Pencarian

Tikam Samurai 16

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 16


"Memang pahit bagi saya, Salma. Saya bertemu dengannya di kota Tokyo. Suatu hari ketika saya baru
masuk kuliah di Universitas, ketika akan pulang, seorang asing menanyakan jalan ke stasiun pada saya"."
Michiko terhenti. Dia mengumpulkan kenangan masa lalunya kembali.
"Saya tak menjawabnya dengan baik. Karena pakaiannya yang kumal, saya memandangnya dengan
pandangan tak bersahabat. Kemudian meninggalkannya dengan hati terpukul tanpa menjawab pertanyaannya
sepatahpun. Saya rasa saat itu dia baru tiba di Kota Tokyo yang ganas itu.
Tiga hari kemudian, dia saya jumpai lagi di sebuah penginapan kecil di daerah Asakusa. Saya tengah
menuju rumah seorang teman untuk belajar, ketika sebuah jeep tentara Amerika berhenti dan menyeret saya
ke atasnya. Kemudian membawa saya ke hotel Asakusa itu.
Di dalam hotel, pemiliknya terpaksa menyuruh seorang penginap untuk keluar, sebab kamar yang lain
penuh, maka kamarnya dipakai dulu untuk keperluan tentara Amerika yang membawa saya.
Saya berusaha minta tolong. Tapi, pemilik hotel itu sendiri, orang Jepang tulen, hanya tersenyum
mendengar permohonan saya. Lelaki yang menempati kamar dimana saya akan diperkosa itu keluar. Dan
dipintu kami bertatapan, dialah Si Bungsu yang bertanya pada saya tiga hari yang lalu di daerah Ginza. Saya tak
bisa berfikir banyak. Sebab Letnan Amerika itu telah menyeret saya masuk. Kemudian pakaian saya mulai dia
tanggalkan. Saya telah bermohon-mohon, agar saya tak dia perkosa. Saya katakan bahwa saya mahasiswi. Tapi
dia tak perduli. Ketika pertahanan saya sudah habis, ketika noda hampir mencemarkan hidup saya, tiba-tiba
pintu terbuka. Dan di pintu, berdiri anak muda itu. Dia menyelamatkan saya dengan membunuh Letnan itu. Kemudian
membunuh seorang lagi Sersan yang datang membantu.
Setelah itu dia lenyap. Berhari-hari saya mencarinya. Saya ingin mengucapkan terimakasih atas
bantuannya, saya ingin meminta maaf atas perlakuan kasar saya tatkala tak menjawab pertanyaannya di Ginza.
Tapi anak muda itu lenyap seperti ditelan bumi.
Akhirnya dia saya temukan lagi dikota kecil Gamagori. Yaitu ketika saya akan menuju Kyoto. Ke tempat
ayah saya. Pertemuan itu nampaknya ditakdirkan Tuhan memberatkan saya. Artinya, saat itu saya kembali harus
menerima budi baiknya. Saya diganggu oleh kawanan bajingan yang menamakan dirinya Kumagaigumi. Saya
hampir lagi diperkosa, ketika tiba-tiba saja, seperti malaikat dari langit, dia membantu saya. Di kota kecil itu
dia lagi-lagi harus menyambung nyawa untuk membela saya. Kumagaigumi bukannya sembarang komplotan.
Mereka mempunyai tukang sembelih dan ahli-ahli samurai.
Michiko berhenti bercerita. Dia menunduk. Seperti mengumpulkan kembali kenangan masa lalunya.
Salma mendengar dengan diam. Menanti lanjutan cerita Michiko dengan diam saja.
Michiko menolehkan pandangannya ke laut. Di laut, malam telah turun. Cahaya lampu kapal, seperti
sejuta kunang-kunang bertebaran. Cahayanya dibiaskan oleh laut yang tenang. Malam itu benar-benar malam
yang romantis. Tapi tidak bagi kedua wanita cantik yang duduk ditepi taman tersebut.
"Tapi?" Michiko melanjutkan lagi ceritanya?" dia kembali memenangkan perkelahian itu. Saya
demikian takut kehilangannya". Saya akhirnya tahu, bahwa saya mencintainya. Saya tak ingin kehilangan
dirinya. Oh, alangkah janggalnya terasa bukan" Namun itulah yang saya rasakan. Kami sampai di Kyoto. Saya
ingin memperkenalkannya dengan ayah saya. Ayah saya menjanjikan suatu malam sukuran dengan
mengundangnya. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 358
Saya begitu bahagia. Ayah tahu, meskipun tak pernah saya ucapkan padanya, bahwa saya mencintai anak
muda itu. Oh, engkau tentu pernah merasakan bahagia seperti yang saya rasakan itu, Salma. Namun, segalanya
lenyap begitu cepat. Begitu memilukan. Begitu menyakitkan.
Saya tak perlu mengenalkan dirinya pada ayah saya. Suatu hari dia datang sendiri ke kuil Shimogamo.
Yaitu kuil dimana ayah saya menjadi pimpinan para pendeta. Dan mereka berhadapan. Dan tahukah engkau
Salma, musuh besar yang dia cari itu, yang telah membunuh keluarganya, yang bernama Saburo Matsuyama
itu, adalah ayah saya. Ayah kandung saya.
Ayahku. Ayahkulah yang telah memperkosa kakaknya. Yang telah membunuh ayah dan ibunya.
Dan".dan mereka lalu bertarung?" Michiko berhenti. Dadanya sangat sesak. Dia menangis terisak. Salma
memegang bahunya. "Sebenarnya dia dengan mudah membunuh ayah. Tapi itu tak dilakukannya. Dia meninggalkan ayah
demikian saja. Yaitu disaat dia hanya tinggal menghentakkan samurainya saja. Tak seorangpun diantara
pendekar-pendekar samurai yang ada di kuil itu yang mampu menolong kalau dia mau membunuh ayah.
Semuanya dia kalahkan. Bahkan enam orang telah dia bunuh ketika mereka berniat menolong ayah. Dan, ayah
bunuh diri dengan harakiri"." Dia menangis.
Tanpa dapat ditahan, Salma juga menitikkan air mata. Dia dapat merasakan, betapa hancurnya hati
Michiko. Michiko menyandarkan kepalanya ke bahu Salma.
"Dan esoknya, ketika pemakaman ayah, dia hadir. Saya menantangnya untuk berkelahi. Dia tetap
berdiam diri. Saya melukainya. Dia tetap diam. Dan berbulan-bulan setelah itu, saya berlatih samurai. Saya
tahu, dia adalah seorang samurai yang tak ada duanya saat ini. Siapa pula orang di Jepang sana yang mampu
mengalahkan ayah, seorang samurai tersohor dari keluarga Matsuyama yang disegani" Dan diatas segalanya
itu, siapa pula yang sanggup melawan Zato Ichi. Pendekar legendaris dari masa lalu yang dipuja itu" Hanya dia.
Ya, hanya Si Bungsu yang sanggup melakukannya.
Dengan Zato Ichi dia memang tak pernah berkelahi secara langsung. Namun pendekar buta itu sendiri
mengakui, bahwa dia takkan menang kalau berkelahi melawan Si Bungsu. Namun saya harus menghadapinya.
Harus! Kalau dia berhak mencari pembunuh ayah dan ibunya sampai ke Jepang, apakah saya tak berhak
mencari pembunuh ayah saya sampai ke Indonesia"
Baginya, atau bagi semua orang, kematian ayah saya barangkali memang sudah begitu. Mati karena
dosanya. Tapi tidak bagi saya, bagi saya kematian ayah saya harus saya tuntut. Kalau tidak, bukankah saya
menjadi anak yang tak membalas guna"
Betapa besarpun dosa yang telah diperbuat ayah kepada orang lain, tapi kepada saya dia sangat sayang.
Dia tetap ayah saya. Dan sebagai seorang anak, kewajiban saya membelanya.
(103) Michiko berhenti bercerita. Berhenti menangis. Kemudian mengangkat wajahnya dari dada Salma.
Menatap Salma dengan pandangan menyelidik.
Lalu bertanya : "Engkau adalah orang yang pernah mencintainya. Apakah saya bersalah kalau saya mencarinya untuk
membalas dendam padanya?"
Salma menggeleng perlahan.
Dan geleng kepalanya membuat Michiko menangis lagi.
"Saya mencintainya, Salma. Saya tahu, engkau juga mencintainya"."
"Tidak, Michiko. Barangkali saya memang benar mencintainya. Tapi cinta saya hanya sebagai sahabat.
Sebagai seorang adik kepada kakak. Saya telah bersuami. Telah punya anak. Merekalah yang saya cintai kini?"
"Ya. Saya tahu. Dan itu pulalah yang saya alami, Salma. Saya memang masih mencintainya. Tapi cinta
saya hanya sebagai bekas seorang kekasih. Sementara cinta yang dahulu telah bertukar dengan dendam.
Saya"saya ingin membunuhnya"."
Salma tak berkata. Dia tak yakin bahwa gadis itu akan membunuh Si Bungsu. namun dia tak
menyatakannya. "Hari sudah malam. Bagaimana kalau kita pulang?"
Michiko tersadar. Perlahan menghapus airmatanya. Kemudian mereka bersiap untuk pulang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 359
Episode IV (Empat) Pergolakan tengah membakar Minangkabau saat Si Bungsu meninggalkan Australia dan menjejakkan
kakinya di Bukittinggi. Situasi amat rawan. Terlebih di kampung-kampung. Saling curiga, saling intai dan saling
tuduh. Bahkan banyak orang yang "hilang malam". Dia sampai di kota itu ketika sore telah turun. Setelah
melewati perjalanan jauh dan panjang: Australia-Jakarta-Padang-Bukittinggi. Dia ingin tidur karena lelah dan
mengantuk. Namun, bertahun waktu telah berlalu sejak kepergiannya dari kota ini dahulu. Alangkah lamanya
terasa. Dalam waktu yang telah berlalu itu, ada rindu menusuk-nusuk hati. Dia bergegas mandi dan berganti
pakaian. Saat berganti pakaian itu dia mendengar suara lengking yang tinggi. Kemudian melemah. Sayup dan
mendayu-dayu. Dia tertegak dengan baju belum terpasang. Suara itu amat dia kenal. Suara peluit kereta api!
Ada rasa aneh menyelusup di hatinya. Rasa rindu dan haru yang membuncah. Dia tersenyum tipis, kendati
matanya berkaca-kaca. "Saya sudah di kampung ?" bisik hatinya sambil meneruskan memakai baju. Hotel dimana dia menginap
adalah Hotel Indonesia. Sebuah hotel terbilang besar di Bukittinggi saat itu. Terletak di kawasan depan Stasiun
Kereta Api. Selesai bertukar pakaian, dia keluar kamar. Mengunci pintu. Kemudian menyerahkan kuncinya
pada pegawai hotel di lobi.
"Kereta dari mana yang masuk sebentar ini?" tanyanya pada pegawai hotel.
"Dari Padangpanjang, Uda akan kemana?"
"Akan ke Payakumbuh?"
"Aha..! Kereta yang baru masuk itu memang akan ke sana. Sebentar lagi berangkat. Tapi lebih baik Uda
bermalam dulu di sini. Kalau keadaan agak aman setiap tiga hari ada kereta ke Payakumbuh.."
"Terimakasih.."
Si Bungsu melangkahkan kakinya ke jalan. Begitu keluar dari pekarangan hotel dan menoleh ke kiri dia
berhadapan dengan Stasiun Kereta Api itu. Di sebelah kanannya ada kedai nasi yang tengah ramai. Beberapa
bendi kelihatan berhenti di depannya. Sebelum bergolak dulu, tiap hari ada puluhan bendi menunggu
penompang yang turun dari kereta api, yang datang dari kota-kota lain. Tapi sejak bergolak jadwal kereta api
jadi tidak menentu. Beberapa kusir tengah menikmati nasi ramas di atas bendi mereka. Lapau nasi itu hanya
dipisahkan oleh jalan dengan Hotel Indonesia itu. Terletak agak di kiri, sekitar lima puluh meter dari hotel.
Perlahan dia mengayunkan langkah ke sana. Dari balik kaca dia memandang ke arah makanan yang seperti
dipamerkan. Ada goreng belut, dendeng, rebus daun ubi dan sambal lado. Perutnya terasa lapar. Dia memasuki
lepau itu. "Jo-a makan pak?" tanya seorang anak muda sambil meletakkan mangkuk berisi air cuci tangan dan
segelas teh di meja di depan Si Bungsu.
"Nasi jo baluik, dendeng. Letakkan daun ubi jo samba lado" katanya. Ah, bahagia terasa. Bisa bicara
dalam bahasa ibunya kembali. Seorang lelaki separoh baya, bertubuh segar yang tengah menyendukkan nasi
bertanya. "Ado patai jo jariang mudo. Nio ngku?"
Petai dan jengkol muda. Ah, sudah berapa lama dia tak mengecap makanan itu"
"Jadih, jariang mudo?" katanya.
Makanan yang dia inginkan itu diletakkan di depannya. Dia mengangguk pada beberapa orang yang
duduk di sampingnya yang juga tengah makan dengan lahap. Kemudian mulai menyuap. Ah, nasi padi baru dan
sayur-sayur yang segar. Dia makan dengan lahap. Bertambah sampai tiga kali. Menghabiskan dua piring sayur
daun ubi. Sepiring sambal lado dan enam buah jengkol muda. Sepiring belut dan dua potong dendeng. Ludes
senua, nah wajahnya berpeluh. Mulutnya terasa disengat pedas yang hebat. Berkali-kali dia menghapus peluh
di wajahnya. Berkali-kali dia mengerang menahan pedas.
"Kopi ciek?" katanya.
Secangkir kopi manis segera diletakkan.
"Kapai ka Pikumbuah, Nak?" tanya seorang lelaki yang duduk di sisinya. Dia menoleh, seorang lelaki tua
yang tengah menghirup kopi kelihatan menatapnya. Dia coba mengingat. Kalau-kalau dia kenal pada orang ini.
Namun dia tak mengenalnya. Dia menggeleng. "Indak Pak?" jawabnya.
Lelaki itu hanya tersenyum. Lalu menghirup kopinya. Selesai membayar makanannya, Si Bungsu
melangkah ke luar. Orang ramai berkumpul di depan stasiun, yaitu mereka yang akan ke Payakumbuh, Baso,
Biaro, Tanjung Alam, Piladang, Padang Tarok. Sambil berjalan dia memandangi orang-orang itu. Berharap
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 360
kalau-kalau ada di antara mereka yang dia kenal. Namun dia telah jadi orang asing. Tak seorangpun yang dia
kenal. Dan tak seorangpun yang mengenalnya.
Akhirnya dia tegak di taman kecil di bawah Jam Gadang. Tak lama setelah dia berdiri di bawahnya jam
itu berdentang tiga kali. Gema Jam Gadang itu menegakkan bulu romanya. Dia tertegak diam.
Memandang ke Gunung Merapi yang bahagian kepundannya berwarna kemerah-merahan. Jauh di sana,
di kaki sebelah kiri Gunung Merapi, dia melihat Gunung Sago. Ada debar di hatinya. Debar yang rindu. Debar
yang sepi. Di kaki gunung itu terletak Situjuh Ladang Laweh.
Dia seperti bisa melihat susunan rumah dan letak mesjid di kaki gunung itu. Dia juga seperti melihat
pandam pekuburan ayah, ibu dan kakaknya! Peluit kereta api mengejutkan dirinya dari lamunan. Di
hadapannya, di bawah sana, di antara ladang jagung dan padi yang menguning di Kampung Tangah sawah, dia
lihat kereta api menuju ke kampungnya, berlari perlahan di atas rel. Asap hitam mengepul dari lokonya yang
berada di depan. Deru mesin dan gemertak rodanya ketika melindas rel baja disampaikan ke telinganya seperti
bunyi seruling anak gembala.
Perlahan dia?".mengambil tempat duduk di sebuah kursi kayu yang dicacakkan ke tanah, tak jauh dari
Jam Gadang. Memandang ke lembah Merapi dan Singgalang. Rasanya seperti bermimpi. Dahulu dimasa
revolusi, di kiri sana tak jauh dari Jalan Syech Bantam, dia pernah minum kopi di sebuah lapau kecil menanti
seorang kurir. Di lapau itu dia membunuh dua orang serdadu Jepang. Setelah serdadu itu membunuh kurir yang
dia nanti. Dari sana dia melarikan diri.
Seorang pedagang di jalan Syech Bantam menyembunyikannya. Masuk ke ruang di bawah rumahnya.
Kemudian keluar ke belakang. Turun ke jalan yang terletak jauh di bawah sana, di dekat Hotel Antokan. Dari
sana, dengan menyelusur rel kereta api, dia berlari ke rumah Datuk Penghulu di Tarok, di mana dia
menompang. Datuk itu seorang kusir bendi, yang juga seorang pejuang bawah tanah. Ketika dia sampai ke
rumah Datuk itu, dia dapati rumah itu telah musnah jadi abu. Api tengah berkobar memakan sisa puingnya.
Kekasihnya yang bernama Mei-mei, seorang gadis Cina, terhantar tak sadar diri. Gadis itu luka parah dan
habis dinista serdadu Jepang. Tidak hanya Mei-mei. Tapi Tek Ani, isteri Datuk itu serta si Upik, anak gadisnya
yang berusia lima belas tahun juga diperkosa serdadu Jepang. Mulai saat itu, dia dan Datuk Penghulu menghajar
Jepang-Jepang di kota ini. Menjebak dan membunuh mereka.
Mei-mei, gadis yang dia temukan di salah satu rumah di Payakumbuh, akhirnya meninggal di loteng
sebuah masjid di Tarok. Meninggal sesaat sebelum mereka mengucapkan ijab kabul. Sesaat sebelum mereka
disahkan menjadi suami isteri.
Dan". setelah itu dia bertualang. Dia ditangkap Jepang. Disiksa di dalam terowongan di bawah kota ini.
Kemudian ketika lepas, dirawat oleh Salma di rumahnya yang terletak di kampung Atas Ngarai. Dari rumah
gadis itulah kemudian dia berangkat ke Pekanbaru. Untuk kemudian terus ke Jepang mencari musuh besarnya,
Saburo Matsuyama. Kini Salma berada di Singapura, menjadi isteri Overste Nurdin. Komandan pasukan di
Pekanbaru yang berasal dari Buluh cina. Sebuah kampung kecil di tepian Sungai Kampar. Azan Asyar yang
berkumandang dari Masjid Raya di Pasar Atas menyadarkan Si Bungsu dari lamunannya. Perlahan dia bangkit,
melemparkan pandangannya sekali lagi ke Merapi. Jauh di sana nampak Gunung Sago diselimuti kabut tipis. Di
sanalah kampung halamannya, Situjuh Ladang Laweh.
Dia melangkah meninggalkan Jam Gadang. Menyongsong suara azan. Lewat di jalan Minangkabau yang
diapit dua deret toko. Di ujung jalan ini ada sebuah bioskop. Agak di depan bioskop itu ada sebuah masjid yang
letaknya berdempetan dengan sederet kedai. Itulah Masjid Raya di Pasar Atas, dari mana azan itu
berkumandang. Masjid itu didirikan oleh kaum Muhammadiyah di kota itu. Suara azan yang tadi dia dengar
sayup-sayup sekali di dekat Jam Gadang, makin lama makin jelas. Dia masuk setelah mengambil uduk. Ikut
sembahyang berjamaah. Makmumnya tak berapa orang, karena situasi pergolakan selalu membuat orang
cemas. Selesai sembahyang dia tak segera pergi. Beberapa saat dia masih duduk. Melihat kanak-kanak
berdatangan. Ada yang membuka Kitab Ama, ada yang membuka Alquran. Mereka mulai mengaji.
Mereka mengaji sore hari, karena sejak bergolak malam hari biasanya semua toko dan kedai di Pasar
Atas itu tutup. Si Bungsu duduk bersandar ke dinding papan yang nampaknya telah rapuh. Mendengarkan
anak-anak itu mengaji. Dia teringat pada masa kanak-kanaknya di kampung dahulu. Dia sama-sama berangkat
dengan teman-temannya mengaji ke sebuah surau kecil di pinggir kampung.
Ketika teman-temannya masuk ke surau, dia dan beberapa temannya yang lain, berkelok ke sebuah
rumah kosong. Di sana mereka berjudi. Main koa, atau remi. Memang judi kecil-kecilan. Bertaruh karet gelang
atau kotak rokok. Bertaruh penganan atau pensil.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 361
Namun lama-lama, judi itu berkembang jadi judi benaran. Persis seperti dirinya yang lama-lama
berkembang jadi dewasa. Dan akhirnya pula, siapa yang tak kenal padanya di bidang judi" Kini dia melihat
kanak-kanak mengaji. Lelaki dan perempuan. Dan membayangkan masa kecilnya yang tak terlalu indah di
kampung dahulu. "Alif di ateh a, alif di bawah i, alif di dapan u : A-I-U"
Suara guru diikuti bersama. Berdengung dan serentak.
"Ba di ateh-ba, Ba di bawah-bi, Ba di depan-bu: Ba, Bi, Bu"
Suara murid-murid seperti koor yang kompak. Seperti sudah hafal akan setiap bunyinya. Si Bungsu
bersandar diam. Beberapa murid mengaji, kanak-kanak berusia sekitar tiga sampai enam tahun, sesekali
melirik padanya. Di antara suara A, I, U, Ba, Bi, Bu, Ta, Ti, Tu beberapa murid berbisik sesamanya. Kemudian
menoleh selintas pada lelaki yang bersandar itu. Karena tolehan-tolehan itu, guru mengajinya juga menoleh.
Guru mengaji itu, seorang gadis cantik berusia sekitar delapan belas tahun, juga melihat orang itu. Gadis itu
segera mengetahui, bahwa orang yang tengah bersandar itu, adalah orang baru. Dia bisa mengatakan hal itu
dengan pasti. Sebab meskipun?" ke masjid ini yang datang bersembahyang adalah pedagang dan musafir yang
singgah, tapi gadis itu mengenal mereka. Dia tahu cara dan lagaknya. Beberapa kali gadis itu menoleh. Muridmuridnya pada berbisik melihat ibu guru mereka beberapa kali mencuri pandang pada lelaki yang bersandar
itu. Si Bungsu sama sekali tak mengetahui, bahwa ada murid mengaji yang mencuri pandang dan berbisik
tentang dirinya. Si Bungsu juga tak tahu, bahwa guru mengaji anak-anak itu juga mencuri pandang padanya.
Dia tak mengetahui semuanya itu, sebab yang ada di masjid itu hanyalah tubuhnya. Sementara
fikirannya tengah menikam jejak masa lalunya di kampung sana. Dia seperti melihat dirinya hadir dalam
kelompok anak-anak mengaji itu. Ketika kanak-kanak itu pulang, beberapa lelaki masuk ke masjid tersebut.
Guru mengaji itu masih duduk di tempatnya tadi. Hanya kini ada tiga orang wanita tua di dekatnya. Guru
mengaji itu melirik ke arahnya persis di saat dia juga memandang pada gadis itu. Gadis itu menunduk dengan
wajah bersemu merah. Beberapa orang gadis kelihatan membuka Alquran. Mereka mengaji. Si Bungsu masih tetap duduk dan
kembali bersandar ke dinding. Dulu dia juga pernah mengaji Alquran. Hanya tak sampai khatam. Tak pernah
sampai tamat. Ketika rombongan sesama mengajinya berbaris berarak diiringi gendang dan rebana,
berpakaian indah-indah keliling kampung dalam acara Khatam Quran, dia berada di bekas surau tempat masa
kanak-kanaknya mengaji dulu. Surau itu telah ditinggal. Majid sudah pindah ke tengah kampung, di sanalah dia
selalu berjudi. Ya, ketika teman-temannya Khatam Quran, dia berjudi. Kadang-kadang siang, kadang-kadang malam.
Dan selalu menang. Dia termenung dalam mesjid itu. Dia tak tahu bahwa gadis yang guru mengaji tadi, beberapa
kali melirik padanya. Dia juga tak tahu, bahwa beberapa di antara gadis-gadis yang mengaji itu ikut melirik.
"Nampaknya dia orang baru?"
Salah seorang guru mengaji itu berbisik pada teman di sebelahnya.
"Baru darimana?" bisik temannya yang lain.
"Entahlah. Tapi yang jelas dia orang baru datang?"
"Tadi katamu dia sudah lama duduk di sana. Sudah sejak engkau mengajar surat Ama?"
"Ya, tadi dia duduk dekat tiang itu?"
Bisik-bisik mereka terputus ketika guru mengaji melecutkan rotan sebesar ibu jari dan panjangnya
setengah meter, ke lantai.
"Simakkan kaji"! Simakkan kaji! Jangan bergunjing ketika temanmu membaca kaji!!" suara rotannya
menimbulkan suara yang pedih menerpa lantai.
Kedua gadis yang berbisik-bisik itu cepat menunjuk ke Alquran. Seperti menyimak kaji yang tengah
dibaca salah seorang teman mereka.
"Halaman berapa kini Emy?" guru mengaji itu bertanya.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Halaman seratus dua belas, Engku?" ujar gadis cantik yang guru mengaji yang ditanya itu. "Halaman
berapa kini Siti?" "Halaman seratus dua belas, Engku?" jawab temannya yang tadi berbisik dengannya. "Hmm" Besok
kalian harus menyalin seluruh ayat di halaman seratus dua belas itu seluruhnya. Bawa ketika mengaji besok.
Halaman berapa yang tengah kau baca itu Rohani?" "Halaman seratus dua puluh, Engku?" jawab gadis yang
tengah membaca Alquran itu. "Nah, kau dengar Emy, Siti" Sudah halaman seratus dua puluh?"
Muka kedua gadis itu merah seperti udang dibakar. Untung hari malam. Sehingga merah muka mereka
tak kentara. Mereka menunduk dalam-dalam. Kemudian membalik halaman Alquran di hadapan mereka
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 362
beberapa lembar. Sehingga akhirnya bertemu halaman yang tengah dibaca oleh teman mereka itu. Gadis cantik
guru mengaji anak-anak itu, bersama teman-temannya yang lain, sudah beberapa kali Khatam Quran.
Artinya, mereka telah lebih dari dua atau tiga kali menamatkan Quran. Mereka masih tetap datang
mengaji kemari karena demikianlah tradisi di kampung mereka ini. Khatam yang pertama biasanya ketika usia
masih muda, hanya sekedar menghafal saja. Makin dewasa, pengajian dilanjutkan dengan mempelajari makna
serta tajuid atau yang lainnya. Tiba-tiba temannya memberi isyarat. Gadis cantik guru mengaji kanak-kanak itu
tak berani mengangkat kepala. Dia malu kalau dimarahi lagi oleh gurunya.
"Dia telah pergi"." bisik temannya yang memberi isyarat itu.
Mendengar itu barulah gadis itu mengangkat kepala. Menoleh ke anak muda yang sejak tadi duduk
bersandar itu. Anak muda itu telah lenyap dari sana. Dia menunduk lagi. Tapi hatinya entah kenapa tiba-tiba
saja jadi resah. Lelaki itu telah pergi. Aneh, dia tak penah mengenal lelaki itu. Bahkan baru kali ini dia melihat
wajahnya. Tapi karena wajahnya yang murung dan matanya yang sayu amat meninggalkan kesan di hatinya.
Ketika pulang dari mesjid, dia coba melirik ke kiri dan ke kanan. Berharap anak muda itu ada di pinggir
jalan yang dilalui. Namun Si Bungsu memang tak terlihat puncak hidungnya. Gadis itu pulang ke rumahnya, di
sebuah toko bertingkat dua di daerah pasar atas itu. Di bahagian bawah tempat ibu dan ayahnya berdagang
emas. Di bahagian atas adalah rumah tempat tinggal mereka.
(104) Sekeluarnya dari masjid itu Si Bungsu menuju ke pasar. Dia menuju Los Galuang, sebuah bangunan
beratap setengah bundar, disana biasanya tempat orang berjualan tembakau atau selimut.
Di sana malam hari, selalu ada orang bersaluang. Kini orang bersaluang selesai asyar. Sebab mereka
harus pulang sebelum malam turun. Dalam negeri bergolak berbahaya keluar malam. Ke sanalah anak muda
itu pergi. Menjelang masuk ke los itu, dia membeli jagung bakar. Jagung muda yang ketika dibakar baunya
sangat menerbitkan selera. Dengan mengunyah jagung bakar itu dia melangkah memasuki Los Galuang yang
hanya mengandalkan cahaya matahari sore.
Tak jauh dari jalan mula masuk, dia melihat kerumunan orang ramai. Sesekali terdengar suara sorak.
Dari tengah lingkaran orang ramai itu terdengar suara seorang wanita tengah berdendang. Sayup-sayup
terdengar bunyi saluang mengiringi dendangnya. Dendang yang terkadang kocak mengundang tawa.
Terkadang mengandung sindir yang membuat orang rasa digelitik. Tapi sebahagian besar dari lagu yang
didendangkan bernada ratapan atas nasib yang malang atau tentang percintaan. Si Bungsu tertegak di luar
kerumunan orang ramai itu. Siang tadi dia mendengar pekik peluit kereta api. Kemudian makan goreng belut
dan dendeng. Mendengar dentang Jam Gadang, memandang ke lembah Merapi-Singgalang dan Gunung Sago.
Kini, dengan jagung bakar di tangan dan mendengar dendang orang bersalung, maka lengkaplah
kenangan masa lalunya terhadap kampung halaman yang bertahun-tahun dia tinggalkan. Dendang wanita di
tengah kerumunan orang ramai itu makin mendayu. Tanpa terasa, dia menyeruak perlahan di antara orangorang yang tegak. Kemudian berada di baris depan sekali. Seorang lelaki tua kelihatan meniup saluang. Seorang
lagi menggesek rebab tua. Seorang perempuan tengah menyanyi sambil menunduk. Di dekatnya seorang anak
perempuan berusia sekitar setahun, kelihatan tidur berkelumun selimut usang. Mereka duduk di atas tikar
pandan yang juga telah usang.
Di tengah lingkaran, ada sebuah lampu yang dibuat dari bekas kaleng sardencis. Sumbunya dari kain
sebesar ibu jari. Api dari pelita minyak tanah itu sesekali bergoyang ke kiri atau ke kanan. Mengikuti hembusan
angin yang lolos dari sela-sela sepuluhan lelaki yang mengelilingi kelompok saluang itu. Cahayanya redup
melawan sinar matahari sore yang masih menerobos ke Los Galuang itu. Di sekitar lampu, terutama di depan
wanita yang tengah berdendang sayu itu, terlihat beberapa keping uang logam dan beberapa lembar uang
kertas. Uang itu dilemparkan oleh beberapa pengunjung yang meminta lagu atau yang merasa puas atas sebuah
lagu. Dia menatap anak perempuan yang tidur bergulung dekat ibunya yang berdendang itu. Ada perasaan
luluh menyelusup di hatinya.
Si perempuan berdendang mencari sesuap nasi untuk anaknya. Lelaki yang menggesek rebab itu
barangkali suaminya. Gadis kecil itu terpaksa mengikuti ayah dan ibunya mencari makan. Barangkali kampung
mereka tidak di sekitar kota Bukittinggi ini. Mungkin datang dari Pariaman atau Padang Panjang. Atau mungkin
mereka dari Payakumbuh. Mereka mendatangi kota demi kota, kampung demi kampung, pasar demi pasar,
untuk berdendang mencari makan. Kehidupan mereka tak lebih daripada mengharap belas kasihan orang yang
mendengar. Bila orang merasa tertarik, maka mereka akan memberikan sedikit uang. Tak jarang uang yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 363
mereka peroleh tak lebih dari hanya membeli sebungkus nasi. Nasi yang sebungkus itu biasanya mereka makan
bersama. Empat orang! Bahkan tak jarang mereka pulang dengan tangan hampa ke tempat mereka menginap. Uang yang
didapat tak cukup meski untuk membeli sebungkus! Kalau hal itu terjadi, mereka biasanya membeli ubi goreng,
atau apa yang bisa mengenyangkan. Mereka memberi anak kecil itu dahulu untuk makan. Bila ada sisanya,
maka perempuan tukang dendang itulah yang mendapat bahagian. Kehidupan mereka hanya lebih baik sedikit
dari kehidupan orang yang terlunta-lunta. Si Bungsu tahu benar akan hal itu. Sebab bukankah ketika masih di
kampung dahulu dia sering mengikuti tukang saluang"
Dia merogoh kantong. Meletakkan tiga lembar uang kertas ke depan perempuan yang tengah
berdendang dengan menunduk itu. Buat sesaat, setelah dia meletakkan uang kertas tersebut, dendang dan
bunyi saluang masih terdengar wajar. Tapi seiring dengan bisik-bisik orang yang berkerumun, saluang dan
dendang perempuan itu tiba-tiba terhenti. Perempuan itu menatap pada uang yang baru diletakkan di
hadapannya. Lelaki tua tukang saluang itu menatap pada uang itu. Suami perempuan itu juga berhenti
menggesek rebabnya. Menatap pada uang kertas baru yang terletak di depan isterinya. Dari uang kertas itu,
maka mereka kemudian beralih pada orang yang memberikan uang itu.
Orang-orang yang mengelilingi kelompok saluang itu juga berusaha melihat kepada lelaki pemberi uang
tersebut. Si Bungsu jadi heran atas sikap orang-orang yang pada memandang padanya. Dia juga menatap pada
orang-orang itu. Pada perempuan yang sebenarnya cantik dan tukang dendang itu.
Pada lelaki tua". peniup saluang dan pada tukang rebab. Akhirnya dia jadi tahu, orang-orang itu merasa
kaget atas jumlah uang yang barusan dia letakkan ke depan perempuan itu. Dia juga menatap pada uang yang
dia letakkan tadi. Ya, uang itu ternyata terlalu banyak bagi ukuran orang-orang yang kini tengah mengelilingi tukang
saluang itu. Uang rupiah yang masih baru benar. Jumlahnya itu yang membuat mereka kaget. Dengan uang itu
ketiga tukang saluang itu, berempat bersama anak perempuan kecil itu, bisa hidup senang-senang selama satu
bulan! Tiba-tiba pula, kini Si Bungsu yang dibuat kaget tatkala menatap wajah perempuan tukang dendang itu.
Perempuan itu kelihatan kurus. Namun siapapun yang melihatnya, pasti mengatakan perempuan itu cantik!
Tapi perempuan itu sendiri nampaknya tak mengenal lelaki yang memberi uang itu. Ada beberapa saat
dipergunakan oleh Si Bungsu untuk memastikan apakah perempuan itu memang perempuan yang dahulu dia
kenal. Tatkala kepastian telah dia peroleh, masih dia perlukan beberapa saat lagi untuk menentramkan hatinya.
Kemudian baru berkata perlahan.
"Nyanyikan dendang parantauan?"
Perempuan itu masih diam. Tukang saluang itu masih diam. Tukang rebab itu masih diam. Yang tak diam
adalah pengunjung yang makin lama makin ramai. Mereka pada berbisik dan berdengung seperti lebah.
"Dendangkanlah?" kata Si Bungsu perlahan.
Hatinya mulai tak sedap melihat situasi yang mencekam ini. Lelaki peniup saluang itu meletakkan
bambu ujung saluang ke bibirnya. Kemudian terdengar suara saluangnya. Mula-mula agak sumbang. Lalu
lancar. Lelaki penggesek rebab itu menegakkan rebab kecilnya. Lalu menggesek rebab mengikuti bunyi salung.
Tak lama setelah itu, terdengar dendang si perempuan. Mendendangkan lagu tentang seorang yang menderita
di kampung halamannya karena hidupnya yang melarat, tanpa harta, tanpa sanak famili yang mengacuhkan.
Kemudian dia pergi merantau. Di rantau, nasib malang ternyata masih mengikutinya. Terlunta-lunta,
sampai akhirnya dengan perjuangan keras dia jadi orang kaya. Lalu pulang ke kampung. Di kampung, dimana
berita tentang kesuksesannya telah tersebar, kepulangannya di sambut dengan meriah. Sanak familinya tibatiba saja jadi banyak. Bahkan dia tak mengenal beberapa orang yang hari itu mengaku jadi familinya. Namun
karena dia baru pulang, dan membawa sedikit harta, maka dia menerima kunjungan sanak familinya dengan
hati senang. Dia memberi mereka oleh-oleh. Tak lama, hasil pencahariannya di rantau pun habis. Ketika tiba-tiba dia
jatuh sakit, tak seorangpun diantara sanak familinya atau yang kemarin mengaku sebagai sanak familinya yang
datang menjenguk. Dan akhirnya, dengan kekerasan hatinya saja, meski dalam keadaan sakit, dia kembali pergi
merantau. Tuhan juga yang mentakdirkan dia kembali sukses di rantau. Namun dia telah bersumpah untuk tak
kembali lagi ke kampung halamannya.
Syair lagu "Dendang Parantauan" ini terdengar terlalu mengada-ada. Bombastic dan klise. Sesuatu yang
banyak terdapat dalam film India. Tujuannya hanya satu, menguras air mata pendengar. Terutama kaum ibu.
Namun demikian, lagu itu tetap populer. Biasanya para pengunjung yang datang mendengarkan lagu saluang
itu juga ikut terharu. Dan tanpa setahu mereka yang tengah hanyut dalam emosi bersama dendang perantauan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 364
itu, ketika lagu itu berakhir, mereka tiba-tiba tak lagi melihat orang yang tadi meminta lagu itu. Peniup saluang
itu berhenti. Demikian pula penggesek rebab.
Mereka mencari di antara orang-orang yang duduk bersila di depan mereka. Di antara orang-orang yang
tegak berkerumun. Tapi lelaki muda yang tadi memberikan uang kertas baru itu tak kelihatan. Dia telah pergi
entah kemana. Orang-orang lainpun tiba-tiba teringat lagi pada lelaki itu. Mereka saling pandang sesamanya.
Berharap melihat lelaki itu di antara mereka. Namun Si Bungsu memang telah pergi. Dia tak pergi jauh.
Tadi, ketika Dendang Perantauan itu tengah mendayu-dayu, di antara orang yang makin mendesak ke
depan untuk mendengarkan dan melihat perempuan cantik tukang dendang itu, Si Bungsu perlahan menggeser
tegak ke belakang. Kini anak muda itu sebenarnya berada tak jauh dari tempat tukang saluang itu. Dia tegak di
tempat yang samar-samar. Menjelang malam turun mereka usai. Orang-orang yang mendengarkan sudah
pulang. Hanya tinggal dua tiga orang saja.
"Magrib akan turun, kita pulang?" kata lelaki yang menggesek rebab.
"Ya, sebaiknya kita cepat pulang?" ujar yang perempuan sambil membetulkan selimut anaknya. Lelaki
tua peniup saluang membungkus saluangnya dengan kain. Penggesek rebab itu juga membungkus rebabnya
dengan kain baik-baik. Yang perempuan mengumpulkan uang yang di depannya. Tangannya terhenti lagi
ketika memegang uang baru yang tadi diletakkan lelaki aneh yang meminta lagu "Dendang Parantauan" itu.
Tangannya terhenti tatkala mendengar sebuah suara menggeram.
"Uang itu uang palsu"."
Perempuan itu, suaminya yang menggesek rebab, dan lelaki tua peniup saluang tadi kaget dan menatap
pada orang yang berkata tersebut. Yang berkata ternyata seorang lelaki bertubuh besar yang sejak tadi duduk
di baris depan ketika melihat mereka bersalung.
"Ya. Uang itu palsu. Berikan pada saya?" katanya mengulurkan tangan.
Namun perempuan itu memegang uang tersebut erat-erat.
"Meskipun uang itu uang palsu, kami akan menyimpannya. Karena uang itu pemberian orang pada
kami?" suami perempuan itu menjawab.
Terdengar tawa bernada tak sedap dari mulut lelaki besar itu. Dua temannya yang duduk di kiri
kanannya juga tertawa bergumam.
"Engkau akan ditangkap dan dihukum masuk bui, buyung. Bukankah pada lembaran uang dituliskan,
barangsiapa meniru, mengedarkan atau menyimpan uang palsu akan ditangkap dan dihukum" Nah, berikan
saja uang itu pada saya. Saya intelijen?"
Lelaki besar itu tegak sehabis berkata demikian. Kedua temannya juga ikut tegak dan memang kiri kanan
dengan tangan meraba pinggang. Ada tiga atau empat lelaki lagi di sana. Tadi mereka juga ikut tertarik
mendengar uang itu uang palsu. Ada yang makin mendekatkan tegaknya. Namun begitu mendengar kata-kata
"tangkap" dan "intelijen" dari mulut lelaki besar itu, mereka segera menjauh. Berlalu dari Los Galuang itu cepatcepat. Seperti takut akan terbawa-bawa dan ditangkap.
Perempuan tukang dendang itu pucat. Dalam suasana bergolak sekarang "intelijen" dan "tangkap"
merupakan dua kalimat yang teramat ditakuti. Namun lelaki tua peniup saluang itu tak yakin bahwa lelaki
besar itu adalah benar-benar intelijen.
Dari tampangnya dan tampang kedua temannya yang tegak itu, tak sedikitpun menggambarkan mereka
adalah alat negara. Paling-paling mereka hanya tukang peras. Mencatut nama intelijen untuk memeras orang
lain. "Saya harap sanak tak mengganggu kami. Kami akan pulang?" ujar lelaki itu perlahan. Si perempuan
memangku anaknya. Memasukkan uang ke sela kutangnya. Mereka lalu tegak. Bersiap untuk segera
meninggalkan tempat itu,"Serahkan uang itu pada saya!!" lelaki besar itu membentak.
Namun ketiga orang tukang saluang itu tak mau melayani ucapannya. Mereka berjalan menyamping.
Pergi ke arah lain. Kedua orang teman si tinggi besar mencegat mereka. Di tangan mereka tergenggam pisau
belati. Namun kedua lelaki pemain saluang itu bukan pula lelaki yang tak berisi. Mereka segera
mempertahankan diri. Yang muda menghantam pergelangan tangan lelaki yang di dekatnya dengan sebuah
tendangan. Tangan lelaki itu berhasil dia tendang dengan cueknya. Namun tendangannya tak cukup kuat untuk
melemparkan pisau lelaki itu dari pegangan lelaki tersebut.
Mereka berdua terlibat dalam perkelahian terbuka. Peniup saluang yang tua itu juga mempertahankan
diri dengan menendang ke arah kerampang orang yang mengancamnya dengan pisau. Lelaki berpisau itu
terpekik dan mundur. Namun dia maju lagi. Saat itu tiba-tiba lampu togok yang masih menyala dan terletak di
lantai padam ditiup orang. Cahaya matahari senja tak cukup masuk menerobos ke dalam los itu. Menyebabkan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 365
los itu mulai agak gelap. Hanya beberapa saat setelah lampu itu padam, perempuan pedendang itu terdengar
memekik. Terdengar suara seperti orang bergumul.
Suaminya terdengar memanggil-manggil. Perempuan itu seperti disekap mulutnya. Kemudian terdengar
suara ada yang jatuh. Lalu suara anak menangis. Perempuan itu memburu anaknya yang jatuh dan menangis.
Lelaki tua peniup saluang kelihatan tersandar dengan bahu luka. Sementara lelaki penggesek rebab tertegak
diam. Lelaki bertubuh besar itu juga tertegak. Mereka semua menatap ke arah pelita. Dekat pelita itu jongkok
seorang lelaki. Kelompok saluang itu segera mengenali lelaki itu sebagai orang yang tadi memberikan uang
yang kini jadi rebutan itu. Lelaki itu bangkit dan menatap pada lelaki tinggi besar itu.
"Kenapa engkau mengganggu mereka?" suaranya terdengar perlahan.
Lelaki besar itu tersenyum. Senyumnya lebih tepat disebut seringai.
"Engkau mengedarkan uang palsu, buyung. Saya akan menangkapmu?" katanya menggertak.
"Tuan dari instansi mana?"
"Saya intelijen?"
"Intelijen darimana?"
"Jangan banyak tanya kau! Di sini orang banyak tanya banyak pula celakanya." "Intelijen tak biasanya
menyombongkan diri. Tak pula mau menganiaya rakyat kecil. Kalau tuan benar seorang intelijen, maka tuan
adalah intelijen keparat?"
"Ee..bacirik muncuang ang mah! Iko nan kalamak dek waaang!" ujar si tinggi besar menggeram, seraya
menendang menggebu-gebu. Lelaki itu, yang tak lain dari Si Bungsu, tak berniat melayani orang ini. Dia baru tiba di kampungnya.
Tidak pada tempatnya harus berkelahi di hari pertama dia menjejakkan kakinya di kampungnya ini. Dia hanya
mengelak. "Kalau tuan bisa memperlihatkan tanda pengenal bahwa tuan memang seorang intelijen, dan kalau
benar uang itu palsu, saya akan serahkan uang itu beberapa lembar lagi,"." ujar Si Bungsu sambil tegak
beberapa depa dari lelaki yang mengaku intelijen itu.
"Saya akan memperlihatkan padamu tanda pengenal yang asli, buyung?"
Sehabis berkata, dia memberi isyarat pada kedua temannya. Kedua temannya yang masih memegang
pisau segera mengepung Si Bungsu. Lelaki tinggi besar itu sendiri mencabut pula pisau dari pinggangnya.
Mereka mengepung makin ketat. Si Bungsu mundur. Sampai akhirnya punggungnya tersandar ke dinding Los
Galuang itu. "Nah, serahkan semua uangmu, buyung. Atau kau tak sempat lagi bernafas?" ujar lelaki besar itu
mengancam, sambil memainkan pisaunya di hadapan hidung Si Bungsu. "Intelijen biasanya memakai pistol.
Tak memakai pisau belati seperti tuan. Yang memakai belati hanya tukang bantai atau kaum penyamun?" ujar
Si Bungsu tenang. Muka ketiga orang itu jadi merah padam kena sindir.
(105) "Tak peduli apa pekerjaan kami.Yang jelas serahkan uangmu..!"
"Hm, akhirnya terbukti bahwa kalian hanya ingin merampok, bukan?" Lelaki besar itu jadi berang. Dia
memberi isyarat dan kedua anak buahnya segera maju. Namun kaki Si Bungsu bergerak cepat sekali. Lelaki
didepannya menyangka bahwa Si Bungsu akan menendang tangannya, maka dia menghadapkan mata pisaunya
kebawah. Berharap kaki Si Bungsu akan menendang ujung pisau yang runcing itu.
Namun dia salah kira, Si Bungsu ternyata menendang tempurung lututnya. Demikian dan telaknya
tendangan itu, kaki lelaki itu lemas dan tempurungnya bergeser. Tegaknya jadi goyah. Tapi dia coba untuk
melangkah, namun kakinya terlalu sakit. Dia jatuh berlutut dengan mengeluh, jatuhnya kedepan. Hingga
kepalanya sangat dekat dengan kaki Si Bungsu. Kalau saja Si Bungsu mau, dengan mudah dia bisa menendang
pelipis lelaki itu. Namun dia tak berniat menjatuhkan tangan jahat. Lelaki yang satu lagi, yang menyerang dia dari sebelah
kanannya segera dinanti dengan sebuah tinju.Tinju itu mendarat di hidungnya, lelaki itu terdongak. Untuk
sesaat seperti ada sejuta kunang-kunang dimatanya. Sebelum dia sadar sepenuhnya apa yang terjadi, sebuah
tendangan mendarat diperutnya.Tubuhnya berlipat dan jatuh menerpa lelaki besar yang tadi memberikan
komando! Dalam gebrakan yang pendek kedua lelaki itu dilumpuhkan.
"Oooo..pandeka waang rupanya,ya" Hmm..Boleh, boleh! Mari saya beri waang pelajaran. Waang akan
selalu ingat pelajaran dari Datuak Hitam"."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 366
Tangan kirinya mencabut sebuah belati yang sebuah lagi. Kini tangan kiri dan kanan Datuk Hitam
memegang belati berkilat. Lelaki tua peniup saluang dan suami pedendang itu jadi kaget mendengar lelaki
besar itu menyebut namanya, Datuak Hitam! Siapa yang tak kenal dengan nama itu" Seorang begal berhati
kejam. Seorang kepala rampok dan kepala copet yang baru pulang dari Betawi. Kini di Minangkabau dia
mengepalai puluhan pencopet dan perampok. Markasnya tak diketahui dengan pasti. Entah di Padang atau
Bukititnggi, entah di Padang Panjang. Namun dalam aksi-aksi pencopetan, perampokan, baik ditoko atau rumah
penduduk bahkan pembunuhan, selalu dikaitkan dengan namanya!
Dia memang terkenal amat Bagak, amat kejam dan amat pendekar. Kabarnya dia di Betawi membuka
sasaran silat. Di Betawi sana dia juga mengepalai puluhan garong, Datuk Hitam siapa yang tak kenal namanya"
Mendengar namanya saja sudah bisa membuat orang terkencing-kencing.
Kini, datuk yang terkenal itu berdiri dihadapan Si Bungsu memegang dua bilah belati. Sebuah serangan
dilakukannya dan Si Bungsu menunduk, namun Datuk itu seperti bisa membaca gerakannya. Begitu menunduk
sebuah tendangan menanti. Hampir saja dagu Si Bungsu hancur kena tendangan kakinya yang besar.
Masih untung anak muda itu bisa mengelak cepat dengan menjatuhkan dirinya ke kanan. Dia berguling
dilantai los galuang itu. Namun Datuk itu memburunya dengan injakan-injakan yang kuat, membuat Si Bungsu
menggelindingkan badannya jauh-jauh. "Hm..Boleh juga?"ujar si datuk memuji.
Anak muda itu bergulingan dilantai dengan cepat. Itu membuat nya kagum. Kini mereka telah tegak
berhadapan lagi. Si datuk menyerang dengan ayunan tangan kanannya. Si Bungsu mundur, si datuk menyepak,
Si Bungsu mundur lagi, dan akhirnya dia terpepet kedinding. "Nah, bergerak kemana lagi kau buyung, serahkan
saja uang mu, he..he?"ujar datuk itu.
Si Bungsu tersenyum melihat si datuk memainkan belatinya dengan bersilang di depannya. Bagaimana
dia harus menghajar lelaki ini" Dia tak ingin membunuh. Bukankah dia telah kembali berada di Minangkabau.
Kenapa dia harus membunuh orang kampungnya sendiri" Terasa tak sedap dihati, namun si datuk itu makin
mendesaknya. "Hmm, tak mau" Baiklah.Saya akan ambil uangmu setelah perutmu terbusai?"
Sehabis berkata begitu kedua pisaunya secapat kilat menghujam. Si Bungsu menjatuhkan dirinya selurus
dinding. Begitu kakinya mencecah lantai, kaki kananya terangkat. Menghantam kerampang datuk itu dengan
telak. Tubuh datuk itu terangkat dari lantai sejari. Kemudian dengan mata mendelik jatuh terlutut kelantai.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Onde, maaak. onde-onde den waang gili. eh waang sipak. Aduh maak...!"
Datuk itu merintih-rintih, kedua pisaunya lepas, kini tangan nya memegang onde-onde yang dia sebutkan
itu.Yang sakitnya bukan main, yang mencucuk ke ulu hati. Menghentak ke benak kecil. Dalam keadaan begitulah
dia ditinggalkan oleh Si Bungsu dan rombongan tukang saluang. Luka peniup salung itu tak begitu parah.
Mereka menuruni janjang ampek puluah, tak jauh dari los galuang itu. Tak jauh dari janjang ampek
puluah itu mereka memasuki rumah yang berdinding tadia, dinding bambu yang dianyam. Dan beratap seng
yang sudah merah dimakan usia.
"Masuklah, disinilah kami menompang tinggal?"ujar lelaki penggesek rebab itu.
Perempuan tukang dendang itu bergegas masuk, menyiapkan air hangat dan kopi. Kemudian mereka
duduk minum kopi.Perempuan itu juga menyertai ketiga lelaki itu minum kopi. Dua orang anak-anak tidur
beralaskan tikar pandan kasar berselimut selimut lusuh.
"Itu anak kami.."ujar si penggesek rebab.
Beberapa kali dia melirik istri penggesek rebab itu.
"Maafkan saya. Saya rasanya kenal dengan istri sanak?"ujarnya sambil menatap pada istri tukang rebab
itu. Perempuan yang ditatap itu heran. Dia mengangkat kepala. Menatap pada lelaki yang didepannya itu.
Menatap lama-lama, tapi dia tetap tak mengenalnya.
"Ya, saya dari sana?" kata Si Bungsu perlahan.
Sementara itu isterinya yang tengah menatap pada Si Bungsu, tiba-tiba jadi pucat.
"Uda", uda Bungsu?"" katanya seperti bermimpi.
"Ya. Sayalah ini, Reno?" jawab Si Bungsu.
Perempuan tukang dendang itu, yang tak lain dari Reno Bulan yang pernah bertunangan dengan Si
Bungsu ketika remaja, tiba-tiba menangis. Kedua lelaki yang ada di sana hanya menatap tak mengerti.
"Dimana ayah dan ibumu, Reno?" tanya Si Bungsu perlahan.
Sesaat Reno masih menangis, yang menjawab adalah suaminya.
"Amak dan abak telah meninggal. Sudah enam tahun yang lalu."
"Inalilahi wainnailahi rojiun?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 367
"Saudara kenal dengan beliau?"
"Saya masih terhitung kemenakan oleh ayahnya?" jawab Si Bungsu sambil menatap pada suami
perempuan itu. "Sudah berapa lama sanak mencari nafkah dengan bersaluang ini?"
Lelaki itu menatap pada ayahnya yang meniup saluang.
"Sudah empat tahun. Kami tak bersekolah, tak punya sawah atau ladang. Saya baru enam tahun menikah
dengan Reno. Yaitu setelah suaminya yang pertama meninggal dalam suatu kecelakaan?" Si Bungsu tertunduk.
Masa lalunya saat dia remaja seperti berlarian datang membayang. Ke masa dia dipertunangkan dengan Reno.
Gadis tercantik di Situjuh Ladang Laweh. Dia tak tahu, apakah dia mencintai Reno waktu itu atau tidak. Dia juga
tak perduli, apakah Reno mencintainya atau juga tidak. Waktu itu dia terlalu sibuk berjudi ke mana-mana, tak
sempat memikirkan soal cinta atau soal pertunangan.
Dia sibuk dengan judi yang telah mencandu. Namun jauh di lubuk hatinya ketika itu, dia merasa bangga
juga bertunangan dengan Reno Bulan. Betapa takkan bangga, Reno gadis paling cantik di kampungnya itu
merupakan pujaan setiap anak muda. Ada pedagang dan saudagar dari Payakumbuh datang melamarnya
dengan membawa uang dan emas dalam jumlah banyak sekali. Tapi Reno menolak.
Ketika mereka dipertunangkan, kampung itu jadi gempar. Gempar bukan karena mereka tak sebanding.
Betapa mereka takkan sebanding, Reno gadis tercantik di seluruh desa yang berada di kaki Gunung Sago. Gadis
alim dan digelari puti saking cantiknya. Sementara Si Bungsu, kendati bermata sayu "kata orang tanda-tanda
mati muda" namun gagah dan semampai. Pasangan yang membuat banyak orang mendecak kagum.
Namun kegemparan dipicu oleh perangai Si Bungsu. Pejudi Allahurobbi, tak pernah Katam Alquran, dan
tak pernah menjejak masjid untuk Jumat, Subuh atau Isa. Preman tuak yang dibenci kaum ibu di mana-mana,
preman tapi tak tahu silat selangkahpun. Itulah sumbu kegemparan saat mereka dipertunangkan. Perbedaan
mereka bak badak jo tukak. Reno adalah bedak yang harum semerbak, Si Bungsu adalah tukak yang membuat
orang muntah kayak. Sebenarnya sudah berkali-kali pihak keluarga Reno meminta agar calon mantu mereka
itu merobah perangainya. Permintaan itu tentu saja disampaikan lewat ayah dan ibu Si Bungsu. Ayah dan
ibunya sendiri telah berusaha keras agar anak mereka jadi orang. Tapi Si Bungsu tak perduli. Bahkan dia tetap
tak perduli ketika akhirnya, setelah semua usaha menyadarkannya jadi gagal, keluarga Reno datang
mengembalikan tanda pertunangan. Dia benar-benar tak perduli. Malah dia melemparkan cincin pertunangan
yang dia pakai pada perempuan separoh baya yang datang berunding ke rumahnya.
Perbuatan yang mendatangkan aib dan murka ayahnya. Itulah semua kisah tragedi itu. Betapa dia takkan
kenal pada perempuan di hadapannya ini" Kini perempuan yang bernama Reno Bulan itu menunduk,
menangis. Tubuhnya kurus tak terurus. Namun bayangan kecantikannya masih jelas. Itulah salah satu sebab
kenapa orang banyak datang melihat bila mereka main saluang. Orang ingin menatap wajahnya yang lembut
dan matanya yang indah. Siapa sangka, gadis cantik bunga kampungnya dulu itu akhirnya akan jadi pendendang saluang. Yang
hidup dengan menjual suara disepanjang malam yang dingin dan lembab. Yang mencari nafkah dari belas
kasihan orang banyak. Namun itu juga suatu perjuangan hidup. Mereka masih mau berusaha, tidak sekedar
menampungkan tangan minta sedekah. Mereka juga pedagang. Meski yang diperdagangkan adalah suara.
"Kata orang".Uda telah meninggal di Pekanbaru"."
Si Bungsu dikagetkan oleh suara Reno. Dia mengangkat kepala.
"Meninggal?" "Ya. Banyak orang berkata begitu. Berita itu dibawa oleh panggaleh dari Pekanbaru. Uda
ikut bergerilya di sana. Sampai akhirnya tertembak dan"meninggal di sebuah kampung bernama Buluh Cina?"
Ya, itulah cerita yang didengar oleh Reno ketika masih gadis. Semula dia sangat sedih ketika diberitahu
orang tuanya bahwa pertunangannya dengan si pejudi telah diputuskan. Dia lalu dicarikan calon suami.
Seorang kaya dan masih ada pertalian darah dengan keluarganya. Namun gadis cantik itu menolak. Dia
mencintai Si Bungsu, teman sesama mengajinya itu. Mereka memang tak pernah bicara soal cinta. Namun
beberapa kali bertemu, di surau tempat mengaji, di pasar atau di jalan, mereka sempat saling beradu pandang.
Saling mengerling dan bertukar senyum. Itu sangat membahagiakannya. Dia tak perduli Si Bungsu itu pejudi.
Ketika huru-hara selama pendudukan Jepang berlangsung, dia dan keluarganya mengungsi ke Painan.
Tempat yang jauh dari jangkauan balatentara Jepang. Di sana dia selalu berharap untuk dapat bertemu dengan
Si Bungsu. Dia ingin mengatakan pada anak muda itu, bahwa dia mencintainya. Bahwa dia akan tetap
menantinya. Dia yakin anak muda itu juga mencintainya. Meski Si Bungsu tak pernah berkata begitu, tapi hati
perempuannya yang paling dalam mengatakan bahwa anak muda itu juga menaruh rasa suka padanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 368
Bertahun-tahun lewat, dia telah dibawa pindah kemana-mana. Dia tetap menolak untuk dinikahkan
dengan lelaki lain. Dia tak mengatakan pada orang tuanya alasan penolakannya. Pokoknya dia menolak. Sampai
suatu hari dia ditanya oleh ibunya.
"Engkau masih menanti Si Bungsu, Reno?"
Reno kaget, dia tatap ibunya. Perempuan tua itu juga menatapnya. Ibu selamanya adalah orang yang
paling dekat dan paling mengerti akan isi hati anaknya. Ibu selamanya adalah perempuan yang penuh kasih
sayang terhadap anak-anaknya. Reno menangis dan memeluk ibunya yang tua.
"Maafkan Reno, Mak?" katanya lirih.
"Katakanlah. Apakah engkau mencintainya, dan masih menantinya?"
Lama sunyi, sampai akhirnya Reno mengangguk dan menangis dalam pelukan amaknya. Ya, kemana lagi
dia harus mengadu. Si ibu berlinang air matanya. Sejak saat itu si ibu berusaha keras mencari kabar tentang Si
Bungsu. "Ke ujung langit pun dia, saya akan mencarinya. Saya akan melamarnya kembali untuk Reno?" ujar si
ibu suatu malam, saat dia bertengkar lagi dengan suaminya.
"Membuat malu! Bangsat itu penjudi! Dahulu pejudi itu telah memutuskan hubungannya dengan
melemparkan cincin pertunangannya bukan" Apakah anakmu tak laku, sehingga tak ada lelaki yang mau jadi
suaminya" Reno cukup mengangguk saja, maka sepuluh lelaki kaya atau yang berpangkat akan datang
melamarnya! Katakan begitu pada anakmu yang gila itu! Pada gadis tuamu itu! Apakah dia tetap takkan berlaki
sampai tua, sampai jadi nenek-nenek. Apakah dia ingin marando tagang?" sergah suaminya dengan berang.
Tapi isterinya juga jadi naiak suga.
"Tuan lelaki busuk! Hanya memikirkan diri Tuan saja. Tuan tak pernah memikirkan bagaimana hati anak
Tuan. Biar dia kawin dengan rampok sekalipun, asal dia mencintainya dan bahagia"!"
"Kalian sama-sama gila!"
Reno yang mendengarkan pertengkaran itu hanya menangis di kamarnya. Lalu," suatu hari datanglah
kabar itu. Kabar tentang kematian Si Bungsu di Desa Buluhcina. Sebuah desa 25 kilometer dari kota Pekanbaru.
Reno merasa dirinya runtuh mendengar berita kematian itu. "Tak mungkin. Tak mungkin?" desahnya berkalikali.
Berbulan-bulan dia tetap tak mempercayai berita itu. Namun itulah berita terakhir yang didengarnya
tentang lelaki yang dia cintai itu. Dan akhirnya, dia menyerah pada kehendak kedua orang tuanya. Terutama
kehendak ayahnya. Agar dia segera menikah. Dia lalu menikah. Meski dalam usia yang sudah sangat terlambat
menurut ukuran saat itu. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya. Namun hanya beberapa tahun.
Pedagang itu dirampok. Tokonya dibakar. Hartanya ludes. Dan suaminya sendiri mati dalam suatu kecelakaan.
Reno yang telah kematian ayah dan ibu, jadi hilang kemudi.
Untunglah ada seorang lelaki, pemain rabab yang ikut kelompok saluang yang menikahinya. Dia tak
punya pilihan. Makanya dia menerima dikawini lelaki itu. Daripada hidup dalam godaan. Daripada sesat.
Begitulah sejarahnya. Dan kini, di hadapannya, duduk lelaki yang pernah dia nanti bertahun-tahun. Lelaki yang
dicintainya sepenuh hati. Kalau malam tadi dia tak mengenal Si Bungsu, itu memang bukan salahnya. Anak
muda itu kelihatan terlalu gagah dengan tubuh berisi. Lagipula mana berani Reno menatap lelaki lama-lama.
Karena dia tahu terlalu banyak lelaki usil yang selalu berdatangan ke tempat mereka bersalung. Tak
perduli dia telah bersuami, dan suaminya ada pula di dekatnya! Kalaupun mungkin ada hatinya berdetak,
namun bagaimana dia akan meyakini bahwa lelaki itu adalah Si Bungsu" Yang telah dikatakan meninggal dunia.
Dia tak mau ditipu oleh mata. Dia tak mau ditipu oleh harapan yang telah punah.
"Apakah engkau tak pernah pulang ke kampung, Reno?" Si Bungsu bertanya perlahan. Dia ingin sekali
mendengar cerita tentang kampung halamannya. Tentang Situjuh Ladang Laweh. Reno menggeleng.
"Sudah lama sekali saya tak ke sana. Sudah berbilang tahun. Apa yang harus saya jenguk ke sana" Tak
ada lagi ayah dan ibu, tidak juga sanak tak ada famili. Kalaupun ada famili jauh, famili sesuku, mereka takkan
mengacuhkan karena kami miskin. Sudah demikian adat di kampung kita. Orang yang dipandang dan didatangi,
bila pulang dari rantau, adalah orang-orang yang pulang membawa harta. Orang-orang yang berhasil di
perantauan?" Reno menjawab dengan getir.
Si Bungsu tertunduk diam.
"Apakah kalian tak mungkin berdagang?" tanyanya.
Suami Reno tertawa perlahan.
"Bukankah kami kini berdagang" Kami berdagang suara. Hanya itu yang bisa kami perdagangkan.
Karena hanya itu pula modal kami. Untuk berdagang yang lain, dibutuhkan modal yang lain pula. Apalagi
pergolakan ini membuat keadaan tidak menentu.." Tapi, kendati situasi keamanan masih belum menentu, Si
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 369
Bungsu menyuruh mereka agar benar-benar berdagang. Dia memberinya modal dari uang yang dia bawa
pulang. Keluarga pesalung itu semula menolak. Tapi Si Bungsu memaksa mereka untuk menerima modal itu.
Dia punya alasan untuk berbuat demikian. Dia punya uang yang cukup. Tapi untuk apa uangnya kini" Dia tak
punya siapa-siapa. Dia anak yang Bungsu. Tak beradik. Ada seorang kakaknya, tapi kakaknya itupun telah
meninggal. Dia ingin Reno berobah nasibnya. Lagipula Reno adalah anak mamaknya. Dengan uang itu suami Reno
membeli sebuah kedai di Los Galuang. Kemudian membeli kain batik ke Padang.
Mereka berjualan kain panjang dan selimut tebal. Selain itu, masih banyak kelebihan uang dan mereka
membeli sebuah rumah cukup besar di Jangkak, Mandiangin. Malam itu, selesai Magrib dan makan malam
mereka duduk di ruang tengah.
"Reno, Sutan Pilihan, besok saya akan ke pergi. Mungkin ke Payakumbuh. Tapi perjalanan hidup tak bisa
kita terka. Yang jelas besok saya akan pergi. Sutan sudah tahu apa hubungan saya dengan isteri Sutan di masa
lalu. Saya yakin Sutan akan menjaga Reno baik-baik. Reno, nasib ditentukan oleh Tuhan. Nasiblah yang
membuat kita tercerai berai. Kini sayangi dan jaga anak dan suamimu. Aku menyayangimu sebagai adikku,
kenanglah aku sebagai mengenang saudara lelakimu. Aku akan bahagia bila mendengar kabar kalian hidup
bahagia?" Reno tenggelam dalam tangis terisak-isak. Sutan Pilihan tak mampu membendung air matanya.
"Demi Allah, Uda Bungsu, saya akan menjaga Reno sebagaimana Uda pesankan. Dia ibu dari anak saya,
dan saya mencintainya. Saya tak tahu bagaimana harus mengucapkan terimakasih atas semua bantuan Uda
pada kami, hanya Tuhan yang akan membalasnya"." ujar Sutan Pilihan perlahan.
Besoknya, ketika Si Bungsu akan keluar rumah, Reno tak dapat menahan rasa kehilangannya. Dia peluk
lelaki itu di depan suaminya. Sutan Pilihan menjadi sangat terharu. "Jangan lupakan kami Uda. Jangan lupakan
kami.." ujar perempuan itu dalam rasa hibanya yang sangat. Si Bungsu balas memeluknya.
"Reno Adikku, jaga suamimu, jaga anakmu.."
"Jaga juga diri Uda baik-baik?" ujar Reno diantara isaknya.
Itulah puncak pertemuan mereka beberapa bulan yang lalu, perpisahan! Semasa bertunangan mereka
tak pernah berpelukan. Jangankan berpeluk, berpegangan tangan saja tak pernah. Kini, setelah zaman berlalu,
saat Reno menjadi isteri lelaki lain dan Si Bungsu menjadi pengembara yang tak tahu dimana akan mengakhiri
pengembaraannya, mereka berpelukan sebagai dua orang adik beradik di depan suami Reno. Sutan Pilihan,
suami Reno, menatap perpisahan itu dengan hati yang amat hiba. Dia ingin Si Bungsu tetap berada di antara
mereka. Budi dan keihlasan anak muda itu amat mengikat hatinya.
(106) Saat itu pergolakan sedang berada di puncaknya. Pagi itu Jam Gadang di pusat kota berdentang lemah
delapan kali. Matahari sudah sejak tadi terbit. Namun meski telah sesiang itu, tak seorangpun penduduk yang
kelihatan berada di luar rumah. Kota itu seperti kota mati. Beberapa belas mayat berlumur darah kelihatan
tergeletak di depan Jam Gadang. Jam itu seperti saksi bisu, menatap mayat-mayat di bawahnya. Malam tadi
PRRI menyerang APRI yang berkedudukan di kota. Kontak senjata tak terhindarkan. Sebagaimana jamaknya
perang kota di mana-mana, dibahagian manapun di dunia ini, yang paling menderita bukanlah pihak yang
berperang. Melainkan penduduk! Itulah yang terjadi atas penduduk kota Bukittinggi. Rentetan tembakan yang
terdengar malam tadi, masih bersambung sampai pagi. Hari itu adalah hari yang paling hitam dan paling
berlumur darah bagi kota yang indah dan sejuk itu. Bahkan di zaman penjajahan Belanda dan di zaman fasis
Jepangpun, maut tak pernah menyebar bencana sedahsyat seperti yang terjadi hari itu. Kota itu benar-benar
sunyi. Bahkan suara burung-burungpun, yang biasanya terdengar riuh seperti nyanyian kanak-kanak yang
gembira, pagi itu sepi. Bau mesiu dan seringai maut, berbaur dengan anyirnya darah. Tercium di setiap pelosok
kota. Sesekali masih terdengar suara tembakan. Sesekali kebisuan yang mencekam itu dirobek oleh derap
sepatu berlarian, atau suara truk reot yang mengangkut mayat-mayat. Rumah Sakit makin siang makin
dipenuhi oleh mayat yang berdatangan. Dari Tarok, dari Jalan Melati. Dari Simpang Aurkuning, dari Birugo, dari
Mandiangin, dari Lambau, dari Atas ngarai.
Menjelang tengah hari, jumlah mayat tak lagi bisa dihitung, melebihi angka seratus. Menurut kalangan
resmi, mayat-mayat itu adalah mayat anggota PRRI. Tapi banyak yang mengenali bahwa sebahagian besar dari
mayat itu adalah mayat penduduk kota yang mungkin tak ada sangkut pautnya dengan pasukan PRRI yang
menyerang malam tadi. Di Simpang Aurkuning, di bahagian Timur kota, sepasukan OPR yang tengah berjaga
tiba-tiba melihat seseorang berjalan dari arah Tigobaleh.
"Mata-mata?" bisik salah seorang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 370
"Kita tembak saja?" kata yang lain.
"Jangan, hari sudah siang?"
"Apa peduli kita. Siang atau tak siang?"
"Jangan. Penduduk pasti mengintai dari balik dinding rumah mereka.."
Suara berbisik mereka terhenti, ketika lelaki yang mereka lihat itu tiba-tiba berhenti dekat tiga atau
empat mayat yang tengah menanti truk untuk diangkut. Lelaki itu berhenti karena dia dengar rintihan lemah.
Ketika dia menoleh, salah satu di antara sosok tubuh yang dianggap telah jadi mayat itu kelihatan bergerak.
"Tolong saya, saya bukan PRRI"," rintih orang yang berlumur darah itu lemah. "Hei, kau kemari!" bentak
OPR itu sambil mengokang bedil. Tapi lelaki itu tetap menunduk mengamati lelaki yang merintih tadi.
Kemudian berkata. "Orang ini masih hidup, Pak. Dia bukan PRRI?"
Kemudian dia mengulurkan tangan. Orang yang luka itu berusaha bangkit. Ketika tangan mereka hampir
berpegangan, suara letusan bergema. Lelaki yang luka itu tercampak. Kepalanya pecah, mati! Orang yang
menolong itu tertegun. Matanya menatap mayat yang sebentar ini masih bergerak. Terdengar suara OPR itu
menghardik. "Kemari kau, gerombolan!"
Perlahan lelaki itu menoleh.
"Orang ini bukan PRRI?" katanya lambat.
"Bicara kau sekali lagi, kutembak kepalamu!" bentak OPR itu garang. Kemudian separuh berlari dia
mendekati lelaki asing yang tak di kenal itu. Tapi langkah OPR itu tiba-tiba seperti terhenti. Lelaki asing itu
menatapnya. Yang membuat OPR itu terhenti adalah tatapan mata lelaki tersebut. Tatapan matanya setajam
pisau cukur. OPR itu jadi ragu-ragu. Bedilnya yang dikokang masih di tangannya. Dia menatap lelaki asing itu.
Berbaju gunting cina berwarna putih. Bercelana pantolan dan sebuah tongkat kayu di tangan kirinya.
Rambutnya agak panjang, tapi rapi. Usianya paling lewat sedikit dari tiga puluh. Seorang lelaki yang gagah tapi
berwajah murung. Namun tatapan mata lelaki itu membuat jantung si OPR seperti berhenti berdetak. Tiba-tiba
tedengar suara temannya berseru dari belakang.
"Hei, Kudun! Bawa orang itu kemari!"
Seruan itu mendatangkan semangat bagi si OPR. Dia maju beberapa langkah lagi. Di belakangnya dia
dengar langkah dua tiga temannya mendekat.
"Kau anjing! Banyak bicara! Gerombolan busuk!" bentaknya sambil menghantamkan ujung bedilnya
pada lelaki asing itu. Aneh, lelaki itu sama sekali tak berusaha untuk mengelak. Dia tetap tegak dan menerima pukulan itu
dengan diam. Suara berderak terdengar ketika ujung bedil dari besi padu itu menerpa keningnya. Keningnya
robek. Darah mengalir membasahi mukanya. Membasahi baju gunting cinanya. Membasahi tongkat kayu di
tangan kirinya! "Ayo ikut kami!!" bentak OPR itu.
"Orang itu bukan PRRI?" lelaki itu masih bicara perlahan.
"Jangan kau coba membelanya. Dia kami tembak ketika berusaha melarikan diri pagi tadi. Dia membawa
bedil!" suara OPR itu terdengar keras menjelaskan.
"Dia takkan pernah ikut berperang?" ujar lelaki itu perlahan.
Matanya menatap pada mayat yang tadi akan dia tolong, yang ditembak saat tangannya tengah
menggapai. OPR yang tiga orang itu juga menatap pada mayat yang pecah kepalanya itu. Tiba-tiba mereka
melihat sesuatu. Sesuatu yang memberikan alasan bagi lelaki asing itu untuk mengatakan bahwa yang baru
mati itu bukan PRRI. Mayat itu ternyata buntung kaki kirinya.
Itu jelas terlihat dari kaki celananya yang diikat sampai di atas lutut! Lelaki itu cacat! Bagaimana
mungkin seorang yang kakinya hanya sebelah bisa ikut menyerbu kota. Bisa melarikan diri dengan temantemannya seperti yang dituduhkan OPR sebentar ini" Ketika mereka menatap lelaki asing itu, jantung mereka
merasa bergetar. Tatapan matanya yang tajam itu seperti akan menikam mereka. Namun ini adalah perang.
Lelaki asing itu tak membawa bedil. Sementara mereka membawa bedil. Dan bedil membuat orang jadi berani.
Bedil di tangan orang zalim pasti mendatangkan bencana. OPR yang tadi menembaki lelaki buntung itu
mengokang bedilnya. Dialah yang tadi mengusulkan agar lelaki yang baru muncul itu ditembak saja. Kini dia
berniat melaksanakan niatnya itu. Niat pertamanya menghantam kepala lelaki itu hingga berdarah sudah
kesampaian. Kini niat berikutnya, menembaknya sampai mampus!
Dalam negara SOB begini, takkan ada yang bakal berani menuntut! Apalagi mereka OPR, sayap resmi
tentara Pusat! Begitu bedil dia kokang, begitu loopnya dia arahkan ke dada lelaki itu. Namun entah setan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 371
darimana yang menyambar, sebelum pelatuk bedil panjang itu sempat dia tarik, OPR itu melihat tangan lelaki
itu bergerak. Lalu pukulannya yang telak sekali menghajar wajahnya! Terdengar suara berderak. Gigi OPR itu
rontok tiga buah! Dia tersurut. Teman-temannya yang lain ternganga kaget. Kejadian itu begitu cepatnya.
Kembali lelaki asing itu bergerak. Kali ini kakinya. OPR yang menembak orang cacat itu merasa perutnya


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diseruduk kerbau. Tubuhnya terlipat dan tercampak sedepa ke belakang!
Kedua temannya masih menatap kaget. Belum pernah ada orang yang demikian berani mampus
melawan OPR. Lelaki itu masih tegak. Kepalanya berlumur darah. Tangannya memegang tongkat. Matanya
masih menatap tajam! Setelah hampir muntah, OPR yang tercampak kena tendang itu bangkit. Merasa malu
dihajar di depan temannya, dia lalu kembali mengacungkan bedil. Saat itulah tongkat lelaki itu bergerak. Selarik
sinar putih, yang alangkah cepatnya, kelihatan muncul membentuk setengah lingkaran. OPR itu tak sempat
memekik. Dadanya belah dan dia rubuh dengan mata terheran-heran atas kejadian yang tak dia mengerti.
Darah menyembur-nyembur dari dadanya yang menganga. Teman-temannya yang tegak di dekatnya,
tersembur oleh darah yang muncrat itu. OPR itu menggelepar seperti ayam disembelih.
Empat orang tentara yang tegak tak jauh dari sana menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh lelaki asing
itu. Dengan bedil terkokang mereka mendekat. Tapi saat itu pula lelaki asing itu bertindak. Dia mencekal leher
seorang OPR didekatnya. Kemudian menekankan tongkatnya yang telanjang. Yang tak lain dari samurai, yang
dingin dan tajam itu keleher OPR itu. Ke tiga tentara yang sedang berlari itu tertegun. OPR yang tengah
disendera itu pucat dan menggigil.
"Menyerahlah dengan baik-baik. Kalau tidak kami tembak..!"ujar seorang Sersan sambil menodongkan
pistolnya. Tapi lelaki bersamurai itu melindungkan diri dibalik badan OPR yang disanderanya.
"Saya tak percaya pada ucapanmu, Sersan"!"ujarnya dingin.
"Kalian, para pemberontak. Takkan mungkin menang, sekarang menyerahlah..!"
"Saya bukan pemberontak, Sersan. Tak ada urusan saya dengan PRRI. Seperti tak ada urusan saya juga
dengan kalian. Saya sama dengan lelaki buntung itu. Bukan PRRI, saya hanya tak suka melihat OPR ini bertindak
buas. Kalian boleh saling tembak sesama tentara. Tetapi jangan membunuh rakyat yang tak tahu apa-apa?"
Sersan itu seperti menelan sesuatu yang pahit mendengar ucapan lelaki yang sama sekali tak dikenal itu.
Lelaki itu menyeret OPR yang sedang disandera dengan samurai itu mundur. "Kalian tetaplah tegak disana.
Kalau tidak leher orang ini akan saya potong?"ancam lelaki itu. Sersan itu memang tak bisa berbuat apa-apa.
Soalnya OPR yang disandera itu, bukan sembarang OPR. Dia sebenarnya, adalah mata-mata yang lihai. Dia lah
yang dua hari lalu mencium ada serangan kekota. Kalau kini mereka bertindak gegabah, maka jelas OPR itu
akan mati. Sementara dia berpikir begitu, orang yang menyeret mata-mata andalan itu telah jauh. Mereka
hanya bisa menatap dengan diam, kalau saja OPR itu, hanya OPR biasa maka mereka akan menembak biar
kedua-duanya mati! Tapi dalam kasus yang satu ini tidak mungkin. Kalau OPR itu mati, maka mereka akan
kehilangan mata-mata alias tukang tunjuk yang lihai. Yang mampu menyamar dan menyusup kedesa-desa,
untuk mencium gerak-gerik PRRI.
"Kita kejar.." ujar seorang kopral.
"Tidak.." bisik si Sersan.
"Tapi, Nuad akan dibunuh?"
"Tidak, nampaknya orang itu tidak sembarangan membunuh?"
Benar, lelaki itu yang tak lain dari Si Bungsu. Memang tak mau sembarangan main bunuh. Dia menyeret
OPR itu kedalam belukar di penurunan Tambuo. Sebuah tempat angker antara Bukittinggi dan Tigo-Baleh. Jauh
dibawah sana, mengalir sebuah sungai yang berbatu dengan arus yang deras dan berbelukar lebat. Di tempat
ini, puluhan orang mati sejak pergolakan ini. Sedangkan pada jaman Belanda dan Jepang dulu, tempat ini juga
dikenal tempat penyembelihan manusia yang amat ditakuti.
"Ampun pak".Ampunkan saya"Saya jangan dibunuh, saya punya anak dan istri"Saya orang Bukittinggi
ini, kita sekampung?"
OPR itu menghiba-hiba, ketika diseret Si Bungsu kebelukar dengan kasar. Dia jadi ngeri, ketika tahu kini
dia berada di Tambuo! Tiba-tiba Si Bungsu menghentikan langkah. Melepaskan si OPR. OPR itu berlutut tibatiba. Menangis terisak-isak minta ampun. "Diamlah! nanti kupotong lehermu?" bentak Si Bungsu dengan suara
dingin. OPR itu terdiam. "Berdiri..!" OPR itu berdiri.
"Kau mengaku orang Bukittinggi, mengaku punya anak dan istri, meminta-minta ampun untuk tak
dibunuh. Apakah kau tak pernah berpikir begitu pula orang yang kau bunuh?"tanya Si Bungsu geram.
OPR itu terdiam. Si Bungsu menatapnya dengan jijik. Kalau saja dia tahu, bahwa OPR ini tukang tunjuk
yang tersohor, yang bernama Nuad Sutan Kalek, dia pasti akan membunuhnya. Nuad adalah tukang tunjuk yang
tak kenal belas kasihan. Tapi Si Bungsu, seperti yang diucapkannya tadi, memang tak ikut campur Dalam
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 372
Perang Saudara ini. Dia hanya tak suka orang berbuat sewenang-wenang. Kinipun setelah menatap dengan
matanya yang tajam, yang membuat bulu kuduk Nuad merinding, anak muda itu lantas beranjak.
Dia menyelusup diantara belukar lebat dan rimbun bambu yang memenuhi Tambuo. Buat sesaat Nuad
Sutan Kalek, seperti bermimpi. Benarkah dia lepas begitu saja." Kalau begitu orang ini bukan PRRI. Sebab kalau
PRRI, maka nyawanya pasti sudah melayang. Ketika dia yakin orang yang tak dikenal itu tak ada lagi, dia lalu
bergerak. Dan begitu sampai dijalan, dia lari pontang-panting ke induk pasukannya di Simpang Aurkuning.
Tak seorang pun yang tahu dengan pasti. Baik PRRI atau pasukan APRI, yang kini menguasai kota-kota
di Minangkabau, bahwa sebagian OPR yang mereka bina, sebenarnya orang-orang yang sudah lama dibina
Komunis. Minangkabau di masa pergolakan itu adalah basis partai-partai Islam. Sejak lama, orang
minangkabau yang menjadi anggota partai Islam sangat memusuhi orang-orang PKI. Tapi justru PKI sekarang
dapat angin segar, dengan timbulnya pergolakan. Mereka lalu menyusup kedalam tubuh OPR. Gerakan mereka
begitu rahasianya, sangat terkoordinir seperti jaringan laba-laba.
Tak terlihat secara langsung, namun kehadirannya terasa dimana-mana. Ada sebab jaringan PKI sangat
rapi. Kenapa mereka begitu berhasil menyusup ke instansi pemerintah dan militer. Organisasi mereka ditata
dengan konsep yang sangat moderen. Kader-kader mereka dapat didikan khusus dari uni sovyet atau RRT.
Sesuatu yang di Sovyet dan RRT tak pernah dikecap rakyatnya.Namun di Indonesia mendapat pasaran.
Sebab sebahagian pemimpin Indonesia berlomba mendapatkan harta dan kedudukan bagi pribadinya.
Partai Islam sendiri saat itu tercecer, selain karena tak pernah menjanjikan kebahagian duniawi seperti
komunis, juga karena kader-kadernya hanya mendapat pendidikan lokal. Selain itu, dan ini masuk penting,
pimpinan-pimpinan partai Islam yang jumlahnya banyak itu, saling bercakaran untuk mendapatkan
kedudukan. Kemana Si Bungsu setelah peristiwa di Simpang Aurkuning itu" Tak seorangpun yang tahu. Yang jelas,
sesaat setelah Nuad si OPR itu melaporkan peristiwa itu ke komandan pasukannya, APRI lalu memburunya.
Namun jejaknya lenyap dalam belukar Tambuo itu. "Kau tahu siapa dia?" tanya Sersan yang memimpin
pencarian itu. Nuad yang baru dibebaskan Si Bungsu menggeleng.
"Bukan orang Tigobaleh, misalnya?"
"Tidak. Saya kenal setiap batang hidung orang Tigobaleh. Tak satupun yang mahir mempergunakan
samurai. Saya tak pernah melihat orang itu sebelum ini di Bukittinggi. Saya benar-benar tak mengenalnya, Pak."
"Kau bisa usahakan mencari informasi tentangnya?"
"Saya akan usahakan. Tapi orang ini nampaknya amat berbahaya?"
"Ya. Itu sudah dia buktikan tadi ketika menghantam dan membunuh Sutan Kudun?".
Pasukan itu lalu meninggalkan Tambuo. Padahal Si Bungsu tak pergi jauh, hanya dua ratus depa dari
mereka, di tebing yang terlindung oleh hutan bambu, dia tengah duduk dan menatap pada mereka dengan
diam. Sejak tadi dia memperhatikan gerakan pasukan APRI yang mencarinya itu. Pasukan itu memang hanya
tegak di jalan. Menatap keliling. Tidak menyeruak semak belukar.
Malam itu, saat tentara PRRI menyerang kota Bukittinggi, Si Bungsu bermalam di rumah kawannya yang
terletak di Tigobaleh. Mereka mendengar suara tembakan. Bahkan sampai pagi. Sebenarnya pagi itu dia sudah
akan menuju ke kota, tapi temannya melarang. Berbahaya ke kota dalam situasi begitu. Esoknya setelah hari
agak tinggi, dia berkeras juga untuk pergi dan dilepas dengan was-was. Akhirnya hanya sekitar setengah jam
keluar dari rumah temannya di Tigobaleh, dia terjerat dalam peristiwa berdarah di Simpang Aurkuning itu.
Anggota OPR yang mencegatnya, demikian pula yang bernama Nuad, yaitu mata-mata lihai yang dia
ancam dengan samurai itu, rata-rata merupakan orang baru di Bukittinggi. Baru sekitar sepuluh tahun.
Makanya mereka tak penah mengenal bahwa dahulu di kota itu ada seorang anak muda yang kemahirannya
bersamurai amat luar biasa.
Si Bungsu mengunyah beberapa macam dedaunan yang dia pungut dari belukar di Tambuo itu. Lalu
menempelkannya ke luka di keningnya. Dalam waktu singkat, darah itu berhenti mengalir. Pening kepalanya
lenyap. Bagi anak muda ini, soal obat-obatan bukan hal yang aneh. Dia belajar meramu obat-obatan dari daun,
getah, kulit kayu dan rumput saat mengasingkan diri di Gunung Sago dahulu. Pasukan APRI yang memburunya
sudah dari tadi lenyap. Beberapa saat dia masih duduk di belukar itu. Baru kemudian bangkit perlahan.
Menuruni tebing yang air mengalir dibawah. Dia buka baju gunting cina nya yang berlumuran darah, begitu
juga dengan celana pantolan hitamnya. Dia cuci di sungai yang dingin dan alangkah sejuknya itu. Kemudian dia
jemur dibatu. Sinar matahari yang terik akan mengeringkannya. Hanya dengan menggunakan celana pendek
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 373
dia membaringkan dirinya di rerimbunan hutan bambu. Kemudian menjelang sore, anak muda ini kembali
kedalam kota, alangkah nekatnya!
Dalam situasi begitu orang lain pasti sudah menyingkir jauh-jauh. Tapi bagi Si Bungsu tak ada alasan
untuk menyingkir. Dia benar-benar buta politik. Menurut anggapannya, peristiwa di Tambuo itu bisa selesai
dengan sendirinya. Tak diketahuinya, peristiwa tersebut menjalar dengan cepat ditubuh pasukan APRI yang
berada di kota. Banyak mata OPR dan tentara yang menyaksikan betapa dia membantai OPR yang bernama
Kudun itu dengan samurainya.
Cerita itu menjalar seperti api dalam sekam. Mata-mata pun disebar untuk mengetahui serta mencari
dimana lelaki itu berada. Dalam saat yang demikianlah dia memasuki kota. Menjelang sore kota memang sudah
agak ramai. Artinya meski dalam keadaan takut-takut, namun penduduk sudah berani keluar rumah. Ada yang
belanja ke pasar. Toko dua tiga sudah ada yang buka sejak siang tadi.
APRI yang menjaga disetiap sudut kota mengawasi setiap orang yang lalu lalang dengan teliti. Namun
tak ada tindakan kekerasan yang dilakukan. Bagi penduduk kota sebenarnya kehadiran APRI membuat mereka
merasa aman. Mereka bisa keluar rumah, kepasar, kanak-kanak sekolah atau melakukan kegiatan sehari-hari
dengan tentram. Ketakutan justru muncul ketika terjadi pertempuran, sebagaimana yang baru saja terjadi tadi
malam. Biasa nya dalam keadaan seperti itu kedua pihak, PRRI maupun APRI tidak akan pandang bulu.
Si Bungsu menuju Pasar Atas. Dekat pendakian Jam Gadang tiba-tiba dia dicegat tentara berpakaian
loreng. Si Bungsu tertegun, namun dia berusaha untuk kelihatan tenang, tentara itu berpangkat Sersan Mayor.
(107) "Maaf, ada korek api, pak?"tanya tentara itu setelah dekat.
Si Bungsu menarik nafas, dia merogoh kantong, namun segera sadar bahwa dia tak pernah membawanya
karena dia tak merokok. "Ah, maaf. Saya tak membawanya?"ujarnya.
"Bapak akan kepasar?"tanya tentara itu dengan ramah.
"Ya?" "Ada membawa kartu penduduk?"
"Ada.."si Bungu merogoh kantongnya berniat mengambil KTP yang memang telah dia siapkan, tapi
Sersan itu menggoyangkan tangannya.
"Tidak. tak perlu bapak lihatkan. Yang penting bapak hati-hati saja. Kalau ada tanda bahaya cepat
sembunyi cari perlindungan?"
"Akan ada serangan lagi?"
"Saya rasa tidak. Tapi siapa tahu bukan " Rasanya gegabah kalau PRRI masih akan menyerang kota lagi.
Peperangan seharusnya tak dilakukan dikota. Karena yang paling kena getahnya adalah penduduk. Bapak lihat
banyak yang mati tadi?"
"Tak semua. Apakah semua yang mati adalah penduduk?"
"Tidak. Banyak anggota PRRI. Tapi, saya rasa peluru tak bisa membedakan mana yang penduduk atau
bukan. Malam tadi PRRI menyerang secara besar-besaran. Kabarnya penyerangan itu dipimpin langsung oleh
Kolonel Dahlan Djambek.."
Pembicaraan mereka terputus ada suara peluit panjang. Tentara itu tak sempat pamitan, dia berlari
kearah suara peluit itu. Si Bungsu meneruskan langkahnya, tapi firasatnya mengatakan akan ada terjadi
sesuatu pada dirinya. Cara Sersan tadi memandangnya agak ganjil. Memang tak begitu mencurigakan. Tapi ada
dua kali dia mencuri pandang melihat luka dikepalanya. Apakah cerita tentang dirinya di Simpang Aurkuning
pagi tadi sudah disebarluaskan" cepat-cepat dia menyelinap ke dalam pasar.
Benar saja, dalam waktu singkat tiba-tiba pasar segera digeledah. Sersan tadi memang memperhatikan
luka dikeningnya. Tapi tak ada membawa tongkat. Sersan tadi memang pura-pura menanyakan korek api.
Padahal dia ingin memastikan apakah orang ini yang sedang dicari, yang telah membunuh seorang OPR tadi
pagi. Dia masih ragu, walau ada luka yang sudah dikasih perban di keningnya. Dia ingin memastikan apakah
lelaki itu menyimpan samurai dibalik bajunya. Namun dia tak lihat. Suara peluit memutus penyelidikannya. Dia
datang kepada komandannya yang berdiri tak jauh dari Jam Gadang. Ketika dia menjelaskan ciri lelaki yang
baru ditemui dia barusan tadi, maka Nuad sutan Kalek,si OPR mata-mata yang kebetulan ada disana,
meyakinkan bahwa itulah orang yang mereka cari.
Ada sekitar tiga puluh tentara yang berlari menyusul Si Bungsu. Untunglah firasat anak muda itu
memberitahu akan bahaya yang bakal menimpanya. Dia lebih dulu menghindar. Dalam pasar yang bangunanya
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 374
begitu rapat, dengan mudah dia menyelinap menghilangkan jejak. Dalam langkah cepat dia sampai di Mesjid
Pasar Atas. Kemudian turun lewat samping menuju kampung Cina. Dari sana dia bergegas kearah Benteng dan
turun di Atas Ngarai. Di atas ngarai dia masuk kesebuah kedai kopi. Ada dua atau tiga lelaki yang sedang
mengopi dikedai tersebut. Dia duduk dan mengambil tempat disudut. "Teh manis .."katanya.
Tak ada yang mengacuhkannya. Diluar terdengar derap kaki tentara menuju Panorama. Dua lelaki
nampaknya selesai minum, lalu membayar dan pergi. Tinggal dikedai itu dia dan seorang lelaki lain. Lelaki itu
juga selesai minumnya dan membayarnya. Ketika menunggu kembalian uangnya tanpa sengaja dia menoleh
kearah Si Bungsu. Kebetulan Si Bungsu juga tengah memperhatikan lelaki itu. Mata lelaki itu terbelalak dan
mulutnya ternganga. "Ya Tuhan, apakah saya tak salah lihat" Si Bungsu bukan?" tanya lelaki itu hampir tak percaya. Kini Si
Bungsu pula yang kaget setelah mengenal lelaki itu setelah dia bicara.
"Ya Tuhan, Pak Kari".!" katanya sambil bangkit.
Kedua lelaki itu berpelukan didalam kedai kecil itu. Pemilik kedai hanya menatap dengan diam. "Hei,
Rabain. Kau ingat orang ini" Si Bungsu yang menghajar Jepang dahulu?""
Kari Basa memperkenalkan Si Bungsu pada pemilik kedai tersebut. Pemilik kedai yang bernama Rabain
itu hanya melongo. Kemudian menyalami Si Bungsu. "Namamu sejak dahulu kudengar, anak muda. Sebentar
ini juga. Apakah benar dia yang membuat peristiwa di Tarok itu?"
Kari Basa menatap pada Si Bungsu setelah pemilik kedai itu bertanya. Setelah menatap sejenak keluar,
memastikan tak ada tentara atau orang lain, Kari Basa ikut bertanya. "Kami mendapat kabar, pagi tadi di Aur
Kuning ada OPR yang dibantai orang dengan samurai. Menurut sebagian orang, OPR itu dicido dari belakang.
Tapi ada yang berkata, bahwa OPR itu akan menembak dan lelaki itu tiba-tiba menggerakkan tangan. Dan tibatiba saja dada OPR itu belah oleh samurai. Saya mendengar cerita itu, dan setahu saya hanya seorang yang
mampu melakukan hal itu, yaitu engkau. Sebentar ini, dua lelaki yang keluar tadi, adalah orang-orang PRRI.
Mereka juga mendengar cerita itu. Kini engkau muncul tiba-tiba. Jangan mungkiri bahwa memang engkaulah
yang telah membantai OPR itu. Benar bukan?"
Si Bungsu hanya menatap pada orang tua itu. Kari Basa, ayah Salma. Alangkah lamanya mereka tak
berjumpa. "Benar cerita itukan, Bungsu?"
"Ya"." jawabnya perlahan.
"Hei, kita ke rumah. Tentara kini berkeliaran mencarimu. Tapi tak apa, itu hanya sebentar. Banyak tugas
mereka yang lebih penting daripada hanya mencari engkau. Sepuluh dua puluh OPR mati, biasa. Mari, kita ke
rumah. Rabain, kami pergi"."
Si Bungsu mereguk minumannya. Kemudian akan membayar. Tetapi pemilik kedai itu menolak. Mereka
berjalan kaki menuju arah Panorama. Ada dua tiga truk penuh tentara melewati mereka menuju ke rumah
sakit. Tapi karena Kari Basa demikian tenang, Si Bungsu juga menjadi tenang. Dan tiba-tiba saja, mereka tegak
di depan sebuah rumah. "Kau masih ingat rumah ini?"
Kari Basa bertanya perlahan sambil merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah kunci dan menaiki tangga
batu. Si Bungsu masih tertegak beberapa saat. Betapa dia takkan ingat" Di rumah inilah dahulu dia di rawat
oleh Salma selama beberapa puluh hari, setelah tubuhnya dicencang oleh Kempetai dalam terowongan di
bawah kota ini. Di rumah inilah dia berlatih kembali mempergunakan samurainya, setelah sekian lama tak
menyentuh senjata itu. Akhirnya dia melangkah naik.
"Ini kamarmu, ingat?"
Si Bungsu tersenyum. "Saya beberapa kali menerima surat dari Salma, yang mengatakan bahwa kalian bertemu di Singapura.
Dia menceritakan semua yang terjadi di sana."
Si Bungsu tak menjawab. Tapi sambil mendengarkan dia memperhatikan kuku kaki dan kuku jari tangan
Kari Basa. Ternyata semuanya utuh. Tahu bahwa anak muda itu memperhatikan tangan dan kakinya, yang
dahulu semasa sama-sama ditahan di lobang Jepang, kukunya dicabuti semua oleh Jepang, Kari Basa berkata :
"Sudah tumbuh semuanya?"
"Bapak berada dalam kota, apakah berpihak pada APRI?" ujar Si Bungsu.
Lelaki tua itu tertegun. Kemudian menoleh keluar.
"Panjang ceritanya, Bungsu. Tapi saya akan solat Asyar dulu. Nanti kita cerita?"
"Ya, saya juga akan sholat?"
Malam harinya, Kari Basa bercerita. Dia tak ikut berperang. Memang teman-temannya membawanya
serta. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 375
"Saya memang tak setuju dengan kebijaksanaan pusat. Tapi memberontak menurut saya taktik yang
salah. Sekurang-kurangnya saya tak sepaham. Maka saya tetap tinggal di kota."
"Bapak berpihak pada APRI?"
"Terserah bagaimana penilaian oranglah. Tapi yang jelas saya tak ikut ke hutan?"
"Bapak menjadi informan PRRI?"
Kembali Kari Basa menggelengkan kepala.
"Kalau begitu bapak informan APRI?"
"Juga tidak Bungsu. Teman-teman memang membawa saya untuk aktif lagi dalam APRI. Namun
betapupun jua, Minangkabau ini adalah kampung saya. Barangkali sikap saya adalah sikap yang buruk. Tak bisa
berpihak. Tapi saya memang berada dalam posisi yang serba sulit.
Di satu pihak, saya memang tak suka akan kekacauan politik yang terjadi dalam kabinet sekarang. Saya
juga tak suka pada cara Presiden Soekarno yang amat berpihak pada komunis. Tapi saya juga tak mau
memberontak. Saya lebih-lebih tak suka lagi, kalau saya harus memanggul senapan dan memburu PRRI.
Mereka adalah orang kampung saya semua, teman, anak dan kemenakan. Teman-teman dari PRRI dan juga
dari APRI meminta saya untuk menjadi informan mereka. Tapi saya menolak. Nah, sejak tadi kau menanyai
saya, Bungsu. Seolah-olah engkau seorang intelijen. Apakah engkau salah seorang dari PRRI itu?"
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia melemparkan pandangannya ke luar jendela. Di luar sana, beberapa
anggota APRI kelihatan mondar mandir di jalan raya.
"Saya baru datang, Pak. Saya bertanya pada Bapak, karena saya tak tahu tentang apa yang telah terjadi
di kampung kita ini. Kenapa negeri yang dahulu Bapak dan teman-teman Bapak pertahankan dengan
mengorbankan nyawa ini tiba-tiba diamuk perang saudara. Saya dengar Pak Dakhlan Jambek kini berada di
Tilatang Kamang. Apa sebenarnya yang telah terjadi, Pak Kari" Apa sebabnya kita memberontak. Apa sebabnya
APRI yang juga orang Indonesia itu, malah di antaranya juga terdapat orang-orang Minang, hari ini justru
datang kemari untuk saling berbunuhan dengan saudara-saudara sebangsanya" Tolong Bapak ceritakan, saya
ingin mendengarkannya. Tadi pagi saya memang membunuh seorang OPR. Tapi sungguh mati, saya bukan PRRI. Saya juga tidak
simpatisan mereka. Itu bukan pula berarti saya berada di pihak APRI, tidak. Saya hanya membunuh OPR itu
karena dia tak memberi kesempatan hidup pada seorang lelaki cacat yang minta tolong pada saya. Dia
mengatakan bahwa lelaki cacat itu PRRI. Kalaupun benar, tetapi lelaki itu luka. Kenapa dia tak ditolong" Saya
benci pada OPR yang tak berperikemanusiaan itu. Demi Tuhan, kalaupun yang melakukan aniaya itu adalah
orang PRRI, maka saya juga akan membunuhnya. Itulah yang terjadi, Pak. Kini harap Bapak ceritakan, kenapa
negeri kita ini sampai berkuah darah?".
Kari Basa termenung. Ucapan anak muda itu, menghujam jauh ke lubuk hatinya. Setelah lama termenung
dan merekat kembali segala yang diketahuinya tentang mula pergolakkan ini, Kari Basa lalu bercerita"..
Pada mulanya adalah rasa tak puas pihak Angkatan Darat Republik Indonesia atas kekalutan politik di


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tingkat Pusat. Kekalutan politik itu menyebabkan jurang pemisah antara Daerah dan Pusat dalam hal mencari
jalan keluarnya. Di Sumatera, dua tiga tahun sebelum PRRI dideklarasikan, diadakan reuni para pejuang Perang
Kemerdekaan di Sumatera Tengah. Reuni itu bertujuan membina kesatuan dan kekompakan, terutama di
kalangan pejuang kemerdekaan yang dipelopori oleh perwira-perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Dari reuni itu, pada 20 Desember 1956 lahirlah Dewan Banteng yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad
Husein. Tindakan reuni untuk kekompakan para Pejuang Kemerdekaan ini diikuti oleh daerah-daerah lain.
Dalam hal ini para perwira Sumatera Tengah menjadi ikutan. Dua hari setelah dewan Banteng terbentuk,
tepatnya 22 Desember 1956, di Medan dibentuk pula "Dewan Gajah" yang dipimpin oleh Kolonel Maludin
Simbolon. Lalu pada tanggal 18 Maret 1957 di Manado dibentuk pula "Dewan Manguni" yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Vence Sumual. Sumatera Selatan segera pula bersiap-siap menuruti Sumatera Tengah untuk
membentuk "Dewan Garuda" dibawah pimpinan Letnan Kolonel Barlian.
Tindakan yang dianggap Pusat melanggar konstitusi dimulai dengan adanya cetusan tuntutan daerah
kepada Pusat. Tuntutan itu berupa desakan agar Pusat membangun daerah. Lalu disusul dengan diambil
alihnya kekuasaan dari Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Mulyoharjo oleh Dewan Banteng dengan Ahmad
Husein sebagai "Ketua Daerah" menggantikan jabatan Gubernur. Tindakan ini diikuti oleh Dewan Gajah di
Sumatera Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Akibat munculnya kekalutan ini yang paling menarik manfaatnya adalah pihak PKI. Mereka mendapat
bukti bagi agitasi politiknya untuk mengkambing-hitamkan Angkatan Darat sebagai "War Lords" dan diktatordiktator militer. Kaki-tangan imperialis, kolonialis, musuh rakyat dan musuh demokrasi. Situasi ini memberi
peluang mematangkan kondisi revolusioner bagi PKI menurut konsepsinya. Dalam keadaan seperti itu, situasi
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 376
semakin tidak menguntungkan bagi pihak yang ingin mempertahankan jalan konstitusi dan tertib hukum serta
demokrasi. Karena perkembangan yang terjadi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante hasil Pemilihan Umum
pertama Tahun 1955 menjadi arena pertempuran politik yang tak mampu menemukan jalan keluar sebagai
lembaga yang diharapkan untuk meletakkan landasan bagi peredaan rasa ketidakpuasan yang semakin
meluap. Pergolakkan di daerah-daerah bukannya mendorong lembaga-lembaga itu mempercepat tercapainya
hasil-hasil guna meredakan pergolakan di daerah itu, tetapi malahan sebaliknya. Pergolakan di daerah mereka
pergunakan sebagai senjata untuk lebih memperhebat pertempuran politik dalam lembaga tersebut.
Kalau kesatuan Angkatan Bersenjata sudah mencari jalan sendiri-sendiri, maka perang saudara pasti
takkan bisa dihindarkan. Untuk mengatasi situasi yang tak baik ini, terutama di lingkungan Angkatan Darat,
tanggal 9 Desember 1956 KSAD Mayor Jenderal A. H. Nasution mengeluarkan perintah yang melarang seluruh
anggota TNI/AD aktif dalam partai politik. Kemudian 15 Februari 1957, Jenderal Nasution selaku KSAD
kembali mengeluarkan larangan reuni bagi Dewan-dewan yang lahir di daerah itu. Karena kekuatan politik itu
juga, maka Kabinet Ali Sastroamijoyo ke II, yang dibentuk atas dasar hasil Pemilihan Umum tahun 1955, pada
Maret 57 menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Untuk mengatasi situasi kritis, maka Presiden
menyatakan negara dalam keadaan Darurat Perang (S.O.B) dan dengan demikian membebankan tugas
pengamanan negara sepenuhnya kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sampai di sini Kari Basa
berhenti bercerita. Dia meneguk kopinya. Si Bungsu juga meneguk kopinya. Kari Basa semasa revolusi pisik
tahun 45 bertugas sebagai perwira intelijen. Dia memang punya ingatan dan pengetahuan yang amat dalam
tentang situasi negara waktu itu. Sehabis minum kopi, mereka sembahyang Isya. Setelah itu makan malam. Atas
desakan Si Bungsu, orang tua itu kembali merekat kepingan ingatannya tentang masa-masa prolog pergolakan
tersebut. Kemudian dia meneruskan ceritanya"
Demi menghindarkan perpecahan persatuan Nasional, setelah dinyatakannya keadaan SOB, dan
mengusahakan menyelesaikan masalah pertentangan antara daerah-daerah yang bergolak dengan pusat
secara damai, maka pada tanggal 9 sampai 14 September 1957 di Jakarta diadakan Musyawarah Nasional
(Munas). Dihadiri oleh seluruh pimpinan pemerintah dan tokoh-tokoh politik dan militer dari seluruh
Indonesia. Tujuan Munas ini adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul secara musyawarah
dengan hati terbuka dan dalam suasana kerukunan dan persaudaraan.
Musyawarah Nasional diikuti dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang
dilangsungkan akhir November 1957.
Tapi ternyata Munas dan Munap itu tak menghasilkan apa-apa. Kekecewaan daerah semakin meningkat.
Tanggal 9 Januari 1958 di Sungai Dareh dilangsungkan rapat yang dihadiri Simbolon, Ahmad Husein, Dahlan
Jambek, Sumual, Zulkifli Lubis serta beberapa tokoh politik dan militer lainnya. Rapat Sungai Dareh ini
membicarakan kekecewaan mereka atas ketidak berhasilan pimpinan Pusat mengatasi keresahan. Rapat itu
juga telah membicarakan rencana meningkatkan tuntutan kepada Pusat. Malah tidak hanya berupa tuntutan,
tetapi ultimatum. Jika ultimatum tidak dijawab, maka akan dicari jalan lain. Rapat ini tercium oleh Pemerintah
Pusat di Jakarta. Maka tanggal 23 sampai 26 Januari 1958 KSAD Jenderal Nasution mengadakan perjalanan
"mengukur barometer" situasi. Perjalanan itu dilakukan ke Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh dan Tanjung
Pinang. Tanggal 10 Februari 1958, Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Banteng mengeluarkan Ultimatum yang
sudah disepakati di Sungai Dareh itu kepada Presiden Soekarno dan Kabinet Juanda di Jakarta. Isi Ultimatum
itu adalah : Agar Presiden membubarkan Kabinet Juanda dalam tempo 5 x 24 jam.
Agar Presiden menunjuk Mohammad Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pembentuk
kabinet baru. Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi, maka Dewan Banteng akan memutuskan hubungan dengan
Pemerintah dan bebas dari ketaatan terhadap Kepala Negara.
Ultimatum ini seperti membakar sumbu dinamit. Pemerintah pusat menjawab ultimatum itu dengan
perintah pemecatan dengan tidak hormat atas Kolonel Simbolon, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel Zulkifli Lubis
dan Letnan Kolonel Ahmad Husein. Perintah pemecatan itu diikuti dengan perintah penangkapan. Tanggal 12
Februari 1958 KSAD mengeluarkan keputusan membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah
(KDMST) yang selanjutnya menempatkannya langsung di bawah perintah KSAD Jenderal Nasution. Namun
pemecatan, perintah penangkapan dan pembekuan KDMST itu dijawab oleh Dewan Banteng dengan sebuah
Proklamasi. Proklamasi itu adalah proklamasi berdirinya "Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia"
(PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958, dengan Syafruddin Perwira Negara sebagai Perdana Menteri.
Proklamasi ini dilanjutkan dengan membentuk Kabinet yang berpusat di Padang. Maklumat pembentukan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 377
PRRI itu didukung oleh Simbolon di Sumatera Utara. Tanggal 17 Februari 1958, D. J. Somba yang menjabat
sebagai Panglima Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP), yang dilangsungkan akhir November 1957.
Komando Daerah Militer Sulawesi Utara (KDMSU) di Manado menyatakan pula bahwa Sulawesi Utara
memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta dan menyokong berdirinya PRRI di Sulawesi
Utara, di bawah pimpinan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA). Pengumuman menyokong PRRI ini
dijawab Pemerintah dengan memecat dengan tidak hormat Letnan Kolonel HNV Sumual, Letnan Kolonel D. J.
Somba dan Mayor D. Runturambi.
Mereka dicap memberontak dengan nama Permesta. PRRI/PERMESTA oleh Pemerintah Pusat dianggap
lebih berbahaya dibandingkan dengan pemberontakan bersenjata yang pernah timbul sebelumnya di tanah air,
oleh karena : a. Dengan memproklamirkan "Pemerintah Revolusioner" dan tidak mengakui kekuasaan Pemerintah
yang sah akan mengakibatkan Negara Republik Indonesia akan terpecah belah.
b. Pemberontakan ini telah melaksanakan penyelewengan di bidang politik, ekonomi dan militer
dengan mengadakan hubungan serta mendapat bantuan kerjasama langsung dari luar negeri. Yang
berarti membuka pintu bagi kegiatan subversi.
Untuk menumpas PRRI/PERMESTA, pemerintah Pusat memerintahkan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia untuk melancarkan operasi gabungan. Untuk itu disusun operasi-operasi sebagai berikut :
" Operasi TEGAS di daerah Riau Daratan dan Pekanbaru dipimpin oleh Letkol Kaharuddin
Nasution dari RPKAD. " Operasi SAPTA MARGA di daerah Medan/Sumatera Utara.
" Operasi 17 Agustus untuk mengamankan Sumatera Barat di bawah pimpinan Kolonel Inf.
Ahmad Yani. " Operasi SADAR untuk mengamankan Sumatera Selatan dengan Komandan Operasinya Kolonel
Dr. Ibnu Sutowo. " Operasi MERDEKA di Sulawesi Utara dengan Komandan Operasi Letkol Infantri Rukminto
Hendraningrat. (108) Malam telah hampir tersambut dengan subuh, ketika Kari Basa, bekas perwira intelijen di zaman perang
kemerdekaan itu, menyelesaikan ceritanya. Setelah itu mereka ke kamar tidur masing.
Si Bungsu tak dapat memejamkan matanya sampai datang waktu subuh. Ketika dia mendengar Kari Basa
mengambil uduk, diapun bangkit. Kemudian ke kamar mandi dan mengambil uduk pula. Mereka sama-sama
sembahyang subuh dengan Kari Basa sebagai Imam. "Kau ingat Sutan Baheramsyah?" tanya Kari Basa tatkala
mereka selesai sholat. "Yang menembak Jepang di Birugo dahulu?"
"Ya" "Ya, saya ingat beliau. Beliau masih hidup?"
"Sampai malam kemaren masih hidup?"
"Maksud Bapak?"
"Dia meninggal malam kemaren."
"Dimana?" "Di kota ini. Di dekat Simpang Tembok.."
"Dalam penyerbuan malam kemaren?"
"Ya" "Dia ikut PRRI?"
"Ya" "Ikut menyerbu masuk kota?"
"Ya. Dia ikut menyerbu bersama pasukan Dahlan Jambek, pasukan Sadel Bereh, pasukan Mantari Celek,
Beruang Agam. Jumlah mereka diperkirakan mendekati atau lebih dari seribu orang."
"Ya Tuhan, apakah mereka akan merebut kota?"
"Saya tak tahu, buyung. Tetapi yang jelas, malam tadi pasukan APRI tetap bertahan di kantong-kantong
pertahanan. Tapi begitu pagi tiba, mereka mulai mengejar pasukan PRRI. Pasukan PRRI mundur karena
kebanyakan mereka telah kehabisan peluru menembak-nembak sepanjang malam. Mereka diburu ke arah
Gadut, Tilatang Kamang dan Padang Luar Kota. Diburu dengan panser, tank dan mustang yang datang dari
Padang. Kau tahu, Kolonel Dahlan Jambek kabarnya malam kemaren berada di sekitar Villa Tanjung di Gurun
Panjang memberikan komando."
Si Bungsu tak berkomentar. Kari Basa menceritakan jalannya penyerangan malam tadi.
"Bapak berada di luar malam tadi?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 378
"Tidak. Tapi saya mendengar cerita di kedai kopi di mana kita bertemu kemaren".
"Pak Baheramsyah, meninggal karena apa?"
"Ditembak APRI. Dia sudah diperintahkan untuk menyerah. Tapi dia ingin bertemu dengan keluarganya
yang ada di daerah Tembok. Dia menyelusup dari Lambau.
Jika sudah bertemu dengan keluarganya, dengan anak-anaknya yang kecil-kecil, dia berniat mundur
bersama pasukan Sadel Bereh yang memang masuk dari arah Gadut lewat Tembok. Tapi ternyata ketika dia
sampai, pasukan Mobrig di bawah pimpinan Sadel Bereh telah mundur. Dia terkepung oleh pasukan APRI. Ingin
melawan. Disuruh menyerah, tapi dia menembak. Sampai akhirnya dia tertembak mati. Begitu cerita yang saya
dengar?" "Bapak melihat mayatnya?"
"Tidak, tapi dua lelaki yang kemaren di kedai itu melihatnya. Mereka PRRI. Saya sudah mencoba melihat
mayatnya di rumah sakit. Tapi tak bertemu. Terlalu banyak mayat. Bertimbun, bergelimpangan".
Sepi sesaat. "Nah Bungsu. Engkau telah mendengar bagaimana duduk perkaranya. Terserah padamu untuk
menentukan langkah selanjutnya?"
Sepi lagi. Kari Basa bangkit. Karena di rumah itu tak ada orang lain, dia lalu pergi ke dapur, memasak air
dan membuat kopi. Sambil minum kopi mereka bercerita tentang pengalaman masa lalu. Kari Basa
menanyakan pengalaman Si Bungsu di Jepang. Menanyai perkelahiannya dengan Saburo Matsuyama. Si Bungsu
menceritakan seadanya. Pagi itu, atas saran Kari Basa, Si Bungsu menukar pakaiannya. Pakaian gunting cina
itu sudah dikenal oleh OPR sebagai yang membunuh teman mereka di Simpang Aur. Kari Basa membelikan dua
stel pakaian di pasar atas. Membelikan perban untuk luka di kepalanya. Ketika Kari Basa pulang dari pasar dia
membawa cerita tentang korban-korban yang berjatuhan malam tadi.
"Mereka dikuburkan di suatu tempat secara massal?"
"Satu kuburan bersama?"
"Ada dua atau tiga kuburan panjang. Di dalamnya berisi empat atau lima puluh mayat?". "Tak ada mayat
yang disembahyangkan, dikafani atau dimandikan?"
"Dalam perang hal-hal begitu tak sempat difikirkan orang, Bungsu. Masih untung mayat itu dikebumikan.
Kalau dilempar saja di Ngarai misalnya, siapa yang akan menuntut?"
Si Bungsu menarik nafas. Ada sesuatu yang terasa runtuh di relung hatinya. Alangkah ganasnya
peperangan. "Ya, perang ini memang ganas, Nak"
Ujar Kari Basa seperti bisa menerka jalan fikiran Si Bungsu, dan tak ada seorangpun diantara kita yang
mampu meramalkan, bila perang ini akan berakhir?"
"Tapi, saya dengar di Pekanbaru tak ada lagi peperangan?"
"Di kota itu memang tidak. Operasi di sana dilaksanakan pada tanggal 12 Maret yang lalu. Dipimpin oleh
Letkol Kaharuddin Nasution dan Letkol Udara Wiriadinata dengan mengerahkan pasukan RPKAD. Pekanbaru
perlu mereka rebut dahulu, sebab di sana ada kilang minyak Caltex. Pemerintah tak mau kilang minyak itu
menjadi sebab ikut campur tangannya pemerintah asing dalam urusan Indonesia. Lagipula dari seluruh daerah
yang memberontak, maka di Sumatera Barat inilah yang berat. Pemerintah Pusat mengakui hal itu. Sebab di
daerah ini berhimpun tokoh-tokoh militer dan tokoh politik yang tak dapat dianggap enteng. Baik di tingkat
nasional maupun di tingkat internasional. Perang ini lambat laun memang akan berakhir, tapi korban akan
jatuh sangat banyak sebelum tiba saatnya peluru terakhir ditembakkan?"
"Menurut bapak, adakah kemungkinan bagi PRRI untuk memenangkan peperangan ini?"
"Saya tak berani meramalkan. Tapi ada beberapa indikasi yang barangkali bisa diungkapkan. Pertama, dua
daerah yang diharapkan menjadi daerah pendukung utama, yaitu Riau dan Tapanuli, kini telah dikuasai
sepenuhnya oleh APRI. Artinya, Sumatera Barat kini berdiri sendiri, terkepung di tengah. Barangkali saja ada
harapan untuk mendapatkan bantuan senjata dari Armada VII Amerika Serikat lewat Lautan Hindia. Tapi
Lautan Hindia dan seluruh pantai barat kini sudah dikuasai APRI di bawah komando Ahmad Yani. Memang ada
droping senjata, peralatan dan lain-lain dari Amerika lewat udara. Tapi banyak yang jatuh ke rimba belantara
atau jatuh ke tangan APRI. Maka andalan utama PRRI kini adalah rakyat di desa-desa. Rakyat sebahagian besar
memang simpati pada mereka.
Membantu mereka membelikan obat-obatan di kota. Membantu mereka dengan makanan. Rakyatlah
tulang punggung mereka. Hanya sayangnya, di beberapa kampung sudah terdengar mereka menganiaya
rakyat. Merampok, memperkosa, membakar rumah. Saya yakin perbuatan itu dilakukan bukan oleh tentara
PRRI. Melainkan oleh segolongan orang yang katanya menggabung pada PRRI, tetapi justru mempergunakan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 379
kesempatan untuk melampiaskan dendam dan nafsunya saja. Banyak di antara mereka ini yang berasal bukan
dari tentara. Misalnya dari preman, tukang angkat, tentara pelajar dan lain-lain. Memang tak semua mereka
yang melakukan. Hanya beberapa pasukan kecil yang tak terkontrol. Namun bukankah orang-orang tua telah
menyediakan pepatah "karena nila setitik, rusak susu sebelanga?" Jika hal ini tak cepat disadari pimpinanpimpinan PRRI, maka pelindung utama mereka, yaitu rakyat, justru akan marah pada mereka?"
Sepi lagi sesaat. "Hari ini, kau pergilah kemana saja dalam kota ini, Bungsu. Maka kau akan mendengar isak tangis yang
menyayat. Tangis dari isteri yang kehilangan suami. Tangis dari kanak-kanak yang kehilangan ayah. Tangis dari
ibu-ibu yang kematian anak lelakinya dalam usia remaja. Yang mati dalam peperangan kemaren?"
"Tidak. Saya takkan kemana-mana?"
"Ya, sebaiknya engkau tak usah kemana-mana, anak muda. Saya khawatir pada keselamatanmu.
Bukannya karena mencemaskan engkau ditangkap APRI, tapi saya cemas engkau tak tahan mendengar isak
tangis orang-orang yang kehilangan itu?"
Dan sehari itu, Si Bungsu memang tak keluar rumah. Dia duduk diam-diam di ruang tamu.
Mendengarkan siaran radio PRRI yang menyiarkan bahwa malam kemaren mereka mendapat kemenangan
besar ketika menyerang Bukittinggi. Banyak tentara APRI yang berhasil ditembak mati. Banyak senjata yang
direbut. Pasukan PRRI baru meninggalkan kota setelah mereka berhasil mengumpulkan banyak bedil dan
perlengkapan lainnya. Mereka meninggalkan kota tanpa ada perlawanan yang berarti. Sebaliknya, radio
Pemerintah Pusat juga menyiarkan berita penyerangan malam tersebut. Disiarkan bahwa PRRI berusaha
menyerang kota. Tapi berhasil dipukul. Malah ratusan anggotanya mati tertembak. Puluhan dapat ditangkap
dan ditawan. Banyak senjata PRRI yang ditinggalkan begitu saja tergeletak bersama ratusan mayat
pemberontak. Si Bungsu hanya menarik nafas panjang mendengar siaran radio yang saling bertolak belakang
itu. Padahal di kota, yang tersisa adalah isak tangis dan luka yang amat dalam di jantung sejarah.
Hari ke tiga Si Bungsu di rumah Kari Basa tiba-tiba pintu diketuk. Ketika dibuka, tak ada kesempatan
berbuat apa-apa. Empat orang tentara kelihatan tegak dalam pakaian loreng-loreng. "Maaf, kami hanya
Bukit Kematian 1 Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris Pangeran Berdarah Campuran 8
^