Pencarian

Tikam Samurai 17

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 17


melakukan pemeriksaan. Pagi tadi ada tentara terbunuh di pasar. Ditikam oleh seorang lelaki tak dikenal
dengan pisau. Berapa orang yang tinggal di rumah ini?" "Dua orang?", jawab Kari Basa.
Tentara itu menatap tajam. Pangkatnya Sersan Kepala.
"Ini rumah pak Kari Basa bukan?"
"Ya. Sayalah Kari Basa?"
Tentara itu memberi hormat dengan sikap sempurna. "Kami sudah diberi tahu tentang siapa bapak. Tapi
maafkan, kami harus memeriksa kartu penduduk?"
Kari Basa mengeluarkan kartu penduduknya, kemudian memberikannya pada Sersan itu. Si Sersan
mengamatinya. Kemudian mengembalikan kartu itu. Lalu matanya menatap pada Si Bungsu yang tegak tak jauh
dari ruangan tamu itu juga.
"Dia keluarga bapak?""
"Ya, ponakan saya?"
Kari Basa sebenarnya ingin melindungi Si Bungsu. Tapi jawabannya sebentar ini justru membuat
perangkap pada anak muda itu. Sesuatu yang memang tak bisa diduga sebelumnya. Bahkan oleh Kari Basa
sendiripun, meski dia adalah bekas perwira intelijen lan di zaman penjajahan Belanda dan zaman Jepang.
Perangkap itu segera kelihatan ketika Sersan itu minta izin melihat kartu penduduk Si Bungsu. Si Bungsu
memberikannya. Sersan itu meneliti. Kemudian tatapan matanya bergantian memandang Si Bungsu dan Kari
Basa. Kari Basa segera menyadari kekeliruannya.
"Maafkan saya, Pak Kari. Menurut data yang ada pada kami, Bapak tak punya ponakan. Bapak punya
seorang anak gadis. Bernama Salma dan kini jadi isteri Overste Nurdin. Atase militer Malaya di Kota Singapura.
Begitu bukan?" Kari Basa tak bisa menjawab.
"Maaf, kami ingin membawa Saudara ini?"
"Tapi, bukankah dia punya kartu?"
"Ya, kartu Padang. Dia tak pernah melapor bila dia datang dan berapa lama ingin tinggal di kota ini?".
"Tapi tak ada kewajiban begitu?", ujar Kari Basa memprotes.
"Dalam suasana begini, kewajiban apapun bisa saja diadakan, Pak Kari?"
"Baiklah. Tapi saya akan ikut serta. Saya ingin bertemu dengan komandan saudara.."
"Siap, silakan Pak?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 380
Si Bungsu memang tak bisa berbuat lain di bawah ancaman ujung bedil itu. Dia mengikut saja ketika
dibawa ke markas tentara. Kari Basa dibawa bertemu dengan Komandan RTP yang berkedudukan di kota itu.
Tapi sang komandan sedang operasi keluar kota. Itulah malangnya bagi Bungsu. Dia harus tinggal di sel
tahanan. "Besok saya akan kemari. Saya harap engkau menjaga diri baik-baik?" ujar Kari Basa saat pamitan,
ketika segala usaha tak bisa dia lakukan untuk membawa Si Bungsu pulang.
"Engkau memerlukan senjata?" bisik Kari Basa cepat ketika pengawal lengah.Si Bungsu menggeleng.
"Tapi?" "Saya benar-benar merasa aman di sini, Pak. Saya harap Bapak tak usah khawatir?"
"Tapi samuraimu tinggal di rumah"."
"Itulah justru yang menyebabkan perasaan saya benar-benar aman?"
Sudah agak malam barulah Kari Basa pulang ke rumahnya. Si Bungsu dimasukkan ke sebuah sel. Sel itu
sebuah ruangan cukup lebar. Di dalamnya ada tiga lelaki. Yang seorang masih bisa dikenal. Rapi tapi pucat.
Yang dua lagi sudah tak menentu. Darah kental kelihatan mengalir di sela bibirnya yang bengkak. Pipinya
benjol-benjol. Rambutnya kusut masai. Yang seorang berpakaian kuning seperti polisi. Yang satu lagi berbaju
hijau seperti tentara. Ketiga lelaki itu menatap padanya begitu dia masuk. Tak ada balai-balai. Yang ada hanya
lantai yang dingin. Si Bungsu tertegun melihat ketiga orang itu.
"Assalamualaikum?" katanya perlahan.
Tak ada yang menjawab. Yang berpakaian masih agak rapi itu mencoba tersenyum. Namun senyumnya
cepat berobah jadi mimik agak takut. Lalu menoleh ke arah lain. Sedangkan yang seorang lagi, yang bibirnya
berdarah dan berbaju seperti polisi, tetap diam membisu. Yang berbaju tentara dan bibirnya juga berdarah,
bengkak di sana-sini, hanya sekejap memandang. Lalu menoleh ke tempat lain. Ketiga mereka duduk di lantai,
bersandar ke dinding. Yang berdarah dan bengkak-bengkak itu duduk di dinding yang menghadap ke pintu.
Yang rapi di dinding sebelah kanan. Tempat yang masih kosong adalah dinding sebelah kiri pintu. Si Bungsu
menuju dinding itu. Lalu duduk di lantai dan bersandar.
Kini dalam sel itu ada empat orang. Tiga orang bersandar di tiga sisi dinding. Sebuah dinding disandari
oleh dua orang, yaitu yang bibirnya berdarah dan mukanya bengkak-bengkak. Yang memakai baju kuning
seperti polisi dan baju hijau seperti tentara. Sisi lain disandari oleh yang rapi tapi berwajah pucat. Sisi satu lagi
disandari Si Bungsu. Dinding yang tidak disandari adalah sisi dimana terletak pintu masuk. Mereka yang ada
dalam sel tahanan itu semua pada terdiam. Sama-sama membisu. Hari belum terlalu larut, tapi udara dingin
sudah menusuk-nusuk. Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang CPM berpangkat kopral masuk. Tegak di sisi pintu,
memberi hormat dan kemudian masuk seorang Kapten CPM beserta seorang stafnya berpangkat Sersan Mayor.
Keempat orang yang ada dalam tahanan menatap pada mereka.
(109) "Berdiri!" perintah kopral itu.
Keempatnya berdiri. Si Sersan membuka map di tangannya. Lalu menjelaskan pada si Kapten. "Yang
berbaju kuning bernama M. Bintara, penghubung pada pasukan Dahlan Jambek. Yang berbaju hijau bernama
D, Inspektur polisi pada Batalyon Sadel Bereh. Ini yang berbaju lengan panjang adalah pedagang yang diduga
mata-mata PRRI. Yang satu ini baru saja ditangkap siang tadi di rumah pak Kari Basa, di daerah Panorama.
Punya kartu penduduk Padang, tapi mata-mata kita tak pernah melihat orang ini sebelumnya di kota"." "Besok
pagi suruh semuanya menghadap saya sebelum bertemu dengan komandan RTP." "Siap!"
Kemudian Kapten itu pergi. Kopral CPM tadi menutup pintu. Suasana di ruangan itu kembali sepi. Namun
kini sekurang-kurangnya mereka sudah saling mengetahui orang-orang yang ada dalam ruangan tersebut.
Kedua orang yang bengkak-bengkak itu sejenak menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu diam saja. Lelaki yang
disebut sebagai pedagang merangkap mata-mata, yang masih rapi itu, tiba-tiba merogoh kantong.
Mengeluarkan sebungkus rokok Double As. Dia bangkit, menuju pada dua orang yang bengkak-bengkak itu.
"Silahkan"," katanya menawarkan rokok.
Kedua orang itu saling pandang.Kemudian menatap orang yang menawarkan rokok itu.
"Silahkan merokok ?"kata lelaki itu lagi.
Kedua lelaki itu mengambil satu batang seorang.Ketika mereka meletakkan ke bibir, lelaki rapi itu
menghidupkan korek api dan membakarkan rokok kedua lelaki itu.
"Terima kasih?"ujar mereka perlahan sambil menghirup asap rokoknya dalam-dalam.
Lelaki itu tegak,berjalan mendekati Si Bungsu seperti tadi, dia menawarkan pula rokok itu pada Si
Bungsu. Si Bungsu menolak dengan mengatakan bahwa dia tak merokok. Saat itu kembali terdengar pintu
terbuka. Tiba-tiba Si Bungsu merasa jadi dirinya tegang. Di pintu kelihatan tegak seorang OPR, Nuad Sutan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 381
Kalek! Ya dialah itu, Nuad mata-mata yang lihai itu. Beberapa hari hari lalu lehernya pernah diancam Si Bungsu
dengan samurai. Menyeretnya sampai ke Tambuo untuk melindungi diri dari tembakan tentara. Nuad, si OPR
itu bersama seorang temannya yang juga OPR, segera mengenali Si Bungsu. "Benar, Benar dialah
orangnya"!"seru Nuad.
Suara langkah ramai-ramai terdengar mendekati kamar tahanan itu. Dalam waktu singkat, ruangan itu
penuh sesak oleh tentara. Semua melihat ke Si Bungsu yang masih duduk sambil bersandar ke dinding dengan
diam kedinding. "He, kau berdiri!" seorang tentara memberi perintah.
Si Bungsu berdiri. Tentara itu menggeledah tubuhnya.
"Tak ada apa-apa?"katanya.
"He, mana samurai yang kau buat mengancam tempo hari..!"ujar Nuad sambil maju mendekat. "Sudah
saya buang?"jawab Si Bungsu.
Sebuah tamparan mendarat dipipi Si Bungsu.
"Babi! Dulu berani-beraninya kau mengancamku, he! Ini! ini!..inii!"bentaknya.
Setiap ucapan "ini"nya itu, sebuah pukulan atau tendangan dia hantamkan ke tubuh Si Bungsu. Si Bungsu
terhuyung-huyung ke dinding. Tapi begitu OPR itu berhenti menanganinya, dia menatap dengan mata yang
berkilat dingin. "Ooo, melawan kau ya!"bentak Nuad.
Tapi ketika akan menampar lagi, tangannya ditangkap seseorang. Ketika dia menoleh, ternyata
tangannya di pegang oleh seorang Sersan. Sersan yang tadi menangkap Si Bungsu di rumah Kari Basa.
"Kabarnya kau menangis waktu diancam dengan samurai itu, benar Nuad?"tanya Sersan itu.
Ucapan ini di sambut tertawa bergumam oleh beberapa tentara lain yang memadati ruangan itu.
"Menangis" Puih! menghadapi anak ingusan ini aku menangis" Taiklah!"
Sehabis ucapan, kakinya melayang. Menghantam perut Si Bungsu. Kembali anak muda itu tersandar dan
tersurut ke dinding. Tapi matanya yang berkilat seperti memancarkan api.
"Kau berani menghadapinya, satu lawan satu?"Sersan itu bertanya lagi.
"Saya" Heh, saya khawatir anak ini akan mati sekali saya pukul!"jawab si Nuad.
"Kau berani melawan orang ini, Bung?"
Sersan itu mengajukan "tawaran" pada Si Bungsu. Tapi yang ditanya hanya diam. Masih bersandar
kedinding. Si Sersan kembali bertanya lagi, akhirnya Si Bungsu mengangguk perlahan. Anggukannya di sambut
tepuk tangan tentara yang ada dikamar itu. Segera mereka keruangan yang lebih besar. Tentu saja ketiga teman
Si Bungsu tak bisa ikut. Mereka di kunci di kamar itu. Si Bungsu kini berada dikamar yang cukup luas. Lebih
dari sekitar dua puluh tentara sudah tegak disekitar ruangan. Nuad sudah tegak pula ditengah. Si Bungsu
dibawa tegak tiga depa dari Nuad. Dia ditinggalkan disana. Tegak sendiri!
"Nah, segera mulai?"kata Sersan itu.
Pertarungan ini adalah seperti adu ayam. Tapi siapa dengan negeri yang sedang SOB, bila seseorang
lelaki yang punya sangkut paut dengan peperangan hilang, tak usah terlalu banyak berharap dia akan kembali.
Dalam negeri yang SOB, yang berkuasa bukan orang-orang. Yang berkuasa bedil. Bedil tak punya otak untuk
menimbang patut atau tidak patut. Si Bungsu tegak diam didepan OPR yang mata-mata itu. Dikelilingi oleh
tentara APRI. Masih syukur Sersan yang menangkapnya itu mau mengadu mereka berkelahi. Bagaimana kalau
dibiarkan saja. Artinya OPR itu dibiarkan menghajarnya sampai lumat. Dia pasti tak dapat membalas. Kini
kesempatan untuk membalas itu ada.
Dia tahu, kalaupun menang, maka kemenangannya hanya akan mendatangkan bencana pada dirinya.
Artinya, kalah atau menang dalam perkelahian seperti adu ayam ini, akibat bagi dirinya hanya satu,
Penderitaan! Oleh karena akibatnya tetap sama, makanya dia harus memenangkan perkelahian itu. Pikirannya
terputus ketika tiba-tiba Nuad yang bertubuh tinggi besar itu menerjangnya. Si Bungsu mengelak. Tapi
terlambat. Ujung tendangan OPR itu menyerempet rusuknya.
Dia terjajar kepinggir. Dari pinggir ada yang menendang punggungnya. Dia terjajar lagi ketengah. Rasa
sakit menyelusup. Nuad menyerang lagi, tapi dengan cepat Si Bungsu mengelak. Pukulan Nuad meluncur diatas
kepalanya. Ada suara bergalau dari beberapa tentara yang berjajar di sekitar ruangan.
Kini mereka berhadapan. Tendangan dari salah seorang dari tentara tadi memberikan kesadaran pada
Si Bungsu, bahwa dia kini berada disarang harimau! Tendangan sepatu berduri dipunggung terasa mendatang
rasa ngilu. Dia tak hanya tak boleh kalah, tapi tak boleh juga tersandar pada kerumunan tentara di sekilingnya.
Kalau dia sampai tersandar lagi pasti punggungnya akan kena hajar lagi. Nuad menghayun tinju,Si Bungsu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 382
mengelak dan membalas dengan sebuah pukulan cepat. tapi tangannya ditangkap Nuad, dengan cepat Si
Bungsu mengirimkan pukulan dengan tangan kiri, tapi tangannya kirinya ditangkap lagi!
OPR ini memang luar biasa, pesilat yang tak boleh dianggap enteng. Tangannya yang memegang kedua
tangan Si Bungsu diputar. Si Bungsu berusaha bertahan, tapi dibawah gemuruh suara tentara yang menonton,
tubuhnya terseret berputar mengelilingi tubuh Nuad. Makin lama makin kencang. Kakinya terangkat beberapa
kali karena kehilangan keseimbangan. Kedua tangannya terkunci pada genggaman Nuad.
Ruangan ini dirasakannya mulai berputar. Suatu saat OPR itu melemparkan tubuh Si Bungsu. Tanpa bisa
bertahan sedikitpun, tubuhnya meluncur menabrak palunan tentara. Dirinya ditangkap ramai-ramai, setelah
di pukul dan ditendang beberapa kali, kembali tubuhnya di lemparkan ketengah.
Suara hiruk pikuk itu nyaris tak terdengar ketika tubuhnya jatuh ditengah ruangan, Lalu sebuah injakan
sepatu berduri Nuad membuat dia ingin muntah.
Terdengar tepuk tangan. Suara tertawa. Si Bungsu merangkak bangkit. Lalu Nuad mendekat dan
mengayunkan sebuah tendangan yang mendarat didagu Si Bungsu, sampai tubuhnya terangkat keatas karena
tendangan berkekuatan penuh itu. Lalu terlempar, dan terhempas lagi kelantai. Dia hampir tamat. Darah
meleleh dibibirnya yang pecah dan hidungnya yang remuk.
Seseorang menyiram wajahnya dengan air yang berasal dari penples, tempat air militer. Bibirnya yang
pecah terasa pedih. Namun air itu membuat kesadarannya agak lebih baik. Kenapa secepat itu dia ditaklukkan
Nuad" Padahal dia mahir Karate dan Yudo yang dilatih oleh temannya yang bernama Kenji ketika di Jepang".
"Hei, ayo berdiri!" dia dengar seruan orang-orang.
Dia masih menelungkup beberapa saat. Mengembalikan kesadarannya lebih penuh. Memulihkan
tenaganya perlahan-lahan. Ketika ada yang menendang kakinya, dia lalu bangkit. Kini orang yang berdiri di
depannya sudah bertukar. Bukan lagi Nuad. Tapi OPR lain. Nuad kelihatan tegak di sudut seperti seorang hero.
Seolah-olah Si Bungsu bukan tandingannya. Seolah-olah perkelahian sebentar ini menurunkan martabatnya
saja. Dengan tatapan yang amat merendahkan, nampaknya dia "mewakilkan" perkelahian itu pada temannya
sesama OPR. Si Bungsu tegak dengan kesadaran lebih baik dari tadi. Dia sempat melirik betapa Nuad yang
sedang menghisap rokok dengan sikap petentengan. "Kau coba saja dengan Siswoyo"!" ujar Nuad padanya.
Ucapannya disambut dengan tawa oleh tentara yang memenuhi ruangan itu. OPR yang bernama Siswoyo
itu maju. Perlahan Si Bungsu menyusun konsentrasi. Berapa lamakah dia tak lagi berkelahi" Dan yang lebih
penting sudah berapa lamakah umur sumpahnya, bahwa dia takkan mempergunakan kekerasan kepada
bangsanya sendiri" Tidak, sumpah itu sudah batal sejak peristiwa dengan Nuad, si OPR, beberapa hari yang lalu
di Simpang Aur kuning. Bukankah dia sudah berniat untuk tak kalah" Siswoyo, OPR yang kampungnya entah
di mana di Jawa sana, bergerak maju dengan mengirimkan sebuah pukulan. Namun yang dia hadapi kini adalah
seorang lelaki yang telah pulih ingatannya. Lelaki yang telah masak oleh seribu pertarungan.
Mulai dari zaman Jepang dan agresi Belanda ketika dia masih berusia dua puluhan, sampai ke Jepang.
Singapura dan Australia. Kini, ketika Siswoyo mengirimkan sebuah pukulan, pukulan Si Bungsu justru
menyongsong amat cepat dan amat telak. Yang kena adalah kening Siswoyo. Lelaki itu pada mulanya hanya
tersurut dua langkah. Tapi setelah itu beruntun terjadi hal yang aneh. Mula-mula matanya jadi juling. Kemudian
tegaknya sempoyongan. Lau tubuhnya berputar. Lalu jatuh di atas kedua lututnya. Si Bungsu masih tegak di
depannya, dalam jarak tiga depa dengan tenang.
"Hayo Sis! Bangkit. Hajar pemberontak itu!" terdengar seruan-seruan.
Namun tubuh Siswoyo tiba-tiba jatuh tertelentang. Mulutnya berbuih. Matanya yang juling pada putih
semua. Dua tentara maju serentak, memegang nadi dan meraba dada Siswoyo. "Semaput?", ujar tentara itu.
Suasana jadi sepi. Sekali pukul Siswoyo yang berdegap itu bisa keblinger pingsan" Ah, apakah ini suatu
kebetulan atau Siswoyo salah mengatur pernafasannya" Tak mungkin anak muda itu tiba-tiba menjadi begitu
tangguh. Padahal sebentar tadi dia jadi mainan oleh Nuad. Tiba-tiba terdengar suara.
"Awas, saya hajar orang Minang yang jadi mata-mata gerombolan ini".!"
Orang berkuak. Yang ngomong adalah Nuad, OPR yangg tadi menghajar Si Bungsu. OPR yang beberapa
hari lalu mengaku orang Bukittinggi, orang Kurai. Yang memohon-mohon sambil menangis agar nyawanya
diampuni. Ngeri melihat mata samurai Si Bungsu ketika dia diancam di Tambuo. Kini, dengan pongah dia bilang
akan menghajar "orang Minang" yang jadi mata-mata gerombolan!
Si Bungsu menatap dengan tajam. Sinar kebencian yang hebat membersit dari matanya. Beberapa
tentara yang kebetulan tegak di depannya, merasa bulu tengkuk mereka merinding melihat tatapan mata anak
muda itu. "Saya akan layani Saudara, dengan syarat Saudara menyebutkan dimana kampung Saudara?" ujar Si
Bungsu dengan nada datar.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 383
Suaranya terdengar jelas. Tak urung pertanyaan itu membuat Nuad tertegun.
"Jangan banyak bicara, buyung. Atau kau ingin mengulur-ulur waktu, agar lebih lambat saat datangnya
kematianmu?" "Saya orang Situjuh Ladang Laweh. Orang Minangkabau. Saya tak malu mengaku sebagai orang
Minangkabau, meski negeri saya memberontak. Dan meski saya tak ikut memberontak, tapi saya tak pernah
menghina orang-orang Minang lainnya yang lari ke rimba. Saya ingin dengar di mana kampung Saudara".
Nuad kaget mendengar ucapan anak muda ini. Dia tertegak menghentikan langkahnya. "Katakan, Nuad.
Dimana kampungmu. Atau karena di ruangan ini banyak orang dari Jawa, lantas kau malu mengaku sebagai
orang Minang?" ujar Si Bungsu tajam.
"Jahanam kau. Aku orang Bukittinggi. Tapi aku tak masuk kelompok pemberontak busuk seperti kalian!"
"Nah, dengarkan baik-baik, Nuad. Jika hari ini seluruh gigimu kurontokkan, maka itu bukan karena kau
jadi OPR. Bukan karena kau orang Pusat. Tapi karena mulut dan ucapanmu yang beracun itu".
Ucapan Si Bungsu terputus, karena tiba-tiba dengan penuh keyakinan, Nuad menyerang dengan dua kali
tendangan silat yang tangguh. Tapi anak muda yang dia hadapi kini adalah anak muda yang telah siap. Si Bungsu
mengelak ke samping, lalu kakinya menyapu kaki Nuad yang sebelah, yang tegak di lantai. Gerakan itu demikian
cepat dan demikian telak. Kaki Nuad yang sebelah itu tersapu dan tubuhnya terputar di udara. Lalu jatuh
berdembum ke lantai! Jika mau, Si Bungsu bisa menyusul sapuan kaki itu dengan sebuah hentakan tumitnya ke dada Nuad yang
jatuh tertelentang. Tapi itu tak dia lakukan. Dia tetap tegak menanti. Suasana yang tadi riuh rendah tiba-tiba
berobah jadi sepi. Nuad merangkak bangkit dengan sakit di punggung dan rasa heran di hati. Apakah dia jatuh
karena serangan anak muda itu atau karena lantai yang licin hingga dia tergelincir" Dia lihat anak muda itu
masih tegak dua depa di kirinya.
Hm, aku pasti tergelincir karena lantai licin. Bukan karena serangan. Mana bisa anak itu menyerang dan
merubuhkanku, pikir Nuad menentramkan hatinya. Dia bangkit. Kalau mau, saat itu Si Bungsu bisa membalas
dengan menendang dagu Nuad. Persis seperti yang dilakukan OPR itu tadi pada dirinya. Tapi dia telah belajar
berkelahi secara sportif. Dia tak mau mengambil keuntungan ketika lawan dalam posisi sulit begitu. Dia nanti
OPR bertubuh besar itu tegak.
OPR itu tegak dan menggelengkan kepala dua tiga kali untuk menghilangkan rasa puyeng. Lalu
menggeram dan membuat ancang-ancang silat. Kemudian setelah melirik-lirik dua tiga kali, dia menyerang
dengan pukulan dahsyat dan cakaran-cakaran berbahaya. Namun kali ini, ganti tangannya yang akan mencakar
itu kena tangkap. Dan sebelum dia sadar sepenuhnya, Si Bungsu membalik sambil menyentakkan tangan Nuad.
Tubuh Nuad tertarik rapat ke punggung Si Bungsu.
Dengan sebuah gerak membungkuk yang cepat dan kuat, tubuhnya terangkat melayang lewat kepala Si
Bungsu, dan dirinya kembali jatuh dengan suara berdembam yang pedih ke lantai batu! Dia kena bantingan
soinage, sebuah banting Judo yang telak. Terdengar seruan kagum, kaget dan heran dari mulut tentara-tentara
itu. Si Bungsu membiarkan tubuh Nuad tergeletak nanar. Dia merasakan kepalanya berdenyut. Tapi yang paling
sakit adalah pinggulnya yang serasa remuk menerkam lantai.
"Kau takkan jadi terhormat hanya dengan menghina orang kampungmu, Nuad!" ujar Si Bungsu perlahan.
Nuad menyeringai, bukan karena ucapan Si Bungsu. Tapi karena kenyataan pahit yang dia dapati.
Ternyata anak muda itu tak mudah dia taklukkan. Tapi, betapapun, dia harus menghajarnya. Bukankah
tubuhnya lebih besar dan dia lebih ditakuti" Perlahan dia bangkit. Tegak dengan pinggul agak dimajukan ke
depan karena sakit. Sebenarnya dia sudah ingin menyudahi saja perkelahian ini. Tapi dia malu.
Lagipula, apa yang dia takuti" Bukankah dia berada di pihak APRI dan anak muda ini di pihak PRRI"
Dengan pikiran demikian, dia membuka kopelriem-nya. Ikat pinggang tentara besar dan berbesi-besi itu dia
lecutkan pada Si Bungsu. Namun sekali lagi, tangan anak muda itu mengirimkan pukulan yang amat cepat, dan
kuat, ke perut Nuad. Tubuh anggota OPR itu terlipat ke depan.
Lalu sebuah tendangan menghantam dadanya. Nuad tertegak lagi. Lalu sebuah pukulan telak dan kuat
sekali, menghantam mulutnya. Darah merah mengucur deras ketika kepalanya terdongak ke belakang.
Siapapun yang berada dalam ruangan itu merasa pasti, bahwa paling tidak delapan buah gigi Nuad, atas dan
bawah, telah rontok oleh pukulan seperti palu besi itu. Dan kesombongan mata-mata APRI itupun runtuh.
(110) Runtuh dengan rubuhnya tubuhnya yang besar itu. Tak ada kesombongan dan ketangguhannya yang
tersisa. Semua telah tersikat habis. Dia jatuh dalam keadaan lebih nista daripada temannya yang bernama
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 384


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siswoyo tadi. Tak ada arti silat harimau yang dia panggakkan itu. Tak ada lagi Nuad yang ditakuti. Tak ada Nuad
mata-mata kesohor itu. Tak ada! Yang ada kini hanya seonggok tubuh tak bertenaga dengan mulut berdarah
dengan banyak gigi yang rontok. OPR itu pingsan! Ketermanguan Si Bungsu setelah menghajar Nuad yang
sombong itu dikejutkan oleh tepuk tangan. Dia menoleh. Yang bertepuk tangan adalah tentara-tentara yang
tegak diseputar ruangan. Seorang Sersan malah maju, menyalami Si Bungsu.
"Kau hebat. Hebat" dan sportif. Selamat!"
Ucapnya jujur sambil mengguncang tangan Si Bungsu. Beberapa orang tentara maju pula menyalaminya.
Ketiga temannya yang ada dalam sel ternganga ketika dia diantarkan Sersan yang siang tadi menangkapnya di
rumah Kari Basa. "Sanak menghajar si kafir itu?" tanya yang berbaju polisi.
"Siapa yang kafir?"
"OPR celaka itu. Dia orang komunis. Dia kafir!"
Jawab si baju polisi penuh semangat dan penuh kebencian. Si Bungsu menatapnya.
"Semua tentara yang menyerang negeri kita ini kafir. Semua komunis" ujar orang itu kembali dengan
bersemangat. Si Bungsu menatapnya lagi.
"Dan semua orang yang memberontak di negeri ini adalah Islam?" tanyanya pelan.
"Ya. Kita semua Islam!"
"Termasuk yang merampok dan memperkosa perempuan di desa-desa sana?"
Orang berbaju polisi itu tertegun. Ganti dia menatap Si Bungsu.
"Saya tak tahu siapa sanak. Ucapan sanak seperti mata-mata. Apakah sanak juga seorang kafir?" Tangan
Si Bungsu melayang. Sebuah tamparan mendarat di pipi lelaki itu. Lelaki itu terjajar. Si Bungsu sudah berniat
menghajar PRRI yang seorang ini. Namun tiba-tiba dia merasa kasihan. Kasihan pada kebodohan dan fanatisme
irasional orang berbaju polisi itu. Lalu dia berkata perlahan:
"Saya cukup banyak melihat tentara PRRI yang tak pernah sembahyang. Apakah dia juga Islam" Saya
cukup banyak mendengar tentara PRRI merampok dan memperkosa perempuan di kampung-kampung.
Apakah juga dia orang Islam menurut ukuran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad" Sebaliknya saya cukup
banyak melihat tentara APRI yang sembahyang, yang berbuat baik.
Apakah semuanya kafir" Apakah asal dia PRRI adalah Islam dan asal dia APRI adalah kafir?" Yang ditanya
tak menjawab. Dia mengusap pipinya yang tadi kena tampar. Lalu menatap pada temannya yang berpakaian
tentara. Lalu menatap pada lelaki yang seorang lagi, yang berpakaian rapi. Dia seperti meminta bantuan untuk
menyokong pendiriannya. Untuk memperkuat pendapatnya tadi. Bahwa semua APRI yang menyerang ini
adalah tentara kafir. Namun tak seorangpun yang bicara. Justru Si Bungsulah yang bicara.
"Harap dibedakan, antara tujuan politik dan agama. Jangan yang satu digunakan untuk menutupi
maksud yang lain. Saya tak tahu kenapa saya ditangkap. Tapi yang jelas, saya sudah terlibat demikian jauh
dalam urusan yang saya tak tahu ujung pangkalnya. Kalian berperang melawan tentara pusat adalah untuk
menuntut pembangunan daerah yang lebih merata. Kenapa tiba-tiba harus dicap pusat adalah kafir?"
Ucapan ini diucapkan Si Bungsu perlahan saja. Seperti untuk dirinya sendiri. Karena diserang lelah, dia
membaringkan diri di lantai. Dingin lantai itu sesungguhnya, namun dalam keletihan yang sangat, apalah
artinya sebuah kedinginan dibanding dengan tubuh yang ingin istirahat. Dia tertidur. Sementara tiga lelaki
lainnya dalam tahanan itu masih saling bertukar pandang. Menjelang subuh Si Bungsu terbangun. Ada yang
menggoyangkan tangannya. Dia membuka mata. Tak seorangpun yang kelihatan dalam kegelapan di kamar
tahanan itu. Namun dia yakin, seseorang telah membangunkannya. Lalu terasa lagi, tangan sebelaah kanannya
ada yang menggoyang perlahan. Dia menahan nafas. Kemudian kembali terdengar suara bisikkan.
"Sanak?" Si Bungsu segera tahu, suara itu adalah suara salah seorang teman sekamarnya.
"Sanak?" kembali orang itu berbisik perlahan.
Dari suaranya Si Bungsu tahu, orang itu berbaring di sisinya.
"Sanak sudah bangun?"" orang itu menggoyangkan tangannya lagi.
"Ya?" jawab Si Bungsu pelan.
"Dengarlah, Sanak. Waktu saya tinggal sedikit?" ujar orang itu dengan suara yang ditekan serendah
mungkin. Nampaknya dia khawatir akan didengar oleh orang lain dalam kamar itu.
"Nama saya Sunarto. Saya adalah tahanan yang memakai baju hijau tentara yang sanak lihat siang tadi.
Saya dari pasukan Mobrig Batalyon Sadel Bereh. Saya tertangkap ketika saya akan mengambil surat dari
seorang kurir di Pintu Kabun. Mereka sudah mengetahui siapa saya. Saya adalah mata-mata. Hukuman bagi
orang semacam saya, setelah diperas semua pengakuannya, adalah hukuman tembak. Saya sudah beberapa
hari ditahan. Saya rasa, pagi ini saya akan ditembak. Sudah ada gerak begitu di hati saya. Sanak, saya tak tahu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 385
siapa Sanak. Tapi hati kecil saya berkata, bahwa Sanak orang yang baik. Sanak orang bersih. Hal itu dapat saya
baca sejak pertama Sanak masuk siang tadi. Dan semakin jelas ketika Sanak berbicara soal kafir dan Islam
dengan teman saya yang berbaju polisi itu. Saya ingin minta tolong pada Sanak. Saya punya sedikit uang. Saya
simpan di suatu tempat. Bukan uang rampasan. Tapi uang gaji saya. Saya tak pernah sempat mengirimkannya
untuk keluarga saya".," orang itu berhenti sebentar.
Udara dingin menusuk lewat lantai batu ke tubuh mereka. Kemudian orang itu menyambung lagi.
"Saya ingin Sanak mengambil uang itu. Saya mohon Sanak memberikannya pada keluarga saya. Pada
isteri dan enam orang anak-anak saya. Katakan saja bahwa saya tengah berjuang. Minta mereka untuk pulang
ke kampung. Nanti saya menyusul"." Orang itu berhenti lagi. Nafasnya terdengar memburu karena berbisik
terlalu lama. Si Bungsu masih tak tahu apa-apa. Dia tak tahu siapa isteri orang ini. Tak tahu di mana tinggalnya.
Dia menanti orang itu untuk menyampaikannya. Orang yang bernama Narto itu mulai menceritakan dimana
uang itu dia simpan. Di dalam tanah dekat sebuah pohon di sebuah kampung di pinggir kota Bukittinggi.
"Isteri saya kini berada di Matur. Jauh memang. Tapi saya mohon Sanak menyampaikannya. Suruh
mereka pulang?" "Pulang kemana?" tanya Si Bungsu.
"Ke kampung?" "Ke kampung mana?"
"Ke Semarang, di Jawa?"
"Semarang?" "Ya.." "Isteri saudara orang Jawa?"
"Ya. Saya juga. Ayah saya orang Semarang. Ibu saya orang Matur. Dahulu ayah saya datang kemari di
zaman penjajah Belanda. Kawin dan punya anak. Isteri saya itu saya kawini ketika kami pulang ke Semarang?"
Ada sesuatu yang terhunjam rasanya di jantung Si Bungsu tatkala mendapati kenyataan bahwa matamata PRRI ini ayahnya adalah "orang Jawa" sementara ibunya "orang Matur".
"Mereka tahu bapak orang Jawa?"
"Maksud sanak APRI?"
"Ya" "Mereka tahu semuanya. Darimana saya mereka sudah tahu. Karena itu mereka lalu membujuk agar
saya membocorkan rahasia yang saya ketahui. Tapi bagi saya kepatuhan pada atasan adalah sesuatu yang
mulia. Begitu umumnya bagi kami orang Jawa. Sungguh mati, saya tak lagi merasa sebagai orang seberang. Saya
merasa negeri inilah kampung halaman saya?",
Lelaki itu berhenti lagi. Namun Si Bungsu merasa hatinya diiris. Dan lelaki itu bicara lagi.
"Karena saya merasa negeri ini adalah negeri saya, maka saya tak mau membuka rahasia. Mereka lalu
menyiksa saya. Insya Allah, saya masih kuat menutup mulut. Saya yakin, mereka tak mau mengulur waktu. Saya
akan mereka bunuh. Tak apa. Saya tak mau teman-teman ditangkapi kalau saya membocorkan rahasia. Nah,
Sanak, itulah permohonan saya?" "Bagaimana kalau uang itu justru saya pakai. Saya bisa saja tak
menyampaikannya?" ujar Si Bungsu. "Tadi saya telah katakan. Saya tahu Sanak orang yang baik. Sanak orang
bersih. Kalaupun uang itu akhirnya Sanak yang memakai, saya tetap bahagia. Hanya tolong sampaikan pada
anak dan istreri saya, bahwa saya masih bertugas. Sanak, ini tanda pengenal saya. Sebuah kalung kecil dengan
bundaran timah sebesar ujung kelingking. Ambillah, tolong berikan pada isteri saya"."
Orang itu baru saja menyodorkan benda yang dia maksud ketika tiba-tiba pintu terbuka. Cahaya senter
menerobos masuk. "Tetaplah pura-pura tidur?" bisik lelaki bernama Sunarto itu setelah tanda pengenalnya berpindah ke
tangan Si Bungsu. Terdengar suara derap sepatu memasuki kamar. "Ini regu yang akan menjemput saya.
Selamat tinggal".sanak?"
Terdengar suara diikuti tendangan kaki bersepatu ke paha Sunarto.
"Hei, Narto. Berdiri! Komandan ingin bertemu denganmu?"
Lelaki itu seperti terkejut. Pura-pura ketakutan.
"Ayo cepat!" Lelaki itu bangkit. Sesaat, lewat matanya yang tak terpejam, Si Bungsu melihat lelaki itu menoleh
padanya. Lelaki dari Jawa yang berjuang untuk tanah Minang. Sesaat mata mereka seperti bertatapan di bawah
cahaya senter. Kemudian gelap. Yang terdengar kemudian adalah derap sepatu menjauh. Dan lelaki itu memang
tak pernah lagi kembali ke tahanannya. Dari para penjaga dia mendapat keterangan bahwa Narto dipindahkan
ke Padang. Namun Si Bungsu teringat bisikan lelaki itu.
"Tawanan seperti saya, Sanak, jika nanti Sanak dengar tak kembali kemari, lalu ada orang yang
mengatakan bahwa saya sudah dipindahkan ke penjara lain, maka itu berarti saya sudah ditembak mati.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 386
Mungkin di Ngarai di hutan Gadut. Mungkin di Tambuo. Mungkin di Ngarai di belakang Rumah Sakit. Mungkin
di Ngarai di belakang Bukit Cangang. Di sanalah saya akan dihabisi.
Bukan hanya saya, sudah puluhan jumlahnya para tawanan yang lenyap tak tentu rimbanya dengan
alasan pindah tahanan. Saya tahu dengan pasti Sanak, sebab saya adalah perwira intelijen di pasukan saya?"
Hari-hari setelah itu, suara bisikan lelaki yang ayahnya dari Jawa dan ibunya dari Matur itu seperti
mengiang kembali. Tapi di suatu malam, tiba giliran Si Bungsu yang dibangunkan. Persis seperti dulu Narto
dipanggil. Komandan ingin bertemu, itu alasannya. Dia diangkut dengan sebuah jip.
Meluncur arah keluar kota. Dinginnya udara malam terasa mencucuk sumsum. Tangannya diborgol ke
belakang. Matanya ditutup dengan sebuah benda yang mirip karung. Dia tak tahu kemana dibawa. Sesudah
berapa lama, mobil itu terasa berhenti. Si Bungsu tak bisa berbuat apa-apa. Ya, apa yang harus dia perbuat"
Dimana dia kini" Di salah satu Ngarai yang pernah disebutkan oleh Narto itukah" Di sinikah dia akan dihabisi"
Dia teringat ketika berada di Jepang, di Singapura, di Australia. Di sana dia telah bertarung menghadapi peluru
dan maut. Tapi masih hidup. Siapa sangka, malam ini dia mati justru di tangan bangsanya sendiri. Tapi,
bukankah dia telah menjelaskan semuanya pada Komandan RTP II tentang siapa dirinya" Dia teringat,
Komandan RTP II yang menanyainya itu adalah seorang Overste bernama Sabirin. Induk pasukannya adalah
Brawijaya. Perwira itu mendengarkan ceritanya dengan seksama. Perwira itu tegas tetapi ramah dan simpatik.
Si Bungsu hanya menceritakan tentang kenapa dia membunuh OPR itu di Aur Kuning. Samasekali dia
tak menceritakan bahwa dulu dia pernah berjasa membunuh puluhan tentara Jepang. Membunuh puluhan
tentara Belanda dalam Agresi di Pekanbaru. Tidak, dia tak ingin mencari selamat dengan menceritakan sesuatu
yang dia perbuat di masa lalu.
"Saya yakin, apa yang Saudara katakan adalah benar. Besok Saudara sudah bisa bebas?" ujar overste
itu. Tapi belum enam jam perwira itu bicara, kini dia diangkut dengan sebuah jip entah kemana dengan mata
tertutup. Apakah ucapan perwira APRI itu sebuah kebohongan belaka, untuk menutupi hukuman tembak yang
akan dia hadapi" Ah, rasanya seorang overste tak perlu berbohong begitu. Tak ada gunanya. Lamunannya
terputus ketika jip berhenti dan dirinya dipapah turun.
Dibawa ke dalam sebuah rumah. Lalu tutup matanya dibuka. Dia jadi silau. Dia kini berada di suatu
ruangan. Dalam ruangan itu ada beberapa tentara berbaret merah berbaju loreng, RPKAD! Dia kenal seragam
mereka dengan segera. Inilah pasukan kebanggaan tentara Indonesia itu. Inilah pasukan yang ditakuti lawan
dan kawan itu. Mereka kini menatap padanya. Hm, siapa sangka, malam ini ternyata yang menembakku bukan
sembarang tentara, melainkan RPKAD, bisik hati Si Bungsu. Seseorang memberi isyarat. Borgol tangannya
dibuka. Seorang letnan maju. Tegak di depan Si Bungsu. Letnan itu tak begitu besar tubuhnya. Namun Si Bungsu
segera tahu, bahwa orang ini tangguhnya luar biasa. Letnan itu memperkenalkan namanya tanpa bersalaman.
"Saya dengar tentang kehebatanmu, kawan. Dari orang itu?"
Kata tentara itu sambil menunjuk ke sudut. Si Bungsu segera melihat Nuad, OPR yang dia hajar itu tegak
di sana. "Kabarnya engkau hebat karate dan judo. Semua orang di markas mengetahui dan menyaksikan. Saya
juga penggemar olahraga itu. Saya pernah belajar di Amerika. Latihan pasukan khusus. Untuk diketahui, tak
ada yang bisa menandingi saya dalam pasukan, kecuali komandan saya, Overste Kaharuddin Nasution. Nah,
kini saya ingin menguji kemahiran saya itu dengan kehebatan Saudara?"
Si Bungsu masih Belum mengerti apa yang dimaksud letnan ini, namun tentara itu mulai membuka baret
merahnya. Kemudian membuka kopelriem. Membuka sepatu dinas. Membuka pistol yang menggantung di
pinggangnya. "Tak usah takut. Kami dari RPKAD tak pernah berlaku curang. Saya hanya menantangmu berkelahi. Jika
engkau kalah, maka engkau akan kami kembalikan ke tahananmu.
Besok kau akan bebas seperti janji Komandan RTP. Jika engkau menang, maka engkau juga akan
menerima kebebasanmu tanpa harus khawatir sedikitpun. Engkau hanya kami pinjam untuk membuktikan,
apakah memang ada orang yang lebih tangguh dari seorang anggota pasukan RPKAD!"
(111) Si Bungsu pun akhirnya menerima kenyataan yang aneh ini. Aneh karena tak pernah terfikirkan olehnya,
bahwa akan ada peristiwa begini. Dia memasang kuda-kuda, letnan ini juga. Tiba-tiba si letnan membuka
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 387
serangan dengan sebuah tendangan. Si Bungsu mengelak ke samping dan menyapu kaki letnan itu. Namun
letnan itu tiba-tiba menghentikan gerak majunya.
Dia membalik separoh putaran dan tangannya memukul menyamping ke pangkal telinga Si Bungsu.
Cepat dan kuat serta terarah sekali. Si Bungsu dapat menangkap gerak itu. Dia menunduk. Namun tak urung
pelipisnya kena geser. Kendati hanya kena geser, pelipisnya terasa panas. Kini mereka berhadapan lagi. Letnan
itu kembali menyerang dengan dua pukulan yang amat cepat. Si Bungsu mundur, dan ini kesalahannya yang
pertama. Diserang beruntun, orang tak boleh bergerak mundur, harus menyamping. Kesalahan itu harus dia tebus
dengan sebuah hantaman di perutnya. Tak ampun, tubuhnya terjengkang. Namun letnan itu tak memburunya.
Dia tetap menanti tegak. Si Bungsu tegak. Bersiap lagi. Letnan itu membentak dan menyerang dengan
kombinasi tendangan dan pukulan. Si Bungsu mengelakkan tendangan pertama. Kemudian begitu pukulan
letnan itu bergerak, dia mendahuluinya dengan pukulan yang lebih cepat.
Namun lebih cepat pula letnan itu menangkis dan balas menyerang dengan tendangan kedua! Si Bungsu
bergerak ke samping, dari samping dia mengirimkan sebuah tendangan ke rusuk letnan itu! Kena! Letnan itu
menyeringai. Namun dia segera bersiap dan menyerang cepat sekali. Ketika Si Bungsu menangkis, dengan cepat
letnan itu bergerak menangkap ujung bajunya. Lalu dia berputar dan sebuah bantingan tiba-tiba menghadang
Si Bungsu. Tubuhnya dia rasakan melayang di udara."Jika engkau dibanting orang, Bungsu-san, usahakan
berputar. Mungkin sulit, tapi usahakan agar posisi badanmu seperti menelungkup di udara. Setelah itu yang
akan kau usahakan hanyalah mendahulukan kakimu turun ke tanah. Kau akan tetap jatuh tegak di atas kedua
kakimu?" Begitu dulu Kenji mengajar dan melatihnya ilmu judo dengan tekun. Kini ilmu itu dia pergunakan. Sesaat
ketika letnan itu berputar untuk membanting, dia berusaha menanamkan kuda-kuda yang kukuh di lantai.
Namun sentakkan tangan dan pukulan pinggul letnan itu telah lebih dahulu mematahkan keseimbangannya.
Tubuhnya telah terangkat dan dibanting melayang. Maka kini usahanya hanyalah memutar tubuhnya yang
tertelentang diudara itu.
Dia berhasil dan snap"! Tubuhnya jatuh dengan kaki duluan! Mereka kini tegak berhadapan. Tangannya
masih dipegang oleh letnan itu yang untuk sesaat tertegun menyaksikan betapa anak muda itu tak bisa
dibanting jatuh. Sesaat! Ya, hanya sesaat, tapi itu sudah cukup bagi Si Bungsu untuk balas menyentakkan tangan
letnan yang memegang tangannya. Kini tubuhnya yang berputar, pinggulnya menghantam bahagian depan
tubuh letnan itu. Cepat sekali, sebuah bantingan lewat pinggang menyebabkan letnan itu terbanting di lantai! Ya,
bantingan lewat pinggang. Hanya bantingan lewat pinggang yang bernama Uki-Goshi itulah yang tak bisa
dicounter. Sebab selain tangan, maka pinggang yang dibanting dipeluk erat oleh yang membanting. Lain halnya
dengan bantingan Soinage yaitu membanting orang lewat bahu seperti yang dilakukan letnan itu pada Si
Bungsu tadi. Pada bantingan Soinage, yang dipegang hanya lengan baju atau sebelah tangan lawan. Sementara
bahagian tubuh lainnya bebas.
Begitu terbanting, karena letnan itu tadi mengatakan bahwa dia pernah belajar judo ketika dalam
pendidikan di Amerika, maka Si Bungsu melanjutkannya dengan mengunci leher letnan itu di lantai. Dia
menunduk rapat di atas kepala si letnan. Sebuah kuncian yang menurut Kenji dahulu bernama Keshagatame.
Letnan itu berusaha melepaskan kunciannya.
Namun pitingan lengan Si Bungsu seperti jepitan kepiting. Akhirnya si letnan menepuk punggung Si
Bungsu tanda menyerah. Si Bungsu melepaskannya. Terdengar tepuk tangan meriah dari anggota RPKAD yang
menonton. Si Bungsu mundur beberapa langkah. Letnan itu tegak.
"Tehnik mengcounter, membanting dan kuncianmu hampir sempurna, kawan. Saya ingin tahu sampai
dimana silat Minangmu yang kesohor itu," ujar si letnan yang nampaknya masih berminat.
Dia menyerang dengan pukulan-pukulan beruntun. Pukulan dan tendangan karate yang luar biasa
cepatnya. Si Bungsu terpaksa main elak dan main mundur. Beberapa kali bibir dan jidatnya nyaris dihantam
kepalan tangan si letnan yang hebat itu. Namun sepandai-pandai mengelak, kerugian berada di pihak yang
bertahan. Dia tak sempat membalas. Sikap agresif menyerang nampaknya memang dilakukan bagi anggotaanggota RPKAD itu. Mereka memang diajar untuk mahir mempergunakan tangan dan kaki sama berbahayanya
seperti senjata tajam. Dan Si Bungsu mendapat "bagian" sampai tiga kali. Kali pertama sebuah pukulan yang
mendarat di bibirnya. Bibirnya yang belum sembuh benar dari tendangan Nuad beberapa hari yang lalu, kini menyemburkan
darah lagi. Bagian kedua dia terima di sudu hatinya. Masih untung pukulan itu tak begitu mantap kenanya, dia
masih sempat mengelak setengah langkah ketika pukulan yang amat cepat itu mendarat. Tapi akibatnya luar
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 388
biasa, buat sesaat nafasnya seperti berhenti. Sambil mundur dia mengatur nafas, setelah beberapa jurus lagi
kembali sebuah tendangan letnan itu masuk. Menghajar lengan kanannya, lengan kanannya itu serasa akan
patah. Nah, dia kini hanya memiliki sebelah tangan yang utuh untuk berkelahi. Tangan sebelah kiri pula, dalam
keadaan seperti itu dia harus melawan seorang perwira RPKAD yang pendidikan khusus di Amerika.!
Sedangkan dengan dua tangan saja dia sudah kewalahan, apalagi sebelah tangan saja. Dia segera
menyadari kalau dia berada di pihak yang rugi kalau hanya main tangkis dan elak. Sadar akan hal itu, ketika
letnan itu menyerang, dia melompat agak jauh kebelakang. Ketika letnan itu menggerakkan kaki akan maju dia
pergunakan senjata lainnya yaitu lompat tupai yang kesohor itu. Yang biasanya dia pakai jika mempergunakan
samurai. Bergulingan kedepan, berputar di lantai dua atau tiga kali, lalu sambil bergerak bangkit di dekat
musuhnya, samurai nya bekerja.! Kini gerakan itu digunakan tanpa samurai, dia bergulingan di lantai
menyongsong serangan letnan itu. Sesaat letnan itu heran, kok tiba-tiba lawannya menjatuhkan diri.
Tapi dia sudah melangkah maju, lawannya sudah dekat. Ketika dia ingin mengelak sebuah tendangan Si
Bungsu dari bawah meluncur keatas. Tendangan yang dilakukan sambil berbaring. Si letnan baru menyadari
bahaya itu, namun terlambat selangkangannya digebrak oleh Si Bungsu! tubuh si letnan itu terangkat dua atau
tiga centi, lalu tercampak kebelakang. Rubuh! yang menonton menahan napas. Si Bungsu melompat tegak.
Ketika letnan itu sudah tegak pula Si Bungsu kembali menyerang dengan jurus yang sama, bergulingan di lantai.
Kali ini letnan itu memasang perangkap, dia tahu sudah jurus andalan lawannya ini.
Dia pura-pura kaget, lalu menanti serangan yang menuju selangkangan nya! Dia akan melangkah
kekanan selangkah begitu Si Bungsu menyerang, dari arah kanan dia mengirimkan tendangan kerusuk
lawannya yang terbaring itu. Itulah senjata panangkalnya! Si Bungsu seperti tidak menyadari perangkap itu,
dia meluncur kelantai, lalu mengirimkan sebuah serangan kaki! Tapi justru kali ini letnan RPKAD itu yang
masuk perangkap. Si Bungsu sama sekali tidak menyerang dengan tendangan dari bawah ke atas, Tidak!
"Jangan menyerang seorang lawan yang lihai dengan serangan yang sama berturu-turut sampai dua kali
dalam waktu yang dekat, Bungsu-san. Mereka akan bisa menjebakmu. Kecuali kalau kau memang ingin
menjebaknya. Pura-pura menyerang dengan serangan yang sama, kemudian ketika tiba saatnya, kau tukar
serangan dengan yang lain"."
Begitu kenji sering berkata ketika dia belajar karate. Nasehat itu bisa diterapkan dengan ilmu bela diri
manapun, termasuk Silat. Itulah yang dilakukan Si Bungsu, dia tidak menyerang seperti tadi dari atas kebawah,
tetapi memakai kakinya untuk mengait dan menghantam kaki letnan itu dari bawah! Dia menyapunya dengan
posisi berbaring. Letnan itu kaget bukan main, tapi lagi-lagi dia terlambat. Kakinya terkait dan tersapu degan telak. Dia


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlambung lebih dari setengah meter, jatuh dengan suara berdebum. Waktu itu Si Bungsu sudah tegak, ketika
letnan itu berbalik menelentang untuk berdiri, tumit Si Bungsu tiba dekat dengan lehernya.!
"Inilah namanya jurus sapu tungganai dalam ilmu silat kami,letnan?" katanya perlahan sambil tetap
meletakkan tumitnya sejari dari leher perwira RPKAD itu. Buat sesaat, dalam keadaan telentang, perwira itu
termangu, kemudian dia tersenyum.
Si Bungsu melihat senyum itu, sesaat dia jadi lengah. Waktu yang sesaat itu sudah cukup bagi si letnan,
cepat tubuhnya berguling kekanan dan seiring dengan itu tangannya menepiskan kaki Si Bungsu. Dalam gerak
yang amat cepat tubuhnya melenting dan Si Bungsu yang masih belum konsentrasi, entah bagaimana caranya
tahu-tahu saja dia sudah terbanting. Letnan RPKAD itu menggunakan gerak cepat dan tipuannya lihai sekali.
Kini tiba-tiba Ketika dia berusaha menelentang Ujung sepatu si letnan sudah menyentuh tulang rusuk nya,
sekali, dua kali, tiga kali!
Suasana hening, letnan itu tegak disamping Si Bungsu yang masih terbaring. Si Bungsu segera sadar,
kalau saja letnan itu mau, maka dalam tiga tendangan itu tadi sudah empat atau lima buah tulang rusuknya
yang patah.! Artinya, dia sudah dikalahkan letnan itu dengan telak! Kini gantian Si Bungsu yang tersenyum dari
bawah, dari tempat dia terlentang. "Kau menang, letnan.." Ujarnya jujur.
Si letnan tersenyum dan mengulurkan tangannya, tangan itu di sambut Si Bungsu, si letnan
membantunya tegak. Mereka masih berpegangan, suasana di pecahkan oleh tepuk tangan, yang bertepuk
adalah anggota-anggota RPKAD yang tegak menonton ditepi ruangan. Mereka benar-benar baru saja
menyaksikan suatu pertarungan beladiri yang sangat luar biasa.
Mereka telah lama mendengar bisik-bisik tentang kehebatan anak muda yang bernama Si Bungsu ini.
Malam ini, mereka menyaksikannya sendiri.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 389
"Saya tak malu bila kalah di tanganmu, kawan?" ujar letnan pasukan elite Indonesia itu dengan jujur,
sambil menggenggam tangan Si Bungsu dengan erat. Kemudian menyambung. "Ternyata nama hebatmu yang
kami dengar selama ini tidak hanya sekedar isapan jempol?"
Si Bungsu suka pada letnan yang rendah hati ini. Padahal dia tahu, dalam perkelahian sebentar ini, dia
dikalahkan secara telak sekali.
"Terimakasih. Saya bangga berkenalan dengan "letnan?".
"Fauzi, nama saya Fauzi.."
"Terimakasih Letnan Fauzi .."
Mereka sama-sama tersenyum.
"Kenalkan, ini Letnan Azhar.." ujar Letnan Fauzi memperkenalkan sahabatnya.
Beberapa anak buah si Letnan maju dan menyalami Si Bungsu. Letnan Fauzi tersenyum. Si Bungsu
menghapus peluhnya. Dia menarik nafas lega. Bisa keluar dari dunia yang penuh keganjilan ini. Letnan ini
memang seorang perwira yang pantas diteladani. Berani dengan jantan dan satria mengakui kelebihan orang
lain. Ketika dia akan naik jip, tiba-tiba dia teringat pada perkataan "meminjammu" yang diucapkan letnan itu.
Dia berhenti. Menoleh pada Letnan Fauzi yang tegak dekat Letnan Azhar.
"Ada yang ingin kutanyakan, kalau boleh" katanya.
"Dengan segala senang hati"
"Berapa hari yang lalu, ada seorang anggota PRRI satu kamar tahanan dengan saya, yang dijemput
malam-malam. Kemudian tak kembali. Kabarnya dipindahkan ke Padang. Apakah dia masih hidup?"
Letnan itu menatap Letnan Azhar, kemudian pada Si Bungsu.
"Dia temanmu?" "Ya, teman sekamar di tahanan?"
"Begitu pentingkah berita tentang dia bagimu?"
"Ya. Agar bisa kusampaikan pada anak dan isterinya"
Letnan itu menatap Si Bungsu lagi.
"Siapa namanya?"
"Sunarto?" "Hanya itu?"
"Ya, hanya itu. Saya tak tahu nama panjangnya. Tapi OPR yang bernama Nuad itu pasti kenal padanya."
Letnan itu membalik. Berjalan mendekati Nuad. Bicara beberapa saat. Lalu kembali pada Si Bungsu.
"Naiklah ke jip itu, kawan"." ujar si letnan tanpa menjawab pertanyaan Si Bungsu tadi.
Si Bungsu tak bisa berbuat apa-apa. Dia naik dan tangannya diborgol lagi. Dia menatap pada letnan itu.
Si letnan mendekat, memegang tangannya.
"Ini perang, kawan. Dalam peperangan, siapapun yang melibatkan diri di dalamnya, apakah itu karena
keyakinan seperti PRRI, atau karena pengabdian dan karena tugas seperti kami, harus tahu resikonya. Yaitu
kematian. Menyesal, temanmu itu tak mau buka rahasia dan dia sudah dieksekusi. Hanya itu yang dapat saya
katakan padamu. Saya tak tahu dimana dan bila. Tapi yakinlah, dia sudah tidak ada di dunia ini"."
Mesin jip dihidupkan. Udara dingin menyelinap di malam yang alangkah larutnya itu.
"Terimakasih, Letnan. Terimakasih atas kehormatan yang kau berikan untuk bertanding melawanmu.
Suatu kehormatan yang takkan saya lupakan. Dan terimakasih atas kepastian atas nasib Narto"."
"Selamat bebas, kawan?" lalu jip itu menderu.
Jantung Si Bungsu juga menderu. Tubuhnya terasa dingin. Namun bukan karena angin yang menampar
akibat jip yang berlari kencang. Tubuhnya terasa dingin ketika mengetahui kepastian nasib Narto. Anak Jawa
yang berjuang untuk Minangkabau itu. Masih terngiang di telinganya betapa lelaki itu berbisik minta tolong
padanya. Perlahan tangannya meraba rantai emas milik Narto yang dia gantungkan di lehernya. Malam
semakin larut. Perang saudara itu masih belum diketahui kapan akan berakhir. Berapa banyak lagi korban yang
akan jatuh. Hanya Tuhanlah yang tahu.
"Katakan aku masih hidup pada anak dan isteriku. Suruh mereka menantiku di Semarang?" suara Narto
seperti terngiang lagi. Mata Si Bungsu terasa panas dan" basah!
Konvoi itu berhenti di Matur. Mereka berangkat pagi tadi dari Bukittinggi dengan pengawalan ketat.
Jumlah truk tak kurang dari dua puluh buah. Begitu sampai, mereka segera menyebar. Kota kecil itu terlalu naif
untuk disebut sebagai sebuah kota. Sebenarnya hanya sebuah kampung. Hanya tertata rapi karena di sana ada
beberapa rumah yang dibangun oleh Belanda untuk opseternya. Sejak tiga hari yang lalu Matur berada di
bawah kekuasaan APRI. Tapi biasanya, jika kekuatan APRI berkurang, maka kota ini akan pindah lagi ke tangan
PRRI. Silih berganti penguasaan atas sebuah kota atau desa bukan hal yang ganjil. Terkadang kekuasaan itu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 390
bisa berganti setiap 12 jam. Dari jam enam pagi sampai jam enam senja yang berkuasa adalah APRI. Tapi dari
jam enam senja sampai jam enam pagi, yang berkuasa adalah PRRI.
Perpindahan kekuasaan itu ada yang melalui pertempuran, namun tak sedikit yang bertukar secara
otomatis begitu saja. Seolah-olah sudah ada semacam "perjanjian." Kalau malam PRRI yang berkuasa. Tapi pagipagi harus angkat kaki. Kalau siang APRI yang berkuasa, bila malam tiba mereka harus meninggalkan desa. Jika
ketentuan tak tertulis ini dilanggar, akibatnya adalah perang. Matur juga bernasib sama. Tapi hari ini APRI
nampaknya ingin mempertahankan desa kecil itu dengan menambah kekuatan mereka di sana. Malam-malam
memang masih sering diganggu serangan PRRI. Namun tak cukup kuat untuk mengambil alih kekuasaan. Salah
seorang dari penompang konvoi itu adalah Si Bungsu.
"Sampai di sini tujuanmu, anak muda?" tanya seorang letnan dari pasukan Banteng Raiders, tatkala Si
Bungsu turun dari truk bersama tentara lainnya.
"Ya, sampai di sini. Ini Matur, bukan?"
(112) "Ya, inilah Matur. Kau akan kemana?"
"Mencari rumah seorang teman. Terimakasih atas tompangannya, Pak.."
Letnan itu tersenyum. Kemudian mengatur anak buahnya. Si Bungsu melangkah perlahan. Dia tegak
dalam bayang-bayang tengah hari yang terik. Lalu mulai melangkah. Perutnya harus diisi. Terasa lapar sekali.
Ada sebuah kedai nasi, kelihatannya sepi.
Dia melangkah ke sana. Seorang perempuan tua kelihatan menunggui warung itu. Di dalam seorang
lelaki sedang makan. Si Bungsu melihat ada goreng dan gulai ikan. Ada dendeng. Ada sambal lado dengan
jengkol muda. Ada rebus daun ubi. Laparnya menggigit melihat lauk pauk itu. Begitu nasi dihidangkan dia
santap dengan lahap. Sesekali dia lihat perempuan pemilik kedai itu mencuri pandang padanya.
Dia tahu, kehadiran setiap orang baru di suatu desa, dalam keadaan bagaimanapun, apalagi dalam
keadaan perang begini, pasti menimbulkan berbagai dugaan. Setelah kenyang makan dia memesan secangkir
kopi panas. Di luar sana, tentara APRI kelihatan tengah menyusun barisan. Lelaki yang tadi tengah makan
ketika dia masuk, kini membayar makanannya. Kemudian keluar. Namun Si Bungsu sempat menangkap betapa
lelaki itu melirik ke arahnya sesaat sebelum dia melangkah ambang pintu menuju keluar. "Ibu kenal dengan
Narto?" tanya Si Bungsu dalam nada biasa sambil menghirup kopinya.
Perempuan itu menoleh. Lalu dengan wajah seperti tak ada apa-apa, dia menggeleng. "Sunarto yang dulu
pernah jadi Anggota Mobrig. Kemudian menjadi pasukan PRRI. Kabarnya isteri dan anaknya ada di sini. Apakah
ibu kenal?" Perempuan itu menggeleng lagi. Matanya melirik ke luar. "Saya datang dengan pasukan itu. Saya harus
menemui keluarganya?"
"Bapak" APRI?"
"Tidak. Tapi?" "Bapak PRRI?" "Tidak. Saya kebetulan datang dengan APRI. Saya kenal dengan Pak Narto. Saya harus menyampaikan
pesan pada anak dan isterinya?"
Pemilik kedai itu menatap Si Bungsu tajam sekali.
"Barangkali anak dapat bertanya di bawah sana. Ke sebuah rumah sebelum pendakian?"
Si Bungsu mengucapkan terimakasih sambil membayar makanannya. Dia menuju ke penurunan yang
tadi dia lewati bersama konvoi tentara itu. Seorang lelaki bertongkat, rambutnya sudah memutih, semua
giginya sudah ompong, menunjuk ke reruntuhan sebuah rumah ketika Si Bungsu menanyakan rumah lelaki
yang bernama Narto itu. Dia tertegun. Jantungnya seperti berhenti berdetak.
"Kenapa?"" tanyanya perlahan.
Lelaki tua itu berjalan ke sebuah pohon yang nampaknya rubuh kena mortir. Dia duduk di sana. Si
Bungsu mengikuti dan tegak di depan orang tua tersebut.
"Rumah itu terletak di pendakian, dari rumah itu orang bisa melihat ke jalan di bawah sana. Semua
kendaraan yang datang dari Bukitinggi segera terlihat dari jendela rumah tersebut"." orang tua itu bercerita,
kemudian terbatuk, dan menyambung?"ketika APRI mula pertama menyerang, rumah itu dijadikan pos PRRI.
Semacam pos pengintaian. Tapi ketika APRI berhasil menduduki Matur, ganti APRI lah yang mempergunakan
rumah itu. Keluarga Narto yang tinggal di rumah itu luar biasa takutnya. Sebab semua orang tahu, dan APRI
pasti tahu pula, bahwa Narto adalah pasukan Mobrig batalyon Sadel Bereh di Bukittinggi. Namun barangkali
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 391
Tuhan masih melindungi sebagian keluarganya. Minah, anak gadisnya yang paling tua menikah dengan salah
seorang Sersan pasukan BR. Seminggu setelah menikah, suaminya dapat cuti ke Jawa. Dia membawa serta
Minah dan seorang adik lelakinya yang masih kecil.
Namun tiga hari setelah itu, PRRI datang menggempur, APRI dipaksa mundur. Dan terjadilah bencana
itu. Kabarnya Narto tertangkap di Bukittinggi, dan berkhianat. Pengkhianatan itu tambah diperkuat dengan
kawinnya anaknya dengan Sersan BR, lalu pulang ke Jawa. Pasukan PRRI membakar rumahnya. Menembak
istrinya. Begitu juga dua orang anaknya. Adik Minah, gadis yang baru berusia lima belas tahun, diperkosa
bergantian. Tapi isteri Narto tak mati. Kini dia dirawat di rumah itu"," lelaki tua tersebut menunjuk ke sebuah
pondok. Si Bungsu jadi tegang mendengar kisah itu. Dan tatkala dia masuk ke pondok yang ditunjukkan itu, di
balai-balai kelihatan seorang perempuan sepaoh baya terbaring. Di dekatnya ada dua orang kanak-kanak.
Pastilah anak Narto yang tersisa dari elmaut. Si Bungsu benar-benar tak percaya, bahwa hal ini bisa
terjadi. Sunarto, seorang anak Jawa, yang bersedia ditembak mati demi menyelamatkan kawan-kawan PRRInya, keluarganya justru dibencanai oleh pasukan PRRI sendiri. "Bagi kami orang Jawa, kepatuhan pada atasan
adalah sesuatu yang mulia".karena saya merasa negeri ini adalah negeri saya, maka saya tak mau membuka
rahasia. APRI lalu menyiksa saya. Insya Allah, saya masih bisa tutup mulut. Saya tak mau teman-teman yang
sedang berjuang tertangkap karena saya terbujuk, atau tak tahan menderita. Saya bersedia mati demi negeri
ini, demi teman-teman yang sedang berjuang"."
Bisikkan Narto seperti menggema menghancurkan selaput telinga Si Bungsu. Orang Jawa itu bersedia
mati demi Minang, yang diakui sebagai negerinya, dan demi teman-temannya yang sedang berjuang, begitu
katanya. Begitulah katanya! Oh Tuhan. Kenapa Engkau jadikan manusia seperti Narto. Orang yang bersedia
mengorbankan nyawanya untuk orang-orang yang justru menistai keluarganya.
"Bapak pasti membawa pesan dari suami saya, bukan?"
Tiba-tiba isteri Narto berkata tatkala melihat Si Bungsu tertegak di pintu. Si Bungsu tak dapat bicara.
Ada sesuatu yang terasa menggumpal di tenggorakannya. Di hatinya. Di matanya. Di jantungnya!
"Dimana dia".?" tanya perempuan itu.
"Dia"dia tengah berjuang"," akhirnya pesan Narto itu dia sampaikan juga. Persis bunyinya. Tapi
perempuan itu menggeleng. Matanya basah.
"Saya bertanya, dimana kuburannya. Bukan dimana dia kini. Jangan membohongi saya. Saya sebenarnya
sudah lama mati. Tapi saya ingin mendengar kabar dari suami saya, itu sebab saya bertahan hidup. Malam tadi
saya bermimpi, akan ada orang yang datang membawa pesan suami saya. Saya memang menanti Bapak.
Dimana dia dikuburkan?"
Si Bungsu tak mau menangis. Demi Tuhan, demi para Nabi dan para Rasul. Tidak! Bukankah air matanya
telah lama kering. Air matanya telah kering ketika menangisi kematian ayah, ibu dan kakaknya di Situjuh
Ladang Laweh dahulu. Tidak, dia kini tak lagi bisa menangis. Namun, ya Tuhan, bagaimana dia takkan menangis
melihat tragedi di depan matanya ini" Bagaimana" Beberapa puluh hari yang lalu, seorang lelaki membisikkan
padanya, agar dia menemui keluarganya di sini, di Matur ini.
Menyampaikan uang gajinya. Menyampaikan pesan, agar isteri dan anak-anaknya itu pulang ke Jawa. Si
Bungsu terduduk lemah. Perempuan itu telah mengetahui segalanya. Seperti membaca isi buku pada lembaran
yang terbuka. Akankah dia mampu berbohong" Anak muda yang telah luluh oleh penderitaan itu terduduk di
lantai tanah. Jatuh di atas kedua lututnya. Matanya basah, pipinya basah.
"Maafkan saya, Kak. Saya memang berdusta?" katanya perlahan di depan wanita yang dadanya terluka
dan tubuhnya yang kurus itu.
"Dimana dia dikuburkan?" ulang wanita itu".
"Maafkan saya, saya tak tahu Kak. Dia sebenarnya berpesan agar saya mengatakan dia masih hidup. Saya
telah melanggar janji. Dia ingin Kakak pulang ke Semarang. Dia akan menyusul?" "Tak perlu lagi".., tak perlu
lagi. Dia takkan pernah pulang ke Semarang. Saya juga. Begitu pula dua anak-anak kami yang telah terkubur di
belakang pondok ini. Kalau begitu, dia benar-benar telah mati tanpa tahu dimana kuburnya, bukan?"
Si Bungsu mengangguk dan menghapus air matanya. Kemudian tangannya meraih kalung di lehernya.
Menanggalkan kalung berliontin timah hitam bundar itu.
"Dia berpesan, agar saya memberikan kalung ini pada Kakak?".
Lemah dan menggigil tangan perempuan itu menggapai. Menerima kalung berliontin itu. Kemudian
membawa ke dadanya. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 392
"Ya, dia telah mati. Liontin ini pemberianku. Dan dia pernah bersumpah, bahwa liontin ini hanya akan
dia buka kalau dia telah mati".Terimakasih, Bapak telah bersusah-susah datang kemari, untuk menyampaikan
pesan itu"." Si Bungsu mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebungkus uang. "Dia menyuruh sampaikan uang
ini pada Kakak. Uang gajinya yang tak sempat dia kirimkan".". Perempuan itu menoleh pada kedua anakanaknya yang masih kecil. Memegang kepala mereka. "Nak, berat ibu akan meninggalkan kalian. Kalian masih
kecil. Tapi, ibu tak tahan lebih lama lagi tersiksa.
Jika Bapak ini berbaik hati, kalian akan ditolongnya untuk pulang ke Jawa. Ke rumah nenek kalian di
sana"," dan perempuan itu menoleh pada Si Bungsu?"mereka tak punya siapa-siapa, Pak. Barangkali ada
tentara APRI yang akan pulang ke Jawa. Tolong Bapak titipkan anak saya ini pada mereka. Di Jawa ada
neneknya. Ada kakaknya dua orang".Berikan uang itu pada mereka"." suara perempuan itu sudah terputusputus"."tapi saya ingin kepastian, suami saya tak pernah mengkhianati PRRI, bukan Pak?"
Si Bungsu menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia hanya mampu menggeleng. Menggeleng beberapa kali.
"Syukurlah"..syukurlah. Negeri indah ini telah memberi kami kehidupan selama puluhan tahun. Negeri
ini telah membesarkan anak-anak kami. Kami hidup dengan berlandas kasihan orang disini. Kami tak mau
orang Minang menganggap kami tak tahu membalas budi, dengan mengkhianati mereka".syukurlah?"
Si Bungsu tak dapat menahan tangisnya tatkala perempuan itu meninggal. Kedua anak-anaknya terdiam.
Tak ada tangis mereka yang terdengar. Mereka sudah terlalu lelah menangis. Mereka hanya menatap pada
mayat ibu mereka dengan diam dan tatapan kosong. Ucapan perempuan itu seperti menikam-nikam jantung Si
Bungsu. Ucapan itu memang bukan untuk menyindir siapa-siapa. Namun, Si Bungsu merasa, ucapan
perempuan itu menyindir jantung Minangkabau! Siapakah sesungguhnya yang tak tahu membalas budi" Narto
dan keluarganyakah, atau anak-anakmu yang merejam mereka ini, Minangkabau, siapa"
Ketika kuburan perempuan itu ditutup oleh beberapa tentara APRI, yang membantu menggali lahat
dengan sekop mereka, hujanpun turun. Tentara itu juga yang memimpin doa. Kemudian Si Bungsu
menancapkan sepohon kemboja yang dia patahkan dari pusara lama. Hujanpun makin lebat. Menyiram dan
membasahi bumi Minangkabau yang berlumur darah. Azan Magrib berkumandang, malampun mengirimkan
sunyi dan gelapnya ke permukaan bumi.
Esok paginya, setelah menitipkan kedua anak Narto ke komandan peleton yang akan cuti ke Jawa
beberapa hari lagi, dan memberi anak-anak itu uang yang masih ada padanya, Si Bungsu kembali ke Bukittinggi.
Dia kembali menginap di Hotel Indonesia, di depan Stasiun Kereta Api. Dia memilih tempat itu agar lebih dekat
ke stasiun, bisa sewaktu-waktu membeli karcis bila akan pulang ke kampungnya, Situjuh Ladang Laweh. Kereta
api memang tidak sampai ke sana, hanya hingga Kota Payakumbuh. Tapi menginap dekat stasiun membuat dia
bisa dengan mudah bertanya kapan kereta ke Payakumbuh berangkat, dan bisa pula dengan mudah membeli
karcis. Dalam situasi daerah bergolak seperti sekarang, tak setiap hari kereta api bisa berangkat. Baik ke
Payakumbuh, Padangpanjang, Solok maupun Padang. Kadang-kadang dalam seminggu baru ada kereta ke salah
satu kota itu. Itupun dengan mendapat pengawalan aparat kepolisisan atau tentara. Sabotase, entah dari pihak
mana, bisa saja terjadi di suatu tempat. Setelah menanti tiga hari, akhirnya dia mendapat kabar kereta ke
Payakumbuh akan berangkat besok dengan pengawalan beberapa polisi.
Besok dia akan pulang ke kampungnya. Ke Situjuh Ladang Laweh. Rasa rindunya terasa menusuk
jantung. Dahulu dia sering dibawa ayahnya naik kereta api kalau ke Bukittinggi ini. Ah, melihat sawah dan desadesa, mencium asap kereta api, merupakan kerinduan tersendiri. Sambil berbaring di tempat tidurnya, di Hotel
Indonesia dekat stasiun itu, dia segera ingat peristiwa yang dialaminya saat di Jepang. Peristiwa ketika dia
menuju Kyoto dari Tokyo. Di kereta api cepat dia bertemu dengan seorang gadis yang pernah dia tolong di
Tokyo. Gadis itu adalah Michiko. Anak Saburo Matsuyama. Gadis yang dia tolong yang kemudian membenci dan
memusuhinya setelah kematian Saburo di Kuil Shimogamo. Dia tak bisa melupakan betapa gadis itu pernah
melukainya ketika upacara pemakaman ayahnya. Gadis itu bersumpah akan mencari dan membunuhnya.
Michiko ternyata memang mencarinya! Mencarinya sampai ke Bukittinggi! Pagi itu, saat dia akan
melangkah menaiki kereta api di stasiun, ketika dia dengar sebuah suara memanggil. Dia tak jadi naik, menoleh
ke belakang. Di antara palunan orang ramai, dia melihat seorang gadis tegak dengan sebilah samurai di tangan!
Michiko! Dia tertegun. Palunan manusia yang ada di stasiun itu terkuak. Hingga tercipta sebuah lorong yang
lapang antara gadis Jepang yang cantik itu dengan dirinya. Orang-orang menatap heran.
"Michiko?"" katanya perlahan menahan kejut.
"Ya. Engkau rupanya belum lupa pada saya, Bungsu"."
Suara gadis itu terdengar lantang. Seperti bersipongang di peron stasiun itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 393
"Selamat datang"di kampungku, Michiko san"." ujarnya sambil coba tersenyum. Padahal hatinya mulai
tak sedap melihat sikap gadis itu yang tak bersahabat sedikitpun.
"Terimakasih. Saya memang melihat kampungmu indah, Bungsu san. Tapi saya datang bukan untuk
menikmati keindahannya. Saya datang dari Jepang mencarimu ke mari untuk menuntut balas. Ingat persoalan
yang ada di antara kita?"
Suara gadis itu makin lantang. Orang-orang pada diam tak bergerak. Si Bungsu jadi serba tak sedap. Dia
menyesal telah membawa samurainya saat itu. Kenapa tadi tak dia masukkan saja ke dalam buntalan kainnya"
Kini samurainya terpegang di tangan kiri. Gadis itu juga memegang samurai di tangan kiri. Dia jadi serba salah.
Akankah dia melayani kehendak gadis ini kalau dia menantangnya untuk berkelahi" Akankah dia membunuh
gadis itu, atau justru dia yang terbunuh di sini" Ketika dia berfikir demikian, gadis itu memandang ke palunan
orang ramai di stasiun. Lalu terdngar suaranya :
"Saya Michiko, anak bekas serdadu Jepang yang pernah membunuh beberapa lelaki dan perempuan di
Minangkabau ini. Ayah saya sudah mati. Dibunuh oleh lelaki ini?" dan tangannya menunjuk pada Si Bungsu.
"Ketika menjadi tentara ayah saya membunuh ibu, ayah dan kakaknya. Dia lalu datang ke Jepang sana,


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu membunuh ayah saya dengan alasan menuntut balas. Kini dari Jepang saya datang kemari, untuk menuntut
balas pula atas kematian ayah saya itu. Bukankah adil, kalau setiap anak menuntut balas kematian ayahnya?"
Orang pada terpana. Si Bungsu merasa dirinya berpeluh.
"Tidak benar demikian, Michiko-san. Ayahmu tidak mati di tangan saya. Saya tak pernah membunuhnya.
Ayahmu mati karena harakiri, seppuku!. Dia mati terhormat"." ujar Si Bungsu mencoba memberikan
pengertian kepada orang ramai, sekaligus melunakkan hati gadis itu.
"Bohong! Tak ada kematian terhormat dalam hal yang terjadi atas ayahku. Dia memang mati harakiri.
Tetapi dia harakiri karena malu atas perlakuanmu pada dirinya!" "Michiko"!?"
"Apakah engkau menjadi pengecut, Bungsu" Engkau telah membunuhi puluhan orang Jepang dalam
petualanganmu di negeri saya itu. Dan engkau merasa jadi pahlawan. Kini cabut samuraimu!" gadis itu
membentak sambil mendahului mencabut samurainya.
Si Bungsu berharap petugas keamanan atau tentara muncul di sana. Kalau ada petugas keamanan atau
tentara, dia yakin mereka bisa bertindak mencegah. Tapi tak seorangpun petugas yang hadir. Tak seorangpun
tentara atau polisi yang menampakkan puncak hidungnya. Para petugas itu seperti telah bersekongkol dengan
gadis ini untuk memberinya kesempatan membalas dendam. Tiba-tiba bayangan di stasiun kecil Gamagori
melintas di kepalanya. Bukankah dahulu dia juga pernah berkelahi melawan komplotan Kumagaigumi di stasiun kecil di
Gamagori" Bandit-bandit Kumaigaigumi itu akan mengganggu Michiko. Namun dia ada disana untuk
membelanya. Lima orang anggota Kumagaigumi berhasil dia bunuh. Bergelimpangan di stasiun kecil itu.
Kemudian dia naik lagi ke kereta api. Menemui Michiko yang menangis karena menyangka dirinya telah mati.
Di kereta api menuju Nagoya itu, dia memeluk bahu Michiko.
Gadis itu menyandarkan kepalanya lalu tertidur di bahunya. Dan sesaat sebelum gadis itu tertidur, dia
menyanyi sebuah lagu Jepang. Lagu yang selalu dinyanyikan pelaut-pelaut yang rindu pada kampung halaman.
Rindu pada kekasih, anak dan isteri. Dia coba mengingat bait lagu Jepang itu. Namun amat susah. Dia coba
memikirkannya. Dalam kalut dia tak ingat bait bahasa Jepang. Yang ingat cuma bait bahasa Indonesianya.
"Jangan menangis. Jangan sedih.
Meskipun hujan turun lebat
Saya akan tetap pergi Selamat tinggal (113) Lagu itu dia pelajari dari Kenji. Temannya sekapal saat menuju Tokyo dari Singapura. Lamunannya jadi
terputus ketika dia dengar suara orang memekik memberi ingat. Sesaat nalurinya bereaksi cepat. Dia
menjatuhkan diri ke lantai stasiun. Namun tak urung bahunya disabet oleh ujung samurai Michiko! Memang
hanya luka gores. Tapi darah merembes. Dia bergulingan. Kemudian melompat tegak. Michiko tegak dua depa
di depannya dengan kaki terpentang dan mata nyalang menatapnya.
"Cabut samuraimu"Bungsu! Jangan kau sangka bahwa dirimu saja yang hebat memainkan samurai"."
bentak gadis itu. Si Bungsu tak melihat jalan lain. Gadis ini memang menghendaki nyawanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 394
"Ini kampung saya, Michiko. Saya tak ingin darahmu tertumpah di kampung saya ini?" "Sombong kau!
Tak setetespun darahku akan tertumpah di sini! Kau dengar itu, pembunuh! Tak setetespun! Jika engkau
sanggup melukai diriku segores saja, maka aku akan menjilat telapak kakikmu! Percuma aku jadi murid Zato
Ichi!" Si Bungsu kaget, dia ingat Zato Ichi. Gadis ini bukan main jumawanya! Benarkah sudah demikian
hebatnya dia memainkan samurai, sehingga dia sanggup berkata setakabur itu pada Si Bungsu yang kesohor
itu" Atau apakah gadis ini hanya ingin memancing amarah Si Bungsu saja" Tak ada yang sempat memikirkan
hal itu. Sebab saat berikutnya gadis itu telah menyerang. Si Bungsu mencabut samurai dengan sikap "apa boleh
buat". Ya, dia harus mempertahankan dirinya bukan" Orang hanya melihat dua sinar berkelebat. Kemudian
bunga api memercik tatkala dua baja tajam itu berbenturan! Terdengar suara gemercing. Si Bungsu tersurut
selangkah. Michiko masih tetap tegak di tempatnya. Si Bungsu jadi kaget. Kekuatan gadis itu ternyata luar biasa
sekali. Getaran benturan samurai mereka terasa ke tulang tangannya.
Michiko menyerang lagi. Sebuah pancungan ke kepala. Si Bungsu menunduk. Sebuah pancungan ke
pinggang. Si Bungsu menangkisnya dengan menegakkan samurainya di sisi badan. Dua baja samurai yang alot
itu bertemu lagi. Suara berdentang. Bunga api memercik! Dan Si Bungsu dengan kaget tepaksa melompat ke
Belakang empat langkah! Samurainya hampir saja terpental karena benturan dahsyat itu.
Kalau itu terjadi, maka pinggangnya akan putus dua! Dia menatap dengan wajah pucat. Gadis itu selain
cepat, tenaganya juga luar biasa sekali. Zato Ichi benar-benar menurunkan seluruh ilmunya pada gadis ini.
Michiko tersenyum sinis. Orang-orang menatap dengan diam pada perkelahian sepasang anak muda yang
mengagumkan itu. "Keluarkan kepandaianmu, Bungsu! Takkan pernah ada bangsa lain yang melebihi kemahiran orang
Jepang bersamurai! Kau sangka kemahiran samuraimu sudah hebat, setelah engkau mengalahkan beberapa
jagoan di Jepang sana. Setelah engkau mendapat pengakuan Zato Ichi" Hmm, yang kau peroleh baru kulitnya.
Bungsu! Engkau ingin tahu bagaimana bermain samurai yang betul" Ini"!" dan gadis itu menyerang lagi!
Kali ini Si Bungsu tak mau main-main. Dia memusatkan konsentrasi. Nafsu membunuhnya yang dia bawa
dari rimba di pinggang Gunung Sago seketika mengalir kencang. Mulutnya terkatup rapat. Tangannya melemas.
Begitu Michiko menyerang, dengan seluruh kepandaian, dengan seluruh kemahiran, dengan seluruh
konsentrasi yang penah dia miliki, dengan seluruh kecepatan yang pernah dia pelajari, dia kerahkan! Tak
sampai dalam hitungan dua detik, benar-benar cepat, hanya para malaikat yang tahu betapa cepatnya kedua
samurai itu dahulu mendahului! Namun, sekali lagi, dan mungkin untuk kali yang terakhir, Si Bungsu dari
Situjuh Ladang Laweh itu menjadi kaget.
Michiko jauh lebih cepat. Tidak hanya sekali, tetapi Michiko berkali-kali lebih cepat dari kecepatan yang
pernah dia miliki. Tak sia-sia Zato Ichi menurunkan ilmu padanya. Samurainya belum sempurna tercabut,
ketika dia rasakan rusuknya belah. Dia melanjutkan mencabut samurainya dengan kecepatan penuh. Saat itu
sabetan kedua samurai Michiko telah membelah dada kirinya! Tembus!
Darah memancur ketika samurai itu disentakkan dengan cepat. Samurai di tangannya sendiri baru
terayun ke arah Michiko ketika kedua serangan mematikan itu telah selesai dilakukan gadis itu. Samurainya
menyerang kepala Michiko, menetak dari atas ke bawah. Namun samurai Michiko menanti ayunan samurainya.
Kembali bunga api memercik.
Tangannya terasa pedih, tenaga gadis itu amat luar biasa. Samurainya terpental ke udara! Terdengar
orang memekik melihat darah menyembur dari tulang rusuk dan jantungnya. Dia masih tegak. Gadis itu juga
masih tegak di depannya, dengan kegagahan yang mengagumkan. Si Bungsu jadi lemah. Kakinya gemetar.
Namun dia tak mengeluh. Mulutnya tersenyum. Ketika kakinya terasa tak kuat lagi menahan berat badannya,
dia jatuh di atas kedua lututnya.
"Bunuh".bunuhlah saya"." katanya perlahan.
Michiko masih tetap tegak. Menatap padanya dengan pandangan dingin. "Engkau memang benar-benar
hebat Michiko san. Benar-benar pesilat samurai yang paling hebat"ayahmu pasti bangga?" dia masih berusaha
berkata. Darah menyembur dari mulutnya. Jantungnya telah ditembus samurai. Peluit kereta api tiba-tiba
memekik. Sayu dan bersipongang. Kereta akan berangkat. Dia menoleh ke kereta yang akan berangkat menuju
Payakumbuh itu. Pakaiannya telah ada di atas kereta. Kereta tak mungkin diundurkan keberangkatannya. Saat
sakratul maut itu menjemput, peristiwa stasiun Gamagori melintas lagi. Stasiun kecil itu! Bukankah dia
membunuh lima orang anggota Kumagaigumi di sana" Ah, stasiun Gamagori, kini dia terkapar di stasiun kecil
Bukittinggi! Peluit kereta berbunyi lagi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 395
Tuit"tuiiiit! pilu dan merawankan hati. Kereta itu akan ke Payakumbuh. Akan mati di sinikah dia" Kereta
itu akan ke Payakumbuh. Kenapa dia tak naik saja ke kereta" Tubuhnya akan dibawa kereta ke Payakumbuh.
Kalau mayatnya sampai, orang akan membawa mayatnya ke Situjuh Ladang Laweh.
"Sampaikan"pada orang-orang".kampung saya di Situjuh Ladang Laweh" saya. ..ingin berkubur". di
sana"di samping pusara ayah, ibu dan"kakak saya?" katanya perlahan.
Dia yakin, suaranya terdengar oleh Michiko. Gadis itu masih tegak diam. Tapi Si Bungsu melihat, betapa
mata gadis itu basah. Pipinya juga basah. Si Bungsu ingin mati di atas kereta api. Agar mayatnya bisa tiba di
Payakumbuh dan dibawa ke Situjuh Ladang Laweh. Tapi karena tak ada yang menolong, dia merangkak menuju
kereta api. Dengan sisa tenaga dia coba merangkak naik ke gerbong. Tak mungkin! Tenaganya habis! Tapi dia
harus! Bukankah kereta ini menuju ke Payakumbuh" Dia merangkak lagi, berjuang untuk naik. Berhasil,
tubuhnya berada sebahagian di atas kereta yang bergerak perlahan itu. Darah dari lukanya terus menetes.
Tapi tubuhnya melosoh lagi. Kereta mulai bergerak cepat. Ada beberapa lelaki tegak jauh dari
tempatnya. Menatap dengan diam. Dia menoleh pada mereka. Bibirnya bergerak. Ingin mengucapkan
"Tolonglah saya"naikkanlah saya ke gerbong. Saya ingin mati di kereta. Tolonglah naikkan saya". Tapi tak ada
suaranya yang keluar. Tak ada! Tak ada suaranya! Yang keluar justru air matanya. Air mata sedih. Sedih kalau
dia mati seperti maling di stasiun ini. Dia ingin tubuhnya dibaringkan di gerbong. Sekali lagi dia menatap pada
para lelaki itu. Dia kumpulkan tenaganya. Akhirnya, terdengar suaranya bermohon.
"Sanak"tolonglah saya. Saya ingin dibaringkan di kereta itu"..Kereta itu akan ke kampung
saya"tolonglah"." namun kedua lelaki itu tak bergerak.
"Di kantong saya ada uang. Cukup banyak".ambillah uang itu sebagai upah sanak menaikkan diri
saya"Tolonglah saya, sanak?" Kedua lelaki itu benar-benar jahanam. Jahanam benar. Mereka tak bergerak
sedikitpun! Akhirnya Si Bungsu harus berusaha sendiri. Akan begitukah nasib seorang lelaki yang semasa
hidupnya pernah sangat perkasa ini" Dia merangkak. Kereta mulai berjalan perlahan. Dia menggantungkan
tangan di bibir pintu gerbong yang memuat pisang. Yang memuat lobak. Yang memuat kayu api. Tubuhnya ikut
terseret di sepanjang lantai stasiun! Darahnya menetes.
"Tuhanku, tolonglah aku naik. Tolong hambamu ini, ya Tuhan. Aku hanya ingin mati di atas kereta ini.
Agar mayatku sampai ke kampungku. Tolong aku, ya Tuhan"." rintihnya perlahan.
Tapi Tuhanpun seperti tak mendengarkan permohonannya. Tuhanpun tak menolongnya. Tuhanpun tak
mendengarkan doa orang yang akan mati itu. Tuhanpun tak kasihan padanya. Tuhanpun seperti belum akan
mengakhiri deritanya di situ.
Tangannya lemah berpegang ke bibir pintu gerbong. Dan akhirnya, ketika peluit panjang kembali
berbunyi, tangannya tak kuat lagi bergantung. Kereta itu semakin melaju. Lalu lelaki itu, Si Bungsu yang pernah
hidup malang melintang di Jepang itu, yang banyak menolong manusia itu, di akhir hayatnya tak seorangpun
yang mau meolongnya! Tak seorangpun! Ketika pegangannya terlepas tubuhnya jatuh dari gerbong. Terdengar
suara berdembam! Kepalanya terhempas ke lantai. Rasa sakit akibat kepalanya terhempas membuat dia
tersentak bangun dan terlompat tegak!
"Nauzubillah. Ya Rabbi".! Mimpi kiranya" dia mengucap.
Peluh membasahi tubuhnya. Dia menatap keliling, dia masih di biliknya di Hotel Indonesia dekat stasiun.
Dia baru saja bermimpi yang alangkah dahsyatnya. Tiba-tiba terdengar pekik peluit kereta api dari stasiun yang
tak jauh dari hotel dimana dia menginap
Dia menarik napas dan kembali beristighfar. Meraba dada dan rusuk yang dalam mimpi tadi di tembus
samurai michiko. Utuh, ya tubuhnya masih utuh, dia duduk di pembaringan, mengatur pernafasannya yang sesak.
Kemudian tegak menuangkan air putih di ceret ke dalam gelas, air itu sangat dingin karena udara kota yang
amat sejuk. Dia reguk air itu dua tiga teguk, dadanya terasa agak lega. Dia turun di pembaringan dan membuka
pintu, sudah pagi. Dia pergi kekamar mandi, sesekali menoleh kebelakang. Khawatir kalau-kalau ada michiko.
Kemudian di kamar mandi dia berwudhu dan kembali kekamar sembahyang dan kembali duduk di sisi
pembaringan. Dia kembali menghapus peluh yang tetap membasahi wajah dan tubuhnya, terlalu dasyat
mimpinya barusan. Dia baru teringat, malam tadi dia tengah berpikir tentang kereta api. Tentang stasiun
gamagori, dia kembali berbaring sambil memikirkan bahwa michiko pernah melukainya, bahwa michiko
pernah akan membunuhnya. Pikiran itu tak meninggalkan benaknya sampai dia tertidur, rupanya pikiran
itulah menjadi mimpi yang dasyat itu.
Dia kembali meraba dada dan rusuknya, utuh. Rupanya tuhan belum berniat mencabut nyawanya. Dia
menarik napas panjang kemudian melepaskannya. seperti melepaskan beban yang alangkah beratnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 396
Matanya menoleh kepembaringan dan samurainya terletak disana. Padahal tadi samurai itu dia letakan
dibawah bantal. Kini karena bantalnya telah jatuh, jadi samurai itu berada di atas seprei putih.
Untung dia bermimpi tidak sambil mencabut samurai. Bayangkan kalau dia mimpi sambil mencabut
samurainya. Dan memancung-mancungkan nya kiri kanan, Hiii..Dia jadi ngeri sendiri.! lalu dia memungut
bantal di lantai, meletakkannya diatas samurai, hingga samurai itu tertutup.
Dia ingin tegak, tapi ingatannya kepada Michiko membuat dia kembali duduk. Suara kereta terdengar
lagi...seorang pelayan lewat didepan pintunya yang terbuka.
"Selamat pagi, sudah sembahyang pak?" kata pelayan itu sambil melongokkan kepalanya di pintu. Si
Bungsu mengangguk sambil mencoba tersenyum.
"Maaf, tadi saya mendengar seperti ada suara berteriak dan suara benda jatuh dari kamar ini, saya
khawatir ada apa-apa?"
"Ah, hanya bantal yang jatuh. Terimakasih?"
"Syukurlah, kamar ini memang agak angker pak. Banyak orang yang didatangi mimpi buruk disini,
soalnya dulu ada yang gantung diri dikamar ini?"
"Kenapa tidak kau bilang dari dahulu?" katanya agak kesal.
"Ah, kalau saya bilang dari dahulu, bapak tentu tidak percaya. Memang dapat mimpi buruk pak?"Si
Bungsu seperti orang sakit gigi dibuatnya.
"Kebetulan ada kamar lain yang kosong, bapak ingin pindah kesana?"
"Tidak, tidak perlu.."jawab Si Bungsu agak kesal.
Tapi pelayan itu bukannya pergi dari sana, malah dia melangkah masuk"separuh berbisik dia berkata.
"Di sebelah kamar ini ada gadis cantik, baru tadi malam datangnya. Cantiiik benar.. "Si Bungsu menatap
pelayan itu dengan berang"tapi pelayan itu malah meneruskan informasinya. "Saya hampir pingsan waktu dia menanyakan apakah masih ada kamar, dia sendirian. Bayangkan gadis seperti
itu datang sendirian. Ada beberapa tamu disini, lelaki tentunya. Sampai tidak bisa berdiri begitu melihat gadis
itu?" "Keluarlah"!" "Bapak tidak percaya" Boleh dilihat nanti?"
"Keluar..!!" "Ya ya saya keluar, Tapi kalau bapak tidak baik-baik tidak saya perkenalkan nanti Bapak?"
"Keluar"!!!"Si Bungsu tegak, pelayan itu terlompat keluar kamarnya. Tapi dari luar dia masih sempat
ngomong. "Menurut paspornya, dia baru datang dari Singapura?"Si Bungsu tidak peduli. "Dia seorang gadis Jepang
Pak..!"Si Bungsu berniat menampar pelayan ini, keterlaluan pikirnya. "Namanya michiko.." katanya sambil
berjalan dan bersiul. Si Bungsu tertegak dan kaget seperti disambar petir. Dia hampir tidak mempercayai pendengarannya.
Apakah pelayan itu ada ngomong tentang gadis Jepang dan bernama Michiko" Atau yang terdengar olehnya
adalah semacam ilusi yang dibawa dari mimpi yang terlalu dasyat barusan tadi. Aneh" Hatinya berdebar.
Jantungnya berdegub tak menentu. Tak biasanya seperti ini, peluh kembali membasahi tubuhnya. Untuk
menenangkan diri dia pergi mandi, kemudian bertukar pakaian.
Hari ini dia akan ke Payakumbuh dan dari sana baru kekampungnya, Situjuh ladang Laweh. Kampungnya
persis di bawah kaki gunung Sago. Dia tak tahu apa yang akan dia perbuat disana. Yang jelas, dan keinginan
paling besar adalah menjenguk Pusara Ayah, Ibu dan kakaknya. Kemudian melihat rumah dimana dia lahir dan
dibesarkan. Lalu apa lagi" Dia tak tahu, barangkali dia akan tinggal disana, semalam dua malam atau akan pergi
lagi. Tetapi apakah Si Bungsu memang salah dengar ata ucapan pegawai hotel Indonesia atas "Gadis di
sebelah kamar" itu" Apakah benar Michiko dan Michiko yang dimaksud adalah anak dari Saburo matsuyama,
yang datang untuk membalas kematian ayah nya terhadap Si Bungsu." sebab di Jepang ada ribuan gadis yang
bernama michiko. Apakah Michiko yang di sebelah kamarnya itu adalah Michiko yang "membunuh"nya
didalam mimpi tadi" Ternyata benar! Dia memang Michiko yang satu itu, dia datang untuk mencari Si Bungsu. Namun ketika
dia mendaftarkan diri di Hotel ini sama sekali dia tidak tahu bahwa lelaki yang dia cari itu ada di hotel tersebut.
Dan ketika dia masuk kekamar nomor dua sama sekali dia tak tahu kalau di kamar nomor emapat persis di
sebelah kamarnya dan hanya dibatasi oleh sebuah dinding, berbaring Si Bungsu, lelaki yang sangat ingin dia
temui. Ketika Si Bungsu bermimpi berkelahi dengan Michiko, saat itu Michiko telah bangun. Dia mendengar
suara gaduh disebelah, namun tidak dia perhatikan. Dia keluar dan mandi. Kemudian ketika dia masuk
kekamarnya, saat itu pula Si Bungsu keluar pergi mengambil wudhu. Kalau saja dia agak terlambat keluar dari
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 397
kamar mandi, atau Si Bungsu sedikit lebih cepat keluar kamarnya, pasti kedua mereka bertemu di gang didepan
kamar itu. Pasti! Ketika Si Bungsu sembahyang subuh, Michiko telah keluar, dia pergi menghirup udara pagi yang cerah
sambil menapaki jalan dalam kota itu. Kedatangannya di Bukittinggi di mulai dari kedatangan Donald ke
Singapura dari Australia. Setelah menceritakan kepada Fabian tentang perjalanannya dengan Si Bungsu
mengantarkan jenazah Robert ke Australia, Lalu datang ke Konsulat Indonesia.
Di sana dia disambut oleh Overste Nurdin dan Salma isterinya. Karena tamu yang datang membawa
berita tentang Si Bungsu, Salma segera memanggil Michiko yang saat itu tengah bermain dengan Eka, anak
mereka, di taman belakang.
"Michiko san, kemarilah?"
Michiko berhenti mengejar-ngejar Eka. Memangku anak itu, kemudian mendekat.
"Ada apa, Salma san?"
"Ada tamu untukmu?"
"Tamu untukku?"
"Ya. Tamu dari Australia!"
Hampir saja anak dalam gendongannya jatuh. Untung dia cepat menguasai diri. Tamu dari Australia!
Orang yang kenal dengannya dan kini ada di Australia adalah Si Bungsu! Apakah lelaki itu yang datang"
"Tenanglah, bukan Si Bungsu. Tetapi temannya. Namun dia datang membawa cerita tentang kekasihmu
itu. Ayo kita masuk"
Mereka ke ruang tamu. Donald terkesima melihat kedua perempuan cantik itu. "Kenalkan, ini Michiko.
Teman Si Bungsu?" Nurdin mengenalkan gadis itu pada Donald. Donald berdiri. Mengulurkan tangan dengan sikap kagum
dan hormat. Yang disambut dengan dada berdegup oleh Michiko. Yang sangat ingin tahu tentang Si Bungsu.
"Nona Michiko?"" ulang Donald perlahan.
"Ya, Michiko. Pernah mendengar namanya?" tanya Nurdin.
Donald kembali duduk. Kemudian menatap pada Michiko.
"Saya sering mendengar nama nona. Saya gembira hari ini dapat bertemu dengan nona. Si Bungsu


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak bercerita tentang nona?"
Michiko merasa jantungnya mengencang. Si Bungsu sering bercerita tentang diriku. Apakah dia masih
mengingatku", pikirnya. Dari Donald mereka semua jadi tahu bahwa Si Bungsu telah pulang ke Indonesia, ke
kampungnya. Ketika sore hari itu Donald pamitan, ketiga mereka membicarakan soal Si Bungsu.
"Saya akan pergi?" kata Michiko perlahan.
"Ke Sumatera Barat?" tanya Nurdin.
"Ya?" (114) Nurdin menghela nafas. Salma menghela nafas. Kedua mereka menatap gadis itu. Gadis itu menunduk.
Seperti telah diceritakan pada bahagian terdahulu, Michiko memang tinggal di gedung konsulat itu bersama
Salma. Yaitu sejak peristiwa mereka hampir diperkosa pelaut di hotel dimana Michiko menginap, tatkala Salma
datang bertamu ke sana. Kini, keinginan Michiko untuk ke Sumatera Barat tak mungkin ditahan. Nurdin memberikan peta
Sumatera Barat, serta petunjuk dimana letaknya Situjuh Ladang Laweh. Salma memberikan beberapa alamat
famili dan kenalannya di kota Bukittinggi untuk dihubungi Michiko bila ada kesulitan. Tatkala Michiko akan
naik pesawat, Nurdin berpesan :
"Saya berharap akan dapat bertemu dengan kalian berdua, Michiko. Maksud saya engkau dan Si Bungsu.
Saya tahu, engkau berdendam padanya. Namun, saya benar-benar menginginkan tak satupun di antara kalian
yang cedera?" Michiko hanya tersenyum. Senyumnya kelihatan getir. Sebelumnya Salma juga sempat bicara empat
mata dengannya. "Sebagai perempuan dengan perempuan, Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya
kesempatan untuk bertemu dengannya. Lelaki yang sama-sama kita cintai. Engkau satu-satunya yang memiliki
kesempatan untuk mendapatkan dirinya. Jangan biarkan dirimu dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens
sama sekali. Berfikirlah dengan akal sehat. Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya. Bila dia
engkau bunuh Michiko, sama artinya engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 398
hidupmu. Kalian kini sama-sama sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian
dan saling bunuh. Sebagai seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin Si
Bungsu bahagia. Dan saya yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin
mendengar kabar bahwa kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini, datang sebagai suami isteri. Saya
selalu berdoa untuk itu, Michiko, adikku!"
Michiko amat terharu dan tak bisa menahan air matanya mendengar ketulusan hati Salma. Dia memeluk
Salma. Salma juga balas memeluk dengan mata basah. Dan Michiko pun berangkat. Di pesawat dia duduk
dengan diam. Berusaha menyembunyikan rasa sedihnya berpisah dengan Salma. Keluarga itu sudah seperti
keluarganya sendiri. Dia menganggap mereka sebagai kakaknya.
Michiko tak tahu, seseorang yang duduk persis di sisinya sejak tadi menatapnya. Seorang Cina gemuk,
bermuka tembem dan berambut tegak lurus seperti alang-alang di tengah padang. Berhidung besar dan
bermata kuning. Lelaki itu menatapnya dengan bernafsu. Beberapa kali tangannya dia sentuhkan ke tangan
Michiko. Gadis itu, yang pikirannya memang tak di situ, tak menyadarinya. Bagi si babah gemuk itu diamnya
Michiko dia anggap sebagai "persetujuan" untuk saling senggol-senggolan.
Cina itu makin kurang ajar. Matanya menatap pada dada Michiko yang membusung ketat. Darahnya
menggelegak melihat dada yang ranum itu berombak mengikuti alunan nafas. Michiko baru sadar tatkala
tangannya benar-benar dihimpit oleh tangan engkoh gendut itu. Dia menoleh, disambut Cina itu dengan
tersenyum. Michiko yang tak punya prasangka apa-apa, sambil menggeser tangannya dari himpitan tangan si
gendut juga tersenyum, sekedar basa-basi. Babah itu seperti mendapatkan durian runtuh. Eh, salah. Tidak
hanya durian tapi juga pisang, kelapa, rambutan dan jambu monyet yang runtuh sekaligus.
"Akan ke Jakalta?" tanya si gendut dalam bahasa Indonesia dengan aksen Tionghoa yang tak ketulungan.
Michiko mau tak mau mengangguk. Babah itu kembali menggesengkan tangannya yang besar ke tangan
Michiko. Michiko mengalihkan tangannya dari tangan kursi. Meletakkannya di pangkuan.
"Sendilian?" lagi-lagi si babah bertanya sambil menjilat bibir.
Michiko mulai tak sedap, tapi dia paksakan juga untuk mengangguk. Melihat anggukan itu, babah itu
seperti merasa tercekik. Kerongkongannya terasa kering. Dia ingin segera tiba di Jakarta. Di sana segalanya
bisa di atur. Dia menyesal juga kenapa tidak bertemu dengan gadis begini di Singapura. Memang banyak gadis
yang bisa segera dibawa ke tempat tidur di kota singa itu. Tapi yang cantik seperti ini tak pernah bersua!
Michiko menoleh ke luar. Memandang ke laut luas yang membentang jauh di bawah sana. Sesekali,
kelihatan sebuah titik diikuti garis memanjang seperti segitiga. Sebuah kapal tengah berlayar di Samudera di
bawahnya. Garis membentuk segitiga itu adalah ombak yang dibentuk oleh lunas kapal pada permukaan laut.
Pada saat itu, babah gemuk itu juga asik memandang pada segitiga di dada Michiko.
Gadis itu memakai baju dengan gunting segitiga runcing pada dadanya. Di ujung segitiga pada bajunya
itu terlihat pangkal dadanya yang mengkal.
Babah itu merasa dadanya sesak. Peluh membasahi keningnya. Tubuhnya gemetar. Dia ingin menerkam
gadis di sisinya ini. Cina ini nampaknya dijangkiti penyakit gila seks. Saat itu Michiko menoleh, melihat babah
itu berpeluh dan matanya jadi merah.
"Tuan saya lihat kurang sehat"." katanya perlahan.
Dan babah itu menyangka bahwa gadis itu memancingnya. Artinya gadis Jepang itu sengaja memancingmancing.
"Ya, saya sakit. Debar jantung saya sangat keras. Rasakanlah?"
Dengan cepat dan sigap dia meraih tangan Michiko, menekankan ke dadanya. Michiko yang kaget
tangannya disambar begitu, semula akan menyentakkannya. Tapi takut dianggap tak ramah, dan melihat lelaki
gemuk itu memang pucat dan gemetar serta berpeluh, dia membiarkan tangannya ditekankan ke dada lelaki
itu. Dada lelaki itu memang gemuruh. Apalagi mendapat kenyataan bahwa gadis itu tak menolak tangannya
dipegang dan ditekankan ke dadanya. Michiko mula pertama merasakan tangannya menekan segumpal daging
yang bergoyang di dada Cina gemuk itu. Kemudian dia memang merasakan denyut jantung Cina itu tak beres.
Cepat-cepat dia menarik tangannya.
"Lebih baik panggil pramugari?" katanya.
Tapi dengan cepat Cina itu memegang lagi tangan Michiko.
"Jangan, jangan dipanggil. Kalau mau agak sesaat saja meraba dada saya, akan sembuh segera?" katanya
sambil tetap menekankan tangan gadis itu ke dadanya.
Tapi Michiko baru dapat merasakan sesuatu yang tak beres pada sikap babah gemuk itu. Dia menarik
tangannya dengan paksa. Kemudian menatap dengan heran. Cina itu malah nyengir penuh maksud. Michiko
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 399
menoleh lagi keluar, perasaannya jadi tak sedap. Kaki Cina itu di bawah menggeser-geser kakinya. Michiko tak
ingin bikin ribut dalam pesawat ini. Banyak orang kulit putih dan satu dua orang Indonesia. Dan cukup banyak
pula orang Cina. Dia menoleh ke belakang. Kemudian berdiri, pura-pura akan ke WC. Padahal dia ingin mencari tempat
kosong. Karena tempat lewat di depan cina itu sempit, dia lalu membelakang. Ketika lewat pinggulnya bergeser
dengan lutut Cina itu. Cina gaek dan gepuk jahanam itu memang sengaja menyorong-nyorongkan lututnya ke
depan dan agak meninggikannya. Sehingga lututnya tertekan oleh pinggul Michiko yang sedang lewat. Michiko
yang menyangka bahwa jalan itu memang sempit, terus saja menggeser diri. Michiko pura-pura menuju toilet.
Sambil berjalan, dia melirik kiri kanan. Berharap menemukan sebuah kursi kosong untuk bisa pindah
duduk. Namun pesawat Dakota yang bermuatan 20 orang itu penuh semua. Dia masuk ke toilet. Berkaca dan
mendapatkan wajahnya agak pucat karena malu dan berang. Dia merasa muak untuk kembali ke tempat
duduknya. Tapi terlalu lama di toilet ini juga mustahil. Dia lalu keluar lagi. Yaitu setelah hampir setengah jam
dalam kakus itu. Mau tak mau dia kembali lewat di depan Cina gemuk itu. Cina gemuk itu, seperti tadi lagi, menyorongkan
lututnya. Kini tangannya juga ikut menggerayang. Meremas pinggul Michiko. Wajah Michiko jadi merah padam.
Dia menatap dengan penuh berang pada Cina itu. Hampir saja dia menyambar samurainya yang tertegak di sisi
tempat duduknya. Namun dia tak mau huru hara terjadi. Kalau itu dia lakukan, maka perjalanannya ke
Minangkabau bisa terhalang. Makanya dia terpaksa menerima perlakuan itu dengan menekan amarah. Tapi
celakanya Cina itu benar-benar tak tahu diri. Diamnya Michiko dia sangka sebagai persetujuan untuk berbuat
makar. Dia nyengir, memperlihatkan tiga gigi emasnya yang sudah menghitam karena candu. Mana sudi
Michiko menatapnya. Gadis itu melempar pandangan ke luar.
Untunglah pesawat segera tiba di Lapangan Udara KeMayoran, Jakarta. Kalau tidak, penderitaan gadis
itu tentu takkan berujung. Michiko menunggu Cina itu turun duluan. Tapi Cina itu seperti mananti kesempatan
untuk menekan pinggul gadis itu dengan lututnya kembali.
"Silahkan nona tulun duluan?" katanya meramahkan diri.
Michiko memandangpun tidak. Saat itu tangannya sudah memegang samurainya. Kalau Cina itu coba
berbuat kurang ajar lagi, akan dia hantam saja. Tapi Cina itu tegak. Kemudian turun. Akhirnya Michiko juga
turun. Celakanya mereka bertemu lagi di imigrasi.
"Hmm, ini apa yang bawa, nona?" seorang petugas imigrasi menunjuk pada tongkat di tangan Michiko.
"Samurai, tuan?" katanya.
"Samurai?" petugas itu heran.
"Ya. Samurai. Belum pernah melihat senjata begini?"
"Ah, saya terlalu sering melihatnya, nona. Saya hanya tak mengerti buat apa senjata berbahaya begini
nona bawa-bawa?" "Seorang teman ayah saya memesannya untuk kenang-kenangan?"
Petugas imigrasi itu tampaknya agak keberatan. Dia kembali memeriksa paspor Michiko. Dalam paspor
itu tertulis bahwa Michiko adalah turis. Dan saat itu adalah sesuatu yang agak aneh kalau ada orang mengaku
turis datang ke daerah. Apalagi daerah itu adalah daerah yang baru saja bergolak seperti Sumatera Barat. Tapi
ketika Michiko memperlihatkan sepucuk surat, yang ditandatangani oleh overste Nurdin, Atase Militer
Indonesia di Malay yang berkedudukan di Singapura, petugas itu tak banyak cincong lagi. Michiko keluar dari
kawasan itu. "Dimana saya" dapat membeli tiket untuk pesawat yang berangkat ke Sumatera Barat?" tanyanya pada
seorang lelaki berseragam pilot.
"Nona akan ke sana?" Pilot itu balik bertanya dengan heran, tapi sikapnya sopan.
"Ya, saya bermaksud ke sana"."
"Seingat saya, saat ini belum ada pesawat sipil yang ke sana. Jalur itu khusus diterbangi oleh pesawat
Angkatan Udara. Tapi mereka juga menerima penompang-penompang sipil dari pemerintahan. Untuk itu dapat
meminta keterangan di ujung sana," ujar pilot itu sembari menunjuk ke gedung lain.
Dia menunjuk ke sebuah gedung tua yang mirip gudang besar. Terletak di antara pohon-pohon kelapa.
Jalan menuju ke sana ditumbuhi padang lalang. Michiko memang mendapatkan keterangan yang sama dari
pilot tadi. Rute Jakarta-Padang hanya diterbangi oleh pesawat AURI. Tapi dia mendapat tempat. Hanya
sayangnya, pesawat baru dua hari lagi berangkat ke Padang. Sebab pesawat ke sana baru tadi pagi berangkat.
"Ada kemungkinan saya menompang pesawat lain?" tanya Michiko.
"Tidak nona. Memang ada pesawat militer ke sana. Tapi usahkan orang asing seperti Anda. Orang
Indonesia tak juga akan diperkenankan ikut dalam pesawat itu?"
"Kalau begitu, saya pesan tiket untuk dua hari lagi?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 400
"Baik. Kami catatkan. Nona bisa bayar dua hari lagi."
"Tidak. Sekarang saja?"
"Jangan Nona, sebab ada kemungkinan pesawatnya tak berangkat hari itu?"
Michiko mengerutkan kening.
"Saya kurang mengerti maksud Tuan?"
Petugas yang melayani seorang Sersan Mayor Penerbang, menatap gadis cantik itu. Lalu bicara sopan :
"Anda tahu Nona, negeri itu baru bergolak. Segala penerbangan kesana bisa saja diundur."
"Apakah itu sering terjadi?"
"Seingat saya ada dua atau tiga kali."
"Ya. Apa boleh buat. Kalau diundur, maka saya juga akan undur berangkat?" katanya menyerah. Sersan
itu mencatat. "Di mana Nona menginap" Kalau ada perobahan kami bisa mudah memberitahu?" Michiko menatap ke
arah lain. Itulah yang tengah dipikirkannya, penginapan.
"Saya tak tahu. Ada penginapan di sekitar lapangan ini?"
"Ada. Di luar sana. Anda bisa naik beca. Minta ke Hotel Angkasa. Cuma hati-hatilah. Di sana kadangkadang ada bajingannya?"
Michiko menatap Sersan itu.
"Ya, kadang-kadang ada orang mabuk-mabukan dan suka mengganggu perempuan.." "Apakah tak ada
penginapan lain yang lebih aman?"
"Cukup banyak. Tapi agak jauh dari sini. Di kota.."
"Saya rasa di sana saja, di hotel Angkasa. Terimakasih atas bantuan Bapak"."
"Saya harap Nona senang berada di negeri kami?" ujar Sersan itu mengangguk hormat.
Michiko mendapat kesan yang baik pada sikap Sersan itu. Dia berjalan lagi ke arah gedung Imigrasi
darimana dia datang tadi. Untung saja yang dia bawa hanya sebuah tas kecil yang bisa dia gantungkan di bahu.
Mirip-mirip ransel. Hanya dua perangkat pakaian, handuk, kimono dan barang-barang kecil lainnya. Kemudian
uang. Itulah bekalnya. Di tangan kirinya ada samurai yang sekilas lihat mirip dengan tongkat biasa. Michiko
memakai gaun seperti jamaknya gadis-gadis Indonesia saat itu. Pakai rok dalam hingga ke betis dengan banyak
kerunyut-kerunyut. Pakai blus warna cerah dengan rambut dipotong hingga bahu. Sekilas lihat gadis ini tak
mirip dengan gadis Jepang yang bermata sipit dengan wajah klasiknya. Dia lebih mirip gadis-gadis Indonesia
kelahiran Menado, atau gadis-gadis dari Sunda yang bertubuh indah berkulit kuning. Di depan kantor Imigrasi
dia memanggil beca. Tapi saat itu sebuah sedan Chevrolet hitam berhenti persis di dekat dia tegak. Sebuah suara terdengar
saat pintu mobil terbuka.
"Mali naik sini saja, Nona. Saya antalkan"."
Michiko heran, tapi herannya segera berobah jadi mual tatkala dilihatnya siapa yang membuka pintu
mobil itu. Si babah gemuk bergigi emas yang duduk di sebelahnya dalam pesawat tadi.
"Naiklah. Saya antalkan Nona"." kata babah itu meramah-ramahkan diri.
Michiko tak menjawab. Dia memanggil becak.
"Ke hotel Angkasa, Pak"." katanya kepada tukang beca.
Beca itupun meluncur. Chevrolet hitam yang ditompangi oleh babah gemuk itu mengikut dengan
perlahan dari belakang. Tak lama kemudian beca itu memasuki halaman hotel yang tak begitu bagus. Bahagian
bawah berlantai dan berdinding batu. Bahagian atas berdinding papan. Itulah Hotel Angkasa yang tadi
ditunjukkan oleh Sersan AURI itu. Michiko memesan kamar. Dia sempat melirik bahwa sedan Chevrolet hitam
model terbaru itu melaju ke arah kota.
Tempat tidur hotel itu tak bisa dikatakan bagus, tapi cukuplah. Siang itu terasa panas. Keinginannya
adalah segera mandi dan tidur. Dia membuka pakaiannya, menukarnya dengan kimono. Kemudian mengambil
sabun dan sikat gigi. Lalu masuk ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Airnya tak begitu sejuk. Tapi dia tak
perduli. Selesai gosok gigi dia membuka kimononya, lalu mandi. Di tingkat dua, persis di atas kamar mandi di
mana dia tengah membersihkan diri, ada sebuah lobang kecil. Di lobang itu ada sebuah mata yang tengah
melotot menatap ke bawah. Ke tubuh Michiko yang tak tertutup kain sehelai benangpun.
Tubuh orang yang mengintip itu, seorang pelayan hotel yang berusia setengah baya, menggigil melihat
pemandangan di bawah sana. Melihat pinggang yang ramping. Pinggul yang besar dan dada yang ranum
membusung. Semuanya tanpa penutup. Meski agak terlambat mengetahui, Michiko ternyata punya instink
yang cukup tajam. Dia merasakan seperti tengah diintip orang. Sambil tetap bersiram, dia melirik kiri dan
kanan. Dinding kamar mandi itu dari beton.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 401
Satu-satunya kemungkinan orang mengintip adalah dari atas. Dia menyauk air. Kemudian menyiramkan
ke lehernya. Dalam posisi demikian dia menengadah. Suatu gerakan yang tak kentara sama sekali. Dia segera
dapat menangkap bahwa di loteng ada sebuah lobang kecil. Hotel brengsek, di mana-mana hotel brengsek sama
saja. Ada lobang tempat mengintip orang tidur atau mengintip orang mandi. Michiko meletakkan gayung
ditangannya ke pinggir bak mandi. Kemudian tangannya membetulkan rambut.
Di rambutnya ada sepit rambut yang sebenarnya adalah sebuah samurai kecil. Sepit rambut itu dahulu
pernah menyelamatkan dirinya ketika bersama Salma saat akan diperkosa pelaut di sebuah hotel di Singapura.
Pengintip di atas melihat gadis itu membetulkan rambutnya. Melihat gadis telanjang itu membuka sepit
rambut. Tiba-tiba gadis itu seperti menggeliat.
Dan tiba-tiba tukang intip itu meraung. Sebuah benda yang amat runcing menusuk mata kanannya yang
berada di lobang kecil itu. Dia tersentak bangun. Hulu samurai kecil itu tak muat di lobang tersebut. Karena dia
terlonjak bangkit, samurai itu lepas dan jatuh kembali ke bawah. Michiko menangkap sepit rambutnya itu.
Membersihkannya. Dan dengan tenang dia melanjutkan mandinya.
Di tingkat dua, pelayan hotel yang mengintip itu meraung-raung. Dia berlari keluar dari kamar di mana
dia mengintip. Tapi tiba di tangga menuju ke bawah, dia tak dapat menguasai dirinya lagi. Matanya pecah dan
mengeluarkan darah yang membasahi mukanya. Tubuhnya jatuh bergulingan di tangga. Tiba di bawah, dia
pingsan. Teman-temannya berlarian. Dan melihat wajah lelaki itu berlumur darah.
(115) Mereka tadi mendengar lelaki itu berteriak dari atas sana. Dua orang lalu berlari ke atas dengan parang
di tangan. Apakah ada perampok di atas" Mereka membuka pintu salah satu kamar. Ada darah menitik. Tapi
tak ada siapa-siapa. Lobang itu tak kelihatan. Sebab tertutup oleh tikar. Mereka memeriksa setiap sudut kamar.
Namun tak berhasil menemukan apa-apa.
Mereka semua sebenarnya tahu bahwa hampir di tiap kamar di lantai dua itu ada lobang yang bisa
mengintip ke bawah. Lobang itu ditutup dengan tikar. Tapi sampai saat ini mereka tak menduga sama sekali
bahwa mata teman mereka itu kena hantam samurai oleh orang yang berada di kamar mandi di bawah sana.
Mana mungkin mereka bisa menduga. Lelaki itu segera dibawa ke rumah sakit. Sorenya ketika dia sadar, temantemannya bertanya apa sebenarnya yang terjadi.
Namun lelaki itu tak mau menceritakan hal yang sesungguhnya, malu dia. Sebenarnya dia tak tahu apa
yang memecahkan bola matanya. Dia benar-benar tak tahu. Dia masih ingat dengan pasti. Waktu itu gadis
telanjang yang dia intip tersebut sedang membetulkan rambutnya dan menggeliat. Saat itulah sebuah benda
menerkam matanya. Dia tak pernah menyangka, bahwa gadis itu bukan menggeliat. Melainkan melemparkan
sepit rambutnya ke atas, ke matanya yang sedang mengintip.
Michiko yang mendengar ribut-ribut itu tak mau perduli. Dia menyelesaikan mandinya. Ketika dia
melihat lagi ke atas, lobang itu telah tertutup. Kemudian dia memakai kimono. Lalu mengambil samurai yang
diletakkan di atas meja, memindahkannya ke bawah bantal. Kini dia makin tak percaya pada setiap orang.
Di Singapura, di kapal terbang, kini di hotel di Jakarta, bahkan di negerinya sendiri, di Jepang sana,
banyak saja orang yang berniat jahat padanya. Memang tak mudah jadi perempuan cantik. Kemana-mana selalu
Pedang Asmara 7 Roro Centil 13 Dendam Si Manusia Palasik Matahari Esok Pagi 19
^