Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 2

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 2


Pandan Wangi masih tetap tersenyum. Katanya," Bukankah aku tidak meninggalkan cara yang selama ini kita pergunakan " Justru karena aku telah menyisihkan waktu sedikit diluar waktu-waktu yang biasa kita pergunakan untuk berlatih, maka nampaknya aku telah menjadi perenung dan tidak sempat berbuat lain seperti kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari. Mungkin aku menjadi semakin jarang kedapur, atau barangkali aku lupa berhias. Namun itu tidak akan lama. Mungkin dalam waktu sebulan aku sudah terbiasa dengan keadaan baru itu."
"Ya. Aku akan terbiasa dengan keadaan baru. Kau akan terbiasa duduk merenung. Kau akan terbiasa membiarkan dirimu kusut. Bukan maksudku, bahwa kita hanya wajib menghias diri. Tetapi bukankah sewajarnya jika kita tidak melupakan diri kita, bahwa kita adalah perempuan."
Pandan Wangi tertawa. Katanya, "Bukan begitu maksudku Sekar Mirah. Jika aku sudah terbiasa, maka aku tidak perlu merenung lagi. Tidak perlu berlama-lama berada di Sanggar untuk mencari, karena aku sudah menemukan. Waktu yang aku pergunakan akan terbagi dengan baik dan wajar tanpa meninggalkan kodrat kita sebagai perempuan."
Sekar Mirah mengangguk. Katanya, "Mudah-mudahan. Tetapi jika yang kau lakukan itu akan berlarut-larut, maka akupun akan ikut menjadi prihatin melihat keadaanmu."
"Terima kasih atas perhatianmu Sekar Mirah. Jika ternyata aku dapat menemukan cara yang baru itu, maka kita akan membicarakannya dan mencoba bersama. Agaknya Kiai Gringsing dapat memberikan beberapa petunjuk. Jika Kiai Gringsing kelak meninggalkan Sangkal Putung, aku akan menjadi kian sulit untuk mencari."
Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Pandan Wangi memang sudah bertekad. Sekar Mirah menganggap bahwa ceritera tetang pangeram-eram itu benar-benar telah mencengkam minat kakak iparnya.
"Anehnya," berkata Sekar Mirah didalam hatinya, "Kiai Gringsing tidak melarangnya, justru membantunya. Apakah dengan demikian Kiai Gringsing ingin membuat Pandan Wangi menjadi seorang yang mampu melakukan pangeram-eram pula seperti Adipati Partaningrat di Mataram beberapa saat yang lalu ?"
Tetapi Sekar Mirah tidak menanyakannya kepada siapapun juga. Bahkan kepada Swandaru juga tidak.
Namun demikian, pertanyaan yang serupa telah tumbuh dengan sendirinya didalam dada Swandaru. Meskipun demikian, seperti Sekar Mirah ia tidak mencegah isterinya melakukan pengamatan atas ilmunya dengan cara yang agak berbeda. Dengan latihan-latihan yang agak berbeda pula, meskipun pada kesempatan-kesempatan tertentu ia masih tetap berlatih seperti yang biasa dilakukannya.
"Biarlah ia mencoba," berkata Swandaru kepada dirinya sendiri, "aku yakin bahwa pada suatu saat ia akan kembali dengan caranya yang lama. Aku harap ia tidak terlalu lama tenggelam dalam impian yang membuatnya murung. Sehingga dengan demikian ia tidak akan ketinggalan dari Sekar Mirah."
Sementara itu. Pandan Wangi masih meneruskan usahanya. Ia mengulangi setiap unsur gerak yang pernah dipelajari dan dikuasainya. Tidak hanya satu dua kali. Tetapi berkali-kali dengan pertanyaan didalam hati, kenapa gerak itu dilakukan. Atas dasar apa maka gerak itulah yang dilakukannya. Betapa jauh jangkauan gerak itu. Dan akhirnya ia harus mencari hubungan antara gerak itu dengan kemampuan tenaga dan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya. Pada saat-saat yang manakah dari gerak itu, dan pada sikap yang manakah, ia mampu mengerahkan tenaga dan tenaga cadangannya tertinggi dan dimanakah yang terendah. Waktu yang diperlukan dan kemudian mencari kemungkinan didalam gerak itu dalam hubungan dengan getaran kekuatan didalam dirinya. Bahkan semakin jauh Pandan Wangi mencari, maka ia sampai pada suatu usaha untuk menemukan hubungan antara getaran didalam dirinya dan sasaran diluar dirinya. Kekuatan yang dapat dilontarkan lewat getaran itu dengan kemampuan tenaga dan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya, menggunakan getaran diseputarnya dalam gerak hubungan tenaga sehingga ia dapat menyentuh lawan tanpa sentuhan wadag, disamping menyalurkan kekuatan tenaga dan tenaga cadangannya pada sasaran dengan sentuhan wadagnya.
Meskipun Pandan Wangi belum menemukannya, tetapi seolah-olah ia telah melihat pintu dihadapannya. Pintu yang masih tertutup. Namun ia melihat bagaimana selarak pintu itu melintang.
"Aku harus berhasil mengangkat selarak itu dan membawa pintunya," berkata Pandan Wangi kepada diri sendiri. Sehingga dengan demikian iapun menjadi semakin yakin akan keberhasilannya.
Berbeda dengan Swandaru dan Sekar Mirah yang menjadi cemas melihat perkembangan Pandan Wangi, Kiai Gringsing justru menaruh harapan kepada perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Keprihatinan dimasa lampaunya memberikan dorongan kepadanya untuk melihat dirinya lebih dalam. Dengan demikian, iapun didorong pula untuk melihat ilmunya pada kedalamannya pula.
*** Dalam pada itu, selagi Swandaru dan Sekar Mirah dengan cemas mengikuti perkembangan keadaan Pandan Wangi, maka di Padepokan kecilnya. Agung Sedayupun sedang sibuk menuntun Glagah Putih didalam olah kanuragan. Agung Sedayu masih belum memberikan petunjuk-petunjuk lain kecuali dalam tuntunan ilmu sewajarnya. Glagah Putih harus menguasai segala unsur yang ada. Memahaminya dan mengerti apa yang dilakukan. Jika ia mudah berhasil, maka barulah Glagah Putih akan mendapat petunjuk-petunjuk khusus tentang cara yang lain yang dapat ditempuhnya untuk mendalami ilmunya.
Ternyata Glagah Putih adalah seorang anak muda yang tekun. Setiap kali ayahnya datang menengoknya, maka ayahnya selalu merasa heran dan bangga. Kemajuan yang decapai oleh Glagah Putih ternyata jauh lebih pesat dari yang diduganya.
Karena itu maka Ki Widura menjadi semakin sering datang kepadepokan kecil itu. Sekali-sekali ia bermalam. Namun kadang-kadang ia hanya datang sebentar menengok kemajuan Glagah Putih.
Tetapi kebanggaan itu akhirnya bertumpu kepada kekagumannya terhadap Agung Sedayu. Agung Sedayu yang sejak permulaan telah diasuh oleh Kiai Gringsing dalam cabang ilmu yang berbeda, namun ia benar-benar menguasai ilmu cabang perguruan Ki Sadewa. Jauh lebih baik dari Ki Widura sendiri. Bahkan betapa teliti Ki Widura mengamati, ia masih tetap melihat ilmu itu utuh.
"Agung Sedayu benar-benar anak muda yang luar biasa. Ia dapat menyaring ilmu yang ada didalam dirinya, yang seharusnya sudah menyatu, karena kadang-kadang nampak bahwa kedua ilmu itu luluh didalam dirinya. Namun jika dikehendaki, ia masih mampu mengurai ilmu itu pada sisinya masing-masing," berkata Ki Widura didalam hatinya.
Sementara itu, Sabungsari masih juga sering datang kepadepokan itu. Semakin sering ia melihat cara Agung Sedayu menuntun adik sepupunya, kekagumannya kepada anak muda itu menjadi semakin meningkat.
Dengan demikian, jika masih ada sisa-sisa sakit hati yang tersangkut pada perasaannya atas kekalahannya dari Agung Sedayu, maka lambat laun telah terhapus sama sekali. Akhirnya ia menjadi iklas akan kekalahannya dan iapun dengan rela melepaskan niatnya untuk membalas dendam.
Dalam pada itu, luka-lukanyapun telah menjadi sembuh sama sekali. Sabungsari benar-benar telah menjadi pulih seperti saat-saat ia belum disentuh oleh kemampuan ilmu Carang Waja yang dahsyat itu.
Namun demikian, kegelisahannya semakin lama justru menjadi semakin mengganggunya apabila ia teringat kepada prajurit Pajang di Jati Anom yang menunggu kematian Agung Sedayu. Yang semula, mereka akan melakukannya sendiri. Tetapi Sabungsari telah mencegahnya karena ialah yang ingin membunuh Agung Sedayu dengan tangannya.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak berhasil membunuhnya. Bukan saja ia telah dikalahkan dalam pertempuran dengan cara apapun juga, tetapi kejernihan hati Agung Sedayu telah dapat melarutkan segala dendam yang tersimpan didalam hatinya.
Namun demikian Sabungsaripun memperhitungkan, bahwa apabila Agung Sedayu tidak juga segera terbunuh, maka prajurit yang akan menyingkirkannya itu akan menjadi tidak bersabar lagi menunggu. Pada suatu saat mereka akan bertindak sesuai dengan kepentingan mereka.
Sabungsari menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan. Apakah ia harus memberitahukan hal itu langsung kepada Agung Sedayu, atau dengan cara yang lain. Beberapa kali ia mencoba ingin mengatakan berterus terang. Tetapi setiap kali ia masih saja di bayangi oleh pertimbangan-pertimbangan yang lain.
"Apakah aku justru harus melaporkannya kepada Ki Untara agar ia tidak saja sekedar mengetahui bahwa ada benalu didalam lingkungannya, tetapi juga dapat membersihkannya sampai keakarnya " " pendapat itu kadang-kadang tumbuh dihatinya.
Tetapi jika demikian ia harus mempunyai bukti yang dapat menunjukkan kebenaran laporannya, sehingga ia tidak dapat dituduh telah memfitnah.
"Tetapi jika aku terlalu lama menunggu, mungkin sesuatu sudah terjadi pada Agung Sedayu," katanya pula didalam hati.
Dengan demikian, maka Sabungsari itupun masih saja dibayangi oleh keragu-raguan. Ia ingin melakukan sesuatu, tetapi ia harus mengumpulkan bukti dan mendapatkan jalan yang paling baik untuk melakukannya.
"Jika Agung Sedayu sependapat, mungkin aku akan dapat menjebaknya," berkata Sabungsari didalam hatinya, "sementara Ki Untara dapat diberi tahu untuk menyaksikan peristiwa yang dapat menjadi bukti bahwa seseorang telah berusaha untuk membunuh adiknya."
Namun segalanya masih merupakan pertimbangan-pertimbangan yang belum mapan. Sementara kegelisahannya menjadi semakin menyala didalam hatinya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa mereka yang menginginkan kematian Agung Sedayu telah menunggu dengan gelisah. Dari hari ke hari mereka menanti, apakah ada berita kematian Agung Sedayu atau bahkan Sabungsari yang ingin berperang tanding.
Tetapi berita itu tidak kunjung datang. Agung Sedayu masih tetap hidup, dan bahkan Sabungsari justru hampir mati tidak melawan Agung Sedayu, tetapi melawan Carang Waja dari Pesisir Endut.
"Aku akan menjumpainya," berkata seorang prajurit kepada kawannya.
"Jangan salah seorang diantara kita," jawab yang lain, "biarlah Ki Pringgajaya mengambil cara yang sebaik-baiknya menurut perhitungannya."
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terserahlah. Tetapi waktunya sudah cukup lama. Jika kita masih menunggu, maka pada saat kita akan kecewa, karena segala kesempatan telah berlalu."
"Tentu Ki Pringgajaya telah mempertimbangkannya," desis yang lain.
Kawan kawannya tidak menyahut lagi. Segala sesuatunya akan diserahkan kepada orang-orang yang lebih tua. Baik dalam usia, maupun dalam tataran keprajuritan. Apalagi mereka mengetahui, meskipun Sabungsari masih muda, tetapi ia memiliki kemampuan yang luar biasa.
Dalam pada itu, seperti yang mereka perhitungkan, maka kelambanan sikap Sabungsari telah membuat orang-orang yang ingin menyingkirkan Agung Sedayu itu menjadi tidak telaten. Apalagi tugas mereka bukannya sekedar menyingkirkan Agung Sedayu. Tetapi orang-orang Sangkal Putung itupun harus mendapat perhatian mereka. Swandaru, isterinya, adiknya dan gurunya merupakan orang-orang yang berbahaya, yang dapat membuat Mataram bertambah kuat.
Jika Pandan Wangi harus juga disingkirkan, maka Tanah Perdikan Menorehpun harus diperhitungkan. Dalam beberapa hal, maka Mataram telah bekerja bersama, tidak saja dengan Kademangan Sangkal Putung, tetapi juga dengan Tanah Perdikan Menoreh.
"Aku akan menemui anak itu," berkata Pringgajaya kepada para prajurit yang ada dibawah pengaruhnya.
"Berhati-hatilah Ki Lurah," berkata salah seorang prajuritnya.
"Jangan gurui aku. Kau kira aku takut dengan tatapan matanya " Jika ia mampu membunuh seekor kambing dengan tatapan matanya, yang barangkali juga karena itu maka ia berhasil mengalahkan Carang Waja di Sangkal Putung, maka tatapan matanya itu tidak akan berarti apa-apa atasku. Jika mata itu menghantam lawan dengan sentuhan wadag, maka tatapan matanya tidak akan dapat menyentuh aku."
Para prajurit itu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Pringgajaya memiliki aji Lembu Sekilan, sehingga dengan demikian, maka ia seakan-akan dapat menahan serangan dalam ujud apapun juga atas wadagnya pada jarak sejengkal dari kulitnya.
Dengan demikian, maka keragu-raguan Sabungsari ternyata membuat orang-orang yang menginginkan kematian Agung Sedayu itu menjadi tidak telaten. Sementara Sabungsari masih mencari cara yang paling baik untuk mengatasi persoalan itu, maka iapun terkejut ketika seorang prajurit Pajang di Jati Anom yang termasuk tataran yang lebih tinggi telah mencarinya.
"Ki Pringgajaya," desis Sabungsari ketika ia sudah menghadap.
"Ya. Aku kira kau sudah tahu maksudku," berkata Pringgajaya.
"Aku sudah mengerti."
"Kau sudah pernah membuat pangeram-eram. Dengan tatapan matamu kau dapat membunuh seekor kambing pada jarak yang cukup jauh. Kemudian menurut pendapatku, dengan cara yang sama kau bunuh Carang Waja."
Sabungsari mengangguk. Katanya, "Benar. Aku telah melakukannya."
"Lalu, bagaimana dengan Agung Sedayu ?"
Pertanyaan itulah yang dicemaskan oleh Sabungsari. Ia masih belum menemukan cara untuk membuktikan hal itu. Bukan sekedar melaporkan. Seandainya hal itu diketahui oleh Agung Sedayu, maka agaknya anak muda itupun tidak cepat mempercayainya, karena ia tidak segera berprasangka buruk terhadap orang lain.
"Apakah kau masih tetap pada rencanamu ?" bertanya Pringgajaya itu pula.
Sabungsari mengangkat wajahnya. Katanya, "Ki Pringgajaya. Dari jauh aku datang kemari. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri. Tidak ada orang lain yang pantas membunuh Agung Sedayu, kecuali aku sendiri. Aku akan menentang setiap usaha orang lain dengan cara apapun juga, karena hal itu akan merendahkan martabatku."
Pringgajaya tersenyum pahit. Katanya, "Kau hanya dapat berbicara. Kau sudah terlalu lama berada disini. Tetapi Agung Sedayu itu lecetpun tidak."
"Aku tidak tergesa-gesa," jawab Sabungsari, "tetapi justru karena itu aku hampir menyesal. Sebelum aku dapat membunuh Agung Sedayu, aku hampir mati karena Carang Waja."
"Kau memang terlambat. Atau barangkali kau takut menghadapi Agung Sedayu setelah kau mengenalnya ?"
"Tidak ada seorangpun yang aku takuti didunia ini," berkata Sabungsari.
"Kau terlalu sombong. Pada suatu saat kau akan terjebak oleh kesombonganmu. Jika kau berhasil mencekik anak kambing sakit-sakitan itu dengan tatapan matamu, kau kira kau dapat berbuat sekehendakmu " Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku dengan tatapan matamu dalam sentuhan wadag itu." Pringgajaya berhenti sejenak, "karena itu jika kau memang sudah tidak yakin akan dapat melakukannya, katakan kepadaku. Aku akan melakukannya. Tugasku masih luas. Aku harus melumpuhkan segala dukungan bagi Mataram oleh kekuatan disekitar tlatah Mataram. Karena yang paling akrab adalah Sangkal Putung, maka segala kekuatan Sangkal Putung akan aku lumpuhkan lebih dahulu. Dengan demikian maka jalan antara Pajang ke Mataram telah terbuka."
"Aku memang akan membunuh Agung Sedayu," sahut Sabungsari, "tetapi dalam hubungan yang lain. Aku tidak bersangkut paut dengan pertentangan antara Pajang dan Mataram. Tetapi dendam pribadi telah membakar jantungku. Demikian aku sembuh sama sekali dari luka-lukaku yang parah dalam pertempuran melawan Carang Waja, maka aku akan segera melakukannya," geram Sabungsari dengan sungguh-sungguh.
"Aku akan menunggu dalam beberapa hari ini," berkata Pringgajaya.
"Aku masih memerlukan waktu sepekan untuk memulihkan kesehatanku sehingga segala kekuatan dan kemampuanku akan berada pada tingkat puncaknya. Satu dua hari kemudian, aku akan dapat melakukannya. Adalah kebetulan sekali bahwa gurunya kini tidak ada dipadepokan kecilnya itu."
Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, "Apapun alasanmu, namun yang penting bagiku adalah kematiannya. Bukan maksudku memanfaatkan dendammu kepada Agung Sedayu, karena akupun merasa mampu melakukannya. Tetapi justru karena aku ingin memberimu kesempatan, maka aku membiarkan kau melakukannya. Tetapi jika dalam niat itu justru kau yang terbunuh, maka aku sudah siap untuk melakukannya sendiri."
"Ki Pringgajaya nampaknya tidak yakin akan kemampuanku. Baiklah. Pada suatu saat aku akan membuktikannya," berkata Sabungsari yang terpaksa menahan hati.
Pringgajaya tertawa. Katanya, "Jangan menunggu sampai aku dipindahkan dari Jati Anom."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, "Apa salahnya kalau Ki Pringgajaya sudah dipindahkan keluar daerah ini. Apakah kematian Agung Sedayu akan berselisih nilainya."
"Aku ingin melihat kematian itu agar aku pasti dan yakin. Bukan hanya sekedar mendengar kabar atau menurut pengakuan orang lain," jawab Ki Pringgajaya.
Sabungsari tertawa. Katanya, "Ki Pringgajaya akan melihatnya. Tunggulah barang sepekan. Aku masih belum dapat memulihkan kemampuanku sepenuhnya. Aku sadar, bahwa Agung Sedayu bukan anak kecil."
"Kalau pada suatu saat kau menjadi ketakutan, katakanlah kepadaku. Aku akan melakukannya."
Sabungsari tertawa semakin panjang. Jawabnya, "Baiklah. Tetapi Ki Pringgajaya jangan terlalu sombong, agar tidak menggelitik hati untuk sekali melihat kemampuanmu yang sebenarnya."
Ki Pringgajayalah yang tertawa. Katanya, "Kau kira karena kau sudah berhasil membunuh Carang Waja kau merasa dirimu tidak ada duanya. Kau kira bahwa dengan permainanmu membunuh anak kambing itu. kau sudah orang terpilih didunia ?"
"Aku tidak berkata begitu. Tetapi aku akan dapat membunuh Agung Sedayu dengan ilmuku itu. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga perwira yang paling baik yang ada di Jati Anom."
"Untara maksudmu?" bertanya Pringgajaya, "ia bukan orang terbaik. Memang ia memegang jabatan tertinggi disini. Tetapi kau kira ia memiliki ilmu yang cukup tinggi?"
"Siapa yang mampu melampaui ilmu Untara ?" bertanya Sabungsari.
Pringgajaya tertawa. Katanya, "Aku ditempatkan pada jabatan dibawah jabatan Untara bukan karena aku tidak mampu mengimbangi kemampuannya. Tetapi dengan demikian, aku akan lebih leluasa untuk berbuat bersama orang-orangku."
"Apakah masih ada orang yang lebih baik dari Ki Pringgajaya ?" bertanya Sabungsari.
Wajah Ki Pringgajaya menjadi tegang. Sementara Sabungsari berkata selanjutnya, "Orang itu tentu akan dikalahkan oleh Agung Sedayu. Aku yakin. Hanya aku sajalah yang akan dapat membunuhnya."
Sorot mata Ki Pringgajaya bagaikan menyala. Dengan nada datar ia berkata tertahan-tahan, "Apakah dengan demikian kau bermaksud menjajagi keteguhan hatiku " Atau bahkan kau ingin membuktikan apakah aku benar-benar dapat membunuh Agung Sedayu " Anak muda, aku yakin aku akan dapat melakukannya. Bahkan membunuhmu sekalipun."
Sabungsari tertawa. Katanya, "Jangan marah. Aku tidak bermaksud buruk. Tetapi serahkan Agung Sedayu kepadaku. Aku akan menyelesaikannya setelah sepekan."
"Jika aku tidak ingin memberi kesempatan. Agung Sedayu tentu sudah mati. Aku kira kau telah salah paham. Kau kira, karena ancamanmu dengan membunuh seekor anak kambing, aku menjadi ketakutan dan lebih baik melepaskan maksud itu."
"Tidak. Aku tidak ingin menakuti. Aku tahu kau seorang prajurit yang tidak mengenal takut. Aku hanya ingin meyakinkan, bahwa aku tentu akan berhasil."
Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Nampaknya anak muda itu tidak terlampau sombong. Namun demikian ia masih ingin meyakinkan, "Aku memberi waktu dua pekan seperti yang kau perhitungkan. Jika waktu itu lewat dan Agung Sedayu masih tetap hidup, maka aku tidak akan menunggu lagi. Bahkan jika kau mencoba menghalangi, maka kau akan mati lebih dahulu dari Agung Sedayu."
"Terima kasih atas waktu yang kau berikan. Waktu itu cukup longgar bagiku," jawab Sabungsari.
Ki Pringgajaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, "Marilah, kita akan melihat apa yang akan terjadi."
Demikian pertemuan itu membuat Sabungsari semakin gelisah. Ia sudah berganti sikap dan pendirian. Ia sama sekali tidak lagi ingin membunuh Agung Sedayu. Namun demikian, ia masih ingin mendapatkan cara yang sebaik-baiknya untuk menjebak Ki Pringgajaya agar ia tidak sekedar disebut seorang yang memfitnah karena laporan yang tidak dapat dibuktikan.
"Apakah aku biarkan saja Ki Pringgajaya berhadapan dengan Agung Sedayu," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Namun ia menjadi cemas. Meskipun menurut perhitungan Sabungsari, Agung Sedayu tidak akan dapat dikalahkan oleh Ki Pringgajaya, namun Agung Sedayu tidak mempunyai kemantapan bertempur untuk membunuh seseorang. Karena itu, maka jika ia salah langkah setapak, maka jiwanya tentu akan terancam.
Sabungsari membayangkan, bagaimana Agung Sedayu berusaha mengalahkannya. Jika saat itu ia berbuat curang, maka kemungkinan yang lain dapat saja terjadi.
Dengan demikian Sabungsari masih dapat berbangga terhadap dirinya sendiri, meskipun ia telah dikalahkan oleh Agung Sedayu, bahwa ia masih tetap bersikap jantan dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
"Tetapi, bagaimana jadinya jika kemudian Agung Sedayu bertemu dengan lawan yang curang. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi berhadapan dengan kecurangan, maka mungkin sekali ia akan dapat dihancurkan," berkata Sabungsari kepada dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka sabungsari menjadi bimbang, apakah yang sebaiknya dikatakan. Seandainya ia langsung menyampaikannya kepada Agung Sedayu, apakah ia dapat mempereayainya. Dan apakah justru Agung Sedayu tidak berusaha mencari pemecahan yang dapat menyulitkannya.
"Jika Agung Sedayu kemudian langsung menemui Ki Pringgajaya, dan bertanya, apakah maksud itu benar-benar akan dilakukan dalam usahanya mencapai penyelesaian tanpa pertumpahan darah, maka mungkin namaku akan disebut-sebut," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Untuk beberapa saat ia masih ragu-ragu. Namun ia masih mempunyai waktu dua pekan. Didalam waktu dua pekan itu, ia harus mendapatkan cara yang sebaik-baiknya untuk menghindarkan Agung Sedayu dari bencana, yang dapat ditimbulkan oleh Ki Pringgajaya dan orang-orangnya yang berada didalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom.
"Segalanya harus diperhitungkan," berkata Sabungsari didalam hatinya yang gelisah.
*** Sementara itu. Agung Sedayu sama sekali tidak menduga, bahwa bahaya yang baru telah mulai mengintainya lagi, setelah untuk waktu yang terhitung pendek, ia sempat beristirahat. Setelah Sabungsari menyadari dirinya. Agung Sedayu mengira, bahwa ia akan mendapat waktu untuk melupakan segala macam permusuhan dan dendam.
Namun ternyata bahwa orang-orang didalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom telah mulai lagi untuk mengusiknya.
Agung Sedayu sendiri, yang pada suatu saat telah condong untuk menentukan masuk menjadi prajurit, agaknya telah membatalkan niatnya. Setidak-tidaknya untuk sementara. Dari Raden Sutawijaya ia pernah mendengar, bahwa ia merupakan orang yang dapat memanfaatkan diri justru karena ia tidak menduduki jabatan apapun. Selain itu, ia sendiri menjadi semakin bingung, jika ia ingin menjadi seorang prajurit, apakah ia harus pergi ke Pajang atau ke Mataram.
Agung Sedayu sadar, bahwa dengan demikian, ia akan mengecewakan Sekar Mirah. Namun ia tidak akan dapat menentukan satu pilihan yang mantap dalam keadaan yang suram oleh mendung diatas langit Pajang dan Mataram.
Karena itu, satu-satunya pilihan baginya, adalah untuk sementara mengurungkan niatnya memasuki lapangan keprajuritan.
Tetapi karena itu, justru ia telah tenggelam kedalam satu kesibukan dipadepokan kecilnya. Glagah Putih yang merasa dirinya tertinggal itu telah bekerja keras untuk mengejar ketinggalannya.
"Dari siapa kau merasa tertinggal " " kadang-kadang Agung Sedayu bertanya, "menurut pengetahuanku, kau memiliki kelebihan dari kebanyakan anak-anak muda seumurmu."
"Kakang selalu berusaha menyenangkan hatiku. Jika kakang memperbandingkan kemampuanku dengan gembala yang sering menggembalakan kambingnya disekitar padepokan ini, mungkin aku memang mempunyai kelebihan. Tetapi jika kakang menyebut beberapa nama dari anak-anak muda yang berilmu, maka aku benar-benar seorang anak muda yang tidak berguna sama sekali," jawab Glagah Putih.
* * * Buku 127 "JANGAN memperkecil diri sendiri. Jika kau berusaha untuk meningkatkan ilmu adalah suatu usaha yang baik. Tetapi jika kau kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, maka usahamu sebagian telah gagal," berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih mencoba mengerti keterangan kakaknya. Karena itu, ia tidak kehilangan gairah yang menyala didalam hatinya untuk berlatih.
"Tetapi kau jangan merasa bahwa usahamu akan berhasil dengan menyandarkan kepada kemampuanmu sendiri," berkata Agung Sedayu karena betapapun jauhnya kita berusaha, segalanya tergantung kepada belas kasihan Yang Maha Agung. Namun hanya orang yang berusaha sajalah yang akan mendapatkan belas kasihan-Nya, karena usaha adalah ujud dari permohonan yang bersungguh-sungguh."
Glagah Putih berusaha untuk menempatkan diri pada kedudukan seperti yang dimaksud kakak sepupunya. Ia mohon kepada Yang Maha Tinggi. Untuk menunjukkan kesungguhan dari permohonannya, maka iapun telah berusaha sejauh dapat dilakukan.
Namun dalam pada itu, pada saat tertentu. Agung Sedayu telah mulai berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Meskipun masih sangat terbatas.
Sejak sore hari, ia biasanya menenggelamkan diri di sanggarnya bersama Glagah Putih. Ternyata Glagah Putih memiliki kemampuan yang luar biasa, yang dapat membuat ketahanan tubuhnya menjadi semakin meningkat. Seolah-olah ia tidak merasa lelah sama sekali, meskipun ia sudah berlatih untuk waktu yang lama.
Tetapi Agung Sedayulah yang membatasi waktunya. Jika Glagah Putih telah berlatih cukup lama, maka Agung Sedayu telah menghentikan latihan itu dan meneruskan dihari berikutnya. Ia masih tetap pada acaranya, bahwa disiang hari, Glagah Putih harus meningkatkan tenaganya, menyesuaikan diri dengan kerjanya sehari-hari. Setiap pagi Glagah Putih masih harus menyapu halaman yang luas dengan tanpa tapak kaki. Glagah Putih harus membelah kayu bakar. Semakin lama, beban yang diberikan oleh Agung Sedayu kepadanya menjadi semakin berat, sementara jalannya menuju kesawahpun menjadi semakin jauh dan sulit. Untuk menghindari pertanyaan orang-orang lain, maka Glagah Putih memilih jalan yang paling sepi. Karena itu, maka ia selalu menyusuri sungai ketika ia berangkat dan kembali dari sawah. Dengan niat yang membara dihatinya, maka Glagah Putih selalu berloncatan dari batu kebatu. Meloncat naik tebing, kemudian menuruninya kembali. Berlari-lari, bahkan kadang-kadang ia mempergunakan sebagian waktunya untuk melatih kemampuan tangannya di pasir tepian. Kadang-kadang dibawah petunjuk Agung Sedayu, Glagah Putih berusaha mengembangkan kemampuan bidiknya dengan mempergunakan batu-batu kerikil. Di sungai yang jarang diambah kaki manusia, Glagah Putih berlatih mempergunakan bandil. Dan bahkan lontaran tangan. Sambil berlari-lari dan meloncat-loncat antara bebatuan, Glagah Putih telah melempar satu sasaran dengan batu sebesar telur ayam. Dikesempatan lain, sasarannyalah bergerak. Bahkan kemudian Glagah Putih yang bergerak berusaha untuk mengenai sasaran yang bergerak pula.
"Lambat laun, kemampuan bidikmu akan meningkat," berkata Agung Sedayu.
"Kakang Agung Sedayu termasuk orang aneh," berkata Glagah Putih. "Sambil memejamkan mata, kakang dapat mengenai sebuah batu yang dilontarkan diudara."
"Ah, itu berlebih-lebihan. Jika aku memejamkan mata, mana mungkin aku dapat membidik sasaran. Jika memejamkan sebelah mata, barulah mungkin dilakukan."
Namun bagi Glagah Putih, kemampuan bidik Agung Sedayu benar-benar diluar jangkauan nalarnya. Seolah-olah Agung Sedayu telah meletakkan matanya pada alat pelemparnya, sehingga lemparannya tidak pernah meleset dari sasaran.
Sebenarnyalah bahwa perlahan-lahan, dengan mempergunakan sisa waktu yang ada, Agung Sedayu telah meningkatkan kemampuannya. Dengan sangat berhati-hati ia mulai mencoba melihat isi kitab yang pernah dibacanya atas kebaikan hati Ki Waskita.
Tetapi Agung Sedayu masih belum berbuat sesuatu. Ia baru sekedar melihat kembali pada ingatannya, apa saja yang pernah dibacanya pada kitab Ki Waskita.
Pada kesempatan yang tersisa, Agung Sedayu duduk, menyendiri didalam sanggar. Biasanya jika Glagah Putih telah tertidur setelah memeras tenaganya.
Sambil duduk dibawah lampu minyak, Agung Sedayu mencoba untuk mengingat bait demi bait tulisan yang pernah dibacanya. Kemudian dengan sedikit catatan pada helai-helai rontal, ia memisahkan jenis dan sasaran bagian demi bagian dari ilmu yang tertera didalam kitab itu.
Agung Sedayu benar-benar harus berhati-hati dengan penelaahan ilmu itu. Karena itu, yang mula-mula dilihatnya barulah bagian pertama. Dengan teliti ia membagi hubungan antara isi kitab itu dengan kemampuan ilmu yang ada padanya. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali. Ia harus mengenal sifat, watak dan segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam hubungan antara ilmu yang ada didalam dirinya. Bukan saja dengan ilmu yang dipelajarinya dari Kiai Gringsing, tetapi juga ilmu yang temurun dari ayahnya lewat lukisan-lukisan yang terdapat didin-ding goa yang pernah dipelajarinya.
Baru kemudian, ia akan melihat kedalaman ilmu dari kitab yang dipinjamnya dari Ki Waskita sampai kehakekatnya.
Demikian berhati-hati Agung Sedayu dengan penelaahannya, sehingga tidak seorangpun yang mengetahuinya. Glagah Putih juga tidak, seperti ia merahasiakan kitab yang pernah dibacanya. Tidak seorangpun yang boleh mengetahuinya, kecuali Kiai Gringsing.
Namun dalam beberapa hal, ketajaman nalar Agung Sedayu telah menyentuh hubungan antara ilmunya dengan ilmu yang pernah dibacanya dari kitab itu. Betapa ia berhati-hati, sehingga untuk mengenal setiap unsur dari ilmu yang dibacanya dari kitab Ki Waskita, Agung Sedayu harus mengujinya dua tiga kali. Baru ketika ia sudah yakin, barulah ia mencoba untuk mencari singgungan. Dalam tahap permulaan, ia baru merambah jalan untuk mencari kemungkinan agar ilmu itu dapat luluh, namun masih tetap memiliki wataknya masing-masing dalam ungkapan-ungkapan tertentu.
Yang dilakukan Agung Sedayu barulah penjelajahan didalam angan-angan dan kemudian di guratkannya beberapa bentuk dan ujud gerak pada rontal. Ia memang mencoba beberapa unsur gerak meskipun sambil duduk. Ia mencoba melihat sesuatu yang terjadi pada gerak jari-jarinya, gerak pergelangan tangannya dan kemudian gerak lengannya.
Tetapi Agung Sedayu baru sampai kepada bentuk dan ujud lahiriah yang mungkin akan dapat menjadi landasan kedalaman gerak bukan saja wadagnya. Tetapi gerak wadag itu akan dapat dipergunakannya untuk melontarkan kekuatan cadangan yang bukan saja terdapat didalam dirinya, tetapi yang dapat diserapnya dari kesatuan dirinya dengan lingkungannya. Dunia kecilnya dengan dunia besarnya.
Meskipun yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu tidak lebih dari duduk bersilang kaki sambil menggerakkan jari-jarinya, pergelangan tangan, lengan dan pundaknya, namun ia merasa telah melakukan pekerjaan yang berat sekali. Jauh lebih berat dari yang dilakukannya bersama Glagah Putih untuk waktu yang lebih singkat.
Menyadari betapa sulit dan peliknya persoalan yang dihadapinya, maka Agung Sedayupun menjadi sangat berhati-hati dan perlahan-lahan sekali. Yang dilakukannya adalah yang paling mudah dan paling tidak berbahaya, sementara ia masih menunggu kesempatan kedatangan gurunya dipadepokan kecil itu.
Namun demikian, yang sangat perlahan-lahan itu, telah mulai nampak pengaruhnya. Meskipun pengaruh itu belum mendasar, sekedar tompangan pada alas yang memang sudah ada, namun terasa, bahwa pada bagian-bagian tertentu, kemampuan Agung Sedayu sudah meningkat.
Pernafasannya menjadi lebih baik dan urat-uratnya-pun seolah-olah menjadi semakin liat. Penguasaan tubuhnya menjadi bertambah mapan, sehingga gerak-gerak naluriahnya tidak terlepas dari pengendalian akalnya. Bahkan saluran perintah dari pusat sarafnya kesegenap tubuhnya menjadi lebih cepat, seperti juga meningkatnya kecepatan gerak anggauta badannya.
Perubahan-perubahan itu telah disadari oleh Agung Sedayu, meskipun perlahan-lahan sekali. Namun dengan tekun ia mempelajari setiap perkembangan. Tidak tergesa-gesa dan dengan penuh kesadaran Agung Sedayu memelihara keseimbangan yang ada didalam dirinya.
Agung Sedayu sama sekali tidak berani merambah pengamatannya pada dasar-dasar ilmu yang dapat memberikan kekuatan pada sorot matanya, meskipun pada dasarnya ia sudah memiliki kemampuan itu. Dan pada bagian ilmu yang tidak bersifat wadag lainnya, yang telah dipahami atau belum oleh Ki Waskita sendiri.
Namun sementara itu, Sabungsari masih saja digelut oleh kegelisahannya. Ia masih belum menemukan jalan yang paling baik, untuk mengatasi kemungkinan yang buruk, yang dapat terjadi atas Agung Sedayu karena pokal Ki Pringgajaya.
Sekali-sekali jika ia kehilangan kebeningan nalarnya, ia bertekad untuk menantang Ki Pringgajaya dalam perang tanding untuk menyelesaikan masalah itu tanpa diketahui oleh Agung Sedayu. Namun setiap kali, ia selalu mengurungkan niatnya. Jika hal itu diketahui oleh Untara dari para pengikut Pringgajaya, maka ia akan mendapat hukuman karena ia telah melawan seorang perwira. Sedangkan alasannya tidak akan dapat dikatakannya dengan disertai bukti-bukti yang dapat menguatkan keterangannya, sehingga ia justru dapat dituduh memfitnah.
Akhirnya, Sabungsari merasa tidak mempunyai jalan lain kecuali menyampaikannya kepada Agung Sedayu sendiri.
"Jika Agung Sedayu menyebut namaku, dan Ki Pringgajaya marah kepadaku, apaboleh buat. Aku akan sekedar membela diriku. Mungkin aku akan dapat mengelak dan mencari saksi apabila hal itu akan terjadi, sebelum aku menerima tantangannya untuk berperang tanding," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Karena itulah, maka iapun kemudian mengambil keputusan untuk menyampaikan masalah itu kepada Agung Sedayu sendiri sebelum waktu yang tersisa itu habis.
Namun ketika Sabungsari kemudian datang kepadepokan Agung Sedayu, keragu-raguannya telah membayang kembali, Ketika ia melihat Agung Sedayu sibuk berlatih bersama Glagah Putih, Sabungsari menjadi bimbang.
"Agung Sedayu akan menjadi gelisah," berkata Sabungsari didalam hatinya, "tetapi jika aku tidak menyampaikannya kepadanya, maka pada suatu saat ia akan diterkam oleh kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi atasnya. Anak muda itu mempunyai sikap yang agak lain dari anak-anak muda sebayanya. Ia banyak menghindari kemungkinan terjadinya kematian. Namun dengan demikian, kadang-kadang ia sendiri terperosok kedalam kesulitan. Betapapun ia mempunyai ilmu yang tinggi, namun sikapnya kadang-kadang membuatnya menjadi orang yang paling lemah didaerah yang panas ini."
Beberapa saat, Sabungsari bergulat dengan pertimbangan-pertimbangan yang kadang-kadang saling bertentangan, sehingga karena itu, maka ia lebih banyak duduk diam dengan kesibukan angan-angannya sendiri.
Untunglah bahwa ia berada disanggar ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sedang berlatih, sehingga kedua orang itu tidak memperhatikan sikap Sabungsari yang gelisah.
"Tidak ada jalan lain," geram Sabungsari kemudian.
Namun Sabungsari berniat untuk mengatakannya tanpa Glagah Putih. Jika anak itu mendengar, maka ia akan mempunyai tanggapan dan sikap tersendiri yang mungkin akan mempengaruhi segala macam pertimbangan dan perhitungan yang akan dibuat oleh Agung Sedayu untuk mengatasi persoalan itu dengan cara yang paling baik.
Beberapa saat Sabungsari masih menunggu latihan itu selesai. Ia masih sempat memperhatikan, betapa Glagah Putih sudah menjadi semakin maju.
"Cepat sekali," gumam Sabungsari didalam dirinya.
Namun Sabungsaripun melihat tekad yang menyala dihati Glagah Putih, sementara Agung Sedayupun memiliki cara yang tepat untuk menurunkan ilmu warisan Ki Sadewa itu, sehingga dengan demikian, maka kemampuan Glagah Putihpun meningkat dengan cepat.
Ketika mereka sudah cukup lama berlatih, maka Agung Sedayupun menghentikan latihan itu. Meskipun Glagah Putih masih berminat, tetapi Agung Sedayu berkata, "Saat-saat latihanmu bukan hanya saat ini. Tetapi waktu yang akan kau pergunakan masih cukup lama, sehingga kau tidak boleh memaksa diri tanpa menghiraukan keadaan wadagmu."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia sudah mendengar kakaknya mengatakannya berpuluh-puluh kali jika ia menghentikan latihan.
Sabungsari yang melihat Glagah Putih kecewa, tersenyum sambil berkata, "Agaknya kau ingin menyelesaikan ilmumu sekarang juga ?"
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum.
"Beristirahatlah," berkata Agung Sedayu kemudian.
Glagah Putihpun kemudian keluar sanggar. Ia berjalan beberapa saat diluar untuk mengeringkan keringatnya. Baru kemudian ia pergi kepakiwan untuk mandi.
"Luar biasa," desis Sabungsari, "ternyata anak kurus itu memiliki tenaga dan kemauan yang luar biasa. Ilmunya cepat sekali maju dan bahkan telah mulai nampak kelebihannya yang akan dapat dikembangkan."
"Kemauannya yang luar biasa itulah yang mendorongnya mempercepat peningkatan kemampuannya. Ia tidak mengenal lelah. Disiang hari ia mengembangkan kekuatan dan ketrampilan tubuhnya. Dimalam hari ia mempelajari unsur-unsur gerak dari ilmu yang disadapnya. Semuanya dilakukan dengan tekun dan bersungguh-sungguh tanpa melalaikan kerjanya sehari-hari disawah dan pategalan."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya kegelisahan yang ada didalam hatinya dapat dilihat oleh Agung Sedayu pada kerut diwajahnya, sehingga karna itu, maka Agung Sedayupun bertanya, "Sabungsari, apakah kau mempunyai keperluan khusus, atau sekedar melihat-lihat Glagah Putih berlatih seperti biasanya ?"
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku mempunyai kepentingan sedikit Agung Sedayu. Sebaiknya aku katakan kepadamu sebelum Glagah Putih hadir lagi disanggar ini."
Wajah Agung Sedayu menegang. Sabungsari pernah mengatakan seperti yang dikatakannya itu. Kemudian mengajaknya berjalan-jalan menyusur sungai. Namun akhirnya ia harus mengadu ilmu dengan anak muda itu.
Tetapi saat itu Sabungsari bertanya, "Apakah kau mempunyai waktu sedikit saja untuk mendengarkan ?"
"Katakanlah," sahut Agung Sedayu.
Sabungsari masih tetap ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, "Agung Sedayu. Ternyata bahwa dendam yang kau hadapi, masih membara di Jati Anom ini."
Wajah Agung Sedayu menjadi semburat merah.
Namun ia tidak bertanya. Dibiarkannya Sabungsari meneruskan kata-katanya setelah ia melihat kepintu sekilas," Agung Sedayu. Aku bukan satu-satunya orang yang menginginkan kematianmu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terasa pedih dihatinya bagaikan disiram garam.
"Maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu gelisah dan barangkali bingung. Tetapi aku hanya ingin sekedar memperingatkan agar kau tetap berhati-hati."
"Darimana kau mengetahui hal itu " Apakah kau datang membawa beberapa orang kawan selain para pengikutmu " Mungkin anak orang-orang yang terbunuh dipeperangan itu selain Ki Gede Telengan ?"
Sabungsari menggeleng. Jawabnya, "Bukan mereka Agung Sedayu, meskipun masih ada hubungannya juga dengan pertempuran dilembah itu. Tetapi hubungan lewat jalur yang sudah berbelit-belit, bahkan sudah kusut, sehingga sulit untuk menelusurinya. Namun jelas, bahwa yang sekarang mengancam keselamatanmu adalah juga orang-orang yang berada didalam barisan orang-orang yang merindukan kembali masa-masa lampau tanpa mengingat perkembangan dan peredaran waktu."
"Darimana kau tahu " Apakah mereka berhubungan dengan kau sebagai anak Telengan ?"
Sabungsari menggeleng. Katanya, "Meskipun ayahku berada didalam barisan itu pula, tetapi aku datang karena dendamku pribadi."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Sabungsari dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin melihat isi hati anak muda itu.
"Apakah kau mulai ragu ragu lagi tentang aku, Agung Sedayu ?" bertanya Sabungsari kemudian.
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak Sabungsari. Tetapi aku benar-benar menjadi bingung. Apakah sebenarnya yang telah terjadi di Jati Anom, yang berhubungan dengan kehadiranku disini."
"Agung Sedayu. Kau harus menyadari, bahwa justru karena pengabdianmu bagi tegaknya kemanusiaan, kau telah berdiri diujung dendam yang membara dihati beberapa orang yang merasa kehilangan seperti aku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun dapat menepuk dada dengan mengatakan, bahwa yang dilakukan itu adalah pengabdian terhadap peri kemanusiaan. Ia telah berjuang melawan kelaliman, ketidak adilan dan bahkan kesewenang-wenangan. Tetapi jika terbayang didalam angan-angan Agung Sedayu sikap Rudita yang memancarkan kejernihan budi, maka rasa-rasanya Agung Sedayu dihadapkan pada suatu bayangan tentang dirinya sendiri yang berwajah gelap meskipun ditangannya terdapat lampu yang menyala betapapun terangnya.
Beberapa saat lamanya Agung Sedayu berdiam diri. Yang mula-mula berbicara adalah Sabungsari menyambung kata-katanya, "Karena itu Agung Sedayu, kau harus selalu menjaga diri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Yang dikatakan oleh Sabungsari itu adalah suatu keadaan yang tidak dapat diingkarinya. Bahwa ia memang berada dalam ancaman dendam yang tidak ada taranya.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian, "kau nampaknya ingin menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan dendam itu. Katakanlah."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Ya. Aku akan mengatakan sesuatu tentang dendam atas dirimu."
"Katakanlah," desis Agung Sedayu dengan nada dalam.
Sabungsari beringsut setapak. Sejenak ia memandang wajah Agung Sedayu yang nampak bersungguh-sungguh.
"Agung Sedayu," berkata Sabungsari, "sebenarnya sudah sejak lama seseorang menghendaki kematianmu selain aku pada waktu itu. Aku sudah hampir mengatakan hal ini kepadamu, tetapi aku selalu ragu-ragu."
"Sekarang kau tidak perlu ragu-ragu lagi. Aku tetap mempercayaimu," sahut Agung Sedayu.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berdesis, "Terima kasih. Mudah-mudahan dengan demikian, kau akan dapat menjaga dirimu tanpa menimbulkan persoalan-persoalan baru yang dapat menggelisahkanmu."
"Katakan," Agung Sedayu menjadi tidak sabar lagi melihat keragu-raguan Sabungsari.
Sabungsari mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Agung Sedayu. Pada waktu itu, seorang perwira didalam lingkungan keprajuritan Pajang telah mengancammu. Menurut perhitungannya, kau harus disingkirkan. Siapapun yang melakukannya. Pada waktu itu, aku yang juga sedang dibakar oleh dendam telah menyatakan diri untuk membunuhmu dengan tanganku. Tetapi ternyata bahwa aku tidak dapat melakukannya."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara Sabungsari melanjutkan, "Tetapi ternyata yang terjadi adalah seperti ini. Perwira itu agaknya tidak sabar lagi. Ia telah datang kepadaku dan bertanya tentang kematianmu."
Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tegang. Sementara itu Sabungsari berkata pula, "Ada alasan, kenapa aku tidak segera melakukannya. Aku mengatakan, bahwa aku telah terperosok kedalam pertempuran yang membuat aku terluka parah melawan Carang Waja. Karena itu, maka aku terpaksa menunda rencanaku untuk membunuhmu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Tetapi kini ia menagih, apakah aku masih akan melakukannya."
"Apa katamu," bertanya Agung Sedayu.
"Aku minta waktu dua pekan untuk memulihkan kesehatanku karena luka-lukaku melawan Carang Waja. Yang dua pekan itu kini sudah hampir habis. Sementara itu aku masih selalu ragu-ragu, apakah yang sebaiknya aku lakukan tanpa membuatmu gelisah."
Agung Sedayu termenung sejenak. Agaknya ia sedang mempertimbangkan apakah yang sebaiknya dilakukan.
Tiba-tiba saja Sabungsari terhenyak karena seperti yang diduganya, Agung Sedayu berkata, "Sabungsari. Betapapun kerasnya hati seseorang, namun ia tentu masih dapat mempertimbangkan pendapat orang lain. Aku akan menemuinya dan membicarakan, apakah yang sebenarnya dikehendaki sehingga ia berniat untuk menyingkirkan aku."
Sabungsari menggigit bibirnya. Sejenak ia bagaikan membeku. Namun kemudian ia berkata, "Agung Sedayu. Aku sudah memperhitungkan, bahwa kau akan berbuat demikian. Kau akan datang menjumpainya dan mempersoalkan niat itu. Kau tentu menganggap bahwa orang itu akan dapat kau ajak berbicara, kemudian membuatnya menyadari kesalahan dan kekeliruannya."
"Aku masih percaya akan hati nurani seseorang," jawab Agung Sedayu.
"Kau keliru. Aku sendiri adalah orang yang keras hati. Yang tidak akan mungkin dapat menyelesaikan persoalanku denganmu hanya dengan berbicara. Mungkin kau berhasil membuat aku ragu-ragu. Tetapi aku masih akan tetap mencoba membunuhmu. Jika kemudian niat itu aku urungkan, seperti yang sudah aku katakan, karena aku mengakui kemenanganmu. Seandainya aku sekarang mencoba menantangmu lagi, akupun tentu akan kau kalahkan pula."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Ragu-ragu yang timbul dihati seseorang, adalah pertanda bahwa ia membuat pertimbangan. Kaupun sudah membuat pertimbangan-pertimbangan yang bening waktu itu. Jika tidak, meskipun kau telah aku kalahkan, tentu kau tidak akan berhenti berusaha. Mungkin kau akan mengulangi perang tanding, tetapi mungkin kau akan mengorbankan kejantananmu dan berusaha membunuh aku dengan licik. Tetapi kau tidak melakukan hal itu, justru karena kau mulai mendengar kata hatimu. Nuranimu."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi ragu-ragu. Dan iapun sama sekali tidak berniat untuk mengulangi usahanya, membunuh Agung Sedayu. Namun demikian ia ingin meyakinkan, bahwa usaha Agung Sedayu untuk berbicara langsung dengan Ki Pringgajaya adalah sangat berbahaya. Apalagi Sabungsari masih belum mengetahui, betapa tingkat ilmu yang dimiliki oleh orang itu.
Menilik sikap dan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka Ki Pringgajaya adalah termasuk orang-orang yang pilih tanding, seperti orang-orang yang memimpin pasukan di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu, termasuk ayahnya, Ki Gede Telengan.
Karena itu, maka katanya, "Agung Sedayu. Kau jangan menilai tingkah laku seseorang dengan tingkah lakumu sendiri. Jangan mengukur sikap seseorang dengan sikap dan pendangan hidupnya. Kau harus percaya bahwa ada orang yang sama sekali tidak dapat mengerti dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Lebih buruk lagi, bahwa ada orang yang memanfaatkan sikap orang lain yang dianggapnya suatu kelemahan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sementara Sabungsari berbicara terus, "Tentu ada orang yang menganggap keragu-raguanmu, seribu macam pertimbangan-pertimbangan didalam hatimu sebelum kau berbuat sesuatu, juga usaha damaimu itu, sebagai suatu kelemahan. Dan tentu ada orang yang justru ingin memanfaatkannya. Menjebakmu dan kemudian berbuat sesuatu yang sangat jahat dan licik." ia berhenti sejenak, lalu. "ingat Agung Sedayu, akupun pernah berbuat demikian."
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, "Jadi apa yang baik menurut pertimbanganmu Sabungsari."
"Aku belum tahu apa yang sebaiknya kau lakukan," jawab Sabungsari, "jika bukan kau Agung Sedayu, mungkin aku menyarankan, agar datang saja kepadanya bersama beberapa orang saksi. Tantang berperang tanding dengan alasan yang dapat sajat dicari-cari tanpa menyebutkan persoalan yang sebenarnya."
"Apakah dengan demikian persoalannya dapat selesai " Bukankah selain Pringgajaya masih ada orang-orang lain yang dapat berbuat seperti itu" Apakah dengan demikian, aku harus menantang perang tanding setiap orang yang berdiri dipihak Ki Pringgajaya. Jika demikian, maka umurku akan aku habiskan diarena perang tanding tanpa dapat berbuat sesuatu yang berarti sepanjang hidupku bagi sesama."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ada juga benarnya kata Agung Sedayu, bahwa dengan demikian persoalannya tentu masih belum selesai. Kematian Pringgajaya seandainya Agung Sedayu dapat memenangkan perang tanding itu, akan mengundang dendam yang lebih parah lagi dari lingkungannya terhadap Agung Sedayu.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu, "apakah kau kira lebih baik aku melaporkannya kepada kakang Untara?"
"Jalan itupun dapat ditempuh. Tetapi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Jika kau datang kepadanya, Ki Pringgajaya tentu akan menjadi curiga, bahwa kau telah melaporkan persoalannya kepada Untara. Dengan demikian, maka ia akan dapat menghilangkan segala jejaknya untuk mengingkarinya. Jika kemudian ternyata kau tidak dapat membuktikannya, maka kau akan dapat dituduh memfitnahnya."
"Tetapi bukankah kau akan dapat menjadi saksi?" bertanya Agung Sedayu, "bukankah kau mengetahui dan langsung berbicara dengan Ki Pringgajaya bahwa ia akan membunuhku ?"
"Akupun harus dapat membuktikannya. Ki Pringgajayapun akan dapat mengatakan, bahwa aku telah memfitnahnya dan mengadu domba antara Ki Pringgajaya dan kau."
Agung Sedayu menarik napas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata bahwa kaupun kini telah dijalari oleh penyakit ragu-ragu. Kaupun kini mempunyai seribu pertimbangan sebelum berbuat sesuatu."
"Ada bedanya dengan keragu-raguanmu," jawab Sabungsari, "kau ingin menghindari sentuhan pada perasaan orang lain. Kau tidak ingin menyakiti hati dan apalagi sampai pada suatu perselisihan yang dapat membawa maut, kecuali jika sudah tidak ada jalan lain untuk menghindar. Tetapi pertimbanganku lain. Aku justru mengetahui betapa liciknya seseorang yang tidak mengenal harga diri. Karena itu, aku tidak dapat menutup mata atas kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi atasmu. Diarena perang tanding, atau di arena perang fitnah."
"Aku tidak akan merendahkan Ki Pringgajaya dengan anggapan, bahwa ia adalah seorang yang licik dan pengecut."
"Ia mempunyai landasan berdiri yang berbeda dengan aku. Aku datang karena aku merasa anak Ki Gede Telengan. Aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk mengalahkanmu. Karena itu aku tantang kau perang tanding. Sebenarnya perang tanding. Tetapi Ki Pringgajaya mempunyai landasan yang berbeda. Ia tidak perlu perang tanding dalam arti sebenarnya. Ia tidak perlu menunjukkan apakah ia mampu membunuhmu dengan tangannya atau tidak. Yang penting baginya dan bagi orang-orangnya, kau harus mati. Itu saja. Siapapun yang melakukan. Bahkan meskipun aku yang melakukannya. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai sangkut paut secara langsung dengan kelompoknya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara datar ia bertanya, "Manakah yang lebih baik aku lakukan ?"
Sabungsari merenung sejenak. Katanya, "Itulah yang membingungkan. Tetapi kita harus menemukannya, meskipun mungkin kita akan bertempur melawan mereka."
"Kenapa bertempur ?"
"Justru untuk membuktikan, bahwa kita, maksudku kau, harus membela diri. Jika pertempuran itu dapat dilihat oleh saksi yang jujur, maka kau akan terlepas dari tuduhan yang dapat menjeratmu meskipun kau adik Untara."
Agung Sedayu termangu-mangu. Memang sulit untuk melepaskan diri dari kemungkinan-kemungkinan yang paling buruk karena fitnah. Mungkin justru dengan tuduhan memfitnah.
Namun pembicaraan itu terhenti. Glagah Putih masuk kedalam sanggar sambil berkata, "Aku telah menyiapkan minuman. Masih panas, karena air baru saja mendidih. Marilah, lebih baik kita duduk diserambi."
Agung Sedayu dan Sabungsari saling berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian berdiri dan melangkah keserambi.
Beberapa saat lamanya mereka duduk sambil minum minuman hangat yang disiapkan oleh Glagah Putih. Merekapun mengunyah beberapa potong makanan sambil berbincang. Tetapi yang mereka perbincangkan adalah keadaan yang mereka lihat dan mereka lakukan sehari-hari. Sementara Sabungsari juga sempat memberikan beberapa pendapatnya tentang latihan-latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih.
Glagah Putih yang menganggap bahwa Sabungsaripun seorang anak muda yang mempunyai ilmu yang tinggi karena ia telah berhasil membunuh seorang yang mempunyai nama yang cukup besar dari Pesisir Endut, dengan senang hati mencoba memahaminya.
Ternyata bahwa yang dikatakan oleh Sabungsari itupun sangat berguna baginya. Meskipun Sabungsari mempunyai sudut pengliatan dari arah yang agak berbeda dengan Agung Sedayu, namun justru dapat melengkapi pengertiannya tentang olah kanuragan.
Namun ternyata bahwa Sabungsari dan Agung Sedayu masih belum dapat menyelesaikan masalah mereka dengan tuntas. Ketika Sabungsari kemudian minta diri, ia sempat berbisik, "jangan mengukur Ki Pringgajaya dengan sifat dan watakmu sendiri."
Agung Sedayu hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
Sepeninggal Sabungsari, Agung Sedayu selalu dibayangi oleh niat Ki Pringgajaya. Ada maksudnya untuk menyampaikan hal itu kepada gurunya, agar ia mendapat petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan. Namun dengan demikian, ia harus pergi ke Sangkal Putung.
"Jarak itu tidak terlalu jauh," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. "aku tidak perlu minta agar guru kembali ke padepokan apabila ia masih mempunyai beberapa kepentingan di Sangkal Putung. Tetapi apa yang harus aku lakukan, aku perlu mendengar pendapat guru."
Karena itu, maka niat itupun semakin lama mendesak didalam hatinya. Meskipun demikian, ia masih harus mempertimbangkannya.
Sementara itu Sabungsaripun menjadi semakin gelisah. Waktu yang diberikan oleh Ki Pringgajaya sudah hampir habis. Meskipun Ki Pringgajaya tidak akan menyalahkannya, atau bertindak terhadapnya karena ia tidak berbuat sesuatu atas Agung Sedayu, tetapi ancaman maut itu akan benar-benar tertuju kepada Agung Sedayu itu sendiri.
Sabungsari yang bukan sanak bukan kadang dari Agung Sedayu, karena ikatan jiwani yang terjalin dalam hubungannya yang dimulai dengan permusuhan itu ternyata telah membebaninya dengan perasaan ikut bertanggung jawab atas keselamatan Agung Sedayu, karena Sabungsari merasa jiwanya telah diselamatkan oleh anak muda itu.
"Jika bukan Agung Sedayu, aku tentu sudah mati di pinggir sungai itu. Kawan-kawankupun tentu telah tumpas dipesisir ketika mengikutinya," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Karena itu, pada saat-saat menjelang batas waktu yang diberikan oleh Ki Priggajaya, ia menjadi semakin gelisah. Seolah-olah ia melihat Agung Sedayu telah berdiri dipinggir jurang kematian.
Sabungsari yang gelisah itu menjadi sangat kecewa ketika kemudian ia mendengar dari anak-anak muda yang tinggal dipadepokan, bahwa Agung Sedayu telah pergi ke Sangkal Putung.
"Tetapi ia tidak akan bermalam," berkata anak muda itu.
"Apa. Agung Sedayu tidak berpesan apapun bagiku?" bertanya Sabungsari.
"Tidak," jawab anak muda itu, "Ia hanya mengatakan bahwa ia akan pulang meskipun mungkin agak malam."
Sabungsari kemudian minta diri. Tetapi kepergian Agung Sedayu diikuti oleh Glagah Putih membuatnya gelisah. Karena Sabungsari sadar bahwa nyawa Agung Sedayu sedang terancam.
"Jika Ki Pringgajaya mendapat kesempatan, ia tidak akan menghiraukan waktu yang memang sudah hampir habis ini. Ia tidak akan memperhitungkan aku lagi, karena nampaknya kesabarannya benar-benar telah habis," berkata Sabungsari kepada diri sendiri.
Dalam pada itu. Agung Sedayu ternyata benar-benar telah pergi ke Sangkal Putung. Kedatangannya memang agak mengejutkan. Tetapi kepada Swandaru ia tidak mengatakan alasan yang sebenarnya. Ia hanya mengatakan bahwa tiba-tiba saja ia ingin pergi ke Sangkal Putung.
"Itu wajar sekali," Pandan Wangilah yang menyahut, "tentu bukan karena Kiai Gringsing ada disini."
Pandan Wangi mengaduh ketika terasa lengannya pedih dicubit oleh Sekar Mirah yang duduk disampingnya.
Tetapi ketika Agung Sedayu mengatakan bahwa ia tidak akan bermalam di Sangkal Putung, Swandaru bertanya, "Kenapa tergesa-gesa?"
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Setiap saat jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom dapat aku tempuh dalam waktu singkat karena jarak itu tidak begitu panjang. Mungkin besok atau lusa, aku tiba-tiba saja ingin pergi kemari lagi."
Namun pada saat-saat ia berdua dengan gurunya, maka persoalannya itupun disampaikannya dengan hati-hati.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata hal itu membuatnya gelisah pula.
"Ki Pringgajaya adalah prajurit Pajang yang masih dalam kedudukannya. Ia seorang perwira yang mempunyai pengaruh diantara anak buahnya. Agaknya ia merasa memiliki kelebihan dari Untara meskipun ia berada dibawah pimpinan kakakmu," berkata Kiai Gringsing.
"Itulah yang menggelisahkan guru," berkata Agung Sedayu, "Sabungsari yang juga berada dilingkungan keprajuritan mengetahui hal itu sebelum aku mengalahkannya di pinggir sungai itu," berkata Agung Sedayu.
Sejanak Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Agung Sedayu. Kau harus berbicara dengan Untara, Pendapat Sabungsari ada juga benarnya. Tetapi kau dapat memberikan saran kepada Untara, agar ia tidak tergesa-gesa bertindak. Bahkan kau minta bantuan Untara, agar yang kau katakan itu dapat dibuktikan. Bukan sekedar tuduhan yang akan dapat disebut fitnah."


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud gurunya. Justru Untaralah yang harus memberikan jalan kepadanya, sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Ia tidak semata-mata melaporkan tanpa bukti, tetapi Untara harus membantunya, agar ia dapat membuktikan, bahwa Ki Pringgajaya benar-benar ingin membunuhnya.
Dengan demikian maka Agung Sedayupun memutuskan untuk melakukan seperti yang dinasehatkan gurunya. Ia akan kembali ke Jati Anom untuk menemui kakaknya dan minta pendapatnya. Namun ia masih mempunyai sebuah pertanyaan kepada gurunya, "Guru, bagaimana jika Ki Pringgajaya sudah mencurigainya saat aku menjumpai kakang Untara, sehingga ia telah mempersiapkan dirinya untuk menghilangkan segala jejak dan kesan bahwa ia benar-benar ingin melakukan hal itu?"
"Mungkin sekali Agung Sedayu, tetapi aku kira kau tidak mempunyai jalan lain yang lebih baik dan tanpa menimbulkan persoalan yang gawat dengan prajurit Pajang," berkata gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Agaknya memang tidak ada jalan yang lebih baik datang kepada kakaknya untuk menyampaikan persoalannya.
Pembicaraan itupun terputus, ketika Glagah Putih datang mendekat dan bahkan duduk bersamanya. Namun persoalan yang dikemukakan oleh Agung Sedayu sebagian besar telah terjawab.
Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka berdua dengan Glagah Putih, mereka mohon diri menjelang senja. Ki Demang Sangkal Putung dan mereka yang berada di Sangkal Putung berusaha mencegahnya. Tetapi sambil tersenyum Agung Sedayu berkata, "Besok atau lusa aku sudah berada disini kembali."
Dengan demikian maka keberangkatannya kembali ke Jati Anom tidak dapat dicegah lagi. Sebelum gelap, maka keduanyapun meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Jati Anom.
Diperjalanan Agung Sedayu sempat mengenang masa remajanya. Ketika ia harus menempuh perjalanan kearah yang sebaliknya. Dari Dukuh Pakuwon ke Sangkal Putung dimalam hari, justru pada saat yang gawat, ketika pasukan Tohpati masih berada disekitar Sangkal Putung.
Kini ia menempuh jalan yang berlawanan. Namun dalam saat yang gawat pula, karena seseorang sedang mengancam jiwanya.
"Mudah-mudahan aku sempat menyampaikan hal ini kepada kakang Untara," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "meskipun Sabungsari tidak sependapat."
Demikianlah kedua orang itu berkuda menyelusuri ujung malam yang menjadi semakin gelap. Kunang-kunang diantara batang-batang padi nampak berkeredipan seperti reruntuhan bintang-bintang kecil yang bertebaran.
Diperjalanan keduanya tidak banyak berbicara. Glagah Putih lebih banyak merenung tentang dirinya sendiri. Ia memang merasa ketinggalan. Namun ia sudah bekerja keras. Dalam waktu yang terhitung tidak terlalu panjang, ia sudah mendapat kemajuan yang cukup banyak. Karena itu, maka Glagah Putih bukan lagi seorang anak yang dapat dianggap pupuk bawang. Ia sudah mulai dapat diperhitungkan baru dalam tataran permulaan.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dalam perjalanan, maka kegelisahan yang sangat telah mengguncangkan hati Sabungsari. Diluar sadarnya ia berjalan-jalan didepan baraknya oleh udara yang terasa panas. Namun, dengan jantung yang berdebar-debar ia melihat seorang prajurit yang dikenalnya sebagai pengikut Ki Pringgajaya keluar dari halaman barak diatas punggung kuda.
"He," dengan serta merta Sabungsari menghentikannya, "kau akan kemana ?"
Wajah prajurit itu menegang. Namun kemudian nampak sebuah senyum yang aneh dibibirnya. Dengan suara datar ia berkata, "Kami dipanggil Ki Pringgajaya."
"Untuk apa ?" bertanya Sabungsari.
"Kami tidak tahu," jawab prajurit itu.
"Siapa yang kau maksud dengan kami ?"
Orang itu tertegun. Namun kemudian nampak lagi senyumnya yang aneh bagi penglihatan Sabungsari.
Sepeninggal orang itu, Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia teringat, bahwa Agung Sedayu sedang pergi ke Sangkal Putung.
"Mungkin ia sedang dalam perjalanan kembali," berkata Sabungsari didalam hatinya, "jika demikian, mungkin sekali Agung Sedayu berada dalam bahaya."
Karena itu, maka Sabungsaripun kemudian segera kembali ke baraknya. Membenahi diri dan menyambar senjatanya. Dengan tergesa-gesa ia pergi kepada prajurit yang sedang bertugas untuk minta ijin menemui kenalannya di Jati Anom.
Tanpa curiga, maka dibiarkannya Sabungsari berkuda meninggalkan baraknya. Sabungsari sama sekali tidak menunjukkan kesan kegelisahan. Namun demikian kudanya berada di luar regol halaman baraknya, maka iapun memacunya sekencang angin, menuju ketempat tinggal para perwira termasuk Ki Pringgajaya, yang tinggal tidak dirumah Untara.
Dengan hati yang berdebar-debar, Sabungsari berusaha untuk dapat berbicara dengan Pringgajaya. Karena hubungan yang khusus, maka Ki Pringgajayapun kemudian justru memanggilnya masuk keruang tidurnya.
Sabungsari menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dua orang prajurit telah berada diruang itu. Namun ia menghilangkan segala kesan yang membayang diwajahnya. Menghadapi keadaan yang gawat itu, ia harus dapat mengendalikan perasaannya.
"Duduklah," berkata Ki Pringgajaya.
Sabungsari yang menahan perasaannya itupun kemudian duduk disebelah prajurit yang dilihatnya berkuda didepan baraknya.
Sebelum Sabungsari bertanya, Ki Pringgajaya telah berkata, "Sabungsari. Waktuku sudah habis."
"Belum, Ki Pringgajaya. Aku masih mempunyai sisa satu malam dan satu hari besok."
Ki Pringgajaya menggeleng. Jawabnya, "Sudah terlalu pendek untuk melaksanakannya. Saat ini kami berencana sangat baik. Kami akan melakukannya sendiri. Kau jangan mencoba mencegahnya agar kau tidak menyesal. Mungkin kau akan menempuh banyak jalan untuk mencari kepuasan yang mungkin tidak akan pernah kau dapatkan, karena justru mungkin kaulah yang akan mati jika kau berperang tanding melawan Agung Sedayu."
"Tidak," potong Sabungsari, "aku berhasil membunuh Carang Waja. Dalam kesempatan yang sama, yang pernah didapat oleh Agung Sedayu, ia memang dapat mengalahkannya, tetapi tidak membunuhnya."
Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya wajah Sabungsari yang bersungguh-stmgguh. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Mungkin keadaanmu lain dengan Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu tidak selalu dibayangi oleh keragu-raguan, maka ia tentu akan dapat membunuh Carang Waja. Tetapi agaknya ia tidak melakukannya."
"Itu hanya alasan. Tetapi jika aku mendapat kesempatan, aku akan mencobanya. Jika aku yang harus mati, apaboleh buat."
Tetapi Ki Pringgajaya menggeleng. Katanya, "Itu tidak perlu Sabungsari. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk mencoba-coba."
"Tetapi akupun tidak mau kehilangan kesempatan," bantah Sabungsari.
"Jangan memaksa aku untuk memaksamu. Aku tahu kau mempunyai kelebihan yang sukar dicari bandingnya. Tetapi aku bukan anak-anak yang dipasang disini tanpa arti. Jika kau memaksa, akupun harus berbuat sesuatu untuk mencegahmu. Bahkan seandainya kau berhasil mengalahkan aku, maka kau adalah buruan, karena kau adalah seorang prajurit dalam tataran yang paling rendah, meskipun kau sedang disoroti karena kau telah berhasil melakukan sesuatu yang akan dapat mengangkat derajatmu. Sedangkan aku adalah seorang perwira. Apapun alasannya, jika seorang prajurit berani melawan seorang perwira, maka ia akan mendapatkan hukuman yang berat."
Darah Sabungsari mulai menjadi panas. Tetapi ia harus menahan diri sejauh-jauh dapat dilakukan.
Namun ia menjadi heran, bahwa Ki Pringgajaya nampaknya tidak tergesa-gesa pergi. Jika benar ia ingin mencegat Agung Sedayu diperjalanan, seharusnya ia dengan tergesa-gesa membawa anak buahnya menyongsong perjalanan anak muda itu apabila ternyata ia belum kembali kepadepokannya.
Meskipun demikian Sabungsari tidak bertanya. Bahkan ia masih berusaha untuk mencegah rencana Ki Pringgajaya, katanya, "Ki Pringgajaya. Aku dapat mencegah dengan cara lain. Aku dapat melaporkannya kepada Ki Untara."
Tetapi Ki Pringgajaya justru tertawa. Katanya, "Kau akan melaporkan kepada Ki Untara agar Ki Untara mencegah usaha pembunuhan ini, kemudian memberi kesempatan kepadamu untuk melakukannya ?"
"Apakah Ki Untara tahu bahwa aku akan membunuhnya ?"
"Aku masih mempunyai mulut."
"Tetapi malam ini Ki Pringgajaya akan ditangkap. Segala pembelaan dan tuduhanmu terhadapku, tidak akan didengar."
Suara tertawa Ki Pringgajaya justru semakin keras. Katanya, "Kau memang seorang anak muda yang pilih tanding. Tetapi kau terlalu dungu. Aku sekarang akan menghadap Ki Untara dan berbicara tentang kesejahteraan pasukan Pajang di Jati Anom. Ki Untara senang sekali membicarakannya, sehingga lewat tengah malam aku baru selesai dengan pembicaraan yang tidak tentu ujung pangkalnya itu."
"Tetapi Ki Pringgajaya akan melakukannya sekarang ?"
"Membunuh Agung Sedayu ?"
"Ya." Pringgajaya masih tertawa berkepanjangan. Katanya, "Apakah harus dengan tanganku sendiri " Aku bukan seorang yang cengeng seperti kau. Seolah-olah dengan demikian maka kau akan menjadi seorang pahlawan. Tetapi aku dapat berbuat dengan cara apapun juga. Yang penting bagiku, maksudku dapat tercapai."
Wajah Sabungsari menjadi semburat merah. Namun ia segera berusaha menghapus kesan itu. Bahkan kemudian kepalanyapun tertunduk. Perlahan-lahan terdengar ia bergumam, "Sia-sialah yang aku lakukan selama ini. Aku sudah berpura-pura mendekatinya, menjadi sahabatnya untuk menjajagi kemampuannya. Ketika aku sudah yakin dapat melakukannya, maka kesempatan itu direnggut dari tanganku."
"Jangan merengek, karena kau bukan anak-anak lagi. Kau terlalu lamban dan tidak mempunyai gairah perjuangan yang tinggi. Mulailah sejak sekarang. Lakukan yang dapat segera kau lakukan, sehingga kau tidak akan kecewa."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku menyesal sekali. Tetapi aku masih ingin minta kesempatan sekali ini. Bawalah aku menemui Agung Sedayu untuk berperang tanding. Jika aku mati, lakukan rencanamu."
Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku tidak tahu pasti, apakah Agung Sedayu sekarang belum mati. Aku memanggil beberapa orang pengikutku untuk menengok akhir dari rencana kami, sementara aku pergi menghadap Ki Untara."
"Bawa aku serta. Jika belum terjadi, berilah kesempatan aku melakukannya. Bukankah tidak ada bedanya bagi Ki Pringgajaya," berkata Sabungsari kepada prajurit yang ada di dalam ruang itu.
Ki Pringgajaya termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Tetapi jika kau mati, jangan menyesal dan jangan menyalahkan kami."
"Itu tanggung jawabku sendiri. Aku tidak tahu akibat apakah yang akan menimpa diriku, seandainya Ki Untara tahu, bahwa aku telah membunuh Agung Sedayu. Mungkin aku akan lari dan kembali kepadepokanku."
Ki Pringgajaya berpikir sejenak. Lalu katanya, "Aku beri kau kesempatan. Pergilah. Tetapi jika Agung Sedayu telah mati, kau jangan membunuh diri dengan melepaskan kemarahanmu kepada orang-orangku yang telah membunuhnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak ada duanya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan seperti Carang Waja, meskipun tidak dengan ilmu sulapan yang mengaburkan perhatian lawan. Tetapi orang-orangku bertempur dengan ilmu seorang jantan."
Sabungsari tidak banyak berbicara lagi. Iapun kemudian berdiri sambil berkata, "Tunjukkan kepadaku, dimana Agung Sedayu dapat ditemui."
"Orang-orangku mencegatnya. Tetapi jika Agung Sedayu telah lampau, maka harus dibuat pertimbangan dan rencana baru."
Sabungsari tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian minta diri. Bersama dengan pengikut Pringgajaya yang seorang ia menuju ketempat orang-orang yang mencegat Agung Sedayu.
Disepanjang jalan, Sabungsari menjadi berdebar-debar. Ia harus berbuat sesuatu. Menurut perhitungannya, kehadirannya tentu akan membuat keadaan Agung Sedayu lebih baik. Mungkin seperti yang pernah terjadi, Glagah Putih memerlukan perlindungan, karena kepergian Agung Sedayu disertai dengan Glagah Putih pula.
Dalam pada itu, dua orang dengan gelisah berdiri dipinggir jalan. Kadang-kadang mereka berjalan mondar mandir, kadang-kadang mereka duduk bersandar batang kayu yang tumbuh dipinggir jalan. Setiap kali mereka memperhatikan bunyi yang lamat-lamat mereka dengar.
"Anak itu sudah lewat," berkata salah seorang dari keduanya.
"Tidak mungkin. Kita berada disini sejak senja," jawab yang lain.
"Bagaimana jika keduanya telah lewat sebelum senja ?" bertanya yang seorang.
Kawannya terdiam sejenak. Dengan gelisah ia memandang kedalam gelapnya malam. Katanya, "Tidak. Aku yakin, sebentar lagi mereka akan lewat."
Kawannya tidak menyahut lagi. Keduanyapun kemudian duduk diatas tanggul parit. Sambil memandang air yang mengalir, yang seorang berkata, "Apa katamu tentang anak muda itu."
Kawannya tersenyum. Jawabnya, "Ia adalah anak muda yang luar biasa. Anak itu tidak dapat dikalahkan oleh Carang Waja. Apakah kau cemas menghadapinya ?"
Kawannya tertawa pendek. Desisnya, "Jika aku cemas, lebih baik aku tidak datang ketempat ini. Aku sudah tahu, bahwa anak itu memiliki kelebihan. Tetapi akupun mengenal diriku sendiri. Bahkan seandainya Carang Waja masih hidup, aku bersedia untuk diperbandingkan dengan cara apapun juga."
Kawannya tersenyum semakin lebar. Katanya, "Kita saling mengenal. Tetapi aku percaya bahwa kita masing-masing tidak berada dibawah tataran Carang Waja. Perguruan daerah Pesisir Selatan itu semakin lama namanya memang semakin suram. Sepasang Iblis dari Pesisir Endut itu tidak lagi mampu mempertahankan hidupnya. Kemudian Carang Waja mati oleh prajurit ingusan dari Jati Anom itu."
"Tetapi Pringgajaya sangat hati-hati. Kita berdua bersama-sama harus menyelesaikan Agung Sedayu. Ia tidak yakin bahwa salah seorang dari kita dapat melakukannya, meskipun guru pernah memastikan hal ini kepada Ki Pringgajaya."
"Perwira yang bodoh itu memang terlalu berhati-hati. Tetapi ada juga baiknya bagi kita. Pekerjaan kita tidak terlalu berat," desis yang lain, "sementara kita masing-masing akan menerima upah yang sama."
"Kepala anak itu memang mahal. Tidak mudah melakukan seperti yang dikehendaki oleh Ki Pringgajaya. Ia tentu akan mengirimkan orangnya untuk meyakinkan, apakah kita sudah berhasil membunuh anak itu atau tidak."
"Tetapi jika anak itu sudah lewat atau membatalkan niatnya untuk kembali ke Jati Anom atau karena apapun juga, kita harus menunggu lagi di Jati Anom. Menjemukan sekali."
"Jika ia tidak lewat hari ini, aku akan minta kepada Ki Pringgajaya, agar kita diwenangkan untuk mencari cara apapun juga yang baik menurut kita. Tidak usah menunggu kesempatan seperti sekarang ini. Kita dapat datang kepadepokannya, justru gurunya tidak ada. Atau cara apapun yang kita pilih sendiri."
"Prajurit yang berjanji untuk membunuhnya itu tidak juga dapat melakukannya sampai batas waktunya berakhir."
"Belum berakhir. Tetapi Ki Pringgajaya sudah tidak telaten lagi menunggunya."
Pembicaraan untuk mengusir kejemuan itu terputus. Mereka serentak berdiri karena mereka mendengar derap kaki kuda.
"Mereka datang," hampir berbareng keduanya berdesis.
Tetapi keduanya termangu-mangu. Ternyata derap kaki kuda itu datang dari arah yang berbeda.
"Dari Jati Anom. Bukan dari Sangkal Putung."
"Tentu prajurit Pringgajaya yang ingin mengetahui, apakah kami sudah berhasil membunuh anak itu."
"Gila," geram kawannya, "kenapa begitu tergesa-gesa. Ia justru akan dapat menggagalkan rencana kita."
"Ia hanya akan melihat. Kemudian akan pergi meninggalkan kita disini. Atau mungkin orang lain yang lewat, atau malahan prajurit yang sedang meronda."
"Lebih baik kita bersembunyi. Aku tidak senang ada orang lain yang melihat kita dan bertanya tentang kita."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun tidak membantah.
Karena itu, maka kedua orang itupun kemudian meloncati parit dan bersembunyi dibalik rimbunnya belukar dipinggir jalan. Sementara suara derap kaki kuda itu semakin lama menjadi semakin dekat.
Dari balik rimbunnya perdu, keduanya dapat melihat dua ekor kuda mendekat. Dalam keremangan malam, mereka tidak segera dapat mengenal, siapakah penunggangnya.
Namun keduanyapun kemudian yakin, bahwa kedua orang itu tentu mempunyai hubungan dengan Ki Pringgajaya, karena keduanyapun kemudian berhenti tepat pada tanda-tanda yang telah disepakati.
Ketika keduanya telah meloncat turun, salah seorang berkata, "Disini seharusnya mereka menunggu."
Sebelum yang lain menyahut, maka kedua orang yang menunggu itu telah berloncatan dari balik gerumbur sambil mendekam. Salah seorang dari mereka berkata, "He, apakah kau diutus oleh Ki Pringgajaya."
"Ya," sahut prajurit itu, "aku datang dengan seorang prajurit yang bernama Sabungsari. Yang pernah dikatakan oleh Ki Pringgajaya."
"He, anak inikah yang akan membunuh Agung Sedayu dalam perang tanding ?" bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
"Ya." Keduanya tiba-tiba saja tertawa menyakitkan hati. Tetapi Sabungsari menahan diri sehingga giginya tidak gemeretak.
Namun prajurit yang mengantar Sabungsari itu berkata, "Anak inilah yang telah membunuh Carang Waja."
"Ya. Ki Pringgajaya juga sudah mengatakan. Tetapi apakah artinya Carang Waja dalam liarnya rimba ilmu kanuragan. Ia termasuk orang yang disegani. Tetapi sebenarnya ia tidak memiliki kemampuan yang berarti. Ia hanya mampu menipu lawannya dengan ilmu gilanya itu. Tetapi jika lawannya memiliki sedikit kewaspadaan penglihatan batin, ia tidak akan terpengaruh."
Sabungsari menjadi berdebar-debar mendengar pembicaraan orang itu. Ternyata orang itu mengetahui, bahwa Carang Waja memiliki ilmu yang dapat mempengaruhi perasaan lawannya. Yang merasa seolah-olah bumi telah berguncang, apabila ia menghentakkan kakinya pada tanah tempatnya berpijak. Dengan demikian Sabungsari dapat menilai, bahwa kedua orang itu tentu orang-orang yang memiliki kemampuan yang cukup.
Namun demikian Sabungsaripun berkata, "Ki Sanak. Berilah aku kesempatan. Aku berharap dapat membunuh Agung Sedayu. Seandainya tidak, maka kau akan mendapat kesempatan berikutnya. Setelah bertempur melawan aku, maka kekuatannya tentu sudah susut. Dengan mudah kalian berdua akan dapat membunuhnya.
"Aku tidak perlu bantuanmu. Aku dan saudaraku ini tentu akan dengan mudah membunuhnya. Kami berdua tidak akan melepaskan kesempatan ini. Dengan membunuh Agung Sedayu, kami akan mendapat upah yang tinggi."
"Upah itu tidak akan berubah," berkata Sabungsari, "kalian akan tetap mendapat upah, siapapun yang telah membunuhnya."
"Omong kosong. Jika kau yang membunuhnya, maka Pringgajaya akan ingkar. Agaknya perhitungan itulah yang membuat Pringgajaya menunggu. Seandainya kau tidak terlalu lamban dan berhasil membunuh Agung Sedayu, maka niat Ki Pringgajaya menyingkirkan Agung Sedayu terlaksana, sementara ia tidak kehilangan upah sekeping uangpun."
"Aku akan menjamin," berkata Sabungsari, "upah itu akan tetap kalian terima siapapun yang akan membunuh Agung Sedayu."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Jika itu yang kau kehendaki terserah. Agaknya Ki Pringgajayapun sudah setuju karena pengikutnya telah mengirimkan kau kemari. Tetapi jika kau mati oleh Agung Sedayu, itu bukan salah kami berdua. Kami tidak akan menolongmu sampai kau benar-benar mati. Baru kemudian kami berdua akan berbuat sesuatu."
"Terserah kepadamu," desis Sabungsari, "tetapi aku minta kesempatan yang pertama."
Prajurit yang mengantar Sabungsari itupun kemudian berkata, "Terserah apa yang akan kalian lakukan. Aku akan menunggu ditempat terpisah. Ki Pringgajaya sudah berpesan, agar yang terjadi ini tidak menyangkut masalah keprajuritan. Jika Sabungsari berbuat sesuatu itu adalah tanggung jawab pribadinya."
"Menymgkirlah," berkata salah seorang dari kedua orang yang mencegat Agung Sedayu, "jika anak ini gagal dan justru mati, kami berdua akan menyelesaikan anak Jati Anom yang sombong itu."
Prajurit yang mengantar Sabungsari itupun kemudian meninggalkan ketiga orang yang menunggu Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka yakin bahwa keduanya akan lewat, karena mereka telah mencari keterangan tentang hal itu kepadepokan kecil anak muda itu.
Ketika mereka kemudian duduk ditepi jalan, setelah Sabungsari menyembunyikan kudanya, maka kegelisahan yang tajam telah mencengkam hati anak muda itu. Sekali-sekali ia memandang kedua orang yang duduk disebelahnya. Nampaknya keduanya adalah orang-orang yang memang dapat diandalkan.
Dengan demikian, maka dada Sabungsaripun menjadi semakin berdebar-debar. Ia mulai membayangkan, apa yang kira-kira terjadi.
Ketika orang itu mengangkat kepalanya, ketika mereka mendengar derap kaki kuda lamat-lamat dikejauhan. Disela-sela desir angin yang lembut mereka mendengar derap kaki kuda yang semakin lama menjadi semakin jelas.
"Aku mendengar derap mereka datang," desis salah seorang dari kedua orang yang mencegat Agung Sedayu itu.
"Ya," sahut yang lain, "kita harus bersiap-siap." Lalu yang seorang berpaling kepada Sabungsari sambil bertanya, "Bagaimana " Apakah kau akan meneruskan niatmu, berperang tanding dengan adik Untara itu."
"Ya," jawab Sabungsari, "aku sudah membulatkan tekadku."
"Terserahlah kepadamu. Yang penting bagi kami, upah itu sama sekali tidak kurang sekepingpun siapapun yang melakukannya."
"Aku bertanggung jawab."
"Jika kau mati."
"Itu lebih jelas lagi. Kalian berdualah yang benar-benar telah membunuhnya, sehingga perjanjian kalian dengan Ki Pringgajaya tidak berubah," jawab Sabungsari.
Yang terdengar salah seorang dari kedua orang itu tertawa. Katanya, "Kau terlalu sombong anak muda. Sebaiknya kau tidak usah melakukan perang tanding. Jika kau ingin melihat Agung Sedayu mati, marilah kita bertiga menyelesaikannya. Aku mendengar dari Ki Pringgajaya, bahwa kau didorong oleh dendam yang tidak tertahankan, karena ayahmu terbunuh. Sedangkan aku bernafsu membunuhnya karena upah yang tinggi. Jika kita lakukan bersama, maka tugas kita akan menjadi ringan, dan kita yakin bahwa anak itu akan benar-benar mati malam ini."
Sabungsari merenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku minta ijin untuk melakukannya terlebih dahulu. Jika kalian melihat kemungkinan aku gagal, terserah."
"Kami tidak akan menolong," yang seorang menyahut dengan serta-merta, "jika perang tanding sudah dimulai, maka kami akan menunggu sampai salah seorang dari kalian mati. Kecuali jika sejak semula kita sudah sepakat untuk bersama-sama membunuhnya."
Sabungsari memandang keduanya berganti-ganti, sementara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba saja Sabungsari berdiri sambil menggeram, "Aku akan membunuhnya. Aku akan membakarnya dengan sorot mataku sampai hangus."
Kedua orang itu tertawa. Yang seorang berkata, "Aku sudah mendengar dari Ki Pringgajaya, bahwa sorot matamu telah berhasil membunuh seekor anak kambing. Tetapi Agung Sedayu bukan seekor anak kambing. Ia adalah seekor banteng yang garang."
"Aku tidak peduli," geram Sabungsari, "tunggulah. Lihatlah bagaimana aku membantainya disini dengan penuh dendam dan kebencian. Aku tidak dapat berbuat lain. Jika aku dapat membunuhnya, aku adalah anak yang telah menjunjung harga diri keluarga. Tetapi jika aku mati, maka aku mati dalam pengebdian bagi nama baik keluargaku. Aku akan mati sebagai seorang anak laki-laki."
Kedua orang itu termangu-mangu. Mereka melihat mata Sabungsari bagaikan memancarkan api dari jantungnya yang membara. Karena itu, maka merekapun kemudian percaya, bahwa Sabungsari benar-benar ingin mengadu ilmu dengan anak muda yang namanya menggetarkan daerah Selatan itu.
"Sabungsari," berkata salah seorang dari kedua orang itu, "aku sudah mendengar betapa anak muda yang bernama Agung Sedayu itu memiliki kemampuan yang tidak terduga. Tetapi akupun juga sudah mendengar bahwa kau memiliki kelebihan dari kebanyakan prajurit. Jika kau memang berkeras, terserah kepadamu. Tetapi yang kau lakukan adalah tanggung jawabmu sendiri. Aku akan melakukan tugasku setelah perang tanding yang kau kehendaki itu berakhir. Jika Agung Sedayu tidak berhasil kau bunuh, maka kami berdualah yang akan membunuhnya."
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia berdiri tegang dipinggir jalan. Sementara derap kaki kuda itu semakin lama menjadi semakin jelas.
Dengan kaki renggang dan dada tengadah Sabungsari berdiri tegak. Dengan suara datar ia menggeram, "Tidak ada orang lain yang dapat membunuhnya kecuali Sabungsari."
Kedua orang itu justru menepi. Mereka berdiri termangu-mangu. Mereka ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Sabungsari atas Agung Sedayu. Anak muda yang bersenjata cambuk itu.
Sejenak kemudian, maka derap kaki kuda itupun telah menjadi sangat dekat. Dua. bayangan orang yang menunggang kuda telah nampak dalam keremangan malam.
Dalam pada itu, Sabungsaripun segera meloncat ketengah jalan sambil berteriak garang, "berhenti. Aku disini Agung Sedayu."
Agung Sedayu yang datang berkuda itu terkejut. Karena itu, maka iapun segera menarik kendali kudanya. Demikian pula Glagah Putih yang berkuda disampingnya. Sementara mereka sedang berangan-angan, maka tiba-tiba saja mereka melihat bayangan seseorang meloncat ketengah jalan. Meskipun mereka telah melihat dalam keremangan malam, orang yang berdiri dipinggir jalan, namun mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja orang itu meloncat sambil berteriak menghentikannya.
Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti beberapa langkah dihadapan Sabungsari. Kuda mereka yang terkejut meringkik memecah sepinya malam. Namun sejenak kemudian malam telah menjadi hening kembali.
"Sabungsari," desis Agung Sedayu.
"Ya. Aku Sabungsari," jawab anak muda yang berdiri sambil bertolak pinggang ditengah jalan.
"Kenapa kau disini ?" bertanya Glagah Putih.
Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Kami telah siap untuk membunuhmu."
Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut. Agung Sedayu yang menganggap bahwa Sabungsari benar-benar telah menyadari dirinya, tiba-tiba saja kini ia berdiri ditengah jalan sambil bertolak pinggang. Sementara Glagah Putih yang sama sekali belum mengetahui bahwa Sabungsari pernah mengancam hidup Agung Sedayu itupun terkejut pula. Nampaknya Sabungsari adalah seorang yang sangat baik bagi Agung Sedayu. Namun tiba-tiba anak muda itu kini berdiri ditengah jalan dengan tangan dipinggang.
Dalam pada itu. Agung Sedayupun kemudian meloncat turun dari kudanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Aku tidak mengerti Sabungsari. Apakah kau berkata sebenarnya."
"Ya. Aku berkata sebenarnya. Aku telah datang ketempat ini untuk menunggumu, karena aku mengerti bahwa kau tidak akan bermalam di Sangkal Putung. Aku sudah menunda rencanaku beberapa hari. Kini aku sudah benar-benar sembuh dari luka-lukaku saat aku bertempur melawanmu dan kemudian membunuh Carang Waja. Kini datang giliranmu. Kaulah yang kini akan aku bunuh."
"Sabungsari," Glagah Putihpun kemudian turun pula dari kudanya, "kata-katamu membuat aku menjadi bingung."
"Aku tidak mempunyai persoalan apapun dengan kau. Pergilah sebelum kau ikut terbantai disini," sahut Sabungsari.
"Tetapi tingkah lakumu terlalu aneh bagiku," desis Glagah Putih.
"Kau masih terlalu kanak-kanak untuk mengerti. Aku akan membunuh Agung Sedayu karena ia telah membunuh ayahku. Kau jangan turut campur. Kau bagiku adalah anak-anak ingusan yang tidak berarti." bentak Sabungsari, "setelah aku berhasil membunuh Carang Waja, maka akupun yakin, bahwa aku akan dapat membunuhmu."
Glagah Putih menjadi semakin tegang. Ketika ia berpaling memandang wajah Agung Sedayu, maka yang nampak adalah wajah yang membeku didalam gelap.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian, "kau membuat aku menjadi bingung."
"Jangan kau ratapi nasibmu. Aku datang bersama dua orang yang tidak tanggung-tanggung. Mereka adalah orang-orang yang tidak ada duanya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan tidak kalah dari Carang Waja. Nah, apa katamu sekarang" Jika kau ingin menangis, menangislah. Jika kau ingin berpesan, berpesanlah kepada Glagah Putih."
Agung Sedayu masih termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak percaya kepada peristiwa yang dihadapinya. Seolah-olah ia bermimpi bertemu dengan Sabungsari dalam waktu surut beberapa pekan yang lewat. Pada saat Sabungsari masih dibakar oleh api dendam yang menyala didadanya. Tetapi pada suatu saat, api itu sudah surut. Namun kini tiba-tiba api itu telah menyala kembali. Tiba-tiba saja Sabungsari telah berdiri bertolak pinggang, sambil menantangnya berperang tanding.
"Apakah karena ada dua orang itu, maka Sabungsari telah kambuh lagi dengan angan-angan hitamnya," bertanya Agung Sedayu didalam hatinya. Namun pertanyaan itu tidak segera dapat dijawabnya. Ia masih melihat Sabungsari berdiri tegak seperti tonggak.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang terheran-heran melihat sikap itu, maju selangkah sambil bertanya, "Tetapi bukankah kau Sabungsari yang aku kenal itu" Bukankah kau yang sering datang dipadepokan ?"
"Ya. Aku. Apakah kau sudah gila, sehingga kau tidak mau kenal aku lagi?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Sabungsari pernah membunuh seseorang yang bernama Carang Waja yang memiliki kemampuan luar biasa.
Karena itu, Glagah Putih benar benar menjadi cemas. Ketika ia memandang dua orang yang berdiri dipinggir jalan, maka detak jantungnya seakan-akan menjadi semakin cepat. Keduanya benar benar nampak garang dan kasar.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang masih termangu-mangu itupun kemudian berkata, "Sabungsari. Aku benar benar tidak mengerti sikapmu. Tetapi kita sudah saling mengenal. Bukan saja kau mengenal namaku dan aku mengenal namamu. Tetapi kau mengetahui apa yang mampu aku lakukan dan aku mengetahui apa yang mampu kau lakukan."
"Benar," Sabungsari hampir berteriak, "tetapi kau tidak mengenal keduanya. Kau tidak mengenal kemampuannya." Sabungsari berhenti sejenak, lalu. "keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding, yang telah menyediakan diri untuk membunuhmu. Keduanya adalah orang-orang yang telah di upah oleh Ki Pringgajaya."
"Sabungsari," kedua orang itu berteriak hampir berbareng.
"Kenapa ?" bertanya Sabungsari, "bukankah benar kalian diupah oleh Ki Pringgajaya untuk membunuh Agung Sedayu."
"Itu tidak perlu kau katakan kepada siapapun."
"Tetapi Agung Sedayu akan mati. Jika ia mengetahuinya, maka pengetahuannya akan dibawa mati. Ia tidak akan dapat menceriterakan kepada siapapun, bahwa Ki Pringgajaya telah mengupahmu untuk membunuh anak muda yang bernama Agung Sedeyu karena Ki Pringgajaya mempunyai hubungan dengan orang-orang yang mfengaku pewaris Kerajaan Majapahit itu."
"Cukup," potong salah seorang dari kedua orang itu, "kau tidak usah mengigau tentang kami berdua. Jika kau ingin berperang tanding, segera lakukan. Kami menjadi saksi."
Tetapi Sabungsari tertawa. Katanya, "Kalian tidak usah malu. Kalian memang diupah oleh Ki Pringgajaya. Dan aku akan bertindak atas namaku sendiri."
"Cukup," yang lainpun berteriak.
Namun Sabungsari tidak mau diam. Katanya kepada Agung Sedayu, "Agung Sedayu. Aku memang pernah minta kepada Ki Pringgajaya agar ia tidak tergesa-gesa bertindak. Aku ingin membunuhmu dalam perang tanding. Tetapi Ki Pringgajaya tidak tahu apakah yang pernah terjadi diantara kita, sehingga ia masih dengan sabar menunggu aku melakukannya. Tetapi akhirnya kesabaran itu ada batasnya. Malam ini adalah malam terakhir aku mendapat kesempatan berperang tanding. Sementara kedua orang itu telah dipersiapkan. Jika aku gagal, dan aku mati, maka keduanya akan membunuhmu."
Agung Sedayu menjadi semakin bingung menanggapi sikap Sabungsari. Namun ia mulai mempunyai tanggapan lain, meskipun ia tidak jelas, apakah maksud anak muda itu sebenarnya.
Dalam pada itu, kedua orang yang berdiri ditepi jalan itu bergeser setapak maju. Salah seorang dari mereka berkata lantang, "Jangan berbicara saja Sabungsari. Waktunya sudah menjadi terlalu sempit. Jika kau ingin bertempur, kami akan segera menyelesaikannya. Kesempatan yang .diberikan kepadamu dapat kau pergunakan atau tidak. Tetapi jangan menghambat tugas kami."
Sabungsari justru tertawa. Katanya, "Tunggu. Jangan tergesa-gesa. Aku akan membuat Agung Sedayu marah. Sulit sekali memancing perselisihan dengan anak muda ini. Sebenarnya aku sudah pernah mencoba sebelumnya. Tetapi aku tidak berhasil."
"Kau memang dungu. Jangan dipancing. Tantang ia berkelahi, kalau ia menolak, kau tinggal membantainya."
"Itu licik. Aku harus membuatnya marah. Kemudian bertempur secara jantan, karena aku tidak mau merendahkan harga diriku sendiri."
"Lakukanlah. Cepat, lakukanlah."
Tetapi suara tertawa Sabungsari justru semakin keras. Katanya, "Kenapa justru kalian yang marah. Aku memancing Agung Sedayu agar marah. Tetapi Agung Sedayu belum juga marah."
"Persetan," teriak salah seorang dari kedua orang itu, "jika kau takut menghadapi kematian. Minggirlah. Aku akan membunuhnya."
"Jangan tergesa-gesa." cegah Sabungsari, "tunggulah."
Tetapi ternyata sikap Sabungsari telah membuat kedua orang itu benar-benar kehilangan kesabaran. Karena itu, maka berbareng mereka maju sambil menggeram, "Pergilah. Kami berdua akan menyelesaikannya. Jika kau ingin menjadi saksi kematiannya, berdirilah menepi. Sebelum ada orang lain lewat, atau prajurit yang meronda di jalan ini, aku harus sudah membunuhnya."
"Malam masih panjang. Aku memerlukan waktu tidak sampai tengah malam. Jika aku gagal, kau masih mempunyai setengah malam berikutnya."
"Aku tidak mau menunggu sampai ada orang lain ikut campur. Ternyata kau anak gila. Pergilah. Meskipun kau berhasil membunuh Carang Waja, tetapi kau tidak berani berhadapan dengan Agung Sedayu."
Suara tertawa Sabungsari justru menjadi semakin keras. Katanya, "Ternyata bahwa umpan yang aku berikan kepada Agung Sedayu telah kau sadap. Dengan demikian, kalian berdualah yang menjadi marah. Terserahlah. Jika kalian marah kepadaku, maaf, aku bukan sasaran yang baik, karena aku mempunyai harga diri. Kalian tidak berhak marah kepadaku. Kalian dapat berbuat apa saja, tetapi tidak atas aku."
"Gila," geram salah seorang dari kedua orang itu.
Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih justru berdiri membeku. Perlahan-lahan Agung Sedayu mulai memahami sikap Sabungsari, sementara Glagah Putih masih tetap berdiri termangu-mangu. Ia sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi. Ia menjadi bingung melihat sikap Sabungsari yang aneh itu.
"Ki Sanak," berkata Sabungsari kemudian, "kalian jangan merampas hakku untuk membunuh Agung Sedayu. Aku sudah bertekad dan aku akan berjuang untuk dapat melakukannya."
"Kau anak gila. Sudah aku katakan, kalau kau ingin melakukan, lakukanlah. Jika tidak pergilah."
"Aku akan melakukan. Tetapi terserah kepadaku, apakah sekarang, apakah menjelang tengah malam. Sabarlah menunggu. Jangan ganggu aku, agar aku tidak terpaksa bertahan atas hakku."
"Anak setan," geram salah seorang dari keduanya, "katakan maksudmu yang sebenarnya. Aku mulai curiga kepadamu."
Sabungsari memandang kedua orang itu berganti-ganti. Sejenak ia diam. Namun sejenak kemudian terdengar suara tertawanya yang makin lama menjadi makin keras. Katanya kemudian, "Ki Sanak. Baiklah aku berkata terus terang jika kau mulai mencurigaiku. Aku datang ketempat ini untuk memperingatkan Agung Sedayu agar ia berha-hati. Agar ia menyadari, bahwa ia akan berhadapan dengan dua orang yang pilih tanding."
"Gila," teriak kedua orang itu hampir berbareng. Salah seorang dari keduanya meneruskan, "Jadi kau batalkan niatmu membunuh Agung Sedayu ?"
"Aku sejak semula memang tidak akan membunuhnya. Aku tidak akan dapat melakukannya. Aku telah dikalahkan oleh Agung Sedayu," jawab Sabungsari, lalu. "dengan demikian aku adalah telukannya. Sebagai seorang laki-laki jantan, aku mengakui kekalahanku, dan aku akan menempatkan diriku sebagai seorang telukan yang tidak akan berkhianat."
"Tetapi kau mengkhianati Ki Pringgajaya." Teriak salah seorang dari kedua orang itu.
"Aku memang sengaja melakukannya," jawab Sabungsari, "ketahuilah bahwa jika kalian berdua berhasil mencegat Agung Sedayu hanya berdua dengan Glagah Putih, maka kalian tentu akan berhasil membunuhnya. Ki Pringgajaya tentu sudah memperhitungkan dengan matang, siapakah yang akan dikirim untuk mencegat Agung Sedayu dan membunuhnya. Karena itu, agar aku tidak keliru kemana aku harus menemui kalian, maka aku minta seorang prajurit Ki Pringgajaya untuk mengantar aku dengan alasan yang tentu saja memungkinkan."
"Dengan demikian kau sudah menentang Ki Pringgajaya. Ia adalah seorang prajurit Pajang di Jati Anom." geram salah seorang dari kedua orang itu.
"Aku juga seorang prajurit Pajang di Jati Anom."
"Ki Pringgajaya adalah seorang perwira. Sedang kau hanyalah seorang prajurit pada tataran terendah."
"Apakah artinya pangkat dan jabatan bagi kebenaran. Kau tidak akan dapat mengukur perjuanganku sekarang ini dengan pangkat dan jabatan. Yang kau hadapi disini adalah kau berdua. Bukan Ki Pringgajaya. Seandainya Ki Pringgajaya datang pula, maka terpaksa aku akan berani melawannya karena aku berdiri dipihak yang benar," jawab Sabungsari.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Sabungsari ternya ta benar-benar seorang laki-laki. Ia tidak akan melakukan tindakan tindakan yang licik dan pengecut. Jika ia berkata bahwa ia kalah, maka kata-katanya adalah kata-kata seorang laki-laki.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Terima kasih atas sikapmu Sabungsari. Dengan demikian kau telah menolong aku, dan bahkan kau sudah melindungi aku dari sambaran maut. Karena sebenarnyalah bahwa kedua orang itu tentu orang yang pilih tanding."
"Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan Agung Sedayu," berkata Sabungsari.
"Aku sudah siap Sabungsari. Kecuali jika kedua orang itu bersedia mengurungkan niatnya. Aku ingin mempersilahkan keduanya untuk mempertimbangkan kemungkinan lain dari berusaha membunuhku."
"Maksudmu?" bertanya Sabungsari.
"Aku ingin bertanya kepada mereka, apakah mereka benar-benar berniat melakukannya," desis Agung Sedayu.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah mengenal Agung Sedayu. Karena itu, maka dibiarkannya Agung Sedayu kemudian bertanya kepada keduanya, "Ki Sanak. Apakah benar seperti yang dikatakan oleh Sabungsari, bahwa kalian adalah sraya Ki Pringgajaya untuk membunuh aku?"
"Ya," keduanya tidak dapat ingkar lagi. Yang seorang menambahkan, "jangan mempersulit tugas kami. Menyerahlah. Aka akan membunuhmu. Jika kau tidak berusaha melawan, maka saudaramu itu akan selamat."
"Apa pedulimu," Sabungsari yang menyahut, "kau tidak akan dapat mengganggu anak yang masih terlalu muda itu."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun telah mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh Sabungsari justru bermaksud baik. Dengan cara itu, ia sudah berhasil berada diantara orang-orang yang telah mencegat Agung Sedayu, dan yang bahkan mungkin akan membunuhnya dengan licik.
Kedua orang itu menggeram. Yang seorang maju selangkah sambil berkata, "Tidak ada pilihan lain. Kami sudah terjebak oleh sikap Sabungsari. Tetapi kamipun mengerti akan kemampuan kami dan mengerti pula akan kemampuan kalian. Sabungsari berhasil membunuh Carang Waja, tetapi dengan luka arang keranjang. Agung Sedayupun telah dapat mengalahkannya meskipun tidak membunuhnya. Tetapi Agung Sedayupun terluka pula.
Dengan demikian kami mengerti, bahwa kalian berdua adalah orang-orang yang pilih tanding. Tetapi kalian kini berhadapan tidak dengan orang-orang Pesisir Endut yang hanya mampu mengguncang bumi dalam peristiwa semu. Kami adalah orang-orang yang datang dari Gunung Kendeng. Jika kau pernah mendengar dongeng dari siapapun, sepasang Elang yang ditakuti itu adalah kami berdua. Nama kami tentu sudah pernah kalian dengar pula. Rambitan dan Kumuda dari perguruan Elang Hitam di lereng Gunung Kendeng."
Yang pertama-tama menyahut adalah Sabungsari, "Jadi kalianlah yang digelari sepasang Elang dari Gunung Kendeng. Kalian pulalah yang bernama Rambitan dan Kumuda. Jika demikian, kalian tentu juga pernah mendengar nama perguruanku. Perguruan Telengan."
"Persetan dengan Ki Gede Telengan," geram yang seorang dari keduanya, "kau tidak dapat membanggakan apapun juga dengan Ki Gede Telengan. Permainan sorot matamu tidak akan berarti bagi kami."
Sabungsari menjadi tegang. Tetapi kemudian ia berkata, "Agung Sedayu. Beruntunglah kita, karena kita dapat bertemu dengan saudara-saudara kita dari Gunung Kendeng. Sayang mereka berdiri dipihak yang berlawanan dengan kita. Karena itu, kau tidak usah memikirkan, apakah mereka akan mengurungkan niatnya. Aku kenal, orang-orang dari perguruan Elang Hitam pada dasarnya adalah orang-orang yang berhati keras. Karena itu, kau tidak usah mencoba mencegah benturan kekerasan disini. Mereka membunuh kita, atau kita yang membunuh mereka."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sabungsari yang berdiri tegak dengan kaki renggang. Tetapi Agung Sedayu tidak meragukan anak muda itu lagi. Ternyata Sabungsari benar-benar seorang laki-laki.
Karena itu, maka katanya, "Jika memang seharusnya demikian, apaboleh buat Sabungsari. Tetapi kita belum terlanjur membenturkan kekuatan. Sehingga karena itu, kemungkinan yang lain masih dapat terjadi."
"Gila," teriak Rambitan, "kau kira kami adalah anak-anak cengeng yang merengek karena kehilangan mainan. Tidak. Meskipun Sabungsari berkhianat, kami tidak akan surut selangkah. Kami akan membunuh kau, Sabungsari dan Glagah Putih sekaligus. Kemudian kami akan menghancurkan padepokan kecilnya. Membunuh gurumu, saudara seperguruanmu yang sombong itu. Isterinya dan adiknya."
"Kau dengar Agung Sedayu," berkata Sabungsari, "tidak ada gunanya lagi untuk merajuk. Kaupun jangan merengek seperti anak cengeng kehilangan mainan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika tidak ada kesempatan lain, apaboleh buat. Tetapi segalanya belum terlanjur."
Kedua orang dari Gunung Kendeng itu tiba-tiba telah meloncat maju sambil berteriak, "Aku akan membunuh kalian sekarang. Jangan mencoba untuk menghindari tangan-tangan maut yang sudah siap untuk menerkam. Karena hal itu akan sia-sia saja."
Agung Sedayu memandang kedua orang itu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, "Jadi kalian tidak memberikan kesempatan lain daripada mempertahankan diri."
"Tutup mulutmu," geram Kumuda.
Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Baiklah. Aku memang masih ingin kembali kepadepokan, bertemu dengan guru dan orang-orang lain yang aku kenal. Karena itu aku akan mempertahankan diri." lalu katanya kepada Glagah Putih, "minggirlah Glagah Putih. Ambillah jarak. Pegangilah kuda kuda itu atau tambatkan pada pepohonan."
Glagah Putihpun beringsut. Ia menyadari, bahwa keempat orang yang sudah siap untuk bertempur itu tentu orang-orang yang memiliki kelebihannya masing-masing. Karena itu, maka iapun kemudian mengambil jarak dan menambatkan kudanya dan kuda Agung Sedayu. Baginya lebih baik kedua tangannya bebas dan siap untuk dipergunakan apabila perlu, karena ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi kemudian.
Sejenak kemudian keempat orang itu sudah siap. Rambitan berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu, sedang Kumuda beringsut mendekati Sabungsari.
"Anak itu dapat bermain-main dengan matanya," berkata Rambitan kepada Kumuda.
"Ya. Sorot matanya tidak akan dapat menembus perisai yang melingkari diriku, meskipun tidak kasat mata," berkata Kumuda.
Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa orang itu tentu bukan hanya sekedar menakut-nakuti. Tetapi orang itu tentu nemiliki kemampuan seperti yang dikatakannya.
Namun demikian Sabungsari tidak gentar. Iapun bukan sekedar dapat berteriak dan berbicara lantang. Tetapi iapun memiliki bekal ilmu dari perguruannya.
Ia datang ke Jati Anom dengan niat untuk membunuh Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun memiliki kepercayaan kepada ilmunya meskipun ternyata ia tidak dapat mengalahkan anak muda itu.
Kini ia justru berdiri dipihak Agung Sedayu untuk bersama-sama bertempur melawan sepasang Elang dari Gunung Kendeng itu.
Sejenak keempat orang itu berdiri dengan tegang. Masing-masing telah bersiap dalam kemampuan puncaknya, karena masing-masing sudah dapat menduga tataran ilmu lawannya.
Ketika Rambitan bergeser, maka Agung Sedayupun bergeser pula. Ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Agung Sedayu memang masih merasa terlalu muda untuk mati. Betapapun juga ia harus bertahan untuk tetap hidup.
Namun dalam pada itu, seorang yang bersembunyi dibalik semak-semak melihat segalanya yang terjadi. Ia tidak meninggalkan tempat itu, karena ia memang ingin mengawasi dua orang upahan itu.
Sikap Sabungsari ternyata benar-benar telah membakar jantungnya. Prajurit muda itu telah menipu Ki Pringgajaya, sehingga dengan demikian ia adalah orang yang paling berbahaya. Justru lebih berbahaya dari Agung Sedayu, karena ia merupakan saksi dari sikap Ki Pringgajaya terhadap adik Untara itu.
"Anak itu harus dibunuh," geramnya. Tetapi prajurit itu merasa bahwa diantara keempat orang dengan ilmu raksasanya itu, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Namun sekilas dilihatnya Glagah Putih. Tiba-tiba saja ia mempunyai akal yang licik. Jika ia dapat menguasai Glagah Putih, maka ia tentu akan dapat memperlemah pertahanan Agung Sedayu dan Sabungsari.
Bahkan ia akan dapat mempergunakan Glagah Putih untuk memaksa Agung Sedayu dan Sabungsari menyerah, karena Glagah Putih adalah saudara sepupu dan dibawah tanggung jawab Agung Sedayu.
Perguruan Sejati 2 Mustika Lidah Naga 5 Pendekar Dari Hoa San 3
^