Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 16

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 16


Sekali lagi hati para pengikut Ki Tandabaya itu tersentuh. Sekali lagi mereka dihadapkan pada satu kenyataan, bahwa mereka memang bukan orang-orang penting. Karena itu, apakah sudah sewajarnya jika mereka harus mempertaruhkan nyawa mereka tanpa tahu ujung dan pangkal dari persoalan itu seutuhnya "
Untuk beberapa saat tidak ada yang menjawab. Meskipun pertempuran itu masih berjalan terus, tetapi para pengikut Ki Tandabaya sebagian hanyalah berusaha untuk melindungi diri.
Pemimpin pengawal dari Mataram yang berpandangan tajam itu melihat keragu-raguan dimata beberapa orang pengikut Ki Tandabaya. Karena itu, maka iapun kemudian memberikan perintah agar para pengawal memberikan kesempatan orang-orang itu berpikir.
Beberapa orang pengawal yang sedang bertempur itupun berloncatan surut. Ternyata para pengikut Ki Tandabaya itu tidak mengejar mereka dengan serangan-serangan. Tetapi merekapun telah berdiri termangu-mangu meskipun senjata mereka masih merunduk.
"Pikirkan," berkata pemimpin pengawal, "lihatlah sebaik-baiknya. Ada berapa pengawal disini yang mengepung kalian. Kawan kalian telah terluka. Apalagi " Jika kita harus bertempur terus, maka kalian sudah dapat membayangkan akhir dari pertempuran ini. Kalian akan kami tumpas habis," pengawal itu berhenti sejenak. Lalu, "Tetapi apakah itu niat kami datang kemari " Membunuh tanpa menghiraukan apapun juga " Tidak Ki Sanak. Kami bukan pembunuh-pembunuh yang ganas. Selama kalian masih sempat mendengarkan peringatan-peringatanku."
Keragu-raguan semakin mencengkam hati para pengikut Ki Tandabaya. Apalagi ketika mereka melihat, bahwa para pengawal itu benar-benar mentaati perintah pemimpinnya. Mereka berdiri mengitari para pengikut Ki Tandabaya itu dengan senjata masih ditangan. Sementara itu, seperti yang dikatakan oleh pemimpin pengawal itu, bahwa jumlah para pengawal itu jauh lebih banyak dari jumlah para pengikut Ki Tandabaya itu.
Akhirnya orang yang paling disegani diantara para pengikut Ki Tandabaya itu berkata, "Kami menyerah."
Hal itu memang sudah diduga oleh pemimpin pengawal Mataram itu. Iapun semakin yakin ketika ia melihat, bahwa diantara para pengikut Ki Tandabaya itu nampaknya tidak seorangpun yang menolak pernyataan itu.
Namun perhatian utama dari pemimpin pengawal itu diarahkannya kepada Dugul. Ialah orang yang dianggap paling keras menentang tawaran para pengawal Mataram untuk menyerah.
Tetapi Dugul tidak dapat berbuat sendiri. Apalagi ternyata bahwa menurut pengawal itu, Ki Tandabaya sendiripun telah tertangkap.
Pemimpin pengawal itupun kemudian berkata, "Letakkan senjata kalian."
Terbersit keragu-raguan pula dihati para pengikut Ki Tandabaya itu. Namun kemudian mereka tidak dapat berbuat lain. Merekapun kemudian melemparkan senjata-senjata mereka ketanah.
Demikianlah para pengawal itu telah berhasil menyelesaikan tugas mereka, dengan tidak jatuh korban.
Meskipun diantara para pengikut Ki Tandabaya ada yang terluka, dan bahkan ada iuga pengawal yang tergores senjata, namun luka-luka itu tidak akan berbahaya bagi nyawa mereka.
Pemimpin pengawal itupun kemudian memerintahkan para pengikut Ki Tandabaya itu berkumpul. Mereka mendapat beberapa penjelasan, apa yang harus mereka lakukan
"Kami terpaksa mengikat tangan kalian, hanya selama diperjalanan," berkata pemimpin pengawal itu.
Para pengikut Ki Tandabaya menggeram. Tetapi mereka tidak dapat menolak. Karena itulah, maka seorang demi seorang dari mereka telah diikat tangannya, meskipun didepan tubuh mereka sehingga mereka masih dapat mengendalikan kuda mereka dengan baik.
"Kita akan menghadap Ki Lurah Branjangan," berkata pemimpin pengawal itu, "aku tidak tahu pasti, apakah Raden Sutawijaya sudah kembali. Agaknya Ki Lurah sudah memerintahkan dua orang penghubung untuk memberitahukan apa yang telah terjadi di Mataram. Mungkin sekarang, Raden Sutawijaya itu sudah berada dirumahnya. Tetapi mungkin pula belum."
Tanpa dapat membantah lagi, maka para tawanan itupun kemudian dibawa kerumah Raden Sutawijaya. Ketika mereka memasuki regol, maka pemimpin pengawal itu sempat bertanya kepada penjaga di regol, "Apakah Raden Sutawijaya sudah kembali ?"
Pengawal itu menggeleng sambil menjawab, "Belum."
"Kenapa," bertanya pemimpin pengawal itu.
"Aku tidak tahu," jawab pengawal itu.
"Tetapi bagaimana dengan kedua penghubung itu ?" bertanya pemimpin pengawal itu pula.
"Mereka sudah kembali. Mereka telah menghadap Ki Lurah Branjangan."
Pemimpin pengawal itu tidak bertanya lagi. Iapun kemudian membawa tawanannya memasuki halaman samping dan menyerahkan mereka kepada seorang pembantunya.
Pemimpin pengawal itu sendiri kemudian mencari kedua penghubung yang telah menyusul Raden Sutawijaya atas perintah Ki Juru Martani. Namun yang ditemukannya diserambi adalah Ki Lurah Branjangan.
"K i Lurah," bertanya pemimpin pengawal itu, "bagaimana dengan Raden Sutawijaya ?"
Ki Lurah Branjangan menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Raden Sutawijaya masih ingin bermain-main dengan kuda barunya. Besok mungkin ia baru kembali."
"Apakah Raden Sutawijaya tidak menganggap penting peristiwa yang terjadi semalam ?" bertanya, pengawal itu pula.
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Peristiwa itu sudah terjadi. Ternyata para pengawal dapat mengatasi kesulitan itu dan bahkan menangkap beberapa orang diantara mereka yang telah membuat kekacauan dihalaman ini. Karena itu, maka bagi Raden Sutawijaya tidak akan ada gunanya lagi tergesa-gesa. Apakah Raden Sutawijaya kembali sekarang atau besok, akibatnya akan sama saja."
Pemimpin pengawal itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata peristiwa yang menggemparkan itu sama sekali tidak mengejutkan Raden Sutawijaya. Mungkin ia sudah cukup pereaya kepada para pengawal, kepada Ki Lurah Branjangan dan kepada Ki Juru. Namun nampaknya Ki Juru sendiri tidak banyak mencampuri persoalan masuknya beberapa orang kehalaman rumah itu.
Tetapi pemimpin pengawal itu tidak bertanya lebih lanjut. Sedikit banyak ia mengerti sifat Raden Sutawijaya. Ia mengerti ketajaman penggraitanya, sehingga jika terjadi sesuatu yang berbahaya, maka tanpa ada orang yang menyusulnya, ia tentu sudah berada di Mataram.
Dalam pada itu, maka para pengikut Ki Tandabaya itupun segera dimasukkan kedalam satu ruang tertutup yang dijaga kuat. Mereka tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi atas Ki Tandabaya. Meskipun mereka mendengar para pengawal mengatakan sesuatu tentang Ki Tandabaya, namun kepastian tentang dirinya tetap merupakan teka-teki.
Dalam pada itu, Ki Tandabaya sendiri yang berada didalam sebuah bilik yang tertutup pula masih saja selalu mengumpat-umpat. Ia sadar, bahwa pada suatu saat, tangan dan kakinya itu akan pulih dengan sendirinya. Tetapi itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Mungkin sampai menjelang senja, ia masih harus berbaring diam.
Namun karena kemarahan yang mendorong Ki Tandabaya untuk berbuat sesuatu, maka agaknya kaki dan tangannya itu dapat pulih lebih cepat dari yang diduganya. Ketika matahari mulai condong, maka Ki Tandabaya sudah mulai dapat menggerakkan anggauta badannya. Sedikit demi sedikit. Namun karena kemauannya yang keras, iapun akhirnya dapat bangkit dan duduk dipembaringannya.
"Gila," geramnya, "orang Mataram memang gila."
Namun suaranya yang membentur dinding kayu yang rapat itu bergaung tanpa arti. Tidak ada seorangpun yang akan menanggapinya, betapapun ia mengumpat-umpat. Bahkan seandainya ia berteriak-teriakpun tidak akan ada yang mempedulikannya.
Ki Tandabaya menegang ketika ia mendengar selarak pintu berderak diluar. Rasa-rasanya ia ingin meloncat dan menerkam siapapun yang membuka pintu itu. Ia dapat melarikan diri, meskipun seandainya sebatang anak panah akan mengejarnya dan menembus punggungnya. Kematian merupakan penyelesaian yang paling baik baginya dalam keadaan yang demikian.
Sekali sekali ia mengumpat, Ki Lurah Pringgabaya. "Jika orang itu tidak tertangkap, dan jika saja isterinya yang tidak sah itu bukan seorang perempuan yang cantik, mungkin ia tidak akan begitu cepat terdorong kedalam neraka yang sempit itu."
Tetapi tenaga Ki Tandabaya tidak memungkinkan. Ia baru dapat bangkit dan duduk dipembaringannya. Ia belum dapat beringsut terlalu jauh dan apalagi berdiri tegak.
Sejenak kemudian, maka pintu yang tebal dan berat itupun terbuka. Jantungnya bagaikan retak ketika ia melihat Ki Lurah Pringgabaya berdiri tegak dimuka pintu sambil memegang sebatang anak panah dalam ukuran kecil.
Karena tubuh Ki Tandabaya yang masih belum pulih sama sekali itu masih belum dapat menghentak-hentak, melepaskan gejolak perasaannya, maka hanya sorot matanya sajalah yang memancarkan betapa panas isi dadanya.
"Selamat datang Ki Tandabaya," tiba-tiba saja Ki Pringgabaya telah menyapanya.
Ki Tandabaya menggeretakkan giginya. Katanya, "Apakah aku melihat Ki Lurah Pringgabaya atau sekedar bayangan hantunya yang ngelambrang tanpa sandaran ?"
Ki Pringgabaya tersenyum. Katanya, "Jangan marah. Aku telah berada ditempat ini lebih dahulu. Sejak aku datang ketempat ini, aku sudah minta agar aku dibunuh saja. Atau beri kesempatan aku sekali lagi berperang tanding melawan Senapati Ing Ngalaga. Tetapi permintaanku itu tidak pernah dikabulkan. Dengan berbagai cara aku sudah berusaha agar aku dibunuh saja. Melarikan diri, melawan para penjaga dan bahkan aku pernah menyerang Senapati Ing Ngalaga ketika ia menengokku di bilikku untuk memberitahukan kepadaku, bahwa ia telah mengundang beberapa orang perwira Pajang. Bukankah perbuatan itu sudah keterlaluan " Namun sampai sekarang aku tetap hidup meskipun aku benar-benar ingin mati."
"Kenapa kau tidak lari sekarang ini ?" bertanya Ki Tandabaya.
"He, apakah kau tidak melihat, bahwa disekitar tempat ini terdapat beberapa orang pengawal?" sahut Ki Lurah Pringgabaya.
"Bukankah kau tidak takut mati ?" bertanya Ki Tandabaya pula.
Tetapi Ki Pringgabaya tertawa. Katanya, "Aku memang ingin mati. Tetapi itu sudah lewat. Sejak aku menemukan anak panah ini, maka keinginanku itu justru lenyap seperti embun dihapus oleh panasnya matahari."
Jantung Ki Tandabaya menggelepar. Rasa-rasanya isi dadanya telah terguncang oleh jawaban Ki Pringgabaya itu. Namun justru untuk sesaat Ki Tandabaya bagaikan terbungkam tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun juga.
Pada saat-saat Ki Tandabaya tegak mematung dengan wajah tegang, Ki Lurah Pringgabaya justru tersenyum. Katanya, "Kau tidak usah terkejut mendengar jawabanku. Kau tentu mengerti maksudku."
"Tidak," tiba-tiba saja Ki Tandabaya menggeram. "Aku tidak mengerti. Apakah yang sebenarnya kau maksudkan ?"
Ki Lurah Pringgabaya itu masih saja tersenyum. Katanya, "Jangan berpura-pura. Kau tentu mengenal anak panah ini."
"Darimana itu kau dapat ?" Ki Tandabayalah yang kemudian bertanya.
"Aku dapat anak panah ini dari bilik sebelah," Ki Pringgabaya berhenti sejenak, lalu, "maksudku, aku telah dibawa oleh para pengawal Mataram untuk memasuki bilik sebelah. Dan aku menemukan anak panah ini."
"Kau tahu, darimanakah asal anak panah itu ?" bertanya Ki Tandabaya
"Tentu. Para pengawal itu telah memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi semalam. Memang aneh, bahwa seorang abdi Kepatihan Pajang telah datang ke Mataram, sekedar untuk melepaskan anak panah dengan sasaran seonggok jerami. Apa maksudmu ?" bertanya Ki Pringgabaya. Bahkan dilanjutkannya, "Selebihnya kau telah mempertaruhkan badan dan nyawamu untuk permainan yang aneh itu."
"Jangan melingkar-lingkar," potong Ki Tandabaya yang masih tetap duduk dipembaringan. Betapapun darahnya menggelegak, namun ia masih dipengaruhi oleh sentuhan tangan pengawal disudut halaman itu. Namun yang lambat laun mulai terasa semakin longgar.
"Aku berkata lurus," jawab Ki Pringgabaya.
"Katakan, bahwa pengawal-pengawal itu sudah memberitahukan kepadamu apa yang sebenarnya terjadi. Dan kau datang untuk menuduhku sesuai dengan keterangan para pengawal itu, bahwa aku telah berusaha untuk membunuhmu," geram Ki Tandabaya.
"O," Ki Lurah Pringgabaya terkejut, "apakah memang demikian " Apakah kau datang dengan mengemban perintah untuk membunuhku ?"
"Kau sudah gila," geram Ki Tandabaya, "marilah kita berbicara wajar, tanpa sikap pura-pura. Kau tentu sudah tahu bahwa aku datang dengan membawa perintah membunuhmu. Dan aku sudah mencoba melaksanakannya. Tetapi aku gagal. Dan bahwa kau sudah mengetahui ternyata bahwa kau membawa anak panah itu kepadaku dan kaupun telah mengatakan bahwa justru karena itu, maka keinginanmu untuk mati itu telah lewat."
Ki Pringgabaya tertawa. Katanya, "Tepat. Kau menangkap sikapku dengan tepat."
"Lalu apa maksudmu " Kau mendendam ?" bertanya Ki Tandabaya.
Sejenak Ki Pringgabaya termangu-mangu. Iapun kemudian berpaling, memandang para pengawal yang mengawasinya dari kejauhan. Namun nampaknya mereka sudah siap bertindak, apabila Ki Pringgabaya melakukan sesuatu yang mencurigakan.
"Ki Tandabaya," berkata Ki Pringgabaya kemudian, "aku memang mendendam, karena aku tahu kenapa kau dengan sungguh-sungguh dan penuh gairah melakukan tugas yang dibebankan kepadamu."
Wajah Ki Tandabaya menjadi merah. Tetapi karena tubuhnya yang masih lemah, maka ia masih tetap berada ditempatnya.
"Menurut pikiranmu ?" bertanya Ki Tandabaya dengan suara berat.
Ki Pringgabaya tertawa tertahan. Katanya, "Kita sekarang bersama-sama berada ditempat ini. Orang lainlah yang akan menemukan perempuan yang tentu menjadi kesepian."
"Persetan," geram Ki Tandabaya.
"Kau tidak usah marah-marah. Keadaanmu tidak menguntungkan. Jika kau memaksa diri berbuat sesuatu, maka kau akan terjatuh dan mengalami kesulitan untuk bangkit dan kembali duduk dipembaringanmu."
"Kekuatanku sudah pulih," geram Ki Tandabaya.
"Jangan kelabui dirimu sendiri," sahut Ki Lurah Pringgajaya.
"Sekarang kau mau apa ?" bertanya Ki Tandabaya, "kau akan membunuhku dengan anak panah itu ?"
"Ki Tandabaya. Kedudukanmu sekarang sama seperti kedudukanku. Kau atau aku atau kita bersama-sama, akan dapat menjadi sumber keterangan yang berbahaya bagi kawan-kawan kita di Pajang. Jika karena hal itu, maka pemimpin-pemimpin kita menentukan, bahwa aku harus mati, maka aku kira hal itu akan berlaku juga bagimu."
"Persetan," geram Ki Tandabaya.
Ki Lurah Pringgabaya tertawa. Katanya, "Bukankah yang kau ketahui dan apa yang aku ketahui tidak akan bertaut banyak " Karena itu, maka akibat dari nasib kita yang buruk inipun tidak akan jauh berbeda."
"Kau akan membunuh aku lebih dahulu ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Alangkah mudahnya membunuhmu sekarang," berkata Ki Lurah Pringgabaya, "aku akan dapat tanpa kesulitan apapun menghunjamkan anak panah yang mungkin beracun ini ketubuhmu yang masih belum mempunyai kekuatan itu sama sekali."
"Licik. Pengecut," geram Ki Tandabaya.
Ki Pringgabaya masih tertawa. Katanya, "Kenapa hcik " Bukankah yang kau lakukan itupun licik sekali jika kau berhasil " Untunglah bahwa kau telah gagal."
"Aku sudah cukup kuat untuk melawanmu," geram Ki Tandabaya.
"O, jangan mengelabui diri sendiri," Ki Lurah Pringgabaya justru tertawa semakin keras.
"Baiklah," berkata Ki Tandabaya, "jika kau tidak berani menunggu kekuatanku pulih kembali, karena kau sudah mengetahui tingkat ilmuku yang jauh melampaui tingkat ilmumu, bunuhlah aku sekarang. Itu akan sangat baik bagiku."
Ki Lurah Pringgabaya merenung sejenak. Kerut merut dikeningnya nampak menjadi dalam oleh keresahan didalam hatinya. Namun akhirnya ia berkata, "Manakah yang lebih baik menurutmu. Apakah aku harus membunuhmu sekarang atau tidak."
"Kau memang seorang pengecut yang cengeng. Lakukan jika kau memang ingin melakukannya. Mengapa kau menjadi ragu-ragu, padahal membunuh adalah pekerjaanmu ?" bertanya Ki Tandabaya.
Ki Lurah Pringgabayalah yang kemudian menjadi tegang. Dipandanginya Ki Tandabaya dengan tajamnya. Orang itu masih tetap lemah meskipun Ki Pringgabaya-pun mengerti, bahwa sebentar lagi Ki Tandabaya akan terlepas dari akibat sentuhan tangan pada urat-uratnya. Perlahan-lahan kekuatan Ki Tandabaya akan pulih kembali sehingga akhirnya ia akan menemukan dirinya sewajarnya.
Tetapi Ki Lurah Pringgabaya masih tetap berdiri. Bahkan kemudian sekali lagi ia berpaling. Ia melihat beberapa orang pengawal telah memandanginya pula. Agaknya waktu yang disediakannya untuk menjumpai kawannya itu sudah hampir habis.
"Ki Tandabaya," berkata Ki Lurah Pringgabaya, "ternyata kau sudah terjerat oleh kesombonganmu Kau menganggap bahwa Mataram ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali, sehingga kau memberanikan diri memasuki halaman rumah ini untuk membunuhku. Aku tahu apa yang bakal terjadi, ketika aku dipindahkan dari bilikku itu. Meskipun demikian, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Seorang pengawal nampaknya dengan sengaja memberitahukan kepadaku, bahwa malam itu akan datang seseorang untuk membunuhku, sehingga karena itu aku harus dipindahkannya."
"Untuk apa kau katakan semuanya itu ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Dengarlah kelanjutannya," jawab Ki Lurah yang masih tetap berdiri dipintu, "hari ini aku mendapati anak panah ini didalam bilikku. Aku tahu apa yang terjadi dengan pasti setelah aku rnelihat bagaimana anak panah ini masih menancap ditempatnya dan lubang-lubang pada atap bilik itu."
"Cepat katakan, bahwa kau mendendam dan akan membunuhku sekarang dengan anak panah itu meskipun tanpa busurnya, justru karena aku tidak dapat melawan," Ki Tandabaya hampir berteriak.
Tetapi Ki Tandabaya terkejut ketika ia mendengar jawaban. "Tidak. Aku tidak akan melakukannya sekarang, meskipun aku telah digelitik oleh satu keinginan untuk melakukannya."
"Kenapa " Kau sudah menjadi cengeng " Licik atau pengecut " Atau kau justru menjadi terlalu sombong dan merasa dirimu seorang pengampun ?" geram Ki Tandabaya.
Ki Pringgabaya menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku bukan pengampun. Aku adalah pendendam yang akan melepaskan dendamku setiap ada kesempatan. Aku juga seorang pembunuh yang tidak mengenal ampun dan belas kasihan. Karena itu maka aku memang akan membuat perhitungan denganmu. Tetapi tidak sekarang. Justru pada saat kita mengalami nasib serupa."
"Kesombonganmu memang tidak dapat dimaafkan. Jika kau tidak mau melakukan sekarang dan menunggu kekuatanku pulih kembali, maka aku akan benar-benar membunuhmu," Ki Tandabaya hampir membentak.
"Terserahlah apa yang akan kau katakan. Namun jika pada suatu saat kau membunuhku, maka itu berarti bahwa kau akan menanggungkan sendiri tekanan-tekanan orang Mataram untuk mengetahui segala sesuatu mengenai lingkungan kita di Pajang," jawab Ki Lurah Pringgabaya.
"Gila. Kau memang orang gila. Apakah sebenarnya maksudmu dengan segala macam ceritera, ancaman dan sifat kegila-gilaanmu ini ?" bertanya Ki Tandabaya yang sedang marah itu.
"Sabarlah," berkata Ki Lurah Pringgabaya, "aku sendiri memang bukan orang yang dapat selalu bersabar. Tetapi dengarlah. Aku datang dengan alat yang dapat aku pergunakan untuk membunuhmu. Tetapi dengan demikian, seperti yang aku katakan, jika salah seorang dari kita mati, maka beban itu akan diletakkan seluruhnya diatas pundak salah seorang dari kita yang masih hidup. Lebih dari itu, sebenarnyalah orang Mataram memang menghendaki aku datang untuk membunuhmu. Tetapi sudah barang tentu bahwa dengan demikian, jika aku melakukannya, aku sudah berbuat satu kebodohan yang tidak dapat dimaafkan."
Ki Tandabaya menegang sejenak. Lalu, "Kenapa " "
"Kecuali untuk membagi beban, kita harus membuktikan kepada orang-orang Mataram, bahwa kita bukan serigala yang akan saling menggigit pada saat-saat kita kelaparan."
Sejenak Ki Tandabaya termangu-mangu. Ia mulai mengerti maksud Ki Lurah Pringgabaya sebenarnya. Meskipun iapun sadar bahwa hal itu hanya akan bersilat sementara. Ki Tandabayapun tahu pasti, bahwa Ki Lurah Pringgabaya adalah seorang yang tidak mudah melupakan peristiwa yang menyangkut dirinya, apalagi menyakiti hatinya. Iapun bukan orang yang harus berpikir dua tiga kali jika ia sudah bertekad untuk membunuh.
Meskipun demikian, iapun mengerti, bahwa dihadapan orang-orang Mataram Ki Lurah Pringgabaya tidak bersedia untuk diperlakukan sebagai cengkerik aduan yang harus berkelahi diantara mereka untuk memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Karena itu, maka Ki Tandabayapun berkata, "Aku mengerti maksudmu. Tetapi apakah kau berkata dengan jujur ?"
"Ya. Aku berkata dengan jujur. Akupun telah berkata dengan jujur pula, bahwa pada suatu saat aku akan membuat perhitungan denganmu, karena aku sadar, bahwa kemampuanmu tidak lebih baik dari kemampuanku. Setidak-tidaknya jika kita terlibat dalam perang tanding yang jujur, kesempatanmu dan kesempatanku akan sama," jawab Ki Lurah Pringgabaya.
"Baik. Aku terima sikapmu sekarang. Tetapi jangan kau anggap bahwa aku minta belas kasihanmu sekarang ini," geram Ki Tandabaya.
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Terima kasih. Jika demikian, aku akan pergi. Mungkin kita pada suatu saat harus bersama-sama mencari jalan untuk keluar, meskipun di Pajang kita akan berkelahi sampai salah seorang dari kita mati, karena tidak mungkin seorang perempuan harus menerima kita berdua bersama-sama."
"Persetan," geram Ki Tandabaya, "sebaiknya kau menutup mulutmu. Jika persoalanmu sudah selesai, sebaiknya kau pergi. Ternyata keadaanku sudah berangsur baik. Sebentar lagi kekuatanku akan pulih kembali."
"Tentu tidak segera sehingga kita dapat bersama-sama melawan para pengawal," desis Ki Lurah Pringgabaya.
Ki Tandabaya mengerutkan keningnya. Ia mengerti maksud Ki Lurah Pringgabaya, apakah ia mampu berbuat sesuatu dalam waktu dekat untuk melepaskan diri bersama Ki Lurah Pringgabaya atau untuk mati bersama-sama. Namun iapun sadar, bahwa sebenarnya Ki Lurah Pringgabaya telah mendendamnya dan justru karena itu, ia segan mati sebelum ia sempat melepaskan dendamnya itu.
Karena itu, maka Ki Tandabayapun kemudian menjawab, "Pergilah. Aku tidak akan dapat memulihkan kekuatan dan kemampuanku segera. Aku memerlukan waktu, meskipun seandainya kau mencoba memulihkan urat syarafmu yang telah disentuh oleh pengawal gila itu."
Ki Pringgabayapun telah mendengar apa yang telah terjadi dengan Ki Tandabaya. Iapun merasa heran, bahwa ada seorang pengawal Mataram yang memiliki kemampuan sedemikian tinggi sehingga ia dapat memperlakukan Ki Tandabaya sesuka hatinya. Karena Ki Lurah itupun mengerti, bahwa Ki Tandabaya bukan seorang yang tidak memiliki bekal cukup. Ia berani memasuki halaman itu, tentu sudah memperhitungkan setiap kemungkinan. Sebenarnya perhitungan itu tepat sekali, karena pada saat-saat itu Raden Sutawijaya tidak sedang berada di Mataram. Namun ternyata usaha Ki Tandabaya itupun gagal.
"Tentu bukan Ki Juru pula yang melakukannya," berkata Ki Pringgabaya didalam hatinya. Ki Juru sudah terlalu tua ditilik dari sikap, umur dan suara pengawal yang menangkap Ki Tandabaya itu menurut pendengarannya dari para pengawal yang mungkin dengan sengaja telah berceritera kepadanya.
Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Pringgabayapun melangkah surut. Namun ia masih sempat berkata, "Aku akan menyimpan kenang-kenangan ini untuk sepanjang umurku. Anak panah ini bukan saja melambangkan tugas yang harus kau emban, tetapi juga melambangkan pengkhianatanmu atas kawan sendiri."
"Kau tidak akan terlalu lama menyimpan anak panah itu," jawab Ki Tandabaya, "karena kau akar cepat mati. Demikian tenaga dan kemampuanku pulih, maka aku akan mencari kesempatan untuk membunuh mu, meskipun aku masih berada dibawah pengawasan orang-orang Mataram."
Ki Pringgabaya tertawa. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.
Dalam pada itu, demikian Ki Pringgabaya mundur beberapa langkah menjauhi pintu bilik Ki Tandabaya, beberapa pengawalpun segera mendekatinya. Seorang diantara mereka segera menutup pintu yang tebal itu, dan menyelaraknya dari luar.
"Sudah cukup ?" bertanya seorang perwira pengawal.
Ki Pringgabaya tertawa. Katanya, "Aku tidak dapat melakukannya."
"Apa ?" bertanya perwira itu.
"Membunuhnya, "jawab Ki Lurah Pringgabaya.
"He," wajah perwira pengawal itu menjadi tegang, "apakah kau akan membunuhnya ?"
"Bukankah itu yang kau maksud " Bukankah kau memberi kesempatan kepadaku melihat keadaan Tandabaya dan memberikan anak panah ini agar aku membunuhnya ?" bertanya Ki Lurah Pringgabaya.
Wajah perwira itu menegang. Katanya dengan nada datar, "Terima kasih bahwa hal itu tidak kau lakukan."
Ki Lurah Pringgabayalah yang terkejut. Ia mengharap bahwa perwira itu menjadi kecewa dan mengumpatinya bahwa ia tidak membunuh Ki Tandabaya. Tetapi agaknya perwira itu justru bersukur bahwa hal itu tidak dilakukannya.
Selagi Ki Lurah Pringgabaya termangu-mangu, perwira itu berkata, "Ternyata aku salah hitung. Jika aku mengijinkan kau bertemu dengan Ki Tandabaya itu, karena aku mempunyai maksud yang lain."
"Bukan kau mengijinkan aku menemuinya. Aku sama sekali tidak berniat. Tetapi kaulah yang mendorong aku untuk datang kepadanya dan menunjukkan anak panah ini selagi keadaan Ki Tandabaya masih belum pulih kembali. Bukankah dengan demikian kau bermaksud aku membunuhnya," bertanya Ki Lurah Pringgabaya.
Tetapi perwira itu menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin kau bertemu dan saling menyadari bahwa kalian berdua tidak akan ada gunanya lagi untuk saling melindungi. Kalian telah berhadapan sebagai dua orang yang akan saling membunuh, sehingga dengan demikian kalian harus menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi kalian menyimpan rahasia diantara kalian masing-masing, dan saling menutupi."
Ki Lurah Pringgabayalah yang kemudian menggeram. Sekilas ia berpaling. Ketika terlihat olehnya wajah perwira itu menegang, maka iapun kembali memandang lurus kedepan. Namun dalam pada itu ia melihat beberapa orang prajurit yang mengiringkannya telah bersiap dengan senjata telanjang.
Dalam pada itu, perwira itupun kemudian berkata, "Jika hal itu benar-benar terjadi, maka kematian Ki Tandabaya akan berarti keadaan yang gawat bagiku. Raden sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga tentu akan marah."
Ki Lurah Pringgabaya tidak menjawab.
"Karena itu, cobalah pikirkan sebaik-baiknya," berkata perwira itu, "apakah menurut pertimbanganmu, kau masih akan saking mehndungi Sementara kalian masing-masing telah siap untuk saling membunuh ?"
Ki Lurah Pringgabaya sama sekali tidak menjawab. Namun dalam pada itu, keduanya telah berada dimuka bilik Ki Pringgabaya.
"Silahkan masuk Ki Lurah," berkata perwira itu, "sebaiknya anak panah itu kau letakkan saja. Jangan berbuat sesuatu yang akan dapat merugikan dirimu sendiri."
Ki Pringgabaya tidak membantah. Dilemparkannya anak panah itu ketanah, karena anak panah itu tidak akan berarti banyak baginya. Kemudian dengan kepala tunduk ia memasuki biliknya kembali.
Sejenak kemudian terdengar pintu berderit. Demikian pintu yang berat dan tebal itu tertutup rapat, maka pintu itupun segera diselarak pula.
Kembali Ki Pringgabaya termenung. Ia telah salah mengartikan maksud pengawal itu, yang kemudian bahkan mendesaknya untuk tidak saling melindungi dengan Ki Tandabaya.
Untuk beberapa saat ia merenung. Apakah ia akan dapat memenuhi desakan pengawal itu, sehingga itu akan berarti bahwa ia harus mengatakan apa saja tentang diri Ki Tandabaya dan sebaliknya Ki Tandabaya pun tentu akan mengatakan segala sesuatu yang diketahui tentang dirinya.
Namun tiba-tiba Ki Lurah Pringgabaya menggeram. Katanya, "Aku masih mempunyai keyakinan, bahwa Ki Tandabaya tidak akan mengatakan apa-apa. Meskipun pada saatnya aku dan Ki Tandabaya akan saling membunuh, tetapi tentu karena sebab lain. Bukan karena kami harus saling membunuh akibat tugas kami masing-masing. Jika Ki Tandabaya akan membunuhku pendorong utamanya tentu perempuan itu, meskipun mungkin orang-orang tertentu memang memerintahkan demikian."
Dengan demikian, maka Ki Lurah Pringgabaya akan tetap pada sikapnya. Ia tidak akan mengatakan apa-apa. Ia akan diam apapun yang harus dialami. Ia sudah bertekad untuk tetap pada sikapnya itu, karena apa yang dialaminya itu adalah akibat yang wajar dari tugas yang sudah disanggupinya.
Dibagian lain dari rumah itu, didalam bilik yang lebih besar, beberapa orang pengikut Ki Tandabaya duduk tepekur. Satu dua diantara mereka sempat mengumpat-umpat. Namun Dugul sendiri duduk disudut bersandar dinding.
"Gila," kawannya menggeram. "Ternyata Dugul itu sempat tidur."
"Tidak ada masalah baginya," geram seorang kawannya, "ia sudah terlalu biasa mengalami hal seperti ini. Berpuluh tahun ia menjadi seorang pencuri yang disegani. Bahkan ada yang menganggap bahwa Dugul mampu melenyapkan diri dengan aji Panglimunan. Ada pula yang menganggap orang itu memiliki aji Welut Putih sehingga tidak akan mungkin dapat tertangkap."
"Tetapi sekarang ia tertangkap," sahut yang lain.
"Ia berada ditempat yang tabu bagi kekuatan ilmunya sehingga ilmunya tidak dapat dipergunakannya," jawab kawannya.
Kawan-kawannya tidak bertanya lagi. Ada seseorang yang mencoba untuk memejamkan matanya, tetapi ia justru mengumpat sendiri.
Dalam pada itu, salah seorang dari mereka tiba tiba saja berdesis, "Dimanakah kira-kira pemilik rumah itu ?"
"Mungkin ia juga sudah ditangkap," sahut yang lain.
"Orang itu tentu mendapat perlakuan yang khusus, ia akan mengalami hukuman yang tentu lebih berat dari kita, karena ia sudah berkhianat."
Kawan-kawannya tidak memberikan tanggapan. Mereka sibuk dengan diri mereka masing-masing.
Namun sementara itu, Ki Tandabaya mencoba memperhitungkan keadaannya sebelum ia melakukan tugas itu. Tiba-tiba saja ia teringat kepada saudara seperguruan Ki Lurah Pringgajaya, yang merubah namanya menjadi Partasanjaya.
"Apakah orang itu telah berkhianat," tiba-tiba saja Ki Tandabaya menggeram.
Sekilas terbayang sikap Ki Partasanjaya yang semula bernama Ki Pringgajaya, yang telah berhasil menyelamatkan dirinya dari sorotan mata keprajuritan Untara karena berita kematiannya.
"Apakah Ki Partasanjaya itu telah berkhianat," pertanyaan itu timbul di hati Ki Tandabaya berkali-kali.
Namun demikian ia meragukannya. Bagaimanapun juga, maka kepentingan mereka dalam satu kesatuan sikap akan lebih berharga dari kepentingan mereka secara pribadi.
Tetapi tiba-tiba saja Ki Tandabaya itu memejamkan matanya, seolah-olah ia tidak mau melihat, peristiwa tentang dirinya. Bahwa ia justru telah memanfaatkan tugasnya untuk kepentingan pribadinya.
"Persetan," geram Ki Tandabaya, "itu tugasku. Membunuhnya. Tugas itu semula akan diserahkan kepada Ki Pringgajaya yang bernama Partasanjaya itu. Tetapi adalah salahnya jika ia menolak."
Meskipun demikian, kecurigaan dihati Ki Tandabaya itu tidak dapat dilupakannya. Selain Ki Lurah Pringgabaya yang harus dibunuhnya itu adalah adik seperguruan Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya, juga karena Ki Partasanjaya itu nampaknya tertarik juga kepada perempuan yang ditinggalkan oleh Ki Pringgabaya itu.
Selagi orang-orang yang tertawan itu sedang merenungi keadaannya, maka dipasangggrahannya Raden Sutawijaya sibuk memandikan kudanya. Kudanya yang baru itu nampaknya sangat menyenangkan, sehingga ia sendiri membawa kuda itu kesebuah behk dan memandikannya, dibantu oleh dua orang pengawalnya.
Raden Sutawijaya terkejut ketika ia melihat dua orang berkuda menyusulnya. Bukan saja dari pesanggrahan, tetapi agaknya dari Mataram.
"Ki Lurah Branjangan," desis Raden Sutawijaya.
Ki Lurah Branjangan segera meloncat turun ketika ia sudah mendekati belik itu. Sambil memandangi kuda itu ia bergumam, "Bagus sekali Raden. Tetapi kenapa Raden memandikannya sendiri."
"Aku senang sekali dengan kuda itu," jawab Raden Sutawijaya sambil mengelus bulu suri kudanya, "agaknya kuda ini akan dapat menjadi kuda yang cakap."
Ki Lurah Branjanganpun kemudian mendekati Raden Sutawijaya. Iapun mengamati kuda itu dengan saksama. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Kuda yang bagus sekali." Namun kemudian iapun bertanya, "langit mulai buram. Apakah Raden tidak akan kembali ke Mataram."
"Sudah aku katakan kepada utusan itu, aku akan pulang besok," jawab Raden Sutawijaya.
"Ada beberapa orang tersimpan di Mataram. Selain Ki Pringgabaya dan Ki Tandabaya, maka pengikut-pengikutnyapun telah kami tangkap."
"Ya. Aku tahu. Aku sudah mendapat laporannya. Tetapi sudah aku katakan, aku akan kembali besok. Kau sajalah bermalam disini. Sebentar lagi hujan turun," berkata Raden Sutawijaya.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Raden Sutawijaya berkata, "Jangan gelisah. Paman Juru ada dirumah."
"Aku memang tidak gelisah, Raden. Sebagaimana ternyata bahwa Ki Tandabaya itupun dapat tertangkap dengan mudah," sahut Ki Lurah, "tetapi perkembangan masalahnya akan cepat menjalar sampai ke Pajang."
Raden sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil bertanya, "Bagaimana dengan Ki Tandabaya?"
"Aku mengenal Raden seperti aku mengenal diriku sendiri," berkata Ki Lurah Branjangan, "karena itu, aku segera dapat mengenal siapa yang telah menangkap Ki Tandabaya."
"Ya," jawab Raden Sutawijaya, "bukankah dengan demikian aku tidak perlu tergesa-gesa kembali ke Mataram?"
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Yang tertangkap kemudian adalah seorang pengawal Kepatihan Pajang. Bukankah dengan demikian Pajang akan menjadi sangat tertarik dengan peristiwa yang berturut-turut itu. Jika semula Raden Sutawijaya mengundang beberapa orang perwira Pajang untuk bertemu dengan Ki Pringgabaya namun yang sampai sekarang belum seorangpun yang datang, maka dengan tertangkapnya Ki Tandabaya, maka mungkin sekali mereka akan segera merubah sikap."
"Tetapi tentu tidak sekarang atau malam nanti," jawab Raden Sutawijaya, "karena itu, beristirahatlah. Besok kita akan bersama-sama kembali ke Mataram."
Ki Lurah Branjangan tidak dapat memaksa. Karena itu, ia justru bermalam dipasanggrahan itu bersama seorang pengawal. Di esok harinya mereka akan kembali ke Mataram.
Tetapi malam itu Ki Lurah merasa gelisah. Di Mataram ada dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun di Mataram ada Ki Juru Martani, namun yang digelisahkannya adalah justru jika orang-orang Pajang mengambil tindakan sepihak untuk mengambil kedua orang yang mereka dianggap penting itu.
Namun Ki Lurah Branjangan itu terkejut ketika lamat-lamat ia mendengar derap kaki kuda. Sudah agak jauh. Tidak menuju kepasanggrahan itu, namun justru menjadi semakin jauh. Hanya karena ketajaman pendengarannya sajalah maka ia dapat mendengarnya.
Ki Lurah yang berbaring itupun kemudian bangkit dan duduk di bibir pembaringannya. Kawannya masih tidur dengan nyenyaknya. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Lurah Branjangan itu berkata didalam hatinya, "Tentu Raden Sutawijaya sedang menuju ke Mataram. Luar biasa. Menurut pendengaranku, derap itu hanyalah derap kaki seekor kuda. Agaknya ia pergi seorang diri seperti ketika ia menangkap Ki Tandabaya itu."
Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh dihati Ki Lurah Branjangan. Dari Ki Juru ia mendapat perintah untuk mengatur bilik yang semula dipergunakan oleh Ki Lurah Pringgabaya untuk menjebak Ki Tandabaya.
"Bagaimana munggkin Ki Juru itu dapat mengerti, apa yang akan terjadi?" desis Ki Lurah Branjangan, "begitu rapatnya sumber keterangan itu, sehingga aku sendiri tidak mengerti, petugas sandi yang manakah yang telah berhasil memberitahukan kemungkinan datangnya Ki Tandabaya itu."
Dalam kegelisahan itu, hampir semalam suntuk Ki Lurah Branjangan tidak dapat tidur. Namun menjelang pagi, diluar sadarnya, ia telah terlena beberapa saat. Justru pada saat-saat ia ingin mendengar derap kaki kuda yang lamat-lamat itu datang mendekat.
Ki Lurah Branjangan terkejut ketika ia mendengar desir langkah diluar biliknya. Tergagap ia bangun. Kemudian bangkit perlahan-lahan. Desir itu masih terdengar. Karena itu, maka perlahan-lahan ia membuka selarak pintu. Demikian ia membuka pintu dengan hati-hati terdengar suara diluar, "Kau sempat tidur Ki Lurah."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun melangkah keluar sambil berkata, "Selamat pagi Raden."
Raden sutawijaya tersenyum, katanya, "Nampaknya kau sempat tidur nyenyak."
"Ya, ya Raden. Semalam suntuk aku tidur nyenyak," jawab Ki Lurah, "dan sepagi ini Raden sudah berada di serambi gandok."
"Menjadi kebiasaanku. Setiap pagi aku berjalan-jalan didini hari. Kadang-kadang mengelilingi halaman pesanggrahan ini. Tetapi kadang-kadang aku berjalan keluar mengelilingi padukuhan ini," jawab Raden Sutawijaya.
"Dan pagi ini Raden mengelilingi daerah yang lebih luas?" bertanya Ki Lurah.
Tetapi Raden Sutawijaya menggeleng. Jawabnya, "Kebetulan aku hanya berjalan-jalan dihalaman saja."
"Tanpa seorangpun yang mengawani Raden?" desis Ki Lurah.
Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, "Aku jarang dikawani oleh siapapun. Dan agaknya aku masih mempunyai cukup keberanian untuk berjalan jalan seorang diri didini hari. Biasanya hantu-hantu hanya turun ditengah malam. Jika langit sudah membayang warna fajar, hantu-hantu menjadi ketakutan dan kembali kealamatnya."
"Ah, Raden." desis Ki Lurah sambil tertawa, "mungkin Raden benar." Ki Lurah berhenti sejenak, lalu, "tetapi bukankah hari ini Raden akan kembali ke Mataram?"
"Ya," jawab Raden Sutawijaya, "kita akan kembali."
"Pagi, siang atau saat-saat lain?" bertanya Ki Lurah pula.
"Pagi-pagi. sebelum udara menjadi panas," jawab Raden Sutawijaya.
"Jika demikian, baiklah aku berkemas Raden," berkata Ki Lurah.
"Silahkan mandi Ki Lurah. Aku sudah mandi. Air sumur itu terasa hangat dan segar didini hari," berkata Raden Sutawijaya sambil melangkah, "aku akan berjalan-jalan lagi sampai matahari terbit. Kemudian kita akan segera berangkat."
Ki Lurah Branjangan hanya dapat mengangguk saja. Dipandanginya saja Raden Sutawijaya yang kemudian turun dihalaman dan berjalan-jalan dalam keremangan fajar menuju keregol dan hilang kebalik pintu regol turun kejalan."
"Luar biasa," berkata Ki Lurah Branjangan kemudian kepada diri sendiri. Namun iapun kemudian masuk kembali kedalam biliknya di gandok. Dibangunkannya kawannya yang tidur dengan nyenyaknya.
Sambil menggeliat kawannya bertanya, "Apakah sudah pagi?"
"Kau tidur sejak matahari terbenam sampai matahari terbit. Bangunlah. Kita akan kembali ke Mataram pagi-pagi. Berkemaslah," berkata Ki Lurah.
Kawannya masih menguap. Ketika ia memandang keluar, maka dilihatnya keremangan fajar yang kemerah-merahan. Sambil bangkit dari pembaringannya ia berkata, "Aku tidur nyenyak sekali. Udara disini demikian segarnya, tidak terlalu panas seperti di Mataram. Rasa-rasanya aku betah tidur lima hari lima malam."
"Tetapi kita akan segera kembali," berkata Ki Lurah, "baru saja Raden Sutawijaya datang kemari dan bertanya, apakah kita sudah siap."
"He " " pengawal itu terkejut, "apakah kau berkata sebenarnya bahwa Raden Sutawijaya baru saja datang kemari ?"
"Ya," jawab Ki Lurah, "kenapa ?"
"Dan aku masih tidur mendekur ?" bertanya pengawal itu lagi.
"Ya," jawab Ki Lurah.
"Ah. Ki Lurah tidak mau memberitahukan kepadaku atau membangunkan aku," desis pengawal itu.
"Untuk apa ?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Tentu tidak baik jika Raden Sutawijaya itu masih melihat aku tertidur nyenyak disaat ia bertanya apakah kita sudah siap," desis pengawal itu.
"Karena itu, kita harus segera bersiap. Jika kau hanya berbicara saja, maka jika sekali lagi Raden Sutawijaya datang dan bertanya kepada kita, maka kita-pun masih belum siap pula," bertanya Ki Lurah itu pula.
"O. baik. Baiklah." pengawal itu tergagap. "Aku akan pergi ke pakiwan."
"Aku juga belum mandi," desis Ki Lurah Branjangan.
Keduanyapun kemudian pergi kebelakang. Merekapun segera mandi dan membenahi dirinya.
Ketika matahari terbit, maka seorang pengawal pasanggrahan itu datang memanggil Ki Lurah Branjangan dan pengawal yang datang bersamanya untuk pergi kepringgitan. Sebelum mereka meninggalkan pasanggrahan itu, maka merekapun sempat dijamu makan pagi lebih dahulu.
Demikian segalanya sudah siap, maka Raden Sutawijayapun berkata, "Marilah. Aku sudah selesai. Meskipun aku masih belum puas dengan kuda yang baru itu, namun beberapa hari lagi aku akan kemari lagi. Jika aku terlalu lama agaknya memang kurang baik karena mungkin setiap saat utusan dari Pajang itu akan datang."
"Ya," desis Ki Lurah, "apalagi atas undangan Raden sendiri."
Raden Sutawijayapun kemudian meninggalkan pasanggrahan itu. Ternyata Raden Sutawijaya hanya diikuti oleh seorang pengawalnya, sehingga karena itu, maka perjalanan itu hanya terdiri dari ampat orang saja.
Disepanjang jalan. Raden Sutawijaya banyak sekali berbicara tentang kuda. Ia hampir tidak pernah menyebut-nyebut tentang Mataram, tentang Ki Tandabaya yang baru saja tertangkap dan tentang undangannya atas orang-orang Mataram.
Karena itulah, maka Ki Lurahpun lebih banyak menanggapi saja setiap pembicaraan Raden Sutawijaya tentang kuda.
Namun akhirnya Raden Sutawijaya bertanya, "Ki Lurah. Apakah kau tidak begitu senang dengan kuda ?"
"Aku termasuk penggemar kuda pula Raden," jawab Ki Lurah Branjangan terbata-bata, "tetapi aku hanya sekedar penggemar. Aku kurang mengerti tentang beberapa hal yang harus dikenal pada seekor kuda."
"Nampaknya memang demikian," desis Raden Sutawijaya, "cobalah mengerti serba sedikit tentang katuranggan. Kau akan segera tertarik."
"Mungkin pada suatu saat aku akan mencobanya," jawab Ki Lurah pula.
Raden Sutawijaya tertawa. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan lagi.
Keempat orang itupun segera berada di tengah-tengah bulak panjang. Mereka berpacu cukup kencang, sehingga ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka debupun mulai nampak terlontar dari kaki-kaki kuda yang sedang berpacu itu.
Ki Lurah Branjangan tiba-tiba saja bagaikan orang terbangun dari mimpi ketika ia mendengar Raden Sutawijaya bertanya, "Kau sudah melihat keadaan Ki Tandabaya ?"
Tergagap Ki Lurah berkata, "Sudah Raden. Tetapi hanya sekilas. Kemarin Ki Tandabaya nampaknya masih belum tenang sama sekali ketika aku pergi. Oleh pengawal yang menangkapnya, ia telah dibuat lumpuh. Untuk membunuh diripun ia tidak akan mampu lagi."
"Orang-orang seperti Ki Tandabaya dan Ki Lurah Pringgabaya tidak akan membunuh diri," desis Raden Sutawijaya, "tetapi bukankah perlahan-lahan keadaan Ki Tandabaya akan pulih kembali ?"
"Ya. Berangsur-angsur, ia sudah menjadi semakin baik. Tetapi agaknya iapun menjadi semakin gelisah," sahut Ki Lurah Branjangan.
Raden sutawijaya mengangguk-angguk, sementara Ki Lurah berkata, "Nampaknya ia ingin benar mengetahui, pengawal yang manakah yang telah menangkapnya."
Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, "Apakah ia bertanya kepadmu ?"
"Tidak. Secara langsung ia tidak bertanya, "jawab Ki Lurah Branjangan. Kemudian, "namun setiap kali tersirat keinginannya untuk bertemu dengan pengawal yang memiliki kelebihan tanpa dapat dilawannya itu."
Raden Sutawijaya masih tertawa. Ia tidak memberikan tanggapan apapun. Sementara Ki Lurah berkata, "Nampaknya ada pengenalan orang-orang Mataram atas apa yang akan terjadi diluar batas-batas pengetahuanku."
"Ah," desis Rade Sutawijaya, "itu hanya kebetulan. Agaknya seseorang telah langsung berhubungan dengan Ki Juru Martani. sementara Ki Juru kadang-kadang lebih senang mengambil sikap langsung tanpa menghiraukan hubungan yang ada diantara para pemimpin Mataram. Demikian juga agaknya tentang Ki Tandabaya itu. Jika kita sudah berada di Mataram, kaupun akan segera mengetahui, siapakah yang sebenarnya orang yang telah berjasa itu."
Ki Lurah Branjangan hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun agaknya seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya, bahwa ia akan dapat mengetahui sumber keterangan itu, apabila ia sudah bera da di Mataram.
Namun dalam pada itu, hampir berbisik ia bertanya kepada Raden Sutawijaya, "Raden, kenapa harus berahasia saat-saat Raden menangkap Ki Tandabaya ?"
Raden Sutawijaya tertawa pula. Katanya, "Tidak apa-apa. Aku kira ada baiknya aku berbuat demikian. Juga sekedar memberi peringatan kepada para pengawal, bahwa sebenarnya mereka masih perlu meningkatkan kewaspadaan mereka."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam ia mengerti maksud Raden Sutawijaya. Agaknya dengan demikian, maka para pengawal akan bercermin tentang kemampuan mereka sendiri.
Ki Lurah Branjangan tidak bertanya lagi. Untuk beberapa saat lamanya keduanya hanya saling berdiam diri saja. Sementara dibelakang mereka, dua orang pengawal yang lain sedang asyik berbicara diantara mereka sendiri.
Demikianlah perjalanan itupun dilakukan tidak terlalu tergesa-gesa. Kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat. Bahkan kadang-kadang Raden Sutawijaya memperlambat derap kudanya untuk mengamat-amati sawah yang hijau subur terdampar sampai kecakrawala, diseling oleh padukuhan-padukuhan yang bagaikan pulau-pulau yang mencuat dari permukaan laut, yang bergelombang lembut oleh angin yang tidak terlalu kencang.
Jika Raden Sutawijaya kemudian berbincang dengan Ki Lurah Branjangan disepanjang jalan, maka yang mereka bicarakan adalah sawah yang subur dan batang-batang padi yang mulai bunting. Beberapa orang petani mulai menyiapkan orang-orangan disawah mereka untuk menakut-naltuti burung yang akan dapat mengganggu tanaman padi mereka yang mulai berbuah.
Dalam pada itu, akhirnya menjelang tengah hari, maka merekapun memasuki regol halaman rumah Raden Sutawijaya. Sambil mengerutkan keningnya Raden Sutawijaya melihat kesiagaan yang tinggi dihalaman rumah itu. Diregol ia melihat dua orang pengawal dengan senjata siap ditangan. Sementara diserambi gandok kanan ia melihat beberapa orang pengawal yang duduk diamben yang besar. Dua orang yang lain berada diserambi gandok kiri. Sedang dihalaman samping dua orang pengawal berjalan hilir mudik.
Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Lihatlah, bukankah mereka benar-benar sudah siap?"
"Ya Raden," jawab Ki Lurah, "mereka mengerti, apa yang harus mereka lakukan."
"Ya," sahut Raden Sutawijaya, "dan merekapun mengerti, bahwa mereka harus menyiapkan sekian banyak orang karena mereka merasa diri mereka terlalu kecil dibanding dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya."
"Raden," Ki Lurah Branjangan terkejut.
"Jangan ingkar tentang diri sendiri," berkata Raden Sutawijaya, "bahwa sebenarnyalah di Pajang terhimpun kekuatan yang besar sekali. Jika mereka memadukan kekuatan itu, maka Pajang akan menjadi sekuat Kerajaan-kerajaan sebelumnya. Tetapi seperti yang kau lihat sekarang. Pajang tinggalah bayang-bayang yang semakin pudar."
Ki Lurah tidak menjawab. Ketika ia memandang wajah Raden Sutawijaya, maka ia melihat betapa pahit kenyataan yang dihadapinya. Bahkan katanya kemudian, "Dan sebentar lagi, malam akan turun. Langit diatas Pajang akan menjadi hitam. Jika kita tidak menyediakan obor secukupnya, kitapun akan kegelapan."
Ki Lurah Branjangan terbungkam. Namun hatinya menjadi berdebar-debar. Nampaknya Raden Sutawijaya telah mengambil sikap didalam hatinya, meskipun belum dinyatakannya dengan terbuka.


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, seorang pengawal telah mendekatinya untuk menerima kudanya. Karena itu, maka Raden Sutawijayapun segera meloncat turun diikuti oleh Ki Lurah Branjangan serta kedua pengawal yang mengiringinya dari Pasanggrahan.
Ketika Raden Sutawijaya melihat Ki Juru berdiri dipintu pringgitan yang kemudian terbuka, maka iapun berkata, "Marilah. Naiklah kependapa. Kita menemui paman Juru."
"Marilah Raden," sahut Ki Lurah Branjangan.
"Paman Juru mengetahui segala-galanya tentang Mataram, tentang orang-orang yang tertawan dan tentang Pajang," desis Raden Sutawijaya.
Ki Lurah Branjangan tidak menjawab. Iapun kemudian mengikuti Raden Sutawijaya naik kependapa.
Ketika kemudian mereka duduk dipendapa, dan setelah Ki Juru bertanya tentang keselamatan mereka diperjalanan, maka Raden Sutawijayapun bertanya, "Bagaimana dengan Ki Majasranti ?"
"Ia tidak mempunyai keberatan apa-apa. Ia berada diserambi dalam. Bahkan iapun bersedia untuk bertemu dengan orang-orang yang sudah tertangkap itu," jawab Ki Juru.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Biarlah ia tetap merupakan teka-teki bagi para pengikut Ki Tandabaya. Sampai saat terakhir mereka tidak mengerti, bahwa pemilik rumah yang mereka pergunakan itulah yang telah memberikan beberapa kesaksian tentang diri mereka."
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Untuk sementara ia akan berada dirumah ini."
"Biarlah ia berada disini," jawab Raden Sutawijaya yang kemudian berpaling kepada Ki Lurah Branjangan, "Ki Lurah. Orang itulah yang perlu kau ketahui."
"Dalam hubungannya dengan Ki Tandabaya ?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Ya. Ia sahabat baik Ki Tandabaya. Tetapi Ki Tandabaya salah menilai tentang dirinya. Dikiranya Ki Majasranti masih tetap sahabatnya," desis Ki Juru Martani.
"Ia masih tetap sahabatnya, paman. Tetapi tidak tentang hubungan antara Pajang dan Mataram. Maksudku, Pajang yang telah dipengaruhi oleh sikap yang menurut pendapatku, sangat keliru itu," berkata Raden Sutawijaya kemudian.
Ki Juru Martanipun mengangguk-angguk. Bahkan kemudian katanya, "Ya. Begitulah kira-kira. Ki Majasranti tidak sesuai dengan jalan pikiran Ki Tandabaya."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Ia mengerti tentang apa yang telah terjadi. Agaknya Ki Tandabaya telah terjebak oleh sikap sahabatnya sendiri yang berpura-pura membantunya. Namun yang kemudian justru ia bersikap sebaliknya, karena ia yakin akan kebenaran sikap Raden Sutawijaya.
Karena itulah, agaknya Mataram mengetahui dengan pasti, apa yang akan terjadi, sehingga Mataram sempat memindahkan Ki Lurah Pringgabaya dari biliknya dan menjebak Ki Tandabaya. Namun demikian ternyata seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya, bahwa para pengawal di Mataram merasa kecil berhadapan dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Jika Raden Sutawijaya sendiri tidak urun ke medan malam itu, agaknya Ki Tandabaya akan berhasil melarikan diri meskipun para pengawal dari Mataram sudah siap mengepungnya.
HalI itulah yang kemudian sangat mempengaruhi perasaan Ki Lurah Branjangan. Agaknya hal itu pula yang telah menggelisahkan Raden Sutawijaya. Ki Lurah Branjangan tahu, bahwa ada beberapa orang yang sedang dipersiapkan untuk menjadi Senapati-senapati terpilih di Mataram. Tetapi persiapan akan memerlukan waktu. Sedang kemelut antara Pajang dan Mataram nampaknya sudah menjadi semakin panas.
Dalam pada itu maka Raden Sutawijayapun berkata, "Paman, apakah menurut pertimbangan paman, orang-orang Pajang yang aku undang itu akan datang ?"
"Jika undangan itu disampaikan kepada Kangjeng Sultan, mungkin Kangjeng Sultan akan mengutus beberapa orang untuk datang. Tetapi jika tidak, mungkin orang-orang Pajang itu justru akan mengambil sikap lain." berkata Ki Juru.
Aku harap orang-orang Pajang itu akan datang. Aku masih mengharap waktu sedikit untuk mempersiapkan diri, apabila beberapa orang Pajang itu benar-benar kehilangan akal." Raden Sutawijaya terdiam sejenak, "aku masih berharap. bahwa Kiai Gringsing dapat mengerti, apa yang sedang kita hadapi sekarang."
"Aku kira ia dapat mengerti, ngger." jawab Ki Juru. "aku kira ia dapat membedakan sikap Kangjeng Sultan dan orang-orang yang telah terbius oleh suatu mimpi yang berbahaya tentang kejayaan masa lampau itu, yang akan mereka trapkan menurut citra mereka."
"Tetapi masih ada masalah yang tentu akan membuat Kiai Gringsing harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang rumit," berkata Raden Sutawijaya, "muridnya yang seorang, yang nampaknya memiliki beberapa kelebihan dalam hal mematangkan ilmunya dari muridnya yang lain, adalah adik Untara. Sedangkan kita semuanya mengetahui, siapakah Untara dan bagaimanakah sikapnya, ia adalah seorang prajurit. Dan ia merasa, bahwa ia seorang prajurit Pajang dibawah pemerintahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya."
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa hal itu tentu akan menjadi masalah bagi Kiai Gringsing. Namun bagaimanapun juga. Kiai Gringsing adalah orang yang penting. Apalagi muridnya yang seorang, anak Ki Demang Sangkal Putung, akan dapat menjadi kekuatan yang berarti dengan para pengawal Kademangannya. Sangkal Putung yang terletak digaris antara Pajang dan Mataram, akan mempunyai peran penting, jika benar-benar timbul persoalan yang apalagi apabila orang-orang Pajang berhasil menghasut Kangjeng Sultan di Pajang yang sudah semakin sering digumuli oleh penyakitnya itu.
Tetapi setiap kali Ki Juru Martani juga menyesali sikap Raden Sutawijaya yang keras hati itu. Jika sejak semula Raden Sutawijaya tidak mengeraskan sikapnya, tidak mau menghadap ke paseban di Pajang, mungkin persoalannya akan berbeda.
Namun semuanya sudah terlanjur. Apa yang sekarang terjadi itu sudah terjadi. Jarak antara Pajang dan Mataram menjadi semakin jauh. Didorong oleh sikap beberapa orang yang tamak, yang melihat masa depan dari sudut pandangan mereka dan kepentingan mereka sendiri.
Meskipun demikian, agaknya Mataram tidak akan dapat berpaling dari Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Sementara itu, Raden Sutawijayapun memandang keseberang Kali Progo. Apakah Tanah Perdikan Menoreh juga memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu seperti Sangkal Putung sekarang dibawah kesigapan tangan Swandaru.
"Ki Gede Menoreh sendiri adalah orang yang pilih tanding," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya, "namun dalam kesendiriannya. Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin mundur."
Tetapi Raden Sutawijaya tidak mengatakan apa-apa. Nampaknya ia masih ingin membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu, apa yang akan dibicarakan dengan Ki Juru Martani.
Dalam pada itu, justru tiba-tiba saja Raden Sutawijaya berkata, "Aku ingin bertemu dengan Ki Tandabaya. Apakah ia mengenali pengawal yang telah menangkapnya."
"Silahkan ngger," sahut Ki Juru.
"Marilah Ki Lurah. Ikutlah aku," ajak Raden Sutawijaya.
Ki Lurah Branjanganpun kemudian mengikuti Raden Sutawijaya turun dari pendapa. Dengan berlari-lari kecil Ki Lurah Branjangan memanggil pimpinan pengawal yang bertugas dan mengajaknya untuk mengikuti Raden Sutawijaya kebilik tempat Ki Tandabaya ditahan.
Raden Sutawijaya berdiri beberapa langkah didepan bilik itu, ketika seorang pengawal menarik selaraknya. Demikian pintu itu terbuka, maka Ki Tandabaya telah meloncat keluar sambil berkata nyaring, "Bunuh aku, atau biarkan aku pergi."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Ki Tandabaya yang tenaganya telah pulih kembali itu.
Namun, demikian Ki Tandabaya melihat anak muda yang berdiri dihadapannya, tiba-tiba saja ia melangkah surut. Kepalanya menunduk tanpa mengatakan sesuatu.
"Selamat bertemu Ki Tandabaya," sapa Raden Sutawijaya.
Ki Tandabaya masih menunduk. Tetapi sapa itu membuat jantung Ki Tandabaya bergejolak semakin keras. Untuk sesaat ia justru terdiam. Namun kemudian ia menyahut tersendat-sendat, "Selamat Raden."
"Baru sekarang aku dapat menengok Ki Tandabaya," berkata Raden Sutawijaya, "kemarin aku telah disusul sampai dua kali dipesanggrahan. Namun, karena persoalannya sudah dapat ditangani oleh para pengawal, maka baru hari ini aku kembali."
Wajah Ki Tandabaya menjadi semakin tegang. Sekilas ia mengangkat mukanya memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun iapun kembali menundukkan kepalanya. Bagaimanapun juga, ia merasa terhina oleh kata-kata Raden Sutawijaya, seolah-olah persoalan yang timbul karena kehadirannya itu sama sekali tidak penting.
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, "Sebenarnya aku masih ingin mengajari kudaku yang baru itu untuk bermain lebih baik lagi. Tetapi karena beberapa orang mendesak, maka aku perlukan kembali barang satu dua hari."
Ki Tandabaya menggigit bibirnya. Rasa-rasanya jantungnya memang akan meledak. Namun ia masih tetap sadar, dengan siapa ia berhadapan.
"Ki Tandabaya," berkata Raden Sutawijaya, "tentu tidak hari ini, karena aku baru saja kembali. Mungkin besok aku akan menggundang Ki Tandabaya untuk berbincang barang sebentar. Mungkin masalahnya penting, tetapi mungkin pula tidak."
Akhirnya Ki Tandabaya tidak dapat menahan hatinya lagi. Maka katanya, "Kenapa Raden harus berputar-putar. Katakan apa yang Raden kehendaki. Mungkin satu pengakuan dari mulutku tentang rencanaku membunuh Ki Lurah Pringgabaya, atau pengakuan-pengakuan yang lain ?"
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia menjawab, "Kau mengerti maksudku. Ya, demikianlah kira-kira apa yang ingin aku dapatkan darimu."
"Sia-sia saja Raden. Aku tidak akan mengatakan sesuatu," jawab Ki Tandabaya tegas.
"Luar biasa," sahut Raden Sutawijaya, "kalian memang orang-orang yang sudah ditempa untuk menjadi seorang pejuang yang tiada taranya. Kalian sudah berbuat apa saja untuk kepentingan keyakinan kalian atas citra negeri ini dimasa datang."
"Jangan menganggap kami kanak-kanak yang bangga dengan pujian," jawab Ki Tandabaya.
"Tidak. Tidak Ki Tandabaya, "jawab Raden Sutawijaya, "aku tidak sekedar memuji. Tetapi sebenarnyalah demikian. Ki Lurah Pringgabayapun tidak mau mengatakan sesuatu tentang dirinya sendiri dan tentang tugas yang diembannya. Akupun yakin, bahwa kaupun akan berbuat demikian, sehingga aku akan sia-sia berharap untuk mendengar pengakuan dari mulutmu."
"Jika demikian, buat apa kami harus berada disini " " Kenapa kami tidak dibunuh saja semuanya." tantang Ki Tandabaya.
"Itulah yang mengagumkan," jawab Raden Sutawijaya, "kalian sama sekali tidak takut mati. Karena itu, tentu kami tidak akan mempunyai kesempatan untuk mendengar meskipun hanya sepatah kata pengakuan dari kalian."
"Benar," Ki Tandabaya menegaskan, "karena itu, Raden dapat mengambil sikap dengan tegas terhadap kami semuanya."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang harus demikian. Aku harus memperhitungkan segala kemungkinan dengan nalar yang waras. Sebenarnya aku ingin mendengar pengakuan kalian. Kau atau Ki Lurah Pringgabaya atau kedua-duanya. Tetapi jika kalian tidak ingin mengaku, maka agaknya memang lebih baik untuk mengambil langkah tertentu."
Jawaban itu tiba-tiba membuat wajah Ki Tandabaya menjadi semakin tegang. Dengan lantang ia berkata, "Apa maksud Raden sebenarnya ?"
Raden Sutawijaya justru menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia berkata, "Bukankah aku hanya menirukan kata-katamu " Aku dapat mengambil sikap tegas karena kami tidak akan mendapat kesempatan sama sekali untuk mendengarkan pengakuan kalian."
"Sikap apa yang akan Raden ambil ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Itulah yang belum aku pikirkan. Tetapi sudah barang tentu kami akan mengambil langkah-langkah untuk berbuat sesuatu. Sudah barang tentu kami tidak akan menyimpan kalian terlalu lama disini karena kalian tidak akan bermanfaat apa-apa bagi kami," sahut Raden Sutawijaya.
"Ya, lalu apakah yang akan Raden perbuat atas kami " Membunuh kami ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Bukankah kalian tidak akan berkeberatan ?" bertanya Raden Sutawijaya pula.
"Tentu tidak. Lakukanlah jika itu bagi Raden adalah jalan yang paling baik," geram Ki Tandabaya.
"Tentu bukan yang paling baik. Kami masih mempunyai cara yang lebih baik lagi," jawab Raden Sutawijaya sambil tertawa.
"Cara apa " Raden akan menyiksa kami " Itupun tidak akan ada gunanya," geram Ki Tandabaya.
"Tentu, Aku mengerti, bahwa menyiksa kalian tidak akan ada gunanya. Jika kalian memang tidak berniat untuk berbicara, maka apapun yang akan kami lakukan tentu tidak akan ada gunanya." jawab Raden Sutawijaya.
"Ya. lalu apa yang akan Raden lakukan ?" Tiba-tiba saja Ki Tandabaya yang menegang itu berteriak.
"Kenapa kau berteriak ?" bertanya Raden Sutawijaya, "dengan demikian kau telah menarik perhatian orang banyak. Lihatlah. Semua orang telah menengok kepadamu."
"Aku tidak peduli," geram Ki Tandabaya, "aku ingin tahu apa yang akan Raden lakukan jika Raden ingin membunuh kami."
Raden Sutawijaya tertawa. Namun justru karena itu, maka rasa-rasanya jantung Ki Tandabaya itu benar benar akan meledak. Dengan garangnya ia membentak, "Kenapa kau tertawa he " Apa yang perlu kau tertawakan ?"
"Kenapa kau menjadi marah-marah Ki Tandabaya," jawab Raden Sutawijaya, "tenanglah. Aku belum berniat untuk berbincang panjang lebar dengan kau dan kawan-kawanmu. Beristirahatlah sebaik-baiknya."
Wajah Ki Tandabaya yang tegang menjadi semakin tegang. Rasa-rasanya ingin ia meloncat menerkam. Tetapi setiap kali ia sadar, bahwa yang berdiri dihadapannya itu adalah Raden Sutawijaya maka niatnya itupun diurungkannya.
Meskipun demikian ia masih menggeram, "Raden sudah mulai dengan cara yang paling tidak menyenangkan. Aku tahu. Raden ingin membuat aku gelisah."
"Tidak. Bukan maksudku Ki Tandabaya," jawab Raden Sutawijaya, "tetapi apaboleh buat. Jika kau mendesak, mungkin aku dapat mengatakan salah satu cara yang dapat aku tempuh. Tetapi seperti yang aku katakan, aku belum memikirkannya masak-masak. Jika aku menyebut salah satu cara itu, baru satu kemungkinan dari kemungkinan-kemungkinan yang lain."
Sorot mata Ki Tandabaya bagaikan menyala. Dengan nada bergetar ia berkata, "Sebut apa saja."
"Yang paling mungkin aku lakukan, jika kalian memang sudah tidak ingin mengaku sama sekali, adalah menyerahkan kalian kepada para pemimpin di Pajang," berkata Raden Sutawijaya.
Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untuk beberapa saat Ki Tandabaya jadi bingung. Apakah ia senang atau justru terhina mendengarnya. Adalah tidak masuk akal jika Raden Sutawijaya akan begitu saja menyerahkannya kepada para pemimpin Pajang. Namun demikian ia masih harus bertanya, siapakah pemimpin Pajang itu.
Raden Sutawijaya melihat gejolak perasaan Ki Tandabaya pada tatapan matanya. Karena itu, maka iapun bertanya, "Apakah kau mempunyai pikiran lain ?"
Tiba-tiba saja terdengar Ki Tandabaya itu menggeram. Katanya, "Raden memang termasuk orang yang paling sombong yang pernah aku kenal. Apakah artinya niat Raden menyerahkan kami kepada orang-orang Pajang. Apakah Raden ingin mempermainkan perasaanku agar timbul harapan-harapan kosong sehingga pada saatnya aku terbanting pada satu kekecewaan yang luar biasa, sehingga Raden akan sempat mempergunakan saat-saat yang demikian untuk meremas keterangan dari mulutku ?"
"Kau memang terlalu berprasangka," jawab Raden Sutawijaya, "tetapi itu adalah sifat yang paling umum dari seseorang yang merasa bersalah. Namun, dengan demikian adalah pertanda masih ada sepercik kebijaksanaan didalam hatiku."
"Aku tidak mengerti," geram Ki Tandabaya.
"Kau heran, atau barangkali berprasangka jika aku akan menyerahkanmu kepada para pemimpin di Pajang," jawab Raden Sutawijaya, "tetapi bukankah hal itu wajar " Kau adalah abdi di Kepatihan Pajang, sedangkan Ki Lurah Pringgabaya adalah seorang prajurit Pajang. Bukankah wajar jika kami menyerahkan kalian kepada para pemimpin kalian " Tetapi kau tidak dapat mengerti, justru karena kau menyadari diri berontak, bahwa kau yang sudah bersalah itu tidak mendapat hukuman, meskipun hal itu ditrapkan kepada dirimu sendiri."
"Cukup cukup," sekali lagi Ki Tandabaya berteriak.
Sementara Raden Sutawijaya berdesis, "Kau menarik perhatian para pengawal."
Ki Tandabaya menggeretakkan giginya. Namun ia benar-benar melihat beberapa orang disekitarnya telah berpaling lagi kepadanya.
"Sudahlah Ki Tandabaya," berkata Raden Sutawijaya, "Kau agaknya masih belum tenang. Beristirahallah. Dan jangan berangan-angan terlalu jauh, sehingga akan dapat berakibat buruk pada perasaan dan badanmu."
Ki Tandabaya sama sekali tidak menjawab.
"Sudahlah. Sudah aku katakan bahwa aku masih belum ingin berbicara tentang persoalan kita," berkata Raden Sutawijaya, "mungkin besok atau lusa. Baru kemudian, setelah kau benar-benar tidak ingin berbicara, aku akan mengambil satu sikap. Diantaranya seperti yang sudah aku katakan tadi. Menyerahkan kau kepada orang-orang Pajang, karena kehadiranmu disini tidak akan ada gunanya lagi."
"Raden akan menyesali kesombongan Raden itu," geram Ki Tandabaya.
"Mungkin. Kau dan Ki Lurah Pringgabaya adalah orang-orang yang pilih tanding. Yang melampaui tataran kemampuan orang-orang yang berada dalam kedudukan yang sama dengan kalian. Seperti juga Ki Pringgajaya yang terbunuh itu. Dan sudah barang tentu, hal itu bukan karena kebetulan saja," berkata Raden Sutawijaya.
Ki Tandabaya tidak menjawab lagi. Iapun kemudian melangkah surut. Kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah memasuki biliknya.
Seorang pengawal yang kemudian datang mendekat, menunggu perintah Raden Sutawijaya. Baru ketika Raden Sutawijaya menganggukkan kepalanya, maka pengawal itu menutup pintu yang berat dan menyelaraknya dan luar.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam, ia sadar, bahwa Ki Tandabaya tentu akan dapat memecahkan dinding bilik itu jika dikehendakinya. Namun pengawalan yang kuat tentu akan dapat mencegahnya melarikan diri. Namun dengan hadirnya dua orang pilihan dari Pajang, maka para pengawal menjadi terlalu sibuk. Apalagi seperti Raden Sutawijaya sendiri menyahut, bahwa sebenarnyalah Mataram kurang memiliki orang-orang yang secara pribadi memiliki ilmu yang tinggi.
Raden Sutawijaya yang kemudian kembali ke pendapa tiba-tiba saja teringat kepada padepokan kecil di Jati Anom. Namun setiap kali ia menjadi ragu-ragu, apakah padepokan kecil itu dapat diharapkan. Justru Agung Sedaya adalah adik Untara.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba pula telah timbul keinginannya untuk dapat bertemu dengan Kiai Gringsing dan murid-muridnya. Secara pribadi murid Kiai Gringsing yang tua memiliki kelebihan, sementara muridnya yang muda memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Sangkal Putung ternyata tumbuh dengan pesat dan anak-anak mudanya adalah anak-anak muda yang cukup terlatih. Bahkan jika dalam keadaan yang memaksa mereka tidak akan gentar dihadapkan kepada prajurit-prajurit yang sebenarnya.
Sementara itu, angan-angan Raden Sutawijaya juga melayang ke Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan itu harus segera mendapat perhatian karena perlahan-lahan Tanah Perdikan itu mengalami kemunduran.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Raden Sutawijaya justru ingin bertemu dengan Ki Gede Menoreh di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin ada sesuatu yang dapat dibicarakannya tentang Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun dalam keseluruhan. Tanah Perdikan itu memang harus diselamatkan.
Tiba-tiba saja keinginan itu menjadi demikian mendesaknya, sehingga dihari berikutnya, ia berkata kepada Ki Juru Martani, "Paman, aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Juru sudah terbiasa mendengar, bahwa Raden Sutawijaya itu pergi kemana saja setiap saat. Namun justru karena Raden Sutawijaya itu akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, maka iapun bertanya, "Apakah ada sesuatu yang mendesak ?"
"Tiba-tiba saja aku ingin menemui Ki Argapati. Aku rasa, Tanah Perdikan Menoreh yang tidak terlalu jauh dari Mataram itu akan dapat menjadi kawan yang baik pada saat-saat yang sangat gawat. Tanpa Tanah Perdikan Menoreh, maka seolah-olah Mataram tidak mempunyai dinding di halaman belakang rumahnya, paman," berkata Raden Sutawijaya.
Ki Juru mengangguk-angguk. Namun ia bertanya, "Tetapi begitu tergesa-gesa " Bukankah Raden mengundang beberapa orang Pajang untuk bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya " Dan sekarang justru Ki Tandabaya ada disini pula."
"Aku kira belum hari ini paman. Bahkan mungkin mereka akan mengirimkan satu dua orang penghubung untuk memberitahukan, kapan mereka akan datang," jawab Raden Sutawijaya, "namun seandainya hari ini mereka datang, aku harap paman dapat mempersilahkan mereka menunggu. Jika mereka tidak mau menunggu, terserahlah kepada paman, untuk mengantar mereka bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya. Aku kira paman mengetahui apa yang sebaiknya harus paman lakukan."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa niat Raden Sutawijaya memang sulit untuk dicegah. Demikian ia ingin pergi, maka iapun akan pergi. Namun demikian Ki Jurupun menyadari, bahwa Raden Sutawijaya adalah seseorang yang cukup bertanggung jawab terhadap Tanah Mataram yang dibangunnya itu.
Karena itu, maka Ki Jurupun kemudian berkata, "Terserahlah kepada angger. Namun aku mohon ketegasan, apakah yang harus aku perbuat, jika misalnya orang-orang Pajang itu datang dan minta agar kedua orang itu diberikan kepada mereka."
"Untuk sementara biarlah mereka disini paman. Mungkin, aku memang akan menyerahkan kepada orang-orang Pajang, jika persoalan mereka dengan kita sudah selesai." jawab Raden Sutawijaya.
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan berusaha sebaik-baiknya jika mereka benar-benar datang hari ini dan mereka tidak sempat menunggu Raden kembali."
"Terima kasih paman," sahut Raden Sutawijaya, "aku hanya akan pergi sehari ini. Nanti, aku tentu akan kembali meskipun mungkin sampai malam hari."
Ki Juru hanya dapat mengiakannya. Raden Sutawijaya yang sudah berniat untuk pergi itu, tentu akan pergi.
Demikianlah, maka Raden Sutawijaya itupun kemudian meninggalkan Mataram bersama Ki Lurah Branjangan dan dua orang pengawal terpilih. Bagaimanapun juga, mereka tidak dapat mengabaikan kenyataan seperti yang pernah dialami oleh Agung Sedayu dipinggir Kali Progo.
Sejenak kemudian, maka Kuda Raden Sutawijaya itupun telah berpacu. Seperti biasanya. Raden Sutawijaya tidak mengenakan pakaian khusus dan apalagi pakaian kebesaran Senapati Ing Ngalaga di Mataram. Tetapi ia lebih senang memakai pakaian seperti orang kebanyakan. Dengan demikian, maka ia sama sekali tidak akan menarik perhatian.
Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh dari Mataram memang tidak terlampau jauh. Namun perjalanan itu agaknya memang cukup menarik bagi Raden Sutawijaya.
Sudah terbiasa bagi Raden Sutawijaya untuk melihat hijaunya sawah dan jernihnya air parit yang mengalir disela-sela pematang. Namun yang kemudian menarik perhatiannya adalah tanah yang mulai berpasir dibawah kaki kuda mereka berkata, "Kita sudah dekat dengan Kali Progo Raden Sutawijaya."
"Dibalik padukuhan itu, kita sudah akan turun ke tepian," desis Ki Lurah Branjangan
"Ya. Dan kita akan segera menyeberang," jawab Raden Sutawijaya.
Buku 140 DEMIKIAN mereka muncul dari balik padukuhan kecil, maka dihadapan mereka terbentang tepian berpasir dan rumpun-rumpun batang ilalang. Melalui jalan setapak, kuda mereka mendekati arus sungai yang seperti biasanya, berwarna coklat lumpur.
Tidak ada yang menarik perhatian mereka disaat mereka menyeberang sungai. Tukang satang yang membawa mereka diatas rakit bersama-sama beberapa penyeberang lainnya, tidak menumbuhkan kecurigaan apa-apa.
Dengan selamat mereka turun diseberang dan melanjutkan perjalanan- Sesaat setelah mereka memasuki Tanah Perdikan Menoreh, mulai terasa pada Raden Sutawijaya, bahwa Tanah Perdikan itu memang sedang mengalami kemunduran, yang apabila tidak segera ditangani akan menjadi sangat mengecewakan bagi anak cucu mereka kelak.
Parit-parit tidak lagi terpelihara. Sementara jalan-jalan yang semula cukup baik, menjadi sangat mengecewakan. Tanaman padi tidak lagi nampak hijau subur. Namun mulai nampak bahwa sawah itu agak kurang dipelihara.
"Kemalasan telah timbul di Tanah Perdikan ini," desis Raden Sutawijaya.
"Mungkin benar Raden," jawab Ki Lurah Branjangan, "Ki Argapati menjadi semakin tua. Mungkin umurnya masih belum setua Ki Juru Martani. Tetapi ia merasa sangat kesepian dirumah. Ceritera tentang hidup kekeluargaannyapun agaknya kurang menarik, sehingga semuanya itu agaknya telah mempercepat peredaran usianya."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa disaat-saat terakhir Ki Argapati seolah-olah telah hidup sebatang kara. Kemenakannya yang seharusnya dapat membantunya nampaknya tidak terlalu tangkas berpikir dan tidak mempunyai banyak buah pikiran yang berarti bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya mempunyai satu pikiran yang barangkali baik bagi Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka ia telah memilih untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu sebelum ia pergi ke Jati Anom untuk menemui Kiai Gringsing dan murid-muridnya.
"Tetapi semuanya tergantung kepada Ki Gede Menoreh dan murid-murid Kiai Gringsing itu sendiri," katanya didalam hati.
Sementara itu, iapun tidak mengatakan pikirannya itu kepada Ki Lurah Branjangan yang menyertainya, karena ia menganggap bahwa hal itu belum waktunya untuk dikatakannya.
Ketika mereka memasuki padukuhan demi padukuhan, sebenarnyalah, ia masih melihat orang-orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, tetapi keadaan padukuhan-padukuhan itu tidak lagi secerah beberapa saat lampau. Raden Sutawijaya masih melihat pande besi yang menempa alat-alat pertanian di sudut pasar. Dan iapun masih melihat beberapa buah pedati menelusuri jalan-jalan membawa hasil sawah dan pategalan. Namun yang dilihatnya itu tidak lagi seperti yang pernah dilihatnya sebelumnya.
"Tetapi agaknya masih belum terlambat," katanya didalam hati.
Demikianlah, maka akhirnya Raden Sutawijaya dan para pengawalnyapun telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnyalah kehadirannya memang mengejutkan. Ketika ia memasuki regol rumah Ki Argapati, maka seorang penjaga telah memberitahukan kepada Ki Argapati, bahwa ampat orang tamu telah datang.
"Siapa ?" bertanya Ki Argapati.
"Aku kurang tahu," jawab penjaga itu.
"Silahkan mereka naik kependapa. Aku akan segera datang," berkata Ki Argapati kemudian, lalu, "beritahukan pula kepada Prastawa, agar ia ikut menemui tamu itu."
"Prastawa tidak ada," jawab penjaga itu, "ia pergi ke pategalan."
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk ia berkata, "Baiklah. Persilahkan tamu itu duduk."
Raden Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan dan pengawal-pengawalnya menunggu untuk beberapa saat dipendapa, sementara Ki Gede Menoreh telah membenahi pakaiannya.
Demikian Ki Gede keluar dipintu pringgitan, iapun terkejut melihat tamu yang duduk dipendapa. Dengan tergopoh-gopoh iapun mendekat sambil berdesis, "Ternyata Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, "Sudah lama aku tidak menengok paman Argapati. Rasa-rasanya aku menjadi sangat rindu kepada paman dan Tanah Perdikan ini."
Ki Argapati yang kemudian duduk bersama tamu-tamunya segera menanyakan keselamatan mereka diperjalanan dan selama mereka tidak bertamu, dan demikian sebaliknya.
Ketika tamu-tamunya sudah dijamu dengan minuman hangat dan beberapa potong makanan, maka Ki Argapatipun mulai menyatakan keheranannya, bahwa tiba-tiba saja Raden Sutawijaya telah datang secara pribadi ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Itulah agaknya bunyi perenjak berkicau sepanjang pagi disebelah kanan pendapa," berkata Ki Gede Menoreh, "ternyata ada tamu Agung yang datang meskipun tidak dalam kelengkapan kebesarannya.
Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, "Tiba-tiba saja aku ingin menengok keadaan Tanah Perdikan ini."
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak. Lalu iapun bertanya, "Kesan apakah yang Raden lihat selama perjalanan Raden?"
"Semuanya masih seperti sediakala," jawab Raden Sutawijaya.
"Raden mencoba untuk mengelakkan penglihatan Raden," jawab Ki Gede Menoreh, "aku kira akupun tidak perlu mengingkari. Tanah ini mengalami kemunduran."
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Sebaiknya akupun berterus-terang Ki Gede. Aku memang melihat beberapa kemunduran. Tetapi tidak terlalu banyak. Aku kira jika Ki gede menghendaki, dalam waktu singkat, kemunduran itu akan segera dapat dipulihkan kembali."
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja dilemparkannya pandangan matanya jauh kededaunan yang tumbuh dihalaman. Hampir berdesah ia berkata, "Aku sudah terlalu tua. Yang akan datang justru akan menjadi lebih suram."
"Ah, kenapa Ki Gede merasa demikian ?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Tidak ada orang yang dapat membantu aku lagi," jawab Ki Gede.
"Bagaimana dengan Prastawa ?" bertanya Raden Sutawijaya pula.
Ki Gede termenung sejenak. Kemudian katanya, "Anak itu baik. Tetapi tidak banyak yang dapat aku harapkan daripadanya. Justru karena anak itu terlalu cepat menjadi puas. Baik tentang dirinya sendiri, maupun keadaan disekitarnya. Bahkan kadang-kadang ia menilai dirinya terlalu tinggi, sehingga ia kehilangan keseimbangan."
"Bukankah demikian adat anak-anak muda " Justru dengan demikian, maka gairahnya untuk hidup akan bertambah besar. Jika Ki Gede dapat memanfaatkannya, maka gelora yang terdapat didalam dirinya itu akan membual Tanah Perdikan ini pulih seperti sediakala," sahut Raden Sutawijaya.
"Aku menangkap maksud angger terbalik," jawab Ki Gede sambil tersenyum, "jika ia cepat puas, maka tidak ada gelora itu didalam jiwanya. Gairah hidupnya kini tidak akan melonjak menggapai masa depan yang jauh lebih baik, karena ia sudah puas akan keadaannya. Bukankah demikian " Dan aku juga tidak mengerti, kenapa angger menganggap bahwa demikian itu adat anak-anak muda. Apakah perasaan yang demikian juga terdapat pada angger ?"
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum pula sambil berkata, "Aku keliru Ki Gede. Seharusnya aku sadar, dengan siapa aku berbicara."
"Bukan maksudku. Tetapi agaknya angger ingin menyenangkan hatiku. Namun, aku hampir menjadi berputus asa melihat perkembangan Tanah Perdikan yang justru semakin surut ini," desis Ki Gede.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia mengerti, perasaan apa yang bergolak didalam hati Ki Gede Menoreh. Sementara ia tidak dapat mengharap terlalu banyak dari kemanakannya.
"Jika ia menilai dirinya berlebih-lebihan, maka ia akan menjadi tinggi hati," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya dan seperti yang dikatakan oleh Ki Gede. Perjuangannya bagi masa depan akan selalu dihambat oleh perasaan puasnya.
Untuk beberapa saat Raden Sutawijaya justru terdiam. Ia mulai memikirkan sesuatu yang dianggapnya akan sangat bermanfaat bagi Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan bagi Mataram dalam keseluruhan apabila pendapatnya itu disetujui.
Namun untuk beberapa saat ia masih dibayangi oleh keragu-raguan.
Tetapi dalam pada itu, Ki Gede Menorehlah yang berkata dalam nada rendah, "Raden. Aku sedang mencari cara yang paling baik, bagaimanakah aku dapat membangunkan kembali Tanah Perdikan ini."
"Apakah Ki Gede sudah mencoba menunjukkan cara yang paling baik kepada Prastawa " Mungkin Ki Gede sendiri masih sempat membawanya sekali dua kali, kemudian melepaskannya untuk melakukannya sendiri diatas Tanah Perdikan ini," bertanya Raden Sutawijaya.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah mencoba dengan berbagai cara. Tetapi agaknya Prastawa memang kurang dapat menanggapi perkembangan keadaan. Ia melakukan apa yang disukainya, bukan apa yang penting bagi Tanah Perdikan ini. Sementara itu, cacat kakiku rasa-rasanya menjadi semakin mengganggu."
"Bagaimana dengan cacat kaki paman ?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Segala usaha sudah aku lakukan. Tetapi kakiku rasa-rasanya tidak akan dapat sembuh. Bahkan kaki ini menjadi sering kambuh," desis Ki Gede sambit meraba-raba kakinya.
"Bagaimana dengan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini ?" bertanya Raden Sutawijaya pula.
"Mereka adalah anak-anak muda yang baik. Tetapi aku memerlukan seseorang yang dapat memimpin mereka, tidak dengan cara seperti yang dilakukan oleh Prastawa," wajah Ki Gede tiba-tiba menunduk, "Ia mempunyai kebiasaan yang kurang baik yang meskipun banyak dilakukan oleh anak-anak muda sebayanya. Ia mudah sekali tertarik pada wajah-wajah cantik seorang gadis. Dengan demikian, maka sebagian dari waktunya telah dipergunakan untuk memamerkan diri dihadapan gadis-gadis itu. Ia senang sekali dipuji dan berusaha untuk selalu mendapat perhatian."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Ki Gede itu sama sekali tidak bermaksud menyindirnya. Tetapi Raden Sutawijaya sendiri tidak akan dapat ingkar, bahwa iapun selalu tertarik pada wajah-wajah cantik seperti ayahanda angkatnya. Sultan di Pajang.
Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya merasa, ada peluang yang dapat dipergunakannya untuk menyampaikan maksudnya meskipun ia masih tetap ragu-ragu.
"Mudah-mudahan Ki Gede tidak menjadi salah paham," katanya didalam hati.
Meskipun dengan ragu-ragu, namun akhirnya Raden Sutawijaya itupun berkata, "Ki Gede, sebenarnyalah aku mempunyai satu pendapat. Tetapi sebelumnya aku minta maaf. bahwa aku telah berani mencampuri persoalan yang tumbuh diatas Tanah Perdikan ini."
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Jika hal yang akan Raden kemukakan itu bermanfaat bagi kami, tentu kami akan mengucapkan banyak terima kasih."
"Baiklah Ki Gede," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "seperti yang Ki Gede katakan, jika pendapat ini bermanfaat, silahkan Ki Gede mempergunakannya. Tetapi jika Ki Gede menganggap sama sekali tidak sesuai, sebaiknya Ki Gede tidak ragu-ragu untuk melepaskannya saja seperti aku tidak pernah mengetahui sesuatu, karena sebenarnyalah segala hak dan wewenang ada pada Ki Gede."
"Ya Raden. Silahkan mengatakannya," desis Ki Gede.
"Sebenarnyalah bahwa aku melihat kemunduran pada Tanah Perdikan ini. Aku mohon maaf. bahwa aku sudah berani memberikan penilaian. Tetapi sebagai tetangga terdekat, aku melihat apa yang telah terjadi." Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "sebenarnyalah aku ingin melihat Tanah Perdikan Menoreh akan dapat dipulihkan kembali. Untuk itulah aku telah datang kemari dengan satu landasan pikiran. Tetapi sekali lagi, aku mohon maaf, bahwa pikiran ini mungkin kurang sesuai dengan jalan pikiran Ki Gede, karena tentu Ki Gede lebih memahami daerah ini dengan segala isinya daripada aku."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku akan menerima segala sumbangan pikiran. Dan hal itu tentu akan aku pertimbangkan dari segala segi."
"Ya Ki Gede," berkata Raden Sutawijaya pula, "sebenarnyalah, bahwa Ki Gede memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang menjudi isteri Swandaru di Kademangan Sangkal Putung. Seharusnya anak menantu Ki Gede itulah yang akan dapat membina Tanah Perdikan ini seperti pada masa lalu."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudah aku pikirkan Raden. Tetapi aku ragu-ragu. Apakah Swandaru akan bersedia meninggalkan Kademangannya dan tinggal di Tanah Perdikan ini. Nampaknya ia terlalu terikat kepada Kademangannya itu."
"Tetapi Ki Demang masih mempunyai anak yang lain." jawab Raden Sutawijaya, "Sementara Sekar Mirah akan mempuyai seorang suami yang dapat dipercaya pula. Bukankah dengan demikian. Swandaru akan dapat dengan tenang meninggalkan Kademangannya dan menyerahkannya kepada Agung Sedayu sebagai suami Sekar Mirah ?"
Tetapi Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku kurang yakin bahwa Swandaru akan bersedia melakukannya. Meskipun barangkali aku akan mencobanya berulang kali untuk meyakinkannya. Namun seperti yang sudah aku katakan, ia terikat sekali kepada Kademangannya."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Jika demikian, apakah Ki Gede pernah memikirkan untuk menemukan jalan lain yang masih tetap bersangkut paut dengan lingkaran keluarga Swandaru itu ?"
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Raden Sutawijaya menjadi sangat tertarik kepada Tanah Perdikan itu, sehingga ia ikut memikirkannya sampai sedalam-dalamnya.
Namun Ki Gedepun telah merasa, ada kepentingan Raden Sutawijaya dengan keadaan Tanah Perdikan itu. Ki Gedepun mengerti, perkembangan hubungan antara Mataram dan Pajang. Dengan demikian, maka Mataram tidak akan dapat melepaskan hubungannya dengan Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, Ki Gedepun mengetahui hubungan baik antara Raden Sutawijaya dengan Swandaru dan lingkaran keluarganya, sehingga hubungan baik itu akan tetap dipeliharanya.
Agaknya Raden Sutawijayapun mengetahui apa yang bergolak didalam hati Ki Gede yang masih terdiam itu. Maka katanya, "Ki Gede, untuk apa aku berpura-pura lagi dihadapan Ki Gede. Sebenarnyalah, Tanah Perdikan Menoreh memiliki kekuatan yang tiada taranya. Ki Gede pernah, bahkan berkali-kali memberikan bantuan kepadaku dalam beberapa masalah yang penting dan gawat. Sementara keadaan Mataram menjadi semakin genting dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan yang berusaha memanfaatkan keadaan, agaknya Tanah Perdikan ini meryadi mundur."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah merasa ngger. Langsung atau tidak langsung Raden tentu berkepentingan. Sebenarnya akupun tidak berkeberatan, apalagi akupun telah dengan langsung melibatltan diri. sehingga aku yakin, pihak-pihak tertentu telah menganggap Tanah Perdikan ini sebagai lawannya."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Demikianlah. maka aku telah memberanikan diri untuk menyampaikan satu pandapat yang barangkali dapat diterima. Tetapi seandainya tidak berkenan dihati Ki Gede, aku mohon Ki Gede berterus terang menolaknya, agar tidak terjadi persoalan yang akan berkembang di kemudian hari."
"Katakan Raden. Mungkin saran Raden akan bermanfaat," desis Ki Gede Menoreh.
Raden Sutawijaya beringsut setapak. Kemudian katanya, "Akupun mengira, bahwa Swandaru akan berkeberatan meninggalkan Kademangannya yang sedang berkembang, meskipun disana ada Sekar Mirah dan bakal suaminya yang setidak-tidaknya memiliki tingkat ilmu setinggi Swandaru. Namun Swandaru adalah anak laki-laki, yang merasa bertanggung jawab atas tanah itu."
"Ya, aku mengerti Raden. Pada saat Swandaru dan isterinya datang kemari, aku sudah memberikan pesan, agar mereka bersedia memikirkan perkembangan Tanah Perdikan ini. Meskipun tidak dikatakan dengan terus terang, namun aku melihat, keberatan Swandaru. Tetapi keberatan itupun belum dikatakannya pula," sahut Ki Gede Menoreh.
"Jika demikian Ki Gede. Apakah tidak sebaiknya Ki Gede menawarkan kemungkinan lain. demi perkembangan Tanah Perdikan ini," Raden Sutawijaya menjudi ragu-ragu. Tetapi ia berkata selanjutnya, "karena Swandaru tetap ingin berada di Kademangannya. Bagaimana jika untuk kepentingan Tanah Perdikan ini. Swandaru dapat berbicara dengan saudara seperguruannya."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku sudah mengira bahwa Raden akan mengatakan demikian. Karena aku tahu. tidak ada orang lain yang dekat dengan Swandaru."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku selalu ragu-ragu untuk mengatakannya. Tetapi jika yang aku katakan tidak berkenan dihati, segalanya terserah kepada Ki Gede."
"Raden," suara Ki Gede Menoreh menjadi datar, "aku mengerti alasan apakah yang mendorong Raden menunjuk anak muda itu. Dan akupun melihat alasan yang cukup kuat untuk mengaitkan angger Agung Sedayu dengan Tanah Perdikan ini tentu saja dengan persetujuan Swandaru."
"Ya Ki Gede." jawab Raden Sutawijaya, "aku tidak usah ingkar dan berputar-putar. Agung Sedayu akan dapat menjadi kawan yang baik bagi Mataram."
"Sudah aku katakan, bahwa hubungan itu sudah berlangsung. Karena itu aku tidak akan berkeberatan sama sekali," sahut Ki Gede, "namun soalnya akan tergantung kepada Swamtaru dan Agung Sedayu sendiri."
"Swandaru akan dapat memilih," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "apakah ia akan memilih Sangkal Putung dan memberikan wewenang atas Tanah Perdikan ini atas nama Pandan Wangi kepada saudara seperguruannya, atau Swandaru tampil diatas Tanah Perdikan ini, dan menyerahkan pimpinan Kademangannya kepada Sekar Mirah yang pelaksanaannya akan dibantu oleh Agung Sedayu."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tidak mempunyai keberatan apa-apa. Bahkan akupun sebenarnya tengah mamikirkannya. Tetapi aku belum sempat mengatakannya kepada Swandaru dan Pandan Wangi."
"Apakah Ki Gede menganggap bahwa waktunya belum tiba ?" bertanya Raden Sutawijaya.
Ki Gede tidak segera menjawab. Tetapi iapun kemudian merenungi Tanah Perdikannya yang tidak dapat diingkari, sedang meluncur surut dengan derasnya. Jika hal itu tidak segera ditangani, maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan diatas Tanah Perdikan ini. sehingga untuk membangun kembali diperlukan waktu yaug cukup lama."
"Ki Gede," berkata Raden Sutawijaya, "karena aku juga berkepentingan, maka apa saja yang Ki Gede kehendaki, aku akan dapat membantu memecahkannya. Bahkan seandainya Ki Gede tidak sempat untuk bertemu dengan kedua saudara seperguruannya itu. atau sudah barang tentu dengan gurunya."
"Aku akan memperhitungkan waktu Raden," jawab Ki Gede, "tetapi menurut pertimbanganku, semakin cepat akan semakin baik. Namun, aku belum tahu, seandainya Swandaru dan Pandan Wangi sependapat, apakah hal ini bukannya justru akan dapat menyinggung perasaan angger Agung Sedayu atau justru kakaknya angger Untara."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Untara memang harus diperhitungkan. Sebagai saudara tua, maka ia mempunyai pengaruh yang kuat terhadap adiknya. Sepeninggal orang tuanya, maka Untara adalah orang tua bagi Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu sebenarnya sudah dewasa, tetapi pengaruh kakaknya masih nampak sangat kuat.
Tetapi Raden Sutawijaya cenderung untuk mencoba menyampaikan persoalan itu kepada yang berkepentingan. Memang mungkin rencana itu dapat ditolak. Tetapi mungkin pula dapat diterima.
"Ki Gede," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "mungkin peran Kiai Gringsing akan ikut menentukan. Pengaruh Untara cukup besar terhadap adiknya. Tetapi pengaruh Kiai Gringsingpun nampak sekali pada anak itu."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia tidak berkeberatan untuk membicarakannya dengan Swandaru dan Pandan Wangi, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu sendiri.
"Aku kira, kita akan dapat melakukan secepatnya Raden," berkata Ki Gede Menoreh, "tetapi aku masih harus mempertimbangkan seorang lagi. yang bagaimana-pun juga akan langsung berkepentingan dengan keadaan di Tanah Perdikan ini."
"Siapa ?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Prastawa," jawab Ki Gede, "Ia adalah kemanakanku. Ia adalah anak adikku. Sebenarnyalah aku harus mempertimbangkan kedudukannya, meskipun seperti yang aku katakan. bahwa aku tidak akan dapat meletakkan harapan atas masa depan Tanah Perdikan ini kepadanya."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Gede benar, ia memang tidak boleh dikecewakan agar untuk seterusnya, ia tidak akan berbuat sesuatu yang akan dapat mengganggu usaha memperkembangkan kembali Tanah Perdikan ini."
"Apalagi ayahnya pernah kecewa menghadapi keadaan di atas Tanah Perdikan ini. Meskipun sekarang nampaknya sudah tidak lagi ada bekasnya, tetapi luka itu akan dapat kambuh lagi pada anak laki-lakinya," berkata Ki Gede Menoreh.
"Aku kira Ki Gede akan cukup bijaksana nenghadapi kemanakan Ki Gede itu. Karena sebenarnyalah bahwa ia bukan tidak berarti sama sekali. Ia memiliki kemampuan yang akan dapat dimanfaatkan diatas Tanah Perdikan ini," sahut Raden Sutawijaya.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah. Mudah-mudahan semuanya akan segera menjadi jernih. Bagaimanapun juga. Raden harus berusaha bahwa hubungan antara Pajang dan Mataram akan menjadi semakin baik."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mudah-mudahan. Tetapi Pajang bagiku bagaikan obor yang sudah kehabisan minyak. Tidak banyak berarti lagi. Meskipun di Pajang terdapat orang-orang yang sebenarnya memiliki kelebihan, tetapi mereka seakan-akan selalu menuruti keinginan mereka masing-masing, sehingga jalan pemerintahan tidak akan dapat diharapkan untuk menjadi lurus kembali."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Tentu masih ada usaha yang dapat ditempuh. Meskipun itu bukan berarti bahwa kesiagaan menghadapi masa yang paling buruk dapat diabaikan."
"Ya Ki Gede," desis Raden Sutawijaya, "itulah sebabnya maka aku datang kemari untuk memberatkan diri. menyampaikan suatu pendapat. Sebenarnyalah aku ingin sekali bertemu dengan Kiai Gringsing. tetapi aku telah mementingkan datang kemari lebih dahulu sebelum aku pergi ke Jati Anom."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia bertanya, "Kapan Raden akan pergi ke Jati Anom " Aku kira kita akan dapat pergi bersama-sama untuk membicarakan masalah ini. Jika Raden pergi tanpa aku dan aku pergi tanpa Raden, maka kita masih memerlukan waktu untuk dapat berbicara bersama-sama dikesempatan lain."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Gede benar. Kita sebaiknya pergi bersama-sama. Tetapi aku masih harus memperhitungkan waktu Ki Gede. Dalam waktu dekat, aku akan menerima tamu dari Pajang. Bahkan mungkin hari ini. Tetapi menurut perhitunganku, tentu belum hari ini."
"O," Ki Gede mengerutkan keningnya, "siapa " Pangeran Benawa " Atau siapa ?"
Raden Sutawijaya menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi. Sehingga ada dua orang yang kini berada di dalam pengawasan para pengawal Mataram.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, maka peristiwa itu telah menyangkut anak dan menantunya saat mereka kembali ke Sangkal Putung. Bersukurlah ia bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak dan menantunya.
"Untunglah Ki Waskita pergi bersama mereka saat itu," berkata Ki Gede didalam hatinya.
"Pada saat terakhir," berkata Raden Sutawijaya selanjutnya, "aku sengaja mengundang satu atau dua orang pimpinan prajurit dari Pajang untuk datang dan bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya. Aku ingin tahu bagaimana tanggapan pimpinan prajurit Pajang atas peristiwa itu. Jika yang datang itu termusuk golongan Ki Lurah itu sendiri, tanggapannya tentu akan berbeda dengan jika yang dalang itu benar-benar prajurit Pajang seperti halnya Untara."
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi angger akan dapat mengalami akibat yang gawat. Yang datang itu dapat saja menceriterakan hitam dan yang hitam dikatakan putih."
"Aku sudah memperhitungkan Ki Gede," berkata Raden Sutawijaya, "karena itulah maka Mataram harus mulai mempersiapkan diri."
"Raden baru akan mulai, sementara Pajang sudah siap untuk bertindak lebih jauh." berkata Ki Gede Menoreh, "apakah dengan demikian Mataram tidak akan terlambat?"
"Pajang tentu tidak akan terlalu tergesa-gesa. Sementara ayahanda Sultan masih memiliki kesiapatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan betapapun lemahnya," jawab Raden Sutawijaya, "tetapi akupun merasa bahwa pada suatu hari, ayahanda Sultan tidak akan dapat lagi mengelak. Kecuali jika adimas Pangeran Benawa berbuat sesuatu. Tetapi nampaknya adimas Pangeran Benawa lebih senang menuruti hatinya sendiri."
Hampir saja Ki Gede juga menunjuk Raden Sutawijaya berbuat demikian meskipun dengan alasan yang berbeda. Namun untunglah bahwa kata-kata itu tidak diucapkannya. Karena tindakan berikutnya memang berlainan antara Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.
Demikianlah ternyata memang ada beberapa persamaan sikap antara Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh menghadapi masa depan yang masih kabur bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Masa yang masih harus diperjuangkan agar menjadi masa yang lebih baik dari masa sebelumnya.
Akhirnya Raden Sutawijayapun berkata, "Ki Gede, apapun sebaiknya aku kembali ke Mataram. Aku akan melihat perkembangan keadaan. Pada suatu saat, aku akan memberitahukan kepada Ki Gede, bahwa aku siap untuk pergi ke Jati Anom. sehingga Ki Gede dapat berangkat dan singgah di Mataram untuk selanjutnya kita akan pergi bersama-sama."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Raden. Aku akan menunggu Raden sempat melakukannya."
Dengan demikian, maka nampaknya keduanya telah menemukan kesepakatan untuk dalam waktu dekat pergi ke Jati Anom untuk berbicara dengan Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru serta isterinya. Namun karena persoalan yang dihadapi oleh Raden Sutawijaya tentang kedua orang tawanannya, maka Raden Sutawijaya masih akan menunggu.
Dalam pada itu. setelah pembicaraan itu dianggap selesai, serta Raden Sutawijaya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh sampai siang itu telah dijamu dengan makan siang, maka iapun segera minta diri.
"Raden tidak bemalam?" bertanya Ki Gede.
"Terima kasih Ki Gede," jawab Raden Sutawijaya, "masih ada yang harus aku kerjakan di Mataram."
Ki Gede tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Sementara itu ternyata Prastawa yang kemudian kembali dari pategalan masih sempat bertemu dengan Raden Sutawijaya barang sejenak, namun Raden Sutawijaya tidak mengatakan sesuatu tentang keperluannya menemui Ki Gede.
Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijayapun segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya memang mengharap agar Tanah Perdikan Menoreh akan tetap menjadi kawan seiring dalam perjalanan menuju kemasa depan yang baik bagi Mataram dan juga bagi Tanah Perdikan itu sendiri.
Tidak ada sesuatu yang terjadi di perjalanan. Raden Sutawijaya dan pengawalnya kembali dengan selamat sampai ke Mataram, yang ternyata seperti yang diperhitungkan. Pajang masih belum mengirimkan seseorang atau lebih untuk mengunjungi Mataram.
Namun yang terjadi dihari berikutnya, telah mengejutkan Raden Sutawijaya. Yang datang di Mataram adalah seorang perwira yang tidak membawa pesan dan kuasa untuk bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya. Tetapi perwira prajurit Pajang itu mendapat perintah untuk membawa kedua orang itu kembali ke Pajang untuk mendapatkan keadilan, karena keduanya adalah prajurit Pajang dan pengawal Kepatihan Pajang.
Tetapi bagaimanapun juga Raden Sutawijaya harus menahan diri. Yang datang di Mataram itu adalah sekedar utusan. Karena itu, bagaimanapun juga. Raden Sutawijaya harus tetap bersikap baik kepadanya.
"Ki Tumenggung Jayawiguna," berkata Raden Sutawijaya sambil menahan gejolak jantungnya, "apakah pendengaranku tidak salah, bahwa Ki Tumenggung mendapat tugas untuk membawa kedua orang itu kembali ke Pajang?"
"Demikianlah Raden," jawab Ki Tumenggung, "aku mengemban tugas itu. Karena sebenarnyalah tidak ada manfaat apapun juga untuk bertemu dengan kedua orang itu disini. Tetapi jika aku dapat membawa mereka, maka kami akan segera dapat mengadilinya sesuai dengan kesalahan yaug telah mereka lakukan."
"Tetapi apakah itu mungkin," jawab Raden Sutawijaya, "siapakah yang akan memberikan keterangan, bukti dan saksi-saksi atas kesalahan yang pernah dilakukan oleh keduanya. Jika keduanya setelah berada di Pajang mengingkari segala tingkah laku mereka yang melanggar paugeran itu."
"Apakah Raden merasa curiga bahwa kami akan memperlakukannya tanpa mengingat keadilan?" bertanya Tumenggung Jayawiguna.
"Bukankah hal itu mungkin sekali dilakukan oleh siapapun juga, termasuk orang-orang di Pajang" " justru Raden Sutawijayalah yang bertanya.
"Raden," desis Ki Tumenggung Jayawiguna, "bagaimanapun juga yang memegang Bawat Keadilan di Pajang adalah ayahanda Raden sendiri. Aku tidak menyangka sama sekali. bahwa Raden akan mencurigainya. Dan apakah Raden memang pernah melihat Pajang bertindak tidak adil" "
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Ki Tumenggung telah mendesak aku untuk mengatakan sesuatu yang akan dapat Ki Tumenggung pergunakan untuk menjerat lidahku. Tetapi tidak mengapa. Mungkin aku masih dapat menyebut beberapa hal yang mungkin dapat berarti untuk memperkuat sikapku." Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "Katakan Ki Tumenggung, apakah ayahanda Sultan pernah mendapat laporan tentang kedua orang yang kini berada di bawah pengawasan para pengawal di Mataram?"
Sejenak wajah Ki Tumenggung Jayawiguna menegang. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Raden Sutawijaya sudah mendahului, "Sebelumnyalah kecurigaanku tidak aku tujukan kepada ayahanda Sultan. Tetapi justru kepada orang-orang yang berada disekitarnya. Mataram melihat sikap yang tidak pasti dari para pemimpin di Pajang. Mataram melihat sikap yang tidak menunjukkan satunya pandangan dari para pemimpin di Pajang. Jika aku harus mengatakan. Apapun akibatnya. aku dapat menunjuk, apakah sikap Ki Patih dan adimas Pangeran Benawa sejalan" Apakah sikap Ki Tunumenggung Prabadaru dan sikap Senopati muda di daerah Selatan yang berkedudukan di Jati Anom sejalan" Apakah sikap para Adipati di daerah Timur sejalan pula dengan sikap para pemimpin di Pajang" Ki Tumenggung, jangan dikira bahwa aku tidak tahu bahwa beberapa pihak kini sedang sibuk mengembangkan pikiran untuk mengangkat masa kejayaan masa lalu menurut citra sekelompok orang yang justru lebih mementingkan diri sendiri."
"Raden," Ki Tumenggung Jayawiguna memotong, "sikap Raden agak kurang aku mengerti. Sebaiknya, kita batasi persoalan kita dengan kedua orang yang kini berada di Mataram itu saja. Karena memang hanya itulah wewenangku."
Raden Staawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi gejolak didalam dadanya rasa-rasanya tidak lagi dapat ditahankannya. Karena itu, maka katanya, "Ki Tumenggung, sebenarnyalah bahwa tugas Ki Tumenggung memang hanya mengurus kedua orang itu. Tetapi aku ingin menjelaskan kenapa aku telah mengambil sikap pula terhadap kedua orang itu, sehingga aku berkeberatan untuk menyerahkannya kepada Ki Tumenggung, apalagi Ki Tumenggung tidak dapat menunjukkan pertanda bahwa Ki Tumenggung adalah utusan ayahanda Sultan."
"Tentu tidak Raden," jawab Ki Tumenggung Jayawiguna, "aku memang bukan utusan langsung dari Sultan yang berkuasa di Pajang. Jika dalam menangani segala masalah. Sultan sendiri langsung turun, maka apakah artinya segala orang yang telah diangkatnya sebagai pembantu-pembantunya " Apakah arti para pengemban praja dalam kedudukan dan tugas masing-masing " Karena itulah, aku adalah utusan dari Ki Patih di Pajang yang kuasanya dilimpahkan kepada pimpinan keprajuritan."
Bentrok Para Pendekar 5 Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata Dewi Sungai Kuning 2
^