih membutuhkan. Kalau tidak, berbaik hatilah
kalian terhadap ular-ular emasku. Serahkan saja bekal makananmu ini pada mereka!
Nih, terimalah bekal
makanan kalian!"
Sehabis berkata begitu, Bunda Kurawa pun sege-
ra melempar bekal makanan yang tadi dicuri Soma dan
Angkin Pembawa Maut ke dasar kubangan. Kemudian
dengan senyum sinis masih terkembang di bibir, Bun-
da Kurawa pun segera keluar pergi dari tempat itu.
Krekkk! Krekkk!
Terdengar pintu batu di atas sana tertutup dan
dikunci rapat-rapat dari luar.
Sejak munculnya Bunda Kurawa ke ruangan itu,
Angkin Pembawa Maut hanya diam seribu bahasa. Tak
sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang bergetargetar membayangkan
penderitaan yang akan diala-
minya nanti. "Soma! Kulihat watakmu keras sekali. Tapi, toh
akhirnya kau harus menyerah juga dengan pagutan ri-
buan ular emas nanti. Dan apa kau dapat memunah-
kan totokan Bunda Kurawa begitu saja" Huh...! Biar
sampai kita mati di sini pun, belum tentu kau dapat
memusnahkannya," kata si gadis, membuka suara ketika melihat Bunda Kurawa pergi.
"Kok, bicara seperti itu, Angkin" Apa kau suruh aku menundukkan kepala di bawah
kaki bekas gurumu yang angkuh itu?" tukas Soma seraya menggeleng-gelengkan
kepala. "Sungguh aku tak mengerti kemau-anmu, Angkin. Bukannya menunjukkan
bagaimana caranya memunahkan totokan gurumu, eh... malah
mengolok-olokku!"
Angkin Pembawa Maut tersenyum. Diam-diam,
dia merasa menyesal sekali dengan ucapannya baru-
san. "Maaf kalau bicaraku tadi agak kasar, Soma! Ta-pi, dari dulu aku kan sudah
menyuruhmu pergi dari
sini. Tapi kau memang bandel. Bukannya menuruti
kata-kataku, eh.... Malah ikut-ikutan nyebur ke ku-
bangan ribuan ular emas. Bagiku mati di sini tidaklah
menjadi soal. Tapi kalau kau...?" kata Angkin Pembawa Maut, menirukan gaya
bicara pemuda tampan di hadapannya tadi. Kepalanya, menggeleng-geleng sambil
mulutnya berdecak-decak heran.
"Angkin! Janganlah ucapkan kata-kata seperti
itu! Bukankah sebaiknya kita cari jalan keluar dari
kubangan ular emas ini" Sekarang, bagaimana dengan
lukamu?" ujar Soma kesal.
"Kematian sudah di depan mata! Buat apa kau
tanya-tanya soal luka segala?" jawab Angkin Pembawa Maut acuh tak acuh, seolah-
olah sudah memasrahkan
nasibnya pada Yang Maha Kuasa seraya memejamkan
matanya rapat-rapat. Tak terasa air bening dari sepasang matanya yang indah
kembali membasahi pipinya.
Soma menghela napas sesak. Sejenak pandangan
matanya dialihkan ke sekitarnya. Luas kubangan Ular
emas itu memang cukup besar. Hampir mencapai
enam atau tujuh tombak. Kedalamannya pun cukup
tinggi. Lebih dari tiga atau empat tombak. Sedang din-dingnya yang terbuat dari
tanah yang banyak dipenuhi lubang kecil. Dan kini tampak beberapa ekor ular
kecil berwarna kuning keemasan satu persatu mulai muncul kepalanya dengan
lidahnya yang terjulur-julur ke muka.
*** Soma mengeluh dalam hati. Untung saja ia terin-
gat akan obat curiannya tadi. Buru-buru dikeluarkan-
nya obat itu dari saku celananya. Sebagian langsung
ditelannya, dan sebagian lainnya sudah diserahkan ke dalam tangan Angkin Pembawa
Maut. Angkin Pembawa Maut menuruti saja. Lalu den-
gan malas-malasan ditelannya obat penawar racun
berwarna kuning itu. Padahal, gadis ini sudah cukup tahu daya kerja racun-racun
ular emas itu. Sehingga
wajahnya tetap murung. Tidak seperti Soma yang tam-
pak gembira sehabis menelan obat kuning tadi. Malah
pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu mulai melambai-lambaikan tangannya, seolah-olah
mengejek ular-ular emas yang masih menonjolkan ke-
palanya di lubang-lubang kecil itu agar cepat mende-
kat. Angkin Pembawa Maut tersenyum kecut. Me-
mang betul mereka mempunyai obat penawar racun
ular-ular emas itu. Tapi apa mereka akan sanggup
menghadapi gigitan ribuan ular-ular emas itu" Benar, kalau cuma beberapa ekor
saja, mungkin tidak perlu
khawatir. Tapi kalau jumlahnya ribuan" Apa mereka
tahan" Biarpun tidak terkena racun, tetap saja tubuh mereka habis digerogoti
ular-ular emas ganas itu.
Sedang Soma tampaknya tidak mau berpikir
panjang lebar seperti Angkin Pembawa Maut. Pemuda
itu kini malah mulai bersiap-siap menghadapi ular-
ular emas itu sambil melambai-lambaikan tangan ka-
nannya. "Sini maju kalau ingin kuremukkan batok kepa-
lamu!" tantang Soma.
Ratusan ular emas rupanya seperti terpengaruh
panggilan Soma. Maka dengan saling susul menyusul,
binatang-binatang menjijikkan itu cepat menggeleser
mendekati tubuh Soma dan Angkin Pembawa Maut.
"Hip!"
Begitu melihat ular-ular emas itu mulai mende-
katinya, Soma cepat menggerakkan tangan kanannya.
Dan tahu-tahu, ia telah menyambar salah seekor ular
yang terdekat dengannya. Dan dengan hanya sekali
pencet saja, tamatlah riwayat ular malang itu.
"Cuma segini saja kehebatannya, pakai peten-
tang-petenteng segala! Hayo siapa lagi yang mau ku-
pencet kepalanya?" celoteh Soma seraya melempar bangkai ular di tangannya ke
arah puluhan ular yang
tengah bergerak mendekati Soma dan Angkin Pemba-
wa Maut. Entah mungkin karena mencium bau darah te-
mannya, mendadak ular-ular emas itu jadi makin be-
ringas. Dengan kepala terangkat tinggi-tinggi, mereka makin cepat menggeleser
mendekati tubuh Soma dan
Angkin Pembawa Maut.
"Ah...! Mengapa aku jadi lupa" Bukankah Eyang
dulu pernah berkata kalau hati ular yang beracun keji itu sangat baik bagi orang
yang terluka" Mengapa aku tidak melakukannya"!" desah Soma tiba-tiba seraya
menepuk jidatnya sendiri.
Sehabis berkata begitu, tangan Siluman Ular Pu-
tih kembali cepat menangkap salah seekor ular yang
paling dekat dengannya. Kemudian dengan tanpa ba-
nyak pikir panjang lagi, cepat digigitnya ular itu. Dan tak lama kemudian, dari
dalam perut ular keluar suatu benda kenyal mirip agar-agar berwarna hijau tua.
Bu-ru-buru Soma mengulurkan tangan kirinya, menadahi
hati ular emas itu. Lalu segera disodorkan ke hadapan Angkin Pembawa Maut.
"Angkin! Makanlah hati ular emas ini!" ujar pemuda itu kepada gadis cantik di
sampingnya. Melihat apa yang dilakukan Soma, Angkin Pem-
bawa Maut kontan tersadar. Bahkan semangatnya pun
kembali dapat tergugah. Kemudian dengan sekali te-
lan. hati ular emas itu pun masuk ke dalam perutnya.
"Heaaat...!"
Tap!Tap!

Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angkin Pembawa Maut yang memang ahli dalam
menangkap ular-ular emas dibanding Soma, cepat
menggerakkan tangannya. Sebentar saja gadis cantik
itu telah membeset dua ekor ular di tangannya dan
langsung menelan hatinya.
"Hayo, Soma! Kita berlomba makan hati ular se-
banyak mungkin!" tantang gadis cantik itu gembira sekali. "Baik! Baik! Hayo,
kita berlomba memakan hati ular-ular emas ini, Angkin!" sahut Soma senang.
Siluman Ular Putih yang melihat Angkin Pemba-
wa Maut demikian semangatnya menangkapi ular-ular
emas yang menyerangnya, kembali menggerakkan tan-
gannya. Ditangkapinya ular-ular emas di dekatnya. Kemudian setelah membeset
perut ular-ular itu, Soma
pun cepat mengambil hati dan menelannya.
Tapi jumlah ular-ular emas itu semakin lama
semakin membengkak. Hingga dasar kubangan dipe-
nuhi warna kuning keemasan yang meliuk-liuk berin-
gas, menyerang kedua anak muda itu hebat.
Biarpun Soma dan Angkin Pembawa Maut telah
banyak memakan hati ular-ular emas, namun tetap
saja tidak ada artinya. Gigitan-gigitan ular-ular itu di bagian bawah tubuh
benar-benar membuat mereka
kewalahan. "Celaka! Rupanya usaha kita sia-sia saja, Angkin!
Coba usahakan bagaimana caranya untuk menahan
serangan-serangan mereka! Baru nanti kita memakan
hati ular-ular itu!" ujar Soma cemas.
Sebenarnya ada keinginan Soma untuk menge-
rahkan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Siapa tahu ular-ular emas itu akan
menyingkir jauh seperti yang telah dilakukannya sewaktu pertama kali menyelinap
masuk ke dalam Istana Ular Emas. Namun entah men-
gapa, Soma malah mengurungkan niatnya. Entah ma-
lu kepada gadis cantik di sampingnya atau tidak. Yang jelas, hal itu tidak
dipikirkannya lagi. Hanya kedua tangannya saja yang bergerak cepat menangkap
ular-ular emas itu, seraya membeset dan memakan hatinya.
Hal itu dilakukan terus menerus, hingga di dasar ku-
bangan itu banyak berserakan bangkai ular emas. Tapi gigitan ular-ular emas itu
pun semakin membuatnya
kewalahan. "Mana mungkin aku dapat menahan serangan-
serangan ular emas itu. Mereka tampak lapar sekali
dan bernafsu membunuh," desah Angkin Pembawa
Maut. "Lalu, apa kita harus menyerah begitu saja hingga tubuh kita menjadi
tulang-belulang?" tukas Soma kesal juga akhirnya.
"Soma! Apa kau menganggap kematian kita ini
sengsara?" kata Angkin Pembawa Maut mencoba tertawa. "Hm.... Aku malah sudah
pasrah. Cuma aku
minta, gendonglah aku sekali lagi seperti tadi. Biar arwahku nanti tidak
penasaran."
Saat ini Angkin Pembawa Maut benar-benar su-
dah memasrahkan segala-galanya pada Yang Maha
Kuasa. Malah perlahan-lahan matanya mulai dipejam-
kan. Seolah, tidak dipedulikannya lagi gigitan-gigitan ular emas yang terus
menggerogoti di bagian bawahnya. "Soma, dengarlah lagu yang sering dinyanyikan
ibuku waktu kecil. Entah mengapa setelah aku me-nyanyi, kesusahan dan
penderitaan itu lenyap...," kata Angkin Pembawa Maut, berbisik.
Kening Soma berkerut dalam. Suara gadis cantik
di sampingnya. demikian mengharukan, seolah menyi-
ratkan akhir kehidupan. Soma jadi bengong, tak dapat berkata-kata saking
terharunya. Dan Angkin Pembawa
Maut sendiri seperti sudah melupakan apa saja yang
ada di sekitarnya. Kemudian dinyanyikannya lagu-lagu kesukaannya dengan segenap
perasaan sedihnya.
Aneh! Entah mengapa, tiba-tiba saja serangan-
serangan ular-ular emas jadi mereda begitu mendengar Angkin Pembawa Maut
membawakan beberapa buah
lagu kesukaannya. Malah ada beberapa ular emas
yang berada dekat Angkin Pembawa Maut mulai men-
dongakkan kepala seraya menggeliat-geliat ke sana kemari, seperti sedang
mengikuti nada-nada lagu.
"Pantes saja serangan-serangan ular-ular emas
itu tidak lagi sehebat tadi. Rupanya mereka juga me-
nyukai lagu...," gumam Soma begitu mencoba mencari tahu, kenapa ular-ular itu
bersikap demikian.
"Angkin! Apakah ular-ular emas itu juga menyu-
kai lagu dan irama?" tanya Soma, tiba-tiba.
Angkin Pembawa Maut yang dulu selalu berke-
cimpung dengan ular-ular emas, tentu saja mengeta-
hui akan kesukaan binatang-binatang menjijikkan itu.
Maka begitu mendengar pertanyaan Soma, kepalanya
pun segera mengangguk.
"Wah...! Kalau begitu, sekarang tertolonglah
nyawa kita dari pagutan-pagutan ular emas, Angkin!"
sorak Soma. Wajah tampan si pemuda berseri-seri. Seper-
tinya, sudah mantap sekali akan keberhasilan renca-
nanya. Sedang gadis cantik di samping pemuda gon-
drong yang bergelar Siluman Ular Putih itu hanya me-
mandangi saksama. Ia masih belum tahu, apa yang
akan dilakukan Siluman Ular Putih....
Bagaimanakah nasib Siluman Ular Putih dan Ang-
kin Pembawa Maut" Bisakah mereka mengatasi ular-ular emas itu" Apakah Bunda
Kurawa akan mampu
menguasai dunia persilatan, sementara Siluman Ular Putih terkurung ular-ular
emas" SELESAI Ikuti Kelanjutannya dalam episode :
"LEMBAH KODOK PERAK"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Mybenomybeyes
Kisah Sepasang Rajawali 3 Pendekar Rajawali Sakti 204 Titah Sang Ratu Pendekar Cacad 8
^