Tikam Samurai 28
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 28
Tak ada apapun yang terlihat. Tak ada suara apapun yang terdengar, selain suara burung malam yang hilang
timbul. Aneh, dia merasa ada sesuatu di tengah rawa sana, yang sedang menatap kearah mereka yang berada
di depan api unggun ini. Perlahan di rebahkannya tubuh Thi Binh di atas tumpukan dedaunan kering di bawah pohon tersebut.
Perasaan aneh yang mencekam itu semakin kuat, merasuk kefikiran dan nalurinya. Setelah menyelimuti tubuh
Thi Binh dengan sehelai kain, Si Bungsu mengambil sebuah ranting kecil.
Ranting itu dia jentikan ke tubuh Han Doi yang sudah tertidur disisi Duc Thio. Jentikan ranting itu
demikian terarahnya, Han Doi segera terbangun. Begitu bangkit tangannya meraih bedil yang terletak disisinya.
Kemudian menoleh arah Si Bungsu. Si Bungsu memberi isyarat agar Han Doi membangunkan Duc Thio. Han
Doi mengguncang tubuh pamannya dengan perlahan.
Lelaki itu terbangun, dan begitu di beri isyarat oleh Han Doi agar tak bersuara, dia segera meraih senjata
laras panjang yang terletak di sampingnya. Si Bungsu yang sudah duduk dekat api unggun, memberi isyarat
agar kedua orang itu mendekat padanya. "Ada apa..?" bisik Duc Thio begitu duduk dekat api unggun. "Sejak
setengah jam yang lalu, saya berasa ada sesuatu di tengah rawa sana, yang sedang mengamati kita. Dan apapun
yang mengamat-amati itu, wujudnya adalah bahaya?" ujar Si Bungsu perlahan.
Duc Thio dan Han Doi menatap kearah rawa yang kelihatan hanya gelap yang amat kental. Sambil duduk
memegang bedil, Si Bungsu menunduk dan memejamkan mata. Dia berusaha menangkap gerak sehalus apapun
di tengah rawa itu, untuk di pelajari apa gerangan makhluk yang sedang mengamati mereka.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 588
Cukup lama dia berbuat seperti itu, kemudian membuka mata dan menatap ke arah puncak pepohonan
di rawa. "Adakah kalian mendengar sesuatu?"" Han Doi dan Duc Thio mempertajam pendengaran. Kemudian
menggeleng. "Kami tak mendengar apapun?" ujar Han Doi. "Saya juga?" ujar Duc Thio. "Juga tidak suara
burung malam?" tanya Si Bungsu.
Kedua orang itu menatap ke arah rawa. Kemudian menggeleng. "Itu yang mendatangkan rasa aneh pada
diriku. Sejak setengah jam yang lalu, ketika saya masih bicara dengan Thi Binh, tiba-tiba suara burung malam
lenyap. Ada sesuatu yang dahsyat, yang membuat mereka takut dan terbang jauh, atau tetap di tempatnya,
namun mereka berdiam diri?" ujar Si Bungsu. "Apakah yang di tengah rawa itu tentara Vietnam?" tanya Han
Doi. Si Bungsu mengeleng.
"Tidak ada gerak menusia yang tak bisa kutangkap. Setangguh apapun dia menyelinap. Yang mengintai
kita kini bukan manusia. Namun wujudnya aku tak tahu. Tapi yang jelas, dia nampaknya tak menyerang kita
karena takut pada nyala api?" dan ucapannya yang terakhir mambuat Si Bungsu sadar. Dia bisa mencoba
dengan api" Diambilnya sebuah puntung sebesar lengan, yang apinya menyala dengan marak. "Siapkan senjata
kalian. Saya akan melemparkan obor ini ke rawa sana. Apapun yang bergerak, siram dengan tembakan?" ujar
Si Bungsu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 614
Han Doi dan Duc Thio memutar duduk. Dengan bertelekan di lutut kiri, mereka mengarahkan moncong
bedil ketengah rawa. Si Bungsu perlahan membangunkan Thi Binh. Dia tak ingin gadis itu terkejut oleh suara
tembakan. "Ssst. Ada bahaya mengancam kita dari rawa sana. Tetaplah berbaring dan diam?" bisik Si Bungsu.
Si Bungsu perlahan berdiri. Kemudian memutar tegak menghadap ke rawa. Lalu tiba-tiba dia
melemparkan puntung yang menyala di tangannya ke tengah rawa sana. Begitu puntung itu melayang, tiba tiba
wujud makhluk yang mengintai mereka itu segera menjadi jelas. Hanya saja, makhluk itu ternyata bukannya di
bahagian agak ke tengah rawa, melainkan sudah berada di pinggir, hanya sekitar empat depa dari tempat
mereka! Makhluk itu tak lain dari seekor ular raksasa berwarna hitam. Puntung api yang masih menyala itu
dilemparkan justru persis ketika ular raksasa itu sedang akan melakukan serangan ke arah kelompok manusia
di bawah pohon tersebut. Bahagian tubuhnya sudah keluar dari air sepanjang lima depa, dan bahagian lehernya
sudah melengkung ke belakang seperti busur panah.
Gerak berikutnya dari ular itu adalah meluncurkan kepalanya ke depan, dengan mempergunakan
lengkungan tubuhnya sebagai pegas. Saat itulah puntung dilemparkan, dan dengan sangat terkejut Duc Thio
dan Han Doi memuntahkan peluru dari bedil mereka. Tembakan yang paling telak adalah yang dimuntahkan
dari mulut bedil Han Doi, yang memang bekas tentara.
Belasan peluru bedilnya langsung bersarang di atas tenggorokan ular raksasa itu, yang sedang
meluncurkan ke arah mereka dalam keadaan ternganga lebar! Kemudian dengan suara mendesis, kepala ular
raksasa itu jatuh sedepa dari tempat mereka. Tubuhnya yang panjang, sekitar dua puluh depa, menggeliat dan
menggelepar ketika meregang nyawa. Beberapa pohon sebesar paha berderak patah dihantam libasannya.
Ular itu menggelepar beberapa saat, kemudian mati dengan matanya yang merah bak api mendelik
menatap mereka. Thi Binh tak dapat menahan rasa ngeri dan terkejutnya, dia memekik dan memeluk Si
Bungsu. Si Bungsu menghapus keringat dingin yang tiba-tiba membersit di wajahnya. Duc Thio dan Han Doi
terhenyak lemas dan menggigil. Makhluk yang menyerang mereka ini benar-benar monster raksasa yang amat
dahsyat. Kalau saja naluri Si Bungsu tidak menangkap isyarat adanya bahaya yang mengancam, sudah bisa
dipastikan mereka akan berkubur di dalam perut ular yang mengerikan ini. "Ular ini betina, yang jantan adalah
yang bertanduk yang kita bunuh siang tadi. Ular ini adalah yang bertemu oleh kita saat akan membuat rakit?"
ujar Si Bungsu pada Han Doi dengan suara terputus-putus.
Han Doi hanya bisa mengangguk. Dia masih dicekam teror dan ketakutan yang dahasyat. Ular betina ini
nampaknya ingin membalas dendam atas kematian pasangannya. Bagi makhluk berpenciuman amat tajam ini
tidaklah sulit mencium jejak musuh yang dicarinya. Buktinya, dengan mudah dia bisa menemukan tempat para
pembunuhnya bermalam. "Kita berangkat?" ujar Si Bungsu.
Dia memutuskan meninggalkan tempat itu karena tak ingin teman-temannya dicekam ketakutan
berkepanjangan. Sebab kepala ular itu hanya sedepa dari mereka. Dan matanya masih mendelik, seolah-olah
masih hidup. Selain itu, subuh nampaknya sudah turun. Mereka segera meninggalkan tempat ini. Duc Thio
mengumpulkan parang dan bedil. Kemudian bersama Han Doi mengangkat rakit itu ke rawa agak ke utara,
menjauhi bangkai ular yang tergeletak di tepian di mana kemarin mereka mendarat. "Kita berangkat, mari?"
bisik Si Bungsu kepada Thi Binh.
Namun gadis itu masih menggigil dan menyurukkan wajahnya di dada Si Bungsu. Nampaknya tubuhnya
menjadi lemas oleh ketakutan dahsyat tersebut, sehingga tak mampu bergerak. Si Bungsu berdiri,
menyerahkan parang dan bedil kepada Duc Thio. Kemudian dibopongnya tubuh Thi Binh ke rakit. Han Doi
mengumpulkan peta dan galah bambu yang berserakan di dekat api unggun. Kemudian cepat-cepat menyusul
ke rakit. Mereka segera mengayuh rakit itu ke tengah dan dengan cepat menyelusup di dalam kabut, menyalip
di antara pepohonan raksasa dan akar-akar rawa yang menjulai seperti kelambu dari dahan-dahan.
Tak seorang pun di antara mereka yang bicara. Karena hari masih gelap, yang menggalah rakit di depan
adalah Si Bungsu. Dengan nalurinya yang tajam dan hafalnya dia pada struktur belantara, dia dengan mudah
mencari jalan di antara pepohonan yang dipalun kabut itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-589
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 615
Thi Binh tak mau jauh dari pemuda itu. Dia duduk di rakit sambil tangannya memeluk sebelah kaki Si
Bungsu yang tegak menggalah. Han Doi menggalah di bahagian belakang rakit. Sementara Duc Thio berjaga di
tengah rakit, dengan bedil siap memuntahkan peluru. Dengan sikap waspada penuh, mata mereka nyalang
menatap ke segala penjuru ke tempat-tempat yang akan dan sedang mereka lewati.
Ketika subuh tiba dan sinar matahari menyinari bahagian-bahagian air rawa yang tak terlindung
pepohonan, Si Bungsu melihat di sebelah kanan depan ada sebuah pohon berdahan banyak dan sela-sela daun
bermunculan buahnya. Dia membelokkan rakit ke arah pohon besar tersebut, yang batangnya mencuat ke
permukaan air. "Kalian kenal pohon itu?"" tanyanya sambil menunjuk ke pohon yang buahnya mirip buah apel. Han Doi
dan Duc Thio memperhatikan pohon itu dengan seksama, kemudian sama-sama menggeleng. "Saya juga tak
mengenalnya. Namun dari daun dan warna pohonnya, buah itu nampaknya bisa dimakan?" ujar Si Bungsu.
Ketika rakit itu sampai di bawah pohon, Si Bungsu menjuluk setangkai buah berwarna kuning. Tangkai dengan
empat buah kayu itu jatuh ke rakit. Si Bungsu mengambilnya sebuah. Kemudian membasuhnya ke air.
Menciumnya, lalu menggigit buah tersebut. Tih Binh, Han Doi dan Duc Thio memperhatikan dengan diam. Ada
beberapa saat Si Bungsu mengunyah, lalu menelan. "Waw, manis dan gurih?" ujarnya sambil menggigit buah
tersebut. Ganti kini ketiga orang Vietnam itu yang mengambil buah tersebut, membasuhnya ke air, dan
memakannya. Dan mereka nampaknya sepakat, bahwa itu memang nikmat. Si Bungsu menjuluk beberapa kali
lagi. Setelah terkumpul sekitar tiga puluh buah, dia lalu mengayuh rakitnya kembali.
"Untuk sementara kita harus makan buah-buahan saja. Kita tak bisa lagi memakan daging atau ikan.
Terlalu berbahaya menghidupkan api untuk membakarnya. Asap api akan menimbulkan kecurigaan tentara
Vietkong," ujar Si Bungsu. Namun belum berapa jauh mereka menggalah rakit dari pohon yang buahnya lezat
tapi tak dikenal namanya itu, Si Bungsu tiba-tiba berhenti menggalah. Tidak hanya itu, dia menancapkan
galahnya ke dasar rawa, yang kedalaman airnya sekitar lima depa, kemudian menghentikan rakit.
"Ada apa?"" ujar Thi Bingh yang sudah tak lagi memeluk kaki Si Bungsu, melainkan sudah duduk di
tengah rakit tak jauh dari ayahnya yang tetap siap dengan bedil di tangan. Duc Thio dan Han Doi menatap pada
Si Bungsu, kemudian mengamati rawa itu dengan tatapan mereka ke segala penjuru. "Ada apa?" ujar Han Doi
setelah tatapan matanya tak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sekitar mereka. "Jalan ke arah yang
kita tuju nampaknya nyaris tertutup," ujar Si Bungsu perlahan.
Ketiga orang Vietnam itu mencoba menatap ke depan, ke arah mata Si Bungsu nanap memandang.
Namun tak ada sesuatu yang menimbulkan kecurigaan mereka. Di depan air rawa itu tetap diam tak bergerak.
Seolah-olah batu mar-mar hitam kemerah-merahan. Diam, dingin dan mencekam. "Kenapa tertutup?" tanya
Han Doi. "Ada bahaya pada satu-satunya jalur yang harus kita tempuh?" ujar Si Bungsu sambil tangannya tetap
berpegang pada galah yang tertancap ke dasar rawa dan matanya nanap menatap ke depan.
Ketiga orang Vietnam itu kembali berusaha menatap permukaan air di depan sana, maupun di sekitar
rakit mereka. Tapi sungguh tak ada satu hal pun yang patut ditakuti yang mereka lihat. Sekitar tiga puluh depa
di depan sana, di antara belukar dan pepohonan berdahan dan berdaun rindang, kabut mengapung rendah di
permukaan air. "Saya tak melihat apapun sebagai tanda-tanda adanya bahaya?" ujar Duc Thio perlahan. "Saya
juga tidak?" ujar Han Doi.
Si Bungsu melemparkan pandangannya sekali lagi ke depan sana. Seolah-olah ingin menembus kabut
tebal itu. Kemudian menatap ke bahagian kanan, lalu ke bahagian kiri. Kemudian kembali menatap ke arah
kabut tebal yang menggantung rendah itu. "Di air yang tertutup oleh kabut itu ada belasan, mungkin puluhan
ekor buaya. Rawa berkabut di sana nampaknya tempat mereka berkumpul?" ujar Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 616
Baik Duc Thio maupun Han Doi dan Thi Binh segera saja memelototi kabut tebal yang menutup
sebahagian besar wilayah rawa sekitar tiga puluh depa di depan mereka. Namun apalah yang akan nampak,
kecuali kabut dan pohon yang mencuat di atasnya. Kabut tebal itu memang benar-benar berada di permukaan
air, dengan ketebalan sekitar tiga atau empat meter. Di atas kabut itu pohon-pohon besar kelihatan seolah-olah
tumbuh. "Mana peta?" ujarnya pada Han Doi sambil berjongkok.
Thi Binh segera meraih gulungan peta yang ada dalam tas kain ayahnya. Kemudian menyerahkannya
pada Si Bungsu, yang kemudian membuka dan membentangkannya di atas rakit. Beberapa saat dia
mempelajari rawa itu dan daerah sekitarnya yang tertera di peta. Kemudian dia melihat kompas yang ada di
jam tangannya. Menekan sebuah tombol, kemudian memperhatikan posisi matahari yang sudah terbit.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-590
"Nampaknya kita tidak punya pilihan lain. Memutar ke barat atau utara terlalu jauh. Satu-satunya jalan
adalah menembus kabut itu, melewati barisan buaya yang sedang mengapung di sana?" ujarnya perlahan
sambil menatap pada Thi Binh, Duc Thio dan Han Doi. Mereka juga menatap padanya dengan diam. Si Bungsu
menarik nafas panjang. "Baik. Dengarkan, jika saya tak salah hitung, kabut di depan sana merupakan dinding yang tebalnya
hanya sekitar dua atau tiga meter. Setelah itu setiap jengkal air rawa yang akan kita lalui adalah sarang buaya.
Jumlah buaya di balik kabut itu, seperti yang kukatakan, mungkin belasan, tapi saya punya firasat jumlahnya
bisa puluhan. Mudah-mudahan saya salah?" dia berhenti sebentar. Dimintanya buah mirip jambu atau apel itu
kepada Thi Binh. Gadis itu mengambil sebuah, mencucinya terlebih dahulu ke air rawa, kemudian
memberikannya kepada Si Bungsu. Si Bungsu mengunyahnya perlahan sambil menatap Thi Binh.
"Kau masih ingin ikut?" tanyanya pada gadis itu. "Saya akan terjun di sini bila kau tinggalkan?" ujar Thi
Binh perlahan. Si Bungsu mengusap kepala gadis itu. Kemudian menatap pada Duc Thio dan Han Doi. "Kemarin
dan malam tadi kita diteror dua monster yang amat menakutkan. Tapi pagi ini kita akan memasuki neraka
dalam arti yang sebenarnya. Tetaplah berada di tengah rakit. Bedil takkan ada gunanya. Sekali mereka
menghantam rakit habislah kita, hanya ada satu cara untuk selamat. Bila salah satu dari buaya itu mulai
menghantam rakit, berusahalah untuk melompat ke dahan kayu terdekat dan memanjat tinggi-tinggi.
Kesempatan itu hanya satu di antara seratus ribu, tapi tak ada salahnya untuk mencoba?" Si Bungsu
menghentikan penjelasannya.
Dia kembali mengunyah dan menelan buah di tangannya perlahan. Menarik nafas panjang dan
menikmati telanan terakhir dari buah di mulutnya. "Biar saya yang menggalah sendiri?" ujarnya sambil
mencabut galah yang dia tancapkan di rawa. Ketika dia berdiri, dia menatap pada Thi Binh. Gadis itu juga tengah
menatap padanya. "Kemarilah Thi Binh. Duduk di dekatku?" ujarnya. Thi Binh berdiri. Melangkah perlahan ke
arah Si Bungsu. Berdiri di depan pemuda itu dengan mata menatap dalam-dalam ke mata Si Bungsu. "Jika" jika
aku harus mati, aku hanya rela mati dalam pelukanmu?" bisik gadis itu perlahan.
Si Bungsu memeluk gadis itu erat-erat. Duc Thio tak mampu menahan air mata. Derita panjang dan
dahsyat yang dialami anak gadisnya yang masih belia itu membuat hatinya runtuh. Dan kini, ketika anak
gadisnya itu jatuh hati pada seorang lelaki asing yang perkasa, dia tak berani berharap banyak. Bahkan untuk
berdoa agar anaknya menikah dengan lelaki itu pun dia tak punya keberanian. Dia takut berharap terlalu besar.
"Engkau sudah terlalu banyak menderita, Thi-thi. Kita akan keluar dengan selamat. Engkau akan kembali
melihat kota, masuk sekolah, aku berjanji untuk membuktikan ucapanku ini padamu?" bisik Si Bungsu. Lalu
mereka berpelukan dalam diam.
"Duduklah, jangan jauh dariku. Aku tak ingin engkau tak berada di dekatku jika terjadi apa-apa?" ujar
Si Bungsu. Thi Binh menatap lelaki dari Indonesia itu. Perlahan didekatkannya wajahnya. Kemudian mencium
Si Bungsu. Lalu perlahan dia duduk di rakit, di samping kaki Si Bungsu. Si Bungsu menatap Duc Thio dan Han
Doi. "Baik, kita berangkat?" ujarnya sambil mulai menggalah.
Hanya dalam waktu satu menit, rakit itu segera menyeruak kabut di depan mereka. Udara dingin terasa
menyelusup ke dalam sela-sela pakaian, membuat tubuh mereka terasa dingin. Dan tak sampai semenit
kemudian, rakit itu tiba-tiba saja sudah menerobos dinding kabut tersebut.
Persis seperti yang dikatakan Si Bungsu. Kabut itu hanya merupakan dinding setebal dua atau tiga meter.
Setelah itu sebuah hamparan luas air rawa di antara pepohonan besar yang tumbuh amat jarang. Dan di depan
mereka" ya Tuhan, ya Tuhan"! Bukan belasan, mungkin ada puluhan ekor buaya kelihatan mengapung di
permukaan air di depan mereka. Anehnya, semua buaya itu seperti berbaris, semua kepalanya menghadap ke
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 617
matahari terbit. Sesayup-sayup mata memandang, ke utara maupun ke barat, yang nampak adalah kepala dan
punggung buaya yang mengapung, diam tak bergerak sedikit pun!
Han Doi dan Duc Thio ternganga dan menggigil melihat pemandangan yang amat dahsyat itu. Thi Binh
memeluk paha Si Bungsu erat-erat dan menahan gigilannya di sana. Si Bungsu menghentikan rakit hanya
sedepa dari buaya terdekat, yang besarnya lebih besar dari pohon kelapa. Mereka berhenti dalam kebisuan
yang amat mencekam. "Jangan bersuara, jangan bergerak?" bisik Si Bungsu sambil mulai menarik galahnya.
Dengan sangat hati-hati dia memasukkan galah itu ke air, lalu perlahan menancapkan ke dasar rawa,
dan perlahan pula dia menekan ke arah belakang. Rakit itu meluncur amat perlahan. Si Bungsu berusaha agar
tak berbuat khilaf, yang bisa membuat arah meluncurnya rakit melenceng mendekati salah seekor buaya yang
mengapung diam itu. Satu saja dari buaya-buaya itu beraksi, maka dunia mereka akan kiamat. Dua hal yang dia jaga, pertama
agar rakit itu tak menyentuh salah seekor buaya, kedua bagaimana rakit itu tetap bergerak dari pohon ke
pohon. Maksudnya tak lain jika terjadi apa-apa, maka mereka bisa meloncat ke pohon tersebut.
Memilih alur seperti itu sungguh sulit. Jangankan Duc Thio, Han Doi dan Thi Binh, tubuh Si Bungsu saja
dibasahi keringat dingin. Mereka dicekam rasa tegang dan takut yang luar biasa. Thi Binh yang duduk di rakit,
di dekat Si Bungsu tegak, memeluk dan mencengkram paha Si Bungsu dengan erat. Dia sampai tak berani
membuka mata, saking takutnya.
Rakit bergerak amat perlahan. Si Bungsu mencari celah di antara barisan buaya yang berlapis-lapis itu.
Jarak antara buaya yang satu dengan yang di bahagian belakang ada sekitar empat atau lima depa. Sementara
jarak baris pertama dengan baris kedua dan baris kedua dengan baris ke tiga ada sekitar dua atau tiga meter,
begitu seterusnya. Dalam Neraka Vietnam -bagian-591
Di sela-sela celah itulah Si Bungsu meluncurkan rakitnya dengan amat perlahan. Melewati baris pertama
ke baris kedua, yang memakan waktu antara satu sampai dua menit, bagi mereka terasa seperti bertahuntahun. Ada sepuluh jajaran yang harus mereka lewati. Tatkala sudah melewati baris ke tujuh, tiba-tiba buaya
di baris ke sembilan menghantamkan ekornya. Air muncrat ke udara. Buaya-buaya di sekitarnya pada
mengangakan mulut. Si Bungsu menghentikan rakit dan mereka semua seperti merasa sudah berada di dalam mulut buaya.
Buaya di baris ke sembilan itu melibaskan ekornya karena merasa terganggu oleh seekor bangau yang hinggap
di punggungnya. Ada enam ekor buaya yang mengangkat mulutnya lebar-lebar. Semula kepala dengan
moncong menganga lebar itu bergerak ke kiri dan kekanan, seperti parabola televisi.
Kemudian, masih dalam posisi menganga lebar, semua kepala itu kembali menghadap ke depan. Berada
dalam posisi seperti itu dengan tubuh diam tak bergerak-gerak. Mereka berempat masih terdiam seperti
membeku di atas rakit. Detik demi detik merangkak seperti bertahun-tahun. Buaya di bahagian kiri, kanan dan
belakang rakit tetap mengapung diam. Ada satu dua menit rakit mereka tak bergerak. Si Bungsu menahan gerak
rakit itu dengan bertahan dan memegang kuat-kuat galah yang dia pancangkan ke dasar rawa. "Kita akan
bergerak maju. Tetaplah waspada?" bisik Si Bungsu sambil menekan galah arah ke belakang. Rakit itu bergerak
perlahan ke depan. "Perhatikan dahan terdekat, bila terjadi sesuatu melompatlah ke sana?" kembali Si Bungsu
berbisik. Diangkatnya galah, kemudian ditancapkannya perlahan ke bahagian depan. Lalu ditekannya, dan kini
rakit mereka bergerak hanya sedepa dari dua ekor buaya yang mulutnya masih menganga lebar.
Ketika sedang melewati buaya pertama, tiba-tiba buaya di baris paling akhir memutar badan ke arah
mereka. Si Bungsu terkesiap. Duc Thio dan Han Doi mengangkat bedil. "Jangan menembak?" ujar Si Bungsu
yang berdiri di bahagian depan rakit. Dia mencari akal bagaimana bisa melewati rintangan terakhir ini dengan
selamat. Celakanya, buaya terakhir ini lebih besar dari buaya-buaya yang sudah mereka lewati sebelumnya.
Thi Binh yang mencoba membuka mata karena mendengar ucapan Si Bungsu "jangan menembak" barusan,
hampir saja terpekik melihat mulut buaya yang menganga sedepa di depan rakit yang berhenti.
Padahal, di belakang mereka buaya lain juga masih menganga mulutnya menghadap lurus ke depan. Si
Bungsu membelokkan rakitnya perlahan ke kanan. Celaka! Buaya itu juga mengarahkan mulutnya yang terbuka
lebar itu ke arah rakit mereka. Nampaknya buaya ini memang mengintai mereka. "Di belakang"!" ujar Duc Thio
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 618
yang sudut matanya menangkap ada gerakan di belakang rakit mereka. Si Bungsu menoleh. Dan dengan
terkejut melihat buaya yang menganga yang baru saja mereka lewati tadi kini juga memutar kepala ke arah
mereka. "Di kanan?" ujar Duc Thio.
Si Bungsu dan Han Doi menoleh ke kanan mereka. Dan mereka melihat buaya yang di kanan mereka
yang tadi hanya mengapung diam, kini bergerak mendekati rakit. "Tembak mulut buaya yang di depan!"
perintah Si Bungsu sambil mencabut galah. Hanya sedetik kemudian rentetan peluru terdengar memecah
kesunyian. Semburan belasan timah panas menghajar mulut buaya besar yang di depan mereka.
Menghancurkan kepalanya. Akibat tembakan itu sungguh luar biasa. Hampir semua buaya yang mengapung
diam itu tiba-tiba bergerak.
Buaya yang kena tembak itu menggelepar dan menghempas di dalam air. Mengejutkan buaya di kiri
kanannya. Dan saat itulah Si Bungsu bertindak cepat dengan galahnya. Dia menancapkan galah, kemudian
meluncurkan rakit di antara dua buaya yang sedang bergerak mendekati mereka. Duc Thio dan Han Doi
menghantamkan popor bedil mereka masing-masing ke kiri dan ke kanan rakit, ke kepala buaya yang sudah
sangat dekat ke rakit. Buaya yang kena hantam kepalanya itu menggelepar. Seekor buaya yang berada di
bahagian kiri rakit kelihatan menyelam.
Si Bungsu tahu maksudnya. Buaya itu akan membalikkan rakit mereka dari bawah. Dia melihat buaya
yang lain juga sedang memutar kepala ke arah mereka. Mereka benar-benar sudah berada di pintu neraka.
Sebelum hal itu benar-benar terjadi, Si Bungsu menghentakkan galah dengan cepat dan dengan cepat pula
menekan galah itu sambil melangkah ke belakang, agar rakit itu bisa bergerak dengan cepat.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dia lupa, saat bergerak melangkah ke belakang sambil menekan galah itu Thi Binh masih
memeluk pahanya. Akibatnya sungguh mengejutkan. Pelukan tangan gadis itu di pahanya terlepas. Sementara
akibat gerakan Si Bungsu yang cepat, membuat Thi Binh terseret dan" jatuh ke air. Kendati sebelah tangannya
masih sempat menyambar kaki kanan Si Bungsu, yang dia sambar dalam keadaan kalut, namun seluruh
tubuhnya sudah berada dalam rawa.
Celakanya, saat itu pula seekor buaya yang lain berada hanya sehasta dari tubuhnya yang berada di
dalam air. Mulut buaya itu segera menganga dan dengan cepat meluncur ke arah Thi Binh. Gadis itu memekikmekik dan berusaha dengan panik mengangkat dirinya kembali ke rakit. Saat itu pula mulut buaya itu
menyambar betisnya yang menggapai gapai di air. Namun sebelum celaka menimpa Thi Binh, Si Bungsu segera
menghantam ujung galah ke mulut buaya yang mengaga itu. Galah bambunya menghentak pangkal
kerongkongan reptil besar itu, kemudian mendorongnya kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya
menyambar tubuh Thi Binh.
Gadis itu tak berhasil dia sambar tangannya. Yang tersambar hanya bajunya. Namun itu usaha terakhir
Si Bungsu untuk menyelamatkan nyawa Thi Binh yang sudah berada di ujung tanduk. Sekali betis atau kaki
gadis itu kena sambar buaya, tubuh gadis itu pasti disentakkan dan di bawa jauh ke dalam air. Dan maut jelas
menantinya. Dengan sekuat tenaga pakaian di bahagian punggung Thi Binh yang berhasil dia sambar itu di sentaknya
kuat-kuat. Pakaian gadis itu robek di bahagian punggungnya. Namun sentakan itu menyebabkan tubuh Thi
Binh terangkat dari air, dan mereka berdua jatuh bergulingan di rakit.
Untunglah rakit itu sedang meluncur cepat ke pinggir rawa, akibat dorongan Si Bungsu pada
tenggorokan buaya yang akan menyambar Thi Binh tadi.
Duc Thio menyemburkan peluru di bedilnya ke arah tiga buaya lain yang datang memburu. Demikian
pula puluhan buaya yang lain pada meluncur ke arah rakit tersebut. Rakit itu tiba-tiba tersampang di akar
pohon di pinggir rawa. Dua ekor buaya sudah mendekat. Duc Thio dan Han Doi kembali menembak. "Meloncat
ke darat"!!" ujar Si Bungsu sambil membawa tubuh Thi Binh berdiri.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-592
Han Doi dan Duc Thio segera melompat ke akar-akar kayu besar di tepi rawa. Hanya beberapa detik
kemudian Si Bungsu dengan memanggul Thi Binh di bahunya juga melompat. Begitu sampai di daratan. Si
Bungsu meletak kan Thi Binh di tanah "Ayo kita selamatkan rakit?" ujar Si Bungsu sambil bergegas kembali ke
akar-akar kayu yang besar itu.
Duc Thio dan Han Doi faham, kendati mereka bisa selamat dari kejaran tentara Vietnam kelak, mereka
harus tetap memiliki rakit untuk melintasi rawa maut ini. Mereka segera berlari ke arah rawa. Dan menariknya
pada saat yang benar-benar kritis. Sebab begitu rakit itu disentakkan ke atas, libasan ekor salah satu buaya
menghantam tempat itu Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 619
Kalau saja rakit tersebut masih di sana, bisa dipastikan sudah bercerai berai menjadi kepingan tak
berguna. Sementara di rawa sana, suatu kejadian dahsyat sedang berlangsung. Beberapa ekor buaya yang tadi
mati ditembak Duc Thio dan Han Doi jadi rebutan belasan buaya yang hidup. Membuat rawa itu menggelegak
dan berbuih oleh libasan belasan ekor buaya yang saling rebut, bahkan saling bunuh untuk mendapatkan
makanan. Bau darah yang menyebar di dalam air rawa tersebut merangsang mereka menjadi amat buas. Ada
beberapa saat ketiga lelaki tersebut menatap kejadian ke tengah rawa itu dengan tegak mematung. Degan
perasaan ngeri yang luar biasa, membayangkan bagaimana jadinya jika tadi mereka terbalik di rawa itu.
"Mari kita simpan rakit ini?" ujar Si Bungsu perlahan, sambil memutar badan dan melangkah ke darat.
Mereka menyembunyikan rakit tersebut di antara pepohonan yang rindang. Kemudian Si Bungsu membuka
peta, memberi tanda di mana rakit itu diletakkan pada peta tersebut. Mereka lalu menyandang senapan
masing-masing. Kemudian mulai menerobos hutan. Mendaki sebuah perbukitan kecil tak jauh dari rawa
tersebut. Dari puncak bukit batu yang memanjang itu mereka dapat melihat cukup jauh. Di depan sana, terlihat
bukit-bukit batu menjulang tinggi.
"Itu, bukit yang ada pohon kayu berdaun merah itu. Di bawah bukit itu ada belasan wanita lainnya
disekap untuk dijadikan pemuas nafsu. Aku kenal daun-daun merah itu, karena setiap akan pergi ke sungai
kecil untuk mandi, aku selalu menatap ke puncak bukit tersebut?" ujar Thi Binh dengan suara menggigil.
Si Bungsu menatap gadis itu. Kemudian memeluk bahunya dengan lembut. "Akan kuberi engkau
kesempatan untuk membalaskan dendammu, Thi-thi. Percayalah, akan tiba saatnya engkau membalaskan
dendammu?" ujar Si Bungsu perlahan.
Dia tak mengatakan, bahwa dia tahu, jalan ke bukit merah itu takkan mudah. Paling tidak jarak dari bukit
rendah ini ke bukit batu yang ditumbuhi pohon berdaun merah itu harus ditempuh dalam setengah hari.
Namun itu ada baiknya. Mereka bisa sampai di sana ketika malam sudah turun. Si Bungsu memutuskan untuk
beristirahat di puncak bukit itu beberapa saat, sembari memulihkan mental dari cengkeraman rasa takut atas
teror buaya di rawa yang baru mereka tinggalkan.
"Tinggallah di sini sebentar. Saya akan kembali ke pinggir rawa sana, mencari buah-buahan untuk
dimakan?" ujar Si Bungsu. Ternyata Si Bungsu pergi cukup lama. Tidak hanya Thi Binh yang merasa amat
gelisah, Duc Thio dan Han Doi juga merasa cemas. Kegelisahan itu baru sirna tatkala dua jam kemudian Si
Bungsu muncul. "Hai, agak terlambat ya?" ujarnya sambil meletakkan pikulan yang di ujung depan ada pisang,
rambutan dan durian dan di bagian belakang ada anak rusa yang sudah matang.
Thi Binh segera melompat dan menghambur memeluknya sebelum Si Bungsu menurunkan pikulannya.
"Kenapa engkau tinggalkan saya begitu lama?" bisiknya sambil terisak. Si Bungsu menjadi rikuh ditatap Duc
Thio dan Han Doi. Namun dia berusaha menenangkan Thi Binh. "Baik, lain kali saya tak akan
meninggalkanmu?" bisiknya. "Saya temukan anak rusa ini. Sudah saya bakar. Tak cukup kenyang kalau hanya
memakan buah-buahan melulu. Membakar di dekat rawa sana lebih aman, asapnya tak kelihatan?" ujar Si
Bungsu pada Duc Thio dan Han Doi.
Mereka segera melahap panggang anak rusa itu sampai ludes. Panggang daging itu ludes bukan hanya
karena perut mereka lapar, tapi terutama karena rasanya memang lezat sekali. Usai makan daging panggang
itu, mereka masih sempat memakan beberapa buah rambutan. Tapi, kecuali Si Bungsu, tak seorang pun di
antara ketiga orang Vietnam itu yang mampu untuk menambah makan pencuci mulut dengan rambutan,
apalagi durian. Ketiga orang itu sudah pada tersandar, benar-benar kekenyangan. Malah Han Doi dan Duc Thio
sudah mencari tempat berbaring.
Lelah dan kenyang, menyebabkan mereka cepat tertidur. Tidak demikian halnya dengan Thi Binh dan Si
Bungsu. Thi Binh kendati diserang kantuk dan lelah dan kekenyangan, namun dia tak bisa tidur begitu saja,
karena cemas Si Bungsu akan meninggalkan dirinya. Sementara Si Bungsu yang sudah terbiasa dan kebal
diserang lelah sedahsyat apapun, tidak mengantuk bukan karena tak mau tidur.
Melainkan karena dia ingin makan durian yang sudah dua kali dia nikmati kelezatannya itu. Dengan dua
kali menghayunkan parang tajam milik Duc Thio, sebuah durian besar segera terbuka. Isinya kuning seperti
kunyit. Baunya sangat harum, jika tak dia tahan, air liurnya pasti sudah tumpah bergelas-gelas saking ngilernya.
"Hei, mau durian?"" ujarnya pada Thi Binh yang duduk di sisinya. Gadis itu menggeleng. "Saya kenyang
sekali?" ujarnya. "Tidak mengantuk?"" ujar Si Bungsu sambil memasukkan isi durian ke mulutnya. Thi Binh
menggeleng. Si Bungsu tersenyum.
"Kenapa tersenyum?" "Duriannya enak sekali?" "Kau tersenyum bukan karena durian?" ujar Thi Binh.
Si Bungsu mengangguk. "Kenapa tersenyum?" desak Thi Binh.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 620
"Kau sebenarnya mengantuk, tapi hatimu yang keras menyebabkan engkau tak mau tidur?" ujar Si
Bungsu dengan suara yang tak begitu jelas karena mulutnya dipenuhi durian. Thi Binh tak beraksi. Si Bungsu
tersenyum lagi. Thi Binh menjadi jengkel. "Kenapa kau tersenyum lagi?" tanyanya. "Kerena aku senang. Senang
ada yang tak tidur. Jadi aku punya teman.?" Si Bungsu tak sempat menghabiskan ucapannya, dia terpekik,
karena dicubit Thi Binh. "Kenapa kau mencubit?" ujar Si Bungsu sambil memasukkan isi durian ketiga ke mulutnya, yang
besarnya sebesar lengan anak-anak. "Senyummu sebenarnya menertawakan diriku?" ujar Thi Binh, sambil
tangannya tetap mencubit lengan Si Bungsu. Si Bungsu tersenyum.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-593
"Apa yang kau senyumkan?" tanya Thi Binh lagi. "Dirimu?" ujar Si Bungsu jujur. "Mengapa diriku?" "Kau
tak mau tidur karena takut, bukan?" "Takut pada apa?" "Takut aku tinggalkan?" ujar Si Bungsu sambil menelan
durian di mulutnya. Kali ini Thi Binh terdiam. Dia menatap Si Bungsu yang kembali memasukkan isi durian ke
empat ke dalam mulutnya. "Kau tahu aku takut kau tinggalkan?" ujarnya. Si Bungsu mengangguk. "Apakah kau memang akan
meninggalkan diriku?" Si Bungsu menggeleng.
"Tidurlah. Aku takkan meninggalkan dirimu. Percayalah?" ujar Si Bungsu sambil menelan isi durian
yang memenuhi rongga mulutnya. Thi Binh menggeleng. Si Bungsu mengelap tangannya. Kemudian membuang
kulit durian jauh-jauh. Lalu dia membaringkan tubuhnya di bawah pohon rindang di mana kini mereka berada.
"Tidurlah. Kita perlu memulihkan tenaga. Untuk bisa bergerak cepat ke bukit merah itu?" ujar Si Bungsu
sambil menguap. Thi Binh menggeser dirinya ke dekat Si Bungsu. "Saya tidur bersamamu di sini, boleh?"
ujarnya perlahan. Si Bungsu menarik nafas. Betapapun gadis itu masih sangat kanak-kanak, yang tak seharusnya
menerima cobaan yang demikian berat. Menjadi korban perkosaan dan pemuas nafsu puluhan tentara selama
berbulan-bulan. Dia mengangguk sambil mengulurkan tangan ke bahu Thi Binh. Gadis itu merebahkan dirinya
di sebelah tubuh Si Bungsu. Mereka berbaring berhadapan. Saling menatap. Si Bungsu membelai wajah gadis
itu dengan lembut. Menyibakkan anak rambut di dahinya.
Kemudian perlahan mencium keningnya, matanya, pipinya. Kemudian mengecup bibirnya perlahan. Thi
Binh merasakan semua yang dilakukan Si Bungsu dengan sepenuh hati. Merasakan betapa bulu-bulu roma di
tubuhnya berdiri, merasakan betapa bahagianya dia diperlakukan begitu oleh lelaki pertama yang dia cintai.
"Tidurlah?" bisik Si Bungsu sambil memeluk tubuh gadis itu, dan menggeser dirinya, ke dekat tubuh Thi Binh.
Gadis itu memeluk Si Bungsu.
"Kau takkan meninggalkan diriku, dikala aku tertidur bukan?" bisik Thi Binh sambil menatap dalamdalam ke mata Si Bungsu, yang hanya berjarak sejengkal dari wajahnya. Si Bungsu menggeleng. "Saya tak
pernah mungkir janji, Thi-thi. Saya sudah berjanji padamu, tak akan meninggalkan dirimu. Akan membawamu
keluar dengan selamat dari belantara ini ke kota. Insya Allah, Tuhan akan mengabulkan janji saya?" ujar Si
Bungsu perlahan sambil memainkan anak rambut Thi Binh.
"Terimakasih?" ujar Thi Binh, perlahan di antara matanya yang basah. Si Bungsu kembali membelai
rambut dan wajah gadis cantik itu, kemudian mengecup bibirnya dengan lembut. Mereka berdua pun akhirnya
segera tertidur berselimut angin semilir, di bawah pohon rindang di puncak bukit tersebut.
Malam sudah merangkak cukup larut ketika keempat orang itu sampai di kaki bukit berkayu merah,
yang siang tadi mereka lihat dari puncak bukit di mana mereka makan dan tidur. Tatkala sampai di sebuah
tempat ketinggian, tiba-tiba Thi Binh terdengar merintih.
Si Bungsu yang berada di sisinya segera berpaling, khawatir kalau-kalau gadis itu disengat binatang
berbisa atau digigit ular. Thi Binh menggigil dan bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada suara yang keluar
dari mulutnya. Si Bungsu meraba dahi gadis itu. Merasakan kalau-kalau diserang demam.
Suhu badannya normal. Dia meraba nadi di pergelangan tangan Thi Binh. Denyut darah gadis itu
memang terasa sangat kencang. Si Bungsu berjongkok, meraba seluruh kaki Thi Binh yang terbungkus oleh
pantalon tebal. Memeriksa kalau-kalau ada kalajengking yang menyengat atau digigit ular. Namun tak ada
apapun yang dikhawatirkan.
"Ada apa..?" bisik Si Bungsu, sementara Duc Thio dan Han Doi siaga dengan bedil mereka di depan. Thi
Binh menunjuk ke sebuah arah di bawah bukit, bibirnya kembali bergerak seakan-akan ingin bicara. Namun
suaranya seperti tersendat di kerongkongan. Si Bungsu menatap ke arah yang ditunjuk Thi Binh. Dia melihat
kerlip obor di bawah sana. Ada belasan obor dipasang di depan beberapa barak panjang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 621
Di antara cahaya obor itu, samar-samar kelihatan beberapa tentara lalu lalang. Dan tiba-tiba Si Bungsu
menjadi arif, apa yang membuat gadis itu terpekik dan menggigil. "Itu barak di mana engkau dahulu pernah
disekap, Thi-thi?" bisik Si Bungsu.
Gadis itu menangis, kemudian mengangguk, kemudian memeluk Si Bungsu erat-erat. Bayangan betapa
dia melewatkan hari-hari penuh jahanam, di neraka di bawah sana, kembali melintas dalam fikirannya. Itulah
yang membuat dia menjadi terguncang. Si Bungsu menarik nafas. Dia memeluk dan membelai punggung Thi
Binh, sembari menatap pada Duc Thio dan Han Doi yang tegak berlindung di balik-balik kayu, sekitar tiga depa
di depan mereka. Kedua orang itu juga tengah menatap padanya.
"Jika engkau memang benar-benar ingin membalaskan dendammu Thi Binh, engkau harus kuat?" bisik
Si Bungsu. Thi Binh masih terisak beberapa saat. Kemudian dia mengangguk. Kemudian dia menghapus air
mata. Kemudian menatap tepat-tepat pada Si Bungsu. "Aku kuat"!" bisik gadis itu pendek, sambil kembali
mengangkat bedilnya. Si Bungsu menarik nafas. Kemudian memberi isyarat kepada Han Doi dan Duc Thio untuk berkumpul. Si
Bungsu mencari tempat yang dia rasa paling aman, selain untuk tempat mengawasi lembah di bawah sana, juga
untuk mereka berunding. "Tunggu di sini, saya akan memeriksa apakah ada tentara Vietnam menjaga bukit di
mana kita sekarang berada?" bisik Si Bungsu sambil bergerak untuk pergi.
Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Thi Binh pada lengannya. Dia berhenti dan menatap gadis
itu. Gadis itu juga tengah menatap padanya. Si Bungsu segera ingat janjinya, bahwa dia takkan pernah lagi
meninggalkan Thi Binh meski agak sesaat. "Baik, mari kita memeriksa bukit ini?" ujarnya.
Thi Binh tersenyum. Dengan bedil di tangan kanan, dan tangan kiri memegang tangan Si Bungsu, dia
segera mengikuti lelaki Indonesia itu menyelusup belantara gelap tersebut. Sementara Duc Thio dan Han Doi
memperhatikan setiap gerak yang terjadi jauh di bawah sana, di lembah yang dipenuhi barak penghibur dan
tentara Vietnam. Sayup-sayup angin membawa ke telinga mereka suara gelak tentara dan pekik serta tertawa cekikan
wanita. Sebagai bekas tentara dan intelijen, Han Doi memperkirakan paling tidak di bawah sana ada sekitar
tiga puluh sampai lima puluh tentara. Jumlah itu tak seluruhnya. Sebab, menurut penuturan Thi Binh, barak
para wanita penghibur itu terpisah dengan barak tentara.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-594-595
Sementara itu Si Bungsu dan Thi Binh yang sudah memeriksa sekitar bukit itu, berhenti di sisi lain dari
tempat Han Doi dan Duc Thio berada. Dari tempat mereka sekarang dengan jelas terlihat lokasi kedua barak di
bawah sana. Barak pertama terdiri dari lima barang yang panjang masing-masingnya sekitar sepuluh meter.
Itulah barak wanita penghibur yang tadi mereka lihat pertama kali.
Sekitar dua puluh meter dari barak itu kelihatan sebuah bukit, di baliknya terlihat lima barak panjang
masing-masingnya juga sekitar sepuluh meter. Kelima barak di bangun seperti tapal kuda. Ditengahnya ada
lapangan. Dari silhuet api unggun di bawah sana, Si Bungsu tahu paling tidak ada dua mitraliyur 12,7 di
lapangan tersebut. Tentara berkeliaran di depan barak-barak di dua lokasi itu.
Si Bungsu memperkirakan paling tidak di bawah sana ada sekompi tentara Vietkong. Itu berarti ada
sekitar 100 orang tentara Vietkong di sana. Ada lima sampai enam bukit batu yang tegak menjulang, termasuk
bukit di mana kini mereka berada. Bukit mana yang memiliki goa, yang di jadikan tempat menyekap tawanan
Amerika" Dia mencowel Thi Binh. Gadis itu duduk di sebuah batu besar pipih.
"Dengar Thi-thi. Agak sulit memilih mana yang di dahulukan, antara pembalasan dendammu dengan
tugas saya membebaskan perawat Amerika itu. Jumlah kita yang berempat di banding dengan seratus tentara
di bawah sana, sangat tidak sebanding. Jika pembebasan tawanan dan pembalasan dendammu dilakukan
serentak, itu berarti kekuatan kita harus di pecah. Yang membebaskan tawanan itu dua orang, yang ikut
membalaskan dendammu dua orang. Kalaupun kita bergabung berempat, kita masih belum tentu bisa berbuat
banyak melawan mereka, apalagi harus di bagi dua?" ujar Si Bungsu. Di tatapnya gadis itu. Thi Binh menunduk.
Dia merasakan apa yang di ucapkan Si Bungsu benar adanya. Dia menatap lelaki dari Indonesia itu.
"Jika saya memilih, antara membalaskan dendam dengan berada disisimu, maka saya akan memilih di
sisimu kendati saya tak pernah bisa membalas dendam pada tentara yang sudah menodai diri saya?" ujarnya
sambil menunduk. Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia peluk gadis itu erat-erat. "Terimakasih Thi-thi.
Terimakasih. Percayalah, saya akan berusaha agar engkau bisa membalaskan noda yang telah kau alami.
Beberapa di antara tentara Vietkong itu harus menerima pembalasan darimu. Percayalah, saya akan usahakan
itu?" ujar Si Bungsu perlahan. Dia kemudian mengajak gadis itu kembali bergabung ketempat dimana Duc Thio
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 622
dan Han Doi berada. Saat mereka berempat sudah berkumpul. Si Bungsu menyalakan senter yang ada pada Duc
Thio. Cahaya senter itu di hadapkan ketanah, dan sekelilingnya di tutup agar cahaya tak kelihatan dari jauh.
Si Bungsu kemudian mengatur siasat. Dia menyatakan amat mengandalkan Han Doi, yang pernah
menjadi tentara aktif dan intelijen. "Senjata yang kita miliki sekarang tidak memadai untuk beraksi. Coba hitung
berapa peluru yang ada di bedil masing-masing?" ujar Si Bungsu sambil mengeluarkan magazin senapannya.
Ketika orang Vietnam yang lainnya itu pun berbuat hal yang sama. Thi Binh di bantu oleh ayahnya
mengeluarkan magazin dan menghitung peluru.
"Saya masih memiliki 14 peluru?" ujar Si Bungsu setelah menghitung sisa peluru di magazin bedilnya.
"Saya hanya tinggal lima?" ujar Han Doi. "Di bedil saya tiga peluru. Dan di bedil Thi Binh dua puluh lima?" ujar
duc Thio. "Baik, sekarang kita bagi sama banyak.." ujar Si Bungsu. Mereka kemudian meletakkan semua peluru
itu diatas batu pipih yang mereka duduki. Kemudian, Si Bungsu membagi rata ke 52 peluru tersebut. Tiap orang
memperoleh 13 butir peluru. Lalu mereka memasukan kembali peluru itu kedalam magazin senjata masingmasing.
"Dengan peluru yang ada sekarang, kita mustahil berperang melawan tentara di bawah sana. Untuk itu,
kita harus berusaha mencuri senjata mereka, barangkali salah satu barak persenjataan mereka ada dinamit.
Namun sebanyak apapun persenjataan yang dimiliki, kita tetap saja tak mungkin berperang melawan mereka.
Kita harus menggunakan taktik tembak dan lari?" ujar Si Bungsu sambil menatap ketiga anggota
rombongannya itu. Karena ketiga mereka berdiam diri, Si Bungsu menjelaskan rencana berikutnya.
"Duc Thio dan Thi Binh menunggu disini. Saya dan Han Doi akan menyelusup mendekati barak di bawah
sana, untuk mencari senapan mesin atau dinamit. Kita harus bergerak cepat, sebelum siang turun?" ujarnya.
Kemudian dia menatap Thi Binh. Dan gadis itu juga menatapnya. Dia ingin janjinya, bahwa dia takkan
meninggalkan gadis itu, kendati agak sesaat. Dia sudah berniat mengatakan bahwa dia akan pergi bersama
gadis itu, tatkala Thi Binh dahuluan berkata. "Saya akan tinggal disini bersama ayah. Tapi, berjanjilah bahwa
engkau akan kembali kemari. Saya akan bunuh diri jika engkau tak kembali kemari?" ujarnya. Si Bungsu
menatap gadis itu. Kemudian menatap Duc Thio dan Han Doi. Kedua lelaki itu hanya tercenung. Si Bungsu
kemudian memeluk gadis itu. "Percayalah, saya akan kembali padamu disini?" ujarnya.
Sesaat setelah itu, dia dan Han Doi bergerak menuruni bukit tersebut. Mereka tetap menjaga saat
menyelusup mendekati barak-barak tentara Vietnam itu gerakan mereka tetap terlindung di balik hutan
belukar. Hanya sekita sepuluh menit kemudian, Si Bungsu dan Han Doi sampai di bahagian belakang barak
yang membelakangi bukit. Mereka berada di sisi utara, sekitar sepuluh meter dari barak terdekat. Bersembunyi
di balik bebatuan, persis di bawah bukit. "Han, kita cari barak persenjataan. Kau periksa dua barak yang dikiri,
saya dua barak yang di kanan. Setelah itu kita bertemu lagi disini?" bisik Si Bungsu.
Han Doi mengangguk. Setelah memperhatikan situasi, dengan berlindung di dalam kegelapan yang
kental, mereka berdua kemudian bergerak mendekati barak yang jadi tujuan masing-masing. Jauh di atas bukit,
Thi Binh tengah nanap memandang ke bawah sana. Dia berharap bisa melihat Si Bungsu dan Han Doi
sepupunya. Namun jelas saja dia tidak bisa melihat mereka, selain belasan tentara yang hilir mudik, atau yang
sedang duduk di sekitar api unggun yang menyala sepanjang malam.
"Engkau benar-benar mencintainya?" tiba-tiba Thi Binh di kejutkan oleh pertanyaan ayahnya. Kemudian
perlahan pula dia mengangguk. Duc Thio menarik nafas panjang. "Ayah keberatan?" katanya setelah ayahnya
tak memberikan komentar apapun tentang angguknya barusan. Duc Thio Menggeleng. "Dia adalah lelaki yang
tidak saja hebat, tetapi amat berbudi?" Thi Binh ucapan ayahnya belum selesai. Dia menanti. "Dia seorang
pengembara.." ujar ayahnya perlahan. Thi Binh masih menanti kelanjutan ucapan ayahnya . "Kemaren dia di
Amerika, sebelumnya di Jepang, kini bersama kita disini?" Thi Binh masih menatap pada ayahnya dengan diam.
Lama tak ada yang bersuara diantara mereka.
"Kita tak tahu, kemana dia akan pergi setelah ini Thi-thi?" Thi Binh menjadi arif kemana tujuan ucapan
ayahnya. "Saya akan ikut kemana dia pergi"!" ujarnya perlahan. Tak ada komentar dari ayahnya. "Ayah
mengizinkan kalau saya ikut dengannya?"" Tak ada jawaban dari ayahnya. Thi Binh masih menanti. "Ayah ikut
bahagia, kalau engkau bahagia menikah dengannya. Thi Binh" tapi apakah itu mungkin?""
Duc Thio benar-benar tak mau mematahkan semangat anaknya. Dia amat tak keberatan kalau anaknya
yang berusia muda belia itu, mencintai Si Bungsu. Kepahitan hidup membuat anaknya itu, dan ribuan anakanak dalam kecamuk perang lainnya, menjadi jauh lebih dari dewasa dari usia mereka sebenarnya. Dia sungguh
berbahagia kalau anaknya benar-benar bisa menikah dengan lelaki dari Indonesia itu. Dia hanya ingin anaknya
menyadari, untuk mencintai lelaki seperti Si Bungsu bukanlah hal yang sulit, namun untuk hidup dengan lelaki
pengembara seperti dia, merupakan hal yang sangat pelik dan nyaris mustahil.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 623
Duc Thio ingin anaknya memahami hal itu dengan baik. Agar kelak ketika dia memang menemukan apa
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dikhawatirkan itu, dia bisa memahami dan siap mental. Thi Binh sendiri memahami apa yang ada di
fikiran ayahnya. "Ayah tak keberatan saya mencintainya?" Duc Thio menggeleng. "Ayah mengizinkan kalau
suatu saat saya menikah dengannya?" Duc Thio kembali mengangguk. Thi Binh memeluk ayahnya. Matanya
basah. "Terima kasih ayah. Saya mencintai dia. Saya tak tahu kenapa saya bisa mencintainya. Kendati saya
hanya melihat dia dalam mimpi. Terimakasih ayah mengizinkan saya mencintainya. Tentang menikah, biarlah
Tuhan yang menentukan kelak?" ujarnya perlahan.
Duc Thio membelai kepala anak gadisnya. Matanya juga basah. Dia amat bersyukur karena Si Bungsu
demikian cepat dapat memulihkan tidak hanya kondisi fisik anaknya, tetapi juga kondisi jiwanya. Dia semula
amat khawatir trauma atas perkosaan panjang yang dialami anaknya di barak-barak tentara Vietkong itu akan
menghancurkan hidup anaknya sepanjang hayat. Kini ke khawatiran itu telah lenyap sudah.
Jauh di bawah sana, Si Bungsu dan Han Doi sudah berkumpul di balik batu-batu besar di kaki bukit
tempat mereka mengatur penyelusupan. "Dua barak yang saya periksa hanya tempat tentara tidur?" ujar Si
Bungsu sambil bersandar di batu besar di belakangnya. "Saya menemukannya. Di barak yang di tengah sana
adalah tempat penyimpanan senjata, amunisi dan dinamit?" ujar Han Doi. Si Bungsu menjulurkan kepala di
sela batu, memperhatikan barak yang dilihat Han Doi tempat penyimpanan amunisi dan bahan peledak
tersebut. Barak itu memang lebih kecil sedikit di banding barak yang lain. Letak barak itu di tengah, di depannya
terlihat beberapa tentara duduk mengelilingi api unggun, sambil menengak minuman keras. "Ada penjagaan di
bahagian depan ?"" tanya Si Bungsu. "Tidak. Nampaknya mereka sangat yakin tempat ini takkan pernah di
jejak orang lain. Tak satupun barak yang di jaga, termasuk barak amunisi itu?"ujar Han Doi.
"Baik. Waktu kita sangat pendek. Semakin cepat kita meninggalkan tempat ini semakin baik, sebelum di
ketahui dan diburu. Untuk itu, pertama kita harus mengambil peluru seperlunya, dan beberapa dinamit dan
usahakan mereka tak curiga jika memeriksa kotak penyimpanan peluru dan dinamit. Dan kemudian kita akan
mencari dimana tawanan Amerika itu disekap. Kini kita harus bergeser ke arah barak senjata itu?" ujar Si
Bungsu. Lalu mereka memperhatikan situasi. Kemudian keduanya mulai bergerak membungkuk. Menyelinap
diantara pepohonan dan batu-batu besar kearah belakang barak amunisi tersebut. Di belakang barak itu,
sekitar berjarak lima belas meter, mereka bersembunyi beberapa saat. Memang tak ada penjagaan dan malam
begitu kental gelapnya. Namun mereka tetap harus ekstra hati-hati. Ketika keadaan dirasa aman, Si Bungsu memberi isyarat. Mereka merayap kebahagian belakang barak yang
ternyata tak memiliki jendela. Si Bungsu memberi kode agar han Doi ke bahagian pinggir kanan barak.
Mengawasi kalau-kalau ada yang datang sementara dia berusaha mencongkel agak dua keping papan dinding,
sebagai jalan masuk. Han Doi merayap menyelusuri dinding. Mengintip ke bahagian depan barak. Dia melihat
tiga tentara Vietnam yang duduk di bahagian kanan api unggun. Mereka sedang bicara dan tertawa kecil. Dua
tentara lainnya telah tertidur. Hanya itu yang dapat di lihatnya dari tempatnya.
Beberapa orang yang duduk di dekat api unggun, di sebelah kiri tak terlihat olehnya. Pandangannya
terhalang oleh dinding barak itu. Dia memberi isyarat. Si Bungsu segera beraksi. Dengan samurai kecilnya dia
mencungkil papan dinding. Namun ternyata tak mudah. Ada beberapa kali dia berusaha, barulah bisa satu
papan di congkelnya. Lobang dari sehelai papan itu masih belum bisa untuk meloloskan diri kedalam. Dia
berusaha menanggalkan sekeping lagi. Namun saat itu dia mendengar isyarat dari Han Doi. "Ada yang
mendekat kemari?" bisik han Doi.
Si Bungsu duduk di tanah dan bersandar kedinding, bersiaga dengan bedilnya. Kemudian menanti
dengan perasaan tegang. Han Doi menarik kepalanya sedikit. Mengintai seorang tentara Vietnam yang tegak
dari api unggun, dan berjalan sempoyongan ke arahnya. Han Doi meletakkan bedil. Kemudian mencabut pisau
dari punggungnya. Dia rasa lebih aman membunuh tentara yang satu ini dengan pisau di banding bedilnya.
Mereka bisa membunuhya diam-diam, dan bergerak cepat meninggalkan tempat ini. Jika dengan tembakan
pasti akan membangunkan semua tentara dan memburu mereka.
Tapi tentara Vietnam yang bangun sempoyongan itu hanya mau kencing, sekitar lima depa dari sudut
barak tempat Han Doi menanti, dia berhenti. Di dekat dia tegak ada tiga buah tong. Dia membuka celananya,
kemudian sambil menggumamkan sebuah senandung, dia pun kencing. Kemudian melangkah kembali ke arah
api unggun. Karena mabuk dia lupa mengancingkan buah celananya yang tadi dia buka saat kencing, Han doi
memberi isyarat kalau keadaan sudah aman. Si Bungsu kembali berusaha mencongkel papan dinding barak itu.
Tak lama usahanya itu berhasil. Dia memberi isyarat agar han Doi tetap mengawasi dua sisi rumah itu.
Sementara dia akan masuk ke gudang amunisi itu untuk mengambil apa yang di perlukan. Setelah Han Doi
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 624
membalas dengan kode kalau dia mengerti, Si Bungsu segera menyelinap masuk. Barak itu di terangi sebuah
lampu dinding. Meski samar-samar, tapi dia bisa bergerak bebas. Dia mengambil sebuah ransel. Lalu mencari
peti peluru yang sama dengan senapan mereka. Saat dia mengaut peluru dari peti itu dan memasukkannya ke
ransel, dia dengar ketukan halus di dinding belakang. Si Bungsu menghentikan gerakan.
Kembali dia dengar ketukan pendek. Dia segera tahu Han Doi tengah mengetuk dengan memakai sandi
morse. Meski agak samar-samar dia segera tahu, ada dua tentara bergerak ke arah Han Doi. Han Doi berdebar.
Kedua tentara itu ternyata membawa senter. Dia menoleh kearah Si Bungsu masuk. Ternyata papan yang tadi
tempat Si Bungsu masuk, sudah ditutup kembali. Sebagai bekas tentara Vietnam selatan yang cukup kenyang
pertempuran, dan bekas intelijen pula, Han Doi tahu apa yang harus di lakukannya. Dengan cepat dia membuka
baju yang dia pakai. Lalu menghapus jejak mereka tadi di tanah. Dia kembali mengetuk, perlahan beberapa kali
pada dinding. Kemudian dengan cepat menyelinap ke hutan dan bebatuan sekitar sepuluh meter di belakang
barak. Si Bungsu yang mendengar ketukan itu tahu kalau Han Doi bersembunyi di balik bebatuan di belakang
barak. Dia menanti dengan dia di dalam barak itu. Kedua tentara yang tadi berjalan kearah Han Doi itu,
menyenteri arah kanan belakang barak itu. Kemudian kearah belakang barak amunisi. Firasat Han Doi yang
mengatakan kalau kedua tentara itu akan memeriksa ternyata benar. Untung saja Si Bungsu kembali menutup
dinding yang dia congkel tadi. Sehingga dalam jarak tempat tentara itu menyenter tak terlihat sesuatu yang
ganjil di dinding barak itu.
Si Bungsu mendengar langkah kedua tentara Vietkong itu di belakang barak. Dia duduk bertopang dagu
diantara peti-peti senjata itu. Melihat senapan-sanapan mesin dan peluncur proyektil anti tank. Ketika dia
dengar lagi ketukan didinding, kembali dia mengisi ranselnya dengan peluru.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-596
Dia ingin mengambil peluncur proyektil anti tank, atau sebuah senapan mesin ringan. Namun jika itu dia
lakukan, tentara Vietnam akan segera mengetahuinya. Mereka akan siaga, melakukan penyisiran di seluruh
hutan dan bukit, dan bisa saja mereka segera memindahkan tawanan. Dia tak ingin hal itu terjadi. Jika yang
diambil hanya sebuah ransel, peluru dan beberapa batang dinamit, kehadiran mereka takkan segera diketahui.
Sebab ada puluhan ransel, berpeti-peti peluru dan dinamit. Tak mungkin mereka menghitung peluru
butir demi butir dan dinamit batang demi batang. Beda halnya jika yang diambil senapan mesin atau peluncur
proyektil anti tank. Jumlahnya yang tak seberapa menyebabkan kekurangan sebuah saja akan segera diketahui.
Setelah merasa cukup, dia melangkah dengan hati-hati ke bahagian belakang barak.
Sebelum membuka dua keping papan yang tadi dia tutupkan, dia mengetuk dinding dengan halus. Dia
mendengar ketukan yang menyatakan aman dari luar. Ditanggalkannya kedua keping papan itu kembali,
kemudian merayap keluar. Di luar kembali dia memasang kedua papan itu, serta memakunya dengan cara
khusus, sehingga jika tak diperhatikan dengan seksama, orang takkan tahu bahwa papan itu pernah dibuka
secara paksa, dan peluru dan dinamit dari dalam barak tersebut telah dicuri. Dia memberi isyarat pada Han Doi
yang berjaga-jaga di sudut barak tersebut. Kemudian mereka bergerak mundur, sambil menghapus jejak yang
ditinggalkan di belakang barak amunisi itu. Di sebalik batu besar dimana mereka tadi mengatur siasat, mereka
berhenti sebentar. "Masih ada sisa waktu, untuk kita mencari goa yang dikatakan Thi Binh sebagai tempat menyekap
tawanan Amerika itu?" bisik Si Bungsu. "Barangkali kita tak perlu susah-susah mencari?" bisik Han Doi, yang
masih tegak dan menatap ke arah barak. Si Bungsu menatap temannya itu. Dia tak faham apa yang dimaksud
Han Doi. Orang Vietnam itu memberi isyarat agar Si Bungsu berdiri. Dia menunjuk ke sela antara dua barak
yang baru mereka tinggalkan. Di depan sana, di sela bukit-bukit batu yang tegak menjulang, kelihatan empat
orang sedang berjalan menuju ke barak yang terdapat persis di sebelah barak amunisi yang tadi dimasuki Si
Bungsu. Di bawah pantulan cahaya api unggun dengan jelas kelihatan bahwa dua di antara orang yang sedang
berjalan itu adalah wanita. Dua lagi lelaki. Kedua lelaki itu tak disangsikan lagi adalah tentara Vietnam. Hanya
anehnya, kedua lelaki itu tak membawa bedil. Mereka berempat berjalan seolah-olah baru pulang dari pasar
saja laiknya. Dua orang lagi, kendati memakai celana panjang dan kemeja lengan panjang model tentara, bisa
dipastikan wanita. Itu terlihat dari rambut mereka yang tak mengenakan topi. Dan warna rambut itu yang
memastikan mereka bukan orang Vietnam. Rambut kedua wanita itu pirang.
Wanita Amerika di barak tentara Vietnam! Bisa dipastikan bahwa mereka adalah tawanan. Namun yang
terasa ganjil di hati Si Bungsu dan Han Doi, dalam perjalanan dari sela-sela bukit ke barak, kedua wanita itu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 625
terdengar saling ngobrol dengan kedua tentara Vietnam yang mengiringi mereka. Malah pembicaraan mereka
di sela dengan tertawa renyah si wanita. Kedua wanita berambut pirang dan bicara dalam bahasa Inggeris itu
diantar ke barak yang berada di kiri barak amunisi. Mereka masuk ke dalam, dan kedua tentara yang
mengiringkannya ikut bergabung dengan teman-temannya di sekeliling api unggun. Si Bungsu ternganga
melihat kenyataan itu. Dia menggelengkan kepala, seolah-olah tak bisa mempercayai penglihatannya. Dia tak
tahu apakah salah seorang di antara kedua wanita berambut pirang itu adalah gadis yang bernama Roxy
Rogers, anak tunggal multi milyuner Amerika bernama Alfonso Rogers, yang sedang dia cari untuk dibebaskan
dan dikirim kembali kepada ayahnya di Amerika sana. "Well, bagaimana?" suara Han Doi mengejutkan Si
Bungsu. "Kita harus menyelidiki, apakah di antara kedua wanita tadi ada yang bernama Roxy Rogers?" bisik Si
Bungsu. "Coba saya lihat fotonya sekali lagi?" ujar Han Doi.
Si Bungsu mengambil dompet dari kantong belakang celananya. Mengeluarkan foto berwarna ukuran 4
x 6 cm, yang dibuat secara khusus dengan campuran plastik. Kendati berlipat-lipat atau kena air, foto itu tetap
selamat. Han Doi berjongkok, kemudian menyorot foto itu dengan senter sesaat. Lalu mematikan senternya
dan mengembalikan foto tersebut kepada Si Bungsu. Meski sebenarnya dia sudah dua tiga kali melihat foto itu,
dia harus mengakui bahwa gadis yang bernama Roxy itu adalah seorang gadis cantik dan menggiurkan.
Kecantikan itu pasti akibat kawin campuran. Karena dia lahir dari blasteran, ayahnya yang Amerika turunan
Spanyol dan ibunya yang Amerika asal Irlandia Utara. "Kita mencoba mencari tahu ke barak itu?" tanya Han
Doi. Si Bungsu mengangguk sambil meletakkan ransel berisi peluru dan dinamit di sela batu. Sesaat mereka
memperhatikan keadaan sekeliling, kemudian mulai menyelusup ke arah barak yang dimasuki kedua wanita
berambut pirang dan berbahasa Inggris tadi. Kedua mereka, selain ingin memastikan apakah salah seorang
dari kedua wanita itu adalah Roxy, juga ingin tahu apa yang mereka perbuat di barak tentara pada malam
selarut ini. Begitu sampai di belakang barak, Si Bungsu memberi isyarat aga mereka mengambil tempat di sudut
menyudut barak itu. Si Bungsu di sudut kiri, Han Doi di sudut kanan. Posisi itu menyebabkan mereka bisa
mengawasi bahagian kiri dan kanan barak tersebut, kalau-kalau ada tentara yang bergerak menuju belakang
barak untuk terkencing atau patroli. Si Bungsu segera mencari celah pada dinding, untuk mengintip ke dalam.
Dia menemukan sebuah lobang kecil, dan mendekatkan mata. Namun yang terlihat hanya cahaya suram
lampu dinding dan pandangan selebihnya terhalang oleh sebuah mantel hujan yang digantungkan pada sebuah
paku. Han Doi lebih beruntung. Dia segera menemukan sebuah celah pada papan yang besarnya sekitar dua
jari dan panjangnya sekitar lima sentimeter. Dari tempatnya dia melihat salah seorang wanita berambut pirang
tadi. Dia segera memastikan wanita itu bukan Roxy, sebagaimana fotonya yang barusan diperlihatkan Si
Bungsu. Dia segera pula memastikan bahwa wanita itu memang orang Amerika, atau Inggris. Dia mencoba
mencari tahu di mana wanita yang seorang lagi. Namun barak ini nampaknya khusus untuk para perwira. Itu
dapat dilihat dari tempat yang sedang dia intip. Tempat itu disekat-sekat setinggi dua meter dari lantai,
sehingga membentuk sebuah kamar berukuran 2 x 3 meter.
Wanita itu tegak sesaat di depan pintu kamar. Menatap ke tempat tidur. Dekat tempat tidur berdiri
seorang perwira Vietnam, yang usianya sekitar 30-an tahun, berbadan tinggi dan agak kurus, hanya memakai
handuk sebatas pinggang. Mereka bertatapan. Dan tiba-tiba sama-sama maju, dan berpelukan, lalu berciuman
dengan sama-sama penuh nafsu. Han Doi kaget melihat peristiwa itu. Sepanjang cerita yang dia dengar selama
ini, wanita Amerika yang ditangkap Vietnam selalu saja menjadi korban perkosaan. Artinya, mereka sungguhsungguh melawan ketika tentara menjahili mereka. Mereka terpaksa melayani nafsu setan tentara Vietnam
Utara karena mereka tak mampu melawan. Ada yang dipukuli sampai pingsan, ada yang diikat ada yang diberi
obat bius, sebelum mereka akhirnya diperkosa.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-597
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 626
Namun yang dia lihat kini, sama sekali bertolak belakang, ketika orang di dalam kamar berukuran kecil
itu, dalam posisi masih sama-sama berdiri, saling melucuti pakaian. Saling memeluk, bergumul, mendesah dan
saling meremas dengan rakus. Di sisi lain dari barak itu, di tempat Si Bungsu mengintai ke dalam mula-mula
dia melihat seorang wanita Eropah memasuki sebuah kamar.
Wanita itu kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Dan Si Bungsu baru mengetahui bahwa di tempat
tidur itu sedang berbaring seorang perwira Vietnam. Usia perwira itu barangkali sekitar 45 tahun. Nampaknya
dia sedang memegang botol minuman keras. Begitu wanita Eropah tersebut duduk, si perwira memberikan
botol minuman itu padanya. Si wanita menerima botol pipih kecil tersebut.
Kemudian menenggak minuman itu, beberapa teguk. Di bawah sinar lampu dinding, wajahnya segera
terlihat bersemu merah usai menenggak beberapa teguk minuman keras tersebut. Sambil menatap nanap pada
si perwira, wanita itu kemudian duduk berlutut di pembaringan. Perlahan dia membuka pakaiannya satu
persatu, sampai lembar terakhir. Si Bungsu meninggalkan celah tempat mengintip tersebut, setelah
memastikan bahwa wanita itu bukan Roxy, anak milyuner Amerika yang sedang dia cari.
Han Doi menoleh ketika mendengar isyarat dari arah kirinya. Dia melihat siluet sosok Si Bungsu. Lelaki
Indonesia itu kembali memberi isyarat agar mereka segera meninggalkan barak tersebut. Mereka kemudian
menuju ke arah belukar berbatu-batu besar di mana tadi mereka mening galkan ransel.
"Apakah wanita yang engkau lihat itu Roxy?" tanya Si Bungsu, begitu mereka sampai ke bebatuan besar
tempat mereka bersembunyi tadi. "Tidak?" jawab Han Doi. "Kalau begitu dia masih disekap di goa yang
diceritakan Thi Binh?" ujar Si Bungsu sambil mengangkat ransel. "Kita berangkat?" ujar Si Bungsu. "Akan
kemana kita?" "Kita cari goa tersebut?" "Tapi, jalan ke arah goa itu dipenuhi ranjau?" "Kita tunggu di bawah
bukit sana?" ujar Si Bungsu menunjuk ke arah bukit dari mana kedua wanita itu tadi muncul. "Kedua wanita
itu akan kembali di antar ke goa tempat penyekapan mereka, setelah mereka selesai memuaskan tentara di
barak tadi. Kita tunggu mereka, dan kita jadikan sebagai penunjuk jalan?" tutur Si Bungsu.
Mereka kemudian mengawasi barak yang terletak sekitar seratus meter di depan tempat mereka berada
sekarang. Han Doi memang sangat mengantuk. Sangat sekali. Dia meraba-raba ketika menemukan tempat yang
agak datar di dekat sebuah batu besar, dia segera melonjorkan kaki dan menyandarkan diri. Tak lama
kemudian dia tertidur. Mendengar dengkur halus Han Doi Si Bungsu mendekati kawannya itu. Dia meraba urat di dekat leher
bekas tentara Vietnam tersebut. Menjentiknya perlahan. Dengkurnya hilang, dan akibat jentikan di urat pada
tengkuknya itu, Han Doi kini tak hanya tertidur pulas, tapi sekaligus berada dalam keadaan tak sadar secara
penuh. "Maaf kawan. Saya rasa engkau istirahat di sini dulu. Saya akan pergi sendiri, nanti kau kubangunkan
lagi?" guman Si Bungsu perlahan sambil meletakkan bedil dan ransel berisi peluru dan dinamit yang dia
sandang di dekat tubuh Han Doi.
Si Bungsu memperhatikan bukit di dekat mereka berada. Dia tak yakin bukit ini tempat menyekap
tentara Amerika. Dia kemudian menelusuri kaki bukit arah ke barat. Di balik bukit itu dia melihat ada bukit lain
yang amat terjal sekitar seratus meter dari tempatnya berada. Dia memejamkan mata, memusatkan
konsentrasi. Sayup-sayup dia mendengar suara beberapa orang bicara dari arah kaki bukit di depannya.
Si Bungsu segera bergerak cepat, menerobos belukar, menyeberangi sebuah anak sungai dangkal dan
masuk ke belukar berikutnya di seberang sungai kecil tersebut. Sekitar sepuluh menit mengendap-ngendap
dari pohon ke pohon, dari balik batu yang satu ke batu yang lain, akhirnya dia menemukan tempat asal suara
yang tadi dia dengar. Ada api unggun kecil di balik dua batu besar, tak jauh dari sebuah bukit yang menjulang
terjal. Di sekitar api unggun itu hanya ada dua tentara sedang bersandar ke batu, dengan bedil di tangan,
sedang ngobrol perlahan. Si Bungsu memperhatikan dengan seksama tempat kedua orang itu berbaring. Dia
harus berusaha agar sekitar seratusan tentara Vietnam di tempat penyekapan tawanan Amerika ini tak
mengetahui kehadirannya, sebelum dia berhasil membebaskan Roxy. Tugas pertamanya sekarang tentu saja harus mencari di mana goa tempat penyekapan itu. Pasti di bukit yang
dijaga ini, tapi di mana"
Dia menatap bukit tersebut. Kegelapan malam yang kental menyebabkan dia hanya melihat sosok bukit
cadas tinggi menjulang. Tak melihat pepohonan apalagi goa di tebing bukit batu terjal tersebut. Saat dia kembali
memperhatikan kedua tentara di dekat api unggun itu, terdengar suara tawa renyah mendekat.
Kedua tentara di dekat api unggun itu berdiri. Hanya beberapa saat kemudian, kedua wanita Eropah
yang tadi datang menjadi pemuas nafsu perwira di salah satu barak, yang diintip sesaat oleh Si Bungsu dan Han
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 627
Doi, kelihatan muncul. Sebagaimana saat Si Bungsu melihat kedua wanita itu ketika muncul dari daerah
perbukitan ke areal terbuka di depan barak, yaitu diiringi dua tentara Vietnam, kini juga begitu. Kedua wanita
itu muncul di dekat api unggun juga dengan dua tentara yang tadi mengantar mereka ke barak tersebut. Si
Bungsu melihat hal yang hampir membuat dia muntah didekat api unggun yang hanya sekitar sepuluh depa
dari tempat dia bersembunyi.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-598
Begitu kedua wanita itu muncul dekat perapian, begitu kedua tentara yang menunggu itu tegak. Seperti
sudah ada kesepakatan sebelumnya, kedua wanita itu segera saja menyerahkan diri mereka ke dalam pelukan
kedua tentara yang menanti. Dan mereka merebahkan diri dan bergumul di dekat api unggun, sementara dua
tentara yang tadi mengantar kedua wanita itu duduk menatap perbuatan kedua temannya. Hanya dalam waktu
sekejap, pakaian keempat manusia yang bergumul itu sudah tercampak kemana-mana. Si Bungsu
menyandarkan diri, membelakangi keempat manusia yang sudah tak lagi mengenal batas-batas adab itu.
Cukup lama dia duduk bersandar, ketika dia dengar suara cekikikan, dan menoleh ke arah api unggun.
Nauzubillah, dia lihat dua tentara yang tadi hanya menonton, kini mendapat giliran. Jika mau, ini adalah
kesempatan yang amat baik bagi Si Bungsu untuk menghabisi ke empat tentara tersebut. Namun dia harus
berfikiran taktis. Tugas utamanya bukan untuk membunuhi tentara Vietnam, melainkan untuk membebaskan
Roxy. Akan jauh lebih baik andainya dia bisa membawa wanita itu tanpa harus berperang. Karenanya, dia
terpaksa menanti ke empat tentara Vietnam di dekat api unggun itu menyelesaikan permainan setan mereka
bersama kedua wanita tersebut. Sialnya, permainan itu tak segera bisa mereka akhiri. Usai tentara yang dua,
yang dua pertama terjun lagi. Usai mereka, yang mengantar wanita itu menggantikan. Laknatnya, kedua wanita
itu kelihatan melayani mereka dengan suka cita.
Si Bungsu menyumpah panjang pendek. Ketika perbuatan yang beronde-ronde itu usai. Kedua wanita
tersebut ternyata tak segera kembali ke goa dimana mereka disekap. Mereka terkapar di dekat api unggun,
dalam keadaan tak berkain secabik pun, di antara ke empat tubuh tentara Vietnam. Setelah terdengar lolong
panjang anjing hutan, salah seorang dari tentara itu bangkit. Memakai celana dan baju, kemudian
membangunkan kawannya, lalu membangunkan pula kedua wanita tersebut.
Orang-orang yang dibangunkan itu segera memakai pakaiannya masing-masing. Lalu mereka mulai
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergerak arah ke bukit terjal tak jauh dari tempat mereka berada. Si Bungsu menyelinap dengan cepat di dalam
belantara tersebut, menyusul langkah ke empat orang yang menuju ke bukit itu. Ketika hampir sampai ke kaki
bukit batu terjal itu, inderanya yang amat tajam mengisyaratkan bahaya yang mengancam.
Dia yakin pada cerita Thi-thi bahwa jalan ke tempat penyekapan tentara Amerika ini dipenuhi ranjau.
Keempat orang yang dibuntutinya itu lenyap ke balik dua batu besar di kaki bukit. Dalam waktu singkat dia
tiba di sana, dan masih sempat melihat cahaya senter dari salah seorang tentara Vietnam yang akan masuk ke
sebuah goa. Goa itu benar-benar tersembunyi di balik pepohonan dan ada batu besar di depannya.
Jika tidak pernah menempuh jalan tersebut, kendati berdiri semeter di depannya, orang pasti takkan
tahu bahwa itu adalah mulut sebuah goa. Si Bungsu menyelinap masuk, dan tetap menjaga jarak dengan ke
empat orang itu agar kehadirannya tak diketahui. Goa itu ternyata memiliki terowongan bercabang-cabang. Si
Bungsu menggeleng. Kendati sudah berada di dalam, sungguh tak mudah bagi orang untuk mencari mana jalan
yang harus ditempuh di antara sekian cabang terowongan itu.
Bahagian dasar terowongan utama yang sedang dia lewati sekarang adalah lantai goa yang tidak rata.
Selain batu-batu besar bersumburan, terowongan ini juga memiliki celah-celah yang dalam. Jika tak hati-hati
orang bisa terperosok. Setelah melewati empat cabang terowongan, ke empat orang di depan sana dia lihat
masuk ke terowongan sebelah kanan. Ketika dia sampai ke terowongan itu, dia hampir kehilangan jejak. Hanya
lima meter ke dalam terowongan itu ternyata bercabang tiga.
Ada yang lurus, ada yang ke kiri dan ada yang ke kanan. Hanya dengan mengandalkan pendengarannya
yang tajam dia bisa mengetahui bahwa keempat orang itu menempuh jalan yang ke kiri. Terowongan itu
ternyata merupakan sebuah anak tangga berkelok-kelok dan mendaki amat terjal ke atas. Dia memperkirakan
sudah mendaki sekitar dua puluh meter, ketika tiba-tiba dia sampai ke sebuah terowongan yang lebih besar
dan mendatar. Di terowongan yang agak besar dan datar ini ada penerangan berupa damar atau mungkin juga karet,
yang diikatkan di ujung kayu, kemudian dibakar. Ada sekitar lima damar yang ditancapkan dalam jarak
beberapa meter di sepanjang terowongan itu. Tiba-tiba dia mendengar pintu besi berdenyit dibuka, kemudian
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 628
ditutupkan. Lalu suara rantai bergerincing, lalu suara anak kunci dikatupkan. Kemudian suara langkah
mendekat. Si Bungsu segera menyeberangi terowongan datar itu, dan mencari tempat bersembunyi. Sesaat dia
menyelinapkan diri ke salah satu ceruk di dinding terowongan itu, dia melihat kedua tentara Vietnam tersebut
muncul. Mereka menempuh terowongan kecil dari mana mereka tadi masuk. Dia masih menanti beberapa saat,
untuk kemudian dengan hati-hati melangkah ke luar.
Dia berdiri di terowongan yang diterangi lampu damar tersebut, menatap sepanjang lorong. Ada
beberapa terowongan ke kiri dan ke kanan. Dia yakin, terowongan itu adalah terowongan buntu, yang dipakai
sebagai tempat menyekap tawanan. Dari denyit pintu besar dan gemercing rantai, dia yakin pula, tiap
terowongan tempat penyekapan ditutup dengan pintu besi. Udara di dalam terowongan ini terasa dingin. Dia
menoleh ke belakang. Hanya ada jarak sekitar tiga meter menjelang dinding batu tebal. Dia tak tahu, yang mana
dinding yang menghadap ke arah barak-barak tentara Vietnam di bawah sana.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-599
Dengan sikap penuh waspada, Si Bungsu mulai melangkah mendekati salah satu terowongan yang
berfungsi sebagai kamar penyekapan. Di depan sebuah terowongan dia menghentikan langkah. Dia melihat
pintu jeruji besi sebesar-besar ibu jari kaki, kemudian lilitan rantai yang juga besarnya sebesar itu dengan kunci
gembok besar. Dia tak bisa melihat apa yang ada di balik pintu jeruji besi itu. Keadaan demikian gelap. Dia
melangkah ke arah sebuah damar yang ditancapkan di dinding.
Sesaat sebelum tangannya mencabut damar itu, firasatnya mengatakan ada yang tak beres dengan
tangkai damar tersebut. Dia mengurungkan niatnya mengambil damar itu. Kemudian menatap dengan teliti
lobang dinding tempat damar itu di tancapkan disana. Tapi, kenapa firasatnya mengatakan bahwa dia berada
dimulut bahaya" Dia melihat ke bawah. Hanya lantai batu dengan sedikit pasir. Juga tak ada yang"!.
Diperhatikannya dengan seksama bahagian lantai yang dia pijak. Hatinya tercekat. Dia berusaha agar
pijakannya di lantai tidak bergeser. Pasir halus di lantai goa ini membuat dia amat curiga.
Dia segera ingat, keempat orang yang tadi dia buntuti tetap mengambil jalan di bahagian tengah
terowongan. Tak seorangpun yang berjalan di bahagian pinggir. Malah dia melihat, mereka berjalan satu-satu.
Si Bungsu yakin sudah, dia telah menginjak sebuah perangkap yang mematikan. "Engkau berada di atas
ranjau?" tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara seorang perempuan dalam bahasa Inggeris, dari arah terowongan
yang baru saja dia lihat.
Dia menoleh, namun tetap tak melihat orang yang bicara. Kamar tempat penyekapan itu tak ada
penerangan sama sekali. Kemudian terdengar suara gemercing rantai. Lalu suara langkah yang diseret di lantai
batu. Bulu tengkuk Si Bungsu merinding. Para tawanan ini rupanya tidak hanya disekap di tempat yang amat
tersembunyi, tapi juga dirantai di dalam tempat penyekapannya.
Jarak dari tempat dia tegak ke pintu jerajak di depannya, di seberang lain dari tempat dia tegak, sekitar
tiga meter. Sesaat kemudian dia melihat bahagian demi bahagian anggota tubuh perempuan yang bicara itu
tersembul di antara jeruji besi dan tersorot cahaya damar. Yang pertama kelihatan adalah kedua tangannya
yang berantai di pergelangan, berpegangan pada jeruji besi. Kemudian kedua kakinya, yang juga dirantai di
bahagian pergelangan. Lalu wajahnya menyembul sedikit di antara jerajak pintu besi tersebut. "Engkau tidak
orang Vietnam bukan?" tanya perempuan itu perlahan.
Si Bungsu menggeleng. Kemudian perlahan dia duduk. Saat itu dia mendengar suara gemercing rantai
hampir dari seluruh pintu-pintu. Kemudian wajah-wajah kuyu muncul dari dalam kegelapan. Hampir seluruh
manusia di terowongan itu rupanya tak tidur. Begitu mereka mendengar percakapan yang agak aneh, yaitu
suara si perempuan yang mengingatkan Si Bungsu akan ranjau tadi, semuanya pada bangkit, dan berjalan ke
pintu. Mereka ingin tahu, siapa yang datang. "Engkau tidak orang Vietnam bukan?" kembali perempuan itu
bertanya. Si Bungsu menggeleng sembari membuka jam tangannya. Kemudian menekan tombol. Kawat baja halus
yang panjangnya semeter itu menyembul keluar dari samping jam tangannya. Dia lalu mencabut empat buah
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 629
samurai kecil yang tersisip di tangannya. Belasan tawanan yang kini tegak di depan jeruji pintu masing-masing,
menatap dengan diam ke arah orang asing di tengah terowongan itu.
Mereka tahu, lelaki asing itu berada di atas bom yang siap melumatkan tubuhnya begitu dia mengangkat
kaki. Si Bungsu menyumpahi kebodohannya, kenapa tidak bisa menangkap keanehan tempat tentara Amerika
ini disekap. Seharusnya dia tahu, tentulah ada yang tak beres jika tempat penyekapan ini tak ada pengawalnya
seorang pun. Kini, kesadarannya sudah terlambat.
Dia harus mampu menyelamatkan diri dari ranjau darat yang kini dia injak. Ke empat samurai kecil itu
dia tancapkan ke lantai batu. Karena mata samurai kecil itu terbuat dari baja yang amat tajam, ditambah lantai
batu ini tidak begitu keras karena pengaruh udara lembab, maka dengan mudah samurai itu dia tancapkan
hingga ke batas gagangnya.
Usai menancapkan keempat samurai kecil itu, dia mengambil sebuah samurai lagi. Perlahan dia mengikis
pasir halus di sekitar sepatunya. Hanya beberapa saat, ujung samurainya membentur benda keras. Dia
bersihkan terus, dan dia segera menemukan tutup ranjau berupa plat bundar, kira-kira sebesar asbak di bawah
kaki kanannya. Dia menarik nafas. Perlahan dia mengikatkan ujung kawat baja dari jam tangannya ke salah
satu gagang samurai yang di depan.
Selesai mengikat di samurai yang di depan, bahagian lainnya dari kawat halus itu dia lewatkan di bawah
pantatnya. Tanpa mengangkat kaki, dia memutar duduk, menghadap ke belakang. Dia ikatkan lagi kawat baja
itu ke gagang samurai yang satu lagi. Lalu hal yang sama dia lakukan ke samurai di kiri dan di kanan dengan
cara menyilang. Kini di bawah kakinya ada silangan kawat baja. Dia kembali menguatkan tancapan samuraisamurai kecil itu di lantai.
Semua tawanan ternyata sudah pada tiarap di lantai ruangan masing-masing. Mereka mengamankan
diri dari ranjau yang setiap saat bisa meledak. Mereka menatap ke arah lelaki asing itu dengan perasaan tegang
dan diam. Mereka tiarap selain untuk menyelamatkan diri juga untuk melihat bagaimana ranjau itu meledak
dan orang asing itu tercabik-cabik tubuhnya.
Mereka hakkul yakin lelaki itu tak bisa selamat dari ledakan ranjau yang kini diinjak. Mereka tak percaya
karena semua mereka adalah tentara Amerika yang sudah kenyang dengan perang di negeri neraka jahanam
ini. Dalam beberapa tahun berperang, sudah tak terhitung teman-teman mereka yang hanya pulang nama
karena terinjak ranjau yang ditanam Vietkong.
Usahkan manusia, truk dan tank saja dibuat berkeping-keping oleh ranjau tersebut. Mereka kini menanti
sambil menonton. Sebenarnya ada tiga hal yang membuat mereka heran. Pertama, siapa lelaki asing ini" Kedua,
apa urusannya masuk ke tempat penyekapan ini" Ketiga, orang ini nampaknya demikian tenang, kendati dia
sedang menginjak sesuatu yang tiap detik siap melemparkannya ke neraka.
Sementara itu, di bawah cahaya lampu damar Si Bungsu tengah menarik nafas, kemudian menghapus
peluh di jidatnya. Dia merasa beruntung pernah diajar temannya dari pasukan Green Barret di Australia
dahulu, tentang bagaimana sistem kerja sebuah ranjau darat. Jenis yang kini berada di bawah kakinya.
Ranjau yang ditanam di tanah, seperti mulut hiu yang menganga diam di dalam laut. Menanti mangsanya
mendekat. Saat bahagian atas ranjau tertekan oleh berat minimal tertentu, klip pengaman pegas yang memicu
ledakan ranjau yang semula tertekan akan itu lepas dan melenting. Melemparkan tutup ranjau ke atas,
sekaligus memicu ledakan.
Dia memang belum pernah menginjak ranjau dan berpraktek mengamankannya. Namun, karena
mengetahui sistem kerja ranjau itu, kini paling tidak dia bisa berusaha mengamankannya. Dia harus berusaha
agar kawat baja yang dia ikatkan menyilang di atas tutup ranjau di bawah kakinya, paling tidak mampu
menahan tutup ranjau itu agar tak melenting, yang bisa menyebabkan ledakan dahsyat.
Sekali lagi ditatapnya keempat samurai kecil tempat dia mengikatkan kawat baja dari jam tangannya.
Dicobanya menarik kawat baja yang terentang di bawah kakinya. Tak bergeming, tegang dan keras. Kemudian,
masih dalam posisi duduk mencangkung di atas ranjau itu, dia menoleh ke arah tawanan wanita yang tadi
memperingatkan dirinya tentang ranjau itu. Perempuan itu juga tengah menatap padanya dalam posisi tiarap.
"Anda bernama Roxy?" tanyanya perlahan. Tawanan itu terkejut. Namun dia segera mengangguk.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-600
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 630
"Saya ada pesan untukmu " ujar Si Bungsu sambil berdiri. "Jangan melangkah?" seru wanita itu, tatkala
melihat lelaki asing itu mulai melangkah. Semua tawanan yang tiarap, termasuk Roxy Rogers, yang tengah
menatap ke arahnya, pada menutup telinga dan merapatkan kening mereka rata dengan lantai goa. Mereka
menanti dengan perasaan berdebar terjadinya ledakan dahsyat. Lalu tiba-tiba terdengar suara. "Nona saya
membawa pesan dari ayah Nona?"
Roxy seperti akan copot jantungnya mendengar ucapan itu. Dengan masih menutup telinga dengan
kedua tangannya, dia mengangkat kepala. Dan demi segala anak dan datuk tuyul, demi cucu dan cicit-cicit tuyul,
dia hampir tak percaya dengan apa yang dia lihat. Lelaki asing itu kini tengah duduk berjongkok, hanya berjarak
sehasta dari dirinya. Jarak antara mereka hanya dipisahkan oleh jeruji besi!
Lewat samping tubuh lelaki tersebut, Roxy menatap ke arah tempat ranjau yang tadi terinjak oleh lelaki
asing yang entah dari mana bisa mengenal namanya ini. Dia lihat empat benda kecil-kecil tertancap. Kemudian
ada sesuatu yang mengkilat, nampaknya kawat halus, yang secara menyilang menghubungkan ke empat benda
kecil itu. Keheningan dalam goa itu dipecahkan oleh suara tepuk tangan dari ruangan-ruangan penyekap lain.
Begitu mendengar suara orang bercakap-cakap, bukannya suara ledakan, belasan tawanan tentara Amerika
yang tadi pada tiarap dan menutup telinga, segera membuka mata dan menatap ke arah tempat orang asing itu
menginjak ranjau. Mereka melihat seperti yang dilihat Roxy.
Empat benda kecil tertancap dan ada kawat mengkilat menghubungkan ke empat benda kecil itu. Itulah
yang membuat mereka bertepuk kagum. Sungguh di luar dugaan mereka ada orang yang bisa menyelamatkan
diri dari ledakan setelah dia menginjak ranjau. Suara bising akibat gemercing rantai segera terdengar begitu
tawanan-tawanan tersebut pada berdiri dan berusaha melihat ke arah tempat Roxy.
Sementara itu Roxy masih menelungkup. Kedua tangannya yang di rantai masih memegang jerajak besi
pintu ruangan di mana selama bertahun-tahun dia disekap. Dia menatap dan memperhatikan lelaki asing itu
dengan seksama. Ada dua hal yang membuat dia heran. Pertama dari mana lelaki ini mengenal namanya"
Kedua, bagaimana mungkin dia bisa selamat dari ranjau"
Akan halnya Si Bungsu, yang sudah demikian hafal bentuk dan tanda-tanda wajah gadis yang bernama
Roxy ini, yang fotonya selama berbulan-bulan dia bawa ke mana-mana, tak lagi ragu bahwa wanita yang ada di
depannya ini adalah orang yang dia cari. Orang yang harus dia selamatkan nyawanya. Lebih dari itu, gadis ini
harus dia bawa kembali kepada orang tuanya di Amerika sana. "Siapa engkau, darimana engkau mengenal
namaku?" tanya Roxy, yang masih saja tiarap di lantai. "Saya orang bayaran ayahmu. Saya diminta untuk
mengaduk-ngaduk belantara Vietnam untuk mencari, membebaskan serta membawa dirimu pulang ke
Amerika?" ujar Si Bungsu perlahan.
Kemudian dia berdiri sambil mengeluarkan sebuah bungkusan plastik tipis dari dalam dompetnya. Dia
menoleh ke kiri dan ke kanan. Menatap ke mulut terowongan dari mana dia tadi masuk. "Kapan biasanya orangorang Vietnam itu datang?" tanya Si Bungsu. Buat sesaat Roxy tak segera menjawab pertanyaan tersebut.
Dia masih saja menatap lelaki itu dari ujung kaki ke ujung rambut. Dia baru menjawab setelah
pertanyaan itu diucapkan Si Bungsu untuk kedua kalinya. "Tak ada jadwal yang tetap. Bahkan untuk mengantar
makanan pun suka-suka mereka. Kadang-kadang tiap hari. Kadang-kadang sekali dua hari. Bisa dalam tiga hari
mereka tak muncul. Kecuali"." "Kecuali untuk mengambil tawanan perempuan, guna memuaskan nafsu
mereka?" potong Si Bungsu. "Engkau juga mengetahuinya?" tanya Roxy yang kini sudah duduk berlutut, dengan
kedua tangannya masih ber pegangan ke terali besi. "Saya sampai kemari karena mengikuti dua wanita yang
diantar tadi"." "Saya sudah menduga demikian?" gumam Roxy perlahan.
Si Bungsu kembali menatap ke arah kanan. Pendengarannya yang amat tajam mendengar tetes air di
sebelah kanan sana. Dia berdiri dan menatap beberapa saat kepada Roxy. "Saya akan buka kunci pintu ini,
berikut rantai yang mengikatmu?" ujarnya sambil melangkah ke kanan, ke arah dari mana dia mendengar
suara air menetes. "Hei, hati-hati. Lantai goa ini di penuhi ranjau?" ujar Roxy mengingatkan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 631
Ada beberapa belas meter Si Bungsu melangkah dengan hati-hati ke ujung kanan, kemudian melihat ada
sebuah ceruk di bahagian kiri dinding. Di ceruk itu kelihatan air menetes dari atas. Dia membuka kantong
plastik kecil yang tadi dia keluarkan dari dompetnya. Di dalam plastik itu terdapat semacam serbuk berwarna
putih mengkilat. Tanpa mengeluarkan serbuk putih tersebut, yang jumlahnya barangkali hanya sekitar dua
sendok teh, dia menampung tetesan air goa itu dengan kantong plastik. Air tersebut menyatu dengan serbuk
di dalam plastik. Kelihatan asap tipis mengepul ketika air dingin itu melarutkan serbuk, dan saling menyatu di
dalam kantong plastik. Ketika kantong plastik itu hampir penuh, dia kembali ke tempat tentara-tentara itu disekap. Dia berhenti
di ruangan di sebelah tempat Roxy. Di dalam ruangan kecil itu ada tiga tentara Amerika yang disekap. Ketiga
orang itu, yang berdesak-desak di dekat terali, menatap padanya dengan heran.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-601
Si Bungsu meneteskan air bercampur serbuk putih di kantong plastiknya ke gembok besar di jeruji besi
itu. Begitu air menyentuh gembok besi besar itu, kelihatan asap mengepul. Hanya sekitar tiga tetes, ketika asap
hilang, Si Bungsu memukul gembok itu dengan tangannya.
"Pletakk"!" gembok itu tidak hanya patah tapi berderai seperti kerupuk kena injak. Ketiga tentara yang
kurus-kurus itu dan berambut sebahu ternganga. Mereka masih tegak dengan takjub ketika Si Bungsu
membuka pintu. Kemudian Si Bungsu kembali meneteskan cairan di kantong itu ke rantai di pergelangan
tangan ketiga tahanan itu. Dan ketika rantai itu mereka sentak kan, rantai itu putus seperti benang yang sudah
lapuk. Mereka tidak hanya di rantai di tangan dan kaki, pinggangnya juga. Rantai di hubungkan ke sebuah cincin
besar yang di paku kan ke dinding. Tatkala semua rantai itu putus, Si Bungsu meminta yang dua orang menjaga
pintu masuk utama terowongan ini. Yang seorang lagi diminta mengikutinya.
"Yes, Sir"!" jawab kedua orang yang disuruh menjaga pintu itu. Kemudian tanpa banyak tanya mereka
bergerak hati-hati ke mulut terowongan dari mana tadi Si Bungsu muncul. Mereka nampaknya sudah hafal
bagian mana dari lantai terowongan itu yang bisa di injak. Hal itu tentu saja mereka perhatikan dari jalan yang
ditempuh setiap tentara Vietnam masuk dan keluar dari tempat mereka saat mengambil mereka untuk
diinterogasi. Dalam mengantar makanan, maupun mengambil satu dua tentara atau perawat wanita, untuk
pemuas nafsu tentara-tentara Vietnam di barak di bawah bukit terjal ini.
Beberapa di antara mereka ada yang sudah di tahan selama lima tahun. Beberapa lagi menjelang perang
usai akhir tahun lalu. Namun mereka dibawa ketempat terpencil ini baru lima bulan. Nampaknya mereka di
bawa kesini untuk dua tujuan. Pertama, agar tempat mereka tak mudah diketahui Amerika, otomatis mereka
tak bisa di bebaskan. Kedua, mereka jadi alat penekan dalam perundingan antara Vietnam dan Amerika.
Saat kedua tentara itu menuju ke mulut terowongan, tentara yang seorang lagi mengikuti Si Bungsu
menuju ketempat Roxy. Kembali Si Bungsu menuangkan cairan di dalam plastik berukuran kira 5x5cm, ke
gembok besar di pintu sel Roxy. Setelah pintu tebuka, dia meneteskan cairan itu ke rantai yang ada di tangan,
kaki, dan pinggang Roxy. Kemudian sekali sentak rantai-rantai itu hancur berserakan dilantai. Si Bungsu hampir pingsan membau
sel-sel tahanan Roxy atau ketiga tentara tadi yang baunya memang amat luar biasa! Sudah bisa di bayangkan,
kalau mereka mau buang air besar, kecil bahkan makan tetaplah di ruangan sempit ini. Pokoknya disitulah para
tahanan melakukan aktifitas sehari-harinya. Ini adalah kekejaman lain dan tak kalah dahsyatnya dengan
siksaan fisik. Dalam makna yang lain, tawanan wanita mungkin agak beruntung. Bagi mereka yang dibawa
untuk menghibur Perwira atau tentara, tentulah lebih dahulu disuruh membersihkan diri. Mandi dan bersabun
sampai bersih di sungai jernih di bawah situ.
Kemudian mereka juga di beri pakaian yang layak. Dan selain itu mereka juga bisa makan dan minum
apa yang dimakan para tentara atau perwira tersebut. Nampaknya beberapa wanita yang sudah disiksa habishabisan akhirnya menyerah dan terpaksa memenuhi selera para perwira tersebut. Selain dapat makan, minum
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 632
dan pakaian. Mereka juga dapat membawakan "oleh-oleh" untuk para tawanan teman satu sel mereka makanan
dan minuman. Makanya mereka tidak di benci oleh tawanan lain, justru mereka dianggap pahlawan karena
telah mengorbankan diri untuk menyelamatkan hidup kawan-kawan mereka.
"Tolong Helena?" ujar Roxy sambil menoleh kebagian dalam ruang tahanannya, ketika Si Bungsu
memutuskan rantai-rantai di tubuhnya. "Kenapa dia tak bangun-bangun?" ujar Si Bungsu yang baru
mengetahui kalau di ruangan sempit itu Roxy ternyata disekap berdua. "Dia tak bisa bangun karena sakit?"
ujar Roxy. Si Bungsu tahu dia tak perlu bertanya, kenapa tidak dilaporkan kepada tentara Vietnam. Di lapor
sekalipun tak kan ada hasilnya. Dengan menahan bau menyengat, agar dia tak muntah, Si Bungsu menggendong
tubuh wanita itu ke pintu, agar agak bebas dari bau yang menyengat itu. Wanita bernama Helena itu ternyata
berpangkat Letnan. Itu terlihat dari pakaian dinasnya yang masih melekat di tubuhnya yang sudah kurus
kering. Roxy tidak punya pangkat karena dia memang direkrut ke perang Vietnam ke dalam korp perawat.
Setelah memutuskan rantai-rantai di tubuh Helena Si Bungsu kemudian menyerahkan kantong cairan itu
kepada tentara yang tadi mengikutinya.
"Bebaskan teman-temanmu yang lain. Saya tak mempunyai persediaan lain cairan ini, selain yang tersisa
ini. Usahakan airnya tak habis sebelum teman-temanmu bebas dari Neraka ini. Suruh semuanya berkumpul
dimulut terowongan.." ujar Si Bungsu pada tentara yang tanda pangkat di kerah bajunya berpangkat Kapten.
"Yes, Sir".!" ujar tentara yang berberewok itu sambil bergerak segera menuju ketempat teman-temannya di
tawan. "Ayo kita ke mulut terowongan sebelum siang turun?" ujar Si Bungsu sambil memangku Helena yang
baunya minta ampun dan penuh dengan daki. "Tunggu, siapa engkau dan siapa namamu?" ujar Roxy sambil
memegang tangan Si Bungsu. "Sudah saya katakan, kalau saya orang yang di bayar ayahmu untuk
membebaskanmu. Nama saya Bungsu?" ujarnya sambil berjalan keluar dari sel pengap itu.
Roxy mengikuti lelaki asing itu dengan seribu satu pertanyaan di kepalanya. Dia yakin. Ayahnya akan
mempergunakan segala cara untuk membebaskannya. Dan dia yakin ayahnya juga mampu mengirim beberapa
resimen tentara untuk mengundak-undak belantara Vietnam untuk mencari tempat dia di sekap. Namun tak
pernah terlintas dikepalanya, kalau lelaki yang dikirim adalah seorang lelaki biasa atau "tidak punya apa-apa",
tak pula berotot baja, tak sangar dan tak ada tanda-tanda pernah menjadi salah satu pasukan elit, seperti yang
datang membebaskannya ini. Si Bungsu membawa Helena ke ceruk goa dimana tadi dia menampung tetes air
kekantong plastik tadi. Dia yakin, dibalik ceruk ini ada kolam. Sedangkan dibahagian bawah dari tempat air
menetes itu, ada anak air mengalir.
"Kalian jaga sebentar. Aku akan mencari air untuk wanita ini?" ujar Si Bungsu tatkala dia lewat dekat
dua tentara Amerika yang tadi dia bebaskan dan kini menjaga mulut terowongan. Kedua tentara itu, keduanya
berpangkat Sersan Mayor, mengangkat dua jari mereka, telunjuk dan jari tengah yang di rapatkan, sebagai
tanda memberi hormat. Kemudian mereka berdiri rapat kedinding, dan mengintai kecelah jalan menuju
keterowongan itu, dari mana orang akan muncul jika masuk ketempat penyekapan ini.
Si Bungsu menaruh Helena di dekat ceruk air yang menetes tersebut. Kemudian dengan memperlihatkan
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantai goa itu, dia mengambil sebuah obor yang di tancapkan didinding. Lalu dia menuju ceruk itu. Hanya
berjarak dua meter kebawah dia menemukan sebuah kolam dua meter yang tak begitu dalam. Dia segera naik,
dan segera memberitahu Roxy tentang kolam itu. Roxy menurut saja ketika Si Bungsu memangku tubuh Helena,
kemudian bertiga mereka turun ke kolam itu.
"Kalian mandilah. Kalau sudah selesai panggil saya. Saya rasa kita masih punya waktu untuk
mempersiapkan diri dalam pelarian ini?" ujar Si Bungsu pada Roxy, sambil meletakkan obor di sebuah batu,
kemudian melangkah menaiki tanjakan goa itu. Akan halnya Roxy dan Helena, yang pertama mereka lakukan
dalam kolam yang airnya jernih itu, adalah minum sepuas-puasnya. Mereka segera membuka semua pakaian
yang baunya minta ampun itu. Untung saja kolam itu mempunyai saluran pembuangan yang menerobos
dinding yang lenyap entah kemana, jadi semua kotoran dan daki-daki yang ada pada tubuh mereka itu hanyut
kedalam dinding batu yang tegak tinggi tersebut.
Saat sampai di mulut terowongan Si Bungsu melihat semua tentara Amerika yang di tahan sudah
berkumpul disana. Dia menghitung ada dua belas lelaki dan tiga orang wanita. Dua diantaranya adalah wanita
yang mereka lihat di barak, bergumul dekat api unggun dengan tentara Vietnam di bawah bukit ini. Dia
menatap wanita itu sekilas, yang penampilannya jauh dari yang lain, yang satunya kelihatan kotor seperti Roxy
dan Helena, kedua wanita yang malam tadi dia lihat itu tubuhnya bersih sekali. Selain bersih ternyata bentuk
tubuhnya memang menggiurkan.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-602
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 633
Si Bungsu cepat-cepat memupus segala fikirannya tentang apa yang diperbuat kedua wanita ini tadi
malam. Jika dihitung Roxy dan Helena yang sedang mandi, berarti jumlah semua tawanan ini ada 17 orang. Dua
belas lelaki dan lima wanita. Mereka semua, kecuali kedua wanita itu, kelihatan amat kotor dan amat lelah. Dia
tak yakin apakah mereka akan mampu berlari jauh, atau bertempur jika kepergok tentara Vietnam. "Siapa
pangkatnya yang tertinggi di antara kalian?" tanya Si Bungsu.
Seorang lelaki mengangkat tangan kanannya dari dalam kerumunan tentara yang baru keluar dari
sekapan itu. Dari tanda pangkat berwarna hijau gelap di krah baju loreng lelaki tersebut, Si Bungsu tahu lelaki
itu berpangkat Kolonel. Si Kolonel nampaknya memang memiliki wibawa yang lebih dari yang lain. Para tentara
yang potongannya kacau balau itu bersibak memberi jalan, ketika si Kolonel maju.
"Nama saya MacMahon. Eddie MacMahon. Senang bertemu Anda?" ujar Kolonel itu sambil mengulurkan
tangan. "Bungsu. Nama saya Bungsu. Hanya nama pertama, tanpa nama kedua?" ujar Si Bungsu membalas
jabatan tangan si Kolonel. Dia faham bahwa adalah aneh bagi orang barat, jika ada orang yang namanya hanya
terdiri dari satu suku kata. Orang-orang barat selalu memiliki nama paling sedikit dengan dua suku kata.
Tergantung nama keluarga dari pihak ayahnya. Kalau nama keluarga dan ayahnya hanya satu suku kata, maka
nama seorang anak pasti dua suku kata. Kalau nama keluarga yang dipakai seorang ayah dua suku kata, maka
nama anaknya pasti tiga suku kata.
Seperti Kolonel Eddie, nama MacMahon dipastikan nama ayahnya, atau nama kakeknya. Sebab sering
juga orang memakai nama keluarga atau klan, bukan nama ayah. Yang memakai nama klan ini, misalnya, dapat
dilihat pada keluarga Rockefeler. Turunannya ya anak, ya cucu, ya buyut, semuanya memakai nama Rockefeler
di belakang nama mereka. "Senang bertemu Anda, Bungsu. Anda dari pasukan khusus mana?" ujar Kolonel
MacMahon. "Saya seorang pengelana. Murni pengelana dan sipil. Murni sipil?" ujar Si Bungsu.
Baik Kolonel maupun tentara yang lain, menatap lelaki asing itu dengan tatapan tak percaya. Namun
lelaki di depan mereka ini nampaknya sangat bisa dipercaya. Segala gerak dan tindakannya demikian
menyakinkan. "Well, apa yang harus kami perbuat?" ujar si Kolonel pada Si Bungsu. Sebelum Si Bungsu sempat
menjawab, sayup-sayup mereka mendengar suara Roxy memanggil. "Di bawah sana ada kolam yang airnya
amat jernih dan bersih. Kita masih punya waktu, bagi yang ingin mandi silahkan. Sekalian menolong
mengangkat Letnan Helena?" ujar Si Bungsu.
Yang pertama bergerak adalah ke tiga wanita itu. Mereka segera menemukan ceruk tempat air menetes
tersebut, kemudian berpedoman pada suara Roxy, yang memanggil-manggil, mereka segera turun dan
menemukan kolam jernih itu. Mereka segera saja pada menanggalkan pakaian dan ikut mandi. Setelah ke lima
wanita itu muncul, lima tentara segera menuju ke tempat tersebut. Yang lainnya, termasuk si Kolonel dan
kelima wanita itu, kini berada di depan Si Bungsu. Mereka pada berdiam diri, menatap pada lelaki asing yang
tak mereka ketahui dari mana asalnya ini. Si Bungsu yang tahu isi fikiran orang-orang di hadapannya ini, dia
berusaha menjelaskan secara singkat siapa dirinya, dan kenapa dia sampai terlempar ke tempat penyekapan
ini. "Well. Seperti saya katakan tadi, nama saya Bungsu. Saya sipil dan pengelana murni. Saya orang
Indonesia. Setahun yang lalu saya datang ke Amerika menemui seorang teman. Kemudian saya berkenalan
dengan, mmm" Tuan Rogers. Alfonso Rogers. Saya dimintanya untuk mencari tahu nasib anaknya yang hilang
di Vietnam ini saat bertugas dalam pasukan Amerika bersama divisi kesehatan. Saya menolak, karena saya tahu
tugas itu bukan tugas saya. Maksud saya, saya tak punya keahlian untuk mencari jejak dan bertarung dengan
tentara Vietnam untuk membebaskan seorang tawanan. Namun karena dia membayar terlalu tinggi, dan saya
memang memerlukan uang, saya terima tawarannya. Di Kota Da Nang saya bertemu seorang bekas tentara
Vietnam Selatan, yang bertugas di bidang intelijen. Dari dialah saya mendapat kabar tentang tempat
penyekapan ini, di mana diperkirakan Roxy disekap. Teman saya itu, Han Doi, yang menolong saya menemukan
tempat ini, ada di bawah sana, berjaga-jaga kalau ada bahaya?" ujar Si Bungsu.
Setelah berhenti sejenak dia menyambung. "Kemudian, bersama saya sekarang juga ada dua orang
Vietnam, anak beranak. Duc Thio dan anaknya Thi Binh. Mereka berada di suatu tempat, tak jauh dari sini?" Si
Bungsu mengakhiri ceritanya, sembari menatap sesaat pada Roxy, kemudian pada si Kolonel. "Well, Kolonel.
Kini komando berada di tangan Anda?" ujar Si Bungsu pada MacMahon. Kolonel itu menatap Si Bungsu nanapnanap. Sebagai seorang yang kenyang dalam berbagai pertempuran, dia sangat faham lelaki dari Indonesia ini
bukan sembarang orang. Hal itu, paling tidak, dibuktikan dengan berhasilnya dia menemukan tempat ini. Dia
yakin, sudah cukup banyak pasukan-pasukan khusus Amerika, yang ditugaskan mencari mereka.
Pasukan itu terbagi dalam satuan-satuan kecil, yang mencoba mencari dan menemukan tempat ini,
maupun tempat-tempat lain yang dipergunakan Vietnam Utara sebagai tempat penyekapan tentara Amerika
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 634
yang mereka tawan. Yang sampai kemari, hanya orang Indonesia ini. Orang ini bukan sipil biasa, bisik hati
MacMahon. Setelah berfikir beberapa saat, menatap Si Bungsu dan tawanan-tawanan sebangsanya yang sudah
terpuruk di goa ini beberapa lama, Kolonel MacMahon berkata.
"Anda baru saja datang dari bawah sana, Tuan. Menurut Anda, mana yang lebih besar kemungkinan bagi
kita, langsung meloloskan diri atau terlebih dahulu melakukan penyerangan untuk menghancurkan tentara
Vietkong di bawah sana?" Si Bungsu segera teringat akan janjinya pada Thi Binh, bahwa dia akan memberi
gadis itu kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada tentara Vietnam, yang telah memperkosanya
selama berbualan-bulan. "Gadis bernama Thi Binh yang membantu menunjukkan pada saya bahwa di bukit-bukit ini ada
konsentrasi tentara dan tempat penyekapan Tuan-tuan, adalah salah seorang gadis yang dijadikan pamuas
nafsu tentara Vietnam. Dia mau menceritakan tentang bukit-bukit ini dengan syarat bahwa dia diberi
kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada tentara-tentara tersebut. Tanpa keterangannya, saya
takkan pernah tahu di mana tempat penyekapan ini. Saya harus menepati janji saya padanya. Namun itu tak
mengikat apapun terhadap Tuan-tuan. Jika Tuan-tuan memutuskan segera meloloskan diri, atau ingin
menyerang kamp di bawah sana, putusan itu sepenuhnya berada di tangan Tuan-tuan?" ujar Si Bungsu
perlahan. "Anda mengetahui gudang persenjataan mereka?"
Dalam Neraka Vietnam -bagian-603
Si Bungsu mengangguk. "Dari barak persenjataan mereka kami mengambil seransel peluru dan
beberapa buah dinamit. Namun untuk mendekati barak itu siang hari amatlah berbahaya?" ujar Si Bungsu.
Kolonel itu menatap anak buahnya. Lima orang di antara mereka, yang duduk tersandar di lantai karena
setengah lumpuh akibat disiksa, juga menatap pada si Kolonel dengan diam.
"Well, kita sudah lama disekap dan disiksa di sini. Sudah lama tidak bertempur. Jumlah kita sangat kecil
dibanding seratus tentara di bawah sana. Namun putusan kita barangkali adalah perang"!" ujar si Kolonel.
Ucapannya segera disambut acungan kepalan tangan semua tawanan tersebut, tak kecuali mereka yang
lumpuh akibat siksaan. Si Bungsu menatap pada Roxy. Gadis itu, yang duduk di dekat Helena, teman satu selnya
yang tak bisa berdiri, juga tengah menatap padanya.
Hanya beberapa saat menatap gadis itu, tiba-tiba dia menoleh ke arah lorong darimana dia tadi masuk
ke tempat penyekapan ini. Di sana masih bersandar dua orang tentara Amerika, menghadap pada Kolonel
MacMahon. Kolonel ini nampaknya arif ada sesuatu yang tak beres dari cara Si Bungsu yang tiba-tiba menoleh
ke terowongan itu. "Ada sesuatu yang tak beres?" "Nampaknya ada yang datang?" jawab Si Bungsu sambil
matanya tetap memandang ke arah lorong tempat keluar masuk itu. Kolonel tersebut juga menatap ke arah
mulut lorong yang di depannya tegak dua anggota pasukan Amerika itu. Mereka semua pada terdiam.
"Ada empat orang yang sedang naik kemari. Mereka sekitar lima puluh meter dari kita?" ujar Si Bungsu
perlahan sambil memperhatikan lorong kecil tempat mereka kini berada. Tentara Amerika yang belasan orang
itu, kendati kondisi mereka amat buruk, namun mereka adalah pasukan-pasukan elit Amerika. Beberapa di
antaranya adalah pasukan Baret Hijau yang amat tersohor itu. Namun yang lebih terkenal lagi adalah Kolonel
MacMahon, yang bersama empat orang anak buahnya kini ikut tertawan. Mereka berasal dari pasukan SEAL.
Pasukan khusus Angkatan Laut Amerika yang amat terkenal itu.
Tapi, kendati sudah berkonsentrasi penuh mereka sungguh tak mendengar apapun. Orang Indonesia ini
mengatakan ada empat tentara yang kini sedang naik. Kalau saja bukan orang ini yang bicara, MacMahon pasti
mengatakan ucapan itu bual semata. Namun hatinya mengatakan lelaki ini bukan pembual, dan dia juga yakin,
lelaki ini jauh lebih tangguh dari dirinya. Dia menatap pada Si Bungsu. Seolah-olah menyerahkan bagaimana
langkah berikutnya pada orang Indonesia itu. Si Bungsu segera menyuruh bawa orang-orang yang sakit ke
lekuk di mana tadi dia menemukan air. Kemudian di menyuruh tentara-tentara Amerika itu, termasuk si
Kolonel, berjaga di terowongan besar. Dia sendiri menggantikan tempat kedua tentara yang berjaga di mulut
terowongan. "Saya takkan bisa berbuat banyak terhadap keempat tentara Vietnam itu. Yang lolos ke terowongan
Pendekar Binal 8 Forgotten Eve Karya Phoebe Iklan Pembunuhan 3
Tak ada apapun yang terlihat. Tak ada suara apapun yang terdengar, selain suara burung malam yang hilang
timbul. Aneh, dia merasa ada sesuatu di tengah rawa sana, yang sedang menatap kearah mereka yang berada
di depan api unggun ini. Perlahan di rebahkannya tubuh Thi Binh di atas tumpukan dedaunan kering di bawah pohon tersebut.
Perasaan aneh yang mencekam itu semakin kuat, merasuk kefikiran dan nalurinya. Setelah menyelimuti tubuh
Thi Binh dengan sehelai kain, Si Bungsu mengambil sebuah ranting kecil.
Ranting itu dia jentikan ke tubuh Han Doi yang sudah tertidur disisi Duc Thio. Jentikan ranting itu
demikian terarahnya, Han Doi segera terbangun. Begitu bangkit tangannya meraih bedil yang terletak disisinya.
Kemudian menoleh arah Si Bungsu. Si Bungsu memberi isyarat agar Han Doi membangunkan Duc Thio. Han
Doi mengguncang tubuh pamannya dengan perlahan.
Lelaki itu terbangun, dan begitu di beri isyarat oleh Han Doi agar tak bersuara, dia segera meraih senjata
laras panjang yang terletak di sampingnya. Si Bungsu yang sudah duduk dekat api unggun, memberi isyarat
agar kedua orang itu mendekat padanya. "Ada apa..?" bisik Duc Thio begitu duduk dekat api unggun. "Sejak
setengah jam yang lalu, saya berasa ada sesuatu di tengah rawa sana, yang sedang mengamati kita. Dan apapun
yang mengamat-amati itu, wujudnya adalah bahaya?" ujar Si Bungsu perlahan.
Duc Thio dan Han Doi menatap kearah rawa yang kelihatan hanya gelap yang amat kental. Sambil duduk
memegang bedil, Si Bungsu menunduk dan memejamkan mata. Dia berusaha menangkap gerak sehalus apapun
di tengah rawa itu, untuk di pelajari apa gerangan makhluk yang sedang mengamati mereka.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 588
Cukup lama dia berbuat seperti itu, kemudian membuka mata dan menatap ke arah puncak pepohonan
di rawa. "Adakah kalian mendengar sesuatu?"" Han Doi dan Duc Thio mempertajam pendengaran. Kemudian
menggeleng. "Kami tak mendengar apapun?" ujar Han Doi. "Saya juga?" ujar Duc Thio. "Juga tidak suara
burung malam?" tanya Si Bungsu.
Kedua orang itu menatap ke arah rawa. Kemudian menggeleng. "Itu yang mendatangkan rasa aneh pada
diriku. Sejak setengah jam yang lalu, ketika saya masih bicara dengan Thi Binh, tiba-tiba suara burung malam
lenyap. Ada sesuatu yang dahsyat, yang membuat mereka takut dan terbang jauh, atau tetap di tempatnya,
namun mereka berdiam diri?" ujar Si Bungsu. "Apakah yang di tengah rawa itu tentara Vietnam?" tanya Han
Doi. Si Bungsu mengeleng.
"Tidak ada gerak menusia yang tak bisa kutangkap. Setangguh apapun dia menyelinap. Yang mengintai
kita kini bukan manusia. Namun wujudnya aku tak tahu. Tapi yang jelas, dia nampaknya tak menyerang kita
karena takut pada nyala api?" dan ucapannya yang terakhir mambuat Si Bungsu sadar. Dia bisa mencoba
dengan api" Diambilnya sebuah puntung sebesar lengan, yang apinya menyala dengan marak. "Siapkan senjata
kalian. Saya akan melemparkan obor ini ke rawa sana. Apapun yang bergerak, siram dengan tembakan?" ujar
Si Bungsu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 614
Han Doi dan Duc Thio memutar duduk. Dengan bertelekan di lutut kiri, mereka mengarahkan moncong
bedil ketengah rawa. Si Bungsu perlahan membangunkan Thi Binh. Dia tak ingin gadis itu terkejut oleh suara
tembakan. "Ssst. Ada bahaya mengancam kita dari rawa sana. Tetaplah berbaring dan diam?" bisik Si Bungsu.
Si Bungsu perlahan berdiri. Kemudian memutar tegak menghadap ke rawa. Lalu tiba-tiba dia
melemparkan puntung yang menyala di tangannya ke tengah rawa sana. Begitu puntung itu melayang, tiba tiba
wujud makhluk yang mengintai mereka itu segera menjadi jelas. Hanya saja, makhluk itu ternyata bukannya di
bahagian agak ke tengah rawa, melainkan sudah berada di pinggir, hanya sekitar empat depa dari tempat
mereka! Makhluk itu tak lain dari seekor ular raksasa berwarna hitam. Puntung api yang masih menyala itu
dilemparkan justru persis ketika ular raksasa itu sedang akan melakukan serangan ke arah kelompok manusia
di bawah pohon tersebut. Bahagian tubuhnya sudah keluar dari air sepanjang lima depa, dan bahagian lehernya
sudah melengkung ke belakang seperti busur panah.
Gerak berikutnya dari ular itu adalah meluncurkan kepalanya ke depan, dengan mempergunakan
lengkungan tubuhnya sebagai pegas. Saat itulah puntung dilemparkan, dan dengan sangat terkejut Duc Thio
dan Han Doi memuntahkan peluru dari bedil mereka. Tembakan yang paling telak adalah yang dimuntahkan
dari mulut bedil Han Doi, yang memang bekas tentara.
Belasan peluru bedilnya langsung bersarang di atas tenggorokan ular raksasa itu, yang sedang
meluncurkan ke arah mereka dalam keadaan ternganga lebar! Kemudian dengan suara mendesis, kepala ular
raksasa itu jatuh sedepa dari tempat mereka. Tubuhnya yang panjang, sekitar dua puluh depa, menggeliat dan
menggelepar ketika meregang nyawa. Beberapa pohon sebesar paha berderak patah dihantam libasannya.
Ular itu menggelepar beberapa saat, kemudian mati dengan matanya yang merah bak api mendelik
menatap mereka. Thi Binh tak dapat menahan rasa ngeri dan terkejutnya, dia memekik dan memeluk Si
Bungsu. Si Bungsu menghapus keringat dingin yang tiba-tiba membersit di wajahnya. Duc Thio dan Han Doi
terhenyak lemas dan menggigil. Makhluk yang menyerang mereka ini benar-benar monster raksasa yang amat
dahsyat. Kalau saja naluri Si Bungsu tidak menangkap isyarat adanya bahaya yang mengancam, sudah bisa
dipastikan mereka akan berkubur di dalam perut ular yang mengerikan ini. "Ular ini betina, yang jantan adalah
yang bertanduk yang kita bunuh siang tadi. Ular ini adalah yang bertemu oleh kita saat akan membuat rakit?"
ujar Si Bungsu pada Han Doi dengan suara terputus-putus.
Han Doi hanya bisa mengangguk. Dia masih dicekam teror dan ketakutan yang dahasyat. Ular betina ini
nampaknya ingin membalas dendam atas kematian pasangannya. Bagi makhluk berpenciuman amat tajam ini
tidaklah sulit mencium jejak musuh yang dicarinya. Buktinya, dengan mudah dia bisa menemukan tempat para
pembunuhnya bermalam. "Kita berangkat?" ujar Si Bungsu.
Dia memutuskan meninggalkan tempat itu karena tak ingin teman-temannya dicekam ketakutan
berkepanjangan. Sebab kepala ular itu hanya sedepa dari mereka. Dan matanya masih mendelik, seolah-olah
masih hidup. Selain itu, subuh nampaknya sudah turun. Mereka segera meninggalkan tempat ini. Duc Thio
mengumpulkan parang dan bedil. Kemudian bersama Han Doi mengangkat rakit itu ke rawa agak ke utara,
menjauhi bangkai ular yang tergeletak di tepian di mana kemarin mereka mendarat. "Kita berangkat, mari?"
bisik Si Bungsu kepada Thi Binh.
Namun gadis itu masih menggigil dan menyurukkan wajahnya di dada Si Bungsu. Nampaknya tubuhnya
menjadi lemas oleh ketakutan dahsyat tersebut, sehingga tak mampu bergerak. Si Bungsu berdiri,
menyerahkan parang dan bedil kepada Duc Thio. Kemudian dibopongnya tubuh Thi Binh ke rakit. Han Doi
mengumpulkan peta dan galah bambu yang berserakan di dekat api unggun. Kemudian cepat-cepat menyusul
ke rakit. Mereka segera mengayuh rakit itu ke tengah dan dengan cepat menyelusup di dalam kabut, menyalip
di antara pepohonan raksasa dan akar-akar rawa yang menjulai seperti kelambu dari dahan-dahan.
Tak seorang pun di antara mereka yang bicara. Karena hari masih gelap, yang menggalah rakit di depan
adalah Si Bungsu. Dengan nalurinya yang tajam dan hafalnya dia pada struktur belantara, dia dengan mudah
mencari jalan di antara pepohonan yang dipalun kabut itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-589
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 615
Thi Binh tak mau jauh dari pemuda itu. Dia duduk di rakit sambil tangannya memeluk sebelah kaki Si
Bungsu yang tegak menggalah. Han Doi menggalah di bahagian belakang rakit. Sementara Duc Thio berjaga di
tengah rakit, dengan bedil siap memuntahkan peluru. Dengan sikap waspada penuh, mata mereka nyalang
menatap ke segala penjuru ke tempat-tempat yang akan dan sedang mereka lewati.
Ketika subuh tiba dan sinar matahari menyinari bahagian-bahagian air rawa yang tak terlindung
pepohonan, Si Bungsu melihat di sebelah kanan depan ada sebuah pohon berdahan banyak dan sela-sela daun
bermunculan buahnya. Dia membelokkan rakit ke arah pohon besar tersebut, yang batangnya mencuat ke
permukaan air. "Kalian kenal pohon itu?"" tanyanya sambil menunjuk ke pohon yang buahnya mirip buah apel. Han Doi
dan Duc Thio memperhatikan pohon itu dengan seksama, kemudian sama-sama menggeleng. "Saya juga tak
mengenalnya. Namun dari daun dan warna pohonnya, buah itu nampaknya bisa dimakan?" ujar Si Bungsu.
Ketika rakit itu sampai di bawah pohon, Si Bungsu menjuluk setangkai buah berwarna kuning. Tangkai dengan
empat buah kayu itu jatuh ke rakit. Si Bungsu mengambilnya sebuah. Kemudian membasuhnya ke air.
Menciumnya, lalu menggigit buah tersebut. Tih Binh, Han Doi dan Duc Thio memperhatikan dengan diam. Ada
beberapa saat Si Bungsu mengunyah, lalu menelan. "Waw, manis dan gurih?" ujarnya sambil menggigit buah
tersebut. Ganti kini ketiga orang Vietnam itu yang mengambil buah tersebut, membasuhnya ke air, dan
memakannya. Dan mereka nampaknya sepakat, bahwa itu memang nikmat. Si Bungsu menjuluk beberapa kali
lagi. Setelah terkumpul sekitar tiga puluh buah, dia lalu mengayuh rakitnya kembali.
"Untuk sementara kita harus makan buah-buahan saja. Kita tak bisa lagi memakan daging atau ikan.
Terlalu berbahaya menghidupkan api untuk membakarnya. Asap api akan menimbulkan kecurigaan tentara
Vietkong," ujar Si Bungsu. Namun belum berapa jauh mereka menggalah rakit dari pohon yang buahnya lezat
tapi tak dikenal namanya itu, Si Bungsu tiba-tiba berhenti menggalah. Tidak hanya itu, dia menancapkan
galahnya ke dasar rawa, yang kedalaman airnya sekitar lima depa, kemudian menghentikan rakit.
"Ada apa?"" ujar Thi Bingh yang sudah tak lagi memeluk kaki Si Bungsu, melainkan sudah duduk di
tengah rakit tak jauh dari ayahnya yang tetap siap dengan bedil di tangan. Duc Thio dan Han Doi menatap pada
Si Bungsu, kemudian mengamati rawa itu dengan tatapan mereka ke segala penjuru. "Ada apa?" ujar Han Doi
setelah tatapan matanya tak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sekitar mereka. "Jalan ke arah yang
kita tuju nampaknya nyaris tertutup," ujar Si Bungsu perlahan.
Ketiga orang Vietnam itu mencoba menatap ke depan, ke arah mata Si Bungsu nanap memandang.
Namun tak ada sesuatu yang menimbulkan kecurigaan mereka. Di depan air rawa itu tetap diam tak bergerak.
Seolah-olah batu mar-mar hitam kemerah-merahan. Diam, dingin dan mencekam. "Kenapa tertutup?" tanya
Han Doi. "Ada bahaya pada satu-satunya jalur yang harus kita tempuh?" ujar Si Bungsu sambil tangannya tetap
berpegang pada galah yang tertancap ke dasar rawa dan matanya nanap menatap ke depan.
Ketiga orang Vietnam itu kembali berusaha menatap permukaan air di depan sana, maupun di sekitar
rakit mereka. Tapi sungguh tak ada satu hal pun yang patut ditakuti yang mereka lihat. Sekitar tiga puluh depa
di depan sana, di antara belukar dan pepohonan berdahan dan berdaun rindang, kabut mengapung rendah di
permukaan air. "Saya tak melihat apapun sebagai tanda-tanda adanya bahaya?" ujar Duc Thio perlahan. "Saya
juga tidak?" ujar Han Doi.
Si Bungsu melemparkan pandangannya sekali lagi ke depan sana. Seolah-olah ingin menembus kabut
tebal itu. Kemudian menatap ke bahagian kanan, lalu ke bahagian kiri. Kemudian kembali menatap ke arah
kabut tebal yang menggantung rendah itu. "Di air yang tertutup oleh kabut itu ada belasan, mungkin puluhan
ekor buaya. Rawa berkabut di sana nampaknya tempat mereka berkumpul?" ujar Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 616
Baik Duc Thio maupun Han Doi dan Thi Binh segera saja memelototi kabut tebal yang menutup
sebahagian besar wilayah rawa sekitar tiga puluh depa di depan mereka. Namun apalah yang akan nampak,
kecuali kabut dan pohon yang mencuat di atasnya. Kabut tebal itu memang benar-benar berada di permukaan
air, dengan ketebalan sekitar tiga atau empat meter. Di atas kabut itu pohon-pohon besar kelihatan seolah-olah
tumbuh. "Mana peta?" ujarnya pada Han Doi sambil berjongkok.
Thi Binh segera meraih gulungan peta yang ada dalam tas kain ayahnya. Kemudian menyerahkannya
pada Si Bungsu, yang kemudian membuka dan membentangkannya di atas rakit. Beberapa saat dia
mempelajari rawa itu dan daerah sekitarnya yang tertera di peta. Kemudian dia melihat kompas yang ada di
jam tangannya. Menekan sebuah tombol, kemudian memperhatikan posisi matahari yang sudah terbit.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-590
"Nampaknya kita tidak punya pilihan lain. Memutar ke barat atau utara terlalu jauh. Satu-satunya jalan
adalah menembus kabut itu, melewati barisan buaya yang sedang mengapung di sana?" ujarnya perlahan
sambil menatap pada Thi Binh, Duc Thio dan Han Doi. Mereka juga menatap padanya dengan diam. Si Bungsu
menarik nafas panjang. "Baik. Dengarkan, jika saya tak salah hitung, kabut di depan sana merupakan dinding yang tebalnya
hanya sekitar dua atau tiga meter. Setelah itu setiap jengkal air rawa yang akan kita lalui adalah sarang buaya.
Jumlah buaya di balik kabut itu, seperti yang kukatakan, mungkin belasan, tapi saya punya firasat jumlahnya
bisa puluhan. Mudah-mudahan saya salah?" dia berhenti sebentar. Dimintanya buah mirip jambu atau apel itu
kepada Thi Binh. Gadis itu mengambil sebuah, mencucinya terlebih dahulu ke air rawa, kemudian
memberikannya kepada Si Bungsu. Si Bungsu mengunyahnya perlahan sambil menatap Thi Binh.
"Kau masih ingin ikut?" tanyanya pada gadis itu. "Saya akan terjun di sini bila kau tinggalkan?" ujar Thi
Binh perlahan. Si Bungsu mengusap kepala gadis itu. Kemudian menatap pada Duc Thio dan Han Doi. "Kemarin
dan malam tadi kita diteror dua monster yang amat menakutkan. Tapi pagi ini kita akan memasuki neraka
dalam arti yang sebenarnya. Tetaplah berada di tengah rakit. Bedil takkan ada gunanya. Sekali mereka
menghantam rakit habislah kita, hanya ada satu cara untuk selamat. Bila salah satu dari buaya itu mulai
menghantam rakit, berusahalah untuk melompat ke dahan kayu terdekat dan memanjat tinggi-tinggi.
Kesempatan itu hanya satu di antara seratus ribu, tapi tak ada salahnya untuk mencoba?" Si Bungsu
menghentikan penjelasannya.
Dia kembali mengunyah dan menelan buah di tangannya perlahan. Menarik nafas panjang dan
menikmati telanan terakhir dari buah di mulutnya. "Biar saya yang menggalah sendiri?" ujarnya sambil
mencabut galah yang dia tancapkan di rawa. Ketika dia berdiri, dia menatap pada Thi Binh. Gadis itu juga tengah
menatap padanya. "Kemarilah Thi Binh. Duduk di dekatku?" ujarnya. Thi Binh berdiri. Melangkah perlahan ke
arah Si Bungsu. Berdiri di depan pemuda itu dengan mata menatap dalam-dalam ke mata Si Bungsu. "Jika" jika
aku harus mati, aku hanya rela mati dalam pelukanmu?" bisik gadis itu perlahan.
Si Bungsu memeluk gadis itu erat-erat. Duc Thio tak mampu menahan air mata. Derita panjang dan
dahsyat yang dialami anak gadisnya yang masih belia itu membuat hatinya runtuh. Dan kini, ketika anak
gadisnya itu jatuh hati pada seorang lelaki asing yang perkasa, dia tak berani berharap banyak. Bahkan untuk
berdoa agar anaknya menikah dengan lelaki itu pun dia tak punya keberanian. Dia takut berharap terlalu besar.
"Engkau sudah terlalu banyak menderita, Thi-thi. Kita akan keluar dengan selamat. Engkau akan kembali
melihat kota, masuk sekolah, aku berjanji untuk membuktikan ucapanku ini padamu?" bisik Si Bungsu. Lalu
mereka berpelukan dalam diam.
"Duduklah, jangan jauh dariku. Aku tak ingin engkau tak berada di dekatku jika terjadi apa-apa?" ujar
Si Bungsu. Thi Binh menatap lelaki dari Indonesia itu. Perlahan didekatkannya wajahnya. Kemudian mencium
Si Bungsu. Lalu perlahan dia duduk di rakit, di samping kaki Si Bungsu. Si Bungsu menatap Duc Thio dan Han
Doi. "Baik, kita berangkat?" ujarnya sambil mulai menggalah.
Hanya dalam waktu satu menit, rakit itu segera menyeruak kabut di depan mereka. Udara dingin terasa
menyelusup ke dalam sela-sela pakaian, membuat tubuh mereka terasa dingin. Dan tak sampai semenit
kemudian, rakit itu tiba-tiba saja sudah menerobos dinding kabut tersebut.
Persis seperti yang dikatakan Si Bungsu. Kabut itu hanya merupakan dinding setebal dua atau tiga meter.
Setelah itu sebuah hamparan luas air rawa di antara pepohonan besar yang tumbuh amat jarang. Dan di depan
mereka" ya Tuhan, ya Tuhan"! Bukan belasan, mungkin ada puluhan ekor buaya kelihatan mengapung di
permukaan air di depan mereka. Anehnya, semua buaya itu seperti berbaris, semua kepalanya menghadap ke
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 617
matahari terbit. Sesayup-sayup mata memandang, ke utara maupun ke barat, yang nampak adalah kepala dan
punggung buaya yang mengapung, diam tak bergerak sedikit pun!
Han Doi dan Duc Thio ternganga dan menggigil melihat pemandangan yang amat dahsyat itu. Thi Binh
memeluk paha Si Bungsu erat-erat dan menahan gigilannya di sana. Si Bungsu menghentikan rakit hanya
sedepa dari buaya terdekat, yang besarnya lebih besar dari pohon kelapa. Mereka berhenti dalam kebisuan
yang amat mencekam. "Jangan bersuara, jangan bergerak?" bisik Si Bungsu sambil mulai menarik galahnya.
Dengan sangat hati-hati dia memasukkan galah itu ke air, lalu perlahan menancapkan ke dasar rawa,
dan perlahan pula dia menekan ke arah belakang. Rakit itu meluncur amat perlahan. Si Bungsu berusaha agar
tak berbuat khilaf, yang bisa membuat arah meluncurnya rakit melenceng mendekati salah seekor buaya yang
mengapung diam itu. Satu saja dari buaya-buaya itu beraksi, maka dunia mereka akan kiamat. Dua hal yang dia jaga, pertama
agar rakit itu tak menyentuh salah seekor buaya, kedua bagaimana rakit itu tetap bergerak dari pohon ke
pohon. Maksudnya tak lain jika terjadi apa-apa, maka mereka bisa meloncat ke pohon tersebut.
Memilih alur seperti itu sungguh sulit. Jangankan Duc Thio, Han Doi dan Thi Binh, tubuh Si Bungsu saja
dibasahi keringat dingin. Mereka dicekam rasa tegang dan takut yang luar biasa. Thi Binh yang duduk di rakit,
di dekat Si Bungsu tegak, memeluk dan mencengkram paha Si Bungsu dengan erat. Dia sampai tak berani
membuka mata, saking takutnya.
Rakit bergerak amat perlahan. Si Bungsu mencari celah di antara barisan buaya yang berlapis-lapis itu.
Jarak antara buaya yang satu dengan yang di bahagian belakang ada sekitar empat atau lima depa. Sementara
jarak baris pertama dengan baris kedua dan baris kedua dengan baris ke tiga ada sekitar dua atau tiga meter,
begitu seterusnya. Dalam Neraka Vietnam -bagian-591
Di sela-sela celah itulah Si Bungsu meluncurkan rakitnya dengan amat perlahan. Melewati baris pertama
ke baris kedua, yang memakan waktu antara satu sampai dua menit, bagi mereka terasa seperti bertahuntahun. Ada sepuluh jajaran yang harus mereka lewati. Tatkala sudah melewati baris ke tujuh, tiba-tiba buaya
di baris ke sembilan menghantamkan ekornya. Air muncrat ke udara. Buaya-buaya di sekitarnya pada
mengangakan mulut. Si Bungsu menghentikan rakit dan mereka semua seperti merasa sudah berada di dalam mulut buaya.
Buaya di baris ke sembilan itu melibaskan ekornya karena merasa terganggu oleh seekor bangau yang hinggap
di punggungnya. Ada enam ekor buaya yang mengangkat mulutnya lebar-lebar. Semula kepala dengan
moncong menganga lebar itu bergerak ke kiri dan kekanan, seperti parabola televisi.
Kemudian, masih dalam posisi menganga lebar, semua kepala itu kembali menghadap ke depan. Berada
dalam posisi seperti itu dengan tubuh diam tak bergerak-gerak. Mereka berempat masih terdiam seperti
membeku di atas rakit. Detik demi detik merangkak seperti bertahun-tahun. Buaya di bahagian kiri, kanan dan
belakang rakit tetap mengapung diam. Ada satu dua menit rakit mereka tak bergerak. Si Bungsu menahan gerak
rakit itu dengan bertahan dan memegang kuat-kuat galah yang dia pancangkan ke dasar rawa. "Kita akan
bergerak maju. Tetaplah waspada?" bisik Si Bungsu sambil menekan galah arah ke belakang. Rakit itu bergerak
perlahan ke depan. "Perhatikan dahan terdekat, bila terjadi sesuatu melompatlah ke sana?" kembali Si Bungsu
berbisik. Diangkatnya galah, kemudian ditancapkannya perlahan ke bahagian depan. Lalu ditekannya, dan kini
rakit mereka bergerak hanya sedepa dari dua ekor buaya yang mulutnya masih menganga lebar.
Ketika sedang melewati buaya pertama, tiba-tiba buaya di baris paling akhir memutar badan ke arah
mereka. Si Bungsu terkesiap. Duc Thio dan Han Doi mengangkat bedil. "Jangan menembak?" ujar Si Bungsu
yang berdiri di bahagian depan rakit. Dia mencari akal bagaimana bisa melewati rintangan terakhir ini dengan
selamat. Celakanya, buaya terakhir ini lebih besar dari buaya-buaya yang sudah mereka lewati sebelumnya.
Thi Binh yang mencoba membuka mata karena mendengar ucapan Si Bungsu "jangan menembak" barusan,
hampir saja terpekik melihat mulut buaya yang menganga sedepa di depan rakit yang berhenti.
Padahal, di belakang mereka buaya lain juga masih menganga mulutnya menghadap lurus ke depan. Si
Bungsu membelokkan rakitnya perlahan ke kanan. Celaka! Buaya itu juga mengarahkan mulutnya yang terbuka
lebar itu ke arah rakit mereka. Nampaknya buaya ini memang mengintai mereka. "Di belakang"!" ujar Duc Thio
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 618
yang sudut matanya menangkap ada gerakan di belakang rakit mereka. Si Bungsu menoleh. Dan dengan
terkejut melihat buaya yang menganga yang baru saja mereka lewati tadi kini juga memutar kepala ke arah
mereka. "Di kanan?" ujar Duc Thio.
Si Bungsu dan Han Doi menoleh ke kanan mereka. Dan mereka melihat buaya yang di kanan mereka
yang tadi hanya mengapung diam, kini bergerak mendekati rakit. "Tembak mulut buaya yang di depan!"
perintah Si Bungsu sambil mencabut galah. Hanya sedetik kemudian rentetan peluru terdengar memecah
kesunyian. Semburan belasan timah panas menghajar mulut buaya besar yang di depan mereka.
Menghancurkan kepalanya. Akibat tembakan itu sungguh luar biasa. Hampir semua buaya yang mengapung
diam itu tiba-tiba bergerak.
Buaya yang kena tembak itu menggelepar dan menghempas di dalam air. Mengejutkan buaya di kiri
kanannya. Dan saat itulah Si Bungsu bertindak cepat dengan galahnya. Dia menancapkan galah, kemudian
meluncurkan rakit di antara dua buaya yang sedang bergerak mendekati mereka. Duc Thio dan Han Doi
menghantamkan popor bedil mereka masing-masing ke kiri dan ke kanan rakit, ke kepala buaya yang sudah
sangat dekat ke rakit. Buaya yang kena hantam kepalanya itu menggelepar. Seekor buaya yang berada di
bahagian kiri rakit kelihatan menyelam.
Si Bungsu tahu maksudnya. Buaya itu akan membalikkan rakit mereka dari bawah. Dia melihat buaya
yang lain juga sedang memutar kepala ke arah mereka. Mereka benar-benar sudah berada di pintu neraka.
Sebelum hal itu benar-benar terjadi, Si Bungsu menghentakkan galah dengan cepat dan dengan cepat pula
menekan galah itu sambil melangkah ke belakang, agar rakit itu bisa bergerak dengan cepat.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dia lupa, saat bergerak melangkah ke belakang sambil menekan galah itu Thi Binh masih
memeluk pahanya. Akibatnya sungguh mengejutkan. Pelukan tangan gadis itu di pahanya terlepas. Sementara
akibat gerakan Si Bungsu yang cepat, membuat Thi Binh terseret dan" jatuh ke air. Kendati sebelah tangannya
masih sempat menyambar kaki kanan Si Bungsu, yang dia sambar dalam keadaan kalut, namun seluruh
tubuhnya sudah berada dalam rawa.
Celakanya, saat itu pula seekor buaya yang lain berada hanya sehasta dari tubuhnya yang berada di
dalam air. Mulut buaya itu segera menganga dan dengan cepat meluncur ke arah Thi Binh. Gadis itu memekikmekik dan berusaha dengan panik mengangkat dirinya kembali ke rakit. Saat itu pula mulut buaya itu
menyambar betisnya yang menggapai gapai di air. Namun sebelum celaka menimpa Thi Binh, Si Bungsu segera
menghantam ujung galah ke mulut buaya yang mengaga itu. Galah bambunya menghentak pangkal
kerongkongan reptil besar itu, kemudian mendorongnya kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya
menyambar tubuh Thi Binh.
Gadis itu tak berhasil dia sambar tangannya. Yang tersambar hanya bajunya. Namun itu usaha terakhir
Si Bungsu untuk menyelamatkan nyawa Thi Binh yang sudah berada di ujung tanduk. Sekali betis atau kaki
gadis itu kena sambar buaya, tubuh gadis itu pasti disentakkan dan di bawa jauh ke dalam air. Dan maut jelas
menantinya. Dengan sekuat tenaga pakaian di bahagian punggung Thi Binh yang berhasil dia sambar itu di sentaknya
kuat-kuat. Pakaian gadis itu robek di bahagian punggungnya. Namun sentakan itu menyebabkan tubuh Thi
Binh terangkat dari air, dan mereka berdua jatuh bergulingan di rakit.
Untunglah rakit itu sedang meluncur cepat ke pinggir rawa, akibat dorongan Si Bungsu pada
tenggorokan buaya yang akan menyambar Thi Binh tadi.
Duc Thio menyemburkan peluru di bedilnya ke arah tiga buaya lain yang datang memburu. Demikian
pula puluhan buaya yang lain pada meluncur ke arah rakit tersebut. Rakit itu tiba-tiba tersampang di akar
pohon di pinggir rawa. Dua ekor buaya sudah mendekat. Duc Thio dan Han Doi kembali menembak. "Meloncat
ke darat"!!" ujar Si Bungsu sambil membawa tubuh Thi Binh berdiri.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-592
Han Doi dan Duc Thio segera melompat ke akar-akar kayu besar di tepi rawa. Hanya beberapa detik
kemudian Si Bungsu dengan memanggul Thi Binh di bahunya juga melompat. Begitu sampai di daratan. Si
Bungsu meletak kan Thi Binh di tanah "Ayo kita selamatkan rakit?" ujar Si Bungsu sambil bergegas kembali ke
akar-akar kayu yang besar itu.
Duc Thio dan Han Doi faham, kendati mereka bisa selamat dari kejaran tentara Vietnam kelak, mereka
harus tetap memiliki rakit untuk melintasi rawa maut ini. Mereka segera berlari ke arah rawa. Dan menariknya
pada saat yang benar-benar kritis. Sebab begitu rakit itu disentakkan ke atas, libasan ekor salah satu buaya
menghantam tempat itu Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 619
Kalau saja rakit tersebut masih di sana, bisa dipastikan sudah bercerai berai menjadi kepingan tak
berguna. Sementara di rawa sana, suatu kejadian dahsyat sedang berlangsung. Beberapa ekor buaya yang tadi
mati ditembak Duc Thio dan Han Doi jadi rebutan belasan buaya yang hidup. Membuat rawa itu menggelegak
dan berbuih oleh libasan belasan ekor buaya yang saling rebut, bahkan saling bunuh untuk mendapatkan
makanan. Bau darah yang menyebar di dalam air rawa tersebut merangsang mereka menjadi amat buas. Ada
beberapa saat ketiga lelaki tersebut menatap kejadian ke tengah rawa itu dengan tegak mematung. Degan
perasaan ngeri yang luar biasa, membayangkan bagaimana jadinya jika tadi mereka terbalik di rawa itu.
"Mari kita simpan rakit ini?" ujar Si Bungsu perlahan, sambil memutar badan dan melangkah ke darat.
Mereka menyembunyikan rakit tersebut di antara pepohonan yang rindang. Kemudian Si Bungsu membuka
peta, memberi tanda di mana rakit itu diletakkan pada peta tersebut. Mereka lalu menyandang senapan
masing-masing. Kemudian mulai menerobos hutan. Mendaki sebuah perbukitan kecil tak jauh dari rawa
tersebut. Dari puncak bukit batu yang memanjang itu mereka dapat melihat cukup jauh. Di depan sana, terlihat
bukit-bukit batu menjulang tinggi.
"Itu, bukit yang ada pohon kayu berdaun merah itu. Di bawah bukit itu ada belasan wanita lainnya
disekap untuk dijadikan pemuas nafsu. Aku kenal daun-daun merah itu, karena setiap akan pergi ke sungai
kecil untuk mandi, aku selalu menatap ke puncak bukit tersebut?" ujar Thi Binh dengan suara menggigil.
Si Bungsu menatap gadis itu. Kemudian memeluk bahunya dengan lembut. "Akan kuberi engkau
kesempatan untuk membalaskan dendammu, Thi-thi. Percayalah, akan tiba saatnya engkau membalaskan
dendammu?" ujar Si Bungsu perlahan.
Dia tak mengatakan, bahwa dia tahu, jalan ke bukit merah itu takkan mudah. Paling tidak jarak dari bukit
rendah ini ke bukit batu yang ditumbuhi pohon berdaun merah itu harus ditempuh dalam setengah hari.
Namun itu ada baiknya. Mereka bisa sampai di sana ketika malam sudah turun. Si Bungsu memutuskan untuk
beristirahat di puncak bukit itu beberapa saat, sembari memulihkan mental dari cengkeraman rasa takut atas
teror buaya di rawa yang baru mereka tinggalkan.
"Tinggallah di sini sebentar. Saya akan kembali ke pinggir rawa sana, mencari buah-buahan untuk
dimakan?" ujar Si Bungsu. Ternyata Si Bungsu pergi cukup lama. Tidak hanya Thi Binh yang merasa amat
gelisah, Duc Thio dan Han Doi juga merasa cemas. Kegelisahan itu baru sirna tatkala dua jam kemudian Si
Bungsu muncul. "Hai, agak terlambat ya?" ujarnya sambil meletakkan pikulan yang di ujung depan ada pisang,
rambutan dan durian dan di bagian belakang ada anak rusa yang sudah matang.
Thi Binh segera melompat dan menghambur memeluknya sebelum Si Bungsu menurunkan pikulannya.
"Kenapa engkau tinggalkan saya begitu lama?" bisiknya sambil terisak. Si Bungsu menjadi rikuh ditatap Duc
Thio dan Han Doi. Namun dia berusaha menenangkan Thi Binh. "Baik, lain kali saya tak akan
meninggalkanmu?" bisiknya. "Saya temukan anak rusa ini. Sudah saya bakar. Tak cukup kenyang kalau hanya
memakan buah-buahan melulu. Membakar di dekat rawa sana lebih aman, asapnya tak kelihatan?" ujar Si
Bungsu pada Duc Thio dan Han Doi.
Mereka segera melahap panggang anak rusa itu sampai ludes. Panggang daging itu ludes bukan hanya
karena perut mereka lapar, tapi terutama karena rasanya memang lezat sekali. Usai makan daging panggang
itu, mereka masih sempat memakan beberapa buah rambutan. Tapi, kecuali Si Bungsu, tak seorang pun di
antara ketiga orang Vietnam itu yang mampu untuk menambah makan pencuci mulut dengan rambutan,
apalagi durian. Ketiga orang itu sudah pada tersandar, benar-benar kekenyangan. Malah Han Doi dan Duc Thio
sudah mencari tempat berbaring.
Lelah dan kenyang, menyebabkan mereka cepat tertidur. Tidak demikian halnya dengan Thi Binh dan Si
Bungsu. Thi Binh kendati diserang kantuk dan lelah dan kekenyangan, namun dia tak bisa tidur begitu saja,
karena cemas Si Bungsu akan meninggalkan dirinya. Sementara Si Bungsu yang sudah terbiasa dan kebal
diserang lelah sedahsyat apapun, tidak mengantuk bukan karena tak mau tidur.
Melainkan karena dia ingin makan durian yang sudah dua kali dia nikmati kelezatannya itu. Dengan dua
kali menghayunkan parang tajam milik Duc Thio, sebuah durian besar segera terbuka. Isinya kuning seperti
kunyit. Baunya sangat harum, jika tak dia tahan, air liurnya pasti sudah tumpah bergelas-gelas saking ngilernya.
"Hei, mau durian?"" ujarnya pada Thi Binh yang duduk di sisinya. Gadis itu menggeleng. "Saya kenyang
sekali?" ujarnya. "Tidak mengantuk?"" ujar Si Bungsu sambil memasukkan isi durian ke mulutnya. Thi Binh
menggeleng. Si Bungsu tersenyum.
"Kenapa tersenyum?" "Duriannya enak sekali?" "Kau tersenyum bukan karena durian?" ujar Thi Binh.
Si Bungsu mengangguk. "Kenapa tersenyum?" desak Thi Binh.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 620
"Kau sebenarnya mengantuk, tapi hatimu yang keras menyebabkan engkau tak mau tidur?" ujar Si
Bungsu dengan suara yang tak begitu jelas karena mulutnya dipenuhi durian. Thi Binh tak beraksi. Si Bungsu
tersenyum lagi. Thi Binh menjadi jengkel. "Kenapa kau tersenyum lagi?" tanyanya. "Kerena aku senang. Senang
ada yang tak tidur. Jadi aku punya teman.?" Si Bungsu tak sempat menghabiskan ucapannya, dia terpekik,
karena dicubit Thi Binh. "Kenapa kau mencubit?" ujar Si Bungsu sambil memasukkan isi durian ketiga ke mulutnya, yang
besarnya sebesar lengan anak-anak. "Senyummu sebenarnya menertawakan diriku?" ujar Thi Binh, sambil
tangannya tetap mencubit lengan Si Bungsu. Si Bungsu tersenyum.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-593
"Apa yang kau senyumkan?" tanya Thi Binh lagi. "Dirimu?" ujar Si Bungsu jujur. "Mengapa diriku?" "Kau
tak mau tidur karena takut, bukan?" "Takut pada apa?" "Takut aku tinggalkan?" ujar Si Bungsu sambil menelan
durian di mulutnya. Kali ini Thi Binh terdiam. Dia menatap Si Bungsu yang kembali memasukkan isi durian ke
empat ke dalam mulutnya. "Kau tahu aku takut kau tinggalkan?" ujarnya. Si Bungsu mengangguk. "Apakah kau memang akan
meninggalkan diriku?" Si Bungsu menggeleng.
"Tidurlah. Aku takkan meninggalkan dirimu. Percayalah?" ujar Si Bungsu sambil menelan isi durian
yang memenuhi rongga mulutnya. Thi Binh menggeleng. Si Bungsu mengelap tangannya. Kemudian membuang
kulit durian jauh-jauh. Lalu dia membaringkan tubuhnya di bawah pohon rindang di mana kini mereka berada.
"Tidurlah. Kita perlu memulihkan tenaga. Untuk bisa bergerak cepat ke bukit merah itu?" ujar Si Bungsu
sambil menguap. Thi Binh menggeser dirinya ke dekat Si Bungsu. "Saya tidur bersamamu di sini, boleh?"
ujarnya perlahan. Si Bungsu menarik nafas. Betapapun gadis itu masih sangat kanak-kanak, yang tak seharusnya
menerima cobaan yang demikian berat. Menjadi korban perkosaan dan pemuas nafsu puluhan tentara selama
berbulan-bulan. Dia mengangguk sambil mengulurkan tangan ke bahu Thi Binh. Gadis itu merebahkan dirinya
di sebelah tubuh Si Bungsu. Mereka berbaring berhadapan. Saling menatap. Si Bungsu membelai wajah gadis
itu dengan lembut. Menyibakkan anak rambut di dahinya.
Kemudian perlahan mencium keningnya, matanya, pipinya. Kemudian mengecup bibirnya perlahan. Thi
Binh merasakan semua yang dilakukan Si Bungsu dengan sepenuh hati. Merasakan betapa bulu-bulu roma di
tubuhnya berdiri, merasakan betapa bahagianya dia diperlakukan begitu oleh lelaki pertama yang dia cintai.
"Tidurlah?" bisik Si Bungsu sambil memeluk tubuh gadis itu, dan menggeser dirinya, ke dekat tubuh Thi Binh.
Gadis itu memeluk Si Bungsu.
"Kau takkan meninggalkan diriku, dikala aku tertidur bukan?" bisik Thi Binh sambil menatap dalamdalam ke mata Si Bungsu, yang hanya berjarak sejengkal dari wajahnya. Si Bungsu menggeleng. "Saya tak
pernah mungkir janji, Thi-thi. Saya sudah berjanji padamu, tak akan meninggalkan dirimu. Akan membawamu
keluar dengan selamat dari belantara ini ke kota. Insya Allah, Tuhan akan mengabulkan janji saya?" ujar Si
Bungsu perlahan sambil memainkan anak rambut Thi Binh.
"Terimakasih?" ujar Thi Binh, perlahan di antara matanya yang basah. Si Bungsu kembali membelai
rambut dan wajah gadis cantik itu, kemudian mengecup bibirnya dengan lembut. Mereka berdua pun akhirnya
segera tertidur berselimut angin semilir, di bawah pohon rindang di puncak bukit tersebut.
Malam sudah merangkak cukup larut ketika keempat orang itu sampai di kaki bukit berkayu merah,
yang siang tadi mereka lihat dari puncak bukit di mana mereka makan dan tidur. Tatkala sampai di sebuah
tempat ketinggian, tiba-tiba Thi Binh terdengar merintih.
Si Bungsu yang berada di sisinya segera berpaling, khawatir kalau-kalau gadis itu disengat binatang
berbisa atau digigit ular. Thi Binh menggigil dan bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada suara yang keluar
dari mulutnya. Si Bungsu meraba dahi gadis itu. Merasakan kalau-kalau diserang demam.
Suhu badannya normal. Dia meraba nadi di pergelangan tangan Thi Binh. Denyut darah gadis itu
memang terasa sangat kencang. Si Bungsu berjongkok, meraba seluruh kaki Thi Binh yang terbungkus oleh
pantalon tebal. Memeriksa kalau-kalau ada kalajengking yang menyengat atau digigit ular. Namun tak ada
apapun yang dikhawatirkan.
"Ada apa..?" bisik Si Bungsu, sementara Duc Thio dan Han Doi siaga dengan bedil mereka di depan. Thi
Binh menunjuk ke sebuah arah di bawah bukit, bibirnya kembali bergerak seakan-akan ingin bicara. Namun
suaranya seperti tersendat di kerongkongan. Si Bungsu menatap ke arah yang ditunjuk Thi Binh. Dia melihat
kerlip obor di bawah sana. Ada belasan obor dipasang di depan beberapa barak panjang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 621
Di antara cahaya obor itu, samar-samar kelihatan beberapa tentara lalu lalang. Dan tiba-tiba Si Bungsu
menjadi arif, apa yang membuat gadis itu terpekik dan menggigil. "Itu barak di mana engkau dahulu pernah
disekap, Thi-thi?" bisik Si Bungsu.
Gadis itu menangis, kemudian mengangguk, kemudian memeluk Si Bungsu erat-erat. Bayangan betapa
dia melewatkan hari-hari penuh jahanam, di neraka di bawah sana, kembali melintas dalam fikirannya. Itulah
yang membuat dia menjadi terguncang. Si Bungsu menarik nafas. Dia memeluk dan membelai punggung Thi
Binh, sembari menatap pada Duc Thio dan Han Doi yang tegak berlindung di balik-balik kayu, sekitar tiga depa
di depan mereka. Kedua orang itu juga tengah menatap padanya.
"Jika engkau memang benar-benar ingin membalaskan dendammu Thi Binh, engkau harus kuat?" bisik
Si Bungsu. Thi Binh masih terisak beberapa saat. Kemudian dia mengangguk. Kemudian dia menghapus air
mata. Kemudian menatap tepat-tepat pada Si Bungsu. "Aku kuat"!" bisik gadis itu pendek, sambil kembali
mengangkat bedilnya. Si Bungsu menarik nafas. Kemudian memberi isyarat kepada Han Doi dan Duc Thio untuk berkumpul. Si
Bungsu mencari tempat yang dia rasa paling aman, selain untuk tempat mengawasi lembah di bawah sana, juga
untuk mereka berunding. "Tunggu di sini, saya akan memeriksa apakah ada tentara Vietnam menjaga bukit di
mana kita sekarang berada?" bisik Si Bungsu sambil bergerak untuk pergi.
Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Thi Binh pada lengannya. Dia berhenti dan menatap gadis
itu. Gadis itu juga tengah menatap padanya. Si Bungsu segera ingat janjinya, bahwa dia takkan pernah lagi
meninggalkan Thi Binh meski agak sesaat. "Baik, mari kita memeriksa bukit ini?" ujarnya.
Thi Binh tersenyum. Dengan bedil di tangan kanan, dan tangan kiri memegang tangan Si Bungsu, dia
segera mengikuti lelaki Indonesia itu menyelusup belantara gelap tersebut. Sementara Duc Thio dan Han Doi
memperhatikan setiap gerak yang terjadi jauh di bawah sana, di lembah yang dipenuhi barak penghibur dan
tentara Vietnam. Sayup-sayup angin membawa ke telinga mereka suara gelak tentara dan pekik serta tertawa cekikan
wanita. Sebagai bekas tentara dan intelijen, Han Doi memperkirakan paling tidak di bawah sana ada sekitar
tiga puluh sampai lima puluh tentara. Jumlah itu tak seluruhnya. Sebab, menurut penuturan Thi Binh, barak
para wanita penghibur itu terpisah dengan barak tentara.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-594-595
Sementara itu Si Bungsu dan Thi Binh yang sudah memeriksa sekitar bukit itu, berhenti di sisi lain dari
tempat Han Doi dan Duc Thio berada. Dari tempat mereka sekarang dengan jelas terlihat lokasi kedua barak di
bawah sana. Barak pertama terdiri dari lima barang yang panjang masing-masingnya sekitar sepuluh meter.
Itulah barak wanita penghibur yang tadi mereka lihat pertama kali.
Sekitar dua puluh meter dari barak itu kelihatan sebuah bukit, di baliknya terlihat lima barak panjang
masing-masingnya juga sekitar sepuluh meter. Kelima barak di bangun seperti tapal kuda. Ditengahnya ada
lapangan. Dari silhuet api unggun di bawah sana, Si Bungsu tahu paling tidak ada dua mitraliyur 12,7 di
lapangan tersebut. Tentara berkeliaran di depan barak-barak di dua lokasi itu.
Si Bungsu memperkirakan paling tidak di bawah sana ada sekompi tentara Vietkong. Itu berarti ada
sekitar 100 orang tentara Vietkong di sana. Ada lima sampai enam bukit batu yang tegak menjulang, termasuk
bukit di mana kini mereka berada. Bukit mana yang memiliki goa, yang di jadikan tempat menyekap tawanan
Amerika" Dia mencowel Thi Binh. Gadis itu duduk di sebuah batu besar pipih.
"Dengar Thi-thi. Agak sulit memilih mana yang di dahulukan, antara pembalasan dendammu dengan
tugas saya membebaskan perawat Amerika itu. Jumlah kita yang berempat di banding dengan seratus tentara
di bawah sana, sangat tidak sebanding. Jika pembebasan tawanan dan pembalasan dendammu dilakukan
serentak, itu berarti kekuatan kita harus di pecah. Yang membebaskan tawanan itu dua orang, yang ikut
membalaskan dendammu dua orang. Kalaupun kita bergabung berempat, kita masih belum tentu bisa berbuat
banyak melawan mereka, apalagi harus di bagi dua?" ujar Si Bungsu. Di tatapnya gadis itu. Thi Binh menunduk.
Dia merasakan apa yang di ucapkan Si Bungsu benar adanya. Dia menatap lelaki dari Indonesia itu.
"Jika saya memilih, antara membalaskan dendam dengan berada disisimu, maka saya akan memilih di
sisimu kendati saya tak pernah bisa membalas dendam pada tentara yang sudah menodai diri saya?" ujarnya
sambil menunduk. Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia peluk gadis itu erat-erat. "Terimakasih Thi-thi.
Terimakasih. Percayalah, saya akan berusaha agar engkau bisa membalaskan noda yang telah kau alami.
Beberapa di antara tentara Vietkong itu harus menerima pembalasan darimu. Percayalah, saya akan usahakan
itu?" ujar Si Bungsu perlahan. Dia kemudian mengajak gadis itu kembali bergabung ketempat dimana Duc Thio
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 622
dan Han Doi berada. Saat mereka berempat sudah berkumpul. Si Bungsu menyalakan senter yang ada pada Duc
Thio. Cahaya senter itu di hadapkan ketanah, dan sekelilingnya di tutup agar cahaya tak kelihatan dari jauh.
Si Bungsu kemudian mengatur siasat. Dia menyatakan amat mengandalkan Han Doi, yang pernah
menjadi tentara aktif dan intelijen. "Senjata yang kita miliki sekarang tidak memadai untuk beraksi. Coba hitung
berapa peluru yang ada di bedil masing-masing?" ujar Si Bungsu sambil mengeluarkan magazin senapannya.
Ketika orang Vietnam yang lainnya itu pun berbuat hal yang sama. Thi Binh di bantu oleh ayahnya
mengeluarkan magazin dan menghitung peluru.
"Saya masih memiliki 14 peluru?" ujar Si Bungsu setelah menghitung sisa peluru di magazin bedilnya.
"Saya hanya tinggal lima?" ujar Han Doi. "Di bedil saya tiga peluru. Dan di bedil Thi Binh dua puluh lima?" ujar
duc Thio. "Baik, sekarang kita bagi sama banyak.." ujar Si Bungsu. Mereka kemudian meletakkan semua peluru
itu diatas batu pipih yang mereka duduki. Kemudian, Si Bungsu membagi rata ke 52 peluru tersebut. Tiap orang
memperoleh 13 butir peluru. Lalu mereka memasukan kembali peluru itu kedalam magazin senjata masingmasing.
"Dengan peluru yang ada sekarang, kita mustahil berperang melawan tentara di bawah sana. Untuk itu,
kita harus berusaha mencuri senjata mereka, barangkali salah satu barak persenjataan mereka ada dinamit.
Namun sebanyak apapun persenjataan yang dimiliki, kita tetap saja tak mungkin berperang melawan mereka.
Kita harus menggunakan taktik tembak dan lari?" ujar Si Bungsu sambil menatap ketiga anggota
rombongannya itu. Karena ketiga mereka berdiam diri, Si Bungsu menjelaskan rencana berikutnya.
"Duc Thio dan Thi Binh menunggu disini. Saya dan Han Doi akan menyelusup mendekati barak di bawah
sana, untuk mencari senapan mesin atau dinamit. Kita harus bergerak cepat, sebelum siang turun?" ujarnya.
Kemudian dia menatap Thi Binh. Dan gadis itu juga menatapnya. Dia ingin janjinya, bahwa dia takkan
meninggalkan gadis itu, kendati agak sesaat. Dia sudah berniat mengatakan bahwa dia akan pergi bersama
gadis itu, tatkala Thi Binh dahuluan berkata. "Saya akan tinggal disini bersama ayah. Tapi, berjanjilah bahwa
engkau akan kembali kemari. Saya akan bunuh diri jika engkau tak kembali kemari?" ujarnya. Si Bungsu
menatap gadis itu. Kemudian menatap Duc Thio dan Han Doi. Kedua lelaki itu hanya tercenung. Si Bungsu
kemudian memeluk gadis itu. "Percayalah, saya akan kembali padamu disini?" ujarnya.
Sesaat setelah itu, dia dan Han Doi bergerak menuruni bukit tersebut. Mereka tetap menjaga saat
menyelusup mendekati barak-barak tentara Vietnam itu gerakan mereka tetap terlindung di balik hutan
belukar. Hanya sekita sepuluh menit kemudian, Si Bungsu dan Han Doi sampai di bahagian belakang barak
yang membelakangi bukit. Mereka berada di sisi utara, sekitar sepuluh meter dari barak terdekat. Bersembunyi
di balik bebatuan, persis di bawah bukit. "Han, kita cari barak persenjataan. Kau periksa dua barak yang dikiri,
saya dua barak yang di kanan. Setelah itu kita bertemu lagi disini?" bisik Si Bungsu.
Han Doi mengangguk. Setelah memperhatikan situasi, dengan berlindung di dalam kegelapan yang
kental, mereka berdua kemudian bergerak mendekati barak yang jadi tujuan masing-masing. Jauh di atas bukit,
Thi Binh tengah nanap memandang ke bawah sana. Dia berharap bisa melihat Si Bungsu dan Han Doi
sepupunya. Namun jelas saja dia tidak bisa melihat mereka, selain belasan tentara yang hilir mudik, atau yang
sedang duduk di sekitar api unggun yang menyala sepanjang malam.
"Engkau benar-benar mencintainya?" tiba-tiba Thi Binh di kejutkan oleh pertanyaan ayahnya. Kemudian
perlahan pula dia mengangguk. Duc Thio menarik nafas panjang. "Ayah keberatan?" katanya setelah ayahnya
tak memberikan komentar apapun tentang angguknya barusan. Duc Thio Menggeleng. "Dia adalah lelaki yang
tidak saja hebat, tetapi amat berbudi?" Thi Binh ucapan ayahnya belum selesai. Dia menanti. "Dia seorang
pengembara.." ujar ayahnya perlahan. Thi Binh masih menanti kelanjutan ucapan ayahnya . "Kemaren dia di
Amerika, sebelumnya di Jepang, kini bersama kita disini?" Thi Binh masih menatap pada ayahnya dengan diam.
Lama tak ada yang bersuara diantara mereka.
"Kita tak tahu, kemana dia akan pergi setelah ini Thi-thi?" Thi Binh menjadi arif kemana tujuan ucapan
ayahnya. "Saya akan ikut kemana dia pergi"!" ujarnya perlahan. Tak ada komentar dari ayahnya. "Ayah
mengizinkan kalau saya ikut dengannya?"" Tak ada jawaban dari ayahnya. Thi Binh masih menanti. "Ayah ikut
bahagia, kalau engkau bahagia menikah dengannya. Thi Binh" tapi apakah itu mungkin?""
Duc Thio benar-benar tak mau mematahkan semangat anaknya. Dia amat tak keberatan kalau anaknya
yang berusia muda belia itu, mencintai Si Bungsu. Kepahitan hidup membuat anaknya itu, dan ribuan anakanak dalam kecamuk perang lainnya, menjadi jauh lebih dari dewasa dari usia mereka sebenarnya. Dia sungguh
berbahagia kalau anaknya benar-benar bisa menikah dengan lelaki dari Indonesia itu. Dia hanya ingin anaknya
menyadari, untuk mencintai lelaki seperti Si Bungsu bukanlah hal yang sulit, namun untuk hidup dengan lelaki
pengembara seperti dia, merupakan hal yang sangat pelik dan nyaris mustahil.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 623
Duc Thio ingin anaknya memahami hal itu dengan baik. Agar kelak ketika dia memang menemukan apa
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dikhawatirkan itu, dia bisa memahami dan siap mental. Thi Binh sendiri memahami apa yang ada di
fikiran ayahnya. "Ayah tak keberatan saya mencintainya?" Duc Thio menggeleng. "Ayah mengizinkan kalau
suatu saat saya menikah dengannya?" Duc Thio kembali mengangguk. Thi Binh memeluk ayahnya. Matanya
basah. "Terima kasih ayah. Saya mencintai dia. Saya tak tahu kenapa saya bisa mencintainya. Kendati saya
hanya melihat dia dalam mimpi. Terimakasih ayah mengizinkan saya mencintainya. Tentang menikah, biarlah
Tuhan yang menentukan kelak?" ujarnya perlahan.
Duc Thio membelai kepala anak gadisnya. Matanya juga basah. Dia amat bersyukur karena Si Bungsu
demikian cepat dapat memulihkan tidak hanya kondisi fisik anaknya, tetapi juga kondisi jiwanya. Dia semula
amat khawatir trauma atas perkosaan panjang yang dialami anaknya di barak-barak tentara Vietkong itu akan
menghancurkan hidup anaknya sepanjang hayat. Kini ke khawatiran itu telah lenyap sudah.
Jauh di bawah sana, Si Bungsu dan Han Doi sudah berkumpul di balik batu-batu besar di kaki bukit
tempat mereka mengatur penyelusupan. "Dua barak yang saya periksa hanya tempat tentara tidur?" ujar Si
Bungsu sambil bersandar di batu besar di belakangnya. "Saya menemukannya. Di barak yang di tengah sana
adalah tempat penyimpanan senjata, amunisi dan dinamit?" ujar Han Doi. Si Bungsu menjulurkan kepala di
sela batu, memperhatikan barak yang dilihat Han Doi tempat penyimpanan amunisi dan bahan peledak
tersebut. Barak itu memang lebih kecil sedikit di banding barak yang lain. Letak barak itu di tengah, di depannya
terlihat beberapa tentara duduk mengelilingi api unggun, sambil menengak minuman keras. "Ada penjagaan di
bahagian depan ?"" tanya Si Bungsu. "Tidak. Nampaknya mereka sangat yakin tempat ini takkan pernah di
jejak orang lain. Tak satupun barak yang di jaga, termasuk barak amunisi itu?"ujar Han Doi.
"Baik. Waktu kita sangat pendek. Semakin cepat kita meninggalkan tempat ini semakin baik, sebelum di
ketahui dan diburu. Untuk itu, pertama kita harus mengambil peluru seperlunya, dan beberapa dinamit dan
usahakan mereka tak curiga jika memeriksa kotak penyimpanan peluru dan dinamit. Dan kemudian kita akan
mencari dimana tawanan Amerika itu disekap. Kini kita harus bergeser ke arah barak senjata itu?" ujar Si
Bungsu. Lalu mereka memperhatikan situasi. Kemudian keduanya mulai bergerak membungkuk. Menyelinap
diantara pepohonan dan batu-batu besar kearah belakang barak amunisi tersebut. Di belakang barak itu,
sekitar berjarak lima belas meter, mereka bersembunyi beberapa saat. Memang tak ada penjagaan dan malam
begitu kental gelapnya. Namun mereka tetap harus ekstra hati-hati. Ketika keadaan dirasa aman, Si Bungsu memberi isyarat. Mereka merayap kebahagian belakang barak yang
ternyata tak memiliki jendela. Si Bungsu memberi kode agar han Doi ke bahagian pinggir kanan barak.
Mengawasi kalau-kalau ada yang datang sementara dia berusaha mencongkel agak dua keping papan dinding,
sebagai jalan masuk. Han Doi merayap menyelusuri dinding. Mengintip ke bahagian depan barak. Dia melihat
tiga tentara Vietnam yang duduk di bahagian kanan api unggun. Mereka sedang bicara dan tertawa kecil. Dua
tentara lainnya telah tertidur. Hanya itu yang dapat di lihatnya dari tempatnya.
Beberapa orang yang duduk di dekat api unggun, di sebelah kiri tak terlihat olehnya. Pandangannya
terhalang oleh dinding barak itu. Dia memberi isyarat. Si Bungsu segera beraksi. Dengan samurai kecilnya dia
mencungkil papan dinding. Namun ternyata tak mudah. Ada beberapa kali dia berusaha, barulah bisa satu
papan di congkelnya. Lobang dari sehelai papan itu masih belum bisa untuk meloloskan diri kedalam. Dia
berusaha menanggalkan sekeping lagi. Namun saat itu dia mendengar isyarat dari Han Doi. "Ada yang
mendekat kemari?" bisik han Doi.
Si Bungsu duduk di tanah dan bersandar kedinding, bersiaga dengan bedilnya. Kemudian menanti
dengan perasaan tegang. Han Doi menarik kepalanya sedikit. Mengintai seorang tentara Vietnam yang tegak
dari api unggun, dan berjalan sempoyongan ke arahnya. Han Doi meletakkan bedil. Kemudian mencabut pisau
dari punggungnya. Dia rasa lebih aman membunuh tentara yang satu ini dengan pisau di banding bedilnya.
Mereka bisa membunuhya diam-diam, dan bergerak cepat meninggalkan tempat ini. Jika dengan tembakan
pasti akan membangunkan semua tentara dan memburu mereka.
Tapi tentara Vietnam yang bangun sempoyongan itu hanya mau kencing, sekitar lima depa dari sudut
barak tempat Han Doi menanti, dia berhenti. Di dekat dia tegak ada tiga buah tong. Dia membuka celananya,
kemudian sambil menggumamkan sebuah senandung, dia pun kencing. Kemudian melangkah kembali ke arah
api unggun. Karena mabuk dia lupa mengancingkan buah celananya yang tadi dia buka saat kencing, Han doi
memberi isyarat kalau keadaan sudah aman. Si Bungsu kembali berusaha mencongkel papan dinding barak itu.
Tak lama usahanya itu berhasil. Dia memberi isyarat agar han Doi tetap mengawasi dua sisi rumah itu.
Sementara dia akan masuk ke gudang amunisi itu untuk mengambil apa yang di perlukan. Setelah Han Doi
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 624
membalas dengan kode kalau dia mengerti, Si Bungsu segera menyelinap masuk. Barak itu di terangi sebuah
lampu dinding. Meski samar-samar, tapi dia bisa bergerak bebas. Dia mengambil sebuah ransel. Lalu mencari
peti peluru yang sama dengan senapan mereka. Saat dia mengaut peluru dari peti itu dan memasukkannya ke
ransel, dia dengar ketukan halus di dinding belakang. Si Bungsu menghentikan gerakan.
Kembali dia dengar ketukan pendek. Dia segera tahu Han Doi tengah mengetuk dengan memakai sandi
morse. Meski agak samar-samar dia segera tahu, ada dua tentara bergerak ke arah Han Doi. Han Doi berdebar.
Kedua tentara itu ternyata membawa senter. Dia menoleh kearah Si Bungsu masuk. Ternyata papan yang tadi
tempat Si Bungsu masuk, sudah ditutup kembali. Sebagai bekas tentara Vietnam selatan yang cukup kenyang
pertempuran, dan bekas intelijen pula, Han Doi tahu apa yang harus di lakukannya. Dengan cepat dia membuka
baju yang dia pakai. Lalu menghapus jejak mereka tadi di tanah. Dia kembali mengetuk, perlahan beberapa kali
pada dinding. Kemudian dengan cepat menyelinap ke hutan dan bebatuan sekitar sepuluh meter di belakang
barak. Si Bungsu yang mendengar ketukan itu tahu kalau Han Doi bersembunyi di balik bebatuan di belakang
barak. Dia menanti dengan dia di dalam barak itu. Kedua tentara yang tadi berjalan kearah Han Doi itu,
menyenteri arah kanan belakang barak itu. Kemudian kearah belakang barak amunisi. Firasat Han Doi yang
mengatakan kalau kedua tentara itu akan memeriksa ternyata benar. Untung saja Si Bungsu kembali menutup
dinding yang dia congkel tadi. Sehingga dalam jarak tempat tentara itu menyenter tak terlihat sesuatu yang
ganjil di dinding barak itu.
Si Bungsu mendengar langkah kedua tentara Vietkong itu di belakang barak. Dia duduk bertopang dagu
diantara peti-peti senjata itu. Melihat senapan-sanapan mesin dan peluncur proyektil anti tank. Ketika dia
dengar lagi ketukan didinding, kembali dia mengisi ranselnya dengan peluru.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-596
Dia ingin mengambil peluncur proyektil anti tank, atau sebuah senapan mesin ringan. Namun jika itu dia
lakukan, tentara Vietnam akan segera mengetahuinya. Mereka akan siaga, melakukan penyisiran di seluruh
hutan dan bukit, dan bisa saja mereka segera memindahkan tawanan. Dia tak ingin hal itu terjadi. Jika yang
diambil hanya sebuah ransel, peluru dan beberapa batang dinamit, kehadiran mereka takkan segera diketahui.
Sebab ada puluhan ransel, berpeti-peti peluru dan dinamit. Tak mungkin mereka menghitung peluru
butir demi butir dan dinamit batang demi batang. Beda halnya jika yang diambil senapan mesin atau peluncur
proyektil anti tank. Jumlahnya yang tak seberapa menyebabkan kekurangan sebuah saja akan segera diketahui.
Setelah merasa cukup, dia melangkah dengan hati-hati ke bahagian belakang barak.
Sebelum membuka dua keping papan yang tadi dia tutupkan, dia mengetuk dinding dengan halus. Dia
mendengar ketukan yang menyatakan aman dari luar. Ditanggalkannya kedua keping papan itu kembali,
kemudian merayap keluar. Di luar kembali dia memasang kedua papan itu, serta memakunya dengan cara
khusus, sehingga jika tak diperhatikan dengan seksama, orang takkan tahu bahwa papan itu pernah dibuka
secara paksa, dan peluru dan dinamit dari dalam barak tersebut telah dicuri. Dia memberi isyarat pada Han Doi
yang berjaga-jaga di sudut barak tersebut. Kemudian mereka bergerak mundur, sambil menghapus jejak yang
ditinggalkan di belakang barak amunisi itu. Di sebalik batu besar dimana mereka tadi mengatur siasat, mereka
berhenti sebentar. "Masih ada sisa waktu, untuk kita mencari goa yang dikatakan Thi Binh sebagai tempat menyekap
tawanan Amerika itu?" bisik Si Bungsu. "Barangkali kita tak perlu susah-susah mencari?" bisik Han Doi, yang
masih tegak dan menatap ke arah barak. Si Bungsu menatap temannya itu. Dia tak faham apa yang dimaksud
Han Doi. Orang Vietnam itu memberi isyarat agar Si Bungsu berdiri. Dia menunjuk ke sela antara dua barak
yang baru mereka tinggalkan. Di depan sana, di sela bukit-bukit batu yang tegak menjulang, kelihatan empat
orang sedang berjalan menuju ke barak yang terdapat persis di sebelah barak amunisi yang tadi dimasuki Si
Bungsu. Di bawah pantulan cahaya api unggun dengan jelas kelihatan bahwa dua di antara orang yang sedang
berjalan itu adalah wanita. Dua lagi lelaki. Kedua lelaki itu tak disangsikan lagi adalah tentara Vietnam. Hanya
anehnya, kedua lelaki itu tak membawa bedil. Mereka berempat berjalan seolah-olah baru pulang dari pasar
saja laiknya. Dua orang lagi, kendati memakai celana panjang dan kemeja lengan panjang model tentara, bisa
dipastikan wanita. Itu terlihat dari rambut mereka yang tak mengenakan topi. Dan warna rambut itu yang
memastikan mereka bukan orang Vietnam. Rambut kedua wanita itu pirang.
Wanita Amerika di barak tentara Vietnam! Bisa dipastikan bahwa mereka adalah tawanan. Namun yang
terasa ganjil di hati Si Bungsu dan Han Doi, dalam perjalanan dari sela-sela bukit ke barak, kedua wanita itu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 625
terdengar saling ngobrol dengan kedua tentara Vietnam yang mengiringi mereka. Malah pembicaraan mereka
di sela dengan tertawa renyah si wanita. Kedua wanita berambut pirang dan bicara dalam bahasa Inggeris itu
diantar ke barak yang berada di kiri barak amunisi. Mereka masuk ke dalam, dan kedua tentara yang
mengiringkannya ikut bergabung dengan teman-temannya di sekeliling api unggun. Si Bungsu ternganga
melihat kenyataan itu. Dia menggelengkan kepala, seolah-olah tak bisa mempercayai penglihatannya. Dia tak
tahu apakah salah seorang di antara kedua wanita berambut pirang itu adalah gadis yang bernama Roxy
Rogers, anak tunggal multi milyuner Amerika bernama Alfonso Rogers, yang sedang dia cari untuk dibebaskan
dan dikirim kembali kepada ayahnya di Amerika sana. "Well, bagaimana?" suara Han Doi mengejutkan Si
Bungsu. "Kita harus menyelidiki, apakah di antara kedua wanita tadi ada yang bernama Roxy Rogers?" bisik Si
Bungsu. "Coba saya lihat fotonya sekali lagi?" ujar Han Doi.
Si Bungsu mengambil dompet dari kantong belakang celananya. Mengeluarkan foto berwarna ukuran 4
x 6 cm, yang dibuat secara khusus dengan campuran plastik. Kendati berlipat-lipat atau kena air, foto itu tetap
selamat. Han Doi berjongkok, kemudian menyorot foto itu dengan senter sesaat. Lalu mematikan senternya
dan mengembalikan foto tersebut kepada Si Bungsu. Meski sebenarnya dia sudah dua tiga kali melihat foto itu,
dia harus mengakui bahwa gadis yang bernama Roxy itu adalah seorang gadis cantik dan menggiurkan.
Kecantikan itu pasti akibat kawin campuran. Karena dia lahir dari blasteran, ayahnya yang Amerika turunan
Spanyol dan ibunya yang Amerika asal Irlandia Utara. "Kita mencoba mencari tahu ke barak itu?" tanya Han
Doi. Si Bungsu mengangguk sambil meletakkan ransel berisi peluru dan dinamit di sela batu. Sesaat mereka
memperhatikan keadaan sekeliling, kemudian mulai menyelusup ke arah barak yang dimasuki kedua wanita
berambut pirang dan berbahasa Inggris tadi. Kedua mereka, selain ingin memastikan apakah salah seorang
dari kedua wanita itu adalah Roxy, juga ingin tahu apa yang mereka perbuat di barak tentara pada malam
selarut ini. Begitu sampai di belakang barak, Si Bungsu memberi isyarat aga mereka mengambil tempat di sudut
menyudut barak itu. Si Bungsu di sudut kiri, Han Doi di sudut kanan. Posisi itu menyebabkan mereka bisa
mengawasi bahagian kiri dan kanan barak tersebut, kalau-kalau ada tentara yang bergerak menuju belakang
barak untuk terkencing atau patroli. Si Bungsu segera mencari celah pada dinding, untuk mengintip ke dalam.
Dia menemukan sebuah lobang kecil, dan mendekatkan mata. Namun yang terlihat hanya cahaya suram
lampu dinding dan pandangan selebihnya terhalang oleh sebuah mantel hujan yang digantungkan pada sebuah
paku. Han Doi lebih beruntung. Dia segera menemukan sebuah celah pada papan yang besarnya sekitar dua
jari dan panjangnya sekitar lima sentimeter. Dari tempatnya dia melihat salah seorang wanita berambut pirang
tadi. Dia segera memastikan wanita itu bukan Roxy, sebagaimana fotonya yang barusan diperlihatkan Si
Bungsu. Dia segera pula memastikan bahwa wanita itu memang orang Amerika, atau Inggris. Dia mencoba
mencari tahu di mana wanita yang seorang lagi. Namun barak ini nampaknya khusus untuk para perwira. Itu
dapat dilihat dari tempat yang sedang dia intip. Tempat itu disekat-sekat setinggi dua meter dari lantai,
sehingga membentuk sebuah kamar berukuran 2 x 3 meter.
Wanita itu tegak sesaat di depan pintu kamar. Menatap ke tempat tidur. Dekat tempat tidur berdiri
seorang perwira Vietnam, yang usianya sekitar 30-an tahun, berbadan tinggi dan agak kurus, hanya memakai
handuk sebatas pinggang. Mereka bertatapan. Dan tiba-tiba sama-sama maju, dan berpelukan, lalu berciuman
dengan sama-sama penuh nafsu. Han Doi kaget melihat peristiwa itu. Sepanjang cerita yang dia dengar selama
ini, wanita Amerika yang ditangkap Vietnam selalu saja menjadi korban perkosaan. Artinya, mereka sungguhsungguh melawan ketika tentara menjahili mereka. Mereka terpaksa melayani nafsu setan tentara Vietnam
Utara karena mereka tak mampu melawan. Ada yang dipukuli sampai pingsan, ada yang diikat ada yang diberi
obat bius, sebelum mereka akhirnya diperkosa.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-597
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 626
Namun yang dia lihat kini, sama sekali bertolak belakang, ketika orang di dalam kamar berukuran kecil
itu, dalam posisi masih sama-sama berdiri, saling melucuti pakaian. Saling memeluk, bergumul, mendesah dan
saling meremas dengan rakus. Di sisi lain dari barak itu, di tempat Si Bungsu mengintai ke dalam mula-mula
dia melihat seorang wanita Eropah memasuki sebuah kamar.
Wanita itu kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Dan Si Bungsu baru mengetahui bahwa di tempat
tidur itu sedang berbaring seorang perwira Vietnam. Usia perwira itu barangkali sekitar 45 tahun. Nampaknya
dia sedang memegang botol minuman keras. Begitu wanita Eropah tersebut duduk, si perwira memberikan
botol minuman itu padanya. Si wanita menerima botol pipih kecil tersebut.
Kemudian menenggak minuman itu, beberapa teguk. Di bawah sinar lampu dinding, wajahnya segera
terlihat bersemu merah usai menenggak beberapa teguk minuman keras tersebut. Sambil menatap nanap pada
si perwira, wanita itu kemudian duduk berlutut di pembaringan. Perlahan dia membuka pakaiannya satu
persatu, sampai lembar terakhir. Si Bungsu meninggalkan celah tempat mengintip tersebut, setelah
memastikan bahwa wanita itu bukan Roxy, anak milyuner Amerika yang sedang dia cari.
Han Doi menoleh ketika mendengar isyarat dari arah kirinya. Dia melihat siluet sosok Si Bungsu. Lelaki
Indonesia itu kembali memberi isyarat agar mereka segera meninggalkan barak tersebut. Mereka kemudian
menuju ke arah belukar berbatu-batu besar di mana tadi mereka mening galkan ransel.
"Apakah wanita yang engkau lihat itu Roxy?" tanya Si Bungsu, begitu mereka sampai ke bebatuan besar
tempat mereka bersembunyi tadi. "Tidak?" jawab Han Doi. "Kalau begitu dia masih disekap di goa yang
diceritakan Thi Binh?" ujar Si Bungsu sambil mengangkat ransel. "Kita berangkat?" ujar Si Bungsu. "Akan
kemana kita?" "Kita cari goa tersebut?" "Tapi, jalan ke arah goa itu dipenuhi ranjau?" "Kita tunggu di bawah
bukit sana?" ujar Si Bungsu menunjuk ke arah bukit dari mana kedua wanita itu tadi muncul. "Kedua wanita
itu akan kembali di antar ke goa tempat penyekapan mereka, setelah mereka selesai memuaskan tentara di
barak tadi. Kita tunggu mereka, dan kita jadikan sebagai penunjuk jalan?" tutur Si Bungsu.
Mereka kemudian mengawasi barak yang terletak sekitar seratus meter di depan tempat mereka berada
sekarang. Han Doi memang sangat mengantuk. Sangat sekali. Dia meraba-raba ketika menemukan tempat yang
agak datar di dekat sebuah batu besar, dia segera melonjorkan kaki dan menyandarkan diri. Tak lama
kemudian dia tertidur. Mendengar dengkur halus Han Doi Si Bungsu mendekati kawannya itu. Dia meraba urat di dekat leher
bekas tentara Vietnam tersebut. Menjentiknya perlahan. Dengkurnya hilang, dan akibat jentikan di urat pada
tengkuknya itu, Han Doi kini tak hanya tertidur pulas, tapi sekaligus berada dalam keadaan tak sadar secara
penuh. "Maaf kawan. Saya rasa engkau istirahat di sini dulu. Saya akan pergi sendiri, nanti kau kubangunkan
lagi?" guman Si Bungsu perlahan sambil meletakkan bedil dan ransel berisi peluru dan dinamit yang dia
sandang di dekat tubuh Han Doi.
Si Bungsu memperhatikan bukit di dekat mereka berada. Dia tak yakin bukit ini tempat menyekap
tentara Amerika. Dia kemudian menelusuri kaki bukit arah ke barat. Di balik bukit itu dia melihat ada bukit lain
yang amat terjal sekitar seratus meter dari tempatnya berada. Dia memejamkan mata, memusatkan
konsentrasi. Sayup-sayup dia mendengar suara beberapa orang bicara dari arah kaki bukit di depannya.
Si Bungsu segera bergerak cepat, menerobos belukar, menyeberangi sebuah anak sungai dangkal dan
masuk ke belukar berikutnya di seberang sungai kecil tersebut. Sekitar sepuluh menit mengendap-ngendap
dari pohon ke pohon, dari balik batu yang satu ke batu yang lain, akhirnya dia menemukan tempat asal suara
yang tadi dia dengar. Ada api unggun kecil di balik dua batu besar, tak jauh dari sebuah bukit yang menjulang
terjal. Di sekitar api unggun itu hanya ada dua tentara sedang bersandar ke batu, dengan bedil di tangan,
sedang ngobrol perlahan. Si Bungsu memperhatikan dengan seksama tempat kedua orang itu berbaring. Dia
harus berusaha agar sekitar seratusan tentara Vietnam di tempat penyekapan tawanan Amerika ini tak
mengetahui kehadirannya, sebelum dia berhasil membebaskan Roxy. Tugas pertamanya sekarang tentu saja harus mencari di mana goa tempat penyekapan itu. Pasti di bukit yang
dijaga ini, tapi di mana"
Dia menatap bukit tersebut. Kegelapan malam yang kental menyebabkan dia hanya melihat sosok bukit
cadas tinggi menjulang. Tak melihat pepohonan apalagi goa di tebing bukit batu terjal tersebut. Saat dia kembali
memperhatikan kedua tentara di dekat api unggun itu, terdengar suara tawa renyah mendekat.
Kedua tentara di dekat api unggun itu berdiri. Hanya beberapa saat kemudian, kedua wanita Eropah
yang tadi datang menjadi pemuas nafsu perwira di salah satu barak, yang diintip sesaat oleh Si Bungsu dan Han
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 627
Doi, kelihatan muncul. Sebagaimana saat Si Bungsu melihat kedua wanita itu ketika muncul dari daerah
perbukitan ke areal terbuka di depan barak, yaitu diiringi dua tentara Vietnam, kini juga begitu. Kedua wanita
itu muncul di dekat api unggun juga dengan dua tentara yang tadi mengantar mereka ke barak tersebut. Si
Bungsu melihat hal yang hampir membuat dia muntah didekat api unggun yang hanya sekitar sepuluh depa
dari tempat dia bersembunyi.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-598
Begitu kedua wanita itu muncul dekat perapian, begitu kedua tentara yang menunggu itu tegak. Seperti
sudah ada kesepakatan sebelumnya, kedua wanita itu segera saja menyerahkan diri mereka ke dalam pelukan
kedua tentara yang menanti. Dan mereka merebahkan diri dan bergumul di dekat api unggun, sementara dua
tentara yang tadi mengantar kedua wanita itu duduk menatap perbuatan kedua temannya. Hanya dalam waktu
sekejap, pakaian keempat manusia yang bergumul itu sudah tercampak kemana-mana. Si Bungsu
menyandarkan diri, membelakangi keempat manusia yang sudah tak lagi mengenal batas-batas adab itu.
Cukup lama dia duduk bersandar, ketika dia dengar suara cekikikan, dan menoleh ke arah api unggun.
Nauzubillah, dia lihat dua tentara yang tadi hanya menonton, kini mendapat giliran. Jika mau, ini adalah
kesempatan yang amat baik bagi Si Bungsu untuk menghabisi ke empat tentara tersebut. Namun dia harus
berfikiran taktis. Tugas utamanya bukan untuk membunuhi tentara Vietnam, melainkan untuk membebaskan
Roxy. Akan jauh lebih baik andainya dia bisa membawa wanita itu tanpa harus berperang. Karenanya, dia
terpaksa menanti ke empat tentara Vietnam di dekat api unggun itu menyelesaikan permainan setan mereka
bersama kedua wanita tersebut. Sialnya, permainan itu tak segera bisa mereka akhiri. Usai tentara yang dua,
yang dua pertama terjun lagi. Usai mereka, yang mengantar wanita itu menggantikan. Laknatnya, kedua wanita
itu kelihatan melayani mereka dengan suka cita.
Si Bungsu menyumpah panjang pendek. Ketika perbuatan yang beronde-ronde itu usai. Kedua wanita
tersebut ternyata tak segera kembali ke goa dimana mereka disekap. Mereka terkapar di dekat api unggun,
dalam keadaan tak berkain secabik pun, di antara ke empat tubuh tentara Vietnam. Setelah terdengar lolong
panjang anjing hutan, salah seorang dari tentara itu bangkit. Memakai celana dan baju, kemudian
membangunkan kawannya, lalu membangunkan pula kedua wanita tersebut.
Orang-orang yang dibangunkan itu segera memakai pakaiannya masing-masing. Lalu mereka mulai
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergerak arah ke bukit terjal tak jauh dari tempat mereka berada. Si Bungsu menyelinap dengan cepat di dalam
belantara tersebut, menyusul langkah ke empat orang yang menuju ke bukit itu. Ketika hampir sampai ke kaki
bukit batu terjal itu, inderanya yang amat tajam mengisyaratkan bahaya yang mengancam.
Dia yakin pada cerita Thi-thi bahwa jalan ke tempat penyekapan tentara Amerika ini dipenuhi ranjau.
Keempat orang yang dibuntutinya itu lenyap ke balik dua batu besar di kaki bukit. Dalam waktu singkat dia
tiba di sana, dan masih sempat melihat cahaya senter dari salah seorang tentara Vietnam yang akan masuk ke
sebuah goa. Goa itu benar-benar tersembunyi di balik pepohonan dan ada batu besar di depannya.
Jika tidak pernah menempuh jalan tersebut, kendati berdiri semeter di depannya, orang pasti takkan
tahu bahwa itu adalah mulut sebuah goa. Si Bungsu menyelinap masuk, dan tetap menjaga jarak dengan ke
empat orang itu agar kehadirannya tak diketahui. Goa itu ternyata memiliki terowongan bercabang-cabang. Si
Bungsu menggeleng. Kendati sudah berada di dalam, sungguh tak mudah bagi orang untuk mencari mana jalan
yang harus ditempuh di antara sekian cabang terowongan itu.
Bahagian dasar terowongan utama yang sedang dia lewati sekarang adalah lantai goa yang tidak rata.
Selain batu-batu besar bersumburan, terowongan ini juga memiliki celah-celah yang dalam. Jika tak hati-hati
orang bisa terperosok. Setelah melewati empat cabang terowongan, ke empat orang di depan sana dia lihat
masuk ke terowongan sebelah kanan. Ketika dia sampai ke terowongan itu, dia hampir kehilangan jejak. Hanya
lima meter ke dalam terowongan itu ternyata bercabang tiga.
Ada yang lurus, ada yang ke kiri dan ada yang ke kanan. Hanya dengan mengandalkan pendengarannya
yang tajam dia bisa mengetahui bahwa keempat orang itu menempuh jalan yang ke kiri. Terowongan itu
ternyata merupakan sebuah anak tangga berkelok-kelok dan mendaki amat terjal ke atas. Dia memperkirakan
sudah mendaki sekitar dua puluh meter, ketika tiba-tiba dia sampai ke sebuah terowongan yang lebih besar
dan mendatar. Di terowongan yang agak besar dan datar ini ada penerangan berupa damar atau mungkin juga karet,
yang diikatkan di ujung kayu, kemudian dibakar. Ada sekitar lima damar yang ditancapkan dalam jarak
beberapa meter di sepanjang terowongan itu. Tiba-tiba dia mendengar pintu besi berdenyit dibuka, kemudian
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 628
ditutupkan. Lalu suara rantai bergerincing, lalu suara anak kunci dikatupkan. Kemudian suara langkah
mendekat. Si Bungsu segera menyeberangi terowongan datar itu, dan mencari tempat bersembunyi. Sesaat dia
menyelinapkan diri ke salah satu ceruk di dinding terowongan itu, dia melihat kedua tentara Vietnam tersebut
muncul. Mereka menempuh terowongan kecil dari mana mereka tadi masuk. Dia masih menanti beberapa saat,
untuk kemudian dengan hati-hati melangkah ke luar.
Dia berdiri di terowongan yang diterangi lampu damar tersebut, menatap sepanjang lorong. Ada
beberapa terowongan ke kiri dan ke kanan. Dia yakin, terowongan itu adalah terowongan buntu, yang dipakai
sebagai tempat menyekap tawanan. Dari denyit pintu besar dan gemercing rantai, dia yakin pula, tiap
terowongan tempat penyekapan ditutup dengan pintu besi. Udara di dalam terowongan ini terasa dingin. Dia
menoleh ke belakang. Hanya ada jarak sekitar tiga meter menjelang dinding batu tebal. Dia tak tahu, yang mana
dinding yang menghadap ke arah barak-barak tentara Vietnam di bawah sana.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-599
Dengan sikap penuh waspada, Si Bungsu mulai melangkah mendekati salah satu terowongan yang
berfungsi sebagai kamar penyekapan. Di depan sebuah terowongan dia menghentikan langkah. Dia melihat
pintu jeruji besi sebesar-besar ibu jari kaki, kemudian lilitan rantai yang juga besarnya sebesar itu dengan kunci
gembok besar. Dia tak bisa melihat apa yang ada di balik pintu jeruji besi itu. Keadaan demikian gelap. Dia
melangkah ke arah sebuah damar yang ditancapkan di dinding.
Sesaat sebelum tangannya mencabut damar itu, firasatnya mengatakan ada yang tak beres dengan
tangkai damar tersebut. Dia mengurungkan niatnya mengambil damar itu. Kemudian menatap dengan teliti
lobang dinding tempat damar itu di tancapkan disana. Tapi, kenapa firasatnya mengatakan bahwa dia berada
dimulut bahaya" Dia melihat ke bawah. Hanya lantai batu dengan sedikit pasir. Juga tak ada yang"!.
Diperhatikannya dengan seksama bahagian lantai yang dia pijak. Hatinya tercekat. Dia berusaha agar
pijakannya di lantai tidak bergeser. Pasir halus di lantai goa ini membuat dia amat curiga.
Dia segera ingat, keempat orang yang tadi dia buntuti tetap mengambil jalan di bahagian tengah
terowongan. Tak seorangpun yang berjalan di bahagian pinggir. Malah dia melihat, mereka berjalan satu-satu.
Si Bungsu yakin sudah, dia telah menginjak sebuah perangkap yang mematikan. "Engkau berada di atas
ranjau?" tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara seorang perempuan dalam bahasa Inggeris, dari arah terowongan
yang baru saja dia lihat.
Dia menoleh, namun tetap tak melihat orang yang bicara. Kamar tempat penyekapan itu tak ada
penerangan sama sekali. Kemudian terdengar suara gemercing rantai. Lalu suara langkah yang diseret di lantai
batu. Bulu tengkuk Si Bungsu merinding. Para tawanan ini rupanya tidak hanya disekap di tempat yang amat
tersembunyi, tapi juga dirantai di dalam tempat penyekapannya.
Jarak dari tempat dia tegak ke pintu jerajak di depannya, di seberang lain dari tempat dia tegak, sekitar
tiga meter. Sesaat kemudian dia melihat bahagian demi bahagian anggota tubuh perempuan yang bicara itu
tersembul di antara jeruji besi dan tersorot cahaya damar. Yang pertama kelihatan adalah kedua tangannya
yang berantai di pergelangan, berpegangan pada jeruji besi. Kemudian kedua kakinya, yang juga dirantai di
bahagian pergelangan. Lalu wajahnya menyembul sedikit di antara jerajak pintu besi tersebut. "Engkau tidak
orang Vietnam bukan?" tanya perempuan itu perlahan.
Si Bungsu menggeleng. Kemudian perlahan dia duduk. Saat itu dia mendengar suara gemercing rantai
hampir dari seluruh pintu-pintu. Kemudian wajah-wajah kuyu muncul dari dalam kegelapan. Hampir seluruh
manusia di terowongan itu rupanya tak tidur. Begitu mereka mendengar percakapan yang agak aneh, yaitu
suara si perempuan yang mengingatkan Si Bungsu akan ranjau tadi, semuanya pada bangkit, dan berjalan ke
pintu. Mereka ingin tahu, siapa yang datang. "Engkau tidak orang Vietnam bukan?" kembali perempuan itu
bertanya. Si Bungsu menggeleng sembari membuka jam tangannya. Kemudian menekan tombol. Kawat baja halus
yang panjangnya semeter itu menyembul keluar dari samping jam tangannya. Dia lalu mencabut empat buah
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 629
samurai kecil yang tersisip di tangannya. Belasan tawanan yang kini tegak di depan jeruji pintu masing-masing,
menatap dengan diam ke arah orang asing di tengah terowongan itu.
Mereka tahu, lelaki asing itu berada di atas bom yang siap melumatkan tubuhnya begitu dia mengangkat
kaki. Si Bungsu menyumpahi kebodohannya, kenapa tidak bisa menangkap keanehan tempat tentara Amerika
ini disekap. Seharusnya dia tahu, tentulah ada yang tak beres jika tempat penyekapan ini tak ada pengawalnya
seorang pun. Kini, kesadarannya sudah terlambat.
Dia harus mampu menyelamatkan diri dari ranjau darat yang kini dia injak. Ke empat samurai kecil itu
dia tancapkan ke lantai batu. Karena mata samurai kecil itu terbuat dari baja yang amat tajam, ditambah lantai
batu ini tidak begitu keras karena pengaruh udara lembab, maka dengan mudah samurai itu dia tancapkan
hingga ke batas gagangnya.
Usai menancapkan keempat samurai kecil itu, dia mengambil sebuah samurai lagi. Perlahan dia mengikis
pasir halus di sekitar sepatunya. Hanya beberapa saat, ujung samurainya membentur benda keras. Dia
bersihkan terus, dan dia segera menemukan tutup ranjau berupa plat bundar, kira-kira sebesar asbak di bawah
kaki kanannya. Dia menarik nafas. Perlahan dia mengikatkan ujung kawat baja dari jam tangannya ke salah
satu gagang samurai yang di depan.
Selesai mengikat di samurai yang di depan, bahagian lainnya dari kawat halus itu dia lewatkan di bawah
pantatnya. Tanpa mengangkat kaki, dia memutar duduk, menghadap ke belakang. Dia ikatkan lagi kawat baja
itu ke gagang samurai yang satu lagi. Lalu hal yang sama dia lakukan ke samurai di kiri dan di kanan dengan
cara menyilang. Kini di bawah kakinya ada silangan kawat baja. Dia kembali menguatkan tancapan samuraisamurai kecil itu di lantai.
Semua tawanan ternyata sudah pada tiarap di lantai ruangan masing-masing. Mereka mengamankan
diri dari ranjau yang setiap saat bisa meledak. Mereka menatap ke arah lelaki asing itu dengan perasaan tegang
dan diam. Mereka tiarap selain untuk menyelamatkan diri juga untuk melihat bagaimana ranjau itu meledak
dan orang asing itu tercabik-cabik tubuhnya.
Mereka hakkul yakin lelaki itu tak bisa selamat dari ledakan ranjau yang kini diinjak. Mereka tak percaya
karena semua mereka adalah tentara Amerika yang sudah kenyang dengan perang di negeri neraka jahanam
ini. Dalam beberapa tahun berperang, sudah tak terhitung teman-teman mereka yang hanya pulang nama
karena terinjak ranjau yang ditanam Vietkong.
Usahkan manusia, truk dan tank saja dibuat berkeping-keping oleh ranjau tersebut. Mereka kini menanti
sambil menonton. Sebenarnya ada tiga hal yang membuat mereka heran. Pertama, siapa lelaki asing ini" Kedua,
apa urusannya masuk ke tempat penyekapan ini" Ketiga, orang ini nampaknya demikian tenang, kendati dia
sedang menginjak sesuatu yang tiap detik siap melemparkannya ke neraka.
Sementara itu, di bawah cahaya lampu damar Si Bungsu tengah menarik nafas, kemudian menghapus
peluh di jidatnya. Dia merasa beruntung pernah diajar temannya dari pasukan Green Barret di Australia
dahulu, tentang bagaimana sistem kerja sebuah ranjau darat. Jenis yang kini berada di bawah kakinya.
Ranjau yang ditanam di tanah, seperti mulut hiu yang menganga diam di dalam laut. Menanti mangsanya
mendekat. Saat bahagian atas ranjau tertekan oleh berat minimal tertentu, klip pengaman pegas yang memicu
ledakan ranjau yang semula tertekan akan itu lepas dan melenting. Melemparkan tutup ranjau ke atas,
sekaligus memicu ledakan.
Dia memang belum pernah menginjak ranjau dan berpraktek mengamankannya. Namun, karena
mengetahui sistem kerja ranjau itu, kini paling tidak dia bisa berusaha mengamankannya. Dia harus berusaha
agar kawat baja yang dia ikatkan menyilang di atas tutup ranjau di bawah kakinya, paling tidak mampu
menahan tutup ranjau itu agar tak melenting, yang bisa menyebabkan ledakan dahsyat.
Sekali lagi ditatapnya keempat samurai kecil tempat dia mengikatkan kawat baja dari jam tangannya.
Dicobanya menarik kawat baja yang terentang di bawah kakinya. Tak bergeming, tegang dan keras. Kemudian,
masih dalam posisi duduk mencangkung di atas ranjau itu, dia menoleh ke arah tawanan wanita yang tadi
memperingatkan dirinya tentang ranjau itu. Perempuan itu juga tengah menatap padanya dalam posisi tiarap.
"Anda bernama Roxy?" tanyanya perlahan. Tawanan itu terkejut. Namun dia segera mengangguk.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-600
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 630
"Saya ada pesan untukmu " ujar Si Bungsu sambil berdiri. "Jangan melangkah?" seru wanita itu, tatkala
melihat lelaki asing itu mulai melangkah. Semua tawanan yang tiarap, termasuk Roxy Rogers, yang tengah
menatap ke arahnya, pada menutup telinga dan merapatkan kening mereka rata dengan lantai goa. Mereka
menanti dengan perasaan berdebar terjadinya ledakan dahsyat. Lalu tiba-tiba terdengar suara. "Nona saya
membawa pesan dari ayah Nona?"
Roxy seperti akan copot jantungnya mendengar ucapan itu. Dengan masih menutup telinga dengan
kedua tangannya, dia mengangkat kepala. Dan demi segala anak dan datuk tuyul, demi cucu dan cicit-cicit tuyul,
dia hampir tak percaya dengan apa yang dia lihat. Lelaki asing itu kini tengah duduk berjongkok, hanya berjarak
sehasta dari dirinya. Jarak antara mereka hanya dipisahkan oleh jeruji besi!
Lewat samping tubuh lelaki tersebut, Roxy menatap ke arah tempat ranjau yang tadi terinjak oleh lelaki
asing yang entah dari mana bisa mengenal namanya ini. Dia lihat empat benda kecil-kecil tertancap. Kemudian
ada sesuatu yang mengkilat, nampaknya kawat halus, yang secara menyilang menghubungkan ke empat benda
kecil itu. Keheningan dalam goa itu dipecahkan oleh suara tepuk tangan dari ruangan-ruangan penyekap lain.
Begitu mendengar suara orang bercakap-cakap, bukannya suara ledakan, belasan tawanan tentara Amerika
yang tadi pada tiarap dan menutup telinga, segera membuka mata dan menatap ke arah tempat orang asing itu
menginjak ranjau. Mereka melihat seperti yang dilihat Roxy.
Empat benda kecil tertancap dan ada kawat mengkilat menghubungkan ke empat benda kecil itu. Itulah
yang membuat mereka bertepuk kagum. Sungguh di luar dugaan mereka ada orang yang bisa menyelamatkan
diri dari ledakan setelah dia menginjak ranjau. Suara bising akibat gemercing rantai segera terdengar begitu
tawanan-tawanan tersebut pada berdiri dan berusaha melihat ke arah tempat Roxy.
Sementara itu Roxy masih menelungkup. Kedua tangannya yang di rantai masih memegang jerajak besi
pintu ruangan di mana selama bertahun-tahun dia disekap. Dia menatap dan memperhatikan lelaki asing itu
dengan seksama. Ada dua hal yang membuat dia heran. Pertama dari mana lelaki ini mengenal namanya"
Kedua, bagaimana mungkin dia bisa selamat dari ranjau"
Akan halnya Si Bungsu, yang sudah demikian hafal bentuk dan tanda-tanda wajah gadis yang bernama
Roxy ini, yang fotonya selama berbulan-bulan dia bawa ke mana-mana, tak lagi ragu bahwa wanita yang ada di
depannya ini adalah orang yang dia cari. Orang yang harus dia selamatkan nyawanya. Lebih dari itu, gadis ini
harus dia bawa kembali kepada orang tuanya di Amerika sana. "Siapa engkau, darimana engkau mengenal
namaku?" tanya Roxy, yang masih saja tiarap di lantai. "Saya orang bayaran ayahmu. Saya diminta untuk
mengaduk-ngaduk belantara Vietnam untuk mencari, membebaskan serta membawa dirimu pulang ke
Amerika?" ujar Si Bungsu perlahan.
Kemudian dia berdiri sambil mengeluarkan sebuah bungkusan plastik tipis dari dalam dompetnya. Dia
menoleh ke kiri dan ke kanan. Menatap ke mulut terowongan dari mana dia tadi masuk. "Kapan biasanya orangorang Vietnam itu datang?" tanya Si Bungsu. Buat sesaat Roxy tak segera menjawab pertanyaan tersebut.
Dia masih saja menatap lelaki itu dari ujung kaki ke ujung rambut. Dia baru menjawab setelah
pertanyaan itu diucapkan Si Bungsu untuk kedua kalinya. "Tak ada jadwal yang tetap. Bahkan untuk mengantar
makanan pun suka-suka mereka. Kadang-kadang tiap hari. Kadang-kadang sekali dua hari. Bisa dalam tiga hari
mereka tak muncul. Kecuali"." "Kecuali untuk mengambil tawanan perempuan, guna memuaskan nafsu
mereka?" potong Si Bungsu. "Engkau juga mengetahuinya?" tanya Roxy yang kini sudah duduk berlutut, dengan
kedua tangannya masih ber pegangan ke terali besi. "Saya sampai kemari karena mengikuti dua wanita yang
diantar tadi"." "Saya sudah menduga demikian?" gumam Roxy perlahan.
Si Bungsu kembali menatap ke arah kanan. Pendengarannya yang amat tajam mendengar tetes air di
sebelah kanan sana. Dia berdiri dan menatap beberapa saat kepada Roxy. "Saya akan buka kunci pintu ini,
berikut rantai yang mengikatmu?" ujarnya sambil melangkah ke kanan, ke arah dari mana dia mendengar
suara air menetes. "Hei, hati-hati. Lantai goa ini di penuhi ranjau?" ujar Roxy mengingatkan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 631
Ada beberapa belas meter Si Bungsu melangkah dengan hati-hati ke ujung kanan, kemudian melihat ada
sebuah ceruk di bahagian kiri dinding. Di ceruk itu kelihatan air menetes dari atas. Dia membuka kantong
plastik kecil yang tadi dia keluarkan dari dompetnya. Di dalam plastik itu terdapat semacam serbuk berwarna
putih mengkilat. Tanpa mengeluarkan serbuk putih tersebut, yang jumlahnya barangkali hanya sekitar dua
sendok teh, dia menampung tetesan air goa itu dengan kantong plastik. Air tersebut menyatu dengan serbuk
di dalam plastik. Kelihatan asap tipis mengepul ketika air dingin itu melarutkan serbuk, dan saling menyatu di
dalam kantong plastik. Ketika kantong plastik itu hampir penuh, dia kembali ke tempat tentara-tentara itu disekap. Dia berhenti
di ruangan di sebelah tempat Roxy. Di dalam ruangan kecil itu ada tiga tentara Amerika yang disekap. Ketiga
orang itu, yang berdesak-desak di dekat terali, menatap padanya dengan heran.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-601
Si Bungsu meneteskan air bercampur serbuk putih di kantong plastiknya ke gembok besar di jeruji besi
itu. Begitu air menyentuh gembok besi besar itu, kelihatan asap mengepul. Hanya sekitar tiga tetes, ketika asap
hilang, Si Bungsu memukul gembok itu dengan tangannya.
"Pletakk"!" gembok itu tidak hanya patah tapi berderai seperti kerupuk kena injak. Ketiga tentara yang
kurus-kurus itu dan berambut sebahu ternganga. Mereka masih tegak dengan takjub ketika Si Bungsu
membuka pintu. Kemudian Si Bungsu kembali meneteskan cairan di kantong itu ke rantai di pergelangan
tangan ketiga tahanan itu. Dan ketika rantai itu mereka sentak kan, rantai itu putus seperti benang yang sudah
lapuk. Mereka tidak hanya di rantai di tangan dan kaki, pinggangnya juga. Rantai di hubungkan ke sebuah cincin
besar yang di paku kan ke dinding. Tatkala semua rantai itu putus, Si Bungsu meminta yang dua orang menjaga
pintu masuk utama terowongan ini. Yang seorang lagi diminta mengikutinya.
"Yes, Sir"!" jawab kedua orang yang disuruh menjaga pintu itu. Kemudian tanpa banyak tanya mereka
bergerak hati-hati ke mulut terowongan dari mana tadi Si Bungsu muncul. Mereka nampaknya sudah hafal
bagian mana dari lantai terowongan itu yang bisa di injak. Hal itu tentu saja mereka perhatikan dari jalan yang
ditempuh setiap tentara Vietnam masuk dan keluar dari tempat mereka saat mengambil mereka untuk
diinterogasi. Dalam mengantar makanan, maupun mengambil satu dua tentara atau perawat wanita, untuk
pemuas nafsu tentara-tentara Vietnam di barak di bawah bukit terjal ini.
Beberapa di antara mereka ada yang sudah di tahan selama lima tahun. Beberapa lagi menjelang perang
usai akhir tahun lalu. Namun mereka dibawa ketempat terpencil ini baru lima bulan. Nampaknya mereka di
bawa kesini untuk dua tujuan. Pertama, agar tempat mereka tak mudah diketahui Amerika, otomatis mereka
tak bisa di bebaskan. Kedua, mereka jadi alat penekan dalam perundingan antara Vietnam dan Amerika.
Saat kedua tentara itu menuju ke mulut terowongan, tentara yang seorang lagi mengikuti Si Bungsu
menuju ketempat Roxy. Kembali Si Bungsu menuangkan cairan di dalam plastik berukuran kira 5x5cm, ke
gembok besar di pintu sel Roxy. Setelah pintu tebuka, dia meneteskan cairan itu ke rantai yang ada di tangan,
kaki, dan pinggang Roxy. Kemudian sekali sentak rantai-rantai itu hancur berserakan dilantai. Si Bungsu hampir pingsan membau
sel-sel tahanan Roxy atau ketiga tentara tadi yang baunya memang amat luar biasa! Sudah bisa di bayangkan,
kalau mereka mau buang air besar, kecil bahkan makan tetaplah di ruangan sempit ini. Pokoknya disitulah para
tahanan melakukan aktifitas sehari-harinya. Ini adalah kekejaman lain dan tak kalah dahsyatnya dengan
siksaan fisik. Dalam makna yang lain, tawanan wanita mungkin agak beruntung. Bagi mereka yang dibawa
untuk menghibur Perwira atau tentara, tentulah lebih dahulu disuruh membersihkan diri. Mandi dan bersabun
sampai bersih di sungai jernih di bawah situ.
Kemudian mereka juga di beri pakaian yang layak. Dan selain itu mereka juga bisa makan dan minum
apa yang dimakan para tentara atau perwira tersebut. Nampaknya beberapa wanita yang sudah disiksa habishabisan akhirnya menyerah dan terpaksa memenuhi selera para perwira tersebut. Selain dapat makan, minum
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 632
dan pakaian. Mereka juga dapat membawakan "oleh-oleh" untuk para tawanan teman satu sel mereka makanan
dan minuman. Makanya mereka tidak di benci oleh tawanan lain, justru mereka dianggap pahlawan karena
telah mengorbankan diri untuk menyelamatkan hidup kawan-kawan mereka.
"Tolong Helena?" ujar Roxy sambil menoleh kebagian dalam ruang tahanannya, ketika Si Bungsu
memutuskan rantai-rantai di tubuhnya. "Kenapa dia tak bangun-bangun?" ujar Si Bungsu yang baru
mengetahui kalau di ruangan sempit itu Roxy ternyata disekap berdua. "Dia tak bisa bangun karena sakit?"
ujar Roxy. Si Bungsu tahu dia tak perlu bertanya, kenapa tidak dilaporkan kepada tentara Vietnam. Di lapor
sekalipun tak kan ada hasilnya. Dengan menahan bau menyengat, agar dia tak muntah, Si Bungsu menggendong
tubuh wanita itu ke pintu, agar agak bebas dari bau yang menyengat itu. Wanita bernama Helena itu ternyata
berpangkat Letnan. Itu terlihat dari pakaian dinasnya yang masih melekat di tubuhnya yang sudah kurus
kering. Roxy tidak punya pangkat karena dia memang direkrut ke perang Vietnam ke dalam korp perawat.
Setelah memutuskan rantai-rantai di tubuh Helena Si Bungsu kemudian menyerahkan kantong cairan itu
kepada tentara yang tadi mengikutinya.
"Bebaskan teman-temanmu yang lain. Saya tak mempunyai persediaan lain cairan ini, selain yang tersisa
ini. Usahakan airnya tak habis sebelum teman-temanmu bebas dari Neraka ini. Suruh semuanya berkumpul
dimulut terowongan.." ujar Si Bungsu pada tentara yang tanda pangkat di kerah bajunya berpangkat Kapten.
"Yes, Sir".!" ujar tentara yang berberewok itu sambil bergerak segera menuju ketempat teman-temannya di
tawan. "Ayo kita ke mulut terowongan sebelum siang turun?" ujar Si Bungsu sambil memangku Helena yang
baunya minta ampun dan penuh dengan daki. "Tunggu, siapa engkau dan siapa namamu?" ujar Roxy sambil
memegang tangan Si Bungsu. "Sudah saya katakan, kalau saya orang yang di bayar ayahmu untuk
membebaskanmu. Nama saya Bungsu?" ujarnya sambil berjalan keluar dari sel pengap itu.
Roxy mengikuti lelaki asing itu dengan seribu satu pertanyaan di kepalanya. Dia yakin. Ayahnya akan
mempergunakan segala cara untuk membebaskannya. Dan dia yakin ayahnya juga mampu mengirim beberapa
resimen tentara untuk mengundak-undak belantara Vietnam untuk mencari tempat dia di sekap. Namun tak
pernah terlintas dikepalanya, kalau lelaki yang dikirim adalah seorang lelaki biasa atau "tidak punya apa-apa",
tak pula berotot baja, tak sangar dan tak ada tanda-tanda pernah menjadi salah satu pasukan elit, seperti yang
datang membebaskannya ini. Si Bungsu membawa Helena ke ceruk goa dimana tadi dia menampung tetes air
kekantong plastik tadi. Dia yakin, dibalik ceruk ini ada kolam. Sedangkan dibahagian bawah dari tempat air
menetes itu, ada anak air mengalir.
"Kalian jaga sebentar. Aku akan mencari air untuk wanita ini?" ujar Si Bungsu tatkala dia lewat dekat
dua tentara Amerika yang tadi dia bebaskan dan kini menjaga mulut terowongan. Kedua tentara itu, keduanya
berpangkat Sersan Mayor, mengangkat dua jari mereka, telunjuk dan jari tengah yang di rapatkan, sebagai
tanda memberi hormat. Kemudian mereka berdiri rapat kedinding, dan mengintai kecelah jalan menuju
keterowongan itu, dari mana orang akan muncul jika masuk ketempat penyekapan ini.
Si Bungsu menaruh Helena di dekat ceruk air yang menetes tersebut. Kemudian dengan memperlihatkan
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantai goa itu, dia mengambil sebuah obor yang di tancapkan didinding. Lalu dia menuju ceruk itu. Hanya
berjarak dua meter kebawah dia menemukan sebuah kolam dua meter yang tak begitu dalam. Dia segera naik,
dan segera memberitahu Roxy tentang kolam itu. Roxy menurut saja ketika Si Bungsu memangku tubuh Helena,
kemudian bertiga mereka turun ke kolam itu.
"Kalian mandilah. Kalau sudah selesai panggil saya. Saya rasa kita masih punya waktu untuk
mempersiapkan diri dalam pelarian ini?" ujar Si Bungsu pada Roxy, sambil meletakkan obor di sebuah batu,
kemudian melangkah menaiki tanjakan goa itu. Akan halnya Roxy dan Helena, yang pertama mereka lakukan
dalam kolam yang airnya jernih itu, adalah minum sepuas-puasnya. Mereka segera membuka semua pakaian
yang baunya minta ampun itu. Untung saja kolam itu mempunyai saluran pembuangan yang menerobos
dinding yang lenyap entah kemana, jadi semua kotoran dan daki-daki yang ada pada tubuh mereka itu hanyut
kedalam dinding batu yang tegak tinggi tersebut.
Saat sampai di mulut terowongan Si Bungsu melihat semua tentara Amerika yang di tahan sudah
berkumpul disana. Dia menghitung ada dua belas lelaki dan tiga orang wanita. Dua diantaranya adalah wanita
yang mereka lihat di barak, bergumul dekat api unggun dengan tentara Vietnam di bawah bukit ini. Dia
menatap wanita itu sekilas, yang penampilannya jauh dari yang lain, yang satunya kelihatan kotor seperti Roxy
dan Helena, kedua wanita yang malam tadi dia lihat itu tubuhnya bersih sekali. Selain bersih ternyata bentuk
tubuhnya memang menggiurkan.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-602
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 633
Si Bungsu cepat-cepat memupus segala fikirannya tentang apa yang diperbuat kedua wanita ini tadi
malam. Jika dihitung Roxy dan Helena yang sedang mandi, berarti jumlah semua tawanan ini ada 17 orang. Dua
belas lelaki dan lima wanita. Mereka semua, kecuali kedua wanita itu, kelihatan amat kotor dan amat lelah. Dia
tak yakin apakah mereka akan mampu berlari jauh, atau bertempur jika kepergok tentara Vietnam. "Siapa
pangkatnya yang tertinggi di antara kalian?" tanya Si Bungsu.
Seorang lelaki mengangkat tangan kanannya dari dalam kerumunan tentara yang baru keluar dari
sekapan itu. Dari tanda pangkat berwarna hijau gelap di krah baju loreng lelaki tersebut, Si Bungsu tahu lelaki
itu berpangkat Kolonel. Si Kolonel nampaknya memang memiliki wibawa yang lebih dari yang lain. Para tentara
yang potongannya kacau balau itu bersibak memberi jalan, ketika si Kolonel maju.
"Nama saya MacMahon. Eddie MacMahon. Senang bertemu Anda?" ujar Kolonel itu sambil mengulurkan
tangan. "Bungsu. Nama saya Bungsu. Hanya nama pertama, tanpa nama kedua?" ujar Si Bungsu membalas
jabatan tangan si Kolonel. Dia faham bahwa adalah aneh bagi orang barat, jika ada orang yang namanya hanya
terdiri dari satu suku kata. Orang-orang barat selalu memiliki nama paling sedikit dengan dua suku kata.
Tergantung nama keluarga dari pihak ayahnya. Kalau nama keluarga dan ayahnya hanya satu suku kata, maka
nama seorang anak pasti dua suku kata. Kalau nama keluarga yang dipakai seorang ayah dua suku kata, maka
nama anaknya pasti tiga suku kata.
Seperti Kolonel Eddie, nama MacMahon dipastikan nama ayahnya, atau nama kakeknya. Sebab sering
juga orang memakai nama keluarga atau klan, bukan nama ayah. Yang memakai nama klan ini, misalnya, dapat
dilihat pada keluarga Rockefeler. Turunannya ya anak, ya cucu, ya buyut, semuanya memakai nama Rockefeler
di belakang nama mereka. "Senang bertemu Anda, Bungsu. Anda dari pasukan khusus mana?" ujar Kolonel
MacMahon. "Saya seorang pengelana. Murni pengelana dan sipil. Murni sipil?" ujar Si Bungsu.
Baik Kolonel maupun tentara yang lain, menatap lelaki asing itu dengan tatapan tak percaya. Namun
lelaki di depan mereka ini nampaknya sangat bisa dipercaya. Segala gerak dan tindakannya demikian
menyakinkan. "Well, apa yang harus kami perbuat?" ujar si Kolonel pada Si Bungsu. Sebelum Si Bungsu sempat
menjawab, sayup-sayup mereka mendengar suara Roxy memanggil. "Di bawah sana ada kolam yang airnya
amat jernih dan bersih. Kita masih punya waktu, bagi yang ingin mandi silahkan. Sekalian menolong
mengangkat Letnan Helena?" ujar Si Bungsu.
Yang pertama bergerak adalah ke tiga wanita itu. Mereka segera menemukan ceruk tempat air menetes
tersebut, kemudian berpedoman pada suara Roxy, yang memanggil-manggil, mereka segera turun dan
menemukan kolam jernih itu. Mereka segera saja pada menanggalkan pakaian dan ikut mandi. Setelah ke lima
wanita itu muncul, lima tentara segera menuju ke tempat tersebut. Yang lainnya, termasuk si Kolonel dan
kelima wanita itu, kini berada di depan Si Bungsu. Mereka pada berdiam diri, menatap pada lelaki asing yang
tak mereka ketahui dari mana asalnya ini. Si Bungsu yang tahu isi fikiran orang-orang di hadapannya ini, dia
berusaha menjelaskan secara singkat siapa dirinya, dan kenapa dia sampai terlempar ke tempat penyekapan
ini. "Well. Seperti saya katakan tadi, nama saya Bungsu. Saya sipil dan pengelana murni. Saya orang
Indonesia. Setahun yang lalu saya datang ke Amerika menemui seorang teman. Kemudian saya berkenalan
dengan, mmm" Tuan Rogers. Alfonso Rogers. Saya dimintanya untuk mencari tahu nasib anaknya yang hilang
di Vietnam ini saat bertugas dalam pasukan Amerika bersama divisi kesehatan. Saya menolak, karena saya tahu
tugas itu bukan tugas saya. Maksud saya, saya tak punya keahlian untuk mencari jejak dan bertarung dengan
tentara Vietnam untuk membebaskan seorang tawanan. Namun karena dia membayar terlalu tinggi, dan saya
memang memerlukan uang, saya terima tawarannya. Di Kota Da Nang saya bertemu seorang bekas tentara
Vietnam Selatan, yang bertugas di bidang intelijen. Dari dialah saya mendapat kabar tentang tempat
penyekapan ini, di mana diperkirakan Roxy disekap. Teman saya itu, Han Doi, yang menolong saya menemukan
tempat ini, ada di bawah sana, berjaga-jaga kalau ada bahaya?" ujar Si Bungsu.
Setelah berhenti sejenak dia menyambung. "Kemudian, bersama saya sekarang juga ada dua orang
Vietnam, anak beranak. Duc Thio dan anaknya Thi Binh. Mereka berada di suatu tempat, tak jauh dari sini?" Si
Bungsu mengakhiri ceritanya, sembari menatap sesaat pada Roxy, kemudian pada si Kolonel. "Well, Kolonel.
Kini komando berada di tangan Anda?" ujar Si Bungsu pada MacMahon. Kolonel itu menatap Si Bungsu nanapnanap. Sebagai seorang yang kenyang dalam berbagai pertempuran, dia sangat faham lelaki dari Indonesia ini
bukan sembarang orang. Hal itu, paling tidak, dibuktikan dengan berhasilnya dia menemukan tempat ini. Dia
yakin, sudah cukup banyak pasukan-pasukan khusus Amerika, yang ditugaskan mencari mereka.
Pasukan itu terbagi dalam satuan-satuan kecil, yang mencoba mencari dan menemukan tempat ini,
maupun tempat-tempat lain yang dipergunakan Vietnam Utara sebagai tempat penyekapan tentara Amerika
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 634
yang mereka tawan. Yang sampai kemari, hanya orang Indonesia ini. Orang ini bukan sipil biasa, bisik hati
MacMahon. Setelah berfikir beberapa saat, menatap Si Bungsu dan tawanan-tawanan sebangsanya yang sudah
terpuruk di goa ini beberapa lama, Kolonel MacMahon berkata.
"Anda baru saja datang dari bawah sana, Tuan. Menurut Anda, mana yang lebih besar kemungkinan bagi
kita, langsung meloloskan diri atau terlebih dahulu melakukan penyerangan untuk menghancurkan tentara
Vietkong di bawah sana?" Si Bungsu segera teringat akan janjinya pada Thi Binh, bahwa dia akan memberi
gadis itu kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada tentara Vietnam, yang telah memperkosanya
selama berbualan-bulan. "Gadis bernama Thi Binh yang membantu menunjukkan pada saya bahwa di bukit-bukit ini ada
konsentrasi tentara dan tempat penyekapan Tuan-tuan, adalah salah seorang gadis yang dijadikan pamuas
nafsu tentara Vietnam. Dia mau menceritakan tentang bukit-bukit ini dengan syarat bahwa dia diberi
kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada tentara-tentara tersebut. Tanpa keterangannya, saya
takkan pernah tahu di mana tempat penyekapan ini. Saya harus menepati janji saya padanya. Namun itu tak
mengikat apapun terhadap Tuan-tuan. Jika Tuan-tuan memutuskan segera meloloskan diri, atau ingin
menyerang kamp di bawah sana, putusan itu sepenuhnya berada di tangan Tuan-tuan?" ujar Si Bungsu
perlahan. "Anda mengetahui gudang persenjataan mereka?"
Dalam Neraka Vietnam -bagian-603
Si Bungsu mengangguk. "Dari barak persenjataan mereka kami mengambil seransel peluru dan
beberapa buah dinamit. Namun untuk mendekati barak itu siang hari amatlah berbahaya?" ujar Si Bungsu.
Kolonel itu menatap anak buahnya. Lima orang di antara mereka, yang duduk tersandar di lantai karena
setengah lumpuh akibat disiksa, juga menatap pada si Kolonel dengan diam.
"Well, kita sudah lama disekap dan disiksa di sini. Sudah lama tidak bertempur. Jumlah kita sangat kecil
dibanding seratus tentara di bawah sana. Namun putusan kita barangkali adalah perang"!" ujar si Kolonel.
Ucapannya segera disambut acungan kepalan tangan semua tawanan tersebut, tak kecuali mereka yang
lumpuh akibat siksaan. Si Bungsu menatap pada Roxy. Gadis itu, yang duduk di dekat Helena, teman satu selnya
yang tak bisa berdiri, juga tengah menatap padanya.
Hanya beberapa saat menatap gadis itu, tiba-tiba dia menoleh ke arah lorong darimana dia tadi masuk
ke tempat penyekapan ini. Di sana masih bersandar dua orang tentara Amerika, menghadap pada Kolonel
MacMahon. Kolonel ini nampaknya arif ada sesuatu yang tak beres dari cara Si Bungsu yang tiba-tiba menoleh
ke terowongan itu. "Ada sesuatu yang tak beres?" "Nampaknya ada yang datang?" jawab Si Bungsu sambil
matanya tetap memandang ke arah lorong tempat keluar masuk itu. Kolonel tersebut juga menatap ke arah
mulut lorong yang di depannya tegak dua anggota pasukan Amerika itu. Mereka semua pada terdiam.
"Ada empat orang yang sedang naik kemari. Mereka sekitar lima puluh meter dari kita?" ujar Si Bungsu
perlahan sambil memperhatikan lorong kecil tempat mereka kini berada. Tentara Amerika yang belasan orang
itu, kendati kondisi mereka amat buruk, namun mereka adalah pasukan-pasukan elit Amerika. Beberapa di
antaranya adalah pasukan Baret Hijau yang amat tersohor itu. Namun yang lebih terkenal lagi adalah Kolonel
MacMahon, yang bersama empat orang anak buahnya kini ikut tertawan. Mereka berasal dari pasukan SEAL.
Pasukan khusus Angkatan Laut Amerika yang amat terkenal itu.
Tapi, kendati sudah berkonsentrasi penuh mereka sungguh tak mendengar apapun. Orang Indonesia ini
mengatakan ada empat tentara yang kini sedang naik. Kalau saja bukan orang ini yang bicara, MacMahon pasti
mengatakan ucapan itu bual semata. Namun hatinya mengatakan lelaki ini bukan pembual, dan dia juga yakin,
lelaki ini jauh lebih tangguh dari dirinya. Dia menatap pada Si Bungsu. Seolah-olah menyerahkan bagaimana
langkah berikutnya pada orang Indonesia itu. Si Bungsu segera menyuruh bawa orang-orang yang sakit ke
lekuk di mana tadi dia menemukan air. Kemudian di menyuruh tentara-tentara Amerika itu, termasuk si
Kolonel, berjaga di terowongan besar. Dia sendiri menggantikan tempat kedua tentara yang berjaga di mulut
terowongan. "Saya takkan bisa berbuat banyak terhadap keempat tentara Vietnam itu. Yang lolos ke terowongan
Pendekar Binal 8 Forgotten Eve Karya Phoebe Iklan Pembunuhan 3