Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 14

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 14


Tetapi beberapa. Beberapa saat kemudian, kedua orang itupun justru
menggeliat-geliat menahan pedih yang bagaikan menghunjam
sampai ke tulang sungsum. Namun Repak Rembulung itupun
berkata, "Sentuhan obat itu memang terasa pedih. Tetapi
darahmu akan pampat. Apakah kemudian kalian akan sembuh
atau tidak, itu tergantung kalian dan kawan-kawan kalian.
Apakah mereka menaruh perhatian kepada kalian atau tidak.
Jika nanti aku pergi, kawan-kawan kalian tidak kembali, nasib
kalianlah yang agaknya memang buruk sekali."
Orang-orang yang terluka itu tidak menyahut.
Mereka berjuang untuk mengatasi rasa sakit mereka.
Perhatian Repak Rembulung dan Pupus Rembulungpun
beralih kepada Wijang dan Paksi. Dengan nada berat Repak
Rembulung itupun bertanya, "Siapa sebenarnya kalian, anakanak muda?"
Wijanglah yang menjawab dengan kasar, "Apakah kalian
tidak mendengar" Kami adalah orang-orang dari Goa Lampin."
Repak Rembulung tertawa. Katanya, "Jangan membual."
"Cukup," bentak Wijang. "Percaya atau tidak percaya, itu bukan urusanku. Aku tidak peduli."
"Tetapi apa kepentingan kalian sehingga kalian melibatkan diri dalam pertempuran ini?"
"Apakah kau juga tidak mendengar" Aku tidak mau melihat
pertempuran yang tidak adil. Hanya itu."
"Orang-orang Goa Lampin tidak akan berbuat seperti itu."
Wijang tertawa. Katanya, "Akupun tidak mengira, bahwa
kau tidak akan membunuh orang yang terluka itu, bahkan
mengobatinya. Bukankah itu pertanda, bahwa kita masing-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masing tidak mengetahui dengan pasti sifat dan watak orang
lain" Kadang-kadang kita mempunyai prasangka jauh lebih
buruk tentang orang lain dari sifat dan wataknya yang
sebenarnya." Repak Rembulung tertawa pula. Katanya, "Aku mengerti,
anak muda. Tetapi aku pun mengerti dengan pasti, bahwa
kalimat itu tidak akan diucapkan oleh orang-orang dari Goa
Lampin. Aku pun tahu pasti, bahwa Goa Lampin tidak ada
anak-anak muda yang sempat keluar dari padepokan mereka."
Wijang tertawa semakin keras. Suara tertawanya seperti
iblis yang meringkik di malam terang bulan. Katanya,
"Ternyata pengetahuanmu tentang Goa Lampin hanyalah
dangkal sekali. Kau hanya sempat melihat permukaannya saja.
Tetapi tidak ke kedalaman."
"Sudahlah," Potong Pupus Rembulung. "Kau betah sekali bicara tentang Goa Lampin."
Repak Rembulung berpaling, sementara Pupus
Rembulungpun bertanya kepada Wijang dan Paksi, "Anak-
anak muda, siapapun kalian, serta apapun tujuan kalian, aku
ingin tahu, apa yang akan kalian lakukan sekarang?"
"Aku ingin kalian menjawab dengan jujur," geram Wijang,
"apakah Pangeran Benawa ada di tanganmu?"
"Untuk siapa kalian mencarinya?" bertanya Pupus
Rembulung. "Tidak ada gunanya aku menjawab pertanyaan ini, karena
kalian tidak akan percaya."
"Kau aneh, anak muda," berkata Pupus Rembulung. "Kau minta kami menjawab dengan jujur. Tetapi kalian tidak
melakukan hal yang sama."
"Aku sudah menjawab dengan jujur. Kami mencari
Pangeran Benawa." "Baiklah. Kami pun akan menjawab dengan jujur, Pangeran
Benawa tidak ada di tangan kami."
Wijang menggeram. Katanya, "Adalah satu pertanyaan
yang bodoh. Seharusnya kami tahu, bahwa jawaban itulah
yang akan kami dengar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami menjawab dengan jujur."
-ooo00dw00ooo- Jilid 13 WIJANG termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Kali ini aku mempercayaimu. Kami akan mencarinya di tempat lain. Waktu yang diberikan oleh Eyang Resi Sapu
Geni tidak terlalu panjang."
"Resi Sapu Geni?" ulang Repak Rembulung. "Aku belum pernah mendengar nama itu."
"Tentu," potong Wijang, "kau hanya tahu nama-nama Perguruan Tegal Arang, Goa Lampin, Umbul Telu, dan
perguruan-perguruan kecik lainnya."
Repak Rembulung mengerutkan dahinya. Katanya, "Apakah
maksudmu dengan perguruan kecik?"
"Perguruan sebesar kecik. Kecik memang terlalu kecil
dibandingkan dengan kentos salak."
"Ternyata kalian terlalu sombong, anak-anak muda."
"Jika kami tidak sombong, maka kami tidak akan
melibatkan diri dalam pertempuran ini."
"Baik, baik," Repak Rembulung mengangguk-angguk.
Namun katanya kemudian, "Tetapi sebenarnya aku merasa
sayang sekali melihat sikap dan kelakuan kalian."
"Kenapa?" "Kalian masih terlalu muda untuk terdampar dalam
kehidupan seperti ini."
"Maksudmu?" "Kau mempunyai masa depan yang cerah dengan ilmu
yang tinggi." "Ya. Aku yakin itu," jawab Wijang.
Repak Rembulung tertawa. Katanya, "Kau memang terlalu
yakin akan dirimu. Tetapi kau benar. Jika kalian berdua tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sombong, maka kalian tidak akan terjun ke dalam
pertempuran ini." "Ya." "Tetapi justru itulah yang kami maksudkan. Kenapa kalian
yang muda, yang yakin akan kemampuan diri dan
mendambakan hari depan yang cerah, tersekap dalam
kehidupan seperti ini."
"Kehidupan seperti apa?"
"Menurut kalian sendiri, kalian berasal dari Perguruan Goa Lampin. Namun kemudian kalian menganggap bahwa kami,
dari perguruan kecik hanya mengenal perguruan-perguruan
kecik lainnya, antara lain kau sebut pula Goa Lampin."
Wijang mengerutkan dahinya. Sementara Pupus
Rembulung berkata, "Anak-anak muda, siapapun kalian, tetapi kalian adalah anak-anak muda yang aneh bagi kami. Meskipun
sejak semula kami yakin, bahwa kalian bukan orang-orang
dari Goa Lampin, bahkan bukan pula pengikut orang yang
bernama Ki Sapu Geni, namun sikap kalian mencemaskan
kami." "Kenapa?" bertanya Wijang.
"Mudah-mudahan kalian tidak bersungguh-sungguh dan
berusaha mengelabuhi dengan kekasaran kalian yang
berlebih-lebihan itu. Tetapi seandainya kalian benar-benar
larut dalam dunia seperti ini, maka kami sangat
menyayangkannya." "Lalu, apa yang sebaiknya harus kami lakukan?"
"Kalian dapat memanfaatkan kemampuan kalian untuk
kepentingan yang lebih berarti. Maksudku, seandainya kalian
ada di dalam satu lingkungan, apakah itu Goa Lampin, atau
pengikut Resi Sapu Geni, atau dari perguruan-perguruan gelap
lainnya, maka hidup kalian tidak akan berati apa-apa."
Wijang tertawa. Katanya, "Kalian dapat berkata seperti itu, tetapi apa yang kalian lakukan" Apakah kalian menginjak jalan
kebenaran dengan sikap kalian?"
"Aku sudah mengira, bahwa kau akan mengikuti
keberadaan kami dalam dunia kami sekarang ini," jawab
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pupus Rembulung. "Kami memang tidak akan dapat ingkar
bahwa kami telah tenggelam dalam dunia yang pekat ini.
Justru karena itu aku dapat mengatakan bahwa sebaiknya
kalian mencoba melihat kepada diri kalian sendiri, apa yang
sekarang sedang terjadi atas diri kalian. Seandainya kami
masih semuda kalian, maka kami akan berpikir ulang untuk
menerjuni dunia seperti yang kami rambah sekarang. Tetapi
kesadaran kami datang terlambat. Karena itulah, aku ingin
memperingatkan kalian, agar kesadaran kalian tidak datang
terlambat." Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian Wijangpun tertawa. Katanya, "Kalian berdualah
yang aneh. Kalian sebaiknya menasehati diri kalian sendiri."
Tetapi Pupus Rembulung itu tertawa pendek. Katanya,
"Baiklah, anak muda. Segala sesuatunya memang terserah
kepada kalian sendiri. Apakah kalian juga akan menjadi
seorang petualang seperti kami, seperti orang-orang Tegal
Arang, Umbul Telu dan barangkali aku juga dapat menyebut
Goa Lampin atau Resi Sapu Geni, atau seorang lurah prajurit.
Hari depan kalian adalah milik kalian sendiri. Bentuklah
menurut selera kalian."
Wijang termangu-mangu sejenak, sementara Paksi justru
diam membeku. "Sekarang, biarlah aku melanjutkan perjalanan. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas dua hal. Pertama, kalian
telah membantu kami, karena kalian tidak mau melihat
pertempuran yang tidak adil. Kedua, kalian percaya bahwa
Pangeran Benawa tidak berada di tangan kami," berkata
Pupus Rembulung. Wijang tidak menyahut. Sementara Repak Rembulung
berkata, "Semoga kalian tidak bertemu dengan Pangeran
Benawa." "Kenapa?" "Akibatnya tidak akan baik bagi kalian berdua."
"Kenapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Berhasil atau tidak berhasil, pengaruhnya akan sangat
buruk bagi kalian berdua."
"Kalian takut aku berhasil menangkapnya lebih dahulu?"
"Aku takut bahwa segala-galanya akan berhasil bagi
kalian," jawab Repak Rembulung.
"Omong kosong. Seberapapun tinggi ilmu Pangeran
Benawa, tetapi ia manusia juga seperti kami. Kami berdua
akan dapat melumpuhkannya."
"Jika kalian berhasil, maka pengaruhnya pun tidak akan
kalah buruknya." "Maksudmu?" "Kalian tidak akan pernah hidup tenang. Kalian akan diburu oleh orang-orang yang menginginkan cincin itu. Apakah cincin
itu masih tetap ada pada kalian atau tidak. Termasuk Harya
Wisaka. Di samping itu, keluarga istana yang kehilangan
pangerannya akan memburu kalian seperti memburu tupai."
"Apakah hal seperti itu tidak terjadi pada orang lain" Pada kalian berdua misalnya, seandainya kalian berhasil menangkap
Pangeran Benawa." "Hidup kami sudah kami pertaruhkan. Nama kami sudah
terlanjur dilengkapi lumpur. Tetapi kalian belum. Kalian masih muda dan berhari depan panjang, jika kalian sendiri tidak
menjerumuskan diri ke dalam kesulitan sehingga umur kalian
menjadi pendek. Kalian masih mempunyai banyak kesempatan
untuk membentuk diri sendiri. Apakah kalian benar-benar akan
menjadi budak di Goa Lampin atau pengikut Sapu Geni atau
kalian akan memilih menjadi seorang lurah prajurit atau
seorang bebahu sebuah padukuhan. Dengan kemampuan
yang tinggi, kalian akan dapat melindungi rakyat padukuhan
kalian dari tindak kejahatan."
Wajah Wijang menjadi tegang. Namun kemudian katanya,
"Cukup. Sekali lagi aku katakan, nasehati diri kalian
sendiri." "Baik, anak-anak muda. Kami juga akan menasehati diri
kami sendiri. Selamat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung kemudian
meninggalkan Wijang dan Paksi yang berdiri termangu-
mangu. Mereka berjalan dengan tanpa menaruh kecurigaan
kepada Wijang dan Paksi jika saja mereka akan berbuat licik.
"Orang-orang aneh," desis Wijang kemudian.
Paksipun menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun
berkata, "Marilah kita tinggalkan tempat ini. Mungkin sesuatu akan dapat terjadi jika kita masih berada disini. Orang-orang
yang baru saja mencegat Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung itu tentu akan datang kembali."
Paksi memandang orang-orang yang terluka itu. Namun ia
tidak berkata apa-apa kepada mereka. Segala sesuatu
memang terserah kepada kawan-kawan mereka.
Sambil melangkah, Paksipun berdesis, "Nampaknya orang-
orang yang ingin merampok uang itu telah menggiring kita
untuk menyaksikan keanehan sifat Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung." "Ya. Jika mereka tidak memaksa kita untuk berbelok, kita
tidak akan sampai ke tempat ini. Kita tidak akan mempunyai
kesan yang membingungkan tentang Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung. Kita melihat satu sisi yang keras dan kasar
dari kedua orang itu, tetapi di sisi lain, kita masih bisa melihat kelembutan tingkah laku mereka. Mereka mengobati orang
yang dilukainya, mereka mengucapkan terima kasih kepada
kita dan yang aneh, mereka menasehati kita."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Di antara orang-
orang dari perguruan yang hitam itu, Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung tampak semakin hitam. Tetapi disini kita
melihat ia dalam ujud dan sifat yang lain."
"Aku tidak mengerti," desis Wijang.
Namun Paksipun berdesis, "Apakah keduanya mengetahui
bahwa mereka telah berhadapan dengan Pangeran Benawa
sendiri, sehingga mereka menunjukkan sikap yang telah
disaputnya menjadi menjadi lembut dan bijak?"
"Agaknya tidak. Mereka tidak tahu dengan siapa mereka
berbicara. Jika mereka menyadari bahwa mereka berhadapan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan Pangeran Benawa tanpa sisi yang lain dari sifat-sifat
mereka, maka mereka akan berusaha menangkapnya."
"Tetapi mereka menyadari, bahwa orang yang dianggapnya
Pangeran Benawa itu mempunyai ilmu yang tinggi."
"Tetapi mereka tentu tidak akan dengan mudah
melepaskan kesempatan itu. Apalagi mereka belum meyakini
bahwa kemampuan kita tidak akan dapat mereka kalahkan.
Mereka hanya sempat melihat bagaimana kita bertempur
tanpa mengenali ilmu kita yang sebenarnya."
Paksi mengangguk-angguk. Keduanyapun berjalan semakin menjauhi medan. Tetapi
mereka tidak berniat untuk mengikuti Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung. Namun sambil berjalan di antara gerumbul-gerumbul perdu
mereka masih saja membicarakan kedua orang suami istri
yang aneh itu. Dalam pada itu, terik matahari semakin menyengat. Di
hadapan mereka membentang hutan yang membujur panjang.
Sedang di arah lain, sawah yang bersusun nampak hijau
ditumbuhi batang padi yang subur. Nampaknya itu bukan


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekedar sawah tadah hujan. Air yang jernih mengalir di parit-
parit yang terjadi secara alami, menuruni kaki Gunung Merapi,
sehingga sawah yang tersusun itu tidak akan kekurangan air
di segala musim. Dalam pada itu, Wijang dan Paksipun merasa bahwa
mereka harus menjadi semakin berhati-hati. Mereka sudah
mulai bersinggungan dengan orang-orang yang memburu
mereka, terutama Pangeran Benawa. Meskipun ia masih
belum dapat dikenali oleh orang-orang yang dikenalinya,
namun keduanya mencemaskan bahwa pada suatu saat
mereka tidak akan dapat menghindar lagi.
Ketika hal itu mereka bicarakan, maka Wijangpun berkata,
"Apa boleh buat. Aku sudah mengambil keputusan untuk
mengambil pengembaraan ini meskipun tujuanku semula
masih belum dapat aku lakukan dengan baik."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah keadaan istana Pajang itu sedemikian
menjemukan bagi Pangeran, sehingga Pangeran segan untuk
pulang?" "Pertanyaanmu aneh, Paksi. Bukankah sudah aku katakan,
jika aku pulang membawa cincin ini, maka cincin ini akan
hilang. Selebihnya darimana aku dapat melihat kehidupan
yang sebenarnya dari masyarakat Pajang jika aku tetap
berada di istana?" "Tetapi apakah kejemuan Pangeran di istana itu bukan satu dorongan yang kuat bagi Pangeran untuk meninggalkan
istana?" "Ya. Bukankah hal itu juga sudah pernah aku katakan
kepadamu" Tetapi sudahlah, kita akan meneruskan
pengembaraan kita." Paksipun kemudian tidak bertanya lagi tentang niat
Pangeran Benawa untuk melanjutkan pengembaraan. Bahkan
sebenarnya Paksi memang berharap agar Pangeran Benawa
itu mengambil keputusan yang demikian, sehingga ia akan
mendapatkan kawan dalam pengembaraan itu.
Namun yang kemudian justru bertanya adalah Pangeran
Benawa, "Paksi, bagaimana dengan kau sendiri" Apakah kau
tidak berniat untuk pulang" Jika kau ingin membawa cincin
bermata tiga itu, bawalah. Berikan kepada ayahmu. Apakah
benar ayahmu akan menyerahkan kepada Ayahanda Sultan
atau tidak." "Aku tidak mau bermain-main dengan benda yang sangat
berharga itu. Jika permainan itu berakibat buruk, maka aku
akan menyesal sepanjang hidupku."
Wijang tersenyum. Namun iapun bertanya, "Berakibat
buruk apa maksudmu?"
"Jika ayah tidak mau menyerahkan cincin itu ke istana,
maka akibatnya akan sangat buruk baginya."
Wijang justru tertawa. Katanya, "Kau teringat kepada
kedua orang yang menginginkan cincin itu?"
"Ya. Pangeran telah membuat aku berdebar-debar ketika
Pangeran menyerahkan cincin itu kepada mereka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dan kau cemas bahwa aku akan memperlakukan ayahmu
seperti mereka" Tentu tidak mungkin, Paksi. Kau tentu akan
marah. Dan kau tentu akan membunuh aku."
"Mungkin aku dapat membunuh Pangeran, jika tangan dan
kaki Pangeran diikat lebih dahulu dengan Janget Kinatelon."
Wijang tertawa. Suaranya lepas menghambur
menggetarkan udara lereng Gunung Merapi itu.
Tetapi lingkungan itu ternyata sepi. Tidak ada seorang pun
yang mendengar suara tertawa Pangeran Benawa.
Keduanyapun kemudian berjalan terus. Namun mereka
mulai menggeser arah untuk menemukan jalan yang lebih baik
dari sebuah padang yang banyak ditumbuhi gerumbul-
gerumbul perdu yang bahkan kadang-kadang semak-semak
berduri. Ketika mereka menemukan sebuah jalan, maka matahari
telah condong ke barat. Cahayanya masih terasa menyengat
kulit. Namun keduanya berjalan terus meskipun tidak terlalu
cepat. Namun tiba-tiba Wijangpun berkata, "Nampaknya di depan
itu sebuah padukuhan yang cukup besar."
"Ya," Paksi mengangguk-angguk.
"Kita akan singgah. Apakah kau tidak lapar?"
Paksi tersenyum. Namun Wijang itupun berkata dengan
nada tinggi, "Kau tentu tidak lapar."
"Aku juga sudah lapar," jawab Paksi.
"Kenapa kau tidak pucat?"
"Apakah kau juga pucat?"
"Aku tidak dapat melihat wajahku sendiri."
"Apakah kita harus mencari blumbang dan melihat kita di
dalamnya?" "Pokoknya kita lihat, apakah di padukuhan di depan ada
kedai atau tidak." Paksi tertawa. Katanya, "Nampaknya kau kelaparan."
Wijang mengangguk sambil menjawab, "Aku tidak pernah
merasa kelaparan seperti sekarang. Aku tidak tahu kenapa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keduanyapun kemudian mempercepat langkah mereka
memasuki padukuhan di depan mereka. Padukuhan yang
memang agak besar. Demikian mereka memasuki regol padukuhan, maka
keduanyapun yakin, bahwa di dalam padukuhan itu tentu
terdapat kedai yang memadai.
Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di sebuah simpang
empat di dalam padukuhan itu, mereka mendapatkan sebuah
kedai nasi yang masih dibuka. Di sebelahnya sebuah kedai
yang lain, yang menjual kebutuhan sehari-hari serta keperluan
dapur. Ternyata tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah pasar
hewan yang sudah sepi. Nampaknya hari itu memang bukan
hari pasaran. Meskipun demikian, di sebelah pasar itu justru
masih nampak kesibukan perdagangan. Agaknya padukuhan
itu adalah penghasil kelapa dan gula kelapa yang cukup besar,
sehingga di sebelah pasar hewan itu terdapat tiga empat
pedati yang sedang memuat kelapa dan gula kelapa.
Dengan demikian, maka tempat itu masih terhitung ramai
meskipun matahari sudah menjadi semakin condong.
Kedai yang masih dibuka itu masih juga dikunjungi
beberapa orang. Sementara itu, kedua kedai yang lain
agaknya sudah lebih dahulu ditutup.
Wijang dan Paksipun kemudian memasuki kedai yang
masih dibuka itu. Mereka segera mencari tempat di sudut,
sehingga mereka tidak akan merasa terganggu oleh mereka
yang keluar masuk kedai itu.
"Hati-hatilah dengan kampilmu," desis Wijang. "Nanti ada orang yang menginginkannya lagi."
Paksi memandang ke sekitarnya. Kedua orang duduk di
sudut yang lain. Tiga orang di dekat pintu dan dua orang lagi
justru duduk menghadap ke tempat pemilik kedai itu
menyiapkan pesanan-pesanan para pembelinya.
Sejenak kemudian, maka Wijangpun telah memesan
minuman dan makanan bagi dirinya sendiri dan bagi Paksi.
"He, kau pesan apa untukku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pokoknya kita memesan minuman dan makanan yang
sama. Nasi pecel, telur rebus dan ikan goreng."
"Ikan apa?" "Apa saja yang ada. Grameh, lele, sepat atau bahkan
wader." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menolak.
Ia juga senang makan nasi pecel asal tidak terlalu pedas.
Ketika kemudian Paksi menikmati pesanan itu, maka tiba-
tiba saja Wijang menggamitnya. Katanya, "Berhati-hatilah.
Nampaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan kita."
"Darimana kau tahu?"
"Dua orang berhenti di depan pintu. Nampaknya mereka
memperhatikan kita berdua. Berbisik-bisik dan kemudian
pergi." "Kita nikmati saja minuman dan makanan ini lebih dahulu,"
jawab Paksi. "Aku setuju," sahut Wijang.
Namun ketika Paksi menghabiskan satu mangkuk nasi, ia
merasa cukup kenyang. Karena itu, ketika Wijang menambah
lagi, Paksi menggeleng. Katanya, "Aku belum lapar sekali.
Bukankah tadi kita sudah makan?"
"Aku tidak ingat lagi. Yang penting aku harus makan karena aku lapar."
Paksi tersenyum. Sebuah pertanyaan timbul di dalam
hatinya, apakah di istana Pangeran Benawa dapat makan
senikmat itu. Beberapa saat kemudian, keduanyapun sudah selesai.
Wijang mengelus perutnya sambil berkata, "Kau benar, Paksi.
Ternyata aku merasa terlalu kenyang."
"Belum lagi jika kau habiskan wedang sere serta beberapa
potong makanan yang disediakan itu."
Wijang menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kau ingin
perutku meledak?" Paksi tertawa. Namun suara tertawanyapun patah ketika ia
juga melihat dua orang yang bergeser ketika ia mengangkat
kepalanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku melihat mereka," desis Paksi tiba-tiba. "Mereka siapa?"
"Dua orang yang tadi kau lihat," jawab Paksi. Namun tiba-tiba saja wajahnya nampak tegang. Katanya, "Rasa-rasanya
aku mengenal mereka."
"Kau mengenal mereka?" bertanya Wijang dengan dahi
yang berkerut. "Setidak-tidaknya salah seorang dari mereka." Wijang menarik nafas dalam-dalam. "Sekarang giliranmu. Aku kira
mereka memperhatikan aku."
Paksipun kemudian bertanya, "Apakah kau tidak akan
memesan apa-apa lagi?"
"Kau kira perutku tidak akan pernah kenyang?" Paksi masih sempat senyum. Kemudian bertanya, "Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Mungkin di luar beberapa orang sudah menunggu
kita." "Kita harus mempersiapkan diri."
Paksipun kemudian membayar harga makan dan minum
mereka sambil minta diri kepada pemilik kedai itu.
Ketika keduanya keluar dari kedai, maka merekapun
memperhatikan keadaan di sekitar kedai itu. Beberapa orang
memang nampak berjalan lewat jalan di depan dan di sebelah
kedai itu. Namun Paksi tidak melihat orang yang rasa-rasanya
sudah dikenalnya itu. "Orang-orang itu sudah pergi," desis Wijang.
"Ya. Tetapi tentu tidak jauh dari kita."
Keduanyapun kemudian melangkah meninggalkan kedai
itu, sementara Paksi bertanya, "Kita akan pergi kemana?"
"Ke selatan. Pokoknya ke selatan," jawab Wijang.
Paksi menarik nafas panjang. Katanya, "Ya. Pokoknya kita
pergi ke selatan." Demikianlah keduanyapun melangkah semakin jauh dari
kedai itu. Namun sebelum mereka terlalu jauh, maka merekapun
mendengar keributan di belakang rumpun bambu yang
tumbuh di sebuah halaman yang agak kosong. Pendengaran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka yang tajam segera mengetahui, bahwa telah terjadi
pertempuran di belakang rumpun bambu yang lebat itu.
Keduanyapun dengan serta-merta telah meloncat
melingkari rumpun bambu itu. Keduanya tertegun ketika
mereka melihat pertempuran yang sengit. Dua orang melawan
seorang yang berilmu sangat tinggi.
Tetapi ternyata bukan hanya mereka berdua sajalah yang
telah mendengar suara ribut di belakang rumpun bambu itu.
Beberapa orang yang lain pun telah berdatangan, seorang
demi seorang. Tetapi tidak seorang pun segera berani melerai
pertempuran yang sengit itu.
Paksi yang menyaksikan pertempuran itu menjadi
berdebar-debar. Salah seorang yang bertempur berpasangan
itu pernah dikenalnya. Tetapi seorang yang lain belum.
Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba
saja seorang dari mereka yang bertempur berpasangan itu
terlempar dari arena. Sebuah luka yang panjang menganga di
dadanya. Yang seorang lagi masih berusaha untuk bertahan. Tetapi
sebelum Paksi dan Wijang sempat berbuat sesuatu, maka
orang itupun telah terpelanting pula. selain luka di lehernya, maka kepala orang itu telah membentur sebuah batu yang
cukup besar, sehingga orang itu langsung terbunuh.
Dengan cepat Paksi berjongkok di sebelah orang yang
pernah dikenalnya. Sambil mengguncang orang itu, Paksi
berdesis, "Paman, Paman Derpa."
Orang yang terluka itupun berusaha untuk memperhatikan
anak muda yang menyebut namanya. Dengan suara yang
lemah orang itupun kemudian berdesis, "Angger Paksi."
"Ya, Paman." "Menyingkirlah. Orang itu sangat berbahaya bagimu."
"Kenapa" Dan kenapa Paman sekarang berada disini?"
"Aku mendapat perintah dari ibumu untuk mencari Angger.
Sudah setahun lebih kau meninggalkannya. Ibu ingin kau
segera pulang. Berhasil atau tidak berhasil."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi tidak segera menjawab. Sementara orang itu berkata,
"Tetapi agaknya ayahmu berkeberatan, Ngger. Kau baru boleh pulang jika kau bawa apa yang dipesankan oleh ayahmu."
Paksi mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya, "Apa
hubungannya dengan orang itu, Paman?"
"Orang itu adalah seorang dari mereka yang mendapat
perintah dari ayahmu. Mereka juga harus mencari benda yang
diinginkan oleh ayahmu itu. Tetapi mereka juga mendapat
tugas untuk mencarimu."
"Apakah yang dikehendaki oleh ayah?"
Sebelum Derpa menjawab, orang yang telah melukainya
itulah yang menjawab sambil tertawa, "Kau harus menemukan benda itu. Jika tidak, lebih baik aku habisi sama sekali."
"Itukah pesan ayahku, atau kehendakmu sendiri."
"Aku berhak menentukan."
Namun Derpa yang terluka parah itu berdesis, "Ayahmu
memang tidak menghendaki kau segera pulang."
"Kenapa, Paman" Kenapa?"
"Aku tidak tahu, Ngger."
"Paman. Paman," Paksi mengguncang orang itu. Tetapi
Derpa sudah menutup matanya untuk selama-lamanya.
Jantung Paksi bagaikan tersulut api. Iapun segera bangkit
berdiri, memandang orang yang membunuh Derpa itu dengan


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata yang menyala. "Kau telah membunuh Paman Derpa."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kedua orang itu sangat
menjengkelkan. Ia adalah budak-budak ibumu yang setia,
kesetiaan mereka adalah kesetiaan yang buta. Aku sudah
memperingatkan mereka mengurungkan niatnya mencarimu.
Tetapi mereka tidak mau mendengarkannya."
"Apakah sebabnya kau melarangnya" Apakah mereka
merugikanmu sehingga kau bunuh mereka."
"Tentu. Aku mendapat tugas dari ayahmu, agar kau tidak
pulang sebelum kau berhasil. Bukankah tugas kedua orang
tuamu bertentangan dengan tugasku."
"Aku tidak peduli. Aku akan pulang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Semua akan
sia-sia. Jika kau memaksa pulang, maka kau akan mati. Tetapi
seandainya kau tidak pulang pun, aku memang akan
membunuhmu." "Kenapa?"
"Seorang sainganku akan berkurang. Bukankah kau juga
akan mencari cincin itu."
"Kau gila. Kau berada di dalam satu lingkungan yang pekat.
Disini ada seribu orang yang sedang mencari cincin itu."
"Aku akan bunuh mereka satu demi satu."
"Siapa kau sebenarnya?"
Orang itu memandang Paksi dengan tajamnya. Dengan
nada tinggi iapun berkata, "Siapapun aku, akibatnya akan
sama saja bagimu. Kau akan mati. Itu saja yang perlu kau
ketahui." "Persetan. Kau telah membunuh Paman Derpa dan seorang
kawannya. Kau pun harus mati disini."
"He" Aku harus mati" Apakah kau harus membunuh diri?"
"Aku akan membuatmu," geram Paksi.
Suara tertawa orang itu bagaikan mengguncang rumpun
bambu di sebelahnya. Di sela-sela tertawanya orang itu
berkata, "Kau memang lucu, anak manis. Tetapi sangat
menjengkelkan karena kesombonganmu. Tetapi pengaruhnya
sangat bagus bagiku. Dengan demikian nafsuku membunuh
menjadi semakin besar. Sekarang, sebutlah nama ibumu
untuk yang terakhir kalinya."
Paksi bergeser menjauhi tubuh Derpa yang terbaring diam.
Beberapa orang di sekitar tempat itu menjadi tegang. Mereka
berharap anak muda itu menyingkir saja. Tetapi Paksi justru
mendekati orang yang memegang sebilah pedang itu.
"Apa yang akan kau lakukan, anak muda?" bertanya orang itu.
Paksipun menjawab dengan nada tinggi, "Sudah aku
katakan, aku akan membantumu untuk membunuh diri."
Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, "Kau bukan saja sombong. Tetapi kau sudah gila. Bukankah kau lihat, bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
aku dapat membunuh dua orang yang diutus oleh ibumu
mencarimu?" "Ya," jawab Paksi.
"Lalu apa yang dapat kau lakukan?"
Paksi justru melangkah mendekat. Katanya, "Bukankah
kepalamu masih belum sekeras batu hitam" Tongkatku ini
akan memecahkan tulang kepalamu."
"Kesombonganmu sudah berlebihan, anak muda. Sudah
waktunya aku membungkam mulutmu."
Paksi sama sekali tidak menjadi gentar. Ia justru semakin
mendekati orang yang telah membunuh Derpa.
Sementara itu, Wijang sama sekali tidak berusaha untuk
mencampurinya. Ia berdiri saja beberapa langkah dari Paksi.
Meskipun demikian, ia siap berbuat sesuatu jika diperlukan.
Bahkan Wijang sedang memperhatikan seseorang yang berdiri
tidak terlalu jauh dari arena pertempuran itu. Agaknya orang
itu mempunyai hubungan dengan orang yang telah
membunuh Derpa, langsung atau tidak langsung.
Karena itu, kecuali mempersiapkan diri jika ia diperlukan
untuk membantu Paksi, maka Wijangpun mengawasi orang
yang dicurigainya itu. Dalam pada itu, Paksi yang marah itupun telah bersiap
untuk bertempur. Tongkatnya mulai menggelepar di
tangannya. Namun orang yang telah membunuh Derpa itu
masih saja tertawa. Dengan golok yang besar, yang telah
melukai dan bahkan membunuh Derpa, orang itu menuding
Paksi sambil berkata, "Kau memang lucu, anak muda. Tetapi orang-orang yang akan mati kadang-kadang memang berbuat
aneh-aneh." Paksi tidak menjawab. Tetapi dengan kecepatan yang
tinggi, Paksi yang marah itu telah memukul golok di tangan
orang yang menertawakannya itu.
Orang itu benar-benar terkejut. Tenaga Paksi ternyata
sangat besar, sehingga orang itu tidak dapat mempertahankan
goloknya, sehingga golok itu terpelanting jatuh beberapa
langkah dari kakinya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan serta-merta orang itupun bergerak untuk
memungut goloknya. Namun tiba-tiba pula ujung tongkat
Paksi telah melekat di lehernya.
Sekali lagi orang itu terkejut. Ia tidak mengira sama sekali
bahwa anak muda itu mampu bergerak demikian cepatnya.
Karena itu, maka orang itupun mengurungkan niatnya untuk
mengambil goloknya, karena ujung tongkat yang menekan
lehernya itu akan dapat melukainya. Bahkan luka yang parah.
"Aku dapat membunuhmu sekarang. Tetapi aku bukan
pengecut yang licik. Kau tentu beralasan bahwa aku belum
bersiap karena seranganku datang tiba-tiba. Sekarang, ambil
golokmu. Kita akan bertempur dengan jujur."
Jantung orang itu bergetar ketika Paksi menarik
tongkatnya. Justru karena itu, maka untuk beberapa saat ia
berdiri termangu-mangu. Wijangpun mengerutkan dahinya melihat sikap orang yang
dicurigainya. Ia tidak melihat bahwa orang itu akan mencoba
membantu orang yang telah membunuh Derpa.
Meskipun nampak ketegangan di wajahnya, namun ia berdiri
saja di tempatnya. Sementara itu, beberapa orang yang
lainpun masih juga berkerumun menyaksikan apa yang telah
terjadi di belakang rumpun bambu yang lebat di halaman yang
kosong itu. "Ambil golokmu," bentak Paksi. "Kita akan bertempur. Aku tidak peduli apa kau bersenjata atau tidak."
Ketika Paksi mundur beberapa langkah, maka orang itupun
dengan cepat meraih goloknya. Demikian ia berdiri tegak
dengan golok di tangannya, maka iapun menggeram, "Satu
penghinaan yang pahit. Tetapi kau akan menyesal dengan
kesombongan yang tidak ada taranya ini, anak muda."
"Kita akan bertempur. Aku tidak yakin bahwa ayah
menghendaki agar kau membunuhku. Mungkin benar jika
ayah ingin aku pulang dengan membawa benda yang
dikehendaki. Tetapi niat untuk membunuh itu tentu timbul dari
jantungmu yang berbulu itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah kau dengar, Derpa juga mengatakan bahwa
ayahmu tidak ingin kau pulang."
"Ayah tidak ingin aku pulang tanpa membawa benda itu."
"Persetan," geram orang itu. "Kesombonganmu serta penghinaan ini tidak akan dapat dimaafkan lagi."
"Cukup," potong Paksi. "Bersiaplah."
Orang itu kemudian bersiap. Sekilas ia memandang Wijang
yang berdiri termangu-mangu. Orang itu merasa semakin
direndahkan bahwa anak muda yang seorang lagi sama sekali
tidak akan berusaha membantu Paksi.
"Apakah anak muda ini merasa dirinya sudah memiliki ilmu
yang mumpuni?" bertanya orang itu di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Paksi dan Wijangpun mengerti,
bahwa orang yang membunuh Derpa itu belum pernah
mengenal orang yang bernama Pangeran Benawa.
Meskipun orang itu sekali-sekali memperhatikan Wijang,
namun perhatiannya yang sekilas itu sekedar untuk
meyakinkan, apakah anak muda itu akan melibatkan diri atau
tidak. Sejenak kemudian, orang yang bersenjata golok itu telah
mulai menyerang. Tetapi orang itu menjadi sangat berhati-
hati. Yang dilakukan Paksi adalah isyarat, bahwa anak muda
itu adalah anak muda yang berilmu dan mempunyai tenaga
dan kekuatan yang besar. Namun bagaimanapun juga orang itu tetap yakin, bahwa ia
akan dapat membunuh anak muda itu dalam waktu singkat.
Jika goloknya sempat lepas, itu karena ia benar-benar lengah
dan tidak menduga bahwa anak muda itu akan menyerang
demikian tiba-tiba. Paksipun kemudian telah memutar tongkatnya pula. Sekali-
sekali tongkatnya itu terjulur. Ketika orang yang bersenjata
golok itu mencoba dengan tiba-tiba membentur tongkat Paksi,
ternyata tongkat itu tidak terlepas dari tangan anak muda itu.
Bahkan telapak tangan orang itulah yang menjadi panas.
Semakin lama keduanya bergerak semakin cepat. Mereka
mulai saling menyerang. Golok di tangan orang itu mulai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berputaran, kemudian terayun mendatar mengarah ke leher
Paksi. Namun tongkat Paksipun bergerak mengimbangi
kecepatan gerak golok kawannya. Setiap kali golok itu
membentur tongkat Paksi, sehingga golok itu tidak pernah
dapat menyerang kulit anak muda itu.
Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit.
Wijang yang memperhatikan pertempuran itu sekali-sekali
mengerutkan dahinya. Namun Wijangpun tidak
melepaskan perhatiannya kepada orang yang dicurigainya itu.
Mungkin saja orang itu menyerang dengan senjata rahasia
atau berbuat sesuatu dengan licik.
Tetapi nampaknya orang itu benar-benar tidak
akan melibatkan diri. Pertempuran antara orang yang telah membunuh Derpa
melawan Paksi itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Ujung tongkat Paksilah yang kemudian telah berhasil
menembus pertahanan lawannya. Ketika golok itu dengan
derasnya menyambar ke arah bahu kanan Paksi, maka
Paksipun sempat memiringkan tubuhnya. Demikian golok itu
terayun tanpa menyentuhnya, maka dengan cepat Paksi
menjulurkan tongkatnya. Ujung tongkat Paksi itulah yang justru mematuk lambung
lawannya sehingga lawannya terdorong beberapa langkah
surut. Namun ketika sekali lagi Paksi menyerang ke arah dada,
orang itu menangkis dengan goloknya. Bahkan sambil
berputar, orang itu menyerang dengan ayunan goloknya yang
besar itu. Paksilah yang meloncat surut. Tetapi demikian cepatnya ia
bergerak, sehingga dengan satu loncatan panjang, Paksi
menjulurkan tongkatnya mematuk dadanya.
Sekali lagi orang itu terdorong surut. Namun ia tidak
sempat memperbaiki keadaannya. Paksi yang memburunya
mengayunkan tongkatnya dengan derasnya memukul ke arah
dahi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang yang telah membunuh Derpa itu tidak menyerah. Ia
mencoba menggeliat menghindari ayunan tongkat lawannya.
Orang itu memang berhasil menyelamatkan kepalanya.
Tetapi tongkat Paksi telah mengenai pundak kirinya. Demikian
kerasnya, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
Dengan cepat ia berusaha mengambil jarak. Namun Paksi
tidak memberinya kesempatan. Anak muda yang marah itu
memburunya terus. Tongkatnya menebas dengan cepatnya.
Orang yang masih kesakitan itu tidak sempat mengelak.
Lambungnya telah disambar oleh tongkat Paksi. Orang itu
gagal menangkis serangan itu dengan goloknya. Iapun gagal
untuk mengelak. Pada saat yang gawat itu, ujung tongkat Paksi telah
menukik mengenai perutnya, sehingga orang itu membungkuk
kesakitan. Pada saat itulah, tongkat Paksi terayun mengenai
tengkuknya. Terdengar orang itu berteriak. Kemudian mengumpat
kasar. Namun kemudian orang itu terjatuh berguling di tanah
sambil mengerang kesakitan.
Paksipun berdiri termangu-mangu. Orang itu masih
menggeliat. Namun jari-jarinya tidak lagi dapat menggenggam
goloknya, sehingga goloknya itupun tergolek sejengkal dari
tangannya itu. Perlahan-lahan Paksi melangkah mendekatinya. Bahkan
kemudian berjongkok di sampingnya.
"Anak iblis," orang itu mencoba mengangkat kepalanya.
Tetapi kepala itupun terkulai kembali dengan lemahnya.
Paksi tidak menyahut. Dipandanginya saja orang yang
sudah tidak berdaya itu. Betapapun kemarahan membakar
jantungnya, tetapi Paksi tidak dapat sekali lagi mengayunkan
tongkatnya mengakhiri hidup orang itu.
Meskipun demikian, orang itu keadaannya sudah
sedemikian parahnya meskipun ia masih berusaha untuk
mengancam, "Aku akan membunuhmu."
"Apa sebenarnya pesan ayahku?" tiba-tiba Paksi bertanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Persetan dengan ayahmu," geram orang itu. "Aku tidak peduli dengan ayahmu. Aku ingin membunuhmu, karena kau
akan dapat mengganggu usahaku."
Paksi menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak berbuat apa-
apa. Dipandanginya saja orang yang terbaring sambil
mengerang kesakitan itu, namun sambil mengumpat-umpat.
Tetapi suaranya semakin lama menjadi semakin lambat.
Akhirnya suaranya terdiam. Ternyata bahwa orang yang telah
membunuh Derpa dan kawannya itu tidak dapat bertahan
lebih lama lagi. Nafasnyapun kemudian telah terhenti.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Orang yang
telah membunuh Derpa dan kawannya itupun telah
dibunuhnya pula. Namun dalam pada itu, ketika Paksi mengangkat wajahnya,
ia melihat Wijang dengan cepat melangkah pergi. Paksi tidak
tahu, apa yang akan dilakukannya. Karena itu, maka dengan
serta-merta iapun telah mengikutinya. Untuk sesaat ia
melupakan tubuh-tubuh yang terbaring diam itu.
Orang-orang yang berkerumunpun termangu-mangu.
Mereka melihat seorang yang dengan tergesa-gesa
meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul oleh anak muda


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang datang bersama-sama anak muda yang baru saja
bertempur dengan membunuh lawannya.
Demikian orang itu turun ke jalan, maka Wijangpun
menghentikannya. "Tunggulah, Ki Sanak."
Orang itu memang berhenti. Ketika ia memandang
berkeliling, maka dilihatnya banyak orang yang berkerumun
pula di jalan itu. Sementara itu, Wijang telah berdiri di
belakangnya sambil berkata, "Tunggu, Ki Sanak. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan."
Orang itu kemudian memutar tubuhnya dan bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
"Kenapa kau tidak membantu kawanmu yang terbunuh
itu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ia bukan kawanku," jawab orang itu.
"Jadi untuk apa kau mengawasinya?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ketika ia melihat Paksi datang pula menyusulnya, maka orang
itupun menjadi semakin gelisah.
"Siapakah orang ini?" bertanya Paksi.
"Aku curiga kepadanya. Ia mengamati pertempuran itu.
Kemudian dengan tergesa-gesa pergi ketika lawanmu
terbunuh." Paksi melangkah mendekat. Dengan nada berat ia
bertanya, "Kau juga diupah oleh ayahku?"
Orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Paksi dan Wijang
berganti-ganti. Namun agaknya orang itu juga tidak mengenal
bahwa yang dihadapinya itu adalah seorang pangeran.
"Kenapa kau diam saja?" bentak Paksi.
Orang itu terkejut. Ia memang sedang membuat
pertimbangan. Namun kemudian iapun menjawab, "Aku bukan
kawan orang yang terbunuh itu. Tetapi memang aku sedang
mengawasinya." "Kenapa dan untuk siapa kau melakukan pengawasan
terhadap orang yang terbunuh itu?" bertanya Paksi.
"Aku adalah kepercayaan ayahmu."
"Nah, bukankah orang itu juga bekerja untuk ayahku?"
"Ya. Tetapi ia seorang yang tidak dapat dipercaya. Karena itu, aku harus mengawasinya. Aku tahu bahwa orang itu
berusaha untuk mengikuti Derpa yang mendapat perintah dari
ibumu mencarimu. Sebenarnya ia bertugas untuk mengetahui,
hanya mengetahui, apakah kau sudah berhasil mendapatkan
benda yang dikehendaki oleh ayahmu itu atau belum?"
"Kalau belum?" "Kau harus mencari terus sampai kau dapat
menemukannya." "Jika untuk selamanya aku tidak menemukannya?"
"Kau tidak dapat kembali pulang."
"Kalau aku sudah mendapatkannya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau harus pulang dan menyerahkan benda itu kepada
ayahmu." "Kenapa ia akan membunuhku?"
"Ia ingin mendapatkan cincin itu bagi dirinya sendiri."
"Ketika ia mencoba membunuhku, kenapa kau tidak
berusaha untuk mencegahnya?"
Wajah orang itu menjadi tegang. Dipandanginya kedua
orang anak muda itu berganti-ganti. Namun akhirnya ia
berkata, "Aku tidak mendapat tugas untuk mencegahnya.
Ayahmu tidak akan kehilangan jika kau dibunuh oleh orang
itu. Tanpa memikul dosanya, ayahmu akan merasa beruntung
atas kematianmu." "Kenapa" Kenapa ayahku menginginkan kematianku?"
"Ayahmu tidak pernah mengupah orang untuk
membunuhmu. Tetapi ia sama sekali tidak berkeberatan jika
hal itu terjadi." "Ya, tetapi kenapa?"
"Aku tidak tahu."
Wajah Paksi menjadi sangat tegang. Tongkatnyapun
kemudian teracu ke dada orang itu. Katanya, "Dengar. Aku
dapat melobangi dadamu dengan tongkat ini."
"Aku percaya." "Jadi, jawab pertanyaanku."
"Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak dapat mencampuri
persoalan-persoalan yang menyangkut keluargamu."
"Kau jangan berbohong. Aku dapat membunuhmu," geram
Paksi. "Kau dapat membunuhku. Tetapi aku tidak akan pernah
dapat menjawab pertanyaanmu itu."
Jantung Paksi bagaikan membara. Dengan lantang iapun
berkata, "Aku tantang kau bertempur."
Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Katanya
kemudian, "Aku bukan pengecut. Bahkan aku merasa bahwa ilmuku
tidak kalah dari ilmu orang yang telah kau bunuh itu. Tetapi
aku juga merasa bahwa aku tidak akan dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengalahkanmu. Meskipun demikian, jika kau menghendaki
untuk membunuhku dengan cara sebagaimana kau lakukan
atas orang yang membunuh Derpa itu, aku tidak akan
menolak." Wijanglah yang kemudian berkata, "Kau tidak usah
bertempur lagi, Paksi. Biarlah orang ini menemui ayahmu.
Biarlah ia mengatakan apa yang telah terjadi disini. Kematian
Derpa dan kawan-kawannya, kematian orang yang telah
membunuhnya dan pembicaraanmu dengan orang ini."
"Aku tidak dapat mempercayainya. Ia dapat berbohong dan
bahkan dapat memfitnah. Ia dapat mengadu domba antara
aku dan ayahku. Aku pun tidak percaya bahwa orang ini tidak
mempunyai hubungan dengan orang yang telah terbunuh itu.
Semua. Aku tidak percaya semua kata-katanya."
"Aku mengerti," sahut Wijang. "Tetapi menurut
pendapatku, beri kesempatan ia menemui ayahmu. Apapun
yang akan dikatakannya. Pada saatnya kau akan dapat
mengerti, apakah orang ini berkata sebenarnya atau tidak.
Kita mempunyai banyak waktu untuk memburunya
kemanapun ia bersembunyi. Ayahmu akan dapat memberikan
petunjuk kemana kita harus mencarinya."
"Anak-anak muda," berkata orang itu, "kalian harus ingat, bahwa bukan hanya aku yang dapat berbohong. Ayahmu juga
dapat berbohong." "Persetan kau," geram Paksi.
Wijanglah yang kemudian berkata, "Pergilah. Lakukan apa
yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, akibat dari langkah-
langkah yang akan kau ambil akan menentukan nasibmu
kemudian." Orang itu tidak menjawab. Sementara Paksipun berkata,
"Baik. Kau mendapat kesempatan kali ini. Tetapi pada suatu saat, kau akan membuat perhitungan dengan aku."
Orang itu masih saja tidak menjawab. Ketika kemudian ia
memandang berkeliling, maka orang-orang yang ada di
sekitarnyapun memandanginya dengan tegang pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan pergi," berkata orang itu kemudian. "Aku akan menemui ayahmu dan mengatakan apa yang telah terjadi
disini." Paksi tidak menjawab. Tetapi Wijangpun berkata, "Pergilah.
Kau juga harus mengatakan kepada ayahnya, bahwa ada
seribu orang yang sedang mencari benda yang dicarinya. Sulit
bagi Paksi untuk dapat menemukannya."
Tiba-tiba saja Paksi memotong, "Tetapi aku akan pulang.
Ibuku menginginkan aku pulang. Aku tidak peduli siapapun
juga." Orang itu tidak menyahut. Sementara Paksi membentak,
"Cepat, pergilah."
Orang itupun menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia
bergeser surut. Namun kemudian iapun melangkah
meninggalkan Paksi dan Wijang yang berdiri tegak
mengawasinya. "Ia akan bercerita kepada ayahmu," berkata Wijang.
"Ya." "Ayahmu harus tahu, bahwa kau bukan lagi Paksi
sebagaimana saat kau meninggalkan rumahmu."
Paksi termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia berdesis,
"Tetapi apakah benar ayah menghendaki kematianku?"
"Jangan percaya."
"Setidak-tidaknya ayah tidak menghendaki aku pulang."
"Tentu bukan itu maksudnya," jawab Wijang. "Ayahmu ingin mendorong agar kau lebih bersungguh-sungguh mencari
benda yang diinginkan."
Paksi memandang Wijang sekilas. Namun kemudian
katanya, "Kau hanya ingin menenangkan perasaanku. Tetapi
kau menangkap ketidakwajaran itu. Aku, sekitar setahun yang
lalu, dalam umurku yang baru tujuh belas, aku harus keluar
dari rumah untuk mencari jejak cincin yang hilang tanpa bekal
ilmu yang memadai. Bukankah itu keputusan gila yang pernah
diambil oleh ayahku?"
"Sudahlah. Ada tiga sosok mayat yang terkapar di belakang rumpun bambu ini. Nanti kita berbicara lagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksipun tiba-tiba teringat kepada Derpa yang telah
terbunuh. Ia mengenal orang itu. Derpa sempat berkata
kepadanya, bahwa ibunya mengharapkannya pulang.
Bersama Wijang iapun kemudian kembali ke balik rumpun
bambu. Beberapa orang masih berkerumun. Empat orang di
antara mereka berdiri di sebelah tubuh-tubuh yang terkapar
itu. Seorang di antara mereka kemudian memperkenalkan
dirinya, "Aku bekel di padukuhan ini, anak muda."
Wijang dan Paksipun mengangguk hormat. Dengan nada
dalam Paksipun berkata, "Kami mohon maaf, Ki Bekel, bahwa peristiwa ini terjadi di padukuhan ini."
"Beberapa orang saksi mengatakan, bahwa kalian tidak
memancing keributan ini. Bahkan kalian merupakan salah satu
sasaran dari orang yang ternyata terbunuh itu."
"Ya, Ki Bekel. Aku juga tidak tahu pasti, kenapa tiba-tiba saja orang itu ingin membunuhku."
"Baiklah," berkata Ki Bekel, "nanti aku berharap, kalian berdua singgah di rumahku. Mungkin kita dapat berbicara
tentang beberapa hal yang perlu."
"Baik, Ki Bekel. Tetapi perkenankanlah kami berdua
menyelenggarakan penguburan mereka yang terbunuh ini.
Namun kami ingin mendapat keterangan, dimana kami dapat
mengubur mereka." Ki Bekel tersenyum. Katanya, "Biarlah orang-orang
padukuhan ini membantu kalian, anak-anak muda."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Bekel."
Ki Bekel itupun kemudian berkata kepada orang yang
berdiri di sebelahnya, yang ternyata adalah jagabaya di
padukuhan itu, "Perintahkan beberapa orang untuk mengubur mereka, Ki Jagabaya. Aku akan membawa kedua orang anak
muda ini ke rumahku."
"Baik, Ki Bekel," jawab Ki Jagabaya.
Namun Paksipun kemudian berkata, "Tolong, Ki Bekel,
pisahkan yang seorang ini dari yang lain. Yang seorang ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
justru memusuhi kedua orang yang lain. Akupun mohon,
seorang dari kedua orang ini dapat diberi ciri. Orang ini
bernama Derpa." "Baik, anak muda. Ki Jagabaya akan melakukannya."
"Pada suatu saat, kami akan kembali. Keluarga kedua
orang itu tentu ingin melihat kuburan mereka."
"Baik, baik, anak muda."
Demikianlah, Ki Bekel justru membawa Paksi dan Wijang ke
rumahnya. Setelah membersihkan diri di pakiwan, maka
keduanyapun duduk di pringgitan bersama Ki Jagabaya.
"Siapakah kalian berdua itu, anak muda. Dan kenapa kalian sampai kemari" Beberapa orang yang berada di sekitar arena
itu mendengar bahwa kalian sedang mencari sesuatu di
lingkungan ini yang aku yakini tentu sebuah cincin yang
sekarang sedang diburu oleh banyak orang."
"Sebenarnya kami berdua tidak memerlukannya, Ki Bekel.
Tetapi ayah kami yang memaksa untuk mencarinya."
"Apakah kalian bersaudara?"
"Ya, Ki Bekel. Bukan saudara kandung. Tetapi saudara
sepupu," jawab Paksi.
"Nama kalian?" "Namaku Paksi."
"Namaku Wijang, Ki Bekel," Wijangpun mengangguk
hormat. "Yang kalian maksud dengan ayah kalian itu, ayah Angger
Paksi atau ayah Angger Wijang."
Tiba-tiba saja Wijang menjawab, "Sebenarnya adalah
ayahku, Ki Bekel. Tetapi Paksi juga menyebutnya ayah."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Itukah sebabnya,
maka ayah kalian itu menginginkan Angger Paksi tidak
pulang." "Kami masih harus menegaskan kebenaran pernyataan itu,
Ki Bekel. Sebab sikap ayahku terhadap aku dan Paksi
nampaknya tidak ada bedanya."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Mungkin ayah Angger Wijang telah memendam perasaannya
sejak lama, sehingga pada suatu saat, perasaan itu terungkit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu ayah Angger Wijang tidak mempunyai cara dan
alasan yang pantas untuk menyingkirkan Angger Paksi."
"Aku tidak yakin, Ki Bekel," sahut Wijang.
"Baiklah. Aku tidak ingin seakan-akan menyelidiki persoalan yang timbul di lingkungan keluarga kalian. Namun yang
penting, yang akan aku beritahukan kepada kalian adalah,
bahwa banyak orang yang sedang memburu cincin itu. Cincin
yang aku dengar telah murca dari keraton. Cincin itu telah
hilang dari bangsal pusaka bersama dengan hilangnya salah
seorang pangeran di Pajang. Justru Pangeran Benawa."
Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja.
"Karena itu, Ngger, aku ingin memperingatkan, bahwa
sebaiknya kalian tidak melibatkan diri dalam usaha penemuan
cincin itu. Meskipun aku tahu, bahwa ternyata Angger Paksi
berilmu tinggi, tetapi kalian hanya berdua. Sementara itu,
menurut pendengaranku, beberapa orang sakti dari berbagai
lingkungan sedang berkeliaran di sisi selatan Gunung
Merapi. Mereka menganggap bahwa sepercik cahaya yang sangat
terang, yang turun dari langit, adalah cincin yang hilang itu, yang jatuh di lereng sebelah selatan Gunung Merapi ini.
Namun di samping itu, maka mereka pun telah beramai-ramai
memburu Pangeran Benawa yang diduga membawa cincin itu
pergi dari istana." "Jadi Pangeran Benawa sendiri telah mencuri cincin itu, Ki Bekel?" bertanya Wijang.
"Jangan berkata begitu, Ngger. Bagaimanapun juga
Pangeran Benawa adalah seorang pangeran."
"Jadi?"

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak seorang pun tahu, apa maksud Pangeran Benawa
dengan membawa cincin itu pergi dari istana. Jika banyak
orang menganggap bahwa siapa yang mengenakan cincin itu
di jarinya, ia akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini,
maka sebenarnya Pangeran Benawa mempunyai kesempatan
terbesar tanpa harus membawa cincin itu pergi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika demikian, Pangeran Benawa telah memancing
pergolakan yang dapat meresahkan banyak orang."
"Sudahlah. Yang penting ingin aku sampaikan kepada
kalian berdua, sebaiknya kalian tidak usah melibatkan diri ke
dalam pusaran perburuan itu. Kalian dapat menjelaskan hal itu
kepada ayah kalian, jika ayah kalian memang telah
menugaskan kalian untuk mencarinya."
Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah Wijang berkata, "Baik, Ki Bekel. Kami akan
meninggalkan tempat ini. Sejak semula memang kami merasa
segan untuk melakukannya. Kami sama sekali tidak tahu apa
yang harus kami lakukan. Karena itu, kami berkeliaran saja di
lereng selatan Gunung Merapi ini."
"Aku senang kesediaan Angger untuk meninggalkan tempat
ini. Aku tidak ingin melihat anak-anak yang masih muda
seperti Angger berdua harus terlibat dalam persoalan yang
rumit, yang akan merenggut jiwa Angger. Sedangkan
sebenarnya masa depan Angger masih panjang dan masih
penuh dengan harapan-harapan."
"Ya, Ki Bekel," jawab Paksi, "kami akan memperhatikan pesan Ki Bekel. Seperti yang dikatakan oleh saudaraku, kami
akan segera meninggalkan tempat ini."
"Bukan maksud kami mengusir Angger berdua. Jika Angger
berdua masih ingin tinggal disini, aku sama sekali tidak
berkeberatan." "Terima kasih, Ki Bekel. Agaknya kami ingin meneruskan
perjalanan kami." "Angger berdua akan kemana?"
"Kami akan mengembara kemana saja, seakan-akan kami
sedang mencari cincin itu. Pada suatu hari kami akan pulang
dan melaporkan bahwa kami telah gagal."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
iapun berkata, "Tetapi segala sesuatunya terserah kepada
kalian, anak-anak muda. Aku hanya memberikan
pertimbangan, karena aku merasa sayang, bahwa masa depan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kalian akan patah karena keinginan orang tua kalian yang
berlebihan itu" "Ya, Ki Bekel. Kami mengerti," sahut Wijang. "Kami mengucapkan terima kasih atas nasehat dan petunjuk Ki
Bekel." "Aku juga mempunyai anak seumur kalian. Aku selalu
membayangkan masa depan yang baik bagi anakku itu. Aku
pun berharap anakku itu berumur panjang."
Namun ketika kemudian Wijang dan Paksi mohon diri, Ki
Bekel menahannya. Katanya, "Kami sedang menyiapkan
makan untuk kalian berdua."
Wijang dan Paksi berpandangan sejenak. Mereka baru saja
makan dan bahkan terlalu kenyang. Karena itu, maka
Wijangpun berkata, "Kami mengucapkan terima kasih, Ki
Bekel. Tetapi kami berdua baru saja makan menjelang
peristiwa itu terjadi. Ketika kami sedang berada di kedai itulah, kedua orang yang sedang mencari kami itu melihat dan
selanjutnya justru terlibat dalam pertengkaran dengan orang
lain yang juga berkepentingan dengan kami."
"Tetapi tidak baik menolak rejeki, anak-anak muda.
Meskipun hanya sedikit, aku minta kalian makan lebih dahulu."
"Sungguh, Ki Bekel. Kami mengucapkan terima kasih. Kami
mohon maaf, bahwa kami terpaksa tidak dapat menerima
uluran tangan Ki Bekel. Kami bukannya menolak, tetapi
agaknya tidak ada tempat lagi di dalam perut kami."
"Tetapi kalian baru saja bertempur. Kalian tentu letih dan seandainya kalian baru saja makan, maka kalian tentu telah
menjadi lapar kembali."
"Kami mohon maaf, Ki Bekel."
Kerut dahi Ki Bekel nampak semakin dalam. Agaknya ia
menjadi kecewa. Tetapi apaboleh buat. Keduanya masih
merasa sangat kenyang. Dengan demikian, maka Wijang dan Paksipun segera minta
diri. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih dan mohon
maaf kepada Ki Bekel yang menjadi kecewa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Ki Bekelpun kemudian tersenyum sambil berkata,
"Baiklah. Selamat jalan. Mudah-mudahan kalian tidak
menjumpai persoalan yang dapat mengganggu perjalanan
kalian. Sekali lagi aku ingin menasehatkan, jangan melibatkan
diri dalam persoalan yang gawat ini."
Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Hampir berbareng
keduanya menjawab, "Baik, baik, Ki Bekel."
Demikianlah, keduanyapun segera meninggalkan rumah Ki
Bekel dari padukuhan yang terhitung besar itu.
Demikian mereka meninggalkan halaman rumah itu, maka
dua orang yang berwajah garang keluar dari ruang dalam.
Dengan geram, seorang di antara mereka berkata, "Setan-
setan kecil itu menolak untuk makan."
Ki Bekel dengan wajah gelisah menyahut, "Aku sudah
mencoba untuk memaksa mereka, tetapi mereka tidak mau."
"Sikapmu tidak meyakinkan," geram yang lain.
"Aku sudah berusaha. Tetapi keduanya memang menolak."
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi dan berkulit
kuning berkata, "Jika saja mereka mau makan, maka racun itu akan membuat mereka menjadi lemah. Kita akan dengan
mudah mengakhiri mereka di bulak sebelah."
"Tanpa racun kita akan mengakhiri mereka di pategalan.
Tidak di bulak. Itu tentu akan lebih baik. Kemungkinan kecil
sekali akan dilihat orang, bagaimana kita membantai kedua
anak muda itu." Namun dalam pada itu, Ki Bekelpun bertanya, "Apa
sebenarnya salah mereka sehingga mereka harus dibantai"
Bukankah mereka sudah bersedia untuk meninggalkan daerah
ini serta tidak lagi ikut memburu cincin bermata tiga itu?"
"Mereka tentu berbohong. Aku tidak percaya kepada
mereka. Aku menduga bahwa mereka adalah para pengikut
Harya Wisaka. Keduanya agaknya sedang memburu Pangeran
Benawa. Ilmu mereka nampaknya cukup meyakinkan,
sehingga mereka, setidak-tidaknya yang membawa tongkat
itu, akan dapat mengganggu tugas-tugas kami. Apalagi jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harya Wisaka menurunkan orang-orangnya yang lain di
daerah ini." "Mereka tentu bukan pengikut Harya Wisaka. Bukankah
jelas bahwa mereka ditugaskan oleh ayah mereka. Bahkan
agaknya ada persoalan yang rumit di dalam lingkungan
keluarga mereka sendiri. Seorang di antara mereka dengan
sengaja diusir dari rumahnya, sehingga perintah untuk
mencari cincin itu adalah sekedar untuk menyingkirkannya."
"Mereka hanya berpura-pura."
"Bagaimana mungkin yang dilakukan itu sekedar pura-pura.
Tiga orang mati dan sudah dikuburkan. Yang mati itu tidak
sekedar pura-pura." "Kau memang dungu, Ki Bekel," seorang di antara kedua orang itu membentak. "Orang-orang seperti Harya Wisaka
tidak akan merasa sayang mengorbankan orang-orangnya
untuk melakukan satu permainan yang rumit. Orang-orang
yang saling membunuh itu sendiri tidak menyadari, bahwa
mereka tidak lebih dari alat-alat permainan yang diatur oleh
Harya Wisaka." "Permainan yang demikian tentu merupakan permainan
yang berlebihan." "Cukup," yang lainpun membentak pula. "Kau tidak tahu cara yang diambil oleh Harya Wisaka. Cara yang paling kasar
pun akan dilakukannya."
Ki Bekel memang tidak menjawab. Ia sadar, dengan siapa
ia berhadapan. Sementara itu, salah seorang dari kedua orang itupun
berkata, "Ingat, Ki Bekel, jika kau tidak ingin padukuhanmu ini hancur, ikuti petunjuk-petunjukku. Aku mempunyai kekuatan
yang cukup untuk berbuat apa saja atas padukuhan ini."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Jantungnya terasa
bergejolak. Tetapi ia tidak dapat melawan kehendak kedua
orang itu, karena Ki Bekel menyadari bahwa di belakang
kedua orang itu terdapat sebuah kelompok yang berlindung di
belakang nama sebuah perguruan yang mempunyai banyak
pengikut. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi wajah Ki Bekel itu menjadi pucat ketika salah
seorang di antara kedua orang itu berkata, "Marilah, kita susul kedua anak itu."
"Kita hanya berdua?" bertanya yang seorang.
"Ki Sampar Angin ada di banjar. Bersama Ki Sampar Angin
kita akan dapat menyelesaikan siapa saja."
Kawannya mengangguk-angguk, sementara itu yang lain
itu berkata selanjutnya, "Kita berdua akan membunuh seorang di antara mereka. Sedangkan Ki Sampar Angin akan
menyelesaikan yang seorang lagi."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Jangan terlalu
lama." "Kita akan melakukannya malam nanti."
"Tetapi kita jangan kehilangan jejak."
Keduanyapun kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel
dengan tergesa-gesa. Namun seorang di antara mereka
sempat berkata, "Jangan berbuat aneh-aneh, Ki Bekel. Kakang Wira Bangga akan merasa tidak senang jika kau tidak mau
mengikuti petunjuk-petunjukku, apalagi pesan-pesan Kakang
Wira Bangga sendiri."
Ki Bekel itu tidak menjawab. Dadanya merasa menjadi
sesak. Ia harus menelan kepahitan sikap kedua orang yang
berwajah garang itu. Apalagi jika mereka menyebut nama
Wira Bangga. Maka bulu-bulu kuduk Ki Bekel menjadi
meremang. Sejenak kemudian, kedua orang itupun telah hilang dari
halaman rumah Ki Bekel. Ki Bekel tahu pasti, bahwa keduanya
akan pergi ke banjar menjemput orang yang bernama Ki
Sampar Angin. Kemudian menyusul kedua orang anak muda
yang harus mengalami nasib buruk. Meskipun anak-anak
muda itu berbekal ilmu, tetapi apakah mereka mampu
menghadapi kedua orang yang garang itu dan apalagi Ki
Sampar Angin, kepercayaan Ki Wira Bangga.
Tetapi Ki Bekel tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan
padukuhannya itu sendiri seakan-akan berada di bawah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bayang-bayang Ki Wira Bangga yang setiap saat akan dapat
menghancurkannya. Satu-satunya harapan Ki Bekel adalah, kedua orang anak
muda itu telah menempuh jalan yang jejaknya tidak dapat
diikuti oleh kedua orang berwajah garang yang masih akan
singgah di banjar untuk menjemput Ki Sampar Angin.
"Kalau saja kedua anak-anak muda itu tahu bahaya yang
sedang mengancam mereka," berkata Ki Bekel di dalam
hatinya. Tetapi Ki Bekel pun mengetahui, bahwa jalan ke selatan itu
membujur panjang melintasi beberapa padukuhan. Kecuali jika
kedua orang anak muda itu berbelok mengambil jalan yang
lebih kecil, bahkan lorong-lorong sempit atau jalan setapak.
"Jika mereka mengikuti jalan panjang itu, maka mereka
tentu akan segera disusul oleh Ki Sampar Angin dengan kedua
orang berwajah garang itu," berkata Ki Bekel dalam hatinya pula.
Ada niat untuk menyusul dan memberitahu bahaya yang
akan menyusul kedua anak muda itu. Jika ia menunggang
kuda, maka dalam waktu singkat kedua orang anak muda itu
akan dapat disusulnya. Tetapi Ki Bekel tidak mempunyai
keberanian untuk melakukannya. Taruhannya bukan sekedar
Ki Bekel itu sendiri, tetapi seluruh padukuhannya. Para
penghuni padukuhan yang tidak tahu-menahu persoalannya,
akan ikut mengalami kesulitan.
Karena itu, maka Ki Bekelpun kemudian hanya duduk saja
di pringgitan. Kepalanya terasa pening dan keringatnyapun
membasahi pakaiannya. Kegelisahan yang sangat telah
mencengkam jantungnya. Tiba-tiba saja ia teringat kepada nasi yang telah disediakan
bagi kedua orang anak muda yang akan diracunnya. Racun
yang lemah, yang akan membuat tenaga kedua orang anak
muda itu menjadi rapuh. Namun, yang gagal karena kedua
orang anak muda itu menolaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika seseorang makan nasi itu, nasibnya akan menjadi
sangat buruk," berkata Ki Bekel yang kemudian tergesa-gesa pergi ke ruang dalam.
Nasi itupun kemudian telah dibawanya ke kebun belakang.
Dibuatnya lubang yang agak dalam. Ditaruhnya nasi itu ke
dalamnya dan kemudian ditimbunnya rapat-rapat.
Dalam pada itu, Wijang dan Paksi telah meninggalkan
padukuhan itu. Mereka memang menyusuri jalan yang
panjang yang menuju ke selatan. Keduanya sama sekali tidak
berniat untuk keluar dari jalur jalan itu dan mengambil jalan
setapak atau lorong-lorong sempit.
"Sikap Ki Bekel itu agak aneh," desis Wijang.
"Ya. Aku merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar,"
sahut Paksi. "Mudah-mudahan hanya prasangka buruk," gumam Wijang.
Paksi mengangguk-angguk. Meskipun demikian iapun
bergumam, "Rasa-rasanya ia memang mengusir kita dari
padukuhannya. Apakah Ki Bekel juga berkepentingan cincin
itu?" "Mungkin saja. Justru karena daerahnya pernah dilalui atau bahkan menjadi tempat persinggahan orang-orang yang
sedang memburu cincin itu, maka ia pun ikut-ikutan
memburunya. Apalagi Ki Bekel merasa bahwa padukuhannya
merupakan lingkungan perburuan, setidak-tidaknya lintasan
perburuan itu," sahut Wijang.
Paksi tidak segera menyahut. Dipandanginya jalan yang
membujur panjang di hadapannya. Sementara itu,
mataharipun menjadi semakin rendah. Cahayanya mulai
memudar. Panas tidak lagi terasa memanggang tubuh kedua
orang anak muda itu. Ketika langit menjadi semakin suram, maka Paksipun
bertanya, "Dimana kita akan bermalam" Apakah kita akan
bermalam di banjar padukuhan?"
Wijang termangu-mangu sejenak. Katanya, "Padukuhan-
padukuhan di jalur ini, nampaknya sangat berhati-hati
menanggapi kehadiran orang yang mereka anggap asing. Aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperhatikan orang-orang di padukuhan-padukuhan yang
telah kita lewati. Termasuk padukuhan yang telah menjeratmu
dalam pertempuran itu."
"Ya. Akupun merasakan betapa orang-orang padukuhan


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang kita lewat. Itu tentu karena mereka mempunyai
pengalaman yang tidak menyenangkan dari orang-orang yang
lewat di padukuhan mereka."
"Kita akan bermalam di tempat yang terbuka saja."
"Di padang perdu."
"Ya. Kita sudah sering bermalam di tempat terbuka."
Keduanyapun kemudian sepakat untuk mencari tempat
bermalam sebelum gelap turun, sehingga mereka dapat
mengetahui keadaan di seputar tempat mereka bermalam itu.
Ketika senja turun, maka mereka telah menemukan tempat
yang menurut pendapat mereka cukup baik untuk bermalam.
Tidak terlalu dekat dengan hutan. Beberapa buah batu besar
berserakan di tempat itu, sehingga mereka akan dapat tidur di
atas salah satu batu yang datar.
Keduanyapun kemudian telah memilih dua buah batu yang
jaraknya tidak terlalu jauh. Merekapun kemudian telah sepakat
untuk bergantian tidur. "Bagaimanapun juga kita berada di daerah yang asing,"
berkata Wijang. "Kita harus berhati-hati."
Paksi mengangguk. Katanya kemudian, "Kau sajalah yang
tidur dahulu. Aku akan tidur lewat tengah malam."
Wijang tersenyum. Katanya, "Pilihan yang baik."
Paksipun tersenyum. Katanya, "Kau dapat tidur sekarang."
"Siapa yang dapat tidur di saat seperti ini?"
Paksi tertawa. Katanya, "Jika demikian, baiklah. Kita masih punya waktu untuk membersihkan diri. Di sebelah tentu ada
sungai. Aku mendengar airnya yang gemericik."
Keduanyapun kemudian telah pergi ke sungai. Pendengaran
mereka yang tajam telah menuntun mereka ke sebuah tebing.
Namun Wijangpun kemudian berbisik di telinga Paksi,
"Jangan letakkan tongkatmu jika kau turun ke sungai."
"Ya. Aku mendengar. Tetapi aku belum melihat sesuatu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku juga belum. Gelap mulai turun. Berhati-hatilah. Setiap saat bahaya dapat menyergap kita."
Paksi mengangguk kecil. Dengan hati-hati Paksi menuruni
tebing sungai. Pendengarannya yang tajam, dengan
mengetrapkan ilmu Sapta Pangrungu, Paksi menangkap desir
lembut beberapa langkah di sampingnya. Sentuhan tubuh
seseorang dengan dedaunan pada gerumbul perdu.
Sambil bertelekan tongkatnya, Paksi menuruni tebing. Ia
berjalan di depan, sedangkan Wijang berjalan di belakang.
Kedua anak muda itu mengurungkan niatnya untuk
membersihkan diri. Keduanya hanya duduk saja di atas
sebuah batu yang besar sambil berkelakar. Sekali-sekali
terdengar suara mereka tertawa meledak dan
berkepanjangan. Ketika gelap malam menjadi semakin hitam, keduanya
seakan-akan tidak menghiraukannya. Keduanya masih saja
berbicara. Bahkan keduanya mulai berteka-teki.
Ternyata orang-orang yang menunggu mereka lengah,
menjadi tidak sabar lagi. Dengan satu isyarat, tiga orang telah meloncat dari balik gerumbul. Kemudian meluncur menuruni
tebing sungai itu pula. Sambil berdiri di tepian yang berpasir dan berbatu-batu, Ki
Sampar Anginpun berkata, "Selamat malam, anak-anak muda.
Apa yang kalian lakukan disitu?"
Wijang dan Paksi tidak terkejut lagi karena kehadiran
mereka. Keduanya memandang ketiga orang itu sejenak.
Kemudian kedua orang anak muda itu turun dari atas batu
yang besar itu. "Selamat malam, Ki Sanak," desis Wijang. "Siapakah kalian dan apakah kalian ingin bertemu dengan kami?"
"Ya," sahut Ki Sampar Angin. "Kami memang ingin bertemu dengan kalian."
"Untuk apa?" bertanya Wijang pula.
Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, "Kami sengaja
mengikuti perjalanan kalian."
"O." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami ingin mendapatkan cincin bermata tiga itu."
"Cincin apa?" bertanya Paksi dengan serta-merta. "Jangan ingkar. Cincin itu tentu sudah ada pada kalian."
"Aku tidak tahu maksudmu," geram Wijang.
"Jangan berpura-pura. Sekarang berikan cincin itu kepada
kami. Kami tidak akan mengusik kalian."
"Kami tidak tahu, apa maksud kalian yang sebenarnya."
"Jangan banyak bicara. Ada tidak ada alasannya kita akan
bertempur. Kami akan menghancurkan kalian semuanya dan
mengambil cincin itu dari salah seorang dari kalian berdua."
Wijang berpaling kepada Paksi sejenak. Namun
dengan sengaja ia menjawab dengan kata-kata yang cukup
tajam, "Apa kalian melihat wajah kami bercahaya sehingga
kalian menganggap bahwa kami telah menemukan cincin yang
sedang diburu itu" Ki Sanak, kami bukan orang-orang tamak
seperti kalian. Kami justru menghindari dari lingkungan
perburuan ini." "Kalian akan pergi sambil membawa cincin itu?" bertanya Ki Sampar Angin.
"Mimpimu sangat buruk, Ki Sanak."
"Jangan mencoba melawan, karena tidak ada artinya sama
sekali. Perlawanan hanya akan menambah kemarahan kami,
sehingga kami akan dapat berbuat sesuatu yang tidak pernah
kau bayangkan menjelang kematian kalian."
Wijang dan Paksipun segera teringat pula kepada dua
orang yang dengan ringan hati berusaha membunuh mereka.
Jika mereka tidak menemukan cincin itu, tidak menjadi apa.
Korban yang telah dibunuh itu tidak membebani perasaan
mereka sama sekali. "Ki Sanak," berkata Wijang kemudian, "kami sama sekali tidak berurusan dengan cincin itu."
"Kau kira aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh
orang-orang yang telah mati termasuk yang kau bunuh itu."
Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan nada tinggi
iapun berkata, "Jika kau tahu apa yang kami bicarakan, kau tentu juga tahu, setidak-tidaknya menangkap makna
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pembicaraan kami, bahwa cincin itu masih belum kami
ketemukan." Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, "Mungkin kau memang
belum menemukan. Tetapi bukankah kau masih akan
mencarinya" Kau atau ayahmu atau siapapun yang
berhubungan dengan kau, menurut perhitunganku adalah
orang-orang yang digerakkan oleh Harya Wisaka. Begitu
rumitnya permainannya, sehingga kalian menjadi saling
membunuh tanpa disadari. Berebut medan dan dahulu
mendahului. Ayah kalian itupun tentu hanya sekedar barang
mainan Harya Wisaka sehingga bersedia mengorbankan anak
dan kemenakannya." "Kau mengigau," geram Paksi.
"Permainan yang sangat rumit. Entahlah, apa yang
dilakukan oleh Harya Wisaka. Prajurit-prajurit sandi yang
selama ini mendapat kepercayaan dari Kangjeng Sultan pun
telah menjadi alat permainannya pula. Para bangsawan dan
para tumenggung." "Kau mengigau," geram Paksi yang jantungnya mulai
memanas. "Kau kira kau dapat memperlakukan kami
sekehendak hatimu?" "Aku tahu bahwa kau memiliki kemampuan yang baik.
Tetapi kau tidak akan dapat melawan kami bertiga. Seorang di
antara kalian akan segera dibantai oleh kedua orang kawanku,
sedangkan yang seorang lagi akan segera aku cincang sampai
lumat." Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Mereka sadar
bahwa orang yang bernama Sampar Angin itu tentu orang
yang berilmu tinggi. Sedangkan kedua orang yang lain tentu
juga orang-orang yang berbahaya. Bagaimana juga Wijang
dan Paksi harus memperhitungkan berbagai macam
kemungkinan. Bahkan kemungkinan yang terburuk sekalipun.
Betapapun kedua anak muda itu membekali dirinya, namun
kemampuan mereka tetap saja terbatas. Dengan demikian,
maka mungkin saja orang itu memiliki kemampuan melampaui
kemampuan mereka berdua. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi apapun yang akan terjadi, keduanya harus
menghadapinya. Sudah tentu mereka tidak akan dengan suka
rela menyerahkan leher mereka untuk dipenggal.
Karena itu, maka Wijangpun kemudian berkata, "Ki Sanak.
Apapun yang terjadi, kami memang harus menghadapi."
Orang itu tertawa. Katanya, "Baiklah. Tetapi sebelum kami membantai kalian, kami ingin kalian mengetahui serba sedikit
tentang kami bertiga. Namaku Ki Sampar Angin. Mungkin
kalian sudah pernah mendengarnya. Kedua orang itu kawanku
ini adalah Ki Sura Semu dan Ki Prana Gombak. Keduanya
adalah orang yang namanya sangat ditakuti. Bukan saja oleh
orang kebanyakan, tetapi gegedug di seluruh Pajang pun
selalu memperhitungkan kehadirannya. Karena itu, kalian tidak
akan dapat memperlakukannya sebagaimana kau
lakukan sebagaimana orang yang menyusulmu atas perintah
ayahmu dan yang telah membunuh dua orang yang
mencarimu atas perintah ibumu itu."
Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Namun mereka
tidak ingin kalah sebelum berusaha mempertahankan diri.
Karena itu, mereka tidak ingin menghiraukan, siapapun yang
mereka hadapi. Apakah mereka orang-orang sakti yang dapat
bersembunyi di balik kabut, atau bahkan dapat terbang di
awang-awang. Karena itu, maka Wijangpun menyahut, "Kami akan
mempertahankan hidup kami. Kami merasa masih terlalu
muda untuk mati." "Itu adalah ciri dari para pengikut Harya Wisaka. Mereka
adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah. Mereka baru
mengakhiri perlawanan mereka setelah mati. Kesetiaan
mereka sampai pada batas kematian. Itulah yang aku kagumi.
Bagaimana Harya Wisaka dapat membuat orang-
orangnya kehilangan pribadinya dan berserah diri seutuhnya
bagi kepentingannya."
"Kenapa kau masih saja mengigau, Ki Sampar Angin. Kami
sudah siap untuk mempertahankan diri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, "Aku kagumi keberanian
kalian. Aku memang iri kepada Harya Wisaka yang mempunyai
pengikut setia sampai mati."
Wijang dan Paksipun tidak menjawab. Apapun yang mereka
katakan tidak berarti apa-apa. Orang itu akan tetap dapat
menganggapnya sebagai pengikut Harya Wisaka. Namun
mungkin juga karena Ki Sampar Angin dan kelompoknya
terlalu cemas terhadap kekuatan Harya Wisaka, sehingga
setiap kekuatan yang tidak dikenalnya selalu dihubungkannya
dengan apa yang disebutnya sebagai permainan yang
digerakkan oleh Harya Wisaka.
Tetapi apapun latar belakang dari Ki Sampar Angin, Wijang
dan Paksi harus sangat berhati-hati menghadapi ketiga orang
yang berilmu tinggi itu. Sebenarnyalah sejenak kemudian, Ki Sampar Anginpun
bergeser selangkah. Kepada kedua orang kawannya iapun
berkata, "Nah, kita sudah terlalu lama berbicara. Sekarang waktunya untuk membunuh mereka."
Kedua orang itupun bergeser pula. Sementara Wijanglah
yang kemudian berdiri tegak untuk menghadapi kedua orang
itu. Menurut perhitungannya, kedua orang itu tentu lebih
berbahaya dari Ki Sampar Angin meskipun ilmu Ki Sampar
Angin tentu lebih tinggi dari Sura Semu dan Prana Gombak.
Tetapi jika keduanya bergabung menjadi satu, maka kekuatan
dan kemampuan keduanya akan lebih besar dari Ki Sampar
Angin. Paksilah yang kemudian bersiap menghadapi Ki Sampar
Angin. Seorang yang nampaknya memiliki bekal ilmu yang
tinggi serta pengalaman yang sangat luas.
Ki Sampar Anginpun sambil tertawa mulai meloncat
menyerang. Tetapi ia menghentikan langkahnya, karena Paksi
menyilangkan tongkatnya. Sambil bergeser selangkah Ki
Sampar Angin berkata, "Nampaknya tongkatmu adalah senjata andalanmu."
Paksi tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Ki Sampar
Angin melibat Paksi dengan pertempuran yang cepat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian tiba-tiba sehingga Paksipun terdorong beberapa
langkah surut. Ki Sampar Angin kemudian berdiri di atas batu sambil
berkata, "Nah, kau harus menyadari, bahwa bobot ilmuku
tidak sekedar sejajar dengan bobot ilmu orang yang telah kau
bunuh itu." "Ya," jawab Paksi, "aku tahu."
"Nah, dengan demikian kau tahu apa yang akan terjadi atas dirimu."
"Apapun yang terjadi," geram Paksi. Ki Sampar Angin tidak berbicara lagi. Tetapi serangan-serangannyapun kemudian
telah datang bergulung seperti angin pusaran.
Namun Paksipun telah dibekali ilmu pula. Karena itu,
tongkatnyapun segera berputaran. Sekali-sekali menukik
menusuk dengan cepatnya. Ternyata Ki Sampar Anginpun mengalami kesulitan
melawan anak muda yang bersenjata tongkat itu. Gerakannya
menjadi sangat terbatas. Serangannya sulit untuk
menjangkaunya, karena putaran tongkat anak muda itu
merupakan pertahanan yang sangat rapat.
Bahkan serangan-serangan tongkat Paksipun semakin lama
menjadi semakin berbahaya. Ketika tongkat Paksi terjulur
lurus ke arah dada, Ki Sampar Angin dengan cepat pula
bergeser selangkah ke samping. Namun tiba-tiba saja tongkat
itu menggeliat. Hampir saja tongkat itu menyambar kening Ki
Sampar Angin, sehingga Ki Sampar Angin itu dengan
tergesa-gesa meloncat jauh surut.
Meskipun tongkat itu tidak menyentuhnya, tetapi jantung Ki
Sampar Angin telah tergetar. Hampir saja keningnya terkoyak
tongkat anak muda itu. Karena itu, maka Ki Sampar Anginpun tidak akan
membiarkan tubuhnya dikenai oleh senjata lawannya yang
menjadi semakin berbahaya.
Ketika tongkat Paksi kemudian menyambarnya, maka tiba-
tiba saja telah terjadi benturan yang keras.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi terkejut. Sementara itu, Ki Sampar Anginpun tertawa.
Katanya, "Kau terkejut anak muda."
Paksi tidak menjawab. Tetapi ia bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Dengan sepasang gelang-gelang besi yang
digenggamnya di kedua belah tangannya, maka Ki Sampar
Angin tentu akan menjadi lebih berbahaya.
"Apakah kau belum pernah melihat jenis senjata seperti
senjataku?" Paksi mengerutkan dahinya. Namun asal saja ia menjawab,
"Sudah." "O. Siapakah yang pernah mempergunakan senjata seperti
senjataku ini?"

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paksipun menjawab sekenanya, "Di lereng Gunung Merapi."
"Di lereng Gunung Merapi" Saat terjadi perang brubuh itu?"
Seperti orang yang sedang mengigau Paksi menjawab,
"Ya." "Kalau begitu, aku menjadi yakin sekarang. Kau tentu salah satu dari alat permainan Harya Wisaka."
Paksi terkejut. Sambil memutar tongkatnya ia bertanya,
"Kenapa kau mengambil kesimpulan seperti itu?"
Ki Sampar Angin tiba-tiba saja meloncat mengambil jarak.
Katanya, "Kau tentu ada di pertempuran itu. Kau tentu berada di dalam pasukan Harya Wisaka."
"Apakah kau juga ada di dalam pertempuran itu?"
"Tidak. Baru kemudian Wira Bangga memberitahukan
kepadaku tentang pertempuran itu. Tentang keganasan Harya
Wisaka dan para pengikutnya yang terdiri dari para prajurit
dan bahkan prajurit sandi. Tetapi juga beberapa orang
pertapa yang dapat dipengaruhinya serta beberapa perguruan
yang dipimpin oleh orang-orang buta mata hatinya, karena
mereka tidak dapat mengerti, siapakah Harya Wisaka itu."
"Apakah hatimu tidak buta dan melihat dengan terang,
siapakah yang berdiri di belakangmu" Ternyata kau juga tidak
lebih dari barang permainan yang dimainkan oleh Wira Bangga
sebagaimana pengakuanmu sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, anak muda. Hubunganku dengan Wira Bangga
berbeda dengan hubungan Harya Wisaka dengan alat-alat
permainannya." "Aku tidak peduli," geram Paksi.
"Aku bukan pengikut Wira Bangga. Tetapi aku telah
menempatkan diri dan bekerja untuknya, karena aku ingin
melihatnya berhasil. Aku adalah kakak seperguruannya."
"O," Paksi menjadi berdebar-debar. Tetapi kesan itu tidak nampak pada sikapnya maupun pada kata-katanya. Orang itu
adalah saudara tua seperguruan Wira Bangga. Dengan
demikian dapat diduga bahwa ilmunya agak lebih tinggi,
setidak-tidaknya lebih matang dari ilmu yang dimiliki oleh Wira Bangga.
"Nah, kau sekarang tahu siapa aku sebenarnya. Karena itu, maka kau sama sekali tidak mempunyai harapan untuk dapat
keluar dari tempat ini dengan selamat."
Namun Paksipun bertanya, "Apakah perguruanmu itu
termasuk salah satu perguruan hitam?"
Orang itu tertawa lagi berkepanjangan. Namun iapun
kemudian bertanya, "Apakah yang kau maksud dengan
perguruan hitam?" "Kau tahu maksudnya," geram Paksi.
"Baik. Mungkin aku harus menerjemahkan hitam itu dengan
sifat-sifat yang buruk. Bekerja dengan iblis dan berniat untuk menghancurkan dunia ini."
"Nah, kau akui keberadaanmu?"
"Aku tidak pernah memperdulikan, apakah kami termasuk
golongan yang disebut hitam atau putih. Yang penting aku
mempunyai ilmu yang tinggi, yang dapat aku pergunakan
untuk menggapai keinginan-keinginan yang bergetar di dalam
dadaku." "Jadi kau anggap sah untuk mempergunakan cara apapun
untuk mencapai tujuan?"
"Bersiaplah," tiba-tiba saja Ki Sampar Angin menggeram.
Paksi tidak bertanya lagi. Iapun segera bersiap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan gelang-gelang besi yang digenggam di kedua
tangannya, Ki Sampar Anginpun menyerang Paksi dengan
garangnya. Kedua tangannya terayun-ayun mengerikan.
Dengan gelang-gelang besinya, Ki Sampar Angin berulang-
ulang membentur tongkat Paksi yang menggelepar di
tangannya. Namun Paksipun semakin lama semakin
merasakan, betapa besar tenaga orang yang bernama Ki
Sampar Angin itu. Bahkan semakin lama serangan-serangan Ki Sampar Angin
menjadi semakin deras mengalir mendera pertahanan Paksi
yang mulai goyah. Paksipun harus meningkatkan kemampuannya untuk
mempertahankan diri dari serangan-serangan Ki Sampar Angin
yang datang bagaikan angin prahara.
Dalam pada itu, Wijangpun harus bertempur melawan dua
orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka Wijangpun harus
berloncatan dengan cepat untuk menghindari serangan-
serangan yang datang beruntun, susul-menyusul dari kedua
orang yang berdiri seberang-menyeberang.
Dengan demikian, maka Wijangpun harus meningkatkan
ilmunya pula. Ia harus mampu bergerak dengan kecepatan
yang sangat tinggi untuk menghindari serangan lawan-
lawannya. Kedua orang lawan Wijang itu ternyata agak terkejut juga
melihat kemampuan anak muda itu. Ternyata anak muda itu
mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Berloncatan dan bahkan kadang-kadang bagaikan terbang
menghindar dari garis serangan kedua lawannya.
Wijang yang sebenarnya adalah Pangeran Benawa itu
ternyata memang memiliki ilmu yang seakan-akan tidak
terbatas. Meskipun ia harus menghadapi lawannya yang
berilmu tinggi, namun ternyata bahwa Wijang tidak segera
mengalami kesulitan. Dengan kemampuannya yang tinggi,
kedua orang lawannya kadang-kadang telah terkejut karena
unsur gerak Wijang yang tidak terduga-duga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, Wijang masih mampu
menyembunyikan ciri-ciri ilmunya yang sebenarnya agar kedua
orang lawannya tidak dapat mengenalinya. Kadang-kadang
Wijang bertempur dengan keras. Tidak ada bedanya dengan
kekasaran kedua orang lawan-lawannya.
Namun kedua orang lawan Wijang itupun mempunyai
landasan ilmu yang tinggi serta pengalaman yang luas.
Mereka tidak pernah merasa dihambat oleh perasaannya.
Apalagi belas kasihan serta pertimbangan-pertimbangan
kemanusiaan yang lain. Keduanya bertempur tanpa kendali,
serangan-serangan mereka meluncur tanpa terkekang sama
sekali. Karena itulah, maka Wijang harus benar-benar berhati-hati.
Meskipun keduanya tidak segera dapat menguasainya,
namun Wijang tidak boleh lengah barang sekejappun, karena
yang sekejap itu akan dapat berarti akhir dari segala-galanya.
Sebenarnya Wijang tidak mencemaskan diri sendiri. Sekilas
ia sempat melihat, apa yang terjadi dengan Paksi. Wijang
melihat, bahwa Paksi sudah terjerat dalam kesulitan.
Wijang menyesal, bahwa ia telah memilih kedua orang itu
sebagai lawannya. Semula ia menganggap kemampuan Ki
Sampar Angin tentu tidak akan lebih tinggi dari kemampuan
kedua orang yang bertempur berpasangan itu.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Ki Sampar Angin
adalah orang yang benar-benar berilmu tinggi. Bahkan
Wijangpun merasa, bahwa seorang diri, ia akan mengalami
kesulitan untuk melawan Ki Sampar Angin.
Karena itu, maka Wijangpun segera menghentakkan
ilmunya. Sepasang pisau belatinya telah berada di dalam
genggamannya. Seperti banjir bandang ia melibat kedua orang lawannya.
Kedua lawannyapun telah bersenjata pula. Seorang di
antara mereka bersenjata kapak, sedang yang lainnya
bersenjata golok yang besar.
Meskipun demikian, pisau belati di tangan Wijang itupun
menjadi sangat berbahaya. Dengan pelindung pergelangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangannya, Wijang menangkis serangan-serangan kapak dan
golok lawannya. Kemudian dengan pisau belatinya ia
menyerang dengan cepat, seperti kuku burung sikatan yang
menyambar mangsanya di rerumputan.
Wijang yang mengetahui kesulitan Paksi, dengan
mengerahkan kemampuannya, berusaha untuk dengan cepat
mengakhiri perlawanan kedua lawannya.
Tetapi ternyata Wijang tidak dapat melakukannya dengan
cepat. Kedua lawannya tidak membiarkan lehernya dikoyak
oleh pisau belati Wijang atau perut mereka dibelah dengan
pisau belati yang tajam itu.
Karena itu, maka merekapun memberikan perlawanan yang
cukup berat bagi Wijang meskipun Wijang berhasil mendesak
kedua lawannya itu. Wijang menjadi semakin cemas ketika Paksi tidak lagi
mampu memberikan perlawanan yang dapat membendung
arus serangan lawannya. Gelang-gelang di kedua tangan Ki
Sampar Angin membuat tongkat Paksi menjadi tidak berarti.
Dalam puncak ilmunya, Paksi berloncatan dengan cepatnya
sehingga kadang-kadang hanya nampak seperti bayangan
yang berterbangan di seputarnya. Namun Ki Sampar Angin
tidak menjadi bingung. Bahkan kadang-kadang Ki Sampar
Angin bahkan dapat mencegat tata gerak Paksi yang cepat itu.
Paksi yang telah menempa diri dengan laku yang berat,
ternyata tidak mampu mengatasi kemampuan Ki Sampar
Angin. Serangan-serangannya tidak mampu memecahkan
pertahanan lawannya. Bahkan beberapa saat kemudian,
serangan-serangan Ki Sampar Angin yang datang benar-benar
merupakan angin prahara, yang telah menggulungnya,
menghanyutkannya dalam putaran yang semakin cepat.
Paksi yang mampu bergerak dengan kecepatan yang
sangat tinggi itu kemudian bagaikan selembar kapuk randu
yang diombang-ambingkan oleh angin pusaran yang keras,
yang kemudian menggulungnya dan siap melemparkannya ke
udara dan membantingnya jatuh di tanah yang berbatu-batu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang menjadi sangat cemas. Terdengar Wijang berteriak
nyaring, "Paksi, kau mampu meringankan tubuhmu. Kau tentu mampu memberatkan tubuhmu."
Suara Wijang itu memang menggetarkan jantung Paksi.
Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, Paksipun
berusaha melawan angin pusaran yang sedang
mempermainkannya. Tetapi pengaruhnya tidak terlalu besar. Paksi masih saja
terombang-ambing tanpa dapat berbuat banyak. Meskipun
penalarannya masih tetap utuh, namun rasa-rasanya sangat
sulit bagi Paksi untuk dapat keluar dari pusaran kekuatan ilmu Ki Sampar Angin.
Kecemasan semakin mencekam jantung Wijang. Ia semakin
mengerahkan kemampuannya untuk menyelesaikan kedua
lawannya. Tetapi kedua lawannya juga berilmu tinggi.
Keduanya mampu memberikan perlawanan yang menyulitkan
bagi Wijang. Meskipun Wijang selalu mendesak mereka,
namun Wijang masih belum berhasil memberikan pukulan
terakhir. Dalam keadaan yang rumit itu, Wijang tidak lagi
memikirkan akibatnya, ketika Wijang harus mengerahkan
kemampuan puncaknya, tiba-tiba saja Wijang justru telah
menyelipkan kedua pisau belatinya di sarungnya. Dengan
serta-merta Wijang itu telah menelakupkan kedua telapak
tangannya. Pada kedua telapak tangan Wijang yang menelakup itu,
telah mengepul asap yang berwarna kehijauan.
Ki Sampar Angin yang melihatnya terkejut. Apalagi ketika ia
melihat Wijang itu kemudian mengangkat tangan kanannya di
atas kepalanya. "Lebur Seketi," Ki Sampar Angin memperingatkan kedua orang kawannya.
Kedua orang lawan Wijang itu terkejut pula. Hanya ada
beberapa orang yang mampu memiliki kemampuan menguasai
ilmu yang menggetarkan jantung itu. Apalagi lawan mereka itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih muda. Memang sulit dipercaya. Namun ciri-ciri dari ilmu
itu sudah nampak diungkapkan oleh anak muda itu.
Dengan demikian, maka jantung kedua orang lawan Wijang
itu serasa berdentang semakin cepat. Dengan serta-merta
mereka berloncatan menebar.
Namun Wijang bergerak terlalu cepat. Dengan tangkasnya
ia meloncat menyerang seorang di antara kedua lawannya.
Orang itu tidak lagi mampu mengelakkan dirinya. Karena
itu, dengan mengerahkan segenap ilmunya, maka orang itu
terpaksa menangkis serangan Wijang.
Dengan demikian, maka dua kekuatan ilmu yang tinggi
telah berbenturan. Wijang memang tergetar selangkah surut.
Namun lawannya telah terlempar beberapa langkah.
Terbanting jatuh dan berguling beberapa kali. Namun
kemudian orang itu sama sekali tidak bergerak lagi.
Pada saat yang bersamaan, seorang lawannya yang lain,
telah meloncat, mengayunkan tangannya ke arah tengkuk
Wijang. Wijang yang masih terguncang itu tidak dapat membentur
serangan itu. Ia tidak sempat mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya, sehingga jika ia memaksakan sebuah
benturan terjadi, maka keadaan Wijanglah yang akan menjadi
sangat sulit. Dalam keadaan yang demikian, Wijang masih berusaha
menghindar. Iapun menjatuhkan dirinya di saat tangan
lawannya itu menyambarnya.
Wijang masih berhasil menghindar dari ilmu lawannya.
Namun ketika kemudian ia meloncat bangkit, maka akibat
benturan yang terjadi sebelumnya, terasa mempengaruhi
pernafasannya. Tetapi Wijang tidak sempat berpikir terlalu jauh. Iapun
segera mempersiapkan diri untuk menghancurkan lawannya
yang seorang lagi sebelum ia dapat membantu Paksi yang
mengalami kesulitan yang semakin parah. Paksi sudah mulai
kehilangan kemampuan perlawanannya. Tongkatnya memang
masih berada di tangannya, tetapi tubuhnya berada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diombang-ambingkan oleh pusaran angin yang tidak mampu
dilawannya. Dalam pada itu, Ki Sampar Angin itupun berteriak, "Berhati-hatilah. Kau berhadapan langsung dengan Pangeran Benawa.
Bertahanlah. Anak itu sudah tidak berdaya. Dalam sekejap aku
dapat membunuhnya." Pangeran Benawa serta Paksi yang sudah tidak berdaya itu
terkejut. Ternyata Ki Sampar Angin mampu mengenali
Pangeran Benawa dari ungkapan ilmu yang memang sudah
jarang dikuasai oleh orang-orang berilmu tinggi.
"Anak semuda itu yang mampu menguasai ilmu itu
hanyalah beberapa orang saja. Antara lain Pangeran Benawa
dan Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi Mas Ngabehi itu
sekarang berada di istana."
Namun Wijang sempat berteriak, "Ada lebih dari seribu
orang yang mampu melakukan sebagaimana aku lakukan
sekarang. Kalianlah yang ternyata sangat picik, sehingga tidak mengetahui isi dari dunia oleh kanuragan yang sebenarnya."


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Sampar Anginpun menyahut, "Siapapun kau, tetapi kau
tidak akan mampu menolong kawanmu. Beruntunglah aku,
bahwa aku dapat langsung bertemu dengan Pangeran
Benawa." Wijang menggeram. Tetapi ia tidak boleh terbenam dalam
pembicaraan itu. Paksi sudah semakin tidak berdaya meskipun
ia mengerahkan segenap ilmunya.
Ternyata Wijang yang dadanya telah terguncang oleh
benturan ilmu dengan salah seorang lawannya, tidak segera
mampu mengalahkan lawannya yang seorang lagi. Wijangpun
harus berpikir ulang, apakah ia masih dapat membenturkan
ilmunya sekali lagi tanpa menghancurkan dadanya yang sudah
melemah. Sementara itu, lawannya juga merasa ragu untuk
berbenturan ilmu. Meskipun lawannya itu mengetahui bahwa
anak muda itu sudah tidak lagi berada pada puncak
kemampuannya. Tetapi Lebur Seketi adalah ilmu yang sangat
menggetarkan. Seorang kawannya telah terkapar jatuh dan
tidak mampu bangkit kembali untuk selamanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, keadaan Paksi ternyata menjadi semakin
memburuk. Dalam pusaran angin, Paksi hanya mampu
meronta. Menggeliat dan mencoba bertahan. Tetapi ia sama
sekali sudah tidak mampu untuk menyerang lawannya.
Wijang yang semakin gelisah itu tidak dapat sekedar
menunggu, berpikir dan apalagi ragu-ragu. Karena itu, maka
Wijangpun akhirnya memutuskan untuk mengetrapkan
ilmunya Lebur Seketi, apapun bakal jadinya. Jika ia masih
dapat mengalahkan lawannya, maka ia akan dapat membantu
Paksi. Jika tidak, biarlah iapun hancur dalam pertempuran itu.
Karena itu, maka sekali lagi Wijang menelakupkan
tangannya. Dalam kegelapan malam, beberapa pasang mata yang
tajam itu melihat asap yang berwarna kehijauan mengepul
dari sela-sela telapak tangannya. Kemudian Wijangpun
dengan cepat mengangkat tangannya dan meloncat
menyerang lawannya. Lawannya tidak mempunyai pilihan lain. Demikian cepatnya
semuanya itu terjadi. Karena itu, lawannya itupun telah
mengerahkan semua kemampuannya pula. Menyilangkan
tangannya di depan wajahnya.
Sekali lagi telah terjadi benturan yang keras. Ilmu yang
jarang ada duanya itu telah membentur pertahanan lawannya.
Akibatnya memang sangat mendebarkan. Ternyata Wijang
tidak hanya terdorong selangkah surut. Tetapi iapun kemudian
terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Nafasnya menjadi
semakin sesak, sementara jantungnya terasa bagaikan
terbakar. Ketika kemudian Wijang berusaha untuk bangkit, maka
keseimbangannya masih belum pulih kembali. Sendi-sendinya
terasa semakin tidak berdaya.
Wijang memandang lawannya yang terlempar dan jatuh
terguling. Benturan itu telah membuat bagian dalamnya
terluka parah. Kekuatan Aji Lebur Seketi benar-benar tidak
dapat ditandinginya meskipun lawannya sudah tidak berada di
puncak kemampuannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu masih mampu menggeliat. Bahkan mengerang
kesakitan. Namun kemudian suaranya yang lemah itupun telah
terputus sama sekali. Namun Wijangpun sudah terlalu lemah pula. Meskipun
demikian, ia tidak dapat membiarkan Paksi mengalami
bencana. Karena itu, tertatih-tatih Wijangpun melangkah
mendekati pusaran angin yang sedang mempermainkan Paksi
yang sudah menjadi semakin lemah.
Ketika Ki Sampar Angin melihat kedua lawannya sudah
tidak mampu melakukan perlawanan dan bahkan mungkin
sudah terbunuh, iapun menggeram marah. Apalagi ketika ia
melihat Wijang tertatih-tatih mendatanginya.
"Kau sudah tidak berdaya, Pangeran," berkata Ki Sampar Angin. "Tenagamu sudah terkuras habis. Kau tidak akan
mampu berbuat apa-apa lagi. Bahkan laripun kau tidak
mungkin melakukannya. Tetapi kematian kedua orang
kawanku itu harus kau tebus. Kawanmu inipun harus mati."
Ki Sampar Angin tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun
kemudian telah menghentakkan ilmunya, sehingga pusaran
angin itu menjadi semakin cepat.
"Tunggu," teriak Wijang. "Apa yang kau kehendaki dariku.
Bebaskan kawanku, aku akan memenuhi apa yang kau
inginkan." "Cincin itu," teriak Ki Sampar Angin.
"Baik. Aku akan memberikan cincin itu."
"Apakah cincin itu benar ada padamu?"
"Ya," jawab Wijang.
"Jika demikian, aku akan membunuh kawanmu, kemudian
membunuhmu, aku akan mendapatkan cincin itu."
"Kau curang. Kau harus melepaskan kawanku itu."
Tetapi Ki Sampar Angin justru tertawa berkepanjangan.
Dihentakkannya ilmunya bukan saja semakin tinggi, tetapi
justru sampai ke puncak. Paksi sudah tidak berdaya lagi. Pusaran itu menghisapnya,
melemparkannya ke udara. Kemudian melepaskannya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sehingga Paksi itupun meluncur dengan derasnya jatuh di
sungai yang berbatu-batu.
Tetapi yang tidak terduga itu telah terjadi. Demikian tubuh
itu hampir menghantam sebongkah batu yang besar, maka
sesosok tubuh telah meloncat menyambarnya. Dengan
kekuatan dan kemampuan melampaui kewajaran, orang itu
menangkap tubuh Paksi, kemudian meletakkannya di atas
batu besar itu. Sementara sosok tubuh itu berdiri tegak di
sebelahnya dengan kaki renggang.
Paksi sendiri kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk
di sebelah orang itu. Sementara Wijang berdiri termangu-
mangu. Jantungnya yang rasa-rasanya berhenti berdenyut itu,
terasa mulai dialiri darahnya kembali.
Ki Sampar Angin terkejut bukan kepalang. Sosok tubuh itu
tiba-tiba saja telah ada disitu tanpa diketahui, kapan ia
datang. Paksi yang kemudian turun dari batu besar itu berusaha
untuk mengenali orang yang telah menolongnya.
Dengan nada tinggi Paksi yang lemah itu berdesis, "Ki
Marta Brewok." Orang itu tertawa. Katanya, "Benar, Paksi. Aku datang
tepat pada waktunya. Seandainya tubuhmu jatuh menimpa
batu ini, maka dapat dibayangkan, apa yang terjadi atas
dirimu." Wijang yang melangkah tertatih-tatih mendekat itupun
berdesis pula, "Untunglah Ki Marta Brewok berada disini di saat yang sangat gawat ini. Pada saat kami berdua sudah
tidak berdaya untuk mengadakan perlawanan."
"Kalian berdua memang bukan lawan orang ini," desis Ki Marta Brewok. "Ki Sampar Angin adalah orang yang sangat
sakti. Ilmunyalah yang sebenarnya bernama Sampar Angin.
Tetapi nama ilmunya itulah yang kemudian dipakainya untuk
namanya." "Persetan. Siapakah kau yang telah berani mencampuri
persoalanku dengan anak-anak muda ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, "Ternyata kebesaran namamu tidak seimbang dengan kebesaran jiwamu. Kau
hanya berani bermain-main dengan anak-anak. Sudah tentu
kau dapat memenangkan pertempuran melawan mereka.
Itupun sama sekali tidak adil, kau bertiga, sedang anak-anak
itu hanya berdua." "Aku memerlukan mereka. Dan kau tidak berhak ikut
campur." "Setiap orang Pajang berhak ikut campur, karena kau akan
merampas cincin kerajaan Pajang. Setiap orang Pajang wajib
mengamankan cincin itu."
"Kau sendiri tentu menghendaki cincin itu."
"Tidak. Jika aku menginginkannya, tentu sudah aku
lakukan. Aku mengenal mereka sejak lama. Aku pernah
tinggal bersama mereka. Aku tahu bahwa cincin itu ada pada
Pangeran Benawa sejak ia meninggalkan istana."
Ki Sampar Angin memandang orang itu dengan tajamnya.
Sementara itu Ki Marta Brewok itupun kemudian telah
meloncat turun dan melangkah mendekat.
"Apapun yang kau katakan," berkata Ki Sampar Angin, "aku menginginkan cincin itu, maka kaulah yang akan mati lebih
dahulu." "Aku sudah tahu kedahsyatan ilmumu, Ki Sampar Angin.
Tetapi itu tidak menggetarkan perasaanku. Aku sudah
bertekad untuk membantu menyelamatkan cincin itu. Karena
itu maka cincin itu harus tetap berada di tangan Pangeran
Benawa." Sorot mata Ki Sampar Angin bagaikan menyala. Ia memang
tidak menghiraukan lagi kedua orang anak muda yang sudah
tidak berdaya itu. Meskipun Pangeran Benawa berilmu tinggi,
tetapi benturan ilmu yang terjadi dua kali berturut-turut itu
membuatnya menjadi sangat lemah.
Karena itu, maka yang akan dihadapinya hanyalah orang
yang disebut Marta Brewok itu. Meskipun Ki Sampar Angin
sadar, bahwa lawannya itu berilmu sangat tinggi, tetapi Ki
Sampar Angin meyakini, bahwa orang itu tidak akan mampu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengalahkan ilmunya. Angin pusaran itu akan segera
membelitnya, menghisap dan melemparkannya ke udara.
Kemudian membantingnya di atas bebatuan.
Ki Mana Brewokpun telah mempersiapkan diri menghadapi
segala kemungkinan. Ia bergeser selangkah mendekat. Ki
Sampar Angin itupun telah bersiap pula untuk bertempur. Di
tangannya justru tidak lagi tergenggam lingkaran-lingkaran
besinya. Tetapi dengan kedua tangannya yang kosong, Ki Sampar
Angin tidak kalah berbahayanya. Apalagi ia sudah
mengetrapkan ilmunya yang menggetarkan itu.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam
pertempuran. Keduanya langsung berada pada tataran ilmu
yang tinggi. Ayunan tangan mereka menimbulkan sambaran
angin yang deras, tajam dan panas.
Tetapi daya tahan Ki Marta Brewok cukup tinggi. Karena
itu, maka sentuhan udara yang tajam dan panas itu sama
sekali tidak mempengaruhi perlawanannya.
Dalam pada itu, Ki Sampar Anginpun tidak ingin bertempur
berlama-lama. Ia sadar bahwa lawannya yang berilmu itu
sudah melihat tataran ilmunya, bahkan sampai ke puncak.
Karena itu, maka Ki Sampar Anginpun segera mengetrapkan
ilmunya. Serangan-serangannyapun kemudian telah melibat
lawannya bagaikan libatan angin prahara. Semakin lama
semakin cepat berputar seperti angin pusaran.
Tetapi Ki Marta Brewok bukannya Paksi. Karena itu, maka
angin pusaran itu tidak mampu menghanyutkannya,
mengombang-ambingkannya dan apalagi melemparkannya ke
udara. Serangan Ki Sampar Angin itu menjadi semakin cepat dan
semakin kuat. Sambil berputar mengitari Ki Marta Brewok, Ki
Sampar Angin menyerang dengan garangnya.
Namun putaran itu semakin lama menjadi semakin cepat,
secepat angin pusaran. Bahkan ketika Ki Sampar Angin sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergerak semakin lamban, pusaran angin itu tetap melibatnya,
justru semakin cepat. Tetapi tubuh Ki Marta Brewokpun semakin lama menjadi
semakin berat, sehingga akhirnya menjadi seberat timah.
Angin pusaran yang menjadi semakin kencang itu sama sekali
tidak mampu mengguncangnya. Bahkan bergeser pun tidak.
Ki Sampar Angin berdiri tegak sambil mengangkat kedua
tangannya menengadah. Sementara itu, angin pusarannya
menjadi semakin kuat berusaha mengangkat dan menghisap
tubuh Ki Marta Brewok. Tetapi Ki Marta Brewok sama sekali
tidak bergetar. Sambil menyilangkan tangannya di dadanya, Ki Marta
Brewok berdiri di tengah-tengah angin pusaran yang kuat itu,
yang mengangkat debu, dedaunan, tanah, pasir dan bahkan
potong-potongan dahan yang patah. Ketika Ki Sampar Angin
sampai ke puncak ilmunya, pepohonan yang tumbuh di pinggir
sungai itupun telah tercabut sampai ke akarnya. Bukan hanya
pohon-pohon perdu, tetapi pepohonan yang lebih besar.
Meskipun demikian, Ki Marta Brewok masih tetap berdiri di
tengah-tengah angin pusaran itu. Di dalam gelap malam, Ki
Marta Brewok menjadi semakin tidak nampak lagi, karena
pusaran angin yang mengangkat segala macam benda yang
ada di sekitarnya. Dalam pada itu, Wijang telah membimbing Paksi untuk
menjauhi arena. Hanya dengan lambaran Aji Sapta Pandulu,
mereka dapat melihat Ki Marta Brewok yang berdiri di tengah-
tengah libatan ilmu Sampar Angin itu. Semakin lama Ki Marta
Brewok semakin merendah pada lututnya. Dengan ilmunya Ki
Marta Brewok itu telah membuat dirinya semakin berat pula.
Dua kekuatan sedang beradu. Ki Sampar Angin berusaha
untuk menghisap dan mengangkat lawannya,
melemparkannya ke udara sehingga tubuh itu akan jatuh
terbanting di atas bebatuan.
Tetapi Ki Marta Brewok ingin bertahan. Seakan-akan Ki
Marta Brewok itu berusaha untuk menghunjamkan kakinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jauh-jauh ke perut bumi, sehingga angin pusaran Ki Sampar
Angin tidak mampu mengangkatnya lagi.
Untuk beberapa lama mereka beradu ilmu. Meskipun tidak
jelas, tetapi dengan Aji Sapta Pandulu, Wijang dan Paksi
melihat, bahwa kedua orang itu benar-benar sedang
mengerahkan ilmu masing-masing.
Jantung Wijang dan Paksi rasa-rasanya berdentang
semakin keras dan semakin cepat. Mereka tidak dapat
menduga, apa yang akan terjadi. Nampaknya kedua orang
berilmu sangat tinggi itu benar-benar tengah mempertaruhkan
hidup mereka dalam pertempuran yang habis-habisan itu.
Dalam pada itu, selagi Wijang dan Paksi dicengkam oleh
ketegangan, maka tiba-tiba saja mereka terkejut. Ki Marta
Brewok yang ada di dalam pusaran angin yang semakin keras
dan kuat itu, yang telah mencabut beberapa batang pohon
dan melontarkannya ke udara, seakan-akan telah meledak.
Percikan-percikan api memancar dari tubuhnya. Bahkan


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian semburan asap yang putih kebiru-biruan menderu
dan menghembus dengan kuatnya angin pusaran di
sekitarnya. Angin pusaran itupun kemudian telah pecah. Segala macam
benda yang sedang diterbangkan itupun berhamburan. Juga
beberapa buah gerumbul perdu, semak-semak dan bahkan
pohon yang tercabut dengan akar-akarnya.
Terdengar Ki Sampar Angin itu berteriak keras-keras.
Suaranya melengking tinggi. Namun kemudian suara itupun
semakin menurun, sementara itu tubuh Ki Sampar Angin
menjadi bergetar. Akhirnya tubuh itupun tidak lagi berdaya
untuk tetap tegak berdiri mempertahankan keseimbangannya.
Demikian tubuh itu jatuh berguling, maka segala
sesuatunyapun menjadi reda. Tidak ada lagi suara gemuruh
angin pusaran. Tidak ada lagi hembusan asap yang
menyembur dari tubuh Ki Marta Brewok bersama pancaran
api. Udara di atas sungai itupun menjadi bersih kembali.
Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewok berjalan tertatih-
tatih mendekati tubuh Ki Sampar Angin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Marta Brewok," desis Wijang dengan cemas. Sambil menggandeng Paksi, Wijang yang dirinya sendiri juga masih
terlalu lemah, melangkah mendekati Ki Marta Brewok.
"Bagaimana keadaan Ki Marta Brewok?" bertanya Wijang dengan cemas.
Ki Marta Brewok mencoba untuk tersenyum. Katanya, "Aku
tidak apa-apa, Pangeran. Duduklah. Aku ingin melihat orang
ini sejenak." Wijang berdiri termangu-mangu. Paksilah yang kemudian
duduk di atas sebongkah batu, sementara Ki Marta Brewok
bergeser mendekati tubuh Ki Sampar Angin.
Ki Marta Brewokpun kemudian berjongkok di sebelah Ki
Sampar Angin. Ketika Ki Marta Brewok meletakkan tangannya
di leher Ki Sampar Angin, maka iapun menarik nafas dalam-
dalam. "Bagaimana, Ki Marta?" bertanya Wijang.
"Ki Sampar Angin telah meninggal."
Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tiga orang
telah terbunuh di tempat ini.
Sejenak kemudian, maka mereka bertigapun telah duduk di
atas bebatuan. Dengan nada dalam Ki Marta Brewokpun
berkata, "Apa yang akan kita lakukan terhadap ketiga sosok mayat itu?"
"Bagaimana kita dapat menguburkannya?" desis Wijang.
Ki Marta Brewokpun kemudian berkata, "Satu-satunya
kemungkinan adalah menguburkan mereka di tepian. Yang
dapat kita gali dengan tangan kita adalah pasir tepian."
"Apakah binatang buas yang berkeliaran di padang perdu
itu tidak akan mencium baunya dan menggalinya."
"Di atasnya kita timbun dengan bebatuan yang cukup
kuat." "Marilah," berkata Wijang. Namun ketika kemudian ia
bangkit berdiri, nampak sekali bahwa tenaganya seakan-akan
telah terkuras habis. Ki Marta Brewok yang melihat keadaannya itupun berkata,
"Kita tidak tergesa-gesa, Pangeran. Sekarang kita dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beristirahat. Tenagakupun rasa-rasanya telah terhisap habis.
Aku harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuanku
untuk melawan Aji Sampar Angin itu."
"Baiklah, kita akan beristirahat dahulu," desis Wijang.
Kesatria Baju Putih 5 Panji Sakti Karya Khu Lung Pasangan Naga Dan Burung Hong 3
^