Api Di Bukit Menoreh 3
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3
Prajurit itu tidak mengenal pengikut Sabungsari. Tetapi ia mendapat pikiran yang serupa dari apa yang pernah dilakukan oleh para pengikut Sabungsari dipantai Selatan itu.
Karena itu, maka sebelum pertempuran itu berkobar, dan apa lagi membawa korban, maka ia akan merunduk anak itu, dan sekaligus menguasainya dan mempergunakannya sebagai alat untuk memaksa Agung Sedayu menyerah.
Dengan hati-hati prajurit itu berkisar mendekati Glagah Putih. Semakin lama semakin dekat. Ia menyusup diantara gerumbul-gerumbul dan semak-semak.
Namun mata Agung Sedayu ternyata memiliki ketajaman penglihatan yang melampaui ketajaman penglihatan orang kebanyakan. Ia melihat dalam kegelapan seperti itupun mampu melihat pada jarak yang sangat jauh. Jika ia memusatkan tatapan matanya dalam ketajaman penglihatan, maka seolah-olah yang jauh itu menjadi dekat, dan yang baur itu dapat menjadi jelas.
Karena itulah, maka didalam gelapnya malam, ia melihat meskipun hanya lamat-lamat, semak-semak yang bergerak. Agung Sedayu melihat arah gerak pohon-pohon perdu yang rimbun itu, sehingga iapun segera dapat mengambil kesimpulan, apa yang ada dibalik semak-semak itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia siap untuk meloncat kebalik semak-semak, ternyata lawannya telah bergerak selangkah maju dan bersiap untuk menyerang. Agung Sedayu harus memperhatikannya. Seperti yang diduganya, maka sejenak kemudian orang itu sudah meloncat menyerang dengan cepatnya.
Agung Sedayu berkisar selangkah. Namun ia masih sempat melihat Glagah Putih sekilas. Pada saat yang gawat itu, ia melihat sesosok bayangan yang muncul dari balik semak-semak dibelakang Glagah Putih.
"Glagah Putih," teriak Agung Sedayu, "berhati-hatilah. Lihat dibelakangmu."
Teriakan itu mengejutkan Glagah Putih dan Sabungsari. Bahkan kedua orang yang mencegat Agung Sedayu itupun terkejut pula, karena mereka tidak menyangka bahwa prajurit yang mengawasi mereka telah mengambil sikap tersendiri.
Namun kedua orang itu merasa, bahwa sikap itu akan sangat menguntungkannya. Jika prajurit itu berhasil menguasai Glagah Putih, maka perlawanan Agung Sedayu dan Sabungsari tentu akan terganggu pula.
Namun pada saat itu Glagah Putih sempat berpaling. Ia melihat seseorang berdiri beberapa langkah dibelakangnya dan siap untuk menyerangnya.
Sementara itu, baik Glagah Putih maupun Agung Sedayu dan Sabungsari tidak mengetahui, seberapa tingkat ilmu orang yang menyerang itu. Karena itu, maka merekapun menjadi berdebar-debar. Jika orang yang menyerang Glagah Putih itu memiliki kemampuan seperti kedua orang yang lain, maka Glagah Putih benar-benar berada dalam bahaya.
Sambil mengelakkan serangan lawannya yang datang berikutnya, Agung Sedayu menyaksikan orang yang merunduk Glagah Putih itu mulai menyerang pula.
Dengan sepenuh tenaga prajurit itu menyerang langsung mengarah kedada Glagah Putih. Namun ternyata bahwa Glagah Putih mengelakkan serangan itu.
Pada serangan yang pertama, Agung Sedayu dan Sabungsari melihat, bahwa orang itu agak berbeda dengan iblis yang dua, yang berhadapan masing-masing dengan Agung Sedayu dan Sabungsari. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Sabungsaripun menjadi agak tenang. Mereka dapat memusatkan perhatian mereka kepada lawan masing-masing.
Karena Agung Sedayu lelah terlibat dalam pertempuran, maka lawan Sabungsari itupun tidak menunggu lebih lama. Iapun segera menyerang dengan sepenuh kemampuannya.
Tetapi Sabungsari adalah seorang anak muda yang memiliki bekal ilmu yang cukup. Karena itu, maka serangan itu baginya bukannya serangan yang berpengaruh, baik badannya, maupun bagi jiwanya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian kedua anak-anak muda itupun segera terlibat kedalam pertempuran yang sengit. Kedua orang dari perguruan Elang Hitam itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawannya, karena mereka sadar, tatapan mata yang menyala pada anak-anak muda itu akan dapat membakar jantungnya.
Rambitan dan Kumuda berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek, sehingga tidak memberi kesempatan lawannya untuk membangunkan kekuatan lewat sorot matanya. Mereka melihat dalam benturan-benturan pendek pada jarak jangkau serangan tangan dan kakinya.
Namun sekali-sekali Sabungsari berusaha melepaskan diri dari libatan yang keras itu. Meskipun ia belum bermaksud mempergunakan kekuatan sorot matanya, namun seolah-olah ia sedang mencoba, apakah pada suatu saat ia akan dapat mengambil kesempatan untuk melakukannya.
"Jika aku dapat bertahan tanpa ilmu itu, aku akan melagukannya," berkata Sabungsari didalam hatinya, karena ia sadar, bahwa ia memerlukan waktu. Jika dalam saat sekejap itu ia terjebak, maka ia akan mengalami kesulitan seterusnya.
Karena itu, maka ia justru tidak mempergunakan ilmu puncaknya apabila ia memang belum terpaksa.
Selagi kedua orang anak muda itu bertempur dengan serunya, maka prajurit yang merunduk Glagah Putih itupun telah terlibat dalam perkelahian. Untunglah, bahwa Glagah Putih telah menempa diri dalam menekuni ilmunya, sehingga kemampuannya telah jauh meningkat.
Yang dihadapinya kemudian adalah seorang prajurit Pajang di Jati Anom yang tidak memiliki kelebihan seperti Sabungsari. Ia tidak lebih dari seorang prajurit kebanyakan yang mempunyai ilmu dasar bagi seorang prajurit. Meskipun ia memiliki ilmu yang cukup dalam perang gelar, tetapi dalam ilmu kanuragan secara pribadi, ia tidak memihki banyak kelebihan.
Karena itu, maka ketika kemudian Glagah Putih sempat mempertahankan dirinya, maka prajurit itupun tidak terlalu banyak dapat memaksakan kehendaknya. Meskipun Glagah Putih masih belum memiliki pengalaman, namun ia masih sempat bertahan. Dengan ilmu yang ada padanya, ia berjuang untuk tidak segera mati atau dilumpuhkan oleh lawannya.
Ternyata Agung Sedayu melihatnya. Karena itu, maka Agung Sedayupun berteriak, "bertahanlah Glagah Putih. Aku akan segera datang membantumu."
"Kau akan mati," teriak Rambitan.
Yang terdengar berteriak kemudian adalah Sabungsari, "Jika demikian, akulah yang akan membantumu."
"Kaupun akan mati," geram Kumuda.
Sabungsari tertawa. Katanya, "Ternyata kau hanya dapat berkicau. Apa kelebihanmu dari Carang Waja ?"
Kumuda benar-benar merasa terhina. Namun perasaannya tidak cepat terbakar. Ia masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan menghadapi anak muda yang ternyata benar-benar memiliki kemampuan.
Agaknya mereka yang bertempur itu masih belum sampai pada puncak ilmu masing-masing. Mereka masing-masing masih mencoba menjajagi kemampuan lawannya. Karena itulah maka masing-masing masih bertempur dengan kemampuan wadag mereka sewajarnya, meskipun semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin sengit. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka dan mulai merambat pada kemampuan tenaga cadangan meskipun belum sepenuhnya.
Dalam pada itu. Agung Sedayupun mulai menyadari sepenuhnya, bahwa lawannya benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Lawannya semakin lama semakin menjadi kuat dan gerakannya menjadi semakin cepat.
Sementara itu, Glagah Putihpun telah bertempur dengan serunya. Agak berbeda dengan Agung Sedayu dan Sabungsari, ternyata Glagah Putih telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempertahankan diri, karena lawannyapun berusaha untuk segera menguasainya. Namun kemampuan Glagah Putih yang didapatnya dengan menempa diri hampir setiap saat itupun telah melindunginya. Ia telah mampu bergerak dengan cepat dan tangkas, meskipun ia masih dibatasi oleh kekuatan dan kemampuan wadag sewajarnya. Tetapi karena latihan-latihan yang berat, maka ia adalah seorang anak muda yang kuat dan trampil.
Ternyata lawannyapun seorang prajurit yang kuat dan trampil. Tetapi seperti Glagah Putih, iapun bertumpu pada kemampuan wadag sewajarnya.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Glagah Putih dan prajurit itupun menjadi semakin seru. Masing-masing telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya.
Tetapi ternyata kemudian, bahwa prajurit itu memiliki pengalaman yang lebih luas. Glagah Putih kadang-kadang masih nampak gugup dan kehilangan kesempatan yang berarti. Namun setiap kali ia masih menyadari dirinya dan selalu meloncat mengambil jarak, sementara ia berusaha memperbaiki kedudukannya.
Agung Sedayu dan Sabungsari tidak mempunyai kesempatan terlalu banyak untuk mengamati Glagah Putih, karena ia harus memperhatikan lawan masing-masing dengan saksama. Meskipun mereka agaknya belum sampai pada puncak ilmu mereka, namun Agung Sedayu dan Sabungsari tidak ingin terjebak oleh kelengahannya. Sehingga dengan demikian, maka keduanya telah bertempur dengan hati-hati. Mereka mengerti, bahwa setiap saat lawan masing-masing akan dapat melontarkan ilmu pamungkas mereka.
Dalam pada itu, maka pertempuran di bulak panjang itupun menjadi semakin seru. Adalah kebetulan sekali, bahwa tidak ada seorang petanipun yang menjenguk sawahnya dibulak panjang yang gelap dan dimalam yang dingin. Karena itu, maka tidak seorangpun yang telah melihat, apa yang telah terjadi di bulak panjang itu.
Sementara itu, Rambitan yang berhadapan dengan Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin yakin, bahwa anak muda itu memang memiliki ilmu yang luar biasa. Yang didengarnya tentang Agung Sedayu bukannya sekedar dongeng yang tidak berarti. Tetapi setelah ia berhadapan langsung dengan anak muda itu, maka iapun mulai mempercayainya.
Namun Rambitan yang merasa dirinya murid terbaik dari perguruan Elang Hitam di pegunungan Kendeng itu, justru semakin bergairah. Ia ingin menunjukkan, bahwa murid-murid dari Gunung Kendeng itu bukannya sekedar mampu berkicau dan berteriak-teriak seperti yang dituduhkan oleh Sabungsari terhadap Kumuda. Namun dengan kemantapan ilmunya, perguruan Gunung Kendeng akan dapat menghancurkan lawan-lawannya.
Perlahan-lahan Rambitanpun mulai meningkatkan ilmunya. Dengan demikian ia ingin melihat sampai batas tertinggi kemampuan lawannya. Jika pada suatu saat, Agung Sedayu tidak lagi mengimbanginya, maka ia akan mendapat ukuran, bahwa kemampuan anak muda yang menggetarkan Pajang itu hanya sampai pada tingkat tertentu dibawah ilmunya.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu ternyata menyadari, apa yang dilakukan oleh lawannya. Karena itu, maka iapun selalu mengikutinya dengan saksama. Setiap kali lawannya meningkatkan ilmunya, maka Agung Sedayupun melakukannya pula.
Setiap kali terasa oleh Agung Sedayu, tekanan lawannya yang menjadi semakin meningkat. Pertanda peningkatan ilmu ini ternyata sangat menarik bagi Agung Sedayu. Bukan saja Rambitan yang ingin mengetahui batas puncak kemampuan lawannya, namun Agung Sedayupun telah melakukan yang serupa.
Dengan demikian Agung Sedayu tidak dengan serta merta mengerahkan ilmunya seperti yang dilakukan oleh lawannya. Dengan cara itu ia akan mengetahui tingkat tertinggi dari murid terbaik yang datang dari perguruan Elang Hitam di Gunung Kendeng.
"Anak-anak murid dari Perguruan Wulungireng ini tentu sedang menjajagi kemampuanku pula," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Agak berbeda dengan Agung Sedayu adalah Sabungsari. Ia bukan anak muda yang ragu-ragu dan mempunyai banyak pertimbangan yang dapat menghambat tingkah lakunya. Ia tidak memikirkan, apa yang sedang dilakukan oleh lawannya. Karena itu, maka Sabungsaripun segera bertempur dengan segenap kemampuannya melawan Kumuda yang dicengkam oleh nafsu yang membara didadanya untuk membunuh anak muda yang dianggapnya berkhianat itu.
Karena itu, maka pertempuran antara Sabungsari dan Kumuda menjadi semakin sengit. Lebih seru dari arena pertempuran antara Agung Sedayu dan Rambitan.
Rambitanpun mengetahui sekilas, bahwa agaknya Kumuda dan Sabungsari telah sampai kepuncak ilmunya, sehingga mereka bagaikan prahara yang saling membentur.
Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Serangan yang membentur serangan itu seolah-olah telah menimbulkan angin pusaran. Desir yang berbaur dengan hentakan tenaga yang lepas dari sasaran, telaii membuat arena pertempuran itu bagaikan diguncang oleh gempa yang mengerikan.
Sabungsari yang pernah bertempur melawan Carang Waja itupun merasa bahwa lawannya ternyata memiliki kemampuan yang berbeda. Kumuda tidak dapat mengguncang tanah bagaikan guncangan gempa yang ternyata hanya semu. Tetapi Kumuda benar-benar mampu bergerak cepat dan serangannyapun dilambari dengan kekuatan yang luar biasa. Ia mampu meloncat bagaikan petir yang menyambar dilangit. Dan iapun mampu menghantamkan hentakkan kekuatan bagaikan gugurnya gunung Merapi dan Merbabu, menghimpit lawannya tanpa ampun.
Karena itu, maka Sabungsaripun harus berhati-hati. Ia harus berusaha mengimbangi kecepatan bergerak lawannya, dan sekaligus berusaha untuk mengerahkan tenaga cadangannya dalam daya tahannya. Karena setiap sentuhan serangan lawannya, akan dapat berarti hancurnya isi dadanya jika ia tidak mengerahkan daya tahannya sekuat-kuatnya.
Dengan demikian, maka kekuatan cadangan Sabungsari sebagian telah terhisap pada pertahanannya. Karena itu, maka serangan-serangannyapun menjadi lemah.
Namun dalam pada itu, bukan berarti bahwa Sabungsari tidak pernah menyerang lawannya. Dalam kesempatan tertentu, Sabungsaripun mampu menyerang. Tetapi yang diluncurkan bukanlah puncak dari kekuatannya.
Untuk beberapa saat Sabungsari masih harus mengamati dengan sungguh-sungguh keadaan lawannya yang sesungguhnya. Ia harus melihat, dimana kelebihannya dan dimana kekurangannya.
Tetapi kesempatan terlalu sempit bagi Sabungsari. Lawannya melibatnya dalam pertempuran yang keras pada jarak yang pendek. Apalagi lawannya memiliki kecepatan bergerak yang mendebarkan, dan kekuatan mengagumkan.
Namun dalam pada itu, kekuatan dan kemampuan Sabungsari telah benar-benar pulih kembali sejak ia dilukai oleh Carang Waja. Segala luka-lukanya telah sembuh dan kemampuannyapun telah dimilikinya kembali.
Karena itu, betapapun juga, Sabungsaripun ternyata adalah seorang anak muda yang luar biasa, iapun telah menempa diri sebelum meninggalkan padepokannya. Meskipun ia mempersiapkan dirinya untuk melawan Agung Sedayu, namun yang dihadapinya kemudian dalam pertempuran antara hidup dan mati adalah justru orang-orang lain.
Menghadapi lawannya yang tangguh tanggon itu, Sabungsaripun harus mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih berusaha mengimbangi kemampuan lawannya dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin keras dan kasar.
"Akupun orang kasar sejak semula," geram Sabungsari didalam hatinya. Karena itu, maka iapun mampu mengimbangi kekerasan dan kekasaran sikap lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Sabungsari dan Kumuda itu benar-benar merupakan pertempuran yang dahsyat. Benturan-benturan kekuatan dan lontaran-lontaran serangan dengan kecepatan petir diudara.
Namun dalam pada itu, Kumudapun menjadi heran. Setiap kali serangannya menyentuh lawannya, prajurit muda itu seolah-olah tidak bergetar. Ia mampu menahan serangannya yang dilontarkan dengan kekuatan raksasa. Bahkan dalam pada itu, Sabungsari masih juga sempat membalas serangan dengan serangan. Meskipun kekuatan serangan Sabungsari tidak meruntuhkan isi dada lawannya, namun sentuhan-sentuhan yang semakin sering, terasa mulai mengganggu lawannya. Apalagi sentuhan-sentuhan ditempat yang paling gawat. Meskipun tidak terlalu keras, tetapi akan dapat mempunyai akibat yang menentukan.
Dengan kecepatan bergerak, Sabungsari beberapa kali hampir berhasil menyentuh tempat-tempat yang berbahaya. Ia sadar, bahwa sebagian besar kekuatannya dipergunakannya untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, sehingga karena itu, ia harus mampu mempergunakan sebagian dari tenaganya pada sasaran yang menentukan.
Kumuda menggeram, ketika hampir saja jari-jari Sabungsari menyentuh matanya. Ia masih sempat menggeser kepalanya, sehingga jari-jari Sabungsari hanya mengenai keningnya. Tetapi sekejap kemudian disusul dengan serangan ibu jari anak muda itu menyentuh leher lawannya.
Kumuda terkejut. Ia sempat meloncat surut. Sentuhan dilehernya yang tidak terlalu kuat itu, rasa-rasanya telah menutup pernafasannya. Namun sejenak kemudian, ia telah berhasil membuka kembali jalur pernafasannya sehingga ia dapat bernafas lagi dengan wajar.
Kumudapun kemudian menyadari, bahwa meskipun serangan Sabungsari tidak terlalu kuat, namun ia mampu memilih sasaran yang menentukan. Sehingga karena itu, maka Kumuda menjadi lebih berhati-hati. Jika semula ia berbangga bahwa serangan-serangannya seolah-olah telah memaksa Sabungsari untuk sekedar bertahan, dan dengan demikian maka kesempatan menyerang anak muda itu menjadi sangat terbatas, namun ternyata kemudian, bahwa dalam kelemahan itu, terdapat kemampuan yang mengagumkan. Sabungsari ternyata menguasai benar-benar jalur-jalur otot bebayu dan garis-garis syaraf yang terpenting, disamping bagian-bagian tubuh yang lemah.
Dengan demikian, maka Kumuda tidak lagi menganggap bahwa kekalahan lawannya hanyalah tinggal soal waktu. Justru ia mulai menganggap lawannya adalah orang yang benar-benar berbahaya.
Apalagi Kumuda pernah mendengar bahwa Sabungsari memiliki kemampuan pada tatapan matanya. Jika anak muda itu mendapat kesempatan untuk mengambil jarak waktu barang sekejap, maka ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya.
Tetapi Kumudapun mempunyai sipat kandel yang akan dapat dipergunakannya untuk melawan serangan yang tidak mennpergunakan rabaan wadag dengan wantah itu, meskipun ia sendiri belum meyakini, seberapa jauh ia akan dapat bertahan terhadap serangan tatapan mata Sabungsari.
"Tetapi aku bukan sasaran mati yang menunggu jantungku terbakar oleh tatapan matanya," berkata Kumuda didalam hati, "adalah kebodohan yang sangat besar jika aku harus mati dibawah sorot matanya."
Sebenarnyalah, bahwa Sabungsari terlalu sulit untuk dapat mengambil jarak dan waktu untuk mengungkapkan kemampuan puncaknya itu.
Namun dalam pada itu, Sabungsaripun belum merasa terdesak oleh lawannya dalam pertempuran yang keras itu. Ia masih tetap memusatkan sebagian terbesar kekuatan dan kemampuan cadangannya pada daya tahannya, sehingga seolah-olah ia menjadi seorang yang memiliki ilmu kebal, meskipun setiap kali ia masih harus menyeringai dan berdesis menahan sakit. Sementara itu, ia telah mempergunakan ketrampilan dan pengetahuannya tentang tubuh dan bagian-bagiannya untuk melemahkan pertahanan lawannya. Ia mengetahui tempat yang paling ringkih meskipun hanya mendapat serangan yang tidak begitu kuat, tetapi telah menimbulkan akibat yang gawat.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Sabungsari dan Kumuda itupun justru menjadi semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat, dan serangan-serangannyapun datang silih berganti meskipun dalam ungkapan yang berbeda.
Sementara itu, ternyata Rambitan mulai dipengaruhi oleh keadaan lawannya yang masih muda. Sementara ia perlahan-lahan meningkatkan ilmunya, namun ia tidak sampai pada batas yang dianggapnya sebagai tingkat puncak ilmu lawannya. Setiap ia meningkatkan kemampuan dan kekuatannya, maka Agung Sedayu selalu dapat mengimbanginya. Sehingga akhirnya, ketika Rambitan sudah mendekati puncak kemampuannya, maka iapun menjadi gelisah.
"Dari mana iblis ini memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya," berkata Rambitan didalam hatinya.
Tetapi Rambitan masih mempunyai harapan. Pada tahap terakhir dari tingkat ilmunya, ia akan membuktikan, bahwa ia memiliki kelebihan dari Agung Sedayu, yang dalam pertempuran melawan Carang Waja ternyata hanya mampu mengimbanginya tanpa dapat membunuhnya.
Namun ada yang tidak diketahui oleh Rambitan, kenapa Carang Waja tidak mati oleh Agung Sedayu. Rambitan sama sekali tidak membayangkan warna hati dalam dada anak muda itu.
Apalagi yang dilakukan Agung Sedayu saat itu, adalah saat-saat ia sama sekali belum tersentuh ilmu yang terdapat dalam kitab Ki Waskita. Sehingga ilmunya sama sekali masih belum terpengaruh sama sekali.
Dengan demikian, maka ukuran Rambitan atas ilmu Agung Sedayu ternyata tidak tepat. Bahkan agak jauh dari kebenaran.
Karena itu, ketika Rambitan akhirnya sampai pada puncak ilmunya, melampaui kemampuan ilmu Kumuda, ternyata bahwa ia tidak berhasil dengan serta merta menguasai Agung Sedayu. Betapapun keras dan kasarnya ia bertempur, namun seolah-olah Agung Sedayu mampu mengimbanginya.
Kekuatan Rambitan yang luar biasa, kecepatan bergerak yang jarang ada bandingnya, tidak mampu menguasai anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Bahkan jika Rambitan mencoba untuk membenturkan kekuatannya, maka hentakan tenaganya seolah-olah telah memukul isi dadanya sendiri. Agung Sedayu benar-benar bagaikan tonggak baja yang berdiri tegak menghunjam kepusat bumi.
Kegelisahan Rambitan ternyata telah memaksanya untuk mulai mempertimbangkan jenis-jenis senjata yang dibawanya. Ketika ternyata bahwa kekuatannya yang menghantam Agung Sedayu tidak mampu melumpuhkan anak muda itu, maka mulailah Rambitan meraba hulu pedangnya.
"Tidak ada pilihan lain," katanya didalam hati. Namun dengan demikian ia sadar, bahwa mungkin ia justru akan mengalami tekanan yang lebih berat, jika anak muda yang dihadapinya itu menarik cambuknya. Menurut pendengarannya, anak muda ini mempunyai cambuk yang mampu mendendangkan lagu maut.
Agung Sedayu melangkah surut, ketika ia melihat Rambitan menarik parangnya. Sejenak ia termangu-mangu. Wajahnya menjadi semakin tegang dan jantungnya berdegupan.
Rambitan melihat sikap Agung Sedayu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia tertawa sambil berkata, "Jangan cemas Agung Sedayu. Aku mampu menebas lehermu dengan sekali ayun. Karena itu, jika kau tidak banyak solah, maka kau akan mati dengan cepat. Tetapi jika kau mencoba melawan ilmu pedangku, maka kau akan menyesal."
Agung Sedayu memandang Rambitan dengan tajamnya. Meskipun ia mengerti, bahwa ilmu Rambitan masih belum mencapai lapisan yang sama dengan ilmunya, tetapi senjata ditangannya akan dapat menjadi sangat berbahaya baginya.
"Marilah anak muda," suara Rambitan meninggi, "jangan mencoba untuk lari."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi gelisah. Tetapi bukan karena ia menjadi kecut melihat senjata itu. Tetapi perang bersenjata memang dapat menimbulkan akibat yang lebih buruk.
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat merenung lebih lama lagi. Tiba-tiba saja lawannya sudah meloncat dengan parang terjulur, lurus mengarah kedada Agung Sedayu.
Tidak ada kesulitan bagi Agung Sedayu untuk mengelakkan serangan pertama. Tetapi Agung Sedayupun sadar, bahwa yang berbahaya tentu bukan serangan yang pertama itu.
Sebenarnyalah, demikian Agung Sedayu mengelakkan serangan yang pertama, maka lawannyapun tiba-tiba telah memutar parangnya menebas leher lawannya Sekali lagi Agung Sedayu harus meloncat. Namun lawannya telah memburunya.
Ternyata Rambitan benar-benar seorang yang memiliki ilmu pedang yang luar biasa. Ia mampu menggerakkan pedangnya dengan cepat dan deras. Setiap sentuhan tajam pedang itu, tentu akan mematahkan tulang. Bukan saja menyobek kulit daging.
Beberapa saat kemudian terasa bahwa Agung Sedayu memang mulai terdesak. Ia tidak dapat menembus putaran parang lawannya yang bagaikan perisai memutari dirinya. Sekali-sekali ia harus meloncat, jika tiba-tiba seolah-olah dari balik perisai itu telah meluncur ujung parang yang mematuk dadanya. Kemudian menebas mendatar dan memutar dengan cepatnya.
"Menyerahlah," geram orang berparang itu.
"Ki Sanak," desis Agung Sedayu sambil meloncat mundur, "kau jangan memaksa aku untuk berbuat lebih banyak lagi. Apakah kau tidak mempunyai cara lain untuk mengakhiri pertempuran ini selain maut. Kau dapat meninggalkan arena ini. Atau jika kau keberatan karena kau seorang laki-laki jantan, biarlah aku yang meninggalkan arena ini tanpa kau ganggu. Atau mungkin ada cara lain yang lebih baik dari bayangan maut."
"Persetan," teriak lawannya, "jika kau takut menghadapi putaran parangku, menyerahlah."
"Jangan salah sangka. Aku tidak takut. Tetapi akupun tidak ingin menyombongkan diriku. Karena itu, marilah kita mencari jalan lain. Jika kau benar diupah oleh Ki Pringgajaya, biarlah aku menemuinya dan berbicara dengan perwira prajurit Pajang itu."
Tetapi Rambitan tidak menanggapi sama sekali. Justru serangan parangnya semakin lama menjadi semakin cepat mengarah ketempat yang paling berbahaya ditubuh Agung Sedayu.
"Orang ini sudah tidak dapat diajak berbicara lagi," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, ternyata ilmu pedang Rambitan benar-benar berbahaya bagi Agung Sedayu. Setiap kali Agung Sedayu harus meloncat surut menghindari serangan lawannya yang bagaikan prahara.
"Menyerahlah," teriak Rambitan.
Akhirnya Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain. Lawannyalah yang telah mendesaknya untuk meloncat surut. Mengambil jarak dan dalam kesempatan yang pendek, ia telah mengurai cambuknya yang membelit lambung.
Rambitan menjadi semakin berdebar-debar. Ia memang sudah memperhitungkan bahwa pada suatu saat, cambuk itu akan diurainya juga.
Agung Sedayu yang sudah memegang pangkal cambuknya itu kemudian berdiri tegak. Sebelah tangannya menggenggam ujung cambuknya yang berjuntai.
"Apakah kita akan bertempur terus," bertanya Agung Sedayu.
Rambitan tidak menjawab. Namun parangnya telah mematuk dengan cepatnya seperti anak panah yang meloncat dari busurnya.
"Kau benar-benar tidak dapat diajak berbicara," geram Agung Sedayu.
Rambitan sama sekali tidak menghiraukannya. Ujung pedangnya menyambar semakin cepat, sementara kakinya berloncatan dengan tangkasnya.
Agung Sedayu masih menghindar. Ia masih memegang ujung cambuknya. Namun ketika ia menjadi semakin terdesak, tiba-tiba cambuk itu telah meledak. Tetapi yang terdengar adalah ledakkan cambuk yang tidak terlalu keras.
Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian sadar, bahwa Agung Sedayu tentu masih mengekang dirinya. Jika ia benar-benar telah sampai kepuncak kemarahannya, maka ia dapat meledakkan cambuknya seperti ledakkan petir diudara.
Sebenarnyalah Agung Sedayu tidak ingin membuat orang-orang padukuhan disebelah menyebelah bulak itu menjadi gelisah. Jika ia meledakkan cambuknya dengan sepenuh tenaganya, maka cambuk itu akan memecah sepinya malam, menyentuh ujung-ujung padukuhan, sehingga jika anak-anak muda mulai berada digardu diregol padukuhan, mereka akan menjadi gelisah.
"Sebagian dari mereka telah pernah mendengar arti suara cambukku," berkata Agung Sedayu didalam hati.
Namun, meskipun suara cambuk itu tidak meledak terlalu keras, tetapi getar udara disekitarnya membuat Rambitan harus menilai dengan saksama. Ternyata diantara ledakkan cambuk sawantah dan getar yang merobek udara, masih harus mendapat nilai banding yang cermat. Karena yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu, bukannya sekedar hentakkan tenaga wadagnya dan senjata yang kasat mata.
Tetapi Rambitan adalah orang yang cukup mempunyai pengalaman. Ia pernah berada dimedan melawan berbagai jenis ilmu. Karena itu, maka iapun akan menghadapi ilmu yang menggetarkan jantungnya itu seperti, ia pernah menghadapi ilmu yang lain, yang kadang-kadang memang dapat mengguncang kejantanannya.
"Beberapa kali aku menjumpai ilmu yang tidak masuk akal. Tetapi akhirnya aku berhasil keluar membawa kemenangan," berkata Rambitan kepada diri sendiri. Karena itu ia masih berharap, bahwa pada saatnya ia akan dapat mematahkan ilmu Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, kemarahan Kumuda tertuju sepenuhnya kepada Sabungsari yang telah berkhianat. Ia telah menipu dan kemudian berusaha untuk menggagalkan maksud mereka.
"Anak inilah yang pertama-tama harus mati," geram Kumuda didalam hatinya.
Karena itu, maka iapun bertempur semakin keras. Ilmunya diperasnya sampai tuntas. Dengan keras dan kasar ia berusaha untuk menekan Sabungsari sepenuh tenaganya.
Tetapi Sabungsaripun mengimbanginya. Iapun dapat bertempur dengan keras. Ia tidak segan membenturkan kekuatannya jika lawannya menyerangnya dengan kasar. Kemudian melenting menyerang mengarah ke bagian tubuh lawan yang paling lemah.
Kumuda akhirnya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat menjatuhkan lawannya meskipun tangannya seakan-akan telah berubah menjadi besi gligen. Jari-jarinya mampu meremas batu padas dan hentakkan kakinya dapat menggulingkan batu-batu sebesar gardu di sudut-sudut padesan.
Namun ternyata bahwa Sabungsari memiliki daya tahan yang luar biasa. Bahkan disela-sela pertahanannya, ia masih mampu menyusup menyerang dengan cepatnya.
Sejenak kemudian, tidak ada pilihan lain dari lawanya selain mempergunakan senjatanya. Kumuda tidak membawa senjata panjang. Tetapi yang ada dilambungnya adalah sebilah pisau belati. Pisau yang jarang sekali dipergunakan, karena tangannya adalah senjatanya yang dapat diandalkan. Tangannya yang memiliki kekuatan seperti sepotong besi baja.
Namun Sabungsari tidak remuk oleh pukulan tangannya. Tubuhnya seolah-olah menjadi liat dan bahkan bagaikan kebal, meskipun setiap kali terdengar ia berdesis dan menyeringai menahan sakit. Namun hampir tidak berpengaruh sama sekali pada daya tahan dan kemampuannya bertempur.
"Ujung pisau ini akan dapat menyobek dagingnya," berkata Kumuda didalam hatinya.
Sabungsari mengerutkan keningnya ketika ia melihat tangan lawannya menggapai senjatanya. Namun ia tidak menunggu. Ia justru meloncat surut beberapa langkah.
Kumuda terkejut. Ia merasa telah melakukan satu kesalahan. Sesaat ia menarik senjatanya, Sabungsari agaknya akan mempergunakan kesempatan itu.
Karena itu, maka Kumudapun segera mengerahkan segenap ilmunya, kekuatannya dan kemampuannya melindungi dirinya dengan daya tahannya yang luar biasa, sehingga kekuatan lawannya, seakan-akan tidak dapat menyentuhnya sama sekali, karena tubuhnya seolah-olah telah dihngkari oleh selapis perisai yang tidak kasatmata.
Namun dalam pada itu sejenak kemudian ia melihat Sabungsari berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya didadanya. Sikap yang langsung memberitahukan kepada lawannya, bahwa anak muda itu telah sampai kepada puncak ilmunya.
Sejenak Kumuda masih mampu bertahan. Ia berdiri tegak seperti patung. Dengan memusatkan daya tahannya, ia mampu menahan diri tanpa mengalami sesuatu.
Namun ternyata bahwa ilmu Sabungsari benar benar dahsyat. Perlahan-lahan tetapi pasti, tatapan matanya yang mempunyai sentuhan wadag itu bagai tajamnya ujung senjata yang sedikit demi sedikit memecahkan perisai yang melindungi lawannya.
Kumuda menyadari akan hal itu. Ia merasa tatapan mata itu mulai menghunjam ilmunya yang dibanggakan.
Pertempuran ilmu yang dahsyat itu benar-benar mendebarkan. Keduanya berdiri tegak dalam pemusatan puncak kemampuan.
Namun Kumuda merasa, bahwa ia tidak dapat berbuat demikian. Perlahan-lahan ilmu lawannya itu akan menyusup semakin dalam. Jika ilmu itu kemudian berhasil menyentuh tubuhnya, menembus perisai ilmunya, maka ia akan mengalami bencana.
Karena itu, maka Kumuda harus berbuat sesuatu. Ia sadar, ditanganya tergenggam pisau belatinya. Sehingga dengan demikian ia tidak boleh menunggu lebih lama lagi, sehingga tubuhnya akan terbakar oleh ilmu lawannya yang berhasil mengoyak perisainya.
Sejenak Kumuda memusatkan perhatiannya kepada Sabungsari yang berdiri tegak dengan tangan bersilang. Ia sadar bahwa waktunya tidak terlalu banyak. Perisainya menjadi semakin tipis, dan sesaat lagi ilmu lawannya itu akan menembus dan menghimpit dadanya, membakar jantungnya.
Dengan mengerahkan kemampuannya, tiba-tiba saja Kumuda itu melenting menyerang Sabungsari dengan pisau belatinya.
Sabungsari yang berada dalam puncak kemampuannya itupun merasa, bahwa perlahan-lahan ilmunya berhasil memecahkan perisai yang mengitari lawannya meskipun tidak kasat mata. Sabungsari yakin, bahwa sekejap kemudian ia akan dapat menembus tirai yang bagaikan berlapis-lapis yang menahan kemampuan ilmu lewat sorot matanya itu.
Namun sesaat Sabungsari menjadi bimbang ketika ia melihat lawannya meloncat dengan pisau terjulur kedadanya. Ia merasa bahwa kulitnya bukannya kulit yang kebal dari sentuhan senjata. Namun iapun yakin bahwa sekejap kemudian ia akan dapat meremas lawannya dengan tatapan matanya, karena ia sudah berhasil mengoyak ilmu yang membatasi serangannya lewat sorot matanya.
Sabungsari tidak mempunyai waktu banyak. Senjata itu meluncur seperti anak panah, mengarah kedadanya.
Namun akhirnya Sabungsari memutuskan untuk tidak bergerak. Tetapi iapun tidak melepaskan lawannya dari genggaman sorot matanya. Dengan mengerahkan kemampuan ilmunya, Sabungsari berusaha menghantam lawannya yang sedang meluncur menyerangnya dengan pisau belatinya.
Pada saat yang gawat, telah terjadi benturan serangan yang dahsyat pada kedua belah pihak. Serangan pisau belati yang sama sekali tidak dihindari itu benar-benar telah mengenai dada Sabungsari. Pisau itu menghunjam diatas tangan Sabungsari yang menyilang didada.
Namun, pada saat pisau itu menyentuh dada lawannya, ternyata bahwa Sabungsari telah berhasil memecahkan ilmu yang menahan sentuhan wadag sorot mata Sabungsari. Dengan demikian, maka pada saat pisau itu menyentuh dada lawannya, Kumuda berdesis menahan dadanya yang serasa retak.
Karena itu, maka kekuatan Kumuda tidak lagi mampu menekan pisau itu sampai kepusat jantung lawannya. Demikian pisau itu menembus kulit, maka Kumudapun harus segera nengelakkan diri dari remasan kekuatan sorot mata Sabungsari.
Sabungsari merasa dadanya terkoyak. Tetapi ia tidak mau melepaskan lawannya yang sudah mulai tersentuh oleh ilmunya. Karena itu, ketika Kumuda kemudian berusaha mengelak Sabungsari bertahan pada sikapnya tanpa melepaskan lawannya dari tatapan matanya.
Ternyata bahwa cengkaman ilmu Sabungsari benar-benar dahsyat. Rasa-rasanya dada Kumuda menjadi sesak dan nafasnyapun tersumbat dikerongkongan. Beberapa saat ia mencoba untuk berguling ketanah, namun yang dapat dilakukannya hanya sekedar menggeliat. Tatapan mata Sabungsari benar-benar telah menguasainya tanpa dapat dilawannya.
Rasa-rasanya langitpun kemudian runtuh menghimpit tubuhnya. Dan nafasnya telah tersumbat karenanya. Yang ada kemudian hanyalah kegelapan dan kepepatan.
Kumuda tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Sabungsari dengan tatapan matanya berhasil menghancurkan lawannya seperti ia menghancurkan sebongkah batu, meskipun dalam bentuk yang lain.
Namun ketika Kumuda tidak bergerak lagi, maka Sabungsaripun tidak mampu bertahan pula. Darahnya mengalir dari lukanya. Pada hentakan ilmunya, maka darah itu bagaikan diperas lewat lukanya.
Karena itu, ketika ia merasa bahwa ia sudah menyelesaikan lawannya, luka didadanya itu benar-benar telah mencemaskannya. Tubuhnya menjadi lemah sekali, sehingga ia tidak mampu bertahan untuk berdiri terlalu lama.
Dengan demikian, maka Sabungsaripun segera duduk ditanah. Dari kantung ikat pinggangnya ia mengambil serbuk obat yang selalu dibawanya. Dengan sisa tenaga yang ada padanya, maka ia mulai menaburkan obat itu pada lukanya, sehingga terasa, luka itu menjadi panas.
Namun dengan demikian Sabungsari mengerti, bahwa obat itu mulai bekerja pada lukanya dan perlahan-lahan menahan arus darahnya yang mengalir.
Tetapi agaknya darah sudah terlalu banyak keluar lewat lukanya. Karena itu, maka tubuh Sabungsari benar-benar menjadi sangat lemah. Bahkan kemudian matanyapun menjadi berkunang-kunang.
Ternyata Sabungsari tidak mampu bertahan duduk ditanah. Dengan lemahnya iapun kemudian membaringkan dirinya diatas rumput yang basah oleh embun malam. Bahkan rasa-rasanya kesadarannyapun mulai melambung. Namun adalah suatu keuntungan, bahwa luka-lukanya telah dipampatkan oleh obat yang telah ditaburkannya.
Agung Sedayu melihat segalanya yang terjadi. Tetapi ia tidak dapat berbuat apapun juga, karena lawannyapun menyerangnya seperti badai yang didorong oleh angin prahara menghantam tebing.
Betapa hatinya menjadi gelisah melihat keadaan Sabungsari. Meskipun Agung Sedayu melihat Sabungsari berhasil mengalahkan lawannya, namun keadaannya agaknya sangat mencemaskan.
Sementara itu, Glagah Putihpun telah menambah kegelisahannya pula. Meskipun Glagah Putih telah menempa diri tanpa mengenal lelah, tetapi lawannya adalah seorang prajurit yang berpengalaman. Karena itu, maka iapun mulai terdesak. Meskipun kadang-kadang Glagah Putih masih mampu menyerang lawannya, tetapi perlahan-lahan ia mulai dikuasai oleh kemampuan lawannya itu. Bahkan nampaknya lawannya benar-benar berusaha untuk menjatuhkannya, bahkan mungkin membunuhnya.
Sementara pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya, Rambitan yang melihat Kumuda tidak bergerak lagi, benar-benar telah sampai kepuncak kemarahannya. Tatapi ia masih tetap menguasai dirinya dalam kesadaran sepenuhnya, bahwa lawannya adalah orang yang luar biasa.
"Nasibnyalah yang malang," desis Rambitan didalam hati. Tetapi jika ia melihat Sabungsari berbaring diam, maka ia masih mempunyai sepercik kebanggaan. "Jika anak itupun mati, maka ternyata Kumuda benar-benar lebih dahsyat dari Carang Waja."
Dengan demikian, maka Rambitanpun membuat perhitungan yang lebih cermat menghadapi Agung Sedayu. Iapun mengerti bahwa Glagah Putih tidak akan dapat menang melawan prajurit pengikut Ki Pringgajaya itu, sementara Sabungsari sudah tidak berdaya lagi. Bahkan Rambitan berharap bahwa anak muda itu akan mati pula.
Karena itu, maka ia dapat memusatkan perlawanannya atas Agung Sedayu yang memiliki kemampuan raksasa.
Namun dalam pada itu, sekali-sekali Rambitan mengumpat pula didalam hatinya. Pengkhianatan Sabungsari benar-benar telah mengacaukan rencananya. Kebodohan Ki Pringgajaya dan prajurit itupun telah menjerumuskan Kumuda kedalam pelukan maut.
"Jika segalanya berjalan seperti rencana, betapapun tinggi ilmu Agung Sedayu, ia tidak akan dapat melawan aku dan Kumuda bersama-sama," berkata Rambitan didalam hatinya.
Namun segalanya sudah terjadi. Kumuda telah tidak berdaya, sementara ia harus berhadapan dengan Agung Sedayu.
Karena itu, tidak ada lagi yang ditunggunya. Ia harus dapat membinasakan lawannya secepat-sepatnya.
Tetapi yang terjadi adalah diluar kehendaknya. Betapapun juga ia menyerang dengan kecepatan yang tidak ada taranya. Agung Sedayu masih sempat menghindari. Meskipun kadang-kadang parangnya seolah-olah dapat mengurung lawannya, namun parang itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu yang mampu bergerak secepat lintasan sinar. Bahkan setiap kali ujung cambuknya yang berputar itu bagaikan perisai yang tidak akan dapat ditembusnya.
Sementara itu, Agung Sedayu justru menjadi semakin gelisah melihat keadaan Sabungsari dan Glagah Putih. Sabungsari berbaring diam tanpa bergerak sama sekali. Sementara Glagah Putih menjadi semakin terdespk oleh lawannya yang jauh lebih berpengalaman.
"Apakah Sabungsari mati " " pertanyaan itu mulai mengusik dadanya.
Karena itulah, maka akhirnya Agung Sedayu harus mengambil sikap yang lebih mantap. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi, karena lawannya adalah benar-benar seorang yang pilih tanding. Bahkan, jika ia pada suatu saat melakukan kesalahan, maka ia sendirilah yang akan mengalami bencana. Bahkan adik sepupunya dan Sabungsari yang sudah tidak berdaya.
Dengan demikian, maka akhirnya Agung Sedayu mengambil suatu sikap yang lebih keras. Ia harus menguasai lawannya dan mengalahkannya.
Sejenak kemudian, maka ujung cambuk Agung Sedayu itupun bergetar semakin cepat. Meskipun ledakkannya tidak memecahkan selaput telinga, namun sentuhan ujung cambuk itu masih mampu menyobek kulit.
Sentuhan-sentuhan pertama dari ujung cambuk Agung Sedayu membuat Rambitan benar-benar terkejut. Ia melihat ujung cambuk itu bagaikan melenting. Namun ia merasa dirinya telah menghindar. Adalah diluar dugaannya bahwa ujung cambuk itu mampu mengejarnya dan mematuk kakinya.
Ujung cambuk itu benar-benar telah menggoreskan luka. Darah mulai mengalir dari tubuh Rambitan. Namun dengan demikian kemarahannya tidak lagi dapat dikendalikan.
Sejenak kemudian Rambitan justru menyarungkan parangnya. Beberapa langkah ia meloncat surut.
Sikapnya telah membuat Agung Sedayu termangu-mangu. Namun ia tidak meninggalkan kewaspadaan. Meskipun ia tidak memburu, namun ia telah mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.
"Apakah orang ini memiliki ilmu seperti Carang Waja," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "atau sejenis ilmu yang lain, yang akan dapat mempengaruhi perasaan dan nalarku."
Tetapi Agung Sedayu tidak perlu meraba-raba lebih lama lagi. Pandangan matanya yang tajam melihat, gerak tangan Rambitan yang mendebarkan.
Sekejap kemudian. Agung Sedayu melihat tangan itu bergerak. Seperti ujung petir yang menyambar, Agung Sedayu melihat sekilas putaran cakram bergerigi menyambar keningnya.
Namun Agung Sedayu cukup tangkas. Ia sempat memiringkan kepalanya, meskipun debar jantungnya bagaikan menjadi semakin cepat. Cakram bergerigi yang tidak begitu besar itu hampir saja memecahkan tulang keningnya dan sekaligus dapat membunuhnya.
Tetapi Agung Sedayu harus meloncat sekali lagi ketika cakram yang sama meluncur kedadanya. Hanya karena kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal lawannya sajalah. Agung Sedayu sempat menghindarkan dirinya.
"Gila," geram Rambitan, "apakah anak ini kerasukan iblis yang mampu melenting seperti bilalang, atau apakah ia memang anak iblis itu sendiri."
Rambitan menggeram ketika ia melihat Agung Sedayu kemudian berdiri tegak dengan cambuk ditangannya. Namun dalam pada itu, ditangan Rambitan telah tergenggam cakram bergerigi yang akan mampu membelah dadanya. Setiap saat cakram itu akan dapat dilontarkannya dan menghunjam jauh kedalam dagingnya.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar menghadapi senjata lawannya. Dengan demikian, maka ia harus berbuat sesuatu agar ia tidak sekedar menjadi sasaran lontaran senjata lawannya, karena dengan demikian maka ia akan selalu berada didalam keadaan yang gawat, sementara lawannya akan dapat mempergunakan waktu dan kesempatan yang ditentukannya sendiri.
"Tentu tidak menyenangkan," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Karena itu, maka ia harus segera mengambil sikap.
Selagi Agung Sedayu menimbang-nimbang, maka Rambitan telah bersiap untuk melontarkan cakramnya pula. Dengan penuh dendam dan kebencian ia mengerahkan tenaga dan kemampuannya lewat lontaran cakramnya. Tangannya yang gemetar adalah pertanda kemarahannya yang tidak tertahankan.
Agung Sedayu tidak boleh lengah. Ia selalu memandang tangan lawannya. Dari tangan itu akan dapat meluncur maut yang dapat menjemputnya setiap saat.
* * * * Buku 128 DADA Agung Sedayu berdebar ketika ia melihat tangan itu bergerak. Seperti yang diduganya, sebuah cakram telah meluncur mengarah ke keningnya. Karena itu, maka dengan tangkasnya pula, ia menggerakkan cambuknya tepat menghantam cakram yang meluncur kearahnya, sehingga cakram itu terlempar kesamping.
Tetapi sekejap kemudian cakram berikutnya telah menyusul. Agung Sedayu masih sempat menghantam cakram itu dengan ujung cambuknya. Namun ketika cakram yang ketiga meluncur pula, maka yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu adalah meloncat menghindar.
"Gila," akhirnya Agung Sedayu menggeram. Ia tidak mempunyai kesempatan meloncat mendekat sambil menghentakkan cambuknya. Cakram itu dapat mematuknya setiap saat. Semakin dekat, semakin berbahaya, karena kesempatan untuk menghindar dan menangkis menjadi semakin pendek.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia melihat betapa Sabungsari telah membunuh lawannya dengan sorot matanya. Sejenak ia mulai digelitik oleh niatnya untuk merampungkan pertempuran itu dengan cara yang sama, seperti yang dilakukan oleh Sabungsari.
Namun Agung Sedayu masih ragu-ragu. Ia masih ingin menemukan cara yang lain sehingga cara itu tidak perlu dipergunakan. Meskipun ia menjadi gelisah pula karena keadaan Glagah Putih, namun ia masih mencoba cara lain untuk melawan cakram yang setiap datang meluncur menyambarnya.
"Ia membawa cakram dalam jumlah tidak terbatas," berkata Agung Sedayu didalam hati. Namun kemudian, "tetapi di jalan inipun berserakkan batu yang jumlahnya tidak terbatas pula."
Karena itu, maka ketika sebuah cakram lagi meluncur menyambarnya, maka Agung Sedayu telah meloncat menghindar sambil merendahkan diri. Namun dalam pada itu, tangannya telah menggenggam sebutir batu pula, sebesar telur ayam.
Sejenak Agung Sedayu menunggu. Ketika ia melihat sebuah cakram lagi menyambarnya, maka ia pun segera meloncat menghindar. Cambuknya berada ditangan kirinya, sementara tiba-tiba saja dari tangan kanannya telah meluncur sebuah batu sebesar telur ayam.
Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Ia mampu membidik sebuah batu yang meluncur diudara. Ia bahkan dapat mengenai anak panah dengan anak panah selagi anak panah itu terblang meladang diudara.
Tetapi sasaran Agung Sedayu saat itu bukannya benda mati. Tetapi seorang yang memiliki ilmu dan kemampuan bergerak yang luar biasa. Sehingga dengan demikian, betapapun lawannya terkejut karena tiba-tiba saja mendapat serangan dengan sebuah lontaran seperti ia melontarkan cakramnya, namun ia masih juga mampu meloncat menghindarinya.
Namun dalam pada itu, serangan Agung Sedayu itu ternyata telah mempengaruhi serangan lawannya. Ia kemudian harus berhati-hati, karena Agung Sedayu berusaha mengimbanginya dengan serangan dari jarak yang jauh dengan lemparan-lemparan batu.
Dalam pada itu, selagi lawan Agung Sedayu meloncat menghindar, ternyata Agung Sedayu sempat memungut dua buah batu yang siap pula dilemparkannya. Bahkan meskipun dengan berdebar-debar, Agung Sedayu ingin mencoba, apakah senjata lawannya benar-benar senjata yang dahsyat seperti bentuknya.
Karena itu, ketika Agung Sedayu melihat dalam kilatan cahaya bintang-bintang dilangit, cakram berikutnya meluncur menyerangnya, Agung Sedayu mencoba mengerahkan kemampuan bidiknya untuk menghantam cakram itu dengan sebuah batu yang dipungutnya.
Yang terjadi adalah sebuah benturan yang dahsyat. Ternyata keduanya memiliki kekuatan raksasa. Batu Agung Sedayu berhasil menghantam cakram lawannya yang meluncur bagaikan kilat. Hanya dengan kemampuan yang tidak ada taranya, Agung Sedayu dapat melakukannya. Ketajaman tatapan matanya, yang dapat menangkap kilatan cakram yang meluncur dimalam hari. dan kemampuan bidiknya yang seolah-olah menjadi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya segala ilmu yang ada padanya.
Tetapi ternyata bahwa cakram itu benar-benar terbuat dari besi baja pilihan. Meskipun cakram itu hanya kecil saja, namun dalam benturan yang terjadi, telah terpercik bunga api diudara. Batu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu ternyata menjadi pecah berhamburan menjadi debu.
Jantung Agung Sedayu berdetak semakin cepat. Jika cakram itu mengenai dadanya, maka segenap tulang belulangnya akan rontok dan cakram itu akan dapat menembus sampai kepunggung.
Karena itu, maka iapun telah melawan lontaran dengan lontaran. Meskipun batu-batu yang dipungutnya disepanjang jalan itu tidak memiliki kedahsyatan seperti gerigi cakram itu, namun jika ia berhasil mencapai lawannya, maka batu itupun akan mampu menyakitinya.
Tetapi ternyata bahwa yang terjadi adalah pertempuran yang seolah-olah tidak ada ujung pangkalnya. Keduanya mampu melemparkan serangan yang dahsyat, tetapi keduanyapun mampu meloncat menghindar. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu seolah-olah tidak akan dapat berakhir. Sementara Glagah Putih telah menjadi semakin sulit menghadapi prajurit yang menyerangnya dengan semakin kasar. Pengalamannya yang cukup telah membuat Glagah Putih semakin lama semakin mengalami kesulitan.
"Aku harus menemukan cara yang lebih baik," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, ia tidak dapat membiarkan dirinya terlibat dalam pertempuran tanpa akhir. Namun dengan demikian, Glagah Putih akan dapat mengalami bencana yang benar-benar gawat.
Agung Sedayu melihat akhir dari pertempuran antara Sabungsari dan lawannya, ia melihat Sabungsari masih terbaring diatas rerumputan tanpa mengetahui dengan pasti, apakah anak muda itu masih hidup atau sudah mati. Dan Agung Sedayupun mengerti, bahwa dalam tahap terakhir dari lontaran ilmunya lewat sorot matanya, Sabungsari telah dengan sengaja tidak menghindari serangan lawannya. Karena itu, meskipun ia berhasil melumpuhkan lawannya, tetapi ia sendiri mengalami keadaan yang gawat.
Luka-lukanya dalam pertempuran melawan Carang Waja baru saja sembuh. Kini ia sudah mengalaminya sekali lagi yang mungkin tidak kalah gawatnya dengan luka-luka yang dideritanya ketika ia bertempur melawan Carang Waja, atau bahkan nyawanya telah meninggalkan tubuhnya.
Agaknya Agung Sedayu dapat mengambil arti dari peristiwa itu. Karena itu, maka iapun telah mencari cara yang sebaik-baiknya untuk segera dapat mengalahkan lawannya.
Sementara pertempuran itu masih berlangsung pada jarak yang panjang, dengan saling melontarkan senjatanya, maka Agung Sedayu telah bertekad untuk melakukan sesuatu yang dapat merubah dan mempercepat akhir dari pertempuran itu.
Agung Sedayu mula-mula ingin membiarkan lawannya bertempur sampai senjatanya yang terakhir. Namun ternyata bahwa senjata orang itu agaknya tidak akan habis-habisnya. Apalagi nampaknya lawannya memiliki perhitungan yang cermat, sehingga ia tidak menghambur-hamburkan senjatanya lanpa dasar pertimbangan sikap lawannya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun segera melakukan rencananya. Ketika senjata lawannya menyambarnya, maka iapun menjatuhkan dirinya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah mengambil tidak hanya dua butir batu. Tetapi lebih banyak lagi. Ditangan kirinya yang menggenggam cambuk, Agung Sedayu menggenggam pula dua butir batu. Ditangan kanannya dua butir.
Demikian ia melenting berdiri, maka iapun telah melempar lawannya dengan empat butir batu berurutan.
Betapapun lawannya mampu meloncat dengan cepat, tetapi ternyata bahwa tidak semua batu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu dapat dihindarinya. Apalagi dalam kesempatan yang pendek itu, lawannya tidak sempat pula melontarkan senjatanya.
Rambitan berhasil menghindari dua batu yang datang berurutan. Tetapi demikian kakinya menjejak tanah selagi ia menghindari batu yang kedua, maka batu yang ketiga telah menyambar pundaknya. Selagi orang itu menyeringai menahan sakit, maka batu berikutnya telah menyusul menyambar kening.
Orang itu menjadi sangat marah. Sambil menggeram ia meloncat tegak diatas kedua kakinya menghadap Agung Sedayu. Tangannya sudah siap memungut senjatanya pada kampil kulit yang tergantung dilambung. Ternyata lontaran kekuatan Agung Sedayu telah berhasil menembus daya tahannya dan menyakitinya. Tulang pundaknya bagaikan retak, sementara keningnya rasa-rasanya telah membengkak. Namun perasaan sakit itu sama sekali tidak mempengaruhi kemampuannya bertempur betapapun sengitnya.
Tetapi ternyata Agung Sedayu telah mempergunakan cara yang lain untuk menghadapi lawannya. Ia tidak lagi melemparkan batu-batu menghantam tubuh lawannya. Namun ia telah berdiri tegak dengan tatapan mata yang langsung dapat menghantam lawan.
Berdasarkan pengamatannya yang telah menjerat Sabungsari dalam kesulitan, maka Agung Sedayu benar-benar telah memperhitungkan segalanya yang bakal terjadi. Demikian lawannya merasa sentuhan wadag dari tatapan mata Agung Sedayu, maka iapun segera bersikap pula. Ia harus segera melontarkan cakramnya untuk memecahkan pemusatan ilmu Agung Sedayu yang mengerikan itu.
Namun yang dilakukan Agung Sedayu ternyata lebih cepat. Demikian tangan orang itu memungut cakram didalam kampil kecil yang tergantung dilambung, maka serangan yang memancar dari tatapan mata Agung Sedayu itu telah langsung mencengkam dan meremas tangan lawannya.
Yang terdengar adalah keluh tertahan. Rambitan merasa tangannya bagaikan telah diremukkan oleh himpitan besi baja sebesar lesung. Rasa-rasanya tulang belulangnya menjadi lumat dan sama sekali tidak berdaya.
Rambitan mengumpat dengan kasarnya. Ia memiliki daya tahan yang luar biasa. Tetapi ternyata tatapan mata Agung Sedayu dengan serta merta telah dapat langsung mengenainya, menembus perisai yang telah ditebarkan diseputarnya meskipun tidak kasat mata.
Ternyata kemampuan ilmu Agung Sedayu telah jauh melampaui kemampuan ilmu Sabungsari. Meskipun yang ditekuni dari makna kitab Ki Waskita barulah pada tingkat permulaan, namun karena dasar yang memang sudah ada pada dirinya, ternyata sorot mata Agung Sedayu memiliki kemampuan yang sulit diimbangi.
Dalam pada itu, Rambitanpun mencoba untuk memusatkan segenap kemampuannya pada daya tahannya. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu yang sesaat melepaskan serangannya itu, ingin melihat akibat yang terjadi pada dirinya. Namun dalam pada itu, yang tidak disangka oleh Agung Sedayu, bahwa Rambitan mampu juga mempergunakan tangan kirinya.
Bukan saja sebilah cakram kecil, tetapi Rambitan telah dengan cepat menarik dan dengan sekuat tenaganya melontarkan parangnya langsung mengarah kedada anak muda itu.
Agung Sedayu benar-benar terkejut. Ia berusaha untuk bergeser sambil melecut parang itu dengan tangan kirinya. Namun ternyata parang itu meskipun telah bergeser arah, tetapi ujungnya masih menyentuh lengan Agung Sedayu.
Terdengar Agung Sedayu menyeringai menahan sakit. Namun iapun segera menyadari kedudukannya. Kembali ia berdiri tegak tanpa menghiraukan tangannya. Kembali ia melontarkan ilmunya, tidak lagi pada tangan kanan lawannya, tetapi tangan kirinya yang sedang menggapai cakram dikampilnya.
Sekali lagi lawannya memekik tertahan. Lengannya yang sebelahpun rasa-rasanya telah remuk pula oleh cengkaman tanggem baja yang menghimpit tanpa dapat dihindari.
Dalam pada itu, jantung Rambitan rasa-rasanya akan pecah oleh dentang didadanya. Kedua tangannya telah menjadi lumpuh.
Sementara itu, Agung Sedayu berdiri tegak beberapa langkah dihadapan Rambitan yang seolah-olah sudah tidak berdaya lagi. Kedua tangannya tidak dapat dipergunakannya lagi untuk melepaskan cakramnya. Sementara Agung Sedayu dengan sekehendak hatinya akan dapat menyerang dan menghancurkannya. Agung Sedayu akan dapat melecutkan cambuknya tanpa dapat dilawan. Ia akan dapat melukainya berlipat sepuluh kali dari luka yang telah menggores tubuhnya. Agung Sedayupun dapat memungut beberapa buah batu dan melemparkan ketubuhnya tanpa dapat dihindarinya. Atau Agung Sedayu akan dapat meremas dadanya dengan tatapan matanya sampai lumat.
Dalam pada itu, Rambitan berdiri tegak dengan kedua tangannya yang tergantung dengan lemahnya tanpa dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat pasrah, dengan cara apa Agung Sedayu akan membunuhnya.
Sementara itu, prajurit yang bertempur dengan Glagah Putih melihat, bahwa kedua orang yang bertempur melawan Agung Sedayu dan Sabungsari agaknya tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Bagaimanapun juga, maka ia mulai memikirkan nasibnya sendiri. Jika ia masih tetap berkelahi melawan Glagah Putih, sementara Agung Sedayu berhasil memenangkan perkelahian itu, maka Agung Sedayu akan menempatkan diri menjadi lawannya. Itu berarti satu bencana yang tidak akan dapat dihindarinya lagi.
Dengan demikian, maka tidak ada jalan lain yang dapat dipilihnya kecuali melarikan diri dari arena. Meskipun ia dapat menguasai lawannya yang masih sangat muda itu pada suatu saat, namun adalah mengerikan sekali jika ia harus melawan Agung Sedayu yang seolah-olah memiliki seribu jenis ilmu bertimbun didalam dirinya.
Karena itu, selagi ia masih sempat, maka dengan perhitungan yang cermat, iapun mendesak lawannya. Namun dengan cepat ia telah meloncat berlari menghilang diantara gerumbul-gerumbul perdu.
Glagah Putih terkejut melihat sikap lawannya. Ia sudah merasa bahwa ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama lagi. Namun tiba-tiba saja lawannya telah berlari meninggalkannya.
Agung Sedayu yang berdiri tegak dihadapan lawannya yang sudah tidak berdaya itupun sempat melihat lawan Glagah Putih yang melarikan diri. Iapun melihat Glagah Putih yang termangu-mangu sejenak. Namun ketika Glagah Putih siap meloncat untuk mengejarnya. Agung Sedayu berkata, "Jangan Glagah Putih."
Glagah Putih tertegun. Dengan ragu-ragu la memandang Agung Sedayu yang berdiri tegak ditempatnya.
"Kau tidak tahu, apakah yang ada dibalik gerumbul-gerumbul perdu itu," desis Agung Sedayu kemudian.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia menyadari, jika ada beberapa orang bersembunyi dibalik pohon perdu itu, maka ia akan terjebak kedalam kesulitan.
"Tetapi jika ada orang lain. kenapa mereka tidak menampakkan dirinya," pertanyaan itu mulai mengganggu Glagah Putih. Tetapi ia tidak sempat bertanya, sementara Agung Sedayu telah melangkah mendekati lawannya yang sudah tidak berdaya.
Rambitan berdiri tegang memandang lawannya yang selangkah demi selangkah mendekatinya, Ditangan Agung Sedayu masih tergenggam cambuknya yang dapat meledak. Sementara matanya yang dapat mencengkam tubuhnya melampaui cengkaman wadagnya, masih tetap memandanginya dengan tajamnya, meskipun dari sorot mata itu tidak lagi melontar ilmu anak muda yang dahsyat itu.
Yang dapat dilakukan oleh Rambitan adalah menunggu, ujung cambuk lawannya akan dapat menyobek kulitnya arang kranjang. Tubuhnya tentu tidak akan berbentuk lagi. Jika ia terkapar dan ditinggalkan dipinggir jalan itu, maka jika ada orang yang menemukan tubuhnya, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mengenalnya.
"Tetapi itu lebih baik," berkata Rambitan didalam hatinya, "adalah merupakan suatu hinaan bagi perguruan Elang Hitam, jika salah seorang muridnya yang terpercaya terkapar mati dengan luka arang kranjang."
Namun Rambitan menjadi heran ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata, "Ki Sanak. Marilah kita mencari jalan lain daripada memilih cara yang tidak menyenangkan. Kau akan tetap hidup untuk menghadap kakang Untara. Mungkin beberapa masalah yang kabur akan dapat dijelaskan."
Rambitan tidak menjawab. Ketika ia berpaling memandang saudara seperguruannya, maka dilihatnya orang itu tidak bergerak lagi.
"Kita dapat melihat mereka," berkata Agung Sedayu, "akupun ingin mengetahui keadaan Sabungsari. Karena itu, ambillah keputusan, bahwa cara yang liar ini sebaiknya tidak kita pergunakan."
Rambitan benar-benar tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Agung Sedayu itu tinggal meledakkan cambuknya menyayat tubuhnya yang sudah tidak berdaya melawannya. Kedua tangannya telah lumpuh karena tulang-tulangnya rasa-rasanya telah remuk. Sementara ia tidak akan sempat lagi melarikan diri meskipun kakinya masih utuh, karena dengan sorot matanya Agung Sedayu tentu akan dapat menangkapnya dan meremukkan tulang-tulang belakangnya.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba Agung Sedayu telah menunjukkan sikap yang tidak dimengertinya. Ia tidak berusaha membunuhnya dengan penuh kemarahan dan kebencian.
Tetapi akhirnya Rambitanpun mengetahui, bahwa jika ia masih tetap hidup, maka ia akan menjadi sumber keterangan tentang usaha pembunuhan itu. Ia akan dapat diperas dengan berbagai macam cara untuk mengungkap rencana yang keji itu.
Rambitan menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mempunyai pilihan lain. Katanya didalam hati, "Apaboleh buat. Aku hanya sekedar diupah. Aku tidak tahu persoalan apapun juga yang ada diantara mereka."
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana pendapatmu Ki Sanak," bertanya Agung Sedayu, "sementara kita masing-masing akan dapat melihat, apakah saudara seperguruanmu atau sadaramu atau siapapun juga yang datang bersamamu itu masih mungkin ditolong. Akupun akan melihat Sabungsari yang terbaring diam itu."
Rambitan tidak menjawab. Ia masih berdiri tegak. Sementara kedua tangannya seolah-olah tidak dapat digerakkannya lagi.
Dalam pada itu, Glagah Putih tidak sabar lagi menunggu. Ketika ia sadar akan keadaan Sabungsari, maka iapun berlari-lari mendekatinya. Ketika ia berjongkok disamping prajurit muda itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam karena ia melihat Sabungsari tersenyum sambil berkata lirih, "Aku tidak apa-apa Glagah Putih."
"Tetapi kau terluka," desis Glagah Putih.
"Ya," jawab Sabungsari, "aku menjadi lemah sekali. Tetapi lukaku sudah pampat. Aku masih harus berdiam diri untuk beberapa saat, karena kepalaku menjadi pening, dan agar darahku benar-benar menjadi pampat. Tubuhku memang menjadi sangat lemah. Namun mudah-mudahan tidak terlalu gawat."
Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian duduk disamping Sabungsari yang masih terbaring.
"Bagaimana dengan Agung Sedayu ?" bertanya Sabungsari, "ia benar-benar seorang yang mampu berpikir dengan terang dalam keadaan apapun juga. Terhadap lawannya itupun ia agaknya masih dapat memaafkan."
"Ya," jawab Glagah Putih, "meskipun kakang Agung Sedayu juga terluka."
Sabungsari terdiam. Ia mendengar segala percakapan Agung Sedayu dengan Rambitan. Tetapi ia masih belum berani mengangkat kepalanya atau bangkit berdiri mendekat, karena ia masih ingin memampatkan darahnya sama sekali.
Dalam pada itu. Agung Sedayu bertanya sekali lagi," jawablah. Kita harus segera dapat mengambil keputusan."
Rambitan yang termangu-mangu itupun kemudian menjawab, "Aku sudah tidak berdaya Agung Sedayu. Terserah kepadamu. Apakah kau akan membunuh aku, atau kau akan berbuat lain."
"Aku tidak ingin membunuhmu," sahut Agung Sedayu.
"Tetapi itu sama sekali bukan satu keluhuran budi dan sikap," tiba-tiba saja Rambitan menggeram, "jika kau tidak membunuhku, maka justru kau telah menyiksa aku. Aku tahu, bahwa kau dan Untara akan dapat memeras keterangan dari mulutku dengan cara yang paling keji sekalipun. Tetapi aku sudah berniat, agar kau tidak perlu berbuat demikian. Aku akan berkata apa saja yang aku ketahui. Mungkin setelah itu, kau atau Untara akan membunuhku pula."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau terlalu berprasangka. Tetapi baiklah. Apapun yang kau duga, kau akan melihat suatu kenyataan. Jika kau benar-benar sudah menyerah, kita akan pergi ke Jati Anom."
Rambitan tidak menjawab. Ia sudah tidak berdaya sama sekali. Seandainya Glagah Putih yang kemudian memegang cambuk Agung Sedayu, maka anak itupun akan mampu membunuhnya, karena ia hanya dapat meloncat-loncat dengan kakinya tanpa berbuat sesuatu dengan tangannya.
Namun dalam pada itu, dengan tatapan mata yang sangat tajam. Agung Sedayu melihat bayangan yang bergerak beberapa langkah dibelakang Rambitan. Meskipun tidak begitu jelas, dalam keremangan malam Agung Sedayu sempat melihat orang itu menarik busurnya sambil membidiknya.
Sejenak Agung Sedayu menjadi tegang. Namun dengan demikian diluar sadarnya Agung Sedayu telah meningkatkan kemampuan penglihatannya. Seolah-olah ia melihat semakin jelas, seseorang yang melepaskan anak panah kearahnya.
Ketika pendengarannya yang meningkat pula mendengar desing anak panah yang meluncur, maka Agung Sedayupun telah meloncat kesamping, sehingga anak panah yang mengarah kedadanya itu dapat dihindarinya.
Tetapi ternyata anak panah yang keduapun telah meluncur pula. Hampir saja menyambar kening. Karena itu, maka Agung Sedayu harus meloncat pula dengan sigapnya. Ketika anak panah ketiga meluncur, maka iapun harus berguling sekali untuk menghindarinya.
Dalam pada itu, ia masih sempat berkata, "Glagah Putih, hati-hati."
Glagah Putihpun segera berbaring diantara rerumputan dan tanah yang tidak datar, sehingga kemungkinan untuk dikenalnya menjadi semakin sempit.
Namun dalam pada itu, Sabungsari sama sekali tidak mampu bergerak. Seandainya orang berpanah itu membidiknya, maka ia hanya dapat pasrah kepada nasibnya. Jika orang itu benar-benar memiliki kemampuan bidik yang cukup, maka orang itu akan dapat membunuhnya dari jarak beberapa langkah.
Sementara itu. Agung Sedayu mulai berbuat sesuatu agar ia tidak sekedar menjadi sasaran. Ketika anak panah berikutnya meluncur kearahnya. Agung Sedayu tidak berusaha untuk meloncat menghindar, tetapi ia telah menangkisnya dengan memukul anak panah itu dengan cambuknya.
Ledakkan cambuk yang tidak terlalu keras itu ternyata telah mengganggu orang yang menyerangnya dari jarak jauh itu. Bahkan, tiba-tiba saja orang itu telah mengambil satu sikap yang mengejutkan.
Rambitan yang memandang saja dengan sedikit harapan, bahwa akan ada orang yang membebaskannya, melihat betapa Agung Sedayu harus berloncatan menghindar. Namun agaknya Agung Sedayu telah siap untuk mendekati orang berpanah itu dengan perisai cambuknya.
Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan. Rambitan tiba-tiba saja berdesah tertahan. Perlahan-lahan ia bergeser dan terhuyung-huyung. Sementara itu, orang berpanah itupun telah menghilang kedalam gerumbul.
Agung Sedayu melihat dan mengerti apa yang telah terjadi. Rambitan telah sengaja dibunuh oleh orang itu untuk menghilangkan jejak, setelah orang itu gagal membebaskannya, karena ia tidak dapat mengenai Agung Sedayu. Namun dengan demikian. Agung Sedayu yang kehilangan itu menjadi marah. Betapapun juga keragu-raguan menghambat keputusannya, namun seolah-olah dengan gerak naluriah, ia telah menghentakkan kekuatan sorot matanya. Dengan cepat ia menyerang langsung menusuk kedalam gerumbul yang masih bergoyang dengan sorot matanya.
Dedaunan perdu didalam gerumbul itu bagaikan diremas. Namun sementara itu terdengar pekik meninggi. Pekik yang seakan-akan telah membangunkan Agung Sedayu sehingga ia menyadari, apa yang telah dilakukannya.
Sementara Agung Sedayu membeku ditempatnya. Glagah Putih yang melihat bahwa orang berpanah itu telah meninggalkan tempat itu, segera meloncat berdiri. Ia masih melihat Rambitan terhuyung-huyung. Dan iapun masih mendengar orang memekik tinggi dibalik gerumbul.
Ternyata bahwa kemampuan ilmu Agung Sedayu yang memancar lewat sorot matanya, telah menyusup diantara dedaunan dan ranting-ranting gerumbul perdu, sementara dedaunan dan ranting-ranting perdu itu sendiri yang langsung tersentuh sorot mata Agung Sedayu telah menjadi lumat.
Baru sejenak kemudian Agung Sedayu meloncat berlari kebalik gerumbul yang hancur lumat itu. Dengan jantung yang berdebaran, ia melihat sesosok tubuh terbaring diam. Ditangannya masih tergenggam sebuah busur dan dilambungnya tergantung sebuah endong tempat anak panah.
Dengan jantung berdebar-debar Agung Sedayu berjongkok disamping tubuh yang terbujur itu. Perlahan-lahan ia menempelkan telinganya kedadanya. Namun ternyata dada itu sudah tidak berdetak lagi.
"Ia sudah mati," desisnya.
Glagah Putih yang menyusulnya berdiri termangu-mangu dibelakangnya. Ia mendengar Agung Sedayu berdesis. Karena itu, ia bertanya, "Kenapa orang itu mati ?"
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Secercah penyesalan melonjak dihatinya. Tidak ada niatnya untuk membunuh. Bahkan seakan-akan tanpa disengaja ia telah melontarkan ilmunya lewat tatapan matanya. Yang terjadi demikian cepatnya, sehingga kesempatan untuk berpikir baginya terlalu sempit. Apalagi untuk mempertimbangkan akibat yang bakal terjadi. Bahkan Agung Sedayupun masih harus menilai kemampuannya sendiri, yang seakan-akan telah meningkat diluar pengamatannya sendiri.
Baru beberapa bab dari isi kitab Ki Waskita yang mulai didalami maknanya. Namun karena pilihan yang tepat dan kemampuannya untuk mengetrapkan pada landasan yang mapan, maka ternyata bahwa ilmu yang ada pada dirinya itu telah meningkat.
"Tetapi agaknya orang ini hampir tidak mempunyai daya tahan yang dapat melindungi dirinya serba sedikit. Agaknya ia bukan seorang yang setingkat dengan kedua orang dari Gunung Kendeng itu," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Glagah Putih yang berjongkok pula disamping Agung Sedayu memandang orang itu dengan tegang. Orang itu mati tanpa luka yang nampak pada tubuhnya. Tiba-tiba saja seolah-olah gerumbul itu telah diremas oleh angin prahara yang tidak kasat mata. Dan orang itu telah menjadi korbannya pula.
"Apakah gerumbul ini disambar petir " " tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya.
Agung Sedayu berpaling sejenak. Katanya, "Agaknya orang ini harus mengalaminya. Apapun sebabnya, tetapi ia kami dapatkan telah mati disini."
"Bagaimana dengan lawan kakang Agung Sedayu ?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun beringsut pula. Kemudian iapun bangkit dan berjalan menuju ke tempat Rambitan yang terbaring menelungkup. Sebatang anak panah menghunjam dalam ditubuhnya. Agaknya ujung anak panah itu telah menyentuh bagian dalam tubuhnya yang menentukan, sehingga Rambitan ternyata telah tidak bernafas lagi.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika Glagah Putih berjongkok disisinya, maka Agung Sedayu itupun berkata, "Telah terjadi tiga kematian. Dua orang murid dari Gunung Kendeng, dan seorang yang tidak dikenal. Tetapi sudah pasti, bahwa orang ini adalah pengikut orang yang mengupah kedua murid Gunung Kendeng ini."
"Kenapa mereka kakang ?" bertanya Glagah Putih pula.
"Bukankah dengan demikian jalur hubungan antara orang yang mengupah dan orang yang diupah telah terputus ?" berkata Agung Sedayu.
"Tetapi kita sudah mengetahui, bahwa yang memerintahkan kedua orang itu melakukan pencegatan ini adalah Ki Pringgajaya," desis Glagah Putih.
"Siapakah yang dapat membuktikannya " Jika aku atau kau atau Sabungsari mengatakannya, bahwa kedua orang yang terbunuh ini adalah atas perintah Ki Pringgajaya, maka kita akan dapat dituduh memberikan kesaksian palsu."
"Tetapi bukankah kenyataannya demikian " " desak Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat memberikan penjelasan sehingga dapat memberikan kepuasan bagi Glagah Putih. Ia tidak dapat mengatakan, bahwa kita sering menjumpai kenyataan yang tidak dapat dibuktikan. Bahkan kita kadang-kadang tidak dapat meyakinkan orang lain bahwa satu kebenaran adalah kebenaran.
"Glagah Putih," berkata Agung Sedayu kemudian, "kita akan mencoba mengatakan kenyataan ini kepada kakang Untara. Tetapi bagaimana dengan Sabungsari ?"
"Ia masih tersenyum ketika aku mendekatinya. Ia terluka, tetapi aku tidak tahu, apakah luka itu berbahaya baginya."
Agung Sedayupun kemudian meninggalkan Rambitan dan dengan tergesa-gesa mendekati Sabungsari yang masih saja tersenyum melihat kedatangan Agung Sedayu.
"Bagaimana dengan kau Sabungsari ?" bertanya Agung Sedayu.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Agaknya lukaku sudah mulai pampat. Aku sudah dapat bangkit dan duduk."
"Tunggu," desis Agung Sedayu, "jangan tergesa-gesa."
"Aku sudah mengobatinya. Mudah-mudahan luka itu tidak akan berdarah lagi."
"Jika kau terlalu banyak bergerak, maka luka itu akan berdarah lagi. Karena itu, berbaring sajalah beberapa saat. Sementara aku akan mengurus tiga sosok mayat yang berserakkan."
"Tiga ?" bertanya Sabungsari, "jadi orang yang melepaskan anak panah itu kau bunuh juga?"
"Bukan maksudku. Aku hanya ingin menghentikannya. Tetapi ternyata ia telah mati." desah Agung Sedayu.
"Kenapa ia mati" " sekali lagi Glagah Putih bertanya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Katanya kepada Sabungsari, "berbaringlah barang sejenak. Aku akan mengumpulkan mayat itu. Kita akan pergi ke Jati Anom, menghadap kakang Untara. Ketiga sosok mayat itu akan menjadi salah satu bukti bahwa telah terjadi sesuatu pada kita disini."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Ya. Mungkin Ki Untara meragukan keterangan kita. Tetapi kita harus mengatakannya."
"Tetapi bagaimana dengan kedudukanmu, Sabungsari. Tentu ada persoalan didalam tataran keprajuritan. Mungkin kau dianggap berbuat kesalahan. Atau mungkin kau akan mengalami kesulitan, karena Ki Pringgajaya yang memiliki pengaruh dan kedudukan itu menganggap bahwa kau adalah salah seorang penghalang dari rencananya. Apalagi kau dengan sengaja telah menyilang dan memotong usahanya kali ini," berkata Agung Sedayu.
"Aku mengerti Agung Sedayu. Tetapi aku memang sudah menentukan sikap. Apapun yang akan terjadi, aku tidak akan surut," jawab Sabungsari.
"Tetapi mungkin sekali hal ini akan mengancam keselamatanmu," sambung Agung Sedayu.
"Aku sadar. Tetapi aku akan menghadapi segala akibat dari sikapku ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekerasan hati Sabungsari. Namun sejak ia mengenal Sabungsari, ia menganggap bahwa anak muda itu benar-benar seorang laki-laki yang bersikap jantan. Seperti saat ia menghadapi kekalahan, maka iapun bertekad menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi atasnya, karena ia sudah menentukan sikap.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu bangkit sambil berkata, "Biarlah kau berbaring sejenak. Aku akan menyingkirkan mayat itu, agar tidak diketemukan oleh orang yang kebetulan lewat atau para petani yang pergi kesawah. Sementara itu, keadaanmu akan menjadi semakin baik."
Sabungsari tidak mencegahnya. Dibiarkannya Agung Sedayu pergi sambil berkata, "Tunggulah disini Glagah Putih."
Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian duduk disamping Sabungsari, sementara Agung Sedayu menyingkirkan mayat itu kedalam gerumbul sehingga tidak mudah diketemukan oleh seseorang.
Baru setelah semuanya selesai. Agung Sedayu mendekati Sabungsari yang masih terbaring sambil berkata, "Apakah keadaanmu sudah semakin baik ?"
"Ya. Aku sudah merasa baik. Mungkin aku masih terlalu lemah. Tetapi aku sudah dapat berkuda sendiri kembali ke Jati Anom," jawab Sabungsari.
Glagah Putihpun kemudian bangkit untuk mencari kuda-kuda mereka yang ternyata tidak berada ditempat yang terlalu jauh. Kuda-kuda itu masih sibuk mengunyah rerumputan segar ditepi jalan, beberapa puluh langkah dari tempat perkelahian itu. Sedangkan Sabungsari minta agar Glagah Putih juga mengambil kudanya ditempat yang terlindung.
"Aku tidak sempat mengikat kuda-kuda itu," berkata Glagah Putih. Dan Agung Sedayupun mengerti, bahwa Glagah Putihpun harus mempertahankan dirinya dari serangan yang tiba-tiba dari seseorang yang merunduknya, dari balik gerumbul-gerumbul perdu.
Sejenak kemudian. Agung Sedayu telah mencoba membantu Sabungsari naik keatas punggung kudanya. Ternyata betapapun lemahnya, Sabungsari masih dapat menjaga keseimbangannya.
Perlahan-perlahan mereka bertigapun kemudian berkuda ke Jati Anom. Mereka akan langsung pergi kerumah Ki Untara untuk menyampaikan peristiwa yang baru saja terjadi. Meskipun mereka tidak dapat membawa saksi yang lain, kecuali diri mereka sendiri, namun mereka menganggap bahwa hal itu perlu segera disampaikan kepada Untara.
Agung Sedayu yang berada dipaling depan, menjadi gelisah karena langit yang sebentar lagi akan dibayangi oleh warna fajar di Timur. Jika kemudian datang pagi, sementara mayat-mayat itu masih ditempatnya, ada kemungkinan akan diketemukan oleh orang-orang yang pergi kesawah atau oleh orang-orang yang tidak sengaja melintasi gerumbul-gerumbul itu.
Kedatangan Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih dilewat tengah malam itu, ternyata telah mengejutkan para prajurit yang bertugas. Apalagi ketika mereka melihat keadaan Sabungsari yang lemah dan pakaiannya penuh bernoda darah.
"Kenapa anak itu ?" bertanya seorang prajurit kepada Agung Sedayu.
"Aku akan menghadap kakang Untara," jawab Agung Sedayu, "aku akan melaporkan semua yang telah terjadi."
Prajurit itupun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih naik kependapa. Dengan hati-hati Agung Sedayu membantu Sabungsari turun dan memapahnya naik kependapa bersama Glagah Putih.
Ternyata keadaannya cukup parah. Seperti saat ia bertempur melawan Carang Waja, maka Sabungsari sekali lagi mengalami luka yang sangat parah.
Dengan lemahnya, Sabungsari duduk dipendapa bersandar tiang. Sekali-sekali masih nampak ia menyeringai menahan sakit didadanya.
"Apakah kau akan berbaring saja ?" bertanya prajurit yang bertugas. "Jika kau ingin berbaring, marilah, aku bawa kau kegandok."
Sabungsari menggeleng sambil menjawab, "Aku menunggu disini sampai Ki Untara mendengar semua keterangan kami."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, "Seorang kawan telah mencoba menyampaikan hal ini kepada Ki Untara. Tetapi ia belum lama tidur. Ki Untara baru saja nganglang disekitar Jati Anom bersama beberapa orang prajurit. Kemudian ia duduk dipendapa itu beberapa saat."
Dengan demikian, maka Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih itu masih harus menunggu. Glagah Putih yang lelah itupun bersandar tiang pendapa pula. Sekali ia beringsut sambil berdesah. Ternyata kelelahan yang sangat telah membuatnya mulai merasa kantuk. Namun demikian, ia harus bertahan sambil menunggu Untara menemuinya dan mendengarkan segala keterangan tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
"Mayat-mayat itupun harus diambil," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Beberapa lamanya mereka menunggu. Namun ternyata bahwa Untara tidak menolak kedatangan mereka dan tidak menyuruh mereka menunggu sampai keesokan harinya. Bukan saja karena yang datang adalah Agung Sedayu, tetapi Untara menyadari, bahwa yang akan mereka sampaikan tentu sesuatu yang sangat penting.
Ketika Untara selesai membenahi dirinya, maka iapun bergegas pergi kependapa. Ia terkejut melihat keadaan Sabungsari yang sangat lemah. Dengan dahi yang berkerut ia berkata, "Biarlah prajurit itu beristirahat. Agaknya ia terluka parah."
"Ya kakang. Sabungsari terluka parah," sahut Agung Sedayu.
"Tetapi biarlah aku disini. Aku ingin ikut mendengarkan laporanmu Agung Sedayu. Mungkin ada beberapa hal yang perlu aku jelaskan, karena sebagian dari keterangan tentang peristiwa ini aku ketahui sebelum terjadi," berkata Sabungsari dengan suara gemetar.
Untara mengerutkan keningnya. Sejenak semula iapun sudah menduga bahwa soalnya tentu sangat penting.
"Baiklah," berkata Untara, "tetapi biarlah lukamu diobati lebih dahulu."
"Aku sudah mengobatinya Ki Untara," berkata Sabungsari, "tetapi hanya untuk sementara. Meskipun demikian, biarlah kita berbicara lebih dahulu. Baru kemudian aku mohon dapat diobati dengan cara dan obat yang lebih baik."
Ki Untara mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya beberapa orang prajurit yang ada disekitarnya. Dengan satu isyarat, maka merekapun meninggalkan Ki Untara dengan ketiga orang tamunya.
Agung Sedayu kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi. Tetapi ia baru menceriterakan kejadian di bulak panjang itu. Ia belum mengatakan, siapakah yang berada dibelakang peristiwa itu.
Untara mendengarkan keterangan itu dengan saksama. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Agung Sedayu. Apakah sangkut pautnya orang-orang dari Gunung Kendeng dengan kau dan Sabungsari " Menurut pendengaranku, orang-orang Gunung Kendeng tidak pernah bersentuhan dengan kau dan Sabungsari. Tetapi mungkin ada peristiwa dan kejadian yang lepas dari pendengaranku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian justru kepada Glagah Putih, "Glagah Putih, aku kira kau sangat lelah dan mengantuk. Tidurlah. Nanti aku akan membangunkanmu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Terasa sentuhan mata kakak sepupunya itu bagai kan memberikan isyarat kepadanya, agar iapun tidak perlu mendengarkan peristiwa yang membayangi kejadian di bulak panjang itu.
Agaknya Untara mengerti maksud adiknya. Karena itu, maka katanya, "Sebaiknya demikian Glagah Putih. Marilah, aku akan membawamu kepada mbokayumu. Kau sebaiknya membersihkan diri, minum dan barangkali kau lapar, mbokayumu akan menyediakan makan buatmu."
Glagah Putih tidak dapat mengelak lagi. Isteri Untarapun sangat baik kepadanya. Karena itu, maka iapun mengikuti Untara masuk keruang dalam, dan menyerahkan Glagah Putih kepada isterinya yang nampaknya masih mengantuk.
"Mbokayu masih mengantuk," desis Glagah Putih.
"Tidak Glagah Putih," sahut Nyi Untara, "aku sudah tidur sejak sore. Marilah, kau pergi dahulu kepakiwan. Kemudian kau minum minuman hangat. Kau akan aku persilahkan makan, meskipun nasi dingin."
"Aku tidak ingin makan mbokayu. Tetapi jika minum, aku memang sangat haus."
Isteri Untara itu tersenyum. Ketika Glagah Putih pergi kepakiwan dan Untara sudah kembali kependapa, isteri Untara itu mengambil air panas di tempat para peronda, yang selalu menyediakan bagi mereka yang bertugas. Kemudian menyediakan tempat bagi Glagah Putih untuk beristirahat.
"Minumlah. Jika kau tidak ingin makan, baiklah kau beristirahat diamben itu," berkata isteri Untara.
"Terima kasih. Aku memang akan tidur. Agaknya kakang Agung Sedayu dan kakang Untara masih selalu menganggap aku kanak-kanak yang tidak boleh mengetahui beberapa hal."
Isteri Untara tersenyum. Katanya, "Bukan begitu Glagah Putih. Seperti aku, kakangmu Untara sama sekali tidak menganggap kanak-kanak lagi. Tetapi dalam beberapa hal yang penting, aku juga tidak dibenarkan untuk mendengarkan pembicaraannya."
"Tetapi mbokayu seorang perempuan," bantah Glagah Putih.
"Meskipun perempuan, mungkin akan berbeda dengan bakal mbokayumu dari Sangkal Putung. Mungkin ia justru diperlukan hadir dalam pembicaraan-pembicaraan penting. Juga isteri anak Ki Demang di Sangkal Putung itu," jawab isteri Untara sambil tersenyum.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti, masalahnya bukan laki-laki atau perempuan. Juga bukan karena ia masih dianggap kanak-kanak. Tetapi Glagah Putih tetap merasa tidak senang, karena ia masih belum berhak mendengarkan pembicaraan-pembicaraan penting.
"Aku harus segera menjadi seorang anak muda yang dewasa. Bukan dalam umur, tetapi dalam sikap dan olah kanuragan. Jika aku sudah memiliki ilmu yang cukup, maka aku tentu tidak akan tersisih seperti ini," berkata Glagah Putih didalam hatinya ketika ia sudah berbaring dipembaringannya.
Untuk beberapa saat Glagah Putih masih belum berhasil memejamkan matanya. Namun kemudian, perlahan-lahan iapun mulai kehilangan kesadarannya. Akhirnya anak muda itupun jatuh tertidur.
Dalam pada itu, di pendapa. Agung Sedayu masih duduk bersama dengan Untara dan Sabungsari yang lemah. Namun agaknya obat yang telah ditaburkan keatas luka anak muda itu sementara dapat menolongnya.
"Nah, sekarang katakanlah, apa yang sebenarnya telah terjadi atas kalian," berkata Untara kemudian.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Tetapi sebelumnya aku minta maaf kakang, bahwa aku akan menyangkutkan nama prajurit Pajang yang berada di Jati Anom. Aku tidak tahu, apakah kakang Untara sudah menduga, atau setidak-tidaknya melihat sesuatu yang menarik perhatian, atau sama sekali tidak mengira bahwa hal ini dapat terjadi."
Untara memandanginya dengan tajamnya. Seakan-akan ia tidak telaten menunggu. Namun ternyata bahwa kata-kata Agung Sedayu tertunda lagi, ketika seorang menyuguhkan minuman hangat bagi mereka.
"Ada juga minuman hangat pada saat begini," desis Agung Sedayu.
"Setiap saat ada minuman hangat di parondan," sahut Untara, "lalu bagaimana ceriteramu itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar bahwa ia berhadapan bukan saja dengan kakaknya, tetapi dengan seorang Senapati prajurit Pajang.
Sejenak kemudian Agung Sedayupun segema menceriterakan akan semua peristiwa bukan hanya yang telah terjadi di bulak seperti yang sudah dikatakannya, tetapi ia mulai menyebut nama Ki Pringgajaya, salah seorang perwira pasukan Pajang di Sangkal Putung.
Untara mendengarkan keterangan itu dengan dahi yang berkerut. Meskipun ia terkejut, letapi tidak ada kesan apapun di wajahnya selain ketegangan.
"Jadi menurut dugaanmu, orang-orang itu telah diupah oleh Ki Pringgajaya ?" bertanya Untara.
"Mereka mengatakannya sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang upahan Ki Pringgajaya," jawab Agung Sedayu.
"Mereka mengatakan sendiri, atau Sabungsari yang mengatakannya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Kakang, Sabungsari mengetahui persoalannya. Sementara orang-orang itupun tidak membantah. Mereka mengakui bahwa mereka adalah orang-orang upahan. Sementara yang bertempur dengan Glagah Putih adalah seseorang yang dapat dikenal dalam pakaian seorang prajurit."
"Apa artinya pakaian. Setiap orang dapat mengenakan pakaian prajurit. Penjahat dan pengkhianat dapat juga mengenakan pakaian seorang prajurit."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Jika keadaan Sabungsari memungkinkan, ia dapat membantu memberikan penjelasan."
Untara memandang Sabungsari yang pucat. Lalu katanya, "Kau dapat mengatakannya jika itu tidak membuat kau semakin parah."
Sepatah-sepatah Sabungsari mencoba menjelaskan apa yang telah dialaminya. Bahkan ia serba sedikit mengatakan pula rahasianya yang membawanya menjadi seorang prajurit, karena hal itu sudah diketahuinya pula oleh Ki Pringgajaya. Daripada orang lain yang mengatakannya, lebih baik Sabungsari sendirilah yang mengucapkan pengakuan itu.
Meskipun yang dikatakannya hanya pokok-pokoknya saja dari seluruh hubungan peristiwa, namun Untara sudah mendapat gambaran yang jelas tentang apa yang sudah terjadi.
"Baiklah aku akan mengusut persoalan ini. Tetapi aku tidak dapat mempercayaimu begitu saja tanpa bukti-bukti atau keterangan-keterangan lain yang lebih meyakinkan. Sekarang, aku ingin melihat mayat-mayat itu, sehingga mungkin akan dapat membuka jalan yang lebih lapang bagi penyelesaian masalah ini."
"Marilah kakang. Akupun sebenarnya menjadi cemas, jika para petanilah yang menemukannya, "sahut Agung Sedayu.
Bersama beberapa orang prajurit, Untarapun segera berkemas. Kepada isterinya, ia menitipkan Glagah Putih yang sedang tidur nyenyak.
"Jika ia terbangun dan mencari Agung Sedayu, katakan bahwa Agung Sedayu aku bawa mengambil mayat-mayat yang ditinggalkannya dibulak panjang itu."
Isteri Untara itu mengerutkan dahinya. Meskipun ia seorang isteri Senapati prajurit Pajang di Jati Anom, namun setiap saat hatinya masih juga berdebar-debar jika Untara pergi dalam keadaan yang gawat. Tetapi ia selalu menyembunyikan perasaannya. Bahkan sambil tersenyum ia berkata, "Agaknya Glagah Putih baru akan bangun setelah matahari tinggi."
Sabungsari yang terluka itupun telah dipapah oleh beberapa orang prajurit dan dibaringkannya digandok. Seorang prajurit yang ahli dalam obat-obatan, telah dipanggil untuk memberikan obat yang lebih baik kepada Sabungsari yang terluka itu.
Prajurit yang kemudian datang itupun dengan saksama telah memeriksa luka Sabungsari. Iapun mendengar berita tentang sebab luka-luka itu, meskipun Sabungsari hanya menceriterakan sebagian kecil dari seluruh peristiwanya.
"Jadi orang-orang dari Gunung Kendeng itulah yang melukaimu ?" bertanya orang itu.
"Ya. Lukaku memang agak parah."
"Baiklah. Aku akan berusaha. Tetapi seperti yang kau katakan, lukamu memang cukup parah. Kau terlalu banyak mengeluarkan darah. Untunglah bahwa kau mempunyai obat yang dapat memampatkannya. Meskipun obat itu mempunyai akibat sampingan."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Sambil menyeringai ia bertanya, "Apakah akibat itu ?"
"Pernafasanmu tentu agak terganggu. Tetapi aku akan membersihkannya. Kemudian mengganti dengan obat yang lebih baik, yang selalu dipergunakan oleh para prajurit."
Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Dibiarkannya orang itu membersihkan lukanya dan kemudian menaburkan obat yang lain.
"Sabungsari," berkata orang itu, "aku sudah mendengar apa yang pernah kau lakukan. Kau sudah pernah berhasil membunuh Carang Waja. Sekarang kau berhasil mengalahkan orang dari Gunung Kendeng. Yang terjadi itu tentu akan menjadi perhatian pula bagi Ki Untara. Mudah-mudahan kau akan cepat mendapat tingkat yang lebih baik."
Sabungsari tidak menjawab. Terasa lukanya menjadi nyeri. Bukan saja karena tersentuh tangan orang yang mengobatinya itu. Tetapi obat itu sendiri membuat tubuhnya serasa mendidih.
"Obat itu tentu terasa panas ditubuhmu," berkata prajurit yang mengobatinya itu, "tetapi obat itu akan bekerja sebaik-baiknya. Mudah-mudahan obat itu akan dapat mengatasi kesulitan yang terjadi pada tubuhmu karena kekurangan darah dan nafasmu yang tidak teratur. Kau tentu memerlukan obat lain yang dapat kau minum besok pagi-pagi untuk menyegarkan tubuhmu."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya, "Bagaimana sebenarnya dengan luka-lukaku ?"
Prajurit yang mengobatinya itu mengerutkan keningnya. Sejenak keragu-raguan membayang di wajahnya. Baru kemudian ia berkata, "Sabungsari. Kau adalah seorang prajurit pinunjul. Seorang yang memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit sebayamu. Bahkan mungkin dengan tataran diatasmu. Karena itu, aku harap kau mempunyai ketahanan jiwani yang besar pula, melampaui kawan-kawanmu."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Tidak sabar ia mendesak, "Katakan. Aku bukan anak-anak yang masih suka merengek."
Prajurit yang mengobatinya itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Baiklah aku berterus terang Sabungsari. Lukamu gawat sekali. Meskipun nampaknya tidak lebih parah dari saat kau bertempur dan membunuh Carang Waja, namun sebenarnya lukamu kali ini berbahaya bagi keselamatanmu."
Sabungsari menegang sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya datar, "Terima kasih. Aku mengerti keadaanku."
"Tetapi jangan berkecil hati," berkata prajurit yang mengobatinya, "kita wajib berusaha. Tetapi jika usaha kita gagal, itu adalah diluar kemampuan kita."
"Ya," sahut Sabungsari pendek.
"Betapa kecilnya, kita masih harus berpengharapan," berkata prajurit itu.
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia mengerti maksud prajurit yang mengobatinya itu. Lukanya adalah luka yang membahayakan jiwanya. Bahkan harapan untuk dapat sembuh adalah sangat kecil.
Sesaat Sabungsari menyeringai. Dadanya memang terasa sangat sakit. Bukan saja pedihnya luka pada dagingnya. Namun nafasnya terasa menjadi sesak. Jantungnya bagaikan berdetak semakin cepat.
"Aku terpengaruh sekali keterangan orang itu," berkata Sabungsari didalam hati, "rasa sakit dan nafas yang menyesak ini tentu datang justru karena kekerdilan jiwaku. Tetapi seandainya aku harus mati, maka aku sudah berbuat satu kebajikan terhadap Agung Sedayu. Sebenarnya aku sudah harus mati dipinggir kali ketika aku menantangnya berperang tanding. Tetapi ia membebaskan aku dari kematian jasmaniah dengan harapan, balrwa aku dapat membunuh segala macam sifat dan sikapku waktu itu."
Sabungsari menarik nafas panjang sekali. Namun justru karena iapun kemudian pasrah kepada Yang Maha Kasih, maka hatinya menjadi tenang. Perlahan-lahan nafasnya terasa semakin lapang, meskipun perasaan sakit didadanya masih terasa bagaikan meremas jantung.
Dalam pada itu, maka prajurit yang mengobatinya itupun kemudian minta diri setelah ia berpesan, "Cobalah untuk tidur Sabungsari. Coba pula menenangkan hati. Apapun yang akan terjadi, jangan kau risaukan, karena garis hidup seseorang tidak berada ditangannya sendiri. Kau sudah berbuat sesuatu yang memberimu kebanggaan. Jika kemudian kau harus mengalami sesuatu karena perbuatan kesatria itu, kau justru dapat berbangga karenanya."
Sabungsari menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Ia hanya memandang saja prajurit itu meninggalkan biliknya tanpa berpaling lagi.
Sepeninggal prajurit yang mengobatinya itu, Sabungsari berusaha menenangkan hatinya. Ia mencoba memejamkan matanya, namun rasa-rasanya dadanya bagaikan pecah. Sekali-sekali wajahnya nampak menegang kemerah-merahan. Namun kemudian wajah itu menjadi pucat seputih kapas.
Untuk beberapa lamanya Sabungsari harus bertahan. Namun akhirnya ia berusaha untuk tidak menghiraukan lagi perasaan sakit itu. Meskipun demikian, kadang-kadang ia merasa heran juga karena sikap prajurit yang mengobatinya itu. Seolah-olah ia dengan sengaja memberikan kesan yang mencemaskan.
"Tetapi ia menganggap bahwa hatiku adalah hati yang tabah. Ia menganggap bahwa aku dapat melihat kenyataan dengan hati semeleh," berkata Sabungsari kepada diri sendiri, "tetapi nyatanya hatiku adalah hati yang selalu-dibayangi oleh kecemasan. Bukankah batas terakhir dari keadaan ini adalah kematian. Dan kematian itu tidak lagi menakutkan aku, karena aku telah menemukan diriku sendiri dalam ujud yang lebih baik dari saat lampau. Jika sekiranya aku harus mati saat ini, maka aku akan mendapat nilai jauh lebih baik daripada saat aku mati dipinggir kali dalam perang tanding melawan Agung Sedayu. Saat itu aku akan mati dalam kekelaman sehingga aku akan terjun kedalam kegelapan langgeng diantara tangis dan gemeretak gigi tanpa akhir."
Ketenangan hati Sabungsari ternyata banyak menolong dan memperingan penderitaannya, sehingga karena itu, betapa perasaan sakit masih terasa menghentak-hentak didadanya, namun akhirnya ia berhasil tidur meskipun hanya beberapa saat.
Dalam pada itu, Untara diiringi oleh Agung Sedayu dan beberapa orang prajurit telah berpacu menyusur jalan menuju ke tempat Agung Sedayu menyembunyikan tiga sosok mayat. Dua orang dari Gunung Kendeng, sedang seorang yang lain masih belum diketahuinya. Tetapi kuat dugaan Agung Sedayu, bahwa yang seorang itu tentu pengikut Ki Pringgajaya pula.
"Tetapi nampaknya ia bukannya orang yang telah bertempur melawan Glagah Putih," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Dalam pada itu, maka kuda merekapun berlari semakin kencang. Apalagi ketika bayangan warna fajar telah mengusap langit. Agung Sedayu menjadi semakin tergesa-gesa. Jika saatnya orang pergi kepasar, atau saat para petani menengok air parit yang membelah bulak panjang itu, dan tanpa mereka sengaja menemukan tiga sosok mayat yang diletakkannya dibalik gerumbul, maka kegemparan itu akan dapat menggelisahkan bukan saja satu dua orang.
Semakin dekat mereka dengan tempat yang baru saja menjadi arena pertempuran, hati Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kuda-kuda mereka rasa-rasanya menjadi semakin lamban.
Namun akhirnya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam: Beberapa puluh langkah lagi ia sudah akan sampai di tempat yang ditujunya. Ia sudah melihat dalam keremangan sisa malam, gerumbul-gerumbul yang berserakan dipinggir jalan yang membujur panjang itu.
"Kita sudah sampai kakang," desis Agung Sedayu kemudian.
Iring iringan itupun menjadi semakin lambat. Dan akhirnya mereka berhenti dibekas arena pertempuran. Untara dan para prajurit yang mengiringinya masih sempat melihat bekas bekas dari pertempuran yang sengit. Gerumbul-gerumbul bagaikan terinjak-injak oleh segerombol binatang buas yang berlaga. Pohon-pohon perdu berpatahan dan daun-daunnya yang bagaikan diremas. Tanah yang seperti baru dibajak. Dan sesudut tanaman disawah yang menjadi lumat.
Ki Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa adiknya memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, menurut pengamatannya, maka pertempuran itupun tentu telah berlangsung dengan dahsyatnya. Menurut ceritera adiknya, telah terjadi tiga arena pertempuran. Sabungsari dan Agung Sedayu masing-masing melawan seorang murid dari Gunung Kendeng, sedang Glagah Putih bertempur melawan seorang yang mempunyai ciri seorang prajurit.
"Tentu Sabungsari dan Agung Sedayu telah bertempur dengan sengitnya," berkata Untara didalam hatinya.
Ketika ia kemudian turun dari kudanya, maka para pengiringnya serta Agung Sedayupun telah meloncat turun pula.
"Dimana kau sembunyikan mayat-mayat itu ?" bertanya Untara kemudian.
Sekilas Agung Sedayu mengangkat wajahnya memandang langit. Cahaya kemerah-merahan mulai nampak di atas cakrawala. Karena itu, maka Agung Sedayupun dengan tergesa-gesa mengajak kakaknya pergi kebalik sebuah gerumbul yang masih belum menjadi lumat.
"Disini aku menyembunyikan mayat-mayat itu," desis Agung Sedayu sambil menyibak dedaunan.
Namun alangkah terkejutnya, ketika ia tidak mehhat ketiga sosok mayat itu terbaring ditempat semula. Sejenak Agung Sedayu menegang. Dengan sigapnya ia menyibak dibagian lain. Tetapi ia tidak menemukan mayat-mayat itu.
"Kenapa ?" bertanya Untara yang melihat Agung Sedayu menjadi sibuk.
"Mayat itu hilang kakang," jawab Agung Sedayu terbata-bata.
"He," Untarapun terkejut pula. Dengan serta merta iapun meloncat mendekati Agung Sedayu sambil bertanya, "dimana kau letakkan tadi " "
"Disini," jawab Agung Sedayu sambil menunjuk tempat ia menyembunyikan mayat-mayat itu.
Untara terdiam sejenak. Dengan saksama ia merenungi gerumbul itu dan keadaan disekitarnya. Sekali-sekali la menyibak pula gerumbul-gerumbul disebelah menyebelah. Mungkin Agung Sedayu keliru. Tetapi ternyata mereka tidak menemukan mayat mayat itu sama sekali.
"Aneh," desis Agung Sedayu, "aku meletakkannya disini. Didalam gerumbul ini."
Untara termangu-mangu sejenak. Ia tentu tidak dapat mencurigai adiknya, bahwa anak muda itu menipunya. Iapun yakin bahwa Agung Sedayu tentu sudah berbuat seperti yang dikatakannya, karena menurut pengenalannya sejak anak muda itu masih kanak-kanak. Agung Sedayu tentu tak akan menipu ataupun mengatakan sesuatu yang tidak benar dengan maksud apapun juga.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membuktikan seperti yang dikatakannya.
Untuk beberapa saat lamanya Agung Sedayu masih mencoba mencari ketiga sosok mayat itu diantara gerumbul-gerumbul. Mungkin ada binatang liar yang telah menyeret ketiga sosok mayat itu. Atau barangkali ia keliru mengingat. Tetapi ternyata bahwa ketiga sosok mayat itu tidak dapat diketemukan.
"Seseorang tentu sudah mengambilnya, "geram Agung Sedayu kemudian.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Sabungsari terluka. Tentu perkelahian itu benar-benar telah terjadi. Bekas-bekasnyapun cukup menyakinkan. Tetapi kenapa tiga sosok mayat yang dikatakan itu telah hilang.
"Apa pendapatmu Agung Sedayu ?" bertanya Untara.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku menjadi bingung kakang. Tetapi aku tidak berbohong, bahwa hal itu memang sudah terjadi."
"Aku mempercayaimu Agung Sedayu. Tetapi apa yang dapat aku lakukan kemudian " Yang kau sebut-sebut itu sama sekali tidak dapat kami lihat. Bukannya aku menuduh kau mengatakan apa yang tidak terjadi, tetapi yang kau sebut-sebut murid Gunung Kendeng dan sebagainya, sama sekali tidak dapat dikuatkan. Mungkin mereka mengaku orang-orang Gunung Kendeng dengan segala macam fitnahan terhadap seseorang yang sudah disebut namanya, tetapi mereka sama sekali bukan orang yang dikatakannya."
"Tetapi aku yakin," desis Agung Sedayu.
"Aku mengerti, kau tidak bermaksud mengatakan yang tidak sebenarnya kau dengar dari mulut mereka. Tetapi siapakah yang dapat membuktikan dalam keadaan seperti ini, bahwa kedua orang yang terbunuh itu adalah benar-benar murid dari Gunung Kendeng."
"Aku kira mereka tidak berbohong pula," jawab Agung Sedayu, "mereka menyebut diri mereka dengan bangga. Dan agaknya mereka sejak semula tidak bersiap untuk datang ketempat ini, berbohong dan kemudian mati."
"Tentu," jawab Untara, "Mati atau tidak mati, mereka dapat saja berbohong. Mereka tentu berniat untuk menghapus jejak, karena mereka juga mempunyai perhitungan. Jika mereka mengaku orang-orang Gunung Kendeng dan sebenarnya mereka memang orang-orang dari Gunung Kendeng, apakah itu tidak berarti menantang prajurit Pajang " Apakah perguruan Gunung Kendeng itu akan mampu bertahan jika prajurit segelar sepapan datang kepedepokan mereka ?"
"Tetapi kakang," jawab Agung Sedayu, "perhitungan mereka adalah, bahwa tidak seorangpun yang akan dapat menyebut, bahwa mereka memang berasal dari Gunung Kendeng. Mereka memperhitungkan, bahwa aku akan mati disini. Demikian pula Sabungsari. Tetapi ternyata yang terjadi adalah lain sama sekali, sehingga ada orang yang dapat menyebut mereka berasal dari Gunung Kendeng."
Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin perhitunganmu benar. Setelah terjadi sesuatu diluar perhitungan meraka, maka kawan-kawan mereka telah mengambil satu tindakan khusus dengan menyingkirkan mayat-mayat yang kau tinggalkan. Tetapi kenapa kawan-kawan mereka tidak muncul saat kedua orang itu mulai terdesak."
Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Untara. Namun demikian, ia kemudian berkata, "Kakang, semuanya nampak kabur bagiku. Tetapi orang yang membunuh lawanku dari Gunung Kendeng itupun tidak berusaha bertempur bersamanya saat-saat ia terdesak. Justru ia berusaha membunuhku dari jarak jauh. Ketika ia gagal, maka ia malah membunuh orang Gunung Kendeng itu sendiri dengan anak panahnya."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Persoalan yang dihadapinya adalah persoalan yang rumit. Namun dengan deniikian, ia yakin bahwa memang ada orang yang berdiri dibalik segala peristiwa ini. Tetapi ia tidak dapat mempergunakan sekedar keterangan Agung Sedayu dan Sabungsari saja. Karena mereka berdua dapat saja bersepakat untuk menyebut seseorang yang mereka inginkan untuk dilibatkan dalam persoalan ini.
"Agung Sedayu," berkata Untara kemudian, "aku sudah mendengar semua laporanmu. Aku sudah melihat Sabungsari yang terluka parah. Akupun melihat arena pertempuran itu. Tetapi aku tidak melihat mayat yang kau katakan. Dan aku tidak mendapatkan petunjuk apapun juga, dengan siapa kalian bertempur, selain keterangan yang kau berikan."
"Kakang," berkata Agung Sedayu, "demikianlah kenyataan yang aku hadapi sekarang. Sebagai seorang yang mengalami, aku melaporkan hal ini kepadamu, karena kau adalah Senapati didaerah ini. tetapi persoalan selanjutnya terserah kepada kakang Untara. Apakah ada jalan untuk mengusutnya, atau kakang menganggap bahwa hal ini adalah satu peristiwa yang dapat dilupakan begitu saja."
Wajah Untara menegang. Katanya kemudian, "Agung Sedayu. Kau sudah cukup dewasa. Kau tidak dapat merengek lagi seperti saat kau masih kanak-kanak. Merajuk dan marah-marah. Adalah kebetulan bahwa Senapati didaerah ini adalah kakakmu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku dapat berbuat apa saja untuk kepentinganmu. Aku tetap seorang Senapati dengan siapapun aku berhadapan."
"Justru itu kakang," sahut Agung Sedayu, "aku menyerahkan persoalan ini kepadamu. Bukan lagi sebagai kanak-kanak yang mengurungkan permintaannya karena harus menunggu. Tidak. Aku memang hanya dapat menyerahkan segalanya kepada kakang Untara sebagai seorang Senapati didaerah ini. Bukan sebagai seorang kakak."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun mengangguk-angguk kecil sambil berkata, "Aku akan menyelidiki persoalan ini. Tetapi sampai berapa jauh langkah yang dapat aku ambil, aku masih belum tahu. Karena kau sudah menyebut nama dari mereka yang tersangkut persoalan ini, maka aku akan memperhatikannya. Melihat tanda-tanda dan kemungkinan-kemungkinan padanya. Mudah-mudahan aku mendapat bukti yang cukup untuk berbuat sesuatu, sehingga aku bukannya orang yang bertindak hanya karena perasaan yang sedang bergejolak. Apalagi menyangkut seseorang yang kebetulan adalah keluargaku sendiri."
Tengkorak Maut 19 Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk Sepasang Alap Alap Bukit 1
Prajurit itu tidak mengenal pengikut Sabungsari. Tetapi ia mendapat pikiran yang serupa dari apa yang pernah dilakukan oleh para pengikut Sabungsari dipantai Selatan itu.
Karena itu, maka sebelum pertempuran itu berkobar, dan apa lagi membawa korban, maka ia akan merunduk anak itu, dan sekaligus menguasainya dan mempergunakannya sebagai alat untuk memaksa Agung Sedayu menyerah.
Dengan hati-hati prajurit itu berkisar mendekati Glagah Putih. Semakin lama semakin dekat. Ia menyusup diantara gerumbul-gerumbul dan semak-semak.
Namun mata Agung Sedayu ternyata memiliki ketajaman penglihatan yang melampaui ketajaman penglihatan orang kebanyakan. Ia melihat dalam kegelapan seperti itupun mampu melihat pada jarak yang sangat jauh. Jika ia memusatkan tatapan matanya dalam ketajaman penglihatan, maka seolah-olah yang jauh itu menjadi dekat, dan yang baur itu dapat menjadi jelas.
Karena itulah, maka didalam gelapnya malam, ia melihat meskipun hanya lamat-lamat, semak-semak yang bergerak. Agung Sedayu melihat arah gerak pohon-pohon perdu yang rimbun itu, sehingga iapun segera dapat mengambil kesimpulan, apa yang ada dibalik semak-semak itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia siap untuk meloncat kebalik semak-semak, ternyata lawannya telah bergerak selangkah maju dan bersiap untuk menyerang. Agung Sedayu harus memperhatikannya. Seperti yang diduganya, maka sejenak kemudian orang itu sudah meloncat menyerang dengan cepatnya.
Agung Sedayu berkisar selangkah. Namun ia masih sempat melihat Glagah Putih sekilas. Pada saat yang gawat itu, ia melihat sesosok bayangan yang muncul dari balik semak-semak dibelakang Glagah Putih.
"Glagah Putih," teriak Agung Sedayu, "berhati-hatilah. Lihat dibelakangmu."
Teriakan itu mengejutkan Glagah Putih dan Sabungsari. Bahkan kedua orang yang mencegat Agung Sedayu itupun terkejut pula, karena mereka tidak menyangka bahwa prajurit yang mengawasi mereka telah mengambil sikap tersendiri.
Namun kedua orang itu merasa, bahwa sikap itu akan sangat menguntungkannya. Jika prajurit itu berhasil menguasai Glagah Putih, maka perlawanan Agung Sedayu dan Sabungsari tentu akan terganggu pula.
Namun pada saat itu Glagah Putih sempat berpaling. Ia melihat seseorang berdiri beberapa langkah dibelakangnya dan siap untuk menyerangnya.
Sementara itu, baik Glagah Putih maupun Agung Sedayu dan Sabungsari tidak mengetahui, seberapa tingkat ilmu orang yang menyerang itu. Karena itu, maka merekapun menjadi berdebar-debar. Jika orang yang menyerang Glagah Putih itu memiliki kemampuan seperti kedua orang yang lain, maka Glagah Putih benar-benar berada dalam bahaya.
Sambil mengelakkan serangan lawannya yang datang berikutnya, Agung Sedayu menyaksikan orang yang merunduk Glagah Putih itu mulai menyerang pula.
Dengan sepenuh tenaga prajurit itu menyerang langsung mengarah kedada Glagah Putih. Namun ternyata bahwa Glagah Putih mengelakkan serangan itu.
Pada serangan yang pertama, Agung Sedayu dan Sabungsari melihat, bahwa orang itu agak berbeda dengan iblis yang dua, yang berhadapan masing-masing dengan Agung Sedayu dan Sabungsari. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Sabungsaripun menjadi agak tenang. Mereka dapat memusatkan perhatian mereka kepada lawan masing-masing.
Karena Agung Sedayu lelah terlibat dalam pertempuran, maka lawan Sabungsari itupun tidak menunggu lebih lama. Iapun segera menyerang dengan sepenuh kemampuannya.
Tetapi Sabungsari adalah seorang anak muda yang memiliki bekal ilmu yang cukup. Karena itu, maka serangan itu baginya bukannya serangan yang berpengaruh, baik badannya, maupun bagi jiwanya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian kedua anak-anak muda itupun segera terlibat kedalam pertempuran yang sengit. Kedua orang dari perguruan Elang Hitam itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawannya, karena mereka sadar, tatapan mata yang menyala pada anak-anak muda itu akan dapat membakar jantungnya.
Rambitan dan Kumuda berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek, sehingga tidak memberi kesempatan lawannya untuk membangunkan kekuatan lewat sorot matanya. Mereka melihat dalam benturan-benturan pendek pada jarak jangkau serangan tangan dan kakinya.
Namun sekali-sekali Sabungsari berusaha melepaskan diri dari libatan yang keras itu. Meskipun ia belum bermaksud mempergunakan kekuatan sorot matanya, namun seolah-olah ia sedang mencoba, apakah pada suatu saat ia akan dapat mengambil kesempatan untuk melakukannya.
"Jika aku dapat bertahan tanpa ilmu itu, aku akan melagukannya," berkata Sabungsari didalam hatinya, karena ia sadar, bahwa ia memerlukan waktu. Jika dalam saat sekejap itu ia terjebak, maka ia akan mengalami kesulitan seterusnya.
Karena itu, maka ia justru tidak mempergunakan ilmu puncaknya apabila ia memang belum terpaksa.
Selagi kedua orang anak muda itu bertempur dengan serunya, maka prajurit yang merunduk Glagah Putih itupun telah terlibat dalam perkelahian. Untunglah, bahwa Glagah Putih telah menempa diri dalam menekuni ilmunya, sehingga kemampuannya telah jauh meningkat.
Yang dihadapinya kemudian adalah seorang prajurit Pajang di Jati Anom yang tidak memiliki kelebihan seperti Sabungsari. Ia tidak lebih dari seorang prajurit kebanyakan yang mempunyai ilmu dasar bagi seorang prajurit. Meskipun ia memiliki ilmu yang cukup dalam perang gelar, tetapi dalam ilmu kanuragan secara pribadi, ia tidak memihki banyak kelebihan.
Karena itu, maka ketika kemudian Glagah Putih sempat mempertahankan dirinya, maka prajurit itupun tidak terlalu banyak dapat memaksakan kehendaknya. Meskipun Glagah Putih masih belum memiliki pengalaman, namun ia masih sempat bertahan. Dengan ilmu yang ada padanya, ia berjuang untuk tidak segera mati atau dilumpuhkan oleh lawannya.
Ternyata Agung Sedayu melihatnya. Karena itu, maka Agung Sedayupun berteriak, "bertahanlah Glagah Putih. Aku akan segera datang membantumu."
"Kau akan mati," teriak Rambitan.
Yang terdengar berteriak kemudian adalah Sabungsari, "Jika demikian, akulah yang akan membantumu."
"Kaupun akan mati," geram Kumuda.
Sabungsari tertawa. Katanya, "Ternyata kau hanya dapat berkicau. Apa kelebihanmu dari Carang Waja ?"
Kumuda benar-benar merasa terhina. Namun perasaannya tidak cepat terbakar. Ia masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan menghadapi anak muda yang ternyata benar-benar memiliki kemampuan.
Agaknya mereka yang bertempur itu masih belum sampai pada puncak ilmu masing-masing. Mereka masing-masing masih mencoba menjajagi kemampuan lawannya. Karena itulah maka masing-masing masih bertempur dengan kemampuan wadag mereka sewajarnya, meskipun semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin sengit. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka dan mulai merambat pada kemampuan tenaga cadangan meskipun belum sepenuhnya.
Dalam pada itu. Agung Sedayupun mulai menyadari sepenuhnya, bahwa lawannya benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Lawannya semakin lama semakin menjadi kuat dan gerakannya menjadi semakin cepat.
Sementara itu, Glagah Putihpun telah bertempur dengan serunya. Agak berbeda dengan Agung Sedayu dan Sabungsari, ternyata Glagah Putih telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempertahankan diri, karena lawannyapun berusaha untuk segera menguasainya. Namun kemampuan Glagah Putih yang didapatnya dengan menempa diri hampir setiap saat itupun telah melindunginya. Ia telah mampu bergerak dengan cepat dan tangkas, meskipun ia masih dibatasi oleh kekuatan dan kemampuan wadag sewajarnya. Tetapi karena latihan-latihan yang berat, maka ia adalah seorang anak muda yang kuat dan trampil.
Ternyata lawannyapun seorang prajurit yang kuat dan trampil. Tetapi seperti Glagah Putih, iapun bertumpu pada kemampuan wadag sewajarnya.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Glagah Putih dan prajurit itupun menjadi semakin seru. Masing-masing telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya.
Tetapi ternyata kemudian, bahwa prajurit itu memiliki pengalaman yang lebih luas. Glagah Putih kadang-kadang masih nampak gugup dan kehilangan kesempatan yang berarti. Namun setiap kali ia masih menyadari dirinya dan selalu meloncat mengambil jarak, sementara ia berusaha memperbaiki kedudukannya.
Agung Sedayu dan Sabungsari tidak mempunyai kesempatan terlalu banyak untuk mengamati Glagah Putih, karena ia harus memperhatikan lawan masing-masing dengan saksama. Meskipun mereka agaknya belum sampai pada puncak ilmu mereka, namun Agung Sedayu dan Sabungsari tidak ingin terjebak oleh kelengahannya. Sehingga dengan demikian, maka keduanya telah bertempur dengan hati-hati. Mereka mengerti, bahwa setiap saat lawan masing-masing akan dapat melontarkan ilmu pamungkas mereka.
Dalam pada itu, maka pertempuran di bulak panjang itupun menjadi semakin seru. Adalah kebetulan sekali, bahwa tidak ada seorang petanipun yang menjenguk sawahnya dibulak panjang yang gelap dan dimalam yang dingin. Karena itu, maka tidak seorangpun yang telah melihat, apa yang telah terjadi di bulak panjang itu.
Sementara itu, Rambitan yang berhadapan dengan Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin yakin, bahwa anak muda itu memang memiliki ilmu yang luar biasa. Yang didengarnya tentang Agung Sedayu bukannya sekedar dongeng yang tidak berarti. Tetapi setelah ia berhadapan langsung dengan anak muda itu, maka iapun mulai mempercayainya.
Namun Rambitan yang merasa dirinya murid terbaik dari perguruan Elang Hitam di pegunungan Kendeng itu, justru semakin bergairah. Ia ingin menunjukkan, bahwa murid-murid dari Gunung Kendeng itu bukannya sekedar mampu berkicau dan berteriak-teriak seperti yang dituduhkan oleh Sabungsari terhadap Kumuda. Namun dengan kemantapan ilmunya, perguruan Gunung Kendeng akan dapat menghancurkan lawan-lawannya.
Perlahan-lahan Rambitanpun mulai meningkatkan ilmunya. Dengan demikian ia ingin melihat sampai batas tertinggi kemampuan lawannya. Jika pada suatu saat, Agung Sedayu tidak lagi mengimbanginya, maka ia akan mendapat ukuran, bahwa kemampuan anak muda yang menggetarkan Pajang itu hanya sampai pada tingkat tertentu dibawah ilmunya.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu ternyata menyadari, apa yang dilakukan oleh lawannya. Karena itu, maka iapun selalu mengikutinya dengan saksama. Setiap kali lawannya meningkatkan ilmunya, maka Agung Sedayupun melakukannya pula.
Setiap kali terasa oleh Agung Sedayu, tekanan lawannya yang menjadi semakin meningkat. Pertanda peningkatan ilmu ini ternyata sangat menarik bagi Agung Sedayu. Bukan saja Rambitan yang ingin mengetahui batas puncak kemampuan lawannya, namun Agung Sedayupun telah melakukan yang serupa.
Dengan demikian Agung Sedayu tidak dengan serta merta mengerahkan ilmunya seperti yang dilakukan oleh lawannya. Dengan cara itu ia akan mengetahui tingkat tertinggi dari murid terbaik yang datang dari perguruan Elang Hitam di Gunung Kendeng.
"Anak-anak murid dari Perguruan Wulungireng ini tentu sedang menjajagi kemampuanku pula," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Agak berbeda dengan Agung Sedayu adalah Sabungsari. Ia bukan anak muda yang ragu-ragu dan mempunyai banyak pertimbangan yang dapat menghambat tingkah lakunya. Ia tidak memikirkan, apa yang sedang dilakukan oleh lawannya. Karena itu, maka Sabungsaripun segera bertempur dengan segenap kemampuannya melawan Kumuda yang dicengkam oleh nafsu yang membara didadanya untuk membunuh anak muda yang dianggapnya berkhianat itu.
Karena itu, maka pertempuran antara Sabungsari dan Kumuda menjadi semakin sengit. Lebih seru dari arena pertempuran antara Agung Sedayu dan Rambitan.
Rambitanpun mengetahui sekilas, bahwa agaknya Kumuda dan Sabungsari telah sampai kepuncak ilmunya, sehingga mereka bagaikan prahara yang saling membentur.
Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Serangan yang membentur serangan itu seolah-olah telah menimbulkan angin pusaran. Desir yang berbaur dengan hentakan tenaga yang lepas dari sasaran, telaii membuat arena pertempuran itu bagaikan diguncang oleh gempa yang mengerikan.
Sabungsari yang pernah bertempur melawan Carang Waja itupun merasa bahwa lawannya ternyata memiliki kemampuan yang berbeda. Kumuda tidak dapat mengguncang tanah bagaikan guncangan gempa yang ternyata hanya semu. Tetapi Kumuda benar-benar mampu bergerak cepat dan serangannyapun dilambari dengan kekuatan yang luar biasa. Ia mampu meloncat bagaikan petir yang menyambar dilangit. Dan iapun mampu menghantamkan hentakkan kekuatan bagaikan gugurnya gunung Merapi dan Merbabu, menghimpit lawannya tanpa ampun.
Karena itu, maka Sabungsaripun harus berhati-hati. Ia harus berusaha mengimbangi kecepatan bergerak lawannya, dan sekaligus berusaha untuk mengerahkan tenaga cadangannya dalam daya tahannya. Karena setiap sentuhan serangan lawannya, akan dapat berarti hancurnya isi dadanya jika ia tidak mengerahkan daya tahannya sekuat-kuatnya.
Dengan demikian, maka kekuatan cadangan Sabungsari sebagian telah terhisap pada pertahanannya. Karena itu, maka serangan-serangannyapun menjadi lemah.
Namun dalam pada itu, bukan berarti bahwa Sabungsari tidak pernah menyerang lawannya. Dalam kesempatan tertentu, Sabungsaripun mampu menyerang. Tetapi yang diluncurkan bukanlah puncak dari kekuatannya.
Untuk beberapa saat Sabungsari masih harus mengamati dengan sungguh-sungguh keadaan lawannya yang sesungguhnya. Ia harus melihat, dimana kelebihannya dan dimana kekurangannya.
Tetapi kesempatan terlalu sempit bagi Sabungsari. Lawannya melibatnya dalam pertempuran yang keras pada jarak yang pendek. Apalagi lawannya memiliki kecepatan bergerak yang mendebarkan, dan kekuatan mengagumkan.
Namun dalam pada itu, kekuatan dan kemampuan Sabungsari telah benar-benar pulih kembali sejak ia dilukai oleh Carang Waja. Segala luka-lukanya telah sembuh dan kemampuannyapun telah dimilikinya kembali.
Karena itu, betapapun juga, Sabungsaripun ternyata adalah seorang anak muda yang luar biasa, iapun telah menempa diri sebelum meninggalkan padepokannya. Meskipun ia mempersiapkan dirinya untuk melawan Agung Sedayu, namun yang dihadapinya kemudian dalam pertempuran antara hidup dan mati adalah justru orang-orang lain.
Menghadapi lawannya yang tangguh tanggon itu, Sabungsaripun harus mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih berusaha mengimbangi kemampuan lawannya dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin keras dan kasar.
"Akupun orang kasar sejak semula," geram Sabungsari didalam hatinya. Karena itu, maka iapun mampu mengimbangi kekerasan dan kekasaran sikap lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Sabungsari dan Kumuda itu benar-benar merupakan pertempuran yang dahsyat. Benturan-benturan kekuatan dan lontaran-lontaran serangan dengan kecepatan petir diudara.
Namun dalam pada itu, Kumudapun menjadi heran. Setiap kali serangannya menyentuh lawannya, prajurit muda itu seolah-olah tidak bergetar. Ia mampu menahan serangannya yang dilontarkan dengan kekuatan raksasa. Bahkan dalam pada itu, Sabungsari masih juga sempat membalas serangan dengan serangan. Meskipun kekuatan serangan Sabungsari tidak meruntuhkan isi dada lawannya, namun sentuhan-sentuhan yang semakin sering, terasa mulai mengganggu lawannya. Apalagi sentuhan-sentuhan ditempat yang paling gawat. Meskipun tidak terlalu keras, tetapi akan dapat mempunyai akibat yang menentukan.
Dengan kecepatan bergerak, Sabungsari beberapa kali hampir berhasil menyentuh tempat-tempat yang berbahaya. Ia sadar, bahwa sebagian besar kekuatannya dipergunakannya untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, sehingga karena itu, ia harus mampu mempergunakan sebagian dari tenaganya pada sasaran yang menentukan.
Kumuda menggeram, ketika hampir saja jari-jari Sabungsari menyentuh matanya. Ia masih sempat menggeser kepalanya, sehingga jari-jari Sabungsari hanya mengenai keningnya. Tetapi sekejap kemudian disusul dengan serangan ibu jari anak muda itu menyentuh leher lawannya.
Kumuda terkejut. Ia sempat meloncat surut. Sentuhan dilehernya yang tidak terlalu kuat itu, rasa-rasanya telah menutup pernafasannya. Namun sejenak kemudian, ia telah berhasil membuka kembali jalur pernafasannya sehingga ia dapat bernafas lagi dengan wajar.
Kumudapun kemudian menyadari, bahwa meskipun serangan Sabungsari tidak terlalu kuat, namun ia mampu memilih sasaran yang menentukan. Sehingga karena itu, maka Kumuda menjadi lebih berhati-hati. Jika semula ia berbangga bahwa serangan-serangannya seolah-olah telah memaksa Sabungsari untuk sekedar bertahan, dan dengan demikian maka kesempatan menyerang anak muda itu menjadi sangat terbatas, namun ternyata kemudian, bahwa dalam kelemahan itu, terdapat kemampuan yang mengagumkan. Sabungsari ternyata menguasai benar-benar jalur-jalur otot bebayu dan garis-garis syaraf yang terpenting, disamping bagian-bagian tubuh yang lemah.
Dengan demikian, maka Kumuda tidak lagi menganggap bahwa kekalahan lawannya hanyalah tinggal soal waktu. Justru ia mulai menganggap lawannya adalah orang yang benar-benar berbahaya.
Apalagi Kumuda pernah mendengar bahwa Sabungsari memiliki kemampuan pada tatapan matanya. Jika anak muda itu mendapat kesempatan untuk mengambil jarak waktu barang sekejap, maka ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya.
Tetapi Kumudapun mempunyai sipat kandel yang akan dapat dipergunakannya untuk melawan serangan yang tidak mennpergunakan rabaan wadag dengan wantah itu, meskipun ia sendiri belum meyakini, seberapa jauh ia akan dapat bertahan terhadap serangan tatapan mata Sabungsari.
"Tetapi aku bukan sasaran mati yang menunggu jantungku terbakar oleh tatapan matanya," berkata Kumuda didalam hati, "adalah kebodohan yang sangat besar jika aku harus mati dibawah sorot matanya."
Sebenarnyalah, bahwa Sabungsari terlalu sulit untuk dapat mengambil jarak dan waktu untuk mengungkapkan kemampuan puncaknya itu.
Namun dalam pada itu, Sabungsaripun belum merasa terdesak oleh lawannya dalam pertempuran yang keras itu. Ia masih tetap memusatkan sebagian terbesar kekuatan dan kemampuan cadangannya pada daya tahannya, sehingga seolah-olah ia menjadi seorang yang memiliki ilmu kebal, meskipun setiap kali ia masih harus menyeringai dan berdesis menahan sakit. Sementara itu, ia telah mempergunakan ketrampilan dan pengetahuannya tentang tubuh dan bagian-bagiannya untuk melemahkan pertahanan lawannya. Ia mengetahui tempat yang paling ringkih meskipun hanya mendapat serangan yang tidak begitu kuat, tetapi telah menimbulkan akibat yang gawat.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Sabungsari dan Kumuda itupun justru menjadi semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat, dan serangan-serangannyapun datang silih berganti meskipun dalam ungkapan yang berbeda.
Sementara itu, ternyata Rambitan mulai dipengaruhi oleh keadaan lawannya yang masih muda. Sementara ia perlahan-lahan meningkatkan ilmunya, namun ia tidak sampai pada batas yang dianggapnya sebagai tingkat puncak ilmu lawannya. Setiap ia meningkatkan kemampuan dan kekuatannya, maka Agung Sedayu selalu dapat mengimbanginya. Sehingga akhirnya, ketika Rambitan sudah mendekati puncak kemampuannya, maka iapun menjadi gelisah.
"Dari mana iblis ini memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya," berkata Rambitan didalam hatinya.
Tetapi Rambitan masih mempunyai harapan. Pada tahap terakhir dari tingkat ilmunya, ia akan membuktikan, bahwa ia memiliki kelebihan dari Agung Sedayu, yang dalam pertempuran melawan Carang Waja ternyata hanya mampu mengimbanginya tanpa dapat membunuhnya.
Namun ada yang tidak diketahui oleh Rambitan, kenapa Carang Waja tidak mati oleh Agung Sedayu. Rambitan sama sekali tidak membayangkan warna hati dalam dada anak muda itu.
Apalagi yang dilakukan Agung Sedayu saat itu, adalah saat-saat ia sama sekali belum tersentuh ilmu yang terdapat dalam kitab Ki Waskita. Sehingga ilmunya sama sekali masih belum terpengaruh sama sekali.
Dengan demikian, maka ukuran Rambitan atas ilmu Agung Sedayu ternyata tidak tepat. Bahkan agak jauh dari kebenaran.
Karena itu, ketika Rambitan akhirnya sampai pada puncak ilmunya, melampaui kemampuan ilmu Kumuda, ternyata bahwa ia tidak berhasil dengan serta merta menguasai Agung Sedayu. Betapapun keras dan kasarnya ia bertempur, namun seolah-olah Agung Sedayu mampu mengimbanginya.
Kekuatan Rambitan yang luar biasa, kecepatan bergerak yang jarang ada bandingnya, tidak mampu menguasai anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Bahkan jika Rambitan mencoba untuk membenturkan kekuatannya, maka hentakan tenaganya seolah-olah telah memukul isi dadanya sendiri. Agung Sedayu benar-benar bagaikan tonggak baja yang berdiri tegak menghunjam kepusat bumi.
Kegelisahan Rambitan ternyata telah memaksanya untuk mulai mempertimbangkan jenis-jenis senjata yang dibawanya. Ketika ternyata bahwa kekuatannya yang menghantam Agung Sedayu tidak mampu melumpuhkan anak muda itu, maka mulailah Rambitan meraba hulu pedangnya.
"Tidak ada pilihan lain," katanya didalam hati. Namun dengan demikian ia sadar, bahwa mungkin ia justru akan mengalami tekanan yang lebih berat, jika anak muda yang dihadapinya itu menarik cambuknya. Menurut pendengarannya, anak muda ini mempunyai cambuk yang mampu mendendangkan lagu maut.
Agung Sedayu melangkah surut, ketika ia melihat Rambitan menarik parangnya. Sejenak ia termangu-mangu. Wajahnya menjadi semakin tegang dan jantungnya berdegupan.
Rambitan melihat sikap Agung Sedayu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia tertawa sambil berkata, "Jangan cemas Agung Sedayu. Aku mampu menebas lehermu dengan sekali ayun. Karena itu, jika kau tidak banyak solah, maka kau akan mati dengan cepat. Tetapi jika kau mencoba melawan ilmu pedangku, maka kau akan menyesal."
Agung Sedayu memandang Rambitan dengan tajamnya. Meskipun ia mengerti, bahwa ilmu Rambitan masih belum mencapai lapisan yang sama dengan ilmunya, tetapi senjata ditangannya akan dapat menjadi sangat berbahaya baginya.
"Marilah anak muda," suara Rambitan meninggi, "jangan mencoba untuk lari."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi gelisah. Tetapi bukan karena ia menjadi kecut melihat senjata itu. Tetapi perang bersenjata memang dapat menimbulkan akibat yang lebih buruk.
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat merenung lebih lama lagi. Tiba-tiba saja lawannya sudah meloncat dengan parang terjulur, lurus mengarah kedada Agung Sedayu.
Tidak ada kesulitan bagi Agung Sedayu untuk mengelakkan serangan pertama. Tetapi Agung Sedayupun sadar, bahwa yang berbahaya tentu bukan serangan yang pertama itu.
Sebenarnyalah, demikian Agung Sedayu mengelakkan serangan yang pertama, maka lawannyapun tiba-tiba telah memutar parangnya menebas leher lawannya Sekali lagi Agung Sedayu harus meloncat. Namun lawannya telah memburunya.
Ternyata Rambitan benar-benar seorang yang memiliki ilmu pedang yang luar biasa. Ia mampu menggerakkan pedangnya dengan cepat dan deras. Setiap sentuhan tajam pedang itu, tentu akan mematahkan tulang. Bukan saja menyobek kulit daging.
Beberapa saat kemudian terasa bahwa Agung Sedayu memang mulai terdesak. Ia tidak dapat menembus putaran parang lawannya yang bagaikan perisai memutari dirinya. Sekali-sekali ia harus meloncat, jika tiba-tiba seolah-olah dari balik perisai itu telah meluncur ujung parang yang mematuk dadanya. Kemudian menebas mendatar dan memutar dengan cepatnya.
"Menyerahlah," geram orang berparang itu.
"Ki Sanak," desis Agung Sedayu sambil meloncat mundur, "kau jangan memaksa aku untuk berbuat lebih banyak lagi. Apakah kau tidak mempunyai cara lain untuk mengakhiri pertempuran ini selain maut. Kau dapat meninggalkan arena ini. Atau jika kau keberatan karena kau seorang laki-laki jantan, biarlah aku yang meninggalkan arena ini tanpa kau ganggu. Atau mungkin ada cara lain yang lebih baik dari bayangan maut."
"Persetan," teriak lawannya, "jika kau takut menghadapi putaran parangku, menyerahlah."
"Jangan salah sangka. Aku tidak takut. Tetapi akupun tidak ingin menyombongkan diriku. Karena itu, marilah kita mencari jalan lain. Jika kau benar diupah oleh Ki Pringgajaya, biarlah aku menemuinya dan berbicara dengan perwira prajurit Pajang itu."
Tetapi Rambitan tidak menanggapi sama sekali. Justru serangan parangnya semakin lama menjadi semakin cepat mengarah ketempat yang paling berbahaya ditubuh Agung Sedayu.
"Orang ini sudah tidak dapat diajak berbicara lagi," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, ternyata ilmu pedang Rambitan benar-benar berbahaya bagi Agung Sedayu. Setiap kali Agung Sedayu harus meloncat surut menghindari serangan lawannya yang bagaikan prahara.
"Menyerahlah," teriak Rambitan.
Akhirnya Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain. Lawannyalah yang telah mendesaknya untuk meloncat surut. Mengambil jarak dan dalam kesempatan yang pendek, ia telah mengurai cambuknya yang membelit lambung.
Rambitan menjadi semakin berdebar-debar. Ia memang sudah memperhitungkan bahwa pada suatu saat, cambuk itu akan diurainya juga.
Agung Sedayu yang sudah memegang pangkal cambuknya itu kemudian berdiri tegak. Sebelah tangannya menggenggam ujung cambuknya yang berjuntai.
"Apakah kita akan bertempur terus," bertanya Agung Sedayu.
Rambitan tidak menjawab. Namun parangnya telah mematuk dengan cepatnya seperti anak panah yang meloncat dari busurnya.
"Kau benar-benar tidak dapat diajak berbicara," geram Agung Sedayu.
Rambitan sama sekali tidak menghiraukannya. Ujung pedangnya menyambar semakin cepat, sementara kakinya berloncatan dengan tangkasnya.
Agung Sedayu masih menghindar. Ia masih memegang ujung cambuknya. Namun ketika ia menjadi semakin terdesak, tiba-tiba cambuk itu telah meledak. Tetapi yang terdengar adalah ledakkan cambuk yang tidak terlalu keras.
Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian sadar, bahwa Agung Sedayu tentu masih mengekang dirinya. Jika ia benar-benar telah sampai kepuncak kemarahannya, maka ia dapat meledakkan cambuknya seperti ledakkan petir diudara.
Sebenarnyalah Agung Sedayu tidak ingin membuat orang-orang padukuhan disebelah menyebelah bulak itu menjadi gelisah. Jika ia meledakkan cambuknya dengan sepenuh tenaganya, maka cambuk itu akan memecah sepinya malam, menyentuh ujung-ujung padukuhan, sehingga jika anak-anak muda mulai berada digardu diregol padukuhan, mereka akan menjadi gelisah.
"Sebagian dari mereka telah pernah mendengar arti suara cambukku," berkata Agung Sedayu didalam hati.
Namun, meskipun suara cambuk itu tidak meledak terlalu keras, tetapi getar udara disekitarnya membuat Rambitan harus menilai dengan saksama. Ternyata diantara ledakkan cambuk sawantah dan getar yang merobek udara, masih harus mendapat nilai banding yang cermat. Karena yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu, bukannya sekedar hentakkan tenaga wadagnya dan senjata yang kasat mata.
Tetapi Rambitan adalah orang yang cukup mempunyai pengalaman. Ia pernah berada dimedan melawan berbagai jenis ilmu. Karena itu, maka iapun akan menghadapi ilmu yang menggetarkan jantungnya itu seperti, ia pernah menghadapi ilmu yang lain, yang kadang-kadang memang dapat mengguncang kejantanannya.
"Beberapa kali aku menjumpai ilmu yang tidak masuk akal. Tetapi akhirnya aku berhasil keluar membawa kemenangan," berkata Rambitan kepada diri sendiri. Karena itu ia masih berharap, bahwa pada saatnya ia akan dapat mematahkan ilmu Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, kemarahan Kumuda tertuju sepenuhnya kepada Sabungsari yang telah berkhianat. Ia telah menipu dan kemudian berusaha untuk menggagalkan maksud mereka.
"Anak inilah yang pertama-tama harus mati," geram Kumuda didalam hatinya.
Karena itu, maka iapun bertempur semakin keras. Ilmunya diperasnya sampai tuntas. Dengan keras dan kasar ia berusaha untuk menekan Sabungsari sepenuh tenaganya.
Tetapi Sabungsaripun mengimbanginya. Iapun dapat bertempur dengan keras. Ia tidak segan membenturkan kekuatannya jika lawannya menyerangnya dengan kasar. Kemudian melenting menyerang mengarah ke bagian tubuh lawan yang paling lemah.
Kumuda akhirnya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat menjatuhkan lawannya meskipun tangannya seakan-akan telah berubah menjadi besi gligen. Jari-jarinya mampu meremas batu padas dan hentakkan kakinya dapat menggulingkan batu-batu sebesar gardu di sudut-sudut padesan.
Namun ternyata bahwa Sabungsari memiliki daya tahan yang luar biasa. Bahkan disela-sela pertahanannya, ia masih mampu menyusup menyerang dengan cepatnya.
Sejenak kemudian, tidak ada pilihan lain dari lawanya selain mempergunakan senjatanya. Kumuda tidak membawa senjata panjang. Tetapi yang ada dilambungnya adalah sebilah pisau belati. Pisau yang jarang sekali dipergunakan, karena tangannya adalah senjatanya yang dapat diandalkan. Tangannya yang memiliki kekuatan seperti sepotong besi baja.
Namun Sabungsari tidak remuk oleh pukulan tangannya. Tubuhnya seolah-olah menjadi liat dan bahkan bagaikan kebal, meskipun setiap kali terdengar ia berdesis dan menyeringai menahan sakit. Namun hampir tidak berpengaruh sama sekali pada daya tahan dan kemampuannya bertempur.
"Ujung pisau ini akan dapat menyobek dagingnya," berkata Kumuda didalam hatinya.
Sabungsari mengerutkan keningnya ketika ia melihat tangan lawannya menggapai senjatanya. Namun ia tidak menunggu. Ia justru meloncat surut beberapa langkah.
Kumuda terkejut. Ia merasa telah melakukan satu kesalahan. Sesaat ia menarik senjatanya, Sabungsari agaknya akan mempergunakan kesempatan itu.
Karena itu, maka Kumudapun segera mengerahkan segenap ilmunya, kekuatannya dan kemampuannya melindungi dirinya dengan daya tahannya yang luar biasa, sehingga kekuatan lawannya, seakan-akan tidak dapat menyentuhnya sama sekali, karena tubuhnya seolah-olah telah dihngkari oleh selapis perisai yang tidak kasatmata.
Namun dalam pada itu sejenak kemudian ia melihat Sabungsari berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya didadanya. Sikap yang langsung memberitahukan kepada lawannya, bahwa anak muda itu telah sampai kepada puncak ilmunya.
Sejenak Kumuda masih mampu bertahan. Ia berdiri tegak seperti patung. Dengan memusatkan daya tahannya, ia mampu menahan diri tanpa mengalami sesuatu.
Namun ternyata bahwa ilmu Sabungsari benar benar dahsyat. Perlahan-lahan tetapi pasti, tatapan matanya yang mempunyai sentuhan wadag itu bagai tajamnya ujung senjata yang sedikit demi sedikit memecahkan perisai yang melindungi lawannya.
Kumuda menyadari akan hal itu. Ia merasa tatapan mata itu mulai menghunjam ilmunya yang dibanggakan.
Pertempuran ilmu yang dahsyat itu benar-benar mendebarkan. Keduanya berdiri tegak dalam pemusatan puncak kemampuan.
Namun Kumuda merasa, bahwa ia tidak dapat berbuat demikian. Perlahan-lahan ilmu lawannya itu akan menyusup semakin dalam. Jika ilmu itu kemudian berhasil menyentuh tubuhnya, menembus perisai ilmunya, maka ia akan mengalami bencana.
Karena itu, maka Kumuda harus berbuat sesuatu. Ia sadar, ditanganya tergenggam pisau belatinya. Sehingga dengan demikian ia tidak boleh menunggu lebih lama lagi, sehingga tubuhnya akan terbakar oleh ilmu lawannya yang berhasil mengoyak perisainya.
Sejenak Kumuda memusatkan perhatiannya kepada Sabungsari yang berdiri tegak dengan tangan bersilang. Ia sadar bahwa waktunya tidak terlalu banyak. Perisainya menjadi semakin tipis, dan sesaat lagi ilmu lawannya itu akan menembus dan menghimpit dadanya, membakar jantungnya.
Dengan mengerahkan kemampuannya, tiba-tiba saja Kumuda itu melenting menyerang Sabungsari dengan pisau belatinya.
Sabungsari yang berada dalam puncak kemampuannya itupun merasa, bahwa perlahan-lahan ilmunya berhasil memecahkan perisai yang mengitari lawannya meskipun tidak kasat mata. Sabungsari yakin, bahwa sekejap kemudian ia akan dapat menembus tirai yang bagaikan berlapis-lapis yang menahan kemampuan ilmu lewat sorot matanya itu.
Namun sesaat Sabungsari menjadi bimbang ketika ia melihat lawannya meloncat dengan pisau terjulur kedadanya. Ia merasa bahwa kulitnya bukannya kulit yang kebal dari sentuhan senjata. Namun iapun yakin bahwa sekejap kemudian ia akan dapat meremas lawannya dengan tatapan matanya, karena ia sudah berhasil mengoyak ilmu yang membatasi serangannya lewat sorot matanya.
Sabungsari tidak mempunyai waktu banyak. Senjata itu meluncur seperti anak panah, mengarah kedadanya.
Namun akhirnya Sabungsari memutuskan untuk tidak bergerak. Tetapi iapun tidak melepaskan lawannya dari genggaman sorot matanya. Dengan mengerahkan kemampuan ilmunya, Sabungsari berusaha menghantam lawannya yang sedang meluncur menyerangnya dengan pisau belatinya.
Pada saat yang gawat, telah terjadi benturan serangan yang dahsyat pada kedua belah pihak. Serangan pisau belati yang sama sekali tidak dihindari itu benar-benar telah mengenai dada Sabungsari. Pisau itu menghunjam diatas tangan Sabungsari yang menyilang didada.
Namun, pada saat pisau itu menyentuh dada lawannya, ternyata bahwa Sabungsari telah berhasil memecahkan ilmu yang menahan sentuhan wadag sorot mata Sabungsari. Dengan demikian, maka pada saat pisau itu menyentuh dada lawannya, Kumuda berdesis menahan dadanya yang serasa retak.
Karena itu, maka kekuatan Kumuda tidak lagi mampu menekan pisau itu sampai kepusat jantung lawannya. Demikian pisau itu menembus kulit, maka Kumudapun harus segera nengelakkan diri dari remasan kekuatan sorot mata Sabungsari.
Sabungsari merasa dadanya terkoyak. Tetapi ia tidak mau melepaskan lawannya yang sudah mulai tersentuh oleh ilmunya. Karena itu, ketika Kumuda kemudian berusaha mengelak Sabungsari bertahan pada sikapnya tanpa melepaskan lawannya dari tatapan matanya.
Ternyata bahwa cengkaman ilmu Sabungsari benar-benar dahsyat. Rasa-rasanya dada Kumuda menjadi sesak dan nafasnyapun tersumbat dikerongkongan. Beberapa saat ia mencoba untuk berguling ketanah, namun yang dapat dilakukannya hanya sekedar menggeliat. Tatapan mata Sabungsari benar-benar telah menguasainya tanpa dapat dilawannya.
Rasa-rasanya langitpun kemudian runtuh menghimpit tubuhnya. Dan nafasnya telah tersumbat karenanya. Yang ada kemudian hanyalah kegelapan dan kepepatan.
Kumuda tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Sabungsari dengan tatapan matanya berhasil menghancurkan lawannya seperti ia menghancurkan sebongkah batu, meskipun dalam bentuk yang lain.
Namun ketika Kumuda tidak bergerak lagi, maka Sabungsaripun tidak mampu bertahan pula. Darahnya mengalir dari lukanya. Pada hentakan ilmunya, maka darah itu bagaikan diperas lewat lukanya.
Karena itu, ketika ia merasa bahwa ia sudah menyelesaikan lawannya, luka didadanya itu benar-benar telah mencemaskannya. Tubuhnya menjadi lemah sekali, sehingga ia tidak mampu bertahan untuk berdiri terlalu lama.
Dengan demikian, maka Sabungsaripun segera duduk ditanah. Dari kantung ikat pinggangnya ia mengambil serbuk obat yang selalu dibawanya. Dengan sisa tenaga yang ada padanya, maka ia mulai menaburkan obat itu pada lukanya, sehingga terasa, luka itu menjadi panas.
Namun dengan demikian Sabungsari mengerti, bahwa obat itu mulai bekerja pada lukanya dan perlahan-lahan menahan arus darahnya yang mengalir.
Tetapi agaknya darah sudah terlalu banyak keluar lewat lukanya. Karena itu, maka tubuh Sabungsari benar-benar menjadi sangat lemah. Bahkan kemudian matanyapun menjadi berkunang-kunang.
Ternyata Sabungsari tidak mampu bertahan duduk ditanah. Dengan lemahnya iapun kemudian membaringkan dirinya diatas rumput yang basah oleh embun malam. Bahkan rasa-rasanya kesadarannyapun mulai melambung. Namun adalah suatu keuntungan, bahwa luka-lukanya telah dipampatkan oleh obat yang telah ditaburkannya.
Agung Sedayu melihat segalanya yang terjadi. Tetapi ia tidak dapat berbuat apapun juga, karena lawannyapun menyerangnya seperti badai yang didorong oleh angin prahara menghantam tebing.
Betapa hatinya menjadi gelisah melihat keadaan Sabungsari. Meskipun Agung Sedayu melihat Sabungsari berhasil mengalahkan lawannya, namun keadaannya agaknya sangat mencemaskan.
Sementara itu, Glagah Putihpun telah menambah kegelisahannya pula. Meskipun Glagah Putih telah menempa diri tanpa mengenal lelah, tetapi lawannya adalah seorang prajurit yang berpengalaman. Karena itu, maka iapun mulai terdesak. Meskipun kadang-kadang Glagah Putih masih mampu menyerang lawannya, tetapi perlahan-lahan ia mulai dikuasai oleh kemampuan lawannya itu. Bahkan nampaknya lawannya benar-benar berusaha untuk menjatuhkannya, bahkan mungkin membunuhnya.
Sementara pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya, Rambitan yang melihat Kumuda tidak bergerak lagi, benar-benar telah sampai kepuncak kemarahannya. Tatapi ia masih tetap menguasai dirinya dalam kesadaran sepenuhnya, bahwa lawannya adalah orang yang luar biasa.
"Nasibnyalah yang malang," desis Rambitan didalam hati. Tetapi jika ia melihat Sabungsari berbaring diam, maka ia masih mempunyai sepercik kebanggaan. "Jika anak itupun mati, maka ternyata Kumuda benar-benar lebih dahsyat dari Carang Waja."
Dengan demikian, maka Rambitanpun membuat perhitungan yang lebih cermat menghadapi Agung Sedayu. Iapun mengerti bahwa Glagah Putih tidak akan dapat menang melawan prajurit pengikut Ki Pringgajaya itu, sementara Sabungsari sudah tidak berdaya lagi. Bahkan Rambitan berharap bahwa anak muda itu akan mati pula.
Karena itu, maka ia dapat memusatkan perlawanannya atas Agung Sedayu yang memiliki kemampuan raksasa.
Namun dalam pada itu, sekali-sekali Rambitan mengumpat pula didalam hatinya. Pengkhianatan Sabungsari benar-benar telah mengacaukan rencananya. Kebodohan Ki Pringgajaya dan prajurit itupun telah menjerumuskan Kumuda kedalam pelukan maut.
"Jika segalanya berjalan seperti rencana, betapapun tinggi ilmu Agung Sedayu, ia tidak akan dapat melawan aku dan Kumuda bersama-sama," berkata Rambitan didalam hatinya.
Namun segalanya sudah terjadi. Kumuda telah tidak berdaya, sementara ia harus berhadapan dengan Agung Sedayu.
Karena itu, tidak ada lagi yang ditunggunya. Ia harus dapat membinasakan lawannya secepat-sepatnya.
Tetapi yang terjadi adalah diluar kehendaknya. Betapapun juga ia menyerang dengan kecepatan yang tidak ada taranya. Agung Sedayu masih sempat menghindari. Meskipun kadang-kadang parangnya seolah-olah dapat mengurung lawannya, namun parang itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu yang mampu bergerak secepat lintasan sinar. Bahkan setiap kali ujung cambuknya yang berputar itu bagaikan perisai yang tidak akan dapat ditembusnya.
Sementara itu, Agung Sedayu justru menjadi semakin gelisah melihat keadaan Sabungsari dan Glagah Putih. Sabungsari berbaring diam tanpa bergerak sama sekali. Sementara Glagah Putih menjadi semakin terdespk oleh lawannya yang jauh lebih berpengalaman.
"Apakah Sabungsari mati " " pertanyaan itu mulai mengusik dadanya.
Karena itulah, maka akhirnya Agung Sedayu harus mengambil sikap yang lebih mantap. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi, karena lawannya adalah benar-benar seorang yang pilih tanding. Bahkan, jika ia pada suatu saat melakukan kesalahan, maka ia sendirilah yang akan mengalami bencana. Bahkan adik sepupunya dan Sabungsari yang sudah tidak berdaya.
Dengan demikian, maka akhirnya Agung Sedayu mengambil suatu sikap yang lebih keras. Ia harus menguasai lawannya dan mengalahkannya.
Sejenak kemudian, maka ujung cambuk Agung Sedayu itupun bergetar semakin cepat. Meskipun ledakkannya tidak memecahkan selaput telinga, namun sentuhan ujung cambuk itu masih mampu menyobek kulit.
Sentuhan-sentuhan pertama dari ujung cambuk Agung Sedayu membuat Rambitan benar-benar terkejut. Ia melihat ujung cambuk itu bagaikan melenting. Namun ia merasa dirinya telah menghindar. Adalah diluar dugaannya bahwa ujung cambuk itu mampu mengejarnya dan mematuk kakinya.
Ujung cambuk itu benar-benar telah menggoreskan luka. Darah mulai mengalir dari tubuh Rambitan. Namun dengan demikian kemarahannya tidak lagi dapat dikendalikan.
Sejenak kemudian Rambitan justru menyarungkan parangnya. Beberapa langkah ia meloncat surut.
Sikapnya telah membuat Agung Sedayu termangu-mangu. Namun ia tidak meninggalkan kewaspadaan. Meskipun ia tidak memburu, namun ia telah mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.
"Apakah orang ini memiliki ilmu seperti Carang Waja," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "atau sejenis ilmu yang lain, yang akan dapat mempengaruhi perasaan dan nalarku."
Tetapi Agung Sedayu tidak perlu meraba-raba lebih lama lagi. Pandangan matanya yang tajam melihat, gerak tangan Rambitan yang mendebarkan.
Sekejap kemudian. Agung Sedayu melihat tangan itu bergerak. Seperti ujung petir yang menyambar, Agung Sedayu melihat sekilas putaran cakram bergerigi menyambar keningnya.
Namun Agung Sedayu cukup tangkas. Ia sempat memiringkan kepalanya, meskipun debar jantungnya bagaikan menjadi semakin cepat. Cakram bergerigi yang tidak begitu besar itu hampir saja memecahkan tulang keningnya dan sekaligus dapat membunuhnya.
Tetapi Agung Sedayu harus meloncat sekali lagi ketika cakram yang sama meluncur kedadanya. Hanya karena kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal lawannya sajalah. Agung Sedayu sempat menghindarkan dirinya.
"Gila," geram Rambitan, "apakah anak ini kerasukan iblis yang mampu melenting seperti bilalang, atau apakah ia memang anak iblis itu sendiri."
Rambitan menggeram ketika ia melihat Agung Sedayu kemudian berdiri tegak dengan cambuk ditangannya. Namun dalam pada itu, ditangan Rambitan telah tergenggam cakram bergerigi yang akan mampu membelah dadanya. Setiap saat cakram itu akan dapat dilontarkannya dan menghunjam jauh kedalam dagingnya.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar menghadapi senjata lawannya. Dengan demikian, maka ia harus berbuat sesuatu agar ia tidak sekedar menjadi sasaran lontaran senjata lawannya, karena dengan demikian maka ia akan selalu berada didalam keadaan yang gawat, sementara lawannya akan dapat mempergunakan waktu dan kesempatan yang ditentukannya sendiri.
"Tentu tidak menyenangkan," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Karena itu, maka ia harus segera mengambil sikap.
Selagi Agung Sedayu menimbang-nimbang, maka Rambitan telah bersiap untuk melontarkan cakramnya pula. Dengan penuh dendam dan kebencian ia mengerahkan tenaga dan kemampuannya lewat lontaran cakramnya. Tangannya yang gemetar adalah pertanda kemarahannya yang tidak tertahankan.
Agung Sedayu tidak boleh lengah. Ia selalu memandang tangan lawannya. Dari tangan itu akan dapat meluncur maut yang dapat menjemputnya setiap saat.
* * * * Buku 128 DADA Agung Sedayu berdebar ketika ia melihat tangan itu bergerak. Seperti yang diduganya, sebuah cakram telah meluncur mengarah ke keningnya. Karena itu, maka dengan tangkasnya pula, ia menggerakkan cambuknya tepat menghantam cakram yang meluncur kearahnya, sehingga cakram itu terlempar kesamping.
Tetapi sekejap kemudian cakram berikutnya telah menyusul. Agung Sedayu masih sempat menghantam cakram itu dengan ujung cambuknya. Namun ketika cakram yang ketiga meluncur pula, maka yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu adalah meloncat menghindar.
"Gila," akhirnya Agung Sedayu menggeram. Ia tidak mempunyai kesempatan meloncat mendekat sambil menghentakkan cambuknya. Cakram itu dapat mematuknya setiap saat. Semakin dekat, semakin berbahaya, karena kesempatan untuk menghindar dan menangkis menjadi semakin pendek.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia melihat betapa Sabungsari telah membunuh lawannya dengan sorot matanya. Sejenak ia mulai digelitik oleh niatnya untuk merampungkan pertempuran itu dengan cara yang sama, seperti yang dilakukan oleh Sabungsari.
Namun Agung Sedayu masih ragu-ragu. Ia masih ingin menemukan cara yang lain sehingga cara itu tidak perlu dipergunakan. Meskipun ia menjadi gelisah pula karena keadaan Glagah Putih, namun ia masih mencoba cara lain untuk melawan cakram yang setiap datang meluncur menyambarnya.
"Ia membawa cakram dalam jumlah tidak terbatas," berkata Agung Sedayu didalam hati. Namun kemudian, "tetapi di jalan inipun berserakkan batu yang jumlahnya tidak terbatas pula."
Karena itu, maka ketika sebuah cakram lagi meluncur menyambarnya, maka Agung Sedayu telah meloncat menghindar sambil merendahkan diri. Namun dalam pada itu, tangannya telah menggenggam sebutir batu pula, sebesar telur ayam.
Sejenak Agung Sedayu menunggu. Ketika ia melihat sebuah cakram lagi menyambarnya, maka ia pun segera meloncat menghindar. Cambuknya berada ditangan kirinya, sementara tiba-tiba saja dari tangan kanannya telah meluncur sebuah batu sebesar telur ayam.
Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Ia mampu membidik sebuah batu yang meluncur diudara. Ia bahkan dapat mengenai anak panah dengan anak panah selagi anak panah itu terblang meladang diudara.
Tetapi sasaran Agung Sedayu saat itu bukannya benda mati. Tetapi seorang yang memiliki ilmu dan kemampuan bergerak yang luar biasa. Sehingga dengan demikian, betapapun lawannya terkejut karena tiba-tiba saja mendapat serangan dengan sebuah lontaran seperti ia melontarkan cakramnya, namun ia masih juga mampu meloncat menghindarinya.
Namun dalam pada itu, serangan Agung Sedayu itu ternyata telah mempengaruhi serangan lawannya. Ia kemudian harus berhati-hati, karena Agung Sedayu berusaha mengimbanginya dengan serangan dari jarak yang jauh dengan lemparan-lemparan batu.
Dalam pada itu, selagi lawan Agung Sedayu meloncat menghindar, ternyata Agung Sedayu sempat memungut dua buah batu yang siap pula dilemparkannya. Bahkan meskipun dengan berdebar-debar, Agung Sedayu ingin mencoba, apakah senjata lawannya benar-benar senjata yang dahsyat seperti bentuknya.
Karena itu, ketika Agung Sedayu melihat dalam kilatan cahaya bintang-bintang dilangit, cakram berikutnya meluncur menyerangnya, Agung Sedayu mencoba mengerahkan kemampuan bidiknya untuk menghantam cakram itu dengan sebuah batu yang dipungutnya.
Yang terjadi adalah sebuah benturan yang dahsyat. Ternyata keduanya memiliki kekuatan raksasa. Batu Agung Sedayu berhasil menghantam cakram lawannya yang meluncur bagaikan kilat. Hanya dengan kemampuan yang tidak ada taranya, Agung Sedayu dapat melakukannya. Ketajaman tatapan matanya, yang dapat menangkap kilatan cakram yang meluncur dimalam hari. dan kemampuan bidiknya yang seolah-olah menjadi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya segala ilmu yang ada padanya.
Tetapi ternyata bahwa cakram itu benar-benar terbuat dari besi baja pilihan. Meskipun cakram itu hanya kecil saja, namun dalam benturan yang terjadi, telah terpercik bunga api diudara. Batu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu ternyata menjadi pecah berhamburan menjadi debu.
Jantung Agung Sedayu berdetak semakin cepat. Jika cakram itu mengenai dadanya, maka segenap tulang belulangnya akan rontok dan cakram itu akan dapat menembus sampai kepunggung.
Karena itu, maka iapun telah melawan lontaran dengan lontaran. Meskipun batu-batu yang dipungutnya disepanjang jalan itu tidak memiliki kedahsyatan seperti gerigi cakram itu, namun jika ia berhasil mencapai lawannya, maka batu itupun akan mampu menyakitinya.
Tetapi ternyata bahwa yang terjadi adalah pertempuran yang seolah-olah tidak ada ujung pangkalnya. Keduanya mampu melemparkan serangan yang dahsyat, tetapi keduanyapun mampu meloncat menghindar. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu seolah-olah tidak akan dapat berakhir. Sementara Glagah Putih telah menjadi semakin sulit menghadapi prajurit yang menyerangnya dengan semakin kasar. Pengalamannya yang cukup telah membuat Glagah Putih semakin lama semakin mengalami kesulitan.
"Aku harus menemukan cara yang lebih baik," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, ia tidak dapat membiarkan dirinya terlibat dalam pertempuran tanpa akhir. Namun dengan demikian, Glagah Putih akan dapat mengalami bencana yang benar-benar gawat.
Agung Sedayu melihat akhir dari pertempuran antara Sabungsari dan lawannya, ia melihat Sabungsari masih terbaring diatas rerumputan tanpa mengetahui dengan pasti, apakah anak muda itu masih hidup atau sudah mati. Dan Agung Sedayupun mengerti, bahwa dalam tahap terakhir dari lontaran ilmunya lewat sorot matanya, Sabungsari telah dengan sengaja tidak menghindari serangan lawannya. Karena itu, meskipun ia berhasil melumpuhkan lawannya, tetapi ia sendiri mengalami keadaan yang gawat.
Luka-lukanya dalam pertempuran melawan Carang Waja baru saja sembuh. Kini ia sudah mengalaminya sekali lagi yang mungkin tidak kalah gawatnya dengan luka-luka yang dideritanya ketika ia bertempur melawan Carang Waja, atau bahkan nyawanya telah meninggalkan tubuhnya.
Agaknya Agung Sedayu dapat mengambil arti dari peristiwa itu. Karena itu, maka iapun telah mencari cara yang sebaik-baiknya untuk segera dapat mengalahkan lawannya.
Sementara pertempuran itu masih berlangsung pada jarak yang panjang, dengan saling melontarkan senjatanya, maka Agung Sedayu telah bertekad untuk melakukan sesuatu yang dapat merubah dan mempercepat akhir dari pertempuran itu.
Agung Sedayu mula-mula ingin membiarkan lawannya bertempur sampai senjatanya yang terakhir. Namun ternyata bahwa senjata orang itu agaknya tidak akan habis-habisnya. Apalagi nampaknya lawannya memiliki perhitungan yang cermat, sehingga ia tidak menghambur-hamburkan senjatanya lanpa dasar pertimbangan sikap lawannya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun segera melakukan rencananya. Ketika senjata lawannya menyambarnya, maka iapun menjatuhkan dirinya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah mengambil tidak hanya dua butir batu. Tetapi lebih banyak lagi. Ditangan kirinya yang menggenggam cambuk, Agung Sedayu menggenggam pula dua butir batu. Ditangan kanannya dua butir.
Demikian ia melenting berdiri, maka iapun telah melempar lawannya dengan empat butir batu berurutan.
Betapapun lawannya mampu meloncat dengan cepat, tetapi ternyata bahwa tidak semua batu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu dapat dihindarinya. Apalagi dalam kesempatan yang pendek itu, lawannya tidak sempat pula melontarkan senjatanya.
Rambitan berhasil menghindari dua batu yang datang berurutan. Tetapi demikian kakinya menjejak tanah selagi ia menghindari batu yang kedua, maka batu yang ketiga telah menyambar pundaknya. Selagi orang itu menyeringai menahan sakit, maka batu berikutnya telah menyusul menyambar kening.
Orang itu menjadi sangat marah. Sambil menggeram ia meloncat tegak diatas kedua kakinya menghadap Agung Sedayu. Tangannya sudah siap memungut senjatanya pada kampil kulit yang tergantung dilambung. Ternyata lontaran kekuatan Agung Sedayu telah berhasil menembus daya tahannya dan menyakitinya. Tulang pundaknya bagaikan retak, sementara keningnya rasa-rasanya telah membengkak. Namun perasaan sakit itu sama sekali tidak mempengaruhi kemampuannya bertempur betapapun sengitnya.
Tetapi ternyata Agung Sedayu telah mempergunakan cara yang lain untuk menghadapi lawannya. Ia tidak lagi melemparkan batu-batu menghantam tubuh lawannya. Namun ia telah berdiri tegak dengan tatapan mata yang langsung dapat menghantam lawan.
Berdasarkan pengamatannya yang telah menjerat Sabungsari dalam kesulitan, maka Agung Sedayu benar-benar telah memperhitungkan segalanya yang bakal terjadi. Demikian lawannya merasa sentuhan wadag dari tatapan mata Agung Sedayu, maka iapun segera bersikap pula. Ia harus segera melontarkan cakramnya untuk memecahkan pemusatan ilmu Agung Sedayu yang mengerikan itu.
Namun yang dilakukan Agung Sedayu ternyata lebih cepat. Demikian tangan orang itu memungut cakram didalam kampil kecil yang tergantung dilambung, maka serangan yang memancar dari tatapan mata Agung Sedayu itu telah langsung mencengkam dan meremas tangan lawannya.
Yang terdengar adalah keluh tertahan. Rambitan merasa tangannya bagaikan telah diremukkan oleh himpitan besi baja sebesar lesung. Rasa-rasanya tulang belulangnya menjadi lumat dan sama sekali tidak berdaya.
Rambitan mengumpat dengan kasarnya. Ia memiliki daya tahan yang luar biasa. Tetapi ternyata tatapan mata Agung Sedayu dengan serta merta telah dapat langsung mengenainya, menembus perisai yang telah ditebarkan diseputarnya meskipun tidak kasat mata.
Ternyata kemampuan ilmu Agung Sedayu telah jauh melampaui kemampuan ilmu Sabungsari. Meskipun yang ditekuni dari makna kitab Ki Waskita barulah pada tingkat permulaan, namun karena dasar yang memang sudah ada pada dirinya, ternyata sorot mata Agung Sedayu memiliki kemampuan yang sulit diimbangi.
Dalam pada itu, Rambitanpun mencoba untuk memusatkan segenap kemampuannya pada daya tahannya. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu yang sesaat melepaskan serangannya itu, ingin melihat akibat yang terjadi pada dirinya. Namun dalam pada itu, yang tidak disangka oleh Agung Sedayu, bahwa Rambitan mampu juga mempergunakan tangan kirinya.
Bukan saja sebilah cakram kecil, tetapi Rambitan telah dengan cepat menarik dan dengan sekuat tenaganya melontarkan parangnya langsung mengarah kedada anak muda itu.
Agung Sedayu benar-benar terkejut. Ia berusaha untuk bergeser sambil melecut parang itu dengan tangan kirinya. Namun ternyata parang itu meskipun telah bergeser arah, tetapi ujungnya masih menyentuh lengan Agung Sedayu.
Terdengar Agung Sedayu menyeringai menahan sakit. Namun iapun segera menyadari kedudukannya. Kembali ia berdiri tegak tanpa menghiraukan tangannya. Kembali ia melontarkan ilmunya, tidak lagi pada tangan kanan lawannya, tetapi tangan kirinya yang sedang menggapai cakram dikampilnya.
Sekali lagi lawannya memekik tertahan. Lengannya yang sebelahpun rasa-rasanya telah remuk pula oleh cengkaman tanggem baja yang menghimpit tanpa dapat dihindari.
Dalam pada itu, jantung Rambitan rasa-rasanya akan pecah oleh dentang didadanya. Kedua tangannya telah menjadi lumpuh.
Sementara itu, Agung Sedayu berdiri tegak beberapa langkah dihadapan Rambitan yang seolah-olah sudah tidak berdaya lagi. Kedua tangannya tidak dapat dipergunakannya lagi untuk melepaskan cakramnya. Sementara Agung Sedayu dengan sekehendak hatinya akan dapat menyerang dan menghancurkannya. Agung Sedayu akan dapat melecutkan cambuknya tanpa dapat dilawan. Ia akan dapat melukainya berlipat sepuluh kali dari luka yang telah menggores tubuhnya. Agung Sedayupun dapat memungut beberapa buah batu dan melemparkan ketubuhnya tanpa dapat dihindarinya. Atau Agung Sedayu akan dapat meremas dadanya dengan tatapan matanya sampai lumat.
Dalam pada itu, Rambitan berdiri tegak dengan kedua tangannya yang tergantung dengan lemahnya tanpa dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat pasrah, dengan cara apa Agung Sedayu akan membunuhnya.
Sementara itu, prajurit yang bertempur dengan Glagah Putih melihat, bahwa kedua orang yang bertempur melawan Agung Sedayu dan Sabungsari agaknya tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Bagaimanapun juga, maka ia mulai memikirkan nasibnya sendiri. Jika ia masih tetap berkelahi melawan Glagah Putih, sementara Agung Sedayu berhasil memenangkan perkelahian itu, maka Agung Sedayu akan menempatkan diri menjadi lawannya. Itu berarti satu bencana yang tidak akan dapat dihindarinya lagi.
Dengan demikian, maka tidak ada jalan lain yang dapat dipilihnya kecuali melarikan diri dari arena. Meskipun ia dapat menguasai lawannya yang masih sangat muda itu pada suatu saat, namun adalah mengerikan sekali jika ia harus melawan Agung Sedayu yang seolah-olah memiliki seribu jenis ilmu bertimbun didalam dirinya.
Karena itu, selagi ia masih sempat, maka dengan perhitungan yang cermat, iapun mendesak lawannya. Namun dengan cepat ia telah meloncat berlari menghilang diantara gerumbul-gerumbul perdu.
Glagah Putih terkejut melihat sikap lawannya. Ia sudah merasa bahwa ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama lagi. Namun tiba-tiba saja lawannya telah berlari meninggalkannya.
Agung Sedayu yang berdiri tegak dihadapan lawannya yang sudah tidak berdaya itupun sempat melihat lawan Glagah Putih yang melarikan diri. Iapun melihat Glagah Putih yang termangu-mangu sejenak. Namun ketika Glagah Putih siap meloncat untuk mengejarnya. Agung Sedayu berkata, "Jangan Glagah Putih."
Glagah Putih tertegun. Dengan ragu-ragu la memandang Agung Sedayu yang berdiri tegak ditempatnya.
"Kau tidak tahu, apakah yang ada dibalik gerumbul-gerumbul perdu itu," desis Agung Sedayu kemudian.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia menyadari, jika ada beberapa orang bersembunyi dibalik pohon perdu itu, maka ia akan terjebak kedalam kesulitan.
"Tetapi jika ada orang lain. kenapa mereka tidak menampakkan dirinya," pertanyaan itu mulai mengganggu Glagah Putih. Tetapi ia tidak sempat bertanya, sementara Agung Sedayu telah melangkah mendekati lawannya yang sudah tidak berdaya.
Rambitan berdiri tegang memandang lawannya yang selangkah demi selangkah mendekatinya, Ditangan Agung Sedayu masih tergenggam cambuknya yang dapat meledak. Sementara matanya yang dapat mencengkam tubuhnya melampaui cengkaman wadagnya, masih tetap memandanginya dengan tajamnya, meskipun dari sorot mata itu tidak lagi melontar ilmu anak muda yang dahsyat itu.
Yang dapat dilakukan oleh Rambitan adalah menunggu, ujung cambuk lawannya akan dapat menyobek kulitnya arang kranjang. Tubuhnya tentu tidak akan berbentuk lagi. Jika ia terkapar dan ditinggalkan dipinggir jalan itu, maka jika ada orang yang menemukan tubuhnya, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mengenalnya.
"Tetapi itu lebih baik," berkata Rambitan didalam hatinya, "adalah merupakan suatu hinaan bagi perguruan Elang Hitam, jika salah seorang muridnya yang terpercaya terkapar mati dengan luka arang kranjang."
Namun Rambitan menjadi heran ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata, "Ki Sanak. Marilah kita mencari jalan lain daripada memilih cara yang tidak menyenangkan. Kau akan tetap hidup untuk menghadap kakang Untara. Mungkin beberapa masalah yang kabur akan dapat dijelaskan."
Rambitan tidak menjawab. Ketika ia berpaling memandang saudara seperguruannya, maka dilihatnya orang itu tidak bergerak lagi.
"Kita dapat melihat mereka," berkata Agung Sedayu, "akupun ingin mengetahui keadaan Sabungsari. Karena itu, ambillah keputusan, bahwa cara yang liar ini sebaiknya tidak kita pergunakan."
Rambitan benar-benar tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Agung Sedayu itu tinggal meledakkan cambuknya menyayat tubuhnya yang sudah tidak berdaya melawannya. Kedua tangannya telah lumpuh karena tulang-tulangnya rasa-rasanya telah remuk. Sementara ia tidak akan sempat lagi melarikan diri meskipun kakinya masih utuh, karena dengan sorot matanya Agung Sedayu tentu akan dapat menangkapnya dan meremukkan tulang-tulang belakangnya.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba Agung Sedayu telah menunjukkan sikap yang tidak dimengertinya. Ia tidak berusaha membunuhnya dengan penuh kemarahan dan kebencian.
Tetapi akhirnya Rambitanpun mengetahui, bahwa jika ia masih tetap hidup, maka ia akan menjadi sumber keterangan tentang usaha pembunuhan itu. Ia akan dapat diperas dengan berbagai macam cara untuk mengungkap rencana yang keji itu.
Rambitan menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mempunyai pilihan lain. Katanya didalam hati, "Apaboleh buat. Aku hanya sekedar diupah. Aku tidak tahu persoalan apapun juga yang ada diantara mereka."
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana pendapatmu Ki Sanak," bertanya Agung Sedayu, "sementara kita masing-masing akan dapat melihat, apakah saudara seperguruanmu atau sadaramu atau siapapun juga yang datang bersamamu itu masih mungkin ditolong. Akupun akan melihat Sabungsari yang terbaring diam itu."
Rambitan tidak menjawab. Ia masih berdiri tegak. Sementara kedua tangannya seolah-olah tidak dapat digerakkannya lagi.
Dalam pada itu, Glagah Putih tidak sabar lagi menunggu. Ketika ia sadar akan keadaan Sabungsari, maka iapun berlari-lari mendekatinya. Ketika ia berjongkok disamping prajurit muda itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam karena ia melihat Sabungsari tersenyum sambil berkata lirih, "Aku tidak apa-apa Glagah Putih."
"Tetapi kau terluka," desis Glagah Putih.
"Ya," jawab Sabungsari, "aku menjadi lemah sekali. Tetapi lukaku sudah pampat. Aku masih harus berdiam diri untuk beberapa saat, karena kepalaku menjadi pening, dan agar darahku benar-benar menjadi pampat. Tubuhku memang menjadi sangat lemah. Namun mudah-mudahan tidak terlalu gawat."
Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian duduk disamping Sabungsari yang masih terbaring.
"Bagaimana dengan Agung Sedayu ?" bertanya Sabungsari, "ia benar-benar seorang yang mampu berpikir dengan terang dalam keadaan apapun juga. Terhadap lawannya itupun ia agaknya masih dapat memaafkan."
"Ya," jawab Glagah Putih, "meskipun kakang Agung Sedayu juga terluka."
Sabungsari terdiam. Ia mendengar segala percakapan Agung Sedayu dengan Rambitan. Tetapi ia masih belum berani mengangkat kepalanya atau bangkit berdiri mendekat, karena ia masih ingin memampatkan darahnya sama sekali.
Dalam pada itu. Agung Sedayu bertanya sekali lagi," jawablah. Kita harus segera dapat mengambil keputusan."
Rambitan yang termangu-mangu itupun kemudian menjawab, "Aku sudah tidak berdaya Agung Sedayu. Terserah kepadamu. Apakah kau akan membunuh aku, atau kau akan berbuat lain."
"Aku tidak ingin membunuhmu," sahut Agung Sedayu.
"Tetapi itu sama sekali bukan satu keluhuran budi dan sikap," tiba-tiba saja Rambitan menggeram, "jika kau tidak membunuhku, maka justru kau telah menyiksa aku. Aku tahu, bahwa kau dan Untara akan dapat memeras keterangan dari mulutku dengan cara yang paling keji sekalipun. Tetapi aku sudah berniat, agar kau tidak perlu berbuat demikian. Aku akan berkata apa saja yang aku ketahui. Mungkin setelah itu, kau atau Untara akan membunuhku pula."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau terlalu berprasangka. Tetapi baiklah. Apapun yang kau duga, kau akan melihat suatu kenyataan. Jika kau benar-benar sudah menyerah, kita akan pergi ke Jati Anom."
Rambitan tidak menjawab. Ia sudah tidak berdaya sama sekali. Seandainya Glagah Putih yang kemudian memegang cambuk Agung Sedayu, maka anak itupun akan mampu membunuhnya, karena ia hanya dapat meloncat-loncat dengan kakinya tanpa berbuat sesuatu dengan tangannya.
Namun dalam pada itu, dengan tatapan mata yang sangat tajam. Agung Sedayu melihat bayangan yang bergerak beberapa langkah dibelakang Rambitan. Meskipun tidak begitu jelas, dalam keremangan malam Agung Sedayu sempat melihat orang itu menarik busurnya sambil membidiknya.
Sejenak Agung Sedayu menjadi tegang. Namun dengan demikian diluar sadarnya Agung Sedayu telah meningkatkan kemampuan penglihatannya. Seolah-olah ia melihat semakin jelas, seseorang yang melepaskan anak panah kearahnya.
Ketika pendengarannya yang meningkat pula mendengar desing anak panah yang meluncur, maka Agung Sedayupun telah meloncat kesamping, sehingga anak panah yang mengarah kedadanya itu dapat dihindarinya.
Tetapi ternyata anak panah yang keduapun telah meluncur pula. Hampir saja menyambar kening. Karena itu, maka Agung Sedayu harus meloncat pula dengan sigapnya. Ketika anak panah ketiga meluncur, maka iapun harus berguling sekali untuk menghindarinya.
Dalam pada itu, ia masih sempat berkata, "Glagah Putih, hati-hati."
Glagah Putihpun segera berbaring diantara rerumputan dan tanah yang tidak datar, sehingga kemungkinan untuk dikenalnya menjadi semakin sempit.
Namun dalam pada itu, Sabungsari sama sekali tidak mampu bergerak. Seandainya orang berpanah itu membidiknya, maka ia hanya dapat pasrah kepada nasibnya. Jika orang itu benar-benar memiliki kemampuan bidik yang cukup, maka orang itu akan dapat membunuhnya dari jarak beberapa langkah.
Sementara itu. Agung Sedayu mulai berbuat sesuatu agar ia tidak sekedar menjadi sasaran. Ketika anak panah berikutnya meluncur kearahnya. Agung Sedayu tidak berusaha untuk meloncat menghindar, tetapi ia telah menangkisnya dengan memukul anak panah itu dengan cambuknya.
Ledakkan cambuk yang tidak terlalu keras itu ternyata telah mengganggu orang yang menyerangnya dari jarak jauh itu. Bahkan, tiba-tiba saja orang itu telah mengambil satu sikap yang mengejutkan.
Rambitan yang memandang saja dengan sedikit harapan, bahwa akan ada orang yang membebaskannya, melihat betapa Agung Sedayu harus berloncatan menghindar. Namun agaknya Agung Sedayu telah siap untuk mendekati orang berpanah itu dengan perisai cambuknya.
Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan. Rambitan tiba-tiba saja berdesah tertahan. Perlahan-lahan ia bergeser dan terhuyung-huyung. Sementara itu, orang berpanah itupun telah menghilang kedalam gerumbul.
Agung Sedayu melihat dan mengerti apa yang telah terjadi. Rambitan telah sengaja dibunuh oleh orang itu untuk menghilangkan jejak, setelah orang itu gagal membebaskannya, karena ia tidak dapat mengenai Agung Sedayu. Namun dengan demikian. Agung Sedayu yang kehilangan itu menjadi marah. Betapapun juga keragu-raguan menghambat keputusannya, namun seolah-olah dengan gerak naluriah, ia telah menghentakkan kekuatan sorot matanya. Dengan cepat ia menyerang langsung menusuk kedalam gerumbul yang masih bergoyang dengan sorot matanya.
Dedaunan perdu didalam gerumbul itu bagaikan diremas. Namun sementara itu terdengar pekik meninggi. Pekik yang seakan-akan telah membangunkan Agung Sedayu sehingga ia menyadari, apa yang telah dilakukannya.
Sementara Agung Sedayu membeku ditempatnya. Glagah Putih yang melihat bahwa orang berpanah itu telah meninggalkan tempat itu, segera meloncat berdiri. Ia masih melihat Rambitan terhuyung-huyung. Dan iapun masih mendengar orang memekik tinggi dibalik gerumbul.
Ternyata bahwa kemampuan ilmu Agung Sedayu yang memancar lewat sorot matanya, telah menyusup diantara dedaunan dan ranting-ranting gerumbul perdu, sementara dedaunan dan ranting-ranting perdu itu sendiri yang langsung tersentuh sorot mata Agung Sedayu telah menjadi lumat.
Baru sejenak kemudian Agung Sedayu meloncat berlari kebalik gerumbul yang hancur lumat itu. Dengan jantung yang berdebaran, ia melihat sesosok tubuh terbaring diam. Ditangannya masih tergenggam sebuah busur dan dilambungnya tergantung sebuah endong tempat anak panah.
Dengan jantung berdebar-debar Agung Sedayu berjongkok disamping tubuh yang terbujur itu. Perlahan-lahan ia menempelkan telinganya kedadanya. Namun ternyata dada itu sudah tidak berdetak lagi.
"Ia sudah mati," desisnya.
Glagah Putih yang menyusulnya berdiri termangu-mangu dibelakangnya. Ia mendengar Agung Sedayu berdesis. Karena itu, ia bertanya, "Kenapa orang itu mati ?"
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Secercah penyesalan melonjak dihatinya. Tidak ada niatnya untuk membunuh. Bahkan seakan-akan tanpa disengaja ia telah melontarkan ilmunya lewat tatapan matanya. Yang terjadi demikian cepatnya, sehingga kesempatan untuk berpikir baginya terlalu sempit. Apalagi untuk mempertimbangkan akibat yang bakal terjadi. Bahkan Agung Sedayupun masih harus menilai kemampuannya sendiri, yang seakan-akan telah meningkat diluar pengamatannya sendiri.
Baru beberapa bab dari isi kitab Ki Waskita yang mulai didalami maknanya. Namun karena pilihan yang tepat dan kemampuannya untuk mengetrapkan pada landasan yang mapan, maka ternyata bahwa ilmu yang ada pada dirinya itu telah meningkat.
"Tetapi agaknya orang ini hampir tidak mempunyai daya tahan yang dapat melindungi dirinya serba sedikit. Agaknya ia bukan seorang yang setingkat dengan kedua orang dari Gunung Kendeng itu," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Glagah Putih yang berjongkok pula disamping Agung Sedayu memandang orang itu dengan tegang. Orang itu mati tanpa luka yang nampak pada tubuhnya. Tiba-tiba saja seolah-olah gerumbul itu telah diremas oleh angin prahara yang tidak kasat mata. Dan orang itu telah menjadi korbannya pula.
"Apakah gerumbul ini disambar petir " " tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya.
Agung Sedayu berpaling sejenak. Katanya, "Agaknya orang ini harus mengalaminya. Apapun sebabnya, tetapi ia kami dapatkan telah mati disini."
"Bagaimana dengan lawan kakang Agung Sedayu ?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun beringsut pula. Kemudian iapun bangkit dan berjalan menuju ke tempat Rambitan yang terbaring menelungkup. Sebatang anak panah menghunjam dalam ditubuhnya. Agaknya ujung anak panah itu telah menyentuh bagian dalam tubuhnya yang menentukan, sehingga Rambitan ternyata telah tidak bernafas lagi.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika Glagah Putih berjongkok disisinya, maka Agung Sedayu itupun berkata, "Telah terjadi tiga kematian. Dua orang murid dari Gunung Kendeng, dan seorang yang tidak dikenal. Tetapi sudah pasti, bahwa orang ini adalah pengikut orang yang mengupah kedua murid Gunung Kendeng ini."
"Kenapa mereka kakang ?" bertanya Glagah Putih pula.
"Bukankah dengan demikian jalur hubungan antara orang yang mengupah dan orang yang diupah telah terputus ?" berkata Agung Sedayu.
"Tetapi kita sudah mengetahui, bahwa yang memerintahkan kedua orang itu melakukan pencegatan ini adalah Ki Pringgajaya," desis Glagah Putih.
"Siapakah yang dapat membuktikannya " Jika aku atau kau atau Sabungsari mengatakannya, bahwa kedua orang yang terbunuh ini adalah atas perintah Ki Pringgajaya, maka kita akan dapat dituduh memberikan kesaksian palsu."
"Tetapi bukankah kenyataannya demikian " " desak Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat memberikan penjelasan sehingga dapat memberikan kepuasan bagi Glagah Putih. Ia tidak dapat mengatakan, bahwa kita sering menjumpai kenyataan yang tidak dapat dibuktikan. Bahkan kita kadang-kadang tidak dapat meyakinkan orang lain bahwa satu kebenaran adalah kebenaran.
"Glagah Putih," berkata Agung Sedayu kemudian, "kita akan mencoba mengatakan kenyataan ini kepada kakang Untara. Tetapi bagaimana dengan Sabungsari ?"
"Ia masih tersenyum ketika aku mendekatinya. Ia terluka, tetapi aku tidak tahu, apakah luka itu berbahaya baginya."
Agung Sedayupun kemudian meninggalkan Rambitan dan dengan tergesa-gesa mendekati Sabungsari yang masih saja tersenyum melihat kedatangan Agung Sedayu.
"Bagaimana dengan kau Sabungsari ?" bertanya Agung Sedayu.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Agaknya lukaku sudah mulai pampat. Aku sudah dapat bangkit dan duduk."
"Tunggu," desis Agung Sedayu, "jangan tergesa-gesa."
"Aku sudah mengobatinya. Mudah-mudahan luka itu tidak akan berdarah lagi."
"Jika kau terlalu banyak bergerak, maka luka itu akan berdarah lagi. Karena itu, berbaring sajalah beberapa saat. Sementara aku akan mengurus tiga sosok mayat yang berserakkan."
"Tiga ?" bertanya Sabungsari, "jadi orang yang melepaskan anak panah itu kau bunuh juga?"
"Bukan maksudku. Aku hanya ingin menghentikannya. Tetapi ternyata ia telah mati." desah Agung Sedayu.
"Kenapa ia mati" " sekali lagi Glagah Putih bertanya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Katanya kepada Sabungsari, "berbaringlah barang sejenak. Aku akan mengumpulkan mayat itu. Kita akan pergi ke Jati Anom, menghadap kakang Untara. Ketiga sosok mayat itu akan menjadi salah satu bukti bahwa telah terjadi sesuatu pada kita disini."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Ya. Mungkin Ki Untara meragukan keterangan kita. Tetapi kita harus mengatakannya."
"Tetapi bagaimana dengan kedudukanmu, Sabungsari. Tentu ada persoalan didalam tataran keprajuritan. Mungkin kau dianggap berbuat kesalahan. Atau mungkin kau akan mengalami kesulitan, karena Ki Pringgajaya yang memiliki pengaruh dan kedudukan itu menganggap bahwa kau adalah salah seorang penghalang dari rencananya. Apalagi kau dengan sengaja telah menyilang dan memotong usahanya kali ini," berkata Agung Sedayu.
"Aku mengerti Agung Sedayu. Tetapi aku memang sudah menentukan sikap. Apapun yang akan terjadi, aku tidak akan surut," jawab Sabungsari.
"Tetapi mungkin sekali hal ini akan mengancam keselamatanmu," sambung Agung Sedayu.
"Aku sadar. Tetapi aku akan menghadapi segala akibat dari sikapku ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekerasan hati Sabungsari. Namun sejak ia mengenal Sabungsari, ia menganggap bahwa anak muda itu benar-benar seorang laki-laki yang bersikap jantan. Seperti saat ia menghadapi kekalahan, maka iapun bertekad menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi atasnya, karena ia sudah menentukan sikap.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu bangkit sambil berkata, "Biarlah kau berbaring sejenak. Aku akan menyingkirkan mayat itu, agar tidak diketemukan oleh orang yang kebetulan lewat atau para petani yang pergi kesawah. Sementara itu, keadaanmu akan menjadi semakin baik."
Sabungsari tidak mencegahnya. Dibiarkannya Agung Sedayu pergi sambil berkata, "Tunggulah disini Glagah Putih."
Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian duduk disamping Sabungsari, sementara Agung Sedayu menyingkirkan mayat itu kedalam gerumbul sehingga tidak mudah diketemukan oleh seseorang.
Baru setelah semuanya selesai. Agung Sedayu mendekati Sabungsari yang masih terbaring sambil berkata, "Apakah keadaanmu sudah semakin baik ?"
"Ya. Aku sudah merasa baik. Mungkin aku masih terlalu lemah. Tetapi aku sudah dapat berkuda sendiri kembali ke Jati Anom," jawab Sabungsari.
Glagah Putihpun kemudian bangkit untuk mencari kuda-kuda mereka yang ternyata tidak berada ditempat yang terlalu jauh. Kuda-kuda itu masih sibuk mengunyah rerumputan segar ditepi jalan, beberapa puluh langkah dari tempat perkelahian itu. Sedangkan Sabungsari minta agar Glagah Putih juga mengambil kudanya ditempat yang terlindung.
"Aku tidak sempat mengikat kuda-kuda itu," berkata Glagah Putih. Dan Agung Sedayupun mengerti, bahwa Glagah Putihpun harus mempertahankan dirinya dari serangan yang tiba-tiba dari seseorang yang merunduknya, dari balik gerumbul-gerumbul perdu.
Sejenak kemudian. Agung Sedayu telah mencoba membantu Sabungsari naik keatas punggung kudanya. Ternyata betapapun lemahnya, Sabungsari masih dapat menjaga keseimbangannya.
Perlahan-perlahan mereka bertigapun kemudian berkuda ke Jati Anom. Mereka akan langsung pergi kerumah Ki Untara untuk menyampaikan peristiwa yang baru saja terjadi. Meskipun mereka tidak dapat membawa saksi yang lain, kecuali diri mereka sendiri, namun mereka menganggap bahwa hal itu perlu segera disampaikan kepada Untara.
Agung Sedayu yang berada dipaling depan, menjadi gelisah karena langit yang sebentar lagi akan dibayangi oleh warna fajar di Timur. Jika kemudian datang pagi, sementara mayat-mayat itu masih ditempatnya, ada kemungkinan akan diketemukan oleh orang-orang yang pergi kesawah atau oleh orang-orang yang tidak sengaja melintasi gerumbul-gerumbul itu.
Kedatangan Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih dilewat tengah malam itu, ternyata telah mengejutkan para prajurit yang bertugas. Apalagi ketika mereka melihat keadaan Sabungsari yang lemah dan pakaiannya penuh bernoda darah.
"Kenapa anak itu ?" bertanya seorang prajurit kepada Agung Sedayu.
"Aku akan menghadap kakang Untara," jawab Agung Sedayu, "aku akan melaporkan semua yang telah terjadi."
Prajurit itupun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih naik kependapa. Dengan hati-hati Agung Sedayu membantu Sabungsari turun dan memapahnya naik kependapa bersama Glagah Putih.
Ternyata keadaannya cukup parah. Seperti saat ia bertempur melawan Carang Waja, maka Sabungsari sekali lagi mengalami luka yang sangat parah.
Dengan lemahnya, Sabungsari duduk dipendapa bersandar tiang. Sekali-sekali masih nampak ia menyeringai menahan sakit didadanya.
"Apakah kau akan berbaring saja ?" bertanya prajurit yang bertugas. "Jika kau ingin berbaring, marilah, aku bawa kau kegandok."
Sabungsari menggeleng sambil menjawab, "Aku menunggu disini sampai Ki Untara mendengar semua keterangan kami."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, "Seorang kawan telah mencoba menyampaikan hal ini kepada Ki Untara. Tetapi ia belum lama tidur. Ki Untara baru saja nganglang disekitar Jati Anom bersama beberapa orang prajurit. Kemudian ia duduk dipendapa itu beberapa saat."
Dengan demikian, maka Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih itu masih harus menunggu. Glagah Putih yang lelah itupun bersandar tiang pendapa pula. Sekali ia beringsut sambil berdesah. Ternyata kelelahan yang sangat telah membuatnya mulai merasa kantuk. Namun demikian, ia harus bertahan sambil menunggu Untara menemuinya dan mendengarkan segala keterangan tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
"Mayat-mayat itupun harus diambil," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Beberapa lamanya mereka menunggu. Namun ternyata bahwa Untara tidak menolak kedatangan mereka dan tidak menyuruh mereka menunggu sampai keesokan harinya. Bukan saja karena yang datang adalah Agung Sedayu, tetapi Untara menyadari, bahwa yang akan mereka sampaikan tentu sesuatu yang sangat penting.
Ketika Untara selesai membenahi dirinya, maka iapun bergegas pergi kependapa. Ia terkejut melihat keadaan Sabungsari yang sangat lemah. Dengan dahi yang berkerut ia berkata, "Biarlah prajurit itu beristirahat. Agaknya ia terluka parah."
"Ya kakang. Sabungsari terluka parah," sahut Agung Sedayu.
"Tetapi biarlah aku disini. Aku ingin ikut mendengarkan laporanmu Agung Sedayu. Mungkin ada beberapa hal yang perlu aku jelaskan, karena sebagian dari keterangan tentang peristiwa ini aku ketahui sebelum terjadi," berkata Sabungsari dengan suara gemetar.
Untara mengerutkan keningnya. Sejenak semula iapun sudah menduga bahwa soalnya tentu sangat penting.
"Baiklah," berkata Untara, "tetapi biarlah lukamu diobati lebih dahulu."
"Aku sudah mengobatinya Ki Untara," berkata Sabungsari, "tetapi hanya untuk sementara. Meskipun demikian, biarlah kita berbicara lebih dahulu. Baru kemudian aku mohon dapat diobati dengan cara dan obat yang lebih baik."
Ki Untara mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya beberapa orang prajurit yang ada disekitarnya. Dengan satu isyarat, maka merekapun meninggalkan Ki Untara dengan ketiga orang tamunya.
Agung Sedayu kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi. Tetapi ia baru menceriterakan kejadian di bulak panjang itu. Ia belum mengatakan, siapakah yang berada dibelakang peristiwa itu.
Untara mendengarkan keterangan itu dengan saksama. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Agung Sedayu. Apakah sangkut pautnya orang-orang dari Gunung Kendeng dengan kau dan Sabungsari " Menurut pendengaranku, orang-orang Gunung Kendeng tidak pernah bersentuhan dengan kau dan Sabungsari. Tetapi mungkin ada peristiwa dan kejadian yang lepas dari pendengaranku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian justru kepada Glagah Putih, "Glagah Putih, aku kira kau sangat lelah dan mengantuk. Tidurlah. Nanti aku akan membangunkanmu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Terasa sentuhan mata kakak sepupunya itu bagai kan memberikan isyarat kepadanya, agar iapun tidak perlu mendengarkan peristiwa yang membayangi kejadian di bulak panjang itu.
Agaknya Untara mengerti maksud adiknya. Karena itu, maka katanya, "Sebaiknya demikian Glagah Putih. Marilah, aku akan membawamu kepada mbokayumu. Kau sebaiknya membersihkan diri, minum dan barangkali kau lapar, mbokayumu akan menyediakan makan buatmu."
Glagah Putih tidak dapat mengelak lagi. Isteri Untarapun sangat baik kepadanya. Karena itu, maka iapun mengikuti Untara masuk keruang dalam, dan menyerahkan Glagah Putih kepada isterinya yang nampaknya masih mengantuk.
"Mbokayu masih mengantuk," desis Glagah Putih.
"Tidak Glagah Putih," sahut Nyi Untara, "aku sudah tidur sejak sore. Marilah, kau pergi dahulu kepakiwan. Kemudian kau minum minuman hangat. Kau akan aku persilahkan makan, meskipun nasi dingin."
"Aku tidak ingin makan mbokayu. Tetapi jika minum, aku memang sangat haus."
Isteri Untara itu tersenyum. Ketika Glagah Putih pergi kepakiwan dan Untara sudah kembali kependapa, isteri Untara itu mengambil air panas di tempat para peronda, yang selalu menyediakan bagi mereka yang bertugas. Kemudian menyediakan tempat bagi Glagah Putih untuk beristirahat.
"Minumlah. Jika kau tidak ingin makan, baiklah kau beristirahat diamben itu," berkata isteri Untara.
"Terima kasih. Aku memang akan tidur. Agaknya kakang Agung Sedayu dan kakang Untara masih selalu menganggap aku kanak-kanak yang tidak boleh mengetahui beberapa hal."
Isteri Untara tersenyum. Katanya, "Bukan begitu Glagah Putih. Seperti aku, kakangmu Untara sama sekali tidak menganggap kanak-kanak lagi. Tetapi dalam beberapa hal yang penting, aku juga tidak dibenarkan untuk mendengarkan pembicaraannya."
"Tetapi mbokayu seorang perempuan," bantah Glagah Putih.
"Meskipun perempuan, mungkin akan berbeda dengan bakal mbokayumu dari Sangkal Putung. Mungkin ia justru diperlukan hadir dalam pembicaraan-pembicaraan penting. Juga isteri anak Ki Demang di Sangkal Putung itu," jawab isteri Untara sambil tersenyum.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti, masalahnya bukan laki-laki atau perempuan. Juga bukan karena ia masih dianggap kanak-kanak. Tetapi Glagah Putih tetap merasa tidak senang, karena ia masih belum berhak mendengarkan pembicaraan-pembicaraan penting.
"Aku harus segera menjadi seorang anak muda yang dewasa. Bukan dalam umur, tetapi dalam sikap dan olah kanuragan. Jika aku sudah memiliki ilmu yang cukup, maka aku tentu tidak akan tersisih seperti ini," berkata Glagah Putih didalam hatinya ketika ia sudah berbaring dipembaringannya.
Untuk beberapa saat Glagah Putih masih belum berhasil memejamkan matanya. Namun kemudian, perlahan-lahan iapun mulai kehilangan kesadarannya. Akhirnya anak muda itupun jatuh tertidur.
Dalam pada itu, di pendapa. Agung Sedayu masih duduk bersama dengan Untara dan Sabungsari yang lemah. Namun agaknya obat yang telah ditaburkan keatas luka anak muda itu sementara dapat menolongnya.
"Nah, sekarang katakanlah, apa yang sebenarnya telah terjadi atas kalian," berkata Untara kemudian.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Tetapi sebelumnya aku minta maaf kakang, bahwa aku akan menyangkutkan nama prajurit Pajang yang berada di Jati Anom. Aku tidak tahu, apakah kakang Untara sudah menduga, atau setidak-tidaknya melihat sesuatu yang menarik perhatian, atau sama sekali tidak mengira bahwa hal ini dapat terjadi."
Untara memandanginya dengan tajamnya. Seakan-akan ia tidak telaten menunggu. Namun ternyata bahwa kata-kata Agung Sedayu tertunda lagi, ketika seorang menyuguhkan minuman hangat bagi mereka.
"Ada juga minuman hangat pada saat begini," desis Agung Sedayu.
"Setiap saat ada minuman hangat di parondan," sahut Untara, "lalu bagaimana ceriteramu itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar bahwa ia berhadapan bukan saja dengan kakaknya, tetapi dengan seorang Senapati prajurit Pajang.
Sejenak kemudian Agung Sedayupun segema menceriterakan akan semua peristiwa bukan hanya yang telah terjadi di bulak seperti yang sudah dikatakannya, tetapi ia mulai menyebut nama Ki Pringgajaya, salah seorang perwira pasukan Pajang di Sangkal Putung.
Untara mendengarkan keterangan itu dengan dahi yang berkerut. Meskipun ia terkejut, letapi tidak ada kesan apapun di wajahnya selain ketegangan.
"Jadi menurut dugaanmu, orang-orang itu telah diupah oleh Ki Pringgajaya ?" bertanya Untara.
"Mereka mengatakannya sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang upahan Ki Pringgajaya," jawab Agung Sedayu.
"Mereka mengatakan sendiri, atau Sabungsari yang mengatakannya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Kakang, Sabungsari mengetahui persoalannya. Sementara orang-orang itupun tidak membantah. Mereka mengakui bahwa mereka adalah orang-orang upahan. Sementara yang bertempur dengan Glagah Putih adalah seseorang yang dapat dikenal dalam pakaian seorang prajurit."
"Apa artinya pakaian. Setiap orang dapat mengenakan pakaian prajurit. Penjahat dan pengkhianat dapat juga mengenakan pakaian seorang prajurit."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Jika keadaan Sabungsari memungkinkan, ia dapat membantu memberikan penjelasan."
Untara memandang Sabungsari yang pucat. Lalu katanya, "Kau dapat mengatakannya jika itu tidak membuat kau semakin parah."
Sepatah-sepatah Sabungsari mencoba menjelaskan apa yang telah dialaminya. Bahkan ia serba sedikit mengatakan pula rahasianya yang membawanya menjadi seorang prajurit, karena hal itu sudah diketahuinya pula oleh Ki Pringgajaya. Daripada orang lain yang mengatakannya, lebih baik Sabungsari sendirilah yang mengucapkan pengakuan itu.
Meskipun yang dikatakannya hanya pokok-pokoknya saja dari seluruh hubungan peristiwa, namun Untara sudah mendapat gambaran yang jelas tentang apa yang sudah terjadi.
"Baiklah aku akan mengusut persoalan ini. Tetapi aku tidak dapat mempercayaimu begitu saja tanpa bukti-bukti atau keterangan-keterangan lain yang lebih meyakinkan. Sekarang, aku ingin melihat mayat-mayat itu, sehingga mungkin akan dapat membuka jalan yang lebih lapang bagi penyelesaian masalah ini."
"Marilah kakang. Akupun sebenarnya menjadi cemas, jika para petanilah yang menemukannya, "sahut Agung Sedayu.
Bersama beberapa orang prajurit, Untarapun segera berkemas. Kepada isterinya, ia menitipkan Glagah Putih yang sedang tidur nyenyak.
"Jika ia terbangun dan mencari Agung Sedayu, katakan bahwa Agung Sedayu aku bawa mengambil mayat-mayat yang ditinggalkannya dibulak panjang itu."
Isteri Untara itu mengerutkan dahinya. Meskipun ia seorang isteri Senapati prajurit Pajang di Jati Anom, namun setiap saat hatinya masih juga berdebar-debar jika Untara pergi dalam keadaan yang gawat. Tetapi ia selalu menyembunyikan perasaannya. Bahkan sambil tersenyum ia berkata, "Agaknya Glagah Putih baru akan bangun setelah matahari tinggi."
Sabungsari yang terluka itupun telah dipapah oleh beberapa orang prajurit dan dibaringkannya digandok. Seorang prajurit yang ahli dalam obat-obatan, telah dipanggil untuk memberikan obat yang lebih baik kepada Sabungsari yang terluka itu.
Prajurit yang kemudian datang itupun dengan saksama telah memeriksa luka Sabungsari. Iapun mendengar berita tentang sebab luka-luka itu, meskipun Sabungsari hanya menceriterakan sebagian kecil dari seluruh peristiwanya.
"Jadi orang-orang dari Gunung Kendeng itulah yang melukaimu ?" bertanya orang itu.
"Ya. Lukaku memang agak parah."
"Baiklah. Aku akan berusaha. Tetapi seperti yang kau katakan, lukamu memang cukup parah. Kau terlalu banyak mengeluarkan darah. Untunglah bahwa kau mempunyai obat yang dapat memampatkannya. Meskipun obat itu mempunyai akibat sampingan."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Sambil menyeringai ia bertanya, "Apakah akibat itu ?"
"Pernafasanmu tentu agak terganggu. Tetapi aku akan membersihkannya. Kemudian mengganti dengan obat yang lebih baik, yang selalu dipergunakan oleh para prajurit."
Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Dibiarkannya orang itu membersihkan lukanya dan kemudian menaburkan obat yang lain.
"Sabungsari," berkata orang itu, "aku sudah mendengar apa yang pernah kau lakukan. Kau sudah pernah berhasil membunuh Carang Waja. Sekarang kau berhasil mengalahkan orang dari Gunung Kendeng. Yang terjadi itu tentu akan menjadi perhatian pula bagi Ki Untara. Mudah-mudahan kau akan cepat mendapat tingkat yang lebih baik."
Sabungsari tidak menjawab. Terasa lukanya menjadi nyeri. Bukan saja karena tersentuh tangan orang yang mengobatinya itu. Tetapi obat itu sendiri membuat tubuhnya serasa mendidih.
"Obat itu tentu terasa panas ditubuhmu," berkata prajurit yang mengobatinya itu, "tetapi obat itu akan bekerja sebaik-baiknya. Mudah-mudahan obat itu akan dapat mengatasi kesulitan yang terjadi pada tubuhmu karena kekurangan darah dan nafasmu yang tidak teratur. Kau tentu memerlukan obat lain yang dapat kau minum besok pagi-pagi untuk menyegarkan tubuhmu."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya, "Bagaimana sebenarnya dengan luka-lukaku ?"
Prajurit yang mengobatinya itu mengerutkan keningnya. Sejenak keragu-raguan membayang di wajahnya. Baru kemudian ia berkata, "Sabungsari. Kau adalah seorang prajurit pinunjul. Seorang yang memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit sebayamu. Bahkan mungkin dengan tataran diatasmu. Karena itu, aku harap kau mempunyai ketahanan jiwani yang besar pula, melampaui kawan-kawanmu."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Tidak sabar ia mendesak, "Katakan. Aku bukan anak-anak yang masih suka merengek."
Prajurit yang mengobatinya itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Baiklah aku berterus terang Sabungsari. Lukamu gawat sekali. Meskipun nampaknya tidak lebih parah dari saat kau bertempur dan membunuh Carang Waja, namun sebenarnya lukamu kali ini berbahaya bagi keselamatanmu."
Sabungsari menegang sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya datar, "Terima kasih. Aku mengerti keadaanku."
"Tetapi jangan berkecil hati," berkata prajurit yang mengobatinya, "kita wajib berusaha. Tetapi jika usaha kita gagal, itu adalah diluar kemampuan kita."
"Ya," sahut Sabungsari pendek.
"Betapa kecilnya, kita masih harus berpengharapan," berkata prajurit itu.
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia mengerti maksud prajurit yang mengobatinya itu. Lukanya adalah luka yang membahayakan jiwanya. Bahkan harapan untuk dapat sembuh adalah sangat kecil.
Sesaat Sabungsari menyeringai. Dadanya memang terasa sangat sakit. Bukan saja pedihnya luka pada dagingnya. Namun nafasnya terasa menjadi sesak. Jantungnya bagaikan berdetak semakin cepat.
"Aku terpengaruh sekali keterangan orang itu," berkata Sabungsari didalam hati, "rasa sakit dan nafas yang menyesak ini tentu datang justru karena kekerdilan jiwaku. Tetapi seandainya aku harus mati, maka aku sudah berbuat satu kebajikan terhadap Agung Sedayu. Sebenarnya aku sudah harus mati dipinggir kali ketika aku menantangnya berperang tanding. Tetapi ia membebaskan aku dari kematian jasmaniah dengan harapan, balrwa aku dapat membunuh segala macam sifat dan sikapku waktu itu."
Sabungsari menarik nafas panjang sekali. Namun justru karena iapun kemudian pasrah kepada Yang Maha Kasih, maka hatinya menjadi tenang. Perlahan-lahan nafasnya terasa semakin lapang, meskipun perasaan sakit didadanya masih terasa bagaikan meremas jantung.
Dalam pada itu, maka prajurit yang mengobatinya itupun kemudian minta diri setelah ia berpesan, "Cobalah untuk tidur Sabungsari. Coba pula menenangkan hati. Apapun yang akan terjadi, jangan kau risaukan, karena garis hidup seseorang tidak berada ditangannya sendiri. Kau sudah berbuat sesuatu yang memberimu kebanggaan. Jika kemudian kau harus mengalami sesuatu karena perbuatan kesatria itu, kau justru dapat berbangga karenanya."
Sabungsari menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Ia hanya memandang saja prajurit itu meninggalkan biliknya tanpa berpaling lagi.
Sepeninggal prajurit yang mengobatinya itu, Sabungsari berusaha menenangkan hatinya. Ia mencoba memejamkan matanya, namun rasa-rasanya dadanya bagaikan pecah. Sekali-sekali wajahnya nampak menegang kemerah-merahan. Namun kemudian wajah itu menjadi pucat seputih kapas.
Untuk beberapa lamanya Sabungsari harus bertahan. Namun akhirnya ia berusaha untuk tidak menghiraukan lagi perasaan sakit itu. Meskipun demikian, kadang-kadang ia merasa heran juga karena sikap prajurit yang mengobatinya itu. Seolah-olah ia dengan sengaja memberikan kesan yang mencemaskan.
"Tetapi ia menganggap bahwa hatiku adalah hati yang tabah. Ia menganggap bahwa aku dapat melihat kenyataan dengan hati semeleh," berkata Sabungsari kepada diri sendiri, "tetapi nyatanya hatiku adalah hati yang selalu-dibayangi oleh kecemasan. Bukankah batas terakhir dari keadaan ini adalah kematian. Dan kematian itu tidak lagi menakutkan aku, karena aku telah menemukan diriku sendiri dalam ujud yang lebih baik dari saat lampau. Jika sekiranya aku harus mati saat ini, maka aku akan mendapat nilai jauh lebih baik daripada saat aku mati dipinggir kali dalam perang tanding melawan Agung Sedayu. Saat itu aku akan mati dalam kekelaman sehingga aku akan terjun kedalam kegelapan langgeng diantara tangis dan gemeretak gigi tanpa akhir."
Ketenangan hati Sabungsari ternyata banyak menolong dan memperingan penderitaannya, sehingga karena itu, betapa perasaan sakit masih terasa menghentak-hentak didadanya, namun akhirnya ia berhasil tidur meskipun hanya beberapa saat.
Dalam pada itu, Untara diiringi oleh Agung Sedayu dan beberapa orang prajurit telah berpacu menyusur jalan menuju ke tempat Agung Sedayu menyembunyikan tiga sosok mayat. Dua orang dari Gunung Kendeng, sedang seorang yang lain masih belum diketahuinya. Tetapi kuat dugaan Agung Sedayu, bahwa yang seorang itu tentu pengikut Ki Pringgajaya pula.
"Tetapi nampaknya ia bukannya orang yang telah bertempur melawan Glagah Putih," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Dalam pada itu, maka kuda merekapun berlari semakin kencang. Apalagi ketika bayangan warna fajar telah mengusap langit. Agung Sedayu menjadi semakin tergesa-gesa. Jika saatnya orang pergi kepasar, atau saat para petani menengok air parit yang membelah bulak panjang itu, dan tanpa mereka sengaja menemukan tiga sosok mayat yang diletakkannya dibalik gerumbul, maka kegemparan itu akan dapat menggelisahkan bukan saja satu dua orang.
Semakin dekat mereka dengan tempat yang baru saja menjadi arena pertempuran, hati Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kuda-kuda mereka rasa-rasanya menjadi semakin lamban.
Namun akhirnya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam: Beberapa puluh langkah lagi ia sudah akan sampai di tempat yang ditujunya. Ia sudah melihat dalam keremangan sisa malam, gerumbul-gerumbul yang berserakan dipinggir jalan yang membujur panjang itu.
"Kita sudah sampai kakang," desis Agung Sedayu kemudian.
Iring iringan itupun menjadi semakin lambat. Dan akhirnya mereka berhenti dibekas arena pertempuran. Untara dan para prajurit yang mengiringinya masih sempat melihat bekas bekas dari pertempuran yang sengit. Gerumbul-gerumbul bagaikan terinjak-injak oleh segerombol binatang buas yang berlaga. Pohon-pohon perdu berpatahan dan daun-daunnya yang bagaikan diremas. Tanah yang seperti baru dibajak. Dan sesudut tanaman disawah yang menjadi lumat.
Ki Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa adiknya memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, menurut pengamatannya, maka pertempuran itupun tentu telah berlangsung dengan dahsyatnya. Menurut ceritera adiknya, telah terjadi tiga arena pertempuran. Sabungsari dan Agung Sedayu masing-masing melawan seorang murid dari Gunung Kendeng, sedang Glagah Putih bertempur melawan seorang yang mempunyai ciri seorang prajurit.
"Tentu Sabungsari dan Agung Sedayu telah bertempur dengan sengitnya," berkata Untara didalam hatinya.
Ketika ia kemudian turun dari kudanya, maka para pengiringnya serta Agung Sedayupun telah meloncat turun pula.
"Dimana kau sembunyikan mayat-mayat itu ?" bertanya Untara kemudian.
Sekilas Agung Sedayu mengangkat wajahnya memandang langit. Cahaya kemerah-merahan mulai nampak di atas cakrawala. Karena itu, maka Agung Sedayupun dengan tergesa-gesa mengajak kakaknya pergi kebalik sebuah gerumbul yang masih belum menjadi lumat.
"Disini aku menyembunyikan mayat-mayat itu," desis Agung Sedayu sambil menyibak dedaunan.
Namun alangkah terkejutnya, ketika ia tidak mehhat ketiga sosok mayat itu terbaring ditempat semula. Sejenak Agung Sedayu menegang. Dengan sigapnya ia menyibak dibagian lain. Tetapi ia tidak menemukan mayat-mayat itu.
"Kenapa ?" bertanya Untara yang melihat Agung Sedayu menjadi sibuk.
"Mayat itu hilang kakang," jawab Agung Sedayu terbata-bata.
"He," Untarapun terkejut pula. Dengan serta merta iapun meloncat mendekati Agung Sedayu sambil bertanya, "dimana kau letakkan tadi " "
"Disini," jawab Agung Sedayu sambil menunjuk tempat ia menyembunyikan mayat-mayat itu.
Untara terdiam sejenak. Dengan saksama ia merenungi gerumbul itu dan keadaan disekitarnya. Sekali-sekali la menyibak pula gerumbul-gerumbul disebelah menyebelah. Mungkin Agung Sedayu keliru. Tetapi ternyata mereka tidak menemukan mayat mayat itu sama sekali.
"Aneh," desis Agung Sedayu, "aku meletakkannya disini. Didalam gerumbul ini."
Untara termangu-mangu sejenak. Ia tentu tidak dapat mencurigai adiknya, bahwa anak muda itu menipunya. Iapun yakin bahwa Agung Sedayu tentu sudah berbuat seperti yang dikatakannya, karena menurut pengenalannya sejak anak muda itu masih kanak-kanak. Agung Sedayu tentu tak akan menipu ataupun mengatakan sesuatu yang tidak benar dengan maksud apapun juga.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membuktikan seperti yang dikatakannya.
Untuk beberapa saat lamanya Agung Sedayu masih mencoba mencari ketiga sosok mayat itu diantara gerumbul-gerumbul. Mungkin ada binatang liar yang telah menyeret ketiga sosok mayat itu. Atau barangkali ia keliru mengingat. Tetapi ternyata bahwa ketiga sosok mayat itu tidak dapat diketemukan.
"Seseorang tentu sudah mengambilnya, "geram Agung Sedayu kemudian.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Sabungsari terluka. Tentu perkelahian itu benar-benar telah terjadi. Bekas-bekasnyapun cukup menyakinkan. Tetapi kenapa tiga sosok mayat yang dikatakan itu telah hilang.
"Apa pendapatmu Agung Sedayu ?" bertanya Untara.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku menjadi bingung kakang. Tetapi aku tidak berbohong, bahwa hal itu memang sudah terjadi."
"Aku mempercayaimu Agung Sedayu. Tetapi apa yang dapat aku lakukan kemudian " Yang kau sebut-sebut itu sama sekali tidak dapat kami lihat. Bukannya aku menuduh kau mengatakan apa yang tidak terjadi, tetapi yang kau sebut-sebut murid Gunung Kendeng dan sebagainya, sama sekali tidak dapat dikuatkan. Mungkin mereka mengaku orang-orang Gunung Kendeng dengan segala macam fitnahan terhadap seseorang yang sudah disebut namanya, tetapi mereka sama sekali bukan orang yang dikatakannya."
"Tetapi aku yakin," desis Agung Sedayu.
"Aku mengerti, kau tidak bermaksud mengatakan yang tidak sebenarnya kau dengar dari mulut mereka. Tetapi siapakah yang dapat membuktikan dalam keadaan seperti ini, bahwa kedua orang yang terbunuh itu adalah benar-benar murid dari Gunung Kendeng."
"Aku kira mereka tidak berbohong pula," jawab Agung Sedayu, "mereka menyebut diri mereka dengan bangga. Dan agaknya mereka sejak semula tidak bersiap untuk datang ketempat ini, berbohong dan kemudian mati."
"Tentu," jawab Untara, "Mati atau tidak mati, mereka dapat saja berbohong. Mereka tentu berniat untuk menghapus jejak, karena mereka juga mempunyai perhitungan. Jika mereka mengaku orang-orang Gunung Kendeng dan sebenarnya mereka memang orang-orang dari Gunung Kendeng, apakah itu tidak berarti menantang prajurit Pajang " Apakah perguruan Gunung Kendeng itu akan mampu bertahan jika prajurit segelar sepapan datang kepedepokan mereka ?"
"Tetapi kakang," jawab Agung Sedayu, "perhitungan mereka adalah, bahwa tidak seorangpun yang akan dapat menyebut, bahwa mereka memang berasal dari Gunung Kendeng. Mereka memperhitungkan, bahwa aku akan mati disini. Demikian pula Sabungsari. Tetapi ternyata yang terjadi adalah lain sama sekali, sehingga ada orang yang dapat menyebut mereka berasal dari Gunung Kendeng."
Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin perhitunganmu benar. Setelah terjadi sesuatu diluar perhitungan meraka, maka kawan-kawan mereka telah mengambil satu tindakan khusus dengan menyingkirkan mayat-mayat yang kau tinggalkan. Tetapi kenapa kawan-kawan mereka tidak muncul saat kedua orang itu mulai terdesak."
Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Untara. Namun demikian, ia kemudian berkata, "Kakang, semuanya nampak kabur bagiku. Tetapi orang yang membunuh lawanku dari Gunung Kendeng itupun tidak berusaha bertempur bersamanya saat-saat ia terdesak. Justru ia berusaha membunuhku dari jarak jauh. Ketika ia gagal, maka ia malah membunuh orang Gunung Kendeng itu sendiri dengan anak panahnya."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Persoalan yang dihadapinya adalah persoalan yang rumit. Namun dengan deniikian, ia yakin bahwa memang ada orang yang berdiri dibalik segala peristiwa ini. Tetapi ia tidak dapat mempergunakan sekedar keterangan Agung Sedayu dan Sabungsari saja. Karena mereka berdua dapat saja bersepakat untuk menyebut seseorang yang mereka inginkan untuk dilibatkan dalam persoalan ini.
"Agung Sedayu," berkata Untara kemudian, "aku sudah mendengar semua laporanmu. Aku sudah melihat Sabungsari yang terluka parah. Akupun melihat arena pertempuran itu. Tetapi aku tidak melihat mayat yang kau katakan. Dan aku tidak mendapatkan petunjuk apapun juga, dengan siapa kalian bertempur, selain keterangan yang kau berikan."
"Kakang," berkata Agung Sedayu, "demikianlah kenyataan yang aku hadapi sekarang. Sebagai seorang yang mengalami, aku melaporkan hal ini kepadamu, karena kau adalah Senapati didaerah ini. tetapi persoalan selanjutnya terserah kepada kakang Untara. Apakah ada jalan untuk mengusutnya, atau kakang menganggap bahwa hal ini adalah satu peristiwa yang dapat dilupakan begitu saja."
Wajah Untara menegang. Katanya kemudian, "Agung Sedayu. Kau sudah cukup dewasa. Kau tidak dapat merengek lagi seperti saat kau masih kanak-kanak. Merajuk dan marah-marah. Adalah kebetulan bahwa Senapati didaerah ini adalah kakakmu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku dapat berbuat apa saja untuk kepentinganmu. Aku tetap seorang Senapati dengan siapapun aku berhadapan."
"Justru itu kakang," sahut Agung Sedayu, "aku menyerahkan persoalan ini kepadamu. Bukan lagi sebagai kanak-kanak yang mengurungkan permintaannya karena harus menunggu. Tidak. Aku memang hanya dapat menyerahkan segalanya kepada kakang Untara sebagai seorang Senapati didaerah ini. Bukan sebagai seorang kakak."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun mengangguk-angguk kecil sambil berkata, "Aku akan menyelidiki persoalan ini. Tetapi sampai berapa jauh langkah yang dapat aku ambil, aku masih belum tahu. Karena kau sudah menyebut nama dari mereka yang tersangkut persoalan ini, maka aku akan memperhatikannya. Melihat tanda-tanda dan kemungkinan-kemungkinan padanya. Mudah-mudahan aku mendapat bukti yang cukup untuk berbuat sesuatu, sehingga aku bukannya orang yang bertindak hanya karena perasaan yang sedang bergejolak. Apalagi menyangkut seseorang yang kebetulan adalah keluargaku sendiri."
Tengkorak Maut 19 Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk Sepasang Alap Alap Bukit 1