Pencarian

Istana Ular Emas 2

Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas Bagian 2


Ular emas kembali meliuk-liuk sambil mengang-
kat kepalanya tinggi-tinggi. Lidahnya yang juga ber-
warna kuning keemasan menjulur-julur.
Bila Soma tampak tegang sekali melihat ular
emas itu, di lain pihak Angkin Pembawa Maut malah
jadi girang. Lalu, kemudian segera didekatinya ular
emas itu. Dan sembari memperdengarkan suara mirip ko-
dok yang sangat digemari ular-ular emas, Angkin Pem-
bawa Maut pun mulai mengggapai-gapaikan kedua
tangannya bermaksud menangkap.
Mendengar suara panggilan, ular emas itu pun
segera balikkan tubuhnya. Dan sebentar kemudian tu-
buh kecilnya pun sudah merayap cepat mendekati
Angkin Pembawa Maut.
Si gadis terus saja perdengarkan suara mirip ko-
dok dari mulutnya sambil menggerakkan kedua tan-
gannya. Kemudian dengan gerakan cepat sekali tahu-
tahu tangan kirinya telah menangkap ekor ular emas
itu. Ular emas itu menggeliat-geliat di tangan Angkin Pembawa Maut. Namun
gerakan tangan si gadis cantik
lebih cepat dari kepala ular emas yang bermaksud
mematuk. Dan....
Kresss! Terdengar suara dari remuknya tulang-tulang
ular emas kala kedua tangan Angkin Pembawa Maut
mematahkan tubuhnya. Dan begitu melihat darah me-
rah ular emas mulai menetes-netes dari luka ular
emas, segera mulutnya dimajukan. Dan secepatnya
gadis cantik itu pun telah menghisap darah ular beracun itu!
Semua kejadian itu sungguh di luar perkiraan
Soma. Tanpa sadar si pemuda bergidik ngeri karena
selama ini memang belum pernah melihat orang
menghirup darah ular seperti yang telah dilakukan gadis cantik bergelar Angkin
Pembawa Maut. Tidak lama, pemandangan menyeramkan itu pun
berakhir. Ular emas dalam genggaman Angkin Pemba-
wa Maut yang semula bersikap galak dan menakutkan,
kini lemas tak bertenaga. Dan akhirnya tak bergerak-
gerak sama sekali.
Sedang Angkin Pembawa Maut tampaknya belum
merasa puas dengan hanya menghisap darah saja.
Maka setelah melemparkan bangkai ular emas itu ke
semak-semak belukar, kembali diperdengarkan suara
kodok dari dalam mulutnya, siap mencari korban beri-
kutnya. Siluman Ular Putih hanya geleng-gelengkan ke-
palanya heran. "Oh...! Kalau begitu, yang menyebabkan darah-
mu dingin karena kau terlalu banyak menghirup darah
ular emas itu...! Pantas...," desah si pemuda.
Angkin Pembawa Maut tertawa dingin.
"Untuk memperdalam ilmu kepandaian golongan
Ular Emas, aku memang harus banyak minum darah
ular emas hidup. Dan kenapa berani lancang men-
campuri urusanku" Malah kau pun telah memusnah-
kan tenaga dalamku yang telah kulatih selama belasan tahun. Dan kini, aku
terpaksa harus melatih tenaga
dalamku lagi, sehingga harus banyak meminum darah
ular emas hidup sebanyak mungkin. Sebetulnya aku
tak sudi mengatakan semua ini padamu. Tapi.... Tapi...
ah! Sudahlah! Lekas pergi dari sini! Kalau mbakyuku melihatmu berada di sini,
pasti kau akan celaka di
tangannya...," kata si gadis.
Soma tersenyum. Kata-kata yang diucapkan
Angkin Pembawa Maut barusan kini telah berobah na-
danya. Tidak lagi ketus maupun dingin. Malah kata-
katanya tadi menyiratkan kekhawatiran terhadap So-
ma. Dan si pemuda itu sendiri pun juga sudah mera-
sakan perobahan sikap gadis itu.
"Menurut penglihatanku, sebenarnya gadis ini
bukanlah orang jahat. Hanya mungkin karena terlalu
banyak minum darah ular emas, sehingga membuat-
nya bersikap dingin. Kalau saja ia mau meninggalkan
golongan sesat, bukankah itu sangat baik...?"
Berpikir demikian, Soma pun lantas tertawa ber-
gelak. "Aku tidak takut dengan mbakyumu, Angkin Pembawa Maut. Malah sebentar
lagi aku akan datang
ke Lembah Kuripan untuk membebaskan para tawa-
nan." Sehabis berkata begitu, mendadak Soma mendapat satu pikiran bagus. Kini
kakinya mulai maju men-
dekati Angkin Pembawa Maut.
Angkin Pembawa Maut kembali bergerak mun-
dur. Tapi, Siluman Ular Putih tidak mau membiarkan
begitu saja. Malah kini tubuhnya berkelebat, langsung menubruk gadis cantik itu.
"Apa kau sudah bosan hidup untuk membe-
baskan para tawanan itu, he"!" gertak Angkin Pembawa Maut seraya kembali
bergerak mundur, menghin-
dari tubrukan pemuda tampan di hadapannya.
Soma yang menubruk tempat kosong merasa pe-
nasaran sekali. Kini ia tidak lagi menubruk dengan ca-ra biasa, melainkan
langsung mengerahkan ilmu
'Menjangan Kencana'. Maka sekali kakinya menjejak
tanah, tahu-tahu pemuda gondrong murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo dari Gunung Bucu itu telah berkele-
bat cepat menangkap tubuh Angkin Pembawa Maut.
"Celaka!" keluh gadis cantik itu dalam hati, seraya melempar tubuh ke belakang
menghindari tubru-
kan pemuda tampan di hadapannya.
Dan baru saja Angkin Pembawa Maut lempar tu-
buhnya ke belakang, mendadak terdengar suara tawa
Soma yang sudah menunggu di belakang. Dan hanya
dengan sekali gerakan, tahu-tahu pinggang ramping
Angkin Pembawa Maut telah berada dalam pelukan-
nya. "Oh..."!"
Belum sempat si gadis menyumpah-nyumpah
maupun membuat gerakan-gerakan lain, mendadak
satu aliran hawa panas telah menyusup masuk ke da-
lam tubuhnya. Dan seketika itu juga, darah dingin
yang baru saja diperoleh dari darah ular emas pun segera diputar haluan oleh
hawa panas yang menyusup
ke dalam tubuhnya. Sehingga, akhirnya darah dingin
yang baru sedikit diperolehnya pun hilang.
"Maaf kalau aku berlaku lancang begini, Angkin
Pembawa Maut! Sebenarnya aku tidak ada niat secuil
pun untuk berlaku kurang ajar terhadapmu. Tapi, ke-
tahuilah! Terus terang aku tidak menginginkan kau
berkumpul dengan orang-orang sesat dari Istana Ular
Emas. Karena aku takut, kau nanti bisa bersikap tidak manusiawi lagi. Dengarlah
baik-baik kata-kataku ini, Angkin Pembawa Maut! Sayangilah jiwamu sendiri!
Bukankah sayang kalau kau yang demikian cantik
sampai diperalat oleh orang-orang jahat. Sungguh aku sangat menyayangkanmu kalau
wajah dan kelakuanmu tidak sesuai...."
Sejak berada dalam pelukan pemuda gondrong
itu, tiba-tiba badan Angkin Pembawa Maut jadi meng-
gigil, mirip orang meriang. Namun tidak lama kemu-
dian, gadis itu dapat menyesuaikan hawa panas yang
menyusup ke dalam tubuhnya. Kini, tinggal rasa ta-
kutnya saja seandainya mbakyunya yang kejam dan
ganas tiba-tiba muncul.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriak Angkin Pembawa Maut kalap. "Kuharap jangan
peluk aku seperti ini! Nanti mbakyuku datang, kau bisa celaka! Lepas! Lepaskan
aku!" Soma yang bermaksud menolong gadis cantik itu
dari kubangan kaum sesat tak sudi melepaskan pelu-
kannya begitu saja. Malah terus dipeluknya tubuh ga-
dis itu erat-erat sambil terus mengerahkan 'Tenaga
Sakti Inti Api' tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Angkin Pembawa Maut.
Sebentar saja hawa dingin dalam tubuh si gadis pun hilang, berganti hawa hangat
yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Sedang Soma
sendiri pun makin mempererat pelukannya sembari te-
rus mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Api'.
"Kau tidak perlu takut seperti ini, Angkin Pem-
bawa Maut! Nanti setelah badanmu tidak dingin lagi,
baru ku lepaskan," ujar Soma tetap tidak mau melepaskan pelukannya. "Sekarang
pejamkanlah matamu!
Sebentar lagi kau pasti akan menjadi manusia biasa..."
Angkin Pembawa Maut terus saja meronta. Tentu
saja hal ini sangat menyulitkan Soma untuk melan-
jutkan pengobatannya. Namun si pemuda tetap bersi-
keras ingin menyembuhkan si gadis dari keadaan yang
tidak wajar. Sebentar kemudian tubuh Angkin Pembawa
Maut pun lemas tak bertenaga. Dan akhirnya ia jatuh
terkulai dalam pelukan Soma. Bahkan kini berat ba-
dannya jauh lebih berat dibanding sebelumnya. Aki-
batnya tubuh mereka pun jatuh bergulingan ke tanah.
Dan Soma yang tidak ingin menindih tubuh Ang-
kin Pembawa Maut, sengaja membiarkan gadis itu me-
nindih tubuhnya sambil tetap saling berpelukan.
"Angkin...! Meski aku masih punya keberanian
untuk datang ke Istana Ular Emas, tapi rasa-rasanya masih belum bisa
menghindarkan diri dari tangan
maut orang-orang jahat di sana. Namun meski demi-
kian, sekarang aku sudah rela mengorbankan segala-
galanya. Karena, aku sudah dapat menolongmu keluar
dari kubangan orang-orang golongan sesat," bisik So-ma. "Oh ya. Namaku Soma."
Siluman Ular Putih yang biasanya bersikap ugal-
ugalan terhadap siapa pun, entah mengapa sikapnya
sekarang mulai berobah di hadapan Angkin Pembawa
Maut. Dan bicaranya pun seperti tidak ada putus-
putusnya. "Angkin Pembawa Maut...! Seumpamanya aku ti-
dak berhasil membebaskan para tawanan dan tewas di
tangan orang-orang Istana Ular Emas, aku juga tidak
akan menyesal. Cuma... cuma aku minta padamu.
Kembalilah ke jalan kebenaran. Dan seandainya aku
harus tewas, kuminta sudilah merawat mayatku. Dan
kalau kau tidak keberatan, tolonglah mayatku diantar ke ibuku di puncak Gunung
Bucu! Kau tidak keberatan, kan?"
Bak orang kesurupan setan, tak henti-hentinya
Soma terus mengoceh tidak karuan sambil terus me-
meluk tubuh Angkin Pembawa Maut erat-erat. Tapi si
gadis seolah-olah tidak mempedulikan ocehan itu. Ia
hanya diam saja berada dalam pelukan pemuda gon-
drong yang bergelar Siluman Ular Putih.
Selang beberapa saat, Angkin Pembawa Maut
pun sudah dapat disembuhkan Soma. Darahnya yang
tadinya dingin, kini pun mulai dijalari kehangatan ke sekujur tubuhnya. Dan
entah karena terharu dengan
ocehan Soma tadi, tiba-tiba saja dibalasnya pelukan
Soma erat-erat. Dan tanpa malu-malu lagi, ia menan-
gis sesenggukan dalam pelukan si pemuda.
"Soma...," desah Angkin Pembawa Maut akhirnya mulai buka suara. "Kuharap, jangan
teruskan niatmu ke Istana Ular Emas! Percuma saja kau pergi ke Istana Ular Emas,
karena akan celaka. Kumohon dengan
sangat, Soma! Sebaiknya urungkan saja niatmu...!"
Soma yang mendapat sambutan hangat dari
Angkin Pembawa Maut segera balas memeluk lebih
erat. Sekalipun tubuh si gadis sudah hangat seperti
tubuh manusia kebanyakan, namun entah mengapa
rasa-rasanya berat sekali melepaskan pelukan gadis
itu. "Angkin...!" desah Soma agak tersendat. "Ketahuilah sifatku! Apa pun yang
akan terjadi, aku tetap akan pergi ke Istana Ular Emas. Meski di sana aku harus
menghadapi banyak rintangan, namun aku tidak
takut." "Soma...," kata Angkin Pembawa Maut di antara isak tangisnya. "Kumohon sekali
lagi padamu. Janganlah teruskan niatmu itu, Soma! Guruku, Bunda Kura-
wa, belum pernah mengizinkan orang luar masuk ke
dalam istananya. Apalagi setahuku, sampai saat ini be-
lum pernah ada orang luar yang berani masuk ke da-
lam Istana Ular Emas, selain para tawanan itu. Dan
kalaupun bisa masuk, tentu tidak akan kembali den-
gan selamat. Maka, sekali lagi aku mohon, urungkan-
lah niatmu itu!"
Soma tetap menggeleng-geleng.
"Angkin Pembawa Maut! Sebenarnya aku juga ti-
dak ingin mati di sana. Tapi, aku yakin. Aku tidak
akan mati di sana. Percayalah kata-kataku ini, Angkin!
Aku pasti akan keluar dari Istana Ular Emas itu den-
gan selamat."
Kini Angkin Pembawa Maut tidak berkata-kata
lagi. Ia malah semakin membenamkan kepalanya ke
dada bidang murid Eyang Begawan Kamasetyo yang
bergelar Siluman Ular Putih. Dan dalam pelukan pe-
muda itu pulalah, tangisnya kembali meledak.
Waktu itu, Soma tidak lagi merasakan hawa din-
gin dari tubuh Angkin Pembawa Maut. Dan kini yang
dirasakan hanyalah bau harum tubuh si gadis dalam
pelukannya itu.
"Angkin...!" panggil Soma, perlahan.
"Ngh...," sahut Angkin Pembawa Maut dengan suara lemah lembut. Malah terdengar
sedikit manja di telinga Soma.
Soma senang sekali. Perlahan-lahan pun mulai
dilepaskan pelukan. Dan dibiarkannya tubuh gadis itu menindih tubuhnya. Dan
tampaknya Angkin Pembawa
Maut pun seperti malas bangun. Malah kedua tangan-
nya makin erat melingkar di leher Soma.
"Angkin...! Aku lapar sekali. Apa kau juga lapar?"
tanya Soma. Angkin Pembawa Maut hanya mengangguk kecil.
"Baik! Kalau begitu, mari kita sama-sama menca-
ri buah-buahan! Setelah itu baru kita pergi ke Istana
Ular Emas.' Sejenak Angkin Pembawa Maut melirik pemuda
tampan di hadapannya. Dan pandangan matanya sege-
ra bentrok dengan tatapan mata biru Soma. Maka se-
jenak itu pula Soma merasakan pandangan aneh yang
terus menerobos ke dalam hatinya.


Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Soma...! Apa betul kau tidak takut mati?" tanya Angkin Pembawa Maut dengan mata
berkaca-kaca. Sebenarnya Soma yang masih berusia muda be-
lum mengerti apa arti pandangan mata Angkin Pem-
bawa Maut tadi. Dan ketika hendak menjawab perta-
nyaan gadis itu, tiba-tiba....
"Kematian sudah di depan mata! Buat apa mesti
takut mati segala"!"
Terdengar suara bentakan, membuat Soma dan
Angkin Pembawa Maut tersentak kaget. Dan tahu-tahu
tak jauh dari mereka telah berdiri tegak dua orang wanita cantik berpakaian
kuning keemasan.
*** 4 Sepasang mata indah Angkin Pembawa Maut ter-
beliak dengan wajah pucat pasi ketika matanya ter-
tumbuk pada dua gadis cantik berpakaian ketat warna
kuning keemasan. Bibirnya pun bergetar-getar hebat
saking takutnya. Dan seketika itu juga gadis ini cepat melompat bangun, disusul
Soma. Dua wanita cantik berpakaian kuning keemasan
di hadapan Angkin Pembawa Maut dan Soma terse-
nyum dingin. Mereka tidak lain adalah dua orang mu-
rid pertama dan murid ketiga Bunda Kurawa dari Ista-
na Ular Emas yang bergelar Teratai Emas dan Setan
Cantik. Dan begitu melihat Setan Cantik yang pernah di-
jumpainya sewaktu bertarung melawan Kelelawar Hu-
tan di Pekarangan Terlarang tempo hari, Soma pun
manggut-manggut.
"Hm...! Kalau tidak salah penglihatanku, salah
satu dari kalian pasti Setan Cantik. Sungguh kebetu-
lan Aku memang ingin menggebuk pantatmu atas se-
pak terjangmu di Perguruan Kelelawar Putih beberapa
hari lalu," kata Soma seraya tudingkan telunjuk jarinya ke arah Setan Cantik.
Setan Cantik menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Meski belum pernah bertemu secara langsung,
namun sewaktu di Pekarangan Terlarang ia sudah cu-
kup mengenal pemuda sakti itu. Dengan suara perla-
han sekali wanita itu berbisik di telinga Teratai Emas yang tengah menaksir-
naksir siapa pemuda gondrong
di hadapannya. Sejurus kemudian Teratai Emas pun
hanya mengangguk-angguk.
"Hm...! Rupanya kau pemuda pongah yang berge-
lar Siluman Ular Putih itu"! Pantas...! Pantas kau berani bersikap angkuh di
hadapanku," dengus Teratai Emas. Sekali lagi, Angkin Pembawa Maut terkesiap
kaget. Sungguh tidak disangka kalau pemuda tampan di
sampingnya adalah Siluman Ular Putih yang akhir-
akhir ini menggemparkan dunia persilatan. Maka seje-
nak itu sepasang mata indahnya terus menatap tajam
Soma. "Kau.... Kaukah pemuda sakti yang bergelar Siluman Ular Putih itu, Soma?"
tanya Angkin Pembawa Maut tak percaya. Namun ketika matanya melihat rajahan
bergambar ular putih di dada Soma, entah men-
gapa Angkin Pembawa Maut malah mengeluh.
Sedang Soma yang ditanya demikian malah ter-
senyum-senyum saja. Tak dipedulikannya pertanyaan
Angkin Pembawa Maut.
Angkin Pembawa Maut resah sekali. Bagaimana-
pun juga, ia masih meragukan kepandaian Siluman
Ular Putih. "Mbakyu Teratai Emas...!" seru Angkin Pembawa Maut dengan suara bergetar.
Teratai Emas tidak meladeni panggilan adik se-
perguruannya. Sepasang matanya yang tajam tak hen-
ti-hentinya memandangi Soma seperti orang tengah
menaksir. "Siluman Ular Putih...! Aku Teratai Emas, me-
mang sudah cukup mendengar nama besarmu di du-
nia persilatan. Tapi sungguh aku tidak menyangka ka-
lau sekarang kau berani datang ke daerah kekuasaan
Istana Ular Emas. Apa kau sudah bosan hidup, Pende-
kar Kesiangan?"
"He he he...! Justru lagakmu inilah yang pongah, Teratai Emas. Lagi pula, buat
apa sih tanya-tanya soal kematian" Tentu saja aku masih senang melihat wa-jahmu
yang dingin seperti salju. Cantik, tapi beringas.
Ih...! Ngeri...!" ejek Soma seraya menggerakkan kedua bahunya.
"Hm.... Kau mau jadi pahlawan kesiangan untuk
gadis di sampingmu yang setiap waktu selalu dalam
pelukanmu?" sindir Teratai Emas dingin dengan mata melirik Angkin Pembawa Maut.
"Wah, wah, wah....! Bicaramu sungguh meme-
rahkan telinga, Teratai Emas. Apa kau lupa, siapa
yang kau sindir itu" Bukankah Angkin Pembawa Maut
masih terhitung saudara seperguruan" Sungguh wa-
takmu berbeda jauh dengan adik seperguruanmu yang
manis ini, Teratai Emas."
"Mbakyu...!" panggil Angkin Pembawa Maut lagi.
Teratai Emas menoleh sebentar, kemudian buru-
buru buang muka masam. Sepintas tadi sudah dapat
dilihat kalau adik seperguruannya telah jauh berubah.
Baik dalam sikap, maupun wajahnya.
"Hm.... Kau sudah berani berdua-duaan dengan
musuh kita! Berarti Bunda Kurawa guru kita pun su-
dah tidak ada dalam ingatanmu. Hm...! Sepuluh tahun
budi ular emas hilang percuma dari dalam tubuhmu.
Sayang sekali...," ejek Teratai Emas.
Angkin Pembawa Maut menunduk dalam-dalam.
Kedua bibirnya bergetar-getar.
"Ini adalah kesalahanku, Mbakyu. Hukumlah
aku sesuka hatimu! Cuma aku minta, lepaskan pemu-
da itu!"' desah Angkin Pembawa Maut tetap menunduk. "Karena... karena ia tidak
tahu jalan dan tersesat sampai kemari...."
Teratai Emas tertawa dingin.
"Pandai juga bicaramu, Angkin Pembawa Maut!"
leceh Teratai Emas. "Mendengar nada suaramu yang sangat mengasihi monyet
gondrong itu, rasa-rasanya
kau pun rela berkorban segala-galanya demi untuk-
nya, bukan" Tapi meskipun demikian, aku tetap tidak
akan melepaskan pemuda gondrong itu. Karena bukan
saja aku yang menghendaki nyawanya. Bahkan Bunda
pun ingin sekali menghirup darah busuknya. Dan kau
sendiri, bagaimana" Bukankah kau diutus Bunda un-
tuk pergi ke Perguruan Raga Jati" Apa sudah beres"
Tapi, kenapa sekarang malah pulang dengannya" Co-
ba, jelaskan! Kunyuk gondrong itu memang tersesat,
ataukah memang menyukaimu. Lalu ia pergi bersama
denganmu" Begitukah...?"
Perih sekali hati Angkin Pembawa Maut mende-
ngar kata-kata Teratai Emas yang teramat menusuk
perasaan. Namun bila mendengar nada bicaranya yang
masih memandang sebagai saudara seperguruan, ma-
ka harapannya untuk kembali berkumpul dengan gu-
runya pun kembali timbul.
"Ah...! Kau ini mau menang sendiri saja, Teratai Emas! Memangnya kau pikir
Angkin Pembawa Maut
akan semudah itu jatuh cinta padaku, he"!" sela Soma agak kesal.
"Diam kau! Aku tidak bicara denganmu, tahu"!"
bentak Teratai Emas.
Soma tersenyum hambar. Sepasang matanya
sempat melirik Angkin Pembawa Maut di sampingnya.
"Ba... baiklah kalau Mbakyu ingin mendengar ce-
ritaku," kata Angkin Pembawa Maut dengan suara tetap bergetar. "Sebenarnya...
sebenarnya tadi kami sudah saling mengadu kekuatan. Tapi, apa mau dikata"
Kepandaianku masih jauh di bawahnya. Dan aku pun
kalah. Tubuhku yang terkena totokan jatuh menimpa
bibir perahuku hingga oleng. Dan kami pun tercebur
ke dalam sungai. Untung saja, Soma mau menolongku
membawa ke darat dan merawat lukaku. Sehingga, be-
gitulah akhirnya. Mbakyu sudah tahu sendiri akibat-
nya...." Teratai Emas mengangguk-angguk angkuh. Lalu
kepalanya berpaling ke arah Setan Cantik di samping-
nya, "Setan Cantik! Bawalah dia menghadap Bunda!
Aku tidak berani mengambil keputusan sendiri."
"Tidak boleh! Siapa pun juga tidak boleh mem-
bawa Angkin Pembawa Maut dari sini!" bentak Soma.
Setan Cantik menggeram penuh kemarahan. Se-
jenak pandangan matanya yang tajam beralih ke arah
Soma. Lalu ia cepat melompat mendekati Angkin Pem-
bawa Maut. "Adik Angkin! Mari kita pergi!" ajak Setan Cantik dengan suara amat perlahan.
Semula Angkin Pembawa Maut masih bimbang.
Dilihatnya pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo dari Gunung Bucu tampak gelisah di tem-
patnya. Dan membuatnya jadi gusar sekali.
"Soma...! Lekas pergi dari sini! Lekaslah tinggalkan tempat ini, Soma!" bentak
Angkin Pembawa Maut dengan hati nyeri.
Soma menggeleng perlahan sambil tersenyum te-
nang. "Tidak! Tidak mungkin aku pergi dari sini. Aku harus membawamu pergi
meninggalkan Istana Ular
Emas!" tegas si pemuda.
Angkin Pembawa Maut mendesah lirih. Air ma-
tanya pun kembali menetes membasahi pipi. Dan ia
pun tak dapat lagi menahan isak tangisnya.
"Selamat tinggal, Soma! Mu... mungkin kita tidak bisa bertemu lagi. Ba... baik-
baiklah kau menjaga di-ri...." Suara Angkin Pembawa Maut terdengar makin lama
makin perlahan, hingga akhirnya tidak terdengar sama sekali. Hanya kedua
bibirnya saja yang masih
berkemik-kemik. Sesaat kemudian, tubuhnya segera
berbalik dan cepat berkelebat menuju Lembah Kuripan
bersama Setan Cantik.
"Tunggu...! Kau tidak boleh membawa Angkin
Pembawa Maut begitu saja, Setan Cantik!" teriak Soma gusar. Habis berkata
begitu, buru-buru Soma menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya berkele-
bat cepat mengejar Setan Cantik. Namun baru bebera-
pa langkah, Teratai Emas sudah melompat hendak
menghadang. "Tetap diam di tempatmu, Kunyuk Gondrong!
Aku ingin lihat apa kau tahan dengan jarum-jarum be-
racunku, he"!" bentak Teratai Emas, begitu mendarat.
"Minggir! Kalau kalian berani mengganggu Ang-
kin Pembawa Maut seujung rambut pun, demi Tuhan
akan kuobrak-abrik Istana Ular Emas!" teriak Siluman Ular Putih lantang.
"Sungguh besar sekali mulutmu, Siluman Ular
Putih! Jangankan mengobrak-abrik Istana Ular Emas.
Menghadapiku saja belum tentu kau mampu!" dengus Teratai Emas sinis.
Soma yang sudah menjadi gusar sekali, cepat
menerjang Teratai Emas dengan jurus-jurus sakti Ter-
jangan Maut Ular Putih'. Dan seketika itu juga tangan kirinya telah berobah
menjadi putih terang penuh
'Tenaga Sakti Inti Bumi'. Sedang tangan kanannya te-
lah berobah menjadi merah menyala penuh 'Tenaga
Sakti Inti Api'.
Teratai Emas terkesiap kaget. Gerakan-gerakan
kedua telapak tangan Siluman Ular Putih yang mem-
bentuk kepala ular sungguh sulit diduga. Dan ketika
patukan-patukan telapak tangan Soma berkelebat me-
nyerang iganya, tubuhnya cepat berkelit seraya mengibas tangannya.
Serrr! Serrr! "Uts...!"
Soma cepat miringkan tubuhnya ke kiri ketika
sinar-sinar keemasan yang tak lain jarum-jarum bera-
cun meluncur ke arahnya. Lalu secepat itu pula tan-
gan kirinya mematuk iga kiri Teratai Emas.
Sekali lagi Teratai Emas terkesiap kaget melihat
gerakan tangan kiri Soma yang demikian cepat dan ti-
dak terduga. Dan sebelum tubuhnya terkena patukan,
tenaga dalamnya cepat dikerahkan untuk melindungi
iga kirinya. Tukkk! "Ahhh...!"
Telak sekali iga kiri Teratai Emas terkena patu-
kan tangan Siluman Ular Putih. Meski telah menge-
rahkan tenaga dalamnya, namun tetap saja tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Se-
dang iga kirinya yang terkena patukan tadi terasa nyeri bukan main. Napasnya pun
jadi sesak. Maka kembali
dikerahkannya tenaga dalam sambil mengatur napas.
Pada saat yang demikian, Soma cepat menjejak-
kan kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya berkelebat
cepat mengejar Setan Cantik dan Angkin Pembawa
Maut dengan ilmu meringankan tubuhnya.
"Angkin Pembawa Maut tunggu! Jangan pergi
sendiri! Tunggu aku, Angkin Pembawa Maut!"
Namun sayangnya Setan Cantik dan Angkin
Pembawa Maut sudah begitu jauh. Pemuda ini sejenak
menghentikan larinya dengan perasaan tak menentu.
Kali ini ia terpaksa harus mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh 'Menjangan Kencana'. Namun belum
sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba sesosok bayangan kuning keemasan tubuh
Teratai Emas telah berkelebat
cepat menghadang.
"Hai, tunggu! Aku penunjuk jalanmu ke neraka.
Mau kau kuantar ke neraka" Mari sini!" ejek Teratai Emas, pongah.
Sehabis berkata begitu, Teratai Emas pun cepat
menerjang garang. Kedua tangannya yang telah bero-
bah menjadi kuning keemasan hingga ke pangkal ce-
pat dilontarkan ke arah Soma ganas. Bahkan sebelum
sinar kuning itu mengenai sasaran, terlebih dahulu telah berkesiur angin dingin
berbau amis telah meme-
nuhi tempat itu.
Wesss! Wesss! Soma merasa pukulan maut Teratai Emas tidak
bisa dianggap main-main. Begitu melihat sinar kuning keemasan menyambar-nyambar
ganas, kontan dikerahkannya pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. dengan
kedua telapak tangan yang telah berobah jadi putih terang. Wusss...!
Sinar terang dari kedua telapak tangan Siluman
Ular Putih pun cepat melabrak sinar kuning keemasan
dari kedua telapak tangan Teratai Emas. Dan....
Blaaar...! Terdengar satu benturan keras dari dua tenaga
dalam tingkat tinggi. Bumi bergetar hebat. Angin dingin berkesiur menyambar-


Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyambar memenuhi tempat
itu. Tubuh Teratai Emas tampak terhuyung-huyung
beberapa tindak ke belakang. Wajahnya pucat pasi.
Darah merah tampak membasahi sudut-sudut bibir-
nya, pertanda murid Istana Ular Emas itu terluka da-
lam. Namun, rupanya Teratai Emas tidak mau terima
kekalahannya begitu saja. Begitu tubuhnya terhuyung-
huyung, cepat tangannya merogoh kantung kuning di
pinggang rampingnya. Dan....
Serrr! Serrr! Tiga sinar kuning keemasan yang berkeredepan
dari jarum-jarum emas Teratai Emas cepat melesat
menyerang tiga jalan darah di tubuh Siluman Ular Pu-
tih yang saat terjadi benturan tak bergeming sedikit pun dari tempatnya.
Soma cukup terkesiap juga melihat tiga sinar
kuning yang berkeredepan menyerang dirinya. Namun
pemuda sakti murid Eyang Begawan Kamasetyo dari
Gunung Bucu tidak jadi gugup.
"Heaaa...!"
Dengan sekali mengebutkan ujung rompinya, Si-
luman Ular Putih telah membuat jarum-jarum emas
Teratai Emas pun dirontokkan dengan mudah.
Teratai Emas menggeram penuh kemarahan. Wa-
jahnya tampak makin pias, pertanda tengah menahan
amarah menggelegak.
"Setan alas! Rupanya nama besar Siluman Ular
Putih bukan hanya sekadar bungkus bubur belaka.
Terimalah balasanku, Kunyuk Gondrong! Heaaat...!"
teriak Teratai Emas seraya meningkatkan tenaga da-
lamnya pada saat kedua tangannya menghentak.
Wesss! Wesss! Kembali sinar kuning keemasan dari kedua tela-
pak tangan Teratai Emas meluruk ke arah Siluman
Ular Putih. Bahkan pada saat yang sesingkat itu, pe-
rempuan Ini kembali mengibaskan tangannya.
Set! Set! Wusss...! Tampak bunga-bunga teratai emas mengiringi
pukulan maut Teratai Emas menyerang beberapa jalan
darah tubuh Siluman Ular Putih.
Hebat bukan main serangan-serangan perem-
puan itu kali ini. Dan Siluman Ular Putih tidak mau
menganggap enteng. Apalagi hidungnya juga mencium
bau amis yang bukan alang kepalang, serta bau busuk
yang teramat memabukkan dari untaian bunga-bunga
teratai emas. '
Soma terperanjat saat jalan napasnya terganggu.
Buru-buru napasnya ditahan. Bagaimanapun juga ia
tidak ingin dilumpuhkan dengan bau busuk dari racun
teratai emas. Maka cepat ujung rompinya dikebutkan
untuk mengusir bau busuk yang menyerang jalan per-
napasannya. Bed! Bersamaan dengan itu pula, tangan kanan Silu-
man Ular Putih cepat menjentik balik untaian bunga-
bunga teratai emas yang menyerangnya, sambil me-
lompat tinggi ke udara menghindari pukulan maut Te-
ratai Emas Tik! Tik! Wesss! Wesss! Teratai Emas kaget bukan main. Bukan saja se-
rangan-serangannya dapat dihindari dengan mudah,
melainkan juga serangan-serangan untaian bunga-
bunganya kini balik menyerang dirinya. Bahkan mele-
bihi kecepatan lontarannya tadi!
Teratai Emas tentu saja tidak membiarkan tu-
buhnya termakan senjata-senjata miliknya. Begitu me-
lihat beberapa sinar kuning keemasan menyerang di-
rinya, cepat tubuhnya dibuang ke samping. Maka, se-
lamatlah nyawanya. Sedang senjata-senjata rahasia itu terus melesat ke belakang,
menghantam sebuah pohon
besar. Seketika itu juga batang yang terkena sambaran untaian bunga-bunga
teratai emas jadi berlubang,
mengepulkan asap kekuning-kuningan! Bahkan ke-
mudian ranting-ranting pohon itu jadi rapuh, lalu
daun-daun pohon itu pun layu dan rontok.
Selang beberapa saat....
Keretakkk! Buuummm...! Pohon besar itu akhirnya tumbang, menghantam
tanah. Debu-debu membubung tinggi memenuhi tem-
pat itu. Siluman Ular Putih sendiri pun langsung menge-
but-ngebutkan tangan kanannya, menahan nyeri bu-
kan main begitu menjentik untaian bunga-bunga tera-
tai emas tadi. Dan ketika melirik, ternyata kuku-kuku jarinya telah melepuh
berwarna kuning keemasan. Malah hampir saja menjalar ke telapak tangannya.
"Jangkrik buntung! Mengapa kuku-kuku jariku
jadi begini"!"
Siluman Ular Putih kalang kabut seraya menge-
but-ngebutkan tangan kanannya. Kemudian buru-
buru ia menotok beberapa jalan darah di telapak tan-
gan kanannya, agar racun teratai emas tidak menjalar ke bagian lain.
"Benar-benar keji racun teratai emas itu... Benar-benar tak kusangka kalau bunga
teratai emas itu
mengadung racun demikian keji. Kalau aku tahu, ma-
na sudi aku mencolek-colek bunga teratai keparat itu"
Tapi... eh..."! Ke mana wanita itu?"
Buru-buru Soma mengedarkan pandangan. Na-
mun perempuan murid pertama Bunda Kurawa itu en-
tah sudah raib ke mana. Pemuda ini jadi kesal bukan
main. "Dasar wanita kampret! Awas...! Tunggu pemba-lasanku!" rutuk Soma
penasaran. Buru-buru Siluman Ular Putih menjejakkan ka-
kinya ke tanah, cepat melompat ke atas ranting pohon di depannya. Dan dari atas,
samar-samar di kejauhan
sana terlihat sesosok bayangan kuning keemasan ten-
gah berlari kencang menuju ke timur.
"Jangkrik buntung! Rupanya ia telah jauh me-
ninggalkanku. Awas...! Jangan dikira aku membiar-
kanmu pergi begitu saja! Tunggulah balasanku!" desis Soma. Maka, tanpa banyak
pikir panjang lagi Siluman
Ular Putih segera menjejakkan kedua kakinya. Dan da-
lam sekejapan mata saja tubuh tinggi kekar telah ber-
kelebat cepat mengejar Teratai Emas di kejauhan sana.
*** Sepasang mata biru Soma pun memperhatikan
sekitarnya, begitu kehilangan jejak Teratai Emas. Namun tidak ditemukan tanda-
tanda ke arah mana Tera-
tai Emas tadi menghilang.
"Jangkrik buntung! Ini benar-benar menjengkel-
kan!" maki Soma.
Setelah puas melampiaskan sumpah serapahnya,
kini pemuda sakti bergelar Siluman Ular Putih itu telah tegak memperhatikan
bukit kecil di sampingnya.
Dan tanpa banyak pikir panjang lagi, tubuhnya berke-
lebat cepat naik ke atas bukit. Gerakan kedua kakinya ringan sekali, laksana
terbang. Hingga dalam waktu
singkat pemuda gondrong itu pun sampai di atas bu-
kit. Begitu sampai, seketika sepasang mata biru pe-
muda gondrong itu berkilat-kilat kegirangan. Betapa jauh di bawah sana, tampak
beberapa kerlip nyala
lampu. Sedang di belakangnya, samar-samar terlihat
pula sebuah bangunan besar mirip sebuah istana!
"Ah...! Itukah Istana Ular Emas yang banyak di-takuti orang?" desah Soma
kegirangan, seolah-olah telah melupakan kejadian-kejadian menyebalkan sebe-
lumnya. "Ah, iya" Habis mana lagi kalau bukan itu" Di sekitar sini tidak ada
bangunan apa pun, selain bangunan mewah itu. Pasti itulah Istana Ular Emas...."
Sehabis bergumam begitu, Siluman Ular Putih
cepat berlari turun mendekati bangunan mewah itu.
Dan ternyata, memang benar. Itulah Istana Ular Emas
yang sedang dicarinya!
Si pemuda tidak berani bertindak gegabah. Sem-
bari terus berlari menuju halaman depan Istana Ular
Emas, matanya tak henti memperhatikan keadaan se-
kitarnya. Namun....
Blesss...! Tiba-tiba hati Soma terasa terhenyak. Kaki ka-
nannya yang menginjak tanah rerumputan di hada-
pannya, mendadak terus melesak ke bawah! Seketika
itu juga, tanah rerumputan itu terus menyedot kaki
dan tubuhnya! "Jangkrik! Lumpur hidup!" maki Soma penuh kemarahan.
Tubuh pemuda itu semakin dalam tersedot lum-
pur hidup. Untung saja tangannya buru-buru meraih
sebuah pohon yang tumbuh di pinggir lumpur hidup.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke tan-
gan perlahan-lahan Siluman Ular Putih keluar dari
lumpur hidup. Dan begitu tubuhnya menyentak seraya
bergulir ke samping, lumpur hidup itu telah rata kembali seperti semula.
Soma mendesis. Parasnya pias. Sekujur tubuh-
nya dibasahi lumpur. Melihat kejadian yang baru saja dialami, kewaspadaannya
makin ditingkatkan. Dan
kembali perjalanannya dilanjutkan.
Hingga akhirnya, murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu sampai di luar halaman depan Istana Ular
Emas. Namun baru saja sampai di luar halaman depan
Istana Ular Emas, mendadak langkahnya dihentikan.
Dan seketika itu juga keningnya pun berkerut-kerut.
Apa yang dilihat di hadapan pemuda itu benar-benar
membuat bulu kuduknya berdiri!
Betapa di hadapan pemuda gondrong itu kini
terbentang sebuah parit lebar mengelilingi seputar halaman Istana Ular Emas.
Namun bukan itu yang mem-
buat bulu kuduknya berdiri, melainkan isi parit. Beta-
pa dalam parit itu terdapat ribuan ular emas ganas.
Yang mendesis-desis. Bahkan sebagian buru-buru me-
rayap mendekati Soma, begitu mencium bau manusia!
Soma bergidik ngeri. Ular-ular emas itu demikian
ganasnya, tapi untung saja tak dapat naik ke atas parit. "Ah...! Bagaimana ini"
Rasa-rasanya lebar parit ini di luar jangkauan lompatanku. Di samping itu,
ular-ular keparat ini siap pula memangsa tubuhku bila sewaktu-waktu kakiku
menyentuh dasar parit. Ah...!
Bagaimana ini...?" Soma garuk-garuk kepala saking bingungnya. "Oh, ya" Coba, aku
pancing saja ular-ular keparat itu kemari, baru aku melompat. Yah... yah...!"
Si pemuda bergegas mencari ranting kayu. Na-
mun baru saja hendak melangkah, tiba-tiba pandang
matanya yang tajam melihat sesosok berpakaian kun-
ing keemasan berkelebat cepat menuju halaman depan
Istana Ular Emas.
"Hup!"
Buru-buru Soma loncat ke atas pohon. Lalu dili-
hat-nya bayangan kuning keemasan itu menghentikan
langkahnya di tengah-tengah halaman Istana Ular
Emas. Pemuda ini terkesiap kaget. Samar-samar dari
terangnya sinar rembulan matanya dapat melihat so-
sok berpakaian kuning keemasan itu tidak lain dari
Teratai Emas! Dan lebih kagetnya lagi ketika matanya tertumbuk pada tiga sosok
manusia tengah bergan-tung di bawah tiang gantungan. Sedang di samping
kanan kirinya berdiri tegak sepuluh orang murid Ista-na Ular Emas tengah
berjaga-jaga di sekitar tiang gantungan.
"Jangkrik! Rupanya wanita itu sudah sampai ke-
mari. Mau apa ia menemui kesepuluh orang murid
penjaga itu" Dan siapa pula orang-orang yang tengah
menjalani hukuman gantung itu" Ah...! Jangan-jangan
mereka adalah tokoh sakti dunia persilatan yang men-
jadi tawanan Bunda Kurawa. Keparat! Alangkah keji
dan licik orang yang bergelar Bunda Kurawa itu!" desis Soma penuh kemarahan.
Namun belum sempat pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo dari Gunung Bucu itu bertindak,
tampak Teratai Emas kembali berkelebat menuju ke
dalam istana. Entah, apa yang dilakukan iblis cantik itu. Mungkin melaporkan
perihal kejadian Angkin
Pembawa Maut sore tadi. Mungkin juga, melaporkan
tentang kedatangan Siluman Ular Putih yang tengah
diincar Bunda Kurawa.
Sementara itu Siluman Ular Putih tengah sibuk
mencari akal bagaimana caranya menyelinap masuk
ke dalam Istana Ular Emas tanpa diketahui kesepuluh
orang murid penjaga maupun murid-murid lainnya.
Dan kalau keinginannya untuk memancing ular-ular
emas itu diteruskan bukan mustahil suara desisan-
desisan ular-ular itu dapat memancing kecurigaan.
Berpikir demikian, Soma buru-buru meloncat tu-
run dari atas pohon. Sejenak ia berdiri tegak memperhatikan kesepuluh orang
murid penjaga itu.
"Tidak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus
menggunakan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih' untuk menyelinap ke dalam Istana
Ular Emas ini," gumam Soma dalam hati.
Saat itu juga, Soma pun cepat memejamkan ma-
tanya rapat-rapat. Kedua bibirnya pun berkemik-
kemik, pertanda tengah memusatkan jalan pikirannya
pada ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Selang beberapa saat....
Bsss...! Perlahan-lahan sekujur tubuh Soma mulai dis-
elimuti asap putih tipis. Dan akhirnya, bayangan sosok gondrong Soma pun tidak
kelihatan sama sekali ketika asap putih tipis itu hilang....
"Sssst! Sssst!"
Aneh sekali! Kini yang terlihat bukan lagi sosok
tinggi kekar pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo, melainkan sosok ular putih kecil sebesar
ibu jari kaki manusia dewasa! Itulah salah satu kehebatan ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih' yang juga bisa membuat Soma berobah menjadi seekor ular putih kecil
sebesar ibu jari kaki manusia dewasa. Semua itu
tergantung dari keinginan Soma sendiri!
Dan kini, ular putih kecil itu menjulur-julurkan
kepalanya ke dalam parit. Seolah-olah binatang jel-
maan itu sedang mengira-ngira bagian mana yang tak
ditempati ular-ular emas. Kemudian setelah bisa me-
mastikan, ular kecil berwarna putih mengkilap itu pun mulai merayap ke tempat


Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dimaksud. Meski demikian, tampak ular kecil itu hati-hati
sekali kala merayap melewati puluhan ular emas di
sampingnya. Namun anehnya, puluhan ular emas itu
seperti terkesima melihat sosok memanjang berwarna
putih mengkilap di sampingnya. Malah ada sebagian
yang lainnya menyingkir, begitu melihat ular putih itu merayap mendekatinya.
Entah karena takut, entah tidak. Yang jelas, ular putih itu terus merayap ke
seberang sambil mendesis-desis.
"Sssst! Sssst!"
Beberapa saat kemudian, akhirnya ular putih si-
luman itu pun berhasil merayap naik ke atas parit persis di halaman depan Istana
Ular Emas. Kemudian se-
perti takut kehadirannya diketahui, ular putih itu bu-ru-buru menyelinap ke
balik rindangnya sebuah po-
hon. Dan sejenak kepalanya menjulur-julur memper-
hatikan kesepuluh orang murid penjaga yang tengah
berjaga-jaga di sekitar tiang gantungan.
"Sssst! Sssst!"
Sekali lagi ular putih itu mendesis sebelum ak-
hirnya sekujur tubuhnya mulai diselimuti asap putih
tipis. Dan akhirnya, sosok putih memanjang itu tidak kelihatan sama sekali. Dan
begitu asap putih tipis itu hilang tertiup angin, maka yang tampak kini adalah
sesosok pemuda gondrong berpakaian rompi dan cela-
na bersisik warna putih keperakan tengah berdiri te-
gak memperhatikan kesepuluh orang murid penjaga di
halaman depan Istana Ular Emas.
Sebenarnya Soma ingin terus berkelebat menuju
ke atas atap Istana Ular Emas untuk menyelidiki tem-
pat para tawanan dan juga Angkin Pembawa Maut.
Namun buru-buru niatnya diurungkan ketika men-
dengar suara kasak-kusuk para murid penjaga.
"Aku benar-benar tidak mengerti, Adik Puspa
Emas. Mengapa Ki Sorogompo tampak demikian nya-
man berada di atas tiang gantungan" Padahal sudah
sejak tadi pagi orang tua gempal itu digantung. Na-
mun, tampaknya biasa-biasa saja. Tidak seperti yang
lain-lainnya. Naga Buta dan si tua bangka Tangan Baja sudah lama tewas di tiang
gantungan. Tapi, orang tua bertubuh gempal itu...?" tutur salah seorang murid
Bunda Kurawa seraya menggeleng-geleng heran.
"Ah...! Memang benar apa yang kau katakan,
Mbakyu Sekar Emas. Aku sendiri sebenarnya juga me-
rasa heran. Jangan-jangan, orang tua bertubuh gem-
pal itu masih hidup," sahut murid penjaga yang dipanggil Adik Puspa Emas, tak
kalah heran dengan ka-
kak seperguruannya.
"Ah...! Mana mungkin! Mana ada sih, orang yang
digantung hampir seharian penuh masih hidup?" tukas murid penjaga yang lainnya.
"Iya, ya! Tapi, kenapa orang tua bertubuh gempal itu tampak enak-enakan saja di
bawah tiang gantungan" Kalau memang masih hidup, ilmu apa yang digu-
nakannya?" tanya Sekar Emas lagi makin penasaran.
"Jangan-jangan ia punya ilmu 'Pernapasan Be-
bek' yang mampu memindahkan jalan pernapasannya
melalui lubang duburnya" Ah! Bisa celaka kalau ia benar-benar mampu menguasai
ilmu 'Pernapasan Be-
bek'. Sebaiknya, cepat laporkan hal ini pada Bunda,
Adik Puspa Emas!" ujar murid penjaga yang lainnya, cemas.
Sampai di sini kening Soma berkerut dalam-
dalam. Ia memang pernah mendengar kehebatan ilmu
yang sangat langka itu. Ilmu 'Pernapasan Bebek'!
"Tapi... mungkinkah orang tua itu mampu men-
guasai ilmu pernapasan yang sangat langka itu"1' gu-
mam Soma dalam hati. "Ah. .! Kukira tak ada gunanya terlalu banyak berpikir.
Bisa atau tidak, yang jelas aku harus secepatnya menyelamatkan mereka kalau
memang masih hidup."
Soma tidak sabar lagi dengan kata-kata hatinya.
Begitu salah seorang murid penjaga yang dipanggil
Puspa Emas berkelebat meninggalkan halaman depan
Istana Ular Emas, segera pemuda sakti ini keluar dari tempat persembunyiannya.
Dan sekali menjejak tanah,
tahu-tahu tubuhnya telah berkelebat cepat menuju
tiang gantungan.
"Hey...! Siapa kau" Berhenti!" bentak gadis yang bernama Sekar Emas tiba-tiba.
Begitu mendengar bentakan, kesembilan orang
murid penjaga langsung berkelebat cepat mengurung.
Soma yang saat itu sudah berada di dekat tiang gan-
tungan cepat berbalik. Telunjuk tangan kirinya lang-
sung ditudingkan ke arah murid-murid penjaga sambil
diam-diam mengerahkan kekuatan batinnya.
"Keparat! Justru kalianlah yang harus berhenti!
Apa mata kalian semua buta, he"! Coba, lihat baik-
baik siapa aku"!" bentak Soma dengan suara bergetar-getar aneh, menyerang jalan
pikiran murid-murid Ista-na Ular Emas.
Aneh bin ajaib! Seketika itu juga kesembilan
orang murid penjaga itu menghentikan langkah. Sepa-
sang mata mereka pun terbeliak lebar. Apa yang terlihat kini benar-benar membuat
mereka tak percaya.
Betapa tidak"
Dalam pandangan mereka orang yang berdiri di
dekat tiang gantungan sosok Bunda Kurawa, pemilik
Istana Ular Emas yang berarti guru mereka sendiri. Itu hanya pandangan mereka,
tapi sebenarnya jalan pikiran mereka yang dipengaruhi oleh Soma.
Itulah salah satu kehebatan Siluman Ular Putih
dalam hal mempengaruhi jalan pikiran orang lain.
Kendati belum pernah berjumpa Bunda Kurawa, tapi
dengan memanfaatkan pikiran orang lain, dia bisa
membuat se-olah-olah dirinya bisa berubah wujud.
Sehingga tak heran kalau kesembilan murid penjaga
itu seolah-olah melihat Bunda Kurawa. Padahal sosok
Soma tak berubah sama sekali.
"Ma.... Maafkan kami, Bunda! Kami... kami be-
nar-benar tidak tahu kalau Bundalah yang datang,"
ucap salah seorang murid yang diikuti murid lainnya
seraya menjatuhkan diri, berlutut di depan Soma.
"Bagus! Bagus! Itu baru murid-muridku na-
manya!" kata Soma seraya menahan senyum saking
gelinya melihat perobahan sikap kesembilan orang mu-
rid penjaga yang tampak demikian takutnya.
Kesembilan orang murid penjaga itu makin da-
lam menundukkan kepala. Sepatah kata pun tak teru-
cap dari bibir mereka.
Tanpa banyak cakap lagi, Soma bergegas meme-
riksa denyut nadi ketiga tokoh sakti yang tengah menjalani hukuman gantung itu.
Dan kenyataannya, me-
mang benar. Naga Buta dan Tangan Baja memang te-
lah tewas mengenaskan. Namun ketika memeriksa de-
nyut nadi Ki Sorogompo, kening Soma kontan berkerut
dalam-dalam. "Hm...! Rupanya apa yang dibicarakan murid-
murid itu benar. Hebat... hebat! Tak kusangka kalau
orang tua itu mampu menguasai 'Pernapasan Bebek'
yang sangat langka. Baiklah! Kalau begitu, aku akan
segera menyelamatkannya dulu. Sedang yang kedua
orang itu... gampang! Toh kedua orang itu sudah te-
was," gumam Soma dalam hati.
Sehabis menggumam begitu, Siluman Ular Putih
cepat melepas tali gantungan yang mengikat leher Ki
Sorogompo. Kemudian cepat dipanggulnya tubuh gem-
pal itu ke pundaknya, Lalu tangan kanannya cepat
mencengkeram rantai baja yang menghubungkan den-
gan kaki kedua orang tawanan lainnya. Dan....
Krekkk! Krekkk!
Terdengar bunyi rantai baja itu remuk di tangan
Soma dialiri tenaga dalam tinggi.
Sambil tersenyum senang, Siluman Ular Putih
memanggul tubuh gempal Ki Sorogompo dengan lelua-
sa. Sejenak kepalanya menoleh ke arah kesembilan
orang murid penjaga.
"Tetaplah kalian di tempat! Siapa yang berani
menentang perintahku, berarti mati! Kalian paham?"
kata Siluman Ular Putih.
"Pa.... Paham Bunda," sahut kesembilan orang
murid penjaga itu serempak.
"Bagus! Itu baru namanya murid-muridku!" ujar Soma lagi, lalu cepat berkelebat
meninggalkan halaman Istana Ular Emas.
Sementara itu kesembilan orang murid penjaga
itu masih tetap berlutut di sekitar tiang gantungan
sambil menunduk dalam. Cukup lama mereka terpa-
ku, sampai kemudian....
"Murid-murid tak berguna! Siapa yang suruh ka-
lian berlutut seperti itu, he"! Dan, mana tawanan yang satu lagi"!"
Suara bentakan yang bernada penuh amarah
membuat kesembilan orang murid penjaga menenga-
dah ke atas. Dan hati mereka pun kontan ciut. Tam-
pak, di hadapan mereka telah berdiri tegak Bunda Ku-
rawa yang diiringi Teratai Emas dan Puspa Emas. Dan
tampak pula wajah cantik Bunda Kurawa demikian
dinginnya. Sepasang mata indahnya mencorong tajam,
memperhatikan sikap kesembilan orang muridnya
dengan kening berkerut.
"Ma.... Maafkan hamba, Bunda! Bukankah Bun-
da sendiri yang menyuruh kami tetap berada di tem-
pat?" ucap Sekar Emas mencoba buka suara.
"Jawab yang jelas! Siapa yang suruh kalian ber-
lutut seperti ini, sehingga tawanan yang satu itu hilang" Hayo, sekarang jawab!"
dengus Bunda Kurawa murka.
Sekar Emas dan murid-murid penjaga lain cepat
berpaling ke arah tiang gantungan. Dan bukan main
terkejutnya mereka ketika menyadari salah seorang
tawanan lenyap. Seketika itu juga, mata mereka terbelalak lebar dengan wajah
pucat pasi. Dan tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka yang bergetar-
getar. "Hayo, jawab! Ke mana lenyapnya tawanan itu,
he"!" bentak Bunda Kurawa lagi penuh kemarahan.
"Ma.... Maafkan hamba, Bunda! Tad.... tadi kami melihat seorang pemuda gondrong
kemari. Kami sudah
mencegahnya. Namun entah karena apa, tiba-tiba ka-
mi melihat sebagai Bunda. Jad... jadi mungkin pemuda itulah yang telah membawa
kabur tawanan itu, Bunda," lapor Sekar Emas dengan kedua bibir bergetar.
"Seorang pemuda menyelinap kemari dan men-
jelma menjadi diriku" Tak mungkin! Kalian pasti men-
gada-ada!" bentak Bunda Kurawa.
"Su.... Sungguh, Bunda. Kami... kami tidak ber-
bohong." Wajah dingin Bunda Kurawa terlihat semakin
mengerikan. Sepasang matanya pun makin mencorong
tajam memperhatikan Sekar Emas yang mewakili ka-
wan-kawannya. Namun belum sempat orang tua pemi-
lik Istana Ular Emas itu buka suara, tiba-tiba Teratai Emas mendekatkan mulutnya
ke telinga Bunda Kurawa. "Maaf, Bunda! Harap Bunda sudi mengingat! Pemuda
gondrong yang dimaksudkan Sekar Emas tidak
lain pasti pemuda sakti yang bergelar Siluman Ular Putih itu," bisik Teratai
Emas. "Siluman Ular Putih...!" desis Bunda Kurawa, seolah-olah kurang mempercayai
pendengarannya.
"Benar, Bunda! Siapa lagi kalau bukan dia" Bu-
kankah tadi hamba sudah menceritakannya pada
Bunda?" tukas Teratai Emas lagi menambahi.
Bunda Kurawa sejenak termenung memikirkan
ucapan murid utamanya. Lalu dengan angkuhnya pe-
rempuan cantik yang sebenarnya sudah berusia lanjut
itu mengangguk-angguk.
Melihat perobahan sikap gurunya, Sekar Emas
dan murid-murid penjaga yang lainnya diam-diam, jadi merasa lega sekali. Dan
harapan untuk dimaafkan atas kesalahan tadi timbul kembali.
"Maaf, Bunda! Mungkin yang dikatakan Mbakyu
Teratai Emas itu benar, Bunda. Sebab menurut perhi-
tungan hamba, pasti pemuda sakti itu pulalah yang telah menyelinap kemari. Kalau
tidak, mana mungkin
ada tokoh sakti lain yang berani menyelinap kemari.
Apalagi, seluruh halaman Istana Ular Emas dikelilingi parit yang terdapat banyak
ular emas. Jadi menurut
hamba, hanya pemuda sakti itulah yang mampu me-
nerobos hingga sampai ke sini, Bunda."
"Ya, ya, ya...! Benar sekali apa yang kau katakan, Sekar Emas," ujar Bunda
Kurawa seraya mengangguk-angguk. "Tapi, ini semua bukan berarti kalian harus
lepas dari tanggung jawab. Bagaimanapun juga, kalian telah melalaikan tugas.
Kalian patut mendapat hukuman. Hanya hukuman pagutan ribuan ular emas saja-
lah bagi murid-murid yang melalaikan tugas dan bera-
ni menentang perintah!"
Keputusan Bunda Kurawa bagai palu godam bagi
kesembilan orang murid penjaga.
Sepasang bola mata Sekar Emas dan murid-
murid penjaga lain yang semula telah cerah mendadak
membelalak liar. Wajah mereka pias. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir
mereka yang bergetar-getar.
"Teratai Emas! Cepat antar adik-adikmu ini ke
parit ular emas!" perintah Bunda Kurawa lagi dengan wajah dingin.
"Baik, Bunda!"
Tubuh kesembilan orang murid penjaga itu ma-
kin gemetar. Ibarat kelinci di tangan harimau, mereka benar-benar tak berdaya.
Dan belum sempat mereka
berpikir apa yang akan dilakukan, tahu-tahu Teratai
Emas telah berkelebat cepat.
Tuk! Tuk...! Tahu-tahu, gadis itu telah menotok tubuh ke-
sembilan orang adik seperguruannya. Maka seketika
itu juga mereka roboh tak berdaya. Kemudian dengan
tanpa banyak cakap lagi, Teratai Emas pun cepat me-
nendang mereka ke dalam parit ular emas.
Bukkk! Bukkk! Bukkk...!
Tubuh kesembilan orang murid penjaga jatuh
bergedebungan tak berdaya di dalam parit. Dan seketi-ka itu juga, ribuan ular
emas yang tampak kelaparan
berebutan merayap mendekati tubuh mereka, siap
menjadi santapan ular emas yang kelaparan itu.
Bunda Kurawa dan Teratai Emas hanya terse-
nyum dingin. Dan diiringi jerit-jerit kematian kesembilan orang murid penjaga,
kedua orang itu berkelebat
masuk ke dalam istana. Sedang Puspa Emas sejenak


Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan ke arah parit ular emas, sebelum ak-
hirnya berkelebat pula menyusul.
*** 6 Soma menggaruk-garuk kepalanya bingung sam-
bil memanggul Ki Sorogompo. Di hadapannya kini ter-
bentang sebuah parit ular emas yang dihuni ular-ular emas ganas. Dan lebar parit
itu pun jauh lebih besar dibanding parit depan Istana Ular Emas.
"Ah...! Bagaimana ini?" Soma kembali menggaruk-garuk kepalanya bingung. Sepasang
mata birunya terus memperhatikan keadaan sekitar. "Sungguh pin-tar pemilik Istana Ular Emas
ini. Tak kusangka kalau
lebar parit di halaman belakang Istana Ular Emas ini demikian lebarnya.
Sebenarnya hal itu biasa. Karena
tokoh-tokoh sakti golongan putih yang ingin menyeli-
nap ke Istana Ular Emas selalu melewati halaman be-
lakang...."
Soma tercenung untuk beberapa saat. Bingung
memikirkan bagaimana caranya keluar dari halaman
belakang Istana Ular Emas. Dan di saat tengah bin-
gung begini, mendadak di atas pundaknya terasa ada
sesuatu yang bergerak-gerak. Dan belum sempat men-
getahui apa yang terjadi....
"Turunkan aku, Bocah!" bentak sosok gempal di bahu Soma.
Kening Soma berkerut dalam. Entah mengapa
hatinya tersinggung dengan ulah orang tua gempal di
atas pundaknya. Dan sebelum lelaki bernama Ki Soro-
gompo kembali membentak, Soma cepat melempar-
kannya secara sembarangan.
Bukkk! "Jangkrik! Kenapa kau enak-enakan di atas pun-
dakku kalau tidak tertotok" Sialan!" sungut Soma alias Siluman Ular Putih gusar.
Ki Sorogompo meringis kesakitan. Sewaktu tu-
buhnya dilemparkan tadi, kebetulan sekali punggung-
nya membentur batu runcing di bawahnya.
"Slompret! Bukannya menolong, malah memaki-
maki. Kau pikir enak seharian digantung di tiang gantungan?" balas Ki Sorogompo
seraya memegangi punggungnya dengan kedua tangan.
"Hey, Orang Tua! Kau benar-benar keterlaluan!
Pantasnya aku yang kesal karena dikerjai. Bukan kau!
Memangnya kau pikir enak memanggul-manggul tu-
buh gempalmu, he"!" tukas Soma tak kalah kesalnya.
"Sudah terlepas dari totokan, bukannya membela diri.
Eh, malah enak-enakan di atas tiang gantungan"!"
Kedua mata Ki Sorogompo melotot gusar. Kini ia
tidak lagi pegangi pinggangnya. Malah perlahan-lahan berjalan mendekati pemuda
gondrong di hadapannya
seraya menuding, tepat sekali di hidung Soma.
"Apa tadi kau bilang, Bocah" Aku enak-enakan di atas tiang gantungan" Kau pikir,
nenek-nenek peot
Bunda Kurawa begitu bodoh hingga mau membiarkan
para tawanan yang hendak digantung tanpa ditotok
terlebih dahulu" Justru kaulah yang bodoh, Bocah!
Makanya, jadi orang itu jangan tinggi-tinggi. Biar
otakmu tidak berjauhan dengan dengkulmu!" sungut Ki Sorogompo, seenak dengkul
saking kesalnya.
"Jadi... jadi tadi kau tertotok" Lantas, bagaimana tadi kau terlepas dari
totokan?" tanya Soma, tak mengerti. "Di sinilah letak kebodohanmu, Bocah!
Memangnya gampang melepaskan totokan nenek-nenek peot
itu" Hampir seharian aku berusaha melepaskan diri
dari totokan, namun belum juga berhasil. Dan sewaktu tubuhku kau pondong itulah,
baru aku dapat memunahkan totokan Bunda Kurawa!" jelas Ki Sorogompo sengit.
"Dasar bocah geblek, tetap saja geblek! Murid siapa sih kau sebenarnya?"
Saking kesalnya dimaki-maki tanpa sadar Soma
menggaruk-garuk kepala.
"Orang tua tak tahu diri! Sudah ditolong, masih pakai memaki-maki lagi!"
Meski mulut Soma berkata demikian, namun se-
benarnya dalam hati mengakui kecerdikan orang tua
bertubuh gempal di hadapannya.
"Oalaaah...! Entah mimpi apa aku semalam. Kok
sial benar nasibku hari ini. Sudah digantung seharian, pakai bertemu bocah
geblek lagi. Hey... Bocah geblek
di dunia! Apa kau pikir, kaukah yang telah menolong-
ku?" ejek Ki Sorogompo.
"Sudah pasti! Pakai tanya-tanya lagi!" sahut So-ma, tegas.
"Cccck, ccck...! Tak kusangka. Sudah geblek,
angkuh lagi! Memalukan sekali!" ejek Ki Sorogompo seraya menggeleng-geleng.
"Kalau memang kau yang telah menolongku dari kematian di atas tali gantungan
itu, hm...! Sungguh mana penolongnya kau, Bocah.
Berdasarkan apakah kau berani bicara demikian, he"!
Apakah kau lupa, siapa Sang Maha Penolong Yang Se-
benarnya..?"
"Aku.... Aku...," jawab Soma gelagapan. "Ah, sudahlah! Pusing aku mendengar
omonganmu. Pokok-
nya, akulah yang tadi menolongmu dari tiang gantun-
gan. Titik!"
Meledaklah tawa Ki Sorogompo mendengar
omongan Soma kali ini. Air matanya sampai keluar sa-
king gelinya. Namun buru-buru tawanya dihentikan
ketika tiba-tiba terdengar suara gaduh murid-murid Istana Ular Emas yang memang
diperintahkan untuk
menangkap Ki Sorogompo kembali.
"Hey...! Mereka di sana! Cepat, tangkap mereka!"
teriak salah seorang murid Istana Ular Emas lantang.
"Ah...! Gara-gara kau, bisa kacau semua renca-
naku!" sungut Soma kesal seraya menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya
cepat berkelebat di kegelapan malam.
"Hey, kau mau ke mana" Sebaiknya cepat ikut
aku kalau kau masih ingin melihat terbitnya matahari besok!" teriak Ki Sorogompo
cemas. "Siapa pedulikan omonganmu, Manusia Penge-
cut" Toh, masih ada Sang Maha Penolong Yang Sebe-
narnya. Mengapa mesti takut?" sahut Soma kesal dari
balik kegelapan malam.
"Sontoloyo! Bukannya aku pengecut, tahu"! Ju-
stru aku mau memanggil teman-teman untuk mem-
bantu kita. Tapi, kau malah...! Ah, sudahlah! Rasakan saja akibat kenekatanmu
itu, Bocah! Sekarang aku
mau pergi. Titik!" teriak Ki Sorogompo.
Sehabis berkata begitu, Ki Sorogompo pun cepat
menggerakkan tangannya, memukul roboh sebatang
pohon bambu di sampingnya. Kemudian di saat batang
pohon bambu itu hendak roboh ke samping, tangan-
nya bergerak untuk membantu pohon itu agar jatuh di
atas parit seberang sana.
Prakkk! Prakkk!
Pohon bambu itu jatuh tepat di atas parit sebe-
rang. Ki Sorogompo cepat mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuhnya, meniti pohon bambu menuju parit
seberang. Dan begitu sampai, puluhan murid Istana
Ular Emas telah sampai di tempat Ki Sorogompo semu-
la. Ki Sorogompo tertawa bergelak. Lalu, buru-buru
batang bambu yang melintang di atas parit ditariknya.
Sehingga, puluhan murid Istana Ular Emas itu tidak
dapat melanjutkan pengejaran.
"Selamat tinggal, Bocah Geblek! Hati-hatilah terhadap iblis-iblis cantik itu!"
teriak Ki Sorogompo sebelum berkelebat cepat di kegelapan malam.
Siluman Ular Putih yang tadi melihat bagaimana
Ki Sorogompo menyeberangi parit ular emas, sejenak
menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut-kerut.
Entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Ugh...! Bodohnya aku! Mengapa sewaktu menye-
berangi parit ular emas itu aku tidak menggunakan ca-ra seperti yang telah
dilakukan orang tua gempal itu tadi" Ugh...! Bodohnya aku...!" rutuk Soma seraya
te- puk jidatnya sendiri.
Kemudian ketika murid-murid Istana Ular Emas
itu mulai mengalihkan pengejarannya terhadap di-
rinya, pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu pun buru-buru menjejakkan kakinya. Seketi-
Lambang Naga Panji Naga Sakti 11 Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai Penghuni Telaga Iblis 1
^