Pencarian

Tikam Samurai 29

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 29


besar ini menjadi tugas Anda menyelesaikannya, Kolonel?" ujar Si Bungsu, sambil menyerahkan bedil yang dia
bawa kepada si Kolonel. Kolonel itu menatap Si Bungsu sesaat setelah menerima senjata tersebut. Si Bungsu
tahu, tatapan si Kolonel maupun anggotanya seperti mempertanyakan, apa yang akan dia perbuat menghadapi
ke empat Vietnam yang sedang naik itu tanpa senjata. "Saya hanya akan mencoba mengalihkan perhatian
mereka. Anda bertindak saat mereka memperhatikan saya?" ujar Si Bungsu perlahan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 635
Pasukan kecil yang compang camping dan hanya memiliki sebuah senjata pinjaman dari Si Bungsu itu
segera bergerak cepat mencari perlindungan. Dalam waktu singkat terowongan itu kosong. Antara terowongan
tempat keluar masuk itu ke terowongan besar tempat penyekapan tentara Amerika ada jarak sekitar sepuluh
meter. Siapapun yang datang menuju ke terowongan tempat penyekapan tentara Amerika ini, begitu keluar
dari terowongan kecil akan berbelok ke kanan. Sementara dinding di mana Si Bungsu kini bersembunyi berada
di sebelah kiri. Dia beruntung, karena di bahagian kiri itu ada sebuah lekuk yang bisa dia pergunakan sebagai
tempat menyurukkan badannya. Hanya beberapa detik dari saat dia berdiri di lekuk itu, dia mendengar langkah
kaki bersepatu hampir sampai ke mulut terowongan. Jumlah tentara Vietnam yang datang itu ternyata memang
empat orang. Kedatangan mereka bisa segera diketahui, karena sambil berjalan mereka juga berbicara, yang juga
terdengar oleh Kolonel MacMahon dan lima anggotanya yang siaga di mulut terowongan besar. Mereka
menanti dengan berdebar. Setelah bertahun-tahun disekap, inilah pertama kali mereka berada dalam situasi
siap tempur. Suara tentara Vietnam yang sedang bicara itu terdengar semakin jelas ketika mereka semakin
dekat ke mulut terowongan kecil.
Kini keempat mereka sudah keluar dari terowongan kecil tersebut. Karena tak pernah menduga bahwa
terowongan itu sudah dimasuki orang lain, ke empat tentara itu segera berbelok ke kanan. Saat akan sampai
ke mulut terowongan besar, tiba-tiba mereka mendengar suara, seperti siulan, dari arah belakang. Tanpa
curiga apapun, karena menyangka suara itu hanya suara sesuatu yang tak perlu dicurigai, sambil tetap
melangkah mereka menolehkan kepala ke belakang.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-604
Untuk sesaat mereka masih melangkah selangkah lagi, sampai akhirnya langkah mereka terhenti tatkala
menyadari kehadiran orang lain di dalam terowongan yang amat dirahasiakan ini. Celakanya, karena mereka
demikian yakin akan keamanan terowongan ini, karena banyak sekali ranjau yang ditanam secara rahasia,
ditambah lagi para tawanan Amerika itu disekap dengan rantai sebesar-besar lengan di kaki, tangan dan
pinggang, maka mereka merasa tak perlu siaga dengan senjata yang mereka bawa.
Masing-masing mereka memang membawa senjata. Namun senjata itu mereka sandang di bahu. Begitu
berhenti setelah melihat ada orang asing di belakang mereka, ke empat tentara Vietnam itu agak lega. Karena
lelaki asing itu sama sekali tak membawa bedil sebuah pun. Itulah sebabnya mereka dengan tenang meraih
bedil yang mereka sandang. Kemudian mengarahkan larasnya ke arah Si Bungsu.
Si Bungsu tetap tegak dengan dua kaki terpentang dengan kedua tangannya lurus di sisi kiri kanan
tubuhnya. Salah seorang tentara Vietnam yang berpangkat Sersan, paham bahwa orang ini sudah mengetahui
tempat yang amat dirahasiakan oleh induk pasukannya. Jika orang ini tak .. segera dihabisi, merekalah yang
akan dihabisi komandan mereka. Dengan pikiran demikian, Sersan itu segera menarik pelatuk bedilnya.
Namun begitu, telunjuknya menyentuh pelatuk, begitu dia rasakan sesuatu yang amat pedih di antara
dua alis matanya. Pedih dan sakit yang amat sangat! Penglihatannya tiba-tiba menjadi gelap. Amat gelap gulita.
Dan hanya itu. Sebab setelah itu, tubuhnya jatuh tertelungkup. Berkelojotan beberapa saat dengan rasa sakit
yang tak tertahankan. Lalu diam. Mati!
Ketiga temannya tak sempat merasa terkejut. Mereka hanya sempat melihat sekilas, kedua tangan lelaki
itu bergerak dengan amat cepat. Mereka tak melihat ada bedil atau pistol di tangan lelaki itu. Mereka juga tak
melihat ada sesuatu yang meluncur dari tangan lelaki tersebut. Namun entah apa sebabnya, tubuh ketiga
mereka tiba-tiba menjadi limbung. Ada rasa sakit yang menyergap diri mereka dengan amat sangat.
Tak seorang pun yang sempat menarik pelatuk bedil. Dua orang di antara mereka merasakan sesuatu
yang amat pedih di hulu jantung. Ketika tangan mereka menggapai ke arah yang amat sakit itu, mereka
menemukan sebuah benda kecil tertancap di sana. Lalu, mata mereka terbeliak, lalu tubuh mereka rubuh
terhempas. Yang seorang lagi merasakan tenggorokannya seperti dimasuki duri yang amat tajam.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 636
Nafasnya seperti tersumbat, matanya mendelik. Dari mulutnya tiba-tiba menyembur darah segar.
Sampai dia rubuh, menyusul ketiga temannya, dia tak pernah tahu bahwa tenggorokannya sudah ditembus
sebuah samurai kecil yang teramat tajam, dan dilontarkan dengan cara yang teramat mahir, dengan kecepatan
yang tak terikutkan mata, oleh lelaki asing yang tadi bersiul dari arah belakang mereka.
Tak seorang pun di antara keempat tentara Vietnam itu yang pernah membayangkan bahwa mereka
akan menemui akhir perjalanan hidup seperti ini. Di kiri kanan terowongan besar, Kolonel MacMahon dan
kelima anak buahnya menanti dengan perasaan tegang kemunculan tentara Vietnam itu. Beberapa saat yang
lalu mereka sudah mendengar langkah keempat tentara Vietnam itu mendekat. Barangkali hanya tinggal dua
atau tiga langkah lagi, mereka pasti muncul di terowongan besar di mana mereka menanti, dan mereka yakin
ke empat tentara itu bisa mereka habisi.
Namun tiba-tiba saja langkah yang mendekat itu berhenti. Kemudian terdengar keluhan-keluhan pendek
susul menyusul, diiringi suara bergedebuk seperti suara benda keras jatuh. Lalu sepi. Detik demi detik berlalu
dalam kesunyian yang amat mencekam. Mereka sampai berkeringat menanti dengan kekhawatiran orang
Indonesia itu sudah dihabisi. Si Kolonel memberanikan diri mengintai dengan mengacungkan bedil ke arah
mulut terowongan kecil. Dan dia ternganga. Perlahan dia menurunkan bedil, kemudian dengan menenteng
bedil itu dia keluar dari tempat persembunyiannya, melangkah ke arah pintu terowongan kecil itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-605
Kelima anak buahnya yang sedang menempel ketat ke dinding, menatap heran pada si Kolonel. Mereka
ikut kaget ketika si Kolonel melangkah ke arah suara serdadu Vietnam yang mereka dengar tadi. Karena tak
ada suara tembakan apapun, mereka ikut-ikutan keluar dari persembunyian masing-masing. Melangkah ke
arah mulut terowongan, dan seperti si Kolonel, tiba-tiba mereka pun dibuat hampir tak mempercayai apa yang
mereka lihat. Di depan mereka empat serdadu Vietnam terlihat pada bergelimpangan. Saat itu Si Bungsu tengah
mencabuti samurai kecilnya yang terakhir, yang tertancap di tenggorokan salah seorang tentara Vietnam itu.
Kini ke-17 orang Amerika tersebut sudah berkumpul di dekat Si Bungsu. Lelaki Indonesia itu tengah
menyisipkan samurai-samurai kecil ke sabuk karet tipis di balik lengan bajunya, setelah dia menghapus darah
yang lekat di samurai itu ke pakaian tentara Vietnam yang dia bunuh. "Ninja?" desis seorang letnan pasukan
SEAL sambil nanap menatap Si Bungsu.
Semua menatap padanya, kemudian pada Si Bungsu. Sembari menutupkan lengan bajunya, sehingga
semua samurai kecil di balik lengan baju itu lenyap dari penglihatan, Si Bungsu menatap ke arah letnan
tersebut. "Saya memang belajar dari seorang Jepang. Namun di Jepang sana yang mahir mempergunakan
samurai kecil-kecil seperti ini tidak hanya Ninja. Siapapun bisa melakukannya, asal mau berlatih keras?" ujar
Si Bungsu perlahan. Kendati semua tentara Amerika itu berasal dari pasukan elit, namun mereka tak dapat menyembunyikan
perasaan heran bercampur takjub mereka pada kehebatan lelaki dari Indonesia tersebut dalam menghabisi
keempat tentara Vietnam itu. Dengan takjub mereka memperhatikan luka kecil di tubuh ke empat tentara
Vietnam itu. Semua luka terdapat di tempat yang mematikan. Di antara alis mata, tenggorokan dan di jantung.
Yang membuat mereka takjub bukan bekas luka itu, tetapi orang yang menyebabkan luka tersebut.
Membidik tempat-tempat yang demikian mematikan bukanlah hal yang mudah. Dan menghujamkan pisau kecil
dari jarak beberapa belas meter, dalam waktu yang amat cepat secara beruntun, sehingga tak satu bedilpun
sempat meletus dari empat tentara itu, benar-benar suatu kemahiran yang sulit dicerna akal.
Sebahagian besar di antara mereka adalah ahli bela diri yang amat terlatih. Ahli pertempuran yang mahir
mempergunakan senjata api maupun pisau komando. Namun, untuk membunuh empat tentara Vietnam
sekaligus dengan pisau dalam waktu hanya hitungan detik, belum pernah mereka khayalkan. Karenanya,
tidaklah berlebihan kalau mereka kini pada menatap pada orang Indonesia itu dengan kagum.
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini. Komandan mereka akan curiga jika keempat tentara yang
mati ini tak muncul-muncul di barak di bawah sana. Lagipula, pagi nampaknya sebentar lagi akan turun?" ujar
Si Bungsu setelah melihat jam tangannya. "Baik, Tuan yang mengenal jalan ini, karena baru saja masuk kemari.
Tuan yang memimpin kami keluar dari tempat penyekapan ini?" ujar Kolonel MacMahon pada Si Bungsu.
Si Bungsu tak merasa perlu lagi berbasa-basi. Usai para tentara itu melucuti senjata, peluru dan bayonet
milik ke empat tentara Vietnam yang mati tersebut, dia segera berjalan di depan, menuruni terowongan yang
menurun tajam ke bawah sana. Mereka juga tak perlu menyembunyikan keempat mayat tentara Vietnam
tersebut. Takkan ada yang harus disembunyikan lagi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 637
Begitu tentara Vietnam naik kemari, mereka akan segera tahu bahwa semua tawanan sudah kabur.
Helena yang tak bisa berjalan dipangku oleh seorang Sersan. Begitu juga tentara yang sakit, segera dipapah
bersama. Mereka bergerak cepat menuruni terowongan terjal dan berliku itu. Tentara yang berasal dari
anggota SEAL, pasukan khusus Angkatan Laut itu, segera menempatkan diri di belakang Si Bungsu.
Mereka bertugas memperhatikan jalan, mengawasi tanda-tanda adanya ranjau. Mereka memang sangat
ahli dan paham dalam hal itu. Kini, kendati Si Bungsu berada di depan, mata mereka yang tajam meneliti setiap
inci lantai terowongan yang akan dilewati. Beberapa saat menjelang sampai ke mulut terowongan yang
menghubungkan mereka dengan dunia luar, Si Bungsu menyuruh rombongan itu berhenti.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-606
Dia minta mereka menanti, kecuali si Kolonel yang masih memegang senjata yang diberikan Si Bungsu
dan dua anggotanya dari SEAL itu, yang masing-masing kini memegang senjata yang tadi diambil dari mayat
tentara Vietnam di atas sana.
"Di luar sana, tak jauh dari mulut terowongan ini, tadi malam ada dua tentara yang menjaga. Saya rasa
di sana tetap ada yang menjaga, kendati orangnya sudah diaplus?" ujar Si Bungsu pada Kolonel MacMahon.
"Baik, kita selesaikan mereka?" ujar MacMahon. "Saya rasa sebaiknya tak ada letusan. Suara letusan akan
terdengar sampai ke barak. Di sana berada seratus tentara Vietnam. Jumlah kita amat tak seimbang?" ujar Si
Bungsu. "Anda benar. Kita akan selesaikan mereka tanpa sebuah letusan pun?" ujar si Kolonel, sambil memberi
isyarat pada kedua anak buahnya yang dari SEAL itu.
Kedua tentara itu pun menyerahkan senjatanya pada temannya yang lain. Mereka menghunus bayonet
yang tadi diambil dari tentara Vietnam itu. Kemudian segera bergerak cepat ke mulut terowongan. Di
belakangnya menyusul Si Bungsu dan MacMahon. Ketika mereka sampai di mulut terowongan, yang seolaholah tertutup oleh batu besar itu, kedua anggota SEAL tadi sudah tak terlihat lagi bayangannya. Si Bungsu
sebenarnya khawatir, kedua anggota pasukan khusus angkatan laut Amerika itu takkan mampu menyelesaikan
tugas sebagaimana diharapkan Kolonel MacMahon.
Bukan karena dia tak percaya pada ketangguhan pasukan elit itu, namun kedua orang itu sudah ditahan
beberapa tahun. Betapa pun, kemahiran seorang yang amat terlatih akan menurun amat drastis, bila dia tak
pernah latihan beberapa bulan saja. Apalagi kedua tentara itu, sebagaimana teman-temannya yang lain, kini
kondisi kesehatan mereka amat buruk. Karena makan tak teratur dan mutu makanan yang masuk ke tubuh
mereka amat rendah. Namun kalau dia cegah, dia khawatir Kolonel dan kedua tentara tersebut akan merasa
dilecehkan. Kini dia hanya tinggal berharap, mudah-mudahan kedua tentara itu bisa menyelesaikan tugasnya
dengan baik. Namun terus terang saja, hati Si Bungsu benar-benar tak sedap. Dia membawa Kolonel itu agar
bergerak cepat. Di luar sana, kedua tentara Amerika tersebut mengendap-ngendap mendekati tempat dua
tentara Vietnam yang sedang berjaga-jaga. Yang seorang memberi isyarat, agar mereka mendekati kedua
tentara tersebut dari dua arah dengan membuat setengah lingkaran. Hal itu terpaksa di lakukan karena situasi
lapangan yang terbuka, yang tidak memungkinkan mereka langsung mendekat tanpa diketahui kedua orang
Vietnam tersebut. Dalam pelukan udara pagi yang amat sejuk di kaki bukit batu terjal itu, mereka menerobos semak
belukar. Berlindung dari pohon ke pohon. Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di posisi sejajar.
Jarak antara yang satu dengan yang lain di seberang sana ada sekitar dua puluh depa, dengan tentara Vietnam
berada di tengah-tengah. Mereka berdua bisa saling lihat. Mereka cukup beruntung, kedua tentara Vietnam
tersebut tak mengetahui sama sekali ada bahaya yang mengancam.
Yang di sebelah kanan memberi isyarat kepada temannya. Mereka akan merayap sedekat mungkin,
kemudian maju merayap. Tidak mudah melakukan tindakan itu, karena harus melewati daerah terbuka sekitar
lima balas depa. Amat besar resikonya untuk membunuh kedua tentara itu dengan lemparan bayonet.
Barangkali lemparan akan mengenai sasaran, namun jarak yang jauh itu takkan bisa menancapkan bayonet
cukup dalam. Bukan hanya itu, arah lemparan bayonet sebenarnya juga bisa melenceng, jika ayunan saat melempar
tidak dengan sepenuh tenaga. Kini kedua mereka mulai merayap maju. Apa yang mereka khawatirkan terjadi
sudah. Kedua tentara Vietnam itu segera mengetahui kehadiran mereka. Mula-mula kedua Vietnam itu terkejut.
Namun sesaat kemudian mereka sudah mengacungkan bedilnya.
Pada saat yang hampir bersamaan kedua anggota SEAL itu sudah tegak dan melambung ke depan. Ketika
mereka yakin tubuh mereka takkan mencapai kedua tentara itu, mereka sama-sama melemparkan bayonetnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 638
Apa yang dikhawatirkan Si Bungsu, bahwa kemahiran akan merosot bila lama tak dilatih, memang jadi
kenyataan. Kedua anggota SEAL itu memang bergerak pada saat yang tepat, namun gerakan mereka saat
menghamburi kedua Vietnam itu sudah demikian lamban karena tenaga mereka memang jauh merosot.
Begitu juga lemparan bayonetnya. Melempar sasaran dalam posisi tubuh melambung bukanlah
pekerjaan yang mudah. Kendati oleh orang terlatih sekalipun. Kini tindakan itu dilakukan oleh tentara yang
kondisi tubuhnya cukup buruk. Lemparan mereka memang mencapai kedua tentara Vietnam itu. Namun
bayonet yang dilemparkan tentara yang di kanan justru hulunya yang menghantam hidung si Vietnam.
Sementara lemparan seorang lagi memang ujungnya, namun yang kena adalah tangan kanannya. Padahal
tadinya mereka sama-sama membidik dada kedua Vietnam itu sebagai sasaran utama. Dada bahagian jantung,
begitu selalu mereka dilatih.
Kendati demikian, kedua tentara Vietnam itu sama-sama tak bisa mempergunakan bedil mereka. Yang
hidungnya kena hajar hulu bayonet memekik. Senjata di tangannya terlepas, karena kedua tangannya segera
mendekap hidungnya yang remuk. Yang seorang lagi, yang lengan kanan kena hajar bayonet, juga memekik.
Namun dia sadar, nyawa mereka berada di ujung tanduk.
Gagang bedil dengan gerakan cepat dia pindah dari tangan kanannya yang ditancapi bayonet ke tangan
kiri. Dengan tangan kiri itu di mengangkat bedilnya dan menembak. Namun gerakannya terlambat. Tentara
Amerika itu sudah sangat dekat. Bedilnya disentakkan, tubuhnya tertarik ke depan saat itu pukulan sisi tangan
anggota SEAL itu mendarat di tenggorokannya.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-607
Dia masih belum rubuh, sebuah tendangan menyusul ke selangkangannya. Dia jatuh berlutut, dan
bayonet di ujung bedilnya yang sudah berpindah tangan segera menghujam ke jantungnya. Tapi, tentara
Vietnam yang seorang lagi, yang tadi kena hajar hidungnya, juga segera menyadari maut mengancam
nyawanya. Dengan menahan rasa sakit, dia segara berlutut dan meraih senjatanya yang jatuh. Saat itu tentara
Amerika yang seorang lagi masih berada tiga depa dari dirinya, dan sedang melambung. Dia mengangkat
bedilnya dan menarik pelatuk.
Saat itu tubuh tentara Amerika yang melambung itu jatuh tepat ke tentara Vietnam tersebut. Dia
memutar kepala Vietnam itu, terdengar suara berderak. Tentara Vietnam itu mati seketika. Kedua kejadian itu,
terjadi pada saat yang hampir bersamaan. Dan ketika tugas itu selesai, kedua anggota SEAL tersebut melucuti
senjata dan peluru kedua tentara Vietnam itu. Saat itu pula Kolonel MacMahon muncul, disusul Si Bungsu.
Kedua orang itu muncul dari balik belukar, sekitar sepuluh depa dari tempat MacMahon,
Kolonel itu memberi isyarat dengan suitan ke arah pintu goa, tak lama kemudian dari sana muncul para
bekas tawanan yang lain, lalu berkumpul di sekitar mayat kedua tentara Vietnam itu. Si Bungsu berjalan ke
arah salah satu terntara Vietnam tersebut. Saat dia membalikkan salah satu tubuh mayat itu, semua bekas
tawanan Amerika pada memandang ke arahnya. Dia menunduk, mencabut samurai kecil yang tertancap di
tengkuk mayat itu sampai ke hulunya.
Kolonel MacMahon dan tentara yang tadi melompat dan memetahkan leher orang Vietnam itu, saling
bertatapan. MacMahon maupun tentara yang melompat itu teringat, saat tubuhnya masih di udara dalam
sebuah lompatan dan masih berjarak tiga meter dari si Vietnam, tentara Vietnam itu sudah mengangkat bedil.
Telunjuknya sudah berada di pelatuk bedil. Namun tak kunjung terdengar letusan. Dan orang Vietnam itu
akhirnya mati. Ternyata, penyebab tak kunjung terdengarnya letusan itu adalah samurai kecil tersebut. Si Bungsu
menghapus darah di samurai kecil itu ke baju tentara yang mati itu. Kemudian dia menyelipkan samurai
kecilnya ke balik lengan baju. Dia berbuat seolah-olah tak terjadi apapun. Si tentara yang tahu nyawanya
diselamatkan segera mendekati Si Bungsu, persis saat Si Bungsu sudah berdiri. "Tuan, siapapun Tuan dan
darimanapun Tuan berasal, saya berhutang nyawa pada Tuan. Terimakasih. Tuan telah menyelamatkan hidup
saya. Nama saya William, Sersan Robert William. Saya takkan melupakan pertolongan Tuan?" ujarnya sambil
mengulurkan tangan. Si Bungsu menatap anggota pasukan istimewa Angkatan Laut Amerika itu dengan tenang. Kemudian
menerima uluran tangan tentara tersebut. Selain Si Bungsu, yang memahami apa yang sudah terjadi hanya tiga
orang. Yaitu kedua anggota SEAL itu dan si Kolonel. Yang lain hanya menatap dengan diam. Tapi, dari apa yang
mereka lihat di goa tadi, betapa mahirnya lelaki dari Indonesia ini mempergunakan senjata Ninja-nya, mereka
sudah dapat menduga, apa yang dimaksud "hutang nyawa" oleh Sersan William.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 639
Situasi tak memungkinkan mereka bergerak lambat. Si Bungsu segera membawa pasukan kecil itu
melintas sungai kecil yang dia lewati malam tadi. Kemudian menyelusup di antara batu-batu besar dan hutan
lebat ke tempat di mana dia meninggalkan Han Doi. Mereka kini sudah memiliki tujuh bedil. Sebuah yang
dibawa Si Bungsu, empat mereka rampas dari tentara Vietnam di dalam terowongan tadi, dan dua dari penjaga
pintu terowongan. Namun, baik Si Bungsu maupun Kolonel MacMahon tetap berpendapat bahwa mereka tak mungkin
terlibat pertempuran terbuka dengan seratus lebih tentara Vietnam di barak-baraknya sana. Selain perbedaan
jumlah personil dan jumlah senjata yang amat mencolok, kondisi kesehatan juga tak memungkinkan mereka
untuk bergerak cepat dalam sebuah pertempuran terbuka.
Pagi sudah turun. Si Bungsu faham benar, bahwa bahaya semakin mendekati mereka. Kini komandan
pasukan Vietnam itu tentu sudah mengirim pasukan menyusul empat tentara yang terbunuh di goa
penyekapan tentara Amerika itu. Sebelum mereka memasuki goa, mereka tentu terlebih dahulu menemukan
dua mayat temannya di bawah bukit itu. Pasukan yang dikirim itu akan dibagi dua. Satu atau dua orang dikirim
memberikan laporan ke barak, dan selebihnya akan memasuki goa penyekap. Berharap kalau-kalau para
tawanan masih belum sempat melarikan diri.
Namun, sebelum pasukan yang memeriksa goa tahanan itu kembali, berdasar laporan bahwa dua tentara
yang menjaga di bawah bukit itu sudah mati terbunuh, maka seluruh pasukan Vietnam akan disiagakan.
Tindakan tentara Vietnam setelah itu sudah bisa direka dengan pasti. Mereka akan menyisir seluruh belantara
ini untuk mencari tawanan yang melarikan diri tersebut, berikut orang yang membebaskan mereka.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-608
Tentara Vietnam akan segera dapat menyimpulkan bahwa pelarian itu dimungkinkan karena ada pihak
luar yang membantu. Indikasinya akan mereka temukan pada rantai-rantai yang hancur seperti kaca di hantam
batu. Kendati mereka belum mengenal zat apa yang digunakan untuk membuat rantai itu rapuh, namun mereka
akan segera tahu, bahwa zat kimia berkekuatan dahsyat itu didatangkan dari luar. Zat itu mustahil bisa dibuat
para tawanan. Dengan pikiran seperti itu, Si Bungsu segera bertindak cepat. Han Doi yang ditemukan masih
tertidur, karena urat lehernya ditotok, terbangun dengan kaget ketika Si Bungsu kembali membuat dia sadar.
"Ayo berkemas, kita harus bergerak cepat".." ujarnya pada Han Doi yang dia bebaskan dari totokan,
yang menatap hampir tak percaya pada belasan tentara Amerika yang compang-camping tak jauh dari
tempatnya tidur. Ketika mereka menyelinap di antara hutan dan bebatuan besar, dari kejauhan mereka
mendengar deru mobil dan perintah-perintah para komandan tentara Vietnam di barak-baraknya. Ketika
mereka sudah kembali berada dijalur yang mereka gunakan tadi malam, Si Bungsu menghentikan rombongan
tersebut. "Mereka akan menemukan jejak kita. Sebaiknya rombongan kita bagi dua. Han Doi jadi penunjuk jalan
ketempat Duc Thio dan Thi Binh di bukit sana. Bawa wanita dan semua yang sakit kebukit itu. Delapan pucuk
senjata yang ada termasuk punya Han Doi, kita bagi dua. Empat pucuk dibawa rombongan Han Doi, di sana ada
dua pucuk lagi, empat lagi tinggal disini bersama empat sukarelawan yang masih bisa bertempur. Untuk
mengalihkan pengejaran, kita akan memancing mereka kesebelah sana, sehingga rombongan yang membawa


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sakit bisa menyelamatkan diri sampai kebelakang rawa sana, Han Doi lihat peta ini"." ujar Si Bungsu
sambil membuka peta yang diambilnya dari ransel.
"Di sini kita tadi berhenti, memakan durian dan memanggang rusa. Tetaplah disitu, bawa jam tangan ini.
Jam ini akan memancarkan sinyal memanggil helikopter. Buat api unggun begitu kalian mendengar deru
pesawat terbang, agar mereka melihat asapnya untuk turun menyelamatkan kalian. Kalian tak bisa melewati
rawa tersebut. Selain rakitnya tak bisa menampung semuanya, rawa itu terlalu berbahaya untuk dilewati. Nah,
kini kita berbagi peluru dan dinamit"." ujar Si Bungsu sambil menuangkan isi ranselnya yang di penuhi peluru
dan dinamit itu di tanah.
Namun tiba-tiba Si Bungsu membalikkan badan, menatap kearah kanan. Gerakannya yang tiba-tiba itu
mebuat semuanya terkejut dan segera mengarahkan senjata ke arah yang dilihat Si Bungsu. "Jangan tembak,!"
ujar Si Bungsu setelah mengetahui yang muncul itu adalah Duc Thio dan Thin Binh. Thin Binh segera berlari
memeluk Si Bungsu. "Kenapa begitu lama, kau tinggalkan aku"." ujarnya
Si Bungsu menatap gadis itu, kemudian mengenalkannya pada Kolonel MacMahon dan seluruh tawanan
Amerika tersebut. "Ini Thi Binh yang kuceritakan tadi. Dia pernah disekap tentara Vietnam di barak-barak di
bawah sana. Dialah yang menceritakan dimana lokasi ini. Duc Thio ini Kolonel MacMahon. Kolonel ini Duc
Thio?" ujar Si Bungsu. Semuanya saling menatap memperhatikan, kemudian saling mengangkat tangan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 640
memberi salam. "Oh ya, Thi-thi, ini Roxy, yang ayahnya membayarku untuk membebaskannya?" ujar Si Bungsu
mengenalkan perawat Amerika.
Thi Binh dan Roxy saling bertatapan. Kemudian saling mengangguk. Tak ada yang memulai untuk
bersalaman. Mereka hanya saling berdiam diri dan saling pandang. Entah mengapa, Thi Binh tiba-tiba saja
merasa hatinya di harubirukan oleh perasaan tak enak, tatkala melihat betapa jelitanya gadis itu. Sebenarnya
tawanan Amerika itu juga terkejut akan kecantikan Thi Binh.
Mereka sudah tahu dan selama ini mengetahui kalau gadis-gadis Vietnam keturunan tersohor
kecantikannya. Tapi Thi Binh bukanlah blasteran eropa-Vietnam tapi blasteran penduduk asli ras Cina.
Kecantikannya benar-benar alami. "Baik, sekarang Duc Thio bisa memimpin semua wanita dan yang sakit
menyelamatkan diri dari sini?" ujar Si Bungsu memutuskan keheningan.
Thi Binh menatap tajam pada Si Bungsu, sementara yang lain sedang berkemas untuk meninggalkan
tempat tersebut. Si Bungsu hanya mengangguk, karena dia memahami bahwa gadis itu ingin membalaskan
dendamnya pada tentara Vietnam yang berbulan-bulan menjadikan dirinya sebagai pemuas nafsu. Dia sudah
menjanjikan berkali-kali pada Thi Binh, bahwa dia akan membantu membalaskan dendamnya. Dan kini Thi
Binh menagih janji itu. "Saya juga tetap tinggal dan ikut bertempur disini?" tiba-tiba terdengar suara dari salah satu tawanan
Amerika berbicara dengan pasti. Semua menatap padanya, dia adalah Roxy. "Anda di bayarkan untuk
membebaskan dan diantar sampai Amerika bukan?" ujar Roxy langsung ditujukan pada Si Bungsu. Si Bungsu
tertegun sebentar kemudian mengangguk. "Jika saya tidak bersama anda, bagaimana anda bisa menepati janji
untuk mengantarkan saya ke Amerika?"" ujar Roxy sambil menatap lurus-lurus pada Si Bungsu.
"Kita bisa bertemu di suatu tempat setelah kalian bebas.." ujar Si Bungsu. "Saya tetap disini?" "Yang
tinggal disini harus bertempur dan kecil sekali kemungkinan selamat?" ujar Si Bungsu. "Saya sudah biasa
bertempur dan disekap bertahun-tahun. Soal hidup atau mati, tidak lagi menjadi penting"." ujar Roxy. Thin
Binh menatap Roxy dengan mata melotot. Ketika tidak menatap langsung, namun Roxy tahu kalau gadis
Vietnam itu keki setelah dia mengatakan akan tinggal. Dan entah mengapa, dia justru senang membuat keki
gadis itu. Semakin dongkol hati Thi Binh semakin senang hati Roxy.
Roxy tersenyum, dan dengan senyum itu dia menatap Si Bungsu, kemudian Thi Binh. Ooo, jengkelnya
hati Thi Binh melihat senyum perempuan Amerika itu. Baginya, senyum itu adalah senyum perempuan gatal.
Entah mengapa sakit saja hatinya melihat gadis Amerika yang satu ini. Apalagi melihat dia senyum-senyum
pada Si Bungsu. Rombongan itu akhirnya terbagi dua. Yang satu nya ditemani beberapa orang yang sehat,
bergerak kearah perbukitan, dengan Duc Thio sebagai penunjuk jalan. Jumlah yang bersama Si Bungsu kini ada
10 orang. Yang tiga orang adalah Si Bungsu, Han Doi, dan Thi Binh. Sementara di pihak bekas tawanan Amerika
yaitu Kolonel MacMahon, Roxy, dua anggota SEAL dan tiga yang berasal dari baret hijau.
Bedil yang sepuluh mereka bagi dua, begitu juga dengan peluru dan dinamitnya. Dan Si Bungsu
memberikan jam tangannya, yang bisa menyiarkan sinyal panggilan kepada kapal induk Amerika kepada
letnan yang ikut bersama Duc Thio. Kendati dia tahu kalau letnan itu bisa memakai alat pada jam itu, tapi dia
tetap meberikan petunjuk biar lebih meyakinkan. "Kini Komando ada di tangan anda Kolonel?" ujar Si Bungsu,
beberapa saat setelah rombongan yang menyelamatkan diri itu hilang dari pandangan mereka.
Kolonel MacMahon yang memang dari tadi sudah memperhatikan situasi di mana mereka berada, segera
mengatur rencana. Dia menyebar personel yang ada dalam radius tertentu. Dimana mereka masih bisa saling
mengawasi. Namun Roxy menolak ketika ditempatkan disayap tengah. "Saya harus berada di dekat orang ini
Kolonel. Karena sesuai janjinya pada ayah saya, dia bertanggung jawab atas hidup dan mati saya?" ujar gadis
itu. Yang di maksud dengan "orang ini" siapa lagi kalau bukan Si Bungsu. Thi Binh kontan melototkan mata
kearah Roxy begitu mendengar ucapan itu. Dan Roxy memang sedang menanti pandangan gadis itu dan begitu
Thi Binh mempelototi nya dia balas dengan senyum simpul. Oo.. gondoknya hati Thi Binh, sedangkan Si Bungsu
hanya diam. Apa boleh buat dia memang sudah berjanji pada ayah gadis itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 641
Dalam Neraka Vietnam -bagian-609
Dia lalu memaparkan rencananya pada Kolonel MacMahon. Dia akan meyerang barak tentara Vietnam
bersama Thi Binh. Dijelaskannya bahwa gadis itu tak bisa menghapus dendamnya pada tentara Vietnam di
bawah sana, akibat perkosaan dan dijadikan pemuas nafsu selama berbulan-bulan. Tanpa berniat dan
menimbulkan kesan mengajari si Kolonel, Si Bungsu menjelaskan teori klasik perkelahian, bahwa pertahanan
yang terbaik adalah menyerang. Konkretnya, menyerang sepuluh kali lebih baik dari pada bertahan.
"Jika Anda setuju, Kolonel, saya akan menyusup menghancurkan gudang senjata mereka. Siapa tahu,
kami bisa mencuri beberapa senjata dari gudang tersebut. Tapi, paling tidak, meledaknya gudang itu akan
menyebabkan ditariknya sebagian pasukan yang memburu kita?" ujar Si Bungsu perlahan.
Kolonel MacMahon menyetujui rencana tersebut, namun dia mengusulkan agar Si Bungsu disertai salah
seorang dari anak buahnya yang berasal dari pasukan SEAL. Saran itu segera disetujui Si Bungsu. Namun ketika
dia akan berangkat bersama Thi Binh dan Sersan Mc Dowell, Roxy yang tidak bersenjata segera pula berdiri di
samping Thi Binh. "Saya ikut bersamamu?" ujarnya sambil melemparkan senyum pada Thi Binh.
Saking jengkelnya, hampir saja Thi Binh menampar bibir mungil yang tersenyum itu. Sungguh mati, dia
tak ingin perempuan yang dianggapnya gatal ini ikut-ikut pula bersama dia dan Si Bungsu. Namun sebelum dia
sempat bereaksi, Si Bungsu sudah menyuruh pasukan kecil itu bergerak. Si Bungsu di depan, Mc Dowell
menyilahkan Thi Binh dan Roxy bergerak duluan, dia menempati posisi paling belakang.
Namun, ketika Si Bungsu sudah bergerak cukup jauh, kedua gadis itu masih tegak dan saling pandang,
seperti dua harimau yang akan saling terkam. Sudah dua kali Mc Dowell menyilakan mereka untuk maju,
keduanya masih tegak dan saling pelotot. Penat saling tatap dan saling pelotot, akhirnya Roxy yang memang
dalam usia jauh lebih tua dari Thi Binh segera mengambil inisiatif menyilahkan gadis itu melangkah duluan.
Namun Thi Binh masih tegak. Maka Roxy tak lagi peduli, dia segera berjalan mengejar Si Bungsu. Thi
Binh seperti disengat lebah melihat Roxy yang dicapnya sebagai perempuan gatal itu tiba-tiba saja nyelonong
duluan. Dia memegang bedilnya erat-erat, kemudian bergegas menyusul langkah Roxy. Menyelinap di antara
belukar dan batu-batu besar. "Perempuan gatal, perempuan lont"." gerutu Thi Binh sambil berusaha
mempercepat langkah. Hatinya bertambah sakit, tatkala melihat jauh di depan sana, di antara palunan belukar, sekilas-sekilas
dia melihat perempuan itu sudah berjalan beriringan dekat sekali dengan Si Bungsu. Oo, jengkel dan gondoknya
dia. Kalau saja tak khawatir suaranya akan terdengar oleh tentara Vietnam, yang mungkin sudah ada di sekitar
mereka, Thi Binh pasti akan berteriak menyuruh Si Bungsu berhenti menantinya.
Tapi maksudnya itu terpaksa dia urungkan, sebab dia tak tahu apakah tentara Vietnam yang memburu
mereka sudah berada di sekitar tempat ini atau tidak. Kalau dia bersuara keras, pasti akan terdengar oleh orang
yang memburunya itu. Kendati demikian, Thi Binh tak bisa menghapus jengkel dan gondok di hatinya begitu
saja terhadap perempuan yang dicapnya gatal itu.
Sebenarnya, sumber rasa gondok dan jengkel itu, adalah rasa cemburu. Sungguh, dia demikian mencintai
Si Bungsu. Dia tak ingin ada perempuan lain yang menyela di antara kehidupan mereka berdua. Usianya yang
baru lima belas, meski tubuhnya seperti gadis 17 tahun, menyebabkan dia sulit mengontrol hatinya. Dia merasa
Roxy adalah sumber gangguan yang amat potensial bagi hubungannya dengan Si Bungsu. Dia tak menginginkan
itu. Konyolnya, Roxy yang tahu benar bahwa gadis itu mencintai Si Bungsu, dan dia juga tahu bahwa gadis
tersebut cemburu padanya, justru bersikap membakar-bakar. Seperti sikapnya memilih tinggal bersama Si
Bungsu, bukannya ikut menyelamatkan diri bersama teman-temannya yang lain. Padahal, apalah urusannya
berada bersama Si Bungsu. Dia tentu akan lebih aman bila menyingkir dari tempat ini bersama rombongan
yang dipimpin Duc Thio. Pertempuran pertama terjadi ternyata bukan melibatkan rombongan Si Bungsu atau MacMahon yang
bertahan. Pertempuran itu justru terjadi pada rombongan orang-orang yang menyelamatkan diri bersama Duc
Thio. Untung saja mereka tak masuk jebakan. Pertempuran pecah setelah letnan dari pasukan Baret Hijau yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 642
menyertai Duc Thio, yang tadi menerima jam tangan sinyal dari Si Bungsu, melihat sekilas gerakan
mencurigakan sekitar dua puluh depa di depan mereka.
Dia memberi isyarat ke rombongan di belakangnya. Rombongan itu berhenti tiba-tiba dan mencari
perlindungan di balik batu atau kayu-kayu besar. Si Letnan membisikkan kepada Duc Thio bahwa dia melihat
gerakan di depan sana. "Anda tunggu di sini. Senjata kita hanya dua pucuk?" bisik si letnan sambil memberi
isyarat memanggil seorang Sersan pasukan Baret Hijau yang berada di bahagian belakang.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-610
Sersan itu, yang tak memiliki bedil, segera mendekat pada si letnan. Mereka mengatur taktik untuk
mengetahui berapa jumlah tentara Vietnam di depan sana, kemudian jika mungkin menjebak dan
melumpuhkannya. Si letnan membuat gerakan melambung ke kiri, sementara si Sersan yang hanya berbekal
bayonet melambung ke arah kanan. Keduanya lenyap dalam palunan belantara lebat. Duc Thio berjaga-jaga di
tempat tersebut. Dia segera ingat senjata di tangannya. Dia melihat ada seorang kopral Baret Hijau yang duduk
bersandar ke batang kayu besar sembari memeluk tubuh Helena, tentara wanita yang sakit dan tak mampu
berjalan itu. Duc Thio bergerak ke belakang, ke arah kopral tersebut.
"Senjata ini akan jauh lebih bermanfaat jika Anda yang memegangnya. Biar saya yang menggantikan
memapah dia?" bisik Duc Thio sambil menunjuk pada Helena. Kopral itu tentu saja menerima tawaran
tersebut. Bagi tentara seperti dia, berada dalam pelarian tanpa senjata sama dengan lari bertelanjang. Perlahan
dipindahkannya tubuh Helena ke pelukan Duc Thio, kemudian diambilnya senjata laras panjang hasil rampasan
tersebut, dan segera bergerak ke bahagian depan. Letnan yang tadi menyelinap ke depan, tiba-tiba mendengar
ada suara langkah di bahagian kanannya. Dengan cepat, nyaris tanpa menimbulkan suara dia bersembunyi ke
balik rimbunan belukar. Hanya beberapa detik setelah dia bersembunyi, di balik beberapa pohon besar di bahagian kanannya
muncul dua orang tentara Vietnam. Kedua mereka menatap tanah, nampaknya mencoba melihat jejak yang
ditinggalkan pelarian yang mereka kejar. Kedua tentara itu lewat hanya sekitar dua depa dari tempat
persembunyian si letnan. Si letnan masih menanti beberapa saat, dia tak bisa gegabah. Dia tak tahu berapa
orang sebenarnya tentara Vietnam yang memburu mereka ke arah ini.
Jika sekarang dia menembak, dia khawatir bahagian lain dari tentara yang memburu mereka akan
berdatangan kemari. Namun usahanya untuk berdiam diri digagalkan oleh seekor ular daun yang sejak dia
menyelusup ke belukar rimbun itu sudah mengintai. Ular hijau itu besarnya tak lebih dari sebesar jempol lelaki
dewasa, dengan panjang sekitar satu depa. Namun tak seorang pun di antara tentara Amerika yang bertugas di
belantara Asia yang tak tahu betapa mematikannya gigitan ular kecil tersebut.
Si letnan masih beruntung, saat dia menatap tajam ke arah dua tentara Vietnam di depannya, sudut
matanya sekilas menangkap ada benda yang bergerak di bahagian atas kepalanya. Nalurinya yang tajam masih
cepat bereaksi ketika kepala ular itu menyambar ke arah lehernya. Dia berguling menjatuhkan diri, dan
menembak. Kepala ular tersebut hancur dihantam pelurunya. Dan si letnan dalam suatu gerakan berputar
segera memuntahkan peluru ke arah dua tentara Vietnam yang terkejut mendengar letusan hanya empat depa
di belakang mereka. Semburan peluru dari bedil si letnan membuat kedua tentara Vietnam itu terjungkal mati. Namun
setelah itu terdengar suara teriakan-teriakan. Dan tempat si letnan kemudian dihajar ratusan peluru dari balikbalik pepohonan. Dengan menyumpah si letnan bergulingan dari balik pohon ke pohon lain untuk
menyelamatkan diri dari terkaman peluru. Sekitar lima puluh meter dari tempat si letnan, Duc Thio dan para
pelarian wanita serta tentara yang sakit, mendengar suara letusan itu dengan berdebar.
Suara tembakan tiba-tiba berhenti. Si letnan tiarap di balik sebuah pohon besar. Dia tidak tahu ada
berapa tentara Vietnam yang kini berada di hadapannya. Baik dirinya maupun pasukan yang mengejarnya
sama-sama tak mengetahui berapa lawan yang mereka hadapi. Sersan yang tadi melambung ke bahagian
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 643
kanan, yang hanya berbekal sebuah bayonet, begitu mendengar suara tembakan di bahagian kirinya, segera
menyelusup mendekati tempat pertempuran tersebut. Dia tahu yang disirami tembakan itu adalah si letnan.
Dengan cara menyelusup yang kemahirannya masih dia miliki, kendati sudah tiga tahun dalam sekapan,
dia sampai ke tempat pertempuran itu saat suara tembakan terhenti. Dia tak tahu si letnan berada di mana.
Untuk itu si kopral bersiul. Siulnya amat susah dibedakan dengan suara burung. Kemahiran meniru suara
burung atau suara hewan lainnya menjadi andalan bagi pasukan Baret Hijau dan pasukan SEAL Amerika, dalam
perang di hutan belantara.
Si letnan, yang masih dalam posisi tiarap dan menanti, mendengar suara sejenis burung yang hidup
dalam belantara Vietnam tersebut. Dia segera tahu, suara itu adalah suara si Sersan. Ada kode khusus di dalam
tiruan suara burung itu, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang memang mempelajari suara tersebut. Dia
lalu menyahuti suara itu dengan meniru suara burung pula. Dari asal suara itu, si Sersan menjadi faham di mana
letnan itu kini berada. Sekitar lima puluh depa di depannya. Kalau begitu, tentara Vietnam kini berada antara
dia dengan si letnan. Sersan itu mengambil sebuah dahan kering sebesar lengan yang tergeletak tak jauh dari tempatnya
tegak. Setelah mengira-ngira, dia melemparkan dahan itu ke rimbunan semak di bahagian kanannya. Begitu
suara desau dahan kering itu menerpa semak, serentetan tembakan menghajar semak tersebut. Dan si Sersan
menandai sebuah pohon besar tempat asal tembakan yang terdekat dengannya. Pohon besar itu berada di
depannya, agak ke kiri, hanya sekitar sepuluh depa. Dia melihat, tentara di balik pohon besar itu berada di
posisi paling belakang dari empat temannya yang lain, yang tadi menghujani semak yang dilemparnya dengan
dahan itu dengan siraman peluru. Sersan itu menarik nafas, mengingat kembali masa-masa terakhir
pertempuran sebelum dia tertangkap.
Disiksa dengan amat sangat selama berbulan-bulan, dan dijebloskan ke tahanan di goa batu di bukit
cadas itu. Hanya mereka yang memiliki ketahanan fisik dan kekuatan mental yang luar biasa saja yang mampu
melewati masa penyiksaan tak terperikan itu dengan selamat. Yang tak kuat, seperti puluhan teman-temannya,
mati atau paling tidak lumpuh. Sebagaimana terjadi pada beberapa orang di antara mereka, yang baru saja
dibebaskan Si Bungsu dan kini sedang berupaya menyelamatkan diri.
Sersan berkulit hitam itu merasa urat-uratnya menegang saat dia mulai menyelinap dari pohon ke
pohon, melata seperti seekor ular, mendekati kayu besar di mana salah seorang tentara Vietnam
menyemburkan tembakannya barusan. Hampir tanpa suara dia sampai ke sebuah pohon sekitar lima depa dari
pohon besar itu. Dari tempatnya kini dengan jelas dia dapat melihat tentara Vietnam yang sedang tiarap dan
mengarahkan senjata ke belukar di mana letnan dari pasukan Baret Hijau Amerika itu bertahan.
Si Sersan kembali menarik nafas, menggenggam bayonet rampasannya dengan erat. Tak dia lihat tentara
Vietnam yang lain. Mereka pastilah tersembunyi di balik-balik pohon yang lain. Hal itu paling tidak memberi
kesempatan padanya untuk lebih leluasa bergerak. Dengan sekali lagi menarik nafas panjang, dengan gerakan
yang masih cukup cepat dia tegak, kemudian memutari pohon tempat dia berada. Menyerbu ke arah tentara
Vietnam yang sedang tiarap dengan posisi membelakanginya.
Tentara Vietnam yang sedang menatap ke arah belukar di mana tentara Amerika yang menembaki
mereka tadi berada, tak tahu sama sekali bahwa bahaya mengintainya dari belakang. Dia memang sempat
mendengar suara perlahan di belakangnya. Namun sudah sangat terlambat baginya untuk mengetahui suara
apa itu gerangan. Karena tiba-tiba saja dagunya diraih dan ditarik ke atas dengan kuat. Dia hanya sempat
terkejut dan terbelalak, namun hanya sampai di situ.
Dia bahkan tak sempat menjerit, karena bayonet di tangan tentara Negro Amerika itu sudah memotong
lehernya. Terdorong oleh kebencian yang sangat akibat dendam bertahun-tahun disiksa, tentara Amerika itu
tak sadar bahwa irisan bayonetnya sudah hampir memutuskan leher si Vietnam. Orang Vietnam itu bahkan tak
sempat lagi berkelojotan. Hanya darah yang menyembur-nyembur dari lehernya yang hampir putus.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 611
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 644
Kalau saja si Negro berada di bahagian depan, tubuhnya pasti sudah basah kuyup oleh darah yang
menyembur, seperti air bertekanan kuat yang muncrat dari pipa pecah. Tapi kini, karena dia berada di atas
tubuh si Vietnam yang tiarap, yang terkena semburan darah adalah tangannya yang memegang bayonet.
Kemudian tubuh Vietnam tersebut terkapar. Sersan Negro itu menghapuskan darah di mata bayonet itu ke baju
korbannya. Menyisipkan bayonet itu ke pinggang, kemudian mengambil bedil si Vietnam.
Kemudian dia kembali bersiul menirukan suara burung. Dari isyarat yang dia beri, si letnan menjadi
faham bahwa situasi dikuasai si Sersan. Letnan tersebut membuat gerakan di tempat persembunyiannya.
Begitu dia membuat gerakan, begitu empat senjata dari empat tempat yang berbeda menyalak menyiramkan
timah panas ke arah tempat si letnan. Dan kesempatan itu memang ditunggu Sersan Negro tersebut.
Kini dia menjadi tahu dimana posisi ke empat tentara Vietnam yang masih tersisa, setelah dua mati di
tangan si letnan dan yang seorang mati di tangannya. Dia menuju ke rumpun pinang yang amat rimbun, enam
depa di bahagian kanannya. Di sana dia mendapati seorang tentara yang masih berusia belasan tahun sedang
menembak ke arah tempat persembunyian si letnan. Vietnam itu sama sekali tak tahu bahwa maut berada
dekat sekali di belakangnya.
Dari balik kayu besar di mana kini dia berdiri, Sersan tersebut mengirimkan sebuah timah panas, ke
kepala tentara Vietnam itu. Peluru menembus topi waja tentara tersebut, tembus ke kepalanya, dan keluar di
kening dengan meninggalkan lobang besar yang memuncratkan benaknya. Tentara Vietnam yang sedang
menembak dalam posisi berlutut di balik pohon tumbang itu langsung tertelungkup ke pohon tersebut.
Nyawanya melayang sebelum kepalanya menyentuh pohon melintang di depannya.
Si Sersan mengambil senjata otomatis milik tentara Vietnam itu. Kemudian dia kembali bersiul, yang
segera difahami oleh si letnan yang masih bersembunyi di balik belukar. Hanya beberapa detik setelah siulan
itu, si letnan menghamburkan tembakan ke arah pohon-pohon di mana tadi dia melihat sumber tembakan itu,
lalu dia melambungkan diri, bergulingan ke arah pohon besar yang terletak sekitar lima depa di kanannya.
Kemunculan dirinya segera disambut oleh tembakan gencar tentara Vietnam yang berada di tiga tempat.
Dan itulah taktik yang sengaja dibuat si Sersan dan letnan tersebut. Ketiga sisa regu pemburu itu tak
mengetahui bahwa salah seorang pelarian yang mereka kejar justru sudah menusuk ke garis belakang mereka.
Begitu mereka menembak ke arah si letnan, Sersan itu segera bergerak cepat. Satu demi satu dia datangi tempat
si penembak dari arah belakang, dan dengan mudah menghabisi nyawa mereka. Sepi!
Letnan dari pasukan Baret Hijau itu muncul dari balik persembunyiannya setelah kembali terdengar
suara siulan si Sersan. Dia menatap ke arah tujuh mayat tentara Vietnam yang bergelimpangan. Dan ketika
Sersan Negro itu muncul dari balik sebuah pohon besar, dia menyalaminya. Mereka kemudian bergegas ke arah
rombongan yang tadi mereka tinggalkan di belakang. Dengan senjata rampasan dari tujuh tentara Vietnam itu,
jumlah senjata mereka sudah sembilan pucuk. Itu berarti hanya seorang yang tak memiliki senjata. Dan tentu
saja yang tak diberi bersenjata adalah Helena, teman seruangan dalam tahanan dengan Roxy. Usahkan untuk
memegang senjata, untuk berjalan saja dia tak mampu.
"Mereka nampaknya dibagi dalam regu-regu kecil untuk memburu kita. Kita harus bergerak cepat. Suara
tembakan tadi bisa mengundang kedatangan regu-regu pemburu yang lain kemari?" ujar si letnan. Duc Thio
yang bertindak selaku penunjuk jalan segera membawa rombongan itu bergerak menuju ke arah danau yang
masih cukup jauh. Dan apa yang dikatakan si letnan nampaknya memang benar. Kendati tempat mereka sudah
cukup jauh dari barak tentara Vietnam itu, namun suara tembakan tadi tetap saja terdengar sayup-sayup. Baik
oleh tentara Vietnam yang ada di barak, maupun oleh rombongan Kolonel MacMahon dan rombongan Si
Bungsu. Begitu mendengar tembakan, komandan pasukan Vietnam di barak itu segera memerintahkan suatu
pasukan kecil yang terdiri dari dua puluh personil untuk memburu ke arah suara pertempuran tersebut. Kini
di barak-barak itu hanya tinggal sekitar sepuluh tentara, termasuk komandannya, seorang Kolonel. Tak
seorang pun di antara kesepuluh tentara Vietnam yang kini berada di lapangan di tengah lingkaran barak-barak


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut yang menyadari bahwa hanya belasan meter dari tempat mereka kini berada, mengintip empat pasang
mata. Keempat orang itu adalah Si Bungsu, Sersan MacDowell, Thi Binh dan Roxy. Dari tempat mengintip
mereka berempat melihat ke dua puluh tentara yang berangkat buru-buru ke arah asal tembakan tersebut.
Pasukan itu nampaknya akan melewati tempat dimana Kolonel MacMahon memasang jebakan. Si Bungsu
membisikkan pada ketiga anggota rombongannya agar menanti ke dua puluh tentara itu berlalu cukup jauh.
Pada saat ke dua puluh pemburu itu terlibat pertempuran dengan pasukan MacMahon, mereka baru bergerak
menyerang tentara di barak tersebut.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 645
"Ke arah mana pasukan yang lain perginya?" bisik Sersan MacDowell pada Si Bungsu, yang merasa
khawatir pada nasib teman-temannya yang melarikan diri di bawah pimpinan Duc Thio. Jangan-jangan mereka
sudah tewas semua. "Untuk memburu kita, nampaknya mereka dibagi dalam beberapa regu. Tiap regu menyisir
arah yang berbeda"." jawab Si Bungsu.
Sementara itu, mata Thi Binh nanap menatap ke lapangan di tengah kumpulan barak di depan sana. Di
sana, di lapangan tersebut, di dekat tiang bendera, sekitar sepuluh tentara sedang berdiri dengan senjata siap
di tangan masing-masing. Di bahagian depan seorang Kolonel terlihat mondar-mandir. Sebentar dia berhenti,
tegak dan menatap ke arah bukit-bukit batu, di mana malam tadi dia masih menawan tujuh belas tentara
Amerika. Kemudian dia membalikkan diri, berjalan lagi. Sepuluh langkah berjalan dia berhenti. Menatap ke arah
darimana tadi terdengar sayup-sayup suara tembakan. Mata Thi Binh berkilat memancarkan dendam melihat
Kolonel separoh baya tersebut. Dia teringat, ketika pertama dibawa ke barak-barak ini, dia ditaruh di barak
bahagian tengah. Yaitu barak yang dihuni oleh si Kolonel. Tak lama setelah dia dimasukkan ke kamar, di pintu
kamar yang dibiarkan terbuka tiba-tiba berdiri si Kolonel. Kolonel itu bertubuh besar, kepalanya yang tak
bertopi kelihatan botak separoh bahagian depan. Si Kolonel menatapnya dari ujung rambut ke ujung kaki,
seolah-olah akan menelannya. Lalu Kolonel itu melangkah dua langkah memasuki kamar.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-612
Dengan kakinya dia tutupkan pintu di belakangnya. Kemudian, dengan mata nyalang menatap tubuh Thi
Binh yang ranum, sambil membuka baju dinasnya. Thi Binh yang semula sudah menggigil di tempat tidur,
menginsutkan dirinya ke sudut, dan makin ke sudut, sampai tubuhnya menempel ke dinding. Si Kolonel yang
masih berdiri sekitar dua meter dari pembaringan, membuka sepatu dinasnya, kemudian celananya.
Kini dia tegak dengan celana kolor kecil. Setelah sekali lagi menatap dengan muka yang sudah memerah
karena menahan nafsu, Kolonel itu mulai mendekati pembaringan. Thi Binh bertekad akan mempertahankan
kehormatannya sampai mati. Begitu si Kolonel meraba tangannya, dia segera menggigit tangan Kolonel
tersebut sekuat tenaga. Tidak hanya itu, saat giginya menggigit lengan Kolonel itu sekuat daya, kedua
tangannya mencakar wajah Kolonel tersebut.
Laknatnya, si Kolonel tidak hanya membiarkan tangannya digigit terus dan mukanya dicakari, dia malah
semakin terangsang oleh gigitan dan cakaran itu. Thi Binh baru melepaskan gigitannya setelah dia merasakan
asinnya darah di mulutnya. Darah segar kelihatan meleleh di lengan si Kolonel akibat gigitan Thi Binh. Kolonel
itu duduk berlutut di pembaringan.
Dia menatap ke lengannya. Darah menetes dari bekas gigitan ke alas tempat tidur. Perlahan diangkatnya
lengannya yang berdarah itu ke dekat mulutnya. Gerakannya terhenti sesaat tatkala tertatap pada paha putih
Thi Binh yang tersingkap lewat roknya yang tak karuan. Matanya menatap paha putih dan mulus itu dengan
jalang. Thi Binh cepat-cepat manarik ujung roknya yang tersingkap, kembali menutup pahanya yang tersimbah
separoh. Kolonel itu tersenyum. Tangannya yang berdarah kembali dia dekatkan ke mulutnya. Lalu perlahan dia
menjulurkan lidah. Dengan mata jalang menatap nanap ke dada Thi Binh yang ranum dan berombak akibat
nafasnya yang sesak, si Kolonel menjilati darah yang menetes tersebut. Kemudian menelannya. Usai menjilati,
dia mengulurkan tangan kirinya yang belum kena gigit. Seolah-olah meminta agar tangan kirinya itu juga
digigit. Bulu tengkuk Thi Binh benar-benar merinding. Ketika gadis itu tak bergerak, Kolonel itu mengingsutkan
dirinya perlahan. Thi Binh memekik histeris dan tangannya kembali mencakar-cakar. Namun karena jaraknya
masih agak jauh, cakaran tangannya hanya menerpa angin. Si Kolonel menghentikan gerakannya. Dari jarak
tak sampai sedepa itu, dia menatap diam Thi Binh yang sedang memekik dan mencakar-cakar angin.
Dia seolah-olah menikmati tidak hanya darah di tangannya yang masih saja menetes, tapi dengan nafsu
yang amat aneh dia juga menikmati gadis itu memekik dan gerakan mencakar-cakarnya. Kejadian itu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 646
berlangsung beberapa lama, sampai akhirnya Thi Binh kehabisan suara untuk memekik, dan kehabisan tenaga
untuk mencakar. Gadis itu tersandar lemas ke dinding.
Kolonel itu kembali menatap ke dada ranum Thi Binh, yang berombak turun naik akibat nafasnya yang
sesak. Menjilati paha gadis itu yang putih mulus dan tersimbah, dengan tatapan mata jalangnya. Sadar pahanya
ditatap dengan rakus, dengan sisa-sisa tenaganya Thi Binh memperbaiki ujung roknya yang tersingkap,
sehingga pahanya kembali tertutup.
Kemudian, ketika mata Kolonel itu nanap menatap dadanya yang ranum, gadis itu menutup dadanya
dengan kedua belah tangannya. Si Kolonel mengingsut tubuhnya ke dekat Thi Binh. Gadis itu tak punya tempat
lagi untuk surut. Tubuhnya sudah tersandar rapat ke dinding. Melihat tak ada reaksi, si Kolonel perlahan
mengulurkan tangannya membelai rambut Thi Binh. Tak ada reaksi perlawanan. Tangan Kolonel itu turun ke
pipi. Nafas Thi Binh semakin sesak, namun tetap tak ada perlawanan. Tangan Kolonel itu beralih ke tengkuk
Thi Binh. Membelainya dengan lembut. Namun ketika tangan itu baru bergeser dari pipi ke tengkuk, rasa takut
yang amat sangat tiba-tiba membuat Thi Binh memekik lagi. Mencakar lagi. Menendang-nendang lagi. Lagi, lagi,
lagi dan lagi! Namun akhirnya dia sampai ke batas kodratnya sebagai seorang wanita.
Seorang gadis kecil yang jolong besar. Seluruh tenaga dan dayanya terkuras sampai ke titik paling
bawah. Itulah mula bencana, dan sekaligus laknat, yang menimpa diri Thi Binh. Lima belas hari berturut-turut
dia direndam di kamar jahanam itu. Benar-benar dijadikan budak pemuas nafsu Kolonel celaka itu. Di hari
kelima belas, ada gadis lain yang berhasil diculik pasukan si Kolonel. Kecantikan gadis itu sedang-sedang saja.
Tapi bodinya bukan main. Pinggulnya luar biasa bahenol.
Sudah menjadi ketentuan, yang tak boleh dilanggar sedikit pun, bahwa setiap wanita yang didapat yang
mencicipinya pertama kali haruslah sang komandan. Siapa lagi kalau bukan Kolonel gaek kurapan itu. Begitu
pula dengan gadis berpinggul dan berpaha besar itu. Dia segera diserahkan kepada si Kolonel.
Thi Binh semula berharap dirinya akan segera tertolong dengan adanya korban baru tersebut. Dia
berharap bisa segera dibebaskan dari neraka jahanam itu. Namun nasibnya ternyata sangat malang. Wakil
komandan pasukan itu, seorang tentara buncit berpangkat Mayor, sudah sejak awal menaruh minat yang amat
sangat pada Thi Binh. Semasa gadis itu masih dipakai si Kolonel, seringkali si Mayor diam-diam mengintip Thi
Binh saat mandi di belakang barak.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 613
Di belakang barak si Kolonel ada sebuah kamar mandi darurat yang airnya dialirkan dari bukit-bukit
batu tak jauh dari belakang barak dengan slang bambu. Kamar mandi itu merupakan tempat para perwira
mandi. Kalau prajurit yang lain mandinya ke sungai semua. Kamar mandi tersebut didinding dengan papan
kasar. Jadilah dia dinding apa adanya.
Papan seperti itulah yang dibuat untuk dinding seluruh barak dan kamar mandi perwira. Tentu saja ada
bahagian-bahagian yang tak begitu rapat. Dari celah dinding itulah si Mayor sering ngintip bila Thi Binh atau
wanita-wanita lainnya mandi. Wanita-wanita itu, semuanya, termasuk Thi Binh, memang tak terbiasa memakai
kain basahan ketika mandi. Hal itu amat membuat si Mayor bersuka cita.
Kini, setelah si Kolonel mendapat mainan baru, si besar pinggul yang baru datang itu, Thi Binh segera
diantarkan seorang Sersan ke barak si Mayor. Di sini gadis itu harus menderita selama sepuluh hari. Saat si
Kolonel selesai dengan gadis berpinggul besar itu, dia lalu menyerahkan pada si Mayor agak empat atau lima
hari, kemudian ditempatkan di barak seorang Kapten.
Setelah para perwira menikmati tubuhnya, pada bulan kedua Thi Binh baru diantar ke barak dimana
belasan wanita lain sudah sejak lama disekap. Thi Binh tak tahu, mana neraka yang lebih jahanam antara barak
perwira atau di barak umum ini. Para prajurit datang silih berganti. Kadang-kadang sehari dia dipaksa melayani
empat sampai tujuh prajurit. Dan tiga bulan di barak umum itu, akhirnya dia diserang sipilis.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 647
Di tubuhnya, termasuk di bibirnya, muncul kudis yang mengeluarkan nanah yang baunya amat menusuk.
Dia segera dikembalikan kepada ayahnya di kampung, dan hanya beberapa hari di kampung, lelaki dari
Indonesia yang bernama Bungsu itu muncul bersama Han Doi.
Si Bungsu terkejut melihat tubuh Thi Binh menggigil. Roxy yang tegak tak jauh dari Si Bungsu juga kaget
melihat betapa tubuh gadis yang sering dibuatnya cemburu itu menggigil hebat, sementara matanya menatap
lurus ke depan. Si Bungsu menoleh ke arah yang ditatap Thin Binh. Dia yakin, gadis itu menatap Kolonel yang
mondar-mandir di depan belasan pasukannya di tengah lapangan, di depan barak-barak sana.
Si Bungsu melihat Thi Binh tiba-tiba mengangkat bedilnya. Namun sebelum bedil itu meledak, Si Bungsu
perlahan memegang lengan gadis itu. Kemudian memegang bedilnya. Dia menggeleng, memberi isyarat agar
jangan terburu-buru. "Belum sekarang Thi-thi. Kita semua akan terbunuh jika engkau meletuskan sebuah
peluru saat ini. Lagi pula, peluru bedilmu takkan mencapai perwira di tengah lapangan sana. Kalaupun sampai
pasti hanya sekedar melukai, takkan mematikan. Sabarlah, sebentar lagi.
Jika belasan tentara yang tadi berangkat sudah dihadang pasukan Kolonel MacMahon, kita akan
menyerbu mereka yang di depan sana. Engkau boleh membunuh mereka. Membalas dendammu?" bisik Si
Bungsu perlahan. Thi Binh menurunkan bedilnya. Matanya basah, dadanya berombak menahan bara dendam.
Roxy yang tegak di samping kiri Si Bungsu kini bisa menerka apa yang sudah terjadi pada diri Thi Binh. Diamdiam dia tak hanya merasa menyesal membuat gadis itu keki, tapi juga merasa kasihan pada nasibnya. Perlahan
dia menggeser tegak melewati Si Bungsu, mendekati Thi Binh.
Gadis yang didekati itu kembali mendelikkan mata melihat orang yang dianggapnya perempuan gatal
ini mendekati dirinya. Hatinya sudah sejak tadi bengkak melihat si gatal ini lengket terus di dekat Si Bungsu.
Kayak perangko dengan amplop saja. Akan halnya Roxy, yang memang jauh lebih dewasa dibanding Thi Binh
yang berusia lima belas tahun itu, tak lagi berminat memperuncing suasana. Biasanya dipelototi seperti itu, dia
akan membalas dengan cengar-cengir dan malah semakin mendekati Si Bungsu. Namun kali ini, dia mendekati
"saingannya" itu dengan wajah jernih.
"Maafkan jika tadi saya menyakiti hatimu. Nasib buruk yang menimpa dirimu terlebih dahulu menimpa
diriku dan teman-temanku yang lain, yang mereka sekap dalam goa di bukit cadas itu. Bedanya, karena kalian
anak negeri ini, kalian dipaksa menjadi pemuas nafsu mereka terus menerus. Sementara kami hanya dipakai
saat-saat mereka perlukan. Kolonel laknat yang di depan sana, adalah orang yang menodai diriku untuk kali
pertama. Kemudian bergantian perwira-perwira yang lain. Saya rasa hal itu juga engkau alami. Namun, nasib
kita tak jauh berbeda adikku?" bisik Roxy perlahan sambil memegang bahu Thi Binh.
Mendengar cerita perawat Amerika yang semula amat dicemburuinya ini, yang mengalami nasib yang
sama dengannya, hati Thi Binh tiba-tiba runtuh. Dia tak mampu menahan air mata dan menangis sesunggukan.
Roxy memeluknya dengan lembut. Thi Binh menyandarkan kepalanya ke dada perawat itu, dan menumpahkan
tangisnya di sana. Si Bungsu manarik nafas terharu dan gembira. Terharu mendengar nasib yang juga menimpa
Roxy. Gembira karena kedua wanita yang semula saling bermusuhan seperti kucing dengan tikus itu kini sudah
akur, malah saling peluk. Dia bukannya tak tahu, Thi Binh marah pada Roxy karena merasa cemburu. Cemburu
karena Roxy sengaja berpura-pura mendekatinya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 648
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 614
"Saya rasa sebentar lagi pasukan tadi sudah akan sampai di tempat jebakan Kolonel MacMahon.
Sebaiknya kita mendekati barak itu, serta mengatur strategi?" bisik Si Bungsu pada Letnan Rodney Duval,
anggota SEAL Amerika yang menyertainya. "Anda yang memegang komando, Pak. Saya siap menerima
perintah?" ujar Letnan Duval, yang diselamatkan nyawanya oleh Si Bungsu dalam pertarungan sekeluar dari
goa sekapan pagi tadi. Kata-kata yang dia ucapkan terjauh dari basa-basi. Sampai saat ini dia tak yakin lelaki ini bukan anggota
tentara. Kemahiran yang dia miliki, melebihi pasukan SEAL, yang di Amerika sana sangat disegani oleh pasukan
elit manapun. Diam-diam Duval yang saat di goa itu memang menganggap enteng lelaki Indonesia ini, kini
berbalik mengaguminya. Betapa dia takkan kagum, di goa itu saja lelaki ini sendirian menghabisi empat tentara Vietnam tanpa
sebuah peluru pun. Padahal keempat tentara Vietnam itu memegang bedil yang siap memuntahkan peluru.
"Barak yang di tengah itu adalah gudang senjata. Kita akan mendekati barak itu. Saya akan menyelusup ke
dalam. Barangkali saya bisa mengambil dua buah senapan mesin ringan. Kalian bertiga berjaga-jaga di luar.
Jika ada yang mencurigakan, jangan membuang waktu. Tembak saja. Sekarang kita berangkat?" bisik Bungsu.
Namun dia terhenti saat teringat Thi Binh dan Roxy.
"Thi-thi, Roxy, ikut kami dari belakang. Hati-hati?" ujarnya. Kedua gadis itu sama-sama mengangguk.
Lalu mereka segera menyelusup di balik lindungan belantara, mendekati barak-barak tersebut. Si Bugsu
berada di depan, menyusul Thi Binh dan Roxy. Di belakang sekali berada Letnan Duval. "Kolonel itu bahagian
saya. Dia harus merasakan pembalasan saya?" desis Thi Binh sambil menyelinap di balik sebatang pohon
besar. "Ya, jika pun saya yang berhasil menangkapnya, dia akan saya serahkan padamu, Thi-thi?" bisik Roxy
yang berada di sisinya. "Terimakasih, Roxy?" ujar Thi Binh dengan perasaan terharu, sambil menatap pada
"bekas musuh" nya itu.
Kendati kedua wanita itu bicara berbisik, namun Si Bungsu mendengarnya dengan jelas. Dia menarik
nafas panjang, lega. Tiba-tiba hampir serentak langkah mereka terhenti dan masing-masing pada merunduk di
tempat yang tersembunyi. Dari kejauhan mereka mendengar rentetan tembakan, sahut bersahut. Ke empat
mereka tahu, suara tembakan itu berasal dari tempat di mana Kolonel MacMahon berada. Itu berarti pasukan
Vietnam yang menyusul teman-teman mereka yang dihabisi rombongan Duc Thio, masuk perangkap
MacMahon. "Sekarang giliran kita?" bisik Si Bungsu sambil kembali bergerak maju, diikuti ke tiga anggota
"pasukan"nya. Dia berhenti di balik sebuah batu besar yang ditumbuhi pohon jenis beringin yang rindang.
Kemudian menatap ke lapangan di tengah deretan tentara Vietnam, yang kini jaraknya dari tempat mereka
hanya sekitar dua puluh depa. Dia memberi isyarat pada Duval, bahwa dia akan memasuki salah satu barak itu
dari belakang, dan minta Duval mengawasinya. Kemudian dia mendekati tempat Thi Binh dan Roxy.
Dengan berbisik dia minta agar mereka tetap di tempatnya masing-masing. Setelah sekali lagi
memperhatikan si Kolonel di tengah lapangan sana, yang bersama belasan orang anggota pasukannya sedang
menatap ke arah datangnya suara tembakan, Si Bungsu mulai mendekati barak senjata yang malam tadi dia
masuki. Dia harus merayap ketika melintasi sungai kecil dan dangkal lima depa dari barak.
Di bawah tatapan mata ketiga orang yang dia tinggalkan di belukar di belakangnya, Si Bungsu segera
mencapai barak tempat menyimpan senjata itu. Dia menyesal juga kenapa malam tadi tidak teringat
mengambil senapan mesin ringan jenis bren yang di dalam barak itu ada tiga atau empat buah. Kini dia masuk
dengan perasaan khawatir, kalau-kalau senapan mesin itu sudah diambil semua oleh tentara Vietnam dalam
upaya memburu mereka. Di bawah terik matahari dia segera membuka dua keping papan yang malam tadi memang sudah dia
copot pakunya. Dia beruntung tak ada patroli. Sebahagian besar tentara Vietnam sudah disebar memburu
mereka. Yang tinggal di barak tak menyangka sama sekali kalau orang yang mereka buru justru hanya berada
beberapa depa di belakang barak mereka. Tambahan lagi kini perhatian mereka tertuju pada suara tembakan
yang terdengar cukup jelas di perbukitan batu di bahagian barat sana. Ketika sudah berada di dalam barak, Si
Bungsu merasa lega. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 649
Dalam Neraka Vietnam -bagian-615
Di sana masih ada dua senjata mesin jenis bren tersebut. Kemudian ada beberapa peluncur roket anti
pesawat udara. Diambilnya kedua buah bren dengan peluru berantai itu. Pelurunya dia masukkan ke ransel.
Kemudian dia ambil empat buah roket anti pesawat udara, berikut dua buah peluncur roket. Dia bergegas
kebagian belakang. Kemudian keluar. Dia merasa tak perlu menutupkan kembali papan yang copot. Tak ada
gunanya. Thi Binh menahan nafas ketika melihat tangan Si Bungsu mengulurkan senjata yang dia curi itu dari
Dalam barak. Dia khawatir tiba-tiba saja dan ada tentara Vietnam menuju kebelakang barak. Gadis itu, juga Roxy, baru
menarik nafas panjang dan lega ketika Si Bungsu sudah berlari kearah mereka. Mereka tak tahu bahwa telunjuk
Duval senantiasa berada di pelatuk bedil. Dengan menatap nanap menatap kearah apapun yang bergerak
mendekati barak tersebut, baik dari depan maupun dari belakang.
Dia sudah merencanakan, jika ada yang bergerak kebarak, dia akan menembaknya. Kemudian sasaran
berikutnya adalah sang Kolonel. Dia akan membunuh Kolonel tersebut, untuk menimbulkan kepanikan di
antara pasukan tersebut. Tapi untunglah tak satupun, diantara belasan tentara Vietnam yang berada di
lapangan depan barak itu yang mendekati barak yang di masuki Si Bungsu, kini Si Bungsu sudah di dekat
mereka. Suara tembakan dari kejauhan, dari tempat Kolonel MacMahon berada, masih terdengar secara sporadis.
Tak lagi segencar yang pertama. Letnan Duval segera memasukan rantai peluru kedua bren yang dibawa Si
Bungsu. Kemudian juga memasukkan masing-masing sebuah roket kedua buah tabung howitzer, yang dipakai
sebagai senjata anti pesawat udara atau anti tank. Si Bungsu menatap Thi Binh. Kemudian berkata perlahan.
"Thi-thi, waktu kita sangat pendek. Kita tak mungkin menangkap Kolonel itu. Tapi, engkau tetap bisa
membalaskan dendam mu. Dari sini, dengan howitzer ini engkau bisa membuat tubuhnya menjadi serpihan
daging?" Mata Thi Binh berkilat. Kemudian dia menatap si Kolonel itu yang masih petentengan di tengah
lapangan sana. Si Bungsu menatap pada Duval. "Letnan, kau tuntun dia menembakkan howitzer ini, agar apa
yang dia ingin dia peroleh?" "Siap, pak"!" jawab Duval sambil mengangkat sebuah howitzer.
Dia memperagakan cara mempergunakan senjata berbentuk tabung itu. Senjata itu diletakkan di bahu,
bahagian yang agak kecil di hadapkan kedepan. Lalu dia menunjukan pelatuknya. Pada saat yang sama Si
Bungsu meletakkan sebuah bren diatas batu, lalu memberikan howitzer yang satu lagi kepada Roxy.
"Bersamaan dengan isyarat Letnan Duval, Thi-thi menembak si Kolonel, anda menembak gudang senjata
mereka. Saya akan menembaki tentara yang berkeliaran?" ujarnya.
Gadis itu menatap dengan mata berkilat pada Si Bungsu, kemudian mengangguk dan mengangkat
howitzer ke bahunya. Dia tentu saja sudah paham mempergunakan senjata itu. Dia membidikkannya kearah
barak persenjataan Vietnam, sekitar dua puluh depa di depan mereka. "Berapa lama peluru howitzer ini
mencapai sasaran setelah di tembakkan?" tanya Si Bungsu pada letnan Duval. Duval memandang Kolonel itu,
memperkirakan jarak mereka dengan si Kolonel. "Antara dua detik sampai tiga detik?" jawabnya. "Dengar Thithi, aku akan berteriak seolah-olah memanggil Kolonel itu. Dia akan menoleh kemari, aku akan melambailambaikan tangan. Dia tentu kaget dan heran, saat itu kau tarik pelatuk howitzer mu, saat dia melihat kemari,
paham?" Thi Binh mengangguk. Letnan Duval tersenyum. "Bisa kita mulai?" "Bisa pak, anda panggilah sahabat
anda itu, pak?" jawab Duval.
Si Bungsu lalu berteriak sekuat tenaga beberapa kali. Kolonel itu, serta dua orang tentara lainnya
celingukan mencari-cari datangnya suara itu. Si Bungsu mengeluarkan handuk kecil dari sakunya, kemudian
melambaikannya. Si Kolonel melihatnya, dan berbicara pada tentara di sampingnya. Saat itulah Duval
menyuruh Thi Binh dan Roxy menarik pelatuk Howitzernya.
Terdengar suara mendesis tajam, ketika proyektil dari dua tabung di bahu Thi Binh dan Roxy meluncur
keluar. Si Kolonel menjadi curiga karena sekilas dia seperti melihat asap tipis di bukit bebatuan itu. Namun
kecurigaanya itu sudah terlambat, benar-benar terlambat. Jarak antara dia dengan asap tipis yang di lihat itu
terlalu dekat bagi roket anti pesawat. Pada saat yang bersamaan, dua ledakan hebat terjadi. Ledakan pertama
terjadi ketika roket Roxy menghantam gudang senjata. Sedetik kemudian wajah si Kolonel seperti "menabrak"
sesuatu. Kemudian si Kolonel dan lima orang tentaranya seperti lenyap kedalam ledakan dasyat. Tubuh si
Kolonel dan kelima anak buahnya benar-benar jadi serpihan daging.
Beberapa tentara yang berdiri jauh dari si Kolonel dan lima atau enam tentara itu terkejut tatkala setelah
suara ledakan tubuh mereka di landa serpihan kain, daging, tulang,dan cipratan darah. Mereka tak lagi melihat
Kolonel dan teman-teman mereka. Semua lenyap bersama ledakan itu. Mereka seperti tak sempat di buat
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 650
terkejut, sebab disaat yang bersamaan dengan ledakan yang menghantam sang Kolonel terjadi ledakan susul
menyusul. Pertama ledakan yang menghancurkan gudang senjata, kedua ledakan mesiu dari ledakan gudang
senjata itu menyebar kemana-mana menjadi bola liar yang menghantam tentara yang di barak maupun di luar.
Kepanikan terjadi melanda beberapa tentara yang masih hidup. Mereka lari bertempasan, ada yang
berlari mencari perlindungan. Dan ada yang lari mencari tempat untuk melakukan balasan dari serangan yang
tak tahu berasal dari mana. Malangnya begitu mereka bergerak tubuh mereka di hajar muntahan senjata mesin
Si Bungsu. Beberapa orang diantaranya rebah seperti pohon pisang di tebang parang tajam. Terjungkal
berkuah darah dan mati. Hanya dua atau paling tiga yang selamat. Mereka tiarap ditanah seolah-olah sudah
mati dan sebagian memang sudah tak bernyawa lagi.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Bungsu menatap Thi Binh yang masih tegak tak bergerak, dengan howitzer di bahu, dan mata nanap
memandang kearah sang Kolonel yang sudah lenyap itu. Perlahan dia ambil howitzer dari bahu gadis itu,
sedangkan Thi Binh masih terus menatap ke areal barak dan seperti tak percaya kalau dialah yang mencabut
nyawa si Kolonel. "Seluruh kepingan dagingmu akan langsung ke Neraka.." bisik hatinya, menyumpahi si
Kolonel yang tubuhnya sudah hancur lebur dengan sepenuh dendam. "Dendam mu sudah terbalaskan, Thithi?" ujar Si Bungsu sambil memegang bahu si gadis. Thi Binh seperti baru sadar dari mimpi buruk yang selalu
menghantuinya, dia memeluk Si Bungsu dan menangis terisak-isak. "Terimakasih, Bungsu" Terimakasih?"
ujarnya. Roxy menatap kedua orang itu dengan diam.
Di balik sebuah bukit, sekitar seratusan meter dari barak yang sedang mengalami kiamat kecil itu, ada
beberapa barak panjang. Di barak itu dijejali belasan wanita Vietnam berusia diantara 14 sampai 20 tahun,
yang rata-rata berwajah elok. Mereka dijadikan sebagai pemuas nafsu bagi ratusan tentara Vietnam di barak
itu. Setiap tentara yang akan memuaskan nafsunya, harus menyerahkan sebuah kupon pada wanita tersebut.
Kupon itu dapat diambil pada perwira keuangan, yang mencatatnya, dan akan di potong langsung dari
gaji mereka. Bagi wanita-wanita tersebut, pada saat mereka di lepas, biasanya karena jatuh sakit atau di anggap
"sudah ketinggalan seri", mereka dapat menukarkan kupon yang mereka kumpulkan ke perwira keuangan,
dengan nilai tertentu tiap kuponnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 651
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 616
Makin banyak tentara yang menyukai layanan mereka, makin banyak mereka mendapat kupon, itu
berarti makin banyak pula mereka mendapat uang. Thi Binh tentu saja pernah mendapatkan kupon itu. Baik
dari Kolonel gaek itu, dan jumlahnya banyak sekali, dari Mayor yang wakil komandan, maupun dari para
prajurit. Namun tiap diserahkan tiap dirobeknya kupon tersebut.
Sampai akhirnya ada di antara wanita-wanita di barak itu yang meminta agar kupon itu jangan dirobek,
tapi diberikan pada mereka. Mereka membutuhkan kupon itu, karena orang tua mereka adalah petani miskin.
Jadi uang dari tukaran kupon amat berarti bagi mereka, untuk dibawa pulang ke kampung jika tiba saatnya
dibebaskan. Saat gempuran melanda barak-barak, tak seorang pun tentara Vietnam yang berada di barak para
wanita penghibur tersebut.
Sejak pagi tadi dibunyikan terompet bahaya. Semua personil segera berhamburan ke barak masingmasing. Memakai pakaian tempur dan mengambil senjata. Kemudian mereka segera dibagi dalam empat
peleton besar, dan langsung menerima perintah memburu tawanan yang lolos itu ke empat penjuru. Sudah
sejak pagi para wanita itu berada di bukit batu yang memisahkan barak mereka dengan barak yang dihuni para
tentara. Bukit itu biasanya tempat mereka menghibur diri bila sore hari. Karena dari sana bisa memandang ke
arah barat dan bisa pula memandang ke bahagian belakang, ke sungai besar yang mengalirkan air amat jernih.
Kini mereka menanti apa yang akan terjadi, kenapa para tentara tiba-tiba diperintahkan berkumpul
seluruhnya" Mereka melihat para tentara itu bergegas menyusun barisan. Ada pula regu-regu kecil
berkekuatan tujuh orang, yang menyisir wilayah hutan berbukit terjal di sekitar barak.
Saat terdengar suara tembakan dari kejauhan, wanita-wanita tersebut segera berlarian ke bukit batu di
belakang barak mereka. Mereka melihat hanya belasan tentara yang berada di depan barak. Lalu juga melihat
si Kolonel mondar mandir di depan pasukan yang belasan itu, persis kereta api lansir. Hampir semua wanita
itu mengenal Kolonel gaek tersebut. Sebab hampir semua mereka dibawa ke kamp ini harus dipersembahkan
terlebih dahulu kepada gaek kalera bernafsu badak itu.
Saat itulah tiba-tiba mereka mendengar sebuah ledakan, lalu tubuh Kolonel badak itu lenyap dari
pandangan bersama gumpalan asap dan kilatan api. Lalu tentara-tentara yang lain pada bertumbangan, lalu
salah sebuah barak meledak dan dilemparkan ke udara menjadi kepingan-kepingan tak berbentuk. Para wanita
itu ternganga, ada yang menggigil. Namun, hati mereka sungguh-sungguh amat bersuka cita.
Mereka tak peduli pihak mana yang membunuh Kolonel dan anak buahnya itu. Tak peduli apakah
malaikat atau iblis. Yang penting semua tentara jahanam di barak ini mampus. Mereka sudah berbulan-bulan
dijadikan budak pemuas nafsu tentara-tentara laknat tersebut. Bermacam perangai tentara itu yang harus
mereka hadapi. Tak sedikit yang berpenyakit jiwa dalam memenuhi kebutuhannya terhadap perempuan.
Ada yang baru terpuaskan nafsunya setelah dia berhubungan sambil menyakiti si wanita. Meninju,
menyepak, sampai tubuh si wanita babak belur. Ada yang lebih dari itu, yaitu yang suka menyayat-nyayat
bahagian tertentu tubuh pasangannya dengan bayonet. Sayatannya memang tak dalam, sekedar luka bekas
sayatan itu mengalirkan darah. Sambil berhubungan, si tentara akan menghisap dan menelan darah yang
mengalir dari bahagian tubuh perempuan itu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 652
Dalam Neraka Vietnam -bagian-617
Ada pula yang sebaliknya, dia baru mencapai puncak kenikmatan bila dia yang disakiti. Dia akan
meminta pada wanita pasangannya untuk mencambuknya dengan kopel, bahkan ada yang sengaja membawa
potongan rotan sebesar empu kaki. Dia meminta si wanita memukuli punggung, pantat dan pahanya dengan
rotan sampai lebam dan bilur-bilur. Dan semua pengalaman itu meninggalkan teror yang menyeramkan pada
wanita-wanita yang dipaksa menjadi pemuas nafsu setan tentara-tentara Vietkong itu.
Kini, melihat Kolonel itu dan belasan anggotanya mampus, sebahagian dari wanita-wanita yang melihat
dari bukit batu itu pada bergegas turun. Mereka pada mengemasi pakaian dan barang-barang mereka. Mereka
merasa waktu pembebasan bagi mereka sudah tiba. Derita yang tak tertanggungkan itu sudah akan berakhir.
Namun sebahagian lagi tetap saja terduduk diam di tempatnya.
Menatap dengan mata tak berkedip ke lapangan di tengah barak di bawah sana. Menatap ke arah mayat
yang bergelimpangan, ke arah barak yang hancur lebur. Menatap ke arah api yang marak di bekas barak yang
hancur lebur itu. Kendati ada jarak sekitar seratus sampai dua ratus meter tempat mereka berada dengan
barak-barak di bawah sana, namun karena tak ada satu pun yang menghalangi pandangan, mereka dapat
melihat dengan jelas apa yang terjadi.
Si Bungsu yang masih tegak di sebalik batu besar, tiba-tiba hatinya merasa tak enak. Dia amat yakin pada
firasatnya. Dia menatap ke segala penjuru. Saat itu Duval juga sudah selesai menembaki tentara yang berada
di lapangan di depan barak tersebut. Si Bungsu memberi isyarat agar mereka berdiam diri sesaat. Roxy, Duval
dan Thi Binh lalu berjongkok di balik batu besar di dekat mereka.
Dengan bahasa isyarat Si Bungsu menyuruh Duval kembali mengisi kedua howitzer yang baru
ditembakkan Roxy dan Thi Binh. Saat Letnan Duval mengisi roket ke howitzer itu, Si Bungsu berlutut dan
mendekapkan telinganya ke tanah. Ketiga orang lainnya menatap dengan diam. Letnan Duval anggota SEAL
yang juga ahli dalam peperangan belantara tahu bahwa lelaki dari Indonesia ini barangkali merasa ada pasukan
lain mendekat mereka. Dia yang juga punya keahlian untuk mendengar dan membedakan gerakan manusia dan hewan melalui
tanah, segera ikut mendekapkan telinganya ke tanah. Namun dia tak mendengar ada gerakan kaki manusia. Dia
memang mendengar gerakan halus, tapi dia yakin gerakan itu adalah langkah hewan, bukan manusia. Dengan
keyakinan pada pendengarannya itu dia lalu duduk. Pada saat yang sama Si Bungsu juga telah duduk.
"Kau mendengar sesuatu, Duval?" bisik Si Bungsu. Duval menggeleng. Si Bungsu memberi isyarat pada
Roxy dan Thi Binh, agar keduanya bergerak perlahan ke balik sebuah batu besar yang agak melengkung.
Sehingga mereka aman dari tiga sisi. Kedua gadis itu, dengan membawa senapan masing-masing, bergerak
dengan membungkuk-bungkuk ke tempat yang ditunjukkan Si Bungsu. Tempat itu hanya beberapa depa dari
tempat Si Bungsu dan Duval. Jarak yang masih memungkinkan Si Bungsu berkomunikasi dengan berbisik
kepada dua gadis tersebut. Si Bungsu kembali menatap pada Duval. Kemudian pada Roxy dan Thi Binh.
"Kita kini terkepung. Ada sekitar tiga puluh tentara Vietnam yang berpencar di sekitar kita dalam jarak
antara lima puluh sampai tiga puluh meter?" bisik Si Bungsu. Duval ternganga. Kalau saja yang mengucapkan
kata-kata itu bukan lelaki tangguh yang diam-diam dia kagumi ini, pasti dia takkan percaya. Bagaimana dia
akan percaya, kalau dia yang juga dikenal sangat mahir melacak jejak dan mendengar gerakan di tanah dan tak
mendengar apapun. Lalu tiba-tiba lelaki ini mengatakan ada tiga puluh tentara yang mengepung mereka"
"Engkau tak mendengar langkah mereka karena mereka memang tak sedang melangkah, Duval.
Beberapa detik sebelum kita mendekapkan telinga ke tanah untuk mendengar langkah mereka, mereka sudah
berhenti bergerak. Mereka sudah berada di posisi masing-masing. Dan menunggu saat kita bergerak dan
lengah?" bisik Si Bungsu, sembari matanya seperti mata elang, menyambar ke kiri dan ke kanan, mengawasi
tiap pohon dan bebatuan besar di depan dan di samping mereka.
Duval kembali merasa terkejut dengan kemampuan daya fikir lelaki di hadapannya ini. Yang mampu
membaca fikirannya, bahwa dia tak mendengar apapun saat mendekapkan telinganya ke tanah. Namun fikiran
dan keheningan belantara itu tiba-tiba dirobek oleh serentetan tembakan. Batu di dekat telinga Duval
beserpihan diterkam peluru. Begitu pula pohon besar di dekat kepala Si Bungsu dihantam belasan peluru.
Si Bungsu menggeser diri ke arah kanan, sehingga dirinya benar-benar terlindung dari arah datangnya
tembakan. Demikian juga Duval. Mujur bagi Roxy dan Thi Binh, mereka sudah berada di tempat yang benarbenar tak mampu ditembus peluru. Kalau saja mereka masih berada di tempatnya sebelum disuruh pindah
oleh Si Bungsu, mereka pasti sudah menjadi mayat. Keempat mereka duduk di tanah, bersandar ke batu atau
pohon di belakang mereka.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 653
Dalam Neraka Vietnam -bagian-618
Namun dari tempat masing-masing keempat mereka bisa saling mengawasi. Letnan Duval yang lewat
sudut mata melihat gerakan di bahagian kirinya, tiba-tiba dengan posisi tetap duduk di tanah, sembari
mengangkat bedil tubuhnya membalik cepat ke kiri, lalu bedilnya menyalak dua kali. Terdengar pekik pendek,
kemudian disusul suara tubuh jatuh bergulingan, suara topi baja dan bedil tercampak dan berkelontangan di
batu. Lalu sepi! Duval menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu mengacungkan kepalan kepadanya. Duval membalas dengan
mengacungkan kepalan tangannya pula. Sebuah isyarat ucapan selamat di antara sesama pasukan Amerika
yang dipelajari Si Bungsu dari Han Doi. Kemudian Si Bungsu memberi petunjuk lewat bisikan sekaligus kepada
Duval, Thi Binh dan Roxy. Dia paparkan rencananya, bahwa dia akan berlari ke batu yang letaknya sekitar
sepuluh depa di kanannya sembari menembak ke suatu sasaran di kanan. Lalu dia beri petunjuk tempat-tempat
yang harus dicecar Thi Binh, Roxy dan Duval dengan tembakan begitu dia mendapat tembakan balasan. Setelah
menanti beberapa saat. Si Bungsu tiba-tiba berdiri, sembari berteriak keras dia berlari sambil menembak.
Terdengar teriakan dua tentara diiringi semak yang terkuak oleh kelojotan tubuh manusia, dari bawah pohon
besar yang baru dihajar oleh tembakan beruntun bedil Si Bungsu.
Namun pada saat itu, dari beberapa arah hampir serentak terdengar tembakan senapan otomatis yang
ditujukan ke arah tubuh Si Bungsu. Namun lelaki yang sudah kenyang dengan kehidupan belantara itu, lari
seperti seekor kijang yang amat gesit. Larinya meliuk-liuk dari pohon yang satu ke gundukan batu, dari
gundukan satu ke pohon yang lain. Larinya yang meliuk-liuk itu, untuk sementara menyelamatkan nyawanya
dari terkaman peluru. Pada saat itulah, Letnan Duval bangkit dan kemudian menghajar tempat yang tadi ditunjuk Si Bungsu
sebelum lari. Dari tempat itu memang terdengar rentetan peluru. Pada saat yang sama, Roxy juga bangkit dari
duduknya, kemudian menembakkan senapan mesin di tangannya ke arah gundukan batu ke bahagian kiri, dari
mana suara tembakan juga menggelegar diarahkan kepada Si Bungsu.
Akan halnya Thi Binh, untuk sesaat gadis itu masih tercekam oleh rasa takut dan khawatir atas
keselamatan Si Bungsu. Dia hanya menatap dengan wajah penuh kecemasan. Lupa pada instruksi Si Bungsu,
bahwa dia harus menembak ke arah kiri, ke bawah pohon berdaun merah. Barulah setelah mendengar
tembakan Roxy dia tersadar. Dia bangkit dan menghujani tempat yang ditunjukkan Si Bungsu tadi dengan
peluru senapannya. Karena tentara-tentara Vietkong itu perhatiannya memang ditujukan pada lelaki yang jadi sasaran
mereka, yaitu yang berlari meliuk-liuk dalam sasaran tembak itu, mereka menjadi abai dari kemungkinan
datangnya tembakan dari tempat lain. Karenanya, begitu Duval, Roxy dan Thi Binh menghajar tempat
persembunyian mereka dengan tembakan, segera terdengar pekik dan lolong tentara yang meregang nyawa.
Setelah menembak sampai peluru di magazin senjata mereka habis, Duval dan Roxy serta Thi Binh
segera duduk dan mengganti magazin peluru. Semua tembakan terhenti tiba-tiba. Dari tempat
perlindungannya yang baru, Si Bungsu kembali mengacungkan kepalan tangan ke arah Duval dan Roxy. Dan
dibalas kedua orang itu dengan mengacungkan pula kepalan tangan mereka.
Si Bungsu memberi isyarat, bahwa dalam baku tembak barusan mereka telah membunuh tujuh tentara
Vietnam. Si Bungsu mendapat dua nyawa. Duval tiga nyawa dan Roxy serta Thi Binh masing-masing satu
nyawa. Duval tercengang pada kemampuan indera keenam lelaki Indonesia itu. Dalam posisi dihajar peluru
seperti itu pun lelaki itu masih mampu menghitung berapa korban yang jatuh di pihak musuh. Mereka kini
sama-sama terdiam. Baik pihak Si Bungsu maupun pihak tentara Vietnam yang mengepung mereka. Tak ada
yang bergerak. Dalam Neraka Vietnam -bagian-619
Namun naluri Si Bungsu berkata lain. Ada sesuatu yang sedang bergerak mendekati tempat mereka. Dan
datangnya justru dari arah barak-barak! Dia menatap keliling. Dia yakin, sosok yang datang itu tidak menuju
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 654
ke tempatnya. Bulu tengkuknya merinding, ketika mengetahui bahwa sosok yang datang itu justru sudah
berada tak begitu jauh dari tempat Roxy dan Thi Binh! Dia segera memberi isyarat ke arah kedua gadis itu.
Celaka, kedua orang itu justru sedang sibuk mengisi magazin senjata mereka. Si Bungsu tak melihat
kemungkinan Duval yang berada agak dekat dengan kedua gadis itu untuk menolong.
Sebab tempat kedua gadis itu berlindung justru cukup tinggi, sementara tempat berlindung Duval lebih
rendah. Artinya, jika orang menyerang dari belakang kedua gadis itu, Duval tak hanya tak dapat melihat, juga
tak dapat memberikan bantuan. Dia ambil sebuah batu, dia lemparkan ke arah Thi Binh. Untung kedua mereka
menoleh ke arahnya. Karena tempatnya sudah agak jauh dari kedua gadis itu, dia tak mungkin lagi berbisik.
Si Bungsu lalu memberi isyarat, bahwa ada bahaya mengancam dari belakang mereka. Namun terlambat
sudah, saat itu dua orang tentara sudah muncul dari balik sebatang pohon, yang tak kelihatan dari tempat Si
Bungsu. Kedua tentara itu adalah yang tadi selamat dari tembakan senapan mesin mereka saat berada di depan
barak-barak sana. Tubuh mereka terlindung oleh barak lain yang tak hancur.
Saat peluru howitzer meluluh lantakkan barak, mereka tiarap diam di tanah. Lalu, tak lama kemudian
ketika mereka mendengar suara pertempuran, mereka segera merayap ke belakang barak. Mereka memang
datang dari arah yang tepat, yaitu dari belakang perlindungan Roxy dan Thi Binh. Kini keduanya muncul
dengan senjata siap ditembakkan! Pada saat yang teramat kritis itu, untunglah Roxy cepat bereaksi.
Belum lagi isyarat Si Bungsu berakhir, dia sudah faham bahaya yang akan muncul. Dia menolehkan
kepala ke belakang, persis saat kedua tentara Vietnam itu membidikkan bedilnya ke arah mereka. Roxy yang
masih memegang senapan mesin ringan bergerak cepat. Karena tak mungkin mendorong tubuh Thi Binh untuk
menyelamatkan gadis itu dari sasaran tembak, dia menghamburi saja tubuh gadis Vietnam itu sambil
menembakkan pula senapan mesinnya!
Rentetan tembakan dari tiga bedil, dua bedil tentara Vietnam dan bedil di tangan Roxy, menyalak hanya
dalam batasan sepersekian detik. Gerakan Roxy menghamburi tubuh Thi Binh yang sedang menghadap ke Si
Bungsu dan membelakangi si penembak, memang tepat pada waktunya. Begitu juga tembakan senapan
mesinnya. Thi Binh selamat dari terkaman peluru.
Kedua tentara Vietkong itu terjungkal dengan dada dan perut hancur diterkam peluru senapan mesin
Roxy. Namun pada saat yang sama, tubuh Roxy juga terpental dihantam peluru! Thi Binh yang tadi tubuhnya
ditubruk Roxy, jatuh, terpelanting sedepa ke kanan. Namun karena itulah nyawanya selamat. Sebagai gantinya,
yang kena tembakan justru Roxy! Thi Binh yang sadar bahwa nyawanya diselamatkan "bekas musuh" nya itu
memekik. Dia menghambur memeluk tubuh Roxy yang tertelungkup tak bergerak. Si Bungsu tak sempat lagi
memberi isyarat kepada Duval untuk melindungi dirinya. Dia segera berlari meliuk-liuk ke tempat Roxy dan
Thi Binh. Dirinya segera menjadi sasaran tembakan puluhan tentara Vietnam yang mengepung mereka.
Namun, kendati tak diberi tahu, sebagai seorang prajurit Duval faham apa yang menjadi tugasnya.
Begitu melihat Si Bungsu lari ke arah berlindungnya Roxy, dia segera bangkit dan senapan mesinnya
menyalak. Dia siram berbagai tempat yang tadi merupakan sumber tambakan tentara Vietnam. Tembakan
senapan mesinnya membuat tentara-tentara Vietnam yang membidik Si Bungsu harus kembali menarik kepala
mereka dari tempat pengintaian. Mereka membatalkan niat untuk menembak, dan Si Bungsu pun selamat
sampai ke tempat Roxy dan Thi Binh. Thi Binh didapatinya sedang menangis dan memeluk kepala Roxy.
Sementara perawat Amerika itu tubuhnya berlumur darah, dan matanya terpejam.
"O" Tuhan" tidak! Tidak, jangan ambil nyawanya"!" isak Thi Binh. Tubuh Roxy tidak lagi begerak.
"Roxy" Roxy, bangunlah, please"!" isaknya sambil mengusap wajah Roxy berkali-kali. Si Bungsu tertegak tiga
langkah dari tubuh kedua gadis itu. Matanya menatap dua tubuh tentara Vietnam yang terburai isi dadanya
diterjang peluru Roxy. Dia menunduk. Thi Binh menatapnya sambil tetap memeluk kepala Roxy. "Oh Tuhan,
dia jadikan dirinya tameng untuk menyelamatkan nyawaku. Hidupkan dia kembali Bungsu" hidupkan dia
kembali!. Tolonglah?" ratap Thi Binh.
Sebelah tangannya meraih tangan Si Bungsu, sementara tangan yang sebelah lagi tetap memeluk kepala
Roxy. Si Bungsu memegang pergelangan tangan Roxy beberapa saat. Kemudian meraba nadi lehernya.
Membalikkan tubuh perawat itu. Melihat di punggungnya ada lobang berlumur darah sejajar dengan lobang di
dadanya. Dia tahu, peluru menembus dada kanan gadis ini, tidak bersarang di dalam, sehingga tidak
memerlukan operasi. Mungkin masih ada harapan, bisiknya sambil mengeluarkan dompetnya. Mengeluarkan
plastik berisi serbuk yang pernah dia pergunakan untuk mengobati Thi Binh.
Celaka, isinya ternyata hanya tinggal sedikit. Tapi dia berharap cukup untuk sekadar mengobati luka
Roxy. "Baringkan tubuhnya datar di tanah. Jika engkau ingin dia selamat Thi-thi, engkau harus menjaga kami
dengan senapan mesinmu. Bantu Duval menghadang serangan yang bisa datang secara mendadak, sementara
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 655
aku mencoba menyelamatkan nyawa Roxy?" ujar Si Bungsu. Thi Binh segera faham apa yang diinginkan Si
Bungsu. Dia segera membaringkan tubuh Roxy tertelentang datar di tanah. Kemudian dia ambil senapan mesin
yang tadi dipakai Roxy. "Saya akan menjaga kalian, tapi berjanjilah bahwa engkau akan menyelamatkan nyawanya?" ujar Thi
Binh dengan nada berharap sebelum berdiri. Si Bungsu tersenyum, lalu mengangguk. Thi Binh berdiri,
meletakkan ke atas batu senapan mesin ringan yang tadi dipergunakan Roxy, kemudian menembaki beberapa
sasaran di depan sana. Belukar yang terdapat di bawah sebuah pohon besar. Di balik-balik batu besar. Cecaran
tembakannya ternyata menelan dua nyawa, seorang tentara Vietnam yang berada di bawah pohon besar itu
bergerak akan pindah ke bahagian depan, ke tempat yang lebih dekat dengan orang yang mereka kepung.
Thi Binh sebenarnya tak menampak sosok tentara itu. Dia hanya menghajar beberapa tempat dengan
tembakan membabi buta. Dua peluru bren yang ditembakkan Thi Binh menghajar dada dan lehernya. Tentara
itu terjungkal dan mati tanpa sempat memekik. Yang seorang lagi adalah yang berada di balik sebuah batu
besar. Sejak tadi dia sudah mengintai Letnan Duval. Dan kesempatan baginya terbuka saat Duval memandang
ke arah batu di mana Roxy dan Thi Binh berada.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 656
Dalam Neraka Vietnam -bagian-620
Dia menoleh ke sana setelah Si Bungsu sampai ke tempat kedua gadis tersebut. Kesempatan saat dia
menoleh itulah yang dimanfaatkan oleh tentara Vietnam di balik batu. Sekitar lima puluh meter dari tempat
Duval. Dia mencogokkan kepalanya di atas batu, kemudian membidik. Namun saat itu pula peluru Thi Binh
yang menerjang membabi buta menyiram batu tempat tentara itu berlindung.
Mula-mula yang dihajar peluru hanya bahagian bawah batu. Si tentara yang sudah menarik kepalanya
karena khawatir kena tembak segera mencogokkan lagi wajahnya di atas batu tersebut. Namun saat itu pulalah
ujung bedil senapan Thi Binh mengarah sedikit ke atas. Dan dua peluru menghajar jidat tentara tersebut, persis
di bawah garis topi waja yang dia pakai. Kepala tentara itu seperti ditendang palu besar. Terdongak dan
tubuhnya tercampak ke belakang.
Dua kawannya yang berlindung di balik batu yang sama, terkejut dan menyumpah melihat kawannya
yang mati dengan kening berlobang itu. Thi Binh berhenti menembak setelah Duval berteriak agar menghemat
peluru. Thi Binh menarik nafas. Kemudian menurunkan bedilnya dari bahu. Dia duduk di samping Si Bungsu
yang tengah mengobati luka di dada Roxy. Baju perawat Amerika itu dirobek Si Bungsu di tentang luka.
Bubuk obatnya yang tinggal sedikit dia campur dengan mesiu. Untuk memperoleh mesiu, dia mengambil
sebuah peluru dari bedilnya. Kemudian menggigit timah bercampur tembaga runcing di bahagian ujung peluru.
Dia tanggalkan ujung peluru itu dari selosongnya yang berisi mesiu. Mesiu itu dia tuangkan ke sehelai daun.
Kemudian dicampur dengan bubuk obat dari dompetnya yang tinggal sedikit.
Karena tak ada air, dia mengaduk bubuk obat dan bubuk mesiu itu dengan air ludahnya. Lalu dia
masukkan ke luka di dada Roxy. Kemudian dia robek kedua lengan bajunya. Robekan dua lengan baju itu dia
lilitkan ke bahagian atas pangkal dada Roxy yang luka. Dengan demikian luka itu selain sudah diobati sekaligus
juga sudah diperban. Thi Binh menatap apa yang dilakukan Si Bungsu dengan diam. Setelah pekerjaan selesai,
Si Bungsu menghapus peluh di wajahnya. Kemudian menatap Thi Binh. "Engkau ingin dia selamat, nah kini
nyawanya sudah saya selamatkan"." ujar Si Bungsu perlahan.
Thi Binh menatap wajah Roxy yang mulai merona kemerah-merahan. Lalu dihapuskannya keringat


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin yang memenuhi wajah perawat Amerika tersebut dengan telapak tangannya. "Berapa orang tentara
yang kau bunuh dengan tembakanmu sebentar ini?" tanya Si Bungsu. "Tak seorangpun?" jawab Thi Binh
perlahan. "Tembakanmu membunuh dua orang tentara Thi-thi?" ujar Si Bungsu sambil tersenyum. Thi Binh
menatap tak percaya. Si Bungsu mengangguk. "Engkau tak mendengar teriakan mereka, karena
pendengaranmu terhalang oleh bunyi tembakan?"
Dalam Neraka Vietnam -bagian-621
"Engkau yakin aku membunuh dua orang tentara?" tanya Thi Binh dalam nada tak percaya. Si Bungsu
mengangguk. "Bagaimana engkau mengetahuinya?"
Si Bungsu hanya tersenyum. Dan Thi Binh segera menyadari bahwa lelaki ini memiliki indera keenam
yang amat tajam. Indera keenam yang amat tajam itu pula yang kini menyebabkan Si Bungsu tiba-tiba
mendongakkan kepala. Dia memandang keliling. Kemudian membungkuk, lalu mendekapkan kepala ke tanah.
Wajahnya menjadi tegang. Namun ketika bangkit, wajahnya tak menampakkan ekspresi apapun. Datar dan
dingin. Saat itu Roxy membuka mata. Matanya nanap menatap Thi Binh. Dan Thi Binh segera memeluknya.
"Kudengar semua ucapanmu beberapa saat sebelum aku pingsan Thi-thi. Terimakasih engkau sangat
mengkhawatirkan nyawaku?" ujarnya perlahan. "Thi-thi jaga dia. Saya akan ke tempat Duval?" ujar Si Bungsu.
Ketika Si Bungsu beranjak. Thi Binh meraih senapan mesin ringan ke dekat dirinya. Kemudian dia menatap
pada Roxy. "Maukah engkau menjadi kakakku?" bisiknya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 657
Roxy menatap gadis Vietnam itu. Kemudian di antara air matanya yang mengalir, dipeluknya Thi Binh
erat-erat. Thi Binh juga tak mampu menahan air matanya. "Aku tak punya saudara Thi-thi. Tidak ada abang dan
tidak ada adik. Aku anak tunggal. Aku bahagia jika engkau mau jadi adikku, Thi-thi?" bisik Roxy. "Terimakasih,
Kakak. Terimakasih?" ujar Thi-thi di antara isaknya, yang tak mampu dia tahan karena terharu dan bahagia.
Si Bungsu dengan cepat menyelinap ke tempat Duval. Dia bersandar ke sebuah batu, di antara bebatuan
besar yang dijadikan Duval sebagai tempat bertahan. "Bagaimana Roxy?" tanya Duval saat lelaki dari Indonesia
itu duduk di sampingnya, sambil matanya terus mengawasi tempat-tempat yang dipergunakan tentara
Vietnam mengepung mereka. "Tertembak dadanya. Sudah saya obati. Sekarang sudah sadar. Kita harus segera
menyingkir dari sini. Peleton lain sedang menuju kemari?" ujar Si Bungsu.
Letnan Duval menatap ke arahnya sejenak. Kemudian matanya kembali mengawasi semak pohon dan
bebatuan antara lima puluh sampai seratus meter di depan sana. "Berapa orang mereka?" tanya Duval. "Antara
sepuluh sampai dua puluh orang"." "Masih berapa jauh?" "Hanya sekitar sepuluh menit lagi?" Letnan Duval
kembali menatap ke arah Si Bungsu. "Berapa besar kemungkinan kita bisa lolos?" ujarnya. "Seratus persen?"
jawab Si Bungsu. Letnan dari SEAL itu menatap tepat-tepat kepada Si Bungsu.
"Engkau bawa Roxy dan Thi Binh melewati jalur kanan, tetap menempuh arah matahari terbit. Sekitar
setengah jam kalian akan bertemu dengan Kolonel MacMahon. Saya akan menghadang mereka habis-habisan
di sini?" "Saya membawa kedua gadis itu, dan engkau bertahan di sini sendirian?" desis Duval. "Engkau
mempunyai gagasan yang lebih baik?" "Jauh lebih baik dari gagasanmu, Pak?" ujar Duval. "Ceritakanlah?"
"Kita bertukar tempat?" "Maksudmu?"
"Aku yang bertahan di sini. Engkau yang membawa kedua gadis itu?" ujar Duval sambil menatap pada
Si Bungsu. Si Bungsu menarik nafas. Dia yakin, tawaran Duval bukan karena letnan itu tak yakin pada
kemampuannya untuk bertahan. Tawaran itu semata-mata karena rasa tanggung jawab.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-622
"Terima kasih, Anda yang berangkat. Saya yang bertahan?" "Pak?" "Ini perintah"." Duval menatap Si
Bungsu, kemudian bangkit. Lalu dipeluknya laki-laki dari Indonesia itu tanpa mampu bicara sepatahpun. "Kini
kita bergabung dengan dua gadis itu. Kita harus mereka lihat dalam suatu kelompok?" ujar Si Bungsu
menjelaskan bagian dari rencananya.
Kemudian secara singkat dia jelaskan jalan yang harus ditempuh Duval, Duval mengangguk. Si Bungsu
berdiri, kemudian melangkah kesamping. Lalu menembak kesalah satu tempat persembunyian tentara
Vietnam. Setelah menembak tiga kali, dia segera berlari kearah dimana tadi dia meninggalkan Roxy dan Thi
Binh. Segera saja tembakan beruntun kearah dirinya. Namun Duval tak tinggal diam. Dia mencecar tempattempat datangnya tembakan dengan peluru senapan mesinnya. Si Bungsu berhasil dengan selamat mencapai
tempat Roxy dan Thi Binh. Kedua gadis itu sedang duduk bersandar ke batu. Kondisi Roxy sudah jauh lebih
baik. Si Bungsu memberi isyarat ke Duval.
Giliran Duval menyusul dan Si Bungsu melindunginya dengan tembakan kearah tentara Vietnam.
Tatkala Duval sudah bergabung, Si Bungsu menghentikan tembakannya. Dengan cepat Si Bungsu memaparkan
apa yang akan terjadi dan apa rencana yang harus dilaksanakan untuk keluar dari kepungan ini. "Kalian harus
menyelinap dengan cepat. Jalur kanan ini, searah matahari terbit adalah jalur aman sampai ketempat Kolonel
MacMahon. Dengan bergerak cepat, dalam setengah jam paling lambat, kalian akan bergabung dengan
MacMa?" "Saya tinggal bersamamu disini"." ujar Thi Bhinh, memutus pembicaraan Si Bungsu.
Si Bungsu terdiam dengan ucapan tersebut. Dia menatap pada Thi Binh. Dia faham dan sudah menduga
sikap gadis itu akan rencananya. "Ada sekitar dua puluh tentara Vietnam yang dalam beberapa menit lagi akan
sampai disini. Keselamatan kita tergantung seberapa cepat kita bergerak.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 623
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 658
Saya akan menahan mereka di sini. Dan jangan khawatirkan saya. Begitu kalian selamat, saya dengan
mudah bisa meloloskan diri menyusul kalian?" ujar Si Bungsu. "Saya akan tinggal bersamamu"!" ujar Thi Binh
berkukuh dengan mata mulai berkaca-kaca. Si Bungsu memeluk Thi Binh.
"Dengarkan, Thi-thi. Kemarin engkau juga saya tinggal ketika saya dan pamanmu pergi mencari tempat
Roxy disekap. Saya janjikan bahwa saya akan bergabung kembali dengan kalian. Janji itu saya tepati bukan?"
Thi Binh hanya berdiam diri sambil memeluk Si Bungsu erat-erat. Roxy menatap kedua orang itu dengan diam
dari tempat dia bersandar.
"Aku juga menjanjikan padamu, bahwa engkau akan mendapat kesempatan membalaskan dendammu
pada tentara Vietnam di barak-barak sana. Janji itu juga kutepati, bukan?" "Aku tinggal bersamamu?" bisik Thi
Binh dari dalam pelukan Si Bungsu.
"Ini masalah hidup dan mati kita semua. Kalian harus berangkat. Jika tidak kita semua akan terbunuh.
Termasuk ayah dan pamanmu. Oke, kalian hanya membawa sebuah senjata. Tinggalkan yang tiga buah di sini.
Termasuk howitzer. Tapi sebelum berangkat, kita hujani mereka dengan tembakan sesaat. Oke, ambil posisi
masing-masing?" ujar Si Bungsu. "Tidakkah aku boleh tinggal bersamamu?" bisik Thi Binh sesaat sebelum
melepas pelukannya dari tubuh Si Bungsu.
"Untuk mencintaiku engkau harus tetap hidup Thi-thi. Dan untuk mencintaimu, aku juga harus tetap
hidup. Untuk bisa hidup, kau ikuti petunjukku. Aku akan segera menyusulmu, oke?"" ucapannya diputus oleh
ciuman Thi Binh di bibirnya. "Aku akan bunuh diri jika engkau tak kembali padaku?" ujar Thi Binh sambil
menyambar senapan mesin yang tadi dipakai Roxy. Roxy yang sejak tadi hanya menatap dengan diam semua
apa yang dilakukan Thi Binh, bangkit perlahan. Dia mengambil senapan mesin yang sebuah lagi. Lalu tegak
mencari posisi. Begitu juga Duval. Mereka menanti beberapa saat. Ketika semua sudah siap dengan senjata
masing-masing, Si Bungsu kembali memberikan petunjuk singkat.
"Duval, bawa senapan yang dipegang Roxy. Senapanmu dan juga senapan mesinmu Thi-thi, tinggalkan
di batu di mana kini kalian berada. Jika saya beri isyarat, hentikan menembak, tinggalkan senapan kalian dan
berangkat segera. Menyelusup secepat yang kalian bisa memudiki sungai di belakang pertahanan kita ini. Kini,
tembak"!!" seru Si Bungsu.
Mereka lalu mencecar sasaran masing-masing dengan tembakan-tembakan beruntun pendek. Lalu Si
Bungsu memberi isyarat, sambil bedilnya tetap memuntahkan peluru. Yang pertama bergerak adalah Duval.
Setelah meletakkan senjatanya, dia menyambar senjata Roxy. Kemudian bergerak ke belakang batu. Orang
kedua yang bergerak adalah Roxy. Kemudian Thi Binh. Namun gadis itu masih menyempatkan diri untuk
memeluk Si Bungsu dengan erat dan menciumnya beberapa saat sebelum dia juga berlari mengikuti langkah
Duval dan Roxy. Duval menanti di balik batu di tebing sungai
"Mana Roxy?" bisik Thi Binh sambil menuruni tebing sungai. "Dia sudah duluan?" jawab Duval. Padahal
Roxy bersembunyi di balik batu tak jauh dari belakang Si Bungsu. Begitu Thi Binh lewat dan hilang di balik
tikungan di dekat sungai. Roxy bergegas kembali ke tempat Si Bungsu yang saat itu sedang menembak dengan
senapan mesin yang di tinggalkan Thi Binh. Dari belakang dirangkulnya tubuh Si Bungsu. Si Bungsu kaget
separoh mati. Namun Roxy tak membari kesempatan.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-624
Didekapnya lelaki dari Indonesia itu dengan erat. Kemudian bibirnya melumat bibir Si Bungsu. Sebelum
Si Bungsu sadar apa yang terjadi. Roxy sudah melepaskan pelukannya. Kemudian gadis itu berkata cepat.
"Aku menyayangi Thi-thi. Aku tahu dia mencintaimu. Aku tak peduli engkau mencintainya atau tidak.
Aku tahu apa yang kulakukan ini tak pantas, apalagi mengingat aku dan Thi-thi sudah saling mengakui sebagai
saudara. Namun tak seorang pun yang bisa meramalkan apa nasib yang akan menimpa kita sebentar lagi. Sesal
akan kubawa mati, jika aku tak menyampaikan padamu bahwa aku mencintaimu. Mungkin terdengar konyol
dan bodoh. Kenal pun kita baru sehari. Tapi aku mencintaimu Bungsu"!"
Demikian cepat kata-kata itu dia ucapkan. Sehabis berkata dia segera berbalik. Kemudian bergegas
menyelinap menyusul Duval dan Thi Binh. Sebuah tembakan yang mendesing dekat telinganya menyentakkan
Si Bungsu dari rasa kaget dan keterpanaan atas apa yang baru saja terjadi. Dia cepat berbalik. Kemudian dia
pindah di tempat dimana tadi Duval berada. Diambilnya senapan yang ditinggalkan letnan SEAL tersebut.
Rahasia 3 Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Si Rase Hitam 7
^