Pencarian

Persekutuan Maut 2

Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut Bagian 2


Samar-samar dari balik remangnya sinar bulan,
Soma dapat melihat sosok penguntitnya. Dia seorang
gadis cantik berpakaian kuning. Usianya kira-kira tu-
juh belas tahun. Wajahnya yang bulat telur tampak
manis sekali dengan sepasang mata indah. Bibirnya ti-
pis kemerah-merahan.
Gadis cantik berbaju kuning yang sebenarnya
bernama Putri Sekartaji kontan terbelalak kaget.
"Ah...! Bagaimana mungkin aku tidak menden-
gar langkah-langkah halus pemuda ini" Tak mungkin!"
rutuk Putri Sekartaji kesal.
"Nah, sekarang aku sudah di sini. Untuk apa
kau menguntitku, Gadis?" kata Soma setelah meloncat turun dan duduk di sebatang
ranting di mana Putri
Sekartaji duduk.
Soma yang duduk demikian dekatnya dengan
Putri Sekartaji tampak terpesona melihat kecantikan
gadis itu. Dilihatnya sepasang mata yang indah berki-
lat-kilat. Kedua bibirnya merekah kemerahan. Sung-
guh sangat membuat murid Eyang Begawan Kama-
setyo betah memandangi.
"Cerewet! Siapa yang menguntitmu" Aku juga
sedang menuju ke timur!" terucap juga kata-kata gadis itu setelah beberapa saat
lamanya terpesona melihat
ketampanan Soma.
"Ya, sudah. Kukira kau ada perlu denganku,"
kata Soma diiringi senyum.
Tanpa berkata-kata lagi, Soma lalu meloncat
turun dari atas pohon. Langkahnya terayun mening-
galkan tempat itu. Tapi samar-samar mendadak pen-
dengarannya menangkap denting suara senjata bera-
du. Soma melesat menuju ujung Hutan Gudean di
mana suara-suara tadi berasal.
"Hei, tunggu!" teriak Putri Sekartaji. Bergegas ia melompat turun. Diam-diam ia
menyesal telah berkata
kasar pada pemuda tampan yang membuat hatinya
terpesona itu. "Pemuda brengsek!" sungut gadis itu kesal. Sosok Soma telah
menghilang di balik kegelapan malam. Putri Sekartaji jengkel sekali.
"Ada apa, Gadis" Kudengar tadi kau memang-
gilku. Ada apa?"
Secepat kilat Putri Sekartaji membalikkan ba-
dan. Suara itu datang dari arah belakangnya.
"Ah, kau!" keluh gadis cantik itu kebingungan.
"Ya, aku. Tadi kau memanggilku. Ada apa?" ka-ta Soma menggoda. Rupanya tadi
setelah mendengar
panggilan Putri Sekartaji, Soma tidak jadi meneruskan niatnya mencari sumber
suara denting senjata. Dia
membelokkan larinya menuju arah belakang Putri Se-
kartaji. "Ah, tidak! Sana kalau mau pergi!" kata Putri Sekartaji tak dapat
menyembunyikan perasaan gugupnya. Soma tertawa bergelak.
"Kau ini bagaimana sih" Tadi memanggilku. Se-
telah aku berada di dekatmu, malah mengusir. Heran!
Ada apa sebenarnya" Jangan-jangan kau mulai naksir
sama aku, ya?"
"Kunyuk gondrong tak tahu malu! Lekas ting-
galkan aku!" bentak Putri Sekartaji tiba-tiba.
"Baik! Aku memang akan meninggalkanmu.
Tapi jangan melotot begitu dong! Sayangkan kalau ma-
tamu yang indah meloncat keluar?"
Putri Sekartaji menggeram jengkel.
Soma hanya tertawa bergelak. Di saat gadis
cantik itu hendak melontarkan pukulan karena saking
jengkelnya, Soma telah berkelebat menuju datangnya
suara senjata tajam beradu tadi.
* * * Di luar Hutan Gudean memang tengah terjadi
pertarungan sengit. Dua orang gadis cantik bertarung
hebat melawan dua orang kakek nenek sakti. Tampak
sekali kalau kedua gadis itu terdesak hebat mengha-
dapi gempuran-gempuran lawan.
Kakek-nenek sakti itu berpenampilan begitu
mengerikan. Wajah mereka pucat pasi mirip mayat.
Rambutnya yang panjang memutih digelung ke atas.
Mereka bertubuh kurus kering tinggal kulit pembalut
tulang. Keringkihan sosok itu dibungkus jubah merah
darah. Usia keduanya belum terlalu tua. Yang kakek
berusia lima puluh lima tahun. Si nenek sekitar lima
puluh tahunan. Di dunia persilatan kakek-nenek sakti
ini dikenal dengan julukan Sepasang Mayat Merah dari
Lembah Duka. Di hadapan Sepasang Mayat Merah dari Lem-
bah Duka adalah dua orang gadis kembar dari wilayah
timur. Keduanya berpakaian ringkas warna hijau mu-
da. Rambutnya hitam panjang dikuncir ke belakang.
Wajah mereka bulat telur dengan sepasang mata ber-
binar-binar indah. Cocok sekali dengan bentuk hi-
dungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis keme-
rahan. Sungguh sulit membedakan kedua gadis kem-
bar itu. Baik bentuk wajah, potongan tubuh, pakaian
yang dikenakan, bahkan rambutnya yang dikuncir ke
belakang, semua sama. Hanya tahi lalat kecil di pipi kiri gadis cantik di
sebelah kanan yang dapat membedakan mereka. Yang bertahi lalat kecil itu bernama
Ken Umi. Sedang di sebelahnya Ken Sari.
Menghadapi gempuran Sepasang Mayat Merah
dari Lembah Duka tampak kedua gadis cantik itu san-
gat kewalahan. Jangankan untuk membalas serangan,
menghindar saja rasanya sulit sekali. Malah berkali-
kali pedang merah di tangan Sepasang Mayat Merah
dari Lembah Duka mengenai kulit tubuh mereka. Na-
mun Ken Umi dan Ken Sari terus melakukan perlawa-
nan dengan gigih.
Trang! Trang! Bunga api berpijaran ketika pedang di tangan
Ken Umi tertangkis pedang Kakek Mayat Merah. Aki-
batnya pedang gadis cantik itu terpental. Tubuhnya
sendiri terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Tak jauh dari Ken Umi yang tengah terhuyung-
huyung seorang laki-laki berpakaian serba hitam den-
gan wajah tertutup kain hitam pula terdengar menge-
rang kesakitan. Luka-luka bekas bacokan pedang di
tubuhnya mengeluarkan darah segar.
"Manusia-manusia dajal! Terkutuklah kalian
semua! Lekas tinggalkan tempat ini! Kalau tidak, jan-
gan harap Adipati Pleret akan mengampuni dosa ka-
lian!" geram laki-laki berpakaian hitam tiba-tiba. Tapi apa yang bisa diperbuat.
Tubuhnya terluka parah.
Dengan sangat terpaksa ia hanya dapat mengerang ke-
sakitan sambil menonton jalannya pertarungan.
Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka ter-
tawa bergelak. Tebasan-tebasan pedangnya makin
menggiriskan. Berkali-kali pedang di tangan Sepasang
Mayat Merah dari Lembah Duka mengancam tubuh
kedua gadis kembar dari wilayah timur.
Bret! Tiba-tiba pedang Kakek Mayat Merah berhasil
merobek baju bagian atas Ken Umi. Seketika tampak-
lah kulit dada yang membusung dari gadis cantik itu.
Melihat pemandangan indah di depannya, Kakek
Mayat Merah kontan tertawa bergelak. Jakunnya ber-
gerak turun naik. Lalu sambil tertawa-tawa senang ka-
kek itu kembali menyerang Ken Umi.
Bret! Bret! Ken Umi memekik tertahan. Kembali pedang
Kakek Mayat Merah berhasil merobek baju gadis can-
tik itu. Ken Umi kelabakan bukan main. Baju bagian
atasnya robek lebar menampakkan sebagian lekuk-
lekuk tubuhnya yang putih bersih. Keadaan ini mem-
buat serangan Ken Umi jadi kacau. Sebentar ia meme-
gangi robekan bajunya untuk menutupi tubuhnya, se-
bentar kemudian dengan kemarahan meluap menye-
rang Kakek Mayat Merah.
Kakek Mayat Merah hanya tertawa kegirangan.
Sepasang matanya tak henti-hentinya memperhatikan
lekuk-lekuk tubuh Ken Umi. Tanpa sadar tokoh sesat
dari Lembah Duka itu menelan ludahnya sendiri.
"Sudah kuduga kau tentu memiliki tubuh yang
menggiurkan, Gadis!" kata Kakek Mayat Merah.
"Iblis Mayat Merah! Jangan kau makan sendiri
gadis cantik itu!" teriak nenek bertubuh sintal yang bergelar Setan Mayat Merah
memperingatkan.
"Apa maksudmu, Setan Mayat Merah"!" teriak
Kakek Mayat Merah yang ternyata bergelar Iblis Mayat
Merah. "Aku ingin kedua gadis cantik ini diserahkan, pada Pangeran, Pemimpin dan
Pelajar Agung sebagai
tanda setia! Lekas tangkap gadis itu!"
"Ah...! Mengapa demikian, Setan Mayat Merah?"
teriak Iblis Mayat Merah keberatan. "Kupikir Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung
tidak keberatan kalau
aku mengambilnya seorang. Kau serahkan saja gadis
cantik di tanganmu itu pada Pangeran Pemimpin dan
Pelajar Agung!"
Setelah berkata begitu, Iblis Mayat Merah kem-
bali mempermainkan Ken Umi. Sambil terus mendesak
gadis cantik itu mata Iblis Mayat Merah tak henti-henti memperhatikan sepasang
dada membusung Ken Umi
dengan jakun bergerak turun naik.
"Bajingan! Manusia-manusia bajingan! Berani
kalian menyentuh tubuh kedua gadis itu, demi Tuhan
aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" teriak lelaki berpakaian hitam penuh
kemarahan. Ia mencoba untuk meloncat bangun. Namun sayang tubuhnya kem-
bali luruh ke tanah dan memuntahkan darah segar.
"Manusia-manusia iblis! Demi Tuhan aku men-
gadu nyawa dengan kalian!" teriak Ken Umi.
Kedua telapak tangan gadis itu yang telah be-
rubah merah hingga ke pangkal lengan siap melontar-
kan pukulan 'Kelabang Api'. Iblis Mayat Merah menyu-
rutkan langkahnya setindak ke belakang. Sepasang
matanya terus memandangi kedua telapak tangan Ken
Umi yang semakin memerah.
"Pukulan 'Kelabang Api'...!" desis Iblis Mayat Merah mengenali pukulan yang akan
dilontarkan gadis
cantik itu. Buru-buru Iblis Mayat Merah mengerahkan
tenaga dalam sepenuhnya. Ia siap mengirimkan puku-
lan maut 'Racun Darah Mayat' yang tak kalah ampuh
dengan pukulan 'Kelabang Api' ciptaan Ki Rombeng.
"Bagus! Rupanya kau mengenali pukulanku, Ib-
lis Mayat Merah! Tentu kau tidak akan menyesal bila
terpaksa aku mengirim nyawamu ke dasar neraka. Se-
karang makanlah pukulan 'Kelabang Api'-ku, Manusia
Iblis! Hea...!"
Diawali teriakan nyaring Ken Umi mendorong-
kan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika dua
larik sinar merah menyala melesat cepat melabrak tu-
buh Iblis Mayat Merah.
Blaaarrr...!!! Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam itu. Tempat pertarungan terguncang hebat. Rant-
ing-ranting pohon berderak terkena sambaran angin
panas. Daun-daunnya langsung hangus terbakar!
Tubuh Ken Umi terpental ke belakang begitu
pukulan 'Kelabang Api'-nya dipapaki pukulan 'Racun
Darah Mayat' milik Iblis Mayat Merah. Seketika paras
gadis cantik itu jadi pucat pasi. Darah segar memba-
sahi sudut-sudut bibir. Tampaknya gadis cantik itu
menderita luka dalam.
Demikian juga yang dialami Iblis Mayat Merah.
Akibat bentrokan tadi kedua tokoh sesat dari Lembah
Duka itu terguncang hebat. Kedua kakinya melesak
beberapa jari ke dalam tanah. Parasnya pun tampak
pucat pasi. Keadaan Ken Sari tak jauh berbeda dengan
saudara kembarnya. Berkali-kali tubuh gadis cantik
itu berjumpalitan ke udara menghindari gempuran Se-
tan Mayat Merah. Malah tubuhnya telah terkena teba-
san pedang Setan Mayat Merah hingga mengeluarkan
darah segar. "Nasibmu tak jauh berbeda dengan saudara
kembarmu, Gadis! Sekarang makanlah pukulan
'Racun Mayat'-ku! Hea...!"
Setan Mayat Merah tak sabar lagi untuk segera
merobohkan lawannya. Begitu mengeluarkan teriakan
nyaring, dua larik sinar kuning yang disertai berke-
siurnya angin dingin dari kedua telapak tangannya
meluruk deras. Ken Sari cemas bukan main. Apalagi saat itu
kedudukannya kurang menguntungkan. Maka begitu
melihat dua larik sinar kuning hampir melabrak tu-
buhnya, Ken Sari siap mengirimkan pukulan 'Kelabang
Api'. Baru saja mengangkat kedua telapak tangan, ti-
ba-tiba dua larik sinar putih terang memapaki pukulan
'Racun Darah Mayat'.
Wesss! Wesss! Bummm...!!! Terdengar satu ledakan di udara. Tubuh Setan
Mayat Merah terjajar beberapa langkah ke belakang.
Sepasang matanya berkilat-kilat penuh kemarahan
memandangi sosok berpakaian putih keperakan.
"Setan! Siapa berani mencampuri urusanku"!"
teriak Setan Mayat Merah sambil terus memandangi
sosok di hadapannya.
*** 7 Sosok di hadapan Setan Mayat Merah adalah
seorang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana
bersisik putih keperakan. Rambut gondrongnya dibiar-
kan tergerai di bahu. Usia pemuda itu tak lebih dari
delapan belas tahun. Wajahnya yang tampak polos ke-
kanak-kanakan. Pada dadanya terdapat rajahan ular
putih kecil. Dialah murid Eyang Begawan Kamasetyo


Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bergelar Siluman Ular Putih.
Ken Sari yang baru saja diselamatkan Soma
buru-buru menyingkir. Dihampirinya saudara kem-
barnya yang menggeletak tak sadarkan diri, tak jauh
dari lelaki berpakaian serba hitam.
"Kalian ini iblis-iblis tua tak tahu malu. Bera-
ninya cuma mengganggu gadis-gadis cantik saja. Ka-
lian ini sudah tua. Kenapa tidak cepat-cepat bertobat dan mohon ampun pada Yang
Maha Kuasa. Barangkali
saja Yang di Atas Sana masih sudi mengampuni dosa
kalian!" kata Soma sok berkhotbah.
"Tutup bacotmu, Bocah! Karena kau berani
lancang mencampuri urusan kami, maka kau harus
modar di tanganku!" teriak Iblis Mayat Merah dengan amarah yang meluap-luap.
"Modar ya modar. Tapi jangan galak-galak begi-
tu, ah! Seperti pengantin baru yang tidak sabaran sa-
ja!" celoteh Soma menggoda.
"Bangsat! Berani kau bertindak ayal-ayalan di
depan Sepasang Mayat Merah!"
"Sudahlah. Buat apa buang-buang waktu. Kita
cincang saja kunyuk gondrong ini!" desis Setan Mayat Merah menimpali.
Setan Mayat Merah langsung saja melancarkan
serangan mautnya. Iblis Mayat Merah segera datang
membantu. Kedua telapak tangannya yang berubah
kuning dihantamkan ke depan. Empat larik sinar kun-
ing dari kedua telapak tangan Iblis Mayat Merah dan
Setan Mayat Merah melesat cepat menyerang Siluman
Ular Putih. Wesss! Wesss! Hebat bukan main serangan kedua tokoh sesat
dari Lembah Duka itu. Sebelum serangan mereka
mengenai sasaran angin dingin telah lebih dahulu me-
nyambar-nyambar tubuh Soma.
Siluman Ular Putih tidak berani menganggap
enteng kedua lawannya. Melihat datangnya serangan
yang demikian hebat, buru-buru murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo mengeluarkan pukulan tenaga "Inti
Bumi'. Kedua telapak tangan Siluman Ular Putih beru-
bah putih terang hingga ke pangkal lengan. Kemudian,
dengan mengerahkan sepertiga kekuatan tenaga da-
lam, kedua telapak tangannya disorongkan ke depan.
Terdengar satu ledakan dahsyat ketika bentu-
ran dua tenaga dalam itu terjadi.
Tubuh Iblis Mayat Merah dan Setan Mayat Me-
rah terguncang hebat! Kedua kaki mereka melesak be-
berapa jari ke dalam tanah. Sedang tubuh Siluman
Ular Putih tersurut mundur beberapa langkah dengan
paras pias. "Hm...! Kalau tak salah dugaanku, kau tadi
menggunakan pukulan tenaga 'Inti Bumi', Bocah!"
dengus Iblis Mayat Merah yang mengenali jenis puku-
lan andalan Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung
Bucu. "Dan tentu kau murid si tua bangka dari Gunung Bucu itu!" kata Setan Mayat
Merah. Usai berkata begitu pedang di tangan kanan Se-
tan Mayat Merah menusuk ke arah Siluman Ular Putih
dengan menggunakan jurus 'Delapan Penjuru Mata
Pedang'. Iblis Mayat Merah melancarkan jurus 'Tangan
Maut Mayat Hidup' yang tak kalah hebatnya. Meski
hanya menggunakan tangan kosong, namun serangan
Iblis Mayat Merah tidak boleh dipandang ringan. Tam-
pak kedua telapak tangan Iblis Mayat Merah berwarna
merah dan dipenuhi oleh racun keji.
Melihat kedua pengeroyoknya tidak main-main,
Siluman Ular Putih mengeluarkan jurus andalannya
pula. Jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Kedua telapak tangan Soma membentuk dua
kepala ular. Kemudian,
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu menerjang para
pengeroyoknya. "Hea...! Heaa...!"
Tukkk! Tukkk! Patukan dua kepala ular Soma dipapaki dengan
dua telapak tangan Iblis Mayat Merah yang penuh ra-
cun. Bersamaan dengan itu pedang Setan Mayat Me-
rah bergerak cepat dari atas ke bawah, bermaksud
membelah tubuh Siluman Ular Putih.
Tentu saja Soma tidak ingin tubuhnya jadi sa-
saran empuk. Begitu melihat berkelebatnya mata pe-
dang, Siluman Ular Putih melancarkan jurus
'Sepasang Ular Kembar Mengejar Mangsa'. Soma
menggeser kedua kakinya beberapa tindak ke samping
untuk menghindari bacokan pedang. Lalu tubuh kekar
Siluman Ular Putih meloncat lurus ke depan.
Tukkk! Tukkk! Telak sekali dua patukan telapak tangan Silu-
man Ular Putih mendarat di dada Iblis Mayat Merah.
Seketika tubuh kakek itu terhuyung-huyung ke bela-
kang. Dadanya serasa hancur terkena patukan tangan
Siluman Ular Putih.
Iblis Mayat Merah menggeram penuh kemara-
han. Kakinya dihentakkan ke tanah. Tubuh tinggi ku-
rus tokoh sesat itu melayang cepat menyerang Siluman
Ular Putih. Soma yang tengah sibuk menghindari se-
rangan pedang Setan Mayat Merah sama sekali tidak
menduga datangnya serangan. Ia hanya sempat mera-
sakan berkesiurnya angin dingin menyerang pung-
gung. Dughhh! Dughhh!
Dua kali punggung Siluman Ular Putih terkena
hantaman telapak tangan Iblis Mayat Merah. Soma
terhuyung-huyung ke depan. Punggungnya yang ter-
kena hantaman langsung berwarna kemerahan. Kepa-
lanya tiba-tiba pening dan perutnya terasa mual.
Ken Umi dan Ken Sari tampak mencemaskan
keadaan Siluman Ular Putih. Karena di saat tubuh
Soma terhuyung-huyung, pedang Setan Mayat Merah
kembali siap merajam tubuhnya. Sementara kedua te-
lapak tangan Iblis Mayat Merah yang berwarna merah
darah siap pula melancarkan pukulan maut.
Saking tegangnya melihat keadaan kritis pemu-
da tampan yang diam-diam telah merebut hatinya itu,
Ken Umi dan Ken Sari saling berpegangan tangan den-
gan perasaan tegang. Sungguh sayang sekali kalau
pemuda setampan dia harus mati di tangan kedua
pengeroyoknya. Hati mereka makin tidak karuan keti-
ka dilihatnya Siluman Ular Putih terdesak hebat.
"Ah...!" desis Ken Umi dan Ken Sari hampir bersamaan.
"Alamak! Bisa modar aku kalau begini!" teriak murid Eyang Begawan Kamasetyo
masih sempat-sempatnya melucu. Padahal keadaannya saat itu san-
gat memprihatinkan.
Ketika serangan kedua pengeroyoknya hampir
mengenai sasaran, dengan mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh 'Menjangan Kencono' Siluman Ular Pu-
tih membuang tubuhnya keluar dari tempat pertarun-
gan. Akibatnya serangan kedua orang lawannya pun
luput. Malah hampir saja kakek-nenek itu saling se-
rang sendiri kalau tidak buru-buru mencabut seran-
gannya. Namun dalam jarak yang demikian dekat tak
mungkin mereka mampu mencabut serangannya begi-
tu saja. Dan kenyataannya, pada akhirnya Iblis Mayat
Merah dan Setan Mayat Merah tetap saling serang
"Bocah edan!" teriak Setan Mayat Merah yang terkena pukulan Iblis Mayat Merah.
"Bedebah! Belum puas aku kalau belum men-
guliti batok kepalamu, Bocah!" pekik Iblis Mayat Merah dengan rahang mengembung.
Ken Umi dan Ken Sari yang semula sangat
mencemaskan keadaan Siluman Ular Putih kontan ter-
tawa terpingkal-pingkal. Sedang Soma yang kini telah
tegak di luar arena pertarungan hanya tersenyum-
senyum saja. "Hey...! Aku di sini! Kenapa kalian malah jadi
saling serang sendirian" Apa kalian sudah gila?" ejek Siluman Ular Putih.
Soma kemudian mengeluarkan senjata pusa-
kanya yang terselip di pinggang. Murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu mengerahkan tenaga dalam. Seketika
hawa dingin yang menggigilkan tubuh dari senjata an-
dalan di tangan Siluman Ular Putih memenuhi sekitar
tempat tersebut.
Sejenak Iblis Mayat Merah dan Setan Mayat
Merah menghentikan serangan. Sepasang mata mere-
ka memperhatikan senjata pusaka di tangan musuh-
nya "Nah, sekarang dengarlah baik-baik. Dengan
menggunakan senjata ini aku ingin mengantar nyawa
kalian menemui Raja Akhirat. Kukira kalian berdua
tak pantas lagi hidup lebih lama di alam mayapada ini.
Dosa kalian sudah bertumpuk. Nah, kalau sudah siap
lekaslah mendekat! Biar aku gampang mengetok kepa-
la kalian!"
"Kunyuk sinting! Justru kaulah yang akan
modar di tangan kami!" bentak Iblis Mayat Merah.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tadi pagi aku
sudah bertemu Raja Akhirat kok. Malah dia berpesan
agar aku mencabut nyawa busuk kalian!" ejek Siluman Ular Putih.
Iblis Mayat Merah dan Setan Mayat Merah
menggeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. Per-
cuma saja meladeni omongan pemuda sinting murid
Eyang Begawan Kamasetyo. Mereka lebih senang cepat
menyerang pemuda itu.
Siluman Ular Putih mengerahkan tenaga 'Inti
Bumi'-nya yang digabungkan dengan tenaga 'Inti Api'.
Seketika telapak tangan kiri Soma yang berubah putih
terang dipenuhi tenaga 'Inti Bumi'. Tangan kanannya
merah menyala karena tenaga 'Inti Api'.
"Hea...!"
Diiringi teriakan keras, murid Eyang Begawan
Kamasetyo melemparkan senjata anak panahnya ke
arah Iblis Mayat Merah. Kemudian, Siluman Ular Putih
meloncat tinggi ke udara. Dengan tubuh melayang
Soma melontarkan pukulan tenaga 'Inti Api' ke arah
Setan Mayat Merah.
Wesss! Wesss! Setan Mayat Merah memekik tertahan. Ia tidak
menyangka dirinya akan diserang. Padahal jarak se-
rangan itu demikian dekat. Tak ada pilihan lain. Setan Mayat Merah segera
membuang tubuhnya ke samping,
hingga pukulan tenaga 'Inti Api' Siluman Ular Putih
menghantam tanah.
Bummm...! Tanah yang terkena pukulan berlobang besar
dan mengepulkan asap putih tipis.
Bersamaan dengan itu Iblis Mayat Merah men-
dengus sinis melihat senjata anak panah Siluman Ular
Putih meluncur ke arah dirinya. Dengan menggeser
tubuhnya ke samping, senjata itu terus melesat ke be-
lakang. Kemudian Iblis Mayat Merah menyerang Soma.
Ketika itu Siluman Ular Putih menukik tajam ke arah-
nya dengan patukan-patukan kedua telapak tangan.
"Ah...!" pekik Iblis Mayat Merah kaget bukan main. Ia merasakan hawa dingin
datang dari arah belakangnya mengancam punggung. Seketika tokoh sesat
dari Lembah Duka itu memalingkan kepala. Ternyata
anak panah Siluman Ular Putih telah membalik dan
menyerang Iblis Mayat Merah dengan kecepatan luar
biasa. Clep! Tanpa ampun lagi lengan kanan Iblis Mayat
Merah terkena lesatan senjata anak panah.
Iblis Mayat Merah meraung setinggi langit len-
gan kanannya yang tertancap mata anak panah terasa
nyeri bukan main dan mengeluarkan darah segar. Se-
mentara patukan-patukan tangan Siluman Ular Putih
mengancam ubun-ubun kepala.
Pelipis Iblis Mayat Merah mengeluarkan kerin-
gat dingin. Wajahnya pun pucat pasi! Namun ia tidak
kehilangan akal. Buru-buru tubuhnya dibuang samp-
ing. Sayang, gerakannya terlalu lambat.
Prokkk! Iblis Mayat Merah meraung keras. Pundaknya
yang terkena patukan Siluman Ular Putih serasa re-
muk. Iblis Mayat Merah tidak tahan lagi. Tubuhnya
bergerak limbung dan jatuh tak sadarkan diri.
Melihat Iblis Mayat Merah tak berdaya, wajah
Setan Mayat Merah langsung berubah. Soma dengan
tenang mencabut senjata anak panahnya dari lengan
Iblis Mayat Merah, dan siap menyerang Setan Mayat
Merah. Nenek itu terlihat ciut nyalinya. Tokoh sesat
dari Lembah Duka ini segera mengeluarkan pelor-pelor
beracun, lalu dilemparkannya ke arah Soma.
Seperti yang telah diduga Setan Mayat Merah,
Siluman Ular Putih pasti akan menangkis pelor-pelor
beracunnya. Dan kenyataannya memang demikian.
Soma menangkis pelor-pelor beracun itu.
Blaaarrr...!!! Begitu terdengar ledakan seketika asap hitam
dari pelor-pelor beracun bergulungan memenuhi tem-
pat pertarungan. Diam-diam Siluman Ular Putih men-
geluh. Dari gulungan asap hitam tercium bau harum
yang tidak sewajarnya. Buru-buru murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo menahan napas. Dikebutkannya ujung
rompi untuk mengusir gulungan. Bersamaan dengan
lenyapnya asap itu lenyap pula Sepasang Mayat Merah
dari Lembah Duka.
"Jangkrik buntung! Kenapa tadi ku tangkis pe-
lor-pelor beracun itu" Huh, sial! Awas kalau ketemu
nanti! Pasti aku akan menjewer telingamu, Nenek-
nenek Keriput!" omel Siluman Ular Putih sebelum meloncat tinggi ke udara dan
hinggap di salah satu ranting pohon.
Pandangan Soma diedarkan mencari sosok
bayangan Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka.
Namun sayang, ia tidak menemukan kedua tokoh se-
sat itu. Siluman Ular Putih menggeretakkan geraham-
nya menahan rasa jengkel.
***

Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

8 "Wah wah...! Hebat sekali ilmu silatmu, Sobat.
Tak kusangka kau dapat mengusir Sepasang Mayat
Merah dari Lembah Duka!" kata Ken Sari begitu murid Eyang Begawan Kamasetyo
mendaratkan kakinya ke
tanah. Matanya yang jenaka bergerak-gerak nakal.
Kemudian, tahu-tahu gadis cantik itu telah bergelayu-
tan manja di lengan Soma.
Soma hanya dapat menggaruk-garuk kepalanya
melihat kemanjaan gadis cantik itu.
"Kalau kau tidak cepat-cepat datang menolong,
tak tahulah nasib apa yang akan kami alami," lanjut Ken Sari tanpa diminta.
"Kenapa memang?" tanya Soma seraya men-
gumbar senyum. Sepasang matanya memperhatikan
wajah cantik di sampingnya. Namun sebentar kemu-
dian sepasang mata Soma dialihkan pada Ken Umi
yang tampak tenang-tenang di tempatnya. Lalu kemba-
li murid Eyang Begawan Kamasetyo mengamati wajah
Ken Sari. "Ah...! Mujur benar nasibku hari ini. Tak ku-
sangka akan bertemu dengan dua orang gadis kembar
yang sama-sama cantik. Hm...! Menyenangkan sekali
rasanya kalau disuruh memilih aku tak sanggup. Me-
reka benar-benar memikat," gumam Soma dalam hati sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Entah kenapa ia
senang sekali menggaruk-garuk kepala. Padahal ram-
butnya tidak gatal.
"Jangan pandangi aku seperti itu dong!" rajuk Ken Sari manja.
"Kenapa memang?"
"Kalau kau terus memandangi aku seperti itu,
aku takut...," Ken Sari sengaja menggantung ucapannya
"Takut apa?" tanya Soma penasaran.
"Takut... jatuh cinta," kata Ken Sari sekenanya.
Kemudian disusul dengan tawanya yang berderai.
"Ken Sari! Jangan kurang ajar!" bentak Ken
Umi. "Ah...! Mbakyu Ken Umi ini Siapa sih yang kurang ajar" Aku kan bicara apa
adanya?" sahut Ken Sa-ri membela diri.
"Tapi kan bukan begitu caranya!" kata Ken Umi jengkel. "Habis bagaimana
caranya?" "Caranya.... Caranya ya...," Ken Umi tak melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba kedua
pipinya dipenuhi
rona merah. Soma yang tadi sempat terkejut melihat sikap
Ken Sari hanya tersenyum senang. Apalagi ketika dili-
hatnya kedua gadis kembar itu sibuk membicarakan
dirinya. Bukan main senang hati murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo. Dengan senyum masih tersungging di
bibir Soma memberi komentar.
"Sudahlah. Kenapa kalian jadi ribut sendiri,
sih" Kenapa kalian tidak menceritakan bagaimana bisa
bentrok dengan Sepasang Mayat Merah dari Lembah
Duka itu?" kata Soma setelah menghenyakkan pantatnya di atas rerumputan.
Sejenak Ken Sari dan Ken Umi saling berpan-
dangan. Tanpa diminta kedua gadis cantik itu ikut du-
duk di samping Soma. Ketika dilihatnya Ken Sari du-
duk berhimpitan dengan Soma, Ken Umi mendelikkan
kedua bola mata. Namun Ken Sari pura-pura tidak me-
lihat. Malah dengan sikap manja gadis cantik itu mulai bercerita.
"Sebenarnya kami berdua sedang diutus guru
kami Ki Rombeng untuk menyelidiki orang yang berge-
lar Pangeran Pemimpin. Tokoh itu menurut desas-
desus tengah menghimpun kekuatan untuk merebut
takhta Adipati Pleret. Untuk itu kami menyelidiki ke-
benaran berita tersebut. Bilamana memang benar ma-
ka para pendekar telah bersepakat akan membantu
pihak kadipaten. Tapi di tengah perjalanan, kami melihat seorang prajurit sandi
Kadipaten Pleret tengah di-keroyok oleh Sepasang Mayat Merah dar.., eh! Mana
prajurit sandi itu?"
Tiba-tiba Ken Sari teringat akan prajurit sandi
yang terluka parah. Seketika matanya jelalatan menca-
ri-cari. "Huaaah...!"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang muntah
tak jauh dari tempat mereka duduk. Cepat ketiganya
meloncat bangun dan mendatangi arah munculnya
suara. Dari balik remang sinar bulan tampak seorang
laki-laki berpakaian serba hitam tengah mengerang
menahan sakit. Di depannya banyak darah segar ber-
ceceran di atas rerumputan.
Soma buru-buru menghampiri. Diperiksanya
luka-luka prajurit sandi itu. Cukup parah luka yang
dideritanya. Soma tak ingin kehilangan waktu. Dito-
toknya beberapa jalan darah di tubuh prajurit yang
malang itu lalu mengurut tengkuknya beberapa kali.
"Ah...!" Beberapa saat kemudian, prajurit itu mengerjap-ngerjapkan mata. "Terima
kasih. Engkau telah menolongku, Tuan Pendekar."
"Jangan banyak bergerak dulu, Paman. Lekas
minum pil ini. Sebentar lagi luka-luka dalammu pasti
akan sembuh," kata murid Eyang Begawan Kamasetyo seraya menyerahkan pil kuning
yang diambilnya dari
dalam saku. Soma sendiri menelan pil kuning pembe-
rian gurunya untuk mengusir pengaruh racun dari
pukulan Iblis Mayat Merah tadi.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Kau baik seka-
li," kata prajurit sandi itu lagi. Mereka bertiga kini telah duduk berhadapan.
"Minumlah dulu pil pemberianku itu, Paman.
Nanti kalau luka dalammu sudah sembuh baru kau
boleh bercerita."
"Baiklah!" kata prajurit sandi itu. Dengan pa-tuhnya laki-laki itu menelan pil
kuning pemberian So-
ma. Lalu perlahan-lahan ia mulai menanggalkan
kain hitam yang menutupi wajahnya.
"Sebenarnya kami sebagai prajurit sandi dila-
rang keras membuka kain hitam penutup wajah ini.
Namun karena kalian bertiga telah berbuat baik mau
menolongku, rasanya tak enak kalau aku tetap men-
genakan kain ini,"
Soma mengangguk-anggukkan kepala. Cukup
tampan dan gagah laki-laki di hadapannya itu. Wajah-
nya keras dengan rahang bertonjolan. Namun sedikit
pun tidak mengurangi kegagahannya. Usianya belum
terlalu tua. Paling-paling empat puluh tahunan.
"Baiklah!" prajurit sandi itu kembali mengenakan kain hitam penutup wajah. "Aku
ingin bercerita banyak, namun sayang waktuku sempit. Malah sekarang juga aku
harus melaporkan hasil penyelidikanku
pada Adipati Pleret. Kalau boleh tahu, siapakah nama
Tuan Pendekar?"
"Namaku Soma, Paman. Aku lebih senang ka-
lau kau memanggil nama saja. Jangan Tuan Pende-
kar." "Baiklah. Kalau ada waktu mainlah ke Kadipaten Pleret. Kanjeng Adipati
tentu akan senang meneri-
ma kedatanganmu. Selamat berpisah, Kawan-kawan
Muda-ku!" Dengan menahan luka dalam yang belum sem-
buh benar prajurit sandi itu meninggalkan Hutan Gu-
dean. Dalam beberapa kelebatan saja sosok tinggi be-
sar prajurit Kadipaten Pleret itu lenyap ditelan gelapan malam. "Prajurit
perkasa," gumam Soma.
"Prajurit-prajurit sandi Kadipaten Pleret me-
mang prajurit sejati. Mereka berjuang demi keselama-
tan Adipati Pleret walau nyawa taruhannya. Ah, tadi
aku lupa menanyakan namanya," kata Ken Sari kece-wa.
"Iya-ya.... Kenapa tadi aku juga lupa menanya-
kan namanya" Sayang sekali. Dan lebih sayang lagi
kalau aku juga tidak menanyakan siapa nama gadis-
gadis cantik di sampingku ini?" kata murid Eyang Begawan Kamasetyo setengah
menyindir. "Huh...! Bilang saja mau berkenalan dengan
kami. Pakai berdalih!" tukas Ken Sari seraya mencibir-kan bibir.
"Memang! Habis siapa yang nggak senang ber-
kenalan dengan gadis-gadis cantik seperti kalian" Ru-
gi!" kata Soma seraya memamerkan giginya yang putih bersih. "Rugi" Memangnya
jualan kok pakai rugi?" go-da Ken Sari. "Tapi baiklah. Aku juga tidak rugi kalau
mengenalkan namaku padamu. Namaku Ken Sari. Dan
ini saudara kembarku. Namanya Ken Umi. Sudah je-
las?" "Ya ya.... Sangat jelas," Soma mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu setelah
kalian tadi bentrok dengan Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka, apa
penyelidikan kalian sudah cukup?" lanjut murid Eyang Begawan Kamasetyo ingin
tahu. Ken Sari yang ditanya oleh Soma hanya men-
gangkat bahu. Ia mengalihkan pandangan matanya ke
arah Ken Umi. Gadis yang tampaknya lebih senang
berdiam diri itu menghela napasnya sebentar sebelum
membuka suara. "Sebenarnya memang belum cukup. Tapi me-
nurut desas-desus yang kami dengar di sepanjang per-
jalanan dan juga yang dikatakan Setan Mayat Merah
tadi, sudah cukup jelas kalau Pangeran Pemimpin
memang tengah menyusun kekuatan. Kukira tak ada
jeleknya kalau sekarang kami memberikan laporan pa-
da Guru." "Jadi sekarang juga kita melapor pada Guru,
Mbak?" tanya Ken Sari kecewa.
"Ya! Memangnya kenapa?"
Ken Sari memberengut. Tampak sekali ia tidak
puas dengan keputusan saudara kembarnya.
"Kau keberatan, Ken Sari?" tanya Ken Umi yang dapat membaca jalan pikiran
saudara kembarnya.
"Sebenarnya sih memang iya. Tapi sudahlah.
Kalau memang mau melapor sekarang, ya... tak apa-
apa." "Kenapa kalian terburu-buru" Aku kan belum sempat berbincang-bincang
dengan kalian," kata So-ma.
"Ini masalah penting, Soma. Masalah pembe-
rontakan. Aku tak berani main-main. Guru pasti akan
marah besar kalau kami menjalankan tugas dengan
setengah hati," jawab Ken Umi tegas.
"Siapa sih Pangeran Pemimpin itu?" kata Soma lagi. "Ia kakak tiri Adipati Pleret
yang sekarang. Karena merasa iri melihat adik tirinya diangkat menjadi Adipati
Pleret, ia pun bermaksud memberontak. Konon
sudah banyak tokoh sesat dunia persilatan yang ber-
sedia membantu perjuangan Pangeran Pemimpin. Ma-
lah seorang bekas murid mendiang Pendekar Kujang
Emas telah dengan terang-terangan membantu per-
juangannya."
"Siapa"! Bekas murid mendiang Pendekar Ku-
jang Emas?" kata Soma tak dapat menyembunyikan
rasa herannya. "Apa yang kau maksudkan Prameswa-
ra, Ken Umi?"
"Kurang tahu. Yang jelas ia bergelar Pelajar
Agung." "Pelajar Agung" Siapa lagi orang satu ini" Rasanya Pendekar Kujang Emas
tidak mempunyai murid
yang bergelar Pelajar Agung," gumam Soma seperti pa-da dirinya sendiri. "Tapi
bukan mustahil, kalau Prameswara-lah yang bergelar Pelajar Agung. Ah...! Kukira
aku harus secepatnya menyelidiki. Selamat tinggal se-muanya!" kata Soma tak
sabar. Tanpa basa-basi lagi, Soma meloncat bangun
dan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Gera-
kan kedua kakinya ringan laksana terbang. Hingga da-
lam waktu yang tidak lama sosok putih keperakan mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo hilang di balik kerim-
bunan hutan. Ken Umi dan Ken Sari melihat perubahan sikap
Soma yang demikian mendadak hanya dapat menge-
leng-gelengkan kepala.
*** 9 Plak! "Goblok! Goblok sekali kau, Setan Mayat Me-
rah! Percuma saja kau minta kerjasama dengan kami!"
Diiringi bentakan keras tangan kekar berkulit
kuning Pangeran Pemimpin melayang cepat, menam-
par pipi Setan Mayat Merah.
Setan Mayat Merah memekik tertahan. Tubuh-
nya terjengkang ke belakang dengan darah segar ke-
luar dari lobang hidung. Sepasang matanya berkilat-
kilat penuh kemarahan. Namun untuk membalaskan
sakit hati pada orang yang tegak di hadapannya, ia tak berani. Saat itu mereka
berada di tengah-tengah ruang pendopo markas Partai Kawula Sejati. Pangeran
Pemimpin berdiri tegak di antara para anggota partai.
Sepasang matanya yang mencorong tajam menatap Se-
tan Mayat Merah. Kini nenek itu duduk berlutut di ha-
dapannya. "Kau benar-benar tidak berguna, Setan Mayat
Merah. Padahal kalian pergi berdua. Masa' untuk me-
nangkap prajurit sandi yang terluka saja kalian tak becus!" geram Pangeran
Pemimpin murka.
"Maafkan aku, Ketua. Kami berdua telah beru-
saha keras. Namun sayang sewaktu kami akan me-
ringkus prajurit itu beserta dua orang gadis cantik pe-nolongnya, tiba-tiba
muncul seorang pemuda sakti
yang datang menolong dan mengalahkan kami. Bah-
kan saudara seperguruanku terluka parah. Dan kini
sedang dalam perawatan tabib," kata Setan Mayat Merah berusaha melunakkan
kemarahan Pangeran Pe-
mimpin. "Pemuda sakti" Hanya seorang pemuda. Se-
mentara kalian berdua yang terkenal dengan julukan
Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka dapat dika-
lahkan" Memalukan! Buat apa kau kemari kalau tak
dapat menjalankan tugasmu dengan baik" Lebih baik
bunuh diri saja!"
"Tapi, Ketua. Pemuda itu benar-benar sakti.
Melihat jenis pukulan kunyuk gondrong itu pasti mu-
rid si tua bangka Eyang Begawan Kamasetyo dari Gu-
nung Bucu!" kata Setan Mayat Merah.
"Siluman Ular Putih...!" desis seseorang dari samping.
Pangeran Pemimpin cepat memalingkan kepala
ke arah datangnya suara. Di tempat duduknya tampak
Pelajar Agung menggeretakkan geraham penuh keben-
cian. Kedua telapak tangannya mencengkeram lengan


Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kursi kuat-kuat. Dari sela-sela telapak tangan Pelajar Agung mengepulkan asap
tipis. Bilamana telapak tangan itu terangkat, akan terlihat lengan kursi hangus
terbakar dengan membekaskan lekukan-lekukan jema-
ri tangan. "Ya! Dialah musuh besarku yang sedang kuca-
ri-cari!" kata Pelajar Agung. Lalu beranjak dari tempat duduk. "Hm...!" Pangeran
Pemimpin mengangguk-anggukkan kepala. "Kau boleh kembali ke tempatmu,
Setan Mayat Merah!" kata Pangeran Pemimpin pada
Setan Mayat Merah yang masih duduk berlutut. Tokoh
sesat dari Lembah Duka itu segera kembali ke tempat
duduknya. "Sekarang apa yang tengah kau pikirkan, Pela-
jar Agung?" kata Pangeran Pemimpin lagi
"Aku ingin sekali meremukkan batok kepa-
lanya. Namun setelah kupikir-pikir lebih baik ku tangguhkan dulu untuk sementara
waktu dendam ku pada
Siluman Ular Putih. Saat ini aku lebih mengutamakan
perjuangan," kata Prameswara tanpa maksud menjilat.
Pangeran Pemimpin melengak kaget. Bukannya
kaget mendengar Pelajar Agung tidak menyebut dirinya
'Ketua', melainkan terkejut melihat ambisi besar dalam sepasang mata Pelajar
Agung. Namun Pangeran Pemimpin segera tersenyum untuk menutupi rasa kaget-
nya. "Ya! Kita memang harus mementingkan per-
juangan...," kata Pangeran Pemimpin seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Di
samping itu kita harus terus menghimpun kekuatan sebelum bertindak nanti."
"Jangan khawatir! Aku telah memerintahkan
beberapa anak buah Partai Kawula Sejati yang berke-
pandaian tinggi untuk membujuk tokoh-tokoh sesat
dunia persilatan," kata Pelajar Agung menjanjikan.
"Bagus! Aku senang sekali mendengar gaga-
sanmu ini. Kalau boleh tahu siapa saja tokoh-tokoh
yang akan kita bujuk, Sobatku?"
"Mereka adalah empat tokoh sesat yang men-
guasai empat penjuru mata angin. Algojo Dari Timur,
Denok Supi, Raja Racun, dan Raja Golok Dari Utara!"
"Hebat! Keempat tokoh yang kau sebutkan ada-
lah tokoh-tokoh sakti yang mempunyai nama besar di
dunia persilatan. Aku harap mereka sudi membantu
perjuangan kita."
"Aku berani menjamin mereka akan bersedia
membantu perjuangan kita. Cuma aku sangsi apakah
kita mampu mendapatkan dana besar untuk perjuan-
gan ini." "Hm...! Memang itu yang sedang kupikirkan.
Sampai saat ini aku belum menemukan jalan keluar.
Kalau dari hasil rampokan rasanya itu masih jauh dari cukup. Apa kau mempunyai
pendapat lain, Sobatku?"
"Kita harus mencari harta karun. Konon dalam
sebuah lukisan yang digambar dengan darah perawan
terdapat sebuah peta penyimpanan harta karun bekas
Kerajaan Kahuripan."
"Lukisan Darah!" Terdengar sahutan seseorang.
"Ya! Lukisan Darah," ujar Pelajar Agung seraya melemparkan pandangan ke arah
datangnya suara.
Di bangku pojok seorang laki-laki bertubuh
tinggi besar dengan wajah dipenuhi cambang dan ku-
mis lebat tengah menatap Pelajar Agung. Prameswara
hanya menganggukkan kepala.
"Tapi sayang sampai saat ini aku belum tahu di
mana Lukisan Darah itu berada...."
"Aku tahu di mana Lukisan Darah itu, Wakil
Ketua!" Lagi-lagi orang bercambang lebat membuka suara. Dialah tokoh sesat yang
bergelar Raja Maling.
"Oh, ya" Di mana tersimpannya Lukisan Darah
itu, Raja Maling?" kata Pelajar Agung penuh minat.
"Di Kadipaten Pleret ini sendiri, Wakil Ketua."
"Dari mana kau mengetahuinya, Raja Maling?"
Kali ini yang berkata Pangeran Pemimpin. Sebagai
orang kadipaten sudah tentu ia cukup mengetahui se-
luk beluk kadipaten. Namun sungguh ia tidak me-
nyangka kalau justru di Kadipaten Pleret itulah letak Lukisan Darah yang amat
keramat itu tersimpan.
"Aku mengetahui ini dari mendiang guruku.
Dan atas pesan beliau aku harus secepatnya mencuri
lukisan itu untuk mencoba ilmu 'Aji Sirap Sukma'-ku"
"Bagus! Kalau begitu cepat laksanakan pesan
gurumu sekarang juga. Bawa lukisan itu kemari!" kata Pelajar Agung. "Tapi ingat.
Kalau kau mencoba berk-hianat, ke ujung neraka pun aku akan mengejarmu!"
Raja Maling tertawa bergelak. Perutnya yang
buncit tampak bergoyang-goyang.
"Aku sudah berjanji akan membantu perjuan-
gan kalian. Maka aku pun harus setia!" kata Raja Maling di antara suara tawanya
"Kalau begitu cepat laksanakan tugasmu, Raja
Maling!" kata Pelajar Agung lagi.
"Baik! Sekarang juga aku berangkat."
Raja Maling beranjak dari tempat duduknya
Langkahnya terayun cepat meninggalkan ruang pen-
dopo Partai Kawula Sejati. Gerakan kedua kakinya be-
gitu ringan. Sosok Raja Maling menghilang di balik
pintu gerbang markas.
Di ruang pendopo markas Partai Kawula Sejati,
Pangeran Pemimpin membubarkan jalannya rapat.
Kemudian sambil tersenyum-senyum gembira Pange-
ran Pemimpin menuju ke ruangan sebelah. Digan-
dengnya seorang gadis cantik untuk diajak masuk ke
kamar. *** 10 Di belahan langit sebelah barat awan hitam
masih dironai cahaya merah tembaga. Padahal mata-
hari sudah rebah dalam pangkuan bumi. Cahaya bu-
lan purnama di ufuk timur pun mulai menerangi jagat
raya. Dalam terangnya cahaya bulan yang berpendar
sesosok tubuh berpakaian hitam dengan wajah tertu-
tup kain berkelebat cepat menuju Kadipaten Pleret.
Meski sambil menahan luka dalam yang belum sem-
buh, namun gerakan kaki sosok itu masih cukup lin-
cah. Mendadak sosok berpakaian hitam menghenti-
kan langkahnya. Sepasang mata dari balik kain hitam
yang menutupi wajah, memperhatikan sesosok bayan-
gan kuning yang tiba-tiba melintas tak jauh dari tem-
patnya. Sosok hitam itu tak lain prajurit sandi Kadipaten Pleret. Terus
diperhatikannya sosok bayangan kun-
ing di hadapannya. Beruntung cahaya sinar rembulan
sedikit dapat membantu penglihatannya.
Sosok bayangan kuning yang tengah berkelebat
itu ternyata seorang gadis. berpakaian kuning. Ram-
butnya yang hitam panjang digelung ke atas. Usianya
sekitar tujuh belas tahun.
"Kanjeng Putri! Benarkah sosok bayangan kun-
ing itu Kanjeng Putri Sekartaji?" gumam laki-laki berpakaian hitam.
Akhirnya sosok bayangan kuning hilang di ba-
lik kegelapan malam.
"Tampaknya sosok bayangan kuning itu me-
mang Kanjeng Putri Sekartaji. Tapi untuk apakah Kan-
jeng Putri sampai keluar dari lingkungan kadipaten"
Pasti ada apa-apa. Kalau tidak, tak mungkin Kanjeng
Putri yang meski memiliki kepandaian lumayan sampai
keluar dari kadipaten. Bagaimana ini" Apakah aku ha-
rus terus pulang ke kadipaten atau mengikuti Kanjeng
Putri?" Sejenak laki-laki berpakaian serba hitam bim-bang untuk menentukan
pilihan. Kalau menurutkan
perasaan ingin sekali mengikuti kepergian gadis cantik
itu. Namun kalau mengingat tugasnya selaku prajurit
kadipaten, tak mungkin ia melalaikan tugas begitu sa-
ja. Apalagi saat ini keamanan Kadipaten Pleret tengah terancam. Di saat prajurit
sandi itu tengah kebingungan, pendengarannya yang tajam dikagetkan oleh ben-
takan garang seseorang yang kemudian disusul ber-
dentingan suara senjata beradu. Suara itu datang dari arah sosok Putri Sekartaji
menghilang. "Kukira aku harus melihat apa yang terjadi di
sana. Aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada
diri Kanjeng Putri Sekartaji!" pikir prajurit Kadipaten Pleret mulai menurutkan
perasaan hatinya.
Prajurit itu lalu menutulkan kakinya ke tanah.
Tubuhnya berkelebat cepat ke arah menghilangnya so-
sok bayangan Putri Sekartaji.
* * * Ternyata dugaan prajurit sandi itu benar. Begi-
tu sosok Putri Sekartaji menghilang di balik kerimbu-
nan hutan, tiba-tiba gadis cantik itu dikejutkan oleh bentakan seseorang.
"Berhenti!"
Belum lagi gema suara bentakan itu hilang dari
balik kegelapan malam, berkelebat dua sosok bayan-
gan menghadang langkah Putri Sekartaji. Mereka dua
orang laki-laki berwajah kasar. Yang sebelah kanan
bertubuh tinggi kurus dengan pakaian ringkas warna
biru. Di kepalanya melingkar ikat kepala biru. Sosok di sebelahnya seorang kakek
berusia enam puluh tahunan. Tubuhnya yang pendek dibalut pakaian ketat
warna hitam. Putri Sekartaji terkejut bukan main melihat ke-
dua laki-laki itu. Ketenangannya merasa terusik, Putri Sekartaji langsung
membentak penuh kemarahan.
"Bedebah! Mau apa kau menghadang langkah-
ku, Bajing Ireng"!" Rupanya Putri Sekartaji telah mengenali siapa para
penghadangnya. Kakek berpakaian hitam yang dipanggil Bajing
Ireng hanya terkekeh senang. Tongkat hitam di tangan
kanannya diketuk-ketukkan ke tanah. Meski tampak-
nya orang tua sesat dari Gunung Lawu itu hanya biasa
saja mengetuk-ngetukkan tongkatnya, namun tanah di
sekitar tempat itu bergetar. Bagian yang terkena ketukan pun berlobang.
"He he he...! Rupanya kita mendapat rezeki be-
sar, Bajing Biru," kata Bajing Ireng pada muridnya.
Pemuda yang dipanggil Bajing Biru hanya mengang-
guk-anggukkan kepala. Sepasang matanya tak henti-
henti melahap lekuk-lekuk membusung sepasang
buah dada Putri Sekartaji. Tanpa sadar Bajing Biru
menelan ludahnya sendiri.
"Ya! Kita memang beruntung, Guru. Tak dis-
angka kita akan bertemu dengan seorang gadis cantik
di tengah hutan sepi ini. Benar-benar satu keberun-
tungan yang besar. Rasanya aku sudah tak sabar ingin
menemani tidur gadis cantik di hadapan kita ini"
"Kau yang dipikir hanya masalah begituan saja
Bajing Biru! Apa matamu buta" Gadis cantik di hada-
pan kita ini seorang putri Adipati Pleret!" hardik Bajing Ireng jengkel.
"Wah...! Itu malah lebih menyenangkan, Guru!
Aku ingin sekali merasakan hangatnya pelukan putri
Adipati Pleret. Hayo, lekas kita tangkap putri Adipati Pleret ini, Guru. Aku
sudah tak sabar lagi!" Bajing Biru gembira bukan main.
"Tunggu!" Bajing Ireng cepat menyambar lengan muridnya yang hendak menyerang
Putri Sekartaji
"Kita memang akan menangkap gadis cantik
ini, Muridku. Tapi bukan untuk kita nikmati. Kita
akan menyerahkannya pada Pangeran Pemimpin seba-
gai tanda persetujuan kita."
"Tapi aku menginginkan gadis itu, Guru!"
"Aku tahu. Tapi apa kau lupa" Bukankah kau
ingin menjadi seorang pejabat di Kadipaten Pleret?"
"Memang aku ingin sekali menjadi salah seo-
rang petinggi di Kadipaten Pleret. Tapi aku juga men-
ginginkan gadis cantik ini, Guru!" Bajing Biru tetap bersikeras dengan
keinginannya. "Nanti kalau kau sudah menjadi petinggi di Ka-
dipaten Pleret, kau dapat mencari beberapa orang ga-
dis cantik yang tak kalah dengan Putri Adipati Pleret ini, Muridku," kata Bajing
Ireng berusaha menenang-kan. Perhatiannya dialihkan pada Putri Sekartaji.
"Gadis! Kalau tidak salah bukankah kau Putri Sekartaji
yang menjadi murid Pendekar Bintang Emas" Ngo-
mong-ngomong, bagaimana kabar gurumu itu?"
Putri Sekartaji geram bukan main. Selama guru
dan murid itu membicarakan dirinya tadi tak henti-
hentinya ia memperhatikan. Merah telinganya men-
dengar ucapan Bajing Ireng. Maka, Putri Sekartaji pun membentak galak.
"Kau tak pantas menyebut-nyebut nama guru-
ku, Bajing Ireng! Malah Guru berpesan kalau aku ber-
temu denganmu, aku disuruh cepat-cepat membu-
nuhmu!" "He he he...! Galak juga gadis cantik di hadapan kita ini, Muridku. Aku senang
sekali melihat kegalakan gadis ini. Sayang, aku belum mempunyai keinginan
untuk membuktikan apakah kegalakannya juga mem-
buatnya galak di atas ranjang. Mungkin nanti kalau
Pangeran Pemimpin sudah bosan baru aku akan diberi
kesempatan. Yang jelas sekarang aku ingin menang-
kapnya dan menyerahkannya pada Pangeran Pemim-
pin. Menurutlah, Gadis! Kalau kau tak ingin disaki-
ti...." "Bedebah! Tua bangka bermulut kotor! Kau akan berkalang tanah terlebih
dahulu sebelum berhasil menangkapku!" bentak Putri Sekartaji tak dapat lagi
mengendalikan amarah.
Bajing Ireng terkekeh senang. Sambil mencolek
lengan muridnya orang tua sesat dari Gunung Lawu
itu segera berkata, "Hayo, Muridku! Kita tangkap gadis cantik ini!"
Habis berkata begitu, Bajing Ireng berkelebat
cepat menyerang Putri Sekartaji. Tongkat hitam di tangan kanannya digunakan
untuk menyerang batok ke-
pala. Tangan kiri yang tersembunyi, di pinggang siap
melontarkan totokan ke arah iga lawan. Dengan meng-
gunakan jurus itu, Bajing Ireng hendak menangkap
Putri Sekartaji dalam satu gebrakan.
Melihat gurunya telah bertindak, Bajing Biru
pun segera meloncat ke depan. Kedua telapak tangan-
nya yang membentuk cengkeraman bergerak cepat
menyerang dada Putri Sekartaji,
Putri Sekartaji mendengus marah. Gadis cantik
murid Pendekar Bintang Emas itu bergegas meloloskan
pedang. Sret! Bajing Ireng terkekeh. Tongkat hitam di tangan
kanannya berkelebat cepat membentuk gulungan hi-


Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tam yang mengarah batok kepala Putri Sekartaji
Putri Adipati Pleret itu cepat membuang tubuh-
nya ke samping. Bersamaan dengan itu, pedang di
tangan kanannya berkelebat menyambar tongkat di
tangan Bajing Ireng.
Trang! Trang! Bunga api berpijar kala pedang Putri Sekartaji
tertangkis tongkat hitam Baji Ireng. Tubuh Putri Se-
kartaji bergetar. Telapak tangan kanannya terasa ke-
semutan. Agaknya tenaga dalam gadis cantik itu masih
jauh di bawah tokoh sesat dari Gunung Lawu.
Tentu saja putri Adipati Pleret jadi terkejut. Le-
bih terkejut lagi ketika tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa, jemari tangan
kiri Bajing Ireng telah siap meno-tok iganya. Sedang saat itu cengkeraman tangan
Baj- ing Biru yang mengarah sepasang buah dadanya ham-
pir menyentuh sasaran.
Putri Sekartaji menggeram marah. Tanpa pikir
panjang lagi, segera dibuangnya tubuh ke samping.
Sayang gerakan tubuh Putri Sekartaji kalah cepat den-
gan luncuran jemari tangan Bajing Ireng
Tuk! Telak sekali iga kiri Putri Sekartaji terkena to-
tokan kakek itu. Seketika tubuhnya kaku tak dapat di-
gerakkan. Dan....
"Laki-laki pengecut! Lepaskan gadis itu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Disusul
berkesiurnya angin dingin menyerang Bajing Ireng dan
Bajing Biru. Brakkk! Pohon di belakang Bajing Ireng dan Bajing Biru
jatuh berdebam ke tanah begitu terkena pukulan jarak
jauh. Untung saja tadi Bajing Ireng dan Bajing Biru
cepat membuang tubuh sambil memeluk tubuh Putri
Sekartaji. "Setan alas! Siapa berani main gila dengan Baj-
ing Ireng!"
*** 11 Bajing Ireng menggeram penuh kemurkaan.
Sepasang matanya berkilat-kilat seolah ingin menelan
hidup-hidup lelaki berpakaian hitam yang telah tegak
di hadapannya. Sosok yang baru datang itu tidak lain prajurit
sandi Kadipaten Pleret. Karena tak dapat lagi menahan perasaan cemasnya ia
segera berkelebat menuju tempat menghilangnya Putri Sekartaji. Putri
junjungannya tersebut ternyata tengah terancam keselamatannya
oleh Bajing Ireng dan Bajing Biru.
"Lepaskan gadis itu!" bentak prajurit sandi.
"Enak saja kau membacot! Tinggalkan tempat
ini kalau tidak ingin nyawamu minggat!" sahut Bajing Ireng tak kalah garang.
Putri Sekartaji yang tengah tertotok agak sulit
untuk mengenali siapa laki-laki berpakaian hitam di
hadapannya. Namun ketika mendengar suara prajurit
sandi itu, baru Putri Sekartaji teringat sesuatu.
"Kaukah Paman Pringgondani?" kata Putri Se-
kartaji masih ragu.
"Benar, Kanjeng Putri. Aku memang Pringgon-
dani," kata prajurit sandi seraya menganggukkan kepala. "Kenapa Kanjeng Putri
sampai tertangkap" Bukankah Kanjeng Putri diminta oleh Kanjeng Adipati
untuk menggeledah rumah Raden Sembodo yang kini
bergelar Pangeran Pemimpin?"
"Benar, Paman. Tapi sewaktu aku menggeledah
rumah Kangmas Sembodo ternyata rumah itu sudah
kosong. Maka tanpa sepengetahuan Romo aku telah
menyelidiki ke mana perginya Kangmas Sembodo. Tak
kusangka sama sekali Kangmas Sembodo bermaksud
memberontak pada kekuasaan Adipati Pleret, Paman."
"Iya, Kanjeng Putri. Aku pun telah mendapat
bukti kalau Raden Sembodo memang bermaksud
memberontak pada Adipati Pleret."
Putri Sekartaji dan Pringgondani berbincang-
bincang tanpa menghiraukan Bajing Ireng serta mu-
ridnya. Kedua tokoh sesat itu pun hanya diam men-
dengarkan percakapan tersebut.
"Kenapa Paman tidak lekas-lekas melapor pada
Romo?" kata Putri Sekartaji menyesalkan.
"Aku bermaksud melaporkan hasil penyelidi-
kanku pada Kanjeng Adipati. Tapi aku harus menye-
lamatkan Kanjeng Putri terlebih dahulu."
"Jangan pikirkan aku, Paman! Lekaslah Paman
melaporkan hasil penyelidikan pada Romo!"
"Tidak, Kanjeng Putri. Bagiku keselamatan
Kanjeng Putri pun sangat penting. Aku akan mele-
paskan Kanjeng Putri dari cengkeraman manusia-
manusia gila pangkat ini!"
"Lakukanlah kalau kau memang bisa, Prajurit
Sandi!" bentak Bajing Ireng tiba-tiba.
"Memang itu yang akan kulakukan, Bajing
Ireng. Sekarang lekas lepaskan gadis itu. Kalau tidak, demi Tuhan aku akan
mengadu nyawa denganmu!"
Bajing Ireng tertawa bergelak.
"Kau jagalah baik-baik gadis cantik itu, Murid-
ku! Lihat bagaimana gurumu akan menghajar manusia
pongah ini!" kata Bajing Ireng pada muridnya.
"Baik, Guru. Aku memang lebih senang meme-
luk gadis cantik ini daripada mengotori tanganku den-
gan tubuh laki-laki itu!" sahut Bajing Ireng senang.
"Keparat! Kalian guru dan murid sama saja. Ka-
lian memang patut mampus di tanganku!" bentak
Pringgondani penuh kemarahan.
Pringgondani segera mencabut pedang yang
tergantung di pinggang. Kemudian, dengan pedang di
tangan prajurit sandi Kadipaten Pleret itu menyerang
Bajing Ireng. Tebasan pedangnya hanya tinggal gulun-
gan putih yang terus mendesak pertahanan lawan.
Sayang, yang dihadapi prajurit sandi Kadipaten
Pleret itu bukanlah tokoh kemarin sore. Bajing Ireng
seorang tokoh sakti yang sudah cukup pengalaman
malang-melintang di dunia persilatan. Hanya dalam
beberapa jurus saja Pringgondani dapat mendesak Baj-
ing Ireng. Selebihnya tokoh itu yang ganti mendesak
Pringgondani dengan hebatnya.
"Hea...! Hea...!"
Bajing Ireng berteriak nyaring sebelum kembali
menyerang Pringgondani. Sekali kakinya menjejak ke
tanah tubuh Bajing Ireng telah berkelebat lincah di antara gulungan pedang
Pringgondani. Sambil berkelebat
tongkat hitam di tangan Bajing Ireng menerobos ma-
suk ke dalam pertahanan lawan.
Pringgondani cepat memutar pedangnya sede-
mikian rupa. Tapi gerakan pedangnya kalah cepat
dengan serangan tongkat di tangan Bajing Ireng.
Buk! Buk! Pringgondani memekik kesakitan. Punggungnya
begitu telak terkena hantaman tongkat di tangan Baj-
ing Ireng. Prajurit sandi itu limbung ke samping lalu jatuh berdebam ke tanah.
Dan ketika prajurit Kadipaten Pleret itu meloncat bangun, darah segar merembes
keluar dari balik kain hitam penutup wajahnya. Tam-
paknya Pringgondani menderita luka dalam.
Lelaki itu menggembor penuh kemarahan. Ia
mulai mengerahkan pukulan mautnya. Kedua telapak
tangan prajurit sandi itu terlihat berubah jadi hijau berkilauan. Kemudian,
dengan mendorongkan kedua
telapak tangannya ke depan dua larik sinar hijau ber-
kilauan melesat cepat melabrak tubuh Bajing Ireng.
Wesss! Wesss! Hebat bukan main serangan Pringgondani kali
ini. Bahkan tiupan angin kencang telah menampar-
nampar kulit tubuh Bajing Ireng sebelum dua larik si-
nar hijau berkilauan mengenai sasaran.
Melihat datangnya pukulan maut yang siap me-
labrak tubuhnya, Bajing Ireng segera menghantamkan
kedua telapak tangannya ke depan. Seketika serang-
kum angin menggemuruh berkesiur kencang memapa-
ki pukulan Pringgondani.
Anehnya, di saat kedua tenaga dalam mereka
beradu di udara sedikit pun tidak terdengar bunyi le-
dakan. Hanya tampak wajah Pringgondani bergetar
hebat. Keringat dingin bercucuran membasahi kening.
Dan begitu Bajing Ireng mengempos tenaga dalamnya
lebih kuat, tubuh Pringgondani terpental beberapa
tombak ke belakang, berputar-putar sebentar lalu ja-
tuh terbanting ke tanah.
Bajing Ireng terkekeh senang. Dilihatnya Pring-
gondani menggapai-gapaikan tangan kanannya ke
atas. Sayang, tubuhnya keburu luruh kembali ke ta-
nah dan memuntahkan darah segar.
"Kepandaian baru sebatas dengkul tapi dengan
beraninya menjual lagak di depan Bajing Ireng. Mam-
puslah kau! Hea...!"
Diiringi bentakan nyaring kedua telapak tangan
Bajing Ireng kembali melontarkan pukulan mautnya.
Serangkum angin kencang untuk kesekian kalinya me-
lesat cepat siap melabrak tubuh Pringgondani.
Prajurit sandi itu hanya dapat mengeluh dalam
hati. Dirasakannya kesiuran angin dari kedua telapak
tangan Bajing Ireng mulai menyambar-nyambar tubuh.
Pringgondani membuka matanya lebar-lebar.
Putri Sekartaji terdengar berteriak-teriak histe-
ris. Tiba-tiba, serangkum angin dingin yang entah dari mana datangnya memapaki
pukulan Bajing Ireng.
Blaaarrr...!!! Bumi berguncang hebat laksana dilanda gem-
pa. Angin dingin berkesiur kencang memporak-
poradakan semua yang ada di tempat pertarungan.
Tubuh Bajing Ireng terjajar beberapa langkah.
Parasnya tampak pucat pasi. Bajing Ireng menggembor
penuh kemarahan. Sepasang matanya berkilat-kilat
menatap sesosok tubuh yang kini telah tegak di hada-
pannya. * * * Sosok di hadapan Bajing Ireng itu adalah seo-
rang laki-laki tua berusia lima puluh tahun. Wajahnya tirus dengan rambut
panjang digelung ke atas. Tubuh
tinggi kurus itu dibalut jubah besar warna kuning
dengan rumbai-rumbai dari benang sutera merah. Dia
adalah seorang tokoh sakti yang sangat ditakuti Bajing Ireng. "Tabib Agung...!"
desis Bajing Ireng dengan hati kecut. Sosok yang dipanggil Tabib Agung hanya
tersenyum arif. Sepasang matanya yang kelabu sebentar-
sebentar memperhatikan Bajing Ireng, Putri Sekartaji, dan Pringgondani yang
tergeletak tak sadarkan diri.
"Bajing Ireng! Apa yang kau lakukan di sini"
Kenapa kau belum juga bertobat dan menyesali dosa-
dosamu?" kata Tabib Agung dengan suara yang lembut namun terdengar berwibawa.
"Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya
menginginkan gadis itu," kata Bajing Ireng. Lalu dibe-rikannya isyarat rahasia
pada muridnya untuk me-
ninggalkan tempat itu.
"Dia akan bersekongkol dengan kaum pembe-
rontak, Orang Tua!" lapor Putri Sekartaji.
"Hm...! Tak kusangka kau semakin terperosok
dalam kubangan, Bajing Ireng. Lekaslah bertobat sebe-
lum terlambat. Kukira itu akan membuat hidupmu
aman sejahtera."
"Jangan banyak bacot, Tabib Agung! Di sini
bukan tempatnya untuk berkhotbah. Lekaslah kau
tinggalkan tempat ini. Kalau tidak, jangan harap aku
akan mengampuni nyawamu!" bentak Bajing Ireng garang. "Aku paling benci dengan
kekerasan. Tapi kalau dipaksa, apa boleh buat?" kata Tabib Agung kalem.
Bajing Ireng menggeram. Kedua pelipisnya ber-
gerak-gerak, pertanda tokoh sesat dari Gunung Lawu
itu tak dapat lagi mengendalikan amarahnya.
"Bangsat! Jadi kau menginginkan mampus di
tanganku. Nah, makanlah pukulan 'Prahara Angin To-
pan'-ku. Hea...!"
Tokoh sesat dari Gunung Lawu itu segera me-
lontarkan pukulan 'Prahara Angin Topan' dengan selu-
ruh kekuatan tenaga dalamnya. Serangkum angin
kencang meluruk dari kedua telapak tangan Bajing
Ireng. Tabib Agung hanya menggeleng-gelengkan ke-
pala. Setelah dirasakannya angin kencang mulai me-
nampar-nampar kulit tubuh, baru tokoh sakti dari
Gunung Perahu itu mendorongkan kedua telapak tan-
gannya ke depan.
Bummm...!!! Terdengar satu ledakan hebat kala dua tenaga
dalam beradu di udara. Bumi bergetar. Debu-debu
membubung tinggi memenuhi tempat pertarungan.
Tabib Agung cepat mengebutkan jubahnya. Se-
rangkum angin kencang dari kebutan jubah mengusir
pemandangan gelap di hadapannya. Dan Tabib Agung
menemukan sosok Bajing Ireng serta Bajing Biru yang
tadi tengah memeluk Putri Sekartaji sudah lenyap dari tempat itu. Demikian juga
dengan sosok Putri Sekartaji.
"Manusia-manusia licik! Tak kusangka mereka
akan membawa gadis itu," gumam Tabib Agung kece-
wa. Tiba-tiba ia teringat akan prajurit sandi yang tengah tergeletak tak
sadarkan diri. Kepalanya berpaling menatap tubuh Pringgondani.
"Kukira aku harus menunda maksudku untuk
mengunjungi sahabatku, Ki Rombeng. Rasanya aku
tak tega meninggalkan prajurit sandi itu begitu saja."
Sebagai seorang tabib tentu ia tidak menemui
kesulitan untuk mengobati. Dengan beberapa kali to-
tokan pada jalan darah di tubuh Pringgondani, prajurit sandi itu pun membuka
kelopak matanya.
"Minumlah obat ini, Sobat. Luka dalammu pasti
akan cepat sembuh," kata Tabib Agung sebelum Pringgondani sempat membuka suara.
"Terima kasih, Orang Tua."
Pringgondani mengulurkan tangannya meneri-


Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ma obat pemberian Tabib Agung. Tanpa banyak cakap
ia menelan obat itu. Tak berapa lama Pringgondani
merasakan hawa dingin menjalari sekujur tubuhnya.
Hanya dalam waktu sepeminum teh luka dalam praju-
rit sandi itu pulih seperti sediakala.
Sekali lagi Pringgondani menghaturkan terima
kasih. Tabib Agung hanya mengibaskan tangan ka-
nannya. "Celaka! Mereka pasti telah membawa pergi
Kanjeng Putri!" teriak Pringgondani tiba-tiba ketika ia tidak melihat Putri
Sekartaji berada di tempatnya.
"Kanjeng Putri"! Apa gadis cantik tadi yang kau
maksud, Sobat?" kata Tabib Agung tak dapat menyembunyikan perasaan terkejutnya.
"Iya. Ke manakah mereka membawanya pergi,
Orang Tua?" Pringgondani cemas bukan main.
"Sayang sekali aku tidak tahu. Mungkin ke
tempat persembunyian mereka."
"Ah...! Mereka pasti membawa Kanjeng Putri ke
markas kaum pemberontak. Aku harus menolongnya.
Maaf, Orang Tua. Terpaksa aku harus meninggalkan-
mu!" kata Pringgondani tak sabar. Lalu cepat ia meloncat bangun dan berkelebat
meninggalkan tempat itu.
Kini ia dapat mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya. Hingga dalam beberapa kelebatan saja
bayangan Pringgondani telah menghilang.
"Tampaknya ada sesuatu yang tidak beres di
sini. Aku harus secepatnya menemui Ki Rombeng,"
gumam Tabib Agung sendirian.
Tabib Agung pun meloncat bangun. Dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi,
sosok Tabib Agung berkelebat pergi. Tinggallah tempat itu sunyi sendiri.
*** 12 Malam semakin merayap. Cahaya bulan yang
ditingkahi kerlip berjuta bintang membuat suasana ja-
gat raya terasa terang-benderang.
Dalam terangnya sinar rembulan, sesosok
bayangan hitam terus berkelebat masuk ke dalam Hu-
tan Gudean. Gerakan kaki sosok bayangan hitam itu
sangat ringan. Langkahnya terayun dengan cepat.
Agaknya ia mengerahkan seluruh ilmu peringan tu-
buhnya. Di saat tengah berkelebat itulah mendadak
pendengarannya yang tajam mendengar erangan se-
seorang dari arah semak belukar di sampingnya. Seje-
nak sosok bayangan yang tidak lain Pringgondani
menghentikan langkah. Sepasang matanya bergerak-
gerak mencari arah datangnya suara. Pringgondani la-
lu meloncat ke balik semak belukar di sampingnya. Le-
laki itu tertegun sesaat ketika didapatinya sesosok tubuh berpakaian hitam-hitam
sama persis dengan pa-
kaian yang dikenakannya. Melihat tanda sulaman me-
rah di dada sosok itu, tahulah Pringgondani kalau so-
sok yang tengah terkapar adalah temannya.
"Pemanahan! Apa yang terjadi di sini?" teriak Pringgondani kaget bukan main.
Laki-laki berpakaian hitam yang dipanggil Pe-
manahan hanya mengeluh pendek, lalu kepalanya ja-
tuh terkulai ke samping. Pringgondani sangat cemas.
Buru-buru didekatinya laki-laki itu. Keadaan sesama
prajurit sandi Kadipaten Pleret itu sangat menge-
naskan. Parasnya pucat pasi. Tubuhnya dipenuhi lo-
bang-lobang kecil sebesar jari dan mengeluarkan da-
rah segar. "Ah...!" Tanpa sadar Pringgondani memekik. La-lu dengan gerakannya yang
tergopoh-gopoh ditotoknya
beberapa jalan darah di tubuh Pemanahan.
Agak susah memang. Di samping luka dalam
Pemanahan teramat parah, Pringgondani pun buta
masalah pengobatan. Hingga ia perlu waktu lama un-
tuk menyadarkan prajurit sandi itu. Namun setelah
beberapa kali dilakukan totokan pada jalan darah ak-
hirnya Pemanahan siuman juga.
"Ugh...!" erang laki-laki itu seraya membuka kelopak mata. Dadanya yang terasa
nyeri buru-buru di-
dekap dengan tangan kanan.
Pringgondani cepat memangku kepala sahabat-
nya. Karena meski sudah siuman keadaan Pemanahan
tetap sangat mencemaskan. Napasnya terdengar mem-
buru tak teratur.
"Katakan apa yang terjadi di sini, Pemanahan?"
kata Pringgondani tak dapat mengendalikan perasaan
gugupnya. "Bajingan-bajingan itu. Dia.... Pelajar Agung.
Dialah yang menyerangku...."
Selesai berkata begitu, kepala Pemanahan oleng
ke samping dan tidak bergerak-gerak lagi. Perlahan-
lahan sekujur tubuhnya pun mulai membeku.
Pringgondani menggeram marah. Diguncang-
guncangnya tubuh sahabatnya keras-keras. Namun te-
tap saja tubuh kawannya itu kaku tak dapat bergerak
lagi. "Bajingan!" geram Pringgondani dengan gigi bergemeletukkan. Setelah dapat
meredakan guncan-gan jiwanya, prajurit sandi itu hendak membawa tu-
buh sahabatnya. Tapi telinganya terusik oleh suara
langkah-langkah halus mendekati tempat itu.
Dengan kemarahan meluap tubuh Pemanahan
kembali direbahkan ke tanah. Pringgondani mengedar-
kan pandangan matanya ke segenap penjuru. Tata-
pannya tampak begitu beringas. Namun ia tidak me-
nemukan seseorang pun kecuali langkah-langkah ha-
lus di balik semak belukar di depannya.
"Siapa di situ" Keluaaar...!" bentak Pringgondani.
Tidak ada sahutan. Tanda-tanda adanya sosok
yang tengah bersembunyi di balik semak pun tidak ter-
lihat. "Setan alas! Kalau kau tidak menunjukkan batang hidungmu, jangan salahkan
aku kalau terpaksa
memaksamu keluar!" bentak Pringgondani lagi.
Tetap tidak ada sahutan.
Pringgondani tak dapat lagi mengendalikan
amarahnya yang membuncah. Kedua telapak tangan-
nya seketika berubah hijau berkilauan. Diiringi teriakan nyaring kedua telapak
tangan itu didorongkan ke
depan. Wesss! Wesss!
Prasss...!!! Dua larik sinar hijau berkilauan menghantam
semak-semak belukar. Kerimbunan semak di depan
prajurit sandi itu pun hancur berantakan. Sebagian
lainnya hangus terbakar.
Namun tetap saja tidak ada tanda-tanda orang
yang bersembunyi di balik semak itu akan keluar.
Pringgondani kalap bukan main. Kembali kedua tela-
pak tangannya siap melontarkan pukulan. Baru saja ia
hendak mendorongkan kedua tangannya, terdengar te-
riakan seseorang dari arah belakang.
"Ooooi...! Kenapa kau uring-uringan begini,
Paman" Ada apa" Apa kau kehilangan sesuatu hingga
balik kemari" Iya, Paman?"
Sepasang mata mencorong tajam dari balik
kain hitam Pringgondani berkilat-kilat penuh kemara-
han. Seketika kepalanya dipalingkan ke belakang. Dan
betapa terkejutnya prajurit sandi Kadipaten Pleret itu.
Dilihatnya seorang pemuda berambut gondrong den-
gan pakaian rompi dan celana bersisik putih kepera-
kan tengah asyik duduk ongkang-ongkang kaki di atas
sebatang ranting pohon
"Pemuda sinting itu...!" desis Pringgondani seolah tak mempercayai pandangan
matanya. Dan entah
kenapa begitu melihat kemunculan murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo, mendadak kemarahan Pringgondani
berganti dengan rasa gembira. Meskipun ia masih he-
ran bagaimana pemuda itu tahu-tahu telah duduk di
atas ranting. Padahal tadi jelas ia mendengar langkah-langkah halus itu datang
dari arah semak belukar di
depannya. "Kenapa kau uring-uringan begini, Paman" Ku-
dengar tadi kau berteriak-teriak mirip orang keseta-
nan. Lalu iseng-iseng aku ingin menggoda. Tapi kau
malah akan melontarkan pukulan maut. Aku segera
menyelinap keluar dari semak dan naik ke atas pohon.
Ada apa sih sebenarnya, Paman" Kok kau malah melo-
totiku?" kata pemuda itu seraya tersenyum-senyum.
Pringgondani menghela napas lega.
"Bagaimana aku dapat menjelaskan kalau kau
masih duduk di atas pohon, Anak Muda?"
"Oh...! Yaya! Aku lupa. Aku akan segera melon-
cat turun. Tapi jagai aku, ya" Nanti aku jatuh tersung-kur!" kata Soma asal
bunyi. Lalu dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat tinggi, murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
meloncat turun.
Pringgondani mengangguk-anggukkan kepala.
Sedikit pun gerakan kedua kaki murid Eyang
Begawan Kamasetyo tidak menimbulkan suara. Pa-
dahal telapak kakinya menginjak daun-daun kering di
depan Pringgondani.
"Nah, sekarang aku sudah turun. Kau bisa mu-
lai bercerita, Paman. Tapi... eh, mayat siapakah ini"
Kok pakaian yang dikenakannya mirip dengan pa-
kaianmu" Temanmu ya, Paman?" kata Soma ketika
melihat mayat Pemanahan yang tergeletak di tanah.
"Iya," sahut Pringgondani singkat. Namun kali ini prajurit sandi Kadipaten
Pleret itu mulai dapat tersenyum. Mungkin karena senang dapat bertemu kem-
bali dengan Soma. Atau merasa geli mendengar kece-
rewetan pemuda itu.
"Kalau begitu cepat ceritakan dong!" kata Soma merajuk.
Sejenak Pringgondani menghela napas panjang.
Sepasang matanya yang tajam memperhatikan pemu-
da tampan di hadapannya.
"Waktuku sangat sempit, Soma," kata Pring-
gondani kemudian. "Saat ini aku benar-benar sedang membutuhkan bantuanmu. Tapi
aku tak tahu apakah
aku salah memilihmu atau tidak. Yang jelas persoalan
ini menyangkut keamanan Kadipaten Pleret."
"Katakan saja terus terang, Paman. Kenapa
berbelit-belit segala?" tukas Soma tak sabar.
"Baik," Pringgondani menghentikan bicaranya sebentar. Tampaknya ia tengah
mencari kata-kata
yang tepat untuk mewakili kebingungannya. "Aku
menginginkan kau dapat menyelamatkan Kanjeng Pu-
tri Sekartaji. Ia dibawa lari oleh Bajing Ireng menuju markas Partai Kawula
Sejati." "Baik. Lantas, Paman sendiri mau ke mana?"
"Setelah menguburkan mayat temanku, aku
akan segera melaporkan semua kejadian ini pada Kan-
jeng Adipati. Untuk itu sekarang aku minta bantuan-
mu, Soma," kata Pringgondani yang sedikit merasa lega mendengar kesanggupan
murid Eyang Begawan Kamasetyo untuk menyelamatkan Putri Sekartaji.
"Oh.... Jadi mayat yang kau ratapi itu mayat
temanmu" Tapi siapakah yang telah membunuhnya,
Paman?" "Pelajar Agung!"
"Pelajar Agung...," gumam Soma. Paras wajahnya tiba-tiba menegang. "Lagi-lagi
manusia durjana itu yang membuat ulah!"
"Kau mengenalnya, Soma?"
"Ia musuh besarku, Paman."
"Hm.... Baiklah. Aku akan pergi melaporkan ke-
jadian ini pada Kanjeng Adipati. Baik-baiklah kau
menjaga diri, Soma. Semoga kau berhasil menyela-
matkan Kanjeng Putri Sekartaji."
"Aku bukan saja ingin menyelamatkan Kanjeng
Putri Aku juga ingin membantu prajurit-prajurit kadi-
paten menumpas gerombolan pemberontak itu, Pa-
man!" sahut Soma bersemangat.
"Aku senang sekali mendengar tekadmu. Kura-
sa demikian pula dengan Kanjeng Adipati. Semoga
maksud mulia mu ini diberkahi oleh Yang Maha Kua-
sa." "Baiklah, Paman. Sekarang juga aku akan me-
nyelamatkan Kanjeng Putri Sekartaji. Selamat tinggal!"
Soma berpamitan untuk pergi.
Usai berpamitan, Soma menutulkan kakinya
tanah lalu berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Pringgondani sendiri segera mencari tempat yang di-
anggapnya baik untuk menguburkan mayat temannya.
SELESAI Segera ikuti kelanjutannya!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
LUKISAN DARAH Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Jodoh Si Mata Keranjang 9 Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6
^