Pencarian

Persekutuan Para Iblis 1

Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis Bagian 1


PERSEKUTUAN PARA IBLIS Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Persekutuan Para Iblis
128 hal. 1 Hujan deras bagai jarum-jarum berkilatan
menghujam dataran bumi. Suara menderu dari hem-
busan angin kencang, meningkahi gemeretak suara
hujan. Langit tertutup awan hitam bergulung-gulung,
membuat suasana semakin menakutkan. Dalam ke-
pungan suasana seperti itu, sesosok tubuh tampak
berkelebat cepat menerjang derasnya hujan. Tepat di
kaki Bukit Watu Dakon, sosok ini menghentikan la-
rinya. Kini jelaslah sosok itu yang ternyata seorang pemuda tampan. Rambutnya
yang gondrong dikuncir
ekor kuda. Bajunya hijau dilapis pakaian dalam lengan panjang warna kuning.
"Hujan sialan!"
Terdengar makian dari mulut sosok berbaju hi-
jau, yang tak lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108. Ketika guntur
menyalak, petir menjilat dengan sinar terang yang hanya beberapa kejap, Aji tak
lagi kelihatan di kaki bukit. Ternyata, dia telah berkelebat ke arah sebuah
celah di antara dua batu besar yang
membentuk lobang.
Di depan celah batu yang ternyata sebuah gua,
Aji berdiri tegak sebentar. Wajahnya yang basah di-
usap. Dan lagi-lagi dari mulutnya terdengar gumaman
panjang pendek yang tak jelas, disertai gemeretak giginya. Tubuhnya menggigil,
karena cuaca yang begitu
dingin. Pendekar Mata Keranjang 108 untuk beberapa
saat masih berdiri dengan sepasang mata tak kesiap
memperhatikan keadaan sekeliling.
"Aku harus segera mengetahui apa isi dalam
bumbung bambu ini!" gumam Aji lagi seraya meraba
bumbung bambu yang diselipkan di balik baju.
Memang, sejak memperoleh bumbung bambu
dari seseorang aneh yang tak mau menyebutkan na-
ma, pemuda yang telah menggegerkan rimba persilatan
ini sengaja mencari tempat yang aman. Karena menu-
rut pikirannya, apa yang ada dalam bumbung bambu
adalah sesuatu yang sangat penting dan harus diper-
tahankan. Bahkan dalam perjalanannya menuju ke
Bukit Watu Dakon, Aji harus menempuh jalan berpu-
tar. Setelah merasa aman, Pendekar Mata Keran-
jang 108 segera melangkah hendak memasuki gua.
Namun baru saja menginjak mulut gua, langkahnya
berhenti. Kedua ekor matanya melirik kanan kiri, se-
mentara telinganya bergerak-gerak. Sepertinya ada sesuatu yang membuat
kecurigaannya timbul.
"Sialan! Rupanya ada orang yang mengawasi
ku! Melihat gelagatnya, dia telah mengikuti sejak tadi.
Dan pasti kepandaiannya cukup tinggi. Buktinya aku
tak bisa mengetahuinya sejak dini. Betul-betul sialan!"
rutuk Pendekar Mata Keranjang 108, dalam hati.
Aji cepat memutar tubuhnya. Sepasang ma-
tanya melebar berputar. Tapi dia tak menemukan sia-
pa-siapa. Merasakan ada gelagat tidak baik, segera tubuhnya berkelebat ke balik
sebuah batu. Sambil men-
gendap-endap, mata dan telinganya dipasang baik-
baik. Namun hingga beberapa lama tak juga kelihatan
orang yang dicurigainya.
"Jangkrik! Apa hanya karena terlalu waspada
menjaga bumbung bambu ini, hingga aku dipermain-
kan perasaanku sendiri?"
Untuk meyakinkan diri, pemuda tampan ini
sengaja berdiri diri agak lama di balik batu. Hingga tatkala cuaca agak terang
dan orang yang dicurigai tak
juga muncul, kakinya melangkah keluar dari balik ba-
tu. Sambil menarik napas panjang, diputuskannya
masuk ke dalam gua. Namun langkahnya tertahan ke-
tika.... "Ha ha ha...!"
Mendadak dari arah belakang terdengar suara
derai tawa, membuat Aji berpaling. Seketika dia terperangah. Matanya kontan tak
berkedip memandang.
Ternyata lima tombak di hadapannya telah berdiri te-
gak seorang gadis muda berparas cantik berusia seki-
tar delapan belas tahun.
Sambil terus tertawa, kedua tangan gadis ini
berkacak pinggang. Kakinya sedikit direnggangkan.
Tubuhnya yang membentuk bagus terbungkus pa-
kaian ketat tanpa lengan berwarna merah. Sehingga
bagian atasnya tampak sedikit terbuka. Sementara pa-
kaian bawahnya dibuat membelah di bagian samping.
Sehingga tatkala berdiri dengan kaki merenggang, kulit pahanya yang putih
terlihat jelas. Sepasang mata gadis ini bulat berbinar. Rambutnya ikal panjang
dan dikuncir ke atas, hingga menampakkan lehernya yang begitu jenjang. Sementara
itu, Pendekar Mata Keranjang 108
terus memandang terkesima tanpa berkedip.
"Busyet! Apakah mataku tak menipu melihat
sosok manusia di hadapanku ini...?"
Selagi Aji terkesima dan tak percaya dengan
penglihatannya, sekonyong-konyong tercium aroma
Bunga Bangkai yang menebar ke segala arah. Namun,
di lain kejap aroma Bunga Bangkai berganti aroma
Bunga Kamboja. "Aneh! Siapa dia sebenarnya?" kata batin Aji seraya memperhatikan lebih seksama.
Sementara gadis yang merasa diperhatikan be-
gitu rupa tersenyum dan mengerdipkan sebelah ma-
tanya. Dan ini membuat Aji cengar-cengir sendiri sambil mengusap-usap ujung
hidungnya dengan punggung
tangan kanan. "He..." Siapa kau..."!" tegur Pendekar Mata Keranjang 108 dengan suara sedikit
parau dan tersendat.
Gadis berbaju merah itu tidak membuka mulut.
Malah kakinya melangkah maju mendekat dengan se-
nyum mengembang lima langkah di hadapan Aji, lang-
kahnya berhenti.
"Aji.... Manusia yang berjuluk Pendekar Mata
Keranjang 108.... Apa begitu penting namaku buat-
mu...?" kata gadis berbaju merah, sambil tersenyum manis. Suaranya terdengar
merdu dan manja sekali.
Aji tersentak kaget mendapati gadis di hadapannya
mengetahui nama dan julukannya. Maka diam-diam
kewaspadaannya ditingkatkan. Saat itu juga rasa ter-
kejut ditekan dan berganti dengan senyuman.
"Nama memang tidak begitu penting. Hanya sa-
ja, harap katakan apa maksudmu mengikuti langkah-
ku?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108, agak sungguh-sungguh suaranya.
Sang gadis tertawa tergelak-gelak. Tubuhnya
sedikit berguncang, membuat dadanya yang tampak
kencang membusung ikut turun naik. Begitu tawanya
berhenti, bibirnya tersenyum. Kepalanya mendongak
ke atas, sedangkan sepasang matanya sedikit meme-
jam. "Kau jangan terlalu berprasangka, Pendekar Mata Keranjang 108! Aku tidak
mengikuti langkahmu.
Kebetulan, aku tadi melihatmu melintas. Karena telah mendengar siapa dirimu, apa
salah jika aku ingin
mengenalmu lebih dekat... ?" tukas gadis berpakaian
merah, seraya melangkah lebih mendekat.
Aji yang masih dalam sikap waspada melang-
kah mundur tiga tindak. Tangannya cepat meraba
bumbung bambu di balik pakaiannya.
Melihat gelagat pemuda di depannya, gadis ber-
baju merah itu menghentikan langkahnya dan kembali
tertawa. "Sudan kukatakan! Kau jangan terlalu berpra-
sangka, Pendekar! Aku hanya ingin mengenalmu lebih
dekat!" tegas gadis berbaju merah.
Kembali Pendekar Mata Keranjang 108 dibuat
terperanjat, mendapati gadis di depannya mengetahui
kecurigaannya. "Hm.... Dia seakan tahu, yang ku rasakan. Sia-
pa gerangan gadis ini?" gumam Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati.
Selagi berpikir begitu, sang gadis tiba-tiba ber-
kelebat. Dan tahu-tahu dia telah berdiri tepat satu
langkah di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108.
Seketika Aji tergagap. Namun cepat-cepat ditahannya
dengan tersenyum lebar. Sementara sepasang matanya
terus mengawasi dua buah bukit milik gadis ini yang
membusung indah
"Pendekar Mata Keranjang 108! Telah lama aku
merindukan pertemuan seperti ini. Kau tahu" Sejak
mendengar tentang dirimu, aku berusaha mencarimu.
Dan baru kali ini keinginanku terpenuhi...," kata gadis ini, mendayu-dayu.
Tiba-tiba Aji menepuk keningnya.
"Tak dinyana! Pemuda tanpa juntrung seperti-
ku ini dicari gadis-gadis cantik. Hm.... Hm.... Hm...,"
gumam Aji cengengesan.
"Kau jangan terlalu besar kepala. Aku menca-
rimu karena ada berita yang harus kau ketahui!" tukas
gadis ini. "Berita" Berita apa?" sambar Aji acuh tak acuh.
Namun matanya tak henti-hentinya merayapi tubuh
gadis di hadapannya.
"Kau tentunya telah tahu tentang kitab dan ki-
pas kedua ciptaan Empu Jaladara. Tapi, apakah kau
telah mendengar kabar bahwa kitab dan kipas itu telah jatuh ke tangan seorang
manusia yang menaruh dendam kesumat padamu?"
Aji ternganga mendengar penuturan sang gadis.
Rasanya dia tak percaya dengan pendengarannya. Ma-
ka ditatapnya lekat-lekat wajah gadis yang masih me-
nebar aroma Bunga Kamboja itu.
"Kalau tak keberatan, aku sangat berterima ka-
sih padamu jika mau menyebutkan siapa orang yang
telah berhasil mendapatkan kitab dan kipas itu...,"
ujar Pendekar Mata Keranjang 108, penuh harap.
Sang gadis tersenyum dan mengangguk perla-
han, tapi tidak segera menjawab. Dan ini membuat Aji tak sabar. Kakinya bergegas
melangkah setengah tindak ke depan, mendekati. Namun belum sempat mu-
lutnya terbuka untuk kembali bertanya....
"Aku memang harus memberitahukan berita ini
padamu. Karena mungkin hanya kaulah satu-satunya
orang yang kelak dapat mengalahkannya!" sambar gadis ini. Sejenak gadis ini
menghentikan ucapannya.
Pandangannya dialihkan ke jurusan lain. Sementara,
Aji diam menunggu.
"Orang yang telah mendapatkan kitab dan ki-
pas kedua itu adalah Malaikat Berdarah Biru!" lanjut gadis ini, menjelaskan.
Mendengar hal ini, Aji tercekat. Sampai-sampai
langkahnya kembali tersurut dua tindak ke belakang.
Raut wajahnya berubah. Sepasang matanya berkilat
membeliak. "He" Kau tak main-main dengan ucapanmu?"
tekan Pendekar Mata Keranjang 108 dengan suara se-
dikit bergetar.
Untuk beberapa saat sang gadis diam. Wajah-
nya sedikit memberengut.
"Apakah wajahku mengisyaratkan hal itu?" ci-bir sang gadis, balik bertanya.
Aji memperhatikan paras wajah gadis di hada-
pannya seakan ingin meyakinkan.
"Kenapa kau terdiam" Kau kira aku mengada-
ada dengan keteranganku?" tukas gadis berbaju merah ini sambil tertawa. Lantas
matanya memandang ke
atas. "Kitab dan kipas itu adalah benda pusaka yang selama berpuluh-puluh tahun
diperebutkan tokoh-tokoh silat. Jadi jika benda pusaka itu telah jatuh ke tangan
seseorang, lambat laun akan membicarakan.
Dan pada akhirnya, akan mengetahuinya!"
Aji menarik napas panjang.
"Ucapan gadis ini ada benarnya," gumam Aji dalam hati. "Berarti aku harus segera
mengetahui isi bumbung bambu ini, dan segera mencari Malaikat
Berdarah Biru. Jika terlambat, dunia persilatan mungkin akan mengalami bencana
besar. Aku harus segera
pergi dari sini!"
"Pendekar Mata Keranjang!"
Suara gadis berbaju merah itu mengejutkan
Pendekar Mata Keranjang 108 yang sedang berpikir
mencari jalan keluar.
"Dunia persilatan sedang dalam intaian bahaya
besar. Kau harus segera bertindak!" lanjut sang gadis, penuh tekanan.
"Benar katamu. Dan sekarang juga aku akan
pergi mencarinya!" tegas Aji seraya hendak melangkah pergi. "Tunggu!" tahan
gadis berbaju merah, lalu bergegas melangkah mendekat. "Kau harus berhati-hati!
Karena Malaikat Berdarah Biru sekarang tidak lagi
sendirian!"
"Apa maksudmu...?" tanya Aji tanpa berpaling, namun keningnya berkerut.
"Malaikat Berdarah Biru sekarang telah didam-
pingi orang-orang berkepandaian tinggi. Di antaranya adalah Putri Tunjung
Kuning, Tengkorak Berjubah,
dan Dayang Lembah Neraka!"
Tubuh Aji cepat berbalik. Sepasang matanya
menatap menusuk bola mata gadis di depannya.
"Dan kau akan membuang waktu sia-sia tanpa
mengetahui terlebih dahulu di mana orang yang kau
cari!" sambung sang gadis, balas menatap.
"He...."
"Namaku Parameswari!" potong sang gadis berbaju merah, memperkenalkan diri
tatkala melihat Aji


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

canggung memanggilnya.
"Parameswari.... Apakah kau tahu, di mana aku
dapat menemukan orang yang kucari?" tanya Aji sambil tersenyum.
Gadis bernama Parameswari diam beberapa
saat mendengar pertanyaan Aji. Sepasang matanya
yang tadi bulat bersinar, sedikit meredup. Sementara kedua tangannya mengepal.
Aji jadi heran.
"Karena aku telah mencoba menyelamatkan
dunia persilatan dengan jalan merebut kitab dan kipas dari tangan Malaikat
Berdarah Biru, aku tahu di mana manusia keji itu!" papar Parameswari, sebelum
Aji sempat mengajukan pertanyaan.
"Jadi kau telah...?"
"Benar! Aku telah mencoba mengadakan perhi-
tungan dengan Malaikat Berdarah Biru. Tapi aku be-
lum mampu mengalahkannya!" Belum selesai Aji dengan kata-katanya, Parameswari
telah menukas. Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk-
angguk. Sementara matanya masih saja nyalang me-
mandangi gadis di depannya.
"Hm.... Dia tadi meraba pinggangnya. Berarti
dia membawa bumbung bambu itu.... Hm.... Saatnya
aku harus bertindak...!" ancam Parameswari dalam ha-ti seraya melirik ke
pinggang Aji. Parameswari diam, kemudian mengalihkan
pandangan ke wajah Aji.
"Kurasa cukup apa yang seharusnya kukatakan
padamu. Aku sekarang harus pergi...," kata Parameswari seraya berbalik hendak
pergi. "He..., tunggu!" tahan Pendekar Mata Keranjang 108. Namun gadis cantik itu
sepertinya tak mendengar kata-kata Pendekar Mata Keranjang 108. Malah
langkahnya semakin dipercepat, lalu berkelebat meng-
hilang. "Aneh! Muncul tiba-tiba, lantas pergi sesu-kanya. Hm.... Tapi, orangnya
memang cantik.... Dan
tubuhnya, hmm...," gumam Pendekar Mata Keranjang 108 sambil menggeleng.
Sejenak mata murid Pendekar Wong Agung ini
mengawasi arah menghilangnya Parameswari.
"Rupanya di sini keadaannya tidak aman. Ter-
paksa aku harus cari tempat lain..."
Seketika itu juga Pendekar Mata Keranjang 108
cepat putar matanya berkeliling. Dan merasa tak ada
orang yang mengawasi, kakinya pun melangkah hen-
dak pergi. Namun baru beberapa tindak....
Wesss...! Pendekar Mata Keranjang 108 merasakan
adanya desir angin. Seketika tubuhnya berbalik dan
cepat berpaling. Pendekar Mata Keranjang 108 melen-
gak kaget, mengetahui siapa yang menyebabkan desir
angin itu. "Eyang...," seru Aji seraya menjura hormat.
Sementara orang yang dipanggil eyang terse-
nyum datar. Dia adalah seorang perempuan tua renta,
berpakaian compang-camping.
"He...!" kata perempuan tua memanggil Aji.
"Apakah sudah kau pelajari, apa yang ada dalam bumbung bambu itu?"
Sebentar mata Aji menatap lekat-lekat perem-
puan tua di hadapannya. Hidungnya mendengus se-
bentar, dahinya lantas berkerut.
"He.... Kau belum jawab pertanyaanku...!" tegur perempuan tua ini sedikit keras,
membuat Pendekar
Mata Keranjang 108 terkejut.
"Justru aku ke sini akan mempelajari isi bum-
bung bambu itu, Eyang...," jawab Aji, buru-buru dengan suara tersendat.
Perempuan tua yang tak mau menyebutkan
nama itu manggut-manggut. Sepasang matanya yang
cekung menatap sejenak pada Pendekar Mata Keran-
jang 108. "Aji! Waktu aku memberikan bumbung bambu
padamu dahulu, aku melupakan sesuatu. Coba ke si-
nikan dahulu benda itu!" ujar perempuan tua ini.
Meski wajahnya membersitkan rasa yang tak
bisa diartikan, Pendekar Mata Keranjang 108 segera
mengambil bumbung bambu dari balik bajunya. Dan
dengan masih agak ragu-ragu, kakinya melangkah ma-
ju. Langsung diulurkannya bumbung bambu pada pe-
rempuan tua di hadapannya.
Perempuan tua itu tersenyum. Tangannya yang
keriput terulur mengambil bumbung bambu dari tan-
gan Pendekar Mata Keranjang 108. Sebentar mata
sayunya mengawasi bumbung bambu dengan teliti.
Kepalanya lalu mengangguk-angguk.
Saat itulah tiba-tiba saja perempuan tua itu
berkelebat cepat ke arah Aji. Dan sekonyong-konyong
tangannya bergerak cepat, menotok bagian tubuh ter-
tentu Pendekar Mata Keranjang 108!
Tuk! Tuk! Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak terpe-
rangah tak percaya. Dicobanya mengerahkan tenaga
dalam untuk membebaskan diri dari totokan perem-
puan tua yang membuat tubuhnya tegang kaku tak bi-
sa digerakkan. Namun hingga agak lama berusaha, tidak juga
mampu membebaskan diri.
"Eyang.... Apa maksudmu dengan semua ini?"
teriak Pendekar Mata Keranjang 108 dengan suara
agak keras. Sambil berkata, hidung Pendekar Mata Keran-
jang 108 mengendus agak dalam. Dia terkejut bukan
alang kepalang. Karena aroma yang tercium bukannya
aroma bunga tujuh warna, tapi aroma Bunga Kamboja.
Belum yakin benar, kembali Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 menajamkan penciumannya. Astaga! Me-
mang benar, hidungnya membaui aroma Bunga Kam-
boja. "Jadi..., dia bukan Eyang...! Tapi gadis yang...."
Belum sampai Pendekar Mata Keranjang 108
meneruskan kata hatinya, perempuan tua di hadapan-
nya mengeluarkan tawa berderai. Lantas dia meliuk
sambil melepas segala perangkat yang menempel di
tubuhnya. Dan mendadak sepasang mata Pendekar Mata
Keranjang 108 membeliak lebar. Ternyata perempuan
tua di hadapannya telah berubah bentuk menjadi seo-
rang gadis cantik jelita berpakaian warna merah!
"Parameswari!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108, tercekat.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Sungguh
sayang, hidupmu akhirnya harus tewas tanpa kubur.
Bahkan tanpa ada orang yang tahu!" kata Parameswari, yang baru saja telah
merubah bentuk tubuhnya
menjadi perempuan tua yang dahulu memberikan
bumbung bambu pada Pendekar Mata Keranjang 108.
Dan kini dia telah berwujud menjadi seorang gadis
cantik. Parameswari lantas melangkah mendekati Pen-
dekar Mata Keranjang 108 dengan senyum tersungg-
ing. "Jahanam penipu! Serahkan kembali bumbung
bambu itu!" bentak Pendekar Mata Keranjang 108 dengan mata berkilat-kilat.
Namun karena saat itu Aji dalam keadaan ter-
totok, jadi hanya bisa berteriak tanpa bisa bergerak.
"Dengar, Pendekar Mata Keranjang 108! Berta-
hun-tahun aku menunggu kesempatan seperti ini. Se-
karang makilah aku sepuas hatimu. Aku tidak akan
marah. Karena penantian ku telah berakhir. Dan kitab serta kipas ciptaan Empu
Jaladara sekarang tidak
akan ada gunanya lagi, Hik.... Hik.... Hik...!"
"Gadis liar! Penipu gila!" rutuk Pendekar Mata Keranjang 108 berkali-kali.
"Kenapa nasibku demikian sial" Betapa bodohnya aku! Bukankah waktu pertama
kedatangannya tadi aku tidak mencium aroma bunga
tujuh warna"! Kenapa aku tidak curiga" Tolol betul
aku!" Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 merutuki dirinya sendiri, Parameswari
melangkah mendekati.
Begitu dekat, mendadak kaki kanan gadis ini bergerak cepat menyapu tubuhnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 kembali hanya
bisa berteriak-teriak tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena saat itu tepat berada
di depan mulut gua, maka
tatkala sapuan Parameswari menghantam, tubuh mu-
rid Wong Agung ini melayang dan masuk ke dalamnya.
Bruk! "Gila! Apa lagi yang hendak diperbuatnya?"
gumam Pendekar Mata Keranjang 108 ketika di atas
tanah sambil meringis menahan sakit.
"Parameswari! Apa tujuanmu sebenarnya den-
gan semua perbuatanmu ini"!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108 dari dalam gua.
Tak ada jawaban terdengar. Namun sesaat ke-
mudian, terdengar langkah-langkah halus memasuki
gua. Tampak Parameswari mendekati tubuh Pendekar
Mata Keranjang 108.
"Parameswari! Ingat! Aku akan memburumu
dan merobek-robek mulutmu jika kau tak segera
membebaskanku!" teriak Aji.
Yang diajak bicara hanya diam saja, tanpa be-
rusaha membuka mulut. Malah senyumnya terus
mengembang tak putus-putusnya. Begitu dekat, Para-
meswari berjongkok di samping Pendekar Mata Keran-
jang 108. Dan....
Cup! Bibir Parameswari mengecup bibir Aji sekilas.
Setelah itu, gadis ini bangkit. Dan tanpa menoleh lagi kakinya melangkah menuju
mulut gua. "Parameswari, tunggu!" teriak Pendekar Mata
Keranjang 108 menahan kepergian Parameswari.
Namun gadis cantik ini tak menghiraukan.
Langkahnya terus bergerak menuju mulut gua.
"Parameswari, kembali!"
Kembali Pendekar Mata Keranjang 108 berte-
riak kuat-kuat. Namun teriakannya hanya menggema
di ruang gua, lalu sirna tanpa mendapat jawaban apa-
apa. Yang terdengar kemudian hanyalah geraian tawa
yang makin lama kian perlahan, sebelum akhirnya le-
nyap, meninggalkan Pendekar Mata Keranjang 108 ba-
gai orang tolol.
Merasa tidak ada guna lagi berteriak-teriak,
Pendekar Mata Keranjang 108 segera mengerahkan te-
naga dalamnya untuk melepaskan diri dari totokan Pa-
rameswari. Namun hingga tubuhnya basah kuyup oleh
keringat, totokan Parameswari tak berhasil dibe-
baskannya. Tapi Aji tidak putus asa. Kembali tenaga
luar dan dalamnya dikerahkan. Namun, kembali dia
harus terhenyak karena usahanya tak membuahkan
hasil. Akhirnya, karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga, tubuh Pendekar Mata
Keranjang 108 lunglai.
Matanya panas dan berkunang-kunang. Dan sebentar
kemudian, dia merasakan gelap lalu tak ingat apa-apa lagi.
2 Malam sudah merangkak jauh. Angin dingin
yang menusuk tulang makin berhembus kencang. Ca-
haya bulan hanya samar-samar karena tertutup gum-
palan awan hitam yang berarak melintas. Sehingga
membuat malam semakin ditikam gulita.
Di malam yang demikian, di kaki Bukit Watu
Dakon yang terjal berbatu dengan tebingnya yang
menjulang tinggi, terlihat beberapa cahaya bergerak-
gerak meliuk. Seakan tak dapat dipercaya, ternyata
cahaya yang bergerak meliuk adalah gerakan beberapa
nyala api yang sesekali tampak jelas. Namun, kadang-
kadang menghilang begitu saja. Dan ternyata, nyala
api itu adalah nyala beberapa obor yang dibawa rom-
bongan orang-orang berkuda.
Karena daerah ini bukit berbatu dan di sekitar-
nya tumbuh pepohonan besar yang berjajar tak bera-
turan, membuat nyala beberapa obor kadang terlihat
jelas dan kadang bagai lenyap padam.
"Kita harus sudah mencapai puncak bukit se-
belum fajar menjelang!" ujar salah seorang pembawa obor yang berkuda paling
depan. Nampaknya dia jadi
pemimpin rombongan ini.
Di bawah cahaya obor, tampak jelas tampang
rombongan berkuda ini. Ternyata, mereka beberapa
orang perempuan berpakaian biru-biru dengan lengan
berumbai-umbai. Mereka mengenakan alas kaki yang
di bawahnya tampak tonjolan-tonjolan runcing. Kepala mereka tidak ditumbuhi
rambut alias gundul. Meski
mereka perempuan, di bawah sinar cahaya obor nam-
pak jelas kalau mata-mata mereka berkilat tajam. Se-
mentara bibir-bibir mereka tak satu pun yang men-
gumbar senyum. Mencapai dua batu yang mengapit sebuah lo-
bang gua, mendadak pimpinan rombongan berkuda ini
mengangkat tangan kanannya ke atas. Diberinya isya-
rat agar orang-orang yang berkuda di belakangnya
berhenti. "Kudengar suara rintihan dari dalam gua!" kata pimpinan rombongan itu.
Perempuan ini lantas mengangguk pada dua
orang di sampingnya agak ke belakang. Kedua orang
yang mengerti isyarat sang pimpinan segera turun dari tunggangan masing-masing.
Dan dengan hati-hati mereka melangkah memasuki gua
Sampai dalam gua, kedua orang ini saling ber-
pandangan setelah melihat sesosok tubuh pemuda
mengenakan pakaian hijau. Rambutnya yang gondrong
dikuncir ekor kuda. Sosok ini tengah telentang dengan mata terpejam. Dan dari
mulutnya terdengar rintihan.
Untuk beberapa saat kedua orang pembawa
obor ini tegak memperhatikan. Dan karena pemuda
yang merintih seakan tak mengetahui kedatangan me-
reka, salah seorang segera menyorongkan obor sedikit ke bawah.
Seketika pemuda yang tak lain Aji alias Pende-
kar Mata Keranjang 108 segera menghentikan rinti-
hannya. Kedua kelopak matanya langsung terbuka.
"Heh"!"
Begitu bisa menguasai keadaan, Aji tersentak
kaget. Dan belum hilang rasa terkejutnya
"Siapa kau"! Dan sedang apa di sini..."!" bentak salah seorang pembawa obor,


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

garang. "Namaku Aji. Kuharap kalian mau menolongku
membebaskan dari totokan jahanam ini!" jawab Aji, tersendat.
Kedua orang pembawa obor kembali saling ber-
pandangan. Lantas salah seorang mengangkat ba-
hunya. "Tak ada gunanya kita ladeni pemuda ini! Kita teruskan perjalanan!" kata
orang ini sambil berbalik hendak melangkah pergi.
"Tunggu sebentar!" cegah wanita gundul yang satunya dengan mata sedikit menyipit
memandangi Aji. Wanita yang tadi hendak melangkah pergi men-
gurungkan niatnya. Tubuhnya segera berbalik kembali
seraya menatap temannya.
"Tak ada salahnya jika dia kita bawa serta. Sia-pa tahu dia ada gunanya!" kata
orang yang menahan kepergian temannya.
Wanita ini lantas melangkah mendekati Aji.
Dan tanpa bicara sepatah pun diseretnya tubuh pe-
muda itu menuju mulut gua.
"Celaka! Jangan-jangan mereka anak buah pe-
rempuan laknat yang berhasil membawa bumbung
bambu itu!" sentak batin Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 menatap pada
dua penyeretnya berganti-ganti.
"He..."! Aku akan dibawa ke mana..."!" teriak Aji. Suaranya bergetar menahan
marah dan sakit.
Kedua orang pembawa obor tidak ada yang
menjawab. Mereka terus melangkah sambil menyeret
tubuh Aji. "Kami menemukan manusia ini!" kata salah
seorang pembawa obor, begitu tiba di hadapan rom-
bongan berkuda.
"Ikat dia! Bawa dia menghadap Gusti Ratu.
Mungkin dia orang yang berusaha memata-matai tem-
pat kita!" ujar pimpinan rombongan, memberi perintah.
Dengan cekatan, salah seorang segera mengikat
kaki dan tangan, bahkan menutup mata Aji dengan
sepotong kain warna hitam. Karena masih dalam kea-
daan tertotok, Pendekar Mata Keranjang 108 tak bisa
berbuat banyak. Dia hanya berteriak memberi penger-
tian ketika dinaikkan ke atas punggung kuda dalam
keadaan tertelungkup. Namun rombongan berkuda ini
sepertinya tak mendengarkannya.
"Ayo jalan!" perintah pimpinan rombongan, setelah melihat Aji terikat dan
ditaruh di punggung kuda.
Rombongan pembawa obor kembali bergerak
mendaki bukit. Hentakan ladam kuda yang beradu
dengan bebatuan bukit seakan menggumpal, meme-
cahkan kesunyian malam di lereng Bukit Batu Dakon.
* * * "Rombongan Delapan datang, bukalah pintu!"
Rombongan berkuda yang menawan Pendekar
Mata Keranjang 108 telah tiba di sebuah bangunan be-
sar dari batu. Ketika tiba di depan pintu gerbang, pimpinan rombongan berteriak,
minta dibukakan pintu.
Tak lama, terdengar suara derit pintu menguak.
Bersamaan dengan itu, dari bagian bawah pintu ber-
munculan beberapa batu yang membentuk deretan
berjarak setengah tombak antara satu dengan yang
lainnya! Ternyata, di antara pintu depan dengan bangunan di seberangnya,
dipisahkan sebuah parit berben-
tuk sungai yang mengelilingi bangunan di tengah-
tengahnya. Keheningan hanya berlalu sesaat. Sebentar
kemudian, terdengar suara langkah seorang yang ke-
luar dari dalam bangunan di seberang.
"Tampaknya kalian membawa seseorang, siapa
dia"!" "Dia mengaku bernama Aji. Kami menemukannya di kaki bukit. Dia dicurigai
memata-matai tempat kita!" jawab pimpinan rombongan.
"Bawa dia masuk!" terdengar perintah dari bangunan di seberang.
Suasana senyap sejenak. Rombongan pembawa
obor tampak saling berpandangan satu sama lain. Se-
mentara pimpinan rombongan mengangguk perlahan
pada salah seorang yang lantas turun dari kuda tung-
gangannya. Dia melangkah mendekati Aji yang masih
telungkup di atas punggung kuda. Sementara penung-
gang lain serentak turun dari kuda masing-masing.
Orang yang mendekati Aji tiba-tiba memiring-
kan sedikit tubuhnya. Kaki kanannya diangkat, seakan hendak berputar. Namun
serta-merta kakinya disentakkan ke arah Aji, tepat pada ikatan di pergelangan
kakinya. Tasss! Tubuh Aji yang tak berkutik kontan berputar di
udara. Tapi sebelum tubuhnya tersungkur menyentuh
tanah bebatuan puncak bukit, salah seorang dari rom-
bongan pembawa obor menggerakkan tangan kirinya.
Disambar potongan kain penutup mata Aji.
Sret! Buk! Aji terjerembab, langsung bergulingan di atas
bebatuan puncak bukit. Kain penutup mata serta ika-
tan di kakinya telah terbuka!
Aji meringis menahan rasa sakit pada sekujur
tubuhnya. Matanya masih tetap terpejam.
"He, Manusia! Jika kau tidak segera bangkit,
jangan menyesal jika tubuhmu akan hangus terbakar!"
Terdengar bentakan salah seorang yang lang-
sung menyorongkan obornya ke arah Aji. Pendekar
Mata Keranjang 108 mengerdip-ngerdipkan sepasang
matanya. Wajahnya tampak merah padam, rahangnya
mengembung menahan marah.
"Brengsek! Siapa perempuan-perempuan galak
ini?" kata Aji dalam hati, seraya mengawasi satu persatu perempuan yang kini
mengelilinginya.
"He"! Kau dengar bukan ucapan tadi..."!" bentak salah seorang dari pembawa obor
dengan nada dingin. "Ucapan apa..." Dan, siapa kalian..."!" tanya Aji setengah berteriak.
Tak ada jawaban. Malah mata perempuan-
perempuan gundul pembawa obor itu memandang ta-
jam ke arah Pendekar Mata Keranjang 108 tidak ber-
kesiap. Mendadak salah seorang dari perempuan-
perempuan gundul itu menggerakkan kakinya menen-
dang. Sementara salah seorang lainnya di bagian seberang, menurunkan obornya.
Aji tersentak kaget. Namun karena tubuhnya
tidak bisa digerakkan, dia tak berdaya untuk menge-
lak. Dan.... Bukkk! "Uhhh..,!"
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 bergulin-
gan. Dan belum sampai tubuhnya terhenti, orang yang
tadi menurunkan obornya segera menyambut.
Wusss! Rambut serta pakaian pemuda murid Wong
Agung ini tampak mengelinting terkena sambaran api.
"Keparat! Kalian akan rasakan pembalasanku
nanti!" pekik Aji dalam hati.
Pendekar Mata Keranjang 108 benar-benar ge-
ram. Giginya pun saling bergemeretak.
"Apa maksud kalian sebenarnya..."!" tegur Aji, dengan suara parau berat
"Manusia lancang! Kami tidak butuh tanya ja-
wab! Cepat bangkit. Dan, ikut kami!" bentak pimpinan rombongan seraya berbalik
hendak melangkah ke pintu yang telah terbuka.
"Baik. Tapi, bebaskan dulu aku dari totokan
ini!" jawab Aji dengan mata merah menyala.
Namun begitu kata-kata Aji selesai, salah seo-
rang telah kembali menurunkan obornya dan menyo-
rongkan ke arah wajahnya.
Wesss...! "Sial!"
Aji hanya bisa menggerutu panjang pendek da-
lam hati seraya pejamkan kedua matanya.
"Mereka rupanya menginginkan kematianku
secara perlahan-lahan!" kata batin Aji seraya mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Tapi totokan itu masih juga tak bisa dile-
nyapkan. Aji semakin putus asa. Sementara hawa pa-
nas obor semakin terasa mendekati wajahnya. Dan se-
lagi telah pasrah karena tidak bisa berkutik, tiba-
tiba.... "Rupanya manusia itu tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Angkat tubuhnya
dan bawa masuk!"
Terdengar suara teguran dari arah bangunan.
Seketika hawa panas obor perlahan menjauh dari wa-
jah Aji. Dan perlahan-lahan pula pemuda tampan ini
membuka kembali kelopak matanya.
Pimpinan rombongan mengangguk memberi
isyarat. Salah seorang lantas maju. Seperti tanpa beban sama sekali, langsung
dipanggulnya tubuh Aji dan dibawanya masuk ke bangunan batu.
Setelah melewati deretan batu di atas parit
yang membentuk sungai, rombongan sampai pada su-
atu ruangan agak besar, yang dinding-dindingnya dari batu pualam putih.
"Gusti Yang Mulia Ratu Pualam Putih! Kami da-
tang menghadap!" kata pimpinan rombongan, seraya menjura diikuti perempuan-
perempuan lain yang ter-
nyata berjumlah delapan orang.
Suasana hening sejenak. Tak lama, terdengar
suara gesekan antara dua batu. Mendadak dari bawah
ruangan, menjorok keluar sebuah kursi dari batu pua-
lam putih, yang di atasnya duduk seorang perempuan
berwajah jelita.
Perempuan yang duduk di atas kursi batu pua-
lam putih sesaat memandang Aji yang kini telah meng-
gelosor dengan bibir mengatup rapat dan mata terpe-
jam. "Bagaimana tugas kalian..."!" tanya perempuan di atas kursi pualam putih
yang dipanggil Ratu Pualam Putih. Pimpinan rombongan menjura.
"Maafkan kami, Gusti Ratu. Kami tidak berhasil
membawa kitab dan kipas, karena seseorang ternyata
telah mendahului kami!" ucap pimpinan rombongan dengan tubuh sedikit menggetar.
Ratu Pualam Putih mengangguk perlahan. Lalu
matanya menatap Pendekar Mata Keranjang 108.
"Dia rupanya tertotok. Siapa dia sebenarnya"!"
tanya Ratu Pualam Putih.
"Kami belum jelas benar, Gusti Ratu. Kami me-
nemukannya di kaki bukit!" jawab pimpinan rombongan. Ratu Pualam Putih
memperhatikan Aji dengan
seksama. Dan tiba-tiba matanya membelalak, tatkala
melihat sebuah kipas lipat yang masih menyelip di ba-ju dalam Pendekar Mata
Keranjang 108. "Melihat ciri-cirinya, apakah manusia ini yang
berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108?" kata batin Ratu Pualam Putih dengan
pandangan terpatri pada
tubuh Aji. Pandangan Ratu Pualam Putih kembali beralih
pada orang-orang di hadapannya.
"Tinggalkan dia di sini. Kalian boleh pergi!" ujar Ratu Pualam Putih.
Beberapa perempuan di hadapan Ratu Pualam
Putih sejenak saling berpandangan. Lalu serentak me-
reka menjura hormat, dan satu persatu segera berlalu.
"He, Pemuda! Siapa kau sebenarnya..."!" tanya Ratu Pualam setelah rombongan
perempuan berlalu
dari hadapannya.
Pendekar Mata Keranjang 108 membuka kelo-
pak matanya. Dia sedikit tersentak. Sepasang matanya mendelik dengan dahi
berkernyit. Ternyata, perempuan di atas kursi itu berpakaian tipis warna putih
sehingga, tubuhnya bagai tidak terbungkus. Dan ini
membuat bayang lekukan tubuhnya tampak jelas.
Namun bukan kecantikan dan kemulusannya
yang membuat mata Pendekar Mata Keranjang 108
terbelalak. Karena, ternyata kedua telapak tangan Ra-tu Pualam Putih itu berbulu
berwarna hitam. Sementa-
ra dari ujung jari-jari tangannya, tak henti-hentinya menetes cairan berwarna
putih dan berbau!
"He" Kau belum jawab pertanyaanku...!" tegur Ratu Pualam Putih, mengagetkan Aji.
"Namaku Aji. Aku seorang pengelana jalanan
yang tak punya ujung pangkal!" sahut Pendekar Mata Keranjang 108, sambil menahan
napas, karena bau
yang begitu menusuk.
Wajah Ratu Pualam Putih sedikit berubah den-
gan mata menyipit. Dia turun dari kursi, lalu melangkah mendekati Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 menahan napas.
Belum sampai dua tarikan napas, mendadak Ratu Pu-
alam Putih menggerakkan tangannya. Dan....
Wesss...! Aji tercekat. Serangkum angin menyambar,
seakan menyedot tubuhnya.
Set! Namun hebatnya, hanya kipas Pendekar Mata
Keranjang 108 yang tampak tercabut dari pinggang-
nya, lantas melayang menuju Ratu Pualam Putih.
"Ah, sial apa yang menimpa ku kali ini! Setelah bumbung bambu dibawa lari,
apakah kipas itu juga
akan jatuh ke tangan orang lain...?" rutuk Aji dalam hati. Matanya tetap
memandang tak kesiap ke arah
Ratu Pualam Putih yang kini memperhatikan kipas
ungu di tangannya.
"Ratu...."
Belum selesai Aji berkata, Ratu Pualam Putih
memberi isyarat dengan mengangkat tangannya. Mak-
sudnya agar Aji tidak meneruskan ucapannya.
"Hm.... Apakah kau manusia yang berjuluk
Pendekar Mata Keranjang 108?" tanya Ratu Pualam Putih. Aji terkesima.
"Begitulah orang menjulukiku.,.," jawab Aji, perlahan.
"Aku sangat gembira dapat bertemu pendekar
hebat. Tapi kenapa kau sampai tersesat di kaki bu-
kit..."!" tanya Ratu Pualam Putih lagi. Bola matanya lekat-lekat memandang Aji.
"Apakah aku harus berterus terang padanya"
Hm.... Rupanya dia tidak berniat jelek...," pilar Aji dalam hati.
Dengan ucapan tersendat-sendat akhirnya
Pendekar Mata Keranjang 108 menceritakan kejadian
di dalam gua. Namun dia tetap merahasiakan tentang
bumbung bambu. * * * "Apakah kau bisa mengutarakan ciri-ciri pe-


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rempuan yang telah membuatmu begini?" tanya Ratu Pualam Putih, setelah Aji
menyelesaikan ceritanya.
"Dia masih muda sekali. Umurnya kira-kira de-
lapan belas tahun. Wajahnya cantik. Rambutnya ikal
panjang dan dikuncir. Dia berbaju tanpa lengan!"
"Gadis macam begitu banyak jumlahnya...," potong Ratu Pualam Putih dengan raut
sedikit redup. "Kau bisa mengingat ciri-ciri tertentu yang kira-kira tidak dimiliki gadis
lain...?" Sejenak dahi pemuda tampan ini berkerut seo-
lah mengingat sesuatu. Dan tiba-tiba matanya membe-
sar. "Benar. Aku ingat! Gadis itu mula-mula mene-
bar bau aroma Bunga Bangkai. Namun perlahan-lahan
berubah menjadi aroma Bunga Kamboja!"
Ratu Pualam Putih terlonjak mendengar uca-
pan pemuda di depannya.
"Ratu mengenalnya...?" tanya Aji, sedikit keheranan. Ratu Pualam Putih tidak
menjawab. Matanya
menerawang jauh.
"Apakah Pendekar ini yang ditunggu-tunggu
oleh Guru" Dan, apakah dia telah bertemu Guru?" ka-ta batin Ratu Pualam Putih.
Tiba-tiba, Ratu Pualam Putih menghujamkan
sepasang matanya pada wajah Pendekar Mata Keran-
jang 108. "Pendekar Mata Keranjang 108. Apakah kau
pernah bertemu seseorang berpakaian compang-
camping di pesisir Laut Pantai Utara?" tanya Ratu Pualam Putih.
Untuk beberapa lama Aji tidak membuka mu-
lut. Dia tampak ragu-ragu.
"Kau tidak usah khawatir, Pendekar! Jawab
pertanyaanku!" tegur Ratu Pualam Putih tatkala melihat Aji ragu-ragu menjawab.
"Betul! Aku memang pernah menemuinya...,"
kata Aji pada akhirnya.
"Apakah orang tua itu memberikan sesuatu pa-
damu?" kejar Ratu Pualam Putih, menyelidik.
"Benar!" jawab Aji singkat.
"Ah, ternyata benar dugaanku. Pemuda tampan
inilah yang kiranya ditunggu Guru...! Tapi aku tidak melihat barang itu.
Apakah...?"
Ratu Pualam Putih tak meneruskan kata-
katanya. Sepertinya, ada sesuatu yang mengganjal ha-
tinya. Perlahan-lahan tubuhnya berbalik dan melang-
kah ke arah kursi.
"Mana barang pemberian orang tua itu, Pende-
kar?" tanya Ratu Pualam Putih kembali duduk di atas kursi. Sebentar Aji
terperangah oleh pertanyaan Ratu Pualam Putih. Sungguh tidak disangka jika Ratu
Pualam Putih mengetahui tentang bumbung bambu.
"Gadis yang kuceritakan itulah yang berhasil
mencuri...!" jelas Pendekar Mata Keranjang 108 langsung. "Astaga! Malapetaka
akan segera melanda!" se-ru Ratu Pualam Putih setengah berteriak, membuat Aji
semakin heran. "Apa maksudmu, Ratu...?" tanya Aji.
"Ketahuilah, Pendekar! Orang yang kau temui
di pesisir Laut Pantai Utara itu adalah Guruku! Se-
mentara, gadis yang telah menipumu dan berhasil
membawa lari pemberian Guruku adalah adik sepergu-
ruan Guruku yang berjuluk Bayangan Seribu Wa-
jah...." Aji tercengang mendengar keterangan Ratu Pualam Putih. Hingga, dia
tidak kuasa lagi mengucapkan kata-kata.
"Pendekar!" lanjut Ratu Pualam Putih. "Bayangan Seribu Wajah telah berpuluh-
puluh tahun men-
ginginkan bumbung bambu yang ada di tangan Guru.
Namun, sejauh itu, dia tidak berhasil merampas. Me-
nurut penuturan Guru, dalam bumbung bambu itu
berisi sebuah lembaran daun lontar yang berisi jurus.
Dan itu hanya akan diberikan pada seseorang yang
memiliki kipas berwarna ungu dengan angka 108. Ka-
rena orang itulah yang kelak bisa meredakan gejolak
dunia persilatan dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab!"
Sejenak Ratu Pualam Putih menghentikan kete-
rangannya. "Orang yang dimaksud Guru berarti adalah
kau! Namun sayang sekali, kau mudah tertipu. Se-
hingga, bumbung bambu itu jatuh ke tangan Bayan-
gan Seribu Wajah. Memang, selama ini tidak diketahui, apa maksudnya dia
menginginkan bumbung bambu
itu. Namun melihat kecenderungannya yang selalu
berpihak pada golongan sesat, sedikit banyak bisa di-bayangkan apa yang bakal
terjadi!" "Jika demikian halnya, aku harus segera men-
cari Bayangan Seribu Wajah. Lekas tolong aku mem-
bebaskan diri dari totokan gadis laknat itu!" pinta Pendekar Mata Keranjang 108.
"Pendekar! Bayangan Seribu Wajah bukanlah
tokoh sembarangan! Dia mempunyai ilmu yang sukar
sekali dijajaki. Namun, aku akan mencoba membe-
baskan dirimu!" tukas Ratu Pualam Putih.
Ratu Pualam Putih lantas berdiri dan melang-
kah mendekati Aji.
"Pejamkan kedua matamu. Kerahkan seluruh
tenagamu untuk menahan!"
Begitu kata-katanya selesai, Ratu Pualam Putih
mengangkat kedua tangannya yang masih terus mene-
teskan cairan putih. Kedua matanya terpejam rapat.
Sementara bibirnya berkemik.
Wesss...! Tiba-tiba dari telapak tangan Ratu Pualam Pu-
tih melesat cahaya putih bergulung-gulung, menerobos masuk ke dada Pendekar Mata
Keranjang 108. Waktu cahaya putih menerobos masuk, tubuh
pemuda ini bergetar hebat. Kepalanya terasa berputarputar. Kedua matanya panas,
lalu tubuhnya terasa ba-
gai melayang jauh dan terpuruk ke kedalaman yang ti-
dak terperi. Ingatannya lantas seperti hilang lenyap, la-lu tak ingat apa-apa
lagi. Sementara itu di lain pihak, tubuh Ratu Pua-
lam Putih juga bergetar hebat. Bahkan hampir jatuh.
Sekujur tubuhnya telah dibasahi keringat. Malah per-
lahan-lahan dari mulut serta telinganya mulai tampak mengalir darah segar!
"Aaa...!"
Mendadak Ratu Pualam Putih menjerit keras.
Tubuhnya terlempar membentur dinding. Bersamaan
dengan jeritannya tubuh Aji melenting ke udara. Lalu tiba-tiba tubuh Pendekar
Mata Keranjang 108 kembali
menukik, dan terpuruk mengeluarkan suara bergede-
buk. Saat itulah Aji merasakan bagai terbawa gelom-
bang besar yang menghempas tubuhnya keras ke
pinggir pantai. Kemudian hawa hangat merayapi seku-
jur tubuhnya. Ketika segalanya berlalu, sayup-sayup telinga
pemuda ini menangkap suara erangan. Seketika kelo-
pak matanya membuka. Dengan hati-hati dicobanya
menggerakkan tangan.
"Ah, aku terbebas!" seru Aji begitu terasa tangannya dapat bergerak.
Dengan perlahan-lahan pemuda itu berusaha
bangkit. Sejenak sekujur tubuhnya yang masih terasa
ngilu dan tegang digerak-gerakkan.
"Pendekar!" terdengar suara lirih memanggil.
"Astaga!" sentak Aji seraya berkelebat ke arah Ratu Pualam Putih yang telentang
di pojok ruangan.
"Ratu...!" panggil Aji seraya jongkok.
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108
terbeliak lebar. Ternyata tetesan cairan putih tak lagi menetes dari ujung-ujung
jari Ratu Pualam Putih. Namun warna hitam dan bulunya kini merambat ke atas
hingga bahu wanita cantik ini.
Dengan cepat Aji segera mengangkat tubuh Ra-
tu Pualam Putih, dan mendudukkan kembali di atas
kursi. Sebentar pemuda ini memeriksa. Lalu disalur-
kannya tenaga dalam ke tubuh wanita ini.
Aji tak menunggu terlalu lama. Kini kedua mata
Ratu Pualam Putih membuka. Dari bibirnya keluar su-
ara lirih tak jelas.
"Ratu...," bisik Aji di dekat telinga Ratu Pualam Putih. Sepasang mata Ratu
Pualam Putih berputar,
memandang ke atas. Lalu melirik ke arah Aji yang
langsung mengembangkan senyum sambil mengang-
guk. "Pendekar...," terdengar suara lirih dari mulut Ratu Pualam Putih. "Terima
kasih, Pendekar...."
"Tidak, Ratu. Aku yang harus mengucapkan te-
rima kasih padamu. Karena berkat pertolonganmu,
aku bisa bebas dari totokan!"
Ratu Pualam Putih tersenyum, membuat wa-
jahnya semakin cantik.
"Ratu, katakan! Apa yang harus kulakukan un-
tuk mengembalikan keadaanmu seperti semula!" ujar Aji, menatap lekat-lekat pada
bola mata Ratu Pualam
Putih. Wanita cantik itu menggeleng perlahan. Ma-
tanya sayu redup. Namun dia tak berusaha menghin-
dar dari tatapan mata Aji. Hingga untuk beberapa saat keduanya saling
berpandangan dengan perasaan masing-masing.
"Berita yang selama ini tersiar benar adanya.
Dia memang laki-laki yang mempesona. Hingga tak he-
ran jika banyak gadis yang tertarik padanya. Sean-
dainya keadaanku tidak begini...,! Aku terlalu mengharap...." "Ratu! Aku
berhutang budi padamu. Apa pun akan kulakukan untuk mengembalikan tanganmu.
Katakanlah, apa yang harus kulakukan!" kejar Aji, memo-tong lamunan Ratu Pualam
Putih. Ratu Pualam Putih kembali hanya tersenyum
seraya menggeleng.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Aku meno-
longmu tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Dan
aku pun telah ikhlas menerima akibatnya. Kau tak
usah terlalu mencemaskan diriku. Sekarang, pergilah!
Kau harus mendapatkan kembali bumbung bambu itu!
Dan jika telah berhasil, kalau kau tidak keberatan, harap kembali lagi ke
sini...," Jelas Ratu Pualam Putih.
Ratu Pualam Putih kemudian segera mencabut
kipas milik Pendekar Mata Keranjang 108 yang dis-
elipkan di bajunya. Lalu cepat diberikan pada Aji.
"Ratu...! Siapakah nama Gurumu?" tanya Aji, seraya menerima kipasnya kembali.
"Pendekar! Kau tak perlu heran jika kukatakan
bahwa aku sendiri tidak tahu siapa nama Guruku. Ka-
rena dia memang tidak pernah menyebutkan na-
manya, meski aku telah lima belas tahun jadi murid-
nya!" jelas Ratu Pualam Putih lagi.
"Aneh!" desah Aji perlahan. Sementara sepasang matanya tak lepas-lepas memandang
wajah Ratu Pualam Putih. "Aneh memang. Tapi, itulah kenyataannya...,"
balas Ratu Pualam Putih sambil tersenyum dan balas
memandang Aji. Keduanya kini kembali saling beradu pandang.
"Pendekar, saatnya bagimu untuk pergi...," ujar Ratu Pualam Putih.
"Tapi...!"
"Baiklah!" potong Ratu Pualam Putih. "Kalau kau ingin menolongku, tanyalah pada
Guruku, apa sa-ja yang harus kau lakukan! Tapi, itu bisa kau lakukan setelah
dapat merebut kembali bumbung bambu dari
tangan Bayangan Seribu Wajah...."
"Jika demikian halnya, aku minta diri sekarang.
Dan aku berjanji akan datang kembali setelah berhasil merebut bumbung bambu!"
tegas Pendekar Mata Keranjang 108.
"Kau bersungguh-sungguh...?" tanya Ratu Pualam Putih dengan wajah muram. "Kau
akan menyesal, Pendekar! Dan kau tidak akan melakukannya!"
"Ratu! Percayalah.... Apa pun akan kulakukan
untukmu!" Mendadak Ratu Pualam Putih tertawa tergelak-
gelak. "Tidak mungkin, Pendekar! Kau tidak akan me-
lakukannya...."
"Sekarang mungkin tidak. Tapi saatnya nanti,
aku akan membuktikan sendiri!"
Setelah berkata, Aji berbalik dan melangkah
menuju pintu depan.
"Pendekar! Kedatanganmu selalu kunantikan,
meski tidak untuk menolongku. Selamat jalan...."
Aji berbalik lagi, namun Ratu Pualam Putih su-
dah tak terlihat lagi.
"Aneh! Apa sebenarnya di balik kata-kata Ratu
Pualam Putih. Dan, kenapa dia mengatakan bahwa
aku tidak mungkin melakukan pertolongan padanya"
Hm.... itu bisa kuselesaikan nanti. Sekarang aku harus mencari Bayangan Seribu
Wajah!" kata Aji seraya berkelebat keluar dari bangunan batu ini.
3 Sesosok tubuh berjubah toga merah keluar dari
sebuah kamar, menuju ruangan tengah. Di ruangan
ini terlihat sebuah meja yang di atasnya terdapat beberapa kendi. Dengan suara
tawa keras, sosok yang te-
linga sebelah kanannya ini menggantung sebuah ant-
ing-anting ini meraih salah satu kendi. Lalu bibir kendi didekatkan ke bibirnya.
Dan.... Gluk...! Gluk...! Glukkk...!
Terdengar suara tegukan ketika sosok itu me-
nenggak tandas isi dalam kendi, yang berisi arak ma-
nis. Hingga sebentar kemudian, raut wajahnya menjadi panas dan berubah
kemerahan. Sepasang matanya
membesar merah dan berputar liar. Sementara, tawa
dari mulutnya semakin meledak.
Namun serta-merta sosok yang tak lain adalah
Malaikat Berdarah Biru hentikan tawanya. Wajahnya
langsung berpaling ke ruangan kamar, ketika terden-
gar suara erangan halus dari sana. Tapi kesunyian itu hanya berlalu sesaat, tak
lama kemudian tawa Malaikat Berdarah Biru kembali menggema.
"Ha... ha... ha...! Rupanya kau masih belum
puas juga. Dasar betina!"
Sambil berkata, Malaikat Berdarah Biru me-
langkah ke arah kamar, tempat tadi dia keluar.
Dengan sekali ayun kaki, pintu kamar terbuka.
Sepasang mata Malaikat Berdarah Biru makin membe-
liak merah. Kakinya perlahan melangkah ke arah ran-
jang tempat tertelungkupnya satu sosok tubuh meng-
giurkan milik seorang gadis berambut panjang. Dan


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata, sosok itu sudah tidak tertutupi benang sehelai pun. Seakan mendengar
suara pintu terbuka, gadis yang tergolek tanpa penutup sehelai benang pun ini
bergerak memiringkan tubuhnya. Sehingga sepasang
payudaranya yang putih dan membusung kencang ter-
lihat jelas bagai menantang. Sepasang matanya perla-
han membuka, diiringi seulas senyum. Pandangannya
sayu ke arah Malaikat Berdarah Biru.
"Apa boleh buat" Demi mendapatkan kitab dan
kipas itu, aku harus menahan perasaan sakit!" kata gadis ini dalam hati.
Sejenak gadis ini menarik napas dalam-dalam,
lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
"Malaikat Berdarah Biru!" panggil gadis ini dengan pandangan redup sayu. "Apa
yang kau kehendaki telah ku penuhi. Sekarang harap penuhi janjimu untuk
memberikan kitab itu padaku!"
Sekonyong-konyong tawa Malaikat Berdarah
Biru lenyap. Parasnya kontan berubah. Rahangnya
yang kokoh semakin mengembung dengan bibir men-
gembangkan senyum buas, mirip seringai serigala.
"Gadis bodoh!" dengus Malaikat Berdarah Biru dalam hati. "Apa dikira gampang
kitab itu kuberikan padamu" Kau jangan mimpi! Hidupmu ada di tanganku. Untuk
sementara ini, hidupmu memang masih ku
perpanjang. Karena, tenagamu masih kubutuhkan. Se-
telah itu kematian adalah balasan setimpal bagimu!"
Malaikat Berdarah Biru menutup senyumnya.
Namun matanya masih liar melahap tubuh gadis di
pembaringan. "Putri Tunjung Kuning!" panggil Malaikat Berdarah Biru. "Janji ku padamu tetap
akan ku penuhi.
Namun karena kitab itu pusaka yang tiada tanding,
apakah sudah layak jika hanya ditukar tubuhmu?"
Seketika berubahlah air muka gadis polos di
depan Malaikat Berdarah Biru yang ternyata Putri
Tunjung Kuning.
"Apa maksudmu..."!" tanya Putri Tunjung Kuning, membesarkan sepasang matanya.
Sementara da- danya sedikit berguncang menahan rasa terkejut,
mendengar ucapan Malaikat Berdarah Biru barusan.
"Kitab itu akan kuberikan padamu, jika kau
berhasil membawa ke hadapanku kipas milik Pendekar
Mata Keranjang 108!" tandas Malaikat Berdarah Biru, tanpa tedeng aling-aling.
Dahi Putri Tunjung Kuning berkerut. Dalam ha-
ti dia mengutuk tak habis-habisnya.
"Jahanam busuk! Mulutmu ternyata tak bisa
dipercaya. Terlambat aku mengetahui akal bulusnya.
Tapi..., sudah kepalang basah. Bagaimanapun juga,
terpaksa aku akan melakukan apa yang dikehenda-
kinya. Namun aku akan tetap mencari kesempatan un-
tuk merampas kitab itu!"
Sebisa mungkin gadis ini menekan perasaan-
nya yang bergolak.
"Malaikat Berdarah Biru!" panggil Putri Tunjung Kuning berusaha tak menampakkan
rasa tertekan. "Kau jangan gila. Bagaimana aku bisa mendapatkan kipas milik Pendekar Mata
Keranjang 108. Dia manusia cerdik yang sulit dibujuk. Bahkan aku pun pernah
tertipu olehnya! Kau jangan terlalu mengada-ada dengan alasanmu!"
"Putri Tunjung Kuning! Bagaimana caranya, ti-
dak perlu kau tanyakan padaku. Tapi, ingat hanya sa-
tu hal yang perlu kau ketahui. Meski Pendekar Mata
Keranjang 108 manusia berilmu tinggi dan sulit dibu-
juk, dia juga seorang laki-laki yang punya nafsu. Sementara, kau seorang gadis
cantik yang bertubuh
menggiurkan. Jadi, apa salahnya jika apa yang kau
miliki dimanfaatkan."
Bibir Putri Tunjung Kuning saling menggegat.
Darahnya kian meluap.
"Manusia durjana licik!" jerit Putri Tunjung Kuning dalam hati.
Melihat perubahan wajah Putri Tunjung Kun-
ing, Malaikat Berdarah Biru tahu apa yang ada di be-
nak gadis itu. Lantas kakinya melangkah ke ranjang
dan duduk di tepinya. Dibelainya rambut Putri Tun-
jung Kuning. "Tubuhmu sudah tidak berharga lagi, Putri
Tunjung Kuning! Apakah masih akan kau jual dengan
harga mahal" Lagi pula, apakah kau sudah tidak men-
ginginkan lagi kitab itu" Hm..., sekarang segalanya
terserah padamu!" kata Malaikat Berdarah Biru pelan.
Putri Tunjung Kuning menarik napas dalam-
dalam. Di dadanya berkecamuk bermacam perasaan.
Marah, benci, jijik, dan sebuah harapan. Semuanya
bercampur aduk jadi satu.
"Baiklah... Kini kau menang. Tapi tunggu saat-
nya nanti!" desis batin Putri Tunjung Kuning, seraya menepiskan tangan Malaikat
Berdarah Biru. Tangan Malaikat Berdarah Biru merambat pe-
lan ke punggung Putri Tunjung Kuning. Tubuh gadis
itu langsung menggeliat. Sementara laki-laki ini tersenyum penuh kemenangan.
"Malaikat Berdarah Biru!" kata Putri Tunjung Kuning, menatap mata laki-laki di
sebelahnya. "Segala kemauanmu akan ku turuti. Bahkan aku tidak akan
lagi menginginkan kitab milikmu, jika kau menyetujui permintaanku!"
"Kau punya permintaan?" tanya Malaikat Berdarah Biru disertai tawa lebar. Namun
tawanya cuma sesaat. Di kejap lain, tawanya berganti senyum seringai. "Katakan, apa
permintaanmu hingga kau tak ber-nafsu lagi memiliki kitab itu!"
"Aku akan merampas kipas milik Pendekar Ma-
ta Keranjang 108, dan menyerahkan padamu. Dan kau
tak perlu mengganti dengan kitab milikmu. Asal, kau
bersedia mengawini ku!" papar Putri Tunjung Kuning.
"Ha... ha... ha...!" Tawa Malaikat Berdarah Biru kontan meledak.
"Hanya itu..."!" tanya laki-laki ini.
Putri Tunjung Kuning mengangguk perlahan.
"Kalau hanya soal itu, kau tidak usah khawatir!
Karena sebenarnya aku mencintaimu. Tapi bagiku,
cinta tak cukup tanpa pengorbanan. Rebutlah kipas
milik Pendekar Mata Keranjang 108. Dan kau akan ja-
di istriku!" tegas Malaikat Berdarah Biru.
"Apakah ucapanmu kali ini tidak main-main?"
tanya Putri Tunjung Kuning.
"Putri Tunjung Kuning! Aku sudah kenyang
dengan asam manis kehidupan! Dan sudah saatnya
bagiku memiliki seorang pendamping yang nantinya
bisa memberikan keturunan padaku, demi berlanjut-
nya keturunan Malaikat Berdarah Biru!"
"Ah!"
Putri Tunjung Kuning menjerit tertahan sea-
kan-akan terkejut. Dan baru saja hendak mengu-
capkan sesuatu, Malaikat Berdarah Biru telah mere-
bahkan diri di sampingnya. Tangan kanan laki-laki itu bergerak cepat, merengkuh
tubuh gadis ini. Sementara tangan kirinya bergerak menanggalkan pakaiannya sa-tu
persatu. "Besok pagi, kau harus segera melakukan per-
jalanan untuk menjadi calon pendamping ku!"
Sepasang mata Putri Tunjung Kuning terbela-
lak. Nafasnya mulai memburu kencang dengan dada
naik turun. Bibirnya tersenyum memperdengarkan
erangan halus. Namun diam-diam dalam hatinya me-
nyimpan seribu kata.
"Kau jangan mimpi! Pengorbanan telah banyak.
Dan tak akan lunas sebelum aku dapat merampas ki-
tab dari tanganmu, serta mengubur cabikan-cabikan
tubuhmu dengan tanganku sendiri!" desis Putri Tunjung Kuning dalam hati. Hanya
sampai dalam hati. Tak lebih.
4 Dua penunggang kuda yang memacu kencang
tunggangannya masing-masing. Padahal binatang-
binatang itu sudah terlihat kelelahan dengan napas
menderu-deru kencang. Di sebuah dataran yang agak
luas, kedua penunggang kuda itu menarik tali kekang
untuk menghentikan laju kuda-kudanya. Kedua bina-
tang tunggangan itu langsung mengangkat kaki de-
pannya disertai ringkikan membahana.
Begitu berhenti, tampak jelas kalau kedua pe-
nunggang kuda itu adalah seorang laki-laki dan seo-
rang perempuan.
"Kita menyelidik di sini, Sunti. Di depan itu telah tampak bangunan Candi
Singasari. Berarti tujuan
kita telah dekat!" kata laki-laki setengah baya yang penunggang kuda disebelah
kiri. Rambutnya yang pan-
jang, sebagian sudah tampak memutih. Kumisnya le-
bat dan terawat rapi. Namun ada satu ciri yang mem-
buat siapa saja yang memandangnya akan merasa ciut
nyalinya. Sebelah mata laki-laki ini hanya merupakan lobang menganga yang
menjorok ke dalam.
Sedangkan perempuan penunggang kuda di se-
belah kanan yang dipanggil Sunti, tidak jelas bentuk wajahnya. Karena seluruh
wajah perempuan ini tertutup sepotong kain. Meski demikian, siapa pun juga
yang memandang tentu tak akan melewatkan begitu
saja. Karena tubuhnya memang terlihat menantang.
Dadanya kencang membusung dengan pinggul besar
menggoda. Apalagi dibalut pakaian ketat tipis warna
putih, membuat lekukan tubuhnya terpampang meng-
giurkan. Rimba persilatan pada beberapa tahun silam
memang pernah guncang oleh kemunculan dan sepak
terjang kedua orang ini. Karena, mereka berhasil
membuat tokoh bernama Wong Agung dari Karang
Langit yang disegani waktu itu harus terluka. Selain itu, mereka berdua juga
berhasil menghimpun beberapa tokoh golongan hitam untuk bernaung di bawah-
nya. Karenanya, tidak mustahil jika kedua orang ini te-
lah menjadi momok dalam percaturan dunia persila-
tan. Memang merekalah yang berjuluk Sepasang Iblis
Pendulang Sukma!
Meski tingkat ketinggian ilmu Sepasang Iblis
Pendulang Sukma tidak diragukan lagi, telah berhasil mempelajari kitab Dua Belas
Titisan Iblis, namun sejauh ini cita-cita mereka dalam melacak jejak kitab
dan kipas ciptaan Empu Jaladara, tidak juga kunjung
tersampaikan. Namun demikian, kedua orang ini tidak pan-
tang menyerah dan terus berusaha. Dan tatkala men-
dengar kabar bahwa Malaikat Berdarah Biru berhasil
mendapatkan kitab dan kipas pusaka yang diinginkan,
mereka pun melakukan perjalanan untuk mencarinya.
Apalagi mereka juga mendengar kabar kalau Tengko-
rak Berjubah telah menjadi anak buah Malaikat Berda-
rah Biru. Maka keduanya makin bersemangat. Karena,
mereka memang menaruh dendam pada Tengkorak
Berjubah yang pernah menipu.
Salah satu dari Sepasang Iblis Pendulang Suk-
ma yakni laki-laki berkumis dan bermata satu berna-
ma asli Sangsang, berpaling pada perempuan bercadar
di sampingnya. "Kita harus bertindak dengan perhitungan,
Sunti! Kalau manusia berjuluk Malaikat Berdarah Biru memang telah berhasil
mendapatkan kitab dan kipas
pusaka kedua bukan tidak mungkin dia sangat berba-
haya!" "Hi... hi... hi...!"
Sunti mengeluarkan tawa dari balik cadarnya.
Sepasang matanya yang terlihat dari lobang cadar berputar ke sekeliling.
"Benar, Kakang. Tapi kita belum bisa memasti-
kan, apakah betul Malaikat Berdarah Biru telah men-
dapatkannya. Jadi, kita tak perlu takut!"
Sangsang menyeringai.
"Aku tidak takut. Tapi melihat beberapa tokoh
telah turun tangan memperebutkan benda pusaka itu,
siapa pun yang mendapatkannya pastilah sulit ditak-
lukkan! Karena, kitab itu pasti berisi jurus-jurus aneh tanpa tanding!" tegas
Sangsang. "Hm.... Tapi kau juga jangan lupa, Kakang. Se-
lain ilmu silat yang kita miliki, aku masih mempunyai senjata yang dapat
digunakan dalam keadaan terjepit!"
Mendengar kata-kata itu, wajah Sangsang cepat
berpaling kembali ke arah Sunti. Mata satu-satunya
menatap liar dada Sunti yang membusung kencang.
Lalu tatapan itu beralih ke pinggul. Dada laki-laki ini bergetar dengan jakun
turun naik. Mendapati dirinya dipandangi seperti itu, Sunti
mengerdipkan sebelah matanya.
"Kau tak perlu cemas dengan kata-kataku tadi,
Kakang. Aku bisa jaga diri. Percayalah.... Tubuhku hanyalah milikmu...," ujar
wanita menggiurkan ini.
Kumis Sangsang bergerak-gerak melepas se-
nyum. Pandangannya lantas beralih ke depan, di mana
pelataran Candi Singasari telah nampak.
"Lebih baik kuda kita ditambatkan dulu di balik pohon itu, agar kita leluasa
bergerak...!" ujar Sangsang. Tanpa menunggu jawaban, laki-laki bermata
satu ini telah menggeprak kuda tunggangannya, me-
nuju ke arah sebuah pohon. Namun mendadak tali ke-
kang kuda itu ditarik kembali tatkala ekor matanya
menangkap kelebatan sesosok bayangan keluar dari
pelataran candi. Dan baru saja Sangsang berpikir
menduga-duga....
"Hieeekh...!"
Sekonyong-konyong kuda tunggangan itu me-
ringkik keras dengan kaki belakang melejang. Sesaat
kemudian binatang itu melenting satu tombak ke uda-
ra. Sementara penunggangnya yang menyadari adanya
bahaya cepat melenting ke udara. Beberapa kali tu-
buhnya membuat gerakan jungkir balik. Tepat ketika
Sangsang mendarat dengan kedua tangan terkembang
siap melepaskan pukulan, kudanya terjerembab di ta-
nah tak bergerak lagi.
Sementara Sunti cepat pula melenting ke samp-
ing dengan kaki menendang pantat kudanya. Seketika
binatang itu terkejut, langsung menghambur cepat ke
depan. Sehingga, kuda itu selamat dari sambaran pu-
kulan yang ternyata juga mengarah pada Sunti.
Sepasang Iblis Pendulang Sukma ini serta mer-
ta berpaling ke kanan, arah serangan tadi berasal. Keduanya terperangah. Sepuluh
langkah di samping me-
reka tampak berdiri tegak seorang pemuda berjubah
toga warna merah. Kedua kakinya kokoh merenggang


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kedua tangan berkacak pinggang. Bibirnya
menyunggingkan senyum seringai bernada mengejek.
Namun sepasang matanya menatap lekat-lekat pada
dada dan pinggul Sunti. Dia tak lain dari Malaikat
Berdarah Biru. "Siapa kau"!" bentak Sangsang, mengawasi tak berkedip.
Malaikat Berdarah Biru mengatupkan dagunya
rapat-rapat. Kedua tangannya terangkat, lalu mengu-
sap-usap. Dan begitu menghentak....
Desss...! "Heh"!"
Bersamaan dengan itu serangkum angin keras
menyambar, Sangsang dan Sunti tersentak kaget, na-
mun cepat merunduk. Sehingga serangan itu hanya
menyambar angin saja.
"Manusia konyol! Kalian tak berhak bertanya!
Kalian hanya bisa jawab! Ini daerah kekuasaanku!"
bentak Malaikat Berdarah Biru.
Mendengar kata-kata Malaikat Berdarah Biru,
Sangsang dan Sunti yang sudah tegak kembali jadi
berkernyit keningnya. Kemudian mereka saling ber-
pandangan. "Ha... ha... ha...! Lihat, Sunti! Kunyuk ini rupanya belum tahu sedang
berhadapan dengan siapa"!
Berani benar dia bertingkah seperti anjing kepanasan!
Beri dia pelajaran agar berubah jadi kucing kedingi-
nan!" leceh Sangsang.
Sementara Sunti hanya menggeliatkan tubuh-
nya, membuat mata Malaikat Berdarah Biru merayapi
tanpa berkedip. Mendadak tubuh wanita itu berkelebat lenyap. Di pihak lain,
Malaikat Berdarah Biru yang
mengerti keadaan segera pula mundur tiga langkah ke
samping. Tangan kanannya cepat mengayun ke bawah.
Sedangkan tangan kiri bergerak lurus ke samping.
Wuuut! Wuuut! Dan begitu serangan Sunti mendekati, seberkas
cahaya biru dari papakan Malaikat Berdarah Biru me-
lesat menyambar ke arah samping. Sementara dari
arah bawah menderu sinar merah melingkar seakan
melapis tubuh laki-laki berjubah toga merah ini. La-lu.... Des! Prak!
Terdengar benturan keras, yang disusul jerit
tertahan. Tiga langkah di samping Sangsang, tampak
tubuh Sunti terkapar. Pakaian bagian bawahnya robek
menyilang, membuat pahanya terpampang jelas.
Malaikat Berdarah Biru tersenyum mengejek.
Kepalanya tengadah memandang langit.
"Ha... ha... ha...!"
Dari mulut laki-laki berjubah toga merah ini ke-
luar suara tawa panjang dan bergelak. Seakan-akan
saat merambat bangkit, Sunti segera memalingkan wa-
jahnya pada Sangsang. Keduanya sejenak saling ber-
pandangan. Dan manusia bergelar Sepasang Iblis Pen-
dulang Sukma ini diam-diam jadi tercekat. Mereka ba-
ru sadar jika manusia bertoga merah di hadapannya
adalah orang berilmu tinggi. Namun karena sudah ke-
nyang pengalaman, mereka tak menampakkan rasa
takut sama sekali. Malah tiba-tiba Sangsang menghen-
Pedang Pelangi 17 Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of The Three Kingdom Karya Luo Guan Zhong Pedang Kayu Harum 20
^