Serigala Berbulu Domba 2
Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba Bagian 2
rung tersebut tampak seorang laki-laki sedang duduk
sambil menikmati kopi yang telah dibuatkan untuk-
nya. "Baru ada tamu satu orang yang datang cuma mau minum kopi," bisik wanita
pelayan kepada temannya di dapur.
"Habis mustinya bagaimana?" tanya temannya
itu dengan suara berbisik pula.
"Biasanya, paling tidak... isi yang di pundi itu yang diminta. Seperti seorang
raden yang kemarin
siang mampir ke sini, tiga pundi tuak dihabiskan se-
lama dia duduk di sini, apa nggak gila... tuh?" sambutnya kembali.
"Itu untuk yang doyan... Neng! Kalau buat yang
nggak doyan, seperti yang duduk di depan sekarang.
Jangankan sepundi, sesendokpun dia tak mau!" bantah temannya.
"Ah... belum tentu!" sahutnya.
"Apanya yang belum tentu" Lihat aja tampang-
nya. Angker sekali kelihatannya!" bantah temannya sambil menengok ke depan.
"Ah... menurutku orang ini bukan angker, tapi
gagah. Lihat tuh, badannya tinggi dan kekar, berwiba-
wa lagi." puji wanita itu.
"Kau memuji" Naksir ya sama dia...?" sindir temannya.
"Naksir sih nggak, tapi kalau dia mau, aku juga
nggak nolak, hi... hi... hih!" sambut wanita itu kembali sambil tertawa.
"Tapi benar juga katamu, Ning. Aku juga nggak
nolak kalau dia mau samaku. Lihat tuh berewok di se-
kitar bibir, dagu, hingga pipi... haluuuuus sekali. Tak dapat kubayangkan
seandainya aku berada di dalam
dekapannya. Mungkin seminggu tak kulepaskan." balas temannya dengan gaya pemain
sandiwara. "Gila! Memangnya lu nggak mikirin dapur. Mo-
nyoooooong!" balasnya lagi sambil mencubit pipi temannya perlahan, kemudian
mereka pun tertawa ber-
sama dan kembali meneruskan pekerjaannya masing-
masing. "Sum! Aku mau membawakan pisang goreng
buatnya. Tolong kau lihat-lihat pisang yang baru ku
masukan ke dalam penggorengan itu. Awas, jangan
sampai hangus!" pesan Nining kepada temannya.
"Biar, aku sajalah yang mengantarkan, Ning!"
balas Sumi. "Ah... kau belakangan saja. Sekarang aku yang
duluan," bisik Nining, "Mau kan sayang...?" ucapnya lagi sambil mengelus-elus
rambut temannya.
"Iyaaaa... deh!" balas temannya dengan senyum dan melihat ke arah Nining.
Nining segera melangkah ke depan untuk
membawakan pisang yang baru digorengnya untuk
disajikan kepada tamunya.
"Ini, Den...! Pisang gorengnya mumpung masih
hangat!" ucap Nining kepada tamunya yang baru saja
menghabiskan sisa kopi yang ada di hadapannya.
"Terima kasih... Dik!" sahut laki-laki itu sambil tersenyum, "Maaf ya, Dik...
sebaiknya panggil aku dengan sebutan akang saja. Malu rasanya aku kalau di-
panggil dengan sebutan semacam itu." balas laki-laki itu dengan ramah dan penuh
senyum. Kemudian ia
pun terlibat dalam pembicaraan dengan penuh kea-
kraban. Lama juga Nining menemani laki-laki yang kini telah diketahui namanya,
yaitu Suta. Namun pembicaraan yang biasanya penuh canda dan tawa, kali ini
jauh berbeda. Wanita itu tampak termenung sambil
menggigit bibirnya seperti menahan kekecewaan.
"Nah... kalau begitu akang permisi dulu, ya Dik.
Sudahlah, tak usah menyesali yang telah berlalu, yang penting kita usahakan
untuk memperbaikinya. Siapa
lagi yang akan mengubah kalau bukan diri kita sendi-
ri." pesan Suta sambil bangkit dari kursi.
Nining menanggapi ucapan itu sambil tertun-
duk. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya kecuali
menganggukkan kepala dengan wajah yang tetap ter-
tutup dengan kedua telapak tangannya, sehingga ia
tak mengetahui bahwa tamunya telah pergi.
Bukan main terkejutnya Sumi ketika melihat
temannya duduk terpaku sendirian di ruang depan.
"Hei, apa yang kau lakukan di sini, Ning?" tanya Sumi sambil menepuk bahu Nining
yang spontan membuat
temannya itu terperanjat.
"Oh...! Sudah lamakah kang Suta pergi?" ucap Nining yang balik bertanya.
"Kang Suta yang mana?" balas Sumi. "Tamu ki-ta yang tadi...!" sahut Nining. "Aku
sendiri baru masuk, mana mungkin aku tahu," ujar Sumi sambil menarik kursi dan
duduk di dekat Nining, "Hei"! Uang
siapa nih, banyak sekali"' tanya Sumi agak keras dan
langsung meraup uang yang ada di samping tangan ki-
ri Nining. "Mungkin pembayaran dari tamu tadi!" jawab
Nining agak acuh.
"Tapi banyak sekali"!" sela temannya. "Ah... berapa sih, coba sini kulihat. Aku
pun tak tahu ia meletakkan uang di sampingku!" sahut Nining.
"Nih lihat, hitunglah sendiri!" balas Sumi sambil menyodorkan uang tersebut.
Nining segera men-
gambil uang tersebut lalu menghitungnya.
"Wah. Gila! Apa-apaan nih!" teriak Nining setelah menghitung uang yang diberikan
oleh laki-laki tadi.
"Hebat kamu ini, pakai ilmu apa sih" Masa'
harga segelas kopi dan pisang goreng, sama nilainya
dengan harga warung ini?" puji Sumi sambil mencium kening temannya beberapa
kali. Tapi kegembiraan
Sumi hanya sekejap saja, karena ia melihat temannya
itu tidak gembira, malah mengeluarkan air mata, "Ada apa, Ning?" tanya Sumi
selanjutnya. "Aku tak bisa menerimanya. Aku harus men-
gembalikan uang ini kepadanya. Kang Suta terlalu
baik padaku. Baru kali ini aku kedatangan tamu yang
ramah dan mempunyai sopan santun macam dia.
Kang Suta tahu benar, apa yang kita lakukan selama
ini, sebenarnya tidak sesuai dengan hati kecil kita," jelas Nining dengan sedih.
"Tapi bukankah semua yang diberikan ini atas
kerelaannya?" tanya Sumi yang turut terharu pula.
"Ya...! Justru itulah...!" ujar Nining tersedu-sedu. "Lebih baik tak usah lagi
kau cari orang itu.
Percayalah, tak mungkin kau dapat menemuinya. Le-
bih baik kita manfaatkan uang ini sesuai dengan pe-
tunjuknya. Pasti dia akan senang." kata Sumi menghi-burnya. "Ya, kurasa usulmu
itu cukup baik. Mudah-mudahan pemilik warung ini mau melepaskan kita."
"Kenapa musti tergantung padanya" Kita kan
ingin mengubah nasib, supaya kita mempunyai harga
diri. Sebenarnya hati kita pun seperti teriris apabila mereka memperlakukan kita
dengan seenaknya. Tapi
apa daya kita tak mempunyai kemampuan apa-apa.
Inilah saatnya yang terbaik buat kita."
Kita putuskan pembicaraan mereka sampai di
sini, sekarang kita telusuri ke mana perginya sang ta-mu tadi. Rupanya laki-laki
itu belum jauh langkahnya, karena dia masih berdiri tegak di bawah sebuah pohon
mangga. "Hmmmh. Empat buah mangga!" gumam Suta
sambil menggeser letak kain sarungnya.
Tak lama kemudian tangannya bergerak den-
gan cepat dan laksana peluru yang keluar dari laras-
nya empat buah pisau telah dilemparkan dengan cepat
ke arah tangkai buah yang baru dilihatnya, dalam be-
berapa detiknya berjatuhanlah keempat buah mangga
tersebut. Suta setelah memasukkan kembali pisau-
pisaunya ke dalam sarungnya dan memperhatikan
buah yang baru jatuh itu. "Hmh. Aku harus membu-
nuhnya seperti merontokkan buah-buah ini!" gumamnya kembali.
Buah mangga yang rontok itu tak lama kemu-
dian diberikan kepada salah seorang anak kecil yang
kebetulan lewat di jalan itu bersama ibunya. Orang tuanya sangat berterima kasih
atas pemberian tersebut.
Suta menanggapi ucapan tersebut dengan senyum ra-
mah. Setelah anak kecil dan ibunya pergi, kemudian
Suta pun melanjutkan perjalanannya kembali.
Hari ini aku harus melaksanakan tugasku den-
gan baik. Aku telah siap berkorban demi mencegah
timbulnya korban yang lebih banyak lagi dari iblis perusak moral. Manusia Iblis
itu kudengar sedang berada di kampung Waru. Aku harus tiba di sana sebelum
matahari terbenam, supaya dapat ku peroleh keteran-
gan yang lebih jelas lagi," ucap Suta di dalam hati sambil terus mengikuti
langkah kakinya yang semakin
cepat bergerak.
Dalam setengah perjalanan, tiba-tiba telinga
Suta mendengar sesuatu. Ketika ia menoleh ternyata
suara itu datangnya dari dua orang anak muda yang
sedang berjalan di belakangnya dengan langkah cepat
dan terburu-buru sekali.
"Maaf, Adik-adik... berhentilah sebentar. Kelihatannya kalian begitu tergesa-
gesa sekali. Kalau boleh ku tahu, apa yang terjadi pada kalian dan ke mana
tujuan kalian sekarang" Sekali lagi aku mohon maaf,
apabila kalian merasa terganggu atas pertanyaan ini,"
ucap Suta kepada kedua anak muda yang mau mele-
watinya. Kedua anak muda yang baru meningkat dewasa
ini lama tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
Suta tadi. Mereka hanya terdiam dan memandangi tu-
buh Suta dari mulai ujung rambut hingga kaki. Sete-
lah itu satu dari mereka melangkah ke depan mende-
kati Suta, "Maaf Kang, kami tidak punya waktu untuk ngobrol, karena kami sedang
mengejar seseorang,"
ucap salah seorang anak muda itu dengan mata agak
berkaca-kaca. "Baiklah kalau begitu, mudah-mudahan kalian
berhasil! Selamat jalan, anak-anak muda, sampai jum-
pa kembali! Karena aku tahu, siapa sebenarnya yang
kalian sedang cari, kalian telah kehilangan sesuatu
yang kalian sayangi, sama seperti aku." balas Suta sambil mengangkat tangannya
untuk memberi salam
yang kemudian disambut oleh kedua anak muda itu.
Kedua anak muda itu kembali meneruskan per-
jalanan. "Sst! Apa yang dia bilang tadi?" tanya salah seorang di antara mereka dengan
nafas terengah-engah.
"Dia mengetahui tujuan kita!" jawab seorang la-gi tanpa menoleh.
"Apakah bukan cuma sekedar alasan untuk
mengorek kita" Jangan-jangan dia adalah seorang
pengawal yang memata-matai kita?"
"Ah... tak mungkin! Si Iblis itu selalu sendirian dalam melaksanakan pekerjaan
maksiatnya. Tapi ia
sangat licin seperti belut. Kalau orang yang tadi bertemu kita, tampaknya ia
orang baik. Aku yakin sekali
dengan apa yang dikatakannya." "Dari mana kau ta-hu?" "Dari pembicaraan dan
perilakunya! Memang kalau sepintas, ia kelihatannya sangat angker dan ka-
sar...! Tapi ada satu hal yang tak bisa ia sembunyikan.
Kelihatannya ia menaruh dendam yang membara ter-
hadap seseorang."
"Ah, kamu ini macam ahli nujum saja!"
Setelah pembicaraan singkat selesai mereka
kembali terdiam, tak ada yang bersuara selain desah
nafas yang kian memburu akibat jauhnya perjalanan
yang mereka tempuh. Belum jelas, siapa yang mereka
kejar dan di mana orang itu adanya, yang pasti mereka telah berada di tengah
perkampungan Waru, sama
halnya dengan daerah yang sedang dituju oleh Suta,
laki-laki yang berwajah angker tersebut.
"Kita telah berada di kampung Waru. Arah ma-
na lagi yang harus kita lewati?" tanya pemuda itu ke-
pada temannya. "Entahlah, aku sendiri juga bingung," jawab pemuda yang satu lagi sambil
memegangi dadanya karena kelelahan.
"Kita harus putuskan sekarang, jangan sampai
kita kemalaman di sini. Lihatlah hari sudah mulai ge-
lap." "Kita cari saja warung yang terdekat, agar dapat beristirahat."
"Tidak Kita tak boleh beristirahat di tempat
orang banyak. Aku khawatir akan timbul persoalan ba-
ru di sana. Lebih baik kita cari tempat yang sepi untuk beristirahat."
"Terserahlah! Yang penting kita harus tetap pa-
da tujuan semula, walaupun harus dengan resiko
nyawa." "Ya. Itu sudah pasti, karena kita sama-sama di-rusak oleh srigala
jahanam itu."
Kedua anak muda itu mengambil tempat ber-
malam yang agak sunyi dan sulit terlihat dari luar, walaupun letaknya tetap di
pinggir jalan. Sambil beristirahat, mereka terus mengamati keadaan
sekelilingnya. Sementara itu udara di sekelilingnya mulai terasa.
Suara-suara bisik di antara mereka telah ter-
dengar lagi, mungkin mereka telah tertidur dengan lelap sekali setelah hampir
seharian penuh berjalan di
bawah terik matahari.
*** 5 Kepekatan malam mulai berubah dengan mun-
culnya sang bulan dengan perlahan seiring dengan
merangkaknya waktu. Dari keremangan sinarnya yang
terhalang oleh awan, masih tampak terlihat suasana
malam dl kampung Waru yang semakin lama semakin
sunyi karena para penghuninya telah memanfaatkan
waktu istirahat, setelah seharian penuh membanting
tulang demi kebutuhan hidup anak dan istri.
Di dalam keremangan malam yang sunyi itu,
tampak sesosok tubuh laki-laki keluar dari tempat
persembunyian dan berjalan sambil membungkukkan
badan menuju ke sebuah rumah yang tak jauh dari si-
tu. Se telah tiba di dalam pekarangan, ia pun mengen-
dap-endap menghampiri jendela bagian tengah rumah
tersebut. Setelah itu langsung melekatkan telinganya
sambil tersenyum sendirian, "Hmm... dia masih sabar menunggu, tampaknya!"
gumamnya sambil membalik-kan badannya untuk mengawasi keadaan sekeliling-
nya. "Pah... Ipah... buka dung, Geulis...!" bisiknya ke sela sela sambungan
papan pada dinding itu yang dibarengi pula dengan ketukan dengan ujung jarinya.
Dari dalam jendela yang tidak kelihatan sinar
lampu, kemungkinan besar, memang sudah mereka
atur supaya gelap. Tak lama kemudian daun jendela
itu perlahan-lahan terbuka.
"Bagaimana, Geulis... apakah ayah dan ibumu
Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah tidur?" bisik laki-laki itu.
"Sudah, Den." jawab gadis yang berada di dalam dengan singkat, "Ayo cepat masuk. Nanti kalau ada
yang lewat, Aden bisa berbahaya," ujarnya kembali
dengan suara yang sangat perlahan sekali.
"Baik Geulis...!" bisik lelaki muda itu dengan ucapan yang perlahan pula. Laki-
laki ini tak salah lagi, yakni sang 'Play Boy' kampungan alias Lungguh yang
sudah beken itu.
Kemudian dengan cepat sang Raden memanjat
dan masuk ke dalam kamar yang gelap. Setelah ia be-
rada di dalam, jendela itu tampak ditutupnya rapat-
rapat dan yang terdengar hanyalah bisik mereka ber-
dua. "Oh... betapa cemasnya aku menunggu, Den...!"
ucap Ipah. "Tak usah khawatir Geulis. Ipah kan kabogoh
akang, jadi akang tak akan membiarkan Ipah sendi-
rian. Inilah buktinya...! Akang datang untuk menema-
nimu," ucap sang perayu yang mulai bersandiwara.
"Entahlah, Kang. Sejak sore tadi aku gelisah
sekali," balas Ipah sambil merebahkan kepalanya ke dada Lungguh.
"Gelisah kenapa?" kembali Lungguh bertanya.
"Wajah Akang selalu terbayang di mataku," jawabnya sangat polos. Lungguh
mengecup mesra ken-
ing gadis itu. "Aku pun demikian sayang...! Tak sabar ra-
sanya menunggu kesempatan seperti ini." sahut Lungguh yang juga dalam soal
bersandiwara semacam ini.
"Jadikah besok Akang menemui orang tuaku?"
tanya Ipah yang ingin mengetahui kejelasan hubungan
mereka. "Tentu. Mungkin sore akang ke sini. Untuk itu-
lah Akang datang malam-malam untuk meminta ke-
pastian Ipah jangan sampai timbul perselisihan di be-
lakang nanti," sela Lungguh sambil membelai rambut Ipah yang semakin terlena di
dalam pelukannya. "Su-
dahlah sayang... urusan besok, kita bicarakan lagi
nanti. Yang penting sekarang kita nikmati malam yang
indah ini."
Keadaan di luar tetap sunyi sepi. Tiupan angin
yang sebelumnya berhembus lembut, kini mulai terasa
semakin keras sehingga membuat ranting-ranting po-
hon menggeliat dihempasnya, begitu pula dengan de-
daunan, tampak semakin meronta-ronta. Keadaan se-
perti itu terus berlangsung tanpa henti hingga menjelang datangnya pagi. Embun
pagi mulai turun bersama
hilangnya kesucian seorang gadis.
"Ipah... bangunlah, Geulis...! Sebentar lagi fajar akan menyingsing." sapa
Lungguh kepada Ipah yang masih tidur dengan lelap di sampingnya. Belahan dadanya
yang kencang itu hangat terasa dalam sentuhan
tangan Lungguh.
"Akang mau ke mana." tanya Ipah setelah terbangun dari tidurnya. Sambil
membenahi tubuhnya
sendiri yang tak tertutup selembar benang pun.
"Bukankah aku harus mempersiapkan sesuatu
untuk acara pernikahan kita?" jawab Lungguh sambil membelai rambut Ipah yang
ikal mayang. Dikecupnya
bibir gadis itu dengan lembutnya.
"Jadi Akang mau pulang ke Babakan?" balas
Ipah kembali. "Ya!" sahut Lungguh singkat. "Bukankah kedua orang tua Akang sudah tiada?" tanya
Ipah sambil merapikan pakaian yang sedang dikenakan oleh sang ra-
den. "Benar... tapi aku masih mempunyai dua orang kakak. Aku akan memohon restu
pada mereka, karena
mereka kini menjadi pengganti orang tuaku." balas Lungguh dengan tenang.
Ipah masih tetap merapikan pakaian Lungguh
hingga selesai dan sang raden ini bagai bocah yang
masih ingusan, diam saja ketika rambutnya disisirkan.
Setelah semuanya selesai Ipah langsung memeluk
Lungguh dari belakang, saat Lungguh sedang merapi-
kan kedudukan blangkonnya di hadapan cermin.
"Oh...! Alangkah gembiranya aku Kang! Aku
sangat mengharapkan hari bahagia itu... oh!" bisik Ipah sambil memeluk tubuh
Lungguh erat-erat.
"Tenanglah sayang...! Untuk itulah aku pulang
ke Babakan. Hari ini juga akan kubawa saudara-
saudaraku untuk menemui orang tuamu," balas Lungguh yang kini sudah siap untuk
berangkat. "Nah... sekarang aku berangkat dulu, Geulis."
Lungguh langsung keluar meninggalkan rumah
tersebut. Melalui jendela, tempat di mana ia masuk
pada malam hari tadi. Ipah mengantar kepergiannya
dengan penuh harapan dan kegembiraan di pagi buta
itu. Dalam pikirannya telah terbayang Den Lungguh
bersama kedua saudara serta para kerabatnya, datang
meminang kepada orang tuanya dan menentukan hari
pernikahan seperti ucapan sang raden waktu hendak
berangkat. Padahal semua itu adalah angan-angan ko-
song belaka, tak mungkin Lungguh menginjakkan ka-
kinya kembali ke rumah itu, menoleh dengan sebelah
mata pun tak bakal ia lakukan.
"Puiiih! Dasar gadis dungu! Kau akan gigit jari
seumur hidup, kalau masih mengharapkan Serigala Ib-
lis macam dia! Tapi kau tak usah khawatir, Srigala Iblis itu sebentar lagi akan
kuhabisi riwayatnya," gumam sesosok bayangan laki-laki yang memperhatikan
kejadian itu sejak tadi malam.
Tak lama kemudian bayangan itu menyelinap
kembali ke dalam semak-semak untuk memberitahu-
kan temannya. Setelah itu mereka muncul kembali
dan mengikuti ke mana Den Lungguh pergi. "Ssst! Kita serang Srigala Iblis di
ujung jalan itu. Di mana kita le-luasa bergerak dan jauh dari sana-sini!" bisik
salah sa-tu dari mereka.
"Kalau begitu mari kita berjalan lebih dahulu!"
balas temannya.
"Ayo!" sambutnya kembali.
Kemudian mereka dua orang pemuda itu pun
mempercepat langkahnya agar dapat mendahului
orang yang sedang mereka buru. Sementara itu Den
Lungguh sendiri tak mengetahui sama sekali. Ia masih
tetap berjalan dengan tenang.
Ketika Den Lungguh tiba di ujung jalan untuk
menuju jalan yang agak besar, tiba-tiba terdengar sua-ra teriakan keras yang
dibarengi dengan lompatan seo-
rang anak muda ke arahnya. Baru saja Den Lungguh
akan berusaha untuk mempersiapkan diri menjaga
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi terha-
dap dirinya, datang lagi sebuah serangan dari arah belakang. Serangan yang
datang secara mendadak dan
tak diduga sama sekali ini telah membuat Den Lung-
guh jatuh tersungkur. Penyerang yang berada di depan
tak memberi kesempatan lagi bagi Lungguh, ia pun
memberikan tendangan keras ke bagian muka sang
raden yang hendak bangun dan. untuk kedua kalinya
Den Lungguh jatuh.
"Bangun kau!" bentak salah seorang dari mere-ka.
"Siapakah kalian...?" tanya Den Lungguh sambil mengusap mulutnya yang sedikit
mengeluarkan da-
rah. "Tak perlu kau tahu kami!" bentak orang yang berada di sebelahnya.
"Mengapa kalian menyerangku?" tanya Den
Lungguh kembali.
"Karena kau Srigala Iblis!" sahut anak muda itu.
"Hei"! Jangan ngomong seenaknya di hadapan-
ku, hah"! Rupanya kalian belum tahu siapa aku ini?"
teriak Den Lungguh sambil bangkit dan menghimpun
seluruh tenaganya kembali.
"Kalau aku tak kenal, buat apa aku susah
payah mencarimu jauh-jauh sampai ke sini! Puiiiih!"
"Maaf, aku tak mengerti maksud kalian! Me-
nyingkirlah kalian. Masih banyak urusan yang musti
kuselesaikan."
"Sudah ada gadis lain rupanya, yang akan men-
jadi korbanmu berikutnya."
"Bangsat! Kalian benar-benar ingin memancing
kemarahanku, ya! Kuperingatkan sekali lagi. Cepat
menyingkir atau kupatahkan batang leher kalian!"
"Tidak semudah itu, Bangsat terkutuk! Kau tak
perlu berlagak pikun. Kami datang untuk menebus
noda gadis-gadis korban kemesuman mu dengan nya-
wa srigala mu. Kalau kau dibiarkan hidup terns, entah berapa puluh korban lagi
yang akan menjadi mangsa
mu. Den Lungguh kelihatannya agak terkejut sete-
lah mendengar ucapan salah seorang anak muda lagi,
berarti dengan demikian kedoknya mulai terbuka. Sa-
tu-satunya cara yang terlintas di dalam pikirannya
adalah menghentikan berita tersebut jangan sampai
tersebar luas. "Gila! Kalau ku tahu bakal begini, sudah pasti
ku tunda dulu kunjungan ku ke rumah si Ipah. Tapi
dari pada terbuka rahasiaku, lebih baik ku bungkam-
kan mulut mereka." ucap Lungguh di dalam hati dengan pandangan terus mengamati
gerak-gerik kedua
anak muda yang kelihatan sudah bersiap-siap akan
mengadakan penyerangan kembali.
"Apakah kalian telah pikirkan masak-masak,
akibat dari tindakan kalian ini"!" tanya Den Lungguh yang sengaja mengulur-
ngulur waktu guna memulih-kan tenaga akibat serangan tadi.
"Ya! Kami telah siap, apa pun yang terjadi pada
diri kami demi membela nama baik keluarga yang telah
kau rusak!" jawab salah satu anak muda yang kini telah mencabut golok dari
sarungnya. "Sebenarnya aku tak tega menghadapi kalian!
Bagaimana kalau ini sebagai ganti rugi untuk kalian,
setelah itu tinggalkan tempat ini?" balas Den Lungguh sambil melemparkan
sekantong uang logam di hadapan mereka.
Melihat tingkah Lungguh tersebut, kedua anak
muda itu semakin bertambah geram, "Menghina sekali kau ini, hah"! Kau pikir
harga diri kami hanya sebegitu nilainya. Sekarang terimalah ini. Ciaaaaaat!"
teriak anak muda yang tampak sudah mulai kalap itu. Serangan yang dilakukan kali
ini tak tepat pada sasaran, sebab Den Lungguh dengan cepat dapat mengelak,
begitu pula serangan yang dilakukan oleh temannya.
Beberapa kali serangan dari kedua anak muda
itu dapat ditangkis dengan baik oleh Den Lungguh,
namun ada pula serangan yang dapat dielakkan tetapi
ia harus menerima goresan ujung golok di lengannya.
Serangan-serangan yang semakin membabi buta dari
kedua anak muda itu cukup membuat Lungguh kewa-
lahan. Tenaga muda mereka benar-benar masih fit, se-
hingga mereka mampu melakukan perkelahian dalam
waktu panjang, sedangkan Den Lungguh untuk mela-
kukan semacam itu pasti tidak mungkin. Ia hanya
mengandalkan teknik perkelahian yang disertai tipuan
permainan, tapi sayangnya kesempatan untuk menca-
pai ke arah itu belum ia peroleh.
"Gila! Habis tenagaku kalau begini terus!" pikir Den Lungguh sambil melompat
untuk menghindari
serbuan golok yang datang sekaligus ke arahnya.
"Mau kabur ke mana kau, Buaya Laknat?" te-
riak salah seorang penyerang sambil mengejar Den
Lungguh dan belum sempat kaki Den Lungguh me-
nyentuh tanah, sebuah tendangan keras dari anak
muda itu telak mendarat di mata kakinya.
"Uuuuuukh!" teriak Den Lungguh sambil
menggulirkan badannya bagaikan bola yang habis di-
tendang. Kali ini pakaian perlentenya tak dihiraukan
lagi, ia terus bergulir di tanah yang berembun. Kea-
daan jalan tanah yang agak turun telah mempermudah
Lungguh dalam menggulirkan badannya dengan cepat.
"Sambutlah kematianmu sekarang, Srigala Ib-
lis!" Begitu melihat lawan datang menerkam laksana
singa lapar, Lungguh tanpa pikir panjang lagi langsung meraup abu di tanah dan
melemparkan abu tersebut
ke bagian mata lawan sambil menghindar ke kiri. La-
wan yang dalam keadaan kelabakan akibat terkena
lemparan abu segera disambut dengan beberapa puku-
lan mautnya sehingga anak muda tersebut jatuh terje-
rembab ke tanah. Tak ada kesempatan yang diberikan
oleh sang raden kepada anak muda ini. Ia langsung
menghunjamkan keris yang baru dicabutnya tepat di
perut pemuda itu.
Anak muda tersebut mengerang beberapa saat
dan tak berapa lama kemudian tubuhnya pun kejang
tak berkutik lagi. Pemuda lainnya yang sebelumnya
menganggap Lungguh tak berdaya dan dapat disele-
saikan dengan mudah oleh temannya, sangat terkejut
melihat kejadian itu. Ia langsung menerjang Lungguh
dari belakang. Tapi sayang serangannya kandas. Ru-
panya Den Lungguh sudah dapat mengetahui sebe-
lumnya. "Bocah masih ingusan begini sudah berani me-
lawanku! Fuih! Sekarang kau terima akibatnya!
Hiyaaaat! Ciaaaaat! Haaaait...!"
teriak Den Lungguh yang disertai dengan puku-
lan yang sangat gencar ke arah anak muda ini.
"Hup...! Hiaat! Ciaaaat!" teriak anak muda itu pula dalam menangkis serangan
Lungguh sambil sese-kali mengadakan serangan balasan.
Puluhan kali antara golok dan keris saling be-
radu dan puluhan kali pula kaki dan tangan saling
menghantam secara bergantian. Ternyata anak muda
yang satu ini cukup mampu mengimbangi permainan
Den Lungguh, walaupun kalau dihitung pukulan yang
diterima dengan yang sarangkan ke pihak lawan masih
berbanding tiga lawan satu.
Den Lungguh yang telah banyak pengalaman
dalam hal semacam ini, walau dengan susah pa yah
dan menguras seluruh tenaga yang dimilikinya, akhir-
nya mampu juga mengatasinya. Ini terjadi saat ia me-
lepaskan pukulan kombinasinya yang sangat sulit se-
kali dibaca lawan. Pukulan yang diberikan itu telah
masuk ke titik-titik kelemahan tubuh sehingga lawan-
nya tak mampu lagi menangkis serangan dengan sem-
purna. Kesempatan itu benar-benar telah di man-
Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
faatkan Lungguh, keris yang berada di dalam gengga-
mannya langsung diarahkan ke perut lawan.
"Rasakan ini!" teriak Lungguh dengan geram.
"Aaaaaakh!" suara anak muda itu sambil men-
gerang dan ambruk ke tanah tak berkutik lagi.
Melihat lawannya ambruk. Dengan cepat Lung-
guh meninggalkan tempat tersebut. Ia berlari menuju
ke arah sungai, setibanya di tepi sungai, Lungguh
langsung menjatuhkan badan dan beberapa kali mem-
benamkan kepalanya di air yang jernih itu.
Mungkin ini baru terjadi atau untuk pertama
kalinya dialami oleh sang raden, kali ini ia tak mem-
perdulikan tempat dan keadaan lagi. Dengan tanpa ra-
gu-ragu ia langsung merebahkan dirinya di tepi sungai itu.
"Oh... tulang-tulangku terasa mau patah! Kecil-
kecil hebat juga kedua anak itu. Mungkin kalau aku
tak segera menghindar ke tempat yang banyak abunya,
bisa hancur tubuhku dibuatnya," gumam Lungguh
dengan mata menatap ke langit.
Setelah dirasakan badannya mulai segar kem-
bali, Lungguh pun bangun dan berjalan ke tempat
yang agak kering. Tepat di bawah pohon yang besar ia
berhenti. "Aku harus pulang sekarang. Pakaianku tak
ubahnya seperti seorang pengemis...!" ucap Lungguh sendirian sambil bersandar di
batang pohon yang besar itu. Baru beberapa detik saja ia berada di situ, tiba-
tiba ia mencium sesuatu yang mencurigakan. Ia yakin
suara gerakan halus itu akan menuju ke arahnya.
Belum sempat ia berpikir jauh, serangan maut
datang ke arahnya. Serangan secara beruntun itu, ru-
panya sengaja tak diarahkan langsung ke tubuhnya.
Pisau-pisau yang dilemparkan hanya menancap pada
pinggiran tubuhnya, sehingga tampak sekeliling tubuh
Lungguh dipagari oleh pisau-pisau yang menancap di
pohon. Baru saja Lungguh hendak bergerak, datang
lagi sebuah pisau menancap sedikit di atas bagian ke-
pala dan di dekat ketiaknya, baik yang di sebelah kiri
maupun di sebelah kanan. Kini tubuh Lungguh sema-
kin ketat terjepit di batang pohon.
"Hei, siapa kau"! Mengapa kau lakukan ini se-
mua"! Ayo keluarlah!" teriak Lungguh yang tak berani menggerakkan tubuhnya lagi.
"Ha... ha... ha...! Inilah saatnya ajalmu, Manu-
sia Jahanam! Dunia ini sudah muak melihat tampang
dan batang hidungmu!" ucap penyerang itu sambil keluar dari tempat
persembunyiannya.
"Oh! Kau!" teriak Lungguh terkejut setelah melihat wajah orang tersebut.
Ternyata orang tersebut
adalah Suta teman sepermainannya dari masa kanak-
kanak hingga masa remaja.
"Kau masih mengenaliku?" tanya Suta dengan
tenang. "Ya!" jawab Lungguh singkat.
"Syukurlah kalau kau masih ingat pada teman
lamamu!" balas Suta, "Sebenarnya aku sudah lama sekali mengejarmu, tapi sayang
orang yang kukejar san-
gat licin bagaikan belut!" jelas Suta selanjutnya.
"Kenapa kau mengejarku?" tanya Lungguh in-
gin penjelasan yang lebih mendalam.
"Jangan berlagak pikun kau, Bangsat! Dasar
Manusia Laknat tak tahu balas budi. Kau tentu masih
ingat, berapa kali aku telah menyelamatkan nyawamu
dari kemarahan orang-orang kampung akibat ulah
mu" Berapa kali kau merengek di hadapanku untuk
minta bantuan ini-itu"! Apakah selama ini, pernah aku meminta imbalan darimu"
Tidak sama sekali! Aku pun
tak pernah mengharapkan apa-apa darimu! Yang ku-
harapkan hanyalah agar persahabatan tetap terjalin
dengan baik di antara kita...! Hanya itu! Tapi apa yang kuterima sekarang"!
Fuih! Kau benar-benar manusia
busuk! Begitu teganya kau nodai tunanganku yang se-
bentar lagi akan menjadi istriku! Tahukah kau...! Akibat perbuatanmu, ia telah
bunuh diri! Sungguh kejam
sekali, kau Lungguh! Kejaaaam!" teriak Suta yang tampak semakin beringas.
"Sungguh... A... aku tak ta-hu kalau..." "Diam! Aku belum habis bicara!" bentak
Suta sambil melemparkan pisau ke dekat telinga
Lungguh, sehingga sang raden ini semakin sulit berge-
rak. Dengan lemparan pisau tersebut mulut Lung-
guh menjadi terkunci, tak berani ia membuka suara
lagi. "Ketahuilah Lungguh. Aku sejak itu telah ber-sumpah pada diriku sendiri.
Aku harus menebus sakit
hati ini. Kau harus mati di tanganku! Sebenarnya su-
dah lama hal ini harus kulakukan, namun pada waktu
itu ayahmu masih ada, beliau sedang sakit. Aku san-
gat menghormati beliau. Sekarang ayahmu sudah tia-
da...! Jadi aku telah dapat melaksanakan sumpahku,
apalagi orang yang ku tuju sekarang sudah berada di hadapanku. Terimalah
kematianmu yang sekaligus
merupakan berakhirnya petualanganmu yang keji itu."
Rupanya selama temannya bicara Lungguh te-
lah mencari peluang yang memungkinkan untuk dapat
lolos dari jepitan pisau tersebut. Hal ini memang di
luar dugaan Suta. Begitu melihat tubuh Lungguh me-
letik, bukan main terkejutnya Suta.
"Kau belum tentu mampu membunuh ku, ka-
wan!" teriak Lungguh sambil menyerang Suta.
Serangan keris yang ditunjukkan ke arah Suta
tak berhasil menuju sasaran. Suta dengan cermat da-
pat mengelakkan. Kemudian Suta berusaha mencapai
pohon untuk mengambil kembali pisau-pisaunya. Sete-
lah melalui beberapa kali salto akhirnya dapat juga ia berada di dekat pohon
tersebut. Pisau yang menancap
di pohon langsung dicabut dan dilemparkan ke arah
lawan. Lungguh dengan sekuat tenaga menangkis se-
rangan yang beruntun itu. Ia melompat ke sana-ke
mari menghindari diri dari pisau-pisau yang dilempar-
kan kawannya yang kini menjadi lawan.
"Ha... ha... ha...! Terus saja berjoget, Lung-
guh...! Pisau-pisau itu memang tak ku arahkan tepat di badanmu. Kalau kau ingin
tahu pisau yang ku
arahkan dengan tepat, macam inilah...!" teriak Suta sambil melempar dua buah
pisau dengan kedua tangannya secara berbareng.
Apa yang diucapkan Suta memang terbukti. Pi-
sau-pisau itu telah berhasil mencapai sasaran dan
langsung menancap dada bagian kiri dan kanan Lung-
guh. Lungguh berteriak sekuat tenaga karena sakit
yang dirasakan tidak terkira. Ia ambruk seketika den-
gan pakaian berlumur darah.
"Su... su... Sutaaaa... kkkau tega ssekali... padaku..." ucap Lungguh dengan
suara serak dan terputus-putus.
"Maafkan aku, Lungguh. Ini semua akibat per-
buatanmu yang telah melampaui batas! Aku...
heeeekk... kkh!" ucapan Suta tak dapat diteruskan lagi karena tanpa diduga sama
sekali, tangan Lungguh ti-ba-tiba melemparkan keris yang masih berada di tan-
gannya dan masuk tepat di bagian jantung Suta.
Suta mengerang menahan rasa sakit yang tak
terhingga. Sambil gemetar tangan kirinya meraba ikat
pinggangnya untuk mencari sesuatu. Ternyata ada se-
buah pisau lagi yang tertinggal di bagian belakang, setelah menyambar pisau
tersebut, Suta pun langsung
melemparnya. Lungguh yang baru saja hendak bangkit
langsung ambruk lagi karena di punggungnya telah
tertancap pisau Suta yang terakhir. Suta tak mampu
lagi berdiri. Tubuhnya ambruk ke tanah tak berkutik
lagi. Sedangkan Lungguh masih berusaha untuk
bangkit walaupun mukanya tampak semakin pucat
akibat semakin banyaknya darah yang keluar. Ru-
panya ia masih punya ambisi untuk hidup.
*** 6 Tak jauh dari tempat itu, tampak serombongan
tukang-tukang pukul dari daerah lain memperhatikan
perkelahian tersebut. Di antara mereka ada pula yang
berkepala botak dan berkumis tebal. Ia berdiri paling depan dan berkali-kali ia
mencegah ketika orang-orang yang di belakangnya ingin mengadakan penyerangan.
"Tunggu! Biarkan mereka selesai dulu!" ucap si Botak yang berpakaian gaya tokoh
Jin dalam film Seribu Satu Malam.
Rupanya si Botak inilah yang menjadi pimpi-
nan, karena semua yang diperintahnya tak ada yang
berani membantah.
Tak lama kemudian si Botak pun melangkah
maju sambil memutar-mutarkan tombaknya. Setelah
tiba di dekat Den Lungguh yang masih mengap-
mengap dan berupaya untuk berdiri merambat di ba-
tang pohon, si Botak menghentikan langkahnya. Ia ter-
senyum melihat keadaan Lungguh yang sudah dalam
keadaan parah. "He... he... he...! Ternyata aku tak perlu kerja keras untuk mendapatkan kepala
si Kunyuk ini! He...
he... he...!" ucap si Botak yang tak henti-hentinya me-milin-milin kumisnya yang
melintang itu. "Tapi... berapa lama lagi gua musti nunggu dia kaku..."! Hmmmh,
lebih baik dengan cara ini saja, hup!" ucapnya lagi dengan keras sambil
melemparkan tubuh yang berada
di tangannya dengan tepat.
Tubuh yang telah tak berdaya itu kini mengge-
lepar dibuatnya dan dalam beberapa detik saja Lung-
guh sudah tak bernyawa lagi. Laki-laki botak yang ber-tampang beringas itu maju
beberapa langkah mende-
kati mayat Lungguh. Setelah ia memeriksa keadaannya
maka ia pun memerintahkan anak buahnya untuk
mengambil mayat tersebut sebagai bukti hasil kerja
mereka. "Hei, yang kuminta bukan cuma orangnya
doang. Tapi berikut gerobaknya. Goblooooook!" bentak si Botak kepada salah
seorang anak buahnya.
"Untuk apa gerobak, Kang?" tanya yang lain-
nya. "Kamu ini pingin hadiah yang besar, apa enggak, sih"! Mana ada orang yang
mau bayar, kalau kita
tidak menunjukkan bukti dari hasil pekerjaan kita.
Dungu kau!" bentak si Botak kembali.
"Aah, si Akang ini. Sudah kerja kita enggak re-
pot, masih juga marah-marah aja!" sahut anak buah yang bertubuh pendek gemuk dan
mukanya jerawatan.
"Hei, muka geradakan! Ayo kerja, jangan ba-
nyak omong. Pokoknya kalau kita mendapat upah
yang besar dari Juragan Wangsa, baru kau boleh ber-
senang-senang. Cinta mu yang nggak kesampaian alias
selalu ditolak perawan, tidak akan terjadi lagi, he...
he... he...!" sahut si Botak sambil mengusap-ngusap kepala orang itu.
"Nyindirr... niii... yeee!" balas si Pendek sambil
nyengir. Kini kembali si Botak mengawasi pekerjaan
anak buahnya yang masih tampak sibuk mencabuti
benda-benda yang masih melekat di tubuh Lungguh
yang kini telah dingin dan kaku. Setelah itu tubuh itu dibungkus dengan kain
yang telah disediakan di dalam
gerobak. "Ayo cepat masukkan ke dalam gerobak!" perintah si Botak kembali.
"Kalau yang satunya ini bagaimana, Kang?"
tanya salah seorang anak buahnya.
"Itu bukan urusan kita. Biarkan saja, nanti
siang pun sudah diurus oleh masyarakat di sekitar si-
ni!" jelas si Botak.
"Jadi dibiarkan saja..?" sela yang lainnya.
"Bawel lu!" bentak si Botak dengan mata melotot, "Ayo berangkat!" perintahnya
kembali. Mendengar perintah tersebut, maka anak buah
yang berjumlah enam orang itu pun tak banyak tanya
lagi. Mereka segera berangkat. Si Botak mengikuti dari belakang dengan penuh
tawa riang. Setibanya di rumah sang majikan, si Botak
langsung lompat dan lari menuju ke pintu lebih dulu.
Berkali-kali menggedor pintu rumah majikannya, tapi
belum juga ada yang buka.
"Gaaaan...! Banguuun, udah siaaaaang!" teriak si Botak dengan suara menggelegar
sambil menggedor
pintu rumah dengan keras sekali.
Dari kerasnya suara teriakan tersebut, akhir-
nya sang majikan terbangun juga. Dia tampak keluar
dari kamarnya dengan kain sarung yang masih dike-
rudungkan. Kemudian membukakan pintu.
"Masuk! Ayo masuklah! Sebentar aku mau ber-
pakaian dulu...." ucap Den Wangsa sambil mengucek-
ngucek matanya. "Oaahm! Oaaaahhhhmmmm...!" berkali-kali ia menguap ketika hendak
masuk ke kamar-
nya. "Dasar Gendut! Dia yang nyuruh, tapi enak-
enakan tidur pules di rumah!" ucap si Pendek.
"Husss! Jangan bawel!" bentak si Botak sambil memukul pundak si Pendek dengan
gagang goloknya.
"Habis kesel sih, Kang!" sahut orang itu kembali.
"Awes, kalau masih bantah terus ku masukan
kau ke dalam gerobak dengan badan terbelah dua!"
ancam Botak dengan suara pelan tepat di dekat telinga orang itu.
"Hiiiyy... merinding deh bulu kudukku menden-
garnya...!" ucap si Pendek kembali.
Entah membaca mantera apa si Wangsa di da-
lam kamarnya, kelihatannya lama sekali dia menyalin
pakaian. Hal ini telah membuat anak buah si Botak
menggerutu. "Bagaimana hasil kerja kalian?" tanya Wangsa setelah mengganti pakaiannya dengan
mentereng walau belum mandi.
"Siapa dulu dong..." Pokoknya kalau tugas dis-
erahkan padaku, pasti beres...!" balas Botak, "Kalau perlu bukti, lihat sendiri
di depan. Mayat itu sekarang berada di dalam gerobak!" ujarnya lagi sambil
menunjuk ke luar.
"Mana... mana... ayo, aku pingin lihat!" sela Wangsa dengan gembira dan langsung
menuju ke luar.
Si Botak segera mengantar Wangsa untuk me-
nunjukkan mayat yang baru dibawanya.
"Bagus... bagus...! Ha... ha... ha...! Tak percuma aku membayar kalian dengan
mahal. Kalian memang
Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-orangku yang baik. Hmmh... bagaimana dalam
menghadapi nya, apakah banyak kesulitan?" tanya
Wangsa kepada si Botak.
"Tidak. Ternyata apa yang kau katakan salah
semua...! Kau bilang dia banyak mempunyai ilmu ini
dan itu... eh nyatanya secuil pun tak mampu menan-
dingi ilmuku," sahut si Botak sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri.
"Ha... ha... ha...! Aku kan bilang begitu karena ku bandingkan dengan apa yang
ku miliki!" sangkal Wangsa yang pintar bersilat lidah.
"Oooo.... begitu?" sahut si Botak dengan penuh bangga. "Tapi bukan berarti aku
tak mampu menghadapi mereka-mereka yang jago dalam dunia persila-
tan...! Tidak sama sekali. Mereka tidak mempunyai ba-
rang seperti ini, sedang aku memilikinya! Apakah kau
juga mampu menangkisnya?" balas Wangsa sambil
mengacungkan pistol ke muka si Botak.
"Wah... wah... jangan Den! Berbahaya... itu.
Den!" sela si Botak dengan geragapan.
"He... he, benar kan"!" sahut Wangsa sambil tertawa.
"Siapa pun tak mampu menangkisnya, Den!"
balas si Botak sekedar menyenangkan hati juragan
buncit itu. "Sudahlah...! Sekarang aku akan tugaskan kau
kembali. Karena masih ada tugas lagi yang harus dis-
elesaikan! Sekarang suruh anak buahmu mengurus
pemakaman Lungguh. Kemudian kita bicara di sini se-
bentar. Cepatlah, Dungkul!" perintah Wangsa kepada si Botak yang ternyata
bernama Dungkul.
Setelah semua anak buahnya dikerahkan un-
tuk mengurus mayat Lungguh, maka Dungkul pun
kembali lagi menghadap juragannya.
Wangsa segera memberikan petunjuk kepada
Dungkul tentang tugas barunya yang harus ia laksa-
nakan sendiri. "Kalau cuma segitu mah, beres Den!" sahut
Dungkul setelah menerima instruksi dari sang maji-
kan. "Nah sekarang kau boleh pergi. Tinggalkan aku seorang diri di sini!" ucap
Wangsa setelah memberikan petunjuk kepada sang algojo.
"Baik Den!" jawab Dungkul singkat. Maka
Dungkul pun melangkahkan kakinya meninggalkan
ruang tengah yang besar, tempat Wangsa sering men-
gadakan musyarah untuk mengatur rencana.
Kini tinggallah Wangsa yang berada di ruang
itu. Ia tampak ceria sekali. Mungkin segala keinginannya sudah sembilan puluh
sembilan persen diperoleh
dan yang satu persen inilah yang masih harus dilak-
sanakan oleh algojonya.
"Hmmm... dengan kematian Lungguh berarti
aku telah menguasai seluruh harta warisan yang ada
di rumah ini. Tak ada lagi yang dapat menghalanginya.
Apalagi kalau si Tirta itu sudah berhasil dicopot lehernya. Aku bakal bebas
tanpa ada gangguan sedikit pun.
Soal harta yang terpendam biar kusingkirkan dulu da-
lam ingatanku, yang penting harta warisan di rumah
ini berikut isinya, termasuk sawah dan ladang, sudah
mutlak berada di tanganku."
Setelah sekian lama mondar-mandir di ruang
itu, Wangsa kemudian menarik sebuah laci kecil yang
berisi uang logam dalam jumlah banyak sekali.
"Aku harus sisihkan uang buat Tirta si Juru
Tulis dungu itu!" gumam Wangsa sambil memasukkan uang logam ringgitan ke dalam
sebuah kantong kecil
yang sudah dia sediakan.
Setelah itu Den Wangsa memanggil salah seo-
rang anak buahnya untuk memanggil Juru Tulis Tirta.
"Cepat kau temui dia. Sore nanti kutunggu ke-
datangannya!" perintah Wangsa kepada orang itu.
"Baik Den," jawab anak buahnya.
"Kenapa kau masih diam?" tanya Wangsa kem-
bali. "Ongkosnya belum. Den...!" jawab orang itu sambil nyengir.
"Masa' setiap ke sana harus pakai ongkos,
sih"!" balas Wangsa sambil melotot.
"Kan jauh. Den...! Pokoknya kalau ke Sana ti-
dak bawa uang, pasti akan kelaparan di jalan."
"Ah... sudahlah. Nih terima! Cepat kau berang-
kat ke sana."
Setelah mendapat ongkos dari sang majikan
maka orang itu langsung melangkah dengan gesit me-
ninggalkan majikannya. "Hmm... kalo nasibku lagi mu-jur, uang segini pun bisa
berubah jadi sepuluh kali li-pat...! Ah, soal ke rumah si Tirta belakangan aja.
Yang penting aku mau main judi dulu. Menang atau kalah
nggak soal!" gumamnya sendirian. Sementara itu langkahnya tampak semakin
dipercepat. Begitu tiba di se-
buah kedai kopi orang itu langsung masuk ke dalam,
rupanya di dalam kedai itu telah disediakan tempat
untuk berjudi. *** 7 Waktu terus melaju dengan cepat, tanpa terasa
malam telah kembali menyelimuti belahan bumi, ter-
masuk pula daerah Babakan tempat kediaman Den
Wangsa. Saat itu Den Wangsa bagai seorang Pamong
Praja saja gayanya. Ruangan tengah telah ditata den-
gan rapi. Meja tulis besar diletakkan di sudut ruangan.
Kursi di belakang meja itu rupanya sudah lama dipe-
san Wangsa kepada seorang tukang, tampaknya me-
gah sekali. Kini Den Wangsa sedang menunggu kedatan-
gan Juru Tulis Tirta. Sejak sore dia duduk di sana
hingga jauh malam, namun orang yang ditunggu be-
lum juga muncul.
"Gila! Kenapa si Tirta ini?" gerutu Wangsa sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Berkali-kali Den Wangsa menguap, entah kare-
na ngantuk atau karena kesal. Yang pasti ia bangkit
sambil menggedor meja. Tapi tiba-tiba Wangsa memba-
talkan niatnya untuk meninggalkan tempat karena
terdengarnya suara orang memberi salam sambil men-
getuk pintu. "Masuuuuuk!" teriak Wangsa dengan nada kes-
al. "Selamat malam. Den...!" ucap tamu yang baru datang itu.
"Dari mana saja kau. Kenapa baru datang"!"
bentak Wangsa. "Dari rumah. Den...!" jawab Tirta singkat.
"Iya... aku tahu kau dari rumah. Tapi kenapa
malam-malam begini baru datang... hah"!"
"Suruhan Aden saja datangnya sudah malam.
Masa' saya musti datang sore...! Aden ini yang bukan-
bukan saja!"
"Jadi baru tadi disampaikan"! Bukan tadi pa-
gi"!"
"Iya... Den!" jawab Tirta dengan terbungkuk-bungkuk.
"Gila!" bentak juragan buncit itu.
"Memangnya kenapa, Den?"
"Ah. Tidak... tidak apa-apa! Sudahlah! Aku me-
nyuruhmu datang untuk memberikan ini! Nah, ini ba-
gianmu! Terimalah imbalan dari jasa baikmu. Kurasa
cukup untuk makan sampai tua, tanpa kau harus ca-
pek-capek lagi membanting tulang."
Wangsa segera menuangkan isi kantong yang
sebelumnya telah diisi uang di atas meja dekat Tirta
duduk. Mata Tirta melotot melihat uang yang begitu
banyak. "Ambillah untukmu semua!" perintah Wangsa.
Tirta mendengar ucapan tersebut langsung me-
raupnya dengan cepat dan memasukkan kembali ke
dalam kantong asalnya.
"Terima kasih Den... Nuhuuuun...!" ucap Tirta sambil membungkuk-bungkuk
kegirangan. "Bagaimana sekarang" Apakah kau masih ingat
akan dosa" Bisakah kau menjawabnya"!"
Mendengar pertanyaan yang bernada sindiran
itu Tirta diam saja. Pikirannya saat ini, bagaimana caranya untuk cepat-cepat
mohon diri dari tempat itu.
Kemudian cepat-cepat ia pulang ke rumah untuk me-
nemui anak istrinya. Sebab baru pertama kali ia men-
dapatkan atau memegang uang sebanyak itu.
"Nah! Sekarang kau boleh pergi." ucap Wangsa setelah melihat Tirta selesai
mengikat kembali uang
yang baru diberikan itu.
Ucapan yang memang sangat ditunggu-tunggu
itu, kontan membuat Tirta bangkit dari kursinya.
"Punten... Den!" ucap Tirta memberi salam dan langsung melangkah ke luar dengan
cepat. Sejak keluar dari rumah itu, Tirta tampak ber-
gembira sekali. Siulannya yang begitu merdu terus terdengar tanpa henti. Hatinya
serasa di awang-awang
dan Tirta kelihatannya gagah sekali. Tapi sayang... ke-gembiraannya hanya
sebentar saja, karena di dalam
perjalanan pulang, tiba-tiba ada seorang laki-laki berkepala botak
menghadangnya. "Hah..."!" teriak Tirta dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar ketika melihat
munculnya sosok
tubuh laki-laki yang menghadangnya.
"Mau ke mana Kang Tirta" He... he... heh!" teriak lelaki yang ternyata si
Dungkul itu. "A... aku... m... mau pulang. S... si... siapa
kau?" balas Tirta dengan suara gagap karena takut sekali melihat tampang orang
yang menghadangnya.
"Kenapa masih gugup, Kang..." Aku kan tak
apa-apa. Aku hanya ingin tanya, boleh kan"! He... he...
he...!" sahut Dungkul sambil tertawa.
"Ini... u... uang setoran,.. A... a... anu, uang setoran pajak!" jawab Tirta
kembali. "Bohong!" bentak Dungkul spontan.
"Su... sungguh, aku tidak bohong!" ucap Tirta mengelak.
"Memangnya aku tidak tahu! Kau jangan coba-
coba membohongi ku, Kunyuk!" bentak Dungkul kem-
bali, "Bawa sini!" perintahnya dengan mata melotot sehingga jantung Tirta terasa
mau copot dibuatnya.
Tirta tampak sudah pucat sekali, seluruh tu-
buhnya basah dengan keringat dingin, tapi walaupun
begitu, ia masih berusaha untuk mempertahankan
uang yang baru ia terima dari Wangsa.
"Jangan coba-coba membantah Tirta...! Kurasa
hidup sebagai Juru Tulis sudah lumayan, kenapa
musti terima yang tidak-tidak...! Berikan saja uang itu
padaku...! Ayo...!"
"Tidak... tidak... jangan!"
"Kenapa" Berikan dari pada celaka!"
"I... ini, u... uuang... pep... pajak yang harus disetor dari Juragan Wangsa...!
Ku mohon jaa... jangan diambil...! Sungguh ku mohon jangan diambil!"
Suara Tirta yang serak memelas tak membuat
Dungkul merasa iba. Si Botak malah menjadi tambah
beringas kelihatannya. Tangannya yang begitu besar
dengan cepat menyambar kantong uang yang berada di
tangan Tirta. Dalam sekejap kantong itu telah berpin-
dah tangan. "Ha... ha... ha...! He... he... heh...! Terima kasih Tirta...! Terima kasih!
Sekarang kau boleh meneruskan perjalananmu kembali...!" ucap Dungkul sambil
memutar-mutar kantung uang di hadapan Tirta.
"Jangan... jangan. Kembalikan padaku cepat.
Kembalikan! Kembalikan...!" jerit Tirta sambil berusaha mengambil uangnya
kembali dari tangan Dungkul.
Berkali-kali Tirta bermaksud merebut, tetapi
tubuh Dungkul yang tinggi besar itu sulit dicapai. Apalagi kantong itu terus ia
mainkan ke kiri ke kanan, ke atas ke bawah, ke depan ke belakang. Tirta tak
ubahnya seperti seekor anak kucing yang sedang diajak
bercanda. Dungkul yang sejak semula sudah mempunyai
niat busuk terhadap Juru Tulis ini, setelah melihat si orang tua kepayahan
langsung menangkapnya. Tubuh
Tirta yang kurus dan kecil terus meronta-ronta karena lehernya terjepit di
ketiak Dungkul. Walaupun ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, tetapi
tak berhasil, karena Dungkul semakin kuat menjepitnya
dan semakin mengerahkan tenaga raksasanya.
"He... he... he...! Percuma saja kau berontak
Kucing Kurus. Tak ada gunanya. He... he... heh!" teriak Dungkul sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
"Hekkkkh... hekkkkkh."
"Ayo... teruus...!"
"Aaaakkkh!"
"Masih mau coba lagi?"
Untuk kali ini tak ada lagi suara yang keluar
dari mulut Tirta. Tubuhnya tampak lemas tak berdaya.
Di samping itu si Dungkul masih tetap memainkan je-
pitan mautnya. "Ayo...! Habiskan tenagamu, orang tua...! Jan-
gan tanggung-tanggung!" ucap Dungkul yang selalu diselingi dengan tertawanya
yang khas. Setelah mengetahui bahwa orang tua yang di ketiaknya sudah tak
berkutik lagi barulah ia melepaskan jepitannya.
"Hmmmh. Sudah mampus...!" gumam Dungkul
ketika memeriksa tubuh Tirta dengan teliti.
Dungkul terdiam sejenak, tak berapa lama ke-
mudian ia melangkah meninggalkan tempat itu, seper-
tinya ingin mencari sesuatu. Sedangkan tubuh Tirta
sementara dibiarkan tergeletak begitu saja.
"Sial. Nggak ada karung di sekitar sini! Kalau
begitu ku lempar di kali saja!" ujar si Dungkul setelah kembali ke tempat
tersebut. Tubuh Tirta yang kurus itu cukup diangkat
dengan sebelah tangan oleh Dungkul.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Dungkul me-
langkah menuju ke tepian kali yang cukup deras air-
nya. Setelah itu tubuh orang tua itu pun dilemparkan-
nya ke dalam air.
Kita tinggalkan dulu masalah si Botak ini, kini
kita intip dulu apa yang dilakukan juragannya.
Pada saat itu sang juragan sedang asyik di
pembaringan sambil menikmati minuman tuak kese-
Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nangannya. Wajahnya sampai saat itu pun tampak
masih ceria. "Hmmm... semua sudah kusingkirkan, mudah-
mudahan orang yang mengetahui rahasiaku pun bisa
disingkirkan oleh si Botak Dungkul. Kalau orang te-
rakhir sudah bisa ku atasi tentu aku sangat bergembi-
ra sekali. Berarti tak ada lagi rintangan bagiku." ucap Wangsa sendirian.
Gelas demi gelas minuman keras itu ditenggak-
nya tanpa berhenti, matanya mulai memerah dan ke-
lakuannya pun mulai berubah. Tertawanya semakin
banyak dan lagaknya macam orang sinting saja, kare-
na pikirannya dapat menerawang ke mana yang ia su-
ka. Kali ini ia tengah membayangkan seorang wanita
yang pernah dicintainya.
"Sari... sayang ku...! Mengapa kau selalu meno-
lak cintaku...! Tega sekali kau ini...! Uu... uhuuu...!"
ucap Wangsa dengan sendu.
Rupanya si Wangsa kali ini sudah mabuk berat.
Bayangkan saja, sebuah guling yang ada di samping-
nya, tak habis-habisnya dibelai bagaikan seorang jeja-ka sedang bercinta dengan
gadis pujaannya.
"Sari... sayang...! Mengapa kau selalu beralasan yang bukan-bukan" Walaupun aku
ini adik iparmu, tetapi kan suamimu kini sudah mati, sayang...! Dia su-
dah ku racuni...! Surya sudah mati! Kini tak ada lagi penghalang sayang... anak-
anakmu pun sudah tak ada
semua. Kau sekarang tak boleh beralasan lagi...! Kau
harus membalas cintaku! Haruuuus... Huu... uuu...!"
Semakin lama Wangsa semakin gawat. Ia me-
nangis dan tertawa sendiri macam orang gila. Guling
yang berada di dalam pelukannya tetap tak dilepaskan, ada kalanya dibelai, ada
kalanya digendong, tapi kadang-kadang dipukul berkali-kali.
"Kau harus mau padaku. Sari! Harus mau ka-
lau tidak mau akan menyesal nanti. Sekarang aku te-
lah menjadi orang kaya. Aku sudah menjadi juragan,
mengerti"! Ayo, jawab..! Jangan diam saja...! Jaaa-
waaaaab! Jangan kau bikin hatiku menjadi semakin
parah. Hmmmh! Sial...! Ternyata kau tetap memban-
del. Rasakan akibatnya, hmmmmh!
Wangsa dengan sekuat tenaga mencekik guling
tersebut kemudian melemparkan sampai ke dekat pin-
tu, setelah itu ia kembali mengambil pundi tuak yang
masih tersisa di atas meja dan langsung meminumnya
tanpa dipindahkan ke dalam gelas lagi.
Sementara itu di ruang tamu, Dungkul telah
menunggu Wangsa sejak tadi. Ia sampai tertidur di
bangku dalam menunggu sang majikannya keluar.
"Gila...! Ngapain sih dia di dalam!" gumam
Dungkul saking kesalnya. "Jangan-jangan dia ketidu-ran...! Hmmmh... mana aku
sudah janji pada anak bu-
ahku semua! Bagaimana nanti kalau mereka pada da-
tang?" Dungkul segera bangkit dari kursinya dan langsung menuju ke kamar Wangsa.
"Hei Juragan, bangun... Gan!" teriak Dungkul sambil menggedor pintu kamar itu.
Setelah berkali-kali digedor tak ada jawaban,
laki-laki botak yang terkenal kurang sabar ini langsung menendang pintu tersebut
hingga terkuak lebar.
"Wah... rupanya dia sudah menggeloso tak in-
gat diri! Gawat deh kalo begini!" teriak Dungkul lagi sambil mengangkat tubuh
Wangsa. Badan Wangsa yang begitu berat dengan mu-
dah diangkat oleh si Botak ini. Begitu keluar dari kamar, Wangsa langsung dibawa
ke belakang untuk dis-
iram dengan air, "Satu-satunya jalan cuma ini yang
bakal bisa menyadarinya!" pikir Dungkul dalam hati.
Akhirnya Wangsa terbangun juga setelah bebe-
rapa kali mukanya kena siraman air.
"Maaf Gan! Cuma ini obatnya buat orang ma-
buk! He... he... he...!" ucap Dungkul yang terus meng-guyur Wangsa, sampai ia
kelabakan. "Auuuf...! Auuuuf...! Auuffff! Cukup...! Cu-
kuuuuup! Awas kau. Nanti kuhajar biar mampus...!
Auuuf!" teriak Wangsa kelagepan.
Dungkul segera menghentikan guyurannya se-
telah melihat sang majikan itu benar-benar telah sa-
dar. Sebenarnya Wangsa dongkol sekali melihat kela-
kuan anak buah nya yang kurang ajar ini, tapi apa bo-
leh buat, orang macam begini memang lagi ia perlu-
kan, di samping itu memang dapat diandalkan.
"Kemudian kau ke depan. Aku mau salin pa-
kaian dulu!" perintah Wangsa dengan kesal.
"He... he... heh...! Baik Gan...!" jawab Dungkul sambil cengengesan.
Tanpa memperdulikan si Dungkul yang masih
nyengir-nyengir bajing, Wangsa dengan pakaian yang
basah kuyup langsung nyelonong ke kamarnya. Mu-
kanya kelihatan asam sekali. Mungkin ia kesal akibat
guyuran air tersebut.
"Dungkuuuuul!" teriak Wangsa dari dalam kamarnya.
"Yaaaa... Gan!" sahut Dungkul. "Ke sini kau!"
teriak Wangsa kembali. "Sebentar...!" balas Dungkul.
Dungkul yang sedang asyik menyikat lahap makanan
di dapur, buru-buru menghabiskan nasinya yang ma-
sih tersisa di piring. Teriakan Wangsa yang berulang
kali terdengar seakan-akan tak dihiraukan lagi, karena paha ayam goreng yang
masih tersisa di piring perlu
dihabiskan, daripada mubazir.
"Hei...!" Apa-apaan kau ini, hah"!" bentak
Wangsa dengan keras.
"Mumpung ada, Gan!" jawab Dungkul dengan
tenang dan tak menoleh sedikit pun walaupun maji-
kannya telah berada di belakangnya.
"Itu semua hidangan untukku, Dungkuuuuul!"
bentak Wangsa dengan kesal sekali, "Kenapa kau bikin ludes semuaaaa?" geramnya.
"Ini semua tak seberapa, kalau dibanding den-
gan ini!" sahut Dungkul sambil melemparkan sekantong uang ke atas meja makan.
Setelah itu ia kembali
menghabiskan makannya dengan lahap.
Wangsa tak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali
menunggu sampai si Bergajul itu selesai makan.
"Eeeeeeghh!... eeeeeghhh!" tahak Dungkul dengan keras setelah menghabiskan sisa
minuman di ge- lasnya. Kemudian ia bangkit dari kursi dan melangkah
mendekat Wangsa yang masih diam bagai patung.
"Yang itu masih utuh, Gan! Periksalah kalau
kau tak percaya!" ujar Dungkul sambil mengusap-
ngusap perutnya yang telah kenyang.
"Benarkah itu"!" tanya Wangsa ingin penjelasan. "Ya!" jawab Dungkul singkat.
"Bagaimana dengan si Juru Tulis Dungu itu"
"Sudah kulepaskan!"
"Apa..."!"
"Sudah kulepaskan! Buat apa kubawa ke sini"
Bukankah Juragan tidak memerintahkan aku untuk
membawanya ke mari...?"
"Dungkuuuul! Kau ini bisa kerja apa tidak sih.
Aduuuuh... Sakit kepalaku dibuatnya.
Tak tahu lagi apa yang harus dikatakan untuk
anak buahnya yang badung ini, sehingga meja yang
penuh dengan piring sisa makan si Botak pun ikut jadi sasaran. Berkali-kali meja
itu dipukulnya.
"Dungkul! Aku memerintahkan kau bukan
hanya merebut uang ini. Tapi kau juga harus membu-
nuh si Tirta itu, mengertiiiii...!" teriak Wangsa sambil melotot kepada Dungkul.
"Ya, aku mengerti!" sahut Dungkul tenang.
"Tetapi, mengapa kau lepaskan dia"!" tanya
Wangsa. "Untuk apa capek-capek kubawa mayatnya ke
sini. Jadi kulepaskan saja ke kali!" sanggah Dungkul sambil tertawa.
"Hah!" Jadi kau sudah laksanakan semua itu"!"
"Dari tadi pun aku mau bilang. Cuma tak ada
kesempatan untuk menjelaskan. He.. he... he... heh"
"Ha... ha... ha... hah! Memang kau anak bua-
hku yang baik. Nih, uang ini ambil saja buatmu. Aku
tak memerlukannya. Mana anak-anak yang lain...?"
teriak Wangsa kegirangan.
"Ada, Gan...! Mereka menunggu di luar!" balas Dungkul.
"Panggil semua anak buahmu, Dungkul. Malam
ini kita bikin pesta besar-besaran! Tuh, lihat. Di kolong tempat tidurku sudah
kusediakan puluhan pundi tuak
istimewa buat kita minum bersama." ujar Wangsa yang langsung berlari ke kamarnya
dan mengeluarkan pundi-pundi tuak dari kolong tempat tidurnya untuk di-
perlihatkan pada Dungkul.
Dungkul dan anak buahnya bergembira di ma-
lam itu, mereka berpesta pora hingga larut malam tan-
pa memperdulikan keadaan dirinya. Padahal sebenar-
nya mereka telah diperalat oleh si Wangsa yang saat
itu sedang asyik sendirian terlentang di atas pemba-
ringan sambil menggoyang-goyangkan kakinya karena
terlalu girang.
T A M A T E-Book by Abu Keisel Pecut Sakti Bajrakirana 4 Dewi Sri Tanjung 8 Perjalanan Yang Berbahaya Bagus Sajiwo 12
rung tersebut tampak seorang laki-laki sedang duduk
sambil menikmati kopi yang telah dibuatkan untuk-
nya. "Baru ada tamu satu orang yang datang cuma mau minum kopi," bisik wanita
pelayan kepada temannya di dapur.
"Habis mustinya bagaimana?" tanya temannya
itu dengan suara berbisik pula.
"Biasanya, paling tidak... isi yang di pundi itu yang diminta. Seperti seorang
raden yang kemarin
siang mampir ke sini, tiga pundi tuak dihabiskan se-
lama dia duduk di sini, apa nggak gila... tuh?" sambutnya kembali.
"Itu untuk yang doyan... Neng! Kalau buat yang
nggak doyan, seperti yang duduk di depan sekarang.
Jangankan sepundi, sesendokpun dia tak mau!" bantah temannya.
"Ah... belum tentu!" sahutnya.
"Apanya yang belum tentu" Lihat aja tampang-
nya. Angker sekali kelihatannya!" bantah temannya sambil menengok ke depan.
"Ah... menurutku orang ini bukan angker, tapi
gagah. Lihat tuh, badannya tinggi dan kekar, berwiba-
wa lagi." puji wanita itu.
"Kau memuji" Naksir ya sama dia...?" sindir temannya.
"Naksir sih nggak, tapi kalau dia mau, aku juga
nggak nolak, hi... hi... hih!" sambut wanita itu kembali sambil tertawa.
"Tapi benar juga katamu, Ning. Aku juga nggak
nolak kalau dia mau samaku. Lihat tuh berewok di se-
kitar bibir, dagu, hingga pipi... haluuuuus sekali. Tak dapat kubayangkan
seandainya aku berada di dalam
dekapannya. Mungkin seminggu tak kulepaskan." balas temannya dengan gaya pemain
sandiwara. "Gila! Memangnya lu nggak mikirin dapur. Mo-
nyoooooong!" balasnya lagi sambil mencubit pipi temannya perlahan, kemudian
mereka pun tertawa ber-
sama dan kembali meneruskan pekerjaannya masing-
masing. "Sum! Aku mau membawakan pisang goreng
buatnya. Tolong kau lihat-lihat pisang yang baru ku
masukan ke dalam penggorengan itu. Awas, jangan
sampai hangus!" pesan Nining kepada temannya.
"Biar, aku sajalah yang mengantarkan, Ning!"
balas Sumi. "Ah... kau belakangan saja. Sekarang aku yang
duluan," bisik Nining, "Mau kan sayang...?" ucapnya lagi sambil mengelus-elus
rambut temannya.
"Iyaaaa... deh!" balas temannya dengan senyum dan melihat ke arah Nining.
Nining segera melangkah ke depan untuk
membawakan pisang yang baru digorengnya untuk
disajikan kepada tamunya.
"Ini, Den...! Pisang gorengnya mumpung masih
hangat!" ucap Nining kepada tamunya yang baru saja
menghabiskan sisa kopi yang ada di hadapannya.
"Terima kasih... Dik!" sahut laki-laki itu sambil tersenyum, "Maaf ya, Dik...
sebaiknya panggil aku dengan sebutan akang saja. Malu rasanya aku kalau di-
panggil dengan sebutan semacam itu." balas laki-laki itu dengan ramah dan penuh
senyum. Kemudian ia
pun terlibat dalam pembicaraan dengan penuh kea-
kraban. Lama juga Nining menemani laki-laki yang kini telah diketahui namanya,
yaitu Suta. Namun pembicaraan yang biasanya penuh canda dan tawa, kali ini
jauh berbeda. Wanita itu tampak termenung sambil
menggigit bibirnya seperti menahan kekecewaan.
"Nah... kalau begitu akang permisi dulu, ya Dik.
Sudahlah, tak usah menyesali yang telah berlalu, yang penting kita usahakan
untuk memperbaikinya. Siapa
lagi yang akan mengubah kalau bukan diri kita sendi-
ri." pesan Suta sambil bangkit dari kursi.
Nining menanggapi ucapan itu sambil tertun-
duk. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya kecuali
menganggukkan kepala dengan wajah yang tetap ter-
tutup dengan kedua telapak tangannya, sehingga ia
tak mengetahui bahwa tamunya telah pergi.
Bukan main terkejutnya Sumi ketika melihat
temannya duduk terpaku sendirian di ruang depan.
"Hei, apa yang kau lakukan di sini, Ning?" tanya Sumi sambil menepuk bahu Nining
yang spontan membuat
temannya itu terperanjat.
"Oh...! Sudah lamakah kang Suta pergi?" ucap Nining yang balik bertanya.
"Kang Suta yang mana?" balas Sumi. "Tamu ki-ta yang tadi...!" sahut Nining. "Aku
sendiri baru masuk, mana mungkin aku tahu," ujar Sumi sambil menarik kursi dan
duduk di dekat Nining, "Hei"! Uang
siapa nih, banyak sekali"' tanya Sumi agak keras dan
langsung meraup uang yang ada di samping tangan ki-
ri Nining. "Mungkin pembayaran dari tamu tadi!" jawab
Nining agak acuh.
"Tapi banyak sekali"!" sela temannya. "Ah... berapa sih, coba sini kulihat. Aku
pun tak tahu ia meletakkan uang di sampingku!" sahut Nining.
"Nih lihat, hitunglah sendiri!" balas Sumi sambil menyodorkan uang tersebut.
Nining segera men-
gambil uang tersebut lalu menghitungnya.
"Wah. Gila! Apa-apaan nih!" teriak Nining setelah menghitung uang yang diberikan
oleh laki-laki tadi.
"Hebat kamu ini, pakai ilmu apa sih" Masa'
harga segelas kopi dan pisang goreng, sama nilainya
dengan harga warung ini?" puji Sumi sambil mencium kening temannya beberapa
kali. Tapi kegembiraan
Sumi hanya sekejap saja, karena ia melihat temannya
itu tidak gembira, malah mengeluarkan air mata, "Ada apa, Ning?" tanya Sumi
selanjutnya. "Aku tak bisa menerimanya. Aku harus men-
gembalikan uang ini kepadanya. Kang Suta terlalu
baik padaku. Baru kali ini aku kedatangan tamu yang
ramah dan mempunyai sopan santun macam dia.
Kang Suta tahu benar, apa yang kita lakukan selama
ini, sebenarnya tidak sesuai dengan hati kecil kita," jelas Nining dengan sedih.
"Tapi bukankah semua yang diberikan ini atas
kerelaannya?" tanya Sumi yang turut terharu pula.
"Ya...! Justru itulah...!" ujar Nining tersedu-sedu. "Lebih baik tak usah lagi
kau cari orang itu.
Percayalah, tak mungkin kau dapat menemuinya. Le-
bih baik kita manfaatkan uang ini sesuai dengan pe-
tunjuknya. Pasti dia akan senang." kata Sumi menghi-burnya. "Ya, kurasa usulmu
itu cukup baik. Mudah-mudahan pemilik warung ini mau melepaskan kita."
"Kenapa musti tergantung padanya" Kita kan
ingin mengubah nasib, supaya kita mempunyai harga
diri. Sebenarnya hati kita pun seperti teriris apabila mereka memperlakukan kita
dengan seenaknya. Tapi
apa daya kita tak mempunyai kemampuan apa-apa.
Inilah saatnya yang terbaik buat kita."
Kita putuskan pembicaraan mereka sampai di
sini, sekarang kita telusuri ke mana perginya sang ta-mu tadi. Rupanya laki-laki
itu belum jauh langkahnya, karena dia masih berdiri tegak di bawah sebuah pohon
mangga. "Hmmmh. Empat buah mangga!" gumam Suta
sambil menggeser letak kain sarungnya.
Tak lama kemudian tangannya bergerak den-
gan cepat dan laksana peluru yang keluar dari laras-
nya empat buah pisau telah dilemparkan dengan cepat
ke arah tangkai buah yang baru dilihatnya, dalam be-
berapa detiknya berjatuhanlah keempat buah mangga
tersebut. Suta setelah memasukkan kembali pisau-
pisaunya ke dalam sarungnya dan memperhatikan
buah yang baru jatuh itu. "Hmh. Aku harus membu-
nuhnya seperti merontokkan buah-buah ini!" gumamnya kembali.
Buah mangga yang rontok itu tak lama kemu-
dian diberikan kepada salah seorang anak kecil yang
kebetulan lewat di jalan itu bersama ibunya. Orang tuanya sangat berterima kasih
atas pemberian tersebut.
Suta menanggapi ucapan tersebut dengan senyum ra-
mah. Setelah anak kecil dan ibunya pergi, kemudian
Suta pun melanjutkan perjalanannya kembali.
Hari ini aku harus melaksanakan tugasku den-
gan baik. Aku telah siap berkorban demi mencegah
timbulnya korban yang lebih banyak lagi dari iblis perusak moral. Manusia Iblis
itu kudengar sedang berada di kampung Waru. Aku harus tiba di sana sebelum
matahari terbenam, supaya dapat ku peroleh keteran-
gan yang lebih jelas lagi," ucap Suta di dalam hati sambil terus mengikuti
langkah kakinya yang semakin
cepat bergerak.
Dalam setengah perjalanan, tiba-tiba telinga
Suta mendengar sesuatu. Ketika ia menoleh ternyata
suara itu datangnya dari dua orang anak muda yang
sedang berjalan di belakangnya dengan langkah cepat
dan terburu-buru sekali.
"Maaf, Adik-adik... berhentilah sebentar. Kelihatannya kalian begitu tergesa-
gesa sekali. Kalau boleh ku tahu, apa yang terjadi pada kalian dan ke mana
tujuan kalian sekarang" Sekali lagi aku mohon maaf,
apabila kalian merasa terganggu atas pertanyaan ini,"
ucap Suta kepada kedua anak muda yang mau mele-
watinya. Kedua anak muda yang baru meningkat dewasa
ini lama tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
Suta tadi. Mereka hanya terdiam dan memandangi tu-
buh Suta dari mulai ujung rambut hingga kaki. Sete-
lah itu satu dari mereka melangkah ke depan mende-
kati Suta, "Maaf Kang, kami tidak punya waktu untuk ngobrol, karena kami sedang
mengejar seseorang,"
ucap salah seorang anak muda itu dengan mata agak
berkaca-kaca. "Baiklah kalau begitu, mudah-mudahan kalian
berhasil! Selamat jalan, anak-anak muda, sampai jum-
pa kembali! Karena aku tahu, siapa sebenarnya yang
kalian sedang cari, kalian telah kehilangan sesuatu
yang kalian sayangi, sama seperti aku." balas Suta sambil mengangkat tangannya
untuk memberi salam
yang kemudian disambut oleh kedua anak muda itu.
Kedua anak muda itu kembali meneruskan per-
jalanan. "Sst! Apa yang dia bilang tadi?" tanya salah seorang di antara mereka dengan
nafas terengah-engah.
"Dia mengetahui tujuan kita!" jawab seorang la-gi tanpa menoleh.
"Apakah bukan cuma sekedar alasan untuk
mengorek kita" Jangan-jangan dia adalah seorang
pengawal yang memata-matai kita?"
"Ah... tak mungkin! Si Iblis itu selalu sendirian dalam melaksanakan pekerjaan
maksiatnya. Tapi ia
sangat licin seperti belut. Kalau orang yang tadi bertemu kita, tampaknya ia
orang baik. Aku yakin sekali
dengan apa yang dikatakannya." "Dari mana kau ta-hu?" "Dari pembicaraan dan
perilakunya! Memang kalau sepintas, ia kelihatannya sangat angker dan ka-
sar...! Tapi ada satu hal yang tak bisa ia sembunyikan.
Kelihatannya ia menaruh dendam yang membara ter-
hadap seseorang."
"Ah, kamu ini macam ahli nujum saja!"
Setelah pembicaraan singkat selesai mereka
kembali terdiam, tak ada yang bersuara selain desah
nafas yang kian memburu akibat jauhnya perjalanan
yang mereka tempuh. Belum jelas, siapa yang mereka
kejar dan di mana orang itu adanya, yang pasti mereka telah berada di tengah
perkampungan Waru, sama
halnya dengan daerah yang sedang dituju oleh Suta,
laki-laki yang berwajah angker tersebut.
"Kita telah berada di kampung Waru. Arah ma-
na lagi yang harus kita lewati?" tanya pemuda itu ke-
pada temannya. "Entahlah, aku sendiri juga bingung," jawab pemuda yang satu lagi sambil
memegangi dadanya karena kelelahan.
"Kita harus putuskan sekarang, jangan sampai
kita kemalaman di sini. Lihatlah hari sudah mulai ge-
lap." "Kita cari saja warung yang terdekat, agar dapat beristirahat."
"Tidak Kita tak boleh beristirahat di tempat
orang banyak. Aku khawatir akan timbul persoalan ba-
ru di sana. Lebih baik kita cari tempat yang sepi untuk beristirahat."
"Terserahlah! Yang penting kita harus tetap pa-
da tujuan semula, walaupun harus dengan resiko
nyawa." "Ya. Itu sudah pasti, karena kita sama-sama di-rusak oleh srigala
jahanam itu."
Kedua anak muda itu mengambil tempat ber-
malam yang agak sunyi dan sulit terlihat dari luar, walaupun letaknya tetap di
pinggir jalan. Sambil beristirahat, mereka terus mengamati keadaan
sekelilingnya. Sementara itu udara di sekelilingnya mulai terasa.
Suara-suara bisik di antara mereka telah ter-
dengar lagi, mungkin mereka telah tertidur dengan lelap sekali setelah hampir
seharian penuh berjalan di
bawah terik matahari.
*** 5 Kepekatan malam mulai berubah dengan mun-
culnya sang bulan dengan perlahan seiring dengan
merangkaknya waktu. Dari keremangan sinarnya yang
terhalang oleh awan, masih tampak terlihat suasana
malam dl kampung Waru yang semakin lama semakin
sunyi karena para penghuninya telah memanfaatkan
waktu istirahat, setelah seharian penuh membanting
tulang demi kebutuhan hidup anak dan istri.
Di dalam keremangan malam yang sunyi itu,
tampak sesosok tubuh laki-laki keluar dari tempat
persembunyian dan berjalan sambil membungkukkan
badan menuju ke sebuah rumah yang tak jauh dari si-
tu. Se telah tiba di dalam pekarangan, ia pun mengen-
dap-endap menghampiri jendela bagian tengah rumah
tersebut. Setelah itu langsung melekatkan telinganya
sambil tersenyum sendirian, "Hmm... dia masih sabar menunggu, tampaknya!"
gumamnya sambil membalik-kan badannya untuk mengawasi keadaan sekeliling-
nya. "Pah... Ipah... buka dung, Geulis...!" bisiknya ke sela sela sambungan
papan pada dinding itu yang dibarengi pula dengan ketukan dengan ujung jarinya.
Dari dalam jendela yang tidak kelihatan sinar
lampu, kemungkinan besar, memang sudah mereka
atur supaya gelap. Tak lama kemudian daun jendela
itu perlahan-lahan terbuka.
"Bagaimana, Geulis... apakah ayah dan ibumu
Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah tidur?" bisik laki-laki itu.
"Sudah, Den." jawab gadis yang berada di dalam dengan singkat, "Ayo cepat masuk. Nanti kalau ada
yang lewat, Aden bisa berbahaya," ujarnya kembali
dengan suara yang sangat perlahan sekali.
"Baik Geulis...!" bisik lelaki muda itu dengan ucapan yang perlahan pula. Laki-
laki ini tak salah lagi, yakni sang 'Play Boy' kampungan alias Lungguh yang
sudah beken itu.
Kemudian dengan cepat sang Raden memanjat
dan masuk ke dalam kamar yang gelap. Setelah ia be-
rada di dalam, jendela itu tampak ditutupnya rapat-
rapat dan yang terdengar hanyalah bisik mereka ber-
dua. "Oh... betapa cemasnya aku menunggu, Den...!"
ucap Ipah. "Tak usah khawatir Geulis. Ipah kan kabogoh
akang, jadi akang tak akan membiarkan Ipah sendi-
rian. Inilah buktinya...! Akang datang untuk menema-
nimu," ucap sang perayu yang mulai bersandiwara.
"Entahlah, Kang. Sejak sore tadi aku gelisah
sekali," balas Ipah sambil merebahkan kepalanya ke dada Lungguh.
"Gelisah kenapa?" kembali Lungguh bertanya.
"Wajah Akang selalu terbayang di mataku," jawabnya sangat polos. Lungguh
mengecup mesra ken-
ing gadis itu. "Aku pun demikian sayang...! Tak sabar ra-
sanya menunggu kesempatan seperti ini." sahut Lungguh yang juga dalam soal
bersandiwara semacam ini.
"Jadikah besok Akang menemui orang tuaku?"
tanya Ipah yang ingin mengetahui kejelasan hubungan
mereka. "Tentu. Mungkin sore akang ke sini. Untuk itu-
lah Akang datang malam-malam untuk meminta ke-
pastian Ipah jangan sampai timbul perselisihan di be-
lakang nanti," sela Lungguh sambil membelai rambut Ipah yang semakin terlena di
dalam pelukannya. "Su-
dahlah sayang... urusan besok, kita bicarakan lagi
nanti. Yang penting sekarang kita nikmati malam yang
indah ini."
Keadaan di luar tetap sunyi sepi. Tiupan angin
yang sebelumnya berhembus lembut, kini mulai terasa
semakin keras sehingga membuat ranting-ranting po-
hon menggeliat dihempasnya, begitu pula dengan de-
daunan, tampak semakin meronta-ronta. Keadaan se-
perti itu terus berlangsung tanpa henti hingga menjelang datangnya pagi. Embun
pagi mulai turun bersama
hilangnya kesucian seorang gadis.
"Ipah... bangunlah, Geulis...! Sebentar lagi fajar akan menyingsing." sapa
Lungguh kepada Ipah yang masih tidur dengan lelap di sampingnya. Belahan dadanya
yang kencang itu hangat terasa dalam sentuhan
tangan Lungguh.
"Akang mau ke mana." tanya Ipah setelah terbangun dari tidurnya. Sambil
membenahi tubuhnya
sendiri yang tak tertutup selembar benang pun.
"Bukankah aku harus mempersiapkan sesuatu
untuk acara pernikahan kita?" jawab Lungguh sambil membelai rambut Ipah yang
ikal mayang. Dikecupnya
bibir gadis itu dengan lembutnya.
"Jadi Akang mau pulang ke Babakan?" balas
Ipah kembali. "Ya!" sahut Lungguh singkat. "Bukankah kedua orang tua Akang sudah tiada?" tanya
Ipah sambil merapikan pakaian yang sedang dikenakan oleh sang ra-
den. "Benar... tapi aku masih mempunyai dua orang kakak. Aku akan memohon restu
pada mereka, karena
mereka kini menjadi pengganti orang tuaku." balas Lungguh dengan tenang.
Ipah masih tetap merapikan pakaian Lungguh
hingga selesai dan sang raden ini bagai bocah yang
masih ingusan, diam saja ketika rambutnya disisirkan.
Setelah semuanya selesai Ipah langsung memeluk
Lungguh dari belakang, saat Lungguh sedang merapi-
kan kedudukan blangkonnya di hadapan cermin.
"Oh...! Alangkah gembiranya aku Kang! Aku
sangat mengharapkan hari bahagia itu... oh!" bisik Ipah sambil memeluk tubuh
Lungguh erat-erat.
"Tenanglah sayang...! Untuk itulah aku pulang
ke Babakan. Hari ini juga akan kubawa saudara-
saudaraku untuk menemui orang tuamu," balas Lungguh yang kini sudah siap untuk
berangkat. "Nah... sekarang aku berangkat dulu, Geulis."
Lungguh langsung keluar meninggalkan rumah
tersebut. Melalui jendela, tempat di mana ia masuk
pada malam hari tadi. Ipah mengantar kepergiannya
dengan penuh harapan dan kegembiraan di pagi buta
itu. Dalam pikirannya telah terbayang Den Lungguh
bersama kedua saudara serta para kerabatnya, datang
meminang kepada orang tuanya dan menentukan hari
pernikahan seperti ucapan sang raden waktu hendak
berangkat. Padahal semua itu adalah angan-angan ko-
song belaka, tak mungkin Lungguh menginjakkan ka-
kinya kembali ke rumah itu, menoleh dengan sebelah
mata pun tak bakal ia lakukan.
"Puiiih! Dasar gadis dungu! Kau akan gigit jari
seumur hidup, kalau masih mengharapkan Serigala Ib-
lis macam dia! Tapi kau tak usah khawatir, Srigala Iblis itu sebentar lagi akan
kuhabisi riwayatnya," gumam sesosok bayangan laki-laki yang memperhatikan
kejadian itu sejak tadi malam.
Tak lama kemudian bayangan itu menyelinap
kembali ke dalam semak-semak untuk memberitahu-
kan temannya. Setelah itu mereka muncul kembali
dan mengikuti ke mana Den Lungguh pergi. "Ssst! Kita serang Srigala Iblis di
ujung jalan itu. Di mana kita le-luasa bergerak dan jauh dari sana-sini!" bisik
salah sa-tu dari mereka.
"Kalau begitu mari kita berjalan lebih dahulu!"
balas temannya.
"Ayo!" sambutnya kembali.
Kemudian mereka dua orang pemuda itu pun
mempercepat langkahnya agar dapat mendahului
orang yang sedang mereka buru. Sementara itu Den
Lungguh sendiri tak mengetahui sama sekali. Ia masih
tetap berjalan dengan tenang.
Ketika Den Lungguh tiba di ujung jalan untuk
menuju jalan yang agak besar, tiba-tiba terdengar sua-ra teriakan keras yang
dibarengi dengan lompatan seo-
rang anak muda ke arahnya. Baru saja Den Lungguh
akan berusaha untuk mempersiapkan diri menjaga
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi terha-
dap dirinya, datang lagi sebuah serangan dari arah belakang. Serangan yang
datang secara mendadak dan
tak diduga sama sekali ini telah membuat Den Lung-
guh jatuh tersungkur. Penyerang yang berada di depan
tak memberi kesempatan lagi bagi Lungguh, ia pun
memberikan tendangan keras ke bagian muka sang
raden yang hendak bangun dan. untuk kedua kalinya
Den Lungguh jatuh.
"Bangun kau!" bentak salah seorang dari mere-ka.
"Siapakah kalian...?" tanya Den Lungguh sambil mengusap mulutnya yang sedikit
mengeluarkan da-
rah. "Tak perlu kau tahu kami!" bentak orang yang berada di sebelahnya.
"Mengapa kalian menyerangku?" tanya Den
Lungguh kembali.
"Karena kau Srigala Iblis!" sahut anak muda itu.
"Hei"! Jangan ngomong seenaknya di hadapan-
ku, hah"! Rupanya kalian belum tahu siapa aku ini?"
teriak Den Lungguh sambil bangkit dan menghimpun
seluruh tenaganya kembali.
"Kalau aku tak kenal, buat apa aku susah
payah mencarimu jauh-jauh sampai ke sini! Puiiiih!"
"Maaf, aku tak mengerti maksud kalian! Me-
nyingkirlah kalian. Masih banyak urusan yang musti
kuselesaikan."
"Sudah ada gadis lain rupanya, yang akan men-
jadi korbanmu berikutnya."
"Bangsat! Kalian benar-benar ingin memancing
kemarahanku, ya! Kuperingatkan sekali lagi. Cepat
menyingkir atau kupatahkan batang leher kalian!"
"Tidak semudah itu, Bangsat terkutuk! Kau tak
perlu berlagak pikun. Kami datang untuk menebus
noda gadis-gadis korban kemesuman mu dengan nya-
wa srigala mu. Kalau kau dibiarkan hidup terns, entah berapa puluh korban lagi
yang akan menjadi mangsa
mu. Den Lungguh kelihatannya agak terkejut sete-
lah mendengar ucapan salah seorang anak muda lagi,
berarti dengan demikian kedoknya mulai terbuka. Sa-
tu-satunya cara yang terlintas di dalam pikirannya
adalah menghentikan berita tersebut jangan sampai
tersebar luas. "Gila! Kalau ku tahu bakal begini, sudah pasti
ku tunda dulu kunjungan ku ke rumah si Ipah. Tapi
dari pada terbuka rahasiaku, lebih baik ku bungkam-
kan mulut mereka." ucap Lungguh di dalam hati dengan pandangan terus mengamati
gerak-gerik kedua
anak muda yang kelihatan sudah bersiap-siap akan
mengadakan penyerangan kembali.
"Apakah kalian telah pikirkan masak-masak,
akibat dari tindakan kalian ini"!" tanya Den Lungguh yang sengaja mengulur-
ngulur waktu guna memulih-kan tenaga akibat serangan tadi.
"Ya! Kami telah siap, apa pun yang terjadi pada
diri kami demi membela nama baik keluarga yang telah
kau rusak!" jawab salah satu anak muda yang kini telah mencabut golok dari
sarungnya. "Sebenarnya aku tak tega menghadapi kalian!
Bagaimana kalau ini sebagai ganti rugi untuk kalian,
setelah itu tinggalkan tempat ini?" balas Den Lungguh sambil melemparkan
sekantong uang logam di hadapan mereka.
Melihat tingkah Lungguh tersebut, kedua anak
muda itu semakin bertambah geram, "Menghina sekali kau ini, hah"! Kau pikir
harga diri kami hanya sebegitu nilainya. Sekarang terimalah ini. Ciaaaaaat!"
teriak anak muda yang tampak sudah mulai kalap itu. Serangan yang dilakukan kali
ini tak tepat pada sasaran, sebab Den Lungguh dengan cepat dapat mengelak,
begitu pula serangan yang dilakukan oleh temannya.
Beberapa kali serangan dari kedua anak muda
itu dapat ditangkis dengan baik oleh Den Lungguh,
namun ada pula serangan yang dapat dielakkan tetapi
ia harus menerima goresan ujung golok di lengannya.
Serangan-serangan yang semakin membabi buta dari
kedua anak muda itu cukup membuat Lungguh kewa-
lahan. Tenaga muda mereka benar-benar masih fit, se-
hingga mereka mampu melakukan perkelahian dalam
waktu panjang, sedangkan Den Lungguh untuk mela-
kukan semacam itu pasti tidak mungkin. Ia hanya
mengandalkan teknik perkelahian yang disertai tipuan
permainan, tapi sayangnya kesempatan untuk menca-
pai ke arah itu belum ia peroleh.
"Gila! Habis tenagaku kalau begini terus!" pikir Den Lungguh sambil melompat
untuk menghindari
serbuan golok yang datang sekaligus ke arahnya.
"Mau kabur ke mana kau, Buaya Laknat?" te-
riak salah seorang penyerang sambil mengejar Den
Lungguh dan belum sempat kaki Den Lungguh me-
nyentuh tanah, sebuah tendangan keras dari anak
muda itu telak mendarat di mata kakinya.
"Uuuuuukh!" teriak Den Lungguh sambil
menggulirkan badannya bagaikan bola yang habis di-
tendang. Kali ini pakaian perlentenya tak dihiraukan
lagi, ia terus bergulir di tanah yang berembun. Kea-
daan jalan tanah yang agak turun telah mempermudah
Lungguh dalam menggulirkan badannya dengan cepat.
"Sambutlah kematianmu sekarang, Srigala Ib-
lis!" Begitu melihat lawan datang menerkam laksana
singa lapar, Lungguh tanpa pikir panjang lagi langsung meraup abu di tanah dan
melemparkan abu tersebut
ke bagian mata lawan sambil menghindar ke kiri. La-
wan yang dalam keadaan kelabakan akibat terkena
lemparan abu segera disambut dengan beberapa puku-
lan mautnya sehingga anak muda tersebut jatuh terje-
rembab ke tanah. Tak ada kesempatan yang diberikan
oleh sang raden kepada anak muda ini. Ia langsung
menghunjamkan keris yang baru dicabutnya tepat di
perut pemuda itu.
Anak muda tersebut mengerang beberapa saat
dan tak berapa lama kemudian tubuhnya pun kejang
tak berkutik lagi. Pemuda lainnya yang sebelumnya
menganggap Lungguh tak berdaya dan dapat disele-
saikan dengan mudah oleh temannya, sangat terkejut
melihat kejadian itu. Ia langsung menerjang Lungguh
dari belakang. Tapi sayang serangannya kandas. Ru-
panya Den Lungguh sudah dapat mengetahui sebe-
lumnya. "Bocah masih ingusan begini sudah berani me-
lawanku! Fuih! Sekarang kau terima akibatnya!
Hiyaaaat! Ciaaaaat! Haaaait...!"
teriak Den Lungguh yang disertai dengan puku-
lan yang sangat gencar ke arah anak muda ini.
"Hup...! Hiaat! Ciaaaat!" teriak anak muda itu pula dalam menangkis serangan
Lungguh sambil sese-kali mengadakan serangan balasan.
Puluhan kali antara golok dan keris saling be-
radu dan puluhan kali pula kaki dan tangan saling
menghantam secara bergantian. Ternyata anak muda
yang satu ini cukup mampu mengimbangi permainan
Den Lungguh, walaupun kalau dihitung pukulan yang
diterima dengan yang sarangkan ke pihak lawan masih
berbanding tiga lawan satu.
Den Lungguh yang telah banyak pengalaman
dalam hal semacam ini, walau dengan susah pa yah
dan menguras seluruh tenaga yang dimilikinya, akhir-
nya mampu juga mengatasinya. Ini terjadi saat ia me-
lepaskan pukulan kombinasinya yang sangat sulit se-
kali dibaca lawan. Pukulan yang diberikan itu telah
masuk ke titik-titik kelemahan tubuh sehingga lawan-
nya tak mampu lagi menangkis serangan dengan sem-
purna. Kesempatan itu benar-benar telah di man-
Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
faatkan Lungguh, keris yang berada di dalam gengga-
mannya langsung diarahkan ke perut lawan.
"Rasakan ini!" teriak Lungguh dengan geram.
"Aaaaaakh!" suara anak muda itu sambil men-
gerang dan ambruk ke tanah tak berkutik lagi.
Melihat lawannya ambruk. Dengan cepat Lung-
guh meninggalkan tempat tersebut. Ia berlari menuju
ke arah sungai, setibanya di tepi sungai, Lungguh
langsung menjatuhkan badan dan beberapa kali mem-
benamkan kepalanya di air yang jernih itu.
Mungkin ini baru terjadi atau untuk pertama
kalinya dialami oleh sang raden, kali ini ia tak mem-
perdulikan tempat dan keadaan lagi. Dengan tanpa ra-
gu-ragu ia langsung merebahkan dirinya di tepi sungai itu.
"Oh... tulang-tulangku terasa mau patah! Kecil-
kecil hebat juga kedua anak itu. Mungkin kalau aku
tak segera menghindar ke tempat yang banyak abunya,
bisa hancur tubuhku dibuatnya," gumam Lungguh
dengan mata menatap ke langit.
Setelah dirasakan badannya mulai segar kem-
bali, Lungguh pun bangun dan berjalan ke tempat
yang agak kering. Tepat di bawah pohon yang besar ia
berhenti. "Aku harus pulang sekarang. Pakaianku tak
ubahnya seperti seorang pengemis...!" ucap Lungguh sendirian sambil bersandar di
batang pohon yang besar itu. Baru beberapa detik saja ia berada di situ, tiba-
tiba ia mencium sesuatu yang mencurigakan. Ia yakin
suara gerakan halus itu akan menuju ke arahnya.
Belum sempat ia berpikir jauh, serangan maut
datang ke arahnya. Serangan secara beruntun itu, ru-
panya sengaja tak diarahkan langsung ke tubuhnya.
Pisau-pisau yang dilemparkan hanya menancap pada
pinggiran tubuhnya, sehingga tampak sekeliling tubuh
Lungguh dipagari oleh pisau-pisau yang menancap di
pohon. Baru saja Lungguh hendak bergerak, datang
lagi sebuah pisau menancap sedikit di atas bagian ke-
pala dan di dekat ketiaknya, baik yang di sebelah kiri
maupun di sebelah kanan. Kini tubuh Lungguh sema-
kin ketat terjepit di batang pohon.
"Hei, siapa kau"! Mengapa kau lakukan ini se-
mua"! Ayo keluarlah!" teriak Lungguh yang tak berani menggerakkan tubuhnya lagi.
"Ha... ha... ha...! Inilah saatnya ajalmu, Manu-
sia Jahanam! Dunia ini sudah muak melihat tampang
dan batang hidungmu!" ucap penyerang itu sambil keluar dari tempat
persembunyiannya.
"Oh! Kau!" teriak Lungguh terkejut setelah melihat wajah orang tersebut.
Ternyata orang tersebut
adalah Suta teman sepermainannya dari masa kanak-
kanak hingga masa remaja.
"Kau masih mengenaliku?" tanya Suta dengan
tenang. "Ya!" jawab Lungguh singkat.
"Syukurlah kalau kau masih ingat pada teman
lamamu!" balas Suta, "Sebenarnya aku sudah lama sekali mengejarmu, tapi sayang
orang yang kukejar san-
gat licin bagaikan belut!" jelas Suta selanjutnya.
"Kenapa kau mengejarku?" tanya Lungguh in-
gin penjelasan yang lebih mendalam.
"Jangan berlagak pikun kau, Bangsat! Dasar
Manusia Laknat tak tahu balas budi. Kau tentu masih
ingat, berapa kali aku telah menyelamatkan nyawamu
dari kemarahan orang-orang kampung akibat ulah
mu" Berapa kali kau merengek di hadapanku untuk
minta bantuan ini-itu"! Apakah selama ini, pernah aku meminta imbalan darimu"
Tidak sama sekali! Aku pun
tak pernah mengharapkan apa-apa darimu! Yang ku-
harapkan hanyalah agar persahabatan tetap terjalin
dengan baik di antara kita...! Hanya itu! Tapi apa yang kuterima sekarang"!
Fuih! Kau benar-benar manusia
busuk! Begitu teganya kau nodai tunanganku yang se-
bentar lagi akan menjadi istriku! Tahukah kau...! Akibat perbuatanmu, ia telah
bunuh diri! Sungguh kejam
sekali, kau Lungguh! Kejaaaam!" teriak Suta yang tampak semakin beringas.
"Sungguh... A... aku tak ta-hu kalau..." "Diam! Aku belum habis bicara!" bentak
Suta sambil melemparkan pisau ke dekat telinga
Lungguh, sehingga sang raden ini semakin sulit berge-
rak. Dengan lemparan pisau tersebut mulut Lung-
guh menjadi terkunci, tak berani ia membuka suara
lagi. "Ketahuilah Lungguh. Aku sejak itu telah ber-sumpah pada diriku sendiri.
Aku harus menebus sakit
hati ini. Kau harus mati di tanganku! Sebenarnya su-
dah lama hal ini harus kulakukan, namun pada waktu
itu ayahmu masih ada, beliau sedang sakit. Aku san-
gat menghormati beliau. Sekarang ayahmu sudah tia-
da...! Jadi aku telah dapat melaksanakan sumpahku,
apalagi orang yang ku tuju sekarang sudah berada di hadapanku. Terimalah
kematianmu yang sekaligus
merupakan berakhirnya petualanganmu yang keji itu."
Rupanya selama temannya bicara Lungguh te-
lah mencari peluang yang memungkinkan untuk dapat
lolos dari jepitan pisau tersebut. Hal ini memang di
luar dugaan Suta. Begitu melihat tubuh Lungguh me-
letik, bukan main terkejutnya Suta.
"Kau belum tentu mampu membunuh ku, ka-
wan!" teriak Lungguh sambil menyerang Suta.
Serangan keris yang ditunjukkan ke arah Suta
tak berhasil menuju sasaran. Suta dengan cermat da-
pat mengelakkan. Kemudian Suta berusaha mencapai
pohon untuk mengambil kembali pisau-pisaunya. Sete-
lah melalui beberapa kali salto akhirnya dapat juga ia berada di dekat pohon
tersebut. Pisau yang menancap
di pohon langsung dicabut dan dilemparkan ke arah
lawan. Lungguh dengan sekuat tenaga menangkis se-
rangan yang beruntun itu. Ia melompat ke sana-ke
mari menghindari diri dari pisau-pisau yang dilempar-
kan kawannya yang kini menjadi lawan.
"Ha... ha... ha...! Terus saja berjoget, Lung-
guh...! Pisau-pisau itu memang tak ku arahkan tepat di badanmu. Kalau kau ingin
tahu pisau yang ku
arahkan dengan tepat, macam inilah...!" teriak Suta sambil melempar dua buah
pisau dengan kedua tangannya secara berbareng.
Apa yang diucapkan Suta memang terbukti. Pi-
sau-pisau itu telah berhasil mencapai sasaran dan
langsung menancap dada bagian kiri dan kanan Lung-
guh. Lungguh berteriak sekuat tenaga karena sakit
yang dirasakan tidak terkira. Ia ambruk seketika den-
gan pakaian berlumur darah.
"Su... su... Sutaaaa... kkkau tega ssekali... padaku..." ucap Lungguh dengan
suara serak dan terputus-putus.
"Maafkan aku, Lungguh. Ini semua akibat per-
buatanmu yang telah melampaui batas! Aku...
heeeekk... kkh!" ucapan Suta tak dapat diteruskan lagi karena tanpa diduga sama
sekali, tangan Lungguh ti-ba-tiba melemparkan keris yang masih berada di tan-
gannya dan masuk tepat di bagian jantung Suta.
Suta mengerang menahan rasa sakit yang tak
terhingga. Sambil gemetar tangan kirinya meraba ikat
pinggangnya untuk mencari sesuatu. Ternyata ada se-
buah pisau lagi yang tertinggal di bagian belakang, setelah menyambar pisau
tersebut, Suta pun langsung
melemparnya. Lungguh yang baru saja hendak bangkit
langsung ambruk lagi karena di punggungnya telah
tertancap pisau Suta yang terakhir. Suta tak mampu
lagi berdiri. Tubuhnya ambruk ke tanah tak berkutik
lagi. Sedangkan Lungguh masih berusaha untuk
bangkit walaupun mukanya tampak semakin pucat
akibat semakin banyaknya darah yang keluar. Ru-
panya ia masih punya ambisi untuk hidup.
*** 6 Tak jauh dari tempat itu, tampak serombongan
tukang-tukang pukul dari daerah lain memperhatikan
perkelahian tersebut. Di antara mereka ada pula yang
berkepala botak dan berkumis tebal. Ia berdiri paling depan dan berkali-kali ia
mencegah ketika orang-orang yang di belakangnya ingin mengadakan penyerangan.
"Tunggu! Biarkan mereka selesai dulu!" ucap si Botak yang berpakaian gaya tokoh
Jin dalam film Seribu Satu Malam.
Rupanya si Botak inilah yang menjadi pimpi-
nan, karena semua yang diperintahnya tak ada yang
berani membantah.
Tak lama kemudian si Botak pun melangkah
maju sambil memutar-mutarkan tombaknya. Setelah
tiba di dekat Den Lungguh yang masih mengap-
mengap dan berupaya untuk berdiri merambat di ba-
tang pohon, si Botak menghentikan langkahnya. Ia ter-
senyum melihat keadaan Lungguh yang sudah dalam
keadaan parah. "He... he... he...! Ternyata aku tak perlu kerja keras untuk mendapatkan kepala
si Kunyuk ini! He...
he... he...!" ucap si Botak yang tak henti-hentinya me-milin-milin kumisnya yang
melintang itu. "Tapi... berapa lama lagi gua musti nunggu dia kaku..."! Hmmmh,
lebih baik dengan cara ini saja, hup!" ucapnya lagi dengan keras sambil
melemparkan tubuh yang berada
di tangannya dengan tepat.
Tubuh yang telah tak berdaya itu kini mengge-
lepar dibuatnya dan dalam beberapa detik saja Lung-
guh sudah tak bernyawa lagi. Laki-laki botak yang ber-tampang beringas itu maju
beberapa langkah mende-
kati mayat Lungguh. Setelah ia memeriksa keadaannya
maka ia pun memerintahkan anak buahnya untuk
mengambil mayat tersebut sebagai bukti hasil kerja
mereka. "Hei, yang kuminta bukan cuma orangnya
doang. Tapi berikut gerobaknya. Goblooooook!" bentak si Botak kepada salah
seorang anak buahnya.
"Untuk apa gerobak, Kang?" tanya yang lain-
nya. "Kamu ini pingin hadiah yang besar, apa enggak, sih"! Mana ada orang yang
mau bayar, kalau kita
tidak menunjukkan bukti dari hasil pekerjaan kita.
Dungu kau!" bentak si Botak kembali.
"Aah, si Akang ini. Sudah kerja kita enggak re-
pot, masih juga marah-marah aja!" sahut anak buah yang bertubuh pendek gemuk dan
mukanya jerawatan.
"Hei, muka geradakan! Ayo kerja, jangan ba-
nyak omong. Pokoknya kalau kita mendapat upah
yang besar dari Juragan Wangsa, baru kau boleh ber-
senang-senang. Cinta mu yang nggak kesampaian alias
selalu ditolak perawan, tidak akan terjadi lagi, he...
he... he...!" sahut si Botak sambil mengusap-ngusap kepala orang itu.
"Nyindirr... niii... yeee!" balas si Pendek sambil
nyengir. Kini kembali si Botak mengawasi pekerjaan
anak buahnya yang masih tampak sibuk mencabuti
benda-benda yang masih melekat di tubuh Lungguh
yang kini telah dingin dan kaku. Setelah itu tubuh itu dibungkus dengan kain
yang telah disediakan di dalam
gerobak. "Ayo cepat masukkan ke dalam gerobak!" perintah si Botak kembali.
"Kalau yang satunya ini bagaimana, Kang?"
tanya salah seorang anak buahnya.
"Itu bukan urusan kita. Biarkan saja, nanti
siang pun sudah diurus oleh masyarakat di sekitar si-
ni!" jelas si Botak.
"Jadi dibiarkan saja..?" sela yang lainnya.
"Bawel lu!" bentak si Botak dengan mata melotot, "Ayo berangkat!" perintahnya
kembali. Mendengar perintah tersebut, maka anak buah
yang berjumlah enam orang itu pun tak banyak tanya
lagi. Mereka segera berangkat. Si Botak mengikuti dari belakang dengan penuh
tawa riang. Setibanya di rumah sang majikan, si Botak
langsung lompat dan lari menuju ke pintu lebih dulu.
Berkali-kali menggedor pintu rumah majikannya, tapi
belum juga ada yang buka.
"Gaaaan...! Banguuun, udah siaaaaang!" teriak si Botak dengan suara menggelegar
sambil menggedor
pintu rumah dengan keras sekali.
Dari kerasnya suara teriakan tersebut, akhir-
nya sang majikan terbangun juga. Dia tampak keluar
dari kamarnya dengan kain sarung yang masih dike-
rudungkan. Kemudian membukakan pintu.
"Masuk! Ayo masuklah! Sebentar aku mau ber-
pakaian dulu...." ucap Den Wangsa sambil mengucek-
ngucek matanya. "Oaahm! Oaaaahhhhmmmm...!" berkali-kali ia menguap ketika hendak
masuk ke kamar-
nya. "Dasar Gendut! Dia yang nyuruh, tapi enak-
enakan tidur pules di rumah!" ucap si Pendek.
"Husss! Jangan bawel!" bentak si Botak sambil memukul pundak si Pendek dengan
gagang goloknya.
"Habis kesel sih, Kang!" sahut orang itu kembali.
"Awes, kalau masih bantah terus ku masukan
kau ke dalam gerobak dengan badan terbelah dua!"
ancam Botak dengan suara pelan tepat di dekat telinga orang itu.
"Hiiiyy... merinding deh bulu kudukku menden-
garnya...!" ucap si Pendek kembali.
Entah membaca mantera apa si Wangsa di da-
lam kamarnya, kelihatannya lama sekali dia menyalin
pakaian. Hal ini telah membuat anak buah si Botak
menggerutu. "Bagaimana hasil kerja kalian?" tanya Wangsa setelah mengganti pakaiannya dengan
mentereng walau belum mandi.
"Siapa dulu dong..." Pokoknya kalau tugas dis-
erahkan padaku, pasti beres...!" balas Botak, "Kalau perlu bukti, lihat sendiri
di depan. Mayat itu sekarang berada di dalam gerobak!" ujarnya lagi sambil
menunjuk ke luar.
"Mana... mana... ayo, aku pingin lihat!" sela Wangsa dengan gembira dan langsung
menuju ke luar.
Si Botak segera mengantar Wangsa untuk me-
nunjukkan mayat yang baru dibawanya.
"Bagus... bagus...! Ha... ha... ha...! Tak percuma aku membayar kalian dengan
mahal. Kalian memang
Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-orangku yang baik. Hmmh... bagaimana dalam
menghadapi nya, apakah banyak kesulitan?" tanya
Wangsa kepada si Botak.
"Tidak. Ternyata apa yang kau katakan salah
semua...! Kau bilang dia banyak mempunyai ilmu ini
dan itu... eh nyatanya secuil pun tak mampu menan-
dingi ilmuku," sahut si Botak sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri.
"Ha... ha... ha...! Aku kan bilang begitu karena ku bandingkan dengan apa yang
ku miliki!" sangkal Wangsa yang pintar bersilat lidah.
"Oooo.... begitu?" sahut si Botak dengan penuh bangga. "Tapi bukan berarti aku
tak mampu menghadapi mereka-mereka yang jago dalam dunia persila-
tan...! Tidak sama sekali. Mereka tidak mempunyai ba-
rang seperti ini, sedang aku memilikinya! Apakah kau
juga mampu menangkisnya?" balas Wangsa sambil
mengacungkan pistol ke muka si Botak.
"Wah... wah... jangan Den! Berbahaya... itu.
Den!" sela si Botak dengan geragapan.
"He... he, benar kan"!" sahut Wangsa sambil tertawa.
"Siapa pun tak mampu menangkisnya, Den!"
balas si Botak sekedar menyenangkan hati juragan
buncit itu. "Sudahlah...! Sekarang aku akan tugaskan kau
kembali. Karena masih ada tugas lagi yang harus dis-
elesaikan! Sekarang suruh anak buahmu mengurus
pemakaman Lungguh. Kemudian kita bicara di sini se-
bentar. Cepatlah, Dungkul!" perintah Wangsa kepada si Botak yang ternyata
bernama Dungkul.
Setelah semua anak buahnya dikerahkan un-
tuk mengurus mayat Lungguh, maka Dungkul pun
kembali lagi menghadap juragannya.
Wangsa segera memberikan petunjuk kepada
Dungkul tentang tugas barunya yang harus ia laksa-
nakan sendiri. "Kalau cuma segitu mah, beres Den!" sahut
Dungkul setelah menerima instruksi dari sang maji-
kan. "Nah sekarang kau boleh pergi. Tinggalkan aku seorang diri di sini!" ucap
Wangsa setelah memberikan petunjuk kepada sang algojo.
"Baik Den!" jawab Dungkul singkat. Maka
Dungkul pun melangkahkan kakinya meninggalkan
ruang tengah yang besar, tempat Wangsa sering men-
gadakan musyarah untuk mengatur rencana.
Kini tinggallah Wangsa yang berada di ruang
itu. Ia tampak ceria sekali. Mungkin segala keinginannya sudah sembilan puluh
sembilan persen diperoleh
dan yang satu persen inilah yang masih harus dilak-
sanakan oleh algojonya.
"Hmmm... dengan kematian Lungguh berarti
aku telah menguasai seluruh harta warisan yang ada
di rumah ini. Tak ada lagi yang dapat menghalanginya.
Apalagi kalau si Tirta itu sudah berhasil dicopot lehernya. Aku bakal bebas
tanpa ada gangguan sedikit pun.
Soal harta yang terpendam biar kusingkirkan dulu da-
lam ingatanku, yang penting harta warisan di rumah
ini berikut isinya, termasuk sawah dan ladang, sudah
mutlak berada di tanganku."
Setelah sekian lama mondar-mandir di ruang
itu, Wangsa kemudian menarik sebuah laci kecil yang
berisi uang logam dalam jumlah banyak sekali.
"Aku harus sisihkan uang buat Tirta si Juru
Tulis dungu itu!" gumam Wangsa sambil memasukkan uang logam ringgitan ke dalam
sebuah kantong kecil
yang sudah dia sediakan.
Setelah itu Den Wangsa memanggil salah seo-
rang anak buahnya untuk memanggil Juru Tulis Tirta.
"Cepat kau temui dia. Sore nanti kutunggu ke-
datangannya!" perintah Wangsa kepada orang itu.
"Baik Den," jawab anak buahnya.
"Kenapa kau masih diam?" tanya Wangsa kem-
bali. "Ongkosnya belum. Den...!" jawab orang itu sambil nyengir.
"Masa' setiap ke sana harus pakai ongkos,
sih"!" balas Wangsa sambil melotot.
"Kan jauh. Den...! Pokoknya kalau ke Sana ti-
dak bawa uang, pasti akan kelaparan di jalan."
"Ah... sudahlah. Nih terima! Cepat kau berang-
kat ke sana."
Setelah mendapat ongkos dari sang majikan
maka orang itu langsung melangkah dengan gesit me-
ninggalkan majikannya. "Hmm... kalo nasibku lagi mu-jur, uang segini pun bisa
berubah jadi sepuluh kali li-pat...! Ah, soal ke rumah si Tirta belakangan aja.
Yang penting aku mau main judi dulu. Menang atau kalah
nggak soal!" gumamnya sendirian. Sementara itu langkahnya tampak semakin
dipercepat. Begitu tiba di se-
buah kedai kopi orang itu langsung masuk ke dalam,
rupanya di dalam kedai itu telah disediakan tempat
untuk berjudi. *** 7 Waktu terus melaju dengan cepat, tanpa terasa
malam telah kembali menyelimuti belahan bumi, ter-
masuk pula daerah Babakan tempat kediaman Den
Wangsa. Saat itu Den Wangsa bagai seorang Pamong
Praja saja gayanya. Ruangan tengah telah ditata den-
gan rapi. Meja tulis besar diletakkan di sudut ruangan.
Kursi di belakang meja itu rupanya sudah lama dipe-
san Wangsa kepada seorang tukang, tampaknya me-
gah sekali. Kini Den Wangsa sedang menunggu kedatan-
gan Juru Tulis Tirta. Sejak sore dia duduk di sana
hingga jauh malam, namun orang yang ditunggu be-
lum juga muncul.
"Gila! Kenapa si Tirta ini?" gerutu Wangsa sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Berkali-kali Den Wangsa menguap, entah kare-
na ngantuk atau karena kesal. Yang pasti ia bangkit
sambil menggedor meja. Tapi tiba-tiba Wangsa memba-
talkan niatnya untuk meninggalkan tempat karena
terdengarnya suara orang memberi salam sambil men-
getuk pintu. "Masuuuuuk!" teriak Wangsa dengan nada kes-
al. "Selamat malam. Den...!" ucap tamu yang baru datang itu.
"Dari mana saja kau. Kenapa baru datang"!"
bentak Wangsa. "Dari rumah. Den...!" jawab Tirta singkat.
"Iya... aku tahu kau dari rumah. Tapi kenapa
malam-malam begini baru datang... hah"!"
"Suruhan Aden saja datangnya sudah malam.
Masa' saya musti datang sore...! Aden ini yang bukan-
bukan saja!"
"Jadi baru tadi disampaikan"! Bukan tadi pa-
gi"!"
"Iya... Den!" jawab Tirta dengan terbungkuk-bungkuk.
"Gila!" bentak juragan buncit itu.
"Memangnya kenapa, Den?"
"Ah. Tidak... tidak apa-apa! Sudahlah! Aku me-
nyuruhmu datang untuk memberikan ini! Nah, ini ba-
gianmu! Terimalah imbalan dari jasa baikmu. Kurasa
cukup untuk makan sampai tua, tanpa kau harus ca-
pek-capek lagi membanting tulang."
Wangsa segera menuangkan isi kantong yang
sebelumnya telah diisi uang di atas meja dekat Tirta
duduk. Mata Tirta melotot melihat uang yang begitu
banyak. "Ambillah untukmu semua!" perintah Wangsa.
Tirta mendengar ucapan tersebut langsung me-
raupnya dengan cepat dan memasukkan kembali ke
dalam kantong asalnya.
"Terima kasih Den... Nuhuuuun...!" ucap Tirta sambil membungkuk-bungkuk
kegirangan. "Bagaimana sekarang" Apakah kau masih ingat
akan dosa" Bisakah kau menjawabnya"!"
Mendengar pertanyaan yang bernada sindiran
itu Tirta diam saja. Pikirannya saat ini, bagaimana caranya untuk cepat-cepat
mohon diri dari tempat itu.
Kemudian cepat-cepat ia pulang ke rumah untuk me-
nemui anak istrinya. Sebab baru pertama kali ia men-
dapatkan atau memegang uang sebanyak itu.
"Nah! Sekarang kau boleh pergi." ucap Wangsa setelah melihat Tirta selesai
mengikat kembali uang
yang baru diberikan itu.
Ucapan yang memang sangat ditunggu-tunggu
itu, kontan membuat Tirta bangkit dari kursinya.
"Punten... Den!" ucap Tirta memberi salam dan langsung melangkah ke luar dengan
cepat. Sejak keluar dari rumah itu, Tirta tampak ber-
gembira sekali. Siulannya yang begitu merdu terus terdengar tanpa henti. Hatinya
serasa di awang-awang
dan Tirta kelihatannya gagah sekali. Tapi sayang... ke-gembiraannya hanya
sebentar saja, karena di dalam
perjalanan pulang, tiba-tiba ada seorang laki-laki berkepala botak
menghadangnya. "Hah..."!" teriak Tirta dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar ketika melihat
munculnya sosok
tubuh laki-laki yang menghadangnya.
"Mau ke mana Kang Tirta" He... he... heh!" teriak lelaki yang ternyata si
Dungkul itu. "A... aku... m... mau pulang. S... si... siapa
kau?" balas Tirta dengan suara gagap karena takut sekali melihat tampang orang
yang menghadangnya.
"Kenapa masih gugup, Kang..." Aku kan tak
apa-apa. Aku hanya ingin tanya, boleh kan"! He... he...
he...!" sahut Dungkul sambil tertawa.
"Ini... u... uang setoran,.. A... a... anu, uang setoran pajak!" jawab Tirta
kembali. "Bohong!" bentak Dungkul spontan.
"Su... sungguh, aku tidak bohong!" ucap Tirta mengelak.
"Memangnya aku tidak tahu! Kau jangan coba-
coba membohongi ku, Kunyuk!" bentak Dungkul kem-
bali, "Bawa sini!" perintahnya dengan mata melotot sehingga jantung Tirta terasa
mau copot dibuatnya.
Tirta tampak sudah pucat sekali, seluruh tu-
buhnya basah dengan keringat dingin, tapi walaupun
begitu, ia masih berusaha untuk mempertahankan
uang yang baru ia terima dari Wangsa.
"Jangan coba-coba membantah Tirta...! Kurasa
hidup sebagai Juru Tulis sudah lumayan, kenapa
musti terima yang tidak-tidak...! Berikan saja uang itu
padaku...! Ayo...!"
"Tidak... tidak... jangan!"
"Kenapa" Berikan dari pada celaka!"
"I... ini, u... uuang... pep... pajak yang harus disetor dari Juragan Wangsa...!
Ku mohon jaa... jangan diambil...! Sungguh ku mohon jangan diambil!"
Suara Tirta yang serak memelas tak membuat
Dungkul merasa iba. Si Botak malah menjadi tambah
beringas kelihatannya. Tangannya yang begitu besar
dengan cepat menyambar kantong uang yang berada di
tangan Tirta. Dalam sekejap kantong itu telah berpin-
dah tangan. "Ha... ha... ha...! He... he... heh...! Terima kasih Tirta...! Terima kasih!
Sekarang kau boleh meneruskan perjalananmu kembali...!" ucap Dungkul sambil
memutar-mutar kantung uang di hadapan Tirta.
"Jangan... jangan. Kembalikan padaku cepat.
Kembalikan! Kembalikan...!" jerit Tirta sambil berusaha mengambil uangnya
kembali dari tangan Dungkul.
Berkali-kali Tirta bermaksud merebut, tetapi
tubuh Dungkul yang tinggi besar itu sulit dicapai. Apalagi kantong itu terus ia
mainkan ke kiri ke kanan, ke atas ke bawah, ke depan ke belakang. Tirta tak
ubahnya seperti seekor anak kucing yang sedang diajak
bercanda. Dungkul yang sejak semula sudah mempunyai
niat busuk terhadap Juru Tulis ini, setelah melihat si orang tua kepayahan
langsung menangkapnya. Tubuh
Tirta yang kurus dan kecil terus meronta-ronta karena lehernya terjepit di
ketiak Dungkul. Walaupun ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, tetapi
tak berhasil, karena Dungkul semakin kuat menjepitnya
dan semakin mengerahkan tenaga raksasanya.
"He... he... he...! Percuma saja kau berontak
Kucing Kurus. Tak ada gunanya. He... he... heh!" teriak Dungkul sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
"Hekkkkh... hekkkkkh."
"Ayo... teruus...!"
"Aaaakkkh!"
"Masih mau coba lagi?"
Untuk kali ini tak ada lagi suara yang keluar
dari mulut Tirta. Tubuhnya tampak lemas tak berdaya.
Di samping itu si Dungkul masih tetap memainkan je-
pitan mautnya. "Ayo...! Habiskan tenagamu, orang tua...! Jan-
gan tanggung-tanggung!" ucap Dungkul yang selalu diselingi dengan tertawanya
yang khas. Setelah mengetahui bahwa orang tua yang di ketiaknya sudah tak
berkutik lagi barulah ia melepaskan jepitannya.
"Hmmmh. Sudah mampus...!" gumam Dungkul
ketika memeriksa tubuh Tirta dengan teliti.
Dungkul terdiam sejenak, tak berapa lama ke-
mudian ia melangkah meninggalkan tempat itu, seper-
tinya ingin mencari sesuatu. Sedangkan tubuh Tirta
sementara dibiarkan tergeletak begitu saja.
"Sial. Nggak ada karung di sekitar sini! Kalau
begitu ku lempar di kali saja!" ujar si Dungkul setelah kembali ke tempat
tersebut. Tubuh Tirta yang kurus itu cukup diangkat
dengan sebelah tangan oleh Dungkul.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Dungkul me-
langkah menuju ke tepian kali yang cukup deras air-
nya. Setelah itu tubuh orang tua itu pun dilemparkan-
nya ke dalam air.
Kita tinggalkan dulu masalah si Botak ini, kini
kita intip dulu apa yang dilakukan juragannya.
Pada saat itu sang juragan sedang asyik di
pembaringan sambil menikmati minuman tuak kese-
Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nangannya. Wajahnya sampai saat itu pun tampak
masih ceria. "Hmmm... semua sudah kusingkirkan, mudah-
mudahan orang yang mengetahui rahasiaku pun bisa
disingkirkan oleh si Botak Dungkul. Kalau orang te-
rakhir sudah bisa ku atasi tentu aku sangat bergembi-
ra sekali. Berarti tak ada lagi rintangan bagiku." ucap Wangsa sendirian.
Gelas demi gelas minuman keras itu ditenggak-
nya tanpa berhenti, matanya mulai memerah dan ke-
lakuannya pun mulai berubah. Tertawanya semakin
banyak dan lagaknya macam orang sinting saja, kare-
na pikirannya dapat menerawang ke mana yang ia su-
ka. Kali ini ia tengah membayangkan seorang wanita
yang pernah dicintainya.
"Sari... sayang ku...! Mengapa kau selalu meno-
lak cintaku...! Tega sekali kau ini...! Uu... uhuuu...!"
ucap Wangsa dengan sendu.
Rupanya si Wangsa kali ini sudah mabuk berat.
Bayangkan saja, sebuah guling yang ada di samping-
nya, tak habis-habisnya dibelai bagaikan seorang jeja-ka sedang bercinta dengan
gadis pujaannya.
"Sari... sayang...! Mengapa kau selalu beralasan yang bukan-bukan" Walaupun aku
ini adik iparmu, tetapi kan suamimu kini sudah mati, sayang...! Dia su-
dah ku racuni...! Surya sudah mati! Kini tak ada lagi penghalang sayang... anak-
anakmu pun sudah tak ada
semua. Kau sekarang tak boleh beralasan lagi...! Kau
harus membalas cintaku! Haruuuus... Huu... uuu...!"
Semakin lama Wangsa semakin gawat. Ia me-
nangis dan tertawa sendiri macam orang gila. Guling
yang berada di dalam pelukannya tetap tak dilepaskan, ada kalanya dibelai, ada
kalanya digendong, tapi kadang-kadang dipukul berkali-kali.
"Kau harus mau padaku. Sari! Harus mau ka-
lau tidak mau akan menyesal nanti. Sekarang aku te-
lah menjadi orang kaya. Aku sudah menjadi juragan,
mengerti"! Ayo, jawab..! Jangan diam saja...! Jaaa-
waaaaab! Jangan kau bikin hatiku menjadi semakin
parah. Hmmmh! Sial...! Ternyata kau tetap memban-
del. Rasakan akibatnya, hmmmmh!
Wangsa dengan sekuat tenaga mencekik guling
tersebut kemudian melemparkan sampai ke dekat pin-
tu, setelah itu ia kembali mengambil pundi tuak yang
masih tersisa di atas meja dan langsung meminumnya
tanpa dipindahkan ke dalam gelas lagi.
Sementara itu di ruang tamu, Dungkul telah
menunggu Wangsa sejak tadi. Ia sampai tertidur di
bangku dalam menunggu sang majikannya keluar.
"Gila...! Ngapain sih dia di dalam!" gumam
Dungkul saking kesalnya. "Jangan-jangan dia ketidu-ran...! Hmmmh... mana aku
sudah janji pada anak bu-
ahku semua! Bagaimana nanti kalau mereka pada da-
tang?" Dungkul segera bangkit dari kursinya dan langsung menuju ke kamar Wangsa.
"Hei Juragan, bangun... Gan!" teriak Dungkul sambil menggedor pintu kamar itu.
Setelah berkali-kali digedor tak ada jawaban,
laki-laki botak yang terkenal kurang sabar ini langsung menendang pintu tersebut
hingga terkuak lebar.
"Wah... rupanya dia sudah menggeloso tak in-
gat diri! Gawat deh kalo begini!" teriak Dungkul lagi sambil mengangkat tubuh
Wangsa. Badan Wangsa yang begitu berat dengan mu-
dah diangkat oleh si Botak ini. Begitu keluar dari kamar, Wangsa langsung dibawa
ke belakang untuk dis-
iram dengan air, "Satu-satunya jalan cuma ini yang
bakal bisa menyadarinya!" pikir Dungkul dalam hati.
Akhirnya Wangsa terbangun juga setelah bebe-
rapa kali mukanya kena siraman air.
"Maaf Gan! Cuma ini obatnya buat orang ma-
buk! He... he... he...!" ucap Dungkul yang terus meng-guyur Wangsa, sampai ia
kelabakan. "Auuuf...! Auuuuf...! Auuffff! Cukup...! Cu-
kuuuuup! Awas kau. Nanti kuhajar biar mampus...!
Auuuf!" teriak Wangsa kelagepan.
Dungkul segera menghentikan guyurannya se-
telah melihat sang majikan itu benar-benar telah sa-
dar. Sebenarnya Wangsa dongkol sekali melihat kela-
kuan anak buah nya yang kurang ajar ini, tapi apa bo-
leh buat, orang macam begini memang lagi ia perlu-
kan, di samping itu memang dapat diandalkan.
"Kemudian kau ke depan. Aku mau salin pa-
kaian dulu!" perintah Wangsa dengan kesal.
"He... he... heh...! Baik Gan...!" jawab Dungkul sambil cengengesan.
Tanpa memperdulikan si Dungkul yang masih
nyengir-nyengir bajing, Wangsa dengan pakaian yang
basah kuyup langsung nyelonong ke kamarnya. Mu-
kanya kelihatan asam sekali. Mungkin ia kesal akibat
guyuran air tersebut.
"Dungkuuuuul!" teriak Wangsa dari dalam kamarnya.
"Yaaaa... Gan!" sahut Dungkul. "Ke sini kau!"
teriak Wangsa kembali. "Sebentar...!" balas Dungkul.
Dungkul yang sedang asyik menyikat lahap makanan
di dapur, buru-buru menghabiskan nasinya yang ma-
sih tersisa di piring. Teriakan Wangsa yang berulang
kali terdengar seakan-akan tak dihiraukan lagi, karena paha ayam goreng yang
masih tersisa di piring perlu
dihabiskan, daripada mubazir.
"Hei...!" Apa-apaan kau ini, hah"!" bentak
Wangsa dengan keras.
"Mumpung ada, Gan!" jawab Dungkul dengan
tenang dan tak menoleh sedikit pun walaupun maji-
kannya telah berada di belakangnya.
"Itu semua hidangan untukku, Dungkuuuuul!"
bentak Wangsa dengan kesal sekali, "Kenapa kau bikin ludes semuaaaa?" geramnya.
"Ini semua tak seberapa, kalau dibanding den-
gan ini!" sahut Dungkul sambil melemparkan sekantong uang ke atas meja makan.
Setelah itu ia kembali
menghabiskan makannya dengan lahap.
Wangsa tak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali
menunggu sampai si Bergajul itu selesai makan.
"Eeeeeeghh!... eeeeeghhh!" tahak Dungkul dengan keras setelah menghabiskan sisa
minuman di ge- lasnya. Kemudian ia bangkit dari kursi dan melangkah
mendekat Wangsa yang masih diam bagai patung.
"Yang itu masih utuh, Gan! Periksalah kalau
kau tak percaya!" ujar Dungkul sambil mengusap-
ngusap perutnya yang telah kenyang.
"Benarkah itu"!" tanya Wangsa ingin penjelasan. "Ya!" jawab Dungkul singkat.
"Bagaimana dengan si Juru Tulis Dungu itu"
"Sudah kulepaskan!"
"Apa..."!"
"Sudah kulepaskan! Buat apa kubawa ke sini"
Bukankah Juragan tidak memerintahkan aku untuk
membawanya ke mari...?"
"Dungkuuuul! Kau ini bisa kerja apa tidak sih.
Aduuuuh... Sakit kepalaku dibuatnya.
Tak tahu lagi apa yang harus dikatakan untuk
anak buahnya yang badung ini, sehingga meja yang
penuh dengan piring sisa makan si Botak pun ikut jadi sasaran. Berkali-kali meja
itu dipukulnya.
"Dungkul! Aku memerintahkan kau bukan
hanya merebut uang ini. Tapi kau juga harus membu-
nuh si Tirta itu, mengertiiiii...!" teriak Wangsa sambil melotot kepada Dungkul.
"Ya, aku mengerti!" sahut Dungkul tenang.
"Tetapi, mengapa kau lepaskan dia"!" tanya
Wangsa. "Untuk apa capek-capek kubawa mayatnya ke
sini. Jadi kulepaskan saja ke kali!" sanggah Dungkul sambil tertawa.
"Hah!" Jadi kau sudah laksanakan semua itu"!"
"Dari tadi pun aku mau bilang. Cuma tak ada
kesempatan untuk menjelaskan. He.. he... he... heh"
"Ha... ha... ha... hah! Memang kau anak bua-
hku yang baik. Nih, uang ini ambil saja buatmu. Aku
tak memerlukannya. Mana anak-anak yang lain...?"
teriak Wangsa kegirangan.
"Ada, Gan...! Mereka menunggu di luar!" balas Dungkul.
"Panggil semua anak buahmu, Dungkul. Malam
ini kita bikin pesta besar-besaran! Tuh, lihat. Di kolong tempat tidurku sudah
kusediakan puluhan pundi tuak
istimewa buat kita minum bersama." ujar Wangsa yang langsung berlari ke kamarnya
dan mengeluarkan pundi-pundi tuak dari kolong tempat tidurnya untuk di-
perlihatkan pada Dungkul.
Dungkul dan anak buahnya bergembira di ma-
lam itu, mereka berpesta pora hingga larut malam tan-
pa memperdulikan keadaan dirinya. Padahal sebenar-
nya mereka telah diperalat oleh si Wangsa yang saat
itu sedang asyik sendirian terlentang di atas pemba-
ringan sambil menggoyang-goyangkan kakinya karena
terlalu girang.
T A M A T E-Book by Abu Keisel Pecut Sakti Bajrakirana 4 Dewi Sri Tanjung 8 Perjalanan Yang Berbahaya Bagus Sajiwo 12