Pengasuh Setan 2
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan Bagian 2
berapa orang anak buah Juragan Lanang dengan
tawa cerianya. "Sudah, Putri! Jangan terus bermain-main!
Orang-orang seram ini harus secepatnya menda-
pat hukuman!" ujar Soma tiba-tiba.
Dan tahu-tahu, tubuh Soma telah berkeleba-
tan cepat sekali. Begitu cepatnya, sehingga sulit diikuti pandang mata Juragan
Lanang dan kesepuluh orang anak buahnya.
Tuk! Tuk! Putri-Manja samar-samar dapat menangkap
sosok tubuh Siluman Ular Putih sudah bergerak
cepat, menotok kaku tubuh Juragan Lanang dan
kesepuluh anak buahnya.
"Ah.... Kau mengganggu kesenanganku saja,
Soma! Kenapa mereka dilumpuhkan?" rajuk Putri Manja. Kedua bibirnya yang merah
merekah memberengut. Sepasang matanya yang indah bak
bintang kejora memandang Juragan Lanang dan
kesepuluh orang anak buahnya, seperti tak puas.
"Aku benci kau, Soma! Aku benci!" jerit Putri Manja. Kakinya dibanting-banting
ke tanah. Dan belum sempat Soma mencegah, tahu-tahu Putri
Manja telah berkelebat cepat meninggalkan kedai
makan. "Tunggu, Putri! Aku.... Aku...!"
Soma tak meneruskan kalimatnya, karena
gadis itu tak mungkin dapat dikejar. Apalagi ia
harus secepatnya menyelesaikan urusan dengan
Juragan Lanang berikut kesepuluh orang anak
buahnya yang harus mendapat hukuman setim-
pal atas perbuatan mereka yang tega-teganya
memeras penduduk kampung. Untuk itu Siluman
Ular Putih harus membangunkan lelaki pemilik
kedai itu. Diguncang-guncangkannya tubuh Su-
kiat, namun tak juga siuman. Soma jadi kesal se-
kali. Sejenak matanya melirik ke atas meja tempat ia makan tadi. Pemuda itu
bangkit, mengambil
secangkir air. Lalu diguyurkannya air dalam
cangkir ke wajah lelaki pemilik kedai.
Pyarr...! "Uft.... Eh...! Ada apa" Kenapa kau meng-
guyur ku?" teriak Sukiat gelagapan.
"Cepat bangun! Kau harus secepatnya mela-
porkan perbuatan Juragan Lanang dan kesepuluh
orang anak buahnya itu pada kepala desa di sini.
Atau, kalau perlu laporkan saja pada adipati! Me-
reka harus mendapat hukuman setimpal! Biar ti-
dak lagi mengganggu keamanan penduduk kam-
pung. Juga kau! Kuingatkan sekali lagi! Kalau
kau masih kikir, apalagi enggan menolong orang
yang sangat membutuhkan, aku tak akan segan-
segan lagi menggantungmu di tengah pasar! Biar
semua tahu bahwa kau juga orang pengecut!
Mengerti?" ujar Soma, tegas.
"Ya ya ya...! Aku mengerti!" sahut Sukiat, ketakutan.
"Kalau sudah mengerti, cepat bangun! Dan,
laksanakan apa yang kuperintahkan!"
"Baik"
Begitu beranjak bangkit, Sukiat sangat ter-
kejut melihat tubuh Juragan Lanang dan kesepu-
luh anak buahnya kaku tak dapat bergerak. Lela-
ki pemilik kedai itu tidak tahu, apa yang telah terjadi pada mereka. Ia ingin
bertanya pada Soma.
Namun sayang, pemuda itu sudah tak ada di
tempatnya. "Celaka! Benar-benar celaka! Sudah kedai
porak-poranda tidak karuan, masih disuruh ke
sana ke sini! Huh! Apes benar nasibku hari ini...!"
*** Soma terus berkelebat cepat ke arah Putri
Manja tadi menghilang. Tidak tanggung-tanggung
lagi segera dikerahkannya ilmu lari cepatnya
'Menjangan Kencono.'. Hingga tak heran kalau da-
lam beberapa kelebatan saja sosok bayangannya
telah jauh dari kedai makan.
Sambil terus berkelebat, mata Soma tak hen-
ti-hentinya memperhatikan keadaan sekitarnya.
Pemuda itu berharap gadis manja itu mau
menemuinya. Namun sayang, ketika tiba di ham-
paran sawah kering, ia tidak menemukan siapa-
siapa. Yang terlihat hanya hamparan tanah kering
yang retak-retak di sana sini.
Soma menggedumel.
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini" Kena-
pa tadi aku mengganggu kesenangan gadis manja
itu" Huh! Dasar sial! Juga goblok! Mau berteman
gadis manja itu saja tidak terkabul. Malah ia ka-
bur. Sial! Sial!"
Soma menggerutu tak karuan. Tak henti-
hentinya jidatnya ditepuk-tepuk sendiri, saking
kesalnya. "Terus terang aku sangat mencemaskan ke-
selamatannya. Tampaknya, ia belum berpengala-
man. Sikapnya masih lugu. Mungkin baru saja
turun gunung. Ah...! Aku harus secepatnya me-
nemukan gadis itu. Tapi, kenapa aku jadi mele-
dak-ledak begini" Apakah... apakah aku mencin-
tainya?" tanya hati murid Eyang Begawan Kamasetyo. "Bodo, ah! Mau jatuh cinta
kek, tidak kek!
Peduli setan! Pokoknya aku harus segera bertemu
gadis itu!"
Habis bersungut-sungut begitu Siluman Ular
Putih segera berkelebat cepat ke barat. Sementara sembari terus berkelebat,
pandang matanya terus
jelalatan ke sana kemari.
Lama berputar-putar mencari Putri Manja,
akhirnya Soma menghentikan langkahnya dengan
hati kesal. Ia tetap tak menemukan gadis manja
itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang" Gadis itu tak kutemukan. Ah...!
Daripada bingung mencari gadis tengil itu mendingan pergi ke mana aku suka,"
gumam hati Soma.
Namun belum sempat Siluman Ular Putih
melangkah, mendadak....
Wuutt...! Bletakkk! "Aaah...!"
Soma terpekik kaget ketika sebuah benda
menghantam jidatnya. Kepalanya kontan berputar
dengan tubuh limbung ke samping. Lalu....
Brukkk! Soma jatuh berdebam di tanah. Apa yang
terjadi" 5 Belum begitu lama Siluman Ular Putih me-
ninggalkan kedai makan, seorang lelaki tua renta
tengah berdiri tegak di halaman depan kedai milik Sukiat. Usianya sulit sekali
ditafsirkan. Rambutnya memutih tergerai di bahu. Alis mata dan bulu
mata juga berwarna putih. Tubuhnya kurus ker-
ing seolah tak bertenaga. Pakaiannya berwarna
hitam kumal. Siapakah sebenarnya kakek renta berwajah
menyeramkan ini" Ia tak lain dari Pengasuh Se-
tan. Seorang tokoh sesat dari Gunung Sindoro
yang ingin menuntut balas atas kematian murid-
nya yang berjuluk Penguasa Alam.
Setelah hampir sehari semalam melakukan
perjalanan, penciuman Pengasuh Setan menang-
kap bau anyir yang sangat dikenalnya. Bau anyir
darah si Penguasa Alam! Sungguh hebat bukan
main penciuman tokoh sesat dari puncak Gunung
Sindoro itu. Meski Penguasa Alam telah tewas be-
berapa pekan lalu, namun hidungnya masih
mampu mencium darah muridnya! Darah yang
barangkali masih melekat pada tubuh atau senja-
ta si pembunuh muridnya!
Untuk beberapa saat hidung Pengasuh Setan
terus mengendus-endus. Sayangnya, angin ber-
hembus cukup kencang. Hal ini membuat hatinya
kesal sekali. "Keparat! Aku yakin kalau pembunuh mu-
ridku baru saja berada dari tempat ini. Tapi
sayang, angin berhembus cukup kencang hingga
aku sulit melacak jejak pembunuh muridku.
Hm...!" geram Pengasuh Setan dalam hati.
Lelaki tua sakti ini segera mendekati kedai
makan. Hatinya yakin, pembunuh muridnya baru
saja meninggalkan kedai makan. Untuk itu harus
secepatnya diselidiki kalau tidak ingin kehilangan buruan.
Saat itu Sukiat masih terpana heran melihat
tubuh Juragan Lanang beserta kesepuluh anak
buahnya kaku tak dapat bergerak. Bagaimana
mungkin tubuh mereka kaku tak dapat bergerak"
"Ih...! Jangan-jangan mereka terkena sihir
pemuda sinting itu" Aku... aku harus secepatnya
melaporkan Juragan Lanang pada Ki Lurah kalau
tidak ingin kaku seperti mereka. Hih...!" kata Sukiat, bergidik.
Sukiat buru-buru berbalik. Dan baru saja
hendak melangkah, di hadapannya kini telah ber-
diri Pengasuh Setan dengan sepasang mata men-
corong tajam. "Si.... Siapa kau, Orang Tua?" tanya Sukiat, makin bergidik.
Kaku sekali lidah lelaki pemilik kedai itu ka-
la menegur Pengasuh Setan. Kedua kakinya pun
sulit sekali digerakkan, seolah menancap di tem-
pat. "Berani kau buka-mulut sebelum kutanya, he"!" desis Pengasuh Setan, garang.
Selangkah demi selangkah kakinya mulai mendekati Sukiat.
Sukiat hanya mampu menggeleng-gelengkan
kepala. Tanpa sadar kedua kakinya bergerak
mundur. Mungkin baru kali ini sajalah lelaki itu
melihat sosok manusia yang demikian menye-
ramkan. Dalam hatinya ia mengira sosok lelaki
tua renta di hadapannya adalah arwah gentayan-
gan yang sering mengganggu Dusun Karang Ko-
bar. "Aku mencium bau darah muridku di tempat ini. Cepat katakan! Siapa di
antara kalian yang telah membunuh muridku" Jawab!" bentak Penga-
suh Setan. "Iya, iya!" Sukiat gugup dan tersendat.
"Apa?"
"Aku... aku tid... tidak tahu."
"Apa" Kau tidak tahu?"
Sepasang mata Pengasuh Setan membelalak
liar. Rahangnya bergemeletukkan membuat lelaki
pemilik kedai makin ketakutan.
"Aku.... Aku tidak tahu. Sungguh aku tidak
tahu siapa orang yang kau maksudkan."
"Bedebah! Manusia tak berguna. Aku jelas
mencium bau muridku. Kau masih bilang tidak
tahu, heh"!" cecar Pengasuh Setan.
Pengasuh Setan mengendus-enduskan hi-
dung. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mengiku-
ti bau darah muridnya yang hanya dapat dicium
oleh hidungnya. Sama sekali hatinya tak terusik
oleh adanya Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang berdiri kaku di tempat itu.
Kening Sukiat berkerut heran. Ia masih be-
lum mengerti yang dimaksudkan. Tanpa sadar
hidungnya pun ikut-ikutan mengendus.
Tiba-tiba paras Pengasuh Setan menegang.
Bau darah muridnya jelas tercium hidungnya.
Maka bak seekor anjing pelacak, kakinya mulai
bergerak mengikuti arah bau anyir darah murid-
nya hingga keluar kedai, dan terus mengikutinya
sampai kejauhan.
Sukiat hanya bisa melongo. Hampir saja ma-
lapetaka yang lebih besar akan menimpa ke-
dainya bila salah bertindak. Untung saja ia hanya diam. Dan sosok menakutkan
Pengasuh Setan pun telah jauh meninggalkan kedai.
"Busyet! Manusia apa memedi sawah"! Kok
seram amat. Hih...! Kukira aku harus segera me-
laporkan Juragan Lanang ini pada Ki Lurah. Tapi,
bagaimana dengan Juragan Lanang dan kesepu-
luh orang anak buahnya ini" Ah...! Baiknya seka-
lian saja kulaporkan. Beres!" gumam Sukiat masih terpana membayangkan sosok
Pengasuh Se- tan yang amat menyeramkan.
Sebelum meninggalkan kedai, sejenak sepa-
sang mata Sukiat yang sipit sempat memperhati-
kan tubuh Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang masih tegak kaku di tempatnya.
Lelaki ini tidak tahu, apa yang tengah menimpa
orang-orang itu. Kepalanya hanya menggeleng-
geleng sebentar sebelum akhirnya meninggalkan
kedai. *** "Sukiat! Kau lari-lari seperti dikejar setan.
Ada apa?" Sukiat buru-buru menghentikan langkah ke-
tika tiba di depan seorang lelaki tua yang me-
nyambutnya. Napasnya masih memburu. Seben-
tar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang.
"Tenang, Sukiat! Ada apa" Apa anak buah
Juragan Lanang membuat onar kedaimu?" ujar
lelaki berusia enam puluh lima tahun yang diken-
al sebagai Ki Lurah.
Sukiat menelan ludah. Ditatapnya wajah Ki
Lurah yang gagah penuh kearifan. Entah kenapa
rasa takut yang mendera hatinya mendadak ber-
kurang begitu berhadapan dengan lelaki gagah
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpakaian surjan lengkap di hadapannya.
"Ki Lurah! Aku... aku mau lapor. Memang
Juragan Lanang dan anak buahnya membuat
onar di kedaiku. Tapi yang lebih penting, baru sa-ja kedaiku kedatangan memedi
sawah, Ki," lapor Sukiat.
"Ah...! Yang benar saja" Masa' ada memedi
sawah mengganggu kedaimu" Jangan ngawur,
Sukiat!" sergah Ki Lurah seraya mengumbar senyum.
"Benar, Ki. Baru saja memedi sawah itu da-
tang ke kedaiku. Wajahnya menyeramkan sekali.
Kalau bukan memedi sawah atau arwah gen-
tayangan, mana mungkin ada manusia demikian
menyeramkan" Matanya merah. Wajahnya pucat
mirip mayat. Hiyyy...! Pokoknya menyeramkan
sekali! Apalagi, katanya ia mencium bau darah
muridnya. Apa itu tidak menakutkan" Mana
mungkin ia mampu mencium darah seseorang ka-
lau bukan setan?" papar Sukiat.
"Sudah, sudah! Bicaramu makin ngelantur
tidak karuan. Sebaiknya mari kita membicarakan
tentang Juragan Lanang dan anak buahnya yang
membuat onar di kedaimu itu. Sudah lama aku
memang ingin meringkusnya. Apalagi sepak ter-
jangnya kali ini memang sudah keterlaluan. Hayo,
sekarang tunjukkan di mana Juragan Lanang be-
rada! Aku ingin menangkapnya, Sukiat," tukas Ki Lurah, tak sabar.
"Me..., mereka ada di kedaiku. Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi. Tubuh
Juragan La- nang dan kesepuluh anak buahnya kaku tak da-
pat bergerak. Aneh! Benar-benar aneh! Baru kali
ini aku melihat kejadian ganjil ini, Ki," sahut Sukiat bersemangat.
"Hm...! Tubuh Juragan Lanang dan anak
buahnya kaku tak dapat bergerak?" gumam Ki
Lurah seraya mengangguk-angguk.
"Benar, Ki."
"Pasti ada seorang pendekar sakti yang telah melumpuhkan mereka. Aku harus cepat
menangkapnya...," gumam Ki Lurah nyaris tak terdengar.
"Apa" Kau tadi bilang apa, Ki?"
"Sudah, sudah! Sekarang cepat ikut aku!"
Dengan langkah lebar Ki Lurah keluar dari
halaman rumah. Sedangkan Sukiat mengekor da-
ri belakang. Beberapa orang penduduk kampung
yang sedang berkumpul di depan rumah Ki Lurah
segera diperintahkan untuk mengikuti.
Sukiat yang berjalan di samping Ki Lurah
menegakkan dadanya gagah. Seolah-olah dirinya-
lah yang paling berjasa. Senyumnya pun dibuat
penuh wibawa. Satu persatu, penduduk lain ke-
luar dari rumah sepanjang jalan yang dilalui Ki
Lurah dan Sukiat. Mereka juga ingin tahu, apa
yang terjadi. Dari kasak-kusuk itu, mereka tahu
kalau Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang selama ini meresahkan, telah tak-
luk tak berdaya di kedai milik Sukiat.
Maka berbondong-bondong pula mereka
mengikuti langkah Ki Lurah dan Sukiat. Diiringi
sorak sorai para penduduk, Sukiat makin mene-
gakkan dadanya.
Sebentar kemudian, kini mereka tiba di de-
pan kedai. "Nah itulah orangnya. Dengan dibantu seo-
rang pendekar muda tadi, aku berhasil melum-
puhkan Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya!" tunjuk Sukiat, bangga. Kakinya terus melangkah memasuki kedai.
Begitu tiba di dalam, Ki Lurah tidak meng-
gubris ucapan sok pahlawan yang dilontarkan
Sukiat. Ia justru lebih tertarik melihat tubuh Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang kaku tak dapat bergerak. Sekali lihat saja ia tahu kalau perbuatan itu hanya
dilakukan oleh seorang pendekar muda. Sama sekali bukan oleh
Sukiat! "Cepat, Ki! Seret manusia-manusia pembuat
onar ini ke hadapan adipati! Aku muak sekali me-
lihat tampang-tampang mereka!" sungut Sukiat.
"Iya. Tanpa kau suruh pun aku akan mela-
kukannya, Sukiat. Diamlah di tempatmu!" ujar Ki Lurah agak jengkel melihat
tingkah Sukiat yang
berlebihan. Sukiat terdiam. Namun matanya melotot le-
bar. Ki Lurah tidak mempedulikan. Segera dipe-
rintahkannya beberapa orang penduduk kam-
pung untuk segera mengikat Juragan Lanang dan
kesepuluh orang anak buahnya. Mereka pun se-
gera diseret untuk dibawa ke kadipaten.
Ketika beberapa orang penduduk kampung
mulai menarik Juragan Lanang dan kesepuluh
anak buahnya keluar kedai, Sukiat malah kecewa
berat. Bibirnya yang dower manyun beberapa jari.
"Kau juga boleh ikut, Sukiat. Kaulah sak-
sinya!" seru Ki Lurah.
"Yayaya...! Aku memang harus ikut. Aku bu-
kan saja sebagai saksi, melainkan juga yang me-
nangkap Juragan Lanang berikut anak buahnya!"
6 Sesungguhnya apa yang terjadi terhadap
Soma" Siapa yang telah membokongnya" Bukan-
kah pemuda itu berkepandaian tinggi" Lalu kena-
pa mudah sekali diperdayai"
Jawabnya hanya satu. Sudah pasti si pem-
bokong memiliki kepandaian yang jauh lebih ting-
gi daripada Siluman Ular Putih. Kalau tidak, mus-
tahil murid Eyang Begawan Kamasetyo dapat se-
mudah itu diperdayai!
Dasar nasib lagi sial. Sudah dibokong lawan,
tulang ekor si pemuda pakai mencium batu lagi.
Maka makin hebat saja Soma meringis kesakitan.
Kambing yang mau beranak saja masih kalah se-
ru dibanding seringaian Siluman Ular Putih.
"Babi buntung! Kambing congek! Seenak ji-
datnya saja membokong orang!" maki Soma ka-
lang kabut pada sosok yang tahu-tahu telah ber-
diri di depannya. Kedua telapak tangannya sibuk
mengelus-elus pinggang. Namun sebentar kemu-
dian tangannya sudah mengelus-elus jidatnya
yang berdenyut.
Sosok di hadapan Soma terkekeh senang.
Dia adalah seorang lelaki tua tak bergigi. Bajunya berbentuk jubah kuning yang
kedodoran sampai
lutut. Kepalanya plontos. Hanya alis, bulu mata,
dan jenggotnya yang memutih menandakan kalau
usianya telah lanjut. Tubuhnya tinggi kurus. Se-
pasang matanya yang kelabu bersinar jenaka.
"Hehehe...! Baru kali ini kulihat ada pemuda setolol kau, Monyet Buduk. Apa
begitu ya caranya
mengejar-ngejar gadis" Memalukan! Tak tahu
adat! Pemuda tolol macam kau memang patut di-
permainkan gadis cantik!" kata kakek ini terkekeh gembira. Ia tadi memang
melihat Soma tengah
mengejar-ngejar Putri Manja.
Soma terperangah. Bukan saja kesal dirinya
dibokong, melainkan juga kesal mendengar eje-
kan lelaki tua aneh di hadapannya. Belum lagi
melihat sikap si kakek yang tengik. Kalau menu-
rutkan perasaannya, ingin rasanya ia mendam-
prat. "Tidak ada hujan, tidak ada angin, kenapa kau menyerangku, Kek. Siapa kau
sebenarnya?"
kata Soma hati-hati.
"Jangan banyak tanya! Cepat bangun! Siapa
sudi berkenalan denganmu!" semprot si kakek
kasar. "Sial! Seharusnya aku yang marah. Bukan
dia!" gerutu Soma dalam hati.
Siluman Ular Putih hanya bisa menggeleng-
geleng. Namun wajahnya tetap dipasang kalem.
"Baiklah kalau kau tidak mau menyebutkan
namamu. Tapi setidak-tidaknya tolong jelaskan,
mengapa kau menyerangku" Apa salahku, Kek?"
tuntut Siluman Ular Putih, seraya melompat ban-
gun dengan mulut meringis.
Tangan si pemuda mengebut-ngebut pakaian
sebentar, lalu menatap orang tua di hadapannya.
Cukup aneh penampilannya memang. Namun,
Soma belum tahu siapa sebenarnya orang tua di
hadapannya. "Jangan melangkah! Tetap di tempatmu! Aku
tak sudi mencium bau keringatmu!" ujar si kakek, saat Siluman Ular Putih hendak
bergerak melangkah.
"Baik, baik!" sahut Soma, seraya menahan langkahnya.
"Nah begitu, Monyet Buduk. Tetap di tem-
patmu! Aku ingin memberimu hadiah."
"Apa yang ingin kau lakukan, Kek?"
"He he he...! Diam saja kau! Jangan banyak
tanya! Seharusnya kau mengucapkan terima ka-
sih. Bukannya cerewet seperti ini. Jarang aku
memberikan hadiah pada seseorang. Namun, kali
ini kau beruntung."
Habis berkata, lelaki tua aneh itu segera me-
rogoh saku jubahnya. Begitu tangan itu tercabut,
Soma terkesiap. Apa yang diambil orang tua di
hadapannya membuat keningnya berkerut. Di
tangan si kakek tampak sebuah nampan kecil
dengan beberapa cekungan seperti bentuk mai-
nan congklak dan sebuah kuas. Lalu tanpa
menghiraukan keheranan Soma, tangan kanan-
nya yang memegang kuas segera mengaduk-aduk
cekungan-cekungan kecil di dalam nampan.
Kening Soma makin berkerut heran. Kuas di
tangan orang tua di hadapannya itulah yang tadi
mencium jidatnya. Panjangnya hanya sejengkal
dengan lingkaran tengah tak lebih dari setengah
kuku. Tapi saat menghantam jidatnya tadi terasa
bagai sebuah balok besar.
"Slompret! Sebenarnya siapa orang tua di ha-
dapanku ini" Apa yang ingin ia lakukan?"
Soma terus bertanya-tanya dalam hati. Ha-
tinya penasaran sekali, ingin tahu siapa kakek
ompong di hadapannya itu"
"Bersiap-siaplah menerima hadiahku, Mo-
nyet Buduk! Sekarang cepat kau..."
"Maaf, Kek!" potong Soma dengan sangat
menyesal, terpaksa aku tak dapat menerima ha-
diahmu." "Apa" Kau menampik, Monyet Buduk?" sen-
tak si kakek ompong, gusar. Hidungnya yang pe-
sek kembang kempis. "Tidak bisa! Siapa pun juga tidak bisa menolak hadiah yang
kuberikan. Tetap
di tempatmu. Dan, jangan banyak tanya!"
Soma sebenarnya ingin membantah. Namun
belum sempat membuka mulut, mendadak kuas
di tangan si kakek ompong yang telah berlumuran
cat telah menyerang dirinya. Tentu saja Soma ti-
dak sudi tubuhnya dicorat-coret. Maka seketika
Siluman Ular Putih segera berkelit ke samping.
"Bodoh! Tetap di tempatmu! Apa kau tak in-
gin menerima hadiahku, he"! Ingat! Seharusnya
kau berterima kasih padaku, karena aku akan
memberimu hadiah. Tapi kau malah bertingkah!
Hayo, cepat tetap di tempatmu!" hardik si kakek ompong.
"Enak saja! Badan mau dicorat-coret kok
disuruh berterima kasih. Beruntung lagi katanya.
Huh!" dengus hati Siluman Ular Putih kesal.
"Kalau kau tetap bersikeras menolak ha-
diahku, terpaksa aku akan memaksamu, Monyet
Buduk." "Kau sungguh keterlaluan, Kek. Sudah me-
nyerang kepalaku, sekarang masih mau menco-
ret-coret tubuhku. Tentu saja aku menolak, Kek."
"Bagus! Mau tidak mau, aku tetap akan
memberimu hadiah," tandas si kakek ompong seraya menyerang Siluman Ular Putih
dengan kuas berlumur darah.
Kesabaran Siluman Ular Putih pun habis. Ia
kini tidak lagi sekadar menggerutu, melainkan ju-
ga sudah mencari maki saat diserang begitu. Na-
mun anehnya kakek ompong itu hanya terkekeh
senang. Sementara kuas di tangan kanannya te-
rus memburu tubuh Siluman Ular Putih yang
hanya berusaha berkelit
' Sontoloyo! Siapakah sebenarnya kakek om-
pong ini" Kenapa ia bernafsu sekali memberiku
hadiah" Ah...! Ya, ampun! Dia... dia...!"
Mendadak Siluman Ular Putih memekik da-
lam hati. Kini ia teringat cerita gurunya, Eyang
Begawan Kamasetyo sewaktu masih di puncak
Gunung Bucu. "Tunggu, Kek! Apakah kau yang bergelar Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding dari Goa Bedakah?"
cegah Siluman Ular Putih, berharap agar Pelukis
Sinting Tanpa Tanding yang sebenarnya masih
terhitung sahabat dekat eyangnya itu mau meng-
hentikan perbuatan sintingnya.
Kakek ompong yang ternyata bergelar Pelu-
kis Sinting Tanpa Tanding sempat menghentikan
serangannya seraya terkekeh senang.
"He he he...! Meski kau telah mengenalku,
bukan berarti aku harus mengurungkan membe-
rimu hadiah. Cepat diam di tempatmu!" ujar si kakek.
Soma memang tetap diam di tempatnya, na-
mun kali ini malah menelangkupkan kedua tela-
pak tangannya di depan hidung penuh hormat.
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terimalah hormatku, Kek! Aku yang bodoh
ini adalah murid sekaligus cucu Eyang Begawan
Kamasetyo dari puncak Gunung Bucu, Kek," ucap Soma.
"Hm...! Bagus! Dasar bodoh, tetap saja bo-
doh. Kau sudah mengakuinya sendiri. Apa kau
pikir kalau aku tahu kau murid sekaligus cucu
sahabatku, aku harus mengurungkan memberi-
mu hadiah"! Tidak! Dengan dalih apa pun, aku
akan tetap memberimu hadiah. Seperti tadi aku
memanggil, aku akan memberimu hadiah lukisan
seekor monyet buduk di dadamu! Cepat tetap di
tempatmu! Dan bila kali ini kau bertingkah, ter-
paksa aku harus melumuri sekujur tubuhmu
dengan cat ini!"
Siluman Ular Putih menggaruk-garukkan
kepalanya. Bingung. Sulit memang menghadapi
kakek sinting itu. Dia yang biasanya bersikap ug-
al-ugalan, kini mati kutu dibuatnya.
"Jangan dong, Kek! Masa' kau tega melumuri
tubuh cucumu sendiri dengan cat," rayu Soma.
"Tutup mulutmu, Monyet Buduk! Kau pikir
aku luruh dengan rayuan gombalmu itu, he"!"
hardik Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Tapi... tapi aku tidak mau tubuhku dicoreng moreng dengan catmu, Kek."
"Itu berarti aku harus memaksamu!"
Memang percuma saja Siluman Ular Putih
meladeni kakek sinting itu. Bagaimanapun berki-
lah, tetap saja si kakek mendesaknya.
"Hm... lebih baik kutinggalkan saja...."
Habis menggumam begitu, Siluman Ular Pu-
tih berbalik dan berkelebat cepat.
"Hey...! Tunggu! Kau tidak boleh meninggal-
kan ku! Aku belum memberimu hadiah!" teriak si kakek.
Dengan sekali menghentakkan kaki ke ta-
nah, tahu-tahu tubuh tinggi kurus Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding telah berkelebat cepat menge-
jar Siluman Ular Putih. Dan hanya dalam bebera-
pa kali menghentakkan kaki, tokoh sakti itu telah berdiri tegak di hadapan
Siluman Ular Putih.
Bahkan bukan itu saja. Begitu berada di hadapan
murid Eyang Begawan Kamasetyo, kuas di tangan
kanannya telah digerakkan.
Wuttt...! "Heit! Tidak kena!" ejek Soma cepat berkelit ke samping.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus membu-
ru. Bahkan gerakan kuas di tangan kanannya
semakin cepat. Hal ini tentu saja membuat Silu-
man Ular Putih kewalahan dibuatnya. Berkali-kali
tubuhnya harus berjumpalitan ke sana kemari
menghindari serangan-serangan kuas Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Tapi sayang, berkali-kali
pula tubuh Siluman Ular Putih tergores kuas mi-
lik lelaki tua aneh dari Goa Bedakah itu.
Srattt! Srattt!
"Sial...!"
Siluman Ular Putih menggerutu kesal dari
guratan-guratan kuas di tangan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding, samar-samar kini mulai memben-
tuk kepala seekor monyet di dadanya.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang. "Ah, tidak percuma rupanya aku. Lukisanku ternyata masih cukup lumayan.
Kau sungguh beruntung, Monyet Buduk. Tapi, tunggu dulu. Ada
beberapa bagian yang belum sempurna," kata si kakek ompong ini.
"Beruntung kepalamu!" umpat Soma, mem-
batin. "Badan dicoreng moreng begini, dibilang beruntung. Huh...! Dasar tua
bangka sinting! Kurang kerjaan!"
Siluman Ular Putih terus menyumpah sera-
pah dalam hati. Tindakan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding benar-benar sudah melampaui batas.
Mana sudi bangkotan tua dari Goa Bedakah itu
dibiarkan mempermainkan dirinya" Meski Pelukis
Sinting Tanpa Tanding adalah sahabat dekat
eyangnya, namun Siluman Ular Putih tetap tidak
dapat menerima tindakan yang merendahkan di-
rinya itu. Kini Siluman Ular Putih tidak lagi hanya
menghindar begitu melihat kuas di tangan Pelukis
Sinting Tanpa Tanding kembali memburu. Ia ha-
rus bertindak. Hadiah sinting dari tua bangka
sinting itu harus dihentikan. Maka kini kedua
tangannya mulai mengibas untuk memapak.
Plakkk! Plakkk!
Soma berhasil menangkis tangan Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Namun anehnya, tangan-
nya sendiri yang malah bergetar hebat. Tubuhnya
terjajar beberapa langkah ke belakang. Kesempa-
tan inilah segera dimanfaatkan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Sambil terkekeh-kekeh senang
kembali kuas di tangannya bergerak cepat meng-
gores dada Siluman Ular Putih beberapa kali.
Srattt! Srattt!
Siluman Ular Putih terperangah. Matanya
makin membelalak lebar saat melirik ke dada.
Gambar seekor monyet kurus mulai terlihat nyata
di dadanya. Hatinya geram bukan main. Kalau sa-
ja tua bangka di hadapannya bukan sahabat
eyangnya, sudah pasti akan dibalasnya kekuran-
gajaran Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Sementara Pelukis Sinting Tanpa Tanding
malah makin terkekeh senang. Ujung kuas di
tangan kanannya dituding-tudingkannya ke arah
Siluman Ular Putih.
"Ya ya ya...! Cukup bagus. Kukira kau me-
mang tak ubahnya seperti gambar lukisanku di
dadamu, Monyet Buduk. Sekarang, kau boleh
pergi! Eh, tunggu! Ada sesuatu yang ingin kuta-
nyakan Bocah. Apakah kau pernah melihat Pen-
gasuh Setan?" kata Pelukis Sinting Tanpa Tanding tiba-tiba mengubah alur
pembicaraan. Siluman Ular Putih yang sedang mengkelap
mana sudi menjawab pertanyaan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Soma hanya menggerutu kesal,
lalu menggeloyor pergi seenaknya.
"Monyet buduk! Kau tidak boleh meninggal-
kanku begitu saja. Kau harus menjawab perta-
nyaanku baru kau boleh pergi!" teriak Pelukis Sinting Tanpa. Tanding seraya
berkelebat, meng-hadang jalan Siluman Ular Putih.
Soma melotot garang. Namun diam-diam ha-
tinya jadi heran. Buat apa bangkotan tua itu
mencari Pengasuh Setan" Ia memang pernah
mendengar tentang Pengasuh Setan dari Eyang
Bromo. Dan baru sekarang disadari kalau Penga-
suh Setan adalah musuh besar Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. (Untuk lebih jelasnya baca serial
Siluman Ular Putih dalam episode : "Penguasa Alam" dan "Sengketa Takhta
Leluhur").
"Meski tahu, belum tentu aku sudi menja-
wab pertanyaanmu, Kakek Ompong!" sahut Soma, seenaknya.
"Apa" Kau tidak mau menunjukkan di mana
Pengasuh Setan berada, Monyet Buduk"!" sentak Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Kau sendiri yang punya keperluan. Buat
apa tanya-tanya aku segala. Tadi kau bilang, aku
bodoh. Kalau kau sendiri merasa lebih pintar, ke-
napa tidak kau tanyakan saja pada setan-setan
gentayangan penghuni hutan ini. Siapa tahu me-
reka mau berbaik hati padamu!"
"Ah...! Rupanya kau kecewa dengan hadiah-
ku, ya" Tapi kupikir, hadiahku tidak buruk. Ke-
napa kau tidak mau menunjukkan di mana Pen-
gasuh Setan berada, Monyet Buduk"!" kata si kakek. "Mau kecewa kek, tidak kek.
Yang jelas, kau telah menggangguku. Karena kau masih terhitung
sahabat dekat eyangku, maka kuampuni kelan-
canganmu ini. Tapi untuk menjawab perta-
nyaanmu, aku tak sudi! Dan lagi aku memang ti-
dak tahu di mana dia berada!" sahut Soma ketus.
Habis menyahut, tanpa banyak cakap murid
Eyang Begawan Kamasetyo meninggalkan tempat
itu. Kali ini Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terpaku di tempatnya. Tak ada
keinginan lagi untuk mengejar murid Eyang. Begawan Kamasetyo.
Yang dilakukannya hanya menggumam kecil, se-
belum akhirnya berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu. 7 Siang terasa cerah, angin bertiup kencang
membuat debu-debu beterbangan. Berputar-putar
ke mana saja arah angin membawa. Pohon-pohon
pun berderak. Daun-daun berguguran. Beterban-
gan ke hamparan tanah di sekitarnya.
Dari sebelah timur Hutan Besiar Kembar
seorang lelaki tua renta berpakaian hitam lusuh
tengah berkelebat cepat ke arah putaran angin.
Hidungnya yang pesek tak henti-hentinya men-
gendus-endus bak seekor anjing pelacak.
Sebentar-sebentar lelaki tua renta yang tak
lain Pengasuh Setan memperlambat gerakan ka-
kinya dalam keadaan masih mengendus-endus.
Seolah-olah ia tidak ingin kehilangan jejak bau
anyir darah muridnya yang dari tadi terus diikuti.
Namun begitu sampai di putaran angin, Pengasuh
Setan menggeram penuh kemarahan. Mendadak,
bau darah muridnya menghilang.
Sejenak Pengasuh Setan ragu-ragu. Mung-
kinkah si pembunuh muridnya lari ke utara"
Atau ia memang terkecoh oleh angin kencang
yang berkesiur" Sebab bukan mustahil angin
kencang itu bisa menyesatkan!
Untuk beberapa saat, Pengasuh Setan hanya
terpaku di tempatnya. Ia masih belum tahu apa
yang akan diperbuat. Yang dilakukan kini hanya
menatapi debu-debu dan daun-daun kering yang
beterbangan. Sementara hatinya sangat gelisah
kalau tidak dapat menemukan pembunuh murid-
nya. Padahal, ia ingin sekali menuntut balas atas kematian muridnya. "Angin
keparat! Bukannya
membantuku, malah mengacaukanku. Aku kehi-
langan jejak bau darah muridku. Huh...!" dengus Pengasuh Setan penuh kemarahan.
Hidung peseknya kembali mengendus-endus. Namun, bau
darah muridnya hanya tercium samar-samar.
Bahkan bisa jadi ia malah akan terkecoh.
Tiba-tiba Pengasuh Setan mendongak. Langit
amat cerah di atas sana. Gumpalan-gumpalan
awan putih bergerak cepat ke utara. Tak seperti
biasanya. Angin kali ini memang cukup kencang.
Hal ini sudah biasa bila musim kemarau berke-
panjangan. Pengasuh Setan tidak tertarik lagi memper-
hatikan sekitarnya. Perhatiannya kali ini kembali tersita oleh bau darah
muridnya yang sempat
menghilang. Bau di saat tiupan angin sedikit me-
reda, tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro ini
dapat mencium bau darah muridnya. Tidak ke
utara, melainkan ke barat. Berarti pelacaknya bi-
sa diteruskan. "Jelas sekali kalau pembunuh muridku lari
ke barat. Hm...! Untung saja aku belum bertin-
dak. Kalau tadi aku tidak sabar, sudah pasti akan terkecoh. Sial! Benar-benar
sial. Hampir saja aku, terkecoh oleh tiupan angin," rutuk Pengasuh Setan dalam
hati. Dan Pengasuh Setan memang tidak ingin lagi
berlama-lama di tempat itu. Sekali menjejak ta-
nah, tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah ber-
kelebat cepat ke barat. Hidungnya yang pesek tak
henti-hentinya mengendus mengikuti bau darah
muridnya yang hanya tercium samar-samar. Na-
mun belum jauh melangkah, mendadak penden-
garannya yang tajam menangkap langkah-
langkah halus di belakangnya.
*** "Mungkin inilah yang dinamakan pucuk di-
cinta ulam tiba. Dicari-cari ke mana-mana, eh ti-
dak tahunya kutemukan di sini!"
"Kau...!"
Sepasang mata indah Putri Manja membela-
lak lebar ketika Siluman Ular Putih memergo-
kinya di sebuah sendang. Gadis ini benar-benar
tidak ingin bertemu kembali dengan pemuda sint-
ing yang telah mengganggu kesenangannya se-
waktu di kedai makan milik Sukiat. Pertemuan-
nya kali ini benar-benar membuat hatinya meng-
kelap. Bila Putri Manja merasa menyesal sekali atas
pertemuan itu, tidak demikian halnya Soma. Pe-
muda ini dari tadi sudah kesal karena tidak me-
nemukan air untuk membasuh tubuhnya. Tapi
mendadak ia jadi tersenyum senang saat mene-
mukan Putri Manja kembali di sendang Hutan
Besiar Kembar. "Ya, aku. Senangkah bertemu kembali den-
ganku?" tukas Soma gembira. Senyum manisnya
mendadak diumbar lebar. Seolah dengan senyum
itu, ia ingin memikat kecantikan gadis di hada-
pannya. "Pergi-pergi! Aku benci padamu! Aku tak in-
gin bertemu lagi dengan kau!" usir Putri Manja.
Saat itu, Putri Manja memang bermaksud
mandi. Maka begitu melihat Soma telah berada di
hadapannya, pakaiannya urung dibuka. Sedang
Soma yang berada persis di hadapannya hanya
bersiul-siul gembira. Ia tadi memang sempat me-
lihat belahan dada gadis manja di hadapannya.
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka tak heran kalau pandang matanya masih
lekat pada dua bukit kembar itu. Walau si gadis
cantik telah mengenakan pakaiannya kembali.
Putri Manja mendelik, gusar. Kesal sekali ha-
tinya diperhatikan seperti itu oleh mata Soma.
"Pergi" Cepat tinggalkan tempat ini! Aku tak sudi lagi melihat tampangmu!" usir
si gadis. Soma meringis. Sungguh tidak disangka ka-
lau Putri Manja masih marah padanya.
"Kita kan teman. Apa kita tak bisa berbaikan lagi, Putri Manja?" bujuk Soma.
"Tidak. Aku benci padamu. Kau bukan te-
manku. Pergi!" usir si gadis, sekali lagi
"Oh..., begitu. Jadi kau mengusirku" Sejak
kapan kau jadi pemilik sendang ini. Kulihat kau
mau mandi. Aku juga. Aku mengusulkan bagai-
mana kalau kita mandi bersama?" goda Soma la-gi. "Cih! Tak tahu malu! Pemuda
macam apa kau ini"! Diusir malah berkata jorok. Pergi! Pergi!"
Putri Manja gusar bukan main. Cepat dica-
butnya senjata andalan yang terselip di pinggang.
Lalu dengan kemarahan meluap, gunting di tan-
gannya telah menyerang Siluman Ular Putih.
Crik! Crikkk! "Uts...!"
Soma berkelit ke samping. Sebenarnya kalau
mau, mudah saja Putri Manja dilumpuhkannya.
Tapi si pemuda tidak ingin melakukannya. Ia ti-
dak ingin Putri Manja membenci dirinya. Ma-
kanya, otaknya kini berputar mencari akal.
"Ciaaat...!"
Crikkk! Crikkkk!
Tanpa ampun gunting di tangan Putri Manja
terus memburu tubuh Siluman Ular Putih. Malah
kali ini gadis itu tak segan-segan mengeluarkan
jurus Tarian Bidadari setelah serangan perta-
manya tadi gagal. Tentu saja hal ini membuat Si-
luman Ular Putih kewalahan dan tak mungkin
menghindar terus menerus. Bisa-bisa tubuhnya
dijadikan serpihan daging oleh gunting Putri Man-
ja. Namun untuk balas menyerang, itu lebih tidak
mungkin. Makanya meski sesulit apa pun Silu-
man Ular Putih terus berusaha menghindar.
"Tunggu, Putri! Ada ulat bulu di pundakmu!
Hiy...! Aku takut. Aku.... Aku...," pekik Siluman Ular Putih, berdusta.
Akibatnya sungguh di luar dugaan. Putri
Manja menghentikan serangannya dan langsung
berteriak-teriak kalap. Ia berjingkrak-jingkrak ketakutan. Berkali-kali ujung
gunting di tangannya
digerakkan ke pundak berusaha mengusir ulat
bulu yang menurut Soma menempel di pundak.
"Belum jatuh. Ulatnya masih menempel di
pundakmu. Malah sebentar lagi akan merayap ke
tengkuk. Hiy! Ngeri. Aku takut. Sebaiknya aku
cepat pergi dari tempat ini. Selamat tinggal!" kata Soma, terus menakut-nakuti.
"Soma...! To... tolong aku!" ratap Putri Manja, berteriak ketakutan. Wajahnya
kian pucat pasi.
"Lho" Bukankah tadi kau mengusirku" Ke-
napa sekarang aku harus menolongmu" Aku ti-
dak mau. Aku juga takut dengan ulat bulu," goda Soma. Diam-diam Soma tersenyum
senang melihat siasatnya berjalan lancar.
"Soma...! Aku tidak lagi mengusirmu. Cepat
ambil ulat bulu di pundakku!" pinta Putri Manja penuh harap.
Soma tetap jual mahal. Hatinya begitu se-
nang melihat kekalapan Putri Manja.
"Soma...! Cepat tolong aku, Soma. Aku ta-
kut...!" pinta Putri Manja memelas.
Lama-lama, Soma jadi kasihan. Kali ini Putri
Manja benar-benar mulai menitikkan air mata.
Tak mungkin gadis itu dibiarkan tersiksa lebih
lama. "Baik. Tapi ada syaratnya," kata Soma me-nyanggupi
"Iya, iya. Syarat apa pun akan kupenuhi, as-
al yang bukan-bukan," sahut Putri Manja.
"Benar?"
"Benar. Cepat ambil ulat itu!" pekik Putri Manja tak sabar.
"Baik."
Soma tersenyum gembira. Memang siasat
itulah yang diinginkannya. Tanpa banyak cakap
segera didekatinya Putri Manja. Namun kini ma-
lah Soma yang jadi bingung sendiri. Karena me-
mang, di pundak Putri Manja tidak ada ulat bulu.
Tadi itu hanya akalnya saja. Sekarang setelah
disuruh mengambil ulat bulu di pundak Putri
Manja, Soma jadi berpikir. Ia harus menemukan
ulat bulu. Kalau tidak, bisa jadi Putri Manja ma-
kin kalap karena telah dibohongi. Ini berarti ma-
kin memperdalam kemarahan gadis manja itu.
"Kenapa diam saja" Cepat ambil, Soma!" teriak Putri Manja, melihat Soma hanya
terpaku. "Aku... Aku tid... tid... Eh, maksudku.... Aku takut, Putri. Ngeri! Aku tak berani
mengambil,"
sahut Soma beralasan.
"Soma...!!!" pekik Putri Manja makin kalap.
"I... Iya. Aku.... Aku... bagaimana kalau
kuambil pakai kayu saja?" kata Soma, gugup.
"Soma! Kau benar-benar menjengkelkan. Ce-
pat ambil ulat itu!" teriak Putri Manja.
Tanpa peduli, Soma malah melompat ke se-
buah pohon. Dalam hatinya, ia harus cepat men-
dapatkan ulat bulu. Kalau tidak, bisa kapiran.
Untungnya di saat Soma mendarat di sebuah po-
hon, tiba-tiba matanya melihat seekor ular bulu
besar berwarna hitam mirip warna ranting pohon
di depannya. Soma bersorak kegirangan. Buru-buru dipa-
tahkannya ranting pohon itu lalu segera meloncat
turun. Di bawah, Putri Manja masih saja berteriak-
teriak kalap. Ia benar-benar takut pada ulat bulu.
Sementara hatinya juga tak melihat Soma pun ta-
kut pada ulat bulu. Maka begitu melihat Soma tu-
run, Putri Manja pun segera menghampiri murid
Eyang Begawan Kamasetyo.
Tanpa banyak cakap, Soma pura-pura
menggerak-gerakkan ranting kayu di tangannya
ke pundak Putri Manja. Lalu segera ditunjukkan-
nya ranting kayu di tangan kanannya ke arah Pu-
tri Manja. Putri Manja memekik senang. Tanpa sadar
segera dirangkulnya Soma.
Siluman Ular Putih tersenyum. Senang seka-
li mendapat pelukan hangat dari gadis manja itu.
"Cepat, Soma! Bunuh ulat itu. Aku takut.
Takut sekali!" rajuk Putri Manja, menggemaskan.
"Baik."
Soma segera menjentikkan jari-jarinya. Se-
kali saja. Akibatnya, tubuh ulat bulu itu telah
mencelat jauh dengan tubuh hancur.
"Nah, sudah. Ulat bulu itu sudah mati. Seka-
rang tinggal giliranmu. Kau tidak boleh memben-
ciku. Kau harus patuh padaku. Kau harus jadi
teman baikku. Kau harus...."
"Soma!" potong Putri Manja. "Cepat kau membelakangiku! Aku tak ingin kau
melihatku."
"Lho" Jadi, kau masih membenciku?" Soma terperangah.
Putri Manja tersenyum. Manis sekali, mem-
buat Soma melongo.
"Tidak. Aku tidak membencimu. Aku cuma
mau mandi. Sejak tadi pagi aku belum mandi.
Nah sekarang cepat belakangi aku!" seru Putri Manja.
"Tapi aku juga mau mandi. Bagaimana kalau
kita mandi bersama," usul Soma.
"Enak saja! Cepat belakangi aku!"
"Ba... baik."
"Nah, begitu. Awas kalau kau coba-coba
mengintip. Kupotong lehermu dengan guntingku
ini!" "Iya, iya. Cepat. kalau kau mau mandi. Aku juga panas. Sudah dua hari aku
belum mandi. "Pantas baumu mirip kerbau!" ledek Putri Manja, lalu disusul suara tawanya yang
menggeli-tik. Soma hanya diam saja. Meski dalam hatinya
menggerutu, namun toh menurut juga. Sedikit
pun kepalanya tak berani dipalingkan ke bela-
kang. Selain tak berani, juga malu pada dirinya
sendiri. Selang beberapa saat Soma baru mendengar
suara tawa saat gadis manja itu tengah bermain
air. Diam-diam pemuda itu jadi iri. Tubuhnya te-
rasa panas. Bukannya karena membayangkan so-
sok tubuh mulus di belakangnya, melainkan ka-
rena memang sudah kebelet sekali ingin mandi.
"Cepat, Putri! Memangnya hanya kau saja
yang ingin mandi"!" ujar Soma tak sabar.
"Hik hik hik...! Enak sekali, Soma. Segar.
Rasa-rasanya ingin sekali aku berlama-lama
mandi. Awas, Soma! Kau tidak boleh mengin-
tipku. Aku masih ingin berenang sebentar" sahut Putri Manja seenaknya.
Soma manyun berat. Suara kecipak-kecipuk
di belakangnya benar-benar menggoda hatinya.
Hatinya tak sabar lagi untuk berendam dalam air.
Syukur bisa bersama-sama gadis manja itu. Na-
mun sialnya, gadis di belakangnya malah seperti
menggoda. "Cepat, Putri! Aku tidak sabar lagi. Kalau
kau tidak mau cepat-cepat, terpaksa aku akan
nekat menemanimu mandi," ancam Soma.
"Jangan, Soma! Jangan!" teriak Putri Manja.
"Makanya cepat!"
"Baik, baik."
"Soma tersenyum. Senang sekali hatinya me-
lihat gadis itu ketakutan mendengar ancamannya.
Namun bukan itu saja yang membuat hatinya se-
nang. Melainkan air di belakangnya.
*** "Ompong! Bagus kau datang menemuiku.
Kali ini tak mungkin kau luput dari kematianmu!"
Dengan bentakan kasar, Pengasuh Setan
menghentikan langkahnya dan berbalik. Sepa-
sang matanya yang cekung tampak berwarna me-
rah saga menatap lelaki tua berjubah kuning ke-
dodoran yang tak lain Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Dengusan napasnya memburu, pertanda
tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro itu mu-
lai dipenuhi hawa membunuh. Hawa yang akan
diwarnai pertumpahan darah!
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang. Sungguh tidak disangka ia akan bertemu
musuh besarnya di tempat ini.
"Manusia bejat! Beruntung sekali aku berte-
mu denganmu. Beruntung sekali karena sebentar
lagi aku akan mengirim nyawa busukmu ke dasar
neraka. Belum puas aku kalau belum melam-
piaskan sakit hatiku," sahut Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh senang.
Pengasuh Setan mendengus angkuh. Kilatan
sepasang matanya yang berwarna merah saga
semakin mengerikan. Seolah ia ingin menelan
musuhnya hidup-hidup dalam kilatan matanya.
"Tak perlu banyak bacot! Kalau kau ingin
melampiaskan sakit hatimu, majulah! Aku ingin
melihat sampai di mana kehebatanmu," tantang Pengasuh Setan.
Pengasuh Setan mengangguk-angguk, mera-
sa yakin kalau tua bangka di hadapannya bukan-
lah pembunuh muridnya. Hidungnya sama sekali
tidak mencium bau darah muridnya pada diri Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding. Yang tercium hanya
bau keringat tua bangka di hadapannya. Apek!
"He he he...! Lagakmu dari dulu selalu pon-
gah, Pengasuh Setan. Aku benar-benar benci
dengan lagakmu. Kau memang patut mampus di
tanganku," kata Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Pengasuh Setan menggereng penuh kemara-
han. Hawa membunuh dalam dirinya makin ber-
kobar. Rahangnya mengembung, tak ubahnya se-
perti bisul yang siap pecah.
"Heaaaa...!"
Disertai bentakan membelah angkasa, Pen-
gasuh Setan meluruk ke arah musuh besarnya.
Tanpa banyak cakap kedua telapak tangannya
yang telah berubah jadi hitam legam segera dido-
rongkan ke depan.
Wuuttt...! "Uts...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding cepat melent-
ing ke atas, sehingga serangan dua larik sinar hitam dari kedua telapak tangan
Pengasuh Setan melesat di bawah kakinya.
Blarrr...! "Heh..."!"
Begitu mendarat, Pelukis Sinting Tanpa
Tanding terkesiap. Matanya terbelalak lebar saat
melirik ke arah tempat kedua sinar hitam tadi
menghantam. Sebuah batang pohon berukuran
lima pelukan orang dewasa di belakang Pelukis
Sinting Tanpa Tanding kontan hancur berkeping-
keping. Pada bagian batang pohon yang terkena
pukulan kontan menjadi abu.
"Pukulan 'Bara Setan'...!" desis Pelukis Sinting Tanpa Tanding
Pengasuh Setan menggeretakkan geraham-
nya penuh kemarahan. Hawa membunuh dalam
dirinya makin berkobar. Bahkan makin sulit di-
kendalikan! 8
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Soma! Apakah kau tadi sudah mengirim be-
gundal-begundal itu ke kadipaten?" tanya Putri Manja mengusik kesenangan Soma di
tengah sendang. "Begundal-begundal yang mana?" sahut So-
ma tak senang. Putri Manja memberengut. Tak senang men-
dengar jawaban Soma yang ketus.
"Juragan Lanang dan kesepuluh orang anak
buahnya, Soma. Apakah kau sudah membawa
mereka ke kadipaten?" seru Putri Manja kesal.
"Belum."
"Apa" Belum?" Sepasang mata indah milik Putri Manja kontan membelalak indah. Ia
kecewa sekali atas jawaban Soma.
"Kau sudah mendengar. Kenapa pakai tanya-
tanya segala?"
"Bodoh! Seharusnya kau mengirim mereka
ke kadipaten. Tapi, mengapa kau malah dibiarkan
berkeliaran. Kau ini bagaimana, sih"! Kerja begitu saja tidak becus!" semprot
Putri Manja kasar.
Soma tidak mempedulikannya. Pemuda ini
terus saja asyik berenang ke sana kemari mem-
biarkan Putri Manja uring-uringan di tepi sen-
dang. "Soma...! Kau benar-benar menjengkelkan.
Aku tak sudi berkawan lagi denganmu!" teriak Putri Manja.
Soma terkesiap, baru menyadari kebodohan-
nya. Namun mana kala kepalanya berpaling, So-
ma jadi menyesal Putri Manja kini sudah tidak
berada di tempatnya. Buru-buru Soma keluar da-
ri sendang. "Putri...! Tunggu! Kau jangan marah-marah
begitu! Aku tadi sudah menyuruh laki-laki pemi-
lik kedai itu untuk membawa mereka ke kadipa-
ten," teriak Soma lantang, saat melihat Putri Man-
ja melangkah menjauhi.
"Dasar bodoh. Bisa saja laki-laki mata keranjang itu" Kenapa kau suruh ia
membawa Juragan
Lanang dan para anak buahnya ke kadipaten"
Benar-benar bodoh kau, Soma!" sahut Putri Man-ja dari kejauhan.
"Putri...! Tunggu! Kau sendiri kenapa tadi
meninggalkanku" Kau curang! Kau mau menang-
nya sendiri, Putri?" teriak Soma.
"Biar!"
Soma menggerutu kesal. Sebenarnya ia ingin
menyusul Putri Manja, namun tak jadi. Bukannya
tidak mau, tapi karena menyadari dirinya masih
telanjang. Bila tidak ingin ditertawakan orang,
maka pemuda ini harus kembali ke tempatnya
semula dan mengenakan pakaiannya kembali
Dan meski dengan hati berat, terpaksa Soma
mengenakan pakaiannya kembali. Sedang sosok
tubuh Putri Manja tampak terus berkelebat cepat
di kejauhan. Soma mengeluh, tapi tak ada pilihan lain.
*** Sepasang mata merah Pengasuh Setan berki-
lat-kilat penuh kemarahan setelah serangan per-
tamanya terhadap Pelukis Sinting Tanpa Tanding
gagal. Bahkan amat mudahnya serangan itu di-
mentahkan musuh bebuyutannya.
Sifat angkuhnya jelas tidak bisa menerima
kegagalan barusan. Ia yang merasa setingkat le-
bih tinggi dibanding. Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing jelas tidak ingin kalah unjuk gigi. Apalagi Pengasuh Setan yakin sekali
dapat menundukkan
musuh bebuyutannya.
"Bagus! Rupanya kau masih ingat pukulan-
ku. Berarti kau pun harus mengingat-ingat kalau
pukulan 'Bara Setan' milikku akan segera mengi-
rim nyawa busukmu ke dasar neraka. Bersiap-
siaplah menerima kematianmu hari ini, Ompong!"
ancam Pengasuh Setan, congkak.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terke-
keh senang. Meski disadari betul kalau Pengasuh
Setan bukanlah lawan enteng, namun sikapnya
masih saja ayal-ayalan. Malah tindak tanduknya
makin dibuat-buat.
"Kau memang hebat sekaligus juga congkak,
Pengasuh Setan. Dulu kau boleh mempecundan-
giku. Tapi kali ini...," Pelukis Sinting Tanpa Tanding sebentar berhenti berkata
seraya memamer-
kan giginya yang ompong. Kuas di tangan kanan-
nya dikibas-kibaskan seenaknya. "Mungkin na-
sibku akan sedikit mujur. Kujamin kau akan ber-
susah payah menundukkanku. Tidak seperti yang
kau bayangkan. Malah bisa jadi kau akan lari
terbirit-birit meninggalkan tempat pertarungan
begitu melihat cat-cat minyakku. Kau pasti telah
siap kuberi hadiah. Kau mau minta gambar apa"
Gambar anjing buduk" Atau, gambar ular belu-
dak sepertimu?"
Bukan main geramnya Pengasuh Setan
mendengar ejekan Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Rahangnya kini mengembung. Kedua pelipisnya
bergerak-gerak pertanda tokoh sesat dari puncak
Gunung Sindoro itu tak dapat lagi mengendalikan
amarahnya yang menggelegak.
"Keparat! Kau harus membayar mahal atas
penghinaanmu ini, Ompong! Heaaa!"
Dikawal teriakan nyaring, Pengasuh Setan
segera menerjang ganas Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah hitam legam segera didorong ke depan. Se-
ketika tampak dua larik sinar hitam legam dari
kedua telapak tangannya, mengancam lawan.
Wesss! Wesss! "Hup!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tak mau sem-
brono. Sebagai tokoh silat tingkat tinggi, ia cukup tahu betapa hebatnya pukulan
'Bara Setan' milik
Pengasuh Setan. Maka seketika tubuhnya mence-
lat tinggi ke udara. Sekali tubuhnya berputaran.
Pada saat kepala di bawah, tubuhnya meluncur
dahsyat membuka serangan balik. Ujung kuas di
tangan kanannya segera diarahkan ke ubun-ubun
kepala lawan. Sedang nampan kayu mirip berben-
tuk mainan congklak telah siap pula mengancam
dada. "Ah...!"
Pengasuh Setan terperangah kaget. Sungguh
tidak disangka musuh bebuyutannya mampu me-
lancarkan serangan balik demikian cepat dan
berbahaya. Untuk melindungi bagian yang amat
mematikan, segera kedua telapak tangannya di-
angkat ke atas.
Dukkk! Dukkkk! Begitu dua tangan masing-masing berbentu-
ran, kedua-duanya sama-sama tergetar. Tubuh
Pengasuh Setan limbung ke samping. Sedang tu-
buh Pelukis Sinting Tanpa Tanding mental balik
ke udara. Pengasuh Setan menggeram penuh kemara-
han. Kedua lengannya terasa panas bukan main.
Bukan itu saja. Pada saat ia kehilangan keseim-
bangan, mendadak Pelukis Sinting Tanpa Tanding
yang telah mendarat kembali menyerang dengan
kuas di tangan.
Srat! Srattt! Dada Pengasuh Setan yang sedikit terbuka
tahu-tahu tergores kuas di tangan musuh besar-
nya, membentuk dua garis setengah melingkar
menyerupai sebuah kepala. Entah kepala apa.
Yang jelas Pengasuh Setan merasa gusar bukan
main. Bahkan dadanya yang terkena goresan
kuas tadi terasa mau jebol. Maka tanpa ampun,
tubuhnya pun terjajar ke belakang!
"Bedebah! Demi iblis sesembahanku, kali ini
aku benar-benar tak ingin melepaskan nyawa bu-
sukmu begitu saja. Kau harus modar di tangan-
ku!" dengus Pengasuh Setan menggereng penuh
kemarahan. Habis menggereng, tanpa banyak cakap lagi
Pengasuh Setan segera menerjang Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Tidak tanggung-tanggung. Lang-
sung dikeluarkannya salah satu ajian andalan-
nya. "Hm.... Aji 'Tangkal Petir'...!" desis Pelukis Sinting Tanpa Tanding,
menyebut ajian yang dikeluarkan Pengasuh Setan.
Dari raut wajahnya yang jenaka sedikit pun
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tidak merasa takut
melihat musuh besarnya mengeluarkan aji
'Tangkal Petir'. Malah seketika dia membuat bebe-
rapa gerakan dengan kuasnya.
"Akan kutandingi dengan aji 'Cat Hati Suci',"
gumamnya. Begitu Pengasuh Setan menangkupkan ke-
dua telapak tangannya di depan dada, seketika
tampak sekujur tubuhnya telah dipenuhi cahaya
merah berpendar. Sementara kedua telapak tan-
gannya pun juga berwarna merah menyala. Lalu
disertai teriakan keras kedua tangannya dihen-
takkan ke depan.
"Heaaa...!"
Wesss! Wesss! Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh. En-
tah karena musuh besarnya telah mengeluarkan
ajian andalannya, entah karena tak sabar meng-
hadapi pertarungan besar ini. Yang jelas begitu
melihat dua larik sinar merah menyala meluruk
ke arahnya, buru-buru nampan kayu di tangan
kirinya diangkat tinggi-tinggi.
Ketika cairan cat beraneka warna itu mendi-
dih di dalam nampan kayu berhamburan, dengan
kekuatan tenaga dalam tinggi Pelukis Sinting
Tanpa Tanding meniupnya keras!
"Fhuhhh...!"
Werrr! Werrrr! Besss! Tak terdengar ledakan hebat ketika dua si-
nar merah milik Pengasuh Setan saling mendo-
rong dengan hamburan cat milik Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Tubuh kedua tokoh tua dunia
persilatan itu sama-sama tergetar hebat menan-
dakan kalau mereka sama-sama mengerahkan
tenaga dalam tinggi. Namun mereka tetap ngotot
untuk tetap bertahan. Sedikit pun mereka tidak
mau mengalah. Bahkan kedua tokoh sakti dunia
persilatan itu makin melipatgandakan tenaga da-
lam, hingga membuat gulungan-gulungan cat mi-
nyak Pelukis Sinting Tanpa Tanding tertahan di
udara. Tanpa dapat dicegah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding mengeluarkan keringat dingin. Demikian
juga Pengasuh Setan. Mereka pun sama-sama
mengeluarkan keluhan kecil. Tubuh kedua orang
itu pun makin bergetar hebat. Sebentar-sebentar
Pengasuh Setan merasakan tubuhnya menggigil
kedinginan. Sebentar kemudian gantian Pelukis
Sinting Tanpa Tanding yang merasakan tubuhnya
seperti terbakar.
"Heaaa...!"
Begitu berhasil menambah kekuatan tenaga
dalamnya, dengan kekuatan penuh mendadak Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding meniup keras. Aki-
batnya tubuh Pengasuh Setan limbung, kehilan-
gan keseimbangan. Bahkan bukan itu saja. Seca-
ra mendadak, gulungan-gulungan semburan cat
minyak milik Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus
merangsak dua larik sinar merah menyala dari
kedua telapak tangannya.
Blasss...!!! "Aaaakh...!"
Pengasuh Setan meraung setinggi langit.
Tanpa ampun gulungan cat minyak dari nampan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding merangsak da-
danya, membentuk gambar seekor anjing buduk
seperti yang dikatakan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding tadi. Bukan main geramnya hati tokoh sesat dari
Gunung Sindoro itu melihat dirinya dapat dipe-
cundangi musuh besarnya. Bagian dadanya yang
terkena hantaman semburan cat minyak Pelukis
Sinting Tanpa Tanding dingin luar biasa, seolah
dingin membekukan jantungnya.
Tentu saja hal ini membuat Pengasuh Setan
kalap. Tekadnya, serangan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding harus dibalasnya. Tapi sayang baru Saja
hendak membuat kuda-kudanya, samar-samar
matanya melihat kuas di tangan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding telah menyerang dadanya. Begitu
cepatnya, sehingga ia tak mampu menghindar.
Dan.... Srakkk! Srakkk!
"Aaakh...!"
Sekali lagi Pengasuh Setan meraung hebat.
Tubuhnya seketika terpelanting ke belakang, dan
jatuh berdebam. Bagian dadanya yang terkena
goresan kuas terasa nyeri bukan main. Seolah-
olah, ingin mengoyak isi dadanya.
Sembari bertolak pinggang Pelukis Sinting
Tanpa Tanding terkekeh ujung kuas di tangan
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kanannya dituding-tudingkan ke arah Pengasuh
Setan. Gayanya mirip benar nenek-nenek cerewet
yang tengah memarahi cucunya.
"Kubilang apa" Dasar bandel. Lebih baik bu-
nuh diri saja daripada tanganku kotor oleh darah
busukmu. Hayo, lekas minta ampun padaku. Pas-
ti aku akan mengampuni. Tapi kalau kau masih
bandel, pasti aku akan menjewer telingamu sam-
pai merah!" ancam Pelukis Sinting Tanpa Tanding, galak. Tapi karena diucapkan
sambil cen- gengesan bukannya jadi tampak galak, malah se-
baliknya. "Heaaahh...!"
Pengasuh Setan menggeram murka. Dengan
sekali loncat, tubuhnya kembali tegak di hadapan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Kali ini, ia tidak langsung menyerang, melainkan
memandangi musuh besarnya seksama.
"Hebat! Rupanya kau sengaja menghilang
dari dunia persilatan hanya untuk mencari ajian
yang dapat melumpuhkan aji 'Tangkal Petir'-ku,
Ompong. Tapi jangan bangga dulu. Aku belum
Dewi Goa Ular 3 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Jejak Di Balik Kabut 13
berapa orang anak buah Juragan Lanang dengan
tawa cerianya. "Sudah, Putri! Jangan terus bermain-main!
Orang-orang seram ini harus secepatnya menda-
pat hukuman!" ujar Soma tiba-tiba.
Dan tahu-tahu, tubuh Soma telah berkeleba-
tan cepat sekali. Begitu cepatnya, sehingga sulit diikuti pandang mata Juragan
Lanang dan kesepuluh orang anak buahnya.
Tuk! Tuk! Putri-Manja samar-samar dapat menangkap
sosok tubuh Siluman Ular Putih sudah bergerak
cepat, menotok kaku tubuh Juragan Lanang dan
kesepuluh anak buahnya.
"Ah.... Kau mengganggu kesenanganku saja,
Soma! Kenapa mereka dilumpuhkan?" rajuk Putri Manja. Kedua bibirnya yang merah
merekah memberengut. Sepasang matanya yang indah bak
bintang kejora memandang Juragan Lanang dan
kesepuluh orang anak buahnya, seperti tak puas.
"Aku benci kau, Soma! Aku benci!" jerit Putri Manja. Kakinya dibanting-banting
ke tanah. Dan belum sempat Soma mencegah, tahu-tahu Putri
Manja telah berkelebat cepat meninggalkan kedai
makan. "Tunggu, Putri! Aku.... Aku...!"
Soma tak meneruskan kalimatnya, karena
gadis itu tak mungkin dapat dikejar. Apalagi ia
harus secepatnya menyelesaikan urusan dengan
Juragan Lanang berikut kesepuluh orang anak
buahnya yang harus mendapat hukuman setim-
pal atas perbuatan mereka yang tega-teganya
memeras penduduk kampung. Untuk itu Siluman
Ular Putih harus membangunkan lelaki pemilik
kedai itu. Diguncang-guncangkannya tubuh Su-
kiat, namun tak juga siuman. Soma jadi kesal se-
kali. Sejenak matanya melirik ke atas meja tempat ia makan tadi. Pemuda itu
bangkit, mengambil
secangkir air. Lalu diguyurkannya air dalam
cangkir ke wajah lelaki pemilik kedai.
Pyarr...! "Uft.... Eh...! Ada apa" Kenapa kau meng-
guyur ku?" teriak Sukiat gelagapan.
"Cepat bangun! Kau harus secepatnya mela-
porkan perbuatan Juragan Lanang dan kesepuluh
orang anak buahnya itu pada kepala desa di sini.
Atau, kalau perlu laporkan saja pada adipati! Me-
reka harus mendapat hukuman setimpal! Biar ti-
dak lagi mengganggu keamanan penduduk kam-
pung. Juga kau! Kuingatkan sekali lagi! Kalau
kau masih kikir, apalagi enggan menolong orang
yang sangat membutuhkan, aku tak akan segan-
segan lagi menggantungmu di tengah pasar! Biar
semua tahu bahwa kau juga orang pengecut!
Mengerti?" ujar Soma, tegas.
"Ya ya ya...! Aku mengerti!" sahut Sukiat, ketakutan.
"Kalau sudah mengerti, cepat bangun! Dan,
laksanakan apa yang kuperintahkan!"
"Baik"
Begitu beranjak bangkit, Sukiat sangat ter-
kejut melihat tubuh Juragan Lanang dan kesepu-
luh anak buahnya kaku tak dapat bergerak. Lela-
ki pemilik kedai itu tidak tahu, apa yang telah terjadi pada mereka. Ia ingin
bertanya pada Soma.
Namun sayang, pemuda itu sudah tak ada di
tempatnya. "Celaka! Benar-benar celaka! Sudah kedai
porak-poranda tidak karuan, masih disuruh ke
sana ke sini! Huh! Apes benar nasibku hari ini...!"
*** Soma terus berkelebat cepat ke arah Putri
Manja tadi menghilang. Tidak tanggung-tanggung
lagi segera dikerahkannya ilmu lari cepatnya
'Menjangan Kencono.'. Hingga tak heran kalau da-
lam beberapa kelebatan saja sosok bayangannya
telah jauh dari kedai makan.
Sambil terus berkelebat, mata Soma tak hen-
ti-hentinya memperhatikan keadaan sekitarnya.
Pemuda itu berharap gadis manja itu mau
menemuinya. Namun sayang, ketika tiba di ham-
paran sawah kering, ia tidak menemukan siapa-
siapa. Yang terlihat hanya hamparan tanah kering
yang retak-retak di sana sini.
Soma menggedumel.
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini" Kena-
pa tadi aku mengganggu kesenangan gadis manja
itu" Huh! Dasar sial! Juga goblok! Mau berteman
gadis manja itu saja tidak terkabul. Malah ia ka-
bur. Sial! Sial!"
Soma menggerutu tak karuan. Tak henti-
hentinya jidatnya ditepuk-tepuk sendiri, saking
kesalnya. "Terus terang aku sangat mencemaskan ke-
selamatannya. Tampaknya, ia belum berpengala-
man. Sikapnya masih lugu. Mungkin baru saja
turun gunung. Ah...! Aku harus secepatnya me-
nemukan gadis itu. Tapi, kenapa aku jadi mele-
dak-ledak begini" Apakah... apakah aku mencin-
tainya?" tanya hati murid Eyang Begawan Kamasetyo. "Bodo, ah! Mau jatuh cinta
kek, tidak kek!
Peduli setan! Pokoknya aku harus segera bertemu
gadis itu!"
Habis bersungut-sungut begitu Siluman Ular
Putih segera berkelebat cepat ke barat. Sementara sembari terus berkelebat,
pandang matanya terus
jelalatan ke sana kemari.
Lama berputar-putar mencari Putri Manja,
akhirnya Soma menghentikan langkahnya dengan
hati kesal. Ia tetap tak menemukan gadis manja
itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang" Gadis itu tak kutemukan. Ah...!
Daripada bingung mencari gadis tengil itu mendingan pergi ke mana aku suka,"
gumam hati Soma.
Namun belum sempat Siluman Ular Putih
melangkah, mendadak....
Wuutt...! Bletakkk! "Aaah...!"
Soma terpekik kaget ketika sebuah benda
menghantam jidatnya. Kepalanya kontan berputar
dengan tubuh limbung ke samping. Lalu....
Brukkk! Soma jatuh berdebam di tanah. Apa yang
terjadi" 5 Belum begitu lama Siluman Ular Putih me-
ninggalkan kedai makan, seorang lelaki tua renta
tengah berdiri tegak di halaman depan kedai milik Sukiat. Usianya sulit sekali
ditafsirkan. Rambutnya memutih tergerai di bahu. Alis mata dan bulu
mata juga berwarna putih. Tubuhnya kurus ker-
ing seolah tak bertenaga. Pakaiannya berwarna
hitam kumal. Siapakah sebenarnya kakek renta berwajah
menyeramkan ini" Ia tak lain dari Pengasuh Se-
tan. Seorang tokoh sesat dari Gunung Sindoro
yang ingin menuntut balas atas kematian murid-
nya yang berjuluk Penguasa Alam.
Setelah hampir sehari semalam melakukan
perjalanan, penciuman Pengasuh Setan menang-
kap bau anyir yang sangat dikenalnya. Bau anyir
darah si Penguasa Alam! Sungguh hebat bukan
main penciuman tokoh sesat dari puncak Gunung
Sindoro itu. Meski Penguasa Alam telah tewas be-
berapa pekan lalu, namun hidungnya masih
mampu mencium darah muridnya! Darah yang
barangkali masih melekat pada tubuh atau senja-
ta si pembunuh muridnya!
Untuk beberapa saat hidung Pengasuh Setan
terus mengendus-endus. Sayangnya, angin ber-
hembus cukup kencang. Hal ini membuat hatinya
kesal sekali. "Keparat! Aku yakin kalau pembunuh mu-
ridku baru saja berada dari tempat ini. Tapi
sayang, angin berhembus cukup kencang hingga
aku sulit melacak jejak pembunuh muridku.
Hm...!" geram Pengasuh Setan dalam hati.
Lelaki tua sakti ini segera mendekati kedai
makan. Hatinya yakin, pembunuh muridnya baru
saja meninggalkan kedai makan. Untuk itu harus
secepatnya diselidiki kalau tidak ingin kehilangan buruan.
Saat itu Sukiat masih terpana heran melihat
tubuh Juragan Lanang beserta kesepuluh anak
buahnya kaku tak dapat bergerak. Bagaimana
mungkin tubuh mereka kaku tak dapat bergerak"
"Ih...! Jangan-jangan mereka terkena sihir
pemuda sinting itu" Aku... aku harus secepatnya
melaporkan Juragan Lanang pada Ki Lurah kalau
tidak ingin kaku seperti mereka. Hih...!" kata Sukiat, bergidik.
Sukiat buru-buru berbalik. Dan baru saja
hendak melangkah, di hadapannya kini telah ber-
diri Pengasuh Setan dengan sepasang mata men-
corong tajam. "Si.... Siapa kau, Orang Tua?" tanya Sukiat, makin bergidik.
Kaku sekali lidah lelaki pemilik kedai itu ka-
la menegur Pengasuh Setan. Kedua kakinya pun
sulit sekali digerakkan, seolah menancap di tem-
pat. "Berani kau buka-mulut sebelum kutanya, he"!" desis Pengasuh Setan, garang.
Selangkah demi selangkah kakinya mulai mendekati Sukiat.
Sukiat hanya mampu menggeleng-gelengkan
kepala. Tanpa sadar kedua kakinya bergerak
mundur. Mungkin baru kali ini sajalah lelaki itu
melihat sosok manusia yang demikian menye-
ramkan. Dalam hatinya ia mengira sosok lelaki
tua renta di hadapannya adalah arwah gentayan-
gan yang sering mengganggu Dusun Karang Ko-
bar. "Aku mencium bau darah muridku di tempat ini. Cepat katakan! Siapa di
antara kalian yang telah membunuh muridku" Jawab!" bentak Penga-
suh Setan. "Iya, iya!" Sukiat gugup dan tersendat.
"Apa?"
"Aku... aku tid... tidak tahu."
"Apa" Kau tidak tahu?"
Sepasang mata Pengasuh Setan membelalak
liar. Rahangnya bergemeletukkan membuat lelaki
pemilik kedai makin ketakutan.
"Aku.... Aku tidak tahu. Sungguh aku tidak
tahu siapa orang yang kau maksudkan."
"Bedebah! Manusia tak berguna. Aku jelas
mencium bau muridku. Kau masih bilang tidak
tahu, heh"!" cecar Pengasuh Setan.
Pengasuh Setan mengendus-enduskan hi-
dung. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mengiku-
ti bau darah muridnya yang hanya dapat dicium
oleh hidungnya. Sama sekali hatinya tak terusik
oleh adanya Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang berdiri kaku di tempat itu.
Kening Sukiat berkerut heran. Ia masih be-
lum mengerti yang dimaksudkan. Tanpa sadar
hidungnya pun ikut-ikutan mengendus.
Tiba-tiba paras Pengasuh Setan menegang.
Bau darah muridnya jelas tercium hidungnya.
Maka bak seekor anjing pelacak, kakinya mulai
bergerak mengikuti arah bau anyir darah murid-
nya hingga keluar kedai, dan terus mengikutinya
sampai kejauhan.
Sukiat hanya bisa melongo. Hampir saja ma-
lapetaka yang lebih besar akan menimpa ke-
dainya bila salah bertindak. Untung saja ia hanya diam. Dan sosok menakutkan
Pengasuh Setan pun telah jauh meninggalkan kedai.
"Busyet! Manusia apa memedi sawah"! Kok
seram amat. Hih...! Kukira aku harus segera me-
laporkan Juragan Lanang ini pada Ki Lurah. Tapi,
bagaimana dengan Juragan Lanang dan kesepu-
luh orang anak buahnya ini" Ah...! Baiknya seka-
lian saja kulaporkan. Beres!" gumam Sukiat masih terpana membayangkan sosok
Pengasuh Se- tan yang amat menyeramkan.
Sebelum meninggalkan kedai, sejenak sepa-
sang mata Sukiat yang sipit sempat memperhati-
kan tubuh Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang masih tegak kaku di tempatnya.
Lelaki ini tidak tahu, apa yang tengah menimpa
orang-orang itu. Kepalanya hanya menggeleng-
geleng sebentar sebelum akhirnya meninggalkan
kedai. *** "Sukiat! Kau lari-lari seperti dikejar setan.
Ada apa?" Sukiat buru-buru menghentikan langkah ke-
tika tiba di depan seorang lelaki tua yang me-
nyambutnya. Napasnya masih memburu. Seben-
tar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang.
"Tenang, Sukiat! Ada apa" Apa anak buah
Juragan Lanang membuat onar kedaimu?" ujar
lelaki berusia enam puluh lima tahun yang diken-
al sebagai Ki Lurah.
Sukiat menelan ludah. Ditatapnya wajah Ki
Lurah yang gagah penuh kearifan. Entah kenapa
rasa takut yang mendera hatinya mendadak ber-
kurang begitu berhadapan dengan lelaki gagah
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpakaian surjan lengkap di hadapannya.
"Ki Lurah! Aku... aku mau lapor. Memang
Juragan Lanang dan anak buahnya membuat
onar di kedaiku. Tapi yang lebih penting, baru sa-ja kedaiku kedatangan memedi
sawah, Ki," lapor Sukiat.
"Ah...! Yang benar saja" Masa' ada memedi
sawah mengganggu kedaimu" Jangan ngawur,
Sukiat!" sergah Ki Lurah seraya mengumbar senyum.
"Benar, Ki. Baru saja memedi sawah itu da-
tang ke kedaiku. Wajahnya menyeramkan sekali.
Kalau bukan memedi sawah atau arwah gen-
tayangan, mana mungkin ada manusia demikian
menyeramkan" Matanya merah. Wajahnya pucat
mirip mayat. Hiyyy...! Pokoknya menyeramkan
sekali! Apalagi, katanya ia mencium bau darah
muridnya. Apa itu tidak menakutkan" Mana
mungkin ia mampu mencium darah seseorang ka-
lau bukan setan?" papar Sukiat.
"Sudah, sudah! Bicaramu makin ngelantur
tidak karuan. Sebaiknya mari kita membicarakan
tentang Juragan Lanang dan anak buahnya yang
membuat onar di kedaimu itu. Sudah lama aku
memang ingin meringkusnya. Apalagi sepak ter-
jangnya kali ini memang sudah keterlaluan. Hayo,
sekarang tunjukkan di mana Juragan Lanang be-
rada! Aku ingin menangkapnya, Sukiat," tukas Ki Lurah, tak sabar.
"Me..., mereka ada di kedaiku. Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi. Tubuh
Juragan La- nang dan kesepuluh anak buahnya kaku tak da-
pat bergerak. Aneh! Benar-benar aneh! Baru kali
ini aku melihat kejadian ganjil ini, Ki," sahut Sukiat bersemangat.
"Hm...! Tubuh Juragan Lanang dan anak
buahnya kaku tak dapat bergerak?" gumam Ki
Lurah seraya mengangguk-angguk.
"Benar, Ki."
"Pasti ada seorang pendekar sakti yang telah melumpuhkan mereka. Aku harus cepat
menangkapnya...," gumam Ki Lurah nyaris tak terdengar.
"Apa" Kau tadi bilang apa, Ki?"
"Sudah, sudah! Sekarang cepat ikut aku!"
Dengan langkah lebar Ki Lurah keluar dari
halaman rumah. Sedangkan Sukiat mengekor da-
ri belakang. Beberapa orang penduduk kampung
yang sedang berkumpul di depan rumah Ki Lurah
segera diperintahkan untuk mengikuti.
Sukiat yang berjalan di samping Ki Lurah
menegakkan dadanya gagah. Seolah-olah dirinya-
lah yang paling berjasa. Senyumnya pun dibuat
penuh wibawa. Satu persatu, penduduk lain ke-
luar dari rumah sepanjang jalan yang dilalui Ki
Lurah dan Sukiat. Mereka juga ingin tahu, apa
yang terjadi. Dari kasak-kusuk itu, mereka tahu
kalau Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang selama ini meresahkan, telah tak-
luk tak berdaya di kedai milik Sukiat.
Maka berbondong-bondong pula mereka
mengikuti langkah Ki Lurah dan Sukiat. Diiringi
sorak sorai para penduduk, Sukiat makin mene-
gakkan dadanya.
Sebentar kemudian, kini mereka tiba di de-
pan kedai. "Nah itulah orangnya. Dengan dibantu seo-
rang pendekar muda tadi, aku berhasil melum-
puhkan Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya!" tunjuk Sukiat, bangga. Kakinya terus melangkah memasuki kedai.
Begitu tiba di dalam, Ki Lurah tidak meng-
gubris ucapan sok pahlawan yang dilontarkan
Sukiat. Ia justru lebih tertarik melihat tubuh Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang kaku tak dapat bergerak. Sekali lihat saja ia tahu kalau perbuatan itu hanya
dilakukan oleh seorang pendekar muda. Sama sekali bukan oleh
Sukiat! "Cepat, Ki! Seret manusia-manusia pembuat
onar ini ke hadapan adipati! Aku muak sekali me-
lihat tampang-tampang mereka!" sungut Sukiat.
"Iya. Tanpa kau suruh pun aku akan mela-
kukannya, Sukiat. Diamlah di tempatmu!" ujar Ki Lurah agak jengkel melihat
tingkah Sukiat yang
berlebihan. Sukiat terdiam. Namun matanya melotot le-
bar. Ki Lurah tidak mempedulikan. Segera dipe-
rintahkannya beberapa orang penduduk kam-
pung untuk segera mengikat Juragan Lanang dan
kesepuluh orang anak buahnya. Mereka pun se-
gera diseret untuk dibawa ke kadipaten.
Ketika beberapa orang penduduk kampung
mulai menarik Juragan Lanang dan kesepuluh
anak buahnya keluar kedai, Sukiat malah kecewa
berat. Bibirnya yang dower manyun beberapa jari.
"Kau juga boleh ikut, Sukiat. Kaulah sak-
sinya!" seru Ki Lurah.
"Yayaya...! Aku memang harus ikut. Aku bu-
kan saja sebagai saksi, melainkan juga yang me-
nangkap Juragan Lanang berikut anak buahnya!"
6 Sesungguhnya apa yang terjadi terhadap
Soma" Siapa yang telah membokongnya" Bukan-
kah pemuda itu berkepandaian tinggi" Lalu kena-
pa mudah sekali diperdayai"
Jawabnya hanya satu. Sudah pasti si pem-
bokong memiliki kepandaian yang jauh lebih ting-
gi daripada Siluman Ular Putih. Kalau tidak, mus-
tahil murid Eyang Begawan Kamasetyo dapat se-
mudah itu diperdayai!
Dasar nasib lagi sial. Sudah dibokong lawan,
tulang ekor si pemuda pakai mencium batu lagi.
Maka makin hebat saja Soma meringis kesakitan.
Kambing yang mau beranak saja masih kalah se-
ru dibanding seringaian Siluman Ular Putih.
"Babi buntung! Kambing congek! Seenak ji-
datnya saja membokong orang!" maki Soma ka-
lang kabut pada sosok yang tahu-tahu telah ber-
diri di depannya. Kedua telapak tangannya sibuk
mengelus-elus pinggang. Namun sebentar kemu-
dian tangannya sudah mengelus-elus jidatnya
yang berdenyut.
Sosok di hadapan Soma terkekeh senang.
Dia adalah seorang lelaki tua tak bergigi. Bajunya berbentuk jubah kuning yang
kedodoran sampai
lutut. Kepalanya plontos. Hanya alis, bulu mata,
dan jenggotnya yang memutih menandakan kalau
usianya telah lanjut. Tubuhnya tinggi kurus. Se-
pasang matanya yang kelabu bersinar jenaka.
"Hehehe...! Baru kali ini kulihat ada pemuda setolol kau, Monyet Buduk. Apa
begitu ya caranya
mengejar-ngejar gadis" Memalukan! Tak tahu
adat! Pemuda tolol macam kau memang patut di-
permainkan gadis cantik!" kata kakek ini terkekeh gembira. Ia tadi memang
melihat Soma tengah
mengejar-ngejar Putri Manja.
Soma terperangah. Bukan saja kesal dirinya
dibokong, melainkan juga kesal mendengar eje-
kan lelaki tua aneh di hadapannya. Belum lagi
melihat sikap si kakek yang tengik. Kalau menu-
rutkan perasaannya, ingin rasanya ia mendam-
prat. "Tidak ada hujan, tidak ada angin, kenapa kau menyerangku, Kek. Siapa kau
sebenarnya?"
kata Soma hati-hati.
"Jangan banyak tanya! Cepat bangun! Siapa
sudi berkenalan denganmu!" semprot si kakek
kasar. "Sial! Seharusnya aku yang marah. Bukan
dia!" gerutu Soma dalam hati.
Siluman Ular Putih hanya bisa menggeleng-
geleng. Namun wajahnya tetap dipasang kalem.
"Baiklah kalau kau tidak mau menyebutkan
namamu. Tapi setidak-tidaknya tolong jelaskan,
mengapa kau menyerangku" Apa salahku, Kek?"
tuntut Siluman Ular Putih, seraya melompat ban-
gun dengan mulut meringis.
Tangan si pemuda mengebut-ngebut pakaian
sebentar, lalu menatap orang tua di hadapannya.
Cukup aneh penampilannya memang. Namun,
Soma belum tahu siapa sebenarnya orang tua di
hadapannya. "Jangan melangkah! Tetap di tempatmu! Aku
tak sudi mencium bau keringatmu!" ujar si kakek, saat Siluman Ular Putih hendak
bergerak melangkah.
"Baik, baik!" sahut Soma, seraya menahan langkahnya.
"Nah begitu, Monyet Buduk. Tetap di tem-
patmu! Aku ingin memberimu hadiah."
"Apa yang ingin kau lakukan, Kek?"
"He he he...! Diam saja kau! Jangan banyak
tanya! Seharusnya kau mengucapkan terima ka-
sih. Bukannya cerewet seperti ini. Jarang aku
memberikan hadiah pada seseorang. Namun, kali
ini kau beruntung."
Habis berkata, lelaki tua aneh itu segera me-
rogoh saku jubahnya. Begitu tangan itu tercabut,
Soma terkesiap. Apa yang diambil orang tua di
hadapannya membuat keningnya berkerut. Di
tangan si kakek tampak sebuah nampan kecil
dengan beberapa cekungan seperti bentuk mai-
nan congklak dan sebuah kuas. Lalu tanpa
menghiraukan keheranan Soma, tangan kanan-
nya yang memegang kuas segera mengaduk-aduk
cekungan-cekungan kecil di dalam nampan.
Kening Soma makin berkerut heran. Kuas di
tangan orang tua di hadapannya itulah yang tadi
mencium jidatnya. Panjangnya hanya sejengkal
dengan lingkaran tengah tak lebih dari setengah
kuku. Tapi saat menghantam jidatnya tadi terasa
bagai sebuah balok besar.
"Slompret! Sebenarnya siapa orang tua di ha-
dapanku ini" Apa yang ingin ia lakukan?"
Soma terus bertanya-tanya dalam hati. Ha-
tinya penasaran sekali, ingin tahu siapa kakek
ompong di hadapannya itu"
"Bersiap-siaplah menerima hadiahku, Mo-
nyet Buduk! Sekarang cepat kau..."
"Maaf, Kek!" potong Soma dengan sangat
menyesal, terpaksa aku tak dapat menerima ha-
diahmu." "Apa" Kau menampik, Monyet Buduk?" sen-
tak si kakek ompong, gusar. Hidungnya yang pe-
sek kembang kempis. "Tidak bisa! Siapa pun juga tidak bisa menolak hadiah yang
kuberikan. Tetap
di tempatmu. Dan, jangan banyak tanya!"
Soma sebenarnya ingin membantah. Namun
belum sempat membuka mulut, mendadak kuas
di tangan si kakek ompong yang telah berlumuran
cat telah menyerang dirinya. Tentu saja Soma ti-
dak sudi tubuhnya dicorat-coret. Maka seketika
Siluman Ular Putih segera berkelit ke samping.
"Bodoh! Tetap di tempatmu! Apa kau tak in-
gin menerima hadiahku, he"! Ingat! Seharusnya
kau berterima kasih padaku, karena aku akan
memberimu hadiah. Tapi kau malah bertingkah!
Hayo, cepat tetap di tempatmu!" hardik si kakek ompong.
"Enak saja! Badan mau dicorat-coret kok
disuruh berterima kasih. Beruntung lagi katanya.
Huh!" dengus hati Siluman Ular Putih kesal.
"Kalau kau tetap bersikeras menolak ha-
diahku, terpaksa aku akan memaksamu, Monyet
Buduk." "Kau sungguh keterlaluan, Kek. Sudah me-
nyerang kepalaku, sekarang masih mau menco-
ret-coret tubuhku. Tentu saja aku menolak, Kek."
"Bagus! Mau tidak mau, aku tetap akan
memberimu hadiah," tandas si kakek ompong seraya menyerang Siluman Ular Putih
dengan kuas berlumur darah.
Kesabaran Siluman Ular Putih pun habis. Ia
kini tidak lagi sekadar menggerutu, melainkan ju-
ga sudah mencari maki saat diserang begitu. Na-
mun anehnya kakek ompong itu hanya terkekeh
senang. Sementara kuas di tangan kanannya te-
rus memburu tubuh Siluman Ular Putih yang
hanya berusaha berkelit
' Sontoloyo! Siapakah sebenarnya kakek om-
pong ini" Kenapa ia bernafsu sekali memberiku
hadiah" Ah...! Ya, ampun! Dia... dia...!"
Mendadak Siluman Ular Putih memekik da-
lam hati. Kini ia teringat cerita gurunya, Eyang
Begawan Kamasetyo sewaktu masih di puncak
Gunung Bucu. "Tunggu, Kek! Apakah kau yang bergelar Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding dari Goa Bedakah?"
cegah Siluman Ular Putih, berharap agar Pelukis
Sinting Tanpa Tanding yang sebenarnya masih
terhitung sahabat dekat eyangnya itu mau meng-
hentikan perbuatan sintingnya.
Kakek ompong yang ternyata bergelar Pelu-
kis Sinting Tanpa Tanding sempat menghentikan
serangannya seraya terkekeh senang.
"He he he...! Meski kau telah mengenalku,
bukan berarti aku harus mengurungkan membe-
rimu hadiah. Cepat diam di tempatmu!" ujar si kakek.
Soma memang tetap diam di tempatnya, na-
mun kali ini malah menelangkupkan kedua tela-
pak tangannya di depan hidung penuh hormat.
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terimalah hormatku, Kek! Aku yang bodoh
ini adalah murid sekaligus cucu Eyang Begawan
Kamasetyo dari puncak Gunung Bucu, Kek," ucap Soma.
"Hm...! Bagus! Dasar bodoh, tetap saja bo-
doh. Kau sudah mengakuinya sendiri. Apa kau
pikir kalau aku tahu kau murid sekaligus cucu
sahabatku, aku harus mengurungkan memberi-
mu hadiah"! Tidak! Dengan dalih apa pun, aku
akan tetap memberimu hadiah. Seperti tadi aku
memanggil, aku akan memberimu hadiah lukisan
seekor monyet buduk di dadamu! Cepat tetap di
tempatmu! Dan bila kali ini kau bertingkah, ter-
paksa aku harus melumuri sekujur tubuhmu
dengan cat ini!"
Siluman Ular Putih menggaruk-garukkan
kepalanya. Bingung. Sulit memang menghadapi
kakek sinting itu. Dia yang biasanya bersikap ug-
al-ugalan, kini mati kutu dibuatnya.
"Jangan dong, Kek! Masa' kau tega melumuri
tubuh cucumu sendiri dengan cat," rayu Soma.
"Tutup mulutmu, Monyet Buduk! Kau pikir
aku luruh dengan rayuan gombalmu itu, he"!"
hardik Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Tapi... tapi aku tidak mau tubuhku dicoreng moreng dengan catmu, Kek."
"Itu berarti aku harus memaksamu!"
Memang percuma saja Siluman Ular Putih
meladeni kakek sinting itu. Bagaimanapun berki-
lah, tetap saja si kakek mendesaknya.
"Hm... lebih baik kutinggalkan saja...."
Habis menggumam begitu, Siluman Ular Pu-
tih berbalik dan berkelebat cepat.
"Hey...! Tunggu! Kau tidak boleh meninggal-
kan ku! Aku belum memberimu hadiah!" teriak si kakek.
Dengan sekali menghentakkan kaki ke ta-
nah, tahu-tahu tubuh tinggi kurus Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding telah berkelebat cepat menge-
jar Siluman Ular Putih. Dan hanya dalam bebera-
pa kali menghentakkan kaki, tokoh sakti itu telah berdiri tegak di hadapan
Siluman Ular Putih.
Bahkan bukan itu saja. Begitu berada di hadapan
murid Eyang Begawan Kamasetyo, kuas di tangan
kanannya telah digerakkan.
Wuttt...! "Heit! Tidak kena!" ejek Soma cepat berkelit ke samping.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus membu-
ru. Bahkan gerakan kuas di tangan kanannya
semakin cepat. Hal ini tentu saja membuat Silu-
man Ular Putih kewalahan dibuatnya. Berkali-kali
tubuhnya harus berjumpalitan ke sana kemari
menghindari serangan-serangan kuas Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Tapi sayang, berkali-kali
pula tubuh Siluman Ular Putih tergores kuas mi-
lik lelaki tua aneh dari Goa Bedakah itu.
Srattt! Srattt!
"Sial...!"
Siluman Ular Putih menggerutu kesal dari
guratan-guratan kuas di tangan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding, samar-samar kini mulai memben-
tuk kepala seekor monyet di dadanya.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang. "Ah, tidak percuma rupanya aku. Lukisanku ternyata masih cukup lumayan.
Kau sungguh beruntung, Monyet Buduk. Tapi, tunggu dulu. Ada
beberapa bagian yang belum sempurna," kata si kakek ompong ini.
"Beruntung kepalamu!" umpat Soma, mem-
batin. "Badan dicoreng moreng begini, dibilang beruntung. Huh...! Dasar tua
bangka sinting! Kurang kerjaan!"
Siluman Ular Putih terus menyumpah sera-
pah dalam hati. Tindakan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding benar-benar sudah melampaui batas.
Mana sudi bangkotan tua dari Goa Bedakah itu
dibiarkan mempermainkan dirinya" Meski Pelukis
Sinting Tanpa Tanding adalah sahabat dekat
eyangnya, namun Siluman Ular Putih tetap tidak
dapat menerima tindakan yang merendahkan di-
rinya itu. Kini Siluman Ular Putih tidak lagi hanya
menghindar begitu melihat kuas di tangan Pelukis
Sinting Tanpa Tanding kembali memburu. Ia ha-
rus bertindak. Hadiah sinting dari tua bangka
sinting itu harus dihentikan. Maka kini kedua
tangannya mulai mengibas untuk memapak.
Plakkk! Plakkk!
Soma berhasil menangkis tangan Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Namun anehnya, tangan-
nya sendiri yang malah bergetar hebat. Tubuhnya
terjajar beberapa langkah ke belakang. Kesempa-
tan inilah segera dimanfaatkan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Sambil terkekeh-kekeh senang
kembali kuas di tangannya bergerak cepat meng-
gores dada Siluman Ular Putih beberapa kali.
Srattt! Srattt!
Siluman Ular Putih terperangah. Matanya
makin membelalak lebar saat melirik ke dada.
Gambar seekor monyet kurus mulai terlihat nyata
di dadanya. Hatinya geram bukan main. Kalau sa-
ja tua bangka di hadapannya bukan sahabat
eyangnya, sudah pasti akan dibalasnya kekuran-
gajaran Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Sementara Pelukis Sinting Tanpa Tanding
malah makin terkekeh senang. Ujung kuas di
tangan kanannya dituding-tudingkannya ke arah
Siluman Ular Putih.
"Ya ya ya...! Cukup bagus. Kukira kau me-
mang tak ubahnya seperti gambar lukisanku di
dadamu, Monyet Buduk. Sekarang, kau boleh
pergi! Eh, tunggu! Ada sesuatu yang ingin kuta-
nyakan Bocah. Apakah kau pernah melihat Pen-
gasuh Setan?" kata Pelukis Sinting Tanpa Tanding tiba-tiba mengubah alur
pembicaraan. Siluman Ular Putih yang sedang mengkelap
mana sudi menjawab pertanyaan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Soma hanya menggerutu kesal,
lalu menggeloyor pergi seenaknya.
"Monyet buduk! Kau tidak boleh meninggal-
kanku begitu saja. Kau harus menjawab perta-
nyaanku baru kau boleh pergi!" teriak Pelukis Sinting Tanpa. Tanding seraya
berkelebat, meng-hadang jalan Siluman Ular Putih.
Soma melotot garang. Namun diam-diam ha-
tinya jadi heran. Buat apa bangkotan tua itu
mencari Pengasuh Setan" Ia memang pernah
mendengar tentang Pengasuh Setan dari Eyang
Bromo. Dan baru sekarang disadari kalau Penga-
suh Setan adalah musuh besar Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. (Untuk lebih jelasnya baca serial
Siluman Ular Putih dalam episode : "Penguasa Alam" dan "Sengketa Takhta
Leluhur").
"Meski tahu, belum tentu aku sudi menja-
wab pertanyaanmu, Kakek Ompong!" sahut Soma, seenaknya.
"Apa" Kau tidak mau menunjukkan di mana
Pengasuh Setan berada, Monyet Buduk"!" sentak Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Kau sendiri yang punya keperluan. Buat
apa tanya-tanya aku segala. Tadi kau bilang, aku
bodoh. Kalau kau sendiri merasa lebih pintar, ke-
napa tidak kau tanyakan saja pada setan-setan
gentayangan penghuni hutan ini. Siapa tahu me-
reka mau berbaik hati padamu!"
"Ah...! Rupanya kau kecewa dengan hadiah-
ku, ya" Tapi kupikir, hadiahku tidak buruk. Ke-
napa kau tidak mau menunjukkan di mana Pen-
gasuh Setan berada, Monyet Buduk"!" kata si kakek. "Mau kecewa kek, tidak kek.
Yang jelas, kau telah menggangguku. Karena kau masih terhitung
sahabat dekat eyangku, maka kuampuni kelan-
canganmu ini. Tapi untuk menjawab perta-
nyaanmu, aku tak sudi! Dan lagi aku memang ti-
dak tahu di mana dia berada!" sahut Soma ketus.
Habis menyahut, tanpa banyak cakap murid
Eyang Begawan Kamasetyo meninggalkan tempat
itu. Kali ini Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terpaku di tempatnya. Tak ada
keinginan lagi untuk mengejar murid Eyang. Begawan Kamasetyo.
Yang dilakukannya hanya menggumam kecil, se-
belum akhirnya berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu. 7 Siang terasa cerah, angin bertiup kencang
membuat debu-debu beterbangan. Berputar-putar
ke mana saja arah angin membawa. Pohon-pohon
pun berderak. Daun-daun berguguran. Beterban-
gan ke hamparan tanah di sekitarnya.
Dari sebelah timur Hutan Besiar Kembar
seorang lelaki tua renta berpakaian hitam lusuh
tengah berkelebat cepat ke arah putaran angin.
Hidungnya yang pesek tak henti-hentinya men-
gendus-endus bak seekor anjing pelacak.
Sebentar-sebentar lelaki tua renta yang tak
lain Pengasuh Setan memperlambat gerakan ka-
kinya dalam keadaan masih mengendus-endus.
Seolah-olah ia tidak ingin kehilangan jejak bau
anyir darah muridnya yang dari tadi terus diikuti.
Namun begitu sampai di putaran angin, Pengasuh
Setan menggeram penuh kemarahan. Mendadak,
bau darah muridnya menghilang.
Sejenak Pengasuh Setan ragu-ragu. Mung-
kinkah si pembunuh muridnya lari ke utara"
Atau ia memang terkecoh oleh angin kencang
yang berkesiur" Sebab bukan mustahil angin
kencang itu bisa menyesatkan!
Untuk beberapa saat, Pengasuh Setan hanya
terpaku di tempatnya. Ia masih belum tahu apa
yang akan diperbuat. Yang dilakukan kini hanya
menatapi debu-debu dan daun-daun kering yang
beterbangan. Sementara hatinya sangat gelisah
kalau tidak dapat menemukan pembunuh murid-
nya. Padahal, ia ingin sekali menuntut balas atas kematian muridnya. "Angin
keparat! Bukannya
membantuku, malah mengacaukanku. Aku kehi-
langan jejak bau darah muridku. Huh...!" dengus Pengasuh Setan penuh kemarahan.
Hidung peseknya kembali mengendus-endus. Namun, bau
darah muridnya hanya tercium samar-samar.
Bahkan bisa jadi ia malah akan terkecoh.
Tiba-tiba Pengasuh Setan mendongak. Langit
amat cerah di atas sana. Gumpalan-gumpalan
awan putih bergerak cepat ke utara. Tak seperti
biasanya. Angin kali ini memang cukup kencang.
Hal ini sudah biasa bila musim kemarau berke-
panjangan. Pengasuh Setan tidak tertarik lagi memper-
hatikan sekitarnya. Perhatiannya kali ini kembali tersita oleh bau darah
muridnya yang sempat
menghilang. Bau di saat tiupan angin sedikit me-
reda, tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro ini
dapat mencium bau darah muridnya. Tidak ke
utara, melainkan ke barat. Berarti pelacaknya bi-
sa diteruskan. "Jelas sekali kalau pembunuh muridku lari
ke barat. Hm...! Untung saja aku belum bertin-
dak. Kalau tadi aku tidak sabar, sudah pasti akan terkecoh. Sial! Benar-benar
sial. Hampir saja aku, terkecoh oleh tiupan angin," rutuk Pengasuh Setan dalam
hati. Dan Pengasuh Setan memang tidak ingin lagi
berlama-lama di tempat itu. Sekali menjejak ta-
nah, tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah ber-
kelebat cepat ke barat. Hidungnya yang pesek tak
henti-hentinya mengendus mengikuti bau darah
muridnya yang hanya tercium samar-samar. Na-
mun belum jauh melangkah, mendadak penden-
garannya yang tajam menangkap langkah-
langkah halus di belakangnya.
*** "Mungkin inilah yang dinamakan pucuk di-
cinta ulam tiba. Dicari-cari ke mana-mana, eh ti-
dak tahunya kutemukan di sini!"
"Kau...!"
Sepasang mata indah Putri Manja membela-
lak lebar ketika Siluman Ular Putih memergo-
kinya di sebuah sendang. Gadis ini benar-benar
tidak ingin bertemu kembali dengan pemuda sint-
ing yang telah mengganggu kesenangannya se-
waktu di kedai makan milik Sukiat. Pertemuan-
nya kali ini benar-benar membuat hatinya meng-
kelap. Bila Putri Manja merasa menyesal sekali atas
pertemuan itu, tidak demikian halnya Soma. Pe-
muda ini dari tadi sudah kesal karena tidak me-
nemukan air untuk membasuh tubuhnya. Tapi
mendadak ia jadi tersenyum senang saat mene-
mukan Putri Manja kembali di sendang Hutan
Besiar Kembar. "Ya, aku. Senangkah bertemu kembali den-
ganku?" tukas Soma gembira. Senyum manisnya
mendadak diumbar lebar. Seolah dengan senyum
itu, ia ingin memikat kecantikan gadis di hada-
pannya. "Pergi-pergi! Aku benci padamu! Aku tak in-
gin bertemu lagi dengan kau!" usir Putri Manja.
Saat itu, Putri Manja memang bermaksud
mandi. Maka begitu melihat Soma telah berada di
hadapannya, pakaiannya urung dibuka. Sedang
Soma yang berada persis di hadapannya hanya
bersiul-siul gembira. Ia tadi memang sempat me-
lihat belahan dada gadis manja di hadapannya.
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka tak heran kalau pandang matanya masih
lekat pada dua bukit kembar itu. Walau si gadis
cantik telah mengenakan pakaiannya kembali.
Putri Manja mendelik, gusar. Kesal sekali ha-
tinya diperhatikan seperti itu oleh mata Soma.
"Pergi" Cepat tinggalkan tempat ini! Aku tak sudi lagi melihat tampangmu!" usir
si gadis. Soma meringis. Sungguh tidak disangka ka-
lau Putri Manja masih marah padanya.
"Kita kan teman. Apa kita tak bisa berbaikan lagi, Putri Manja?" bujuk Soma.
"Tidak. Aku benci padamu. Kau bukan te-
manku. Pergi!" usir si gadis, sekali lagi
"Oh..., begitu. Jadi kau mengusirku" Sejak
kapan kau jadi pemilik sendang ini. Kulihat kau
mau mandi. Aku juga. Aku mengusulkan bagai-
mana kalau kita mandi bersama?" goda Soma la-gi. "Cih! Tak tahu malu! Pemuda
macam apa kau ini"! Diusir malah berkata jorok. Pergi! Pergi!"
Putri Manja gusar bukan main. Cepat dica-
butnya senjata andalan yang terselip di pinggang.
Lalu dengan kemarahan meluap, gunting di tan-
gannya telah menyerang Siluman Ular Putih.
Crik! Crikkk! "Uts...!"
Soma berkelit ke samping. Sebenarnya kalau
mau, mudah saja Putri Manja dilumpuhkannya.
Tapi si pemuda tidak ingin melakukannya. Ia ti-
dak ingin Putri Manja membenci dirinya. Ma-
kanya, otaknya kini berputar mencari akal.
"Ciaaat...!"
Crikkk! Crikkkk!
Tanpa ampun gunting di tangan Putri Manja
terus memburu tubuh Siluman Ular Putih. Malah
kali ini gadis itu tak segan-segan mengeluarkan
jurus Tarian Bidadari setelah serangan perta-
manya tadi gagal. Tentu saja hal ini membuat Si-
luman Ular Putih kewalahan dan tak mungkin
menghindar terus menerus. Bisa-bisa tubuhnya
dijadikan serpihan daging oleh gunting Putri Man-
ja. Namun untuk balas menyerang, itu lebih tidak
mungkin. Makanya meski sesulit apa pun Silu-
man Ular Putih terus berusaha menghindar.
"Tunggu, Putri! Ada ulat bulu di pundakmu!
Hiy...! Aku takut. Aku.... Aku...," pekik Siluman Ular Putih, berdusta.
Akibatnya sungguh di luar dugaan. Putri
Manja menghentikan serangannya dan langsung
berteriak-teriak kalap. Ia berjingkrak-jingkrak ketakutan. Berkali-kali ujung
gunting di tangannya
digerakkan ke pundak berusaha mengusir ulat
bulu yang menurut Soma menempel di pundak.
"Belum jatuh. Ulatnya masih menempel di
pundakmu. Malah sebentar lagi akan merayap ke
tengkuk. Hiy! Ngeri. Aku takut. Sebaiknya aku
cepat pergi dari tempat ini. Selamat tinggal!" kata Soma, terus menakut-nakuti.
"Soma...! To... tolong aku!" ratap Putri Manja, berteriak ketakutan. Wajahnya
kian pucat pasi.
"Lho" Bukankah tadi kau mengusirku" Ke-
napa sekarang aku harus menolongmu" Aku ti-
dak mau. Aku juga takut dengan ulat bulu," goda Soma. Diam-diam Soma tersenyum
senang melihat siasatnya berjalan lancar.
"Soma...! Aku tidak lagi mengusirmu. Cepat
ambil ulat bulu di pundakku!" pinta Putri Manja penuh harap.
Soma tetap jual mahal. Hatinya begitu se-
nang melihat kekalapan Putri Manja.
"Soma...! Cepat tolong aku, Soma. Aku ta-
kut...!" pinta Putri Manja memelas.
Lama-lama, Soma jadi kasihan. Kali ini Putri
Manja benar-benar mulai menitikkan air mata.
Tak mungkin gadis itu dibiarkan tersiksa lebih
lama. "Baik. Tapi ada syaratnya," kata Soma me-nyanggupi
"Iya, iya. Syarat apa pun akan kupenuhi, as-
al yang bukan-bukan," sahut Putri Manja.
"Benar?"
"Benar. Cepat ambil ulat itu!" pekik Putri Manja tak sabar.
"Baik."
Soma tersenyum gembira. Memang siasat
itulah yang diinginkannya. Tanpa banyak cakap
segera didekatinya Putri Manja. Namun kini ma-
lah Soma yang jadi bingung sendiri. Karena me-
mang, di pundak Putri Manja tidak ada ulat bulu.
Tadi itu hanya akalnya saja. Sekarang setelah
disuruh mengambil ulat bulu di pundak Putri
Manja, Soma jadi berpikir. Ia harus menemukan
ulat bulu. Kalau tidak, bisa jadi Putri Manja ma-
kin kalap karena telah dibohongi. Ini berarti ma-
kin memperdalam kemarahan gadis manja itu.
"Kenapa diam saja" Cepat ambil, Soma!" teriak Putri Manja, melihat Soma hanya
terpaku. "Aku... Aku tid... tid... Eh, maksudku.... Aku takut, Putri. Ngeri! Aku tak berani
mengambil,"
sahut Soma beralasan.
"Soma...!!!" pekik Putri Manja makin kalap.
"I... Iya. Aku.... Aku... bagaimana kalau
kuambil pakai kayu saja?" kata Soma, gugup.
"Soma! Kau benar-benar menjengkelkan. Ce-
pat ambil ulat itu!" teriak Putri Manja.
Tanpa peduli, Soma malah melompat ke se-
buah pohon. Dalam hatinya, ia harus cepat men-
dapatkan ulat bulu. Kalau tidak, bisa kapiran.
Untungnya di saat Soma mendarat di sebuah po-
hon, tiba-tiba matanya melihat seekor ular bulu
besar berwarna hitam mirip warna ranting pohon
di depannya. Soma bersorak kegirangan. Buru-buru dipa-
tahkannya ranting pohon itu lalu segera meloncat
turun. Di bawah, Putri Manja masih saja berteriak-
teriak kalap. Ia benar-benar takut pada ulat bulu.
Sementara hatinya juga tak melihat Soma pun ta-
kut pada ulat bulu. Maka begitu melihat Soma tu-
run, Putri Manja pun segera menghampiri murid
Eyang Begawan Kamasetyo.
Tanpa banyak cakap, Soma pura-pura
menggerak-gerakkan ranting kayu di tangannya
ke pundak Putri Manja. Lalu segera ditunjukkan-
nya ranting kayu di tangan kanannya ke arah Pu-
tri Manja. Putri Manja memekik senang. Tanpa sadar
segera dirangkulnya Soma.
Siluman Ular Putih tersenyum. Senang seka-
li mendapat pelukan hangat dari gadis manja itu.
"Cepat, Soma! Bunuh ulat itu. Aku takut.
Takut sekali!" rajuk Putri Manja, menggemaskan.
"Baik."
Soma segera menjentikkan jari-jarinya. Se-
kali saja. Akibatnya, tubuh ulat bulu itu telah
mencelat jauh dengan tubuh hancur.
"Nah, sudah. Ulat bulu itu sudah mati. Seka-
rang tinggal giliranmu. Kau tidak boleh memben-
ciku. Kau harus patuh padaku. Kau harus jadi
teman baikku. Kau harus...."
"Soma!" potong Putri Manja. "Cepat kau membelakangiku! Aku tak ingin kau
melihatku."
"Lho" Jadi, kau masih membenciku?" Soma terperangah.
Putri Manja tersenyum. Manis sekali, mem-
buat Soma melongo.
"Tidak. Aku tidak membencimu. Aku cuma
mau mandi. Sejak tadi pagi aku belum mandi.
Nah sekarang cepat belakangi aku!" seru Putri Manja.
"Tapi aku juga mau mandi. Bagaimana kalau
kita mandi bersama," usul Soma.
"Enak saja! Cepat belakangi aku!"
"Ba... baik."
"Nah, begitu. Awas kalau kau coba-coba
mengintip. Kupotong lehermu dengan guntingku
ini!" "Iya, iya. Cepat. kalau kau mau mandi. Aku juga panas. Sudah dua hari aku
belum mandi. "Pantas baumu mirip kerbau!" ledek Putri Manja, lalu disusul suara tawanya yang
menggeli-tik. Soma hanya diam saja. Meski dalam hatinya
menggerutu, namun toh menurut juga. Sedikit
pun kepalanya tak berani dipalingkan ke bela-
kang. Selain tak berani, juga malu pada dirinya
sendiri. Selang beberapa saat Soma baru mendengar
suara tawa saat gadis manja itu tengah bermain
air. Diam-diam pemuda itu jadi iri. Tubuhnya te-
rasa panas. Bukannya karena membayangkan so-
sok tubuh mulus di belakangnya, melainkan ka-
rena memang sudah kebelet sekali ingin mandi.
"Cepat, Putri! Memangnya hanya kau saja
yang ingin mandi"!" ujar Soma tak sabar.
"Hik hik hik...! Enak sekali, Soma. Segar.
Rasa-rasanya ingin sekali aku berlama-lama
mandi. Awas, Soma! Kau tidak boleh mengin-
tipku. Aku masih ingin berenang sebentar" sahut Putri Manja seenaknya.
Soma manyun berat. Suara kecipak-kecipuk
di belakangnya benar-benar menggoda hatinya.
Hatinya tak sabar lagi untuk berendam dalam air.
Syukur bisa bersama-sama gadis manja itu. Na-
mun sialnya, gadis di belakangnya malah seperti
menggoda. "Cepat, Putri! Aku tidak sabar lagi. Kalau
kau tidak mau cepat-cepat, terpaksa aku akan
nekat menemanimu mandi," ancam Soma.
"Jangan, Soma! Jangan!" teriak Putri Manja.
"Makanya cepat!"
"Baik, baik."
"Soma tersenyum. Senang sekali hatinya me-
lihat gadis itu ketakutan mendengar ancamannya.
Namun bukan itu saja yang membuat hatinya se-
nang. Melainkan air di belakangnya.
*** "Ompong! Bagus kau datang menemuiku.
Kali ini tak mungkin kau luput dari kematianmu!"
Dengan bentakan kasar, Pengasuh Setan
menghentikan langkahnya dan berbalik. Sepa-
sang matanya yang cekung tampak berwarna me-
rah saga menatap lelaki tua berjubah kuning ke-
dodoran yang tak lain Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Dengusan napasnya memburu, pertanda
tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro itu mu-
lai dipenuhi hawa membunuh. Hawa yang akan
diwarnai pertumpahan darah!
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang. Sungguh tidak disangka ia akan bertemu
musuh besarnya di tempat ini.
"Manusia bejat! Beruntung sekali aku berte-
mu denganmu. Beruntung sekali karena sebentar
lagi aku akan mengirim nyawa busukmu ke dasar
neraka. Belum puas aku kalau belum melam-
piaskan sakit hatiku," sahut Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh senang.
Pengasuh Setan mendengus angkuh. Kilatan
sepasang matanya yang berwarna merah saga
semakin mengerikan. Seolah ia ingin menelan
musuhnya hidup-hidup dalam kilatan matanya.
"Tak perlu banyak bacot! Kalau kau ingin
melampiaskan sakit hatimu, majulah! Aku ingin
melihat sampai di mana kehebatanmu," tantang Pengasuh Setan.
Pengasuh Setan mengangguk-angguk, mera-
sa yakin kalau tua bangka di hadapannya bukan-
lah pembunuh muridnya. Hidungnya sama sekali
tidak mencium bau darah muridnya pada diri Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding. Yang tercium hanya
bau keringat tua bangka di hadapannya. Apek!
"He he he...! Lagakmu dari dulu selalu pon-
gah, Pengasuh Setan. Aku benar-benar benci
dengan lagakmu. Kau memang patut mampus di
tanganku," kata Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Pengasuh Setan menggereng penuh kemara-
han. Hawa membunuh dalam dirinya makin ber-
kobar. Rahangnya mengembung, tak ubahnya se-
perti bisul yang siap pecah.
"Heaaaa...!"
Disertai bentakan membelah angkasa, Pen-
gasuh Setan meluruk ke arah musuh besarnya.
Tanpa banyak cakap kedua telapak tangannya
yang telah berubah jadi hitam legam segera dido-
rongkan ke depan.
Wuuttt...! "Uts...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding cepat melent-
ing ke atas, sehingga serangan dua larik sinar hitam dari kedua telapak tangan
Pengasuh Setan melesat di bawah kakinya.
Blarrr...! "Heh..."!"
Begitu mendarat, Pelukis Sinting Tanpa
Tanding terkesiap. Matanya terbelalak lebar saat
melirik ke arah tempat kedua sinar hitam tadi
menghantam. Sebuah batang pohon berukuran
lima pelukan orang dewasa di belakang Pelukis
Sinting Tanpa Tanding kontan hancur berkeping-
keping. Pada bagian batang pohon yang terkena
pukulan kontan menjadi abu.
"Pukulan 'Bara Setan'...!" desis Pelukis Sinting Tanpa Tanding
Pengasuh Setan menggeretakkan geraham-
nya penuh kemarahan. Hawa membunuh dalam
dirinya makin berkobar. Bahkan makin sulit di-
kendalikan! 8
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Soma! Apakah kau tadi sudah mengirim be-
gundal-begundal itu ke kadipaten?" tanya Putri Manja mengusik kesenangan Soma di
tengah sendang. "Begundal-begundal yang mana?" sahut So-
ma tak senang. Putri Manja memberengut. Tak senang men-
dengar jawaban Soma yang ketus.
"Juragan Lanang dan kesepuluh orang anak
buahnya, Soma. Apakah kau sudah membawa
mereka ke kadipaten?" seru Putri Manja kesal.
"Belum."
"Apa" Belum?" Sepasang mata indah milik Putri Manja kontan membelalak indah. Ia
kecewa sekali atas jawaban Soma.
"Kau sudah mendengar. Kenapa pakai tanya-
tanya segala?"
"Bodoh! Seharusnya kau mengirim mereka
ke kadipaten. Tapi, mengapa kau malah dibiarkan
berkeliaran. Kau ini bagaimana, sih"! Kerja begitu saja tidak becus!" semprot
Putri Manja kasar.
Soma tidak mempedulikannya. Pemuda ini
terus saja asyik berenang ke sana kemari mem-
biarkan Putri Manja uring-uringan di tepi sen-
dang. "Soma...! Kau benar-benar menjengkelkan.
Aku tak sudi berkawan lagi denganmu!" teriak Putri Manja.
Soma terkesiap, baru menyadari kebodohan-
nya. Namun mana kala kepalanya berpaling, So-
ma jadi menyesal Putri Manja kini sudah tidak
berada di tempatnya. Buru-buru Soma keluar da-
ri sendang. "Putri...! Tunggu! Kau jangan marah-marah
begitu! Aku tadi sudah menyuruh laki-laki pemi-
lik kedai itu untuk membawa mereka ke kadipa-
ten," teriak Soma lantang, saat melihat Putri Man-
ja melangkah menjauhi.
"Dasar bodoh. Bisa saja laki-laki mata keranjang itu" Kenapa kau suruh ia
membawa Juragan
Lanang dan para anak buahnya ke kadipaten"
Benar-benar bodoh kau, Soma!" sahut Putri Man-ja dari kejauhan.
"Putri...! Tunggu! Kau sendiri kenapa tadi
meninggalkanku" Kau curang! Kau mau menang-
nya sendiri, Putri?" teriak Soma.
"Biar!"
Soma menggerutu kesal. Sebenarnya ia ingin
menyusul Putri Manja, namun tak jadi. Bukannya
tidak mau, tapi karena menyadari dirinya masih
telanjang. Bila tidak ingin ditertawakan orang,
maka pemuda ini harus kembali ke tempatnya
semula dan mengenakan pakaiannya kembali
Dan meski dengan hati berat, terpaksa Soma
mengenakan pakaiannya kembali. Sedang sosok
tubuh Putri Manja tampak terus berkelebat cepat
di kejauhan. Soma mengeluh, tapi tak ada pilihan lain.
*** Sepasang mata merah Pengasuh Setan berki-
lat-kilat penuh kemarahan setelah serangan per-
tamanya terhadap Pelukis Sinting Tanpa Tanding
gagal. Bahkan amat mudahnya serangan itu di-
mentahkan musuh bebuyutannya.
Sifat angkuhnya jelas tidak bisa menerima
kegagalan barusan. Ia yang merasa setingkat le-
bih tinggi dibanding. Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing jelas tidak ingin kalah unjuk gigi. Apalagi Pengasuh Setan yakin sekali
dapat menundukkan
musuh bebuyutannya.
"Bagus! Rupanya kau masih ingat pukulan-
ku. Berarti kau pun harus mengingat-ingat kalau
pukulan 'Bara Setan' milikku akan segera mengi-
rim nyawa busukmu ke dasar neraka. Bersiap-
siaplah menerima kematianmu hari ini, Ompong!"
ancam Pengasuh Setan, congkak.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terke-
keh senang. Meski disadari betul kalau Pengasuh
Setan bukanlah lawan enteng, namun sikapnya
masih saja ayal-ayalan. Malah tindak tanduknya
makin dibuat-buat.
"Kau memang hebat sekaligus juga congkak,
Pengasuh Setan. Dulu kau boleh mempecundan-
giku. Tapi kali ini...," Pelukis Sinting Tanpa Tanding sebentar berhenti berkata
seraya memamer-
kan giginya yang ompong. Kuas di tangan kanan-
nya dikibas-kibaskan seenaknya. "Mungkin na-
sibku akan sedikit mujur. Kujamin kau akan ber-
susah payah menundukkanku. Tidak seperti yang
kau bayangkan. Malah bisa jadi kau akan lari
terbirit-birit meninggalkan tempat pertarungan
begitu melihat cat-cat minyakku. Kau pasti telah
siap kuberi hadiah. Kau mau minta gambar apa"
Gambar anjing buduk" Atau, gambar ular belu-
dak sepertimu?"
Bukan main geramnya Pengasuh Setan
mendengar ejekan Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Rahangnya kini mengembung. Kedua pelipisnya
bergerak-gerak pertanda tokoh sesat dari puncak
Gunung Sindoro itu tak dapat lagi mengendalikan
amarahnya yang menggelegak.
"Keparat! Kau harus membayar mahal atas
penghinaanmu ini, Ompong! Heaaa!"
Dikawal teriakan nyaring, Pengasuh Setan
segera menerjang ganas Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah hitam legam segera didorong ke depan. Se-
ketika tampak dua larik sinar hitam legam dari
kedua telapak tangannya, mengancam lawan.
Wesss! Wesss! "Hup!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tak mau sem-
brono. Sebagai tokoh silat tingkat tinggi, ia cukup tahu betapa hebatnya pukulan
'Bara Setan' milik
Pengasuh Setan. Maka seketika tubuhnya mence-
lat tinggi ke udara. Sekali tubuhnya berputaran.
Pada saat kepala di bawah, tubuhnya meluncur
dahsyat membuka serangan balik. Ujung kuas di
tangan kanannya segera diarahkan ke ubun-ubun
kepala lawan. Sedang nampan kayu mirip berben-
tuk mainan congklak telah siap pula mengancam
dada. "Ah...!"
Pengasuh Setan terperangah kaget. Sungguh
tidak disangka musuh bebuyutannya mampu me-
lancarkan serangan balik demikian cepat dan
berbahaya. Untuk melindungi bagian yang amat
mematikan, segera kedua telapak tangannya di-
angkat ke atas.
Dukkk! Dukkkk! Begitu dua tangan masing-masing berbentu-
ran, kedua-duanya sama-sama tergetar. Tubuh
Pengasuh Setan limbung ke samping. Sedang tu-
buh Pelukis Sinting Tanpa Tanding mental balik
ke udara. Pengasuh Setan menggeram penuh kemara-
han. Kedua lengannya terasa panas bukan main.
Bukan itu saja. Pada saat ia kehilangan keseim-
bangan, mendadak Pelukis Sinting Tanpa Tanding
yang telah mendarat kembali menyerang dengan
kuas di tangan.
Srat! Srattt! Dada Pengasuh Setan yang sedikit terbuka
tahu-tahu tergores kuas di tangan musuh besar-
nya, membentuk dua garis setengah melingkar
menyerupai sebuah kepala. Entah kepala apa.
Yang jelas Pengasuh Setan merasa gusar bukan
main. Bahkan dadanya yang terkena goresan
kuas tadi terasa mau jebol. Maka tanpa ampun,
tubuhnya pun terjajar ke belakang!
"Bedebah! Demi iblis sesembahanku, kali ini
aku benar-benar tak ingin melepaskan nyawa bu-
sukmu begitu saja. Kau harus modar di tangan-
ku!" dengus Pengasuh Setan menggereng penuh
kemarahan. Habis menggereng, tanpa banyak cakap lagi
Pengasuh Setan segera menerjang Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Tidak tanggung-tanggung. Lang-
sung dikeluarkannya salah satu ajian andalan-
nya. "Hm.... Aji 'Tangkal Petir'...!" desis Pelukis Sinting Tanpa Tanding,
menyebut ajian yang dikeluarkan Pengasuh Setan.
Dari raut wajahnya yang jenaka sedikit pun
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tidak merasa takut
melihat musuh besarnya mengeluarkan aji
'Tangkal Petir'. Malah seketika dia membuat bebe-
rapa gerakan dengan kuasnya.
"Akan kutandingi dengan aji 'Cat Hati Suci',"
gumamnya. Begitu Pengasuh Setan menangkupkan ke-
dua telapak tangannya di depan dada, seketika
tampak sekujur tubuhnya telah dipenuhi cahaya
merah berpendar. Sementara kedua telapak tan-
gannya pun juga berwarna merah menyala. Lalu
disertai teriakan keras kedua tangannya dihen-
takkan ke depan.
"Heaaa...!"
Wesss! Wesss! Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh. En-
tah karena musuh besarnya telah mengeluarkan
ajian andalannya, entah karena tak sabar meng-
hadapi pertarungan besar ini. Yang jelas begitu
melihat dua larik sinar merah menyala meluruk
ke arahnya, buru-buru nampan kayu di tangan
kirinya diangkat tinggi-tinggi.
Ketika cairan cat beraneka warna itu mendi-
dih di dalam nampan kayu berhamburan, dengan
kekuatan tenaga dalam tinggi Pelukis Sinting
Tanpa Tanding meniupnya keras!
"Fhuhhh...!"
Werrr! Werrrr! Besss! Tak terdengar ledakan hebat ketika dua si-
nar merah milik Pengasuh Setan saling mendo-
rong dengan hamburan cat milik Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Tubuh kedua tokoh tua dunia
persilatan itu sama-sama tergetar hebat menan-
dakan kalau mereka sama-sama mengerahkan
tenaga dalam tinggi. Namun mereka tetap ngotot
untuk tetap bertahan. Sedikit pun mereka tidak
mau mengalah. Bahkan kedua tokoh sakti dunia
persilatan itu makin melipatgandakan tenaga da-
lam, hingga membuat gulungan-gulungan cat mi-
nyak Pelukis Sinting Tanpa Tanding tertahan di
udara. Tanpa dapat dicegah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding mengeluarkan keringat dingin. Demikian
juga Pengasuh Setan. Mereka pun sama-sama
mengeluarkan keluhan kecil. Tubuh kedua orang
itu pun makin bergetar hebat. Sebentar-sebentar
Pengasuh Setan merasakan tubuhnya menggigil
kedinginan. Sebentar kemudian gantian Pelukis
Sinting Tanpa Tanding yang merasakan tubuhnya
seperti terbakar.
"Heaaa...!"
Begitu berhasil menambah kekuatan tenaga
dalamnya, dengan kekuatan penuh mendadak Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding meniup keras. Aki-
batnya tubuh Pengasuh Setan limbung, kehilan-
gan keseimbangan. Bahkan bukan itu saja. Seca-
ra mendadak, gulungan-gulungan semburan cat
minyak milik Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus
merangsak dua larik sinar merah menyala dari
kedua telapak tangannya.
Blasss...!!! "Aaaakh...!"
Pengasuh Setan meraung setinggi langit.
Tanpa ampun gulungan cat minyak dari nampan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding merangsak da-
danya, membentuk gambar seekor anjing buduk
seperti yang dikatakan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding tadi. Bukan main geramnya hati tokoh sesat dari
Gunung Sindoro itu melihat dirinya dapat dipe-
cundangi musuh besarnya. Bagian dadanya yang
terkena hantaman semburan cat minyak Pelukis
Sinting Tanpa Tanding dingin luar biasa, seolah
dingin membekukan jantungnya.
Tentu saja hal ini membuat Pengasuh Setan
kalap. Tekadnya, serangan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding harus dibalasnya. Tapi sayang baru Saja
hendak membuat kuda-kudanya, samar-samar
matanya melihat kuas di tangan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding telah menyerang dadanya. Begitu
cepatnya, sehingga ia tak mampu menghindar.
Dan.... Srakkk! Srakkk!
"Aaakh...!"
Sekali lagi Pengasuh Setan meraung hebat.
Tubuhnya seketika terpelanting ke belakang, dan
jatuh berdebam. Bagian dadanya yang terkena
goresan kuas terasa nyeri bukan main. Seolah-
olah, ingin mengoyak isi dadanya.
Sembari bertolak pinggang Pelukis Sinting
Tanpa Tanding terkekeh ujung kuas di tangan
Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kanannya dituding-tudingkan ke arah Pengasuh
Setan. Gayanya mirip benar nenek-nenek cerewet
yang tengah memarahi cucunya.
"Kubilang apa" Dasar bandel. Lebih baik bu-
nuh diri saja daripada tanganku kotor oleh darah
busukmu. Hayo, lekas minta ampun padaku. Pas-
ti aku akan mengampuni. Tapi kalau kau masih
bandel, pasti aku akan menjewer telingamu sam-
pai merah!" ancam Pelukis Sinting Tanpa Tanding, galak. Tapi karena diucapkan
sambil cen- gengesan bukannya jadi tampak galak, malah se-
baliknya. "Heaaahh...!"
Pengasuh Setan menggeram murka. Dengan
sekali loncat, tubuhnya kembali tegak di hadapan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Kali ini, ia tidak langsung menyerang, melainkan
memandangi musuh besarnya seksama.
"Hebat! Rupanya kau sengaja menghilang
dari dunia persilatan hanya untuk mencari ajian
yang dapat melumpuhkan aji 'Tangkal Petir'-ku,
Ompong. Tapi jangan bangga dulu. Aku belum
Dewi Goa Ular 3 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Jejak Di Balik Kabut 13