Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 10

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10


Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah memang tidak banyak berbeda dari kakaknya. Swandaru. Karena itu, maka ia dengan terbuka mengatakan apa yang terpikirkan olehnya. Bahkan menurut ukuran Agung Sedayu. sikap itu memang sudah diwarnai oleh sikap sombong.
Anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar. Permainan apalagi yang akan dipertunjukkan oleh Sekar Mirah dengan patok-patok bambu itu selain meloncat-loncat. Berputar-putar dan melenting dari deretan yang satu kederet yang lain kemudian kembali lagi kederetan yang semula.
Sejenak anak-anak muda itu menunggu. Mereka melihat Sekar Mirah meloncat naik. Kemudian yang terjadi tidak banyak berbeda dari yang dilakukannya terdahulu. Semakin lama semakin cepat. Perempuan itu berloncatan dari satu patok kepatok yang lain. Melenting, berputar diudara dan gerak-gerak yang mendebarkan. Tetapi anak-anak muda yang datang mendahului kawan-kawannya di barak itu, telah melakukan latihan seperti itu meskipun agaknya mereka masih belum sampai pada tingkat ketrampilan Sekar Mirah.
Tetapi bagi mereka, ketrampilan kaki bukan keputusan terakhir untuk menilai kemampuan seseorang. Apalagi dalam benturan olah kanuragan. Ketrampilan yang demikian hanya dapat dikagumi sebagai tata permainan yang mendebarkan.
Beberapa lama Sekar Mirah telah melakukannya. Tetapi anak-anak muda itu masih belum melihat sesuatu yang benar-benar mampu mengguncang jantung mereka. selain debar-debar yang menggelitik karena kecepatan gerak Sekar Mirah.
Beberapa saat kemudian. gerak Sekar Mirah menjadi semakin mengendor. meskipun tampak semakin mantap. Tetapi kakinya tidak lagi terlalu cepat menari diatas patok-patok bambu itu. Semakin lama semakin lambat, sehingga akhirnya Sekar Mirah hanya melakukan loncatan-loncatan biasa saja dengan langkah-langkah yang jauh berbeda dengan langkah-langkah kakinya semula. Jika semula parempuan itu seolah-olah tidak memiliki berat sama sekali oleh lontaran-lontaran kakinya, maka kemudian kakinya justru nampak menjadi sangat berat seperti dibebani timah.
"Ia sudah sangat lelah," berkata salah seorang anak muda, "tetapi ia masih belum berhenti."
Namun anak muda itu tidak usah menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian. Sekar Mirah memang sudah berhenti, iapun kemudian meloncat turun dari patok-patok bambu itu. Sambil tersenyum ia berpaling kearah Agung Sedayu kemudian memandangi anak-anak muda itu dengan wajab tengadah.
Sesaat anak-anak muda itu kurang mengerti apa yang terjadi. Namun mereka melihat wajah Agung Sedayu yang bersungguh-sungguh. Dengan kerut di dahi Agung Sedayu memandangi patok-patok bambu itu.
"Kenapa dengan patok patok bambu itu," desis seorang anak muda.
Tiba-tiba seorang anak muda berdesis dengan wajah tegang, "He. kau lihat itu?"
"Apa?" bertanya kawannya.
"Patok-patok itu menjadi semakin pendek. He. apakah bagitu?" jawabnya dengan ragu-ragu.
Kawannya mulai memperhatikan patok-patok itu. Ternyata patok-patok itu sudah tidak nampak lagi. Ada yang lebih pendek dari patok disebelahnya hampir sejengkal.
"Patok-patok itu," yang lain menggamit kawannya sambil berbisik.
Akhirnya anak-anak muda itupun melihat satu kenyataan yang benar-benar telah mengguncang hati mereka. Patok-patok itu sebagian besar telah membenam semakin dalam. Bahkan ada diantara patok-patok itu yang membenam sejengkal lebih.
"Bukan main," anak-anak muda itu saling berbisik. Tetapi mereka masih dicengkam oleh getar kekaguman sehingga seola-olah mereka tidak dapat mengatakannya.
"Apa yang kalian lihat?" bertanya Sekar Mirah.
Anak muda yang bertubuh tinggi. yang semula kecewa karena ia hanya dapat melihat kecepatan gerak dan keseimbangan itupun selangkah maju. Hampir diluar sadarnya ia mengangguk hormat sambil berkata, "Memang luar biasa. Kami sekarang sudah melihat kelebihan yang sukar dicari bandingnya. Karena itulah maka kalian berdua telah menempatkan diri sebagai pembimbing kami. Dengan ikhlas kami akan menerima Sekar Mirah diantara mereka yang berhak menentukan arah kemampuan kami."
"Terima kasih," sahut Sekar Mirah, "aku kira hal seperti ini memang perlu. Dengan demikian kalian tidak akan ragu-ragu dengan siapa kalian berhadapan. Agaknya kakang Agung Sedayu mempunyai cara yang lain untuk menyatakan kelebihannya. Kalian sudah pernah mendengar bahwa kakang Agung Sedayu tetah berhasil membunuh Ajar Tal Pitu dan yang terakhir Kiai Mahoni. Tanpa menunjukkan apapun juga kalian sudah dapat membuat takaran, betapa tinggi ilmunya. Tetapi terhadap aku kalian memang perlu melihat langsung seperti sekarang ini. Apalagi aku seorang perempuan."
"Kami sudah menyaksikannya," jawab anak muda itu.
Sekar Mirah tersenyum. Lalu katanya, "Kalianpun akan dapat melakukannya, jika kalian berlatih dengan sungguh-sungguh. Aku tidak berkeberatan bersama kakang Agung Sedayu untuk mencapai satu tingkat tertentu. kalian harus berlatih bertahun-tahun. Bukan hanya tiga ampat bulan."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu berkata, "Yang kalian lihat adalah kekuatan tenaga cadangan didalam diri seseorang. Sebenarnyalah untuk dapat mengungkit seluruh kekuatan tenaga cadangan diperlukan waktu yang sangat panjang."
"Kami akan menunggu kesempatan untuk dapat mengetahuinya serba sedikit. yang sudah kami mulai, ternyata masih sangat dangkal," jawab anak muda bertubuh tinggi itu.
"Ya. Tetapi kalian sudah memulainya," jawab Agung Sedayu, "karena itu. diperlukan ketekunan dan kesungguhan.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Beberapa orang diantara mereka yang telah terlanjur menganggap permainan Sekar Mirah sebagai sekedar permainan keseimbagan menjadi malu. Ternyata perempuan itu mampu melakukan sesuatu diluar dugaan mereka.
Namun dalam pada itu. yang tidak diduga-duga ternyata telah terjadi. Pada saat-saat beristirahat dan apalagi di saat-saat menjelang tidur dimalam hari. peristiwa itu telah berkembang dari mulut kemulut. Bukan saja anak-anak muda Sangkal Putung yang dengan bangga menceriterakan apa yang dapat dilakukan oleh Sekar Mirah, namun anak-anak muda yang datang dari daerah lainpun telah menceriterakan kemampuan Sekar Mirah itu dengan penuh gairah. Mereka menganggap bahwa disamping Agung Sedayu sendiri. Sekar Mirah adalah pembimbing terbesar di dalam barak itu.
Hal itulah yang ternyata telah menimbulkan persoalan. Ternyata seorang Senapati muda dari Mataram. yang telah ditunjuk menjadi salah seorang pemimpin dan sekaligus pembimbing dalam barak itu telah merasa tersinggung oleh ceritera yang kemudian tersebar diseluruh barak.
"Omong kosong," geram Senapati muda itu, "aku tidak percaya akan pendapat ngayawara itu. Mungkin Sekar Mirah memang dapat membuat pangeram-eram dengan menekan patok-patok itu lebih dalam. Tetapi itu bukan ukuran olah kanuragan yang sebenarnya. Seorang yang memiliki kekuatan seekor gajah, belum tentu dapat menangkap seekor kijang. Karena itu. kekuatan kaki perempuan itu tidak menjamin kemampuannya yang sebenarnya didalam olah kanuragan."
"Perempuan itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Tenaga cadangan didalam dirinya telah berhasil dikuasainya. Disamping kekuatannya ia mampu bergerak dengan kecepatan tatit dan keseimbangan yang utuh. Ia memang mempuniyai unsur-unsur yang diperlukan dalam olah kanuragan."
"Yang kau lihai adalah sebuah pertunjukkan," jawab Senapati itu, "bukan sebenarnya benturan Ilmu dalam olah kanuragan."
Anak-anak muda yang mendengar pendapat Senapati itu mengangguk-angguk. Merekapun mulai berpikir, bahwa yang dilihatnya itu adalah sebuah pertunjukkan.
Didalam benturan ilmu, tata gerak kita tidak akan dapat diatur menurul urutan yang kita biasakan sebelumnya. Dalam pertempuran kita dituntut untuk mempergunakan nalar dan kecepatan menentukan sikap. itulah yang penting. Bukan kecepatan menari dan kekuatan kaki sebagaimana kau lihat dalam pertunjukkan tari."
Anak-anak muda itu masih mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka masih berkata, "Tetapi ia adalah isteri Agung Sedayu. Dari Agung Sedayu perempuan itu tentu mendapat banyak tuntunan. Apalagi menurut anak-anak Sangkal Putung, ia adalah satu-satunya murid Sumangkar, salah seorang gegedug Jipang pada saat Arya Penangsang masih berkuasa."
Tetapi Senapati itu tertawa. Katanya, "Kau menghubungkan kemampuan seseorang dengan nama-nama orang lain yang penting adalah Sekar Mirah itu sendiri. Bukan suaminya, bukan gurunya dan bukan kakek neneknya."
Anak-anak muda itu tidak berani membantah lagi. Mereka menyadari bahwa Senapati muda itu telah mulai menjadi marah.
Namun anak-anak muda itu sama sekali tidak menduga bahwa Senapati muda itu tidak hanya sekedar menolak anggapan anak-anak mada itu. Tetapi terbersit didalam angan-angannya untuk menjajagi kebenaran anggapan anak-anak muda itu.
"Perempuan itu bukan orang terbaik di barak ini," berkata Senapati itu kemudian. Dan anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar ketika Senapati itupun kemudian berkata, "Aku akan membuktikannya, bahwa ia bukan orang terbaik. Bahkan Agung Sedayu bukan. Ia memang dapat mengalahkan Ajar Tal Pitu. Tetapi bagiku itu bukan ukuran. Kita tidak tahu dengan pasti. sampai tingkat yang manakah kemampuan Ajar Tal Pitu itu sendiri."
Bagaimanapun juga, anak-anak muda didalam barak itu menjadi gelisah. Mereka tidak menyangka bahwa seorang diantara para pemimpin di barak itu masih belum dapat berpikir dewasa. Senapati itu memang masih muda. Tetapi lebih tua dari anak-anak muda didalam barak itu pada umumnya. Dan lebih tua dari Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Ketika Senapati itu kemudian pergi, maka anak-anak muda itupun saling berbisik diantara mereka.
"Kenapa Senopati itu marah?" desis salah seorang dari mereka.
"Entahlah. Tetapi Senapati itu tidak mau bahwa Sekar Mirah dianggap lebih besar dari dirinya atau Senapati Senapati yang lain."
"Tetapi sebenarnya ia tidak perlu bersikap seperti itu. Tidak sedap bagi kita semuanya yang berada di barak ini," berkata yang lain lagi.
"Bagaimana sikap Ki Lurah Branjangan yang untuk sementara menjadi Panglima pasukan khusus ini," bertanya anak muda yang pertama.
"Entahlah. Tetapi jika Ki Lurah mengetahui. ia akan dapat mengambil tindakan pencegahan," jawab yang lain.
Tetapi anak-anak muda itu tidak terjadi sesuatu, mereka telah membuat kegelisahan tanpa alasan.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Senapati itu benar-benar telah menjadi sakit hati. Sebelum kehadiran Sekar Mirah. Senapati itu telah merasa iri melihat kedudukan Agung Sedayu. Apalagi kemudian kedatangan Sekar Mirah telah merampas perhatian anak-anak muda dalam pasukan khusus itu. karena perempuan itu sudah membuat pangeram-eram.
Bagi Senopati yang lain dan bagi Ki Lurah sendiri. ceritera tentang Sekar Mirah itu telah mereka tanggapi dengan baik. Justru dengan demikian anak-anak muda dan pasukan khusus itu akan berlatih dengan sungguh-sungguh justru karena mereka menganggap bahwa orang yang memberikan latihan adalah orang yang terbaik.
Namun ada juga orang yang ternyata mempunyai pendapat yang lain. Sehingga dengan demikian maka pendapat yang berbeda itu akan dapat menimbulkan persoalan yang tersendiri.
Dalam pada itu, kegelisahan anak-anak muda di barak itu menjadi semakin meningkat, ketika mereka seolah-olah telah mendapatkan satu keyakinan. bahwa Senapati itu benar-benar ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kelebihan dari Sekar Mirah. Bahkan Agung Sedayu.
Karena seolah-olah mereka telah berjanji untuk selalu mengamati keadaan. Jika terjadi sesuatu. adalah menjadi kewajiban mereka untuk melaporkannya kepada Ki Lurah Branjangan.
Tetapi dalam satu dua hari. ternyata tidak terjadi sesuatu. sehingga anak-anak muda dilingkungan pasukan khusus yang pernah mencemaskan terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan itu menjadi agak lapang.
Namun pada suatu hari, anak-anak muda yang hampir melupakan persoalan yang timbul dihati Senapati muda itu telah menjadi berdebar. Ketika matahari telah condong ke Barat, dan pada saatnya Agang Sedayu dan Sekar Mirah meninggalkan barak karena tugas mereka telah selesai, mereka telah melihat Senapati muda itu telah berkemas pula.
"Apa yang akan dilakukannya," desis seorang anak muda yang berkumis tipis.
"Entahlah," sahut anak muda yang bertubuh tinggi, "tetapi agaknya iapun akan meninggalkan barak ini."
"Aku menjadi curiga. Apakah ia akan menyusul Agung Sedayu ?" bertanya yang berkumis.
"Apakah ia berani berbuat demikian" " sahut yang lain.
Anak-anak muda itu menjadi semakin gelisah. Sejenak kemudian mereka melihat Senapati itu sudah menuntun seekor kuda. diikuti oleh tiga orang pemimpin kelompok dari antara anak-anak muda Mangir dan Pasantenan.
"He," anak muda bertubuh tinggi itu berusaha mendekati anak muda dari Mangir, "Kemana?"
"Aku akan mengikuti Senapati," jawab anak muda dari Mangir itu.
"Ya. Kemana?" desak anak muda yang bertubuh tinggi.
"Aku tidak tahu," jawabnya.
Anak muda bertubuh tinggi itu tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Sejenak kemudian Senapati itupun telah meninggalkan halaman barak diatas punggung kudanya, diikuti oleh tiga orang pemimpin kelompok.
"Memang agak mencurigakan," desis seorang anak muda yang menyaksikan kepergian Senapati itu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Kita memang terlalu banyak dibayangi oleh prasangka dan kecurigaan," berkata yang lain.
Namun bagaimanapun juga. ternyata bahwa anak-anak muda itu masih tetap gelisah. Bahkan seorang diantara mereka berkata, "Apakah sebaiknya kita melaporkannya kepada Ki Lurah Branjangan. Jika sesuatu terjadi, bukan lagi menjadi tanggung jawab kita sepenuhnya, karena Ki Lurah sudah mengetahuinya atau dianggap sudah mengetahuinya."
Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, "Baiklah. Kita menghadap Ki Lurah Branjangan. Rasa-rasanya hati ini tidak tenang. Kita melihat Agung Sedayu dan iserinya meninggalkan barak ini. Biasanya mereka hanya berjalan kaki. Sementara itu. Senapati yang mengiringnya itu telah keluar pula dari barak ini berkuda dengan tiga orang dari Mangir dan Pasantenan. Apakah dengan demikian kita tidak dapat mengambil satu kesimpulan bahwa Senapati itu telah menyusul Agung Sedayu untuk membuat satu perhitungan."
Kawan-kawannya ternyata telah menyetujuinya. Sehingga karena itu maka merekapun telah menugaskan dua orang diantara mereka untuk bertemu dengan Ki Lurah Branjangan dan mengatakan apa yang pernah mereka ketahui.
Dalam pada itu. ketika dua orang diantara anak-anak muda itu telah menghadapnya. Ki Lurah memang menjadi cemas pula. Karena itu. maka katanya, "Apakah tidak lebih baik kalau kalian melihat. apa yang terjadi disepanjang jalan menuju ke padukuhan induk. Bukankah biasanya Agung Sedayu selalu langsung pulang kerumahnya " Seandainya ia singgah, maka ia akan singgah disawahnya yang terletak di pinggir jalan itu pula."
"Tetapi apa arti kami semuanya," jawab salah seorang anak muda itu, "kami tidak akan dapat memberikan pengaruh apa-apa atas sikap seorang Senapati yang memimpin kami dan langsung membimbing kami jika benar terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan."
Ki Lurahpun berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan segera bersiap. Tetapi pada saat yang demikian ini. Senapati berkuda itu tentu sudah berhasil menyusul Agung Sedayu. Tetapi mudah-mudahan dugaan kalian keliru. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
Meskipun demikian. Ki Lurah itupun segera bersiap-siap. Tetapi ia sengaja tidak membawa anak-anak muda di barak itu. Ia akan pergi bersama Senapati yang lain. yang ikut serta memimpin barak itu. ia menduga bahwa jika terjadi sesuatu. biarlah bukan anak-anak dan pasukan khusus itu yang menyaksikannya, kecuali yang dibawa oleh Senapati muda itu sendiri.
Sejenak kemudian Ki Lurah bersama seorang Senapati telah meninggalkan barak itu. Kepada petugas di regol ia mengatakan bahwa ada keperluan yang harus segera diselesaikan diluar barak.
Tetapi para penjaga regol itupun sudah dijalari oleh kecemasan pula tentang kepergian Senapati muda yang hanya berselang beberapa saat dari kepergian Agung Sedayu serta dugaan-dugaan yang timbul diantara anak-anak muda dalam pasukan khusus itu.
Sebenarnyalah. ketika orang-orang dibarak sedang menduga-duga dengan cemas, apa yang akan terjadi. Senapati muda itu telah menyusul perjalanan Agung Sedayu, dan menghentikannya di tengah-tengah jalan dipinggir pategalan.
"Aku mempunyai sedikit persoalan Agung Sedayu," berkata Senapati muda itu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ia merasa aneh bahwa Senapati muda itu telah menyusulnya dan menyatakan dirinya mempunyai persoalan.
Dalam kebimbangan Agung Sedayu melihat Senapati muda bersama tiga orang anak-anak muda dari pasukan khusus itu meloncat turun dari kudanya.
"Kami ingin berbicara dengan kalian tanpa diganggu oleh orang lain," berkata Senapati muda itu.
"Apakah maksudmu agar kami berdua kembali lagi ke barak?" bertanya AgungSedayu.
"Tidak. Aku dapat berbicara berdua saja. Juga dapat di tengah-tengah pategalan itu," jawab Senapati muda itu.
"Apakah kau mendapat pesan dari Ki Lurah" " bertanya Agung Sedayu pula.
"Tidak. Aku sama sekali tidak memberitahukan persoalan itu kepada Ki Lurah Branjangan," jawab Senapati muda itu.
"Aku tidak mengerti," desis Agung Sedayu.
"Kau memang tidak mengerti. Tetapi jika benar bahwa kalian berdua adalah pembimbing terbaik dari barak kita. maka kalian tentu dapat menerima ajakanku kali ini. Marilah. kita masuk kedalam pategalan ini."
Agung Sedayu menjadi semakin kurang mangerti. Sejenak ia saling berpandangan dengan Sekar Mirah.
Namun kemudian Sekar Mirah itupun berkata, "Sebaiknya kita terima ajakannya itu kakang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Tetapi bukankah setiap persoalan dapat kita selesaikan bersama Ki Lurah Branjangan. Jika persoalan itu menyangkut hubungan antara kita didalam lingkungan barak itu ?"
"Aku memang tidak ingin menyelesaikan persoalan ini bersama Ki Lurah. Aku ingin mendapat penilaian yang wajar. Jika Ki Lurah ikut campur, maka persoalannya tidak akan dapat dinilai dengan tuntas," jawab Senapati itu.
"Apa sebenarnya yang ingin kau persoalkan itu?" bertanya Sekar Mirah yang menjadi tidak sabar lagi.
"Sudah aku katakan. Aku ingin membicarakannya tanpa diganggu oleh orang lain. Juga tidak oleh orang-orang yang pulang dari sawahnya," jawab Senapati itu, "tetapi tergantung kepada kalian. Jika kalian menolak. maka akupun tidak akan memaksa. Tetapi anak-anak ini sengaja aku bawa untuk menjadi saksi, bahwa kalian bukan orang terbaik di barak pasukan khusus itu," jawab Senapati itu.
"Aku kurang mengerti," Agung Sedayu berdesis.
"Aku mengerti," potong Sekar Mirah, "kau ingin menguji kami. apakah kami benar-benar pantas menjadi seorang pembimbing dan pelatih dalam lingkungan barak pasukan khusus itu?"
Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku minta kita memasuki pategalan ini. Kita akan berbicara dengan bebas tanpa diganggu oleh siapapun seperti yang sudah aku katakan beberapa kali."
"Baik," jawab Sekar Mirah, "aku terima ajakan itu."
Agung Sedayu tidak sempat berbuat banyak. Sekar Mirah telah melangkah memasuki pategalan yang rimbun oleh pohon buah-buahan dan pohon jagung yang sudah mendekati masa panen.
Senapati itu menjadi berdebar-debar melihat sikap Sekar Mirah. Ternyata perempuan itu bersikap lebih keras dari Agung Sedayu. Justru Agung Sedayu masih saja ragu-ragu untuk melangkah memasuki pategalan. Sekar Mirah sudah berada ditengah-tengah batang jagung. menyusuri pematang yang sempit.
Namun Senapati itupun kemudian telah menuntun kudanya memasuki pategalan itu pula diikuti oleh tiga orang anak muda dari pasukan khusus itu.
Ketika mereka sampai di tempat yang agak luas, karena dibeberapa kotak pategalan jagung sudah dipetik beberapa hari yang lewat. Sekar Mirahpun berhenti.
"Suatu persoalan yang mendebarkan," desis Agung Sedayu.
"Bukan salah kita," jawab Sekar Mirah, "disini kita dapat berbuat apa saja menurut kehendak Senapati itu. Pemilik pategalan ini tentu tidak akan segera datang pada saat begini, apalagi jagungnya sudah tidak memerlukan pemeliharaan sama sekali."
"Ya. Aku tidak menggelisahkan pemilik pategalan yang jarang sekali melihat tanamannya, kecuali pada saat memetik," jawab Agung Sedayu, "tetapi justru persoalan yang kita hadapi sekarang ini."
"Tidak apa-apa kita memang harus menghadapinya," jawab Sekar Mirah. Namun kemudian, "Tetapi pemilik pategalan ini akan heran nanti melihat bekas-bekas kaki kuda yang memasuki pategalannya. Meskipun demikian mereka tidak akan merasa kehilangan, sebagaimana daerah ini adalah daerah yang paling aman sekarang. Tanpa ada orang yang mencuri hasil sawah dan pategalan. Dan kitapun tidak akan memetik jagung yang sudah tua itu."
Keduanya tidak berbicara lebih jauh, karena Senapati dan ketiga anak-anak muda itu sudah mendekat.
Sambil menambatkan kudanya, maka Senapati muda itu berkata, "Agung Sedayu. biarlah anak-anak muda. dari pasukan khusus ini berceritera tentang kalian berdua."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Katakan."
Keiga orang anak-anak muda yang sudah menambatkan pula kuda mereka itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, "Aku ingin mengatakan yang sebenarnya."
"Ya. Katakan yang sebenarnya," sahut Agung Sedayu.
"Anak-anak dari pasukan khusus di barak itu telah berceritera tentang! Sekar Mirah yang membuat pangeram-eram. Dengan demikian anak-anak di barak itu menganggap bahwa Sekar Mirah dan Agung Sedayu adalah orang terbaik di antara para pelatih yang ada. Para Senapati yang memimpin dan sekaligus menjadi pembimbing dan pelatih itu merasa kurang senang atas anggapan itu Dengan demikian maka akan memperkecil arti dari para Senapati. Seolah-olah para Senapati itu bukan pembimbing dan pelatih yang baik," berkata anak muda itu."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Mereka memang sudah menduga. Persoalannya tentu berkisar pada harga diri.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu dan Sekar Mirah hanya saling berpandangan. Mereka tidak dapat segera mengambil sikap. Yang dapat mereka lakukan adalah menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Senapati muda itu.
Dalam pada itu. maka Senapati muda itupun kemudian berkata, "Sekar Mirah telah berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai seorang yang terbaik. Tetapi bukan itu saja. Yang dilakukan telah menyesatkan pendapat anak-anak dari pasukan khusus itu. Mereka menganggap bahwa pangeram-eram yang demikian adalah sejalan dengan kemampuan dalam olah kanuragan dan ilmu kesaktian. Padahal yang mereka lihat tidak lebih dari satu pertunjukkan yang mengasyikkan.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia masih berusaha untuk menahan diri. Ia sadar, bahwa ia masih dalam tataran permulaan. Jika ia berbuat kesalahan, maka kemungkinannya untuk berbuat lebih banyak lagi akan dapat tertutup karenanya.
"Ki Sanak," Agung Sedayulah yang kemudian menjawab, "kami sama sekali tidak berniat untuk membuat pangeram-eram. Tetapi yang kami lakukan semata-mata untuk kepentingan tugas kami. Sekar Mirah menunjukkan kemampuannya dengan niat yang baik. Dengan demikian maka anak-anak muda dari pasukan khusus itu tidak akan ragu-ragu lagi. Apalagi ia seorang perempuan. Tanpa kepercayaan dari anak-anak muda yang akan dilatih dan dibimbingnya, maka ia bukan seorang pelatih yang berwibawa, itulah sebabnya maka ia menunjukkan kepada anak-anak muda yang khusus dibawah bimbingan kami dalam putaran ini. bahwa mereka tidak usah ragu-ragu akan kemampun pelatihnya."
"Omong kosong," jawab Senapati itu, "sejak kehadiranku disini aku sudah melihai gejala itu padamu Agung Sedayu. Kau menghisap semua perhatian anak-anak muda di barak ini. Seolah-olah orang-orang lain yang mendapat tugas langsung dari Senapati Ing Ngalaga itu berada dibawah tataran ilmumu. Kau mendapat tempat yang baik disini meskipun kau bukan salah seorang dan kami para pemimpin barak itu. Bahkan satu kesalahan dari Ki Lurah Branjangan adalah, Ki Lurah itu terlalu memanjakanmu." Senapati itu berhenti sejenak. Lalu, "kemudian kau datang dengan membawa isterimu. Kau suruh Isterimu membuat pangeram-eram. Dengan demikian kau sengaja memperkecil arti orang lain didalam barak itu. Bahkan Ki Lurah Branjangan sendiri."
"Kau orang yang termasuk baru didalam barak itu," jawab Agung Sedayu, "bertanyalah kepada Ki Lurah Branjangan. apa yang sudah aku kerjakan didalam barak itu. Bahkan bertanyalah kepada anak-anak muda yang sekarang bersamamu. Ia datang mendahului kawan-kawannya. ia tahu apa yang terjadi sejak semula. Sejak kau belum mendapat tugas di barak itu."
"Aku sudah mendengar semuanya. Kau termasuk salah satu calon pemimpin di barak itu. Tetapi ternyata sampai sekarang kau tidak diangkat, sehingga kau menjadi sakit hati dengan berusaha menarik perhatian anak-anak muda itu dengan caramu sendiri. He, apakah kau dan isterimu ingin menjadi pemimpin tertinggi atau Panglima dari pasukan khusus ini," bertanya Senapati itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia menjawab. Sekar Mirah sudah mendahuluinya. "Sekarang apa yang kau kehendaki, Ki Sanak?"
Aku ingin membuktikan bahwa anggapan tentang kalian berdua itu tidak benar. Bahwa anggapan Sekar Mirah adalah orang terbaik dari antara para pelatih di barak itu sama sekali tidak masuk akal. Bahkan juga tidak Agung Sedayu sendiri. Aku mengajak tiga orang pemimpin kelompok untuk menjadi saksi, siapakah diantara kita orang terbaik di barak itu."
"Ah," desah Agung Sedayu, "kau terlalu jauh menangkap persoalan yang sebenarnya."
"Tidak. Aku memang sudah memikirkannya masak-masak kita akan menguji diri kita masing-masing. Terserah kepada kalian, apakah Sekar Mirah yang kini menjadi kembang lambe atau kau sendiri. Tetapi mungkin juga kau ingin menunjukkan kepadaku, bahwa Sekar Mirah memang memiliki kemampuan. Bukan karena ia seorang perempuan muda yang cantik maka setiap anak muda didalam barak itu menyebut namanya."
"Cukup," hampir berbareng Agung Sedayu dan Sekar Mirah memotong.
"Kau jangan berkata begitu," berkata Agung Sedayu, "kau dapat menyebut apa saja tentang diriku. Tetapi jangan menyinggung persoalan yang dapat menyangkut harga diri sebuah keluarga."
"Jika demikian, apa yang akan kau lakukan," bertanya Senapati itu.
Agung Sedayu memang merasa tersinggung. Namun Sekar Mirah tidak dapat menahan dirinya lagi. Wajahnya menjadi merah dan telinganya menjadi rasa-rasanya telah menyentuh bara api. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Aku terima tantanganmu. Aku akan membuktikan bahwa aku bukan sekedar seorang perempuan yang menjajakan kecantikan diantara mereka yang berada dalam satu lingkungan pasukan khusus. Pasukan yang dibentuk untuk satu tujuan perjuangan yang mrantasi. Akan aku buktikan bahwa kehadiranku di barak itu berlandaskan pada modal ilmu kanuragan. Bukan untuk mengajari anak-anak muda itu bersolek siang dan malam."
Senapati itu justru tersenyum. Senyum yang sangat menyakitkan hati.
Tetapi Sekar Mirah yang muda itu sudah mencapai tingkat kedewasaannya dalam olah kanuragan. Karena itu. iapun mulai mencari keseimbangan perasaan dan nalarnya ia tidak mau terseret dalam arus kemarahannya. sehingga ia tidak lagi dapat menilai keadaan dengan sewajarnya.
"Baiklah Sekar Mirah," berkata Senapati itu, "Kita akan bertaruh nama. Siapakah yang pantas disebut pelatih terbaik di barak itu. Kau, aku atau Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara ketiga orang pemimpin kelompok itu menjadi tegang. Mereka mengetahui bahwa sebenarnya Agiung Sedayu memiliki ilmu yang tiada taranya. Mereka tahu, bahwa sebilah pisau yang tajamnya melampui ujung duri pandan tidak dapat melukai kulitnya.
Dalam pada itu. Agung Sedayu sendiri menjadi bimbang. Tetapi iapun sadar. jika pada saat itu. Senapati muda itu tidak mendapatkan ukuran yang sebenarnya, maka ia tidak akan menjadi puas. Ia akan tetap melakukan usaha penjajagan. Kapan dan dengan cara yang mungkin berbeda.
Pada saat barak itu baru saja dibuka. Agung Sedayu-pun mengalami hal yang serupa. Tetapi dari salah seorang anak muda yang ikut serta mengalami penempaan. Tetapi yang terjadi saat itu agak berbeda. Yang ingin menjajagi kemampuan ilmu Sekar Mirah. bukan anak-anak muda yang harus dilatihnya, tetapi justru dari seorang pelatih dan pembimbing yang lain.
Sementara itu. Sekar Mirak sudah mempersiapkan diri menghadapi Senapati muda itu. Sedangkan Senapati muda itupun telah melepaskan pedangnya dan menyerahkannya kepada salah seorang dari anak-anak muda yang mengikutinya.
"Kita akan menentukan sampai kita meyakininya," berkata Senapati muda itu.
"Baiklah," Jawab Sekar Mirah, "aku sudah siap."
"Kau menjadi saksi sekarang ini Agung Sedayu," berkata Senapati muda itu, "nanti pada saatnya. kita berdualah yang akan menguji diri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengangguk juga sambil menjawab, "Aku akan berusaha menjadi saksi yang baik. Selanjutnya tergantung kepadamu, apakah kau masih perlu meyakinkan kemampuanmu dihadapkan kepada kemampuanku."
"Persetan," geram Senapati muda itu, "jangan, terlalu sombong."
"Itulah kesulitanku," jawab Agung Sedayu, "Jika aku menghindar, kau anggap aku pengecut. Jika aku menerima tantanganmu. kau anggap aku sombong."
Senapati itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun Sekar Mirahlah yang berkata, "Sekarang kau berhadapan dengan aku. Persoalanmu dengan kakang Agung Sedayu dapat kau bicarakan nanti, setelah kau mengetahui tingkat kemampuanmu ditandingkan dengan kemampuanku. Jika kemampuanmu melampaui kemampuanku, baru kau dapat berbicara dengan kakang Agung Sedayu."
"Berisaplah. Ternyata kau tidak kalah sombongnya dari suamimu," jawab Senapati muda itu.
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Senapati muda itupun segera menempatkan dirinya. Selangkah ia bergeser. Namun tiba-tiba saja Senapati muda itu telah meloncat menyerang.
Sekar Mirah telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka iapun dengan tangkasnya telah menghindari serangan yang pertama. Namun Senapati muda itu telah memburunya dengan serangan berikutnya.
Sekar Mirah berdesak perlahan Tetapi kecepaun geraknya mampu mendahului serangan lawannya, sehingga untuk kedua kalinya Sekar Mirah berhasil menghindar.
Selaniutnya Sekar Mirah tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawannya dan sekedar meloncat-loncat menghindar. Karena itu. maka iapun justru telah bersiap untuk menyerang.
Ketika lawannya kemudian bersia-siap untuk meloncat menyerang, maka Sekar Mirah telah mendahuluinya. Tangannya tiba-tiba saja telah terjulur mengarah kening. Namun karena serangan Sekar Mirah tidak begitu cepat, maka lawannyapun dengan mudahnya menarik kepalanya sejengkal surut pada kakinya yang sedikit bergeser. Namun tiba-tiba saja Sekar Mirah telah meloncat dengan serangan kakinya yang terjulur lurus kedepan mengarah dada.
Lawannya tidak menduga, bahwa serangan Sekar Mirah datang begitu cepat. Namun Senapati muda itu masih sempat bergeser kesamping. Bahkan ia sudah siap memukul kaki Sekar Mirah dengan sisi telapak tangannya.
Namun ternyata Sekar Mirah menarik serangannya. Diatas kakinya yang kemudian diletakkan di tanah maka ia telah berputar. Kakinya yang lain menyambar lambung dengan setengah putaran.
Senapati muda itu terkejut. Begitu cepatnya, sehingga ia tidak sempat lagi menghindar. Karena itu, maka iapun telah merendah dan berusaha untuk melindungi lambungnya dengan sikunya.
Sekar Mirah melihat gerak lawannya. Tetapi ia sudah tidak ingin menarik serangannya, ia justru ingin menjajagi kemampuan Senapati muda itu.
Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah memang agak lebih mapan. Ialah yang menyerang dengan kakinya.
Karena itu. maka ayunan kakinya akan dapat membantu mendorong kekuatannya. Tetapi Sekar Mirah tidak mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih belum mempergunakan tenaga cadangannya. Kekuatan yang terlontar pada serangan kakinya, adalah kekuatan wajarnya meskipun kekuatan wajar. Sekar Mirah adalah kekuatan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Sejenak kemudian, maka telah terjadi benturan yang keras antara kekuatan yang terlontar pada serangan kaki Sekar Mirah dengan kekuatan tangan Senapati muda yang sedang menjajagi kemampuan Sekar Mirah itu.
Ternyata bentaran itu telah mengejutkan Sekar Mirah, Senapati muda yang menangkis serangan Sekar Mirah dengan sikunya itu berhasil mendorong Sekar Mirah. Hampir saja Sekar Mirah kehilangan keseimbangan. Untunglah ia sempal meloncat, dan kemudian berhasil menguasai kembali keseimbanggannya. Nanum dengan demikian ia telah terdorong beberapa langkah surut.
Senapati muda itu tetap berdiri ditempatnya. Ketika Sekar Mirah kemudian dengan tangkas memperbaiki kedudukannya untuk bersiap melawan serangan yang diduganya akan memburunya, lawannya justru berdiri tegak sambil tersenyum.
"Marilah," berkata Senapati muda itu, "kita masih mempunyai banyak kesempatan."
Sekar Mirah memandanginya dengan tajamnya. Dari sorot matanya memancar gejolak didalam dadanya, sementara Agung Sedayu yang berdiri dipinggir arena itu. menarik nafas dalam-dalam.
Anak-anak muda yang menjadi saksi perkelahian itupun menjadi berdebar-debar. Mereka melihat Sekar Mirah terdorong beberapa langkah dan harus berjuang memperbaiki keseimbangannya.
"Apakah ternyata bahwa Senapati muda itu akan meyakinkan, bahwa ia memiliki kelebihan dan Sekar Mirah dan bahkan mungkin Agung Sedayu," pertanyaan itulah yang timbul didalam hati mereka.
Namun dalam pada itu. Agung Sadayu telah berbisik di telinga Sekar Mirah, "Kendalikan perasanmu."
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu sekilas. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Aku sudah berusaha kakang. Mudah-mudahan aku berhasil."
Senapati muda itu mendengar jawaban Sekar Mirah. Tetapi ia tidak jelas mendengar apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Karena itu. maka ia telah salah mengartikan jawaban Sekar Mirah.
Karena itu. maka iapun justru berkata, "Kau masih mempunyai kesempatan untuk berusaha Sekar Mirah. Marilah. Kita teruskan permainan ini. atau kaumengakui bahwa didalam barak pasukan khusus itu. aku ternyata lebih baik dari padamu. Kau tidak usah mengatakannya kepada siapapun. Jika saat ini kau mengakui, maka ketiga anak muda itu akan mengatakannya kepada kawan-kawannya sehingga seisi barak itu akan mendengar pengakuanmu disini."
Tetapi Sekar Mirah masih juga tersenyum. Katanya, "demikian cepatnya kau mengambil kesimpulan. Permainan kita baru mulai."
"Ya. Meskipun demikian. kau sudah hampir kehilangan kesempatan untuk bertahan. Jika saat kau hampir kehilangan keseimbangan itu. aku memburumu dengan sebuah serangan, maka kau benar-benar sudah tidak akan berdaya lagi. Kau akan jatuh berguling dan dengan serangan berikutnya, kesempatanmu sudah tertutup sama sekali," jawab Senapati muda itu.
"O, begitu cepatnya," jawab Sekar Mirah, "aku menjadi kecewa sekali," jawab Sekar Mirah.
"Kecewa tentang apa?" bertanya Senapati muda itu.
"Kecewa tentang kau?" jawab Sekar Mirah, "aku kira kau juga mempunyai pengamatan yang lajam atas Ilmu kanuragan. Ternyata kau hanya mampu melihat kulitnya tanpa dapat menilai kedalaman ilmu sama sekali."
Senapati muda itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya Sekar Mirah dengan tajamnya. Sementara itu Sekar Mirah masih tetap berdiri tegak ditempatnya.
"Apa yang kau maksudkan," bertanya Senapati muda itu, "kau sudah terdorong beberapa langkah dalam benturan kekuatan. Kau hampir kehilangan kesempatan. Tetapi aku tidak memburumu dengan serangan."
"Itulah yang aku katakan. bahwa pengamatanmu dangkal," jawab Sekar Mirah, "kau tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Kau sangka aku benar-benar tidak mampu melawanmu dalam benturan kekuatan."
"Jika demikian, kenapa kau terdorong surut beberapa langkah dan hampir saja kehilangan keseimbangan?" bertanya Senapati muda itu.
"Seharusnya kau mengetahui jawabnya," sahut Sekar Mirah, "karena kau tidak mengetahuinya, maka aku kira pengamatanmu tentang olah kanuragan memang dangkal sekali."
Wajah Senapati muda itu menjadi merah. Sementara Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar.
"Sekar Mirah," berkata Senapati itu, "yang penting bagi kita adalah kemampuan kita dalam olah kanuragan. Bukan kemampuan kita mengamati olah kanuragan. Karena itu. Marilah. Jika kau masih merasa dirimu mempunyai kemampuan untuk mengimbangi kemampuanku. kita akan mulai lagi. Yang aku lakukan sampai saat ini. bukannya puncak dari kemampuanku."
"Aku mengerti," jawab Sekar Mirah, "karena itu. baiklah Kita akan melanjutkan permainan ini. Aku kira bukannya kau tidak mampu mengaamti olah kanuragan pada kedalamannya. tetapi kau sudah terlanjur memperkecil arti kemampuanku. Kau menganggap aku terlalu kecil."
Senapati itu menggeram. Kemudian katanya, "Kita tidak perlu terlalu banyak berbicara. Marilah kita akan mulai dengan permainan baru."
Sekar Mirahpun tidak menjawab lagi. Sekilas dipandangnginya Agung Sedayu yang termangu-mangu disamping anak-anak muda yang berdiri di sebelahnya.
Dalam pad itu. kedua orang itupun telah mempersiapkan diri. Senapati muda itu terpaksa menilai ucapan-ucapan Sekar Mirah, iapun harus memperhatikan sikapnya. Seolah-olah Sekar Mirah sama sekali tidak mengalami kesulitan menghadapinya meskipun satu kenyataan telah terjadi. Sekar Mirah terdorong surut ketika benturan itu tertadi.
"Apakah benar. bahwa aku terlalu menganggapnya kecil," bertanya Senapati itu kepada diri sendiri.
Tetapi Senapati itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Karena Sekar Mirah telah bergeser dan mulai menyerangnya. Namun serangan Sekar Mirah masih merupakan gerak sekedar untuk memancing lawannya dalam permainan yang akan menjadi lebih keras.
Senapati muda itu menjadi semakin berhati-hati ia melihat wajah Sekar Mirah yang sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. Justru karena itu. ia merasa wajib untuk menilainya kembali, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sejenak kemudian. maka perkelahian itupun telah menjadi semakin cepat. Sekar Mirah berlloncatan dengan tangkasnya. Namun berusaha untuk tidak lagi terdorong surut dalam benturan yang kurang mapan.
Tetapi Senapati itu agaknya ingin menyelesaikan perkelahian itu lebih cepat. Karena itu. maka iapun telah bertempur semakin cepat pula. Geraknya menjadi garang dan serangan-serangannya terasa semakin cepat.
Namun ternyata Sekar Mirahpun mampu mengimbanginya. Sekali-sekali ia memang berusaha menyentuh serangan lawannya untuk menjajagi. apakah lawannya mulai meningkatkan kekuatan dan kemampuannya.
Sebenarnyalah, bahwa Senapati muda itu memang mulai meningkatkan kemampuannya. Tetapi agaknya ia masih terpengaruh oleh anggapannya, bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat mengimbangi kekuatannya.
Karena itu maka peningkatan kekuatan dari Senapati muda itu tidaklah dengan tiba-tiba. Meskipun ia bertempur lebih cepat dan semakin garang, namun tataran kekuatannya hanya meningkat selapis demi selapis.
Sekar Mirah yang sekali-sekali mnyentuh kekuatan lawannya meskipun tidak membenturnya, berusaha untuk mengimbanginya. Meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis.
Karena itu. maka Senapati muda itu tidak segera dapat mengalahkannya. Meskipun ia telah bergerak semakin cepat dan garang. Sekar Mirahpun mampu bergerak semakin cepat pula.
"Inikah agaknya yang membuatnya seolah-olah tidak ada yang menggelisahkannya," berkata Senapati muda itu didalam hatinya, "agaknya ia memang terlalu yakin akan dirinya."
Namun justru karena itu. maka kejengkelan dihati Senapati muda itupun menjadi semakin memuncak, ia tidak segera dapat menyelesaikan perempuan yang semula dikiranya sekedar seorang perempuan yang sombong.
"Aku harus bertindak lebih tegas." Berkata Senapati muda itu didalam hatinya, "jika ia sempat memberikan perlawanan terlalu lama. maka kesombongannyapun akan menjadi semakin memuncak. Dan besok ia akan berceritera seolah-olah ia telah mempermainkan aku disini."
Dengan demikian, maka Senapati muda itu benar-benar telah mulai meraMbah kepada tenaga cadangannya ia tidak lagi sekedar mempergunakan tenaga wadagnya. Meskipun ia tidak ingin melemparkan Sekar Mirah sampai diluar pategalan atau membuatnya pingsan, namun ia tidak mempunyai pilihan lain.
Kekuaun Senapati muda itu terasa menjadi semakin besar. Dalam sentuhan-sentuhan wadag yang terjadi. Sekar Mirah mulai merasa, tekanan yang semakin berat. Namun dengan demikian Sekar Mirah menjadi semakin berbesar hati. Jika Senapati muda itu semakin meningkatkan tenaga cadangannya, maka ia akan mengetahui kemampuan Sekar Mirah sampai tingkat yang tidak akan diduganya sebelumnya.
Sebenaryalah. Senopati muda itu terkejut ketika ia sudah sampai kepada tingkat yang semakin tinggi dari pengerahan tenaga cadangannya. Pada saat yang demikian. ternyata Sekar Mirah masih mampu mengimbanginya.
Bahkan untuk meyakinkan lawannya. Sekar Mirah yang telah berhasil menjajagi tingkat tenaga cadangan yang dikerahkan oleh Senapati muda itu. maka pada satu serangan yang keras. Sekar Mirah mulai membenturkan kekuatannya secara langsung.
Serangan yang tiba-tiba datang, dengan sambaran kaki yang mengarah lurus kelambung. tidak dihindari oleh Sekar Mirah. Tetapi ia menangkis serangan itu dengan pukulan tangan kenamping. Namun agaknya Senapati muda itu tidak melepaskannya ia memutar kakinya menurut arah dorongan tangan Sekar Mirah, namun demikan kakinya berjejak ditanah maka tubuhnya telah terputar pula bertumpu pada kakinya itu. sementara kakinya yang lain tiba-tiba saja telah terlontar menyerang dada. Tidak hanya sekedar ingin menyentuhnya, tetapi benar-benar satu serangan yang akan dapat memepatkan pernafasannya.
Namun Sekar Mirah memang sudah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Demikian kaki lawannya terjulur, maka Sekar Mirah telah menyilangkan tangannya dimuka dadanya.
Sekali lagi telah terjadi benturan. Bukan sekedar benturan tenaga wajar kedua orang itu. Tetapi yang berbenturan kemudian adalah tenaga yang dilambari dengan kekuatan cadangan didalam tubuh mereka masing-masing. Tenaga yang dilontarkan oleh dua orang yang memiliki kekuatan ilmu yang mapan.
Karena itu. benturan itu telah terjadi dengan kerasnya. Benturan yang mendebarkan jantung.
Agung Sedayu yang menyaksikan perkelahian itupun menahan nafasnya. Perkelahian itu benar-benar telah meningkat menjadi semakin keras, dan benturan yang terjadi itu akan dapat menyulitkan keadaan.
Dugaan Agung Sedayu itu benar. Dalam benturan itu Senapati muda yang ingin menunjukkan kelebihannya itu terkejut bukan buatan. Ternyata tenaga Sekar Mirah seakan-akan menjadi sangat besar. Ketika benturan itu terjadi. maka kaki Senapati muda itu rasa-rasanya telah menyentuh dinding baja. Bahkan kemudian sebuah dorongan yang kuat seakan-akan telah melontarkannya.
Senapati muda itulah yang kemudian harus meloncat surut. Keseimbangannyalah yang terasa hampir tidak mampu dikuasainya lagi. Untunglah bahwa ia masih berhasil berdiri tegak pada jarak ampat langkah dari Sekar Mirah.
Yang terjadi adalah sebaliknya, Sekar Mirahlah yang kemudian berdiri tegak, memandanginya sambil tersenyum.
Wajah Senapati muda itu menjadi tegang. Terasa darahnya bagaikan mendidih didalam jantungnya. Perempuan itu seolah-olah justru telah memandanginya dengan sikap yang sangat sombong.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayulah yang melangkah maju sambil berkata, "Aku kira sudah cukup. Kalian masing-masing memiliki kemampuan yang seimbang. Aku menjadi saksi."
Sekar Mirah tiba-tiba mengerutkan keningnya. Senyumnya bagaikan lenyap terhisap oleh kekecewaannya. ia masih belum sampai kepada ketentuan terakhir yang mapan, sehingga tentu masih akan timbul persoalan dihari kemudian.
Namun yang menjawab adalah Senapati muda itu, "Yang kau katakan bukan pengamatan yang tuntas seperti yang aku kehendaki. Agung Sedayu. Kau tidak perlu melindungi isterimu dari tingkat kemampuanku berikutnya. Kecuali jika ia menyatakan diri. mengakui kelebihanku dihadapan saksi-saksi ini."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Sementara Sekar Mirah menyahut, "Kita tidak akan berbuat tanggung-tanggung kakang. Kita akan mengukur kemampuan kita dengan tuntas."
Jantung Agung Sedayu terasa berdentang semakin cepat. Keadaan itu agaknya semakin sulit untuk dapat dikuasainya. Senapati muda yang ingin menunjukkan bahwa ia adalah orang terbaik di barak pasukan khusus itu tentu akan merasa semakin tersinggung karenanya, sementara Sekar Mirah sendiri akan sulit untuk dikendalikan sebelum ia berhasil dengan pasti memenangkan peniajagan itu.
Dalam pada itu. maka Senapati muda itupun berkata, "Sekar Mirah. Ternyata bahwa kau sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kau menganggap dirimu terlalu kuat tanpa mengerti bahwa aku masih berbelas kasihan kepadamu."
"Jangan membual," Sekar Mirah mulai digelitik oleh perasaannya, "apapun yang terjadi, marilah kita tentukan dengan hasil penjajagan ini. Kita masing-masing harus menerima kenyataan jika kita ingin berbuat jantan. kita bukan orang-orang cengeng yang hanya berbicara, merajuk dan basa-basi yang tidak ada artinya."
Wajah Senapati muda itn menjadi tegang. Tetapi darahnyapun telah bergejolak didalam jantungnya. Karena itu maka katanya, "Kita akan melihat."
Agung Sedayu tidak dapat berbuat sesuatu. ia merasa bahwa yang akan terjadi tentu menjadi semakin keras.
Sementara itu, anak-anak muda dari pasukan khusus itupun menjadi berdebar-debar pula. Mereka melihat keadaan berkembang menjadi semakin gawat. Kedua orang yang ingin menjajagi kemampuan masing-masing itu ternyata telah dibakar oleh perasaan mereka yang sulit dikendalikan lagi.
Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap. Sekar Mirahpun bertekad untuk menunjukkan kepada Senapati muda itu. bahwa ia memang memiliki kelebihan. Sementara Senapati muda itupuon mengatakan kepada ketiga orang anak-anak muda dari pasukan khusus itu. bahwa ia lebih baik dari perempuan yang telah menggemparkan barak dengan tingkah-lakunya yang sombong diatas patok-patok bambu.
"Aku tidak dapat mencegab kalian," berkata Agung Sedayu, "tetapi aku berharap kalian menyadari bahwa kalian adalah orang-orang terpilih di Mataram, sehingga sikap dan tingkah laku kalian akan menjadi sorotan bukan saja oleh anak-anak muda dari pasukan khusus di barak itu, tetapi juga oleh Mataram. Oleh para pemimpin tertinggi dan oleh rakyat yang menumpukan kepercayaan mereka kepada orang-orang terpilih seperti kalian. Karena itu. maka kalian harus bersikap jantan."
Wajah Senapati itu menegang. Namun ucapan Agung Sedayu itu terasa menyentuh hatinya. ia sadar akan maksudnya. Namun iapun percaya akan kemampuannya untuk dapat memaksa Sekar Mirah mengakui kelebihannya.
Sejenak kemudian, tanpa menjawab kata-kata Agung Sedayu. Senapati muda itu telah bersiap. Dengan wajah tegang ia bergeser selangkah kekiri.
Sekar Mirahpun telah bersiap pula. Bahkan iapun telah bersiap melakukan penjajagan yang lebih keras, ia sudah siap dengan tenaga cadangannya sampai pada tingkat yang tertinggi.
Sejenak kemudian, Senapati muda itu telah melenting menyerangnya. Bukan sekedar memaksa Sekar Mirah untuk mulai dengan menghindar dan bergeser. Tetapi serangan itu adalah serangan yang keras dan cepat.
Sekar Mirah menjadi tegang. Nampaknya ia benar-benar akan bertempur. Serangan itu adalah serangan yang benar-benar dapat meMbahayakannya.
Dengan tangkasnya Sekar Mirah mengelakkan serangan itu. Tetapi iapun sadar, bahwa serangan itu tentu akan disusul oleh serangan berikutnya. Senapati muda itu tidak akan hanya berdiri sambil tersenyum melihatnya meloncat menghindar.
Karena itulah. maka ketika Sekar Mirah mengelakkan serangan lawannya, ia sudah bersiap-siap untuk mengamati serangan berikutnya.
Seperti yang diperhitungkan, maka serangan berikutnyapun telah memburunya. Tidak kalah cepat dan kerasnya.
Sekali lagi. Sekar Mirah mengelak tetapi ia tidak lagi menunggu. Ketika serangan itu datang. maka Sekar Mirah meloncat selangkah kesamping. Namun demikian kedua kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba saja ia telah memutar tubuhnya setengah lingkaran pada tumit kaki kirinya, sementara kaki kanannya telah terlontar mengarah ke lambung lawannya yang siap memburunya.
Senapati muda yang sudah hampir meloncat itu terkejut. Ternyata Sekar Mirah dapat nungimbangi kecepatan geraknya. Bahkan ia berhasil mendahului serangannya dengan serangan kakinya.
Karena itu. justru Senapati itulah yang bergeser. Ia harus mengurungkan serangannya. Jika ia tidak ingin justru dihantam oleh kaki Sekar Mirah.
Namun demikian, kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Sekar Mirah. Sekali lagi ia berputar dengan serangan kaki mendatar terayun pada putaran tubuhnya yang bertumpu pada kakinya yang lain.
"Gila," geram Senapati muda itu. Dengan tangkasnya ia bergeser surut. Ketika kaki Sekar Mirah terayun di sebelah tubuhnya, maka dengan keras ia memukul kaki itu dengan sisi telapak tangannya.
Tetapi Sekar Mirah melihat gerak tangannya. Karena itu. maka iapun dengan cepat menarik kakinya dan berdiri tegak siap menghadapi segala kemungkinan.
Senapati muda itu tidak mau kehilangan kesempatan. Dengan dorongan tenaga cadangannya yang besar, maka iapun kemudian menyerang. Tangannya terjulur lurus kedepan pada saat Sekar Mirah menempatkan kedua kakinya. Tetapi Sekar Mirah sudah bersiap, ia sempat memukul serangan itu kekiri. Sambil merendah ia justru menyerang lawannya dengan sku pada lambungnya.
Tatapi lawannya bergeser mundur. Justru pada saat yang bersamaan. Lawannya menghantam tengkuk Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah masih sempat melenting kesamping. Serangan itu sama sekati tidak menyentuhnya.
Ketiga orang anak muda dari pasukan khusus itu memperhatikan perkelahian itu dengan jantung berdebaran. Kekualan yang terlontar pada serangan-serangan itu. bukannya sekedar tenaga kasar mereka. Tetapi keduanya telah mempergunakan tenaga cadangannya masing-masing.
Karena itulah, maka perkelahian itu terasa menjadi semakin keras dan semakin seru. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Senapati muda itu adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari Senapati Ing Ngalaga untuk menempa anak-anak muda dalam satu kesatuan khusus yang akan menjadi sapu kawat dan kekuatan Mataram disamping para pengawal, sementara Sekar Mirah adalah murid Ki Sumangkar, orang yang memiliki ilmu yang khusus dan yang oleh sementara orang-orang Jipang dianggap mempunyai ilmu yang seolah-olah membuat nyawanya menjadi rangkap.
Karena itu. maka perkelahian yang kemudian adalah benar-benar perkelahian yang luar biasa. Serangan demi serangan menyusul. Tangan dan kaki yang terayun dan tidak mengenai sasarannya, tetapi sempat menyentuh pepohonan dan dahan-dahan telah berpatahan. sehingga pategalan itupun menjadi berserakan.
Agung Sedayu hanya dapat menahan nafas ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat mencegah keduanya. Jika ia berhasil membujuk Sekar Mirah, maka ia tentu tidak akan dapat menahan gejolak perasaan Senapati muda itu.
Dengan demikian, maka yang dilakukannya, adalah sekedar mengamati perkelahian itu. Jika keadaannya menjadi sangat berbahaya, maka ia tidak dapat membiarkannya berkepanjangan.
Namun dalam pada itu. jika kedua orang yang sedang berkelahi itu sedang mengambil ancang-ancang, maka diiatara angin yang berhembus di pategalan itu. Agung Sedayu dengan telinganya yang tajam, telah mendengar derap kaki kuda.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu ia mempertajam pendengarannya sehingga akhirnya ia benar-benar menangkap suara derap kaki kuda mendekati pategalan itu.
"Siapa?" bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Sejenak perhatiannya terampas oleh derap kaki kuda itu. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu meloncat mendekati anak-anak muda yang mengikuti Senapati itu. Dengan gelisah ia berkata, "Lihatlah. Siapakah yang berkuda itu. Jika mereka mencari Senapati muda itu. maka katakanlah. bahwa ia ada disini."
"Tidak," Senapati muda itu hampir teriak, "aku tidak mau diganggu."
"Dengar perintahku," tiba-tiba saja suara Agung Sedayu menjadi keras. Lalu, "Pergi ke jalan. Lihat siapakah yang lewat. Aku dapat lunak seperti lumpur, tetapi aku dapat sekeras batu karang."
"Aku juga berhak memerintahkannya," Senapati muda itu hampir berteriak.
"Kau imbangi kemampuan isteriku itu. Untuk itu kau masih harus berjuang mati-matian," sahut Agung Sedayu, lalu, "berangkat sekarang, aku akan akan memaksamu. Kau tahu, siapa aku?"
Anak-anak muda itu belum pernah melihat Agung Sedayu setegas itu, dan sorot matanya seolah-olah memancarkan bara yang membakar jantung.
Ketiga anak-anak muda itu mengerti, bahwa seorang kawannya dari Pasantenan yang ingin mencobanya, sama sekali tidak berhasil melukai Agung Sedayu dengan pisau belatinya. Dan yang lebih mendebarkan. Agung Sedayu pernah membunuh orang yang disebut Ajar Tal Pitu dan yang terakhir, ditepian ia telah membunah Ki Mahoni.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu. Ketiga orang itu tidak akan berani membantanya. Apalagi Agung Sedayu termasuk salah seorang pembimbingnya yang paling disegani.
Dalam pada itu. maka Agung Sedayu itupun telah membentaknya dengan keras, "Aku menghitung sampai tiga."
"Jangan lakukan," teriak Senapati itu.
"Diam kau," potong Sekar Mirah, "kau hadapi aku. Atau aku akan memukulmu sampai pingsan."
Senapati muda itu memang tidak dapat berbuat apa-apa. Anak-anak muda itu akhirnya bangkit dan melangkah menuju ke tepi jalan, tanpa menghiraukan suara keras Senapati muda yang mencegahnya.
Ketika mereka muncul di tepi jalan, sebenarnyalah mereka melihat dua ekor kuda. Tidak lari arah barak mereka, tetapi justru dari padukuhan induk Tanah Perdikan.
Tetapi anak-anak muda itu cepat mengenali, siapakah mareka.
"Ki Lurah," desis seorang diantara anak-anak muda itu.
"Ki Lurahpun kemudian melihat anak-anak muda itu. Karena itu. maka iapun segera menarik kekang kudanya, sehingga Ki Lurah itupun berhenti beberapa langkah dihadapan anak-anak muda itu.
"Kenapa kalian berada disini?" bertanya Ki Lurah.
"Ki Lurah dari mana?" salah seorang anak muda itu bertanya.
"Aku menyusul Agung Sedayu. Tetapi aku sudah sampai dirumahnya tanpa menemukannya. Mungkin aku melalui jalan lain yang dilaluinya. Ketika aku kembali ke barak, aku mengambil jalan ini," jawab Ki Lurah.
"Agung Sedayu selalu mengambil jalan ini," berkata seorang diantara anak-anak muda itu.
"Ya. Ternyata memang demikian. Aku mengambil jalan disebelah itu," jawab Ki Lurah.
"Itulah agaknya, kami tidak mendengar derap kaki kuda ketika Ki Lurah berangkat menyusul Agung Sedayu." gumam seorang diantara anak-anak muda itu.
"Tetapi sekarang dimana Agung Sedayu?" bertanya Ki Lurah, "apakah kau mengetahuinya?"
Seorang dari anak-anak muda itupun kemudian mengatakan dengan singkat apa yang telah terjadi di pategalan itu.
"Nah," geram Ki Lurah, "bukankah benar dugaan kita."
"Ya. Ki Lurah," jawab Senapati yang mengikutinya, "marilah, kita segera melihatnya."
Ki Lurahpun segera meloncat turun dan menyerahkan kudanya kepada anak-anak muda itu. Demikian pula Senapati yang mengikutinya. Kemudian dengan tergesa-gesa keduanya menuju ketempat perkelahian antara Senopati muda dan Sekar Mirah itu terjadi.
Dalam pada itu, maka perkelahian antara Senapati muda dengan Sekar Mirah itu justru menjadi semakin meningkat. Bahkan rasa-rasanya keduanya telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu, siapakah orang-orang berkuda itu. Ia berharap agar yang datang itu seseorang yang mempunyai cukup pengaruh untuk menghentikan perkelahian itu. Ki Gede Menoreh atau Ki Lurah Branjangan sendiri.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak dapat meninggalkan kedua orang itu barang sekejap. Keduanya telah mulai meraMbah kepada sikap dan gerakan yang dapat meMbahayakan.
Sebenarnyalah, seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu. maka yang kemudian muncul adalah Ki Lurah Branjangan. Dengan wajah tegang Ki Lurah itu meloncat mendekat sambil berdesis, "Apa yang telah terjadi?"
"Apakah anak-anak itu belum mengatakan" " bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Aku sudah mendengar serba sedikit," jawab Ki Lurah.
Nampaknya mereka sengaja mengerahkan segenap kemampuan agar Ki Lurah atau siapapun yang datang, dapat menyaksikan siapa yang menang dan siapa yang kalah," berkata Agung Sedayu.
Ki Lurah sejenak termangu-mangu. Kedua orang yang bertempur itu justru berusaha untuk sampai kepuncak kemampuannya, sehingga sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu. saksi kemenangan itu adalah Ki Lurah sendiri.
Ki Lurahpun agaknya dapat melihat gejolak perasaan kedua orang yang berkelahi itu. Karena itu, maka katanya tiba-tiba, yang sama sekali tidak diduga oleh Agung Sedayu, "Baiklah. Aku ingin melihat, siapakah yang terbaik diantara kalian berdua. Meskipun yang terbaik itu tidak akan dapat disejajarkan dengan Agung Sedayu."
"Ki Lurah menyebut-nyebut namaku," desis Agung Sedayu.
"Tidak apa-apa," sahut Ki Lurah, "tetapi aku benar-benar ingin menyaksikan, siapakah yang akan menang dalam perkelahian ini. asal kedua-duanya berlaku jujur. Atas nama Senapati Ing Nga Laga aku menjadi saksi."
Senapati muda itu dan Sekar Mirahpun mendengar kata-kata Ki Lurah Branjangan. Tiba-tiba jantung mereka berdebaran. Yang mereka lakukan tentu akan menjadi laporan kepada Senapati Ing Ngalaga.
Namun mereka telah terlanjur terlibat. Masing-masing sulit untuk mengorbankan harga dirinya, apapun yang akan terjadi, sehingga karena itu, maka merekapun masih juga bertempur terus.
Dalam pada itu. masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu mereka. Sementara itu. perkelahian itupun menjadi semakin dahsyat.
Namun sebenarnyalah, bahwa Sekar Mirah masih memiliki satu kelebihan dari lawannya. Meskipun ia seorang perempuan, namun ia latihan-latihan yang mapan telah membuatnya, seorang yang memiliki pengamatan yang sangat tajam dan sebagaimana selalu diperingatkan oleh gurunya, sebagai seorang perempuan yang pada dasarnya tidak memiliki kekuatan sebesar seorang laki-laki. maka Sekar Mirah harus mempergunakan bukan saja ilmu kanuragan. tetapi juga kemampuan penalaran dan mengurai keadaan dengan cepat dan cermat. Dengan demikian maka perhitungan merupakan satu diantara unsur-unsur yang akan menentukan.
Dengan demikian, maka Sekar Mirahpun berusaha untuk selalu dapat menghadapi lawannya dengan perhitungan yang mapan. Dengan ketrampilan dan kemampuannya bergerak cepat. maka ia sudah memancing lawannya untuk mengerahkan tenaganya. Namun dalam saat-saat yang tidak terduga. Sekar Mirah mengerahkan segenap kekuatan cadangannya untuk membenturkan kekuatannya.
Sebenarnyalah, bahwa usaha Sekar Mirah itu ternyata benar-benar mempengaruhi cara lawannya bertempur. Pada saat-saat yang paling menentukan, maka Sekar Mirah benar-benar telah sampai ke puncak ilmu yang diterimanya dari satu-satunya pewaris ilmu yang mengagumkan itu sepeninggal patih Matahun dan Macan Kepatihan dari Jipang.
Ki Lurah Branjangan yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Namun semakin lama iapun menjadi yakin, bahwa Sekar Mirah mulai menunjukkan kelebihan dan lawannya.
Tetapi Ki Lurah Branjangan tidak berbuat sesuatu, ia membiarkan keseimbangan itu semakin nyata bergerak. Senapati muda itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Sekar Mirah dengan kecepatannya bergerak dan dengan kekuatan ilmunya setiap kali membentur lawannya, maka pertahanan Senapati muda itu menjadi goyah.
Ketika Agung Sedayu bergeser. Ki Lurah Branjangan berkata, "Biarlah mereka menyelesaikan persoalannya sampai tuntas. Jika tidak. maka salah satu diantara mereka akan memulainya lagi. Justru pada saat tidak ada seorang saksi yang akan dapat mengamatinya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Ki Lurah adalah orang tertinggi dibarak itu untuk sementara, sehingga keputusannya tentu akan dipertanggung jawabkannya.
Latihan-latihan yang berat, yang selalu dilakukan oleh Sekar Mirah bersama kakak dan kakak iparnya, ternyata berpengaruh pada sikap dan tenaganya, ia dapat memperhitungkan perimbangan antara waktu dan kemampuannya dengan cermat, sehingga meskipun ia mengerahkan puncak kemampuannya, namun ia tidak kehilangan perhitungan sehingga tenaganya dapat susut dengan cepat.
Karena itu. maka semakin lama menjadi semakin jelas. Senapati muda yang ternyata juga memiliki ilmu yang tinggi itu. tidak mampu mengimbangi kemampuan Sekar Mirah.
"Apalagi dalam pertempuran bersenjata," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Agung Sedayu tahu benar, bagaimana Sekar Mirah mampu mempermainkan tongkat baja putihnya.
Tetapi pertempuran tanpa senjata itupun ternyata telah memberikan kesan yang menggetarkan. Sentuhan tangan masing-masing benar-benar telah menyakiti lawannya. Namun daya tahan tubuh masing-masing nampaknya memang melampaui daya tahan tubuh orang kebanyakan.
Meskipun demikian, yang nampak kemudian adalah bahwa Senapati muda itu benar-benar telah terdesak.
Ki Lurah Branjanganpun menjadi tegang, iapun melihat. bahwa senapati muda itu telah terdesak. Semakin lama menjadi semakin jelas. Seolah-olah ruang geraknya diladang yang luas itu menjadi sangat terbatas, karena Sekar Mirah dengan cepat selalu memotong loncatan-loncatnn Senapati muda itu.
"Bukan main," desis Senapati muda itu didalam hatinya, "Perempuan ini benar-benar memiliki ilmu yang dahsyat."
Tidak dapat diingkari lagi. bahwa akhirnya Senapati muda itu harus mengakui kelebihan Sekar Mirah. Perempuan itu ternyata mampu bergerak lebih cepat dan memiliki landasan ilmu yang lebih mantap.
Ki Lurah Branjangan sama sekali tidak mencegah Sekar Mirah mendesak lawannya. Semakin lama Senapati itu benar-benar menjadi semakin sulit menghadapi isteri Agung Sedayu. Serangan-serangan Sekar Mirah menjadi semakin sering mengenai tubuhnya. Perasaan sakit mulai menjalari permukaan kulitnya. Sentuhan yang satu disusul oleh sentuhan yang lain. Bahkan kemudian susul-menyusul.
Dalam pada itu. matahari telah hilang dibalik pegunungan. Pategalan itu menjadi semakin buram. Dan Senapati muda itupun menjadi semakin sulit menghadapi kenyataan yang tidak diduganya.
Ketika gelap malam mulai turun, barulah Ki Lurah Branjangan maju setapak sambil berkata, "Cukup. Aku kira sudah cukup."
Senapati muda yang sudah menjadi merah biru oleh serangan-serangan Sekar Mirah itu melocat mundur, sementara Sekar Mirahpun mulai mengekang serangannya. sehingga perkelahian itupun kemudian telah terhenti.
"Jika kalian berdua ingin menjajagi ilmu kalian masing-masing. maka aku kira semuanya sudah jelas," berkata Ki Lurah Branjangan.
Senapati muda itu memandang Sekar Mirah dalam keremangan ujung malam. Namun nafasnya sendirilah yang didengarnya berkejaran di lubang hidungnya.
"Apa katamu?" bertanya Ki Lurah kepada Senapati muda itu, "jawablah dengan jujur. Kau adalah seorang kesatria Mataram yang tidak akan mengingkari kenyataan. Karena itu. kenyataan yang kau hadapi sekarang inipun harus kau terima dengan lapang dada."
Senapati muda itu menunduk. Namun akhirnya ia berkata, "Aku mengerti maksud Ki Lurah. Aku terima kenyataan ini. Aku kalah."
Ki Lurah maju mendekatinya. Sambil menepuk bahunya ia berkata, "Kau adalah seorang laki-laki Mataram yang sebenarnya. Kau memang harus mengakuinya. Dengan demikian, maka persoalan ini benar-benar telah selesai. Tidak ada lagi masalah diantara kau dan Sekar Mirah. Ilmu Sekar Mirah sudah diketahui dengan pasti. Lebih baik dari ilmumu. Tetapi itu tidak berarti bahwa Ilmumu adalah ilmu yang rendah, ilmumupun ternyata adalah Ilmu yang tinggi. Yang pantas bagi seorang pelatih dan pembina di barak pasukan khusus itu.
Senapati muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Terima kasih Ki Lurah. Agaknya aku telah didorong oleh satu keinginan yang kurang pada tempatnya."
"Kau telah dibakar oleh gejolak darah mudamu yang belum dapat kau endapkan," jawab Ki Lurah, "tetapi ambillah keuntungan dari sikapmu itu. meskipun pada saat yang lain tidak perlu kau ulangi."
"Ya Ki Lurah," jawab Senapati muda itu.
"Dengan demikian kau mengetahui tentang dirimu sendiri dengan sebuah perbandingan. Dan kaupun kemudian yakin bahwa kawan barumu dalam memberikan bimbingan di barak itu adalah orang yang memang sudah sepantasnya," berkata Ki Lurah kemudian.
Senapati muda itu menundukkan kepalanya. Sementara itu. Ki Lurah pun berkata kepada Sekar Mirah, "Sekar Mirah. Senapati muda ini sudah melihat kenyataan tentang dirimu dan tentang dirinya sendiri, ia sudah mengakui kenyataan itu dan iapun telah menerimanya dengan Ikhlas."
"Terima kasih Ki Lurah," jawab Sekar Mirah.
Sementara Agung Sedayupun menyambung, "Mudah-mudahan kedua ilmu itu akan dapat saling mengisi dalam tugas masing-masing. Mungkin Sekar Mirah memiliki kelebihan dalam olah kanuragan. tetapi Senapati muda itu memiliki kelebihan dalam ilmu perang dan pasang gelar.
Ki Lurah mengangguk-angguk, ia sudah mengenal Agung Sedayu. Dan iapun menyahut, "Kau benar Agung Sedayu. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Karena itu. kita tidak usah menjadi kecil hati jika kita melihat kekurangan dari satu segi dalam hidup kita."
"Jika kita mengakui kenyataan itu Ki Lurah, maka hal itu tentu akan mendorong kita untuk berbuat lebih banyak. Belajar lebih tekun dan bekerja lebih keras," berkata Agung Sedayu kemudian.
Sementara itu. maka gelap pun menjadi semakin hitam. Karena itu. maka Ki Lurahpun berkata, "Kita akan kembali ketempat kita masing-masing."
"Tetapi kebun ini menjadi rusak," desis Agung Sedayu.
Ki Lurah berpaling kepada Senapati yang mengikuti nya. Katanya. "Hubungi pemilik pategalan ini. Katakan kepadanya, bahwa gladi perang dari anak-anak didalam barak itu telah tersesat didalam pategalan ini. Carilah keterangan. berapa kita harus mengganti kerugian yang diderita oleh pemilik pategalan ini."
"Baik. Ki Lurah," jawab Senapati itu.
"Kita tidak boleh merugikan para pemilik sawah dan pategalan. Karena itu, besok semuanya harus sudah diselesaikan," berkata Ki Lurah.
"Apakah aku yang harus menggantinya?" bertanya Senapati muda yang harus melihat kenyataan tentang dirinya itu, "akulah yang menyebabkan pategalan ini menjadi rusak."
"Jika kau dapat menghargai pengalaman yang terjadi kali ini. maka itu sudah cukup bagimu. Biarlah persoalan itu aku selesaikan," jawab Ki Lurah Branjangan.
Senapati muda itu menunduk sambil bergumam, "Terima kasih Ki Lurah. Aku akan menilai ini dengan jujur."
Demikianlah. sejenak kemudian, maka orang-orang yang berada di pategalan itupun segera berjalan keluar sambil menuntun kuda mereka masing-masing. Sementara itu malam telah menjadi semakin gelap.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang tidak membawa kuda itupun kemudian minta diri untuk melanjutkan perialanan mereka pulang. Sementara yang lain berkuda kembali ke barak pasukan khusus.
"Untunglah bahwa Ki Lurah dapat mengerti masalah ini sepenuhnya," berkata Agung Sedayu.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "ia harus mengerti."
"Dan ia memang sudah mengerti," sahut Agung Sedayu.
"Tatapi ada juga baiknya bagi kita," berkata Sekar Mirah kemudian, "dengan demikian, maka kedudukanku menjadi semakin jelas bagi anak-anak didalam barak itu. Bukan aku yang memulainya, tetapi Senapati itu sendiri. Sedangkan hasilnya adalah pengukuhan, bahwa aku memang lebih baik daripadanya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu memang benar. Tetapi yang terjadi itu bukan satu alasan untuk terlalu berbangga diri.
Namun demikian. Agung Sedayu tidak mengatakannya kepada Sekar Mirah, agar ia tidak menjadi sangat kecewa.
Keduanyapun kemudian tidak terlalu banyak berbicara lagi. Mereka berjalan semakin lama semakin cepat, karena malampun menjadi semakin gelap.
Namun keduanya menjadi kecewa. ketika mereka sampai ke halaman rumah mereka. Ternyata rumah mereka masih gelap. Anak yang membantu dirumah itu agaknya belum juga datang dan belum juga menyalakan lampu.
"Anak ini memang keterlaluan," geram Sekar Mirah, "aku ingin memilin kupingnya."
Tetapi Agung Sedayu menyahut, "ia tentu ikut bersama kawan-kawannya ke sungai seperti kemarin dilakukannya. Anak-anak itu membuka pliridan menjelang malam. Nanti tengah malam atau sesudahnya mereka akan menutupnya dan menangkap ikannya dengan icir."
"Tetapi ia harus tahu kewajibannya," jawab Sekar Mirah, "ia harus menyalakan lampu lebih dahulu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia harus membuat api dengan batu titikan dan emput aren. Sementara Sekar Mirah mencari belarak kering disamping rumahnya.
Sementara itu, maka Ki Lurah Branjangan, kedua Senapati dan tiga orang anak-anak muda telah berada didalam barak mereka. Senapati muda itupun segera masuk kedalam biliknya. Nampaknya ia tidak ingin berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
Namun dalam pada itu. tiga orang anak muda dari pasukan khusus itulah yang tidak dapat berdiam diri. Apalagi kawan-kawan mereka segera mengerumuninya untuk mendapat keterangan tentang sikap Senapati muda yang membawa mereka menyusul Agung Sedayu.
"Kami tidak segera mengetahui maksudnya, ketika Senapati muda itu membawa kami keluar barak ini," berkata salah seorang dari ketiga anak-anak muda itu.
Buku 159 "APA katanya ketika Senapati itu menemuimu?" bertanya seorang kawannya.
"Ia hanya mengatakan, agar kami mengikutinya. Ia ingin menunjukkan satu bukti tentang kemampuan para pelatih di dalam lingkungan pasukan khusus ini." jawab anak muda itu.
"Tetapi sebenarnya kami sudah menjadi curiga," berkata anak muda yang lain, "apalagi ketika kami melihat sikapnya. Sekali-sekali ia menyebut nama Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang terlalu dibesar-besarkan oleh anak-anak muda didalam barak ini sehingga para pemimpin yang lain kurang mendapat perhatian mereka."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk, sementara seorang diantara mereka bertanya, "Apa yang sudah dikerjakannya kemudian?"
Seorang diantara ketiga orang anak muda yang menyaksikan peristiwa di pategalan itupun telah menceriterakan serba sedikit, apa yang telah terjadi. Kedua kawannya kadang-kadang menyambung untuk melengkapinya. Sehingga akhirnya anak-anak muda itupun telah mendengar kenyataan yang telah terjadi.
"Tetapi Senapati muda itu bersikap jujur," berkata salah seorang anak muda yang menyaksikannya," ia menerima kekalahannya. Nampaknya ia tidak mendendam, meskipun ada juga perasaan kecewa tentang dirinya sendiri."
"Apakah benar ia tidak mendendam?" bertanya kawannya yang lain.
"Aku kira tidak," jawab anak muda yang menyaksikan peristiwa itu.
"Atau hanya karena Ki Lurah hadir pada waktu itu?" bertanya yang lain.
"Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ki Lurah menjadi saksi. Jika terjadi sesuatu, maka Ki Lurah akan cepat mengetahuinya," jawab anak muda yang menyaksikannya.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang berharap agar Senapati itu tidak mendendam sehingga tidak akan terjadi sesuatu yang lebih keras pada saat-saat mendatang.
Dalam pada itu, ceritera tentang peristiwa itu telah dengan cepat menjalar dari mulut kemulut. Bahwa Senapati muda itu membawa tiga orang diantara anak-anak muda dari pasukan khusus itu, memang sudah diperhitungkannya. Dengan kehadiran mereka, maka apa yang terjadi di pategalan itu akan segera tersebar. Tetapi sudah tentu bahwa maksudnya adalah, berita tentang kemenangannya atas Sekar Mirah, sehingga anak-anak muda dibarak itu mengetahui, bahwa ia adalah seorang pemimpin yang paling baik. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru Sekar Mirahlah yang menjadi semakin dikagumi oleh anak-anak muda didalam barak itu.
Sebenarnyalah, bahwa dengan demikian, anak-anak muda itu menjadi semakin hormat kepada Sekar Mirah. Mereka tidak lagi menganggap kehadiran Sekar Mirah sebagaf sesuatu yang aneh.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Senapati muda itu benar-benar seorang prajurit. Ia mengaku kekalahannya, sebagaimana sudah terjadi. Meskipun ada juga perasaan kecewa dan tersinggung, tetapi ia berhasil menekannya dengan sikap seorang Senapati yang jujur.
Dalam pada itu, di hari berikutnya. Agung Sedayu sempat menemui Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita yang berada di rumah Ki Gede. Dengan jelas ia menceriterakan apa yang telah terjadi. Latar belakangnya dan peristiwanya itu sendiri.
Kedua orang tua itu hanya dapat mengangguk-angguk sambil menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya mereka-pun merasa heran atas sikap kasar Senapati muda itu. Tetapi untunglah bahwa ia kemudian mengerti tentang kedudukannya dan sikapnyapun cukup terpuji.
"Nampaknya Senapati itu tidak akan berbuat apapun," berkata Agung Sedayu.
"Sokurlah," sahut Ki Gede, "dengan demikian ia-pun telah bersikap jantan. Dan aku percaya, bahwa para Senapati dibawah Raden Sutawijaya, akan bersikap seperti itu."
"Meskipun demikian," sambung Ki Waskita, "kau harus tetap berhati-hati. Bukan karena Senapati muda itu akan mendendam, namun terutama Sekar Mirah, jangan jatuh kedalam satu sikap yang akan benar-benar dapat disebut sombong karena kemenangannya itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya Ki Waskita. Aku akan berusaha untuk mengekang gejolak perasaannya yang kadang-kadang melonjak-lonjak."
Dalam pada itu, sepeninggal Agung Sedayu yang kemudian bersama Sekar Mirah pergi ke barak pasukan khusus itu, Ki Waskita dan Ki Gede masih sempat berbincang sejenak. Keduanya memang sudah mengira bahwa sikap semacam itu memang akan dapat timbul, meskipun ujudnya tidak sekasar itu. Namun agaknya hal itu memang sudah terjadi.
"Tetapi ada juga baiknya bahwa hal itu dengan cepat terjadi," berkata Ki Waskita, "dengan demikian segalanya menjadi jelas."
"Agaknya Ki Lurah Branjanganpun mempunyai perhitungan yang demikian, sehingga ia tidak mencegah perkelahian itu berlangsung terus ketika ia datang," sahut Ki Gede. Lalu, "Bagi Ki Lurah, peristiwa yang demikian memang sebaiknya terjadi dibawah pengamatannya langsung. Sehingga kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki akan dapat dikurangi sampai sekecil-kecilnya."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun ia kemudian bergumam, "Aku mengenal Sekar Mirah. Karena itu sebenarnya aku menjadi cemas. Mudah-mudahan Agung Sedayu benar-benar dapat mengekangnya."
"Itulah yang perlu diperhatikan kemudian," sahut Ki Gede, "agaknya kita harus selalu ikut membantu Agung Sedayu mengamatinya. Setiap kali kita harus bertanya kepada anak muda itu tentang sikap dan tingkah laku Sekar Mirah dalam barak pasukan khusus itu, agar tidak menumbuhkan persoalan-persoalan yang lain."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia memang sependapat dengan Ki Gede untuk ikut serta mengamati sikap Sekar Mirah selanjutnya, agar ia tidak terperosok kedalam satu keadaan yang tidak menguntungkan, bukan saja bagi Sekar Mirah, tetapi juga bagi Agung Sedayu.
Dalam pada itu, di perjalanan menuju ke barak pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh, nampaknya Sekar Mirah masih juga merasa jengkel terhadap seorang anak yang membantu dirumahnya. Semalam, anak itu kembali lewat tengah malam. Tanpa merasa bersalah anak itu mengetuk pintu dan kemudian setelah dibuka oleh Agung Sedayu, iapun segera masuk keruang dalam sambil berceritera tentang pliridan.
"Kau dari sunga ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Aku membuat pliridan bersama dua orang kawan. Lihat, aku mendapat banyak ikan wader pari. Dua ekor lele dan seekor kotes yang besar. Besok pagi-pagi aku akan menggorengnya. Cukup untuk makan pagi kita bertiga."
"Makanlah sendiri," sahut Sekar Mirah dari dalam biliknya.
Anak itu terkejut. Namun kemudian Agung Sedayu mengelus kepalanya sambil berkata, "Tidurlah. Kau boleh pergi ke sungai. Tetapi kau selesaikan dahulu pekerjaanmu."
"Pekerjaan yang mana" Aku sudah menyapu halaman. Aku sudah merebus air dan aku sudah mengisi jambangan," jawab anak itu.
"Tetapi kau belum menyalakan lampu," jawab Agung Sedayu, "apalagi rumah ini jangan terlalu sering ditinggal."
"Kenapa" Bukankah tidak ada barang-barang berharga dirumah ini yang mungkin akan dapat diambil orang" Disini jarang sekali ada pencuri," jawab anak itu.
"Memang tidak ada barang-barang berharga, karena kami memang tidak mempunyainya. Tetapi jika barang-barang yang tidak berharga ini juga dibawanya, maka kita tidak mempunyai apa-apa lagi. Sama sekali."
Anak itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Sore tadi aku menunggu terlalu lama. Kalian belum juga kembali. Kawan-kawanku sudah menunggu. Padahal biasanya kalian tidak pernah pulang terlalu malam."
"Sekali-sekali kami mempunyai keperluan yang tiba-tiba harus kami selesaikan. Justru dalam keadaan seperti itu, kau jangan pergi. Apalagi lampu masih belum menyala."
Anak itu masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah. Aku mengerti."
Hampir saja semalam Sekar Mirah meloncat bangkit dan menarik telinga anak itu. Untunglah ia masih berusaha bersabar, karena dengan demikian, maka ia akan dapat menyinggung perasaan orang tua anak itu. Namun ia benar-benar menjadi jengkel karenanya.
Karena itu, hampir diluar sadarnya, justru karena ia selalu mengingat-ingat tingkah laku anak itu, iapun berkata, "Kakang, apakah kau masih tetap berkeinginan mengambil Glagah Putih?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, "Kenapa tiba-tiba saja kau menyebut Glagah Putih."
"Aku jengkel terhadap anak itu. Jika ada Glagah Putih, mungkin sikapnya akan lain. Dan rumah kitapun tidak akan terlalu sering kosong seperti sekarang ini. Anak itu sama sekali tidak mengerti, bahwa ia mempunyai tanggung jawab pula atas rumah itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian iapun mengangguk-angguk.
"Aku sebenarnya sependapat," berkata Agung Sedayu kemudian, "tetapi yang pernah aku katakan, aku tidak dapat segera mengambilnya. Mungkin dalam waktu beberapa pekan lagi, sehingga aku sudah cukup lama bertugas setelah aku meninggalkan barak itu untuk waktu yang agak lama."
"Bukankah kau tidak terlalu terikat dengan tugas-tugasmu di barak itu?" bertanya Sekar Mirah.
"Kau benar. Tetapi ada keseganan untuk berbuat demikian," berkata Agung Sedayu, "apalagi mengingat kepentingan anak-anak muda dalam pasukan khusus itu. Mereka dalam waktu dekat harus dipersiapkan dengan masak untuk benar-benalr menjadi seorang pengawal dalam pasukan khusus yang tangguh di segala macam medan."
"Kakang," berkata Sekar Mirah, "bukankah sekarang ada aku" Aku akan dapat melakukan tugas-tugas itu. Kau tentu mendapat ijin Ki Lurah untuk barang satu dua hari meninggalkan barak itu. Hanya satu atau dua hari saja."
Agung Sedayu merenungi kata-kata itu. Ia memang hanya memerlukan waktu satu atau dua hari. Bahkan jika ia berniat, maka menjelang fajar ia berangkat, sebelum tengah malam ia sudah akan berada di Tanah Perdikan itu kembali. Jika Glagah Putih belum siap, maka ia akan dapat bermalam satu malam.
Sejenak kemudian Agung Sedayu itupun mengangguk-angguk. Glagah Putih tentu akan bergembira jika Ki Widura mengijinkannya.
"Tetapi agaknya paman juga tidak akan berkeberatan," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Ternyata disepanjang jalan ke barak pasukan khusus itu, Agung Sedayu merenungi rencananya itu. Bahkan kemudian ia seolah-olah bergumam kepada diri sendiri, "Ya. Aku akan pergi ke Jati Anom."
"Bagus," sahut Sekar Mirah, "kapan kakang merencanakan akan berangkat ?"
"Aku akan berbicara dengan Ki Lurah. Jika Ki Lurah setuju untuk satu atau dua hari, kau bertugas sendiri, maka segera aku dapat berangkat," jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Jika ada Glagah Putih, rumah kita tentu tidak akan terasa sangat sunyi."
Demikianlah, sebagaimana direncanakan disepanjang jalan itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah menemui Ki Lurah Branjangan untuk menyatakan niatnya.
"Hanya satu atau dua hari saja. Biarlah dalam satu atau dua hari itu Sekar Mirah melakukan tugasku," berkata Agung Sedayu.
Ki Lurah sebenarnya agak keberatan. Baru beberapa saat Agung Sedayu meninggalkan barak itu, ketika ia melangsungkan perkawinannya. Tetapi Ki Lurahpun tidak ingin membuat Agung Sedayu kecewa, karena tenaganya masih sangat dibutuhkan.
Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Ki Lurah adalah berpesan dengan sungguh-sungguh agar Agung Sedayu tidak meninggalkan barak lebih dari dua hari.
"Kita sedang menghadapi kerja yang berat," berkata Ki Lurah.
"Aku mengerti Ki Lurah," jawab Agung Sedayu, "sementara aku pergi. Sekar Mirah akan dapat melakukan tugasnya meskipun sendiri. Aku akan dapat berpesan kepadanya, apa saja yang perlu dilakukannya. Ia memiliki kemampuan, sehingga apabila diarahkan, maka ia akan dapat memberikan bimbingan sebagaimana aku lakukan."
"Tentu berbeda Agung Sedayu," jawab Ki Lurah, "Sekar Mirah memang memiliki kemampuan ilmu kanuragan. Tetapi bagi dirinya sendiri."
"Ia sudah belajar, bagaimana ia dapat menuangkan ilmunya itu kepada orang lain, meskipun dalam arti yang sempit. Berbeda dengan sebagaimana dilakukan oleh gurunya kepadanya," jawab Aging Sedayu.
"Sudah tentu. Dalam barak ini, olah kanuragan diberikan secara umum. Tidak secara khusus sebagaimana dilakukan didalam perguruan-perguruan," jawab Ki Lurah.
"Untuk itu. Sekar Mirah akan dapat melakukannya," berkata Agung Sedayu kemudian.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa Agung Sedayu tentu sudah memberikan beberapa pesan kepada Sekar Mirah, sehingga Sekar Mirah akan dapat berlaku sebagaimana Agung Sedayu dapat melakukan meskipun dalam keterbatasan.
Dengan persetujuan Ki Lurah, maka Agung Sedayu memutuskan untuk pergi ke Jati Anom pada keesokan harinya. Karena itu, maka ketika mereka kembali dari barak, maka Agung Sedayupun segera pergi ke rumah Ki Gede untuk memberitahukan rencananya.
"Aku tidak berkeberatan," berkata Ki Gede, "bahkan aku akan senang sekali menerima angger Glagah Putih diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Ia akan dapat berbuat banyak, sebagaimana pernah dilakukan oleh angger Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun terasa juga sentuhan pada perasaannya, seolah-olah Ki Gede mengatakan, bahwa yang dilakukan oleh Agung Sedayu kini sudah jauh susut dibandingkan dengan saat-saat ia datang. Tetapi itu adalah satu kenyataan. Bukan saja karena ia sudah kawin. Tetapi barak pasukan khusus itupun telah merampas sebagian besar dari waktunya.
Tetapi Agung Sedayu berjanji kepada diri sendiri. sesudah ia kembali dari Jati Anom maka ia akan memberikan waktunya lebih banyak lagi kepada Tanah Perdikan Menoreh, sehingga kehadirannya di Tanah Perdikan itu tidak akan sia-sia.
Namun dalam pada itu, Ki Waskitapun berkata, "Sebaiknya kau jangan pergi sendiri Agung Sedayu. Aku akan menemanimu. Nampaknya perjalanan tanpa seorang kawanpun tidak akan menarik. Tidak ada orang yang akan dapat diajak berbicara tentang apapun juga."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku akan sangat berterima kasih, jika paman bersedia pergi bersamaku ke Jati Anom."
"Sekedar untuk kawan berbincang. Jika kepergian kita itu kita lakukan dengan tiba-tiba, tentu hambatan akan dapat dikurangi," berkata Ki Waskita kemudian.
Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita. Jika mereka pergi tanpa banyak orang yang mengetahuinya, maka perjalanan mereka tidak akan mengalami hambatan. Tidak ada pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan untuk melepaskan dendam dengan memotong perjalanan itu.
Setelah rencana itu disetujui bersama, maka Agung Sedayupun kemudian kembali kerumahnya untuk memberitahukan rencana itu kepada isterinya, bahwa Ki Waskitapun akan pergi pula bersamanya.
"Sokurlah," berkata Sekar Mirah, "kau akan mendapat kawan di perjalanan kakang. Bukan saja kawan mengusir kesepian diperjalanan, tetapi dalam keadaan yang gawat, akan dapat banyak memberikan bantuan."
Demikianlah di keesokan harinya, Agung Sedayupun telah bersiap-siap. Setelah makan pagi, maka iapun minta diri kepada Sekar Mirah untuk berangkat. Ia akan singgah dirumah Ki Gede dan kemudian bersama Ki Waskita menuju ke Jati Anom.
Beberapa macam pesan telah disampaikannya kepada Sekar Mirah. Bagaimana ia harus menghadapi anak-anak muda di barak itu. Bagaimana jika ia berhadapan dengan Senapati muda yang telah menjajagi ilmunya, yang ternyata adalah seorang laki laki yang tanggon dan jujur. Dan bagaimana ia menjaga rumah mereka.
"Jika kau memerlukan satu petunjuk tentang apapun, maka kau dapat menghadapi Ki Gede," berkata Agung Sedayu.
"Ya, kakang. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan persoalan sepeninggal kakang," jawab Sekar Mirah.
"Hati-hatilah," berkata Agung Sedayu ketika ia sudah sampai di regol halaman rumahnya, "segala sesuatu yang menyangkut persoalan Tanah ini dan persoalan diri sendiri, hubungilah Ki Gede. Sedangkan yang menyangkut barak dan anak-anak muda dari pasukan khusus itu, kau harus selalu melaporkannya kepada Ki Lurah. Jangan cepat mengambil sikap sendiri."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, "jangan cemas kakang. Aku akan belajar mengekang diri sendiri."
"Agung Sedayupun tersenyum pula. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah. Selamat tinggal."
Sekar Mirah melambaikan tangannya ketika kuda Agung Sedayu mulai bergerak. Sekar Mirah berdiri diregol halaman rumahnya sampai Agung Sedayu hilang ditikungan.
Sejenak kemudian, maka iapun mulai berkemas. Ia akan pergi ke barak seorang diri pada hari itu, dan mungkin di keesokan harinya pula.
Ternyata Sekar Mirah agak malas berjalan seorang diri pergi ke barak. Karena itu, maka iapun telah menyiapkan kudanya. Ia akan pergi ke barak dengan berkuda. Dengan demikian, maka ia tidak akan terlalu lama berada di perjalanan seorang diri.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun telah sampai dirumah Ki Gede Menoreh. Ternyata Ki Waskitapun telah bersiap pula, dan bahkan telah makan pagi pula. Karena itu, ketika kuda Agung Sedayu memasuki regol, maka Ki Waskita berdiri di tangga pendapa sambil berkata, "Nah, apakah kau akan duduk dahulu, atau kita akan segera berangkat ?"
Agung Sedayu yang menuntun kudanya mendekati Ki Waskita menyahut, "Kita akan terus saja berangkat paman."
"Baiklah. Kita minta diri kepada Ki Gede," sahut Ki Waskita.
Ternyata Ki Gedepun telah berada di pendapa pula. Karena itu, maka iapun turun tangga pendapa sambil berkata, "Baiklah. Jika kalian ingin berangkat mumpung hari masih pagi. Silahkan. Tetapi besok kalian harus sudah berada di Tanah Perdikan ini kembali."
Agung Sedayu mengangguk sambil tersenyum. Jawabnya, "Ya Ki Gede, besok aku sudah berada di Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan diperjalanan."
"Tuhan akan melindungi kalian," berkata Ki Gede.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah siap untuk berangkat. Keduanya menuntun kuda mereka sampai di regol bersama Ki Gede yang mengantar mereka. Ketika keduanya telah berada diluar regol, maka keduanyapun segera meloncat kepunggung kuda, sementara Ki Waskita berkata, "Sudahlah Ki Gede. Kami mohon diri."
"Selamat jalan," berkata Ki Gede kemudian.
Keduanyapun mengangguk-angguk. Ketika kuda-kuda mereka mulai bergerak, keduanya mengangkat tangan mereka. Terdengar Ki Waskita berkata, "Selamat tinggal. Besok kita bertemu lagi."
"Aku mohon titip Sekar Mirah," berkata Agung Sedayu.
"Baik ngger. Aku akan menjaganya meskipun sebenarnya itu tidak perlu. Tetapi aku akan mengamatinya," jawab Ki Gede.
Ki Gedepun mengangkat tangannya pula ketika kuda itu mulai berlari meninggalkan regol rumah Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, dari balik seketheng, seseorang mengamati keberangkatan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Perjalanan yang manis," desisnya.
Sejenak kemudian, orang itupun hilang di longkangan, sehingga ketika Ki Gede melintasi halaman menuju kependapa, ia sama sekali tidak tahu, bahwa ada seseorang yang mengamati keberangkatan Agung Sedayu dengan saksama. Karena itu, maka iapun tidak berbuat sesuatu. Apalagi ia menganggap bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita adalah dua orang yang pilih tanding. Sedangkan perjalanan mereka tidak banyak orang yang mengetahuinya. Sementara yang ditinggalkan dirumah-pun adalah seorang isteri yang lain dengan kebanyakan perempuan.
Tetapi Ki Gede tidak mengetahui, bahwa ada persoalan lain yang dapat tumbuh di saat Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Persoalan yang sama sekali tidak diduganya sebelumnya.
Sesaat setelah Agung Sedayu meninggalkan rumah Ki Gede ke arah daerah penyeberangan melintasi Kali Praga, maka seseorang telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede menuju ke arah yang lain.
Seorang anak muda yang berkuda cukup kencang telah menuju kerumah Agung Sedayu. Namun ketika anak muda itu mendekati regol halaman rumahnya, maka iapun segera memperlambat langkah kudanya. Semakin dekat dengan regol halaman rumah itu, hatinyapun menjadi semakin berdebar-debar.
Namun tiba-tiba saja darahnya bagaikan berhenti mengalir ketika ia melihat seekor kuda muncul dari balik regol. Diluar sadarnya ia mengumpat didalam hatinya, "Anak iblis. Kenapa Agung Sedayu singgah pula kerumahnya."
Tetapi ia sudah berada beberapa langkah saja dari regol halaman rumah Agung Sedayu itu, sehingga ia tidak dapat berkisar sama sekali, apalagi berbalik dan meninggalkan regol itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam dalam. Yang berkuda keluar dari regol halaman rumah itu bukan Agung Sedayu. Tetapi Sekar Mirah.
"Sekar Mirah," ia berdesis.
Sekar Mirah yang keluar dari regol halaman rumahnya diatas punggung kuda itu berpaling. Iapun kemudian tersenyum pula sambil menyapa, "Prastawa. Kau akan pergi kemana?"
"Aku lewat di jalan ini secara kebetulan. Aku akan pergi ke padukuhan sebelah untuk melihat-lihat anak anak muda yang sedang memperbaiki parit yang bobol kemarin," jawab Prastawa.
"O. Silahkan," berkata Sekar Mirah.
"Kau akan pergi ke mana?" bertanya Prastawa pula.
"Aku akan pergi ke barak. Kakang Agung Sedayu pergi ke Jati Anom untuk sehari ini. Aku terpaksa pergi sendiri ke Barak dan menggantikan tugasnya," jawab Sekar Mirah.
Prastawa mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Sekar Mirah adalah seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itulah agaknya maka ia bertugas di barak pasukan khusus itu pula sebagaimana Agung Sedayu.
"Jadi Agung Sedayu sudah berangkat?" bertanya Prastawa.
"Ya. Belum terlalu lama," jawab Sekar Mirah, "bukankah ia singgah dirumah Ki Gede?"
"Ya, ya. Mungkin. Aku tidak melihatnya," jawab Prastawa. Lalu, "Sebenarnya aku mempunyai keperluan dengan Agung Sedayu."
"Besok ia kembali," jawab Sekar Mirah.
"Aku memerlukan pertimbangannya tentang padukuhan sebelah. Jika kaudapat menggantikan kedudukannya di barak itu, setidak-tidaknya membantunya, apakah kau dapat berbuat seperti itu bagi Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya Prastawa.
"Tentu. Aku akan bersedia berbuat sesuatu jika aku dapat melakukannya," jawab Sekar Mirah.
"Jika demikian, kita akan dapat berbincang sejenak. Apakah aku boleh singgah?" bertanya Prastawa.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dipandanginya Prastawa sekilas. Ia melihat senyum dibibir anak muda itu. Senyum yang sudah terlalu sering dilihatnya.
Namun diluar dugaan Prastawa. Sekar Mirah menjawab, "sayang Prastawa. Sebenarnya aku juga ingin mempersilahkan kau singgah. Tetapi aku harus pergi ke barak. Aku tidak mau terlambat, karena aku tidak ingin memberikan contoh yang kurang baik bagi anak-anak muda dalam pasukan khusus itu."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kesan, bahwa sikap Sekar Mirah telah berubah. Beberapa waktu yang lampau, ia dapat mengajak Sekar Mirah mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh. Seakan-akan ia melihat bahwa hati Sekar Mirah bagaikan pintu yang selalu terbuka.
Namun pintu itu kini sudah tertutup.
Sambil berdesah Prastawa berkata didalam hatinya, "Ia memang sudah kawin."
Namun dalam pada itu, Prastawa masih juga berkata, "Baiklah. Jika kau tergesa-gesa, marilah, kita pergi bersama-sama."
"Arah kita berbeda," jawab Sekar Mirah, "silahkan pergi dahulu. Aku akan mengambil jalan memintas."
Terasa jantung Prastawa berdegub. Namun iapun kemudian menyadari bahwa sebagai pengantin yang belum terlalu lama, maka ia tentu masih terikat kepada suasana yang khusus.
Karena itu, maka Prastawapun kemudian berkata, "Baiklah Sekar Mirah. Aku akan pergi dahulu. Mungkin sore nanti aku akan singgah."
"Tidak banyak artinya Prastawa," jawab Sekar Mirah, "bukan aku menolak kehadiranmu. Apalagi kau adalah kemanakan Ki Gede. Tetapi sebaiknya kau datang esok jika kakang Agung Sedayu ada dirumah. Dengan demikian kita akan dapat berbicara panjang tentang persoalan yang sedang terjadi di Tanah Perdikan ini."
Prastawa menarik nafas panjang. Kemudian jawabnya, "Baiklah. Pada saatnya aku akan menemui Agung Sedayu."
Sejenak kemudian Prastawapun meninggalkan Sekar Mirah yang masih berada di punggung kudanya. Beberapa langkah kemudian ia masih sempat berpaling. Tetapi ternyata bahwa Sekar Mirah sudah menghadap kearah yang lain. Sekar Mirahpun mulai menggerakkan kendali kudanya menuju kearah yang berlawanan.
"Perempuan yang tinggi hati," berkata Prastawa kepada diri sendiri, "ia terlalu bangga menjadi isteri Agung Sedayu, sehingga sikapnya menjadi sombong. Tetapi pada suatu saat ia akan tahu, siapakah Prastawa itu."
Sejenak kemudian Prastawapun telah mendera kudanya untuk berlari lebih kencang lagi. Sementara itu Sekar Mirahpun telah bergerak menuju ke barak lewat jalan lain dari jalan yang dilalui oleh Prastawa.
Sementara itu Prastawa masih saja bergumam, "Sebenarnya Sekar Mirah dapat juga menempuh jalan ini menuju ke barak. Bahkan jalan ini adalah jalan yang lebih baik. Agaknya ia memang sengaja menghindari perjalanan bersama aku."
Sebenarnyalah Sekar Mirah memang menghindari perjalanan bersama Prastawa. Ia sadar, bahwa suaminya justru tidak sedang berada dirumah, sehingga nampaknya tentu akan kurang baik jika ia pergi bersama Prastawa yang pada masa gadisnya pernah berhubungan agak rapat meskipun masih dalam batas-batas tertentu. Tetapi yang hubungan itu pernah menarik perhatian Pandan Wangi dan Swandaru, sehingga keduanya pernah mempersoalkannya secara khusus.
Sejenak kemudian, maka Sekar Mirahpun telah berpacu di bulak panjang menuju ke barak pasukan khusus di Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, terasa perasaan Prastawa memang tersinggung oleh sikap Sekar Mirah. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu, karena ia sadar, bahwa Sekar Mirah memiliki ilmu yang luar biasa sebagaimana Agung Sedayu sendiri.
"Hanya karena Agung Sedayu mempunyai pengaruh di barak pasukan khusus itu ia menjadi sangat sombong," berkata Prastawa didalam hatinya, "ia tidak mau menerima aku untuk singgah barang sejenak. Bahkan berkuda bersamapun ia sama sekali tidak bersedia."
Diluar sadarnya Prastawa menggeretakkan giginya. Namun kemudian katanya, "Tetapi suasana itu tidak akan lama. Pada saatnya ia menjadi kecewa. Agung Sedayu bukan orang yang tepat bagi Sekar Mirah."
Prastawapun kemudian memacu kudanya di sepanjang bulak panjang. Tetapi karena ia tidak mempunyai tujuan tertentu, maka akhirnya kudanya itupun telah melingkar kembali menuju ke padukuhan induk, dan akhirnya memasuki regol rumah Ki Gede kembali.
"Kau dari mana?" bertanya seorang bebahu Tanah Perdikan.
"Sekedar melihat keadaan paman," jawab Prastawa.
Bebahu itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia menjadi agak heran bahwa sepagi itu Prastawa telah sempat melihat-lihat keadaan.
Sementara itu, Sekar Mirahpun telah berada di barak. Setelah mengikat kudanya ditempat yang tersedia, maka iapun langsung pergi ke tempat tugasnya, yang biasa dilakukannya bersama Agung Sedayu. Tetapi karena Agung Sedayu tidak ada di Tanah Perdikan, maka Sekar Mirah telah melakukannya sendiri.
Sebenarnya ia agak cemas juga menghadapi Senapati muda yang telah dikalahkannya. Justru karena Agung Sedayu tidak ada. Jika ia mendendam, maka ia akan dapat mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Meskipun seorang dengan seorang Sekar Mirah sama sekali tidak gentar, tetapi Senapati muda itu akan dapat berbuat banyak.
Namun ternyata bahwa kecemasan itu tidak beralasan. Senapati muda itu benar-benar bersikap jujur. Ia sama sekali tidak mendendam. Bahkan sikapnya wajar seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Karena itu, maka Sekar Mirahpun dapat melakukan tugasnya sebaik-baiknya sebagaimana dipesankan oleh Agung Sedayu.
Pada saat Sekar Mirah sibuk di barak pasukan khusus, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita telah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Mereka telah menyeberangi Kali Praga dengan selamat. Tidak ada seorangpun yang mengganggunya. Apalagi perjalanan Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak banyak diketahui orang, karena mereka melakukannya seolah-olah tanpa direncanakan lebih dahulu.
Keduanya memang menghindari jalan yang melintasi Mataram, agar mereka tidak usah singgah. Meskipun hanya sebentar, namun dengan demikian waktu mereka akan tersita. Sehingga karena itu, maka keduanya telah memilih jalan lain.
Tidak banyak yang terjadi di perjalanan. Kecuali debu yang mengotori tubuh, maka segalanya berjalan dengan lancar.
Meskipun demikian, mereka memerlukan berhenti untuk beristirahat di pinggir Kali Opak. Sambil memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka beristirahat dan makan rerumputan segar, maka keduanya membersihkan diri dari debu yang melekat.
Dalam pada itu, ternyata jalan yang melintasi Kalii Opak itupun cukup ramai. Beberapa orang hilir mudik melintasi sungai yang tidak terlalu deras, meskipun cukup lebar. Disaat sungai itu tidak banjir, maka orang-orang yang melintas dapat langsung menyeberang tanpa mempergunakan rakit. Tetapi jika saatnya hujan turun di lereng Gunung, maka arus sungai itupun menjadi kian besar, sehingga seseorang yang ingin menyeberanginya harus mempergunakan rakit seperti mereka yang menyeberangi Kali Praga.
Agung Sedayu dan Ki Waskita kemudian duduk beberapa puluh langkah dari jalur penyeberangan. Mereka menunggu sampai kuda mereka menjadi kenyang.
Ternyata bahwa arus lalu lintas jalan itu, masih belum banyak dipengaruhi oleh suasana hubungan antara Mataram dan Pajang yang menjadi semakin buram. Nampaknya jalan itu masih tetap ramai. Beberapa buah pedati telah melewati jalur penyeberangan itu dengan membawa berbagai macam muatan. Hasil bumi, hasil kerajinan dan alat-alat pertanian dengan perabot-perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu dan gerabah.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang mengamati arus lalu lintas itu diluar sadarnya bergumam, "Paman, jika kehidupan yang mulai menjadi sibuk seperti itu harus dihancurkan oleh permusuhan, maka kita akan terpelanting kedalam satu keadaan surut beberapa tahun."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar ngger. Segalanya harus dimulai lagi. Apalagi jika dengan demikian akan memberikan bekas-bekas dendam dan kebencian. Maka untuk memulihkan keadaan seperti ini diperlukan waktu bertahn-tahun."


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika saja kita semuanya dapat menahan diri. Saling memberi dan menerima, maka pertengkaran akan dapat dihindari. Tetapi jika kita berpegang kepada keinginan dan kepentingan diri, maka benturan kepentingan itu akan dapat menelan peradaban manusia itu sendiri," gumam Agung Sedayu kemudian.
Ki Waskita mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak menyahut. Perhatiannya mulai tertuju kepada sekelompok prajurit yang melintasi sungai Opak menuju ke arah Barat. Tetapi prajurit-prajurit itu sama sekali tidak berpaling kearah Ki Waskita dan Agung Sedayu beristirahat.
"Kemana mereka?" desis Agung Sedayu.
"Satu pertanda bahwa suasana memang menjadi semakin panas. Aku kira mereka sekedar nganglang mengamati keadaan. Agaknya mereka prajurit Pajang yang bertugas di Prambanan, dibawah kepemimpinan Untara di Jati Anom," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi.
Sementara itu, rasa-rasanya mereka sudah cukup memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat. Karena itu, maka sejenak kemudian mereka-pun telah melanjutkan perjalanan mereka kembali.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah berpacu kembali disepanjang bulak dan pedukuhan. Mereka kemudian telah memilih jalan memintas. Mereka tidak akan singgah di Sangkal Putung disaat mereka menuju ke Jati Anom. Baru apabila kemudian ada waktu, mereka akan singgah disaat mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Seruling Gading 4 Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran Peristiwa Burung Kenari 9
^