Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 11

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 11


Namun dalam pada itu, ketika mereka melintasi jalan disebelah padang perdu, keduanya telah menjadi berdebar-debar. Mereka melihat jauh di tengah-tengah padang perdu, debu yang mengepul.
"Kuda yang saling memburu," desis Agung Sedayu yang mempunyai pandangan yang sangat tajam. Apalagi dalam jangkauan ketajaman penglihatannya yang melampaui ketajaman penglihatannya yang wajar.
"Ya," Ki Waskita yang juga melihat debu yang menghambur di udara, "nampaknya sesuatu telah terjadi."
Agung Sedayu dan Ki Waskita memperlambat laju kuda mereka. Dengan hati-hati mereka memperhatikan suasana disekitar padang perdu itu. Semakin dekat, maka merekapun menjadi semakin yakin, bahwa beberapa puluh ekor kuda berlari-larian di padang perdu yang luas.
Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita menjadi heran, ketika ia melihat seseorang yang dengan tenang mencangkul di sawah di sebelah jalan yang mereka lalui.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah menarik kekang kudanya dan berhenti dekat dengan orang yang sedang sibuk bekerja di sawah itu.
"Ki Sanak," bertanya Agung Sedayu yang kemudian meloncat turun dari punggung kudanya, "apakah yang terjadi di padang perdu itu."
Petani itu kemudian tegak sambil menekan punggungnya dengan tangannya. Kemudian sambil berpaling kearah debu yang memutih di padang perdu ia berkata, "Prajurit-prajurit Pajang yang berada di Prambanan."
"Kenapa dengan prajurit-prajurit itu?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Mereka sedang gladi perang berkuda. Hampir setiap hari ada gladi. Sejak beberapa lama. Bahkan kadang-kadang Senapati Besar di Jati Anom sering hadir dan memimpin gladi itu sendiri," jawab petani itu.
"Ki Untara maksudmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Ki Untara. Bukan saja gladi perang berkuda, tetapi kadang-kadang para petani itu gladi perang darat dan gelar perang di padang perdu yang panas berdebu itu sehari-harian," jawab orang itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Sokurlah. Aku sudah menjadi ketakutan. Aku kira telah terjadi sesuatu di padang perdu itu, sehingga akan dapat mencelakai kami berdua."
"Tidak Ki Sanak. Berjalan sajalah terus. Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Memang kadang-kadang orang-orang yang lewat di jalan ini menjadi ragu-ragu. Tetapi jika mereka melihat kami bekerja disawah dengan tenang, maka mereka tentu mengambil kesimpulan, bahwa tidak terjadi sesuatu yang berbahaya bagi perjalanan mereka."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Terima kasih Ki Sanak. Jika demikian, kami akan melanjutkan perjalanan kami."
"Silahkan. Tidak akan terjadi apa-apa," berkata orang itu.
Agung Sedayupun kemudian meloncat ke punggung kudanya. Meskipun agak ragu, namun keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan. Sementara itu debu masih saja mengepul. Dari kejauhan Agung Sedayu dan Ki Waskita melihat tangkai-tangkai tombak yang panjang mencuat diantara pepohonan perdu. Namun kemudian merekapun melihat, bahwa tombak-tombak itu ternyata berujung tumpul.
"Benar-benar gladi," berkata Agung Sedayu.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Dipandanginya latihan perang-perangan yang dilakukan di padang perdu yang berjarak beberapa ratus langkah dari jalan yang mereka lalui itu. Nampaknya latihan itu bukan sekedar latihan menunggang kuda. Tetapi juga gelar dan ketrampilan olah senjata.
Ki Waskita yang juga memandangi latihan itu kemudian berdesis, "Memang satu pertanda yang mendebarkan ngger. Nampaknya Untara tidak mau ketinggalan dari pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Setidak-tidaknya Untara tidak mau digilas oleh Prabadaru dengan pasukan khususnya. Karena itu, maka Untarapun telah membuat pasukannya sekuat pasukan khusus. Latihan-latihan dilakukan dengan cermat dan bersungguh-sungguh."
"Nampaknya pasukan Untara mempunyai kelebihan dari pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Ki Waskita," berkata Agung Sedayu kemudian.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Sebagai pasukan berkuda."
"Ya. Latihan-latihan perang berkuda masih terlalu kurang dilakukan pada pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka lebih banyak mempelajari gelar perang dan kemampuan secara pribadi dalam olah kanuragan dan olah senjata," berkata Agung Sedayu.
"Tetapi kemampuan itu akan mengimbanginya. Mungkin Untara mempunyai perhitungan tersendiri. Jika terjadi pertempuran di daerah ini, maka pertempuran itu akan mempergunakan arena yang luas. Sawah dan pategalan. Sehingga pasukan berkuda disini mendapat perhatian yang besar," sahut Ki Waskita, "Tetapi itu bukan berarti bahwa pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh dapat melupakan unsur pasukan berkuda. Nampaknya pasukan berkuda di dalam lingkungan pasukan khusus di Pajangpun mendapat perhatian yang besar. Karena itu, maka Untarapun telah membuat imbangan kekuatan dengan pasukan berkudanya. Meskipun pasukan Untara bukan pasukan khusus, tetapi menilik sikap Untara di saat terakhir, maka ia telah menempa pasukannya sehingga tidak akan kurang nilainya dari pasukan khusus itu sendiri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun yang dilihatnya itu merupakan satu peringatan, bahwa pasukan khususnya di Tanah Perdikan Menorehpun harus memperhatikan ketrampilan berkuda. Setidak-tidaknya sekelompok dari mereka akan menjadi inti dari pasukan berkuda. Dalam perang berarena luas, pasukan berkuda akan sangat penting artinya.
Dalam pada itu. Agung Sedayu dan Ki Waskitapun semakin lama menjadi semakin jauh dari padang perdu itu. Mereka melintasi sebuah bulak panjang dan kemudian mendekati sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Mereka akan lewat di pinggir hutan itu.
Meskipun jalan itu menyusuri pinggiran hutan, tetapi jalan itu tidak terlalu sepi. Jarang terjadi, seekor binatang buas keluar dari hutan itu dan mengganggu orang yang sedang lewat. Kecuali karena di hutan itu jarang sekali terdapat binatang yang termasuk binatang buas, juga hutan itu memang sudah terlalu sering dirambati, kaki manusia. Bahkan orang mencari kayupun berani memasuki hutan itu.
Ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita sampai kepinggir hutan itu, merekapun tertegun. Dari arah yang berlawanan mereka melihat beberapa orang berkuda berpacu dengan cepatnya.
"Kita akan berpapasan dengan sekelompok orang berkuda," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayupun mengangguk. Jawabnya, "Ya paman. Dan kita belum tahu, siapakah mereka."
Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita sama sekali tidak berhenti. Meskipun demikian keduanya menjadi sangat berhati-hati. Memang banyak kemungkinan akan dapat terjadi.
Semakin dekat mereka dengan sekelompok orang-orang berkuda itu, jantung Agung Sedayu dan Ki Waskita menjadi semakin berdebaran. Bahkan kemudian terasa darah mereka semakin cepat mengalir.
"Kakang Untara," desis Agung Sedayu.
Ki Waskita memerlukan waktu sejenak untuk memperhatikan orang berkuda dipaling depan. Namun akhirnya iapun berdesis, "Ya. Angger Untara."
Agung Sedayu dan Ki Waskitapun memperlambat kuda mereka. Kudanya pun kemudian menepi dan bahkan berhenti.
Ternyata Untarapun telah melihat mereka, sehingga iapun telah memperlambat kudanya. Demikian pula beberapa orang pengiringnya.
Akhirnya kedua belah pihak telah berhenti. Untara yang kemudian mendekat bertanya kepada adiknya, "Kau akan kemana?"
"Aku akan menemui paman Widura," jawab Agung Sedayu.
"Apakah ada sesuatu yang penting?" bertanya Untara pula.
"Tidak kakang," jawab Agung Sedayu, "aku hanya ingin berbicara tentang Glagah Putih. Rasa-rasanya kami berdua terlalu sepi di Tanah Perdikan Menoreh. Aku ingin minta ijin kepada paman Widura, untuk mengajak Glagah Putih bersama kami."
Untara mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Apakah Sekar Mirah sudah sependapat" Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi sulit. Sekar Mirahlah yang berada dirumah setiap hari. Ialah yang banyak menentukan. Jika ia tidak setuju, maka akan dapat timbul persoalan."
"Aku sudah berbicara dengan Sekar Mirah. Ia tidak berkeberatan," jawab Agung Sedayu.
Ada niatnya untuk mengatakan bahwa Sekar Mirah telah ikut bersamanya memberikan latihan-latihan di barak pasukan khusus. Tetapi niat itu diurungkannya, karena ia tidak sempat untuk dapat memberikan penjelasan secukupnya.
"Nanti saja kalau aku mendapatkan kesempatan berbicara lebih panjang," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayulah yang kemudian justru bertanya, "Kakang akan pergi kemana?"
"Aku akan melihat latihan. Apakah kau melihat para prajurit latihan di padang perdu sebelah?" sahut Untara.
"Ya, kakang. Aku melihatnya. Semula aku menjadi berdebar-debar melihat debu yang mengepul. Tetapi seorang petani mengatakan, bahwa mereka hanya sekedar melakukan latihan. Agaknya latihan seperti itu sudah terlalu sering diselenggarakan," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Ya. Hampir setiap hari. Prajurit-prajuritku harus menjadi prajurit yang baik," berkata Untara. Dan kemudian sambil berpaling kearah Ki Waskita ia berkata, "Aku tidak dapat mempersilahkan Ki Waskita untuk singgah."
"Terima kasih ngger. Bukankah angger Untara sedang menjalankan tugas. Sementara itu, kamipun hanya mempunyai waktu yang sangat sempit," jawab Ki Waskita.
"Baiklah," berkata Untara kemudian, "kita akan saling berpisah. Kita masing-masing akan meneruskan perjalanan kita."
Untarapun kemudian minta diri. Iapun kemudian berpacu dukuti oleh para pengiringnya. Agaknya ia akan menyaksikan latihan yang diselenggarakan oleh para prajuritnya di Prambanan.
Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Ki Waskitapun meneruskan perjalanan mereka pula. Sekali-sekali mereka berpaling. Untara dan pengiringnyapun menjadi semakin jauh. Sementara debu berhamburan dibelakang kaki kudanya yang berlari kencang.
Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak tergesa-gesa. Sepanjang jalan mereka telah memperbincangkan tentang perkembangan suasana. Agaknya Untara dapat melihat tembus kedalam lingkungan keprajuritan Pajang. Nampaknya iapun dapat mengurai hubungan para pemimpin Pajang dengan Kanjeng Sultan yang tengah mengalami kemunduran kesehatan yang cepat.
"Keadaan menjadi semakin suram," desis Ki Waskita.
"Dan anak-anak di barak pasukan khusus di Tanah Perdikan itu masih belum siap," gumam Agung Sedayu.
"Tetapi mereka sudah berada pada tataran yang cukup," sahut Ki Waskita. Lalu, "Pada saat-saat terakhir latihan-latihan nampaknya menjadi semakin meningkat. Sejak kita melihat, tataran mereka dalam benturan ilmu di tepian."
"Mudah-mudahan dalam waktu singkat, anak-anak itu sempat menyusul kekurangan mereka," berkata Agung Sedayu.
"Tetapi mereka sudah menguasai ilmu yang terpenting. Bahkan mereka sudah mulai mendalaminya, terutama olah kanuragan secara pribadi," sahut Ki Waskita.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk iapun kemudian berkata, "Bagaimanapun juga, kita masih harus bekerja keras paman."
Ki Waskita memandang Agung Sedayu sekilas. Kemudian katanya, "Ya. Kita memang harus bekerja keras."
Untuk sesaat keduanyapun saling berdiam diri. Mereka menyusuri jalan yang semakin menanjak lereng Gunung Merapi. Namun mereka akan melingkari lereng itu sehingga akhirnya mereka akan sampai kesisi sebelah Timur, masih jauh dibawah lambung.
Tidak banyak persoalan yang mereka lihat diperjalanan. Semakin lama merekapun menjadi semakin dekat dengan Jati Anom. Namun mereka tidak memilih jalan dari arah Timur. Tetapi mereka datang dari arah putaran kaki Gunung. Meskipun jalan lebih sulit, tetapi jaraknya menjadi lebih dekat.
Ketika mereka memasuki Kademangan Jati Anom, mereka menjadi berdebar-debar. Mereka memperlambat kuda mereka, ketika dari kejauhan mereka melihat padukuhan Banyu Asri.
"Apakah paman Widura ada di Jati Anom atau di Banyu Asri?" bertanya Agung Sedayu,
"Kita lihat di padepokan saja ngger," jawab Ki Waskita, "baru kemudian kita akan menyusulnya ke Banyu Asri, jika Ki Widura tidak berada di padepokan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Merekapun meneruskan perjalanan mereka menuju ke padepokan kecil di ujung Kademangan Jati Anom. Tetapi mereka tidak memilih jalan induk yang melalui rumah Untara yang dipergunakan untuk para prajurit Pajang di Jati Anom.
Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai keregol halaman padepokan kecil di Jati Anom. Yang pertama-tama melihat mereka adalah seorang cantrik. Sambil berlari-lari cantrik itu menyongsong Agung Sedayu yang meloncat turun dari kudanya dukuti oleh Ki Waskita.
"Selamat datang," berkata cantrik itu sambil menerima kuda Agung Sedayu dan Ki Waskita, "marilah. Kebetulan Ki Widura ada disini."
"O," desis Agung Sedayu, "sokurlah. Hampir saja aku berbelok menuju ke Banyu Asri."
"Marilah. Memang beberapa hari Ki Widura berada di Banyu Asri. Baru kemarin Ki Widura kembali ke padepokan," jawab cantrik itu.
"Glagah Putih?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Ia berada di padepokan," jawab Cantrik itu pula.
"Dan Kiai Gringsing," Ki Waskita yang bertanya.
"Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung. Sudah beberapa hari," jawab cantrik itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Bersama Ki Waskita iapun kemudian melintasi halaman dan naik kependapa. Sementara cantrik yang sudah mengikat kuda itu disamping pendapa, segera memberitahukau kehadiran Agung Sedayu dan Ki Waskita kepada Ki Widura dan Glagah Putih.
Glagah Putih yang berada di kebun belakang, segera berlari-lari ke pendapa, sementara itu, Ki Widurapun telah keluar pula dari ruang dalam.
Sejenak kemudian, merekapun telah duduk bersama di pendapa padepokan kecil itu. Setelah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka merekapun mulai berbicara tentang keadaan padepokan itu serta para penghuninya.
"Beberapa orang prajurit telah berada di padepokan ini," berkata Glagah Putih.
"Bukankah mereka telah lama berada disini?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Tetapi beberapa saat yang lalu, mereka telah ditarik semuanya kerumah kakang Untara. Pada saat-saat yang mendebarkan. Namun nampaknya keadaan menjadi agak tenang lagi, sehingga beberapa orang diperkenankan, atau justru diperintahkan untuk berada di padepokan ini," jawab Glagah Putih.
"Berapa orang yang berada disini sekarang?" bertanya Ki Waskita.
"Sepuluh orang," jawab Glagah Putih.
"O," Agung Sedayu terkejut, "demikian banyaknya?"
"Ya Agung Sedayu," Widuralah yang menjawab, "memang banyak sekali. Tetapi agaknya keadaan memang menghendaki demikian. Jika yang berada di padepokan ini terlalu sedikit, maka keselamatan mereka kurang terjaga. Tetapi dengan sepuluh orang, masih banyak kesempatan yang dapat mereka lakukan bersama para penghuni padepokan ini sendiri."
Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Nampaknya keadaan bukan menjadi tenang, meskipun mereka sedikit. Tetapi ternyata bahwa prajurit Pajang di Jati Anom harus tetap berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan yang agak mereda itu. Karena menurut perhitungan Untara, segala sesuatu masih akan dapat meledak setiap saat.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, para cantrikpun telah menghidangkan minuman dan makanan bagi Agung Sedayu dan Ki Waskita, sementara Agung Sedayu bertanya kepada pamannya tentang gurunya yang menurut keterangan seorang cantrik berada di Sangkal Putung. Agaknya Swandaru ingin ditunggui oleh gurunya dalam perkembangan ilmunya yang terakhir.
"Ada kekhususannya?" bertanya Ki Waskita.
"Aku kurang tahu," jawab Ki Widura, "tetapi nampaknya Swandaru benar-benar ingin menempa diri menghadapi perkembangan keadaan yang semakin gawat sekarang ini, meskipun udara terasa agak mendingin. Namun api masih akan dapat berkobar setiap saat."
"Sokurlah," Ki Waskita mengangguk-angguk, "Swandaru memang masih harus menempa diri. Mematangkan ilmunya dan melengkapinya dengan pengalamannya selama ini," Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, "bagaimana dengan Pandan Wangi?"
"Agaknya ia tidak mau ketinggalan. Bahkan menurut Kiai Gringsing ternyata bahwa perkembangan ilmu Pandan Wangi mempunyai jalur yang agak berbeda dengan perkembangan ilmu Swandaru. Pandan Wangi mulai melihat ke kedalaman watak ilmu yang diwarisinya."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Nampaknya perkembangan kematangan ilmu Pandan Wangi dan Swandaru mempunyai jalur yang berbeda. Tetapi itu bukan berarti bahwa Swandaru tidak melihat ke dalam ilmu yang diwarisinya dari Kiai Gringsing. Tetapi cara pendalamannya sajalah yang berbeda dari Pandan Wangi yang lebih banyak mencari sendiri, karena ia terpisah dari gurunya. Namun dengan tekun ia mencari perkembangan ilmunya, karena semua dasar ilmu Ki Gede Menoreh telah diberikannya kepada Pandan Wangi.
Pembicaraan Agung Sedayu, Ki Waskita, Ki Widura dan Glagah Putih terpotong, karena tiba-tiba dua ekor kuda memasuki halaman padepokan. Dua orang prajurit Pajang di Jati Anom memasuki halaman itu. Mereka tertegun ketika mereka melihat beberapa orang duduk di pendapa.
Baru kemudian seorang diantara mereka berdesis, "Agung Sedayu."
Kedua orang prajurit itupun kemudian menuntun kuda mereka dan mengikatnya disamping pendapa. Sambil tersenyum keduanyapun kemudian naik pula kependapa.
"Kapan kaudatang. Agung Sedayu?" bertanya seorang diantara mereka.
Agung Sedayupun kemudian beringsut dan kedua prajurit itu duduk pula bersama mereka.
Demikianlah, maka pembicaraan mereka menjadi semakin riuh ketika beberapa orang prajurit yang lainpun telah datang pula.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu masih menyimpan masalahnya sendiri yang akan disampaikannya kepada Glagah Putih dan Ki Widura. Karena persoalan itu tidak ada hubungannya dengan para prajurit, maka iapun menunggu sampai ia mendapat kesempatan untuk berbicara langsung dengan keduanya.
Baru pada malam hari kemudian, Agung Sedayu dan Ki Waskita sempat berbicara langsung dengan Glagah Putih dan Ki Widura. Dengan berbagai pertimbangan, termasuk tugas-tugas baru yang diemban oleh Sekar Mirah di Tanah Perdikan Menoreh untuk membantunya memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda di barak pasukan khusus, maka Agung Sedayu telah minta agar Glagah Putih bersedia mengikutinya di Tanah Perdikan Menoreh.
"Aku sudah memintanya sejak lama," sahut Glagah Putih dengan serta merta, "kakanglah yang selalu menunda-nunda."
"Aku menunggu saat yang sebaik-baiknya," jawab Agung Sedayu, "dan sekarang saat itu sudah tiba."
Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian katanya, "Kapan kita berangkat?"
"Ah," potong Ki Widura, "jangan tergesa-gesa begitu. Mungkin kakangmu akan berada disini satu atau dua pekan."
"Tidak mungkin. mbokayu Sekar Mirah berada di Tanah Perdikan sendiri," jawab Glagah Putih, "siapa tahu, mbokayu didatangi genderuwo."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "mBokayumu tidak takut genderuwo. Bahkan genderuwo yang baik, dapat diminta untuk menjaga rumah."
Glagah Putihpun tertawa pula.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Sekar Mirah yang berada dirumahnya sendiri, merasa kesepian juga. Seorang anak yang membantu dirumah itu, masih selalu pergi bersama kawan-kawannya. Kadang-kadang ke sungai sampai jauh malam. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak sampai hati untuk marah kepadanya, karena seumurnya, anak itu masih belum banyak mengenal tanggung jawab.
Sekar Mirah yang duduk sendiri diamben diruang dalam sambil merenung setelah makan malam, terkejut, ketika pintu rumahnya diketuk orang. Menilik nadanya, tentu bukan pembantunya yang nakal.
Sejenak Sekar Mirah termangu-mangu. Dalam keadaan yang gawat, segala sesuatunya dapat terjadi. Sementara itu, ia tidak dalam pakaian yang memungkinkannya untuk bergerak cepat, karena setelah mandi di sore hari, ia mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan seorang perempuan.
Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat banyak. Sekali lagi pintu rumahnya terdengar diketuk perlahan-lahan.
Sekar Mirahpun kemudian melangkah mendekati pintu rumahnya. Namun ia cukup berhati-hati. Meskipun ia tidak mengenakan pakaian khususnya, namun ia berusaha untuk dapat berbuat sesuatu jika terpaksa.
Sejenak Sekar Mirah berdiri tegak didepan pintu rumahnya. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, "Siapa diluar?"
"Aku Mirah," terdengar jawaban lambat. Namun Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Ia mengenal suara itu.
Dengan wajah yang tegang. Sekar Mirahpun kemudian membuka pintu rumahnya. Sebagaimana yang diduganya, yang berdiri di luar adalah Prastawa.
"Kau," desis Sekar Mirah.
"Ya Mirah. Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku ingin berbicara serba sedikit tentang Tanah Perdikan ini ?" jawab Prastawa.
"Kakang Agung Sedayu belum kembali. Baru besok ia akan datang," jawab Sekar Mirah.
"Kau dapat menyampaikannya jika ia pulang." minta Prastawa.
Sekar Mirah memandang Prastawa dengan tajamnya. Kemudian katanya, "Sebaiknya kau datang esok sore Prastawa. Katakan langsung kepada kakang Agung Sedayu, apa yang kau inginkan. Atau biarlah kakang Agung Sedayu pergi kerumah Ki Gede. Kau dapat menemuinya disana."
Prastawa mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Apakah aku tidak kau persilahkan masuk" Betapapun singkatnya, lebih baik kita berbicara di dalam."
Sekar Mirah menjadi tegang. Namun dalam keremangan malam, wajahnya tidak nampak menjadi merah.
Meskipun demikian Sekar Mirah masih berusaha untuk mencari jawab yang paling baik yang dapat diberikan kepada Prastawa. Bagaimanapun juga anak muda itu adalah kemanakan Ki Gede Menoreh. Orang tertinggi di Tanah Perdikan itu.
Untuk sesaat Sekar Mirah berdiri tegang. Sementara itu Prastawa bergeser setapak maju. Dengan suara dalam ia bertanya pula, "Bagaimana" Setuju ?"
Sekar Mirah menjadi semakin tegang. Ia sadar, bahwa menerima anak muda itu selagi suaminya tidak dirumah adalah kurang pada tempatnya. Apalagi jika ada orang lain yang melihatnya. Maka orang lain itu tentu akan menyebutnya sebagai seorang perempuan yang kurang pantas.
Dalam pada itu, wajah Sekar Mirah terasa menjadi semakin tegang. Namun sementara itu Prastawa justru telah hampir kehilangan nalar. Ia ingin duduk dan berbicara apa saja. Sebagaimana kebiasaannya bersikap terhadap perempuan-perempuan muda di Tanah Perdikannya. Bahkan kadang-kadang ia telah melakukan sesuatu yang kurang terpuji terhadap gadis-gadis di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga dapat menumbuhkan persoalan tersendiri.
Ketika Prastawa beringsut semakin dekat, maka sambil bergeser surut Sekar Mirah menjawab, "Prastawa. Sebenarnya aku memang tidak akan menolak. Tetapi sayang, bahwa aku harus mempersiapkan diri untuk tugasku esok siang. Aku harus memberikan bimbingan kepada anak-anak muda di barak pasukan khusus itu. Aku sedang mempersiapkan diri untuk menempa mereka dalam kemampuan secara pribadi. Aku harus menunjukkan kepada mereka, bagaimana mereka berhadapan dengan lawan yang tangguh tanggon. Dan aku harus memberikan contoh kepada mereka bagaimana menghadapi lawan lebih dari satu orang. Karena itu, aku besok akan bertempur dalam keadaan yang seperti bersungguh-sungguh melawan lima orang.
Kata-kata Sekar Mirah itu seolah-olah telah membangunkan Prastawa dari mimpinya. Yang berdiri dihadapannya itu bukan saja seorang perempuan cantik, tetapi juga seorang perempuan yang garang. Apalagi ketika Sekar Mirah berkata selanjutnya, "Prastawa. Jika kau ingin singgah, aku akan berterima kasih. Karena kau tentu akan dapat membantu aku. Kita akan berlatih bersama. Kau tentu memiliki kemampuan sebagaimana lima orang anak muda dari pasukan khusus itu. Dengan demikian, aku sudah akan dapat membiasakan diri dalam tugasku besok."
Kata-kata Sekar Mirah itu terasa panas ditelinga Prastawa. Seolah-olah perempuan itu dengan sengaja telah merendahkannya. Karena dengan demikian, maka Prastawa harus menyadari keadaannya. Sekar Mirah bukan perempuan kebanyakan. Bukan perempuan sebagaimana perempuan Tanah Perdikan Menoreh selain Pandan Wangi. Karena itu, maka ia tidak akan dapat mengganggunya, sebagaimana mengganggu gadis-gadis yang ketakutan bukan saja karean kemampuannya, tetapi juga karena ia adalah kemanakan Ki Gede Menoreh.
Sejenak Prastawa termangu-mangu. Ia menyadari tingkat ilmu Sekar Mirah, dan iapun menyadari kedudukan Agung Sedayu.
Karena itu. maka iapun kemudian bergeser surut sambil berkata, "Baiklah Sekar Mirah, jika kau masih mempunyai tugas yang harus kau lakukan, aku minta diri."
"Kau dapat membantu aku Prastawa," sahut Sekar Mirah.
"Tidak. Aku tidak ingin mengganggumu. Seandainya aku mempunyai banyak waktu, mungkin aku akan mempertimbangkannya. Tetapi waktuku sekarang ini hanya sedikit sekali," jawab Prastawa.
"Jadi kau tidak ingin singgah di sanggar?" bertanya Sekar Mirah.
Prastawa menggeleng. Jawabnya, "Lain kali saja Sekar Mirah."
Prastawapun kemudian minta diri. Agaknya ia hanya berjalan kaki saja tanpa membawa seekor kuda.
Ketika Prastawa hilang dibalik regol. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia mengenang saat-saat ia berada di Tanah Perdikan sebelum ia kawin dengan Agung Sedayu. Dengan demikian, maka ia memang tidak dapat menimpakan segala kesalahan kepada Prastawa jika anak muda itu kemudian bersikap kurang wajar terhadapnya.
"Tetapi aku sekarang adalah isteri Agung Sedayu," berkata Sekar Mirah kepada diri sendiri.
Namun Sekar Mirahpun bersukur, bahwa Prastawa telah meninggalkan rumahnya. Perlahan-lahan ia menutup dan menyelarak pintunya. Kemudian iapun pergi ke biliknya.
Ketika ia membaringkan dirinya, semakin terasa, betapa sepinya malam yang menjadi semakin dingin.
Namun akhirnya. Sekar Mirahpun telah lelap didalam tidurnya.
Dalam pada itu, selagi Sekar Mirah sudah mulai dengan mimpinya yang gelisah, di Sangkal Putung, Agung Sedayu masih berbincang dengan Ki Waskita, Ki Widura dan Glagah Putih. Sekali-sekali mereka tertawa oleh gurau yang segar. Glagah Putih yang gembira menjadi semakin banyak berbicara.
"Aku akan kembali besok," tiba-tiba Agung Sedayu berkata, "apakah kau akan pergi bersamaku besok, atau aku akan datang lagi menjemputmu."
"Kenapa harus menjemput aku lagi" Besok aku pergi bersamamu kakang," jawab Glagah Putih.
"Kau minta diri kepada ayah," berkata Agung Sedayu pula.
"Ayah sudah mendengar sendiri persoalan yang kita bicarakan ini," jawab Glagah Putih heran.
"Tetapi kau harus minta diri," Agung Sedayu menekankan.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa aneh, bahwa ia harus memberitahukan persoalannya kepada orang yang sudah megetahuinya.
Namun kemudian Glagah Putihpun melakukannya. Katanya, "Ayah, jika ayah tidak berkeberatan, besok aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh mengikuti kakang Agung Sedayu."
Ki Widura tersenyum. Katanya, "Baiklah Glagah Putih. Tetapi jika demikian, esok pagi-pagi kau harus pergi ke Banyu Asri. Kau harus minta diri kepada seluruh keluarga. Baru kau akan boleh meninggalkan Jati Anom. Sementara itu, malam ini kau harus mengemasi pakaian dan mungkin barang-barangmu yang akan kau bawa besok."
"Baiklah ayah," jawab Glagah Putih, "malam ini aku akan berkemas. Esok pagi-pagi aku akan ke Banyu Asri."
Sebenarnyalah bahwa malam itu Glagah Putih telah mengemasi pakaian yang akan dibawanya. Tidak terlalu banyak. Ia hanya membawa seperlunya saja.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun telah dipersilahkan untuk beristirahat, sementara Ki Widura membantu anaknya mempersiapkan diri. Namun sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun telah pergi ke biliknya pula.
"Tidurlah," berkata ayahnya, "besok kau akan melakukan perjalanan. Meskipun perjalanan itu tidak terlalu jauh, namun akan melelahkan juga."
Glagah Putihpun berusaha untuk dapat tidur. Tetapi rasa-rasanya matanya sama sekali tidak mau terpejam. Angan-angannya telah jauh mendahului wadagnya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Glagah Putih telah melihat beberapa kali Tanah Perdikan yang besar dan subur itu. Iapun serba sedikit telah mengenal isinya. Namun dalam pada itu, keningnya mulai berkerut ketika ia mulai membayangkan sebuah wajah anak muda yang aneh menurut pendapat Glagah Putih. Bukan pula tingkah lakunya, tetapi juga sikapnya terdapat masalah yang dihadapinya.
"Aku tidak mengerti sikap Prastawa," berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.
Baru menjelang akhir malam, Glagah Putihpun dapat tidur lelap.
Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Prastawa duduk di gardu bersama beberapa orang anak muda. Adalah bukan satu kebetulan bahwa yang berada di gardu itu adalah kawan-kawan dekatnya. Satu dua orang pengawal yang lain duduk di sebelah regol, sementara yang lain berjalan hilir mudik di luar regol.
"Perempuan itu terlalu sombong," geram Prastawa.
"Sebelumnya sikapnya kepadamu terlalu baik," berkata seorang kawannya.
"Pengantin baru," sahut yang lain, "tunggu sajalah barang dua tiga bulan. Kau mempunyai beberapa kelebihan dari Agung Sedayu."
Prastawa tersenyum. Katanya, "ia akan menyesal atas kesombongannya itu."
"Tetapi kau jangan terlalu kasar menghadapinya. Ia memiliki ilmu yang tinggi," berkata yang pertama, "waktumu masih panjang."
Prastawa tertawa. Katanya, "Aku mempunyai cukup pengalaman."
Kawan-kawannyapun tertawa pula. Pengawal yang berada di regol berpaling kearah mereka. Namun para pengawal itu tidak mengetahui apa saja yang sedang mereka perbincangkan.
Ketika kemudian ayam jantan berkokok, maka Prastawapun berdiri dan turun dari gardu. Sambil melangkah pergi ia berkata, "Malam ini akan aku habiskan di bilikku. Aku akan tidur sampai matahari naik diatas pepohonan."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, "Kau akan dapat bermimpi indah."
"Aku sedang kesepian," desis Prastawa.
Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Dipandanginya langkah Prastawa melintas halaman langsung menuju ke seketeng.
Pada saat yang bersamaan, justru Sekar Mirah telah bangun. Ketika ia pergi ke dapur, dilihatnya anak yang tinggal bersamanya masih tidur melingkar diserambi belakang. Nampaknya anak itu tidak berani mengetuk pintu, sehingga ia tidur saja di sebuah amben kecil diserambi.
Ketika pintu berderit, anak itu menggeliat. Tetapi iapun segera meloncat bangkit. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang berkerut.
"Aku, aku tertidur di tepian semalam," berkata anak itu agak gagap.
Sekar Mirah menjadi iba juga melihatnya. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Tetapi jangan kau ulangi lagi. Cepat, nyalakan api dan kemudian isi jambangan. Aku akan menyapu halaman."
Anak itupun segera menyalakan api untuk menjerang air. Kemudian iapun pergi ke sumur untuk mengisi jambangan di pakiwan.
Sejenak kemudian, maka derit senggol timbapun telah terdengar berderit diantara suara sapu lidi yang berdesir dalam irama yang ajeg. Sebagaimana Agung Sedayu, maka ternyata Sekar Mirahpun telah melakukannya pula. Menyapu sambil bergeser mundur, sehingga pada bekas sapu lidinya tidak terdapat telapak kaki.
Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin terang. Cahaya kemerahan telah membuka wajah langit yang kelam. Sementara kesibukan mulai menjamah Tanah Perdikan Menoreh, di Jati Anom Glagah Putih telah meloncat kepunggung kudanya. Ia ternyata tidak dapat tidur terlalu lama. Seperti pesan ayahnya, maka pagi-pagi benar ia harus pergi ke Banyu Asri untuk minta diri.
Glagah Putih tidak pergi sendiri. Ia pergi bersama ayahnya ke Banyu Asri. Sementara itu Agung Sedayu dan Ki Waskitapun telah berkemas pula. Mereka ingin singgah barang sejenak ke Sangkal Putung. Selain untuk memberitahukan keselamatan Sekar Mirah, maka Agung Sedayupun ingin bertemu dengan Kiai Gringsing barang sebentar.
Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita harus menunggu kedatangan Glagah Putih dan Ki Widura dari Banyu Asri.
Ketika matahari mulai menjenguk dibalik pepohonan, maka merekapun telah bersiap. Para prajurit termasuk Sabungsari yang datang pula ke padepokan itu, yang berada di padepokan itupun ikut mengantar Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih yang telah minta diri kepada seluruh keluarganya di Banyu Asri.
"Dengan demikian, maka Ki Widura akan lebih banyak berada di Banyu Asri," berkata seorang cantrik yang tertua diantara kawan-kawannya.
"Bukankah kawanmu sudah bertaMbah banyak," sahut Agung Sedayu.
"Tetapi kami tentu akan merasa sepi," berkata cantrik itu pula.
"Sabungsari dan para prajurit yang lain akan menggantikan kami," berkata Glagah Putih sambil memandang Sabungsari.
Sabungsari tersenyum. Sejak beberapa lama, ia memang merasa berkewajiban atas padepokan itu lebih dari para prajurit yang lain, apalagi setelah beberapa orang pengikutnya menyatakan diri menjadi cantrik di padepokan itu.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putihpun telah meninggalkan padepokan kecil itu. Mereka menuju ke Kademangan Sangkal Putung. Dengan demikian, maka mereka telah mengambil jalan lain dari yang telah di lalui oleh Agung Sedayu ketika ia datang bersama Ki Waskita.
Perjalanan mereka ke Sangkal Putung tidak memerlukan waktu terlalu lama. Namun terasa panas matahari mulai menggatalkan kulit.
Kedatangan Agung Sedayu dan Ki Waskita serta Glagah Putih ke Sangkal Putung, ternyata telah mengejutkan Swandaru yang masih belum meninggalkan Kademangan. Tetapi ia sudah bersiap untuk melihat-lihat keadaan sebagaimana kebiasaannya. Bukan saja ketenangan dan keamanan Kademangannya, tetapi juga saluran air, jalan-jalan dan kegiatan segi-segi kehidupan yang lain.
Dengan tergesa-gesa Swandarupun kemudian menyongsong Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih. Kemudian merekapun dipersilahkan untuk naik kependapa, setelah mengikat kuda mereka pada patok-patok yang sudah disediakan.
Sejenak kemudian, Ki Demang Sangkal Putung dan Pandan Wangi telah menemui mereka pula di pendapa Kademangan. Namun Agung Sedayu yang melihat kegelisahan di wajah-wajah mereka, segera berkata, "Kami tidak mempunyai kepentingan khusus. Kami hanya sekedar singgah untuk melihat keselamatan Kademangan Sangkal Putung."
"Sokurlah," sahut Ki Demang, "tetapi apakah kalian mempunyai keperluan dengan kakangmu Untara?"
"Juga tidak," jawab Agung Sedayu, "kepentinganku satu-satunya adalah menjemput Glagah Putih. Ia akan aku ajak pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan tinggal bersamaku jika ia kerasan."
"O," Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Barangkali ada juga baiknya bagi angger Glagah Putih. Dengan demikian ia akan menjadi lebih berprihatin."
"Ya. Ia memang harus lebih berprihatin. Dengan demikian, ia akan dapat lebih banyak melihat kedalam dirinya sendiri," sahut Agung Sedayu.
Dalam pada itu, sejenak kemudian maka Kiai Gringsingpun telah hadir pula di pendapa. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah menceriterakan pula kepentingannya datang ke padepokan.
"Aku memerlukannya," berkata Agung Sedayu kemudian, "Glagah Putih akan dapat menunggui rumah jika aku dan Sekar Mirah sedang pergi."
"Jadi aku hanya sekedar akan menjadi penjaga rumah " " potong Glagah Putih.
Yang mendengar pertanyaan itu tersenyum. Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata, "Semua kerja yang besar sebaiknya dimulai dari yang kecil. Pengalaman-pengalaman dari kerja yang kecil itu akan bermanfaat bagi kerja yang besar."
Glagah Putihpun tersenyum pula. Sambil menunduk ia berdesis, "Ya Kiai. Aku akan mulai dari kerja yang kecil itu."
Ki Waskitapun tertawa pula. Katanya, "Nampaknya kau tidak menerimanya dengan ikhlas."
Glagah Putih mengangkat wajahnya. Namun jawabnya, "Aku bersungguh-sungguh Ki Waskita."
"Bagus," Ki Waskita tertawa, "jika demikian maka kau tentu akan berhasil."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi kepalanya-pun telah menunduk lagi.
Sementara itu, Swandaru mulai berbicara tentang anak-anak muda Sangkal Putung yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak muda yang berada didalam lingkungan pasukan khusus yang disusun oleh Mataram disamping para pengawal Mataram sendiri.
"Mereka dalam keadaan baik," jawab Agung Sedayu, "nampaknya mereka kerasan. Selama mereka berada di Tanah Perdikan, maka ilmu merekapun telah meningkat pula. Sejak terjadi peristiwa di tepian Kali Praga itu, maka para pemimpin di barak pasukan khusus itu bekerja lebih keras, karena mereka menyadari, bahwa tingkat kemampuan pasukan khusus itu masih belum setataran dengan pasukan khusus yang di bentuk oleh Ki Tumenggung Prabadaru."
"Dan nampaknya usaha itu akan berhasil?" bertanya Swandaru.
"Ya. Para pemimpin di barak itu berharap, usaha mereka tidak akan sia-sia," jawab Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Sokurlah jika demikian. Apabila anak-anak itu tidak terbentuk menjadi anak-anak yang memiliki kemampuan pasukan khusus, lebih baik ia kembali saja ke Sangkal Putung."
"Mereka tidak mengecewakan," sahut Agung Sedayu.
Ternyata Swandaru tetap memperhatikan keadaan anak-anak muda Sangkal Putung dimanapun mereka berada. Anak-anak muda yang berada di Tanah Perdikan itupun tetap mendapat perhatiannya.
Dalam kesempatan itu. Agung Sedayu telah memberitahukan pula serba sedikit tentang Sekar Mirah, yang telah mendapat kesempatan untuk membantunya menempa anak-anak muda yang berada di barak pasukan khusus itu.
"Bukan main," desis Swandaru, "tentu ia menjadi gembira sekali."
"Ya. Karena itu, maka ia menganggap tugasnya itu sebagai satu kesenangan. Namun ia tetap bertanggung jawab atas tugas itu," jawab Agung Sedayu.
"Sokurlah," berkata Kiai Gringsing kemudian, "dengan demikian ia telah mempunyai satu kesibukan yang sesuai dengan gejolak didalam jiwanya. Karena itu, maka kalian memerlukan sekali Glagah Putih."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Di siang hari, rumah kami selalu kosong."
Ketika Glagah Putih mengangkat wajahnya, orang-orang yang berada disekitarnya telah tertawa sebelum anak itu mengatakan sesuatu. Dengan demikian justru Glagah Putih tidak mengucapkan sepatah katapun.
Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih tidak berada di Sangkal Putung terlalu lama. Mereka harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh pada hari itu juga.
Ketika mereka minta diri, maka Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan. Kepada Ki Waskita ia berkata, "Kami, yang berada di Sangkal Putung dan Jati Anom, menitipkan Agung Sedayu dan isterinya serta Glagah Putih kepada Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh.
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Kami yang tua-tua ini hanya dapat mengikuti tingkah laku anak-anak muda dengan penuh kebanggaan. Ternyata anak-anak muda sekarang jauh lebih cepat berkembang dari masa muda kita dahulu."
"Tetapi mereka masih tetap memerlukan pengarahan. Bagaimanapun juga yang tua tentu lebih banyak umurnya dari yang muda," sahut Kiai Gringsing sambil tersenyum pula.
"Itulah satu-satunya kemenanganku dari angger Agung Sedayu. Umurku lebih banyak dari umurnya," jawab Ki Waskita.
Ki Demangpun tertawa. Katanya, "Tetapi setidak-tidaknya kita dapat berceritera tentang pengalaman kita kepada anak-anak muda. Biarlah mereka mempertimbangkan dan memperbandingkan. Kesimpulannya terserah kepada mereka."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Kami masih selalu memerlukan bimbingan. Mungkin gejolak jiwa kami masih belum mapan sebagaimana orang tua-tua."
"Gejolak jiwa dan pengalaman yang mapan. Memang keduanya harus berpadu untuk menemukan keseimbangan," berkata Kiai Gringsing sambil mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putihpun kemudian telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka melangkah ke regol, Kiai Gringsing masih sempat berbisik, "Pandan Wangi menemukan arah ilmunya lebih kekedalamannya. Ia sedang mengembangkan kemampuannya untuk menyentuh sasaran dengan serangan berjarak."
"Luar biasa," desis Agung Sedayu, "juga dengan tatapan matanya?"
"Tidak," jawab Kiai Gringsing, "dengan pukulan yang melontarkan kekuatan ilmu yang sedang dikembangkannya itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian iapun berdesis, "Bagaimana dengan Swandaru atas perkembangan ilmu isterinya."
"Pandan Wangi ingin segera memperkenalkannya kepada suaminya," jawab Kiai Gringsing, "tetapi ia masih menekuninya."
Agung Sedayu tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Merekapun kemudian telah berada di regol. Ketika mereka siap meloncat kepunggung kudanya, Pandan Wangi yang kemudian ikut pula ke regol mengusap kedua pundak Glagah Putih dengan kedua tangannya sambil berkata, "Kau akan menemukan sesuatu yang berharga di Tanah Perdikan Menoreh."
Glagah Putih memandanginya sambil menyahut, "Terima kasih. Mudah-mudahan aku dapat mengembangkannya didalam diriku."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu pada anak itu. Sorot matanya membayangkan keteguhan hatinya dan bergelora. Sementara itu, nampaknya anak muda itu mempunyai kecerdasan penalaran yang sangat tinggi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian ketiga tiganya pun telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Sekali-sekali mereka masih berpaling. Namun sejenak kemudian, maka kuda merekapun berjalan semakin cepat.
Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh memang bukan perjalanan yang terlalu berat. Jalan-jalan yang akan mereka lalui cukup baik dan banyak dilalui orang dan pedati yang mengangkut barang-barang dan hasil bumi dari satu tempat ketempat yang lain. Meskipun jarak yang akan mereka tempuh cukup panjang, namun mereka tidak akan merasakan terlalu lelah.
Kadang-kadang mereka berpapasan dengan sebuah pedati yang memuat beberapa keranjang gula kelapa. Beberapa orang yang berada didalam pedati terdengar berdendang dengan suara yang lembut. Seorang diantara mereka terkantuk-kantuk sambil memegang cambuk di belakang sepasang sapi yang menarik pedati itu.
Sementara itu, beberapa anak muda nampak bekerja di sawah dengan gembira. Kadang-kadang mereka sempat juga berkelakar diantara kotak-kotak sawah mereka. Dengan setengah berteriak mereka bergurau sambil tertawa berkepanjangan.
Namun mereka segera menyentuh suasana yang lain ketika mereka melihat kesiagaan para prajurit. Terasa bahwa mendung menjadi semakin tebal menyelubungi Pajang dan Mataram.
Namun dalam pada itu, perjalanan mereka sama sekali tidak mengalami hambatan. Sebagaimana diperhitungkan sebelumnya, perjalanan mereka tidak banyak diketahui orang, sehingga pihak-pihak tertentu tidak sempat membuat rencana-rencana yang barangkali akan dapat mengganggu perjalanan ketiga orang itu.
Sebagaimana ketika, mereka berangkat, maka ketika mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, merekapun tidak ingin singgah ke Mataram. Tidak ada persoalan yang akan mereka sampaikan. Bahkan mungkin jika mereka singgah, maka perjalanan mereka akan tertunda, karena tidak mustahil bahwa Raden Sutawijaya akan meminta mereka bermalam di Mataram.
Dengan demikian, maka sebagaimana mereka rencanakan, pada hari itu mereka benar-benar telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Kami akan singgah lebih dahulu dirumah Ki Gede," berkata Agung Sedayu, "baru kemudian aku dan Glagah Putih akan kembali kerumah."
"Kau akan mengantarkan aku dahulu?" bertanya Ki Waskita.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Ya Ki Waskita. Aku akan menyerahkan Ki Waskita keMbah kepada Ki Gede. Dalam keadaan utuh sebagaimana saat kita berangkat."
Ki Waskita tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah setelah duduk sejenak dan minum minuman hangat, maka Agung Sedayupun minta diri kembali kerumahnya bersama Glagah Putih.
"Kau mendapat seorang kawan yang baik," berkata Ki Gede.
"Mudah-mudahan," jawab Agung Sedayu, "anak ini kadang-kadang masih merajuk."
Ki Gede dan Ki Waskita tertawa. Tetapi Glagah Putih menundukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah turun kehalaman. Ketika mereka menuntun kuda melintas keregol, maka mereka tertegun karena mereka mendengar kuda berderap. Ternyata Prastawa memasuki regol masih diatas punggung kudanya. Namun demikian ia melihat beberapa orang dihalaman termasuk Ki Gede, iapun segera menarik kekang kudanya dan meloncat turun.
"Kau baru datang dari Jati Anom Agung Sedayu?" bertanya Prastawa.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," jawab Agung Sedayu, "aku bermalam semalam."
"Bersama anak ini?" bertanya Prastawa pula.
Glagah Putih memandang Prastawa dengan tajamnya. Terasa sesuatu tergetar didalam dadanya. Namun ia tidak berbuat sesuatu.
Yang menjawab adalah Agung Sedayu, "Aku memerlukan seorang kawan dirumah."
Prastawa mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja terbersit perasaan tidak senang terhadap kehadiran Glagah Putih. Dalam keadaan tertentu Sekar Mirah tidak akan sendiri. Tetapi ada anak bengal itu dirumahnya.
Namun Prastawa tidak bertanya lebih banyak lagi. Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian menuju keregol dukuti oleh Ki Waskita dan Ki Gede, sementara Prastawa telah mengikat kudanya disamping pendapa.
Dalam pada itu, seorang kawannya yang telah menunggunya mendekatinya sambil berbisik, "Bagaimana?"
"Aku masih harus berjuang. Tetapi sudah ada jalan yang dapat ditempuh," jawab Prastawa perlahan-lahan.
Ketika kawannya masih ingin bertanya lagi, Prastawa memberi isyarat. Iapun kemudian pergi pula keregol dan melepaskan Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan regol itu sebagaimana dilakukan oleh Ki Gede dan Ki Waskita.
Sejenak kemudian. Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mendekati regol halaman rumahnya, karena jaraknya memang tidak jauh.
Ketika mereka memasuki halaman rumahnya, ternyata Sekar Mirahpun telah berada dirumah pula. Bahkan lampu-lampu telah dinyalakan. Sementara itu, seorang anak yang membantu dirumah itupun sedang sibuk mengisi pakiwan.
Sementara itu, selagi Sekar Mirah sibuk menyediakan minuman panas dan makanan bagi suaminya yang baru datang dan Glagah Putih yang kemudian sedang mandi, di halaman rumah Ki Gede, Prastawa sibuk berbincang dengan dua orang kawannya.
"Aku menjadi sangat tersinggung," berkata Prastawa, "perempuan itu semasa gadisnya dekat sekali dengan aku. Bahkan rasa-rasanya lebih dekat dari Agung Sedayu. Sekarang ia telah menghinaku. Ia tidak mau menerima aku dirumahnya selagi suaminya tidak ada. Bukankah itu satu kesombongan yang sangat menyinggung perasaan."
"Mungkin bukan karena ia memang tidak mau," jawab kawannya, "tetapi sebagai seorang isteri ia terikat kepada paugeran-paugeran. Ia merasa segan terhadap tetangga, jika mereka mengetahui bahwa ia telah menerima seorang laki-laki dirumahnya selagi suaminya tidak ada. Apalagi di malam hari."
"Apa peduli dengan tetangga," geram Prastawa.
"Itu bagimu. Tetapi tentu tidak bagi Sekar Mirah," desis kawannya.
"Lalu, bagaimana menurut pertimbanganmu. Apakah pendapat Mbah Kanthil itu baik?" bertanya Prastawa.
"Itulah yang kau maksud dengan jalan yang dapat ditempuh?" bertanya kawannya.
Prastawa mengangguk. "Mungkin memang dapat ditempuh," desis kawannya, "tetapi kau harus yakin, bahwa orang itu benar-benar memiliki kemampuan yang tidak sekedar bualan saja."
"Menurut Mbah Kanthil orang itu memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Ia akan dapat mengguncang hati dan kemudian, semacam ilmu gendam, maka seorang perempuan yang telah terkena ilmunya akan menjadi seperti gila. Nah, baru Sekar Mirah akan merasakan betapa sakitnya hatiku saat ini," geram Prastawa.
"Jika dukun itu memang benar-benar sakti, maka apa salahnya. Perempuan itu akan mengejarmu sampai kelubang semut. Jika suaminya marah, maka kemampuan olah kanuragan perempuan itu mungkin akan dapat mengimbangi kemampuan suaminya," sahut kawannya.
"Bukan hanya itu," berkata Prastawa, "dukun itu mampu menyerang dari jarak jauh. Dengan jambe yang dibelah, diletakkan diatas sebuah jambangan, diantar dengan mantra maka jambe yang terbelah itu akan dapat menyerang langsung menyusup kedalam jantung, sehingga orang yang diserang itu tidak akan bertahan satu atau dua hari."
"Kau sudah mengambil keputusan untuk berbuat demikian," kawannya yang lain bertanya.
"Aku sudah berkeputusan untuk melakukannya sejak ia datang. Ketika aku meminjam tangan seseorang, maka aku memang sudah berniat untuk menyingkirkannya, meskipun tidak harus membunuhnya. Tetapi persoalannya sekarang menjadi semakin berkembang. Aku inginkan perempuan itu berlutut di bawah kakiku dan menyingkirkan suaminya bukan saja dari Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi dari atas bumi ini. Namun demikian, aku masih berbaik hati, aku ingin minta kepada dukun sakti itu agar tidak membunuhnya, tetapi membuatnya lumpuh dan kehilangan segala kesaktiannya yang membuatnya mampu membunuh Ajar Tal Pitu dan Ki Mahoni di tepian." Prastawa bersungguh-sungguh.
"Tetapi dengan demikian, maka Mataram akan kehilangan seorang yang mungkin akan dapat membantu mengimbangi para Senapati Pajang, apabila terjadi satu benturan kekuatan," bertanya kawannya yang lain.
"Aku tidak peduli. Tetapi aku tidak mau dihinakan dan disakiti hatiku. Perempuan itu terlalu cantik buat Agung Sedayu," berkata Prastawa. Lalu, "Ikuti aku kerumah Mbah Kanthil. Aku minta ia menunjukkan rumah dukun sakti itu. Aku menjadi tidak sabar lagi. Semakin lama Sekar Mirah itu menjadi semakin cantik."
Kawan kawannya menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Prastawa benar-benar tidak dapat menyingkir dari cengkaman perasaannya terhadap isteri Agung Sedayu. Sebagaimana ia setiap kali tertarik kepada gadis-gadis dan perempuan-perempuan cantik, maka nampaknya terhadap Sekar Mirah ia bukan saja telah tertarik, tetapi ia benar-benar telah kehilangan nalar.
Demikianlah, maka Prastawa diikuti oleh dua orang kawannya telah meninggalkan padukuhan induk, pergi kesebuah padukuhan kecil di pinggir sebelah Utara Tanah Perdikan Menoreh. Rumah seorang perempuan tua yang hidup seolah-olah terasing. Tidak banyak orang yang berhubungan dengan orang tua itu. Bukan saja karena orang tua itu berwatak keras, pemarah dan sulit bergaul, tetapi ia juga terkenal sebagai seorang dukun.
Berbeda dengan tetangga-tetangganya yang seolah-olah dibatasi oleh jarak yang tebal, maka justru orang-orang dari padukuhan lain telah datang kepadanya untuk berbagai macam keperluan. Ada diantara mereka yang ingin mendapat jodoh, ingin memikat hati perempuan atau sebaliknya memikat hati laki-laki. Bahkan ada yang ingin memisahkan perkawinan seseorang atau lebih mendebarkan lagi, membuat seseorang menjadi sakit dan bahkan jika mungkin lebih parah lagi.
Dalam kegelapan, Prastawa dan dua orang kawannya telah mengetuk pintu rumah perempuan tua itu. Sementara itu terdengar perempuan itu membentak kasar, "He, anak iblis. Siapa membuat gaduh diluar."
Tetapi jawabannya juga sebuah bentakan, "jangan gila perempuan cengeng. Buka pintumu, atau aku akan membakar rumahmu."
"O," perempuan itu tersuruk-suruk pergi kepintu. Sambil membuka selarak pintu rumahnya ia berkata, "Maaf, ngger. Aku tidak tahu bahwa anggerlah yang datang malam-malam begini."
"Aku lebih suka datang kekandangmu ini malam hari," jawab suara diluar.
Sejenak kemudian, pintu rumah itu telah berderit. Perempuan tua itu menyandarkan selarak pintunya, kemudian dengan terbungkuk-bungkuk ia mempersilahkan, "Marilah anakmas. Silahkan."
Prastawa dan dua orang kawannya melangkah masuk. Demikian mereka melangkahi tlundak pintu, maka pintu itupun telah tertutup lagi.
"Silahkan duduk," perempuan tua itu mempersilahkan pula.
Prastawa dan dua orang kawannya duduk disebuah amben yang cukup besar, sementara perempuan tua itupun duduk pula dihadapan mereka.
"Seseorang sudah memberitahukan kepadaku, bahwa anakmas akan datang kemari," berkata perempuan tua itu.
"Ya. Aku memang sudah merencanakan untuk menemui Mbah Kanthil malam ini," jawab Prastawa.
"Nampaknya ada keperluan yang mendesak sekali," desis Mbah Kanthil itu.
"Jangan berpura-pura dungu," jawab Prastawa, "kau tentu sudah tahu. Kawanku yang aku suruh menemuimu itu tentu sudah mengatakan. Nah, sekarang tunjukkan kepadaku, siapakah yang akan dapat menolong aku."
"Aku akan mencobanya anakmas. Mudah-mudahan niat anakmas itu akan terkabul. Demi danyang-danyang disegala sudut Tanah Perdikan Menoreh," jawab perempuan tua itu.
"Kau jangan mengigau perempuan tua," berkata Prastawa, "kau mengatakan, bahwa gurumu akan dapat melakukannya dengan baik dan pasti. Aku masih meragukan kemampuanmu, karena sasarannya adalah bukan orang kebanyakan. Mungkin kau dapat memberikan jodoh kepada penjual gangsiran kulit melinjo, atau mungkin kau dapat menjadi lantaran gadis anak penarik keseran di dekat pande besi itu terpikat oleh seorang laki-laki, atau membuat tukang blandong itu mabuk dan sakit-sakitan. Tetapi sasaran kali ini adalah seseorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Dan kau sendiri sudah mengatakan bahwa ada orang lain yang jauh lebih baik dari kau sendiri, sehingga segalanya akan dapat dilakukan dengan pasti."
Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku memang sudah mengatakan. Aku memang masih mempunyai seorang guru dalam ilmu hitam."
"Aku tidak peduli, apakah ilmu itu hitam, kuning atau jingga. Aku hanya ingin maksudku dapat terjadi," potong Prastawa.
"Baiklah. Jika anakmas tidak berkeberatan, aku bersedia mengantar anakmas pergi ketempat orang itu. Ia adalah guruku. Ilmunya bagaikan sundul langit. Tidak ada seorang dukunpun yang memiliki kesaktian seperti guruku itu," berkata Mbah Kanthil.
"Dimana rumahnya?" bertanya Prastawa.
"Di Gunung Somawana. Dekat Rawa Pening disebelah daerah Banyubiru," jawab Mbah Kanthil.
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Cukup jauh. Aku belum pernah pergi ke tempat itu."
"Tempat itu terletak di sebelah Utara Gunung Merbabu. Jika anakmas berkeras hati untuk mencapai maksud anakmas, maka baiklah aku akan mengantarkannya. Tetapi jika anakmas ingin mencoba kemampuanku, aku akan mengusahakan. Baru jika aku tidak berhasil, maka aku akan pergi ke guruku," berkata Mbah Kanthil.
"Mbah Kanthil," jawab Prastawa, "aku akan memberikan upah yang tinggi jika kau mau memanggil saja gurumu itu untuk datang di Tanah Perdikan ini. Ia dapat tinggal dirumahmu. Aku akan datang kemari, dan gurumu akan melakukan tugas itu disini."
Mbah Kanthil mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku tidak tahu, apakah ia bersedia. Dahulu ia tidak pernah berkeberatan bermalam di rumah ini, waktu aku masih belum terlalu tua. Tetapi sekarang, keadaannya sudah lain. Meskipun demikian aku akan mencobanya."
"Katakan, berapa ia minta upah. Asal masih dalam takaran wajar, maka aku akan memenuhinya. Kau sudah tahu persoalannya, dan kau akan dapat mengatakannya dan memberikan gambaran tentang sasaran yang harus dituju," berkata Prastawa.
"Ya, ya ngger. Aku akan mencobanya. Aku akan pergi ke Gunung Somawana. Gunung yang terkenal, karena dibawah Gunung itulah Prabu Dasamuka yang terkenal itu terkubur," jawab Mbah Kanthil.
Prastawa dan kedua kawannya tidak terlalu lama berada di rumah Mbah Kanthil. Mereka tidak ingin diketahui oleh orang lain, karena dengan demikian akan dapat menumbuhkan kecurigaan.
Sejenak kemudian, Prastawa itupun minta diri. Ketika ia melangkah kepintu itupun berkata, "jangan mencoba mempermainkan aku. Kau harus melakukan segalanya dengan sebaik-baiknya. Jika kau berkhianat, maka kau akan mengalami nasib seburuk orang-orang yang kau tenung. Dan kaupun tidak akan dapat melakukannya terhadap aku. karena aku adalah kemanakan Ki Gede. Jika terjadi sesuatu atasku, maka paman akan dapat menjatuhkan perintah kepada rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan datang kerumah ini, membakar rumah dan kau sekaligus sehingga menjadi abu. Atau bahkan mereka akan menangkapmu, menyeretmu ke banjar dan mengadilimu bersama-sama tanpa ampun."
"Ah," desah Mbah Kanthil, "jangan menyebut-nyebut hal-hal yang mengerikan itu. Tentu aku tidak ingin mengalaminya."
"Karena itu, lakukan permintaanku sebaik-baiknya. Ingat, jangan berkhianat," ancam Prastawa.
"Tentu, tentu anakmas. Aku tidak akan berani berkhianat. Selebihnya, aku masih memerlukan uang untuk kesenanganku di hari tua ini," jawab Mbah Kanthil.
"Tiga hari lagi, aku akan menyuruh seorang kawanku kemari untuk menanyakan, apakah orang yang kau maksud itu sudah datang," berkata Prastawa kemudian.
"Jangan tiga hari. Perjalanan ke Gunung Somawana memerlukan waktu. Apalagi aku sudah setua ini. Aku tidak dapat berjalan lebih cepat dari merangkak seperti siput," jawab perempuan itu.
"Jadi berapa hari?" bertanya Prastawa.
"Sepekan. Aku akan kembali dalam sepekan," jawab perempuan tua itu.
Prastawa merenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Aku akan bersabar sampai sepekan. Tetapi aku tidak mau lebih dari itu."
Demikianlah, maka Prastawapun kemudian meninggalkan rumah perempuan tua itu. Ketika mereka memasuki bulak panjang, maka iapun berkata, "Kalian-pun harus dapat menjaga rahasia ini. Jika rahasia ini dapat diketahui oleh Agung Sedayu, ia akan mengambil satu sikap. Ia telah melupakan rencanaku untuk menyingkirkannya dengan meminjam tangan orang yang justru dapat dikalahkannya. Jika hal seperti itu diketahuinya terulang kembali, maka aku tidak yakin, bahwa ia akan memaafkannya lagi."
"Tentu," jawab kawannya, "kami mengetahui akibat yang paling buruk akan terjadi, jika rahasia ini sampai ketelinga anak iblis itu."
Prastawa mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, "Aku akan mengancam kalian seperti aku mengancam perempuan tua itu."
Kedua kawannya justru tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, "Apakah kepercayaanmu kepadaku mulai goyah."
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, "Tidak. Aku masih tetap percaya kepada kalian."
"Demikianlah, maka Prastawa telah mulai merambah satu jalan yang kelam untuk mencapai maksudnya. Ia telah menghubungi seseorang yang menyadap ilmu hitam, karena ia tidak mampu mengekang gejolak hatinya yang meronta-ronta tanpa terkendali.
Sepekan itu terasa demikian lamanya bagi Prastawa yang sedang menunggu. Namun rasa-rasanya sepekan itu berlalu begitu cepatnya bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang sedang sibuk. Disamping kegiatannya di barak pasukan khusus dan di sanggar bersama Glagah Putih, Agung Sedayu mulai menuruni gelapnya malam di Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana pernah dilakukan sebelum ia kawin. Kadang-kadang bahkan Glagah Putih ikut pula bersamanya berjalan dari gardu ke gardu.
Bahkan kadang-kadang Agung Sedayu telah mengambil waktu disiang dan pagi hari untuk melihat-lihat perkembangan Tanah Perdikan Menoreh, sementara Sekar Mirah dapat melakukan tugasnya di barak pasukan khusus.
Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh itupun tetap mendapat perhatian dari Agung Sedayu.
Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut memasuki barak itupun merasa mendapat kekuatan baru didalam diri mereka. Selama itu, mereka merasa mulai dilupakan oleh Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu telah kembali lagi ketengah-tengah mereka, sehingga merekapun bekerja semakin keras bagi Tanah Perdikan mereka. Juga dalam latihan-latihan olah kanuragan. Merekapun menjadi semakin bergairah lagi. Apalagi disamping Agung Sedayu terdapat seorang anak muda yang mempunyai adat dan kebiasaan yang lebih terbuka dari Agung Sedayu. Sehingga dalam waktu singkat, Glagah Putih telah merasa dirinya berada di kampung halaman sendiri. Apalagi sebelumnya Glagah Putih memang sudah dikenal di Tanah Perdikan Menoreh.
Namun diluar pengetahuan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih, bahwa diluar pengetahuan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh selain orang-orang yang khusus, maka Mbah Kanthil telah kembali dari Gunung Somawana bersama seorang laki-laki tua yang sebaya dengan ketuaan Mbah Kanthil sendiri. Namun meskipun umur mereka sebaya, tetapi orang itu adalah guru Mbah Kanthil dalam ilmu hitam.
Tepat pada hari kelima, Prastawa telah menyuruh seorang kawannya menghubungi Mbah Kanthil untuk menanyakan, apakah orang yang dimaksudkan sudah datang.
"Katakan kepada anakmas Prastawa," berkata Mbah Kanthil, "guruku telah berada didalam gubugku. Khusus bagi angger Prastawa guruku ternyata bersedia datang, meskipun ia sudah tua dan harus menempuh jalan yang panjang. Tetapi ilmunya telah mempengaruhinya sehingga seolah-olah jarak yang kami tempuh tidak lebih dari ujung padukuhan ke ujung padukuhan yang lain."
Kawan Prastawa itupun kemudian menyampaikannya hal itu kepadanya, sehingga dengan demikian, maka Prastawapun segera mengatur diri untuk menemui guru Mbah Kanthil yang tua itu.
Untuk menghindari agar tidak ada orang yang melihat ia datang ke rumah Mbah Kanthil, maka Prastawa pergi kerumah itu di malam hari seperti yang pernah dilakukannya. Bersama dua orang kawannya, maka dengan diam-diam ia memasuki regol halaman rumah Mbah Kanthil.
Ketika ia mendekati pintu rumah itu, maka terasa jantungnya berdentang semakin keras. Seolah-olah sebuah kegelisahan yang tajam telah menahannya.
Namun Prastawa itupun kemudian menghentakkan dirinya. Kegelapan telah menguasai hatinya, sehingga iapun kemudian berkata kepada diri sendiri, "Aku harus mendapatkannya. Ia terlalu cantik. Tetapi iapun telah menyakiti hatiku. Karena itu, aku harus membalasnya sehingga perempuan itu harus merangkak dibawah kakiku, sementara suaminya tidak akan berdaya untuk mencegahnya."
Karena itu, maka bersama dua orang kawannya, Prastawapun telah mengetuk pintu rumah Mbah Kanthil yang jarang mendapat kunjungan tetangga itu. Tetapi justru orang-orang dari tempat yang jauhlah yang sering datang kepadanya.
Ketika pintu rumah itu diketuk perlahan-lahan, maka terdengar Mbah Kanthil bertanya ramah, "Siapa diluar?"
"Aku," jawab Prastawa singkat.
"Anakmas Prastawa" " terdengar suara Mbah Kanthil pula.
"Ya," sahut Prastawa pula.
Dengan tergesa-gesa Mbah Kanthil telah membuka pintu rumahnya. Kemudian mempersilahkan Prastawa dengan dua orang kawannya untuk masuk keruang dalam.
Prastawa tertegun ketika ia melangkah ke amben bambu yang besar, yang terdapat diruang itu. Dilihatnya seorang laki-laki setua Mbah Kanthil duduk dengan tenang memandanginya. Rambutnya yang putih panjang terurai di punggungnya. Sebuah ikat kepala berwarna hitam tersangkut dilehernya. Sedangkan kedua tangannya bersilang didadanya.
Orang itu tersenyum ketika ia melihat Prastawa dan kedua orang kawannya termangu-mangu. Dengan suara yang berat dan serak ia berkata, "Marilah anakmas, silahkan duduk."
Prastawa melangkah maju. Kemudian dengan hati yang berdebar-debar ia duduk di bibir amben itu bersama dengan dua orang kawannya yang juga menjadi gelisah.
"Aku sudah tahu, siapakah anakmas bertiga. Dan aku sudah tahu kepentingan anakmas memanggil aku, dari Kanthil," berkata orang itu. Lalu, "Nah, perkenankan aku memperkenalkan diriku. Orang yang sudi memanggil aku, namaku adalah Tali Jiwa. Kiai Tali Jiwa."
Prastawa mengangguk hormat. Jawabnya, "Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Kiai untuk datang memenuhi undanganku."
Kiai Tali Jiwa itu tertawa. Katanya, "Itu sudah menjadi kewajibanku anakmas. Aku memang wajib menolong sesama yang memang memerlukan pertolonganku. Aku akan merasa bahagia jika usahaku untuk menolong mereka yang memerlukan pertolonganku itu berhasil dengan baik."
Prastawa mengangguk-angguk. Terasa betapa besar pengaruh wibawa orang yang menyebut dirinya Kiai Tali Jiwa itu. Jauh berbeda dengan wibawa Mbah Kanthil yang dikenalnya sebagai seorang dukun tukang meramal nasib dan kadang-kadang membantu seseorang yang mempunyai keinginan tertentu.
"Anakmas," berkata Kiai Tali Jiwa, "meskipun Kanthil sudah mengatakan kepadaku tentang kepentingan anakmas, namun aku masih berharap anakmas menyampaikannya keinginan itu kepadaku, agar aku yakin bahwa aku tidak salah langkah, karena mungkin ada hal yang kurang atau lebih dari keterangan Kanthil kepadaku."
Prastawa beringsut setapak. Kemudian katanya, "Baiklah Kiai. Aku memang sangat mengharap pertolongan Kiai."
"Ya, ya. Katakan. Jangan ragu-ragu," sahut Kiai Tali Jiwa.
Prastawa masih saja merasa gelisah. Tetapi ia berkata juga, "Kiai, aku merasa hatiku disakiti oleh seorang perempuan."
"Disakiti?" Kiai Tali Jiwa mengerutkan keningnya, "nah, yang aku dengar justru sebaliknya. Anakmas telah tertarik kepada seorang perempuan."
"O," keringat dingin membasahi punggung Prastawa. "Maksudku, perempuan yang telah menyakiti hatiku itu memang telah menarik hatiku pula."
Kiai Tali Jiwa tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Baiklah. Katakan. Katakan semuanya sampai tuntas, agar aku tidak salah tangkap."
Prastawapun kemudian menceriterakan segala sesuatu tentang Sekar Mirah dan tentang Agung Sedayu dalam hubungannya dengan dirinya. Bukan saja karena tertarik kepada Sekar Mirah yang telah terlanjur kawin dengan Agung Sedayu dan yang kemudian telah membuat hatinya menjadi sakit, tetapi juga dalam kedudukannya sebagai kemanakan Ki Argapati yang berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh, yang kedudukannya telah terdesak oleh Agung Sedayu.
Kiai Tali Jiwa mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah anakmas. Aku mengerti. Aku dapat merasa betapa hatimu merasa tertekan oleh keadaan itu. Dan adalah wajar sekali jika kau ingin berbuat sesuatu untuk memecahkan himpitan itu. Karena itu, aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin berbuat sesuatu."
"Aku ingin pertolongan Kiai," berkata Prastawa kemudian.
"Membalas sakit hati sekaligus mendapatkan perempuan itu," desis Kiai Tali Jiwa.
"Ya Kiai," jawab Prastawa.
"Dengan satu jaminan, bahwa suami perempuan itu tidak akan berbuat sesuatu," Kiai Tali Jiwa meneruskan.
"Ya Kiai," Prastawa menundukkan kepalanya.
Kiai Tali Jiwa tertawa. Katanya, "Aku senang kepada orang yang jujur seperti anakmas ini. Karena itu. anakmas memang harus mendapatkan pertolongan. Dan menolong sesama itu adalah kewajibanku."
"Terima kasih atas kesediaan Kiai," desis Prastawa.
"Tetapi aku tidak dapat melakukannya dengan serta merta sekarang juga anakmas. Aku memerlukan waktu sedikit untuk mempersiapkan diri."
Prastawa mengerutkan keningnya. Nampak sepercik kekecewaan diwajahnya.
Namun dalam pada itu, Kiai Tali Jiwa berkata, "Sebaiknya anakmas memang tidak tergesa-gesa. Tetapi segalanya akan berlangsung dengan pasti."
Prastawa mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang katakan kepadaku anakmas," berkata Kiai Tali Jiwa, "apa yang harus aku lakukan terhadap perempuan itu" Apakah aku harus membuatnya menyesali perbuatannya " Atau aku harus membuatnya tergila-gila kepada anakmas" Sementara itu, apa pula yang harus aku lakukan terhadap suaminya" Membunuhnya atau dengan cara lain?"
Prastawa tertegun sejenak. Ada sesuatu yang memberati perencanaannya untuk mengatakan maksudnya. Tetapi ia sudah berada dihadapan Kiai Tali Jiwa.
Karena itu, maka bagaimanapun juga, ia harus berbicara.
"Kiai," berkata Prastawa, "aku memang menginginkan perempuan itu. Apapun yang Kiai lakukan, tetapi yang pada akhirnya, aku berhasil memilikinya. Sementara itu. Kiai dapat berbuat apa saja terhadap suaminya. Kiai tidak usah membunuhnya, tetapi dengan satu kepastian bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi terhadap isterinya dan terhadapku."
Kiai Tali Jiwa tertawa. Katanya, "Baiklah anakmas, baiklah. Aku mengerti, anakmas adalah seorang yang baik hati."
"Selebihnya Kiai," berkata Prastawa, "aku mohon agar paman tidak berpaling kepada Agung Sedayu sehingga aku kehilangan kesempatan memerintah di Tanah Perdikan Menoreh."
Kiai Tali Jiwa mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah mengerti sepenuhnya. Dan aku akan melakukannya. Pekerjaan ini tidak terlalu sulit aku lakukan. Tetapi sekali lagi, aku mohon waktu. Aku harus berpuasa ampat puluh hari ampat puluh malam. Aku minta Kanthil membantuku agar segalanya dapat berlangsung tanpa kemungkinan untuk gagal."
Prastawa mengangguk angguk. Katanya, "Terserahlah kepada Kiai. Aku akan menunggu."
"Besok aku akan mulai dengan mandi keramas. Aku harus mulai dengan sesaji. Ada beberapa macam kebutuhan untuk kepentingan sesaji itu ngger. Biarlah nanti Kanthil mengatakannya. Ia tahu apa yang aku butuhkan," berkata Kiai Tali Jiwa.
Prastawa mengangguk-angguk pula. Kemudian iapun berpaling kepada Mbah Kanthil yang duduk tidak begitu jauh di sebelahnya.
"Anakmas," berkata Kiai Kanthil, "kami membutuhkan ayam putih mulus. Sepotong mori putih. Kebutuhan-kebutuhan kecil yang tidak berarti lainnya dan yang penting, kami memerlukan jarum dari emas murni tiga batang. Emas itu harus dilontarkan langsung menyerang bagian dalam sasaran."
"Kenapa harus emas murni" " di luar sadarnya Prastawa bertanya.
"Bukankah anakmas tidak ingin membunuhnya" Kami dapat melakukannya dengan benda-benda lain."
Dengan potongan besi biasa, atau dengan duri ikan air atau dengan cara-cara yang lain. Tetapi benda-benda itu akan dapat merusak sasaran dan mungkin akan membunuhnya. Emas murni, tidak akan berkarat dan melukai sasaran lebih dari yang dikehendaki," jawab Kiai Kanthil.
Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, aku akan memenuhi segala kebutuhan. Besok seorang kawanku akan datang kemari. Ia akan membawa uang untuk memenuhinya.
"Baiklah anakmas," berkata Kiai Tali Jiwa, "yang kita lakukan ini bukan sekedar bermain-main. Tetapi kita sudah melakukan satu kerja besar dan bersungguh-sungguh. Karena itu, maka kita harus benar-benar mempersiapkan diri. Lahir dan batin."
"Ya Kiai," jawab Prastawa singkat.
"Baiklah. Malam ini aku akan menyiapkan segalanya. Besok aku akan mulai dengan puasaku ampatpuluh hari ampat puluh malam. Aku akan melangkah dengan satu keyakinan, karena pekerjaan seperti ini sudah sering aku lakukan," berkata Kiai Tali Jiwa.
Dalam pada itu, Prastawa yang merasa sudah cukup, segera mohon diri. Ia tidak betah terlalu lama berada ditempat itu. Rasa-rasanya nafasnya menjadi sesak dan darahnya tersendat-sendat dijantungnya, selama ia duduk berhadapan dengan Kiai Tali Jiwa dan sekaligus Mbah Kanthil yang tua itu.
Dengan hati-hati ketiga anak muda itupun kemudian meninggalkan rumah Mbah Kanthil. Mereka tidak mau dilihat oleh seorangpun yang akan dapat menyebarkan kabar yang sangat menarik perhatian orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika kemudian ternyata usaha Kiai Tali Jiwa berhasil dan nampak mencengkam sasarannya.
"Kau tidak akan menunggu terlalu lama," berkata seorang kawannya, "perempuan itu tentu akan selalu mencarimu, sementara suaminya akan terbaring dirumahnya karena sakit yang tidak diketahui sebab-sebabnya."
Prastawa tidak menjawab. Tetapi wajahnya justru menjadi tegang.
Kawan-kawannyapun kemudian tidak bertanya lagi. Mereka berjalan tergesa-gesa melintasi jalan yang gelap, langsung menuju ke padukuhan induk.
Dalam pada itu, dirumah Agung Sedayu, Glagah Putih masih berada didalam sanggar. Ia sudah menguasai ilmunya sampai tuntas. Dari Agung Sedayu ia sudah mendapat pengarahan untuk memahami puncak ilmu yang dipelajarinya di dalam goa pada bagian yang hilang dan rusak, yang tanpa sengaja telah terhapus oleh Agung Sedayu.
Justru karena itu, maka Agung Sedayu mulai memperkenalkan beberapa bagian ilmu dari jalur perguruan yang lain dari perguruan Ki Sadewa.
"Glagah Putih," berkata Agung Sedayu, "jika aku memperkenalkan beberapa bagian ilmu kanuragan dari jalur perguruan yang lain, maka hal itu akan dapat kau pergunakan sebagai bahan perbandingan dan sekaligus sebagai bahan untuk melengkapi ilmu yang telah kau kuasai. Tentu saja yang mempunyai dasar dan watak yang bersamaan."
Glagah Putih dengan tekun mengikuti segala petunjuk Agung Sedayu. Dengan penuh minat ia berusaha mengenal beberapa unsur dari ilmu olah kanuragan dari jalur yang berbeda. Namun yang dengan ketajaman nalar dan pengamatan, maka unsur-unsur itu akan dapat berarti bagi ilmu yang telah dikuasainya. Justru melengkapinya.
Karena itu, maka ilmu Glagah Putih itupun menjadi semakin padat. Yang terasa lemah pada sendi-sendi hubungan antara unsur yang satu dengan yang lain dapat dimantapkan dengan unsur-unsur yang dikenalnya dari jalur perguruan yang lain, yang dengan saksama diselaraskan dengan watak ilmu yang telah ada padanya. Bahkan kemudian unsur-unsur gerak itu terasa luluh didalam ilmunya.
"Dalam perkembangannya nanti, maka kau tentu akan semakin banyak menyadap unsur-unsur yang kau kenal lewat pengalamanmu dan dengan daya ungkap yang tajam, kau akan memanfaatkannya untuk mengisi kelemahan-kelemahan dari jalur perguruan yang kau anut sekarang ini. Karena itu, kau tidak perlu berpegang teguh pada kemurnian unsur dari ilmumu, karena jika unsur-unsur yang kau kenal kemudian ia dapat melengkapi dan tidak bertentangan dengan watak ilmu yang kau miliki, maka unsur-unsur itu akan, sangat bermanfaat bagi ilmumu," berkata Agung Sedayu meyakinkan.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Agung Sedayu. Dan iapun tidak akan mengelak dari tuntunan itu. Ia memang tidak berdiri tegak diatas jalur ilmu yang dianutnya tanpa menghiraukan kemungkinan-kemungkinan lain. Seolah-olah menolak segala macam sentuhan yang dapat dianggap menodai kemurnian ilmu yang dianutnya.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun menyadari, bahwa ia harus berpandangan luas tanpa memagari diri dalam kekerdilan pandangan atas pegangannya yang diungkapkannya tanpa menghiraukan keadaan di seputarnya.
Bahkan Glagah Putih merasa beruntung, karena Agung Sedayu masih tetap membimbingnya dan memberikan arah perkembangan ilmunya. Selesai menghendapkan pengalaman yang seharusnya disadapnya untuk waktu yang bertahun-tahun.
Demikianlah, kehadiran Glagah Putih di Tanah Perdikan Menoreh tidaklah sia-sia. Tidak sia-sia bagi Glagah Putih dan tidak sia-sia bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah, karena dengan kehadiran Glagah Putih, terasa rumah Agung Sedayu itu terasa semakin hidup. Meskipun kadang-kadang Glagah Putih justru masih ikut bersama pembantu dirumah Agung Sedayu pergi kesungai ditengah malam untuk menutup pliridan dan menangkap ikan, setelah Glagah Putih keluar dari sanggar atau di waktu-waktu senggang apabila Agung Sedayu berada di gardu-gardu diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi di saat-saat lain, Glagah Putih telah ikut pula bersama Agung Sedayu dalam latihan-latihan bersama anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut dikirim ke barak pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram.
Dalam pada itu, maka keluarga kecil yang terdiri dari tiga orang dan seorang pembantu yang masih sangat muda itu, menjadi semakin mapan. Mereka telah berhasil menyusun acara kesibukan mereka. Agung Sedayu yang sudah mendapat bantuan Sekar Mirah dalam tugasnya di barak, telah mendapatkan waktu untuk melakukan kegiatan di Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih ternyata tidak tinggal diam. Bahkan dalam usianya ia justru lebih banyak berbuat dari Agung Sedayu sendiri.
Sementara itu Prastawa sama sekali tidak mengganggu mereka. Menurut pengamatan Glagah Putih, anak muda itu justru telah berubah. Ia tidak lagi bersikap kasar dan kadang-kadang tidak dapat dimengerti oleh Glagah Putih. Tetapi ia cenderung untuk tidak mengacuhkan kehadiran Glagah Putih di Tanah Perdikan.
Namun sementara itu, dirumah Mbah Kanthil, Kiai Tali Jiwa telah melakukan puasa ampat puluh hari ampat puluh malam. Hanya disaat matahari terbenam dan terbit sajalah ia minum beberapa teguk dan makan beberapa suap nasi putih tanpa lauk sama sekali.
Dengan laku itu, ia telah memusatkan segenap kemampuannya untuk melakukan satu tugas yang berat bagi kepentingan Prastawa. Ia harus memasang guna-guna pada seorang perempuan yang bernama Sekar Mirah, sekaligus membuat suami perempuan itu tidak berdaya.
"Masalahnya bukan saja perempuan itu," berkata Kiai Tali Jiwa kepada Mbah Kanthil, "tetapi tentu Tanah Perdikan ini. Angger Prastawa tentu berharap menjadi satu-satunya orang yang akan diserahi kepemimpinan Tanah Perdikan ini, karena Pandan Wangi sebagaimana kau katakan, berada di Sangkal Putung."
"Persoalannya memang tumpang tindih," jawab Mbah Kanthil, "tetapi aku tidak tahu, yang manakah yang lebih penting bagi anakmas Prastawa."
Dalam pada itu, jika malam turun, maka Kiai Tali Jiwa hampir tidak pernah memejamkan matanya. Tetapi ia duduk tepekur diamben bambu. Kedua tangannya disilangkannya didadanya.
Meskipun ia belum sampai pada laku puncak, yang akan dilakukan pada hari-hari terakhir, namun setiap saat ia sudah mulai dengan pengetrapan ilmunya. Semakin hari semakin tajam, sehingga pada hari terakhir, maka dalam satu hari satu malam, ia akan melepaskan segenap ilmunya dengan melontarkan ilmu gendamnya kepada Sekar Mirah dan sekaligus melukai bagian dalam tubuh Agung Sedayu, sehingga ia kehilangan kemampuannya untuk berbuat sesuatu.
Dalam pada itu, Mbah Kanthil telah menyiapkan segala-galanya. Sebuah jambangan di senthong tengah. Meskipun masih belum diasapi dengan kemenyan, tetapi jambangan itu telah berisi air yang ditaburi beberapa jenis bunga. Disamping bunga kanthil, kenanga dan mawar, maka didalam air itu terdapat pula daun awar-awar dan duri beberapa jenis ikan dalam tabung bersama tiga batang jarum emas murni. Sepotong kayu Wregu kembang dan akar waringin sungsang, direndam pula didalam air itu, bersama sepasang jambe yang sudah dibelah. Sementara lampu minyak berkeredipan tanpa pernah padam selama ampat puluh hari ampit puluh malam.
Demikianlah, dari hari kehari, Kiai Tali Jiwa bekerja semakin keras. Waktunya untuk tepekur semakin panjang. Bukan saja di malam hari, tetapi disiang haripun Kiai Tali Jiwa lebih banyak menekuni kewajibannya dengan sepenuh hati. Bahkan setelah hari yang ketigapuluh, Kiai Tali Jiwa mulai memasuki bilik khusus. Di senthong tengah itu Kiai Tali Jiwa mulai menyalakan api berbau kemenyan.
Dalam pada itu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang sama sekali tidak menduga bahwa mereka sedang dibayangi oleh rencana yang gawat, melakukan tugas mereka sehari-hari sebagaimana mereka lakukan. Agung Sedayu masih juga menyisihkan waktu untuk membawa Glagah Putih kedalam sanggar.
Namun demikian, pada keduanya mulai terasa sesuatu yang asing. Sekar Mirah yang setiap hari pergi juga ke barak sebagaimana juga Agung Sedayu, merasakan satu pengaruh yang tidak dikenalnya. Di saat-saat ia berjalan pulang bersama Agung Sedayu, ia merasa Tanah Perdikan itu begitu sepi. Apalagi ketika mereka sudah berada dirumah. Dibawah nyala lampu minyak yang berkeredipan. Disaat-saat mereka makan ditemani oleh Glagah Putih.
Bagi Sekar Mirah, Agung Sedayu seakan-akan mengalami perubahan sikap. Seolah-olah Agung Sedayu itu tidak banyak lagi menghiraukannya. Ia lebih banyak berbuat sesuatu bagi Glagah Putih. Selebihnya hampir seluruh waktunya dipergunakannya bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika Sekar Mirah berada di halaman rumahnya disore hari, setelah ia pulang dari barak bersama Agung Sedayu, hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Prastawa berkuda lewat didepan rumahnya.
Tetapi Prastawa itu tidak berhenti. Bahkan berpaling-pun tidak.
"Anak muda itu sombong sekali," berkata Sekar Mirah didalam hatinya. "untuk apa ia lewat didepan rumah ini tanpa berhenti sama sekali."
Selagi Sekar Mirah termenung" tiba-tiba saja ia terkejut karena terdengar suara Agung Sedayu dibelakangnya, "Aku akan pergi kepadukuhan sebelah Mirah."
"O," desis Sekar Mirah.
"Aku ingin melihat tanggul susukan yang katanya pecah itu," berkata Agung Sedayu pula.
"Silahkan kakang," jawab Sekar Mirah.
"Glagah Putih akan pergi bersamaku," berkata Agung Sedayu kemudian.
Sekar Mirah mengangguk, sementara Glagah Putih telah berlari-lari turun tangga pendapa.
Sejenak kemudian keduanya telah pergi. Sekar Mirah yang sendiri dirumahnya merasa menjadi semakin sepi. Kehadiran Glagah Putih tidak banyak memberikan arti lagi kepadanya. Bahkan bersama Glagah Putih Agung Sedayu semakin sering keluar rumah.
"Apa artinya semuanya ini" " pertanyaan itu mulai bergejolak didalam hati Sekar Mirah.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayupun merasakan sesuatu yang tidak dimengertinya pada tubuhnya. Pada saat-saat tertentu terasa sendi-sendinya terasa letih. Seakan-akan kekuatan yang ada didalam tubuhnya mulai susut dari hari kehari.
Tetapi pada saat-saat tertentu, jika kegelisahan itu merayapi jantungnya tanpa dapat dikendalikan, maka Agung Sedayu telah pergi ke tempat yang terasing. Ia tidak membiarkan perasaan itu bermain didalam dirinya. Karena itu, maka ia ingin membuktikan, apakah benar kekuatannya telah susut.
Pada saat yang demikian, maka ia telah mengambil sasaran dilereng pegunungan Menoreh. Bukan saja untuk menilai kemampuan tenaga wadagnya dan landasan tenaga cadangannya. Tetapi Agung Sedayu menilai pula kemampuan ilmunya lewat sorot matanya. Bahkan kemampuannya melenting dan bergerak dalam landasan ilmu meringankan tubuhnya.
Ternyata semuanya masih tidak berubah. Semuanya masih tetap pada tingkat dan tataran yang seharusnya.
Agung Sedayu bukan orang yang cepat menerima pengaruh pada dirinya. Demikian pula agaknya dengan Sekar Mirah. Karena itu, maka yang terjadi didalam diri mereka itupun, tidak luput dari perhatian mereka dengan sungguh-sungguh. Meskipun masing-masing telah berusaha untuk menilai apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi.
Sebenarnyalah mereka memang bukan orang kebanyakan. Karena itu, maka mereka tidak menerima segala yang terjadi atas diri mereka itu begitu saja. Bahkan Sekar Mirahpun menjadi heran kepada diri sendiri, bahwa perhatiannya kepada Prastawa menjadi semakin besar.
"Ada yang asing pada diriku," berkata Sekar Mirah kepada diri sendiri, "mungkin pengaruh kesepianku yang terasa semakin mencengkam, karena kakang Agung Sedayu terlalu sering meninggalkan aku dirumah."
Tetapi Sekar Mirah bukan orang yang tertutup sebagaimana Agung Sedayu. Ia lebih terbuka seperti Swandaru. Karena itu, maka ia tidak lebih senang menyimpan perasaan asing itu didalam dirinya.
Karena itu, maka ternyata Sekar Mirahlah yang lebih dahulu menyatakan perasaan itu kepada Agung Sedayu daripada Agung Sedayu sendiri.
Ketika keduanya duduk diamben bambu setelah makan malam dikawani oleh Glagah Putih, maka Sekar Mirah itupun berkata, "Kakang, apakah aku boleh mengatakan sesuatu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak dapat menolaknya, betapapun ia tidak dapat mengatakan perasaan tentang dirinya itu lebih dahulu.
"Apakah ada sesuatu yang penting Mirah" " bertanya Agung Sedayu kemudian.
"Menurut pendapatku, ada sesuatu yang wajib aku katakan kepadamu kakang. Untuk kepentingan kita berdua," jawab Sekar Mirah.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Jika hal itu kau anggap penting, dan berguna bagi kita berdua, maka sebaiknya, katakanlah."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang Glagah Putih yang gelisah.
"Kakang," berkata Glagah Putih kemudian dengan tersendat-sendat, "Jika kakang ingin berbicara dengan mbokayu, sebaiknya aku keluar sebentar. Mungkin ada sesuatu yang tidak seharusnya aku dengar."
"Tidak Glagah Putih," Sekar Mirahlah yang menyahut, "kau duduk saja disitu. Kau sudah cukup dewasa sekarang. Karena itu, kau boleh mendengar persoalan yang akan aku bicarakan dengan kakang Agung Sedayu."
Glagah Putih masih tetap termangu-mangu. Namun Agung Sedayu kemudian berkata, "Duduk sajalah disitu Glagah Putih."
Glagah Putih tidak jadi beringsut. Tetapi kepalanya-pun kemudian menunduk dalam-dalam. Ia menjadi cemas, bahwa persoalan yang akan dibicarakan oleh Sekar Mirah dan Agung Sedayu itu berkisar kepada dirinya.
Buku 160 "KAKANG," berkata Sekar Mirah kemudian, "aku mohon maaf, bahwa mungkin yang akan aku katakan kurang kau sepakati. Tetapi aku ingin kau mengetahui perasaanku. Dengan demikian maka kita akan dapat saling mengerti dasar pikiran kita masing-masing, jika kita kemudian melihat sikap dan langkah-langkah yang barangkali tidak pernah kita lakukan sebelumnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun tidak kalah gelisahnya dari Glagah Putih.
"Kakang. Selama ini, aku merasa bahwa hari-hari permulaan rumah tangga kita adalah menyenangkan. Rasa-rasanya kita benar-benar meniti satu kehidupan yang kita inginkan sebelumnya. Apalagi setelah aku mendapat kesempatan ikut serta menjalankan tugas bersamamu di barak pasukan khusus itu. Rasa-rasanya hiduppun menjadi semakin berarti." Sekar Mirah berhenti sejenak, lalu. "tetapi akhir-akhir ini aku merasakan sesuatu yang asing yang kurang aku kenal dan kurang aku mengerti. Aku merasa sangat sepi dan kadang-kadang aku merasa rumah ini tidak memberikan ketenangan kepadaku."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia masih belum mengerti, kemana arah pembicaraan Sekar Mirah. Tetapi bahwa ada sesuatu yang asing, yang tidak dimengerti, rasa-rasanya ia juga mengalami. Meskipun perasaan itu baginya lebih langsung menyentuh wadagnya. membuat sendi-sendi tubuhnya bagaikan sangat letih dan lemah. Namun dalam saat-saat tertentu, jika ia menguji kemampuannya, maka kemampuannya itu sama sekali tidak berubah.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera mengatakannya. Ia masih mendengar Sekar Mirah melanjutkan, "Kakang. Aku tidak mengerti, apakah sebabnya bahwa aku merasa demikian Tetapi mungkin aku dapat menyebut satu dugaan. Aku mohon maaf, bahwa yang akan aku katakan itu tidak sesuai dengan jalan pikiranmu."
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Katakan Mirah."
"Kakang. Mungkin akhir-akhir ini aku merasa kesepian. Kau terlalu sering meninggalkan aku sendiri dirumah," Suara Sekar Mirah merendah. Bagaimanapun juga terasa keseganan telah bergejolak didalam hatinya. Tetapi ia tidak mau menyimpan perasaan itu didalam dadanya. Ia merasa lebih baik mengatakannya langsung kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia mencoba memandang ke dirinya sendiri. Sebenarnyalah ia mengakui, bahwa ia memang terlalu banyak meninggalkan Sekar Mirah sendiri dirumah. bahkan kadang-kadang Glagah Putih telah dibawanya pula, sementara di saat lain, ternyata Glagah Putih masih senang juga pergi kesungai, menutup pliridan untuk mencari ikan bersama pembantu rumahnya dan kawan-kawannya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Aku dapat mengerti perasaanmu Sekar Mirah. Agaknya aku memang terlalu banyak meninggalkan kau dirumah."
"Kakang, bukan maksudku menghambat tugas-tugas kakang," berkata Sekar Mirah lebih lanjut. Lalu, "Tetapi agaknya akan berbeda jika kakang justru mau mengajak aku pergi bersama kakang. Kakang tahu, bahwa aku bukan anak ingusan yang masih sering merengek. Aku bahkan akan dapat membantu tugas-tugas kakang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Ia mengerti kemampuan isterinya. Karena itu, Sekar Mirah justru telah menentukan pemecahan yang agaknya dapat ditempuhnya.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah Mirah. Kita memang dapat pergi bersama-sama. Mungkin sekaligus dengan Glagah Putih. Mungkin kita berdua saja, karena Glagah Putih ingin berada disanggar."
"Terima kasih kakang. Aku akan melihat, apakah perasaan asing yang tidak aku kenal itu akan dapat berubah," berkata Sekar Mirah kemudian.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Sebaiknya kita akan mengamati bersama. Keasingan didalam dirimu itu memang dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab. Namun yang kau katakan itu memang mungkin sekali salah satu sebab dari kesepian yang kau rasakan," Agung Sedayu itupun berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja iapun terdorong untuk mengatakan, "Mirah. Sebenarnya akupun merasakan sesuatu yang asing didalam diriku. Tetapi tidak pada perasaanku, namun pada wadagku. Aku merasakan satu perasaan yang selama ini tidak pernah aku alami. Keletihan dan kadang-kadang seolah-olah tubuhku kehilangan kekuatan oleh satu kerja yang keras. Namun pada saat-saat tertentu, jika aku mengujinya, maka segenap kemampuanku masih tetap berada pada tataran yang seharusnya."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Kita sama-sama mengalami satu hal yang perlu mendapat perhatian kita. Tetapi gejala-gejala yang kau rasakan itu mungkin sekali karena kelelahan. Benar-benar kelelahan, karena seakan-akan kau tak pernah berhenti bekerja. Kau selalu berbuat sesuatu dari matahari terbit, sampai jauh malam. Setiap hari. Bagaimanapun juga kekuatan seseorang mempunyai keterbatasan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin sekali. Karena itu, aku akan mendengarkan pendapatmu."
Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sekilas. Tetapi seolah-olah Agung Sedayu itupun menjadi asing seperti sesuatu yang bergejolak dihatinya. Perasaannya terhadap Agung Sedayu yang duduk itu lain dengan perasaannya kepada Agung Sedayu beberapa waktu yang lampau.
"Aku tidak boleh mengikuti arus perasaan yang tidak aku kenal ini," berkata Sekar Mirah didalam hatinya, "bahwa aku menjadi kecewa karena kesepian yang mencengkam bukan satu alasan untuk memandang kakang Agung Sedayu dengan sikap yang berbeda."
Sementara itu, Agung Sedayu masih tetap duduk ditempatnya. Kepalanya menunduk sementara perasaannyapun mulai menelusuri sikapnya pada saat-saat terakhir. Ia memang merasa bahwa ia terlalu sering meninggalkan Sekar Mirah seorang diri.
Dalam pada itu Glagah Putih hampir tidak dapat menahan kegelisahannya yang bergejolak. Ia melihat sesuatu yang kurang serasi pada kedua orang yang belum terlalu lama menginjakkan kaki mereka kedalam satu lingkungan keluarga baru. Namun yang mulai disentuh oleh satu keadaan yang mendebarkan.
"Untunglah bahwa kakang Agung Sedayu mau mendengarkan pendapat mbokayu, "berkata Glagah Putih, "sementara itu mbokayupun dengan terbuka mengatakan perasaannya. Jika masing-masing merendam perasaan itu didalam hati, maka akibatnya tentu akan lebih parah lagi."
Sementara itu, Glagah Putih merasa bahwa dirinya tidak seharusnya hadir dalam pembicaraan-pembicaraan yang mungkin akan menjadi semakin mendalam. Karena itu, maka iapun kemudian beringsut sambil berkata, "Kakang, apakah aku diperkenankan pergi ke sungai?"
"Untuk apa?" berkata Agung Sedayu.
"Membuka pliridan. Aku membuat sebuah pliridan yang besar," jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu termenung sejenak. Namun katanya kemudian, "Jangan terlalu lama. Dan berhati-hatilah, karena kadang-kadang ular air berkeliaran di malam hari."
"Baik kakang," jawab Glagah Putih. Sambil beringsut iapun kemudian minta diri pula kepada Sekar Mirah, "Mudah-mudahan aku mendapat bader yang mbokayu inginkan."
Sekar Mirah memandang anak muda itu. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Pergilah Glagah Putih. Tetapi kau tidak perlu merisaukan keadaanku dan kakangmu. Tidak ada persoalan apa-apa. Kau yang sudah dewasa tentu dapat menangkap isi pembicaraan kami dengan sikap dewasa pula."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih mbokayu."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Glagah Putih yang kemudian meninggalkan rumah itu. Sekar Mirahpun kemudian pergi juga kepintu yang ditinggalkan oleh Glagah Putih.
Sejenak Sekar Mirah masih berdiri di muka pintu. Ia melihat Glagah Putih melintasi halaman dan hilang dibalik regol. Sementara itu malampun menjadi semakin gelap.
Namun Sekar Mirah itu tertegun ketika ia melihat seleret sinar yang berwarna kemerah-merahan meluncur di halaman. Sinar kemerah-merahan itu jatuh tepat di regol halaman, sementara Glagah Putih baru saja melintas.
Cahaya kemerah-merahan itu telah mengejutkan Sekar Mirah. Hampir diluar sadarnya Sekar Mirah yang terkejut itu berteriak memanggil, "Glagah Putih."
Sementara itu suara itu sendiri telah mengejutkan Agung Sedayu, sehingga iapun telah meloncat ke pintu. Dari sebelah Sekar Mirah ia melihat pendapa dan halaman yang sepi.
"Ada apa Mirah?" bertanya Agung Sedayu.
Sekar Mirah tidak segera menjawab. Namun suaranya ternyata telah didengar oleh Glagah Putih. Karena itu, maka iapun telah berbalik dan masuk kembali kedalam regol. Berlari-lari kecil ia melintasi halaman dan naik kependapa. Ketika ia sampai kepintu, ia melihat Sekar Mirah berdiri tegang. Disebelahnya Agung Sedayu termangu-mangu.
"Kau tidak apa-apa ?" bertanya Sekar Mirah kepada Glagah Putih.
"Kenapa" " justru Glagah Putihlah yang bertanya.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Adalah mengherankan bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih sendiri ketika Sekar Mirah membimbing anak muda itu masuk kembali keruang dalam, seperti membimbing kanak-kanak.
"Apa yang terjadi?" bertanya Agung Sedayu.
Wajah Sekar Mirah masih nampak tegang. Sementara Agung Sedayulah yang kemudian menutup pintu yang masih terbuka.
Setelah Glagah Putih duduk diamben. Sekar Mirah duduk pula disampingnya sambil berdesis, "Kau tidak merasa apa-apa?"
Glagah Putih menggeleng. Jawabnya, "Tidak mbokayu. Ada apa sebenarnya?"
Kecemasan masih nampak membayang diwajah Sekar Mirah. Ketika Agung Sedayu kemudian duduk pula disebelahnya. maka Sekar Mirahpun mengatakan apa yang dilihatnya.
"Aku cemas tentang keadaanmu. Aku tidak mengerti, apakah yang telah aku lihat itu. Tetapi ada kesan yang mendebarkan. Cahaya yang kemerah-merahan itu seolah-olah jatuh menimpamu, atau satu dua langkah di belakangmu," berkata Sekar Mirah.
"Aku tidak merasa apa-apa. Aku juga tidak melihat apa-apa," jawab Glagah Putih.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara bergetar ia berdesis, "Tentu bukan sebangsa tatit."
"Selain langit tidak mendung, cahaya tatit memancar dengan kecepatan yang tidak kasat mata. Tetapi aku melihat cahaya itu meluncur. Cepat, tetapi tidak secepat tatit atau petir."
Pada malam itu. Kiai Tali Jiwa di rumah Mbah Kanthil duduk dengan tegang menghadapi jambangannya. Sementara itu asap kemenyan telah memenuhi bilik yang sempit itu.
Menjelang pagi, Kiai Tali Jiwa itu berkata kepada Mbah Kanthil, "Aku telah mulai. Aku telah mengisi halaman rumah Sekar Mirah dengan suasana yang berbeda. Rumah itu akan terasa sangat sepi dan asing bagi Sekar Mirah. Apalagi Agung Sedayu akan mengalami keadaan yang tidak diinginkannya. Perlahan-lahan ia akan mengalami penderitaan karena wadagnya yang tidak lagi dapat mendukung kemampuan ilmunya yang sangat tinggi."
"Apakah guru yakin, bahwa guru akan dapat menembus kedua orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan itu ?" bertanya Mbah Kanthil.
"Kau tetap dungu sampai sekarang Kanthil," jawab Kiai Tali Jiwa, "bukankah ilmu yang dimiliki oleh Agung Sedayu itu ilmu dalam olah kanuragan" Bukan ilmu seperti yang kita pelajari selama ini?"
Mbah Kanthil itu mengangguk-angguk. Ia percaya kepada gurunya karena ia sudah terlalu sering membuktikan, bahwa gurunya memang dapat melakukan seperti apa yang dikatakannya.
Malam itu Glagah Putih tidak jadi pergi ke sungai. Lewat tengah malam, pembantu rumah Agung Sedayu kembali seorang diri. Perlahan-lahan ia mengetuk dinding arah bilik tidur Glagah Putih.
"Siapa?" desis Glagah Putih yang terbangun.
"Aku. He, kenapa kau tidak turun?" bertanya pembantu itu.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian bangkit dari pembaringannya dan melangkah kepintu butulan.
Langkahnya tertegun ketika dilihatnya Agung Sedayu masih duduk diruang tengah seorang diri. Sementara itu, Agung Sedayu itupun bertanya, "Kau akan kemana ?"
"Membuka pintu. Anak itu pulang dari sungai. Agaknya ia menunggu aku terlalu lama," jawab Glagah Putih.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja Glagah Putih yang pergi kepintu butulan.
Ketika pintu itu terbuka, dan pembantu Agung Sedayu itu melangkah masuk, maka langkahnya terhenti ketika ia melihat Agung Sedayu masih duduk.
"Kakang tidak apa-apa," desis Glagah Putih.
"Cepat tidur." "Tetapi kau tidak jadi turun malam ini. Gatra mendapat seekor uling, meskipun belum begitu besar memasuki pliridannya dibawah bendungan," berkata anak itu.
"Pliridan kita agak jauh dari bendungan," desis Glagah Putih. Lalu, "Sudahlah tidurlah. Masih ada waktu sampai dini hari."
Anak itu tidak menjawab lagi. Iapun kemudian pergi ke biliknya dan menjatuhkan diri di pembaringannya.
Glagah Putih tidak langsung kembali ke dalam biliknya. Iapun kemudian duduk disebelah Agung Sedayu.
"Kakang," berkata Glagap Putih, "nampaknya ada sesuatu yang kurang wajar telah terjadi. Jika benar mbokayu Sekar Mirah seperti yang telah dikatakan, maka hal itu harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Glagah Putih dengan tatapan mata yang heran.
"Kenapa tiba-tiba saja kau berkata demikian?" bertanya Agung Sedayu.
Glagah Putih beringsut setapak. Ia menjadi gelisah oleh pertanyaan Agung Sedayu itu. Namun akhirnya ia menjawab, "Kakang, pembicaraan kakang dan mbokayu seakan-akan selalu terngiang ditelingaku. Sementara itu, aku pernah mendengar ceritera Sabungsari dari dunia hitam. Ia sendiri pernah hidup dekat dengan dunia yang demikian. Sabungsari pernah berceritera tentang kemampuan seseorang yang beralaskan ilmu hitam itu melampaui jangkauan nalar kita. Iapun dapat berceritera tentang cahaya yang kemerah-merahan seperti yang aku dengar dari mbokayu Sekar Mirah. Semula aku tidak berpikir sejauh itu. Namun sambil berbaring aku mulai memikirkannya. Bahkan dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Sabungsari. Ia mengulangi ceriteranya tentang cahaya yang kemerah-merahan. Cahaya itu dapat mendatangkan penyakit."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ceritera yang demikian memang pernah aku dengar Glagah Putih. Mungkin mbokayumupun pernah mendengarnya meskipun agak berbeda."
"Karena itu kakang harus menilainya sebagai satu persoalan yang gawat," berkata Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk Katanya, "Aku akan memperhatikannya. Tetapi aku sependapat dengan mbokayumu, bahwa aku harus membagi waktu. Bukan saja agar mbokayumu tidak merasa terlalu sepi. Tetapi aku memang perlu beristirahat. Seperti kata mbokayumu, kemampuan seseorang ada batasnya. Dan aku telah berbuat melampaui batas kemampuan itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam. Baru kemudian Agung Sedayu berkata, "Masih terlalu malam untuk bangun Glagah Putih. Pergilah ke bilikmu."
Glagah Putihpun kemudian meninggalkan Agung Sedayu pergi ke biliknya. Namun ia tetap memikirkan persoalan yang terjadi di dalam keluarga kecil itu. Ia tidak dapat menyingkirkan angan-angannya tentang cahaya kemerah-merahan seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah. Meskipun ia tidak menjadi takut karenanya, tetapi seperti yang pernah didengarnya, cahaya yang demikian akan dapat menimbulkan malapetaka.
"Tentu bukan aku sasarannya," berkata Glagah Putih didalam dirinya, "tentu salah satu. mbokayu Sekar Mirah atau kakang Agung Sedayu atau kedua-duanya."
Namun kemudian Glagah Putih itu bertanya kepada diri sendiri, "Tetapi untuk apa " Keduanya sudah kawin. Atau mungkin ada orang yang menjadi iri atau perasaan lain semacam itu ?"
Tetapi Glagah Putih tidak dapat menemukan jawabnya. Semuanya masih diselubungi oleh ketidak tentuan. Bahkan mungkin sekali yang sebenarnya terjadi tidak sejauh yang diduganya.
Namun dalam pada itu, suasana dirumah itu memang terasa semakin asing bagi Sekar Mirah. Ketika ia bangun dari tidurnya, ia merasa seolah-olah biliknya itu terlalu sepi bagaikan sebuah bilik dirumah yang sudah bertahun-tahun tidak dihuni orang.
Perlahan-lahan Sekar Mirah turun dari pembaringannya. Derit amben bambunya terdengar bagaikan keluhan panjang.
Ketika Sekar Mirah melangkah keluar dari pintu biliknya, ia melihat Agung Sedayu masih duduk diruang tengah. Langkah Sekar Mirah telah membuat Agung Sedayu itu berpaling.
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu sekilas. Tetapi Sekar Mirah merasa aneh atas penglihatannya sendiri. Rasa-rasanya wajah Agung Sedayu menjadi beku dan kehilangan cahaya.
"Semalam suntuk kau duduk disitu kakang?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya," jawab Agung Sedayu singkat.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Jawaban itu tidak menyenangkannya. Seolah-olah Agung Sedayu telah mengabaikannya. Keseganannya menjawab pertanyaan Sekar Mirah, membuat perempuan itu merasa tidak mendapat perhatiannya.
Tetapi Sekar Mirah masih menahan diri. Iapun kemudian meninggalkan ruangan itu. Sebagaimana biasa maka iapun langsung pergi ke pakiwan sebelum memasuki dapur.
Tetapi suasana rumah itu telah benar-benar berubah menurut perasaan Sekar Mirah. Agung Sedayu tidak saja berwajah pucat dan beku. Tetapi sikapnyapun telah berubah pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang ternyata semalam suntuk tidak beranjak dari tempatnya, beringsut menepi. Tetapi ketika ia turun dari amben diruang tengah itu, hampir saja ia terjatuh. Kakinya terasa semutan yang sangat.
"Aneh," pikir Agung Sedayu, "aku tidak pernah merasakan kakiku seperti ini."
Namun setelah ia menjulurkan kakinya beberapa saat, perasaan itupun telah berangsur hilang.
Yang nampak dilingkungan rumah Agung Sedayu itu memang tidak ada perubahan. Yang biasanya menyapu halaman masih juga menyapu halaman. Yang didapur juga menyalakan api untuk menjerang air. Sementara yang membersihkan ruang-ruang didalam rumahpun telah melakukannya pula.
Tetapi ternyata yang tidak kasat mata, telah tersentuh oleh perubahan suasana. Perubahan suasana yang tidak di mengerti oleh yang mengalaminya. Terutama Sekar Mirah dan Agung Sedayu.
Raja Naga 7 Bintang 5 Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur Pendekar Muka Buruk 13
^