Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 15

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 15


"Bukan maksudku," jawab perempuan cantik, "aku hanya mengatakan sesuai dengan pengenalanku atas kalian berdua."
"Persetan," geram Ki Tandabaya, "kau dengan sengaja berolok-olok. Jangan mengatakan bahwa kau tidak tahu menahu dengan kedatanganku kemari setiap kali. Aku sudah memberimu kalung, gelang, subang dan perhiasan-perhiasan yang lain. Apakah kau akan ingkar dan sekedar mengatakan sesuai dengan pengenalanmu atas kami berdua ?"
Perempuan itu justru tertawa. Perlahan-lahan ia mendekati Ki Tandabaya dan berdiri dibelakangnya bersandar punggung sambil memijit-mijit pundak laki-laki itu. Katanya, "Jangan marah kakang. Sebenarnyalah ia datang hanya sekedar untuk menengok keselamatanku."
"Bohong," bentak Ki Tandabaya
Tetapi perempuan itu masih tertawa. Tangannya semakin sibuk memijit pundak Ki Tandabaya. Katanya, "Kau tentu lelah. Karena itu kau tidak sempat berpikir bening. Bertanyalah, apakah yang diperbuat kakang Partasanjaya selain menengok keselamatanku."
Betapapun juga, hati Ki Tandabaya rasa-rasanya menjadi luluh. Dibiarkannya perempuan cantik untuk memijit pundaknya. Sementara itu Ki Partasanjaya masih duduk berdiam diri.
"Kau dapat mengatakannya kakang," berkata perempuan itu bahwa kau sekedar menengok keselamatanku saja disini."
"Ya," jawab Partasanjaya, "aku hanya menengoknya karena ia adalah isteri adik seperguruanku yang terpaksa tidak dapat pulang."
Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai berpikir tentang sikap Ki Partasanjaya tentang rencana untuk membunuh Pringgabaya.
"Mungkin orang ini akan membalas dendam karena kematian adik seperguruannya itu," berkata Ki Tandabaya didalam hatinya. Kemudian, "Tetapi apaboleh buat. Jika perlu orang inipun harus disingkirkan. Karena sakit hati, ia akan dapat berbuat apa saja yang mungkin berbahaya atas perjuangan yang besar ini."
Meskipun demikian Ki Tandabaya harus memperhitungkan hubungan dalam keseluruhan. Agaknya Pringgajaya yang berganti nama dengan Partasanjaya ini adalah orang yang sangat dekat dengan Tumenggung Prabadaru, sehingga Tumenggung itu bersedia melindunginya dengan mengubur namanya, disertai dengan seorang korban yang sama sekali tidak bersalah, tetapi harus mati dan dikubur dengan nama Pringgajaya.
Tetapi Tandabaya harus menahan diri. Ia harus memperhitungkan segala macam keadaan. Bahkan iapun harus mengakui, bahwa Ki Pringgajaya dan Ki Pringgabaya adalah dua orang saudara seperguruan yang sulit dicari tandingnya.
Karena itu, maka untuk beberapa saat ia lebih baik berdiam diri. meskipun harus menahan hati.
Ki Partasanjayapun tidak berkata apapun juga. Tetapi sikapnya benar-benar memancing perhatian. Perlahan-lahan ia bangkit dan mengamati barang-barang yang ada didalam ruangan itu. Ajug-ajug lampu minyak disudut. Sebuah geledeg kayu yang terletak didekat pintu keruang dalam.
Namun kemudian sambil tertawa ia berkata, "Sudahlah Nyai. Aku kira kunjunganku sudah cukup lama. Aku akan kembali. Lain kali aku akan berkunjung lagi sebelum Pringgabaya dapat dibebaskan dari tempat penyimpanannya. Mudah-mudahan petugas yang akan melakukannya akan berhasil."
Ki Tandabaya menggeram. Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya perempuan muda yang cantik itu mengiringi Ki Partasanjaya keluar pintu sambil tertawa kecil. Katanya, "Terima kasih kakang. Mudah-mudahan kakang sempat berkunjung lagi kemari. Sepeninggal kakang Pringgabaya aku memang kesepian."
Ki Tandabaya yang berada didalam mengatupkan giginya rapat-rapat sambil menahan hati. Apalagi ketika ia mendengar tertawa perempuan itu diluar.
"Perempuan gila," gumamnya.
Sejenak Ki Tandabaya harus tetap bertahan ditempatnya, betapapun hatinya bergejolak. Baru sesaat kemudian perempuan itu masuk kembali sambil tertawa kecil.
"Bukankah kau sudah mengenalnya dengan baik" "perempuan itu bertanya.
"Justru karena aku mengenalnya dengan baik, aku tidak senang melihat kedatangannya disini," geram Ki Tandabaya.
Perempuan itu tertawa semakin keras. Katanya, "Kenapa" Apakah salahnya ia datang kemari?"
"Persetan. Jangan pura-pura dungu seperti itu. Aku tahu, kau bukan gadis belasan tahun yang tidak mengerti apa-apa tenlang seorang laki-laki. Bagiku kau adalah seorang perempuan yang pintar dan memiliki pengetahuan yang luas tentang laki-laki," geram Tandabaya.
Perempuan itu tertawa semakin keras. Katanya, "Jangan begitu kakang. Sebaiknya kau tidak berpikir yang aneh-aneh. Sudahlah, silahkan duduk. Aku akan menyediakan semangkuk minuman panas bagimu. Kau tahu, bagi orang lain aku tidak menjamunya dengan apapun juga."
Perempuan itu tidak menunggu Ki Tandabaya menjawab. Iapun segera melangkah masuk keruang dalam dan meninggalkan Ki Tandabaya duduk seorang diri merenungi keadaannya.
Dalam pada itu, hari-hari yang ditunggu itupun menjadi semakin dekat juga. Di Pajang, peristiwa tertahannya Ki Pringgabaya menjadi bahan pembicaraan. Beberapa orang perwira menjadi marah karenanya. Tetapi ada juga orang yang berpikir dengan hati yang bening. Jika tidak terjadi sesuatu, tentu Senapati Ing Ngalaga tidak akan berani berbuat demikian.
Tetapi kelompok tertentu, tahu pasti apa sebabnya maka Ki Lurah Pringgabaya telah ditahan di Mataram. Bahkan kelompok tertentu itu sudah melakukan usaha-usaha yang pasti, dengan membunuh orang yang telah tertahan itu. Dan tugas itu diserahkan kepada seseorang yang bernama Ki Tandabaya, yang dalam kedudukannya ia bukan seorang prajurit Pajang, meskipun ia mengenal banyak orang prajurit dan bahkan para perwiranya. Tetapi ia adalah seorang pengawal khusus yang mempunyai kedudukan serupa dengan seorang prajurit di Kepatihan Pajang. Namun yang telah menyerahkan diri dalam satu landasan perjuangan untuk menegakkan kejayaan masa lampau menurut citra mereka.
Dengan licin ia berhasil mengelabuhi beberapa orang kawannya, sehingga ia mendapat kesempatan yang cukup untuk melakukan tugas-tugasnya yang justru tidak ada hubungannya dengan tugasnya sebagai pengawal khusus di Kepatihan.
Sementara beberapa orang perwira dengan tidak sabar ingin datang melihat dan mendengar langsung, apa yang telah terjadi, sehingga Ki Lurah Pringgabaya harus ditahan di Mataram dengan tuduhan yang sangat menyakitkan hati itu, maka Ki Tandabaya telah berusaha untuk membunuh orang itu. Kematiannya tentu akan semakin membakar kemarahan orang-orang Pajang, atau karena kematiannya, Mataram tidak akan dapat membuat tuduhan-tuduhan berdasarkan atas pengakuan Ki Lurah Pringgabaya itu.
Sama sekali tidak terbersit niatnya untuk membebaskan saja Ki Lurah Pringgabaya. Meskipun dengan demikian, Ki Pringgabaya yang sudah berada diluar itu akan dapat melontarkan tuduhan-tuduhan palsu atau semacam itu yang akan dapat menuntut hukuman bagi kelancangan Senapati Ing Ngalaga yang telah berani bertindak atas seorang prajurit Pajang.
"Kematiannya akan memberikan penyelesaian yang lebih baik," berkata Tandabaya didalam hatinya.
Sementara itu, maka beberapa orang dilingkungan keprajuritan Pajang telah berusaha untuk menunda setiap usaha untuk mengirimkan beberapa orang ke Mataram memenuhi permintaan Senapati Ing Ngalaga untuk melihat sendiri keadaan Ki Pringgabaya dan barangkali untuk berbicara langsung dengan orang yang tertawan dengan tuduhan yang sangat menyakitkan hati itu.
"Kita menunggu penjelasan Senapati Ing Ngalaga," berkata salah seorang perwira yang dengan sengaja menghambat keberangkatan sekelompok perwira yang akan bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya.
"Penjelasan yang mana," jawab mereka yang sudah siap untuk berangkat, "keterangan Senapati Ing Ngalaga sudah jelas. Kitalah yang akan mendapat penjelasan langsung dari Ki Lurah Pringgabaya jika kita akan dapat bertemu dengan orang itu."
"Apakah Senapati menjamin bahwa Ki Lurah Pringgabaya akan berbicara sebenarnya ?" desis orang yang pertama.
"Kenapa ?" bertanya kawannya.
"Senapati Ing Ngalaga dapat saja mengancam Ki Lurah Pringgabaya agar memberikan keterangan yang tidak benar, sesuai seperti yang dikehendaki oleh Senapati Ing Ngalaga itu. Jika Ki Lurah tidak berkata seperti yang dikehendaki oleh Raden Sutawijaya, maka Raden Sutawijaya akan dapat berbuat apa saja sepeninggal kita dari Mataram," jawab perwira yang pertama.
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun katanya, "Aku mempunyai satu gambaran tersendiri tentang Ki Lurah Pringgabaya. Ia bukan seorang prajurit yang berjiwa kerdil. Agaknya ia akan bertahan pada harga dirinya. Apapun yang dilakukannya, ia akan mempertanggung jawabkannya."
"Sebagai perampok dan pembunuh ?" desis perwira yang pertama.
"Aku memang tidak yakin. Tetapi jika tuduhan itu tidak benar, maka akibatnya akan menjadi sangat gawat. Hubungan Pajang dan Mataram yang memburuk tanpa diketahui dengan pasti sebab-sebabnya ini akan bertambah buruk."
"Karena itu kita harus berhati-hati," berkata perwira yang pertama, "kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus berusaha melihat latar belakang sikap Senapati Ing Ngalaga. Apakah ia dengan sengaja memancing kekeruhan, atau karena sebab-sebab yang lain. Bertemu dengan Ki Lurah itu tidak akan menjamin bahwa persoalannya akan menjadi semakin jelas." ia berhenti sejenak, namun tiba-tiba ia berkata, "apakah Senapati tidak sekedar mengada-ada dengan undangannya itu ?"
"Mengada-ada bagaimana ?" bertanya kawannya.
"Memancing persoalan. Justru karena itu, kita harus berhati-hati dan tidak tergesa gesa."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi semuanya terserah kepada pimpinan tertinggi prajurit Pajang atau perintah langsung dari Kanjeng Sultan di Pajang atau Ki Patih yang mendapat kuasa dari Kanjeng Sultan karena kesehatannya yang kurang baik.
Namun ternyata tidak segera ada perintah untuk berangkat. Agaknya beberapa pihak memang masih menunggu perkembangan keadaan yang lebih meyakinkan.
Pada saat itulah, Ki Tandabaya dengan jantung yang berdebaran menunggu hari-hari yang menurut perhitungannya merupakan hari-hari yang paling aman untuk melakukan tugasnya.
Sebenarnyalah, dua hari sebelum hari yang ditentukan, Senapati Ing Ngalaga telah meninggalkan rumahnya dengan seekor kudanya yang baru. Kepada para pengawalnya ia telah mengatakan, bahwa ia akan mencoba kemampuan kudanya sampai hari Jum'at mendatang.
"Malam Jum'at ia tidak ada dirumahnya," berkata seorang pengikut Ki Tandabaya yang telah mendapatkan keterangan itu.
Ki Tandabaya mengangguk-angguk. Ia dapat mempergunakan malam sebelumnya atau malam Jum'at itu sendiri seperti yang diperhitungkan selama ia mempersiapkan diri dalam tugas yang dibebankan oleh Ki Racik kepadanya. Tugas yang memang sangat menarik baginya.
Namun akhirnya Ki Tandabaya memilih hari-hari seperti yang sudah ditentukan, setelah ia mendapat kepastian, bahwa Pajang tidak tergesa-gesa mengirimkan beberapa orang perwiranya untuk menemui Ki Lurah Pringgabaya.
Demikianlah, akhirnya hari yang ditunggu itupun datang. Ki Tandabaya telah mempersiapkan beberapa orang yang akan ikut mengamati tugasnya. Ia tidak akan sekedar datang melihat keadaan seperti yang pernah dilakukannya. Tetapi ia akan datang dan membunuh orang yang akan dapat menjadi sumber keterangan bagi orang-orang Mataram dan sekaligus akan memaksa Senapati Ing Ngalaga mempertanggung jawabkan peristiwa kematian Ki Lurah Pringgabaya yang berada dibawah kekuasaannya pada hari-hari terakhir, karena Senapati Ing Ngalaga telah menangkap dan menahannya.
Seperti yang pernah dilakukannya, maka Ki Tandabayapun akan membawa bersama Dugul yang memiliki pengalaman khusus. Tetapi untuk membunuh Ki Lurah Pringgabaya, Ki Tandabaya agaknya kurang mempercayainya. Ki Lurah Pringgabaya adalah orang yang luar biasa, yang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka ia sendirilah yang akan datang ketempat Ki Lurah itu ditahan dan ia sendirilah yang akan membunuhnya.
Selain anak panah beracun, Ki Tandabaya juga menyiapkan beberapa ekor ular berbisa. Jika ia tidak sempat membunuhnya langsung, maka ia akan melepaskan ular-ular berbisa itu kedalam bilik yang sempit dan tertutup.
"Ada ampat ekor ular bandotan, seekor ular gadung dan dua ekor ular weling," berkata salah seorang pengikutnya.
"Yang mana yang paling baik aku bawa ?" berkata Ki Tandabaya.
"Ular bandotan termasuk ular yang ganas. Tetapi ular gadung yang hijau itupun akan sangat berbahaya, karena ia akan menyerang sambil meluncur dari atas pepohonan jika ia berada diluar. Didalam bilik itu, ular gadung akan menyerang dari atap. Tetapi bisanya tidak setajam bisa ular bandotan," berkata pengikutnya.
Ki Tandabaya mengangguk-angguk. Tetapi ia lebih percaya kepada ujung panahnya daripada bisa ular itu, karena dalam keadaan yang khusus, orang-orang Mataram akan dapat mengobatinya.
Meskipun mungkin orang-orang Mataram juga dapat mengobati bisa pada ujung anak panahnya. tetapi jika anak panah itu menghunjam kedalam tubuh, maka waktu yang tersisa dari hidupnya tinggal terlalu singkat, sehingga kemungkinan untuk menolongnya dengan obat yang betapapun tinggi kasiatnya, tentu akan terlambat. Apalagi Ki Pringgabaya adalah seorang yang berada didalam bilik tahanan yang tidak dengan cepat dapat ditolong.
Tetapi Ki Tandabaya masih tetap mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, sehingga ular-ular berbisa itupun akan dibawanya didalam kantong yang tebal, yang terbuat dari kulit.
"Kalian harus bersiap menghadapi segala kemungkinan," berkata Ki Tandabaya kepada para pengikutnya, "juga kemungkinan bahwa kerja kami akan diketahui oleh para pengawal. Dalam keadaan yang demikian kalian harus dapat memecah perhatian para pengawal, sehingga kita masing masing akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk melepaskan diri."
Dengan teliti Ki Tandabaya memberikan pesan kepada para pengikutnya. Dimana masing-masing harus menunggu dan apa yang harus mereka lakukan jika benar-benar para pengawal Mataram dapat melihat mereka.
"Ki Tandabaya terlalu berhati-hati," berkata Dugul. "jika sekiranya Ki Tandabaya percaya, serahkan tugas itu kepadaku."
"Bukan aku tidak percaya kepada kemampuanmu Dugul," jawab Ki Tandabaya, "tetapi Ki Pringgabaya adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika kau harus bertanding ilmu meskipun Ki Pringgabaya ada didalam bilik tahanan, maka kau tidak akan dapat berbuat apa-apa."
"Aku tidak akan membenturkan ilmu kanuragan. Tetapi aku akan datang seperti yang aku lakukan pekan yang lalu. Membuka atap dan melepaskan anak panah ketubuh yang berada didalam bilik itu," berkata Dugul. "nah, apakah sulitnya ?"
Tetapi keragu-raguan tetap membayang diwajah Ki Tandabaya. Tugas itu tidak dapat begitu saja dipercayakan kepada orang lain. Meskipun Dugul memiliki kemampuan berdasarkan pengalaman yang panjang didalam pekerjaannya sebagai seorang pencuri dan perampok, namun untuk dilepaskan begitu saja dalam tugas yang penting itu, agaknya masih diragukan.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah kita melakukan bersama-sama. Kau dengan pengalamanmu, dan aku akan membayangimu, jika tiba-tiba saja diluar perhitungan kita, terjadi sesuatu yang perlu diatasi dengan kemampuan ilmu. Aku kira aku masih akan sanggup mengimbangi ilmu Ki Lurah Pringgabaya didalam dan diluar bilik tahanannya. Seandainya ilmunya selapis lebih baik dari ilmuku, namun kesempatankulah yang lebih baik dari kesempatannya. Dengan demikian aku berharap, bahwa dalam keadaan ini aku akan dapat menyelesaikan tugasku."
Demikianlah, maka segala sesuatu telah dipersiapkan dalam tugas yang akan segera dilaksanakan. Tugas yang cukup berat, meskipun segalanya sudah diperhitungkan.
Ki Tandabaya dan Dugulpun segera mendekati halaman lumah itu ketika malam menjadi semakin malam. Beberapa orang pengikutnya telah menempatkan diri pula ditempat yang sudah ditetapkan. Jika sesuatu terjadi, maka merka harus bertindak cepat. Jika perlu mereka harus bertempur melawan para pengawal dihalaman itu.
"Apakah Ki Tandabaya tidak mempergunakan ilmu sirep untuk mengamankan rencana yang penting itu ?" bertanya salah seorang pengikutnya ketika mereka hampir berangkat.
Ki Tandabaya menggeleng. Jawabnya, "Sirep justru akan merupakan isyarat yang dapat dimanfaatkan oleh orang orang Mataram. Demikian sirep itu mulai menyentuh rumah itu, maka orang-orang terpenting di Mataram, termasuk Ki Juru jika ia tidak mengikuti Senapati Ing Ngalaga pergi ke Ganjur, atau ketempat manapun yang dianggapnya paling baik untuk mencoba kemampuan kudanya yang baru, akan segera mengerti, bahwa sesuatu akan terjadi. Dan itupun akan segera mempersiapkan diri untuk menghadapinya."
Dengan demikian, maka Ki Tandabaya sama sekali tidak mempergunakan ilmu yang dianggapnya justru akan merugikan itu.
Untuk beberapa saat Ki Tandabaya menunggu. Kemudian pada saat yang paling tepat iapun bergeser melekat dinding halaman. Busur dan anak panah dalam ukuran kecil yang akan dipergunakannya telah disiapkannya. Sementara Dugul membawa kantong kulit berisi beberapa ekor ular berbisa yang akan dilepaskan pula kedalam bilik Ki Lurah Pringgabaya.
"Kita akan melakukan seperti apa yang pernah dilakukan di halaman ini," desis Ki Tandabaya, "jika Ki Racik sendiri pernah melakukannya dan berhasil, meskipun ia mempergunakan paser beracun untuk membunuh seseorang yang ditangkap oleh Raden Sutawijaya beberapa saat lampau, maka sekarang akupun harus berhasil," geram Ki Tandabaya.
Dugul mengangguk-angguk. Namun iapun mengerti, bahwa Ki Racik mempunyai beberapa kelebihan. Namun iapun berkata didalam hatinya, "Mudah-mudahan Ki Tandabaya berhasil. Jika Raden Sutawijaya benar-benar tidak ada dirumahnya, maka Ki Lurah Pringgabaya itu untuk sesaat akan terlepas dari pengamatannya langsung. Jika demikian, maka kemungkinan itu akan dapat terjadi tanpa kesulitan."
Dugul memang pernah mendengar ceritera seseorang, bahwa Ki Racikpun pernah membunuh seseorang yang dianggap berbahaya dan ditahan dihalaman rumah Raden Sutawijaya. Tetapi Dugul tidak tahu, apakah orang itu mempunyai bobot yang sama dengan Ki Lurah Pringgabaya sehingga pengamatan dan penjagaannyapun setingkat dengan yang dilakukan atas Ki Lurah Pringgabaya.
"Entahlah," desis Dugul, "mungkin ceritera itu sekedar sebagai pendorong tugas Ki Tandabaya atau sekedar dongeng saja."
Sementara itu, maka keduanyapun bergeser semakin mapan. Dugul yang berpengalaman itupun segera meloncat dinding untuk memperhatikan keadaan dibagian dalam dinding itu.
Ternyata bahwa dibagian dalam halaman itu rasa-rasanya cukup aman. Karena itulah maka iapun segera memberi isyarat kepada Ki Tandabaya untuk meloncat pula seperti yang dilakukannya.
Sejenak kemudian, keduanya telah berada didalam halaman yang kelam dan terlindung oleh bayangan pohon perdu. Sejenak mereka menunggu.Kemudian kedua-nyapunmerayap kebalik sebatang pohon ceplok piring.
"Kita akan memanjat seperti yang pernah kita lakukan," desis Dugul.
Ki Tandabaya tidak menjawab. Tetapi iapun ikut beringsut kebalik sebatang pohon soka putih yang berdaun lebat.
Sekali mereka melihat dua orang pengawal melintas. Namun mereka berhasil menahan pernafasan mereka, sehingga tidak menarik perhatian kedua orang yang lewat beberapa langkah saja dihadapan mereka.
Seperti yang pernah mereka lakukan, maka keduanyapun kemudian telah memanjat keatap. Ketika mereka telah berada diatas atap gandok rumah Raden Sutawijaya, maka untuk beberapa saat yang lamanya keduanya menelungkup melekat tanpa bergerak sama sekali.
Dengan pendengarannya yang tajam, Ki Tandabaya meyakinkan, bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui atau bahkan mengikutinya.
Sejenak kemudian, setelah Ki Tandabaya yakin, bahwa tidak ada seorangpun disekitarnya, maka merekapun beringsut setapak demi setapak.
Rasa-rasanya tugas itu tidak terhambat oleh apapun juga. Keduanya dapat melakukannya tugas yang berat itu dengan lancar.
"Disini," bisik Dugul kemudian.
Ki Tandabayapun masih mengenal, bahwa mereka berdua telah berada diatas bilik yang pernah dihhatnya pekan lalu. Bilik yang berdinding kayu yang tebal dan dijaga oleh beberapa orang secara khusus itu adalah bilik tempat Ki Pringgabaya disimpan.
Dengan sangat berhati-hati, maka Dugul berusaha membuka atap. Sedikit demi sedikit. Ketika atap itu terbuka sedikit, maka keduanya dapat melihat kebawah. Dan keduanya melihat, seseorang yang telah tidur dengan nyenyaknya berselimut kain panjang.
"Gila," desis Tandabaya, "Pringgabaya itu dapat juga tidur nyenyak dalam keadaan seperti itu."
"Ia sudah pernah," bisik Dugul.
"Tentu ia sudah bertekad untuk tidak berahasia lagi sehingga ia tidak merasa gelisah oleh keadaannya, ia tentu sudah memutuskan untuk berkhianat saja," sahut Tandabaya lambat sekali.
Dugul tidak menjawab. Iapun mengerti, bahwa Ki Tandabaya ingin membunuhnya apapun alasannya, karena itu, bagaimanapun juga. maka dimata Ki Tandabaya, maka Ki Lurah Pringgabaya telah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.
Karena itu, maka Ki Tandabayapun segera memerintahkan Dugul untuk membuka atap itu lebih lebar lagi. Sehingga akhirnya, Ki Tandabaya itu dapat membidik dengan anak panahnya yang berukuran kecil.
"Aku siap membunuhnya," geramnya, "tetapi siapkan pula ular-ular itu. Kita akan melontarkan ular itu kedalam, meskipun aku sudah membunuhnya dengan anak panah ini."
Dugul hanya mengangguk saja. Tetapi ia sudah siap melepaskan kantong kulitnya yang berisi beberapa ekor ular yang sangat berbisa.
Untuk beberapa saat lamanya, Ki Pringgabaya memperhatikan keadaan. Dari celah-celah atap yang terbuka agak lebar ia melihat dinding kayu yang kokoh diseputar billik itu. Kerangka atap yang jaraknya terlalu sempit sehingga tidak mungkin seseorang dapat meloloskan diri tanpa memecahkannya. Meskipun kemampuan Ki Lurah Pringgabaya memungkinkan, tetapi para pengawal tentu akan mendengarnya dan siap untuk mengepungnya.
"Tidak ada cara yang dapat ditempuh untuk menolongnya, melepaskannya dari bilik itu," gumamnya sambil memasang anak panahnya yang kecil itu pada busur yang juga dalam ukuran kecil, "karena itu, bukan salahku jika aku menempuh jalan terakhir. Membungkammu dan barangkali kaupun akan berterima kasih karena aku telah membebaskan dari penderitaan itu."
Dugul menarik nafas dalam-dalam. Namun nafasnya itu bagaikan terhenti ketika ia melihat Ki Tandabaya menarik busur kecilnya.
Dugul melihat bagaimana Ki Tandabaya membidik lewat lubang yang dibuatnya pada atap itu. Kemudian ketegangan itupun memuncak ketika ia melihat Ki Tandabaya melepaskan anak panahnya.
Tidak terdengar keluhan apapun juga. Ia tidak melihat tubuh itu menggeliat.
Sambil menarik nafas dalam-dalam, Ki Tandabaya berdesis, "Aku yakin bahwa aku telah berhasil."
"Tetapi aku merasa aneh," sahut Dugul perlahan-lahan, "orang itu sama sekali tidak bergerak. Bagaimanapun juga tajamnya racun pada anak panah itu, tetapi sentuhan ujungnya akan mengejutkannya. Setidak tidaknya ia akan menggeliat, meskipun ia tidak akan sempat berteriak."
"Tetapi kau lihat," sahut Ki Tandabaya, "anak panah itu tertancap pada tubuhnya. Pada Lambungnya."
Dugul menahan nafasnya. Ketika sekilas ia memandang wajah Ki Tandabaya, iapun melihat ketegangan yang sangat. Bahkan Ki Tandabaya beberapa kali telah mengusap keningnya yang nampaknya berkeringat.
"Memang aneh," tiba-tiba ia berdesis.
"Aku akan melihatnya," tiba-tiba Dugul berkata perlahan-lahan, "jika Ki Tandabaya tidak berkeberatan, aku akan turun."
"Bagaimana kau akan memasuki ruangan itu. Kerangka atap ini tidak akan dapat memberikan jalan kepadamu. Tetapi jika kita merusaknya, maka para pengawal akan mendengarnya."
Dugul termangu-mangu. Dirabanya kerangka yang rapat, yang tidak dapat memberikan jalan kepadanya untuk menyusup masuk keruang dibawahnya.
Dalam pada itu, keragu-raguan merekapun semakin mendebarkan. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Dan bahkan semakin lama keduanya memperhatikan, jantung mereka menjadi semakin keras berdetak.
Untuk beberapa saat Ki Tandabaya justru membeku. Ia memusatkan pengamatannya kepada tubuh yang terbaring berselimut kain panjang itu.
"Kita terlalu bodoh," geram Ki Tandabaya.
"Kenapa ?" bertanya Dugul.
"Kita dicengkam oleh ketegangan dan ketergesa-gesaan, sehingga kita tidak sempat memperhatikan tubuh itu sebelum kita menusuknya dengan anak panah. Seharusnya aku mengetahui, apakah yang terbaring itu bernafas atau tidak sebelum aku melontarkan anak panah itu," desis Ki Tandabaya.
"Maksud Ki Tandabaya, bahwa Ki Lurah Pringgabaya telah mati sebelum Ki Tandabaya membunuhnya ?" bertanya Dugul.
"Mungkin begitu, tetapi mungkin sekali yang berselimut itu bukan Ki Lurah Pringgabaya," geram Ki Tandabaya.
Wajah Dugul menegang. Ia memang tidak dapat melihat dengan jelas karena lampu minyak yang suram. Tetapi juga jarak dari sisi bumbungan atap itu cukup panjang.
Meskipun demikian, seharusnya mereka dapat melihat lebih saksama sebelum Ki Tandabaya melontarkan anak panahnya, apakah sebenarnya sasaran mereka itu sudah benar.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba Ki Tandabaya berdesis. "Agaknya kita sudah terjebak Dugul. Bersiaplah. Mungkin kita akan menghadapi sesuatu yang tidak kita duga sebelumnya."
"Bagaimana dengan ular-ular ini ?" bertanya Dugul.
Tidak ada gunanya. Aku mempunyai dugaan kuat, bahwa yang ada didalam itu bukan Ki Lurah Pringgabaya. Bukan pula mayatnya. Tetapi kita sudah dikelabui, justru karena orang-orang Mataram terlalu cerdik. Mereka mengerti, kehadiran seseorang disini tentu dicengkam oleh ketegangan dan ketergesa-gesaan, sehingga tidak sempat memperhatikan sasarannya sebaik-baiknya sebelumnya." bisik Ki Tandabaya, "untunglah bahwa kita sempat mencurigainya setelah kita melontarkan anak panah kita."
Dugul menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Marilah kita meninggalkan tempat ini."
Tetapi ketika Dugul akan beringsut, Ki Tandabaya berdesis, "Jangan melalui jalan semula. Kita turun melalui arah lain." Dugul mengerutkan keningnya. Namun iapun nnengerti. Mungkin mereka benar-benar telah terjebak dan diawasi sejak mereka memanjat naik. Tetapi jebakan itu mungkin juga sekedar mengelabui orang-orang yang diperhitungkan oleh orang-orang Mataram, akan datang untuk membunuh tawanan mereka, tanpa mengetahui saat-saat yang pasti. Tetapi mereka memang harus berhati-hati. Karena itu, maka iapun sependapat dengan Ki Tandabaya untuk mengambil jalan lain saat mereka turun dari atas atap. Ternyata mereka membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dugul yang berpengalaman itu harus memperhatikan keadaan sebaik-baiknya. Sementara kemampuan indera Ki Tandabaya yang terlatih telah membantunya, mengamati medan yang bagi mereka menjadi sangat gawat.
Sampai saat mereka mencapai sudut atap gandok, mereka masih merasa terlepas dari pengawasan. Karena itu, setelah menunggu beberapa saat, maka merekapun segera meluncur turun.
Untuk beberapa saat mereka menunggu. Mereka berniat untuk merayap melintasi halaman samping dan berlindung dibalik pepohonan perdu yang memang ditanam sebagai pohon hiasan di halaman samping.
Sekilas mereka melihat dalam keremangan malam, bunga ceplok piring yang berwarna putih mengkilap. Baunya yang tajam memenuhi seluruh halaman yang nampaknya sepi lengang.
Namun bagi Ki Tandabaya yang berindera tajam, kesepian itu benar-benar sangat menegangkan.
"Berhati-hatilah," desisnya sambil menggamit lengan Dugul.
Dugulpun mempersiapkan diri sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Ia masih membawa kantong kulit yang berisi ular-ular berbisa. Bahkan kemudian ia telah mengendorkan ikatan kantong kulit itu.
Ternyata seperti yang diduga oleh Ki Tandabaya.
Sambil menggamit Dugul sekali lagi ia berdesis, "Aku melihat ujung tombak dibalik batang kemuning yang rimbun itu."
Dugulpun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memperhatikan pohon kemuning disudut halaman, iapun melihat, sebatang ujung tombak yang mencuat dari balik pohon itu.
Tetapi akhirnya Ki Tandabayapun melihat, bukan hanya ujung tombak itu yang menunggunya, tetapi ketika sekelompok pohon perdu bergetar perlahan-lahan, iapun mengerti, bahwa dibalik pohon itupun bersembunyi seseorang.
"Beberapa orang telah mengepung kita," desis Ki Tandabaya kemudian.
Tidak ada gunanya kita bersembunyi lagi," berkata Ki Tandabaya kemudian, "kita akan bertempur. Tanpa Senapati Ing Ngalaga, orang-orang Mataram tidak banyak berarti bagiku, selain Ki Juru Martani. Mudah-mudahan Ki Juru Martani tidak ada diantara orang-orang itu atau bahkan pergi bersama Senapati Ing Ngalaga."
Dugul termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, "Kita beri isyarat kepada kawan-kawan kita. Dengan demikian kita akan dapat memecah perhatian para pengawal. Seharusnya Ki Tandabaya dapat melepaskan diri justru ada dua orang disini yang akan dapat kita akan dapal memecah perhatian para pengawal. Seharusnya Ki Tandabaya dapat melepaskan diri dari tangan orang-orang Mataram. Jika Ki Tandabaya tertangkap, maka justru ada dua orang disini yang akan dapat menggelisahkan para pemimpin di Pajang."
Ki Tandabaya menjadi semakin tegang.
"Aku tidak banyak mengetahui tentang orang-orang Pajang. Biarlah aku disini," berkata Dugul, "tetapi aku serahkan anak isteriku kepada Ki Tandabaya agar mereka tidak mengalami kesulitan hidup."
Ki Tandabaya menjadi semakin berdebar-debar. Sebelum Ki Tandabaya memberikan pendapatnya, tiba-tiba saja terdengar Dugul itu bersuit nyaring. Suaranya menggeletar sampai keluar dinding halaman dan didengar oleh beberapa orang pengikut Ki Tandabaya.
"Isyarat itu," desis seseorang.
Ki Tandabaya sendiri menjadi tegang Tetapi isyarat itu sudah dilontarkan, sehingga ia harus segera menyesuaikan diri.
"Berbuatlah sesuatu untuk menyelamatkan diri, Ki Tandabaya," berkata Dugul, "jangan hiraukan lagi aku dan kawan-kawan yang akan menarik perhatian para pengawal. Seandainya satu dua orang diantara kami tertangkap, maka tidak ada apapun yang akan dapat kami katakan, karena yang kami ketahui tentang Pajangpun hanya sedikit sekali."
Jantung Ki Tandabaya tergetar. Baginya Dugul tidak lebih dari seorang pengikut yang kurang berarti. Ia diangkat dari dunianya yang gelap. Pengalamannya sebagai seorang pencuri dan perampok yang disegani oleh lingkungannya, ternyata diperlukan oleh Ki Tandabaya. Namun ternyata Dugul adalah seorang yang memiliki kesetiaan dan tanggung jawab. Bahkan ia telah bersedia mengorbankan dirinya sendiri.
Dalam waktu yang pendek itu terbersit satu kilasan perbandingan antara dirinya sendiri dengan Dugul, orang yang dianggapnya kurang berharga itu. Jika Dugul dengan setia bersedia mengorbankan dirinya, apakah yang telah dilakukannya terhadap kawannya yang justru sedang berada didalam kesulitan. Yang justru berada didalam bilik tahanan.
"Aku justru membunuhnya tanpa usaha sedikitpun untuk membebaskannya," berkata Ki Tandabaya didalam hatinya. Seharusnya, yang dilakukan itu adalah usaha terakhir, setelah segala usaha tidak berhasil. Namun justru ia telah melakukannya sebagai satu-satunya usaha.
Sementara itu, para pengikut Ki Tandabaya yang telah mendengar isyarat itupun segera mempersiapkan diri. Mereka menyadari, bahwa isyarat itu tentu menunjukkan, bahwa Ki Tandabaya mengalami kesulitan.
Karena itu, maka merekapun segera bertindak sesuai dengan pesan-pesan yang telah diberikan oleh Ki Tandabaya itu sendiri.
Beberapa orang pengikut Ki Tandabaya yang sudah disiapkan itupun segera meloncati dinding memasuki halaman. Mereka langsung menuju ketempat yang sudah diberitahukan oleh Ki Tandabaya.
Tetapi mereka tidak menjumpai apapun juga. Tanpa mereka mengerti, apa sebenarnya yang telah terjadi. Ki Tandabaya tidak berada ditempat yang sudah disebutkannya.
Sebenarnyalah, mereka tidak mengetahui bahwa Ki Tandabaya telah turun lewat sudut yang lain. Namun, ternyata disudut yang lain itupun, para pengawal dapat mengetahuinya.
Dugulpun agaknya mengerti, bahwa perubahan itu akan membingungkan para pengikut Ki Tandabaya. Karena itu, maka iapun telah bersuit sekali lagi, sebagai satu isyarat, dimana ia berada.
Para pengikut yang telah berada didalam halaman itupun segera mengerti, bahwa perubahan telah terjadi, sehingga merekapun segera menyesuaikan diri.
"Tentu para pengawal berkumpul ditempat itu pula," desis salah seorang dari mereka.
Tetapi ketika para pengikut Ki Tandabaya itu mulai beringsut dari tempatnya, beberapa orang pengawal telah berlari-lari mendekatinya dengan tombak merunduk. Salah seorang dari mereka membentak, "berhenti ditempatmu."
Sejenak para pengikut Ki Tandabaya itu tertegun. Namun kemudian seorang yang tertua diantara mereka berdesis, "Tiga orang diantara kalian tinggal. Kami, yang lain akan mencari Ki Tandabaya."
Tanpa saling berjanji, tiga orang diantara mereka telah bersiap menghadapi para pengawal yang mendekat, sementara kawan-kawannya telah meninggalkannya.
"Mereka tidak akan sempat berbuat sesuatu," geram salah seorang dari para pengawal itu. "Kawan-kawan kami telah siap menunggu kalian."
Ketiga orang itu tidak menjawab. Tetapi merekapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun pengawal yang mendekati mereka itu berjumlah lima orang, tetapi tiga orang pengikut Ki Tandabaya itu tidak meninggalkan mereka.
Namun dalam pada itu, tiga orang pengikut Ki Tandabaya yang memasuki halaman itu dari arah lain, telah berlari-lari pula mendekat sambil berkata, "Aku akan membantu kalian."
"Cari Ki Tandabaya," berkata salah seorang dari ketiga orang yang telah bersiap itu, "aku akan membunuh para pengawal yang dungu ini."
Ketiga orang yang baru datang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian yang seorang berkata, "Aku akan tinggal membantu mereka. Carilah Ki Tandabaya dan Dugul."
Kedua orang kawannyapun segera berlari menghilang. Yang seorang diantara merekapun segera melangkah satu-satu mendekati kawan-kawannya yang sudah berhadapan dengan lima orang pengawal.
"Jangan rendahkan kemampuan para pengawal," berkata pengikut Ki Tandabaya yang baru datang itu, "karena itu, aku akan membantu kalian."
Ketiga orang kawannya tidak menjawab. Tetapi kehadiran orang itu tentu saja membuat hati mereka semakin tenang.
Kelima orang itupun kemudian menebar. Mereka menghadapi para pengikut Ki Tandabaya itu dari arah yang berbeda. Seakan-akan mereka berusaha untuk mengepung pengikut Ki Tandabaya itu dari segala arah. Tetapi karena seorang dari mereka, justru yang baru datang itu tidak berada disisi ketiga orang kawannya, maka ia harus dihadapi secara khusus.
"Aku tetap disini," berkata orang itu yang nampaknya dengan sengaja berdiri beberapa langkah dari kawan-kawannya.
Para pengawal menghadapi orang keempat yang datang kemudian, sementara ampat orang yang lain telah mengepung tiga orang pengiltut Ki Tandabaya.
Sejenak kemudian, para pengawal itupun mulai menggerakkan senjata mereka. Sehingga pertempuran-pun pecah karenanya.
Ternyata para pengikut Ki Tandabaya itupun merupakan orang-orang terlatih. Meskipun mereka bukan prajurit yang mendapat latihan khusus, tetapi rnereka secara pribadi telah memiliki kemampuan yang mereka pelajari secara khusus.
Namun yang mereka hadapi adalah para penpawal Mataram. Pengawal yang dibentuk dalam suasana yang hangat dan prihatin. Sejak Mataram mulai dengan membuka hutan Mentaok sehingga perlahan-lahan tumbuh menjadi daerah yang semakin ramai. Sehingga dengan demikian, maka mereka telah memiliki naluri pertempuran yang gigih.
Karena itulah, maka pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit. Namun, ternyata bahwa kemampuan para pengawal, apalagi dalam jumlah yang tidak sama.
Namun ternyata salah seorang pengikut Ki Tandabaya yang datang kemudian itu memiliki kelebihan dari kawannya. Apalagi ia hanya bertempur seorang melawan seorang. Dengan demikian, maka ia mampu mengembangkan perlawanannya.
Tetapi karena ketiga orang kawannya segera terdesak, maka iapun telah terpengaruh pula. Bahkan iapun menjadi gelisah dan tergesa-gesa ingin menyelesaikan pertempuran itu.
"Bertahanlah sejenak," katanya kepada ketiga orang kawannya, "sebentar lagi, aku akan membunuh pengawal ini dan segera akan datang membantu kahan."
Tetapi kata-katanya itu hampir tidak dapat diselesaikan karena senjata lawannya hampir saja menyambar mulutnya.
Dalam pada itu, selagi pertempuran itu berlangsung dengan serunya, maka beberapa orang pengikut Ki Tandabaya telah menemukannya. Dugullah meloncat kehalaman dengan senjata ditangan, sementara Ki Tandabaya masih tetap melekat dinding, berlindung dalam bayangan teritisan yang tidak terlalu tinggi.
Namun pada saat itu, beberapa orang pengawal telah mulai bergerak. Beberapa orang telah merayap mendekati tempat itu dari beberapa arah.
"Berhati-hatilah," teriak Dugul, "mereka mulai mendekat."
Para pengikut Ki Tandabayapun segera bersiap. Tetapi mereka tidak berkumpul disatu tempat. Tiga orang telah berdiri disisi Dugul, sementara beberapa orang lainnya yang datang dari beberapa arah masih tetap tersebar.
"Gila," geram seorang pengawal, "ternyata orang itu membawa pengikut cukup banyak. Mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi satu pertempuran terbuka. Bukan sekedar datang seperi seorang pencuri."
"Berhati-hatilah," berkata kawannya, "tetapi jika perlu, kita akan membunyikan isyarat. Pengawal diluar halaman ini akan berdatangan, dan mereka tidak akan mempunyai kesempatan apapun lagi."
"Kita akan mencoba mengatasi mereka. Kecuali jika kita memang tidak mampu lagi," desis kawannya.
Yang lain terdiam. Namun merekapun kemudian melangkah semakin dekat dengan senjata teracu.
"Menyerahlah," desis salah seorang pengawal, "kami sudah mengetahui apa yang kalian lakukan sejak kalian masuk kehalaman ini."
"Aku tahu," teriak Dugul, "aku menyadari sejak aku mengetahui bahwa yang terbaring didalam bilik itu bukan Ki Lurah Pringgabaya."
"Karena itu, kalian tidak akan mempunyai kesempatan lagi," geram pengawal yang lain.
Dugul tidak menjawab. Tetapi ia bergeser maju sambil berkata, "Kami sudah siap bertempur. Siapapun lawan kami, kami akan membinasakannya."
Para pengawal itupun telah bersiap sepenuhnya ketika mereka melihat Dugul mulai meloncat dengan garangnya sambil berteriak, "Kita bunuh mereka semuanya."
Para pengikut Ki Tandabaya yang lainpun segera mulai bergerak. Merekapun berada ditempat yang berpencar. Karena itu, maka para pengawal tidak dapat mengepung mereka, sehingga pertempuranpun kemudian terjadi dibeberapa tempat dihalaman samping rumah Raden Sutawijaya.
Namun sebenarnyalah, bahwa Ki Tandabaya sependapat dengan Dugul. Bukan sekedar menyelamatkan nyawa. Tetapi untuk kepentingan orang-orang Pajang dalam keseluruhan. Orang-orang Pajang yang tersangkut dalam usaha untuk menegakkan kembali satu masa yang pernah menjadi kebanggaan, meskipun menurut angan-angan mereka.
Karena itulah, maka ia masih tetap berada ditempatnya. Dengan saksama ia memperhatikan keadaan diseputarnya. Ia harus dapat melarikan diri. Kemudian, iapun harus dapat memberikan isyarat, bahwa para pengikutnyapun harus berusaha melarikan diri pula sebanyak-banyaknya.
Namun dalam pada itu, selagi ia masih sedang memperhitungkan keadaan, seorang pengawal telah menyusup diantara para pengikutnya dan menyerangnya dengan serta merta.
Namun Ki Tandabaya adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itulah, maka ia tidak terlalu sulit untuk menghindarinya. Dengan loncatan pendek ia beringsut, sehingga senjata lawannya tidak menyentuhnya. Bahkan dengan tangkasnya ia telah menyerang kembali dengan dahsyatnya, sehingga pengawal itulah yang justru terkejut. Karena itu, maka iapun segera meloncat jauh-jauh menghindar. Namun ujung senjata Ki Tandabaya ternyata lebih cepat dari geraknya, sehingga senjata itu telah berhasil menyentuh pundaknya.
Pengawal itu menggeram. Tetapi ia sadar sepenuhnya, siapa yang sedang dihadapinya. Karena itu, ia tidak tergesa-gesa bertindak. Sejenak ia menilai keadaan, sementara Ki Tandabaya telah siap menghadapinya.
Sementara itu Dugul dan kawan-kawannya telah bertempur pula dengan para pengawal. Dengan garangnya mereka memutar senjata mereka. Sekali-sekali terdengar salah seorang dari mereka berteriak nyaring sambil menyerang dengan serunya.
Tetapi para pengawalpun telah bersiap menghadapi mereka. Dengan demikian, maka kegarangan mereka sama sekali tidak mempengaruhi sikap para pengawal.
Dalam pada itu, Ki Tandabaya yang mulai memperhitungkan setiap saat yang akan sangat berarti baginya itupun, telah mengambil satu sikap. Karena pengawal yang terluka itu tidak segera menyerangnya, maka ialah yang justru meloncat menyerang dengan garangnya.
Pengawal itu bergeser menghindar. Serangan Ki Tandabaya benar-benar serangan yang dilambari dengan segenap kekuatannya. Namun yang mengejutkan pengawal itu, bahwa demikian serangan Ki Tandabaya itu tidak mengenai sasarannya, ia tidak memburunya meskipun pengawal itu sendiri harus mengakui, bahwa ia tidak akan dapat mengimbangi seorang lawan seorang. Tetapi Ki Tandabaya itupun segera meloncat meninggalkan arena.
Namun baru beberapa langkah ia berlari, tiba-tiba seorang pengawal telah menghadangnya dengan tombak merunduk. Pengawal itu tidak bertanya sesuatu. Tetapi tiba-tiba saja tombaknya telah terjulur menyerang kearah jantung.
Ternyata Ki Tandabaya benar-benar tangkas. Ia berhasil meloncat menghindar sambil memukul tombak itu sehingga hampir saja tombak itu terlepas dari tangannya. Dalam keadaan yang demikian, Ki Tandabaya telah menjulurkan senjatanya. Demikian cepatnya sehingga pengawal itu tidak sempat menghindari. Ia hanya dapat memiringkan tubuhnya, sehingga senjata Ki Tandabaya sempat menyobek lengannya.
Pengawal itu menggeram. Terasa lengannya menjadi pedih. Namun sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, Ki Tandabaya telah siap untuk menikamnya.
Tetapi pada saat yang gawat itu, seorang pengawal telah meloncat berlari. Ia tidak sempat mencapai tempat kawannya yang sudah dalam keadaan yang sangat gawat itu. Karena itu, maka iapun telah melontarkan tombaknya mengarah kelambung Ki Tandabaya.
Namun Ki Tandabaya benar-benar cekatan. Ia melihat tombak itu menyambarnya. Karena itu, ia sempat meloncat surut dan menghindari ujung tombak itu. Tetapi agaknya pengikut Ki Tandabaya tidak menghiraukan pengawal-pengawal itu lagi. Karena itu, maka iapun segera berlari meninggalkannya menuju kesudut halaman.
Ketika seorang pengawal yang lain memburunya, ia sempat berhenti sejenak. Menghindari serangan pengawal itu kemudian melukainya, sehingga ia berkesempatan untuk meninggalkannya.
"Gila," geram para pengawal. Tetapi mereka tidak dapat ingkar, bahwa seorang diantara mereka yang memasuki halaman itu adalah orang yang memihki ilmu yang luar biasa, yang tidak dapat mereka tundukkan.
Karena itu, para pengawal itupun tidak dapat berbuat sesuatu. Mereka harus melihat kenyataan, bahwa tidak seorangpun yang dapat menghalanginya. Untuk menyerangnya bersama-sama dalam satu kelompok kecil yang terdiri atas tiga atau ampat orang, nampaknya sudah tidak sempat lagi.
Meskipun demikian, seorang pengawal yang lain tidak membiarkannya. Apapun yang akan terjadi, ia merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk menahan orang yang sudah hampir mencapai sudut halaman itu.
Dengan loncatan loncatan panjang ia berusaha memburu. Seperti yang sudah dilakukan oleh kawannya, maka karena ia tidak akan dapat menyusul langkah orang yang dikejarnya, maka iapun telah melontarkan tombaknya kearah punggung.
Sekali lagi Ki Tandabaya disambar oleh ujung tombak. Namun sekali lagi pula ia berhasil menghindar. Tetapi justru karena itu, ia tidak melihat sebuah lubang didepannya. Demikian kakinya terperosok kedalam lubang itu, maka iapun telah jatuh berguling.
Tetapi ia benar-benar memiliki ketangkasan yang luar biasa. Demikian ia terguling, maka iapun segera meloncat tegak kembali.
Pada saat itulah, pengawal yang melontarkan tombaknya berhasil menyusulnya. Ia sempat memungut tombaknya dan kemudian menyerang Ki Tandabaya.
Kemarahan Ki Tandabaya tidak tertahankan lagi. Apalagi karena ia sudah terjatuh sehingga lengannya terasa sakit.
"Aku akan membunuhmu," geram Ki Tandabaya.
Pengawal itu tidak menjawab. Tombaknya terjulur lurus kedepan. Tetapi serangan itu seakan-akan tidak berarti. Dengan senjatanya, Ki Tandabaya menangkisnya. Kemudian sambil menggeram ia berkata, "Aku bunuh kau. Kau adalah pengawal yang paling menjengkelkan. Aku tidak melakukannya atas kawan-kawanmu, karena mereka tidak licik seperti kau."
Pengawal itu bergeser surut. Tetapi Ki Tandabaya tidak memberinya kesempatan. Senjatanya telah terayun siap menebas leher pengawal yang malang itu.
Pengawal itu mencoba menghindar sambil memutar tombaknya. Ia masih berusaha menyerang dalam keadaannya yang paling gawat. Tetapi Ki Tandabaya telah menarik serangannya dan memukul tombak itu sekuat tenaganya, sehingga tombak itu terlepas dari tangan pengawal yang menyerangnya.
Jaraknya terlalu jauh bagi kawan-kawannya yang sudah terluka untuk menolongnya. Meskipun mereka juga berlari-lari, tetapi dalam sekejap Ki Tandabaya akan dapat membunuh pengawal yang kehilangan senjata itu.
Sebenarnyalah Ki Tandabaya tidak mau membuang waktunya lagi. Ia ingin menikam pengawal itu. Kemudian melarikan diri sebelum pengawal yang lain mencapainya, meskipun ia akan dapat membunuh dua atau tiga orang lagi.
Namun pada saat yang demikian, tiba-tiba saja seorang pengawal telah meloncat, justru dari atas dinding. Agaknya ia bertugas ditempat yang lain. Namun karena hiruk pikuk telah terjadi di halaman itu, maka iapun telah meloncat memasuki halaman, tidak melalui pintu gerbang.
Kehadiran pengawal yang meloncat dari atas dinding itu telah mengejutkannya. Karena itu, maka senjatanya yang sudah terjulur kearah pengawal yang sudah tidak bersenjata itu telah terpengaruh pula karenanya, sehingga tidak langsung menikam sampai kejantung.
Meskipun demikian, pengawal itu telah mengaduh tertahan dan kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
"Cepat, obati lukamu," terdengar pengawal yang meloncat turun dari atas dinding itu bergumam.
Pengawal yang terluka itu terdiam. Tetapi kedua tangannya telah menahan darah yang mengalir dari lukanya.
Dalam pada itu, seorang pengawal yang lain, yang telah terluka pula telah datang ketempat itu. Namun demikian ia menggerakkan tombaknya, pengawal yang meloncat dari atas dinding itupun berkata, "Tolonglah kawanmu dan kau sendiri. Cepat, cari obat atau barangkali kau sudah membawanya, agar tidak terlambat karena kehabisan darah."
Buku 139 KEDUA orang pengawal itu termangu-mangu. Namun Ki Tandabayalah yang menggeram melihat sikap pengawal yang datang meloncati dinding itu. Seolah-olah pengawal itu tidak mengacuhkannya, meskipun ia melihat kawan-kawannya telah terluka.
"Aku bunuh kau," Ki Tandabaya hampir berteriak.
Demikian kata-katanya terucapkan, maka iapun segera meloncat menikam pengawal yang baru saja memasuki halaman itu lewat dinding batu.
Namun berbeda dengan para pengawal yang lain, pengawal yang baru itu sempat mengelak dengan tangkasnya. Dengan langkah yang pendek ia berkisar sambil memiringkan tubuhnya.
Ki Tandabaya tidak membiarkannya. Iapun segera merubah gerak senjatanya. Tiba-tiba saja senjata itu telah menyerang mendatar. Demikian cepatnya, sehingga pengawal yang baru itu tidak sempat mengelak.
Tetapi pengawal itu sempat menangkis senjata Ki Tandabaya dengan senjatanya pula. Sehingga sejenak kemudian telah terjadi benturan yang keras.
Ternyata benturan itu telah mengejutkan Ki Tandabaya. Ia mengira bahwa senjata pengawal itu akan terlempar dari tangannya. Namun ternyata bahwa ia keliru. Senjata itu sama sekali tidak terlempar dari tangan pengawal itu. Tetapi benturan itu justru telah menggetarkan tangannya.
Ki Tandabaya benar benar telah terkejut karenanya, sehingga ia telah meloncat surut. Yang terjadi itu sama sekali diluar dugaannya. Bahwa seorang pengawal akan mampu mempertahankan senjatanya dalam benturan senjata dengan lambaran kekuatannya yang dihentakkannya.
Tetapi Ki Tandabaya tidak mendapat kesempatan untuk memperhatikan pengawal itu. Demikian Ki Tandabaya meloncat mengambil jarak, pengawal itulah yang telah menyerangnya dengan garangnya. Demikian cepat, sehingga Ki Tandabayalah yang kemudian harus berloncatan menghindar.
Dalam kegelapan malam, Ki Tandabaya ternyata tidak sempat mengenali wajahnya. Ia hanya mengetahui menilik ujud dalam keseluruhan, bahwa lawannya itu adalah seorang pengawal. Namun oleh keheranan atas pengawal yang baru itu.
Sementara itu, dihalaman itu telah terjadi pertempuran dibeberapa tempat. Pengikut-pengikut Ki Tandabaya ternyata telah menebar pula, dan berusaha memancing perhatian para pengawal. Dengan demikian maka hanya satu dua orang sajalah yang telah berusaha untuk menangkap langsung Ki Tandabaya. Namun merekatah yang ternyata telah terluka karena senjata orang yang memiliki kemampuan orang kebanyakan itu.
Dugul dan beberapa orang kawannya tengah bertempur dengan sengitnya. Ketika ia terdesak, tiba-tiba saja ia telah melemparkan kantong kulit ditangannya, yang telah dikendorkan talinya. Demikian kantong itu terlepas dari tangannya, maka beberapa ekor ular telah terpelanting keluar.
Lawan-lawannya terkejut. Mereka telah melonjak-lonjak menghindari ular-ular itu, karena merekapun menyadari, patukan ular itu berarti kematian, seperti patukan ujung senjata dijantungnya.
Namun dengan demikian perhatian mereka terpecah. Kesempatan itulah yang telah dipergunakan oleh Dugul dan kawannya. Justru pada saat lawannya telah meloncat-loncat menghindari ular yang menggeliat hampir terinjak kakinya, maka senjata lawannya telah menyentuh tubuh mereka.
Beberapa orang pengawal telah terluka pada saat demikian. Tetapi masih ada juga pengawal yang dengan cepat menanggapi keadaan. Ia melihat beberapa orang kawannya terluka. Namun ia masih sempat mengungkit seekor ular bandotan dengan ujung pedangnya, sehingga ular itu terlempar tepat tersangkut ditubuh seorang pengikut Ki Tandabaya.
Orang itu demikian terkejut, sehingga ia telah terpekik keras-keras. Ia masih sempat mengibaskan ular itu. Namun malang baginya, karena ular itu sempat mematuk lengannya.
Kemarahan yang meluap telah membuatnya seolah-olah kehilangan akal. Dengan pedangnya ia telah menyerang ular itu. Sekali ayun, kepala ular itu telah terpenggal. Bahkan kemudian ayunan-ayunan berikutnya, telah memotong ular itu menjadi beberapa bagian. Namun demikian tangannya terayun pada kesempatan terakhir, tubuhnya mulai dipengaruhi racun ular yang sangat berbisa itu. Tubuhnya terasa menggigil dan urat-uratnya bagaikan mengejang.
"Gila, gila," ia berteriak, "bunuh aku dengan pedang."
Tetapi suaranya menggelepar dan hilang diudara malam yang dingin, tetapi terasa panas dihalaman rumah Raden Sutawijaya itu.
Seorang kawan Dugullah yang kemudian kejang terbaring ditanah. Sementara beberapa ekor ular yang lain telah menelusur hilang didalam kegelapan, setelah seekor yang lain sempat dibunuh pula dengan ujung tombak.
Ternyata bahwa ular-ular itu sempat mengganggu pertempuran itu sejenak. Namun kemudian, pertempuran itu telah berlangsung kembali dengan serunya. Dugul masih tetap bertahan. Untuk beberapa saat, ia bertempur sambil memperhitungkan kemungkinan waktu yang diperlukan oleh Ki Tandabaya untuk melarikan diri.
Pertempuran yang terjadi dihalamaan itu, ternyata telah berkembang dibeberapa tempat. Para pengikut Ki Tandabaya sengaja tidak berusaha untuk menyatukan diri. Dengan bertempur berpencaran, maka mereka telah menghisap seluruh perhatian para pengawal, sehingga kesempatan Ki Tandabaya untuk melarikan diri menjadi semakin banyak.
Dalam pada itu, ternyata Ki Tandabaya telah tersangkut dalam pertempuran melawan seorang pengawal yang agak lain dari kawan-kawannya. Pengawal yang seorang ini tidak dapat dengan mudah didorongnya dengan ujung senjata, atau didesaknya menepi, sementara ia melarikan diri.
Bahkan ternyata kemudian, telah terjadi pertempuran yang seru antara Ki Tandabaya dengan pengawal itu.


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak iblis," geram Ki Tandabaya didalam hatinya, "pengawal ini mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya."
Namun Ki Tandabaya tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Selagi kawan-kawannya masih bertempur, maka iapun ingin dengan cepat meninggalkan halaman itu.
Karena itu, maka Ki Tandabaya itupun segera mengerahkan kemampuannya. Ia harus dengan segera menyelesaikan pengawal itu sebelum kawan-kawannya akan berdatangan semakin banyak, apabila Dugul dan kawan-kawannya tidak mampu lagi bertahan.
Namun ternyata Ki Tandabaya justru terkejut. Sebelum ia dapat mengalahkan pengawal itu, ia telah mendengar satu isyarat nyaring. Ternyata Dugul telah keliru menghitung waktu. Agaknya Dugul menganggap, bahwa Ki Tandabaya telah dapat keluar dengan selamat.
Tetapi isyarat itu sudah terlanjur. Karena itu, maka dalam sekejap, para pengikut Ki Tandabaya itupun berusaha untuk melarikan diri menurut cara mereka masing masing. Satu dua diantara mereka masih harus bertempur beberapa saat, sebelum mereka sempat meninggalkan arena. Bahkan ada satu dua diantara mereka yang justru sama sekali tidak berkesempatan untuk meninggalkan lawannya yang dengan garang melibat mereka dalam pertempuran yang sengit.
Namun, ternyata ada beberapa orang yang sempat juga meloncati pagar dan berlari meninggalkan panasnya api pertempuran dengan para pengawal. Bahkan Dugul sendiripun ternyata justru sempat melarikan diri, meskipun ia ternyata telah terluka.
Tetapi diantara mereka, beberapa orang ternyata telah dipaksa untuk melemparkan senjata mereka dan menyerah sebagai tawanan.
Dalam pada itu, Ki Tandabaya mengumpat didalam hatinya. Ialah yang justru telah ditinggalkan untuk bertempur menghadapi para pengawal. Seperti yang diduganya, maka beberapa orang pengawal yang kehilangan lawannya itupun telah tertarik oleh hiruk pikuknya pertempuran disatu sudut halaman itu. Dentang senjata telah memanggil mereka untuk mencari, dimana dan siapakah yang masih bertempur dihalaman itu.
Ternyata bahwa mereka menemukan Ki Tandabaya yang bertempur dengan dahsyatnya melawan seorang pengawal.
Para pengawal itupun menjadi heran, bahwa terjadi pertempuran yang demikian sengitnya. Merekapun heran, bahwa ada diantara mereka yang memiliki ilmu yang demikian tinggi, sehingga mereka menjadi ragu-ragu.
Bahkan para pengawal itupun saling bertanya diantara mereka, "Siapakah pengawal yang seorang itu ?"
Pengawal yang sedang bertempur itupun ternyata telah berkata kepada para pengawal yang kemudian mengerumuninya, "Jangan ganggu kami. Aku ingin menunjukkan kepada orang ini, bahwa pengawal dari Mataram akan mampu mengimbanginya pula."
Sementara pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya, ternyata Ki Lurah Branjangan. yang telah ikut pula bertempur dan justru berhasil menguasai dua orang pengikut Ki Tandabaya, telah dengan tergesa-gesa mendekatinya. Sejenak ia memperhatikan, siapakah yang sedang bertempur itu. Gelapnya malam, dan gerak yang cepat cekatan, membuatnya agak ragu-ragu menghadapi orang itu. Namun kemudian ternyata Ki Lurah Branjangan lebih cepat dapat mengenali ilmu orang itu dari pada bentuk wajahnya.
"Sipakah pengawal itu Ki Lurah ?" bertanya seorang pengawal.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, "ia orang baru. He, apakah kalian belum mengenalnya. Ia bertugas di Kesatrian sejak ia diangkat menjadi pengawal beberapa hari yang lalu."
"Beberapa hari yang lalu " " seorang pengawal bertanya pula, "aku tidak mendengar bahwa baru saja ada pendadaran untuk menjadi seorang pengawal."
"Pendadaran khusus," desis Ki Lurah Branjangan.
Pengawal itu tidak bertanya lagi. Dengan tegang ia mengikuti pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit itu.
Betapa tangkas dan tinggi kemampuan Ki Tandabaya. Namun pengawal itu mampu mengimbanginya. Bahkan setiap kah masih terdengar pengawal itu tertawa sambil bergumam.
"Kau memang luar biasa Ki Sanak," berkata pengawal itu, "karena itulah maka kau memberanikan diri, memasuki halaman ini sebagai seorang pencuri. Pencuri yang membawa pasukan segelar sepapan."
"Persetan pengawal dungu," bentak Ki Tandabaya, "kau tidak mau belajar dari kenyataan. Aku dapat membunuh siapa saja yang menghajangi aku."
"Kau tidak dapat membunuh aku," desis pengawal itu.
"Aku masih mempunyai belas kasihan," geram Ki Tandabaya, "karena itu menyingkirlah, atau kau akan menjadi mayat."
"Aku adalah seorang pengawal. Aku berkewajiban menangkap setiap orang yang memasuki halaman ini dengan maksud buruk. Mencuri, merampok atau berbuat apa saja semacam itu. Karena itu, menyerahlah, agar aku dapat mengikatmu dan menyerahkan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati IngNgalaga," berkata pengawal itu.
"Anak iblis," Ki Tandabaya yang marah itu hampir berteriak, "aku bunuh kau."
"Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja. Lakukanlah jika ada kemampuan padamu. Agaknya kau terlalu sulit untuk dapat menang melawan pengawal dari Mataram. Apalagi jika kau berhadapan dengan para pemimpinnya. Kau harus menyadari, bahwa disini hadir Ki Lurah Branjangan, sehingga jika ia melibatkan diri, maka kau tidak akan sempat mengeluh lagi."
Wajah Ki Tandabaya menjadi tegang. Ia sadar, bahwa ia tentu tinggal seorang diri dilingkungan halaman rumah Raden Sutawijaya. Agaknya orang-orangnya telah salah memperhitungkan waktu, sehingga mereka telah menghentikan perlawanan mereka. Mungkin ada yang sempat melarikan diri, tetapi mungkin ada pula yang tertangkap.
Namun Ki Tandabaya tidak ingin menyerah. Meskipun ia harus berhadapan dengan siapapun. Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, "Apa peduliku dengan Ki Lurah Branjangan. Jika ia mempunyai keberanian, biarlah ia memasuki arena. Jangan sendiri, tetapi dengan pemimpin-pemimpin pengawal yang lain, termasuk Ki Juru Martani dan Senapati Ing Ngalaga sendiri."
Tetapi pengawal itu tertawa. Sangat menyakitkan hati. Katanya, "Tidak usah orang lain. Katahkan aku, pengawal Mataram dari tingkat terendah. Barangkali setingkat dengan jajar atau bahkan magang yang paling baru."
Ki Tandabaya benar-benar tersinggung. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil memutar senjatanya. Kemudian satu langkah bergeser maju dengan senjata terjulur lurus kedepan.
Tetapi lawannyapun benar tangkas dan mampu bergerak cepat, sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Dalam pada itu kemarahan Ki Tandabaya telah sampai kepuncaknya. Dalam hentakkan kekuatan dan kemampuannya, maka mulailah terasa, betapa tinggi ilmunya. Setiap sentuhan, senjata atau sentuhan apapun juga, rasa-rasanya telah dialiri panas yang menyengat tubuhnya, dengan demikian jika pengawal itu menangkis serangan senjata Ki Tandabaya, maka telapak tangannya yang menggenggam senjatanya sendiri itu rasa-rasanya menjadi panas.
Ketika mula-mula terasa oleh pengawal itu, ia terkejut. Hampir saja dengan gerak naluriah, senjata yang menyengat itu dikibaskannya. Namun ternyata kemudian bahwa hulur senjatanya sama sekali tidak panas seperti yang terasa.
"Jenis ilmu apa lagi ini," geram Pengawal itu.
"Persetan," geram Ki Tandabaya, "sebentar lagi seluruh tubuhmu akan hangus."
"Panas semu itu tidak akan dapat membakar apapun juga. Tidak akan berpengaruh atas kulitku. Jika aku menyadari, bahwa panas itu tidak sebenarnya menjalari kulitku pada aliran sentuhan apapun, maka aku tidak perlu cemas. Rasa sakit dan panas itu dapat aku abaikan, sehingga dengan demikian, perasaan itu tidak akan berpengaruh apa-apa," jawab pengawal itu.
Ki Tandabaya menggeram. Tetapi ia menyerang semakin garang. Lawannya masih merasa panas ditelapak tangannya, jika senjatanya bersentuhan dengan senjata Ki Tandabaya. Tetapi seperti yang dikatakan, panas itu hanya ada didalam perasaannya. Sama sekali tidak akan berpengaruh atas kulitnya. Demikian sentuhan itu terlepas, maka itupun telah lenyap pula tanpa meninggalkan bekas.
"Tentu berbeda dengan ilmu orang-orang Gunung Kendeng," tiba-tiba saja pengawal itu berkata, "tangan orang-orang Gunung Kendeng benar-benar bagaikan membara. Sentuhan ilmunya dapat membakar kulit. Bukan sekedar semu seperti hentakkan bumi orang-orang Pesisir Endut."
"Persetan," geram Ki Tandabaya yang marah sampai keubun-ubun.
Tetapi sebenarnya ia tidak memiliki kemampuan untuk mengimbangi ilmu pengawal yang luar biasa itu. Semakin lama semakin jelas, bahwa Ki Tahdabaya telah benar-benar terdesak.
Akhirnya Ki Tandabaya tidak mempunyai pilihan lain, kecuali berusaha dan mencoba untuk melarikan diri dari halaman itu.
Namun demikian ia meloncat surut, para pengawal yang lain, yang melihat gelagat itu, telah melingkarinya.
"Persetan," geramnya, "jangan kau sangka bahwa kalian dapat menangkap aku. Aku akan bertempur sampai aku berhasil membunuh kalian semua, atau akulah yang akan mati."
Pengawal itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja serangannya datang membadai. Senjatanya terayun deras sekali memutari tubuh lawannya. Bahkan dengan serta merta, pengawal itu telah melihat Ki Tandabaya dalam pertempuran pada jarak yang sangat dekat.
Ki Tandabaya menjadi bingung. Ternyata ilmunya tidak mempengaruhi lawannya. Meskipun pengawal itu merasa juga sentuhan panas, tetapi karena ia sadar, bahwa panas itu tidak akan berpengaruh atas wadagnya, maka ia tidak menghiraukannya lagi.
Karena itu, maka Ki Tandabaya benar-benar telah terdesak. Pada satu benturan senjata yang kuat, maka terasa tangan Ki Tandabayalah yang bergetar, bukan tangan lawannya yang disengat oleh perasaan panas.
Ki Tandabaya berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Tetapi lawannya benar-benar menggetarkan jantungnya. Ia bertempur pada jarak gapai tangannya tanpa senjata. Demikian cepatnya, sehingga Ki Tandabaya kehilangan langkah ketika pengawal itu kemudian telah melibatnya dengan tangkapan tangan.
Ki Tandabaya mengerahkan ilmunya. Ia berharap bahwa meskipun lawannya menyadari, namun perasaan panas itu akan dapat mempengaruhinya.
Tetapi dengan nada dalam ia berkata, "Perasaanku telah membeku. Aku tidak dapat dipengaruhi oleh perasaan apapun juga. Panas, dingin atau apapun juga."
Ternyata bahwa tangan pengawal itu bagaikan himpitan besi. Ternyata ia justru melepaskan senjatanya, sehingga keduanyapun kemudian telah bertempur dalam kemampuan tangkapan dan himpitan tangan.
Sambil mengumpat Ki Tandabaya yang tidak menyangka, bahwa lawannya akan bertempur dengan cara itu, benar-benar telah kehilangan akal. Apalagi ketika terasa pilinan yang kuat pada pergelangan tangannya telah membuat jari-jarinya bagaikan tidak berdaya untuk bertahan menggenggam senjata.
Namun Ki Tandabaya tidak menyerah. Ketika tangannya terpilin kebelakang, tiba-tiba saja ia menarik kakinya setengah langkah surut, justru menahan kaki lawannya. Dengan tubuhnya ia mendesak lawannya kebelakang dengan cepatnya, sehingga karena kakinya yang tertahan oleh kaki Ki Tandabaya, maka keduanya telah terjatuh ditanah.
Hentakkan itu ternyata telah berhasil mengurai tangkapan tangan lawannya, sehingga tangan Ki Tandabaya telah terlepas. Dengan tangkasnya Ki Tandabayapun meloncat berdiri. Demikian ia berhasil berdiri diatas kedua kakinya, sementara lawannyapun baru saja bangkit pula, tiba-tiba saja Ki Tandabaya telah meluncur seperti anak panah. Tubuhnya bagaikan lurus sejajar dengan kakinya yang terjulur mematuk dada lawannya.
Tetapi lawannya cukup cerdas. Ia sempat memiringkan tubuhnya. Kemudian menangkap pergelangan kaki lawannya. Dengan satu hentakkan ia berhasil, memilin kaki lawannya dan memutarnya, sehingga lawannya itupun tidak sempat menginjakkan kakinya yang tertangkap itu diatas tanah. Bahkan demikian kakinya yang lain menyentuh-tanah, dan Ki Tandabaya itu bersiap menjatuhkan diri sambil bersiap menghantam lawannya dengan kakinya yang bebas untuk melepaskan kaki yang lain, ternyata lawannya bergerak lebih cepat. Diputarnya pergelangan kaki itu demikian kerasnya, sehingga seluruh tubuh Ki Tandabayapun terputar. Dengan satu tekanan yang kuat pada punggungnya, maka Ki Tandabaya telah jatuh menelungkup. Demikian cepatnya yang terjadi, maka Ki Tandabaya tidak sempat menolong dirinya sendiri ketika kedua kakinya bagaikan terlipat, yang satu menindih yang lain, sementara tubuh lawannya telah menekan kaki itu sekuat-kuatnya.
Ki Tandabaya menggeram. Tetapi ia tidak berhasil berbuat sesuatu. Bahkan ia masih mencoba menghentakkan ilmunya untuk membakar tangan lawannya yang menyentuh tubuhnya, namun Pengawal itu sempat berkata sambil tertawa, "Sudah aku katakan. Perasaanku sudah membeku. Panas semumu tidak berarti apa-apa bagiku. Meskipun aku merasakan juga panasnya, tetapi karena kesadaranku mampu mengatasi cengengnya perasaanku, maka perasaan panas itu tidak berarti apa-apa bagiku, karena sama sekali tidak akan membawa akibat apa-apa."
Ki Tandabaya mencoba memaksa tubuhnya bergerak. Tetapi tekanan pada kakinya terasa semakin menghimpit, sehingga semakin terasa betapa sakitnya.
"Gila, licik. Kau tidak bertempur dengan jantan, beradu dada untuk menentukan siapa yang akan mati," geram Ki Tandabaya yang masih mencoba meronta tetapi tidak berhasil.
"Aku tidak ingin berperang tanding sampai salah seorang dari kita mati. Aku hanya menjalankan tugasku, sebagai seorang pengawal untuk menangkap seseorang yang memasuki halaman ini dengan cara yang tidak wajar dan untuk maksud-maksud yang sangat buruk," jawab pengawal itu.
"Persetan. Lepaskan, dan kita akan bertempur dengan senjata," Ki Tandabaya hampir berteriak.
"Jangan gila. Dengan susah payah aku menangkapmu, bagaimana mungkin aku melepaskanmu," jawab pengawal itu.
Ki Tandabaya tidak berkata apapun lagi. Ia menyadari bahwa kata-katanya tidak akan berarti lagi bagi pengawal yang keras kepala itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terasa oleh Ki Tandabaya tangan pengawal itu menyusuri urat-urat kakinya diatas tumitnya. Betapa terkejutnya Ki Tandabaya yang sudah tidak berdaya itu. Sekali lagi ia menghentakkan kekuatan dan ilmunya. Namun sia-sia, tangan orang yang menyebut dirinya pengawal itu telah menekan jalur urat nadinya dan menelusurinya lambat-lambat.
Terasa kaki Ki Tandabaya itu semakin lama semakin lemah. Bahkan kemudian terasa kakinya itu sudah tidak berdaya lagi.
"Anak iblis," ia berteriak.
Tetapi pengawal itu sama sekali tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan dilepaskannya kaki Ki Tandabaya, sehingga akhirnya dilepaskannya sama sekali.
Namun demikian pengawal itu berdiri, Ki Tandabaya telah berguling. Dengan hentakkan sisa kekuatannya ia bangkit. Kakinya masih saja tidak berdaya sama sekali. Namun dengan cepat tangannya menggapai urat-urat diatas tumitnya. Iapun memiliki pengetahuan seperti pengawal itu, yang dapat melumpuhkan, tetapi juga memulihkan kembali kekuatan dengan tekanan-tekanan pada urat nadi.
Tetapi pengawal itu lebih tangkas. Demikian tangan Ki Tandabaya terjulur, maka iapun dengan tangkasnya menangkap tangan itu. Satu tekanan dibawah ketiaknya, membuat tangan itu tidak berdaya sama sekali. Sementara tangannya yang lainpun kemudian rasa-rasanya telah dilumpuhkannya pula.
"Ki Sanak," berkata pengawal itu, "aku tahu, kau tentu memiliki pengetahuan ini pula, karena pengetahuan ini memang bukan ilmu yang luar biasa. Banyak orang yang dapat melakukannya, termasuk kau. Tetapi agaknya aku lebih cepat melakukannya, sehingga dengan demikian, maka kaki dan tanganmu tidak akan berdaya lagi. Karena itu, maka biarlah aku serahkan kau kepada Ki Lurah Branjangan yang akan menahanmu, sambil menunggu Raden Sutawijaya kembali dari pesanggrahannya."
"Gila, licik. Bunuh aku," teriak Ki Tandabaya. Tetapi pengawal itu tidak menjawab. Katanya kemudian, "Biarlah Raden Sutawijaya yang mengadilimu. Kaupun tentu tahu, bahwa tekanan pada urat nadimu itu pada saatnya akan mengendor dengan sendirinya, dan kau akan terlepas karenanya."
"Anak setan," Ki Tandabaya masih berteriak.
Tetapi pengawal itu tidak menjawab. Perlahan-lahan ia berdiri. Kemudian ia menggapai senjatanya. Memasukkan kedalam sarungnya, kemudian, yang mengejutkan orang-orang yang mengitarinya, pengawal itu telah meloncat keatas dinding. Ketika ia siap meloncat turun keluar, ia masih sempat berkata, "Aku mempunyai tugas yang lain. Aku telah meninggalkan garduku. Mudah-mudahan aku tidak dianggap bersalah oleh peinimpin kelompokku."
Tidak seorangpun sempat menjawab. Orang itupun segera menghilang dibalik dinding.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ialah yang harus mengurusi tawanan itu. Karena itu, maka katanya kemudian, "Bawa tawanan ini masuk. Aku akan mengikatnya dengan janget yang tidak akan mungkin diputuskannya. Janget berangkap tiga. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi ia kehilangan kekuatannya."
Ki Tandabaya benar-benar sudah tidak berdaya. Meskipun ia masih mampu berteriak dan membentak-bentak, tetapi kekuatannya telah jauh susut, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa, ketika para pengawal dari Mataram itu membawanya kesebuah ruang tertutup yang rapat. Bahkan sampai kerangka atapnyapun dibuat demikian kuat dan rapat.
Ki Tandabaya yang kemudian dibaringkan pada sebuah amben bambu masih saja mengumpat-umpat. Namun para pengawal dan Ki Lurah Branjangan seolah-olah tidak mendengarnya sama sekali. Bahkan iapun kemudian ditinggalkannya seorang diri. Dari pembaringannya Ki Lurah mendengar selarak yang berat telah menahan pintu biliknya itu.
Sambil berbaring, Ki Tandabaya memperhatikan bilik itu. Rasa-rasanya mirip seperti bilik yang dapat dilihatnya dari atas atap ketika ia mencari Ki Lurah Pringgabaya.
"Ternyata ada beberapa bilik seperti ini dirumah ini," katanya didalam hati.
Namun bagaimanapun juga, hatinya masih saja mengumpat-umpat. Justru ia sendiri telah tertangkap di Mataram dan dimasukkan kedalam sebuah bilik, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Mataram terhadap Ki Lurah Pringgabaya. Apalagi untuk beberapa saat ia masih harus berbaring diam karena tangan dan kakinya terasa seolah-olah lumpuh karenanya.
"Gila," geramnya, "dan Branjangan telah mengancamku untuk mengikat tangan dan kakiku dengan janget rangkap ganda."
Tetapi ternyata Ki Lurah Branjangan tidak datang untuk mengikat tangan dan kakinya. Meskipun dengan demikian Ki Tandabaya merasa bahwa orang-orang Mataram tentu menganggap bahwa bilik itu cukup kuat untuk menahannya, atau mungkin para pengawal yang dapat dipereaya telah ditugaskan diluar bilik itu.
Namun bagaimanapun juga, yang terjadi itu benar-benar telah memanaskan hatinya. Ia lebih senang dibunuh saja oleh para pengawal daripada ia harus berada didalam bilik tahanan.
"Raden Sutawijaya telah mempersilahkan beberapa orang pemimpin prajurit Pajang untuk datang melihat keadaan Ki Lurah Pringgabaya. Jika para pemimpin itu datang, agaknya orang-orang Mataram akan mempersilahkan mereka menemui aku juga," geram Ki Tandabaya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menunggu dengan jantung yang berdebaran, apa yang akan terjadi atasnya.
Meskipun demikian ia rnasih sempat menilai betapa seorang pengawal dari Mataram itu dapat mengalahkannya. Bahkan nampaknya dengan mudah. Pengawal itu tidak perlu menghentakkan segenap kemampuannya, bertempur dengan nafas yang memburu dan keringat yang seperti diperas. Tidak pula sampai susut kemampuannya sampai saat terakhir ia berhasil menangkapnya.
"Gila," geramnya berulang kali. Namun ia tak dapat mengingkari kenyataan bahwa dirinya benar-benar terbaring lemah didalam sebuah bilik yang terbuat dari kayu yang tebal dan kuat. Tentu dijaga oleh para pengawal pilihan pula.
Terbersit didalam ingatannya, bagaimana dengan orang-orangnya. Bagaimana dengan Dugul dan kawan-kawannya.
"Agaknya sebagian dari mereka berhasil melarikan diri," berkata Ki Tandabaya kepada diri sendiri.
Sebenarnyalah pada saat itu, ditempat yang lain, beberapa orang pengikut Ki Tandabaya telah tertangkap pula. Tetapi sebagian dari mereka benar-benar telah sempat melarikan diri. Diantara mereka yang selamat adalah justru Dugul sendiri.
Dalam pada itu, dengan sekuat tenaganya Dugul tengah melarikan diri menjauhi rumah Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga itu menuju ketempat yang menjadi tempat persembunyiannya selama ia berada di Mataram.
Demikian ia sampai kerumah itu, maka iapun segera bersiap-siap meninggalkan Mataram. Dibenahinya kudanya dan dipersiapkannya bekal yang akan dibawanya, terutama senjata yang akan dapat dipergunakannya menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang paling buruk. Beberapa buah pisau belati yang akan dapat dilontarkannya jika diperlukan.
Ketika ia sudah hampir siap, maka beberapa orang kawannyapun telah berdatangan. Merekapun segera mempersiapkan diri pula untuk meninggalkan Mataram.
"Kita jangan pergi bersama-sama," berkata Dugul, "tentu akan sangat menarik perhatian, justru pada saat seperti ini."
"Jadi ?" bertanya kawannya, "apakah kita harus keluar seorang demi seorang ?"
Selagi mereka berbincang, maka seorang pengikut Ki Tandabaya yang dianggap sebagai orang yang paling berpengalaman, yang datang kemudian berkata, "Jangan bodoh. Pada saat seperti ini, para pengawal tentu sudah disebar. Semua pintu gerbang dan jalan keluar tentu sudah dijaga ketat. Pengawal Mataram mampu bergerak cepat."
"Kita harus menghindarkan diri dari buruan para pengawal," jawab Dugul.
"Tentu jangan sekarang," sahut kawannya itu, "kita lebih baik bersembunyi disini. Tidak ada yang mengetahuinya. Tetapi sebaiknya kita tidak berada diluar meskipun dikebun belakang."
"Apakah sebaiknya kita menunggu sampai besok pagi ?" bertanya yang lain.
"Itu lebih baik. Disiang hari, tidak banyak yang akan tertarik kepada seorang berkuda. Nah, besok, kita akan pergi, seorang demi seorang."
Dugul termangu-mangu. Ia masih mencemaskan kemungkinan pasukan pengawal akan mencari mereka malam itu juga disetiap pintu rumah. Tetapi kawannya berkata, "Kita lebih aman tinggal dirumah ini daripada kita berada di jalan-jalan, karena para pengawal tentu akan berkeliaran."
Dugulpun mengurungkan niatnya. Mereka memasukkan kuda mereka kembali kekandang dan yang lain disembunyikan dilongkangan, agar jumlah kuda yang terlalu banyak itu tidak akan menumbuhkan kecurigaan pula.
Ternyata pemilik rumah yang memang sudah menyerahkan tempat tinggalnya untuk kepentingan orang-orang Pajang itupun tidak berkeberatan. Katanya, "Kita sudah melakukannya dengan sadar. Kita tidak perlu mencemaskan akibat yang dapat terjadi atas kita."
Para pengikut Ki Tandabaya itu mengangguk-angguk. Mereka merasa bahwa pemilik rumah yang sejak sebelumnya sudah dikenal oleh Ki Tandabaya itu agaknya merasa ikut bertanggung jawab.
Namun demikian, salah seorang dari para pengikut Ki Tandabaya itu masih tetap gelisah. Katanya kemudian sambil berbisik kepada Dugul, "Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang tertangkap " Apakah mereka tidak akan menyebutkan tempat tinggal kita disini ?"
Dugul masih juga bimbang. Namun pemilik rumah yang mendengar juga desis salah seorang pengikut Ki Tandabaya itu berkata, "Jika mereka merasa bertanggung jawab, maka mereka tidak tahan mengalami tekanan. Tetapi aku kira pemeriksaan itu tidak akan segera berlangsung malam ini. Yang akan dilakukan oleh orang-orang Mataram tentu menutup semua jalan keluar dan mengadakan pengawasan keliling dengan peronda-peronda khusus."
Dugul mengangguk-angguk. Agaknya pendapat pemilik rumah itupun dapat dibenarkannya. Karena orang itu adalah kawan Ki Tandabaya, atau orang yang memang sudah dikenalnya, maka agaknya ia akan membantu sejauh dapat dilakukannya.
Karena itu, maka para pengikut Ki Tandabaya itupun mencoba untuk menenangkan dirinya didalam rumah itu.
Tetapi rasa-rasanya hati mereka tidak dapat tenang. Mereka bagaikan duduk diatas bara. Rasa-rasanya mereka telah dibayangi oleh para pengawal dari Mataram.
"Apakah kita dapat berada ditempat lain," tiba-tiba saja Dugul bertanya kepada pemilik rumah itu.
"Dimana " " pemilik rumah itu justru bertanya.
"Mungkin kau dapat menunjukkan," desis Dugul.
Pemilik rumah itu menggeleng sambil berdesis, "Aku tidak tahu, apakah ada tempat yang lebih baik bagi kalian. Tetapi diluar, kalian tentu akan menjadi lebih berbahaya. Para pengawal tentu sedang meronda sekeliling kota."
Memang tidak ada yang aman bagi mereka. Jika mereka ingin keluar lingkungan Mataram, mereka tentu tidak akan dapat menembus penjagaan para pengawal yang kuat disetiap pintu dan jalan betapapun kecilnya. Agaknya perintah untuk menutup semua jalur jalan itu tentu sudah jatuh segera setelah peristiwa di rumah Raden Sutawijaya itu terjadi. Bahkan mungkin sebelumnya, karena agaknya kedatangan Ki Tandabaya dan para pengikutnya memang sudah diketahui sebelumnya.
Dalam kegelisahan, para pengikut Ki Tandabaya itu berkumpul dengan senjata ditangan mereka. Mereka merasa seolah-olah setiap saat rumah itu akan diserang oleh para pengawal yang mendapat petunjuk dari kawan-kawan mereka yang telah tertangkap.
Namun demikian, ada juga pengikut Ki Tandabaya itu yang sempat berbaring diamben bambu yang besar dan tidur mendekur, seolah-olah tidak menghiraukan apa saja yang akan terjadi atas mereka.
Ternyata malam itu mereka tidak diusik oleh keadaan. Mereka dapat beristirahat sampai fajar menyingsing, meskipun ada satu dua diantara mereka yang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali, disamping mereka yang memang mendapat giliran berjaga-jaga.
Ketika terdengar ayam berkokok menjelang pagi, rasa-rasanya hati mereka telah dibasahi oleh embun yang sejuk setelah semalaman dibakar oleh panasnya api kegelisahan.
Dugul yang termasuk salah seorang diantara mereka yang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali, meskipun ia tidak mendapat giliran untuk berjaga-jaga, adalah orang yang pertama-tama berbicara diantara mereka yang dicengkam oleh ketegangan, "Sebentar lagi matahari akan terbit. Kita akan meninggalkan rumah ini, seorang demi seorang. Kita akan memencar menuju kearah yang berbeda. Kita akan keluar dari kota lewat jalan yang tidak sama, agar kita sama sekali tidak menarik perhatian. Disiang hari, maka kita tentu bukan satu-satunya orang berkuda yang keluar dari pintu gerbang dan mungkin juga jalan-jalan sempit yang lain. Meskipun tentu masih ada pengawasan ketat, tetapi kalian harus mempergunakan akal."
"Jika kita masih belum mungkin keluar ?" bertanya salah seorang diantara mereka.
"Jika perlu kita akan keluar dengan berjalan kaki. Apa salahnya kita kembali ke Pajang sambil berjalan, tetapi menjamin keselamatan kita masing-masing, daripada berkuda tetapi dipintu gerbang kita ditunggu oleh para pengawal," berkata Dugul.
Namun orang yang dianggap paling berpengalaman itu berkata, "Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Kita harus melihat keadaan. Dua orang diantara kita, jika perlu aku sendiri, akan melihat-lihat suasana. Baru kita mengambil keputusan, apakah kita akan keluar dari Mataram atau kita masih harus menunggu " Apakah kita akan berkuda atau berjalan kaki."
"Sejenak lagi, matahari akan terbit. Kita akan bersiap-siap," berkata Dugul kemudian.
Kawan-kawannyapun kemudian mengemasi diri. Mereka yang masih tidur dengan nyenyak, telah mereka bangunkan. Sementara pengikut Ki Tandabaya yang dianggap paling berpengalaman itu berkata, "Aku akan mandi. Siapa yang akan ikut bersamaku, cepat mengemasi diri. Dengan rapi kita akan turun ke jalan, sehingga kita tidak akan berbeda dengan orang-orang lain yang berada di jalan-jalan."
Dugullah yang menyahut, "Aku pergi bersamamu."
Kedua orang itupun kemudian pergi ke ruang belakang. Mereka akan keluar lewat pintu butulan untuk pergi ke pakiwan.
Namun mereka telah menjumpai keadaan yang sama sekali tidak mereka duga. Demikian mereka membuka pintu butulan, maka mereka telah dikejutkan oleh penglihatan mereka. Dengan serta merta mereka telah menutup pintu kembali. Ternyata di kebun, diujung longkangan mereka melihat dua orang pengawal berjaga-jaga.
"Gila," geram Dugul, "apa sebenarnya yang telah terjadi ?"
Pengikut Ki Tandabaya yang paling berpengalaman itu berkata, "Kita dihadapkan satu keadaan yang paling gawat sekarang ini. Marilah kita lihat, apakah ada juga pengawal ditempat lain."
Kedua orang itupun kemudian melintas kebagian lain dari rumah itu. Merekapun dengan hati-hati mendekati pintu butulan pula. Dengan sangat berhati-hati mereka mencoba mengintip lewat pintu yang dibukanya sedikit.
"Gila," geram kawan Dugul, "kita sudah dikepung. Siapakah yang telah berkhianat ini ?"
Dugul menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak ada yang berkhianat. Tetapi bukankah sudah wajar, bahwa kawan-kawan kita yang tertangkap itu akan mengatakan dimana kita bersembunyi " Tentu bukan hanya tempat ini saja yang dikepung. Persembunyian kawan-kawan kita yang satu lagi tentu sudah dikepung pula."
"Tidak ada lagi yang disana. Semuanya berada disini," jawab kawan Dugul. Lalu, "Ternyata akulah yang salah hitung. Jika semalam kita keluar, mungkin kita akan mengalami keadaan yang berbeda."
"Sudahlah. Kita tidak usah saling menyalahkan. Jika kalian semalam mengikuti aku keluar dari rumah ini, mungkin semalam kita sudah tertangkap," sahut Dugul
"sekarang, bagaimana kita akan menghadapi mereka."
"Kita beritahu kawan-kawan," berkata kawan Dugul itu, seseorang yang dianggap paling berpengalaman diantara para pengikut Ki Tandabaya yang tersisa.
"Mungkin kita tidak mempunyai cara lain, kecuali harus bertempur dengan sisa tenaga kami yang terakhir."
Dugul tidak menjawab lagi. Keduanyapun kemudian meninggalkan pintu butulan yang sudah menjadi rapat kembali.
Kawan-kawan Dugul terkejut dan mendengar keterangan itu. Seorang diantara mereka berkata dengan gelisah. "Kenapa kita tidak pergi semalam saja " Kita terkurung sekarang."
"Namun justru karena kita tidak pergi semalam, kita masih dapat beristirahat barang sejenak. Karena jika kita keluar semalam, kita tentu sudah mati juga pagi ini, maka umur kita sudah bertambah sepanjang akhir malam ini." jawab Dugul.
Kawan-kawannya menarik nafas. Tetapi merekapun segera mengemasi diri. Memang tidak ada jalan lain kecuali bertempur.
Orang yang dianggap paling berpengalaman itupun segera membagi kawan-kawannya yang tersisa. Hanya beberapa orang saja yang tentu tidak akan banyak berarti bagi para pengawal Mataram. Namun mereka yang tinggal beberapa itu, tidak akan membiarkan tangan mereka diikat tanpa berbuat sesuatu.
Demikianlah, maka sisa para pengikut Ki Tandabaya itupun telah bersiap sepenuhnya. Dugul yang berada diruang depan menghadap kepringgitan itupun berusaha untuk mengintip dari celah-celah dinding. Ternyata di halaman depan rumah itupun terdapat beberapa orang pengawal yang sudah bersiaga.
"Gila," geram Dugul, "dimana pemilik rumah ini.
Kawan-kawannyapun kemudian saling bertanya, "Dimana pemilik rumah ini, yang selama kita berada dirumah ini, bersikap sangat baik dan membantu segala keperluan kita sesuai dengan permintaan Ki Tandabaya."
Tetapi orang-orang itu tidak melihatnya lagi diantara mereka. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang itu menjadi cemas. Mungkin pemilik rumah itu justru sudah tertangkap ketika ia berada diluar, atau di jalan dimuka rumahnya itu.
"Ia kawan baik Ki Tandabaya. Bahkan masih ada hubungan sanak-kadang," berkata salah seorang dari mereka.
"Tetapi ia menyadari sepenuhnya, apa yang sedang dihadapinya." sahut yang lain, "ia tidak akan ingkar, jika akibat yang paling buruk itu menimpanya. Nampaknya ia bukan sekedar orang yang menerima upah dari Ki Tandabaya, tetapi ia menyadari sepenuhnya arti dari perbuatannya."
"Mungkin kesadarannya jauh lebih baik dari kita," berkata Dugul, "setidak-tidaknya aku sendiri. Aku lebih mementingkan kepentinganku sendiri dalam hal ini."
Kawan-kawannya tidak menyahut. Bahkan merekapun seakan-akan harus melihat kepada diri sendiri, apakah yang telah mendorong mereka melakukan semuanya itu, mempertaruhkan dirinya dan bahkan segala-galanya.
Tetapi mereka tidak sempat merenung lebih lama lagi. Merekapun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Namun agaknya para pengawal Mataram masih saja menunggu. Mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu. Satu dua orang berjalan hilir mudik dihalaman, sementara yang lain berdiri dalam kelompok-kelompok kecil. Dua atau tiga orang ditempat yang terpencar.
"Gila," geram Dugul, "kenapa mereka tidak langsung menyerang dengan memasuki rumah ini ?"
Kawannya yang berada disisinyapun menyahut, "Mereka memang orang-orang gila. Apakah keuntungan mereka dengan berdiri saja disana tanpa berbuat sesuatu " Mereka hanya membuang-buang waktu saja."
"Ternyata mereka adalah pengecut yang paling licik," Dugul menggeretakkan giginya.
Tetapi para pengawal itu masih tetap berada ditempatnya. Hanya satu dua saja yang masih tetap berjalan hilir mudik.
Akhirnya orang yang dianggap paling berpengalaman diantara sisa-sisa pengikut Ki Tandabaya itu tidak sabar lagi. Ketika cahaya matahari sudah mulai menembus lubang-lubang dinding bambu, maka iapun berteriak dibelakang pintu pringgitan, "He, orang-orang Mataram. Apa kerjamu disitu he ?"
Suara itu telah menarik perhatian. Para pengawal itupun kemudian beringsut dan menempatkan dirinya dalam kepungan yang lebih rapat. Salah seorang dari mereka berdiri dihalaman menghadap kependapa. Sejenak ia memperhatikan keadaan. Namun kemudian pengawal itu berkata lantang, "Ki Sanak. Kami tahu Ki Sanak ada didalam. Karena itu, sebaiknya Ki Sanak keluar saja. Kita dapat berbicara dengan baik tanpa menarik senjata kita dari sarungnya."
"Persetan," jawab pengikut Ki Tandabaya itu, "senjataku sudah terlanjur telanjang. Kami akan membunuh setiap orang yang berani mengusik kami."
Jawaban itu telah menggetarkan jantung setiap pengawal yang mendengarnya. Namun mereka masih tetap menahan diri. Pemimpin pengawal yang berdiri di halaman itu masih tetap berpegang kepada satu niat untuk menangkap mereka tanpa menitikkan darah.
Karena itu, maka pemimpin pengawal itupun kemudian berkata, "Ki Sanak, Kami tentu berkeberatan untuk memasuki rumah itu, karena dengan demikian keadaan kalian akan lebih menguntungkan, sementara kami tidak mengetahui iumlah kalian seluruhnya, maka kami akan dapat mengambil jalan lain. Kami dapat menunggu sampai kalian menjadi jemu. Mungkin justru kelaparan atau kehausan. Tetapi jika kamilah yang tidak sabar lagi, maka kami akan dapat membakar saja rumah itu. Kalian akan terpaksa memilih, keluar dari rumah itu, atau mati hangus menjadi abu."
"Licik, pengecut, tidak tahu malu," geram Dugul, "kami yang kalian buru itupun masih memiliki kejantanan. Kami akan bertempur sampai orang kami yang terakhir.
"Itulah yang akan kami hindari," sahut pemimpin pengawal itu, "kenapa kita harus saling membunuh. Bukankah akhir dari perkelahian yang akan timbul itu sudah dapat kita perhitungkan ?"
"Jangan sombong," geram Dugul, "kalian akan mengorbankan orang terlalu banyak untuk kesombongan kalian."
"Tetapi bukankah dengan demikian berarti bahwa kalian akan tumpas sampai orang terakhir?" bertanya pemimpin pengawal itu, "Sebaiknya tidak usah demikian. Kalian menyerah dan kalian akan kami bawa dengan baik menghadap Raden Sutawijaya yang hari ini sudah disusul kepasanggrahannya."
"Aku tidak peduli. Kami sudah siap untuk mati bersama sejumlah kawan-kawanmu. Bahkan mungkin semua pengawal yang ada disini sekarang," jawab pengikut Tandabaya itu.
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Cobalah berpikir. Aku akan memberimu waktu barang sejenak."
"Aku sudah berpikir dengan masak. Aku tidak perlu waktu lagi. Jika kalian akan bertindak atas kami, cepat, lakukanlah," teriak pengikut Ki Tandabaya yang marah itu.
Tetapi pemimpin pengawal itu masih menyahut sareh, "Aku tidak tergesa-gesa. Aku akan menunggu sampai kalian sempat melakukannya."
"Tidak. Tidak perlu," pengikut Ki Tandabaya itu berteriak semakin keras, "sekarang lakukan."
"Kenapa kalian justru memerintah kami " " pengawal itu bertanya, dan pertanyaan itu membuat pengikut Ki Tandabaya semakin marah, sehingga ia berteriak pula, "Gila. pengecut, licik."
Tetapi pengawal itu justru tertawa. Katanya, "jangan mengumpat-umpat. Yang aku kehendaki, kalian keluar dari rumah itu. Kita dapat berbicara dengan baik, sehingga rnasalah yang kita hadapi ini akan dapat kita selesaikan dengan baik."
Pengikut itu masih akan berteriak lagi. Tetapi ternyata Dugul masih sempat mencegahnya. Katanya, "Jangan terpancing. Kita harus tetap menguasai diri. Jika kita kehilangan nalar, maka itu akan sangat berbahaya bagi kita."
Pengikut Ki Tandabaya yang dianggap paling berpengalaman itu memandang Dugul dengan tegang. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, "Kau benar Dugul. Orang-orang Mataram memang memancing kemarahanku."
"Karena itu, biarlah mereka menunggu. Biarlah mereka yang menjadi jemu," berkata Dugul pula, "jika mereka menyerbu masuk, maka kita akan mendapat kesempatan lebih baik pada benturan pertama, sehingga meskipun kita harus mati, tetapi jumlah lawan yang akan mati bersama kita tentu cukup banyak."
Pengikut Ki Tandabaya yang dianggap paling berpengalaman itu mengangguk-angguk.
Tetapi para pengikut yang lain, yang berjaga-jaga dipintu-pintu yang lain dan dipintu butulan, menjadi tidak sabar. Karena itu, maka Dugulpun mendatangi mereka satu persatu dan menjelaskan masalahnya.
"Sampai kapan kita harus bersabar ?" bertanya salah seorang pengikut itu.
"Sampai orang-orang Mataram kehabisan kesabaran," jawab Dugul.
"Aku tidak dapat menahan diri lagi," geram yang lain.
"Kematianmu akan sia-sia. Sebaiknya kalian menunggu dipintu. Kalian membunuh orang yang akan memasuki rumah ini sebelum kalian akan mati," jawab Dugul.
Para pengikut Ki Tandabaya itu mencoba untuk menahan hati. Namun rupa rupanya waktu telah mencengkam mereka sehingga mereka menjadi hampir gila karenanya.
Sementara itu para pengawal dari Mataram itu masih saja berjalan hilir mudik dihalaman. Beberapa orang yang lain, berdiri tegak mengawasi pintu-pintu yang tertutup. Sementara beberapa orang berada dipintu gerbang.
"Mereka tidak berbuat apa-apa," geram salah seorang pengikut Ki Tandabaya.
"Aku tidak sabar. Aku akan menyerang mereka," desis yang lain.
"Apakah kau akan membunuh diri ?" bertanya Dugul.
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ketegangan benar-benar telah mencengkamnya.
Sementara itu, pengikut Ki Tandabaya yang paling berpengalaman itu masih bertanya, "Dimana pemilik rumah ini" Apakah ia sudah tertangkap ketika ia berada diluar rumah ?"
Tidak seorangpun yang dapat menjawab. Namun pemilik rumah itu memang tidak ada diantara mereka, sementara dirumah itu memang tidak ada anggauta keluarganya yang lain, selama rumah itu dipergunakan sebagai tempat persembunyian para pengikut Ki Tandabaya.
Ketegangan yang semakin memuncak telah mencengkam rumah itu. Rasa-rasanya udara didalam rumah itu menjadi semakin lama semakin panas. Sementara darah para pengikut Ki Tandabaya itupun bagaikan telah mendidih.
Apalagi karena para pengawal Mataram itu nampaknya sama sekali tidak menghiraukan waktu.
Untuk beberapa saat lamanya, para pengikut Ki Tandabaya itu masih dapat menahan hati. Namun semakin lama darah mereka semakin memanasi jantung, sehingga akhirnya Dugul sendiri menjadi tidak sabar.
"Orang-orang Mataram memang gila," geram Dugul. Dan tiba-tiba saja ia telah berteriak, "He, orang orang Mataram. Kenapa kalian begitu pengecut dan penakut" Kenapa kalian tidak berani memasuki rumah ini jika kalian ingin menangkap kami."
Tetapi jawaban orang-orang Mataram itu benar-benar menyakitkan hati. Pemimpin pengawal itupun kemudian berkata, "Kami tidak tergesa-gesa. Bahkan mungkin hari ini Raden Sutawijaya masih belum dapat kembali karena ia sedang sibuk dengan kuda barunya. Mungkin sehari dua hari lagi ia baru pulang. Nah, pada saat itu, baru kami merasa tergesa-gesa."
"Gila. Itu adalah sikap yang gila," teriak seorang pengikut Ki Tandabaya.
"Mungkin. Mungkin sekali kami sudah gila. Tetapi sebenarnyalah kami menunggu kalian sempat berpikir bening, sehingga kalian akan menyerah tanpa setetes darahpun yang akan menitik dibumi Mataram."
"Persetan geram Dugul sampai tengah hari. Jika kalian tidak bertindak, maka kami akan keluar dari rumah ini dan membunuh siapa saja yang kami jumpai. Bukan hanya kalian para pengawal, tetapi juga orang-orang yang tinggal disekitar rumah ini."
"Orang-orang yang berputus asa memang dapat berbuat apa saja," jawab pemimpin pengawal itu, "kadang-kadang yang tidak terduga-duga sama sekali. Tetapi bukankah kalian tidak sedang berputus asa " Aku kira kalian masih tetap menyadari keadaan kalian sepenuhnya."
"Anak setan," seorang pengikut yang lain berteriak. Rasa-rasanya dadanya bagaikan retak oleh kemarahan yang menghentak-hentak.
Kesabaran para pengikut Ki Tandabaya itu sudah tidak tertahankan lagi. Meskipun demikian mereka masih menunggu sampai tengah hari atas permintaan Dugul.
"Kitalah yang kehilangan waktu," geram kawannya, "jika kami semakin banyak pengawal yang datang, maka kesempatan akan tertutup sama sekali."
Tetap mereka masih tetap menunggu. Dugul masih mencoba untuk membakar hati para pengawal dan memancingnya memasuki rumah itu. Namun usahanya sama sekali tidak berhasil. Bahkan satu dua orang pengawal justru sempat duduk diregol dan disudut halaman depan, pintu-pintu butulan.
Namun akhirnya sampai juga kebatas waktu yang ditentukan oleh Dugul, setelah sebelumnya mereka sempat makan apa saja yang terdapat dirumah itu, untuk mengisi perut mereka yang mulai terasa lapar. Dengan demikian, maka rasa-rasanya mereka telah mendapatkan kekuatan baru untuk melawan para pengawal yang mereka anggap licik dan tidak jantan itu."
Karena itu, ketika matahari kemudian sudah memanjat sampai kepuncak langit, maka orang-orang didalam rumah itu sudah tidak sabar lagi. Bahkan orang yang dianggap paling berpengalaman dari sisa para pengikut Ki Tandabaya itupun kemudian berkata, "Kitalah yang akan mengambil langkah. Kita tidak mau diombang-ambingkan oleh perasaan gelisah. Mereka dengan sengaja ingin melumpuhkan kemauan kita menghadapi perlawanan mereka."
"Baiklah," berkata Dugul, "kita akan mulai."
Orang-orang yang berada didalam rumah itupun segera mempersiapkan diri. Ketika mereka sampai kepada perhitungan untuk menyerang, maka mereka tidak lagi memencar lewat pintu butulan dan pintu pringgitan. Tetapi mereka memperhitungkan kemungkinan yang paling lemah dari kepungan orang-orang Mataram itu.
"Kita akan keluar lewat butulan disamping dapur. Mereka nampaknya tidak terlalu banyak menghiraukan butulan itu. Jika kita sempat dengan tiba-tiba menyerang mereka, maka masih ada kemungkinan dari kita, meskipun mungkin tidak seluruhnya, keluar dari halaman rumah ini. Mungkin kita harus berlari-larian menyusup jalan-jalan yang belum kita kuasai. Mungkin para pengawal akan memukul isyarat kentongan dan orang-orang padukuhan akan mengejar kita seperti mengejar tupai," berkata pengikut Ki Tandabaya yang berpengalaman itu.
Dugul menjadi ragu-ragu. Desisnya, "Memang lebih mudah malam hari. Dan aku sudah menyia-nyiakan waktu yang lebih baik itu. Jika saja semalam aku berpikir untuk keluar tanpa seekor kuda."
"Sudahlah," potong pengikut Ki Tandabaya itu, "kita akan menyerang mereka dan menghadapi setiap kemungkinan yang akan dapat terjadi atas kita. Mungkin kita akan dicincang oleh orang-orang padukuhan. Namun dengan senjata ditangan, kita akan mendapat kawan dari antara mereka untuk mengarungi batas dengan maut."
Akhirnya, para pengikut itu telah mengambil satu sikap. Merekapun segera bersiap justru disatu pintu.
Dugul yang berada dipaling depan berdiri tegak dengan pedang ditangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang selarak pintu butulan itu. Kemudian dengan suara parau ia mulai menghitung, "Satu, dua, tiga."
Demikian mulutnya berhenti, maka selarak itupun telah terlempar sehingga pintupun segera terbuka. Dengan serta merta, maka para pengikut Ki Tandabaya itupun segera berloncatan turun lewat pintu butulan itu.
Dalam pada itu, ternyata hanya ada dua orang pengawal yang mengawasi pintu butulan itu. Namun demikian pintu itu terbuka, dan beberapa orang berloncatan, terdengar salah seorang dari kedua pengawal itu bersuit nyaring.
Alangkah marahnya para pengikut Ki Tandabaya itu. Demikian mereka mencapai kedua orang itu, maka beberapa orang pengawal telah berlari-larian mendekati kedua orang kawannya itu.
Karena itulah, maka usaha mereka untuk langsung melarikan diri meloncati dinding kebun itupun tidak dapat mereka lakukan. Ternyata tidak jauh dari kedua orang itu, terdapat beberapa orang pengawal yang lain.
Dalam sekejap kemudian, maka terjadilah pertempuran yang keras dan kasar. Para pengikut Ki Tandabaya yang marah itu sama sekali tidak berusaha mengekang diri lagi. Mereka tidak sempat lagi memikirkan, apa yang sebaiknya mereka lakukan menghadapi masalah yang gawat bagi keselamatan mereka itu.
Untuk beberapa saat, beberapa orang pengawal yang lain masih tetap berada ditempatnya. Mereka harus berhati-hati, apabila masih ada beberapa orang yang berada didalam.
Namun dalam pada itu, karena pertempuran sudah mulai menyala, maka pemimpin pengawal yang berada dihalaman depan, segera membawa beberapa orang pengawal yang lain untuk memasuki rumah itu.
Dengan hati-hati mereka mendekati pintu pringgitan. Kemudian dengan keras mereka memaksa membuka pintu itu. Ternyata selarak pintu yang sengaja dipasang oleh para pengikut Ki Tandabaya sebelum mereka meninggalkan tempat itu, telah dapat dipatahkan. Dengan serta merta, pemimpin pengawal itupun segera meloncat masuk dengan pedang terjulur kedepan, diikuti oleh tiga orang pengawal.
Namun mereka tidak menemukan seseorang. Karena itu. maka merekapun segera melihat seluruh ruangan yang ada didalam rumah itu, yang ternyata telah menjadi kosong.
Dengan demikian, maka merekapun segera berlari-larian keluar lewat pintu butulan, menyusul para pengikut Ki Tandabaya yang telah lebih dahulu meninggalkan rumah itu.
Sementara itu, para pengikut Ki Tandabaya itu masih bertempur di halaman belakang. Ternyata bahwa semakin lama, para pengawal yang datang mengepung mereka menjadi semakin banyak. Apalagi ketika pemimpin pengawal itu memberitahukan, bahwa rumah itu telah kosong.
"Tetapi jangan lengah," berkata pemimpin pengawal itu, "sebagian dari kalian harus tetap mengamati keadaan."
Meskipun beberapa orang berada disekitar rumah itu, tetapi ternyata jumlah para pengawal yang mengepung para pengikut Ki Tandabaya itu sudah terlalu banyak, sehingga para pengikut Ki Tandabaya itu seolah-olah sudah tidak mempunyai ruang gerak lagi. Namun demikian mereka masih tetap bertempur seperti orang kehilangan ingatan. Dugul mengamuk seperti orang kerasukan iblis. Sementara kawannya yang lainpun seakan-akan tidak lagi menyadari, apa yang telah terjadi. Perasaan putus asa telah membuat mereka kehilangan akal.
Dalam pada itu, pemimpin pengawal yang berada dipinggir arena itupun kemudian berteriak, "Sebenarnya kalian tidak perlu berbuat seperti itu."
"Persetan," geram Dugul, "hanya ada dua pilihan. Membunuh atau tidak dibunuh."
"Masih ada pilihan ketiga," jawab pemimpin pengawal, "menyerah. Kenapa kalian tidak memikirkan kemungkinan itu. Tentu itu akan lebih baik daripada mati."
"Kalianlah yang akan mati." teriak salah seorang pengikul Ki Tandabaya.
"Meskipun kalian sudah berputus asa, tetapi cobalah masih melihat kenyataan yang kalian hadapi. Dan apakah keuntungan kalian jika kalian memilih mati."
"Itu lebih baik," teriak Dugul, "kalian tidak akan dapat memeras keterangan apapun atas kami."
Tetapi pemimpin pengawal itu tertawa. Katanya, "Kau jangan terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Buat apa orang orang Mataram memeras keteranganmu " Dan apakah yang kau ketahui tentang perkembangan keadaan terakhir, khususnya hubungan antara Mataram dan Pajang ?"
"Persetan," teriak Dugul.
"Agaknya kau belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."
Dugul tidak menjawab. Tetapi ia mengamuk semakin dahsyat. Senjatanya berputaran dengan cepatnya. Namun tidak lagi mengarah kesasaran yang memadai dengan pengarahan ilmunya.
Untuk sesaat pertempuran masih berlangsung. Beberapa orang pengawal mengepung para pengikut Ki Tandabaya. Senjata yang berdentangan telah menaburkan bunga api di udara.
Namun kemudian terdengar keluhan tertahan. Para pengikut Ki Tandabaya mulai tersentuh oleh senjata para pengawal. Ketika seorang diantara mereka tersobek lengannya, maka iapun mengumpat-umpat dengan kasarnya.
Dalam pada itu, pemimpin pengawal itu berkata selanjutnya, "Dengarlah. Kalian tidak usah merasa diri kalian orang-orang besar yang kami butuhkan. Jika kami menangkap kalian, bukan karena kami memerlukan keterangan kalian. Kalian kami tangkap karena kalian telah melanggar tatanan hidup dan ketenteraman di Mataram. Jika kami memerlukan keterangan tentang kalian, kelompok dan orang-orang lain yang berada didalam satu lingkungan dengan kalian, maka di Mataram hari ini ada Ki Lurah Branjangan dan Ki Tandabaya. Mereka tentu lebih banyak mengetahui daripada kalian, orang-orang yang tidak berarti sama sekali, tetapi yang merasa diri terlalu besar dan penting, sehingga rela mengorbankan nyawa kalian."
Kata-kata pemimpin pengawal itu ternyata telah menyentuh hati para pengikut Ki Tandabaya itu. Apalagi ketika terdengar seorang diantara mereka berdesis menahan pedih, ketika senjata seorang pengawal menggores dadanya.
"Kami sengaja memakai senjata yang tidak akan menimbulkan bahaya yang gawat bagi nyawa kalian, jika kalian hanya sekedar tergores," berkata pemimpin pengawal itu, "Lihatlah. Darahmu mengalir. Itu pertanda bahwa luka itu tidak apa-apa. Tetapi jika kulit dan dagingmu menganga, tetapi tidak sedikit darahpun yang keluar, maka itu pertanda bahwa goresan senjata itu akan meminta kematian."
"Persetan," teriak Dugul.
"Perhatikan kata-kataku dan cobalah menilai dengan nalar bening," berkata pemimpin pengawal.
"Aku akan membunuh kalian," teriak Dugul, "aku tidak peduli apa yang telah terjadi. Tetapi kami hanya mempunyai dua pilihan. Membunuh atau dibunuh. Kami tidak akan memberikan pilihan lain dari keduanya."
Pemimpin pengawal itu menegang. Nampaknya para pengikut Ki Tandabaya itu sudah sulit untuk diajak berbicara. Namun ia masih ingin mencoba sekali lagi, katanya, "Ki Sanak. Sekali lagi aku peringatkan. Kalian sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kami. Seandainya kami terpaksa menangkap kalian matipun kami tidak akan kehilangan sumber keterangan, karena Ki Tandabaya dan Ki Lurah Pringgabaya masih ada pada tangan kami. Jika kami memperingatkan kalian, semata-mata karena kami tidak ingin membunuh. Kami ingin menyelesaikan persoalan ini dengan tanpa melepaskan nyawa sama sekali. Apakah itu nyawa kawan kami, apakah lawan kami. Karena itu, jangan merasa diri kalian lebih besar dari Ki Tandabaya sendiri, seolah-olah kami ingin menangkap kalian, karena kalian mengetahui segala masalah yang berkembang di Pajang. Sebenarnyalah kami mengetahui, bahwa kalian adalah pengikut Ki Tandabaya yang tidak tahu menahu, apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh orang itu, kecuali karena kalian adalah orang-orang yang dihidupinya dengan anak isteri kalian."
Pendekar Latah 27 Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda Empat Iblis Kali Progo 2
^