Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 13

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 13


Akulah Pangeran Benawa itu."
Ki Sanggakaya dan Ki Suratapa itu justru terkejut. Sejenak
mereka justru bagaikan membeku. Namun kemudian Ki
Sanggakaya itupun berkata, "Kau berkata sebenarnya?"
"Bukankah jawaban itu yang kau kehendaki?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedua orang itu saling berpandangan. Justru pengakuan
yang tiba-tiba itu membuat mereka menjadi ragu-ragu.
Tetapi Paksilah yang kemudian terkejut. Ia melihat Wijang
benar-benar mengambil cincin permata tiga yang disimpannya
dan menunjukkannya kepada orang itu. "Inikah yang kau
cari?" Paksi bergeser mendekat sambil berdesis, "Apakah kau
kena sihirnya?" Tetapi Wijang hanya tersenyum saja. Bahkan
diserahkannya cincin itu kepada Ki Sanggakaya.
Ki Sanggakaya menjadi bagaikan bermimpi. Diterimanya
cincin bermata tiga butir batu akik itu. Cincin yang menjadi
buruan banyak orang. Para pemimpin padepokan dari
berbagai aliran. Bahkan keluarga istana sendiri.
Tiba-tiba cincin itu sudah berada di tangannya.
Ki Sanggakaya mencium cincin itu sambil berdesis, "Akulah yang akhirnya memiliki cincin ini."
Namun Wijangpun kemudian bertanya, "Tetapi kenapa kau
berniat mengkhianati Ki Rangga Sumawerdi yang kau duga
akan berkhianat pula kepada Harya Wisaka" Bukankah Ki
Rangga Sumawerdi termasuk seorang yang setia?"
"Darimana kau tahu bahwa kami menduga tentang
kemungkinan pengkhianatan Ki Rangga Sumawerdi terhadap
Harya Wisaka?" "Bukankah kau dan saudaramu itu tadi membicarakannya"
Dari pembicaraan kalian pula aku mendengar bahwa kalian
berniat mengkhianati Ki Rangga Sumawerdi."
"Sudahlah," berkata Ki Sanggakaya, "apapun yang ingin kami lakukan, akan kami lakukan."
"Nah, sekarang pergilah. Jangan memburu Pangeran
Benawa lagi. Cincin itu sudah ada di tanganmu."
Ki Sanggakaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika
aku pergi, maka kau tentu akan menertawakan aku. Alangkah
dungunya aku dan saudaraku itu."
"Kenapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Seperti katamu, kau punya mulut yang dapat berceritera
kepada Ki Rangga Sumawerdi atau kepada Harya Wisaka."
"Jadi?" "Sayang, anak muda, bahwa kami tidak dapat membiarkan
kalian berdua pergi."
"Tetapi bukankah kalian sudah berjanji?"
"Janji kadang-kadang dapat dilupakan."
"Tetapi kau sudah bersumpah disaksikan langit dan bumi.
Jika kau melanggar sumpahmu, maka nyawamu kau
pertaruhkan." Ki Sanggakaya itu tertawa. Katanya, "Kau percaya kepada
sumpah seseorang" Sumpah sama halnya dengan janji.
Karena itu terimalah nasibmu yang buruk. Kalian berdua akan
mati. Pangeran Benawa akan mati. Aku tidak tahu siapakah
anak muda yang menyertai Pangeran Benawa ini. Tetapi
nasibnya sama buruknya dengan nasib Pangeran Benawa. Aku
akan menemui Ki Rangga Sumawerdi dan mengatakan bahwa
aku tidak bertemu dengan Pangeran Benawa."
"Tetapi kami berdua masih belum ingin mati."
"Terima sajalah nasib kalian. Kalian tidak mempunyai
pilihan lain." "Tetapi ingat, Ki Sanak. Kau dan saudaramu akan dimakan
oleh sumpahmu sendiri."
Ki Sanggakaya masih saja tertawa. Ki Suratapa pun tertawa
pula. Bahkan Ki Suratapa itupun berkata, "Aku memang
merasa kasihan kepada kalian berdua. Apalagi kepada
Pangeran Benawa. Seorang anak raja yang akan mati di
tengah-tengah bulak. Meskipun demikian, aku masih ingin
berbaik hati. Aku akan membunuh salah seorang dari kalian
dengan cara yang paling baik. Aku akan mematahkan lehernya
sehingga ia akan mati seketika tanpa merasakan sakit."
Tetapi Wijangpun menyahut, "Jika kalian ingkar, sejauh
dapat kami lakukan kami akan melawan."
"Sia-sia anak muda. Kami berdua adalah kepercayaan Ki
Rangga Sumawerdi. Tidak ada orang yang dapat melawan
kami, meskipun seorang pangeran."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang tidak menjawab lagi. Tetapi ia memberi isyarat
kepada Paksi untuk bersiap.
Dalam pada itu, sekali lagi Ki Sanggakaya mencium cincin
bermata tiga itu. Kemudian cincin itu disimpannya di ikat
pinggang kulitnya sambil berkata, "Bersiaplah untuk mati, Pangeran."
Wijangpun kemudian mempersiapkan dirinya untuk
menghadapi Ki Sanggakaya, sementara Paksipun telah bersiap
menghadapi Ki Suratapa. Sambil tertawa Ki Suratapa itupun berkata, "Jadi, ada
gunanya pula tongkatmu itu. Meskipun demikian, segalanya
akan menjadi sia-sia."
Paksi tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap untuk
menghadapi Ki Suratapa. Sejenak kemudian Ki Suratapapun telah mulai bergeser.
Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang. Namun Ki
Suratapa itu harus mengurungkan serangannya ketika ia
melihat tongkat Paksi berputar melindungi tubuhnya.
Sambil tertawa Ki Suratapapun berkata, "Ternyata kau juga memiliki kemampuan bermain dengan tongkatmu. Bagus.
Rasa-rasanya memang kurang menyenangkan untuk
membunuh kelinci sakit-sakitan."
Paksi tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Dalam pada itu, Ki Sanggakayapun sempat melihat Paksi
mempersiapkan diri menghadapi Ki Suratapa. Sambil tertawa
iapun berkata kepada Wijang, "Anak muda yang kau akui
sebagai adikmu itu mencoba untuk melawan. Tetapi itu akan
mempersulit dirinya sendiri. Kaupun sebaiknya tidak usah
melawan, karena itu hanya akan sia-sia saja."
Tetapi Wijang menjawab lantang sehingga juga didengar
oleh Ki Suratapa, "Mungkin kami tidak mampu melawan
kalian. Tetapi kalian tidak akan mampu melawan diri kalian
sendiri." "Kenapa kami harus melawan diri kami sendiri?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau sudah mengucapkan sumpah yang disaksikan bumi
dan langit. Jika kau langgar sumpahmu, maka nyawamu dan
nyawa saudaramu kau pertaruhkan."
"Cukup," teriak Ki Sanggakaya. "Sudah aku katakan, aku tidak pernah menghargai sumpah dan janji."
"Mungkin kau tidak menghargainya. Tetapi mulut orang
yang berilmu tinggi itu biasanya mempunyai kekuatan yang
tidak dapat diurai dengan nalar. Karena itu, maka kau tidak
akan mampu melawan sumpahmu sendiri."
"Diam," Ki Sanggakaya berteriak semakin keras.
Namun keempat orang itu berada di tengah-tengah bulak
yang luas. Adalah kebetulan bahwa tidak ada orang yang
sedang bekerja di sawah. Sehingga karena itu, maka suara Ki
Sanggakaya bergetar di udara tanpa menyentuh telinga orang
lain kecuali mereka berempat.
Wijang tersenyum. Katanya, "Jangan menyesali sumpahmu
sendiri. Kau masih mempunyai waktu. Jika kau biarkan kami
pergi, maka kau tidak akan dimakan oleh sumpahmu sendiri,
karena kau sudah menepatinya."
Kemarahan Ki Sanggakaya telah sampai ke ubun-ubunnya.
Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang dengan
garangnya. Namun Wijangpun telah bersiap. Dengan tangkasnya ia
mengelakkan serangan itu, sehingga serangan Ki Sanggakaya
tidak menyentuhnya. Namun Ki Sanggakaya tidak berhenti. Iapun segera
meloncat memburu, menyerang Wijang seperti badai.
Wijang berloncatan menghindar. Namun masih terdengar
suara tertawanya. Katanya, "Tentu kau biasanya tidak terlalu lamban seperti orang tua pikun. Biasanya kau tentu tangkas
dan garang. Tetapi kali ini segala-galanya telah dibatasi oleh sumpahmu sendiri."
"Gila. Gila. Aku koyakkan mulutmu."
Serangan Ki Sanggakaya itupun menjadi semakin garang
dan semakin cepat. Tetapi lawannya adalah Pangeran Benawa
sendiri. Seorang pemuda yang ilmunya sulit untuk dijajagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka pada saat-saat serangan Ki Sanggakaya
datang membadai, justru Ki Sanggakayalah yang berteriak
kesakitan. Tangan Wijang sempat menyusup di antara
serangan-serangan Ki Sanggakaya sehingga beberapa langkah
ia meloncat surut. Tetapi Wijanglah yang memburunya kemudian. Serangan-
serangan Wijang yang cepat dan keras sulit untuk dielakkan.
Dalam pada itu, Ki Suratapa yang bertempur melawan
Paksi pun telah mengerahkan kemampuannya. Ia ingin
menyelesaikan anak muda itu dengan cepat. Keberhasilan Ki
Sanggakaya mendapatkan cincin yang sedang diburu oleh
banyak orang itu memberikan kebanggaan hatinya.
Namun kebanggaan itu menjadi larut ketika serangan-
serangan Paksilah yang justru mulai mengenai tubuhnya.
Ki Suratapa tidak mau mengalami kesulitan karena tongkat
Paksi. Karena itu, maka iapun segera menarik parangnya yang
besar dan berkilat-kilat.
Tetapi justru karena itu, maka Paksipun segera
mengetahui, bahwa parang lawannya adalah parang
kebanyakan. Sejenak kemudian, maka parang Ki Suratapa itupun telah
berputar. Dengan Geram Ki Suratapa itupun berkata, "Aku
akan memenggal lehermu dan melemparkan lehermu di
halaman rumah pamanmu itu."
"Jika saudaraku itu Pangeran Benawa, maka rumah itu tadi
tentu bukan rumah pamanku," jawab Paksi.
"Persetan," geram Ki Suratapa.
Tetapi demikian mulutnya terkatup, maka tongkat Paksi
telah menembus putaran pedangnya mengenai pundaknya.
Ki Suratapa mengaduh kesakitan. Demikian kerasnya ujung
tongkat itu mendorong pundaknya, sehingga Ki Suratapa itu
terputar setengah lingkaran. Keseimbangannyapun menjadi
goyah. Hampir saja ia terjatuh, namun Ki Suratapa berhasil
memperbaiki keseimbangannya, sehingga iapun kemudian
telah berdiri tegak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi wajahnya menjadi merah ketika ia melihat Paksi
berdiri sambil berpegangan tongkatnya. Terdengar suara
tertawa anak muda itu. Katanya, "Hati-hatilah sedikit, Ki Sanak. Bukankah kau utusan pribadi Ki Rangga Sumawerdi"
Kau tentu seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki
ilmu yang tidak terlawan. Hanya karena kau terlalu
merendahkan aku, maka ujung tongkatku sempat
mengenaimu." "Aku akan mengoyakkan mulutmu," geram orang itu.
Tiba-tiba saja Ki Suratapa itu meloncat sambil
mengayunkan pedangnya ke arah leher Paksi. Namun Paksi
telah menyilangkan tongkatnya untuk menangkis serangan itu.
Ki Suratapa yang melihat gerakan tongkat Paksi telah
menarik serangannya. Tiba-tiba saja ujung serangannya itu
telah menjurus ke arah jantung.
Namun dengan tangkasnya, Paksi meloncat ke samping,
sehingga ujung parang itu tidak menyentuhnya. Bahkan
tongkat Paksilah yang berputar dengan cepat menyambar
lambung. Ki Suratapa tidak sempat mengelak. Parangnyalah yang
bergerak cepat menangkis serangan anak muda itu.
Ternyata itu membuat tangan Ki Suratapa menjadi panas.
Hampir saja parangnya meloncat dari tangannya karena
benturan yang terjadi. Demikian tergesa-gesa ia menangkis
serangan Paksi, sehingga genggaman tangannya menjadi
kurang mapan. Tetapi Ki Suratapa yang meloncat mengambil jarak sempat
memperbaiki keadaannya. Untuk sesaat ia
menggenggam parangnya di tangan kirinya.
Dengan tajamnya ia memandang Paksi yang berdiri tegak
dengan dada tengadah. Ia sudah benar-benar bersiap untuk
memasuki satu pertarungan yang menentukan. Dengan sadar
Paksi telah siap menghadapi Ki Suratapa yang berilmu tinggi.
Ia tidak mau merendahkan lawannya meskipun pada benturan
pertama, Paksi tidak banyak mengalami kesulitan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di sisi yang lain, Wijang bertempur melawan Ki
Sanggakaya. Setiap kali Wijang masih menyinggung sumpah
Ki Sanggakaya sehingga jantung Ki Sanggakaya bagaikan mau
meledak. Namun semakin lama gelitik itu membekas pula di
hati Ki Sanggakaya. Sumpah itu benar-benar membayanginya.
Namun bukan saja karena gejolak perasaan Ki Sanggakaya
itu saja yang membuatnya terdesak. Wijang adalah orang
yang berilmu sangat tinggi. Meskipun Ki Sanggakaya merasa
dirinya memiliki ilmu yang tinggi sebagai kepercayaan Ki
Rangga Sumawerdi, namun Ki Sanggakaya itupun semakin
lama menjadi semakin terdesak. Serangan-serangannya tidak
mampu mengenai lawannya, tetapi sebaliknya serangan-
serangan Wijang telah menyakitinya.
Ketika keadaan Ki Sanggakaya menjadi semakin sulit, maka
Ki Sanggakaya yang semula mencoba untuk tidak
mempergunakan senjatanya, terpaksa menarik pedangnya.
Semula ia ingin membuktikan bahwa dengan tangannya ia
akan mampu menyelesaikan anak muda yang bernama
Pangeran Benawa itu. Tetapi ternyata ia justru semakin
terdesak. Pangeran Benawa benar-benar memiliki ilmu yang
tinggi. Namun, demikian orang itu menarik pedangnya, maka di
kedua tangan Pangeran Benawa telah menggenggam
sepasang pisau belati yang mendebarkan jantung Ki
Sanggakaya. "Dengar, Ki Sanak," berkata Pangeran Benawa. Nada
suaranya seakan-akan telah berubah. Suaranya menjadi berat
menekan. Wajah anak muda itupun menjadi semakin
bersungguh-sungguh. Matanya bagaikan bercahaya,
sementara kata-katanya serasa menusuk-nusuk jantungnya.
"Kau akan dimakan sumpahmu sendiri. Bersiaplah untuk mati.
Aku sudah muak melihat wajahmu."
Kata-kata itu benar-benar telah mengguncang jantung Ki


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sanggakaya. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa ia akan
berhadapan dengan seorang anak muda yang demikian tinggi
ilmunya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Paksipun semakin menekan lawannya.
Tongkatnya beberapa kali telah mengenai tubuh Ki Suratapa.
Ketika parang Ki Suratapa terayun deras dan tidak menyentuh
kulit Paksi, maka justru Paksi telah menjulurkan tongkatnya
menekan lambung. Ki Suratapa terdorong beberapa langkah surut. Namun
Paksi tidak melepaskannya. Dengan cepat ia meloncat
memburunya. Satu ayunan yang keras berhasil menyusul Ki
Suratapa mengenai lengannya.
Ki Suratapa mengaduh tertahan. Dengan cepat ia meloncat
menjauh. Namun Paksi tertahan ketika ia melihat parang Ki
Suratapa berputar semakin cepat. Demikian ia berdiri tegak,
maka parang itupun telah berputar dengan cepatnya.
Suaranya berdesing menusuk telinga dengan tajamnya.
Paksi menyadari, bahwa lawannya memang berilmu tinggi.
Putaran parangnya itu bagaikan asap putih yang mengitarinya.
Parang itu sendiri menurut penilaian Paksi adalah parang
kebanyakan. Tetapi parang kebanyakan itu pada orang
berilmu tinggi tentu sangat berbahaya.
Karena itu, maka Paksipun menjadi semakin berhati-hati.
Namun Paksi yang muda itu telah menempa diri dengan
menjalani laku yang berat. Karena itu, maka Paksipun telah
meningkatkan kemampuannya pula.
Dengan demikian pertempuranpun menjadi semakin sengit.
Ki Suratapa yang sama sekali tidak menduga bahwa anak
muda itu memiliki ilmu yang tinggi, menjadi gelisah. Tubuhnya
telah dijalari rasa sakit. Pundaknya, lengannya, lambungnya
dan bahkan punggung dan dadanya. Karena itu, maka iapun
telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Tetapi Paksipun dengan cepat menanggapinya. Sehingga
dengan demikian, maka benturan-benturanpun menjadi
semakin keras. Namun tongkat Paksilah yang semakin sering
menyentuh tubuh Ki Suratapa. Beberapa kali ia harus
berloncatan mundur menghindari serangan Paksi yang datang
beruntun susul-menyusul. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun bagaimanapun juga Ki Suratapa mengerahkan
kemampuannya, sulit baginya untuk mengimbangi
kemampuan Paksi. Meskipun demikian, ketika Ki Suratapa itu menghentakkan
ilmunya dengan menjulurkan parangnya, ternyata ujung
parang Ki Suratapa itu sempat menyentuh bahu Paksi.
Paksi terkejut. Selangkah ia meloncat surut. Terasa cairan
yang hangat mengalir dari lukanya itu. Kemarahan yang
sangat telah membakar jantung Paksi.
Ketika Ki Suratapa melihat darah, maka iapun telah
meloncat pula menyerang. Ia ingin mempergunakan
kesempatan itu untuk menekan lawannya yang telah terluka.
Tetapi Paksi tidak membiarkan dirinya dilindas oleh
lawannya. Dengan tangkasnya Paksi menangkis serangan Ki
Suratapa, sekaligus memutar tongkatnya dan satu serangan
yang keras, telah mengenai perut lawannya itu.
Ki Suratapa terdorong surut. Tongkat Paksi itu rasa-rasanya
telah menghujam sampai ke tulang.
Paksilah yang kemudian mempergunakan kesempatan itu.
Tongkatnyapun segera berputar pula. Satu ayunan yang keras
tongkat Paksi telah memukul punggung Ki Suratapa.
Orang itu terdorong beberapa langkah. Sesaat ia
terhuyung-huyung. Namun ketika ia berhasil menjaga
keseimbangannya, serangan Paksi telah menyusulnya. Ujung
tongkat Paksi itu telah terjulur menekan dada Ki Suratapa
dengan kerasnya. Ki Suratapa menyeringai menahan sakit. Terasa tulang-
tulangnya berpatahan. Namun sebelum ia sempat berbuat
sesuatu menahan sakit dadanya, maka tongkat Paksi itu telah
menghantam tengkuknya. Ki Suratapa jatuh tersungkur. Tulang lehernya telah patah.
Bukan tulang leher Paksi, tetapi justru tulang leher Ki Suratapa sendiri.
Ki Suratapa yang terbaring di tanah itupun sama sekali
tidak bergerak lagi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi berdiri termangu-mangu. Dipandanginya tubuh yang
terbujur diam itu. Namun iapun telah berpaling. Wijang ternyata masih
bertempur melawan Ki Sanggakaya yang memiliki ilmu yang
tinggi. Paksi itupun bergeser perlahan-lahan. Ia mendengar
Wijang itu berkata, "Ki Sanggakaya. Kau lihat, betapa
sumpahmu itu telah menelan saudaramu itu."
Jantung Ki Sanggakaya terasa berdegup semakin keras.
Iapun melihat sekilas Ki Suratapa yang terbanting jatuh.
Apalagi ketika ia melihat Paksi melangkah mendekatinya.
Ki Sanggakaya itupun sudah tidak berpengharapan lagi. Ia
sadar bahwa anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu
tidak akan dapat dikalahkannya. Apalagi anak muda yang
seorang lagi telah bebas dari lawannya.
Karena itu, maka Ki Sanggakaya tidak mempunyai pilihan
lain. Cincin yang diburunya telah ada di tangannya, sehingga
tidak ada gunanya lagi ia bertempur lebih lama. Apalagi tanpa
satu keyakinan untuk menang.
Beberapa saat Ki Sanggakaya dengan hentakan-hentakan
ilmu yang tinggi. Namun ketika Paksi menjadi semakin dekat,
Ki Sanggakaya telah menghentakkan ilmunya. Pedangnya
berputar dengan cepat, kemudian terjulur menggapai tubuh
lawannya. Tetapi Wijang berhasil menghindar dengan
meloncat mundur. Kesempatan itu digunakan oleh Ki Sanggakaya. Dengan
serta-merta iapun telah meloncat surut pula. Kemudian
dengan cepat Ki Sanggakaya itu melarikan diri.
Tetapi Wijang tidak mau melepaskannya. Demikian Ki
Sanggakaya meloncat meninggalkan arena, maka sebuah
pisau belatinya telah melayang memburu lawannya itu.
Terdengar teriakan nyaring. Tubuh Ki Sanggakaya
terhuyung sejenak. Dorongan kakinya telah membuat Ki
Sanggakaya itu jatuh tersungkur. Pisau belati Wijang yang
dilemparkannya telah menghujam di punggungnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Sanggakaya masih menggeliat. Namun kemudian sebuah
tarikan nafasnya yang terakhir telah melewati lubang
hidungnya. Wijang melangkah mendekat. Demikian pula Paksi.
"Kita tidak mempunyai pilihan lain," desis Wijang.
Paksi tidak segera menjawab. Ia justru memikirkan cincin
yang sudah berada di tangan Ki Sanggakaya itu.
Namun sejenak kemudian, Wijangpun telah menarik
pisaunya yang tertancap di punggung Ki Sanggakaya.
Kemudian membalikkan tubuhnya dan membuka kantong ikat
pinggangnya. "Kau telah membuat jantungku hampir berhenti
berdenyut," desis Paksi.
Wijangpun telah memungut cincinnya yang bermata tiga.
Sambil menyimpan cincinnya di kantong ikat pinggangnya,
Wijang itu berdesis, "Aku ingin mengetahui kejujurannya.
Ternyata kedua orang ini adalah orang yang sangat
berbahaya." Paksi mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Lalu, apa
yang harus kita lakukan?"
"Kita harus menguburnya."
"Dimana?" "Kita bawa keduanya ke gumuk kecil itu."
"Kita harus memanggulnya?"
"Apa ada cara lain yang lebih baik" Mendukung dengan
kedua tangan di depan?"
"Memang tidak ada cara lain," desis Paksi.
"Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang melihatnya,"
berkata Wijang kemudian. Paksi dan Wijangpun kemudian telah memanggul kedua
tubuh yang tidak bernyawa lagi. Untunglah gumuk kecil itu
letaknya tidak terlalu jauh.
Namun keduanyapun mengalami kesulitan untuk menggali
lubang kubur karena mereka tidak mempunyai alat apapun
juga. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita tidak dapat menguburnya. Agar kedua tubuhnya itu
tidak menjadi mangsa binatang liar, maka kita timbun saja
tubuh itu dengan bebatuan," berkata Wijang.
"Ya. Itu lebih baik daripada kita tinggalkan keduanya begitu saja."
Demikianlah, maka Wijang dan Paksipun telah menutup
kedua sosok tubuh itu dengan bebatuan sehingga menjadi
rapat dan tidak akan dapat digali oleh binatang-binatang liar.
Setelah keduanya selesai, maka Wijangpun berkata, "Aku
mendengar gemericik air. Tentu ada sungai di sebelah."
"Ya. Pepohonan yang berjajar itu tentu tumbuh sepanjang
tanggul sungai." Demikianlah, sejenak kemudian mereka telah mandi dan
membenahi diri. Wijang telah mengobati luka Paksi. Meskipun
luka itu tampaknya tidak terlalu besar, tetapi jika tidak diobati akan dapat menjadi semakin besar.
Beberapa saat kemudian, keduanyapun duduk di atas
bebatuan di tepian. Dengan ragu-ragu kemudian Paksipun
berkata, "Bagaimana dengan kita sekarang?"
"Kita sudah memasuki keadaan yang lebih gawat. Aku
benar-benar sudah menjadi orang buruan. Seharusnya kau
tidak ikut mengalami keadaan yang semakin buruk ini."
"Maksudmu?" "Seperti yang pernah aku katakan, biarlah kita
mengembara menurut jalan kita masing-masing. Seandainya
pada suatu saat aku harus mengalami satu kenyataan pahit
dan jatuh ke tangan orang-orang yang memburuku, kau tidak
terseret ke dalam kesulitan."
"Jika itu alasanmu, Wijang, aku menolak. Tetapi jika
alasanmu karena kau sudah jemu mengembara bersamaku,
maka aku akan mengambil jalan lain."
Wijang menarik nafas panjang. Katanya, "Paksi, aku
senang mengembara bersamamu. Aku mempunyai kawan
untuk berbincang. Dalam keadaan yang gawat, aku tidak
harus mengatasi sendiri. Tetapi aku tidak ingin menyeret
orang lain dalam satu kesulitan karena aku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lupakan," desis Paksi, "kita akan bertamasya ke Alas Mentaok."
Wijang tidak segera menjawab. Agaknya ia sedang
merenungi keadaannya. Beberapa saat kemudian Wijang itupun berkata, "Kadang-
kadang juga timbul pikiran untuk pulang saja ke istana. Tetapi beberapa pejabat di istana juga tidak dapat dipercaya."
"Bagaimana dengan Kanjeng Sultan" Apakah Kanjeng
Sultan tidak dapat mengambil satu sikap tertentu. Atau
bahkan mengenakan cincin itu di jari-jarinya."
"Mungkin ayahanda akan melakukan. Tetapi iblis sudah
merasuk di hati orang-orang yang tamak. Jika mereka
mengetahui cincin ini di jari-jari ayahanda, maka jari-jari
ayahanda itu akan menjadi sasaran. Bahkan akan dapat
berarti jiwa ayahanda sendiri."
"Tetapi bukankah Kanjeng Sultan seorang yang sakti dan
bahkan tidak ada duanya. Ketika Harya
Penangsang mengirimkan utusannya untuk membunuhnya,
kibasan selimutnya sudah cukup untuk membuat utusan Harya
Penangsang dengan Keris Setan Kober itu pingsan."
"Ayahanda telah berubah," desis Pangeran Benawa.
"Berubah" Maksudmu?"
"Aku pernah mengatakan kepadamu, tidak baik untuk
menceritakan kekurangan ayah sendiri."
Paksi mengangguk-angguk kecil. Memang tidak
baik menceriterakan cacat keluarga sendiri. Tetapi dalam
keadaan yang tidak terkendali, Paksi pernah mengeluh
tentang sikap ayahnya. Agaknya seperti Pangeran Benawa, Paksi juga tidak ingin
segera pulang meskipun dengan alasan yang berbeda. Namun
ternyata Wijangpun berdesis, "Jika saja Kakangmas
Sutawijaya bersedia menyimpannya."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wijang
berkata, "Tetapi sudahlah. Cincin itu ada di tanganku
sekarang. Aku harus mengamankannya dan kelak
menyerahkan kembali ke istana jika sudah tiba waktunya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam iapun
kemudian bertanya, "Sekarang, apa yang harus kita lakukan?"
"Sebaiknya kita kembali ke rumah Ki Pananggungan agar Ki
Pananggungan tidak selalu gelisah memikirkan nasib kita. Kita
pun sebaiknya minta diri jika kita ingin melanjutkan
perjalanan." Paksi mengangguk. Katanya, "Ya, aku setuju.
Dengan demikian, maka Ki Pananggungan tahu, bahwa kita
masih hidup dan masih bebas."
Sejenak kemudian keduanyapun telah membenahi diri.
Sementara itu langit telah menjadi buram. Angin berhembus di
sela-sela dedaunan. Beberapa batang pohon yang besar, yang
tumbuh sepanjang tanggul sungai menggeleng-gelengkan
daunnya. Suaranya yang gemerisik berpadu dengan gemericik
air yang mengalir di sela-sela bebatuan terdengar seperti
suara lagu yang sangat panjang dan tanpa berkeputusan.
Dalam pada itu, Wijang dan Paksipun telah menempuh
perjalanan kembali ke Kembang Arum. Sementara langit
menjadi semakin hitam. Bintang-bintang mulai bermunculan
dan bergayut di langit yang luas.
Sambil berjalan Wijangpun berkata, "Agaknya sekarang
perhatian orang-orang yang berburu cincin itu tertuju kepada
Pangeran Benawa." "Ya. Tentu sudah terdengar setiap telinga, bahwa cincin itu berada di tangan Pangeran Benawa yang sekarang tidak ada
di istana." "Kepergianku sudah kehilangan arti. Aku tidak akan sempat berada di tengah-tengah rakyat Pajang untuk mengetahui
keadaan mereka yang sebenarnya. Yang harus aku lakukan
kemudian adalah sekedar lari dari buruan-buruan orang-orang
yang tamak itu." "Jika saja Pangeran Benawa tidak membawa cincin itu,"
desis Paksi. "Jika cincin itu tidak dibawa Pangeran Benawa, cincin itu akan dapat hilang di istana. Kemudian seisi istana akan saling menuduh dan mencurigai. Ketidakseimbangan batin itu akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat meledak menjadi benturan-benturan kewadagan.
Pajang yang suram akan menjadi semakin muram."
Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun dalam pada itu, Wijangpun berkata, "Tetapi ada
satu hal yang sudah aku ketahui. Ternyata di salah satu sudut
wilayah Pajang, berkumpul beberapa kelompok perguruan
yang diragukan kemurniannya. Bukan perguruan tempat para
cantrik menuntut berbagai macam ilmu, tetapi perguruan
tempat orang-orang yang haus akan kehidupan lahiriah yang
berlebihan, sehingga mereka telah menempuh jalan yang
salah." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ketamakan itu ternyata
tidak hanya bersarang di hati para pemimpin padepokan yang
salah jalan itu. Tetapi juga di hati para pejabat di Pajang.
Antara lain adalah ayah Paksi itu sendiri.
Tetapi setiap kali Paksi juga bertanya kepada diri sendiri,
apakah ayahnya sengaja menyingkirkannya atau salah satu
dari kedua kemungkinan. Pergi dan tidak kembali atau pulang
dengan membawa cincin bermata tiga itu.
Sementara itu, kaki-kaki mereka masih melangkah terus.
Sedangkan malam menjadi semakin malam. Suara jengkerik
dan belalang saling bersautan di rerumputan.
Namun akhirnya keduanya telah memasuki Padukuhan
Kembang Arum. Mereka sengaja menghindari gardu-gardu
perondan, sehingga tidak seorang pun yang mengetahui
bahwa mereka berdua telah kembali ke padukuhan.
Kedua anak muda itu tidak naik ke pendapa dan mengetuk
pintu pringgitan. Tetapi keduanya langsung masuk ke
longkangan. Tetapi karena pintu seketeng tertutup dan diselarak dari
dalam, maka dengan hati-hati keduanya harus meloncati
dinding longkangan. Beberapa saat kemudian, Paksi telah mengetuk pintu
butulan perlahan-lahan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata ketukan itu segera didengar oleh orang yang ada
di dalam. Sesaat kemudian terdengar gemerisik langkah kaki
itu terhenti di belakang pintu.
"Siapa di luar?" yang terdengar adalah suara Ki
Pananggungan. "Aku, Paman. Paksi dan Wijang."
Ki Pananggunganpun mengenal suara itu. Karena itu, maka
sejenak kemudian terdengar selarak pintu diangkat dan pintu
butulan itu terbuka. Demikian Ki Pananggungan itu melihat Paksi dan Wijang di
kegelapan malam dalam percikan sorot lampu minyak yang
menyorot dari ruang dalam, maka iapun menarik nafas dalam-
dalam. Katanya, "Aku memang yakin, bahwa kalian
akan kembali." "Yang Maha Agung masih berkenan melindungi kami,
Paman," desis Paksi.
"Masuklah." Keduanyapun kemudian melangkah masuk. Mereka duduk
di ruang dalam di bawah cahaya lampu yang redup.
"Apa yang telah terjadi dengan kalian, Ngger?" bertanya Ki Pananggungan.
Wijanglah yang kemudian menceriterakan dengan singkat
apa yang telah terjadi. "Kami tidak mempunyai pilihan lain, Paman. Kami terpaksa membunuh mereka berdua."
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku mengerti. Bahkan aku sudah memperhitungkan
kemungkinan itu sebelumnya. Kalian berdua memang tidak
mempunyai kesempatan lain jika kalian tidak ingin dijerat."
"Kecuali itu, kami mempunyai alasan lain."
"Alasan apa?" "Keduanya adalah orang yang licik dan sama sekali tidak
menghargai nyawa orang lain. Mereka ingin membunuh kami
sekedar mencoba-coba. Kalau cincin itu diketemukan,
sukurlah. Jika tidak, mereka tidak merasa dirugikan. Yang mati bukan sanak kadang mereka. Sementara itu, mereka sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekali tidak menghiraukan lagi Ki Rangga Sumawerdi dan
apalagi Harya Wisaka."
Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Katanya,
"Orang-orang yang demikian adalah orang-orang yang sangat berbahaya. Mereka akan dapat melakukan apa saja tanpa
menghiraukan kepentingan dan bahkan nyawa orang lain. Kali
ini mereka terbentur pada kemampuan yang dapat mengatasi
mereka. Jika tidak, maka pada kesempatan lain, mereka tentu
akan membunuh dan membunuh lagi. Bahkan untuk persoalan
yang tidak berarti sekalipun."
Wijang dan Paksi itupun mengangguk-angguk. Sementara
Ki Pananggungan itupun berkata, "Selain persoalan yang
kalian hadapi itu Ngger, ada sesuatu yang perlu kalian
ketahui." Wijang dan Paksi termangu-mangu sejenak. Sementara Ki
Pananggungan itu berkata selanjutnya, "Sepeninggal kalian berdua, ayah dan ibu Kemuning itu telah singgah kemari."
"Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?" bertanya
Paksi. "Ya," Ki Pananggungan mengangguk. "Mereka justru tidak tahu bahwa Kemuning ada di sini. Sejak mereka pergi, mereka
belum pernah pulang."
"Jadi, apakah maksud kedatangannya kemari?" bertanya Wijang.
"Mereka hanya singgah sebentar. Mereka justru terkejut
karena Kemuning ada disini."
"Mereka dalam perjalanan ke mana?"
"Tentu mereka tidak berterus-terang kepadaku. Mereka
hanya mengatakan, bahwa mereka masih ingin menjelajahi
daerah di sebelah selatan Gunung Merapi. Dalam
pengembaraan mereka itulah, mereka menyempatkan diri
untuk singgah." "Apakah pesan mereka kepada Kemuning?" bertanya Paksi.
"Pupus Rembulung telah menangisi Kemuning yang harus
menempuh perjalanan jauh sampai ke tempat ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kemuning menceriterakan kesulitannya di sepanjang
perjalanannya?" "Tidak seluruhnya. Nyi Permati telah memberitahukan
kepadanya, yang manakah yang dapat disampaikan dan yang
manakah tidak. Kemuning tidak berceritera tentang Bahu
Langlang." "Apakah Pupus Rembulung benar-benar menangisinya atau
sekedar satu ujud kepura-puraan saja?"
"Pupus Rembulung memang sangat mengasihinya. Jika saja
Kemuning berceritera tentang Bahu Langlang, sampai ke
ujung langitpun orang itu akan diburunya," jawab Ki
Pananggungan. Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Sementara Wijang
bertanya, "Kenapa keduanya begitu tergesa-gesa?"
"Agaknya mereka tidak ingin didahului oleh orang lain."
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kenapa
semuanya sekarang pergi ke selatan setelah aku pergi ke
selatan" Apakah yang telah menuntun mereka" Petunjuk
apakah yang telah membawa mereka beramai-ramai menuju
ke arah kemana aku pergi?"
"Pangeran," desis Ki Pananggungan, "Pangeran adalah seseorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Mungkin
derajat dan kedudukan Pangeran. Mungkin ilmu Pangeran
yang seakan-akan tidak ada batasnya. Tetapi mungkin ilmu
Pangeran yang seakan-akan tidak ada batasnya. Tetapi
mungkin juga karena cincin yang Pangeran bawa. Atau
semuanya saling berpengaruh, sehingga getaran yang seakan-
akan memancar dari pribadi Pangeran itu telah mempengaruhi
getar di dalam diri orang-orang yang memang sedang mencari
Pangeran. Sadar atau tidak sadar, maka getar di dalam diri
mereka itu telah menuntun mereka untuk pergi ke arah
Pangeran pergi." "Jadi bagaimana aku harus menghindarkan jejak itu"
Apakah aku harus membuang cincin itu atau menitipkan
kepada seseorang." "Itu akan sangat berbahaya, Pangeran."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Aku bawa cincin itu karena aku tahu, cincin ini akan hilang jika tetap berada di bangsal pusaka. Berpasang-pasang
mata para bangsawan, para pejabat dan para pemimpin yang
setiap hari berkeliaran di istana akan mencarinya, sehingga
pada suatu saat cincin ini tentu akan dicuri orang. Ketika
kemudian aku pergi dan membawanya, maka akulah yang
kemudian diburu oleh orang-orang yang tamak itu."
Namun tiba-tiba Paksi bertanya, "Bagaimana jika cincin itu kau simpan, sementara kau tetap berada di istana?"
"Kau tidak dapat membayangkan bagaimana tamaknya
orang-orang di dalam istana. Tidak ada bedanya dengan
orang-orang dari beberapa perguruan yang sedang memburu
cincin itu. Jika aku membawa cincin itu dan tetap berada di
istana, maka nyawaku akan terancam, sementara ruang
gerakku terasa sangat sempit. Aku merasa di luar istana,
ruang gerakku lebih luas dan bebas. Sedangkan ancaman itu
ternyata ada dimana-mana."
Paksi mengangguk kecil. Ia dapat mengerti alasan Wijang.
Demikian pula Ki Pananggungan. Karena itu, maka Ki
Pananggungan itupun berkata, "Jika demikian, Pangeran harus berhati-hati."
"Ya, Paman," Wijang mengangguk-angguk.
"Pangeran akan dapat tinggal disini bersama Angger Paksi
untuk waktu yang lebih lama. Kedua orang tua Kemuning itu
tentu tidak akan segera datang lagi kemari."
"Tetapi tempat ini sudah mulai dijamah oleh orang-orang
yang sedang memburu Pangeran Benawa itu, Paman," jawab
Wijang. "Karena itu, sebaiknya untuk sementara kami
menyingkir, jika kami masih berada disini, mungkin kehidupan
dan keluarga Paman pun akan selalu terganggu."
"Tidak, Pangeran. Nampaknya yang terjadi adalah satu
kebetulan. Agaknya orang-orang yang datang itu hanya
sekedar untung-untungan."
"Bagaimanapun juga, telah ada orang yang datang kemari.
Kemungkinan yang sama akan dapat terjadi lagi. Kami sangat
berterima kasih Paman memberikan tempat kepada kami.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi sekali lagi aku ingin mengatakan, kami tidak ingin
menyulitkan keadaan Paman."
"Maksud Pangeran?"
"Aku dan Paksi sudah bersepakat untuk meneruskan
pengembaraan ini. Kami ingin melihat-lihat Alas Mentaok. Satu
daerah yang dijanjikan oleh ayahanda bagi Kakangmas
Sutawijaya. Jika saja kami dapat bertemu dengan Kakangmas
Sutawijaya di Alas Mentaok, maka ceritera tentang cincin itu
akan segera menjadi padam."
"Maksud Pangeran?"
"Biarlah Kakangmas Sutawijaya yang memiliki cincin itu. Ia adalah pemegang masa depan."
"Tetapi Pangeran adalah putera laki-laki Kangjeng Sultan.
Kita tahu, bahwa Raden Sutawijaya adalah putera angkat
ayahanda Pangeran." Wijang menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
"Entahlah. Rasa-rasanya seperti yang aku katakan,
Kakangmas Sutawijaya adalah pemegang masa depan setelah
Pajang yang menurut pendapatku tidak akan berumur
panjang." "Kenapa Pangeran berpikir bahwa Pajang tidak akan
berumur panjang?" Wijang menarik nafas dalam-dalam, sementara Paksi
menundukkan kepalanya. Ia pernah beberapa kali bertanya,
namun setiap kali Wijang menjawab, bahwa ia tidak pantas
untuk menceriterakan kekurangan ayahnya sendiri.
Namun Wijang ternyata tidak menjawab pertanyaan Ki
Pananggungan. Ki Pananggunganpun tidak mendesaknya. Iapun
mengetahui, bahwa tentu ada hal-hal yang tidak dapat
dikatakan. Karena itu, maka iapun mengalihkan
pembicaraannya, "Tetapi Pangeran, bukankah sampai saat ini Alas Mentaok masih belum diserahkan kepada Ki Gede
Pemanahan?" "Sepengetahuanku belum, Paman."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya tentu belum
berada di Alas Mentaok."
"Sebagai Kakangmas Sutawijaya memang belum, Paman.
Tetapi Paman tentu juga tahu, bahwa kadang-kadang
Kakangmas Sutawijaya juga hilang dari istana. Kadang-kadang
untuk waktu yang pendek. Tetapi kadang-kadang untuk waktu
yang agak lama. Jika saja kebetulan Kakangmas Sutawijaya
berada di Alas Mentaok atau dimana saja, ia tentu tahu,
bahwa aku sedang tidak berada di istana."
Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Ia menangkap
perasaan kecewa Pangeran Benawa terhadap ayahandanya
dan terhadap pemerintahan di Pajang. Tetapi Pangeran
Benawa tidak ingin bergerak dari istana itu sendiri.
Pangeran Benawa telah menyatakan kekecewaannya
dengan caranya sendiri. Dalam pada itu, Wijang itupun berkata, "Malam ini kami
berdua ingin melanjutkan perjalanan kami, Ki Pananggungan.
Bukan karena kami tidak kerasan di rumah ini. Tetapi untuk
kebaikan kita semuanya, maka kami memilih untuk
meninggalkan rumah ini."
Ki Pananggungan tidak dapat memaksa mereka untuk tetap
tinggal. Keduanya adalah anak-anak muda yang sudah
dewasa penuh yang sudah dapat menentukan langkah-
langkah yang mereka ambil dengan penuh tanggung jawab.
"Baiklah, Ngger," berkata Ki Pananggungan, "kami dapat mengerti maksud Angger meninggalkan rumah ini."
Sementara itu Paksipun berkata, "Paman, apakah aku
dapat minta diri kepada Kemuning?"
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk iapun berkata, "Baik, Ngger. Aku akan
membangunkannya." Sejenak kemudian, yang duduk di ruang dalam itu tidak
saja Ki Pananggungan dan Kemuning, tetapi Nyi Permati dan
Nyi Pananggungan telah duduk bersama mereka.
Wijang dan Paksipun kemudian telah minta diri kepada
mereka. Tanpa menyebut alasan yang sebenarnya, Paksi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengatakan, bahwa ia harus melanjutkan pengembaraannya.
Kedatangan orang-orang yang berniat buruk terhadapnya dan
terhadap Wijang dengan tanpa alasan yang pasti, membuat
kedua anak muda itu tidak merasa tenang.
Kemuning menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat
mencegah keduanya meninggalkan rumah pamannya,
meskipun sebenarnya ia ingin mengatakannya. Tetapi sebagai
seorang gadis, Kemuning memang harus menjaga dirinya,
mengekang perasaannya yang bergejolak dan menahan
dirinya.

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun demikian Kemuning itupun bertanya dengan
suara yang hampir tidak terdengar, "Tetapi bukankah Kakang akan kembali pada suatu saat?"
"Ya. Aku akan kembali."
"Baru saja ayah dan ibu singgah, seandainya Kakang ada,
Kakang dapat berkenalan dengan ayah dan ibu."
Jantung Paksi berdesir. Namun iapun kemudian menjawab,
"Pada kesempatan lain, kami tentu akan dapat bertemu
dengan ayah dan ibumu, Kemuning."
Kemuning tidak menjawab lagi. Tetapi debar jantungnya
serasa berdetak semakin cepat.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, Wijang dan
Paksipun telah meninggalkan rumah itu. Bukan hanya
Kemuning yang mengharap mereka sempat datang kembali.
Tetapi juga Nyi Pananggungan dan Nyi Permati.
Memang berat rasanya, terutama Paksi, ketika ia
melangkah keluar dari regol halaman rumah Ki
Pananggungan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain. Paksi
sadar, bahwa ia tidak dapat sekedar menuruti keinginannya
sendiri. Tetapi ia harus memikirkan kepentingan yang lebih
luas. Malam itu, Wijang dan Paksi meninggalkan Padukuhan
Kembang Arum. Mereka menyusuri jalan yang menuju ke
selatan. Tidak ada tujuan yang pasti. Yang akan mereka
lakukan adalah melihat-lihat Alas Mentaok serta menghindari
orang-orang yang memburunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Wijang memang harus berhati-hati. Di antara
orang-orang yang memburunya, adalah orang-orang yang
telah mengenalnya. Terutama para pengikut Harya Wisaka.
Orang-orang yang sama sekali tidak diduga oleh Pangeran
Benawa. Orang-orang yang diduganya prajurit-prajurit yang
setia, namun ternyata pengaruh kebendaan dan keduniawian
telah membuat mata mereka menjadi silau, sehingga mereka
telah menjual kesetiaannya sebagai seorang prajurit.
Embun malam yang turun membuat Wijang dan Paksi
merasa semakin dingin. Rerumputan menjadi basah dan
sentuhan angin lembut mengguncang titik-titik embun yang
bergayutan di ujung dedaunan.
"Apakah kita tidak akan berhenti dan beristirahat?"
bertanya Wijang. "Dimana?" bertanya Paksi. "Gubuk itu?"
"Tetapi kita tidak boleh kesiangan. Belum tentu pemilik
gubuk itu orang yang ramah, yang tidak berkeberatan
memberi tempat sekedar berteduh kepada seseorang."
Wijang mengangguk sambil tersenyum. Katanya, "Salah
seorang dari kita tidak akan kesiangan."
Keduanyapun kemudian telah berhenti berjalan. Beberapa
puluh langkah meniti pematang. Kemudian naik ke sebuah
gubuk kecil. Beberapa lembar tali yang panjang terjulur
menggapai orang-orangan sawah untuk mengusir burung di
siang hari. Padi yang sudah siap dipanen memang harus
ditunggui agar tidak terlalu banyak dimakan burung-burung
liar yang kadang-kadang dalam kelompok yang besar seperti
segumpal awan turun dari langit.
Kedua anak muda itupun kemudian membaringkan diri
mereka. Wijang menggeliat sambil berdesis, "Tubuhku terasa pegal-pegal."
"Aku juga," sahut Paksi.
"Bagaimana dengan lukamu?"
"Sudah tidak terasa lagi," jawab Paksi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang tidak bertanya lagi. Dicobanya untuk memejamkan
matanya. Meskipun hanya sekejap, jika mereka dapat tidur,
rasa-rasanya tubuh mereka akan merasa segar.
Sebenarnyalah, karena kebiasaan mereka, maka sebelum
fajar mereka memang sudah bangun.
Dalam pada itu, sebelum matahari terbit, keduanya telah
meninggalkan gubuk itu. Tubuh mereka memang terasa
menjadi semakin segar. Meskipun mereka hanya sempat tidur
sejenak. Matahari terasa mulai menggatalkan kulit ketika mereka
memasuki sebuah padukuhan. Keduanya belum pernah
mengenali padukuhan itu. Mereka melihat kesibukan yang
sama seperti di padukuhan-padukuhan yang lain. Beberapa
orang menyapu halaman. Ada pula yang menyapu jalan di
depan regol halaman rumahnya. Derit senggot timba
terdengar dengan iramanya sendiri.
Namun ada juga seseorang yang berselimut kain
panjangnya, berjongkok di depan regol. Seakan-akan hari
yang datang tidak memberinya kesibukan sama sekali,
sehingga ia sempat duduk merenungi khayalan-khayalan yang
panjang. Suara sapu lidi di halaman sebelah, derit senggot
timba tidak mampu membangunkannya dari lamunannya yang
memberikan kenikmatan semu.
Wijang sempat juga berkata, "Ada juga pemalas dimana-
mana." Paksi mengangguk. Tetapi ketika ia berpaling ke arah orang
yang duduk berselimut kain panjang itu, Wijang berkata,
"Jangan kau perhatikan orang itu. Nanti ia marah."
"O," Paksi mengangguk-angguk.
Di pinggir jalan, dekat dengan regol padukuhan, terdapat
sebuah kedai kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari.
Agaknya orang-orang di sekitarnya tidak perlu pergi ke pasar
karena di kedai kecil itu telah dijual berbagai macam
kebutuhan, terutama kebutuhan dapur. Kecuali keperluan-
keperluan khusus. Sementara Wijang dan Paksi melanjutkan perjalanannya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gangsar dengan sengaja berjalan lewat di depan rumah Ki
Pananggungan. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia tidak melihat dua
orang yang disebut kemenakan Ki Pananggungan itu menyapu
dan menyiram halaman. Yang sibuk menyapu halaman rumah
Ki Pananggungan adalah Kemuning.
Gangsar itupun berhenti di regol halaman rumah
Kemuning. Di depan pintu ia berdiri termangu-mangu
memandang Kemuning yang tengah sibuk menyapu halaman.
Di matanya, Kemuning nampak menjadi semakin dewasa dan
semakin cantik. "O," Kemuning tersenyum ketika ia melihat Gangsar berdiri di regol halaman.
"Kau menyapu halaman sendiri, Kemuning. Dimana kedua
orang saudaramu itu?"
"Mereka sudah pergi, Gangsar."
"Kemana?" "Pulang." "Apakah kedua orang yang menjemputnya itu saudaramu
pula?" "Kedua orang yang mana?"
"Kemarin aku melihat kedua orang anak muda itu berjalan
bersama dua orang laki-laki."
Kemuning mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Dimana kau melihat kedua saudaraku itu?"
"Di luar regol. Kebetulan saja aku melihat keduanya
berjalan keluar dari regol padukuhan diikuti oleh kedua orang
laki-laki itu." "Kau pernah melihat kedua orang laki-laki itu sebelumnya?"
bertanya Kemuning. Gangsar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
Gangsar justru bertanya, "Siapakah kedua orang itu?"
Kemuning mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
menjawab, "Yang seorang adalah pamanku. Yang seorang lagi saudara sepupu paman."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"O," Gangsar mengangguk-angguk. Hampir di luar
sadarnya, Gangsar itupun berkata, "Aku bertemu dengan
kedua orang itu sebelumnya."
"Dimana?" "Di bulak. Keduanya bertanya, apakah aku mengenal kedua
orang saudaramu itu."
"O. Dan kau tunjukkan rumah Paman Pananggungan ini?"
"Bukankah mereka ada disini?"
"Ya, mereka memang ada disini."
"Apakah kelak mereka akan kembali?" bertanya Gangsar kemudian.
"Aku tidak tahu, Gangsar. Mungkin mereka akan kembali.
Tetapi mungkin juga tidak. Kenapa?"
"Tidak apa-apa Kemuning. Aku hanya ingin tahu."
Kemuning tidak menyahut lagi. Tangannya mulai
mengayunkan sapu lidinya lagi sambil berkata, "Maaf,
Gangsar. Aku harus menyelesaikan kerja ini, karena kedua
orang saudaraku itu sudah pulang."
"Apakah kau tidak berkeberatan jika aku membantumu?"
bertanya Gangsar pula. Kemuning memandang Gangsar dengan kerut di dahi.
Dengan heran ia bertanya, "Kau akan membantu aku
menyapu halaman ini?"
"Kalau kau tidak berkeberatan, Kemuning."
"Apakah halaman rumahmu sudah kau sapu?"
"Ibuku menyapu halaman rumahku."
Kemuning tersenyum. Katanya, "Terima kasih atas kesediaanmu membantu aku, Gangsar. Tetapi akan lebih baik
jika kau membantu ibumu, menyapu halaman rumahmu
sendiri." Wajah Gangsar menegang sejenak. Tetapi iapun kemudian
telah berdiam diri. Dipandanginya saja Kemuning yang sedang
menyapu halaman rumahnya. Tangannya bergerak dengan
lincah. Setapak demi setapak ia bergerak maju. Sekali-sekali
dengan lengan bajunya Kemuning mengusap keringat di
keningnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk beberapa saat lamanya Gangsar berdiri bersandar
uger-uger pintu regol halaman. Untuk beberapa saat ia tidak
berkata apa-apa. Tetapi kemudian Gangsar itupun telah minta diri.
"Aku akan pergi ke sawah, Kemuning."
Kemuning berhenti mengayunkan sapunya. Gadis itu
sempat tersenyum sambil menjawab, "Silahkan Gangsar.
Tetapi bukankah sawahmu sudah dipanen?"
"Sudah Kemuning. Kami sudah bersiap-siap untuk
menanam palawija. Bukankah sebagian besar sawah di bulak
sebelah sudah dipanen" Beberapa bahu yang terletak di
tempat yang agak rendah di dekat susukan itu, memang agak
terlambat. Tetapi tidak terlalu banyak. Dan agaknya dalam
satu dua hari ini juga sudah akan dipanen."
Kemuning mengangguk-angguk. Sementara itu Gangsar
yang turun ke jalan itu berkata pula, "Sudahlah Kemuning.
Nanti aku akan singgah lagi."
Kemuning tidak menjawab. Tetapi ia mulai mengayunkan
sapu lidinya lagi. Sepeninggal Gangsar, Kemuning sempat memikirkan
keterangan Gangsar tentang kedua orang yang telah
membawa Wijang dan Paksi. Kemuning tidak tahu apa yang
terjadi kemudian. Paksi dan Wijang tidak berceritera apa-apa.
Pamannya pun tidak. Namun agaknya ada sesuatu yang tidak
wajar telah terjadi. "Gangsarlah yang telah menunjukkan, bahwa Kakang Paksi
dan Wijang ada di rumah ini."
Meskipun demikian, Kemuning tidak tahu apa hubungannya
antara Gangsar dengan kedua orang itu. Satu kebetulan atau
ada sesuatu di balik sikap Gangsar itu.
Kemuning mencoba untuk melupakan saja keterangan
Gangsar tentang kedua orang yang telah mengambil Paksi dan
Wijang. Agaknya Gangsar juga tidak tahu, bahwa semalam
Paksi dan Wijang telah kembali dan minta diri untuk pergi.
Kemuning menarik nafas dalam-dalam. Bagi Kemuning,
Paksi adalah seorang yang telah meninggalkan bekas di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dinding jantungnya. Namun Kemuning tidak tahu, siapakah
sebenarnya Paksi itu. Namun bagi Kemuning, Paksi adalah
anak muda yang pernah membebaskannya dari tangan yang
akan meremasnya menjadi kerak neraka.
"Kakang Paksi datang dengan diselimuti rahasia. Kemudian
ia pergi ke balik kabut rahasia pula."
Kemuning sama sekali tidak dapat membayangkan, dari
mana Paksi datang dan kemana ia pergi. Namun satu hal yang
diharapkannya, bahwa pada suatu saat ia akan kembali lagi
menemuinya. Mungkin di rumah pamannya, Ki Pananggungan.
Namun mungkin di rumahnya sendiri.
Namun sebuah pertanyaan telah membayang, "Apakah
ayah dan ibu dapat menerima kehadirannya?"
Kemuning menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau lagi
memikirkannya. Biarlah itu nanti terjadi apa yang akan terjadi.
Dengan demikian, maka perhatian Kemuningpun
tertuju sepenuhnya pada jalur-jalur bekas sapu lidinya, serta
sampah yang terdorong semakin ke sudut halaman. Sebuah
lubang tempat sampah terdapat di sudut halaman. Masih ada
sisa abu pembakaran sampah yang kemarin.
Dalam pada itu, Wijang dan Paksipun berjalan terus
menyusuri jalan yang masih saja terasa menurun, meskipun
sekali-sekali jalan terasa datar, bahkan sedikit memanjat naik.
Tetapi mereka menyadari, bahwa mereka sedang menuruni
kaki Gunung Merapi. Ketika sekali-sekali mereka menoleh, maka nampak puncak
Gunung Merapi yang kebiru-biruan sudah menjadi semakin
jauh. Awan yang putih bergerak perlahan melintas di depan
wajah Gunung Merapi yang garang.
Ketika Wijang dan Paksi memasuki sebuah padukuhan yang
besar, maka merekapun melihat jalan yang menjadi semakin
ramai. Paksi yang terbiasa pergi ke pasar itupun berdesis,
"Agaknya ada pasar di padukuhan itu."
"Kenapa?" "Kita melihat perempuan yang berjalan hilir mudik
menggendong bakul dan menjinjing kereneng."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijangpun mengangguk-angguk pula. Mereka tentu orang-
orang yang pergi ke pasar atau pulang dari pasar.
Paksi dan Wijangpun kemudian dengan sendirinya
mengikuti jalan yang ramai itu. Tanpa membicarakannya lebih
dahulu, keduanyapun rasa-rasanya sepakat untuk pergi ke
pasar. Agaknya hari itu adalah kebetulan hari pasaran. Pasar yang
terhitung luas itu, tidak menampung orang yang berjualan dan
berbelanja. Tidak jauh dari pasar itu, terdapat pemberhentian
pedati. Beberapa buah pedati terdapat di tempat itu. Ada yang


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang memuat bahan pangan, tetapi ada juga yang sedang
menurunkan muatannya. Bukan saja hasil bumi, tetapi juga
barang-barang kerajinan. Kerajinan dari bambu dan bahkan
kain lurik. Paksi dan Wijang berdiri termangu-mangu di depan regol
pasar yang ramai itu. Sekali-sekali mereka terdesak menepi.
Tetapi di pinggir jalan, orang-orang yang berjualan berderet
sampai ke ujung. "Apa kita akan berbelanja?" bertanya Wijang.
Paksi tersenyum. Katanya, "Sudah lama aku tidak
berbelanja." "Apakah di pasar ini juga ada orang berjualan nasi tumpang atau dawet cendol?" desis Wijang.
"Tentu ada. Apakah kita akan membeli nasi tumpang di
pasar, atau kita akan masuk ke dalam salah satu kedai di
depan pasar itu atau kemana" Ternyata perutku mulai lapar."
Wijangpun tersenyum. Katanya, "Aku juga ingin makan.
Lapar atau tidak lapar. Sebaiknya kita masuk saja ke dalam
pasar dan membeli nasi tumpang jika ada."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku setuju. Kita
masuk saja sambil melihat-lihat keadaan di dalam pasar."
Keduanyapun kemudian memasuki regol pasar yang agak
dekat. Banyak orang berjualan di dekat pintu regol, sehingga
jalan masuk ke dalam pasar itu menjadi semakin sempit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tongkatmu itu," desis Wijang, "hati-hati, kalau memukul kepala orang. Tengkuk Suratapa saja dapat kau patahkan,
apalagi kepala orang-orang yang sedang berbelanja itu."
"Apakah tongkat ini harus aku tinggal di luar" Anak-anak
tentu senang memilikinya untuk menggapai jambu keluthuk di
halaman tetangga." Wijangpun tertawa. Katanya, "Jangan kau remehkan
tongkatmu itu." "Tentu tidak. Karena itu aku membawanya kemana-mana.
Juga masuk ke dalam pasar yang sesak ini."
Baru saja Paksi mengatupkan mulutnya, seorang laki-laki
yang berwajah garang membentaknya, "He, kenapa kau
membawa tongkat ke dalam pasar yang sedang temawon ini"
Hampir saja dahiku membentur pangkal tongkatmu itu."
"Maaf, Ki Sanak," desis Paksi.
"Kenapa tongkatmu itu harus kau bawa masuk" Lempar
saja di luar pasar ini."
"Aku akan berhati-hati, Ki Sanak."
Orang itu memandang Paksi dengan tajamnya. Namun
kemudian iapun berkata, "Jika saja tongkatmu itu menyentuh dahiku, maka aku patahkan bukan saja tongkatmu, tetapi juga
tanganmu." "Aku minta maaf, Ki Sanak."
Orang itupun beranjak pergi. Wijang tersenyum sambil
berkata, "Nah, kau memang harus berhati-hati."
Paksi mengangguk-angguk. Iapun kemudian melangkah
sambil memeluk tongkatnya yang berdiri tegak, agar tidak
menyentuh kepala orang. Beberapa saat mereka menyusuri lorong-lorong di antara
para penjual di pasar itu. Lorong-lorong yang sibuk oleh orang berjalan hilir mudik.
"Nah," desis Wijang, "kau lihat di sebelah penjualan kurungan itu?"
"Ya. Nasi tumpang."
"Kita berhenti sejenak. Agaknya penjual nasi itu juga
menjual makanan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Juga nasi rames."
"Nasi rames?" "Ya. Kau lihat ada serundeng, daging empal, jangan asem.
Dan itu tentu pepes ikan. Di samping sambal dan lalapan."
"Ya. Menarik sekali. Aku benar-benar merasa lapar."
"Ada lincak di sekelilingnya. Ada minuman. Ah, aku belum
pernah melihat orang berjualan nasi selengkap itu di dalam
pasar. Kecuali di kedai-kedai."
Sejenak kemudian, Paksi dan Wijangpun telah duduk di
sebuah lincak panjang. Paksilah yang pertama-tama
memesan, "Nasi tumpang, Bi."
Wijangpun memesan pula, "Aku nasi rames. Dengan segala
macam sayur dan lauk yang ada."
Penjual nasi itu memandanginya dengan kerut di dahi.
Namun kemudian iapun tersenyum. "Tentu yang sesuai, anak
muda. Nasi tumpang tidak akan sesuai bila diberi sayur asam."
Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Baik, Bibi. Aku
minta nasi rames dengan sayur dan lauk yang cocok."
Ketika penjual nasi itu sedang meracik nasi rames yang
dipesan, Wijang sempat bertanya, "Nasi yang Bibi sediakan ini agak berbeda dengan penjual nasi yang lain. Bibi menjual nasi
dengan berbagai macam lauk dan sayur. Termasuk nasi
tumpang." Penjual nasi itu tertawa. "Sudah lebih dari lima orang yang bertanya seperti kau, anak muda."
"O," Wijangpun tersenyum. Sementara Paksi sibuk
menyuapi mulutnya dengan nasi tumpang. Namun Paksi
kemudian memungut sepotong daging empal sambil berdesis,
"Aku mengambil satu, Bibi."
"Semula aku hanya berjualan nasi rames," berkata penjual nasi itu, "adik perempuankulah yang berjualan nasi tumpang.
Tetapi adikku berhenti setelah menikah. Jadi, aku teruskan
saja nasi tumpang itu di samping nasi ramesku."
Wijang mengangguk-angguk. Namun sejenak kemudian
Wijang telah selesai makan nasi ramesnya yang diracik di
dalam sebuah pincuk daun pisang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun tiba-tiba saja Wijang menggamit Paksi sambil
berdesis, "Kau lihat kedua orang itu?"
"Repak Rembulung dan Pupus Rembulung."
"Biar saja. Mereka tidak akan memperhatikan kita."
"Tetapi setidak-tidaknya Pupus Rembulung pernah melihat
kita berdua, ketika kita berdua pergi ke Panjatan."
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa orang-
orang seperti Pupus Rembulung itu tidak akan dengan mudah
melupakan wajah seseorang yang pernah dilihatnya. Apalagi
dalam keadaan yang khusus.
Sejenak Wijang termangu-mangu. Namun kemudian
berkata, "Ia pergi ke arah pintu regol. Mereka tidak akan pergi kemari."
Paksi memperhatikan keduanya. Tetapi keduanya tidak
berpaling. Keduanya berjalan di antara banyak orang menuju
ke regol pasar. Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah hilang dari
penglihatan anak muda itu, tenggelam di balik orang-orang
berjalan hilir mudik di pasar.
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang tidak
menarik perhatian orang banyak, karena menurut ujud
kewadagan, mereka tidak memperlihatkan ciri-ciri yang
khusus. Penampilan keduanya tidak ubahnya seperti orang-orang
kebanyakan. Namun Wijang dan Paksi terkejut ketika dua orang yang
berjalan di dekat mereka duduk berhenti. Seorang di antara
mereka berdesis, "Sepasang Alap-alap Elar Perak."
"Mereka juga pergi ke selatan."
"Ya. Banyak orang yang pergi ke selatan. Menurut isyarat
yang dilihat oleh orang-orang yang berilmu tinggi, Pangeran
Benawa yang membawa cincin itu telah bergeser ke selatan."
"Isyarat apa?" "Aku tidak tahu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun kawannyapun kemudian berdesis, "Jadi, bagaimana
dengan Sepasang Alap-alap Elar Perak itu."
"Jika mereka yang menangkap dan menyimpan Pangeran
Benawa, maka mereka tidak akan pergi ke selatan."
"Pangeran Benawa sendiri juga tidak akan pergi ke selatan jika ia berada di tangan suami istri itu. Jadi tidak akan gencar isyarat yang ditangkap oleh orang-orang berilmu tinggi itu."
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita akan
mengikuti mereka. Jika kita sudah mengetahui arah perjalanan
mereka, kita akan melapor."
Kedua orang itupun kemudian melangkah pergi untuk
mengikuti jejak Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil
berbisik, "Sulit bagi kita untuk menghindarkan diri. Pada suatu saat, kita akan bertemu dengan orang-orang yang
mengenaliku." "Apaboleh buat. Sepanjang Pangeran Benawa tidak mau
kembali ke istana, maka segala kemungkinan memang harus
dihadapi dengan segala macam akibat yang dapat terjadi."
"Ya," Wijang mengangguk-angguk. Namun Wijang terkejut ketika penjual nasi itu bertanya, "Lagi, anak muda?"
Wijang menjadi gagap, "Ya, ya, lagi, Bibi. Nasi tumpang."
Ketika Wijang menerima nasi tumpang, kedua orang yang
menyebut-nyebut Sepasang Alap-alap Elar Perak itu sudah
tidak kelihatan lagi. Seperti Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung, mereka pun menyelinap di antara orang-orang
yang hilir mudik di pasar itu.
Namun kedua orang anak muda itu sempat makan dan
minum sepuas mereka. Mereka tidak lagi menghiraukan Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung. Juga kedua orang yang
menyebut sepasang suami isteri itu dengan Sepasang Alap-
alap Elar Perak. Demikianlah, setelah membayar harga makan dan
minuman mereka, Wijang dan Paksipun meninggalkan penjual
nasi itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi keduanya tidak mengetahui, bahwa sepasang mata
sempat memperhatikan kampil yang dibawa oleh Paksi. Kampil
yang berisi uang dan perhiasan yang dibawanya dari
rumahnya sebagai bekal perjalanan yang diberikan oleh
ibunya. Beberapa saat kemudian, maka Wijang dan Paksi itupun
telah menyusup keluar dari kesibukan pasar. Sambil
melangkah menjauh, Wijang sempat berdesis, "Kenapa Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung itu digelari Sepasang Alap-
alap Elar Perak" Apa yang mirip dengan perak" Pakaiannya
atau selendangnya atau apanya?"
"Kitapun dapat membuat gelar yang dapat menggetarkan
jantung kita sendiri. Kita dapat menyebut diri kita Sepasang
Garuda Berkuku Baja. Atau Sepasang Harimau Berbulu Mas.
Atau Lutung Bermata Berlian."
"Ah, kau." Paksi tertawa. Wijangpun kemudian tertawa pula. "Kenapa
tidak mempergunakan nama bagian alam yang lain kecuali
binatang?" "Jadi apa?" "Batu Karang Berujung Tombak."
"Atau Awan Berlidah Api."
Kedua anak muda itu tertawa. Namun suara tertawa
merekapun berhenti. Empat orang berwajah seram berjalan
cepat menyusul mereka. "Berhenti, anak muda," berkata salah seorang dari mereka.
Wijang dan Paksi terkejut. Merekapun berhenti melangkah,
sementara empat orang yang berwajah seram itupun berhenti
pula. Seorang di antara mereka berdesis, "Kalian harus
membelok ke kiri." "Kenapa?" bertanya Wijang.
"Cepat, sebelum lehermu aku tebas putus."
Beberapa orang di jalan itu pula. Satu dua orang berpaling.
Tetapi mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Empat orang serta kedua orang anak muda itu seakan-akan
sedang berhenti dan berbincang sewajarnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seorang di antara keempat orang itu berkata lagi, "Belok ke kiri, kalian dengar."
Wijang dan Paksi tidak mengetahui maksud keempat orang
itu. Tetapi di kepala Wijang terlintas mereka adalah orang-
orang yang sedang memburu Pangeran Benawa itu sempat
mengenalinya. Tetapi Wijang dan Paksi justru ingin tahu, apa yang akan
mereka lakukan. Karena itu, maka Wijang dan Paksipun
kemudian telah melangkah berbelok ke kiri memasuki lorong
yang menusuk ke tengah-tengah pategalan yang sepi.
Beberapa puluh langkah kemudian, seorang dari keempat
orang itupun berkata pula, "Nah, sekarang kita akan
berbicara." "Apa yang harus kita bicarakan?" bertanya Wijang.
Seorang di antara mereka melangkah maju. Sambil
menunjuk kampil yang berada di bawah baju Paksi orang itu
berkata, "Kau sembunyikan kampil curian itu di bawah
bajumu." Wijang dan Paksipun saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian Paksipun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata
seakan-akan kepada dirinya sendiri, "Jadi orang-orang ini mengikuti kami karena kampil ini."
"Serahkan kampil itu, kampil itu punyaku."
Paksi menggaruk tengkuknya sambil berdesis, "Kalian ini
ada-ada saja." Orang itu justru menjadi heran. Anak muda itu sama sekali
tidak menunjukkan kecemasan apalagi ketakutan.
Karena itu, orang itupun membentak dengan garangnya,
"Kampil itu punyaku. Kenapa kau mencurinya."
Tetapi Paksi tidak menjadi ketakutan. Bahkan dengan nada
datar ia bertanya, "Kapan aku mencuri kampilmu" Dimana"
Jika kampil ini milikmu, katakan apa isinya. Jika kau menebak
benar aku serahkan kampil ini kepadamu."
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian iapun
berkata lantang, "Aku tidak peduli. Berikan kampil ini
kepadaku." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah, itu baru jujur. Jadi kau akan merampas kampilku ini."
"Cukup. Jangan banyak berbicara. Aku akan menghitung
sampai sepuluh. Kau harus sudah menyerahkan kampilmu
itu." "Jika tidak?" bertanya Paksi
"Jika tidak, aku akan membunuh kalian berdua."
"Jangan terlalu garang, Ki Sanak."
"Satu...," orang itu tidak menghiraukan kata-kata Paksi.
Kemudian, "Dua, tiga.... "
Paksi bergeser selangkah surut. Namun orang itupun
melangkah maju. Mulutnya masih mengucapkan hitungan,
"Empat, lima, enam... "
Paksipun berdiri termangu-mangu. Sementara itu, orang
yang menghitung itu masih juga berlanjut, "Tujuh, delapan, sembilan... "
Namun tiba-tiba hitungan itu berhenti. Orang itu tidak
mengucapkan hitungan yang kesepuluh.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Ternyata ujung
tongkat Paksi telah menyentuh bagian atas lambung serta
pundak orang itu. Perasaan sakit yang sangat membuat orang itu tidak dapat


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengucapkan sepatah kata pun. Juga hitungan yang
kesepuluh. Bahkan orang itu kemudian telah membungkuk
menekan bagian atas lambungnya serta sekali-kali meraba
pundaknya. Kawan-kawannya terkejut. Ia tidak melihat dengan jelas
apa yang terjadi. Tetapi yang mereka ketahui kemudian,
kawannya yang mengucapkan hitungan itu menjadi kesakitan.
"Ia tidak mengucapkan hitungan yang kesepuluh," berkata Paksi.
Ketiga orang kawannyapun kemudian telah berusaha untuk
menolong orang yang kesakitan itu. Mereka membimbing
menjauhi Paksi yang kemudian memegangi tongkatnya yang
berdiri tegak di sisinya.
"Apa yang terjadi?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Lambungku, pundakku," keluh orang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa dengan lambungmu?" bertanya salah seorang
kawannya yang melihat tongkat itu bergerak. Tetapi ia tidak
tahu pasti apa yang telah terjadi.
"Tongkat itu," desis orang yang kesakitan itu.
Ketiga kawannyapun menyadari, bahwa anak muda yang
memiliki kampil yang membawa tongkat itu adalah anak muda
yang memiliki ilmu kanuragan.
Namun mereka adalah orang-orang yang berpengalaman
melakukan kekerasan. Karena itu, seorang di antara mereka
itu menggeram, "Kau jangan coba-coba untuk
menyombongkan dirimu. Apa yang kau lakukan adalah satu
kebetulan saja. Kawanku memang lengah. Ia tidak mengira
bahwa kau akan menyerangnya dengan licik dan tiba-tiba.
Tetapi kau tidak akan dapat mengulanginya."
Paksi tidak menjawab. Ia masih berdiri tegak sambil
memegangi tongkatnya. Orang yang marah itu melangkah maju. Kedua orang yang
lainpun telah bersiap-siap pula. Sementara orang yang
kesakitan berangsur mengatasi rasa sakitnya yang perlahan-
lahan mulai berkurang. "Sekarang, serahkan kampil itu. Aku hanya akan
menghitung sampai tiga."
"Tunggu, Ki Sanak," potong Paksi.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia
mulai menghitung, "Satu, dua... "
Namun seperti orang yang terdahulu, hitungannya patah.
Orang itu tidak sempat mengucapkan hitungan ketiga. Ia
mengalami sebagaimana dialami oleh kawannya. Ujung
tongkat Paksi terjulur mengenai perut dan dadanya.
Orang itu bukan saja mengeluh tertahan. Tetapi orang itu
berteriak kesakitan. Rasa-rasanya perut dan dadanya bagaikan
telah berlubang. "Kalian sangat memuakkan," geram Paksi kemudian. "Jika masih ada yang ingin mencoba, aku benar-benar akan
melubangi perut kalian. Atau mematahkan leher kalian dengan
tongkatku ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajah keempat orang itu menjadi tegang. Sementara Paksi
berkata selanjutnya, "Akulah yang akan menghitung sampai
tiga." Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara yang
perut dan dadanya kesakitan, masih membungkuk-bungkuk
menahan sakit. Tetapi kawan-kawannya tidak menunggu lebih lama lagi.
Bahkan sebelum Paksi mulai menghitung, orang-orang itu
telah tergeser menjauh. Yang masih kesakitan itu berjalan
tertatih-tatih dibantu oleh kawan-kawannya dengan tergesa-
gesa menjauh. Mereka harus melihat kenyataan, bahwa anak
muda yang membawa tongkat itu memiliki kemampuan yang
sangat tinggi. Bahkan menurut perhitungan mereka, anak
muda yang seorang lagi tentu juga memiliki kemampuan yang
setidak-tidaknya sama. "Kita hanya membuang-buang waktu saja," desis salah
seorang dari mereka. Ternyata Paksi membiarkan saja mereka pergi. Wijang
yang sejak semula hanya berdiri mengamati tingkah laku Paksi
itupun tersenyum. Katanya, "Kau biarkan mereka pergi?"
"Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Beri mereka peringatan."
Paksi mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun
berteriak memanggil, "He, Ki Sanak yang akan
merampas kampilku, berhentilah sebentar."
Orang itu terkejut. Dengan jantung yang berdebaran
mereka berhenti, karena mereka menyadari, bahwa mereka
tidak akan dapat melepaskan diri.
"Aku akan berkeliaran disini. Jika aku masih mendengar
apalagi melihat kalian merampok, maka kami benar-benar
akan membunuh kalian."
Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara
itu Paksi membentak, "Apa kata kalian" Kenapa kalian berdiam diri" Apakah aku harus memaksa kalian membuka mulut?"
"Baik, baik, Ki Sanak. Aku berjanji bahwa aku tidak akan
melakukannya lagi." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hanya kau yang berjanji" Bagaimana dengan yang lain?"
"Yang lain juga berjanji."
"Diam kau. Biar mereka menjawab sendiri-sendiri." Ketiga orang yang lainpun hampir berbareng menjawab. "Baik, baik, Ki Sanak. Kami berjanji."
"Berjanji apa?"
"Tidak merampok lagi."
Paksi memandang mereka bertiga dengan tajamnya.
Katanya, "Ki Sanak. Aku tidak bermain-main. Aku bersungguh-sungguh. Aku dapat mengenali wajahmu kapan pun kita akan
bertemu lagi. Kali ini kami berdua tidak akan menghukum
kalian. Pergilah. Tetapi kami tidak akan melupakan wajah-
wajah buruk kalian itu."
Keempat orang itupun segera meninggalkan Paksi. Mereka
berusaha secepat mungkin. Kawannya yang masih saja
kesakitan itu dibantu agar dapat berjalan lebih cepat. Mereka
menyadari bahwa sikap anak-anak muda itu masih dapat
berubah lagi. Jika saja tiba-tiba mereka ingin mematahkan
leher mereka, maka nasib mereka menjadi sangat buruk.
Ketika keempat orang itu menjadi semakin jauh, maka
terdengar Wijangpun tertawa. Katanya, "Sikapmu sudah cukup meyakinkan sehingga orang-orang itu benar-benar menjadi
ketakutan." "He?" "Seperti orang bebahu padukuhan mengusir anak-anak
yang ketahuan sedang mencuri telur di kandang ayam."
"Jadi?" "Ya, begitulah."
"Jika kau yang melakukannya?"
"Juga seperti yang kau lakukan."
Wajah Paksi menjadi muram. Katanya, "Seharusnya kau
yang melakukannya." Wijang tertawa. Tetapi katanya kemudian, "Sudahlah, kita
melanjutkan perjalanan. Orang-orang itu telah menghambat
perjalanan kita ke selatan."
"Kita akan kembali turun ke jalan yang tadi kita lalui?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak usah. Kita tempuh saja jalan kecil ini. Kita tahu ke arah mana kita harus berjalan. Puncak Gunung Merapi itu
harus selalu berada di belakang kita sambil berkiblat pada
jalur perjalanan matahari yang sedikit ada di utara." Paksi mengangguk.
Demikianlah, maka keduanyapun melanjutkan perjalanan.
Tetapi keduanya kemudian tidak lagi melalui jalan yang lebih
besar dan lebih banyak dilalui orang. Mereka melangkah
menyusuri jalan setapak di tengah-tengah pategalan yang
sepi. Bahkan kemudian memasuki padang perdu, yang
ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang terbentang sampai
ke pinggir sebuah hutan yang membujur panjang.
Namun langkah merekapun kemudian tertegun ketika
mereka sampai di pinggir sebuah tebing yang menuruni
sebuah sungai yang mengalir dengan derasnya. Di kejauhan,
di seberang sungai membentang sebuah dataran yang agak
luas berbatu-batu. Beberapa batang pohon besar tumbuh di
antara pohon perdu dan semak-semak.
Mereka melihat bintik-bintik yang bergerak di antara
semak-semak dan bebatuan.
"Kau lihat itu?" bertanya Wijang.
Paksi telah mengenakan Aji Sapta Pandulu untuk dapat
melihat lebih jelas. "Apa yang terjadi?" desis Paksi.
Wijang mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia
berkata, "Satu benturan kekerasan."
"Aku melihat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung."
"Ya. Mereka harus menghadapi sekelompok orang," desis Wijang kemudian.
"Kita akan mendekat."
Keduanyapun segera bergerak. Dengan tongkatnya Paksi
menopang tubuhnya ketika keduanya menuruni tebing.
Sementara Wijang berpegangan pada beberapa batang pohon
yang tumbuh di tebing itu. Namun sekali-sekali Wijang
meluncur turun dan berhenti di balik gerumbul-gerumbul liar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Repak Rembulung dan Pupus Rembulung menghadapi
beberapa orang pengikut Harya Wisaka."
"Darimana kau tahu bahwa mereka adalah pengikut Harya
Wisaka?" "Aku kenali pakaian satu dua orang di antara mereka.
Mereka tentu bukan orang-orang padepokan atau perguruan-
perguruan yang sedang saling berpacu mencari Pangeran
Benawa. Meskipun orang yang lain nampaknya memang
berasal dari perguruan-perguruan atau padepokan-padepokan
atau dari manapun, namun beberapa orang adalah orang-
orang dari Pajang atau bahkan Demak."
"Satu kerjasama."
"Bukan. Orang-orang Pajang atau orang-orang Demak itu
memang kaki tangan Paman Harya Wisaka, seperti Ki Rangga
Sumawerdi. Sedangkan yang lain mungkin orang-orang
upahan atau orang-orang yang termakan oleh janji-janji dan
harapan-harapan." "Atau pengikut-pengikutnya juga, tetapi mereka
mengenakan pakaian yang berbeda."
Wijang mengangguk-angguk sambil bergumam, "Mungkin.
Ada banyak kemungkinan terjadi. Marilah, kita berusaha
mendekat." Keduanyapun kemudian telah merayap di balik gerumbul-
gerumbul yang banyak berserakan di antara batu-batu yang
besar, yang nampaknya pada suatu saat telah dimuntahkan
dari perut Gunung Merapi.
Semakin lama keduanyapun menjadi semakin dekat dengan
arena pertempuran tanpa diketahui oleh orang-orang yang
sedang sibuk bertempur itu. Perhatian mereka tertuju
sepenuhnya kepada lawan-lawannya, sehingga mereka sama
sekali tidak menduga, bahwa ada dua orang anak muda yang
memperhatikan mereka dan merayap mendekat.
Dalam hiruk-pikuk pertempuran itu terdengar seseorang
berkata lantang, "Jika kau serahkan Pangeran Benawa, maka kami tidak akan mengganggumu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Persetan dengan Pangeran Benawa," bentak Repak
Rembulung. "Sudah seribu kali aku katakan, bahwa aku tidak tahu-menahu dengan Pangeran Benawa."
"Para petugas sandi mengatakan, bahwa Pangeran Benawa
ada di tanganmu." "Petugas-petugas sandi yang dungu. Seharusnya petugas-
petugas sandi yang demikian itu kalian singkirkan saja. Mereka dapat menjerumuskan kalian ke dalam kesulitan."
"Jangan ingkar. Kami bertugas untuk membawa Pangeran
Benawa kembali ke istana. Tugas-tugas penting telah
menunggunya." "Omong kosong," sahut Pupus Rembulung. "Kau kira kami tidak tahu, bahwa Harya Wisaka sedang memburu Pangeran
Benawa. Bukan karena Harya Wisaka ingin membawa kembali
Pangeran Benawa ke istana untuk segera menjalankan tugas-
tugas kepangeranannya, tetapi Harya Wisaka ingin
menangkap Pangeran Benawa untuk mengambil cincin yang
dibawanya, kemudian menyingkirkan Pangeran Benawa untuk
selama-lamanya." "Apakah kau juga melakukan sebagaimana kau katakan"
Kau tangkap Pangeran Benawa, kau ambil cincinnya, lalu
Pangeran Benawa itu kau singkirkan untuk selama-lamanya?"
"Kau gila. Kami tidak tahu-menahu tentang Pangeran
Benawa." Orang-orang yang memburu Pangeran Benawa itu tidak
bertanya lagi. Mereka bertempur semakin garang. Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung yang hanya berdua itu
menjadi agak mengalami kesulitan. Apalagi di antara orang-
orang yang mengaku mencari Pangeran Benawa untuk
dikembalikan ke istana itu terdapat orang-orang berilmu
tinggi. Nampaknya mereka adalah para pemimpin perguruan
atau para pertapa atau orang-orang upahan yang memiliki
bekal yang cukup. "Seandainya mereka orang-orang upahan, mereka bukan
orang-orang yang menerima upah untuk menyingkirkan
saingannya berebut tempat berjualan di pasar. Bukan pula
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang-orang upahan untuk menakut-nakuti anak muda yang
jatuh cinta tetapi tidak disetujui oleh orang tua gadis yang
dicintainya. Tetapi mereka adalah orang-orang upahan dari
tataran yang tinggi. Perebutan jabatan di kalangan para
pemimpin pemerintahan atau saling berebut puteri yang
sedang mekar di taman istana. Atau berebut pengaruh di
antara para bangsawan untuk mendapatkan kepercayaan dari
Kanjeng Sultan," berkata Wijang.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah
kehidupan di lingkungan dan di sekitar istana demikian
garangnya?" "Ya. Mereka mempergunakan segala macam cara. Orang-
orang upahan yang berilmu tinggi, jebakan-jebakan dan
umpan-umpan, fitnah, benda-benda yang dianggap bertuah
dan ilmu hitam." "Aku tidak dapat membayangkannya."
"Kau tidak usah mencoba membayangkannya."
Paksi tidak bertanya lagi. Tetapi perhatian keduanyapun
kemudian tertuju kepada pertempuran yang sedang
berlangsung. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung benar-benar
berada dalam kesulitan. Beberapa kali mereka harus
berloncatan mundur. Sekali-sekali Repak Rembulung
bertempur berpasangan, namun kemudian mereka telah
berloncatan mengambil jarak. Namun demikian, serangan-
serangan lawan-lawan mereka datang memburu seperti banjir
bandang. "Tujuh orang," desis Wijang.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Tujuh orang. Di antara mereka terdapat orang berilmu tinggi. Kau lihat orang yang berkepala botak tanpa
mengenakan ikat kepala?"
"Yang mengalungkan ikat kepalanya di lehernya?"
"Ya." "Ilmunya cukup tinggi. Orang itu agaknya berniat untuk
membunuh Repak Rembulung."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi menjadi gelisah. Ia sadar, bahwa sebaiknya ia tidak
mencampuri persoalan itu. Tetapi bagaimanapun juga Paksi
tidak dapat melupakan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung adalah orang tua angkat Kemuning.
"Tetapi mereka adalah termasuk orang-orang yang tamak,
yang hidup di dalam bayangan yang hitam," berkata Paksi di dalam hatinya.
Tetapi setiap kali terdengar ia berdesah. Apalagi ketika
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung berada dalam
keadaan yang gawat. Selagi Paksi dicengkam oleh keragu-raguan, tiba-tiba saja
Wijang berkata, "Satu pertarungan yang tidak adil."
Paksi yang mendengarnya dengan serta-merta menyahut,
"Maksudmu?" "Bukankah lawan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung
itu berjumlah tujuh orang?"
"Ya." "Sedangkan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung
hanya berdua saja." "Mereka tentu tidak memikirkan, adil atau tidak adil."
"Ya. Mereka menganggap justru mendapat kesempatan
untuk mengurangi jumlah lawan yang harus mereka hadapi."
"Tetapi mereka adalah orang-orang yang jahat. Perguruan-
perguruan yang berusaha memburu cincin itu adalah
perguruan-perguruan yang hitam."
"Ya. Para pemimpin perguruan yang baik tidak akan
tergerak hatinya untuk memburu sesuatu yang bukan hak
mereka meskipun sesuatu itu menjanjikan harapan bagi masa
datang." "Merekapun akhirnya berusaha untuk saling
membinasakan. Jika para pemimpin perguruan itu berusaha
untuk mencegah benturan kekuatan di antara mereka, namun
Harya Wisaka hadir dengan sikapnya sendiri."
"Ya." "Bukankah pada akhirnya mereka akan
menyelesaikan persoalan mereka sendiri" Justru dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demikian orang-orang yang memburu Pangeran Benawa itu
menjadi jauh berkurang?"
"Ya. Tetapi melihat ketidakadilan seperti ini, rasa-rasanya hatiku tergelitik. Apalagi bagiku, Paman Harya Wisaka tidak
kalah berbahayanya dari Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung." "Maksudmu?" "Aku ingin ikut campur dalam pertempuran itu."
"Kita akan berada di pihak yang mana?" bertanya Paksi.
"Jangan bodoh atau berpura-pura bodoh. Marilah. Jika kita terlambat, salah seorang di antara Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung itu akan segera mereka lumpuhkan."
Paksi tidak menunggu Wijang mengulangi. Sikap Wijang itu
melenyapkan keragu-raguannya. Paksi itu akan melibatkan diri
dalam pertempuran yang menjadi semakin tidak seimbang.
Dalam pada itu, sepasang pedang Pupus
Rembulung berputaran dengan cepatnya, sehingga
menyerupai gumpalan asap di sebelah-menyebelah tubuhnya.
Namun ujung-ujung senjata lawannya telah berhasil
menyusup di sela-sela pertahanannya. Lengan Pupus
Rembulung telah tergores pedang meskipun tidak terlalu
dalam. Tetapi yang segores tipis itu telah menitikkan darahnya membasahi lengan bajunya.
Pupus Rembulung berteriak marah. Pedangnya berputar
semakin cepat. Namun Pupus Rembulung harus bertempur
melawan tiga orang yang berilmu tinggi, masih juga
membentur kenyataan. Pupus Rembulung tidak dapat mengharapkan bantuan
Repak Rembulung yang harus bertempur melawan empat
orang yang juga berilmu tinggi. Apalagi orang
berkepala botak yang mengalungkan ikat kepalanya di
lehernya itu. Ketika keadaan Pupus Rembulung menjadi semakin sulit
serta Repak Rembulung yang sengaja didesak menjauhi
isterinya, maka Wijang dan Paksipun telah bangkit berdiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil melangkah mendekati, Wijang itupun tertawa.
Suaranya keras menghentak-hentak. Bahkan Paksi telah
terkejut karenanya. Seakan-akan Wijang adalah seorang anak
muda yang sangat keras dan kasar.
Kehadiran keduanya memang mengejutkan. Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung terkejut. Ketujuh orang
yang bertempur melawan keduanya itupun terkejut pula.
Paksi terkejut lagi ketika tiba-tiba saja ia mendengar Wijang
mengumpat kasar. Kemudian sambil berteriak Wijang itupun
meloncat di atas sebuah batu besar sambil berkata,
"Pertempuran ini tidak adil. Ki Repak Rembulung dan Nyi
Pupus Rembulung hanya berdua, sedangkan para pengikut
atau orang-orang yang diupah oleh Harya Wisaka terdiri dari
tujuh orang." "Kau siapa?" bertanya orang yang berkepala botak.
"He, berapa kau menerima upah untuk membunuh Ki
Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung, botak?"
"Anak iblis. Siapa kau?"
"Kau yang iblis, setan, gendruwo, botak."
Hampir saja Paksi menutup telinganya dengan jari-jarinya.
Wijang tidak pernah berbicara dan bersikap sekasar itu.
Namun akhirnya Paksi pun menyadari, bahwa Wijang tentu
sedang menyembunyikan pribadinya. Pribadi Pangeran
Benawa. Jika ia bersikap wajar, maka orang yang melihat
sikapnya itu akan menghubungkan kehadirannya dengan
kepergian Pangeran Benawa dari istana.
Sikap Wijang itu memang memberikan kesan yang lain.
Seakan-akan Wijang itu termasuk golongan orang-orang kasar
yang tamak, yang juga berusaha memburu Pangeran Benawa.
Tetapi ternyata Repak Rembulungpun bertanya, "Siapa kau,
anak muda?" "Apakah Ki Repak Rembulung tidak mengenali aku lagi. Kita pernah bertemu dan berbicara di lereng Gunung
Merapi. Pertemuan itu juga terganggu oleh kehadiran Harya
Wisaka dengan orang-orangnya, sehingga pertemuan itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjadi gagal. Bahkan beberapa orang di antara kita berhasil
ditangkap oleh para pengikut Harya Wisaka."
"Kalian berasal dari perguruan mana?" bertanya Repak Rembulung.
"Kami berdua adalah orang-orang Goa Lampin."
"Omong kosong," bentak orang yang berkepala botak. "Goa itu hanya berisi perempuan. Laki-laki yang ada di dalam goa
itu seakan-akan hidup dalam kerangkeng."
"Kami berdua adalah orang-orang yang bertugas menjaga
kerangkeng itu." Ketujuh orang pengikut Harya Wisaka serta Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung nampak ragu-ragu. Namun
Wijang tidak menghiraukannya, apakah mereka percaya atau
tidak. Yang penting baginya adalah ikut campur dalam
pertempuran yang tidak adil itu.
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang tidak
mempercayainya. Tetapi mereka tidak mengatakannya.
Mereka ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang
yang dianggapnya masih terlalu muda itu.
Sementara itu, orang yang berkepala botak itu menjadi
sangat marah atas campur tangan kedua orang anak muda
itu, siapapun mereka. Ketujuh orang pengikut Harya Wisaka
itu juga tidak segera percaya bahwa kedua orang itu adalah
orang-orang dari Goa Lampin, karena tidak ada ciri-ciri yang
nampak pada kedua orang anak muda itu.
"Anak muda," berkata orang berkepala botak itu, "aku tidak percaya bahwa kalian berasal dari Perguruan Goa Lampin.
Tetapi aku tidak peduli siapa kalian. Tetapi jika kalian berniat mencampuri pertempuran ini, maka kalian akan mati paling
awal. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung pun tidak akan
dapat lepas dari tangan kami."
"Tikus sombong," geram Wijang dengan kata-kata yang
kasar, "jaga mulutmu itu. Kau akan menyesal jika kau tidak mau mendengar kata-kataku. Aku minta kalian bertujuh
meninggalkan tempat ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang berkepala botak itu tertawa. Bahkan kawan-
kawannyapun tertawa pula.
"Cukup, orang-orang buruk," geram Wijang. "Wajah-wajah kalian sangat memuakkan. Katakan kepada Harya Wisaka,
bahwa ia tidak akan dapat menghentikan kami. Pada suatu
saat kami tentu akan dapat menangkap Pangeran Benawa
lebih dahulu dari Harya Wisaka. Kami akan mendapatkan
cincin itu." "Diam," bentak orang berkepala botak itu. "Aku akan mengoyak mulutmu itu."
Wijang tertawa. Suara tertawanya sangat menyakitkan
telinga. Katanya, "Bersiaplah untuk mati. Kesempatan kalian untuk melarikan diri adalah sekarang, sebelum pertempuran
dimulai. Jika kami sudah terlanjur bertempur, maka kalian
tidak akan pernah menemukan jalan kembali."
Seorang yang bertubuh tinggi, berdada bidang yang
menggenggam golok yang besar, melangkah maju sambil
menggeram, "Aku tidak telaten mendengar igauan anak ini."
Orang berkepala botak itu tidak mencegah ketika orang itu
langsung menyerang Wijang dengan garangnya.
Wijang berloncatan surut. Namun kemudian, iapun telah
berkata lantang, "Jadi kaukah yang ingin mati paling awal?"
Orang bertubuh tinggi dan bersenjata golok yang besar itu
tidak menyahut. Namun goloknyalah yang kemudian terayun-
ayun mengerikan. Tetapi Wijangpun telah bersiap menghadapinya. Wijangpun
segera berloncatan pula. Sekali menghindar, sekali
menyerang. Paksi menjadi tercengang-cengang melihat sikap Wijang.
Garang, keras dan bahkan kasar. Gerakan-gerakan yang aneh
yang sebelumnya belum pernah dilihatnya. Tetapi Paksipun
mengerti, bahwa semuanya itu dilakukan agar yang
tersembunyi di belakang sosok Wijang itu tidak mudah
terungkap. Dalam pada itu, orang yang berkepala botak itupun
kemudian berteriak, "Kita selesaikan yang lain. Jika Repak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rembulung dan Pupus Rembulung berkeras untuk tidak mau
menyerahkan Pangeran Benawa, maka keduanya akan mati di
sini." Repak Rembulung dan Pupus Rembulung seakan-akan
tersadar dari sebuah mimpi. Bahkan dengan nada rendah
Pupus Rembulungpun bertanya kepada Paksi yang masih
berdiri termangu-mangu, "Kenapa kalian melibatkan diri, anak-anak muda?"
Paksi menjadi gagap. Sulit baginya untuk tiba-tiba saja
menjadi sekasar Wijang. Namun akhirnya ia mencoba
mengaburkan suaranya dan menjawab, "Kami hanya ingin
mencegah penyelesaian yang tidak adil dari pertempuran ini."
"Kalian menganggap bahwa kami tidak mampu mengatasi
mereka bertujuh?" Paksi tercenung sejenak. Namun kemudian iapun
menjawab, "Itu tidak penting. Yang penting, aku benci melihat
kelicikan ini." Orang berkepala botak itupun kemudian melangkah
mendekati Paksi sambil berkata, "Jadi nasibmulah yang
ternyata paling buruk. Kau akan mati lebih dahulu dari Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung. Justru karena kau terlalu
bernafsu untuk ikut campur dalam persoalan orang lain.
Bahkan kau akan mati lebih dahulu dari kawanmu itu."
Tetapi Paksi yang berusaha menyesuaikan diri dengan
sikap Wijang itupun tertawa. Kemudian menghentakkan
tongkatnya di tanah sambil berkata lantang, "Ayo, botak.
Tongkatku akan meretakkan tulang tenggorokanmu. He,
kenapa tidak kau pakai ikat kepalamu itu?"
Orang berkepala botak itu tidak tahan lagi mendengar kata-
kata Paksi itu. Iapun kemudian memutar tongkat besinya
sambil berkata, "Apa arti tongkatmu itu, anak iblis."
Paksi tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung masih saja berdiri
termangu-mangu. Berbagai pertanyaan telah membelit
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jantung. Tiba-tiba saja dua orang anak muda telah melibatkan
diri dalam pertempuran yang memang kurang seimbang,
karena Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang
mengalami kesulitan untuk melawan tujuh orang yang berilmu
tinggi. "Tetapi apakah tujuan mereka sebenarnya?"
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung yang terbiasa
hidup di dunia yang hitam itu memang tidak dapat cepat
mempercayai seseorang. Dalam satu usaha untuk bekerja
bersama pun mereka selalu saling curiga.
Tetapi untuk sementara kehadiran kedua orang anak muda
itu menguntungkan mereka. Setidak-tidaknya lawan mereka
berkurang. Jika Pupus Rembulung melawan empat orang,
maka lawan mereka masing-masing akan berkurang satu
orang, orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang, yang
semula ikut bertempur melawan Pupus Rembulung telah
terikat dalam pertempuran melawan salah seorang dari anak
muda itu. Sementara itu, orang yang berkepala botak itu akan
bertempur melawan anak muda yang bersenjata tongkat.
Namun orang yang berkepala botak itupun kemudian
berteriak, "Jangan biarkan Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan
diri." Orang-orang yang lainpun segera menyadari. Karena itu,
maka serentak merekapun bergerak. Dua orang berhadapan
dengan Pupus Rembulung, sedangkan yang tiga orang
mengurung Repak Rembulung.
Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran itupun
berubah. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak
lagi mendapat tekanan terlampau berat. Meskipun mereka
masih harus memeras kemampuan mereka untuk melindungi
diri, namun Repak Rembulung dan Pupus Rembulung masih
mempunyai kesempatan untuk sekali-sekali menyerang
lawannya. Namun lawan-lawan merekapun berilmu tinggi,
sehingga sulit bagi Repak Rembulung dan Pupus Rembulung
untuk mampu menembus pertahanan mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, orang bertubuh tinggi, berdada bidang dan


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersenjata golok itupun terkejut ketika mulai terjadi benturan-benturan dengan anak muda yang bertingkah laku kasar itu.
Orang itu memang sudah mengira bahwa anak muda itu tentu
merasa memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia berani
memasuki lingkaran pertempuran yang rumit itu. Namun
ternyata tenaga Wijang di luar perhitungannya. Demikian pula
ketangkasannya bergerak. Meskipun dengan kasar, namun
anak muda itu mampu bergerak dengan cepat.
Orang bersenjata golok itu harus menghadapi kenyataan.
Anak muda yang semula akan dapat diselesaikan dengan
cepat itu, justru mulai mendesaknya. Serangan-serangannya
datang seperti hentakan-hentakan hujan rog-rog asem.
Demikian datang beruntun dengan derasnya, namun dengan
tiba-tiba saja berhenti, seakan-akan ia menunggu serangan-
serangan lawannya. Sementara itu orang yang berkepala botak, yang bertempur
dengan tongkat besi, juga terkejut ketika terjadi sebuah
benturan yang keras. Tongkat anak muda itu tidak patah.
Orang berkepala botak itu menyadari, bahwa kecuali
tongkat itu bukan tongkat kayu kebanyakan, namun agaknya
kemampuan anak muda itu mempergunakan tongkatnya juga
berpengaruh, sehingga benturan yang terjadi itu tidak
mematahkan tongkat kayunya.
Orang berkepala botak itu harus menjadi semakin berhati-
hati. Di setiap benturan rasa-rasanya tongkat kayu orang itu
telah menghisap tongkat besinya, sehingga orang berkepala
botak itu harus memeganginya dengan eratnya.
Dengan demikian pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Meskipun Repak Rembulung telah kehilangan
seorang lawannya yang berilmu tinggi, tetapi Repak
Rembulung tidak menguasai lawan-lawannya. Ketiga orang
lawannya telah berusaha menebar dan menyerang Repak
Rembulung dari arah yang berbeda-beda.
Sementara itu Pupus Rembulung memang tidak banyak lagi
mengalami kesulitan. Lawan-lawannya tidak lagi mampu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menembus pertahanannya. Tetapi kemampuan kedua
lawannya bertempur berpasangan membuat Pupus
Rembulung kadang-kadang masih harus berloncatan surut.
Yang kemudian telah terdesak adalah orang yang
bersenjata golok. Ternyata goloknya yang besar, sulit sekali
mengimbangi kecepatan gerak sepasang pisau belati di tangan
anak muda yang bertempur dengan keras dan kasar itu.
Bahkan orang yang bersenjata golok itu merasa heran,
bahwa ayunan golok yang kuat, ternyata mampu ditangkisnya
dengan perisai yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Anak ini benar-benar anak iblis," geram orang bertubuh tinggi yang berdada bidang dengan golok di tangannya itu.
Dengan demikian, maka orang bertubuh tinggi itupun harus
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengatasi
kemampuan gerak serta kegarangan anak muda yang
bersenjata sepasang pisau belati itu.
Namun Wijangpun semakin mendesaknya. Pisaunya
bergerak menyambar-nyambar, sementara ayunan golok yang
besar itu seakan-akan tidak mampu menghambatnya.
Karena itu, maka orang itu harus berloncatan mundur.
Sekali-sekali meloncat beberapa langkah untuk mengambil
jarak serta memperbaiki keadaannya.
Tetapi Wijang tidak memberikan banyak kesempatan.
Setiap kali lawannya berloncatan mundur, Wijangpun segera
meloncat memburunya. Sepasang belatinya berputaran
dengan cepat menyambar-nyambar.
Orang bersenjata golok itupun semakin mengalami
kesulitan. Ia adalah seorang yang terhitung garang dan kasar. Tetapi
lawannya yang muda itu seakan-akan telah menjadi buas dan
liar. Paksi sekali-sekali sempat melihat bagaimana Wijang
mendesak lawannya. Loncatan-loncatan panjang, ayunan
tangannya yang menggenggam pisau-pisau belati. Bahkan
sekali-sekali Wijang itu menerkam lawannya seperti seekor
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
harimau lapar. Namun kemudian menyerang dengan kakinya
mendatar. Ketika lawannya berteriak nyaring sambil mengayunkan
goloknya, maka Wijangpun berteriak pula. Lebih keras dan
bahkan melengking. Demikian ketika lawannya mengumpat,
maka Wijangpun mengumpat lebih kasar.
Sementara itu, Paksi yang mencoba menyesuaikan diri,
ternyata banyak mengalami hambatan dari dalam dirinya
sendiri. Sekali-sekali Paksipun mencoba berteriak. Tetapi tidak dapat sekasar Wijang. Paksi memang sering berteriak untuk
menghentakkan kekuatannya. Tetapi terdengar wajar. Tidak
seperti aum seekor harimau lapar atau seperti jerit serigala di terang bulan.
Meskipun demikian, Paksipun sudah banyak berubah. Ia
tidak mencerminkan dirinya sendiri.
Orang berkepala botak itupun kemudian harus menghadapi
kenyataan. Lawannya yang masih muda, bersenjata tongkat
ternyata tidak dapat ditundukkannya. Bahkan semakin lama
orang itu justru menjadi semakin terdesak.
Namun satu hal yang membingungkan orang itu adalah,
bahwa sulit sekali baginya untuk mengenali ilmu dan sifat
lawannya. Sekali-sekali Paksi memang bertempur dengan
ilmunya yang mapan. Tetapi kemudian tata geraknya menjadi
kacau. Tetapi satu hal yang membuatnya pening. Tongkat
anak muda itu seakan-akan dapat menggeliat. Benturan yang
keraspun terasa menjadi lunak, sehingga tongkat kayu itu
tidak patah oleh tongkat besinya.
Namun ujung tongkat itu mulai mematuknya. Semakin lama
semakin sering. Ketika pundak orang berkepala botak itu
terdorong oleh ujung tongkat Paksi, maka orang itu hampir
saja kehilangan keseimbangan.
Namun orang berkepala botak itu terkejut ketika kawannya
yang bertubuh tinggi dan berdada bidang berteriak marah.
Ujung belati Wijang telah menggores dadanya.
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung masih harus
mengerahkan kemampuannya yang mengimbangi lawan-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lawannya. Namun nafas mereka tidak lagi terasa berdesakan
di lubang hidung. Bukan saja karena mereka memaksakan diri
mengerahkan kemampuannya untuk melindungi diri dari
lawan-lawan mereka, tetapi juga karena kegelisahan yang
mencengkam. Dalam pada itu, tiga orang yang bertempur melawan Repak
Rembulung itu menyadari kesulitan yang dialami oleh
kawannya yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan
bersenjata golok itu. Karena itu seorang di antara mereka telah memberi isyarat
untuk meninggalkan Repak Rembulung untuk melibatkan diri,
bertempur melawan anak muda yang bersenjata sepasang
pisau belati itu. Anak muda yang bertempur dengan keras dan
kasar. Bahkan kadang-kadang menjadi liar.
Dengan demikian keadaan Repak Rembulung menjadi
semakin baik. Ia tidak lagi mengalami terlalu banyak kesulitan.
Meskipun kedua orang itu bertempur dengan garang, tetapi
sulit bagi keduanya untuk menembus pertahanan Repak
Rembulung. Wijanglah yang kemudian harus bertempur
melawan dua orang lawan. Tetapi ternyata ilmu Wijang benar-
benar tinggi. Kedua orang lawan Wijang menjadi bingung. Mereka
bertempur dengan keras dan kasar. Tetapi Wijang bertempur
dengan cara yang lebih kasar lagi. Kedua pisaunya
berputaran. Namun kedua kaki Wijangpun bergerak dengan
cepat menyambar-nyambar. Adalah di luar perhitungan
lawannya, bahwa kaki Wijang juga membaurkan debu.
Melontarkan batu dan serangan-serangan yang liar lainnya.
"Dari iblis gila manakah kau sadap ilmumu, he?" teriak salah seorang lawan Wijang itu.
Wijang meloncat menyerang sambil menjawab, "Kau yang
berguru pada iblis."
Lawannya tidak menyahut lagi. Tetapi kedua-duanya
menyerang hampir bersamaan. Seorang di antaranya berteriak
keras sambil mengayunkan golok, yang seorang mencoba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memotong gerak Wijang yang diperhitungkan akan
menghindari ayunan golok itu.
Tetapi perhitungan orang itu salah. Wijang tidak
menghindar. Tetapi Wijang bergeser sambil menangkis
ayunan golok yang keras itu dengan menyilangkan sepasang
pisau belatinya. Demikian benturan yang keras terjadi, maka terasa tubuh
lawannya terguncang. Kekuatan yang terayun pada
senjatanya yang berat seakan-akan telah memantul menyusuri
goloknya yang besar itu, menggetarkan tangannya.
Terasa sendi-sendi tangan orang itu bagaikan berpatahan.
Sementara itu kawannyapun telah meloncat menyerang pula.
Ketika ia melihat bahwa gerak Wijang tidak sebagaimana
diperhitungkan, maka iapun merubah arah serangannya.
Senjatapun berputar dan menebas mendatar ke arah
lambung. Tetapi Wijang sempat meloncat. Terdengar teriakan
melengking dari mulutnya. Dengan satu putaran Wijang
bagaikan melenting. Kakinya yang berputar terayun mendatar
menyambar wajah lawannya itu.
Serangan kaki itu demikian derasnya, sehingga lawannya
itu terlempar beberapa langkah surut. Sementara lawannya
yang bersenjata golok itu masih belum dapat memperbaiki
keadaannya. Tangannya terasa sakit dan bahkan rasa sakit itu
telah menjalar ke dadanya.
Tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk merenungi
keadaannya. Anak muda yang bersenjata sepasang pisau itu
seakan-akan meloncat menerkamnya.
Orang itu berusaha menghindar. Tetapi ia tidak dapat
keluar dari jangkauan serangan Wijang. Pisau belatinya telah
mengoyak pundaknya. Orang itu berteriak marah dan mengumpat kasar. Tetapi
Wijang berteriak lebih keras. Ia mengumpat lebih kasar.
Telinga Paksi menjadi panas mendengar kata-kata kasar
yang meluncur dari sela-sela bibir Pangeran Benawa itu. Sama
sekali memang tidak mencerminkan pribadi seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bangsawan tertinggi di Pajang, sementara Paksi sendiri tidak
dapat melakukannya. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sangat tertarik
kepada sikap Wijang. Kekasarannya, ketegarannya dan
tataran ilmu iblisnya yang tinggi.
Pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit.
Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka.
Orang yang berkepala botak itupun telah berusaha dengan
segenap kemampuannya untuk mengatasi lawannya yang
bersenjata tongkat. Tetapi setiap kali ia harus mengalami
kenyataan yang pahit. Tongkat kayu yang buruk itu
mematuknya dengan kerasnya. Bahkan kemudian satu ayunan
yang deras tidak dapat dihindarinya, sehingga tongkat itu
telah memukul punggungnya.
Orang berkepala botak itu menjadi sangat marah. Anak itu
memukulnya seperti memukul pencuri ayam yang ketahuan
sedang merunduk di kandang, sementara ia tidak berhasil
menghindar. Tetapi kemarahan orang itu tidak berarti apa-apa bagi
Paksi. Serangan-serangan tongkatnya semakin lama justru
menjadi semakin berbahaya.
Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan ketika beberapa kali
tongkat itu mengenai tubuhnya. Mengenai punggungnya,
lambungnya, pundak dan lengannya. Ketika ujung tombak itu
mematuk perutnya, rasa-rasanya perutnya itu telah berlubang.
Orang yang berkepala botak, yang nampaknya memimpin
kawan-kawannya yang berniat untuk memaksa Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung mengakui keberadaan
Pangeran Benawa di sarangnya, harus melihat kenyataan.
Semula ia meninggalkan lawannya sejenak untuk
membunuh anak muda yang bersenjata tongkat itu, sebelum
menyelesaikan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.
Tetapi ternyata yang terjadi tidak sebagaimana dikehendaki.
Ia tidak berhasil membunuh anak muda yang bersenjata
tongkat itu dalam waktu sepenginang. Tetapi justru orang itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sendiri yang cedera oleh ilmu anak muda yang bersenjata
tongkat itu. Namun dalam pada itu, selagi kedua lawan Wijang
mengalami kesulitan sementara lawan Paksi semakin terdesak,
terdengar teriakan kesakitan. Justru seorang lawan Repak
Rembulunglah yang terlempar dari arena pertempuran,
terbanting jatuh dan kemudian berguling-guling. Sebuah luka
yang panjang tergores di dadanya.
Seorang lawannya yang lain tidak berhasil menghentikan
serangan itu. Bahkan orang itu telah terdesak beberapa
langkah surut. "Gila. Terkutuklah kau, anak iblis," teriak orang berkepala botak. Kemudian katanya kepada Paksi, "Kau dan kawanmu
merusak semua rencanaku, karena itu maka kau pantas untuk
dipancung." Tetapi jawab Paksi menyakitkan hatinya, "Senjatamu tidak
akan dapat kau pergunakan untuk memancung kepalaku."
"Persetan kau, anak setan," sahut orang itu.
Paksi tertawa. Sangat menyakitkan hati. Tetapi ketika Paksi
mencoba untuk mengumpat, suaranya hanya dapat
didengarnya sendiri. Paksi tidak dapat mengumpat seperti Wijang, meskipun
Paksi tahu, yang nampak pada Wijang itu bukan pribadi
Wijang yang sebenarnya. Dalam pada itu, keseimbangan pertempuranpun sudah
berubah sama sekali. Lawan Wijang yang seorang sudah
menjadi semakin lemah. Darah yang mengalir dari lukanya,
menjadi semakin banyak pula.
Kawannya yang seorang, menjadi semakin sulit. Serangan-
serangan Wijang datang semakin cepat. Ia harus berjuang
sendiri untuk melindungi dirinya.
Lawan Repak Rembulung pun tinggal seorang lagi. Karena
itu orang itupun menjadi semakin gelisah.
Yang masih harus bertempur dengan sengitnya adalah
Pupus Rembulung. Meskipun demikian, keringat kedua orang
lawan Pupus Rembulung menjadi semakin banyak mengalir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang pedang Pupus Rembulung mulai menyentuh tubuh
mereka. Meskipun Pupus Rembulung juga sudah terluka, namun
luka Pupus Rembulung itu tidak mengganggunya sama sekali.
Orang yang berkepala botak itupun semakin mengalami
kesulitan. Tongkat Paksi semakin sering mengenai tubuhnya.
Bahkan Paksi telah menyentuh kepala lawannya itu dengan
tongkatnya sehingga orang itu menjadi pening.
Dalam keadaan yang rumit, orang yang berkepala botak itu
tidak mempunyai pilihan lain. Ia merasa bahwa ia dan kawan-
kawannya tidak akan mampu memenangkan pertempuran itu.
Apalagi setelah dua orang di antara mereka tidak berdaya lagi
Karena itu, maka orang berkepala botak itu tidak
mempunyai pilihan lain. Ketika Paksi semakin mendesaknya,
maka orang yang berkepala botak dan bersenjata tongkat besi
itu telah bersuit nyaring.
Satu isyarat bagi kawan-kawannya. Merekapun menyadari
kesulitan yang sedang mereka hadapi.
Sejenak kemudian, maka orang yang berkepala botak
itupun telah meloncat meninggalkan arena pertempuran.
Demikian pula kedua lawan Pupus Rembulung yang tersisa.
Paksi yang sudah bersiap untuk meloncat mengejar orang-
orang yang melarikan diri itu tertegun karena Wijang memberi
isyarat kepadanya agar orang-orang itu dibiarkan saja pergi.
Repak Rembulung dan Pupus Rembulungpun tidak mengejar
lawan-lawannya pula. "Tidak ada gunanya," berkata Repak Rembulung. "Mereka akan berpencar dan kita akan kehilangan waktu saja."
Pupus Rembulungpun mengangguk-angguk. Dipandanginya
dua orang di antara lawan-lawan mereka yang terluka agak
parah. Mereka ditinggalkan saja di arena pertempuran.
Kawan-kawan mereka yang melarikan diri itu tidak peduli,
apakah kedua orang yang terluka itu akan mati atau tidak.
Wijangpun berdiri termangu-mangu. Dua orang yang
terluka parah itu terbaring sambil merintih kesakitan. Seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di antara mereka terluka oleh senjata Wijang, sedang seorang
lagi dilukai oleh Repak Rembulung.
Pupus Rembulung melangkah mendekati orang yang dilukai
oleh suaminya. Dengan nada dalam ia berkata, "Apa yang
akan kita lakukan atas orang ini" Ia akan mati kehabisan
darah." Repak Rembulung kemudian berjongkok di sebelah orang
itu sambil mengguncang tubuh orang yang sudah terluka
parah itu. "Kenapa kalian akan membunuh kami?"
Orang itu tidak menjawab. Yang terdengar adalah erang
kesakitan. Sekali lagi Repak Rembulung mengguncang tubuh orang itu
sambil bertanya lebih keras, "Kenapa kalian akan membunuh kami berdua, he?"
Orang itu berhenti mengerang. Tetapi mulutnya
menyeringai menahan sakit. Dengan suara bergetar ia
menjawab, "Kami tidak akan membunuh kalian."
"Jadi apa yang kalian lakukan?"
"Kami mencari Pangeran Benawa. Ada di antara kami yang
menduga, bahwa Pangeran Benawa ada di tangan kalian atau
di tangan orang-orang Goa Lampin."
"Tetapi kalian benar-benar akan membunuh kami dalam
pertempuran ini." "Itu buka tujuan kami. Tujuan kami adalah menemukan
Pangeran Benawa." Repak Rembulung memandang istrinya sejenak. Sementara
itu Pupus Rembulung berdesis, "Tahan darah orang itu agar ia tidak mati karena kehabisan. Biarlah ia sembuh. Kita akan
menantangnya pada kesempatan lain."
Wijang dan Paksi terkejut. Ternyata Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung itu tidak sebuas yang mereka duga.
Repak Rembulung kemudian mengambil kantong kecil dari
ikat pinggang kulitnya yang besar, iapun segera menaburkan
serbuk itu di luka lawannya yang menganga di dadanya
Kemudian kepada Wijang, Repak Rembulung itupun
berkata, "Pampatkan darah lawanmu itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebelum Wijang menjawabnya, Repak Rembulung telah
mengikat tali kantongnya dan melemparkan kantong yang
berisi serbuk itu kepada Wijang.
Wijang tidak dapat berbuat lain. Iapun menangkap kantong
kecil itu. Kemudian iapun menaburkan serbuk ramuan obat
pada luka-luka lawannya yang berdesah menahan sakit.
Tetapi pada tubuh itu tidak hanya terdapat sebuah luka.
Naga Pembunuh 15 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bende Mataram 3
^