Pencarian

Tikam Samurai 7

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 7


pantang baginya menyerang dari belakang. Kini dia menapak tegak kehadapan Si Bungsu.
Sementara itu Si Bungsu benar-benar telah memusatkan inderanya. Dia kini tidak hanya mendengar
langkah Akiyama yang mengitarinya. Kini dia harus memisahkan suara-suara yang masuk ke inderanya itu.
Memisahkannya dan memusatkan pendengaran pada langkah dan angin yang ditimbulkan oleh perpindahan
samurai Akiyama. Lambat-lambat Akiyama menghayun samurai. Kemudian menggeser tegak. Lalu tiba-tiba dengan pekik
Banzaaii yang mengguntur, ia melakukan serangan penutup. Dua kali bacokan membelah kepala. Dua kali
bacokan menebas leher dari kiri kekanan. Dan dua kali tusukan ke dada!
Namun gerakan itu terbaca oleh Si Bungsu yang memejamkan mata. Tangannya bergerak mencabut
samurai. Serangan pertama dia tangkis dengan melintangkan sarung samurainya dikepala. Serangan kedua
dengan mengayunkan samurai itu. Dan serangan berikutnya dia elakkan dengan berputar, kemudian lebih
cepat beberapa detik dari kelajuan samurai Akiyama!
"Crasss!" Samurainya membabat perut Akiyama. Dan dia berputar, lalu menikamkan samurainya ke
belakang. Snapp! Hampir seluruh samurai itu masuk ke dada Akiyama! Tikam Samurai!
Akiyama tertegak. Samurai masih ditangannya. Terangkat ke atas. Siap dibacokkan ke bawah. Ketengkuk
Si Bungsu yang menunduk dan membelakanginya. Yang jaraknya hanya sehasta dari tubuhnya. Namun dia
seperti tak ada tenaga. Dia seperti dipakukan di samurai anak muda itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 134
Tiba-tiba samurainya jatuh. Matanya layu. Tangannya memegangi samurai yang menikam tentang
jantungnya. Si Bungsu tegak, masih memegang samurainya agar tubuh Akiyama tak jatuh. Mereka bertatapan.
Tubuh mereka sama-sama berlumur darah.
"Tuan seorang samurai yang tangguh. Saya mendapat pelajaran yang banyak dari gerakan kaki tuan?"
Si Bungsu berkata perlahan. Mata Akiyama yang layu membuka sejenak.
"Anak muda. Demi Tuhan, engkaulah samurai yang paling cepat yang pernah kutemui". Saburo pun
akan susah mengalahkanmu.."
Akiyama memandang keliling. Terutama pada komandannya, pada teman-temannya yang saat itu sudah
tertegak ditempat mereka. Dan tiba-tiba kepalanya terkulai. Mati!
Jenderal Fujiyama dan para perwira itu pada berlompatan maju. Mereka berniat menyambut tubuh
Akiyama. Namun Si Bungsu telah memeluk tubuh lawannya itu. Dia membopongnya. Kemudian meletakkannya
di atas podium dimana Fujiyama tadi tegak.
Kemudian perlahan dia mencabut samurainya. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal rasa haru. Emosi
mereka telah terlatih demikian rupa. Kematian merupakan suatu kehormatan. Mati untuk Tenno Haika.
"Selamat atas kemenanganmu Bungsu. Engkau memang berhak atas kebebasanmu. Sesuatu yang kau
perdapat dengan ketangguhan?" Jenderal Fujiyama berkata. Namun Si Bungsu memasukkan samurai
kesarungnya. Kemudian di bawah tatapan ratusan pasangan mata, dia melangkah gontai meninggalkan
lapangan itu. Ketika tiba di jalan raya yang lebih tinggi dari lapangan dimana dia baru saja bertarung, dia menoleh ke
belakang dan di sana, di atas podium itu, dia lihat tubuh Akiyama masih terbaring di kelilingi teman-temannya.
Dia memanggil sebuah bendi kemudian menyebutkan alamat yang di tuju. Dan bendi itu berjalan
terguncang-guncang. Dia telah membalaskan dendam Datuk Penghulu, membalaskan kematiannya. Kematian
yang dibalas dengan kematian pula. Utang nyawa dibalas nyawa. Tapi sampai kapankah dia akan mencabut
nyawa manusia" "Badan anak muda luka, apakah kita tidak ke rumah sakit?" kusir bendi yang ikut menonton bertanya. Si
Bungsu menggeleng. "Tidak. Bawa saya pulang. Ada adik saya yang akan merawat?" katanya perlahan.
Dan di rumah Kari Basa, Salma terpekik melihat luka didada dan punggung Si Bungsu. Dengan
terhuyung Si Bungsu dipapah oleh Salma kepembaringan di bilik depan.
Salma membuka baju Si Bungsu. Kemudian mengambil baskom. Mengambil kain bersih dan
membersihkan luka Si Bungsu dengan air panas-panas kuku.
"Mana pak Kari"." Tanyanya perlahan.
"Kata Ayah dia ke Padang"."
"Masih lama akan kembali?""
"Saya tidak tahu uda. Tapi diamlah, jangan banyak membuang tenaga"."
Dan anak muda itu memang terdiam. Bukan karena tak mau bicara. Tapi karena tak bisa bicara. Dia
pingsan! Hal itu meleluasakan Salma untuk bekerja merawat luka Si Bungsu.
Untuk kali ketiga, kembali gadis ini merawatnya dengan penuh ketekunan. Si Bungsu sadar bahwa
berkali-kali dia datang pada gadis ini dalam keadaan luka. Dan Salma merawatnya hingga sembuh. Dia tidak
hanya merawat luka di tubuh Si Bungsu tapi juga juga luka dihatinya.
Ketika dia telah sembuh, suatu hari didapatinya rumah itu penuh oleh beberapa perwira bekas Gyugun,
Heiho dan pejuang-pejuang Indonesia.
"Kami datang untuk menyampaikan rasa terimakasih kami. Saudara telah banyak membantu perjuangan
mencapai kemerdekaan. Telah banyak jasa saudara. Untuk itu kami ingin menyampaikan tanda penghargaan?"
salah seorang diantara pimpinan yang dia ketahui merupakan pimpinan pejuang-pejuang bawah tanah ketika
penjajahan dahulu berkata. Semua orang yang hadir dalam rumah itu menatap padanya dengan kagum.
Dia juga menatap pada pejuang-pejuang itu dengan tenang. Lalu berkata:
"Terimakasih atas perhatian bapak-bapak. Tapi mohon dimaafkan saya tak berani menerima
penghargaan dari bapak-bapak. Penghormatan untuk tanah air, perjuangan demi kemerdekaan Nusa dan
Bangsa" Ah, saya bertanya pada diri saya, apakah hal itu memang pernah saya lakukan" Tidak, seingat saya tak
pernah, jangan jadikan saya bahan lelucon".
"Maafkan kami Bungsu. Tak sedikitpun kami berniat menjadikan saudara bahan lelucon. Penghargaan
ini semata-mata karena ikhlas. Karena memang sudah menjadi hak saudara. Saudara telah berjuang jauh
sebelum beberapa diantara kami berbuat apa-apa.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 135
"Telah banyak korban saudara. Ayah, ibu, kakak, tunangan. Dan telah banyak yang saudara bela. Saudara
telah membantu kami dan para pejuang ketika akan ditangkap Jepang di Birugo. Saudara telah membantu
Datuk Penghulu, salah seorang perwira kami. Saudara telah memperlihatkan pengorbanan yang tak ada
duanya?" Si Bungsu menarik nafas. "Baiklah, saya juga tak bermaksud untuk mengatakan bahwa bapak-bapak akan menjadikan saya
lelucon. Namun sayalah justru yang merasa jadi badut kalau sampai menerima penghormatan itu. Secara riil
saya ingin menyampaikan bahwa kematian ayah, ibu dan kakak saya bukan karena saya seorang pejuang.
Tidak, mereka meninggal justru karena kebodohan saya. Kalau saja bukan karena ibu ingin membawa saya lari,
tentu mereka sudah pergi jauh. Dan selamat dari pembantaian Jepang. Tapi malam itu saya tak dirumah. Ayah
pulang menjemput kami untuk lari. Ibu bertahan agar menunggu saya pulang kemudian bersama lari dari
kejaran Jepang. Ayah akhirnya mengalah" tapi setelah hari subuh, bukan saya yang datang melainkan Jepang. Mereka
tertangkap. Dan ayah, ibu serta kakak saya mati dihadapan mata saya. Tanpa sedikitpun saya dapat berbuat
apa-apa. Malah saya lari ketakutan. Itukah kepahlawanan yang tuan-tuan katakan gagah perkasa, yang akan
tuan-tuan beri penghargaan?"
Si Bungsu berhenti. Suaranya terdengar getir. Dia tersenyum pahit. Menatap pada pejuang-pejuang itu
dengan diam. Karena tak ada yang bersuara, dia melanjutkan:
"Kemudian pembunuhan-pembunuhan kepada Jepang itu," kalau itu yang tuan-tuan katakan
perjuangan saya buat Nusa dan Bangsa, itu juga suatu kebohongan. Saya membunuhi mereka karena saya ingin
membalas dendam atas kematian keluarga saya. Ingin menutupi kepengecutan saya dimasa lalu. Itulah yang
saya lakukan mula-mula turun dari tempat mengasingkan diri di Gunung Sago. Dan hari-hari setelah itu adalah
ahari-hari dimana maut selalu mengancam saya. Saya dicari Jepang, bukan karena saya seorang pejuang yang
akan memerdekakan negeri ini. Tidak. Saya tidak mau jadi orang munafik. Saya dicari Jepang karena saya
membunuh perwira dan prajurit-prajurit mereka.
Maka kalau kemudian banyak Jepang yang saya bunuhi, itu juga bukan karena demi kemerdekaan, demi
tanah air. Tapi semata-mata karena saya membela diri. Saya takut dibunuh, maka saya membunuh. Daripada
dibunuh lebih baik membunuh. Terakhir, saya melawan Letnan Kolonel Akiyama, itupun karena saya
membalaskan sakit hati saya. Dia telah menghantam luka saya ketika tertangkap di Koto Baru. Demikian
kuatnya, hingga saya pingsan. Kemudian dia juga telah membunuh Datuk Penghulu. Lelaki yang saya anggap
sebagai pengganti orang tua saya. Semuanya saya lakukan demi membalas dendam.
Apakah tindakan begini yang akan bapak-bapak beri penghargaan" Tidak, saya bukan seorang pejuang.
Sebenarnya saya seorang pembunuh. Hanya kebetulan saja membunuh orang yang menjajah negeri ini"
(33) Tapi anak muda, yang, yang engkau lakukan telah mengobarkan semangat juang didada pemuda kita.
Telah mengobarkan semangat dan rasa percaya bahwa kita juga mampu mengadakan perlawanan, Dihati para
Gyugun pun semangat itu berkobar. Tak ada seorangpun diantara kami ataupun penduduk yang memungkiri,
bahwa engkau adalah seorang pahlawan."
Si Bungsu tertawa letih. Ada kepahitan dalam ketawanya.
"Pahlawan. Jangan buat saya menjadi tersiksa seumur hidup. Kalau penghargaan itu saya terima, saya
akan senantiasa teringat, bahwa sayalah seorang pahlawan yang telah membiarkan dengan pengecut
keluarganya punah. Carilah orang lain, yang pantas untuk diberi penghargaan itu. Cari pejuang lain yang pantas
untuk diberikan gelar pahlawan. Orang yang benar-benar berjuang demi Nusa dan Bangsa. Gelar mulia itu tak
pantas orang seperti saya menyandangnya. Saya bukan pejuang, bukan pahlawan. Maafkan saya. Saya terpaksa
menolak anugerah itu"apapun bentuknya?"
Beberapa orang diantaranya jadi tertunduk. Diam dan merasa kecil dihadapan anak muda ini. Mereka
malu dan kecil karena sikapnya yang jujur. Mereka teringat, betapa banyak diantara mereka yang saling rebut
tempat dan kekuasaan. Saling rebut pangkat dan jabatan, padahal kemerdekaan baru dalam bentuk "orok". Ada
diantara mereka yang hadir hari ini, yang kerjanya hanya ongkang-ongkang, tapi mengaku telah banyak
berjuang. Kini anak muda yang tubuhnya pernah dicabik-cabik samurai musuh ini, yang darahnya banyak sudah
tersiram kebumi pertiwi dalam memerangi penjajahan, ternyata menolak sebutan pahlawan bagi dirinya.
Usahkan sebutan pahlawan, sebutan sebagai pejuang saja dia tak mau.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 136
Dia merasa tidak pernah berjuang. Bayangkan, kemana muka mereka disurukkan dihadapan anak muda
itu. Dan hari itu mereka pulang dengan perasaan campur aduk.
Ada yang bangga terhadap sikap anak muda tersebut. Bangga karena ada seorang pemuda Indonesia
yang berpendirian mulia dan teguh seperti itu. Ada pula yang merasa malu. Malu karena dirinya bertolak
belakang dengan anak muda itu.
Dan hari itu, dihari dia tidak mau menerima penghargaan itu, Si Bungsu mohon diri. Dia kembali
menyampaikan niatnya untuk pergi ke Jepang. Salma termenung. Demikian pula Kari Basa.
"Saya dengar ada kapal yang akan berangkat sepekan lagi dari Pekan Baru ke Singapura. Kemudian
langsung ke Jepang. Kapal pembawa minyak, mungkin saya dapat menumpang?"
"Bila engkau berniat untuk pergi".?"
"Kalau bisa besok pagi-pagi pak?"
"Tak ada yang dapat kami perbuat, selain mendoakan engkau selamat pulang pergi"."
"Terimakasih pak?"
"Teman-teman".para pejuang yang tadi kemari, sebenarnya memang sangat menghormatimu. Mereka
tak berniat untuk menyakiti hatimu. Mereka memang ikhlas memberikan penghargaan itu"."
"Saya tahu. Dan saya juga tidak tersinggung. Saya khawatir merekalah yang tersinggung. Karena saya
menolak. Saya benar-benar merasa tidak pantas untuk menerima penghargaan itu pak. Bagaimana saya
menerima pemberian sehelai baju misalnya, kalau saya menjadi demam dan tersiksa memakainya. Atau kalau
baju itu terlalu longgar bagi tubuh saya yang kecil. Itulah yang saya rasakan. Dan itu saya kemukakan dengan
segenap kejujuran pula".
Dan percakapan itu terhenti sampai disana. Si Bungsu bersiap-siap malam itu. Dia masih memiliki uang
dari penjualan perhiasan yang mereka ambil dengan Mei-mei dirumah Cina di Payakumbuh dahulu.
Sebenarnya tak banyak yang dia persiapkan. Hanya ada sepasalinan pakaian. Kemudian uangnya dia
simpan dalam kantong kain. Lalu sebuah samurai. Itulah bekalnya.
Salma tengah menyulam diruangan tengah ketika Si Bungsu muncul. Mereka bertatapan, dan Si Bungsu
dapat melihat betapa mata gadis itu basah sejak sore tadi.
"Salma"." Katanya. Gadis itu tidak mau mengangkat wajah. Dia menunduk. Tidak menyulam karena
tubuhnya terguncang-guncang menahan tangis.
"Saya banyak berutang budi padamu. Tak tahu bagaimana saya membalasnya. Hanya pada Tuhan saya
berdoa agar kebaikanmu dan kebaikan ayahmu dibalasNya setimpal"
Dia lalu meletakkan sebuah bungkusan dimeja di depan Salma.
"Ini bukan sebagai tanda terimakasih saya. Tidak. Ini sebagai kenang-kenangan. Saya tidak tahu apakah
warnanya engkau senangi atau tidak. Guntinglah kain ini, saya beli kemarin. Gunting dan buatlah kebaya
panjang, kemudian ini ada sebuah untuk kebaya pendek. Ini kain baik. Dan"ada sepasang subang dan gelang
serta peniti".saya tak tahu apakah benda-benda ini berguna bagimu. Tapi" inilah tanda mata dari saya. Dan"
ini sebuah cincin. Saya senang kalau kelak engkau memakainya ketika hari pernikahanmu"."
Salma tak lagi dapat menahan tangisnya. Dia menangis terisak-isak mendengar ucapan Si Bungsu.
Banyak yang ingin dibicarakan gadis ini. Tapi dia seorang wanita. Orang yang lebih banyak berbicara dengan
hatinya. Berbicara dan menyimpan apa yang tersasa dibatinnya jauh-jauh tanpa seorangpun yang tahu.
Begitulah kaum wanita selalu. Dan sebagai ganti ucapan, dia hanya mampu menangis.
Karena sebagai perempuan, apakah lagi yang bisa dia perbuat" Dia tatap kain dan perhiasan yang
ditinggalkan Si Bungsu untuknya. Kainnya dari bahan yang halus. Berwarna biru dengan kain batik buatan jawa
yang halus. Dan malam itu adalah malam yang tak terpicingkan oleh mata Salma. Demikian pula dengan Si Bungsu.
Dia ingin tinggal di kota ini. Dia jatuh hati pada gadis yang telah merawatnya itu. Namun apakah itu mungkin"
Bukankah dia telah bersumpah akan menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakaknya" Dan satu hal
yang amat penting, apakah gadis itu juga mencintainya" Ah, dia tak berani memikirkan itu. Gadis itu baik
padanya pastilah hanya karena dia dianggap sebagai abangnya.
Dia bolak-balik ditempat tidurnya. Menelungkup. Menelentang.
Dan akhirnya kedua mereka sama-sama tertidur takkala subuh hampir datang. Dan pagi harinya Si
Bungsu bersiap-siap untuk berangkat. Salma hanya sebentar tertidur. Kemudian bangkit sembahyang subuh.
Lalu bertanak dan memasak kopi.
Ketika ayahnya dan Si Bungsu selesai sembahyang, dia telah selesai pula dengan masakannya. Di tikar
di ruang tengah telah terhidang nasi padi baru. Gulai ayam yang telah disembelih sore kemarin. Kopi panas.
Tanpa banyak yang bisa dipercakapkan mereka makan bertiga.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 137
Akhirnya sampai juga saatnya bagi anak muda itu mohon diri. Mereka bersalaman. Lalu Si Bungsu pun
mengambil buntalan pakaiannya. Berjalan ke pintu. Dia terhenti ketika didengarnya Salma memanggil.
Gadis itu mendekat dengan kepala tunduk.
"Terimakasih atas pemberian uda kemarin. Tak ada yang bisa saya berikan sebagai tanda terimakasih.
Tapi".saya berharap uda mau menerima ini".sebagai kenang-kenangan dari saya. Dimanapun uda berada,
lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa pemiliknya selalu mendoakan semoga selamat dan bahagia selalu?"
Salma menanggalkan cincin bermata intan dijari manisnya. Kemudian dengan masih menunduk, dia meraih
tangan Si Bungsu. Memasukkan cincin itu kejari manis Si Bungsu.
Persis ukurannya. Cincin itu ternyata pas. Tubuh Si Bungsu yang tak begitu besar ternyata
memungkinkan cincin itu pas dijari manisnya. Dan sehabis memakaikan cincin itu, Salma berlari kekamarnya.
Dia menangis disana. Si Bungsu hanya tertegak diam. Sekilas tadi dia melihat dijari manis itu terpasang cincin yang kemaren
dia berikan. Dia menoleh pada Kari Basa. Orang tua itu hanya menatapnya dengan tenang. Sekali lagi Si Bungsu
menyalami orang tua itu. Kemudian cepat berbalik dan melangkah ke jalan raya.
Pagi itu dia meninggalkan Bukittinggi. Kota itu, seperti halnya seluruh kota-kota lainnya di Sumatera,
masih dikuasai Jepang secara de facto. Kekuasaan menjelang datangnya tentara sekutu yang akan mengambil
alih kekuasaan tersebut. Dengan sebuah truk mengangkut sayur-sayuran dia meninggalkan kota itu. Jalan yang ditempuh bukan
main buruknya. Berlobang-lobang dan hanya dibeberapa bahagian saja yang beraspal.
Tiga jam kemudian dia memasuki kota Payakumbuh. Truk itu berhenti dekat stasiun kereta api.
Penumpang di atasnya yang berjumlah empat orang, umumnya pedagang sayur dan beras, turun untuk mengisi
perut. Dengan perasaan berdebar, Si Bungsu turun pula. Ada perasaan lain menyelinap dihatinya ketika
kakinya menjejak kembali kota Payakumbuh. Kota itu sudah seperti kampung halamannya. Ketika ayahnya
masih hidup dahulu, dia sering dibawa kemari. Itu waktu kecil. Ketika dia telah dewasa, dia sering pula ke kota
ini. Pergi berjudi. Dan kini dia datang lagi. Kenangan masa lalunya berlarian sepanjang jalan raya. Kereta api kelihatan
mengepul asapnya dari kejauhan. Peluitnya terdengar memekik sayu. Dibelakang lokomotifnya yang tua
terlihat enam buah gerbong. Merangkak lambat-lambat memasuki kota.
Si Bungsu telah matang oleh penderitaan. Telah masak oleh pengalaman hidup. Emosinya sudah
tertempa. Dia kini seperti karang di samudera. Namun, dia tetap saja manusia. Melihat kereta api itu merangkak
perlahan, mendengar pekik peluitnya yang sayu, dia segera teringat masa kecilnya.
Ketika bersama ayahnya pergi ke Baso, ke Biaro, ke Bukittinggi. Mereka naik kereta api. Tanpa dapat
diatahan, air matanya mengalir dipipinya. Dia memandang keselatan. Jauh disana kelihatan Gunung Sago tegak
dengan gagah disapu awan.
Dan dikaki gunung itu adalah kampung halamannya. Tempat darahnya tertumpah. Disanalah ayah ibu
dan kakaknya berkubur. Kampung kecil bernama Situjuh Ladang Laweh.
Dan tak berapa ratus meter dari stasiun itu adalah rumah dimana dahulu dia bertemu dengan Mei-mei.
Dahulu dia naik bus tua ke Bukittinggi dari kota ini berdua dengan Mei-mei. Dan kini dia datang lagi.
Sendirian. Dan di Bukittinggi pagi tadi dia meninggalkan seorang gadis, gadis yang dia-diam telah mencuri
sebahagian hatinya. Salma!
Dia menarik nafas. Menghapus air mata. Dan perlahan-lahan berjalan masuk kedai. Kedai nasi itu cukup
besar. Ruangan dalamnya lebar. Pada sudut kiri dia lihat beberapa lelaki duduk. Dan selintas saja dia
mengetahui bahwa lelaki-lelaki disudut itu sedang berjudi.
Dia teringat masa lalunya. Dia melihat seperti dirinya yang duduk ditikar itu. Bersila dan membagi kartu.
Dibalik kain dipinggang para lelaki itu dia yakin tersisip sebilah pisau. Hal itu dia ketahui sebab disitulah dahulu
dunianya. Pada bahagian depan kelihatan orang sedang makan. Si Bungsu menuju ke meja dekat seorang
perempuan muda. Duduk dihadapnnya karena tak ada lagi tempat lain yang kosong.
"Nasi satu"." Katanya.
"Apa sambalnya?"
Dia memalingkan kepala ketempat ikan-ikan yang telah dimasak. Memperhatikannya.
"Dendeng bakar dan sambal lado serta petai muda"
Orang kedai mengambilkan pesanannya. Meletakkan diatas meja. Si Bungsu mengangguk pada
perempuan muda didepannya. Kemudian pada lelaki disampingnya. Lalu mulai menyuap.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 138
"Nampaknya kita berhenti disini agak lama. Ada per yang patah. Dan ban bocor. Harus ditambal dulu.
Jalan yang akan kita tempuh bukan main parahnya. Jauh lebih parah dari jalan yang telah kita lalui" sopir truk
berkata sambil mengempaskan diri di balai-balai.
Dan sopir itu meminta nasi.
Seorang lelaki tiba-tiba mendekati mereka. Dia mendekati perempuan muda yang duduk dihadapan Si
Bungsu. Berbicara perlahan. Perempuan itu menolak. Tapi lelaki itu nampaknya memaksa. Perempuan itu
menolak kembali. Dan akhirnya perempuan muda yang cukup cantik itu menyerah pada paksaan lelaki tersebut. Dia
membuka gelang ditangannya. Memberikannya pada si lelaki. Dan lelaki itu kembali ke balai-balai disudut
ruangan. Kembali berjudi!


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Bungsu mengangkat kepala. Menatap perempuan itu. Perempuan itu menunduk. Dan Si Bungsu dapat
melihat betapa wajah perempuan muda itu kelihatan murung. Sebentar-sebentar dia melirik pada lelaki yang
tadi mengambil gelangnya.
Si Bungsu meneruskan makan. Demikian pula sopir di meja yang satu lagi. Ketenangan rumah makan itu
tiba-tiba dipecahkan oleh suara pertengkaran. Pertengkaran itu berasal dari sudut dimana sedang berlangsung
perjudian. "Kalian main curang. Saya tak mau. Saya sudah banyak kalah!"
Terdengar suara seorang lelaki. Dan sebagai jawaban suaranya itu terdengar tertawa terkekeh.
"Ini Judi Sutan. Tak ada kata-kata curang. Mulut Sutan berbisa kami dengar. Apakah Sutan muak hidup?"
suara lain mengancam. Dan pemilik kedai serta orang-orang lain nampaknya tak mau ikut campur. Mungkin disebabkan dua hal
kenapa mereka lebih baik diam saja. Pertama memang sudah biasa dalam setiap perjudian disudahi dengan
pertengkaran. Atau sebab kedua adalah karena penjudi-penjudi itu orang bagak.
Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Dan sebentar saja setelah suara tadi, kini terdengar orang main
hantam. Perempuan didepan Si Bungsu terpekik. Tegak berlari kearah perjudian itu. Dan saat itu pula lelaki
yang meminjam gelangnya terpental. Jatuh melabrak meja.
Meja terjungkir. Dua buah stoples yang berisi panyaram jatuh pecah. Perempuan itu menangis memeluk
lelaki tersebut. Nampaknya mereka adalah suami isteri yang baru menikah. Tak diketahui apa sebabnya sampai
terseret ke meja judi ini. Mungkin suaminya ini pencandu judi pula. Hingga tak segan-segan meminta gelang
isterinya seleha kalah dalam tahap pertama. Pada tahap kedua, gelang istrinya ludes dan dia kena terjang pula.
"Kalau akan berkelahi diluarlah Datuk. Jangan dalam lapau saya!" pemilik kedai berkata perlahan. Aneh,
dia berkata perlahan saja. Padahal meja dan stoples serta kuenya berserakkan. Dari nada pembicaraan ini
setiap orang bisa tahu, betapa para penjdui itu amat ditakuti.
Dan benar saja, orang yang dipanggil Datuk itu tertawa menggerendeng.
"Berani waang melarang saya kini ya Murad" Apakah ingin saya panggang lapau waang ini?"
Pemilik kedai tak menjawab. Dengan menunduk habis-habisan dia membenahi meja dan toplesnya yang
berserakan. Dan lelaki yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu maju. Melihat ke arah gulai dan sambal yang terletak
dalam panci. Matanya menatap liar. Kemudian tangannya beraksi. Dengan tangan telanjang, dia mengacau
panci yang dipenuhi gulai ayam.
Kemudian mengambilnya sepotong. Lalu duduk di kursi dimana perempuan muda tadi duduk. Persis
berhadapan dengan Si Bungsu. Dia mengunyah gulai ayam itu dengan rakus. Sementara tangannya hingga ke
pergelangan dipenuhi kuah.
Dan sambil mengunyah gulai ayam itu, matanya tiba-tiba terpandang pada jari manis Si Bungsu.
Kunyahnya terhenti. "Hmm, cincin berlian?" desisnya menatap lurus-lurus pada cincin itu. Lalu tiba-tiba saja tangannya yang
berkuah-kuah itu menyambar tangan kiri Si Bungsu. Memegangnya kuat-kuat lalu menatap cincin itu.
Kemudian dia tertawa menyeringai sambil menatap Si Bungsu.
"Hei, waang mau menjual cincin ini pada saya buyung?"" katanya.
Si Bungsu menggeleng. "Saya beli dengan harga tinggi. Berapa waang mau menjual?"
"Ini tanda mata dari adik saya. Saya tak berniat menjualnya?" Si Bungsu menjawab perlahan.
"Ahh. Pasti tanda mata dari gendak waang. Bikin apa dia waang pikirkan. Cukup banyak betina lain yang
bisa waang bawa tidur. Ayo jual saja pada saya.." Datuk itu masih berkata sambil mengguncang tangan Si
Bungsu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 139
Dia menarik nafas panjang. Lalu menggeleng. Dia berusaha menahan marahnya.
"Saya tak berniat menukarnya atau menjualnya pak?" jawabnya.
"Hei, akan saya buktikan pada waang, bahwa cukup banyak perempuan yang bisa ditiduri. Saya lihat
waang dari tadi berminat pada perempuan itu.." Datuk ini menunjuk dengan mulutnya ke arah perempuan
yang tadi duduk di depan Si Bungsu. Yang kini duduk dikursi lain bersama suaminya.
Datuk itu bangkit. Tiga temannya tertawa menyeringai dari sudut memperhatikan.
"Jangan mengganggu bini orang di lapau ini Datuk?" pemilik kedai tadi coba memperingatkan. Sebab
kedainya bisa jadi lengang kalau terjadi hal-hal yang tak baik pada orang yang singgah makan.
Namun ucapannya baru saja habis ketika tangan Datuk itu mendarat dipipinya. Suara tamparannya
keras. Dan bibir pemilik kedai itu pecah!
"Sekali lagi waang mencampuri urusan saya Murad, saya jemur waang seperti dendeng di labuah sana?"
ancamnya. Dan dia meneruskan langkah ke dekat perempuan muda itu.
"Hei, upik manis. Laki upik baru saja kalah berjudi. Kenapa kau mau berlaki dengan penjudi tanggung
seperti dia" Lebih baik kau menikah dengan anak muda itu. Lihat, dia punya cincin berlian. Hayo kuantar kau
padanya"!" Berkata begitu. Datuk itu menyentakkan tangan perempuan muda tersebut.
Perempuan itu terpekik. Suaminya bangkit. Namun sebuah terjangan membuat tubuhnya tercampak ke
luar. Melihat kejadian ini, enam orang lelaki lain yang ada dalam kedai itu cepat-cepat membayar makanan
mereka dan pergi meninggalkan kedai itu. Menghindar dari bencana yang akan timbul.
Nampaknya Datuk dan ketiga koleganya adalah "orang bagak" di kota ini. Sebab kalau tak demikian,
mustahil dia akan mau berbuat seperti itu. Stasiun kereta api ini terletak persis ditengah kota. Dan ditengah
kota ini dia mau berbuat demikian, sungguh suatu perbuatan yang bagak benar.
Tangan perempuan itu derenggutkannya. Dan sekali dorong, perempuan itu terlempar ke pangkuan Si
Bungsu. Perempuan itu bangkit kemudian menampar wajah Si Bungsu beberapa kali.
Si Bungsu tetap duduk dan tetap diam. Datuk penjudi itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hei buyung, kalau dia menampar lelaki, itu tandanya dia mengajak ke tempat tidur, bawalah dia!"
"Saya mau menjual cincin ini.." tiba-tiba suara Si Bungsu bergema. Datuk itu terhenti tertawa. Dia
mendekat. Orang-orang lain pada terdiam.
"Naah, itu bagus. Berapa waang jual?"
"Tidak dengan uang. Saya ingin bertukar?" Si Bungsu berkata dengan kepala masih menunduk.
"Bagus! Bagus! Dengan apa" Dengan perempuan muda ini" Boleh!"
"Tidak!" "Lalu dengan apa?"
"Dengan kepalamu, Datuk!"
(34) Masih ada enam lelaki dan tiga perempuan lagi dalam kedai itu. Dan mereka semua mendengar suara
anak muda itu dengan jelas. Datuk itu terdiam.
"Rasanya saya salah dengar. Dengan apa waang berniat menukar cincin berlian waang itu buyung".?"
Masih dengan kepala menunduk, dan dengan ketenangan yang luar biasa, Si Bungsu menjawab.
"Dengan kepalamu, Datuk!" Dan suara anak muda ini lagi-lagi membuat isi kedai itu seperti mengkerut
karena takut. Takut akan akibatnya. Yaitu pada amarah yang bakal menyembur dari diri Datuk itu.
Tapi anehnya Datuk itu tak berang. Dia justru tertawa terkekeh-kekeh. Sampai berair matanya karena
tertawa. Orang-orang jadi heran. Namun tetap terdiam ditempatnya. Tak seorangpun yang berani beranjak.
"Kalian dengar Kudun" Muncak" Si buyung ini berniat menukar kepala saya dengan cincinnya.
Haa"haa"haa. Hu"hu..hu. Baik. Saya tukar kepala saya dengan cincin waang. Tapi bagaimana caranya waang
akan mengambil kepala saya?"
Dengan masih menunduk, anak muda itu berkata lagi dengan seluruh ketenangan yang ada padanya.
"Saya mampu mengambilnya Datuk. Saya bisa mengambil kepala Datuk dengan tangan saya"!"
"Bagaimana kalau waang tak bisa?"
"Cincin dan kepala saya jadi tukarannya"!"
Lelaki itu tiba-tiba berteriak mengejutkan semua orang ada di kedai itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 140
"Hei, kalian dengar : anak muda ini berkata akan mampu mengambil kepala saya dengan tangannya.
Kalau dia tidak bisa, maka kepalanya dan cincin berlian ditangannya dia berikan kepada saya. Kalian jadi saksi
semua. Dengar"!. Dengar"! He?"
Semua yang ada dalam kedai itu mengangguk seperti balam. Mengangguk karena takut.
"Nah anak muda, sudah banyak saksinya. Sekarang cobalah ambil kepala saya. Usahkan mengambilnya,
bisa saja waang menjamah rambut saya, maka saya akan meminum kencing waang!"
Dan lelaki itu tegak berkacak pinggang dihadapan Si Bungsu. Jarak mereka hanya dipisahkan oleh meja
makan. Si Bungsu jadi muak. Dia tahu benar tipe lelaki ini. Pejudi, pemerkosa anak bini orang. Dan terakhir
kerjanya pastilah mengkhianati bangsanya.
Mustahil dia akan berani berbuat onar seperti ini dijantung kota yang dikuasai Jepang kalau dia tak
punya tulang punggung. Dan Si Bungsu yakin, bahwa orang bagak ini adalah cecunguk Jepang.
"Berapa orang anakmu yang akan yatim piatu kalau engkau mati?" Si Bungsu bertanya dengan suara
dingin. Tanya ini sebenarnya bukan untuk menyakiti hati lelaki itu. Tapi pertanyaan yang jujur. Kalau saja lelaki
itu menjawab dengan jujur mengatakan bahwa anaknya banyak, maka mungkin Si Bungsu takkan menurunkan
tangan jahat. Tetapi lelaki yang dasarnya pongah, jadi amat tersinggung.
"Jangan banyak cakap waang buyung. Kalau dalam lima hitungan waang tak berhasil memegang rambut
saya, waang akan saya jadikan "anak jawi" pemuas selera saya"..hee"hee"!"
"Baiklah, engkau yang menghendaki?" Si Bungsu berkata perlahan.
"Satu"dua"!" lelaki itu mulai menghitung. Ketika mulutnya akan menganga menyebut tiga, saat itulah
Si Bungsu menyambar samurai didepannya. Samurai itu berkelabat sangat cepat. Dan tak seorangpun yang
tahu bagaimana terjadinya. Apa penyebabnya.
Yang terlihat setelah itu adalah, kepala lelaki itu putus dan tercampak keluar kedai. Tubuhnya jatuh dan
menggelinjang-gelinjang seperti ayam disembelih. Darah menyembur-nyembur kemana-mana. Sudah itu diam!
Suara pekik dan gaduh terdengar. Isi kedai tercekam diam tak bisa keluar karena merasa lumpuh
melihat kejadian yang mengerikan itu.
Dan kegemparan itu sampai ke telinga Kempetai yang posnya hanya berjarak dua ratus meter dari
stasiun itu. "Anak muda. Lihatlah. Kempetai datang. Datuk itu kaki tangan Kempetai. Sudah banyak pejuang-pejuang
dan penduduk yang jadi korban Datuk itu. Datuk itu tukang tunjuk. Mata-mata Jepang. Pergilah sebelum engkau
ditangkap?" Pemilik kedai itu berkata dengan gugup. Sementara ketiga teman Datuk itu terhenyak di tikar ditempat
mereka berjudi tadi. Usahkan untuk bangkit, untuk bernafaspun mereka takut. Mereka benar-benar seperti
melihat hantu pada anak muda itu.
Dalam sekali tebas, kepala Datuk Hitam putus. Siapa bisa menyangka" Siapa tak kenal Datuk Hitam"
Juara silat dan orang yang sangat ditakuti di Luhak Lima Puluh ini. Tapi kini anak muda itu telah menebas
kepalanya dengan penuh ketenangan.
Ketiga teman Datuk itu tak berani bergerak. Malah yang bernama Sarip, celananya telah basah sendiri.
Si Bungsu melihat pada pemilik kedai itu. Kemudian menghela nafas. Dia menghirup kopinya dengan tenang.
Dan tetap pula duduk dengan tenang.
Di luar terdengar orang berbisik-bisk. Kempetai datang! Empat orang Kempetai muncul dihadapan kedai
itu. Keempatnya tertegak kaget melihat kepala Datuk Hitam yang tergolek dengan mata mendelik. Dan serentak
keempat Kempetai itu memandang ke dalam kedai. Belum begitu jelas. Sebab diluar cahaya sangat terang. Di
dalam kedai itu agak samar-samar.
"Tangkap semua yang ada dalam lapau itu"!" terdengar perintah salah seorang dari ke empat Kempetai
tersebut. Tiga diantaranya menyerbu masuk. Namun sebuah suara yang dingin menghentikan gerakan mereka.
"Saya yang membunuh Datuk itu. Kalau akan ditangkap, cukup saya sendiri?"
Ketiga Kempetai itu menoleh. Dan mereka tersurut takkala melihat siapa yang bicara sambil menghirup
kopi itu. "Bungsu"!!" tanpa dapat ditahan, mulut mereka bicara serentak. Si Bungsu hanya diam. Tapi semua
orang yang ada dalam kedai itu pada menatap padanya. Si Bungsu! Siapa yang tak pernah mendengar nama
itu" Dan kini ternyata anak muda itu muncul dihadapan mereka.
Sopir truk yang membawa Si Bungsu pun menoleh padanya. Dia jadi ternganga. Benar-benar tak dia
sangka, penumpangnya yang pendiam itu ternyata Si Bungsu. Si Bungsu yang namanya jadi buah bibir itu. Dia
jadi malu kenapa tak melayani anak muda ini dengan hormat.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 141
Ketiga Jepang itu berlari keluar. Berkata kepada komandan yang memerintahkan untuk menangkapi
semua isi kedai itu. Komandannya ini tertegun mendengar laporan ketiga bawahannya, ia bergegas masuk. Dan
tertegak dipintu begitu melihat Si Bungsu.
"Bungsu"! mulutnya juga berkata tertahan.
Lambat-lambat Si Bungsu menatap padanya. Kemudian berkata perlahan.
"Ya. Sayalah Si Bungsu. Ingin menangkap saya sekarang?"
Kempetai yang berpangkat Go Cho (Sersan dua) itu cepat-cepat menggeleng.
"Tidak! Tak seorangpun diantara balatentara Jepang yang boleh menangkap Si Bungsu. Panglima
Pasukan Balatentara Dai Nippon di Sumatera telah menjamin kebebasanmu sejak pertarungan dengan Overste
Akiyama di Bukittinggi. Tentara Jepang tak pernah memungkiri janjinya?"
"Tapi saya telah membunuh kaki tangan kalian. Mata-mata kalian"
"Oh itu" itu resiko dirinya sendiri. Hai" berkata begitu Go Cho ini membungkuk memberi hormat,
kemudian memerintahkan beberapa penduduk mengangkat mayat Datuk Hitam itu. Lalu cepat-cepat
meninggalkan kedai itu. Si Bungsu menarik nafas. Dia menoleh pada ketiga teman Datuk Hitam yang masih terduduk di sudut
ruangan. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
?"Lelaki itu"." Kata Si Bungsu sambil menunjuk pada suami perempuan muda yang menamparnya tadi.
"tadi kalah main dengan kalian. Dan kali kedua dia menggadaikan gelang isterinya. Kini kembalikan semua
padanya?" "Teta"tetapi"semuanya ada pada Datuk"." Ucapannya terputus ketika melihat Si Bungsu meraih
samurainya. "Yiy"ya..yay" Ya! Pada kami ada, kami kembalikan?" dengan pucat dan menggigil dia merogoh
kantong. Mengambil segenggam uang. Lalu mengode temannya. Temannya merogoh kantong pula. Kemudian
mengeluarkan sebuah gelang.
Si Bungsu menoleh pada suami perempuan muda itu.
"Ambillah"." Katanya perlahan. Lelaki itu bergerak ke arah ketiga pejudi tersebut. Menerima uang dan
gelang isterinya kembali.
"Nah, kalian yang bertiga, dengarlah. Kalian harus meninggalkan Luhak Lima Puluh ini segera. Kalau sore
nanti kalian masih saya lihat di Luhak ini, atau lain kali saya dengar kalian masih membuat huru hara, saya
akan cari kalian. Dan saya akan menebas kepala kalian seperti menebas kepala Datuk itu. Kini pergilah!"
Ucapan Si Bungsu baru saja habis, ketika ketiganya lari berhamburan. Yang satu lari terbirit-birit lewat
pintu, yang dua lagi mengambil jalan singkat, yaitu meloncat dari jendela di dekat mereka. Ketiganya lenyap.
Ya, bagi mereka itulah saat yang paling berbahagia. Berbahagia terlepas dari elmaut.
Saat itu juga mereka tak kembali ke rumah. Tapi terus cigin meninggalkan Luhak Lima Puluh itu seperti
yang diperintahkan Si Bungsu. Tak seorangpun yang tahu kemana mereka lenyap.
Kini keadaan dalam kedai sepi. Si Bungsu kembali menoleh pada suami perempuan muda itu. Ia berkata
perlahan-lahan. "Hei sanak. Saya dulu juga pejudi. Tapi saya tidak hanya sekedar pejudi kelas murahan. Saya raja judi
dinegri ini.Tak pernah saya kalah dalam tiap permainan. Tapi ketahuilah, hidup saya tak pernah tenang.
Sedangkan saya yang selalu menang hidup tak tenang, apalagi kalau selalu kalah. Nah, saya pesankan pada
sanak, lebih baik mencangkul daripada harus berjudi. Istrimu seorang perempuan lembut dan cantik.
Bagaimana kalau tadi dia sempat dilaknati oleh Datuk itu?"
Lelaki itu menunduk. "Terimakasih sanak. Terimakasih. Saya berhutang budi pada sanak?"
Lelaki itu berkata perlahan. Matanya basah. Istrinya bangkit. Berjalan mendekati Si Bungsu. Pada
wajahnya kelihatan penyesalan. Dia teringat betapa tadi dia menampar anak muda ini. Dia menyangka anak
muda ini temannya Datuk jahanam itu. Itulah sebabnya dia menampar Si Bungsu begitu dirinya didorong
kepangkuan anak muda ini.
"Maafkan saya bang"saya telah salah sangka tadi?" katanya perlahan. Si Bungsu menatapnya.
Kemudian tersenyum. "Tidak apa. Saya lihat engkau mencintai suamimu. Tapi mencintai suami bukan berarti harus menuruti
segela kehendaknya. Kalau engkau merasa pekerjaan yang dia lakukan adalah pekerjaan tercela, engkau
berkewajiban melarangnya. Seperti tadi ketika dia meminta gelangmu untuk berjudi. Walaupun engkau dia
tampar, tapi jangan berikan. Soalnya bukan berapa nilai gelangmu, tapi yang penting adalah akibat judi itu
sangat buruk. Paham bukan?""
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 142
Perempuan itu menghapus air matanya. Dan lambat-lambat duduk dihadapan Si Bungsu.
"Kalian dari mana?"
"Kami dari Pekan Baru"
"Hmm, merantau ke sana?"
"Ya. Kami merantau sejak lama di Tanjung Pinang. Disana kami bertemu dan kawin?"
"Kini akan kemana?"
"Pulang ke kampung?"
"Dimana, masih jauh?"
"Tidak, kampung kami di Situjuh?"
"Situjuh?" tanya Si Bungsu kaget.
"Ya. Situjuh Ladang Laweh?"
"Disana kampung kalian keduanya?"
"Tidak. Disana kampung saya. Kampung uda Rasid di Kubang?"
"Siapa ayahmu di Situjuh..?"
Perempuan itu menatap padanya.
"Abang pernah kesana?" Si Bungsu menunduk. Menarik nafas panjang.
"Tidak hanya sekadar "pernah" upik. Disana lah darah saya tertumpah. Situjuh Ladang Laweh adalah
kampung saya pula?" gadis itu terbelalak.
"Abang orang Situjuh Ladang Laweh?"
"Ya. Kita Sekampung". Siapa nama ayahmu?"
"Datuk Maruhun".." Si Bungsu kaget.
"Ya. Datuk Maruhun. Abang kenal padanya?"
Si Bungsu menatap gadis itu tepat-tepat. Seingatnya tak ada anak Datuk Maruhun seperti perempuan
ini. Datuk itu hanya punya dua orang anak. Yang satu lelaki. Kini jadi Gyugun di Padang. Yang satu lagi
perempuan, namanya Renobulan.
Dan betapa dia tak kenal pada Datuk Maruhun"
Renobulan anak Datuk itu adalah bekas tunangannya dahulu. Pertunangan mereka putus karena Datuk
itu tidak suka calon menantunya seorang pejudi. Dan sejak putus tunangannya itu, dia tidak lagi pernah
mengetahui kemana perginya Renobulan. Gadis tercantik dikampungnya itu.
"Maaf, saya rasa anaknya hanya dua orang. Satu lelaki bernama Mukhtar, kedua perempuan bernama
Renobulan?" "Ya. Datuk Maruhun itulah ayah saya?"
"Tapi?" "Ayah berbini dua. Ibu Kak Reno adalah istrinya yang tua. Ibu saya istrinya yang kedua. Ayah menikah
dengan ibu ketika berdagang ke Tanjung Pinang. Sejak Jepang masuk ayah tak pernah lagi datang ke Pinang.
Kini kami datang untuk mencarinya. Apakah beliau ada sehat-sehat?"
Si Bungsu terdiam. Dikepalanya terbayang lagi masa lalunya di kampung Situjuh Ladang Lawehh itu.
Terbayang betapa suatu malam dia tertangkap ketika mengintai orang sedang latihan silat. Yang sedang latihan
adalah Datuk Maruhun dan anak buahnya. Datuk Maruhun adalah wakil ayahnya. Wakil ayahnya sebagai guru


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silat. Dia sedang mengintai ketika Jepang datang menangkapnya.
Dan beberapa murid Datuk Maruhun terbunuh malam itu oleh Jepang. Dan Datuk Maruhun menyangka
dia yang memberitahu Jepang tempat latihan itu. Dia dituduh membocorkan tempat latihan itu demi
mendapatkan uang untuk berjudi.
"Apakah ayah masih hidup?" tiba-tiba Si Bungsu kembali dikagetkan oleh pertanyaan perempuan muda
didepannya. "Saya tak tahu dengan pasti upik. Suatu malam dia ditangkap oleh Jepang. Rencananya akan dikirim ke
Logas untuk kerja paksa. Tapi sebulan kemudian dia lolos bersama tiga orang temannya setelah membunuh
dua orang tentara Jepang yang menjaganya.
Mereka pulang ke kampung dimalam buta. Kemudian membawa istri dan anak-anaknya pergi melarikan
diri. Sejak saat itu saya tak lagi mendengar dimana beliau. Tapi kini mungkin sudah dikampung. Kalau tidak
ada disana, carilah anaknya. Anaknya yang tua, yang bernama Mukhtar kini menjadi anggota Gyugun di Padang.
Pangkatnya kalau tidak salah Gun Syo (Sersan satu). Dari dia barangkali engkau dapat tahu dimana beliau.."
"Abang juga tak tahu dimana Kak Renobulan?" Si Bungsu menggeleng. Perempuan itu menarik nafas.
Wajahnya murung. Kemudian berkata perlahan":
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 143
(35) "Dahulu, dari seorang pedagang yang datang dari kampung, kami dengar Kak Reno akan menikah.
Tunangannya seorang anak muda gagah tapi pejudi. Kabarnya ayah tak menyukai pertunangan itu. Tapi Kak
Reno sendiri kabarnya mencintai anak muda itu sepenuh hatinya" hanya itu yang sempat saya dengar di
Pinang. Apakah tak mungkin dia telah menikah dengan tunangannya itu?""
Perempuan muda itu menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu jadi pucat.
Tapi dia yakin perempuan itu memang bertanya dengan jujur. Tidak mempunyai prasangka apa-apa.
Makanya dia mencoba menguasai diri.
"Tidak. Saya rasa mereka tak jadi menikah?" jawab Si Bungsu cepat. Perempuan itu kembali menarik
nafas. Darimana Abang tahu bahwa mereka tak menikah. Apakah Abang mengenali tunangan Kak Reno?" Si
Bungsu kembali jadi pucat. Namun sebisa-bisanya dia menjawab juga.
"Ya. Ya. Saya kenal padanya. Kami sama-sama pejudi. Dan teman saya itu seingat saya belum pernah
menikah?" "Dimana tunangannya itu kini, apa kerjanya?""
"Ah, tunangannya itu memang seorang lelaki pejudi. Mujur Renobulan tak jadi menikah dengannya. Kini
dia kabarnya jadi luntang-lantung diburu-buru karena pernah membunuh orang"."
Si Bungsu menjawab pasti dengan mimik muka ikut membenci "tunangan" Renobulan itu.
"Kasihan kak Reno. Kabarnya mereka sama-sama mencintai. Dan yang pasti, kabarnya ka Renolah yang
sangat mencintai tunangannya itu." Si Bungsu menghirup kopinya. Kopi manis itu tiba-tiba terasa pahit
ditenggorokkannya. Diluar stokar truk itu memperbaiki terus per yang patah dan membuka ban yang bocor. Memberikannya
ke tukang tambal. Jalan Payakumbuh ke Pakan Baru adalah jalan parah. Jalan menembus hutan rimba. Mendaki
gunung dan menuruni lembah. Itulah jalan yang akan mereka tempuh sebentar lagi.
--00000-Kota Pekan Baru yang disebut-sebut sebagai dagang baru yang ramai disinggahi pedagang dari
Minangkabau itu ternyata hanya sebuah kampung yang tak lebih besar dari Payakumbuh.
Malah dalam beberapa hal Payakumbuh lebih bagus. Jalannya sudah diaspal. Sementara Pekanbaru
umumnya jalannya masih tanah. Di Payakumbuh sudah banyak rumah-rumah gedung yang bagus. Sementara
di Pekan Baru hanya rumah papan.
Yang ramai hanyalah sekitar Pasar Bawah dan dekat Sungai Siak dimana terdapat sebuah pelabuhan
kecil. Karena pelabuhan inilah rupanya kota kecil itu jadi ramai.
Orang banyak berdagang ke Kepulauan Riau yang mata uangnya sama dengan mata uang Malaya dan
Singapura. Yaitu mata uang dolar. Sebahagian besar dari kampung yang disebut kota itu terdiri dari kebun
getah dan rawa-rawa. Dibahagian kehulu pelabuhan ada sebuah mesjid yang indah. Mesjid Raya yang dibangun
Sultan Siak Sri Indrapura. Di sekitar mesjid ini kampungnya bolehlah sedikit. Bersih dan teratur.
Tapi jauh dari situ, didalam hutan-hutan karet yang terurus itu, masih sering orang diterkam harimau.
Jauh arah ke barat, ada sebuah lapangan terbang darurat yang dulu dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Lapangan itu tak bernama. Terletak di kampung kecil yang berpenduduk sekitar seratus orang. Kampung itu
bernama Simpang Tiga. Tak ada yang baru di kota itu nampaknya. Tak ada yang bisa dibanggakan. Tapi anehnya, orang-orang
dari Luhak nan Tigo, yaitu Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh banyak yang pindah kemari.
Mereka membuat rumah-rumah papan disepanjang pinggir jalan di Pasar Bawah. Pasar itu makin lama
makin lebar ke barat. Akhirnya berdiri pula sederetan toko darurat di bahagian atas dari Pasar Bawah di dekat
pelabuhan itu. Orang-orang menyebutnya dengan Pasar Tengah. Disinilah pedagang-pedagang itu membuka toko.
Menjual beras, sayur-sayuran dan menukarnya dengan karet.
Karet mereka jual pada kapal-kapal yang berlayar ke Kepulauan Riau untuk kemudian dijual ke Malaya
dan Singapura. Kota ini udaranya terasa panas. Apalagi Si Bungsu yang baru saja datang dari Bukittinggi.
Perbedaan udara terasa sekali. Namun dia merasa tenteram di kota ini. Disini tak ada orang yang
mengenalnya. Dia bebas kemana-mana. Perjalanannya dengan truk dari Payakumbuh dahulu ternyata tak
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 144
semudah dan secepatnya yang dia bayangkan. Disangkanya bisa dalam dua hari. Ternyata dia baru sampai
setelah menelan waktu sepekan!.
Bayangkan, untuk menempuh jarak yang lebih kurang 200 km dari Payakumbuh itu dibutuhkan waktu
sepekan! Berkali-kali truk gaek itu patah per. Berkali-kali bannya pecah. Berkali-kali truk itu terpuruk kedalam
lobang jalan yang dalamnya sedalam Ngarai Sianok! Bah! Benar-benar perjalanan kalera!.
Dan ketika sampai ke Pekan Baru, semua sayur yang dibawa pedagang sudah jadi bubur. Yang selamat
hanyalah beras dan bawang. Lain daripada itu luluh lantak semua.
Dan karena terlambat itu, Si Bungsu telah ketinggalan kapal.
"Sudah lama berangkat kapal itu?" tanyanya pada seorang tua di pelabuhan.
"Maksudmu Kapal Suto Maru ke Singapura?" orang tua itu balik bertanya.
"Ya. Suto Maru itu.."
"Baru kemaren. Seharusnya lima hari yang lalu. Tapi karena kerusakan mesin, baru kemaren sore dia
berangkat?" Si Bungsu terperangah.
"Kemaren sore?"
"Ya. Kemaren.."
"Jam berapa?" "Kalau tidak salah jam lima?"
Si Bungsu mengucap-ngucap kecil dalam hatinya. Kemaren sore jam tiga dia sudah sampai di Simpang
Tiga. Celakanya truk tua itu rusak lagi disana. Tali kipasnya putus. Kaburatornya bocor. Dan mereka menanti
sampai malam. Baru malam tadi dia masuk kota. Padahal jaraknya antara Simpang Tiga dengan kota ini hanya
sembilan kilometer! Memang belum nasibnya untuk bisa berangkat.
Tapi kalaupun dia datang sore kemaren, dia akan susah jua. Sebab dia tak punya paspor. Nah, hari-hari
tak ada kapal ini dia pergunakan untuk mengurus paspor. Dengan memberikan uang lebih banyak, paspornya
cepat saja keluar. Dalam keterangan dalam paspor itu disebutkan bahwa dia anak kapal. Dan pemberian paspor saat itu
tak bertele-tele. Tak banyak berbelit-belit.
Untuk memudahkan mengetahui bila ada kapal ke Singapura atau ke Jepang yang datang, dia lalu
menginap di sebuah penginapan kecil dekat pelabuhan itu.
Penginapan itu dua tingkat. Bangunannya terbuat dari papan. Bahagian atas untuk penginapan.
Bahagian bawah rumah makan. Kalau akan mandi cukup menyebrangi jalan kecil di depan penginapan itu maka
akan sampailah di Sungai Siak. Mandi mencebur saja di sungai itu.
Sungai itu airnya berwarna merah, airnya bagus untuk memasak atau diminum. Dan mencuci kain tak
ada pengaruhnya. Artinya kain tak ikut menjadi merah karena warna air tersebut.
Sebagaimana jamaknya sebuah pelabuhan, kota itu menjadi persinggahan banyak orang. Tempat
pertemuan banyak suku bangsa. Di penginapan kecil tempat Si Bungsu menginap itu juga menginap berbagai
suku. Di kamar sebelahnya menginap dua orang Tapanuli. Di kamar depannya menginap orang Jawa. Dan
bahkan di kamar depan sekali, yaitu kamar besar yang menghadap ke Sungai Siak, menginap dua orang asing.
Mungkin orang Amerika. Yang satu lelaki, yang satu perempuan. Mereka kabarnya akan terus ke Kerajaan Siak
Sri Indrapura jauh di hilir kota Pekanbaru ini. Mereka akan mengadakan penelitian sejarah.
Keduanya belum begitu berumur. Mungkin sekitar tiga puluh lima umurnya. Tapi yang perempuan
bertubuh menggiurkan dan berwajah cantik. Kemana-mana mereka membawa alat pemotret.
Yang orang Tapanuli kabarnya beberapa kali kerja di kapal. Kini mereka tengah menunggu kapal lain
untuk melamar pekerjaan. Mereka sudah bosan bekerja di kapal kecil yang ke Kepulauan Riau. Mereka ingin
bekerja di Kapal Besar yang trayeknya ke luar negeri.
Sementara yang orang Jawa kabarnya adalah mantri kebun kelapa sawit. Mereka datang kemari untuk
mengadakan penelitian terhadap peremajaan kebun-kebun kelapa sawit. Hanya malangnya tak diketahui
kenapa mereka sampai ke Pekanbaru.
Di kota ini yang mereka jumpai hanya kebun karet. Tak sepohonpun kelapa sawit. Kabarnya mereka
menanti kapal untuk membawa mereka kehilir. Menurut kabarnya pula di hilir kota ini, yaitu di Okura ada
perkebunan kelapa sawit. Kesanalah mereka akan pergi.
Yang tak habis dimengerti oleh Si Bungsu adalah, kenapa mereka bisa berangkat dengan meraba-raba
begitu. Kalau mereka pegawai negeri, kenapa tak ada petunjuk yang pasti"
Tapi itu urusan mereka, pikirnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 145
Sementara penginap-penginap lainnya umumnya orang Minang, pekerjaan mereka berbagai ragam.
Siang hari dia lihat ada yang berjalan hilir mudik. Mencari barang yang patut dibeli dengan harga murah.
Kemudian dijual dengan harga mahal. Tak peduli apa barangnya.
Ada juga pedagang-pedagang yang menanti kapal untuk berlayar ke Kepulauan Riau. Pedagangpedagang ini sudah mempunyai bekal yang cukup. Ada yang membawa tembaga, aluminium, ada pula yang
membawa kain batik. Kabarnya barang-barang seperti itu amat laris di Kepulauan Riau atau di Malaya.
Sementara ada pula yang malam-malam hari menggelar tikar dihalaman penginapan. Memasang lampu,
kemudian meniup salung. Yang satu lagi berdendang. Nah, kegiatan mereka inilah yang banyak menarik
peminat. Hampir tiap malam halaman penginapan itu penuh oleh pengunjung yang ingin mendengarkan
Saluang tersebut. Sudah tentu semuanya orang Minang.
Mereka pada melemparkan uang keatas tikar meinta lagu-lagu yang mereka sukai. Malam itu terang
bulan. Di bawah kelihatan ramai sekali. Si Bungsu tak ikut turun. Dia hanya melihat dari jendela kamarnya yang
kebetulan menghadap ke jalan.
Pada akhir bait-bait pantun selalu terdengar pekik sorak orang. Dan dari jendela Si Bungsu melihat orang
Amerika itu asik memotret-motret dengan tustelnya. Lampu pijarnya menyala-nyala. Setiap kali habis
memotret, dia menukar lampunya yang telah hangus itu dengan yang baru.
Tapi Si Bungsu hanya melihat yang lelaki. Sementara perempuannya yang bertubuh menggiurkan dan
berwajah cantik itu tak kelihatan.
---000--Anak muda ini sudah berniat untuk takkan menjatuhkan tangan kejam kepada orang. Sejak dia
meninggalkan rumah Kari Basa di Bukittinggi, dia telah berniat demikian.
Ketika terjadi peristiwa dengan Datuk Hitam di Kedai dekat stasiun kereta api Payakumbuh itupun
sebenarnya dia tak berniat untuk mencari huru hara.
Apalagi saat itu dia merasa berada di kampung halamannya. Dia tak sampai hati mencelakakan orang
kampungnya sendiri. Namun ada pendapat orang-orang tua, bahwa bagi seorang pemelihara "orang halus" meskipun dia telah
berniat untuk tak lagi berhubungan, akan tetap ada kekuatan lain yang suatu saat memaksanya untuk
berhubungan lagi dengan peliharaannya.
Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang yang mempunyai "harimau" untuk menjaga dirinya. Halhal seperti ini banyak terjadi di Minangkabau. Demikian pula halnya dengan Si Bungsu. Meskipun dia telah
berniat untuk tidak terlibat dalam perkelahian, tapi "himbauan" samurai itu mempunyai kekuatan sendiri.
Kekuatan itu terkadang datangnya tanpa dapat dicegah. Jika tidak dikehendaki oleh pemiliknya maka
orang lainlah yang menghendaki.
Dalam hal peristiwa Datuk Hitam di Payakumbuh, yang memaksa dia untuk mepergunakan samurai itu
justru Datuk itu sendiri. Betapapun susahnya Si Bungsu untuk menahan diri agar tak tersinggung, namun Datuk
itu seperti "memaksa" agar dia mempergunakan samurainya.
Si Bungsu barangkali takkan marah kalau yang dihina Datuk itu dirinya saja. Tapi begitu Datuk itu
memaksa perempuan muda itu untuk melakukan hal-hal yang tidak-tidak, amarahnya segera bangkit. Dan
terjadilah peristiwa itu.
Di Pekanbaru ini, sejak mula untuk menghindarkan dirinya terlibat dalam perkelahian, dia sengaja
meninggalkan samurainya di penginapan.
Berhari-hari dia berjalan di pelosok kota tanpa samurainya. Namun suatu hari, yaitu di hari ke enam dia
berada di kota itu, entah apa sebabnya, tahu-tahu dia mendapatkan dirinya berada ditengah kota dengan
samurai itu ditangannya. Dia benar-benar jadi sadar ketika duduk minum kopi di sebuah lepau cina. Ketika akan duduk, dia
meletakkan samurai itu di atas meja.
"Jangan disini tongkatmu diletakkan sanak, sandarkan saja dibawah"." Kata orang yang duduk
diseberang tempatnya. Ditatapnya "tongkat" yang melintang diatas meja itu.
"Samurai?" bisik hatinya. Kenapa sampai kubawa hari ini" Pikirnya lagi. Dia coba mengingat apa
sebabnya ketika akan meninggalkan bilik penginapan tadi pagi dia membawa samurai ini.
Tak ada sebab yang luar biasa. Rasanya setelah berpakaian, dia lalu bersisir. Kemudian membetulkan
kasur. Dan di bawah bantal dia terpegang pada samurainya. Tanpa sadar sepenuhnya, dia meletakkan samurai
yang biasanya dia simpan di bawah bantal itu ke atas meja.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 146
Selesai membetulkan kasur dan bantal, dia memakai sandal. Lalu sambil melangkah keluar, tangannya
mengambil samurai di atas meja itu. Dan lupa untuk menyimpannya lagi ke bawah bantal. Lalu kini samurai itu
terletak diatas meja. "Ambil tongkatmu itu bung!!" dia dikagetkan oleh suara lelaki itu kembali. Dengan gugup dia mengambil
tongkatnya. "Ya. Maaf, maaf"." Katanya sambil berjalan. Lebih baik dia mencari meja lain saja daripada duduk semeja
dengan lelaki itu. Perasaannya mulai tak sedap. Kalu dia duduk saja disana, mungkin bisa terjadi perkelahian
yang tak diingini. Makanya diambil tempat di sudut ruangan. Memesan segelas kopi es dan sepiring sate Pariaman. Ketika
akan memakan sate, matanya melirik lagi kepada lelaki yang tadi menghardiknya. Lelaki itu kelihatan gelisah.
Sebentar-sebentar matanya memandang ke jalan raya.
Si Bungsu menjadi maklum, lelaki itu jadi pemberang karena ada sesuatu yang menyebabkan dirinya
gelisah. Ketidak seimbangan pikiran membuat dia mudah tersinggung. Si Bungsu lalu makan satenya. Ketika
dia akan meminum kopi esnya, seorang lelaki lain datang ke dekat lelaki yang menghardiknya tadi.
Mereka berbisik. Dan lelaki yang membentak Si Bungsu tadi bergegas tegak. Nampaknya dia ingin
melangkah ke arah Si Bungsu. Namun deru kendaraan bermotor di luar membuat dia menghentikan
langkahnya. Tapi tak urung dia menoleh dan berkata tajam:
"Mata-mata jahanam! Kau jual negerimu pada Belanda. Mampuslah kau!" dan seiring dengan ucapan ini,
tangannya bergerak sangat cepat kepinggang. Lalu tersenyum. Hanya naluri Si Bungsu yang amat tajam itu
sajalah yang menyelamatkan dirinya dari celaka.
Firasatnya merasa bahwa ada bahaya yang meluncur ke arahnya bersamaan gerak tangan lelaki itu.
Dengan gerak reflek, dia menyambar dan mencabut samurai di atas meja. Dan dua kali samurainya berkelabat
dengan amat cepat. Dan dengan sangat tepat sekali samurainya menghantam dua buah pisau kecil yang
mengarah pada leher dan jantungnya.
Kedua pisau itu terpental dan menancap di loteng. Si Bungsu kaget. Kaget bukan atas serangan pisaunya,
tapi kaget dengan tuduhan bahwa dia mata-mata Belanda. Dia ingin bicara, tapi kedua lelaki itu telah keluar
dengan cepat. Namun diluar sudah berhenti mobil tadi. Dan dari atas sebuah Jeep Militer yang dicat lorengloreng, berhamburan serdadu-serdadu Belanda!
(36) Saat itu adalah hari-hari dimana Jepang telah menyerahkan kekuasaannya di Asia Raya pada bala tentara
Sekutu. Niat mereka semula untuk melanjutkan terus perjuangan menjadi batal karena perintah dari Tenno
Haika, adalah penyerahan total.
Dengan demikian, tidak hanya balatentara Jepang, tetapi juga seluruh Kerajaan Jepang, termasuk
Maharaja Tenno Heika, berada di bawah kekuasaan balatentara Sekutu yang di Asia dan Pasifik dipimpin oleh
Jenderal Mack Arthur!. Seluruh balatentara Jepang dilucuti. Para jenderal ditahan dan disiapkan untuk menghadapi Mahkamah
Perang. Tenno Heika sendiri, meski tetap berada di istananya, namun secara de jure berada dibawah tawanan
sekutu. Bom atom yang dijatuhkan Amerika di kota Hiroshima dan Nagasaki telah menyebar sebuah bencana
dan tragedi Nasional di negara Sakura itu. Ratusan ribu penduduk sipil dan militer mati seketika. Dan ratusan
ribu lainnya menderita di rumah sakit. Mati secara perlahan atau menderita cacat seumur hidup. Perang telah
meluluh lantakkan penduduk sipil yang tak tahu apa-apa. Perempuan, lelaki, kanak-kanak dan bayi mati jadi
korban keganasan mesiu. Dan Bom Atom yang meluluhkan itu, membuat rasa superior bangsa Jepang jadi merosot ketitik nol.
Rasa bangga yang didengungkan selama ini oleh kalangan militer, bahwa Jepang penakluk dunia, tiba-tiba
berlutut kehabisan daya dibawah sepatu Sekutu. Dan dengan demikian, dengan terhentinya peperangan Jepang
Sekutu itu, terselamatkan pula ratusan ribu nyawa lainnya. Nyawa dan harta benda yang terselamatkan itu
terutama dipihak Jepang dan dipihak Sekutu.
Sebab, tiga puluh tahun kemudian, menurut analisa para ilmuan, kalau saja bom atom tak dijatuhkan
dan memaksa Jepang bertekuk lutut, maka perang masih diperkirakan akan berlangsung selama setahun lagi.
Dan selama setahun itu, menurut perhitungan dipihak Sekutu akan jatuh korban nyawa sebanyak 200
ribu tentara. Dipihak Jepang akan jatuh korban sebanyak 900 ribu tentara. Tapi karena peperangan akan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 147
berlangsung di Negara Jepang sendiri, maka penduduk sipil yang akan mati oleh keganasan peluru itu,
diperkirakan mencapai 2 juta!
Itu baru tentara dan penduduk Jepang. Karena Jepang menguasai negara-negara di Asia Tenggara maka
mau tak mau, penduduk di negara-negara itu, termasuk Indonesia juga akan terkena getah peperangan.
Tapi untunglah bom atom menyelesaikannya. Dan korban yang demikian banyak tak perlu berjatuhan
lagi. Baik dipihak Jepang maupun dipihak Sekutu. Namun tak berarti penderitaan bangsa Indonesia sudah
berakhir. Berhentinya peperangan antara Sekutu dengan Jepang, justru merupakan titik sambung peperangan
antara Belanda dengan tentara Indonesia.
Peperangan antara Belanda dan Indonesia itu sudah bermulai ratusan tahun yang lalu. Telah banyak
pejuang-pejuang yang gugur. Sebutlah Iman Bonjol, Diponegoro, Pattimura, Teuku Umar, Hasanuddin dan
ratusan ribu pejuang yang sempat dituliskan dalam sejarah.
Perang Belanda dan Indonesia terputus dengan kedatangan Jepang yang mengusir Belanda dari
Indonesia. Namun Belanda tak pergi jauh-jauh. Karena negara mereka berada dalam Pakta Sekutu, maka
mereka lalu mencari kesempatan untuk membonceng kembali ke Indonesia.
Kalah dari Jepang, Belanda mengundurkan diri ke Australia yang merupakan Sekutu bersama Inggris.
Begitu Jepang kalah, maka Sekutu membagi-bagi tentara mana yang akan memasuki negara-negara yang
pernah dikuasai Jepang. Tentara Inggris memilih negara Jepang.
Namun Amerika Serikat juga berminat menduduki negara itu. Alasan Amerika negara mereka lebih
dekat dengan Jepang daripada Inggris. Dengan demikian mereka bisa mengawasi secara langsung.
Inggris dapat menerima. Karenanya, Amerika lalu menduduki Jepang dan Indonesia diduduki oleh
Inggris. Tetapi sesama tentara Sekutu sendiri mempunyai Gentlement Agrement pula. Perjanjian antara
mereka menyebutkan bahwa negara-negara yang pernah diduduki oleh salah satu negara Sekutu sebelum
kedatangan Jepang, dikembalikan kepada negara tersebut.
Dalam hal ini, sebelum kedatangan Jepang, Indonesia berada dibawah Belanda. Maka tentara Inggris


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang datang mengambil alih kekuasaan dari tentara Jepang, diboncengi pula oleh tentara Belanda!.
Inggris punya alasan yang kuat kenapa mengikut sertakan tentara Belanda dalam kedatangan mereka
ke Indonesia. Untuk masuk ke Indonesia, mereka tak punya pengetahuan sedikitpun. Yang tahu seluk beluk
Indonesia, mulai dari A sampai Z adalah Belanda. Sebab mereka telah menguasai negara ini selama ratusan
tahun! Jadi sebagai "penunjuk jalan" mereka membawa serta serdadu Belanda tersebut.
Dan dengan sebuah "perjanjian bawah tangan" Inggris kemudian menyerahkan kekuasaan pada Belanda
atas seluruh wilayah Indonesia.
Dan Inggris sendiri, kembali ke negara yang pernah mereka kuasai sebelum kedatangan Jepang. Yaitu
negara-negara Singapura, Malaya, Kalimantan Utara dan pulau Hongkong.
Saat peristiwa ini, yaitu disaat Si Bungsu berada di Pekan Baru, Belanda telah menerima kembali
kekuasaan terhadap wilayah-wilayah Indonesia dari Inggris.
Belanda mengirimkan pasukannya yang berasal dari Koningkelyke Leger (KL). Yaitu balatentara
Belanda yang berasal langsung dari Kerajaan Belanda. Pasukan-pasukan KL ini kejamnya bukan main.
Dan saat itu, pasukan KL inilah yang mengepung kedai kopi dimana Si Bungsu berada.
Lelaki yang tadi melemparnya dengan pisau, dan yang berhasil dia tangkis dengan kecepatan
samurainya, tiba-tiba mendapati diri mereka sudah terkepung oleh enam serdadu KL.
Kedua lelaki itu berbalik cepat memasuki kedai. Dan sebelum Si Bungsu atau isi kedai itu sadar apa yang
terjadi, dengan keyakinan bahwa Si Bungsu adalah mata-mata Belanda, lelaki itu menyergap Si Bungsu.
Dia memiting anak muda yang memegang "tongkat" itu dengan tangan kiri dari belakang. Sementara
tangan kanannya yang memegang pisau ditekankan pada leher Si Bungsu.
Keenam serdadu Belanda yang berpakaian loreng itu terhenti dipintu kedai. Mereka siap dengan bedil
dan sangkur terhunus. Mereka terhenti karena mendengar suara lelaki berpisau itu berteriak :
"Kalau kalian tidak mundur, saya akan membunuh mata-mata Nevis ini sampai lehernya potong"!"
seiring dengan ucapannya itu, dia menekan mata pisaunya makin kuat.
Tubuh Si Bungsu menggigil. Dan mata pisau itu menyayat kulit lehernya. Darah mengalir turun. Si
Bungsu benar-benar tak berdaya. Dia ingin mengatakan pada kedua lelaki itu., bahwa mereka salah terka. Dia
ingin mengatakan bahwa dia tidak mata-mata Belanda. Tapi bagaimana dia akan menerangkan dalam keadaan
gawat begini" Dan dia teringat, situasinya kini persis seperti yang dihadapi oleh Akiyama di Birugo. Atau seperti situasi
Sersan Jepang yang dia sergap ketika patroli dekat jenjang gantung Bukittinggi. Dan dia segera saja menyadari,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 148
betapa disergap dan diancam dengan senjata tajam dileher memang sangat tak menyedapkan. Dia rasakan itu
kini. Dia memang mempunyai samurai ditangan kiri.
Tapi bagaimana dia akan menggerakkan tangannya, kalau siatuasinya begini"
Sedikit saja dia bergerak, dia yakin lelaki yang mengancam ini tak segan-segan memotong lehernya
dengan pisau yang amat tajam itu! Dia yakin hal itu!
Lelaki yang mengancamnya membawanya menuju pintu. Mereka maju langkah demi langkah.
Sementara dipintu kedai yang terbuka lebar, keenam serdadu KL itu tetap saja tegak dengan menodongkan
senjata mereka. "Apakah orang ini memang mata-mata kita" Leutenant yang memimpin penyergapan itu bertanya pada
sergeant (Sersan) disampingnya dalam bahasa Belanda.
"Saya tak pernah melihat orang ini?" sergeant itu menjawab pula dalam bahasa Belanda.
"Kalau begitu dia bukan anggota Nevis"." Kata Leutenant (Letnan) itu. Nevis adalah sebutan untuk
badan mata-mata Belanda. Seperti halnya badan mata-mata Gestapo Jerman terkenal dengan nama SS, matamata Amerika FBI untuk dalam negeri, dan CIA untuk urusan Internasional, Inggris terkenal dengan Scotland
Yardnya, maka Belanda terkenal dengan Nevisnya!
Anggota-anggota Nevis, sebagaimana jamaknya anggota mata-mata diseluruh dunia, tidak hanya terdiri
dari bangsa asli Belanda. Tetapi terdiri dari berbagai bangsa. Umumnya mereka memakai tenaga pribumi untuk
menjadi mata-mata dimana mereka mempunyai kepentingan.
Di Indonesia, tidak sedikit pengkhianat-pengkhianat yang mau dibayar sebagai anggota Nevis. Menjadi
mata-mata untuk kepentingan penjajah! Dan sebagai anggota mata-mata inilah Si Bungsu kini diduga.
Dan nasibnya memang benar-benar seperti telur diujung tanduk.
"Bagaimana" kita tembak saja mereka?" Sergeant itu bertanya. Namun Leutenant tersebut tampak raguragu. Namun akhirnya dia melihat dengan kaca mata penjajahannya. Dia tidak mau melepaskan kedua lelaki
yang mereka sergap ini. Kedua lelaki itu nampaknya pejuang Indonesia yang amat ditakuti Belanda. Apa
salahnya membunuh seorang anggota Nevis bangsa Indonesia" Tak ada ruginya.
Kalau ada pertanyaan dari atasan, katakan saja bahwa mereka terpaksa membunuh ketiga orang itu
secara "tak sengaja". Dan ketiga orang yang mati itu adalah Inlander.
"Biarkan mereka lewat sampai ke jalan raya. Dan begitu mereka melangkahi parit kecil itu, tembak
mereka"." Leutenant itu berkata perlahan dalam bahasa Belanda. Pura-pura seperti tak berdaya karena lelaki
itu mengancam mata-mata mereka!
Bedil mereka yang terkokang tetap diarahkan pada ketiga lelaki tersebut. Maut benar-benar mengiringi
langkah ketiga lelaki ini. Dan Si Bungsu anak muda yang ditempa dirimba raya gunung Sago itu, adalah orang
pertama yang mencium bahaya maut ini!
Inderanya yang amat tajam terhadap bahaya yang akan menimpa dirinya membuat seluruh tubuhnya
menegang. Dia tak mengetahui pembicaraan serdadu KL yang berbahasa Belanda itu.
Namun nalurinya yang tajam, matanya yang terlatih, dapat membaca niat serdadu-serdadu Belanda
tersebut. Dia membaca niat dari cahaya mata mereka.
Dia yakin, keenam serdadu itu akan membunuh kedua lelaki ini. Dan membunuh kedua mereka berarti
membunuh dirinya yang tercekik dan terancam oleh pisau yang alangkah tajamnya!
Soalnya kini, bagaimana harus mengatakannya pada lelaki yang mengancamnya dan menduga bahwa
dia adalah mata-mata Nevis"
Tak ada waktu. Benar-benar tak ada waktu ! Dia kini harus mendahului Belanda-Belanda itu. Harus.
Kalau tidak, mereka bertiga akan mati. Dia segera tahu bahwa kedua lelaki yang mengancamnya ini adalah
pejuang-pejuang Indonesia.
Dan kini langkah demi langkah mereka mendekati keenam serdadu KL itu untuk menuju keluar. Lelaki
yang mengancam Si Bungsu, segera pula membuat rencana. Dia akan mengancam mata-mata ini untuk naik ke
Jeep yang sedang ditunggui sopir.
Dia akan memaksa untuk membawa Jeep itu keluar kota. Dengan demikian pelarian mereka bisa lebih
cepat. Dan kini, mereka berada dua langkah dari pintu dimana serdadu itu tegak dengan diam. Selangkah lagi.
Dan kini mereka persis berada sejajar dengan serdadu itu.
Dan saat itulah, dengan mempergunakan kesempatan yang amat kecil, Si Bungsu mencoba lewat dari
lobang jarum! Dia berteriak : "Mereka akan membunuh kita!" seiring pekiknya ini, sikunya dia hantam kerusuk kanan lelaki yang
mengancamnya dengan pisau itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 149
Hantaman itu membuat kaget lelaki tersebut. Namun dengan cepat pula Si Bungsu mencekal tangannya
yang berpisau, melemparkannya jauh-jauh. Dan dalam jarak waktu yang hanya dua detik, tangan kananya
menghunus Samurai! Pada gebrakan pertama, samurainya memakan leher Leutenant yang tegak didepannya. Sabetan kedua
memakan perut si Sersan!! Kedua pejuang itu merasa kaget. Serdadu-serdadu itu kaget! Mereka menembak!
Namun kedua orang Indonesia itu sudah waspada. Mereka membungkuk dan pisau mereka bekerja.
Si Bungsu menyabetkan lagi samurainya. Seorang serdadu lagi mati! Yang mengancamnya tadi
menghujamkan pisaunya kepada seorang kopral. Dan empat orang mati. Sebuah letusan bergema lagi. Dan
teman yang mengancam itu kena kepalanya pecah dan mati.
Namun Si Bungsu berguling di tanah. Samurainya bekerja! Snapp! Snapp! Kedua serdadu KL yang masih
hidup mampus dimakan samurainya!
Ada sekitar belasan manusia didekat kedai itu, semua mereka tertegak diam! Kejadian itu amat cepat.
Hanya dalam sepuluh hitungan! Alangkah cepatnya!
Tiba-tiba mereka mendengar mesin Jeep dihidupkan. Lelaki yang mengancam Si Bungsu itu menoleh, Si
Bungsu juga. Sopir Jeep yang berpangkat Soldat (Prajurit) itu rupanya merasa tak ada gunanya melawan. Dia
memilih melarikan diri. Dia memasukkan perseneling mobilnya, dan tancap gas! Lari!
Namun lelaki yang tadi mengancam Si Bungsu dengan pisaunya, bergerak dengan cepat. Seperti tadi,
yaitu seperti dia menyerang Si Bungsu dengan dua pisaunya, kali ini tangannya juga bergerak.
Pisau yang berada ditangan kanannya meluncur memburu Jeep yang rodanya mulai berputar. Dan tibatiba jeep itu meluncur seperti disentakkan ke depan. Lepas! Tapi tak jauh dari mereka lari. Jeep itu seperti
meliuk. Kekiri, kekanan. Dan tiba-tiba berhenti menabrak sebuah kedai! Mereka berlarian kesana. Dan soldat
yang menyopiri Jeep itu mati tertelungkup di stirnya dengan tengkuk tertancap pisau! Lemparan lelaki itu tepat
menghantam sasarannya. Diam-diam Si Bungsu memuji keahlian lelaki ini memainkan pisaunya.
Lelaki yang tadi melemparkan pisau itu menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu juga menatap padanya.
(37) "Maaf, saya salah duga. Terimakasih atas bantuan saudara. Kita akan berjumpa lagi dalam waktu dekat.
Selamat berjuang. Merdeka!" Ucapan lelaki itu mengalir cepat dan tegas.
Sehabis ucapannya, sebelum Si Bungsu cepat menyahut, lelaki itu menyelinap kederetan rumah
penduduk. Kemudian menghilang. Si Bungsu tahu bahwa setiap detik bahaya bisa mengancam jiwanya kalau
dia tetap juga tegak disini.
Karenanya, dia juga mengambil arah lain dari yang ditempuh oleh lelaki tadi. Dia juga menyelinap ke
balik rumah-rumah penduduk. Dan bergegas pergi ke arah pelabuhan! Jauh dibelakangnya dia dengar suara
deruman kendaraan militer mendekati tempat tadi. Balatentara Belanda pasti telah menuju tempat tersebut.
Dia percepat langkahnya. Dia tak khawatir pada serdadu Belanda. Sebab mereka segera bisa dikenali.
Tubuh dan kulit mereka berbeda dengan kulitnya. Yang dia takutkan adalah anggota-anggota Nevis dari
bangsanya sendiri. Mereka sulit diketahui. Sebab mata-mata ini berpakaian seperti umumnya orang Indonesia dan karena
mereka juga bangsa Indonesia, maka mereka sulit diketahui. Si Bungsu mempercepat langkah. Berusaha
bergegas, tapi jangan sampai mencurigakan!
Peluh telah meleleh ditubuhnya ketika dengan hati-hati dia menghampiri penginapan kecil dimana dia
tinggal. Dia berhenti. Memperhatikan dari kejauahan. Apakah ada hal-hal yang mencurigakan. Sepi. Apakah sepi
karena tak terjadi apa-apa atau sepi karena Belanda telah memasang perangkap"
Tiba-tiba dia lihat pemilik penginapan itu keluar bersama orang Amerika yang menyelidiki Istana Siak
Sri Indrapura. Mereka bicara sebentar, kemudian orang Amerika itu pergi. Pemilik penginapan masuk kembali.
Dan orang Amerika itu pergi sendiri tanpa istrinya yang bertubuh montok, menggiurkan. Dan dari suasana itu,
Si Bungsu mengetahui bahwa Belanda belum mencium jejaknya. Dia berjalan ke penginapan.
Naik ke tingkat dua dengan melewati tangga papan. Ketika dia baru saja di atas, dia berpapasan dengan
perempuan Amerika. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 150
Perempuan cantik itu terkejut, dia tertegun menatap Si Bungsu. Namun Si Bungsu bergegas kebiliknya.
Di biliknya dia mengambil bubuk obat yang dia bawa dari Bukittinggi. Kemudian menebarkannya disepotong
kain bersih. Kemudian mengambil saputangannya. Membasahkannya dengan air dalam ceret kecil di atas meja.
Dengan saputangan basah itu dia bersihkan lukanya. Dan ia terhenti sebentar. Ingatannya melayang pada
Salma. Tanpa sengaja dia melihat cincin bermata berlian dijari manisnya. Cincin yang diberikan Salma ketika
dia akan berangkat meninggalkan Bukittinggi.
Ah, terasa benar betapa sepinya tanpa gadis itu.
Di Bukittinggi, dia tak usah susah-susah mengurus dirinya yang luka. Berkali-kali dia kembali dari
perkelahian mengalami luka-luka. Dan Salma selalu merawatnya sampai sembuh. Merawat dirinya dengan
kasih sayang. Dia menarik nafas. Kemudian mengambil kain yang telah ditaburi bubuk obat itu. Kemudian
menempelkannya ke lehernya yang luka oleh pisau pejuang itu tadi.
Tapi ketika akan melekatkannya, bubuk obat itu jatuh. Terserak dilantai. Tubuhnya terasa lemah. Dia
raba lehernya yang luka itu. Dan tiba-tiba dia merasa sesuatu yang ganjil. Dia lihat telapak tangannya. Dia
perhatikan kuku jari-jari tangannya. Pucak agak kebiru-biruan. Ya Tuhan, racun, dia berbisik sendiri. Celaka,
dirinya bisa celaka. Dan kini panas mulai terasa menjalar. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Tapi belum
begitu dia rasakan karena dia bergegas saja menuju penginapan. Dan karena bergegas itu racun ternyata
bekerja lebih cepat. Jahanam! Pejuang itu benar-benar jahanam. Mengapa dia tak memperingatkan ketika akan berpisah tadi
bahwa pisaunya beracun" Dia angkat cepat-cepat bubuk yang telah dia serakkan lagi di kain itu. Dia berbaring,
dan dia coba lekatkan kain berbubuk itu ke lehernya. Namun lagi-lagi usahanya gagal.
Dan waktu itulah pintu biliknya terbuka. Kepalanya sudah mulai pusing. Racun pisau pejuang itu mulai
menghilangkan kesadarannya.
Tangannya meraih samurai dimeja. Bersiap terhadap kemungkinan masuknya Belanda.
Dan yang berdiri dipintu memang orang yang berkulit putih. Berhidung mancung dan bermata biru,
berambut pirang. Tapi dia bukan Belanda. Yang berdiri dipintu adalah wanita Amerika itu. Di tangannya
terjinjing sebuah ransel kecil, diluar ransel kecil itu ada tanda palang merah. Itulah yang sempat diingat Si
Bungsu. Setelah itu dia tak sadar diri.
Yang masih diingatnya dalam ketidaksadarannya itu adalah tentang diri Salma. Rasanya, gadis itu datang
merawat lukanya. Rasanya dia mencium bau harum yang biasanya dia cium dari tubuh gadis itu ketika dirawat dulu.
"Diamlah agar saya rawat luka abang?" suara gadis itu berbisik perlahan ditelinganya.
Si Bungsu tak mejawab. Dia rasakan gadis itu membalut luka dilehernya. Gadis itu membersihkan
pakaiannya. Matanya menatap loteng. Di loteng, seekor cecak tengah mengintai lelatu yang merayap tak jauh
dari mulutnya. Cecak itu menatap pada belatu itu dengan diam. Lelatu itu nampaknya tak sadar bahwa dirinya diancam
bahaya. Si Bungsu ingin berteriak mengusir cecak itu. Atau ingin berteriak memperingatkan lelatu itu.
Tapi dia tak bersuara. Cecak itu makin dekat. Dan Si Bungsu yakin, bahwa mulut cecak itu akan
menerkam lelatu itu. Makin dekat-makin dekat. Nafas Si Bungsu memburu. Dia ingin mencegah. Tapi"snap!!
Cecak itu berhasil menangkap lelatu itu persis tentang kepalanya!
Cecak itu menutupkan mulutnya. Lelatu yang tubuhnya sudah masuk separoh itu meronta.
Menggelinjang berusaha mengeluarkan kepalanya yang tertelan. Kakinya menerjang-nerjang. Tapi cecak itu
melulurnya terus. Cecak itu sendiri menggoyang kepalanya melawan gerakan lelatu itu. Dan akhirnya lelatu itu
memang tak berdaya untuk keluar dengan selamat dari mulut cecak.
Tubuh Si Bungsu sampai berpeluh melihat betapa lelatu itu teraniaya. Beberapa kali dia menggeliat. Dan
akhirnya dia tertidur pulas.
Entah berapa lama dia tak sadar diri. Udara yang panas di kota itu membuat dia gelisah dan perlahan
membuka mata. Lambat-lambat matanya terbuka. Menatap ke loteng penginapan.
Cecak yang menatap lelatu tadi tak ada lagi di loteng. Dia merasa lehernya yang luka dan agak dingin.
Tangan kanannya terangkat meraba leher yang luka itu. Namun tangannya tak pernah sampai kesana. Ada
sesuatu yang ganjil yang menghalangi dirinya.
Selimut tebal menutupi tubuhnya. Tapi ada sesuatu disamping. Tangannya meraba, ada orang. Meski
dengan kepala agak berdenyut dia menoleh ke kanan. Dengan mengucap istighfar dia berusaha untuk bangkit
takkala dilihatnya siapa yang berbaring disisinya dibawah satu selimut itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 151
Orangnya tak lain dari perempuan Amerika yang cantik itu. Tapi begitu dia berusaha untuk bangkit,
perempuan itu terbangun pula dari tidurnya yang letih. Dan sambil miring kekanan menghadap Si Bungsu,
perempuan itu tersenyum. "Sudah merasa agak baik?" perempuan itu bertanya dalam bahasa Indonesia yang fasih. Si Bungsu tak
segera bisa menemukan jawaban. Dia segera ingin duduk. Tapi kembali maksudnya tertahan. Bukan karena dia
keenakan berbaring disisi perempuan cantik bertubuh ranum itu. Tidak.
Yang menyebabkan dia tak bisa bergerak untuk bangkit adalah kesadaran bahwa dibawah selimut yang
menutupi tubuhnya, rasanya dia tak memakai apa-apa.
"Tetaplah berbaring. Racun pada luka itu amat berbisa. Untung saya cepat tahu dan punya obat
pemunahnya". Perempuan Amerika itu berkata sambil keluar dari bawah selimut. Kemudian melekatkan
kembali pakaiannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara derap sepatu ditangga menuju ke atas.
Lalu terdengar suara-suara tentara dalam bahasa Belanda diiringi bentakan dan gedoran pada pintu
kamar diempat kamar yang ada ditingkat dua penginapan tersebut.
Si Bungsu menyambar samurainya yang terletak di atas meja. Tapi dia masih tetap berbaring.
Perempuan Amerika yang tengah berpakaian itu juga tertegun. Lalu cepat-cepat membuka baju kembali. Dan
masuk kebawah selimut disebelah Si Bungsu. Saat persis ketika pintu yang lupa mereka kunci dibuka oleh
seorang tentara Belanda. Pintu itu terbuka hanya sedetik setelah perempuan itu menutup kepala Si Bungsu dengan selimut.
"Tetaplah berbaring diam?" bisik perempuan itu begitu pintu terbuka.
Dan dia sendiri pura-pura kaget terpekik kecil sambil menutup dadanya yang telanjang dengan tangan.
"Oh, sory! Sory"!" tentara Belanda tersebut kaget dan buru-buru mundur. Tapi pintu tetap terbuka.
"Maaf, kami sedang mencari seorang lelaki Inlander yang memakai samurai atau sejenis pedang yang
amat tajam. Dia telah membunuh tujuh orang tentara Belanda siang tadi di pasar. Apakah nona melihatnya
disekitar daerah ini".?" Kapten yang membuka pintu tadi berkata dari luar.
Perempuan Amerika itu tanpa memakai baju berjalan menuju pintu. Kemudian dia tegak dengan
menyembunyikan sekerat tubuhnya dibalik pintu dan menjulurkan bahagian leher ke atas dicelah pintu yang
terbuka. "Saya tidak melihat apa-apa. Suami saya sedang demam. Apakah lelaki itu amat berbahaya?" Perempuan
itu bicara dalam bahasa Inggris. Kapten itu, dan tiga orang bawahannnya menelan ludah melihat tubuh
perempuan Amerika yang montok itu. Yang tersebeng-sebeng dari celah pintu yang terbuka sedikit.
Perempuan itu hanya memakai celana Jean panjang tanpa baju.
"Ya. Ya madam, dia berbahaya. Hati-hatilah, kata orang dia sangat cepat dengan pedang samurainya.
Seperti setan saja. Nah, maaf, kami harus pergi. Semoga suami madam cepat sembuh".." Dan dengan memberi
salut, Kapten itu itu turun kembali ke bawah. Sementara perempuan itu masih tegak dipintu.
Di bawah, masih terdengar pembicaraan tentara Belanda itu dengan beberapa lelaki. Kemudian
terdengar deru modil menjauh.
Dan sepi! Mereka pasti berusaha menangkapnya. Kalau Belanda sudah mengetahui, bahwa orang yang membunuh
serdadunya mempergunakan samurai tentu mereka sudah mendapat informasi pula, bahwa pembunuh itu
melarikan diri ke arah pelabuhan.
Dan Si Bungsu memang terpaksa berdiam saja dalam kamarnya seperti yang diucapkan perempuan
berat bernama Emylia itu. Dia tak habis pikir terhadap perempuan yang satu ini. Kecantikan yang luar biasa,
dengan titel Profesor pula, benar-benar mengagumkan.
Dan pikirannya melayang lagi pada Salma yang dia tinggalkan di Bukittinggi. Dia menatap jari manisnya.
Cincin itu terpasang disana. Cincin bermata berlian. Sedang mengapa gadis itu" Apakah sudah kawin"
"Hmm, cincin yang bagus".." Si Bungsu kaget mendengar ucapan itu. Dan yang berkata tak lain daripada
Emylia. Perempuan ini muncul dengan dua bungkus nasi ditangannya. Dan kehadirannya yang perlahan itu
ternyata tak diketahui oleh Si Bungsu.
"Jangan kaget kalau saya bisa menebak, bahwa cincin itu pastilah tanda mata dari seorang gadis yang
cantik. Hanya saya tak tahu, apakah gadis itu di Payakumbuh atau Bukittinggi"." Emylia berkata sambil
meletakkan nasi diatas sebuah piring. Kemudian mengambil dua buah gelas. Mengisinya dengan air teh dari
ceret kecil diatas meja disudut kamar.
"Engkau lebih mirip tukang tenung"." Si Bungsu berkata jengkel tapi mau tak mau dia mengagumi
ketepatan terkaan perempuan asing ini. Emylia tertawa renyai.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 152
"Tukang tenung sama dengan tukang sihir bukan" Hmm, saya juga termasuk yang mempercayai ilmu
itu. Karena dia bersangkut paut dengan alam bawah sadar kita. Tenung atau sihir bukan semacam pekerjaan
ajaib. Dia hanya pekerjaan pemusatan konsentrasi yang menyerang sendi-sendi bawah sadar orang lain. Tapi


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya bukan tukang tenung. Tidak pula tukang sihir, saya hanya menduga-duga. Kalau bukan pemberian seorang
yang amat berkesan secara mendalam, tentu engkau takkan melihat cincin itu demikian terharunya".
Si Bungsu jadi merah mukanya karena malu.
"Dan kalau seorang lelaki merenung sebuah cincin, pastilah yang memberinya seorang perempuan. Dan
kalau saya boleh menerka lebih lanjut maka gadis yang memberi cincin itu pastilah bernama Salma?"
Sampai disini Si Bungsu benar-benar tak dapat menahan rasa kagetnya. Bahkan kagetnya bercampur
dengan perasaan ngeri. Perempuan ini benar-benar Jihin pikirnya.
"Jangan menatap saya dengan mata membelalak begitu Bungsu. Kenapa harus heran kalau saya
mengetahui nama gadismu itu" Saya tak menenungnya. Saya ketahui nama itu dari mulutmu sendiri. Nah kini
mari kita makan dulu"."
Tapi mana bisa Si Bungsu makan. Kapan dia mengatakan nama Salma pada perempuan ini. Tak pernah.
Bahkan berhadapan muka baru hari ini. Emylia tak mempedulikan sikap Si Bungsu yang terlongo seperti anakanak melihat sirkus.
Dia membuka nasi bungkusnya. Nasi putih dengan sambal lado dan gulai ikan Patin. Sejenis ikan yang
amat enak dikawasan sungai Siak. Dan dia mulai menyuap.
"Makanlah. Oh ya, ingin tahu bila engaku mengatakan nama Salma padaku" Nama itu berulang-ulang kau
sebut dalam tidurmu."
Muka Si Bungsu benar-benar merah padam. Bicara perempuan ini ceplas-ceplos saja. Tak berpematang
dan tak berbandrol mulutnya, mana bisa dia menghadapi wanita demikian.
Dia beranjak dari tempat duduknya. Pergi ke jendela. Mengintai dari balik gordyn ke bawah.
(38) "Dekat pohon beringin, ada dua orang lelaki pura-pura memancing. Tapi mereka adalah anggota Nevis.
Mata-mata Belanda. Mana ada orang memancing didekat akar beringin bukan" Di sana banyak orang mandi.
Mereka mata-mata yang konyol"." Emylia bicara sambil tetap menyuap nasinya. Si Bungsu menatap ke arah
beringin yang disebutkannya. Dan di bawah pohon itu memang dia lihat kedua pemancing itu.
Sebenarnya bisa saja orang memancing dimanapun. Tapi selain tempat itu ramai oleh orang mandi,
hingga mustahil ada ikan yang kesana, sikap kedua orang itu juga membuat Si Bungsu hampir ketawa.
Kedua orang itu secara bergantian setiap sebentar menoleh ke pintu penginapan. Sama sekali mereka
tak menyadari, bahwa mereka dimata-matai pula dari atas!
Si Bungsu meninggalkan jendela itu. Kembali ke meja makan. Mata Emylia sudah berair, mukanya merah
padam. Hidungnya juga berair.
"Pedasy. Pedasy betul?" katanya menghapus air mata. Namun dia melanjutkan juga menghabiskan
nasinya. Selera makan Si Bungsu timbul melihat cara makan perempuan ini. Apalagi melihat gulai ikan patin
yang kini tinggal tulang belulangnya saja. Dia membuka bungkus nasinya yang masih panas. Mencuci tangan.
Dan mulai menyuap. Di depannya Emylia menghembus-hembuskan nafasnya tiap sebentar karena kepedasan.
"He Salemo meleleh"nanti masuk mulut.." Si Bungsu berkata. Emylia tak mengerti apa yang dikatakan
salemo, tapi karena mata Si Bungsu menatap pada hidungnya, dia segera bisa menebak bahwa salemo itu
pastilah air yang mengalir dari hidungnya. Mau tak mau Si Bungsu juga ikut tertawa, sikap perempuan cantik
ini terasa lawak dihatinya.
Dalam waktu tak begitu lama, Si Bungsu selesai makan. Sementara Emylia menyuap gula pasir untuk
menghilangkan pedas yang menyengat mulutnya. Si Bungsu kini berfikir, bagaimana cara sebaiknya agar
perempuan ini mau beranjak dari biliknya. Dan Emylia memang membuktikan bahwa dia adalah seorang ahli
ilmu jiwa yang tangguh. Dengan senyum tetap dibibirnya perempuan Amerika yang cantik ini lalu berkata:
"Sebelum anda usir saya keluar, lebih baik saya permisi dulu bukan" Tapi ingat setiap saat tentara
Belanda akan datang kemari. Jika itu terjadi jangan malu-malu untuk meminta bantuan. Betapapun di dunia ini
kita tak bisa hidup sendiri. Kita saling membutuhkan bantuan orang lain. Itu namanya hidup bermasyarakat.
Nah, istirahatlah"."
Berkata begini perempuan itu mengambil bungkus nasi yang telah kosong itu. Kemudian keluar dari
kamar, Si Bungsu menarik nafas lega. Lalu mempelajari kamar itu baik-baik. Kalau sergapan Belanda datang
dia harus bisa menyelamatkan diri sendiri. Tak menggantungkannya pada perempuan asing itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 153
Dia meneliti jendela. Kalau dia keluar dari jendela ini maka dia akan tiba di jalan didepan penginapan.
Dari sana rasanya tak mungkin menyelamatkan diri.
Belanda tentu meninggalkan pengawal di depan penginapan untuk menjaga setiap kemungkinan. Dia
kemudian menoleh ke loteng. Tak ada bahagian yang bisa dibuka. Loteng penginapan itu terbuat dari papan
yang dipakukan memanjang.
Maka tak ada jalan lain. Kalau datang lagi tentara Belanda menyergapnya jalan satu-satunya hanyalah
melawan sampai mati. Tapi kemungkinan lain tetap ada. Yaitu pindah dari penginapan ini. Dengan adanya dua
orang mata-mata Belanda di luar sana, yang pura-pura memancing itu, berarti Belanda telah menduga bahwa
dia menginap disini. Kini bagaimana keluar dari sini tanpa tak diketahui kedua orang mata-mata jahanam itu"
Dia raba lehernya. Berbalut dengan perban. Si Bungsu akhirnya memutuskan untuk istirahat sebentar.
Dia harus mengumpulkan kekuatan dulu, Dia sudah bertekad untuk keluar dari penginapan ini. Dengan
kesimpulan begitu dia lalu kembali membaringkan diri di atas tempat tidur dan meletakkan samurainya
disampingnya. Dan matanya mulai memberat. Dia mendengar suara kaki melangkah dijenjang penginapan. Ada
orang naik ke atas. Suara langkah itu sangat perlahan, tapi bagi telinganya yang sangat terlatih, suara itu amat
jelas. Dia lihat pintunya didorong perlahan. Dia memegang samurai. Pintunya terbuka sedikit. Dia pura-pura
tidur. Tapi bukan pura-pura, matanya memang sangat berat. Dia berusaha bangkit, tak bisa!
Kenapa tidak bisa" Dia buka matanya. Terbuka sedikit. Tapi tubuhnya terasa letih sekali. Di pintu sebuah
kepala muncul. Dan dia segera mengenali wajah itu. Wajah salah seorang dari mata-mata yang tadi memancing
di bawah sana. Lelaki itu menatapnya. Kemudian masuk ke bilik. Ditangannya sebuah pisau. Si Bungsu berusaha
mencabut samurai tapi tak bisa. Benar-benar tak bisa! Lelaki itu mengangkat pisaunya. Dan Si Bungsu merasa
betapa tangan kirinya disayat oleh pisau itu. Darah mengucur keluar.
Tapi lelaki itu tak meneruskan niatnya. Dia kemudian keluar dari kamar itu. Si Bungsu diantara rasa rasa
kantuk dan lelahnya amat sangat, hanya bisa menatap. Kenapa mata-mata Belanda itu tak mau membunuh"
Tapi dia segera ingat sesuatu, Racun! Bukankah dia telah terluka dilehernya dengan pisau beracun. Dan
meski dia tak ditikam langsung di jantungnya dia juga akan segera mati karena racun itu. Jahanam, benar-benar
jahanam. Atau barangkali dia memang tak dibunuh dengan sesuatu kesengajaan. Yaitu agar dia tetap hidup sampai
Belanda datang menangkapnya" Racun itu hanya sekadar untuk melumpuhkannya saja. Dia melihat tangan
kirinya yang luka. Darah mengalir membasahi alas kasur. Rasa lelahnya dia tekan. Kantuknya lenyap melihat
luka dan karena berang dihatinya.
Dia bangkit. Meski dengan perasaan tak stabil dia berjalan ke pintu. Dan saat itu dia lihat lelaki tadi
memasuki kamar Emylia. Perempuan itu tengah berbaring tak berbaju ketika kedua lelaki yang pura-pura memancing itu masuk.
Perempuan itu kaget. "Mau apa kalian masuk"..?" bentaknya sambil bangkit tanpa mempedulikan dadanya yang telanjang.
Namun kedua lelaki pribumi itu menatapnya dengan jijik.
"Mata-mata jahanam!" kedua lelaki itu mendesis. Dan sebelum Emylia sempat berbuat apa-apa yang
seorang menghujamkan pisau ditangannya ke dada perempuan tersebut.
Perempuan itu tersentak. Terhenyak ke kasur. Lelaki itu mencabut pisaunya. Darah menyembur. Dan
kedua lelaki itu cepat mengindar ketika diluar sana terdengar suara deru mobil berhenti di depan hotel. Ketika
mereka keluar dari bilik, mereka berpapasan dengan Si Bungsu. Si Bungsu masih sempat melihat Emylia
terbaring dengan darah membasahi dada.
"Jahanam. Mata-mata jahanam!" Si Bungsu berteriak sambil mencabut samurainya. Tapi kedua lelaki itu
telah jauh di gang penginapan tersebut. Di bawah suara derap sepatu terdengar memasuki penginapan.
"Ikut kami kalau kau mau selamat!" salah seorang diantara lelaki itu berkata pada Si Bungsu. Anak muda
itu mendengar suara derap sepatu di bawah jadi sadar bahwa Belanda datang untuk menangkapnya. Sesaat dia
menoleh pada Emylia. Perempuan itu juga kebetulan tengah menatap padanya. Dia tak sampai hati
membiarkan begitu saja perempuan yang telah membantunya itu.
Dan melangkah masuk. Membungkuk dekat tubuh Emylia.
"Larilah" Bungsu". Belanda datang untuk menangkapmu. Aku". Aku mencintaimu" Bungsu!" dan
matanya terpejam. Dan dia mati"!
"Jahanam! Kubunuh mereka!" Si Bungsu memaki. Dan dia mendengar suara langkah sepatu mulai
menaiki jenjang menuju ke tingkat atas dimana dia berada. Dengan cepat dia lari keluar. Di ujung gang, matamata tadi masih tegak, nampaknya dia menghalangi jalan Si Bungsu untuk keluar.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 154
Si Bungsu bergegas menoleh ke jendela depan. Di bawah ada selusin Belanda siap menanti dengan bedil
terhunus. Akhirnya dia berlari ke arah mata-mata itu. Betapapun jua, mata-mata itu lebih mudah
membunuhnya. Dan dengan membunuh mata-mata Belanda keparat itu dia bisa meloloskan diri lewat gang
kecil ke belakang!. Ketika lewat didekat tangga bawah, seorang serdadu Belanda telah muncul kepalanya. Tangga naik itu
hanya untuk ukuran seorang. Sambil berlari Si Bungsu menghunus samurai, dan membacokkannya ke leher
serdadu itu. Tengkuk serdadu itu hampir putus. Dan tubuhnya melosoh turun. Menimpa dan membawa jatuh empat
teman-temanya yang berada dihadapannya.
Setelah itu Si Bungsu meneruskan larinya ke arah mata-mata itu.
"Ikut kami"!" mata-mata itu berkata sambil bergegas turun lewat pintu kecil itu. Si Bungsu memang tak
mempunyai pilihan lain. Jalan kecil ini memang satu-satunya jalan untuk keluar. Dia menuruni anak tangga dan
tiba disebuah gang kecil yang terletak di belakang beberapa buah bangunan.
Kedua mata-mata tadi lari menyelinap-nyelinap. Dan Si Bungsu memburunya terus. Tapi dia merasa
heran juga. Kenapa kedua mata-mata Belanda ini justru menjauh dari para Belanda yang mengepung
penginapan itu" Beberapa kali lagi mereka membelok diantara gang. Masuk ke kebun, lari terus. Masuk ke bawah kolong
rumah. Lari terus. Masuk lagi. Berbelok lagi. Dan tiba-tiba kedua mata-mata itu lenyap. Si Bungsu tertegak
kehilangan arah. Azan magrib terdengar sayup-sayup. Dia melangkah ke depan. Dan tiba-tiba dia dengar seseorang
memanggil perlahan. Dia menoleh. Mata-mata tadi! Mata-mata itu memberi isyarat untuk masuk ke sebuah
rumah. Si Bungsu ragu sejenak.
Tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk ikut. Dia melangkah memasuki sebuah rumah tua. Di
dalamnya tak ada apa-apa. Di ujung sana mata-mata tadi kelihatan menuju keluar. Dia mengikuti terus. Ada
beberapa buah gang lagi. Dan tiba-tiba saja berada dalam sebuah rungan yang diterangi oleh lampu-lampu lilin yang antik. Dan
didalam ruangan itu ada sekitar sembilan lelaki.
Mereka semua tegak begitu Si Bungsu masuk. Dan Si Bungsu segera saja mengenali lelaki yang tegak
paling depan. Dia adalah pejuang yang melukai lehernya di pasar Tengah siang tadi! Lelaki itu menyongsongnya.
Mengulurkan tangan dan mereka bersalaman.
"Selamat datang di kota kami Bungsu. Maafkan kekhilafan saya siang tadi. Hmm, lukanya sudah
diperban?" lelaki itu berkata dengan hangat.
"Kenalkan ini teman-teman saya. Ini Letnan Badu. Pemimpin front Simpang Tiga. Ini Sersan Yunus"."
Lelaki itu memperkenalkan semua yang hadir.
"Dan ini kopral Aman dan prajurit Asir. Mereka yang mengawasi engkau di penginapan ditepi sungai
Siak itu"." Si Bungsu tertegun mendengar penjelasan ini. Kedua lelaki itu adalah mata-mata yang dia duga dan
juga diduga Emylia sebagai mata-mata Nevis.
Kedua lelaki itu tersenyum ketika menyambut uluran tangan Si Bungsu.
"Oh ya, tentang diri saya. Nama saya Nurdin. Saya pemimpin front Pekanbaru ini?" lelaki itu
memperkenalkan dirinya. Si Bungsu segara terlibat dalam pembicaraan dengan pejuang-pejuang di Kota
Pekanbaru itu. Pejuang-pejuang itu ternyata juga sudah mendengar cerita tentang diri Si Bungsu jauh sebelum Si
Bungsu sampai di Pekanbaru.
"Siang tadi, waktu dikedai kopi itu saya memang curiga pada saudara. Soalnya saya pernah kecolongan
sebulan yang lalu. Yaitu ketika Jepang masih berkuasa. Saya mengenal hampir tiap orang di kota ini.
Saudara tak saya kenal, dan saya selalu curiga terhadap semua orang baru. Sebab Belanda biasanya
mengirim orang-orang baru untuk jadi mata-matanya. Sebab semua mata-mata Nevis di kota ini kami kenali
dengan baik".." Nurdin yang berpangkat Kapten itu menjelaskan tentang pertemuan mereka di kedai kopi
siang tadi. "Ya, tapi saya hampir saja mati kena pisau beracun Saudara?" Si Bungsu menyela. Dan semua mereka
tertawa. Kapten itu menceritakan kembali pada semua teman-temannya tentang peristiwa mula pertama dia
didekati Si Bungsu. Kemudian dia bentak untuk tak meletakkan tongkatnya di atas meja. Sampai pada dia
melempar Si Bungsu dengan dua buah pisau. Kemudian dia menyergap Si Bungsu dan mengancam lehernya
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 155
dengan pisau. Lalu pada peristiwa bagaimana Si Bungsu melepaskan dirinya dari sergapan itu dan menghabisi
Belanda-Belanda itu. Mereka bercerita dengan asik.
"Tapi ada yang saya ingin tahu. Yaitu perempuan Amerika yang di penginapan itu"." Si Bungsu akhirnya
tak dapat untuk tak menanyakan hal itu pada Kapten Nurdin.
"Oh ya. Saya yang memerintahkan untuk membunuhnya"."
"Kenapa harus dibunuh" Bukankah dia orang Amerika" Dan bukankah dia ahli sejarah yang akan
menyelidiki kerajaan Siak Sri Indrapura?"
Kapten itu menarik nafas dalam.
"Demikian yang tertulis di paspornya. Tapi kami sudah mendapatkan informasi jelas. Kedua orang itu
sebenarnya orang Kanada dan mempergunakan paspor palsu.
Mereka adalah bangsa Belanda yang kebetulan lahir di Kanada. Mereka memang profesor pubakala. Tapi
mereka telah melakukan kegiatan mata-mata mulai dari Jakarta, Bandung, Medan dan kini di Kota ini.
Perempuan cantik itu memang mata-mata yang sempurna. Di kota ini saja tak kurang dari sepuluh perwira
Jepang yang masuk perangkapnya.
Dia menjebak para perwira itu ketempat tidur. Kalau cara itu tak dapat menaklukan perwira itu untuk
membukakan rahasia militer Jepang di kota ini, mereka mempergunakan sistim racun. Rahasia yang diperoleh
lalu dikirim dengan radio ke Singapura.
Dan sepuluh hari yang lalu, dua orang letnan kita juga masuk kedalam perangkapnya. Kedua letnan itu
akhirnya dibunuh di Tanjung Rhu. Kami sudah berbulan-bulan dibuat pusing oleh bocornya rahasia-rahasia
militer. Tak taunya, dia lah biangnya.
Telah tiga kali kami mengikuti dia dan berhasil memergoki dia memasuki markas rahasia Belanda yang
dari luar seperti rumah biasa. Setiap dia masuk ke rumah itu, sehari kemudian pasti ada pengebrekan dan
korban pihak kita berjatuhan.
Akhirnya kami berhasil mencuri paspornya dan dikirim salinannya ke Jakarta. Dari sana didapat
jawaban, bahwa perempuan ini adalah seorang mata-mata yang berbahaya. Demikian juga suaminya".
Si Bungsu hampir-hampir tak percaya akan pendengarannya. Tapi ketika Kapten itu menunjukkan
bukti-bukti berupa radiogram dari markas pejuang, maka dia jadi yakin. Hanya yang jadi tanda tanya baginya
adalah, kenapa Emylia menyelamatkan nyawanya dari luka beracun itu" Dan kenapa perempuan itu juga
menyelamatkan dirinya dari tangkapan Belanda ketika Belanda menggedor kamar hotel"
Bukankah perempuan itu tegak ke pintu tanpa baju, mengatakan bahwa yang berbaring itu adalah
suaminya yang sakit"
"Saya melihat saudara ragu dengan penjelasan saya?" Kapten Nurdin berkata.
"Tidak. Saya tak meragukannya. Tapi yang saya ragukan adalah beberapa soal?" dan Si Bungsu
menceritakan soal bagaimana perempuan Kanada itu mengobati lukanya. Kemudian menyelamatkan dari
tangkapan Belanda. Kapten Nurdin tak menjawab segera. Tapi dia baru menjelaskan hal itu ketika mereka hanya tinggal
berdua saja. (39) Ada beberapa hal yang saya ketahui tentang perempuan itu Bungsu. Pertama, dia memang perempuan
yang "lapar". Dia memang membutuhkan lelaki dalam hidupnya. Tak cukup suaminya saja. Mana tahu, dia
barangkali membutuhkan dirimu dan ada hal lain, yang saya rasa amat penting. Perempuan betapapun matamatanya dia, tapi bisa saja jatuh hati bukan" Nah, bukanlah hal yang mustahil kalau dia jatuh hati padamu?"
Kapten itu bukannya sekadar bergurau dengan berkata demikian. Dia yakin bahwa wanita dimanapun
instingnya sama. Dan bukan hal yang mustahil pula kalau banyak wanita yang jatuh hati pada pemuda ini.
Si Bungsu menunduk. Dia sebenarnya tak menyenangi wanita itu. Artinya ada beberapa masalah yang
tak dia sukai. Namun wanita itu telah menolong nyawanya. Apapun alasan pertolongan itu, dia tetap merasa
berhutang budi. Dan tiba-tiba dia teringat saat terakhir pertemuannya dengan cantik itu. Betapa dari pembaringannya,
disaat maut hampir menjemput, dengan suara perlahan sekali, dia masih bicara! "Larilah Bungsu". Belanda
datang untuk menangkapmu" Aku mencintaimu?" Itulah kata-katanya yang terakhir.
Dia termenung. Disaat terakhirnya, perempuan itu memberitahu bahwa Belanda datang untuk
menangkapnya. Kalau dia mata-mata, maka dia telah mengkhianati tugasnya. Memberitahukan kepada musuh
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 156
yang akan ditangkap, bahwa tentara datang untuk menangkapnya. Ya, cinta dimanapun sama. Bisa berbuat halhal yang tak mungkin bisa terfikirkan oleh manusia lain. Tak terjangkau oleh akal.
--000-Si Bungsu sudah seminggu bersama-sama para pejuang di Pekanbaru itu ketika suatu hari mereka
mendapat kabar bahwa penginapan dimana Si Bungsu tinggal dahulu dibakar oleh Belanda. Pemilik
penginapan itu, seorang pejuang bawah tanah bernama Tuang dari kampung Buluh Cina. Yaitu sebuah
kampung ditepi sungai Kampar dua puluh kilometer dari Kota Pekanbaru, ditangkap oleh Belanda.
"Dia seorang pejuang?" Si Bungsu kaget.
"Ya. Dia termasuk salah seorang mata-mata dan dermawan yang menyumbangkan hartanya untuk
pejuang-pejuang kemerdekaan?" Kapten Nurdin menjawab dengan nada sedih.
"Dimana dia tahan".?" Kapten itu bertanya pada mata-mata yang menyampaikan laporan pembakaran
tersebut. "Tak diketahui dengan pasti. Yang jelas, mereka dibawa ke kantor polisi militer di Batu Satu"." Kapten
Nurdin yang membawahi front Pekanbaru itu lalu membuka peta lusuh yang ada dalam lemari. Dan malam itu
diadakan rapat staf lengkap. Mereka mempelajari kemungkinan untuk membebaskan Tuang.
Ada dua markas Belanda yang dianggap mungkin tempat menawan pemilik penginapan itu. Dan
diputuskan untuk menyerang secara serentak kedua markas itu untuk membebaskannya.
Tuang mempunyai arti yang amat penting dalam perjuangan bawah tanah di Kota ini. Seperti dikatakan
Kapten Nurdin, dia tak hanya seorang mata-mata andalan, tapi juga seorang donatur perjuangan.
"Saya boleh ikut?" Si Bungsu menawarkan diri. Kapten Nurdin menatapnya.
"Itu akan merupakan kehormatan bagi kami Bungsu. Kami memang ingin mengajakmu. Tapi kami segan
mengatakannya".."
Si Bungsu tersenyum. Dan malam itu mereka menyusun rencana matang-matang.
"Kalau dapat membebaskannya, apa kendaraan yang akan kita pergunakan untuk melarikan diri?" Si
Bungsu yang ikut dalam perencanaan itu bertanya.
"Ada sebuah truk tua?"
"Kecepatannya bagaimana?"
"Bisa dikejar oleh orang berlari"
"Hanya itu kendaraan yang ada pada kita"
"Siapa yang bisa menjalankan kendaraan?"
Dua orang Sersan mengacungkan tangannya.
"Menurut hemat saya, lebih baik kita ambil kendaraan Belanda saja. Di depan markas mereka pasti ada
ada kendaraan?" "Tapi bagaimana dengan kunci kontaknya" Kita tentu tak mungkin menggeledah kantong Belanda itu
satu-persatu untuk mencari kunci. Waktu sangat pendek".
"Itulah gunanya orang yang biasa mempergunakan kendaraan. Saya tak tahu bagaimana caranya tapi
ketika pak Tuang itu sudah keluar, kendaraan hendaknya sudah siap untuk melarikan".
Keterangan Si Bungsu membuat Kapten Nurdin menatap pada kedua Sersan yang mengaku bisa
menjalankan mobil tadi.

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, saya bisa mengusahakannya?" yang seorang berkata.
"Tapi saya terpaksa tak ikut penyergapan. Sementara teman-teman menyerang, saya akan menyiapkan
kendaraan. Satu-satunya jalan adalah dengan mencabut kabel dikunci kontak. Kemudian menyambungkannya
lagi diluar" katanya lagi.
"Baik, kau kutugaskan untuk itu. Nah, ada yang lain" Kapten Nurdin berkata lagi.
"Ada" Jawab Si Bungsu. "kalau ada lebih dari satu kendaraan disana, yang lain harus dikempeskan
bannya.." dan malam itu diputuskan pula bahwa penyergapan hanya akan dilakukan pada satu markas saja.
Yaitu markas yang diketahui dengan pasti dimana Tuang ditawan. Untuk itu, siang esoknya, mata-mata disebar
lagi untuk mengetahuinya.
Dan malamnya mereka segera mendekati markas di Batu Satu, yaitu markas yang diketahui tempat
menawan Tuang. Malangnya tak ada situasi yang memudahkan mereka untuk menyerang.
Mereka hanya berkekuatan tujuh orang. Personil memang dibatasi demi gerak cepat. Sementara Belanda
yang menjaga dimarkas itu jumlahnya sepuluh orang.
Bulan kelihatan terang. Inilah yang menyulitkan mereka.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 157
Seorang tentara kelihatan memetik gitar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Di Depan markas itu terdapat
jalan raya menuju Bangkinang. Kemudian sebuah parit. Dan diseberangnya hutan lalang setinggi tegak.
Disebelah kiri markas ada kebun ubi. Di sebelah kanannya rawa-rawa dan sungai kecil. Kamar tahanan
berada di Gedung dimana piket sedang duduk. Bukan kamar tahanan khusus. Hanya sebuah kantor yang
dipakai sebagai tahanan sementara.
Si Bungsu bersama Kapten Nurdin yang memimpin peyerangan itu berada di kebun ubi yang disebelah
kanan markas. "Psst. Lihat yang tengah menunjuk keluar itu?" Kapten Nurdin berbisik pada Si Bungsu. Anak muda itu
mempertajam penglihatannya. Dia melihat seorang tentara KL sedang menunjuk ke jalan raya. Seorang
Belanda bertubuh tinggi perpakaian loreng.
"Kau lihat?" Kapten Nurdin berbisik lagi.
"Ya, ada apa?" "Tak kau kenali dia?" Si Bungsu mencoba memperhatikan tentara Belanda yang jarak antara kebun ubi
dengan markas itu ada kira-kira lima puluh meter. Dia coba mengingat-ingat. Namun tak bisa dia ketahui siapa
tentara itu. "Dia sahabatmu"." Kapten Nurdin berbisik lagi.
"Sahabatku?" "Ya. Kalian pernah satu penginapan"." Si Bungsu mengerutkan kening. Tiba-tiba dia mengucap istigfhar.
"Ya Tuhan, bukankah dia lelaki Amerika yang isterinya kalian bunuh itu?" Si Bungsu bertanya dengan
kaget. "Persis. Ternyata dia bukan ahli sejarah seperti yang diduga orang bukan" Ternyata dia seorang
Leutenant Belanda!" "Benar-benar jahanam?" desis Si Bungsu.
"Lalu kemana kamera yang selalu dia pergunakan untuk memotret-motret orang-orang bersalung itu?"
"Itu hanya pura-pura saja. Kamera itu sebenarnya dia pergunakan untuk memotert pertahanan dan
kubu-kubu kita?" Kapten Nurdin terhenti bicara. Sebab dari arah jalan sana kedengaran orang berjualan
kacang goreng mendekati markas.
Persekutuan Para Iblis 1 Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D Lencana Pembunuh Naga 1
^