Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 6

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 6


"Ki Pringgajaya," berkata Untara kemudian, "sebenarnya aku mempunyai keberatan untuk melepaskan salah seorang pembantuku yang terbaik sekarang ini dari Jati Anom. Sebagaimana kau ketahui bahwa kita di Jati Anom sedang menghadapi persoalan yang rumit. Kita masih belum dapat memecahkan peristiwa yang terjadi, sehingga salah seorang prajurit Pajang dari Jati Anom terluka parah."
Tetapi tanggapan Ki Pringgajaya benar-benar menggetarkan hati Untara, sehingga Senapati muda itu harus mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan gejolak perasaannya.
"Ki Untara," berkata Ki Pringgajaya, "yang terjadi itu agaknya bukan sesuatu yang memerlukan sikap khusus. Bukankah sudah sering terjadi hal yang serupa. Tetapi agaknya tidak terlalu banyak menggoncangkan perasaan Ki Untara seperti sekarang ini. Berapa kali terjadi peristiwa yang malahan lebih besar dari peristiwa yang baru terjadi itu. Tetapi segalanya kita tanggapi dengan wajar."
Sejenak Ki Untara justru terdiam. Ketika hatinya telah mengendap, maka iapun menjawab, "Kau benar Ki Pringgajaya. Beberapa kali telah terjadi peristiwa yang menggoncangkan Jati Anom dan sekitarnya. Tetapi dalam peristiwa yang telah terjadi itu, kita mendapat gambaran yang jelas, siapa pelakunya. Di Sangkal Putung misalnya, kita tahu pasti, bahwa orang-orang Pesisir Endut dan bahkan kemudian Carang Waja telah turun kemedan, sehingga ia terbunuh oleh Sabungsari."
Ki Pringgajaya mengangguk-angguk.
"Tetapi peristiwa ini adalah peristiwa yang masih perlu dipecahkan. Jika kita tahu, siapakah pelakunya, maka kita tidak perlu dengan susah payah mencarinya. Misalnya orang-orang Pesisir Endut, atau orang-orang dari Tambak Wedi, atau orang-orang dari sekitar Watu Gundul disebelah Barat Kembang Mancawarna, atau dari daerah lain. Kita tinggal membuat perhitungan, apakah kita akan datang untuk menghancurkan padepokan itu atau tidak, atau kita mempunyai perhitungan lain. Tetapi kita tidak dibayangi oleh teka-teki seperti yang terjadi. Justru dihadapan hidung kita sendiri," berkata Untara selanjutnya.
Ki Pringajaya termenung sejenak. Lalu katanya, "Justru hal seperti yang baru saja terjadi itulah yang wajar sekali untuk sekedar diingat sebagai satu pengalaman. Jika kita berhasil menemukan orang-orang yang terlibat dengan bukti-bukti yang cukup meyakinkan, itu baik sekali. Tetapi jika tidak, itupun bukan satu hal yang aneh. Dapat saja terjadi perselisihan diantara Sabungsari dan Agung Sedayu disatu pihak, dan orang-orang yang terbunuh itu dipihak lain, siapapun mereka. Jika kita ingin jujur, justru Sabungsari dan Agung Sedayu itulah yang pantas dicurigai dan dituduh telah melakukan pembunuhan dengan menghilangkan jejak kematian dua orang korbannya."
Darah Untara terasa mendidih. Tetapi ia justru mengangguk angguk. Katanya, "Ya, ya. Kau benar Ki Pringgajaya. Kenapa aku tidak berpikir demikian sebelumnya, meskipun Agung Sedayu itu adikku."
Mendengar jawaban Untara Ki Pringgajaya justru mengerutkan keningnya. Namun ia berkata, "Dengan demikian maka Ki Untara tidak usah dengan susah payah mencari-cari orang yang paling pantas untuk dituduh melakukan kejahatan itu. Karena, dalam kebingungan dapat saja Sabungsari atau Agung Sedayu menyebut nama seseorang yang sebenarnya tidak tahu menahu sama sekali tentang peristiwa ini."
Untara mengangguk semakin mantap. Katanya, "Kau benar. Dengan demikian aku harus selalu mengamati Kiai Gringsing, agar Sabungsari benar-benar dapat disembuhkan, sehingga ia akan dapat mengatakan yang sebenarnya. Memang mungkin ia bersama Agung Sedayu telah melakukan pembunuhan dan untuk menghapus jejak penyelidikan, maka mereka telah menyembunyikan mayatnya."
Ki Pringgajaya mengangguk-angguk kecil.
"Tetapi aku yakin, bahwa beberapa hari lagi, Sabungsari akan sudah dapat berceritera tentang peristiwa itu. Ia harus mengatakan yang sebenarnya terjadi. Aku akan bertanya kepada kedua anak muda itu secara terpisah. Apakah jawab mereka sesuai."
"Mereka sudah bersepakat," desis Ki Pringgajaya.
"Tetapi aku akan dapat melihat apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak. Kesempatan mereka untuk berbicara dan merancang kebohongan sangat kecil justru karena Sabungsari terluka. Sementara sesudah berada dibawah perawatan Kiai Gringsing, anak itu tidak diperbolehkan terlalu banyak berbicara."
Ki Pringgajaya hampir saja membantah, karena kesempatan untuk berbicara antara kedua orang itu tentu cukup luas. Tetapi jika keadaan Sabungsari pada tingkat pertama justru memburuk, maka mungkin ia memang diasingkan dari orang lain.
Sementara Ki Untara berkata seterusnya, "Mudah-mudahan disaat Ki Pringgajaya kembali kelak, semuanya sudah selesai. Sebagai satu pengertian, aku perlu mengatakan, bahwa aku tidak akan dapat menolak apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Bukan Sabungsari. Jika pembicarakan mereka tidak sesuai, maka aku lebih percaya kepada Agung Sedayu, karena aku mengenal sifatnya sejak kanak-kanak."
Wajah Ki Pringgajaya menegang sejenak. Tetapi kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Mudah-mudahan Ki Untara, segalanya cepat dapat dilihat dengan terang. Namun yang perlu dipertimbangkan, bahwa sifat seseorang dimasa kanak-kanak, dan disaat ia menginjak masa dewasanya, mungkin sekali terdapat perkembangan. Jika semula ia seorang penakut, maka ia akan dapat tumbuh menjadi raksasa yang tiada taranya. Sebaliknya jika ia seorang yang jujur dan tidak pernah berbohong, akan dapat menjadi seorang yang licik dan tukang fitnah."
"Tepat sekali," desis Untara, "pikiranmu memang bening sekali Ki Pringgajaya. Yang kau katakan telah merangsang aku untuk menghadap Sultan Pajang, agar perintah bagimu dibatalkan saja, agar kau dapat membantuku disini untuk memecahkan masalah ini."
Wajah Ki Pringgajaya itu menegang sesaat. Dan ketegangan itu sempat ditangkap oleh pandangan Untara yang tajam, yang memang menunggu saat yang sekilas itu. Tetapi kesan diwajah itupun segera lenyap. Sambil tersenyum Ki Pringgajaya berkata, "Ki Untara terlalu memuji aku."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia bukan saja menangkap kesan sekilas pada wajah Ki Pringgajaya, tetapi suaranyapun terdengar bergetar. Karena itu, maka untuk meyakinkannya ia berkata, "Ki Pringgajaya. Aku tidak berpura-pura. Kau sebenarnya memang aku perlukan. Apakah kau sependapat jika aku menghadap Sultan di Pajang, dan mohon agar kau tidak perlu meninggalkan Jati Anom."
Betapapun juga, Untara berhasil menangkap kesan yang lebih meyakinkan. Sementara itu Ki Pringgajaya menjawab, "Sebenarnya aku tidak mempunyai keberatan apapun. Pergi atau tidak pergi. Tetapi jika itu sudah menjadi perintah, apakah hal itu tidak akan membuat Kangjeng Sultan marah. Meskipun tanggung jawab hal ini ada pada Ki Untara, tetapi mungkin juga Kangjeng Sultan dapat salah paham, karena disangkanya atas permohonankulah, maka perintah itu harus dirubah."
Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku tidak akan melakukannya meskipun sebenarnya aku ingin. Akupun menjadi cemas, bahwa Kangjeng Sultan akan marah kepadaku."
Ki Pringgajaya menarik nafas panjang sambil berkata, "Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanyalah tinggal menjalankan perintah."
Demikianlah, maka Ki Untarapun kemudian mempersilahkan Ki Pringgajaya mempersiapkan diri dan selanjutnya pergi ke Pajang menghadap Ki Tumenggung Prabadaru.
Untara memang tidak benar-benar ingin mencegah Ki Pringgajaya. Namun ia sudah menangkap kesan, bahwa sebenarnya Ki Pringgajaya tidak ingin ia membatalkan kepergiannya.
"Hanya salah satu kemungkinan," berkata Untara didalam hatinya, "mudah-mudahan karena kepergiannya, aku akan dapat melihat sesuatu yang berarti. Aku tidak dapat menutup kenyataan bahwa memang ada niat buruk dari antara para prajurit dan pemimpin pemerintahan di Pajang yang nampak buram ini."
Dalam pada itu maka Ki Pringgajaya segera kembali ke baraknya. Ketika ia membenahi mereka sedang berbincang tentang keadaan yang sedang mereka hadapi.
"Untara memang anak iblis," geram Ki Pringgajaya, "ia melihat sesuatu pada perintah bagiku untuk meninggalkan Jati Anom. Aku hampir saja terpancing untuk menolak ketika ia berniat untuk membatalkan kepergianku."
"Apakah benar-benar ia akan menghadap Kangjeng Sultan ?" bertanya prajurit itu.
"Kaupun gila. Tentu tidak. Tetapi ia memang pandai memancing pembicaraan. Aku kurang menyadari saat itu, sehingga nampaknya ia menemukan yang dicarinya. Untunglah aku segera menyadari keadaanku," desis Ki Pringgajaya.
"Tetapi bukankah Ki Pringgajaya sudah akan meninggalkan Jati Anom ?" bertanya prajurit itu.
"Jangan kau kira bahwa Untara tidak akan mengejar aku sampai kemanapun. Namun aku sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan," jawab Pringgajaya, "aku mempunyai perisai berlapis sembilan. Ia tidak akan berhasil menembusnya. Jika ia memaksakan diri, maka nasibnya tidak akan dapat tertolong lagi. Aku akan mempergunakan cara yang lebih keras lagi baginya."
Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja sibuk mengemasi barang-barang Ki Pringgajaya.
Ki Pringgajayalah yang kemudian berkata, "berhati-hatilah. Saat itu akan segera datang. Orang-orang Gunung Kendeng itupun sudah siap. Ia memang menunggu aku pergi dan menunggu saat gardu itu dijaga oleh orang-orang yang sudah dapat kita genggam. Betapapun juga, gardu itu akan mempunyai pengaruh."
"Ya. Mudah-mudahan segalanya akan dapat berjalan dengan baik. Mudah-mudahan segalanya berjalan sesuai dengan rencana," jawab prajurit itu, "nampaknya segalanya sudah dipersiapkan dengan masak. Orang-orang Gunung Kendeng sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang-orang yang tinggal dipadepokan itu. Orang-orang Gunung Kendeng sudah mendapat penjelasan tentang kemampuan dan tataran orang-orang yang harus diperhitungkan di padepokan itu. Terutama Kiai Gringsing. Agung Sedayu sendiri dan Ki Widura."
"Jangan gagal lagi," pesan Ki Pringgajaya, "jika semuanya sudah selesai, maka berikan lima keping emas itu kepada mereka, agar mereka percaya bahwa kita tidak mengingkarinya, karena mungkin kita masih akan memerlukannya. Sangkal Putung masih harus diperhitungkan. Tentu tidak akan dapat kita sapu dengan prajurit segelar sepapan, karena keadaan yang masih belum masak. Jika orang-orang Gunung Kendeng itu berhasil membersihkan padepokan itu, maka mereka akan dapat melakukannya atas Swandaru, isteri dan adiknya di Sangkal Putung, meskipun di Sangkal Putung ada sepasukan pengawal."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Ia masih tetap berdiam diri sambil mengemasi beberapa lembar pakaian. Ketika seorang kawannya datang mendekat, maka pembicaraan merekapun terputus.
"Ki Pringgajaya jadi berangkat sekarang ?" bertanya prajurit yang datang mendekat.
"Tentu. Perintah itu datang dari Kangjeng Sultan sendiri," jawab Ki Pringgajaya.
"Apakah masih ada yang dapat aku bantu ?" bertanya prajurit itu.
"Sudah cukup. Barang-barangku memang hanya sedikit," jawab Ki Pringgajaya sambil tersenyum.
Disamping beberapa lembar pakaian, Ki Pringgajaya mempunyai dua buah keris pusaka, selain sebilah pedang keprajuritan. Iapun mempunyai segulung ikat pinggang kecuali yang dipakainya. Dalam keadaan tertentu ia memakai ikat pinggang khusus dengan timang bermata berlian.
"Titipkan timang itu kepadaku," desis prajurit yang lain, yang datang mendekat pula.
Ki Pringgajaya tertawa. Katanya, "Kau kira timang ini sekedar perhiasan " Jika aku memerlukannya, maka barang-barang seperti ini cepat dapat dijual."
Prajurit-prajurit itupun tertawa. Sementara Ki Pringgajaya berkata, "Sudah barang tentu aku akan singgah dirumah. Barang-barang ini akan aku tinggal saja. Aku tidak memerlukannya dalam perjalanan ke Timur itu."
Para prajurit yang mengerumuninyapun tertawa pula. Tetapi mereka sama sekali tidak pernah membayangkan, bahwa disamping senyum dan tertawanya, Ki Pringgajaya telah menyimpan rencana yang akan dapat menggetarkan setiap dada prajurit Pajang di Jati Anom.
Dalam pada itu, ternyata bahwa keterangan Untara tentang Ki Pringgajaya, bahwa perwira itu akan ditarik dari Jati Anom, telah benar-benar membuat mereka semakin berhati-hati. Bukan tidak mustahil bahwa saat-saat Ki Pringgajaya itu tidak ada di Jati Anom, maka ia telah menggerakkan sekelompok orang yang bertugas untuk membungkam Sabungsari dan Agung Sedayu.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun merasa, bahwa ia harus benar-benar mempersiapkan diri, tetapi disamping dirinya sendiri, iapun harus mempersiapkan Glagah Putih, agar ia tidak sekedar hanya dapat berlari-lari dengan pedang ditangan, tetapi anak muda itu harus dapat mempertahankan dirinya sendiri.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun berusaha untuk mempertinggi kemampuan anak muda itu dengan latihan-latihan yang berat.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Ki Widura dengan hati-hati telah memberitahukan segalanya kecuali kepada Agung Sedayu, juga kepada Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Bahwa kemungkinan yang paling pahit itu akan dapat segera terjadi setelah Ki Pringgajaya meninggalkan Jati Anom.
"Orang itu memang sangat licik," berkata Ki Lurah Patrajaya, "secara pribadi aku belum mengenal Ki Pringgajaya. Tetapi aku pernah mendengar namanya. Dalam lingkungan keprajuritan di Pajang, aku menemukan keterangan bahwa Ki Pringgajaya pernah mendapat tegoran keras dari Ki Tumenggung Respati yang bergelar Singayuda karena kecurangan yang pernah dilakukan dipeperangan saat pasukan Pajang masih sibuk mempersatukan bekas kekuasaan Demak yang berusaha memisahkan diri."
"Ki Tumenggung Singayuda," ulang Ki Widura. Lalu. "Tetapi Ki Tumenggung Wirayuda itu sudah gugur dipeperangan."
"Aku kehilangan lacak waktu aku menelusur sebab kematiannya. Ia gugur dipeperangan tanpa luka yang berarti. Meskipun pengawalnya mengatakan bahwa didadanya terdapat luka karena ujung tombak, tetapi ia tidak mati seketika. Ada orang yang menghubungkan kematiannya dengan peringatan dan bahkan ancaman yang pernah diberikan oleh Ki Tumenggung Singayuda itu kepada Ki Pringgajaya." Ki Patrajaya berhenti sejenak, lalu. "tetapi tidak seorangpun dapat melacak buktinya."
Ki Widura mengangguk angguk. Katanya, "Kecurigaan tentang kematian Ki Tumenggung itu memang pernah aku dengar."
"Karena itu, kita wajib berhati-hati menghadapinya sekarang," berkata Ki Lurah Wirayuda, "ia seorang prajurit yang pilih tanding. Tetapi yang lebih berbahaya adalah kelicikannya itulah."
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing yang mengobati Sabungsaripun telah memberitahukan kepadanya pula, bahwa Ki Pringgajaya telah mendapat perintah untuk meninggalkan Jati Anom.
"Kita terlambat," desis prajurit muda itu.
"Tidak. Kita tidak terlambat. Kemanapun ia pergi, kita masih akan dapat menelusuri jejaknya, karena kepergiannya itu atas perintah." jawab Kiai Gringsing.
"Tetapi tidak mustahil bahwa ia akan depat melarikan diri saat ia berada didaerah Timur, atau dengan sengaja meninggalkan tugasnya bergabung dengan kelompok yang tersembunyi untuk meneruskan tindakan-tindakannya yang licik itu diluar lingkungan keprajuritan."
"Itu memang mungkin sekali terjadi," berkata Kiai Gringsing, "tetapi dengan demikian, ia akan banyak kehilangan kesempatan untuk menikam pajang dari dalam. Dengan demikian ia telah berterus terang melawan pemerintahan Pajang dan melakukan pemberontakan."
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Kiai. Tidak mustahil bahwa Ki Pringgajaya telah membakar dendam orang-orang Gunung Kendeng seperti orang-orang Pasisir Endut yang gila itu."
"Ya. Itu memang tidak mustahil," sahut Kiai Gringsing.
"Bukankah dengan demikian kita akan berhadapan dengan kelompok yang kuat seperti yang pernah Kiai dengar tentang orang-orang Gunung Kendeng," desis Sabungsari.
"Aku memang pernah mendengar serba sedikit tentang Gunung Kendeng," jawab Kiai Gringsing.
"Kiai," berkata Sabungsari kemudian, "aku adalah orang yang Kiai angkat dari lumpur yang paling kotor. Namun agaknya aku sudah berhasil menyadari arti dari sisa hidupku ini." ia berhenti sejenak, lalu. "jika Kiai dan Agung Sedayu percaya, aku mempunyai beberapa orang pengikut yang masih berada di Jati Anom. Dari sekelompok pengikutku ada beberapa orang yang masih tinggal disini atas perintahku."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Sabungsari. Orang-orangnya yang masih tinggal di Jati Anom itu akan dapat membantu menghadapi orang-orang Gunung Kendeng.
"Kiai," berkata Sabungsari kemudian, "tetapi aku lebih baik berterus terang, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak lebih baik dari orang-orang Gunung Kendeng itu sendiri. Mereka adalah orang-orang yang kotor seperti aku pada saat itu. Tetapi aku yakin, bahwa aku masih mempunyai pengaruh yang cukup atas mereka."
"Apakah mereka tidak akan kembali kepadepokan Telengan ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Sebagian memang sudah kembali untuk memberitahukan tentang perubahan sikapku. Tetapi masih ada satu dua orang yang tinggal atas permintaanku disini." jawab Sabungsari.
Kiai Gringsing tidak segera dapat menjawab. Bahkan iapun bertanya pula, "Seandainya kita ingin berhubungan dengan mereka, bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya kita lakukan."
"Aku akan memanggil mereka," jawab Sabungsari.
"Tetapi perananmu sekarang adalah seorang prajurit yang sakit, yang tidak dapat bangkit dari pembaringan."
"Aku akan melakukannya dimalam hari. Aku dapat keluar dari padepokan ini tanpa dilihat oleh seorangpun dan seperti laku seorang pencuri aku akan menemui mereka. Aku akan memerintahkan mereka seorang demi seorang memasuki padepokan ini tanpa mencurigakan. Meskipun kekuatan mereka kecil, tetapi mereka akan dapat sekedar membantu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk mendengar tawaran Sabungsari. Dengan demikian ia semakin yakin, bahwa Sabungsari benar-benar telah menyadari tingkah lakunya sepanjang perjalanan hidupnya. Dan Kiai Gringsingpun percaya, bahwa Sabungsari benar-benar akan menyerahkan pengikutnya dalam perjuangan yang berat melawan orang-orang Gunung Kendeng.
"Tetapi pengikut Ki Gede Telengan itu tidak lebih baik dari orang Gunung Kendeng sendiri," Kiai Gringsing bergumam didalam hatinya mengulangi pengakuan Sabungsari.
Selagi Kiai Gringsing mempertimbangkan tawaran Sabungsari, maka prajurit muda itu mendesaknya, "Apakah Kiai setuju " Jika Kiai setuju, biarlah malam nanti aku keluar dari padepokan ini. Besok siang, seorang demi seorang pengikutku akan datang. Tetapi mereka tidak akan keluar lagi dari padepokan ini. Mereka adalah keluargaku yang datang menengokku. Orang-orang padesan yang harus berperan sebagai orang-orang dungu, lebih dungu dari kedua cantrik yang tidak lain adalah lurah-lurah prajurit itu."
Kiai Gringsing merenungi tawaran itu. Kemudian katanya, "Aku akan berbicara dengan Ki Widura dan kedua lurah prajurit itu."
"Aku menunggu Kiai," sahut Sabungsari.
Kiai Gringsingpun kemudian menjumpai Ki Widura dan Ki Lurah Patrajaya dan Wirayuda. Sejenak mereka berbincang tentang tawaran Sabungsari tentang pengikut-pengikutnya yang masih ada di Jati Anom.
"Apakah Kiai dapat mempercayai mereka ?" bertanya Ki Widura.
"Aku percaya sepenuhnya kepada Sabungsari. Dan akupun percaya bahwa Sabungsari masih mempunyai pengaruh yang kuat atas mereka," jawab Kiai Gringsing.
Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara Ki Wirayuda bertanya, "Ada berapa orang yang masih ada di Jati Anom Kiai ?"
"Sabungsari tidak dapat menyebutnya dengan pasti. Sebagian dari para pengikutnya sudah diperintahkannya kembali. Jika disetujui, ia akan datang menemui mereka dan memberikan beberapa pesan bagi mereka," jawab Kiai Gringsing.
"Jika Kiai percaya, kamipun sama sekali tidak berkeberatan. Setiap kekuatan akan memperingan tugas kita masing-masing, jika benar-benar kelak terjadi sesuatu," jawab Ki Lurah Patrajaya.
Ternyata orang-orang penting dipadepokan itu tidak berkeberatan meskipun mereka mengetahui bahwa orang-orang itu adalah termasuk orang-orang kasar. Tetapi mereka ada dibawah pengaruh dan tanggung jawab Sabungsari, sementara prajurit muda itu telah mengenal dirinya sendiri dan menyesali tingkah lakunya dimasa lampau.
Keputusa itu telahdisampaikan oleh Kiai Gringsing kepada Sabungsari dan diberitahukannya pula kepada Agung Sedayu. Tetapi dengan pesan, bahwa setiap orang dipadepokan itu akan mengenal mereka sebagai sanak dan kadang Sabungsari yang menengok keadaannya. Orang-orang itu sama sekali tidak boleh memperkenalkan dirinya sebagai seorang yang memiliki kemampuan. Jika hal itu didengar oleh orang-orang Pringgajaya dan orang-orang Gunung Kendeng, maka mereka akan membuat perhitungan yang lebih cermat, sehingga kedatangan mereka akan lebih berbahaya lagi.
"Kita masih belum dapat mempercayai orang-orang dipadepokan ini seutuhnya," berkata Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu, "bukan karena mereka bermaksud buruk, tetapi karena mereka masih terlalu bersih, sehingga mereka tidak mempunyai prasangka buruk terhadap orang lain," berkata Kiai Gringsing, "karena itu, jika mereka mengetahui persiapan kita disini, maka mungkin sekali, sengaja atau tidak sengaja mereka akan mengatakannya kepada orang lain, sehingga hal itu akan dapat menjalar sampai ketelinga Pringgajaya dan orang-orang Gunung Kendeng, atau orang manapun juga yang telah dihubungi oleh Pringgajaya"
Demikianlah, maka ketika malam menjadi semakin dalam, Sabungsari telah meninggalkan padepokan diluar pengetahuan para cantrik, kecuah oleh kedua orang cantrik yang sebenarnya adalah Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Dengan diam-diam Sabungsari keluar lewat dinding belakang, seperti laku seorang pencuri, agar tidak dilihat oleh siapapun juga. Dengan hati-hati ia kemudian merayap diantara sawah dan ladang menuju kesebuah padukuhan di Kademangan Jati Anom, tempat para pengikutnya tinggal.
Kedatangan Sabungsari telah mengejutkan pengikut-pengikutnya. Mereka menganggap bahwa Sabungsari masih benar-benar sakit parah. Tetapi ternyata tiba-tiba saja anak muda itu telah berada diantara mereka.
"Kau sudah nampak sehat," berkata salah seorang pengikutnya.
"Aku sudah sembuh," jawab Sabungsari.
"Tetapi setiap orang mengatakan, bahwa kau masih memerlukan perawatan di padepokan kecil itu," desis pengikutnya yang lain.
Sabungsari tidak menjawab. Bahkan ia bertanya, "Ada berapa orang diantara kalian sekarang yang berada disini ?"
"Empat orang," jawab salah seorang diantara mereka, "aku berdua telah kembali kepadepokan untuk menyampaikan semua pesanmu kepada kawan-kawan kita. Meskipun sedikit timbul persoalan diantara kami, tetapi aku dapat mengatasinya."
"Ada yang tidak dapat menerima sikapku ?" bertanya Sabungsari.
"Ya. Sebenarnya sikapmu memang mengejutkan. Kita masih dibayangi kesetiaan kita kepada Ki Gede Telengan. Kau adalah anak laki-lakinya yang telah mewarisi segala-galanya." ia berhenti sejenak, lalu. "tetapi aku berhasil meyakinkan mereka. Meskipun demikian, mereka tetap menunggu untuk langsung mendengar penjelasanmu."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Anak Ki Gede Telengan sudah mati. Anak yang dibakar oleh dendam itu ternyata telah dibunuh oleh Agung Sedayu karena ternyata bahwa dalam perang tanding ia sudah dikalahkannya. Yang ada sekarang adalah Sabungsari yang lain, yang telah kehilangan jiwanya yang lama dan telah hidup jiwa yang baru."
Para pengikutnya mencoba untuk mengerti gejolak jiwa anak muda itu. Meskipun sebenarnya merekapun kecewa atas sikap itu, tetapi karena mereka langsung melihat dan merasakan perkembangan jiwa Sabungsari, maka merekapun telah berusaha untuk mendalaminya.
"Tetapi kemampuanku tidak susut," geram Sabungsari, "meskipun aku telah dikalahkan oleh Agung Sedayu, tetapi aku masih tetap mampu membunuh kalian seorang demi seorang tanpa menyentuh sama sekali."
Para pengikutnya tidak membantah. Bagaimanapun juga mereka percaya bahwa Sabungsari masih tetap pada tingkat kemampuannya, meskipun menurut pengakuannya ia tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa Sabungsari telah berhasil membunuh Carang Waja meskipun hampir saja terjadi sampyuh. Demikian pula dengan orang-orang dari Gunung Kendeng.
"Kenapa kalian diam saja ?" bertanya Sabungsari, "apakah kalian tidak percaya ?"
Salah seorang pengikutnya menjawab perlahan, "kami masih tetap pada kepercayaan kami kepadamu Sabungsari. Yang kami kehendaki adalah, bahwa kau dapat memberikan penjelasan kepada para pengikut Ki Gede Telengan dipadepokan, karena sepeninggal Ki Gede, kau adalah harapan satu-satunya. Sedangkan kau sekarang agaknya sudah merasa kerasan di Jati Anom menjadi seorang prajurit, apalagi menurut pengakuanmu, kau ternyata tidak lagi bermaksud membunuh Agung Sedayu untuk membalas dendam. Bahkan kau sendiri mengatakan, bahwa kau sudah dikalahkan oleh Agung Sedayu itu."
"Ya. Pengakuanku adalah pernyataan kebenaran. Aku sudah dikalahkan, dan aku tidak lagi ingin melakukan pembunuhan itu," berkata Sabungsari, "seterusnya aku justru berdiri dipihaknya dalam beberapa persoalan, seperti yang baru saja terjadi."
Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja.
Dengan terus terang Sabungsari kemudian mengatakan apa yang dapat terjadi dipadepokan kecil itu. Karena itu, maka jika para pengikutnya itu masih setia, maka tiba waktunya bagi mereka untuk berbuat sesuatu.
"Aku sekarang memerlukan bantuan kalian," berkata Sabungsari, "jika kalian masih menganggap aku pemimpinmu, maka kalian akan melakukannya. Tetapi jika tidak, dan kalian justru menganggap aku telah berkhianat kepada padepokan dan ayahku, maka kalian dapat berpihak orang-orang Gunung Kendeng, atau orang manapun yang tentu akan segera datang kepadepokan itu untuk membunuhku."
Para pengikutnya termangu-mangu.
Sekilas Sabungsari memberikan penjelasan tentang sikapnya agar para pengikutnya semakin yakin bahwa langkahnya adalah benar. Katanya, "Cara yang aku tempuh memang agak lain dari cara yang pernah aku katakan. Tetapi cara yang aku lakukan sekarang, dengan mengabdikan diri dalam lingkungan keprajuritan, melindungi mereka yang lemah dan memerlukan pertolongan, membantu kesulitan yang tidak teratasi oleh orang kebanyakan, adalah cara yang paling baik untuk membersihkan noda pada nama ayah dan seluruh padepokan Telengan."
Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka sudah pernah mendengar penjelasan seperti itu, dan merekapun telah mengatakannya kepada kawan-kawannya dipadepokan.
Kemudian dengan jelas, Sabungsari memberikan penjelasan apa yang harus mereka lakukan. Mereka harus sudah berada dipadepokan kecil itu sebelum malam berikutnya. Tetapi mereka tidak boleh menarik perhatian banyak orang. Mereka dapat datang berdua dan menyebut diri mereka sebagai sanak kadangnya yang akan menengok, karena mereka mendengar bahwa Sabungsari sedang sakit gawat.
Bagaimana juga, ternyata para pengikut Sabungsari masih tetap berada dibawah pengaruhnya. Mereka masih wajib untuk mematuhi segala perintahnya, betapapun mereka pernah merasa dikeicewakan.
Karena itu, maka merekapun telah menyatakan kesediaan mereka melakukan segala pesan Sabungsari. Bagaimana mereka memasuki padepokan, dan apa saja yang harus dikatakan kepada para cantrik dipadepokan itu.
"Tidak seorangpun dari para cantrik itu yang pantas dicurigai. Tetapi mereka belum terbentuk untuk bersikap sebagai seorang pengikut yang setia dalam keadaan yang keras. Mereka terlalu jujur dan bersih, sehingga mereka bukan orang yang merasa wajib menyembunyikan sesuatu yang mereka mengerti, yang mereka dengar dan yang mereka lihat. Karena itu, maka bukan satu hal yang mustahil, bahwa yang kita anggap rahasia akan segera diketahui oleh orang lain apabila hal ini didengar oleh para cantrik dipadepokan yang lugu itu, tanpa maksud buruk dan apalagi sebuah pengkhianatan." Sabungsari menjelaskan.
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Dan merekapun telah berjanji untuk berbuat demikian.
"Kalian adalah orang yang hidup dalam dunia yang berbeda. Kalian adalah orang-orang yang sadar akan arti sebuah rahasia. Aku tetap bersikap seperti saat aku berangkat dari padepokan. Aku akan menghukum siapa yang berkhianat terhadapku dengan cara yang sama pula," geram Sabungsari.
Para pengikutnya tidak menjawab. Mereka masih tetap melihat Sabungsari pada sifat dan wataknya, sehingga sulit bagi mereka untuk mengamati bahwa Sabungsari yang lama telah mati, dan telah lahir Sabungsari yang baru dengan jiwa yang baru.
Namun demikian, betapapun kaburnya, orang tertua diantara para pengikutnya itu dapat menjajagi, bahwa yang baru itu adalah sikap dan pandangan hidup. Tetapi tingkah laku dan sifat anak muda itu dalam kehidupannya sehari-hari masih saja tidak berubah. Keras dan kasar.
Sepeninggal Sabungsari, maka orang tertua dan kawan-kawannya berusaha untuk mengurai sikap dan tingkah laku Sabungsari. Dengan pengertian yang samar-samar, maka pada sifat dan tingkah laku lahiriah, dan sikap serta pandangan hidup yang tidak segera dapat disentuh oleh pancaindera.
Sementara itu, maka Sabungsaripun telah kembali kepadepokan dengan laku seperti saat ia meninggalkannya. Ketika ia memberikan tanda sandi di belakang rumah, dengan ketukan-ketukan lemah, maka Kiai Gringsinglah yang membuka pintu dan mempersilahkannya masuk, langsung kedalam biliknya.
"Apakah kata mereka ?" bertanya Kiai Gringsing.
Sabungsaripun kemudian meceriterakan apa yang telah di jumpainya diantara para pengikutnya dan tanggapan mereka terhadap perubahan sikap Sabungsari.
"Namun ternyata bahwa mereka masih tetap mengakui aku sebagai pemimpin mereka dan mereka bersedia sesuai dengan perintahku," berkata Sabungsari kemudian.
Kiai Gringsing yang mendengarkan ceritera Sabungsari itu mengangguk-angguk. Empat orang akan hadir dipadepokan kecil itu. Dan mereka pada mulanya adalah orang-orang yang keras dan kasar, yang cara hidupnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang Pesisir Endut dan orang-orang Gunung Kendeng.
Agaknya Sabungsari dapat meraba perasaan yang tumbuh didalam dada Kiai Gringsing itu. Karena itu maka katanya, "Kiai, orang-orangku memang orang-orang kasar dan dalam keadaan tertentu mereka dapat menjadi buas dan liar. Tetapi selama masih ada aku, maka aku berharap, bahwa aku akan dapat mengendalikannya."
"Ya, ya. Aku mengerti," desis Kiai Gringsing, lalu. "nah sekarang kau berbaring lagi dipembaringan. Tidurlah. Kau adalah seorang yang sakit gawat."
Sabungsari tersenyum. Iapun kemudian berbaring dipembaringannya sambil berkata, "Aku mulai jemu dengan peranan ini Kiai. Mudah-mudahan yang akan terjadi, segeralah terjadi."
"Tetapi agaknya tidak malam ini. Orang-orangmu masih belum berada disini."
Sabungsari hanya tersenyum saja. Namun iapun mulai memperbaiki letak tubuhnya, mulai mengerutkan dahinya dan mulailah peranannya menjadi orang yang sedang sakit gawat.
Ketika Kiai Gringsing keluar dari biliknya, ia terhenti sejenak. Dilihatnya Agung Sedayu berdiri disudut ruang dalam sambil meneguk air dari dalam gendi yang terletak di bancik disudut dinding.
"Kau dari sanggar ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya guru," jawab Agung Sedayu.
"Dengan Glagah Putih ?" bertanya gurunya pula.
"Tidak guru. Glagah Putih telah lama tidur nyenyak. Ia memang berlatih sejak sore. Tetapi baru setelah ia lelah dan tertidur, akulah yang kemudian berlatih."
"Dari mana kau masuk ?" bertanya Kiai Gringsing heran.
"Lewat pintu butulan. Aku memang tidak menyelaraknya, agar jika aku masuk, aku tidak perlu membangunkan guru lagi," jawab Agung Sedayu.
"Aku belum tidur. Aku tidak mendengar gerit pintu, dan aku sama sekali tidak mendengar langkahmu."
"Guru sedang asyik berbicara dengan Sabungsari. Agaknya iapun baru datang."
"Kau mengetahui bahwa Sabungsari meninggalkan padepokan ?"
"Ya. Aku melihatnya. Dan akupun melihat ia kembali."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian didekatinya Agung Sedayu! Sambil menepuk bahunya ia berkata, "Kau telah memasuki makna isi kitab Ki Waskita lebih dalam lagi. Segala yang kau miliki telah meningkat dengan pesatnya. Kau telah berhasil menyerap bunyi yang bergetar karena sentuhan tubuhmu dan pernafasanmu, sehingga hanya orang-orang yang dengan sengaja memusatkan perhatiannya pada kemampuan pendengarannya dan dilambari dengan ilmu yang mapan sajalah yang akan dapat menangkap getaran sentuhan wadagmu, apabila kau sedang menyerapnya."
Agung Sedayu menunduk. Dengan suara lemah ia berkata, "Maaf guru. Aku memang sedang meyakinkan diriku sendiri, apakah aku mampu menyerap bunyi yang tergetar oleh sentuhan tubuhku pada benda-benda lainnya serta getar pernafasanku."
"Dan kau telah berhasil. Agung Sedayu," sahut Kiai Gringsing, "aku yakin bahwa yang kau dapatkan bukan saja menyerap getar bunyi itu, tetapi mungkin hal-hal lain yang akan sangat mengherankan."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Aku telah melihat sebagian dari ilmu yang pernah dipelajari secara khusus oleh Rudita."
"Kekebalan ?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Mungkin ilmu itu dapat melindungi diriku tanpa menyakiti orang lain."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Agung Sedayu memang memiliki sentuhan watak dengan Rudita, meskipun pada bagian lain keduanya dipisahkan oleh jarak dari tempat mereka berpijak. Namun jika Agung Sedayu kemudian memiliki kemantapan untuk mempelajari ilmu kekebalan tubuh, maka mungkin ia akan bergeser dari tempatnya berpijak sekarang.
"Tetapi ilmu yang dimilikinya sepatutnya diamalkannya," berkata Kiai Gringsing kepada dirinya sendiri.
"Apakah ada kesalahan yang telah aku lakukan Kiai ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak. Tidak Agung Sedayu," jawab gurunya, "apakah kau sudah mendapatkan kemajuan dari pendalamanmu atas makna kitab Ki Waskita pada bagian yang menarik perhatianmu itu ?"
"Aku baru mulai guru. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada diriku. Karena itu, aku mulai dengan sangat perlahan-lahan sekali. Jika ternyata ada sesuatu yang kurang mapan, aku segera dapat melangkah surut."
"Bagus. Kau sudah berjalan dijalan yang benar. Kau memang tidak boleh terburu oleh nafsu untuk segera dapat menguasai satu segi dari makna buku itu," berkata gurunya, "lakukanlah seperti yang sudah kau mulai."
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Pada suatu saat, jika tidak dalam suasana yang panas ini, aku akan mohon guru menunggui caraku menempa diri mendalami makna kitab Ki Waskita." pinta Agung Sedayu.
"Tentu. Tentu Agung Sedayu. Tetapi yang sudah kau capai sampai saat ini tentu sudah mengejutkan semua orang. Akupun terkejut bahwa kau telah berada diruangan ini tanpa aku ketahui."
Agung Sedayu tidak menjawab.
"Aku sekarang akan beristirahat," berkata Kiai Gringsing, "masih ada sedikit sisa malam."
"Aku juga guru," sahut Agung Sedayu.
Keduanyapun kemudian memasuki bilik masing-masing. Agung Sedayu yang kemudian berdiri disisi pembaringannya, memandang wajah adik sepupunya yang sedang tidur nyenyak. Wajah yang bersih. Tetapi nampak garis-garis kekerasan wataknya. Kemauannya yang keras dan hatinya yang membara.
"Aku harus meletakkan dasar-dasar yang kuat jika aku akan membawanya merambah keluar dari garis ilmu ayah dan paman Widura," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Perlahan-Lahan Agung Sedayupun kemudian duduk disebelah Glagah Putih yang sedang berbaring. Tetapi ia tidak perlu menyerap bunyi yang bergetar dari sentuhan tubuhnya, karena agaknya Glagah Putih sedang tidur dengan nyenyaknya.
Sejenak kemudian Agung Sedayupun berbaring pula. Lelah dan kantuknya mulai menjalari tubuhnya, sehingga akhirnya iapun tertidur pula.
Dihari berikutnya, padepokan kecil itu terbangun seperti biasanya. Glagah Putih masih menyapu halaman dengan cara yang khusus. Ia tidak melangkah maju, tetapi ia melangkah surut seperti yang dianjurkan oleh Agung Sedayu, sehingga tidak ada bekas telapak kaki pada bekas sapu lidinya.
Para cantrik telah melakukan kerja masing-masing. Di kebun, di pakiwan dan dibelumbang. Beberapa orang diantara mereka telah pergi ke sawah untuk mehhat aliran air di parit yang membelah tanah persawahan mereka.
Agung Sedayu memang menjadi sangat jarang pergi ke sawah. Kiai Gringsing tidak dapat mengabaikan pesan Untara, agar Agung Sedayu selalu menjaga dirinya. Jika terjadi sesuatu dengan Agung Sedayu, maka Untara tentu akan merasa kehilangan, karena anak muda itu adalah satu-satunya saudaranya.
Ketika minuman hangat telah dihidangkan dipendapa, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura duduk sambil berbincang tentang padepokan mereka. Kepada Ki Widura, Kiai Gringsing menceriterakan apa yang telah dilakukan oleh Sabungsari. Ampat orang akan memasuki padepokan ini dan akan tinggal bersama mereka untuk beberapa saat lamanya.
"Ada juga baiknya," berkata Ki Widura, "mereka akan dapat membantu kita dalam beberapa hal. Terutama, jika sesuatu terjadi atas padepokan ini."
"Agung Sedayu telah mengetahuinya," berkata Kiai Gringsing. Iapun menceriterakan apa yang telah dicapai oleh anak muda itu dalam usahanya untuk mendalami makna kitab Ki Waskita.
Ki Widura mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia berkata, "Ia sudah meninggalkan orang-orang lain jauh dibelakangnya."
"Ya," sahut Kiai Gringsing, "tetapi anak muda itu tidak mencemaskan aku. Meskipun ilmunya membubung tinggi, tetapi sampai saat ini ia masih tetap menyadari keadaan dirinya sendiri dalam hubungan datar dengan sesama dan dalam hubungan tegak dengan Yang Menciptakannya."
Ki Widura mengangguk-angguk. Iapun sependapat, bahwa perkembangan kemampuan Agung Sedayu justru memberikan isyarat baik bagi sesamanya.
"Mudah-mudahan ia tidak berubah," desis Ki Widura.
Kiai Gringsing tidak menyahut, meskipun ia mengangguk-angguk.
Demikianlah, selagi mereka asyik berbincang, maka telah datang kepadepokan itu dua orang laki-laki yang berwajah keras. Namun keduanya nampak bertingkah laku lembut dan bahkan ragu-ragu.
Ketika seorang cantrik bertanya kepada keduanya, maka salah seorang dari mereka menjawab, "Kami adalah paman dari seorang muda yang bernama Sabungsari. Kami mendengar berita bahwa anak itu kini sedang sakit. Apakah kami diperkenankan untuk sekedar menengoknya."
"O," Cantrik itu mengangguk-angguk, "temuilah Kiai Gringsing dan Ki Widura yang duduk dipendapa itu.
Cantrik itupun kemudian membawa kedua orang itu naik kependapa. Namun dalam pada itu, sebelum keduanya mengatakan sesuatu. Kiai Gringsing telah mendahuluinya, "Sabungsari sudah mengatakan kepadaku segala-galanya."
Kedua orang itu hanya mengangguk dalam-dalam. Salah seorang berdesis, "Jika demikian, terserahlah kepada Kiai, apakah yang harus aku lakukan."
"Kau harus pergi kebilik Sabungsari untuk menengok kemanakanmu yang sakit itu," berkata Kiai Gringsing.
Kedua orang itu tersenyum. Tetapi merekapun kemudian dibawa oleh Kiai Gringsing memasuki bilik Sabungsari.
"Kalian harus tinggal disini untuk beberapa hari," perintah Sabungsari.
Keduanya mengangguk-angguk. Salah seorang dari keduanya menjawab, "Apakah kami tidak akan mengganggu ?"
"Kalian harus menyesuaikan cara hidup kalian yang liar itu dengan kehidupan dipadepokan ini. Disini semuanya berjalan tertib, lembut dan penuh pengertian. Tidak seorangpun dipadepokan ini yang mementingkan diri sendiri, dengki dan apalagi tamak,"
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun yang langsung menghunjam kedalam hati mereka adalah satu tuduhan, bahwa mereka adalah orang-orang mementingkan diri sendiri, dengki dan tamak.
Sabungsaripun kemudian menyerahkan keduanya kepada Kiai Gringsing. Sementara mereka masih menunggu dua orang lagi yang akan datang pula kepadepokan itu.
Seperti yang diharapkan, kedatangan orang-orang yang tidak bersamaan dan dalam keadaan yang nampaknya wajar itu, sama sekali tidak menarik perhatian. Padepokan itu memang padepokan yang terpisah dari padukuhan. Namun jalan yang menuju kepadepokan itu, bukannya jalan yang terlalu sepi, karena jalur jalan yang memanjang lewat padepokan itu akan dapat sampai pula kepadepokan-padepokan lain disekitar Kademangan Jati Anom.
Dengan demikian, maka dua orang yang datang kepadepokan dengan ujud sebagaimana para petani itu sama sekali tidak tertangkap oleh pengamatan orang-orang yang bermaksud buruk terhadap padepokan itu.
Kedua orang yang datang berikutnyapun tidak menarik perhatian mereka. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari dipadepokan itu. Kiai Gringsing, Ki Widura, Agung Sedayu serta Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah berusaha untuk mengatur para cantrik dengan tanpa nnereka sadari untuk tidak menunjukkan kesan dan perubahan apapun juga di padepokan kecil itu.
Demikianlah, sejak hari itu, padepokan kecil itu telah bertambah dengan empat orang penghuni yang mengaku sanak kadang Sabungsari yang datang dari jauh. Mereka adalah petani-petani yang kasar, karena setiap hari harus bergulat dengan lumpur seperti juga para cantrik dipadepokan itu.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa padepokan itu tidak terlepas dari pengamatan orang-orang Gunung Kendeng dan para pengikut Ki Pringgajaya. Meskipun Ki Pringgajaya sendiri sudah tidak ada di Jati Anom, tetapi beberapa orang yang akan melaksanakan rencananya telah mendapat pesan untuk melakukan sebaik-baiknya, agar mereka tidak akan mengalami kegagalan lagi. Persoalannya bukan lagi sekedar melenyapkan Agung Sedayu untuk memperlemah pengaruh Mataram didaerah yang terbentang dalam jalur lurus antara Pajang dan Mataram, tetapi juga karena dendam dan kebencian yang meluap-luap. Demikian juga terhadap Sabungsari yang dianggap oleh Ki Pringgajaya dan pengikutnya sebagai pengkhianat yang harus dibunuh.
Menjelang saat-saat yang ditentukan, sesuai dengan tugas yang tepat pada para pengikut Ki Pringgajaya untuk berjaga-jaga digardu dipadukuhan sebelah padepokan itu, maka mereka telah melakukan pengawasan dan perhitungan yang lebih cermat.
Seorang pengikut yang kebetulan lewat didepan padepokan itu tertegun sejenak, ketika mereka melihat beberapa orang penghuni padepokan itu berdiri berjajar dihalaman.
"Orang-orang gila," geram orang itu. Namun sambil tersenyum iapun kemudian memperhatikan apa yang dilakukan oleh para cantrik dari padepokan itu termasuk Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda dalam kedudukan mereka sebagai cantrik.
Ternyata bahwa para cantrik itu sedang melakukan latihan oleh kanuragan. Agung Sedayu yang mengajari mereka berlatih, nampaknya dengan sungguh-sungguh mencoba meningkatkan ilmu para cantrik itu.
Tetapi pengikut Ki Pringgajaya yang kemudian meneruskan perjalanannya itu bergumam didalam hati, "Ternyata Agung Sedayu telah dicengkam oleh keputus asaan. Agaknya ia memperhitungkan, bahwa pembalasan memang akan datang. Karena itu, maka ia mencari kawan untuk mempertahankan diri. Tetapi adalah bodoh sekali, bahwa ia dengan tergesa-gesa ingin membentuk para cantrik itu untuk menjadi perisai jika terjadi sesuatu."
Kawan-kawannya tertawa berkepanjangan ketika pengikut Ki Pringgajaya itu menceriterakan apa yang dilihatnya. Namun pengikut yang menyaksikan latihan itu berkata, "Tujuh atau delapan orang dihalaman itu nampaknya dengan sungguh-sungguh sedang berlatih. Agung Sedayupun nampaknya telah mengerahkan kemampuannya untuk melimpahkan ilmunya kepada para cantrik. Tetapi agaknya ia terlalu kecewa, karena kemampuan para cantrik itu tidak bertambah-tambah juga."
Kawan-kawannya masih tertawa. Sementara orang yang menyaksikan latihan itu meneruskan, "Meskipun demikian, kita tidak dapat mengabaikan sama sekali tentang mereka. Dalam beberapa hal, mereka tentu akan dapat membantu. Aku melihat dalam latihan itu, mereka telah belajar menggerakkan pedang. Mendatar, terayun tegak, kemudian menyilang dan menusuk lurus. Agaknya Agung Sedayu telah memberikan beberapa petunjuk, bagaimana mereka harus menangkis serangan mendatar, tegak dan tusukan lurus kedada."
Seorang kawannya yang bertubuh tinggi tertawa sambil berkata, "Mereka sedang diajari bermimpi oleh Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu sendiri merupakan orang yang paling diperhitungkan di padepokan itu disamping gurunya. Tetapi para cantrik itu tidak akan lebih dari seekor sulung yang masuk kedalam api. Mereka tidak akan lebih dari membunuh diri apabila mereka berani keluar dari biliknya pada saat orang-orang Gunung Kendeng memasuki padepokan itu."
Namun orang berambut keriting diantara mereka berkata, "Dugaan semacam inilah pangkal dari kegagalan yang paling pahit. Jangan mengabaikan para cantrik. Dalam keadaan gawat, mereka akan menempa diri siang dan malam. Dalam waktu empat hari mendatang, mereka tentu sudah meningkat. Dan dihari kelima, mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan."
Kawan-kawannya tertawa semakin keras. Katanya, "Kau ini sedang mengigau atau berkelakar. Apa artinya lima hari dalam menimba ilmu kanuragan."
Yang lain menyambung, "Aku telah berlatih lebih dari dua tahun. Namun aku masih tetap seperti sekarang ini."
Orang berambut kerinting itu menyahut, "Aku bersungguh-sungguh. Tidak mengigau dan tidak berkelakar. Aku hanya minta agar orang-orang Gunung Kendeng nanti jangan mengabaikan orang-orang itu."
Orang yang menyaksikan latihan dihalaman padepokan itupun berkata, "Aku sependapat. Latihan itu tentu bukan baru dimulai hari ini. Aku melihat, bahwa mereka sudah nampak cermat menggenggam senjata. Mereka memang harus diperhitungkan baik-baik."
"Ya, ya. Akupun sependapat," desis yang lain. Tetapi ia masih tersenyum, katanya selanjutnya, "seekor tikus-pun harus diperhitungkan. Tiba-tiba saja bagian tubuh kita yang paling lemah dapat digigitnya, sehingga kita terkejut. Pada saat itulah, segalanya dapat terjadi."
Demikianlah, dari hari kehari berikutnya maka latihan-latihan para cantrik itupun nampaknya semakin meningkat. Kadang-kadang di tempat terbuka, tetapi kadang-kadang mereka berada didalam sanggar. Dengan sungguh-sungguh para cantrik itu mengikuti segala petunjuk Agung Sedayu, sehingga betapapun lambannya, namun ilmu merekapun telah meningkat pula.
Namun yang terpenting dari latihan-latihan itu adalah kesan, bahwa padepokan itu memang dalam keadaan gelisah. Sementara orang-orang terpenting dari padepokan itu tidak lebih dari Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu. Disamping mereka masih ada Sabungsari. Tetapi Sabungsari masih belum sembuh benar dari luka-lukanya.
Saat-saat yang paling mendebarkan itupun menjadi semakin dekat. Dari tugas bagi para pengikut Ki Pringgajaya itupun hampir datang pula. Segala sesuatunya telah diperhitungkan dan direncanakan sebaik-baiknya, sehingga mereka tidak akan gagal lagi, betapapun dahsyatnya ilmu yang dimiliki oleh Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu.
"Betapapun tinggi ilmu mereka, tetapi tiga orang tidak akan dapat melawan kekuatan puncak dari perguruan di Gunung Kendeng. Perguruan yang pilih tanding, serta memiliki orang-orang terbaik yang sukar dicari bandingannya, meskipun dua diantara mereka telah berhasil dibunuh oleh Agung Sedayu dan Sabungsari," berkata orang-orang Pajang yang berada di Jati Anom menjadi pengikut Ki Pringgajaya.
Namun adalah dengan sengaja, bahwa isi padepokan kecil itu telah membuat kesan yang lain dari yang sebenarnya. Dengan demikian, maka perhitungan orang-orang Gunung Kendeng itupun tidak akan tepat seperti yang ada sebenarnya.
Sementara itu, dengan diam-diam penghuni padepokan itu selalu memberikan laporan terperinci kepada Untara. Merekapun memberitahukan, bahwa disamping Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda yang menyatu dalam lingkungan para cantrik, maka dipadepokan itu terdapat pula ampat orang pengikut Sabungsari.
"Tetapi berhati-hatilah," pesan Untara kepada Ki Wirayuda yang kebetulan mendapat tugas untuk menemui seorang petugas sandi di pasar sambil berbelanja bagi kepentingan padepokannya, lewat petugas sandi itu, "Ki Untara sudah mencium kegiatan yang mencurigakan disekitar Jati Anom. Di padukuhan lain dari padukuhan yang dijaga oleh para prajurit itu, Ki Untara telah meletakkan penjagaan sandi. Seorang petugas sandi selalu berada ditempat itu. Tugasnya hanyalah sekedar memukul kentongan atau melepaskan panah sendaren. Karena itu, jika terjadi sesuatu, jangan lupa, bunyikan isyarat, meskipun sudah diketahui, bahwa prajurit yang bertugas digardu itu tidak akan dapat melakukannya, karena mereka tentu akan di bayangi pula oleh kekuatan dari Gunung Kendeng itu."
"Tetapi apakah para prajurit itu akan diumpankan ?" bertanya Ki Lurah Wirayuda, "agaknya itu tidak adil."
"Tidak," jawab petugas sandi itu, "nampaknya Ki Untara telah mencium laporan dari petugas sandinya yang berbaur dengan para prajurit, bahwa ada beberapa prajurit yang karena satu dan lain hal, telah mengajukan permohonan untuk bertugas dalam waktu yang bersamaan digardu itu, meskipun mereka tidak berasal dari satu kelompok. Permintaan itu sudah dikabulkan. Dan hari yang mereka mintapun telah di tandai oleh Ki Untara dengan kesiagaan sepenuhnya meskipun tersamar."
"Bagaimana mungkin mereka dapat dicurigai ?"
"Beberapa orang yang seharusnya bertugas pada saat lain, mengajukan permohonan karena alasan pribadi untuk merubah hari-hari tugas mereka. Karena ada tidak orang prajurit yang minta untuk waktu yang sama, maka Ki Untara telah memperhitungkannya. Meskipun mungkin pula itu hanya satu kebetulan saja."
"Kapan hari yang mereka minta itu ?" bertanya Ki Lurah Wirayuda.
"Malam kliwon mendatang," desis petugas sandi itu sambil memandang keadaan disekelilingnya.
Ki Lurah Wirayuda tidak segera menjawab. Ia sedang memilih sebuah cangkul yang dijajakan didepan gubug pembantunya, pande besi yang mengerjakan pekerjaannya diujung pasar. Ketika perapiannya mengepulkan api dan dengan tangkasnya ia memanasi besi yang kemudian membara, maka Ki Lurah Wirayuda meneruskan sambil melihat-lihat beberapa buah cangkul yang sedang dijajakan itu, "sekarang hari apa ?"
"Hari pasaran di Jati Anom. Pahing."
"Masih ada waktu tiga hari. Baiklah. Aku akan memberitahukan kepada Kiai Gringsing," berkata Ki Lurah Wirayuda.
"Tetapi itu bukan berarti bahwa sebelum hari itu tidak akan dapat terjadi sesuatu," desis petugas sandi itu.
"Ya, kami akan selalu berhati-hati," sahut Ki Lurah Wirayuda.
Petugas itupun kemudian membeli pula sebuah cangkul seperti juga Ki Lurah Wirayuda. Beberapa saat setelah petugas itu pergi, maka barulah Ki Lurah Wirayuda pergi meninggalkan pande besi itu.
Beberapa saat Ki Lurah masih berada dipasar sebagai seorang cantrik padepokan kecil diujung Kademangan Sangkal Putung. Ia membeli beberapa jenis rempah-rempah yang tidak dapat ditanamnya sendiri. Garam dan ikan air yang sudah kering.
Ia terkejut ketika seorang laki-laki yang bertubuh tegap mendekatinya dan kemudian bertanya, "Bukankah kau cantrik dari padepokan kecil itu ?"
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya sambil tersenyum seolah-olah lepas dari segala prasangka, "Ya. Aku adalah cantrik dari padepokan itu."
"Apakah kau mengenal Sabungsari ?" bertanya orang itu.
"Tentu. Tentu aku mengenalnya. Ia berada dipadepokan. Tetapi ia sedang sakit parah. Meskipun ia sudah dapat bangkit dan duduk dibibir pembaringan, tetapi Kiai Gringsing masih belum memperkenankannya berdiri dan apalagi berjalan. Luka-lukanya agak aneh. Ketika ia dibawa kepadepokan itu, nampaknya tidak seberat beberapa hari setelah ia tinggal bersama kami. Namun berkat ketekunan Kiai Gringsing, ia kini menjadi berangsur baik."
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ketika Ki Lurah Wirayuda akan berbicara lagi, orang itu mendahului, "Sudah cukup. Terima kasah. Tetapi apakah Ki Widura masih selalu berada dipadepokan itu ?"
"Ya. Ia berada disana. Ia merasa perlu menjaga anaknya yang bernama Glagah Putih. Kau kenal Glagah Putih ?" bertanya Ki Wirayuda.
"Ya. Tentu aku mengenalnya." jawab orang itu.
"Apakah kau akan berpesan atau barangkali kau mempunyai kepentingan ?" bertanya Ki Lurah Wirayuda.
"Tidak. Aku tidak mempunyai kepentingan apapun juga. Aku adalah kawan Sabungsari. Kelak, jika ia sudah sembuh, aku akan datang menengoknya," berkata orang itu.
"Aku akan menyampaikannya," sahut Ki Lurah Wirayuda.
"Itu tidak perlu. Kau tidak usah mengatakan apapun kepadanya, agar tidak mengganggu perasaannya." berkata orang itu.
Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih banyak lagi ketika orang itu kemudian meninggalkannya.
Namun Ki Lurah Wirayuda bukan seorang cantrik kebanyakan yang bodoh dan dungu. Ia adalah seorang prajurit sandi yang mempunyai panggraita yang tajam, sehingga dengan demikian, iapun mengerti, bahwa orang itu tentu berusaha meyakinkan, apakah tidak ada orang lain lagi dipadepokan itu kecuali orang-orang yang sudah dikenalnya. Meskipun ia tidak bertanya, tetapi ia berharap bahwa seorang cantrik akan dengan sendirinya berceritera tentang apa saja yang diketahuinya.
Demikianlah, maka ketika ia kembali kepadepokan dengan membawa cangkul dan beberapa jenis kebutuhan dapur, maka iapun dapat memberikan beberapa keterangan kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura.
Keterangan itu memang sangat menarik perhatian. Dengan demikian Kiai Gringsing seakan-akan telah mendapat ancar ancar waktu, kapan padepokan kecil itu harus bersiaga sepenuhnya. Meskipun seperti pesan petugas sandi itu, bahwa bukan berarti isi padepokan itu dapat lengah pada saat-saat sebelum hari yang sudah ditentukan.
Kiai Gringsing dan Widurapun kemudian dengan diam-diam telah memberi tahukan hal itu kepada Agung Sedayu dan Sabungsari. Sementara Sabungsaripun kemudian memberitahukannya kepada keempat orang pengikutnya.
"Apakah Glagah Putih tidak sebaiknya dipersiapkan untuk menghadapi keadaan itu," berkata Agung Sedayu kepada Ki Widura, "jika ia tidak bersiap badan dan perasaannya, maka ia tentu akan menjadi sangat terkejut."
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Ada baiknya juga kau memberitahukan agar ia bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi Glagah Putih tidak perlu mengetahui keadaan seluruhnya. Aku berpendapat bahwa ia sudah cukup dewasa untuk mengenal rahasia."
"Ya paman," Agung Sedayu menyahut, "akupun berpendapat demikian. Aku kira, justru sebaiknya kita mulai berterus terang kepada anak itu apabila sesuatu rahasia wajib diketahuinya. Dengan demikian ia akan mempertanggung jawabkannya."
"Terserah kepadamu Agung Sedayu. Kaulah yang membimbing anak itu, lahir dan batinnya," jawab Widura.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sebenarnya merasa sangat berat untuk menerima tanggung jawab itu. Ia sendiri masih selalu diombang-ambingkan oleh keragu-raguan dan ketidak pastian, sehingga sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat memberikan arah yang pasti pula kepada Glagah Putih.
Meskipun demikian Agung Sedayu berniat untuk mencobanya.
Dengan hati-hati Agung Sedayu memberitahukan kemungkinan yang bakal terjadi. Namun Agung Sedayu terkejut mendengar jawab Glagah Putih, "Aku sudah menduga. Orang yang berniat buruk itu tidak akan terhenti sampai pada kegagalan itu saja. Apalagi peristiwa itu telah menyangkut nama orang-orang penting di Jati Anom," anak itu berhenti sejenak, lalu. "demikian pula persiapan yang kita lakukan pada saat-saat terakhir dipadepokan ini. Kakang kadang-kadang memberikan latihan terbuka, justru dengan unsur-unsur yang datar dan kurang berarti. Tetapi kadang-kadang kakang membawa para cantrik masuk kedalam sanggar dan menempa mereka dengan sungguh-sungguh."
"Apakah menurut pendapatmu, hal itu ada maksudnya ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tentu kakang sedang mencoba memperlihatkan satu kelemahan kepada sesuatu pihak, tetapi kemudian menjebaknya dengan kekuatan yang sebenarnya ada dipadepokan ini, termasuk para cantrik itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata kau mempunyai tanggapan yang cermat terhadap peristiwa yang terjadi disekitarmu. Kemampuanmu mengurai keadaan melampaui dugaanku."
"Kakang selalu memuji. Tetapi sebenarnya aku bukan apa-apa," desis Glagah Putih.


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan selalu merasa dirimu terlalu kecil," sahut Agung Sedayu, "meskipun kau juga tidak boleh merasa dirimu lebih besar dari keadaanmu yang sebenarnya. Tetapi bagaimanapun juga, cobalah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk seterusnya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Bukan saja sekedar kesanggupan, tetapi iapun kemudian melakukannya. Dengan sungguh-sungguh ia mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dipadepokan kecil itu menjelang hari-hari yang diisyaratkan, meskipun kemungkinan itu akan dapat berkisar. Maju atau mundur.
Dalam pada itu, dipihak yang lain, orang orang Gunung Kendeng dan pada pengikut Ki Pringgajayapun telah mengatur segala sesuatunya dengan cermat pula. Mereka memang berusaha untuk menyesuaikan waktunya dengan kemungkinan yang paling baik. Mereka telah menentukan hari yang telah mereka anggap terbaik, karena para petugas digardu yang dipasang oleh Ki Untara itu adalah para pengikut Ki Pringgajaya. Seandainya ada seorang dari antara mereka yang tidak sejalan, maka yang seorang itu sama sekali tidak berarti.
"Kita sudah berhasil seluruhnya," berkata salah seorang dari mereka. "Kita sudah mendapatkan kepastian, bahwa kita bertugas pada hari yang ditentukan itu bersama-sama."
"Satu langkah yang baik," sahut yang lain, "kemenangan pada langkah pertama. Gardu itu akan tetap bungkam meskipun seandainya ada orang-orang padepokan yang sempat membunyikan isyarat."
"Tetapi isyarat yang dilontarkan dari padepokan itu akan didengar oleh orang-orang padukuhan sehingga merekapun akan dapat menyambut dan kemudian menjalar sampai ke Jati Anom, dan didengar oleh Untara." desis yang lain.
Kawannya tertawa. Katanya, "Kita bukan anak-anak dungu seperti kau. Pada saat yang ditentukan, akan ada peristiwa yang terjadi di padukuhan lain. Sekelompok perampok akan datang kepada orang yang paling kaya. Merampok dan membakar rumahnya, sementara isyarat harus dibunyikan. Dengan demikian, maka semua perhatian akan tertuju kepada peristiwa itu. Suara isyarat yang lain tidak akan banyak berpengaruh dan tentu akan membingungkan. Demikian pula suara kentongan digardu yang dijaga oleh para prajurit itu, karena para prajurit itu adalah kita sendiri."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Segalanya memang sudah direncanakan sebaik-baiknya. Perampokan itu dapat saja terjadi, karena dilakukan oleh pihak yang sama. Tetapi yang penting bukannya hasil rampokan itu sendiri, meskipun seandainya dapat juga diperhitungkan. Namun kebakaran dan kebingungan akan mengelabui beberapa pihak.
Hari-hari yang pendek itu telah dipergunakan oleh orang-orang Gunung Kendeng untuk mematangkan persiapan mereka. Orang-orang terbaik dari perguruan itu sudah berhimpun. Yang sudah meninggalkan padepokan dan tersebar didaerah yang luas, telah dihubungi dan dipanggil kembali. Mereka yang terbaik telah dipersiapkan untuk memasuki padepokan kecil yang hanya ditunggui oleh tiga orang terpenting. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu.
"Tetapi kita tidak boleh terjebak seperti saat yang lalu," berkata pemimpin tertinggi padepokan Gunung Kendeng itu.
Semakin dekat dengan saat yang ditentuken, maka pengawasan atas padepokan itu menjadi semakin ketat. Beberapa orang telah ditugaskan untuk mengamati, apakah ada yang dapat mempengaruhi perhitungan mereka terhadap kekuatan di padepokan kecil itu.
Bahkan, adalah sangat mengejutkan bahwa terjadi kunjungan dua orang prajurit Pajang di Jati Anom untuk menengok Sabungsari yang sedang sakit.
"Kawan-kawan menjadi gelisah, karena menurut pendengaran mereka, kau tidak menjadi semakin baik, tetapi justru sebaliknya," berkata salah seorang prajurit yang menengoknya didalam biliknya.
Sabungsari menyeringai menahan sakit ketika ia mencoba beringsut dan kemudian bangkit untuk duduk dibibir pembaringan.
"Berbaring sajalah," prajurit itu mencoba mencegah.
Tetapi Sabungsari duduk betapapun ia nampaknya mengalami kesulitan. Katanya, "Aku sudah berangsur baik. Aku sudah diperbolehkan makan jenang cair."
Kedua prajurit itu mengangguk angguk. Salah seorang dari mereka berkata, "Kami adalah utusan dari para prajurit yang merasa senasib. Meskipun secara pribadi kami belum dapat disebut sahabat yang sangat rapat, tetapi kita sudah saling mengenal. Adalah kebetulan bahwa kawan-kawan menunjuk kami berdua yang saat ini sedang mendapat kesempatan beristirahat setelah bertugas malam tadi."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengucapkan banyak terimakasih."
"Kami sedang sibuk untuk mencari jejak kejahatan yang telah membuatmu terluka parah. Tetapi sampai saat ini, kami masih belum dapat menemukan tanda-tanda yang akan dapat menunjukkan jalur pengamatan kami selanjutnya," berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
"Terima kasih. Tetapi agaknya kematian kedua orang yang belum dapat diketemukan mayatnya itu telah membuat mereka jera," berkata Sabungsari, "aku berani bertaruh bahwa mereka tidak akan berani mendekati tlatah Jati Anom. Apalagi mengusik aku dan Agung Sedayu."
Kedua orang prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun yang seorang kemudian berkata, "Agaknya memang demikian."
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Sabungsari tidak lagi mampu duduk lebih lama lagi. Ketika ia kemudian berbaring lagi, iapun berkata, "Tolong, katakan kepada kawan-kawan bahwa aku sudah baik."
"Ya. Kami akan mengatakannya," kedua orang prajurit itu hampir berbareng menyahut.
Dalam pada itu, maka percakapan merekapun menjadi semakin panjang. Prajurit-prajurit itu sempat menyebut isi padepokan itu. Dan seolah-olah tidak sengaja mereka menanyakan, apakah ada orang lain kecuali Kiai Gringsing dan Ki Widura, disamping Agung Sedayu dan Sabungsari sendiri.
"Ada beberapa orang cantrik," berkata Sabungsari, "tetapi mereka adalah manusia-manusia yang paling dungu yang pernah aku kenal."
"Apakah tidak ada seorang cantrikpun yang dapat dianggap mewarisi ilmu Agung Sedayu " Bukankah ia dengan sungguh-sungguh telah mencoba melatih para cantrik dalam olah kanuragan disamping Glagah Putih ?"
"Sekali," desis Sabungsari. Sejenak ia terdiam, namun kemudian ia berbisik, "Yang sebenarnya bodoh adalah Agung Sedayu. Apakah yang diharapkan dari para cantrik itu " Mungkin sekedar pengisi waktu. Namun sebenarnya ia dapat mencurahkan waktunya bagi Glagah Putih. Namun agaknya Agung Sedayu bukan seorang guru yang baik. Ia tidak terbuka bagi adik sepupunya, karena agaknya Agung Sedayu menjadi cemas, bahwa pada suatu ketika anak itu dapat menyaingi kemampuannya."
Kedua prajurit itu mengangguk-angguk, untuk beberapa saat mereka masih bercakap-cakap didalam bilik Sabungsari. Namun kemudian merekapun dipersilahkan untuk pergi kependapa, duduk bersama Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu. Sementara beberapa orang cantrik nampak berkeliaran di halaman. Diantara para cantrik yang sibuk membelah kayu di halaman samping adalah Ki Lurah Patrajaya.
Dalam pada itu, kedua prajurit itu menganggap bahwa pengamatan mereka atas padepokan itu sudah cukup. Ia tidak melihat orang lain yang pantas diperhitungkan di padepokan itu kecuali orang-orang yang sudah mereka kenal dengan baik, sementara keadaan Sabungsari masih sangat parah.
Ketika kedua orang prajurit itu meninggalkan pendapa padepokan dan turun ke halaman, mereka melihat seorang cantrik yang memasuki regol sambil menjinjing cangkul. Kakinya dikotori oleh lumpur yang belum sempat dibersihkannya.
Kedua prajurit itu sama sekali tidak menghiraukannya. Namun agaknya mereka sama sekali tidak mengerti, bahwa orang itu adalah Ki Lurah Wirayuda.
Demikianlah, kedua prajurit itu akhirnya meninggalkan padepokan. Diregol Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih sempat mengucapkan terima kasih atas perhatian para prajurit terhadap kawannya yang terluka parah dan untuk sementara tinggal dipadepokan.
Beberapa puluh langkah dari regol padepokan, maka prajurit itu tidak dapat menahan senyum mereka. Salah seorang dari mereka berkata, "Kesombongan Sabungsari akan menenggelamkan kedalam kesulitan yang paling pahit. Ia menganggap bahwa tidak ada lagi orang yang berani mengusiknya setelah ia berhasil membunuh kedua orang lawannya yang tidak berhasil diketemukan mayatnya itu."
Kawannya tertawa. Katanya kemudian, "Iapun menganggap Agung Sedayu terlalu bodoh. Tetapi agaknya Agung Sedayu memang bodoh dan dengki seperti yang dikatakannya, sehingga Glagah Putih tidak akan mendapat kesempurnaan ilmu seperti Agung Sedayu. Dengan sengaja Agung Sedayu tentu membuat Glagah Putih tetap bodoh dan kurang memahami ilmunya."
Yang lainpun tertawa pula. Katanya, "Agaknya Gembong Sangiran terlalu berhati-hati. Ia mengerahkan segenap kekuatan yang ada di Gunung Kendeng, seolah-olah ia berhadapan dengan sepasukan prajurit yang memiliki kemampuan seperti Sabungsari."
Keduanyapun tertawa semakin keras. Namun salah seorang dari mereka berdesis, "Jangan terlalu keras. Kita akan dianggap orang gila oleh para petani yang ada disawah."
"Semuanya akan berjalan lancar," berkata yang lain, "Ki Pringgajaya tidak akan kecewa lagi."
Keduanya sama sekali tidak menganggap bahwa padepokan itu merupakan persoalan lagi. Keduanya menganggap bahwa Gembong Sangiran tentu akan menyelesaikan tugasnya dengan baik. Kemudian orang itu akan menerima tiga keping emas yang nilainya memang cukup tinggi.
"Terlalu mahal untuk kepala Sabungsari yang sudah hampir mati itu dan Agung Sedayu yang dengki," desis salah seorang prajurit itu.
"Kau lupa memperhitungkan Kiai Gringsing dan Ki Widura," sahut yang lain.
"Kiai Gringsing tidak akan menang melawan Gembong Sangiran. Sedang Widura akan mati berhadapan dengan Putut Panjer. Sementara Putut Tanggon akan dengan mudah membunuh Agung Sedayu. Selebihnya tidak ada orang yang berarti. Tiga orang Putut di Gunung Kendeng sebenarnya telah cukup disamping Gembong Sangiran sendiri. Namun agaknya Ki Banjar Aking dari pesisir Lor telah dipanggilnya pula. Seorang Jejanggan yang tidak ada duanya di Gunung Kendeng akan ikut serta bersama Gembong Sangiran."
"Siapa ?" bertanya kawannya.
"Jandon." jawab kawannya.
"Jandon " Jadi Jandon ada di Gunung Kendeng " " kawannya mendesak.
"Ya. Apakah kau baru mendengarnya " Aku telah mendengarnya beberapa saat yang lalu. Seorang dari dua korban yang terbunuh dalam perkelahian antara orang-orang Gunung Kendeng melawan Agung Sedayu dan Sabungsari adalah adik Jandon."
"Hancurlah padepokan itu," desis prajurit itu, "jika nama Jandon telah disebut pula, maka berakhirlah ceritera tentang Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Kemudian akan menyusul Swandaru, isteri dan adik perempuannya."
"Jandon yang telah meninggalkan Gunung Kendeng telah mendengar kabar kematian adiknya. Ia datang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tiga keping emas. Tetapi karena adiknya yang terbunuh itulah."
"Apapun alasannya, tetapi Agung Sedayu akan dibantai sampai lumat. Setan itu tidak ada duanya di Demak," sahut kawannya, "mungkin ilmunya belum setingkat Gembong Sangiran. Tetapi ia memiliki jantung yang agaknya berbulu seperti jantung iblis."
"Nasib Agung Sedayulah yang buruk," berkata kawannya, "jika Putut Tanggon gagal, maka Jandonlah yang akan mengelupas Agung Sedayu seperti sebuah pisang."
Keduanya sudah membayangkan, apakah yang akan terjadi di padepokan itu. Karang abang. Kematian dan abu yang bertebaran.
Sementara itu waktupun merambat dengan lambannya. Matahari berpendar dilangit sambil beredar dengan malasnya. Namlin waktupun berjalan betapapun lambatnya.
Dimalam hari, padepokan kecil itu sama sekali tidak lelap. Bergantian orang-orang terpenting dari padepokan itu berjaga-jaga. Didalam rumah. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu bergantian duduk diruang dalam. Sementara itu meskipun Sabungsari disiang hari berbaring dengan jemu dipembaringannya, justru dimalam hari ia sering duduk bersama Agung Sedayu diruang dalam sambil bermain macanan.
Diluar rumah, para cantrik memang mendapat giliran untuk berjaga-jaga. Namun diantara mereka, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah mengatur diri untuk bertugas bergantian, sementara itu kedua orang itu telah mengatur keempat orang pengikut Sabungsari yang dengan sungguh-sungguh berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan itu. Tetapi mereka berempat melakukan kewajiban mereka masing-masing dalam keadaan khusus, karena mereka bukannya cantrik-cantrik dari padepokan itu. Mereka berempat telah berjaga-jaga bergantian didalam bilik yang disediakan bagi mereka.
Namun sementara itu, pada setiap kesempatan, Glagah Putih telah menempa diri sekuat dapat dilakukannya. Pagi, siang, malam dan kapan saja ada waktu baginya.
Sedangkan yang tidak diketahui oleh orang lain, adalah saat-saat yang diperlukan oleh Agung Sedayu untuk mendalami makna isi kitab Ki Waskita. Setiap kali Agung Sedayu berlandaskan ilmu yang ada padanya, berusaha menyadap makna isi kitab Ki Waskita, maka kemampuannya seolah-olah telah bertambah seusap lebih tinggi.
Hari telah sampai kehari berikutnya. Tidak terjadi sesuatu yang menarik perhatian. Namun ketegangan di padepokan kecil itu menjadi semakin meningkat. Dalam pesan khususnya Ki Untara memberitahukan kepada Kiai Gringsing lewat petugas sandinya yang menjumpai Ki Lurah Patrajaya di pasar, bahwa agaknya saat yang diperhitungkan itu akan benar-benar terjadi.
Ketika matahari terbit pada hari pasaran yang ditentukan, maka Kiai Gringsing telah mengadakan pertemuan khusus dengan Ki Widura dan Agung Sedayu didalam bilik Sabungsari. Para cantrik menjadi berdebar-deljar, karena mereka menganggap bahwa keadaan Sabungsari menjadi bertambah buruk dengan tiba-tiba.
"Kita sudah sampai pada saat yang kita tunggu," berkata Kiai Gringsing, "malam nanti menurut perhitungan, mereka akan datang kepadepokan ini. Karena itu, kita harus mengatur diri sebaik-baiknya."
"Apakah yang sebaiknya kita lakukan guru ?" bertanya Agung Sedayu.
"Biarlah dua orang pengikut Sabungsari berada didalam bilik ini. Mereka harus menunggui Sabungsari yang menjadi semakin parah dengan tiba-tiba. Dua orang lainnya berada bersama Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda ditempat yang berbeda. Sementara Ki Widura akan berada bersama Glagah Putih," desis Kiai Gringsing dengan kerut didahi.
"Aku guru ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau berada ditempat yang memerlukan. Demikian pula aku," berkat Kiai Gringsing.
"Bagaimana dengan para cantrik guru " Jika mereka mencoba melihatkan diri, maka mereka akan menjadi korban semata-mata tanpa berbuat sesuatu," bertanya Agung Sedayu.
"Perintahkan menjelang terjadi peristiwa nanti, mereka tidak boleh keluar dari barak masing-masing. Kecuali dalam keadaan memaksa. Jika barak mereka dimasuki lawan, apaboleh buat. Mereka tidak boleh menyerahkan leher mereka tanpa perlawanan," berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Ketika terpandang olehnya wajah Sabungsari, maka iapun berkata didalam hati, "Ia telah terlibat kedalam keadaan yang mirip dengan keadaanku. Sasaran dendam dan kebencian."
Setelah Kiai Gringsing memberikan beberapa pesan, maka iapun kemudia mempersilahkan mereka yang berada didalam bihk Sabungsari itu berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan menjelang peristiwa yang menegangkan itu. Setiap jengkal tanah dipadepokan itu harus mendapat pengawasan.
Ki Widura mendapat tugas untuk menyampaikan hal itu kepada Ki Wirayuda dan Ki Patrajaya. Sementara Sabungsari harus memberikan pesan-pesan itu kepada keempat orang pengikutnya yang akan segera masuk kedalam bilik itu.
Demikianlah, maka seisi padepokan itupun telah mempersiapkan diri. Para cantrik yang tidak mengetahui dengan pasti, apa yang akan terjadipun merasa, ketegangan yang samar-samar telah mencengkam padepokan kecil mereka.
Sementara itu, sisa waktu yang pendek itupun telah dipergunakan oleh Agung Sedayu untuk berada didalam sanggar bersama Glagah Putih. Untuk mengusir kegelisahan selama menunggu saat-saat yang belum pasti, maka Agung Sedayu telah menempa Glagah Putih dengan menyempurnakan kemampuannya pada tingkat terakhir.
"Dalam keadaan tertentu, tingkat ini telah memadai," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "ia sudah bekerja keras pada saat-saat terakhir. Dan nampaknya ilmunya telah meningkat semakin tinggi."
Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih adalah seorang anak muda yang tidak mengenal lelah. Namun setelah Agung Sedayu menganggap cukup, ia berkata, "Sudahlah. Beristirahatlah sepenuhnya menjelang malam hari. Mungkin kau harus mengerahkan segenap kemampuanmu untuk waktu yang panjang. Kau harus menyimpan tenagamu sebaik-baiknya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sudah mendengar apa yang dapat terjadi malam nanti.
Karena itu, iapun menghentikan latihan-latihannya yang berat. Ia tidak boleh menjadi terlalu lelah.
Atas petunjuk Agung Sedayu, maka Glagah Putihpun mengerti, siapakah sebenarnya yang akan dapat ikut serta menghadapi kemungkinan yang paling buruk dipadepokan itu.
"Beristirahatlah," berkata Agung Sedayu kemudian.
"aku akan tinggal sebentar di sanggar ini."
Glagah Putih memandang wajah Agung Sedayu sejenak. Namun iapun kemudian meninggalkan sanggar itu untuk beristirahat sepenuhnya.
Sepeninggal Glagah Putih, maka Agung Sedayupun duduk sambil menyilangkan tangannya. Dengan mata hatinya, ia melihat segalanya yang pernah terjadi atasnya. Seperti saat-saat yang pernah dialami, maka iapun mulai merenungkan keadaannya yang buram itu.
Agung Sedayu merasa bahwa hidupnya selalu dibayangi oleh permusuhan yang tidak berkeputusan.
"Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari keadaan ini," katanya kepada diri sendiri.
Sejenak Agung Sedayu duduk tepekur. Seolah-olah diluar sadarnya, maka iapun mulai meraba ingatannya atas isi buku Ki Waskita. Perlahan-lahan matanya terpejam, sementara mata hatinya telah melihat dengan jelas huruf demi huruf dari isi kitab itu.
Sesaat kemudian Agung Sedayupun telah tenggelam dalam pemusatan pikiran, menelaah makna isi kitab Ki Waskita, seperti yang dilakukan pada saat-saat tertentu di malam hari.
Seperti yang diberikan kepada Glagah Putih, kesempurnaan ilmu yang dipelajarinya terakhir, demikian pula yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Ia mulai mendalami dan meresapi makna ilmu yang terakhir di pelajarinya.
Kiai Gringsing yang mendengar dari Glagah Putih, bahwa Agung Sedayu masih berada didalam sanggar, sama sekali tidak mengusiknya. Namun nampaknya orang tua itupun menjadi gelisah.
"Marilah, kita melihat-lihat kebun padepokan kita Glagah Putih," berkata Kiai Gringsing.
Glagah Putih kemudian mengikutinya bersama Ki Widura memutari halaman dan kebun padepokan kecilnya.
Sementara itu. Ki Lurah Patrajayapun melepaskan ketegangannya dengan menyandang cangkul untuk pergi kesawah. Disepanjang jalan, iapun merenungi apa yang dapat terjadi malam nanti. Sementara Ki Lurah Wirayuda yang seolah-olah mempunyai kesukaan tersendiri, telah menenggelamkan diri dengan kapaknya, membelah kayu disebelah barak para cantrik.
Dalam pada itu, Ki Lurah Patrajaya yang pergi kesawah, sempat memperhatikan keadaan diseputar padepokannya. Pandangannya yang tajam terhadap keadaan, telah menunjukkan kepadanya, kegelisahan yang serupa seperti yang terdapat didalam padepokannya. Disepanjang jalan kesawah, ia telah berpapasan dengan orang yang selalu memperhatikan. Tidak hanya satu orang, tetapi lebih dari tiga orang, meskipun mereka tidak berjalan bersama-sama. Tiga orang yang berjalan dijalan yang melalui bagian depan dari padepokannya, meskipun tidak tepat dimuka gerbang.
Ketika Ki Patrajaya melihat seorang laki-laki duduk dibawah sebatang pohon turi dipinggir jalan, maka iapun berhenti pula. Terdorong oleh keinginannya untuk mendapatkan beberapa keterangan, maka iapun kemudian duduk disamping orang itu sambil bertanya, "Nampaknya kau bukan orang Jati Anom Ki Sanak ?"
Orang itu menjadi tegang. Tetapi kemudian ia tersenyum sambil menjawab, "Aku memang bukan orang Jati Anom. Aku orang Patran yang akan pergi ke Macanan. Tetapi panasnya bukan main, sehingga aku harus beristirahat barang sejenak disini."
Ki Patrajaya mengangguk-angguk, untuk beberapa saat ia duduk disebelah orang itu. Namun kemudian katanya, "Aku akan pergi ke sawah. Memang malas sekali. Panasnya bukan main."
Ki Lurah Patrajaya hanya dapat menarik nafas, ketika kemudian ia melihat orang itupun meninggalkan tempatnya, demikian ia melangkah pergi.
Sementara Ki Partajaya berusaha untuk mengisi waktunya disawah, mataharipun merayap perlahan-lahan ke Barat. Semakin lama semakin rendah.
Namun dalam pada itu, ketegangan di padepokar kecil itupun semakin lama menjadi semakin meningkat.
Menjelang senja, maka seisi padepokan itupun telah berkumpul dan mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Pada saat-saat terakhir itulah, Kia Gringsing mengumpulkan semua cantriknya dan memberitahukan kemungkinan yang bakal terjadi.
"Tetapi kalian jangan gelisah. Apapun yang akan terjadi, kita akan bersama-sama menghadapinya," berkata Kia Gringsing.
Namun demikian, ketegangan benar-benar telah mencengkam setiap orang. Mereka menjadi berdebar-debar ketika Kiai Gringsing menceriterakan siapakah sebenarnya kedua orang cantrik yang baru didalam padepokan itu, dan siapakah keempat orang sanak Sabungsari yang menengoknya dan menungguinya.
"Sabungsaripun sebenarnya telah sembuh sama sekali," berkata Kiai Gringsing, "tetapi kami memang ingin mendapat kesan, betapa lemahnya padepokan ini."
Para cantrik itupun mengangguk angguk. Mereka menyadari, apa yang sedang terjadi didalam padepokannya. Merekapun mengerti dan sama sekali tidak merasa tersinggung, bahwa baru pada saat terakhir mereka mengerti keadaan seluruhnya, karena merekapun merasa, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat banyak menghadapi keadaan.
"Tetapi bukan berarti bahwa kalian tidak dapat berbuat apa-apa. Kalianpun harus bersiaga. Kalian harus bersiap-siap untuk melindungi diri kalian sendiri, jika kalian tidak mempunyai pilihan lain. Namun demikian, sebelum hal itu terjadi, sebaiknya kalian berada didalam barak kalian. Jika ada orang yang memasuki barak itu dan berusaha untuk mencelakai kalian, barulah kalian bertindak bagi keselamatan kalian sendiri," berkata Kiai Gringsing.
"Kami sudah siap melakukan apa saja," tiba-tiba seorang cantrik muda memotong keterangan Kiai Gringsing.
"Ya," yang lain menyambung, "kami akan menyerahkan segala yang ada pada kami untuk kepentingan padepokan kami."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Belum waktunya bagi kalian. Kalian sedang mulai dengan olah kanuragan, meskipun sebenarnya kalian telah memiliki dasar-dasarnya. Tetapi jika yang datang adalah orang-orang terpenting dari Gunung Kendeng, maka kalian masih jauh ketinggalan. Meskipun demikian, jika orang-orang Gunung Kendeng itu memasuki barak kalian, bertahanlah sekuat tenaga."
Demikianlah, maka para cantrik yang merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan padepokan kecil itupun telah bersiaga meskipun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa sebaiknya mereka tetap berada didalam barak. Namun setiap orang diantara mereka telah mempersiapkan senjata dipembaringan. Setiap saat mereka akan meloncat turun dengan senjata ditangan.
Dalam pada itu, maka orang-orang terpenting dipadepokan itupun telah mempersiapkan diri sepenuhnya. Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda, bukan lagi cantrik yang menjinjing cangkul dan kapak pembelah kayu. Namun mereka telah menyandang senjata dilambung.
Ki Patrajaya telah menggantungkan pedang panjangnya, sementara Ki Wirayuda sebenarnyalah memang lebih senang menggantungkan kapak. Tetapi bukan kapak pembelah kayu. Ia memilih senjata yang khusus berupa kapak yang tajamnya agak lebih melebar dari kapak pembelah kayu. Disamping kapak, ternyata Ki Wirayuda menyembunyikan perisai pula di pembaringannya.
Pada saat terakhir itulah, ia telah menggantungkan kapaknya di lambung sebelah kiri dan perisainya dilambung sebelah kanan.
Dalam pada itu, keempat pengikut Sabungsaripun telah mempersiapkan senjata mereka pula. Karena mereka datang ke padepokan itu sama sekali tanpa senjata dan mereka tidak sempat menyusupkan senjata mereka, maka yang kemudian mereka siapkan adalah senjata yang dapat mereka pinjam dari padepokan itu, karena sebenarnyalah didalam sanggar di padepokan itu terdapat bermacam-macam senjata. Namun ternyata keempat orang itu lebih senang mempergunakan pedang atau parang. Hanya seorang dari antara mereka yang memilih sebuah tombak pendek.
Widura dan Glagah Putihpun telah menyiapkan pedangnya masing-masing. Sementara Kiai Gringsing dan Agung Sedayu tidak melepaskan cambuk mereka yang melilit lambung Sedangkan Sabungsari telah bersenjata pedang pula.
Ketika gelap malam mulai membayang dilangit, maka seperti biasa para cantrik dipadepokan itu telah menyalakan lampu minyak di setiap ruangan. Dipendapa-pun telah menyala lampu minyak yang digantungkan ditengah, sementara di regolpun lampu telah menyala pula.
Dari luar padepokan, sama sekali tidak nampak perubahan apapun dipadepokan kecil itu. Lampu yang biasa menyala telah menyala, Para cantrik telah melakukan kerja masing-masing. Dan pada saatnya gelap malam turun menyelubungi padepokan itu, maka para cantrikpun telah memasuki baraknya seperti yang dipesankan oleh Kiai Gringsing.
Yang kemudian tersebar di halaman dan di kebun belakang, adalah orang-orang terpenting dari padepokan itu yang memang telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Kemungkinan terbesar, mereka akan berhadapan dengan orang-orang Gunung Kendeng atau orang-orang yang diminta bergabung dengan mereka. Tetapi tidak mustahil, bahwa orang yang bernama Pringgajaya akan hadir pula di padepokan kecil itu.
Dalam pada itu, ternyata Untarapun menjadi gelisah. Ia sudah mempersiapkan pasukan khususnya, yang langsung dibawah perintahnya. Ia tidak mempercayainya lagi setiap orang yang tidak dikenalnya sebagik-baiknya untuk menghadapi keadaan yang khusus itu. Iapun tidak akan memberikan isyarat secara umum kepada prajurit Pajang di Mataram, apabila ia sudah mendapatkan tanda-tanda dari orang-orang yang ditugaskannya mengamati padepokan kecil itu. Jika keadaan memerlukan, maka ampat orang pengawal khususnya telah siap dengan kuda masing-masing untuk berpacu menuju ke padepokan itu, tanpa menggerakkan prajurit Pajang yang sedang bertugas seorangpun juga dari tempat masing-masing. Sehingga yang dilakukannya itu benar-benar merupakan tugas-tugas khusus bagi orang-orang tertentu.
Sementara ketegangan mencengkam padepokan kecil itu serta Untara dirumahnya, maka keadaan di Jati Anom berjalan seperti biasa. Para prajurit sama sekali tidak mengerti, apa yang sedang bergejolak dengan diam-diam. Namun beberapa orang tertentu, pengikut Ki Pringgajayapun menjadi tegang pula. Mereka dengan berdebar-debar menunggu, apa yang akan terjadi dipadepokan kecil itu.
"Tetapi Ki Untara nampaknya sama sekali tidak mencium gerakan ini," berkata seorang prajurit yang menjadi pengikut Ki Pringgajaya.
"Memang tidak ada perintah apapun. Agaknya Ki Untara memang tidak menduga, bahwa akan terjadi sesuatu pada adik kandungnya yang hanya satu-satunya itu," jawab kawannya.
Keduanya tertawa pendek. Namun terasa ketegangan mencengkam jantung mereka pula.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka keteganganpun semakin memuncak pula. Prajurit yang meronda digardu yang tersedia dipadukuhan terdekat dengan padepokan kecil itu telah bersiap-siap pula. Tidak untuk memberikan isyarat bahwa padepokan kecil itu akan didatangi oleh sekelompok pembunuh, tetapi mereka telah bersiap untuk membunyikan tanda yang lain.
Selagi ketegangan menjadi semakin mencengkam, maka empat orang yang tidak dikenal telah berjalan dengan hati-hati menuju kesebuah padukuhan yang terhitung besar selain padukuhan induk di Kademangan Jati Anom. Dengan penuh kewaspadaan mereka melintasi jalan sempit menuju kesebuah rumah yang besar dan berhalaman luas dipadukuhan itu.
Ketika mereka telah berada disudut belakang dari halaman rumah itu, maka terdengar bunyi burung kedasih memecah sepinya malam. Salah seorang dari keempat orang itu ternyata telah membunyikan isyarat dengan suara burung kedasih yang ngelangut.
Sesaat kemudian, dari sudut yang lain, terdengar bunyi burung bence menyahut dengan nada tinggi. Suaranya membelah sepinya malam yang menjadi semakin kelam.
Didalam rumah itu, seorang saudagar ternak, telah berbaring dipembaringannya. Ketika terdengar suara burung kedasih, maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Namun saudagar itu terkejut ketika kemudian terdengar bunyi burung bence memecah sepinya malam. Demikian dekatnya jarak antara suara burung itu, dan tiba-tiba saja burung bence itu menyahut keluh burung kedasih.
Saudagar itu menjadi curiga. Iapun kemudian bangkit dan pergi kebilik anak laki-lakinya.
"Sst," desisnya, "bangunlah. Kau dengar suara burung yang aneh itu ?"
Ternyata anaknya itu masih belum tidur juga. Ketika anaknya itu bangkit, maka terdengar suara burung bence itu sekali lagi memekik tinggi.
"Berhati-hatilah," berkata saudagar itu. Tentu ada orang jahat disekitar rumah ini. Siapkan kentongan, dan panggil para penjaga agar mereka berada diruang dalam. Biarlah biyungmu berada disentong tengah."
Anak laki-laki itupun kemudian pergi keruang belakang. Ternyata seorang dari dua penjaga, masih duduk dengan gelisah. Agaknya iapun merasa aneh dengan suara burung itu.
"Bangunkan kawanmu," berkata anak saudagar itu, "kita berada diruang dalam. Siapkan kentongan. Mungkin kita memerlukannya."
Penjaga itupun kemudian membangunkan kawannya. Merekapun kemudian menyiapkan senjata mereka dan salah seorang dari mereka telah membawa kentongan keruang tengah.
Sejenak mereka menunggu dengan gelisah. Namun sejenak kemudian yang mereka tunggu itupun telah terjadi.
Perlahan-lahan mereka mendengar pintu diketuk orang. Tetapi mereka sama sekali tidak menyahut. Sehingga dengan demikian, maka suara ketukan itu semakin lama menjadi semakin keras.
"Buka pintu," terdengar suara salah seorang diluar pintu dengan kasar, "atau aku akan memecahkannya."
Tidak terdengar jawaban. "Aku memberi peringatan sekali lagi. Kemudian aku akan memecahkan pintu ini."
Masih tidak ada jawaban. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar pintu itu gemeretak dengan kerasnya. Agaknya mereka benar-benar telah berusaha memecahkan pintu rumah itu.
Saudagar, anaknya dan kedua penjaga rumah itu telah berkumpul disebelah pintu. Senjata mereka telah merunduk, siap untuk menyambut orang-orang yang akan memasuki pintu yang telah dipecah dengan paksa itu.
Demikian pintu itu pecah, maka senjata-senjata itu hampir berbareng telah menyambar bayangan yang berada di balik pintu. Namun yang terdengar adalah teriakan nyaring, "Setan alas. Kalian berusaha melawan he ?"
Saudagar itu terkejut. Ternyata orang-orang yang memecahkan pintunya bukan orang-orang dungu yang sekedar mengandalkan jumlah mereka yang banyak untuk merampok.
Sejenak saudagar itu termangu-mangu. Yang nampak didalam gelapnya malam hanyalah bayangan yang tidak jelas. Jumlahnyapun tidak jelas pula.
"Jangan melawan. Serahkan semua harta benda, atau kalian akan mati."
Tetapi saudagar itupun berteriak, "Kami akan pertahankan milik kami."
Yang terdengar adalah suara tertawa. Namun tiba-tiba salah seorang dari para perampok itu meloncat maju dengan senjata terayun menyambar saudagar yang berdiri didepan pintu.
Namun saudagar itu sempat mengelak, dan bahkan iapun sempat menyerang dengan senjatanya pula. Namun serangannya sama sekali tidak berarti, karena bayangan diluar itu meloncat kesamping sambil berkata, "O, kau dapat juga bermain senjata."
Saudagar itu menjadi cemas menghadapi keadaan. Karena itu maka katanya kemudian kepada anaknya, "Bunyikan isyarat."
Sejenak kemudian, maka terdengar suara kentongan memecah heningnya malam dipadukuhan itu. Suara kentongan yang memekik dari ruang tengah rumah saudagar itu.
Suasana yang tegang itu menjadi semakin tegang. Namun kemudian terdengar perampok itu tertawa. Katanya, "Bagus. Kau sudah melakukan seperti yang kami inginkan. Bunyikan tanda bahaya itu sekeras-kerasnya."
Saudagar dan anaknya sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka bersiaga menghadapi segala kemungkinan, sementara suara kentongan itupun berteriak semakin keras.
"Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa disini," berkata saudagar itu, "kau akan dikepung oleh pengawal-pengawal padukuhan dan anak-anak muda yang segera akan keluar dari rumah mereka. Bahkan jika suara kentongan ini menjalar sampai ketelinga para prajurit, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk."
"Aku akan melawan siapapun yang mencoba menghalangi kami," berkata perampok itu.
Namun dalam pada itu, suara kentongan itupun telah didengar oleh peronda yang ada digardu. Segera suara itupun bersambut. Suara kentongan digardu ternyata jauh lebih keras dari suara kentongan kecil ditangan anak saudagar itu.
Dengan demikian maka suara kentongan itupun segera menjalar. Dari gardu kegardu dan dari rumah kerumah berikutnya. Dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain.
Para perampok itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, anak-anak muda dan para pengawal di gardu-gardu telah bersiap. Beberapa orang diantara mereka telah berlari-lari mencari sumber suara kentongan itu.
Namun dalam pada itu, saudagar itupun terkejut, ketika ia mendengar suara beberapa orang justru dibelakang rumahnya, "Api, api."
Meledaklah suara tertawa para perampok itu. Salah seorang dari mereka berteriak, "Rumahmu akan dimakan api. Kau kira kau akan dapat menyelamatkan harta bendamu " Adalah bodoh sekali jika kau tidak mau memberikan harta bendamu kepadaku. Agaknya itu akan lebih baik dari pada musna dimakan api."
Saudagar itu termangu-mangu. Ia tidak berani berkisar karena ia masih harus memandangi dengan tajam senjata-senjata para perampok yang siap menerkam mereka.
Namun dalam pada itu, para perampok itu berkata diantara mereka, "Ternyata saudagar ini terlalu lemah hati. Sebelum kita berhasil memasuki rumahnya, ia sudah memerintahkan memukul kentongan. Dengan demikian, hanya satu segi sajalah yang dapat kita capai dirumah ini. Suara kentongan. Kita tidak akan dapat membawa sekeping uangpun, karena sebentar lagi, anak-anak muda itu akan datang."
Tidak seorangpun yang menjawab. Namun sejenak kemudian, maka para perampok itupun segera melangkah surut. Ketika anak-anak muda mulai memasuki regol dengan hati-hati, maka para perampok itupun berloncatan lewat dinding halaman samping dan hilang kedalam gelap. Mereka meloncati dinding-dinding halaman dari satu halaman kehalaman berikutnya, menghindari para pengawal dan anak-anak muda yang berlari-lari mendekati arah api yang semakin lama menjadi semakin besar.
Sementara itu, demikian para perampok melarikan diri, maka saudagar itupun segera berlari turun kehalaman sambil berteriak, "Mereka lari kehalaman samping."
Beberapa anak mudapun termangu-mangu. Namun merekapun kemudian berlari mengejar para perampok itu.
Sementara itu, saudagar itupun menjadi bingung. Ia sudah melangkah untuk mengejar perampok yang menghilang didalam gelap, namun ketika terlihat bayangan api yang menjilat langit ia menjadi termangu-mangu. Bahkan iapun kemudian berlari kebelakang.
Dalam pada itu, isteri saudagar itupun telah berlari keluar dari dalam persembunyiannya. Ia hanya sempat membawa apa yang dapat di sambarnya. Sedikit uang dan peti simpanannya, yang berisi perhiasan.
Saudagar itu masih sempat berlari masuk lewat pintu butulan. Ia mencoba untuk menyelamatkan barang-barangnya bersama anaknya. Tetapi yang dapat disingkirkannya hanya sebagian kecil dari miliknya.
Dalam pada itu, apipun menyala semakin besar. Para tetangga yang berdatangan berusaha untuk memadamkan api yang menjilat langit itu. Batang-batang pisang dihalaman dan dihalaman sekitarnya telah ditebas dan dilemparkan kedalam api. Namun api cepat sekali membesar karena rumah yang terbuat dari kayu itu memang mudah sekali terbakar.
Sementara itu, suara kentongan telah memenuhi bukan saja Kademangan Jati Anom. Tetapi terdengar pula di Kademangan-kademangan sebelah menyebelah. Merekapun melihat bayangan api yang bagaikan membakar langit.
Sementara itu, Untarapun telah mendengar suara kentongan itu. Seorang penjagapun telah memberikan laporan tentang api yang membakar langit.
Sesaat Untara menjadi bingung. Isyarat itu adalah isyarat kebakaran dan perampokan. Tidak ada hubungannya dengan isyarat yang dilontarkan dari padepokan kecil itu. Sementara ia menunggu isyarat, maka telah terjadi sesuatu diluar perhitungannya.
Karena itu, maka iapun segera memerintahkan beberapa orang prajurit yang bertugas untuk pergi ketempat kejadian, karena warna merah dilangit akan menuntun mereka.
Namun yang dipikirkan Untara adalah padepokan kecil itu. Apakah yang telah terjadi. Seandainya saat itu terdengar isyarat dari padepokan kecil itu, maka suaranya tentu akan tenggelam dalam gelora suara kentongan yang membahana, mengumandang diseluruh Kademangan Jati Anom dan sekitarnya.
Sebenarnyalah saat itu, Gembong Sangiran tertawa berkepanjangan sambil berjalan mendekati gerbang padepokan kecil diikuti oleh beberapa orang pengikutnya. Diantara derai tertawanya ia berkata, "Tidak akan ada orang lain yang mengetahui apa yang telah terjadi dipadepokan ini. Kita akan membunuh anak muda yang bernama Sabungsari dan Agung Sedayu. Kemudian guru Agung Sedayu yang bernama Kiai Gringsing. Karena dipadepokan itu ada Ki Widura dan anak laki-lakinya, maka merekapun akan kita bunuh pula. Sementara para cantrik terserah pada sikap mereka. Jika mereka menyerah, maka kita akan membiarkan mereka hidup."
"Serahkan Sabungsari dan Agung Sedayu kepadaku," geram seorang yang berkumis dan berjambang lebat.
Ki Gembong Sangiran tertawa. Katanya, "Sabungsari tidak usah dibicarakan lagi. Tinggal memijit hidungnya saja, maka ia akan mati lemas."
"Bagaimana dengan Agung Sedayu, "orang itu bertanya.
"Anak itulah yang wajib diperhitungkan," jawab Gembong Sangiran, "tetapi Tanggon atau Panjer akan dapat membunuhnya."
"Tidak," jawab orang berjambang itulah, "ia sudah membunuh adikku. Salah seorang dari keduanya. Sabungsari atau Agung Sedayu."
Sementara itu orang yang bertubuh agak gemuk berkata, "Apa kerjaku disini, setelah aku memenuhi panggilan Ki Gembong Sangiran ?"
Gembong Sangiran tertawa. Katanya, "Terserahlah kepadamu. Dipadepokan itu ada beberapa orang yang perlu diperhitungkan. Tetapi jika Jandon memilih Agung Sedayu sebagai lawannya karena dendam, maka kau dapat menangkap siapa saja dan membunuhnya sekali."
Ki Banjar Aking tertawa. Katanya, "Mungkin aku tidak terlalu bernafsu membunuh seperti Jandon. Setelah beberapa tahun ia meninggalkan Gunung Kendeng, maka kini ia kembali dengan dendam membara."
"Aku masih keluarga Gunung Kendeng," jawab orang berjambang itu, "kepergianku sekedar untuk mematangkan dan memperkaya ilmu yang dasarnya aku pelajari di Gunung Kendeng."
"Tetapi namamu sudah melampaui nama setiap orang di Gunung Kendeng," berkata Ki Banjar Aking.
"Apapun, yang penting bagiku adalah membunuh Agung Sedayu. Kemudian menghancurkan tubuh Sabungsari yang masih sakit itu," geram orang berjambang yang bernama Jandon itu.
Merekapun terdiam ketika mereka sudah berdiri didepan gerbang padepokan kecil itu. Sejenak mereka memandangi lampu-lampu minyak yang menyala diregol yang pintunya masih terbuka seleret.
Perlahan-lahan Gembong Sangiran mendorong pintu itu. Demikian pintu itu terbuka, maka iapun melihat lampu yang menyala dipendapa padepokan kecil itu. Namun iapun menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dua orang berdiri di tangga pendapa itu.
"Suara kentongan yang mengumandang diseluruh Kademangan inilah yang telah memaksa mereka untuk berjaga-jaga," berkata Gembong Sangiran, "tetapi nampaknya hanya dua orang saja."
"Kita akan masuk, mumpung suara kentongan itu masih terdengar gemuruh diseluruh Kademangan. Sebentar lagi suara kentongan itu akan mereda. Namun jika kita sudah memaksa mereka menyerah, maka mereka tidak akan sempat membunyikan isyarat apapun juga," geram Jandon.
Gembong Sangiran tidak menjawab. Iapun kemudian melangkah memasuki halaman padepokan itu diikuti oleh beberapa orang pengikutnya.
Orang yang berdiri ditangga pendapa padepokan itupun terkejut melihat beberapa orang memasuki halaman. Namun merekapun segera mengetahui bahwa yang mereka tunggu telah datang.
"Mereka cukup cerdik guru," berkata Agung Sedayu yang berdiri ditangga pendapa, "mereka telah memancing suara kentongan itu."
"Kita akan melihat, apakah kita perlu membunyikan isyarat. Seandainya kita harus membunyikan isyarat, maka suara kentongan itu akan tenggelam dalam gemuruh suara kentongan yang telah memenuhi Kademangan ini," desis Kiai Gringsing yang bersama-sama dengan Agung Sedayu berada di tangga pendapa itu.
Dalam pada itu, merekapun kemudian menunggu. Dengan saksama Kiai Gringsing dan Agung Sedayu memperhatikan beberapa orang yang memasuki halaman itu dan kemudian berdiri agak berpencar.
"Lima orang," desis Agung Sedayu, "agaknya selebihnya adalah pengikut-pengikut yang kurang berarti."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Iapun melihat lima orang yang berdiri pada jarak beberapa langkah. Kemudian dibelakang mereka, beberapa orang lain berdiri dengan tegangnya.
Dalam pada itu, Gembong Sangiran yang berdiri dipaling depan bertanya dengan suara lantang, "He, siapakah pemimpin padepokan ini ?"
Kiai Gringsing memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian katanya, "Akulah orang tertua disini."
"Kaukah yang bernama Kiai Gringsing ?" bertanya Gembong Sangiran.
"Ya, aku yang disebut Kiai Gringsing," Gembong Sangiran mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya pula, "Siapa anak muda itu ?"
"Agung Sedayu," jawab Kiai Gringsing.
"O, jadi anak muda itulah yang telah membunuh adikku," geram Jandon.
"Siapakah adikmu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ia dan seorang kawannya kau bunuh dibulak panjang itu," geram Jandon.
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "jadi salah seorang dari kedua orang itu adalah adikmu." Agung Sedayu mengangguk-angguk, "tetapi apakah kau mengetahui, kenapa aku tplah membunuhnya " Atau mungkin Sabungsari."
"Persetan," geram Jandon sambil menggeretakkan giginya, "kita harus segera mulai. Ki Gembong Sangiran, mereka berusaha memperpanjang waktu, agar suara kentongan itu mereda, dan mereka dapat memberikan isyarat."
"Tidak ada gunanya," desis Gembong Sangiran, "Kademangan Jati Anom telah menjadi kacau karena kentongan yang sudah bergemuruh. Apalagi gardu khusus yang dijaga oleh prajurit Pajang itu tidak akan dapat menangkap isyarat dan kemudian melanjutkannya. Gardu itu akan tetap bungkam, atau justru kentongannya akan mengumandangkan isyarat kebakaran itu."
"Kami tidak perlu isyarat apapun," desis Kiai Gringsing, "tetapi apakah maksud kalian datang kepadepokan kami ?"
"Pertanyaan yang bodoh sekali. Cepat berlutut dihadapanku. Aku akan membunuh Agung Sedayu dan Sabungsari. Kemudian kawan-kawanku akan membunuh Kiai Gringsing dan Ki Widura. Mungkin juga anak Widura yang bernama Glagah Putih itu." teriak Jandon yang sudah tidak sabar lagi.
"Jangan tergesa-gesa," jawab Kiai Gringsing, "kami akan melayani. Kamipun sudah siap. Kamipun tahu, bahwa prajurit-prajurit yang bertugas digardu itu adalah para pengikut Ki Pringgajaya. Kamipun sudah menduga, bahwa kalian akan mengaburkan isyarat yang mungkin dapat kami bunyikan dengan perampokan dan pembakaran."
Gembong Sangiran mengerutkan keningnya. Dipandanginya Kiai Gringsing dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin menjajagi apakah orang yang disebut orang bercambuk itu memiliki kemampuan yang benar-benar dapat diandalkan.
"Kiai Gringsing," berkata Gembong Sangiran kemudian, "nampaknya kau terlalu yakin akan dirimu."
"Aku tidak mempunyai pilihan lain Ki Sanak," jawab Kiai Gringsing. Kemudian, "tetapi sebelum kami kehilangan kesempatan untuk berbicara, apakah kau bersedia menyebut namamu, kedudukanmu dan alasan kedatanganmu kemari ?"
"Aku kira aku dapat menyediakan waktu barang sedikit. Aku bernama Gembong Sangiran. Yang datang bersamaku adalah murid-muridku. Yang berdiri disebelah itu adalah Ki Banjar Aking. Muridku yang sudah lama meninggalkan padepokan yang kemudian telah memiliki pengaruh yang luas dipesisir utara. Sementara yang berdiri disebelah ini, adalah Jandon. Seorang muridku yang telah meninggalkan padepokanku pula. Ia datang karena adiknya terbunuh seperti yang telah dikatakannya. Tetapi ternyata dirantau ia telah menemukan ilmu yang tidak ada duanya, yang tidak didapatkannya di padepokan kami di Gunung Kendeng."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kalian datang dari Gunung Kendeng atas permintaan Ki Pringgajaya. Berapa kalian mendapat upah untuk pekerjaan ini ?"
"Persetan," geram Jandon, "aku akan membunuh Agung Sedayu sekarang."
"Jangan tergesa-gesa. Justru aku akan menjawab pertanyaan itu," potong Gembong Sangiran. Lalu. "Dengarlah Kiai Gringsing, ternyata nyawamu cukup mahal. Aku mendapat upah tiga keping emas murni apabila aku dapat menyerahkan tiga buah kepala. Kiai Gringsing, Sabungsari dan Agung Sedayu. Kepala Widura mungkin akan mendapat penghargaan sendiri, sementara kepala Glagah Putih masih belum ada harganya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sama sekali tidak nampak perubahan diwajahnya. Seolah-olah wajah itu menjadi beku, seperti juga wajah muridnya.
"Perasaan mereka sudah mati," teriak Jandon, "tidak ada gunanya untuk banyak berbicara lagi dengan mereka. Aku akan membunuh mereka sekarang. Terutama Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya menjadi semakin murung dan dengan nada dalam ia berkata, "Kematian akan disusul dengan kematian. Dendam akan bertimbun. Tetapi ketamakan kalian benar-benar membuat hati berdebar-debar. Kalian telah memanfaatkan dendam untuk mendapat upah yang cukup banyak. Namun upah yang akan kalian terima belumlah akhir dari rentetan peristiwa ini."
"Apa pedulimu," teriak Gembong Sangiran, "biarlah yang hatinya dibakar oleh dendam menuntut balas. Tetapi aku akan membunuh kalian karena emas tiga keping."
"Alangkah murahnya harga nyawa," desis Agung Sedayu.
"Jangan merajuk. Nyawamu terhitung mahal dengan nilai upah yang akan aku terima. Tetapi sudahlah, dimana kawan-awanmu. Jika mereka berpencar panggillah. Mungkin mereka mengira bahwa kami adalah sebangsa pengecut yang akan menyerang padepokanmu lewat dinding-dinding halaman samping dan kebun belakang."
Jejak Di Balik Kabut 14 Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss Matahari Esok Pagi 3
^